Upload
vuongnhi
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENGARUH PAJAK DAERAH, RETRIBUSI DAERAH,
DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA ALOKASI KHUSUS
TERHADAP ALOKASI BELANJA MODAL
Diah Sulistyowati
Dosen Pembimbing : Drs. Dul Muid, M.Si., Akt
ABSTRACT
This research is aimed to analyze the influence of Regional Taxes, Regional
Retribution, General Allocation Fund, and Specific Allocation Fund toward the
Allocation of Capital Expenditure. Capital expenditure has important role in
operating government system that is to increase public prosperity and as a form
of good governance.
The samples which are use in this research are regency/municipality of Java
and Bali that report routine the realization report of the estimate income of
regional expense (APBD) from 2007 until 2010 for Dirjen Perimbangan
Keuangan Pemerintah Daerah. Based on that criteria, samples which are use in
this research are 168 regencies/municipalities. The instrument that use is multiple
regression.
The result of this research shows that regional taxes, regional retribution,
and general allocation fund has positive influence toward the allocation of capital
expenditure. Besides specifiic allocation fund has negative influence toward the
allocation of capital expenditure.
Password : Regional Taxes, Regional Retribution, General Allocation Fund,
Specific Allocation Fund, Capital Expenditure, Good Governance,
the realization report of the Estimate Income of Regional Expense
(APBD)
2
I. PENDAHULUAN
Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan
Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat
dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No. 32 Tahun
2004) dan UU No. 25 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004).
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan mengenai pembagian dan pembentukan
daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersifat otonom dan
menerapkan asas desentralisasi. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk
perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah Daerah mempunyai wewenang
untuk mengatur daerahnya sendiri baik dari sektor keuangan maupun dari sektor
nonkeuangan.
Dalam Khusaini (2006), asas desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan menurut UU No. 22 tahun 1999 mencakup paling tidak 4 hal yaitu:
1. Memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Keleluasaan otonomi artinya mencakup
kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan pemerintahan
termasuk penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian,
dan evaluasi.
2. Otonomi yang nyata, artinya daerah punya keleluasaan untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara
nyata ada, dibutuhkan, tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah.
3. Otonomi yang bertanggung jawab, berarti sebagai konsekuensi logis dari
pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam pemberian pelayanan
kepada publik dan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat di daerahnya.
4. Otonomi untuk daerah provinsi diberikan secara terbatas yaitu (a)
kewenangan lintas kabupaten/kota; (b) kewenangan yang belum dilaksanakan
oleh kabupaten/kota; (c) kewenangan lainnya menurut PP No.25 tahun 2000.
3
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah Daerah menyusun
anggaran yang kemudian dijadikan pedoman dalam menjalankan berbagai
aktivitasnya. Anggaran dalam Pemerintah Daerah biasa disebut dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seluruh penerimaan dan pengeluaran
Pemerintahan Daerah baik dalam bentuk uang, barang dan/jasa pada tahun
anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam APBD (Kawedar dkk, 2008).
APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja
daerah dan pembiayaan daerah (Darise, 2008).
Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dalam organisasi
sektor publik adalah mengenai pengalokasian anggaran. Pengalokasian anggaran
merupakan jumlah alokasi dana untuk masing-masing program. Dengan sumber
daya yang terbatas, Pemerintah Daerah harus dapat mengalokasikan penerimaan
yang diperoleh untuk belanja daerah yang bersifat produktif. Belanja daerah
merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan
merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa
diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum (Kawedar dkk, 2008).
Selama ini, Pemerintah Daerah lebih banyak menggunakan pendapatan daerah
untuk keperluan belanja operasi daripada belanja modal.
Pemerintah Daerah harus mampu mengalokasikan anggaran belanja modal
dengan baik karena belanja modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah
Daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik. Untuk dapat meningkatkan
pengalokasian belanja modal, maka perlu diketahui variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal, seperti pajak daerah, retribusi
daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dalam mengelola keuangannya, Pemerintah Daerah harus dapat
menerapkan asas kemandirian daerah dengan mengoptimalkan penerimaan dari
sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah merupakan
sumber penerimaan Pemerintah Daerah yang berasal dari daerah itu sendiri
berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak
daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (Kawedar, 2008).
4
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan 2 sumber PAD yang terbesar.
Setiap daerah mempunyai dasar pengenaan pajak yang berbeda-beda tergantung
dari kebijakan Pemerintah Daerah setempat. Untuk daerah dengan kondisi
perekonomian yang memadai, akan dapat diperoleh pajak yang cukup besar.
Tetapi untuk daerah tertinggal, Pemerintah Daerah hanya dapat memungut pajak
dalam jumlah yang terbatas. Demikian halnya dengan retribusi daerah yang
berbeda-beda untuk tiap daerah. Kemampuan daerah untuk menyediakan
pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan
merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan
ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah
yang berkelanjutan (Darwanto dan Yulia Yustikasari, 2007).
Pendelegasian wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
disertai dengan pengalihan dana, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia.
Pengalihan dana dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah diwujudkan dalam
bentuk dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum
(DAU) merupakan dana yang bersumber dari APBN yang disalurkan ke
Pemerintah Daerah untuk mengatasi kesenjangan keuangan antardaerah. Fungsi
DAU sebagai pemerataan kapasitas fiskal (Darise, 2008). DAK dimaksudkan
untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk
membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang
belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan
daerah (Darise, 2008). Dana dari Pemerintah Pusat digunakan oleh Pemerintah
Daerah secara efektif dan efisien untuk meningkatkan pelayanan kepada publik
(dapat digunakan untuk meningkatkan belanja modal).
Pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya dapat dilihat dari seberapa besar
daerah akan memperoleh dana perimbangan, tetapi hal tersebut harus diimbangi
dengan sejauh mana instrumen atau sistem pengelolaan keuangan daerah mampu
memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan,
partisipatif, dan bertanggung jawab (Darise, 2008). Pelaksanaan pemerintahan
5
yang bertanggung jawab dan transparan akan mewujudkan terciptanya good
governance.
Menurut World Bank, good governance merupakan suatu penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan
prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana
investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, dan
menjalankan disiplin anggaran. Pengalokasian dana investasi merupakan suatu
aktivitas pendanaan, dimana pendapatan yang diperoleh Pemerintah Daerah
digunakan untuk membiayai sejumlah kegiatan yang manfaatnya dapat dirasakan
dalam jangka panjang. Salah satu bentuk pengalokasian dana investasi dalam
sistem pemerintahan adalah belanja modal.
Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut: pertama, apakah pajak daerah berpengaruh terhadap alokasi belanja
modal? Kedua, apakah retribusi daerah berpengaruh terhadap alokasi belanja
modal? Ketiga, apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap alokasi
belanja modal? Keempat, apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh
terhadap alokasi belanja modal?
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah untuk memberikan bukti empiris pada:
1. Pengaruh Pajak Daerah terhadap alokasi belanja modal
2. Pengaruh Retribusi Daerah terhadap alokasi belanja modal
3. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap alokasi belanja modal
4. Pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap alokasi belanja modal
6
II. TELAAH PUSTAKA
1.1. Anggaran Daerah Berbasis Kinerja
Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak
dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial,
sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu
anggaran (Mardiasmo, 2004). Dalam Ghozali (2008), anggaran pemerintah
merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif
tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah dan
pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan belanja tersebut atau
pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan defisit atau surplus. Anggaran
yang disusun oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah akan disesuaikan dengan
tujuan yang diharapkan yaitu untuk memberikan pelayanan dan kesejahteraan bagi
rakyat.
Anggaran daerah merupakan instrumen yang dapat menjamin terciptanya
disiplin dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan
pendapatan maupun belanja daerah (Rohman, 2009). Sesuai dengan UU No. 17
Tahun 2003, penyusunan anggaran daerah atau sering disebut dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan pendekatan anggaran berbasis
kinerja. Menurut Warsito Kawedar dkk (2008), dengan membangun suatu sistem
penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran
tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil
yang diharapkan. Hal ini disebut dengan anggaran berbasis kinerja (ABK).
Dalam Warsito Kawedar (2008) disebutkan bahwa penyusunan APBD harus
berorientasi pada anggaran berbasis kinerja yaitu suatu pendekatan penganggaran
yang mengutamakan keluaran atau hasil dari program dan kegiatan yang akan atau
telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan
kualitas yang terukur. Jadi ABK dalam pemerintahan daerah yang dimaksud yaitu
Pemerintah Daerah merencanakan terlebih dahulu program yang akan dijalankan,
kemudian menganggarkan semua belanja yang dibutuhkan, dan terakhir
merencanakan penerimaan untuk dapat menjalankan program tersebut.
7
1.2. Proses Penyusunan APBD
Proses penyusunan APBD diawali dengan penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang kemudian dijabarkan
dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode 1 tahun.
Berdasarkan RKPD tersebut, Pemerintah Daerah (Pemda) menyusun Kebijakan
Umum Anggaran (KUA) yang akan dijadikan dasar dalam penyusunan APBD.
Kemudian Pemerintah Daerah menyusun Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS) untuk selanjutnya diserahkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Setelah PPAS telah disetujui DPRD, maka disusunlah
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang kemudian
disahkan menjadi APBD.
1.3. Hubungan Keagenan Dalam Sektor Publik
Teori keagenan merupakan suatu hubungan yang terjalin berdasarkan
kontrak perjanjian antara 2 pihak atau lebih dimana pihak pertama disebut
prinsipal dan pihak yang lainnya disebut dengan agen. Prinsipal merupakan pihak
yang bertindak sebagai pemberi perintah dan bertugas untuk mengawasi,
memberikan penilaian dan masukan atas tugas yang telah dijalankan oleh agen.
Sedangkan agen adalah pihak yang menerima dan menjalankan tugas sesuai
dengan kehendak prinsipal.
Menurut Lane (2003a) dalam Halim (2006), teori keagenan dapat diterapkan
dalam organisasi publik. Menurut Andvig et al. (2001) dalam Halim
(2008), principal-agent model merupakan rerangka analitik yang sangat berguna
dalam menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik dengan dua
kemungkinan kondisi, yakni (1) terdapat beberapa prinsipal dengan masing-
masing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan (2) prinsipal juga bisa
bertindak tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, tetapi mengutamakan
kepentingannya yang sifatnya lebih sempit. Hubungan keagenan dalam
pemerintahan dijalankan berdasarkan peraturan daerah dan bukan semata-mata
hanya untuk memenuhi kepentingan prinsipal saja. Hal ini dikarenakan ada
banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam membangun suatu daerah. Jadi
8
tujuan prinsipal harus mengiringi tujuan untuk mengembangkan suatu daerah dan
untuk membuat rakyatnya sejahtera.
Teori keagenan dalam sektor publik merupakan sistem keagenan yang
bertingkat. Bertingkat yang dimaksudkan disini adalah karena hubungan keagenan
dalam pemerintahan terjadi dalam dua bentuk, yaitu:
1.3.1. Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Eksekutif
Dalam perspektif keagenan sektor publik, legislatif (DPRD) merupakan
pihak yang berperan sebagai prinsipal dan eksekutif (Pemda) bertindak sebagai
agen. Anggaran daerah disusun oleh Pemda sesuai dengan program yang akan
dijalankan. Setelah anggaran disusun dalam bentuk RAPBD, kemudian RAPBD
tersebut diserahkan kepada DPRD untuk kemudian diperiksa. Jika RAPBD yang
telah diajukan Pemda tersebut dianggap telah sesuai dengan RKPD (Rencana
Kerja Pemerintah Daerah), maka DPRD akan mengesahkannya menjadi APBD.
APBD tersebut yang akan menjadi alat kontrol bagi DPRD untuk memantau
kinerja Pemda.
1.3.2. Hubungan Keagenan antara Legislatif dan Publik
Dalam hal memberikan pelayanan kepada publik, legislatif (DPRD)
bertindak sebagai agen dan publik (rakyat) bertindak sebagai prinsipal. Legislatif
merupakan perwakilan dari rakyat yang dipercaya untuk dapat menjalankan
tugasnya dalam mensejahterakan rakyat dan mengembangkan daerahnya.
Legislatif bertindak berdasarkan keinginan rakyat dan rakyat memantau kinerja
dari legislatif. Jadi walaupun di satu sisi legislatif menjadi prinsipal, tapi dalam
hubungannya dengan publik, legislatif bertindak sebagai agen. Sehingga dalam
menjalankan tugasnya, legislatif menempatkan dirinya sebagai pihak yang
menerima tugas dari publik, kemudian melakukan pendelegasian tugas kepada
eksekutif untuk melakukan penganggaran.
9
Hipotesis Penelitian
Salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah,
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dari
beberapa komponen PAD tersebut, pajak dan retribusi daerah mempunyai
kontribusi terbesar dalam memberikan pendapatan bagi daerah.
Pajak daerah merupakan PAD yang tarifnya ditetapkan melalui Peraturan
Daerah (Perda). Pajak daerah dapat berupa pajak hotel, pajak restoran, pajak
tempat hiburan, pajak reklame, pajak galian golongan C, pajak parkir, dan pajak
penerangan jalan. Menurut Sianturi (2009), terdapat keterkaitan antara pajak
daerah dengan alokasi belanja modal. Semakin besar pajak yang diterima oleh
Pemerintah Daerah, maka semakin besar pula PAD. Pemerintah Daerah
mempunyai wewenang untuk mengalokasikan pendapatannya dalam sektor
belanja langsung ataupun untuk belanja modal. Berdasarkan landasan teori
tersebut, hipotesis dapat dinyatakan sebagai berikut :
H1 : Pajak Daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal
Peningkatan pelayanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan apabila
pendapatan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah juga memadai. Meskipun
Pemerintah Daerah mendapatkan bantuan dana dari Pemerintah Pusat, namun
Pemerintah Daerah juga tetap harus dapat mengoptimalkan potensi daerahnya
untuk dapat meningkatkan PAD. Dengan meningkatnya PAD maka daerah
tersebut akan menjadi daerah yang mandiri sesuai dengan tujuan otonomi daerah.
Kemandirian daerah dapat diwujudkan dengan salah satu cara yaitu dengan
meningkatkan PAD dari sektor retribusi daerah. Jika retribusi daerah meningkat,
maka PAD juga akan meningkat sehingga dapat meningkatkan pengalokasian
belanja modal untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam
Harianto (2007) disebutkan bahwa pendapatan asli daerah yang semakin tinggi
akan merangsang pemerintah daerah untuk lebih meningkatkan mutu
pelayanannya kepada publik. Landasan teori tersebut menghasilkan hipotesis
sebagai berikut :
H2 : Retribusi Daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal.
10
Sumber pendapatan daerah yang memiliki peran penting dalam memberikan
pendapatan bagi daerah selain PAD adalah dana perimbangan. Dana perimbangan
meliputi Dana Bagi Hasil Pajak/Non-Pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), dan
Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima
Pemerintah Daerah dapat dialokasikan untuk belanja modal. Penelitian Holtz-
Eakin et. Al. (1985) dalam Darwanto (2007) menyatakan bahwa terdapat
keterkaitan sangat erat antara transfer dari Pemerintah Pusat dengan belanja
Pemerintah Daerah.
Meskipun otonomi daerah telah diberlakukan sejak lama, namun
kenyataannya masih terdapat beberapa Kab/Kota yang masih menggantungkan
sumber pendanaan pemerintahan daerahnya pada dana perimbangan (dana transfer
dari Pemerintah Pusat). Misalnya Kab Cilacap pada tahun 2009 mempunyai PAD
Rp 100.784.000.000,00 dan DAU sebesar Rp 782.157.000.000,00. Berdasarkan
nilai tersebut dapat dilihat bahwa Kab Cilacap mempunyai nilai DAU yang lebih
besar daripada PAD, ini berarti Kab. Cilacap masih sangat tergantung pada dana
perimbangan dari Pemerintah Pusat. Besarnya nilai DAU dipastikan akan
menambah jumlah pendapatan Pemerintah Daerah. Berdasarkan landasan teori
tersebut, dapat menghasilkan hipotesis sebagai berikut:
H3 : Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap alokasi
belanja modal
Sumber dana perimbangan yang kedua adalah dana lokasi khusus. Dengan
adanya DAK, maka membantu mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang
ditanggung oleh Pemerintah Daerah. Lembaga penelitian SMERU (2008),
mengungkapkan bahwa sumber pendanaan untuk belanja modal salah satunya
berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Landasan teori tersebut menghasilkan
hipotesis sebagai berikut:
H4 : Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap alokasi
belanja modal
11
III. METODE PENELITIAN
1.1. Sampel dan Data Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Sedangkan sampel yang digunakan adalah Kab/Kota di Jawa dan Bali. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan metode purposive
sampling. Kriteria yang digunakan adalah Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali yang
telah memasukkan data Laporan Realisasi APBD (sektor pajak daerah, retribusi
daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan belanja modal) di situs
Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah secara rutin dari tahun 2007
hingga 2010 .
1.2. Definisi Operasional Variabel
Belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya
melebihi 1 tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan
selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan
pada kelompok belanja administrasi umum (Halim, 2004). Dalam UU No. 34
Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah, disebutkan bahwa pajak daerah
yang selanjutnya disebut sebagai pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan
pembangunan daerah.
Dalam UU No. 34 Tahun 2000 disebutkan bahwa retribusi daerah yang
selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Berdasarkan UU
No. 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari
APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-
Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN,
12
yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu
(UU No. 33 Tahun 2004).
1.3. Kerangka Pemikiran
Belanja daerah yang seringkali lebih diperhatikan adalah pengalokasian
terhadap belanja operasi. Padahal untuk pengalokasian belanja modal merupakan
hal yang penting karena belanja modal pemerintah daerah difokuskan untuk
menambah aset daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terhadap
publik.
Variabel-variabel dari APBD yang berhubungan dengan pengalokasian
belanja modal diantaranya adalah dari sektor pendapatan asli daerah yaitu pajak
daerah dan retribusi daerah. Alasan pengambilan 2 variabel ini adalah karena
pajak daerah dan retribusi daerah merupakan 2 variabel yang sangat berpengaruh
besar terhadap penerimaan yang didapatkan daerah. Sedangkan dari sektor dana
perimbangan, variabel yang berpengaruh adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Alokasi Khusus (DAK).
Berdasarkan uraian di atas maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut :Kerangka pemikiran dalam penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1
Kerangka Pemikiran
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Khusus
Belanja Modal
13
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengujian hipotesis yang pertama adalah uji asumsi klasik. Pengujian
asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas, uji
multikolonieritas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas. Hasil uji asumsi
klasik penelitian ini adalah sebagai berikut:
4.1. Hasil Uji Asumsi Klasik
4.1.1. Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah data terdistribusi secara
normal atau tidak. Penelitian ini menggunakan 2 cara untuk mengetahui tingkat
distribusi data yang digunakan. Kedua cara tersebut yaitu grafik distribusi (normal
probably plot dan histogram) dan analisis statistik. Salah satu cara termudah untuk
melihat normalitas residual adalah dengan melihat grafik histogram yang
membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi
normal (Ghozali, 2006).
Berdasarkan histogram (gambar 2), dapat dilihat bahwa kenaikan/penurunan
data observasi mendekati garis melengkung yang menggambarkan distribusi
normal.
Gambar 2
Hasil Uji Normalitas : Histrogram
14
Cara yang lebih baik dalam menentukan tingkat kenormalan distribusi data
selain menggunakan histogram adalah dengan melihat grafik normal probably
plot. Berdasarkan hasil uji normalitas dengan menggunakan normal probably plot
(gambar 3), dapat dilihat bahwa data (titik) menyebar secara teratur di sekitar
garis diagonal. Hal ini menunjukkan bahwa data yang digunakan terdistribusi
secara normal sehingga model regresi memenuhi asumsi klasik. Hasil ini sesuai
dengan hasil yang diperoleh dengan melihat histogram.
Gambar 3
Hasil Uji Normalitas : Grafik Normal Probably Plot
Uji normalitas dengan menggunakan grafik distribusi merupakan suatu cara
yang sangat sederhana dalam menentukan tingkat distribusi data. Untuk
memberikan hasil yang lebih valid, maka uji normalitas juga dilakukan dengan
menggunakan analisis statistik. Analisis statistik ini bertujuan untuk memperkuat
hasil yang diperoleh dari grafik distribusi. Analisis statistik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah uji statistik nonparametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S).
15
Tabel 1
Hasil Uji Normalitas : Kolmogorov-Sminov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 168
Normal Parametersa Mean .0000000
Std. Deviation .41915672
Most Extreme Differences Absolute .049
Positive .049
Negative -.048
Kolmogorov-Smirnov Z .641
Asymp. Sig. (2-tailed) .806
Hasil uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S)
pada tabel 1 menunjukkan nilai 0,641 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,806.
Karena hasil Kolmogorov-Smirnov menunjukkan signifikansi diatas 0,05 (sebesar
0,806) maka hal tersebut menunjukkan bahwa data residual terdistribusi secara
normal. Hasil uji ini memperkuat hasil uji normalitas dengan grafik distribusi
dimana keduanya menunjukkan hasil bahwa data terdistribusi secara normal.
4.1.2. Hasil Uji Multikolonieritas
Uji multikolonieritas dilakukan untuk menguji apakah pada model regresi
ditemukan korelasi antarvariabel independen. Jika tidak terjadi korelasi
antarvariabel independen maka dapat dikatakan bahwa model regresi tersebut
baik. Untuk mengetahui adanya multikolonieritas, dapat dilihat dari nilai
Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF). Nilai cut-off yang biasa dipakai
untuk menunjukkan adanya multikolonieritas adalah nilai tolerance < 0,10 atau
sama dengan nilai VIF > 10.
16
Berdasarkan hasil uji multikolonieritas (tabel 2), dapat dilihat bahwa nilai
tolerance pajak sebesar 0,590, retribusi 0,602, DAU 0,590, dan DAK 0,733.
Keempat variabel independen dalam penelitian ini memiliki nilai tolerance diatas
0,10 yang berarti bahwa tidak terjadi korelasi antarvariabel independen. Hasil
yang sama dilihat dari nilai VIF keempat variabel independen yang menunjukkan
angka dibawah 10 (pajak 1,694, retribusi 1,662, DAU 1,694 dan DAK 1,364).
Jadi dapat disimpulkan bahwa model regresi terbebas dari multikolonieritas
antarvariabel.
4.1.3. Hasil Uji Autokorelasi
Autokorelasi menunjukkan adanya korelasi antara kesalahan pengganggu
pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya).
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, digunakan pengujian Durbin-Watson
dengan ketentuan sebagai berikut:
Tabel 2
Hasil Uji Multikolonieritas
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 4.549 1.042 4.366 .000
Pajak .235 .033 .496 7.085 .000 .590 1.694
Retribusi .128 .054 .164 2.361 .019 .602 1.662
DAU .300 .100 .211 3.008 .003 .590 1.694
DAK -.020 .056 -.023 -.362 .717 .733 1.364
a. Dependent Variable: Belanja.Modal
17
Tabel 3
Pengambilan Keputusan Autokorelasi
Hipotesis nol Keputusan Jika
Tidak ada autokorelasi positif Tolak 0<d<d1
Tidak ada autokorelasi positif No decision d1≤d≤du
Tidak ada autokorelasi negatif Tolak 4-d1≤d≤4
Tidak ada autokorelasi negatif No decision 4-du≤d≤4-d1
Tidak ada autokorelasi, positif atau negatif Tidak ditolak du≤d≤4-du
Tabel 4
Hasil Uji Autokorelasi : Durbin-Watson
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .839a .703 .696 102927.888 1.817
a. Predictors: (Constant), Dana_Alokasi_Khusus, Retribusi_Daerah, Dana_Alokasi_umum,
Pajak_Daerah
b. Dependent Variable: Belanja_Modal
Berdasarkan hasil pengujian autokorelasi (Tabel 4), maka dapat dilihat
bahwa nilai Durbin-Watson adalah sebesar 1,817. Nilai tersebut akan
dibandingkan dengan nilai tabel dengan tingkat signifikansi 5%, jumlah sampel
168 dan jumlah variabel independen 4 (k=4). Oleh karena nilai DW 1,817 lebih
besar dari batas atas (du) 1,788 dan kurang dari (4-du) 2,212, maka keputusannya
adalah H0 tidak ditolak. Maka kesimpulan yang dapat diambil adalah tidak
terdapat autokorelasi (sesuai dengan tabel pengambilan keputusan).
4.1.4. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang
lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap,
maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas.
(Ghozali, 2006). Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas.
18
Gambar 4
Hasil Uji Heteroskedastisitas
Hasil uji heteroskedastisitas dengan scatterplot menunjukkan titik-titik yang
menyebar secara tidak beraturan di sekitar angka 0 pada sumbu Y. Dengan
demikian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas
pada model regresi, sehingga model regresi layak digunakan
4.2. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
4.2.1. Koefisien Determinasi
Hasil nilai adjusted R-Square (R2) dari regresi digunakan untuk mengetahui
besarnya struktur modal yang dipengaruhi oleh variabel-variabel independen.
19
Tabel 5
Hasil Uji Koefisien Determinasi
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
1 .839a .703 .696 102927.888
a. Predictors: (Constant), Dana_Alokasi_Khusus, Retribusi_Daerah, Dana_Alokasi_umum,
Pajak_Daerah
Sumber : Data Sekunder diolah (SPSS 16.0)
Berdasarkan hasil pengujian koefisien determinasi dalam tabel 5, dapat
dilihat bahwa besarnya Adjusted R2 adalah 0,696. Hal ini berarti 69,6% variasi
belanja modal dapat dijelaskan oleh 4 variabel independen yaitu pajak daerah,
retribusi daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Sedangkan sisanya
(100% - 69,6% = 30,4%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain di luar model.
4.2.2. Hasil Uji Signifikansi Simultan (Uji f)
Uji f atau uji ANOVA bertujuan untuk menguji hubungan antara satu
variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen. ANOVA
digunakan untuk mengetahui pengaruh utama (main effect) dan pengaruh
interaksi (interaction effect) dari variabel independen kategorikal (sering disebut
faktor) terhadap variabel dependen metrik (Ghozali, 2006). Pengambilan
keputusannya adalah jika probabilitas uji f > taraf signifikansi 5% maka secara
simultan variabel-variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen.
20
Tabel 6
Hasil Uji f
Sumber : Data Sekunder diolah (SPSS 16.0)
Berdasarkan hasil uji ANOVA atau uji f (tabel 6), diperoleh f hitung sebesar
45.585 dengan nilai probabilitas 0,000 (signifikan). Karena nilai probabilitas lebih
kecil daripada 0,05, maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi
belanja modal atau dapat dikatakan bahwa pajak daerah, retribusi daerah, dana
alokasi umum, dan dana alokasi khusus secara simultan dengan taraf signifikansi
5% mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap belanja modal.
4.2.3. Hasil Uji Signifikansi Parsial (Uji t)
Uji statistik t menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel
independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen
(Ghozali, 2006).
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 32.822 4 8.206 45.585 .000a
Residual 29.341 163 .180
Total 62.163 167
a. Predictors: (Constant), DAK, Retribusi, DAU, Pajak
b. Dependent Variable: Belanja.Modal
21
Tabel 7
Hasil Uji t
Sumber : Data Sekunder diolah (SPSS 16.0)
Berdasarkan hasil uji t, dapat dilihat bahwa dari keempat variabel
independen yang dimasukkan ke dalam model regresi, variabel dana alokasi
khusus (DAK) tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Hal ini dapat
dilihat dari nilai probabilitas untuk dana alokasi khusus sebesar 0,717 yang jauh di
atas taraf signifikansi 0,05. Sedangkan variabel pajak daerah, retribusi daerah, dan
dana alokasi umum berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, dengan nilai
probabilitas masing-masing 0,000, 0,019, dan 0,003.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
variabel belanja modal dipengaruhi oleh pajak daerah, retribusi daerah, dan dana
alokasi umum dengan persamaan sistematis sebagai berikut:
Alokasi Belanja Modal = 4,549 + 0,235Pajak + 0,128Retribusi + 0,300DAU -
0,020 DAK
Keterangan :
Pajak : Pajak Daerah
Retribusi : Retribusi Daerah
DAU : Dana Alokasi Umum
DAK : Dana Alokasi Khusus
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 4.549 1.042 4.366 .000
Pajak .235 .033 .496 7.085 .000 .590 1.694
Retribusi .128 .054 .164 2.361 .019 .602 1.662
DAU .300 .100 .211 3.008 .003 .590 1.694
DAK -.020 .056 -.023 -.362 .717 .733 1.364
a. Dependent Variable: Belanja.Modal
22
Persamaan tersebut dapat diartikan:
Konstanta (nilai mutlak Y) sebesar 4,549 menyatakan bahwa jika variabel
independen dianggap konstan, maka alokasi belanja modal tiap daerah sebesar
4,549 (dalam jutaan rupiah).
Koefisien regresi Pajak sebesar 0,235 menyatakan bahwa setiap ada kenaikan
pajak sebesar 1% maka akan meningkatkan belanja modal sebesar 0,235 atau
sebesar 23,5%.
Koefisien regresi Retribusi sebesar 0,128 menyatakan bahwa setiap ada
kenaikan retribusi sebesar 1% maka akan meningkatkan belanja modal sebesar
0,128 atau 12,8%.
Koefisien regresi Dana Alokasi Umum sebesar 0,300 menyatakan bahwa setiap
ada kenaikan dana alokasi umum sebesar 1% maka akan meningkatkan belanja
modal sebesar 0,300 atau 30%.
4.3. Pembahasan
Berdasarkan pengujian t yang telah dilakukan, maka berikut ini adalah
ringkasan hasil pengujian hipotesis:
Tabel 4.8
Ringkasan Hasil Uji Hipotesis
No Hipotesis Hasil Uji
H1 Pajak Daerah berpengaruh positif terhadap pengalokasian
anggaran Belanja Modal
Diterima
H2 Retribusi Daerah berpengaruh positif terhadap pengalokasian
anggaran belanja modal
Diterima
H3 Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap
pengalokasian anggaran belanja modal
Diterima
H4 Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap
pengalokasian anggaran belanja modal
Ditolak
23
Berdasarkan hasil uji t di atas, dapat dilihat bahwa nilai B untuk variabel
pajak daerah pada kolom unstandardized coefficients menunjukkan nilai yang
positif yaitu 0,235 dan nilai probabilitas untuk variabel pajak daerah adalah 0,000.
Karena nilai probabilitas ini lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05, maka
kesimpulannya adalah pajak daerah secara individual mempunyai pengaruh positif
dan signifikan terhadap belanja modal.
Pada tabel 7, dapat dilihat bahwa Nilai B untuk retribusi daerah
menunjukkan nilai yang positif yaitu sebesar 0,128. Nilai probabilitas retribusi
daerah sebesar 0,019. Karena nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari taraf
signifikansi 0,05. Ini berarti retribusi daerah secara individual mempunyai
pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Dengan demikian maka
kesimpulannya adalah hipotesis 2 diterima.
Pada output regresi dapat dilihat bahwa Dana Alokasi Umum (DAU)
mempunyai nilai B yang positif yaitu 0,300 dan nilai probabilitas sebesar 0,003.
Nilai probabilitas ini lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05, sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa dana alokasi umum secara individual berpengaruh
positif dan signifikan terhadap belanja modal. Sehingga dapat dikatakan bahwa
hipotesis 3 diterima.
Pada output regresi dapat dilihat bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK)
mempunyai nilai B yang negatif yaitu -0,020. Nilai probabilitas untuk dana
alokasi khusus adalah sebesar 0,717. Nilai probabilitas ini jauh melebihi taraf
signifikansi 0,05 sehingga kesimpulannya adalah dana alokasi khusus secara
individual tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Ini
berarti hipotesis 4 ditolak. Dalam UU No.34 Tahun 2004, Pemerintah Pusat belum
memiliki persentase yang pasti mengenai alokasi DAK untuk Pemerintah Daerah.
PP No. 55/2005 menyebutkan bahwa besaran DAK dalam APBN ditentukan
setiap tahun dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Alokasi
DAK ini hanya merupakan “residu” sebab besaran alokasi transfer lainnya (DAU
dan DBH) sudah ditentukan persentasenya dalam UU sehingga penetapannya
akan didahulukan (Poesoro, 2008).
24
V. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pengujian statistik dengan menggunakan regresi linier
berganda, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pajak daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja
modal. Sehingga apabila terjadi kenaikan pada pajak daerah, maka akan
meningkatkan alokasi belanja modal.
2. Retribusi daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja
modal. Sehingga apabila terjadi kenaikan pada retribusi daerah, maka akan
meningkatkan alokasi belanja modal.
3. Dana Alokasi Umum (DAU) daerah berpengaruh positif dan signifikan
terhadap alokasi belanja modal. Sehingga apabila terjadi kenaikan pada DAU,
maka akan meningkatkan alokasi belanja modal.
4. Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap alokasi belanja modal. Sehingga apabila terjadi kenaikan pada DAK,
maka tidak akan mempengaruhi alokasi belanja modal.
5. Pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus
secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.
Keterbatasan
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan, diantaranya adalah:
1. Periode penelitian hanya 4 tahun yaitu dari tahun 2007 sampai tahun 2010
sehingga mempengaruhi hasil yang diperoleh.
2. Data realisasi anggaran tahun 2010 merupakan data yang sifatnya masih
sementara, sehingga belum dapat menggambarkan secara penuh kondisi
realisasi APBD untuk tahun tersebut.
3. Variabel independen yang digunakan hanya terbatas pada komponen yang
tercantum dalam laporan realisasi anggaran, tanpa menambahkan variabel
lain di luar laporan realisasi anggaran
25
Saran
1. Untuk Pemerintah Daerah sebaiknya lebih memperhatikan bagaimana
meningkatkan pajak daerah, retribusi daerah, dan dana alokasi umum agar
pengalokasian anggaran ke belanja modal juga dapat meningkat.
2. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya menggunakan rentang waktu
penelitian yang lebih panjang agar memperoleh hasil yang lebih relevan.
3. Penambahan variabel baru sebagai variabel independen maupun variabel
dependen sangat penting untuk melengkapi hasil penelitian terdahulu.
26
VI. REFERENSI
Agustina, Wiwit, 2009, Pengaruh Pendapatan Domestik Regional Bruto,
Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Transfer Terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal, Tesis Program Pasca Sarjana Megister Sains
Akuntansi Universitas Diponegoro, (tidak dipublikasikan)
Bastian, Indra, 2006, Akuntansi Sektor Publik : Suatu Pengantar, Erlangga,
Jakarta
Bastian, Indra, 2006, Sistem Akuntansi Sektor Publik Edisi 2, Salemba Empat,
Jakarta
Darise, Nurlan, 2008, Akuntansi Keuangan Daerah (Akuntansi Sektor
Publik), PT Indeks, Jakarta
Darwanto dan Yulia Yustikasari, 2007, “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal”, Simposium Nasional Akuntansi X
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, “Data Series Keuangan Daerah”,
http://www.djpk.depkeu.go.id
Ghozali, Imam, 2006, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS :
Cetakan IV, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
Ghozali, Imam, 1993, Pokok-Pokok Akuntansi Pemerintahan : Edisi 3, BPFE,
Yogyakarta
Ghozali, Imam, Dwi Ratmono, 2008, Akuntansi Keuangan Pemerintah Pusat
(APBN) dan Daerah (APBD), Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang
Halim, Abdul, 2004, Akuntansi Keuangan Daerah : Edisi Revisi, Salemba
Empat
Halim, Abdul & Syukriy Abdullah, 2006, Hubungan dan masalah keagenan di
pemerintahan daerah: sebuah peluang penelitian anggaran dan akuntansi,
Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64
Halim, Abdul & Syukriy Abdullah, 2006, Study atas Belanja Modal pada
Anggaran Pemerintah Daerah Dalam Hubungannya dengan Belanja
Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan, Jurnal Akuntansi Pemerintah
Vol.2 No.2
27
Harianto, David dan Priyo Hari Adi, “Hubungan Antara Dana Alokasi Umum,
Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Perkapita”
Simposium Nasional Akuntansi X, Unhas Makassar, 26-28Juli 2007
Kawedar, Warsito, Abdul Rohman dan Sri Handayani, 2008, Akuntansi Sektor
Publik : Buku 1, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
Khusaini, Mohammad, 2006, Ekonomi Publik Desentralisasi Fiskal dan
Pembangunan Daerah, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya, Malang
Maimunah, Mutiara, “Flypaper Effect Pada Dana Aloaksi Umum (DAU) Dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah Pada
Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera”, Simposium Nasional Akuntansi IX,
Padang, 23-26 Agustus 2006
Mardiasmo, 2004, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit ANDI, Yogyakarta
Mardiasmo, 2006, Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui
Akuntansi Sektor Publik : Suatu Sarana Good Governance, Jurnal
Akuntansi Pemerintah, Vol.2, No.1, Hal 1-17
Poesoro, Adri, 2008, Mekanisme Penetapan Alokasi DAK, Lembaga
Penelitian, SMERU, http://www.smeru.or.id
Prawira, Vidi Yudha, 2009, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan
Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal Pada Pemerintah Kab/Kota di Jawa Tengah,
Skripsi Program Sarjana Ekonomi Universitas Diponegoro, (tidak
dipublikasikan)
Robert D Mason, Douglas A.Lind, 1999, Teknik Statistika untuk Bisnis dan
Ekonomi : Jilid 2, Erlangga, Jakarta
Rohman, Abdul, 2009, Akuntansi Sektor Publik, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang
Santosa, Purbayu Budi dan Ashari, 2005, Analisis Statistik dengan Microsoft
Excel dan SPSS, Penerbit ANDI, Yogyakarta
Sianturi, Agave, 2010, Pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Terhadap Pengalokasian Belanja Modal Pada Pemerintah
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, Skripsi Program Sarjana Ekonomi
Universitas Sumatera Utara
28
Singgih, Santoso. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: Elex
Media Komputindo
________ . PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
________ . UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
________ . UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
________ . UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
________ . UU No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah