Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) di Kota Bogor
Rizki Aulia
1, Afiati Indri Wardani
1
1. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
2. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email : [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini membahas bagaimana pengendalian pemanfaatan ruang melalui Izin mendirikan bangunan di Kota
Bogor. Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin mendirikan bangunan di
Kota Bogor belum berjalan secara optimal. Hal ini dilihat dari dua aspek yakni pengawasan dan penertiban. Dari
segi pengawasan, pelaksanaan kewenangan masih disertai dengan minimnya tanggung jawab oleh aktor yang
terlibat, bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aktor yang terlibat belum mampu mengendalikan kegiatan
pemanfaatan ruang melalui izin mendirikan bangunan, dan koordinasi antar aktor yang terlibat belum terjalin
secara intens. Dari segi penertiban, pelaksanaan kewenangan oleh aktor yang terlibat belum dijalankan dengan
baik, bentuk penertiban yang dilakukan oleh aktor yang terlibat belum secara maksimal menertibkan bangunan
gedung yang melanggar izin mendirikan bangunan, serta koordinasi antar aktor yang terlibat belum terjalin
secara maksimal.
Kata kunci : pengendalian pemanfaatan ruang, izin mendirikan bangunan, Kota Bogor
The Spatial Planning Control through Building Permit in The City of Bogor
ABSTRACT
This research is about the spatial planning control through building permit in the city of Bogor. This descriptive
study used a qualitative approach with qualitative collecting data method. The results of this study indicate that
spatial planning control through the building permit in the city of Bogor is not running optimally. It is seen from
two aspects namely supervision and enforcement. In terms of supervision, implementation of authority is
accompanied with a lack of responsibility from actors who is involved, the form of controlling from actors who
is involved have not been able to control the utilization of space through the building permit, and coordination
among involved actors have not been intensely. In terms of enforcement, the implementation of authority by
involved actors have not been executed properly, the form of controlling from involved actors who were not
regulated violated building permit buildings optimally, as well as coordination among involved actors have not
been established maximally,
Keywords : spatial planning control, building permit, Bogor City
Pendahuluan
Kota Bogor merupakan salah satu kota yang sudah memiliki peraturan daerah yang
mengatur tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), yaitu Peraturan Daerah Kota
Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bogor 2011-2031. Peraturan daerah
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
tersebut salah satunya mengatur mengenai ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah kota, termasuk di dalamnya terdapat instrumen pengendalian pemanfaatan ruang
yang berperan dalam mewujudkan tata ruang yang tertib ruang. Oleh karena itu, melalui
RTRW Kota Bogor 2011-2031, pemerintah Kota Bogor dituntut untuk melakukan
pengendalian pemanfaatan ruang supaya pemanfaatan ruang di Kota Bogor sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Pada kenyataannya pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Bogor belum
dilaksanakan secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam permasalahan
pemanfaatan ruang di Kota Bogor yaitu adanya kegiatan alih fungsi lahan, pembangunan
properti komersial yang tidak mengindahkan RTRW, adanya kemudahan pemberian izin
pembangunan fisik, dan menjamurnya bangunan yang belum memiliki IMB, IMB yang tidak
sesuai peruntukannya, serta IMB yang belum lengkap. Oleh karena itu, salah satu langkah
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Bogor
adalah dengan melakukan pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB. Hal ini juga
disebabkan oleh belum lengkapnya mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang seperti
aturan zonasi, aturan insentif dan disinsentif di Kota Bogor (Materi Teknis RTRW Kota
Bogor).
Adapun penerbitan IMB di Kota Bogor telah mengalami kecenderungan yang
meningkat dari tahun 2010 sampai tahun 2012. Penerbitan IMB ini mengalami peningkatan
yang signifikan pada tahun 2010 sampai tahun 2012, yakni sebesar 78,82 %. Sementara itu,
pada tahun 2012 terdapat jumlah penerbitan IMB yang paling besar yakni sebanyak 1765
IMB. Penerbitan IMB yang meningkat setiap tahunnya ini telah mengindikasikan adanya
peningkatan pertumbuhan bangunan gedung di Kota Bogor. Peningkatan pertumbuhan
bangunan gedung yang pesat ini dapat memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap
pemanfaatan lahan yang kemudian dapat mempersempit ruang yang ada di Kota Bogor.
Jika melihat kemampuan lahan di Kota Bogor, dapat diketahui bahwa lahan yang
paling luas adalah lahan untuk daerah resapan. Lahan tersebut mempunyai kemampuan
meresapkan tanah yang cukup tinggi sehingga perlu dijaga kemampuan lahannya. Kondisi ini
tidak berarti kawasan tersebut tidak dapat dikembangkan namun perlu aturan bangunan yang
jelas sehingga dapat meresapkan air dengan baik. Aturan tersebut dapat berupa pengaturan
KDB rendah dan dengan kewajiban membuat sumur resapan. Semua aturan tersebut pada
dasarnya sudah termasuk ke dalam mekanisme IMB (Bappeda Kota Bogor, 2009). Dengan
demikian, berdasarkan permasalahan yang ada, pertanyaan penelitian yang dikemukakan
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
dalam skripsi ini adalah : bagaimana pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota
Bogor?
Tinjauan Teoritis
Terdapat beberapa konsep dalam penelitian ini yaitu manajemen perkotaan,
perencanaan kota, penataan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, dan perizinan. Pertama,
manajemen perkotaan adalah “local governments-whether they be towns, cities, metropolitan
regions, provinces or states-typically carry out the principal responsibility for managing six
inter-related urban sectors” (Leman, 1994:1). Sektor-sektor perkotaan yang saling terkait satu
sama lain dan mempengaruhi pengelolaan kota tersebut yaitu lahan perkotaan, lingkungan
alam, infrastruktur, perumahan dan fasilitas sosial, pembangunan ekonomi, pelayanan sosial
(Leman, 1994:1) Untuk mengelola keenam sektor perkotaan tersebut dibutuhkan adanya
peran-peran aktor dalam manajemen perkotaan. Adapun aktor-aktor yang terlibat dalam
manajemen perkotaan yaitu pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat (Leman,
1994:12).
Dalam manajemen kota, fungsi pertama yang diperlukan oleh manajer dan staf dalam
adalah fungsi perencanaan (Sadyohutomo, 2008:21). Sementara itu, dua unsur penting dalam
perencanaan yakni : (1) penentuan tujuan untuk hal-hal yang ingin dicapai di masa depan, (2)
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut (Kay dan Alder, 2002:65).
Selain itu, menurut Sadyohutomo (2008:30), rencana (plan) adalah produk dari proses
perencanaan yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui tahap-tahap
kegiatan. Setiap rencana paling tidak mempunyai 3 unsur pokok, yakni sebagai berikut : (1)
Titik Tolak : Di dalam perencanaan tata ruang, titik tolak rencana adalah berupa fakta wilayah
kini (exsisting condtion), yang meliputi potensi fisik wilayah, kesesuaian tanah, penggunaan
tanah, kondisi ekonomi, sosial dan budaya; (2) Tujuan : sesuatu keadaan yang dicapai di masa
yang akan datang. Di dalam perencanaan tata ruang, tujuan rencana adalah kondisi tata ruang
yang diinginkan oleh masyarakat (bersama pemerintah); (3) Arah Rencana : pedoman untuk
mencapai rencana dengan cara yang legal, efisien, dan terjangkau oleh pelaksana. Dengan
demikian, perencanaan kota juga menyangkut perencanaan tata ruang yang merupakan ruang
lingkup dari penataan ruang kota (Tjahjati dan Bulkin dalam Nurmandi, 2006:222).
Menurut Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju (2011:391) penaatan ruang yaitu wujud
pola dan struktur ruang yang terbentuk secara alamiah dan juga sebagai wujud dari hasil
proses-proses alam maupun dari hasil proses sosial akibat adanya pembelajaran (learning
process) yang terus menerus. Pada dasarnya penataan ruang diselenggarakan secara
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
proporsional oleh pemerintah dan masyarakat. Adapun kegiatan penyelenggaran penataan
ruang meliputi pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pelaksanaan. Sementara itu,
pelaksanaan penataan ruang terdiri dari perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang (Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju, 2011:394).
Perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan
agar terwujudnya alokasi ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbangan antar wilayah
(Supriyatno, 2009:72). Sementara itu, pemanfaatan ruang dapat dilaksanakan baik secara
vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi. Contoh pemanfaatan ruang vertikal
misalnya berupa bangunan bertingkat, baik di atas tanah maupun di dalam bumi. Untuk
pemanfaatan ruang lainnya di dalam bumi, antara lain untuk jaringan utilitas (jaringan
transmisi listrik, jaringan telekomunikasi, jaringan pipa air bersih) dan jaringan kereta api
maupun jaringan jalan bawah tanah. Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang
dietetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan
tanah, air, udara dan sumber daya lain (Supriyatno, 2009:101).
Adapun pengendalian pemanfataan ruang merupakan suatu piranti manajemen
pengelolaan kota yang sangat diperlukan oleh manajer kota untuk memastikan bahwa
perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pemanfaatan ruangnya telah berlangsung sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang diperlukan untuk
menghindarkan terjadinya penyimpangan fungsi ruang yang tidak terkendali dan tidak terarah
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang (Ibrahim, 1998:2). Dengan
demikian, dalam rangka mengendalikan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan Rencana Tata
Ruang, maka perlu dilakukan dua tahap kegiatan yaitu sebagai berikut : (1) tahap pengawasan
: usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan
RTR. Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk mengikuti dan mendata perkembangan
pelaksanaan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak sehingga apabila terjadi
penyimpangan perencanaan yang telah ditetapkan dapat diketahui dan dilakukan upaya
penyelesaiannya. Kegiatan pengawasan mencakup pelaporan dan pemantauan. Sementara itu,
penertiban adalah usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang
direncanakan dapat terwujud. Tindakan penertiban ini dilakukan dalam bentuk pengenaan
sanksi, baik hukum maupun denda atas penyimpangan RTR (Ibrahim, 1998:9-11).
Pendapat yang hampir sama mengenai kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang juga
dikemukakan oleh Sadyohutomo. Menurut Sadyohutomo (2008:48) pengendalian
pemanfaatan ruang merupakan upaya pengendalian yang meliputi pemantauan, evaluasi, dan
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
pengawasan. Upaya pengendalian diawali dengan kegiatan pemantauan terhadap penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah/ruang. Data hasil pemantauan kemudian dievaluasi
apakah ada indikasi penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan pemerintah. Apabila ada indikasi pelanggaran, maka dilakukan kegiatan
pengawasan, yaitu dengan verifikasi. Hasil verifikasi dituangkan dalam pelaporan sebagai
bahan rumusan tindakan penertiban yang diperlukan. Tindakan penertiban diserahkan kepada
pihak yang berwenang dalam penegakkan hukum dan petugas ketertiban. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang adalah kegiatan yang
dilakukan untuk mewujudkan tertib ruang melalui pengawasan dan penertiban pemanfaatan
ruang yang kemudan didukung oleh instrumen perizinan, peraturan zonasi, insentif dan
disinsentif serta pengenaan sanksi.
Perizinan adalah salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang bertujuan
untuk menjaga agar pemanfaatan ruang dapat berlangsung sesuai dengan fungsi ruang yang
telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Untuk itu perizinan pemanfaatan ruang harus
dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang (Supriyatno, 2009:107). Adapun Lea dan
J.M Courtney dalam Nurmandi (2006:163) menyebutkan jenis-jenis izin untuk pengendalian
tata guna lahan terdiri dari enam jenis perizinan, yakni izin gangguan, izin prinsip, izin lokasi,
izin perencanaan, izin usaha, dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sementara itu, Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) adalah izin yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada
orang pribadi atau badan hukum untuk mendirikan bangunan yang dimaksudkan agar
pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan tata ruang yang berlaku dan sesuai dengan
syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut (Sutedi, 2011:196). IMB
akan diterbitkan setelah segala persyaratan teknis pembangunan fisik seperti rencana tata
letak, bentuk arsitektur, lanskap, dan aspek lingkungan serta fisiografis untuk jenis, bentuk,
fungsi, penggunaan, dan keadaan lingkungan dipenuhi (Nurmandi, 2006:162).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Creswell (2010:4),
penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna
yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau
kemanusiaan. Penelitian kualitatif digunakan peneliti untuk mendapatkan pemahaman atau
pemaknaan secara mendalam mengenai gejala sosial dengan melihat fakta-fakta alamiah yang
terjadi di lapangan yang kemudian dapat diambil sebagai suatu pemahaman baru dari fakta-
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
fakta tersebut yakni dengan menjelaskan mengenai pengendalian pemanfaatan ruang melalui
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Bogor.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pengumpulan data kualitatif, yaitu studi lapangan (field research) dan studi kepustakaan
(library research). Peneliti melakukan studi lapangan melalui wawancara mendalam dan
observasi, sedangkan studi kepustakaan dilakukan dengan melakukan studi terhadap bahan-
bahan kepustakaan, seperti buku, jurnal, internet, serta dokumen-dokumen instansi yang
terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di
Kota Bogor. Sementara itu, teknik analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis data
model Miles dan Huberman yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan menarik
simpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:15).
Hasil dan Pembahasan
Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mewujudkan tertib tata ruang melalui pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang.
Adapun untuk pengendalian pemanfaatan ruang yang sudah dilaksanakan di Kota Bogor
masih berkisar pada diterapkannya mekanisme perizinan yaitu melalui Izin Mendirikan
Bangunan (IMB). Hal ini disebabkan oleh Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Bogor
yang masih menunggu persetujuan substantif di Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Selain itu,
mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang juga belum lengkap karena belum memiliki
aturan zonasi, aturan insentif, dan disinsentif.
Pada bagian ini memaparkan Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui IMB di Kota
Bogor yang dibagi menjadi empat subbab utama yaitu pengendalian pemanfaatan ruang
melalui IMB dilihat dari aspek pengawasan, pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB
dilihat dari aspek penertiban, unsur masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang
melalui IMB serta faktor yang mendukung dan menghambat dalam pengendalian
pemanfaatan ruang melalui IMB.
Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui IMB di Kota Bogor dilihat dari Pengawasan
Pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor dilihat dari aspek
pengawasan mencakup adanya kewenangan aktor-aktor yang terlibat, bentuk pengawasan dari
aktor-aktor yang terlibat, dan koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat.
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
Kewenangan Aktor-Aktor yang Terlibat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang
melalui IMB di Kota Bogor dilihat dari Pengawasan
1) Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor
Kewenangan yang dimiliki oleh Bappeda Kota Bogor meliputi kewenangan untuk
merumuskan kebijakan perencanaan tata ruang Kota Bogor dan memberikan Izin Penggunaan
Pemanfaatan Tanah (IPPT). Pertama, kewenangan merumuskan kebijakan perencanaan tata
ruang telah diwujudkan melalui Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor 2011-2031. Peraturan Daerah tersebut
merupakan pedoman untuk melaksanakan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang di Kota
Bogor. Kedua, kewenangan untuk memberikan IPPT ini tercantum pada Peraturan Walikota
Bogor Nomor 29 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Penandatanganan Pelayanan
Perizinan dan Non Perizinan di Kota Bogor.
2) Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPPTPM) Kota Bogor
Kewenangan yang dimiliki oleh BPPTPM Kota Bogor adalah kewenangan
pemrosesan dan penandatanganan perizinan IMB oleh Kepala Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu dan Penanaman Modal Kota Bogor sesuai ketentuan yang berlaku. Kewenangan
pemrosesan dan penandatanganan IMB tersebut telah dilimpahkan kepada BPPTPM
berdasarkan Peraturan Walikota Bogor Nomor 29 Tahun 2011 tentang Pelimpahan
Kewenangan Penandatanganan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan di Kota Bogor.
3) Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) Kota Bogor
Kewenangan yang dimiliki oleh Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman
(Wasbangkim) Kota Bogor adalah merumuskan kebijakan perencanaan tata ruang, melakukan
kegiatan pengawasan dan pengendalian kegiatan pemanfaatan ruang dan bangunan. Pertama,
kewenangan merumuskan kebijakan perencanaan tata ruang Kota Bogor sendiri telah
dituangkan ke dalam Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor 2011-2031. Kedua, kewenangan untuk melakukan
kegiatan pengawasan dan pengendalian kegiatan pemanfaatan ruang dan bangunan.
Kewenangan pengawasan yang dilakukan oleh Wasbangkim yaitu pengawasan IMB terhadap
bangunan gedung.
4) Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor
Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi C DPRD Kota Bogor adalah melakukan
pengawasan pembangunan. Pengawasan pembangunan yang dilakukan oleh Komisi C DPRD
Kota Bogor yaitu pengawasan infrastruktur, site plan, dan perizinan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kota Bogor.
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
5) Kecamatan di Kota Bogor
Kewenangan yang dimiliki oleh Kecamatan di Kota Bogor adalah : (1) melakukan
pendataan terhadap bangunan dan bangun bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya,
tanpa izin, dan melanggar ketentuan yang berlaku, (2) memfasilitasi pelaksanaan pengawasan
dan pengendalian pembangunan di wilayah kerjanya. Sementara itu, kecamatan juga
melakukan persetujuan dan pengesahan atas surat persetujuan tetangga.
Bentuk Pengawasan dari Aktor-Aktor yang Terlibat
Pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor dapat ditinjau dari
bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat. Pengawasan yang
dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat merupakan suatu usaha untuk menjaga kesesuaian
pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dengan rencana tata ruang.
1) Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor
Bappeda Kota Bogor melakukan cek peruntukan ruang, pembahasan IMB, dan
meninjau lokasi IPPT. Bentuk pengawasan tersebut juga memiliki permasalahan yaitu RTRW
Kota Bogor yang sifatnya makro dapat menimbulkan interpretasi peruntukan ruang dan
pembahasan IPPT yang sarat kepentingan. Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan zonasi
yang sifatnya mengikat pemanfaatan ruang dan adanya kerjasama antara pemohon IPPT
dengan pemerintah dalam pengkajian ketentuan teknis agar IPPT yang diajukan oleh
pemohon dapat terbit.
2) Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPPTPM) Kota Bogor
BPPTPM Kota Bogor melakukan pengawasan dengan memeriksa berkas administrasi
dan teknis serta meninjau lokasi permohonan IMB. Permasalahannya adalah adanya kesan
pembiaran oleh BPPTPM ketika menemukan bangunan yang sudah berdiri sebelum IMB
terbit. Hal ini dapat ditemukan BPPTPM ketika BPPTPM melakukan survei ke lokasi
permohonan IMB.
3) Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) Kota Bogor
Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Wasbangkim adalah pemantauan bangunan
gedung. Pemantauan bangunan gedung ini bermasalah ketika Wasbangkim tidak memiliki
data yang valid mengenai jumlah bangunan yang ada di Kota Bogor baik bangunan yang
memilliki IMB atau yang tidak memiliki IMB. Sementara itu, di Kota Bogor juga masih dapat
ditemukan bangunan yang melanggar ketentuan IMB. Selain itu, pemantauan bangunan
gedung yang tidak berkelanjutan juga menunjukkan lemahnya pengawasan yang dilakukan
oleh Wasbangkim.
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
4) Komisi C DPRD Kota Bogor
Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Komisi C DPRD Kota Bogor adalah
melalaui inspeksi mendadak. Namun demikian, pada kenyataannya inspeksi mendadak ini
belum dapat mengurangi jumlah bangunan yang melanggar di Kota Bogor. Hal ini disinyalir
bahwa terdapat ketidaktegasan Komisi C DPRD Kota Bogor dalam melakukan pengawasan
terhadap kegiatan pembangunan di Kota Bogor. Untuk itu, pengawasan yang dilakukan oleh
Komisi C DPRD Kota Bogor dinilai masih rendah.
5) Kecamatan di Kota Bogor
Kecamatan memiliki bentuk pengawasan berupa pengesahan surat persetujuan
tetangga dan pendataan bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, tanpa izin, dan
melanggar ketentuan yang berlaku. Namun pada pelaksanannya, aparat kecamatan belum
secara aktif melakukan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan di masing-masing
wilayahnya. Hal ini dapat dilihat dari minimnya data yang dimiliki oleh Kecamatan mengenai
bangunan yang ada baik yang memiliki IMB atau yang melanggar IMB.
Koordinasi Antar Aktor-Aktor yang Terlibat
Koordinasi antar aktor-aktor dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB
yang dilihat dari pengawasan pada dasarnya dimulai saat pemrosesan IPPT dan pemrosesan
IMB. Berikut ini penjelasan mengenai koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat dalam
pemrosesan IPPT dan IMB.
Koordinasi dalam Pemrosesan IPPT
Koordinasi dimulai ketika pembahasan IPPT dilakukan oleh perwakilan BKPRD
(Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah). Perwakilan BKPRD mencakup perwakilan dari
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (DLLAJ), Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH), Dinas Bina Marga dan
Sumber Daya Air, dan Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman. Sementara itu, hasil
koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat pembahasan IPPT telah dituangkan dalam berita
acara.
Berita acara IPPT tersebut menunjukkan bahwa sudah adanya koordinasi antar aktor-
aktor yang terlibat. Koordinasi ini berjalan ketika permohonan IPPT dibahas oleh tim
BKPRD. Sementara itu, dengan adanya berita acara IPPT juga semakin mendorong
terjalinnya koordinasi oleh tim BKPRD. Selain itu, koordinasi yang dituangkan dalam berita
acara IPPT juga digunakan untuk meminimalkan adanya perbedaan informasi antara aktor-
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
aktor yang terlibat. Adanya koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat dalam pembahasan
IPPT ini menentukan hasil permohonan IPPT apakah ditolak atau disetujui. Pembahasan IPPT
oleh tim BKPRD merupakan suatu bentuk pengawasan terhadap pemanfaatan ruang. Hal ini
disebabkan ketika IPPT dibahas akan dinilai apakah sudah sesuai dengan ketentuan teknis.
Koordinasi dalam Pemrosesan IMB
Koordinasi dalam pemrosesan IMB dimulai dari grass root perizinan yaitu saat
pengurusan surat persetujuan tetangga yang harus diketahui oleh Ketua RT, Ketua RW,
Kelurahan dan Kecamatan pada lokasi didirikannya pembangunan. Jika Ketua RT dan RW
setempat telah menandatangani surat tersebut, yang sebelumnya juga sudah ditandatangani
oleh warga yang lokasinya berada di sebelah kiri, kanan, depan, dan belakang dari
pembangunan tersebut, maka surat diteruskan ke Kelurahan untuk disetujui oleh Lurah
setempat. Pihak Kelurahan akan berkoordinasi dengan Kecamatan untuk dikeluarkannya atau
disahkannya surat persetujuan izin tetangga. Pada level grass root ini sudah terjalin
koordinasi, meskipun ada pemilik bangunan gedung yang membuat surat persetujuan tetangga
yang lokasinya tidak terlalu berdekatan dengan pembangunan tersebut.
Surat persetujuan tetangga tersebut nantinya akan digunakan untuk memenuhi
persyaratan permohonan IMB ke BPPTPM Kota Bogor. BPPTPM sebagai pihak yang
mengeluarkan IMB akan berkoordinasi dengan Wasbangkim mengenai IMB yang telah terbit.
Namun, yang perlu dicatat adalah pihak kecamatan dan kelurahan tidak mengetahui terbit atau
tidaknya IMB oleh BPPTPM. Hal ini menggambarkan koordinasi terputus dari level
Kecamatan dan Kelurahan ke aktor pelaksana perizinan yakni BPPTPM. Selain itu, kondisi
ini menyebabkan tidak terpantaunya IMB oleh pihak Kecamatan dan Kelurahan setempat
karena pemilik IMB tidak berkewajiban untuk melaporkan IMB yang sudah dimiliki kepada
Kelurahan dan Kecamatan setempat.
Koordinasi BPPTPM dengan Wasbangkim dimulai ketika BPPTPM melimpahkan
berkas IMB yang telah diterbitkan oleh BPPTPM kepada Wasbangkim. Selanjutnya,
Wasbangkim akan melakukan pengawasan terhadap IMB yang telah diterbitkan. Namun
demikian, yang menjadi masalah di lapangan adalah ketika Wasbangkim akan melakukan
koordinasi dengan pemilik IMB yang tidak ada di lokasi pembangunan. Padahal,
Wasbangkim sangat memerlukan keterangan dari pemilik bangunan atau pemilik IMB apabila
pembangunan yang dilaksanakan tidak sesuai atau melanggar ketentuan IMB. Koordinasi
yang tidak terjalin dengan pemilik bangunan pada dasarnya dapat memperlambat pengawasan
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
yang dilakukan oleh Wasbangkim. Hal ini juga dialami oleh aparat Kecamatan ketika
menemukan bangunan yang melanggar ketentuan IMB.
Koordinasi selanjutnya adalah koordinasi antara Kecamatan dengan Wasbangkim
dalam hal pendataan bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, tanpa izin, dan
melanggar ketentuan yang berlaku. Namun demikian, koordinasi yang terjalin antara
Kecamatan dan Wasbangkim belum dilakukan secara intens. Kurangnya koordinasi antara
Kecamatan dengan Wasbangkim juga dirasakan oleh aparat Kecamatan di Kota Bogor
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota
Bogor dilihat dari Penertiban
Pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor dilihat dari aspek
penertiban mencakup adanya kewenangan aktor-aktor yang terlibat, bentuk penertiban oleh
aktor-aktor yang terlibat, dan koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat.
Kewenangan Aktor-Aktor yang terlibat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang
melalui IMB di Kota Bogor dilihat dari Penertiban
1) Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) Kota Bogor
Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) Kota Bogor memiliki
kewenangan dalam hal penertiban bangunan gedung. Bangunan gedung yang akan ditertibkan
meliputi sebagai berikut : bangunan gedung yang didirikan tanpa kepemilikan IMB, bangunan
gedung yang didirikan tidak sesuai dengan IMB yang diterbitkan, dan bangunan gedung yang
dimanfaatkan tidak sesuai dengan IMB.
2) Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor
Kewenangan yang dimiliki oleh Satpol PP Kota Bogor adalah melakukan
penyelidikan, penindakan, dan penegakan peraturan daerah. Sementara itu, pelaksanaan
kegiatan penyelidikan, penindakan, dan penegakan peraturan daerah oleh Satpol PP Kota
Bogor pada dasarnya mengacu kepada Peraturan Walikota Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Bangunan Gedung dan Peraturan Walikota Nomor 20
Tahun 2010 tentang Pedoman Operasional Tetap (PROTAP) Satpol PP Kota Bogor.
Pelaksanaan penegakan peraturan daerah dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang
melalui IMB adalah dengan melakukan penertiban bangunan gedung. Penertiban bangunan
gedung adalah serangkaian tindakan untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan
gedung sehingga sesuai dengan ketentuan teknis, administrasi, dan perizinannya sesuai
peraturan perundang-undangan.
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
Bentuk Penertiban dari Aktor-Aktor yang Terlibat
Penertiban yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat merupakan suatu usaha untuk
mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Tindakan
penertiban ini dilakukan melalui pemeriksaan dan penyidikan atas semua pelanggaran yang
dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang (Bakar,
2008:7). Oleh karena itu, optimalisasi penertiban yang dilakukan oleh aktor-aktor yang
terlibat dapat dilihat dari bentuk penertiban yang dilakukan tersebut berjalan dengan baik atau
dengan kata lain tidak menemui permasalahan ketika di lapangan.
1) Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) Kota Bogor
Tindakan penertiban bangunan gedung yang dilakukan oleh Wasbangkim meliputi :
pemberian teguran tertulis pertama, pemberian teguran tertulis kedua, dan pemberian teguran
tertulis ketiga. Setiap penyampaian teguran tertulis nantinya akan dibuatkan tanda terima yang
ditandatangani oleh pemilik bangunan. Jika teguran tertulis ketiga tidak dihiraukan oleh
pemilik bangunan, maka Wasbangkim akan melimpahkan bangunan gedung yang melanggar
tersebut kepada Satpol PP. Bangunan gedung yang dilimpahkan kepada Satpol PP merupakan
bagunan gedung yang akan diberikan tindakan polisionil. Pada kenyataannya di lapangan,
Wasbangkim mengalami kesulitan dalam memberikan teguran tertulis kepada pemilik
bangunan gedung. Hal ini disebabkan oleh pemilik bangunan gedung tidak berada di lokasi
pembangunan. Sementara itu, surat teguran ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan
oleh Wasbangkim agar pemilik bangunan dapat memperbaiki pelanggaran yang dilakukan.
2) Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor
Bentuk penertiban yang dilakukan Satpol PP dalam menertibkan bangunan gedung
disebut sebagai tindakan polisionil. Adapun sebelum tindakan polisionil dilaksanakan oleh
Satpol PP, Satpol PP memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan.
Kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan oleh Satpol PP yang
memiliki kedudukan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Prosedur penyegelan yang dilakukan Satpol PP meliputi pemberian surat peringatan
pertama, kedua, dan ketiga. Sementara itu, untuk jangka waktu surat peringatan pertama,
kedua, dan ketiga adalah tujuh hari kalender. Selain itu, Satpol PP juga akan memberitahukan
waktu penyegelan kepada pemilik bangunan. Selanjutnya, tindakan penyegelan ini dapat
berlanjut pada tindakan pembongkaran apabila pemilik bangunan tidak mengurus Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) atau tidak memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukan.
Tindakan pembongkaran dilakukan terhadap semua jenis bangunan yang melanggar, baik
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
bangunan dengan suatu perhitungan konstruksi maupun tanpa perhitungan konstruksi. Selain
itu, bentuk penertiban bangunan gedung yang dilakukan Satpol PP Kota Bogor hanya sebatas
pada tindakan penyegelan bangunan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya anggaran untuk
tindakan pembongkaran. Anggaran untuk tindakan pembongkaran tersebut dikeluarkan oleh
pemilik bangunan sendiri. Hal ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Bangunan Gedung.
Koordinasi antar Aktot-Aktor yang Terlibat
Pengendalian pemanfaatan ruang pada hakikatnya memiliki sifat lintas sektor yang
pelaksanaannya melibatkan lebih dari satu aktor. Dengan demikian, keberhasilan penertiban
sangat ditentukan oleh kerjasama antar aktor-aktor yang bersangkutan, dimana koordinasi
memainkan peranan yang sangat penting. (Direktorat Perkotaan, Tata ruang dan Pertanahan,
Bappenas, 2006). Selain itu, masing-masing aktor yang terlibat memiliki kewenangan yang
saling terkait. Oleh karena itu, diperlukan adanya koordinasi supaya pengendalian
pemanfaatan ruang melalui IMB yang dilihat dari penertiban dapat dijalankan secara optimal.
Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) merupakan aktor yang
bersifat mengkoordinir instansi terkat penertiban bangunan gedung. Koordinasi dalam
penertiban bangunan gedung ini melibatkan Wasbangkim dengan Satpol PP. Koordinasi
antara Wasbangkim dengan Satpol PP memang sangat diperlukan untuk menentukan upaya
atau tindakan yang akan diambil selanjutnya oleh Satpol PP. Namun demikian, pada
pelaksanaannya Wasbangkim seringkali tidak menerima laporan mengenai tindak lanjut atas
bangunan yang telah ditertibkan Satpol PP. Sama halnya dengan Wasbangkim, Satpol PP juga
terkadang tidak menerima limpahan bangunan yang harus ditertibkan dari Wasbangkim.
Adanya bangunan yang melanggar tetapi tidak dilimpahkan ke Satpol PP dapat menimbulkan
kesan pembiaran terhadap bangunan yang melanggar IMB. Hal ini menunjukkan kurangnya
koordinasi antara Satpol PP dengan Wasbangkim.
Unsur Masyarakat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui IMB di Kota
Bogor
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang RTRW Kota
Bogor 2011-2031, masyarakat memiliki hak dan kewajiban dalam urusan pengendalian
pemanfaatan ruang. Hak masyarakat yaitu : berperan serta dalam proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sementara itu, kewajiban
masyarakat yaitu : berlaku tertib dalam keikutsertaannya dalam proses perencanaan tata
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai peraturan
perundangan-undangan, mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pada
kenyataannya masyarakat di Kota Bogor belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya
dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB. Salah satu kewajiban tersebut
adalah masyarakat harus memiliki IMB atas rumah tinggal yang ditempati. Adanya
masyarakat yang belum memiliki IMB ini disebabkan oleh tidak adanya uang untuk mengurus
IMB ke BPPTPM Kota Bogor.
Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bogor 2011-
2031 juga menjelaskan mengenai peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Peran masyarakat tersebut adalah : (1) pengawasan terhadap pemanfaatan ruang, termasuk
pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang, (2) bantuan pemikiran atau
pertimbangan berkenaan dengan pengendalian pemanfaatan ruang. Sementara itu, peran
masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat disampaikan secara lisan atau
tertulis kepada SKPD terkait dan Walikota. Sementara itu, untuk peran masyarakat dalam
pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor dapat diketahui dari adanya
laporan pengaduan mengenai bangunan-bangunan yang melanggar ketentuan IMB.
Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui
IMB di Kota Bogor
Faktor yang mendukung pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor
adalah sosialisasi IMB oleh BPPTPM, peran masyarakat dan LSM, serta sarana dan
prasarana. Pertama, sosialisasi IMB yang dilakukan oleh BPPTPM kepada masyarakat ini
berguna agar masyarakat mengetahui adanya kewajiban memiliki IMB apabila ingin
mendirikan bangunan gedung. Sosialisasi ini dapat menyadarkan masyarakat untuk segera
mengurus IMB sehingga mengurangi jumlah bangunan yang tidak memiliki IMB di Kota
Bogor. Kedua, melalui peran masyarakat dan LSM terhadap pengendalian pemanfaatan ruang
melalui IMB, maka masyarakat dan LSM dapat melakuan kontrol sosial. Peran masyarakat
dan LSM dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB dapat berdampak positif
terhadap pengendalian jumlah bangunan yang tidak berizin dan tidak sesuai dengan ketentuan
teknis IMB.
Ketiga, sarana dan prasarana bermanfaat untuk menunjang pelaksanaan tugas pokok
dan fungsi aktor-aktor yang terlibat dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di
Kota Bogor. Sarana dan prasarana dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB
biasanya digunakan untuk kegiatan pelayanan IMB, pengawasan IMB bangunan gedung dan
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
penertiban bangunan gedung. Sarana dan prasarana tersebut adalah mobil keliling yang dapat
digunakan untuk memberikan pelayanan perizinan tambahan kepada masyarakat, alat meter
untuk mengukur ketentuan teknis bangunan, kamera dalam rangka survei ke wilayah, alat
transportasi seperti mobil dan motor dinas patroli untuk Satpol PP Kota Bogor.
Faktor yang menghambat pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota
Bogor adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM), keterbatasan sumber daya finansial,
dan belum lengkapnya peraturan hukum mengenai IMB. Pertama, keterbatasan SDM mulai
dirasakan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB
di Kota Bogor : (a) keterbatasan SDM pada bidang pengawasan dan pengendalian serta
bidang tata ruang dialami oleh Wasbangkim baik dari segi kualitas dan kuantitas, (b)
keterbatasan SDM yang dirasakan oleh Bappeda Kota Bogor hanya dari segi kuantitas SDM.
Kedua, adanya keterbatasan sumber daya finansial ini dialami oleh Satpol PP kota
Bogor. Sumber daya finansial ini sangat dibutuhkan untuk melakukan tindakan
pembongkaran terhadap bangunan yang melanggar IMB. Keterbatasan sumber daya finansial
yang dialami Satpol PP Kota Bogor pada dasarnya disebabkan oleh tidak diaturnya komponen
biaya pembongkaran pada Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Bangunan Gedung. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Bangunan Gedung, menyatakan bahwa apabila pemilik bangunan gedung tidak melakukan
pembongkaran dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, pembongkarannya
dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas biaya pemilik bangunan gedung. Pada kenyataannya
di Kota Bogor, upaya pembongkaran sangat sulit dijalankan apabila pemilik bangunan yang
harus mengeluarkan biaya untuk membongkar gedung. Ketiga, belum lengkapnya perangkat
hukum ini ditandai dengan belum adanya aturan-aturan turunan dari peraturan daerah yang
bersifat teknis dan detail sebagai payung hukum. Perangkat hukum yang belum lengkap
adalah Peraturan Daerah tenatang Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan peraturan zonasi,
ketentuan insentif dan disinsentif. Selain itu, aturan turunan terkait dengan pengenaan denda
10% terhadap bangunan yang melanggar IMB juga belum dimiliki oleh Kota Bogor.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka simpulan yang dapat
diberikan pada penelitian ini adalah :
1) Pengendalian pemanfaatan ruang melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota
Bogor dapat dikatakan belum berjalan secara optimal. Hal ini dilihat dari dua aspek yakni
pengawasan dan penertiban. Dari segi pengawasan : adanya pembagian tugas yang jelas
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
antar aktor-aktor yang terlibat masih disertai dengan minimnya tanggung jawab atas
pelaksanaan kewenangan yang diberikan, bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aktor-
aktor yang terlibat belum mampu mengendalikan kegiatan pemanfaatan ruang melalui
IMB di Kota Bogor, dan koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat belum terjalin secara
intens. Dari segi penertiban : pelaksanaan kewenangan oleh aktor-aktor yang terlibat
belum dijalankan dengan baik dan masih dijumpai adanya pemasalahan dalam
pelaksanaan kewenangan tersebut, bentuk penertiban yang dilakukan oleh aktor-aktor
yang terlibat belum secara maksimal menertibkan bangunan gedung yang melanggar IMB
di Kota Bogor, serta koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat belum terjalin secara
maksimal.
2) Unsur masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor
belum sepenuhnya memenuhi kewajiban mengurus IMB tetapi sudah melaksanakan
perannya untuk mengawasi pemanfaatan ruang di Kota Bogor.
3) Faktor penghambat dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB antara lain
keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan sumber daya finansial, dan belum
lengkapnya perangkat hukum.
4) Faktor pendukung dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB antara lain peran
LSM dan masyarakat, sosialisasi kepada masyarakat, sarana dan prasarana.
Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1) Dari segi pengawasan : (a) Pemerintah Kota Bogor perlu membuat sistem perizinan yang
bersifat online atau IMB online. Sistem online ini dapat memudahkan bentuk pengawasan
yang dilakukan oleh SKPD terkait, (b) aktor-aktor yang terlibat perlu meningkatkan
koordinasi seperti melalui rapat yang dijalankan secara rutin.
2) Dari Segi Penertiban : (a) Pemerintah Kota Bogor perlu meningkatkan kinerja Satpol PP
dengan merevisi Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2006 tentang Bangunan
Gedung yang selama ini tidak mengatur mekanisme pembongkaran dan aturan
pembiayaan pembongkaran bangunan gedung yang melanggar, (b) Pemerintah Kota
Bogor harus segera menyusun aturan turunan terkait dengan denda 10% terhadap
bangunan-bangunan yang melanggar. Aturan denda ini sebagai bentuk punishment bagi
pemilik bangunan yang melanggar.
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014
Daftar Referensi
1. Creswell, John W. (2010). Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches Third Edition. Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE
Publications, Inc.
2. Ernan Rustiadi, Sunsun Saefulhakim, dan Dyah R. Panudju. (2009). Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. Crestpent Press.
3. Ibrahim, Syahrul. (1998, Mei). Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Wilayah
Kabupaten Dati II. Jurnal PWK ITB Vol 9 No.2
4. Kay, Robert dan Jacqueline Alder. (2002). Coastal Planning and Management.
London dan New York: Routledege
5. Leman, Edward. (1994, Februari). Urban Management : A Primer. UMP Asia
Occasional Paper. No 3
6. Miles, Matthew B., dan A Michael Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif : Buku
Sumber tentang Metode-Metode Baru (Tjetjep Rohendi Rohidi, Penerjemah). Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
7. Nurmandi, Achmad. (2006). Manajemen Perkotaan : Aktor, Organisasi, Pengelolaan
Daerah Perkotaan dan Metropolitan di Indonesia. Yogyakarta: Sinergi Publishing
8. Sadyohutomo, Mulyono. (2008). Manajemen Kota dan Wilayah : Realitas dan
Tantangan. Jakarta: PT.Bumi Aksara
9. Supriyatno, Budi. (2009). Manajemen Tata Ruang. Tangerang: CV Media Berlian.
10. Sutedi, Adrian. Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta: Sinar
Grafika
Pengendalian pemanfaatan..., Rizki Aulia, FISIP UI, 2014