18
Antono : Pengaturan Tentang Arbitrase Ad Hoc Dalam.....1 PENGATURAN TENTANG ARBITRASE AD HOC DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Antono Konsultan dan Pengacara E-mail: [email protected] Abstract : Article 6 paragraph (9) of Act Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution as positive law stipulates that if the peaceful effort cannot be reached, then the parties based on written agreement may refer the settlement of their dispute through insitutional arbitration or ad hoc arbitration. Act Number 30 of 1999 does regulate not clearly and expressly on ad hoc arbitration. Seemingly, Act Number 30 of 1999 is more oriented to institutional arbitration. In Indonesia there are a number of institutional arbitration such as BANI, BASYARNAS, and BAPMI. This research is normative legal research. The type of the research is vague norm and the approaches applied are statute approach and comparative approach. The results of the research are as follows: firstly, Act Number 30 of 1999 regulates more on institutional arbitration and regulates relatively less on ad hoc arbitration. There are not sufficient regulation on the recruitment so it is not clear what the criteria and procedure of recruitment of ad hoc arbitrators. The position of the ad hoc arbitrators is unclear; the office or domicile of the ad hoc arbitration is unknown, thus, it makes difficult for the society who want to bring their disputes to the ad hoc arbitration. It is different from institusional one which has its own arbitration law of procedure (lex atribtri), ad hoc arbitration does not possess it own arbitration law of procedure (lex atribtri). The executorial power of the award made by ad hoc arbitration is still dilematic and its registration at the District Court is still hindered because the District Court is still reluctant to recognize the award of ad hoc arbitration. It is so because ad hoc arbitration is considered not so credible and the District Court does trust it because its existence is not clear. If an award is not registered at the District Court which is proven with the presence of Registration Deed issued by the District Court so such arbitral award can not be executed (does not have executorial power). Keywords: Regulation, Ad Hoc Arbitration, Act Number 30 of 1999 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alter- natif Penyelesaian Sengketa yang merupa- kan hukum positif (hukum yang berlaku saat ini) yang mengatur tentang arbitrase ada di- sebut tentang arbiter ad hoc, yaitu di dalam Pasal 6 ayat (9) berbunyi: “Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kese- pakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga arbitra- se atau arbitrase ad hoc.” Dari bunyi Pasal 6 ayat (9) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Seng- keta di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Apabila usaha perdamaian tidak dapat dicapai maka para pihak tersebut dapat

PENGATURAN TENTANG ARBITRASE AD HOC DALAM UNDANG …

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Antono : Pengaturan Tentang Arbitrase Ad Hoc Dalam.....1

PENGATURAN TENTANG ARBITRASE AD HOC DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA

Antono

Konsultan dan Pengacara

E-mail: [email protected]

Abstract : Article 6 paragraph (9) of Act Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute

Resolution as positive law stipulates that if the peaceful effort cannot be reached, then the parties based

on written agreement may refer the settlement of their dispute through insitutional arbitration or ad hoc

arbitration. Act Number 30 of 1999 does regulate not clearly and expressly on ad hoc arbitration.

Seemingly, Act Number 30 of 1999 is more oriented to institutional arbitration. In Indonesia there are a

number of institutional arbitration such as BANI, BASYARNAS, and BAPMI. This research is normative

legal research. The type of the research is vague norm and the approaches applied are statute approach

and comparative approach.

The results of the research are as follows: firstly, Act Number 30 of 1999 regulates more on institutional

arbitration and regulates relatively less on ad hoc arbitration. There are not sufficient regulation on the

recruitment so it is not clear what the criteria and procedure of recruitment of ad hoc arbitrators. The

position of the ad hoc arbitrators is unclear; the office or domicile of the ad hoc arbitration is unknown,

thus, it makes difficult for the society who want to bring their disputes to the ad hoc arbitration. It is

different from institusional one which has its own arbitration law of procedure (lex atribtri), ad hoc

arbitration does not possess it own arbitration law of procedure (lex atribtri). The executorial power of

the award made by ad hoc arbitration is still dilematic and its registration at the District Court is still

hindered because the District Court is still reluctant to recognize the award of ad hoc arbitration. It is so

because ad hoc arbitration is considered not so credible and the District Court does trust it because its

existence is not clear. If an award is not registered at the District Court which is proven with the

presence of Registration Deed issued by the District Court so such arbitral award can not be executed

(does not have executorial power).

Keywords: Regulation, Ad Hoc Arbitration, Act Number 30 of 1999

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alter-

natif Penyelesaian Sengketa yang merupa-

kan hukum positif (hukum yang berlaku saat

ini) yang mengatur tentang arbitrase ada di-

sebut tentang arbiter ad hoc, yaitu di dalam

Pasal 6 ayat (9) berbunyi: “Apabila usaha

perdamaian sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat

dicapai, maka para pihak berdasarkan kese-

pakatan secara tertulis dapat mengajukan

usaha penyelesaian melalui lembaga arbitra-

se atau arbitrase ad hoc.”

Dari bunyi Pasal 6 ayat (9) Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Seng-

keta di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Apabila usaha perdamaian tidak dapat

dicapai maka para pihak tersebut dapat

2 Badamai Law Journal, Vol. 2, Issues 1, Maret 2017

mengajukan usaha penyelesaian sengke-

ta tersebut secara arbitrase.

2. Penyelesaian secara arbitrase tersebut

dapat melalui lembaga arbitrase atau

arbitrase ad hoc.

3. Syarat untuk dapat mengajukan penyele-

saian sengketa secara arbitrase adalah

berdasarkan kesepakatan secara tertulis

(Perjanjian Arbitrase).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa tidak mengatur seca-

ra jelas dan tegas mengenai arbitrase ad hoc.

Nampaknya Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa lebih berorientasi

pada arbitrase institusional (arbitrase yang

melembaga). Hal ini bisa kita lihat dari

ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 misalnya Pasal 52

yang berbunyi: “Para pihak dalam suatu

perjanjian berhak untuk memohon pendapat

yang mengikat (binding opinion) dari

lembaga arbitrase atas hubungan hukum

tertentu dari suatu perjanjian”. Dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ini

tidak ada ketentuan yang memberikan

wewenang kepada arbitrase ad hoc untuk

memberikan pendapat yang mengikat

(binding opinion).

Menurut Gunawan Wijaya arbitrase

institusional adalah lembaga atau badan

arbitrase yang bersifat tetap. Lembaga ini

sengaja didirikan oleh suatu organisasi

tertentu dan bertujuan untuk menyelesaikan

perselisihan atau sengketa yang timbul dari

suatu perjanjian.1

Sifatnya yang permanen dan menetap

dari badan arbitrase institusional ini

merupakan suatu ciri pembeda yang utama

dari arbitrase ad hoc. Badan arbitrase

institusional selain bersifat permanen atau

tetap pendiriannya juga tidak didasarkan

pada ada tidaknya sengketa, dengan per-

kataan lain bahwa badan arbitrase institusio-

nal ini sudah berdiri sebelum timbulnya

sengketa. Hal ini adalah merupakan suatu

pembeda antara badan arbitrase institusional

dan arbitrase yang bersifat ad hoc karena

arbitrase yang bersifat ad hoc ini biasanya

didirikan setelah timbulnya sengketa.

Dari sifatnya yang sementara serta

ketidaktetapan dari arbitrase yang bersifat ad

hoc ini, maka dalam tataran prakteknya

sering mengalami hambatan seperti: kesulit-

an dalam melakukan komunikasi, menetap-

kan aturan-aturan prosedural dan penetapan

cara pemilihan arbiter yang disetujui oleh

kedua belah pihak.

Untuk mengatasi beberapa kesulitan

tersebut di atas, maka para pihak yang ber-

sengketa sering memilih badan arbitrase

yang bersifat institusional dalam rangka

penyelesaian sengketa yang mereka hadapi.

Dengan kata lain pada tataran praktek

arbitrase yang bersifat institusional ini lebih

1 Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, Op. cit.

hlm 52.

Antono : Pengaturan Tentang Arbitrase Ad Hoc Dalam.....3

diminati karena dirasakan mempunyai ke-

unggulan dibanding arbitrase yang bersifat

ad hoc.

Dilihat dari segi rekrutmennya (recrui-

tment) arbiter pada arbitrase institu-sional

dilakukan oleh masing-masing lembaga

arbitrase secara ketat dan selektif. Para

arbiter yang terpilih kemudian diangkat

sebagai arbiter pada lembaga arbitrase ter-

sebut. Syarat-syaratnya sangat ketat setidak-

tidaknya mengacu kepada ketentuan Pasal

12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyele-

saian Sengketa dan peraturan tambahan

yang dibuat sendiri oleh lembaga.

Pada arbitrase ad hoc tidak jelas

bagaimana kriteria para pihak memilih

arbiter ad hoc. Tidak jelas tentang

kualifikasi dan sertifikasi dari orang-orang

yang dapat diangkat oleh para pihak untuk

bisa menjadi arbiter ad hoc. Sangat

tergantung pada selera para pihak untuk

memilih siapa yang mereka inginkan untuk

menjadi arbiter ad hoc.

Berbeda dengan arbitrase institusio-

nal yang mempunyai Peraturan Arbitrase

(Rule of Arbitration) atau lex arbitri yang

dibuat sendiri oleh lembaga arbitrase ter-

sebut, dalam arbitarse ad hoc tidak ada

Peraturan Arbitrase (Rule of Arbitration)

atau lex arbitri.

Ketentuan dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 Bab IV dengan judul

bab “Acara Yang Berlaku di Hadapan

Majelis Arbitrase” Pasal 27 sampai dengan

Pasal 51 hanya bersifat pokok-pokok saja

sehingga belum mengatur secara rinci, jelas,

dan tegas tentang Hukum Acara Arbitrase.

Oleh sebab itu maka pada arbitrase institu-

sional dibuat sendiri Peraturan Arbitrase

(Rule of Arbitration). Sedangkan pada

arbitrase ad hoc tidak ada lembaga/ organ/

orang yang membuat Peraturan Arbitrase

(Rule of Arbitration). Ini menjadi masalah

sehingga arbitrase ad hoc sulit berkembang.

Terkait dengan kekuatan eksekuto-

rial putusan arbitrase ad hoc juga terdapat

masalah karena terdapat ketidakjelasan

tentang ketentuan pendaftaran putusan

arbitrase ad hoc di Pengadilan Negeri.

Dalam sejumlah kasus terdapat

kesulitan dalam melakuan pendaftaran

putusan arbitrase ad hoc karena Pengadilan

Negeri berpendapat bahwa:

(a) arbitrase ad hoc tidak mempunyai

prosedur arbitrase (arbitration rules)

yang jelas.

(b) tidak jelas syarat-syarat untuk bisa

diangkat, ditetapkan, dan terdaftar

sebagai arbiter ;

(c) tidak diketahui tempat bisa bertemu dan

konsultasi dengan arbiter;

(d) tidak jelas tempat persidangan

arbitrasenya;

(g) putusan yang dijatuhan oleh arbitrase ad

hoc dianggap kurang kredibel (kurang

dapat dipercaya) dibandingan dengan

dari pada putusan arbitrase institusional.

4 Badamai Law Journal, Vol. 2, Issues 1, Maret 2017

Berdasarkan latar belakang masalah

tersebut di atas maka penulis tertarik untuk

meneliti dan melakukan penulisan tesis ini

dengan judul “Pengaturan Tentang

Arbitrase Ad Hoc Dalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan judul serta latar

belakang masalah yang telah dikemukakan

di atas, maka permasalahan dalam tesis ini

dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaturan mengenai

pengangkatan dan kedudukan arbiter ad

hoc serta hukum acara arbitrase ad hoc

di Indonesia?

b. Bagaimana kekuatan eksekutorial

putusan yang dibuat oleh arbitrase ad

hoc dan pendaftaran putusan arbitrase ad

hoc di Pengadilan Negeri ?

PEMBAHASAN

Pengaturan mengenai Pengangkatan dan

Kedudukan Arbiter Ad Hoc serta Lex

Arbitri Arbitrase Ad Hoc

1. Pengaturan Pengangkatan dan

Kedudukan para Arbitrase Ad Hoc

Pengaturan tentang pengangkatan

arbiter merupakan hal yang penting karena

tanpa adanya para arbiter maka penyelesaian

sengketa secara arbitrase tidak bisa

terlaksana. Arbiter merupakan pelaksana

utama dalam suatu arbitrase.

Arbiter adalah seorang atau lebih

yang dipilih oleh para pihak yang berseng-

keta atau yang ditunjuk oleh Pengadilan

Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk

memberikan putusan mengenai sengketa ter-

tentu yang diserahkan penyelesaiannya me-

lalui arbitrase, demikian yang disebut dalam

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Secara umum, mengenai penunjukan

atau pengangkatan arbiter dapat kita jumpai

pengaturannya dalam Pasal 12 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Seng-

keta. Dari bunyi pasal di atas dapat kita

ketahui bahwa sepanjang seseorang meme-

nuhi syarat-syarat di atas, maka ia dapat

ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Ke-

tentuan ini juga tidak mensyaratkan bahwa

ia harus menempuh pendidikan khusus

untuk menjadi arbiter.

Dari bunyi pasal Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 dapat kita ketahui

bahwa sepanjang seseorang memenuhi

syarat-syarat di atas, maka ia dapat ditunjuk

atau diangkat sebagai arbiter. Ketentuan ini

juga tidak mensyaratkan bahwa ia harus

menempuh pendidikan khusus untuk men-

jadi arbiter. Di samping itu, profesi arbiter

tidak mensyaratkan Sarjana Hukum (S.H.)

di dalamnya.

Antono : Pengaturan Tentang Arbitrase Ad Hoc Dalam.....5

Kemudian, dalam suatu arbitrase ad

hoc bagi setiap ketidaksepakatan dalam

penunjukan seorang atau beberapa arbiter,

para pihak dapat mengajukan permohonan

kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk me-

nunjuk seorang arbiter atau lebih dalam

rangka penyelesaian sengketa para pihak

(Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa).

Jenis arbitrase ad hoc disebut juga

“arbitrase volunter” atau “arbitrasi per-

orangan”.2 Pasal 615 Rv ayat (1) tampaknya

hanya mengenal lembaga arbitrase ad hoc.

Pengertian arbitrase ad hoc ialah arbitrase

yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan

atau memutus perselisihan tertentu. Dengan

demikian, kehadiran dan keberadaan

arbitrase ad hoc bersifat “insidentil”. Ke-

dudukan dan keberadaannya hanya untuk

melayani dan memutus kasus perselisihan

tertentu. Selesai sengketa diputus,

keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc

lenyap dan berakhir dengan sendirinya.3

Untuk menyebut arbiter institusional

Pasal I ayat (2) Konvensi New York 1958

menggunakan istilah “arbitrators of

permanent arbitral body” (arbiter dari suatu

badan arbitrase yang permanen/ institusio-

nal). Menurut Konvensi New York 1958

2 Gunawan Wijaya. 2005. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jaarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm 34

3 Idrus Abdullah. 2013. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution). Jakarta: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, hlm 45

pengakuan dan pelaksanaan arbitrase inter-

nasional (asing) berlaku baik terhadap

putusan yang dijatuhkan oleh arbitrase ad

hoc dan arbitrase permanen/ institusional).

Namun demikian Konvensi New

York 1958 tidak mengatur tentang

pengangkatan da kedudukan arbiter baik

pada arbitrase ad hoc dan arbitrase

permanen/ institusional. Konvesi ini hanya

mengatur tentang pengakuan dan pelaksana-

an arbitrase internasional (asing).

Peraturan Arbitrase (Arbitration

Rules) versi UNCITRAL (United Nations

Commi-ssion on International Trade Law –

suatu Komisi PBB untuk Hukum Dagang

Inter-nasional) ada mengatur mengenai

pengang-katan arbiter (appointment of

arbitrators), yaitu dalam Pasal 6, Pasal 7,

dan Pasal 8.

Untuk di Indonesia lembaga yang

berwenang melakukan penunjukkan

(appointing authority) telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

yaitu Pengadilan Negeri.

Peraturan Arbitrase UNCITRAL

menghendaki agar dalam suatu pengang-

katan arbiter (appointment of arbitrator)

harus jelas:

a. Nama lengkap arbiternya;

b. Alamatnya yang jelas;

c. Uraian kualifikasi (description of

arbitrator’s qualification).

6 Badamai Law Journal, Vol. 2, Issues 1, Maret 2017

Yang menjadi masalah untuk

arbitrase ad hoc di Indonesia adalah tidak

jelas:

a. Siapa nama lengkap arbiternya;

b. Apa alamatnya arbiter tersebut;

c. Apa uraian kualifikasi arbiter tersebut

(description of arbitrator’s

qualification).

Kondisi ini menimbulkan masalah

dalam hal pengangkatan arbitrase ad hoc di

Indonesia.

Di dalam Konvensi Washington

1965 tentang Penyelesaian Sengketa

Investasi antara Negara melawan Warga

Negara Asing diatur tentang Lembaga

Penyelesaian Sengketa Investasi

(International Center for Investment

Disputes - ICSID) dimana di dalam Pasal 14

ditegaskan syarat-syarat menjadi arbiter

ICSID, yaitu:

a. Orang yang mempunyai moral yang

tinggi (person of high moral character);

b. Mempunyai kompetensi yang diakui

(recognized competence) di bidang:

1) Hukum (law);

2) Perdagangan (commerce);

3) Industri (industry); atau

4) Keuangan (finance).

2. Peraturan Arbitrase (Lex Arbitri)

Arbitrase Ad Hoc

Peraturan Arbitrase (lex arbitri)

umumnya dimiliki oleh lembaga arbitrase.

Tiap-tiap lembaga arbitrase baik itu nasional

maupun internasional mempunyai Peraturan

Arbitrase (lex arbitri) masing-masing.

Keadaannya berbeda dengan arbit-

rase ad hoc, yang bersifat insidentil, tidak

permanen, seringkali tidak mempunyai

Peraturan Arbitrase (lex arbitri). Hal serupa

terjadi di Indonesia. Padahal hukum acara

arbitrase yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 bersifat pokok-pokok

saja dan tidak rinci. Untuk membicarakan

tentang Peraturan Arbitrase (lex arbitri) ini

maka perlu mengacu dan membahas

sejumlah lembaga arbitrase sebagai rujukan,

baik itu lembaga arbitrase nasional dan

internasional.

Abitrase institusional (institusional

arbitration) merupakan lembaga atau badan

arbitrase yang bersifat “permanen”, disebut

juga permanent arbitral body. Nama itulah

Antono : Pengaturan Tentang Arbitrase Ad Hoc Dalam.....7

yang diberikan Pasal 1 ayat (2) Konvensi

New York 1958 terhadap arbitrase

institusional. Arbitrase institusional ialah

badan arbitrase yang sengaja didirikan.

Pembentukannya ditujukan untuk menanga-

ni sengketa yang timbul bagi mereka yang

menghendaki penyelesaian di luar penga-

dilan. Pihak-pihak yang ingin penyelesaian

permasalahan mereka dilakukan oleh

arbitrase, dapat menjanjikan akan diputus

oleh arbitrase institusional. Organisasi

menyediakan jasa administrasi arbitrase,

yang meliputi pengawasan terhadap proses

arbitrase, aturan-aturan prosedural sebagai

pedoman bagi para pihak dan pengangkatan

para arbiter.4

Faktor kesengajaan dan sifat

permanen yang melekat pada arbitrase

institusional, merupakan ciri pembeda badan

ini dengan arbitrase ad hoc. Ciri lain,

arbitrase institusional sudah ada berdiri

sebelum sengketa timbul. Sedang arbitrase

ad hoc, selain sifatnya insidentil, untuk

4 Gary Goodfaster et.al. 1995. “Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia”, dalam Agnes M. Toar. Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 26

menangani suatu kasus tertentu, baru

dibentuk setelah perselisihan timbul.5

Perbedaan lain, arbitrase institusional

tetap berdiri untuk selamanya, dan tidak

bubar meskipun perselisihan yang ditangani

telah selesai diputus. Sebaliknya, arbitrase

ad hoc bubar dan berakhir keberadaannya

setelah sengketa yang ditangani selesai

diputus. Selain daripada hal-hal yang

diutarakan, kesengajaan mendirikan arbitra-

se institusional sebagai badan yang bersifat

permanen, sekaligus disusun organisasinya

serta ketentuan-ketentuan tentang tata cara

pengangkatan arbiter maupun tata cara

pengangkatan arbiter maupun tata cara

pemeriksaan sengketa.6

Pada umumnya hampir setiap negara

telah memiliki arbitrase institusional yang

bersifat nasional, sebagai pusat arbitrase

nasional pada negara masing-masing.

Semula hanya dijumpai di kawasan negara-

negara maju. Tapi belakangan, terutama

pada masa akhir-akhir ini telah dijumpai di

berbagai kawasan negara-negara berkem-

bang sebagai upaya mengantisipasi perkem-

bangan perekonomian dan teknologi. Untuk

sekedar catatan mengenai arbitrase institu-

5 Ibid, hlm 48

6 Ibid

8 Badamai Law Journal, Vol. 2, Issues 1, Maret 2017

sional yang bersifat nasional di luar

Indonesia, dapat disebut antara lain:7

a. Nederlands Arbitrage Instituut merupa-

kan pusat arbitrase nasional Belanda, di

dalamnya duduk wakil-wakil dari Kamar

Dagang Belanda,

b. The Japan Commercial Arbitration

Association, sebagai pusat arbitrase

nasional Jepang di lingkungan Kamar

Dagang dan industri Jepang.

c. The American Arbitration Association,

merupakan arbitrase institusional

nasional yang didirikan di negara

Amerika Serikat yang pendiriannya

didukung oleh Kamar Dagang Amerika.

d. The British Institute of Arbitrators,

sebagai pusat arbitrase internasional

negara Inggris.

Di samping arbitrase institusional

yang bersifat nasional, ada juga arbitrase

institusional yang berwawasan internasional.

Bahkan badan-badan arbitrase internasional

yang ada sudah lama didirikan. Salah satu

badan arbitrase internasional yang tertua

antara lain Court of Arbitration of the

International Chamber of Commerce (ICC).

Badan ini didirikan di Paris pada tahun

7 Andi Julia Cakrawala. 2015. Penerapan Konsep Hukum Arbitrase On Line di Indonesia. Yogyakarta: Rangkang Education, hlm 72

1919. Pada dasarnya badan-badan arbitrase

yang berwawasan internasional, merupakan

“pusat” arbitrase menyelesaikan sengketa di

bidang tertentu antara para pihak yang

berlainan kewarganegaraan di bidang

perdagangan pada umumnya.8

Selain daripada ICC, badan-badan

arbitrase yang berwawasan internasional

yang paling menonjol antara lain:

1) The International Centre For

Settlement of Investment Disputes

(ICSID) dan lazim disingkat atau disebut

dengan nama “Centre”.

2) UNCITRAL Arbitration Rules (United

Nations Commision on International

Trade Law )

Disamping badan arbitrase yang

bersifat internasional, ada juga arbitrase

yang bersifat regional yang didirikan oleh

Asia-Africa Legal Consultative Committee

(AALCC) – Komite Konsultasi Hukum Asia

Afrika yang berkantor pusat di New Delhi,

India. Berdasarkan pertemuan AALCC di

Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 1978,

kemudian pada tahun 1979 AALCC

mendirikan lembaga arbitrase untuk kawa-

8 Ibid

Antono : Pengaturan Tentang Arbitrase Ad Hoc Dalam.....9

san Asia Afrika, berkedudukan di kota

Kairo, Mesir.

Salah satu lembaga arbitrase di

Indonesia yang mempunyai Peraturan Arbit-

rase (lex arbitri) sendiri adalah Badan

Arbitrase Syariah Nasional

(BASYARNAS).

Disamping institusional yang bersifat

nasional dan regional sebagaimana

disebutkan di atas, terdapat pula arbitrase

institusional internasional, antara lain:

- The International Centre For Settlement

of Investment Disputes (ICSID);

- United Nations Commission on

International Trade Law (UNCITRAL);

dan

- Court Arbitration of the International

Chamber of Commerce (ICC).

Di samping berbagai kelebihan dari

penyelesaian sengketa di arbitrase, yang

menurut saya menjadi keunggulan adalah

arbitrer pemeriksa perkara adalah ahli yang

memiliki kompetensi dalam bidang usaha

yang dipersengketakan. Berbeda dengan

sidang perdata di tingkat pengadilan negeri,

dalam proses arbitrase didahului dengan

pengajuan permohonan arbitrase disertai

dengan permohonan penunjukkan arbitrer

yang akan dipilih oleh pemohon untuk

menangani sengketa di arbitrase hingga

bukti-bukti yang akan diajukan oleh

pemohon untuk mendukung permohonannya

(statement of claim).9

Arbitrase sebagai lembaga penyele-

saian sengketa di luar pengadilan dapat

menjatuhkan putusan yang bersifat final dan

mengikat. Idealnya, para pihak yang

menyelesaikan sengketa di arbitrase tidak

lagi membawa permasalahan ke pengadilan,

baik dalam hal eksekusi ataupun membatal-

kan putusan arbitrase. Walaupun hanya

berupa quasi judicial, lembaga arbitrase

akan lebih efektif dipilih untuk menyele-

saikan sengketa bisnis, sepanjang dilakukan

secara sukarela dan dengan itikad baik

karena secara prinsip, para pihak memilih

arbitrase untuk menghindari pengadilan.

Salah satu alasa nnya karena sifat tertutup

arbitrase yang dapat menjaga kerahasiaan

kasus mereka. Mengingat, publikasi tentang

9 Gunawan Wijaya. 2008. Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis. Arbitrase vs Pengadilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 7

10 Badamai Law Journal, Vol. 2, Issues 1, Maret 2017

sengketa kurang baik bagi pebisnis. Yang

menarik dalam arbitrase, sebelum sidang

dimulai, para pihak sudah mengetahui posisi

dan sikap masing-masing pihak sebagaima-

na tertuang dalam permohonan arbitrase dan

jawaban terhadap permohonan arbitrase.

Bahkan, para pihak pun sudah menyerahkan

daftar bukti untuk mendukung dalilnya

sehingga pada saat sidang pemeriksaan

arbitrase, para pihak mendapatkan

keleluasaan untuk mengutarakan

argumennya secara verbal dan juga dapat

menyertakan bukti tambahan.10

Peraturan Arbitrase (lex arbitri) di

Badan arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

dapat dijadikan sebagai bahan referensi

dalam mempertimbangkan Peraturan

Arbitrase (lex arbitri) bagi arbitrase ad hoc

di Indonesia.

Menurut Vasudha Tamrakar dan

Garima Tiwari dari National Law Institute

University, India, apabila dalam arbitrase

ad hoc di India, para pihak atau arbiter ad

hoc kesulitan dalam membuat/ menentukan

tata cara arbitrase (rule of arbitration/lex

10 Ibid

arbitri) maka dapat ditempuh langkah-

langkah sebagai berikut: 11

a. dengan mengadopsi peraturan arbitrase

dari suatu lembaga arbitrase (adoption of

the rules of an arbitral institution);

b. mengikuti prosedur arbitrase Undang-

Undang yang berlaku di India atau

mengacu ke Undang-Undang Arbitrase

Inggris (English Arbitration Act) 1996;

c. mengacu ke peraturan arbitrase

UNCITRAL; atau

d. mengadopsi ketentuan arbitrase ad hoc

yang terdapat di dalam kontrak-kontrak

lainnya.

Di Amerika Serikat (USA) peraturan

arbitrase (lex arbitri) untuk persidangan

arbitrase (arbitral proceedings) arbitrase ad

hoc dilaksanakan berdasarkan Peraturan

Arbitrase Dagang Internasional Amerika

(American International Commercial

Arbitration Court – IACAC) yang

11Vasudha Tamrakar & Garima Tiwari. Legal Service India (LSI). www.legalserviceindia.com. Ad Hoc and Institutional Arbitration. Diakses tgl. 1 Agustus 2016.

Antono : Pengaturan Tentang Arbitrase Ad Hoc Dalam.....11

merupakan lembaga arbitrase di Amerika

Serikat. 12

Di Belanda lembaga arbitrase

nasionalnya adalah The Netherlands Arbit-

ration Institute (NAI) yang didirikan pada

tahun 1949, berkedudukan di Rotterdam.

Badan Pengelola (Governing Body) NAI

terdiri dari:

a. perwakilan-perwakilan masyarakat

bisnis (business community);

b. para profesional hukum;

c. anggota-anggota dari lembaga yudikatif

(members of the judicary);

d. perwakilan dari Kamar Dagang Belanda

yang berkedudukan di Den Haag;

e. perwakilan dari Kamar Dagang

Internasional (ICC) Belanda; dan

f. perwakilan dari Asosiasi Industri,

Perdagangan, dan Akuntansi Belanda.13

Arbitrase di Belanda baik ad hoc

maupun institusional diatur dalam Undang-

Undang Arbitrase (Arbitrage Wet) tahun

1986 yang telah dimasukkan ke dalam Pasal

1020 s.d. Pasal 1076 Kitab Undang-Undang

12 American International Commercial Arbitration Court. www. Court-inter.us. “Ad Hoc Arbitration”. Diakses tgl. 1 Agustus 2016. 13 Blenheim Advocaten. Arbitration in the Netherlands. https://www.blenheim.nl. Diakses tgl. 1 Agustus 2016.

Hukum Acara Perdata Belanda (Nederlands

Burgerlijk Processrecht) yang dalam

literatur bahasa Inggris disebut sebagai

Dutch Code of Civil Procedure (DCCD). 14

Undang-Undang Arbitrase (Arbitra-

ge Wet) Belanda tahun 1986 banyak menga-

cu kepada Model Law (model hukum) dari

Peraturan Arbitrase (Arbitration Rules)

UNCITRAL tahun 1976 dan (Arbitration

Rules) UNCITRAL tahun 1985. 15

Dengan

demikian maka di Belanda baik arbitrase ad

hoc maupun arbitrase institusional banyak

mengikuti ketentuan-ketentuan Peraturan

Arbitrase (Arbitration Rules) UNCITRAL.

Dari uraian di atas maka perlu

dipertimbangkan untuk mengatur tentang

Peraturan Arbitrase (Arbitration Rules) atau

lex arbitri dari arbitrase ad hoc di Indonesia.

Perlu adanya peran permintah Indonesia

yang lebih aktif agar arbitrase ad hoc bisa

berfungsi sebagaimana mestinya, efektif,

efisien, dan bermanfaat maksimum bagi

masyarakat.

B. Kekuatan Eksekutorial Putusan

Arbitrase Ad Hoc dan Pendaftaran

Putusan Arbitrase Ad Hoc di Pengadilan

Negeri

1. Kekuatan Eksekutorial Putusan

Arbitrase Ad Hoc

14 GAR Reference. Commercial Arbitration in the Netherlands. Diakses tgl. 1 Agustus 2016. 15 Ibid

12 Badamai Law Journal, Vol. 2, Issues 1, Maret 2017

Suatu putusan baik itu putusan

arbitrase maupun putusan pengadilan

diharapkan kekuatan eksekutorial. Suatu

putusan tidak mempunyai arti apa-apa

apabila tidak bisa dieksekusi (dilaksanakan).

Baik arbitrase institusional maupun

arbitrase ad hoc mengeluarkan suatu putusan

(arbitral award). Putusan arbitrase

merupakan suatu putusan yang diberikan

oleh arbitrase ad hoc maupun lembaga

arbitrase atas suatu perbedaan pendapat,

perselisihan paham maupun persengketaan

mengenai suatu pokok persoalan yang lahir

dari suatu perjanjian (yang memuat klausula

arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad

hoc atau pun lembaga arbitrase untuk

diputus olehnya.16

Pasal 59 s.d. Pasal 64 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur

tentang eksekusi (pelaksanaan) putusan

arbitrase nasional, sedangkan Pasal 65 s.d.

69 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

16 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani. Op.cit, hm 93. Lihat juga Rachmadi Usman. 2003. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti., hlm 84

mengatur tentang eksekusi (pelaksanaan)

putusan arbitrase internasional.

Didalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tidak ada diatur tentang

eksekusi (pelaksanaan) putusan arbitrase ad

hoc. Hal ini karena Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 lebih berorientasi pada

arbitrase institusional. Kondisi ini menim-

bulkan kekaburan hukum tentang eksekusi

(pelaksanaan) putusan arbitrase ad hoc.

Mengenai Kekuatan Putusan Arbit-

rase baik melalui lembaga Arbitrase

berskala nasional maupun secara Inter-

nasional, contohnya ada BANI, ICSID,

UNCITRAL adalah final dan binding.

Dengan kata lain putusan tersebut adalah

langsung menjadi putusan tingkat pertama

dan tingkat terakhir. Serta putusan menjadi

mengikat para pihak dan secara otomatis

tertutup pula upaya untuk banding, dan

kasasi sesuai Pasal 60 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 .

2. Pendaftaran dan Eksekusi Putusan

Arbitrase Ad Hoc

Putusan arbitrase dilakukan secara

sukarela. Namun jika tidak dilaksanakan,

maka untuk melakukan eksekusi dengan

Antono : Pengaturan Tentang Arbitrase Ad Hoc Dalam.....13

bantuan pengadilan, harus didaftarkan

terlebih dahulu agar memiliki kekuatan

eksekutorial.

Berdasarkan Undang-Undang No. 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, suatu putusan arbit-

rase merupakan putusan yang bersifat final

dan mempunyai kekuatan elat tetap dan

mengikat para pihak (final and binding). Hal

tersebut menjadi salah satu karakteristik

penyelesaian perkara melalui jalur arbitrase

yang membedakannya dengan penyelesaian

melalui jalur litigasi pada umumnya. Penye-

lesaian melalui jalur litigasi dapat memakan

waktu yang elative lebih lama, karena ter-

dapat upaya-upaya elat yang dapat diambil

oleh pihak yang kalah yang tidak sependapat

dengan putusan Majelis Hakim. Upaya elat

tersebut seperti banding ke Pengadilan Ting-

gi dan Kasasi serta Peninjauan Kembali ke

Mahkamah Agung.

Berbeda dengan putusan arbitrase,

upaya elat apapun tidak dimungkinkan kare-

na sifat putusan itu sendiri yang bersifat

final dan langsung memiliki kekuatan elat

tetap sejak diputuskan oleh arbiter atau ma-

jelis arbiter. Secara prinsip, putusan tersebut

dapat dilaksanakan secara sukarela. Namun,

apabila tidak dilaksanakan secara sukarela,

maka dapat meminta bantuan Pengadilan

dalam melaksanakan eksekusi. Hal ini me-

ngingat, lembaga arbitrase hanyalah quasi

pengadilan sehingga putusan arbitrase tidak

memiliki kekuatan eksekutorial.

Namun terdapat ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

yang mengharuskan suatu putusan arbitrase

tersebut diserahkan dan didaftarkan ke Pani-

tera Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 59

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

maupun bagian penjelasan tidak dijelaskan

pengadilan negeri mana yang berwenang

untuk menerima pendaftaran putusan arbit-

rase tersebut.

Namun jika merujuk kepada Pasal 1

butir 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999, putusan arbitrase tersebut didaftarkan

ke Panitera Pengadilan Negeri yang daerah

hukumnya meliputi tempat tinggal

termohon. Dalam hal ini berarti pihak

termohon dalam perkara arbitrase tersebut

sebelumnya. Lain halnya terhadap suatu

14 Badamai Law Journal, Vol. 2, Issues 1, Maret 2017

putusan arbitrase internasional yang mana

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

telah menentukan secara tegas terkait

masalah pengakuan dan pelaksanaan putus-

an arbitrase internasional tersebut menjadi

kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat.

Siapa yang berhak mendaftarkan

putusan arbitrase? Lalu muncul pertanyaan

terkait pihak mana yang berwenang untuk

mendaftarkan putusan arbitrase tersebut?

Apakah pihak Pemohon dalam perkara

arbitrase atau pihak yang menang? Karena

mungkin saja pihak pemohon dalam perkara

arbitrase tersebut merupakan pihak yang

kalah atau merupakan pihak yang tidak

setuju dengan putusan majelis arbiter

tersebut.

Jika hal tersebut terjadi maka ter-

dapat kemungkinan bagi pemohon untuk

tidak mendaftarkan putusan arbitrase ter-

sebut, karena dengan tidak didaftarkannya

putusan tersebut maka putusan arbitrase ter-

sebut tidak dapat dieksekusi atau dilak-

sanakan.

Penyusun Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 sepertinya telah meng-

akomodir kekhawatiran tersebut karena

secara jelas dan tegas dalam Pasal 59

disebutkan dalam waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan

diucapkan, lembar asli atau salinan otentik

putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan

oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera

Pengadilan Negeri. Dengan demikian maka

pihak yang berwenang untuk melaporan dan

mendaftarkan putusan arbitrase tersebut yai-

tu arbiter, lembaga arbitrase atau kuasanya.

Dalam hal arbitrase melalui BANI maka

nantinya BANI-lah pihak yang berkewajiban

untuk mendaftarkan putusannya tersebut

dalam kurun waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari sejak putusan dibacakan oleh

Majelis Arbiter.

Bukti putusan tersebut didaftarkan

oleh pihak yang berwenang dibuktikan

dengan dilampirkannya lembar asli surat

pengangkatan sebagai arbiter atau salinan

otentiknya bersamaan dengan putusan arbit-

rase yang akan didaftarkan. Walaupun

pendaftaran dilakukan oleh arbiter atau

Antono : Pengaturan Tentang Arbitrase Ad Hoc Dalam.....15

kuasanya namun semua biaya yang me-

nyangkut pendaftaran tersebut ditanggung

oleh para pihak yang bersengketa.

Hal yang tidak diatur dalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan me-

nimbulkan pertanyaan yaitu mengenai teknis

pengajuan pendaftaran tersebut apakah

permohonan diajukan secara tertulis atau

lisan. Dengan tidak adanya pengaturan

untuk hal tersebut maka dapat diasumsikan

perdaftaran dapat diajukan secara tertulis

ataupun lisan.

Panitera pengadilan yang menerima

permohonan pendaftaran putusan arbitrase

nantinya akan memberikan catatan atau

tandatangan pada bagian akhir atau pinggir

putusan. Dengan telah didaftarkannya

putusan arbitrase, maka putusan tersebut

bersifat autentik dan dapat dijalankan

sebagaimana putusan pengadilan yang telah

berkekuatan elat tetap (in kracht).

Pengaturan mengenai pendaftaran putusan

arbitrase dalam kurun waktu 30 hari

sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 berlaku

secara mutlak, karena dengan tidak

dipenuhinya ketentuan tersebut menga-

kibatkan putusan arbitrase tersebut tidak

dapat dilaksanakan.

Bukti adanya catatan atau

tandatangan pada bagian akhir atau pinggir

putusan tersebut merupakan bukti telah

dilakukannya kewajiban untuk mendaftar-

kan dan putusan dapat dilaksanakan. Dengan

telah didaftarkannya putusan arbitrase ter-

sebut maka pihak-pihak dalam perkara wajib

untuk melaksanakan putusan tersebut.

Dalam hal terdapat pihak-pihak yang

tidak mau atau enggan untuk melaksanakan

putusan arbitrase tersebut secara sukarela,

maka atas dasar permohonan eksekusi dari

salah satu pihak Ketua Pengadilan Negeri

dapat memberikan perintah untuk melak-

sanakan putusan tersebut. Ketua Pengadilan

Negeri sebelum memberikan perintah pelak-

sanaan putusan akan memeriksa apakah

putusan tersebut telah memenuhi persya-

ratan formil suatu perkara diperiksa melalui

arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 4

dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan

kesusilaan dan ketertiban umum.

16 Badamai Law Journal, Vol. 2, Issues 1, Maret 2017

Persyaratan formil dimaksud yaitu

sengketa yang terjadi dalam bidang

perdagangan dan terdapat kesepakatan antar

para pihak untuk menyelesaikan segala

permasalahan melalui jalur arbitrase.

Tindakan pihak Ketua Pengadilan yang

hanya memeriksa dari segi formil dan tidak

memeriksa elativ serta pertimbangan elat

dalam putusan tersebut, menunjukkan sifat

kemandirian lembaga arbitrase yang tidak

dapat dicampuri oleh lembaga peradilan

lain. Hal ini merupakan perlindungan dan

jaminan yang diberikan oleh Undang-

Undang agar putusan arbitrase tetap bersifat

mandiri, final dan mengikat.

PENUTUP

1. Pada arbitrase ad hoc kriteria, prosedur

pemilihan dan penunjukan seorang

arbiter ad hoc tidak jelas, demikian

halnya dengan pengaturan mengenai

pengangkatan dan kedudukan arbiter ad

hoc. Berbeda halnya dengan arbitrase

institusional di mana lembaga arbitrase

seperti Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI), Badan Arbitrase

Syariah Nasional (BASYARNAS) dan

Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia

(BAPMI) melakukan sendiri pemilihan

(rekruitmen) dan pengangkatan para

arbiternya. Dengan mengacu kepada

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa yang

mengatur tentang syarat-syarat yang

harus dipenuhi oleh orang untuk dapat

ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter,

lembaga arbitrase membuat sendiri

ketentuan-ketentuan tambahan berkaitan

dengan tata cara pemilihan dan

kriterianya. Arbiter yang terpilih

kemudian tercatat sebagai arbiter tetap

pada lembaga tersebut dan ditetapkan

keahliannya dibidang apa. Keduduan

arbiter ad hoc juga tidak jelas, tidak

diketahui dimana kantor/domisilinya

sehingga menyulitkan masyarakat yang

ingin menyelesiakan sengketa secara

arbitrase ad hoc. Berbeda halnya dengan

aribitarse institusional maka arbitrase ad

hoc tidak mempunyai hukum acara

arbitrase (lex atribtri) sendiri.

2. Kekuatan eksekutorial putusan yang

dibuat oleh arbitrase ad hoc masih

dilematis dan pendaftaran putusan

arbitrase ad hoc di Pengadilan Negeri

Antono : Pengaturan Tentang Arbitrase Ad Hoc Dalam.....17

dapat terkendala karena Pengadilan

Negeri enggan mengakui putusan

arbitrase ad hoc. Hal ini karena arbitrase

ad hoc dianggap kurang kredibel (kurang

terpercaya) oleh Pengadilan Negeri

karena eksistensinya yang tidak jelas.

Apabila suatu putusan arbitrase tidak

didaftarkan di Pengadilan Negeri yang

dibuktikan dengan adanya Akta

Pendaftaran yang diterbitkan oleh

Pengadilan Negeri maka putusan

arbitrase tersebut tidak dapat

dilaksanakan (tidak mempunyai

kekuatan eksekutorial).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Idrus. 2013. Bentuk-bentuk

Penyelesaian Sengketa di Luar

Pengadilan (Alternative Dispute

Resolution). Jakarta: Yayasan

Masyarakat Indonesia Baru.

Abdurrasyid, Priyatna. 2002. Arbitrase &

Alternatif Penyelesaian Sengketa:

Suatu Pengantar. Jakarta: Fikahati

Aneka & BANI.

Adolf, Huala. 2014. Dasar-dasar, Prinsip

dan Filosofi Arbitrase. Bandung:

Keni Media.

Amiruddin & Zainal Asikin, 2006,

Pengantar Metode Penelitian

Hukum, PT RajaGrafindo Persada,

Jakarta.

Basarah, Moch. 2011. 2011. Prosedur

Alternatif Penyelesaian Sengketa

Arbitrase Tradisional dan Modern

(On Line). Yogyakarta: Genta

Publishing.

Cakrawala, Andi Julia. 2015. Penerapan

Konsep Hukum Arbitrase On Line di

Indonesia. Yogyakarta: Rangkang

Education.

Fuady, Munir. 2000. Arbitrase Nasional,

Alternatif Penyelesaian Sengketa

Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Gautama, Sudargo. 1994. Arbitrase Bank

Dunia. Bandung: Alumni.

Goodpaster, Gary & et.al. 1995. “Tinjauan

Terhadap Arbitrase Dagang Secara

Umum dan Arbitrase Dagang di

Indonesia, dalam Agnes M. Toar.

Arbitrase di Indonesia. Jakarta:

Ghalia Indonesia.

--------- Felix O. Soebagjo & Fatmah Jatim.

1995. Arbitrase di Indonesia.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata.

Jakarta: Sinar Grafika.

Ibrahim, Johnny, 2005. Teori & Metodologi

Penelitian Hukum Normatif, Bayu

Media Publishing, Malang.

Margono, Suyud. 2000. ADR (Alternative

Dispute Resolution)& Arbitrase:

Proses Pelembagaan dan Aspek

Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

------------. 2010. Penyelesaian Sengketa

Bisnis Alternative Dispute

Resolution (ADR). Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Marwan, M & Jimmy P. 2009. Kamus

Hukum. Surabaya: Realty Publisher.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005. Penelitian

Hukum, Prenada Media, Jakarta.

18 Badamai Law Journal, Vol. 2, Issues 1, Maret 2017

Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal

Hukum: Suatu Pengantar.

Yogyakarta: Liberty.

Muhammad, Abdul Kadir. 1993. Pengantar

Hukum Perusahaan Indonesia.

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Mulyadi, Kartini & Gunawan Wijaya. 2003.

Perikatan Yang Lahir Dari

Perjanjian. Cet ke-1. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada.

Nasution, S, 2003, Metode Research

(Penelitian Ilmiah), PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta

Rahmadi, Takdir Rahmadi. 2011. Mediasi

Penyelesaian Sengketa Melalui

Pendeatan Mufakat. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada (Rajawali

Pers).

Salim, H.S. 2003. Hukum Kontrak Teori &

Teknik Penyusunan Kontrak. Cet ke-

3. Jakarta: Sinar Grafika.

Simorangkir, J.C.T. et.al, 2008, Kamus

Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji. 1995.

Penelitian Hukum Normatif: Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali

Pers.

Subekti, R . 1981. Arbitrase Perdagangan.

Bandung: Bina Cipta.

Suparman, Eman. 2012. Arbitrase dan

Dilema Penegakan Keadilan.

Jakarta: Fikahati Aneska.

Sutiarso, Cicut. 2010. Pelaksanaan Putusan

Arbitrase dalam Sengketa Bisnis.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Umar, Husein & A. Supriyani Kardono.

1995. Hukum dan Lembaga

Arbitrase di Indon esia. Jakarta:

BANI.

Usman, Rachmadi. 2003. Penyelesaian

Sengketa di Luar Pengadilan.

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Widnyana, I Made. 2009. Alternatif

Penyelesaian Sengketa (ADR).

Jakarta: Fikahari Aneska.

Wijaya, Gunawan. 2005. Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada.

----------- & Ahmad Yani. 2003. Hukum

Arbitrase. Jakarta: Rajawali Pers.

------------. 2008. Seri Aspek Hukum Dalam

Bisnis. Arbitrase vs Pengadilan.

Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Zaidah, Yusna. 2015. Penyelesaian

Sengketa Melalui Peradilan dan

Arbitrase Syariah di Indonesia.

Bandung: Citra Aditya Bakti

Azis, Abdul. 2013. Pembatalan Putusan

Arbitrase oleh Pengadilan Negeri

(Tinjauan terhadap Pasal 70

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan APS). Tesis

Program Magister Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas

Lambung Mangurat, Banjarmasin.