Upload
nurulkalsum
View
121
Download
16
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Arsitektur Etnik Toraja
Citation preview
ARSITEKTUR ETNIKPENGARUH NILAI RITUAL, RELIGI, DAN KOSMOLOGI PADA
ARSITEKTUR DAN INTERIOR RUMAH TRADISIONAL TONGKONAN DI TORAJA
Sebelum membahas lebih dalam mengenai rumah tradisional Tongkonan maka kita
sebaiknya memahami sedikit mengenai apa itu rumah traditional. Rumah menurut Van
Romondt (1965, dalam Said,2004) adalah suatu shelter atau tempat berlindung manusia
dalam menghadapi cuaca panas, dingin, hujan dan angin. Dahulu, pengertian rumah tinggal
adalah sebagai tempat berlindung dari panasnya terik sinar matahari atau serangan binatang
buas yang menjadi musuh manusia. Namun sekarang, selain untuk hal tersebut di atas, juga
berarti sebagai tempat beristirahat, membina individu/keluarga, tempat bekerja, dan sekaligus
juga sebagai lambang sosial. Bagi masyarakat primordial, rumah merupakan tempat
berlindung untuk menghindari dari bahaya-bahaya rohani yang mengancam. Sedangkan
pengertian rumah tradisional, yaitu suatu bangunan dimana struktur, cara pembuatan, bentuk,
fungsi, dan ragam hiasnya mempunyai ciri khas tersendiri, yang diwariskan secara turun-
temurun, serta dapat dipakai oleh penduduk daerah setempat untuk melakukan aktifitas
kehidupan dengan sebaik-baiknya (Said,2004).
Secara umum arsitektur tradisional di Indonesia menarik untuk dikaji, selain karena
keunikan juga karena keindahannya. Hal hal terkait pengkajiannya seperti, bentuk konstruksi
kolong, menggunakan bahan-bahan yang didapat di lingkungan, di latar belakangi
kepercayaan dan budaya, serta mempunyai ciri tersendiri. Salah satu contohnya adalah rumah
tradisional Tongkonan di Toraja. Suku bangsa Melayu di Toraja merupakan salah satu etnik
di Sulawesi Selatan yang kaya akan adat kebudayaan dimana hal tersebut dinilai sakral dan
unik. Ritual yang dilakukan tentunya disesuaikan dengan pergerakan budaya Suku Toraja
yang dipengaruhi oleh Aluk Todolo. Aluk Todolo yaitu “Aluk”: jalan, aturan, hukum,
keyakinan, agama; dan “Todolo”: leluhur. Aluk Todolo menjadi tali pengikat dan landasan
kesatuan masyarakat Toraja yang sangat kokoh. Kemanapun orang Toraja pergi harus selalu
“kembali” ke kampung halamannya, ke rumah Tongkonan (rumah adat; leluhurnya).
Kata Tongkonan menurut Said (2004:49), berasal dari kata Tongkon yang berarti
'tempat duduk', mendapat akhiran 'an' maka menjadi Tongkonan yang artinya tempat du-duk.
Dahulu Tongkonan adalah pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan
sosial budaya masyarakat Tana Toraja. Tongkonan tidak bisa dimiliki oleh perseorangan,
melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.
Dengan sifatnya yang demikian, Tongkonan dapat diartikan beberapa fungsi, antara
lain pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan
kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial, sehingga fungsi
Tongkonan tidaklah sekedar sebagi tempat untuk duduk bersama, lebih luas lagi meliputi
segala aspek kehidupan. Apabila mempelajari letak dan upacara-upacara yang dilaksanakan,
melalui simbol-simbolnya akan diketahui bahwa Tongkonan adalah simbol sosial dan simbol
alam raya. Oleh karena itu, orang Toraja sangat men"sakral"kan Tongkonan.
Dalam perancangan arsitektur Tongkonan berikut akan dibahas mengenai kaitannya
dengan religi, ritual dan aspek kosmologi yang menjadi kepercayaan dan diyakini oleh
masyarakat Toraja.
A. RELIGI
Rumah tradisional Toraja yang disebut Tongkonan mempunyai peranan yang
sangat penting karena berhubungan langsung dengan kepercayaan Aluk Todolo. Aluk
Todolo menurut Said (2004:26), berasal dari kata Aluk yang berarti aturan atau upacara
dan Todolo yang artinya leluhur atau nenek moyang. Menurut E. Bernard M. dari Dinas
Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Tana Toraja menjelaskan, bahwa Aluk Todolo
merupakan dasar dari setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat Toraja termasuk adat-
istiadatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Aluk Todolo merupakan
kepercayaan leluhur yang menjadi dasar dari setiap sendi-sendi kehidupan dan adat-
istiadat masyarakat Toraja.
Oleh karena itu menurut kepercayaan ini, manusia harus menyembah, memuja
dan memuliakan Puang Matua atau Sang Pencipta diwujudkan dalam berbagai bentuk
sikap hidup dan ungkapan ritual. Setelah Puang Matua Menurunkan Aluk kepada Datu
La Ukku sebagai manusia pertama, kemudian memberikan kekuasaan kepada para Deata
atau Dewa untuk menjaga dan memelihara manusia. Oleh karena itu Deata disebut pula
sebagai Pemelihara yang menurut ajaran Aluk Todolo tidak tunggal tetapi di golongan
menjadi tiga yaitu: Deata Langi' (Sang Pemelihara Langit menguasai seluruh isi langit
dan cakrawala), Deata Kapadanganna (Sang Pemelihara Bumi, menguasai semua yang
ada di bumi) dan Deata Tangngana Padang (Sang Pemelihara Tanah, menguasai isi
bumi). Masing-masing golongan terdiri dari beberapa Deata yang menguasai bagian-
bagian tertentu misalnya gunung, sungai, hutan dan lain-lain (Tangdilinting,1981).
Dalam konteks ini Perwujudan dari kepercayaan secara nyata juga dapat
dijumpai pada bangunan tradisional masyarakat Toraja yaitu Tongkonon, dimana ajaran
Aluk Todolo yang menjadi dasar penataan ruang dalam Tongkonan sekaligus penemuan
perwujudan arsitektural Tongkonan.
Menurut ajaran Aluk Todolo, alam raya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
pertama, “Dunia Atas‟ berada pada tingkat tertinggi, Ulunna langi’ (kepala langit)
tempat bersemayamnya Puang Matua (Tuhan yang maha tinggi), yang menjaga
keseimbangan siang dan malam di dunia dan diasosiasikan dengan ‟matahari‟. Yang
mana merupakan sesuatu yang tidak tergantung pada apapun, disebut allo (siang
hari/terang) dan diidentifikasikan sebagai laki-laki, berada di atas, terang dan baik.
Kedua, ‟Dunia Tengah‟ berada di permukaan bumi tempat manusia menjalani
kehidupan ( padang), dan wajib melaksanakan upacara-upacara persembahan dan
pemujaan dalam tiap fase kehidupannya. Selain itu, dunia ini merupakan tempat
pertemuan antara Dunia Atas dan Dunia Bawah karena itu dikonotasikan sebagai
kerukunan, gotong-royongan, dan yang terpenting mewakili pengertian harmonisasi.
Dalam kepercayaan Aluk Todolo, harmonisasi merupakan keseimbangan susunan alam,
keseimbangan perintah dan larangan (pemali-pemali), yang mengatur keseimbangan
sosial, keseimbangan mobilitas horizontal dan keseimbangan antara Timur, dan Barat,
Utara dan Selatan.
Ketiga, ‟Dunia Bawah‟ berada di bawah air, diidentifikasi sebagai bawahan dan
buruk (neraka). Bagian ini ditopang diatas kepala dewa Pong Tulak Padang yang
mendukung dan memberikan spirit (semangat) pada Tongkonan dan kehidupan manusia
di bumi. Pola pikir tersebut akhirnya diwujudkan secara mikro pada ruang-ruang dalam
Tongkonan.
Pembagian alam raya berdasarkan kepercayaan Aluk Todolo kemudian menjadi
konsep dasar terwujudnya bentukan rumah Tongkonan.
(Sumber: Said, 2004: 37)
Keterangan gambar:
a. Atap dan bagian muka, terutama bagian berbentuk segitiga dari dinding muka
dinamakan sondong para atau lido puang (wajah dari dewa-dewa),
melambangkan Dunia Atas.
b. Dunia Tengah, dunia dari manusia; bagian muka sebelah utara paling
berhubungan dengan bagian dari matahari terbit (untuk upacara di bagian timur).
c. Dunia bawah: Sama seperti Pong Tulak Padang memegang dunia di atas, jadi
rumah disangga dengan jiwa yang tinggal dalam Bumi (menurut beberapa orang
Toraja, Tulak Padang sendiri yang menyangga rumah)
d. Lubang, yang dibuka pada bagian dalam atap untuk upacara-upacara dari sebelah
timur.
(Sumber: Said, 2004: 68)
Dari pola pikir yang menjadi dasar tersebut, dapat dilihat bahwa Tongkonan
merupakan rumah panggung dengan tiga bagian utama yang merupakan gambaran
kepercayaan Aluk Todolo secara filosofi seperti yang terlihat pada gambar. Selain itu,
bentukan tersebut dibuat secara tidak langsung untuk melindungi penghuninya dari
binatang buas maupun musuh sesuai arti rumah Tongkonan di atas.
B. RITUAL
Dalam konteks ritual, masyarakat toraja punya cara sendiri dalam penataan ruang
di rumah Tongkonan. Penataan ruang disusun sedemikian rupa untuk mempermudah
pelaksanaan ritual di dalam tongkonan yang terletak pada tata letak penyajian hidangan
yang mengikuti arah Timur-Barat menurut kepercayaan Aluk Todolo. Pada upacara
rambu tuka’, sajiannya dihidangkan di bagian timur sedangkan untuk upacara rambu
solo’, sajiannya dihidangkan di bagian Barat dalam Tongkonan. Berikut penjabaran dari
perwujudan kepercayaan Aluk Todolo pada tiap ruang dalam dari Tongkonan
berdasarkan pada pembagian keempat titik mata-angin seperti yang terlihat pada gambar
berikut ini.
Denah bagian badan Tongkonan (Sumber: Said, 2004)
1. Bagian Utara Tongkonan Disebut Ulunna lino (kepala dunia) atau lindo puang
(wajah raja-raja). Bagian ini dikonotasikan sebagai kepala, bagian depan, atasan,
bagian yang dihormati, dan dianggap sebagai tempat suci tempat bersemayamnya
Puang Matua sekaligus sebagai tempat dewa memasuki rumah. Areal ini terletak
pada bagian depan Tongkonan dan dalam pelaksanaan ritual berfungsi untuk
upacara persembahan dan pemujaan kepada Puang Matua.
2. Bagian Selatan disebut pollo ‘na lino (ekor dunia) dikonotasikan sebagai kaki,
bawahan, ekor, pengikut dan tempat kotor. Di selatan bagi masyarakat Toraja,
terdapat alam Puya tempat roh-roh orang yang telah meninggal dan dijaga oleh Pong
Lalondong. Bagian ini digunakan sebagai tempat ruang tidur bagi anggota keluarga
yang mana posisi kepala menurut kepercayaan mereka harus menghadap ke utara
untuk memperoleh berkah dari Puang Matua agar terhindar dari segala jenis
penyakit.
3. Bagian Timur tempat terbitnya matahari, rampe mata allo (rampe=sisi;
allo=matahari) dikonotasikan sebagai “kehidupan‟, mewakili kebahagiaan, terang,
kesukaan, dan kegiatan yang menunjang kehidupan-tempat perapian diletakkan.
Fungsi religiusnya sebagai areal pelaksanaan ritual Aluk Rambu Tuka’, tempat
pemujaan Deata-deata (penguasa dan pemelihara bumi) dan terletak pada sisi kanan
ruang dalam Tongkonan.
4. Bagian Barat tempat terbenamnya matahari (rampe matampua), merujuk pada
“kematian‟ dan mewakili unsur gelap, kedukaan, dan semua hal yang mendatangkan
kesusahan. Bagian barat ruang ini secara religius berfungsi sebagai tempat
membaringkan tubuh mayat dengan kepala menghadap ke selatan tempat alam Puya
berada dan tempat upacara pertama orang mati yang dilakukan dalam Tongkonan.
Selain itu, juga berfungsi sebagai tempat pemujaan Tomembali Puang (arwah para
leluhur yang telah menjadi dewa atau biasanya disebut todolo) dalam pelaksanaan
ritual Aluk Rambu Solo’ dan terletak pada sisi kiri ruang dalam Tongkonan.
Bagian Timur dan Barat terletak pada sisi kanan dan kiri dari ruang tengah.
Pembagian antara bagian kanan dan kiri ditandai dengan pata’ (kayu melintang dari
ruang depan ke belakang dan membagi badan rumah secara simetris yang terdapat pada
lantai).
C. KOSMOLOGI
Dalam konsep tradisional Toraja, sebuah rumah tidak hanya memiliki dimensi
fungsional sebagai tempat hunian, tetapi juga sekaligus melalui unsur-unsur bentuk
tertentu menampilkan pandangan mendalam, dimana rumah dianggap sebagai simbol
dari jagad raya/kosmos. Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah
alam semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan
evolusi dari suatu subjek. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi, dan agama
(sumber: www.wikipedia.com). Kosmologi mencari struktur-struktur dan hukum-hukum
yang paling umum dan mendalam dalam kenyataan duniawi seluruhnya. Kosmologi
misalnya bertanya: dunia itu apa; materi itu apa; kuantitas dan kualitas itu apa;
perubahan itu apa; ruang dan waktu itu apa; penyebaban itu apa. (Baker, 1995 dalam
Said,2004).
Menurut kepercayaan Aluk Tadolo yaitu Adanya kepercayaan terhadap para
Dewa tersebut terkait dengan pandangan masyarakat Toraja terhadap rumah Tongkonan
yang dimana merupakan “alam kecil‟ (mikrokosmos) dari “alam raya‟ (makrokosmos)
sebagai pandangan kosmologi yang berdasarkan penjabaran tiap bagian maupun
fungsinya sebagai berikut :
1. Bagian Kaki (Kolong) Tongkonan
Dikenal dengan nama sulluk banua karena terbentuk oleh hubungan antara
tiang-tiang dari kayu dengan sulur (roroan). Bagian ini dahulu berfungsi sebagai
tempat mengurung binatang (kerbau dan babi) pada malam hari dan tidak
mempunyai fungsi religius.fungsi Tiang-tiang yang menyangga Tongkonan, terbuat
dari kayu dan berbentuk empat persegi panjang.
Gambar : Denah Lantai Bawah Kolong (Sumber: Said, 2004:61)
Lokasi Tanah Toraja di daerah pegunungan dengan curah hujan yang cukup
tinggi, yaitu 1.500 mm/tahun sampai dengan lebih dari 3.500 mm/tahun
menyebabkan kayu mudah lapuk dan tanah menjadi lunak. Pemikiran demikian
menghasilkan penggunaan pondasi batu alam, yang mana melindungi tiang-tiang
kayu dari air tanah sekaligus mencegah turun-nya bangunan karena lunaknya tanah.
Gambar : Pondasi batu alam pada bagian kaki
Sumber: Said, 2004:60
Bagian bawah (kolong) rumah bangsawan terdapat tiang utama rumah yang
tidak berfungsi struktural disebut a’riri posi’ (tiang pusar). Pada bagian atas pondasi
tiang-tiang kayu, digunakan sebagai lantai ruang tengah yang secara keseluruhan
terbuat dari kayu tanpa finishing.
2. Bagian Badan Tongkonan,
Bagian ini dikenal dengan nama kale banua, terdiri atas ruang-ruang yang
berjejer dari utara ke selatan dan berbentuk persegi panjang. Ruang pada bagian
badan Tongkonan terbagi atas tiga bagian, yaitu:
a. Ruang bagian depan “Tangdo‟ disebut kale banua menghadap bagian utara.
Tempat penyajian kurban pada upacara persembahan dan pemujaan kepada
Puang Matua.
b. Ruang tengah (Sali) lebih luas dan agak rendah dari ruang lainnya. Terbagi atas
bagian kiri (barat) tempat sajian kurban hewan dalam upacara Aluk Rambu
Solo’ dan bagian kanan (timur) tempat sajian kurban persembahan dalam
upacara Aluk Rambu Tuka’.
c. Ruang belakang (Sumbung) disebut pollo banua (ekor rumah) berada dibagian
selatan, tempat masuknya penyakit.
Gambar : Denah Bagian Badan (Sumber: Said, 2004)
3. Bagian Atap (Atap) Tongkonan
Atap bangunan Tongkonan terbuat dari bambu yang terpilah menjadi dua dan
disusun saling tumpang tindih. Bentuk atap Tongkonan bagi sebagian masyarakat
Toraja merupakan abstraksi dari bentuk “perahu‟.
Gambar : Transformasi bentuk perahu menjadi atap (Sumber: Said, 2004:58)
Hal ini berdasarkan dugaan adanya ikatan budaya “perahu‟ yang di bawah
oleh leluhur mereka. Selain itu, keterkaitan bentuk atap dengan kepercayaan Aluk
Todolo terdapat pada kepercayaan masyarakat bahwa roh orang yang sudah
meninggal akan menggunakan perahu untuk berlayar ke alam roh (Puya). Dugaan
tersebut diperkuat oleh garis lengkung dari punggung atap Tongkonan yang
mempunyai kesamaan dengan garis lengkung lunas perahu. Adapula beberapa
tokoh masyarakat setempat menginterpretasikan garis dan bentuk atap sebagai
gambaran tanduk kerbau berkaitan dengan kepercayaan mereka pada ‘tedong
garonto’ eanan (kerbau sebagai simbol pokok harta benda).
Pemikiran kosmologi dan “Aluk Todolo” diekspresikan dalam arsitektur Toraja,
baik dalam tata letak (site plan), orientasi, konstruksi, material bangunan, detail, ornamen
dan aspek-aspek arsitektur lainnya.
Gambar : Analisa Layout Tongkonan
Berdasarkan layout Tongkonan, ruang dalam interior Tongkonan terbagi
menjadi tiga ruangan, yakni ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang. Secara
komposisi arah mata angin, ruang depan merupakan utara, ruang tengah merupakan
arah tengah, yang di dalamnya dimaknai terbagi menjadi dua yaitu barat dan timur,
sedangkan ruang belakang merupakan selatan. Ruang depan atau sumbung berkonotasi
dengan arah utara bermakna sebagai tempat bersemayamnya Puang Matua. Karakter
yang ditunjukkan oleh Puang Matua adalah kekuatan, kesakralan dan relasional
berkelanjutan.
Pertama, karakter kekuatan dapat dilihat dari denah perkampungan adat
Toraja, Tongkonan dan lumbung saling berhadapan utara-selatan. Puang Matua
berkuasa atas seluruh kehidupan manusia dari tempat kehidupan (Tongkonan) hingga
sumber kehidupan (lumbung). Karakter yang kedua adalah kesakralan. Bagian
utara interior Tongkonan yakni ruang depan atau Sangdo digunakan sebagai tempat
pemujaan kepada Puang Matua. Karakter ketiga adalah relasional berkelanjutan.
Masyarakat Toraja mengucap syukur kepada Puang Matua atas kehidupan dan
keberadaan Tongkonan mereka membangun relasi yang baik dengan Puang Matua
melalui ritual pemujaan.
Gambar : Analisa Potongan Horizontal Tongkonan Galugu Dua
Ruang depan dan ruang belakang terlihat lebih tinggi dari ruang tengah.
Level ketinggian ruang depan dan belakang. adalah 40 cm dari ruang tengah
terlihat pada gambar. Ruang belakang berkonotasi dengan arah selatan yang dihuni
oleh Pong Tulakpadang, yang melambangkan penjaga pilar dunia bawah Ruang
belakang dikonotasikan sebagai: kaki, bawahan, ekor, penyakit, dan tempat kotor
(Said. 2004, hal.32). Tugas Pong Tulak padang adalah menjaga keseimbangan dunia
bawah, dengan harapan bahwa manusia bisa menjalankan proses kehidupan di dunia
tengah (bumi) tanpa gangguan apapun. Karakter yang ditonjolkan oleh Pong Tulak
padang ialah keamanan dan keseimbangan hidup. Keamanan maksudnya adalah
rasa aman bagi orang Toraja, ruang belakang atau sumbung ditinggali hanya ibu dan
anak perempuan. Sumbung Juga berfungsi untuk menyimpan barang berharga
(Said75). Sedangkan keseimbangan hidup dalam artian bahwa orang Toraja harus
menyeimbangkan kehidupannya antara kehidupan fisiknya di dunia ini dan
kehidupan spiritual, sebagaimana Pong Tulakpadang menjaga keseimbangan dunia
bawah agar kehidupan manusia bisa berjalan dengan baik.
Arah timur pada Tongkonan bermakna bahagia, karena dianggap sebagai
“kehidupan‟, sebaliknya arah barat malah dikonotasikan sebagai “kematian‟ (Said 33).
Secara makna Tongkonan terbagi menjadi dua sisi pada area tengah, yaitu sisi
timur dan sisi barat.
Gambar: Hubungan Kekerabatan Tongkonan
Secara kualitas, arah timur mewakili: kebahagiaan, terang, kesukaan, dan
sumber kehidupan (Said33). Sisi timur diidentifikasi sebagai tempat terbitnya
matahari, ritual upacara kehidupan aluk rambu tuka sering juga disebut aluk rampe
mata allo (rampe= sisi; allo= matahari). Rambu Tuka secara hurufiah berarti asap,
persembahan yang naik (Laporan Studi Ekskursi 81), sedangkan menurut Kobong,
pengertian dari aluk rambu tuka adalah asap yang naik, artinya asap persembahan
itu naik ke langit sebelum matahari mencapai zenith (Kobong54).
Gambar: Analisa Potongan Vertikal Tongkonan.
Berdasarkan potongan vertikal Tongkonan seperti gambar diatas, posisi
matahari sebelum mencapai puncak itu artinya adalah waktu pagi hari sampai tengah
hari, sebelum pukul 12.00. Proses matahari terbit hingga sampai di puncak, memiliki
konotasi sama dengan proses upacara aluk rambu tuka yakni pergerakan asap yang
perlahanlahan naik sampai poros bumi. Pergerakan itulah yang melambangkan
proses kelahiran dan proses kehidupan manusia bagi masyarakat Toraja (Duli,
Hasanuddin 22) Sejak lahir orang Toraja didoakan segera bertmbuh dewasa dan
bijaksana (Kobong,31).
Arah yang terakhir ialah barat (matampu). Sisi ini identik dengan matahari
terbenam, melambangkan “kematian‟, secara kualitas mewakili unsur gelap, kedukaan,
dan semua hal yang mendatangkan kesusahan (Said33). Aluk rambu solo ialah
upacara kematian, secara hurufiah berarti ketentuan-ketentuan untuk asap yang
menurun, yang artinya adalah ritus-ritus persembahan (asap) untuk orang mati,
yang dilaksanakan sesudah pukul 12.00 (tengah hari), ketika matahari mulai
bergerak turun perlahan-lahan hingga terbenamnya, yang melambangkan proses
kehidupan menuju kematian (Duli, Hasanuddin 23). Aluk rambu solo juga disebut
sebagai aluk rampe matampu, yang berarti ritus-ritus yang diadakan di sebelah
barat, karena sesudah pukul 12.00 matahari berada di sebelah barat. Oleh karena
itulah ritus-ritus persembahan upacara kematian (aluk rambu solo) dilaksanakan di
sebelah barat atau barat daya Tongkonan (Kobong49).
Bagian utara-selatan berbicara mengenai adanya dua pihak yang saling
bertentangan, yaitu sakral, dan penyakit. Ruang depan (sangdo) yang seharusnya sakral
justru kosong tanpa alat ritual penyembahan, sedangkan ruang belakang (sumbung)
yang dianggap penyakit justru tidak dihindari, malah digunakan sebagai ruang
tidur perempuan, harta-harta keluarga juga disimpan di sumbung. Sementara itu bagian
timur-barat membahas mengenai permasalahan inti dari sebuah kehidupan di dunia
ini, yaitu proses kelahiran dan proses kematian. Perbedaan itu tujuannya untuk
menegaskan mana batasan etika kehidupan dan mana batasan kerohanian dalam
Tongkonan.
KESIMPULAS
Dari beberapa penjabaran mengenai bangunan rumah Tongkonan dapat
disimpulkan bahwa organisasi ruang rumah Tongkonan memperlihatkan hubungan tiap
ruang yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan ruang tengah
(sali) sebagai pusat kegiatan. Organisasi ruang Tongkonan memperlihatkan Zoning dan
Grouping yang pengaturannya disesuaikan dengan kosmologi kepercayaan orang Toraja
yaitu Aluk Todolo. Pengorganisasian ruang mengambarkan pembagian tiga dunia yang
mana ruang depan (Tangdo) gambaran Dunia Atas secara filosofis, ruang tengah (Sali)
gambaran dari Dunia Tengah dan ruang belakang (Sumbung) menggambarkan Dunia
Bawah. Selain itu, pengorganisasian ruang yang sederhana tersebut memperlihatkan
secara langsung bahwa kegiatan penghuni sebagian besar dilakukan di luar rumah.
Selanjutnya pembagian ruang Tongkonan disesuaikan dengan empat arah mata angin
menurut kosmologi kepercayaan Aluk Todolo. Pembagian ruang ini dimaksudkan untuk
mempermudah peletakan persembahan pada saat pelaksanaan upacara adat yang
merupakan tradisi masyarakat Toraja
DAFTAR PUSTAKA
Said, Abdul Azis. 2004.Toraja Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional.Yogyakarta: Ombak
Yogyakarta. Mahasiswa Program Studi Arsitektur Universitas Kristen Petra. Laporan Studi Ekskursi’ 81 Sulawesi SelataN, Surabaya. 1981
Sutedjo, S.B., 1997, Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitektur di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta
Tangdilinting, L.T., 1981, Toraja dan Kebudayaannya, Yayasan Lepongan Bulan, Tana Toraja.
Sumber website :
http://dimensi.petra.ac.id/index.php/ars/article/viewFile/15746/15738
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=32382&val=2301
http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/desain-interior/article/viewFile/2279/2066
http://www.academia.edu/6581152/TRANSFORMASI_TATANAN_RUANG_DAN_BEN UK_PADA_INTERIOR_TONGKONAN_DI_TANA_TORAJA_SULAWESI_SELATAN