Upload
hoangkien
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGELOLAAN LINGKUNGAN PESISIR
DI KAWASAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KOTA BATAM, PROVINSI KEPULAUAN RIAU
DASMINTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengelolaan
Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam,
Provinsi Kepulauan Riau adalah karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2006
Dasminto C225010311
ABSTRAK DASMINTO. Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh RICHARDUS KASWADJI dan FREDINAN YULIANDA.
Posisi geografis Batam yang sangat strategis menjadikan daerah ini dikembangkan oleh Pemerintah menjadi daerah industri yang mempunyai arti penting bagi kehidupan ekonomi nasional. Pengembangan daerah industri ini ternyata membawa dampak ikutan terhadap tumbuhnya sektor-sektor lainnya di daerah ini. Namun pada sisi lain, adanya pengembangan industri berdampak terhadap terjadinya degradasi sumberdaya pesisir dan laut, seperti terjadinya pencemaran air laut dan kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta turunnya produktivitas perikanan. Terjadinya degradsi lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam diperkirakan akan semakin parah dengan dipicu oleh adanya perusahaan-perusahaan yang secara komersial hanya mengedepankan keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan dampak negatif terhadap lingkungan. Untuk itu diperlukan adanya pengelolaan yang baik dengan memperhatikan semua aspek terkait agar dampak negatif dari pengembangan industri di Kota Batam terhadap lingkungan pesisir dan laut dapat diminimalisasi sekecil mungkin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas lingkungan pesisir dan laut, mengidentifikasi isu dan permasalahan yang ada, serta menyusun strategi pengelolaan lingkungan pesisir dan laut berdasarkan pada kajian dampak dari kegiatan industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di lingkungan pesisir Kota Batam. Berdasarkan analisis data dapat digambarkan bahwa secara umum kondisi perairan pesisir Kota Batam dalam keadaan sangat memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan buruknya kualitas air laut serta terancamnya keberadaan ekosistem pesisir serta sumberdaya perikanan. Beberapa kegiatan yang menonjol dan mempengaruhi kondisi tersebut diantaranya pembuangan limbah industri, adanya pembukaan lahan dengan merusak kawasan hutan dan perbukitan, reklamasi pantai dengan mengkonversi kawasan mangrove bagi peruntukkan lainnya. Untuk itu diperlukan adanya arahan kebijakan pengelolaan yang baik dengan memperhatikan semua aspek terkait serta didukung oleh adanya partisipasi aktif dari seluruh komponen yang ada. Adanya pengelolaan lingkungan pesisir secara terpadu menjadi kebutuhan yang harus dilakukan agar dampak negatif dari kegiatan industri dan pengembangannya terhadap lingkungan pesisir dan laut dapat ditekan sekecil mungkin. Untuk mendukung pengelolaan tersebut diperlukan adanya strategi. Melakukan pencegahan dan pengendalaian pencemaran laut oleh industri yang dilakukan secara terpadu dan terencana dengan dukungan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah dan kelembagaan pengelola serta sumberdaya manusia yang berkualitas, adalah merupakan prioritas pertama dari strategi yang harus dilakukan.
ABSTRACT
DASMINTO. Coastal Environmental Management in the Industrial Development Area of Batam City, Province of Kepulauan Riau. Under the direction of RICHARDUS KASWADJI and FREDINAN YULIANDA. The strategic geographical location of Batam has geared this region be developed by the government to be an industrial area which has an important value for the national economic aspect of life. This development of industrial area in fact has created an impact to other growing sectors in the region. However, from another side, the existence of the industrial development has resulted degradation to the coastal and marine resources, such as marine pollution and coastal ecosystem destruction (mangrove, coral reef and sea-grasses) including the decrease in fisheries productivity. The environmental degradation in the coastal and marine environment of Batam City was estimated to be more severe which have been triggered by certain agencies that commercially having only depending on short term benefits without taking care of environmental negative impacts. Therefore a proper management is needed taking into account all related aspects in order to minimize the negative impacts towards the minimum limits on the industrial development of Batam City in the coastal and marine environment. The purpose of this study is to know the quality of the coastal and marine environment, identification of issues and available problems, and to set up strategic coastal and marine environmental management based on impact analysis of industrial activities and its development on the water quality in the coastal environment of Batam City. Based on data analysis it could be put forward that in general the condition of the coastal waters of Batam City are not in a favourable situation. This is due to the worst values of the marine water quality and also the threats to the existence of coastal ecosystem and fishery resources. Some profound activities which impacted the condition are, among others, discharge of industrial waste, land clearing through destruction of forest areas and hills, coastal reclamation by way of mangrove area conversion for other purposes. Therefore proper policy guidance for management is needed taking into account all related aspects that will be supported through active participation of all existed components. The integrated coastal environmental management is needed to be implemented in order to avoid and minimize negative impacts from the industrial activities and its development on the coastal and marine environment. Consequently some strategies are needed in supporting the management. The protection and control for marine pollution by the industrial activity have to be implemented in an integrated and well planned manner which will be supported by the existing rules and regulations, governmental policy and management agencies including qualified human resources, are the prime priorities of the strategy that should be conducted.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN PESISIR
DI KAWASAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KOTA BATAM, PROVINSI KEPULAUAN RIAU
DASMINTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
Judul Tesis : Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan Pengembangan
Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau Nama : Dasminto NRP : C225010311
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua Anggota
Diketahui : Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 6 April 2006 Tanggal Lulus: 1 Maret 2007
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)-Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan-Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Tesis dengan judul “Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kawasan
Pengembangan Industri Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau” disusun
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dari bulan April 2003
sampai dengan Desember 2004. Tujuan dari tesis ini adalah untuk menyusun
arahan kebijakan sebagai masukan khususnya bagi pemerintah Kota Batam dalam
pengelolaan lingkungan pesisir berdasarkan kajian dampak industri dan
pengembangannya terhadap kualitas perairan pesisir Kota Batam.
Pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Bapak Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Fredinan
Yulianda, M.Sc. selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang secara
substansial telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan
tesisi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA yang sejak awal telah mengarahkan
penulis dari mulai usulan sampai dengan pelaksanaan penelitian untuk tesis ini
serta menjadi komisi pembimbing tetapi kemudian karena masalah teknis tidak
dapat melanjutkan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Sigid
Hariyadi, M.Sc. selaku penguji tamu yang telah banyak memberikan masukan
untuk penyempurnaan Tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak
Drs. Sudariyono, Bapak Ir. Henk Uktolseya, M.Sc., Ibu Ir. Wahyu Indraningsih,
Ibu Ir. Zulhasni, M.Sc. serta teman-teman dari Kementerian Negara Lingkungan
Hidup RI. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Yunelhas Basri
dan staf Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam yang
telah banyak memberikan dorongan dan bantuannya khususnya selama
pelaksanaan penelitian di Kota Batam. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Tim Studi yang terdiri dari Diah dan Sastra (mahasiswa S2-SPL IPB) serta
Adi, Rudi, Gusti dan Hazmi (mahasiswa S1-ITK FPIK IPB) yang senantisa
mendampingi penulis dalam berbagi tugas selama penelitian di lapangan. Kepada
teman-teman, staf dan dosen SPL serta semua pihak yang telah membantu baik
dalam penelitian maupun penyelesaian tesis ini penulis juga mengucapkan terima
kasih.
Secara khusus ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada istriku
tercinta dr. Farida Sulistyowati, anak-anakku tersayang Via Afini Salsabila
(ALSA) dan Moh. Naufal Syauqi (AUFAL) serta keponakan dan saudara-
saudaraku yang secara tulus senantiasa memberikan semangat dan doa serta
dorongan mental kepada penulis.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati penulis sampaikan tesis ini
dengan harapan semoga bermanfaat khususnya bagi yang membaca serta pihak-
pihak lain yang mau memanfaatkannya. Sebagai penutup penulis menyampaikan
permohonan maaf apabila tesis ini belum sempurna karena keterbatasan penulis
sehingga adanya saran-saran yang konstruktif sangat diharapkan.
Bogor, April 2006
Dasminto
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 7 Desember 1966 sebagai anak
ketiga dari pasangan Rahmudi B. Kasmali (almarhum) dan Sani Bt. Rahmah
(almarhumah). Pendidikan sarjana (S1) diperoleh melalui Penelusuran Minat dan
Bakat (PMDK) pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2001,
penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
(S2 SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperoleh dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH)
Republik Indonesia.
Penulis bekerja di KLH sejak tahun 1992 dan pada tahun 2005 penulis
dipercaya sebagai Kepala Sub-bidang Pengembangan pada Bidang Perlindungan
Ekosistem-Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut.
Selama mengikuti program S2 SPL, bersama teman-teman mahasiswa S2
dan S3 serta dosen SPL IPB, penulis telah merintis berdirinya sebuah organisasi
mahasiswa yang pertama pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Dan Lautan-Program Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor (Wacana Pesisir
IPB) dan untuk masa kepengurusan periode pertama (Masa Bakti 2002-2003),
penulis dipilih sebagai ketua umum dari organisasi tersebut.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... vii PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................ 1 Perumusan Masalah ........................................................................................ 3 Kerangka Pemikiran ........................................................................................ 6 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 8 TINJAUAN PUSTAKA Dampak Pengembangan Industri ..................................................................... 9
Kegiatan Industri.......................................................................................... 9 Pertanian ..................................................................................................... 10 Permukiman ................................................................................................. 10
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ....................................... 11 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi ............................................................................................ 18 Lingkup Kegiatan............................................................................................. 18 Pengumpulan Data ........................................................................................... 18
Data primer .................................................................................................. 18 Data sekunder............................................................................................... 21
Analisis Data .................................................................................................. 21 Analisis kondisi kualitas air laut .................................................................. 22 Analisis kondisi ekosistem pesisir ............................................................... 23
Mangrove................................................................................................ 24 Terumbu Karang..................................................................................... 27 Padang Lamun ........................................................................................ 28
Analisis untuk Menentukan Strategi Pengelolaan Lingkungan Pesisir ....... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian ................................................................. 30 Letak Geografis................................................................................................ 30 Penduduk ......................................................................................................... 32 Industri ............................................................................................................ 33 Kondisi Perairan Pesisir Kota Batam............................................................. 41
Arus Air Laut ............................................................................................... 42 Gelombang Air Laut .................................................................................... 47 Pasang Air Laut............................................................................................ 47 Kualitas Perairan Pesisir .............................................................................. 49
i
Kondisi Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir Kota Batam.......................... 70 Ekosistem Pesisir ......................................................................................... 70
Hutan Mangrove..................................................................................... 70 Terumbu karang...................................................................................... 82 Padang Lamun ........................................................................................ 93 Sumberdaya Perikanan ........................................................................... 98
Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan.................................................... 111 Dampak Pembangunan di Kota Batam........................................................ 111 Kebijakan Pemerintah Kota Batam.............................................................. 115 Arahan Kebijakan Umum ............................................................................ 117 Arahan Kebijakan Penanggulangan Dampak Pembangunan....................... 118 Arahan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pesisir Kota Batam................ 120 Arahan Strategi Pengelolaan........................................................................ 123
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...................................................................................................... 141 Saran ............................................................................................................ 143 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 145 LAMPIRAN..................................................................................................... 151
ii
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Penentuan skor untuk tiap parameter kualitas air dengan metode
STORET (Canter, 1977) ........................................................................... 23 2. Klasifikasi tingkat kualitas air beserta kelasnya berdasarkan sistem nilai
dari US-EPA ............................................................................................. 23 3. Kriteria baku kerusakan mangrove ........................................................... 24 4. Jenis data dan tingkat keragaman jenis mangrove .................................... 25 5. Kriteria baku kerusakan terumbu karang .................................................. 27 6. Kriteria baku kerusakan padang lamun..................................................... 28 7. Status padang lamun ................................................................................. 28 8. Matrik analisis SWOT .............................................................................. 29 9. Jumlah penduduk Kota Batam tahun 2003 menurut kecamatan............... 32 10. Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Batam dari tahun 1993-2004......... 34 11. Luas kawasan industri sesuai RTRW Kota Batam ................................... 36 12. Banyaknya perusahaan Sektor Industri Pengolahan menurut
golongannya .............................................................................................. 37 13. Kecepatan dan arah arus di perairan Batam.............................................. 43 14. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata
berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998...................................................... 50
15.Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 ................................. 52
16. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998...................................................... 53
17. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000 ................................ 54
18. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Nongsa, Kota Batam pada 6 Mei 2003 ..................................................... 56
19. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja, Kota Batam pada 2003.............................. 58
20. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Lubuk Baja dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002........................................................................................................... 59
21. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang, Kota Batam pada 2003......................... 61
iii
22. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Belakang Padang dan Kec. Sekupang) Kota Batam pada Nopember 2002......................................................................................... 62
23. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei Beduk-Kota Batam pada 19 Januari 2001................................................ 64
24. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota Batam pada 14 Maret 2001................................................. 65
25. Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Galang, Kota Batam pada 3 Mei 2003...................................................... 67
26. Rekapitulasi kondisi kualitas air laut di sekitar daerah industri dan di luar daerah industri di Kota Batam ........................................................... 68
27. Kandungan rata-rata logam berat pada dua organisme laut di Batam ...... 69 28. Penyebaran dan luasan mangrove di Kota Batam pada tahun 1996 ......... 73 29. Luasan mangrove pada masing-masing pulau di Kota Batam
tahun 2002................................................................................................. 74 30. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan dan kerapatannya tahun 2003 ...... 78 31. Luas terumbu karang di Barelang, 1998 ................................................... 82 32. Persen penutupan biota penyusun terumbu karang di lokasi pengamatan
perairan Barelang, 1998 ............................................................................ 85 33. Kondisi karang pada kedalaman perairan 3 meter tahun 2003 ................ 87 34. Kondisi karang pada kedalaman perairan 10 meter tahun 2003 .............. 90 35. Data hasil tangkapan ikan di sekitar terumbu karang di Barelang, 1996.. 92 36. Luas padang lamun di wilayah pesisir Barelang, 2002............................. 97 37. Data hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun Batam, 1996............. 98 38. Daftar nama-nama pulau yang teridentifikasi berpenghuni di Kota
Batam ........................................................................................................ 99 39. Nama ikan yang tertangkap nelayan dari Kota Batam dan Kabupaten
Kepulauan Riau (Khusus Pulau Bintan) (PKSPL-IPB, 1998) .................. 102 40. Jenis-jenis ikan dan udang yang sering ditangkap oleh nelayan Kota
Batam dan memiliki nilai ekonomis tinggi ............................................... 103 41. Jumlah rumah tangga perikanan, jumlah anggota keluarga dan jumlah
penduduk Kota Batam per kecamatan....................................................... 104 42. Jumlah RTP, jumlah perikanan tangkap dan budidaya laut di Kota
Batam tahun 2003 ..................................................................................... 105 43. Jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan Gross Ton (GT)
di Kota Batam tahun 2003 ........................................................................ 106 44. Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan pada setiap kecamatan di Kota
Batam ........................................................................................................ 107 45. Jumlah RTP, jumlah hasil tangkapan ikan dan nilai produksinya di Kota
Batam tahun 2003 .................................................................................... 108 46. Produksi budidaya perikanan laut di Kota Batam pada tahun 2003 ......... 110 47. Pembobotan faktor internal dengan analisis SWOT ................................. 130 48. Pembobotan faktor eksternal dengan analisis SWOT............................... 131
iv
49. Strategi dan komponen pembentuknya dalam analisis SWOT................. 132 50. Komponen dan bobot pembentuk strategi dalam analisis SWOT ............ 136
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian ................................................................. 7 2. Peta lokasi pengambilan sampel kualitas air laut, pengamatan mangrove
dan terumbu karang di Kota Batam .......................................................... 19 3. Peta Kota Batam dengan batas-batas administrasinya (Pemerintah Kota
Batam, 2000)............................ ................................................................. 31 4. Peta penyebaran industri di Kota Batam (Pemerintah Kota Batam,
2000)......................................... ................................................................. 35 5. Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya pada bulan
Januari - Juni (PT Bumimas Batamjaya, 2001) ........................................ 44 6. Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya pada bulan
Juli - Desember (PT Bumimas Batamjaya, 2001)..................................... 45 7. Pergerakan arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya (Chia et al,
1988)......................................... ................................................................. 46 8. Ramalan pasang di perairan Batu Ampar pada tanggal 20 Mei (atas)
dan 11 Juni (bawah) tahun 2003 (Dishidros, 2003) ................................... 48 9. Distribusi mangrove di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of
State for Environment, 2000)… ................................................................. 71 10. Distribusi terumbu karang (coral reef) di Pesisir Kota Batam dan
sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000) .............................. 84 11. Distribusi lamun (seagrass) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya
(Ministry of State for Environment, 2000) ................................................ 95 12. Daerah penangkapan ikan (fishing ground), budidaya udang (shrimp
culture), budidaya ikan (fish culture) dan budidaya rumput laut (seaweed culture) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)................. ................................................................. 101
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara wilayah Kota
Batam pada April 1998 ............................................................................ 151 2. Kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan
perbatasan Singapura pada Maret 2000 ................................................... 152 3. Kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara wilayah Kota
Batam pada April 1998 ............................................................................ 153 4. Kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan
perbatasan Singapura pada Maret 2000 .................................................. 154 5. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Nongsa, Kota
Batam pada 6 Mei 2003 ............................................................................ 155 6. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Batu Ampar dan
Lubuk Baja, Kota Batam pada 2003 ......................................................... 156 7. Kualitas air laut di Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Lubuk Baja
dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002....................... 157 8. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sekupang dan
Belakang Padang, Kota Batam pada 2003 ................................................ 158 9. Kualitas air laut di Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Belakang Padang
dan Kec. Sekupang) Kota Batam pada Nopember 2002........................... 159 10. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei Beduk, Kota
Batam pada 19 Januari 2001 .................................................................... 160 11. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota
Batam pada 14 Maret 2001 ....................................................................... 161 12. Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Galang, Kota
Batam pada 3 Mei 2003 ............................................................................ 162 13. Gambaran pembukaan lahan di Kota Batam berdasarkan citra satelit
tahun 1996-2002 (Bapedal Kota Batam, 2003) ........................................ 163 14. Contoh kegiatan pembukaan lahan dengan reklamasi pantai untuk
kepentingan pengembangan industri di Kecamatan Nongsa, Kota Batam tahun 2003 ..................................................................................... 166
15. Gambaran perusakan kawasan mangrove yang di konversi bagi peruntukkan lainnya di Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)........... 167
16. Gambaran pembuangan limbah industri ke perairan pantai di Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003) ......................................................... 169
17. Gambaran pencemaran perairan pantai di Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)................................................. 171
vii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan pesisir dan laut Indonesia dengan potensi sumberdaya alamnya
termasuk di dalamnya pulau-pulau kecil, memiliki peranan yang sangat penting
dalam pembangunan nasional. Demikian halnya dengan sumberdaya pesisir dan
laut di Kota Batam yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Daerah ini terdiri dari tiga pulau utama,
yaitu Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang atau sering disebut dengan
Barelang. Ketiga pulau tersebut mempunyai luasan yang lebih besar
dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya yang ada di Kota Batam.
Kota Batam merupakan wilayah yang sangat strategis karena terletak
berdampingan dengan negara-negara tetangga Indonesia, bahkan pada bagian
utara wilayahnya berbatasan dengan Singapura/Malaysia. Melihat pada potensi
yang ada serta letak geografis Batam yang sangat strategis, yaitu berada di Selat
Singapura yang dilalui oleh jalur pelayaran yang sangat ramai maka Pemerintah
mengembangkan daerah Batam menjadi daerah industri, yang akan mempunyai
arti penting bagi kehidupan ekonomi nasional pada umumnya. Kawasan ini
menjadi sangat penting menjelang diberlakukannya Kawasan Perdagangan Bebas
(Free Trade Zone) dan Pelabuhan Bebas Batam.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 yang kemudian
dirubah dengan Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun 2000, Pemerintah
Republik Indonesia menetapkan seluruh wilayah Pulau Batam dikembangkan
menjadi kawasan pengembangan industri dibawah suatu lembaga otorita, yaitu
Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau (OPDIP) Batam atau Otorita Batam.
Sejak Pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya dikembangkan
menjadi daerah industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata serta dengan
terbentuknya Kotamadya Batam berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34
tahun 1983 yang kemudian menjadi Kota Batam sesuai Undang-undang Nomor
53 tahun 1999, laju pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan. Laju
pertumbuhan penduduk dari hasil sensus penduduk rata-rata per tahunnya selama
2
periode 1990-2000 sebesar 12,87%. Penduduk Kota Batam jumlahnya terus
meningkat, terutama dengan datangnya orang-orang dari daerah lain di Indonesia
maupun dari negara lain ke daerah ini dan pada tahun 2003 penduduk Kota Batam
tercatat 562 661 jiwa. Sejalan itu pula dari tahun 1999-2003 sektor industri besar
(dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih) terus mengalami peningkatan, yaitu
pada tahun 1999 tercatat jumlah industri besar 108 buah dan pada tahun 2003
bertambah menjadi 138 buah. Hal ini membuktikan bahwa Batam mempunyai
daya tarik tersendiri bagai para investor untuk melakukan investasi serta bagi para
pendatang yang ingin mendapatkan lapangan pekerjaan di daerah ini.
Pada sisi lain, berbagai kegiatan industri dan pengembangannya yang
dilakukan di Kota Batam diperkirakan akan menimbulkan dampak terjadinya
degradasi sumberdaya pesisir dan laut. Kondisi kerusakan lingkungan
diperkirakan semakin parah dengan dipicu oleh semakin meningkatnya kebutuhan
masyarakat sejalan dengan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, kemiskinan,
kurangnya alternatif usaha, adanya perusahaan-perusahaan yang pada umumnya
hanya mengedepankan keuntungan ekonomi untuk kepentingan jangka pendek
tanpa memperdulikan dampak negatif yang timbul terhadap lingkungan,
terjadinyaa konflik pemanfaatan ruang sebagai akibat adanya berbagai
kepentingan serta masih belum tumbuhnya kesadaran untuk mewujudkan dan
menjaga kualitas lingkungan yang baik dalam hubungannya dengan
pengembangan suatu wilayah, khususnya dalam upaya mewujudkan pertumbuhan
ekonomi wilayah yang tinggi.
Pengembangan suatu wilayah untuk kepentingan industri seperti Kota
Batam bila dilakukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata tanpa
memperdulikan aspek lingkungan hidup maka akan menimbulkan dampak negatif
berupa turunnya kualitas lingkungan, khususnya lingkungan pesisir dan laut.
Kondisi lingkungan akan menjadi semakin parah dengan adanya anggapan bahwa
perairan pesisir dan laut sebagai tempat pembuangan limbah yang mudah dan
murah (bahkan tidak dikenakan biaya) sehingga akan menimbulkan semakin
buruknya kualitas perairan sebagai akibat terjadinya pencemaran perairan pesisir
dan laut yang semakin meningkat. Akan sangat berbahaya apabila kondisi ini
3
tidak segera diantisipasi mengingat Kota Batam dengan luas 1 570.35 km2
termasuk dalam kriteria pulau kecil.
Sebagai kawasan yang termasuk dalam kriteria pulau kecil, Kota Batam
tentunya memiliki banyak keterbatasan yang harus diperhatikan oleh segenap
stakeholder dalam melakukan pemanfaatan wilayah tersebut. Menurut Bengen et
al (2002), yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas
area kurang dari atau sama dengan 2 000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km.
Pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol, di antaranya
sumberdaya air tawar yang terbatas dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil serta peka
dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan
manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran (Griffith dan
Inniss, 1992; United Nations, 1994 dalam Bengen et al, 2002).
Pulau-pulau kecil merupakan kasus khusus pembangunan, karena
memiliki ciri khusus yang meliputi sumberdaya alam, ekonomi, dan aspek sosial
budaya yang spesifik. Pulau-pulau kecil mempunyai potensi untuk dikembangkan
dengan mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan baik
secara ekologi maupun secara ekonomi (Hein, 1990 dalam Bengen et al, 2002).
Sehubungan dengan itu maka manajemen lingkungan merupakan prasyarat
pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan manajemen
pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sinergi dengan manajemen
lingkungan (Bengen et al, 2002).
Perumusan Masalah
Dengan dijadikannya Pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya
menjadi daerah industri ternyata menimbulkan dampak negatif berupa
menurunnya kualitas lingkungan, baik yang terjadi di daratan maupun di kawasan
pesisir dan laut. Khusus penurun kualitas lingkungan di kawasan pesisir dan laut
di Kota Batam terjadi karena degradasi lingkungan pesisir dan laut. Menurut
Bapedal (2003), terjadinya degradasi lingkungan pesisir dan laut karena hal-hal
berikut:
4
a. Adanya pembukaan lahan (land clearing) yang tak terkendali di wilayah
daratan, dimana tercatat sekitar 2 731.60 hektar kawasan hutan lindung dan
hutan wisata dikonversi dan beralih fungsi serta adanya reklamasi pantai yang
dilakukan secara terus-menerus untuk pengembangan Sektor Industri dan
sektor-sektor pendukung lainnya dapat memberikan kontribusi terhadap
peningkatan partikel sedimen di perairan pantai apabila terkena aliran air
hujan. Hal ini akan dapat mengganggu proses fotosintesis dan menutupi
padang lamun dan karang hidup serta mengakibatkan turunnya produktivitas
perikanan pantai.
b. Adanya perusakan hutan mangrove yang dikonversi bagi peruntukkan
lainnya.
c. Dari sekitar 575 perusahaan industri, pariwisata dan sebagainya yang ada di
Batam memberikan kontribusi terhadap pencemaran lingkungan yang cukup
tinggi, apalagi baru sekitar 139 perusahaan yang melakukan kegiatannya
dilengkapi dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL)/Upaya Pengengelolaan Lingkungan maupun Upaya Pemantauan
Lingkungan.
d. Terindikasi baru sekitar 25% industri yang melakukan pengelolaan
lingkungan hidupnya dengan baik.
e. Dari sekitar 24 kawasan industri, baru sekitar 4 kawasan industri yang
dilengkapi studi AMDAL dan hanya satu kawasan industri yang memiliki
Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sehingga rawan terhadap terjadinya
pencemaran.
f. Masih banyak ditemui pembuangan limbah cair dari industri langsung ke
perairan pantai atau media lingkungan lainnya tanpa melalui proses
pengelolaan limbah terlebih dahulu.
g. Adanya perusakan terumbu karang untuk dijadikan bahan bangunan dan
penangkapan ikan karang dengan bahan peledak.
Hal lain yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan laut
adalah adanya orientasi jangka pendek dari kalangan industri yang hanya
mengejar keuntungan dari aspek ekonomi semata tanpa memperdulikan aspek
lingkungan hidup. Di samping itu juga, kemungkinan adanya penyebaran
5
polutan dari negara-negara sekitarnya (terutama dari Singapura dan Malaysia)
yang disebabkan oleh pergerakan arus air laut turut andil terhadap terjadinya
degradasi lingkunga perairan pesisir dan laut Kota Batam.
Pengembangan industri di Kota Batam hendaknya harus disertai adanya
prinsip kehati-hatian dan pengambilan keputusan yang bijaksana dengan perhatian
yang serius aspek lingkungan hidup, khususnya lingkungan perairan pesisir. Hal
ini karena telah banyak kasus pencemaran lingkungan terjadi di daerah lain yang
disebabkan oleh pengembangan dan aktivitas industri, yang membuang limbahnya
dengan tidak mengikuti peraturan yang telah ditentukan. Dampak yang lebih
serius dan ekstrem dapat terjadi bila kegiatan industri dikembangkan di pulau-
pulau kecil seperti di Kota Batam, hal ini karena pulau-pulau kecil memiliki
tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap perubahan lingkungan. Dampak
dari perubahan lingkungan berupa turunnya kualitas lingkungan khususnya
kualitas perairan pantai/pesisir sebagai akibat dipacunya kawasan pertumbuhan
industri akan menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan yang dapat
mengancam kelestarian sumberdaya alam yang ada di kawasan tersebut.
Beberapa permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Pulau Batam dan
pulau-pulau di sekitarnya sebagai dampak dari pengembangan industri yang juga
memberikan kontribusi terhadap terjadinya degradasi lingkungan pesisir dan laut
diantaranya disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a. Masih rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat industri dalam
menjaga kualitas lingkungan dengan mengikuti dan melaksanakan peraturan
yang telah ditentukan.
b. Adanya konflik kepentingan antara Otorita Pengembangan Daerah Industri
Pulau Batam dengan Pemerintah Kota Batam. Munculnya dualisme
kekuasaan pemerintahan di daerah ini menyebabkan ketidak-jelasan institusi
mana yang bertanggung-jawab dalam melakukan pengendalian pencemaran
dan kerusakan lingkungan hidup di kawasan tersebut, termasuk menyangkut
pengawasan dan pembinaan. Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau
Batam menganggap sebagai lembaga yang memiliki otoritas dan secara
historis merasa sebagai institusi yang telah merintis Pulau Batam menjadi
kawasan industri. Pada sisi lain, dalam era otonomi daeah seperti saat ini,
6
Pemerintah Kota Batam merasa yang bertanggung jawab terhadap
kewenangan yang ada di Pulau Batam sekalipun daerah ini telah dijadikan
kawasan otorita.
Apabila hal-hal tersebut tidak segera ditanggulangi maka permasalahan
lingkungan hidup di Kota Batam akan terus meningkat, khususnya yang berkaitan
dengan terjadinya degradasi kualitas perairan pesisir dan laut sebagai dampak dari
pengembangan industri. Dampak negatif terhadap lingkungan hidup yang
ditimbulkan oleh industri-industri di Kota Batam bukan hanya bersifat lokal atau
nasional, tetapi juga akan berdampak secara regional atau lintas negara mengingat
letak Kota Batam berbatasan dengan negara-negara tetangga khususnya Singapura
atau Malaysia. Berdasarkan pergerakan arus laut secara regional, penurunan
kualitas perairan yang terjadi di Kota Batam akan berdampak lebih luas yang
diperkirakan dapat mempengaruhi kondisi perairan Laut Cina Selatan. Padahal
secara regional banyak negara-negara berkepentingan terhadap kondisi perairan
tersebut khususnya negara-negara yang terletak atau berbatasan langsung dengan
perairan Laut Cina Selatan, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina,
Vietnam, Thailand, Kamboja dan Cina. Sehubungan dengan itu perlu segera
dicarikan beberapa alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang terjadi. Untuk itu, sebagai salah satu altenatif dalam rangka
mengatasi berbagai permasalahan penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut
tersebut perlu disusun strategi pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam.
Kerangka Pemikiran
Kebijaksanaan pemerintah dalam mengembangkan Pulau Batam dan
beberapa pulau di sekitarnya menjadi daerah industri membuat sektor industri di
Kota Batam terus tumbuh dan berkembang. Pengembangan Batam sebagai
kawasan industri selain berdampak sosial-ekonomi, juga berdampak ekologi.
Dampak sosial-ekonomi dapat dilihat dari peningkatan sektor industri yang akan
memacu pertumbuhan ekonomi khususnya di Kota Batam. Sejalan dengan itu,
terjadi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pada
sisi lain ternyata kegiatan industri dan pengembangannya menimbulkan dampak
7
negatif terhadap lingkungan hidup di Kota Batam khususnya terhadap lingkungan
pesisir dan laut, seperti timbulnya pencemaran pantai/laut, kerusakan ekosistem
pesisir (ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta turunnya
produktivitas sumberdaya hayati laut (perikanan laut). Untuk itu diperlukan
adanya strategi pengelolaan yang dapat menekan sekecil mungkin dampak negatif
yang ditimbulkan oleh kegiatan industri dan pengembangannya di Kota Batam.
Kerangka pemikiran sebagai pendekatan dari penelitian ini yang akan
melihat secara utuh dan menyeluruh (komprehensif) dari komponen-komponen
yang terkait dalam rangka untuk mendapatkan solusi terbaik, khususnya dalam
kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir di Kota Batam disajikan dalam
Gambar 1.
Batam sebagai kawasan industri
Kebijakan Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam
Penurunan kualitas perairan pantai
Dampak ekologi
ANALISIS
Sosial-ekonomi
Strategi pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
8
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas lingkungan pesisir dan
laut, mengidentifikasi isu dan permasalahan yang ada serta menyusun strategi
pengelolaan lingkungan pesisir berdasarkan pada kajian dampak dari kegiatan
industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di lingkungan pesisir
Kota Batam.
9
TINJAUAN PUSTAKA
Dampak Pengembangan Industri
Penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut di wilayah Kota Batam
seperti pencemaran perairan pantai terjadi baik karena gangguan alam maupun
sebagai akibat aktivitas manusia, seperti adanya aktivitas industri yang tidak atau
kurang memperdulikan aspek lingkungan hidup. Banyak aktivitas-aktivitas
manusia yang dilakukan di bagian atas (up stream) baik secara langsung maupun
tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya degradasi lingkungan yang ada di
bagian bawah (down stream), yaitu wilayah pesisir dan laut. Dalam KLH (1993)
disebutkan bahwa pncemaran yang terjadi di perairan pesisir dan laut dapat
bersumber dari limbah berbagai kegiatan manusia di darat (land-based pollution),
yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kegiatan Industri
Dalam kegiatan industri, untuk memproses bahan baku menjadi produk jadi
diperlukan air untuk berbagai keperluan. Air yang sudah tidak terpakai umumnya
tidak dibuang melalui saluran-saluran yang terpisah, akan tetapi semuanya keluar
melalui satu saluran menuju laut. Di Pulau Jawa, industri (besar dan sedang)
merupakan penyebab utama penurunan kualitas sumber daya air. Limbah industri
merupakan 50% dari beban pencemaran daerah aliran sungai yang pada akhirnya
merupakan pula beban pencemaran bagi perairan pantai.
Pencemaran karena kegiatan industri terjadi karena banyaknya industri yang
sampai saat ini belum menggunakan unit pengolahan limbah atau dalam penggunaan
unit pengolahan limbah yang telah ada kurang optimal, sehingga limbahnya masih
mengalir masuk ke sungai dan pada akhirnya ke laut.
Jenis-jenis bahan tambang yang terdapat di Indonesia dan berpotensi
menimbulkan pencemaran sebagai akibat dari penggaliannya dan pengolahannya
antara lain: minyak bumi, batu bara, besi, mangan, timah hitam, timah putih,
tembaga, air raksa, dan belerang. Penambangan minyak bumi misalnya
10
menghasilkan bahan pencemar berupa residu minyak dan bahan-bahan kimia lain.
Selain itu penambangan pasir dan bahan bangunan lainnya mengakibatkan
kerusakan lingkungan fisik pada perairan pantai. Seperti kegiatan pengeboran
minyak selama 20 tahun terakhir ini terjadi 4 kali blow out.
Pertanian
Kegiatan pertanian yang dapat secara langsung menyebabkan pencemaran
adalah penggunaan berbagai macam pestisida. Sisa pestisida dapat terbawa air hujan
dan drainage sawah menuju saluran pengairan, sungai, dan akhirnya bermuara ke
laut.
Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sektor pertanian umumnya
berkisar pada kegiatan pembukaan lahan (land-clearing) dan penggunaan pupuk
serta pestisida yang tidak sesuai dengan ukuran pemakaian yang sebenarnya.
Kegiatan pembukaan lahan dapat mengakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi di
sungai. Begitu juga penggunaan bahan kimia dalam intensifikasi pertanian sangat
berpengaruh terhadap perubahan populasi biota perairan, yang pada ahkirnya juga
akan berpengaruh pada biota perairan laut karena adanya beberapa jenis kandungan
yang sukar terurai.
Permukiman
Besarnya jumlah penduduk, tingginya tingkat kepadatan penduduk, dan
keanekaragaman intensitas kegiatan penduduk telah memberikan kontribusi cukup
besar terhadap pencemaran lingkungan. Limbah terbesar yang berasal dari
permukiman adalah limbah rumah tangga baik padat maupun cair.
Limbah domestik dari kawasan permukiman pada saat ini merupakan salah
satu sumber pencemar air terbesar di Indonesia, yang disebabkan oleh masih sangat
terbatasnya upaya pengolahan limbah penduduk. Beban pencemaran yang berasal
dari permukiman tergantung kepada pola konsumsi penduduk yang pada akhirnya
tergantung pada tingkat penghasilan dan standar hidup. Pencemaran akibat kegiatan
11
permukiman terjadi karena sampai saat ini belum ada sewage management system
bagi buangan rumah tangga.
Pencemaran yang terjadi di perairan pesisir dan laut Indonesia selain bersal
dari limbah berbagai kegiatan manusia di darat, juga disebabkan oleh pencemaran
yang bersumber dari laut. Adanya kegiatan di perairan Indonesia yang semakin
meningkat seirama dengan pembangunan nasional ditambah dengan tingkat
perkembangan kegiatan pelayaran internasional yang melewati perairan Indonesia
akan memacu terjadinya pencemaran laut. Peningkatan kegiatan ini ditambah
dengan peningkatan kegiatan pembuangan (dumping) di laut merupakan peningkatan
ancaman pencemaran terhadap lingkungan laut baik oleh akibat kegiatan-kegiatan
rutin, kesalahan-kesalahan operasional maupun karena kecelakaan.
Menurut Gesamp (1993) dalam Anna (1999) disebutkan bahwa persentase
terbesar sumber pencemar yang masuk ke laut adalah dari run off yang berasal
dari lahan bagian atas sekitar 44%, emisi pesawat terbang dari lahan atas sebesar
33%, pelayaran/perkapalan dan peristiwa tumpahan minyak sebesar 12%,
pembuangan limbah ke laut sebesar 10% dan kegiatan penambangan minyak dan
gas bumi di lepas pantai sebesar 1%. Sedangkan berdasarkan laporan dari
UNDP/GEF/IMO (1988) diungkapkan bahwa sekitar 60-85% sumber pencemaran
berasal dari kegiatan manusia di daratan dan sisanya berasal dari kegiatan di laut.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Dalam melakukan pemanfaatan wilayah di kawasan pesisir dan pulau-
pulau kecil seperti di Kota Batam yang dikembangkan menjadi kawasan industri
harus benar-benar memperhitungkan faktor-faktor pembatas yang ada. Menurut
Griffith dan Inniss, 1992; United Nations, 1994 dalam Bengen et al (2002), pulau
kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol, yaitu:
♦ Terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular.
♦ Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil.
♦ Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat
kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran.
♦ Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi.
12
♦ Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari
daratan utamanya (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada di batas
luar suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai yang
sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara.
♦ Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.
Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugus pulau kecil, pemerintah
melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif
yang luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan
pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2 000 km2
hanya dapat digunakan untuk keperluan konservasi, budidaya laut,
kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari,
pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi
non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengolahan
sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen et al,
2002).
Sebagai entitas yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus,
pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah
regional lain khususnya yang ada di daratan pulau besar (mainland) (Bengen et al,
2002).
Dalam hal pemanfaatan pulau-pulau kecil terdapat 2 pandangan yang
antagonistik. Pandangan pertama yang mewakili pihak konservasionis (deep
ecologist), pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang harus dilindungi karena
memiliki fungsi ekologis yang penting. Menurut pihak pertama ini, hal paling
utama dari keberadaan pulau-pulau kecil adalah fungsi dan peranan ekosistem
pesisir dan lautan dari pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus
hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nuftah dan sistem
penunjang kehidupan lainnya. Sementara pandangan kedua mewakili pihak yang
mendukung pertumbuhan ekonomi, melihat pulau-pulau kecil sebagai kawasan
yang potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi
kawasan, misalnya pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk perikanan (Bengen et al,
2002).
13
Terlepas dari dua pihak yang bertentangan di atas, seringkali penentuan
kebijakan pemanfaatan wilayah pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan
menghasilkan dua kemungkinan dampak negatif, yakni 1) tidak berkembangnya
kawasan pulau-pulau kecil akibat kebijakan yang terlalu protektif dan 2) rusaknya
kawasan pulau-pulau kecil akibat terlalu banyak area pulau-pulau kecil yang
dikonversikan menjadi lokasi usaha seperti tambak dan permukiman. Dalam hal
ini penting diambil jalan tengah dimana usaha pengembangan pulau-pulau kecil
dapat ditingkatkan, sementara keseimbangan ekologis kawasan pulau-pulau kecil
masih terjaga. Untuk itulah pengetahuan mengenai seberapa besar daya dukung
dari pulau-pulau kecil menjadi hal penting untuk diketahui sehingga konsep
kebijakan pengembangan wilayah dan ekonomi kawasan yang direncanakan,
hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan daya dukung lingkungan pulau-
pulau kecil (Bengen et al, 2002).
Pendekatan arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan dan berbasis masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pedoman
Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil (SK Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 41 Tahun 2000) mengkombinasikan tiga pendekatan, yaitu hak, ekosistem
dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugus pulau serta pengelolaan yang sesuai
dengan latar setempat (Bengen et al, 2002).
Pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari akan terwujud
apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu (1) keharmonisan spasial, (2)
kapasiatas asimilasi atau daya dukung lingkungan, dan (3) pemanfaatan potensi
sesuai daya dukungnya. Keharmonisan spasial berhubungan dengan bagaimana
menata suatu kawasan pulau-pulau kecil bagi peruntukan pembangunan
(pemanfaatan sumberdaya) berdasarkan kesesuaian (suitability) lahan (pesisir dan
laut) dan keharmonisan antar pemanfaatan. Keharmonisan spasial mensyaratkan
suatu kawasan pulau-pulau kecil tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi zona
pemanfaatan tetapi juga harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi.
Keharmonisan spasial juga menuntut penataan dan pengelolaan pembangunan
dalam zona pemanfaatan dilakukan secara bijaksana. Artinya suatu kegiatan
pembangunan harus ditempatkan pada kawasan yang secara biofisik sesuai
dengan kebutuhan pembangunan yang dimaksud. Oleh karena itu, diperlukan
14
suatu analisis kesesuaian lahan bagi setiap peruntukan pesisir dan laut pulau kecil
(Bengen et al, 2002).
Dalam konteks arahan pengelolaan pulau-pulau kecil, kegiatan
pemanfaatan pulau-pulau kecil hanya diperuntukkan bagi kegiatan berbasis
konservasi. Artinya, pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk berbagai kegiatan yang
bersifat eksploitatif-destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan di pulau-pulau
kecil. Hal ini mengingat bahwa pulau-pulau kecil memiliki sejumlah kendala dan
karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau-pulau besar
(daratan). Atas dasar karakteristik pulau-pulau kecil maka arahan peruntukan dan
pemanfaatan pulau-pulau kecil adalah kegiatan konservasi, kegiatan perikanan
(budidaya dan tangkap), pariwisata bahari dan pertanian (Bengen et al, 2002).
Dengan melihat pada kondisi wialayah Kota Batam yang terdiri dari
pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki kerentanan sangat besar terhadap
perubahan lingkungan maka dalam hal pemanfaatan wilayahnya perlu dilakukan
pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan segenap aspek terkait dari
mulai perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.
Konsep pengelolaan wilayah secara terpadu merupakan salah satu syarat
untuk mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Selain itu juga
terdapat kaidah-kaidah yang harus diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan
laut untuk mencapai pembagunan yang optimal dan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu paradigma pemanfaatan
sumberdaya alam yang dapat dijadikan konsep dasar dalam pemanfaatan
sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam Costanza (1991)
disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh
membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.
Secara garis besar konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut secara
berkelanjutan menurut Bengen (2001) memiliki empat dimensi, yaitu : (1) ekologis,
(2) sosial-ekonomi-budaya, (3) sosial politik, serta (4) hukum dan kelembagaan.
15
a. Dimensi ekologis
Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana
mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang
berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi total
kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah memiliki 4 fungsi pokok bagi
kehidupan manusia, yaitu :
♦ Sebagai jasa-jasa pendukung kehidupan, mencakup berbagai hal yang
diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia seperti udara dan air bersih
serta ruang bagi segenap kegiatan manusia.
♦ Penyedia jasa-jasa kenyamanan, berupa suatu lokasi beserta atributnya yang
indah dan menyejukkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta
pemulihan kedamaian jiwa.
♦ Penyedia sumberdaya alam, baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun
sebagai masukan dalam proses produksi.
♦ Penerima limbah, utamanya dari kegiatan manusia hingga terdapat suatu
kondisi yang aman dan bersih.
♦ Berdasarkan keempat fungsi ekosistem di atas maka secara ekologis terdapat tiga
persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan,
yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan
berkelanjutan.
b. Dimensi sosial ekonomi
Mensyaratkan bahwa manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari
kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus
diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk terutama mereka yang
ekonomi lemah guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah.
c. Dimensi sosial politik
Pada umumnya permasalahan lingkungan hidup bersifat eksternalitas,
artinya pihak yang menderita (mangalami kerugian) akibat pencemaran dan atau
16
kerusakan lingkungan bukanlah pembuat kebijakan melainkan pihak lain serta
permasalahan tersebut biasanya muncul setelah beberapa waktu, tidak langsung
pada waktu itu. Mengingat karakteristik permasalahan tersebut maka
pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana
politik yang demokratis dan transparan yang didukung oleh political will
pemerintah.
d. Dimensi hukum dan kelembagaan
Mensyaratkan adanya pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk
tidak merusak lingkungan. Hal ini dapat tercapai melalui penerapan sistem
peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten serta
penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga negara.
Salah satu syarat utama pembangunan berkelanjutan adalah dilakukan
secara terpadu, rasional dan optimal melalui perencanaan yang matang dengan
memperhatikan daya dukung lingkungan serta kesesuaian wilayah (ruang),
termasuk adanya antisipasi terhadap dampak yang mungkin terjadi.
Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki
pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir
dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive
assessment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta
mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang
optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara
kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan
aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik
kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.
Untuk mengetahui langkah-langkah apa yang perlu dilakukan dalam rangka
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu diantaranya dapat digunakan analisis
SWOT sebagai alat penyusun rencana pengelolaan. Menurut Rangkuti (2004),
analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(Strengths) dan peluang (Opportunities), tetapi secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Analisis SWOT
17
dilakukan dengan membandingkan faktor-faktor strategis eksternal yang terdiri
dari peluang dan ancaman dengan faktor-faktor strategis internal yang berupa
kekuatan dan kelemahan. Dengan analisis ini, perencanaan pengelolaan dalam
jangka panjang pun dapat disusun dengan menentukan analisis terhadap strategi-
strategi yang dipilih sehingga arah dan tujuan dapat dicapai dengan jelas dan
dengan demikian dapat segera diambil keputusan.
18
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2003-Desember 2004 di wilayah
pesisir Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 2)
Lingkup Kegiatan
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendukung penelitian
ini adalah sebagai berikut :
(a) Melakukan pengumpulan data
(b) Mengumpulkan masukan dari beberapa pakar yang berkompeten serta
stakeholder lainnya yang terkait dengan penelitian yang dilakukan;
(c) Melakukan analisis data.
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yang
dilakukan dengan cara berikut:
Data primer
Data primer diperoleh dengan melakukan penelitian langsung melalui
pengamatan pada stasiun-stasiun penelitian yang ditentukan dengan menggunakan
alat GPS (Geographic Positioning System). Pengambilan data primer dilakukan
pada lokasi dekat daerah industri dan yang lainnya dilakukan pada lokasi yang
letaknya jauh dari industri. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh kegiatan industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di
lokasi-lokasi tersebut. Untuk mengetahui kualitas perairan pesisir dan laut Kota
Batam, data primer yang diambil meliputi kualitas air pantai/laut dan ekosistem
pesisir (mangrove dan terumbu karang).
19
Gambar 2 Peta lokasi pengambilan sampel kualitas air laut, pengamatan mangrove dan terumbu karang di Kota Batam
20
Data kualitas air pantai/laut
Data primer kualitas air pada perairan pesisir (pantai) Kota Batam
diperoleh dengan melakukan pengambilan sampel kualitas air laut pada stasiun
pengambilan yang lokasinya dekat dengan daerah industri serta stasiun yang jauh
dari industri untuk mengetahui distribusi pencemaran air laut. Sampel kualitas air
laut diambil sekali pada beberapa titik yang dianggap dapat mewakili dari lokasi
masing-masing, yaitu di sekitar daerah industri dan jauh dari industri). Beberapa
parameter kualitas air laut yang diamati merujuk pada Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup (KEPMEN LH) Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu
Air Laut, khususnya Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (KLH, 2004a) dan
KEPMEN LH Nomor 179 Tahun 2004 tentang Ralat atas Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut
(KLH, 2004b).
Data mangrove
Data primer mengenai kondisi mangrove diperoleh melalui pengukuran
dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Line Transect
Plot) yang dilakukan dengan membuat petak contoh. Pada masing-masing lokasi
dibuat beberapa petak contoh berupa segi-empat yang masing-masing berukuran
10 m x 10 m. Metode ini dipilih karena menurut KLH (2004c) dinyatakan
sebagai salah satu metode pengukuran yang paling mudah dilakukan, namun
memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang baik (akurat).
Data terumbu karang
Metode yang digunakan untuk mengetahui kondisi terumbu karang adalah
metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect) sepanjang 100
meter. Pada setiap lokasi dilakukan pengukuran pada kedalaman perairan laut 3
meter dan 10 meter, dengan masing-masing lokasi dibagi menjadi 3 sub-stasiun
(Ss1, Ss2 dan Ss3) yang panjangnya 30 meter dan diantara substasiun diberi
selang sepanjang 5 meter. Pemasangan transek diletakkan sejajar garis pantai
21
dengan mengikuti kontur kedalaman. Transek garis diletakkan di atas koloni
karang dan dicatat panjang jenis karang yang tepat di bawah roll meter
berdasarkan bentuk pertumbuhannya (life form).
Metode transek garis ini memiliki kelebihan antara lain: akurasi data dapat
diperoleh dengan baik, kualitas data lebih baik dan lebih banyak, penyajian
struktur komunitas seperti persentase tutupan karang hidup ataupun karang mati,
ukuran koloni dan keanekaragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh
serta dapat menyajikan secara baik data struktur komunitas biota yang berasosiasi
dengan terumbu karang.
Untuk data penunjang lainnya diperoleh baik melalui pertemuan-
pertemuan, wawancara dengan pihak-pihak terkait maupun dengan melihat secara
visual keadaan di lapangan yang dilakukan pada saat pengambilan data primer di
lokasi penelitian.
Data sekunder
Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui beberapa literatur baik dari
jurnal, hasil penelitian, hasil survey instansi pemerintah, swasta dan lain-lain.
Data yang dikumpulkan meliputi data kualitas air laut, ekosistem pesisir
(mangrove, padang lamun dan terumbu karang), sumberdaya ikan, sosial-ekonomi
masyarakat nelayan, kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundang-
undangan terkait.
Analisis Data
Analisis data diperlukan untuk mengetahui bagaimana kondisi masing-
masing data dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir Kota
Batam terutama terkait dengan dampak yang ditimbulkan setelah dijadikannya
Batam sebagai kawasan industri oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui sejauh mana perlindungan terhadap kualitas atau mutu laut di
wilayah Kota Batam. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut disebutkan bahwa
22
perlindungan terhadap mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku
kerusakan laut dan status mutu laut. Status mutu laut ditetapkan berdasarkan
inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat kerusakan laut
yang mempengaruhi mutu laut (Bapedal, 2001). Analisis kondisi kualitas air laut
Analisis kondisi kualitas air laut dilakukan berdasarkan data primer dan
data sekunder. Untuk mengetahui nilai dari masing-masing parameter kualitas air
laut yang diamati, khususnya dari data primer yang diperoleh dari contoh (sample)
kualitas air yang diambil dari perairan pantai/laut Kota Batam, terlebih dahulu
dilakukan analisis di laboratorium Sucofindo Batam. Selanjutnya untuk
mengetahui kondisi kualitas air di perairan tersebut digunakan analisis kualitas
air/laut dengan metode STORET (Canter, 1977), dengan mengacu pada KEPMEN
LH Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air (KLH,
2003).
Metode STORET (Canter, 1977) seperti dijelaskan penggunaannya dalam
KEPMEN LH Nomor 115 Tahun 2003 digunakan untuk mengetahui kondisi
kualitas air di suatu perairan berdasarkan indeks kualitas air yang diperoleh dari
suatu seri data, yang berasal paling sedikit dari dua titik pengamatan atau lebih
yang mewakili perairan, atau data dari dua kali pengamatan atau lebih pada titik
yang sama di perairan. Berdasarkan data tersebut, untuk setiap parameter kualitas
air ditentukan nilai minimum, maksimum dan reratanya. Dari setiap nilai yang
diperoleh untuk setiap parameternya dibandingkan dengan baku mutu perairan,
yang dalam hal ini digunakan acuan berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 51 Tahun
2004 tentang Baku Mutu Air Laut, khususnya Baku Mutu Air Laut untuk Biota
Laut (KLH, 2004a). Selanjutnya diberikan skor (scoring), yaitu untuk masing-
masing nilai maksimum, minimum dan rerata bila masih memenuhi baku mutu
diberi skor nol, tetapi bila tidak memenuhi baku mutu diberi skor sesuai dengan
Tabel 1.
23
Tabel 1 Penentuan skor untuk tiap parameter kualitas air dengan metode STORET (Canter, 1977)
Skor untuk parameter (bila melebihi baku mutu)
Jumlah Pengamatan
Nilai
Fisika Kimia Biologi
< 10 Maksimum Minimum
Rerata
-1 -1 -3
-2 -2 -6
-3 -3 -9
≥ 10
Maksimum Minimum
Rerata
-2 -2 -6
-4 -4 -12
-6 -6 -18
Jumlah keseluruhan dari skor yang diperoleh (untuk seluruh parameter
yang diamati) akan menunjukkan tingkat kualitas air, kemudian dengan
menggunakan sistem nilai dari US-EPA (Environmental Protection Agency)
diklasifikasikan tingkat kualitas air dalam empat kelas (Tabel 2).
Tabel 2 Klasifikasi tingkat kualitas air beserta kelasnya berdasarkan sistem nilai dari US-EPA.
Total skor
Tingkat Kualitas
Kelas
Keterangan
0 Baik sekali A Memenuhi baku mutu -1 sampai dengan -10 Baik B Tercemar ringan -11 sampai dengan -30 Sedang C Tercemar sedang
< -30 Buruk D Tercemar berat Sumber: KLH (2003)
Analisis kondisi ekosistem pesisir
Kondisi ekosistem pesisir dibedakan dalam 2 (dua) kategori berdasarkan
status mutunya sebagai berikut:
♦ Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan
sebagai lingkungan laut yang status mutunya pada tingkatan baik.
♦ Lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan
sebagai lingkungan laut yang status mutunya berada pada tingkatan rusak.
24
Untuk mengetahui kondisi ekosistem pesisir dilakukan analisis
berdasarkan data primer dan data sekunder untuk mangrove dan terumbu karang,
sedangkan untuk padang lamun hanya dilakukan berdasarkan data sekunder
karena pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan langsung.
Mangrove
Status kondisi mangrove menggambarkan tingkatan kondisi mangrove
pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria
baku kerusakan mangrove, dengan menggunakan Metode Transek Garis dan
Petak Contoh (Transect Line Plot), yang merupakan metode pencuplikan contoh
populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis
yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan
pada beberapa petak contoh berupa segi-empat yang masing-masing berukuran
10 m x 10 m.
Analisis data mangrove menggunakan metode yang dijelaskan dalam
English et al (1994) dan untuk menentukan kondisi mangrove dilakukan
berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan
Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove (KLH, 2004c). Kriteria Baku
Kerusakan Mangrove adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau hayati
mangrove yang dapat ditenggang.
Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ditetapkan berdasarkan persentase
luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup, dimana kriteria ini merupakan
cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan dalam
kategori baik (sedang-sangat padat) dan rusak (jarang) seperti disajikan dalam
Tabel 3.
Tabel 3 Kriteria baku kerusakan mangrove
Kriteria Penutupan (%)
Kerapatan (pohon/hektar)
Keterangan
Rusak Jarang < 50 < 1 000 Status mutunya berada pada tingkatan rusak
Baik Sedang ≥ 50 - < 75 ≥ 1 000 - < 1 500 Status mutunya pada Sangat padat ≥ 75 ≥ 1 500 tingkatan baik
Sumber: KLH (2004c)
25
Untuk mengetahui tingkat keragaman jenis mangrove dilakukan
berdasarkan English et al (1994) seperti dalam Tabel 4.
Tabel 4 Jenis data dan tingkat keragaman jenis mangrove
Jenis data
Klasifikasi
Tingkat keragaman
Jenis/spesies mangrove < 3 jenis 4 – 7 jenis > 8 jenis
Kurang beragam Cukup beragam Sangat beragam
Sumber: English et al (1994)
Untuk kepentingan deskripsi vegetasi, menurut Kusmana (1997)
dijelaskan bahwa parameter kuantitatif vegetasi sangat penting yang umumnya
diukur dari suatu tipe komunitas tumbuhan, diantaranya adalah kerapatan
(density) dan frekuensi. Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan
dalam suatu luasan tertentu. Frekuensi adalah jumlah petak contoh dimana
ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat.
Kerapatan Jenis
Kusmana (1997) menyebutkan bahwa kerapatan jenis (density) adalah
jumlah suatu individu dalam suatu unit luasan area. Kerapatan jenis dapat ditulis
dengan rumus :
AniDi =
Keterangan Di : Kerapatan (Density) jenis i ni : Jumlah individu jenis i A : Luas area total petak contoh
26
Kerapatan Relatif
Kusmana (1997) menyebutkan bahwa kerapatan relatif (relative density)
adalah perbandingan antara jumlah kerapatan suatu individu dengan total
kerapatan seluruh individu. Kerapatan relatif ditulis dengan rumus :
%100xD
DiRDi∑
=
Keterangan RDi : Kerapatan Relatif (Relative Density) jenis i Di : Jumlah kerapatan jenis i ΣD : Jumlah kerapatan untuk semua jenis
Frekuensi
Frekuensi (frequency) adalah perbandingan antara jumlah sub-petak
contoh dimana ditemukan suatu individu terhadap seluruh sub-petak contoh pada
sutau lokasi tertentu. Frekuensi ditulis dengan rumus :
∑
=p
piFi
Keterangan Fi : Frekuensi (Frequency) pi : Jumlah sub-petak contoh dimana jenis i ditemukan. Σp : Jumlah seluruh sub-petak contoh
Frekuensi Relatif
Frekuensi relatif (relative frequency) adalah perbandingan antara frekuensi
sutau jenis (Fi) dengan jumlah frekuensi untuk semua jenis (ΣF), yang ditulis
dengan rumus :
%100xF
FiRFi∑
=
Keterangan RFi : Frekuensi relatif (Relative Frequency) jenis i Fi : Jumlah frekuensi jenis i
ΣF : Jumlah frekuensi untuk semua jenis
27
Terumbu Karang
Persentase penutupan karang hidup dihitung dengan menggunakan
persamaan (UNEP,1993), yaitu :
ni = %100×Lli
Keterangan ni : Persentase penutupan karang hidup life form ke-i
li : panjang total life form karang ke-i
L : Panjang transek garis
Status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang
pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria
kerusakan terumbu karang dengan menggunakan persentase luas tutupan terumbu
karang yang hidup.
Untuk menentukan kondisi terumbu karang dilakukan dengan mengacu
pada KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan
Terumbu Karang. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang adalah ukuran batas
perubahan sifat fisik dan atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang
(KLH, 2001).
Kriteria baku kerusakan terumbu karang merupakan salah satu cara untuk
menentukan status kondisi terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan
metode Transek Garis Bentuk Pertumbuhan Karang, dalam hal ini status kondisi
terumbu karang diklasifikasikan dalam kategori baik dan rusak (Tabel 5).
Tabel 5 Kriteria baku kerusakan terumbu karang
Parameter Kriteria baku kerusakan terumbu karang (%)
Keterangan
Buruk 0 – 24.9 Rusak Sedang 25 – 49.9
Status mutunya berada pada tingkatan rusak
Baik 50 – 74.9
Persentase luas tutupan terumbu karang yang hidup
Baik Baik sekali 75 - 100
Status mutunya pada tingkatan baik
Sumber: KLH (2001)
28
Padang Lamun
Untuk mengetahui status padang lamun digunakan acuan berdasarkan
KEPMEN LH Nomor: 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan
Pedoman Penentuan Status Padang Lamun (KLH, 2004d) (Tabel 6 dan 7).
Tabel 6 Kriteria baku kerusakan padang lamun
Tingkat kerusakan
Luas area kerusakan (%)
Tinggi ≥ 50 Sedang 30 – 49.9 Rendah ≤ 29.9
Sumber: KLH (2004d)
Tabel 7 Status padang lamun
Kondisi
Penutupan (%)
Baik Kaya/sehat ≥ 60 Kurang kaya/kurang sehat 30 – 59.9 Rusak miskin ≤ 29.9
Sumber: KLH (2004d)
Analisis untuk Menentukan Strategi Pengelolaan Lingkungan Pesisir
Analisis terhadap pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam dilakukan
berdasarkan pada semua hasil analisis data yang ada dan dengan
mempertimbangkan masukan-masukan dari berbagai sumber yang diperoleh
selama penelitian serta dari berbagai litertur pendukung, termasuk didalamnya
berupa hasil kajian/studi yang telah dilakukan oleh pihak-pihak lain. Selanjutnya
dari analisis tersebut ditentukan strategi-stretegi pengelolaan lingkungan pesisir
yang dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan pengelolaan lingkungan
pesisir dan laut di Kota Batam khususnya terkait dengan upaya mengurangi
sekecil mungkin dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan industri dan
pengembangannya.
29
Untuk menyusun strategi-stretegi pengelolaan lingkungan pesisir
digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT menjelaskan proses analisis kasus
berikut perumusan strategi dan formulasi rekomendasi yang dipilih. Menurut
Rangkuti (2004), analisis SWOT adalah identifikasi terhadap berbagai faktor
secara sistematis untuk merumuskan strategi yang dipilih. Analisis ini didasarkan
pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang
(Opportunities), tetapi secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(Weaknesses) dan ancaman (Threats). Analisis SWOT dilakukan dengan
membandingkan faktor-faktor strategis eksternal atau External Strategic Factors
Analysis Summary (EFAS), yang terdiri dari peluang dan ancaman dengan faktor-
faktor strategis internal atau Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS),
yang berupa kekuatan dan kelemahan. Analisis ini juga dapat digunakan untuk
menyusun strategi-strategi dalam jangka panjang sehingga arah dan tujuan dapat
dicapai dengan jelas dan dapat segera diambil keputusan.
Strategi-strategi pengelolaan yang dipilih sebagai rekomendasi dari
penelitian ini ditentukan dengan menggunakan matrik TOWS atau SWOT.
Menurut Rangkuti (2004), matrik ini menggambarkan secara jelas bagaimana
peluang dan ancaman eksternal dapat dipadukan dengan kekuatan dan kelemahan
yang ada (Tabel 8).
Tabel 8 Matrik analisis SWOT
IFAS
EFAS
Kekuatan (Strengths)
Kelemahan (Weaknesses)
Peluang
(Opportunities)
Strategi Kekuatan-Peluang
(SO) Menciptakan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi Kelemahan- Peluang
(WO) Menciptakan strategi dengan meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Ancaman (Threats)
Strategi Kekuatan- Ancaman
(ST) Menciptakan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Strategi Kelemahan- Ancaman
(WT) Menciptakan strategi dengan meminimalkan kelemahan untuk mengindari ancaman
30
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Letak Geografis
Kota Batam secara geografis letaknya sangat strategis karena terletak di
jalur pelayaran dunia sengga sehingga menempatkan kota ini sebagai pintu
gerbang perekonomin nasional. Dari data yang diperoleh dari Pemerintah Kota
Batam (2000) disebutkan bahwa Kota Batam terletak antara 0o55’ – 1o55’ Lintang
Utara dan 103o45’ – 104o10’ Bujur Timur dan berdasarkan Undang-undang No.
53 Tahun 1999 luas wilayah Kota Batam secara keseluruhan adalah 1 570.35 Km2
dengan batas-batas sebagai berikut:
- Sebelah Utara : Selat Singapura
- Sebelah Selatan : Kecamatan Senayang (Kabupaten Kepulauan Riau)
- Sebelah Timur : Kecamatan Bintan Utara dan Kecamatan Teluk Bintan
(Kabupaten Kepulauan Riau)
- Sebelah Barat : Kecamatan Moro dan Kecamatan Karimun
(Kabupaten Karimun) dan Laut Internasional.
Kota Batam merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 325 buah
pulau besar dan kecil dengan panjang pantai sekitar 1 261 Km dan luas laut
sekitar 289.300 hektar. Wilayah laut ini merupakan bagian terbesar, yaitu sekitar
74% dari wilayah Kota Batam. Dewasa ini wilayah Kota Batam terdiri dari 8
(delapan) kecamatan, yaitu Kecamatan Belakang Padang, Bulang, Galang, Sei
Beduk, Nongsa, Sekupang, Lubuk Baja dan Batu Ampar. Kedelapan kecamatan
tersebut membawahi sebanyak 35 kelurahan dan 16 desa. Selanjutnya mengenai
peta Kota Batam dengan batas-batas administrasinya disajikan dalam Gambar 3.
31
Gambar 3 Peta Kota Batam dengan batas-batas administrasinya (Pemerintah Kota Batam, 2000)
32
Pemerintah Kota Batam dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 1983 dan diresmikan pada tanggal 24 Desember 1983 yang
bersifat Administratif. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor: 53 Tahun
1999 maka Kotamadya Administratif Batam berubah menjadi Kota Batam. Selain
itu, di Batam terdapat juga institusi pemerintah pusat yang mengelola khusus
daerah tersebut, yaitu Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
Penduduk
Penyebaran penduduk Kota Batam pada tahun 2003 terkonsentrasi pada 3
(tiga) wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sei Beduk, Batu Ampar dan Sekupang
(Tabel 9). Ketiga wilayah kecamatan ini memiliki jumlah penduduk lebih banyak
dibandingkan dengan 5 (lima) wilayah kecamatan lainnya di Kota Batam. Jumlah
penduduk paling banyak jumlahnya terdapat di Kecamatan Sei Beduk, yaitu
126 979 jiwa, sedangkan yang paling sedikit, yaitu 8 693 jiwa terdapat di
Kecamatan Bulang. Apabila dilihat dari perbandingan antara jumlah Rumah
Tangga Perikanan (RTP) dan anggota keluarganya (34 426 jiwa) dengan jumlah
keseluruhan penduduk Kota Batam (562 601 jiwa) pada tahun 2003 adalah
sebesar 6.1%.
Tabel 9 Jumlah penduduk Kota Batam tahun 2003 menurut kecamatan
Kecamatan WNI WNA Jumlah 1. Belakang Padang 19 737 4 19 741 2. Bulang 8 693 - 8 693 3. Galang 13 917 12 13 929 4. Sei Beduk 124 262 2 714 126 976 5. Nongsa 85 606 84 85 690 6. Sekupang 116 242 199 116 441 7. Lubuk Baja 66 200 475 66 675 8. Batu Ampar 124 219 297 124 516 Total 558 876 3 785 562 661 Sumber: Bappeda Kota Batam (2004)
33
Berdasarkan data jumlah penduduk Kota Batam dari 1993-Juni 2004
terlihat bahwa pertumbuhan jumlah penduduk tertinggi terjadi pada tahun 1996
sebesar 20.92%, sedangkan pertumbuhan jumlah penduduk terkecil terjadi pada
tahun 2003, yaitu 2.26% dan sampai Juni 2004 pertumbuhan penduduk sebesar
3.54% (Tabel 10).
Industri
Berdasarkan Keppres No 41 Tahun 1973, seluruh Pulau Batam ditetapkan
sebagai daerah industri. Kemudian disusul dengan Keppres No. 41 tahun 1978
yang menetapkan bahwa seluruh pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya
dinyatakan sebagai kawasan berikat (bonded area). Keputusan ini dikeluarkan
dengan maksud agar dapat mendorong pengembangan ekspor yang berorientasi
pada bidang perindustrian dan untuk memberikan kemudahan impor bahan-bahan
yang dibutuhkan oleh pabrik yang ada di Batam. Hal ini akan memacu
berkembangnya industri di daerah ini. Gambar 4 menunjukkan penyebaran
industri di Kota Batam berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam
2001-2011 yang kemudian pada tahun 2004 direvisi melalui Peraturan Daerah
(Perda) Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Batam Tahun 2004-2014.
34
Tabel 10 Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Batam dari tahun 1993-2004
WNI WNA TOTAL Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah Jumlah Pertumbuhan
(%) 1993 80 910 65 161 146 071 527 107 634 146 705 1994 88 927 74 210 163 137 638 127 765 163 902 10.49 1995 99 777 95 547 195 324 641 115 756 196 080 16.41 1996 122 988 124 126 247 114 697 147 844 247 958 20.92 1997 126 693 127 609 254 302 717 160 877 255 179 2.83 1998 153 895 139 313 293 208 405 87 492 293 700 13.12 1999 159 104 176 520 335 624 962 371 1 333 336 957 12.84 2000 209 120 226 714 435 834 1 205 319 1 524 437 358 22.96 2001 241 667 281 509 523 176 2 517 1 458 3 975 527 151 17.03 2002 254 193 290 794 544 987 3 079 1 885 4 964 549 951 4.15 2003 266 235 292 641 558 876 2 196 1 589 3 785 562 661 2.26
Juni 2004 275 043 304 417 579 460 2 268 1 607 3 875 583 335 3.54 Sumber: Bappeda Kota Batam (2002, 2003 dan 2004)
35
Gambar 4 Peta penyebaran industri di Kota Batam (Pemerintah Kota Batam, 2000)
36
Tabel 11 menggambarkan luas kawasan industri sesuai Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Batam yang diperoleh dari Kantor Pertanahan Kota Batam
tahun 2003 adalah sebagai berikut:
Tabel 11 Luas kawasan industri sesuai RTRW Kota Batam
No. Letak Lokasi Luas (Hektar)
1. Kecamatan Batu Ampar 448
2. Kecamatan Lubuk Baja 32
3. Kecamatan Nongsa (Batam Center ) 496
4. Kecamatan Nongsa ( Kabil ) 1 464
5. Kecamatan Sekupang ( Sekupang ) 256
6. Kecamatan Sekupang (Tanjung Uncang ) 1 184
7. Kecamatan Sekupang ( Panbil ) 296
8. Kecamatan Sei Beduk ( Muka Kuning ) 464
9. Kecamatan Sei Beduk ( Sagulung ) 1 440
10. Kecamatan Sei Beduk ( Batu Aji ) 288
11. Kecamatan Galang ( P. Rempang, P. Kera ) 608
12. Kecamatan Galang ( Tanjung Kerapa ) 1 208
13. Kecamatan Galang ( Tanjung Semandur ) 304
14. Kecamatan Galang ( P. Sembur ) 80
Jumlah 8 568
Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengembangkan Pulau
Batam menjadi daerah industri, dari tahun 1999-2003 terlihat bahwa sektor
industri besar (dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih) mengalami peningkatan
(Tabel 12). Pada pada tahun 1999 tercatat 108 industri dan selanjutnya terus
meningkat hingga pada tahun 2003 terdapat 138 industri. Sedangkan pada
industri sedang (dengan tenaga kerja antara 20-99 orang) mengalami sedikit
penurunan antara tahun 199-2002 dan kemudian naik menjadi 75 industri pada
tahun 2003.
37
Tabel 12 Banyaknya perusahaan Sektor Industri pengolahan menurut golongannya
Kecamatan Perusahaan besar Perusahaan sedang Th. 1999 Th. 2000 Th. 2001 Th. 2002 Th. 2003 Th. 1999 Th. 2000 Th. 2001 Th. 2002 Th. 2003
1. Belakang Padang - - - - - - - - - -2. Bulang - - - - - - - - - -3. Galang - - - - - - - - - -4. Sei Beduk 60 71 64 70 61 15 17 14 17 10 5. Nongsa 14 14 16 15 21 12 13 11 13 21 6. Sekupang 15 6 15 14 21 6 4 7 7 16 7. Lubuk Baja 1 2 3 2 3 3 2 1 1 2 8. Batu Ampar 18 19 20 20 32 14 14 13 11 26 Total 108 112 118 121 138 50 50 46 49 75
Sumber: Bappeda Kota Batam (2001, 2002, 2003 dan 2004)
38
Seiring dengan perkembangan industri tersebut maka investasi di Kota
Batam pun mengalami peningkatan. Otorita Pengembangan Daerah Industri
Pulau Batam (2001) menyebutkan bahwa dari tahun 1990-2001 terjadi
peningkatan investasi yang cukup signifikan di daerah ini. Pada tahun 1990
tercatat investasi pemerintah sebesar US$ 573 000 000.00, investasi swasta
domestik sebesar US$ 1 515 000 000.00 serta investasi swasta asing
US$ 684 000 000.00 Sedangkan pada tahun 2001, investasi pemerintah tercatat
sebesar US$ 2 100 000.00, investasi swasta domestik US$ 3 300 000.00 dan
investasi swasta asing US$ 3 400 000.00, artinya bahwa pada tahun 2001 ini
terdapat 23.86% investasi pemerintah dan 37.50% investasi swasta domestik serta
investasi swasta asing sebesar 38.64%.
Jenis-jenis perusahaan pada Sektor Industri di Kota Batam pada tahun
2002 menurut Disperindag Kota Batam (2002) adalah sebagai berikut:
a. Kecamatan Nongsa: jenis industri yang terdapat di kecamatan ini terdiri dari
perusahaan elektronika, plastik dan barang dari plastik, barang dari logam,
garmen dan tekstil, bahan kimia, kertas dan barang dari kertas, pengolahan
kayu, pengolahan tanah liat dan pasir, pengolahan barang dari karet,
pengolahan sampah menjadi pupuk bio, bengkel dan jasa pendukung, alat
angkat dan jasa perbaikan, jasa industri dan rekayasa industri, makanan dan
minuman;
b. Kecamatan Batu Ampar: jenis industri yang terdapat di kecamatan ini terdiri
dari perusahaan elektronika, plastik dan barang dari plastik, barang dari
logam, garmen dan tekstil, bahan kimia, kertas dan barang dari kertas,
pengolahan kayu, alat angkat dan jasa perbaikan, jasa industri dan rekayasa
industri, makanan, minuman, furniture, percetakan, penerbitan dan periklanan;
c. Kecamatan Lubuk Baja: jenis industri yang terdapat di kecamatan ini terdiri
dari perusahaan elektronika, plastik dan barang dari plastik, barang dari
logam, garmen dan tekstil, kertas dan barang dari kertas, gelas dan barang dari
gelas, pengolahan kayu, pengolahan tanah liat dan pasir, alat angkat dan jasa
perbaikan, makanan, minuman, furniture, percetakan dan penerbitan;
39
d. Kecamatan Sekupang: jenis industri yang terdapat di kecamatan ini terdiri dari
perusahaan elektronika, barang dari logam, garmen dan tekstil, bahan kimia,
kertas dan barang dari kertas, galangan kapal, pengolahan kayu, pengolahan
tanah liat dan pasir, alat angkat dan jasa perbaikan, jasa industri dan rekayasa
industri, makanan, minuman dan penerbitan;
e. Kecamatan Sei Beduk: jenis industri yang terdapat di kecamatan ini terdiri
dari perusahaan elektronika, plastik dan barang dari plastik, barang dari
logam, kertas dan barang dari kertas, pengolahan kayu, pengolahan tanah liat
dan pasir, pengolahan barang dari karet, alat angkat dan jasa perbaikan, jasa
industri dan rekayasa industri, makanan dan minuman.
Perkembangan yang pesat di bidang ekonomi dan perindustrian membawa
Batam menjadi kota yang berbasis industri. Kemudahan akses yang didukung oleh
letak geografis menjadikan daerah ini banyak diminati para investor, salah satunya
akses transportasi laut, baik untuk kepentingan transportasi masyarakat dan
perdagangan domestik maupun ke negara lain. Daerah ini memiliki posisi
strategis karena berada di lokasi terdepan batas internasional dalam hal ini di Selat
Singapura serta terletak pada jalur pelayaran bebas yang kebetulan merupakan
salah satu alur pelayaran kapal paling ramai di dunia.
Besarnya angka pertambahan penduduk di Kota Batam adalah erat
kaitannya dengan dijadikannya Batam sebagai kawasan industri. Pertumbuhan
industri yang sangat pesat, selain dapat mendatangkan devisa juga membuat
banyak orang berdatangan ke wilayah ini, khususnya untuk mencari pekerjaan.
Hal ini menimbulkan urbanisasi, yang selanjutnya karena di sana sini timbul
perumahan kumuh sebagai akibat kurang siapnya penataan dan pengelolaan
lingkungan. Dampak lain yang timbul dari pengembangan industri yang
dilakukan secara terus-menerus di daerah ini adalah terjadinya kerusakan
lingkungan sebagai akibat eksploitasi lahan atau kawasan bagi peruntuk\kan yang
lain serta timbulnya pencemaran lingkungan yang disebabkan diantaranya oleh
pembuangan limbah industri yang belum semuanya tertata dengan baik. Adanya
orientasi pengembangan industri di Kota Batam yang secara terus-menerus
dilakukan ternyata membawa dampak terhadap faktor ikutan yang sangat nyata,
seperti peningkatan jumlah penduduk, peningkatan penyediaan sarana dan
40
prasarana penununjang (perumahan, perkantoran, pertokoan serta fasilitas lainnya)
yang dampak dari semua itu menyebabkan timbulnya kegiatan eksploitasi lahan
yang kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Sebenarnya dalam kaitannya dengan pengembangan industri telah disusun
kriteria jenis industri yang boleh beroperasi di Kota Batam. Kriteria industri yang
berpotensi untuk dikembangkan di Kota Batam harus memenuhi ketentuan
“negative list”, yaitu industri yang tidak boleh mengambil tempat di Kota Batam
(Pemerintah Kota Batam, 2000). Disamping itu, sesuai dengan Keputusan
Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam Nomor:
045/AP-KPTS/IV/1990 yang mengatur jenis industri yang tidak dipromosikan di
Kota Batam. Berdasarkan kedua ketentuan maka jenis-jenis industri yang tidak
dianjurkan dikembangkan di Kota Batam meliputi industri-industri:padat karya,
kimia, textil serta perabotan dari rotan dan kayu. Selain jenis industri tersebut
maka industri-industri yang direkomendasikan untuk dikembangkan di Kota
Batam adalah dengan syarat-syarat :
♦ Industri ringan, sedang dan berat yang berorientasi ekspor;
♦ Menggunakan teknologi menengah sampai tinggi;
♦ Intensif (padat) modal;
♦ Menggunakan tenaga ahli;
♦ Tingkat konsumsi air sedikit;
♦ Tidak menyebabkan polusi.
Adapun jenis komoditi industri unggulan yang akan dikembangkan di
Kota Batam diantaranya didasarkan pada (Pemerintah Kota Batam, 2000):
♦ Tingginya permintaan pasar internasional;
♦ Daya saing produk tersebut di pasar internasional;
♦ Adanya keunggulan komparatif produk yang dihasilkan;
♦ Kecenderungan investor dalam menanamkan modalnya di sektor industri.
41
Namun demikian, beberapa industri yang tidak dianjurkan untuk
dikembangkan di Kota Batam ternyata dijumpai di di daerah ini, seperti kimia,
tekstil serta pengolahan kayu. Hal ini memperlihatkan rendahnya pengawasan
serta adanya ketidak-konsistenan antara kebijakan yang telah dibuat dengan
pelaksanaannya di lapangan (Disperindag Kota Batam, 2002).
Adanya ketidak-konsistenan kebijakan serta pengawasan yang lemah dapat
mendorong semakin turunnya kualitas lingkungan akibat pengembangan industri
di daerah ini. Pengembangan industri berdampak terhadap meningkatnya
buangan limbah industri ke perairan pantai. Limbah yang berasal dari pabrik dan
kegiatan industri lainnya dialirkan dan dibuang semena-mena tanpa melalui sistem
pengolahan limbah yang baik. Kasus khusus terjadi di Kota Batam ini adalah
bahwa limbah industri pada umumnya dibuang langsung ke laut dan hanya
sebagian kecil yang dibuang melalui sungai kecil. Kondisi seperti ini terjadi
karaena sebagian besar industri di Kota Batam didirikan di dekat pantai sehingga
dengan alasan faktor kemudahan serta alasan biaya maka limbah-limbah industri
langsung dibuang ke perairan pantai yang ada di sekitarnya. Selain itu,
berdasarkan hasil pengamatan langsung selama penelitian bahwa di Kota Batam
tidak terdapat sungai besar dan yang ada adalah sungai-sungai kecil dan pendek
yang tidak pada setiap musim ada airnya atau hanya pada musim penghujan
sungai-sungai kecil ini dialiri air.
Pencemaran karena kegiatan industri terjadi karena banyaknya industri
yang sampai saat ini belum menggunakan unit pengolahan limbah atau dalam
penggunaan unit pengolahan limbah yang telah ada kurang optimal, sehingga
limbahnya masih mengalir ke perairan pantai dan laut yang akan berdampak
terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan hal ini merupakan pemicu
terjadinya degradsi lingkungan pesisir di Kota Batam.
Kondisi Perairan Pesisir Kota Batam
Kota Batam terdiri dari tiga pulau utama yaitu pulau Batam, Rempang, dan
Galang (Barelang) dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Daerah ini memiliki
panjang garis pantai 473 km. Pantai di Batam berbentuk tanjung (daratan yang
menjorok ke laut) yang umumnya berupa batuan, sedangkan yang berbentuk teluk
42
(bagian laut yang menjorok ke daratan) umumnya memiliki tipe pasir dan lumpur.
Pantai di bagian timur laut dan utara Pulau Batam umumnya memiliki tipe pasir
dan lumpur serta sebagian berbatu/karang.
Pesatnya kemajuan Kota Batam akhir-akhir ini ternyata membawa dampak
negatif terhadap lingkungan hidup. Hutan mangrove dirusak, bukit diratakan dan
adanya kegiatan lain yang merusak lingkungan banyak terjadi di Kota Batam. Hal
ini dilakukan untuk mendapatkan lahan bagi pengembangan industri serta
peruntukan lainnya. Wilayah pesisir Batam banyak dicemari oleh limbah atau
dampak dari pembangunan tersebut. Sebelumnya, disampaikan mengenai kondisi
hidro-oseanografi di sekitar perairan laut Kota Batam.
Arus Air Laut
Bentuk dasar laut dan garis pantai semua perairan akan berpengaruh
terhadap gerakan massa air perairan pantai. Hal ini disebabkan karena perairan
pantai umumnya dangkal sehingga peninggian dasar laut misalnya, akan
membelokkan massa air yang sedang bergerak. Demikian juga dengan garis
pantai yang juga akan membelokkan arah gerakan massa air.
Gerakan massa air akan dipengaruhi oleh garis pantai, tetapi sebaliknya
garis pantai dapat dipengaruhi oleh gerakan massa air kalau gerakan tersebut
(disertai dengan gelombang yang menghantam pantai) mengakibatkan terjadinya
erosi dan sedimen yang terpecah diangkut oleh gerakan massa air ke tempat lain.
Sistem arus di Riau Kepulauan termasuk perairan Batam, mempunyai
sistem yang kompleks sebagai hasil interaksi dari arus pasang, arus muson dan
faktor lokal, seperti perairan yang dangkal dan pengaruh tipologi pesisir dari
pulau-pulau (Zieren et al., 1996). Posisi geografi dipengaruhi pada perambatan
pasang dari Samudera Hindia melalui Selat Malaka dan dari Samudera Pasifik
melalui Laut Cina Selatan.
Arus utama perairan Batam dipengaruhi dan mengikuti pola arus Laut
Cina Selatan secara umum. Pola arus di Laut Cina Selatan sangat tergantung dari
angin Muson. Secara garis besar terdapat dua angin Muson di perairan ini, yaitu
angin Muson Barat Laut dan angin Muson Tenggara. Pada bulan Februari bertiup
puncak angin Muson Barat Laut yang menyebabkan arus bergerak meninggalkan
43
Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa. Pada bulan Agustus terjadi sebaliknya,
yaitu bertiup angin Muson Tenggara yang menyebabkan arus yang bergerak dari
perairan Laut Jawa menuju perairan Laut Cina Selatan. Namun di perairan
Batam, yang dekat dengan daratan, pola arus tidak sejelas arus di Laut Cina
Selatan. Karena adanya pulau-pulau dan daratan semenanjung Malaysia, pada
saat angin Muson Barat Laut bertiup, perairan Batam relatif tenang karena
terlindung oleh semenanjung. Sebaliknya pada saat bertiup angin Muson
Tenggara, perairan Batam akan menjadi lebih kasar (Gambar 5, 6, dan 7).
Meskipun demikian, karena banyaknya pantai dari pulau-pulau yang
terdapat di perairan Batam, pola arus di perairan ini tidak sesederhana seperti pola
arus di Laut Cina Selatan. Hal ini disebabkan karena seperti yang telah
disebutkan, arus tersebut dipengaruhi oleh garis pantai (Tabel 13).
Tabel 13 Kecepatan dan arah arus di perairan Batam
No. Bulan Kecepatan (cm/detik) Arah 1 Januari 15 Barat Laut 2 Februari 31 Barat Laut 3 Maret 20 Barat laut 4 April 28 Barat Laut 5 Mei 28 Barat laut 6 Juni 23 Tenggara 7 Juli 12 Tenggara 8 Agustus 8 Tenggara 9 September 21 Barat Laut 10 Oktober 12 Barat Laut 11 November 15 Barat Laut 12 Desember 41 Barat Laut
Sumber: PT Bumimas Batamjaya (2001)
44
Januari Februari
Maret April
Mei Juni
Gambar 5 Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya pada bulan Januari - Juni (PT Bumimas Batamjaya, 2001)
45
Nopember Desember
Juli Agustus
September Oktober
Gambar 6 Pola arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya pada bulan Juli - Desember (PT Bumimas Batamjaya, 2001)
46
Gambar 7 Pergerakan arus air laut di perairan Batam dan sekitarnya (Chia et al, 1988)
47
Gelombang Air Laut
Gelombang laut timbul terutama akibat adanya gangguan air dari luar
terhadap suatu perairan. Gelombang laut sangat besar artinya bagi kegiatan
manusia baik di laut maupun di daerah pantai. Gelombang ini antara lain dapat
merusak pantai kalau energinya yang dibangun di laut dihempaskan di daerah
pantai, terutama untuk daerah terbuka atau tidak ditumbuhi vegetasi.
Pasang Air Laut
Pasang atau pasang-surut adalah suatu fenomena gerakan permukaan laut
ke bawah dan ke atas secara berkala. Pasang merupakan suatu gelombang yang
frekuensinya rendah, pada umumnya lebih kecil dari dua kali sehari. Gerakan
pasang ini ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa seperti
matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Gerakan ini juga dipengaruhi
oleh rotasi bumi sendiri serta letak pulau dan benua.
Pasang di perairan Batam bersifat campuran cenderung semi diurnal,
artinya secara garis besar terdapat dua kali pasang naik dan dua kali pasang surut
dalam 24 jam. Namun dua pasang tersebut tidak sama besarnya, yang satu lebih
besar, biasa disebut pasang induk, dan lainnya biasa disebut pasang anak. Hal ini
sesuai dengan hasil kajian PKSPL-IPB (2001) yang mencatat bahwa tipe pasang
surut air laut (pasut) di Batu Ampar Kota Batam adalah campuran, dominasi
ganda dengan kisaran pasut 0.6 - 2.8 meter. Gambar 8 menunjukkan contoh
pasang di perairan Batu Ampar pada tanggal 20 Mei dan 11 Juni 2003 menurut
ramalan yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro-Oseanografi-TNI Angkatan Laut
(Dishidros, 2003).
Selain gerakan vertikal naik turunnya permukaan laut, pasang juga
melakukan gerakan horizontal yang mengakibatkan terjadinya arus pasang. Arus
pasang ini bergerak ke arah pantai pada pasang naik dan menjauhi pantai pada
pasang surut. Kisaran pasang (jarak permukaan laut antara pasang naik dan
pasang surut) mencapai lebih dari 2.5 meter pada tanggal 20 Mei 2003. Kisaran
pasang ini merupakan sumber energi potensial yang dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan yang memerlukan tenaga pasang.
48
0
5
10
15
20
25
30
0 5 10 15 20 25 30
Jam
Ting
gi P
asan
g (d
m)
0
5
10
15
20
25
30
0 5 10 15 20 25 30
Jam
Ting
gi P
asan
g (d
m)
Gambar 8 Ramalan pasang di perairan Batu Ampar pada tanggal 20 Mei (atas) dan 11 Juni (bawah) tahun 2003 (Dishidros, 2003)
49
Kualitas Perairan Pesisir
Perairan Kota Batam merupakan perairan terbuka dan berada di sekitar
perairan Laut Cina Selatan, Selat Singapura dan Selat Malaka sehingga kondisi
perairan Kota Batam dipengaruhi pula oleh kualitas dari perairan-perairan yang
ada di sekitarnya. Selain itu, kualitas air di daerah ini dipengaruhi oleh limbah
yang berasal dari kegitan manusia yang ada di Kota Batam sendiri. Aktivitas
manusia di Kota Batam meliputi pertanian, industri dan kegiatan domestik
Aktivitas-aktivitas tersebut menghasilkan limbah yang pada umumnya dibuang ke
sungai atau saluran air dan akhirnya akan bermuara ke wilayah pesisir.
Untuk mengetahui kondisi kualitas air di perairan pantai/laut Kota Batam
selain berdasarkan data primer yang diperoleh melalui pengambilan contoh
(sample) langsung di lokasi penelitian, juga dilakukan dengan menganalisis dari
sejumlah data sekunder tentang kualitas air pantai/laut Kota Batam yang diperoleh
dari beberapa sumber termasuk dari hasil studi-studi terdahulu (Lampiran 1 – 4
dan Tabel 14 – 17). Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi kualitas air pada
saat yang lalu dan membandingkannya dengan data primer yang diperoleh dari
penelitian ini. Selain itu, berdasarkan data kualitas air laut yang dikumpulkan
dapat dilihat juga kondisi kualitas air laut pada beberapa wilayah pesisir Kota
Batam, termasuk di dalamnya untuk mengetahui kondisi kualitas air laut dilihat
dari distribusi secara vertikal, yaitu yang ada di bagian permukaan dan bagian
dekat dasar perairan pesisir Kota Batam.
Berdasarkan analisis terhadap data yang dikumpulkan dari studi terdahulu
yang dilakukan oleh PERTAMINA Conoco (1998) (Tabel 14), terlihat bahwa
dari hasil analisis dengan metode STORET (Canter, 1977) yang dilakukan
terhadap kualitas air laut dari dekat dasar perairan di bagian utara wilayah Kota
Batam menunjukkan kualitas perairan termasuk dalam kelas D: buruk dengan
total skor –85, yang menurut KLH (2003) kondisi seperti ini termasuk dalam
kriteria tercemar berat. Beberapa parameter yang memberikan kontribusi
terhadap buruknya kualitas air di lokasi ini adalah TSS, oksigen terlarut, NO3-N,
fenol, Hg, Cd, Pb, Cu, Zn, dan As.
50
Tabel 14 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998
No. Parameter Satuan Baku Nilai Skormutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Warna Pt.Co2 Suhu oC alami **) 30.7 31.5 30 0 0 0 03 Padatan Tersuspensi mg/l ? 20 148.4 166 136 -3 -1 -1 -54 Kekeruhan NTU < 5 0.69 1.00 0.55 0 0 0 0
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 8.19 8.20 8.17 0 0 0 0
2 Salinitas O/oo alami ***) 32.7 34.5 28.5 0 0 0 03 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 5.3 6.0 5.0 0 0 -2 -24 BOD5 mg/l < 20 6.71 7.95 5.20 0 0 0 05 COD mg/l -6 Amonia total mg/l < 0.3 0.028 0.034 0.025 0 0 0 07 NO2-N mg/l8 NO3-N mg/l < 0.008 0.047 0.076 0.020 -6 -2 -2 -109 Ortofosfat mg/l10 Minyak dan lemak mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 011 Fenol mg/l < 0,002 0.015 0.029 0.006 -6 -2 -2 -1012 Detergen mg/l < 1 0.002 0.006 Tt 0 0 0 013 Merkuri (Hg) mg/l < 0.001 0.185 0.250 0.100 -6 -2 -2 -1014 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 0.055 0.090 0.037 -6 -2 -2 -1015 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 0.047 0.086 0.026 -6 -2 -2 -1016 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.046 0.086 0.017 -6 -2 -2 -1017 Seng (Zn) mg/l < 0.05 0.083 0.166 Tt -6 -2 0 -818 Khrom (IV) (Cr6+) mg/l < 0.005 0.002 0.004 Tt 0 0 0 019 Arsen (As) mg/l < 0.012 0.198 0.244 0.155 -6 -2 -2 -1020 Selenium mg/l
TOTAL -85Sumber: PERTAMINA Conoco (1998)Keterangan:*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) ***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
51
Kondisi yang sama dapat dilihat dari hasil analisis terhadap data yang
dikumpulkan dari studi PGN (2000) yang dilakukan terhadap kualitas air laut dari
dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura seperti pada
Tabel 15. Buruknya kualitas air di lokasi tersebut yang berarti tercemar berat
disebabakan oleh adanya parameter-parameter yang tidak memenuhi baku mutu,
seperti NO3-N, fenol, Pb dan Zn dengan total skor -38.
Kondisi kualitas air laut pada bagian permukaan perairan berdasarkan
analisis yang dilakukan terhadap data dari studi PERTAMINA Conoco (1998)
seperti pada Tabel 16 menunjukkan kondisinya sangat memprihatinkan dengan
total skor –83. Hal ini menggambarkan bahwa kualitas air laut pada permukaan
perairan di bagian utara Kota Batam dalam keadaan tercemar berat, yang ditandai
dengan adanya beberapa parameter kualitas air yang tidak memenuhi baku mutu,
seperti TSS, NO3-N, fenol, Hg, Cd, Pb, Cu, Zn, dan As.
Kualitas air permukaan laut berdasarkan hasil analisis terhadap data dari
studi PGN (2000) seperti dalam Tabel 17 menunjukkan bahwa kondisi kualitas air
laut dari data tahun 2000 tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1998.
Kondisi kualitas air laut pada bagian permukaan perairan antara Pulau Batam dan
perbatasan Singapura dalam keadaan tercemar berat dengan total skor -40.
Beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu dan memberikan kontribusi
terhadap buruknya kualitas air laut di lokasi ini meliputi NO3-N, fenol, Pb, Cu,
dan Zn.
Secara keseluruhan, berdasarkan Tabel 14 - 17 tersebut dapat dilihat
kondisi kualitas air laut, baik yang diambil dari dekat dasar perairan laut maupun
dari bagian permukaan perairan laut yang menunjukkan kondisi yang sama, yaitu
menunjukkan tingkat kualitas air laut dalam keadaan buruk atau tercemar berat.
Hal ini menggambarkan bahwa kualitas perairan laut Kota Batam, khususnya
perairan laut di bagian utara Kota Batam dan perairan laut antara Pulau Batam dan
perbatasan Singapura dalam keadaan tercemar berat dari mulai bagian atas
(permukaan perairan laut) sampai bagian bawah (dasar perairan laut). Kondisi
seperti ini juga menunjukan terjadinya distribusi polutan secara vertikal.
Beberapa parameter kualitas air yang tidak memenuhi baku mutu dan ditemukan
pada semua lokasi pengamatan tersebut adalah Pb, Zn, NO3-N dan fenol.
52
Tabel 15 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000
No. Parameter Satuan Baku Nilai Skormutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Warna Pt.Co2 Suhu oC alami **) 28.6 29 28.2 0 0 0 03 Padatan Tersuspensi mg/l ? 20 14.6 18 12 0 0 0 04 Kekeruhan NTU < 5 0.61 1.00 0.45 0 0 0 0
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 8.0 8.1 8.0 0 0 0 0
2 Salinitas O/oo alami ***) 31.4 31.7 31.0 0 0 0 03 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 6.5 7.0 5.9 0 0 0 04 BOD5 mg/l < 20 4.03 4.34 3.50 0 0 0 05 COD mg/l -6 Amonia total mg/l < 0.3 0.094 0.272 0.019 0 0 0 07 NO2-N mg/l8 NO3-N mg/l < 0.008 0.081 0.166 0.008 -6 -2 0 -89 Ortofosfat mg/l
10 Minyak dan lemak mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 011 Fenol mg/l < 0,002 0.023 0.034 0.014 -6 -2 -2 -1012 Merkuri (Hg) mg/l < 0.001 Tt Tt Tt 0 0 0 013 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 Tt Tt Tt 0 0 0 014 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 0.028 0.035 0.023 -6 -2 -2 -1015 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.004 0.008 Tt 0 0 0 016 Seng (Zn) mg/l < 0.05 4.842 5.880 4.115 -6 -2 -2 -1017 Khrom (IV) (Cr6+) mg/l < 0.005 Tt Tt Tt 0 0 0 0
TOTAL -38Sumber: PGN (2000)
eterangan:*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) ***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas**) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
53
Tabel 16 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998
No. Parameter Satuan Baku Nilai Skormutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Warna Pt.Co2 Suhu oC alami **) 30.6 31.5 30.0 0 0 0 03 Padatan Tersuspensi mg/l ? 20 134.8 150 120 -3 -1 -1 -54 Kekeruhan NTU < 5 0.42 0.60 0.36 0 0 0 0
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 8.19 8.30 8.14 0 0 0 0
2 Salinitas O/oo alami ***) 29.6 33.5 24.0 0 0 0 03 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 7.2 7.3 7.1 0 0 0 04 BOD5 mg/l < 20 7.62 7.95 6.36 0 0 0 05 COD mg/l -6 Amonia total mg/l < 0.3 0.031 0.044 0.016 0 0 0 07 NO2-N mg/l8 NO3-N mg/l < 0.008 0.055 0.108 0.037 -6 -2 -2 -109 Ortofosfat mg/l10 Minyak dan lemak mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 011 Fenol mg/l < 0,002 0.017 0.024 0.014 -6 -2 -2 -1012 Detergen mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 013 Merkuri (Hg) mg/l < 0.001 0.130 0.275 0.025 -6 -2 -2 -1014 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 0.042 0.056 0.031 -6 -2 -2 -1015 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 0.043 0.095 0.021 -6 -2 -2 -1016 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.090 0.129 0.034 -6 -2 -2 -1017 Seng (Zn) mg/l < 0.05 0.059 0.086 Tt -6 -2 0 -818 Khrom (IV) (Cr6+) mg/l < 0.005 0.002 0.004 Tt 0 0 0 019 Arsen (As) mg/l < 0.012 0.315 0.355 0.267 -6 -2 -2 -1020 Selenium mg/l
TOTAL -83Sumber: PERTAMINA Conoco (1998)Keterangan:*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) ***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
54
Tabel 17 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000
No. Parameter Satuan Baku Nilai Skormutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Warna Pt.Co2 Suhu oC alami **) 28.7 29.0 28.5 0 0 0 03 Padatan Tersuspensi mg/l ? 20 15.3 18 12 0 0 0 04 Kekeruhan NTU < 5 0.47 1.00 0.30 0
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 8.08 8.15 8.00 0 0 0 0
2 Salinitas O/oo alami ***) 31.4 31.7 31.0 0 0 0 03 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 6.68 7.40 6.00 0 0 0 04 BOD5 mg/l < 20 4.32 4.98 4.14 0 0 0 05 COD mg/l -6 Amonia total mg/l < 0.3 0.126 0.317 0.021 0 0 0 07 NO2-N mg/l8 NO3-N mg/l < 0.008 0.034 0.061 0.004 -6 -2 0 -89 Ortofosfat mg/l
10 Minyak dan lemak mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 011 Fenol mg/l < 0,002 0.030 0.038 0.016 -6 -2 -2 -1012 Merkuri (Hg) mg/l < 0.001 Tt Tt Tt 0 0 0 013 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 Tt Tt Tt 0 0 0 014 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 0.036 0.049 0.026 -6 -2 -2 -1015 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.007 0.012 tt 0 -2 0 -216 Seng (Zn) mg/l < 0.05 6.290 8.520 4.720 -6 -2 -2 -1017 Khrom (IV) (Cr6+) mg/l < 0.005 Tt Tt Tt 0 0 0 0
TOTAL -40Sumber: PGN (2000)
Keterangan :*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) ***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
55
Sementara itu, untuk mengetahui kualitas air pada saat penelitian,
dilakukan pengamatan langsung pada perairan pantai/laut Kota Batam. Dari hasil
analisis laboratorium diperoleh data kualitas air laut seperti disajikan dalam
Lampiran 5 - 12 serta hasil analisis dengan metode STORET dari data tersebut
disajikan dalam Tabel 18 – 25, yang diuraikan secara lengkap pada sub-bab
berikut.
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Nongsa
Kualitas air pantai/laut di Kecamatan Nongsa memiliki total skor –35
(Tabel 18). Menurut Canter (1977) dikatakan bahwa kualitas air pantai/laut di
daerah tersebut termasuk buruk (kelas D) karena total skornya lebih kecil
dari –30. Buruknya kualitas air pantai/laut di daerah ini dapat dilihat dari adanya
beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti kekeruhan, BOD5,
Cu, Pb, Zn dan Ni. Hal ini diduga diantaranya diakibatkan oleh adanya
pembuangan limbah industri dan akivitas reklamasi kawasan pantai Kabil bagi
pengembangan industri. Beberapa aktivitas yang secara langsung dapat
memberikan kontribusi terhadap turunnya kualitas air laut di lokasi ini diduga
berasal dari industri kapal laut (shipyard), logam, kimia, plastik, kertas,
elektronika, kramik, semen dan aktivitas dari Depo Pertamina Kabil serta adanya
aktivitas pelabuhan Telaga Punggur. Selain itu, beberapa aktivitas di lahan bagian
atas juga memberikan dampak tidak langsung yang mengakibatkan turunnya
kualitas air di lokasi ini.
56
Tabel 18 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairpantai/laut di Kecamatan Nongsa, Kota Batam pada 6 Mei 2003
Baku Nilai SkorNo. Parameter Satuan mutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Warna PtCo -2 Kebauan - alami alami alami alami 0 0 0 03 Kekeruhan NTU < 5 3 6 1 0 -1 0 -14 TSS mg/l ? 20 8 16 4 0 0 0 05 Suhu oC alami **) 28.4 28.6 28.2 0 0 0 0
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 8.19 8.20 8.19 0 0 0 02 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 6.40 6.71 6.03 0 0 0 03 BOD5 mg/l < 20 23.70 25.22 22.11 -6 -2 -2 -104 COD (K2Cr2O7) mg/l -5 Ammonia (NH4-N) mg/l -6 Nitrit (NO2-N) mg/l -7 Sianida (CN) mg/l < 0,5 Tt Tt Tt 0 0 0 08 Sulfida (H2S) mg/l < 0,01 Tt Tt Tt 0 0 0 09 Minyak dan lemak mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 0
10 Fenol mg/l < 0,002 Tt Tt Tt 0 0 0 011 Detergen LAS as MBAS mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 012 Merkuri (Hg) mg/l < 0.001 Tt Tt Tt 0 0 0 013 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0,005 Tt Tt Tt 0 0 0 014 Arsen (As) mg/l < 0,012 Tt Tt Tt 0 0 0 015 Selenium (Se) mg/l -16 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 Tt Tt Tt 0 0 0 017 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.040 0.082 0.016 -6 -2 -2 -1018 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 0.029 0.064 0.017 -6 -2 -2 -1019 Seng (Zn) mg/l < 0,05 0.041 0.073 0.027 0 -2 0 -220 Nikel (Ni) mg/l < 0,05 0.040 0.059 0.028 0 -2 0 -221 Perak (Ag) mg/l -
TOTAL -35Keterangan:*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) Tt: Tidak terdeteksi**) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
57
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk
Baja menurut Canter (1977) termasuk buruk (kelas D) dengan total skor –69.
Kondisi seperti ini menurut KLH (2003) termasuk dalam kategori tercemar berat,
ditandai oleh adanya beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti
kebauan, kekeruhan, TSS, oksigen terlarut, BOD5, NH3-N, H2S, minyak dan
lemak, deterjen, Cu, Pb dan Zn (Tabel 19). Buruknya kualitas air ini diduga
akibat pembuangan limbah dan aktivitas industri, khususnya industri yang berada
dekat dengan pantai yang dapat memberikan dampak langsung terhadap turunnya
kualitas air di lokasi tersebut. Beberapa aktivitas yang diduga dapat memberikan
kontribusi langsung terhadap turunnya kualitas air di daerah ini berasal dari
industri kapal laut (shipyard), plastik, elektronika, logam (pipa dan lainnya), lilin,
barang-barang dari karet, peralatan kesehatan (laboratorium), kertas, kimia, gas,
pipa, jasa pemeliharaan dan perbaikan alat berat dan lain-lain serta aktivitas
pelabuhan Makobar. Sedangkan dampak tidak langsung yang mengakibatkan
turunnya kualitas air diduga berasal dari beberapa aktivitas di lahan bagian atas.
Sedangkan berdasarkan analisis terhadap data dari studi sebelumnya
(PERTAMINA, 2002), yang dilakukan di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya,
tepatnya di wilayah Kecamatan Lubuk Baja dan Kecamatan Batu Ampar seperti
disajikan dalam Tabel 20. Dari Tabel 20 terlihat bahwa kualitas air di lokasi
tersebut dalam kondisi tercemar sedang, yang ditandai dengan total skor –30.
Beberapa parameter yang sudah tidak memenuhi baku mutu dan menyebabkan
kondisi seperti ini meliputi kecerahan, kekeruhan, TSS, Cu dan Cd.
58
Tabel 19 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairpantai/laut di Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja, Kota Batam pada 2003
No. Parameter Satuan Baku Nilai Skormutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Warna PtCo -2 Kebauan - alami alami Bau alami 0 -1 0 -13 Kekeruhan NTU < 5 17.73 61 2 -3 -1 0 -44 TSS mg/l ? 20 27.2 55 9 -3 -1 0 -45 Suhu oC alami **) 28.7 29.1 28.1 0 0 0 0
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 7.38 8.03 7.09 0 0 0 02 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 4.59 6.1 2 -6 0 -2 -83 BOD5 mg/l < 20 51.52 206 5 -6 -2 0 -84 COD (K2Cr2O7) mg/l -5 Ammonia (NH3-N) mg/l < 0,3 0.41 1.96 Tt -6 -2 0 -86 Nitrit (NO2-N) mg/l -7 Sianida (CN) mg/l < 0,5 Tt Tt Tt 0 0 0 08 Sulfida (H2S) mg/l < 0,01 0.62 3.73 Tt -6 -2 0 -89 Minyak dan lemak mg/l < 1 0.404 2.423 Tt 0 -2 0 -210 Fenol mg/l < 0,002 Tt Tt Tt 0 0 0 011 Detergen LAS as MBAS mg/l < 1 0.175 1.052 Tt 0 -2 0 -212 Merkuri (Hg) mg/l < 0.001 Tt Tt Tt 0 0 0 013 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0,005 Tt Tt Tt 0 0 0 014 Arsen (As) mg/l < 0,012 Tt Tt Tt 0 0 0 015 Selenium (Se) mg/l -16 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 Tt Tt Tt 0 0 0 017 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.011 0.014 Tt -6 -2 0 -818 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 0.022 0.061 Tt -6 -2 0 -819 Seng (Zn) mg/l < 0,05 0.066 0.357 Tt -6 -2 0 -820 Nikel (Ni) mg/l < 0,05 0.014 0.047 Tt 0 0 0 021 Perak (Ag) mg/l -
B I O L O G I1 Escherichia coli MPN/100 ml -2 Coliform group MPN/100 ml < 1000 3.3 20 Tt 0 0 0 0
TOTAL -69Keterangan:*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) Tt: Tidak terdeteksi**) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
59
Tabel 20 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Lubuk Baja dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002
No. Parameter Satuan Baku Nilai Skormutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Suhu oC alami **) 30.7 31.0 30.4 0 0 0 02 Kecerahan m > 5 1.58 2.42 0.68 -3 -1 -1 -53 Kekeruhan NTU < 5 2.7 7 1 0 -1 0 -14 Padatan Tersuspensi mg/l ? 20 42.5 76 16 -3 -1 0 -45 Daya Hantar Listrik (DHL) umhos/cm
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 7.6 7.8 7.4 0 0 0 0
2 Salinitas O/oo alami ***) 30.5 32 29 0 0 0 03 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 8.25 8.50 7.91 0 0 0 04 BOD5 mg/l < 20 4.88 5.50 3.44 0 0 0 05 COD (K2Cr2O7) mg/l -6 Kesadahan mg/l -7 Minyak-hidrokarbon (TPH) mg/l -8 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.023 0.026 0.018 -6 -2 -2 -109 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 0.023 0.032 0.018 -6 -2 -2 -10
10 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 0.005 0.005 0.004 0 0 0 011 Senyawa Fenol mg/l < 0,002 Tt Tt Tt 0 0 0 012 Minyak dan lemak mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 0
TOTAL -30Sumber: PERTAMINA (2002)Keterangan :*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) ***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
60
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang
Kondisi kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Sekupang dan
Belakang Padang menurut Canter (1977) memiliki klasifikasi buruk (kelas D)
karena total skornya lebih kecil dari –30. Berdasarkan hasil analisis, kualitas air
di daerah ini memiliki total skor –40. Kondisi kualitas air di lokasi ini termasuk
dalam kategori tercemar berat. Buruknya kualitas air ini tercermin dari adanya
beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti kekeruhan, oksigen
terlarut, BOD5, NH3-N, Cu, Pb dan Zn (Tabel 21). Kualitas air yang buruk yang
terjadi di perairan Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang juga diperoleh dari
hasil studi terdahulu yang dilakukan PERTAMINA (2002) seperti dalam Tabel
22. Berdasarkan data dalam tabel tersebut terlihat bahwa kualitas air laut di lokasi
ini termasuk dalam kondisi buruk atau tercemar berat dengan total skor –64.
Adanya parameter-parameter kualitas air laut yang tidak memenuhi baku mutu
menjadikan kualitas airnya dalam kondisi buruk. Beberapa parameter yang
mempengaruhi buruknya kualitas air laut tersebut terdiri dari kecerahan,
kekeruhan, TSS, Cu, Cd, dan Pb.
Beberapa industri yang didirikan di dekat pantai di sekitar Kecamatan
Sekupang dan Belakang Padang diduga memberikan kontibusi terhadap buruknya
kualitas air ini, diantaranya industri kapal laut (shipyard), logam, elektronika,
barang dari karet, plastik, kulit, gas, kimia, jasa perbaikan dan pemeliharaan alat
berat dan aktivitas dari Depo Pertamina Pulau Sambu-Kecamatan Belakang
Padang serta aktivitas pelabuhan Sekupang. Selain itu, beberapa aktivitas di lahan
bagian atas juga memberikan dampak terhadap turunnya kualitas air laut di
wilayah ini.
61
Tabel 21 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairapantai/laut di Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang, Kota Batam pada 2003
No. Parameter Satuan Baku Nilai Skormutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Warna PtCo -2 Kebauan - alami alami alami alami 0 0 0 03 Kekeruhan NTU < 5 5.33 23.32 1 -3 -1 0 -44 TSS mg/l ? 20 15.1 20 8 0 0 0 05 Suhu oC alami **) 28.5 29.3 28.2 0 0 0 0
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 8.13 8.25 7.62 0 0 0 02 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 5.66 6.27 5 0 0 -2 -23 BOD5 mg/l < 20 26.87 34.15 4 -6 -2 0 -84 COD (K2Cr2O7) mg/l -5 Ammonia (NH3-N) mg/l < 0.3 1.41 9.86 Tt -6 -2 0 -86 Nitrit (NO2-N) mg/l -7 Sianida (CN) mg/l < 0,5 Tt Tt Tt 0 0 0 08 Sulfida (H2S) mg/l < 0,01 Tt Tt Tt 0 0 0 09 Minyak dan lemak mg/l < 1 0.023 0.164 Tt 0 0 0 010 Fenol mg/l < 0,002 Tt Tt Tt 0 0 0 011 Detergen LAS as MBAS mg/l < 1 0.070 0.489 Tt 0 0 0 012 Merkuri (Hg) mg/l < 0.001 Tt Tt Tt 0 0 0 013 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0,005 Tt Tt Tt 0 0 0 014 Arsen (As) mg/l < 0,012 Tt Tt Tt 0 0 0 015 Selenium (Se) mg/l -16 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 Tt Tt Tt 0 0 0 017 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.021 0.03 Tt -6 -2 0 -818 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 0.027 0.048 Tt -6 -2 0 -819 Seng (Zn) mg/l <0,05 0.033 0.060 0.011 0 -2 0 -220 Nikel (Ni) mg/l < 0,05 0.012 0.026 Tt 0 0 0 021 Perak (Ag) mg/l -
B I O L O G I1 Escherichia coli MPN/100 ml -2 Coliform group MPN/100 ml < 1000 2.9 20 Tt 0 0 0 0
TOTAL -40Keterangan:*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) Tt: Tidak terdeteksi**) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
62
Tabel 22 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air laut di perairan Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Belakang Padang dan Kec. Sekupang) Kota Batam pada Nopember 2002
No. Parameter Satuan Baku Nilai Skormutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Suhu oC alami **) 30.5 31.1 30.1 0 0 0 02 Kecerahan m > 5 1.81 3.18 0.86 -6 -2 -2 -103 Kekeruhan NTU < 5 2.1 6.5 0.8 0 -2 0 -24 Padatan Tersuspensi mg/l ? 20 28.6 76 12 -6 -2 0 -85 Daya Hantar Listrik (DHL) umhos/cm
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 7.5 7.8 7.0 0 0 0 0
2 Salinitas O/oo alami ***) 32.3 33 30 0 0 0 03 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 7.69 8.53 6.85 0 0 0 04 BOD5 mg/l < 20 4.6 5.6 3.1 0 0 0 05 COD (K2Cr2O7) mg/l -6 Kesadahan mg/l -7 Minyak-hidrokarbon (TPH) mg/l -8 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.023 0.029 0.015 -12 -4 -4 -209 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 0.022 0.032 0.011 -12 -4 -4 -20
10 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 0.006 0.009 0.004 0 -4 0 -411 Senyawa Fenol mg/l < 0,002 Tt Tt Tt 0 0 0 012 Minyak dan lemak mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 0
TOTAL -64Sumber: PERTAMINA (2002)Keterangan :*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) ***) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% dari salinitas **) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat) Tt: Tidak terdeteksi
63
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Sei Beduk
Kondisi kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Sei Beduk dalam
keadaan tercemar berat, yang ditandai oleh total skor lebih kecil dari –30.
Berdasarkan hasil analisis, kualitas air laut di daerah ini memiliki total skor –58.
Buruknya kualitas air pantai/laut di daerah ini terlihat dari adanya beberapa
parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti kekeruhan, TSS, oksigen
terlarut, BOD5, NH3-N, Zn dan Ni (Tabel 23). Adanya pembuangan limbah
industri diduga memberikan kontribusi terhadap turunnya kualitas air di lokasi ini.
Di daerah ini terdapat kawasan industri yang sangat luas, yaitu kawasan industri
Batamindo (Batamindo Industrial Estate), yang di dalamnya terdapat beberapa
industri dengan beragam jenis produk yang dihasilkan, seperti elektronika,
peralatan kesehatan (laboratorium), plastik, barang-barang dari karet, logam,
instrumen dan alat kontrol, kimia (battery sel primer dan lainnya), kertas, separasi
warna dan lain-lain. Selain itu, beberapa aktivitas lainnya di lahan bagian atas
juga diduga memberikan dampak terhadap turunnya kualitas air laut di lokasi ini.
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Bulang
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Bulang termasuk buruk,
yaitu dengan total skor –55 (Tabel 24). Menurut metode STORET (Canter, 1977)
disebutkan bahwa kualitas air yang termasuk dalam klasifikasi buruk (kelas D)
apabila total skornya lebih kecil dari –30. Buruknya kualitas air pantai/laut di
daerah ini terlihat dari adanya beberapa parameter yang tidak memenuhi baku
mutu, seperti kekeruhan, TSS, pH, oksigen terlarut, BOD5, Cr, Cu, Pb, Zn dan
total coliform. Di derah ini terdapat perusahaan besar yang bergerak dalam
bidang peternakan buaya, babi, ayam dan budidaya ikan lele. Beberapa industri
yang masuk di Kecamatan Sekupang diduga ikut memberikan kontribusi terhadap
turunnya kualitas air di perairan pantai/laut di lokasi ini karena letaknya tidak
terlalu jauh dari perairan laut Kecamatan Bulang.
64
Tabel 23 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam pada 19 Januari 2001
Baku Nilai SkorNo. Parameter Satuan mutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Warna PtCo -2 Kekeruhan NTU < 5 31 32 30 -3 -1 -1 -53 TSS mg/l ? 20 64.5 81 48 -3 -1 -1 -54 Suhu oC alami **) 29.3 29.5 29 0 0 0 0
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 7.5 7.5 7.5 0 0 0 02 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 3.93 3.95 3.90 -6 -2 -2 -103 BOD5 mg/l < 20 41.6 41.9 41.2 -6 -2 -2 -104 COD (K2Cr2O7) mg/l -5 Ammonia (NH3) mg/l < 0,3 0.33 0.34 0.31 -6 -2 -2 -106 Nitrit (NO2-N) mg/l -7 Sianida (CN) mg/l < 0,5 Tt Tt Tt 0 0 0 08 Sulfida (H2S) mg/l < 0,01 0.006 0.007 0.005 0 0 0 09 Arsen (As) mg/l < 0,012 Tt Tt Tt 0 0 0 0
10 Selenium (Se) mg/l -11 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 Tt Tt Tt 0 0 0 012 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.002 0.002 0.001 0 0 0 013 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 Tt Tt Tt14 Seng (Zn) mg/l < 0,05 0.06 0.08 0.03 -6 -2 0 -815 Nikel (Ni) mg/l < 0,05 0.14 0.15 0.12 -6 -2 -2 -1016 Sulphate (SO4) mg/l -17 Cobalt (Co) mg/l -18 Fosfat (PO4-P) mg/l < 0.015 0.011 0.014 0.007 0 0 0 019 Mangan (Mn) mg/l -20 Kalium (K) mg/l -
TOTAL -58Keterangan:*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) Tt: Tidak terdeteksi**) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
65
Tabel 24 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota Batam pada 14 Maret 2001
Baku Nilai SkorNo. Parameter Satuan mutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Warna PtCo -2 Kebauan - alami alami alami alami 0 0 0 03 Kekeruhan NTU < 5 8 10 7 -3 -1 -1 -54 TSS mg/l ? 20 42 78 18 -3 -1 0 -45 Suhu oC alami **) 27.1 27.8 26.8 0 0 0 0
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 7.37 7.68 6.90 0 0 -2 -22 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 5.45 6.32 4.07 0 0 -2 -23 BOD5 mg/l < 20 19.93 33.59 11.47 0 -2 0 -24 COD (K2Cr2O7) mg/l -5 Ammonia (NH4-N) mg/l -6 Nitrit (NO2-N) mg/l -7 Sianida (CN) mg/l < 0,5 Tt Tt Tt 0 0 0 08 Sulfida (H2S) mg/l < 0,01 Tt Tt Tt 0 0 0 09 Minyak dan lemak mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 0
10 Fenol mg/l < 0,002 Tt Tt Tt 0 0 0 011 Detergen LAS as MBAS mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 012 Merkuri (Hg) mg/l < 0.001 Tt Tt Tt 0 0 0 013 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0,005 0.015 0.037 Tt -6 -2 0 -814 Arsen (As) mg/l < 0,012 Tt Tt Tt 0 0 0 015 Selenium (Se) mg/l -16 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 Tt Tt Tt 0 0 0 017 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.027 0.039 Tt -6 -2 0 -818 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 0.015 0.042 Tt -6 -2 0 -819 Seng (Zn) mg/l < 0,05 0.065 0.074 0.042 -6 -2 0 -820 Nikel (Ni) mg/l < 0,05 Tt Tt Tt 0 0 0 021 Perak (Ag) mg/l -
B I O L O G I1 Escherichia coli MPN/100 ml -2 Coliform group MPN/100 ml < 1000 7,000 35,000 Tt -6 -2 0 -8
TOTAL -55Sumber: Data Pemantauan Kualitas Air di PT. Indotirta Suaka (Lokasi pabrik di Kec. Bulang) tahun 2001Keterangan: *) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) Tt: Tidak terdeteksi**) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
66
Kualitas air di perairan pantai/laut Kecamatan Galang
Kondisi kualitas air laut yang diambil dari perairan Kecamatan Galang
menunjukkan bahwa kualitas air di daerah ini termasuk buruk dengan total
skor –34. Buruknya kualitas air pantai/laut di daerah ini terlihat dari adanya
beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu, seperti BOD5, Cu, Pb, Zn
dan Ni (Tabel 25). Sebenarnya pada saat dilakukan penelitian tidak dijumpai
adanya industri/perusahaan yang didirikan di Kecamatan Galang ini, tetapi dengan
melihat pada kenyataan bahwa kualitas air di sini juga dalam keadaan tercemar
berat maka diduga industri-industri yang ada di wilayah kecamatan lain diduga
turut memberikan andil terhadap turunnya kualitas air di perairan di Kecamatan
Galang sebagai pengaruh dari adanya pergerakan arus air laut. Beberapa aktivitas
yang dijumpai di daerah ini diantaranya restoran (sea food) yang didirikan di atas
perairan pantai dan adanya bebrapa aktivitas penggundulan bukit yang diduga
untuk pengembangan aktivitas ekonomi pada masa yang akan datang. Selain itu,
perairan di Kecamatan Galang menjadi daerah penangkapan ikan oleh nelayan
serta menjadi lokasi budidaya ikan laut, diantaranya untuk pembesaran ikan
kerapu.
Untuk melihat sebaran zat pencemar (polutan) pada beberapa wilayah
perairan pantai/laut di kecamatan-kecamatan yang ada di Kota Batam dilakukan
rekapitulasi data dari Tabel 18 – 25 seperti disajikan dalam Tabel 26. Tabel 26
dibuat untuk melihat perbedaan antara kondisi perairan pantai/laut yang ada di
sekitar daerah industri atau dekat dengan industri dan yang jauh dari daerah
industri.
67
Tabel 25 Tabulasi penentuan skor untuk nilai minimum, maksimum dan rerata berdasarkan data kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Galang, Kota Batam pada 3 Mei 2003
Baku Nilai SkorNo. Parameter Satuan mutu *) Rerata Maksimum Minimum Rerata Maksimum Minimum Jumlah
F I S I K A1 Warna PtCo -2 Kebauan - alami alami alami alami 0 0 0 03 Kekeruhan NTU < 5 1.3 2 1 0 0 0 04 TSS mg/l ? 20 12.0 16 8 0 0 0 05 Suhu oC alami **) 28.3 28.4 28.3 0 0 0 0
K I M I A1 pH - 7 - 8,5 8.21 8.23 8.18 0 0 0 02 Oksigen terlarut (DO) mg/l > 5 6.42 7.12 6.03 0 0 0 03 BOD5 mg/l < 20 26.49 30.42 23.80 -6 -2 -2 -104 COD (K2Cr2O7) mg/l -5 Ammonia (NH4-N) mg/l -6 Nitrit (NO2-N) mg/l -7 Sianida (CN) mg/l < 0,5 Tt Tt Tt 0 0 0 08 Sulfida (H2S) mg/l < 0,01 Tt Tt Tt 0 0 0 09 Minyak dan lemak mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 010 Fenol mg/l < 0,002 Tt Tt Tt 0 0 0 011 Detergen LAS as MBAS mg/l < 1 Tt Tt Tt 0 0 0 012 Merkuri (Hg) mg/l < 0.001 Tt Tt Tt 0 0 0 013 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0,005 Tt Tt Tt 0 0 0 014 Arsen (As) mg/l < 0,012 Tt Tt Tt 0 0 0 015 Selenium (Se) mg/l -16 Kadmium (Cd) mg/l < 0,001 Tt Tt Tt 0 0 0 017 Tembaga (Cu) mg/l < 0,008 0.022 0.03 0.017 -6 -2 -2 -1018 Timbal (Pb) mg/l < 0,008 0.057 0.067 0.043 -6 -2 -2 -1019 Seng (Zn) mg/l < 0,05 0.040 0.061 0.028 0 -2 0 -220 Nikel (Ni) mg/l < 0,05 0.046 0.059 0.037 0 -2 0 -221 Perak (Ag) mg/l -
B I O L O G I1 Escherichia coli MPN/100 ml -2 Coliform group MPN/100 ml < 1000 6.7 20 Tt 0 0 0 0
TOTAL -34Keterangan:*) : Baku mutu air laut untuk biota laut (KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004) Tt: Tidak terdeteksi**) : diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami (kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat)
68
Tabel 26 Rekapitulasi kondisi kualitas air laut di sekitar daerah industri dan di luar daerah industri di Kota Batam
Kondisi kualitas air laut Kecamatan Parameter yang tidak
memenuhi baku mutu Tota skor
(STORET)Keterangan
Di sekitar daerah industri/dekat industri Sei Beduk Kekeruhan, TSS, DO,
BOD5, NH3-N, Zn dan Ni. -58 Tercemar berat
(19 Januari 2001)Nongsa Kekeruhan, BOD5, Cu, Pb,
Zn dan Ni. -35 Tercemar berat
(6 Mei 2003) Lubuk Baja dan Batu Ampar
Cu, Cd TSS, kecerahan, dan kekeruhan. Kebauan, kekeruhan, TSS, DO, BOD5, NH3-N, Sulfida, minyak dan lemak, deterjen, Cu, Pb dan Zn
-30
-69
Tercemar sedang(Nopember 2002)
Tercemar berat
(April/Mei 2003)
Sekupang dan Belakang Padang
Cu, Cd, Pb, TSS, kecerahan dan kekeruhan. Kekeruhan, DO, BOD5, NH3-N, Cu, Pb dan Zn
-64
-40
Tercemar berat (Nopember 2002)
Tercemar berat
(April/Mei 2003)Di luar daerah industri
Bulang Kekeruhan, TSS, pH, DO, BOD5, Cr, Cu, Pb, Zn dan total coliform.
-55 Tercemar berat (14 Maret 2001)
Galang BOD5, Cu, Pb, Zn dan Ni -34 Tercemar berat (3 Mei 2003)
Berdasarkan Tabel 26 terlihat bahwa kondisi kualitas air pada seluruh
wilayah perairan pantai/laut di Kota Batam dalam keadaan tercemar dan sebagian
besar dalam keadaan tercemar berat, baik yang ada di sekitar daerah industri
maupun yang jauh atau di luar daerah industri. Keadaan seperti ini dapat
dikatakan bahwa polutan yang berasal dari pembuangan limbah industri dan
aktivitas lainnya mengalami distribusi secara horisontal ke berbagai wilayah
perairan pantai/laut di Kota Batam. Terjadinya distribusi polutan ini ke berbagai
wilayah perairan di Kota Batam diduga karena adanya pengaruh arus air laut yang
bergerak dari satu arah menuju ke arah lainnya sesuai dengan musim yang ada.
69
Berdasarkan pada parameter-parameter yang tidak memenuhi baku mutu
maka secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa hanya perairan laut di wilayah
Kecamatan Galang yang masih terlihat jernih yang ditunjukan oleh nilai
kecerahan perairan yang masih tinggi, tetapi pada wilayah lainnya terjadi
sebaliknya, yakni tingkat kekeruhannya tinggi. Seluruh wilayah perairan pantai
Kota Batam terlihat tercemar oleh logam berat. Beberapa logam berat yang
diperoleh telah melampaui baku mutu adalah Cu, Cd, Cr, Pb, Ni dan Zn, bahkan
seluruh wilayah perairan pantai/laut di Kota Batam telah tercemar oleh Zn,
sedangkan Cu dan Pb telah mencemari sebagian besar wilayah perairan pantai/laut
di Kota Batam selain wilayah perairan di Kecamatan Se Beduk. Demikian halnya
dengan BOD5, yang dijumpai pada seluruh wilayah perairan pantai/laut di Kota
Batam dalam keadaan sudah tidak memenuhi baku mutu.
Sampel Biologi
Dua ikan laut yang biasa disajikan sebagai makanan dari laut (seafood) di
Batam, yaitu ikan Dingkis (Siganus canaliculatus P). dan Sotong (Sepia spp.),
ditemukan mengandung logam berat Hg, Cd, dan Zn seperti terlihat dalam Tabel
27. Kandungan logam berat pada kedua ikan tersebut hampir sama, yaitu Hg
sekitar 0.010 ppm, Cd kurang lebih 0.4 ppm dan Zn sekitar 3.15 ppm.
Tabel 27 Kandungan rata-rata logam berat pada dua organisme laut di Batam
Parameter Stasiun 1 2 3 4 5 Rerata
Dingkis (Siganus canaliculatus P.)
- Hg (mg/kg) 0.01140 0.01203 0.01221 0.01209 0.00668 0.01088 - Cd (mg/kg) 0.30 0.63 0.59 0.42 0.13 0.41 - Zn (mg/kg) 4.07 4.20 3.65 2.81 0.98 3.14Sotong (Sepia spp.) - Hg (mg/kg) 0.00807 0.00827 0.00827 0.00813 0.00397 0.00734 - Cd (mg/kg) 0.57 0.44 0.57 0.30 0.09 0.39 - Zn (mg/kg) 2.74 6.21 3.92 2.60 0.29 3.15
Sumber: Patnowati (1996).
70
Kondisi Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir Kota Batam Ekosistem Pesisir
Di pesisir Kota Batam dijumpai beberapa ekosistem, yaitu terumbu
karang, padang lamun dan mangrove. Namun demikian, data ekosistem pesisir
yang tersedia sampai dengan saat ini adalah data yang berasal dari beberapa tahun
yang lalu. Padahal dengan pesatnya pembangunan di Kota Batam, data tersebut
barangkali sudah tidak akurat lagi. Sebagai contoh, semakin lama banyak hutan
mangrove yang ditebang untuk kepentingan industri, permukiman serta keperluan
lainnya. Untuk melengkapi data tersebut maka dilakukan pengamatan langsung
ke lokasi penelitian pada bulan Mei 2003.
Hutan Mangrove
Hutan mangrove di Kota Batam dijumpai di pesisir dan pulau-pulau kecil
(Gambar 9). Kondisi hutan mangrove terutama di Pulau Batam banyak
mengalami kerusakan, yang pada umumnya disebabkan oleh adanya konversi
lahan, seperti adanya pembukaan lahan untuk kegiatan industri, permukiman,
perkantoran dan pertokoan. Secara lebih jelas kegiatan konversi
Hutan mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,
hutan payau, atau hutan bakau. Dari beberapa istilah tadi, sebutan hutan
mangrove atau hutan bakau yang paling sering dipakai. Istilah bakau sendiri
sebenarnya berasal dari nama salah satu jenis tumbuhan penyusun hutan
mangrove, yaitu jenis Bakau-bakau (Rhizopora spp). Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi kesalahan penafsiran maka hutan mangrove ditetapkan sebagai
nama baku untuk mangrove forest. Hutan mangrove merupakan bentuk hutan
tropis yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi
oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai terutama di wilayah pesisir
yang terlindung dari hantaman ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh
optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran
airnya banyak mengandung lumpur.
71
Gambar 9 Distribusi mangrove di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)
72
Hutan mangrove dengan kemampuannya melakukan proses kimia dan
pemulihan (self purification) memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a. Sebagai penyerap bahan pencemar. Mangrove yang tumbuh di sekitar pusat
permukiman dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya
bahan-bahan organik.
b. Sebagai sumber energi bagi lingkungan perairan sekitarnya. Ketersediaan
berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem hutan mangrove telah
menjadikan ekosistem ini sebagai sumber energi bagi berbagai jenis biota yang
hidup di dalamnya, seperti plankton, ikan, udang, kepiting, burung, kera dan
lain-lain, serta telah membentuk rantai makanan yang sangat komplek, sehingga
terjadi pengalihan energi dari jenjang trofik yang paling rendah ke jenjang trofik
yang lebih tinggi.
c. Sebagai penyedia bahan organik bagi lingkungan perairan sekitarnya. Daun
mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan
menjadi partikel-partikel detritus, dimana partikel-partikel detritus ini menjadi
sumber makanan bagi berbagai macam hewan laut. Selain itu, bahan organik
terlarut yang dihasilkan dari proses penguraian (dekomposisi) di hutan mangrove
juga memasuki lingkungan perairan pesisir yang dihuni oleh berbagai macam
filter feeder (organisme yang cara makannya dengan menyaring air) yang ada di
laut dan estuari serta berbagai macam hewan pemakan hewan dasar (Snedaker
dan Getter, 1985).
Nontji (1987) menyebutkan bahwa ekosistem mangrove di Indonesia
memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat
89 jenis; 35 jenis berupa pohon, dan selebihnya berupa terma (5 jenis), perdu (9
jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis). Dahuri et al. (1996)
mengemukakan beberapa jenis pohon mangrove yang umum dijumpai di wilayah
pesisir Indonesia di antaranya adalah bakau (Rhizopora spp), api-api (Avicennia
spp), pedada (Sonneratia spp), tanjang (Brugeira spp), nyirih (Xylocarpus spp),
tengar (Ceriops spp), dan buta-buta (Exoecaria spp). Hutan mangrove di daerah
pesisir Batam dapat ditemui pada beberapa tempat. Namun demikian, pada
beberapa kawasan telah banyak mengalami kerusakan akibat berbagai aktivitas
73
pembangunan, seperti reklamasi (pengurugan) kawasan pantai untuk
pembangunan gudang/pelabuhan, kawasan industri, permukiman dan sebagainya.
Eksploitasi dan reklamasi kawasan mangrove di Pulau Batam dilakukan secara
terus-menerus dalam hamparan yang luas. Apabila kondisi ini tidak segera
diantisipasi dan diambil langkah-langkah pencegahan dan penanggulangannya
maka dampaknya akan mengancam kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam
yang ada khususnya sumberdaya hayati di wilayah pesisir dan laut Kota Batam.
Berdasarkan pengolahan data atau modifikasi Citra Landsat TM tahun
1996 diperoleh luasan mangrove di Kota Batam pada tahun 1996 adalah sekitar
19 798.41 hektar atau 197.98 km2, yang tersebar di pesisir dan pulau-pulau yang
ada di Kota Batam (Tabel 28). Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada tahun
1996 luasan mangrove terbesar terdapat pada wilayah pesisir di Kecamatan
Galang sebesar 6 222.31 hektar dan terkecil terdapat di Kecamatan Lubuk Baja,
yaitu 70.73 hektar. Apabila dipadukan dengan wilayah administrasi Kota Batam
yang luasnya sekitar 1 570.35 km2 maka mangrove menutupi wilayah Kota Batam
sekitar 12.61% terutama di bagian pesisir dan pualau-pulau kecil.
Tabel 28 Penyebaran dan luasan mangrove di Kota Batam pada tahun 1996
Kecamatan Luasan (Hektar)
1. Batu Ampar 384.85 2. Belakang Padang 2 365.35 3. Bulang 5 141.97 4. Galang 6 222.31 5. Lubuk Baja 70.73 6. Nongsa 1 616.35 7. Sei Beduk 2 826.11 8. Sekupang 1 170.74 Jumlah 19 798.41
Dari hasil kajian PKSPL-IPB (2001) disebutkan bahwa kondisi hutan
mangrove di Kota Batam dijumpai di Barelang (Pulau Batam, Pulau Rempang dan
Pulau Galang) relatif tipis. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar kawasan
mangrove dibuka dan dikonversi karena aktivitas pembangunan, kecuali di
beberapa tempat seperti di Rempang dan Galang, kondisi hutan mangrove agak
74
lebih baik. Dari kajian ini, hutan mangrove di Barelang memiliki kerapatan 425
batang/hektar, ketebalannya 5-150 meter dan luasnya sekitar 18 033.52 hektar.
Berdasarkan data tahun 2002, tercatat luasan mangrove di Kota Batam
sebesar 131 065 381 m2 atau 13 106.54 hektar (Bapedal Kota Batam, 2002), yang
secara rinci disajikan dalam Tabel 29.
Tabel 29 Luasan mangrove pada masing-masing pulau di Kota Batam tahun 2002
No. Wilayah Perkiraan Luas (m2)1. PULAU BATAM
a Patam - Tiban Utara 2 365 385 b Sekitar Tanjung Lamun (Tj. Lamun) 1 511 538 c Kampung Belian - Bakau Serip Pantai 3 300 000 d Tj. Kasem - Dam Duriangkang 1 500 000 e Dam Duriangkang - Tanjung Piayu 3 369 231 f Tanjung Piayu - Tanjung Gundap 7 730 769 g Tanjung Gundap - Depan P.Buluh 4 153 846 Sub Total 23 930 769
2. PULAU-PULAU DI SEKITAR PULAU BATAM a P.Kasem 1 061 538 b Tanjung Sauh. 3 715 385 c P.Kubang 773 077 d P.Traling 1 176 923 e P.Satinggae 657 692 f P.Sakerah 1 269 231 g P.Ngenang 4 615 385 h P.Momoi 1 384 615 I P.Asah Kecil 553 846 j P.Dongsi 980 769 k P.Lembu 634 615 Sub Total 16 823 076
3. PULAU REMPANG a Tj.Tjolim - Tj.Klingking 2 942 308 b Tj.Klingking -Tj.Tamiang 8 030 769 c Tj.Tamiang -Tj.Korepa 1 615 385 d Tj.Korepa - Tj.Gondon 1 730 769 e Tj.Gondon - Tj.Takong 519 231 f Tj.Takon - Tj.Tjolim 11 365 385
Sub Total 26 203 847
75
Tabel 29 (Lanjutan) No. Wilayah Perkiraan Luas (m2) 4. PULAU-PULAU DI SEKITAR PULAU REMPANG
a P.Asah Kecil 576 923 b P.Asah Besar 830 769 c P.Nipah 865 385 d P.Anak Mati 807 692 e P.Awi 1 384 615 f P.Panjang 946 154 g P.Setoko 3 692 308 h P.Panjait Layar 2 307 692 I P.Sekikir 865 385 j P.Kaloh 1 234 615 k. P. Airraja 1 153 846 l P.Subangmas 3 403 846 m P.Kinun 2 711 538 n P.Jangka 1 903 846 o P.Kra 519 231 p P.Prabas 461 538 Sub Total 23 665 383
5. PULAU GALANG a Tj.Semandur - Tj.Malan 865 385 b Tj.Malan - Tj.Maralagan 3 115 385 c Tj.Maralagan - Tj.Pinau 692 308 d Tj.Pinau - Tj.Pungape 1 730 769 e Tj.Pungape - Tj.Semandur 8 307 692 Sub Total 14 711 539
6. PULAU - PULAU DI SEKITAR PULAU GALANG a P.Sunkit 576 923 b P.Mubut Darat 634 615 c P.Mubut Laut 750 000 d P. Karas Besar 3 634 615 e Pulau Galang Baru 9 807 692 Sub Total 15 403 845
7. PULAU - PULAU DI SEKITAR GALANG BARU a P.Tj.Dahan 2 076 923 b P.Korek Rapat 230 769 c P.Batubelobang 2 134 615 d P.Sembur 2 076 923 e P.Ngual 1 846 154 f P.Trajil Besar 576 923 g P.Trajil Kecil 230 769 h P.Dempo 1 153 846 Sub Total 10 326 922 LUAS TOTAL 131 065 381
Sumber : Bapedal Kota Batam (2002)
76
Dengan membandingkan antara data luas mangrove berdasarkan data
tahun 1996, 2001 dan tahun 2002 maka antara tahun 1996 sampai 2001 diduga
telah terjadi pengurangan luasan mangrove sekitar 1 764.89 hektar dan antara
2001 sampai 2002 terjadi pengurangan luasan mangrove sekitar 4 926.98 hektar.
Hal ini terjadi karena banyaknya aktivitas pengembangan pembangunan di Kota
Batam yang dilakukan dengan cara melakukan konversi kawasan mangrove
menjadi peruntukkan lainnya, baik untuk pengembangan industri, permukiman,
pertokoan, perkantoran dan lain-lain. Konversi lahan mangrove ini dipicu oleh
berkembangnya wilayah ini sebagai kawasan industri sehingga menyebabkan
kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan menjadi terus meningkat.
Berdasarkan studi terdahulu yang dilakukan PERTAMINA (2002),
pengamatan terhadap mangrove ini dilakukan di wilayah Kecamatan Belakang
Padang (Pulau Lengkana, Pulau Tolup, Pulau Dendang, Pulau Sekanak, Pulau
Belakang Padang, Pulau Anak Ladang, Pulau Air Asam, Pulau Terumbu Lebar,
Pulau Jagung, Pulau Leroi/Lengkang Besar, Pulau Layang Besar dan Pulau
Mecan Besar); Kecamatan Sekupang (Pulau Janda Berias, pantai Tanjung Pinggir,
Pulau Dangas, pantai Patam Lestari, muara sungai Tiban dan pantai selatan Pulau
Bokur); Kecamatan Lubuk Baja (pantai tenggara Tanjung Uma); Kecamatan Batu
Ampar (pantai selatan Tanjung Sengkuang, pantai barat Tanjung Buntung, pantai
barat laut Tanjung Lamun dan pantai selatan Tanjung Lamun).
Dari hasil studi tersebut dijelaskan bahwa formasi mangrove di gugusan
pulau-pulau kecil di Belakang Padang umumnya adalah zonasi Rhizophora
dengan Sonneratia pada bagian depan (arah laut), kemudian zonasi yang terdiri
dari campuran vegetasi mangrove. Zonasi mangove di pantai Pulau Batam,
terdepan terdiri dari dua bagian dimana bagian pertama merupakan zonasi
Rhizophora dengan Sonneratia dan yang kedua adalah Rhizophora dengan
Avicennia. Ketebalan formasi dari seluruh hutan mangrove pada umumnya
sekitar 10-100 m. Diameter batang untuk semua jenis mangrove tingkat anakan
rata-rata adalah sekitar 3-4 cm, sedangkan untuk tingkat pohon relatif bervariasi,
misalnya jenis Rhizophora, Avicennia dan Xylocarpus rata-rata sekitar 6-8 cm
serta 8-20 cm untuk diameter jenis Sonneratia. Beberapa jenis mangrove yang
dijumpai di daerah ini diantaranya meliputi Achantus ilicifolius, Avicennia sp.,
77
Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflor, Ceriops sp., Derris heterophylla,
Lumnitzera littorea, Lumnitzera racemosa, Nypa fruticans, Rhizophora apiculata,
Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Scyphiphora hydrophyllacea,
Sonneratia alba dan Xylocarpus granatum.
Data primer mangrove diperoleh melalui pengamatan langsung yang
dilakukan di lokasi penelitian seperti disajikan dalam Tabel 30. Stasiun
pengamatan untuk pengumpulan data pimer mangrove diambil di bagian utara dan
bagian selatan Kota Batam. Stasiun pengamatan di bagian utara dilakukan di
Kecamatan Lubuk Baja, yaitu daerah Tanjung Uma (Baloi). Di bagian selatan
pengamatan dilakukan di 2 (dua) wilayah kecamatan, yaitu di Kecamatan Sei
Beduk tepatnya di daerah Dapur 12 (dua belas) dan Pancur (Tanjung Piayu) serta
di Kecamatan Galang, yaitu daerah sekitar jembatan pertama.
Dari pengamatan yang dilakukan di bagian selatan Kota Batam,
berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 201 Tahun 2004 maka mangrove di dua
stasiun pengamatan bila dilihat dari kerapatannya termasuk dalam kondisi baik.
Kerapatan mangrove di lokasi ini lebih dari 1 500 individu/hektar atau dikatakan
status mutunya pada tingkatan baik. Namun demikian, untuk menarik kesimpulan
tentang keadaan mangrove di lokasi ini dalam keadaan baik atau rusak perlu
dilengkapi dengan data persentase penutupan, tetapi dalam penelitian ini tidak
dilakukan. Selanjutnya dijabarkan kondisi mangrove di stasiun pengamatan yang
dilakukan di bagian selatan Kota Batam seperti disajikan dalam uraian berikut.
78
Tabel 30 Jenis-jenis mangrove yang ditemukan dan kerapatannya tahun 2003
Lokasi Jenis Mangrove Di RDi Fi RFi BAGIAN SELATAN 1. Kec. Sei Beduk - Dapur 12 1. Rhizophora sp 1 600 46.83 0.67 23.53 2. Avicennia sp 1 350 39.51 0.83 29.41 3. Xylocarpus granatum 167 4.88 0.50 17.65 4. Sonneratia sp 217 6.34 0.50 17.65 5. Ceriops tagal 67 1.95 0.17 5.88 6. Aegiceras corniculatum 17 0.49 0.17 5.88 Jumlah 3 418 - Pancur 1. Rhizophora sp 9 450 95.94 1 50 (Tanjung Piayu) 2. Avicennia sp 400 4.06 1 50 Jumlah 9 850 2. Kec. Galang - Jembatan 1 1. Rhizophora sp 3 750 84.27 1 28.57 2. Sonneratia sp 300 6.74 1 28.57 3. Bruguiera sp 200 4.49 0.50 14.29 4. Xylocarpus granatum 150 3.37 0.50 14.29 5. Ceriops tagal 50 1.12 0.50 14.29 Jumlah 4 450 BAGIAN UTARA Kec. Lubuk Baja - Tanjung Uma (Baloi) 1. Rhizophora sp 2 000 71.43 1 33.33 2. Bruguiera sp 600 21.43 1 33.33 3. Ceriops tagal 200 7.14 1 33.33 Jumlah 2 800
Keterangan : Di : Kerapatan suatu jenis atau Density (individu/hektar) RDi : Kerapatan Relatif atau Relative Density (%). Fi : Frekuensi suatu jenis (Frequency) RFi : Frekuensi relatif atau Relative Frequency (%)
Kondisi mangrove di Kecamatan Sei Beduk
a. Di Dapur 12 terdapat jenis mangrove Rhizophora sp. dengan frekuensi
ditemukannya jenis ini sebesar 0.67. Jenis ini paling banyak ditemukan atau
mendominasi keberadaannya sebesar 46,83% dan selanjutnya diikuti oleh
jenis Avicennia sp. sebesar 39.51%, sedangkan jenis-jenis mangrove yang
lainnya sangat kecil persentasenya. Jenis mangrove yang ditemukan di lokasi
ini ada 6 (enam) jenis, yaitu Rhizophora sp., Avicennia sp., Xylocarpus
granatum, Sonneratia sp., Ceriops tagal dan Aegiceras corniculatum.
Berdasarkan English et al. (1994), ekosistem mangrove di daerah ini termasuk
dalam kategori cukup beragam (kriteria cukup beragam bila ditemukan: 4-7
jenis). Kerapatan vegetasi mangrove di daerah ini termasuk tinggi, yaitu
79
sebesar 3 418 individu/hektar (kriteria tinggi bila kerapatannya lebih besar
dari 1 500 pohon/hektar atau 15 pohon/m2). Mangrove di daerah ini oleh
penduduk sekitar dimanfaatkan kayunya untuk kebutuhan hidup mereka.
b. Pada stasiun pengamatan di daerah Pancur (Tanjung Piayu), jenis Rhizophora
sp sangat mendominasi. Hal ini dapat dilihat dari kerapatan relatifnya, yaitu
sebesar 95.94%. Mangrove jenis ini umumnya tumbuh sangat subur, dengan
diameter batangnya mencapai 20 cm dengan ketinggian mencapai kurang
lebih 15 meter. Diduga inilah sebabnya mengapa jenis ini sangat dominan
yang mengakibatkan jenis lain sulit untuk tumbuh dan bersaing. Jenis lain
yang ditemukan hanya mangrove dari jenis Avicennia sp., tetapi jumlahnya
relatif kecil dengan kerapatan relatifnya 4.06%. Di lokasi ini hanya dijumpai
2 (dua) jenis mangrove, yaitu Rhizophora sp dan Avicennia sp. Menurut
English et al. (1994), keragaman mangrove di daerah ini tergolong rendah atau
kurang beragam (kriteria kurang beragam bila ditemukan sampai dengan 3
jenis atau kurang dari 4 jenis). Kerapatan vegetasi mangrovenya termasuk
tinggi karena ditemukan sebanyak 9 850 individu/hektar.
Kondisi mangrove di Kecamatan Galang
Di lokasi jembatan pertama, jenis paling banyak ditemukan adalah
Rhizophora sp. dengan kerapatan relatif sebesar 84.27%, sedangkan jenis-jenis
mangrove yang lainnya relatif sangat kecil persentasenya. Di lokasi ini ditemukan
5 (lima) jenis mangrove, yaitu Rhizophora sp., Xylocarpus granatum, Sonneratia
sp., Bruguiera sp., Ceriops tagal dan Aegiceras corniculatum. Berdasarkan
English et al. (1994), ekosistem mangrove di daerah ini termasuk dalam kategori
cukup beragam. Kerapatan vegetasi mangrove di daerah ini termasuk tinggi, yaitu
sebesar 4 450 individu/hektar. Aktivitas masyarakat di sini memanfaatkan daratan
yang ada vegetasi mangrovenya dijadikan sebagai lahan pertanian.
80
Kondisi mangrove pada lokasi pengamatan di bagian utara Kota Batam
adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Kondisi mangrove di Kecamatan Lubuk Baja
Pada lokasi pengamatan mangrove di daerah Tanjung Uma (Baloi), jenis
mangrove Rhizophora sp. merupakan jenis yang paling banyak ditemukan atau
mendominasi keberadaannya dengan kerapatan relatif sebesar 71.43%, sedangkan
jenis-jenis mangrove yang lainnya relatif kecil persentasenya. Menurut English
et al. (1994), kerapatan vegetasi mangrove di daerah ini termasuk tinggi karena
kerapatannya lebih besar dari 1 500 pohon/hektar atau 15 pohon/m2, yaitu sebesar
2 800 individu/hektar. Keragaman mangrove di daerah ini tergolong rendah atau
kurang beragam karena ditemukan kurang dari 4 jenis mangrove. Berdasarkan
hasil pengamatan hanya ditemukan 3 (tiga) jenis mangrove, yaitu Rhizophora sp.,
Bruguiera sp. dan Ceriops tagal.
Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 201 Tahun 2004 maka mangrove di
lokasi pengamatan yang dilakukan di bagian utara Kota Batam, jika dilihat dari
kerapatannya termasuk dalam kondisi baik atau dikatakan status mutunya pada
tingkatan baik karena kerapatannya di atas 1 500 individu/hektar. Namun
demikian, untuk menarik kesimpulan tentang keadaan mangrove di lokasi ini
dalam keadaan baik atau rusak perlu dilengkapi dengan data persentase
penutupan, tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan. Hal ini dapat dimengerti
karena pada saat pengamatan kondisi lingkungan di daerah ini sangat parah karena
mengalami tekanan ekologis yang cukup tinggi. Rusaknya ekosistem mangrove
di daerah ini disebabkan oleh kegiatan manusia, diantaranya pembangunan
permukiman, perkantoran dan pengembangan industri. Bahkan pada saat
dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dijumpai adanya kegiatan
konversi kawasan mangrove yang akan dialih-fungsikan sebagai lokasi baru
pengembangan sebuah universitas yang ada di Kota Batam. Di samping itu
dijumpai juga adanya kegiatan reklamasi yang dilakukan secara besar-besaran
dengan mengkonversi kawasan mangrove menjadi peruntukkan lainnya. Kejadian
ini ditemukan di wilayah Kecamatan Nongsa yang berbatasan dengan Kecamatan
81
Lubuk Baja (sekitar Batam Center). Kerusakan mangrove di daerah ini juga
disebabkan oleh adanya buangan limbah dari aktivitas industri.
Berdasarkan kondisi riil yang terjadi pada saat dilakukan pengamatan
langsung di lokasi penelitian dapat dijelaskan bahwa kondisi mangrove di Kota
Batam pada umumnya mengalami tekanan akibat adanya aktivitas manusia.
Aktivitas yang banyak merusak kawasan mangrove adalah adanya alih fungsi
(konversi) kawasan mangrove dan reklamasi wilayah pesisir Kota Batam yang
sebagian besar terjadi seabagai dampak dari pengembangan industri di daerah ini.
Kerusakan tersebut terutama dijumpai di Batam bagian utara yang dalam
penelitian ini diwakili daerah Tanjung Uma. Di bagian selatan Batam, kondisi
mangrovenya relatif masih lebih baik, terutama mangrove yang berada pada
sebagian besar wilayah pesisir Kecamatan Galang.
Ditinjau dari struktur dan komunitas vegetasinya, kondisi mangrove di
Batam bagian selatan (Pulau Rempang dan Galang) masih cukup baik, yang
ditunjukkan oleh kerapatan pohon dan jumlah jenis pada masing-masing tingkat
pertumbuhan. Di samping itu, habitat mangrove di kawasan ini cukup ideal bagi
habitat burung air, seperti burung kuntul kerbau yang banyak dijumpai pada
paparan lumpur dan mangrove. Kondisi substrat mangrove dominan berupa
lumpur dan pasir berlumpur karena materi (sedimen) pembentuknya dibawa oleh
sungai yang mengalir menuju kawasan mangrove. Sebaliknya, di Pulau Batam,
kondisi hutan mangrove sudah banyak rusak akibat dilakukannya penebangan
secara besar-besaran untuk kepentingan penyediaan lahan terutama untuk
kawasan industri yang berkembang dengan sangat cepat di daerah ini.
Masyarakat di sekitar wilayah pesisir Kota Batam telah mulai
memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar serta sebagian kawasan mangrove
dirubah menjadi kawasan permukiman dan peruntukan lainnya. Di samping itu
penduduk di dearah ini memanfaatkan wilayah pesisir untuk membuang sampah
rumah tangga.
PKSPL-IPB (2002) menyebutkan bahwa mangrove di Barelang (Batam,
Rempang dan Galang) menghasilkan manfaat lain berupa ikan dengan volume
hasil tangkapan sekitar 7 396 ton pada tahun 2002. Di samping ikan, pada
kawasan mangrove di daerah ini ditemukan 5 spesies reptil dan 18 spesies burung.
82
Terumbu karang
Terumbu karang merupakan ekosistem yang memiliki produktivitas dan
keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Banyak biota yang hidup di terumbu
karang merupakan sumberdaya perikanan dan sumber makanan dalam rantai
makanan pada ekosistem tersebut. Karena itu keberdaan terumbu karang yang
terdapat di Kota Batam akan mendukung kelangsungan kegiatan perikanan, baik
sebagai habitat berbagai jenis ikan, sumber makanan bagi ikan dan lain
sebagainya.
Komponen utama dalam ekosistem terumbu karang ini adalah lingkungan
perairan dimana terumbu karang tersebut berada. Bila kualitas perairannya baik
dan menunjang kehidupan terumbu karang maka terumbu karang akan tumbuh
dan berkembang dengan baik pula. Namun sebaliknya, bila kualitas perairannya
tidak baik maka pertumbuhan terumbu karang akan terhambat bahkan mati.
COREMAP RIAU (1996) mencatat bahwa perairan Galang memiliki
terumbu karang seluas 1 313.5 hektar. Sementara berdasarkan pengolahan dari
data PRC (1998) diperoleh luas terumbu karang sebagai berikut: 3 565.21 hektar
di Batam, 1 179.47 hektar di Rempang dan di Setoko dijumpai 281.46 hektar.
Wilayah Barelang yang bergaris pantai 473 km juga memiliki potensi biodiversity
yang cukup besar dan potensi ini tersimpan dalam ekosistem terumbu karang yang
mencapai luas 6 340.64 hektar. Walaupun luasan ini sebagian merupakan turunan
dari peta dasar dan panjang garis pantai dan tidak ada kualifikasi kualitas
ekosistemnya, namun dapat menunjukkan potensi besar yang dimiliki oleh
perairan di sekitar terumbu karang Barelang. Luasan terumbu karang pada
masing-masing daerah disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31 Luas terumbu karang di Barelang, 1998 No Lokasi Panjang Garis
Pantai (km) Luas Coral Reef
(ha) 1 Batam 266 3 565.212) 2 Rempang 88 1 179.472) 3 Setoko 21 281.462) 4 Galang 98 1 313.501)
Total 473 6 339.64
Sumber : 1) COREMAP RIAU (1996) dan 2) Diolah dari data PRC (1998)
83
PRC (1998) menyebutkan bahwa terumbu karang di Barelang umumnya
merupakan karang tepi (fringing reef) yang terdapat pada pita sempit sekeliling
batas pulau-pulau karang. Sebagian besar pulau-pulau di Barelang mempunyai
beberapa tepi (fringing) karang. Pesisir Barelang yang keruh menyebabkan
terumbu karang menjadi stres karena sedimentasi yang sangat dimungkinkan
diakibatkan oleh alam dan manusia. Karang di Batam mungkin baru berkembang
sejak 6 000 tahun terakhir sewaktu jaman es yang terakhir, dimana permukaan
laut tetap pada permukaan arusnya.
Selain itu, PRC (1998) juga menyebutkan bahwa perkembangan terumbu
karang di Barelang lebih banyak terjadi di sepanjang pantai Barat pulau-pulau
besar dan kelihatan seperti potongan-potongan berselang seling dari tepi karang.
Terumbu karang membentuk pita sempit (di beberapa tempat mempunyai lebar
bervariasi antara 15 hingga 30 meter) di seputar pulau-pulau. Kedalaman
maksimal dari terumbu karang di sebagian daerah tersebut adalah 6 meter sampai
8 meter. Keturunan dari terumbu karang bercangkang keras terlihat di Barelang
termasuk Euphyllia, Goniopora, Porites, Acropora, Fungia, Goniastrea, Favia,
Platgyra dan lain sebagainya. Keturunan dari kerang lunak yang ditemui
termasuk Sarcophyton dan Sinularia.
Secara umum distribusi terumbu karang (coral reef) di Pesisir Kota Batam
dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 10, yang merupakan hasil analisis data
Citra Landsat tahun 1998. Dari gambar tersebut terlihat bahwa potensi
penyebaran terumbu karang berada di sekitar pesisir dan pulau-pulau di Kota
Batam, seperti di wilayah perairan Kecamatan Nongsa, Kecamatan Batu Ampar,
Kecamatan Lubuk Baja, Kecamatan Sekupang, Kecamatan Belakang Padang dan
Kecamatan Galang.
84
Gambar 10 Distribusi terumbu karang (coral reef) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)
85
PERTAMINA Conoco (1998) dan PRC (1998) mengemukakan bahwa
secara umum kondisi terumbu karang di daerah pengamatan dalam kondisi rusak
(sedang), baik sampai baik sekali dengan persentase penutupan karang hidup
antara 48% - 100% (Tabel 32). Saat pengamatan dilakukan visibility (kecerahan)
horizontal di kedalaman sekitar 6 meter, dimana terumbu karang ini umumnya
tumbuh, maksimum hanya 10 meter. Kondisi perairan saat pengamatan
berlangsung kurang baik karena tingginya konsentrasi partikel terlarut, sehingga
menghalangi pandangan. Di sisi lain kondisi demikian dapat menghalangi
penetrasi sinar matahari. Bila hal ini terus-menerus terjadi akan berakibat buruk
pada terumbu karang. Partikel-pertikel tersebut akan turun dan menutupi polip-
polip terumbu karang, bila hal ini terjadi maka tidak mustahil kematian terumbu
karang akan terjadi.
Tabel 32 Persen penutupan biota penyusun terumbu karang di lokasi pengamatan
perairan Barelang, 1998
No. Lokasi Persen Penutupan Karang Hidup (%)
Kriteria ***
1. Tanjung Sengkuang 70.70* baik 2. P. Lengkana 96.90* baik sekali
3. Nongsa (timur P. Putri) 77.30* baik sekali 4. Nongsa (barat P. Putri) 95.67* baik sekali 5. P. Sambu Besar 100.00* baik sekali 6. P. Sambu Kecil 68.82* baik 7. P. Dempo 74.00** baik 8. Tg. Tjakang (Galang Baru) 67.00** baik 9. Karang E. (dekat Galang
Baru) 66.00** baik
10. P. Setoko 48.00** rusak (sedang) 11. P. Babi 64.00** baik 12. P. Nginang 69.00** baik 13. Karang 8 (dekat Kabil,
Batam) 71.00** baik
Sumber: *Pertamina Conoco (1998); **PRC (1998); *** Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001)
PERTAMINA (2002) menyebutkan bahwa persentase tutupan karang
berkisar antara 0-28 % dengan tipe terumbu karangnya adalah fringing reefs
diperoleh dari hasil pengamatan di sekitar Belakang Padang dan Pulau Batam
86
(Pulau Mecan, Pulau Kapal Besar, Pulau Layang, Pulau Bekajang, Pulau Mimpi,
Pulau Lengkang, Pulau Lengkana, Pulau Sambu, Pulau Belakang Padang, Pulau
Sekilak, Pulau Dongas, Pulau Bokur, pantai Tanjung Uma, pantai Batu Merah dan
pantai Tanjung Sengkuang). Hal ini berarti bahwa kondisi terumbu karang di
lokasi tersebut status mutunya termasuk dalam kategori rusak (buruk sampai
sedang).
Untuk mengetahui kondisi pada saat penelitian maka dilakukan
pengamatan langsung di beberapa lokasi penelitian pada kedalaman perairan laut
3 meter dan 10 meter. Di setiap lokasi dilakukan pengamatan pada 3 (tiga)
satsiun (Ss1-Ss3) pada kedalaman perairan 3 meter dan 10 meter, yang dilakukan
di wilayah perairan laut Kota Batam di bagian selatan, timur dan barat.
Berdasarkan Tabel 33, persentase tutupan karang hidup dari pengamatan
langsung yang dilakukan pada kedalaman perairan 3 meter terlihat bahwa terumbu
karang di lokasi ini dalam keadaan rusak (sedang) sampai baik sekali dengan
persentase tutupan karang hidup antara 44.1% - 76.3%. Secara lebih terinci
dijelaskan dalam uraian berikut.
Kondisi terumbu karang di bagian selatan Kota Batam (kedalaman 3 meter)
Pengamatan langsung kondisi terumbu karang di bagian selatan Kota
Batam dilakukan di Kecamatan Galang, yaitu pada 4 (empat) lokasi meliputi
sebelah utara, sebelah timur, sebelah selatan dan sebelah barat-daya Pulau Abang
Kecil. Pada sebagian besar stasiun pengamatan persentase tutupan karang hidup
termasuk baik sampai baik sekali dan hanya pada satu stasiun saja ditemukan
dalam kriteria rusak (sedang), yaitu pada Ss2 di sebelah timur Pulau Abang Kecil
dengan persentase tutupan karang hidup 44.1%. Berdasarkan KEPMEN LH
Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001) maka kondisi pada sebagian besar stasiun
pengamatan terumbu karang di Kecamatan Galang status mutunya berada pada
tingkatan baik dan hanya pada satu stasiun saja status mutunya berada pada
tingkatan rusak, yaitu pada Ss2 di sebelah timur Pulau Abang Kecil, yang diduga
kerusakannya disebabkan oleh penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan
atau karena digunakan untuk penambatan jangkar perahu nelayan.
87
Tabel 33 Kondisi karang pada kedalaman perairan 3 meter tahun 2003
Tempat Stasiun Tutupan karang
hidup ( % )
Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang *)
Ss 1 69.9 baik
Ss 2 76.3 baik sekali
BAGIAN SELATAN Kec. Galang
1) Utara P. Abang Kecil Ss 3 53.6 baik
Ss 1 66.2 baik
Ss 2 44.1 sedang
2) Timur P. Abang Kecil Ss 3 75.0 baik sekali
Ss 1 71.2 baik
Ss 2 66.9 baik 3) Selatan P. Abang Kecil Ss 3 66.4 baik
Ss 1 69.9 baik
Ss 2 59.9 baik 4) Barat-Daya P. Abang Kecil Ss 3 62.7 baik
Ss 1 67.9 baik
Ss 2 66.6 baik
BAGIAN TIMUR Kec. Nongsa 1) Selatan P. Ngenang Ss 3 64.4 baik
Ss 1 60.6 baik
Ss 2 71.1 baik 2) Barat P. Ngenang Ss 3 62.0 baik
Ss 1 52.3 baik
Ss 2 58.1 baik
BAGIAN BARAT Kec. Belakang Padang 1) Selatan P. Lengkang Ss 3 46.9 sedang
Ss 1 51.4 baik
Ss 2 57.0 baik 2) Timur P. Lengkang Ss 3 54.3 baik
Keterangan: *) Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001)
88
Kondisi terumbu karang di bagian timur Kota Batam (kedalaman 3 meter)
Kondisi terumbu karang di bagian timur Kota Batam yang dilakukan pada
2 lokasi di Kecamatan Nongsa, yaitu sebelah barat Pulau Ngenang dan selatan
Pulau Ngenang/Kubung. Persentase tutupan karang hidup pada seluruh stasiun
pengamatan termasuk baik. Menurut KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001
(KLH, 2001), kondisi terumbu karang di seluruh stasiun pengamatan terumbu
karang di Kecamatan Nongsa dikatakan memiliki status mutu yang berada pada
tingkatan baik.
Kondisi terumbu karang di bagian barat Kota Batam (kedalaman 3 meter)
Kondisi terumbu karang di bagian barat Kota Batam dilakukan pada 2
lokasi di Kecamatan Belakang Padang, yaitu disebelah timur dan selatan Pulau
Lengkang. Persentase tutupan karang hidup pada sebagian besar stasiun
pengamatan termasuk baik dan hanya pada satu stasiun saja ditemukan dalam
kriteria rusak (sedang), yaitu pada Ss3 di sebelah selatan Pulau Lengkang dengan
persentase tutupan karang hidup 46.9%. Apabila mengacu pada KEPMEN LH
Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001) maka kondisi pada sebagian besar stasiun
pengamatan terumbu karang di Kecamatan Belakang Padang status mutunya
berada pada tingkatan baik dan hanya pada satu stasiun saja status mutunya
berada pada tingkatan rusak, yaitu pada Ss3 yang letaknya di sebelah selatan
Pulau Lengkang. Penyebab kerusakan terumbu karang di daerah ini kemungkinan
besar disebabkan oleh dampak dari kegiatan industri yang ada di sekitar stasiun
pengamatan, khususnya yang ada di Kecamatan Sekupang, Lubuk Baja dan Batu
Ampar karena letaknya berdekatan dengan stasiun pengamatan di lokasi ini. Dari
hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian terdapat beberapa industri yang
ada di sekitar stasiun pengamatan, seperti beberapa industri galangan kapal
(shipyard), aktivitas Depo Pertamina Pulau Sambu-Kecamatan Belakang Padang
dan lain-lain.
89
Sama halnya dengan pengamatan kondisi terumbu karang yang dilakukan
pada kedalaman perairan 3 meter, pengamatan kondisi terumbu karang pada
kedalaman perairan 10 meter juga dilakukan di bagian selatan, barat dan timur
Kota Batam (Tabel 34). Berdasarkan Tabel 34, persentase tutupan karang hidup
dari hasil pengamatan langsung yang dilakukan pada kedalaman perairan 10 meter
menunjukkan bahwa terumbu karang di lokasi ini dalam keadaan rusak (buruk)
sampai baik sekali dengan persentase tutupan karang hidup antara 22.2% - 95%.
Secara lebih jelas dapat dilihat dari uraian berikut.
Kondisi terumbu karang di bagian selatan Kota Batam (kedalaman 10 meter)
Kondisi terumbu karang di bagian selatan Kota Batam dilakukan di
Kecamatan Galang, yaitu pada 4 (empat) lokasi, masing-masing di sebelah utara,
sebelah timur, sebelah selatan dan sebelah barat-daya Pulau Abang Kecil. Dari
12 stasiun pengamatan, pada 8 stasiun pengamatan persentase tutupan karang
hidup termasuk baik sampai baik sekali dan pada 4 stasiun persentase tutupan
karang hidup termasuk rusak (sedang sampai buruk). Terumbu karang dalam
kondisi rusak (sedang) terjadi pada Ss1 (39.9%) dan Ss2 (37.1%) di utara Pulau
Abang Kecil serta pada Ss2 (40.2%) di timur Pulau Abang Kecil, sedangkan
terumbu karang dalam kondisi rusak (buruk) terjadi pada Ss3 (22.2%) di utara
Pulau Abang Kecil. Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH,
2001) maka kondisi pada sebagian besar stasiun pengamatan (8 stasiun), terumbu
karang di Kecamatan Galang status mutunya berada pada tingkatan baik dan pada
4 stasiun lainnya status mutunya berada pada tingkatan rusak. Kerusakan terumbu
karang di daerah ini diduga disebabkan oleh penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan atau juga karena penambatan jangkar perahu nelayan.
90
Tabel 34 Kondisi karang pada kedalaman perairan 10 meter tahun 2003
Tempat Stasiun Tutupan karang
hidup ( % )
Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang *)
Ss 1 39.9 sedang
Ss 2 37.1 sedang
BAGIAN SELATAN Kec. Galang
1) Utara P. Abang Kecil Ss 3 22.2 buruk
Ss 1 95.0 baik sekali
Ss 2 40.2 sedang 2) Timur P. Abang Kecil Ss 3 53.4 baik
Ss 1 77.7 baik sekali
Ss 2 52.7 baik 3) Selatan P. Abang Kecil Ss 3 79.5 baik sekali
Ss 1 52.3 baik
Ss 2 50.0 baik 4) Barat-Daya P. Abang Kecil Ss 3 59.8 baik
Ss 1 32.6 sedang
Ss 2 40.8 Sedang
BAGIAN TIMUR Kec. Nongsa 1) Selatan P. Ngenang Ss 3 42.2 sedang
Ss 1 61.2 baik
Ss 2 45.0 sedang 2) Barat P. Ngenang Ss 3 42.3 sedang
Ss 1 37.8 sedang
Ss 2 47.2 sedang
BAGIAN BARAT Kec. Belakang Padang 1) Selatan P. Lengkang Ss 3 53.8 baik
Ss 1 34.4 sedang
Ss 2 47.4 sedang 2) Timur P. Lengkang Ss 3 39.7 sedang
Keterangan: *) Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001)
91
Kondisi terumbu karang di bagian timur Kota Batam (kedalaman 10 meter)
Pengamatan kondisi terumbu karang di bagian timur Kota Batam
dilakukan pada 2 lokasi di Kecamatan Nongsa, yaitu sebelah barat Pulau Ngenang
dan selatan Pulau Ngenang/Kubung. Dari hasil pengamatan terhadap persentase
tutupan karang hidup pada sebagaian besar stasiun pengamatan pada umumnya
termasuk rusak (sedang) dan hanya pada satu stasiun pengamatan saja ditemukan
masih dalam kondisi baik, yaitu pada Ss1 (61.2%) di sebelah barat Pulau
Ngenang. Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001),
kondisi pada sebagian besar stasiun pengamatan terumbu karang di Kecamatan
Nongsa status mutunya berada pada tingkatan rusak. Diduga kerusakan terumbu
karang di lokasi ini karena di sekitar stasiun pengamatan terdapat banyak industri,
bahkan pada saat dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dijumpai di
daerah Kabil-Kecamatan Nongsa terdapat beberapa industri sedang memperluas
kawasannya dengan melakukan reklamasi pantai yang tentunya akan berdampak
terhadap meningkatnya kekeruhan perairan serta menurunkan kualitas perairan
laut di sekitarnya. Turunnya kualitas perairan laut ini akan mengganngu
kelangsungan hidup terumbu karang di lokasi ini.
Kondisi terumbu karang di bagian barat Kota Batam kedalaman 10 meter)
Pengamatan terhadap terumbu karang di bagian barat Kota Batam
dilakukan pada 2 lokasi di Kecamatan Belakang Padang, yaitu disebelah timur
dan selatan Pulau Lengkang. Hasil pengamatan terhadap persentase tutupan
karang hidup menunjukkan bahwa pada sebagaian besar stasiun pengamatan pada
umumnya termasuk rusak (sedang) dan hanya pada satu stasiun pengamatan saja
ditemukan masih dalam kondisi baik, yaitu pada Ss3 (53.8%) di sebelah selatan
Pulau Lengkang. Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH,
2001) maka kondisi pada sebagian besar stasiun pengamatan terumbu karang di
Kecamatan Nongsa status mutunya berada pada tingkatan rusak. Kerusakan
terumbu karang di daerah ini kemungkinan besar disebabkan oleh dampak dari
kegiatan industri yang ada di sekitar stasiun pengamatan. Berdasarkan
92
pengamatan langsung, beberapa industri yang ada di sekitar stasiun pengamatan di
antaranya beberapa industri galangan kapal (Shipyard), pertamina dan lain-lain.
Bentuk pertumbuhan karang yang ditemukan di lokasi penelitian antara
lain: Acropora Branching (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Tabulate
(ACT) dan Non Acropora yaitu: Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE),
Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Mushroom (CMR), Coral
Submassive (CS) dan Soft Coral (SC).
Secara umum, karang mati yang menyusun substrat dasar perairan pada
lokasi penelitian adalah karang mati yang ditumbuhi alga (Dead Coral with Alga).
Dead Coral with Alga (DCA) ini hampir ditemukan pada setiap substasiun
pengamatan. Persentase penutupan DCA ini berkisar antara 12.6% - 41.3% pada
kedalaman 3 meter dan 3% - 67.4% pada kedalaman 10 meter. Selain DCA, juga
ditemukan patahan karang dengan penutupan yang bervariasi pada setiap sub-
stasiunnya. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pada lokasi pengamatan
telah terjadi kerusakan karang yang berlangsung dalam waktu lama.
Keberadaan terumbu karang secara nyata mendukung produksi perikanan
laut di daerah tersebut (Tabel 35). Berdasarkan Tabel 35 terlihat bahwa jenis
ikan karang memberikan kontribusi terbesar dalam volume maupun nilai,
selanjutnya diikuti oleh udang dan moluska.
Tabel 35 Data hasil tangkapan ikan di sekitar terumbu karang di Barelang,
1996
Udang Ikan Karang Moluska Lokasi Produksi
(ton/th) Nilai (US$)
Produksi (ton/th)
Nilai (US$)
Produksi (ton/th)
Nilai (US$)
Batam 1 033.9 11 166 120 1 811.0 19 952 600 360.0 864 000Sumber : Buku Tahunan Statistik Perikanan Propinsi Riau (1996).
93
Padang Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya
menyesuaikan diri untuk hidup di bawah permukaan air laut. Lamun hidup di
perairan dangkal agak berpasir, sering juga dijumpai di ekosistem terumbu
karang. Lamun dapat membentuk padang yang luas dan lebat di dasar laut yang
masih terjangkau oleh cahaya matahari dengan tingkat energi cahaya yang
memadai bagi pertumbuhannya. Berlawanan dengan tumbuhan lain yang hidup
terendam dalam laut (misalnya ganggang/alga laut), lamun mempunyai sirkulasi
air yang baik. Air yang mengalir inilah yang menghantarkan zat-zat hara atau
nutrien dan oksigen serta mengangkut hasil metabolisme lamun, seperti karbon
dioksida (CO2) ke luar daerah padang lamun. Secara umum, semua tipe dasar laut
dapat ditumbuhi lamun, namun padang lamun yang luas hanya dijumpai pada
dasar laut lumpur berpasir lunak dan tebal.
Seperti halnya ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun juga
merupakan salah satu ekosistem yang paling produktif dan dapat terletak di sekitar
hutan mangrove atau berada di antara ekosistem mangrove dan terumbu karang.
Ekosistem ini menyokong berbagai biota laut. Banyak jenis-jenis ikan, crustacea,
teripang dan bivalva yang memanfaatkan padang lamun sebagai nursery ground
dan feeding ground. Keanekaragaman jenis di padang lamun berkisar antara
292-10 644 individu/m2. Dengan semacam batang yang menyerupai akar,
memanjang secara horizontal di dalam sedimen, lamun berperan menstabilkan
sedimen dasar. Keberadaan lamun membuat sedimen yang tersuspensi cenderung
berakumulasi dan terjebak di “daun” lamun. Sedimen ini terkadang mengandung
bahan organik tinggi yang memberikan kontribusi terhadap tingginya
produktivitas ekosistem padang lamun. Tingginya produktivitas inilah yang dapat
menjadi daya tarik kedatangan ikan, penyu, hewan mamalia untuk mencari makan
atau memijah. Bahkan beberapa jenis ikan tertentu menggunakan lamun sebagai
tempat untuk menghindari predator. Keberadaan lamun dapat memberikan
indikasi tentang sehat atau tidaknya ekosistem laut. Adanya tanda-tanda bila
ekosistem ini mulai menghilang berarti ada masalah yang sedang terjadi di
perairan tersebut (PERTAMINA, 2002).
94
Dalam keterangan lainnya, PERTAMINA (2002) menyebutkan bahwa
produktifitas padang lamun sangat tergantung pada sejumlah faktor, yaitu
salinitas, temperatur dan kekeruhan. Padang lamun sangat sensitif terhadap
degradasi lingkungan akibat aktivitas pertanian, industri dan pencemaran limbah
domestik. Kegiatan yang paling potensial mengancam keberadaan ekosistem
padang lamun adalah penambangan pasir karena kegiatan ini bukan hanya
menghancurkan secara langsung, tetapi juga tidak langsung melalui peningkatan
kekeruhan air dan depososi sedimen yang berlebihan.
Di Indonesia sedikitnya ada 7 marga dan 13 spesies lamun yang
menempati daerah yang sangat luas, yaitu sekitar 30 000 km2. Penyebaran
ekosistem padang lamun di Indonesia mencakup perairan Jawa, Sumatera, Bali,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Jenis-jenis lamun
yang biasa dijumpai di perairan Indonesia di antaranya Halodule uninervis,
Halodule pinifolio, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium
isoetifolium, Thalassodendron ciliatum, Enhalus acoriodes, Halophila beccari,
Halophila minor, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, dan Thalassia
hemprichii (Hutomo, 1985).
Analisis padang lamun di perairan Kota Batam dilakukan berdasarkan data
sekunder yang diperoleh dari hasil-hasil studi sebelumnya dan litertur-literatur
lainnya karena tidak dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Berikut
disajikan distribusi lamun di pesisir Kota Batam dan sekitarnya seperti pada
Gambar 11.
PKSPL-IPB (2001) mencatat bahwa padang lamun di Kota Batam
dijumpai di Barelang, yaitu di perairan pantai/laut di Belakang Padang, Batuaji,
Nongsa, Batu Ampar, pantai timur Rempang dan pantai timur Galang. Jenis
lamun yang ditemukan terdiri dari empat jenis, yaitu Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, dan Enhalus acoriodes.
Kondisinya termasuk jarang hingga sedang. Dengan mengacu pada KEPMEN LH
Nomor: 200 Tahun 2004 maka berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa
status padang lamun di daerah ini termasuk dalam kategori rusak. Kondisi
demikian akan mempengaruhi fungsi padang lamun yang ada di perairan tersebut.
95
Gambar 11 Distribusi lamun (seagrass) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)
96
Fungsi padang lamun di lingkungan pesisir adalah sebagai berikut:
♦ Sistem perakaran lamun yang padat dan saling menyilang dapat menstabilkan
dasar laut dan mengakibatkan kokoh tertanamnya lamun dalam dasar laut;
♦ Padang lamun berfungsi juga sebagai perangkap sedimen yang kemudian
diendapkan dan distabilkan;
♦ Padang lamun segar merupakan makanan ikan duyung (yang sebenarnya
bukan sejenis ikan, melainkan hewan menyusui), penyu laut, bulu babi, dan
beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan daerah penggembalaan
(grazing ground) yang penting artinya bagi hewan-hewan laut tersebut. Ikan
laut lainnya dan udang tidak makan daun segar melainkan serasah (detritus)
dari lamun. Detritus ini dapat tersebar luas oleh arus ke perairan di sekitar
padang lamun;
♦ Padang lamun merupakan habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan
berukuran kecil) dan udang. Pada permukaan daun lamun, hidup melimpah
ganggang-ganggang renik (biasanya ganggang bersel tunggal) disebut
perifiton, hewan-hewan renik dan mikroba yang merupakan makanan bagi
bermacam jenis ikan yang hidup di sekitar padang lamun;
♦ Banyak ikan dan udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun
menghasilkan larva yang bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar.
Bagi larva-larva ini, padang lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan
yang optimal bagi pertumbuhannya. Dengan demikian, merusak padang
lamun berarti pula merusak daerah asuhan (nursery ground) larva-larva
tersebut.
♦ Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni
padang lamun dari sengatan sinar matahari; dan
♦ Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk.
Misalnya samo-samo (Enhalus acoroides) oleh penduduk di Kepulauan Seribu
telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan (Nontji, 1987).
Berdasarkan keterangan yang diolah dari data PRC (1998) dan Riau
Coastal Zone Local Management Planning (1999) diketahui bahwa di wilayah
97
pesisir Barelang terdapat total lamun seluas 5 758.1 hektar dengan hamparan
paling luas ditemukan di Pulau Batam, yaitu 3 238.2 hektar (Tabel 36).
Tabel 36 Luas padang lamun di wilayah pesisir Barelang, 2002
Lokasi Garis Pantai (km)
Luas Lamun (ha)
Batam 266 3 238.2 Rempang 88 1 071.3 Setoko 21 255.6 Galang 98 1 193.0
Total 473 5 758.1 Sumber : Diolah dari data PRC (1998) dan Riau Coastal Zone Local Management
Planning (1999) PRC (1998) menyebutkan bahwa hamparan padang lamun yang terdapat di
daerah pesisir Barelang yang paling luas terdapat di pantai Timur Rempang dan
Galang dan di ujung Selatan Galang Baru. Spesies yang dominan adalah rumput
pita yang tinggi (Enhalus acoroides), yang sangat umum dan membentuk dataran
luas. Golongan lain yang ditemukan termasuk Cymodocea dan Syringodium.
Pada beberapa daerah, padang lamun ini ditutupi oleh ganggang epifit dan
sedimen yang mungkin menunjukkan adanya eutrofikasi (masukan makanan yang
berlebih) dan stres karena sedimentasi.
Menurut PERTAMINA (2002) disebutkan bahwa lamun yang ditemukan
di Pulau Batam dan sekitarnya adalah jenis Enhallus, di antaranya dijumpai di
Pulau Mecan, Pulau Layang, Pulau Bekajang, Pulau Mimpi, Pulau Lengkang,
Pulau Lengkana, Pulau Sambu, Pulau Belakang Padang, Pulau Sekilak, Pulau
Bokur, pantai Batu Merah dan pantai Tanjung Sengkuang.
Produksi perikanan padang lamun diperoleh berdasarkan atas perhitungan
produksi perikanan dari data Statistik Perikanan Propinsi Riau (Tabel 37). Seperti
halnya juga produksi ikan di sekitar terumbu karang, statistik ini juga hanya
menyajikan hasil tangkapan di Batam. Sementara, jumlah hasil tangkapan di
Rempang dan Galang tidak tersedia. Hasil tangkapan ikan di sekitar padang
lamun dapat dikelompokkan sebagai ikan dan udang. Volume dan nilai hasil
tangkapan jenis ikan lebih dominan dibandingkan dengan udang. Berdasarkan
data hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun Batam tahun 1996 diperoleh
98
udang sebanyak 402.2 ton/th dengan nilai US$ 4 343 760.00 dan ikan sejumlah
1 017.8 ton/th dengan nilai US$ 6 717 480.00.
Tabel 37 Data hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun Batam, 1996
Udang
Ikan
Lokasi Produksi (ton/th)
Nilai (US$) Produski (ton/th)
Nilai (US$)
Batam 402.2 4 343 760 1 017.8 6 717 480 Sumber : Buku Tahunan Statistik Perikanan Propinsi Riau (1996).
Sumberdaya Perikanan
Kota Batam merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 325 buah
pulau besar dan kecil dengan panjang pantai sekitar 1 261 Km dan luas laut
sekitar 289.300 hektar. Wilayah laut ini merupakan bagian terbesar, yaitu sekitar
74% dari wilayah Kota Batam. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa wilayah
laut yang dominan itu memiliki potensi sumberdaya yang masih cukup besar
tetapi belum dimanfaatkan dengan baik.
Belum optimalnya pengembangan potensi sumberdaya pesisir dan laut di
Kota Batam disebabkan oleh masih terkonsentrasinya aktivitas di wilayah daratan.
Padahal berbagai aktivitas yang dilakukan di wilayah daratan Kota Batam
cenderung memberikan tekanan terhadap sumberdaya yang ada di wilayah bagian
bawahnya (pesisir dan laut). Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya hasil
tangkapan ikan olah para nelayan khususnya nelayan pantai. Keadaan ini terjadi
karena menurunnya kualitas lingkungan yang berakibat pada penurunan
produktivitas perairan Kota Batam.
Dalam rangka untuk mengetahui potensi sumberdaya di wilayah pesisir
dan laut Kota Batam maka salah satunya telah dilakukan pendataan melalui
kegiatan identifikasi data perikanan yang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan,
Perikanan dan Pertanian Kota Batam pada tahun 2004. Kegiatan identifikasi data
perikanan dilakukan pada 8 kecamatan dan 51 kelurahan yang meliputi 96 pulau
berpenghuni, baik di pulau besar maupun pulau kecil. Adapun nama-nama pulau
yang diidentifikasi seperti dalam Tabel 38. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Batam Nonor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam
99
Tahun 2004-20014 disebutkan bahwa Kota Batam memiliki lebih dari 400 pulau
dan 329 diantaranya telah memiliki nama, termasuk di dalamnya pulau-pulau
terluar di wilayah perbatasan negara.
Dari Tabel 38 memperlihatkan bahwa pulau-pulau berpenghuni yang
paling banyak terdapat di Kecamatan Galang. Selain itu tabel tersebut
menggambarkan bahwa wilayah kecamatan yang masyarakatnya dominan
terhadap aktivitas di laut secara berurutan adalah Kecamatan Galang, Belakang
Padang, Bulang, Nongsa, Sei Beduk, Sekupang, Batu Ampar dan Lubuk Baja.
Tabel 38 Daftar nama-nama pulau yang teridentifikasi berpenghuni di Kota Batam Kecamatan Nama Pulau/Perkampungan 1. Galang 1) P. Abang, 2) P. Petong, 3) Airsaga, 4) P. Nguan,
5) P. Karas, 6) P. Panjang, 7) Tg. Culim, 8) Tg. Kertang, 9) Tolop, 10) Kp. Baru, 11) Tg. Pengapit, 12) Tg. Linau, 13) Sincaran, 14) Mubut, 15) Jemara, 16) Pl. Telunjuk, 17) Subang Mas, 18) Tg. Kalok, 19) P. Jemara, 20) Monggak, 21) Pasir Panjang, 22) Blongkeng, 23) Kp. Baru Cate, 24) Tebing Tinggi, 25) Rempang Cate, 26) Air Raja, 27) Dapur 3, 28) Dapur 6, 29) Sembulang, 30) Sijantung, 31) Tg. Banun dan 32) Sembur.
2. Bulang 1) Setokok, 2) P. Panjang, 3) P. Akar, 4) P. Kalong, 5) Temoyong, 6) Selat Nenek, 7) P. Aweng, 8) Pl. Cengkul, 9) Pl. Juna 10) P. Jaloh, 11) P. Buluh, 12) P.Air, 13) P. Labu, 14) Bulang Lintang, 15) Bulang Kebam dan 16) P. Seraya.
3. Belakang Padang 1) Belakang Padang, 2) P. Lengkang, 3) P. Sarang, 4) Mecan, 5) P. Mongkol, 6) P. Kasu, 7) P. Pecung, 8) P. Granting, 9) P. Tumbar, 10) P. Terung, 11) Teluk Banun, 12) Teluk Bakau, 13) Teluk Sunti, 14) Teluk Kangkung, 15) Pekasing, 16) P. Bertam, 17) P. Lingke, 18) P. Saga dan 19) P. Sekanak.
4. Sei Beduk 1) Tg. Piayu Darat, 2) Tg. Piayu Laut, 3) Desa Bagan, 4) Kapling Bagan, 5) Tg. Gunadap, 6) P. Lance, 7) Dapur 12, 8) P. Sekenah dan 9) P. Teraling.
5. Nongsa 1) P. Ngenang, 2) P. Kubung, 3) P. Todak, 4) Punggur, 5) P. Kasam, 6). Sungai Kasam, 7) Teluk Bakau, 8) Batu Besar, 9) Kmp. Melayu dan 10) Kabil.
6. Sekupang 1) Kelurahan Tg. Riau, 2). P. Seraya, 3) Patam Lestari dan 4) Tanjung Uncang.
7. Batu Ampar 1) Tg. Sengkuang, 2) Bengkong Laut dan 3) Batu Merah. 8. Lubuk Baja 1) Tanjung Uma
Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
100
Potensi sumberdaya perikanan di Kota Batam meliputi perikanan
tangkap, akuakultur dan marikultur. Distribusi sumberdaya perikanan tangkap,
akuakultur dan marikultur di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya disajikan dalam
Gambar 12.
Kegiatan perikanan di Kota Batam secara umum meluputi perikanan
tangkap dan budidaya. Namun yang paling dominan yang dilakukan oleh
masyarakat sampai saat ini adalah kegiatan perikanan tangkap, sedangkan
kegiatan perikanan budidaya masih belum berkembang (Dinas Kelautan,
Perikanan dan Pertanian Kota Batam , 2004). Hal ini sejalan dengan hasil kajian
yang dilakukan oleh PKSPL-IPB (1998) yang mengemukakan bahwa kegiatan
perikanan di perairan Batam yang utama adalah perikanan tangkap. Para nelayan
pada umumnya menggunakan alat tangkap yang sederhana seperti bagan (kelong),
bubu, gill net, pancing, trammel net dan lampara dasar. Kapal yang digunakan
untuk operasi penangkapan oleh nelayan dari Kota Batam sekitar 60-66% sudah
menggunakan motor tempel (MT).
Daerah penagkapan ikan yang utama di Kota Batam adalah di perairan
sekitar Batam, khususnya di wilayah Kecamatan Galang dan Bulang, dimana
merupakan daerah yang populer bagi nelayan Batam yang mempunyai peralatan
sedikit modern. Bagi para pengusaha pemilik modal, wilayah penangkapan ikan
di perairan Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang sangat menjanjikan.
Sedangkan bagi nelayan kecil yang kehidupannya secara ekonomi belum
memadai lebih banyak memanfaatkan perairan di sekitar tempat tinggalnya
sebagai daerah penangkapan ikan ((Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota
Batam, 2004). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh PKSPL-IPB (1998)
disebutkan bahwa daerah operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan
pada umumnya tidak jauh, yaitu sebelah selatan Pulau Batam dan Pulau Bintan,
dimana pengoperasiannya dilakukan secara harian (one day trip).
101
Gambar 12 Daerah penangkapan ikan (fishing ground), budidaya udang (shrimp culture), budidaya ikan (fish culture) dan budidaya rumput laut (seaweed culture) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)
102
Beberapa jenis ikan yang tertangkap oleh para nelayan dari Kota Batam dan mempunyai kuantitas cukup besar terdiri dari ikan selangat, ungar dan teri, yang termasuk dominan dibandingkan dengan jenis-jenis ikan lainnya (Tabel 39).
Tabel 39 Nama ikan yang tertangkap nelayan dari Kota Batam dan Kabupaten Kepulauan Riau (khusus Pulau Bintan) (PKSPL-IPB, 1998)
No. Nama setempat Nama latin 1. Selangat * Leiognathus brevirostris
2. Selar Caranx spp 3. Ungar * - 4. Kerapu Epinephelus spp 5. Sembilang Plotusus spp 6. Tenggiri Scomberomorus spp 7. Bawal Stromateus spp 8. Kakap Lates calcalifer 9. Kurau Polynemus spp 10. Teri * Stolephorus spp
Keterangan: * = Ikan dominan
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota
Batam (2004) disebutkan bahwa jenis-jenis ikan yang ditangkap olah nelayan
Kota Batam sebagian besar merupakan ikan-ikan karang. Ikan-ikan karang
tersebut merupakan ikan yang bernilai ekonomi tinggi. Ikan-ikan ini umumnya
ditangkap para nelayan di sekitar perairan tempat tinggalnya. Beberapa jenis ikan
dan udang yang sering ditangkap oleh nelayan Kota Batam disajikan dalam Tabel
40.
Bila dilihat dari Rumah Tangga Perikanan (RTP) pada setiap Kecamatan
di Kota Batam diklasifikasikan dalam RTP perikanan laut dan RTP budidaya laut.
Gambaran mengenai distribusi jumlah RTP dan anggota keluarga serta persentase
perbandingannya dengan jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan
adalah seperti disajikan dalam Tabel 41.
103
Tabel 40 Jenis-jenis ikan dan udang yang sering ditangkap oleh nelayan Kota Batam dan memiliki nilai ekonomis tinggi
Nama Lokal Nama Latin (Ilmiah)* 1. Ikan Ekor Kuning Caesio erythrogaster 2. Ikan Bulat (Selar) Caranx sexfasciatus 3. Ikan Sagai Caranx sp 4. Ikan Parang-parang Chirocentrus dorab 5. Ikan Kerapu Tikus/Bebek Cromileptes altivelis 6. Ikan Kurau Putih Eleutheronema tetradactylum 7. Ikan Kuaru Hitam Eleutheronema spp. 8. Ikan Kerapu Hitam (Kerapu lumpur) Epinephelus tauvina 9. Ikan Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus 10. Ikan Gelam/Mata Kucing Lates sp. 11. Ikan Kakap Merah Lutjanus sp. 12. Ikan Kakap Putih Lutjanus sp. 13. Ikan Ungar Lutjanus sp. 14. Cumi-cumi Loligo spp. 15. Ikan Bawal Putih Stronemateus cinereus 16. Ikan Bawal Hitam Stronemateus niger 17. Udang Kara Panulirus versicolor 18. Udang Apollo Panaeus mergueiensis 19. Udang Windu Panaeus monodon 20. Ikan Kerapu Merah (Sonu) Plectropoma sp. 21. Rajungan Portunus pelagicus 22. Ikan Tengiri Scomberomorus commerson 23. Ketam Bakau Scylla serrata 24. Sontong Batu Sepla spp. 25. Ikan Dingkis Siganus sp. 26. Ikan Lebam Siganus sp. 27. Ikan Dingkis Siganus sp. 28. Gonggong Strombus sp. 29. Ikan Ketarap - 30. Ikan Mentimun - 31. Udang Pantai -
* nama-nama ilmiah ikan disempurnakan menurut Schuster dan Djajadiredja (1952) Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
104
Tabel 41 Jumlah rumah tangga perikanan, jumlah anggota keluarga dan jumlah penduduk Kota Batam per kecamatan
Jumlah RTP dan Anggota Keluarga
Kecamatan Penduduk RTP Anggota Jumlah % *) Tahun 2003 Keluarga 1. Galang 13 929 2 316 7 982 10 298 73.9 2. Bulang 8 693 1 312 4 899 6 211 71.4 3. Belakang Padang 19 741 2 337 9 358 11 695 59.2 4. Sei Beduk 126 976 512 1 705 2 217 1.7 5. Nongsa 85 690 420 1 046 1 466 1.7 6. Sekupang 116 441 229 986 1 215 1.0 7. Batu Ampar 124 516 154 408 562 0.5 8. Lubuk Baja 66 675 127 635 762 1.1 Total 562 661 7 407 27 019 34 426 6.1 *) Perbandingan antara jumlah RTP dan anggota keluarga dengan jumlah penduduk
pada setiap kecamatan Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
Berdasarkan Tabel 41 menunjukkan bahwa dilihat dari jumlah Rumah
Tangga Perikanan (RTP), Kecamatan Belakang Padang memiliki jumlah RTP
terbanyak, yaitu 2 337 RTP, sedangkan RTP paling sedikit terdapat di Kecamatan
Lubuk Baja, yaitu 127 RTP. Apabila dilihat dari anggota keluarganya, terlihat
bahwa terbanyak terdapat di Kecamatan Belakang padang sebanyak 9 358 jiwa
dan terkecil dijumpai di Kecamatan Batu Ampar, yaitu 408 jiwa.
Selain itu, berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar nelayan
Kota Batam tinggal di wilayah Kecamatan Belakang Padang, Galang dan Bulang
sebagaimana terlihat dari jumlahnya yang terbanyak, yaitu masing-masing 11 695
jiwa, 10 298 jiwa dan 6 211 jiwa. Demikian halnya bila dilihat dari persentase
dari jumlah RTP dan anggota keluarganya dibandingkan dengan jumlah penduduk
pada setiap kecamatan menunjukkan bahwa ketiga kecamatan tersebut memiliki
persentase yang paling besar dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya
di Kota Batam, yaitu Kecamatan Galang (73.9%), Bulang (71.4%)dan Belakang
Padang (59.2%). Hal ini mencerminkan bahwa sebagian besar penduduk di 3
(tiga) wilayah kecamatan tersebut bermata pencaharian sebagai nelayan. Apabila
dilihat dari perbandingan secara keseluruhan maka dapat dikatakan bahwa
penduduk yang bermata-pencaharian sebagai nelayan pada thun 2003 jumlahnya
sekitar 6.1% dari total jumlah penduduk Kota Batam.
105
Tabel 42 memperlihatkan bahwa perikanan tangkap masih merupakan
mata pencaharian sebagian besar nelayan Kota Batam, sedangkan kegiatan
perikanan budidaya belum banyak berkembang di daerah ini. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan pada saat penelitian di lapangan dengan masyarakat di
wilayah pesisir Kota Batam ditemukan faktor penghambat terhadap
perkembangan budidaya ikan di daerah ini, yaitu sulitnya memperoleh bibit dan
pakan ikan serta waktu pemeliharaan yang dianggap lama.
Tabel 42 Jumlah RTP, jumlah perikanan tangkap dan budidaya laut di Kota
Batam tahun 2003 Budidaya laut
Kecamatan RTP Perikanan Ikan Kepiting Rumput Lain-lain tangkap laut
1. Galang 2 316 2 316 275 4 - - 2. Bulang 1 312 1 296 471 28 72 - 3. Belakang Padang 2 337 2 337 110 - 363 1 4. Sei Beduk 512 512 87 6 - - 5. Nongsa 420 420 96 - - - 6. Sekupang 229 229 15 3 - - 7. Batu Ampar 154 154 8 - - - 8. Lubuk Baja 127 127 - - - - Total 7 407 7 391 1 062 41 435 1Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
Jumlah armada penagkapan ikan berupa perahu tanpa motor masih
merupakan yang paling dominan dibandingkan dengan armada lainnya. Hal ini
karena masih rendahnya penghasilan sebagian besar nelayan Kota Batam yang
menyebabkan mereka belum mampu membeli peralatan dengan modal yang lebih
besar. Beberapa armada penangkapan ikan yang biasa diguanakan oleh nelayan
Kota Batam adalah seperti terlihat dalam Tabel. 43.
106
Tabel 43 Jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan Gross Ton (GT) di Kota Batam tahun 2003
Armada Tangkap Kecamatan Perahu < 5 GT < 10 GT < 30 GT > 30 GT
Tanpa motor 1. Galang 1 035 1 065 43 16 6 2. Bulang 724 712 18 3 - 3. Belakang Padang 589 737 30 13 - 4. Sei Beduk 439 197 6 - - 5. Nongsa 228 80 8 6 74 6. Sekupang 95 54 2 - - 7. Batu Ampar 55 41 1 - - 8. Lubuk Baja 96 48 - - - Total 3 261 2 934 108 38 80 Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
Kegiatan penagkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Kota Batam masih
menggunakan alat tangkap yang sederhana karena dianggap paling mudah di
operasikan dan murah harganya. Beberapa alat tangkap yang dimaksud seperti
pancing (hand line), kelong pantai, bubu ketam, bubu ikan dan jaring pantai.
Kegiatan perikanan tangkap yang cukup unik berupa kelong. Kelong merupakan
kombinasi antara bagan (lift net) dan sero (wooded stationary fish trap) yang
ditempatkan pada padang lamun (PERTAMINA, 2002). Di bawah ini disajikan
Tabel 44 tentang distribusi dari masing-masing alat pengkapan ikan dan
jumlahnya pada setiap kecamatan yang biasa digunakan oleh nelayan di Kota
Batam.
Sebagaimana disebutkan dalam keterangan terdahulu bahwa kegiatan
perikanan di Kota Batam terdiri dari kegiatan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya. Sejalan dengan itu maka produksi perikanan pun dikelompokkan
menjadi dua, yaitu produksi yang berasal dari penangkapan ikan di laut dan
produksi yang berasal dari budidaya perikanan laut. Produksi perikanan sebagian
besar diperuntukan bagi kegiatan ekspor, sedangkan sebagian lainnya untuk
pemenuhan kebutuhan lokal. Secara lengkap produksi perikanan laut dan
budidaya perikanan laut serta nilainya pada setiap kecamatan di Kota Batam
disajikan dalam Tabel 45.
107
Tabel 44 Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan pada setiap kecamatan di Kota Batam Kecamatan No. Jenis Alat Tangkap
Ikan Galang Bulang Belakang Padang
Sei Beduk
Nongsa Sekupang Batu Ampar
Lubuk Baja
Total
1. Pukat cincin 6 - - - 74 - - - 802. Pukat Bilis (Fish trap) 9 - - - - - - - 93. Jaring Tenggiri 68 45 113 2 - 2 9 20 2594. Jaring pantai (Drift
gill nets) 830 393 492 305 146 89 58 90 2 403
5. Sandong - 412 240 24 31 16 14 7 7446. P. Sotong 1 893 876 817 306 316 42 28 21 4 2997. Jaring Bawal 40 56 44 - - - - - 1408. Jaring udang kara 94 - - - - - - - 949. Jaring udang 364 242 - 2 - - 1 - 60910. Jaring ketam 215 52 4 29 - - 6 - 30611. Jaring pari 9 - - - - - - - 912. Muroami - - 4 - - - - - 413. Bubu ikan 683 604 470 134 144 101 56 50 2 24214. Bubu ketam 302 328 114 218 27 12 23 60 1 08415. T. udang 113 662 323 178 82 38 12 - 1 40816. Jala 79 202 87 124 67 39 18 10 62617. Empang 44 14 68 31 24 1 2 12 19618. Pukat ikan 29 37 11 16 16 - - 12 12119. Kelong pantai 866 1 218 916 265 295 69 2 12 3 64320. Kelong Betawi 54 33 8 18 1 - - - 11421. Pancing Hand line 763 916 1 417 416 316 108 56 38 4 03022. Rawai 412 212 312 312 12 81 62 18 1 42123. Lukah/Injah 631 796 117 236 212 192 23 - 2 20724. Pukat udang - 18 198 14 - - - - 230
Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
108
Tabel 45 Jumlah RTP, jumlah hasil tangkapan ikan dan nilai produksinya di Kota Batam tahun 2003
Hasil Nilai
Kecamatan RTP Tangkapan Produksi (Ton) (x Rp. 1 000,-)
1. Galang 2 316 3 501.8 52 947 216 2. Bulang 1 312 1 983.7 29 993 544 3. Belakang Padang 2 337 2 271.6 22 079 952 4. Sei Beduk 512 552.9 5 971 320 5. Nongsa 420 453.6 4 498 880 6. Sekupang 229 173.1 1 308 636 7. Batu Ampar 154 116.4 879 984 8. Lubuk Baja 127 96.1 726 516 Total 7 407 9 149.2 118 406 048 Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa total hasil tangkapan ikan
di Kota Batam pada tahun 2003 adalah sebesar 9 149.2 ton dengan nilai
Rp. 118 406 048 000.00. Dari data tersebut terlihat bahwa kegiatan perikanan
tangkap di Kota Batam terkonsentrasi di 3 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan
Galang, Belakang Padang dan Bulang, sedangkan hasil tangkapan ikan dari
wilayah kecamatan lainnya jumlah dan nilainnya relatif kecil dibandingkan
dengan ke-3 kecamatan tersebut. Hasil tangkapan ikan terbesar diperoleh dari
Kecamtan Galang sebesar 3 501.8 ton dengan nilai Rp. 52 947 216 000.00 dan
kemudian diikuti oleh hasil tangkapan ikan dari Kecamatan Belakang Padang
sebesar 2 271.6 ton dengan nilai Rp. 22 079 952 000.00 serta dari Kecamatan
Bulang, yaitu 1 983.7 ton dengan nilai 29 993 544 000.00.
Meskipun sampai saat ini sebagian besar masyarakat nelayan Kota Batam
masih lebih berorientasi pada kegiatan perikanan tangkap dibandingkan dengan
kegiatan perikanan budidaya, namun melihat pada potensi yang ada, kegiatan
perikanan budidaya patut dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif mata
pencaharian yang perlu dikembangkan pada masa yang akan datang. Hal ini
dimaksudkan dalam rangka untuk mengantisipasi menurunnya hasil tangkapan
ikan yang pada saat ini menjadi masalah yang dirasakan oleh nelayan Kota Batam.
Menurut Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2002) dijelaskan
bahwa untuk perikanan budidaya, diperkirakan sekitar 10% dari luas perairan
Batam masih memungkinkan untuk pengembangan budidaya ikan dan rumpu laut.
109
Pada saat dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dijumpai
adanya kegiatan budidaya perikanan laut dengan menggunakan jaring apung di
sekitar perairan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Galang, tepatnya di Pulau
Nguan dan Pulau Abang. Nelayan di wilayah ini telah sejak lama melakukan
usaha pembesaran kerapu dengan jaring apung.
Kerapu (Epinephelus sp) telah menjadi salah satu primadona yang akan
dikembangkan untuk budidaya laut di perairan Batam melalui kerjasama antara
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan Pemerintah Kota
Batam dengan mengambil lokasi percontohan di perairan Pulau Nguan (sebelah
selatan Pulau Galang Baru). Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa
budidaya kerapu harus memperhatikan kekuatan arus, tingkat pasang surut,
kejernihan air laut dan kandungan zooplanton. Tanpa memperhatikan faktor-
faktor tersebut, budidaya kerapu dengan keramba jaring apung akan tinggi tingkat
kematiannya.
Rencana pengembangan budidaya ikan kerapu di Kota Batam ini juga
telah mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen
Kelautan dan Perikanan, yaitu dengan mendirikan sebuah institusi di Kota Batam
yang terkait dengan penelitian ikan kerapu. Pada saat dilakukan wawancara
dengan petugas di tempat tersebut dikatakan bahwa lembaga ini akan melakukan
penelitian dan pengembangan yang terkait dengan budidaya ikan kerapu,
termasuk yang berhubungan dengan penyediaan bibit, pembesaran serta
pemasaran ikan kerapu
Kegiatan budidaya laut lain yang terlihat di perairan wilayah Kota Batam
adalah budidaya rumput laut dengan menggunakan metode rawai. Jenis yang
mereka usahakan adalah Eucheuma sp. (PERTAMINA, 2002). Berikut disajikan
Tabel 46 tentang produksi budidaya perikanan laut di Kota Batam pada tahun
2003.
110
Tabel 46 Produksi budidaya perikanan laut di Kota Batam pada tahun 2003
Kecamatan Budidaya Periknan Laut Produksi (Ton) Nilai (Jutaan Rp)
1. Galang 32.72 867.43 2. Bulang 25.20 668.80 3. Belakang Padang 37.80 1 003.20 4. Sei Beduk 6.12 167.20 5. Nongsa 11.80 334.40 6. Sekupang 3.78 100.32 7. Batu Ampar 6.30 167.20 8. Lubuk Baja 1.26 33.10 Total 124.98 3 341.65 Sumber: Bappeda Kota Batam (2004)
Berdasarkan data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa total produksi
budidaya perikanan laut di Kota Batam pada tahun 2003 adalah sebesar 124.98
ton dengan nilai Rp 3 341 650 000.00. Dari data tersebut terlihat bahwa kegiatan
budidaya perikanan laut di Kota Batam terkonsentrasi di 3 wilayah kecamatan,
yaitu Kecamatan Belakang Padang, Galang dan Bulang, sedangkan dari wilayah
kecamatan lainnya jumlah dan nilainnya relatif kecil dibandingkan dengan ke-3
kecamatan tersebut. Produksi budidaya perikanan laut terbesar diperoleh dari
Kecamatan Belakang Padang sebesar 37.80 ton dengan nilai Rp 1 003 200 000.00
yang kemudian secara berurutan diikuti oleh Kecamatan Galang sebesar 32.72
ton dengan nilai Rp 867 430 000.00 dan Kecamatan Bulang sebesar 25.20 ton
dengan nilai Rp 668 800 000.00.
Berdasarkan keterangan dari para nelayan dikatakan bahwa dalam
beberapa tahun terakhir telah terjadi penurunan hasil penangkapan dan ikan-ikan
yang tertangkap ukurannya semakin kecil. Keadaan ini terutama terjadi pada
kegiatan penangkapan ikan karang, udang dan ikan demersal lainnya. Penyebab
dari kejadian ini antara lain diduga oleh turunnya kualitas perairan pesisir dan laut
karena telah mengalami pencemaran, terjadinya degradasi fisik hutan mangrove,
terumbu karang dan padang lamun.
Secara umum dapat dikatakan bahwa terjadinya degradasi lingkungan
yang berdampak terhadap penurunan produktivitas sumberdaya di wilayah pesisir
dan laut Kota Batam karena berbagai aktivitas yang dilakukan tidak dilandasi
111
pada pertimbangan daya dukung (kualitas) dan daya tampung (kuantitas)
lingkungan. Artinya kemampuan lingkungan untuk mendukung suatu
kegiatan/usaha tidak dijadikan landasan utama dalam pertimbangan bagi suatu
kegiatan/usaha.
Terjadinya degradasi lingkungan akan semakin parah bila dokumen
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam tidak menjadi pedoman dalam
pemanfaatan lahan atau kawasan bagi berbagai peruntukkan sehingga
pemanfaatan lahan menjadi tak terkendali. Apalagi dipicu oleh kebutuhan lahan
yang sangat besar seiring dengan kemajuan Kota Batam sebagai kawasan industri
(terutama di Pulau Batam). Secara visual dapat dilihat adanya eksploitasi lahan
secara terus-menerus yang dilakukan sebagaian besar dengan merusak (konversi)
hutan dan perbukitan menjadi kawasan peruntukkan lainnya, terutama untuk
kepentingan yang dalam jangka pendek dapat segera mendatangkan nilai ekonomi
yang besar.
Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan
Dampak Pembangunan di Kota Batam
Aktivitas pembangunan di Kota Batam khususnya pengembangan industri
yang begitu pesat yang terjadi sampai saat ini ternyata menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan hidup, seperti terjadinya kasus pencemaran dan
perusakan lingkungan, baik di darat maupun di perairan pantai/laut yang
menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup. Secara umum wilayah
perairan pesisir di daerah ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Hal ini
seperti ditunjukkan oleh buruknya kualitas air dan rusaknya ekosistem pesisir
(mangrove, padang lamun dan terumbu karang) serta turunnya produktivitas
sumberdaya perikanan yang ada di daerah ini.
Selain itu, pengembangan industri di Kota Batam diduga membawa
dampak terhadap munculnya berbagai faktor ikutan. Salah satu dampak yang
nyata adalah adanya peningkatan jumlah penduduk. Besarnya jumlah penduduk,
tingginya tingkat kepadatan penduduk dan keanekaragaman intensitas kegiatan
penduduk telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap pencemaran dan
112
kerusakan lingkungan yang akan mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan.
Adanya kebutuhan lahan untuk permukiman yang dilakukan dengan cara merusak
kawasan mangrove untuk pembangunan berbagai kompleks permukiman yang
terus terjadi di Kota Batam akan semakin memperparah kondisi lingkungan di
daerah ini. Apalagi terkadang pembangunan permukiman tidak disertai dengan
adanya sanitasi yang baik, terutama terkait dengan pembuangan limbah yang
semestinya dilakukan dengan sewage management system bagi buangan rumah
tangga.
Berdasarkan hasil inventarisasi Bapedal Kota Batam (2003) disebutkan
bahwa permasalahan lingkungan yang cukup menonjol terkait dengan pengelolaan
wilayah pesisir di Kota Batam, antara lain:
Di wilayah daratan
a) Rusaknya kawasan hutan
Permasalahan ini disebabkan oleh berubahnya sebagian dari kawasan
hutan menjadi kawasan industri, permukiman (perumahan komersial dan rumah
liar), perkantoran, pertokoan, lapangan golf, dan pariwisata. Padahal hutan
memiliki fungsi diantaranya sebagai kawasan penyangga untuk kehidupan,
pengatur hidrologi, mencegah terjadinya erosi, kekeringan, longsor dan
pengendalian banjir.
b) Rusaknya kawasan resapan air (catchment area).
Kasus ini disebabkan oleh berubahnya kawasan resapan air menjadi
kawasan industri dan bisnis, permukiman dan sebagainya yang menimbulkan
terjadinya penurunan daya dukung lingkungan di kawasan tersebut.
c) Rusak dan berubahnya kawasan hijau
Perubahan kawasan hijau (green belt) yang umumnya dilakukan dengan
reklamasi menjadi kawasan pertokoan/pusat perdagangan diduga ikut memberikan
kontribusi terhadap turunnya fungsi-fungsi lingkungan di tempat tersebut karena
113
tingginya pencemaran udara, tidak terkendalinya air hujan mengakibatkan
semakin tingginya erosi yang menyebabkan banjir.
d) Pencemaran akibat limbah industri
Dari sekitar 575 (lima ratus tujuh lima) perusahaan/industri, pariwisata dan
sebagainya yang ada di Batam memberikan kontribusi terhadap terjadinya
pencemaran lingkungan cukup tinggi terutama dari masalah pengelolaan
limbahnya, apalagi baru sebagian kecil saja perusahaan yang telah melengkapi
dokumen lingkungan (AMDAL, UKL/UPL dan lain-lain) dan terindikasi hanya
baru sekitar 25% perusahaan yang melakukan pengelolaan lingkungan hidupnya
secara baik. Selain itu juga, hanya sebagian kecil kawasan industri yang
memiliki Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) secara terpadu serta belum
terkelolanya limbah dengan baik sehingga kondisi demikian menimbulkan rawan
pencemaran di daerah kawasan industri dan sekitarnya.
Di wilayah pesisir dan laut
a) Rusaknya ekosistem pesisir
♦ Terjadinya kerusakan sebagian kawasan hutan bakau akibat reklamasi yang
digunakan untuk kepentingan lainnya yang izin pengelolaan lahannya
diberikan kepada investor oleh Otorita Batam. Selain itu hutan bakau juga
telah mengalami degradsi akibat pencemaran perairan yang menimbulkan
terjadinya penurunan habitat di pesisir dan mengakibatkan berkurangnya
daerah asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding grounds)
dan daerah pemijahan (spawning grounds) bagi berbagai biota laut serta
menurunnya nilai estetika dan terjadinya abrasi/erosi pantai.
♦ Adanya perusakan dan pengambilan terumbu karang sebagai bahan bangunan
dan penangkapan ikan dengan bom atau potas menyebabkan rusaknya habitat
karang dan ekosistemnya, termasuk turunnya produktivitas ikan dan biota laut
lainnya yang pada akhirnya akan menyebabkan turunnya hasil tangkapan ikan
yang dilakukan oleh nelayan di daerah ini.
114
♦ Adanya kegiatan cut and fill di lahan atas serta reklamasi di daerah pantai
menimbulkan terjadinya sedimentasi di perairan pantai/laut Kota Batam.
Adanya sedimentasi ini dapat mengancam kelangsungan hidup padang lamun
dan terumbu.karang. Hal ini karena pada tingkatan sedimentasi yang tinggi
selain akan menutupi biota lamun dan karang, juga akan menghambat proses
fotoisintesis sebagai akibat keruhnya perairan pantai/laut, padahal untuk
kelangsungan hidup biota-biota tersebut diperlukan adanya fotosintesis yang
didukung oleh adanya penetrasi sinar matahari.
♦ Turunnya kualitas air laut dan kerusakan ekosistem pesisir tersebut akan
menyebabkan turunnya produktivitas sumberdaya perairan serta akan
berdampak terhadap turunnya produksi ikan di perairan tersebut. Keadaan ini
pada akhirnya akan menurunkan pendapatan masyarakat khususnya yang
bertumpu hidupnya pada ketersediaan sumberdaya perikanan.
b) Aktivitas industri
Adanya kegiatan industri di daerah pesisir serta di lahan atas ternyata
berdampak terhadap terjadinya degradasi lingkungan pesisir dan laut sebagai
akibat adanya pembuangan limbah industri secara langsung dan sembarangan ke
laut yang mengakibatkan terjadinya pencemaran di daerah pesisir dan laut. Hal
ini mengakibatkan turunnya kualitas air laut, kerusakan ekosistem pesisir
(mangrove, terumbu karang dan padang lamun) serta turunnya produktivitas
perikanan di perairan laut Kota Batam. Ancaman dari salah satu industri yang
potensial memberikan pengaruhnya langsung terhadap kualitas dan kehidupan
biota pantai/laut di Kota Batam adalah dari industri kapal laut/galangan kapal
(shipyard) karena umumnya lokasi industri ini langsung berada di pesisir/pantai
sehingga limbah dari operisonal rutinnya akan mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan di wilayah pesisir dan laut. Apalagi umumnya limbah
dari aktivitas industri ini tidak dikelola dengan baik, bahkan biasanya langsung
dibuang ke perairan pantai di sekitarnya.
115
Kebijakan Pemerintah Kota Batam
Berbagai isu strategis yang ada dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup di Kota Batam menjadi pendorong disusunnya Kebijakan oleh
Pemerintah Kota (Pemko) Batam yang akan menjadi arahan dan pedoman dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup termasuk di dalamnya
pengelolaan lingkungan pesisir dan laut Kota Batam. Pemerintah Kota Batam
(2001) menyebutkan berbagai isu yang terkait dengan lingkungan hidup di Kota
Batam, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan pesisir dan
laut, antara lain:
♦ Makin menurunnya sumberdaya perikanan.
♦ Pengelolaan potensi kelautan masih belum optimal.
♦ Lemahnya penegakkan hukum di bidang pengelolaan lingkungan pesisir dan
laut.
♦ Rusaknya ekosistem akibat dari pembangunan yang tidak ramah lingkungan.
♦ Pembangunan yang ada di wilayah Kota Batam sebagian belum disertai
analisa dampak lingkungan.
♦ Kurangnya pengawasan dan pengendalian di bidang lingkungan yang dapat
menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
♦ Belum tertatanya sistem pembuangan limbah di wilayah Kota Batam.
♦ Kurangnya kesadaran masyarakat dan aparatur pemerintah terhadap
pelestarian lingkungan.
♦ Banyaknya kejadian perubahan peruntukan kawasan karena kebutuhan
kelompok masyarakat tertentu.
♦ Belum adanya penataan detail ruang pada wilayah hiterland Kota Batam.
♦ Masih belum mantapnya kapasitas kelembagaan dan organisasi penataan
ruang.
♦ Masih rendahnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang memiliki
pengetahuan dan kemampuan dalam pengelolaan lingkungan pesisir dan laut
di Kota Batam.
116
Berdasarkan isu-isu tersebut maka Kebijakan-kebijakan yang disusun akan
menjadi acuan termasuk dalam mengatasi berbagai masalah seperti disebutkan di
atas khususnya yang terkait dengan upaya menekan sekecil mungkin dampak
negatif dari berbagai kegiatan pembangunan. Berdasarkan penelusuran dari
berbagai sumber termasuk dari Pemerintah Kota Batam (2001), berikut ini
disajikan Kebijakan Pemko Batam dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup:
♦ Meningkatkan sistem penggunaan tanah yang sesuai dengan rencana tata
ruang.
♦ Memantapkan pengendalian pemanfaatan ruang.
♦ Menata dan mengembangkan kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil,
khususnya untuk wilayah hiterland.
♦ Peningkatan kegiatan intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi usaha
perikanan dalam arti luas secara terpadu untuk meningkatkan pendapatan
nelayan dan pemenuhan kebutuhan Kota Batam.
♦ Optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan untuk kesejahteraan
masyarakat melalui kegiatan perikanan, budidaya pantai dan kepariwisataan.
♦ Meminimalisasi dampak negatif dari kegiatan eksploitasi laut, pantai dan
pesisir untuk menjaga kelestarian sumberdaya laut dan mempertahankan
ekosistem pesisir yang ada, seperti biota laut, terumbu karang dan potensi
lainnya
♦ Peningkatan rehabilitasi sumberdaya alam berupa hutan, tanah dan air yang
rusak melalui pendekatan terpadu dan terkoordinasi.
♦ Peningkatan pendayagunaan daerah pantai dan daerah laut tanpa harus
merusak kualitas dan kelestarian lingkungan hidup.
♦ Mengharuskan pelaksanaan AMDAL bagi setiap kegiatan pembangunan yang
terkait dengan ekploitasi sumberdaya alam baik dilakukan oleh pemerintah
untuk kepentingan umum dan sosial maupun oleh masyarakat dan pengusaha
untuk kepentingan ekonomi. Selain itu perlu adanya pengawasan secara
konsisten dan berkesinambungan atas berbagai kegiatan pembangunan yang
berdampak terhadap lingkungan hidup
117
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang disusun oleh Pemko Batam
tersebut sangat bagus tetapi pada kenyataannya tidak dapat dilakukan dengan baik
karena adanya berbagai kepentingan tertentu yang kadang tidak memperdulikan
kebijakan-kebjakan yang ada sehingga menimbulkan ketidak-konsistenan antara
kebijakan yang telah dibuat dengan pelaksanaannya. Selain itu kebijakan yang
disusun tidak berdasarkan skala prioritas dimana dalam penyusunannya
membutuhkan analisis yang komprehensif dengan memperhatikan berbagai faktor
yang ada, baik faktor penghambat maupun faktor pendukung termasuk dukungan
dari ketersediaan data dan informasi yang akurat.
Arahan Kebijakan Umum
Pada prinsipnya, pembangunan apapun baik sektor industri maupun sektor
lainnya tidak boleh mengganggu kualitas lingkungan hidup, bahkan diupayakan
bagaimana dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mencapai
pembangunan lingkungan yang berlanjutan (sustainable development) dapat
dilaksanakan melalui program produk bersih (clean production) dan penerapan
teknologi ramah lingkungan (clean technology) yang berkelanjutan dengan tujuan
untuk mengurangi atau menghilangkan jumlah limbah atau emisi yang dihasilkan
dari suatu proses produksi. Hal ini bisa dicapai melalui penggunaan kembali
(reuse), daur ulang (recyle) dan pengambilan kembali (recovery) dari semua aliran
limbah, baik melalui fasilitas pengolahan limbah maupun pemanfaatan limbah
sebagai bahan baku untuk industri lainnya (Kusnoputranto, 1999).
Untuk itu dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya
pengelolaan lingkungan pesisir harus dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh
oleh setiap pelaku pembangunan baik pemerintah, industri dan masyarakat
sehinga dapat dicapai keselarasan dan keseimbangan antara manusia dan daya
dukung lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.
Adapun kebijakan-kebijakan yang perlu dikembangkan oleh pemerintah dalam
pengelolaan lingkungan di Kota Batam adalah:
118
♦ Perlu adanya keterpaduan dalam pengelolaan, yang melibatkan peran aktif
seluruh Stakeholder,
♦ Pemilihan lokasi pembangunan yang sesuai dengan penataan ruang,
♦ Pengurangan produksi limbah pada sumbernya (waste minimisation),
♦ Pencegahan pencemaran (pollution prevention),
♦ Pengolahan limbah (waste treatment)
♦ Penetapan dan penaatan baku mutu lingkungan,
♦ Penerapan teknologi ramah lingkungan (clean technology),
♦ Memelihara sumberdaya alam yang masih baik dan melakukan rehabilitasi
terhadap ekosistem yang telah mengalami kerusakan/pencemaran serta
melakukan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
Arahan Kebijakan Penanggulangan Dampak Pembangunan
Setiap kegiatan pembangunan akan menghasilkan limbah dan merupakan
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Yang mungkin dapat dikerjakan oleh
pelaku pembangunan antara lain adalah kompromi antara keperluan lahan untuk
pembangunan itu sendiri dan lahan yang cukup disediakan untuk menjaga
kelestarian lingkungan. Dampak pembangunan di Kota Batam yang telah terlihat
nyata adalah penggundulan hutan mangrove yang dikonversi menjadi lahan untuk
berbagai kepentingan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Yang sudah
terlanjur terjadi memang tidak bisa begitu saja dirubah menjadi sebaliknya.
Karena itu zona industri yang telah dibangun pada beberapa lokasi tetap
dipertahankan dengan upaya mencegah kemungkinan bertambah parahnya
kerusakan lingkungan dengan menekan dampak negatif yang mungkin dapat
ditimbulkannya.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman pohon
mangrove di sepanjang pantai yang hutannya sudah terlanjur dirusak. Kalau
penanaman berhasil, maka akar-akar mangrove tersebut akan mengikat tanah
pantai sehingga tidak mudah mengalami abrasi atau rusak dihantam gelombang.
119
Pulau Batam sebagai salah satu pulau yang ada di wilayah administrasi
Kota Batam, kelihatannya tidak bisa dipertahankan lagi dari aspek kelestarian
lingkungan karena sudah terlanjur dilanda kerusakan akibat pembangunan industri
yang terus berkembang di daerah ini. Karena itu apabila harus dikembangkan
industri maka diarahkan agar pemusatan industri dapat dilakukan di Pulau
Batam`ini dengan tetap meminimalisasi dampak yang lebih parah lagi terhadap
lingkungan hidup.
Bagian lain dari Kota Batam yaitu Pulau Rempang dan Galang juga
potensial untuk dikembangkan guna mendukung keperluan lahan bagi
pembangunan Kota Batam. Untuk tidak mengulangi kerusakan lingkungan
seperti yang telah terjadi di Pulau Batam maka perencanaan pembangunan di
kedua pulau tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan mempertimbangkan
aspek lingkungan demi tercapainya pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Diarahkan agar Pulau Rempang dan Galang dapat dijadikan daerah penyanggah
lingkungan, yang dimaksudkan untuk kepentingan kehidupan generasi sekarang
dan yang akan datang. Bilamana daerah ini mau dikembangkan untuk
kepentingan ekonomi maka harus dilakukan sangat hati-hati dan diarahkan hanya
pada pemanfaatan jasa lingkungan tanpa harus mengeksploitasi sumberdaya alam,
yang dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan. Untuk
itu maka bagi setiap usaha yang akan dilakukan harus dengan persyaratan lebih
ketat terhadap aspek kelestarian lingkungan. Hal ini perlu dilakukan karena
dukungan lingkungan yang dapat diandalkan untuk kehidupan masyarakat ke
depan ada pada daerah ini, kecuali apabila ada upaya yang sangat nyata dan
berhasil dalam melakukan perbaikan lingkungan pada kondisi daerah-daerah lain
di Kota Batam yang sebelumnya telah mengalami pencemaran dan kerusakan
lingkungan.
120
Arahan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pesisir Kota Batam
Sebagaimana dijelaskan dalam keterangan terdahulu, bahwa terjadinya
degradasi lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam diakibatkan oleh eksploitasi
lahan/kawasan untuk Sektor Industri dan sektor-sektor pendukungnya. Beberapa
permasalahan yang mempunyai kaitan erat dan menjadi faktor pemicu terjadinya
degradasi tersebut (kerusakan dan pencemaran lingkungan pesisir dan laut) secara
garis besar dapat dilihat dari isu tata ruang, pertanahan, lingkungan hidup,
kehutanan serta perikanan dan kelautan.
Isu-isu tersebut dipilih karena menjadi komponen utama, yang apabila
tidak diantisipasi dan dilakukan penanganannya maka akan semakin mendorong
rusak dan tercemarnya lingkungan pesisir dan laut Kota Batam. Isu pertanahan
dipilih karena terkait dengan pemanfaatan lahan yang terjadi secrara terus-
menerus dan tidak terkendalikan lagi. Isu tata ruang karena tidak digunakan
sebagaiamana mestinya dokumen tata ruang sebagai pedoman dalam pemanfaatan
ruang. Isu kehutanan karena banyaknya kawasan hutan khususnya kawasan
lindung pantai (green belt) yang pada umumnya berupa pepohonan mangrove
dirusak dan dikonversi menjadi peruntukkan lainnya, padahal seharusnya untuk
kepentingan masa depan, terutama terkait dengan fungsi hutan sebagai pelindung
dan pemasok zat-zat hara bagi biota di sekitarnya, penyerap gas-gas buangan
khususnya dari industri dan sebagai kawasan untuk cadangan air tanah (catchment
area). Isu lingkungan hidup serta isu kelautan dan perikanan karena hal-hal
tersebut di atas menimbulkan dampak terhadap kerusakan dan pencemaran
lingkungan hidup yang pada akhirnya akan bermuara ke wilayah pesisir dan laut
dan menimbulkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut
berupa rendahnya kualitas air dan rusaknya ekosistem pesisir (mangrove, padang
lamun dan terumbu karang) serta akan menurunkan produktivitas sumberdaya
perikanan yang pada gilirannya akan menurunkan pendapatan masyarakat yang
menggantungkan hidupnya pada ketersediaan sumberdaya yanga ada di wilayah
pesisir dan laut.
121
Hal-hal tersebut muncul karena adanya kekurang-tanggapan dalam
melakukan pendekatan dan strategi pembangunan, ketidakselarasan antara
kebijakan dan implementasinya pada berbagai bidang pembangunan di Kota
Batam.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas, maka Pemerintah Kota Batam
bersama-sama dengan masyarakat dan dunia usaha perlu secara serius harus dapat
melaksanakan pembangunan dan menyelenggarakan Pemerintahan Kota Batam
dengan baik. Untuk mendukung hal tersebut maka semua itu harus dilakukan
secara berencana, bertahap dan berkelanjutan berdasarkan kebijakan yang holistik
dengan memasukan adanya unsur-unsur kepentingan pelestarian lingkungan
hidup, yang dimulai dari proses perencanaan sampai implementasi dari kebijakan
tersebut. Adanya kebijakan yang holistik ini menjadi dasar dalam melaksanakan
pengelolaan lingkungan secara terpadu, termasuk didalamnya pengelolaan
wilayah pesisir.
Pengelolaan wilayah pesisir Kota Batam harus diarahkan pada segala upaya
terpadu dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi,
termasuk di dalamnya terdapat pelestarian serta pencegahan dan pengendalian
kerusakan dan pencemaran lingkungan pesisir dan laut. Bengen (2001) menjelaskan
bahwa keterpaduan perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir ini mencakup
empat aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektor;
(3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholder.
a. Keterpaduan wilayah/ekologis
Di wilayah pesisir, air adalah daya yang mempersatukan sistem
sumberdaya, karena air memiliki mekanisme sebagai interface daratan dan lautan.
Dalam penataan ruangnya harus mempertimbangkan interaksi yang terjadi di batas
laut dan daratan dan mensyaratkan bahwa sistem di wilayah hulu, wilayah daratan,
wilayah pasang surut, wilayah perairan dangkal, serta wilayah perairan laut lepas
dikelola sebagai satu kesatuan yang integral.
Berbagai dampak lingkungan pada kawasan pesisir dan laut adalah akibat
dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di
122
lahan atas seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, permukiman dan
lainnya. Demikian juga dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti
kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut. Oleh karena itu
keterkaitan antar wilayah (ekologis) yang ada pada wilayah peisisir harus selalu
diperhatikan.
b. Keterpaduan sektor
Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di
wilayah pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku
pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Akibatnya
sering terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut antar
sektor dengan sektor lainya. Oleh karena itu diperlukan integrasi kepentingan
semua sektor terkait agar pengelolaan pesisir dan laut dapat lebih optimal dan
berkesinambungan.
c. Keterpaduan disiplin ilmu
Pesisir adalah wilayah yang unik karena dalam konteks bentang alam,
wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan sehingga tentu
memiliki sifat dan karakteristik ekosisitem di dalamnya, baik sumberdaya
alamnya maupun sosial budaya masyarakatnya. Dengan demikian pola
perencanaan pengelolaan maupun pemanfaatan ekosisitem dan sumberdaya pesisir
membutuhkan keterpaduan disiplin ilmu, misalnya oseanografi, ekologi,
keteknikan, hukum, sosiologi, ekonomi dan sebagainya.
d. Keterpaduan stakeholder
Semua keterpaduan di atas akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh
keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di kawasan pesisir dan laut.
Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus mampu mengakomodir
segenap kepentingan stakeholders (pemerintah, swasta dan masyarakat umum)
123
yang memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut
dengan pedekatan dari atas (top down) dan dari bawah (bottom up).
Pada dasarnya pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah bagian dari
lingkungan hidup. Sebagaimana pemikiran di atas adalah sejalan dengan prinsip
dasar dalam pengelolaan lingkungan hidup, seperti disebutkan dalam Undang-
undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana
dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup, yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup. Pada bagian yang lain bahkan disebutkan bahwa
pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan
ruang, perlindungan sumberdaya alam non-hayati, perlindungan sumberdaya
buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya,
keanekaragaman hayati dan perubahan iklim (KLH, 1998).
Manfaat dan urgensi pengelolaan secara terpadu adalah untuk
mengembangkan strategi optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan potensi
sumberdaya laut dan pantai secara efektif dan efisien dengan menerapkan azas
pengelolaan berikut: (1) desentralisasi dan partisipasi riil; (2) keterpaduan dan
keserasian serta (3) efisiensi, efektivitas dan flesibilitas dalam pola berkelanjutan.
Fungsi pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu adalah untuk
memadukan dan menserasikan pengelolaan yang memungkinkan adanya koordinasi
antar instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang memberikan
prinsip dasar dalam penentuan kebijaksanaan startegis, teknis dan operasional.
Arahan Strategi Pengelolaan
Dalam rangka menangani isu dan permasalahan seperti yang telah
disebutkan di atas maka perlu disusun strategi-strategi yang akan berguna untuk
melakukan pengelolaan lingkungan di Kota Batam, khususnya dalam kaitannya
dengan upaya menekan sekecil mungkin dampak negatif yang terjadi dari
aktivitas industri dan pengembangannya terhadap lingkungan serta sumberdaya
alam pesisir dan laut.
124
Untuk menyusun strategi pengelolaan dimaksud digunakan analisis
SWOT. Dalam analisis SWOT terlebih dahulu dilakukan penentuan komponen
pembentuk strategi, yang terdiri dari faktor internal (kekuatan dan kelemahan)
dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) seperti diuraikan sebagai berikut:
Kekuatan (Strengths)
1) Letak geografis Kota Batam yang strategis di perairan internasional serta
sebagai salah satu pintu gerbang masuk ke Indonesia yang mempermudah
akses dari Indonesia ke luar negeri atau sebaliknya, khususnya dilihat
terhadap:
♦ Selat Malaka sebagai salah satu jalur perdagangan terpadat di dunia
♦ Posisi Singapura sebagai salah satu pusat kegiatan perdagangan/bisnis
dunia
♦ Kawasan ASEAN dan negara-negara di Asia Timur/Asia-Fasifik (Jepang,
Hongkong, Korsel, USA dan lain-lain).
Lokasi yang sangat strategis ini telah mampu memberikan keunggulan
komparatif terhadap segenap potensi sumberdaya alam (SDA) wilayah, baik
yang ada di Kota Batam maupun Kabupaten-kabupaten lain yang ada di
sekitarnya.
2) Ketersedian sumberdaya alam yang cukup potensial.
♦ Kota Batam memiliki lahan yang masih cukup luas di luar Pulau Batam,
yaitu di Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, Pulau Bulan
dan pulau-pulau lain yang lebih kecil. Lahan yang cukup luas ini dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai kegiatan yang bernilai
ekonomi tinggi, seperti industri, perdagangan dan jasa, perumahan,
pariwisata dan lain-lain.
♦ Kota Batam memiliki wilayah pesisir dan perairan laut yang cukup luas
yang menyimpan potensi perikanan (perikanan tangkap maupun budidaya)
dan kelautan. Perkembangan wilayah yang pesat dan posisinya yang
strategis terhadap wilayah perairan laut sekitar menjadikan Kota Batam
125
sangat potensial dikembangkan wisata bahari (ecotourism) serta sebagai
pusat industri hasil-hasil kelautan
3) Adanya dukungan dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah, termasuk peraturan daerah (perda) yang terkait dengan
pengelolaan lingkungan hidup dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kota
Batam serta adanya kebijakan dari Otorita Batam tentang industri yang
berpotensi dikembangkan di Kota Batam harus memenuhi negative list.
Industri-industri yang dianjurkan dikembangkan di Kota Batam, seperti
industri ringan, sedang dan berat yang berorientasi ekspor; menggunakan
teknologi menengah sampai tinggi; intensif (padat) modal; menggunkan
tenaga ahli; tingkat konsumsi air sedikit dan tidak menyebabkan pencemaran
(polusi).
4) Adanya institusi di Pemerintah Kota Batam yang menangani pengelolaan
lingkungan hidup termasuk pengelolaan lingkungan pesisir dan laut, yaitu
Bapedal Kota Batam serta adanya lembaga yang menangani pembangunan
kelautan dan perikanan di Kota Batam, yaitu Dinas Kelautan, Perikanan dan
Pertanian Kota Batam.
5) Masih adanya sebagian wilayah Kota Batam yang kondisi lingkungannya
masih relatif lebih baik di bandingkan yang lainnya, yaitu di Kecamatan
Galang, yang berguna untuk kepentingan ke depan khususnya terkait dengan
fungsi sebagai penyerap air hujan dan penyedia air tawar (catchment area).
Secara ringkas ke-5 komponen yang termasuk dalam faktor kekuatan
diberi simbol secara berurutan, yaitu S1, S2, S3, S4 dan S5.
Kelemahan (Weaknesses)
1) Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap kelestarian
lingkungan dan sumberdaya pesisir dan laut yang disebabkan oleh
pengetahuan masyarakat secara umum relatif masih rendah.
2) Tidak digunakannya Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kota Batam
sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang daratan untuk berbagai kepentingan
serta belum adanya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Pesisir
126
yang memperhatikan aspek konservasi dan pemanfaatan lestari sumberdaya
pesisir dan lautan.
3) Masih kurangnya sosialisasi terhadap kebijakan-kebijakan yang terkait
derngan pelestarian lingkungan.
4) Rendahnya tingkat pengetahuan dan ketrampilan nelayan yang membuat
diversifikasi usaha tidak mudah untuk dilakukan khususnya pada saat
produktivitas perikanan laut sedang menurun yang disebabkan oleh
terbatasnya penguasaan terhadap usaha kecil, menegah dan koperasi (UKM)
terutama terkait dengan berbagai faktor produksi dan informasi pasar dalam
hubungannya dengan upaya pemberdayaan ekonomi rakyat. Faktor-faktor
produksi yang dimaksud mencakup akses pada lahan/potensi sumberdaya
alam, permodalan, teknologi dan manajemen usaha.
5) Adanya industri-industri yang sebenarnya tidak dianjurkan dikembangkan di
Kota Batam, seperti padat karya, kimia, textil serta perabotan dari rotan dan
kayu.
6) Belum adanya basis data tentang potensi sumberdaya pesisir dan laut.
7) Pelaksanaan koordinasi masih lemah.
8) Sebaran penduduk yang tidak merata antara Pulau Batam dan pulau-pulau di
sekitarnya.
9) Lemahnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan penegakkan
hukum terhadap pelaku pencemaran dan perusakan sumberdaya alam yang ada
di wilayah pesisir.
Faktor kelemahan yang terdiri dari 9 komponen tersebut diberi simbol W1,W2 ,W3, W4, W5, W6, W7, W8 dan W9.
Peluang (Opportunities)
1) Adanya kemungkinan merubah pola pikir masyarakat untuk peduli terhadap
kelestarian lingkungan dan sumberdaya pesisir dan laut
2) Adanya sebagian industri yang mengikuti aturan pemerintah dalam
pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dalam kaitannya dengan pengelolaan
limbah industri.
127
3) Adanya perhatian dunia internasional dalam pengendalian pencemaran laut di
perairan sekitar Kota Batam, seperti di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka.
4) Adanya perhatian negara lain dalam melakukan implementasi pengelolaan
lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam dan daerah sekitarnya. Salah satu
contohnya seperti yang dilakukan dalam kerjasama antara Pemerintah
Indonesia dengan Norwegia.
5) Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan akan meningkatkan kemandirian
Pemerintah Kota Batam dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
penyelenggaraan pembangunan.
6) Letak strategis Kota Batam apabila dikelola dengan baik akan memberikan
manfaat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun peningkatan
kualitas SDM terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan SDA secara
lestari.
Dari ke-6 komponen yang termasuk dalam faktor peluang diberi simbol O1, O2, O3, O4, O5 dan O6.
Ancaman (Threats)
1) Pulau Batam sebagai pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan
lingkungan.
2) Adanya penyebaran polutan dari negara-negara sekitarnya (terutama dari
Singapura dan Malaysia) yang disebabkan oleh pergerakan arus air laut turut
andil terhadap terjadinya degradasi lingkungan perairan pesisir dan laut Kota
Batam.
3) Adanya orientasi jangka pendek dari kalangan industri yang hanya mengejar
keuntungan ekonomi semata tanpa memperdulikan dampak negatif terhadap
lingkungan yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan laut
4) Adanya pembukaan lahan yang tak terkendali di daratan yang dipicu oleh
kebutuhan untuk perluasan Sektor Industri dan sektor-sektor pendukung
lainnya.
♦ Sekitar 2 731.60 hektar kawasan hutan lindung dan hutan wisata
dikonversi dan beralih fungsi serta adanya reklamasi pantai yang
dilakukan secara terus-menerus khususnya yang dilakukan melalui
128
konversi kawasan mangrove untuk pengembangan Sektor Industri dan
sektor-sektor pendukungnya. Hal ini dapat mempengaruhi peningkatan
partikel-partikel sedimen di perairan pantai apabila terkena aliran air
hujan, yang pada akhirnya dapat mengancam keberadaan ekosistem pesisir
dan laut karena mengganggu proses fotosintesis dan menutupi padang
lamun dan karang hidup serta mengakibatkan turunnya produktivitas
perikanan pantai.
♦ Berubahnya kawasan resapan air menjadi kawasan industri dan bisnis,
permukiman dan sebagainya yang menimbulkan penurunan daya dukung
lingkungan di kawasan tersebut.
5) Belum optimalnya pengelolaan lingkungan oleh Sektor Industri sehingga
memberikan kontribusi pada penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut.
♦ Dari sekitar 575 perusahaan industri dan pariwisata dan sebagainya yang
ada di Batam apabila tidak dikelola dengan baik akan memberikan
kontribusi terhadap pencemaran lingkungan yang cukup tinggi, apalagi
baru sekitar 139 perusahaan yang melakukan kegiatannya dilengkapi
dengan dokumen AMDAL/Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)
maupun Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dan terindikasi baru
sekitar 25% industri yang melakukan pengelolaan lingkungan hidupnya
dengan baik.
♦ Dari sekitar 24 kawasan industri, baru sekitar 4 kawasan industri yang
dilengkapi studi AMDAL dan hanya satu kawasan industri yang memiliki
IPAL sehingga rawan terhadap terjadinya pencemaran.
♦ Masih banyak ditemui pembuangan limbah cair dari industri yang
langsung ke perairan pantai atau media lingkungan lainnya tanpa melalui
proses pengelolaan limbah terlebih dahulu.
6) Adanya perkembangan industri yang pesat akan memicu terjadinya degradasi
lingkungan dan SDA karena dikhawatirkan terjadi ekspoitasi SDA yang tak
terkendali dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan pasar akibat adanya
permintaan yang tinggi.
7) Adanya konflik pemanfaatan lahan sebagai akibat adanya dua lembaga
pemerintah di Kota Batam yang masing-masing secara hukum sah
129
keradaannya, yaitu Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam. Hal ini
banyak menimbulkan terjadinya kerancuan dan tumpang-tindih kepentingan
yang pada akhirnya membawa dampak negatif terhadap kondisi lingkungan
pesisir.
Untuk ke-7 komponen yang termasuk faktor ancaman selanjutnya diberi simbol T1, T2, T3, T4, T5, T6 dan T7. Penentuan urutan prioritas dari strategi pengelolaan yang dipilih
Untuk menentukan urutan prioritas dari seluruh strategi yang ada
dilakukan dengan pemberian bobot pada masing-masing komponen pembentuk
strategi, yang dalam hal ini terdiri dari komponen-komponen yang termasuk
dalam faktor internal, meliputi kekuatan (S1, S2, S3, S4, S5) dan kelemahan
(W1,W2 ,W3, W4, W5, W6, W7, W8, W9) serta faktor eksternal yang terdiri dari
peluang (O1, O2, O3, O4, O, O6) dan ancaman (T1, T2, T3, T4, T5, T6, T7)
seperti Tabel 47 dan 48. Kisaran nilai bobot ditentukan antara 1 sampai dengan 3
yang didasarkan pada derajat kepentingan dari komponen tersebut. Komponen
yang paling penting diberi nilai bobot yang paling tinggi, yaitu 3. Komponen ini
merupakan komponen yang memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut secara
berkelanjutan. Untuk komponen yang paling kecil diberi nilai bobot 1, yang
menggambarkan bahwa keberadaannya (ada/tidak ada) tidak mempunyai
kontribusi yang signifikan. Sedangkan komponen yang dikategorikan penting
adalah komponen yang tidak didefinisikan sebagai komponen yang sangat penting
dan tidak penting dan diberi nilai bobot 2.
130
Tabel 47 Pembobotan faktor internal dengan analisis SWOT
Kekuatan (S) Bobot Kelemahan (W) BobotS1. Letak geografis Kota
Batam yang strategis
3 W1. Masih rendahnya kesadaran
masyarakat untuk peduli terhadap kelestarian lingkungan dan sumberdaya pesisir dan laut
3
S2. Ketersedian sumberdaya alam yang cukup potensial
3
W2. Tidak digunakannya Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kota Batam sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang
3
S3. Adanya dukungan dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup
2
W3. Masih kurangnya sosialisasi terhadap kebijakan-kebijakan yang terkait derngan pelestarian lingkungan
2
S4. Adanya institusi di Pemerintah Kota Batam yang menangani pengelolaan lingkungan hidup termasuk pengelolaan lingkungan pesisir dan laut serta adanya lembaga yang menangani pembangunan kelautan dan perikanan di Kota Batam
2
W4. Rendahnya tingkat pengetahuan dan ketrampilan nelayan dalam melakukan diversifikasi usaha
2
S5. Masih adanya sebagian wilayah Kota Batam yang kondisi lingkungannya masih relatif lebih baik
3
W5. Adanya industri-industri yang sebenarnya tidak dianjurkan dikembangkan di Kota Batam
3
W6. Belum adanya basis data tentang potensi sumberdaya pesisir dan laut
2
W7. Pelaksanaan koordinasi masih lemah
3
W8. Sebaran penduduk yang tidak merata antara Pulau Batam dan pulau-pulau di sekitarnya
1
W9. Lemahnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan penegakkan hukum
2
131
Tabel 48 Pembobotan faktor eksternal dengan analisis SWOT
Peluang (O) Bobot Ancaman (T) BobotO1. Adanya kemungkinan
merubah pola pikir masyarakat untuk peduli terhadap kelestarian lingkungan dan sumberdaya pesisir dan laut
2
T1. Pulau Batam sebagai pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan lingkungan
3
02. Adanya sebagian industri yang mengikuti aturan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup
2
T2. Adanya penyebaran polutan dari negara-negara sekitarnya yang disebabkan oleh pergerakan arus air laut
1
O3. Adanya perhatian dunia internasional dalam pengendalian pencemaran laut di perairan sekitar Kota Batam
1
T3. Adanya orientasi jangka pendek dari kalangan industri yang hanya mengejar keuntungan ekonomi semata tanpa memperdulikan dampak negatif terhadap lingkungan
2
O4. Adanya perhatian negara lain dalam melakukan implementasi pengelolaan lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam dan daerah sekitarnya
1
T4. Adanya pembukaan lahan yang tak terkendali di daratan yang dipicu oleh kebutuhan untuk perluasan Sektor Industri dan sektor-sektor pendukung lainnya
2
O5. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan akan meningkatkan kemandirian Pemerintah Kota Batam dalam pengelolaan sumberdaya alam dan penyelenggaraan pembangunan
3
T5. Belum optimalnya pengelolaan lingkungan oleh Sektor Industri sehingga memberikan kontribusi pada penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut
3
O6. Letak strategis Kota Batam apabila dikelola dengan baik akan memberikan manfaat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas SDM terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan SDA secara lestari
2
T6. Adanya perkembangan industri yang pesat akan memicu terjadinya degradasi lingkungan dan SDA
2
T7. Adanya konflik pemanfaatan lahan
2
132
Langkah selanjutnya adalah menentukan strategi-startegi dengan
memadukan komponen-komponen SWOT, yaitu antara IFAS dengan EFAS yang
merupakan komponen pembentuk strategi tersebut seperti dalam Tabel 49.
Tabel 49 Strategi dan komponen pembentuknya dalam analisis SWOT
IFAS
EFAS
Kekuatan (S1, S2, S3, S4, S5)
Kelemahan (W1, W2, W3, W4, W5, W6,
W7, W8, W9)
Peluang (O1, O2, O3, O4,
O5, O6)
1. Peningkatan kualitas SDM (S1, S2, S3, O5, O6) 2. Pengembangan kawasan industri secara terpadu yang dilengkapi dengan sistem pembunagan limbah yang baik (S2, S3, O1, O2) 3. Pencegahan dan pengendalaian pencemaran laut oleh industri yang dilakukan secara terpadu dan terencana (S3, S4, O3, O4, O5) 4. Peningkatan mekanisme dan efektifitas koordinasi dari mulai perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi dalam rangka menghindari adanya konflik pemanfaatan SDA dan tumpang tindih kepentingan (S2, S4, O1, O3, O4) 5. Penguatan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia di Kota Batam (S3, S4, O1) 6. Penggalangan kerjasama kemitraan dengan kalangan industri dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam (S4, S5, O2, O3, O4)
1. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (W4, O5, O6) 2. Pencegahan dan pengendalaian pencemaran laut oleh industri yang dilakukan secara terpadu dan terencana (W1, W3, W5, W8, O3, O4, O5) 3. Peningkatan mekanisme dan efektifitas koordinasi dari mulai perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi dalam rangka menghindari adanya konflik pemanfaatan SDA dan tumpang tindih kepentingan (W7, O1, O3, O4) 4. Penguatan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia di Kota Batam (W1, O1) 5. Penggalangan kerjasama kemitraan dengan kalangan industri dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam (W3, O2, O3, O4) 6. Mengupayakan pola pemanfaatan ruang yang serasi dengan rencana tata ruang Kota Batam antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya (W2, W9, O6)
133
Tabel 49 (Lanjutan)
IFAS
EFAS
Kekuatan (S1, S2, S3, S4, S5)
Kelemahan (W1, W2, W3, W4, W5, W6,
W7, W8, W9)
Peluang (O1, O2, O3, O4,
O5, O6)
7. Mengupayakan pola pemanfaatan ruang yang serasi dengan rencana tata ruang Kota Batam antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya (S2, S3, O6) 8. Peningkatan pengawasan dan pemantauan yang dilakukan secara teratur terhadap pembuangan limbah industri serta melakukan penegakkan hukum secara tegas (S3, S4, O3, O5) 9. Pengembangan Sistem Informasi Lingkungan (Environmental Information System) dalam bentuk menyediaan basis data yang mutakhir (S2, O3, O4, O5) 10. Menyusun tata ruang pesisir dan laut yang berada dalam kewenangan Pemerintah Kota Batam untuk kepentingan pembagian zonasi terhadap berbagai peruntukan (S2, O3, O4)
7. Peningkatan pengawasan dan pemantauan yang dilakukan secara teratur terhadap pembuangan limbah industri serta melakukan penegakkan hukum secara tegas (W9, O3, O5) 8. Pengembangan Sistem Informasi Lingkungan (Environmental Information System) dalam bentuk menyediaan basis data yang mutakhir (W6, O3, O4, O5) 9. Menyusun tata ruang pesisir dan laut yang berada dalam kewenangan Pemerintah Kota Batam untuk kepentingan pembagian zonasi terhadap berbagai peruntukan (W2, O3, O4) 10. Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup pada umumnya dan lingkungan pesisir dan laut pada khsusunya (W1, W3, O1, O2)
Ancaman
(T1, T2, T3, T4, T5, T6, T7)
1. Pengembangan kawasan industri secara terpadu yang dilengkapi dengan sistem pembunagan limbah yang baik (S2, S3, T4, T5) 2. Pencegahan dan pengendalaian pencemaran laut oleh industri yang dilakukan secara terpadu dan terencana (S3, S4, T1, T2, T3, T5, T6)
1. Pencegahan dan pengendalaian pencemaran laut oleh industri yang dilakukan secara terpadu dan terencana (W1, W3, W5, W8, T1, T2, T3, T5, T6) 2. Peningkatan mekanisme dan efektifitas koordinasi dari mulai perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi dalam rangka menghindari adanya konflik pemanfaatan SDA dan tumpang tindih kepentingan (W7, T1, T7)
134
Tabel 49 (Lanjutan)
IFAS
EFAS
Kekuatan (S1, S2, S3, S4, S5)
Kelemahan (W1, W2, W3, W4, W5, W6,
W7, W8, W9)
Ancaman (T1, T2, T3, T4,
T5, T6, T7)
3. Peningkatan mekanisme dan efektifitas koordinasi dari mulai perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi dalam rangka menghindari adanya konflik pemanfaatan SDA dan tumpang tindih kepentingan (S2, S4, T1, T7) 4. Penguatan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia di Kota Batam (S3, S4, T3, T5, T6) 5. Penggalangan kerjasama kemitraan dengan kalangan industri dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam (S4, S5, T1, T2, T3, T5, T6) 6. Mengupayakan pola pemanfaatan ruang yang serasi dengan rencana tata ruang Kota Batam antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya (S2, S3, T4) 7. Menekan sekecil mungkin upaya pengembangan industri melalui pembukaan lahan yang dilakukan dengan merusak kawasan lindung, reklamsi pantai dengan mengkonversi kawasan mangrove atau sempadan pantai (S2, S5, T1, T4, T6)
3. Penguatan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia di Kota Batam (W1, T3, T5, T6) 4. Penggalangan kerjasama kemitraan dengan kalangan industri dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam (W3, T1, T2, T3, T5, T6) 5. Mengupayakan pola pemanfaatan ruang yang serasi dengan rencana tata ruang Kota Batam antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya (W2, W9, T4) 6. Menekan sekecil mungkin upaya pengembangan industri melalui pembukaan lahan yang dilakukan dengan merusak kawasan lindung, reklamsi pantai dengan mengkonversi kawasan mangrove atau sempadan pantai (W2, W3, W6, T1, T4, T6) 7. Melakukan inventarisasi jumlah dan jenis industri serta sistem pembuangan limbahnya terutama terhadap industri-industri terutama yang didirikan di wilayah pesisir yang berpotensi besar dapat menimbulkan terjadinya pencemaran dan perusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam (W5, W6, T5)
135
Tabel 49 (Lanjutan)
IFAS
EFAS
Kekuatan (S1, S2, S3, S4, S5)
Kelemahan (W1, W2, W3, W4, W5, W6,
W7, W8, W9)
Ancaman (T1, T2, T3, T4,
T5, T6, T7)
8. Pengembangan industri kususnya di Kecamatan Galang (Pulau Rempang dan Pulau Galang) diarahkan pada industri yang ramah lingkungan dengan menghindari melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang dapat menimbulkan degradasi lingkungan (S5, T1) 9. Peningkatan pengawasan dan pemantauan yang dilakukan secara teratur terhadap pembuangan limbah industri serta melakukan penegakkan hukum secara tegas (S3, S4, T5) 10. Pengembangan Sistem Informasi Lingkungan (Environmental Information System) dalam bentuk menyediaan basis data yang mutakhir (S2, T2, T6, T7) 11. Menyusun tata ruang pesisir dan laut yang berada dalam kewenangan Pemerintah Kota Batam untuk kepentingan pembagian zonasi terhadap berbagai peruntukan (S2, T1, T6, T7)
8. Peningkatan pengawasan dan pemantauan yang dilakukan secara teratur terhadap pembuangan limbah industri serta melakukan penegakkan hukum secara tegas (W9, T5) 9. Pengembangan Sistem Informasi Lingkungan (Environmental Information System) dalam bentuk menyediaan basis data yang mutakhir (W6, T2, T6, T7) 10. Menyusun tata ruang pesisir dan laut yang berada dalam kewenangan Pemerintah Kota Batam untuk kepentingan pembagian zonasi terhadap berbagai peruntukan (W2, T1, T6, T7) 11. Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup pada umumnya dan lingkungan pesisir dan laut pada khsusunya (W1, W3, T5, T6)
Berdasarkan tabel di atas kemudian dapat disusun sebanyak 14 strategi
pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam seperti dapat dilihat pada Tabel 50.
Dari ke-14 strategi yang diperoleh maka dengan menjumlahkan nilai bobot dari
seluruh komponen pembentuk setiap strategi dapat ditentukan urutan prioritas dari
strategi- strategi tersebut.
136
Tabel 50 Komponen dan bobot pembentuk strategi dalam analisis SWOT Komponen dan bobot pembentuk strategi
Strategi Komponen Nilai bobot
Strategi 1. S1, S2, S3, W4, O5, O6 15
Strategi 2. S2, S3, O1, O2, T4 , T5 14
Strategi 3. S3, S4, W1, W3, W5, W8, O3, O4, O5, T1, T2, T3, T5, T6
29
Strategi 4. S2, S4, W7, O1, O3, O4, T1, T7 17
Strategi 5. S3, S4, W1, O1, T3, T5, T6 16
Strategi 6. S4, S5, W3, O2, O3, O4, T1, T2, T3, T5, T6 22
Strategi 7. S2, S3, W2, W9, O6, T4 14
Strategi 8. S2, S5, W2, W3, W6, T1, T4, T6 20
Strategi 9. W5, W6, T5 8
Strategi 10. S5, T1 6
Strategi 11. S3, S4, W9, O3, O5, T5 13
Strategi 12. S2, W6, O3, O4, O5, T2, T6, T7 15
Strategi 13. S2, W2, O3, O4, T1, T6, T7 15
Strategi 14. W1, W3, O1, O2, T5, T6 14
Dengan melihat nilai bobot seperti dalam Tabel 50 maka urutan prioritas
dari strategi yang perlu dilakukan dalam rangka pengelolaan lingkungan pesisir
dan laut Kota Batam berdasarkan kajian dampak dari kegiatan industri dan
pengembangannya adalah sebagai berikut:
Prioritas 1: Pencegahan dan pengendalaian pencemaran laut oleh industri
yang dilakukan secara terpadu dan terencana dengan
dukungan peraturan perundang-undangan, kebijakan
pemerintah dan kelembagaan pengelola serta SDM yang
berkualitas.
Prioritas 2: Penggalangan kerjasama kemitraan dengan kalangan industri
dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran dan
kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam, termasuk
dalam upaya melakukan perlindungan dan konservasi SDA
dan lingkungan yang kondisinya masih relatif baik.
137
Prioritas 3: Menekan sekecil mungkin upaya pengembangan industri yang
umumnya dilakukan melalui pembukaan lahan dengan
merusak kawasan lindung, reklamasi pantai dengan
mengkonversi kawasan mangrove atau sempadan pantai, serta
menghindari pembukaan lahan di kawasan tangkapan air
(catchment area) dan yang rentan terhadap perubahan
lingkungan.
Prioritas 4: Peningkatan mekanisme dan efektifitas koordinasi dari mulai
perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi
dalam rangka menghindari adanya konflik pemanfaatan
sumberdaya alam dan tumpang tindih kepentingan.
Mengingat terdapat dua lembaga pemerintah di Kota Batam
yang masing-masing secara hukum sah keberadaannya
(Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam) sehingga untuk
menghindari tumpang-tindih kepentingan yang akan
membawa dampak negatif terhadap lingkungan pesisir maka
diperlukan adanya koordinasi menyangkut kejelasan dan
kepastian pembagian kewenangan dan tanggung jawab (siapa,
berbuat apa, mengapa, dimana dan kapan). Hal ini diperlukan
agar bisa saling mengisi dan bukannya saling kontradiksi
dengan didukung oleh adanya kebijakan-kebijakan
pengelolaan lingkungan pesisir secara komprehensif untuk
semua sektor pembangunan, termasuk didalamnya
keterpaduan antar sektor dan lembaga terkait yang ada di Kota
Batam. Keterpaduan ini perlu dilakukan dari mulai proses
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan
(termasuk pengawasan) dan evaluasi dari kebijakan yang ada
serta kebijakan yang disusun harus diarahkan untuk
kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada saat
ini dan untuk generasi yang akan datang.
138
Prioritas 5: Penguatan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dan
sumberdaya manusia di Kota Batam yang terkait dengan
pengelolaan lingkungan pesisir, termasuk didalamnya
kelembagaan masyarakat yang peduli terhadap lingkungan
pesisir dan laut (kelompok masyarakat/lembaga swadaya
masyarakat, perguruan tinggi, dan swasta/pengusaha).
Kelembagaan masyarakat ini harus dapat berperan aktif
bersama-sama pemerintah daerah dalam melakukan
pengawasan dan mencegah lingkungan yang masih relatif baik
serta memperbaiki kondisi lingkungan yang telah mengalami
degradasi.
Prioritas 6: a) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka
penguasaan pengetahuan dan ketrampilan baik melalui
jalur formal maupun informal seperti melalui pendidikan
atau pelatihan untuk mendukung perwujudan Kota Batam
sebagai pusat pengembangan industri hasil kelautan yang
dikelola secara profesional dalam rangka pemberdayaan
ekonomi masyarakat khususnya yang bermata pencaharian
sebagai nelayan.
b) Pengembangan Sistem Informasi Lingkungan
(Environmental Information System) dalam bentuk
menyediaan basis data yang mutakhir untuk memberikan
informasi secara berkala mengenai kondisi SDA dan
lingkungan hidup pada umumnya serta lingkungan pesisir
dan laut pada khususnya.
c) Penyusunan tata ruang pesisir dan laut yang berada dalam
kewenangan Pemerintah Kota Batam untuk kepentingan
pembagian zonasi bagi berbagai peruntukan sehingga
diharapkan dapat memperkecil dampak kerugian ekologi
dan sosial-ekonomi.
139
Prioritas 7: a) Pengembangan kawasan industri secara terpadu yang
dilengkapi dengan sistem pembungan limbah yang baik
serta dilakukan berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan kebijakan pemerintah.
b) Mengupayakan pola pemanfaatan ruang yang serasi
dengan rencana tata ruang Kota Batam antara satu kegiatan
dengan kegiatan lainnya dengan harapan akan tetap
terjaganya kelestarian lingkungan.
c) Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya
pengelolaan lingkungan hidup pada umumnya serta
lingkungan pesisir dan laut pada khsusunya bagi generasi
sekarang dan generasi yang akan datang dengan
melakukan pembinaan kepada masyarakat dan penanggung
jawab usaha (perusahaan).
Prioritas 8: Peningkatan pengawasan dan pemantauan yang dilakukan
secara teratur terhadap pembuangan limbah industri serta
melakukan penegakan hukum secara tegas dengan
memberikan penghargaan (reward) terhadap industri-industri
yang mengikuti aturan dengan baik serta memberikan sanksi
kepada industri-industri yang menimbulkan pencemaran dan
kerusakan lingkungan.
Prioritas 9: Penataan dan pengaturan sistem pengelolaan limbah industri
dengan melakukan inventarisasi jumlah dan jenis industri
serta sistem pembuangan limbahnya terutama terhadap
industri-industri yang didirikan di wilayah pesisir yang
berpotensi besar dapat menimbulkan terjadinya pencemaran
dan kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kota Batam.
Sebagai gambaran ancaman dari salah satu industri yang
potensial memberikan pengaruhnya langsung terhadap
kualitas dan kehidupan biota pantai/laut di Kota Batam adalah
dari kegiatan industri kapal atau galangan kapal (shipyard)
140
karena umumnya lokasi industri ini langsung berada di
pinggir pantai sehingga limbah dari operisonal rutinnya
mengakibatkan terjadinya pencemaran di pesisir dan laut.
Pada umumnya limbah dari aktivitas industri ini tidak
dikelola dengan baik, bahkan biasanya langsung dibuang ke
perairan pantai di sekitarnya. Selain itu, strategi ini
diperlukan dalam rangka meminimalkan dampak negatif
industri terhadap lingkungan pesisir dan laut Kota Batam
terutama di wilayah padat industri, seperti di Kecamatan Sei
Beduk, Kecamatan Nongsa, Kecamatan Sekupang,
Kecamatan Lubuk Baja dan Kecamatan Batu Ampar.
Prioritas 10: Pengembangan industri kususnya di Kecamatan Galang
(Pulau Rempang dan Pulau Galang) diarahkan pada industri
yang ramah lingkungan dengan melakukan pengolahan hasil
pertanian dan perikanan serta jasa-jasa lingkungan pesisir dan
laut, dengan menghindari melakukan eksploitasi sumberdaya
alam yang dapat menimbulkan degradasi lingkungan.
141
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Kegiatan industri dan pengembangannya yang ada di Kota Batam
membawa dampak positif terhadap tumbuhnya sektor-sektor lainnya. Beberapa
jenis industri yang ada di Kota Batam meliputi industri kapal (shipyard),
elektronika, plastik dan barang dari plastik, barang dari logam, garmen dan tekstil,
bahan kimia, kertas dan barang dari kertas, gelas dan barang dari gelas,
pengolahan kayu, pengolahan tanah liat dan pasir, pengolahan barang dari karet,
bengkel dan jasa pendukung, alat angkat dan jasa perbaikan, jasa industri dan
rekayasa industri, makanan, minuman, furniture, percetakan, penerbitan dan
periklanan.
Adanya aktivitas industri dan pengembangannya ternyata membawa
dampak negatif terhadap lingkungan hidup berupa penurunan kualitas lingkungan,
seperti terjadinya degradasi sumberdaya pesisir dan laut. Berdasarkan hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara umum kondisi perairan pesisir Kota
Batam dalam keadaan sangat memprihatinkan, yang ditandai oleh buruknya
kualitas air laut serta terancamnya keberadaan ekosistem pesisir (mangrove,
padang lamun dan terumbu karang) serta sumberdaya perikanan. Beberapa
kegiatan yang menonjol dan mempengaruhi kondisi tersebut di antaranya
pembuangan limbah industri, adanya pembukaan lahan dengan merusak kawasan
hutan dan perbukitan serta reklamasi pantai yang pada umumnya dilakukan
melalui konversi kawasan mangrove yang dijadikan bagi peruntukkan lainnya.
Berdasarkan analisis kualitas air laut yang dilakukan dengan metode
STORET dapat dikatakan bahwa perairan Kota Batam dalam keadaan tercemar.
Distribusi polutan terjadi baik secara vertikal (pada bagian permukaan dan dekat
dasar perairan laut) maupun secara horisontal pada berbagai wilayah perairan laut
di Kota Batam. Secara vertikal, kualitas air laut yang diambil dari dekat dasar
perairan laut maupun dari bagian permukaan perairan laut menunjukkan tingkat
kualitas yang buruk atau tercemar berat dengan total skor antara –38 sampai
dengan –85. Beberapa parameter kualitas air yang tidak memenuhi baku mutu
dan ditemukan pada semua lokasi pengamatan meliputi Pb, Zn, NO3-N dan fenol.
142
Secara horisontal, kualitas air laut juga menunjukkan kondisi yang tidak jauh
berbeda. Kondisi kualitas air pada seluruh wilayah perairan pantai/laut di Kota
Batam dalam keadaan tercemar dan sebagian besar dalam keadaan tercemar berat,
baik yang diambil di sekitar daerah industri maupun yang jauh dari daerah industri
dengan total skor antara -30 sampai dengan -69. Beberapa logam berat yang
diperoleh telah melampaui baku mutu adalah Cu, Cd, Cr, Pb, Ni dan Zn, bahkan
seluruh wilayah perairan laut di Kota Batam telah tercemar oleh Zn, sedangkan
Cu dan Pb telah mencemari sebagian besar wilayah perairan laut di Kota Batam
kecuali perairan laut di Kecamatan Sei Beduk. Demikian halnya dengan BOD5,
yang dijumpai pada seluruh wilayah perairan laut di Kota Batam dalam keadaan
sudah tidak memenuhi baku mutu.
Berdasarkan kondisi riilnya, ekosistem mangrove di Kota Batam pada
umumnya telah mengalami tekanan akibat adanya aktivitas manusia. Aktivitas
yang banyak merusak kawasan mangrove adalah adanya alih fungsi (konversi)
kawasan mangrove dan reklamasi wilayah pesisir Kota Batam yang sebagian
besar dilakukan untuk mendukung pengembangan industri di daerah ini.
Kerusakan mangrove tersebut terutama dijumpai di Batam bagian utara yang
dalam penelitian ini diwakili daerah Tanjung Uma, Kecamatan Lubuk Baja. Di
bagian selatan Batam, kondisi mangrovenya relatif masih lebih baik, terutama
mangrove yang berada pada sebagian besar wilayah pesisir Kecamatan Galang.
Bebeberapa jenis mangrove yang ditemukan di pesisir Kota Batam, yaitu
Rhizophora sp., Avicennia sp., Xylocarpus granatum, Sonneratia sp., Ceriops
tagal, Aegiceras corniculatum dan Bruguiera sp.
Terumbu karang pada kedalaman perairan laut 3 meter dan 10 meter
kondisinya cukup bervariasi, yaitu dari rusak (buruk dan sedang) sampai baik
(baik dan baik sekali). Adanya kualitas perairan laut Kota Batam yang tercemar
limbah khususnya oleh limbah industri akan mengancam kelangsungan hidup
terumbu karang di daerah ini.
Ekositem padang lamun di Barelang (Batam, Rempang dan Galang)
kondisinya termasuk jarang hingga sedang dan dapat dikatakan bahwa status
padang lamun di daerah ini termasuk dalam kategori rusak.
143
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi penurunan hasil tangkapan
ikan dan ikan yang tertangkap ukurannya semakin kecil, terutama terjadi pada
kegiatan penangkapan ikan karang, udang dan ikan demersal lainnya. Hal ini
disebabkan antara lain oleh turunnya kualitas perairan pesisir dan laut karena telah
mengalami pencemaran dan terjadinya degradasi fisik hutan mangrove, terumbu
karang dan padang lamun.
Sehubungan dengan itu diperlukan adanya arahan kebijakan pengelolaan
yang baik dengan memperhatikan semua aspek terkait serta didukung oleh adanya
partisipasi aktif dari seluruh komponen yang ada. Untuk itu maka Pemerintah
Kota Batam bersama-sama dengan masyarakat dan dunia usaha perlu melakukan
kerjasama yang baik dalam melaksanakan pembangunan dan menyelenggarakan
pemerintahan berdasarkan kebijakan yang holistik, dengan memperhatikan aspek
pelestarian lingkungan hidup. Adanya kebijakan yang holistik ini menjadi dasar
dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu, termasuk
pengelolaan lingkungan pesisir.
Pengelolaan lingkungan pesisir secara terpadu di Kota Batam menjadi
kebutuhan yang perlu segera dilakukan agar dampak negatif dari kegiatan industri
dan pengembangannya terhadap lingkungan pesisir dan laut dapat ditekan sekecil
mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan adanya strategi
pengelolaan. Prioritas pertama yang harus dilakukan dari beberapa startegi yang
dihasilkan dari penelitian ini adalah melakukan pencegahan dan pengendalaian
pencemaran laut oleh industri yang dilakukan secara terpadu dan terencana
dengan dukungan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah dan
kelembagaan pengelola serta sumberdaya manusia yang berkualitas.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dalam rangka untuk mengurangi
dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas industri dan
pengembangannya terhadap lingkungan hidup khususnya terhadap lingkungan
pesisir dan laut di Kota Batam maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
144
1. Perlu dilakukan penegakkan hukum secara terus menerus dan konsisten
dengan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku perusakan dan
pencemaran lingkungan, khususnya di lingkungan pesisir dan laut
2. Menumbuhkan kesadaran kepada semua pihak khususnya para pengelola
industri atau penangung jawab usaha untuk peduli terhadap lingkungan
dengan melakukan pengelolaan limbah dari hasil usahanya dalam rangka
menekan resiko terjadinya pencemaran, kerusakan ekosistem dan sumberdaya
alam di wilayah pesisir dan laut.
3. Dalam pemanfaatan ruang atau kawasan bagi suatu peruntukkan harus
berpedoman pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam yang dibuat
secara komprehensif melalui kajian yang didukung dengan data yang akurat.
4. Beberapa strategi pengelolaan yang dihasilkan dari penelitian ini perlu
diaplikasikan dan dijadikan pertimbangan dalam menentukan arah
pengelolaan lingkungan pesisir dan laut Kota Batam.
5. Untuk melengkapi hasil penelitian ini maka perlu adanya kajian atau
penelitian lanjutan mengenai:
♦ Model pengelolaan lingkungan pesisir dan laut Kota Batam secara terpadu.
♦ Analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan Kota Batam.
♦ Pola penyebaran polutan dan dampaknya terhadap produktivitas perairan
laut Kota Batam pada setiap musim.
♦ Kajian terhadap jenis limbah dari masing-masing industri yang potensial
dapat mengancam kelestarian ekosistem dan sumberdaya hayati lainnya
yang ada di lingkungan pesisir dan laut Kota Batam.
♦ Kajian dampak pencemaran laut terhadap kesehatan masyarakat pesisir
Kota Batam.
145
DAFTAR PUSTAKA Anna, S. 1999. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk
Jakarta. Thesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB.
[Bapedal] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 2001. Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Jakarta: Bapedal.
[Bapedal] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam. 2002. Data
Base Lingkungan Hidup Kota Batam. Batam: Bapedal Kota Batam. [Bapedal] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam. 2003. Kondisi
Lingkungan Hidup Batam 2002. Batam: Bapedal Kota Batam. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Batam. 2001. Batam
Dalam Angka 2000. Kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kota Batam dengan Bappeda Kota Batam. Batam: Bappeda Kota Batam.
[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Batam. 2002. Batam
Dalam Angka 2001. Kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kota Batam dengan Bappeda Kota Batam. Batam: Bappeda Kota Batam.
[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Kota Batam. 2003. Batam Dalam
Angka 2002. Kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kota Batam dengan Bappeda Kota Batam. Batam: Bappeda Kota Batam.
[Bappeda] Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kota
Batam. 2004. Batam Dalam Angka 2003. Kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kota Batam dengan Bappeda Kota Batam. Batam: Bappeda Kota Batam.
Bengen, D. G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: PKSPL IPB. Bengen, D. G., A. Tahir, A. Rizal dan Pawitno. 2002. Pengembangan Konsep
Daya Dukung dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-pulau Kecil. Laporan Akhir. Kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Jakarta: KLH.
Canter, L. W. 1977. Environmental Impact Assessment. New York: Mc Graw
Hill Book Company.
146
Chia, L. S., K. Habibullah and L. M. Chou. 1988. The Coastal Environmental Profile of Singapore. ICLARM Technical Report. International Center for Living Aquatic Resources Management. Manila, Philippines.
[COREMAP] Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Riau. 1996.
Kualitas dan Kondisi Karang serta Keanekaragaman Hayati Laut di Kecamatan Bintan Timur, Senayang dan Lingga Kabupaten Kepulauan Riau. Bahan III, Lokakarya COREMAP, Pekanbaru, 23 Agustus 1996. hlm 12, 35-36.
Costanza, R. (ed). 1991. Ecological Economics: The Science and Management
of Sustainability. New York: Columbia University Press. Dahuri, R., J. Rais dan S. P. Ginting. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam. 2002. Identifikasi Data
Pendukung Program Pembangunan Usaha Perikanan Kota Batam. Batam: Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam.
Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam. 2004. Identifikasi Data
Perikanan Tahun 2004. Batam: Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam.
[Dishidros] Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL. 2003. Daftar Pasang Surut
Kepulauan Indonesia Tahun 2003. Jakarta: Dishidros TNI AL. [Disperindag] Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Batam.
2002. Profil Perusahaan Industri Kota Batam Tahun 2002. Proyek Pembinaan Usaha Ekonomi Masyarakat Produktif Kota Batam. Batam: Disperindag Kota Batam.
English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical
Marine Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Gomez, E.D. dan H.T. Yap. 1988. Monitoring Reef Condition in Kechington,
R.A. and B.E.T. Hudson (ed) : Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta.
Hutomo, M. 1985. Telaah Ekologik Komunitas Ikan Padang Lamun (Seagrass,
Anthophyta). Di Perairan Teluk Banten. Disertasi Doktor pada Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor: IPB.
147
[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 1993. Hasil Lokakarya Pemantapan Startegi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Lokakarya di atas Kapal Kerinci (Jakarta-Medan), 11-13 September 1993. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) bekerjasama dengan Environmental Management Development in Indonesia (EMDI-3). Jakarta: KLH.
[KLH] Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1998. Undang-undang
Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal. Jakarta: KLH.
[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2001. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor: 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Jakarta: KLH.
[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup . 2003. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor: 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Jakarta: KLH.
[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup . 2004a. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta: KLH.
[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004b. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor: 179 Tahun 2004 tentang Ralat atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta: KLH.
[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004c. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor: 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Jakarta: KLH.
[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004d. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor: 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jakarta: KLH.
Kitamura, S., Chairil, A., Amalyos, C. dan Shigeyuki, B. 2003. Buku Panduan
Mangrove di Indonesia, Bali dan Lombok. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Mangrove Information Centre (MIC) Project, Japan International Cooperation Agency (JICA). Bali: Jaya Abadi.
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor: PT. Penerbit Institut
Pertanian Bogor.
148
Kusnoputranto, H. 1999. Kebijakan dan Strategi Pengolahan Limbah dalam Menghadapi Tantangan Global. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan. Jakarta: Direktorat Teknologi Lingkungan BPPT.
Ministry of State for Environment, Republic of Indonesia (MOE RI). 2000. An
ecosystem approach to integrated coastal zone and marine biodiversity resources management and development plan in Riau Province: Barelang (Batam, Rempang, Galang) and Bintan Islands. Cooperation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Norway. Jakarta: MOE RI.
Ministry of State for Environment, Republic of Indonesia (MOE RI). 2002.
Reversing Environmental Degradation Trends in the South China Sea and Gulf of Thailand: Review National Water Quality Data and Evaluate the Transboundary Fate of Pollutants in the South China Sea (Phase 1). Ministry of Environment-Republic of Indonesia in cooperation with Marine Sciences Study Program-Faculty of Fisheries And Marine Sciences-Bogor Agricultural University. Jakarta: MOE RI.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (Batam Industrial
Development Authority. 2001. Development Progress 2001: Batam, Indonesia.
Patnowati, I. 1996. Pengaruh pencemaran limbah dari kawasan industri di
lingkungan perairan Batu Ampar Pulau Batam terhadap ikan Dingkid (Siganus canaliculatus P) dan Sotong (Sepia spp). Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan Jurusan Antar Bidang Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta: UGM.
Pemerintah Kota Batam. 2000. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam 2001-
2011. Batam: Pemko Batam. Pemerintah Kota Batam. 2001. Rencana Strategis Pembangunan Kota Batam
Tahun 2001-2005. Batam: Pemko Batam. Pemerintah Kota Batam. 2004. Revisi Rencana Strategis Pembangunan Kota
Batam Tahun 2001-2005. Batam: Pemko Batam. [PERTAMINA] Conoco Indonesia Inc. 1998. Analisis Dampak Lingkungan
Pipanisasi Gas Bawah Laut di Kabupaten Dati II Kepulauan Riau dan Kotamadya Batam Propinsi Riau. Jakarta: PERTAMINA Conoco Indonesia Inc.
149
[PERTAMINA] Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. 2002. Pemetaan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) di Pantai Batam-Riau. Kerjasama K3LL Direktorat Pengembangan PERTAMINA dengan Institut Pertanian Bogor. Jakarta: PERTAMINA.
[PGN] PT. Perusahaan Gas Negara (Persero). 2000. Analisis Dampak
Lingkungan (ANDAL) Pipanisasi Gas Bumi PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Batam-Singapura (Borderline). Kerjasama PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Jakarta: PT. PGN (Persero).
[PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian
Bogor. 1998. Pipanisasi Gas Bawah Laut di Kabupaten Daerah Tingkat II Kepulauan Riau Propinsi Daerah Tingkat I Riau. Kerjasama PERTAMINA (Conoco Indonesia Inc.) dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor: PKSPL IPB.
[PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian
Bogor. 2001. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Riau Kepulauan Propinsi Riau. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Riau dengan PKSPL-IPB. Pekanbaru: Bappeda Propinsi Riau.
PRC Environment Management Inc. 1998. Profil Wilayah Pesisir Barelang.
Laporan Tahap Ketiga, kerjasama antara PRC Environment Management Inc. dengan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIP). Jakarta: OPDIP.
PT. Bumimas Batamjaya. 2001. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
Penambangan Pasir Laut di Wilayah KP Eksplorasi KW 006NS2001 Kecamatan Nongsa dan Batu Ampar Kota Batam, Propinsi Riau. Batam: PT. Bumimas Batamjaya.
Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis:
Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Riau Coastal Zone Local Management Planning. 1999. Riau Province Snedaker, S. C. dan C. D. Getter. 1985. Coastal Resource Management
Guidelines. Coastal Publication No. 2. Columbia, South Carolina: Research Planning Institute Inc.
Schuster, W. H. and R.R Djajadiredja. 1952. Local Common Names and
Indonesian Fishes. Published for The Ministry of Agriculture of Indonesia, Laboratory for Finland Fisheries. Bandung, ‘S-Gravenhag’: N. V. Penerbit W. Van Hoeve.
150
UNDP/GEF/IMO. 1988. Natural Resources Damage Assesment Manual for Tropical Ecosystems.
UNEP. 1993. Monitoring Coral Reefs for Global Change. Reference Method for
Marine Polution Studies No. 61. 72 p. Zieren, M. T., F. Ariwibowo dan T. Priyatna. 1996. Kualitas Air Laut dan
Terumbu Karang di Pulau Bintan, Riau. Riau Coastal Zone Land-Use Management Project. PT. Ardes Perdana.
151
Lampiran 1 Kualitas air laut dari dekat dasar perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998No. Parameter Satuan BN 1 BN 2 BN 3 BN 4 BN 5
F I S I K A1 Warna Pt.Co 5 5 5 5 5 2 Suhu oC 31 30.5 30 31.5 30.4 3 Padatan Tersuspensi mg/l 164 166 144 136 132 4 Kekeruhan NTU 0.61 0.65 0.66 1.00 0.55
K I M I A1 pH - 8.20 8.20 8.21 8.17 8.17
2 Salinitas O/oo 28.5 33.5 34 34.5 33.0 3 Oksigen terlarut (DO) mg/l 5.1 6.0 5.0 5.0 5.2 4 BOD5 mg/l 5.68 6.82 7.91 7.95 5.20 5 COD mg/l 33.02 80.70 41.14 16.86 33 6 Amonia total mg/l 0.034 0.025 0.025 0.033 0.025 7 NO2-N mg/l 0.001 < 0.001 0.003 < 0.001 0.001 8 NO3-N mg/l 0.020 0.052 0.054 0.033 0.076 9 Ortofosfat mg/l 0.014 0.027 0.060 0.036 0.074
10 Minyak dan lemak mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.0111 Fenol mg/l 0.014 0.029 0.015 0.012 0.006 12 Detergen mg/l 0.005 < 0.001 < 0.001 < 0.001 0.006 13 Merkuri (Hg) mg/l 0.250 0.225 0.150 0.100 0.200 14 Kadmium (Cd) mg/l 0.051 0.056 0.037 0.037 0.093 15 Timbal (Pb) mg/l 0.048 0.046 0.086 0.026 0.029 16 Tembaga (Cu) mg/l 0.043 0.017 0.086 0.026 0.060 17 Seng (Zn) mg/l < 0.001 0.083 0.124 0.041 0.166 18 Khrom (IV) (Cr6+) mg/l 0.004 0.002 0.004 < 0.001 < 0.00119 Arsen (As) mg/l 0.167 0.155 0.189 0.244 0.233 20 Selenium mg/l 0.008 0.005 0.004 0.002 < 0.001
Sumber: PERTAMINA Conoco (1998)
152
Lampiran 2 Kualitas air laut dari dekat dasar perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000
No. Parameter Satuan BU 2 BU 3 BU 4 BU 5 BU 6
F I S I K A1 Warna Pt.Co 4.20 4.40 4.40 4.70 4.30 2 Suhu oC 28.2 28.2 28.5 29 29 3 Padatan Tersuspensi mg/l 14 15 18 12 14 4 Kekeruhan NTU 0.52 0.60 1.00 0.50 0.45
K I M I A1 pH - 8.0 8.0 8.1 8.0 8.1
2 Salinitas O/oo 31.5 31.7 31.5 31.1 31.0 3 Oksigen terlarut (DO) mg/l 6.5 6.5 6.5 5.9 7.0 4 BOD5 mg/l 4.14 4.14 4.02 4.34 3.50 5 COD mg/l 33.02 33.02 41.10 41.10 24.94 6 Amonia total mg/l 0.055 0.055 0.019 0.070 0.272 7 NO2-N mg/l 0.005 0.005 0.001 0.003 0.001 8 NO3-N mg/l 0.103 0.103 0.166 0.024 0.008 9 Ortofosfat mg/l 0.028 0.028 0.054 0.041 0.029
10 Minyak dan lemak mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.0111 Fenol mg/l 0.015 0.026 0.025 0.034 0.014 12 Merkuri (Hg) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00113 Kadmium (Cd) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00114 Timbal (Pb) mg/l 0.026 0.026 0.032 0.035 0.023 15 Tembaga (Cu) mg/l < 0.001 0.005 0.006 0.008 < 0.00116 Seng (Zn) mg/l 4.920 4.115 4.874 5.880 4.422 17 Khrom (IV) (Cr6+) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001
Sumber: PGN (2000)
153
Lampiran 3 Kualitas air laut dari permukaan perairan bagian utara wilayah Kota Batam pada April 1998No. Parameter Satuan BN 1 BN 2 BN 3 BN 4 BN 5
F I S I K A1 Warna Pt.Co 5 5 5 5 52 Suhu oC 31.0 30.0 30.5 31.5 30.23 Padatan Tersuspensi mg/l 120 126 150 140 1384 Kekeruhan NTU 0.38 0.40 0.60 0.36 0.37
K I M I A1 pH - 8.19 8.30 8.19 8.15 8.14
2 Salinitas O/oo 33.0 24.0 33.5 33.5 24.03 Oksigen terlarut (DO) mg/l 7.2 7.3 7.3 7.2 7.14 BOD5 mg/l 7.95 8.14 6.36 7.95 7.725 COD mg/l 18.77 41.10 33.02 49.18 33.026 Amonia total mg/l 0.016 0.036 0.038 0.019 0.0447 NO2-N mg/l 0.003 < 0.001 < 0.001 0.002 0.0018 NO3-N mg/l 0.046 0.044 0.037 0.039 0.1089 Ortofosfat mg/l 0.005 0.027 0.008 0.014 0.008
10 Minyak dan lemak mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.0111 Fenol mg/l 0.015 0.014 0.024 0.015 0.015 12 Detergen mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00113 Merkuri (Hg) mg/l 0.275 0.150 0.100 0.100 0.025 14 Kadmium (Cd) mg/l 0.037 0.031 0.042 0.046 0.056 15 Timbal (Pb) mg/l 0.032 0.040 0.026 0.095 0.021 16 Tembaga (Cu) mg/l 0.121 0.034 0.129 0.095 0.069 17 Seng (Zn) mg/l 0.083 0.083 0.086 0.041 < 0.00118 Khrom (IV) (Cr6+) mg/l 0.004 < 0.001 0.004 < 0.001 < 0.00119 Arsen (As) mg/l 0.333 0.278 0.267 0.344 0.35520 Selenium mg/l 0.008 0.008 0.005 0.003 0.002
Sumber: PERTAMINA Conoco (1998)
154
Lampiran 4 Kualitas air laut dari permukaan perairan antara Pulau Batam dan perbatasan Singapura pada Maret 2000No. Parameter Satuan BU 1 BU 2 BU 3 BU 4 BU 5 BU 6
F I S I K A1 Warna Pt.Co 4.20 4.95 4.80 4.80 4.85 4.602 Suhu oC 28.5 28.5 28.5 28.9 29.0 29.03 Padatan Tersuspensi mg/l 18 14 12 16 16 164 Kekeruhan NTU 0.40 0.43 0.30 0.35 0.35 1.00
K I M I A1 pH - 8.15 8.00 8.05 8.10 8.00 8.15
2 Salinitas O/oo 31.5 31.5 31.7 31.5 31.1 31.03 Oksigen terlarut (DO) mg/l 6.80 6.70 6.50 6.70 6.00 7.404 BOD5 mg/l 3.42 4.34 4.42 4.61 4.14 4.985 COD mg/l 24.94 28.98 41.10 24.94 37.06 20.906 Amonia total mg/l 0.021 0.102 0.317 0.040 0.026 0.2497 NO2-N mg/l 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.0018 NO3-N mg/l 0.061 0.033 0.004 0.047 0.025 0.0369 Ortofosfat mg/l 0.057 0.032 0.025 0.036 0.038 0.039
10 Minyak dan lemak mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.0111 Fenol mg/l 0.016 0.036 0.035 0.038 0.034 0.019 12 Merkuri (Hg) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00113 Kadmium (Cd) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00114 Timbal (Pb) mg/l 0.026 0.035 0.034 0.049 0.038 0.032 15 Tembaga (Cu) mg/l 0.005 0.008 0.008 0.009 0.012 < 0.00116 Seng (Zn) mg/l 4.720 8.520 5.820 6.884 6.924 4.87017 Khrom (IV) (Cr6+) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001
Sumber: PGN (2000)
155
Lampiran 5 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Nongsa, Kota Batam pada 6 Mei 2003
St-130 St-131 St-132 St-133No. Parameter Satuan
F I S I K A1 Warna PtCo 0 0 0 42 Kebauan - alami alami alami alami3 Kekeruhan NTU 1 3 2 64 TSS mg/l 4 8 4 165 Suhu oC 28.3 28.4 28.6 28.2
K I M I A1 pH - 8.19 8.19 8.20 8.192 Oksigen terlarut (DO) mg/l 6.41 6.44 6.71 6.033 BOD5 mg/l 23.75 22.11 23.73 25.224 COD (K2Cr2O7) mg/l 62.52 58.62 62.52 66.435 Ammonia (NH4-N) mg/l < 0.04 < 0.04 < 0.04 < 0.046 Nitrit (NO2-N) mg/l < 0.03 < 0.03 < 0.03 < 0.037 Sianida (CN) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.018 Sulfida (H2S) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.019 Minyak dan lemak mg/l < 0.20 < 0.20 < 0.20 < 0.20
10 Fenol mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00111 Detergen LAS as MBAS mg/l < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.0512 Merkuri (Hg) mg/l < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.000113 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.00614 Arsen (As) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00115 Selenium (Se) mg/l < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.00716 Kadmium (Cd) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00117 Tembaga (Cu) mg/l 0.016 0.03 0.03 0.082 18 Timbal (Pb) mg/l 0.017 0.017 0.064 0.017 19 Seng (Zn) mg/l 0.033 0.027 0.073 0.031 20 Nikel (Ni) mg/l 0.028 0.035 0.059 0.038 21 Perak (Ag) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001
Keterangan: St-130: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Kabil St-131: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai dekat Semen Batam St-132: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai dekat Depo Pertamina St-133: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai dekat Kabil Indonusa Estate (KIE)
156
Lampiran 6 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Batu Ampar dan Lubuk Baja, Kota Batam pada 2003No. Parameter Satuan St-64 St-66 St-67 OB-1 OB-2 OB-3
F I S I K A1 Warna PtCo 10 8 6 9 43 322 Kebauan - alami alami alami alami Bau Bau3 Kekeruhan NTU 2 5 4 0 61 34.364 TSS mg/l 20 24 12 9 55 435 Suhu oC 28.5 28.1 28.3 29.1 28.9 29.1
K I M I A1 pH - 8.03 6.99 7.58 7.41 7.16 7.092 Oksigen terlarut (DO) mg/l 6.10 5.42 5.02 6 3 23 BOD5 mg/l 26.72 25.24 34.15 5 12 2064 COD (K2Cr2O7) mg/l 70.34 66.43 89.88 12 32 2075 Ammonia (NH3-N) mg/l < 0.04 < 0.04 < 0.04 < 0.02 0.48 1.966 Nitrit (NO2-N) mg/l < 0.03 < 0.03 < 0.03 < 0.01 0.03 0.057 Sianida (CN) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.02 < 0.02 < 0.028 Sulfida (H2S) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 3.73 9 Minyak dan lemak mg/l < 0.20 2.423 < 0.20 < 1 < 1
10 Fenol mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.0002 < 0.00111 Detergen LAS as MBAS mg/l < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.025 1.052 12 Merkuri (Hg) mg/l < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0002 < 0.000213 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.01 < 0.0114 Arsen (As) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.002 < 0.00215 Selenium (Se) mg/l < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.002 < 0.002 < 0.00216 Kadmium (Cd) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.004 < 0.004 < 0.00417 Tembaga (Cu) mg/l 0.014 0.011 0.03 < 0.006 < 0.006 0.008 18 Timbal (Pb) mg/l 0.053 0.061 0.015 < 0.04 < 0.04 < 0.0419 Seng (Zn) mg/l 0.357 0.022 0.017 < 0.002 < 0.002 < 0.00220 Nikel (Ni) mg/l < 0.06 0.047 0.038 < 0.015 < 0.015 < 0.01521 Perak (Ag) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.007 < 0.007 < 0.007
B I O L O G I1 Escherichia coli MPN/100 ml < 2 20 < 2 0 130 02 Coliform group MPN/100 ml < 2 20 < 2
Keterangan: St-64: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Batu Ampar (dekat PT. Profab) pada 2 Mei 2003 St-66: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Batu Ampar (dekat PT. Mc. Dermott) pada 2 Mei 2003 St-67: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Batu Ampar (Pelabuhan Laut) pada 2 Mei 2003 OB1: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan pantai Batu Ampar pada 16 Januari 2003 OB2: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan pantai Lubuk Baja pada 2 April 2003 OB3: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan pantai Lubuk Baja pada 12 April 2003
157
Lampiran 7 Kualitas air laut di Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Lubuk Baja dan Kec. Batu Ampar) Kota Batam pada Nopember 2002
No. Parameter Satuan ST 7 ST 8 ST 9 ST 10
F I S I K A1 Suhu oC 31.0 30.5 30.4 30.92 Kecerahan m 0.68 1.56 2.42 1.643 Kekeruhan NTU 7 1.5 1 1.44 Padatan Tersuspensi mg/l 76 40 38 165 Daya Hantar Listrik (DHL) umhos/cm
K I M I A1 pH - 7.8 7.5 7.4 7.7
2 Salinitas O/oo 32 29 30 313 Oksigen terlarut (DO) mg/l 8.50 8.21 8.36 7.914 BOD5 mg/l 5.13 3.44 5.45 5.505 COD (K2Cr2O7) mg/l 134.03 121.91 113.82 129.996 Kesadahan mg/l7 Minyak-hidrokarbon (TPH) mg/l 9.2 12.758 Tembaga (Cu) mg/l 0.026 0.018 0.026 0.023 9 Kadmium (Cd) mg/l 0.032 0.018 0.021 0.021
10 Timbal (Pb) mg/l 0.004 0.005 0.004 0.005 11 Senyawa Fenol mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00112 Minyak dan lemak mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001
Sumber: PERTAMINA (2002) Keterangan :ST7: perairan Bengkong Laut-Kec. Batu AmparST8: perairan Tanjung Buntung-Kec. Batu AmparST9: perairan Batu Merah-Kec. Batu AmparST10: perairan Tanjung Uma-Kec. Lubuk Baja
158
Lampiran 8 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sekupang dan Belakang Padang,Kota Batam pada 2003
No. Parameter Satuan St-52 St-54 St-61 St-62 St-63 OB St-060
F I S I K A1 Warna PtCo 1 2 4 3 4 21 32 Kebauan - alami alami alami alami alami alami alami3 Kekeruhan NTU 4 3 3 1 1 23.32 24 TSS mg/l 20 16 16 20 8 14 125 Suhu oC 28.2 28.4 28.5 28.4 28.3 29.3 28.3
K I M I A1 pH - 8.19 8.17 8.20 8.22 8.25 7.62 8.232 Oksigen terlarut (DO) mg/l 6.27 5.76 5.08 5.24 6.27 5 6.033 BOD5 mg/l 26.72 32.66 29.70 31.18 29.7 4 34.154 COD (K2Cr2O7) mg/l 70.34 85.97 78.16 82.06 78.16 43 89.885 Ammonia (NH3-N) mg/l < 0.04 < 0.04 < 0.04 < 0.04 < 0.04 9.86 < 0.046 Nitrit (NO2-N) mg/l < 0.03 < 0.03 < 0.03 < 0.03 < 0.03 0.03 < 0.037 Sianida (CN) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.02 < 0.018 Sulfida (H2S) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.019 Minyak dan lemak mg/l < 0.20 < 0.20 < 0.20 0.164 < 0.20 < 1 < 0.20
10 Fenol mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.0002 < 0.00111 Detergen LAS as MBAS mg/l < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05 0.489 < 0.0512 Merkuri (Hg) mg/l < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0002 < 0.000113 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 001 < 0.00614 Arsen (As) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.002 < 0.00115 Selenium (Se) mg/l < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.002 < 0.00716 Kadmium (Cd) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.004 < 0.00117 Tembaga (Cu) mg/l 0.03 0.03 0.010 0.011 0.03 < 0.006 0.017 18 Timbal (Pb) mg/l 0.022 0.048 0.037 0.036 0.033 < 0.04 0.037 19 Seng (Zn) mg/l 0.021 0.065 0.048 0.060 0.014 0.011 0.011 20 Nikel (Ni) mg/l < 0.06 0.019 < 0.06 0.026 0.021 < 0.015 0.018 21 Perak (Ag) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.007 < 0.001
B I O L O G I1 Escherichia coli MPN/100 ml < 2 < 2 < 2 < 2 < 2 0 < 22 Coliform group MPN/100 ml < 2 < 2 < 2 20 < 2 < 2
Keterangan: OB: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan pantai Sekupang pada 13 April 2003 St-52: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Sekupang (dekat PT. Heng Guan) pada 2 Mei 2003 St-54: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Tanjung Uncang (dekat PT. Nan Indah) pada 2 Mei 2003 St-60: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai P. Sambu-Kec. Belakang Padang (dekat Depo Pertamina) pada 2 Mei 2003 St-61: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Tanjung Uncang (dekat PT. Nippon Steel) pada 2 Mei 2003 St-62: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai Tanjung Uncang (dekat PT. Pan United) pada 2 Mei 2003 St-63: Stasiun pengambilan data primer di perairan laut Tanjung Uncang (jauh dari pantai) pada 2 Mei 2003
159
Lampiran 9 Kualitas air laut di Pulau Sambu dan sekitarnya (Kec. Belakang Padang dan Kec. Sekupang) Kota Batam pada Nopember 2002No. Parameter Satuan ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 6 S 13 ST 14 ST 15 ST 16 ST 17
F I S I K A1 Suhu oC 30.2 30.1 30.2 30.3 30.1 30.5 30.4 30.7 31.1 31.02 Kecerahan m 3.18 2.28 2.42 2.36 0.86 1.98 1.38 1.12 1.36 1.163 Kekeruhan NTU 1.5 1.3 0.8 1 6.5 2 2 1.9 2.1 24 Padatan Tersuspensi mg/l 26 28 20 30 76 12 26 20 22 265 Daya Hantar Listrik (DHL) umhos/cm
K I M I A1 pH - 7.4 7.1 7.5 7.7 7.8 7.5 7.5 7.5 7.7 7.5
2 Salinitas O/oo 33 30 32 32 32 33 33 33 32 333 Oksigen terlarut (DO) mg/l 7.22 6.85 6.93 6.87 8.5 8.15 8.15 7.66 8.06 8.534 BOD5 mg/l 4.95 5.6 3.7 4 5.1 5.1 5.3 5.2 3.1 4.15 COD (K2Cr2O7) mg/l 138.07 129.99 138.07 129.99 129.99 134.03 129.99 125.95 129.99 121.996 Kesadahan mg/l7 Minyak-hidrokarbon (TPH) mg/l 7.80 10.5 9.2 9.65 16.10 12.088 Tembaga (Cu) mg/l 0.029 0.021 0.026 0.023 0.023 0.023 0.015 0.026 0.026 0.021 9 Kadmium (Cd) mg/l 0.021 0.014 0.021 0.032 0.011 0.025 0.021 0.014 0.029 0.029 10 Timbal (Pb) mg/l 0.007 0.009 0.006 0.004 0.009 0.005 0.005 0.005 0.005 0.005 11 Senyawa Fenol mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00112 Minyak dan lemak mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001
Sumber: PERTAMINA (2002) Keterangan :ST1: antara P. Sambu - Belakang Padang-Kec. Belakang Padang ST13: perairan Tanjung Pinggir-Kec. SekupangST2: timur P. Sambu-Kec. Belakang Padang ST14: P. Seraya-Kec. SekupangST3: Pantai Indah Lengkana-Kec. Belakang Padang ST15: perairan Tanjung Uncang-Kec. SekupangST4: P. Mecan-Kec. Belakang Padang ST16: perairan Teluk Senimba-Kec. SekupangST6: P. Sekilak-Kec. Belakang Padang ST17: perairan Sekupang
160
Lampiran 10 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam pada 19 Januari 2001
OB-1 OB-2 No. Parameter Satuan
F I S I K A1 Warna PtCo 25 222 Kekeruhan NTU 32 303 TSS mg/l 81 484 Suhu oC 29.5 29
K I M I A1 pH - 7.5 7.52 Oksigen terlarut (DO) mg/l 3.95 3.903 BOD5 mg/l 41.2 41.94 COD (K2Cr2O7) mg/l 81 825 Ammonia (NH3) mg/l 0.34 0.316 Nitrit (NO2-N) mg/l 0.008 0.0047 Sianida (CN) mg/l Tt Tt8 Sulfida (H2S) mg/l 0.005 0.0079 Arsen (As) mg/l Tt Tt
10 Selenium (Se) mg/l Tt Tt11 Kadmium (Cd) mg/l Tt Tt12 Tembaga (Cu) mg/l 0.001 0.002 13 Timbal (Pb) mg/l Tt Tt14 Seng (Zn) mg/l 0.08 0.03 15 Nikel (Ni) mg/l 0.12 0.15 16 Sulphate (SO4) mg/l 2.45 2.40 17 Cobalt (Co) mg/l Tt Tt18 Fosfat (PO4-P) mg/l 0.007 0.014 19 Mangan (Mn) mg/l 0.002 0.004 20 Kalium (K) mg/l 19.03 20.05
Keterangan: OB-1: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan muara sungai OB-2: Data dari Otorita Batam yang diambil dari perairan pantai Kp. Bagan (Keramba) Tt: Tidak terdeteksi
161
Lampiran 11 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Bulang, Kota Batam pada 14 Maret 2001P-1 P-2 P-3 P-4 P-5
No. Parameter SatuanF I S I K A
1 Warna PtCo 10 15 10 15 102 Kebauan - alami alami alami alami alami3 Kekeruhan NTU 7 7 10 9 84 TSS mg/l 18 25 47 42 785 Suhu oC 27.8 27.3 26.8 26.9 26.8
K I M I A1 pH - 7.62 6.90 7.00 7.66 7.682 Oksigen terlarut (DO) mg/l 5.82 4.07 4.82 6.32 6.213 BOD5 mg/l 21.72 33.59 21.41 11.47 11.474 COD (K2Cr2O7) mg/l 52.43 82.39 52.43 29.96 29.965 Ammonia (NH4-N) mg/l < 0.04 < 0.04 < 0.04 < 0.04 < 0.046 Nitrit (NO2-N) mg/l 0.031 0.662 0.39 < 0.03 < 0.037 Sianida (CN) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.018 Sulfida (H2S) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.019 Minyak dan lemak mg/l < 0.20 < 0.20 < 0.20 < 0.20 < 0.20
10 Fenol mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00111 Detergen LAS as MBAS mg/l < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.0512 Merkuri (Hg) mg/l < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.000113 Kromium heksavalen (Cr) mg/l 0.037 0.017 0.015 < 0.06 0.007 14 Arsen (As) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.00115 Selenium (Se) mg/l < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.00716 Kadmium (Cd) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.0117 Tembaga (Cu) mg/l 0.039 0.035 < 0.03 0.032 0.027 18 Timbal (Pb) mg/l 0.032 0.042 < 0.01 < 0.01 < 0.0119 Seng (Zn) mg/l 0.042 0.074 0.071 0.065 0.071 20 Nikel (Ni) mg/l < 0.06 < 0.06 < 0.06 < 0.06 < 0.0621 Perak (Ag) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001
B I O L O G I1 Escherichia coli MPN/100 ml < 2 < 2 35,000 < 2 < 22 Coliform group MPN/100 ml < 2 < 2 35,000 < 2 < 2
Sumber: Data Pemantauan Kualitas Air di PT. Indotirta Suaka (Lokasi pabrik di Kec. Bulang) tahun 2001Keterangan: P-1: Stasiun pemantauan kualitas air di muara Sei Bulan P-4: Stasiun pemantauan kualitas air di pantai depan pulau Bulang P-2: Stasiun pemantauan kualitas air di muara Sei Rokan P-5: Stasiun pemantauan kualitas air di pantai Gelam P-3: Stasiun pemantauan kualitas air di muara Sei Kucing
162
Lampiran 12 Kualitas air dari perairan pantai/laut di Kecamatan Galang, Kota Batam pada 3 Mei 2003
St-47 St-080 St-103No. Parameter Satuan
F I S I K A1 Warna PtCo 1 3 32 Kebauan - alami alami alami3 Kekeruhan NTU 2 1 14 TSS mg/l 8 12 165 Suhu oC 28.4 28.3 28.3
K I M I A1 pH - 8.18 8.23 8.232 Oksigen terlarut (DO) mg/l 7.12 6.10 6.033 BOD5 mg/l 23.80 25.24 30.424 COD (K2Cr2O7) mg/l 70.34 66.43 82.065 Ammonia (NH4-N) mg/l < 0.04 < 0.04 < 0.046 Nitrit (NO2-N) mg/l < 0.03 < 0.03 < 0.037 Sianida (CN) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.018 Sulfida (H2S) mg/l < 0.01 < 0.01 < 0.019 Minyak dan lemak mg/l < 0.20 < 0.20 < 0.2010 Fenol mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.00111 Detergen LAS as MBAS mg/l < 0.05 < 0.05 < 0.0512 Merkuri (Hg) mg/l < 0.0001 < 0.0001 < 0.000113 Kromium heksavalen (Cr) mg/l < 0.006 < 0.006 < 0.00614 Arsen (As) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.00115 Selenium (Se) mg/l < 0.007 < 0.007 < 0.00716 Kadmium (Cd) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.00117 Tembaga (Cu) mg/l 0.017 0.018 0.03 18 Timbal (Pb) mg/l 0.043 0.067 0.060 19 Seng (Zn) mg/l 0.031 0.028 0.061 20 Nikel (Ni) mg/l 0.037 0.059 0.041 21 Perak (Ag) mg/l < 0.001 < 0.001 < 0.001
B I O L O G I1 Escherichia coli MPN/100 ml 20 < 2 < 22 Coliform group MPN/100 ml 20 < 2 < 2
Keterangan: St-47: Stasiun pengambilan data primer di perairan laut P. Nguan (Budidaya Kerapu) St-080: Stasiun pengambilan data primer di perairan laut P. Aisaka St-103: Stasiun pengambilan data primer di perairan pantai P. Abang Kecil
163
Lampiran 13 Gambaran pembukaan lahan di Kota Batam berdasarkan citra satelit tahun 1996-2002 (Bapedal Kota Batam, 2003)
LS-5 (11 Mei 1996)
LS-5 (03 Sep 1997)
164
Lampiran 13 (lanjutan)
LS-5 (15 Jan 2000)
LS-7 (24 Agus 2002)
165
Lampiran 13 (lanjutan)
166
Lampiran 14 Contoh kegiatan pembukaan lahan dengan reklamasi pantai untuk kepentingan pengembangan industri di Kecamatan Nongsa, Kota Batam tahun 2003
167
Lampiran 15 Gambaran perusakan kawasan mangrove yang di konversi bagi peruntukkan lainnya di Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)
Batam Center
Batam Center
Batam Center
168
Lampiran 15 (lanjutan)
Baloi
Baloi
Baloi
169
Lampiran 16 Gambaran pembuangan limbah industri ke perairan pantai di Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)
PT. Central Package Batam
PT. Central Package Batam
170
Lampiran 16 (lanjutan)
PT. Mc. Dermott Batu Ampar
PT. Mc. Dermott Batu Ampar
PT. Mc. Dermott Batu Ampar
171
Lampiran 17 Gambaran pencemaran perairan pantai di Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam (Bapedal Kota Batam, 2003)
Batu Ampar
Batu Ampar