Upload
others
View
28
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Pengaruh Pemikiran Filsafat Islam pada Periode Kebangkitan Islam
terhadap Sistem Pemerintahan dan Politik di Indonesia
Oleh:
Yovana Riken Keiky
(071211132015)
Departemen Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
2013
2
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa telah melimpahkan
segala rahmat dan kasih sayang-Nya kepada umat-Nya, sehingga saya
bisa menyelesaikan tugas makalah f i lsafat ini dengan tepat waktu
meskipun masih banyak yang harus saya perbaiki. Makalah f i lsafat ini
merupakan tugas wajib akhir semester genap yang harus dikerjakan
semua mahasiswa Prodi I lmu Administrasi Negara angkatan 2012.
Dengan mengambil tema Filsafat Islam, diharapkan akan
menambah wawasan bagi pembaca tentang bagaimana f i lsafat Islam itu
berkembang dalam masyarakat dan apa implementasinya dalam
kehidupan sehari -hari. Makalah dengan judul “Pengaruh Pemikiran
Filsafat Islam pada Periode Kebangkitan Islam terhadap Sistem
Pemerintahan dan Politik di Indonesia” t idak hanya membahas
tentang sejarah f i lsafat Islam saja melainkan hubungan pemikiran
f i lsafat Islam dengan sistem pemerintahan dan polit ik pada periode
kebangkitan Islam dan pemikiran f i lsafat yang berpengaruh kepada
sistem pemerintahan dan polit ik di Negara Indonesia.
Pembuatan makalah f i lsafat ini memang jauh dari kata sempurna.
Krit ik dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan demi berkembangnya
makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.
Surabaya, 21 Mei 2013
Yovana Riken Keiky
3
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Yovana Riken Keiky
NIM : 071211132015
Prodi : Ilmu Administrasi Negara
Alamat Web : www.yovana-riken.web.unair.ac.id
Menyatakan bahwa makalah yang saya buat merupakan hasil dari karya saya
sendiri dan tidak ada unsur plagiarisme.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh
tanggung jawab
(Yovana Riken Keiky)
4
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
ABSTRAK
Topik yang diangkat dari makalah ini adalah penjabaran dari
f i lsafat i lmu yang terus berkembang menjadi cabang-cabang i lmu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia . Dalam sejarah perkembangan
f i lsafat i lmu, di dalamnya terdapat f i lsafat Islam juga turu t andil dalam
sumbangsihnya dalam membentuk peradaban di dunia. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan lahirnya f i lsuf -f i lsuf yang ahli dalam bidangnya
menjadi bukti bahwa pemikiran f i lsafat Islam mempunyai andil besar.
Bukan hanya itu saja, pemikiran f i lsafat Islam juga turut membidani
lahirnya sistem pemerintahan dan polit ik yang demokratis pada
jamannya. Hal ini diharapkan mempunyai implementasi terhadap
terwujudnya sistem pemerintahan dan polit ik yang dicita -citakan di
Negara Indonesia.
Kata Kunci : Filsafat I lmu, Filsafat Islam, Pemerintahan, Polit ik, Negara
Indonesia
5
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Surat Pernyataan ii
Abstrak iii
Daftar Isi iv
BAB I Pendahuluan
1.1 L
atar Belakang 1
1.2 R
umusan Masalah 1
1.3 T
ujuan dan Manfaat Penelit ian 2
BAB II Pembahasan
2.1 Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 3
2.2 Sejarah Kebangkitan Peradaban Islam 10
2.3 Hubungan Ilmu Tauhid dengan Filsafat 22
2.4 Sistem Pemerintahan dan Politik pada Masa Pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW dan
Khalifah Sesudahnya 25
2.5 Implementasi Pemikiran Filsafat Islam dan Sistem Pemerintahan dan Politik pada Pemerintahan
Rasulullah SAW terhadap Sistem Pemerintahan dan Politik di Indonesia dan Konsep Good
Governance 43
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan 52
3.2 Saran 53
Lampiran 54
6
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Daftar Kata Sulit 58
Daftar Pustaka 60
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Awal mula perkembangan f i lsafat Islam kira -kira pada abad ke-6
hingga ke-13 Masehi, pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami
masa kegelapan atau yang populer disebut dark age , ada juga yang
menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan
dalam periode kebangkitan Islam ditandai dengan munculnya ilmuwan -
ilmuwan Islam yang ahli dibidang masing-masing dan mereka juga
menerbitkan buku-buku ilmiah serta temuan-temuan yang bermanfaat
pada masa itu. Diantara tokoh-tokoh ilmuwan tersebut adalah Hanafi,
Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hukum Islam. Ada juga Al -
Farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran
dengan bukunya yang terkenal yaitu The Canon of Medicine .
Selain munculnya filsuf-filsuf baru dalam dunia filsafat, khususnya filsafat Islam,
hal ini mencerminkan bahwa Islam mulai bangkit. Kebangkitan Islam tidak hanya
ditandai dengan munculnya filsuf-filsuf yang brilian tetapi mulai tertatanya sistem
pemerintahan dan politik yang dipimpin oleh khalifah-khalifah. Hal ini tercermin dari
sistem pemerintahan dan politik yang berbeda dengan sistem pemerintahan dan
politik lainnya yang dilaksanakan di negara-negara lain. Satu perkara yang paling
penting dalam sistem pemerintahan dan politik Islam adalah bahwa kedaulatan itu
tidak di tangan rakyat maupun Kepala Negara, melainkan di tangan syara’. Hanya
saja pesan-pesan syara’ yang sifatnya ilahi itu tidak dimonopoli oleh Kepala Negara
(khalifah) dan tidak dimanipulasi oleh tokoh agama karena kedudukan seluruh kaum
muslimin di depan syara’ (baik dari segi hukum maupun kewajibannya) adalah
sama. Oleh karena itu, meskipun kekuasaan dan wewenang pelaksanaan
7
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
pemerintahan dan politik itu terpusat kepada khalifah, tidak menyebabkan
kelemahan negara Islam, malah justru memperkuatnya. Kekuasaan khalifah adalah
kekuasaan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum syariat Islam. Kontrol
pelaksanaan hukum dan mekanismenya yang mudah serta tolok ukur yang jelas
(yakni nash-nash syara’) telah menjadikan daulah ini kokoh dan tegak menjadi
rahmat bagi seluruh dunia selama berabad-abad.
Sistem pemerintahan dan politik yang diterapkan oleh negara Islam
sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan apa yang diterapkan di Indonesia.
Sistem pemerintahan dan politik di Indonesia memang banyak mengadopsi dari
negara-negara lain juga. Secara tidak langsung, sistem pemerintahan dan politik
Islam juga mempengaruhi jalannya sistem pemerintahan dan politik di Indonesia
karena mayoritas penduduk di Indonesia bergama Islam.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa saja pengaruh pemikiran f i lsafat Islam yang berpengaruh
terhadap dunia?
b. Apa hubungan munculnya ahli f i lsafat Islam dengan periode
kebangkitan Islam?
c. Apakah ada pengaruh munculnya ahli f i lsafat Islam dengan
periode kebangkitan Islam dengan sistem pemerintahan dan
polit ik pada jamannya?
d. Apakah ada pengaruhnya pemikiran f i lsafat Islam terhadap sistem
pemerintahan dan polit ik di Indonesia?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat pembuatan dari makalah ini adalah agar:
a. Mengetahui pengaruh pemikiaran f i lsafat Islam terhadap
perubahan dunia.
b. Mengetahui tokoh-tokoh f i lsafat Islam yang berpengaruh terhadap
kebangkitan Islam dan perubahan dunia.
c. Mengetahui pengaruh relevansi berkembangnya pemikiran f i lsafat
Islam dengan sistem pemerintahan dan polit ik pada jamannya.
d. Mengetahui apakah ada relevansi pemikiran f i lsafat Islam
terhadap sistem pemerintahan dan polit ik di Indonesia.
8
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Filsafat Islam
Islam muncul di Semenanjung Arab pada kurun ke-7 masehi apabila Nabi Muhammad SAW
mendapat wahyu daripada Allah SWT. Selepas wafatnya Rasullullah SAW, kerajaan Islam
berkembang sejauh Lautan Atlantik di Barat dan Asia Tengah di Timur. Lama-kelamaan umat Islam
berpecah dan terdapat banyak kerajaan-kerajaan Islam lain yang muncul dan berkembang menjadi
kerajaan-kerajaan yang baru.
Walau bagaimanapun, kemunculan kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Umaiyyah,
kerajaan Abbasiyyah, kerajaan Uthmaniyyah Turki, Empayar Moghul India, dan Kesultanan Melaka
telah menjadi antara kerajaan yang terkuat dan terbesar di dunia. Tempat pembelajaran ilmu yang
hebat telah mewujudkan satu Tamadun Islam yang agung. Banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli falsafah
dan sebagainya muncul dari negeri-negeri Islam terutamanya pada Zaman Keemasan Islam.
Filsafat Islam sendiri muncul pada Zaman Keemasan Islam, dimana Islam berjaya. Pemikiran-
pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran filsafat Islam, diakui berbagai kalangan telah
mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi semakin pesat. Seperti yang dikatakan oleh Oliver
Leaman, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Filsafat Islam, adalah suatu kesalahan besar jika
menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya
kutipan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme
seperti dituduhkan Duhem. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau
menjiplak semata. Mesti dipahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang
dimana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran
baru. Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa tidak
terpengaruh oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman dari
beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan.
Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan
dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai
9
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-
buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim yakni muslim yakni, Al-Kindi
(801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa Al-Makmun
(811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w.857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan
Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam
masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan Kalâm (teologi).
Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata’ (699-
748M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan
berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid
(w.760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w.808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar
an-Nadzam (801-835 M), Mu’ammaribn Abbad (w.835 M) dan Bisyr ibn al-Mu’tamir (w.840 M).
Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum
(istinbâth) dengan istilah-istilah seperti istihsân, istishlâh, qiyâs
dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbâth
dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i
(767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika
dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam,
yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum
inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan
filsafat Yunani dalam Islam.
Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri berawal? Sebagaimana
dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim, pemikian rasional-filosofis Islam
lahir bukan dari pihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-
Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk
menyesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan
Islam, ketika Rasul SAW masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan
langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatan diantara para kaum cerdik. Akan tetapi,
hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-
persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat
yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran kitab suci yaitu Al-Quran,
lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya
mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) Penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk
mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi
secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan
mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriyah ( zhahir ).
(2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna
(musytarak ) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih mendekati
model pemecahan filosofis dibanding yang pertama.
(3) Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara
langsung dalam teks. Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu
10
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah
kata ‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak?
Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan
pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya harus dirubah
dalam bentuk sistem dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana kita
menyelaraskan antara sifat antara kemahakuasaan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan
maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian
dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis
(menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama
dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring
paraintelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan
kenyatannya metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda
dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah terletak
pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen.
Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan
atas premis-premis logis, pasti, dan baku. Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat
program penerjemahan.
Peradaban dan pemikiran Yunani, termasuk filsafat adalah menurut catatan para sejarawan,
telah mulai di kenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa, dan Qinnesrin
(wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq) sejak abad ke-
IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu penaklukan tentara muslim ke
wilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Setidaknya ini
bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi
di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat seperti,
Severas Sebokht (w.667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob
(w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menerjemahkan Categories
karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab dalam periode ini, yakni masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya
pada masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama yang berkaitan dengan
persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan demi untuk
mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-
Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia
dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukkan oleh persoalan politik dan
ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam
setelah masa pemerintahan Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penerjemahan buku-
buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-
833 M); suatu program yang oleh al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran
rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani
dengan epistemologi bayani Arab. Program penerjemahan dan kebutuhan akan penggunaan metode
11
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
filsafat ini sendiri, di dasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada, bahwa saat itu muncul banyak
doktrin yang kurang lebih hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia atau daerah lain dari
pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri
sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti
penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah ‘zindiq’.
Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu
untuk mencari sistem berpikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode-
metode yang sebelumnya, bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-
persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya.
Karena itu, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni
tetapi telah menjadi bagian dari agama.
Selanjutnya, metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam suatu pemikiran Islam, pertama
kali dikenalkan dan digunakan oleh al-Kindi (806-875). Dalam kata pengantar buku ‘Filsafat Pertama’
(al-Falsafat al-Ûla), yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim (833-842), al-Kindi menulis
tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya orang-orang yang anti
filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha).
Menurut Hasymi, saat itu sampai dibentuk tim khusus yang bertugas melawat ke negeri-negeri
sekitar untuk mencari buku pengetahuan apa saja yang pantas diterjemahkan dan dikembangkan.
Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang,1975), 227. Diantara mereka yang
dikenal berjasa dalam usaha penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab ini adalah
Yahya al-Balmaki (w. 857 w), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunainibn Ishaq. Watt mencatat
bahwa sebelum Hunainibn Ishaq, penerjemahan karya-karya Yunani ini umumnya dilakukan dari
edisi bahasa Syiria ke dalam bahasa Arab, sementara Hunain ibn Ishaq langsung menerjemahkan dari
bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab sekaligus mengkajinya secara filosofis. Ini pula yang menjadi
catatan al-Ghurabi tentang banyaknya karya filsafat Yunani yang diterjemahkan kedalam bahasa
Arab bercampur dengan pandangan Neo-Platonis Kristen Syiria.
Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam;
kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus
hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa
artinya dan bagaiman pembuktiannya (3) pengetahuan Tuhan yang partikular, apa ada hubungannya
dengan astrologi dan bagaimana terjadinya. Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai
salah satu sistem pemikiran Arab-Islam adalah setelah masa al-Razi (865-925). Ia di kenal sebagai
orang yang ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya
mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan pada prinsipnya
dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat
kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik
dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong
kosong, dugaan belaka dan kebohongan. Meski demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-
ilmu Yunani dalam Islam berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas bukan tidak
menimbulkan persoalan. Imam Ibn Hanbal (780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-
12
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
orang yang sepikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal
kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani.
Menurut George N. Atiyeh, penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama,
adanya ketakutan dikalangan ortodoks dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan
menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan
bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-
orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab
Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan
intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat
Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya maupun paham-paham Muhsin Mahdi
menyebut al-Kindi tidak begitu menguasai logika; pengetahuannya tentang logika Aristoteles sangat
minim dan parsial, sehingga ia masih dianggap sebagai ahli penerjemah daripada pemikir (filosof).
Banyaknya arugumen lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan
dari pikiran-pikiran filsafat Yunani. Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu
Yunani memang bukan bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar
filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah
Ibn Rawandi (lahir 825 M). Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip
kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syariat-syariat yang dibawanya,
karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal; akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah,
yang baik dan jahat dan seterusnya. Contoh lain adalahal-Razi (865-925 M). Al-Razi juga menolak
kenabian dengan tigaalasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baikdan buruk,
berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan
dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. (2) Tidak
ada pembenaran untuk pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena
semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan
yang membedakan mereka. (3) Bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka
berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibnu Hanbal pada terhadap ilmu-ilmu Yunani
diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M).
Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung
kaum ortodoks (salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya dulu nama lengkapnya bernama Ahmad
ibn Yahya ibn yahya ibn Ishaq al-Rawandi, lahir di Rawan, dekat Isfahan, tahun
825 M, dari keturunan Yahudi. Kapan meninggalnya tidak diketahui pasti, tetapi menurut Ibrahim
Madkur, Ibn Rawandi pernah berhubungan dengan kaum Muktazilah dan dianggap sebagai salah
satu muridnya yang paling cerdas, sebelum kemudian balik menyerang Muktazilah. Ibn Rawandi
termasuk tokoh yang masih asing dalam discorsus filsafat Islam.
Menurut Madkur dalam bukunya yang berjudul Filsafat Islam Metode dan Penerapannya,
statemen yang diberikan al-Rawandi sebenarnya hanya mengulang apa yang pernah disampaikan
Muktazilah yang mempunyai pandangan bahwa baik dan buruk harus didasarkan rasio. Hanya saja,
Muktazilah tidak seekstrim ini dalam penggunaan rasio, bahkan mereka berusaha memadukan rasio
dengan wahyu. Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi, lahir di Ray, Persia,
13
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
tahun 865 M. dan meninggal di Baghdad tahun 925 M. Selain filosof, ia dikenal juga sebagai dokter
dan ahli kimia. Disamping kedua tokoh diatas, Husaen Nashr menyebut tokoh lain sebagai ingkar
kenabian, yakni Ahmad ibn Thayib al-Syarkhasi, hidup antara tahun 833-899 M. Awalnya ia adalah
murid utama al-Kindi dan guru khalifah al-Mu`tadhid (892-902 M) kemudian berubah menjadi orang
yang durhaka kepada kenabian Muhammad SAW.
2.2 Sejarah Kebangkitan Peradaban Islam
Awal mula kebangkitan peradaban Islam dapat ditelusuri dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan kegiatan intelektual di Baghdad dan Cordova. Pada masa pemerintahan Al-
Ma'mun (813-833 M), ia mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad yang menjadi pusat kegiatan ilmiah
(Abdul Karim, 2007: 154). Pendirian sekolah yang terkenal ini melibatkan sarjana Kristen, Yahudi, dan
Arab, mengambil tempat sendiri terutama dengan "pelajaran asing", ilmu pengetahuan dan filosofi
Yunani, hasil karya Galen, Hippocrates, Plato, Arsitoteles, dan para komentator, seperti Alexander
(Aphrodis), Temistenes, John Philoponos, dan lain-lain (Bammate, 2000: 36) Dalam masa itu, banyak
karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Gerakan penerjemahan itu banyak dibantu
oleh orang-orang Kristen, Majusi, dan Shabi'ah. Di antara nama para penerjemah yang terkenal
adalah Jurjis (George) ibn Bakhtisyu (771 M), Bakhtisyu Ibnu Jurjis (801 M), Gibril, Yahya ibn
Musawaih (777-857 M), Hunain ibn Ishaq (w. 873 M), dan lainnya (AbdulKarim,2007:175-176).
Sementara itu di Cordova, aktivitas ilmiah mulai berkembang pesat sejak masa pemerintahan
Abdurrahman II (822-852 M). Ia mendirikan universitas, memperluas dan memperindah masjid
(Abdul Karim, 2007: 239). Cordova kemudian menjadi sangat maju dan tampil sebagai pusat
peradaban yang menyinari Eropa. Pada waktu itu, Eropa masih tenggelam pada keterbelakangan dan
kegelapan Abad Pertengahan. Dr. Muhammad Sayyid Al-Wakil (1998: 321) menukil perkataan
seorang penulis Amerika yang menggambarkan keadaan Eropa pada masa itu, "Jika matahari telah
terbenam, seluruh kota besar Eropa terlihat gelap gulita. Di sisi lain, Cordova terang benderang
disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu
WC umum. Eropa sangat kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan kebersihan.
Eropa tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap istana-istana
Eropa sudah pada bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah.
Para tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai
masuk sekolah.
Sejarah Eropa sendiri pada Abad Pertengahan penuh dengan perjuangan sengit antara kaum
intelek dan penguasa gereja. Kaum intelek Eropa berontak lebih dari satu kali, tetapi berulang-ulang
pemberontakan mereka berhasil dipatahkan oleh gereja (Asad, 1989: 36). Penguasa gereja itu
mendirikan berbagai mahkamah pemeriksaan (Dewan Inquisisi) untuk menghukum kaum intelek
serta orang-orang yang dituduh kafir dan atheis. Operasi pembantaian digerakkan secara besar-
besaran agar di Dunia Kristen tidak tertinggal seorang pun yang dapat menjadi akar perlawanan
terhadap gereja. Diperkirakan antara tahun 1481 hingga 1901, korban pembantaian Dewan Inquisisi
mencapai 300 ribu jiwa termasuk 30 ribu jiwa dibakar hidup-hidup, di antaranya adalah sarjana fisika
terkemuka Bruno. Ia dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Selain Bruno, Galileo Galilei
14
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
juga harus menjalani hukuman sampai mati di penjara karena pendapatnya yang menyatakan bahwa
bumi beredar mengitari matahari (An-Nadawi, 1988:250).
Eropa dan Sentuhan Peradaban Islam
Melalui interaksinya dengan Dunia Islam, Eropa menyadari keterbelakangan dan
ketertinggalan mereka. Interaksi tersebut menyebabkan adanya sentuhan peradaban Islam terhadap
mereka. Proses persentuhan itu terjadi melalui konflik-konflik bersenjata, seperti dalam Perang
Salib, maupun melalui cara-cara damai seperti di Andalusia.
Bagaimanapun juga dalam bidang peradaban materi, Eropa banyak berhutang budi terhadap
Perang Salib. Perang ini telah membawa kaum Kristen ke dalam kontak langsung dengan orang-
orang Muslim di tanah Islam itu sendiri. Orang-orang Kristen mendapati bahwa di Levant banyak hal
baru bagi mereka dan teknik-teknik yang tidak dikenal di Barat. Oleh karena itu ketika terjadi
gencatan senjata, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari teknik-teknik baru di
bidang pertanian, industri dan kerajinan, serta melakukan hubungan perdagangan dengan orang-
orang Muslim (Bammate, 2000: 44-45). Tidak sedikit di antara orang-orang Kristen yang ikut Perang
Salib adalah para saudagar yang berpendapat bahwa perang ini merupakan kesempatan untuk
mengadakan hubungan dagang baru. Lama-kelamaan, Perang Salib menyesuaikan diri dengan usaha
politik perdagangan bandar-bandar Italia, terutama Venezia. Selain Venezia, kota-kota perdagangan
di Italia Utara, Jerman Selatan, dan Belanda juga mulai berkembang akibat Perang Salib (Romein,
1956: 52). Dari kota-kota inilah nantinya muncul Renaissance.
Selain melalui Perang Salib, cara lain terjadinya sentuhan peradaban Islam terhadap Eropa
adalah melalui cara yang murni damai di Andalusia. Ketika Eropa masih larut dalam
keterbelakangannya, Andalusia telah tumbuh dalam kemajuan dan kegemilangan peradaban. Ustadz
Muhammad Al-Husaini Rakha mengatakan, "Di antara bukti kebesaran peradaban Spanyol bahwa di
Cordova saja terdapat lima puluh rumah sakit, sembilan ratus toilet, delapan ratus sekolah, enam
ratus masjid, perpustakaan umum yang memuat enam ratus ribu buku dan tujuh puluh
perpustakaan pribadi lainnya." (Al-Wakil, 1998: 319).
Orang-orang Eropa aktif berinteraksi dengan orang-orang Arab dan mengambil ilmu dari
mereka serta mengambil manfaat dari peradaban mereka. Orang-orang Eropa datang ke Andalusia
untuk belajar di universitas-universitas umat Islam. Di antara mereka terdapat para tokoh gereja dan
para bangsawan. Sebagai contoh salah seorang yang sangat luar biasa kepandaiannya pada abad X
bernama Gerbert d'Aurillac. Ia menjadi paus Perancis pertama di bawah gelar Sylvester II. Ia
menghabiskan tiga tahun di Toledo dengan para ilmuwan Muslim. Ia belajar matematika, astronomi,
kimia, dan pelajaran-pelajaran lainnya. Beberapa wali gereja/pendeta tinggi dari Perancis, Inggris,
Jerman dan Italia juga lama belajar di Universitas Muslim Spanyol (Bammate,2000:49).
Ada kasus menarik yang dialami oleh Frederik II (1211-1250) Kaisar Jerman yang juga menjadi
raja Napels dan Scilia. Ia merupakan seorang yang berjiwa besar dan berpengetahuan tinggi. Ia
dituduh orang masuk Islam dengan diam-diam karena kaisar itu lebih suka tinggal di Italia Selatan
dalam lingkungan alam Timur daripada di Jerman yang belum maju. Di Napels didirikannya sebuah
universitas dengan tujuan memindahkan pengetahuan Arab ke Italia (Romein, 1956: 58).
15
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Selain Frederik II, raja bangsa Eropa lainnya yang menaruh minat sangat besar terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan kaum Muslimin adalah George III, raja Inggris. Dengan resmi, ia menulis
surat kepada Hisyam III khalifah kaum Muslim di Andalusia agar diizinkan mengirimkan delegasinya
untuk belajar di sekolah umat Islam Andalusia. George III berkata dalam suratnya, Dari George Raja
Inggris, Ghal, Swedia, dan Norwegia kepada khalifah kaum Muslim di Andalusia paduka yang mulia
Hisyam III.
Dengan hormat,
Paduka yang mulia.
Kami telah mendengar kemajuan yang dicapai oleh sekolah-sekolah ilmu pengetahuan paduka dan
sekolah-sekolah industri di negara paduka. Oleh karena itu, kami bermaksud mengirim putra-putra
terbaik kami untuk menimba ilmu-ilmu tersebut di negeri paduka yang mulia. Ini sebagai langkah
awal meniru paduka yang mulia dalam menyebarkan ilmu pengetahuan di wilayah negara kami
yang dikelilingi kebodohan dari empat penjuru.
Kami tunjuk Dubanet, putri saudara kami sebagai kepala delegasi wanita Inggris untuk memetik
bunga agar ia dan teman-teman delegasinya bisa sehebat paduka, menjaga akhlak yang mulia dan
memperoleh simpati wanita-wanita yang akan mengajari mereka.
Hamba titipkan lewat raja kecil kami ini, hadiah apa adanya untuk paduka yang mulia dan sudilah
kiranya paduka menerimanya dengan senang hati.
Tertanda
Hamba paduka yang patuh
George III
(Al-Wakil, 1998: 319-320).
Orang-orang Eropa yang belajar di universitas-universitas Andalusia itu melakukan gerakan
penerjemahan kitab-kitab para ilmuwan Muslim yang berbahasa Arab ke bahasa Latin dan mulailah
buku-buku tersebut diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Barat. Ketika itu, bahasa Arab menjadi
bahasa terdepan di dunia dalam masalah ilmu pengetahuan. Orang yang ingin mempelajari ilmu
pengetahuan harus pandai berbahasa Arab. Bercakap-cakap dengan bahasa tersebut merupakan
bukti tingkat wawasan yang tinggi (Al-Qaradhawi, 2005: 105). Philip K. Hitti mengatakan, "Selama
berabad-abad, Arab merupakan bahasa pelajaran, kebudayaan dan kemajuan intelektual bagi
seluruh dunia yang berperadaban, terkecuali Timur Jauh. Dari abad IX hingga XI, sudah ada hasil
karya di berbagai bidang, di antaranya filsafat, medis, sejarah, agama, astronomi dan geografi
banyak ditulis dalam bahasa Arab daripada bahasa lainnya." (Bammate, 2000: 24).
Pada abad XII diterjemahkan kitab Al-Qanûn karya Ibnu Sina mengenai kedokteran. Pada akhir
abad XIII diterjemahkan pula kitab Al-Hawiy karya Ar-Razi yang lebih luas dan lebih tebal daripada Al-
Qanûn. Kedua buku ini hingga abad XVI masih menjadi buku pegangan bagi pengajaran ilmu
kedokteran di perguruan-perguruan tinggi Eropa. Buku-buku filsafat bahkan terus berlangsung
penerjemahannya lebih banyak daripada itu. Bangsa Barat belum pernah mengenal filsafat-filsafat
Yunani kuno kecuali melalui karangan dan terjemahan-terjemahan para ilmuwan Muslim (As-Siba'i,
16
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
2002: 41). Tercatat di antara nama-nama para penerjemah Eropa itu adalah Gerard (Cremona) yang
menerjemahkan fisika Aristoteles dari teks bahasa Arab, Campanus (Navarra), Abelard (Bath), Albert
dan Daniel (Morley) Michel Scot, Hermann The Dalmatian, dan banyak lainnya (Bammate, 2000: 49).
Banyak orang Barat yang jujur mengakui bahwa pada Abad Pertengahan, kaum Muslim adalah
guru-guru bangsa Eropa selama tidak kurang dari enam ratus tahun. Gustave Lebon mengatakan
bahwa terjemahan buku-buku bangsa Arab (Islam), terutama buku-buku keilmuan, hampir menjadi
sumber satu-satunya bagi pengajaran di banyak perguruan tinggi Eropa selama lima atau enam
abad. Dapat dikatakan bahwa pengaruh bangsa Arab dalam beberapa bidang ilmu, seperti ilmu
kedokteran, masih berlanjut hingga sekarang. Buku-buku karangan Ibnu Sina pada akhir abad yang
lalu masih diajarkan di Montpellier. Lebon juga mengatakan bahwa hanya buku-buku bangsa Arablah
yang dijadikan sandaran oleh Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Arnold de Philippe, Raymond Lull, San
Thomas, Albertus Magnus, serta Alfonso X dari Castella (As-Siba'i, 2002: 42).
Orang Eropa juga memanfaatkan keunggulan ilmu orang Muslim dalam beberapa keperluan
mereka. Vasco da Gama misalnya, yang merintis jalan bagi Eropa menuju Semenanjung Harapan,
setelah menemukan jalan tersebut ia bertemu dengan seorang pelaut Muslim Arab yang bernama
Ibnu Majid. Maka Ibnu Majid memperlihatkan kepadanya beberapa alat untuk mengarungi laut yang
dimilikinya, seperti kompas dan sejenisnya. Lalu Ibnu Majid meninggalkan Vasco da Gama sebentar.
Kemudian ia masuk ke ruangannya dan kembali menemui Vasco da Gama bersama alat-alat yang
membuatnya terkagum-kagum. Selanjutnya, Vasco da Gama menawarkan kepada Ibnu Majid agar
menjadi guidenya menuju gugusan pulau India Timur (Quthb, 1995: 230 dan 1996: 310).
Renaissance dan Kebangkitan Eropa
Persentuhan Eropa dengan peradaan Islam benar-benar memberikan pengaruh luar biasa
terhadap kehidupan mereka. Pengaruh terpenting yang diambil Eropa dari pergaulannya dengan
umat Islam adalah semangat untuk hidup yang dibentangkan oleh peradaban dan ilmu Islam.
Keterpengaruhan Eropa pada peradaan Islam itu bersifat menyeluruh. Hampir tidak ada satu sisi pun
dari berbagai sisi kehidupan Eropa yang tidak terpengaruh oleh peradaban Islam (Quthb, 1995: 251).
Dalam bukunya Making of Humanity, Robert Briffault menegaskan, "Tidak hanya ilmu yang
mendorong Eropa kembali pada kehidupan. Tetapi pengaruh-pengaruh lain yang masuk terutama
pengaruh-pengaruh peradaban Islam yang pertama kali menyalakan kebangkitan Eropa untuk
hidup." (Quthb, 1996: 35). Al-Qaradhawi (2005: 121) menulis bahwa metode, sekolah, universitas,
ulama, dan buku menjadi pengaruh serta penggerak kebangkitan Eropa.
Akhirnya pada abad XV munculah gerakan di Eropa yang dinamakan renaissance. Renaissance
berasal dari kata renasseimento yang berarti lahir kembali atau rebith sebagai manusia yang serba
baru (Suhamihardja, 2002: 5). Renaissance diartikan sebagai kelahiran kembali atau kebangkitan
kembali jiwa atau semangat manusia yang selama Abad Pertengahan terbelenggu dan diliputi oleh
mental inactivity. Renaissance disebut juga Abad Kebangkitan karena ia adalah awal kebangkitan
manusia Eropa yang ingin bebas dan tidak lagi terbelenggu sebagai kehendak untuk merealisasikan
hakikat manusia sendiri. Renaissance merupakan gerakan yang menaruh minat untuk mempelajari
dan memahami kembali peradaban dan kebudayaan Yunani dan Romawi kuno (Suhamihardja, 2002:
3).
17
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Renaissance terjadi melalui proses yang sangat panjang dimana pengaruh Islam sangat
dominan dan tidak bisa dipungkiri. Kehidupan intelektual di Eropa sebagai warisan pemikiran yang
mulai dikembangkan pada abad XII menyebabkan berkembangnya ilmu pengetahuan sejati yang
sebagian besar maju berkat penggunaan ilmu pasti dari kalangan filosof-filosof bangsa Arab. Dengan
munculnya renaissance, maka perhatian dan penggalian terhadap filsafat Abad Kuno, terutama
filsafat Aristoteles, semakin berkembang. Orang Eropa Barat untuk pertama kalinya mengenal
tulisan-tulisan Aristoteles melalui terjemahan-terjemahan bahasa Arab, serta melalui ajaran-ajaran
dan komentar-komentar yang disusun filosof-filosof Arab yang menafsirkan filsafat Aristoteles yang
telah mendapat pengaruh dari paham Neo-Platonisme.
Demikian juga, metode eksperimen mula-mula dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim
pada zaman keemasan Islam. Ilmu pengetahuan lainnya mencapai klimaks antara abad IX hingga
abad XII. Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir
padam dengan munculnya kekaisaran Romawi, tetapi kemudian dihidupkan kembali dalam
kebudayaan Islam. Dalam perjalanan sejarah, maka lewat sarjana-sarjana muslimlah dan bukan
lewat perjalanan Latin, dunia modern ini sekarang mendapatkan dasar-dasarnya (Suhamihardja,
2002: 29).
Briffault berkata, "Eropa lama, sebagaimana kita lihat, tidak menampakkan karya-karya
ilmiah. Ilmu perbintangan dan ilmu pasti orang Yunani adalah ilmu asing yang dimasukkan dari luar
negeri dan dipungut dari orang lain. Dalam waktu lama Yunani tidak mau menyesuaikan diri. Tetapi
kemudian secara bertahap menyatu dengan kebudayaan Yunani. Lalu Yunani menyusun aliran-
aliran, mengundangkan hukum-hukum dan membuat teori-teori. Tetapi kegigihan metode
penelitian, pengumpulan dan pemusatan berbagai maklumat (informasi dan data-data) yang positif,
metode rinci dalam ilmu, pengamatan yang teliti dan terus menerus serta penelitian empirik,
semuanya sama sekali asing dari kebudayaan Yunani. Akan halnya yang kita sebut ilmu, muncul di
Eropa sebagai hasil semangat penelitian dan metode analisis baru dari cara percobaan, pengamatan
dan penganalogian serta dikarenakan perkembangan ilmu pasti yang sebelumnya sama sekali tidak
dikenal oleh Yunani. Semangat dan metode ilmiah itu dimasukkan oleh Arab ke dalam Dunia
Eropa."(Quthb, 1996: 35).
Dalam bukunya yang berjudul Târîkh 'Ilm Al-Falâk, Dolandbeer berkata, "Para observator
Yunani hanya berjumlah dua atau tiga orang saja. Namun, para observator bangsa Arab jumlahnya
banyak sekali. Adapun dalam kimia, tidak ada seorang pun bangsa Yunani. Namun, para observator
bangsa Arab berjumlah ratusan." (Al-Qaradhawi, 2005: 116).
Ilmu pengetahuan berkembang pesat di Eropa sejak masa renaissance. Berbagai riset dan
observasi ilmiah dilakukan oleh para ilmuwan Eropa. Dalam kenyataannya, banyak penemuan para
ilmuwan itu yang bertentangan dengan doktrin gereja. Oleh karena dianggap sebagai ancaman,
pihak penguasa gereja melakukan penekanan dan tindakan kekerasan kepada para ilmuwan dan
orang-orang yang dipandang menentang gereja. Tidak sedikit para ilmuwan diburu, diajukan ke
pengadilan gereja, dan dijatuhi hukuman mati. Di antara mereka adalah Copernicus, Galileo Galilei,
Bruno, dan sebagainya.
Gereja berusaha membendung arus renaissance yang semakin deras dan mempertahankan
18
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
otoritasnya. Akan tetapi, usaha pihak gereja itu dalam perjalanannya menjadi bumerang bagi
mereka sendiri. Masyarakat Eropa yang telah jenuh hidup di bawah pengaruh kekuasaan gereja serta
ingin bebas akhirnya melancarkan reformasi-reformasi agama untuk menentang kekuasaan Paus
yang zhalim. Gerakan-gerakan reformasi tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh
Islam. Bahkan, pengaruh Islam itu sudah terjadi sejak masa awal persentuhan Eropa dengan
peradaban Islam. Ahmad Amin mengatakan, munculah pertentangan di kalangan orang-orang
Nasrani karena pengaruh Islam. Di antaranya pada abad kedelapan Masehi atau abad-abad kedua
dan ketiga Hijriah lahirlah di Septimania gerakan yang menyerukan pengingkaran pengakuan dosa di
depan pendeta karena mereka tak mempunyai hak untuk hidup. Dan manusia hanya untuk tunduk
kepada Allah dalam meminta pengampunan dosa-dosanya. Islam tidak mempunyai pendeta dan
kaum paderi, maka di dalam Islam tidak dikenal pengakuan dosa. Demikian pula terdapat gerakan
yang menyerukan penghancuran gambar-gambar serta patung-patung keagamaan (iconoclast). Pada
abad kedelapan dan kesembilan Masehi atau abad ketiga dan keempat Hijriah muncul mazhab
Nasrani yang menolak pengkudusan gambar-gambar dan patung-patung. Pada tahun 726 M, Kaisar
Leo III dari Romawi mengeluarkan perintah yang melarang pengkudusan gambar-gambar dan
patung-patung dan perintah lain pada tahun 730 M yang menganggap perbuatan tersebut sebagai
paganisme. Demikian pula Konstantin X dan Leo IV pada saat Paus Gregorius II dan III dan
Germanius, Uskup Konstantinopel serta kaisar wanita Irene menyokong penyembahan gambar-
gambar, sehingga terjadilah pergolakan hebat antara kedua golongan itu. (An-Nadawi, 1988: 186-
187).
Banyak peneliti menegaskan bahwa Martin Luther dalam gerakan reformasinya
terpengaruh oleh pandangan para filosof Arab dan ulama Muslim mengenai agama, akidah, dan
wahyu. Perguruan-perguruan tinggi Eropa pada masa Martin Luther selalu berpegang pada buku-
buku para filosof Muslim yang jauh sebelumnya telah diterjemahkan ke bahasa Latin (As-Siba'i,
2002: 41).
Begitu pula pembangkangan-pembangkangan terhadap kekuasaan-kekuasaan feodal yang
zhalim yang menjadikan tuan tanah sebagai badan legislatif, badan eksekutif, dan badan yudikatif
sekaligus sehingga melahirkan Revolusi Perancis yang menuntut pemisahannya, juga karena
terpengaruh dengan Islam (Quthb, 1995: 252 dan As-Siba'i, 2002: 41). Orang-orang Eropa datang ke
negeri Syiria dalam Perang Salib. Mereka melihat bahwa di Kekhilafahan Islam, rakyat ikut
mengawasi penguasanya. Penguasa hanya tunduk pada pengawasan rakyat. Melihat hal tersebut,
raja-raja di Eropa membandingkan antara kebebasan raja-raja Arab dan kaum Muslimin dengan
ketundukan mereka sendiri terhadap kekuasaan Roma dan kekhawatiran mereka akan nasib
buruknya bila tidak lagi tunduk kepada raja Roma yang agamis.
Setelah orang-orang Eropa itu kembali ke negerinya, mereka mengadakan pemberontakan
hingga memperoleh kemerdekaan. Rakyat mereka pun kemudian memberontak kepada mereka
sehingga memperoleh pula kemerdekaan. Setelah itu, muncullah Revolusi Perancis dan prinsip-
prinsip yang diproklamasikan tidak lebih banyak daripada yang diproklamasikan dalam peradaban
kita pada dua belas abad sebelumnya (As-Siba'i, 2002: 47).
Pengaruh Kebangkitan Eropa terhadap Dunia Islam
19
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Pada saat Eropa mulai bangkit dan melaju dengan pesat dalam berbagai bidang kehidupan,
Dunia Islam justru mengalami kemunduran dan keterbelakangan dalam berbagai bidang kehidupan.
Selain karena penjajahan yang mencengkram Dunia Islam, umat Islam dilanda perpecahan sengit
antar madzhab serta diperparah lagi dengan munculnya berbagai sekte dan aliran yang
menyimpang dari ajaran Islam. Pada saat itu, umat Islam dipimpin oleh Turki yang memegang
tampuk kekhilafahan. Bukti keterbelakangan Turki di bidang ilmu dan teknologi bisa dilihat pada
kenyataan bahwa baru pada abad XVI Turki mampu mendirikan industri kapal. Sementara
percetakan, pusat pelayanan kesehatan serta akademi-akademi militer seperti yang terdapat di
Eropa, baru memasuki Turki pada abad XVIII. Pada akhir abad itu Turki masih terbelakang di bidang
industri dan penemuan-penemuan ilmiah, hingga ketika menyaksikan balon terbang melayang-
layang di angkasa ibukota, mereka mengira itu ialah perbuatan tukang sihir. Dalam hal menciptakan
sarana kemajuan dan kesejahteraan umum, negeri-negeri Eropa yang kecil lebih cepat daripada
Turki, sedangkan negeri Mesir lebih cepat empat tahun dibanding dengan Turki dalam penggunaan
kereta api, dan beberapa bulan dalam penggunaan prangko (An-Nadawi, 1988: 221).
Setelah Eropa kuat karena mengambil ilmu dan peradaban dari Islam, mulailah Eropa
menjajah umat Islam dan merampas kekayaannya. Inggris menjajah India, Mesir, Irak dan Yordania.
Perancis menjajah Tunisia, Aljazair, Suriah dan Libanon. Di Asia Tenggara, Inggris menjajah Malaysia
dan Singapura. Belanda menjajah Indonesia. Sedangkan Spanyol menjajah Filipina. Selain
menyebarkan ajaran Kristen, para penjajah Eropa itu juga menguras kekayaan umat Islam. Akhirnya
kekayaan Eropa membengkak sehingga dengan harta rampasan itu mereka mampu memperkuat
posisinya dan mengintensifkan penelitian ilmiah yang pada gilirannya membuat Eropa semakin kuat
dan berkuasa (Quthb, 1995: 289).
Jatuhnya berbagai wilayah Islam ke tangan imperialisme Barat menginsafkan Dunia Islam akan
kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih
tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan
bagaimana meningkatkan kualitas dan kekuatan umat Islam kembali. Pada periode ini, timbullah ide-
ide pembaharuan dalam Dunia Islam (Nasution, 1992: 14). Dari Mesir muncullah Jamaluddin al-
Afghani (1839-1897) dengan ide Pan-Islamismenya yang kemudian diikuti oleh muridnya,
Muhammad Abduh (1849-...). Sebelum itu, di Hijaz Arabia juga telah muncul gerakan pembaharuan
yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Meski kelahirannya merupakan
respons terhadap penyimpangan praktek-praktek keagamaan yang banyak terjadi di Hijaz dan
sekitarnya, akan tetapi gerakan ini juga mempunyai pengaruh di Dunia Islam dalam membangkitkan
kesadaran umat Islam untuk melawan kaum penjajah, terkhusus di Indonesia. Demikian juga ide
Pan-Islamisme yang diusung oleh Al-Afghani banyak mempengaruhi tokoh-tokoh pergerakan Islam
Indonesia yang aktif memperjuangkan Islam pada zaman penjajahan Belanda.
Jadi, renaissance yang telah membangkitkan Eropa dari keterbelakangannya itu membawa
dampak luar biasa tidak hanya bagi masyarakat Eropa, namun juga bagi Dunia Islam. Oleh karena
Dunia Islam justru mengalami kemunduran ketika Eropa mengalami kebangkitan, maka dampak
yang diterima oleh Dunia Islam tidak sedikit adalah dampak negatif. Selain penjajahan negeri-negeri
umat Islam, dampak negatif renaissance terhadap Dunia Islam tersebut dikemukakan oleh Abul
Hasan Ali An-Nadawi sebagai berikut,
20
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Dunia Islam dipaksa keadaan untuk tunduk pada pola ajaran materialistis sejak ia ditimpa musibah
kemunduran ilmiah dan ketumpulan berpikir dan tidak menemukan jalan lain kecuali lari ke dalam
pelukan Eropa lalu menerima pola ajaran ini dengan segala ekses negatifnya, dan itulah pola berpikir
yang merajai seluruh kawasan Dunia Islam dewasa ini.
Dampak yang pasti dari pola ini adalah pergumulan antara kepribadian Islam, jika ini belum
tercampak dari hati pemuda Islam, dan kepribadian baru, antara ajaran moralitas Islam dan ajaran
moralitas Eropa, antara kriteria dan sistem nilai lama dan baru. Dampak lain ialah timbulnya sikap
ragu-ragu dan kemunafikan di kalangan kaum terpelajar, kurangnya kesabaran dan keuletan serta
kehidupan yang lebih mementingkan segi-segi duniawi, dan berbagai ciri kebudayaan Eropa lainnya
(An-Nadawi, 1988: 378).
2.3 Hubungan Ilmu Tauhid dengan Filsafat
Antara Ilmu Tauhid dan Filsafat terdapat hubungan erat. Sebab Ilmu Tauhid bercorak filsafat
baik dari segi pikiran maupun metode. Sehingga para ahli lebih condong mengatakan Ilmu Tauhid
(theology Islam) termasuk aliran Filsafat. Malahan Ibnu Khaldum mengatakan : “Ilmu Tauhid telah
bercampur dengan persoalan filsafat sehingga sukar dibedakan keduanya”. Sarjana barat berbeda
pendapat tentang pertalian kedua ilmu ini. Tenneman dan Ritter menggolongkan Ilmu Tauhid dalam
Filsafat Islam tetapi Renan menganggap hanya mencerminkan Filsafat Islam, sehingga walaupun ia
mengajek Filsafat Islam sebagai kutipan tandus Filsafat Yunani, mengatakan bahwa kegiatan filsafat
dalam Islam harus dicari melalui aliran Ilmu Tauhid karena mengandung keaslian dan kreasi kaum
muslimin.
Demikian pula Goldziher mendukung usaha Ilmu Tauhid, karena ilmu ini alat mempertahankan
agama dengan tradisi pikiran, memadukan dalil agama dengan dalil akal (filsafat). Sebab pengenalan
Islam terhadap filsafat Yunani merupakan bahaya besar karena tidak mungkin dijembatani antara
keduanya.
Pembahasan Ilmu Tauhid dan Filsafat terdapat perbedaan. Ilmu Tauhid mendasari
pembahasannya pada pengakuan dasar keimanan sebagaimana yang disebutkan Al-Quran.
Kemudian dibuktikan kebenarannya dengan akal dan menghilangkan keragu-raguan dengan
argument lagika. Sedangkan Filsafat mempelajari sesuatu persoalan dengan obyektif, mulai dengan
keragu-raguan terhadap persoalan tersebut, kemudian dipelajarinya dan mengambil suatu
kesimpulan yang dipercayainya dan dibuktikan kebenarannya.
Dalam mengemukakan pendapat tidak prejudes (pra sangka) terhadap sesuatu pikiran
sebelumnya. Oleh karena itu sering dikatakan sikap filsafat itu seperti seorang hakim yang adil, tidak
punya pendapat tertentu terhadap perkara yang dihadapinya sebelum ia mempelajari, tanpa
memihak, kemudian mengambil kesimpulan dan keputusan. Sedangkan Ilmu Tauhid lebih
merupakan pembela setia yang sangat yakin akan perkara yang dibelanya.
Dala`m Encyclopedia of Religion, fasal theology, disebutkan bahwa theology itu berbeda
dengan Ilmu Filsafat seperti wahyu dengan renungan pikiran. Sebab theologi berpijak pada wahyu
sedang filsafat pada akal. Theologi bertolak dari wahyu dan mengakui Tuhan itu ada, sedangkan
21
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
filsafat bertolak dari akal dan kesadaran adanya wujud diri sendiri. Theologi bersikap sebagai orang
yang sudah mencapai kebenaran. Inilah perbedaan dari sisi metode.
Perbedaan dari segi isi juga sangat kentara, penyelidikan filsafat terfokus pada wujud mutlak
dan yang bertalian dengannya tanpa mencari yang lain (the science of being is being), sedang
Theologi Islam menyelidiki wujud alam semesta sebagai alat untuk membuktikan adanya zat yang
emnjadikannya. Jadi dibicarakan masalah aqidah dari agama yang dianggap benar kemudian
dibuktikan dengan akal pikiran.
Perbedaan-perbedaan tersebut di atas tidaklah menyebabkan Ilmu Tauhid terpisah dengan
Filsafat Islam. Malah saling mempengaruhi dan sering menggunakan istilah yang dipakai oleh pihak
lain. Malahan Filsafat islam menerima dalil agama karena akal tidak mampu lagi berbicara, misalnya
soal akhirat, kenabian dan lain-lain. Sebab lapangan pikiran punya batasnya, bila dilampaui akal
pikiran akan sesat. Disinilah kebutuhan wahyu dirasakan penting sebagai pelengkap akal. Walaupun
demikian komplik kedua ilmu ini selalu ada khususnya dengan Filsafat Islam. Masing-masing
menganggap dirinya lebih benar.
Pembicaraan Ilmu Tauhid dalam pandangan Filsafat Islam sebagai suatu kemerosotan inteligensia,
suatu dogmatis sombong. Sedangkan pembicaraan filsafat dalam pandangan Ilmu Tauhid adalah
seperti anak kecil yang ermain-main dengan barang-barang suci. Abu Sulaimah al-Tauhidy
mengatakan, metode Ilmu Tauhid adalah membantah tantangan orang sejengkal dengan sejengkal
berdasarkan Ilmu Jadal (debat). Kebanyakannya tidak terlepas dari kesimpang siuran, membungkan
alas an lawan dengan apasaja yang bisa dipakai tanpa alas an pikiran yang teliti. Para ahli Ilmu
Tauhid seperti Ibnu Taimiyah sangat anti kepada Filsafat karena dianggapnya sebagai ilmu yang tidak
berguna. Namanya juga sebagai ilmu tetapi hakikatnya tidak ada. Ilmu yang asli adalah apa yang
diwariskan oleh Rasulullah SAW.
Theolog-theolog Islam bangkit serentak menyerang filsafat seperti Nukhbaty dengan bukunya
“Arraddu ‘ala ahli al_mantiqi”, Ibnu Hazmin dengan bukunya “al-Burhan” dan “al-Irsyad”.
Serangannya cukup pedas terhadap filsafat. Lain halnya dengan al-Ghazali, walaupun serangannya
hebat, karena bahan yang dimilikinya cukup banyak, namun ia cukup moderat. Tidak semua yang
dibicarakan filsafat itu salah, sebagiannya bisa diamalkan, karena tidak menyangkut agama.
Filsafat itu terbagi kepada matematika, logika, fisika, ketuhanan, politik, dan etika. Hanya
bidang ketuhanan saja yang banyak tidak dapat dipakai dalam Islam, karena dari 20 bagian bahasan
filsafat, 17 masalah diantaranya, para filsof harus dicap sebagai ahli bid’ah dan tiga masalah sisa
dicap sebagai kafir, karena keingkaran mereka terhadap adanya kebangkitan jasmaniah di hari
akhirat, mereka membatasi Ilmu Tuhan pada hal-hal yang besar saja dan ala mini bersifat qadim dan
azali. Yang paling ektrim diantara mereka adalah Ibnu Shahah. Ketika ia menjawab pertanyaan
bagaimana hukumnya belajar buku-buku Ibnu Sina, sebagian mengatakan siapa yang berbuat
demikian berarti telah mengkhianati agamanya, sebab Ibnu Sina bukan Ulama melainkan setan
berwujud manusia.
22
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
2.4 Sistem Pemerintahan dan Politik pada Masa Pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW dan
Khalifah Sesudahnya
SEJARAH RINGKAS DINAMIKA POLITIK UMMAT ISLAM (610 – 2002)
Sistem politik Islam memang berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya. Sepakatlah semua
pemikir muslim bahwa Madinah adalah negara Islam yang pertama, dan apa yang dilakukan
Rasulullah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah adalah memimpin masyarakat Islam dan
memerankan dirinya bukan hanya sebagai Rasul semata tetapi juga sebagai kepala negara Islam
Madinah.
-Keadaan Kaum Muslimin masa Khilafah dan Masa Sekarang
Sejarah Islam masa lalu, tentu saja tidak semuannya indah dan selalu berada dalam kemajuan
dan keemasan. Namun demikian, secara umum dapat dinyatakan bahwa ummat masa khilafah
betul-betul dikagumi sekaligus disegani oleh musuh-musuh Islam. Bahkan selalu dijadikan rujukan
dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan. Dengan kata lain, umat Islam waktu itu mencapai
kemajuan dalam berbagai bidang, baik bidang pembangunan, ilmu pengetahuan, maupun
kebudayaan.
Dari segi wilayah, Islam memiliki wilayah sangat luas :
1. Di sebelah barat; melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol
2. Di sebelah timur; melalui Cina sampai Hawaii;
Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya bekedudukan di Madinah,
kemudian di Damsyik, di Baghdad dan berakhir Islambul.
Begitu pun dalam Ilmu Pengetahuan, baik dalam bidang keislaman, maupun sains, dan
kebudayaan Islam. Zaman inilah yang menghasilkan ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ibn Hanbal dalam bidang fiqh. Imam al-As’ari, Imam al-
Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Washil Ibn Atha, Abu Huzail, al-Nazzam, dan al-Juba’i
dalam bidang tauhid. Zunnun al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, dan al-Hallaz dalam tasawuf. Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Miskawih dalam Filsafat, dan Ibn al-Hisyam, al-Khawarizmi, al-Mas’udi,
dan al-Razi dalam bidang sains.
Keadaan diatas berbanding terbalik dengan keadaan umat masa sekarang. Umat Islam masa
sekarang secara umum terbelakang yang mengekor dan mengadopsi berbagai hal dari Barat,
terutama di bidang ilmu pengetahuan, setelah sebelumnya berada dalam kungkungan dan
penjajahan negara-negara Barat.
Memang benar, umat Islam secara fisik sudah tidak lagi dijajah oleh mereka, tetapi
secara hadlarah dan ekonomi siapa yang bisa mengelak dari penjajahan mereka. Bahkan tidak
sedikit tokoh-tokoh Islam yang menjadi kaki tangan musuh Islam demi mendapatkan keuntungan
pribadi.
23
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Keadaan tersebut diperparah oleh keengganan untuk bersatu di antara sesama ummat Islam,
bahkan tidak sedikit yang berhasil diadu domba oleh mereka orang-orang Barat. Sehingga seringkali
terjadi pertempuran di antara sesama ummat Islam.
Begitu pula di bidang ilmu pengetahuan, apalagi teknologi, ummat Islam betul-betul kedodoran,
jangankan bisa menemukan hal-hal baru, untuk mengoperasikan apa-apa yang sudah ada saja
ummat Islam masih kesulitan.
Hal itu hanya sedikit saja dari gambaran kemunduran yang dialami secara umum oleh semua
ummat Islam. Keadaan demikian, tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut, tetapi seharusnya semua
ummat Islam berusaha untuk mencari tahu sebab-sebab kemunduran tersebut.
Ternyata, diantara sebab-sebab dominan dari kemunduran tersebut menurut sebagian
ilmuwan, sebagaimana dikemukakan oleh Ilmuwan Kontemporer, Ahmad Syakib Arsalan, antara lain
:
1. Mulai lunturnya semangat keislaman kaum muslimin, untuk hidup sesuai dengan yang telah
digariskan Islam. Bahkan konon menurutnya semangat keislaman ummat sekarang hanya 5% saja
sedangkan ummat Islam dahulu mencapai 100 % maka tidak akan sama hasil yang diperoleh
keduanya;
2. Adanya taklid buat di kalangan kaum muslimin, dan keengganan untuk berubah, karena sudah
merasa puas dengan apa-apa yang dihasilkan oleh mereka para ilmuwan terdahulu terutama di
bidang ilmu pengetahuan;
3. Keengganan untuk berjihad dalam arti berjuang dan berperang melaksanakan kehendak Allah.
Bila ketiga hal di atas bisa diwujudkan kembali oleh ummat Islam, maka menurutnya, diyakini
kemajan dan masa keemasan ummat bisa diraih kembali, bahkan bisa melebihi kemajuan musuh-
musuh Islam.
-Landasan Politik di Masa Rasulullah: 622 – 632 (10 tahun)
Langkah-langkah Rasulullah dalam memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke Madinah, juga
beberapa kejadian sebelumnya, menegaskan bahwa Rasulullah adalah kepala sebuah masyarakat
dalam apa yang disebut sekarang sebagai negara.
Bai’at aqabah menurut Munawir Sadjali (Islam dan Tata Negara, 1993) merupakan batu
pertama bangunan negara Islam. Bai’at tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk Yathrib
kepada Rasulullah, yang merupakan bukti pengakuan atas Muhammad sebagai pemimpin, bukan
hanya sebagai Rasul, sebab pengakuan sebagai Rasulullah tidak melalui bai’at melainkan
melalui syahadat. Dengan dua bai’at ini Rasulullah telah memiliki pendukung yang terbukti sangat
berperan dalam tegaknya negara Islam yang pertama di Madinah. Atas dasar bai’at ini pula
Rasulullah meminta para sahabat untuk hijrah ke Yathrib, dan beberapa waktu kemudian Rasulullah
sendiri ikut Hijrah bergabung dengan mereka.
Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah hijrah ke Yathrib, yang kemudian
berubah menjadi Madinah. Di Madinahlah untuk pertama kali lahir satu komunitas Islam yang bebas
24
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
dan merdeka di bawah pimpinan Nabi Muhammad, Penduduk Madinah ada tiga golongan. Pertama
kaum muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, dan ini adalah kelompok mayoritas.
Kedua, kaum musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan Kharaj yang belum masuk Islam, kelompok
ini minoritas. Ketiga, kaum Yahudi yang terdiri dari empat kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam
kota Madinah, yaitu Banu Qunaiqa. Tiga kelompok lainnya tinggal di luar kota Madinah, yaitu Banu
Nadlir, Banu Quaraizhah, dan Yahudi Khibar. Jadi Madinah adalah masyarakat majemuk. Setelah
sekitar dua tahun berhijrah Rasulullah memaklumkan satu piagam yang mengatur hubungan antar
komunitas yang ada di Madinah, yang dikenal dengan Piagam (Watsiqah) Madinah. Inilah yang
dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Piagam Madinah ini adalah konstitusi
negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam. Piagam Madinah dibuat
dengan asas Islam serta syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan yang sekaligus juga merupakan
konstitusi dari negara tersebut yang berlaku bagi kaum muslimin dan segenap penduduk Madinah
tanpa membeda-bedakan suku dan agamanya.
Secara umum, Konstitusi Negara Islam Madinah adalah piagam yang mengatur hubungan
antar warga masyarakat. Piagam tersebut menjelaskan hak dan kewajiban warga negara, baik yang
beragama Islam maupun Non Islam. Disamping itu disebutkan pula didalamnya bahwa warga Yahudi,
harta mereka, dan jiwa mereka mempunyai hak dan kewajiban dalam piagam tersebut. Mereka
mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dan pengayoman. Dan dijelaskan pula bahwa
bilamana terjadi perselisihan, undang-undang Islam-lah yang harus diikuti.
Konstitusi tersebut bisa dianggap sebagai tanda diletakkannya asas dasar Negara Islam. Dan
orang Islam merupakan penanggung jawab dari Negara Islam yang berpenduduk dari berbagai ras
dan suku bangsa.
Dengan demikian, umat Islam (kaum Muslimin) mempunyai negara dan pemerintahan yang
bebas merdeka dan berdaulat penuh dalam mengurusi kepentingan-kepentingannya.
Dengan demikian, timbulah suatu masyarakat Islam yang aman sejahtera berlandaskan ajaran-
ajaran agama Islam yang kemudian disusul dengan mendirikan suatu Negara dan Pemerintahan
Islam yang pertama yang merdeka dan berdaulat penuh.
Negara Islam di Madinah ini didirikan bertujuan untuk mempertahankan dan melindungi para
penduduknya, menegakkan keadilan diatara sesama manusia, mengembangkan ilmu pengetahuan,
memanfaatkan harta kekayaan, mengikat tali perdamaian dan persahabatan di antara sesama
manusia. Pada masa itu Nabi Saw. di samping sebagai rasul dan pemimpin agama maka beliau juga
sekaligus sebagai kepala negara.
Daulah Islamiyyah di Madinah ini dipimpin Rasulullah Saw. selama kurang lebih 10 tahun. Pada
masa kepemimpinannya telah diletakkan prinsip-prinsip dasar bagi pemerintahan Negara Islam
sehingga dapat berkembang dengan sangat pesat dan maju, karena beliau selalu melaksanakan
segala perbuatan sesuai dengan apa yang telah diucapkannya. Hal ini sebagai suri tauladan bagi
ummatnya.
Dengan itupun Rasulullah Saw. telah menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang
berwibawa dan bijaksana sehingga para penduduk Madinah pun telah dapat mengangkat beliau
25
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
sebagai seorang pemimpin dan penguasa tunggal bagi negaranya, disamping mereka tunduk dan
patuh terhadap perintah-perintahnya, sehingga mereka pun tidak merasa takut terhadap musuh-
musuhnya.
Kepemimpinan Rasul Saw dilakukan dengan penuh bijak, sehingga dapat terjalin persatuan
dan kesatuan diantara kaum muslimin atas dasar kesamaan agama yang lebih berbobot ketimbang
berdasarkan tali ikatan kekeluargaan dan kekerabatan (keturunan). Dengan demikian agama Islam
bukan saja hanya sekedar merupakan norma-norma dan peraturan keagamaan, tetapi juga sekaligus
merupakan norma-norma sistem kenegaraan yang teratur.
Sebagai Kepala Negara, Rasulullah sadar betul akan arti pengembangan sumber daya manusia,
dan yang utama sehingga didapatkan manusia yang tangguh adalah penanaman aqidah dan
ketaatan kepada Syariat Islam. Di sinilah Rasulullah, sesuai dengan misi kerasulannya memberikan
perhatiaan utama. Melanjutkan apa yang telah beliau ajarkan kepada para sahabat di Makkah, di
Madinah Rasul terus melakukan pembinaan seiring dengan turunnya wahyu. Rasul membangun
masjid yang dijadikan sebagai sentra pembinaan umat. Di berbagai bidang kehidupan Rasulullah
melakukan pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Di bidang pemerintahan, sebagai
kepala pemerintahan Rasulullah mengangkat beberapa sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi
yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. Rasul mengangkat
Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai wajir. Juga mengangkat beberapa sahabat yang lain
sebagai pemimpin wilayah Islam, diantaranya Muadz Bin Jabal sebagai wali sekaligus qadhi di
Yaman.
Sebagai Kepala Negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain.
Menurut Tahir Azhari (Negara Hukum, 1992) Rasulullah mengirimkan sekitar 30 buah surat kepada
kepala negara lain, diantaranya kepada Al Muqauqis Penguasa Mesir, Kisra Penguasa Persia dan
Kaisar Heraclius, Penguasa Tinggi Romawi di Palestina. Nabi mengajak mereka masuk Islam, sehingga
politik luar negeri negara Islam adalah dakwah semata, bila mereka tidak bersedia masuk Islam maka
diminta untuk tunduk, dan bila tidak mau juga maka barulah negara tersebut diperangi.
MASA KHULAFAUR RASYIDIN:632-661 / 11 – 40 H (29 TAHUN)
Selepas wafat Rasulullah s.a.w, para sahabat menyambung kepemimpinan dengan mereka
melantik Abu Bakar As-Siddiq sebagai khalifah yang menjalankan pemerintahan negara Islam yang
kemudian dilanjutkan dengan para sahabat yang lain yakni Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali.
Para sahabat sepakat untuk tidak membuat kevakuman dalam kedudukan
khalifah tidak lebih dari 3 (tiga) hari. Perhatian utama ini jelas terlihat ketika
pengangkatan (pembai'atan) Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah, sahabat Sa'id
bin Zaid berkata: "Mereka (kaum Muslimin) tidak suka hidup barang seharipun tanpa
adanya pemimpin jama'ah (khalifah)".
Meskipun Abu Bakar memerintah kaum muslimin dalam tempo yang amat singkat, tapi
banyak hal yang bisa diselesaikan. Ancaman disintegrasi (pemurtadan), kerusuhan rasial antar suku
dan golongan, dan berbagai gejolak dalam negeri segera dapat diatasi.
26
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Kehidupan perpolitikan masa kekhalifahan Khulafaur Rasyiddin, berlandasankan Al Qur’an
serta Sunnah Rasulullah, kehidupan bermasyarakat dibangun dengan empat pilar pemerintahan,
antara lain:
1. kedaulatan di tangan syara’
2. kekuasaan milik ummat
3. mengangkat Khalifah hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin
4. hanya khalifah yang berhak mentabanni (melakukan adopsi) terhadap hukum-hukum syara’
(Sistem Pemerintahan Islam, 1997)
dengan keempat pilar ini pemerintahan ditegakkan atas wilayah-wilayah yang menjadi bagian
negara Islam yang semakin meluas. Dengan adanya daulah Islam dengan keempat pilarnya tersebut
kepentingan Islam, yaitu tegaknya hukum Islam di muka bumi dapat dilaksanakan. Setiap takluknya
suatu wilayah menjadi negeri Islam, maka syariat Islam langsung ditegakkan di sana. Dan
berbondong-bondong bangsa masuklah kedalam naungan Islam. Masuknya manusia ke dalam Islam
secara berbangsa ini adalah hal yang sulit dibayangkan bagaimana terjadinya di masa kini serta
berbondongnya manusia memeluk suatu agama hanyalah terjadi kepada al Islam.
Dalam kehidupan masyarakat, hukum Islam tetap ditegakkan sebagai satu-satunya hukum
yang mengatur masyarakat Islam, walaupun semakin banyak suku bangsa yang masuk dalam daulah
Islam. Dengan hukum-hukum Islam maka keadilan Tasyri’ dapat ditegakkan pula (Hidup Sejahtera
Dalam Naungan Islam, 1995). Piagam Madinah yang mencerminkan keragaman masyarakat yang ada
tetap menjadi rujukan dengan tidak mengutamakan satu suku bangsa diantara yang lain, juga tidak
merendahkannya dibandingkan yang lain.
-Masa Khalifah Bani Umayyah: 661-750 / 41 – 132 H (89 tahun)
Pada umumnya pasca Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Islam seringkali dipandang tidak
sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan (bughat) Wali Syam Mu’awiyah bin Abi
Sufyan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib yang diperangi dalam Perang Siffin, kemudian berlanjut
dengan kekisruhan negara pada masa kekhalifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang
Khalifah oleh Kaum Khawarij.
Diawali oleh Khalifah Mu’awiyah yang pernah membantu Rasulullah SAW untuk menjadi
sekretaris negara di masanya (Ensiklopedi Umum, 1984), kemudian pada masa Khalifah Umar bin
Khattab, karena kecakapannya diamanahi menjadi Wali di daerah Syam, yang terus berlanjut sampai
Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sampai akhirnya dengan terbunuhnya Ali, Mu’awiyah karena
pengaruhnya yang besar kemudian diba’iat menjadi khalifah berikutnya pada tahun 41H/661M
setelah Khalifah Hasan bin Ali, mundur dan berbaiat kepadanya. Penguasaan keluarga ini berakhir
pada tahun 132H/750M, dengan terbunuhnya Khalifah keempat belas Marwan bin Muhammad Al
Ja’di oleh pemberontakan yang dilakukan Abu Muslim Khurasai.
Sebagaimana khalifah-khalifah sebelumnya, keempat belas Khalifah dari Keluarga Umayyah ini
telah menggoreskan sejarah dengan karakteristik tersendiri. Inilah yang kemudian dinyatakan
27
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
sebagai keberhasilan atau kelemahan dalam keberadaannya. Sedikit tentang sejarah yang
ditorehkannya antara lain;
1. Mulai adanya penyempitan calon-calon yang diajukan sebagai khalifah pengganti khalifah
sebelumnya. Yaitu calon-calon tersebut harus berasalkan dari keluarga Umayyah. Inilah yang
dikatakan sebagai penyimpangan dari ajaran Islam, tetapi sejauh mana penyimpangan tersebut.
Secara lebih spesifik bahasannya disendirikan di bagian akhir.
2. Perluasan wilayah Islam dapat diperoleh dalam waktu yang cukup singkat. Dalam kekuasaannya
selama 90 tahun, wilayah Islam semakin luas, mulai dari Spanyol, sampai dengan India. Penaklukan
militer ini berjalan cepat terutama pada pemerintahan Khalifah Al Walid. Segenap Afrika Utara
diduduki dan pada tahun 91 H / 710 M pasukan Muslim menyebrangi Selat Gibraltar lalu masuk ke
Spanyol, kemudian menyebrangi Sungai Pyrenees dan menyerang Carolingian Prancis. Di Timur,
seorang Wali Arab menyusup melalui Makran masuk ke Sind, menancapkan Islam untuk pertama
kalinya di India (Dinasti-Dinasti Islam, 1993).
3. Pembangunan fisik semakin marak dilakukan. Apabila pada masaRasulullah dan Khulafaur
Rasyiddin, pembangunan terlihat lebih fokus kepada pembangunan ruhul Islam, dalam artian
penerapan hukum-hukum Islam di muka bumi. Pada masa Umayyah pembangunan fisik dan
perkembangan ilmu pengetahuan semakin berkembang, hal-hal yang khusus antara lain.
Penghijauan daerah Mekkah dan Madinah pada masa Khalifah Mu’awiyah, pembuatan mata uang
Islam pada masa Khalifah Abdul Malik, penghimpunan hadits-hadits Nabi pada masa Umar bin Abdul
Aziz. Kemudian Masjid Raya Damaskus didirikan oleh Khalifah Al Walid I serta Madrasah al Nuriyah di
Damaskus pun dibangun untuk sarana pendidikan.
Kehadiran Islam di daerah-daerah taklukannya bagaikan hujan yang mengguyur padang yang
kering, sehingga menumbuhkan benih-benih tumbuhan yang bersemi, berbunga dan menampakkan
buahnya. Kejayaan Islam pun nampak. Bila pada masa Khulafaur Rasyiddinkejayaan secara fisik
masih belum terlihat, maka mulai Masa Umayyah inilah mulai terlihat hasilnya. Sarjana-sarjana Islam
mulai bermunculan, Ilmu Pengetahuan berkembang pesat, pembangunan fisik marak dilakukan.
Kota-kota baru dibangun. Inilah karunia Allah. Di mana Islam kemudian menjadi rahmatan lil
‘alamin.
Kejayaan Islam ini salah satunya ditunjukkan dengan kesejahteraan yang terjadi. Diriwayatkan
dalam masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz oleh Yahya bin Sa’ad menceritakan bahwa:
“Saya diutus oleh Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz untuk memberikan zakat di Afrika, dan saya
jalankan tugas itu. Saya cari orang-orang fakir di sana untuk diberi zakat, tetapi saya tidak
mendapati adanya orang-orang fakir dan miskin yang mau menerima zakat. Dan orang-orang
mengatakan: ‘Umar bin Abdul Aziz yang membuat orang-orang menjadi kaya’”
Namun seringkali keberadaan khalifah-khalifah ini dipandang sebelah mata. Kebesaran yang
dibangunnya seolah pupus dengan khilaf yang dilakukannya yang mungkin apabila dibandingkan
dengan pemimpin-pemimpin masa sekarangpun, masih jauh perbandingannya. Mungkin perbuatan
Yazid pada Peristiwa Karbala, 10 Muharam, pembantaian Husein r.a. dan keluarganya memang
sepertinya tidak dapat dimaafkan, namun Mu’awiyah mungkin bisa dinilai berbeda. Beliau adalah
28
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
orang yang sejaman dengan Rasul saw, Khalifah keenam, Politikus ulung, serta penghalau Byzantium
di daerah utara Islam. Namun karena kesalahannya memaksakan anaknya Yazid untuk menjadi
khalifah sehingga menerapkan sistem putera mahkota dalam pemerintahan Islam maka seolah
pupus kebajikan yang dibuatnya.
-Masa Khalifah Bani Abbasiyyah: 750-1517 / 132-923 H (767 tahun)
Setelah Umayyah jatuh dan digantikan oleh Abbasiyah. Pusat pemerintahan di Baghdad, kota
yang dibangun oleh Abu Ja’far al-Mansur khalifah kedua, tahun 145 H./762 M. Selama pemerintahan
Abbasiyah, Irak khususnya Baghdad, menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, perdagangan,
peradaban dan ilmu pengetahuan di dunia Islam timur. Puncak kejayaan dicapai pada masa
pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809) dan Khalifah al-Makmun (813-833). Dalam kurun
waktu tersebut mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi, berbagai cabang ilmu pengetahuan,
konstruksi dan teknologi, kesenian, sastra dan politik yang stabil di wilayah kekuasaan yang luas.
Setelah kurun waktu tersebut, mengalami disintegrasi politik.
Kemajuan di bidang ekonomi dan perdagangan membawa dampak kepada kemajuan ilmu
pengetahuan, filsafat dan kebudayaan Islam. Disamping dana tersedia, pengembangan bidang ini
juga didorong pemerintah dengan menyediakan berbagai fasilitas dan memberikan kebebasan
intelektual.
Pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan dengan beberapa cara:
1. Pertama, dilakukan penerjemahan buku-buku Yunani, Persia, Suriah, India dan Koptik ke dalam
bahasa Arab. Ribuan buku diambil dari perpustakaan-perpustakaan lama, dibawa ke Irak untuk
diterjemahkan dan perpustakaan-perpustakaan baru didirikan. Gerakan penerjemahan ini
berlangsung tahun 750-850.
2. Kedua, karya-karya yang diterjemahkan itu kemudian diberi komentar oleh para sarjana
Islam. Teori-teori yang ada diberi penjelasan dan disesuaikan dengan Islam. Melalui renungan,
pengamatan, penelitian dan eksperimen, mereka dapat melahirkan teori-teori dan konsep-konsep
baru. Dari kegiatan ini mereka menghasilkan ribuan karya tulis dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan.
3. Ketiga, didirikan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi, seperti
Baitul Hikmah, Majelis al-Manazarah dan Madrasah Nizamiyah. Masjid-masjid, istana dan rumah
para sarjana difungsikan sebagai tempat-tempat belajar. Baghdad, Basra, Kufah dan Mosul menjadi
pusat pengembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti tafsir, hadits, fiqh, bahasa, sejarah,
filsafat, ilmu alam, ilmu pasti, matematika, astronomi, kedokteran, ilmu kalam, musik dan sastra.
Seni ukir, seni lukis dan arsitektur Islam tampak dalam bangunan-bangunan masjid-masjid di
Baghdad, Basra dan Kufah; juga pada istana di Baghdad dan Samarra. Keempat kota ini melahirkan
ulama dan tokoh pemikir serta ribuan lulusan, yang kemudian menyebar ke berbagai negeri Islam
dan mengembangkan ilmu pengetahuan di negeri masing-masing. Karena itu selama Dinasti
Abbasiyah berkuasa di Irak, perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam merata di
berbagai kota penting di luar Irak. Kejayaan Abbasiyah berakhir setelah Baghdad dihancurkan Hulagu
Khan dari Mogul tahun 1258.
29
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
-Masa Kekhilafahan Ustmaniyah: 1517-1924/ 923-1349 H (407 tahun)
Kata “Utsmaniyah” yang berarti anak-anak Utsman, didirikan oleh Utsman (1258-1326).
Mencapai keemasannya selama tahun 1481-1566, dalam masa pemerintahan Bayezid II (1481-1512),
Selim I (1512-1520), dan Suleiman I (1520-1566). Bayezid mengembangkan wilayah kekuasaan
hingga ke daratan Eropa, hingga Laut Hitam, dan Asia Timur. Bayezid digantikan oleh putranya, Selim
I. Dalam waktu singkat, kekuasaan Utsmaniyah berhasil menjangkau Suriah, Mesopotamia (Iraq),
Arab dan Mesir. Saat berada di Mekkah, Selim mengangkat dirinya sebagai khalifah, pemimpin
seluruh umat Muslim. Dengan kekuasaan penuh atas dunia Arab, Selim memboyong para
cendekiawan dan seniman untuk datang ke Konstantinopel, ibukota dinasti Utsmani yang direbut
dari tangan Byzantium tahun 1453 silam.
Selim I kemudian digantikan oleh putranya, Sulaiman I (1520-1566). Gebrakan Sulaiman pada
masa awal pemerintahannya sungguh mengesankan. Setahun setelah memerintah, Beograd berhasil
ditaklukkan. Setahun kemudian, 1522, giliran Rhodes yang jatuh ke tangan Utsmani, sementara itu
kekuatan militer Hungaria dihancurkan. Tahun 1529, Afrika Utara berhasil direbut, disusul oleh
Tripoli tahun 1551. Pada setiap kota utama yang ditaklukannya, Sulaiman menghiasinya dengan
mesjid, aquaduk, jembatan dan berbagai fasilitas umum lainnya.
Kegemilangan yang dibawa oleh Sulaiman I, ternyata juga membawa bibit kemunduran.
Sulaiman mulai lebih banyak melewatkan waktunya di harem, daripada memikirkan perkembangan
kenegaraan. Hal ini memberi kesempatan bagi wakil dan para menterinya untuk sedikit demi sedikit
menggerogoti kekuasaan Sulaiman. Turki Utsmani praktis lemah dari dalam, sementara di luar
mereka harus menghadpai kenyataan semakin kuatnya Eropa, yang kini telah mengambil format
negara-bangsa. Sulaiman I kemudian digantikan oleh Selim II (1566-1574).
Di tengah kemundurannya, Turki Utsmani masih sempat melebarkan sayapnya. Upaya
revitalisasi yang dilakukan semasa pemerintahan Murad III (1574-1595) berhasil membuat daerah
Kaukasus dan Azerbaijan direbut. Dengan kedua daerah penaklukan baru ini, Turki Utsmani
mencapai luas bentangan geografis yang terbesar sepanjang sejarahnya. Walau bagaimanapun, bola
salju kemunduran Turki sudah tak bisa ditahan lagi. Keberhasilan untuk merebut Kaukasus dan
Azerbaijan tempo hari hanya berumur pendek. Kedua daerah kekuasaan baru tersebut kembali lepas
tahun 1603. Keadaan ini masih diperburuk lagi dengan perang 41 tahun melawan Eropa sejak 1683.
Turki harus rela kehilangan sebagian besar daerah Balkan dan Laut Hitam akibat perang
berkepanjangan ini.
Puncak kemunduran Turki Utsmani terjadi pada 1850-1922. Demikian lemahnya Turki hingga
digambarkan sebagai “Orang sakit dari Eropa”. Turki terlibat Perang Dunia I, untuk bergabung
bersama Jerman-sebuah pilihan keliru yang berujung pada kekalahan dan keterpurukan yang lebih
dalam. Di dalam negeri, kekalahan tersebut membangkitkan gerakan nasionalis Turki yang telah
muak dengan kemerosotan moral yang dialami oleh pemimpin mereka. Tahun 1922, kesultanan
Turki dibubarkan oleh Mustafa Kemal Pasha yang tak lama kemudian diangkat menjadi Presiden
Republik Turki. Khalifah Abdul Majid yang terakhir berkuasa, terusir ke luar Turki.
Kehancuran Khilafah Islamiyah, tak diragukan lagi adalah sebuah episode sejarah umat Islam
yang paling tragis, memilukan, dan menyakitkan. Betapa tidak, kejadian yang sudah berlalu 78 tahun
30
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
lalu itu dampak buruknya sedemikian dahsyat dan masih terasa akibatnya yang pedih sampai
sekarang. Kaum muslimin hidup nista dan terlunta-lunta, bahkan terus tertindas dan terjajah di
bawah cengkeraman negara-negara adidaya Barat yang kafir.
Hancurnya Khilafah telah melenyapkan negara yang mampu mempersatukan umat Islam
dalam sebuah ikatan Aqidah Islamiyah yang mampu melebur orang Ajam dan Arab sebagai satu
kesatuan yang utuh. Negara Khilafah inilah yang dulu mampu membendung laju imperalisme Eropa
yang akan menjajah negeri-negeri Islam yang kaya dengan sumber daya alam dan mampu mencegah
ambisi kotor Zionisme untuk merampas tanah Palestina yang suci dan diberkahi.
Hancurnya Khilafah telah memungkinkan Eropa untuk memecahbelah negeri-negeri Islam,
memutuskan hubungannya satu sama lain dengan menebarkan ide nasionalisme, dan
mendudukinya secara langsung. Perancis telah menduduki Suriah dan Lebanon, sementara Inggris
berhasil menduduki Irak, Yordania, dan Palestina (Al Qadhamani, 1986).
Hancurnya Khilafah telah memusnahkan sebagian besar hukum-hukum Allah di muka bumi.
Yang tersisa hanyalah secuil hukum-hukum seputar akhlaq, ibadah, dan sebagian kecil muamalah
seperti al ahwalusy syakhshiyyah (hukum tentang pengaturan keluarga). Dapat dikatakan, Islam
nyaris musnah dari realitas kehidupan, karena Khilafah yang menopangnya telah tiada. Padahal,
sebagaimana kata Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I’tiqad halaman 199,“_ agama
(Islam) adalah pondasi dan kekuasaan itu adalah penjaga(nya). Segala sesuatu yang tak berpondasi
akan rubuh, dan segala sesuatu yang tak berpenjaga akan hilang lenyap.” (Belhaj, 1991)
-Faktor-Faktor Kelemahan Internal Daulah Khilafah
Bila kita tengok lembaran sejarah ke belakang, kehancuran Khilafah itu adalah sesuatu yang
wajar, dalam arti negara itu memang sudah sangat lemah, hingga orang menyebutnya sebagai Ar
Rajul Al Mariidh atau “The Sick Man”. Bahkan kelemahannya ini sudah muncul jauh sebelumnya,
sejak abad-abad pertama lahirnya agama Islam yang mulia ini.
Menurut Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani (1953), pendiriHizbut Tahrir, dalam kitabnya Ad
Daulah Al Islamiyah, kelemahan ini nampak dalam dua hal, yaitu: Pertama, kelemahan umat dalam
pemahaman (al fahm) terhadap Islam, dan kedua, kelemahan dalam penerapan (at tathbiq) Islam.
Kelemahan pemahaman ini antara lain berkenaan dengan nash-nash ajaran Islam, bahasa
Arab, dan ketidaksesuaian praktek ajaran Islam dalam realitas kehidupan. Berkaitan dengan nash-
nash Islam, telah terjadi upaya pembuatan hadits-hadits palsu oleh kaum zindiq, meskipun
kemudian ini dapat ditanggulangi berkat bangkitnya para ulama hadits dengan memberikan kriteria
mengenai keotentikan dan derajat hadits.
Kelemahan dalam bahasa Arab terjadi saat berkuasanya para Mamalik yang mengabaikan
bahasa Arab. Akibatnya terjadilah kelemahan dalam ijtihad hukum syara’ dan penerapannya dalam
kenyataan.
Kelemahan dalam praktek ajaran Islam, muncul pada abad-abad pertama karena adanya
upaya mengkompromikan ajaran filsafat India dengan ajaran Islam, sehingga zuhud akhirnya
ditafsirkan sebagai penyiksaan diri (asketisme). Akibatnya, banyak kaum muslimin yang lari dari
31
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
kenyataan hidup, padahal tenaga dan pikiran mereka seharusnya dapat didedikasikan untuk
kemajuan negara dan dakwah Islam (An Nabhani, 1953).
Kelemahan pemahaman dalam tiga aspek ini diperparah dengan Al Ghazwuts Tsaqafi (Perang
Budaya) yang dilancarkan Barat ke negeri-negeri Islam dengan peluru-peluru yang berisikan
peradaban Barat yang bertentangan dengan peradaban Islam. Barat menyebarkan waham (ilusi)
bahwa peradaban Barat sesuai dengan Islam, hingga akhirnya pemahaman umat terhadap Islam
semakin lemah. Mereka akhirnya mengambil sebagian hukum Barat di masa Daulah Utsmaniyah,
mentakwilkan riba dan membuka bank-bank, memberhentikan penegakan hudud dan mengambil
gantinya dari undang-undang Barat.
Adapun kelemahan dalam penerapan Islam, nampak dari penerapan yang buruk (isa`atut
tathbiq) terhadap hukum Islam dalam kehidupan. Di antaranya ialah adanya partai-partai politik
yang menggunakan kekuatan militer (thariqul quwwah) untuk meraih kekuasaan, bukan
menggunakan dukungan umat (thariqul ummah). Seperti golongan Abbasiyah yang menduduki
Persia dan Irak serta menjadikan wilayah ini sebagai sentral kekuasaannnya. Lalu dari sini mereka
menggulingkan kekuasaan dan menjadikan Bani Hasyim sebagai para penguasanya. Begitu pula yang
dilakukan golongan Fathimiyin yang telah menduduki Mesir dan menjadikannya sebagai sentral
kekuatannya dengan menjadikan keturunan Fathimah ra sebagai para pemimpinnya.
Di samping itu, kelemahan lainnya juga nampak dari pemberian otoritas yang besar dan luas
kepada para Wali (Gubernur) di berbagai wilayah. Misalnya diamnya penguasa Abbasiyah terhadap
Abdurrahman Ad Dakhil yang berkuasa di Andalusia dan membiarkannya berkuasa secara
independen. Meskipun Andalusia saat itu masih menjadi bagian integral dari Khilafah, tetapi wilayah
itu sudah terpisah dari segi pengelolaan pemerintahannya. Demikian pula halnya para penguasa
Saljuqiyyin dan Hamdaniyyin, yang sebenarnya adalah para wali. Khalifah memberikan kewenangan
yang luas kepada mereka sehingga akhirnya mereka mengatur urusan wilayahnya sendiri secara
independen, terlepas dari pusat. Hubungan dengan pusat hanya formalitas, seperti doa kepada
Khalifah di mimbar Jumat, pencetakan mata uang atas namanya, pengiriman kharaj kepadanya, dan
sebagainya (An Nabhani, 1953).
Semua faktor ini telah melemahkan Daulah Islamiyah, hingga kemudian datang golongan
Utsmaniyin mengambil kendali pemerintahan Khilafah (abad ke-9 H/ke-15 M). Mereka
mempersatukan negeri-negeri Islam seperti negeri-negeri Arab di bawah kekuasaannya (abad ke-10
H/ke-16 M) kemudian menyebarluaskan Islam ke negara-negara Eropa. Namun, semua upaya ini
tidaklah didasarkan pada pemahaman yang sahih terhadap Islam dan penerapannya secara benar
dalam kehidupan, melainkan hanya berdasarkan kekuatan iman para Khalifah Utsmaniyah.
Akibatnya, tak lama kemudian Khilafah semakin lama semakin lemah sehingga akhirnya dijuluki
“lelaki yang sakit.”
-Kristenisasi (Al Ghazwut Tabsyiri) dan Perang Politik (Al Ghazwus Siyasi)
Kelemahan internal umat Islam dalam hal pemahaman dan penerapan Islam tersebut, belum
begitu terasa atau diperhatikan pada masa-masa awal kekuasaan Khilafah Utsmani (abad ke-9 H/ke-
15 M). Sebab saat itu mereka mempunyai kekuatan militer yang hebat dan disegani oleh musuh-
musuhnya, yakni negara-negara Eropa. Bila ditimbang, Daulah Islamiyah masih lebih unggul daripada
32
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Eropa dalam bidang pemikiran, hukum, dan peradaban. Eropa saat itu masih tenggelam dalam abad
kegelapan, meskipun sudah mulai bangkit.
Pada saat yang demikian, Khilafah melakukan futuhat ke negara-negara Eropa, sampai ke
bagian selatan dan timur wilayah Balkan. Jutaan orang masuk Islam di Albania, Yugoslavia, dan
Bulgaria. Negara-negara Eropa pun mulai membahas bagaimana cara menghadapi serangan jihad
Khilafah ini. Muncullah apa yang dikenal dengan “Masalah Timur” (al mas`alah asy syarqiyah), yakni
bagaimana menghindarkan diri dari serbuan pasukan Khilafah Utsmaniyah, di bawah pimpinan
Muhammad Al Fatih (abad ke-9 H/ke-15 M). Pasukan ini tereksis dan misinya dilanjutkan oleh
generasi-generasi Islam sesudahnya hingga berhentinya jihad pada abad ke-11 H/ke-18 M ketika
pasukan Islam dipimpin Sulaiman Al Qanuni (An Nabhani, 1953).
Barulah pada abad ke-18 M ini, kelemahan internal dalam negara Khilafah itu makin terasa,
diakibatkan oleh semakin buruknya penerapan Islam oleh negara dan semakin lemahnya
pemahaman kaum muslimin terhadap Islam. Seharusnya saat itu penguasa Khilafah Utsmaniyah
mengambil upaya-upaya perbaikan. Misalnya menggali pemahaman Islam yang sahih dan murni,
memperhatikan bahasa Arab, mendorong ijtihad, serta mengembangkan aspek pemikiran dan
hukum. Namun, sayangnya semua ini tak terjadi.
Sementara itu, pada abad ke-13 H/ke-19 M Eropa sudah bangkit dengan adanya kemajuan
ilmu pengetahuan dan industri, akibat Revolusi Pemikiran (Renaissance dan Humanisme) yang telah
mereka alami, yang selanjutnya mencetuskan Revolusi Industri yang berhasil dengan gemilang. Topik
“Masalah Timur” telah bergeser. Semula topiknya bagaimana menghindarkan diri dari “bahaya”
pasukan Islam. Namun kemudian berubah menjadi bagaimana menghancurkan Khilafah dan
membagi-bagi wilayahnya yang luas.
Maka dari itu, negara-negara Barat makin menggencarkan upaya untuk
menghancurkan Khilafah yang makin lemah. Negara Khilafah saat itu telah tercabik-cabik wilayah
kekuasaannya akibat gerakan separatisme yang bertumpu pada ide nasionalisme, yang tersebar
akibat gerakan Kristenisasi/Misionarisme (Al Ghazwut Tabsyiri) di Dunia Islam. Gerakan ini sudah
lama mereka rintis, yakni pada akhir abad ke-16 M tatkala mereka mendirikan pusat kegiatan
Kristenisasi di Malta. Gerakan yang sebagian besarnya berasal dari negara-negara Inggris, Perancis,
dan Amerika ini lalu menebarkan benih-benih nasionalisme di tubuh negara Islam. Nasionalisme pun
lalu tumbuh subur di seluruh penjuru Daulah Islamiyah, di Balkan, Turki, negeri-negeri Arab,
Armenia, Kurdistan, dan sebagainya.
Negara Khilafah yang telah lemah itu juga harus menghadapi serangan politik (Al Ghazwus
Siyasi) yang dilancarkan musuh-musuhnya. Serangan ini nampak dengan adanya upaya negara-
negara kafir untuk menduduki negeri-negeri Islam. Rusia di bawah pimpinan Catherina (1862-1896)
telah berhasil merebut dan menduduki beberapa negeri Islam. Pada tahun 1884 Rusia berhasil
melepaskan Turkistan dari induknya, Khilafah Utsmaniyah, dan kemudian menduduki seluruh
wilayah Kaukasus. Perancis pada tahun 1830 berhasil menduduki Aljazair. Kemudian di bawah
pimpinan Napoleon, pada tahun 1896 Perancis berhasil menguasai Mesir. Pada tahun 1899 mereka
menyerang daerah selatan Syam dan berhasil menduduki Gaza dan Ramalah. Italia pada tahun 1911
berhasil menduduki Tharablus, sebuah wilayah Palestina. Inggris pada tahun 1882 telah menguasai
Mesir, dan pada tahun 1898 berhasil menduduki Sudan.
33
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Serangan politik ini juga nampak dengan munculnya gerakan-gerakan yang dikendalikan dan
diarahkan oleh negara-negara Barat, misalnya gerakan-gerakan politik di Turki dan negeri-negeri
Arab. Antara lain partai Turkiya Al Fatah (Turki Muda), partai Al Ittihad wat Taraqqi (Kesatuan dan
Kemajuan), partai Istiqlal Al Arabi (Kemerdekaan Arab), dan lain-lain.
-Antara Sistem Demokrasi dan Sistem Khilafah ( Pemerintahan Islam )
Sistem pemerintahan yang diterapkan dalam suatu negara memiliki perbedaan boleh latar
belakang negara yang berbeda. Penggunaan sistem pemerintahan dalam suatu negara terkadang
merupakan suatu proses trial dan juga termasuk didalamnya persaingan untuk mendapatkan
pengaruh, kekuasaan, dan faktor kepentingan.
Sistem pemerintahan Islam yang ada pada masa awal perkembangan Islam (Masa Nabi Muhammad)
dapat menciptakan masyarakat yang berkeadaban yang pada mulanya berpola pikir jahiliyyah. Nabi
Muhammad Saw berperan sebagai pemimpin yang tidak dapat di bantah (Unguestionable Leader)
bagi negara Islam yang baru lahir pada masa itu. Sebagai Nabi, beliau meletakkan prinsip-prinsip
Agama (Islam) seperti: Memimpin shalat, menyampaikan berabagai khotbah. Sebagai negarawan,
beliau mengutus duta keluar negeri untuk membentuk angkatan perang, dan membagikan rampasan
perang secara adil dan bijaksana. Dalam masa pemerintahannya, beliau membentuk piagam
Madinah yang dianggap sebagai dokumen HAM, yang berisi tentang persaudaraan dengan ikatan
iman yang bersifat ideologis dan landasan bagi prinsip saling menghormati dan menghargai di antara
muslim dan yang bukan muslim. Pada masa Khulafaurrasyidin yang berlangsung selama 30 tahun,
pemerintahan Islam sudah mulai mengalami berbagai perubahan yang menimbulkan berbagai
konflik yang mulai tampak tajam pada masa Kholifah ke 3 ( Usman Bin Affan ra). Pada masa itu
muncullah bermacam ideologis seperti Favoritisme dan Nepotisme yang di lakukan oleh sekelompok
pejabat pemerintahan, yang pada akhir nya mengakibatkan terbunuhnya Utsman itu sendiri. Pada
masa Ali pemerintahan Islam mengalami gejolak yang lebih dahsyat. Saat itu muncul berbagai ragam
faksi politik, yang membentuk spectrum pemikiran politik Islam, yaitu kaum Khawarij, Syiah, dan
Sunni. Yang setiap kelompok ini mempunyai pemikiran yang saling bersebarangan dan kaum-kaum
tersebut dan membentuk ideologinya masing-masing. Pada masa-masa berikutnya system
pemerintahan Islam lebih cenderung ke sistem warisan yang di mulai ketika masa Muawiyah pada
pemerintahan Dinasti Umayah. Indonesia hingga saat masih ini menggunakan sistem demokrasi
dalam menjalankan kepemerintahannya.
2.5 Implementasi Pemikiran Filsafat Islam dan Sistem Pemerintahan dan Politik pada
Pemerintahan Rasulullah SAW terhadap Sistem Pemerintahan dan Politik di Indonesia dan Konsep
Good Governance
Demokrasi dianggap efektif bagi perkembangan Indonesia karena pada masa sebelumnya,
beberapa macam sistem pernah diaplikasikan di Negara ini. Sistem demokrasi di Indonesia
mengandung nilai-nilai keislaman karena sebagian besar penduduk dan pemimpin berasal dari umat
Islam. Keadaan ini dapat juga disebut pemerintahan islami atau sistem pemerintahan yang
34
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
mengakomodasi nilai-nilai keislaman. Dalam sistem pemerintahan demokrasi Indonesia, dibentuk
daerah-daerah otonom untuk menjalankan proses demokrasi, agar dapat memperkecil tekanan
pemerintahan, meningkatkan kebebasan politik dan tingkat kesejahteraan manusia.
Menurut Robet A. Dahl: "Otonom akan menimbulkan peluang-peluang untuk melancarkan
destruksi. Setiap daerah otonom dapat berpeluang untuk mengabadikan ketidakadilan, melestarikan
egoisme sempit dan juga untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri". Sehingga menurutnya setiap
daerah otonom harus memiliki kualitas dan pengawasan tertentu.
Selain itu, pada sistem demokrasi di Negeri ini yang menggunakan pemilu dengan sistem
multipartai, dalam pemilihan wakil-wakil rakyat saja masih terdapat banyak kekurangan, seperti
operasional yang besar tapi tidak efektif, sebagai contoh adalah lambatnya perhitungan suara dan
kondisi IT yang amburadul, padahal biaya IT sangatlah besar, sehingga mensinyalir ada unsur KKN.
Dilihat dari tendernya saja, pengadaan IT pemilu tidak melalui lelang, tetapi melalui penunjukan
langsung. Ini menjadi tanggung jawab bagi para pemimpin dan yang dipimpin (rakyat), dan juga kita
sebagai mahasiswa sebagai generasi masa depan. Kita harus bisa membuat suatu perubahan kearah
yang lebih baik dan harus bersikap lebih dewasa dalam segala hal. Karena salah satu bentuk
ketidakdewasaan adalah melakukan hal yang sama secara berulang-ulang dan mengharapkan hasil
yang berbeda. Ironis memang, jika kita melihat masalah-masalah yang terjadi dalam pemilu yang
berskala nasional saat ini, Jika melihat realita yang terjadi ketika diadakan pesta demokrasi skala
kecil seperti di sekolah atau di tingkat perguruan tinggi, kita masih merasa kesulitan dalam
menghadapi masalah yang muncul.
Sebagi solusi kita harus bisa mengatasi penyebab runtuhnya umat islam pada masa ini.
Menurut Syekh Hasan Annadwi dalam bukunya Maza Khasiral Aalami Binhithaatil Muslimin
mengatakan: Ada lima penyebab runtuhnya umat islam:
1.Kepemimpinan berada di tangan yang tidak layak,
2.Politik dipisahkan dari agama,
3.Pemimpin dan para pengauasa muslim memberikan contoh yang buruk,
4.Para ilmuwan muslim gagal mengembangkan ilmu,
5.Timbul nya bid'ah dan kesesatan dalam dunia islam.
Kita juga harus bisa meneladani dan mengambil hikmah kisah yang terjadi pada zaman khalifah Ali
ra. Ketika ada seorang sahabat yang bertanya kepada beliau, "Ya.. Ali…!!, Pada masa khalifah Abu
Bakar keadaan umat Islam tidak kacau seperti ini, begitu juga pada masa khalifah Umar dan Utsman
". Kemudian Ali menjawab: "Dulu ketika masa pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Usman, mereka
memimpin orang-orang seperti aku dan sekarang aku memimpin orang-orang seperti kamu". Artinya
adalah Keberhasilan seorang pemimpin bukan hanya di tentukan oleh pemimpin itu sendiri, tetapi
lebih dari itu oleh orang-orang yang di pimpinnya.
Seiring dengan perkembangan hubungan pemerintah dengan masyarakat terutama dengan
munculnya konsep good governance, maka muncul pertanyaan terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah, sejauh mana pemerintah dapat diterima oleh masyarakat? Dapatkan pemerintah
35
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
mengimplementasikan good governance? Penilaian-penilaian tersebut menjadi penting ketika rakyat
Indonesia menghadapi pemilu pada tahun 2009 yang lalu dan bagi pemerintah sekarang adalah
sejauh mana penilaian-pemilaian tersebut dapat dijadikan modal untuk dapat melanjutkan
kekuasaannya tahun 2009. Untuk menganalisa hal tersebut, kita dapat menggunakan konsep good
governance yang dikeluarkan oleh United Kingdom Overseas Development Administration (UK/ODA).
Dalam pandangan resmi UK/ODA yang dikeluarkan pada tahun 1993, istilah good
governance atau good government tidak dibedakan. Keduanya dianggap sama-sama merujuk aspek-
aspek normatif pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang bersifat
politik hingga ekonomi. Kriteria tersebut digunakan dalam merumuskan kebijaksanaan pemberian
bantuan luar negeri, khususnya kepada negara-negara berkembang.
UK/ODA menjelaskan karakteristik good government, yaitu: legitimasi, akuntabilitas,
kompetensi, penghormatan terhadap hukum/ hak-hak asasi manusia. Pengertian dari karakteristik-
karakteristik yang dimaksud, ialah: (1) Legitimasi. Legitimasi menekankan pada kebutuhan terhadap
sistem pemerintahan yang mengoperasikan jalannya pemerintahan dengan persetujuan dari yang
diperintah (rakyat), dan juga menyediakan cara untuk memberikan atau tidak memberikan
persetujuan tersebut. (2) Akuntabilitas. Mencakup eksistensi dari suatu mekanisme (baik secara
konstitusional maupun keabsahan dalam bentuknya) yang meyakinkan politisi dan pejabat
pemerintahan terhadap aksi perbuatannya dalam penggunaan sumber-sumber publik dan performa
perilakunya. Akuntabilitas membutuhkan keterbukaan dan kejelasan serta keterhubungannya
dengan kebebasan media. (3) Kompetensi. Pemerintah harus menunjukkan kapasitasnya untuk
membuat kebijakan yang efektif dalam setiap proses pembuatan keputusannya, agar dapat
mencapai pelayanan publik yang efisien. Pemerintah yang baik membutuhkan kapabilitas
manajemen publik yang tinggi, dan menghindari penghamburan dan pemborosan, khususnya pada
anggaran militer yang tinggi. Pemerintah harus menunjukkan perhatiannya pada biaya
pembangunan sosial seperti: antikemiskinan, kesehatan, dan program-program pendidikan. (4)
Penghormatan Terhadap Hukum/Hak-Hak Asasi Manusia. Pemerintah memiliki tugas (bukan hanya
yang terdapat pada konvensi-konvensi internasional) untuk menjamin hak-hak individu atau
kelompok dalam mengekspresikan hak-hak sipil dan politik yang berhubungan dengan kemajemukan
institusi. (UK/ODA, 1993)
Implementasi di Indonesia
-Legitimasi
Sebenarnya legitimasi pemerintah Indonesia saat ini sangatlah kuat. Dengan dipilih langsung
oleh rakyat pada pemilu 2004, posisi pemerintah Indonesia sekarang tidak sama seperti pemerintah
pada masa-masa sebelumnya yang dipilih oleh para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Legitimasi yang kuat juga didapat dari komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang diketuai oleh partai yang berasal dari pemerintah yang berkuasa (partai Golkar) serta
merekalah yang menjadi mayoritas anggota DPR.
Namun yang menjadi persoalan adalah sejauhmana legitimasi yang ada tersebut membuat
pemerintahan berjalan efektif dan langsung mendapat persetujuan dari rakyat (DPR).
36
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Beberapa kebijakan pemerintah seperti kebijakan untuk memberikan izin impor beras
sebanyak 75 ribu ton dari Vietnam, mendapatkan persetujuan dari DPR dengan segera. Juga ketika
pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tanggal 1 Oktober 2005. Dalam
sidangnya, DPR setuju menyetujui kenaikan harga BBM tersebut.
Namun dalam kasus persetujuan pemerintah terhadap resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) tentang nuklir Irak, justru ada anggota DPR dari fraksi Golkar yang bersuara vokal menentang
kebijakan tersebut. Sehingga membuat pemerintah melakukan sosialisasi yang intens atas
keputusannya, tidak hanya untuk anggota dewan juga kepada masyarakat terutama kalangan
akademisi.
Dalam konteks menyediakan cara untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan
tersebut dalam sistem pemerintahan di Indonesia dapat melalui parlemen dan rakyat juga dibuka
pintu penyaluran aspirasi yang seluas-luasnya baik melalui kelompok kepentingan atau kelompok
penekan.
Pandangan lain adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Syahrir. Bagi Syahrir, legitimasi
erat kaitannya dengan dukungan politik. Dukungan politik bukanlah terjadi secara statis, tetapi
berlangsung secara dinamis. Contoh yang paling konkrit adalah peristiwa Watergate yang menimpa
mantan Presiden Gerald Nixon dari Amerika Serikat. Dia memperoleh kemenangan besar dari
pemilihan umum tahun 1972. Tetapi peristiwa Watergate yang berawal dari perbuatan kriminal
kelas teri yang dilakukan oleh bawahan-bawahannya akhirnya menjerembabkan posisi Nixon,
bahkan ia harus turun secara tidak hormat.
Jadi, dengan perkataan lain, Untuk bisa memiliki pemerintahan yang absah tetapi begitu
terjadi masalah-masalah yang bersifat pelanggaran, maka bukan tidak mungkin akan dapat
menyaksikan proses delegitimasi yang berlangsung amat cepat. Intinya adalah Indonesia, yang
dalam proses demokratisasi berada dalam tingkat yang paling awal (Infant Democracy), amat mudah
untuk berubah atau terhenti karena faktor-faktor politik.
Dalam proses itu, pemerintahan yang absah di Indonesia mempunyai kekuasaan yang jauh
lebih terbatas dibandingkan dengan pemerintahan yang absah di negara-negara demokrasi lainnya
yang telah berlangsung selama berabad-abad seperti di AS, Eropa Barat dan juga Jepang. Sementara
itu banyak faktor yang dapat merusak dukungan politik terkadang berada di luar jangkauan
pemerintahan yang bersangkutan. Potensi disintegrasi, peranan tentara yang disorot, merupakan
faktor-faktor yang terkadang di luar kemampuan pemerintahan untuk dapat menanganinya dengan
lebih baik.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa legitimasi dalam arti mengoperasikan jalannya pemerintahan
dengan persetujuan dari rakyat dan menyediakan cara untuk memberikan atau tidak memberikan
persetujuan tersebut sebenarnya sudah ada tinggal dijalankan secara optimal.
-Akuntabilitas
Dari sisi akuntabilitas, menarik apa yang diungkapkan oleh Profesor Toshiko Kinoshita dari
Universitas Waseda bahwa “masyarakat Indonesia tidak pernah berpikir panjang, masyarakat
Indonesia hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah
37
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
berpikir panjang (untuk negaranya), dan karakteristik seperti ini tidak hanya terlihat di kalangan
masyarakat dari semua lapisan, tetapi juga politisi dan pejabat pemerintahnya.” (Kompas, 24 Mei
2002).
Persoalannya adalah bahwa sekarang pun, pemerintahan sebagian besar hanya
merencanakan rencana jangka pendek yang bersifat reaktif terhadap ratusan masalah individual
tanpa adanya suatu kebijakan umum atau sistem yang mengikat untuk jangka waktu lama. Dengan
sedikit pengarahan para pelaksana diharuskan menciptakan sistem sendiri.
Sebagai perbandingan, sebenarnya selama lebih dari 30 tahun, dari 1960-an hingga 1990-an,
Amerika Serikat (AS) dihadapkan pada pemborosan dan inefisiensi, termasuk korupsi di
pemerintahan, sehingga menghilangkan kepercayaan publik kepada pemerintah.
Di AS, banyak peraturan telah dibuat untuk mengatasi keruwetan pemerintahan dalam 30
tahun tersebut, namun bentuknya adalah dalam “keputusan presiden”. Analisis menunjukkan bahwa
cara ini merupakan kelemahan utama pelaksanaan pemerintahan sehingga diputuskan untuk
membuat sistem dalam kemasan undang-undang yang disebut Government Performance and
Results Act (GPRA, 1993). Peraturan ini merupakan suatu undang-undang akuntabilitas yang direstui
oleh Presiden Bill Clinton bersama Kongres AS. Desainnya sangat inventif karena di dalamnya
terdapat suatu reward and punishment system (carrot and stick) yang halus.
GPRA 1993 dimaksudkan untuk membawa transformasi fundamental dalam good
governance di AS. SP-GPRA 1993 merupakan suatu alat manajemen dan birokrasi yang tepat untuk
lembaga-lembaga pemerintah yang berada dalam kesulitan majemuk seperti di Indonesia. Ia
dimodifikasi dari strategic planning untuk bisnis dan dikembangkan dari model bisnis yang dipakai di
Sunnyvale, California, karena dianggap yang paling bagus. Dan saat ini proses SP-GPRA di AS sudah
diterapkan sejak tahun 1997.
Maka, untuk kasus Indonesia, jika jargon “perubahan” yang dikumandangkan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono memang ingin benar-benar diwujudnyatakan, dibutuhkan model
perencanaan strategik jangka panjang seperti ini. Dengan demikian, pembangunan dapat berjalan
proaktif dan tidak reaktif, dengan rencana jangka panjang (10-20 tahun) yang baik. Jika kita mulai
sekarang, kita baru akan memiliki pemerintahan yang akuntabel pada tahun 2015 nanti. Ini baru
wujud “berpikir panjang” seperti kata Profesor Kinoshita.
-Kompetensi
Penyebab masih banyaknya permasalahan pada birokrasi pemerintahan Indonesia barangkali
dikarenakan kurangnya kompetensi yang dimiliki anggota instansi pemerintah. Ditambah lagi dengan
peraturan dan prosedur yang seringkali tidak jelas dan berubah-ubah. Selain itu, karena ada unsur
hirarki yang kuat pada organisasi yang mengambil bentuk birokrasi, maka mestinya pimpinan-
pimpinannya betul-betul pimpinan yang bisa menegakkan aturan dan prosedur.
Sebagaimana yang kerap muncul dalam media, instansi pemerintah begitu banyak disorot
karena kasus-kasus in-efektivitas dan in-efisiensi yang terjadi di dalamnya. Berita penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai instansi pemerintah, mulai dari kalangan pegawai
pelaksana yang sekadar mengurus administrasi Kartu Penduduk, hingga tataran pejabat yang
38
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
seharusnya menegakkan amanat rakyat adalah sebagian kecil gambaran tersebut. Kondisi ini
memunculkan pandangan bahwa kondisi birokrasi pemerintahan identik dengan segala in-efisiensi
dan in-efektivitas.
Maka pemerintah belum dapat menunjukkan kapasitasnya untuk membuat kebijakan yang
efektif dalam setiap proses pembuatan keputusannya, sehingga dapat mencapai pelayanan publik
yang efisien.
Kaitannya dengan kompetensi, Syahrir membaginya dengan administrasi pemerintahan serta proses
pembuatan kebijakan. Menyangkut administrasi pemerintahan bernegara, dengan dihapusnya
beberapa departemen dan juga berlakunya UU Otonomi daerah yang belum disertai oleh peraturan
pemerintahan pelaksanaan UU itu, ternyata menghasilkan kondisi transisi yang cukup mencemaskan
bilamana tidak diatasi oleh langkah-langkah berencana, terfokus, diimplementasikan dengan baik.
-Penghormatan Terhadap Hukum/Hak-Hak Asasi Manusia
Penghormatan terhadap hukum dan HAM di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Terlepas dari berbagai kasus pelanggaran HAM dan meningkatnya tingkat kriminalitas
yang terjadi di Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah melakukan banyak terobosan di bidang hukum seperti memecah
kekuasaan hukum yang awalnya hanya di tangan Mahkamah Agung dengan memunculkan
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Hal lain juga telah ada komitmen Pemerintah Indonesia
untuk meratifikasi ICC pada 2008 yang merupakan langkah awal yang positif bagi penegakan HAM di
Indonesia.
Dengan ratifikasi dan implementasi ICC akan menjamin pelanggaran HAM serupa tidak
terulang di masa depan. Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga akan menjadikan Indonesia memiliki akses
untuk berpartisipasi di dalam berbagai proses dan operasional ICC yang berkedudukan di Den Haag,
misalnya dalam pencalonan hakim, penuntut, dan badan-badan ICC yang lain. Selain itu, ratifikasi ICC
oleh Indonesia juga akan menjadikan Indonesia sebagai negara pihak untuk aktif dalam Pertemuan
Dewan Negara Pihak (Assembly of States Parties/ASP) dan di dalam Review Conference yang akan
diadakan pada tahun 2008 atau 2009.
Namun, menurut Ketua IKOHI, Mugiyanto, upaya tersebut tetap membutuhkan konsistensi
pemerintah sekaligus dilakukannya reformasi menyeluruh di dalam kerangka penegakan HAM di
Indonesia. Ratifikasi dan implementasi ICC seharusnya juga diikuti dengan berbagai perubahan
sistem hukum nasional agar penegakan keadilan dan pemenuhan hak-hak korban dapat lebih
terjamin.
Harapan terwujudnya good governance di Indonesia adalah cita-cita yang mungkin masih
membutuhkan waktu panjang untuk bisa kita rasakan. Namun setidaknya dengan penguasaan
konsep yang jelas mengenai good governance merupakan langkah awal untuk dapat mengevaluasi
apa yang tengah kita lakukan dan apa yang akan kita lakukan berikutnya. Dengan menggunakan
konsep dari United Kingdom Overseas Development Administration (UK/ODA) maka pemerintah
Indonesia telah memiliki bekal yang kuat dari aspek legitimasi dan penghormatan terhadap hukum /
39
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
hak asasi manusia. Namun masih perlu penguatan dari aspek akuntabilitas dan kompetensi
pemerintahan.
Dengan melihat dunia masa depan yang semakin terbuka akibat dari globalisasi maka
tentunya aspek akuntabilitas dan kompetensi harus sesegera mungkin diwujudkan, jika tidak, maka
siap-siapkah untuk terlindas.
BAB III
PENUTUPAN
40
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
3.1 Kesimpulan
Filsafat Islam sendiri muncul pada Zaman Keemasan Islam, dimana Islam berjaya. Pemikiran-
pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran filsafat Islam, diakui berbagai kalangan telah
mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi semakin pesat.
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan
filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni
dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah
yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani
dalam Islam. Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim,
pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari pihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri,
dari Al-Quran, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menyesuaikan antara ajaran
teks dengan realitas kehidupan sehari-hari.
Perkembangan filsafat Islam mempengaruhi kebangkitan dari agama Islam itu sendiri. Hal ini
dibuktikan dengan awal mula kebangkitan peradaban Islam dapat ditelusuri dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan kegiatan intelektual di Baghdad dan Cordova. Selain itu muncul juga ahli filsafat
pada jamannya yang ahli dalam berbagai bidang keilmuwan seperti Al-Farabi ahli astronomi dan
matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran dengan bukunya yang terkenal yaitu The Canon of Medicine,
yang kemudian menjadi buku pegangan bagi pengajaran ilmu kedokteran di perguruan-perguruan
tinggi Eropa.
Pengaruh filsafat Islam bukan hanya sebatas pada peradaban dan pengetahuan saja,
melainkan dalam sistem pemerintahan dan politik juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran brilian dari filsafat Islam itu sendiri. Sistem pemerintahan dan politik pada masa khalifah
selalu dijadikan rujukan dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan. Dengan kata lain, umat Islam
waktu itu mencapai kemajuan dalam berbagai bidang, baik bidang pembangunan, ilmu
pengetahuan, maupun kebudayaan. Hal ini dibuktikan dengan umat Islam (kaum Muslimin)
mempunyai negara dan pemerintahan yang bebas merdeka dan berdaulat penuh dalam mengurusi
kepentingan-kepentingannya. Dengan demikian, timbulah suatu masyarakat Islam yang aman
sejahtera berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam yang kemudian disusul dengan mendirikan suatu
Negara dan Pemerintahan Islam yang pertama yang merdeka dan berdaulat penuh.
Dalam penerapannya sendiri di Indonesia, adanya pemikiran filsafat Islam berperan penting
dalam sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis karena demokrasi dianggap efektif bagi
perkembangan Indonesia karena pada masa sebelumnya, beberapa macam sistem pernah
diaplikasikan di Negara ini. Sistem demokrasi di Indonesia mengandung nilai-nilai keislaman karena
sebagian besar penduduk dan pemimpin berasal dari umat Islam. Keadaan ini dapat juga disebut
pemerintahan islami atau sistem pemerintahan yang mengakomodasi nilai-nilai keislaman. Dalam
sistem pemerintahan demokrasi Indonesia, dibentuk daerah-daerah otonom untuk menjalankan
proses demokrasi, agar dapat memperkecil tekanan pemerintahan, meningkatkan kebebasan politik
dan tingkat kesejahteraan manusia.
3.2 Saran
41
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Filsafat khususnya filsafat Islam pada masa kebangkitan Islam diharapkan mampu menjadi
inspirasi masyarakat di seluruh dunia khususnya Indonesia dalam membentuk suatu masyarakat
yang madani, sistem pemerintahan dan politik yang demokratis. Tidak hanya itu, filsafat Islam bagi
masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam dapat menjadi acuan dalam masyarakat
Indonesia dalam berpikir logis dan kritis serta bertindak baik sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah. Rakyat Indonesia diharapkan selalu mengedepankan musyawarah mufakat dalam
pengambilan keputusan sehingga harapan menjadi negara yang demokratis dapat terlaksana.
LAMPIRAN
Artikel
42
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Abstrak Proposal Thesis: Kepemimpinan Ilahiah dalam Konsep
Demokrasi Pancasila: sebuah Kajian Filsafat Islam “DIVINE
LEADERSHIP (WILAYAH AL-HIKMAH)IN THE CONCEPT OF
DEMOCRACY PANCASILA: AN ISLAMIC PHILOSOPHICAL STUDIES”
Posted by Ahmad Yanuana Samantho on Juli 5, 2007 in Falsafah, Hikmah
Perkembangan kehidupan berbangsa dan kenegaraan di Republik Indonesia pasca gerakan reformasi
1998 menyisakan ketidakpastian bentuk dan hasil reformasi yang masih jauh dari harapan dan cita-cita
reformasi. Meskipun memang ada beberapa kemajuan yang terjadi pada proses demokratisasi kehidupan
sosial politik secara umum, namun secara keseluruhan, masíh banyak hal yang jauh dari cita-cita dan
tuntutan reformasi.
Eforia reformasi membuka peluang banyak orang untuk mengkritisi segala yang ada para era rezim
otoritarian Orde Baru Soeharto yang dianggap sebagai penghambat demokrasi di Indonesia. Bahkan
untuk mengakomodasi semangat reformasi tersebut UUD 1945 pun telah diamandemen oleh MPR-DPR.
Namun demikian, sebagian pihak malah menganggap bahwa Panca Sila sudah tidak layak lagi menjadi
Dasar Negara Republik Indonesia. Panca Sila dipandang sudah usang (kadaluarsa) oleh sebagian orang
yang kecewa dengan kepemimpinan para Presiden RI Sejak Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurahman
Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudono. Akibatnya muncullah tuntutan dan gerakan untuk
mengganti Panca Sila dengan filsafat-ideologi lain yang beragam: mulai dari yang ekstrim kiri:
Komunisme, Sosialis-Demokrat; ekstrim tengah: Demokrasi Sekuler-Liberal Nasionalis; maupun ekstrim
kanan: kelompok pendukung ‘Syariah’ dan ‘Khilafah/Negara Islam’.
Saat ini, Sejak awal tahun 2006, kita menyaksikan memanasnya polemik dan ketegangan politik antar
berbagai komponen atau faksi-faksi politik aliran (politik identitas) tersebut. Kontroversi dan polemik
antara kaum ekstrim nasionalis-sekuler dan ekstrim globalis fundamentalisme Islam (Pengusung
“Kekhalifahan & Syariat Islam”) menyeret pada kecenderungan untuk mempertentangkan antara ajaran
Islam dengan Panca Sila. Terjadi stigmatisasi dan mispresepsi terhadap aspirasi Islam berhadapan dengan
dengan isu sekularisasi dan demoralisasi Panca Sila[1]. Kontroversi RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi
(RUU-APP) dan Perda-perda ‘bernuansa Syariah Islam’ serta RaPerda Manokwari-Papua ‘yang bernuansa
Kristen’ semakin mempertajam konflik dan polarisasi yang dipandang mengancam keutuhan persatuan
nasional dan NKRI, serta mengancam hak asasi manusia (HAM), emansipasi dan demokrasi di Indonesia.
Pada sisi yang lain, secara normative, Pancasilatelah dirumuskan dan disepakati oleh para pendiri
republik Indonesia ini sebagai modus vivendi (pedoman hidup) bagi bangsa Indonesia yang pluralistic
(beragam) namun tetap dalam satu kesatuan (Bhineka Tunggal Ika).
43
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
Setiap sila dalam Panca Sila merupakan obyektifikasi – dalam istilah Kuntowijoyo – dari nilai-nilai
universal dalam setiap agama dan kepercayaan. Walaupun berbeda-beda dari segi syariat dan aqidah,
ada nilai-nilai yang diyakini bersama sebagai nilai-nilai luhur. Nilai-nilai bersama itu dalam Al-Qur’an
disebut dengan kalimatin sawa. Pancasila adalah kalimatin sawa – common ground.
Dalam perjalanan sejarah, Pancasila telah menjadi pemersatu bangsa dalam perjuangannya untuk
menentang penjajahan dan memakmurkan rakyat.
Pernah Panca Sila dipertentangkan dengan Islam, sehingga konstituante (pada tahun 1950-an) telah
dijadikan ajang konflik. Konflik ini kemudian melimpah dari gedung parlemen ke dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Banyak korban berjatuhan karena konflik ini.
Akhir-akhir ini, konflik antar umat beragama, intra umat beragama dan di antara kelompok agama dan
kelompok sekular mulai berkembang ke arah pada tingkat yang mengkhawatirkan dan mengacam
kesatuan dan persatuan bangsa serta NKRI. Kalimatin sawa telah terlupakan.
Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) dan Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) dengan
risaumenyebutkan memudarnya kesadaran Panca Sila pada kelompok elit di Indonesia. Indikasinya
adalah lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah (Pusat maupun Daerah), MUI dan lembaga-lembaga
publik lainnya yang menyuburkan sikap-sikap intoleransi dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
Konflik kebangsaan tersebut menurut pengamatan sementara penulis dan beberapa pengamat lainnya
adalah disebabkan pada satu pihak oleh kecenderungan pemikiran dangkal dari kalangan puritan
(fundamentalis) Islam literalis-tekstual kaum pengikut Wahabisme & Talibanisme, sehingga memancing
reaksi kontra yang juga ekstrim dari kaum sekular-liberalis yang terkait dengan kepentingan kapitalisme-
imperialisme Global. Konflik ini sebenarnya terutama dipicu oleh isu-isu ketidakadilan politik-ekonomi,
dan dominasi hegemonik korporat kapitalis global atas segala sumber daya alam (migas dan mineral),
yang kemudian memunculkan reaksi perlawanan dari kalangan politikus Islam di Indonesia yang
menyeret simbol-simbol keagamaan dan justifikasi serta stigmatisasi SARA.
Ketika Panca Sila dicoba untuk dipertentangkan dengan Islam, ketika Islam seolah-olah dipersepsikan anti
Panca Sila, atau Panca Sila dipersepsi sebagai tidak Islamis, maka problem ini memotivasipenulis untuk
melakukan penelitian, untuk menjawab pertanyaan benarkah persepsi-persepsi filosofis tersebut? Lalu
apakah memang perlu dan bagaimanakah cara memandang dan menafsirkan kembali makna substansial
teks-teks Panca Sila maupun makna teks-teks suci Islam (Al-Quran, Sunnah & Ijtihad para ulama) dalam
konteks filsafat-ideologi dan setting habitat bangsa Indonesia yang plural dan multikultural (Bhineka
Tunggal Ika). Bagaimanakah menafsirkan Panca Sila yang sesuai dengan cita-cita harmonisasi kehidupan
berbangsa dan bernegara di tengah realitas keragaman (pluralism & multikulturalisme) agama, suku, ras
dan golongan antar komponen dan unsur penyusun negara bangsa Indonesia ini. Bagaimanakah kita
44
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
memahami dan menafsirkan isu-isu pluralisme, multikulturalisme, demokrasi dan HAM dalam Pandangan
Dunia Islamisme (yang membawa misi Rahmatan lil ‘Alamin) secara tepat dan benar sesuai kaidah
berfikiran filosofis dan ilmiah (scientific).
Maka dipandang sudah sangat penting adanya upaya untuk menggali dan merekonstruksi kembali
pemahaman dan penghayatan terhadap substansi & esensi Pancasila dalam konteks inti saripati nilai
agama-agama, untuk kemudian mensosialisasikan kembali Panca Sila, kepada semua komponen bangsa
Indonesia.Dengan kata lain diperlukan upaya-upaya penelitian dan pengembangan ke arah
substansiasinilai-nilai luhur Pancasila, sehingga Panca Sila tidak hanya sekedar menjadi slogan para
politisi saja, tetapi benar-benar dapat menjadi system falsafah-ideologi yang dapat menjadi ‘modus
vivendi’ (pedoman hidup) bagi subsistem kehidupan ipoleksosbud hankamnas (ideology-politik-ekonomi
sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional)negara dan bangsa Republik Indonesia.
Jawaban-jawaban yang tepat dan benar atas pertanyaan dan masalah-masalah tersebut di atas, melalui
penelitian dan penulisan Thesis Magíster Filsafat Islam penulis di ICAS-Paramadina Jakarta inilah,
diharapkan dapat melahirkan salah satu alternatif solusi fundamental (mendasar) dan radikal (mengakar)
untuk merevisi cara pandang (worldview/weltanschaung) bangsa Indonesia terhadap realitas Panca Sila
dalam keragaman ras, suku, agama dan kebudayaan bangsa Indonesia yang “ber-Bhineka Tunggal Ika”.
Setelah mengkaji “Filsafat Hikmah”, meneliti dan merenungkan makna kata “Hikmah” dalam rumusan sila
ke-4 Pancasila,penulis berasumsi bahwa solusi atas segala permasalahan tersebutdapat didekati dengan
pendekatan deskripsi-elaboratif, komparasi dananalisis Filsafat Hikmah (Filsafat Islam) yang holistik-
komprehensif yaitu: Hikmah al-Muta’aliyah yang dikembangkan Mulla Sadra danKonsep Imamah dan
Wilayatul Faqih yang dikembangkan oleh Imam Khomeini
Kajian Filsafat Politik yang akan penulis lakukan merupakan wilayah/domain filsafat praktis
(Hikmah‘amali).Ini sesuai dengan karateristif Filsafat Islam yang penulis pelajari, yang tidak dapat
terlepas dari kajian ontologis maupun epistemologis (al-Hikmah al-Nazari/Filsafat Teoritik) sebagai satu
kesatuan sistemik-integratif dari Filsafat Islam.Secara lebih tegas kajian penelitian Thesis ini akan
memasuki wilayah kajian etika politik sebagai bagian dari filsafat politik Islam yang sejalan dengan
Pancasila, sebagai dasar falsafah dan ideologi serta landasan prinsip normatif dasar kehidupan berbangsa
dan bernegara di Republik Indonesia.
Metodologi Penelitian atau pendekatan terhadap objek kajian/penelitian yang akan penulis gunakan,
sebagaimana metode epistemologi Filsafat al-Hikmah al-Muta’aliyah(Mulla Sadra), adalah pendekatan
yang holistik-integratif yang meliputi baik: Burhani,Bayani, maupun Irfani (gnostic).Al-Hikmah al-
Muta’aliyah (Theosofi Transendental) secara epistemologis didasarkan pada tiga prinsip: intuisi
intelektual (dzawq atauIsyraq), pembuktian rasional (‘aql atau istidlal atau argumentasi
logis/burhani),dan Syariat Islam (bayani/penjelasan tekstual).Mengutip uraian Prof. Dr. Jalaluddin
Rakhmat: “…sehingga Hikmah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan
45
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
ruhaniyah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan
argumen-argumen yang rasional. Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif, tetapi juga
realisasi, yang mengubah wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga
terjadinya transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti syariat.”
Gambar
DAFTAR KATA-KATA SULIT
46
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
-Dark age: istilah jaman kegelapan pada di Eropa sebelum muncul masa kebangkitan Renaissance.
-Khalifah: (bahasa Arab: ة ف ي ل secara harfiyah bermakna "pengganti" atau (bahasa Inggeris: Caliph)(خ
"wakil" yakni pemimpin umatIslam setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat. Mereka digelar sebagai
khalifah Allah (perwakilan Allah) dan khalifah Rasulullah (pengganti utusan Allah).
-Syara’: segolongan umat Islam yang melawan dan mendurhaka kepada Ulil Amri (Khalifah), iaitu
pemerintah (Daulah Islamiyah) yang adil yang menjalankan hukum-hukum syari’at Islam
-Tamadun: berasal dari perkataan Arab maddana, mudun, madain yang bererti pembukaan bandar
atau masyarakat yang mempunyai kemajuan dari segi lahiriah dan rohaniah. Perkataan tamadun
dapat diertikan kepada keadaan hidup bermasyarakat yang bertambah maju. Istilah-istilah lain yang
sama pengertiannya dengan tamadun adalah: umran, hadarah, madaniyah. Dalam bahasa Inggeris,
istilah yang hampir sama dengan tamadun ialah culture and civilization atau kebudayaan dalam
bahasa Melayu. Perkataan civilization dalam bahasa inggeris berasal dari bahasa Greek civitas yang
bermaksud bandar.
-Teologi: taakulan dan perbincangan mengenai Tuhan atau dewa-dewi, ataupun secara meluasnya
berkaitan dengan agama, kepercayaan dan kerohanian. Perkataan ini berasal daripada
perkataan bahasa Greek, iaitu θεός, theos (Tuhan) dan λόγος, logos (kata).
-Ortodoks: sebuah kata majmuk dan berasal dari perkataan Greek orthodoxos, yang merupakan
gabungan oρθός, orthos ("benar") dan δόξα, dokein ("fikiran", "ajaran" atau "pendapat").
Keortodoksan dalam sebuah ajaran agama ertinya adalah "ajaran yang benar (ajaran asal seperti
yang disampaikan pada asalnya)", namun biasanya hal ini diertikan sebagai "ajaran yang lama (ajaran
asal)", "ajaran yang kuno (ajaran asas)" atau "ajaran yang fundamentalis (pemahaman yang
memperjuangkan ajaran asal tanpa mahu tokok tambah dalam ajaran yang langsung belum
tercemar (kerana ia adalah ajaran asal).
-Bid’ah: Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah
"bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh
Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam
agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik
formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa
memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama
itu, maka perkara tersebut tertolak”.
47
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
DAFTAR PUSTAKA
-Ahmad, H. Zainal Abidin. 1977. Ilmu Politik Islam III – Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang
(Perkembangan dari Zaman ke Zaman). Jakarta: Bulan Bintang.
-Adib, MA, Drs.H.Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-Dahl, Robert A. 1985. Dilema demokrasi pluralis: antara otonomi dan control. Jakarta: Rajawali.
-Jinda, Dr. Khalid Ibrahim. 1999. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang
Pemerintahan Islam. Hal:2-6. Surabaya: Risalah Gusti.
- Esposito, John J. Donohue da John L. (ed), Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah–Masalah
(Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hal.96 – 104.
- Sadjali, Munawir. Islam dan Tata Negara, 1993
-http://www.scribd.com/doc/4812351/Perjalanan-Filsafat-dalam-Pemikiran-Islam
-Sumbangan Dunia Islam Terhadap Kebangkitan Peradaban Eropa - Muslimdaily.net
-http://www.scribd.com/doc/18544995/Sejarah-Kebudayaan-Islam
-http://hbmulyana.wordpress.com/2008/01/19/politik-islam-telaah-sistem-pemerintahan-masa-
rasulullah-muhammad-saw-pada-daulah-islam-madinah-al-munawaroh/
-http://sukosenseistpm1.blogspot.com/2009/04/sistem-pemerintahan-negara-islam.html
-http://www.scribd.com/doc/47166654/SISTEM-PEMERINTAHAN-KHILAFAH
-http://makalahcyber.blogspot.com/2012/10/antara-sistem-demokrasi-dan-sistem.html
-http://hbmulyana.wordpress.com/2008/01/19/good-governance-dan-implementasi-di-indonesia/
-http://hbmulyana.wordpress.com/2008/01/19/peran-peradaban-dalam-perkembangan-ilmu-
pengetahuan/
-http://www.jaringankomputer.org/filsafatislam-dan-tokoh-aliran-filsafatislam/
-Hanafi, Ahmad. 1974. Teologi Islam. Hal: 53-56. Jakarta: Bulan Bintang.
-Madiksi, George A. 2005. Cita Humanisme Islam (Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya
Islam dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat). Jakarta: Serambi
-http://ms.wikipedia.org/wiki/Khalifah
-http://ms.wikipedia.org/wiki/Bughat
-http://ms.wikipedia.org/wiki/Tamadun
48
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pengaruh-pemikiran-filsafat-islam-pada-periode-
kebangkitan-islam-terhadap-sistem-pemerintahan-dan-politik-di-indonesia/
-http://ms.wikipedia.org/wiki/Teologi
-http://ms.wikipedia.org/wiki/Ortodok
-Rasyidi, H.M. 1984. Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat. Proyek Pembinaan Pendidikan Agama Islam
pada Perguruan Tinggi.
-http://situsbloggermuslim.blogspot.com/2012/04/pengertian-bidah-menurut-sunni.html