Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH PREVENTIF EKSTRAK DAUN DEWANDARU
(Eugenia uniflora. L) TERHADAP KADAR Malondialdehyde
(MDA) DAN HISTOPATOLOGI DUODENUM PADA
TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) MODEL
GASTROENTERITIS HASIL
INDUKSI Escherichia coli
SKRIPSI
Oleh:
AIDIA LATIFATUL FAJERIA
135130101111016
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
i
PENGARUH PREVENTIF EKSTRAK DAUN DEWANDARU
(Eugenia uniflora) TERHADAP KADAR Malondialdehyde
(MDA) DAN HISTOPATOLOGI DUODENUM PADA
TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) MODEL
GASTROENTERITIS HASIL
INDUKSI Escherichia coli
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Oleh:
AIDIA LATIFATUL FAJERIA
135130101111016
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Pengaruh Preventif Ekstrak Daun Dewandaru (Eugenia uniflora. L) terhadap
Kadar Malondialdehyde (MDA) dan Histopatologi Duodenum pada
Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Gastroenteritis
Hasil Induksi Escherichia coli
Oleh :
Aidia Latifatul Fajeria
135130101111016
Setelah dipertahankan di depan Majelis Penguji
pada tanggal 13 Oktober 2017
dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Sri Murwani, drh., MP NIP. 19630101 198903 2 001
drh. Nurina Titisari, M.Sc
NIP. 19860122 201504 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES
NIP. 19600903 198802 2 001
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Aidia Latifatul Fajeria
NIM : 135130101111016
Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan.
Penulis Skripsi berjudul:
Pengaruh Preventif Ekstrak Daun Dewandaru (Eugenia uniflora) terhadap
Kadar Malondialdehyde MDA dan Histopatologi Duodenum pada Tikus
Putih (Rattus norvegicus) Model Gastroenteritis Hasil Induksi Escherichia
coli
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri dan
tidak menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termasuk di isi
dan tertulis di daftar pustaka dalam skripsi ini.
2. Apabila dikemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil
jiplakan, maka saya akan bersedia menanggung segala resiko yang akan
saya terima.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.
Malang, 13 Oktober 2017
Yang menyatakan,
(Aidia Latifatul Fajeria)
NIM.135130101111016
iv
Pengaruh Preventif Ekstrak Daun Dewandaru (Eugenia uniflora) terhadap
Kadar Malondialdehyde MDA dan Histopatologi Duodenum pada Tikus
Putih (Rattus norvegicus) Model Gastroenteritis
Hasil Induksi Escherichia coli
ABSTRAK
Daun dewandaru (Eugenia uniflora L.) memiliki kandungan utama
tannin, flavonoid dan saponin. Kandungan zat yang bersifat antibakteri dan
antioksidan pada dewandaru mampu mengurangi penggunaan antibiotik dalam
mengobati penyakit gastroenteritis. Gastroenteritis merupakan suatu inflamasi
yang terjadi pada saluran pencernaan melibatkan lambung dan usus yang ditandai
dengan muntah, diare. Gastroenteritis disebabkan oleh Escherichia coli yang
memiliki endotoksin berupa Lipopolisakarida (LPS). Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh preventif ekstrak daun dewandaru (Eugenia
uniflora L.) dalam menurunkan kadar Malondialdehyde (MDA) dan perbaikan
histopatologi duodenum pada tikus putih (Rattus norvegicus) model
gastroenteritis hasil infeksi Escherichia coli. Penelitian ini bersifat eksperimental
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan terdiri dari lima kelompok,
yaitu kontrol negatif, kontrol positif (diinjeksi Escherichia coli) dan tiga
kelompok preventif (diinjeksi Escherichia coli dan preventif dengan dosis ekstrak
daun dewandaru yang berbeda yaitu 300, 400, dan 500 mg/kg BB). Induksi
Escherichia coli dengan dosis 1 x 106 cfu/mL peroral sebanyak 1 mL pada hari
kedelapan penelitian, yang sebelumnya telah diberi preventif ekstrak daun
dewandaru secara 7 hari. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah
histopatologi duodenum dan kadar Malondialdehyde (MDA). Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan dianalisis secara statistik menggunakan one-way
ANOVA (α=0,05). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun
dewandaru tidak dapat menghambat adanya kerusakan pada duodenum dan
kenaikan kadar MDA. Kesimpulan penelitian ini ekstrak daun dewandaru tidak
berpengaruh mencegah gastroenteritis hasil induksi Escherichia coli berdasarkan
kerusakan duodenum dan kenaikan kadar MDA.
Kata kunci: Gastroenteritis, Escherichia coli, Ekstrak, Daun Dewandaru,
Gambaran Histopatologi, Kadar MDA.
v
The Preventive Effects of Dewandaru Leaf Extract (Eugenia uniflora) on
Malondialdehyde MDA Levels and Duodenal Histopathology in
White Rat (Rattus norvegicus) Gastroenteritis Models of
Escherichia coli Induction Results
ABSTRACT
Dewandaru leaves (Eugenia uniflora L.) have the main content of tannins,
flavonoids and saponins. The content of antibacterial and antioxidant substances
in dewandaru can reduce the use of antibiotics in the treatment of gastroenteritis
disease. Gastroenteritis is an inflammation that occurs in the digestive tract
involving the stomach and intestines characterized by vomiting, diarrhea.
Gastroenteritis is caused by Escherichia coli that has endotoxin in the form of
Lipopolysaccharide (LPS). The purpose of this study was to investigate the effect
of preventive dewandaru leaves extract (Eugenia uniflora L.) in reducing levels of
Malondialdehyde (MDA) and improvement of duodenal histopathology in white
rat (Rattus norvegicus) gastroenteritis model of Escherichia coli infection result.
This study was experimental using Completely Randomized Design (RAL) and
consisted of five groups: negative control, positive control (injected Escherichia
coli) and three preventive groups (injected Escherichia coli and preventive dose
with different dewandaru leaves extracts of 300, 400, and 500 mg/kg BW).
Escherichia coli infection with dose of 1 x 106 cfu/mL orally as much as 1 mL on
the eighth day of research, which previously been given preventive dewandaru
leaves extract in 7 days. Parameters observed in this study were duodenal
histopathology and Malondialdehyde (MDA) levels. The data obtained were
analyzed using statistically analyzed using one-way ANOVA (α = 0.05). The
results of this study indicate that dewandaru leaf extract can’t inhibit the
deterioration of the duodenum and elevated levels of MDA. The conclusion of
this study dewandaru leaf extract has no effect on preventing Escherichia coli
induced gastroenteritis based on duodenal damage and elevated MDA levels.
Keywords: Gastroenteritis, Escherichia coli, Dewandaru Leaves, Extract,
Duodenal, Histopathology, MDA Levels.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan berkat dan anugrah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Pengaruh Preventif Ekstrak Daun
Dewandaru (Eugenia uniflora) terhadap Kadar Malondialdehyde (MDA) dan
Histopatologi Duodenum pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model
Gastroenteritis Hasil Induksi Escherichia coli” ini dapat terselesaikan.
Selama menyusun skripsi, penulis banyak mendapatkan arahan, bimbingan
dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. drh. Sri Murwani, MP selaku dosen pembimbing I yang telah membantu
penulis dalam mengarahkan dan memberi bimbingan, kesabaran, fasilitas, dan
waktu yang telah diberikan serta dukungan kepada penulis dalam penyusunan
dan penyempurnaan skripsi ini.
2. Drh. Nurina Titisari, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah membantu
penulis dalam mengarahkan dan memberi bimbingan, kesabaran, fasilitas, dan
waktu yang telah diberikan serta dukungan kepada penulis dalam penyusunan
dan penyempurnaan skripsi ini.
3. Drh. Dodik Prasetyo, M.Vet dan Drh. Albiruni Haryo, M.Sc selaku dosen
penguji yang telah memberikan saran, kritik, masukan serta dukungan kepada
penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya.
5. Ayahanda Sugihanto dan Ibunda Sumiatun tercinta yang senantiasa
memberikan dorongan moril maupun materi, semangat, dan doa yang tiada
henti demi keberhasilan penulis.
6. Kakak Agnes Octaviane Faradila, Astrid Cindy Faradina, Aneda Gian Mia
Putri, sepupu Frizky Amelia, Fahreza Ahlal Firdaus, dan Daffa Almer Dzaki
keponakan tercinta yang senantiasa memberikan senyuman, dorongan,
semangat, materi, dan doa yang tiada henti demi keberhasilan penulis.
vii
7. Teman sejawat dalam pelaksanaan penelitian ini “Luh, Villinda, Rizky dan
Udin” yang bekerjasama dengan baik, serta selalu memberikan dukungan
yang tak henti-henti.
8. Teman-teman Kedokteran Hewan 2013 A, khususnya Rully Argarani dan
Layliya Roziqoh yang selalu memberikan dorongan semangat, inspirasi dan
keceriaan.
9. Teman-teman kontrakan orang-orang tersayang khususnya Lina Kristiana,
Istighfarin Nurul Rahima dan Agustina Dwi Puspithasari yang selalu
memberikan keceriaan, menghilangkan rasa galau dan mendukung penulis
menyelesaikan proposal skripsi dengan tepat waktu.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyusunan
proposal ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, penulis berharap semoga ALLAH S.W.T. membalas segala
kebaikan yang telah diberikan dan hasil dari penelitian ini dapat memberikan
manfaat dan menambah pengetahuan tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi
pembaca.
Malang, 13 Oktober 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
ABSTRACT .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xiii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3 Batasan Masalah .............................................................................. 5
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7
2.1 Gastronteritis ................................................................................... 7
2.1.1. Etiologi .................................................................................. 7
2.1.2. Gejala Klinis .......................................................................... 8
2.1.3. Patofisiologi Gastroenteritis .................................................. 9
2.1.4. Diagnosis Gastroenteritis ....................................................... 10
2.1.5. Pencegahan ............................................................................ 11
2.1.6. Pengobatan ............................................................................ 12
2.2 Escherichia coli ............................................................................... 13
2.2.1. Taksonomi ............................................................................. 13
2.2.2. Karakteristik morfologi E.coli ............................................... 14
2.2.3. Patogenesa E.coli ................................................................... 17
2.2.5. Respon Imun Infeksi E.coli .................................................. 21
2.3 Organ Duodenum ............................................................................ 22
2.3.1. Histologi Duodenum ............................................................. 24
2.4. Dewandaru ...................................................................................... 26
2.4.1. Taksonomi .............................................................................. 27
2.4.2. Kandunggan Zat .................................................................... 27
2.5. Malondialdehyde (MDA) ............................................................... 28
2.6. Hewan coba tikus(Rattus norvegicus) ............................................ 29
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN 32
3.1 Kerangka Konseptual ...................................................................... 33
3.2 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 35
BAB 4 METODE PENELITIAN .................................................................. 36
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................... 36
ix
4.2 Alat dan Bahan ................................................................................ 36
4.3 Rancangan Penelitian ...................................................................... 37
4.3.1. Rancangan Penelitian dan Persiapan Hewan Coba ............... 37
4.4 Variabel Penelitian ......................................................................... 39
4.5 Tahapan Penelitian .......................................................................... 39
4.5.1. Persiapan Hewan Coba Tikus ................................................ 39
4.5.2. Prosedur Pembuatan Ekstrak Daun Dewandaru .................... 40
4.5.3. Induksi Terapi ........................................................................ 41
4.5.4. Perbanyakan Bakteri E. coli .................................................. 41
4.5.5. Pembuatan Hewan Coba Model ............................................ 42
4.5.6. Pembuatan Preparat ............................................................... 42
4.5.7. Pengukuran Kadar MDA ....................................................... 44
4.5.7.1. Preparasi Sampel ............................................................. 44
4.5.7.2. Pengukuran Kadar MDA ................................................. 45
4.5.8. Analisis Data ......................................................................... 45
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 46
5.1 Hasil Induksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Gastroenteritis
Menggunakan Escherichia coli .................................................................. 46
5.2 Pengaruh Preventif Ekstrak Daun Dewandaru Terhadap Kadar
Malondialdehyde (MDA) Duodenum Tikus Model Gastroenteritis .......... 47
5.3 Pengaruh Preventif Ekstrak Daun Dewandaru Terhadap Gambaran
Histopatologi Duodenum Tikus Model Gastroenteritis ............................. 53 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 61
6.1 Kesimpulan ................................................................................................ 61
6.2 Saran ........................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 62
LAMPIRAN .................................................................................................... 69
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1. Agen Patogen Penyebab Gastroenteritis ...................................................... 7
2.2. Klasifikasi Keempat Galur Escherichia coli ................................................ 18
4.1. Rancangan Perlakuan Percobaan ................................................................. 42
5.1. Rata-rata, Standar Deviasi, dan Hasil Uji Tukey Kadar MDA .................... 49
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Morfologi E. coli .................................................................................... 14
2.2 Struktur Bakteri ...................................................................................... 16
2.3 Bentuk Infeksi EPEC .............................................................................. 21
2.4 Histologi Duodenum ............................................................................... 24
2.5 Histopatologi Duodenum ........................................................................ 26
2.6. Dewandaru .............................................................................................. 27
2.7. Tikus Putih (Rattus norvegicus) ............................................................. 31
3.1. Kerangka Konsep Penelitian................................................................... 32
5.2. Histogram Nilai Mean dan Standar Deviasi Kadar MDA ...................... 47
5.3. Gambaran Histopatologi Duodenum ...................................................... 53
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Sertifikat Laik Etik ....................................................................................... 70
2. Determinasi Tanaman Dewandaru ............................................................... 71
3. Uji Fitokimia Daun Dewandaru .................................................................... 72
4. Perhitungan Dosis Ekstrak Daun Dewandaru dan Dosis E.coli .................. 73
5. Isolasi Organ Duodenum .............................................................................. 76
6. Prosedur Pengukuran Kadar MDA ............................................................... 77
7. Pembuatan Preparat Histopatologi dengan HE ............................................. 78
8. Hasil Pengukuran Kadar MDA Duodenum .................................................. 80
9. Perhitungan Statistik Kadar MDA ................................................................ 82
10. Data Penimbangan Berat Badan.................................................................... 86
11. Dokumentasi Penelitian ................................................................................ 87
12. Bagan Kerangka Operasional Penelitian ....................................................... 88
xiii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
A/E : Attaching and Effacing
Ab : Antibodi
ANOVA : Analysis of Variance
APC : Antigen Presenting Cell
BB : Berat Badan
BFP : Bundle Forming Pilus
BNJ : Beda Nyata Jujur
CD4 : Cluster of Differentiation
CFU : Colony Forming Unit
Cl : Chloride
cm : centimeter
DAEC : Diffusely Adherent Escherichia coli
DNA : Deoxyribonucleid Acid
DNase : Deoxyribonuclease
EHEC : Enterohemoragi Escherhia coli
EIEC : Enteroinvasive Escherichia coli
EMBA : Eosin Methilen Blue Agar
EPEC : Enteropathogenic Escheria coli
ETEC : Enterotoxigenic Escheria coli
g : gram
HCl : Hidrogen Chloride
HE : Hematoxilin Eosin
hly : hemolysin
HUS : Hemolita Uremic
IL-1 : Interleukin 1
IL-6 : Interleukin 6
iNOS : Inducible Nitrix Oxid Synthase
Kg : kilogram
KN : Kontrol Negatif
KP : Kontrol Positif
LEE : Locus of Enterocyte Effacement
LPS : Lipopolisakarida
MCA : Mac Conkey Agar
MDA : Malondialdehyde
Mg : miligram
MHC : Major Histocompability Complex
mL : mililiter
mm : milimeter
MMP : Matrix Metaloproteinase
NaCl : Natrium Chloride
NB : Nutrienth Broth
NK : Natural Kliller
Nm : nanometer
xiv
PBS : Phospat Buffered Saline
PFA : Pulverized Fuel Ash
pH : potential of hydrogen
RAL : Rancangan Acak Lengkap
ROI : Reactive Oxygen Intermediate
ROS : Reactive Oxygen Species
Rpm : Revolusi Permenit
SLT : Shiga Like Toxin
SOD : Superoksida Dismutase
SPSS : Statistical Product of Service Solution
ST : Stable Toxin
ST : Stable toxin
STEC : Shiga Toxin Escherichia coli
Stx : Shiga Toxin
Tc : T cytotoxic
TCA : Tikoloroasetat
Th : T helper
Tir : Translicated Intimin Receptor
TNF-α : Tumor Necrosis Factor Alpha
TNF-α : Tumor Necrosis Factor Alpha
UPT : Unit Pelaksanaan Teknis
μL : mikroliter
μm : mikrometer
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gastroenteritis merupakan infeksi pada lambung, usus halus, dan usus besar
yang disebabkan oleh berbagai agen infeksius seperti virus (Norovirus dan
Astrovirus), bakteri (E. coli, Salmonella, Campylobacter, Shigella, dan Vibrio
cholera) dan parasit (Giardia lamblia). Terjadinya gastroenteritis ditunjukkan
dengan gejala klinis seperti diare, abdominal pain, dan vomit (Malone et al., 2014).
Infeksi gastroenteritis dapat mengarah ke diare non inflamasi dan inflamasi
tergantung pada agen kausatif. Infeksi gastroenteritis biasanya ditransmisikan
melalui rute fekal-oral dan makanan yang terkontaminasi. Dari beberapa penyebab,
salah satu penyebab yang sering terjadi pada gastroenteritis non inflamasi yaitu
Escherichia coli (Ogunseitan and Robbins, 2011).
Gastroenteritis merupakan salah satu penyakit yang masih banyak dijumpai,
hal ini dapat dilihat dari hasil survey pada tahun 2010 menyebutkan kasus penyakit
ini pada ayam di daerah jawa barat mencapai 19-40%. Sedangkan, kerugian
ekonomi akibat kematian unggas berupa meningkatnya biaya perawatan dan
pengobatan (Supar, 2010).
Escherichia coli merupakan salah satu bakteri flora normal pada saluran
pencernaan (Manning, 2010). Escherichia coli berperan dalam pertahanan tubuh
melalui kompetisi terhadap nutrisi sehingga pertumbuhan organisme patogen lain
terhambat. Selain itu, E.coli menjaga pH optimal untuk pertumbuhannya sehingga
mikroorganisme patogen akan mati pada pH tersebut karena pH tersebut tidak
2
sesuai dengan yang dibutuhkan beberapa mikroorganisme patogen untuk bertahan
hidup. Namun, E. coli juga dapat menyebabkan infeksi ketika saluran pencernaan
terganggu (Sanders, 2012). Escherichia coli dapat menempel ke mukosa intestinal
dan mensekresikan enterotoksin atau sitotoksin (Ericson et al., 2008).
Lipopolysaccharides (LPS) merupakan toksin yang dimiliki E. coli. Pelepasan LPS
dapat menyebabkan inflamasi pada saluran gastrointestinal. Inflamasi yang terjadi
pada mukosa intestin dapat menyebabkan gangguan absorpsi makanan (Chaudhary
and Adamson, 2016). Pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan karena
kerusakan pada mukosa intestin menyebabkan diare (Walker and Whittlesea,
2012).
Menurut Watson and Preedy (2013), tanpa adanya inflamasi, penyembuhan
tidak akan terjadi. Inflamasi dapat diklasifikasikan menjadi inflamasi akut dan
kronis. Sistem imun pada inflamasi akut merespon karakteristik agen infeksius atau
debris yang disebabkan oleh luka, dengan menghasilkan gejala seperti
pembengkakan, sakit, kemerahan, imobilitas, dan panas. Munculnya gejala tersebut
disebabkan oleh peningkatan produksi leukosit dalam merespon jaringan yang
terpapar antigen. Selama inflamasi kronis, jaringan akan meningkatkan produksi
reactive oxygen species (ROS) sebagai biomarker inflamasi yang dapat
menghasilkan stres oksidatif.
Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi
radikal bebas dan mekanisme antioksidan. Produksi radikal bebas yang berlebihan
atau kurangnya antioksidan akan mengarah ke stres oksidatif. Radikal bebas
merupakan atom atau molekul dengan elektron yang tidak berpasangan sehingga
3
menyebabkan reaktifitas tinggi. Apabila mekanisme antioksidan gagal menangani
ROS, makromolekul seperti lipid, asam nukleat, dan protein maka akan beresiko
teroksidasi. Hal ini mengarah ke disintegrasi struktur, malfungsi, bahkan perubahan
pada epitop dan pengenalan oleh sistem imun. Lipid sangat sensitif terutama
terhadap kerusakan oksidatif. Jumlah produk peroksidasi lipid terutama
malondialdehyde (MDA) dapat diukur untuk menghitung keparahan stres oksidatif
(Watson, 2015).
Antioksidan berfungsi mencegah terhimpunnya senyawa-senyawa oksidan,
menurunkan reaksi oksidasi, memutus, menghambat, menghentikan dan
menstabilkan radikal bebas. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kelompok
senyawa flavonoid memiliki aktivitas sebagai donor hidrogen dan mereduksi
radikal bebas di dalam jaringan (Prakash, 2001). Fungsi senyawa tanin dan saponin
sebagai antibakteri dapat menghambat perkembangan bakteri, sehingga
menurunkan derajat kerusakan jaringan yang ditandai dengan berkurangnya
hemoragi dan membantu sel epitel untuk melakukan proliferasi secara normal tanpa
gangguan dari toksin bakteri (Pringgoutomo dkk, 2002).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora) terhadap
kadar MDA dan histopatologi duodenum pada Tikus (Rattus norvegicus) model
gastroenteritis sebagai tindakan pencegahan terhadap gastroenteritis pada hewan.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang
didapat adalah:
1. Apakah pemberian ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora) dapat
berpengaruh terhadap kadar malondialdehyde (MDA) duodenum tikus
(Rattus norvegicus) yang diinduksi E. coli ?
2. Apakah pemberian ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora) dapat
berpengaruh terhadap organ duodenum tikus (Rattus norvegicus) yang
diinduksi E.coli berdasarkan pengamatan histopatologi ?
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelitian ini
dibatasi pada:
1) Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih (Rattus novergicus)
jantan strain wistar umur 8-12 minggu dengan berat badan 150-200 gram
(Astawan dkk, 2011). Penggunaan hewan coba dalam penelitian ini telah
mendapatkan sertifikat layak etik dari Komisi Etik Penelitian Universitas
Brawijaya (KEP-UB) dengan nomor 756-KEB-UB (Lampiran 1).
2) Pembuatan tikus (rattus novergicus) model gastroenteritis dengan
dilakukan infeksi bakteri E.coli 106 CFU/ml (selama 7 hari) (Astawan
dkk, 2011) yang didapatkan dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran, Universitas Brawijaya.
3) Spesifikasi daun dewandaru yang digunakan berwarna hijau muda
sampai dengan hijau tua (Wardoyo, 2009). Ekstrak daun dewandaru
5
(Eugenia uniflora) dilakukan di Laboratorium di UPT Materia Medika,
Kota Batu dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%
(Materia Medika, 2017)
4) Dosis pemberian ekstrak daun dewandaru yaitu, 300 mg/kg BB, 400
mg/kg BB, 500 mg/kg BB yang diberikan selama 7 hari dengan
modifikasi berdasarkan pada penelitian sebelumnya (Cynthia, 2016).
5) Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah nilai absorbansi dari
enzim malondialdehyde (MDA) menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 532 nm (Suprayogi, 2013) dan histopatologi
duodenum yang diwarnai dengan pewarnaan Haematoksilin Eosin (HE)
yang diamati menggunakan mikroskop cahaya Olympus BX 51 melalui
pembesaran 400 kali dan dianalisa secara deskriptif untuk mengamati
erosi epitel pada vili dan infiltrasi sel radang (Junquiera and Carneiro,
2007)
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1) Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora)
terhadap kadar malondialdehyde (MDA) pada tikus (Rattus norvegicus) yang
diinduksi E.coli.
2) Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora)
terhadap histopatologi duodenum pada tikus (Rattus norvegicus) yang
diinduksi E.coli.
6
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberi informasi kepada masyarakat
tentang potensi ekstrak daun dewandaru sebagai antioksidan dan antibakteri
terhadap E.coli serta memberi efek terhadap penurunan kadar MDA dan perbaikan
histopatologi duodenum.
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gastroenteritis
Gastroenteritis merupakan peradangan pada permukaan lambung dan usus
yang biasanya terjadi akibat infeksi mikroorganisme, tetapi bisa juga akibat
mengkonsumsi bahan kimia beracun atau obat tertentu. Gastroenteritis ditandai
dengan adanya inflamasi pada membran mukosa saluran pencernaan, diare dan
muntah. Faktor gastroenteritis dibagi atas 2 faktor, yaitu faktor infeksi dan faktor
makanan. Faktor infeksi di dapat dari virus, bakteri, parasit dan protozoa (Chow et
al., 2010).
2.1.1 Etiologi Gastroenteritis
Gastroenteritis didefinisikan sebagai sebuah infeksi pada saluran
gastrointestinal yang meliputi lambung, usus halus dan usus besar (Ogunseitan and
Robbins, 2011). Prefiks gastro- mengarah ke lambung, dan enteron yang berarti
intestin, sementara sufiks –itis diartikan sebagai inflamasi (Woodside and Mcclam,
2013). Secara umum, gastroenteritis dapat dibedakan menjadi tiga kelompok
berdasarkan patogenesis agen kausatif yaitu intoksikasi bakteri, viral
gastroenteritis, dan infeksi gastroenteritis yang mana dapat mengakibatkan
terjadinya inflamasi atau tidak menyebabkan inflamasi (Ogunseitan and Robbins,
2011). Penyebab utama terjadinya gastroenteritis adalah virus (missal: adenovirus,
rotavirus, dan norovirus) dan bakteri (missal: Eschericia coli, salmonella,
campylobacter, dan shigella). Selain itu, gastroenteritis juga dapat disebabkan oleh
agen non infeksius seperti toksin kimia yang dapat ditemukan pada makanan atau
8
medikasi (Mandal, 2004). Beberapa macam agen patogen penyebab gastroenteritis
disajikan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Penyebab gastroenteritis
VIRUS BAKTERI PROTOZOA
Rotavirus
Norwalk virus
Enteric adenovirus
Calicivirus
Astrovirus
Shigella
Salmonella
Campylobacter
Escherichia coli
Yersinia
Giardia Lamblia
Entamoeba
Histolytica
Cryptosporidium
Small round virusses
Coronavirus
Cytomegalovirus
Clostridium difficile
Staphylococcus aureus
Bacillus cereus
Vibrio cholera
Sumber: Mandal et al., 2004.
2.1.2 Gejala Klinis Gastroenteritis
Gejala gastroenteritis tergantung ketahanan tubuh host dalam melawan
bakteri (Hoelzer et al, 2011). Menurut Sendow (1998) dalam Saepulloh (2006)
gejala klinis yang timbul ditandai dengan muntah dan diare. Pada kasus diare yang
parah sering terjadi dehidrasi, terutama pada hewan muda berumur kurang dari 2
minggu.
Salah satu contoh gejala klinis gastroenteritis karena infeksi E. coli yaitu
menimbulkan gangguan fungsi usus yang menunjukkan adanya peningkatan kerja
9
peristaltik dan sekresi usus, namun fungsi dan absorpsi usus berkurang sehingga
menimbulkan gejala klinis berupa diare (Fadhilah, 2015). Kolibasilosis pada
unggas menyebabkan adanya diare berwarna kuning. Gejala klinis tersebut diikuti
pula oleh perubahan patologi anatomi, dimana pada usus yang mengalami
peradangan (enteritis). Kebanyakan kasus koligranuloma ditemukan adanya
granuloma (bungkul-bungkul) pada hati, sekum, duodenum dan mesenterium.
Setelah dilakukan nekropsi menunjukkan adanya pericarditis, perihepatitis, hepar
rapuh, bengkak dan berwarna pucat, ginjal bengkak, airsack keruh, paru-paru
rusak (Suryani, 2014).
Hewan ternak yang berumur muda yang diinokulasikan bakteri E. coli
dengan dosis 1010 CFU/ml memiliki gejala seperti diare berlendir hingga diare
berdarah setelah 18 jam pasca infeksi bakteri tersebut (Naylor et al., 2005). Pada
Sapi yang telah berumur tua hanya bersifat asimptomatis atau tidak menunjukkan
gejala klinis sama sekali (Meyer-Broseta, et al., 2001).
2.1.3 Patofisiologi Gastroenteritis yang Disebabkan Escherichia coli
Gastroenteritis merupakan kejadian meningkatnya frekuensi air dan muntah
sebagai hasil dari inflamasi pada membran mukosa lambung dan saluran intestinal.
Infeksi yang disebabkan oleh bakteri Eschericia coli yang melepaskan enterotoksin
dapat menyebabkan kerusakan GI sehingga terjadi diare. Infeksi ini akan mereduksi
kapasitas absorpsi pada distal usus halus dan bagian proksimal kolon sehingga
terjadi diare. Bakteri tersebut dapat melakukan penetrasi ke dalam intestin sehingga
menyebabkan destruksi seluler, nekrosis, bahkan terjadi ulserasi. Ulserasi dan
infeksi akan ditandai dengan adanya eritrosit dan leukosit pada diare yang
10
dihasilkan (Ignatavicius and Workman, 2012). Kejadian ini dapat menimbulkan
gangguan cairan dan elektrolit seperti kalium dan natrium sehingga terjadi
hipokalemi yang mengakibatkan kejang dan kram abdomen sehingga menimbulkan
rasa nyeri (Try, 2011).
Peradangan usus dan lambung juga dapat mengakibatkan meningkatnya
permeabilitas usus yang dapat meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit serta
meningkatnya tekanan intra lumen, maka usus tidak mempunyai kemampuan untuk
menyerap sehingga terjadi pengeluaran feses encer dan frekuensi buang air besar
yang berlebihan, konsistensi cair dan bersifat asam sehingga dapat menimbulkan
gangguan integritas kulit. Selain itu peningkatan cairan dan elektrolit dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan pada intralumen yang akan menimbulkan
terjadinya dehidrasi dan terjadi syok hipovolemik (Try, 2011).
2.1.4 Diagnosis Gastroenteritis
Pada kasus bacterial gastroenteritis, berbagai uji dapat dilakukan dengan
menggunakan sampel untuk menentukan penyebab spesifik. Setiap pasien yang
sakit, bakteri dapat ditemukan dalam peredaran darah dan dapat digunakan untuk
dilakukan kultur bakteri di laboratorium.
Identifikasi penyebab diare sangat diperlukan untuk menentukan
pengobatan, pencegahan dan strategi pengawasan. Diagnosa uji perlu dilakukan
selama itu diperlukan untuk keperluan penanggulangan. Salah satu cara diagnosis
yang utama ialah pengambilan sampel feses sebanyak kurang lebih 15 gram dari
setiap ekor. Beberapa uji lainnya misalnya : identifikasi bakteri, identifikasi oocyts
11
(protozoa), ELISA, rotazyme ELISA, FAT, elektron mikroskop (virus),
immunofluorescence dan perubahan patologi (Chotiah, 2008).
Selain itu, waktu timbulnya gejala setelah paparan terhadap makanan yang
dicurigai juga dapat mengarahkan penyebab infeksi, seperti gejala yang timbul
dalam waktu <6 jam kemungkinan disebabkan oleh toksin bakteri Staphylococcus
aureus atau Bacillus cereus. Gejala yang timbul setelah 6-24 jam kemungkinan
disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium perfingens atau Bacillus cereus. Gejala
yang timbul lebih dari 16-72 jam mengarahkan infeksi oleh virus, terutama bila
muntah merupakan gejala yang paling prominen, atau kontaminasi bakterial dari
makanan oleh enterotoxigenic atau enterohemorrhagic E. coli, Norovirus, Vibrio,
Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Giardia dan Cyclospora (Eppy,
2009).
2.1.5 Pencegahan
Pencegahan merupakan kunci utama untuk menghindari terjadinya
gastroenteritis pada hewan. Pencegahan melalui program manajemen yang
ditujukan untuk menghindari atau mengurangi terjadinya infeksi agen-agen
penyebab gastroenteritis dan meningkatkan kekebalan terhadap agen-agen patogen.
Beberapa manajemen pencegahan yang dapat dilakukan yaitu: manajemen
pemberian pakan dan nutrisi yang baik, perubahan menu pakan baik jenis dan
jumlahnya harus dilakukan secara gradual dan perlahan, manajemen kesehatan
ternak dan lingkungan (Chotiah, 2008).
12
2.1.6 Pengobatan
Menurut Triakoso (2006), terdapat beberapa macam terapi yang dapat
digunakan untuk penderita gastroenteritis, yaitu :
a. Terapi cairan
Tipe cairan yang digunakan bergantung pada kondisi asam-basa dan
elektrolit pasien. Sebagai terapi awal dapat digunakan larutan lactated
Ringer’s. Pemberian cairan bergantung kondisi pasien (IV, subkutan atau
peroral). Batasi pemberian pakan dalam 24 jam. Beri pakan yang mudah
dicerna dan jangan mengandung serat, lemak atau laktosa. Kemudian
frekuensi dan jumlah pakan ditingkatkan hingga kondisi normal.
b. Modulator motilitas
Hanya diberikan bila diare sangat berat. Tujuannya adalah
meningkatkan ritme kontraksi segmentasi dan menurunkan ritme peristaltis.
Sebaiknya tidak diberikan lebih dari beberapa hari.
c. Antibiotika
Diberikan bila ada indikasi terjadi infeksi atau inflamasi pada
saluran cerna berdasarkan pemeriksaan feses. Juga indikasi invasi bakteri
pada mukosa saluran cerna dengan adanya bercak darah pada feses.
13
2.2 Escherichia coli
2.2.1 Taksonomi
Escherichia coli merupakan organisme penghuni utama di usus besar, sifat
hidup komensalisme dalam kolon manusia maupun hewan dan diduga berperan
dalam pembentukan vitamin K yang berperan penting untuk pembekuan darah. Dari
berbagai penelitian, menunjukkan bahwa beberapa strain E. coli juga dapat
menyebabkan wabah diare atau mutaber. Taksonomi E. coli sebagai berikut
(Dwidjoseputro, 1978):
Divisi : Protophyta
Kelas : Schilomycetes
Ordo : Eubacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bagian dari mikrobiota normal saluran
pencernaan. E. coli dapat berpindah karena adanya kegiatan seperti dari tangan ke
mulut atau dengan pemindahan pasif lewat minuman. E. coli dalam usus besar
bersifat patogen jika melebihi jumlah normalnya. Strain tertentu dapat
menyebabkan peradangan selaput perut dan usus (gastroenteritis) (Pelczar and
Chan, 2006). Bakteri ini menjadi patogen berbahaya apabila hidup di luar usus
seperti pada saluran kemih, yang dapat mengakibatkan peradangan selaput lendir
(sistitis) (Pelczar and Chan, 2006).
14
2.2.2 Karakteristik Morfologi Escherichia coli
Gambar 2.1 Morfologi E. coli (Sumber: Kunkel, 2009)
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk basil, ada
yang individu (monobasil), saling berpasangan (diplobasil) atau berkoloni
membentuk rantai pendek (streptobasil), tidak membentuk spora maupun kapsula,
berdiameter ± 1,1 – 1,5 x 2,0 – 6,0 μm (Gambar 2.1), dapat bertahan hidup di
medium sederhana dan memfermentasi laktosa menghasilkan asam dan gas,
kandungan G+C DNA ialah 50 ‒ 51 mol % (Pelczar and Chan, 2006). Pergerakan
bakteri ini motil, tidak motil, dan peritrikus. Ada yang bersifat aerobik dan
anaerobik fakultatif. E. coli merupakan penghuni normal usus, dan seringkali
menyebabkan infeksi.
Strain E. coli yang menyebabkan diare mempunyai pili sebagai media untuk
melekat pada epitel intestin (Jawetz et al., 2005). E. coli merupakan bagian terbesar
dari flora normal usus. Beberapa strain menghasilkan enterotoksin, karena sifat gen
yang dibawa dalam plasmid (Brooks et al., 2008). Menurut (Caprioli et al., 2005)
15
dalam Praja (2015)) sapi merupakan reservoir utama dari Shiga toksin E. coli
(STEC) termasuk di dalamnya yaitu serotipe E.coli O157:H7. Faith et al. (1996)
menegaskan bahwa meskipun di dalam saluran pencernaan sapi terdapat E. coli
O157:H7 namun hewan tersebut tidak menunjukkan sakit. Hewan yang dalam
saluran pencernaannya terdapat bakteri E.coli O157:H7 maka hewan tersebut dapat
menyebarkan bakteri ini baik ke hewan lain maupun ke manusia.
Kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
mikroorganisme. Kehadiran mikroorganisme patogen termasuk E. coli sangat
tergantung pada faktor lingkungan seperti kelembaban, suhu dan curah hujan
(Rahayu, 2010). Suhu pertumbuhan optimum E. coli adalah 37oC, tetapi juga dapat
tumbuh pada kisaran temperatur 15-45oC. Strain E. coli tumbuh secara baik pada
hampir semua media membentuk koloni yang halus, bulat, konveks dengan
diameter 2-3 mm (Willshaw et al., 2000).
Dewanti dan Wahyudi (2011) menjelaskan bahwa E. coli merupakan bakteri
gram negatif berbentuk batang pendek, tumbuh baik pada MacConkey agar (MCA)
dengan koloni berbentuk bulat dan cembung, bersifat memfermentasikan laktosa.
E. coli memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7 μm, dan
bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan
halus dengan tepi yang nyata (Jawetz et al., 2007).
16
Gambar 2.2 Struktur Bakteri
(Sumber: Campbell, 2002)
Struktur bakteri memiliki fungsi masing-masing yang meliputi dinding
sel adalah struktur bakteri yang berfungsi untuk mempertahankan bentuk bakteri
yang nampak pada Gambar 2.2. Membran sitoplasma adalah lapisan tipis yang
terletak disebelah dalam dinding sel, tersusun oleh 60% protein dan 40% lipid yang
uumumnya berupa fosfolipid. Membran sitoplasma merupakan barier yang
fungsinya mengatur keluar masuknya bahan-bahan dari dalam sel atau dari luar sel,
dan hanya bahan-bahan tertentu saja dachoipat melewatinya (semipermeabilitas).
Mesosom merupakan lipatan atau lekukan (folding) dari membran sitoplasma yang
berperan aktif pada proses pembelahan sel dan metabolism. Sel bakteri tidak
mempunyai pembungkus inti yang sebenarnya. Kapsul merupakan suatu lapisan
tipis, berada diluar dinding sel dan secara kimiawi tersusun atas polisakarida,
17
polipeptida, atau kedua-duanya. Kapsul dapat melindungi bakteri dari proses
fagositosis. Kapsul juga menentukan derajat keganasan atau virulensi bakteri,
artinya bakteri yang mempunyai kapsul lebih virulen dibadingkan dengan bakteri
yang tidak memiliki kapsul. Flagela (bulu cambuk) merupakan alat gerak yang
dimiliki oleh semua bakteri. Pili atau fimbriae adalah struktur tambahan yang
melekat pada permukaan dinding sel tetapi lebih pendek dari flagella serta lebih
halus. Fungsi pili sebagai alat untuk menempelkan dirinya pada sel hospes disebut
colonizing factor (Jawetz et al, 2007).
2.2.3 Patogenesa Escherichia coli
Serotipe E. coli ada beberapa yang bersifat patogen dan dapat menyebabkan
infeksi primer pada usus misalnya diare menurut Towoliu et al. (2013). Sejauh
ini, ada 4 kelas Escherichia coli yang bersifat enterovirulen. Keempat kelas
tersebut adalah enteropatogenik Escherichia coli (EPEC), enterotoksigenik
Escherichia coli (ETEC), enteroinvasif Escherichia coli (EIEC), dan
enterohemoragik Escherichia coli (EHEC) pada Tabel 2.2. EPEC menyebabkan
diare yang parah, meskipun mekanismenya belum dapat dijelaskan. ETEC
menghasilkan dua jenis toksin yang bersifat stabil dan agak labil terhadap panas
dan menyebabkan diare, yaitu penyakit yang mirip dengan kolera (di daerah
endemis kolera) dan diare petualang (ditularkan lewat air dan makanan). EIEC
menginvasi dan berproliferasi di dalam sel epitel mukosa sehingga tidak jarang
menimbulkan colonic epithelial cell death (Arisman, 2009).
Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) adalah penyebab utama
traveller’s diarrhea dan infantile diarrhea di negara berkembang. Diare pada
18
kasus ini berupa watery diarrhea, dengan gradasi keparahan berkisar dari ringan
sampai parah. Patogenesis diare oleh family ETEC berkaitan dengan enterotoksin
yang dihasilkannya. Toksin itu sendiri terbagi menjadi heat labile toxins (struktur
dan fungsinya mirip sekali dengan toksin yang disekresikan oleh (Vibrio cholera)
dan heat stable toxins (Arisman, 2009).
Tabel 2.2 Klasifikasi Keempat Galur Escherichia Coli
Galur Tempat
infeksi
Penyakit Mekanisme
pathogen
Enterotoksigenik
E. coli (ETEC)
Usus kecil Traveller’s diarrhea,
Tinja berair, kram
perut, mual, subfebris
Enterotoksin LT
dan ST.
Enteroinvasif
E. coli (EIEC)
Usus besar Shigella-like
diarrhea, tinja berair-
berdarah-berlendir,
kram perut, dan
demam
Invasi dan
destruksi jaringan
sel epitel
Enteropatogenik
E. coli (EPEC)
Usus kecil Diare infantil, mirip
salmonellosis dengan
demam, mual, dan
muntah.
Perlengketan dan
kerusakan sel
epitel.
Enterohemoragik
E. coli (EHEC)
Usus besar Colitis hemoragik,
nyeri perut hebat,
diare berair,
dilanjutkan dengan
pengeluaran banyak
darah.
Verotoksin
(sitotoksin SLT I
dan II)
(Sumber: Arisman, 2009).
Enteroinvasif Escherichia coli (EIEC) dapat menginvasi sel-sel epitel
mukosa usus sehingga menyebabkan terjadinya watery diarrhea, disentri, demam,
muntah, kram dan nyeri perut hebat, serta tenesmus. Tinja kerap mengandung
darah (leukosit dan eritrosit). Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC),
19
enteroaggregatif Escherichia coli (EAEC), dan diffusely adherent Escherichia
coli (DAEC) menyebabkan diare berair dan disentri. Enterohemoragik
Escherichia coli (EHEC) mampu mengeluarkan Shiga like toxins, yang
menyebabkan dua macam sindrom, yaitu hemorrhagic colitis dan HUS. Toksin
ini pula yang bertanggung jawab terhadap gejala sisa sistemik (systemic sequelae)
akibat penyakit ini (Arisman, 2009).
Salah satu serotype E. coli yang dapat menyebabkan infeksi adalah
Enteropathogenic E. coli (EPEC). Bakteri EPEC didefinisikan sebagai bakteri
yang memiliki karakteristik berikut (1) kemampuan menimbulkan diare, (2)
kemampuan membentuk lesio pedestal sebagai akibat dari aktivasi attaching and
effacing pada epitel vili usus, dan (3) tidak mampu memproduksi shiga-like toxin
(Towoliu et al., 2013)
Dalam saluran pencernaan, EPEC melekat pada permukaan mukosa usus
dan menyebabkan terjadinya perubahan struktur sel epitel. Selanjutnya melakukan
invasi menembus sel mukosa sehingga menyebabkan terjadinya diare (Dewi dkk.,
2014). EPEC dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi pada dosis 105-1010
cfu/ml, dan pemberian EPEC selama 7 hari berturut-turut dengan dosis 1ml x 106
cfu/ml mampu menyebabkan tikus diare tanpa menyebabkan kematian (Astawan
dkk., 2011).
Bakteri EPEC yang dipaparkan pada mencit dapat melekat dengan baik
pada mukosa usus halus mencit. Hal ini dapat terjadi karena pada mukosa usus
halus mengandung senyawa yang dapat memediasi perlekatan EPEC. Umumnya
perlekatan bakteri pada sel epitel inang berguna untuk mencegah tersapunya
20
bakteri oleh mukus yang membasahi permukaan jaringan. Mukus ini terbentuk
dari mucin yang merupakan glikoprotein yang menyusun mukus tersebut.
Glikoprotein inilah yang dapat menyebabkan bakteri melekat baik secara spesifik
maupun secara alami. Perlekatan EPEC pada mukosa usus halus diduga juga
disebabkan oleh enzim yang dihasilkan oleh EPEC. Enzim ini berguna untuk
memperantarai proses perlekatan EPEC dengan mukosa usus halus sehingga
EPEC dapat melekat kuat. EPEC menghasilkan enzim protease ekstraseluler yang
dapat mendegradasi mucin pada mukosa usus halus sehingga dapat melekat.
Perlekatan EPEC menyebabkan kerusakan pada lapisan mukosa usus halus (Dewi
dkk., 2014).
Pada usus halus, EPEC berikatan secara kuat pada permukaan epitel vili
sehingga merusak mikrovili, dikenal dengan istilah “attaching and effacing”
(A/E). Patogenesa infeksi EPEC diawali dengan perlekatan bundle-forming pilus
(BFP) pada permukaan sel epitel diikuti sekresi faktor virulen Tir (translicated
intimin receptor). Tir berfungsi sebagai reseptor membran plasma untuk
perlekatan EPEC, sehingga EPEC tidak perlu mencari reseptor spesifik pada sel
inang. EPEC kemudian mengikat Tir melalui protein membran luar (intimin) dan
mulai mengeluarkan senyawa proteolitik yang merusak mikrovili (Dewi dkk.,
2014).
21
Gambar 2.3. Bentuk Infeksi EPEC pada epitel usus (Lu and Walker, 2001).
Setelah menempel dan merusak mikrovili, EPEC mensekresikan senyawa
protein untuk merangsang sitoskeleton aktin yang berada di dalam sel epitel
berkumpul dan tersusun di permukaan sel membentuk struktur pedestal sebagai
tempat bersarangnya EPEC seperti yang nampak pada Gambar 2.3. Infeksi EPEC
juga menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraseluler (Lu and Walker,
2001).
2.2.4 Respon Imun terhadap Infeksi Escherichia coli
Respon imun terhadap bakteri Escherichia coli meliputi sistem immune
natural (innate) dan sistem imun adaptif (acquired). Sistem imun natural berfungsi
mengidentifikasi dan melawan bakteri serta penanda imun adaptif (Mastroeni and
Menager, 2003). Bakteri dan produk toksinnya dikenali tubuh sebagai antigen yang
harus dieliminasi. Respon imun natural dimulai dengan pengenalan komponen
bakteri seperti LPS dan DNA, diikuti penangkapan dan penghancuran bakteri oleh
sel fagosit yang memfasilitasi proteksi host terhadap infeksi (Criss et al, 2001).
Bakteri E.coli yang bertindak sebagai antigen memicu imunitas melalui dua
jalur, yaitu jalur antigen eksogen dan jalur antigen endogen. Pengenalan antigen
melalui jalur eksogen melibatkan MHC-II. Antigen dikenali pertama kalinya oleh
22
APC, seperti makrofag, neutrofil dan sel NK. APC mengikat antigen dan
melepaskan mediator inflamasi berupa sitotoksin dan mengerahkan sistem imun
tubuh sebagai respon terhadap infeksi. APC mencerna antigen dalam proses
fagositosis. Antigen dicerna dengan bantuan lisosom yang memiliki enzim
proteolitik sehingga antigen pecah menjadi peptida-peptida kecil yang akan diikat
oleh molekul MHC-II. Ikatan antigen dengan MHC-II dipresentasikan ke
permukaan sel, sehingga antigen dapat dikenali oleh sel Th (CD4) (Parslow, 2003).
Sel Th yang teraktivasi akan memproduksi sitokin IL-2 yang memicu proliferasi
dan aktivasi sel Tc (sitotoksik), neutrofil dan makrofag sebagai sel fagosit
professional (bukan sebagai APC). Selanjutnya, makrofag memproduksi sitokin,
seperti lL-1, lL-6 dan TNF-α yang dapat menginduksi terjadinya inflamasi lebih
lanjut.
2.3 Duodenum
Sistem pencernaan tikus terdiri dari mulut, esophagus, lambung, usus halus
dan usus besar. Usus halus merupakan tempat penyerapan makanan, dimana terdiri
dari duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum merupakan bagian organ yang
dimulai dari akhir pylorus lambung, disebelah kanan vertebrae lumbal 1.
Duodenum mengelilingi pankreas dan berhubungan dengan jejunum disebelah kiri
vertebrae lumbal 2 (Faiz, 2004). Duodenum berfungsi untuk mencerna dan
mengabsorbsi nutrisi makanan dan air (Price and Wilson, 2006). Bahkan menurut
penelitian lain, fungsi absorbsi didukung karena adanya plika sirkularis (valvula
koniventes).
23
Duodenum merupakan bagian dari usus halus yang berperan dalam sistem
pencernaan. Fungsi utama saluran pencernaan yaitu mencerna dan memecah
makanan di dalam lumennya menjadi molekul yang lebih kecil dan sederhana yang
bisa diserap oleh sirkulasi tubuh untuk menunjang kehidupan organisme.
Duodenum merupakan organ tubular yang terbentang dari pilorus ke usus besar.
(Frappier, 2006).
Duodenum tersusun atas empat lapisan, yaitu tunika mukosa, tunika
submukosa, muskularis eksterna, dan tunika serosa atau adventitia (Eroschenko,
2008). Duodenum memiliki epitel simple kolumnar dengan tepi lurik. Diantara sel
kolumnar terdapat sel goblet. Mamalia memiliki vili yang pendek (Bacha, 2000),
dimana vili berfungsi untuk memperluas permukaan penyerapan, sehingga proses
absorbsi nutrisi dapat berjalan dengan baik (Abdullah, 2007). Di submukosa,
terdapat kelenjar brunner yang menghasilkan mucus bersifat alkalis untuk
melindungi dinding duodenum dari asam lambung yang bersifat sangat asam
bahkan dapat meningkatkan proliferasi epitel dalam usus halus (Eroschenko, 2008).
24
2.3.1 Histologi Duodenum
Gambar 2.4. A = Histologi duodenum normal dengan pewarnaan HE dengan perbesaran
400x. (L) lumen, (E) epitel, (LP) lamina propria, (MM) muskularis
mukosa, (V) vili usus, (K) kripte usus, (TM) tunika muskularis (Eurell dan
Frapier 2006).
B = Histologi duodenum normal dengan pewarnaan HE dan perbesaran
400x. Mukosa (a), Submukosa (b), Kelenjar submukosa (c), Muskularis
externa (d) (Wahab, 2012).
Wahab (2012) menyebutkan bahwa histologi intestinum tenue ditandai
dengan banyaknya penjuluran dari mukosa dan menonjol kepermukaan lumen yang
disebut vili. Adanya vili intestinalis menjadikan perluasan mukosa menjadi lebih
efektif. Pada dasarnya vili merupakan modifikasi dari permukaan mukosa. Pada
duodenum vili ini berbentuk seperti daun. Di antara vili terdapat muara kecil dari
kelenjar tubular simplek yang di sebut kripte Lieberkuhn atau kelenjar intestinal.
Struktur yang juga terlihat pada duodenum yaitu plika sirkularis yang merupakan
lipatan-lipatan mukosa yang sangat khas pada duodenum dan jejunum. Dinding
duodenum terdiri atas empat lapisan konsentris seperti pada Gambar 2.4.B:
a
d
c
b
B
A
25
1) Lapisan paling luar yang dilapisi peritoneum, disebut serosa. Merupakan
kelanjutan dari peritoneum, tersusun atas selapis pipih sel-sel mesothelial diatas
jaringan ikat longgar dan pembuluh darah.
2) Lapisan muskuler disebut juga tunika muskularis yang tersusun atas serabut otot
longitudinal (luar) dan sirkuler (dalam). Pleksus mienterikus Aurbach terletak
diantara kedua lapisan ini dan berfungsi mengatur otot disepanjang usus.
3) Lapisan selanjutnya yaitu submukosa yang hampir keseluruhan ditempati oleh
kelenjar duodenal tubuler yang sangat bercabang. Kelenjar ini juga disebut
kelenjar brunner. Kelenjar brunner bermuara ke krypta Lieberkuhn melalui
duktus sekretorius. Sekresi dari kelenjar brunner bersifat visceus , jernih,
dengan pH alkalis ( pH 8,2 – 9,3 ), berguna melindungi mukosa duodenum
terhadap sifat korosif dari getah lambung yang asam dan mengoptimalkan pH
usus bagi kerja enzim pankreas.
4) Mukosa, yang merupakan lapisan dinding yang paling dalam. Terdiri dari 3
lapisan: lapisan dalam adalah muskularis mukosa , lapisan tengah adalah lamina
propria, lapisan terdalam terdiri dari selapis sel-sel epitel kolumnar yang
melapisi krypte dan villi-villinya.
26
Gambar 2.5. Histopatologi duodenum dengan pewarnaan HE dengan perbesaran
600x. Pada gambar (A) ujung villus normal dengan bentuk yang sesuai dan
utuh. (B) Sebuah villus yang mengalami atrofi dan bulat dengan erosi
epitel (Janeczko, et al., 2008).
2.4 Dewandaru
Tumbuhan ini memiliki bentuk akar yang panjang sehingga sistem
perakarannya disebut sistem akar dalam, terdapat bulu-bulu akar. Batangnya
ramping, kadang-kadang tumbuh cabang-cabang yang bengkok. Tinggi tanaman ini
bisa mencapai sekitar 7 m. Batang dari tanaman ini banyak mengandung lignin
(kayu) dan kelihatan kering. Daunnya memiliki aroma yang khas, panjangnya ±6
cm, dan lebarnya sekitar 1,5-3 cm. Daunnya halus, berbentuk bulat telur dan tipis,
mengilap, berwarna merah tua waktu tumbuhan masih muda, dan berubah menjadi
warna hijau tua dan mengkilap saat tumbuhan dewasa, kemudian berubah menjadi
warna merah lagi pada suhu yang sangat dingin pada saat musim dingin. Susunan
daunnya saling menyilang. Memiliki tangkai bunga yang panjang, bunganya
memberikan bau khas, memiliki 1 atau paling banyak 4 kelopak daun, berwarna
krem, panjang diameternya sekitar 1 cm, kelopak bunga berbentuk seperti pipa,
daun bunganya lembut, berlapis-lapis, dan panjangnya sekitar 7-11 mm. Gambar
2.6 (Wardoyo, 2009).
27
Gambar 2.6 Bagian dari pohon dewandaru: (A) tangkai (B) daun (C) buah
(Sumber: Wardoyo, 2009).
2.4.1 Taksonomi
Taksonomi Tanaman Dewandaru adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Sub kelas : Dialypetalae
Bangsa : Myrtales
Suku : Myrtaceae
Marga : Eugenia
Jenis : Eugenia uniflora Linn. (Hutapea, 1994)
2.4.2 Kandungan Zat Dewandaru
Di Indonesia banyak bahan-bahan alami dan tanaman obat yang mempunyai
kandungan antioksidan tinggi. Tanaman obat dapat dimanfaatkan untuk
pencegahan dan pengobatan suatu penyakit maupun pemeliharaan kesehatan.
Diantara tanaman obat yang digunakan secara tradisional dan diteliti secara ilmiah
A
B
C
28
adalah dewandaru (Eugenia uniflora L.). Tanaman ini tersebar luas di negara-
negara Amerika Selatan terutama di Brasil, Argentina, Uruguay, dan Paraguay
(Consolini dan Sarubbio, 2002). Tanaman ini menyebar di Indonesia hingga di
daerah Sumatera dan Jawa (Hutapea, 1994). Hasil uji fitokimia daun dewandaru
menunjukkan adanya alkaloid, glikosida, flavonoid, tanin, saponin, dan terpenoid
(Onwudiwe et. al., 2010).
Dewandaru banyak mengandung senyawa flavonoid, dimana 96,7%
aktivitas antioksidan ekstrak daun dewandaru disumbangkan oleh senyawa
flavonoid. Flavonoid dapat digunakan sebagai pelindung mukosa lambung,
antioksidan, dan mengobati gangguan fungsi hati (Sutari, 2008). Berbagai
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dewandaru memiliki aktivitas
antibakteri, antioksidan, penangkal radikal bebas, penghambat hidrolisis dan
oksidasi enzim, dan antiinflamasi yang disebabkan karena adanya senyawa
flavonoid (Reynertson and Kennelly, 2001; Utami et al., 2005). Ekstrak daun
dewandaru Eugenia uniflora juga sebagai agen hipotensif (Consolini et al., 2000)
dan menghambat peningkatan level trigliserida dan glukosa plasma (Matsumura et
al., 2000).
2.5 Malondialdehid (MDA)
Malondialdehyde (MDA) adalah senyawa kristal higroskopi berwarna putih
yang terbentuk dari hidrolisis asam 1,1,3,3- tetraethoxypropane. Salah satu
biomarker yang sering digunakan untuk mengetahui level peroksidasi lipid total
adalah kadar dari malondialdehyde. Pengukuran MDA memberikan perkiraan
29
aktivitas radikal bebas serta sebagai penanda terjadinya stres oksidatif di dalam
tubuh (Karim, 2011).
Malondialdehyde (MDA) adalah senyawa dialdehida yang merupakan
produk akhir peroksida lipid di dalam tubuh dan produk dekomposisi dari asam
amino, karbohidrat kompleks, pentosa dan heksosa. Selain itu, MDA juga
merupakan produk yang dihasilkan oleh radikal bebas melalui reaksi ionisasi dalam
tubuh dan produk samping biosintesis prostaglandin yang merupakan produk akhir
oksidasi lipid membrane (Winarsi, 2007).
Malondialdehyde terbentuk dari peroksida lipid (lipid peroxidation) pada
membran sel yaitu reaksi radikal bebas (radikal hidroksi) dengan Poly Unsaturated
Fatty Acid (PUFA). Reaksi tersebut terjadi secara berantai, akibat akhir dari reaksi
rantai tersebut akan terbentuk hydrogen peroksida. Hydrogen peroksida tersebut
dapat menyebabkan dekomposisi beberapa produk aldehid yang bersifat toksik
terhadap sel dan berbeda panjang rantainya antara lain MDA, yang merupakan
salah satu aldehid utama yang terbentuk (Mudassir, 2012)
2.6 Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus
putih. Tikus putih (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara baik,
mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang adaptif serta cocok untuk berbagai
penelitian (Johnson, 2012).
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus
putih. Tikus putih (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara baik,
30
mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang adaptif serta cocok untuk berbagai
penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus (Gambar 2.7) antara lain
memiliki hidung tumpul, panjang badan 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek
dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak lebih dari 20-23 mm. Rattus
norvegicus memiliki waktu hidup 2,5 tahun sampai 3,5 tahun, denyut jantung 330-
480 kali permenit, frekuensi respirasi 85 kali permenit dan memasuki masa dewasa
pada usia 40-60 hari (Armitage, 2004). Tikus putih memiliki berberapa galur dari
hasil perkembangbiakan dan persilangan antar tikus yaitu Wistar, Sprague, Dawley,
Madison, Wicaoustin, dan Long Evans.
Rattus norvegicus memiliki rambut tubuh berwarna putih dan mata berwarna
merah, panjang tubuh total 440 mm, panjang ekor 205 mm. Gambar 2.7 (Myers
and Armitage, 2004), bobot Rattus norvegicus pada usia dewasa adalah sekitar 250-
500 gram (Potter, 2007; Miller et al., 2010). Klasifikasi tikus yang digunakan dalam
penelitian menurut Myers and armitage (2004), adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Galur : Wistar
31
Gambar 2.7 Rattus norvegicus (Johnson, 2012)
Sistem pencernaan tikus wistar dimulai dari mulut, esofagus, lambung, usus
halus dan berakhir pada usus besar. Usus halus terdiri atas duodenum, jejenum dan
ileum. Panjang usus halus ini kira-kira lima kali panjang usus besar. Fungsi
penyerapan pada masing-masing bagian usus halus tergantung kepada jenis zat
makanan yang akan diserap. Glukosa maksimum diserap di jejenum dan di bagian
atas ileum, galaktosa di pertengahan dari ketiga usus halus, protein utuh dan
albumin diserap di segmen paling ujung dari usus halus, sedangkan lemak diserap
di jejenum. Usus besar terdiri dari sekum, kolon dan rektum (Bivin et al., (1979)
dalam Rita (2001)).
32
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian
Perubahan Histopatologi Duodenum
Respiratory Burst
bbbbbbbbbbbbbu
rst
Sitokin (TNF α, IL-1,
IL-6)
MMP, Growth
Factor
Antibakteri
(Bakteriostatik)
Adhesi epitel
Aktifasi Sel-sel imunitas
Inflamasi
Ekstrak Daun Dewandaru
(Flavonoid, Saponin, Tannin)
E. coli Tikus (Rattus norvegicus)
Antioksidan
Kolonisasi mukosa usus
Keteraangan
: variabel bebas : efek infeksi E.coli
: variabel bergantung : efek ekstrak daun dewandaru
: menghambat
32
Produksi ROS
Stress Oksidatif
Peroksidasi Lipid
MDA
Duodenum
Kerusakan
Membran sel
Makrofag
Fagositosis
LPS E. coli
LPS + LBP
CD 14
Enterotoksin
33
Tikus diinfeksi Escherichia coli yang sebelumnya sudah mendapatkan
ekstrak daun dewandaru. E. coli diinfeksi ke tikus melalui rute oral
(gastroistestinal tract). Penetrasi E. coli yang lolos dari kondisi asam lambung
akan menempel pada usus, khususnya duodenum. Patogenesa infeksi E. coli
diawali dengan perlekatan BFP (Bundle Forming Pilus) pada permukaan sel epitel
diikuti sekresi faktor virulensi Tir. Setelah mengalami adhesi, sel bakteri E. coli
akan mengeluarkan endotoksin dan enterotoksin. Endotoksin merupakan salah
satu ciri khas bakteri gram negatif yang terletak pada dinding selnya, yaitu adanya
Lipopolisakarida (LPS). Lipopolisakarida (LPS) yang dilepaskan akan berikatan
dengan LBP membentuk kompleks LPS-LBP. Kompleks ini selanjutnya akan
diterima oleh reseptor CD 14 dipermukaan sel makrofag dan diteruskan ke TLR4
yang akan menyebabkan aktivasi NF-kB. Adanya endotoksin ini memicu
aktivitasi dari makrofag ke tempat infeksi untuk melakukan eliminasi. Selain itu,
perlekatan (adhesi) E. coli pada epitel juga disebabkan karena enzim protease
ekstraselular yang dihasilkan oleh bakteri ini. Enzim protease ekstraselular
berfungsi untuk mendegradasi mucin pada mukosa usus. Setelah mengalami
proses adhesi, bakteri E. coli akan menempel dan mencoba untuk merusak
mikrofili lalu membentuk struktur pedestal sebagai akibat dari attaching and
effacing (A/E) yang berfungsi sebagai tempat bersarangnya E. coli. Setelah
berhasil memasuki usus, maka bakteri ini akan berkolonisasi dan merusak vili
sehingga dapat menimbulkan infeksi.
34
Dalam mekanisme imunitas non spesifik memiliki sifat selalu siap dan
memiliki respon langsung serta cepat terhadap adanya patogen pada individu yang
sehat. Sistem imun ini bertindak sebagai imunitas pertama dalam menghadapi
infeksi dan tidak perlu menerima paparan sebelumnya. Infeksi dari bakteri akan
mengakibatkan pengaktivasi sel-sel imunitas seperti fagosit, makrofag dan sel NK
(Natural killer). Setelah itu akan terjadi proses inflamasi akibat dari respon
imunitas. Pada saat terjadi proses inflamasi, setelah bakteria masuk ke dalam sel
maka makrofag akan melakukan pembunuhan dengan pembentukan Reactive
Oxygen Species (ROS) melalui jalur Reactive Oxygen Intermediates (ROI) dan
juga akan menghasilkan NO (Nitrit Oxid) sebagai hasil dari iNOS. Ketika
makrofag dan neutrofil telah aktif dan bekerja, dapat mengakibatkan kerusakan
jaringan duodenum normal karena mengeluarkan ROS, NO dan sitokin. Makrofag
yang telah aktif juga dapat menghasilkan growth factors untuk fibroblast dan sel
endotelial yang dapat berperan untuk memperbaiki kerusakan jaringan. Jika
growth factors dan MMP yang dihasilkan sedikit, maka kerusakan jaringan organ
duodenum akan semakin parah
Respon imun alamiah (sistem imun innate) tidak dapat menanggulangi
antigen yang masuk, maka sistem imun addaptive akan bekerja. Respons imun ini
dipicu oleh masuknya antigen atau mikroorganisme ke dalam tubuh dan dihadapi
oleh sel makrofag yang selanjutnya akan berperan sebagai antigen presenting cell
(APC). Sel ini akan menangkap sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke
permukaan sel yang dapat dikenali oleh sel limfosit T penolong (Th atau T
helper). Oleh karena itu sel T hanya mengenal imunogen yang terikat pada protein
35
MHC pada permukaan sel lain. Sel CD8 akan berikatan dengan antigen yang
dipresentasikan oleh MHC1 dan akan menyebabkan lisis sel target. Sel CD4
hanya akan berikatan dengan partikel antigen yang dipresentasikan melalui MHC
2 pada permukaan makrofag yang terinfeksi E. coli dan akan mengaktivasi sel
Th1 dan Th2. Aktivitas antiinflamasi ekstrak daun dewandaru yang mengandung
flavonoid yang bertindak sebagai antioksidan karena memiliki gugus hidroksil
yang terikat pada karbondioksida sehingga dapat menangkap radikal bebas
dengan menyumbangkan 1 atom hydrogen, akan menghambat produksi
neutrophil, migrasi makrofag dan sitokin proinflamasi TNF- α, dan IL-2.
3.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan didapatkan hipotesa
penelitian sebagai berikut :
1. Pemberian ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora) dapat menurunkan
kadar malondialdehyde (MDA) duodenum pada tikus putih (Rattus
norvegicus) model gastroenteritis yang diinfeksi E. coli.
2. Pemberian ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora) dapat memperbaiki
struktur duodenum pada tikus putih (Rattus norvegicus) model
gastroenteritis yang diinfeksi E. coli.
36
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2017. Pembuatan ekstrak daun
dewandaru dilakukan di Laboratorium UPT Materia Medica, Kota Batu.
Pemeliharaan hewan coba dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, suspensi bakteri E. coli didapatkan di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya,
pemeriksaan kadar MDA di Laboratorium Faal Fakultas Kedokeran Hewan dan
tahapan pembuatan preparat Histopatologi Jaringan di Laboratorium Patologi
Anatomi Kesima Medika Malang.
4.2 Alat dan Bahan
Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, antara lain bak
pemeliharaan hewan coba, tempat pakan, tempat minum, timbangan tikus, sonde
lambung. Preparasi organ duodenum membutuhkan seperangkat alat bedah minor,
silet, hand glove, pot organ dan masker. Pembuatan preparat histopatologi
membutuhkan pisau scalpel, pinset, freezer, mesin microtome, pisau microtome,
inkubator, object glass, cover glass, dan mikroskop cahaya. Pengukuran kadar MDA
membutuhkan kuvet, spektrofotometri, mortar, tabung eppendorf, pipet tetes, mikro
pipet, mikro tube, lemari pendingin, seperangkat alat sentrifugasi (tabung
sentrifugasi, alat sentriugasi), inkubator, vortex, tissue.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus
norvegicus) berumur 8-12 minggu dengan berat 150-200 gram, daun dewandaru
(Eugenia uniflora), pakan dan air minum hewan coba, bakteri E. coli. Bahan untuk
37
pembuatan preparat histopatologi adalah organ duodenum direndam pada formalin
10%, NaCl fisiologis 0,9%, formalin 10%, etanol absolut 96%, aquades steril,
alkohol, etanol bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan etanol absolut), xylol, parafin
dan pewarna histopatologi Hematoxylen-Eosin. Bahan untuk pengukuran kadar MDA
adalah PBS-azida 1%, larutan stok MDA (malondialdehyde tetrabutylammonium
salt) dan 8 µm/ml, 100 µl TCA 10%, 250 µl HCl 1 N, Na-Thio 1%.
.
4.3 Rancangan Penelitian
4.3.1 Rancangan Penelitian dan Persiapan Hewan Coba
Rancangan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) eksperimental dengan post test control design only. Hewan coba
dibagi menjadi lima kelompok perlakuan yaitu kelompok A sebagai kontrol
negatif, kelompok B sebagai kontrol positif, kelompok C dengan dosis 300 mg/kg
BB, kelompok D dengan dosis 400 mg/kg BB dan kelompok dengan dosis 500
mg/kg BB sebagai kelompok perlakuan preventif (Cynthia, 2016). Kelompok
kontrol negatif merupakan tikus yang hanya diberikan pakan normal dan kontrol
positif merupakan tikus diinfeksi E. coli tanpa pemberian terapi. Perlakuan Tabel
4.1
38
Tabel 4.1 Rancangan Perlakuan Percobaan.
Sampel penelitian yang digunakan adalah hewan coba berupa tikus (Rattus
norvegicus) jantan strain wistar berumur 8-12 minggu, dengan berat badan tikus
antara 150-200 gram. Hewan coba diadaptasikan dengan cara diaklimatisasi
selama tujuh hari. Aklimatisasi ini bertujuan untuk mengkondisikan hewan
Kelompok
Tikus
Perlakuan Keterangan
Kontrol
Negatif
Tikus kontrol negatif
(sehat)
Kelompok tikus tanpa diberikan
perlakuan infeksi E. coli dan
ekstrak daun dewandaru.
Kontrol
positif
Tikus kontrol positif
(sakit)
Perlakuan tikus yang diinfeksi
E.coli 106 CFU/ml per ekor per
hari selama 7 hari menggunakan
sonde lambung dan tanpa
diberikan ekstrak daun
dewandaru.
Perlakuan 1 Pemberian ekstrak daun
dewandaru 300 mg/kg BB
pada tikus.
Perlakuan tikus yang diberikan
ekstrak daun dewandaru 300
mg/kg BB selama 7 hari dan
diinfeksi E. coli 106 CFU/ml per
ekor per hari pada hari ke 8
menggunakan sonde lambung
selama 7 hari.
Perlakuan 2
Pemberian ekstrak daun
dewandaru 400 mg/kg BB
pada tikus.
Perlakuan tikus yang diberikan
ekstrak daun dewandaru 400
mg/kg BB selama 7 hari dan
diinfeksi E. coli 106 CFU/ml per
ekor per hari pada hari ke 8
menggunakan sonde lambung
selama 7 hari.
Perlakuan 3 Pemberian ekstrak daun
dewandaru 500 mg/kg BB
pada tikus gastroenteritis
Perlakuan tikus yang diberikan
ekstrak daun dewandaru 500
mg/kg BB selama 7 hari dan
diinfeksi E. coli 106 CFU/ml per
ekor per hari pada hari ke 8
menggunakan sonde lambung
selama 7 hari.
39
dengan suasana, temperatur, dan suhu laboratorium serta untuk menghilangkan
stress akibat transportasi (Jenova, 2009). Estimasi besar sampel dihitung
berdasarkan rumus (Kusriningrum, 2008):
t (n-1) ≥ 15 Keterangan :
5 (n-1) ≥ 15 t : Jumlah kelompok perlakuan
5n–5 ≥ 15 n : Jumlah ulangan yang diperlukan
5n ≥ 20
n ≥ 20/5
n ≥ 4
Berdasarkan perhitungan di atas, maka untuk lima kelompok diperlukan
jumlah ulangan empat kali dalam setiap kelompok, sehingga diperlukan 20 ekor
hewan coba.
4.4 Variabel Penelitian
Variabel yang diamati dari penelitian ini adalah :
Variabel bebas : Dosis ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora) dan E.
coli
Variabel tergantung : Kadar MDA dan histopatologi duodenum
Variabel terkendali : Homogenitas tikus: galur, jenis kelamin, berat badan,
umur dan pakan
4.5 Tahapan Penelitian
4.5.1 Persiapan Hewan Coba Tikus
Pada persiapan hewan coba, tikus yang digunakan untuk penelitian
diadaptasikan terhadap lingkungan selama tujuh hari (Jenova, 2009) di dalam
40
Laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
Tikus dibagi dalam lima kelompok perlakuan. Setiap kelompok perlakuan terdiri
dari minimal empat ekor tikus. Tikus dikandangkan dalam kandang dari bak
plastik yang dilengkapi dengan penutup bak yang terbuat dari kawat dengan
jumlah maksimal tikus dalam satu kandang adalah tujuh ekor.
Tikus dikandangkan dalam kandang dari bak plastik yang dilengkapi
penutup kawat, dengan ukuran kandang 17.5 x 23.75 x 17.5 cm. Ukuran kandang
tersebut merupakan ukuran standar yang digunakan dalam pemeliharaan hewan
laboratorium. Kandang tikus yang digunakan pada tempat yang bebas dan terjaga
dari asap industri serta polutan lainnya (Lamanepa, 2005).
4.5.2 Prosedur Pembuatan Ekstrak daun Dewandaru (Eugenia uniflora)
Prosedur pembuatan ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora)
menggunakan metode maserasi. Proses ekstraksi dilakukan menggunakan etanol
70%, hal tersebut dikarenakan zat aktif seperti flavonoid yang terkandung didalam
daun dewandaru akan terlarut dalam etanol. Etanol dengan nama lain etil alkohol
merupakan pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi tanaman. Sebagian
besar senyawa dengan berat molekul rendah seperti saponin, dan flavonoid larut
didalam pelarut etanol. Daun dewandaru ditimbang sebanyak 100 g dan dilakukan
pembasahan dengan pelarut etanol 70% sebanyak 100 ml. Masukkan serbuk yang
telah dibasahi dengan pelarut ke dalam toples, diratakan dan sambil ditambahkan
pelarut etanol 70% sampai terendam (pelarut yang digunakan minimal 2 kali berat
atau lebih). Pelarut yang ditambahkan sebanyak 500 ml. Tutup toples dengan
41
rapat selama 24 jam. Dan di shaker di atas shaker digital rpm 50 (Materia Medica,
2017).
Ekstrak cair disaring dengan penyaring kain. Ekstrak tersebut ditampung
dalam Erlenmeyer. Ampas dari ekstrak dimasukkan lagi dalam toples dan
ditambahkan pelarut sampai terendam (minimal pelarut 5 cm diatas permukaan),
dalam hal ini digunakan 500 ml pelarut etanol. Biarkan 24 jam diatas shaker
dengan kecepatan 50 rpm. Hasil ekstrak cair pertama dan kedua dijadikan satu dan
diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator. Diperlukan waktu 2 jam untuk
evaporasi. Ekstrak yang dihasilkan dievaporasi/diuapkan diatas water bath selama
2 jam. Dari 100 g serbuk daun dewandaru yang diekstraksi dengan menggunakan
pelarut etanol 70% sebanyak 1 L dihasilkan ekstrak 20 ml (Materia Medica,
2017).
4.5.3 Induksi Terapi Ekstrak Daun Dewandaru (Eugenia uniflora)
Metode pemberian ekstrak daun dewandaru dilakukan secara per oral
dengan menggunakan sonde lambung. Pemberian dilakukan setiap hari pada hari
kedelapan sampai hari ke 14. Pemberian ekstrak daun dewandaru dengan
menggunakan 3 dosis yang telah ditentukan yaitu perlakuan 1 (P1) menggunakan
dosis 300 mg/kg BB, perlakuan 2 (P2) menggunakan dosis 400 mg/kg BB, dan
perlakuan 3 (P3) menggunakan dosis 500 mg/kg BB dilihat pada Lampiran 4
(Cynthia, 2016).
4.5.4 Perbanyakan Bakteri Escherichia coli
Bakteri Escherichia coli yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
kultur yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
42
Universitas Brawijaya. Bakteri E. coli disegarkan dengan cara ditumbuhkan pada
media eosin methylene blue agar (EMBA) selama 48 jam yang selanjutnya
disimpan pada suhu 4oC sebagai kultur induk. Selanjutnya, E. coli ditumbuhkan
pada media nutrient broth (NB) selama 24 jam inkubasi pada suhu 37oC hingga
mencapai populasi setara dengan larutan Mc. Farland Standar No. 1 yaitu setara
dengan 3 x 108 CFU sebagai kultur kerja. E. coli yang dimasukkan secara peroral
ke tikus percobaan disiapkan dengan cara mengencerkan kultur kerja pada media
NaCl fisiologis 0,9% hingga mencapai 106 cfu/ml (Astawan dkk., 2011).
4.5.5 Pembuatan Hewan Coba Model Gastroenteritis dan Terapi Pencegahan
Ekstrak Daun Dewandaru (Eugenia uniflora)
Hewan coba dibagi ke dalam lima kelompok, setiap kelompok terdiri atas
empat ekor tikus. Bakteri Escherichia coli diperoleh dari Laboratorium
Mikrobiologi dan Imunologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Metode
pembuatan hewan model gastroenteritis menggunakan suspense E. coli 106
CFU/ml (1 ml/hari dosis tunggal) yang diberikan pada semua kelompok perlakuan
kecuali kontrol negatif (A) setiap hari selama 7 hari dengan cara sonde lambung
(Astawan dkk., 2011). Masa inkubasi bakteri E. coli selama 2-5 hari (Tarmudji,
2003) dengan gejala klinis yang timbul pada tikus kontrol positif yaitu diare,
penurunan berat badan dan anoreksia (Wibowo dan Wahyuni, 2008).
4.5.6 Pembuatan Preparat Histopatologi Duodenum dengan Pewarnaan HE
Proses pembuatan preparat histopatologgi terdiri dari fiksasi, dehidrasi dan
infiltrasi, penjernihan, infiltrasi paraffin, embedding, sectioning, penempelan di
43
gelas objek, dan pewarnaan. Fiksasi dilakukan dengan cara jaringan dimasukkan
ke dalam larutan PFA 4%. Fiksasi dilakukan untuk mencegah kerusakan pada
jaringan, menghentikan proses metabolisme dan mengeraskan materi yang lunak
agar jaringan dapat diwarnai (Junquiera and Carneiro, 2007).
Dehidrasi dilakukan menggunakan larutan alkohol secara bertingkat dari
konsentrasi 80% sampai dengan absolut selama 30 menit. Proses dehidrasi
berjalan pada suhu 4 oC. Penjernihan dilakukan dengan cara memasukkan jaringan
ke larutan penjernih yaitu xylol I dan xylol II masing-masing 1 jam. Tujuan
penjernihan yaitu untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan agar dapat berikatan
dengan parafin. Tahap selanjutnya adalah proses infiltrasi yang dilakukan dalam
parafin cair yang ditempatkan dalam inkubator bersuhu 58-60 oC (Junquiera and
Carneiro, 2007).
Embedding dilakukan dengan cetakan yang didalamnya diisi parafin cair.
Embedding adalah proses untuk mengeluarkan cairan penjernih dari jaringan dan
diganti dengan parafin. Setelah membeku, cetakan tersebut dipotong dan
ditempelkan pada blok kayu. Blok tersebut dipasang pada mikrotom dan diatur
agar posisinya sejajar dengan posisi pisau. Blok parafin dipotong dengan
ketebalan 4-5 mikron dan dilekatkan pada gelas objek. Proses ini disebut
sectioning. Setelah itu, diinkubasi dalam incubator pada suhu 38-40 oC selama
kurang lebih 24 jam untuk pembuangan parafin kemudian diwarnai dengan
pewarnaan hematoxilin-eosin (HE) (Junquiera and Carneiro, 2007).
Proses berikutnya adalah pewarnaan. Untuk mengamati mukosa usus
halus, maka sediaan usus halus diwarnai dengan metode pewarnaan Hematoxylin
44
Eosin (Dewi dkk., 2014). Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) dilakukan untuk
melihat morfologi jaringan duodenum. Pewarnaan diawali dengan deparafinasi
dengan menggunakan xylol dan rehidrasi dengan menggunakan alcohol 96%,
90%, 80%, dan 70% secara berurutan masing-masing selama 5 menit. Sediaan
dicuci dengan air mengalir selama 10 menit dan dilanjutkan dengan air aquades
selama 5 menit. Sediaan diwarnai dengan pewarna Hematoksilin selama 1 menit,
kemudian dicuci dengan air mengalir selama 10 menit dan air aquades selama 5
menit. Setelah itu sediaan diwarnai dengan pewarna Eosin selama 5 menit dan
dicuci kembali dengan air mengalir selama 10 menit dan air aquades selama 5
menit. Setelah sediaan diwarnai, dilakukan dehidrasi dengan alcohol 70%, 80%,
90%, dan 95% masing-masing selama 5 menit dan dilanjutkan dengan alcohol
absolut I, II, dan III masing-masing 5 menit. Setelah itu dilakukan proses Clearing
dengan xylol I dan II selama 5 menit, preparat dikering anginkan dan ditutup
dengan gelas penutup (Junquiera and Carneiro, 2007).
Pengamatan preparat histopatologi organ duodenum dilakukan
menggunakan mikroskop cahaya Olympus BX51 dengan perbesaran 40x
kemudian dilanjutkan perbesaran 400x. Pengamatan meliputi perubahan pada
lapisan mukosa, vili, dan deskuimasi epitel dengan pembesaran 400x.
4.5.7 Pengukuran Kadar MDA
4.5.7.1 Preparasi Sampel
Langkah awal dalam pengambilan organ duodenum adalah dengan
dislokasi hewan coba pada bagian leher kemudian dilakukan pembedahan.
Pembedahan dilakukan mulai bagian abdomen hingga ke thorax, tikus direbahkan
45
pada papan pembedahan dan diambil organ duodenum. Organ duodenum mula-
mula dibilas dengan NaCl-fisiologis 0,9% dingin kemudian duodenum
ditempatkan pada pot organ (Junquiera and Carneiro, 2007).
4.5.7.2 Pengukuran Kadar MDA Menggunakan Spektrofotometer
Analisis MDA dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer
Shimadzu UV-visible spectrophometer UV-1601. Organ duodenum digerus
kemudian dilarutkan dalam cairan fisiologis untuk analisis kadar MDA. Prinsip
dari spektrofotometer UV-visible adalah penyerapan cahaya oleh molekul-
molekul. Panjang gelombang bergantung pada kekuatan absorbansi molekul
tersebut. Nilai absorbansi dibaca menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang maksimum (532 nm) (Repetto et al., 2012).
4.5.8 Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data kuantitatif
untuk mengetahui kadar MDA yang dianalisis dengan one way ANOVA
menggunakan Microsoft Office Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics untuk
Windows versi 22 dengan α = 0,05, yang kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey.
Gambaran histopatologi jaringan duodenum diamati secara deskriptif melalui
pengamatan terhadap adanya erosi epitel pada vili dan sel-sel radang seperti
neutrofil, basofil, eosinofil dan limfosit dengan menggunakan mikroskop cahaya
perbesaran 400x.
46
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Induksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Gastroenteritis
Menggunakan Escherichia coli
Hasil induksi Escherichia coli 106 CFU/ml pada tikus putih (Rattus
norvegicus) menunjukkan beberapa gejala klinis yang mencirikan kondisi
gastroenteritis ketika diamati pasca induksi hingga 7 hari masa induksi. Gejala
klinis yang muncul pasca induksi antara lain diare, penurunan berat badan pada
tikus putih (Rattus norvegicus) kelompok K (+), P1, P2, dan P3 (Lampiran 10).
Jika ditinjau dari kelompok positif (K+) gejala klinis ditandai dengan adanya diare
yang terlihat pada Gambar 5.1 dan penurunan berat badan secara signifikan.
Diare dan penurunan berat badan juga terjadi pada kelompok P1, P2, dan P3 yang
diinduksi dengan E. coli.
Gambar 5.1 Gejala klinis diare pada tikus ditandai dengan adanya sisa feses pada rektum
(A), konsistensi feses pada tikus (kontrol positif) yang mengalami diare
terlihat lebih lembek (B), feses pada tikus (kontrol negatif) terlihat lebih
padat (C).
A B
46
C
47
5.2 Pengaruh Preventif Ekstrak Daun Dewandaru Terhadap Kadar
Malondialdehyde (MDA) Duodenum Tikus Model Gastroenteritis
Hasil pengukuran MDA menggunakan metode Thiobarbituric Acid (TBA)
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun dewandaru secara preventif dapat
menurunkan kadar MDA duodenum pada tikus model gastroenteritis. Pada tikus
normal (kontrol negatif) terukur kadar MDA duodenum sebesar 0,536 ng/mL
(Gambar 5.2). Dalam keadaan normal, MDA akan tetap dihasilkan selama
terjadinya biosintesis prostaglandin dalam sel. Malondialdehyde (MDA) juga
dihasilkan sebagai produk dari peroksidasi lipid terutama polyunsaturated fatty
acid (PUFA), yang merupakan reaksi berantai akibat abstraksi hidrogen atau
penambahan oksigen radikal dan akan mengakibatkan kerusakan oksidatif pada
PUFA yang banyak terdapat pada membran sel (Repetto et al., 2012).
Gambar 5.2 Histogram nilai mean dan standar deviasi kadar MDA.
Keterangan: K- = Kontrol negatif, K+ = Kontrol Positif, P1 = Preventif dengan dosis
300 mg/kg BB, P2 = Preventif dengan dosis 400 mg/kg BB, P3 = Preventif
dengan dosis 500 mg/kg BB.
48
Hasil penelitian ditunjukkan pada grafik nilai rata-rata kadar MDA
(Gambar 5.2) kelompok perlakuan 1 yang diberikan dosis 300 mg/kg BB
memiliki kadar MDA terendah dibandingkan dengan kelompok kontrol positif.
Pada kelompok perlakuan 2 (dosis 400 mg/kg BB) dan 3 (dosis 500 mg/kg BB)
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan 1 seperti yang
ditunjukkan pada grafik (Gambar 5.2). Kelompok perlakuan 1, perlakuan 2 dan
perlakuan 3 menunjukkan grafik yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol
negatif yang berarti kelompok perlakuan dengan dosis 300 mg/kg BB, 400 mg/kg
BB, 500 mg/kg BB mempengaruhi kenaikan kadar MDA. Hal ini menunjukkan
bahwa dosis yang diberikan kurang efektif dalam menurunkan nilai kadar MDA
pada hewan coba tikus putih. Peningkatan kadar MDA pada kelompok perlakuan
kemungkinan disebabkan karena dosis ekstrak daun dewandaru yang diberikan
kurang efekif dalam menghambat radikal bebas, sehingga hasil grafik kadar MDA
masih tinggi.
Berdasarkan Hasil uji normalitas dan homogenitas didapatkan data
terdistribusi normal dan homogen (p>0,05) (Lampiran 9) sehingga dilanjutkan
dengan uji One Way ANOVA. Uji One Way ANOVA menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora L) yang diberikan
pada tikus putih model gastroenteritis terhadap kadar MDA secara signifikan
(p>0,05) (Lampiran 9). Secara statistik dapat dinyatakan bahwa nilai Sig < 0,05
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh preventif ekstrak daun
dewandaru (Eugenia uniflora L.) pada tikus putih (Rattus norvegicus) model
gastroenteritis induksi E. coli ditinjau dari kadar MDA. Berdasarkan statistika,
49
semua kelompok, perlakuan menunjukkan nilai standar deviasi yang lebih rendah
dibandingkan nilai mean. Nilai mean dan standar deviasi kadar MDA dapat dilihat
pada Gambar 5.2.
Berdasarkan hasil Post Hoc dengan uji Tukey didapatkan hasil bahwa
kelompok preventif P1 (300 mg/kg BB), P2 (400 mg/kg BB), dan P3 (500 mg/kg
BB) tidak berbeda signifikan dibandingkan kelompok K+ (kontrol positif)
(p<0,05) (Lampiran 9). Jika dibandingkan dengan kelompok K- (Kontrol
negatif), kelompok preventif P1 (300 mg/kg BB), P2 (400 mg/kg BB), dan P3
(500 mg/kg BB) memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
semua kelompok preventif tidak dapat menurunkan kadar MDA tikus putih
(Rattus norvegicus) model gastroenteritis dibandingkan dengan kelompok kontrol
positif. Pada preventif antar kelompok P1, P2, dan P3 menunjukkan rentang
perbedaan efek preventif yang cukup sedikit. Namun, hanya kelompok P1 (300
mg/kg BB) yang berhasil menurunkan kadar MDA jika dibandingkan pada
kelompok K- (kontrol negatif). Perbedaan nilai antar perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 5.1 berikut ini.
Tabel 5.1 Rata-rata, Standar Deviasi, dan Hasil Uji Tukey Kadar MDA
Kelompok Perlakuan
Rata-rata
kadar MDA
(ng/ml) ± SD
Kadar MDA (%)
Peningkatan
berdasarkan
Kontrol Negatif
Penurunan
berdasarkan
Kontrol Positif
Kontrol Negatif (Normal) 0,536 ± 0,14a - -
Kontrol Positif (Gastroenteritis) 0,948 ± 0,09b 76,82 % -
Dosis Preventif 300 mg/kg BB 0,872 ± 0,05b - 7,99 %
Dosis Preventif 400 mg/kg BB 0,874 ± 0,03b - 7,78%
Dosis Preventif 500 mg/kg BB 0,898 ± 0,05b - 5,25 %
Keterangan: notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antar
perlakuan (p<0,05).
50
Kelompok K(+) menunjukkan jumlah kadar MDA yang lebih tinggi dari
pada kelompok K(-) dan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan
(p<0,05) (Tabel 5.1). Tingginya kadar pada kelompok K(+) terjadi akibat
kerusakan sel-sel di duodenum yang disebabkan adanya infeksi dari bakteri
Escherichia coli. E. coli merupakan bakteri gram negatif yang mempunyai
endotoksin berupa LPS pada membran sel. Lipopolisakarida (LPS) atau
endotoksin akan disekresikan oleh E. coli ketika bakteri tersebut lisis.
Lipopolisakarida (LPS) kemudian akan berikatan dengan LBP membentuk
kompleks LPS-LBP. Lipopolisakarida terikat pada reseptor spesifik CD14 dan
TLR4 pada makrofag. Kompleks LPS-LBP mentransfer LPS ke CD14 yang
terdapat di permukaan sel makrofag. Setelah berikatan dengan LPS, CD14 akan
berinteraksi dengan TLR4 menyebabkan aktivasi dari NF-kB (Hongwei et al.,
2005). Nuclear Factor-kB (NF-kB) merupakan faktor trankripsi pada makrofag
yang akan meningkatkan produksi dari sitokin dan mediator inflamasi. Makrofag
yang teraktivasi mensekresikan sitokin proinflamasi IL-1, IL-6 dan TNF-α.
Pelepasan sitokin proinflamasi pada jaringan akan menyebabkan sel memproduksi
oksigen toksik untuk proses respiratory burst yaitu reactive oxygen species
(ROS) (Short, 2004).
Menurut Arief (2008), suatu keadaan dimana tingkat reactive oxygen
species (ROS) melebihi pertahanan antioksidan endogen akan menyebabkan stress
oksidatif. Keadaan ini mengakibatkan kelebihan radikal bebas, dan akan bereaksi
dengan lemak, protein, asam nuklear seluler, sehingga terjadi kerusakan lokal dan
disfungsi organ tertentu. Kerusakan oksidatif yang ditimbulkan akibat tingginya
51
produksi ROS ditandai dengan diproduksinya senyawa aldehida reaktif yaitu
MDA. Kelompok perlakuan dari pemberian dosis ekstrak daun dewandaru 300
mg/kg BB, 400 mg/kg BB dan 500 mg/kg BB meningkat dibandingkan dengan
kontrol negatif. Pada kontrol positif meningkat sebesar 76,82% lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol negatif.
Berdasarkan skrining fitokimia daun tanaman dewandaru mengandung
flavonoid, tanin, dan saponin. Flavonoid dan tanin digunakan sebagai antioksidan
eksogen dan antibakteri. Flavonoid akan berikatan dengan DNA bakteri sehingga
menyebabkan kerusakan permeabilitas dinding sel, mikrosom, dan lisosom
bakteri. Selain itu flavonoid berperan sebagai antioksidan karena memiliki gugus
hidroksil yang terikat pada karbondioksida sehingga dapat menangkap radikal
bebas dengan menyumbangkan satu atom hidrogen. Sementara itu senyawa tanin
dapat menginaktivasi adhesi sel mikroba sehingga bakteri tidak dapat melakukan
perlekatan pada sel epitel dan menstimulasi sel-sel fagosit yang berperan dalam
respon imun seluler (Utami et al, 2008).
Malondialdehida (MDA) dapat terbentuk apabila reactive oxygen species
(ROS) bereaksi dengan komponen asam lemak dari membran sel sehingga terjadi
reaksi berantai yang dikenal dengan peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid
merupakan proses oksidasi asam lemak tak jenuh rantai panjang yang
menyebabkan terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa toksik
dan juga menyebabkan kerusakan pada membran sel karena menghasilkan produk
akhir MDA (Yunus, 2001). MDA dapat digunakan sebagai indeks peroksidasi
lipid dan alat ukur aktivitas radikal bebas secara tidak langsung (Suryohudoyo,
52
2000). Infeksi Escherichia coli pada hewan coba dapat meningkatkan radikal
bebas dalam tubuh sehingga menyebabkan stress oksidatif yang memicu
peroksidasi lipid. Jadi, kadar MDA paling tinggi dimiliki oleh kelompok tikus
kontrol positif.
Hasil analisis kadar MDA pada penelitian ini menunjukkan bahwa
kelompok tikus gastroenteritis (kontrol positif) kadar MDA mengalami
peningkatan karena adanya infeksi, sedangkan kontrol negatif mengalami
penurunan. Dosis kelompok P1, P2, dan P3 mengalami peningkatan karena
kelompok perlakuan tidak mampu untuk mencegah kerusakan pada saat
kerusakan jaringan sehingga MDA meningkat. Tingginya kadar MDA terjadi
akibat stress oksidatif yang secara tidak langsung menunjukkan tingginya radikal
bebas. Radikal bebas yang terbentuk tidak diimbangi oleh antioksidan endogen,
sehingga memicu terjadinya peroksidasi lipid dengan produk akhir MDA.
Pemberian ekstrak daun dewandaru sebagai preventif kurang mampu menurunkan
tingkat stress oksidatif karena kurangnya dosis yang diberikan. Dosis perlakuan
300 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB dan 500 mg/kg BB dengan ekstrak daun
dewandaru tidak berbeda nyata dengan kontrol positif yang dinilai belum mampu
untuk menurunkan kadar MDA sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi.
53
5.3 Pengaruh Preventif Ekstrak Daun Dewandaru Terhadap Gambaran
Histopatologi Duodenum Tikus Model Gastroenteritis
Pengamatan parameter histopatologi duodenum dilakukan untuk
mengetahui gambaran inflamasi berdasarkan histopatologi. Seperti struktur epitel,
sel-sel radang, dan sel goblet pada masing-masing sampel dilakukan
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x, dan 400x yang ditunjukkan
pada Gambar 5.3 sampai dengan Gambar 5.7 berikut ini.
Gambar 5.3 Gambaran histopatologi duodenum kontrol negatif perbesaran 100x dan
400x menggunakan pewarnaan HE. a) struktur vili tampak normal, b) sel
goblet c) makrofag (panah hijau)
100x
b
400x
b
a
c
c
54
Gambar 5.4 Gambaran histopatologi kelompok kontrol positif dengan perbesaran 100x
dan 400x menggunakan pewarnaan HE a) struktur sel epitel menunjukkan
adanya erosi, ditemukan infiltrasi sel radang b) eosinofil (panah hitam),
makrofag (panah hijau), c) neutrofil (panah biru), limfosit (panah merah).
Gambar 5.5 Gambaran histopatologi duodenum kelompok preventif 300 mg/kg BB
dengan perbesaran 100x dan 400x menggunakan pewarnaan HE a) terdapat
struktur sel epitel tampak masih terjadi erosi, b) sel goblet, c) infiltrasi sel-sel
radang makrofag (panah hijau) d) neutrofil (panah biru).
400x
400x
b
a
b
a
b
c c
100x
b
a
c c
100x
d
c
d
55
Gambar 5.7 Gambaran histopatologi duodenum kelompok preventif 400 mg/kg BB
dengan perbesaran 100x dan 400x menggunakan pewarnaan HE a) struktur sel
epitel mengalami erosi, b) hipertrofi sel goblet dan infiltrasi sel-sel radang c)
makrofag (panah hijau) d) neutrofil (panah biru), makrofag (panah hijau).
Gambar 5.7 Gambaran histopatologi duodenum kelompok preventif 500 mg/kg BB
dengan perbesaran 100x dan 400x menggunakan pewarnaan HE a) terdapat
struktur sel epitel mengalami erosi dan hipertrofi sel goblet b) infiltrasi sel-sel
radang makrofag (panah hijau), neutrofil (panah biru), c) neutrofil (panah
biru), makrofag (panah hijau).
400x
400x
400x
a
a
b
c
b
a
b a
c
d
c
100x
b
c
d
c
100x
56
Hasil penelitian pengaruh preventif ekstrak daun dewandaru terhadap
gambaran histopatologi duodenum dengan pewarnaan hematoxyline-eosin (HE)
dianalisa secara deskriptif menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran
100x dan 400x dengan mengamati struktur vili, sel epitel dan sel goblet (Gambar
5.3 sampai dengan Gambar 5.7). Gambaran histologi duodenum normal terdiri
dari empat lapisan, yaitu tunika mukosa, tunika submukosa, muskularis eksterna,
dan tunika serosa (Eroschenko, 2008).
Tunika mukosa terdapat vili, sel epitel, dan sel goblet. Kelompok tikus
sehat (Gambar 5.3) menunjukkan gambaran histologi duodenum tikus sehat yang
tanpa diberi perlakuan induksi E. coli. Terlihat tidak ada kerusakan pada struktur
vili, sel epitel dan terdapat sel goblet. Gambaran histopatologi kontrol negatif dan
kontrol positif yang diamati adalah perubahan pada struktur vili, sel epitel, dan sel
goblet. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui perubahan gambaran
histopatologi kontrol positif setelah diberi perlakuan induksi E.coli secara peroral.
Kelompok kontrol positif (Gambar 5.4) menunjukkan adanya kerusakan
pada struktur jaringan duodenum dibandingkan dengan kontrol negatif. Deretan
sel epitel kolumner pada bagian mukosa mengalami erosi dan sebagian ada yang
menghilang, berkurangnya sel goblet karena adanya erosi epitel dan terdapat
infiltrasi sel radang karena terjadi kerusakan yang disebabkan adanya E. coli
sehingga menyebabkan inflamasi. Gambaran histopatologi duodenum yang diberi
perlakuan ekstrak daun dewandaru dengan dosis preventif 300 mg/kg BB, 400
mg/kg BB, 500 mg/kg BB menunjukkan adanya kerusakan terhadap susunan sel
epitel kolumner pada mukosa jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Erosi
57
epitel yang masih ditemukan dan sel radang yang ditemukan juga jumlahnya
masih banyak seiring dengan volume pemberian ekstrak daun dewandaru yang
meningkat (Gambar 5.5 sampai dengan Gambar 5.7). Kelompok perlakuan 1
(Gambar 5.5) yang diberi ekstrak daun dewandaru dengan dosis 300 mg/kg BB,
terlihat adanya erosi vili, terdapat sel goblet, ditemukan sedikit sel radang
neutrofil maupun makrofag dan gambaran epitel vili duodenum yang menyerupai
normal. Kelompok tikus putih perlakuan 2 (Gambar 5.6) yang diberi ekstrak
daun dewandaru 400 mg/kg BB, struktur sel epitel mengalami erosi pada beberapa
area, sel goblet mengalami hipertrofi dan infiltrasi sel radang makrofag dan
neutrofil yang lebih banyak. Kelompok perlakuan 3 (Gambar 5.7) yang diberikan
ekstrak daun dewandaru 500 mg/kg BB, terlihat adanya struktur sel epitel
mengalami erosi, sel goblet mengalami hipertrofi, dan terdapat infiltrasi sel
radang makrofag dan neutrofil. Kelompok perlakuan 1 mengalami kerusakan
histopatologi yang lebih sedikit dibandingkan P2 dan P3. Kerusakan histopatologi
duodenum yang paling rusak pada perlakuan 2 dibandingkan perlakuan 3.
Geboes (2003) mengatakan bahwa inflamasi pada duodenum ditandai
dengan kerusakan pada lapisan mukosa, yaitu pada bagian vili dan hilangnya sel
goblet. Sel goblet yang hilang ini disebabkan karena adanya erosi epitel yang
menyebabkan berkurangnya sel goblet pada kelompok kontrol positif (Gambar
5.4). Sel goblet mensintesis dan mensekresikan mukus glikoprotein berbentuk gel
untuk melindungi sel-sel epitelium intestinal dari invasi bakteri. Aktivasi sitokin
yang dilepaskan oleh sel Th-2 merangsang sel goblet. Pada usus yang terinfeksi
berat, dapat ditemukan jumlah sel goblet yang sangat banyak. Hal ini
58
menunjukkan adanya infeksi bakteri maka sel goblet akan mengalami proliferasi
yang bertujuan mempertahankan hidup dari infeksi (Balqis et al., 2015).
Infeksi E.coli yang bersifat patogen pada kelompok kontrol positif akan
menempel pada lapisan mukosa sehingga dapat menyebabkan erosi sel-sel epitel
permukaan dan peradangan pada usus halus. Selain itu, pada kelompok kontrol
positif juga ditemukan adanya infiltrasi sel radang, yaitu neutrofil, monosit dan
limfosit. Kumar et al (2013) menyebutkan bahwa enterotoksin yang dihasilkan
oleh E. coli berupa toksin labil panas dan toksin stabil panas. Enterotoksin
mengaktivasi berbagai mediator inflamasi seperti komplemen dan sitokin.
Mediator inflamasi tersebut menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah serta
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Akibatnya, sel-sel inflamasi, salah-
satunya neutrofil dan limfosit menuju jaringan usus yang terinfeksi untuk
melakukan perlawanan sistem imun dengan bakteri patogen (Gambar 5.4).
Kelompok perlakuan yang mendapatkan preventif ekstrak daun dewandaru
pada (Gambar 5.5 sampai dengan Gambar 5.7) nampak masih terjadi kerusakan
struktur epitel vili, ini dikarenakan pemberian preventif ekstrak daun dewandaru
yang berperan sebagai antibakteri dan antioksidan kurang mampu menghambat
kerusakan struktur epitel vili. Adanya perubahan pada jaringan antara kelompok
kontrol dan perlakuan disebabkan oleh adanya zat antioksidan seperti flavonoid
(Supratanda, dkk., 2014).
Mekanisme senyawa flavonoid yang mungkin terjadi pada kelompok
perlakuan adalah zat flavonoid dapat menetralisir senyawa radikal bebas dan
mencegah terjadinya reaksi berantai dengan cara mendonorkan elektronnya
59
kepada radikal bebas sehingga menjadi stabil. Selain itu antioksidan akan
mengurangi oksidatif lebih lanjut dari asam lemak pada fosfolipid sehingga
regenerasi dapat berlangsung lebih cepat (Tappi, 2013). Daun dewandaru
memiliki aktivitas sebagai antioksidan secara in vitro, dengan mekanisme kerja
menangkap radikal bebas yang merupakan salah satu penyebab kerusakan sel.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan aktivitas penangkap radikal pada ekstrak
etanol, etil asetat dan kloroform dengan nilai IC50 (Inhibitory Concentration)
(Utami dkk., 2005). Penelitian lain juga menyatakan bahwa daun dewandaru
memiliki aktivitas menangkap radikal bebas dengan nilai IC50 ekstrak heksana,
kloroform, etil asetat dan air (Velaquez et al., 2003).
Cotran et al (2003), menyebutkan bahwa toksin bakteri, seperti LPS pada
bakteri gram negatif dapat memicu terbentuknya kompleks LPS-LBP dan
menggertak aktivasi komplemen. Komplemen berperan sebagai stimulus bagi sel-
sel radang polimorf (PMN) dan makrofag. Polimorfonuklear (PMN) dan
makrofag dalam memproses antigen akan menginduksi terjadinya inflamasi pada
jaringan. Reaksi inflamasi memunculkan tanda klinis berupa perubahan vaskuler
yaitu vasodilatasi, sehingga terjadi peningkatan aliran darah setempat dan
perubahan mikrovaskuler yaitu peningkatan permeabilitas, sehingga
memungkinkan sel endotel pecah dan terjadi akumulasi eritrosit pada jaringan
(hemoragi) (Arimbi dkk., 2015). Gambaran histopatologi duodenum berkaitan
dengan dosis preventif yang diberikan. Penyebab destruksi epitel duodenum
adalah toksin bakteri yang menimbulkan peningkatan metabolisme sel tubuh
sehingga sel menggalami stress oksidatif yang memicu peroksidasi lipid dengan
60
produk akhir peningkatan MDA. Fungsi senyawa flavonoid sebagai antioksidan
dapat meredam terjadinya stress oksidatif yang diukur melalui penurunan kadar
MDA, sehingga derajat kerusakan jaringan dapat menurun.
Fungsi senyawa tanin dan saponin sebagai antibakteri dapat menghambat
perkembangan bakteri, sehingga menurunkan derajat kerusakan jaringan yang
ditandai dengan berkurangnya hemoragi dan memberi kesempatan sel epitel untuk
melakukan proliferasi secara normal tanpa gangguan dari toksin bakteri. Sel epitel
duodenum beregenerasi secara normal dalam waktu tiga sampai enam hari.
Kemampuan regenerasi sel didasarkan pada jenis sel. Sel epitel traktus digestivus
termasuk sel yang bersifat labil, dimana sel ini memiliki kemampuan regenerasi
yang tinggi. Sel labil mempunyai waktu istirahat yang singkat, sehingga sel yang
hilang dapat menstimuli sel baru pada fase istirahat untuk memasuki masa mitosis
sel (Pringgoutomo dkk., 2002). Proliferasi sel tersebut dapat memperbaiki struktur
villi duodenum.
Pada penelitian ini hasil histologi duodenum P1, P2 dan P3 (Gambar 5.5-
Gambar 5.7) dengan dosis 300 mg/kg, BB, 400 mg/kg BB, 500 mg/kg BB masih
kurang efektif. Pemberian ekstrak daun dewandaru belum mampu menghambat
sintesis dinding sel bakteri, sehingga sel epitel tidak dapat berkesempatan untuk
berproliferasi lebih baik. Seharusnya pemberian preventif juga akan menguatkan
fungsi antioksidan tubuh sehingga sel tubuh tetap dapat mengimbangi jumlah
radikal bebas yang timbul akibat infeksi E. coli. Pada penelitian ini terbukti bahwa
preventif ekstrak daun dewandaru belum mampu mencegah kerusakan jaringan
duodenum pada tikus yang diinfeksi E. coli.
61
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dan pembahasan yang telah disampaikan
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Pemberian ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora L) dengan dosis 300
mg/kg BB, 400 mg/kg BB, dan 500 mg/kg BB tidak dapat digunakan
menurunkan kadar malondialdehyde (MDA) duodenum dibandingkan dengan
kelompok kontrol positif.
2. Pemberian ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora L) dengan dosis 300
mg/kg BB, 400 mg/kg BB, dan 500 mg/kg BB belum optimal dalam mencegah
kerusakan gambaran histopatologi jaringan duodenum dibandingkan dengan
kelompok kontrol positif.
6.2 Saran
Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penentuan dosis
preventif ekstrak daun dewandaru (Eugenia uniflora L) yang lebih tepat pada
kondisi gastroenteritis.
62
DAFTAR PUSTAKA
Arimbi, A.A., R. Darsono, H. Plumeriastuti, T.V. Widiyatno dan D. Legowo.
2015. Buku Ajar Patologi Umum Veteriner Edisi 2. Airlangga Press.
Surabaya.
Arisman, MB. 2009. Keracunan Makanan Buku Ajar Ilmu Gizi. EGC. Jakarta.
Astawan, M., T. Wresdiyati, I.I Arief, dan E. Suhesti. 2011. Gambaran
Histopatologi Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diinfeksi Escherichia
coli Enteropatogenik dan Diberikan Probiotik [Skripsi]. Fakultas
Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Bacha, W. J.J. and L.M. Bacha. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology, 2nd
Ed. Lippincot Williams dan Wilkins. Philadelphia. 140.
Balqis, U., M. Hanafiah, J. Connie, M. Nur, A. Siti, dan F. Yudha. 2015. Jumlah
Sel Goblet pada Usus Halus Ayam Kampung (Gallur domesticus) yang
Terinfeksi Ascaridia galli secara Alami. Jurnal Medika Veterinaria, 9(1):
1-6.
Brooks, G.F., J.S. Butel, and S.A. Morse. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. EGC.
Jakarta.
Campbell, N.A., J.B. Reece, and L.G. Mitchell. 2002. Biologi. Erlangga.
Jakarta.
Caprioli, A., S. Morabito, H. Brugere, and E. Oswald. 2005. Enterohaemorrhagic
Escherichia coli Emerging Issues on Virulence and Modes of
Transmission. Vet. Res, 36: 289–311.
Chaudhary, K., and E. Adamson. 2016. The Prime Prepare and Repair Your Body
for Spontaneous Weight Loss. Harmony Books. USA.
Chotiah, S. 2008. Diare pada Anak Sapi Agen Penyebab, Diagnosa dan
Penanggulangan. Balai Besar Peneltian Veteriner Bogor, 11(4): 336-342.
Chow, C. M., A.K.C. Leung, and K. L. Hon, 2010. Acute Gastroenteritis From
Guideline to Real Life. Clinical and Experimental Gastroenterology, 3:
97-112.
Consolini,A.E., and M.G. Sarubbio. 2002. Pharmacological Effects of Eugenia
uniflora (Myrtaceae) Aqueous Crude Extract on Rats Heart. Journal of
Ethno pharmacology, 81: 57-63.
Cotran, R.S., V. Kumar, and T. Collins. 2003. Pathology Basic of Disease 6th ed.
WB Saunders Co. Philadelphia, 3(2): 20-21.
62
63
Criss, A. K. M., J.E.C Silva, and B.A McCormick. 2001. Regulation of
Salmonella-induced Neutrophil Transmigration by Epithelial ADP-
ribosylation Factor 6. J. Biol. Chem. 276: 48431-48439.
Cynthia, A.P., D.A. Pradana., Q. Susanto. Efek Ekstrak Etanolik Daun Bayam
Merah (Amaranthus tricolor L.) Terstandar terhadap Indeks Massa tubuh
dan Kadar Glukosa Darah Pada Tikus Sprague Dawley yang Diberikan
Diet Tinggi Lemak sebagai Upaya Preventif Obesitas. Pharmacy, 13(2): 5-
10.
Dewanti, S. and M.T. Wahyudi. 2011. Antibacteri Activity of Bay Leaf Infuse
(Folia Syzygium polyanthum Wight) to Escherichia coli In-vitro. J. Med.
Planta. 1(4): 78-81.
Dewi, E., W. Sari, dan Khairil. 2014. Analisis Potensi Antibakteri Teh Rosella
terhadap Histopatologi Usus Halus Akibat Paparan Enteropatogenik
Escherichia coli (EPEC). Sains Riset, 4 (1): 1-9.
Dwidjoseputro. 1978. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.
Einbond, L., K.A. Reynertson, X.D. Luo, M.J. Basile, and E.J. Kennely. 2004.
Anthocyanin Antioxidants From Edible Fruits. Food Chem, 84: 23-28.
Eppy. 2009. Diare Akut. Scientific Journal of Pharmautical Development and
Medical Application, 22(3): 92-98.
Eroschenco, V.P. 2008. Atlas of Histology with Functional Correlations.
Lippincot Williams &Wilkins The Point. USA.
Eurell JA., and B.L. Frappier. 2006. Dellmann’s Textbook of Veterinary
Histology. Blackwell Publishing. England, 171: 99-115.
Fadhilah, D. 2015. Ilmu Veteriner Enteritis pada Hewan. //http.ilmu
veteriner.com/enteritis/pada/hewan/.[12 Maret 2017]
Faith, N.G., J. A. Shere, R. Brosch, K.W. Arnold, S.E. Ansay, M.S. Lee, J.B.
Luchansky and C.W. Kaspar. 1996. Prevalence and Clonal Nature of
Escherichia coli O157:H7 on Dairy Farms in Wisconsin. Appl. Environ.
Microbiol, 62(5): 1519.
Faiz, U, and D. Moffat. 2004. At a Glance Series Anatomi. Erlangga. Jakarta. 34-
37.
Frappier BL. 2006. Digestive System. Dellmann’s Texbook of Veterinary
Histology. Blackwell. UK. 170-211.
Geboes, K. 2003. Histopathology of Crohn’s Disease and Ulcerative Colitis.
Journal of Pathology, 11(18): 255-276.
64
Hoelzer, K., A.I.M. Switt, and M. Wiedmann. 2011. Animal Contact as a Source
of Human Non-typhoidal Colibasillosis.
//http.veterinaryresearch.org/content/.[12 Mei 2017]
Hongwei, Q., A.W. Cynthia, J.L. Sun, Z. Xueyan, and N.B. Etty. 2005. LPS
Induces CD4 Genes Expression Through The Activation of NF-kB and
STAT-1α In Macrophage and Microglia. Blood, 106(9): 3114-3122.
Hutapea, J.R. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Departemen Kesehatan
RI dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 3(11): 29-30.
Ignatavicius, D., and M. L. Workman. 2012. Medical-Surgical Nursing; Patient-
Centered Collaborative Care Seventh Edition. Elsevier. USA.
Janeczko, S., D. Atwater, E. Bogel, A. Greiter-Wilker, A. Gerold, M. Baumgart,
H. Bender, P.L. McDonough, S.P. McDonough, R.E. Goldstein, and
K.W. Simpson. 2008. The Relationship of Mucosal Bacteria to Duodenal
Histopathology, cytokine mRNA, and clinical activity in cats with
inflammatory bowel disease. Veterinary Mirobiology, 128(128): 178-193
Jawetz, E., J.L. Melnick, E.A. Adelberg, G.F. Brooks, J.S. Butel, and L.N.
Ornston. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. ECG. Jakarta.
Jawetz, E., J.J. Melnick, E.A Adelberg. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba
Medika. Jakarta. 223-235.
Jenova, R. 2009. Uji Toksisitas Akut yang Diukur Dengan Penentuan LD50
Ekstrak Herbal Putri Malu (Mimosa pudica L.) Terhadap Mencit BALB/C
[Tesis]. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.
Johnson, M. 2012. Laboratory Mice and Rats Mater Methods.
//http.laborne.com/method/Laboratory/MiceandRats.html. [21 Desember
2016]
Junqueira, LC. 2007. Persiapan jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik.
Histology Dasar teks dan atlas. EGC. Jakarta. 3–5.
Karim, D. 2011. Pengaruh Paparan Asap Rokok Eelektrik terhadap Motilitas,
Jumlah Sel Sperma dan Kadar MDA Testis Mencit Jantan [Tesis].
Universitas Negeri Sumatra.
Kumar, V., Abbas, and A.K. Aster. 2013. Robbins Basic Pathology. Elsevier
Saunders. Philadelphia, USA.
Kunkel D. 2009. Escherichia coli. //http.astrograpich.com. [20 Desember 2016].
Kusriningrum. 2008. Perancangan Percobaan. Airlangga Press. Surabaya. 3-15.
65
Lamanepa, M.E.L, 2005. Perbandingan Profil Lipid dan Perkembangan Lesi
Asterosklerosis pada Tikus Wistar yang Diberi Diet Perasan Pare dengan
Diet Perasan Pare dan Statin [Tesis]. Universitas Diponegoro. Semarang.
Lu and Walker. 2001. Pathologic and Physiologic Interactions of Bacteria with
the Gastrointestinal Epithelium. Journal Clin Nutr, 73(6): 1124-1130.
Malone, L. K., K. R. Fletcher, and L. M. Plank. 2014 . Advanced Practice
Nursing in the Care of Older Adults. Davis Company. Philadelphia.
Mandal B.k., E.G.L Wilkins, E.M Dunbar, dan R.T Mayon-White. 2008. Penyakit
Infeksi. Erlangga Press. Surabaya.
Manning, S. D. 2010. Deadly Diaseases and Epidemics; Escherichia coli
Infections Second Edition. Chelsea House Publishing. USA.
Mastroeni, P., and N. Menager. Development of acquired immunity to Salmonella
J. Med Microbial, 52(6): 453-459.
Matsumura, T., M. Kasai, T. Hayashi, M. Arisawa, Y. Momose, and I. Arai. 2000.
A Glucosidase Inhibitors from Paraguay an Natural Medicine Nangapiry
the Leaves of Eugenia uniflora. Pharmaceutical Biology, 38(5): 302-307.
Meyer BS., S.N. Bastian, P.D. Arne, O. Cerf, and M. Sana. 2001. Review of
Epidemiological Surveys on The Prevalence of Contamination of
Healthy Cattle with Escherichia coli Serogroup O157:H7. International
Journal of Hygiene Environmental Health, 48(203): 347-361
Miller, C. 2010. Rats and Mice Introduction and use In Research.
//http.Livestrong.com/article/RatsandMice/Introductionanduse/InResearch
. [21 Desember 2016]
Mudassir A.A., and A.Q. Punagi. 2012. Analisis Kadar Malondialdehid (MDA)
Plasma Penderita Polip Hidung Berdasarkan Dominasi Sel Inflamasi pada
Pemeriksaan Histopatologi. Jurnal Pasca Universitas Hasanuddin, 19
(2): 5-9.
Myers, P. and D. Armitage. 2004. Rattus norvegicus animal diversity //http.
animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Rattus_norveg
icus.html. [21 Desember 2016]
Naylor S.W., A.J. Roe, P. Nart, K. Spears, D.G. Smith, J.C. Low, and D.L. Gally.
2005. Escherichia coli O157:H7 Forms Attaching and Effacing Lesions at
the Terminal Rectum of Cattle and Colonization Requires the LEE4
Operon. Microbiology, 16(151): 2773–2781.
Ogunseitan, O., and P. Robbins. 2011. Acute Gastroenteritis. Sage Publications.
USA.
66
Onwudiwe, N., and Joshua. 2010. Phytochemical Analysis and Acute Toxicity
Lethaly Study of Ethanol Extract of Eugenia Uniflora Pulp. Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry, 2(4): 356–339.
Parslow, T.G., D.P. Stites, A.I. Terr, and J.B. Imboden. 2003. Medical
immunology 10th ed. McGraw Hill. Singapore.
Pelczar, M.J. and E.C.S. Chan. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. UI Press.
Jakarta.
Potter, W.P. 2007. Rats and Mice Introduction and use In Research. Health
Sciences Center for Educational Resources University. Washington.
Praja, R.K., J.P.P. Komang, dan I. W. Suardana. 2015. Prevalensi Infeksi
Escherichia coli O157:H7 pada Sapi Bali di Kecamatan Mengwi dan
Kuta Selatan, Bandung, Bali. Indonesia Medicus Veterinus, 4(1): 31-39.
Prakash, A. 2001. Antioxidant Activity. Medallion Laboratories Analitical
Progress, 19(2): 16-23.
Price, S.A., dan L.M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. EGC. Jakarta.
Pringgoutomo, S., H. Sutisna dan A. Tjarta. 2002. Buku Ajar Patologi 1. UI Press.
Jakarta.
Rahayu, Y. 2010. Respons Antiinflamasi Serbuk Biji Alpukat (Persea americana
mill) terhadap Jumlah PMN Neutrofil Mencit yang Diinduksi Bakteri E.
coli [Tesis]. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.
Repetto, M., J. Semprine dan A. Boveris. 2012. Lipid Peroxidation Chemical
Mechanism, Biological Implications and Analytical Determination. Dalam
Lipid Peroxidation, Angel Catala (Ed), InTech, DOI:10.5772/45943.
Reynertson, K.A., and E. J.Kennelly. 2001. Antioxidant Polyphenols from Fruits
of the Myrtaceae a Chemotaxonomic and Ethnomedical Approach to
Discovery Building Bridges with Traditional Knowledge II. The Society
for Economic Botany, 2(1): 7-11.
Rita, H.R. 2001. Pengaruh Defisiensi Pakan Terhadap Nilai Kecernaan Nutrient
dan Pertumbuhan Tikus Putih Jantan Dewasa (Rattus norvegicus) [Tesis].
Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Saepulloh, M., dan I. Sendow. 2006. Deteksi Bovine rotavirus pada feses anak
sapi dari beberapa daerah di Jawa Barat dengan menggunakan Uji
Aglutinasi Latek. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 42(4):
220-225.
67
Sanders, M.J. 2012. Mosby’s Paramedic Textbook Fourth Edition. Jones &
Barlett Learning. USA.
Sendow, I., S. Tatty, B. Sjamsul, and S. Antonius. 1998. Uji Serologis Terhadap
Virus Transmissible Gastroenteritis (TGE) di Beberapa Daerah di
Indonesia. Balai Penelitian Veteriner. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner,
3(3): 7-12.
Short, M.A. 2004. Linking the sepsis triad of inflammation, coagulation, and
supressed fibrinolysis to infants. Ads Neonatal Care, 11(5)258-73.
Supar. 2001. Pemberdayaan Plasma Nutfah Mikroba Veteriner dalam
Pengembangan Peternakan: Harapan Vaksin E. coli Enterotoksinogenik,
Enteropatogenik, dan Verotoksigenik Isolat Lokal untuk Pengendalian
Kolibasilosis Neonatal. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Supratanda F.E., N. Carolia, dan Muhartono. 2014. Pengaruh pemberian ekstrak
etanol daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap gambaran
histopatologi sel hepar tikus putih (Rattus norvegicus) galur sprague
dawley yang diinduksi dmba. Majority. 3(4): 77-84
Suprayogi. 2013. Respon Stress Oksidatif dan Pemberian Isoflavon terhadap
Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase dan Peroksidasi Lipid pada Hati
Tikus. JITV, 18(2): 146-152.
Suryani, A.E., F.K. Mohammad, dan I. Lusty. 2014. Prevalensi Kolibasilosis Pada
Ayam Broiler yang Diinfeksi Escherichia coli dengan Pemberian Bioaditif
Probiotik, dan Antibiotik. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas
Gadjah Mada. Widyariset, 17(2): 233-244.
Suryohudoyo, P. 2000. Oksidan, Antioksidan dan Radikal Bebas. Ilmu
Kedokteran Molekuler. Sagung Seto. Jakarta. 31-46.
Sutari, I., 2008, Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol 70% Daun Dewandaru
(Eugenia Uniflora L.) Terhadap Mencit Jantan Galur Swiss Terinduksi
Parasetamol [Skripsi]. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Tarmudji. 2003. Kolibasilosis pada Ayam: Etiologi, Patologi dan
Pengendaliannya. Balai Penelitian Veteriner. Wartazoa, 13(2): 7-10.
Towoliu, S., P. Lintong, dan C. Kairupan. 2013. Pengaruh Pemberian
Lactobacillus terhadap Gambaran Mikroskopis Mukosa Usus Halus Tikus
Putih Wistar (Rattus norvegicus) yang Diinduksi dengan Escherichia coli.
Jurnal e-Biomedik (eBM), 1(2): 1-8.
Triakoso, N. 2006. Penyakit Sistem Digesti Veteriner II. Airlangga Press.
Surabaya.
68
Try, Y.L. 2011. Hubungan Faktor Kesehatan Lingkungan Terhadap Angka
Kejadian Diare Pada Anak Usia Balita. Fakultas Kedokteran. Universitas
Pembangunan Nasional Veteran. Jakarta
Utami, W. 2007. Daya Hambat Ekstrak Daun Dewandaru (Eugenia uniflora L.)
Terhadap Aktivitas GST Kelas PI Ginjal Tikus Secara In Vitro.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jurnal Penelitian Sains &
Teknologi, 8(2): 110-118.
Utami, W., M. Da’i, dan Y.S. Sofiana,. 2005. Uji Aktivitas Penangkap Radikal
dengan Metode DPPH serta Penetapan Kandungan Fenol dan Flavonoid
dalam Ekstrak Kloroform, Ekstrak Etil Asetat, Ekstrak Etanol Daun
Dewandaru (Eugenia uniflora L.). Pharmacon, 6 (1): 5-9
Velazquez, E., H.A. Tournie, B. Mordujovich, G. Saavedra, and G.R. Schinella.
2003. Antioxidant Activity of Paraguayan Plant Extract. 74: 91-97.
Wahab, R. A. 2012. Pengaruh Formalin Peroral Dosis Bertingkat Selama 12
Minggu terhadap Gambaran Histopatologis Duodenum Tikus Wistar.
Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.
Walker, R., and C. Whittlesea. 2012. Clinical Pharmacy and Therapeutics Fifth
Edition. Elsevier. USA.
Wardoyo, P., Anang., dan K. Anam. 2009. Tanaman Obat Tradisional. Surabaya:
LinguaKata PT Kawan Pustaka.
Watson, R. R. 2015. Modulation of Sleep by Obesity, Diabetes, Age, and Diet.
Elsevier. USA.
Watson, R. R., and V. R. Preedy. 2013. Bioactive Food As Interventions for
Arthritis and Related Inflammatory Diseases. Elsevier. UK.
Wibowo, M.H., A.E.T. Wahyuni. 2008. Studi Patogenisitas Escherichia coli Isolat
Unggas pada Ayam Pedaging Umur 15 Hari. Jurnal Vet, 9(2): 87-93.
Willshaw, G.A., T. Cheasty, and H.R. and Smith. 2000. Escherichia coli. The
Microbiological Safety and Quality of Food. Aspen Publishers Inc. USA.
2: 1136-1177.
Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius. Yogyakarta.
16-18.
Woodside, M., and T. Mcclam. 2013. Generalist Case Management a Method of
Human Servise Delivery Fourth Edition. Brooks Cengange Learning.
USA.
Yunus, M. 2001. Pengaruh Antioksidan Vitamin C terhadap MDA Eritrosit Tikus
Wistar Akibat Latihan Anaerobik. Jurnal Pendidikan Jasmani,9(1): 9-16.