Upload
others
View
21
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
LAPORAN AKHIR
HIBAH BERSAING TAHUN I
TAHUN ANGGARAN 2014
PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS PADA TANAMAN
CABAI DENGAN TEKNIK RAMAH LINGKUNGAN
KETUA :
Dr. Ir. I Dewa Nyoman Nyana, MSi
NIDN: 0020025402
ANGGOTA:
1. Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, MP
NIDN: 0009106204
2. Dr. Ir. Gede Suastika, MSc
NIDN: 0007066210
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
NOVEMBER 2014
153/ILMU HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Pengendalian Penyakit Virus pada Tanaman
Cabai dengan Teknik Ramah Lingkungan
Peneliti / Pelaksana
a. Nama Lengkap : Dr. Ir. I Dewa Nyoman Nyana, MSi
b. NIDN : 0020025402
c. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
d. Program Studi : Agroekologi Pertanian
e. Nomor HP : 08123910101
f. Alamat surel (e-mail) : [email protected]
Anggota Peneliti (1)
a. Nama Lengkap : Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, MP
b. NIDN : 0009106204
c. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
Anggota Peneliti (2)
a. Nama Lengkap : Dr. Ir. Gede Suastika, MSc
b. NIDN : 0007066210
c. Perguruan Tinggi : Institut Pertanian Bogor (IPB)
Institusi Mitra (jika ada)
Nama Institusi Mitra : -
Alamat : -
Penanggung Jawab : -
g. Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari rencana 3 tahun
h. Biaya Tahun Berjalan : Rp. 68.500.000,00
i. Biaya Keseluruhan : Rp. 212.865.000,00
iii
RINGKASAN
Serangan penyakit virus pada tanaman cabai merupakan masalah utama dalam
menurunkan produksi cabai di Indonesia. Terjadinya ledakan penyakit virus pada
pertanaman cabai sampai saat ini belum bisa dihindari, yang berdampak sangat besar
pada ketidakcukupan suplay cabai bagi kebutuhan dalam maupun permintaan luar negeri.
Tiga jenis gejala yang umum sebagai penyebab penyakit virus pada tanaman cabai yaitu
dengan gejala mosaik, kuning dan khlorosis yang diinfeksi oleh jenis virus yang berbeda.
Perbedaan sifat bioekologi dari virus-virus ini membawa konsekuensi kerumitan dalam
penanggulangan penyakit yang ditimbulkannya.
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengembangkan strategi
pengendalian penyakit virus pada tanaman cabai berdasarkan sifat-sifat bioekologi dari
virus yang terlibat dalam menginduksi gejala, melalui serangkaian percobaan yang
meliputi: (1) mengukur kejadian dan intensitas serangan penyakit virus pada tanaman
cabai di seluruh sentra produksi cabai di Bali, serta mengidentifikasi virus-virus yang
berasosiasi dengan penyakit cabai; (2) mengetahui jenis dan kelimpahan serangga hama
yang berperan sebagai vektor virus di pertanaman; serta (3) untuk mengetahui gulma
yang berperan sebagai inang alternatip cabai
Peledakan penyakit virus pada cabai telah terjadi hampir di semua daerah
penghasil cabai di Indonesia, dan sebagian besar menunjukkan gejala virus berat.
Pengetahuan petani yang terbatas mengenai bioekologi virus yang terlibat menginduksi
penyakit pada tanaman cabai menyebabkan tindakan pengendalian yang dilakukan
selama ini kurang berhasil bahkan menyebabkan pengeluaran biaya penanggulangan
yang sia-sia. Sebagai akibatnya, produksi cabai yang dibudidayakan selalu lebih rendah
dari potensi produksi yang sesungguhnya dan tentu pendapatan petani menjadi sangat
berkurang. Disain pengendalian yang dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan
sifat-sifat bioekologi yang unik yang dipunyai dari masing-masing virus yang terlibat
dalam menginduksi gejala pada tanaman cabai. Oleh karena itu, keberhasilannya dapat
lebih mendekati yang diharapkan. Di samping itu, deteksi yang dilakukan guna
menentukan penyebab gejala virus pada tanaman cabai telah dilakukan secara akurat
melalui ELISA maupun RT-PCR. Diagnose penyebab penyakit dengan akurasi tinggi ini
akan memberikan jaminan keberhasilan pengendalian yang lebih baik.
Pada pertanaman cabai di daerah Bali didapatkan ada tiga jenis penyakit yaitu
mosaik, kuning dan klorosis yang masing-masing mempunyai gejala khas dan penyebab
yang berbeda.Penyakit kuning berasosiasi dengan infeksi PepYLCV, penyakit klorosis
karena infeksi PeVYV, dan penyakit mosaik oleh salah satu dari TMV, CMV atau
ChiVMV.Pada pertanaman cabai di daerah Bali juga ditemukan terkoloni oleh serangga
yang telah dilaporkan dapat menjadi vektor virus; dari kelompok kutu kebul ditemukan
Bemisia tabaci dan dari golongan kutu daun ditemukan Aphis gossypii dan Mysus
persicae. Berbagai jenis gulma seperti Amaranthus gracilis, Amaranthus spinous, Bidens
pilosa, Ageratum conyzoide, Synedrella nodiflora, Synedrella nodiflora, Ipomoea
trilobadan Commelina diffusa ditemukan di sekitar pertanaman cabai memperlihatkan
gejala seperti pada tanaman cabai. Semua jenis gulma bergejala terdeteksi mengandung
virus dan oleh karena itu dapat menjadi sumber virus bagi serangga vektor dalam
menularkannya ke tanaman cabai.
Kata kunci: Bioekologi, cabai, gulma, virus, vektor
iv
PRAKATA
Terjadinya ledakan penyakit virus pada pertanaman cabai sampai saat ini belum
bisa dihindari, yang berdampak sangat besar pada ketidakcukupan suplay cabai bagi
kebutuhan dalam maupun permintaan luar negeri. Tiga jenis gejala yang umum sebagai
penyebab penyakit virus pada tanaman cabai yaitu dengan gejala mosaik, kuning dan
khlorosis yang diinfeksi oleh jenis virus yang berbeda. Perbedaan sifat bioekologi dari
virus-virus ini membawa konsekuensi kerumitan dalam penanggulangan penyakit yang
ditimbulkannya.
Peledakan penyakit virus pada cabai telah terjadi hampir di semua daerah
penghasil cabai di Indonesia, dan sebagian besar menunjukkan gejala virus berat.
Pengetahuan petani yang terbatas mengenai bioekologi virus yang terlibat menginduksi
penyakit pada tanaman cabai menyebabkan tindakan pengendalian yang dilakukan
selama ini kurang berhasil bahkan menyebabkan pengeluaran biaya penanggulangan
yang sia-sia. Sebagai akibatnya, produksi cabai yang dibudidayakan selalu lebih rendah
dari potensi produksi yang sesungguhnya dan tentu pendapatan petani menjadi sangat
berkurang. Disain pengendalian yang dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan
sifat-sifat bioekologi yang unik yang dipunyai dari masing-masing virus yang terlibat
dalam menginduksi gejala pada tanaman cabai. Oleh karena itu, keberhasilannya dapat
lebih mendekati yang diharapkan. Di samping itu, deteksi yang dilakukan guna
menentukan penyebab gejala virus pada tanaman cabai telah dilakukan secara akurat
melalui ELISA maupun RT-PCR. Diagnose penyebab penyakit dengan akurasi tinggi ini
akan memberikan jaminan keberhasilan pengendalian yang lebih baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional yang telah berkenan memberikan dukungan dana
penelitian untuk mengembangkan strategi pengendalian penyakit virus pada tanaman
cabai dengan teknik ramah lingkungan. Penulis berharap penelitian ini dapat
menghasilkan luaran yang bermanfaat.
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
RINGKASAN ................................................................................................ iii
PRAKATA ..................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ . 3
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ....................................... 6
3.1 Tujuan ........................................................................................... 6
3.2 Manfaat Penelitian ....................................................................... 6
IV. METODE PENELITIAN ..................................................................... 9
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 18
5.1 Penyakit Virus pada Tanaman Cabai ......................................... 18
5.2 Serangga Vektor Virus Tanaman Cabai ..................................... 22
5.3 Gulma Inang Alternatif Virus .................................................... 26
VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ............................................ 31
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 32
7.1 Kesimpulan ................................................................................ 32
7.2 Saran ........................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 33
LAMPIRAN .................................................................................................. 37
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
5.1 Prevalensi penyakit mosaik kuning dan klorosis pada tanaman cabai
berdasarkan hasil survei yang dilakukan dari bulan Maret sampai
dengan Juni 2014 di sembilan kabupaten dan kota di Bali ..................... 19
5.2 Keberadaan Cucumber mosaic virus (CMV), Chili pepper vein
mottle virus (ChiVMV) dan Tobacco mosaic virus (TMV) pada
tanaman cabai yang memperlihatkan gejala mosaik ............................. 21
5.3 Kelimpahan serangga vector Myzus persicae, Aphis gossypii dan
Bemisia tabaci pada tanaman cabai berdasarkan hasil survei yang
dilakukan dari bulan Maret sampai dengan Juni 2014 di sembilan
kabupaten dan kota di Bali .................................................................... 26
5.4 Jenis gulma yang ditemukan di sekitar pertanaman cabai berdasarkan
hasil survei yang dilakukan dari bulan Maret sampai dengan Juni 2014
di sembilan kabupaten dan kota di Bali .................................................. 27
5.5 Rata-rata nilai absorbansi (405 nm) sampel yang berasal dari
lokasi pengamatan tanaman cabai pada uji serologi melalui
ELISA menggunakan antiserum CMV ................................................... 28
5.6 Rata-rata nilai absorbansi (405 nm) sampel yang berasal dari
lokasi pengamatan tanaman cabai pada uji serologi melalui
ELISA menggunakan antiserum ChiVMV ............................................. 29
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
5.1 Tanaman cabai dengan gejala klorosis (A), tanaman cabai dengan
gejala mosaik (B) dan tanaman cabai dengan gejala kuning (C) ........... 18
5.2 Kondisi pertanaman cabai yang terinfeksi virus (A), Pengambilan
Pengambilan sampel pada tanaman yang bergejala virus (B) ............... 20
5.3 Hasil amplifikasi gen CP dengan metode PCR ...................................... 22
...............................................................................................................
5.4 Kutukebul (a dan b) dan kutudaun (c dan d) yang ditemukan dominan
mengkoloni tanaman cabai di daerah sentra produksi cabai di Bali ....... 22
5.5 Preparat kutu daun Aphis gossypii .......................................................... 23
5.6 Preparat kutu daun M. persicae ............................................................. 23
5.7 Tuberkel tidak berkembang (undevelop) pada A. gossypii, b:Tuberkel
berkembang pada M. persicae, c: Kornikel A. gossypii lebih pendek,
sedangkan d; kornikel M. persicae lebih panjang .................................. 24
5.8 Bemisia tabaci, imago (a), puparium (b), preparat puparium (c),
garis puparium sebagai kunci determinasi Bemisia(d)
( Martin1987) .......................................................................................... 25
5.9 Gulma Commelina diffusa yang ditemukan di sekitar pertanaman
cabai ....................................................................................................... 27
5.10 Hasil amplifikasi gen CP dengan metode PCR ..................................... 30
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Artikel ilmiah yang sudah dipresentasikan pada “Seminar Nasional
Sains dan Teknologi 2014”, di Ruang Theatre Lt 4 FK Unud
Denpasar pada tanggal 18-19 September 2014 .............................. 38
2. Artikel ilmiah yang sudah dipresentasikan pada “The International
Society for Southeast Asean Agricultural Sciences, Inc (ISSAAS)
at Tokyo University of Agriculture, Setagaya, Tokyo Japan”, pada
tanggal 8-10 November 2014 ..................................................... 41
3. Buram artikel ilmiah yang akan dipublikasikan ................................ 43
4 Personalia tenaga peneliti beserta kualifikasinya ......................... 50
1
BAB I. PENDAHULUAN
Cabai merupakan salah satu jenis sayuran penting yang dibudidayakan secara
komersial di daerah tropis. Cabai menduduki areal paling luas, yaitu 20,6% di antara
sayuran lain di Indonesia (DBPH, 2009). Menurut Nawangsih dkk. (1999) terdapat lima
spesies cabai yang umum dibudidayakan di Indonesia, yaitu Capsicum annuum (cabai
merah), C. frutescens (cabai rawit), C. chinensis, C. bacctum, dan C. pubescens (cabai
gendot). Jenis cabai yang memiliki potensi ekonomis adalah C. annuum dan C.
frutescens.
Produksi cabai di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan cabai nasional
sehingga pemerintah harus mengimpor cabai yang mencapai lebih dari 16.000 ton per
tahun (DBPH, 2009). Rataan produksi cabai nasional baru mencapai 4,35 ton /ha,
sementara potensi produksi cabai dapat mencapai lebih dari 10 ton/ha. Salah satu kendala
dalam peningkatan produksi cabai di Indonesia adalah penyakit tanaman yang terjadi
selama proses produksi di lapangan. Kendala biologis yang diakibatkan oleh serangan
patogen virus pada cabai masih merupakan penyebab utama kegagalan panen, maka
usaha untuk mengatasi penyakit cabai akibat virus sangat perlu mendapat perhatian
(Suryaningsih dkk., 1996).
Pengamatan yang pernah dilakukan peneliti di beberapa daerah sentra produksi
cabai di Indonesia seperti di Cianjur, Garut (Jawa Barat), Brebes, Sragen (Jawa Tengah),
Malang (Jawa Timur), dan Bali menemukan bahwa penyakit pada tanaman cabai yang
disebabkan oleh virus selalu menjadi masalah di daerah tersebut. Diagnosis yang
dilakukan melalui enzyme-linked immunosorbentassay (ELISA) menemukan bahwa
penyakit yang menginduksi gejala mosaik tersebut berasosiasi dengan infeksi tiga jenis
virus yang berbeda, yaitu Tobacco mosaic virus (TMV) dari golongan Tobamovirus,
Cucumber mosaic virus (CMV) dari golongan Cucumovirus atau Chili veinal motle virus
(ChiVMV) dari golongan Potyvirus, gejala kuning diinduksi oleh Begomovirus
sedangkan gejala khlorosis diinduksi oleh Luteo Virus dari golongan Luteovirus.
Gejala awal yang ditemukan umumnya muncul pada pucuk tanaman dimana daun
muda memperlihatkan perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara warna
hijau normal atau hijau tua. Bagian yang berwarna hijau muda biasanya lebih tipis,
sedangkan yang berwarna hijau tua lebih tebal dari normal. Seiring dengan
perkembangan daun, bentuk daun menjadi berubah (malformasi) seperti berkerut atau
2
asimetris, dan ukurannya mengecil. Pertumbuhan tanaman menjadi terhambat dan oleh
karenanya tanaman tampak kerdil. Buah yang dihasilkan oleh tanaman sakit sangat
menurun, bahkan pada tanaman yang sangat kerdil tidak menghasilkan buah. Rata-rata
tanaman yang sakit hanya mampu berproduksi 30% dari tanaman sehat (Dolores, 1996;
Duriat, 1997). Kerugian akibat penyakit virus ini sudah banyak terjadi terutama di
daerah-daerah sentra produksi cabai di Indonesia (Duriat, 1997). Kerugian akan semakin
besar apabila tidak dilakukan tindakan pengendalian yang tepat.
Sampai sekarang tindakan pengendalian yang dilakukan masih kurang
memberikan hasil yang memadai karena beberapa alasan. Tanaman cabai yang sudah
terlanjur terinfeksi tidak dapat disembuhkan karena belum ada bahan kimia yang bersifat
kuratif; hampir semua varietas cabai yang dibudidayakan di Indonesia rentan terhadap
infeksi virus (Duriat, 1997; Sulandari 2004; Taufik, 2005); sumber inokulum virus di
lapang selalu tersedia karena pola penanaman cabai yang umumnya tidak serempak;
serangga vektor selalu pada tingkat populasi yang efektif menularkan virus, sehingga
kedua faktor terakhir ini memberikan tekanan infeksi yang sangat berat pada tanaman
cabai muda yang baru dipindahtumbuhkan (transplanting).
Sifat-sifat bioekologi dari ketiga gejala virus ini (mosaik, kuning dan khlorosis)
sudah banyak dipelajari (Taufik, 2005; Laemmlen, 2004; Palukaitis et al. 1992).
Berdasarkan peta bioekologi ini beberapa disain tindakan pengendalian mungkin dapat
disusun. Jenis-jenis gulma yang menjadi inang alternatif virus cabai perlu dibersihkan
disekitar areal pertanaman cabai, baik sebelum maupun setelah cabai ditanam dilapangan
sehingga dapat menghilangkan sumber inokulum primer. Penanaman bibit cabai bebas
virus dilakukan dengan membuat bibit di rumah kaca kedap serangga untuk menghindari
bibit terinfeksi oleh virus. Di samping itu, dua pendekatan yang mungkin dapat dilakukan
agar kutudaun infektif tidak mendatangi pertanaman cabai yaitu dengan pemasangan
mulsa yang bersifat menolak (repellent) kedatangan kutudaun dan menggunakan paranet
(net) penghalang.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit virus pada tanaman cabai di Indonesia dapat terjadi di semua daerah
dimana cabai ditanam dan dapat terjadi kapan saja sepanjang tahun. Kondisi ini terjadi
karena kesulitan dalam penanggulangannya karena beberapa alasan. Di daerah tropis
seperti Indonesia tidak terdapat musim dingin yang dapat memutus siklus penyakit;
tanaman cabai ditanam dalam plot-plot sempit dalam suatu areal yang tanpa isolasi pula
(Laemmlen, 2004; Hadidi et al., 1998). Alternatif pengendalian virus pada tanaman cabai
tetap diusahakan untuk dapat mencari solusi mengatasi semua kendala yang telah
disebutkan di atas. Strategi pengendalian yang berlandaskan pada sifat bioekologi virus
penyebab penyakit mosaik, kuning dan khlorosis diharapkan dapat lebih efektif
memecahkan masalah tersebut. Pengetahuan mengenai sifat bioekologi virus-virus yang
terlibat dalam menginfeksi tanaman cabai mungkin akan memberikan arah yang tepat
dalam menentukan strategi pengendalian yang dirancang dalam penelitian ini.
Tanaman cabai yang terinfeksi virus pada umumnya menunjukkan gejala mosaik,
kuning dan khlorosis. Gejala mosaik yang terjadi pada tanaman cabai umumnya
disebabkan oleh beberapa patogen virus, yaitu CMV (Cucumber Mosaic Virus),
ChiVMV (Chilli Veinal Mottle Virus) dan TMV (Tobacco Mosaic Virus) (Nyana, 2012).
Virus yang menginfeksi tanaman cabai juga menginfeksi tanaman spesies lain.
Lebih dari 1800 spesies tanaman dilaporkan dapat terserang virus yang sama dengan
virus yang menyerang tanaman cabai. Untuk pengendalikan virus yang menyerang
tanaman, hal yang sangat penting dilakukan adalah mendiagnosis virus yang menyerang
tanaman tersebut. Dengan hasil diagnosis tersebut, dapat digunakan sebagai panduan
untuk pemberantasan (eradikasi) beberapa sumber virus yang potensial, sehingga tanamn
cabai maupun tanaman dari spesies lain terhindar dari infeksi virus yang menyerang
tanaman cabai (Edwarson dan Christie, 1997).
Tanaman cabai seringkali terserang virus dengan menunjukkan gejala mosaik,
sehingga dapat menurunkan produksi buah cabai. Penyakit virus tersebut pada umumnya
tersebar karena adanya vektor misalnya, Myzus persicae (aphids), Bemisia tabaci (lalat
putih), Thrips tabaci. TMV merupakan virus yang diketahui dapat ditularkan melalui
benih (seed transmission). TMV adalah virus dari golongan Tobamovirus, berbentuk
batang kaku (tongkat), berukuran diameter sekitar 30 nm dan panjang sekitar 600 – 670
nm (Fauquet et al., 2005). TMV adalah virus yang sangat stabil yang diketahui sampai
4
saat ini. Virus ini telah dilaporkan dapat bertahan dalam tanah dan sisa tanaman
terinfeksi juga pada benih sebagai kontaminan dalam waktu cukup lama. Di samping itu,
juga diketahui bahwa TMV dalam serpihan sisa tanaman mengkontaminasi baju pekerja
dan dapat bertahan selama dua tahun. Demikian juga produk tembakau seperti rokok atau
ceutu dapat membawa TMV dan dia dapat bertahan pada tangan beberapa jam setelah
menyentuh produk tembakau tersebut (Igwegbe and Ogungbade, 1985). Dan oleh karena
TMV dapat dengan mudah ditularkan dari dengan cara mekanik, maka virus akan
terambil dari tanaman terinfeksi selama melakukan kegiatan budidaya dan tertular ke
tanaman sehat dengan sentuhan tangan atau alat pertanian yang terkontaminasi. Tidak
diketahui bahwa TMV mempunyai serangga vektor, sehingga penularan mekanik
menjadi cara yang sangat penting untuk penyebaran penyakit.
CMV adalah virus dari golongan Cucumovirus, berbentuk bulat dengan diameter
sekitar 30 nm, dan mempunyai empat jenis asam nukleat yang masing-masing berupa
RNA utas tunggal (Palukaitis et al. 1992; Fauquet et al., 2005). Sedangkan ChiVMV
adalah virus dari golongan Potyvirus, berbentuk panjang lentur dengan panjang sekitar
650-750 nm dan diameter 12-13 nm, mempunyai satu jenis asam nukleat berupa RNA
utas tunggal (Ong, 1995; Fauquet et al., 2005). Kedua virus ini mempunyai banyak jenis
tanaman inang (untuk CMV lebih dari 800 spesies tanaman inang) termasuk beberapa
gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman inang utama (Palukaitis et al. 1992; Ong,
1995). Banyaknya jenis tanaman inang akan memudahkan virus ini untuk bertahan pada
saat tanaman inang utama tidak ada di lapangan. Penyebaran ke dua virus ini dapat
dilakukan oleh lebih dari 60 spesies aphid, khususnya oleh Aphis gossypii dan Myzus
persicae secara non-persisten (Palukaitis et al. 1992; Ong, 1995). Virus ini bisa
ditularkan hanya dalam waktu 5-10 detik dan ditranslokasikan dalam waktu kurang dari
satu menit. Kemampuan virus ini untuk ditranslokasikan menurun kira-kira setelah 2
menit dan biasanya hilang dalam 2 jam. Selain itu, beberapa isolat dapat kehilangan
kemampuannya untuk ditularkan oleh spesies kutudaun tertentu tapi tetap dapat
ditularkan oleh spesies kutudaun yang lain. Berbagai spesies gulma dapat menjadi inang
virus ini, oleh karenanya dapat menjadi sumber virus bagi tanaman budidaya lain,
termasuk tanaman cabai (Khetarpal et al., 1998).
Cara penularan non-persisten ini menjadi penyebab kegagalan pengendalian
penyakit mosaik pada tanaman cabai melalui pemberantasan kutudaun dengan
insektisida. Kutudaun infektif (membawa virus) yang mendatangi pertanaman cabai akan
segera menularkan virus pada tanaman baru yang dihinggapinya, sehingga walaupun
5
kutudaun tersebut mungkin mati akibat pestisida yang diaplikasikan namun tanaman
sudah terlanjur tertular virus.
Penyakit kuning di Indonesia diketahui disebabkan oleh infeksi begomovirus,
Pepper yellow leaf curl virus (PepYLCV), family Geminiviridae, genus Begomovirus
yang ditularkan oleh serangga Bemisia tabaci secara persisten (De Barrow et al., 2008).
Gejala yang muncul antara lain helaian daun yang diserangnya mengalami “vein
clearing” dimulai dari daun-daun pucuk, kemudian berkembang menjadi warna kuning
yang jelas, tulang daun menebal dan daun-daunn menggulung ke atas dan apabila
serangan nya sudah lanjut (infeksi lanjut), menyebabkan daun-daunnya mengecil dan
berwarna kuning terang, tanaman kerdil dan tidak berbuah.Vektor dari virus ini (Bemisia
tabaci) banyak dijumpai di daerah tropis dan subtropik, yang terbersebar luas sampai
jarak yang jauh dibawa oleh angin. Priode makan akuisisi berkisar antara 24-48 jam pada
tanaman yang sakit dan umumnya cukup membuat serangga ini sangat infektif. Virus
kuning memiliki periode laten dalam tubuh serangga antara 4 sampai 20 jam, dan tetap
infektif setelah makan sampai beberapa hari hingga 35 hari atau lebih (Palukaitis et al.
1992).
Virus Luteo ditularkan oleh kutu daun secara persisten, dan virus ini tidak dapat
ditransmisikan secara mekanis kecuali dengan teknik khusus, seperti penusukan dengan
jarum halus. Spesies dari genus Luteo dapat ditemui di seluruh dunia dan menginfeksi
berbagai tanaman monokotil dan tanaman dikotil, dan virus ini bereplikasi diri di
jaringan floem (Frederick, 2003).
Penularan virus yang dilakukan oleh serangga sebagai vektor yang dapat
langsung menularkan virus ke tanaman sehat segera setelah makan akuisisi pada tanaman
sakit sumber virus dapat dihindari dengan mengitari tanaman cabai dengan menggunakan
net. Kutudaun bersayap yang membawa virus, bila datang ke pertanaman cabai akan
dihalangi oleh net sehingga tidak bisa masuk ke pertanaman cabai.
Pada kondisi udara tenang, telah diketahui bahwa kutudaun akan lebih banyak
terbang ke arah lokasi yang berwarna hijau seperti adanya pertanaman. Dan telah
diketahui pula bahwa kutudaun mempunyai prevalensi terhadap warna dan warna yang
disukai maupun yang tidak disukai sangat tergantung dari spesies kutudaun. Dari spesies-
spesies kutudaun yang sudah diteliti ternyata hampir semuanya menghindari pantulan
cahaya abu-abu (Blackman dan Eastop, 2000). Sifat repellent dari cahaya abu-abu ini
memberi peluang kepada kita untuk menggunakan mulsa plastik abu-abu metalik sebagai
pemantul cahaya yang bersifat repellent terhadap kutudaun.
6
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengembangkan strategi
pengendalian penyakit virus pada tanaman cabai berdasarkan sifat-sifat bioekologi dari
virus yang terlibat dalam menginduksi gejala, melalui serangkaian percobaan yang
meliputi: (1) mengukur kejadian dan intensitas serangan penyakit virus pada tanaman
cabai di seluruh sentra produksi cabai di Bali, serta mengidentifikasi virus-virus yang
berasosiasi dengan penyakit cabai; (2) mengetahui jenis dan kelimpahan serangga hama
yang berperan sebagai vektor virus di pertanaman; (3) mencegah sumber inokulum
primer di pertanaman cabai dan (4) menghalau kedatangan serangga vektor ke dalam
pertanaman cabai.
Di samping itu, hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan pada
pengkayaan ilmu pengetahuan dan teknologi antara lain melalui publikasi hasil penelitian
yang diusulkan pada jurnal ilmiah nasional atau internasional. Dan hasil samping dari
kegiatan penelitian ini adalah memberi bantuan kepada beberapa mahasiswa yang sedang
menyelesaikan tugas akhirnya dengan melibatkannya dalam penelitian ini.
3.2 Manfaat Penelitian
Cabai merupakan salah satu jenis sayuran penting yang dibudidayakan secara
komersial di daerah tropis. Cabai menduduki areal paling luas, yaitu 20,6% di antara
sayuran lain di Indonesia. Produksi cabai di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan
cabai nasional sehingga pemerintah harus mengimpor cabai yang mencapai lebih dari
16.000 ton per tahun. Rataan produksi cabai nasional baru mencapai 4,35 ton /ha,
sementara potensi produksi cabai dapat mencapai lebih dari 10 ton/ha. Salah satu kendala
dalam peningkatan produksi cabai di Indonesia adalah penyakit tanaman yang terjadi
selama proses produksi di lapangan. Kendala biologis yang diakibatkan oleh serangan
patogen virus pada cabai masih merupakan penyebab utama kegagalan panen, maka
usaha untuk mengatasi penyakit cabai akibat virus sangat perlu mendapat perhatian.
Peledakan penyakit mosaik pada cabai telah terjadi di banyak daerah penghasil
cabai di Indonesia seperti di daerah Cianjur, Garut (Jawa Barat), Brebes, Sragen (Jawa
Tengah), Malang (Jawa Timur), dan Bali (hasil pengamatan pengusul). Dari pengamatan
tersebut juga diketahui bahwa hampir semua varietas cabai komersial seperti Cakra
7
Putih, Hot Beauty, Jatilaba, Laris, Meteor, TM-999, Rama, Taruna, Tegar dan TIT Super
menunjukkan gejala virus berat. Hasil pengamatan ini memberi gambaran bahwa hampir
semua varietas cabai komersial di Indonesia rentan terhadap infeksi virus. Oleh karena
itu, strategi pengendalian penyakit virus pada tanaman cabai selain menggunakan
varietas resisten perlu diusahakan.
Pengetahuan petani yang terbatas mengenai bioekologi virus-virus yang terlibat
menginduksi penyakit virus menyebabkan tindakan pengendalian yang dilakukan selama
ini kurang berhasil bahkan menyebabkan pengeluaran biaya penanggulangan yang sia-
sia. Sebagai akibatnya, produksi cabai yang dibudidayakan selalu lebih rendah dari
potensi produksi yang sesungguhnya dan tentu pendapatan petani menjadi sangat
berkurang.
Disain pengendalian yang dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan sifat-
sifat bioekologi yang unik yang dipunyai dari masing-masing virus yang terlibat dalam
menginduksi gejala pada tanaman cabai. Oleh karena itu, keberhasilannya dapat lebih
mendekati yang diharapkan. Di samping itu, deteksi yang dilakukan guna menentukan
penyebab gejala virus pada tanaman cabai telah dilakukan secara akurat melalui ELISA
maupun RT-PCR. Diagnose penyebab penyakit dengan akurasi tinggi ini akan
memberikan jaminan keberhasilan pengendalian yang lebih baik.
Penyakit virus pada tanaman cabai yang mempunyai banyak jenis tanaman inang,
strategi pengendaliannya didekati dengan pengendalian gulma sebagai tanaman inang,
dan pencegahan sumber inokulum primer di pertanaman cabai dilakukan dengan
membuat bibit bebas virus dengan melakukan pembibitan di rumah kaca kedap serangga,
sedangkan untuk menghalau kedatangan serangga vektor ke dalam pertanaman cabai
dilakukan dengan pemasangan mulsa plastik hitam perak dan barier paranet. Semua
strategi pengendalian ini dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama tergantung
dari jenis virus yang mendominasi di daerah bersangkutan.
Signifikansi yang sangat penting dari penelitian ini adalah bahwa petani yang
menginvestasikan modalnya pada tanaman cabai dapat mengimplementasikan strategi
pengendalian penyakit virus yang didapatkan dalam penelitian ini. Untuk mencapai
sasaran ini maka penelitian akan dilakukan di daerah penanaman sayur-mayur atau sentra
produksi cabai, sehingga petak penelitian akan secara langsung menjadi demontrasi plot
bagi petani di sekitar lokasi penelitian sehingga mereka secara langsung dapat melihat
hasilnya dan diharapkan akan termotivasi untuk mengadopsi teknologi yang didapatkan.
Di samping itu, tim peneliti juga akan memberikan penyuluhan kepada kelompok tani
8
setempat mengenai bioekologi virus tanaman sehingga diharapkan dapat merubah
tingkah laku budidaya tanaman cabai yang mengarah pada pengendalian virus.
Di samping menyiapkan perangkat pengendalian penyakit virus pada tanaman
cabai yang dapat diaplikasikan oleh petani, hasil penelitian ini juga akan memperkaya
kasanah ilmu pengetahuan dengan mendistribusikannya dalam bentuk publikasi di dalam
jurnal dalam maupun luar negeri. Penelitian ini juga melibatkan beberapa mahasiswa
dengan harapan dapat membantu dalam penyediaan kebutuhan penelitian untuk
penyusunan tulisan tugas akhir mereka.
9
BAB IV. METODE PENELITIAN
Kegiatan Penelitian pada Tahun Pertama (2014)
Percobaan 1: Pemetaan Kejadian Penyakit Virus pada Tanaman Cabai
Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengukur kejadian penyakit virus pada
tanaman cabai di seluruh sentra produksi cabai di Bali, (2) mengukur intensitas serangan
penyakit virus pada tanaman cabai yang dibudidayakan petani Bali, (3) mengidentifikasi
virus-virus yang berasosiasi dengan penyakit cabai, (4) mengukur dominansi virus-virus
yang berasosiasi dengan penyakit cabai.
Daerah sebar penyakit virus pada tanaman cabai perlu dipetakan untuk dapat
menentukan daerah-daerah di wilayah Pulau Bali yang perlu menerapkan teknologi
pengendalian yang efektif sehingga tepat sasaran dalam penanggulangan penyakit virus
cabai. Sesuai dengan sifat bioekologi virus yang terlibat maka laju penyebaran penyakit
virus sangat bergantung pada dinamika populasi serangga vektor yang menyebarkannya,
jumlah dan jarak tanaman sumber infeksi serta keberadaan gulma sebagai inang alrenatif
dari virus cabai. Untuk memetakan sebaran penyakit virus pada tanaman cabai di Pulau
Bali maka dalam penelitian ini dilakukan survei berdasarkan wilayah pemerintahan di
Bali, yaitu: Kabupaten Jembrana, Buleleng, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli,
Klungkung, Karangasem dan Kota Denpasar. Pada setiap kabupaten/kota ditentukan dua
kecamatan yang dipilih yang menjadi sentra penanaman cabai. Pada setiap kecamatan
ditentukan dua desa berdasarkan populasi tanaman cabai terbanyak. Pada setiap desa
ditentukan empat kebun petani berdasarkan kejadian penyakit mosaik terbanyak. Untuk
verifikasi jenis virus yang terlibat dalam induksi gejala penyakit mosaik maka dilakukan
pengambilan sampel daun-daun pucuk dari tanaman-tanaman cabai yang menunjukkan
gejala spesifik terinfeksi virus seperti : perubahan warna daun seperti mosaik atau motel,
perubahan bentuk daun menyerupai tali sepatu nekrotik pada daun, atau nekrotik pada
buah.
Jumlah individu tanaman cabai yang diambil sebagai sampel adalah lima persen
dari populasi tanaman yang bergejala mosaik yang ada di kebun tersebut. Segera setelah
dipetik, daun-daun pucuk cabai tersebut secara terpisah dimasukkan ke dalam tabung
gelas berdiameter 2,5cm dan panjang 15cm yang telah diisi separuh volumenya dengan
serbuk CaCl3 kemudian ditutup rapat-rapat sampai kedap udara. Bahan higroskopis ini
10
akan menyebabkan sampel daun mengering terawetkan namun tidak mempengaruhi
viabilitas maupun sifat intrinsik virus yang mungkin terkandung di dalamnya.
Identifikasi virus. Mengingat bahwa gejala yang sama dapat ditimbulkan oleh
virus yang berlainan, maka pengumpulan isolat virus hanya berdasarkan pada gejala di
lapang seperti yang diuraikan diatas, tentu mengandung resiko bahwa isolat yang
diperoleh mungkin bukan dari spesies virus yang dimaksud dan mungkin juga isolat yang
diperoleh bercampur dengan isolat virus lain (infeksi ganda). Untuk menghindari
kesalahan ini, setiap sampel daun diuji melalui enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) menggunakan serum anti-CMV, -PVY, -TMV, dan -ChiVMV sesuai dengan
prosedur yang disarankan oleh perusahaan penyedia antiserum (Agdia, USA) atau uji
molekuler dengan teknik PCR. Anti-CMV, -TMV, dan -ChiVMV digunakan karena
virus ini telah dilaporkan dapat menginfeksi tanaman cabai dan tipe gejalanya kadang-
kadang mirip, yaitu dengan gejala mosaik. Untuk virus Gemini (PepYLCV) juga telah
dilaporkan dapat menyerang tanaman cabai (Nyana.,2012), tetapi gejala infeksi virus ini
dapat dibedakan secara jelas dengan gejala CMV, sehingga dalam penelitian ini tidak
dilakukan pengujian ELISA terhadap PepYLCV. Berdasarkan hasil penelitian
pendahuluan yang peneliti lakukan bekerja sama dengan Peneliti Virologi dari IPB dan
Utsunomia University Japan menemukan bahwa disalah satu sentra tanaman cabai di
Bali telah ditemukan virus baru pada tanaman cabai yaitu virus Luteo yang menginduksi
gejala khlorosis. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan tersebut peneliti ingin lebih
mendalam mengetahui dan mengidentifikasi virus-virus yang berasosiasi dengan
penyakit cabai di Bali. Konfirmasi infeksi virus pada tanaman bergejala yang telah
dikoleksi dilakukan melalui pengujian serologi atau molekuler.
Konfirmasi Infeksi Virus Melalui Pengujian Serologi. Untuk mengkonfirmasi infeksi
virus pada jaringan tanaman cabai dilakukan melalui uji ELISA sebagai berikut:
Sebanyak 0,5 ul antiserum terhadap virus TMV, CMV dan ChiVMV (Agdia, USA) di
campurkan ke dalam 100 ul coating buffer (0.1 g magnesium klorid, 0,2 g sodium azid,
dan 97 ml dietanolamin dilarutkan dalam 1000 ml dengan ph akhir 9,8) dan dimasukkan
ke plat mikrotiter sebanyak 100 ul tiap sumuran plat kemudian diinkubasikan pada suhu
37ºC selama 2 jam atau -4ºC selama semalam. Selanjutnya plat mikrotiter dicuci
sebanyak 6 kali dengan bafer PBST 1X (8 g sodium klorid, 1,15 g sodium fosfat dibasic,
0,2 g potassium fosfat monobasic, dan 0,5 g tween-20 yang dilarutkan dalam 1 l air
11
dengan pH 7,4). Sebanyak 0,1 g jaringan daun pisang bergejala dilumatkan dengan
mortar dalam 1 ml general extract buffer ( 1,3 g sodium sulfite, 20 g
polyvinylpyrolidone, 0,2 g sodium azide, 2 g powdered egg (chiken) albumin, dan 20 g
tween-20 yang dilarutkan ke dalam 1 l PBST 1X dengan pH 7,4. Cairan perasan (sap)
yang dihasilkan diambil sebanyak 100 ul kemudian dimasukkan ke dalam sumuran plat
mikrotiter dan kemudian diinkubasikan selama waktu seperti tahap sebelumnya.
Selanjutnya plat mikrotiter dicuci lagi sebanyak 6 kali dengan PBST 1X. Setelah dicuci
dengan bufer PBST 1X, pada sumuran yang sama diisi 100 ul enzim konjugat yang sudah
diencerkan dengan buffer ECI (2 g bovine serum albumin, 20 g polyvinylpyrrolidone, dan
0,2 g sodium azide yang dilarutkan dalam 1 l PBST 1X dan ph 7,4) dan diinkubasi pada
37ºC selama 2 jam. Setelah pencucian, sumuran kemudian ditambah 100 ul larutan PNP
(1 mg/ml p-nitrophenyl phosphate dalam 10% triethanolamine, pH 9,8) dan diinkubasi
sampai muncul warna kuning (+ 30 menit). Nilai absorban diukur pada 405 nm dengan
ELISA Reader.
Konfirmasi Infeksi Virus Melalui Uji Molekuler. Total RNA diekstrak dari 100 mg
jaringan daun tanaman cabai menggunakan Rneasy Plant Mini Kits (Qiagen Inc.,
Chatsworth, CA., USA). Sampel RNA yang telah dimurnikan diresuspensikan dengan 40
µl air bebas RNase, kemudian disimpan pada suhu -80°C sampai akan digunakan.
Amplifikasi sebagian genom virus dilakukan menggunakan sepasang primer spesifik
untuk virus bersangkutan. Reaksi RT dilakukan pada volume 20 µl terdiri dari 3 µl RNA
hasil ekstraksi, 0,75 pmol primer, 500 mM dNTPs, 5 mM MgCl2, 4 µl bufer RT (250
mM Tris-HCl, pH 8,3, 375 mM KC, 15 mM MgCl2, 50 mM DTT), 20 unit RNAsin
Ribonuclease inhibitor (Promega, Madison, WI, USA), dan 65 unit MMLV reverse
transcriptase (Promega, Madison, WI, USA). Reaksi RT dilakukan pada kondisi 25 °C
selama 5 menit, 42 °C selama 60 menit, diikuti dengan inaktivasi pada 72 °C selama 15
menit. Reaksi PCR dilakukan pada volume 50 µl terdiri dari 0,75 pmol forward primer
dan reverse primer, 3 µl bufer reaksi (500 mM KCl, 100 mM Tris-HCl [pH 9,0 pada
25°C], 1,0% [vol/vol] triton X-100), dan 0,5 µl taq DNA polimerase (Promega, Madison,
USA). Kondisi PCR awalnya adalah denaturasi pada suhu 94°C selama 4 menit,
kemudian dilanjutkan dengan 45 siklus pada 94 °C selama 1 menit, 50 °C selama 1
menit, dan 72 °C selama 1 menit, dan diikuti dengan perpanjangan pada 72 °C selama 10
menit pada mesin PCR (Perkin Elmer 9700 thermocycler). Separasi DNA produk RT-
PCR dilakukan pada gel agarose 1% dalam larutan penyangga TBE (54 g Tris base, 27,5
12
g Asam Borat, 20 ml EDTA 0,5 M, pH 8,0 dalam 1000 ml air) pada kondisi 70 V selama
2 jam. Amplicon divisualisasi dengan 2 µg/ml ethidium bromida dalam larutan
penyangga TBE untuk elektroforesis. Setelah pewarnaan, gel kemudian difoto di atas
cahaya ultra violet (310 nm) menggunakan kamera polaroid Direct Screen DS34 dan film
polaroid FP-3000B SS.
Percobaan 2: Pengukuran Kelimpahan Serangga Vektor Virus pada Pertanaman
Cabai
Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengetahui jenis serangga hama yang terdapat
di pertanaman cabai di daerah Bali, (2) mengukur kelimpahan serangga yang telah
diketahui berperan sebagai vektor virus.
Laju penyebaran penyakit virus sangat bergantung pada dinamika populasi
serangga vektor yang menyebarkannya, jumlah dan jarak tanaman sumber infeksi serta
keberadaan gulma sebagai inang alrenatif dari virus cabai. Pengamatan dinamika
populasi serangga vektor dilakukan sama seperti survey pemetaan penyakit virus, yaitu
dilakukan di sentra penanaman cabai di seluruh Bali terhadap jenis dan kelimpahan
serangga yang telah diketahui sebagai vektor penyakit virus.
Perhitungan kelimpahan dan komposisi spesies vektor dihitung berdasarkan
jumlah individu satu spesies vektor di bagi dengan jumlah total individu seluruh spesies
selama satu hari (Michael, 1994), atau dapat ditulis dengan rumus :
Penghitungan populasi pada tanaman cabai secara langsung juga dilakukan dengan
bantuan hand counter. Baik imago maupun larva, semua dihitung sebagai satu populasi.
Setelah itu beberapa sampel vektor diambil dimasukkan dalam botol yang berisi 70%
alkohol untuk kemudian dipreparasi dan diidentifikasi di Laboratorium Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Unud. Identifikasi dilakukan dengan mengamati
spesimen serangga awetan. Identifikasi spesimen menggunakan ciri-ciri morfologi sayap,
antena dan toraks.
13
Percobaan 3: Menentukan Jenis-Jenis Gulma yang dapat Menjadi Inang Alternatif
Virus Cabai
Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengetahui jenis-jenis gulma yang kerap
terdapat pada pertanaman cabai di daerah Bali, (2) mengidentifikasi gulma-gulma yang
dapat menjadi inang alternatif bagi virus cabai.
Gulma sebagai salah satu komponen ekosistem pertanian memiliki pengaruh negatif
terhadap tanaman pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung. Adanya kompetisi
merupakan pengaruh langsung dari keberadaan gulma sedangkan pengaruh tidak langsung
adalah peranannya sebagai inang alternatif beberapa patogen (Satroutomo, 1990).
Koleksi gulma dilakukan sama seperti survey pemetaan penyakit virus, yaitu
dilakukan di sentra penanaman cabai di seluruh Bali dengan metode pengamatan langsung
dan mengumpulkan gulma yang bergejala mosaik, kuning dan khlorosis yang tumbuh
disekitar pertanaman cabai. Selanjutnya dilakukan identifikasi gulma tersebut dengan cara
membandingkan dengan ilustrasi gulma yang telah tersedia (Everaarts, 1981; Soerjani et al.
1987).Segera setelah dipetik, daun-daun pucuk gulma tersebut secara terpisah
dimasukkan ke dalam tabung gelas berdiameter 2,5cm dan panjang 15 cm yang telah
diisi separuh volumenya dengan serbuk CaCl3 kemudian ditutup rapat-rapat sampai
kedap udara dan selanjutnya diisi label. Untuk menentukan jenis virus yang menginfeksi
gulma, maka dilakukan pengujian dengan teknik serologi atau uji molekuler seperti
prosedur yang sudah diuraikan sebelumnya.
Kegiatan Penelitian pada Tahun Kedua (2015)
Percobaan 4: Pengendalian Penyakit Virus Cabai Melalui Penggunaan Bibit Bebas
Virus dan Tanpa Gulma
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengendalikan penyakit virus melalui penanaman
bibit bebas virus pada lahan yang selalu diusahakan bebas gulma.
Penyemaian Benih dan Penanaman Bibit Cabai. Varietas cabai yang
digunakan dalam percobaan ini adalah cabai rawit lokal yang biasa ditanam petani
setempat, yang sangat rentan terhadap penyakit virus. Setelah direndam semalam, benih
cabai disemai dalam media steril dalam sebuah tray dan dilakukan penyiraman setiap
hari. Pembibitan dilakukan di rumah kaca kedap serangga untuk menghindari terjadinya
infeksi bibit dengan virus sebelum ditanam di lapangan. Setelah bibit cabai mencapai
stadia berdaun empat (umur bibit 3 minggu), segera dipindahkan kedalam pot individu
14
dengan diameter 5 cm dan dipelihara sampai bibit siap dipindahkan ke lapangan ( umur
bibit 5 minggu).
Penyiapan Lahan Tanpa Gulma. Lahan yang digunakan percobaan adalah
lahan dengan ketesediaan air yang mencukupi di sentra penanaman sayur mayur di Desa
Kerta Kecamatan Payangan Gianyar. Tempat ini dipilih agar tekanan infeksi virus dari
luar pertanaman cukup tinggi karena beberapa alasan. Daerah penanaman sayur mayur
menyediakan berbagai macam jenis tanaman yang dapat digunakan inang alternatif bagi
virus sehingga berfungsi sebagai sumber inokulum bagi tanaman percobaan. Daerah
penanaman sayur mayur menyediakan populasi berbagai jenis kutudaun (aphis) pada
tingkat yang cukup tinggi sebagai agen pembawa (vektor) bagi virus ke dalam
pertanaman percobaan. Disamping itu intensitas pengguaan lahan yang cukup tinggi akan
memberikan peluang tumbuhnya gulma pada setiap aktifitas, sehingga berpeluang
sebagai sumber inang alternativ virus.
Lahan diolah sebagaimana mestinya dan dibuat guludan dengan panjang 3,75 m
dan lebar 1,0 m dengan jarak tanam 50 cm x 75 cm.Tanah guludan dicampur merata
dengan pupuk kandang (atau pupuk organik lainnya) pada dosis tinggi yaitu sekitar 5 ton
per hektar sebagai pupuk dasar. Pupuk NPK juga ditambahkan sesuai dengan dosis
rekomendasi untuk daerah bersangkutan sebagai pupuk dasar. Selama pertumbuhan
tanaman cabai dilapangan diusahakan agar tidak sampai ada gulma yang tumbuh di petak
percobaan. Demikian juga sebagai perlakuan kontrol, lahan diolah sama seperti di atas
namun tidak melakukan penyiangan gulma. Tata letak petak percobaan diatur sedemikian
rupa sehingga memenuhi kaidah rancangan percobaan acak kelompok. Efektifitas
perlakuan ini terhadap perkembangan penyakit virus pada setiap petak percobaan
dilakukan pengamatan setiap hari dengan mencatat perkembangan gejala virus yang
terjadi pada semua individu tanaman pada setiap petak percobaan. Demikian juga akan
dicatat produksi tanaman cabai dari beberapa tanaman contoh yang ditentukan secara
sistematis. Pengaruh perlakuan bibit bebas virus tanpa gulma terhadap produksi tanaman
cabai akan menentukan manfaat dari perlakuan ini. Konfirmasi infeksi virus pada
tanaman bergejala dilakukan melalui pengujian serologi atau molekuler seperti prosedur
yang sudah diuraikan.
15
Percobaan 5: Pengendalian Penyakit Virus Cabai Melalui Penggunaan Paranet
Merah
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengendalikan penyakit virus melalui penanaman
cabai di dalam penghalang paranet berwarna merah.
Penyiapan Lahan Paranet Merah. Lahan yang digunakan percobaan adalah
lahan milik petani di Desa Kerta Kecamatan Payangan Gianyar, yang memiliki sumber
inokulum virus cukup tinggi.
Lahan diolah sebagaimana mestinya dan dibuat guludan dengan panjang 3,75 m
dan lebar 1,0 m. Tanah guludan dicampur merata dengan pupuk kandang (atau pupuk
organik lainnya) pada dosis tinggi yaitu sekitar 5 ton per hektar sebagai pupuk dasar.
Pupuk NPK juga ditambahkan sesuai dengan dosis rekomendasi untuk daerah
bersangkutan sebagai pupuk dasar. Setiap empat guludan (petak) diitari dengan net
khusus yang berwarna merah (yang diperoleh dari Center for Bioscience Research &
Education, Utsunomiya University, 350 Mine-machi, Utsunomiya, Tochigi 321-8505,
Japan). Jarak tanam setiap petak adalah 50 cm x 75 cm sesuai dengan jarak tanam
kebiasaan petani setempat. Demikian juga sebagai perlakuan kontrol, lahan diolah sama
seperti di atas namun tidak menggunakan net. Setiap perlakuan terdiri dari empat petak,
dam masing-masing perlakuan diulang sembilan kali. Tata letak petak percobaan diatur
sedemikian rupa sehingga memenuhi kaidah rancangan percobaan acak kelompok.
Pengaruh Penggunaan Paranet Merah Terhadap Kejadian Penyakit Mosaik
dan produksi Tanaman Cabai. Bibit cabai yang sebelumnya telah disiapkan dengan
prosedur pembibitan seperti percobaan sebelumnya, selanjutnya dipindahtanamkan ke
lahan yang sudah disipakan. Percobaan dilakukan pada daerah sayur mayur dimana
terdapat banyak sumber inokulum virus dan kutudaun yang siap setiap saat membawa
virus ke dalam pertanaman cabai. Kutudaun yang membawa virus dari luar pertanaman
adalah faktor penting terjadinya penyakit di dalam pertanaman, sehingga bila dapat
mengurangi kedatangan kutudaun ke dalam pertanaman akan mengurangi dan bahkan
meniadakan penyebaran penyakit. Pemasangan net yang mengitari tanaman cabai dapat
mencegah masuknya kutudaun ke pertanaman cabai percobaan. Efektifitas net ini
terhadap kutudaun akan diukur dengan mengamati perkembangan penyakit virus pada
setiap petak percobaan. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mencatat
perkembangan gejala virus yang terjadi pada semua individu tanaman pada setiap petak
16
percobaan. Demikian juga akan dicatat produksi tanaman cabai dari beberapa tanaman
contoh yang ditentukan secara sistematis. Konfirmasi infeksi virus pada tanaman
bergejala dilakukan melalui pengujian serologi atau molekuler seperti prosedur yang
sudah diuraikan sebelumnya.
Percobaan 6: Pengendalian Penyakit Virus pada Tanaman Cabai dengan Mulsa
Plastik Abu-abu Metalik
Penyiapan Lahan Bermulsa dan Penanaman bibit. Lahan yang digunakan
percobaan adalah lahan milik petani di Desa Kerta Kecamatan Payangan Gianyar yang
memiliki sumber inokulum yang cukup tinggi
Lahan diolah sebagaimana mestinya dan dibuat guludan dengan panjang 3,75 m
dan lebar 1,0 m. Tanah guludan dicampur merata dengan pupuk kandang (atau pupuk
organik lainnya) pada dosis tinggi yaitu sekitar 5 ton per hektar sebagai pupuk dasar.
Pupuk NPK juga ditambahkan sesuai dengan dosis rekomendasi untuk daerah
bersangkutan sebagai pupuk dasar. Setelah dirapikan, tanah guludan ditutup dengan
mulsa plastik yang berwarna abu-abu metalik (tersedia di toko pertanian) sedemikian
rupa sehingga tanah guludan dari ujung ke ujung dan dari samping kanan ke kiri tertutup
rapat. Lubang berdiameter 10 cm dibuat pada mulsa plastik dengan jarak tanam 50 cm
(kea rah lebar) x 75 cm (ke arah memanjang) sebagai jarak tanam. Demikian juga sebagai
perlakuan kontrol, lahan diolah sama seperti di atas namun tidak menggunakan mulsa
plastik. Bibit yang sebelumnya sudah disiapkan dengan prosedur pembibitan seperti yang
diuraikan sebelumnya selanjutnya dipindahtanamkan di masing-masing petak yang sudah
disiapkan.Tata letak petak percobaan diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi kaidah
rancangan percobaan acak kelompok.
Pengaruh Penggunaan Mulsa Terhadap Kejadian Penyakit Virus dan
produksi Tanaman Cabai. Percobaan dilakukan pada daerah sayur mayur dimana
terdapat banyak sumber inokulum virus dan kutudaun yang siap setiap saat membawa
virus ke dalam pertanaman cabai. Efektifitas repellent mulsa ini terhadap kutudaun akan
diukur dengan mengamati perkembangan penyakit virus pada setiap petak percobaan.
Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mencatat perkembangan gejala virus yang
terjadi pada semua individu tanaman pada setiap petak percobaan. Demikian juga akan
dicatat produksi tanaman cabai dari beberapa tanaman contoh yang ditentukan secara
sistematis. Pengaruh perlakuan mulsa terhadap produksi tanaman cabai akan menentukan
17
manfaat dari perlakuan ini. Konfirmasi infeksi virus pada tanaman bergejala dilakukan
melalui pengujian serologi atau molekuler seperti prosedur yang sudah diuraikan
sebelumnya.
Kegiatan Penelitian pada Tahun Ketiga (2016)
Percobaan 7: Pengendalian Penyakit Virus Cabai Secara Terpadu
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengendalikan penyakit virus pada tanaman cabai
dengan mengintegrasikan semua metode yang telah diuji pada Percobaan 4, 5 dan 6.
Penyemaian Benih Bebas Virus dan Penanaman Bibit Cabai. Varietas cabai
yang digunakan dalam percobaan ini adalah cabai rawit lokal yang biasa ditanam petani
setempat, yang diketahui sangat rentan terhadap penyakit virus. Setelah direndam
semalam, benih cabai disemai dalam media steril dalam sebuah tray dan dilakukan
penyiraman setiap hari. Pembibitan dilakukan di rumah kaca kedap serangga untuk
menghindari terjadinya infeksi bibit cabai dengan virus sebelum dipindahkan ke
lapangan. Setelah bibit cabai mencapai stadia berdaun empat (umur bibit 3 minggu),
segera dipindahtanamkan kedalam pot individu dengan diameter 5 cm dan dipelihara
sampai bibit siap dipindahkan ke lapangan ( umur bibit 5 minggu).
Penyiapan Lahan. Tempat dimana percobaan dilakukan, persiapan lahan, ukuran
guludan (petak), penggunaan pupuk dan jarak tanam sama seperti percobaan sebelumnya.
Adapun perlakuan yang diujikan dalam percobaan ini adalah: petak dengan perlakuan
bibit bebas virus tanpa gulma, petak dengan perlakuan net merah, petak dengan mulsa
plastic abu-abu perak dan petak kontrol. Tata letak petak percobaan diatur sedemikian
rupa sehingga memenuhi kaidah rancangan percobaan acak kelompok. Efektifitas
perlakuan ini terhadap perkembangan penyakit virus pada setiap petak percobaan
dilakukan pengamatan setiap hari dengan mencatat perkembangan gejala virus yang
terjadi pada semua individu tanaman pada setiap petak percobaan. Demikian juga akan
dicatat produksi tanaman cabai dari beberapa tanaman contoh yang ditentukan secara
sistematis. Pengaruh perlakuan terhadap produksi tanaman cabai akan menentukan
manfaat dari perlakuan ini. Konfirmasi infeksi virus pada tanaman bergejala dilakukan
melalui pengujian serologi atau molekuler seperti prosedur yang sudah diuraikan.
18
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penyakit Virus pada Tanaman Cabai
5.1.1 Kejadian Penyakit Virus pada Tanaman Cabai
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan untuk memetakan kejadian
penyakit virus di daerah sentra penanaman cabai di seluruh Kabupaten dan Kota di Bali
yaitu: Kabupaten Jembrana, Buleleng, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung,
Karangasem dan Kota Denpasar ditemukan, bahwa ada tiga jenis virus utama yang
menyerang tanaman cabai yaitu virus dengan gejala mosaik, kuning dan klorosis seperti
terlihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Tanaman cabai dengan gejala klorosis (A), tanaman cabai dengan gejala
mosaik (B) dan tanaman cabai dengan gejala (C) kuning
Penyakit mosaik dan kuning tersebar secara merata di seluruh Kabupaten dan
kota di Bali, namun penyakit klorosis penyebarannya belum merata, dan bahkan baru
dijumpai di tiga kabupaten saja di Bali, seperti terlihat pada Tabel 5.1.Prevalensi
penyakit mosaik pada lokasi penanaman cabai di Bali paling tinggi dibandingkan dengan
penyakit kuning dan klorosis (Tabel 5.1). Rata-rata tanaman cabai yang memperlihatkan
gejala mosaik 34,56%, tanaman cabai yang memperlihatkan gejala kuning 29,1%.
sedangkan tanaman cabai yang memperlihatkan gejala klorosis paling rendah yaitu
sebesar 5,2%. Hasil ini memperlihatkan bahwa penyakit mosaik tampaknya lebih
memegang peranan penting di antara penyakit-penyakit virus sebagai salah satu
penghambat dalam produksi cabai di daerah ini.Tanaman cabai dengan gejala klorosis
pertama kali ditemukan di Bali, tepatnya di Kecamatan Payangan Gianyar pada tahun
A B C
19
2011, dan belum ditemukan di daerah lain. Penyakit ini adalah merupakan pendatang
baru yang ikut menambah keragaman penyakit pada tanaman cabai di Bali.
Tabel 5.1 Prevalensi penyakit mosaik, kuning dan klorosis pada tanaman cabai
berdasarkan hasil survey yang dilakukan dari bulan Maret sampai dengan
bulan Juni 2014 di sembilan kabupaten dan kota di Bali
Gejala yang tampak pada tanaman dengan gejala mosaik adalah pada daunnya
belang hijau tua dan hijau muda. Bagian yang berwarna hijau tua cenderung lebih tebal
dibandingkan dengan bagian berwarna hijau muda.Kadang-kadang disertai dengan
perubahan bentuk daun (cekung, keriting atau memanjang).Daun-daun muda
memperlihatkan belang pada tulang daunnya, daun-daun yang sudah mencapai
pertumbuhan maksimal biasanya lebih sempit dibandingkan daun yang lebih tua,
sedangkan daun-daun tua mengalami malformasi melengkung ke bawah (Agrios,
2005).Tanaman yang sakit menghasilkan buah yang kecil dan sering tampak berjerawat
(Semangun, 2000).Virus ini dapat menyebabkan penurunan hasil sebesar 30-60%,
bahkan jika infeksi terjadi pada fase bibit dapat menyebabkan kerusakan sampai 100%
(Duriat, 1997).
Tanaman cabai dengan gejala kuning, adalah helai daun mengalami klorosis di
antara tulang daun maupun pinggir daun, daun-daun yang sudah agak tua melengkung ke
arah atas, tulang daun menebal, pinggir daun menjadi pucat sampai kuning terang.
No
Lokasi
pengambilan
sampel
Jumlah
tanaman
yang diamati
(x 1000)
Persentase tanaman yang bergejala
Mosaik Kuning Klorosis
1 Badung 5,12 32,4 23,5 0
2 Bangli 4,86 30,8 29,4 0
3 Buleleng 5,48 38,8 32,3 0
4 Denpasar 2,80 29,4 35,3 0
5 Gianyar 5,20 33,6 28,4 18,6
6 Jembrana 4,60 30,4 32,7 0
7 Karangasem 4,40 42,6 24,6 0
8 Klungkung 6,78 34,6 27,1 12,4
9 Tabanan 5,40 38,4 29,2 15,8
Rata-rata 34,56% 29,17% 5,20%
20
Infeksi lanjut menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman
kerdil dan tidak berbuah (De Barrow et al., 2008).
Gejala klorosis pada tanaman cabai ditandai dengan gejala menguning pada
helaian daun karena klorosis antara tulang daun, tulang daun dan jaringan disekitarnya
tetap hijau sehingga tampak menyirip, serta tidak terjadi pemendekan ruas
batang.Tanaman dengan gejala klorosis yang terinfeksi Polerovirus menghasilkan buah
dengan kualitas rendah dan hasil rendah (Gallitelli, 1998).
Untuk verifikasi jenis virus yang terlibat dalam induksi gejala penyakit mosaik,
kuning dan klorosis maka dilakukan pengambilan sampel daun-daun pucuk dari tanaman
cabai rawit yang menunjukkan gejala mosaik, kuning, dan klorosis di seluruh sentra
pengamatan, seperti terlihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Kondisi pertanaman cabai yang terinfeksi virus (A), Pengambilan sampel
pada tanaman yang bergejala virus (B)
5.1.2 Virus-virus yang Berasosiasi dengan Penyakit pada Tanaman Cabai
Berdasarkan hasil uji serologi dengan teknik ELISA pada penelitian ini
ditemukan beberapa jenis virus yang berasosiasi dengan penyakit mosaik pada tanaman
cabai yaitu CMV, ChiVMV, danTMV (Tabel 5.2). Di antara ketiga virus penyebab
penyakit mosaik, CMV adalah virus yang dominan dengan prevalensi 29,4%, diikuti oleh
ChiVMV dan TMV dengan prevalensi masing-masing 26,4% dan 14,7%. Tingginya
prevelensi CMV pada penelitian ini disebabkan karena CMV mempunyai kisaran inang
yang paling luas termasuk beberapa gulma yang dapat menjadi inang perantara dan dapat
menyediakan sumber inokulum kapan saja, dan dapat ditularkan oleh banyak spesies
aphid dan efektivitas penularannya yang sangat tinggi berperan dalam menyebarkan virus
(Escriu et al., 2000). Hasil ini mengindikasikan bahwa CMV adalah virus penting dan
merupakan penyebab utama penyakit mosaik pada tanaman cabai di Bali.
A B
21
Tabel 5.2 Keberadaan Cucumber mosaic virus (CMV), Tobacco mosaic virus (TMV)
dan Chili pepper vein mottle virus (ChiVMV) pada tanaman cabai dengan
gejala mosaik
Lokasi
Pengambilan
sampel
Jumlah
sampel*
Persentase tanaman yang terinfeksi oleh virus**
CMV TMV ChiVMV
Badung 82 21,9 14,6 19,5
Bangli 73 30,1 12,3 27,4
Buleleng 104 30,7 17,3 21,2
Denpasar 41 34,1 21,9 29,3
Gianyar 86 25,5 11,6 28,5
Jembrana 69 28,9 11,6 31,8
Karangasem 92 34,8 15,2 30,4
Klungkung 115 28,7 12,1 26,0
Tabanan 103 30,0 15,5 23,3
Rata-rata 29,4%
14,7% 26,4%
*Jumlah sampel untuk uji ELISA diambil 5% dari jumlah sampel yang memperlihatkan
gejala mosaik seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.1.
**Keberadaan virus ditentukan berdasarkan uji ELISA.
Uji molekuler terhadap virus dengan gejala klorosis dilakukan dengan teknik RT-
PCR dan virus dengan gejala kuning dilakukan dengan teknik PCR. Hasil elekroforesis
menunjukkan bahwa sampel tanaman yang diujikan positif terinfeksi virus PepYLCV
(700 bp), dan Polerovirus (650 bp) yang ditandai dengan terbentuknya pita DNA dari
masing-masing isolat yang diujikan dengan panjang basa sesuai dengan primer yang
digunakan (Gambar 5.3).
Pasangan primer untuk PepYLCV yaitu CPPROTEIN-V1 yaitu (5‟-TAATTCTA
GATGTCGAAGCGACCCGCCGA-„3) sedangkan CPPROTEIN-C1 yaitu: (5‟-GGCCG
AATTCT TAATTTTGAACAGAATCA-„3) (AVRDC, Taiwan), kedua pasangan primer
tersebut akan mengamplifikasi bagian gen protein selubung (CP) yang berukuran 700 bp,
dan hasil elekroforesis untuk PepYLCV ini sekitar 700 bp yang sangat bersesuaian
dengan prediksi dari primer yang didesain. Pasangan primer untuk Polerovirus yaitu
primer spesifik menurut Corre^a et al. (2005) adalah sebagai berikut yaitu primer F
dengan susunan basa atau sekuen nukleotida (5‟-AATTAAGGATCCAATACGGGA
22
GGGGTTAGGAGAAAT-3‟) dan primer R dengan sekuen nikleotida (5‟-AATTAACT
GCAGTTTCGGGTTGTGCAATTGCACAGTA-3‟). Kedua primer tersebut merupakan
primer yang dapat mengamplifikasi bagian coat protein (CP) virus yang berukuran 650
bp dan hasil elekroforesis untuk Polerovirus ini sekitar 650 bp. Ukuran pragmen DNA
tersebut sangat sesuai dengan yang diharapkan.
Gambar 5.3 Hasil amplifikasi gen CP dengan metode PCR.M=Marker DNA 100 bp
(BioRad); (1)=PepYLCV;(2)= Polerovirus; (3)= Polerovirus;
(4)=PepYLCV (5)= kontrol negatif (tanaman sehat)
5.2 Serangga yang Berfungsi Sebagai Vektor Virus pada Pertanaman Cabai
5.2.1 Spesies Serangga Vektor Virus Pengkoloni Tanaman Cabai
Pada saat survei, pengamatan juga ditujukan pada serangga-serangga yang
mengkoloni tanaman cabai.Dari hasil pengamatan tersebut, dua jenis serangga yaitu
kutudaun dan kutukebul (Gambar 5.4), ditemukan sangat dominan terdapat pada
pertanaman cabai di seluruh sentra produksi cabai di daerah Bali. Berdasarkan hasil
penelitian terdahulu, kedua jenis serangga ini telah dikonfirmasi berperan sebagai vector
virus-virus pada pertanaman cabai di seluruh dunia.Oleh karena itu, pada penelitian ini
dilakukan identifikasi terbatas pada kedua jenis serangga ini.
Gambar 5.4 Kutukebul (a dan b) dan kutudaun (c dan d) yang ditemukan dominan
mengkoloni tanaman cabai di daerah sentra produksi cabai di Bali.
a b c
23
Spesies Kutudaun.Hasil identifikasi dari imago kutu daun yang didapat dilokasi
pengamatan, dapat diketahui adanya dua spesies kutu daun yang menyerang tanaman
cabai.Spesies kutu daun tersebut adalahAphis gossypii danMysuspersicae.
Ciri-ciri A. gossypii (Gambar 5.5) pada preparat mikroskop yang ditemukan
adalah kepala tempat antenna melekat tidak berkembang (undevelop), kemudian warna
kornikel lebih gelap dari warna tubuhnya. Kauda berwarna gelap (coklat) tapi lebih pucat
dari kornikel.Kauda terdapat pada ujung abdomen dengan enam rambut.
Gambar 5.5 Preparat kutu daun Aphis gossypii; 1 =Tuberkel tidak berkembang
(undevelop), 2 = antenna, 3 = torak, 4 = abdomen, 5 = kornikel, 6 =
kauda.
Gambar 5.6 Preparat kutu daun M. persicae; 1= tuberkel (berkembang), 2= antenna,
3= torak, 4 = abdomen; 5 = kornikel (berambut 4 sampai 5 helai), 6 =
kauda
24
Perbedaan antara A. Gossypii dengan M. persicaesecara morfologi dapat terlihat
dari tuberkelnya dimana tuberkel dari A. Gossypii tidak berkembang sedangkan tuberkel
M. Persicae berkembang dan dapat juga dibedakan dari kornikelnya, kornikel A.
Gossypii lebih pendek, sedangkan M. Persicae kornikrlnya lebih panjang (Gambar 5.7).
Gambar 5.7 Tuberkel tidak berkembang (undevelop) pada A. gossypii, b:Tuberkel
berkembang pada M. persicae, c: Kornikel A. gossypii lebih pendek,
sedangkan d; kornikel M. persicae lebih panjang.
Spesies Kutu Kebul. Hasil identifikasi B.tabaci berdasarkan pengamatan
preparat puparium yang didapat dari pertanaman cabai di Desa Kerta kecamatan
Payangan Gianyar dengan menggunakan kunci identifikasi Martin (1987), menunjukkan
bahwa populasi kutu kebul yang ditemukan adalah spesies B.tabaci. Ciri sfesifik yang
menunjukkan kutu kebul itu B.tabaci adalah pupa berbentuk bulat panjang, seta kauda
satu pasang yang terletak pada ujung puparium dengan ukuran yang sama panjang
dengan vasiform orifice. Vasiform orifice berbentuk segitiga serta lebih panjang dari alur
kaudal (caudal furrow) dan bagian samping orifice tersebut hampir lurus (gambar 5.8).
a b a
b
c d
25
Gambar 5.8 Bemisia tabaci, imago (a), puparium (b), preparat puparium (c), garis
puparium sebagai kunci determinasi Bemisia(d) ( Martin1987)
Ciri karakter morfologi penting puparium B. tabaci yang perlu diperhatikan saat
melakukan identifikasi adalah sebagai berikut (a) seta kauda selalu kokoh dan biasanya
sama atau lebih panjang dari vasiform orifice, (b) vasiform orifice lurus lebih panjang
dari caudal furrow, (c) tidak ada papila, (Martin, 1999; Malumphy, 2004; Hodges et al.,
2005).
5.2.2 Kelimpahan Serangga Vektor Virus pada Pertanaman Cabai
Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengetahui jenis serangga hama yang terdapat
di pertanaman cabai di daerah Bali, (2) mengukur kelimpahan serangga yang telah
diketahui berperan sebagai vektor virus. Serangga vektor virus yang dijumpai selama
survei didapatkan, bahwa ada dua jenis vektor virus yaitu dari jenis kutu daun dan kutu
kebul. Spesies dari kutu daun yang ditemukan adalah spesies dari Myzus persicae dan
Aphis gossypii sedangkan spesies dari kutu kebul yaitu spesies dari Bemisia tabaci,
26
dengan penyebaran hampir merata di seluruh sentra penanaman cabai di Bali, seperti
terlihat dalam Tabel. 5.3.
Tabel 5.3 Kelimpahan serangga vector Myzus persicae, Aphis gossypii dan Bemisia
tabaci pada tanaman cabai berdasarkan hasil survey yang dilakukan dari
bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di sembilan kabupaten dan kota
di Bali
No
Lokasi
pengambilan
sampel
Populasi
Tanaman
(x100)
Populasi serangga Vektor (x100)
Myzus
persicae
Aphisgossypii Bemisia
tabaci
1 Badung 51,2 22,2 20,9 18,6
2 Bangli 48,6 17,6 16,8 15,8
3 Buleleng 54,8 20,4 22,2 17,9
4 Denpasar 28,0 10,6 8,4 5.8
5 Gianyar 52,0 24,4 21,9 18,8
6 Jembrana 46,0 19,6 20,8 14,5
7 Karangasem 44,0 22,4 26,3 16,2
8 Klungkung 67,8 28,2 24,7 20,8
9 Tabanan 54,0 20,2 22,6 14,8
Rata-rata 49,6 20,62 20,51 15,91
5.3 Gulma yang dapat Menjadi Inang Alternatif Virus Cabai
5.3.1 Jenis Gulma di Sekitar Pertanaman Cabai yang Memperlihatkan Gejala
Terinfeksi Virus
Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mengetahui jenis-jenis gulma yang kerap
terdapat pada pertanaman cabai di daerah Bali, (2) mengidentifikasi gulma-gulma yang
dapat menjadi inang alternatif bagi virus cabai.
Gulma sebagai salah satu komponen ekosistem pertanian memiliki pengaruh negatif
terhadap tanaman pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung.Adanya kompetisi
merupakan pengaruh langsung dari keberadaan gulma sedangkan pengaruh tidak langsung
adalah sebagai inang alternatif beberapa pathogen.Adapun jenis gulma yang dijumpai selama
penelitian, yang menunjukkan gejala mosaik, kuning dan klorosis seperti terlihat dalam Tabel
27
5.4. Gulma yang diduga terinfeksi dari ketiga jenis virus tersebut memiliki gejala yang
hampir sama dengan gejala yang ditunjukkan oleh tanaman cabai yang terinveksi virus.
Tabel 5.4 Jenis gulma yang ditemukan di sekitar pertanaman cabai berdasarkan hasil
survei yang dilakukan dari bulan Maret sampai Juni 2014 di sentra produksi
cabai di Bali
No Famili Spesies Nama Lokal Gejala
Mosaik Kuning Klorosis
1 Amaranthaceae Amaranthus
gracilis D. Amaranthus
spinosus L.
Bayam Bayam berduri
+
+
-
+
+
+
2 Asteraceae Bidens pilosa L. Ageratum
conyzoide L. Synedrella
nodiflora
Ketul Bebandotan Jotang kuda
+ +
+
+ +
+
+ -
+
3 Caryophyllaceae Drimatia cordata Jukut ibun + + -
4 Convolvulaceae Ipomoea triloba Ubi jalar + + +
5 Commelinaceae Commelina
diffusa Aur-aur + - +
Keterangan: + = memperlihatkan gejala mosaic, kuning atau klorosis; - = tidak
memperlihatkan gejala
5.3.2 Gulma Sebagai Inang Alternatif Virus Cabai
Gulma-gulma disekitar pertanaman cabai dapat menjadi sumber virus bagi
serangga vektor untuk disebarkan ke tanaman cabai. Pada saat survei ditemukan
beberapa jenis gulma memperlihatkan gejala terinfeksi virus seperti mosaik, kuning
ataupun klorosis (Tabel 5.5; Gambar 5.9).
Gambar 5.9 Gulma Commelina diffusa yang ditemukan di sekitar pertanaman cabai
memperlihatkan gejala mosaik (kiri), kuning (tengah) dan klorosis (kanan)
seperti terinfeksi virus.
28
Keberadaan virus pada gulma-gulma yang memperlihatkan gejala di lapangan
telah diverifikasi melalui uji serologi dengan teknik enzyme-linked immunosorbant assay
(ELISA) dengan menggunakan antiserum CMV dan ChiVMV. Berdasarkan hasil uji
ELISA didapatkan bahwa sampel yang dikoleksi berdasarkan atas gejala yang diamati
terbukti bahwa Commelina spp.positif terinfeksi CMV dan ChiVMV.Hal ini dibuktikan
dengan uji serologi yang menunjukan nilai absorban sampel gulma dan cabai yang
bergejala CMV (Tabel 5.5) dan ChiVMV (Tabel 5.6). Pada pengujian tersebut nilai
absorban 2-3 kali lipat dari kontrol negatif.
Tabel 5.5 Rata-rata nilai absorbansi (405 nm) sampel yang berasal dari lokasi
pengamatan tanaman cabai pada uji serologi melalui ELISA menggunakan
antiserum CMV.
Sampel Absorbansi pada 405 nm
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata Keterangan
Commelina 1 0.411 0.404 0.421 0.412 Positif
Commelina 2 0.399 0.398 0.389 0.395 Positif
Commelina 3 0.362 0.321 0.349 0.344 Positif
Commelina 4 0.355 0.323 0.361 0.346 Positif
Commelina 5 0.352 0.327 0.344 0.341 Positif
Cabai CMV 1 0.399 0.399 0.378 0.392 Positif
Cabai CMV 2 0.397 0.398 0.392 0.395 Positif
Cabai CMV 3 0.401 0.405 0.402 0.402 Positif
Cabai CMV 4 0.394 0.402 0.421 0.405 Positif
Cabai CMV 5 0.389 0.388 0.348 0.375 Positif
Kontrol negatif 0.106 0.104 0.109 0.106 Sebagai patokan
Bufer 0.118 0.121 0.123 0.120 Sebagai patokan
Kontrol positif 0.407 0.410 0.417 0.411 Sebagai patokan
Keterangan: Reaksi ELISA adalah positif apabila nilai absorbansi sampel sama dengan
dua kali atau lebih besar dari nilai absorbansi kontrol negatif.
Hasil uji serologi tersebut menunjukkan terjadinya perbedaan nilai absorban
ELISA (NAE) dari masing-masing sampel.NAE pada Commelina spp. yang tinggi
diperoleh pada sampel Commelina 1 dengan rata-rata 0.412, sedangkan sampel cabai
menunjukkan NAE yang paling tinggi terinfeksi virus CMV pada cabai CMV 4 dengan
rata-rata 0.405 (Tabel 5.5). dan untuk ChiVMV NAE yang paling tinggi pada sampel
29
Commelina 2 dengan rata-rata 0.412, sedangkan sampel cabai ChiVMV 5 dengan rata-
rata 0.423. Perbedaan NAE berhubungan dengan konsentrasi virus yang ada pada
masing-masing sampel melalui perubahan warna pada saat uji ELISA.Warna yang
terdapat pada sumuran menunjukkan adanya virus dalam sampel tersebut dan tingkat
warna yang dapat dilihat atau ukuran yang dapat terbaca pada kalorimeter sebanding
dengan ukuran jumlah virus yang terdapat dalam sampel tersebut.
Tabel 5.6 Rata-rata nilai absorbansi (405 nm) sampel yang berasal dari lokasi
pengamatan tanaman cabai pada uji serologi melalui ELISA menggunakan
antiserum ChiVMV.
Sampel Absorbansi pada 405 nm
Ulangan 1 Ulangan 2 Uiangan 3 Rata-rata Keterangan
Commelina 1 0.398 0.355 0.344 0.365 Positif
Commelina 2 0.423 0.411 0.404 0.412 Positif
Commelina 3 0.365 0.321 0.336 0.340 Positif
Commelina 4 0.378 0.414 0.393 0.395 Positif
Commelina 5 0.366 0.309 0.321 0.332 Positif
Cabai CMV 1 0.398 0.412 0.400 0.403 Positif
Cabai CMV 2 0.387 0.394 0.371 0.384 Positif
Cabai CMV 3 0.381 0.394 0.408 0.394 Positif
Cabai CMV 4 0.408 0.415 0.411 0.411 Positif
Cabai CMV 5 0.423 0.422 0.425 0.423 Positif
Kontrol negatif 0.118 0.120 0.122 0.120 Sebagai patokan
Bufer 0.115 0.124 0.122 0.120 Sebagai patokan
Kontrol positif 0.402 0.411 0.414 0.409 Sebagai patokan
Keterangan: Reaksi ELISA adalah positif apabila nilai absorbansi sampel sama dengan
dua kali atau lebih besar dari nilai absorbansi kontrol negatif.
Berdasarkan hasil uji ELISA didapatkan bahwa sampel yang dikoleksi
berdasarkan atas gejala yang diamati terbukti bahwa Commelina spp.positif terdeteksi
virus CMV dan ChiVMV.Ciri-ciri dari gulma Commelina spp.yang terinfeksi virus
(Gambar 5.8) memiliki gejala yang identik dengan gejala cabai yang ditemukan pada
lokasi pertanaman cabai.
Gulma Commelina spp.yang diinfeksi oleh CMV menunjukkan gejala mosaik
hijau tua pada daun serta warna tulang daun yang hijau tua, sedangkan gulma Commelina
spp.yang terinfeksi ChiVMV menunjukkan gejala berupa belang belang hijau gelap
30
(mosaik), bercak-bercak hijau gelap dan kadang-kadang pola-pola tersebut menyatu ke
tulang daun di dekatnya.
Hasil uji molekuler terhadap virus pada gulma Commelina dan tanaman cabai
dengan gejala mosaic dan klorosis dilakukan dengan teknik RT-PCR dan virus dengan
gejala kuning dilakukan dengan teknik PCR. Hasil elekroforesis menunjukkan bahwa
sampel tanaman yang diujikan positif terinfeksi virus CMV (657 bp), Polerovirus (650
bp) dan PepYLCV (700 bp), yang ditandai dengan terbentuknya pita DNA dari masing-
masing isolat yang diujikan dengan panjang basa sesuai dengan primer yang digunakan
(Gambar 5.10).
Gambar 5.10 Hasil amplifikasi gen CP dengan metode PCR.M=Marker DNA 100 bp
(BioRad); (1)= kontrol negatif (tanaman sehat);(2)= tanaman cabai
CMV; (3)= tanaman cabai PepYLCV; (4)= gulma Commelina PepYLCV
(5)= gulma Commelina Pe VYV; gulma Commelina CMV
Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi pengendalian
penyakit oleh virus pada tanaman cabai yang ramah lingkungan. Strategi pengelolaan
penyakit tanaman semacam ini mengedepankan cara-cara yang tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan, demikian juga terhadap kesehatan masyarakat.
Keberhasilan metode pengendalian yang dipilih akan sangat bergantung pada
pemahaman mengenai sifat bioekologi dari setiap virus yang dihadapi (yang
menyebabkan penyakit pada tanaman cabai).
Langkah paling awal dan utama dari usaha mendapatkan metode pengendalian
yang tepat adalah mengetahui jenis virus yang berasosiasi dengan penyakit-penyakit pada
tanaman cabai di daerah sasaran (Bali). Dari hasil survey yang telah dilakukan ditemukan
banyak variasi gejala penyakit di lapangan, namun dari analisis yang lebih detail,
penyakit pada tanaman cabai di daerah Bali dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu
penyakit mosaik, penyakit kuning dan penyakit klorosis. Pengelompokan ini didasarkan
31
pada ciri-cri khas dari masing-masing penyakit tersebut.Penyakit mosaik dicirikan
dengan mosaik hijau tua dan hijau muda, bagian yang berwarna hijau tua cenderung lebih
tebal dibandingkan dengan bagian berwarna hijau muda.Penyakit kuning mempunyai
gejala khas berupa menguningnya helai daun di antara tulang daun maupun pinggir daun,
daun-daun yang sudah agak tua melengkung ke atas, tulang daun menebal, pinggir daun
menjadi pucat sampai kuning terang.Sedangkan penyakit klorosis dicirikan dengan
terjadinya klorosis pada helaian daun tetapi tulang daun dan jaringan disekitarnya tetap
hijau sehingga tampak menyirip, serta tidak terjadi malformasi.Bagi yang sudah terlatih,
membedakan gejala penyakit semacam ini tidaklah sulit, dan hal ini dapat diperkenalkan
kepada petani dengan sangat mudah.
Ketiga penyakit ini telah terjadi di semua kabupaten/kota di daerah Bali dengan
kejadian penyakit yang relatif cukup tinggi yaitu rata-rata untuk penyakit mosaik, kuning
dan klorosis masing-masing sebesar 34,56%, 29,17% dan 5,20%. Kejadian penyakit
setinggi ini tentu akan memberikan dampak yang cukup signifikan dalam penurunan
hasil cabai secara keseluruhan. Oleh karena itu, sangat tepat apabila dalam penelitian ini
dapat dihasilkan suatu rekomendasi atau suatu formulasi pengelolaan penyakit virus yang
efektif.
Langkah kedua yang perlu dilakukan untuk mendesain formulasi pengendalian
penyakit yang tepat adalah mengetahui dengan pasti jenis virus yang berasosiasi dengan
masing-masing penyakit yang telah ditemukan. Dari hasil deteksi pada penelitian ini
didapatkan informasi yang pasti bahwa gejala kuning pada tanaman cabai berasosiasi
dengan Pepper yellow leaf curl virus (PepYLCV; genus Begomovirus) dan penyakit
klorosis berasosiasi dengan infeksi Pepper vein yellow virus (PeVYV; genus
Polerovirus). Sedangkan penyakit mosaik bisa disebabkan oleh salah satu dari Chili
pepper vein mottle virus (ChiVMV; genus Potyvirus), Cucumber mosaic virus (CMV;
genus Cucumovirus) atauTobacco mosaic virus (TMV; genus Tobamovirus).
Pemahaman yang perlu dimiliki agar dapat mengendalikan dengan tepat penyakit
yang ditimbulkan oleh virus-virus tersebut adalah cara penyebarannya. Dalam penelitian
ini tidak dilakukan percobaan untuk mengetahui cara penyebaran dari masing-masing
virus ini karena data sudah tersedia dari peneliti sebelumnya. Seperti, misalnya,
PepYLCV hanya dapat ditularkan melalui kutu kebul, TMV tidak dapat ditularkan
melalui serangga vektor namun hanya melalui cara mekanik (cariran perasan sakit),
sedangkan CMV, ChiVMV dan PeVYV dapat ditularkan oleh berbagai jenis kutu daun.
32
Dari hasil penelitian ini, sudah didapatkan informasi mengenai jenis-jenis
serangga yang mengkoloni tanaman cabai dan dapat menjadi vektor virus. Dari golongan
kutu kebul ditemukan dan diidentifikasi Bemisia tabaci, dari golongan kutu daun
ditemukan Aphis gossypii danMysus persicae. Cara hidup yang aktif dari kutu kebul
maupun kutu daun sangat memungkinkan kejadian penyakit pada tanaman cabai akan
tinggi sepanjang tahun karena tanaman cabai selalu tersedia.
Hal yang juga sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mendesain
pengelolaan penyakit yang tepat adalah informasi mengenai inang tempat virus bertahan
bila tidak ada pertanaman cabai di lapangan.Pada penelitian ini telah dilakukan survey
terhadap gulma-gulma di sekitar pertanaman cabai yang memperlihatkan gejala mirip
terinfeksi virus.Hasil survei menemukan berbagai jenis gulma seperti Amaranthus
gracilis, Amaranthus spinous, Bidens pilosa, Ageratum conyzoide, Synedrella
nodiflora, Synedrella nodiflora, Ipomoea trilobadan Commelina diffusa yang
memperlihatkan gejala mosaik, kuning atau klorosis seperti yang terjadi pada
tanaman cabai.
Deteksi yang dilakukan terhadap sampel gulma bergejala memperlihatkan
bahwa gejala yang muncul pada gulma-gulma tersebut berasosiasi dengan
keberadaan virus. Hasil ini menandakan bahwa beberapa gulma di sekitar
pertanaman cabai dapat berfungsi sebagai inang alternatif virus dan oleh
karenanya dapat menjadi sumber virus bagi pertanaman cabai.
33
BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Penelitian pada tahun kedua (2015) akan difokuskan dalam mendesain
metode pengelolaan penyakit virus berdasarkan sifat bioekologi virus yang telah
dihasilkan dalam penelitian tahun pertama ini.
34
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Pada penelitian di tahun pertama ini dihasilkan beberapa kesimpulan yang
berkanaan dengan sifat bioekologi virus penyebab penyakit pada tanaman cabai di daerah
Bali:
1. Pada pertanaman cabai di daerah Bali telah terdapat tiga jenis penyakit yaitu
mosaik, kuning dan klorosis yang masing-masing mempunyai gejala khas dan
penyebab yang berbeda.
2. Penyakit kuning berasosiasi dengan infeksi PepYLCV, penyakit klorosis karena
infeksi PeVYV, dan penyakit mosaik oleh salah satu dari TMV, CMV atau
ChiVMV.
3. Pada pertanaman cabai di daerah Bali juga ditemukan terkoloni oleh serangga
yang telah dilaporkan dapat menjadi vektor virus; dari kelompok kutu kebul
ditemukan Bemisia tabaci dan dari golongan kutu daun ditemukan Aphis gossypii
danMysus persicae.
4. Berbagai jenis gulma seperti Amaranthus gracilis, Amaranthus spinous,
Bidens pilosa, Ageratum conyzoide, Synedrella nodiflora, Synedrella
nodiflora, Ipomoea trilobadan Commelina diffusa ditemukan di sekitar
pertanaman cabai memperlihatkan gejalaseperti pada tanaman cabai.
Semua jenis gulma bergejala terdeteksi mengandung virus dan oleh karena
itu dapat menjadi sumber virus bagi serangga vektor dalam menularkannya
ke tanaman cabai.
7.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk tahun ke dua untuk mendapatkan
formulasi metode pengelolaan penyakit virus pada tanaman cabai berdasarkan sifat
bioekologi vius yang sudah didapatkan pada penelitian di tahun pertama ini.
35
DAFTAR PUSTAKA
Blackman RL, Eastop VF. 2000. Aphids on the World’s Crop. An identification and
Information Guide 2nd
eds. New York : John Wiley and Sons.
Dolores LM. 1996. Management of pepper viruses. Proceeding of the A VNET II Final
Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.
[DBPH] Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2009. Luas Panen, Rata-rata
Hasil dan Produksi Tanaman Hortikultura di Indonesia. Departemen Pertanian,
Jakarta.
Duriat AS. 1996. Cabai merah: Komoditas Prospektif dan Andalan. Di dalam: Duriat AS,
Widjaja W. Hadisoeganda A, Soetiarso TA dan Prabaningrum L, editor. Teknologi
Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 1-3
Duffus, J. E. 1972. Beet western yellows virus. CMI/AAB Descriptions of Plant Viruses
No. 89. Commonwealth Mycological Institute, Kew, England. 4 p.
De Barrow, P. J., S. H. Hidayat, D. Frohlich, S. Subandiyah, U. Shigenori. 2008. A Virus
and its Vector, Pepper Yellow Leaf Curl Virus and Bemisia tabaci, Two New
Invaders of Indonesia. Biological Invasions 10 (4): 411-433.
Edwardson, J.R., R.G. Christie. 1997. Virus Infecting Peppers and Other Solanaceus
Crop. University of Florida. USA.
Fauquet C.M., Mayo M.A., Maniloff J., Desselberger U., Ball L.A. 2005. Virus
Taxonomy. Lassification and Nomenclature of Viruses. Elsevier Academic Press.
Amsterdam.
Everaarts AP. 1981. Weed of Vegetables in the Higlands of Java. Jakarta.Lembaga
Penelitian Hortikultura.
Frederick, E.G. 2003. Luteovirus Aphid Interactions. Annu. Rev. Phytopathol. 2003.
41:539–66
Hadidi A., Kheterpal R.K., Koganezawa H. 1998. Plant Virus Disease Control. APS
Press. St. Paul Minnesota.
Igwegbe, E. C. K. and O. K. Ogungbade. 1985. “Evaluation of pepper cultivars under
greenhouse conditions for resistance to a defoliation strain of tobacco mosaic
virus,” Plant Disease 69:899-900.
Kaper, J.M., M.E. Tousignant, and L.M. Geletka. 1990. Cucumber mosaic virus-
associated RNA-5. XII. Symptom modulating effect is codetermined by the helper
virus satellite replication support function. Res. Virol. 141: 487-503.
Khetarpal, R. K., B. Maisonneuve, Y. Maury, B. Chalhouh, Dinant, H. Lecoq, A.
Varma. 1998. Breeding for Resistance to Plant Viruses. In: Hadidi A, Khetarpal
RK, Koganezawa H (eds.) Plant Virus Disease Control. APS Press. pp: 14-32.
Laemmlen F. 2004. Viruses in pepper. Central coast agriculture highlights. Santa
Barbara county. University of California Cooperative Extension.
http://www.central.coast. agriculture.highlights6523.pdf. [22 juli 2006].
Michael, P. E. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.
Universitas Indonesia : Jakarta.
36
Matthews, REF. 1992. Foundamentals of plant virology. Academic Press, Inc.
California.
Nawangsih, A.A., H. Purwanto, W. Agung. 1999. Budidaya Cabai Hot Beauty. Cetakan
kedelapan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nyana, D. N. 2012. Isolasi dan Identifikasi Cucumber Mosaic Virus untuk
Mengendalikan Penyakit Mosaik pada Tanaman Cabai (Capsicum spp.). Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Ong C.A. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the AVNET
II Midterm Workshop. Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.
Palukaitis P, Roossinck MJ, Dietzgen RG, Francki RI. 1992. Cucumber mosaic virus.
Adv Virus Res 41: 281-348.
Sulandari S. 2004. Karakterisasi Biologi, Serologi dan Analisis Sidik Jari DNA Virus
Penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning Cabai. Disertasi SPs IPB. Bogor.
Sastroutomo SS. 1990. Ekologi Gulma. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Soerjani M, Kostermans AJGH, Tjitrosoepomo G. 1980. Weed of Rice in Indonesia.
Jakarta:Balai Pustaka.
Suryaningsih, R. Sutarya, A. S. Duriat .1996. Penyakit tanaman cabai merah dan
pengendaliannya. Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. pp:
64-84.
Taufik M. 2005. Cucumber Mosaic Virus dan Chilli Veinal Mottle Virus: Karakterisasi
Isolat Cabai dan Strategi Pengendaliannya.
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1. Artikel ilmiah yang sudah dipresentasikan pada “Seminar Nasional Sains dan
Teknologi 2014”, di Ruang Theatre Lt 4 FK Unud Denpasar pada tanggal 18-
19 September 2014
39
IDENTIFIKASI VIRUS YANG BERASOSIASI DENGAN PENYAKIT MOSAIK,
KUNING, DAN KLOROSIS PADA TANAMAN
CABAI DAN GULMA
IDN Nyana1,3)
, G Suastika2)
, IGRM Temaja1)
1)
Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar, Bali; 2)
Institut Pertanian
Bogor, Bogor Indonesia; 3)
Alamat Penulis: [email protected]; HP:
08123910101
ABSTRAK
Serangan virus pada tanaman cabai merupakan masalah utama dalam menurunkan
produksi cabai di Indonesia. Tiga jenis gejala yang umum sebagai penyebab penyakit
virus pada tanaman cabai yaitu dengan gejala mosaik, kuning dan khlorosis yang
diinfeksi oleh jenis virus yang berbeda. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini
adalah (1) mengukur kejadian dan intensitas serangan virus pada tanaman cabai di
seluruh sentra produksi cabai di Bali, serta mengidentifikasi virus-virus yang berasosiasi
dengan penyakit cabai; (2) mengetahui jenis dan kelimpahan serangga hama yang
berperan sebagai vektor virus; serta (3) untuk mengetahui gulma yang berperan sebagai
inang alternatip. Deteksi yang dilakukan guna menentukan penyebab gejala virus pada
tanaman cabai maupun gulma dilakukan melalui uji serologi dengan teknik ELISA
maupun uji molekuler dengan teknik PCR. Diagnose penyebab penyakit dengan akurasi
tinggi ini akan memberikan jaminan keberhasilan pengendalian yang lebih baik. Hasil
penelitian di seluruh sentra penanaman cabai di Bali didapatkan ada tiga jenis virus yang
menginfeksi tanaman cabai yaitu dengan gejala mosaik, kuning dan klorosis. Penyakit
kuning berasosiasi dengan infeksi PeYLCV, penyakit klorosis karena infeksi PeVYV,
dan penyakit mosaik oleh salah satu dari TMV, CMV atau ChiVMV.Pada pertanaman
cabai juga ditemukan serangga yang dapat menjadi vektor virus, dari kelompok kutu
kebul ditemukan Bemisia tabaci dan dari golongan kutu daun ditemukan Aphis gossypii
dan Mysus persicae. Berbagai jenis gulma seperti Amaranthus gracilis, Amaranthus
spinous, Bidens pilosa, Ageratum conyzoide, Synedrella nodiflora, Synedrella nodiflora,
Ipomoea trilobadan Commelina diffusa ditemukan di sekitar pertanaman cabai
memperlihatkan gejala seperti pada tanaman cabai dan terdeteksi mengandung virus.
Kata kunci:, cabai, gulma,virus, vector
40
IDENTIFICATION OF VIRAL DISEASES ASSOCIATED WITH MOSAIC,
YELLOW, AND CHLOROSIS IN CHILI PEPPER AND WEED
IDN Nyana1,3)
, G Suastika2)
, IGRM Temaja1)
1)
Faculty of Agriculture Udayana University, Denpasar, Bali; 2)
Bogor
Agricultural University, Bogor West Java, Indonesia; 3)
Corresponding author:
[email protected]; HP: 08123910101
ABSTRACT
Virus attack in chili pepper is a major problem in reducing the production of chili in
Indonesia. Three common types of symptoms as the disease causing virus in chili that
with mosaic symptoms, yellow and chlorosis infected by different types of viruses. The
objectives of this study were (1) to measure the incidence and intensity of virus in chili in
the entire production center in Bali, as well as identify viruses associated with disease
chili; (2) determine the type and abundance of insect pests which act as vectors of the
virus; and (3) to determine the weeds that serve as hosts alternatives. Detection is
performed to determine the cause of the symptoms of the virus in chili and weeds is done
by serological testing with ELISA techniques and molecular testing by PCR. Diagnose
the cause of the disease with high accuracy will provide a guarantee of success better
control. The results of the research centers around the planting chili in Bali found there
are three types of viruses that infect pepper plants with mosaic symptoms, yellow and
chlorosis. Yellow symptom associated with PeYLCV infections, diseases due to infection
PeVYV chlorosis and mosaic disease by one of the TMV, CMV or ChiVMV. Chilli crop
also found that insects could be vectors of viruses, from ticks group found Bemisia tabaci
whitefly and aphids from class Aphis gossypii and Mysus persicae. Various types of
weeds such as Amaranthus gracilis, spinous Amaranthus, Bidens pilosa, Ageratum
conyzoide, Synedrella nodiflora, Synedrella nodiflora, Ipomoea trilobadan Commelina
diffusa found around the crop showed symptoms such as chili peppers and detected in
plants containing viruses.
Keyword: Chili pepper, Virus, vector, weed
41
Lampiran 2. Artikel ilmiah yang sudah dipresentasikan pada “The International Society
for Southeast Asean Agricultural Sciences, Inc (ISSAAS) at Tokyo
University of Agriculture, Setagaya, Tokyo Japan”, pada tanggal 8-10
November 2014
42
NEW STATUS ON VIRAL DISEASE INCIDENCES ON CHILI PEPPER IN BALI,
INDONESIA: EMERGING OF CHLOROSIS DISEASE
IDN Nyana1,3)
,T Rahayuningsih2)
,G Suastika2)
, IGRM Temaja1)
1)
Udayana University, Denpasar, Bali; 2)
Bogor Agricultural University, Bogor West Java,
Indonesia; 3)
Corresponding author: [email protected]
ABSTRACT
Surveys on chili pepper fields in all over growing area of Bali Island were conducted during 2012
– 2014 growing season to updating the status of viral diseases in the region. Observations were
done based on the symptom types expressed on the plants in the fields and some leaf samples
were collected from different plant with different symptoms to elucidate viral pathogen
associated with the symptoms. Virus detections and identifications were done by using enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA) or by reverse transcription and/or polymerase chain
reaction (RT-PCR). Two viral diseases namely yellowing and mosaic, as reported previously,
were found to be spread throughout the region. Based on the results of ELISA using sera anti-
respective viruses, mosaic disease was induced by one of three different viruses:Tobacco mosaic,
Cucumber mosaic and Chili veinal mottle viruses. Whereas, yellowing disease associated with
infection of Pepper yellow leaf curl virus as confirmed by PCR. A new emerging disease, namely
chlorosis, has typical symptoms and simply could be differentiate from mosaic and yellowing
diseases. This disease still spread to a certain restricted area in Bali. RT-PCR using a pair primers
specific to Pepper vein yellows virus (PeVYV) successfully amplified a DNA band of about 650
bp from the diseased sample plants. The nucleotide sequences read directly from the RT-PCR
product has a high homology (more than 90%) with those of PeVYV from other countries. This
result confirmed the association of PeVYV with a new emerging chlorosis disease on chili pepper
in Bali.
Keyword:Disease outbreak, identification, nucleotide sequence, Cucumovirus, Potyvirus,
Tobamovirus
43
Lampiran 3. Buram artikel ilmiah yang akan dipublikasikan pada jurnal internasional
NEW STATUS OF VIRAL DISEASE INCIDENCES ON CHILI PEPPER IN BALI,
INDONESIA: EMERGING OF YELLOW VEIN BANDING DISEASE
IDN Nyana1,3)
,T Rahayuningsih2)
,IGRM Temaja1)
, GNAS Wirya1)
,
G Suastika2)
, 1)
Udayana University, Denpasar, Bali; 2)
Bogor Agricultural University, Bogor West Java,
Indonesia; 3)
Corresponding author: [email protected]
ABSTRACT
Surveys of viral disease on chili pepper fields in all over of growing area in Bali Island were
conducted during growing season of 2012 – 2013 to updating the status of viral diseases.
Observations were done based on the expression of symptom types on the plants in the fields, and
some leaf samples were collected from different plant with different symptoms to elucidate viral
pathogen associated with the symptoms. Virus detections and identifications were done by using
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) or by reverse transcription and/or polymerase
chain reaction (RT-PCR). Two viral diseases namely yellowing and mosaic, as reported
previously, were found to be spread throughout the region. Based on the results of ELISA using
sera anti-respective viruses, mosaic disease was induced by one of three different
viruses:Tobacco mosaic, Cucumber mosaic and Chili veinal mottle viruses. Whereas, yellowing
disease associated with infection of Pepper yellow leaf curl virus as confirmed by PCR. A new
emerging disease, namely yellow vein banding, has typical symptoms and simply could be
differentiate from mosaic and yellowing diseases. This disease still spread to a certain restricted
area in Bali. RT-PCR using a pair primers specific to Pepper vein yellows virus (PeVYV)
successfully amplified a DNA band of about 650 bp from the diseased sample plants. The
nucleotide sequences read directly from the RT-PCR product has a high homologies (more than
90%) with those of PeVYV from other countries. This result confirmed the association of
PeVYV with a new emerging chlorosis disease on chili pepper in Bali.
Keyword: Cucumovirus, Disease outbreak, identification, nucleotide, Potyvirus, sequence,
Tobamovirus
INTRODUCTION
Chili pepper being cultivated in Indonesia was mostly belongs to species Capsicum
annum L. and only a few belongs to C. frutescent L. Having a wide adaptability, chili pepper
could be found cultivated from lowland to upland of the area. The fruit can be classified as
vegetables and spices, depending on how it was used. As a seasoning, spicy chili pepper was very
popular in Indonesia as well as in Southeast Asia as a food flavor enhancer (Vos and Duriat,
1995).
In Bali and other area of Indonesia, most chili pepper crops are generally grown
throughout the year. In most area, the crop was grown in small plots and mixed with the
particular crop dependent on the season. Until now, low quality of seed materials, high
production costs, fluctuating market prices, and poor crop health management are still major
production constraints in the area.
Improvement of cultural techniques by intensive cultivation of chili pepper conducted to
increase production was still give no positive result because of high incidence of viral disease.
Viruses have been found as the most devastating disease causing agent sof chili pepper, causing
serious losses (Berke, 2002). Chili pepper is naturally susceptible to a wide range of viruses in all
South east Asian countries including Indonesia (Green, 1991).
There were two different viral diseases faced to chili pepper in the area: one was
yellowing disease that has been known to be associated with infection of Pepper yellow leaf curl
virus (PepYLCV), a begomovirus (De Barrow et al., 2008).
44
Other disease is mosaic disease that has been observed in the last five years and it
becomes an important disease following a long dry season in 2013 throughout Bali. The disease
symptoms are characterized by light and dark green mottling on the leaves. Based on the type of
symptoms, more than one viral pathogen was suspected to be associated with the disease of chili
pepper in Bali Island.
Two years ago, a new disease on chili pepper was observed in restricted area of Bali.
Leaves of diseased plant exhibited yellowing appearance with interveinal chlorosis but the vein
still with normal green color (yellow vein banding disease). This disease symptom is different
from that of induced by viruses reported present in Indonesia before. The disease was similar
with that of induced by Polerovirus reported from other countries.
The present study was conducted to monitor viral diseases throughout Bali Island, to
assess the crop condition as well as to collect information regarding prevalence, distribution and
occurrence of viruses so that management strategies can be devised to minimize crop losses.
MATERIAL AND METHODS
Surveys for viral disease incidence and sample collection Surveys of chili pepper crops for viruses recorded in Bali, as listed in Table 1, were
undertaken during 2013-2014 over the wet periods in representative crops and cropping areas
around districts of Badung, Bangli, Buleleng, Denpasar, Gianyar, Jembrana, Karangasem,
Klungkung and Tabanan. Crops were surveyed along crop rows or in a “W” pattern and visual
estimates of virus incidence recorded. Incidence was estimated particularly from observations of
plant yellowing, yellow vein banding and mosaic symptoms, separately.
Chili pepper plants were examined at each location. Individual representative leaf and
plant specimens were collected from chili pepper plants showing symptoms characterized by
yellowing, yellow vein banding and mosaic similar to those caused by virus. Samples, consisting
of about 1 g fresh weight of young leaves or shoot tips showing disease symptoms were
desiccated over anhydrous calcium chloride (about 7 g) in sealed, 25 ml plastic vials. Samples
were stored at 4°C until fully desiccated. Laboratory examination included enzyme-linked
immunosorbent assays (ELISA) and reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR).
Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISA)
About 5% chili pepper showing mosaic symptom samples from all surveys were tested
for virus infection using double antibody sandwich (DAS)-ELISA and direct ELISA. DAS-
ELISA was performed for the detection of CMV and ChiVMV in the collected plant samples.
CMV-specific antibodies along with alkaline phosphatase-linked antibodies procured from
DSMZ (Germany) were subjected for ELISA as manufacturer's instruction and as method where
ELISA tests were performed using potyvirus group-specific polyclonal antibodies to detect
ChiVMV. Direct-ELISA was performed according to the manufacturer‟s protocols (Agdia Inc.,
USA) for TMV detection. All ELISA test samples were considered positive when absorbance
values exceeded three times the mean of appropriate healthy controls that were included on each
microtitre test plate.
Total RNAs Extraction
Total RNAs was isolated from yellow vein banding symptom showed chili pepper leaf
samples following manufacturer protocol (Thermo Scientific, Lithuania). Fresh tissue (0.1 g) was
ground in liquid Nitrogen to powder, 500 µl of Plant RNA Lysis Solution was added and the sap
was transferred to 1.5 ml clean tube, and then was vortexed 10 – 20 s thoroughly. The sap was
incubated in water bath at 56oC for 3 min, then centrifuged at 14 000 rpm for 5 min. The
supernatant was pipetted to 1.5 ml clean tube, 96% ethanol was added and mixed by pipetting.
The liquid was transferred to a purification column inserted in a collection tube and was
centrifuged at 12 000 rpm for 1 min and then discarded flow-through. The purification column
was added 700 µl of Wash Buffer WB 1 then was centrifuged at 12 000 rpm for 1 min and then
discarded flow-through. The purification column was placed into a clean 2 ml collection tube and
was added 500 µl Buffer 2 then was centrifuged at 12 000 rpm for 1 min. The solution was
45
discarded flow-through and repeat the additional of 500 µl Buffer 2 using maximum speed of
centrifugation. The collection tube was discarded flow-through and the purification column was
transferred to aRNase-free 1.5 ml collection tube. The purification column was added 50 µl of
nuclease free water to elute the RNA. The column was centrifuged at 12 000 rpm for 1 min and
then discarded the purification column. The RNA which was kept on a collection tube was used
as template in RT-PCR.
Reversetranscriptase- polymerasechainreaction(RT-PCR)
RT-PCR was carried for polerovirus associated with yellow vein banding disease.
Amplification was conducted using one-step RT-PCR method. RT-PCR reaction contains 12.5
µl Go Taq Green PCR master mix (Fermentas, US), 10 µM each of primer, 2.0 µl DTT 50 mM,
0.1 µl RNAse Inhibitor, 0.1 µl MMuLV, 0.5 µl MgCl, 2.0 µl RNA total, and the reaction was
adjusted to 25 µl with nuclease free water. Amplifications was performed in GeneAmp PCR
System 9700 machine with 60 min at 42.0oC and 2 min at 94.0
oC for RT, 5 min at 94.0
oC for
pre-heating, followed by 30 cycles of denaturation (1 min at 94.0oC), annealing (1 min at
50.0oC), and extension (3 min at 72.0
oC). The last cycle was ended at 72.0
oC for 3 min and
cooled down to 4.0oC. Electrophoresis was done using 1% Agarose gel in 0.5 x TBE (Tris-Boric
acid-EDTA) buffer, run at 50 V for 50 min. Following electrophoresis, agarose gel then was
soaked on to 0.1% EtBr for 5 min, washed with H2O, and visualized under UV transilluminator.
RESULT AND DISCUSSION
Prevalence of Viral Disease on Chili Pepper in Bali
Major diseases showing yellowing and mosaic symptoms were found on chili pepper
growing areas in Bali. The plants with yellowing symptom exhibited leaf distortion, interveinal
and marginal leaf chlorosis, upward curling of leaf margins of older leaves, while the plants with
mosaic symptom showed difference appearance as shown on Figure 1.
The plants with mosaic symptoms showed light and dark green mottling on the leaves.
The dark green areas tend to be somewhat thicker than the lighter portions of the leaves. The leaf
mottling was obvious if the affected plant surface was partially shaded. Young leaves exhibited
vein mottling, lateral leaves were narrower than older ones, older leaves curl downward and may
be slightly distorted. The infected plants produced poor quality of fruits and low yields (Figure
1).
A new disease found in the area during observation is yellow vein banding. Leaves of
diseased plant exhibited yellowing appearance with interveinal chlorosis but the vein still with
normal green color (vein banding, Figure 1).
Figure 1 Three different viral symptom types, yellow vein banding (A), mosaic (B) and
yellowing (C) affected chili pepper in Bali region.
46
Prevalence of the mosaic disease in the chili pepper growing areas in Bali was higher
than that of yellowing disease (Table 1). The average percentage of chili pepper plants showing
mosaic symptom was 34.6%, higher than that of the yellowing disease that only 29.2%. These
results suggested that mosaic disease may play the most important role as one of chili pepper
production constraints among viral diseases in the area. The new viral disease, yellow vein
banding, occur on chili pepper in Bali in a restricted area that was just in Gianyar, Klungkung
and Tabanan districts. The incidence was still low of average about 5.2%.
Table 1 Incidence of mosaic, yellow and chlorosis diseases on chili pepper in centre growing
region of Bali
Sampling
Location
Number of plant
observed (x1000)
Percentage of chili pepper plants showing symptom of
Mosaic Yellowing Yellow vein
banding
Badung 5.12 32.4 23.5 0.0
Bangli 4.86 30.8 29.4 0.0
Buleleng 5.48 38.8 32.3 0.0
Denpasar 2.80 29.4 35.3 0.0
Gianyar 5.20 33.6 28.4 18.6
Jembrana 4.60 30.4 32.7 0.0
Karangasem 4.40 42.6 24.6 0.0
Klungkung 6.78 34.6 27.1 12.4
Tabanan 5.40 38.4 29.2 15.8
Average 34.6 29.2 5.2
Viruses Associated with Mosaic Disease on Chili Pepper in Bali
In Indonesia, the yellowing disease has been known to be caused by infection of a
begomovirus, PepYLCV (De Barrow et al., 2008) that is transmitted by Bemisia tabaci. But, the
pathogen of the mosaic disease has not been confirmed until now. Based on ELISA test using
antisera corresponding to the viruses, the viruses found in the mosaic diseases in chili pepper in
this study were TMV, ChiVMV, and CMV (Table 2). Among them, CMV and ChiVMV were the
dominant viruses with prevalence by 29.4% and 26.4, respectively, followed by TMV with
prevalence by 14.7%. This result indicated that CMV and ChiVMV are important and the main
cause of mosaic disease on chili pepper in Bali.
Table 2. Percentage of chili pepper plants showing mosaic symptoms infected by Cucumber
mosaic virus (CMV), Tobacco mosaic virus (TMV) or Chili veinal mosaic virus
(ChiVMV) as verified by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) using antisera
to respective viruses.
Sampling
Location
Number of plant
tested
Percentage of chili pepper plants infected by
CMV TMV ChiVMV
Badung 82 21.9 14.6 19.5
Bangli 73 30.1 12.3 27.4
Buleleng 104 30.7 17.3 21.2
Denpasar 41 34.1 21.9 29.3
Gianyar 86 25.5 11.6 28.5
Jembrana 69 28.9 11.6 31.8
Karangasem 92 34.8 15.2 30.4
Klungkung 115 28.7 12.1 26.0
Tabanan 103 30.0 15.5 23.3
Average 29.4 14.7 26.4
Yellow Vein Banding, A New Emerging Disease on Chili Pepper in Bali
PCR using Polerovirus universal primer successfully amplified a DNA band of about
650bp if subjected to total RNAs extracted from chili pepper showing yellow vein banding
symptoms (Figure 2). This evidence give a clue that the virus species is a member of Polerovirus.
47
Figure 2 Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) using Polerovirus
universal primer subjected to total RNA extracted from interveinal chlorosis
exhibiting chili pepper plant sample 1, 2, and 3 obtained from Bali fields. M = 100 bp
DNA ladder (Promega, USA) and C = Negatif control (total RNA extracted from no
any symptom exhibiting chili pepper plant).
Nucleotide sequences were obtained directly from PCR product. Analysis of their identity by
comparing to sequences on the GenBank showed their high homology with Pepper vein yellow
virus from around the world (more than 97%,Table 3). Its homology to Potato leafroll virus,
another virus causing disease on chili, is only about 62%. This result indicated that the species of
Polerovirus inducing yellow vein banding disease on chili pepper in Bali was PeVYV.
Table 3 Percent identity matrix of nucleotide sequences among Pepper vein yellows virus
(PeVYV) isolates from Bali and around the world available in GenBank.
No PeVYV
isolate
GenBank
Acc. No.
Percent Identity
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
01 Bali - ID 99.1 99.0 98.6 98.6 98.5 98.1 98.0 98.0 62.4
02 Japan AB594828
ID 98.8 97.8 98.1 97.6 97.6 97.5 97.5 62.2
03 Taiwan JX427542
ID 98.0 98.6 97.8 97.8 97.6 97.6 62.4
04 Thailand1 JX427541
ID 98.0 99.5 99.1 98.6 98.6 62.4
05 Filipina JX427537
ID 97.8 97.5 97.3 97.3 62.4
06 Thailand2 JX427539
ID 99.3 98.5 98.5 62.6
07 India JX427531
ID 98.1 98.1 62.4
08 Mali1 JX427536
ID 100 62.6
09 Mali2 JX427535
ID 62.6
10 PLRV* NC_001747
ID
*Potato leafroll virus (PLRV) was used as out group.
Further phylogenetic analyses to study their relationship showed that PeVYV infecting chili
pepper from Bali belong to the same cluster with those of from Japan, Taiwan and the Philippine,
and separated with the other cluster composed by PeVYV isolates from Thailand, India and
Mali.This figure suggest that PeVYV in Bali may came from Japan, Taiwan or the Philippine
through plant materials or insect vector.
48
Figure 3 Phylogenetic analysis based on alignment of partial nucleotide sequences of Pepper
vein yellows virus (PeVYV) isolates using Mega 6.06 (Algorithm Neighbour Joining
with 1000 bootstraps replicates). Potato leaf roll virus (PLRV) was used as out group.
CONCLUSSION
The finding sof the present study demonstrated the occurrence of most of the common
viruses causing severe damage in chili pepper in Bali region of Indonesia. Mosaic and yellowing
were dominant disease, but yellow vein banding was newly emerging disease on chili pepper
in Bali. CMV and ChiVMV played an important role in inducing mosaic disease. Yellow
vein banding was a newly emerging disease present in chili pepper in Bali and it was
confirmed that PeVYV infection was responsible for the disease.
ACKNOWLEDGEMENTS
The authors would like to thanks Udayana University and Directorate General of Higher
Education, Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia for providing research
grant to support this study in the fiscal year 2014.
LITERATURE CITED
Berke,T.2002.The Asian Vegetable Research Development Center Pepper Project. Proceeding of
the 16th international pepper conference 2002. November10-12; Tampico.Tamaulipas,
Mexico.
De Barro, P.J., S. H. Hidayat, D. Frohlich, S. Subandiyah, U. Shiginori. 2008. A virus and its
vector, Pepper yellow leaf curl virus and Bemisia tabaci, two new invaders of
Indonesia. Biological Invasions 10(4): 411-433.
49
Green, S. K. 1991. Guidelines for diagnostic work in Plant virology. Asian Vegetable Research
and Development Center. Technical Bulletin No.15, Second Edition.
Vos, J. G. M., A. S. Duriat. 1995. Hot pepper (Capsicum spp.) production on Java, Indonesia:
toward integrated crop management. Crop Protection 14, 205-213
50
Lampiran 4. Personalia tenaga peneliti beserta kualifikasinya
No Nama dan Gelar Akademik Bidang Penelitian Instansi
1 Dr. Ir. I Dewa Nyoman Nyana, M.Si Bioteknologi Fak. Pertanian Unud
2 Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, Virologi Fak. Pertanian Unud
3 Dr. Ir. Gede Suastika Virologi IPB