Upload
vudang
View
241
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PENGARUH PERLAKUAN SIKLIS TERMAL TERHADAP
SIFAT BIOKOMPOSIT LPP-KENAF YANG MENGANDUNG
PEMADAM NYALA CACO3, DAP ATAU NaPP
Disusun oleh :
MELINA RAMADANI
M0307055
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagian
persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Juli, 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini dibimbing oleh :
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dra. Neng Sri Suharty, MSc., PhD Prof. Dr. Kuncoro Dihardjo, S.T, M.T
NIP. 19490816 198103 2001 NIP. 19710103 199702 1001
Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 31 Juli 2012
Anggota Tim Penguji :
1. Dr. Desi Suci Handayani, M.Si. 1. …………………
NIP. 19721207 199903 2001
2. Yuniawan Hidayat, M.Si. 2. ………………..
NIP. 19790605 200501 1001
Disahkan oleh :
Ketua Jurusan Kimia FMIPA UNS
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dr. Eddy Heraldy, MSi
NIP. 19640305 200003 1002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Pengaruh
Perlakuan Siklis Termal terhadap Sifat Biokomposit LPP-Kenaf yang
Mengandung Pemadam Nyala CaCO3, DAP atau NaPP” belum pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga belum pernah ditulis atau dipublikasikan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.
Surakarta, Juli 2012
Melina Ramadani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PENGARUH PERLAKUAN SIKLIS TERMAL TERHADAP SIFAT
BIOKOMPOSIT LPP-KENAF YANG MENGANDUNG
PEMADAM NYALA CaCO3, DAP ATAU NaPP.
MELINA RAMADANI
Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh siklis termal
terhadap sifat biokomposit yang mengandung pemadam nyala. Perlakuan uji
termal pada suhu 140 °C secara kontinyu terhadap PP murni dan LPP
menunjukkan waktu rapuh pada masing-masing senyawa yaitu 2 dan 50 jam,
mengalami peningkatan karbonil indeks masing-masing sebesar 12,39 dan 2,75 %
dibandingkan sebelum uji termal. Hal tersebut menunjukkan bahwa LPP memiliki
ketahanan panas yang lebih baik dibandingkan PP murni. Sehingga LPP
digunakan sebagai matriks dalam pembuatan biokomposit
Perlakuan pemanasan variasi suhu 25-65 oC dengan 10 kali siklis pada
biokomposit LPP/DVB/AA/SK mengandung pemadam nyala CCal/DAP (C2),
CCpa/DAP (C3), CCal/NaPP (C4), CCpa/NaPP (C5) diperoleh suhu optimum
pada suhu 45 oC yang masih berada dibawah suhu distorsi PP (52-60
oC).
Perlakuan siklis termal hingga 60 kali pada suhu 45 oC terhadap biokomposit C2,
C3, C4, C5 menyebabkan penurunan kekuatan tarik masing-masing sebesar 0,9;
0,8; 1,4 dan 1,3 % dibandingkan sebelum pemanasan. Hal tersebut disebabkan
karena adanya pemuaian dan penyusutan berulang-ulang sehingga mengakibatkan
pemanjangan dan pemendekan ikatan. Pergerakan molekul karena panas akan
mengubah kumpulan molekul yang direfleksikan dengan terjadinya penurunan
sifat mekanik.
Kata kunci : limbah polipropilena, serat kenaf, pemadam nyala, siklis termal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
THE EFFECT OF THERMAL CYCLIC TREATMENT ON THE PROPERTIES
OF BIOCOMPOSITES LPP-KENAF CONTAINING FIRE
RETARDANTS CACO3, DAP OR NAPP.
MELINA RAMADANI
Department of Chemistry. Mathematic and Science Faculty.
Sebelas Maret University
ABSTRACT
The study was conducted to determine the effect of thermal cyclic on the
properties of biocomposites containing fire retardants. Termal aging at 140 °C to
pure PP and LPP show embrittlement time of each compound are 2 and 50 hours,
the carbonyl index increased respectively by 12.39 and 2.75% over the prior
thermal test. This showed that the LPP has better heat resistance than pure PP. So
that LPP is used as a matrix in the manufacture of biocomposites.
Heat treatment temperature variations of 25-65 °C with 10 times
cyclically in biocomposites LPP/DVB/AA/SK containing a fire retardant
CCal/DAP (C2), CCpa/DAP (C3), CCal/NaPP (C4), CCpa/NaPP (C5) obtained
optimum temperature at 45 °C which is below the distortion temperature of PP
(52-60 °C). Thermal cyclic treatment up to 60 times at 45 °C for biocomposites
C2, C3, C4, C5 causes a decrease in tensile strength respectively by 0.9, 0.8, 1.4
and 1.3 % compared to before heating. This is due to the expansion and shrinkage
repeatedly resulting in lengthening and shortening of the bond. Movement of
molecules due to heat will change the set of molecules which is reflected by a
decrease in mechanical properties.
Key words: waste polypropylene, kenaf fiber, fire retardant, thermal cyclic
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. (Q.S Al-insyirah: 5)
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak
menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan
saat mereka menyerah. ~Thomas Alva Edison
Jika kamu diberikan sayap untuk terbang tinggi, lalu mengapa kamu
merangkak seperti serangga? ~ Khalil Gibran
Berikan yang terbaik untuk orang-orang disekitarmu, selama kamu
masih diberi kesempatan berbuat baik. ~Pompoom
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan untuk :
Ibu dan Bapak dirumah yang senantiasa memberikan doa & dukungannya. Semoga Alloh swt. selalu melindungi & menyayangi
keduanya.
Dek Devi, dek Aji & mbah putri yang selalu memberikan semangat untuk terus berjuang.
Frenandha, Duwek, Pipit, Siwi, Furi, Husna, Nila, Irma, Dini, Trias, Arti,
& kimia 2007. Kebersamaanlah yang menjadikan kita saudara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari
banyak pihak, karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Ir. Ari Handono Ramelan, MSc., PhD., selaku dekan FMIPA UNS
2. Dr. Eddy Heraldy, MSi selaku ketua jurusan Kimia FMIPA UNS
3. Prof. Dra. Neng Sri Suharty, MSc., PhD selaku pembimbing I
4. Prof. Kuncoro Diharjo, S.T., M.T selaku pembimbing II
5. Dr.Rer.nat. Fajar Rakhman Wibowo, M.Si selaku pembimbing akademik.
6. Dr. Desi Suci Handayani, M.Si., selaku penguji I
7. Yuniawan Hidayat, M.Si., selaku penguji II
8. Bapak Ibu dosen dan seluruh staf jurusan Kimia FMIPA UNS
9. Bapak, Ibu dan seluruh keluarga atas doa dan dukungannya dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Frenandha (pompoom), Duwek, anak-anak DS dan WK serta teman-teman
Kimia 2007 terimakasih atas kebersamaan, nasehat dan bantuan dari kalian
semua.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penelitian ini merupakan bagian dari projek penelitian atas nama Prof.
Dra. Neng Sri Suharty, M.S., Ph.D. Berkaitan dengan hal tersebut maka
penggandaan atau pengambilan segala sesuatu dari penelitian ini harus seijin Prof.
Dra. Neng Sri Suharty, M.S., Ph.D sebagai pemilik projek penelitian.
Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakannya. Namun demikian, penulis berharap semoga karya kecil ini
bermanfaat bagi pembaca
Surakarta, Juli 2012
Melina Ramadani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................... iii
HALAMAN ABSTRAK .................................................................................. iv
HALAMAN ABSTRACT................................................................................... v
HALAMAN MOTTO....................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ vii
KATA PENGANTAR....................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................................. 4
1. Identifikasi Masalah ........................................................... 4
2. Batasan Masalah ................................................................. 6
3. Rumusan Masalah .............................................................. 6
C. Tujuan ....................................................................................... 7
D. Manfaat ..................................................................................... 7
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 8
A. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 8
1. Polipropilena ...................................................................... 8
2. Bahan Pengisi (filler) ......................................................... 14
3. Inisiator Benzoil Peroksida (BPO)...................................... 16
4. Senyawa Penggandeng Asam Akrilat (AA)........................ 18
5. Senyawa Penyambung Silang Divinil Benzena (DVB)...... 19
6. Fire Retardant..................................................................... 20
7. Biokomposit.......................................... ............................. 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
8. Siklis Termal (Pemanasan Berulang-ulang)...................... 28
9. Karakterisitik Biokomposit..........……………………….. 29
a. Spektrofotometer Infra Merah...............……..…... 29
b. Uji Kuat Tarik......................................................... 29
c. Uji Impak................................................................ 31
d. Karbonil Indeks....................................................... 31
B. Kerangka Pemikiran.................................................................. 32
C. Hipotesis.................................................................................... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 36
A. Metode Penelitian ..................................................................... 36
B. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 36
C. Alat dan Bahan Yang Digunakan ............................................. 36
1. Alat ..................................................................................... 36
2. Bahan .................................................................................. 36
D. Prosedur Kerja .......................................................................... 37
1. Preparasi Limbah Polipropilena (LPP)............................... 37
2. Preparasi Serat Kenaf (SK)............................................ 37
3. Sintesis Biokomposit Metode Proses Larutan………......... 37
4. Pembuatan Spesimen......................................................... 38
5. Uji Siklis Termal................................................................. 39
6. Uji Sifat Mekanik......................................................... 39
7. Uji Termal …………………………………….................. 39
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 40
F. Teknik Analisis Data.................................................................. 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 42
A. Pembuatan Biokomposit pada Komposisi Optimum............... 42
B. Analisis Gugus Fungsi.............................................................. 43
1. Analisis Gugus Fungsi Biokomposit LPP/DVB/AA/SK.... 43
2. Analisis Gugus Fungsi Biokomposit dengan Pemadam
Nyala................................................................................... 45
C. Pemanasan Termal (Termal Aging)........................................... 46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
D. Siklis Termal Produk biokomposit........................................... 49
1. Variasi Suhu pemanasan.................................................... 49
2. Variasi Siklis Termal.......................................................... 51
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 58
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Formula sintesis biokomposit LPP/DVB/AA/SK……………............ 38
Tabel 2. Formula pada C1 dengan penambahan senyawa penghambat nyala
20 % berat total……..................…..................................................... 38
Tabel 3. Formulasi Pembuatan biokomposit dan biokomposit dengan 20%
senyawa Fire Retardant................................................................ 42
Tabel 4. Waktu rapuh dari PP murni dan LPP setelah dilakukan uji
termal...................................................................................... 47
Tabel 5. Sifat fisik dari berbagai biokomposit setelah perlakuan siklis
termal................................................................................................ 54
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. (a) Logo bagian bawah AMDK, (b) Kode plastik jenis PP.…….. 9
Gambar 2. (a) Isotaktik, (b) ataktik, (c) sindiotaktik, dimana R = CH3......... 10
Gambar 3. (a) Struktur propena dan PP, (b) reaksi radikal pada PP..…...…. 11
Gambar 4. Mekanisme termo-oksidasi hidrokarbon....................................... 13
Gambar 5. Tanaman kenaf................................................…………………... 15
Gambar 6. Struktur selulosa.......................................................……………. 15
Gambar 7. Struktur Bensoil Peroksida (BPO)...............................…….......... 16
Gambar 8. Mekanisme Dekomposisi dari BPO...............…………….…..... 17
Gambar 9. Reaksi Degradasi dengan Benzoil Peroksida …………………… 17
Gambar 10. Struktur Asam Akrilat........................................................... 18
Gambar 11. (a) struktur DVB; (b) ikatan sekunder yang terjadi pada DVB..... 19
Gambar 12. (a) Reaksi pembakaran, (b) Segitiga api......................………...... 20
Gambar 13. Struktur (a) CaCO3, (b) DAP, (c) NaPP…................................. 22
Gambar 14. Pembentukan radikal pada: (a) BPO; (b) PP; (c) selulosa............. 24
Gambar 15. (a) Struktur asam akrilat; (b) Pembentukan radikal pada asam
akrilat …........................................................................................ 25
Gambar 16. Pembentukan radikal pada divinil benzena................................ 26
Gambar 17. Skema kemungkinan reaksi yang terjadi..................................... 27
Gambar 18. Struktur xilena...............................................................……. 27
Gambar 19. Spesimen uji kuat tarik tipe V.…………….…………………….. 30
Gambar 20. Pembentukan radikal pada PP.................................................. 32
Gambar 21. Pembentukan radikal pada selulosa........................................... 32
Gambar 22. Pembentukan radikal pada AA.................................................. 33
Gambar 23. Pembentukan radikal pada DVB............................................... 33
Gambar 24. Skema kemungkinan ikatan biokomposit................................... 33
Gambar 25. Ikatan pada pembentukan biokomposit PP/DVB/AA/selulosa..... 34
Gambar 26. Spektrum FT-IR : (a) LPP (film); (b) SK (pelet KBr); (c) AA
(neat liquid); (d) DVB (neat liquid); (e) Biokomposit
LPP/DVB/AA/SK (film)........................................................... 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
Gambar 27. Spektra FTIR dari DAP, CC dan Biokomposit
LPP/DVB/AA/SK/CC/DAP..……………….....................……. 45
Gambar 28. Spektra FTIR dari NaPP, CC dan Biokomposit
LPP/DVB/AA/SK/CC/NaPP.................………………………… 46
Gambar 29. PP murni (a) , LPP (b) setelah dilakukan uji termal pada suhu
140 oC................................................................................... 47
Gambar 30. Spektra FTIR PP murni setelah perlakuan uji termal pada suhu
140 oC ……............................................................................…... 48
Gambar 31. Spektra FTIR LPP setelah perlakuan uji termal pada suhu 140
oC.......................................................................................... 48
Gambar 32. Presentase peningkatan karbonil indeks pada (a) PP murni, dan
(b) LPP ……......................................................................……... 49
Gambar 33. Kurva kekuatan tarik biokomposit mengandung (a) CC+DAP,
dan (b) CC+NaPP pada berbagai suhu pemanasan....…………... 49
Gambar 34. Kurva Modulus Young biokomposit mengandung (a) CC+DAP,
dan (b) CC+NaPP pada berbagai suhu pemanasan...................... 50
Gambar 35. Kurva kekuatan impak biokomposit mengandung (a) CC+DAP,
dan (b) CC+NaPP pada berbagai suhu pemanasan........................ 50
Gambar 36, Kurva kekuatan tarik biokomposit mengandung (a) CC+DAP,
dan (b) CC+NaPP pada perlakuan siklis termal.......................... 51
Gambar 37. Kurva Modulus Young biokomposit mengandung (a) CC+DAP,
dan (b) CC+NaPP pada perlakuan siklis termal........................... 51
Gambar 38. kekuatan Impak biokomposit mengandung (a) CC+DAP, dan (b)
CC+NaPP pada perlakuan siklis termal....................................... 52
Gambar 39. Biokomposit sebelum dilakukan pemanasan, (b) biokomposit
setelah siklis termal 60 kali..................................................... 55
Gambar 40. Spektra biokomposit C3 (LPP/DVB/AA/SK/CCpa+DAP) pada
perlakukan 60 kali pemanasan.................................................. 55
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Skema Preparasi LPP .......................................................... 65
Lampiran 2. Skema Preparasi SK................................................................... 66
Lampiran 3. Skema Sintesis Biokomposit Metode Larutan........................... 67
Lampiran 4. Skema Pembuatan Spesimen.......... ……............................... 68
Lampiran 5. Skema Uji Siklis Termal........................…..………………… 69
Lampiran 6. Skema Uji Termal.…………………………………………….. 70
Lampiran 7. Perhitungan Nilai Kekuatan Tarik ……………………….……. 71
Lampiran 8. a. Variasi Suhu............................................................ 71
Lampiran 9. b. Variasi Siklis Termal..................................................... 72
Lampiran 10. Perhitungan Modulus Young …………………………………. 73
Lampiran 11. a. Variasi Suhu............................................................ 73
Lampiran 12. b. Variasi Siklis Termal...................................................... 74
Lampiran 13. Perhitungan Kekuatan Impak …………………………………. 75
Lampiran 14. a. Variasi suhu................................................................... 75
Lampiran 15. b. Variasi Siklis Termal..................................................... 76
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH PERLAKUAN SIKLIS TERMAL TERHADAP SIFAT
BIOKOMPOSIT LPP-KENAF YANG MENGANDUNG
PEMADAM NYALA CaCO3, DAP ATAU NaPP.
MELINA RAMADANI
Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh siklis termal
terhadap sifat biokomposit yang mengandung pemadam nyala. Perlakuan uji
termal pada suhu 140 °C secara kontinyu terhadap PP murni dan LPP
menunjukkan waktu rapuh pada masing-masing senyawa yaitu 2 dan 50 jam,
mengalami peningkatan karbonil indeks masing-masing sebesar 12,39 dan 2,75 %
dibandingkan sebelum uji termal. Hal tersebut menunjukkan bahwa LPP memiliki
ketahanan panas yang lebih baik dibandingkan PP murni. Sehingga LPP
digunakan sebagai matriks dalam pembuatan biokomposit
Perlakuan pemanasan variasi suhu 25-65 oC dengan 10 kali siklis pada
biokomposit LPP/DVB/AA/SK mengandung pemadam nyala CCal/DAP (C2),
CCpa/DAP (C3), CCal/NaPP (C4), CCpa/NaPP (C5) diperoleh suhu optimum
pada suhu 45 oC yang masih berada dibawah suhu distorsi PP (52-60
oC).
Perlakuan siklis termal hingga 60 kali pada suhu 45 oC terhadap biokomposit C2,
C3, C4, C5 menyebabkan penurunan kekuatan tarik masing-masing sebesar 0,9;
0,8; 1,4 dan 1,3 % dibandingkan sebelum pemanasan. Hal tersebut disebabkan
karena adanya pemuaian dan penyusutan berulang-ulang sehingga mengakibatkan
pemanjangan dan pemendekan ikatan. Pergerakan molekul karena panas akan
mengubah kumpulan molekul yang direfleksikan dengan terjadinya penurunan
sifat mekanik.
Kata kunci : limbah polipropilena, serat kenaf, pemadam nyala, siklis termal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
THE EFFECT OF THERMAL CYCLIC TREATMENT ON THE PROPERTIES
OF BIOCOMPOSITES LPP-KENAF CONTAINING FIRE
RETARDANTS CACO3, DAP OR NAPP.
MELINA RAMADANI
Department of Chemistry. Mathematic and Science Faculty.
Sebelas Maret University
ABSTRACT
The study was conducted to determine the effect of thermal cyclic on the
properties of biocomposites containing fire retardants. Termal aging at 140 °C to
pure PP and LPP show embrittlement time of each compound are 2 and 50 hours,
the carbonyl index increased respectively by 12.39 and 2.75% over the prior
thermal test. This showed that the LPP has better heat resistance than pure PP. So
that LPP is used as a matrix in the manufacture of biocomposites.
Heat treatment temperature variations of 25-65 °C with 10 times
cyclically in biocomposites LPP/DVB/AA/SK containing a fire retardant
CCal/DAP (C2), CCpa/DAP (C3), CCal/NaPP (C4), CCpa/NaPP (C5) obtained
optimum temperature at 45 °C which is below the distortion temperature of PP
(52-60 °C). Thermal cyclic treatment up to 60 times at 45 °C for biocomposites
C2, C3, C4, C5 causes a decrease in tensile strength respectively by 0.9, 0.8, 1.4
and 1.3 % compared to before heating. This is due to the expansion and shrinkage
repeatedly resulting in lengthening and shortening of the bond. Movement of
molecules due to heat will change the set of molecules which is reflected by a
decrease in mechanical properties.
Key words: waste polypropylene, kenaf fiber, fire retardant, thermal cyclic
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Plastik merupakan polimer sintetis yang ringan, transparan, mudah
dibawa, tidak mudah pecah, mudah diolah, murah dan keberadaannya melimpah
di alam. Soentantini (2007) melaporkan bahwa kebutuhan air mineral di Indonesia
15 % dalam kemasan plastik cup (240 mL) berbahan polipropilena (PP). PP yang
digunakan telah ditambahkan zat aditif untuk memenuhi kebutuhan industri.
Berdasarkan Asosiasi Air Kemasan Indonesia (Aspadin) volume penjualan Air
Minum Dalam Kemasan (AMDK) tahun 2010 mencapai 14,5 milyar liter dan
pada tahun 2011 mencapai 17,3 miliar liter atau mengalami kenaikan 19 %
dibandingkan tahun 2010 (Baroeno, 2011). AMDK berbentuk gelas umumnya
hanya digunakan sekali pakai, sehingga dapat diasumsikan bahwa limbah yang
dihasilkan sebesar 10,8 milyar gelas. Berdasarkan pengukuran massa, limbah
polipropilena (LPP) yang dihasilkan seberat 10,8 milyar x 3,7 gram = 39,9 x 103
ton. LPP tidak dapat terdegradasi secara alami sehingga dapat mengganggu
keseimbangan ekosistem, mengurangi nilai estetika lingkungan, menghambat
kerja mikroorganisme dalam pembusukan sampah dan dapat menimbulkan
pencemaran. Sehingga permasalahan yang timbul karena LPP tersebut perlu dicari
penyelesaiannya.
Salah satu alternatif yaitu dengan penggunaan LPP untuk menggantikan
sebagian logam pada komponen interior otomotif. Seiring meningkatnya populasi
di dunia maka kebutuhan manusia pada otomotif juga semakin meningkat. Namun
disisi lain, logam yang digunakan sebagai salah satu komponen interior pada
otomotif keberadaannya di alam semakin menipis (Ayrilmis et al., 2011). Untuk
mengatasi krisis logam pada otomotif maka harus menggunakan sebagian material
baru yang mempunyai kekuatan seperti logam tetapi mempunyai massa ringan.
Sain et al. (2003) dan Liang et al. (2010) melaporkan PP banyak dimanfaatkan
dalam bidang otomotif, industri, material bangunan dan komponen elektronik.
Namun karena sifat LPP yang rapuh dan nonbiodegradable, maka dibuat suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
komposit dengan ditambahkan bahan pengisi (filler) sebagai penguat yang bersifat
biodegradable ke dalam matrik polimer. Sehingga didapatkan komposit yang
memiliki sifat mekanik baik dan biodegradable. Ayrilmis et al. (2011) membuat
biokomposit dari PP dan serat sabut kelapa untuk panel interior otomotif, dan
diperoleh peningkatan kekuatan tarik sebesar 35 % karena adanya serat di dalam
komposit.
Penggunaan serat alam sebagai penguat pada bahan komposit mulai
banyak dikembangkan. Yang et al. (2004), membuat komposit dari PP dengan
serbuk sekam padi (SSP). Kim et al. (2005) membuat komposit polibutilen
suksinat (PBS) dengan abu sekam padi atau serbuk kayu. Komposit termoplastik
akrolonitril butadiena stirena (ABS) dengan serat tandan kosong kelapa sawit
(STKS) (Maulida, 2009), polietilen dengan serat kenaf (Aji et al., 2009). Suharty
dan Firdaus (2007) membuat biokomposit dari polistirena limbah (PSL) dengan
penguat serat alam serbuk kayu sengon (SS) secara proses larutan dihasilkan
biokomposit yang memiliki kemampuan biodegradasi yang baik dan juga
peningkatan sifat mekanik dengan sintesis secara reaktif. Henry Ford telah
menggunakan serat kenaf (SK) sebagai bahan penguat komposit untuk komponen
mobil BMW dan Mercedes sejak tahun 1930 (Mwaikambo, 2006). (Islam and
Beg, 2010) menggunakan SK untuk menggantikan serat gelas dalam pembuatan
komposit LPP/SK yang dapat meningkatkan sifat mekanik. Penggunaan serat
kenaf dalam komposit membuat berat kosong kendaraan menjadi lebih ringan bila
dibandingkan dengan kendaraan yang seluruh komponennya berupa logam.
Penggunaan plastik maupun serat pada biokomposit merupakan bahan
yang mudah terbakar. Untuk meningkatkan ketahanan biokomposit terhadap api
diperlukan penambahan senyawa penghambat nyala api ke dalam material
tersebut. Penghambat nyala api yang banyak digunakan adalah komponen halogen
dan komponen fosfor (Sain et al., 2003). Tesoro (1978) melaporkan salah satu
golongan senyawa penghambat nyala adalah garam amonium dari sulfat, fosfat,
dan asam borat. Hussain M et al. (2003) melaporkan penambahan kaolin dapat
digunakan sebagai senyawa fire retardants. Izran et al. (2009) menggunakan
diamonium fosfat (DAP) dan monoamonium fosfat (MAP) sebagai senyawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pemadam nyala. Modifikasi komposit dengan penambahan ammonium polifosfat
(APP) dan CaCO3 terbukti dapat memberikan sifat tahan nyala yang baik bagi
komposit (Patra et al., 2005). Deodhar et al. (2006) CaCO3 dapat bereaksi dengan
asam polifosfat menghasilkan CO2 dan uap air yang dapat menghambat nyala api.
Penambahan material anorganik seperti montmorillonite (MMt) dapat
meningkatkan efektifitas senyawa fire retardants (Lee et al., 2003). Penambahan
lempung (clay) melalui grafting antara PP dengan maleic anhydride (MA) dapat
menurunkan kemampuan bakar (Gilman, et al., 2000). Suharty et al. (2012)
sintesis biokomposit LPP/SK yang ditambahkan dengan senyawa penghambat
nyala CaCO3 dan DAP menurunkan kecepatan pembakaran.
PP merupakan senyawa yang mudah teroksidasi oleh panas maupun
suhu. Sehingga plastik berbahan PP yang dipakai untuk industri sudah
ditambahkan bahan aditif untuk meningkatkan kualitasnya terhadap kekuatan
maupun degradasi. Salah satunya dengan penambahan antioksidan panas terhadap
plastik PP untuk memperoleh plastik yang kuat terhadap degradasi (Iramani et al.,
2007). Sehingga adanya anti oksidan tersebut akan meningkatkan kekuatan
mekanik dan dapat mengurangi terjadinya degradasi pada material (Suharty,
1993).
Biokomposit yang digunakan untuk komponen kendaraan akan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan panas pada mesin. Pemanasan berulang
(siklis termal) menyebabkan penurunan kualitas material yang mempengaruhi
sifat fisik dan mekanik glass-fiber reinforced concrete (GFRC) (Widyanto et al.,
2004). Ju (2007) melakukan pemanasan berulang pada komposit bismaleimide
(BMI)-serat karbon, diperoleh hasil semakin banyak pemanasan yang dilakukan
mengakibatkan terjadinya keretakan yang lebih besar. Sinmazcelik et al. (2010)
melaporkan bahwa pengaruh pemanasan berulang menyebabkan penurunan
kekuatan impak pada carbon fibre reinforced polyetherimide (PEI). Cao et al.
(2009), melaporkan tentang kekuatan tarik carbon fibre reinforced polymer
(CFRP) diperoleh semakin tinggi suhu maka kekuatan tarik komposit semakin
berkurang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
B. Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Limbah AMDK merupakan limbah yang melimpah di alam. Salah
satunya adalah kemasan cup (240 mL) yang terbuat dari PP. Untuk mengatasi
limbahnya yang berlimpah, LPP digunakan untuk menggantikan sebagian logam
pada komponen otomotif. Namun LPP mempunyai sifat rapuh dan
nonbiodegradable sehingga diperlukan bahan pengisi (filler) dari serat alam
sebagai penguat. Yang et al. (2004), membuat komposit dari PP dengan serbuk
sekam padi. Kim et al. (2005) membuat komposit dari PBS dengan abu sekam
padi atau serbuk kayu. Salah satu jenis serat alam yang banyak dijumpai di
Indonesia adalah serat kenaf (SK). Serat kenaf memiliki kandungan selulosa
cukup tinggi (Mwaikambo, 2006). Suharty et al. (2009) melakukan pembuatan
biokomposit LPP dengan bahan pengisi SK termodifikasi secara reaktif diperoleh
peningkatan kuat tarik sebesar 20 %.
Biokomposit dapat disintesis menggunakan metode lebur dengan metode
internal mixer (Kim et al., 2005) maupun metode larutan dengan menggunakan
pelarut yang sesuai (Suharty, 1993), baik secara reaktif menggunakan inisiator
maupun non reaktif (Suharty et al., 2007). Pengikatan biokomposit memerlukan
senyawa penggandeng. Ismail et al. (2010) menggunakan maleic anhydride (MA)
untuk meningkatkan interaksi antara Linear Low-Density Polyethylene/Poly (Vinyl
Alcohol) (LLDPE/PVA). Suharty et al. (2007) menggunakan senyawa asam
akrilat (AA) untuk mengikatkan PP dengan serat sehingga terbentuk ikatan
LPP/AA/selulosa. Suharty (1993) melaporkan divinil benzene (DVB) dan
trimethylolpropane triacrylate (TMPTA) dapat meningkatkan pembentukan
ikatan sambung silang sehingga lebih meningkatkan sifat mekanik. Suharty et al.
(2008) biokomposit dengan senyawa penyambung silang DVB lebih kuat
dibandingkan tanpa senyawa penyambung silang. Khalid et al. (2008)
menggunakan 2 % TMPTA untuk meningkatkan kekuatan dan ketangguhan dari
PP-selulosa. Pratama (2010) membuat biokomposit LPP/SK secara reaktif dengan
menggunakan AA 10 % dari SK, DVB 5 % dari AA dan inisiator BPO 0,05 %
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
dari berat total diperoleh komposisi optimum terhadap sifat mekanik pada rasio
LPP/SK = 8/2 dengan peningkatan kuat tarik 12 %.
Penggunaan biokomposit dalam kendaraan perlu ditingkatkan
kemampuan hambat nyalanya. Penambahan APP dan CaCO3 terbukti dapat
memberikan sifat tahan nyala yang baik bagi komposit (Patra et al., 2005). Sain et
al. (2003) menambahkan magnesium hidroksida (MH) dan asam borat (H3BO3) ke
dalam campuran PP dan serbuk kayu, dilaporkan penambahan 25 % MH
mengurangi pembakaran 50 % dibandingkan biokomposit tanpa MH. Izran et al.
(2010) menggunakan DAP dan MAP sebagai senyawa pemadam nyala, dan
diperoleh hasil bahwa DAP lebih unggul dalam mengurangi nyala api. Deodhar et
al. (2006) melaporkan penambahan APP dan CaCO3 dapat menghambat
kecepatan pembakaran 24-69 % dibandingkan tanpa senyawa penghambat nyala.
Biokomposit LPP/DVB/AA/SK/CC/DAP dapat menghambat waktu respon
pembentukan nyala 107 % dan menurunkan kecepatan pembakaran 54 %
dibandingkan biokomposit tanpa senyawa penghambat nyala (Suharty et al.,
2012). Selain itu, adanya penambahan bahan aditif berupa antioksidan panas pada
PP yang digunakan untuk industri dapat mengurangi proses degradasi dari produk
yang dihasilkan (Iramani et al., 2007).
Pemanasan pada biokomposit akan menyebabkan penurunan kualitas
material. Widyanto et al. (2004) melaporkan pengaruh pemanasan yang dilakukan
pada suhu 35, 60, 100, 200, 300 °C dengan siklis termal sebanyak 1, 2, 3, 5, 7 dan
10 kali terhadap GFRC dan seiring meningkatnya suhu dan siklis termal kekuatan
tarik komposit semakin menurun. Pemilihan suhu yang digunakan pada proses
siklis termal perlu memperhatikan kondisi dari material. Sehingga untuk
mempertahankan sifat mekanik yang baik, perlakuan siklis termal harus dilakukan
di bawah suhu ekstrim ruangan di dalam kendaraan dan di bawah suhu distorsi
polimer yang digunakan (Billmeyer, 1984) Sinmazcelik et al. (2010) melaporkan
pengaruh pemanasan pada pada carbon fibre reinforced polyetherimide (PEI)
yang dilakukan dengan siklis termal sebanyak 50, 200 dan 500 kali diperoleh
semakin meningkat jumlah pemanasan kekuatan impak komposit semakin
menurun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
2. Batasan Masalah
1. Biokomposit disintesis dari limbah polipropilena AMDK dalam bentuk cup
(240 mL) merk aqua menggunakan serat tumbuhan yaitu serat kenaf yang
lolos ayakan 100 mesh dan telah dialkalisasi.
2. Sintesis biokomposit dilakukan dengan metode larutan menggunakan
pelarut xilena dengan proses secara reaktif menggunakan inisiator bensoil
peroksida (BPO), senyawa penggandeng AA dengan penambahan senyawa
penyambung silang DVB.
3. Senyawa pemadam nyala yang digunakan dalam pembuatan biokomposit
adalah CaCO3, DAP dan NaPP.
4. Uji termal untuk menentukan matriks pada pembuatan biokomposit
dilakukan pada PP murni dan LPP.
5. Dalam perlakuan siklis termal dilakukan variasi suhu pemanasan 25, 35,
45, 55, 65 °C untuk mengetahui suhu optimum dan variasi jumlah
pemanasan 20, 30, 40, 50, 60 kali yang dilakukan pada suhu optimum (suhu
di dalam oven sebagai acuan).
6. Karakterisasi biokomposit yang dilakukan meliputi analisis gugus fungsi
biokomposit dan peningkatan gugus karbonil dengan FTIR, kekuatan tarik
dan modulus young dengan alat UTM (United Testing Machine) sesuai
ASTM D-638 dan kekuatan impak dengan Charpy impact testing machine
sesuai ASTM D-6110.
3. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh pemanasan pada suhu 140 °C terhadap PP murni dan
LPP?
2. Berapa suhu optimum pada perlakuan siklis termal biokomposit yang
mengandung pemadam nyala?
3. Bagaimana pengaruh perlakuan siklis termal terhadap sifat biokomposit
yang mengandung pemadam nyala?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
C .Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh pemanasan pada suhu 140 °C terhadap PP murni dan
LPP.
2. Mengetahui suhu optimum perlakuan siklis termal pada biokomposit yang
mengandung pemadam nyala.
3. Menyelidiki pengaruh perlakuan siklis termal terhadap sifat biokomposit
yang mengandung pemadam nyala.
D. Manfaat
1. Memecahkan permasalahan lingkungan hidup yang berasal dari limbah
kemasan minuman karena sifatnya yang tidak dapat terdegradasi.
2. Menjadikan suatu plastik PP menjadi material baru untuk komponen interior
otomotif.
3. Memberikan informasi tentang pengaruh perlakuan siklis termal terhadap
sifat biokomposit yang mengandung pemadam nyala.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Polipropilena
Plastik termoplastik dapat dibentuk berulang-ulang sehingga banyak
digunakan sebagai bahan pengemas makanan dan minuman. Salah satu
penggunaan plastik termoplastik yaitu sebagai bahan pengemas air minum dalam
kemasan (AMDK). AMDK sangat diminati oleh masyarakat yang memiliki gaya
hidup praktis karena AMDK menggunakan bahan pembungkus berupa plastik
seperti polietilena (PE), dan polipropilena (PP) yang dinilai praktis, transparan,
ringan, mudah diolah dan dibawa serta harganya murah. Kebutuhan masyarakat
terhadap AMDK khususnya air mineral, dicukupi dalam berbagai jenis bentuk
ukuran dan kemasan yaitu kemasan galon (19 L) sebesar 60 %, botol (600 mL)
sebesar 25 %, dan cup atau gelas (240 mL) sebesar 15 % (Soentantini, 2007).
Kebutuhan AMDK dalam bentuk cup semakin bertambah dari tahun ke tahun
karena praktis dengan ukurannya yang kecil namun cukup untuk memenuhi
kebutuhan seseorang terhadap air mineral. Bagian bawah cup AMDK terdapat
tulisan PP dan logo berbentuk segitiga dengan angka lima didalamnya yang
menunjukkan bahwa terbuat dari bahan polipropilena. Kode tersebut dikeluarkan
oleh Society of Plastic Industry pada tahun 1998 di Amerika Serikat (Gambar 1)
(Kusumastuti, 2008). Berdasarkan Asosiasi Air Kemasan Indonesia (Aspadin)
volume penjualan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) tahun 2010 mencapai
14,5 milyar liter dan pada tahun 2011 mencapai 17,3 miliar liter atau mengalami
kenaikan 19 % dibandingkan tahun 2010 (Baroeno, 2011). AMDK berbentuk cup
atau gelas umumnya hanya digunakan sekali pakai, sehingga dapat diasumsikan
bahwa limbah yang dihasilkan sebesar 10,8 milyar gelas. Berdasarkan pengukuran
massa, limbah polipropilena (LPP) yang dihasilkan tahun 2011 seberat 10,8
milyar x 3,7 gram = 39,9 x 103 ton. Permintaan yang tinggi terhadap AMDK
berbentuk cup mengakibatkan produksinya meningkat dan mendatangkan limbah
kemasan plastik yang melimpah. Limbah kemasan cup merupakan LPP yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
menimbulkan permasalahan lingkungan karena PP termasuk plastik yang tidak
dapat terdegradasi secara alami. Selain itu PP adalah bahan yang sifat mekaniknya
rendah dan mudah terbakar.
(a)
(b)
Gambar 1. (a) Logo bagian bawah AMDK, (b) Kode plastik jenis PP
(Kusumastuti, 2008)
Salah satu alternatif penanggulangan masalah tersebut adalah dengan
memanfaatkan LPP di bidang otomotif untuk menggantikan logam yang
keberadaannya semakin menipis. Sain et al. (2003) dan Liang et al. (2010)
melaporkan polipropilena banyak dimanfaatkan dalam bidang otomotif, industri,
material bangunan dan komponen elektronik. Namun karena sifat LPP yang rapuh
dan nonbiodegradable, maka dibuat suatu biokomposit dengan ditambahkan
bahan pengisi (filler) sebagai penguat yang bersifat biodegradable ke dalam
matrik polimer. Sehingga didapatkan komposit yang memiliki sifat mekanik baik
dan biodegradable. Ayrilmis et al. (2011) membuat biokomposit dari PP dan serat
sabut kelapa untuk panel interior otomotif, dan diperoleh peningkatan kekuatan
tarik sebesar 35 % karena adanya serat di dalam komposit. Khalid et al. (2008)
membuat komposit dengan matriks polipropilena dan serat selulosa menghasilkan
biokomposit dengan sifat mekanik yang meningkat. Suharty et al. (2007) telah
membuat biokomposit PP dengan bahan pengisi serbuk bambu (SB) sehingga
menghasilkan biokomposit yang dapat terbiodegradasi dan sifat mekaniknya
meningkat. Selain itu PP juga mempunyai sifat yang mudah terbakar, sehingga
polipropilena juga dapat ditingkatkan kemampuan hambat nyalanya dengan
penambahan senyawa fire retaerdants. Penambahan APP dan CaCO3 pada matrik
PP terbukti dapat memberikan sifat tahan nyala yang baik bagi komposit (Patra et
al., 2005). Sain et al. (2003) menambahkan magnesium hidroksida (MH) dan
asam borat (H3BO3) ke dalam campuran PP dan serbuk kayu, dilaporkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
penambahan 25 % MH dapat mengurangi pembakaran 50 % dibandingkan tanpa
MH.
Polipropilena dibedakan menjadi tiga bentuk struktur, yaitu ataktik,
isotaktik dan sindiotaktik seperti terlihat pada Gambar 2. Ketiga struktur
polipropilena tersebut pada dasarnya secara kimia berbeda satu sama lain.
Polipropilena ataktik tidak dapat berubah menjadi polipropilena sindiotaktik atau
menjadi struktur lainnya tanpa memutuskan dan menyusun kembali beberapa
ikatan kimia. Struktur yang lebih teratur memiliki kecenderungan yang lebih besar
untuk berkristalisasi dari pada struktur yang tidak teratur. Jadi, struktur
isotaktik dan sindiotaktik lebih cenderung membentuk daerah kristalin daripada
ataktik. Polipropilena berstruktur stereogular seperti isotaktik dan sindiotaktik
adalah sangat kristalin, bersifat keras dan kuat. Menurut Ghosh (2011), PP
komersial hampir 90-97 % merupakan isotaktik.
Dalam struktur polipropilena ataktik gugus metil bertindak seperti
cabang-cabang rantai pendek yang muncul pada sisi rantai secara acak. Ini
mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan daerah-daerah rantai yang sama
(tersusun) sehingga mempunyai sifat kristalin rendah menyebabkan tingginya
kadar oksigen pada bahan tersebut sehingga bahan polimer ini mudah terdegradasi
oleh pengaruh lingkungan seperti kelembaban cuaca, radiasi sinar matahari dan
lain sebagainya (Evriani, S., 2009).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. (a) isotaktik, (b) ataktik, dan (c) sindiotaktik, dimana R = CH
(Evriani, S., 2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Polipropilena adalah polimer yang mempunyai unit berulang dari
monomer propena (CH3-CH=CH2). Polipropilena bersifat non polar sehingga
tidak dapat larut dalam air tetapi dapat larut dalam toluena mendidih adalah 66%
dan pada xilena mendidih adalah 100% (Suharty, 1993). Setiap unit ulang
polipropilena mempunyai karbokation pada karbon tersier bersifat sangat stabil
(Gambar 3a), sehingga atom H yang terikat pada karbon tersier tersebut bersifat
reaktif dan bersifat non polar (Pudjaatmaka, 1986). Kereaktifan ini disebabkan
efek sterik dari gugus besar disekitar karbon tersier. Bila suatu radikal menyerang
polipropilena, maka hidrogen yang lepas adalah yang mempunyai energi disosiasi
pemutusan ikatan C-H yang rendah. Energi disosiasi pemutusan ikatan C-H
tersier lebih rendah daripada energi disosiasi pemutusan ikatan C-H sekunder
maupun C-H primer. Energi disosiasi ikatan C-H pada karbon tersier sebesar 91
kkal/mol sedangkan karbon posisi sekunder sebesar 94,5 kkal/mol (Fessenden and
Fessenden, 1986). Setelah radikal menyerang PP maka akan terbentuk PP radikal
aktif dimana gugus metin merupakan gugus aktif pada PP yang bersifat nonpolar
sebagai pusat reaksi (Gambar 3b). Gugus metin ini nantinya akan berikatan
dengan gugus polar dari senyawa yang lain dengan bantuan senyawa
penggandeng multifungsional untuk membentuk biokomposit.
H2C C
H
CH3
PP PP
H2C C
CH3
PPPP
Gambar 3. (a) Struktur propena dan polipropilena, (b) reaksi radikal pada PP.
Sebagian besar bahan akan memuai jika dipanaskan dan menyusut jika
didinginkan. Besarnya pemuaian dan penyusutan tidak sama satu dengan yang
lain karena adanya koefisien muai dan susut yang berbeda dari setiap bahan
(a) Propilena/propena Polipropilena
(b)
karbon
tersier
reaksi radikal •
pusat reaksi
gugus non polar
- RH
H2C C CH3
H
CH2 C
H
CH3
*
n
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
(Giancoli, 1985). Parameter kerusakan material secara fisik dapat diketahui dari
suhu distorsinya. Suhu distorsi matriks PP adalah 52-60 oC (Billmeyer, 1984).
Secara kimia jika bahan dipanaskan akan memuai sehingga terjadi pemanjangan
ikatan (Surdia, 1992). Jika pemanasan dilanjutkan akan mengubah kumpulan
molekul sehingga terjadi oksidasi sesuai dengan reaksi norrish (Suharty, 1993).
PP mudah teroksidasi panas yang berakibat pada perubahan sifat
polipropilena. Reaksi oksidasi dapat disebabkan oleh adanya sinar maupun suhu.
Reaksi oksidasi yang dipicu oleh sinar disebut foto-oksidasi sedang oksidasi yang
dipicu oleh suhu disebut termo-oksidasi. Panas yang disebabkan oleh peningkatan
suhu dapat memicu terjadinya reaksi oksidasi. PP yang mulanya tersusun dari
rantai hidrokarbon setelah mengalami oksidasi melalui reaksi β-scission
(pembelahan rantai) menghasilkan keton. Reaksi ini dikenal dengan reaksi norrish
seperti terlihat pada Gambar 4 (Suharty, 1993).
1) Inisiasi :
Polimer 2 R● (a)
2) Propagasi:
R● + O2 ROO●
(b)
ROO● + RH ROOH + R●
CH2 C
CH3
O O
CH3
C *H2C*
H
n
CH2 C
CH3
O OH CH2 C
CH3
● ●
CH2 C
CH3
O O
O2CH2 C
CH3
●
Polipropilena
●
C H 3
C * H 2 C *
H
n C H 2 C
C H 3
●
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
●
●
●
●
3) ROOH RO● + ●OH
CH2 C
CH3
O OH
PP hidroperoksida
CH2 C
CH3
OPP alkoksi radikal
CH2 C
CH3
OPP alkoksi radikal
4) Reaksi β – scission
CH2 C
CH3
O
H2C C
H2C
O
5) Reaksi norrish
CH3CH2C
H2C
H2C
O
Gambar 4. Mekanisme oksidasi hidrokarbon (Suharty, 1993)
Tahap 1 (a) Reaksi diawali dengan tahap inisiasi pembentukan makro
alkil radikal. Tahap 2 (b) Makro alikil radikal yang terbentuk akan bereaksi secara
spontan dengan oksigen menghasilkan alkil-peroksi radikal (ROO●). Alkil-
peroksi radikal yang terbentuk akan bereaksi dengan hirokarbon polimer lainnya
membentuk hidroperoksida (ROOH). Tahap 3 (c) Adanya panas oleh suhu dapat
menyebabkan PP hidroperoksida mengalami reaksi pemecahan menghasilkan PP
alkoksi radikal dan hidroksi radikal (●OH). Tahap 4 PP alkoksi radikal akan
mengalami reaksi β-scission. Tahap 5 makro karbonil mengalami reaksi norrish
secara reaksi radikal.
Plastik berbahan PP yang dipakai untuk industri pada umumnya sudah
ditambahkan bahan aditif untuk meningkatkan kualitasnya terhadap kekuatan
maupun degradasi. Salah satunya dengan penambahan antioksidan panas terhadap
plastik PP untuk memperoleh plastik yang kuat terhadap degradasi (Iramani et al.,
2007). Sehingga adanya anti oksidan tersebut akan meningkatkan kekuatan
mekanik dan dapat mengurangi terjadinya degradasi pada material (Suharty,
1993).
+
O
O
●
O
H
●OH
●
+ ● CH2 CH2 CH2
(e)
(d)
CH2C
O
●
(c)
+ ● CH3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
2. Bahan pengisi (filler)
Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan ke dalam campuran
plastik untuk peningkatan sifat mekanik (kuat tarik) suatu polimer (Ismail et al.,
2010). Bahan-bahan pengisi dapat berasal dari bahan anorganik (fiberglass),
geopolimer (lempung) , dan bahan organik (serat tumbuh-tumbuhan).
Bahan pengisi dari serat tumbuhan memiliki kelebihan, antara lain :
biodegradabel, densitas rendah, serat tidak hancur saat pemrosesan, serta murah
dan melimpah (Rowell et al., 1997). Serat ini digunakan untuk menaikkan sifat
mekanik pada plastik termoplastik seperti pembuatan biokomposit dengan
membuat komposit polibutilen suksinat (PBS) dengan abu sekam padi sehingga
diperoleh komposit yang lebih kuat (Kim et al., 2005). Serat digunakan untuk
menaikkan kuat tarik sekaligus meningkatkan degradabilitas plastik termoplastis
seperti pembuatan biokomposit PP dengan bahan pengisi serbuk sekam padi
sehingga dihasilkan suatu biokomposit dengan kuat tarik yang lebih tinggi (Yang
et al., 2005). Suharty et al., (2007) membuat biokomposit degradabel dari
polistirena (PS) daur ulang termodifikasi dengan bahan penguat serbuk kayu
kelapa menghasilkan biokomposit yang memilki sifat mekanik yang lebih
meningkat dibandingkan bahan awalnya serta kemampuan untuk terdegradasi
secara mikroorganisme.
Serat tumbuhan yang baik digunakan sebagai bahan pengisi adalah serat
tanaman dengan kandungan selulosa tinggi dan ramah lingkungan. (Aji et al.,
2009) Salah satu jenis serat alam yang banyak mengandung selulosa dan dapat
dijumpai di daerah tropis seperti Indonesia adalah serat kenaf (Hibiscus
cannabinus) yang banyak dijumpai di daerah Lamongan, Jawa Timur (Gambar 5).
Produksi kenaf di dunia menempati urutan ke lima yaitu 970.000 ton/tahun setelah
bambu 10.000.000 ton/tahun dan jute dengan jumlah produksi 2.850.000
ton/tahun. Kenaf merupakan tanaman yang menghasilkan serat panjang yang
diperoleh dari batangnya. Serat kenaf berdiameter 17,7 - 21,9 μm dan densitas
sebesar 1220 - 1400 kg/m3. Sifat kimia serat kenaf adalah selulosa (57%),
hemiselulosa (21%), dan lignin (19%). Kandungan selulosa yang cukup besar
menandakan serat kenaf memiliki keuletan yang cukup tinggi dan tidak getas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Serat kenaf mempunyai kekuatan tarik 1191 MPa dan modulus young 60 GPa
(Mwaikambo, 2006).
Gambar 5. Tanaman kenaf (Aji et al., 2009)
Selulosa didalam kayu disertai dengan lignin yang terikat erat dengannya
dan pemisahannya memerlukan perlakuan kimia yang intensif. Perlakuan
alkalisasi terhadap serat akan mengurangi pengotor (kandungan lain selain
selulosa) pada serat sehingga dapat meningkatkan terbentuknya ikatan antara
selulosa dan matriks polimer sintetis dalam pembentukan biokomposit. Diharjo
(2005) melaporkan bahwa sifat mekanik komposit meningkat dengan perlakuan
alkali serat yang dapat meningkatkan ikatan antara serat dan matriks. Selulosa
merupakan penyusun utama kayu yang berupa polimer alami yang panjang dan
linier yang terdiri dari residu β-D glukosa yang dihubungkan oleh ikatan glikosida
pada posisi C1 dan C4.
O
O
O
H
H
OHH
OH
CH2OH
H
*
n
Gambar 6. Struktur selulosa (Achmadi, 2003)
Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai
kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intra dan intermolekuler.
Selulosa mengandung rata-rata 5.000 unit glukosa dan setiap unit glukosa
mengandung tiga gugus hidroksil (-OH) yang terletak pada C2, C3 dan C6 serta
dua oksigen yang membentuk ikatan glikosidik dengan monomer lain (Achmadi,
2003). Kelima gugus ini bersifat reaktif dan polar, sehingga akan berikatan
dengan gugus polar dari senyawa lain. Struktur selulosa seperti terlihat pada
Gambar 6. Serat selulosa merupakan material organik yang mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
kecenderungan untuk membentuk ikatan hidrogen jika dibandingkan dengan
material anorganik (Salmah, 2005). Suharty et al. (2009) komposisi optimum
rasio LPP/SK = 8/2 memiliki sifat kuat tarik yang meningkat dibandingkan
dengan bahan awalnya. Mengacu pada hasil penelitian tersebut maka dalam
penelitian kali ini akan digunakan rasio LPP/SK = 8/2 dengan pertimbangan akan
diperoleh biokomposit yang memiliki sifat mekanik yang tinggi.
3. Inisiator Benzoil Peroksida (BPO)
Dalam proses polimerisasi dibutuhkan suatu inisiator untuk membentuk
radikal bebas. Inisiator menghasilkan senyawa radikal yang akan mengganggu
senyawa lain untuk membentuk radikal pula. Jenis inisiator dapat berasal dari
senyawa azo dan peroksida. Senyawa inisiator yang sering digunakan adalah
diasetil peroksida, di-t-butil peroksida, dan benzoil peroksida (Sopyan, 2001).
Benzoil peroksida (BPO) merupakan senyawa peroksida yang berfungsi sebagai
inisiator dalam proses polimerisasi dan dalam pembentukan ikatan silang dari
berbagai polimer dan material polimer. Senyawa peroksida ini dapat digunakan
sebagai pembentuk radikal bebas (Hesman, 1974). Menurut Seymour dan
Charraher (1988), BPO memiliki rumus molekul C14H10O2 dengan rumus
strukturnya seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Struktur Bensoil Peroksida (BPO) (Seymour dan Charracher, 1988)
Penggunaan senyawa BPO dalam penelitian ini didasarkan atas sifat
radikal benzoiloksi yang cukup stabil sehingga cenderung dapat bereaksi dengan
molekul-molekul monomer yang lebih reaktif sebelum mengeliminasi karbon
dioksida sehingga dapat mengurangi pemborosan inisiator (Sopyan, 2001: 209).
Reaksi pembentukan radikal bebas dan reaksi-reaksinya dapat ditunjukkan pada
persamaan reaksi di bawah ini :
ROOR RO● + RO
● atau
ROOR ROO● + R
C
O
O O C
O
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Dari reaksi tersebut, dapat dianalogkan bahwa struktur BPO dapar mengalami
disosiasi atau penguraian menjadi dua unit molekul radikal bebas benzoiloksi.
Adapun pembentukan radikal bebas dan reaksinya dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Mekanisme Dekomposisi dari BPO (Seymour dan Charracher, 1988)
Polipropilena yang ditambahkan BPO akan terjadi pemutusan rantai pada
polipropilena dan pembentukan ikat silang pada polipropilena dan reaksinya dapat
dilihat pada Gambar 9.
Pemutusan rantai
Pembentukan ikat silang
Gambar 9. Reaksi Degradasi dengan Benzoil Peroksida (Evriani, S., 2009)
Senyawa radikal akan menyerang polipropilena untuk membentuk
polipropilena radikal aktif, yang selanjutnya akan bereaksi dengan asam akrilat
membentuk biokomposit. Telah dilakukan pembuatan biokomposit dari
polipropilena dengan pengisi serat bambu (Suharty et al., 2008) menggunakan
BPO 0,08 % dan pada penggunaan BPO 0,03 % tidak diperoleh biokomposit yang
(R1●)
2 C6H5● + 2 CO2
(R2●) Benzoil Peroksida
C
O
O O C
O
C
O
O2
2I 2I
2I + CH
CH2
CH3
C CH2
CH3
+ 2 I H
C CH2
CH3
C CH2
CH3
+ HC CH2
CH3
C CH2
CH3
C CH2
+
C CH2
CH3
C CH2
CH
CH3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
baik karena kurangnya reaksi polimerisasi yang terjadi. Mengacu pada hasil
penelitian tersebut maka dalam penelitian kali ini akan digunakan BPO 0,05 %
dengan pertimbangan akan diperoleh biokomposit yang diinginkan.
4. Senyawa Penggandeng Asam Akrilat (AA)
Pengikatan polimer yang bersifat non polar dan selulosa dari serat alam
yang bersifat polar memerlukan senyawa penggandeng. Senyawa penggandeng
multifungsional merupakan suatu jenis senyawa yang dalam strukturnya memiliki
gugus polar dan non polar pada sisi yang berlawanan. Contoh senyawa tersebut
misalnya maleat anhidrida (MA), asam akrilat (AA), MAPE (Maleic Anhydride
modified Polypropylene) (Tajvidi, et al., 2003). Ismail et al., (2010) menggunakan
MA sebagai senyawa penggandeng multifungsional untuk meningkatkan interaksi
antara LLDPE dengan PVA. Suharty et al., (2007) menggunakan senyawa
penyambung silang AA untuk mengikatkan PP dengan serat sehingga terbentuk
ikatan LPP/AA/selulosa secara reaksi esterifikasi. Asam akrilat merupakan asam
lemah yang lebih korosif dibanding asam asetat (Billmeyer, 1984). Asam akrilat
merupakan senyawa vinil karboksilat dengan bau khas dan menyengat. Bentuk
rumus molekul asam akrilat menurut Seymour dan Charraher (1988) dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 10. Struktur Asam Akrilat (Seymour dan Charracher, 1988)
Dari struktur di atas dilihat bahwa asam akrilat memiliki dua gugus
fungsional reaktif yaitu gugus hidroksil yang bersifat polar dan gugus vinil
(CH2=CH-) yang bersifat non polar. Gugus polar dari asam akrilat akan mengikat
bagian polar dari selulosa. Sedangkan gugus non polar dari asam akrilat akan
berikatan dengan gugus non polar dari polipropilena yaitu pada karbon tersier dari
polipropilena. Dengan adanya sifat tersebut maka asam akrilat dapat digunakan
sebagai senyawa penggandeng multifungsional dalam reaksi antara polipropilena
dan selulosa.
C
O
OHHCH2C
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
5.Senyawa Penyambung Silang Divinil Benzena (DVB)
Penambahan senyawa penyambung silang digunakan untuk
meningkatkan kuat tarik dari produk yang dihasilkan (Yang et al., 2005). Contoh
agen penyambung silang adalah poli(propilen-etilen-asam akrilat) atau PPEAA,
heksametilentetramin, polietilen maleat, trimetilol propane triakrilat (TMPTA),
2,4,6-tri-allyl-oxy 1,3,5-triazine (TAC), dan divinil benzena (DVB).
Khalid et al. (2008) menggunakan TMPTA untuk meningkatkan
ketangguhan dari biokomposit PP-selulosa. Suharty (1993), telah melakukan
penelitian dengan membandingkan penggunaan 3 agen penyambung silang,
hasilnya penggunaan DVB dapat memperbanyak ikatan lebih besar yaitu sebesar
15 % ikatan dibandingkan dengan TMPTA (9 % ikatan) dan TAC (4 % ikatan).
Ternyata DVB lebih reaktif dibandingkan TMPTA dan TAC. Oleh karena itu
dalam penelitian ini agen penyambung silang yang digunakan adalah DVB.
DVB merupakan senyawa benzena yang mengikat dua gugus vinil pada
posisi meta atau para yang bersifat non polar dan mempunyai berat molekul
130,191 gr/mol serta titik didih 200 oC. Gugus reaktif DVB terletak pada kedua
gugus vinil dan inti aromatis (Suharty, 1993). DVB dapat membentuk ikatan
primer dan sekunder pada gugus reaktifnya. Ikatan primer terbentuk pada gugus
vinil dengan senyawa non polar lainnya, sedangkan ikatan sekunder atau ikatan
hidrogen terjadi antara awan elektron π dari inti aromatik dengan atom hidrogen
bermuatan parsial positif (Hδ+). Struktur DVB dan ikatan yang terjadi pada DVB
dapat dilihat pada Gambar 11.
HC
CH2
CH
CH2
HC
CH2
CH
CH2
H
OR
(a) (b)
Gambar 11. (a) struktur DVB; (b) ikatan sekunder yang terjadi pada DVB
(Suharty, 1993)
Suharty et al. (2009) melakukan sintesis biokomposit PP dengan bahan
pengisi serat kenaf dapat meningkatkan kekuatan tarik (TS) tanpa DVB sampai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
20%, sedangkan dengan penambahan DVB sampai 34% dibanding dengan bahan
awalnya LPP. Penambahan DVB akan lebih meningkatkan kekuatan mekanik
pada biokomposit.
6. Fire Retardant (Pemadam Nyala)
Pembakaran merupakan suatu reaksi kimia antara bahan bakar (fuel) dan
oksidator (segala sesuatu yang mengandung oksigen) dengan panas (Sentanuhady,
2007). Umumnya nyala dapat terjadi disebabkan oleh tiga komponen yang sering
disebut sebagai segitiga api, yaitu bahan bakar, panas, dan oksigen. Reaksi
pembakaran yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 12.
panas
CxHy + O2 CO2 + H2O
(bahan bakar)
(a) (b)
Gambar 12. (a) Reaksi pembakaran, (b) Segitiga api. (Sentanuhady, 2007)
Reaksi pembakaran akan terhambat jika paling tidak salah satu dari tiga
komponen tersebut dihilangkan atau mengurangi interaksi komponen pendukung
nyala dengan material. Salah satu contohnya adalah mengecilkkan api dengan
menghalangi aliran oksigen ke bahan bakar, seperti dengan cara menutup kompor
yang terbakar dengan karung basah. Hal yang sama bahwa dengan menggunakan
suatu sistem tertentu maka oksigen di lingkungan dapat digantikan oleh gas yang
tidak mendukung pembakaran sehingga pembakaran menjadi terhambat
(Hudiyanti, 2009).
Sebagai material organik, polimer dan serat alam sangat mudah terbakar
sehingga perlu ditambahkan suatu senyawa penghambat bakar (fire retardant) ke
dalam komposit serat alam. Menurut Effendi (2007), dalam mekanisme sistem
penghambat bakar ada sedikitnya 2 pola yaitu sebagai berikut :
1. Senyawa fire retardants membentuk arang dan mengurangi pembentukan gas-
gas yang mudah terbakar (flammable), misalnya bahan yang mengandung
karbon, hidrogen dan oksigen, terurai membentuk arang dan uap air serta gas-
gas mudah menyala, seperti CO, H dan gas-gas hidrokarbon. Senyawa fire
retardants yang efektif akan membentuk lebih banyak arang dan uap air.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
2. Senyawa fire retardants terurai secara endotermis, serta menyerap kalor,
misalnya hidrasi alumina (Al2O3.3H2O) atau kapur (CaCO3) yang dapat
dicampur dengan polimer. Bila dipanasi, akan terurai dengan menyerap kalor
secara endotermik dan melepas H2O atau CO2 yang akan mendinginkan nyala
api, sebagai berikut :
Al2O3.3H2O(s) → Al2O3(s) + 3H2O (g) ΔH = + 162 KJ
CaCO3(s) → CaO (s) + CO2 (g) ΔH = + 178 KJ
Fire retardant merupakan komponen atau kombinasi komponen yang
dapat menghambat nyala bila ditambahkan pada suatu substrat sehingga
dihasilkan suatu material yang memiliki kemampuan hambat nyala
(Tesoro, 1976). Sain et al. (2003) menambahkan senyawa penghambat nyala
Mg(OH)2 dalam biokomposit PP dengan bahan pengisi serbuk sekam padi
sehingga biokomposit mengalami peningkatan kemampuan hambat nyala.
Komposit yang terbuat dari lempung/clay dan polimer dapat digunakan sebagai
senyawa fire retardants (Morgan, et al., 2005). Senyawa fire retardants alami
biasanya clay/geopolimer yang banyak mengandung CaCO3, oksida silika (SiO2)
dan oksida alumina (Al2O3) seperti monmorilonite (Diharjo, 2007). Penambahan
material anorganik seperti montmorillonite (MMt) dapat meningkatkan efektifitas
senyawa fire retardants (Lee et al., 2003). Hussain M et al., (2003) melaporkan
bahwa penambahan kaolin dapat digunakan sebagai senyawa fire retardants.
Suatu sistem penghambat nyala harus dapat menghasilkan gas yang dapat
mengurangi konsentrasi O2 yang mendukung pembakaran, mengurangi
perambatan panas pada polimer yang terbakar, dan menghasilkan jelaga untuk
menghalangi interaksi O2 dengan polimer (Tesoro, 1978). Levan and Winandy
(1990) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa asam fosforik paling efektif
dalam mereduksi atau mengurangi konsentrasi gas yang mudah terbakar dan
meningkatkan pembentukan jelaga untuk menghambat pembakaran, diikuti
dengan diamonium fosfat dan monoamonium fosfat. Penelitian tersebut juga
melaporkan bahwa selama pembakaran diamonium fosfat (DAP) dapat terurai
menjadi NH3 dan asam fosfat. Diamonium fosfat (DAP) merupakan garam
anorganik yang berasal dari ammonium dan asam fosfat dengan rumus kimia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
(NH4)2HPO4. Senyawa DAP dalam suatu substrat akan mengalami fosforilasi saat
terjadi nyala dan terurai menjadi asam fosfat serta menghasilkan gas NH3 yang
merupakan gas yang tidak mudah terbakar (Tesoro, 1976). Izran et al. (2010)
menggunakan DAP dan MAP sebagai senyawa pemadam nyala, dan diperoleh
hasil bahwa DAP lebih unggul dalam mengurangi nyala api diikuti dengan MAP.
Deodhar et al. (2006) melaporkan bahwa penambahan APP dan CaCO3 yang
ditambahkan bersama dapat menghambat kecepatan pembakaran 24-69% jika
dibandingkan tanpa senyawa penghambat nyala. CaCO3 dapat bereaksi dengan
asam polifosfat dari APP menghasilkan CO2 dan uap air yang dapat menghambat
nyala api.
Peningkatan efektifitas DAP sebagai senyawa penghambat nyala
dilakukan dengan memadukan DAP dengan CaCO3. Asam fosfat dari DAP yang
terbentuk selama pembakaran akan bereaksi dengan CaCO3 menghasilkan CO2
dan H2O (Patra et al., 2005). Gas NH3, CO2, dan H2O dapat mengambat
pembakaran. Gas NH3
dapat mengurangi konsentrasi O2 yang mendukung
pembakaran (Patra et al., 2005), sedangkan gas CO2 (44.0 g/mol) lebih berat dari
O2 (32,0 g/mol), menyebabkan CO2 mengendap dan membungkus benda yang
terbakar. Penggantian O2 oleh gas CO2 dan NH3 menyebabkan konsentrasi O2 di
yang mendukung pembakaran menjadi berkurang sehingga proses pembakaran
terhambat. Uap air (H2O) akan mendinginkan sistem dan menurunkan suhu yang
akan menghambat pembakaran (Hudiyanti, 2009). Modifikasi komposit dengan
penambahan ammonium polifosfat (APP) dan CaCO3 terbukti dapat memberikan
sifat tahan nyala yang baik bagi komposit (Patra et al., 2005). Struktur dari
senyawa pemadam nyala CaCO3, DAP dan NaPP dapat dilihat pada Gambar 13.
(a)
(b)
P
O O
P
O
P
O
P
O
P
O
P
O O
O O
O O
-O O-
-O O-
O--O
Na+
Na+ Na+
Na+
Na+ Na+
Gambar 13. Struktur (a) CaCO3, (b) DAP, (c) NaPP
(c)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
7. Biokomposit
Komposit merupakan suatu material yang terbentuk dari kombinasi dua
atau lebih polimer, dimana sifat mekanik dari material pembentuknya berbeda-
beda sehingga akan menghasilkan material baru yang mempunyai sifat mekanik
dan karakteristik yang berbeda dari material-material pembentuknya. (Taurista et
al., 2006). Pembuatan biokomposit dengan proses polimerisasi dapat dilakukan
dapat dilakukan secara non reaktif dan reaktif dengan penambahan inisiator
(Suharty, 1993).
Tahapan dalam proses polimerisasi dapat digambarkan sebagai berikut :
Inisiasi : ROOR 2 RO •
ROOR ROO • + R •
R • + M RM •
Propagasi : RM • + M RMM •
Terminasi : RMx • + RMx+n • M2x+n
Suharty dan Firdaus (2007) telah membuat biokomposit polistirena daur
ulang dengan serbuk kayu sengon dan serbuk kayu kelapa dalam pelarut toluena,
baik secara reaktif menggunakan inisiator bensoil peroksida (BPO) maupun non
reaktif dan diperoleh biokomposit reaktif lebih kuat dari non reaktif. Inisiator
menghasilkan senyawa radikal yang akan mengganggu senyawa lain untuk
membentuk radikal pula. Salah satu jenis inisiator peroksida yaitu bensoil
peroksida (BPO) dengan rumus struktur C6H5COOOOCC6H5 yang memiliki dua
jenis radikal yang terbentuk kemudian menginisiasi senyawa lain sehingga
menghasilkan senyawa radikal baru seperti terlihat pada Gambar 14a (Seymour
and Carraher, 1988).
Senyawa radikal R1• maupun R2• akan menyerang polipropilena untuk
membentuk polipropilena radikal aktif pada karbon tersiernya (Gambar 14b),
sehingga selanjutnya akan bereaksi dengan asam akrilat membentuk biokomposit
bersama dengan selulosa. Pembentukan radikal pada selulosa menurut Carlsson
(2005) akan menghasilkan selulosa radikal pada oksigen yang terikat karbon
posisi C1 seperti terlihata pada Gambar 14c.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
C6H5 C OO
O
C
O
C6H5 C6H5 C O
O
2 2 C6H5 + 2 CO2
(R1•) (R2•)
H2C C
H
CH3n
H2C C
CH3n
Gambar 14. Pembentukan radikal pada : (a) BPO; (b) polipropilena; (c) selulosa
(Carlsson, 2005)
Suharty et al. (2007) telah melakukan pembuatan biokomposit dari
polipropilena (PP) dengan pengisi serbuk sekam padi (SSP) dengan berbagai
variasi konsentrasi inisiator BPO, diperoleh biokomposit dengan sifat mekanik
yang baik pada konsentrasi 0,02 % dari berat total PP dan SSP. Penelitian tersebut
melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi inisiator maka sifat mekaniknya
semakin menurun karena terlalu banyak inisiator dapat menyebabkan biokomposit
menjadi rapuh, dimana SSP memiliki kandungan silika yang besar sehingga
konsentrasi inisiator yang semakin besar akan merusak silika sehingga sifat
mekaniknya menurun.
Suharty et al. (2007) melakukan pembuatan biokomposit dari
polipropilena (PP) dengan pengisi serat bambu (SB) menggunakan BPO 0,08%
dan dihasilkan biokomposit dengan sifat mekanik yang baik karena serat bambu
yang memiliki tekstur yang kasar serta tidak memiliki kandungan silika. Suharty,
et al. (2009) melakukan optimasi konsentrasi BPO dalam pembuatan biokomposit
LPP/SK dan diperoleh biokomposit dengan sifat mekanik yang baik pada
penggunaan BPO 0,05 % berat total LPP/SK.
Pembentukan selulosa radikal akan mengakibatkan selulosa dapat
berikatan dengan senyawa penggandeng multifungsional asam akrilat (AA) yang
•
•
+ • R
•
- RH
(a)
(b)
(c)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
telah terikat dengan PP. Senyawa penggandeng multifungsional AA merupakan
suatu jenis senyawa yang dalam strukturnya memiliki gugus polar dan non polar
sehingga dapat menyatukan senyawa hidrofilik dengan senyawa hidrofobik dalam
suatu reaksi kimia. Suharty dan Firdaus (2007) menggunakan AA untuk
menyamakan kepolaran polistirena dengan selulosa dari serbuk kayu sengon
sehingga terbentuk suatu biokomposit yang komponen-komponennya saling
berikatan kimia. Suharty et al., (2007) juga menggunakan AA untuk menyamakan
kepolaran polipropilena dan serbuk sekam padi dalam pembuatan biokomposit
biodegradabel. Asam akrilat memiliki rumus kimia C3H4O2 dengan titik didih
sebesar 141 oC serta masa jenis 1,12 - 1,19 g/mL (Billmeyer, 1984).
Struktur AA dan pembentukan radikal pada AA dapat dilihat pada
Gambar 15. Asam akrilat memiliki dua gugus fungsional reaktif yaitu gugus vinil
(CH2=CH-) yang bersifat non polar yang akan berikatan dengan gugus non polar
pada polipropilena, serta gugus hidroksil yang bersifat polar yang dapat berikatan
dengan selulosa melalui reaksi esterifikasi.
CH2 CH
C
O
OH
(a)
(b)
Gambar 15. (a) Struktur asam akrilat; (b) Pembentukan radikal pada asam akrilat
Biokomposit yang terbentuk dapat ditingkatkan sifat mekaniknya dengan
menambahkan agen penyambung silang. Yang et al. (2005) telah melakukan
pembuatan biokomposit penambahan agen penyambung silang sehingga kuat tarik
biokomposit yang dihasilkan menjadi lebih tinggi karena terjadi peningkatan ikatan
antara selulosa terhadap polimer buatan pada biokomposit. Suharty (1993), telah
melakukan grafting antara PP dengan ditert-butil bensil akrilat (DBBA)
menggunakan agen penyambung silang divinil bensena (DVB) dan trimetilol
propana triakrilat (TMPTA), dimana hasilnya adalah pembuatan dengan
• •
gugus polar gugus non
polar
+ R• • CH2 C
HC
O
OH CH2
HC C
O
- ROH
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
menggunakan agen penyambung silang DVB lebih kuat daripada dengan TMPTA.
Suharty et al. (2008) menambahkan DVB dalam sintesis biokomposit PP dengan
bahan pengisi serat bambu sehingga dihasilkan biokomposit dengan sifat mekanik
dan kemampuan biodegradasi yang lebih baik daripada biokomposit tanpa DVB.
Senyawa DVB membentuk ikatan sambung silang dengan cara mengikatkan
bersama rantai-rantai polimer membentuk suatu jaringan. Terjadinya ikatan
sambung silang pada reaksi polimerisasi akan memperbesar berat molekul dari
polimer yang dihasilkan (Suharty, 1993).
Divinil benzena (DVB) merupakan senyawa benzena yang mengikat dua
gugus vinil yang bersifat non polar pada posisi meta atau para dengan berat
molekul 130,191 g/mol dan titik didih 200 oC. Pembentukan radikal pada DVB
dapat dilihat pada Gambar 16.
CH
CH2
CHCH2
Gambar 16. Pembentukan radikal pada divinil benzena
Komposit dapat dibuat dengan metode lebur dengan menggunakan suatu
alat khusus yaitu internal mixer maupun metode larutan yang dilakukan dalam
suatu wadah (batch) dengan satu pengaduk mekanik. Metode lebur biasanya
digunakan dengan menggunakan internal mixer, dimana 2 polimer dipanaskan
hingga meleleh berbentuk sangat kental dan kemudian dicampurkan. Sedangkan
pada metode larutan, polimer-polimer dilarutkan dalam pelarut yang sama lalu
diaduk. Kemudian campuran diuapkan pelarutnya. Umumnya metode larutan ini
dilakukan dalam skala kecil mengingat penggunaan pelarut dan prosedur
penguapan (Dyson, 1998). Pembuatan biokomposit dalam penelitian kali ini akan
dilakukan menggunakan metode larutan karena pada pembuatan dengan metode
lebur diperlukan suatu alat khusus yang mana keberadaanya terbatas dan mahal.
Biokomposit PP/DVB/AA/selulosa mempunyai beberapa kemungkinan
ikatan yang ditunjukkan pada Gambar 17.
divinil benzena
+ RO•
•
• •
•
H2C
CH2
CH2
CH2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
~ PP – DVB – AA - Sel ~
~ PP PP ~
~ PP – DVB – PP ~
~ PP PP ~
BPO ~ Sel – AA– DVB – AA – Sel ~
AA PP~
~ PP – DVB – AA – Sel ~
~ PP AA – Sel ~
AA – Sel ~
AA – Sel ~
~ Sel – AA – DVB
AA – Sel ~
Pembuatan komposit metode larutan membutuhkan pelarut polimer
termoplastik yang sesuai. Suharty dan Firdaus (2007) melakukan metode larutan
untuk melakukan polistirena (PS) dalam toluena mendidih agar dapat
dicampurkan dengan serbuk kayu sengon. Suharty et al. (2007) menggunakan
pelarut xilena untuk melarutkan polipropilena (PP) agar dapat dicampur dengan
serbuk sekam padi untuk membuat suatu biokomposit degradabel yang kemudian
pelarut diuapkan setelah diperoleh campuran. Suharty (1993) melaporkan bahwa
pelarutan polipropilena dengan xilena dapat melarutkan dengan sempurna dalam
kondisi mendidih. Xilena merupakan hidrokarbon turunan bensena dengan
densitas 0.86 g/cm3 dan titik didih 138 – 144
oC (Othmer, 1996) dan strukturnya
dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Struktur xilena (Othmer, 1996).
CH3
CH3
PP+AA+
selulosa+DVB
Gambar 17. Skema kemungkinan reaksi yang terjadi pada pembentukan
biokomposit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
8. Siklis Termal (Pemanasan Berulang-ulang)
Sifat khas bahan polimer sangat berubah oleh perubahan temperatur. Hal
ini disebabkan apabila temperatur berubah, pergerakan molekul karena termal
akan mengubah kumpulan molekul atau merubah struktur. Selanjutnya, karena
panas akan memancing reaksi kimia pada molekul-molekul sehingga terjadi
oksidasi, reaksi yang lebih hebat terjadi pada temperatur tinggi. Keadaan tersebut
jelas akan mempengaruhi sifat mekanik dan kimia (Surdia, 1992). Salah satu sifat
dari bahan polimer adalah kurang tahan terhadap panas, hal ini sangat berbeda
dengan material logam dan keramik. Komposit yang mengalami proses
pemanasan dan pendingian berulang dapat menimbulkan kelelahan panas (thermal
fatigue) dan kerusakan sehingga menurunkan sifat mekanik dari komposit tersebut
(Susanto, 2004). Pemanasan berulang-ulang (siklis termal) yaitu suatu perlakuan
pemanasan yang dilakukan pada waktu tertentu dan suhu pemanasan tertentu
secara berulang-ulang yang dipengaruhi oleh suhu berfluktuasi.
Secara kimia, bila suatu senyawa terkena panas maka molekul-molekul
dalam senyawa tersebut akan menyerap energi dari panas tersebut. Energi yang
diserap menimbulkan pergerakan molekul-molekul yang tidak teratur.
Ketidakteraturan molekul akan mempengaruhi kekuatan ikatan antar molekul
polimer sehingga dapat merubah struktur polimer dan mengakibatkan terjadinya
degradasi polimer (Liza, 2008). Masing-masing senyawa penyusun biokomposit
memiliki koefisien muai dan koefisien susut yang berbeda-beda (Giancoli, 1985),
sehingga pada proses pemanasan dan pendinginan berulang-ulang akan
mengakibatkan pemuaian dan penyusutan sesuai dengan koefisien muai dan
susutnya masing-masing Akibat dari pemuaian dan penyusutan tersebut
mengakibatkan pemanjangan ikatan sehingga kekuatan ikatannya menurun (Ray,
2005).
Pemanasan berulang menyebabkan penurunan kualitas material yang
mempengaruhi sifat fisik dan mekanik glass-fiber reinforced concrete (GFRC)
(Widyanto et al., 2004). Ju, J (2007) melakukan pemanasan berulang pada
komposit bismaleimide (BMI)-serat karbon di bawah suhu distorsi bahan utama,
diperoleh hasil semakin banyak pemanasan yang dilakukan mengakibatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
terjadinya keretakan yang lebih besar. Susanto (2004) melaporkan perlakuan 10
kali siklis termal pada GFRC dan RFRC dengan suhu di bawah suhu distorsi
matriks utama menimbulkan kelelahan panas (thermal fatigue) dan kerusakan
sehingga menurunkan sifat mekanik dari komposit tersebut.
9. Karakterisitik Biokomposit
a. Spektrofotometer Infra Merah
Spektrofotometer infra merah (FT-IR) merupakan suatu alat yang
digunakan untuk menentukan gugus fungsi berdasarkan serapan tertentu yang
dihasilkan oleh interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik. Spektrum
dihasilkan dari molekul yang menyerap energi (E = hυ) sehingga terjadi vibrasi
dan vibrasi-rotasi. Radiasi infra merah terletak pada panjang gelombang
4000 - 650 cm-1
. Spektrum tersebut menunjukkan gugus-gugus fungsi yang terikat
dalam struktur molekul (Billmeyer, 1984).
Identifikasi gugus fungsi pada polimer dapat dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer infra merah dan dihasilkan data dalam bentuk
spektra. Umumnya serapan C-H regangan aromatik berada di daerah 3100 – 3000
cm-1
. Serapan ikatan rangkap berada pada 1680 – 1580 cm-1
(C=C streching) dan
sekitar 1416 cm-1
(bending), kemudian ikatan rangkap pada cincin aromatik
berada pada 1600 -1585 cm-1
(Silverstain, 1991). Gugus hidroksil memberikan
serapan melebar (adanya ikatan hidrogen) pada 3550 – 3200 cm-1
. Suharty et al.
(2007) dalam penelitiannya melaporkan bahwa PP murni memiliki serapan khas
pada bilangan gelombang 2723 cm-1
dan gugus metilen pada 1458 cm-1
. Serapan
karbonil keton pada 1730 - 1710 cm-1.
b. Uji Kuat Tarik
Kuat tarik diukur dengan menarik spesimen polimer dengan gaya
tertentu. Suatu spesimen dijepit pada kedua ujung tensometer dengan salah satu
bagian dibuat tetap lalu diberi suatu gaya yang naik sedikit demi sedikit ke ujung
lainnya sampai spesimen tersebut patah (Sopyan, 2001). Kuat tarik ditentukan
berdasarkan metode ASTM D-638. Bentuk spesimen uji kuat tarik dapat dilihat
pada Gambar 19.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Keterangan : LO
D
G
L
RO
R
W WO
T
W (lebar) = 6 ± 0,25 mm L (panjang) = 33 ± 1,30 mm
WO (lebar utuh) = 19 ± 0,75 mm LO (panjang utuh) = 115 ± 4,5 mm
D (jarak pegangan) = 65 ± 2,5 mm T (tebal) = 3,2 ± 0,4 mm
R (jari-jari kecil) = 14 ± 0,56 mm RO (jari-jari besar) = 25± 1,00 mm
G (panjang ukuran tempat tanda tes) = 25 ± 1,00 mm
Gambar 19. Spesimen uji kuat tarik tipe V (ASTM D-638)
Uji kuat tarik dilakukan dengan cara diberi tegangan maksimum (F)
untuk memutuskan spesimen bahan pada tensometer. Data tersebut dimasukkan
ke dalam rumus kuat tarik (Nirwana, 2001).
F
At =
Keterangan : t = kekuatan tarik bahan (N/mm2)
F = gaya maksimum (N)
A = luas penampang bahan (mm2)
Regangan atau pertambahan panjang terhadap panjang semula
dinyatakan dalam persen ε, dengan rumus :
Persen ε =
Lo
LoL x 100 ....................................(2)
Keterangan : ε = regangan (%)
Lo = panjang mula-mula (mm)
L = panjang setelah penarikan (mm)
Hubungan antara tegangan dan regangan dapat menghasilkan Modulus
Young, dengan persamaan :
E =
% ...................................................(3)
........................................................... (1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Keterangan : E = Modulus Young
t = kekuatan tarik bahan (N/mm2)
ε = regangan (%)
c. Uji Impak
Kekuatan impak dapat menunjukkan ketangguhan biokomposit.
Dilakukan menurut ASTM D 6110. Dalam pengujian impak, impaktor yang
digunakan dalam bentuk pendulum yang diayunkan dari ketinggian (h) dengan
massa (m). Besarnya kekuatan impak dapat dihitung dengan rumus :
Es = m.g.h (cos β – cos α) ...........................................(4)
Is = Es/A .......................................................(5)
Keterangan : Is = kekuatan impak (J/mm2)
Es = energi serap (J)
m = massa pendulum (kg)
g = percepatan gravitasi (m/s2)
h = panjang pendulum (m)
A = luas penampang (mm2)
β = sudut yang dibentuk lengan pendulum setelah
melewati keseimbangan
α = sudut awal yang dibentuk lengan pendulum
dengan sumbu vertikal
d. Karbonil Indeks
Intensitas terjadinya oksidasi dapat diukur dari luas karbonil yang
terbentuk dengan menghitung karbonil indeks. Tujuannya adalah menghitung luas
karbonil yang terbentuk dengan menghilangkan pengaruh dari konsentrasi
polipropilena saat pengukuran.
Karbonil indeks = Luas daerah karbonil PP
Semakin besar nilai karbonil indeks maka semakin besar pula intensitas
terjadinya oksidasi (Mashuri, 2006).
Luas daerah metilen PP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
B. Kerangka Pemikiran
Polipropilena bila mengalami reaksi radikal akan melepaskan atom
hidrogen yang terikat pada karbon tersier sehingga terbentuk karbon tersier yang
radikal dan bersifat non polar sebagai pusat reaksi. Reaksinya dapat dilihat pada
Gambar 20.
H2C C
H
CH3
PP PP
H2C C
CH3
PPPP
Gambar 20. Pembentukan radikal pada PP
Selulosa yang merupakan polimer alam tersusun dari monomer glukosa
yang tergabung ikatan 1,4-β-glikosidik. Setiap unit glukosa mengandung gugus
polar hidroksil pada C2, C3, dan dua gugus >C-O pada ikatan glikosidik yang
berikatan antar monomernya. Reaksi radikal akan menghasilkan suatu gugus
reaktif yang bersifat polar pada atom O posisi C1 yang mengikat R sebagai pusat
reaksi. Reaksi pembentukan radikal pada selulosa dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Pembentukan radikal pada selulosa.
Perbedaan kepolaran antara gugus reaktif dari PP dan selulosa
menyebabkan keduanya tidak dapat disatukan sehingga diperlukan senyawa
penggandeng antara gugus non polar dari PP dan gugus polar dari selulosa.
Senyawa penggandeng tersebut harus memiliki gugus polar dan non polar dalam
satu molekul sehingga disebut senyawa penggandeng multifungsional. Asam
akrilat (AA) merupakan salah satu senyawa penggandeng multifungsional karena
memiliki gugus vinil yang non polar dan gugus karboksilat yang bersifat polar.
Gugus vinil dari AA yang bersifat non polar akan berikatan dengan gugus non
polar dari PP yaitu pada karbon tersiernya sedangkan gugus hidroksil dari AA
reaksi radikal •
pusat reaksi
gugus non polar
- RH
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
yang bersifat polar akan berikatan dengan selulosa pada atom oksigen yang terikat
atom karbon nomor 1 yang juga bersifat polar melalui reaksi esterifikasi. Reaksi
pembentukan radikal pada AA dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Pembentukan radikal pada AA.
Biokomposit dibuat dengan penambahan agen penyambung silang untuk
lebih meningkatkan sifat mekaniknya. Agen penyambung silang yang digunakan
dalam penelitian ini adalah divinil bensena (DVB) yang memiliki dua gugus vinil
bersifat reaktif non polar. Reaksi pembentukan radikal pada DVB dapat dilihat
pada Gambar 23.
CH
CH2
CHCH2
Gambar 23. Pembentukan radikal pada DVB.
Skema kemungkinan yang terjadi pada pembentukan ikatan dalam
biokomposit yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 24.
12
Divinil benzen (DVB) memiliki dua gugus vinil.
LPP
DVB
AA
selulosa
AA
LPP
AA
LPP
DVB
AA
AA
AA
selulosa
selulosagugus
non polar
gugus
polar
gugus
non polar
gugus
polar
gugus
non polar
gugus
non polar
gugus
polar
gugus
non polar
gugus
polar
gugus non polar
LPPgugus
non polargugus
non polar
gugus
non polar
AA
gugus polar
Gambar 24. Skema kemungkinan ikatan biokomposit.
reaksi radikal • •
•
pusat reaksi
gugus non polar
pusat reaksi
gugus polar
reaksi radikal • •
•
•
pusat reaksi
gugus non polar
H2C
CH2
CH2
CH2
CH2 CH
C
O
OH CH2
HC C
O
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Biokomposit yang terbentuk adalah PP/DVB/AA/selulosa dimana ikatan
liniernya yang paling sederhana dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25. Ikatan pada pembentukan biokomposit PP/DVB/AA/selulosa.
Pembentukan biokomposit dilakukan secara reaktif dengan inisiator
bensoil peroksida (BPO) dalam metode larutan dengan menggunakan bantuan
pelarut xilena pada titik didihnya yang dapat melarutkan LPP hingga 100%.
Metode ini memberikan luas permukaan pada LPP untuk bertumbukan secara
maksimal dengan bahan lain. Pelarut harus dibebaskan setelah pembuatan
biokomposit.
Struktur LPP maupun selulosa akan berubah dalam pembentukan
biokomposit. Terjadinya ikatan antara LPP dengan bahan penguat selulosa akan
meningkatkan sifat mekanik dari biokomposit. Perubahan struktur kimia dari LPP,
selulosa dan biokomposit diamati dengan mempergunakan infra merah.
Senyawa penghambat nyala yang ditambahkan adalah diamonium fosfat
(DAP) dan CaCO3 (CC) yang dapat meminimalkan dua komponen pendukung
nyala yaitu O2 dan panas. Senyawa DAP dapat terurai menjadi NH3 dan asam
fosfat yang bila beraksi dengan nCC akan menghasilkan CO2, dan H2O. Gas-gas
yang terbentuk yaitu NH3, CO2, dan H2O dapat mengurangi konsentrasi O2 yang
mendukung pembakaran serta memberikan efek pendingin. Senyawa penghambat
nyala tersebut juga meningkatkan pembentukan jelaga yang dapat mengurangi
PP – DVB – AA – sel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
interaksi antara biokomposit dengan O2. Senyawa CaCO3 dapat terdistribusi lebih
merata sehingga terbentuk suatu sistem penghambat nyala yang baik.
DAP NH3 + asam fosfat
asam fosfat + CaCO3 CO2 + H2O
Dalam suatu sistem penghambat nyala :
DAP + CaCO3 NH3 + CO2 + H2O + jelaga nyala terhambat
Produk biokomposit akan diaplikasikan untuk komponen interior
kendaraan. Peningkatan panas mesin akan mempengaruhi suhu ruangan dan
semua komponen interior pada kendaraan. Perlakuan siklis termal akan
mengganggu kestabilan tata ruang antar senyawa-senyawa pembentuk
biokomposit sehingga terjadi pemanjangan dan pemendekan ikatan. Pergerakan
molekul karena panas akan mengubah kumpulan molekul sehingga kekuatan
material menurun.
C. Hipotesis
1. Semakin lama matriks polipropilena dipanaskan maka akan mengalami
oksidasi panas dan karbonil indeks meningkat.
2. Pemanasan biokomposit pada suhu 25-65 °C dengan mempertimbangkan sifat
mekanik dan suhu distorsi PP akan diperoleh suhu optimum perlakuan siklis
termal.
3. Perlakuan siklis termal hingga 60 kali pada suhu optimum terhadap
biokomposit mengandung pemadam nyala mengakibatkan penurunan sifat
mekanik.
panas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen dalam laboratorium. Penelitian meliputi pembuatan biokomposit
LPP/DVB/AA/SK, pembuatan biokomposit dengan senyawa penghambat nyala,
uji siklis termal, uji mekanik dan uji termal.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Dasar Jurusan Kimia
FMIPA dan Laboratorium Material Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret Surakarta dari bulan Mei 2011 – Desember 2011.
C. Alat dan Bahan yang Digunakan
1. Alat
a. Peralatan gelas
b. Satu set alat refluks
c. Neraca Analitik
d. Pengaduk mekanik
e. Stopwatch
f. Oven listrik
g. termometer
h. Alat cetak tekan panas (Hot Press)
i. Spektrofotometer Infra Merah (IRPrestige-21, Shimadzhu)
j. Universal Testing Machine (UTM)
k. Charpy impact testing machine (impact testing, Frank)
2. Bahan
a. Limbah polipropilena (merk sejenis)
b. Serat kenaf (SK)100 mesh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
c. Kalsium karbonat alam (CCal)
d. Kalsium karbonat p.a (CCpa)
e. Diamonium fosfat (DAP)
f. Natrium polifosfat (NaPP)
g. Xilena p.a (Merck)
h. Bensoil peroksida (BPO) p.a (Merck)
i. Asam akrilat (AA) p.a (Merck)
j. Divinil bensena (DVB) p.a (Merck)
k. Gas Nitrogen (N2)
l. Minyak goreng
D. Prosedur Penelitian
1. Preparasi Limbah Polipropilena (LPP)
Limbah Polipropilena dalam bentuk cup Air Minum Dalam Kemasan
(AMDK) dengan merk sejenis (aqua) dicuci bersih, kemudian dipotong, dibuat
serpihan kecil dengan ukuran 5 mm x 2 mm. LPP dilakukan karakterisasi FT-IR.
2. Preparasi Serat Kenaf (SK)
Serat kenaf (SK) panjang dicuci bersih dan dikeringkan. Kemudian
dialkalisasi dengan cara merendam SK dalam larutan NaOH 4 % (b/v) pada suhu
kamar selama 24 jam kemudian dicuci dengan akuades sampai netral. Serat kering
dihaluskan sampai dengan lolos ayakan 100 mesh dan dikarakterisasi FT-IR.
3. Sintesis Biokomposit Metode Proses Larutan
Sintesis biokomposit dilakukan dengan metode larutan dengan berat total
50 gram. Sebanyak 40 gram LPP (rasio LPP/SK 8/2) dan 0,025 gram (0,05 % dari
berat total) BPO dimasukkan kedalam labu alas bulat 500 mL yang sudah berisi
400 mL xilena mendidih. Labu tersebut juga dilengkapi dengan termometer, gas
nitrogen, dan pengaduk mekanik. Selanjutnya setelah LPP sudah meleleh,
ditambahkan 10 gram SK lolos ayakan 100 mesh, AA 1 gram (10 % dari SK), dan
DVB 0,05 gram (5 % dari berat AA). Campuran d refluks dengan penangas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
minyak goreng pada suhu 135 °C selama 1 jam hingga terbentuk suatu komposit.
Campuran (LPP/DVB/AA/SK) disebut sebagai formula 1 (C1). Formulasi
pembuatan formula C1 dapat dilihat pada Tabel 1. Dengan cara yang sama,
dilakukan variasi sintesis biokomposit dengan penambahan senyawa penghambat
nyala 20 % berat total (Tabel 2).
Tabel 1. Formula sintesis biokomposit LPP/DVB/AA/SK. *)
Biokomposit PP (% dari
berat total)
SK (% dari
berat total)
BPO (% dari
berat total)
AA (%
dari SK)
DVB (%
dari AA)
C0 100 - - - -
C1 80 20 0,05 10 5
Catatan : berat total adalah 50 gram *) Pratama (2010)
Tabel 2. Formula pada C1 dengan penambahan senyawa penghambat nyala 20 %
berat total.
Catatan : berat total adalah 50 gram **) Suharty et al. (2012)
Hasil biokomposit yang terbentuk dituang kedalam loyang dan dibiarkan
dalam lemari asam sampai semua pelarut menguap pada suhu kamar.
4. Pembuatan Spesimen
Sebanyak 10 gram biokomposit diletakkan diantara lempengan baja
berukuran 15 cm x 15 cm yang sudah dilapisi dengan lembaran alumunium.
Lempengan selanjutnya diletakkan diantara pemanas mesin cetak tekan pada
hotpress yang dipanaskan pada suhu 180 °C selama 5 menit tanpa tekanan.
Kemudian dilanjutkan lagi selama 12 menit dengan tekanan 90 kN. Setelah itu
No Kode Rasio fire retardant (20 %) Biokomposit
1 C0 - LPP *)
2 C1 - LPP/DVB/AA/SK *)
3 C2 C1 + (CCal/DAP = 7/13) LPP/DVB/AA/SK/CCal+DAP**)
4 C3 C1 + (CCpa/DAP = 7/13) LPP/DVB/AA/SK/CCpa+DAP**)
5 C4 C1 + (CCal/NaPP = 7/13) LPP/DVB/AA/SK/CCal+NaPP**)
6 C5 C1 + (CCpa/NaPP = 7/13) LPP/DVB/AA/SK/CCpa+NaPP**)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
kedua lempengan baja segera diambil dan didinginkan dengan air pendingin.
Spesimen yang diperoleh mempunyai ketebalan 0,7 mm.
5. Uji Siklis Termal
Spesimen dari hasil hotpress dilakukan siklis termal. Dilakukan variasi
suhu pemanasan 25, 35, 45, 55 dan 65 °C untuk menentukan suhu optimum
perlakuan siklis termal. Selanjutnya pada spesimen dilakukan variasi siklis termal
20, 30, 40, 50 dan 60 kali yang dilakukan pada suhu optimum. Suhu yang
digunakan sebagai acuan adalah suhu pada oven. Spesimen dimasukkan ke dalam
oven selama 10 menit kemudian dikeluarkan selama 10 menit (1 siklis)
selanjutnya dimasukkan ke dalam oven lagi, perlakuan tersebut dilakukan secara
berulang. Setelah itu dilakukan uji mekanik, meliputi uji kuat tarik dan uji impak.
6. Uji Sifat Mekanik
Uji mekanik yang dilakukan terdiri dari uji kekuatan tarik dan kekuatan
impak. Uji tarik dilakukan berdasarkan ASTM D-638, sesuai ketebalan sampel
maka digunakan ukuran uji tarik tipe V. Kedua ujung sampel ditarik sampai putus
menggunakan alat uji tarik (UTM) untuk mengetahui kekuatan material. Uji
impak dilakukan berdasarkan ASTM D-6110, metode impak yang digunakan
adalah metode charpy. Sampel dilakukan pembebanan secara tiba-tiba dengan
kecepatan tinggi untuk mengetahui ketangguhan material.
7. Uji Termal
Uji termal dilakukan dengan pemanasan pada suhu 140 °C secara
kontinyu dengan menggunakan oven listrik. Uji termal dilakukan pada PP murni
dan LPP. Kemudian dilakukan karakterisasi FT-IR untuk mengetahui peningkatan
gugus karbonil pada masing-masing sampel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Gugus fungsi pada senyawa-senyawa penyusun biokomposit yang
mengandung pemadam nyala dan biokomposit setelah perlakuan siklis termal
diketahui dengan menggunakan spektrofotometer infra merah.
2. Penentuan kekuatan mekanik meliputi uji kuat tarik, modulus young
menggunakan Universal Testing Mechine (UTM) dan impak menggunakan
Charpy Impact Testing Mechine sesuai dengan ASTM masing-masing.
3. Penentuan karbonil indeks setelah uji termal dengan membandingkan luas
area C=O keton dengan luas pembandingnya.
F. Teknik Analisis Data
1. Spektra IR
Spektra IR menunjukkan perubahan gugus fungsi senyawa penyusun terhadap
spektra biokomposit yang terbentuk. Hilangnya gugus-gugus awal seperti
C=C pada AA maupun gugus vinil dari DVB menunjukkan adanya ikatan
yang hilang dan terbentuknya ikatan kimia yang baru pada biokomposit.
Munculnya C=O keton setelah dilakukan uji termal dapat digunakan untuk
menentukan terjadinya oksidasi pada material.
2. Data Kuat Tarik
Pengujian kekuatan tarik menghasilkan data gaya maksimum dan panjang
setelah dilakukan penarikan. Kekuatan tarik dapat ditentukan dengan rumus
pada persamaan (1). Semakin kuat suatu bahan maka kekuatan tariknya
semakin besar. Kondisi optimum terhadap sifat mekanik ditentukan dari
besarnya kekuatan tarik yang dihasilkan serta masih bersifat termoplastik.
Modulus young (E) atau modulus elastisitas merupakan perbandingan antara
kekuatan tarik dengan regangan. Suatu material fleksibel (ulet) mempunyai
Modulus Young yang rendah dan berubah bentuknya dengan sangat mudah.
Modulus young dapat dihitung dengan rumus pada persamaan (3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
3. Data Kekuatan Impak
Kekuatan impak (Is) merupakan suatu kriteria penting untuk mengetahui
ketangguhan material dengan cara memberi beban secara tiba-tiba dengan
kecepatan yang tinggi. Besarnya kekuatan impak dapat dihitung dengan
rumus pada persamaan (5).
4. Karbonil Indeks
Pengukuran tingkat oksidasi pada polimer ditentukan oleh karbonil indeks
yaitu dengan membandingkan luas area gugus karbonil dengan pembanding.
CI =
Semakin bertambahnya nilai karbonil indeks dapat dihubungkan dengan
hilangnya sifat mekanik karena pemutusan ikatan, sehingga polimer menjadi
rapuh.
Luas area C=O keton
Luas area –CH2 dari PP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan Biokomposit pada Komposisi Optimum
Komposisi optimum pembuatan biokomposit LPP/DVB/AA/SK
menggunakan LPP/SK yaitu pada rasio 8/2 (Pratama, 2010). Biokomposit
tersebut memiliki kelemahan yaitu tidak tahan terhadap panas maupun api. Untuk
mendapatkan biokomposit dengan sifat mekanik baik dan tahan api maka
ditambahkan suatu senyawa penghambat nyala. Penambahan senyawa
penghambat nyala sebesar 20 % berat total dapat mengurangi kecepatan
pembakaran 54 % dibandingkan dengan biokomposit tanpa pemadam nyala
(Suharty et al., 2012). Formulasi pada pembuatan biokomposit dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Formulasi Pembuatan biokomposit dan biokomposit dengan 20 %
senyawa Fire Retardant.
*)Pratama (2010), **) Suharty et al. (2012)
Biokomposit dikarakterisasi untuk menentukan perubahan gugus fungsi
dan peningkatan gugus karbonil dengan menggunakan spektrofotometer infra
merah (FTIR), serta sifat mekanik meliputi nilai kekuatan tarik dan modulus
young yang diukur dengan Universal Testing Mechine (UTM) serta kekuatan
impak yang diukur dengan Charpy Impact Testing Machine.
No Kode Rasio fire retardant (20 %) Biokomposit
1 C0 - LPP *)
2 C1 - LPP/DVB/AA/SK *)
3 C2 C1 + (CCal/DAP = 7/13) LPP/DVB/AA/SK/CCal+DAP **)
4 C3 C1 + (CCpa/DAP = 7/13) LPP/DVB/AA/SK/CCpa+DAP **)
5 C4 C1 + (CCal/NaPP = 7/13) LPP/DVB/AA/SK/CCal+NaPP **)
6 C5 C1 + (CCpa/NaPP = 7/13) LPP/DVB/AA/SK/CCpa+NaPP**)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
B. Analisis Gugus Fungsi
Karakterisasi gugus fungsi dilakukan terhadap biokomposit
LPP/DVB/AA/SK (Formula C1) serta biokomposit LPP/DVB/AA/SK/[CC+DAP]
dan LPP/DVB/AA/SK/[CC+NaPP] untuk mengetahui perubahan maupun
pergeseran gugus fungsi.
1. Analisis Gugus Fungsi Biokomposit LPP/DVB/AA/SK
Gambar 26. Spektra FTIR : (a) LPP (film); (b) SK (pelet KBr); (c) AA (neat
liquid); (d) DVB (neat liquid); (e) Biokomposit LPP/DVB/AA/SK
(film)
Berdasarkan Gambar 26 (a) di atas sampel LPP dalam bentuk KBr pelet
mempunyai daerah serapan pada 2723 cm-1
yang merupakan serapan dari gugus
fungsi -CH2- dan merupakan serapan khas PP (Suharty, 2007). Serapan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
daerah 2839 cm-1
mewakili gugus fungsi >CH- stretching, daerah serapan 1458
cm-1
menunjukkan adanya gugus metilen (-CH2-), gugus metil (-CH3) ditunjukkan
pada 1373 cm-1
dan puncak 972 cm-1
mengindikasikan serapan >CH- bending.
Spektra FTIR dari serat kenaf (SK) dalam bentuk pellet KBr pada
gambar (b) mempunyai serapan yang khas pada 3410 cm-1
yang merupakan
serapan dari gugus fungsi -OH ikatan hidrogen, serapan pada 2900 cm-1
adalah
milik dari gugus fungsi –CH2-, serta adanya serapan pada puncak 1033 cm-1
yang
menunjukkan adanya gugus fungsi C-O-C. Spektra FTIR asam akrilat (c) dalam
bentuk neat liquid menginformasikan adanya serapan yang kuat dan tajam pada
1728 cm-1
yang merupakan serapan khas untuk gugus fungsi >C=O (karbonil
asam), selain itu juga terdapat serapan pada 3448 cm-1
yang menunjuk pada gugus
fungsi –OH ikatan hidrogen, serta adanya gugus vinil (>C=CH2) yang ditunjukkan
dengan serapan pada daerah 1635 cm-1
. Hasil analisis spektra FTIR dari DVB
dalam bentuk neat liquid yang ditunjukkan pada Gambar (d) memperlihatkan
adanya C-H (aromatik) yang ditunjukkan oleh serapan 3086 cm-1
, selain itu
adanya serapan pada 3008 cm-1
menunjukkan keberadaan C-H vinil. Serta
terdapat serapan 1627 cm-1
yang merupakan gugus >C=CH2 (vinil) dan serapan
pada 1597 cm-1
yang menunjukkan C=C aromatik atau terkonjugasi.
Spektra FTIR pada gambar (e) yang merupakan spektra dari biokomposit
C1 (LPP/DVB/AA/SK) menunjukkan adanya serapan pada 2723 cm-1
dan
merupakan puncak serapan yang kuat dan khas untuk gugus fungsi –CH2- yang
berasal dari LPP. Terjadi pergeseran bilangan gelombang dari 1728 cm-1
yang
merupakan bilangan gugus fungsi >C=O untuk karbonil asam pada AA (Gambar
c) menjadi 1732 cm-1
yang merupakan daerah serapan untuk karbonil ester.
Terbentuknya ester akan menggeser bilangan gelombang karbonil asam ke
bilangan gelombang yang lebih besar (Silverstein, 1991). Hal ini memberikan
informasi bahwa spektra FTIR pada biokomposit menunjukkan terbentuknya
ikatan secara esterifikasi radikal yaitu ikatan antara PP dengan selulosa, dimana
selulosa terikat pada sisi polar AA yang juga terikat pada PP. Reaksi yang terjadi
antara SK dengan AA tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suharty, dkk (2008), melaporkan bahwa selulosa dari serat alam dapat berikatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
dengan AA secara esterifikasi. Hal tersebut diperkuat dengan hilangnya gugus
fungsi vinil (>C=C<) dari AA pada serapan 1635 cm-1
(Gambar c) yang
menunjukkan gugus vinil AA berinteraksi dengan metin pada LPP melalui reaksi
reaktif. Berdasarkan spektra FTIR biokomposit C1 diketahui hilangnya serapan
pada 1627 cm-1
yang merupakan serapan vinil DVB (Gambar d) yang
menunjukkan terjadi reaksi reaktif antara vinil DVB dengan gugus vinil AA.
Analisis gugus fungsi pada biokomposit tersebut menunjukkan terjadinya
pergeseran dan perubahan gugus fungsi dari bahan awal. Hal ini sesuai dengan
Suharty, dkk (2007), melaporkan bahwa pergeseran dan perubahan gugus fungsi
pada sintesis biokomposit menunjukkan terjadinya perubahan ikatan kimia yang
sekaligus menunjukkan perubahan struktur jaringan matrik polimer baru dalam
sintesis biokomposit. Biokomposit yang terbentuk juga dapat dikarakterisasi
secara kualitatif melalui sifat termalnya.
2. Analisis Gugus Fungsi Biokomposit dengan Pemadam Nyala
Gambar 27. Spektra FTIR dari DAP, CC dan LPP/DVB/AA/SK/CC/DAP
Spektra komposit LPP/DVB/AA/KF/CC/DAP dapat dilihat pada Gambar
27. Biokomposit LPP/DVB/AA/KF/CC/DAP mempunyai semua serapan spesifik
dari konstituen pembentuknya pada bilangan gelombang: 3425, 1797, 1419, 879
and 709 cm-1
perwakilan serapan gugus fungsi dari CC; 2723, 1371, 1165, and
972 cm-1
perwakilan serapan gugus fungsi dari LPP; 1458, 1126, 1033 and 1002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
cm-1
perwakilan serapan gugus fungsi dari DAP; 3348 cm-1
(ikatan hidrogen)
selulosa dan 1734 cm-1
(gugus karbonil ester yang terbentuk antara hidroksil
selulosa SK dengan gugus hidroksil AA).
Spektra biokomposit LPP/DVB/AA/KF/CC/NaPP dapat dilihat pada
Gambar 28. Spektra NaPP mempunyai serapan spesifik pada bilangan gelombang:
3410, 2368, 1419, 1280, 1103 and 871 cm-1
.
Gambar 28. Spektra FTIR dari NaPP, CC dan LPP/DVB/AA/SK/CC/NaPP
Spektra komposit LPP/DVB/AA/KF/CC/NaPP mempunyai semua
serapan spesifik dari konstituen pembentuknya pada bilangan gelombang: 3425,
1797, 1419, 879 and 709 cm-1
perwakilan serapan gugus fungsi dari CC; 2723,
1371, 1165, and 972 cm-1
perwakilan serapan gugus fungsi dari LPP; 3425, 2368,
1419, 1280, 1103dan 871 cm-1
; 3348 cm-1
(ikatan hidrogen) selulosa and 1734
cm-1
(gugus karbonil ester yang terbentuk antara hidroksil selulosa SK dengan
gugus hidroksil AA).
C. Pemanasan Termal (Termal Aging)
Uji temal dilakukan dengan pemanasan pada suhu 140 °C secara
kontinyu pada PP murni dan LPP hingga dicapai embrittlement time (ET) atau
waktu rapuh pada masing-masing sampel (Suharty, 1993). Hasil pengujian termal
PP murni dan LPP dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 29.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Tabel 4. Waktu rapuh dari PP murni dan LPP setelah dilakukan uji termal.
Formula Waktu (t), jam ET
PP murni
0 X
1 X
2 √
LPP 0 X
50 √
Keterangan: x (belum rapuh); √ (sudah rapuh)
(a)
(b)
Gambar 29. Uji termal pada: (a) PP murni dan (b) LPP
Perlakuan pemanasan pada suhu 140 °C secara kontinyu pada PP murni
dicapai waktu rapuh 2 jam. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suharty (1993). Waktu rapuh yang dicapai oleh LPP lebih lama dibandingkan
dengan PP murni yaitu 50 jam. Perubahan secara kimia dapat diketahui melalui
analisis gugus fungsi menggunakan FTIR. Semakin teroksidasi maka material
akan mengalami peningkatan gugus karbonil. Peningkatan luas karbonil dapat
diketahui dengan menghitung nilai karbonil indeks yang dapat diperoleh dengan
cara membandingkan luas area dari karbonil keton pada daerah 1718 terhadap –
CH2- dari PP di daerah 2723 cm-1
. Semakin meningkat nilai karbonil indeks
menunjukkan terjadinya kerusakan (degradasi) karena pengaruh panas. Faktor
termal atau panas sangat mempengaruhi terjadinya proses degradasi. Panas
diserap oleh bahan dalam bentuk energi. Jika energi yang diserap sangat tinggi
dan berlangsung lama secara kontinyu dapat mengakibatkan terputusnya ikatan
dalam molekulnya (Mashuri, 2006).
Besarnya serapan gugus karbonil dapat dijadikan sebagai parameter laju
degradasi. Pengukuran degradasi pada polimer ditentukan oleh karbonil indeks.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Peningkatan indeks karbonil dapat dihubungkan dengan hilangnya sifat mekanik
karena pemutusan ikatan. Semakin besar karbonil indeks menyebabkan polimer
lebih kaku tetapi rapuh. Gambar 30 dan 31 menunjukkan bahwa PP murni dan
LPP saat dilakukan uji termal mengalami peningkatan gugus karbonil hingga
dicapai waktu rapuh. Hasil perhitungan karbonil indeks setelah dilakukan
pemanasan kontinyu pada suhu 140 °C hingga dicapai waktu rapuh pada PP
murni dan LPP mengalami peningkatan karbonil indeks masing-masing sebesar
12,39 dan 2,75 % dibandingkan sebelum dilakukan pemanasan (Gambar 32).
Gambar 30. Spektra FTIR PP murni setelah perlakuan uji termal suhu 140 oC.
Gambar 31. Spektra FTIR LPP setelah perlakuan uji termal pada suhu 140 oC.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
(a)
(b)
Gambar 32. Presentase peningkatan karbonil indeks pada (a) PP murni dan (b)
LPP
Presentase peningkatan karbonil indeks yang terjadi pada LPP lebih kecil
dibandingkan pada PP murni. Hal ini dapat dijelaskan bahwa LPP merupakan
produk akhir dari kemasan yang telah memenuhi kualitas AMDK salah satunya
memiliki anti oksidan panas. Sehingga bila LPP digunakan sebagai matriks
pembuatan biokomposit akan menghasilkan biokomposit yang memiliki
ketahanan panas lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan matriks PP
murni.
D. Siklis Termal Produk Biokomposit
1. Variasi Suhu Pemanasan
a. Kekuatan Tarik
(a)
(b)
Gambar 33. Kurva kekuatan tarik biokomposit mengandung (a) CC+DAP, dan
(b) CC+NaPP pada berbagai suhu pemanasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
b. Modulus Young
(a)
(b)
Gambar 34. Kurva Modulus Young biokomposit mengandung (a) CC+DAP,
dan (b) CC+NaPP pada berbagai suhu pemanasan.
c. Kekuatan Impak
(a)
(b)
Gambar 35. Kurva kekuatan impak biokomposit mengandung (a) CC+DAP, dan
(b) CC+NaPP pada berbagai suhu pemanasan.
Perlakuan pemanasan variasi suhu 25-65 °C dilakukan untuk
menentukan suhu optimum pada perlakuan siklis termal. Penentuan suhu
pemanasan perlakuan siklis termal berdasarkan suhu distorsi PP (52-60 °C)
(Billmeyer, 1984). Suhu distorsi adalah suhu saat material mengalami kerusakan
secara mikro, sehingga pengambilan suhu siklis termal tidak boleh melebihi suhu
distorsi. Selain itu, material biokomposit akan digunakan untuk komponen interior
kendaraan yang tidak berada di dekat mesin dan diperkirakan suhunya tidak
mencapai 40 °C. Sehingga pemilihan suhu siklis termal adalah 45 °C yang masih
berada dibawah suhu distorsi PP dan merupakan suhu ekstrim untuk kondisi
kendaraan saat dipakai.
Biokomposit C0, C1, C2, C3, C4 dan C5 setelah pemanasan pada suhu
25 sampai 45 °C memberikan penurunan kekuatan tarik yang sangat kecil seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
terlihat pada Gambar 33, yaitu masing-masing sebesar 0,70; 0,68; 0,31; 0,11;
0,47; dan 0,36 %. Penurunan modulus young (Gambar 34) masing-masing sebesar
4,0; 3,77; 1,21; 1,01; 1,39 dan 1,33 %. Kekuatan impak juga mengalami
penurunan yang sangat kecil dapat dilihat pada Gambar 35, yaitu masing-masing
sebesar 3,85; 2,20; 1,33; 1,01; 2,25 dan 1,91 %.
2. Variasi Siklis Termal
a. Kekuatan Tarik
(a)
(b)
Gambar 36. Kurva kekuatan tarik biokomposit mengandung (a) CC+DAP, dan
(b) CC+NaPP pada perlakuan siklis termal.
b. Modulus Young
(a)
(b)
Gambar 37. Kurva Modulus Young biokomposit mengandung (a) CC+DAP,
dan (b) CC+NaPP pada perlakuan siklis termal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
c. Kekuatan Impak
(a)
(b)
Gambar 38. Kurva kekuatan Impak biokomposit mengandung (a) CC+DAP,
dan (b) CC+NaPP pada perlakuan siklis termal.
Komposisi optimum dengan rasio LPP/Serat alam = 8/2 memiliki nilai
kekuatan tarik tertinggi (12 % lebih baik dibanding LPP). Komposisi biokomposit
LPP/DVB/AA/SK (C1) selanjutnya digunakan sebagai standar dalam pembuatan
biokomposit yang mengandung senyawa pemadam nyala CC, DAP, dan NaPP.
Komposisi biokomposit standar tersebut menempati 80 % berat total dalam
pembuatan biokomposit dengan penambahan senyawa penghambat nyala 20 %.
Penambahan senyawa pemadam nyala pada perlakuan siklis termal dapat
meningkatkan ketahanan panas biokomposit dikarenakan senyawa pemadam
nyala dapat menyerap panas bila dibandingkan dengan material tanpa pemadam
nyala C0 dan C1. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suharty et
al., 2012) yang menyatakan bahwa biokomposit LPP/DVB/AA/SK/CC/DAP
dapat menurunkan kecepatan pembakaran 54 % dibandingkan biokomposit tanpa
senyawa penghambat nyala. (Suharty et al., 2012) juga menyatakan penambahan
senyawa NaPP dapat meningkatkan kuat mekanik lebih baik dibandingkan DAP.
Sehingga pada biokomposit yang mengandung DAP lebih tahan terhadap panas
dan yang mengandung NaPP lebih kuat sifat mekaniknya. Senyawa DAP jika
dipanaskan akan membentuk asam fosfat dan NH3, dimana NH3 merupakan
senyawa yang tidak mudah terbakar (Tesoro, 1978). Oleh karena itu, DAP
memiliki ketahanan panas yang lebih baik jika dibandingkan dengan NaPP.
Senyawa CaCO3 juga bertindak sebagai pemadam nyala dalam biokomposit.
CaCO3 akan bereaksi dengan asam fosfat dari DAP menghasilkan CO2 dan H2O,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
dimana kedua senyawa tersebut dapat menghambat terjadinya pembakaran.
Terbentuknya CO2 yang dapat mengurangi konsentrasi O2 pada sistem
pembakaran sehingga nyala akan terhambat. Terbentuknya uap air (H2O) akan
mendinginkan sistem serta menurunkan suhu. Deodhar (2006) melaporkan bahwa
penambahan APP dan CaCO3 yang ditambahkan bersama dapat menghambat
kecepatan pembakaran 24-69 % jika dibandingkan tanpa senyawa penghambat
nyala.
Dilakukan pemanasan berulang-ulang (termal siklis ) pada penelitian ini
yaitu suatu perlakuan pemanasan yang dilakukan pada waktu tertentu dan suhu
pemanasan tertentu secara berulang ulang yang dipengaruhi suhu berfluktuasi.
Pemanasan berulang-ulang berdasarkan pada suhu optimum dan waktu
pengulangan 20-60 kali termal siklis. Nilai kekuatan tarik pada uji siklis termal
mengalami penurunan seiring dengan siklis termal yang dilakukan seperti terlihat
pada Gambar 36. Hal ini dikarenakan biokomposit tersebut mengalami kelelahan
akibat dari perlakuan pemanasan dan pendinginan yang berulang-ulang sehingga
dapat berpengaruh terhadap kekuatan tarik. Seperti pada penelitian yang
dilakukan oleh Susanto (2004) yang menyatakan jika komposit mengalami
pemanasan berulang maka akibat proses pemanasan dan pendinginan tersebut
dapat menimbulkan kelelahan panas (thermal fatigue) dan kerusakan sehingga
dapat menurunkan sifat mekanik dari komposit tersebut. Nilai kekuatan tarik pada
biokomposit C0, C1, C2, C3, C4 dan C5 mengalami penurunan setelah siklis
termal hingga 60 kali pada suhu 45 °C masing-masing sebesar 2,2; 1,9; 0,9; 0,8;
1,4 dan 1,3 % dibandingkan sebelum pemanasan.
Modulus young (E) adalah perbandingan antara kuat tarik dengan
regangan saat patah. Modulus Young (MY) memberikan informasi tentang
kekakuan material. Semakin tinggi nilai modulus young maka material semakin
kaku kaku (Salmah et al., 2005). Bila material menjadi kaku maka akan mudah
patah. Regangan saat patah terjadi karena molekul-molekul pada material
bergerak lebih aktif dan mengakibatkan peregangan antar molekul sehingga jarak
antar molekul bertambah. Semakin banyak siklis termal yang dilakukan maka
peregangan yang terjadi juga semakin meningkat akibatnya material mengalami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
peningkatan regangan (Brady, 1999). Nilai modulus young biokomposit C0, C1,
C2, C3, C4 dan C5 setelah 60 kali siklis termal pada suhu 45 °C mengalami
penurunan seperti terlihat pada Gambar 37, yaitu masing-masing sebesar 11,15;
10,91; 6,40 ; 6,27; 8,63 dan 7,89 % dibandingkan sebelum pemanasan.
Kekuatan impak merupakan suatu kriteria penting untuk mengetahui
ketangguhan material dengan cara memberi beban secara tiba-tiba dengan
kecepatan yang tinggi. Pengujian impak dilakukan dengan menggunakan Charpy
Impact Testing Machine. Semakin tinggi kekuatan impak dari material maka
ketangguhan juga semakin tinggi (Barleany et al., 2011). Secara umum, kekuatan
impak sifatnya sama dengan kekuatan tarik. Nilai kekuatan impak setelah
dilakukan siklis termal hingga 60 kali pada suhu 45 °C pada biokomposit C0, C1,
C2, C3, C4 dan C5 mengalami penurunan seperti terlihat pada Gambar 38, yaitu
masing-masing adalah 6,41; 5,29; 4,85; 4,37; 5,23 dan 5,03 % dibandingkan
sebelum pemanasan.
Terjadinya penurunan kekuatan ikatan di dalam struktur biokomposit
disebabkan karena adanya pemuaian dan penyusutan berulang-ulang. Seperti
diketahui bahwa komposit yang terdiri dari beberapa senyawa penyusun
mempunyai koefisien muai dan koefisien susut yang tidak sama (Giancoli, 1985),
sehingga pada proses pemanasan dan pendinginan yang dilakukan akan
mengakibatkan terjadinya pemanjangan dan pemendekan ikatan sehingga
interaksi antara molekul-molekul menurun. Surdia (1992) menyatakan bahwa
pergerakan molekul karena panas akan mengubah kumpulan molekul atau
merubah struktur. Keadaan tersebut jelas akan mempengaruhi sifat mekanik dan
kimia pada material. Hal ini direfleksikan dengan terjadinya penurunan sifat
mekanik.
Perlakuan siklis termal diamati dengan melihat kerapuhan dari produk
biokomposit yang mengandung pemadam nyala. Perlakuan siklis termal hingga
60 kali belum menunjukkan kerapuhan pada biokomposit yang dapat dilihat pada
Tabel 5 dan Gambar 39.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Tabel 5. Sifat fisik dari berbagai biokomposit setelah perlakuan siklis termal
Variasi Siklis termal
Formula Siklis termal (kali) Sifat fisik
C0, C1, C2,
C3, C4, C5
20 x
30 x
40 x
50 x
60 x
Keterangan: x (belum rapuh)
(a)
(b)
Gambar 39. (a) Biokomposit sebelum dilakukan pemanasan, (b) biokomposit
setelah siklis termal 60 kali.
Secara kimia, polimer yang teroksidasi akan mengalami reaksi norish I
dan norish II yang direfleksikan dengan terbentuknya karbonil keton (Suharty,
1993). Untuk mengetahui perubahan terhadap gugus karbonil keton dapat
dilakukan analisa menggunakan spektrofotometer IR. Semakin teroksidasi maka
material akan mengalami peningkatan gugus karbonil. Semakin meningkat nilai
karbonil indeks menunjukkan terjadinya kerusakan (degradasi) pada komposit
karena pengaruh panas (Mashuri, 2006).
Gambar 40. Spektra biokomposit C3 (LPP/DVB/AA/SK/CCpa+DAP) pada
perlakukan 60 kali pemanasan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Pengaruh pemanasan pada biokomposit dapat diamati dari spektra FTIR
Gambar 40. Spektra tersebut menunjukkan pada biokomposit yang terdiri dari
matriks LPP, serat kenaf dan pemadam nyala kalsium karbonat dan DAP
(LPP/DVB/AA/SK/CCpa+DAP) setelah dilakukan pemanasan sebanyak 60 kali
dan memberikan penurunan sifat mekanik paling besar ternyata tidak teramati
peningkatan gugus karbonilnya. Silverstain et al. (1991) menyatakan pada analisa
FTIR karbonil keton terbentuk pada daerah serapan 1718. Hal tersebut disebabkan
karena pemanasan yang dilakukan hanya pada suhu 45 °C yang masih berada
dibawah suhu distorsi PP dan suhu ekstrim pada interior kendaraan. Selain itu,
adanya matriks LPP yang telah mendapat penambahan anti oksidan panas dan
kombinasi senyawa pemadam nyala CaCO3 dan DAP pada biokomposit C3
mampu menahan proses pemanasan dengan baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
60
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. PP murni dan LPP saat dilakukan uji termal (140 °C) hingga mencapai
waktu rapuh masing-masing 2 dan 50 jam mengalami peningkatan karbonil
indeks masing-masing sebesar 12,39 dan 2,75 % dibandingkan sebelum
pemanasan.
2. Optimasi suhu pemanasan siklis termal berdasarkan pada pertimbangan sifat
mekanik dan suhu distorsi PP , diperoleh suhu optimum pemanasan 10 kali
siklis termal pada variasi suhu 25-65 °C adalah 45 °C.
3. Perlakuan uji siklis termal pada suhu optimun hingga 60 kali pemanasan
pada biokomposit LPP/DVB/AA/SK mengandung pemadam nyala
CCal/DAP (C2), CCpa/DAP (C3), CCal/NaPP (C4), CCpa/NaPP (C5)
mengakibatkan penurunan kekuatan tarik masing-masing sebesar 0,9; 0,8;
1,4 dan 1,3 % dibandingkan sebelum pemanasan.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas perlu dilakukan tindak lanjut yang
disarankan sebagai berikut :
1. Analisis degradasi panas menggunakan DTA
2. Analisis morfologi menggunakan SEM