9
PENGELOLAAN HUTAN ADAT DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA BULUHCINA, KABUPATEN KAMPAR, RIAU Catatan Observasi di Kawasan Hutan Adat Desa Buluhcina Kondisi Hutan dan Sentiman Masyarakat Riau Sebagian besar hutan di Riau telah diolah menjadi perkebunan swasta. Kondisi ini telah berlangsung sejak tahun 1980, ketika pemerintah Riau menggerakkan pembangunan perkebunan dengan melibatkan perusahaan-perusahaan besar swasta maupun pemerintah. (belum ada data kondisi hutan di Riau dalam angka) Kompas (10/08/2001), mencatat setidaknya lebih dari 20 industri kayu bertengger di sepanjang sungai Siak. Banyaknya industri di sepanjang sungai Siak membawa pengaruh lain yakni pencemaran pada DAS sehingga air sungai Siak tidak lagi layak diminum langsung. Padahal di sepanjang sungai itu menjadi tepat bermukim penduduk miskin Riau. Kasus-kasus yang memprihatinkan di Riau (dikutip dari Kompas, 10/08/2001) Konflik kepemilikan dan penguasaan lahan hutan ADAT Vs SWASTA.

Pengelolaan Hutan Adat Dan Partisipasi Masyarakat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pengelolaan Hutan Adat

Citation preview

Page 1: Pengelolaan Hutan Adat Dan Partisipasi Masyarakat

PENGELOLAAN HUTAN ADAT DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DESA BULUHCINA, KABUPATEN KAMPAR, RIAU

Catatan Observasi di Kawasan Hutan Adat Desa Buluhcina

Kondisi Hutan dan Sentiman Masyarakat Riau

Sebagian besar hutan di Riau telah diolah menjadi perkebunan swasta. Kondisi ini telah berlangsung sejak tahun 1980, ketika pemerintah Riau menggerakkan pembangunan perkebunan dengan melibatkan perusahaan-perusahaan besar swasta maupun pemerintah. (belum ada data kondisi hutan di Riau dalam angka)

Kompas (10/08/2001), mencatat setidaknya lebih dari 20 industri kayu bertengger di sepanjang sungai Siak.

Banyaknya industri di sepanjang sungai Siak membawa pengaruh lain yakni pencemaran pada DAS sehingga air sungai Siak tidak lagi layak diminum langsung. Padahal di sepanjang sungai itu menjadi tepat bermukim penduduk miskin Riau.

Kasus-kasus yang memprihatinkan di Riau (dikutip dari Kompas, 10/08/2001)

Konflik kepemilikan dan penguasaan lahan hutan ADAT Vs SWASTA.

Page 2: Pengelolaan Hutan Adat Dan Partisipasi Masyarakat

“Menurut PT Arara Abadi, warga tersebut mencuri kayu akasia perusahaan yang berada di bawah naungan PT Indah Kiat. Tetapi sebaliknya masyarakat mengatakan bahwa mereka menebang kayu di hutan yang dimiliki kampung mereka masing-masing. Ini ditangkis perusahaan dengan mengatakan bahwa hutan itu merupakan hutan kawasan mereka. Sedangkan masyarakat tetap bersikeras mengatakan hutan itu berada di kampung mereka tanpa pernah ada penyelesaian antara rakyat dan perusahaan”.

“Tanggal 29 November 1999, puluhan warga Siabu, Kabupaten Kampar mengadu ke DPRD Riau bahwa PT SBT sudah 20 tahun merambah hutan ulayat mereka tanpa ada penyelesaian sedikit pun. Tak sampai sebulan kemudian, 20 Desember 1999, lebih dari 100 orang warga Sengkemang mengadu bahwa PTP V telah menyerobot tanah masyarakat seluas 12.000 ha. Pengaduan juga dilaukan oleh warga Sakai atau salah satu kelompok yang selalu disebut terasing di Riau, di desa Mandi Angin. Masyarakat Sakai mengadu bahwa PT. Arara Abadi telah menyerobot lahan masyarakat seluas 2000 ha”.

“Prof. Muchtar Achmad menatakan bahwa, begitu menggebu-gebunya Riau membangun kebun kelapa sawit dengan modal perusahaan-perusahaan besar baik swasta maupun pemerintah; justru pembangunan perkebunan rakyat terabaikan”.

“Nasib perkebunan kelapa rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir: sudah lebih dari 15 tahun diketahui bahwa tidak kurang dari 100.000 ha kebun kelapa terancam punah karena resapan air laut. Sementara pembangunan perkebunan kelapa oleh PT Pulau Sambu di sana yang tentu saja berkat dorongan pemerintah, dengan sekejap saja melahap perkebunan kelapa rakyat sehingga harga kelapa diatur oleh perusahaan itu”.

Ironisnya Riau: “Tikus Kelaparan di Lumbung Padi” (dikutip dari Kompas, 10/08/2001)

“Pertumbuhan penduduk Riau pada tahun 1980-1990 adalah 4,3 persen, sedangkan tahun 1990-2000 sekitar 3,8 persen, sehingga kini Riau yang memiliki luas daratan 329.867,6 km2 itu dihuni oleh 4,7 juta jiwa penduduk. Pertumbuhan penduduk ini cukup besar, terutama Riau daratan yang mencapai 5-12 persen”.

Page 3: Pengelolaan Hutan Adat Dan Partisipasi Masyarakat

“Prof. Mubyarto mengtakan bahwa pada penghujung tahun 1980-an penduduk Riau termiskin di Sumatera sebelum Bengkulu. Pada awal tahun 1990-an, peringkat kemiskinan penduduk Riau naik menjadi nomor 17 dari 27 propinsi di Indonesia. Pada tahun 1996 penduduk miskin di Riau mencapai 12,62 persen, dan pada tahun 1999 melonjak menjadi 14 persen.”

“Pada tahun 1997 SDA Riau menghasilkan devisa sekitar Rp 30 trilyun, Rp 17 trilyun diantaranya bersumber dari minyak bumi. Tetapi dana ang dkembalikan ke Riau dala proyek pembangunan yang sudah di patok oleh pemerintah pusat hanya sekitar Rp 350 milyar”.

“Kabupaten Bengkali mempunyai tingkat kemiskinan nomor dua di Riau, setingkat diatas Indragiri Hulu. Padahal sebagain besar ladang minyak Riau, bahkn Indonesia, terletak di kabupaten ini”.

“Jalan raya Minas yangt dilintasi umum tanpa henti sepanjang hari bukan main buruknya, padahal Minas merupakan daerah minyak yang terkenal di dunia. Nama minyak Minas tergolong terbaik di dunia”.

“Desa Tanjungpalas di Dumai menjadi desa tertingal tahun 1996, padahal disebelhnya gagah berdiri ilang penyulingan minyak yang menghasilkan 40 persen BBM nasional.”

“Di daerah minyak ini, penduduknya selalu kehabisan minyak tanah dan solar. Ketika minyak goreng langka, penduduk Riau tak bisa melakukan apa-apa, padahal produksi minyak sawitnya nomor dua terbesar di Indonesia setelah Sumatera Utara”.

“Riau juga memiliki pabrik kertas yang disegani di dunia, tetapi harga kertas ini lebih murah di Jakarta dibanding di Pakanbaru, bahkan dibandingkan Padang sekalipun.”

Page 4: Pengelolaan Hutan Adat Dan Partisipasi Masyarakat

Aspirasi Masyarakat Riau

Prof. Tabrani Rab, salah seorang putra daerah dan tokoh masyarakat Riau menyampaikan aspirasi “Riau Merdeka” selama kepemimpinan presiden Abdurachman Wahid. Aspirasi ini menjadi ‘gerakan politik’ yang mengedepankan lobi-lobi politik tingkat pusat dengan didukung gerakan massa dan gerakan mahasiswa.

Semenjak kepemimpinan presiden Megawati Soekarnoputri, ‘gerakan politik’ Riau Merdeka itu berubah arah menjadi ‘gerakan moral’ yang didukung oleh sekelompok intelektual Riau. Berubahny arah gerakan ini disebabkan karena pada awal kepemimpinannya presiden Megawati Soekarnoputri telah lantang menyuarakan, “tidak akan memberikan tempat kepada gerakan separatis”.

Makmur Hendrik, salah seorang putra daerah Riau yang berasal dari Desa Buluhcina, menyampaikan aspirasi otonomi khusus, yaitu “otonomi yang memberikan hak/bahaian daerah dari hasil penjualan minyak dan sumber daya alam lainnya, lebih besar dibanding yang ditentukan melalui UU no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sebab, dalam UU ini dari penjualan minyak bumi Riau hanya mendapat 15 persen dari penjualan netto setelah dipotong pajak”.

Persoalan Masyarakat Desa Buluhcina

Gambaran Singkat Masyarakat Desa Buluhcina

Desa Buluhcina terletak sekitar 21 km dari Pakanbaru, di tepi sungai Kampar, Kabupaten Kampar, Riau. Penduduknya berjumlah 1.287 jiwa yang tergabung ke dalam 297 KK. Komposisi antara pria dan wanita hampir seimbang yakni pria

Page 5: Pengelolaan Hutan Adat Dan Partisipasi Masyarakat

615 (47,8%) sedangkan wanitanya 672 (52,2%). Penduduk desa Buluhcina terdiri dari beberapa suku antara lain suku Melayu (24,5%), suku Domo (21,8%), suku Dayun (2,3%), suku Minang (0,5%), suku Jawa (0,9%), dan lainnya (3,2%). Diantara suku-suku itu, suku yang paling dominan adalah suku Melayu dan Domo. Kedua suku ini memegang kepemimpinan adat di desa, dengan kepemimpinan ninik-mamak (orang-orang tua atau yang dituakan karena dipercaya sebagai keturunan leluhur mereka). Disamping itu ada pemerintahan desa dan LKMD (sekarang di ganti Badan Perwakilan Desa). Pada tahun 1997 berdiri sebuah lembaga kemasyarakatan yang indepanden yakni Lembaga Musyawarah Besar (LMB) yang diprakarsai oleh Makmur Hendrik, seorang putra daerah Buluhcina. Maksud didirikannya LMB adalah untuk menjembatani pemerintahan desa dengan pemerintahan diatasnya yakni kecamatan dan kabupaten, terutama dalam menyalurkan dana-dana pembangunan desa, secara independen. Dalam perkembangannya, LMB memainkan peran besar dalam pembangunan desa Buluhcina, bahkan secara informal telah menggantikan peran-peran LKMD atau BPD sekarang. Desa Buluhcina yang miskin dahulu dan dihinggapi banyak penyakit sosial seperti perjudian, minuman keras, dsb. kini telah hilang. Banyak infrastruktur fisik seperti jalan, bangunan publik termasuk rumah adat, kantor pemerintahan desa, transportasi sungai, pembangunan dam, dll. diprakarsai oleh LMB. LMB juga berhasil memperjuangkan status hutan adat suku Melayu dan suku Domo di kawasan desa Buluhcina untuk kepentingan bersama masyarakat desa.

Persoalan dan Aspirasi Masyarakat Desa Buluhcina

LMB telah berhasil memperjuangkan kawasan hutan adat desa Buluhcina seluas 2500 ha. Untuk kepentingan penghidupan penduduk desa kawasan hutan seluas 2500 ha itu dibagi menjadi dua, yakni,

Pertama, seluas 1500 ha dijadikan sebagai lahan perkebunan penduduk. Pembagian lahan telah dilakukan, untuk setiap Kepala Keluarga mendapatkan 2 ha tanah perkebunan. Melalui inisiatif LMB, atanah perkebunan itu akan dikelola secara bersama-sama menjadi perkebunan kelapa sawit dengan mencari pola Bapak Angkat. Pola ini sampai sekarang belum berjalan dan penduduk masih kurang intensif menggarap lahan perkebunan mereka.

Page 6: Pengelolaan Hutan Adat Dan Partisipasi Masyarakat

Kedua, seluas 1000 ha sisanya dijadikan kawasan hutan lindung, atau hutan adat yang dikembangkan oleh penduduk setempat menjadi kawasan hutan lindung adat. Penerapan hutan lindung adat ini berlangsung di dalam kehidupan tradisional mereka dan diatur dalam aturan-aturan adat yang sangat ketat. Sejauh ini, kondisi hutan adat lindung ini berjalan dengan baik. Aturan-aturan adat seperti tidak boleh menebang pohon, berburu, menggunakan bom dan potasium untuk menangkap ikan di danau, dsb diikuti dengan sanksi-sanksi yang ketat, sehingga bisa berjalan di dalam komunitas desa Buluhcina itu secara intensif. Aspirasi penduduk desa melalui LMB itu sekarang ingin menjadikan kawasan seluas 1000 ha ini menjadi kawaan “hutan wisata”. Hal ini menjadi beban yang cukup berat karena mereka mengasumsikan perlu adanya “sertifikat” yang menyatakan satatus hutan adat itu dan sekaligus juga bisa menjadi status hukum formal bagi mereka.

Desa Buluhcina termasuk salah satu desa miskin di Riau. Angka putus sekolah sangat tinggi dann jumlah pengangguran semakin membengkak. Setelah putus sekolah biasanya mereka bekerja di pabrik-pabrik yang berada di sepanjang jalan menuju Pakanbaru. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena mereka kini memiliki dan menguasai hutan adat seluas 2500 ha itu tidak bisa memanfaatkan SDA nya karena kekurangan akses dan modal. Sebagian besar orang-orang tua bekerja sebagai nelayan sungai dan membuat budidaya ikan air tawar dengan membuat keramba-keramba di sungai serta memancing ikan di danau. Sejauh ini belum ada mata pencaharian aternatif yang bisa menjadi pemecah masalah pengangguran dan kurangnya lahan pekerjaan di desa itu.

Kelembagaan LMB sangat feodalistik, dan bersifat patron-klien,terutama antara Makmur Hendrik dengan warga masyarakat desa. Walaupun LMB telah berhasil menggeser peran LKMD yang selama pemerintahan Orde Baru mandul dan tumbuh menjadi organisasi kemasyarakatan yang besar di desa Buluhcina namun secara substansial lembaga itu tidak mengakar ke basis masyarakat. Ada beberapa persoalan yang menghantui LMB antara lain seperti; LMB terlalu tergantung kepada sosok putra daerah, tokoh masyarakat yakni Makmur Hendrik semata, ketergantungann terhadap tokoh Makmur Hendrik ini menyebabkan masyarakat menjadi pengikut saja sehingga tidak muncul regenerasi kepemimpinan yang diprakarsai oleh Makmur Hendrik, LMB tidak melembaga di masyarakat sehingga terancam bubar jika patronnya yakni Makmur Hendrik mundur dari aktivitas LMB. Beberapa kelemahan LMB ini sangat meresahkan karena selama ini hampir semua kemajuan yang dicapai oleh desa Buluhcina ditopang langsung oleh LMB. Jika LMB lemah atau bahkan hancur maka sangat mungkin kemajuan yang telah dicapai desa Buluhcina itu juga akan ikut hancur.

Page 7: Pengelolaan Hutan Adat Dan Partisipasi Masyarakat

LMB tidak memiliki visi pemberdayaan masyarakat secara sesungguhnya. Visi yang selalu diemban LMB adalah pembangunan desa dengan gaya feodalistik yang cenderung menguatkan hubungan ‘patron-klien’. Kondisi ini menyebabkan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai LMB tidak diikuti dengan kemajuan keberdayaan masyarakat desa sehingga masyarakat desa secara politis tetap lemah.

Potensi dan Landasan Hukum

Kemajuan yang telah dicapai oleh LMB menjadi sangat berarti bagi kemajuan desa Buluhcina dan memberikan potensi-otensi yang sangat besar bagi ide-ide pengembangan berikutnya.

Di dalam UNDANG-UNDANG NO 41 TAHUN 1999, disebutkan antara lain mengenai hutan adat, sebagai berikut:

Pasal 1 (6): Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Pasal 4 (3): Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya asih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Pasal 5 (2): Hutan negara sebagaimana dmaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.

Pasal 5 (3): Pemerintah menetapkan status hutan seagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Page 8: Pengelolaan Hutan Adat Dan Partisipasi Masyarakat

Pasal 5 (4): Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah.

Sedangkan di dalam UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2001 disebutka mengenai hak masyarakat setempat dan hutan wisata sebagai berikut;

Pasal 1 (5): Izin Kegiatan Hutan Kemasyarakatan adalah izin yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada masyarakat setempat untuk melakukan pengelolaan hutan kemasyarakatan.

Pasal 1 (7): Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang didasarkan pada kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejarahan, keterikata tempat tinggal, serta pengaturan tat tertib kehidupan bersama.

Pasal 7 (2) a. : Sumber daya hutan terutama poensi kayu, potensi hasil hutan bukan kayu, potensi wisata, potensi jasa lingkungan, keadaan penggunaan lahan, potensi lahan.

Sebagaimana di Sumatera Barat yang mengakui NAGARI di dalam PERDA No. …., di Riau juga terdapat PERDA No….. yang mengakui kelembagaan adat.

Strategi Pemberdayaan Hutan Adat

Berdasarkan persoalan-persoalan yang dihadapi masarakat desa Buluhcina diatas, maka setidaknya strategi pemberdayaan itu bisa ditempuh melalui berbagai tahap yakni antara lain,

Page 9: Pengelolaan Hutan Adat Dan Partisipasi Masyarakat

Bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintahan desa Buluhcina melalui LMB untuk mere-identifikasi secara lebih detail dan spesifik masalah-masalah, kendala-kendala, dan potensi-potensi apa yang dimiliki masyarakat desa Buluhcina.

Mencari mitra kerja LSM lokal yang berdomisili di Pakanbaru untuk bekerjasama dan menjadi partner lokal dalam menggas, menelorkan dan menjalankan program-program bersama.

Membentuk semacam ‘forum hutan adat’ di Riau secara lebih luas yang meliputi antar stakeholders baik masyarakat desa, masyarakat kota, pemerintah, perguruan tinggi negeri dan swasta, asosiasi-asosiasi pengusaha, perusahaan-perusahaan swasta, dan asosiasi-aosiasi profesional lainnya serta LSM-LSM.

Menjalin networking yang lebih luas di tingkat nasional dengan tetap berbasis pada networking lokal (penguatan kelebagaan di tingkat lokal), serta menjajagi kemungkinan membangun sebuah kampanye hutan adat di tingkat regional dan global dengan menggunakan akses serta fasilitas Teknologi Informasi yang ada seperti internet.

Program Pemberdayaan Hutan Adat

Berbagai program bisa diusulkan dalam rangka mencapai strategi diatas.