Upload
nur-wahid-alfarizi
View
77
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH pH dan SUHU terhadap
AKTIVITAS ENZIM
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM BIOLOGI
Disusun Oleh :
Maria Rosalia K
09.70.0055
Kelompok B.10
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2009
1. PENDAHULUAN
1.1. Tinjauan Pustaka
Metabolisme merupakan salah satu ciri kehidupan yang merupakan bentuk
transformasi tenaga atau pertukaran zat melalui serangkaian reaksi biokimia.
Dalam mahkluk hidup, reaksi metabolisme berlangsung dengan melibatkan suatu
senyawa protein yang disebut enzim. Enzim merupakan protein yang khusus
disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi yang berlangsung di
dalamnya. Fungsi khusus dari enzim adalah untuk menurunkan energi aktivasi,
mempercepat reaksi pada suhu dan tekanan yang tetap tanpa mengubah besarnya
tetapan keseimbangan dan sebagai pengendali reaksinya (Martoharsono, 1994).
Enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan berperan sebagai
katalisator pada reaksi kimia yang berlangsung dalam organisme. Katalisator
adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi pada hasil reaksi, substansi
tersebut tidak berubah. Enzim mempunyai ciri dimana kerjanya dipengaruhi oleh
lingkungan. Salah satu lingkungan yang berpengaruh terhadap kerja enzim adalah
pH. pH optimal enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi
sangat asam atau sangat alkalis enzim mengalami inaktivasi (Gaman &
Sherrington, 1994).
Suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan
hilangnya secara total aktivitas enzim. Pada sel hidup, perubahan pH sangat kecil.
Enzim hanya aktif pada kisaran pH yang sempit. Oleh karena itu media harus
benar-benar dipelihara dengan menggunakan buffer (larutan penyangga). Jika
enzim memiliki lebih dari satu substrat, maka pH optimumnya akan berbeda pada
suatu substrat (Tranggono & Sutardi, 1990). Tiap enzim memiliki karakteristik pH
optimal dan aktif dalam range pH yang relatif kecil, dalam banyak kasus, bentuk
kurva menandakan dari keaktifan enzim berbanding pH yang terkandung di
dalamnya (Almet & Trevor, 1991).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase
dapat diartikan sebagai segolongan enzim yang merombak pati, glikogen dan
2
3
polisakarida yang lain. Tumbuhan mengandung α dan β amilase, hewan memiliki
hanya α amilase, dijumpai dalam cairan pankreas dan juga (pada manusia dan
beberapa spesies lain) dalam ludah. Amilase memotong rantai polisakarida yang
panjang, menghasilkan campuran glukosa dan maltosa. Amilosa merupakan
polisakarida yang terdiri dari 100-1000 molekul glukosa yang saling berikatan
membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan iodin memberikan
warna biru yang khas (Fox, 1991).
Ada beberapa faktor untuk menentukan aktivitas enzim berdasarkan efek
katalisnya yaitu persamaan reaksi yang dikatalis, kebutuhan kofaktor, pengaruh
konsentrasi substrat dan kofaktor, pH optimal, daerah temperatur, dan penentuan
berkurangnya substrat atau bertambahnya hasil reaksi. Penentuan ini biasa
dilakukan di pH optimal dengan konsentrasi substrat dan kofaktor berlebih,
menjadikan laju reaksi yang terjadi merupakan tingkat ke 0 (zero order reaction)
terhadap substrat. Pengamatan reaksinya dengan berbagai cara kimia atau
spektrofotometri. Ada dua teori tentang mekanisme pengikatan substrat oleh
enzim, yaitu teori kunci dan anak kunci (lock and key) dan teori induced fit
(Wirahadikusumah, 1989).
Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan.
Akibatnya daya kerja enzim menurun. Pada suhu 45C efek predominanya masih
memperlihatkan kenaikan aktivitas sebagaimana dugaan dalam teori kinetik.
Tetapi lebih dari 45C menyebabkan denaturasi ternal lebih menonjol dan
menjelang suhu 55C fungsi katalitik enzim menjadi punah (Gaman &
Sherrington, 1994). Hal ini juga terjadi karena semakin tinggi suhu semakin naik
pula laju reaksi kimia baik yang dikatalisis maupun tidak. Karena itu pada suhu
40oC, larutan tidak ada gumpalan, begitu juga pada suhu ruang, sedngkan pada
suhu 100oC masih ada gumpalan – gumpalan yang menunjukkan kalau enzim
rusak. Pada suhu ruang, enzim masih dapat bekerja dengan baik walaupun tidak
optimum (Gaman & Sherrington, 1994).
4
Amilase adalah enzim pemecah karbohidrat dari bentuk mejemuk menjadi bentuk
yang lebih sederhana. Misalnya, pati dan glikogen dipecah menjadi maltosa,
maltotriosa atau oligosakarida. Enzim ini terdapat dalam air liur (ptialin) dan
getah pankreas yang membantu pencernaan karbohidrat dalam makanan. Darah
normal juga mengandung sedikit amilase dari hasil pemecahan sel yang
berlangsung secara normal. Pada penyakit radang pankreas, gondongan, kencing
manis, kadarnya dalam darah meningkat. Sebaliknya pada penyakit hati, kadarnya
menurun (Anonim, 1990).
Sifat-sifat enzim antara lain :
1. Spesifitas
Aktivitas enzim sangat spesifik karena pada umumnya enzim tertentu hanya
akan mengkatalisis satu reaksi saja. Sebagai contoh, laktase menghidrolisis
gula laktosa tetapi tidak berpengaruh terhadap disakarida yang lain. Hanya
molekul laktosa saja yang akan sesuai dalam sisi aktif molekul (Gaman &
Sherrington, 1994).
2. Pengaruh suhu
Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim hewan suhu
optimal antara 35°C dan 40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di
bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di atas suhu 50°C enzim secara
bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100°C semua
enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak
tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang (Gaman & Sherrington, 1994).
Enzim memiliki suhu optimum yaitu sekitar 180-230C atau maksimal 400C
karena pada suhu 450C enzim akan terdenaturasi karena merupakan salah satu
bentuk protein. (Tranggono & Setiadji, 1989).
Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim namun sebaliknya juga akan
mendenaturasi enzim (Martoharsono, 1994). Peningkatan temperatur dapat
meningkatkan kecepatan reaksi karena molekul atom mempunyai energi yang
lebih besar dan mempunyai kecenderungan untuk berpindah. Ketika
5
temperatur meningkat, proses denaturasi juga mulai berlangsung dan
menghancurkan aktivitas molekul enzim. Hal ini dikarenakan adanya rantai
protein yang tidak terlipat setelah pemutusan ikatan yang lemah sehingga
secara keseluruhan kecepatan reaksi akan menurun (Lee, 1992).
3. Pengaruh pH
pH optimal enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi
sangat asam atau sangat alkalis enzim mengalami inaktivasi. Akan tetapi
beberapa enzim hanya beroperasi dalam keadaan asam atau alkalis. Sebagai
contoh, pepsin, enzim yang dikeluarkan ke lambung, hanya dapat berfungsi
dalam kondisi asam, dengan pH optimal 2 (Gaman & Sherrington, 1994).
Enzim memiliki konstanta disosiasi pada gugus asam ataupun gugus basa
terutama pada residu terminal karboksil dan asam aminonya. Namun dalam
suatu reaksi kimia, pH untuk suatu enzim tidak boleh terlalu asam maupun
terlalu basa karena akan menurunkan kecepatan reaksi dengan terjadinya
denaturasi. Sebenarnya enzim juga memiliki pH optimum tertentu, pada
umumnya sekitar 4,5–8, dan pada kisaran pH tersebut enzim mempunyai
kestabilan yang tinggi (Williamson & Fieser, 1992).
4. Ko-enzim dan aktovator
Ko-enzim adalah substansi bukan protein yang mengaktifkan enzim. Beberapa
ion anorganik, misalnya ion kalsium dan ion klorida, menaikkan aktivitas
beberapa enzim dan dikenal sebagai aktivator (Gaman & Sherrington, 1994).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase, khususnya
pada tanaman yang mengandung banyak karbohidrat seperti pisang dan beberapa
serealia serta bahan makanan pokok. Dimana amilase ini akan mengkatalis
hidrolisis karbohidrat yang berupa pati menjadi dekstrin dan kemudian menjadi
maltosa, yang terjadi saat perkecambahan serealia. Pati yang merupakan
polisakarida dan tidak larut dalam air dingin serta membentuk koloid pada air
panas memiliki reaksi spesifik dengan iodium. Poligalakturonase, peroksidase dan
6
fosfatase semuanya merupakan enzim yang berfungsi menguraikan komponen
kompleks menjadi sederhana sehingga bisa dikonsumsi (Kartasapoetra, 1994).
Kecepatan reaksi enzim dipengaruhi oleh berbagai kondisi fisik dan kimia.
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi kerja enzim adalah konsentrasi
berbagai komponen (seperti substrat, produk, enzim, kofaktor, dll), pH,
temperatur, dan gaya irisan. Kecepatan reaksi enzim sangat dipengaruhi oleh pH
larutan baik secara in vivo maupun secara in vitro. Jenis hubungan antara
kecepatan reaksi dan pH ditunjukkan dengan kurva berbentuk lonceng. Setiap
enzim mempunyai pH optimum yang berbeda–beda (Lee, 1992).
Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim, suhu optimal antara 35◦
C dan 40◦ C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya,
aktifitas enzim akan berkurang. Di atas suhu 50◦ C enzim secara bertahap menjadi
inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100◦ C semua enzim rusak. Pada
suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivasinya sangat
banyak berkurang (Gaman & Sherrington, 1994).
Kebanyakan enzim membutuhkan medium cair untuk mendukung aktivitas
katalisasi air penting untuk menyusun struktur enzim. Hasil dari protein dalam air
terdiri dari 3 bagian:
Tipe I : molekul air mempunyai penyusun seperti larutan murni dan tidak
memiliki interaksi dengan protein.
Tipe II : molekul air tidak sepenuhnya terikat pada protein.
Tipe III : molekul air terikat kuat dengan protein menghasilkan bagian yang
berkembang dalam struktur protein (Fox, 1991).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase
dapat diartikan sebagai segolongan enzim yang merombak pati, glikogen, dan
polisakarida yang lain. Tumbuhan mengandung α dan ß amylase; hewan memiliki
hanya α amylase, dijumpai dalam cairan pankreas dan juga (pada manusia dan
beberapa spesies lain) dalam ludah. Amilase memotong rantai polisakarida yang
7
panjang, menghasilkan campuran glukosa dan maltosa. Amilosa merupakan
polisakarida yang terdiri dari 100-1000 molekul glukosa yang saling berikatan
membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan iodine memberikan
warna biru yang khas (Fox, 1991). Pada manusia, α amilase pada ludah dan
pankreas berguna dalam hidrolisis pati yang terkandung dalam makanan ke dalam
bentuk aligosakarida, di mana dalam perubahan tersebut dapat dihidrolisis oleh
disakarida atau trisakarida dalam jumlah kecil. Contohnya, α amilase pada
mamalia memiliki pH optimum 6-7, bergantung pada ada atau tidaknya ion
halogen (Whitackr, 1994).
α amilase mempunyai beberapa sifat, antara lain :
a. Di dalam larutan pati, kehilangan daya viskositas yang lebih cepat.
b. Warna iodine akan lebih cepat hilang.
c. Proses produksi maltosa lebih lambat.
d. Tidak memproduksi glukosa.
e. Suhu tinggi konsentrasi α amylase akan mempercepat proses kerja dari
viskositas dan perubahan warna iodine (Whitackr, 1994).
Larutan buffer adalah larutan yang tahan terhadap perubahan pH dengan
penambahan asam atau basa. Larutan seperti itu digunakan dalam berbagai
percobaan biokimia dimana dibutuhkan pH yang terkontrol dan tepat ( Fardiaz,
1992 ). Larutan buffer bermanfaat untuk melarutkan kotoran yang masih terikut di
dalam endapan enzim tersebut sekaligus bisa mencegah enzim dari denaturasi dan
kehilangan fungsi biologisnya ( Fox, 1991 ). Buffer dapat mempertahankan
kondisi enzim presipitat agar tidak terjadi perubahan pH dan mencegah agar
enzim tidak mengalami inaktivasi (Winarno, 1995 ).
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui efek dari nilai pH
yang berbeda dan pemanasan terhadap aktivitas enzim.
2. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1.Alat
Alat yang digunakan dalam pratikum ini adalah water bath, spektofotometer,
tabung reaksi, timbangan analitik, penjepit, pipet volume, pompa, stopwatch,
beaker glass, vortex, cawan dan batang porselin.
2.1.2.Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah reagen Benedict, larutan
Buffer pada pH 3,5,7,9, larutan pati 1%, air destilasi, kacang hijau segar, kacang
tanah segar, kecambah kacang hijau, kecambah kacang tanah dan pepaya
(menatah dan mendidih).
2.2. Metode
Kecambah dan buah ditimbang dalam beaker glass sebanyak 15 g. Setelah itu
ditambahkan dengan 30 ml larutan buffer. Larutan campuran tersebut disaring
dengan kain mori dan filtrat yang dihasilkan ditampung. Larutan tersebut ada
yang tidak dipanaskan(kelompok 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8) dan ada yang dipanaskan
(kelompok 9, 10, 11, 12, 13). Kemudian masing-masing tabung reaksi diberi label
dan diisi dengan 2 ml larutan pati dan ditambahkan pula ke dalamnya masing –
masing tabung berbeda yaitu 1 ml aquadestilata, 1 ml buffer pH 3, 1 ml buffer pH
5, 1 ml buffer pH 7, dan 1 ml buffer pH 9 seperti tabel di bawah ini :
TabungLarutan pati 2 2 2 2 2Enzim = tidak dididihkan (setelah inkubasi 2 menit)
4 4 4 4 4
1 Aquades 2 - - - -2 Buffer pH 3 - 2 - - -3 Buffer pH 5 - - 2 - -4 Buffer pH 7 - - - 2 -5 Buffer pH 9 - - - - 2
Kelima tabung reaksi tersebut di-vortex. Kemudian di-inkubasi dalam waterbath
38oC selama 2 menit. Setelah itu, 2 ml larutan enzim yang didinginkan atau
dipanaskan tadi ditambahkan ke masing – masing tabung reaksi dan di-vortex.
8
9
Inkubasi selama 10 menit dilakukan kembali terhadap tabung–tabung reaksi
tersebut. Setelah itu, 0,5 ml larutan reagen Benedict ditambahkan ke setiap tabung
reaksi dan diukur besar OD ( Optical Density ) pada λ 620. Grafik hubungan
antara nilai pH terhadap OD digambar.
3. HASIL PENGAMATAN
Hasil percobaan tentang pengaruh pH yang berbeda dan pemanasan terhadap
aktivitas enzim, dapat dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1.
Tabel 1. Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan
KelTabung
1aquades
2pH 3
3pH 5
4pH 7
5pH 9
B1 + B2 0,9581 1,1245 0,8719 0,9199 0,9213B3 + B4 1,3486 1,3844 1,2830 1,4868 1,4480B5 + B6 0,2706 0,2289 0,1968 0,2388 0,2415B7 + B8 0,8425 0,3041 0,5631 1,0240 1,1146B9 + B10 0,1237 0,1879 0,1180 0,1219 0,1552
B11B12B13
0,99480,33910,4248
0,94580,24120,2143
0,85610,19570,5701
0,78780,21200,6078
0,90050,20800,6193
Kelompok B1-B8 mengalami perlakuan enzim tidak didihkan dan kelompok B9-
B13 mengalami perlakuan enzim didihkan. Dengan perincian kelompok B1 + B2
& B9 + B10 Kacang Hijau Segar, B3 + B4 & B11 Kecambah Kacang Hijau, B5 +
B6 & B12 Pepaya Mentah, B7 + B8 & B13 Pepaya Matang.
Grafik 1. Grafik Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan
Aquades pH3 pH5 pH7 pH90
0.10.20.30.40.50.60.70.80.9
11.11.21.31.41.5
Kacang Hijau Segar Enzim Tidak Mendidih
Kecambah Kacang Hijau Enzim Tidak Mendidih
Pepaya Mentah Enzim Tidak Mendidih
Pepaya Matang Enzim Tidak Mendidih
Kacang Hijau Segar Enzim Mendidih
Kecambah Kacang Hijau Enzim Mendidih
Pepaya Mentah Enzim Mendidih
Pepaya Matang Enzim Mendidih
10
11
Pada Tabel 1 dan Grafik 1 nilai absorbansi yang didapat oleh semua kelompok
berbeda satu dengan yang lain. Dapat dilihat bahwa nilai absorbansi pada
kelompok B9-B13 (enzim mendidih) jika dibandingkan dengan nilai absorbansi
kelompom B1-B8 (enzim tidak mendidih) memiliki nilai yang jauh lebih rendah
pada bahan dan pH yang sama.
4. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, data dan grafik kelompok B1-B8 dengan
kelompok B9-B13 tidaklah sama. Pada percobaan kelompok B1-B8 enzim tidak
dididihkan sedangkan pada percobaan kelompok B9-B13 enzim dididihkan
dengan perlakuan pH yang sama dari percobaan tersebut terdapat perbedaan hasil
pengamatan. Pada enzim yang tidak dididihkan dihasilkan nilai OD berada
ditingkat nilai absorbansi yang lebih tinggi, sedangkan pada enzim yang
dipanaskan cenderung nilai OD-nya berada ditingkat absorbansi yang lebih
rendah. Hal tersebut terlihat bahwa enzim dipengaruhi oleh panas atau suhu, yang
ditunjukkan dengan nilai absorbansinya. Semakin tinggi suhunya, nilai
absorbansinya semakin turun, karena enzim mengalami inaktivasi pada suhu
tinggi. Enzim memiliki suhu optimum yaitu sekitar 180-230C atau maksimal 400C
karena pada suhu 450C enzim akan terdenaturasi karena merupakan salah satu
bentuk protein, pernyataan ini sesuai dengan Tranggono & Setiadji (1989). Pada
enzim yang dididihkan, enzim akan bertahap menjadi inaktif karena terjadi
perubahan struktur enzim. Sesuai dengan pernyataan Gaman & Sherrington
(1994), bahwa suhu optimal enzim antara 35oC dan 40oC. Sehingga jika suhu
berada di atas optimal, maka aktivitasnya akan berkurang yang terlihat dari
menurunnya nilai absorbansinya.
Sedangkan pada pengaruh pH didapatkan bahwa setiap bahan memiliki nilai pH
optimum untuk melakukan aktivitas enzimnya, yang dapat dilihat dari nilai
absorbansinya. Pada bahan yang tidak dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau
segar diperoleh bahwa nilai absorbansi tertinggi diperoleh pada pemberian pH 3,
pada kecambah kacang hijau pada pemberian pH 7, pada pepaya mentah pada
pemberian aquades dan pada pepaya matang pada pemberian pH 9. Sedangkan
pada bahan yang dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau segar diperoleh
bahwa nilai absorbansi tertinggi diperoleh pada pemberian pH 3, pada kecambah
kacang hijau pada pemberian aquades, pada pepaya mentah pada pemberian
aquades dan pada pepaya matang pada pemberian pH 9. Seharusnya, menurut
Gaman & Sherrington (1994) semakin besar atau basa pH yang digunakan maka
semakin rendah nilai OD-nya dikarenakan enzim mengalami denaturasi. Suhu
12
13
yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim tapi suhu yang terlalu tinggi pun
dapat mendenaturasi enzim. Ketika temperatur meningkat, pH optimal enzim
adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat
alkalis enzim mengalami inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi
dalam keadaan asam atau alkalis, sedangkan aktivitas enzim sangat dipengaruhi
oleh suhu. Hal ini dapat terjadi karena terjadi kesalahan saat praktikum saat
pengukuran absorbasi atau mungkin juga setiap bahan yang berbeda memang
memiliki pH optimumnya masing-masing.
Untuk enzim hewan suhu optimal antara 35°C dan 40°C, yaitu suhu tubuh. Pada
suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di atas suhu
50°C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada
suhu 100°C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak
benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang, hal ini sesuai
pernyataan Gaman & Sherrington (1994). Enzim sebagai protein akan mengalami
denaturasi jika suhunya dinaikkan. Akibatnya daya kerja enzim menurun. Suasana
yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan hilangnya
secara total aktivitas enzim. Larutan buffer adalah larutan yang tahan panas
terhadap perubahan pH dengan penambahan asam atau basa. Dengan
menggunakan larutan buffer inilah kita mendapatkan pH yang terkontrol dan
tepat.
5. KESIMPULAN
Enzim pada umumnya memiliki pH optimum 7 atau sekitarnya sehingga kerja
enzim optimum, karena suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan
denaturasi protein dan hilangnya secara total aktivitas enzim.
Suhu optimum enzim yaitu 30-40oC, pada suhu 50oC enzim menjadi inaktif
karena protein terdenaturasi, dan pada suhu 100oC enzim rusak.
Larutan Buffer digunakan untuk menjaga aktivitas enzim agar tidak rusak dan
mengalami aktivasi saat penambahan pH.
Nilai absorbansi pada percobaan ini dapat menunjukkan nilai aktivitas enzim
yang dipengaruhi oleh pH dan suhu tertentu.
Semarang, 28 Oktober 2009
Praktikan, Asisten Dosen :
o Melita Widodo
o Adhiprana Waraputra
Maria Rosalia
14
6. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1990). Ensiklopedi Nasional Indonesia.PT Cipta Adi Pustaka. Jakarta.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Fox, P.F. (1991). Food Enzymology Vol 2. Elsevier Applied Science. London.
Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Kartasapoetra,A.G. (1994). Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta.
Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Martoharsono, S. (1994). Biokimia jilid 1. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Tranggono,B.S. (1989). Petunjuk Laboratorium Biokimia Pangan. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Yogyakarta.
Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Gajah Mada
university Press. Yogyakarta.
Williamson,K.L & L.F.Fieser. (1992). Organic Experiment 7th Edition. D C Health
ang Company. United States of America.
Wirahadikusumah, M. (1989). Biokimia : protein, enzim, dan asam nukleat.
Institut Teknologi Bandung. Bandung.
15
6. LAMPIRAN
6.1. Laporan Sementara
6.2. Lampiran Artikel
16