Upload
doandang
View
262
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PENGELOLAAN SAWAH SALIN BERKADAR GARAM TINGGI
@2018 IAARD PRESS
Edisi 1: 2018
Hak cipta dilindungi Undang-undang
@IAARD PRESS
Katalog dalam terbitan (KDT)
PENGELOLAAN SAWAH SALIN BERKADAR GARAM TINGGI / Achmad Rachman,
Ai Dariah, S. Sutono.-Jakarta : IAARD Press, 2018.
xi, 60 hlm.; 21 cm.
ISBN: 978-602-344-2324 631.413.1
1. Lahan sawah 2. Salinitas 3. Pembenah Tanah
I. Dariah, Ai II. Sutono, S. III. Judul
Penyusun:
Achmad Rachman
Ai Dariah
S. Sutono
Editor :
Supriyadi
I Nyoman Widiarta
Penyunting :
Joko Purnomo
Neneng L. Nurida
Perancang cover dan Tata Letak :
Tim Kreatif IAARD Press
Penerbit
IAARD PRESS
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Jl, Ragunan No 29, Pasar Minggu, Jakarta 12540
Email: [email protected]
Anggota IKAPI No: 445/DKI/2012
i
PENGANTAR
uas lahan sawah terpapar air laut belum terinventarisasi
dan terdeleniasi dalam sebuah data spasial, tetapi
dampaknya telah dirasakan oleh petani terutama karena
adanya kematian tanaman padi berumur muda. Air laut yang
masuk ke dalam petakan sawah dapat menyebabkan meningkatnya
kandungan natrium, baik pada air yang menggenangi maupun
pada tanah yang menjadi media perakaran tanaman padi. Kadar
garam di dalam tanah dan air genangan disebut salin, sehingga
dikenal penggolongan lahan dengan salinitas sangat rendah,
rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Meningkatnya salinitas
dapat menyebabkan hasil padi turun, penurunan dapat mencapai
90 % pada sawah dengan tingkat salinitas tinggi sampai sangat
tinggi. Dalam rangka menghindarkan terjadinya kerugian tersebut
diperlukan informasi dan teknik penanggulangan tanah salin
Buku ini memberikan informasi bahwa tanah salin itu ada dan
makin luas, serta teknik bercocok tanam padi pada tanah yang
terpapar air laut dan natrium dari sumber non laut. Budi daya padi
pada lahan salin dapat dilakukan dengan syarat didahului dengan
menurunkan kejenuhan natrium dan membuangnya dari daerah
perakaran, serta menghentikan aliran sumber natrium masuk ke
petakan sawah, melakukan tindakan rehabilitasi lahan dan
pemupukan dengan jenis, waktu, jumlah yang tepat. Keberhasilan
budi daya padi pada lahan sawah bertanah salin dapat mendukung
program Swa Sembada Pangan.
L
ii
Kami sampaikan terima kasih kepada penyusun dan berharap
semoga buku ini bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas
lahan sawah berkadar garam tinggi, sehingga menguntungkan bagi
petani.
Bogor, Juli 2018
Editor
iii
PRAKATA
ebuah pertanyaan menarik dilontarkan seorang peserta
seminar tentang pengelolaan lahan sawah, bagaimana
caranya menanggulangi tanaman padi muda yang daunnya
mengering dimulai dari daun tua kemudian ke yang muda dan
warnanya coklat, apakah kekurangan hara nitrogen. Pertanyaan ini
menjadikan dialog yang berkepanjangan antara penanya dengan
pemakalah. Akhirnya teridentifikasi bahwa tanaman padi pada
lahan sawah tersebut mati sebagai akibat meningkatnya aliran air
laut yang masuk ke petakan sawah. Tanaman padi mengering
manakali air menggenangi lahan tempat tumbuhnya. Inilah ciri
utama bahwa lahan sawah tersebut tercemar oleh natrium dan
kandungannya meningkat di atas ambang batas toleransi tanaman
padi.
Meningkatnya salinitas pada lahan sawah terjadi di dekat pantai
atau lahan sawah yang mempunyai saluran air terhubung langsung
dengan air laut. Ketika terjadi air laut pasang naik, air laut masuk
ke daratan melalui saluran tersebut kemudian menggenangi lahan
sawah di kiri dan kanan saluran yang membawa air laut berikut
natriumnya. Air bergaram menggenangi lahan sawah mengakibat-
kan sebagian atau seluruh tanaman padi mati. Kematian tanaman
seringkali tidak terjadi bersamaan apalagi ketika air segar berhasil
digelontorkan dan menghanyutkan air bergaram ke luar petakan.
Salinitas berkurang dan tanaman yang telah mati tidak tumbuh
kembali, muncullah gejala tanaman padi mati pada kondisi
tergenang air segar.
Untuk menghindarkan terjadinya peningkatan kadar garam
yang berasal dari air laut yang masuk lewat aliran permukaan
S
iv
dapat dibuat pintu air otomatis. Membuka ketika debit air tawar
meningkat dan air asin menurun dan menutup ketika debit air asin
meningkat dan debit air segar menurun. Tetapi, air asin dari bawah
lapisan bidang olah dapat pula merembes menuju permukaan
tanah melalui daerah perakaran tanaman sehingga lahan sawah
menjadi salin. Jika terjadi seperti yang terakhir maka genangan air
segar (tawar) dapat dipertahankan agar air bernatrium tidak masuk
ke daerah perakaran.
Buku ini diharapkan memberikan sedikit pencerahan teknik
budi daya padi sawah pada lahan yang kadang-kadang salinitasnya
meningkat. Peningkatan salinitas ini kadang lebih merupakan
fenomena yang mudah ditanggulangi dan kadang permanen
sehingga sulit untuk direhabilitasi selain mengeluarkan natrium
yang dipegang oleh butir-butir tanah. Semoga bermanfaat.
Bogor, Juli 2018
Penulis
vi
DAFTAR ISI
PENGANTAR ........................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................ iii
DAFTAR TABEL ................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................ x
Bab 1. PERSEPSI LAHAN SALIN ............................................ 1
Bab 2. LAHAN SAWAH SALIN ............................................... 3
Pendahuluan
Penyebab lahan sawah bergaram tinggi ............................... 4
Mengenal tanah sawah salin ................................................. 10
Proses kematian tanaman padi ............................................ 18
Bab 3. REHABILITASI TANAH SAWAH SALIN ...................... 25
Pembenah tanah Gypsum ..................................................... 31
Pembenah tanah kapur pertanian ........................................ 32
Pembenah tanah SP50 ............................................................ 33
Pembenah tanah Abu Volkanik ........................................... 33
Phytoremediasi Mendong (Fimbristylis umbellaris) ........... 34
Mencegah masuknya air asin ............................................... 35
BAB 4. BUDI DAYA PADI PADA LAHAN SAWAH SALIN .......... 41
Pengenceran konsentrasi natrium ....................................... 41
Pembuangan natrium dari daerah perakaran ................... 42
Pemulihan kesuburan tanah ................................................. 44
Pembuatan pesemaian ........................................................... 46
Penanaman .............................................................................. 48
Pengairan ................................................................................. 49
vii
Pupuk dan pemupukan ......................................................... 50
BAB 5. PENGUKURAN SALINITAS ....................................... 25
Pengukuran di Laboratorium ............................................... 26
Pengukuran salinitas di lapang ............................................ 26
Korelasi pengukuran laboratorium dengan EM38 ........... 30
PENUTUP ......................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 53
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Faktor resiko salinitas sebagai dampak kejadian tsunami . 10
Tabel 2. Kriteria kation natrium, daya hantar listrik dan natrium
dapat ditukar hasil analisis tanah di laboratoium kimia
Balai Penelitian Tanah ........................................................... 11
Tabel 3. Sifat fisika tanah sawah di Desa Cemara Kecamatan
Cantigi, Kabupaten Indramayu yang tercemar air laut sejak
tahun 1970 ............................................................................... 12
Tabel 4. Sifat fisika tanah sawah di Kecamatan Rancaekek,
Kabupaten Bandung yang tercemar limbah pabrik sejak
tahun 1995 ............................................................................... 13
Tabel 5. Sifat kimia tanah sawah di Desa Cemara Kecamatan
Cantigi, Kabupaten Indramayu yang tercemar air laut sejak
tahun 1970 ............................................................................... 14
Tabel 6. Sifat kimia tanah sawah di Kecamatan Rancaekek,
Kabupaten Bandung yang tercemar air limbah pabrik sejak
tahun 1995 ............................................................................... 16
Tabel 7. Pengaruh daya hantar listrik (DHL) terhadap provitas
tanaman .................................................................................. 16
Tabel 8. Kelas dan luas salinitas lahan di Kabupaten Indramayu
pada tahun 2008 ..................................................................... 17
Tabel 9. Perkiraan penurunan hasil tanaman padi pada berbagai
tingkat salinitas (sumber: FAO, 2005) .................................. 19
Tabel 10. Penurunan hasil padi pada lahan tercemar limbah cair
industri di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa
Barat ........................................................................................ 23
ix
Tabel 11. Nama-nama pembenah tanah buatan yang mengandung
Ca tinggi .................................................................................. 32
Tabel 12. Pembenah tanah Volkanorfs yang mengandung Ca > 4%
hasil formulasi Balittanah 2011 ............................................. 34
Tabel 13. Air yang dibutuhkan untuk mencapai EC(e)=4 pada zona
perakaran (kedalaman 20 cm) ............................................... 43
Tabel 14. Faktor konversi hasil pengukuran salinitas dari EC1:5 ke ECe
berdasarkan tekstur tanah. .................................................... 26
Tabel 15. Tingkat salinitas tanah (ECa) diukur menggunakan EM38
pada berbagai tekstur tanah. ................................................. 28
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Padi mati keracunan natrium di Rancaekek, Kabupaten
Bandung ................................................................................. 4
Gambar 2. Pergeseran titik temu air tawar (sungai) dan air asin
(laut) ........................................................................................ 6
Gambar 3. Bandingkan bedanya antara tanaman padi yang
keracunan natrium dan tidak dalam satu hamparan sawah
sebagai akibat masuknya air laut ke lahan sawah. ............. 8
Gambar 4. Hasil identifikasi areal sawah intensif dekat pantai di
Daerah Indramayu yang terkena salinitas (<2
dS/m=rendah; 2-4 dS/m sedang, 4-8 dS/m (tinggi) dan >8
dS/m=sangat tinggi) (Sumber: Marwanto et al, 2009) ......... 9
Gambar 5. Jumlah tanaman yang hidup sejak 1 HST sampai 77 HST
pada percobaan pemulihan lahan akibat intrusi air laut di
Desa Cemara, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu
tahun 2014 ............................................................................ 21
Gambar 6. Perkembangan persentase hidup dan mati tanaman padi
pada sawah dengan salinitas sangat tinggi pada
percobaan pemulihan lahan akibat intrusi air laut di Desa
Cemara, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu tahun
2015. ...................................................................................... 22
Gambar 7. Tanaman mendong(Fimbristylis umbellaris) ....................... 35
Gambar 8. Sketsa pemasangan dan penempatan pintu air untuk
memudahkan aliran air segar ke luar dari parit irigasi
menuju laut. ......................................................................... 37
xi
Gambar 9. Sketsa pintu penahan aliran air laut ketika terjadi pasang
naik, pintu tertutup rapat tidak membiarkan air laut
menerobos. ........................................................................... 38
Gambar 10. Sketsa pintu air dilihat dari arah laut, pintu dibuat untuk
menahan air laut. ................................................................. 39
Gambar 11. Sketsa system pengaturan air masuk dan ke luar pada
sawah terpapar air asin. ...................................................... 44
Gambar 12. Mencabut bibit di pesemaian darat untuk ditranslokasikan
ke sawah terpapar air asin. ................................................. 47
Gambar 13. Tanam padi dengan cara jajar legowo (kiri) dan ketika
berumur 2 minggu setelah tanam (kanan) pada percobaan
di Indramayu. ...................................................................... 49
Gambar 14. Instrumen pengukur salinitas tanah di lapang EM38. ..... 27
Gambar 15. Pengukuran EM38 secara vertikal ..................................... 29
Gambar 16. Pengukuran EM38 secara horizontal ................................. 29
Gambar 17. Korelasi antara salinitas tanah yang diukur menggunakan
EM38 (ECa) dengan pengukuran di laboratorium (ECe). 30
Persepsi Lahan Salin|1
Bab 1. PERSEPSI LAHAN SALIN
Sebagian lahan sawah di pesisir pantai utara P. Jawa pada
musim kemarau dibiarkan bera, sehingga menimbulkan berbagai
pertanyaan kenapa lahan sawah tersebut dibiarkan menganggur?
Memang terdapat pendapat bahwa tanah harus diistirahatkan agar
dapat melakukan pemulihan secara alamiah, namun alasan
pemberaan sawah bukan untuk pemulihan lahan. Petani di
Kabupaten Subang dengan ringan menjawab bahwa air irigasi tidak
mencukupi untuk memelihara padi sampai panen. Sedangkan
petani di pesisir Indramayu menjawab bahwa lahan sawahnya
termasuk lahan tadah hujan. Di pantai utara Jawa Tengah pun
sebagian lahan sawah diberakan sebab tidak ada irigasi dengan
kuantitas maupun kualitas yang dapat diandalkan. Secara kasat
mata irigasi merupakan penyebab utama sawah-sawah tersebut
diberakan, sehingga diperlukan bantuan pompa air agar mampu
mengangkat air tanah untuk dijadikan air irigasi pada lahan sawah
sehingga luas panen bertambah.
Sebagian petani berpendapat akan sia-sia saja jika bertani padi
pada musim kemarau karena hasilnya rendah, lebih besar modal
yang dikeluarkan dibandingkan hasil panen yang akan diperoleh.
Berbagai kemudahan diberikan kepada petani dengan tersedianya
benih, pupuk, dan sarana produksi padi lainnya untuk
menggairahkan petani bertanam pada musim kemarau. Padahal
menurut teori, menanam padi pada musim kemarau mestinya
dapat menghasilkan panen yang lebih banyak dibandingkan
dengan musim penghujan. Namun petani tidak merasakan
2| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
kenaikan hasil, malah merasakan hasil panen sangat rendah.
Kasus-kasus ini sudah berlangsung cukup lama, sehingga perlu
dikaji lebih mendalam apa penyebab keengganan petani bertanam
padi pada musim kemarau.
Jawaban dari permasalahan tersebut hampir semua benar,
bahwa hasil panen tidak memuaskan walaupun telah diberikan
input yang memadai bahkan berlebih. Dari Kabupaten Indramayu
yang lahan sawahnya terletak di pesisir utara diperoleh jawaban
bahwa pada musim kemarau sebagian lahan sawah mengalami
peningkatan kandungan natrium dan daya hantar listrik tanah
sawah pun meningkat. Suatu pertanda bahwa lahan pertanian
mengalami penggaraman atau dengan bahasa lain sering disebut
salinitasnya meningkat. Lahan sawah salin tidak hanya terjadi di
Indramayu, tetapi menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia
yang lahan sawahnya berada di dekat pantai. Petani Cilacap
melaporkan bahwa pada musim tertentu air laut pasang dan masuk
ke lahan pertanian. Setelah terpapar air laut, maka untuk panen
padi harus menanam dua sampai tiga kali dan panennya hanya
sekali.
Tanah salin adalah tanah yang mempunyai kandungan natrium
berada di atas ambang batas kritis atau ambang batas toleransi
tanaman, dalam buku ini yang dimaksud ambang batas kritis untuk
tanaman padi sawah. Natrium (Na) disebut juga sodium dan
dikenal pula dengan garam, kami lebih suka menuliskan natrium
agar tidak bertukar arti dengan garam dalam istilah kimia yang
tidak selalu diartikan natrium.
Lahan Sawah Salin|3
Bab 2. LAHAN SAWAH SALIN
Peningkatan konsentrasi garam dalam tanah merupakan faktor
cekaman lingkungan yang banyak diderita lahan sawah khususnya
yang berdekatan dengan pantai, seperti lahan sawah di Daerah
Pantura (Pantai Utara Jawa), padahal wilayah ini merupakan sentra
produksi utama padi di Indonesia. Oleh karena itu, permasalahan
salinitas merupakan ancaman bagi ketahanan pangan, sehingga
penanggulangan atau rehabilitasi lahan sawah salin harus menjadi
prioritas dalam usaha mempertahankan swasembada pangan.
Tanah salin adalah tanah dengan kandungan garam mudah
larut (NaCl, Na2CO3, Na2SO4) yang tinggi, sehingga berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Baik dan
buruknya pengaruh salinitas dapat disebabkan oleh (1) setiap
spesies tanaman mempunyai tingkat kerentanan tertentu terhadap
salinitas tanah, (2) karakteristik tanah (khususnya tekstur tanah)
dapat mempengaruhi , (3) kandungan air tanah, dan (4) komposisi
garamnya (Djukri, 2009; Yan et al. 2007). Berdasarkan definisi yang
dipakai oleh US Salinity Laboratory dalam Djukri (2009), tanah
tergolong salin apabila ekstrak jenuh dari tanah salin mempunyai
nilai DHL (daya hantar listrik) atau EC (electrical conductivity) lebih
besar dari 4 deci Siemens/m (ekivalen dengan 40 m M NaCl) dan
persentase natrium yang dapat ditukar (ESP= exchangeable sodium
percentage) kurang dari 15.
4| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Penyebab lahan sawah bergaram tinggi
Peningkatan kadar garam dalam tanah umumnya dapat terjadi
karena (1) tingginya input atau masukan air yang mengandung
garam, misalnya akibat terjadinya intrusi air laut (baik yang terjadi
secara berkala atau secara sekaligus seperti akibat tsunami) atau
masuknya aliran air dengan kadar garam tinggi ke saluran irigasi
misalnya akibat pencemaran limbah cair pabrik, (2) lebih tingginya
evaporasi dan evapotranspirasi dibandingkan presipitasi (curah
hujan), dan (3) bahan induk tanah yang mengandung deposit
garam. Oleh karena itu, tanah dengan salinitas tinggi bukan hanya
ditemui di daerah yang berdekatan dengan pantai. Dapat juga
terjadi pada lahan yang berjauhan dengan pantai misal lahan kering
dengan curah hujan yang sangat rendah atau lahan sawah yang air
irigasinya tercemar limbah pabrik berkadar garam tinggi seperti
kasus di Rancaekek, Kabupaten Bandung (Gambar 1).
Gambar 1. Tanaman padi mati keracunan natrium yang dibawa limbah
pabrik di Rancaekek, Kabupaten Bandung
Lahan Sawah Salin|5
Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat Bogor (1995) kandungan Na di dalam tanah sawah
yang tidak tercemar limbah industri tekstil hanya 0,03 cmol(+)/kg
tanah, bandingkan dengan sawah tercemar yang mencapai 6,95
cmol(+)/kg tanah, suatu peningkatan yang sangat tinggi. Padahal
toleransi kebanyakan tanaman padi hanya sekitar 60-100 ppm Na
di dalam air irigasi. Pada tahun 2003 kandungan Na di dalam tanah
sawah tersebut berkisar antara 467 dan 2.983 mg Na/kg tanah atau
setara dengan 467 – 2.983 ppm Na, menyebabkan sebagian besar
tanaman padi rusak, dan gagal panen (Suganda et al. 2003).
Salinitas yang terjadi di kawasan Pantura terjadi karena
masuknya air laut ke daratan dapat melalui permukaan tanah atau
melalui rembesan (intrusi). Aliran air laut bisa melewati badan-
badan air maupun batuan, bahan induk dan tanah yang porus dan
memiliki tekanan hidrostatika yang rendah sehingga tidak mampu
menahan air laut (Hendrayana dalam Marwanto et al., 2009).
Sutono 2015 mencatat bahwa meningkatnya jumlah natrium pada
lahan sawah disebabkan oleh (1) ketidakseimbangan debit air
sungai atau air segar yang masuk ke alur sungai dengan air asin
dari laut, (2) makin dekatnya sumber air asin dipermukaan tanah
ke areal sawah, (3) diduga air asin bawah permukaan makin
menjorok ke arah daratan, dan (4) limbah pabrik yang mengandung
natrium masuk ke badan air yang kemudian digunakan untuk
irigasi lahan sawah.
Di Indonesia dikenal sawah pasang surut, yang memanfaatkan
keseimbangan alamiah debit sungai dengan debit air laut masuk ke
alur sungai. Pada saat air laut pasang, maka aliran air sungai
tertahan dan permukaan air meningkat lebih tinggi. Pada saat
demikian air segar dipersilahkan masuk melalui pintu-pintu air
untuk mengairi sawah di kiri dan kanan sungai. Ketika air laut
sedang surut, aliran air di sungai berjalan normal kembali dan
pintu-pintu air pun menutup secara otomatis. Keberhasilan
mengelola kejadian pasang surut tersebut menyelamatkan tanaman
yang peka terhadap kehadiran garam baik dalam air yang
6| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
menggenangi petakan, maupun dalam tanah yang meningkat
kadar garamnya. Teknologi tersebut perlu dikembangkan pada
daerah pesisir lain.
Di daerah pesawahan pasang surut, sistem buka tutup pintu air
telah dirancang sedemikian rupa sehingga air laut seminimal
mungkin masuk ke daerah pesawahan. Sebaliknya di pantai utara
Pulau Jawa tidak semua alur sungai mempunyai pintu-pintu untuk
mencegah masuknya air laut ke areal pertanian, sehingga sebagian
lahan sawah pada saat sekarang mengalami peningkatan
kandungan natrium. Gambar 2 menjelaskan pergeseran titik temu
air asin dengan air tawar, kadang-kadang berada di bibir pantai
ketika debit air sungai naik, tetapi kadang-kadang menjorok jauh
ke daratan ketika debit sungai mencapai titik terendah.
Ketidakseimbangan debit ketika terjadi pasang naik dari laut
dengan rendahnya debit sungai, maka titik temu air tawar dengan
air laut lebih sering menjorok ke daratan dan jika tidak ada
hambatan maka air laut masuk ke petak-petak sawah yang berada
di kiri kanan sungai.
Gambar 2. Pergeseran titik temu air tawar (sungai) dan air asin (laut)
Air tawar (sungai) Debit air tawar
Air asin (laut) Tinggi muka air laut
Titik temu
(Interface)
(-)
(+) (-)
Lahan Sawah Salin|7
Sungai yang kering pada musim kemarau lebih diakibatkan oleh
pendeknya jarak dan waktu tempuh aliran air sejak turun hujan di
hulu sampai ke laut. Hujan di hulu Sungai Ciliwung dalam waktu
singkat meningkatkan debit air di hulu dan beberapa jam kemudian
sampai di laut.
Kita memperpendek waktu tempuh air hujan dan aliran
permukaan menuju laut karena menghambat dan menolak
masuknya air ke dalam tubuh tanah. Air hujan dan aliran
permukaan tidak mampu menembus permukaan tanah yang padat,
seperti lapisan aspal, beton, atap rumah dan sebagainya
menyebabkan terjadi percepatan laju perjalanan air menuju laut.
Sebelum lapisan kedap air bertambah luas, air aliran permukaan
dan curah hujan sebagian besar meresap ke dalam tubuh tanah
kecepatan lajunya dapat berbulan-bulan sampai bertahun-tahun
untuk sampai ke laut. Tetapi kini hanya dalam hitungan jam
sampai ke laut.
Daerah resapan air tidak mampu lagi melalukan air ke dalam
tubuh tanah dan menyimpannya di dalam tanah. Luas permukaan
tanah yang padat di daerah resapan air makin meningkat,
penghambat laju aliran air permukaan yang dapat meningkatkan
kesempatan air untuk meresap ke dalam tanah dalam bentuk
tutupan lahan (vegetasi) juga semakin jarang.
Meningkatnya derap pembangunan membawa dampak sumber
air asin pun makin dekat dengan lahan sawah. Diperlukan zonasi
yang ketat untuk menetapkan areal yang terlarang bagi masuknya
air asin, sehingga air asin diharapkan tidak sampai merembes ke
bagian lain yang tidak memerlukannya. Rembesan air asin dapat
menyebabkan tanaman padi tidak berkembang dengan baik dan
hampir mati (Gambar 3).
8| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Gambar 3. Bandingkan bedanya antara tanaman padi yang keracunan natrium
dan tidak dalam satu hamparan sawah sebagai akibat masuknya air
laut ke lahan sawah
Hasil identifikasi tingkat salinitas tanah pada satu hamparan
lahan sawah intensif di daerah Indramayu yang dilakukan oleh
Marwanto et al. (2009) menunjukkan tingginya proporsi lahan
sawah yang telah mengalami proses salinitas (Gambar 4). Selain
jarak dengan pantai, faktor topografi dan kerapatan irigasi aktif
juga berpengaruh terhadap tingkat salinitas yang diderita lahan
sawah. Di wilayah yang memiliki kontur tinggi dan jaringan irigasi
aktif yang rapat, tingkat salinitasnya relatif rendah meskipun relatif
dekat dengan pantai.
Lahan Sawah Salin|9
Gambar 4. Hasil identifikasi areal sawah intensif dekat pantai di Daerah
Indramayu yang terkena salinitas (<2 dS/m=rendah; 2-4 dS/m
sedang, 4-8 dS/m (tinggi) dan >8 dS/m=sangat tinggi)*
*Sumber: Marwanto et al, 2009
Salinitas bisa juga terjadi karena bencana alam tsunami, seperti
yang melanda Daerah Pesisir Aceh dan sekitarnya pada tanggal 26
Desember 2004. Kejadian ini telah menyebabkan masuknya air laut
ke daratan sehingga menyebabkan kadar garam dalam tanah
meningkat pesat, meski penggenangan terjadi dalam waktu yang
relatif singkat. Faktor resiko salinitas yang terjadi karena kejadian
Tsunami ditunjukkan dan diuraikan pada Tabel 1.
Suatu lahan yang tergenang air terus menerus selama 3 hari atau
lebih berpotensi menjadi salin, apalagi jika genangan air laut itu
terjadi secara reguler, berulang, terus menerus sampai tidak lagi
dijumpai tanaman yang tumbuh. Jika pada suatu tempat
kedalaman air payau sangat dangkal dan < 1 m, potensi menjadikan
lahan salin meningkat.
10| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Tabel 1. Faktor resiko salinitas sebagai dampak kejadian tsunami*
Faktor resiko Resiko salinitas tanah yang mempengaruhi produksi
Rendah Sedang Tinggi
Lamanya lahan
tergenang air laut
<0,5 hari 0,5-3 hari >3 hari
Permeabilitas
tanah
Rendah (liat yang
dibajak dengan air
tanah dangkal
Sedang (tanah
berlempung yang
tidak dibajak)
Tinggi (tanah
berpasir)
Terpengaruh air
pasang
- Air pasang
dengan salinitas
sedang
Secara regular
tergenang air
dengan salinitas
tinggi
Jumlah
pertanaman padi
beririgasi pasca
tsunami
Tidak ada
informasi dengan
pertanaman padi
lebih dari 2 kali
1-2 0
Kedalaman muka
air tanah pada
musim kemarau
dan salinitas air
tanah dangkal
Tidak ada data,
namun resiko
rendah jika
kedalaman air
tanah <2m dari
permukaan tanah
dan EC<2dS/m
Tidak ada data,
resiko cenderung
sedang jika
kedalaman air
tanah 1-2 m dari
permukaan tanah
dan EC 2-4 dS/m
Kedalaman muka
air tanah< 1m dari
permukaan
tanah,EC >4 dS/m
*Sumber: ACIAR, BPTP Aceh, dan ISRI, 2005
Mengenal tanah sawah salin
Salinitas semula merupakan istilah bagi kandungan natrium
(garam) di dalam larutan cairan yaitu larutan yang banyak
mengandung garam biasanya rasanya asin. Air irigasi atau
genangan air pada lahan sawah pun demikian, mempunyai rasa
asin yang bertingkat-tingkat dari asin sampai sangat asin. Air
dikatakan salin jika mengandung 3-5% garam (id.wikipedia.org/
wiki/salinitas, 17 Februari 2016), karena air laut secara alami adalah
asin dan disebut salin maka air yang mengandung garam >3%
disebut salin, sehingga istilah tanah yang banyak mengandung
garam terutama natrium pun disebut tanah salin. Karena tingkatan
rasa asin tanah berbeda-beda maka pada tahun 1978 Lembaga
Lahan Sawah Salin|11
Penelitian Tanah yang kemudian menjadi Balai Penelitian Tanah
menetapkan kriteria hasil analisis tanah terhadap kation natrium,
daya hantar listrik (DHL), dan natrium dapat ditukar (dalam Eviati
dan Sulaeman, 2009). Kriteria tersebut terdiri dari sangat rendah,
rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi untuk kandungan kation
natrium, daya hantar listrik (DHL), dan natrium dapat ditukar
(Tabel 2) sehingga lebih mudah dimengerti. Kriteria tersebut
dinyatakan dengan angka-angka hasil analisis yang mudah
dibandingkan antara satu hasil titik pengamatan dengan titik
lainnya.
Tabel 2. Kriteria kation natrium, daya hantar listrik dan natrium
dapat ditukar hasil analisis tanah di laboratorium kimia
Balai Penelitian Tanah*
Kelas Kation DHL Na dapat ditukar
cmol(+)/kg dS/m %
Sangat rendah < 0,1 < 1 < 2
Rendah 0,1 - 0,3 1 - 2 2 - 4
Sedang 0,4 - 0,7 2 - 3 5 - 10
Tinggi 0,8 - 1,0 3 - 4 10 - 15
Sangat tinggi > 1,0 > 4 > 15
*Sumber: Eviati dan Sulaeman 2009. DHL = daya hantar listrik
Sebetulnya salinitas di dalam tanah menurut Tan (2000) sering
merupakan fenomena yang kadang memunculkan kandungan
natrium tinggi dan sempat meracuni tanaman yang peka terhadap
natrium hanya sesaat saja, setelah itu kondisi tanah kembali normal.
Jika natrium terbawa aliran air dan hanya terdapat di dalam larutan
air, maka fenomena itu betul adanya. Ketika sejumlah natrium
mengendap dan dijerap oleh tubuh tanah, maka salinitas bersifat
lebih permanen dan agak susah dibersihkan. Lahan sawah dengan
12| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
sumber air segar yang melimpah dapat memunculkan fenomena
salinitas, tetapi lahan sawah yang terus menerus tercemat air asin
dapat berubah menjadi tanah dengan salinitas permanen.
Natrium bersifat sangat mudah berpindah karena terlarut di
dalam air, air segar atau air dikatakan tawar jika mengandung
<0,05% Na, sedangkan tanah dikatakan rendah salinitasnya jika
hanya mengandung < 0,3 me/100g atau daya hantar listriknya < 2
dS/m dan natrium dapat ditukarnya <4%. Ketika natrium dijerap
oleh partikel tanah dan sulit dikeluarkan dari dalam tubuh tanah,
maka persoalan salinitas akan muncul dan menghambat
pertumbuhan tanaman, terutama tanaman yang peka terhadap
natrium. Sifat fisika tanah salin dan tidak salin tidak dapat
dibedakan begitu saja kecuali jika salinitasnya tergolong tinggi
sampai sangat tinggi (Tabel 3).
Tabel 3. Sifat fisika tanah sawah di Desa Cemara Kecamatan Cantigi,
Kabupaten Indramayu yang tercemar air laut sejak tahun
1970*
Sifat fisika tanah Satuan Kedalaman 0-25 cm Kedalaman 25-40 cm
Nilai Kelas Nilai Kelas
Bobot isi (BD) g/cm3 0,82 rendah 1,11 sedang
Berat Jenis (PD) g/cm3 2,39 2,54
Ruang Pori Total % vol. 65,67 56,32
Pori Drainase Cepat % vol. 13,11 sedang 9,63 sedang
Pori Drainase Lambat % vol. 6,36 rendah 3,93 rendah
Pori air tersedia % vol. 21,04 sangat tinggi 15,69 tinggi
Permeabilitas cm/jam 0,68 agak lambat 0,14 lambat
Tekstur: fraksi pasir % 6 bertekstur
liat/clay
8 bertekstur
liat/clay fraksi debu % 26 21
fraksi liat % 68 71
*Sumber: Sutono (2015). BD = Bulk Density; PD = Particle Density
Lahan Sawah Salin|13
Lahan sawah sering tergenang dan terpapar natrium bersumber
air laut di Desa Cemara, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu
telah terpapar air laut sejak tahun 1970-an mempunyai sifat fisika
tanah tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan fisika tanah
(Tabel 3). Bidang olah dan lapisan dibawahnya belum
menunjukkan adanya kerusakan struktur, mungkin disebabkan
genangan air asin lebih lama dan sering tanpa diikuti atau jarang
tergenang air segar. Kerusakan struktur biasanya ditandai oleh
bidang olah makin dalam, bobot isi tanah makin kecil, serta
warnanya lebih hitam. Tidak adanya perubahan struktur karena
tanah mempunyai horizon salik sebagai akumulasi garam (Erfandi,
2009).
Sifat fisika tanah sawah terpapar limbah pabrik mengandung
natrium di Rancaekek, Kabupaten Bandung menunjukkan adanya
perbedaan antara yang tercemar dan tidak tercemar. Lahan sawah
tercemar limbah pabrik secara umum lebih buruk dibandingkan
dengan lahan yang tidak tercemar (Tabel 4), terutama terjadi
perubahan struktur tanah pada lahan yang tercemar. Perubahan
struktur terjadi melalui penghancuran yang disebabkan tanah
mudah terdispersi sehingga terjadi peningkatan fraksi debu dari
29% pada lahan tidak tercemar menjadi 31% pada lahan tercemar
natrium.
Tabel 4. Sifat fisika tanah sawah di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten
Bandung yang tercemar limbah pabrik sejak tahun 1995*
Sifat fisika tanah Satuan
Tidak tercemar Tercemar limbah
Nilai Kelas Nilai Kelas
Bobot isi g/cm3 0,73 1,12
Bobot jenis g/cm3 2,08 2,35
Ruang pori total % vol. 72,5 57,7
Pori drainase cepat % vol. 14,6 sedang 8,7 rendah
Pori drainase lambat % vol. 5,6 rendah 5,0 sangat rendah
Pori air tersedia % vol. 30,6 sangat tinggi 15,6 sedang
14| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Sifat fisika tanah Satuan
Tidak tercemar Tercemar limbah
Nilai Kelas Nilai Kelas
Permeabilitas cm/jam 2,10 sedang 2,56 sedang
Tekstur: Fraksi pasir % 5
Fraksi debu % 29 bertekstur liat
bertekstur liat
Fraksi kelai/clay % 66
*Sumber: Sutono, et al. 2001. BD = Bulk Density; PD = Particle Densitity
Menentukan lahan sawah tergolong salin atau tidak tentunya
tidak hanya berdasarkan sifat fisika tanah saja, tetapi harus dikaji
juga kandungan natrium dan daya hantar listrik tanah
bersangkutan. Tanah dari Desa Cemara, Kecamatan Cantigi,
Kabupaten Indramayu pada kedalaman 0-35 menunjukkan
kandungan natrium dan SAR sangat tinggi, demikian halnya
dengan pada kedalaman 35-45 cm. Hal ini menunjukkan bahwa
salinitas lahan sawah tersebut tergolong sangat tinggi karena
mengandung natrium sampai > 35 cmol(+)/kg tanah atau > 35
me/100 g tanah (Tabel 5). Untuk membandingkan terjadinya
peningkatan garam di dalam tanah, dapat dipelajari pada Tabel 6
dalam kasus di Rancaekek.
Tabel 5. Sifat kimia tanah sawah di Desa Cemara Kecamatan Cantigi,
Kabupaten Indramayu yang tercemar air laut sejak tahun
1970*
Kandungan Satuan Kedalaman 0-35 Kedalaman 35-45
Nilai Kelas Nilai Kelas
N total % 0,08 sangat rendah 0,04 sangat rendah
P2O5 total % 0,09 sangat rendah 0,10 sangat rendah
K total % 0,58 tinggi 0,77 Tinggi
S total mg/kg 1509,17 tinggi 909,15 Tinggi
P2O5 tersedia mg/kg 12,57 sedang 11,89 Sedang
K2O tersedia cmol(+)/kg 0,95 sendang 0,86 Rendah
Lahan Sawah Salin|15
Kandungan Satuan Kedalaman 0-35 Kedalaman 35-45
Nilai Kelas Nilai Kelas
K cmol(+)/kg 2,04 tinggi 2,02 Tinggi
Ca cmol(+)/kg 7,06 sedang 8,09 Sedang
Mg cmol(+)/kg 17,01 tinggi 19,11 Tinggi
Na cmol(+)/kg 35,17 sangat tinggi 41,29 sangat tinggi
KTK cmol(+)/kg 25,01 tinggi 32,10 Tinggi
SAR cmol(+)/kg 101,31 sangat tinggi 112,06 sangat tinggi
*Sumber: Sutono 2014
Bahwa tanah yang terpapar limbah menjadi salin dapat dilihat
dari kandungan natriumnya yang mencapai 6,95 cmol(+)/kg sangat
tinggi jika dibandingkan dengan kriteria pada Tabel 1. Jumlah
tersebut hampir 200% dari nilai natrium yang sangat tinggi (4,0
cmol(+)/kg), sehingga hampir tidak terbantahkan bahwa telah
terjadi peningkatan natrium yang menyebabkan gagal panen dan
kerusakan struktur tanah pada sebagian lahan sawah di Rancaekek.
Di Rancaekek telah terjadi perubahan struktur dan warna tanah,
warna hitam pekat pada lumpur yang encer dan kalau diremas
meninggalkan sedikit padatan dalam kepalan tangan menunjukkan
ada jejak natrium yang tinggal di dalam tubuh tanah, bukan
peningkatan bahan organik tanah. Warna hitam tersebut
menunjukkan bahwa proses penggaraman atau genangan air
bergaram di dalam tubuh tanah sawah telah berlangsung lama
sehingga strukturnya rusak, seperti memisahkan bagian mineral
dengan bagian organik. Selain kerusakan struktur, juga terjadi
peningkatan daya hantar listrik yang mencapai 1900 kali
dibandingkan dengan tanah tidak tercemar.
16| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Tabel 6. Sifat kimia tanah sawah di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten
Bandung yang tercemar air limbah pabrik sejak tahun 1995*
Sifat kimia Satuan Tidak tercemar limbah Tercemar limbah
Nilai Kelas Nilai Kelas
pH H2O 6,2 agak masam 6,9 Netral
DHL dS/m 0,05 sangat rendah 0,95 sangat rendah
KB % 100 sangat tinggi 100 sangat tinggi
C-org % 0,64 sangat rendah 2,91 Sedang
N-org % 0,08 sangat rendah 0,26 Sedang
P2O5 (tersedia) mg/100 g 69 sangat tinggi 153 sangat tinggi
K2O (tersedia) mg/100 g 18 Rendah 36 Sedang
Mg cmol(+)/kg 3,05 Tinggi 7,07 Tinggi
Ca cmol(+)/kg 8,44 Tinggi 19,51 sangat tinggi
Na cmol(+)/kg 0,03 sangat rendah 6,95 sangat tinggi
KTK cmol(+)/kg 11,04 Rendah 31,06 Tinggi
*Sumber: Sutono 2001, DHL = Daya hantar listrik, KB = Kejenuhan basa
Studi tentang daya hantar listrik telah banyak dilakukan, salah
satu hasilnya adalah meningkatnya daya hantar listrik di dalam
tanah sawah sangat mempengaruhi penurunan hasil tanaman padi.
Peningkatan DHL menjadi >4 dS/m menyebabkan hasil padi sangat
sedikit bahkan mungkin tidak memberikan hasil karena hanya
sedikit tanaman yang toleran dengan DHL tinggi (Tabel 7)
Tabel 7. Pengaruh daya hantar listrik terhadap produktivitas tanaman*
Salinitas Nilai DHL
(dS/m) Pengaruh
Tidak salin 0 – 2 Daya pengaruh keragaman boleh diabaikan
Rendah 2 – 4 Hasil panen pertanaman sangat peka dapat terbatasi
Sedang 4 – 8 Hasil panen banyak pertanaman terbatasi
Tinggi 8 – 16 Hanya tanaman toleran yang menghasilkan panen
Sangat tinggi > 16 Sedikit tanaman toleran yang menghasilkan panen
*Sumber Abrol et al. (1998)
Lahan Sawah Salin|17
Ciri khusus lain bagi tanah salin adalah tingginya daya hantar
listrik tanah, makin tinggi daya hantar listriknya makin tinggi
peluang tanaman padi tidak menghasilkan gabah atau makin
rendah peluang memperoleh gabah. Tanaman padi yang
mempunyai sifat peka terhadap salinitas, hasil gabahnya akan
terbatasi menjadi lebih sedikit atau sama tidak menghasilkan
gabah. Oleh karena itu, air untuk irigasi pada lahan sawah salin
hendaknya menggunakan air segar dengan DHL sangat rendah
agar mampu mengencerkan kepekatan natrium. Karena kunci
keberhasilan menanggulangi salinitas diantaranya adalah dengan
mengencerkan natrium dan memindahkannya ke badan air. Belum
terdapat data valid yang menyatakan dengan pasti tentang luas
lahan sawah yang berubah menjadi salin di Indonesia, namun FAO
(2005) memprediksi sekitar 20% lahan pertanian menjadi salin. Jika
hal ini benar maka lahan sawah salin di Indonesia dapat mencapai
> 1 juta hektar, diharapkan data FAO tidak berlaku bagi Indonesia.
Studi tentang salinitas di Kabupaten Indramayu menghasilkan
angka lahan salin seluas 37.136 ha yang tergolong ke dalam kelas
salinitas tinggi dan sangat tinggi atau sekitar 33% dari luas lahan
sawah baku (Tabel 8).
Tabel 8. Kelas dan luas salinitas lahan di Kabupaten Indramayu pada
tahun 2008*
Kelas salinitas Luas
Ha %
Rendah 65.521 58,4
Sedang 9.536 8,5
Tinggi 11.780 10,5
Sangat tinggi 25.356 22,6
Total 112.193 100,0
*Sumber: Erfandi et al. (2009)
18| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Angka tersebut diperoleh dari pengamatan terhadap bentang
lahan dengan jarak 1 – 7 km dari garis pantai ke arah daratan, pada
koordinat 1070 53’ 09” sampai 1080 19’ 02” Bujur Timur (BT) dan 600
13’ 45” sampai 600 29’ 19” Lintang Selatan. Jadi pengamatan tidak
dilakukan di seluruh wilayah Kabupaten Indramayu, hanya sekitar
55% dari luas total (204.011 ha) Kabupaten Indramayu. Beberapa
kabupaten yang telah melaporkan terdapat peningkatan salinitas
terjadi di Kabupaten Cilacap yang katanya terluas di Jawa Tengah.
Tetapi pernah dilaporkan bahwa di Jombang ada mata air yang
salin. Untuk memastikan itu semua ada baiknya dilakukan
pemetaan potensi sawah menjadi salin sehingga
penanggulangannya akan lebih terarah agar tidak terjadi
penurunan provitas padi. Nampaknya belum ada data pasti tentang
luas lahan sawah potensial menjadi salin, pernyataan ini didukung
oleh salah seorang peneliti BB Padi bahwa belum ada luas lahan
terkena intrusi air laut secara nasional.
Identifikasi tanah yang mengalami proses penggaraman pada
areal yang terkena dampak Tsunami dapat dilakukan dengan
memperhatikan tanah secara teliti. Keretakan yang menyebar di
permukaan tanah adalah tanda yang jelas, yang merupakan
endapan garam atau endapat liat. Dari survei yang dilakukan oleh
FAO (2005) lapisan-lapisan liat atau debu di permukaan tanah
tersebut mengandung residu garam yang tinggi. Di sebagian besar
tempat, setelah digali sampai kurang lebih sedalam 20 cm dijumpai
lapisan keabuan yang masih jelas. Lapisan ini mempersulit proses
pencucian garam meskipun tanah sudah diguyur hujan, karena
lapisan tersebut sulit ditembus air, sehingga proses pencucian tidak
berjalan dengan baik.
Proses kematian tanaman padi
Tumbuhan yang hidup di lahan salin menghadapi dua masalah
utama, yaitu (1) dalam hal memperoleh air tanah yang potensial
Lahan Sawah Salin|19
airnya lebih negatif, potensial air tanah yang lebih negatif akan
memacu air keluar dari jaringan sehingga tumbuhan kehilangan
tekanan turgor; dan (2) dalam mengatasi konsentrasi tinggi ion
natrium (Na+) dan klorida (Cl-) yang kemungkinan beracun.
Berlimpahnya Na+ dan Cl- juga dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan ion sehingga aktivitas metabolisme dalam
tubuh tumbuhan menjadi terganggu. (Hochachka dan Somero,
1973; Salisbury dan Ross, 1995; dan Djukri, 2009).
Berdasarkan kemampuan untuk tumbuh pada keadaan salin,
tanaman digolongkan menjadi glikofita dan halofita. Tanaman
yang digolongkan sebagai halofita adalah tanaman yang tahan
terhadap konsentrasi NaCl yang tinggi. Tanaman glikofita adalah
tanaman yang tidak dapat mentolerir salinitas yang tinggi.
Sebagian besar tanaman pertanian digolongkan sebagai tanaman
glikofita (Haryadi dan Yahya dalam Kusmiati et al. 2004), termasuk
kebanyakan varietas padi tidak toleran terhadap salinitas. FAO
(2005) memperkirakan penurunan hasil tanaman padi pada
berbagai tingkat salinitas (Tabel 9). Untuk tanaman lain yang
sensitif seperti pepaya, mangga dan pisang akan terpengaruh pada
nilai EC(e) sekitar 2 mS/cm, sedangkan tanaman yang toleran
misalnya kelapa dan asam hanya akan terpengaruh pada nilai 8-10
mS/cm atau lebih.
Tabel 9. Perkiraan penurunan hasil tanaman padi pada berbagai
tingkat salinitas*
Nilai daya hantar listrik dalam
keadaan jenuh atau ECe
(mS/cm)
Penurunan hasil tanaman padi
(%)
<4
4-6
6-10
>10
<10
10-20
20-50
>50
*Sumber: FAO, 2005
20| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Meskipun tanaman padi bukan merupakan tanaman yang tidak
toleran terhadap salinitas, namun padi merupakan tanaman paling
disukai oleh petani sawah, sehingga petani tetap melakukan budi
daya padi meski menghadapi resiko gagal panen (misal dengan
tiga kali tanam hanya sekali panen padi). Tanaman padi tidak dapat
beradaptasi ketika suplai air segar tidak mencukupi untuk dapat
menurunkan kadar natrium. Sistem budi daya padi sawah
dirasakan petani paling menguntungkan, oleh karena itu
introduksi tanaman padi toleran terhadap salinitas tanah sangat
diperlukan untuk menanggulangi merosotnya produksi padi akibat
masalah salinitas. Sistem budi daya padi sawah yang menerapkan
irigasi sepanjang musim tanam, dapat menyebabkan penurunan
salinitas pada zona perakaran sebagai akibat terjadinya pencucian
dan pengenceran natrium. Tanaman padi mengalami cekaman
salinitas selama pertumbuhannya, selain itu tanaman padi
merupakan tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang pada
musim hujan. Oleh karena itu, salinitas tanah yang tinggi pada awal
pertanaman dapat berkurang setelah beberapa kali hujan dan
irigasi menggunakan air segar dapat berjalan sehingga padi dapat
panen.
Salinitas merupakan kendala besar dalam mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi musim kemarau
terutama pada lahan sawah tadah hujan, sebab pada musim
kemarau terjadi penguapan tinggi dan pasokan air segar menjadi
terbatas, sehingga sawah dengan salinitas tinggi menjadi kendala
dalam memperoleh hasil panen yang memuaskan.
Ciri khas matinya tanaman padi yang diakibatkan oleh
keracunan natrium dan daya hantar listrik tinggi adalah tanaman
padi mati dalam kondisi tergenang air. Kematian dimulai dengan
mengeringnya pucuk daun tua merambat ke arah pangkal daun
kemudian ke daun yang lebih muda dan akhirnya ke titik tumbuh.
Tanaman padi kering ditengah-tengah genangan air dalam lahan
sawah.
Lahan Sawah Salin|21
Gambar 5. Jumlah tanaman yang hidup sejak 1 HST sampai 77 HST pada
percobaan pemulihan lahan akibat intrusi air laut di Desa Cemara,
Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu tahun 2014*
*Sumber: Sutono 2014
Bergantung kepada tingkat kepekatan natrium di dalam air yang
menggenangi sawah dan di dalam tubuh tanah, makin pekat
konsentrasinya makin cepat tanaman mati. Studi kasus di Cantigi
pada tahun 2014 yang basah dengan tahun 2015 yang kering atau
curah hujan lebih rendah disajikan pada Gambar 5. Bibit berumur
30 hari yang ditanam pada lahan sawah dengan salinitas sangat
tinggi mulai mati pada hari ke 4 setelah tanam jika tidak dilakukan
pengenceran natrium melalui pemberian air irigasi yang rendah
daya hantar listrik. Air rendah natrium dan rendah daya hantar
listrik kami sebut sebagai air segar.
Tingkat kematian tanaman pada tahun 2014 relatif terkendali
karena pengendalian air asin terbantu oleh tingginya curah hujan
yang menyebabkan saluran irigasi selalu penuh oleh aliran air
segar. Sedangkan pada tahun 2015 pengenceran natrium tidak
dapat berjalan dengan baik karena kekurangan air segar sehingga
tingkat kematian lebih cepat (Gambar 6).
22| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Gambar 6. Perkembangan persentase hidup dan mati tanaman padi pada
sawah dengan salinitas sangat tinggi pada percobaan pemulihan
lahan akibat intrusi air laut di Desa Cemara, Kecamatan Cantigi,
Kabupaten Indramayu tahun 2015*
*Sumber: Sutono 2014
Padi yang sedang berkecambah merupakan fase paling rentan
terhadap salinitas tinggi, demikian juga ketika awal pertumbuhan
pascatransplanting. Penulis mengecambahkan varietas padi yang
toleran salinitas pada tanah dengan salinitas tinggi ternyata tidak
berkecambah, bibit yang dipindahtanamkan ke lahan sawah pada
umur 21 hari lebih mudah mati dibandingkan dengan yang
berumur 30 hari di persemaian. Kaddah dan Fakkry (1961)
menyatakan bahwa pada masa perkecambahan padi toleran hingga
30 dS/m, sensitif terhadap salinitas pada tahap pertumbuhan awal
dan toleransi meningkat dengan meningkatnya fase pertumbuhan.
Tingkat kematian yang cepat dan tinggi pada pertaaman padi
tahun 2015 disebabkan rendahnya debit air tawar sementara tingkat
salinitas tanah tergolong ke dalam kelas sangat tinggi dan
konsentrasi natrium tidak dapat diencerkan. Karena pengenceran
terhambat oleh rendahnya debit air segar yang dapat dimanfaatkan
untuk mengencerkan natrium.
Umur tanaman (HST)
Lahan Sawah Salin|23
Studi kasus di Rancaekek, Bandung menunjukkan terjadi
penurunan hasil dari tahun ke tahun dan tingkat penurunan hasil
yang terus bertambah. Dalam kurun waktu tahun 1995 ketika
penurunan hasil mencapai 67% pada lahan tercemar dibandingkan
lahan tidak tercemar meningkat menjadi 93% pada tahun 2008
(Tabel 10). Penurunan hasil tersebut menyebabkan gairah petani
untuk mempertahankan budi daya padi dan budi daya tanaman
pangan menjadi menurun bahkan hilang sehingga lahan sawah
dibiarkan bera dan menjadi lahan yang tidak sehat.
Berdasarkan kasus di Cantigi dan Rancaekek, dapat diambil
pelajaran bahwa budi daya padi tidak dapat memberikan
keuntungan kepada petani apabila dilaksanakan pada tanah
dengan salinitas tinggi dan permanen. Ketika sumber natrium
bersifat telah bereaksi dengan tanah, natrium yang semula bersifat
fenomena berubah menjadi permanen dan menimbulkan berbagai
kerugian pada budi daya tanaman padi yang rentan terhadap
salinitas.
Tabel 10. Penurunan hasil padi pada lahan tercemar limbah cair
industri di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa
Barat*
Tahun Lahan sawah tidak tercemar Lahan sawah tercemar
GKP (ton/ha) Penurunan (%)
1995 6,38 2,10 67,1
1998 6,38 1,86 70,9
2004 6,63 1,30 80,4
2008 7,23 0,48 93,3
2009 6,00 0,53 91,2
*Sumber: Sutono, 2012
Pengukuran Salinitas|25
Bab 3. PENGUKURAN SALINITAS
Salah satu parameter yang dapat dipakai untuk menilai tingkat
salinitas tanah adalah dengan mengukur daya hantar listrik (DHL)
atau electrical conductivity (EC) dari larutan yang diekstrak dari
tanah. Air murni adalah media penghantar listrik yang sangat
jelek, namun demikian daya hantar listriknya akan meningkat
sejalan dengan meningkatnya kandungan garam di dalam air.
Mengukur EC dari suatu larutan tanah, berarti secara tidak
langsung yang diukur adalah kandungan garamnya. Satuan yang
umum digunakan adalah deciSiemens per meter (dS/m).
Larutan tanah berkadar garam tinggi di daerah perakaran
tanaman akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga akar
tanaman kesulitan dalam menyerap air menyebabkan terjadinya
kekeringan fisiologis pada tanaman. Pada kondisi dimana
konsentrasi garam dalam tanah cukup tinggi, maka air yang ada
didalam sel tanaman akan bergerak keluar, dinding protoplasma
mengkerut dan sel rusak (plasmolisis). Selain tanaman harus
mengatasi tekanan osmotik tinggi, pada beberapa tanaman dapat
terjadi ketidakseimbangan hara disebabkan oleh kadar hara
tertentu terlalu tinggi.
26| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Pengukuran di Laboratorium
Pengukuran EC dapat dilakukan pada larutan yang diekstrak
dari tanah yang sebelumnya dijenuhi dengan air. Setelah dibiarkan
selama 24 jam, untuk melarutkan keseluruhan garam-garam yang
ada, larutan kemudian diekstrak dan EC-nya diukur (ECe). Cara
pengukuran ini merupakan metode pengukuran EC standard,
namun waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil
pengukuran relatif lama. Untuk itu dikembangkan metode lain
seperti mengukur EC pada larutan yang dibuat dari campuran 1
porsi tanah dan 2 porsi air (EC1:2) atau 1 porsi tanah dan 5 porsi air
(EC1:5). Metode ini relatif lebih cepat dibanding metode
sebelumnya, namun demikian hasil pengukuran perlu dikalikan
dengan faktor koreksi untuk menyetarakannya dengan metode
standar. Faktor koreksi untuk metode EC1:5 (1 porsi tanah dan 5
porsi air) pada berbagai tekstur tanah disajikan pada Tabel 11.
Metode yang umum dipakai di Laboratorium Balittanah Bogor
adalah metode EC1:5.
Tabel 11. Faktor konversi hasil pengukuran salinitas dari EC1:5 ke ECe
berdasarkan tekstur tanah*
Tekstur tanah Perkiraan kandungan liat
(%)
Faktor konversi
Pasir <10 17,0
Pasir berlempung 10 – 25 13,8
Lempung 25 – 30 9,5
Lempung berliat 30 – 35 8,6
Liat ringan 35 – 45 8,6
Liat sedang – liat berat >45 7,0
Pengukuran salinitas di lapang
Tingkat salinitas tanah dapat diukur secara tidak langsung
menggunakan metode induksi elektromagnetik (EM) seperti
penggunaan alat EM38 (Gambar 7). Alat ini panjangnya sekitar 1 m
Pengukuran Salinitas|27
dilengkapi dengan satu elektroda pada masing-masing ujungnya.
Elektroda pada ujung yang satu berfungsi untuk memancarkan
gelombang electro magnetik kedalam tanah sementara ujung yang
lainnya berfungsi untuk menangkap gelombang elektromagnetik
tersebut. Pengukuran EC menggunakan EM38 tidak memerlukan
pengambilan contoh tanah dan hasilnyapun dapat langsung
diketahui. Hasil pengukuran dengan metode ini dinamai apparent
electrical conductivity (ECa) karena pengukuran EC selain
dipengaruhi oleh salinitas tanah itu sendiri juga oleh faktor-faktor
lainnya. Kriteria tingkat salinitas tanah (ECa) yang diukur
menggunakan EM38 pada berbagai tekstur tanah disajikan pada
Tabel 12.
Gambar 7. Instrumen pengukur salinitas tanah di lapang EM38
Alat EM38 mengukur DHL rata-rata tanah secara in-situ sampai
pada kedalaman 1 meter di lapang. Nilai hasil pengukuran EM38
akan meningkat dengan meningkatnya salinitas tanah, kandungan
liat dan kelembaban tanah. Hasil pengukuran dapat memberi
gambaran tingkat salinitas tanah pada berbagai klas tekstur tanah
dan dapat digunakan sebagai petunjuk tempat pengambilan contoh
tanah untuk dianalisa di laboratorium.
28| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Tabel 12. Tingkat salinitas tanah (ECa) diukur menggunakan EM38
pada berbagai tekstur tanah
Tekstur
ECa (dS/m)
Rendah* Sedang* Tinggi* Sangat
Tinggi*
Pasir berlempung
Lempung
Lempung berliat – Liat
ringan
Liat sedang – berat
0,4
0,4
<1,0
<1,25
0,4-0,7
0,7-1,1
1,0-1,5
1,25-1,9
0,7-1,3
1,1-1,9
1,5-2,5
1,9-3,0
>1,3
>1,9
>2,5
>3,0
Keterangan: Rendah menunjukkan equivalen dengan nilai ECe <2 dS/m; Sedang menunjukkan
equivalen dengan nilai ECe 2 sampai 4 dS/m; Tinggi menunjukkan equivalen dengan nilai ECe
4 sampai 8 dS/m; Sangat Tinggi menunjukkan equivalen dengan nilai ECe >8 dS/m.
Sumber : Rhoades et al (1989).
Pengukuran menggunakan EM38 dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu cara vertikal dan horizontal. Pengukuran dengan cara
vertikal yaitu menempatkan instrument di permukaan tanah secara
vertikal (EMv; Gambar 8), sedangkan cara horizontal yaitu dengan
cara merebahkan alat di permukaan tanah (EMh; Gambar 9).
Pengukuran secara vertikal lebih sensitif dibanding cara horizontal
pada kedalaman 0,45 m. Pada kedalaman tanah >0,45 m, cara
horizontal lebih sensitif dibanding cara vertikal. Dengan
melakukan pengukuran menggunakan 2 cara tersebut, maka dapat
memberi gambaran seberapa dalam garam-garam yang mencemari
lahan telah terinfiltrasi ke dalam tanah.
Tanah-tanah yang tidak tercemar oleh air atau limbah yang
mengandung garam akan menunjukkan nilai hasil pengukuran
EM38 yang juga rendah. Pada tanah-tanah yang tercemar dalam
waktu relatif lama akan menunjukkan adanya peningkatan salinitas
tanah dengan kedalaman karena adanya proses pencucian.
Pengukuran Salinitas|29
Gambar 8. Pengukuran EM38 secara vertikal
Gambar 9. Pengukuran EM38 secara horizontal
30| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Korelasi pengukuran laboratorium dengan EM38
Untuk mengetahui korelasi antara pengukuran salinitas tanah
menggunakan EM38 dengan pengukuran di laboratorium telah
diambil sejumlah contoh tanah dilokasi-lokasi yang salinitasnya
diukur menggunakan EM38 (Rachman et al., 2008). Contoh tanah
dianalisa dilaboratorium menggunakan campuran tanah dan air 1
banding 5, hasil pembacaan (ECw) kemudian dikonversi ke ECe
dengan mengalikan faktor koreksi sesuai dengan tekstur tanahnya.
Hasil pengukuran salinitas tanah dilaboratorium berkorelasi
positif dengan hasil pengukuran dengan EM38 dengan rumus
regresi sebagai berikut:
ECe = (5,26* ECa) – 0.94 r2 = 0,72
Rumus ini hampir sejalan dengan padanan antara ECa dan ECe
yang dikemukakan oleh Rhoades et al (1989). Tanah yang bertekstur
lempung dengan nilai ECa 1,7 dS/m dikelompokkan kedalam tanah
yang salinitasnya tinggi. Dengan memasukkan angka ECa=1,7
tersebut kedalam rumus regresi maka diperoleh nilai ECe = 8 dS/m
yang termasuk dalam kelompok tanah yang salinitas yang sama
yaitu tinggi.
Gambar 10. Korelasi antara salinitas tanah yang diukur menggunakan EM38
(ECa) dengan pengukuran di laboratorium (ECe)
ECe = 5.26(ECa) - 0.94
r2 = 0.72
0
2
4
6
8
10
12
0 1 1 2 2 3
ECa, dS/m
EC
e, d
S/m
Rehabilitasi Tanah Sawah Salin|31
Bab 4. REHABILITASI TANAH SAWAH SALIN
Pembenah tanah Gypsum
Penanggulangan salinitas dengan menggunakan gypsum
dilakukan jika penanggulangan dengan sistem pencucian tidak
efektif lagi, karena tanah sudah demikian jenih dengan natrium.
Prinsip penggunaan gypsum dalam penanggulangan salinitas
adalah menggantikan ion sodium (Na) yang terikat kompleks
jerapan tanah dengan kalsium (Ca) yang terkandung dalam
gypsum, dengan adanya proses penggantian tersebut, sodium
menjadi relatif mudah dibuang proses pencucian. Oleh karena itu
rehabilitasi tanah salin dengan menggunakan gypsum harus
disertai dengan proses pencucian. Saat pelaksanaan rehabilitasi
tanah terkena dampak tsunami di Aceh, penggunaan gypsum
direkomendasikan hanya ketika pH tanah > 8,5 (misalnya tanah
sodik) dan jika cara mekanis sederhana tidak efektif menghancur-
kan lapisan padat liat/debu.
Keuntungan jika gypsum digunakan untuk merehabilitas tanah
salin adalah bisa berdampak terhadap perbaikan sifat fisik tanah,
diantaranya menurunkan BD tanah, meningkatkan permeabilitas
dan infiltrasi, dan menurunkan pengkerakan (soil crusting) dan
pemadatan tanah (IPNI, 2015), sehingga selain menyebabkan Na
menjadi lebih mudah dicuci, proses pencucian juga akan lebih
mudah dilakukan sebagai dampak terjadinya perbaikan sifat fisik
32| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
tanah yang, utamanya yang dapat mempermudah terjadinya
pergerakan air (misal permeabilitas dan infiltrasi tanah).
Keuntungan lain yang diperoleh dari penggunaan gypsum
adalah menjadi sumber hara kalsium (Ca) dan Sulfur (S). Gypsum
pertanian umumnya terdiri dari CaSO42H2O (dihydrit), di bawah
temperature dan tekanan tinggi dihydrit gypsum bisa dikonversi
menjadi CaSO4 tanpa air. Karakteritik kimia dari gypsum disajikan
pada Tabel 13.
Tabel 13. Nama-nama pembenah tanah buatan yang mengandung
Ca tinggi
Nama Formula dan komposisi Kelarutan
Dihydrite (Gypsum) CaSO42H2O
23% Ca,18% S, 21% air
2,05 g/l
Anhydrite CaSO4
29% Ca, 23% S
2,05/l
Hemi-hydrire CaSO4 0,5 H2O
Kembali ke bentuk
gypsum ketika air
ditambahkan
Pembenah tanah kapur pertanian
Pembenah tanah yang terbuat dari kapur pertanian (CaCOOH)
biasa digunakan untuk menurunkan kemasaman tanah. Kalsium
pertanian adalah batu kapur yang dibakar biasa digunakan untuk
keperluan mengapur dinding atau menjadi bagian dari campuran
bahan bangunan lain. Kapur pertanian ini banyak mengandung
kalsium yang dapat dimanfaatkan untuk mengusir Na dari dalam
tanah, sehingga kandungan natriumnya menjadi berkurang dan
salinitasnya turun. Mekanisme penurunan salinitas tanah yang
diberi kapur pertanian mengikuti reaksi berikut:
2Na-tanah + 3CaCO3 + H2O 3Ca-tanah + 2Al(OH)3
(mengendap) + 3H2CO3 + 2Na
Rehabilitasi Tanah Sawah Salin|33
Natrium terlepas dari butiran tanah dan mengalir mengikuti
aliran air ke luar petakan sawah. Dalam hal penurunan salinitas,
kapur pertanian berkadar kalsium tinggi berperan dalam
memisahkan natrium dari butiran tanah. Oleh karena itu, makin
tinggi kandungan kalsiumnya memungkinkan terjadi desalinitas
menjadi lebih cepat.
Pembenah tanah SP50
Pembenah tanah SP-50 merupakan pembenah tanah organik
yang diformulasi dari pupuk kandang dan arang (biochar) sekam
padi. Pembenah tanah ini telah terbukti efektif digunakan untuk
merehabilitas lahan kering masam maupun pada lahan kering iklim
kering. Ciri khas dari biochar adalah terdapat rongga-rongga yang
dapat berisi air dan bahan-bahan terlarut di dalam air. Namun
demikian, dari percobaan yang telah dilakukan terlihat bahwa
biochar tidak mempercepat terjadinya desalinisasi. Justru akan
memperlambat desalinisasi.
Pembenah tanah Abu Volkanik
Prototipe pembenah tanah berbahan dasar abu volkanik yang
dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan sawah salin
mengandung Ca tinggi agar mampu mengikat natrium sementara
diberi nama Volkanorfs. Dari beberapa formula yang telah dibuat
terdapat paling tidak 4 macam pembenah tanah yang mengandung
kalsium > 4%, yaitu S 532, S 523, S 442, dan S 424, yang terakhir
mengandung Ca > 5% (Tabel 14). Penggunaan S424 mempunyai
peluang untuk dijadikan pembenah tanah dalam proses desalinisasi
atau penurunan salinitas.
34| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Tabel 14. Pembenah tanah Volkanorfs yang mengandung Ca > 4% hasil
formulasi Balittanah 2011
Sumber: Sutono et al., 2011
Pembenah tanah ini mudah dibuat dan siapa pun dapat
membuatnya, yang agak sulit diperoleh adalah bahan dasar
berbentuk abu volkanik yang mempunyai pH > 6. Jika abu volkanik
mempunyai pH yang rendah dan cenderung masam, akan kurang
bagus untuk dijadikan pembenah tanah bagi lahan salin yang
mempunyai pH masam.
Phytoremediasi Mendong (Fimbristylis umbellaris)
Salah satu tanaman yang toleran terhadap salinitas tinggi adalah
mendong (Fimbristylis umberalis) (Gambar 11). Tanaman ini dapat
tumbuh berkembang dengan baik sebagai tanaman menahun,
rimpang kecil, tinggi 20-120 cm. Batang berambut panjang rapat,
kaku, menyudut tumpul atau hampir bulat torak, kurang lebih
memipih di bawah perbungaan, halus, berbelang, garis tengah 1-5
mm. Daun-daun acap tereduksi hingga tak memiliki helaian,
serupa tabung, terpangkas miring ujungnya, berupa seludang
bertepi kecokelatan; daun pada batang yang fertil atau tumbuhan
muda memipih dan beralur-alur selebar 1,5 mm. Perbungaan di
pucuk, tunggal atau majemuk, dengan 1-40 spikelet, yang terbesar
serupa payung, 3-10 cm panjangnya. Buah bulir memipih,
No.
Pembenah
tanah
pH Bahan organik Hara makro
(1 : 5) C N P2O5 K2O Ca Mg
------------------------ % ------------------------
1 S532 7,56 50,08 0,80 2,44 0,33 4,07 0,18
2 S523 7,58 51,89 0,98 3,22 0,26 4,79 0,20
3 S442 7,48 47,94 1,20 2,53 0,46 4,21 0,21
4 S424 7,52 51,64 0,91 3,85 0,27 5,27 0,19
Rehabilitasi Tanah Sawah Salin|35
berbentuk segitiga, atau cembung di dua sisinya, berbintil halus,
0,8-1 × 0,6-0,8 mm.[6]
Gambar 11. Tanaman mendong (Fimbristylis umbellaris)
Mencegah masuknya air asin
Kegiatan rehabilitasi lahan salin tidak perlu dilakukan jika
sumber salinitasnya, yaitu natrium, tidak masuk dan berdiam di
dalam lahan sawah. Ketika air asin masuk ke lahan sawah
kemudian segera dikeluarkan lagi dan segera pula dicuci
menggunakan air segar maka peningkatan salinitas akan
terhindarkan. Oleh karena itu, pencegahan masuknya air asin ke
dalam petak persawahan melalui aliran permukaan di dalam parit-
parit dan sungai besar dan kecil yang dipengaruhi pasang naik air
laut hendaknya menjadi prioritas utama.
Mencegah masuknya air laut dapat diupayakan dengan
membuat pintu-pintu air pada lokasi-lokasi tempat pergerakan air
laut masuk ke daratan. Pencegahan dapat dimulai dengan
36| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
membangun pintu-pintu air yang mampu menghambat
mengalirnya air laut ke daratan dan terutama lahan-lahan
pertanian, baik lahan sawah irigasi maupun lahan sawah tadah
hujan. Bergantung kepada lebar atau sempitnya jalan air air
tersebut, maka pergerakan air laut masuk ke daratan dapat dicegah
dengan membangun pintu air otomatis.
Pintu air otomatis ini memanfaatkan tenaga dorong yang
ditimbulkan oleh pergerakan air yang masuk ke arah daratan
maupun aliran air yang mengarah ke laut. Pintu air otomatis ini
sangat membantu petani, sebab pada saat air laut pasang naik
petani tidak harus berjaga untuk menutup atau membuka pintu air.
Pintu air otomatis dapat dibuat di ujung parit yang berada di beting
pantai atau agak masuk ke arah daratan dimana jalan masuk air laut
berada di bawah pematang-pematang dan tanggul-tanggul.
Pematang dan tanggul hendaknya cukup tinggi dan tidak pernah
lebih rendah dibandingkan ketinggian air pasang. Jika tanggul
tersebut berada lebih rendah daripada ketinggian air pasang, maka
air laut akan masuk ke lahan pertanian.
Pintu air otomatis dipasang sedemikian rupa agar ketika terjadi
pasang naik, air laut akan tertahan dan tidak mampu menembus
pintu. Pintu ini harus mempunyai karakter kokoh dari gempuran
tenaga air laut pasang naik dan tidak bocor atau meloloskan air laut
masuk ke arah persawahan. Karena yang harus ditahan adalah
pergerakan air yang mengarah ke persawahan dan lahan pertanian,
maka pintu tersebut hendaknya dapat tertutup rapat apabila
terkena tenaga dorong aliran air laut.
Kerangka pintu dapat dibuat dari tembok dan besi sedangkan
daun pintu dapat dibuat dari kayu, besi, sejenis PVC atau bahan-
bahan tahan lama yang tidak mudah korosif akibat sering terendam
air laut. Daun pintu digantung sedemikian rupa sehingga mudah
berayun sesuai arah tenaga dorong pergerakan air. Pertemuan
antara penahan daun pintu dengan daun pintu dipasang sejenis
klep yang mampu menahan seluruh aliran air laut. Jadi pintu air
Rehabilitasi Tanah Sawah Salin|37
tersebut harus mampu menahan seluruh pergerakan laut ke arah
daratan, jangan sampai ada yang bocor.
Gambar 12 menunjukkan bahwa pintu air terbuka akibat
dorongan tenaga aliran air tawar ketika debit air tawar meningkat.
Pembukaan pintu air ini akan sejalan dengan tenaga dorong aliran
air, makin besar debit aliran air makin besar pembukaan pintu.
Aliran air segar tidak terhalang oleh pintu air untuk segera pergi ke
laut, karena dasar parit berada lebih tinggi untuk menampung dan
mengalirkan air segar dibandingkan dengan air asin. Sekecil
apapun tenaga dorong dari aliran air segar, hendaknya pintu air
akan terbuka dengan mudah.
Gambar 12. Sketsa pemasangan dan penempatan pintu air untuk memudah-
kan aliran air segar ke luar dari parit irigasi menuju laut.
Pada Gambar 13 terlihat bahwa pintu air tertutup rapat ketika
air laut sedang pasang naik, sehingga tidak ada aliran air pembawa
garam ke arah daratan. Engsel hendaknya berfungsi dengan baik
agar memudahkan pergerakan daun pintu. Air laut yang bergerak
karena didorong tenaga aliran pasang naik air laut akan membuat
keseimbangan terlebih dahulu dengan aliran air segar. Ketika
keseimbangan tercapai, maka pintu air akan turun dan merapat ke
38| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
rangka pintu air. Kecepatan merapat sebanding dengan
meningkatnya tenaga dorong air laut yang sedang pasang naik.
Sebelum pintu air menutup air laut yang mengalir ke arah daratan
tertahan terlebih dahulu oleh tembok rangka pintu. Inilah fungsi
dari beda ketinggian pada dasar parit atau dasar pintu air, sehingga
dapat menahan aliran air laut agar tidak segera menerobos pintu
air.
Gambar 13. Sketsa pintu penahan aliran air laut ketika terjadi pasang naik,
pintu tertutup rapat tidak membiarkan air laut menerobos.
Mekanisme buka tutup yang mengandalkan tenaga dorong
aliran air dapat meringankan pengamat air pasang. Setidaknya
petani yang padinya sedang tumbuh dan berkembang merasa aman
tanpa harus melakukan ronda malam ketika waktunya ada air
pasang naik dari laut. Gambar 14 menunjukkan sketsa pintu air
yang dibuat permanen pada suatu parit kecil yang menghubungan
jalan air segar dan air laut.
Sebuah ceritera menarik para petani di desa Pusaka Jaya Utara,
di Kabupaten Karawang. Ketika air laut pasang naik (rob)
diperkirakan akan terjadi, maka petani melakukan ronda malam di
Rehabilitasi Tanah Sawah Salin|39
muara selokan kecil. Selokan menghubungkan lahan sawah
dengan laut, tetapi tidak dibangun pintu air otomatis.
Gambar 14. Sketsa pintu air dilihat dari arah laut, pintu dibuat untuk menahan
air laut.
Selokan tersebut ditembok, tetapi tidak dipasangi pintu,
sehingga pergerakan air tawar dan air asin ke luar dan masuk ke
selokan menjadi sangat mungkin terjadi bergantung ketinggian
muka airnya. Jika muka air tawar tinggi maka air tawar akan
mengalir ke laut tanpa hambatan. Sebaliknya pada saat muka air
laut tinggi karena sedang terjadi rob, maka air laut akan dengan
mudah masuk ke areal persawahan.
Agar air laut tidak masuk ke areal sawah diperlukan penjagaan
yang maksimal, bila perlu melakukan ronda malam sampai air laut
surut kembali. Jika rob datang, maka selokan sudah harus tertutup
rapat. Selokan ditutup menggunakan karung-karung berisi tanah
sedemikian rupa sehingga air laut tidak bisa masuk ke areal sawah.
Tanpa melakukan penutupan diyakini bahwa tanaman padi
mereka akan mengalami kerusakan ringan sampai mati kering.
Mereka mengamati pergerakan rob dan pintu air agar air laut tidak
masuk ke lahan sawahnya.
Budi Daya Padi Pada Lahan Sawah Salin|41
Bab 5. BUDI DAYA PADI PADA LAHAN SAWAH SALIN
Pengenceran konsentrasi natrium
Penyebab utama kegagalan tanam padi sawah pada tanah
terpapar natrium adalah konsentrasi natrium yang pekat ditandai
dengan tingginya nilai daya hantar listrik, dan kejenuhan natrium
(TDS = total dissolved salt). Eviati dan Sulaeman (2009) menjelaskan
bahwa daya hantar listrik mencerminkan kadar garam terlarut
sehingga peningkatan kadar garam mempengaruhi peningkatan
nilai daya hantar listrik.
Hasil analisis terhadap contoh tanah dapat digolongkan ke
dalam kelas sangat rendah sampai sangat tinggi bergantung kepada
jumlah kadar natrium yang terlarut dari contoh tersebut (Tabel 1).
Tanah mengandung Na sebanyak 0,8 – 1,0 me/100 g (0,8 – 1,0
cmol(+)/kg) dapat digolongkan ke dalam kelas tinggi. Jumlah Na
tersebut setara dengan DHL 3-4 dS/cm. Pengukuran DHL
menggunakan elektroda platina. Pengukuran di lapangan dapat
menggunakan multimeter meter untuk mengetahui sampai sejauh
mana daya hantar listik dan kejenuhan natrium di lahan tersebut.
Jika DHL dan kejenuhan natrium sudah diketahui, maka hasil
tersebut dibandingkan dengan kriteria yang terdapat pada Tabel 1.
Perolehan data DHL digunakan untuk menentukan tindakan
selanjutnya, apakah diperlukan pengenceran natrium atau tidak.
Tindakan pengenceran sangat diperlukan kalau DHL berada pada
42| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
kelas tinggi sampai sangat tinggi atau DHL > 3 dS/cm, tetapi tidak
diperlukan tindakan khusus jika DHL < 2 dS/cm.
Pengenceran natrium dapat dilakukan pada saat pengolahan
tanah pertama sampai pengolahan tanah terakhir dengan
melumpurkan bidang olah. Pada saat pelumpuran diharapkan
sebagian besar natrium terbongkar dan larut di dalam air irigasi.
Natrium yang terperangkap dan berada pada kedalaman tertentu
dikeluarkan bersamaan dengan pengolahan tanah. Setelah agak
jernih air irigasi rendah DHL (air segar/tawar) digelontorkan ke
dalam petakan dan kemudian dibuang atau dikeluarkan dari dalam
petak percobaan langsung ke saluran pembuangan.
Pengenceran dapat dilakukan beberapa kali agar natrium yang
tersisa pada bidang olah dapat terungkap ke permukaan tanah
untuk kemudian dialirkan ke saluran pembuangan. Pengenceran
natrium menggunakan air segar DHL rendah merupakan kunci
keberhasilan pencucian natrium, makin terencerkan makin mudah
ditranslokasikan atau dialirkan ke saluran pembuangan dan badan
air.
Pembuangan natrium dari daerah perakaran
Pembuangan natrium sebaiknya dilakukan berkali-kali,
ukurannya adalah terjadi penurunan DHL hingga berada di bawah
ambang batas toleransi tanaman padi. Air segar rendah DHL dari
saluran irigasi digelontorkan ke dalam petakan sawah, dibiarkan
mengalir ke luar petak sawah agar sebagian besar natrium terbawa
ke luar petakan persawahan.
Tingkat pencucian yang dibutuhkan untuk menangulangi
masalah salinitas tanah tergantung pada level salinitas yang
diderita tanah. FAO (2005) memperkirakan kebutuhan air untuk
mencuci garam dalam tanah pada berbagai tingkat salinitas
(Tabel 15)
Budi Daya Padi Pada Lahan Sawah Salin|43
Tabel 15. Air yang dibutuhkan untuk mencapai EC(e)=4 pada zona
perakaran (kedalaman 20 cm)
Nilai awal ECe (DHL jenuh air)
(mS/cm)
Air yang dibutuhkan
(mm)
10
15
20
25
30
315
430
540
650
765
Sumber: FAO (2015)
Pada sawah salin diperlukan saluran pembuangan air semacam
saluran drainase yang langsung dapat mengalirkan air ke luar areal
sawah (Gambar 15). Agar air mengandung natrium dari petakan
sawah satu tidak masuk ke petakan sawah lainnya. Jika hal itu
terjadi maka penumpukan natrium dalam petakan paling bawah
atau paling rendah. Memindahkan penumpukan natrium ke
petakan sawah berikutnya bukanlah kegiatan yang bijak. Sebaiknya
natrium dibuang ke badan air yang berhubungan dengan laut,
sehingga tidak menimbulkan dampak kurang baik bagi
keberhasilan panen padi.
Pengaturan air masuk dan keluar menjadi penting agar natrium
betul-betul dapat dipindahkan ke luar petakan dan terus ke
habitatnya di laut serta tidak mengendap pada petakan paling
rendah. Keberhasilan pengurasan natrium ditandai dengan
turunnya DHL atau makin rendahnya TDS atau kalau dijilat tidak
asin. Kunci kedua keberhasilan penurunan natrium adalah
berpindahnya natrium dari bidang olah ke badan air atau saluran
drainase.
44| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Gambar 15. Sketsa sistem pengaturan air masuk dan keluar pada sawah
terpapar air asin
Pemulihan kesuburan tanah
Lahan sawah yang sudah berhasil diturunkan tingkat
keasinannya atau kadar natrium rendah (< 0,3 me/100 g) dan DHL
juga turun menjadi <2 dS/cm, hendaknya dinaikan tingkat
kesuburan fisiknya. Peningkatan kesuburan fisik ini diperlukan
untuk mempercepat pemulihan hasil padi. Biasanya lahan sawah
dengan tingkat keasinan tinggi sedikit mengandung karbon atau
sering disebut bahan organiknya rendah.
Lahan sawah yang baik mempunyai kandungan bahan organik
tanah paling sedikit > 2,5 % dari bobot tanah pada kedalaman 0 –
25 cm atau setiap hektarnya mengandung sekitar (2,5/100) x
2.500.000 kg = 62.500 kg bahan organik tanah. Jika kandungan
Budi Daya Padi Pada Lahan Sawah Salin|45
bahan organik tanah rendah bahkan < 1% maka tingkat kesuburan
tanahnya perlu ditingkatkan. Peningkatan bahan organik tanah
tidak harus seketika, karena membutuhkan biaya yang tinggi.
Peningkatan bahan organik tanah dapat dilakukan dengan
pemberian pembenah tanah berupa kotoran hewan, kompos,
hijauan legume, dll. Ditambahkan setiap pengolahan tanah, juga
pengembalian jerami ke dalam petak-petak sawah. Pemberian
bahan-bahan tersebut tidak dapat menggantikan kebutuhan
nitrogen sepenuhnya, tetapi dapat mengurangi jumlah nitrogen
yang diberikan ke dalam tanah.
Agar kandungan bahan organik tanah dapat meningkat dengan
cepat, maka pada musim bera (tidak ada tanaman padi) dapat
ditanami legume penutup tanah. Salah satu legume yang dapat
menghasilkan buah untuk bahan pangan adalah kacang tunggak,
kacang hijau, komak, kacang kedelai. Hijauan kacang-kacangan
tersebut dibenamkan ke dalam tanah, walaupun jumlahnya sedikit
jika dilakukan terus menerus selama 10 musim atau lebih maka
dipastikan terjadi peningkatan bahan organik tanah.
Pemberian jerami padi sebanyak 5 ton/ha misalnya memberikan
keuntungan tidak harus menggunakan pupuk KCl. Oleh karena itu
sangat dianjurkan untuk memanen padi sampai sebatas leher malai
ketika memisahkan malai bergabah dengan jerami. Jerami
dibiarkan tegak, mati dan terdekomposisi secara alamiah pada
lahan sawah atau dibabad kemudian dikomposkan dan komposnya
dikembalikan ke lahan sawah.
Selain penambahan bahan organik yang mudah terdekomposisi
atau terurai tersebut di atas, dapat juga dilakukan penambahan
bahan organik yang tidak mudah terdekomposisi. Sisa panen yang
tidak mudah terdekomposisi seperti sekam padi, tongkol jagung,
batang ubikayu, ranting-ranting kecil dapat dimanfaatkan untuk
memperbaiki kesuburan fisika tanah. Bahan-bahan terakhir
tersebut dijadikan arang yang kemudian dikenal juga sebagai
biochar, setelah dihaluskan dapat disebarkan merata ke dalam
bidang olah. Penyebaran biochar memberikan keuntungan karena
46| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
dapat lebih lama bertahan di dalam tanah, tidak mudah terurai,
dapat menjadi sarang mikroba, dan dapat mempertahankan
kelengasan tanah. Sisi kurang baiknya adalah dapat memperlambat
pencucian natrium dari dalam tanah.
Ketika semua sisa pertanian dapat dikembalikan ke dalam lahan
pertanian, maka pertanian tanpa limbah akan menjadi kenyataan.
Karena setiap sisa panen tanaman padi, kacang-kacangan dapat
dimanfaatkan untuk memulihkan kesuburan fisik tanah. Pertanian
tanpa limbah ini didambakan oleh setiap orang.
Selain penambahan bahan organik, dapat dilakukan penanaman
Azolla pinata sp yang mampu juga meningkatkan kandungan
nitrogen di dalam tanah. Bahan lain yang mungkin dapat diberikan
untuk memulihkan kesuburan fisik tanah sawah adalah pembenah
tanah yang dibuat dari bahan-bahan alamiah campuran mineral,
bahan organik, dan biochar.
Pembenah tanah dibuat dari bahan-bahan yang telah teruji
mampu memperbaiki kesuburan fisik tanah, seperti abuvolkanik
yang berasal dari Gunung Merapi di DI Yogyakarta – Jawa Tengah,
biochar sekam, kulit buah kakao, tongkol jagung, dan batang
ubikayu, serta kompos atau kotoran hewan. Bahan tersebut
diformulasi dengan komposisi tertentu yang dapat disesuaikan
dengan ketersediaan bahan. Misal akan dibuat pembenah tanah
sebanyak 100 kg proporsinya adalah 50 kg abuvolkanik 25 kg
kompos jerami dan 25 kg arang sekam, atau formulasi lainnya
sesuai kebutuhan. Jika tanpa abuvolkanik pun tidak mengapa,
gunakan seluruhnya bahan organik ditambah biochar. Sesuaikan
dengan ketersediaan bahan dan kandungan bahan organik
tanahnya.
Pembuatan pesemaian
Salah satu yang tidak boleh dilakukan adalah membuat
pesemaian pada tanah salin, atau melakukan tanam benih langsung
Budi Daya Padi Pada Lahan Sawah Salin|47
(tabela) pada tanah dengan kandungan natrium tinggi. Benih yang
disebar pada kondisi tanah dengan DHL > 6 dS/cm atau natriumnya
> 4 me/100 g tanah atau pada tanah dengan kejenuhan natrium >
5000 mg/kg, seluruh benih tidak tumbuh. Batasan tersebut juga
berlaku bagi air yang akan menggenangi pesemaian atau
pertanaman padi.
Gambar 16. Mencabut bibit di pesemaian darat untuk ditranslokasikan
ke sawah terpapar air asin
Jika tidak terdapat lahan sawah untuk pesemaian dengan
kandungan natrium rendah, maka buatlah pesemaian di darat dan
selalu disiram. Pesemaian di darat memungkinkan memperoleh
keuntungan berupa benih yang cukup banyak tanpa terpapar air
asin. Kerugiannya diperlukan tenaga kerja untuk menyiram dan
memelihara pesemaian padi agar tidak kekeringan atau diserang
hewan seperti ayam, itik, burung gereja saat masih berupa biji.
Membuat pesemaian di darat (Gambar 16) agak berbeda dengan
pesemaian dalam petakan sawah. Lahan untuk pesemaian di darat
harus digemburkan, jika perlu ditambahkan arang dan kotoran
hewan, atau abu sisa pembakaran, agar memudahkan mencabut
48| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
dan kondisi tanahnya selalu lembab. Kemudahan mencabut bibit
hendaknya menjadi pertimbangan pertama dalam membuat
pesemaian di darat. Oleh karena itu, lahan harus dipersiapkan
sebaik-baiknya agar tetap gembur, mudah diairi, dan terbebas dari
serangan hama dan penyakit tanaman padi.
Penanaman
Pemindahan bibit dari pesemaian ke lahan sawah dilakukan
ketika tanaman berumur sekitar 30 hari di pesemaian. Pemilihan
bibit tua perlu dilakukan karena bibit muda atau yang berumur 21
hari rentan terhadap perubahan kandungan natrium pada lahan
sawah. Bibit berumur 30 hari atau lebih, mempunyai toleransi yang
lebih baik terhadap perubahan kadar natrium dalam tanah dan air
genangan. Bibit yang berumur 21 hari banyak yang mati dan
sedikit yang bertahan > 3 minggu (Gambar 13).
Terjadi peningkatan kematian perlahan tapi pasti, dimulai sejak
hari ke 4 HST tanaman hidup mulai berkurang sekitar 10% dari
populasi dan terus meningkat mencapai 100% pada hari ke 19
setelah tanam (Gambar 6). Kematian ini ditandai dengan
mengeringnya daun tanaman tua terus menjalar ke daun muda dan
terakhir di titik tumbuh. Tanaman padi mengering dalam kondisi
tergenang air, sehingga kematian ini tidak sama dengan
kekeringan, inilah tanda utama kematian karena dipengaruhi oleh
tingkat kandungan natrium yang tinggi.
Kematian disebabkan oleh banyaknya ion Na+ dan
berkurangnya ion Ca, Mg, dan K yang dapat dimanfaatkan oleh
tanaman. Ion Na+ meracuni tanaman (Rhoades et. al. 1989) karena
proses fisiologis tanaman terganggu, merusak membrane sel
(Suwarno. 1985), mengganggu reaksi-reaksi metabolism
(Marschner. 1998.). Terdapat tanaman padi peka dan toleran
terhadap salinitas. Tanaman padi peka salinitas tidak dapat dapat
hidup atau berkembang pada tempat tumbuh yang kondisi air atau
Budi Daya Padi Pada Lahan Sawah Salin|49
tanahnya salin, sedangkan tanaman padi toleran dapat tumbuh dan
berkembang walaupun menghasilkan sangat sedikit gabah
Penanaman dapat dilakukan dengan jajar legowo 2:1 dengan
jarak tanam 20 x 20 cm.
Gambar 17. Tanam padi dengan cara jajar legowo (kiri) dan ketika berumur 2
minggu setelah tanam (kanan) pada percobaan di Indramayu.
Pengairan
Irigasi menjadi hal penting yang harus diperhatikan, terutama
dalam menentukan air yang boleh dialirkan ke dalam areal sawah
yang sudah ditanami padi. Ketika tanaman masih muda jangan
sampai air dengan kadar natrium dan DHL tinggi digelontorkan
masuk ke areal pertanaman karena akan menyebabkan tanaman
mengalami keracunan natrium.
Air untuk irigasi hendaknya digunakan air segar yang rendah
natrium dan DHL, tinggi muka air dapat mencapai 4 cm atau cukup
2 cm saja. Pada saat tertentu misalnya 2 minggu sekali biarkan air
mengalir ke luar petakan dan digantikan dengan air segar yang
baru agar air yang menggenangi areal pertanaman padi tetap
merupakan air segar rendah natrium dan DHL.
50| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Pupuk dan pemupukan
Pemberian pupuk sesuai dengan umur tanaman padi, biasanya
dilakukan pada umur 1 minggu setelah tanam, 30 hari setelah
tanam dan terakhir adalah saat terbentuknya primordia bunga
untuk pupuk urea atau ZA, sedangkan pupuk KCl dan SP36 paling
lambat pada saat tanaman berumur 1 minggu setelah tanam.
Kiat Sukses Rehabilitasi Lahan Salin|51
Bab 6
KIAT SUKSES REHABILITASI LAHAN SALIN
Kiat untuk mencapai keberhasilan pemulihan produktivitas
lahan sawah terpapar air laut dengan tingkat salinitas tinggi sampai
sangat tinggi adalah
(1) melakukan pengenceran kadar natrium di dalam tanah atau air
irigasi menggunakan air segar yang mempunyai daya hantar
listrik rendah dan rendah natrium,
(2) melakukan tindakan rehabilitasi dengan menambahkan
pembenah tanah seperti kompos, kotoran hewan, kapur
pertanian sesuai kebutuhan dan kondisi lahan,
(3) tidak menggunakan pupuk atau pembenah tanah yang
mengandung natrium, gunakan urea jika lahan mempunyai
pH < 7 sedangkan jika > 7 gunakan pupuk ZA sebagai sumber
nitrogen,
(4) menggunakan benih yang berumur sekitar 30 hari dan jangan
menerapkan system tanam benih langsung (tabela),
(5) menutup sumber natrium masuk kembali ke dalam petakan
sawah dengan cara membuat pintu-pintu air yang mampu
menghambat atau menghentikan aliran air bernatrium masuk
ke daratan.
52| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Pada dasarnya pemulihan lahan salin memerlukan waktu lama
dan kadar ketidak berhasilan bisa tinggi atau rendah, tetapi yang
pasti adalah mencegah agar air asin tidak masuk ke dalam petakan
sawah baik melalui permukaan atau pun melalui intrusi dari bawah
permukaan. Tindakan mencegah masuknya air asin ke dalam
petakan sawah dapat dilakukan dengan pembuatan
Daftar Pustaka |53
DAFTAR PUSTAKA
Abrol, I.P., Y.S.P. Yadaf and F.I. Massoud. 1988. Salt-Affected Soils
and their Management. FAO SOILS BULLETIN 39. Rome.
ACIAR, BPTP NAD, and ISRI. 2005. Pengkajian salinitas secara
cepat di daerah terkenan damapk tsunami, Pengalaman di
Provinsi Aceh. ACIAR, BPP NAD, ISRI.
Djukri. 2009. Cekaman salinitas terhadap pertumbuhan tanaman.
Hlm. B-49-B55 dalamProsiding Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan, dan Penerapan MIPA. Fakultas MIPA.
Universitas Negeri Yogyakarta. 16 Mei 2009.
Erfandi, D., 2009. Laporan akhir Identifikasi dan Delineasi Tingkat
Salinitas dan Reaksi Tanah Akibat Intrusi Air Laut pada Areal
Persawahan di Pantura, Jawa Barat. SINTA TA 2009. Badan
Litbang Pertanian.
Eviati dan Sulaeman. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air,
dan Pupuk. Petunjuk Teknis Edisi 2. Balai Penelitian Tanah.
Bogor.
FAO. 2005. Panduan Lapang FAO: 20 hal untuk diketahui tentang
dampak air laut pada lahan di propinsi NAD.
http://www.fao.org.[3 Agustus 2010].
IPNI (Intenational Plant Nutrition Institute). 2009. Nutrient Source
Sfecific: Gypsum. No. 16. >www.ipni.net/ spesific<
Kusmiyati, F,. E.D. Purbayanti, dan B.A. Kristanto. 2009. Karakter
fisiologis, pertumbuhan dan produksi legume
padakondisisalin. Hlm. 302-309 dalam Prosdiding Seminar
Nasional Kebangkitan Peternakan. Semarang, 20 Mei 2009.
54| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
Marschner, H. 1998. Mineral Nutrition of Higher Plants, 2nd ed.
Academic Press.London. 889 p.
Marwanto, S., A. Rachman, D. Erfandi, dan I G. M. Subiksa. 2009.
Tingkat salinitas pada lahan sawah intensif di Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat. Hlm 175-190 dalam Prosiding
Pertemuan dan Pembahasan Hasil Penetian Sumberdaya
Lahan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan, badan
Litbang Pertanian.
Rachman, A., D. Erfandi, dan N. Ali. 2008. Dampak tsunami
terhadap sifat-sifat tanah pertanian di NAD dan strategi
rehabilitasinya. J. Tanah dan Iklim Vol 28: 27 – 38.
Rhoades, J.D., Manteghi, N.A., Shouse, P.J. and Alves, W.J. 1989.
Soil Electrical Conductivity and soil Salinity: New
Formulations and Calibrations. Soil Sci.Soc.Am.J., 53: 433-442.
Suganda, H., D. Setyorini, H. Kusnadi, I. Saripin, dan Undang
Kurnia. 2003. Evaluasi pencemaran limbah industri untuk
kelestarian sumberdaya lahan sawah. Hal. 203-221 dalam
Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan
Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Sudjadi, M., I.M. Widjik S., dan M. Soleh. 1971. Penuntun Analisa
Tanah. Publikasi No.10/71, Lembaga Penelitian Tanah,
Bogor. 166 hlm.
Sutono, S. 2015. Penanggulangan dan pengelolaan sawah tanah
salin. Makalah Lokakarya Strategi Pengelolaan Lahan Salin
Mendukung Peningkatan Produksi Padi di Jawa Tengah,
Semarang 17 – 18 November 2015.
Sutono, S. 2014. Laporan akhir Penelitian Pemulihan Lahan Sawah
Terdegradasi Akibat Intrusi Air Laut untuk Mendukung
Peningkatan Kualitas Lahan. Balai Penelitian Tanah. Bogor
Daftar Pustaka |55
Sutono, S. dan Undang Kurnia. 2012. Identifikasi kerusakan lahan
sawah di Rancaekek, Jawa Barat. Makalah Seminar BBSDLP.
Sutono, S., A. Rahman, dan IGM. Subiksa. 2007. Perbaikan
Lingkungan Perakaran Kacang Tanah (Arachis hipogea) pada
Tanah Terkena Tsunami. Pros. Sem. dan Kongres Nas. MKTI
VI, Cisarua, Bogor 17 – 18 Des. 2007
Sutono, S. IGM Subiksa, dan A. Rachman. 2007. Remediasi Tanah
Terpengaruh Tsunami terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Jagung, sebuah Percobaan Pot. Pros. Sem. dan Kongres Nas.
HITI IX, UPN Veteran Yogyakarta 5-7 Des. 2007.
Sutono, S. Y. Hadian, H. Kusnadi, dan A. Abdurachman. 2001.
Pengaruh Air Limbah Industri Tekstil terhadap Perubahan
Sifat Tanah dan Kualitas Beras. Seminar Nasional
Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Pupuk di Cisarua 30 –
31 Oktober 2001.
Suwarno. 1985. Pewarisan dan Fisiologi Sifat Toleran terhadap
Salinitas pada Tanaman Padi. Disertasi. Program Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.Bogor. 87 hal.
Tan, K.H. 1992. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
56| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
INDEKS
abuvolkanik, 34, 35, 98 bahan organik, 15, 96, 97, 98 biochar, 34, 97, 98 budi daya, i, iv, 20, 23 daya hantar listrik, vii, 2, 3, 11, 14,
15, 16, 17, 19, 20, 21, 25, 93, 103 desalinisasi, 34 DHL, vii, 3, 11, 16, 17, 25, 27, 93, 94,
95, 96, 99, 101 drainase, 13, 95 horizon, 13 infiltrasi, 32 intrusi, ix, 4, 5, 18, 21, 22, 104 irigasi, ix, 1, 4, 5, 8, 10, 17, 20, 21, 37,
38, 94, 101, 103, 111 kejenuhan, i, 93, 99 kompos, 97, 98, 103 legume, 97, 105 limbah, vii, 4, 5, 13, 15, 16, 23, 28,
98, 106 mikroba, 98 mineral, 15, 98 natrium, i, iii, iv, v, vii, ix, 2, 3, 4, 5, 6,
8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 32, 34, 36, 93, 94, 95, 96, 98, 99, 100, 101, 103
payau, 9
pembenah, viii, 33, 34, 35, 97, 98, 103, 111
pengenceran, 20, 21, 22, 23, 93, 103 permeabilitas, 32 pesemaian, v, x, 98, 99, 100 pesisir, 1, 2, 6 pH, 16, 32, 35, 103 produktivitas, ii, 16, 103, 111 rehabilitasi, i, 3, 32, 36, 103 rob, 39, 40 salin, i, iv, v, 2, 3, 9, 10, 12, 14, 15,
16, 17, 18, 19, 32, 34, 35, 36, 95, 98, 101, 104, 106, 109, 110, 111
salinitas, i, vi, vii, viii, ix, x, 3, 4, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 94, 100, 103, 105, 106, 109, 110
sawah, iv, i, ii, v, vii, ix, x, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 34, 36, 37, 40, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 103, 104, 106, 107, 110
terpapar, i, x, 2, 13, 15, 93, 96, 99, 103
topografi, 8
58| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
TENTANG PENULIS
Achmad Rachman, lahir 18 November 1958 di
Ujungpandang. Mendapatkan gelar sarjana
pertanian (jurusan Ilmu Tanah) pada tahun 1985
dari Universitas Hasanuddin, Makassar. Pada
tahun 1994 menyelesaikan pendidikan S2 di
bidang Soil and Atmospheric Sciences dan
pendidikan S3 (Ph.D) pada tahun 2003 di bidang yang sama dari
Univeristy of Missouri - Columbia, USA. Saat ini bekerja sebagai
peneliti di Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian. Pernah
menjabat sebagai Kepala Balai Penelitian Tanah, Bogor (2004-2009).
Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) (2009-
2010), dan Atase Pertanian di Kedutaan Besar Republik Indonesia
di Washington, DC, AS pada tahun 2010 – 2014. Ketertarikan pada
masalah salinitas tanah dimulai ketika melakukan penelitian
reklamasi lahan salin di Aceh pasca kejadian tsunami di NAD tahun
2004 bersama tim ACIAR. Organisasi profesi yang diikuti adalah
Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo), Himpunan Ilmu
Tanah Indonesia (HITI) dan Masyarakat Koservasi Tanah Indonesia
(MKTI).
Tentang Penulis |59
Dr. Ir. Ai Dariah, lahir 10 Februari 1962
mendapatkan gelar Sarjana Pertanian, Jurusan
Ilmu Tanah pada tahun 1984 dari Institut
Pertanian Bogor (IPB). Pendidikan S2 dan S3
ditempuh di Perguruan Tinggi dan bidang
studi yang sama pada tahun 1999-2004. Karya
ilmiah yang ditulis sebagai Desertasi program
doktornya berjudul: Tingkat Erosi dan Kualitas
Tanah pada Lahan Usahatani Berbasis Kopi di
Sumberjaya, Lampung Barat. Yang bersangkutan merupakan
Peneliti Bidang Konsevasi dan Rehabilitas Lahan di Balai Penelitian
Tanah sejak tahun 1985, jenjang fungsinal yang telah dicapai saat ini
adalah Penelitia Ahli Utama Bidang Pengelolaan Lahan dan Iklim.
Pernah menjabat sebagai Kepala Balai Penelitian Tanah tahun 2016
– 2017. Yang bersangkutan juga aktif sebagai anggota sekaligus
pengurus HITI (Himpunan Ilmu Tanah Indonesia), Hinpunan
Gambut Indonesia (HGI) dan MKTI (Masyarakat Konservasi Tanah
dan Air Indonesia). Beberapa karya ilmiahnya baik sebagai penulis
utama maupun co-author telah dipublikasikan di beberapa jurnal
ilmiah. Kegiatan penelitian yang behubungan dengan salinitas
dimulai dengan keterlibatan dalam kegiatan penelitian reklamasi
lahan pasca tsunami di Aceh, reklamasi lahan sawah salin di daerah
Pantura. Studi tentang salinitas juga dilakukan sehubungan
dengan kegiatan penulis di Pokja Perubahan Iklim Kementerian
pertanian, serta sebagai Tim Teknis dalam penyusunan RAN
(Rencana Aksi Nasional) dan RAD (Rencana Aksi Daerah) untuk
menurunkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca).
60| Pengelolaan Sawah Salin Berkadar Garam Tinggi
S. Sutono, M.Si. setelah lulus dari SPMA
Negeri Yogyakarta (1975) bekerja sebagai
teknisi (1976-1997) Lembaga Penelitian
Tanah. Pada 1995 menyelesaikan S1 dari
Fakultas Pertanian Universitas Juanda di
Ciawi, Bogor dan menyelesaikan S2 pada
2012 di Agro Teknologi Tanah Institut
Pertanian Bogor. Setelah reorganisasi Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, bekerja di Balai Penelitian
Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian menjadi Kepala Seksi Pelayanan Teknis Penelitian
yang pertama bagi Balittanah (2002 -2005), Penanggung Jawab
Laboratorium Fisika Tanah (2006-2014) merangkap sebagai Kepala
Instalasi Laboratorium Sindangbarang (2008-2013). Sebagai peneliti
bidang Fisika dan Konservasi Tanah (1997-sekarang), melakukan
penelitian penanggulangan lahan terdegradasi termasuk
penanggulangan lahan salin (2014-sekarang), penelitian pembuatan
dan aplikasi pembenah tanah untuk meningkatkan produktivitas
lahan kering (2006-sekarang), penelitian pengelolan air dengan
sistem irigasi suplemen pada lahan kering (2001-2005), penelitian
multifungsi pertanian (2000-2006), penelitian Pengembangan
Pengelolaan DAS Cimanuk, (1995-1999), penelitian pembukaan
hutan di Daerah Transmigrasi Kuamang Kuning, Jambi (1984-1986),
dan penelitian faktor-faktor penyebab erosi berdasarkan Universal
Soil Loss Equation (USLE), di Blitar dan Pacitan Jawa Timur (1976-
1983). Selain buku ini, buku yang ditulis sendiri berjudul
Mengelola Lahan Kering Terdeggradasi Menjadi Lahan Pertanian
Yang Lebih Prooduktif (IAARD Press, 2014). Menjadi penulis
pertama buku Berkah Abu Vulkanis Bahan Pembenah Tanah
(IAARD Press 2017), Irigasi Suplemen Pada Pertanaman Bawang di
Donggala (2006). Menjadi co-author untuk buku Pengelolaan
Tanah pada Lahan Kering Beriklim Kering (IAARD Press 2014), dan
Biochar Pembenah Tanah yang Potensial (IAARD Press 2016).