Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGANTAR
Bilamana saya merenungkan orang Indian, selalu terbayang juga tentang orang Turki . Mungkin ini sekilas tampak aneh, tapi sungguh beralasan. Walaupun di antara keduanya hanya terdapat sedikit persamaannya, namun mereka serupa dalam suatu hal, bahwa sepertinya mereka bagian dari masa lalu. Orang Turki selalu dibandingkan dengan orang sakit, sementara bagi barangsiapa yang tahu selukbeluk orang Indian, menjulukinya sebagai orang sekarat.
Benar, bangsa kulitmerah ini sedang sekarat! Dari kepulauan Tanah-Api sampai melampaui danau-danau besar di Amerika Utara tergeletak raksasa yang gering, dicampakkan oleh nasib pahit yang tidak mengenal belaskasihan. Mereka telah berjuang sekuat tenaga untuk mengubah nasib buruknya, tetapi sia-sia. Kekuatannya kian melemah dari hari ke hari, napasnya tinggal tersengal, dan semangat yang dari waktu ke waktu memberi kehidupan terhadap tubuh mereka kini telah padam. Suatu isyarat bahwa maut sudah dekat menjemput.
Apakah mereka bersalah atas kematian yang belum saatnya ini? Apakah mereka pantas ditimpa nasib sekejam itu?
Jika benar bahwa semua yang hidup memiliki hak untuk hidup dan jika prinsip ini berlaku untuk semua orang tanpa kecuali, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, maka orang kulitmerah pun memiliki hak yang sama untuk hidup, seperti halnya dengan orang kulitputih. Mereka juga boleh menuntut hak untuk mengembangkan diri dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan sesuai dengan jati dirinya. Tentu saja orang bisa membantahnya dengan berkata bahwa orang Indian tidak memiliki pembawaan dasar untuk membentuk suatu negara. Benarkah demikian? Saya katakan, tidak! Sayang, saya tidak bisa memaparkan alasan-alasannya karena saya tidak bermaksud untuk menulis karangan ilmiah tentang hal itu. Orang-orang kulitputih mendapat kesempatan untuk berkembang secara alami. Secara bertahap mereka beralih dari budaya berburu ke budaya menggembala ternak, kemudian dari sana ke budaya bercocoktanam dan akhirnya mencapai budaya industri. Proses ini berlangsung selama ratusan tahun. Sementara itu orang kulitmerah tidak mendapat kesempatan itu karena mereka tidak diberi waktu. Sebagai pemburu mereka harus membuat loncatan yang besar dari tahap pertama ke tahap terakhir. Ketika mereka dituntut untuk berubah, orang sama sekali tidak berpikir bahwa mereka akan gagal dan akan terluka akibat perubahan itu.
Bahwa pihak yang lemah harus menyingkir demi pihak yang kuat, ini merupakan hukum yang kejam. Namun karena hukum itu sudah menyebar dalam alam dan sudah mendapat pengakuan, maka kita harus menerima bahwa kekejaman seperti itu hanya merupakan pembenaran kristiani, karena bukankah kebijakan hakiki yang mendasari hukum itu adalah juga cintakasih sejati? Apakah kita boleh mengatakan bahwa kepunahan suku Indian berhubungan dengan pembenaran kekejaman seperti di atas?
Ketika orang kulitputih tiba, mereka disambut oleh orang Indian bukan saja dengan ramah, tapi bahkan juga dengan semacam suatu penghormatan sakral. Imbalan apa yang kemudian diperoleh orang Indian? Jelas dengan sendirinya bahwa tanah yang ditempati orang Indian adalah milik mereka. Tetapi tanah itu kemudian dirampas orang kulitputih. Setiap orang yang pernah membaca kisah terkenal tentang "Conquistadores" pasti tahu bahwa di sana telah terjadi pertumpahan darah dan tindakan penuh kekejaman. Dan metode seperti ini terus diterapkan
belakangan. Orang kulitputih datang dengan memasang senyum manis di wajah, tetapi menyelipkan pisau tajam di pinggang berikut senjata api yang siap ditembakkan di tangan. Mereka menjanjikan cintakasih dan perdamaian dalam omongan, namun menebar kebencian dan pertumpahan darah. dalam kenyataan Orang kulitmerah harus menyingkir setapak demi setapak. Pada mulanya mereka diberi hak "istimewa" atas wilayah teritorialnya. Tetapi setelah beberapa saat mereka dikejar dan diusir keluar dari tanahnya sendiri, semakin hari semakin jauh. Orang kulitputih "membeli" tanah dari orang Indian tanpa membayarnya, atau menukarkannya dengan barang tak berharga yang tidak bisa dipakai oleh orang Indian. Bahkan secara diam-diam mereka disuguhkan racun yang disembunyikan di dalam "Air-api" berikut kemudian penyakit cacar dan penyakit-penyakit lain yang lebih parah dan menjijikkan. Penyakit itu menghancurkan seluruh suku Indian dan desa-desanya. Jika kulitmerah menuntut haknya, kulitputih menjawab dengan mesiu dan peluru. Dan mereka pun harus menyingkir dari senjata kulitputih yang lebih handal. Karena kecewa, mereka membalas dendam dengan membunuh setiap kulitputih yang dijumpai. Akibatnya, pembantaian massal yang resmi terhadap kulitmerah pun tak terelakkan lagi. Oleh karena itu, mereka yang sebenarnya adalah pemburu yang penuh percaya diri, gagah, berani, mencintai kebenaran, jujur, dan setiakawan; kini berubah menjadi orang yang licik, penuh prasangka dan suka berbohong. Tetapi mereka tidak bisa berbuat lain, karena bukan mereka, melainkan orang kulitputihlah yang bersalah atas semua yang terjadi.
Apa yang terjadi dengan kawanan mustang yang dulu biasa mereka tangkap dengan gesit dari atas kuda tunggangan, kemana perginya kawanan itu sekarang? Dimana mereka kini bisa mendapat lagi bison yang menjadi santapannya seperti ketika ribuan kawanan itu masih berkeliaran di hutan-hutan prairie? Sekarang apa sumber nafkah mereka? Apakah dari tepung gandum dan daging yang dibagikan kepada mereka? Lihatlah, betapa banyak bubuk kapur dan bahan asing lain yang terdapat dalam tepung itu. Siapa yang dapat menyantapnya? Jika sebuah suku dijanjikan seratus ekor lembu yang sangat tambun, hanya dalam beberapa hari lembu itu telah berubah menjadi dua atau tiga sapi tua yang begitu kurus bahkan burung ruak pun enggan menyantapnya. Atau haruskah orang kulitmerah hidup dengan bercocoktanam? Apakah mereka bisa mengharapkan hasil panenan, sementara mereka tidak mempunyai hak dan terus didesak serta tidak diberi tempat untuk menetap?
Dulu mereka kelihatan begitu percaya diri dan anggun ketika berkendara melintasi padang sabana yang luas seraya diterpa oleh lambaian surai kudanya. Dan kini mereka kelihatan sengsara dan hina dengan pakaian compang-camping yang tidak mampu menyembunyikan kesengsaraannya. Mereka yang dulu mempunyai tenaga sangat kuat sehingga mampu membunuh seekor beruang dengan tangan kosong, kini seperti anjing kudisan yang kelaparan dan berkeliaran dari rumah ke rumah untuk mengemis sekerat daging atau untuk ... mencurinya!
Begitulah, mereka sudah menjadi orang sekarat yang siap dijemput maut. Dan kita berdiri terharu di samping tempat tidurnya tetapi menutup mata terhadap nasibnya. Berdiri di samping tempat tidur seseorang yang akan meninggal merupakan pengalaman yang menyedihkan. Tapi kesedihan itu akan menjadi seratus kali lipat jika yang mati itu adalah sebuah sukubangsa. Banyak pertanyaan akan muncul, terutama: apa yang dapat dihasilkan oleh sukubangsa ini jika mereka diberikan waktu dan tempat untuk mengembangkan semua bakat dan kemampuannya? Bukankah itu berarti sebuah budaya yang khas harus hilang dari peradaban manusia bersama punahnya bangsa ini? Bangsa yang sedang
menghadapi maut ini tidak mampu menyesuaikan diri dengan budaya lain karena mereka memiliki keunikan tersendiri. Haruskah mereka dibunuh karena alasan itu? Apakah mereka tidak bisa ditolong? Mengapa bison-bison bisa dipindahkan ke Taman Nasional Montana dan Wyoming agar binatang ini tidak punah, sementara orang Indian yang menjadi tuan tanah di sana tidak diberikan tempat tinggal agar mereka bisa hidup dengan damai dan berkembang secara maksimal?
Namun apa gunanya pertanyaan ini jika kematian mereka tidak bisa dihindari lagi? Apa gunanya kita mengecam jika semuanya sudah terlambat? Saya hanya bisa mengeluh tetapi tidak bisa mengubah apa pun. Saya hanya bisa berkabung tetapi tidak mampu menghidupkan kembali orang mati! Ya ... itulah saya. Tetapi saya mengenal orang Indian dalam waktu yang lama. Di antara mereka, saya mengenal seorang yang cerdas, berwibawa, baik hati dan hingga kini dia masih tetap hidup dalam hati dan ingatan saya. Dia adalah teman paling baik, setia dan rela berkorban. Dia memiliki tipe asli orang Indian. Dan ketika bangsa ini dihancurkan, dia pun turut gugur, dia hilang dari kehidupan karena terkena peluru dari seorang musuh. Saya menyayangi dia tiada duanya dan sampai sekarang saya mengagumi bangsa yang nyaris punah ini. Dan dia adalah putra terbaik dari bangsa ini. Seandainya bisa, saya akan memberikan nyawa saya agar dia tetap hidup seperti dia yang ratusan kali telah mempertaruhkan nyawanya demi saya. Saya tidak rela dia gugur setelah dia muncul sebagai dewa penolong bagi para sahabatnya. Namun kiranya hanya jasadnya saja yang musnah sedangkan namanya akan tetap hidup dalam buku ini, seperti halnya dalam hati saya. Dialah Winnetou, kepala suku yang agung dari sukubangsa Apache.
Dengan buku ini saya ingin mengenangnya. Dan jika para pembaca mampu melihatnya dengan matahati dan kemudian membuat penilaian yang adil terhadap suatu sukubangsa yang memiliki kepala suku itu sebagai pahlawannya, maka saya merasa sangat tersanjung. Pengarang
BAB SATU
SEORANG GREENHORN
Pembaca yang budiman, tahukah Anda, apa makna kata “greenhorn”? Ini
adalah sebuah julukan yang sangat menjengkelkan dan bernada menghina. Green
artinya hijau dan kata horn diartikan alat peraba. Jadi greenhorn1 adalah orang
yang masih hijau, pendatang baru dan belum berpengalaman di suatu daerah. Dia
bertindak hati-hati dan memasang alat peraba baik-baik supaya tidak ditertawakan.
Greenhorn adalah seseorang yang tidak beranjak dari kursinya ketika
seorang lady2 meminta ingin duduk di situ; dia menyalami tuan rumah terlebih
dahulu, kemudian baru membungkukkan badannya kepada nyonya rumah dan
anakdaranya. Dia seseorang yang terbalik mengisi senapannya. Mula-mula dia
memasukkan sumbat, kemudian peluru dan terakhir mesiu ke dalamnya.
Greenhorn tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali, atau dia hanya bisa berbahasa
Inggris yang dibuat-buat. Baginya, Inggris yankee3 atau gaya bahasa orang
pedalaman sama-sama memuakkan, sehingga sama sekali tidak pernah terpikir
olehnya untuk mempelajari, apalagi mengucapkannya. Greenhorn menganggap
racoon4 sebagai opossum5 dan menganggap wanita blasteran negro dengan
kulitputih seorang quadroone6.
Greenhorn merokok cerutu tetapi membenci Sir7 yang mengunyah
tembakau dan meludahkannya. Jika ditampar oleh seorang Paddy (Irlandia),
Greenhorn akan berlari mengadu kepada seorang jurudamai dan bukannya
menembak saja orang itu sebagaimana layaknya yankee sejati. Greenhorn
menganggap jejak kalkun sebagai jejak beruang dan menganggap kapal layar
sebagai kapal uap Mississippi. Greenhorn tidak ragu-ragu meletakkan sepatu
bootnya yang kotor di atas dengkul penumpang yang lain, dia pun tidak malu
menyeruput supnya dengan bunyi seperti bison yang sekarat. Greenhorn
menggotong sebanyak mungkin karet spons pembersih wajah dan lima kilo sabun
demi kebersihan tubuhnya di padang prairie. Dia juga menyelipkan sebuah kompas,
namun setelah tiga atau empat hari kemudian jarumnya menunjukkan ke semua
1 Dalam bhs. Indonesia, maknanya adalah: pemula yang sok tahu. Menurut asalusul kata yang sebenarnya, greenhorn berarti anak sapi yang tanduknya belum sepenuhnya tumbuh, jadi konotasinya seseorang yang belum sepenuhnya dewasa. Sedang horn yang diartikan sebagai alat peraba (dari jenis binatang insek), itu adalah kekeliruan si pengarang. 2 Nyonya (bhs. Ingris). 3 Nama olok-olok orang Amerikat Serikat bagian Utara. 4 Sejenis binatang pemakan daging, berbulu abu-abu-cokelat dengan bercak hitam seperti topeng di matanya. 5 Binatang malam, berbulu tebal, bermoncong panjang. 6 Seperempat keturunan negro. 7 Tuan (bhs. Inggris).
arah kecuali ke utara. Greenhorn mencatat delapanratus ungkapan bahasa Indian,
tapi ketika bertemu dengan seorang kulitmerah untuk pertama kalinya, baru
teringat olehnya, bahwa catatan itu terkirim ke rumah dalam surat terakhir,
sehingga dia tidak bisa mempelajarinya.
Greenhorn membeli mesiu, dan ketika menembak untuk pertama kalinya,
dia baru tahu, seseorang telah memberinya bubuk arang yang dihaluskan.
Greenhorn telah mempelajari ilmu astronomi selama sepuluh tahun, dan selama itu
pula dia mengamati bintang-bintang di angkasa, namun dia tidak tahu jam berapa
saat ini. Greenhorn menyelipkan pisau Bowie ke ikatpinggangnya sehingga jika dia
membungkuk, mata pisaunya akan menusuk pahanya sendiri. Greenhorn akan
membuat api unggun besar saat berada di Wild West, sehingga nyalanya berkobar
menjulang setinggi pohon, dan dia kaget ketika dipergoki dan ditembaki oleh
orang-orang Indian. Greenhorn adalah greenhorn, dan julukan greenhorn semacam
itu dahulu melekat juga pada diri saya.
Tetapi orang keliru kalau mengira saya peduli dengan julukan yang
menyakitkan itu, karena memang menjadi ciri khas setiap greenhorn yang lebih
suka menganggap orang lain greenhorn daripada dirinya sendiri. Sebaliknya, saya
merasa pandai dan berpengalaman, karena saya telah mengenyam pendidikan
tinggi dan tidak pernah gentar menghadapi ujian! Dulu, ketika saya masih remaja,
saya sama sekali tidak berpikir bahwa kehidupanlah tempat belajar yang
sesungguhnya yang menguji siswanya setiap saat dan mereka harus lulus
menempuh ujian ini.
Situasi yang tidak menguntungkan di tanah-air dan dorongan naluri telah
membawa saya menyeberangi samudra menuju Amerika, tempat yang kala itu jauh
lebih baik dan menguntungkan untuk karier seorang anak muda yang ulet. Di
negara-negara Timur sebenarnya pun saya bisa menemukan kehidupan yang
berkecukupan, tapi ada dorongan dalam diri saya untuk pergi ke Barat. Dalam
waktu singkat saya bekerja dari suatu tempat ke tempat lain dan mendapatkan
uang begitu banyak, sehingga saya sampai di St. Louis dalam kondisi sejahtera
lahir batin. Di sana keberuntungan membawa saya ke sebuah keluarga Jerman,
tempat saya mondok sebagai seorang guru pribadi. Di keluarga ini saya berkenalan
dengan Mr. Henry seorang pembuat senapan sejati, yang hasil karyanya dikerjakan
dengan sentuhan seni. Dengan kebanggaan orang kuno dia menyebut dirinya the
gunsmith8.
8 Si pembuat senapan (bhs. Inggris).
Jika dilihat dari roman mukanya, tampaknya Mr. Henry tidak pernah bergaul
dengan orang lain selain dengan keluarga yang ditinggalinya. Dia bahkan melayani
pelanggannya dengan kasar dan ketus, sehingga mereka ke sana semata-mata
hanya karena kwalitas barangnya. Tapi sebenarnya dia seorang yang sangat baik
hati dan bersahabat. Dia kehilangan istri dan anaknya dalam suatu peristiwa yang
menyedihkan yang tidak pernah diceritakannya. Kendati demikian saya menduga
berdasarkan sebagian ceritanya, bahwa mereka terbunuh dalam suatu
perampokan. Kejadian itu membuatnya menjadi begitu kasar. Mungkin dia tidak
menyadari bahwa dia sangat kasar; tetapi sebetulnya pribadinya lembut dan baik.
Saya sering melihat matanya berkaca-kaca jika saya bercerita tentang kampung
halaman dan keluarga saya, tempat hati saya selalu berlabuh.
Saya tidak tahu, mengapa orang tua itu menaruh simpati yang begitu besar
terhadap saya, padahal saya masih muda dan masih asing di matanya. Sampai
suatu saat dia mengatakannya kepada saya. Sejak saya menumpang di sana, dia
lebih sering berkunjung daripada sebelumnya, menyimak pelajaran dan bercakap-
cakap dengan saya seusai pelajaran. Dan akhirnya dia mengundang saya ke
rumahnya. Undangan semacam ini belum pernah diberikan kepada orang lain.
Karena itu saya bersikap waspada menanggapi undangannya. Sikap ini rupanya
tidak disukainya. Sampai hari ini, saya masih ingat betapa marahnya dia, ketika
suatu malam saya berkunjung, dan dia menerima saya tanpa menjawab ucapan
“good evening”9 saya.
“Di manakah Anda kemarin?”
“Di rumah.“
“Dan kemarin dulu?”
“Juga di rumah.”
“Jangan bohong!”
“Saya tidak bohong, Mr. Henry!”
“Pshaw! Anak-anak muda seperti Anda diibaratkan seperti burung yang
tidak pernah tinggal di sarangnya. Mereka akan ngeluyur ke mana saja kecuali ke
keluarganya sendiri.”
“Kalau begitu menurut Anda, ke manakah saya boleh pergi?”
“Tentu saja ke sini, ke rumah saya! Sudah lama saya ingin menanyakan
sesuatu kepada Anda.”
“Mengapa tidak ditanyakan?”
“Tentu saja karena saya belum mau.”
9 Selamat Petang (bhs. Inggris).
“Lalu kapan maunya?”
“Mungkin sekarang.”
“Tanyakan saja, jangan segan-segan,” jawab saya sambil duduk di bangku
tempat dia bekerja.
Dia memandang saya dengan heran sambil menggelengkan kepalanya dan
berkata,
“Segan? Apakah saya harus meminta ijin lebih dahulu kepada seorang
greenhorn seperti Anda apabila saya hendak bertanya?”
“Greenhorn?” tanya saya sambil mengerutkan dahi, karena saya merasa
benar-benar tersinggung. “Saya kira perkataan Anda itu tidak disengaja dan hanya
salah lidah, Mr. Henry!”
“Jangan tersinggung, Sir! Perkataan itu saya ucapkan dengan sengaja. Anda
memang seorang greenhorn. Memang benar Anda mempunyai banyak
pengetahuan. Sungguh mengagumkan apa yang dipelajari orang di Jerman! Anda
bahkan sudah tahu jarak bintang di langit yang dulu ditulis oleh Raja Nebukadnezar
pada batu prasasti. Anda tahu ilmu bumi, ilmu alam dan ilmu lainnya. Dan karena
itu Anda menjadi sombong! Tetapi kira-kira limapuluh tahun lagi, Anda baru akan
menyadari apa yang diperlukan untuk kepandaian yang sesungguhnya! Apa yang
Anda ketahui sampai saat ini sama sekali tidak berarti. Dan kepintaran Anda masih
kurang. Anda sama sekali tidak bisa menembak!”
Dia mengatakan itu dengan nada yang sangat menghina dan dengan penuh
keyakinan seolah-olah dia tahu pasti akan hal ini.
“Tidak bisa menembak? Hm!” jawab saya sambil tersenyum. “Inikah yang
ingin Anda tanyakan pada saya?”
“Ya, memang! Sekarang apa jawaban Anda?”
“Beri dulu saya senapan yang baik, baru akan saya jawab.”
Dia meletakkan laras senapan yang sedang disekrupinya, kemudian berdiri
mendekati saya, memastikan dengan pandangan heran dan berseru,
“Memberi Anda senjata, mana mungkin! Senapan saya hanya boleh
dipergunakan oleh orang yang layak memegangnya.”
“Saya juga layak,” saya menganggukkan kepala.
Dia memandang saya sekali lagi, kemudian duduk kembali, mulai lagi
mengerjakan laras senapannya dan bergumam,
“Dasar greenhorn! Kesombongannya benar-benar membuat saya kesal!”
Saya membiarkannya, karena saya mengenali wataknya. Saya mengambil
sebatang cerutu dan menyulutnya. Seperempat jam lamanya kami saling diam.
Namun, dia tidak tahan lagi. Dia membawa laras itu ke arah lampu, memeriksanya
dan mengatakan,
“Menembak itu lebih sulit daripada meneropong bintang atau membaca
tulisan pada prasasti Nebukadnezar. Mengerti? Apakah Anda pernah memegang
sebuah senjata di tangan?”
“Tentu saja!”
“Kapan?”
“Sudah lama dan seringkali.”
“Juga membidik dan menarik pelatuknya?”
“Ya.“
“Dan kena?
“Tentu saja!”
Tiba-tiba dia meletakkan laras senapan yang sedang dikerjakannya,
memandang saya lagi dan berkata,
“Ya kena. Tapi apanya yang kena?”
“Sasarannya, tentu saja.”
“Apa? Apakah Anda benar-benar mau membohongi saya?”
“Saya berkata yang sesungguhnya, saya tidak bohong.”
“Persetan, Sir! Orang tidak akan percaya. Saya yakin, tembakan Anda hanya
mengenai tembok dan itu pun jika tingginya sembilan meter dan panjangnya
tigapuluh meter. Tapi Anda berbicara begitu serius dan yakin, sehingga membuat
orang jengkel. Saya bukan kanak-kanak, tahu! Greenhorn dan kutubuku seperti
Anda tidak bisa menembak! Selama ini Anda hanya sibuk menggeluti buku-buku
berbahasa Turki, Arab dan bahasa-bahasa konyol lainnya dan Anda masih sempat
menyisihkan waktu untuk latihan menembak? Ambillah senapan tua yang
tergantung itu dan bidiklah seolah-olah Anda hendak menembak. Senapan itu
adalah senapan pembunuh beruang, senapan terbaik yang pernah saya gunakan.”
Saya beranjak mengambil bedil itu dan membidik.
“Halloo!” serunya sambil melompat. “Diapakan itu? Anda mengangkat
senapan itu seperti mengangkat sebuah tongkat saja, padahal itu senapan terberat
yang saya kenal! Apakah Anda sekuat itu?”
Sebagai jawaban, saya mencengkeram pinggangnya lalu mengangkatnya
tinggi-tinggi dengan tangan kanan.
“Thunder-storm!” teriaknya. “Lepaskan saya. Anda ternyata jauh lebih kuat
daripada Bill!”
“Bill? Siapakah dia?”
“Dia anak saya, yang… ah… lupakan saja! Dia sudah meninggal seperti yang
lainnya. Dia bisa tumbuh menjadi pemuda yang tangkas, tetapi meninggal ketika
saya tidak ada. Perawakan Anda mirip dengannya, bahkan mata dan bentuk mulut
Anda mirip, karena itu saya anggap Anda ..., ah, itu bukan urusan Anda!”
Ungkapan kesedihan yang dalam terpancar di wajahnya . Dia mengusap
wajah dengan tangannya, kemudian melanjutkan kisahnya dengan suara yang lebih
bersemangat,
“Tapi, Sir, sungguh sayang jika tenaga otot Anda hanya dimanfaatkan untuk
menulis buku, seharusnya Anda berlatih fisik!”
“Tetapi saya selalu berlatih!”
“Sungguh?”
“Ya!”
“Bertinju?”
“Bertinju tidak ada di negeri saya, tetapi senam dan gulat saya ikut.”
“Berkuda?”
“Ya.”
“Bermain anggar?”
“Saya pernah menjadi guru anggar.”
“Hei… jangan membual! ”
“Anda mau mencoba?”
“Terima kasih! Cukup, saya harus bekerja. Duduklah kembali.”
Dia kembali ke tempat kerjanya, dan saya duduk kembali. Kami terdiam
cukup lama. Tampaknya Henry sibuk berpikir tentang sesuatu yang penting. Tiba-
tiba dia menengadah dan bertanya,
“Sudah pernahkan Anda belajar matematika?”
“Dulu itu salah satu bidang kegemaran saya.”
“Aritmatika, geometri?”
“Tentu saja. “
“Pengukuran tanah?”
“Itu kegemaran saya juga. Saya sangat sering bekerja di lapangan dengan
teodolit tanpa tahu kegunaannya.”
“Dan dapat mengukur, benar-benar mengukur?”
“Ya, saya dulu sering ikut serta dalam pengukuran horisontal dan vertikal,
meskipun saya tidak merasa sebagai ahli geodesi”.
“Well – sangat bagus, sangat bagus!”
“Mengapa Anda tanyakan itu, Mr. Henry?”
“Karena saya mempunyai alasan untuk itu, tahu! Anda tidak perlu
mengetahuinya sekarang, Anda akan mendengarnya kelak. Saya harus tahu dulu,
apakah Anda bisa menembak.”
“Kalau begitu, cobalah saya!“
“Sudah tentu Anda akan saya coba. Jam berapa Anda besok mulai
mengajar?”
“Pukul delapan.“
“Datanglah pukul enam, kita akan pergi ke lapangan tembak, tempat saya
mencoba senapan saya”.
“Mengapa sepagi itu?”
“Karena saya tidak mau menunggu lebih lama. Saya sangat penasaran dan
ingin membuktikan bahwa Anda benar-benar seorang greenhorn. Untuk hari ini
rasanya sudah cukup, saya masih mempunyai pekerjaan lain.”
Laras senapan itu sudah selesai dikerjakan, dan sekarang dia mengambil
sepotong besi poligon10 dari sebuah lemari. Ujung besi itu dikikirnya sampai halus.
Saya lihat tiap permukaannya memiliki sebuah lubang.
Demikian asyiknya dia bekerja, sehingga tampaknya dia lupa akan
kehadiran saya. Matanya berbinar-binar dan jika dia mengamati hasil karyanya
tersirat rasa bangga di wajahnya. Potongan besi ini pasti sangat berharga baginya.
Saya ingin tahu apa yang sedang dikerjakannya. Karena itu saya bertanya,
“Apakah itu bagian dari sebuah senapan, Mr. Henry?”
“Ya,” jawabnya, seolah-olah dia sudah lupa bahwa saya masih ada di sana.
“Tetapi saya tidak mengenal sistem senapan yang mempunyai bagian
seperti itu. “
“Ya memang, senapan ini belum selesai dirakit. Tapi pasti akan jadi
‘senapan Henry’.”
“Oh…. sebuah penemuan baru?
“Yes!”
“Kalau begitu, saya minta maaf karena telah menanyakannya! Ini tentu
rahasia!”
Dia memeriksa tiap-tiap lubang dengan seksama dan memutar besi itu
berkali-kali ke segala arah. Kemudian dia coba menyesuaikannya dengan bagian
belakang laras senapan lalu berkata,
“Ya, ini rahasia. Tetapi saya percaya pada Anda, Anda bisa menyimpan
rahasia meskipun Anda betul-betul masih seorang greenhorn. Karena itu saya ingin
10 Persegi banyak
mengatakan bahwa senapan ini akan menjadi senapan pendek, sebuah repertir
yang dapat menembakkan duapuluh lima peluru.”
“Tidak mungkin!”
“Jaga mulut Anda! Saya tidak bodoh untuk melakukan suatu yang mustahil!”
“Tetapi bukankah Anda harus membuat lubang-lubang untuk menyimpan
duapuluhlima peluru?”
“Saya sudah membuatnya juga. “
“Tempat tersebut pasti besar dan tidak praktis, sehingga mengganggu.”
“Sebaliknya, saya hanya membuat satu tempat, praktis dan sama sekali
tidak mengganggu. Besi inilah tempatnya.“
“Hm! Saya tidak mengerti bidang Anda, tetapi bagaimana dengan suhu
tinggi pada laras senapan akibat tembakan itu?”
“Justru bahan dan pembuatan laras inilah rahasia saya. Di samping itu,
apakah selalu perlu melepaskan duapuluhlima tembakan berturut-turut?”
“Jarang sekali.”
“Jadi besi ini akan berputar, keduapuluhlima lubang itu masing-masing akan
memuat sebuah peluru. Pada setiap peluru yang ada di dalamnya akan tepat
berhadapan dengan lubang laras. Sudah bertahun-tahun lamanya saya memikirkan
kemungkinan ini, tetapi belum pernah dapat saya laksanakan. Sepertinya baru
sekarang akan berhasil. Nama saya, Gunsmith, sekarang sudah dikenal sebagai
pembuat senapan. Jika ciptaan saya ini berhasil, saya akan sangat terkenal dan
mendapat banyak uang.”
“Dan mendapat tambahan beban moral.”
Dia memandang saya dengan tercengang, lalu bertanya,
“Beban moral? Mengapa?”
“Anda kira, seorang pembunuh tidak punya beban moral?”
“Zounds! Maksud Anda, apakah saya seorang pembunuh?”
“Sekarang memang belum!”
“Atau saya akan menjadi pembunuh?”
“Ya, bukankah membantu orang melakukan pembunuhan dosanya sama
besar dengan orang yang melakukan pembunuhan itu sendiri?”
“Persetan, saya tidak akan membantu sebuah pembunuhan.”
“Memang bukan membantu sebuah pembunuhan, melainkan pembantaian
besar-besaran.”
“Bagaimana mungkin? Saya tidak mengerti.”
“Jika Anda membuat senapan yang dapat menembakkan duapuluhlima
peluru berturut-turut dan senapan itu jatuh ke tangan orang yang tidak
bertanggungjawab, maka di padang prairie, di hutan, di ngarai, akan terjadi
pembantaian mengerikan. Dan orang-orang Indian yang malang akan ditembak
seperti coyote11 dan dalam beberapa tahun lagi mereka akan punah. Apakah Anda
akan membiarkan hal itu terjadi?”
Dia memandang saya tanpa menjawab.
“Dan jika setiap orang bisa membeli senapan berbahaya ini, maka dalam
waktu singkat, Anda akan memusnahkan ribuan orang, juga mustang, bison dan
semua jenis binatang buas lainnya yang diperlukan orang Indian untuk hidupnya.
Ratusan bahkan ribuan pemburu liar akan menggunakan senapan Anda dan pergi
menuju ke wilayah Barat. Banjir darah manusia dan binatang akan membasahi
tanah ini dan tidak lama lagi daerah-daerah tersebut menjadi tidak berpenghuni.”
“’s death!” serunya kemudian. ”Apakah Anda ini benar-benar pendatang
baru dari Germany?”
“Ya.”
“Dan belum pernah ke sini sebelumnya?”
“Belum.”
“Dan belum pernah juga di Wild West sini?”
“Belum.”
“Ooh…… jadi Anda benar-benar greenhorn, walaupun begitu Anda banyak
bicara, seolah-olah andalah nenek moyang orang Indian dan sudah ribuan tahun
hidup di sini dan sampai sekarang masih hidup! Anak muda, hendaknya Anda
jangan coba-coba membuat hati saya panas. Seandainya perkataan Anda itu
menjadi kenyataan, tak pernah terpikirkan oleh saya untuk mendirikan pabrik
senjata. Saya orang yang kesepian dan ingin menyendiri, saya tidak berniat
mendirikan perusahaan dan mempunyai banyak pegawai.”
“Tetapi sebenarnya Anda bisa menjadi kaya dengan membuat hak paten
atas penemuan Anda dan menjualnya.”
“Tunggu sajalah, Sir! Sampai sekarang nafkah saya lebih dari cukup. Saya
kira saya masih dapat hidup dengan layak tanpa menjual paten saya. Sekarang
pulanglah! Saya tidak mau mendengar nasihat anak kemarin sore yang belum
berpengalaman, tapi sudah berani menasihati orang tua.”
Perkataannya itu sama sekali tidak membuat saya berkecil hati. Dia selalu
begitu, dan saya maklum apa yang dia maksud. Dia menyayangi saya, bertekad
semaksimal mungkin untuk mendukung dan melayani saya. Kami berjabatan
tangan, dan setelah itu saya pergi.
11 Sejenis serigala prairie.
Saya tidak menduga, betapa pentingnya arti malam itu bagi saya, dan tidak
terbersit dalam benak saya, bahwa senjata tua pembunuh beruang yang berat dan
senjata laras pendek yang belum selesai itu berperan begitu besar dalam
kehidupan saya kemudian. Saya gembira menyongsong esok hari, karena
sesungguhnya saya telah bisa menembak dengan baik dan merasa sangat yakin,
bahwa saya akan lulus ujian menembak di hadapan teman tua yang unik itu.
Saya datang tepat pukul enam pagi. Dia sudah menunggu saya, menjabat
tangan saya dan berkata sambil tersenyum sinis,
“Welcome, Sir! Roman muka Anda nampak seakan-akan Anda yakin akan
menang. Apakah Anda mengira bahwa Anda dapat menembak tembok yang saya
maksud tadi malam?”
“Saya harap begitu.”
“Well, kita pergi sekarang. Saya membawa senapan yang ringan, dan Anda
membawa senapan pembunuh beruang. Saya malas membawa benda seberat itu.”
Dia menyandang senapan ringan berlaras dua, dan saya memanggul
senapan tua itu. Sesampainya di lapangan tembak, dia mengisi kedua senapan itu
dan menembakkannya dua kali. Kemudian giliran saya. Saya belum mengenal
senapan ini, sehingga tembakan yang pertama hanya mengenai lingkaran luar.
Tembakan yang kedua jauh lebih baik dan yang ketiga tepat di tengah. Tembakan
selanjutnya menembus lubang yang telah dibuat oleh tembakan ketiga. Keheranan
Mr. Henry makin menjadi-jadi, saya juga harus mencoba senjatanya dan ketika
hasilnya sama, dia berteriak,
“Kalau tidak karena kerasukan setan, Anda seorang westman12 sejati, Sir!
Belum pernah saya melihat greenhorn seperti itu!”
“Saya tidak kesurupan, Mr. Henry,” kata saya sambil tertawa. “Saya tidak
mau berteman dengan setan.”
“Menjadi westman adalah tugas bahkan kewajiban Anda, apakah Anda tidak
berminat?”
“Mengapa tidak!”
“Well, lihat saja nanti, apa yang bisa dilakukan oleh greenhorn seperti Anda?
Apakah Anda juga bisa menunggang kuda?”
“Kalau terpaksa.”
“Kalau terpaksa? Hm! Jadi tidak sebaik Anda menembak?”
12 Istilah ciptaan pengarang. Maksudnya adalah “man of the west” atau lebih tepatnya “frontierman” yang konotasinya adalah: perintis atau pioner daerah Barat, pemburu prairie, dan sejenisnya. Supaya otentik, istilah keliru ini tetap dipertahankan.
“Pshaw! Naik ke punggung kuda adalah yang paling sulit. Tapi jika saya
sudah duduk di atas, tidak ada kuda yang melemparkan saya.”
Dia melihat saya dengan pandangan menyelidik, apakah saya serius atau
berkelakar, sementara itu saya menunjukkan wajah bersungguh-sungguh, dan dia
berkata,
“Anda serius? Apakah Anda berpegang pada surainya? Kalau begitu Anda
keliru. Memang benar, bahwa naik ke punggung kuda yang paling sulit, karena
Anda harus melakukannya sendiri, sedangkan turun jauh lebih mudah dan cepat
karena kudalah yang menjatuhkan.”
“Tetapi kuda tidak akan melemparkan saya!”
“Begitu? Kita lihat saja nanti! Maukah Anda mencobanya?”
“Dengan senang hati.”
“Kalau begitu, marilah! Sekarang baru pukul tujuh, dan Anda masih punya
waktu satu jam. Kita ke rumah Jim Korner, pedagang kuda. Dia mempunyai kuda
putih yang bisa Anda pakai.”
Kami kembali ke kota dan mencari pedagang kuda itu. Di sana terdapat
lahan ternak yang luas, yang dikelilingi oleh banyak istal. Korner datang sendiri
menyambut dan menanyakan maksud kedatangan kami.
“Anak muda ini bilang, bahwa tidak ada seekor kuda pun mampu
melemparkannya dari pelana,” tukas Henry. “Apa pendapat Anda, Mr. Korner?
Apakah Anda mengijinkannya menunggangi kuda putih itu?”
Pedagang itu memandang saya dengan penuh keraguan, kemudian
mengangguk tanda setuju dan menjawab,
“Susunan tulangnya tampak bagus, selain itu leher anak muda biasanya
tidak mudah patah seperti orang tua. Jika gentleman13 ini ingin mencoba kuda
putih saya, silahkan saja, saya tidak keberatan.”
Dia memberi perintah kepada anak buahnya dan tidak berapa lama
keluarlah dua orang pembantunya menuntun kuda berpelana dari istal. Kuda itu
sangat liar dan meronta-ronta karena ingin melepaskan diri. Mr. Henry mulai
mengkhawatirkan saya, dan meminta saya untuk mengurungkan niat, tetapi saya
tidak merasa takut. Lagipula kesempatan ini saya anggap sebagai kehormatan.
Saya diberi sebuah cemeti dan pemacu pada sepatu lars. Kemudian saya melompat
ke atas pelana, tetapi baru berhasil setelah beberapa kali mencoba. Setelah saya
duduk di atas pelana, kedua pembantu itu segera minggir, dan kuda itu melonjak-
lonjak ke atas dan ke samping. Saya memegangi pelana meskipun belum duduk,
13 Tuan terhormat (bhs. Inggris).
tetapi segera saya memasukkan kaki ke sanggurdi. Kuda itu mulai melawan,
namun usahanya sia-sia. Ketika ia tidak berhasil menakut-nakuti saya, dia menuju
ke dinding untuk melemparkan saya. Tetapi dengan beberapa pukulan cambuk
yang keras, saya menghalaunya kembali ke tengah lapangan. Kini kuda itu mulai
berjuang sekeras-kerasnya melawan saya, sementara saya pun mengerahkan
seluruh kemampuan saya yang hanya sedikit waktu itu karena kurang latihan. Saya
tekan kuda itu sekuat tenaga dengan paha saya, dan akhirnya kuda itu dapat
dikalahkan. Ketika saya turun dari punggung kuda, kedua kaki saya gemetar
karena tegang, sedang binatang itu bersimbah peluh dan mulutnya berbuih. Tetapi,
sekarang ia menuruti setiap perintah saya.
Pedagang kuda itu mengkhawatirkan keadaan kudanya, dia menyelimuti
kudanya dan perlahan-lahan menuntunnya kian kemari, kemudian berpaling
kepada saya,
“Anak muda, saya tidak menduga, tadi saya merasa yakin Anda akan
terjatuh ke tanah pada lompatan pertama. Tentu saja Anda tidak perlu membayar,
dan jika Anda mau membantu, datanglah lagi untuk menjinakkan kuda itu. Sepuluh
dollar tidak penting bagi saya, karena ini bukan kuda yang murah, dan jika kuda ini
jinak, maka saya akan mendapat keuntungan besar.“
“Kalau Anda setuju, akan saya lakukan dengan senang hati,“ jawab saya.
Sejak saya turun, Henry belum berkata sepatah kata pun, hanya
menggelengkan kepala. Kemudian dia bertepuk tangan sambil berteriak,
“Greenhorn ini benar-benar luar biasa dan istimewa! Bukannya kuda yang
melemparkannya ke bawah, malahan dia yang menggencet kuda setengah mati.
Siapa yang mengajari Anda, Sir?”
“Kebetulan saja, saya pernah disuruh menjinakkan seekor kuda Hongaria
yang agak liar, yang tidak mau ditunggangi orang. Lambat laun saya
menjinakkannya, tapi nyaris celaka.”
“Terima kasih untuk kuda yang semacam itu! Saya mengagumi kursimalas
tua saya, yang tidak pernah memberontak kalau saya duduki. Mari kita pergi,
kepala saya sudah pening. Tetapi tidak sia-sia. Saya telah melihat Anda menembak
dan berkuda. Anda telah melakukannya dengan sangat baik.”
Kami pulang ke rumah masih-masing. Selama dua hari saya tidak bertemu
dia dan saya tidak punya kesempatan untuk mencarinya. Tetapi pada hari
berikutnya, dia datang mengunjungi saya. Dia tahu, bahwa saya libur.
“Maukah Anda berjalan-jalan dengan saya?” tanyanya.
“Ke mana?”
“Ke seorang gentleman, yang ingin berkenalan dengan Anda. “
“Mengapa saya?”
“Coba Anda bayangkan, dia belum pernah melihat seorang greenhorn.”
“Kalau begitu saya ikut, dia akan berkenalan dengan kita. “
Saya tahu di balik ajakannya, dia merencanakan suatu kejutan. Kami
menyusuri jalan dan sampailah di sebuah kantor dengan sebuah pintu kaca yang
besar. Begitu cepatnya dia masuk, sehingga saya tidak sempat membaca huruf
emas yang tertera di atas pintu kaca itu, tapi saya yakin, saya sempat melihat–lihat
kata office dan surveying. Dan ternyata saya tidak salah.
Di dalam kantor itu ada tiga orang pria, yang menyambut kami dengan
ramah dan sopan dan kelihatan penasaran. Beberapa peta dan gambar tergeletak
di atas meja, selain itu juga terdapat beberapa macam alat pengukuran. Kami
berada di sebuah kantor geodesi.
Saya tidak tahu apa maksud teman saya ini membawa saya ke mari. Dia
tidak menjelaskan kepada saya dan tampaknya ini hanya kunjungan biasa.
Sebentar kemudian percakapan itu menjadi menarik sampai akhirnya pembicaraan
beralih ke benda-benda yang ada di atas meja itu. Ini menguntungkan saya,
karena saya bisa terlibat lebih banyak dalam percakapan mengenai hal-hal itu
daripada tentang situasi Amerika yang belum saya kenal.
Hari ini Henry tampak sangat tertarik pada ilmu ukur tanah. Dia banyak
bertanya dan ingin mengetahui semua hal dan saya asyik menerangkan
penggunaan alat-alat itu serta menjabarkan gambar peta dan rancangannya. Saya
benar-benar greenhorn sejati, karena tidak tahu arah pertanyaan-pertanyaan itu.
Baru setelah saya menguraikan hakekat dan perbedaan pengukuran yang terdapat
pada koordinat, metode kutub dan diagonal, pengukuran perimeter, ketiga pria itu
mengedipkan matanya kepada si pembuat senapan. Kini mengertilah saya
maksudnya. Saya bangkit dari tempat duduk untuk memberi isyarat kepada Henry,
bahwa saya ingin pergi. Dia tidak menoleh dan kami diantar dengan lebih ramah
lagi.
Ketika kami sudah jauh dan tidak terlihat dari kantor tadi, Henry berhenti
serta meletakkan tangannya di bahu saya dan berkata dengan wajah berseri-seri,
“Sir, anak muda, greenhorn. Anda telah membuat saya sangat senang. Saya
benar-benar bangga pada diri Anda.”
“Mengapa?”
“Karena anda telah memenuhi bahkan melampaui perkiraan dan harapan
saya!”
”Perkiraan? Harapan? Saya tidak mengerti. “
“Anda pun tidak perlu mengerti. Penjelasannya sangat sederhana. Anda
pernah mengatakan, bahwa Anda paham tentang pengukuran tanah. Dan untuk
membuktikan bahwa Anda tidak membual, saya membawa Anda kepada para
gentleman tadi. Mereka adalah kenalan saya dan telah menguji kecakapan Anda.
Ternyata Anda lulus.”
“Membual? Mr. Henry, kalau Anda menganggap saya seperti itu, saya tidak
akan datang lagi ke rumah Anda!”
“Jangan tersinggung! Anda jangan merenggut kebahagiaan orang tua
seperti saya. Karena itu akan membuat kesan saya terhadap Anda berubah. Seperti
Anda ketahui, ada kemiripan antara Anda dengan anak saya! Sudahkah Anda
mendatangi pedagang kuda itu?”
“Setiap pagi.”
“Dan menunggangi kuda putih itu lagi?”
“Ya.”
“Apakah ada harapan dapat menjinakkan kuda itu?”
“Saya yakin. Hanya saya ragu, apakah orang yang akan membelinya dapat
menguasainya seperti saya. Ia sudah terbiasa dengan saya dan akan melemparkan
orang lain ke tanah.“
“Saya senang, senang sekali, tampaknya ia hanya mau ditunggangi
greenhorn. Mari lewat jalan sini! Saya tahu, di seberang sana ada dining-house
terkenal, tempat makan dan minum yang enak. Anda telah lulus ujian dan kita
harus merayakannya.”
Saya tidak memahami Mr. Henry. Dia sepertinya telah berubah. Dia yang
biasanya menyendiri dan pemalu, kini ingin makan di sebuah restoran! Wajahnya
pun lain dari biasanya dan suaranya terdengar lebih ramah dan ceria daripada
sebelumnya. Kata ujian menarik perhatian saya, tapi mungkin saja kata itu tidak
berarti.
Sejak saat itu setiap hari dia mengunjungi saya dan memperlakukan saya
seolah-olah dia takut kehilangan saya. Tetapi tampaknya saya tidak boleh
membanggakan diri dulu, karena dia masih tetap menyebut saya dengan istilah
greenhorn yang menyebalkan itu.
Anehnya, pada waktu yang bersamaan sikap keluarga yang saya tinggali
juga berubah. Orang tuanya jadi lebih memperhatikan saya, sedangkan anak-
anaknya menjadi lebih ramah. Saya memergoki mereka ketika mereka
memandangi saya secara diam-diam. Saya tidak paham arti tatapan seperti itu.
Bagi saya sebenarnya perhatian itu sangat ramah dan tidak punya maksud
terselubung.
Kira-kira tiga minggu setelah kunjungan kami ke kantor itu, suatu petang
nyonya rumah meminta saya untuk tidak keluar rumah, sebab saya akan diundang
makanmalam oleh keluarga itu. Mr. Henry akan datang, dan selain itu mereka juga
mengundang dua orang pria, yang salah satunya bernama Sam Hawkens, seorang
westman yang terkenal. Sebagai seorang greenhorn, saya belum pernah
mendengar nama itu, tetapi saya senang akan berkenalan dengan pemburu yang
ulung dan terkenal itu.
Karena saya tinggal serumah, saya tidak perlu menunggu tibanya waktu
yang ditentukan. Beberapa menit sebelum waktunya, saya sudah berada di dining-
room14. Di sana saya terkejut, melihat penataan ruang yang tidak seperti biasanya,
tampaknya akan ada pesta.
Si kecil Emmy yang baru berumur lima tahun berada sendirian di ruang itu.
Dia membenamkan jarinya ke dalam manisan stroberi lalu menjilatnya. Ketika saya
masuk, dia menarik jarinya dan menyibak rambutnya yang pirang. Saat saya
mengangkat telunjuk untuk memberinya teguran keras, cepat-cepat dia
menghampiri saya dan berbisik. Agar saya tidak marah, ia mau membuka suatu
rahasia yang dijaganya selama beberapa hari ini, meskipun hati kecilnya merasa
bersalah. Karena merasa kurang mengerti, saya menyuruh dia mengulanginya.
Jawabnya tetap sama,
”Your farewell-feast.”
Pesta perpisahanku! Itu tidak mungkin! Siapa tahu, anak itu berkata begitu
agar saya tidak marah. Saya tersenyum, kemudian mendengar suara orang yang
bercakap-cakap di ruangtamu. Para tamu telah datang. Dan saya pun ke
ruangtamu untuk menyambut mereka. Tiga orang tamu datang bersamaan.
Ternyata mereka sudah sepakat datang bersama-sama. Henry memperkenalkan
seorang pemuda ganteng yang acuh tak acuh dan kaku, yang dipanggil Mr. Black;
dan kemudian Sam Hawkens, seorang westman.
Dia seorang westman! Saya akui terus terang, wajah saya mungkin bengong
ketika memandangnya. Sosok seperti itu tidak pernah saya lihat sebelumnya, dan
kelak saya akan bertemu dengan sosok-sosok lain yang lebih aneh lagi. Orang itu
berpenampilan sangat mencolok, ditambah lagi gayanya berdiri di ruangan yang
indah itu seperti berdiri di tengah hutan belantara saja. Dia tetap mengenakan
topinya sambil memegang senjata di tangan. Orang pasti membayangkan
demikian:
14 Ruang makan (bhs. Inggris).
Bahwa di bawah topi tebalnya yang lusuh dan usang dia pasti selalu berpikir
keras. Di sekitar hidungnya yang besar dan menakutkan serta besar pula
bayangannya -sehingga cocok untuk dijadikan jam matahari-, tampak jambangnya
yang tumbuh tak terurus. Karena jambangnya yang lebat itu, selain hidung, yang
tampak adalah kedua mata kecilnya yang cerdik. Kedua mata itu tampak sangat
hidup dan penuh selidik. Dengan pancaran mata yang berseri-seri dia memandangi
saya. Kami saling mengamati dengan seksama. Kelak saya tahu alasannya
mengapa dia begitu tertarik kepada saya.
Organ bagian atas tersebut bertumpu pada tubuh yang tertutup rapat
hingga ke lutut oleh jas berburu dari kulit yang sudah usang yang diperuntukkan
bagi orang yang lebih gemuk. Karena itu manusia kerdil itu tampak seperti anak
kecil yang bermain-main dengan memakai baju tidur kakeknya. Di bawah jasnya
yang longgar, tampak kedua kakinya yang kurus dan bengkok yang terbungkus
oleh leggin15 ketat yang sudah usang. Tampaknya leggin itu dibuat duapuluh tahun
yang lalu. Dan dia juga mengenakan sepasang sepatu lars yang juga longgar, yang
jika perlu masih bisa muat satu orang lagi.
Westman terkenal ini memegang senapan. Ketika saya perhatikan dengan
teliti, barang tersebut lebih mirip sebuah gada ketimbang sebuah senapan. Pada
saat itu, tidak terbayang oleh saya adanya figur pemburu prairie yang unik melebihi
dia. Namun tidak lama kemudian saya mengenal dan menghargai karakter asli
orang ini.
Setelah memperhatikan saya dengan seksama, dia bertanya kepada Henry
dengan suara kecil seperti suara kanak-kanak,
“Apakah ini si greenhorn muda yang Anda ceritakan itu, Mr. Henry?”
“Yes.“ orang yang ditanya mengangguk.
“Well! Saya menyukainya. Saya harap, dia juga menyukai Sam Hawkens,
hihihihi!”
Dengan tawa yang aneh dan khas yang kelak akan saya dengar ribuan kali,
dia berpaling ke arah pintu yang kini terbuka. Tuan dan Nyonya rumah memasuki
ruangan dan menyalami pemburu itu dengan ramah sehingga saya menduga
mereka telah mengenal dia sebelumnya. Kemudian mereka mengajak kami
memasuki ruang makan. Kami mengikuti ajakan ini. Saya heran hingga saat itu
Sam Hawkens belum juga melepaskan topi dan senjatanya. Baru setelah kami
duduk, dia berkata sambil menunjuk senjatanya,
15 Bahan penutup dari paha hingga ke telapak kaki.
“Seorang westman sejati tidak akan jauh dari senjatanya, begitu pula
dengan saya. Saya tidak akan jauh dari si Liddy, senjata saya. Saya akan
menggantungkannya pada paku dinding itu.”
Oh, jadi dia menamai senjatanya Liddy! Kelak saya tahu, bahwa para
pemburu prairie mempunyai kebiasaan memperlakukan senjatanya seperti makhluk
hidup dan memberinya nama. Dia menggantungkan senjata serta topi yang unik di
tempat tersebut. Ketika dia melepas topi, betapa terkejutnya saya melihat seluruh
rambutnya menempel pada topinya. Sangat mengherankan, kepalanya tidak
berkulit dan berwarna kemerahan. Nyonya rumah menjerit dan anak-anak
berteriak dengan sangat keras. Dia berpaling kepada kami dan berkata dengan
tenang,
“Jangan terkejut, ladies dan mesch’schurs16, tidak ada apa-apa! Dulu saya
punya rambut sendiri yang tidak kalah indahnya dengan rambut anak-anak itu, dan
tidak seorang pun berani menyangkalnya. Sampai pada suatu hari saya berjumpa
dengan lusinan orang suku Pawnee, mereka mencukur rambut saya dan menguliti
kepala saya. Mula-mula saya sangat terganggu, tetapi lama kelamaan saya
terbiasa, hihihihi! Kemudian saya pergi ke Tekama dan membeli scalp17 baru yang
kalau saya tidak salah disebut wig dan saya beli seharga tiga gulungan besar bulu
beaver18. Bagi saya tidak masalah, karena kulit kepala yang baru lebih praktis dari
yang sebelumnya, terutama pada musim panas. Wig itu hanya dilepas, jika saya
berkeringat, hihihihi!”
Dia menggantungkan topinya di atas senapannya dan memasang kembali
wignya. Kemudian dia melepaskan jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi.
Jas ini sudah berkali-kali ditambal dan dipermak dengan sobekan kulit, sehingga
pakaian itu menjadi kaku dan tebal dan hampir tidak tertembus panah Indian.
Kini tampak sangat jelas kakinya yang kurus dan bengkok. Tubuh bagian
atasnya tertutup rompi pemburu yang terbuat dari kulit. Pada ikat pinggangnya
terselip satu pisau dan dua pistol. Ketika dia duduk kembali di kursi, mula-mula dia
memandang saya, kemudian nyonya rumah, dengan pandangan ingin tahu dan
bertanya,
“My lady, bukankah lebih baik jika sebelum makan, kita sampaikan rencana
kita terlebih dahulu kepada greenhorn ini, kalau saya tidak salah?”
16 Tuan-tuan (dialek Barat, asal dari bhs. Prancis). 17 Orang Indian menguliti kulit kepala (scalp) lawannya sebagai tanda kemenangan. 18 Berang-berang, sejenis binatang berbulu tebal yang hidup di pinggiran sungai.
Ungkapan “kalau saya tidak salah” telah menjadi kebiasaannya. Nyonya
rumah mengangguk lalu berpaling kepada saya. Sambil menunjuk pada tamu yang
lebih muda, ia berkata,
“Mungkin Anda belum tahu bahwa Mr. Black ini akan menggantikan Anda.”
“Menggantikan ... saya?” tanya saya dengan terkejut.
“Ya, hari ini kita merayakan perpisahan Anda, kami terpaksa mencari guru
baru”.
“Perpisahan... saya?”
Syukurlah, waktu itu wajah saya tidak dipotret, karena bagaimanapun juga
pasti kelihatan sangat tolol.
“Ya, perpisahan Anda, Sir.” Nyonya rumah mengangguk sambil tersenyum
ramah. Sementara itu perasaan saya tidak menentu, karena itu tidak ada alasan
untuk tersenyum. Ia menambahkan,
“Sebenarnya Anda harus mengundurkan diri dulu, tapi kami tidak akan
menghalangi kebahagiaan yang akan segera Anda raih. Kami menyayangkan
kepergian Anda, tapi doa kami menyertai Anda. Semoga Tuhan melindungi
perjalanan Anda besok pagi!”
“Berangkat? Besok? Ke mana?” tanya saya dengan berat hati.
Sam Hawkens yang berdiri di sebelah saya, menepuk bahu saya sambil
tertawa.
“Ke mana? Ke daerah Barat bersama saya. Anda telah lulus ujian dengan
gemilang, hihihihi! Para surveyor yang lain akan berangkat besok dan tidak dapat
menunggu Anda. Anda mau tidak mau harus ikut. Saya, Dick Stone dan Will Parker
yang akan bertugas sebagai pemandu. Kita berangkat menuju pegunungan
Canadian dan terus ke New Mexico. Saya tidak berpikir, Anda akan tinggal di sini
dan tetap menjadi greenhorn!”
Kini saya mulai mengerti. Semuanya telah direncanakan tanpa
sepengetahuan saya. Saya akan bekerja sebagai surveyor, pengukur tanah,
mungkin untuk salah satu jalur kereta api panjang yang sudah direncanakan.
Betapa senangnya saya! Saya sama sekali tidak perlu bertanya. Saya menerima
informasi itu begitu saja. Semuanya berkat Henry. Dia memegang tangan saya dan
berkata,
“Saya sudah mengatakan pada Anda, mengapa saya suka pada Anda. Anda
di sini bersama orang-orang baik, tapi pekerjaan sebagai guru privat sama sekali
tidak cocok untuk Anda, Sir. Anda harus pergi ke daerah Barat. Karena itulah saya
menghubungi perusahaan Atlantic and Pacific Company dan memintanya untuk
menguji Anda tanpa sepengetahuan Anda. Anda telah lulus dengan baik. Ini surat
pengangkatan Anda.”
Dia memberikan dokumen itu kepada saya. Ketika saya membaca surat itu
dan mengetahui berapa besar gaji saya, mata saya terbelalak. Selanjutnya dia
berkata,
“Anda akan berkuda, jadi butuh seekor kuda yang bagus. Kuda putih yang
sudah Anda jinakkan itu sudah saya beli dan akan saya berikan kepada Anda. Anda
juga perlu memiliki senjata dan untuk itu Anda boleh membawa senjata tua
pembunuh beruang yang berat itu, yang sudah tidak saya perlukan. Dengan
senjata itu, saya yakin tembakan-tembakan Anda akan selalu tepat pada sasaran.
Apa pendapat Anda, Sir, he?”
Mula-mula saya tidak kuasa berbicara, kemudian, ketika saya sudah bisa
menguasai diri, saya ingin menolak semua pemberian itu, tetapi tidak berhasil.
Orang-orang baik ini telah bertekad untuk menyenangkan hati saya, dan kalau
saya bersikeras menolak semua hadiah itu, hal itu akan sangat menyinggung
perasaan mereka. Untuk mengakhiri percakapan tersebut, paling tidak untuk
sementara waktu, nyonya rumah mengambil tempat duduk dan kami yang lain
terpaksa mengikuti tindakannya. Kami mulai makan dan pokok pembicaraan tadi
tidak disinggung lagi.
Baru sesudah makan, saya tahu, apa yang seharusnya saya ketahui. Rel
kereta yang akan dibangun itu terbentang dari St. Louis hingga ke pantai Pasifik
melalui daerah teritorial Indian, New Mexico, Arizona dan California. Menurut
rencana, jalur ini dibagi dalam beberapa seksi penelitian dan pengukuran. Seksi
tempat saya dan tiga orang ahli survey lapangan lainnya yang bekerja di bawah
pengawasan seorang Insinyur Kepala, berada di lokasi daerah hulu Rio Pecos dan
Pegunungan Canadian sebelah selatan.
Ketiga pemandu, Sam Hawkens, Dick Stone dan Will Parker akan membawa
kami ke sana. Di sana kami akan bertemu dengan serombongan westman yang
tangguh, yang bertugas menjaga keamanan kami. Selain itu tentu saja ada
perlindungan dari semua prajurit. Benar-benar di luar dugaan saya, baru hari ini
semua itu dijelaskan yang tentunya agak terlambat. Tetapi meskipun demikian,
penjelasan bahwa semua kebutuhan kami akan dipenuhi, membuat hati saya
tenang. Tidak ada lagi yang harus saya lakukan, selain memperkenalkan diri pada
kolega-kolega saya yang telah menunggu di kediaman Insinyur Kepala. Dengan
didampingi Henry dan Sam Hawkens, saya pergi ke sana dan disambut dengan
sangat ramah. Mereka tahu, bahwa saya pasti terkejut dan karena itu tidak
mempermasalahkan keterlambatan saya.
Ketika keesokan harinya, setelah saya berpamitan pada keluarga Jerman
itu, saya pergi ke rumah Henry. Belum sempat saya mengucapkan atas jasanya,
dia sudah mengguncang-guncang tangan saya dengan tulus sambil berkata kasar,
“Sudahlah, Sir! Saya menyuruh Anda pergi, hanya supaya senjata tua saya
bisa digunakan lagi. Kalau Anda kembali, carilah saya dan ceritakan, apa yang telah
Anda alami. Nanti akan terbukti, apakah Anda masih seperti sekarang dan tetap
tidak mempercayai definisi greenhorn seperti yang tercantum dalam buku-buku.”
Dia mendorong saya keluar menuju pintu, namun sebelum menutupnya,
saya melihat matanya berkaca-kaca.
BAB SATU
SEORANG GREENHORN
Pembaca yang budiman, tahukah Anda, apa makna kata “greenhorn”? Ini
adalah sebuah julukan yang sangat menjengkelkan dan bernada menghina. Green
artinya hijau dan kata horn diartikan alat peraba. Jadi greenhorn1 adalah orang
yang masih hijau, pendatang baru dan belum berpengalaman di suatu daerah. Dia
bertindak hati-hati dan memasang alat peraba baik-baik supaya tidak ditertawakan.
Greenhorn adalah seseorang yang tidak beranjak dari kursinya ketika
seorang lady2 meminta ingin duduk di situ; dia menyalami tuan rumah terlebih
dahulu, kemudian baru membungkukkan badannya kepada nyonya rumah dan
anakdaranya. Dia seseorang yang terbalik mengisi senapannya. Mula-mula dia
memasukkan sumbat, kemudian peluru dan terakhir mesiu ke dalamnya.
Greenhorn tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali, atau dia hanya bisa berbahasa
Inggris yang dibuat-buat. Baginya, Inggris yankee3 atau gaya bahasa orang
pedalaman sama-sama memuakkan, sehingga sama sekali tidak pernah terpikir
olehnya untuk mempelajari, apalagi mengucapkannya. Greenhorn menganggap
racoon4 sebagai opossum5 dan menganggap wanita blasteran negro dengan
kulitputih seorang quadroone6.
Greenhorn merokok cerutu tetapi membenci Sir7 yang mengunyah
tembakau dan meludahkannya. Jika ditampar oleh seorang Paddy (Irlandia),
Greenhorn akan berlari mengadu kepada seorang jurudamai dan bukannya
menembak saja orang itu sebagaimana layaknya yankee sejati. Greenhorn
menganggap jejak kalkun sebagai jejak beruang dan menganggap kapal layar
sebagai kapal uap Mississippi. Greenhorn tidak ragu-ragu meletakkan sepatu
bootnya yang kotor di atas dengkul penumpang yang lain, dia pun tidak malu
menyeruput supnya dengan bunyi seperti bison yang sekarat. Greenhorn
menggotong sebanyak mungkin karet spons pembersih wajah dan lima kilo sabun
demi kebersihan tubuhnya di padang prairie. Dia juga menyelipkan sebuah kompas,
namun setelah tiga atau empat hari kemudian jarumnya menunjukkan ke semua
1 Dalam bhs. Indonesia, maknanya adalah: pemula yang sok tahu. Menurut asalusul kata yang sebenarnya, greenhorn berarti anak sapi yang tanduknya belum sepenuhnya tumbuh, jadi konotasinya seseorang yang belum sepenuhnya dewasa. Sedang horn yang diartikan sebagai alat peraba (dari jenis binatang insek), itu adalah kekeliruan si pengarang. 2 Nyonya (bhs. Ingris). 3 Nama olok-olok orang Amerikat Serikat bagian Utara. 4 Sejenis binatang pemakan daging, berbulu abu-abu-cokelat dengan bercak hitam seperti topeng di matanya. 5 Binatang malam, berbulu tebal, bermoncong panjang. 6 Seperempat keturunan negro. 7 Tuan (bhs. Inggris).
arah kecuali ke utara. Greenhorn mencatat delapanratus ungkapan bahasa Indian,
tapi ketika bertemu dengan seorang kulitmerah untuk pertama kalinya, baru
teringat olehnya, bahwa catatan itu terkirim ke rumah dalam surat terakhir,
sehingga dia tidak bisa mempelajarinya.
Greenhorn membeli mesiu, dan ketika menembak untuk pertama kalinya,
dia baru tahu, seseorang telah memberinya bubuk arang yang dihaluskan.
Greenhorn telah mempelajari ilmu astronomi selama sepuluh tahun, dan selama itu
pula dia mengamati bintang-bintang di angkasa, namun dia tidak tahu jam berapa
saat ini. Greenhorn menyelipkan pisau Bowie ke ikatpinggangnya sehingga jika dia
membungkuk, mata pisaunya akan menusuk pahanya sendiri. Greenhorn akan
membuat api unggun besar saat berada di Wild West, sehingga nyalanya berkobar
menjulang setinggi pohon, dan dia kaget ketika dipergoki dan ditembaki oleh
orang-orang Indian. Greenhorn adalah greenhorn, dan julukan greenhorn semacam
itu dahulu melekat juga pada diri saya.
Tetapi orang keliru kalau mengira saya peduli dengan julukan yang
menyakitkan itu, karena memang menjadi ciri khas setiap greenhorn yang lebih
suka menganggap orang lain greenhorn daripada dirinya sendiri. Sebaliknya, saya
merasa pandai dan berpengalaman, karena saya telah mengenyam pendidikan
tinggi dan tidak pernah gentar menghadapi ujian! Dulu, ketika saya masih remaja,
saya sama sekali tidak berpikir bahwa kehidupanlah tempat belajar yang
sesungguhnya yang menguji siswanya setiap saat dan mereka harus lulus
menempuh ujian ini.
Situasi yang tidak menguntungkan di tanah-air dan dorongan naluri telah
membawa saya menyeberangi samudra menuju Amerika, tempat yang kala itu jauh
lebih baik dan menguntungkan untuk karier seorang anak muda yang ulet. Di
negara-negara Timur sebenarnya pun saya bisa menemukan kehidupan yang
berkecukupan, tapi ada dorongan dalam diri saya untuk pergi ke Barat. Dalam
waktu singkat saya bekerja dari suatu tempat ke tempat lain dan mendapatkan
uang begitu banyak, sehingga saya sampai di St. Louis dalam kondisi sejahtera
lahir batin. Di sana keberuntungan membawa saya ke sebuah keluarga Jerman,
tempat saya mondok sebagai seorang guru pribadi. Di keluarga ini saya berkenalan
dengan Mr. Henry seorang pembuat senapan sejati, yang hasil karyanya dikerjakan
dengan sentuhan seni. Dengan kebanggaan orang kuno dia menyebut dirinya the
gunsmith8.
8 Si pembuat senapan (bhs. Inggris).
Jika dilihat dari roman mukanya, tampaknya Mr. Henry tidak pernah bergaul
dengan orang lain selain dengan keluarga yang ditinggalinya. Dia bahkan melayani
pelanggannya dengan kasar dan ketus, sehingga mereka ke sana semata-mata
hanya karena kwalitas barangnya. Tapi sebenarnya dia seorang yang sangat baik
hati dan bersahabat. Dia kehilangan istri dan anaknya dalam suatu peristiwa yang
menyedihkan yang tidak pernah diceritakannya. Kendati demikian saya menduga
berdasarkan sebagian ceritanya, bahwa mereka terbunuh dalam suatu
perampokan. Kejadian itu membuatnya menjadi begitu kasar. Mungkin dia tidak
menyadari bahwa dia sangat kasar; tetapi sebetulnya pribadinya lembut dan baik.
Saya sering melihat matanya berkaca-kaca jika saya bercerita tentang kampung
halaman dan keluarga saya, tempat hati saya selalu berlabuh.
Saya tidak tahu, mengapa orang tua itu menaruh simpati yang begitu besar
terhadap saya, padahal saya masih muda dan masih asing di matanya. Sampai
suatu saat dia mengatakannya kepada saya. Sejak saya menumpang di sana, dia
lebih sering berkunjung daripada sebelumnya, menyimak pelajaran dan bercakap-
cakap dengan saya seusai pelajaran. Dan akhirnya dia mengundang saya ke
rumahnya. Undangan semacam ini belum pernah diberikan kepada orang lain.
Karena itu saya bersikap waspada menanggapi undangannya. Sikap ini rupanya
tidak disukainya. Sampai hari ini, saya masih ingat betapa marahnya dia, ketika
suatu malam saya berkunjung, dan dia menerima saya tanpa menjawab ucapan
“good evening”9 saya.
“Di manakah Anda kemarin?”
“Di rumah.“
“Dan kemarin dulu?”
“Juga di rumah.”
“Jangan bohong!”
“Saya tidak bohong, Mr. Henry!”
“Pshaw! Anak-anak muda seperti Anda diibaratkan seperti burung yang
tidak pernah tinggal di sarangnya. Mereka akan ngeluyur ke mana saja kecuali ke
keluarganya sendiri.”
“Kalau begitu menurut Anda, ke manakah saya boleh pergi?”
“Tentu saja ke sini, ke rumah saya! Sudah lama saya ingin menanyakan
sesuatu kepada Anda.”
“Mengapa tidak ditanyakan?”
“Tentu saja karena saya belum mau.”
9 Selamat Petang (bhs. Inggris).
“Lalu kapan maunya?”
“Mungkin sekarang.”
“Tanyakan saja, jangan segan-segan,” jawab saya sambil duduk di bangku
tempat dia bekerja.
Dia memandang saya dengan heran sambil menggelengkan kepalanya dan
berkata,
“Segan? Apakah saya harus meminta ijin lebih dahulu kepada seorang
greenhorn seperti Anda apabila saya hendak bertanya?”
“Greenhorn?” tanya saya sambil mengerutkan dahi, karena saya merasa
benar-benar tersinggung. “Saya kira perkataan Anda itu tidak disengaja dan hanya
salah lidah, Mr. Henry!”
“Jangan tersinggung, Sir! Perkataan itu saya ucapkan dengan sengaja. Anda
memang seorang greenhorn. Memang benar Anda mempunyai banyak
pengetahuan. Sungguh mengagumkan apa yang dipelajari orang di Jerman! Anda
bahkan sudah tahu jarak bintang di langit yang dulu ditulis oleh Raja Nebukadnezar
pada batu prasasti. Anda tahu ilmu bumi, ilmu alam dan ilmu lainnya. Dan karena
itu Anda menjadi sombong! Tetapi kira-kira limapuluh tahun lagi, Anda baru akan
menyadari apa yang diperlukan untuk kepandaian yang sesungguhnya! Apa yang
Anda ketahui sampai saat ini sama sekali tidak berarti. Dan kepintaran Anda masih
kurang. Anda sama sekali tidak bisa menembak!”
Dia mengatakan itu dengan nada yang sangat menghina dan dengan penuh
keyakinan seolah-olah dia tahu pasti akan hal ini.
“Tidak bisa menembak? Hm!” jawab saya sambil tersenyum. “Inikah yang
ingin Anda tanyakan pada saya?”
“Ya, memang! Sekarang apa jawaban Anda?”
“Beri dulu saya senapan yang baik, baru akan saya jawab.”
Dia meletakkan laras senapan yang sedang disekrupinya, kemudian berdiri
mendekati saya, memastikan dengan pandangan heran dan berseru,
“Memberi Anda senjata, mana mungkin! Senapan saya hanya boleh
dipergunakan oleh orang yang layak memegangnya.”
“Saya juga layak,” saya menganggukkan kepala.
Dia memandang saya sekali lagi, kemudian duduk kembali, mulai lagi
mengerjakan laras senapannya dan bergumam,
“Dasar greenhorn! Kesombongannya benar-benar membuat saya kesal!”
Saya membiarkannya, karena saya mengenali wataknya. Saya mengambil
sebatang cerutu dan menyulutnya. Seperempat jam lamanya kami saling diam.
Namun, dia tidak tahan lagi. Dia membawa laras itu ke arah lampu, memeriksanya
dan mengatakan,
“Menembak itu lebih sulit daripada meneropong bintang atau membaca
tulisan pada prasasti Nebukadnezar. Mengerti? Apakah Anda pernah memegang
sebuah senjata di tangan?”
“Tentu saja!”
“Kapan?”
“Sudah lama dan seringkali.”
“Juga membidik dan menarik pelatuknya?”
“Ya.“
“Dan kena?
“Tentu saja!”
Tiba-tiba dia meletakkan laras senapan yang sedang dikerjakannya,
memandang saya lagi dan berkata,
“Ya kena. Tapi apanya yang kena?”
“Sasarannya, tentu saja.”
“Apa? Apakah Anda benar-benar mau membohongi saya?”
“Saya berkata yang sesungguhnya, saya tidak bohong.”
“Persetan, Sir! Orang tidak akan percaya. Saya yakin, tembakan Anda hanya
mengenai tembok dan itu pun jika tingginya sembilan meter dan panjangnya
tigapuluh meter. Tapi Anda berbicara begitu serius dan yakin, sehingga membuat
orang jengkel. Saya bukan kanak-kanak, tahu! Greenhorn dan kutubuku seperti
Anda tidak bisa menembak! Selama ini Anda hanya sibuk menggeluti buku-buku
berbahasa Turki, Arab dan bahasa-bahasa konyol lainnya dan Anda masih sempat
menyisihkan waktu untuk latihan menembak? Ambillah senapan tua yang
tergantung itu dan bidiklah seolah-olah Anda hendak menembak. Senapan itu
adalah senapan pembunuh beruang, senapan terbaik yang pernah saya gunakan.”
Saya beranjak mengambil bedil itu dan membidik.
“Halloo!” serunya sambil melompat. “Diapakan itu? Anda mengangkat
senapan itu seperti mengangkat sebuah tongkat saja, padahal itu senapan terberat
yang saya kenal! Apakah Anda sekuat itu?”
Sebagai jawaban, saya mencengkeram pinggangnya lalu mengangkatnya
tinggi-tinggi dengan tangan kanan.
“Thunder-storm!” teriaknya. “Lepaskan saya. Anda ternyata jauh lebih kuat
daripada Bill!”
“Bill? Siapakah dia?”
“Dia anak saya, yang… ah… lupakan saja! Dia sudah meninggal seperti yang
lainnya. Dia bisa tumbuh menjadi pemuda yang tangkas, tetapi meninggal ketika
saya tidak ada. Perawakan Anda mirip dengannya, bahkan mata dan bentuk mulut
Anda mirip, karena itu saya anggap Anda ..., ah, itu bukan urusan Anda!”
Ungkapan kesedihan yang dalam terpancar di wajahnya . Dia mengusap
wajah dengan tangannya, kemudian melanjutkan kisahnya dengan suara yang lebih
bersemangat,
“Tapi, Sir, sungguh sayang jika tenaga otot Anda hanya dimanfaatkan untuk
menulis buku, seharusnya Anda berlatih fisik!”
“Tetapi saya selalu berlatih!”
“Sungguh?”
“Ya!”
“Bertinju?”
“Bertinju tidak ada di negeri saya, tetapi senam dan gulat saya ikut.”
“Berkuda?”
“Ya.”
“Bermain anggar?”
“Saya pernah menjadi guru anggar.”
“Hei… jangan membual! ”
“Anda mau mencoba?”
“Terima kasih! Cukup, saya harus bekerja. Duduklah kembali.”
Dia kembali ke tempat kerjanya, dan saya duduk kembali. Kami terdiam
cukup lama. Tampaknya Henry sibuk berpikir tentang sesuatu yang penting. Tiba-
tiba dia menengadah dan bertanya,
“Sudah pernahkan Anda belajar matematika?”
“Dulu itu salah satu bidang kegemaran saya.”
“Aritmatika, geometri?”
“Tentu saja. “
“Pengukuran tanah?”
“Itu kegemaran saya juga. Saya sangat sering bekerja di lapangan dengan
teodolit tanpa tahu kegunaannya.”
“Dan dapat mengukur, benar-benar mengukur?”
“Ya, saya dulu sering ikut serta dalam pengukuran horisontal dan vertikal,
meskipun saya tidak merasa sebagai ahli geodesi”.
“Well – sangat bagus, sangat bagus!”
“Mengapa Anda tanyakan itu, Mr. Henry?”
“Karena saya mempunyai alasan untuk itu, tahu! Anda tidak perlu
mengetahuinya sekarang, Anda akan mendengarnya kelak. Saya harus tahu dulu,
apakah Anda bisa menembak.”
“Kalau begitu, cobalah saya!“
“Sudah tentu Anda akan saya coba. Jam berapa Anda besok mulai
mengajar?”
“Pukul delapan.“
“Datanglah pukul enam, kita akan pergi ke lapangan tembak, tempat saya
mencoba senapan saya”.
“Mengapa sepagi itu?”
“Karena saya tidak mau menunggu lebih lama. Saya sangat penasaran dan
ingin membuktikan bahwa Anda benar-benar seorang greenhorn. Untuk hari ini
rasanya sudah cukup, saya masih mempunyai pekerjaan lain.”
Laras senapan itu sudah selesai dikerjakan, dan sekarang dia mengambil
sepotong besi poligon10 dari sebuah lemari. Ujung besi itu dikikirnya sampai halus.
Saya lihat tiap permukaannya memiliki sebuah lubang.
Demikian asyiknya dia bekerja, sehingga tampaknya dia lupa akan
kehadiran saya. Matanya berbinar-binar dan jika dia mengamati hasil karyanya
tersirat rasa bangga di wajahnya. Potongan besi ini pasti sangat berharga baginya.
Saya ingin tahu apa yang sedang dikerjakannya. Karena itu saya bertanya,
“Apakah itu bagian dari sebuah senapan, Mr. Henry?”
“Ya,” jawabnya, seolah-olah dia sudah lupa bahwa saya masih ada di sana.
“Tetapi saya tidak mengenal sistem senapan yang mempunyai bagian
seperti itu. “
“Ya memang, senapan ini belum selesai dirakit. Tapi pasti akan jadi
‘senapan Henry’.”
“Oh…. sebuah penemuan baru?
“Yes!”
“Kalau begitu, saya minta maaf karena telah menanyakannya! Ini tentu
rahasia!”
Dia memeriksa tiap-tiap lubang dengan seksama dan memutar besi itu
berkali-kali ke segala arah. Kemudian dia coba menyesuaikannya dengan bagian
belakang laras senapan lalu berkata,
“Ya, ini rahasia. Tetapi saya percaya pada Anda, Anda bisa menyimpan
rahasia meskipun Anda betul-betul masih seorang greenhorn. Karena itu saya ingin
10 Persegi banyak
mengatakan bahwa senapan ini akan menjadi senapan pendek, sebuah repertir
yang dapat menembakkan duapuluh lima peluru.”
“Tidak mungkin!”
“Jaga mulut Anda! Saya tidak bodoh untuk melakukan suatu yang mustahil!”
“Tetapi bukankah Anda harus membuat lubang-lubang untuk menyimpan
duapuluhlima peluru?”
“Saya sudah membuatnya juga. “
“Tempat tersebut pasti besar dan tidak praktis, sehingga mengganggu.”
“Sebaliknya, saya hanya membuat satu tempat, praktis dan sama sekali
tidak mengganggu. Besi inilah tempatnya.“
“Hm! Saya tidak mengerti bidang Anda, tetapi bagaimana dengan suhu
tinggi pada laras senapan akibat tembakan itu?”
“Justru bahan dan pembuatan laras inilah rahasia saya. Di samping itu,
apakah selalu perlu melepaskan duapuluhlima tembakan berturut-turut?”
“Jarang sekali.”
“Jadi besi ini akan berputar, keduapuluhlima lubang itu masing-masing akan
memuat sebuah peluru. Pada setiap peluru yang ada di dalamnya akan tepat
berhadapan dengan lubang laras. Sudah bertahun-tahun lamanya saya memikirkan
kemungkinan ini, tetapi belum pernah dapat saya laksanakan. Sepertinya baru
sekarang akan berhasil. Nama saya, Gunsmith, sekarang sudah dikenal sebagai
pembuat senapan. Jika ciptaan saya ini berhasil, saya akan sangat terkenal dan
mendapat banyak uang.”
“Dan mendapat tambahan beban moral.”
Dia memandang saya dengan tercengang, lalu bertanya,
“Beban moral? Mengapa?”
“Anda kira, seorang pembunuh tidak punya beban moral?”
“Zounds! Maksud Anda, apakah saya seorang pembunuh?”
“Sekarang memang belum!”
“Atau saya akan menjadi pembunuh?”
“Ya, bukankah membantu orang melakukan pembunuhan dosanya sama
besar dengan orang yang melakukan pembunuhan itu sendiri?”
“Persetan, saya tidak akan membantu sebuah pembunuhan.”
“Memang bukan membantu sebuah pembunuhan, melainkan pembantaian
besar-besaran.”
“Bagaimana mungkin? Saya tidak mengerti.”
“Jika Anda membuat senapan yang dapat menembakkan duapuluhlima
peluru berturut-turut dan senapan itu jatuh ke tangan orang yang tidak
bertanggungjawab, maka di padang prairie, di hutan, di ngarai, akan terjadi
pembantaian mengerikan. Dan orang-orang Indian yang malang akan ditembak
seperti coyote11 dan dalam beberapa tahun lagi mereka akan punah. Apakah Anda
akan membiarkan hal itu terjadi?”
Dia memandang saya tanpa menjawab.
“Dan jika setiap orang bisa membeli senapan berbahaya ini, maka dalam
waktu singkat, Anda akan memusnahkan ribuan orang, juga mustang, bison dan
semua jenis binatang buas lainnya yang diperlukan orang Indian untuk hidupnya.
Ratusan bahkan ribuan pemburu liar akan menggunakan senapan Anda dan pergi
menuju ke wilayah Barat. Banjir darah manusia dan binatang akan membasahi
tanah ini dan tidak lama lagi daerah-daerah tersebut menjadi tidak berpenghuni.”
“’s death!” serunya kemudian. ”Apakah Anda ini benar-benar pendatang
baru dari Germany?”
“Ya.”
“Dan belum pernah ke sini sebelumnya?”
“Belum.”
“Dan belum pernah juga di Wild West sini?”
“Belum.”
“Ooh…… jadi Anda benar-benar greenhorn, walaupun begitu Anda banyak
bicara, seolah-olah andalah nenek moyang orang Indian dan sudah ribuan tahun
hidup di sini dan sampai sekarang masih hidup! Anak muda, hendaknya Anda
jangan coba-coba membuat hati saya panas. Seandainya perkataan Anda itu
menjadi kenyataan, tak pernah terpikirkan oleh saya untuk mendirikan pabrik
senjata. Saya orang yang kesepian dan ingin menyendiri, saya tidak berniat
mendirikan perusahaan dan mempunyai banyak pegawai.”
“Tetapi sebenarnya Anda bisa menjadi kaya dengan membuat hak paten
atas penemuan Anda dan menjualnya.”
“Tunggu sajalah, Sir! Sampai sekarang nafkah saya lebih dari cukup. Saya
kira saya masih dapat hidup dengan layak tanpa menjual paten saya. Sekarang
pulanglah! Saya tidak mau mendengar nasihat anak kemarin sore yang belum
berpengalaman, tapi sudah berani menasihati orang tua.”
Perkataannya itu sama sekali tidak membuat saya berkecil hati. Dia selalu
begitu, dan saya maklum apa yang dia maksud. Dia menyayangi saya, bertekad
semaksimal mungkin untuk mendukung dan melayani saya. Kami berjabatan
tangan, dan setelah itu saya pergi.
11 Sejenis serigala prairie.
Saya tidak menduga, betapa pentingnya arti malam itu bagi saya, dan tidak
terbersit dalam benak saya, bahwa senjata tua pembunuh beruang yang berat dan
senjata laras pendek yang belum selesai itu berperan begitu besar dalam
kehidupan saya kemudian. Saya gembira menyongsong esok hari, karena
sesungguhnya saya telah bisa menembak dengan baik dan merasa sangat yakin,
bahwa saya akan lulus ujian menembak di hadapan teman tua yang unik itu.
Saya datang tepat pukul enam pagi. Dia sudah menunggu saya, menjabat
tangan saya dan berkata sambil tersenyum sinis,
“Welcome, Sir! Roman muka Anda nampak seakan-akan Anda yakin akan
menang. Apakah Anda mengira bahwa Anda dapat menembak tembok yang saya
maksud tadi malam?”
“Saya harap begitu.”
“Well, kita pergi sekarang. Saya membawa senapan yang ringan, dan Anda
membawa senapan pembunuh beruang. Saya malas membawa benda seberat itu.”
Dia menyandang senapan ringan berlaras dua, dan saya memanggul
senapan tua itu. Sesampainya di lapangan tembak, dia mengisi kedua senapan itu
dan menembakkannya dua kali. Kemudian giliran saya. Saya belum mengenal
senapan ini, sehingga tembakan yang pertama hanya mengenai lingkaran luar.
Tembakan yang kedua jauh lebih baik dan yang ketiga tepat di tengah. Tembakan
selanjutnya menembus lubang yang telah dibuat oleh tembakan ketiga. Keheranan
Mr. Henry makin menjadi-jadi, saya juga harus mencoba senjatanya dan ketika
hasilnya sama, dia berteriak,
“Kalau tidak karena kerasukan setan, Anda seorang westman12 sejati, Sir!
Belum pernah saya melihat greenhorn seperti itu!”
“Saya tidak kesurupan, Mr. Henry,” kata saya sambil tertawa. “Saya tidak
mau berteman dengan setan.”
“Menjadi westman adalah tugas bahkan kewajiban Anda, apakah Anda tidak
berminat?”
“Mengapa tidak!”
“Well, lihat saja nanti, apa yang bisa dilakukan oleh greenhorn seperti Anda?
Apakah Anda juga bisa menunggang kuda?”
“Kalau terpaksa.”
“Kalau terpaksa? Hm! Jadi tidak sebaik Anda menembak?”
12 Istilah ciptaan pengarang. Maksudnya adalah “man of the west” atau lebih tepatnya “frontierman” yang konotasinya adalah: perintis atau pioner daerah Barat, pemburu prairie, dan sejenisnya. Supaya otentik, istilah keliru ini tetap dipertahankan.
“Pshaw! Naik ke punggung kuda adalah yang paling sulit. Tapi jika saya
sudah duduk di atas, tidak ada kuda yang melemparkan saya.”
Dia melihat saya dengan pandangan menyelidik, apakah saya serius atau
berkelakar, sementara itu saya menunjukkan wajah bersungguh-sungguh, dan dia
berkata,
“Anda serius? Apakah Anda berpegang pada surainya? Kalau begitu Anda
keliru. Memang benar, bahwa naik ke punggung kuda yang paling sulit, karena
Anda harus melakukannya sendiri, sedangkan turun jauh lebih mudah dan cepat
karena kudalah yang menjatuhkan.”
“Tetapi kuda tidak akan melemparkan saya!”
“Begitu? Kita lihat saja nanti! Maukah Anda mencobanya?”
“Dengan senang hati.”
“Kalau begitu, marilah! Sekarang baru pukul tujuh, dan Anda masih punya
waktu satu jam. Kita ke rumah Jim Korner, pedagang kuda. Dia mempunyai kuda
putih yang bisa Anda pakai.”
Kami kembali ke kota dan mencari pedagang kuda itu. Di sana terdapat
lahan ternak yang luas, yang dikelilingi oleh banyak istal. Korner datang sendiri
menyambut dan menanyakan maksud kedatangan kami.
“Anak muda ini bilang, bahwa tidak ada seekor kuda pun mampu
melemparkannya dari pelana,” tukas Henry. “Apa pendapat Anda, Mr. Korner?
Apakah Anda mengijinkannya menunggangi kuda putih itu?”
Pedagang itu memandang saya dengan penuh keraguan, kemudian
mengangguk tanda setuju dan menjawab,
“Susunan tulangnya tampak bagus, selain itu leher anak muda biasanya
tidak mudah patah seperti orang tua. Jika gentleman13 ini ingin mencoba kuda
putih saya, silahkan saja, saya tidak keberatan.”
Dia memberi perintah kepada anak buahnya dan tidak berapa lama
keluarlah dua orang pembantunya menuntun kuda berpelana dari istal. Kuda itu
sangat liar dan meronta-ronta karena ingin melepaskan diri. Mr. Henry mulai
mengkhawatirkan saya, dan meminta saya untuk mengurungkan niat, tetapi saya
tidak merasa takut. Lagipula kesempatan ini saya anggap sebagai kehormatan.
Saya diberi sebuah cemeti dan pemacu pada sepatu lars. Kemudian saya melompat
ke atas pelana, tetapi baru berhasil setelah beberapa kali mencoba. Setelah saya
duduk di atas pelana, kedua pembantu itu segera minggir, dan kuda itu melonjak-
lonjak ke atas dan ke samping. Saya memegangi pelana meskipun belum duduk,
13 Tuan terhormat (bhs. Inggris).
tetapi segera saya memasukkan kaki ke sanggurdi. Kuda itu mulai melawan,
namun usahanya sia-sia. Ketika ia tidak berhasil menakut-nakuti saya, dia menuju
ke dinding untuk melemparkan saya. Tetapi dengan beberapa pukulan cambuk
yang keras, saya menghalaunya kembali ke tengah lapangan. Kini kuda itu mulai
berjuang sekeras-kerasnya melawan saya, sementara saya pun mengerahkan
seluruh kemampuan saya yang hanya sedikit waktu itu karena kurang latihan. Saya
tekan kuda itu sekuat tenaga dengan paha saya, dan akhirnya kuda itu dapat
dikalahkan. Ketika saya turun dari punggung kuda, kedua kaki saya gemetar
karena tegang, sedang binatang itu bersimbah peluh dan mulutnya berbuih. Tetapi,
sekarang ia menuruti setiap perintah saya.
Pedagang kuda itu mengkhawatirkan keadaan kudanya, dia menyelimuti
kudanya dan perlahan-lahan menuntunnya kian kemari, kemudian berpaling
kepada saya,
“Anak muda, saya tidak menduga, tadi saya merasa yakin Anda akan
terjatuh ke tanah pada lompatan pertama. Tentu saja Anda tidak perlu membayar,
dan jika Anda mau membantu, datanglah lagi untuk menjinakkan kuda itu. Sepuluh
dollar tidak penting bagi saya, karena ini bukan kuda yang murah, dan jika kuda ini
jinak, maka saya akan mendapat keuntungan besar.“
“Kalau Anda setuju, akan saya lakukan dengan senang hati,“ jawab saya.
Sejak saya turun, Henry belum berkata sepatah kata pun, hanya
menggelengkan kepala. Kemudian dia bertepuk tangan sambil berteriak,
“Greenhorn ini benar-benar luar biasa dan istimewa! Bukannya kuda yang
melemparkannya ke bawah, malahan dia yang menggencet kuda setengah mati.
Siapa yang mengajari Anda, Sir?”
“Kebetulan saja, saya pernah disuruh menjinakkan seekor kuda Hongaria
yang agak liar, yang tidak mau ditunggangi orang. Lambat laun saya
menjinakkannya, tapi nyaris celaka.”
“Terima kasih untuk kuda yang semacam itu! Saya mengagumi kursimalas
tua saya, yang tidak pernah memberontak kalau saya duduki. Mari kita pergi,
kepala saya sudah pening. Tetapi tidak sia-sia. Saya telah melihat Anda menembak
dan berkuda. Anda telah melakukannya dengan sangat baik.”
Kami pulang ke rumah masih-masing. Selama dua hari saya tidak bertemu
dia dan saya tidak punya kesempatan untuk mencarinya. Tetapi pada hari
berikutnya, dia datang mengunjungi saya. Dia tahu, bahwa saya libur.
“Maukah Anda berjalan-jalan dengan saya?” tanyanya.
“Ke mana?”
“Ke seorang gentleman, yang ingin berkenalan dengan Anda. “
“Mengapa saya?”
“Coba Anda bayangkan, dia belum pernah melihat seorang greenhorn.”
“Kalau begitu saya ikut, dia akan berkenalan dengan kita. “
Saya tahu di balik ajakannya, dia merencanakan suatu kejutan. Kami
menyusuri jalan dan sampailah di sebuah kantor dengan sebuah pintu kaca yang
besar. Begitu cepatnya dia masuk, sehingga saya tidak sempat membaca huruf
emas yang tertera di atas pintu kaca itu, tapi saya yakin, saya sempat melihat–lihat
kata office dan surveying. Dan ternyata saya tidak salah.
Di dalam kantor itu ada tiga orang pria, yang menyambut kami dengan
ramah dan sopan dan kelihatan penasaran. Beberapa peta dan gambar tergeletak
di atas meja, selain itu juga terdapat beberapa macam alat pengukuran. Kami
berada di sebuah kantor geodesi.
Saya tidak tahu apa maksud teman saya ini membawa saya ke mari. Dia
tidak menjelaskan kepada saya dan tampaknya ini hanya kunjungan biasa.
Sebentar kemudian percakapan itu menjadi menarik sampai akhirnya pembicaraan
beralih ke benda-benda yang ada di atas meja itu. Ini menguntungkan saya,
karena saya bisa terlibat lebih banyak dalam percakapan mengenai hal-hal itu
daripada tentang situasi Amerika yang belum saya kenal.
Hari ini Henry tampak sangat tertarik pada ilmu ukur tanah. Dia banyak
bertanya dan ingin mengetahui semua hal dan saya asyik menerangkan
penggunaan alat-alat itu serta menjabarkan gambar peta dan rancangannya. Saya
benar-benar greenhorn sejati, karena tidak tahu arah pertanyaan-pertanyaan itu.
Baru setelah saya menguraikan hakekat dan perbedaan pengukuran yang terdapat
pada koordinat, metode kutub dan diagonal, pengukuran perimeter, ketiga pria itu
mengedipkan matanya kepada si pembuat senapan. Kini mengertilah saya
maksudnya. Saya bangkit dari tempat duduk untuk memberi isyarat kepada Henry,
bahwa saya ingin pergi. Dia tidak menoleh dan kami diantar dengan lebih ramah
lagi.
Ketika kami sudah jauh dan tidak terlihat dari kantor tadi, Henry berhenti
serta meletakkan tangannya di bahu saya dan berkata dengan wajah berseri-seri,
“Sir, anak muda, greenhorn. Anda telah membuat saya sangat senang. Saya
benar-benar bangga pada diri Anda.”
“Mengapa?”
“Karena anda telah memenuhi bahkan melampaui perkiraan dan harapan
saya!”
”Perkiraan? Harapan? Saya tidak mengerti. “
“Anda pun tidak perlu mengerti. Penjelasannya sangat sederhana. Anda
pernah mengatakan, bahwa Anda paham tentang pengukuran tanah. Dan untuk
membuktikan bahwa Anda tidak membual, saya membawa Anda kepada para
gentleman tadi. Mereka adalah kenalan saya dan telah menguji kecakapan Anda.
Ternyata Anda lulus.”
“Membual? Mr. Henry, kalau Anda menganggap saya seperti itu, saya tidak
akan datang lagi ke rumah Anda!”
“Jangan tersinggung! Anda jangan merenggut kebahagiaan orang tua
seperti saya. Karena itu akan membuat kesan saya terhadap Anda berubah. Seperti
Anda ketahui, ada kemiripan antara Anda dengan anak saya! Sudahkah Anda
mendatangi pedagang kuda itu?”
“Setiap pagi.”
“Dan menunggangi kuda putih itu lagi?”
“Ya.”
“Apakah ada harapan dapat menjinakkan kuda itu?”
“Saya yakin. Hanya saya ragu, apakah orang yang akan membelinya dapat
menguasainya seperti saya. Ia sudah terbiasa dengan saya dan akan melemparkan
orang lain ke tanah.“
“Saya senang, senang sekali, tampaknya ia hanya mau ditunggangi
greenhorn. Mari lewat jalan sini! Saya tahu, di seberang sana ada dining-house
terkenal, tempat makan dan minum yang enak. Anda telah lulus ujian dan kita
harus merayakannya.”
Saya tidak memahami Mr. Henry. Dia sepertinya telah berubah. Dia yang
biasanya menyendiri dan pemalu, kini ingin makan di sebuah restoran! Wajahnya
pun lain dari biasanya dan suaranya terdengar lebih ramah dan ceria daripada
sebelumnya. Kata ujian menarik perhatian saya, tapi mungkin saja kata itu tidak
berarti.
Sejak saat itu setiap hari dia mengunjungi saya dan memperlakukan saya
seolah-olah dia takut kehilangan saya. Tetapi tampaknya saya tidak boleh
membanggakan diri dulu, karena dia masih tetap menyebut saya dengan istilah
greenhorn yang menyebalkan itu.
Anehnya, pada waktu yang bersamaan sikap keluarga yang saya tinggali
juga berubah. Orang tuanya jadi lebih memperhatikan saya, sedangkan anak-
anaknya menjadi lebih ramah. Saya memergoki mereka ketika mereka
memandangi saya secara diam-diam. Saya tidak paham arti tatapan seperti itu.
Bagi saya sebenarnya perhatian itu sangat ramah dan tidak punya maksud
terselubung.
Kira-kira tiga minggu setelah kunjungan kami ke kantor itu, suatu petang
nyonya rumah meminta saya untuk tidak keluar rumah, sebab saya akan diundang
makanmalam oleh keluarga itu. Mr. Henry akan datang, dan selain itu mereka juga
mengundang dua orang pria, yang salah satunya bernama Sam Hawkens, seorang
westman yang terkenal. Sebagai seorang greenhorn, saya belum pernah
mendengar nama itu, tetapi saya senang akan berkenalan dengan pemburu yang
ulung dan terkenal itu.
Karena saya tinggal serumah, saya tidak perlu menunggu tibanya waktu
yang ditentukan. Beberapa menit sebelum waktunya, saya sudah berada di dining-
room14. Di sana saya terkejut, melihat penataan ruang yang tidak seperti biasanya,
tampaknya akan ada pesta.
Si kecil Emmy yang baru berumur lima tahun berada sendirian di ruang itu.
Dia membenamkan jarinya ke dalam manisan stroberi lalu menjilatnya. Ketika saya
masuk, dia menarik jarinya dan menyibak rambutnya yang pirang. Saat saya
mengangkat telunjuk untuk memberinya teguran keras, cepat-cepat dia
menghampiri saya dan berbisik. Agar saya tidak marah, ia mau membuka suatu
rahasia yang dijaganya selama beberapa hari ini, meskipun hati kecilnya merasa
bersalah. Karena merasa kurang mengerti, saya menyuruh dia mengulanginya.
Jawabnya tetap sama,
”Your farewell-feast.”
Pesta perpisahanku! Itu tidak mungkin! Siapa tahu, anak itu berkata begitu
agar saya tidak marah. Saya tersenyum, kemudian mendengar suara orang yang
bercakap-cakap di ruangtamu. Para tamu telah datang. Dan saya pun ke
ruangtamu untuk menyambut mereka. Tiga orang tamu datang bersamaan.
Ternyata mereka sudah sepakat datang bersama-sama. Henry memperkenalkan
seorang pemuda ganteng yang acuh tak acuh dan kaku, yang dipanggil Mr. Black;
dan kemudian Sam Hawkens, seorang westman.
Dia seorang westman! Saya akui terus terang, wajah saya mungkin bengong
ketika memandangnya. Sosok seperti itu tidak pernah saya lihat sebelumnya, dan
kelak saya akan bertemu dengan sosok-sosok lain yang lebih aneh lagi. Orang itu
berpenampilan sangat mencolok, ditambah lagi gayanya berdiri di ruangan yang
indah itu seperti berdiri di tengah hutan belantara saja. Dia tetap mengenakan
topinya sambil memegang senjata di tangan. Orang pasti membayangkan
demikian:
14 Ruang makan (bhs. Inggris).
Bahwa di bawah topi tebalnya yang lusuh dan usang dia pasti selalu berpikir
keras. Di sekitar hidungnya yang besar dan menakutkan serta besar pula
bayangannya -sehingga cocok untuk dijadikan jam matahari-, tampak jambangnya
yang tumbuh tak terurus. Karena jambangnya yang lebat itu, selain hidung, yang
tampak adalah kedua mata kecilnya yang cerdik. Kedua mata itu tampak sangat
hidup dan penuh selidik. Dengan pancaran mata yang berseri-seri dia memandangi
saya. Kami saling mengamati dengan seksama. Kelak saya tahu alasannya
mengapa dia begitu tertarik kepada saya.
Organ bagian atas tersebut bertumpu pada tubuh yang tertutup rapat
hingga ke lutut oleh jas berburu dari kulit yang sudah usang yang diperuntukkan
bagi orang yang lebih gemuk. Karena itu manusia kerdil itu tampak seperti anak
kecil yang bermain-main dengan memakai baju tidur kakeknya. Di bawah jasnya
yang longgar, tampak kedua kakinya yang kurus dan bengkok yang terbungkus
oleh leggin15 ketat yang sudah usang. Tampaknya leggin itu dibuat duapuluh tahun
yang lalu. Dan dia juga mengenakan sepasang sepatu lars yang juga longgar, yang
jika perlu masih bisa muat satu orang lagi.
Westman terkenal ini memegang senapan. Ketika saya perhatikan dengan
teliti, barang tersebut lebih mirip sebuah gada ketimbang sebuah senapan. Pada
saat itu, tidak terbayang oleh saya adanya figur pemburu prairie yang unik melebihi
dia. Namun tidak lama kemudian saya mengenal dan menghargai karakter asli
orang ini.
Setelah memperhatikan saya dengan seksama, dia bertanya kepada Henry
dengan suara kecil seperti suara kanak-kanak,
“Apakah ini si greenhorn muda yang Anda ceritakan itu, Mr. Henry?”
“Yes.“ orang yang ditanya mengangguk.
“Well! Saya menyukainya. Saya harap, dia juga menyukai Sam Hawkens,
hihihihi!”
Dengan tawa yang aneh dan khas yang kelak akan saya dengar ribuan kali,
dia berpaling ke arah pintu yang kini terbuka. Tuan dan Nyonya rumah memasuki
ruangan dan menyalami pemburu itu dengan ramah sehingga saya menduga
mereka telah mengenal dia sebelumnya. Kemudian mereka mengajak kami
memasuki ruang makan. Kami mengikuti ajakan ini. Saya heran hingga saat itu
Sam Hawkens belum juga melepaskan topi dan senjatanya. Baru setelah kami
duduk, dia berkata sambil menunjuk senjatanya,
15 Bahan penutup dari paha hingga ke telapak kaki.
“Seorang westman sejati tidak akan jauh dari senjatanya, begitu pula
dengan saya. Saya tidak akan jauh dari si Liddy, senjata saya. Saya akan
menggantungkannya pada paku dinding itu.”
Oh, jadi dia menamai senjatanya Liddy! Kelak saya tahu, bahwa para
pemburu prairie mempunyai kebiasaan memperlakukan senjatanya seperti makhluk
hidup dan memberinya nama. Dia menggantungkan senjata serta topi yang unik di
tempat tersebut. Ketika dia melepas topi, betapa terkejutnya saya melihat seluruh
rambutnya menempel pada topinya. Sangat mengherankan, kepalanya tidak
berkulit dan berwarna kemerahan. Nyonya rumah menjerit dan anak-anak
berteriak dengan sangat keras. Dia berpaling kepada kami dan berkata dengan
tenang,
“Jangan terkejut, ladies dan mesch’schurs16, tidak ada apa-apa! Dulu saya
punya rambut sendiri yang tidak kalah indahnya dengan rambut anak-anak itu, dan
tidak seorang pun berani menyangkalnya. Sampai pada suatu hari saya berjumpa
dengan lusinan orang suku Pawnee, mereka mencukur rambut saya dan menguliti
kepala saya. Mula-mula saya sangat terganggu, tetapi lama kelamaan saya
terbiasa, hihihihi! Kemudian saya pergi ke Tekama dan membeli scalp17 baru yang
kalau saya tidak salah disebut wig dan saya beli seharga tiga gulungan besar bulu
beaver18. Bagi saya tidak masalah, karena kulit kepala yang baru lebih praktis dari
yang sebelumnya, terutama pada musim panas. Wig itu hanya dilepas, jika saya
berkeringat, hihihihi!”
Dia menggantungkan topinya di atas senapannya dan memasang kembali
wignya. Kemudian dia melepaskan jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi.
Jas ini sudah berkali-kali ditambal dan dipermak dengan sobekan kulit, sehingga
pakaian itu menjadi kaku dan tebal dan hampir tidak tertembus panah Indian.
Kini tampak sangat jelas kakinya yang kurus dan bengkok. Tubuh bagian
atasnya tertutup rompi pemburu yang terbuat dari kulit. Pada ikat pinggangnya
terselip satu pisau dan dua pistol. Ketika dia duduk kembali di kursi, mula-mula dia
memandang saya, kemudian nyonya rumah, dengan pandangan ingin tahu dan
bertanya,
“My lady, bukankah lebih baik jika sebelum makan, kita sampaikan rencana
kita terlebih dahulu kepada greenhorn ini, kalau saya tidak salah?”
16 Tuan-tuan (dialek Barat, asal dari bhs. Prancis). 17 Orang Indian menguliti kulit kepala (scalp) lawannya sebagai tanda kemenangan. 18 Berang-berang, sejenis binatang berbulu tebal yang hidup di pinggiran sungai.
Ungkapan “kalau saya tidak salah” telah menjadi kebiasaannya. Nyonya
rumah mengangguk lalu berpaling kepada saya. Sambil menunjuk pada tamu yang
lebih muda, ia berkata,
“Mungkin Anda belum tahu bahwa Mr. Black ini akan menggantikan Anda.”
“Menggantikan ... saya?” tanya saya dengan terkejut.
“Ya, hari ini kita merayakan perpisahan Anda, kami terpaksa mencari guru
baru”.
“Perpisahan... saya?”
Syukurlah, waktu itu wajah saya tidak dipotret, karena bagaimanapun juga
pasti kelihatan sangat tolol.
“Ya, perpisahan Anda, Sir.” Nyonya rumah mengangguk sambil tersenyum
ramah. Sementara itu perasaan saya tidak menentu, karena itu tidak ada alasan
untuk tersenyum. Ia menambahkan,
“Sebenarnya Anda harus mengundurkan diri dulu, tapi kami tidak akan
menghalangi kebahagiaan yang akan segera Anda raih. Kami menyayangkan
kepergian Anda, tapi doa kami menyertai Anda. Semoga Tuhan melindungi
perjalanan Anda besok pagi!”
“Berangkat? Besok? Ke mana?” tanya saya dengan berat hati.
Sam Hawkens yang berdiri di sebelah saya, menepuk bahu saya sambil
tertawa.
“Ke mana? Ke daerah Barat bersama saya. Anda telah lulus ujian dengan
gemilang, hihihihi! Para surveyor yang lain akan berangkat besok dan tidak dapat
menunggu Anda. Anda mau tidak mau harus ikut. Saya, Dick Stone dan Will Parker
yang akan bertugas sebagai pemandu. Kita berangkat menuju pegunungan
Canadian dan terus ke New Mexico. Saya tidak berpikir, Anda akan tinggal di sini
dan tetap menjadi greenhorn!”
Kini saya mulai mengerti. Semuanya telah direncanakan tanpa
sepengetahuan saya. Saya akan bekerja sebagai surveyor, pengukur tanah,
mungkin untuk salah satu jalur kereta api panjang yang sudah direncanakan.
Betapa senangnya saya! Saya sama sekali tidak perlu bertanya. Saya menerima
informasi itu begitu saja. Semuanya berkat Henry. Dia memegang tangan saya dan
berkata,
“Saya sudah mengatakan pada Anda, mengapa saya suka pada Anda. Anda
di sini bersama orang-orang baik, tapi pekerjaan sebagai guru privat sama sekali
tidak cocok untuk Anda, Sir. Anda harus pergi ke daerah Barat. Karena itulah saya
menghubungi perusahaan Atlantic and Pacific Company dan memintanya untuk
menguji Anda tanpa sepengetahuan Anda. Anda telah lulus dengan baik. Ini surat
pengangkatan Anda.”
Dia memberikan dokumen itu kepada saya. Ketika saya membaca surat itu
dan mengetahui berapa besar gaji saya, mata saya terbelalak. Selanjutnya dia
berkata,
“Anda akan berkuda, jadi butuh seekor kuda yang bagus. Kuda putih yang
sudah Anda jinakkan itu sudah saya beli dan akan saya berikan kepada Anda. Anda
juga perlu memiliki senjata dan untuk itu Anda boleh membawa senjata tua
pembunuh beruang yang berat itu, yang sudah tidak saya perlukan. Dengan
senjata itu, saya yakin tembakan-tembakan Anda akan selalu tepat pada sasaran.
Apa pendapat Anda, Sir, he?”
Mula-mula saya tidak kuasa berbicara, kemudian, ketika saya sudah bisa
menguasai diri, saya ingin menolak semua pemberian itu, tetapi tidak berhasil.
Orang-orang baik ini telah bertekad untuk menyenangkan hati saya, dan kalau
saya bersikeras menolak semua hadiah itu, hal itu akan sangat menyinggung
perasaan mereka. Untuk mengakhiri percakapan tersebut, paling tidak untuk
sementara waktu, nyonya rumah mengambil tempat duduk dan kami yang lain
terpaksa mengikuti tindakannya. Kami mulai makan dan pokok pembicaraan tadi
tidak disinggung lagi.
Baru sesudah makan, saya tahu, apa yang seharusnya saya ketahui. Rel
kereta yang akan dibangun itu terbentang dari St. Louis hingga ke pantai Pasifik
melalui daerah teritorial Indian, New Mexico, Arizona dan California. Menurut
rencana, jalur ini dibagi dalam beberapa seksi penelitian dan pengukuran. Seksi
tempat saya dan tiga orang ahli survey lapangan lainnya yang bekerja di bawah
pengawasan seorang Insinyur Kepala, berada di lokasi daerah hulu Rio Pecos dan
Pegunungan Canadian sebelah selatan.
Ketiga pemandu, Sam Hawkens, Dick Stone dan Will Parker akan membawa
kami ke sana. Di sana kami akan bertemu dengan serombongan westman yang
tangguh, yang bertugas menjaga keamanan kami. Selain itu tentu saja ada
perlindungan dari semua prajurit. Benar-benar di luar dugaan saya, baru hari ini
semua itu dijelaskan yang tentunya agak terlambat. Tetapi meskipun demikian,
penjelasan bahwa semua kebutuhan kami akan dipenuhi, membuat hati saya
tenang. Tidak ada lagi yang harus saya lakukan, selain memperkenalkan diri pada
kolega-kolega saya yang telah menunggu di kediaman Insinyur Kepala. Dengan
didampingi Henry dan Sam Hawkens, saya pergi ke sana dan disambut dengan
sangat ramah. Mereka tahu, bahwa saya pasti terkejut dan karena itu tidak
mempermasalahkan keterlambatan saya.
Ketika keesokan harinya, setelah saya berpamitan pada keluarga Jerman
itu, saya pergi ke rumah Henry. Belum sempat saya mengucapkan atas jasanya,
dia sudah mengguncang-guncang tangan saya dengan tulus sambil berkata kasar,
“Sudahlah, Sir! Saya menyuruh Anda pergi, hanya supaya senjata tua saya
bisa digunakan lagi. Kalau Anda kembali, carilah saya dan ceritakan, apa yang telah
Anda alami. Nanti akan terbukti, apakah Anda masih seperti sekarang dan tetap
tidak mempercayai definisi greenhorn seperti yang tercantum dalam buku-buku.”
Dia mendorong saya keluar menuju pintu, namun sebelum menutupnya,
saya melihat matanya berkaca-kaca.
BAB DUA
KLEKIH-PETRA
Ketika itu kami berada di penghujung musim gugur yang cerah di Amerika
Utara dan sudah lebih dari tiga bulan kami bekerja. Tetapi pekerjaan kami belum
juga selesai, sementara seksi-seksi lainnya kebanyakan sudah pulang ke
rumahnya. Ada dua alasannya.
Pertama, kami bekerja di daerah yang sulit. Rel keretaapi harus dibangun
menyusuri aliran Sungai Canadian melewati padang prairie. Jadi jalur kereta akan
dibangun sampai ke mata air sungai itu. Padahal menurut rancangan, jalur itu
seharusnya dibangun dari New Mexico melalui deretan lembah dan bukit. Seksi
kami bekerja antara Sungai Canadian dan New Mexico dan kami harus terlebih
dahulu menemukan arah yang tepat. Untuk itu kami harus sering menghabiskan
waktu untuk berkuda guna melakukan penjelajahan yang melelahkan dan
pengukuran-pengukuran sebagai perbandingan sebelum kami dapat mengerjakan
pekerjaan yang sesungguhnya. Selain itu, keadaan makin dipersulit karena
ternyata kami bekerja pada tempat yang sangat berbahaya. Di tempat itu
berkeliaran suku-suku Kiowa, Comanche, dan Apache yang sama sekali tidak mau
menerima bahwa keretaapi akan melalui daerah yang dianggap miliknya. Kami
harus sangat berhati-hati dan waspada. Tentu saja hal itu sangat mempersulit serta
memperlambat kerja kami.
Untuk menghindari suku-suku Indian ini, kami tidak diperkenankan untuk
berburu karena pasti kami akan meninggalkan jejak yang bisa dibaca oleh orang
Indian. Kami mendatangkan semua kebutuhan dari Santa Fé yang diangkut dengan
pedati. Sayangnya pengangkutan kiriman tersebut tidak tentu, sehingga kami
seringkali tidak bisa melanjutkan pekerjaan karena harus menunggu kedatangan
pedati-pedati itu.
Alasan kedua, kerjasama anggota dalam tim. Seperti sudah disinggung, di
St. Louis saya disambut dengan baik oleh Insinyur Kepala dan ketiga surveyor.
Sambutan ini membuat saya berharap, bahwa kami bisa bekerjasama dengan baik
dan sukses. Ternyata saya dikecewakan.
Ternyata teman-teman sekerja itu adalah yankee tulen, yang memandang
saya sebagai greenhorn, ‘Dutchman1 yang tidak berpengalaman, dan menghina
saya dengan sebutan itu. Mereka ingin menerima gaji tetapi tidak ingin bekerja
1 Nama olok-olok untuk orang Jerman
keras. Sebagai orang Jerman yang jujur, saya menjadi batu sandungan dan mereka
bermaksud menyingkirkan saya. Saya tidak terpengaruh dan terus bekerja. Bahkan
setelah lama bekerja, saya sadar bahwa sebenarnya mereka tidak berubah. Mereka
membebani saya dengan pekerjaan yang paling berat, sedangkan mereka sendiri
bekerja seringan mungkin. Saya tidak keberatan, karena saya selalu berprinsip,
bahwa untuk menjadi kuat, orang harus lebih banyak berbuat.
Mr. Bancroft, sang Insinyur Kepala adalah yang paling terpelajar di antara
mereka. Sayangnya, dia gemar minum brandy2. Sudah beberapa tong minuman
yang memabukkan itu dikirim dari Santa Fé. Sejak saat itu dia lebih
memperhatikan brandynya ketimbang peralatan pengukuran. Pernah terjadi, dia
tergeletak di tanah dalam kondisi mabuk berat setengah hari lamanya. Riggs,
Marcy dan Wheeler, ketiga surveyor itu dan juga saya harus ikut membayar
minuman itu setelah mereka berlomba minum dengan Bancroft. Bisa dibayangkan,
orang-orang ini pun seringkali berada di bawah pengaruh minuman keras itu.
Karena saya tidak minum setetes pun, tentu saja saya satu-satunya yang bekerja.
Sementara itu mereka yang berada di bawah pengaruh alkohol hanya bisa
meneguk minuman itu lalu tertidur. Menurut saya, Wheeler adalah orang yang
paling baik di antara mereka, karena dia mengerti, bahwa saya bekerja keras untuk
mereka padahal itu bukan kewajiban saya. Dalam kondisi seperti itu wajar bila
pekerjaan kami tidak cepat selesai.
Kelompok lainnya juga tidak bisa diharapkan. Ketika kami tiba di tempat
kami berkumpul, kami menjumpai dua belas westman yang telah menunggu
kedatangan kami. Sebagai pendatang baru, mula-mula saya sangat menghargai
mereka. Tetapi segera saya tahu, bahwa saya bekerja dengan orang-orang yang
bermoral sangat rendah.
Mereka seharusnya melindungi dan membantu pekerjaan kami. Untunglah
selama tiga bulan penuh tidak terjadi apa yang saya khawatirkan karena mendapat
perlindungan yang kurang aman. Sementara itu mengenai prestasi kerja mereka
dapat saya katakan dengan penuh keyakinan, bahwa kedua belas pemalas terparah
dari Amerika ini hanya bisa bersenang-senang.
Betapa menyedihkan harus menegakkan kedisiplinan dalam situasi seperti
itu!
Bancroft diberi gelar dan menerima tugas sebagai seorang pemimpin dan dia
pun bertingkah laku demikian. Namun tidak seorang pun mematuhinya. Jika dia
memberi perintah, orang malah menertawakannya. Karena itu dia mengeluarkan
2 Sejenis minuman keras.
kata makian yang jarang saya dengar, lalu menghampiri tong brandy untuk
melampiaskan kekesalannya. Riggs, Marcy dan Wheeler pun tidak jauh berbeda
kelakuannya. Karena itu sebenarnya saya mempunyai alasan yang sangat kuat
untuk mengambil alih pimpinan. Saya memang melakukannya tetapi dengan cara
yang tidak kentara. Seorang pemuda yang tidak berpengalaman seperti saya tentu
saja tidak akan dihormati sungguh-sungguh oleh orang-orang itu. Seandainya saya
begitu berani berkata dengan nada memerintah, maka pasti saya akan
ditertawakan. Tidak, saya harus bertindak dengan tenang dan berhati-hati, kira-
kira seperti seorang wanita yang cerdik, yang tahu cara mengendalikan suami yang
nakal, tanpa sepengetahuan si suami. Setiap hari saya dipanggil greenhorn kira-
kira sepuluh kali oleh para westman yang setengah liar dan sulit diatur ini. Tetapi
tanpa sadar mereka menuruti perintah saya. Dengan sengaja saya membiarkan
mereka berpikir, bahwa mereka mengikuti keinginannya sendiri.
Dalam urusan itu saya mendapat bantuan yang besar dari Sam Hawkens,
dan kedua sahabatnya yakni Dick Stone serta Will Parker. Ketiga orang ini sangat
jujur dan mereka juga pemburu yang berpengalaman, cerdik dan berani. Pada
waktu pertemuan pertama kami di St. Louis, sifat-sifat itu tidak nampak pada diri
Sam. Nama mereka terkenal di mana-mana. Mereka sering berpihak kepada saya
dan menarik diri dari orang lain tanpa membuat orang-orang itu merasa
tersinggung. Terlebih-lebih Sam, dia bisa menarik perhatian kelompok yang
membangkang itu seperti apa yang dia inginkan, meskipun dengan caranya yang
aneh. Walaupun setiap kali dia memerintahkan sesuatu dengan suara yang
setengah keras dan agak lucu, tetapi hal itu selalu dikerjakan oleh mereka sehingga
tugas saya menjadi ringan.
Antara saya dan Sam diam-diam telah terjalin hubungan batin, saya
mengartikan hubungan itu sebagai sebuah dukungan moril. Dia selalu melindungi
saya, dan bagi saya, dia seperti seseorang yang tidak perlu ditanyai apakah dia
setuju atau tidak. Saya hanya seorang greenhorn sementara dia adalah seorang
westman yang berpengalaman, yang kata-kata dan tindakannya harus saya turuti.
Setiap saat jika ada waktu dan kesempatan, dia memberi saya pelajaran teori dan
praktek yang diperlukan di dunia Wild West dan harus dikuasai. Walau kelak saya
mendapat pelajaran yang lebih tinggi dari Winnetou, harus saya akui bahwa Sam
Hawkenslah guru yang meletakkan dasar bagi pendidikan saya. Sam bahkan
mengajari saya melempar lasso dan mengijinkan saya berlatih melempar senjata
berbahaya ini pada tubuhnya yang kecil dan pada kudanya. Ketika saya semakin
berkembang dan suatu hari berhasil mengalungkan jerat pada setiap lemparan, dia
sangat kegirangan dan berseru,
“Ya itu bagus, tuan muda, begitulah caranya! Tetapi jangan menjadi
sombong! Seorang kepala sekolah kadang-kadang harus memuji muridnya yang
paling bodoh, agar murid itu belajar keras dan tidak mengulang kelas. Saya sudah
menjadi guru beberapa westman muda seperti Anda. Mereka mempelajarinya jauh
lebih mudah dan jauh lebih cepat memahami daripada Anda. Tetapi kalau Anda
terus berlatih, mungkin saja orang tidak perlu menyebut Anda greenhorn lagi
setelah enam atau delapan tahun. Sampai di sini Anda boleh merasa senang
dengan pengalaman sebelumnya, bahwa seorang tolol sekali pun bisa menyamai
atau bahkan melebihi seorang yang ahli, kalau saya tidak salah!”
Dia tampaknya mengatakan itu dengan sungguh-sungguh dan saya pun
mendengarnya dengan seksama, tetapi saya tahu betul, sebenarnya dia bermaksud
lain.
Dari semua pelajaran ini, prakteklah yang paling saya senangi. Seandainya
Sam Hawkens tidak ada, saya begitu disibukkan oleh pekerjaan sehingga saya
tidak bisa menyempatkan diri untuk berlatih ketrampilan yang seharusnya dimiliki
oleh seorang pemburu prairie. Di samping itu kami berlatih secara diam-diam.
Latihan ini selalu dilakukan di tempat yang sangat jauh dari perkemahan, sehingga
orang lain tidak bisa melihat kami. Sam memang menginginkan demikian. Ketika
suatu saat saya menanyakan alasannya, dia menjawab,
“Semuanya demi Anda, Sir. Anda kurang terampil dalam perkara seperti itu,
sehingga saya bahkan harus merasa malu dengan kemampuan Anda jika orang-
orang lain melihat kita. Nah, sekarang Anda tahu alasannya, hihihihi. Camkanlah
itu baik-baiki!”
Akibatnya seluruh anggota kelompok menganggap saya tidak bisa
memegang senjata atau berkelahi. Tetapi hal itu tidak membuat saya sakit hati.
Meskipun ada kendala-kendala yang mengganggu pekerjaan kami seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya, namun akhirnya pekerjaan kami mengalami
kemajuan, sehingga mungkin seminggu lagi kami sudah bisa melanjutkan ke seksi
berikutnya. Untuk menyampaikan hal itu, kami harus mengirim seorang kurir.
Bancroft menjelaskan, bahwa dia akan melakukannya sendiri dengan membawa
serta salah seorang westman sebagai pemandu. Penyampaian berita seperti itu
sudah biasa, karena kami harus selalu berkomunikasi, baik dengan seksi
sebelumnya maupun dengan seksi sesudahnya. Baru setelah itu saya tahu, bahwa
insinyur yang menjadi pemimpin kami adalah seorang yang sangat rajin.
Pada hari Minggu pagi ketika Bancroft akan berangkat, dia menganggap
penting untuk mengadakan pesta perpisahan dengan acara minum-minum yang
harus diikuti oleh semua orang. Saya sendiri tidak diundang dan Hawkens, Stone,
dan Parker juga tidak memenuhi undangan itu. Pesta minum-minum itu
berlangsung sangat lama dan baru berhenti ketika Bancroft mulai berbicara
melantur. Para pengikutnya pun sama mabuknya seperti Bancroft. Untuk
sementara tidak ada lagi pembicaraan mengenai perjalanan yang direncanakannya.
Dalam kondisi mabuk, mereka selalu melakukan hal yang sama, menyelinap ke
belakang semak-semak untuk tidur.
Apa yang bisa diperbuat sekarang? Kurir harus berangkat dan para pemabuk
itu tertidur sampai sore. Satu-satunya jalan terbaik, sayalah yang harus berangkat.
Tetapi bisakah saya pergi? Saya yakin, selama empat hari kepergian saya,
pekerjaan kami akan tertunda. Ketika saya berunding dengan Sam Hawkens
tentang hal itu, dia menunjuk dengan tangannya ke arah barat dan berkata,
“Anda tidak perlu berangkat, Sir. Anda bisa menitip pesan pada kedua orang
yang datang itu .”
Ketika memandang ke arah yang ditunjuk, saya melihat dua orang
penunggang kuda sedang mendekati kami. Keduanya berkulitputih, yang seorang
saya kenal sebagai scout (pencari jejak). Dia telah beberapa kali mengantar berita
kepada kami dari seksi terdekat. Di sampingnya ada seorang penunggang yang
lebih muda. Dia tidak berpakaian seperti seorang pemburu prairie. Saya belum
pernah melihatnya, dan pergi menyambut mereka. Ketika sudah berhadapan,
mereka menghentikan kudanya. Orang yang tidak saya kenal itu menanyakan
nama saya. Ketika saya menyebutkannya, dia memperhatikan saya dengan
pandangan ramah dan berkata,
“Jadi, Anda pemuda Jerman yang mengerjakan semua pekerjaan di sini,
sementara yang lain berbaring bermalas-malasan. Anda akan tahu, siapa saya
kalau saya sebutkan nama saya, Sir! Nama saya White.”
White adalah nama kepala seksi terdekat di sebelah barat. Kami akan
mengirim kurir kepadanya. Pasti dia sendiri mempunyai alasan, mengapa dia
sendiri yang datang. Dia turun dari kuda, menjabat tangan saya dan melayangkan
pandangannya ke arah perkemahan. Ketika dia melihat para pemabuk di belakang
semak-semak dengan tong brandy, dia tersenyum sinis.
“Mereka mabuk ?” tanya dia.
Saya mengangguk.
“Semua?”
“Ya. Mr. Bancroft berniat ke tempat Anda, namun sebelumnya ada pesta
kecil, pesta perpisahan dengan minum-minum. Saya akan membangunkan dia dan
… “
“Jangan!” dia memotong pembicaraan saya. Biarkan mereka tidur! Saya
senang bisa bicara dengan Anda tanpa didengar oleh mereka. Marilah kita
menyingkir dan jangan membangunkan mereka! Siapa ketiga pria yang berdiri di
samping Anda?”
“Sam Hawkens, Will Parker dan Dick Stone. Mereka adalah scout yang
sangat handal.”
“Ah, Hawkens, pemburu kecil yang hebat itu. Dia seorang pemburu yang
tangkas! Saya sudah mendengar tentang dia. Ketiganya boleh bergabung dengan
kita.”
Saya menuruti perintah itu dan melambaikan tangan pada mereka.
Kemudian saya bertanya,
“Anda datang sendiri, Mr. White. Apakah ada sesuatu yang penting, yang
Anda bawa untuk kami?”
“Tidak ada, saya hanya ingin memeriksa dan saya juga ingin berbicara
dengan Anda. Pekerjaan di seksi kami sudah selesai, sedangkan di seksi Anda
belum.”
“Penyebabnya adalah medan yang sulit dan saya ingin …”
“Saya tahu, saya tahu!” dia memotong kalimat saya. ”Saya sudah tahu
semuanya. Kalau saja Anda tidak bekerja keras tiga kali lipat daripada yang
seharusnya, maka pekerjaan Bancroft pasti masih belum maju.”
“Bukan begitu, Mr. White. Saya tidak tahu, bagaimana Anda bisa
berpendapat keliru seperti itu. Saya bukan satu-satunya yang rajin. Itu memang
kewajiban saya …”
“Tenang, Sir, tenang! Ada kurir yang selalu membawa berita dari seksi Anda
kepada seksi kami dan sebaliknya. Saya telah memancing keterangan dari mereka,
tanpa mereka sadari. Anda sangat rendah hati, Anda ingin melindungi para
pemabuk ini. Tetapi saya ingin mengetahui kebenarannya. Sekarang saya
menyaksikan sendiri, bahwa Anda begitu baik untuk berterus terang tentang
mereka. Karena itu, saya tidak akan menanyai Anda. Saya akan bertanya kepada
Sam Hawkens saja. Mari kita duduk di sini!”
Kami mendekat ke kemah. Dia duduk di rumput di depan kemah dan
memberi isyarat dengan tangannya kepada kami agar melakukan hal yang sama.
Ketika kami sudah duduk, dia mulai bertanya kepada Sam Hawkens, Stone dan
Parker. Mereka menceritakan semua kebenaran kepada Mr. White tanpa melebih-
lebihkan. Namun kadang-kadang saya memberikan komentar untuk menghaluskan
kenyataan yang sebenarnya dan untuk membela rekan-rekan sekerja saya. Namun
komentar-komentar saya tidak dihiraukan oleh Mr. White. Sebaliknya berkali-kali
dia meminta saya agar jangan menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya.
Kemudian setelah dia mengetahui semuanya, dia meminta saya untuk
menunjukkan gambar-gambar dan catatan harian kami. Sebenarnya saya tidak
mau memenuhi keinginannya. Tetapi agar dia tidak tersinggung saya
melakukannya juga karena saya tahu dia bermaksud baik. Dia memeriksa
semuanya dengan seksama dan ketika dia bertanya pada saya, saya tidak bisa
berbohong bahwa saya sendirilah yang menggambar dan menulis. Nyatanya tidak
seorang pun dari rekan kerja saya yang menggoreskan pena atau menuliskan
sebuah huruf.
“Tetapi dari catatan harian ini tidak terlihat, berapa jauh pengukuran yang
dibuat oleh masing-masing,” katanya. “Anda sudah terlalu baik terhadap teman-
teman Anda.”
Ketika itu Sam Hawkens memperhatikan dengan wajah yang cerdik.
“Rogoh saja sakunya, Mr. White! Di sana terdapat kaleng bekas ikan sardin.
Ikan sardin sudah dikeluarkan dan kini di dalamnya diisi kertas-kertas. Pasti itu
buku harian pribadi, kalau saya tidak salah. Isi buku harian itu pasti sangat
berbeda dengan isi laporan resmi. Dalam laporan resmi dia menutup-nutupi
kemalasan rekan-rekan sekerjanya.”
Sam tahu bahwa saya membuat catatan-catatan pribadi dan meletakkannya
di dalam kaleng sardin yang sudah kosong. Saya merasa tidak enak karena Sam
mengatakan hal itu. White meminta saya untuk menunjukkan catatan itu padanya.
Apa yang harus saya lakukan? Pantaskah saya melindungi teman-teman yang
memaksa saya harus membanting tulang untuk mereka tanpa pamrih, sementara
mereka hanya diam saja? Saya tidak akan merugikan mereka. Selain itu rasanya
tidak sopan menolak permintaan White. Karena itu, saya menyerahkan buku harian
saya kepadanya, tetapi dengan syarat dia tidak boleh mengatakan kepada siapa
pun tentang isinya.
Dia membaca buku harian itu, mengembalikannya kepada saya dan berkata,
“Sebenarnya saya harus membawa catatan-catatan ini dan menyerahkannya
kepada orang yang berwenang. Rekan-rekan kerja Anda adalah orang-orang yang
tidak mampu dan tidak layak dibayar satu dollar pun. Sebaliknya Anda, mestinya
Anda dibayar tiga kali lipat. Tetapi, terserah Anda. Saya hanya minta perhatian
Anda, sebaiknya Anda menyimpan catatan pribadi ini dengan baik. Kelak catatan ini
akan sangat bermanfaat. Sekarang mari kita bangunkan orang-orang terhormat
itu.”
Dia berdiri dan membuat keributan. Para gentlemen itu muncul dari balik
semak dengan pandangan kosong dan wajah yang kusut. Bancroft hendak marah
karena keributan itu menggangu tidurnya. Tetapi dia berubah sopan ketika saya
mengatakan, bahwa Mr. White dari seksi terdekat datang. Keduanya belum pernah
bertemu. Mula-mula Bancroft menawari tamunya segelas brandy. Tetapi dia
menawari orang yang salah. White segera menggunakan tawaran ini sebagai alasan
untuk menyindir. Sindiran seperti itu pasti belum pernah dilontarkan orang lain
sebelumnya kepada Bancroft. Karena merasa heran dia diam sejenak, kemudian
dia menghampiri White, memegang lengannya dan berteriak,
“Tuan, katakan segera siapa nama Anda?”
“Nama saya, White. Anda pasti sudah pernah mendengarnya.”
“Dan kedudukan Anda?”
“Insinyur Kepala dari seksi terdekat.”
“Apakah ada seseorang di antara kami yang boleh memberi perintah di seksi
Anda?”
“Saya kira tidak.”
“Nah! Nama saya Bancroft dan saya Insinyur Kepala di seksi ini. Juga tidak
seorang pun dari seksi Anda boleh memerintah saya, termasuk Anda, Mr. White.”
“Memang benar bahwa kedudukan kita sama,” kata White dengan tenang.
“Tidak seorang pun dari kita harus menerima perintah dari orang lain. Tetapi kalau
yang seorang melihat bahwa yang lain itu merugikan usaha yang seharusnya
dikerjakan bersama-sama, maka dia berkewajiban mengingatkan yang
bersangkutan akan kesalahannya. Tampaknya waktu hidup Anda banyak
dihabiskan bersama brandy. Saya hitung, di sini ada lima belas orang yang mabuk
ketika saya tiba di sini dua jam yang lalu, dan …..”
“Dua jam yang lalu?” Bancroft memotong pembicaraannya. “Jadi sudah lama
Anda berada di sini?”
“Memang, saya telah melihat peta-peta rancangan dan saya pun sudah
mendapat penjelasan tentang siapa yang telah melakukannya. Ini memang benar-
benar kehidupan pemalas. Hanya ada seorang yang mengerjakan seluruh
pekerjaan, yaitu dia yang termuda di antara Anda semua!”
Bancroft berpaling pada saya dan mendengus.
“Pasti Andalah yang mengatakan hal itu dan bukan orang lain! Berbohonglah
sekali lagi! Dasar pembohong, penghianat!”
“Bukan,” jawab White. “Rekan muda ini justru telah bertindak sebagai
gentleman dan dia hanya mengatakan hal-hal yang baik tentang Anda. Malahan dia
telah melindungi Anda. Saya sarankan, Anda meminta maaf padanya karena Anda
telah menyebutnya pembohong dan penghianat.”
“Minta maaf? Tidak akan!” kata Bancroft sambil tertawa mengejek.
“Greenhorn ini tidak bisa membedakan segitiga dari segi empat, tetapi dia berlagak
seperti seorang surveyor. Pekerjaan ini belum selesai karena semua yang dia
lakukan salah dan kami harus membetulkannya. Kalau dia memfitnah dan
menjelek-jelekkan kami pada Anda, maka….”
Dia berhenti bicara. Berbulan-bulan saya bersabar dan membiarkan orang-
orang ini seenaknya berpendapat tentang saya. Kini tiba saatnya untuk
menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka keliru. Saya memegang lengan
Bancroft dan menjepitnya sekeras mungkin, sehingga dia tidak bisa melanjutkan
kalimatnya karena kesakitan. Lalu saya berkata,
“Mr. Bancroft, Anda terlalu banyak minum brandy dan tidak bisa tidur. Saya
yakin, Anda masih mabuk dan perkataan Anda tadi di luar kesadaran Anda.”
“Saya mabuk? Anda gila!” jawabnya.
“Ya, mabuk! Karena kalau saya tahu Anda tidak mabuk dan dengan sengaja
menggerutu seperti tadi, terpaksa saya harus membanting Anda ke tanah.
Mengerti! Apakah Anda masih berani mengingkarinya?”
Saya masih mencengkeram lengannya kuat-kuat. Tentu dia tidak pernah
mengira saya akan melakukan hal itu. Sekarang saya melihat dia ketakutan.
Namun dia bukan orang yang lemah. Ekspresi wajah saya tampaknya membuat dia
kaget. Meskipun dia tidak mengakui bahwa dia masih mabuk, tetapi dia juga tidak
berani menyanggahnya. Karena itu dia meminta bantuan pada pemimpin kedua
belas westman yang bernama Rattler. Seharusnya orang itu pun harus membantu
kami.
“Mr. Rattler, Anda biarkan saja orang ini menyerang saya? Bukankah Anda
di sini untuk melindungi kami?”
Rattler berperawakan tinggi besar dan tampaknya memiliki tenaga tiga
sampai empat orang lelaki. Dia seorang pria kasar dan sekaligus teman minum
Bancroft yang paling setia. Dia tidak menyukai saya dan sekarang dengan senang
hati dia memanfaatkan kesempatan itu untuk melawan saya. Dengan cepat dia
menghampiri saya dan memegangi lengan saya seperti yang masih saya lakukan
terhadap Bancroft.
“Tidak, ini tidak bisa dibiarkan, Mr. Bancroft. Anak ini belum bisa memasang
kaos kakinya dan sekarang mau mengancam orang dewasa serta menghina dan
memfitnah mereka. Lepaskan tanganmu dari Mr. Bancroft, anak muda! Kalau tidak
akan saya tunjukkan greenhorn macam apa kamu ini.”
Perintah ini ditujukan kepada saya. Dia mengguncang-guncang tangan saya.
Itu lebih baik bagi saya karena dia seorang lawan yang lebih kuat daripada sang
Insinyur Kepala. Kalau saya memukulnya, pasti hasilnya lebih baik daripada kalau
saya memukul Bancroft. Itu akan menunjukkan bahwa saya bukan pengecut. Saya
menarik lengan saya dari tangannya dan menjawab,
“Saya seorang anak kecil, seorang greenhorn? Tarik kembali kata-kata Anda
sekarang juga Mr. Rattler! Kalau tidak, saya akan membanting Anda ke tanah.”
“Anda hendak membanting saya?” dia tertawa. “Greenhorn ini benar-benar
konyol, sehingga ….”
Dia tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena saya meninju pelipisnya,
sehingga dia limbung seperti sebuah karung jatuh dan terkapar pingsan. Beberapa
saat kemudian suasana hening. Kemudian salah seorang kawan Rattler berteriak,
“All devils! Apakah kita akan menonton saja Dutchman ini memukul
pemimpin kita. Balas keparat ini!”
Dia menyergap saya. Saya menyambutnya dengan sebuah tendangan ke
arah perutnya. Cara ini akurat untuk menjatuhkan lawan, namun saya harus
menjaga keseimbangan badan karena hanya bertumpu pada satu kaki. Orang itu
roboh. Pada saat yang sama, saya menindih badannya dan saya meninju pelipisnya
sampai dia pingsan. Kemudian saya cepat-cepat melompat, mengeluarkan kedua
revolver dari ikat pinggang dan berteriak,
“Siapa lagi, ayo maju!”
Teman-temannya sebenarnya ingin membalaskan dendam karena kedua
temannya yang terkapar. Mereka saling melempar pandang seolah-olah bertanya.
Tapi saya memperingatkan!
“Hei, dengarkan saya! Siapa berani melangkah ke arah saya atau
mengambil senjata, akan saya tembak! Kalian mengira saya seorang greenhorn
biasa seperti yang selalu kalian bayangkan. Akan saya buktikan bahwa seorang
greenhorn Jerman dapat melawan dua belas westman macam kalian!”
Ketika itu Sam maju dan berdiri di samping saya sambil berkata,
“Dan saya, Sam Hawkens, ingin mengingatkan kalian, kalau saya tidak
salah. Greenhorn muda dari Jerman ini berada di bawah perlindungan saya. Siapa
berani menyentuh rambutnya sekali pun, sebutir peluru akan menembus tubuhnya.
Kalian lihat bahwa saya sangat serius, hihihihi.”
Dick Stone dan Will Parker merasa berkewajiban untuk ikut berdiri di
samping saya untuk menunjukkan bahwa mereka sependapat dengan Sam
Hawkens. Tindakan mereka itu sangat berpengaruh pada pihak lawan. Mereka
berpaling dari saya, menggumamkan umpatan dan ancaman serta mulai sibuk
menyadarkan kedua rekannya yang pingsan. Bancroft menganggap bahwa yang
paling aman baginya adalah masuk ke dalam kemah. White memandang saya
dengan terheran-heran. Sekarang dia menggelengkan kepala dan berbicara dengan
nada penuh keheranan.
“Tetapi Sir, sungguh mengerikan! Saya tidak ingin berurusan dengan tangan
Anda. Anda layak disebut Shatterhand, karena Anda telah merobohkan orang yang
tinggi besar dengan sekali pukulan. Hal seperti itu belum pernah saya lihat
sebelumnya.”
Julukan itu tampaknya membuat si Hawkens kecil merasa senang. Dia
terkekeh-kekeh kegirangan,
“Shatterhand, hihihihi! Seorang greenhorn mendapat julukan pahlawan
perang bahkan sehebat itu! Ya, kalau seorang greenhorn di bawah asuhan Sam
Hawkens, pasti dia menjadi orang besar, kalau saya tidak salah. Shatterhand, Old
Shatterhand! Seperti Old Firehand, westman terkenal yang juga kuat seperti seekor
beruang. Bagaimana pendapat kalian tentang nama ini, Dick, Will?”
Saya tidak mendengar jawaban mereka karena saya harus memusatkan
perhatian saya pada White. Dia menarik tangan saya dan menuntun saya ke pinggir
lalu berkata,
“Saya benar-benar suka pada Anda, Sir. Apakah Anda mau ikut dengan
saya?”
“Mau atau tidak, Mr. White, saya tidak boleh.”
“Mengapa?”
“Karena kewajiban, saya harus tetap berada di sini.”
“Pshaw! Saya yang bertanggung jawab.”
“Itu tidak berguna bagi saya, kalau saya tidak bisa mempertanggung-
jawabkannya sendiri. Saya telah dikirim ke sini, untuk membantu mengerjakan
seksi ini, dan saya tidak boleh pergi, karena kami belum selesai.”
“Bancroft akan menyelesaikannya bersama tiga rekannya.”
“Ya, tetapi kapan dan bagaimana? Tidak, saya harus tinggal.”
“Tetapi pikirkanlah, itu berbahaya bagi Anda!”
“Mengapa?”
“Anda masih bertanya juga? Anda seharusnya mengerti, bahwa orang-orang
ini sudah menganggap Anda sebagai musuh.”
“Saya tidak menganggap mereka musuh dan saya tidak melakukan apa-apa
terhadap mereka.”
“Benar, atau tepatnya sampai sebelum peristiwa tadi. Tetapi sekarang
setelah Anda merobohkan dua di antara mereka, timbul permusuhan antara Anda
dan mereka.”
“Mungkin. Tetapi saya tidak takut kepada mereka. Justru kedua pukulan
saya tadi pasti telah membuat mereka segan terhadap saya. Selain itu mereka
tidak akan berani menantang saya. Bagaimana pun Sam Hawkens, Stone dan
Parker berpihak pada saya.”
“Terserah Anda. Keinginan manusia sangat muluk, meskipun sering juga
menjerumuskannya. Sebenarnya saya dapat memanfaatkan Anda. Tetapi maukah
Anda mengantarkan saya pulang beberapa kilometer saja?”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Anda mau segera berangkat, Mr. White?”
“Ya, saya sudah tahu keadaan di sini, sehingga saya tidak perlu berlama-
lama tinggal di sini.”
“Tetapi Anda harus makan dulu, sebelum berangkat, Sir!”
“Tidak usah. Kami membawa bekal di dalam tas pelana.”
“Anda tidak ingin berpamitan dengan Bancroft ?”
“Tidak.”
“Tetapi bukankan Anda datang ke sini untuk membicarakan masalah
pekerjaan dengannya?”
“Memang. Tetapi hal itu bisa juga saya katakan pada Anda. Bahkan Anda
akan lebih paham daripada dia. Semula saya ingin mengingatkan dia tentang orang
kulitmerah.”
“Apakah Anda melihat mereka?”
“Tidak secara langsung, hanya dari jejak mereka. Kini sudah musimnya,
mustang dan bison berpindah tempat, bergerak ke selatan. Pada saat itu orang
kulitmerah meninggalkan kampungnya, untuk berburu dan mengumpulkan daging.
Suku Kiowa tidak perlu ditakuti, karena sudah ada kesepakatan antara kita dengan
mereka tentang rel kereta itu. Akan tetapi suku Comanche dan Apache belum tahu
tentang itu. Karena itu kita tidak boleh terlihat oleh mereka. Untunglah, pekerjaan
saya telah selesai dan saya akan meninggalkan daerah ini. Berusahalah agar Anda
juga cepat selesai! Wilayah ini dari hari ke hari akan semakin berbahaya. Pasanglah
pelana kuda Anda dan tanyakan Sam, apakah dia mau ikut?”
“Tentu saja Sam mau.”
Sebenarnya hari ini saya mau bekerja. Tetapi ini hari Minggu. Pada hari ini
setiap orang Kristiani berkumpul dan melaksanakan kewajiban agamanya,
sekalipun mereka berada di hutan belantara. Karena itu saya tidak bekerja. Saya
mendatangi kemah Bancroft dan mengatakan kepadanya, bahwa hari ini saya tidak
akan bekerja karena bersama Sam Hawkens saya akan mengantar White.
“Peduli amat dan semoga Anda celaka!” jawabnya. Saya tidak
mengharapkan bahwa doa yang kejam itu terkabul dalam waktu dekat.
Sudah berapa hari saya tidak menunggang kuda. Kuda saya meringkik
kegirangan ketika saya memasangkan pelana. Kuda itu sangat tahan uji dan saya
akan sangat senang mengabarkan hal ini kepada si tua Henry, sang pembuat
senapan.
Kami berkuda dengan riang di hari musim gugur yang indah sambil
berbincang tentang rencana pembuatan keretaapi yang hebat itu dan tentang
segala hal yang ada di dalam hati kami. White memberikan petunjuk penting
kepada saya yang berkaitan dengan penyambungan rel ke seksinya. Menjelang
siang hari kami berhenti di tepi sebuah mata air untuk menikmati makanan
seadanya. Kemudian White bersama scoutnya melanjutkan perjalanan, sedangkan
kami masih tinggal beberapa saat sambil berbaring untuk membicarakan hal-hal
yang bersifat keagamaan.
Hawkens ternyata pria yang saleh namun dia tidak mau memperlihatkannya
kepada orang lain. Sesaat sebelum kami berangkat pulang, saya membungkukkan
badan ke mata air untuk menciduk air dan minum dengan tangan. Saat itu saya
melihat jejak telapak kaki dalam air yang bening. Tentu saja saya memberitahu
Sam. Dia mengamati jejak kaki itu dengan seksama dan berkata,
“Apa yang diperingatkan Mr. White kepada kita tentang Indian memang
benar.”
“Sam, maksud Anda, jejak ini berasal dari seorang Indian?”
“Ya, jejak mokassin (sepatu Indian). Bagaimana perasaan Anda, Sir?”
“Saya sama sekali tidak merasakan apa-apa.”
“Fi! Anda pasti memikirkan atau merasakan sesuatu.”
“Apa yang harus saya pikirkan, selain seorang Indian telah datang ke sini.”
“Jadi Anda tidak takut ?”
“Tidak.”
“Ya, Anda tidak mengenal orang kulitmerah.”
“Tapi saya berharap bisa berkenalan dengan mereka. Mereka pasti seperti
manusia lain, seperti musuh-musuhnya dan teman-temannya. Karena itu saya
tidak berniat memusuhi mereka. Jadi, saya kira, saya tidak perlu takut terhadap
mereka.”
“Anda memang greenhorn, dan akan tetap begitu selamanya. Jangan yakin
untuk dapat memperlakukan orang kulitmerah sebagaimana niat Anda itu.
Kenyataannya akan sangat berbeda. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak akan
bergantung pada keinginan Anda. Anda akan mengalaminya, saya harap
pengalaman ini tidak harus dibayar dengan cedera atau bahkan nyawa Anda.”
“Kapan kira-kira Indian itu berada di sini?”
“Kira-kira dua hari yang lalu. Kita akan lihat juga jejaknya di rumput, kalau
tidak tertutup jejak lain.”
“Apakah mungkin seorang pengintai?”
“Seorang pengintai bison, ya. Karena kini hubungan antar suku-suku di sini
sedang baik, mungkin bukan seorang mata-mata perang. Orang itu sangat tidak
hati-hati. Jadi mungkin masih sangat muda.”
“Mengapa?”
“Seorang prajurit yang berpengalaman tidak akan menginjakkan kakinya ke
dalam air seperti ini karena akan meninggalkan jejak berhari-hari lamanya.
Ketololan seperti ini hanya dilakukan oleh seorang pandir semacam greenhorn
kulitmerah, hihihihi. Sedang greenhorn kulitputih bertindak jauh lebih tolol lagi
daripada greenhorn kulitmerah. Coba ingat itu baik-baik, Sir!”
Dia terkekeh sendiri perlahan dan kemudian bangkit untuk naik ke kudanya.
Sam yang baik memang suka sekali menunjukkan simpatinya kepada saya dengan
cara menyebut saya bodoh.
Sebenarnya kami bisa kembali melewati jalan yang kami tempuh tadi. Tetapi
sebagai seorang surveyor, saya berkewajiban mempelajari seluruh wilayah kami.
Karena itu kami membelok dulu sebentar dan kemudian menempuh jalan sejajar.
Pada saat itu kami tiba di sebuah lembah yang agak lebar yang ditumbuhi
rerumputan yang segar. Bukit-bukit di sekelilingnya tertutup semak-semak di
bagian bawahnya dan hutan di bagian atasnya. Lembah itu lurus memanjang kira-
kira setengah jam perjalanan, sehingga orang bisa memandangnya dari ujung ke
ujung. Baru beberapa langkah kami berjalan di lembah yang indah itu, tiba-tiba
Sam menghentikan kudanya dan memandang seksama ke depan.
“Heigh-day!” Dia maju ke depan. “Itu mereka! Ya, benar, merekalah
rombongan yang pertama.”
“Apa?” tanya saya.
Saya melihat di kejauhan, sekitar delapan belas sampai dua puluh titik
hitam yang sedang bergerak perlahan.
“Apa?” dia mengulangi pertanyaan saya sambil bergerak-gerak mengikuti
irama langkah kuda. “Mestinya Anda malu bertanya seperti itu! Oh ya, Anda kan
seorang greenhorn, greenhorn yang luar biasa. Orang seperti Anda harus bisa
melihat dengan jeli. Cobalah terka apa yang Anda lihat di depan itu, Tuan yang
terhormat.”
“Menerka? Hm! Saya kira itu kijang, akan tetapi binatang itu tidak pernah
bergerombol lebih dari sepuluh ekor. Namun, kalau saya perhatikan dari sini,
binatang itu pasti lebih besar dari kijang.”
“Kijang, hihihihi!” dia tertawa. “Kijang di dekat mata air Canadian. Anda
sungguh hebat! Tapi hal lain yang Anda katakan tadi juga tidak terlalu salah. Ya,
binatang itu lebih besar dari kijang.”
“Kalau begitu, Sam, bisonkah itu?”
“Tentu saja bison! Binatang itu bison, bison sungguhan. Mereka sedang
berpindah tempat. Kawanan pertama yang saya lihat tahun ini. Anda tahu, Mr.
White berkata benar: Bison dan orang Indian! Bukankah kita tadi melihat jejak kaki
orang kulitmerah dan di depan kita ada sekawanan bison? Apa pendapat Anda
tentang itu, heh, kalau saya tidak salah?”
“Kita harus ke sana!”
“Tentu saja!”
“Mengamati mereka!”
“Mengamati? Hanya mengamati?” tanyanya sambil memandang saya
keheranan.
“Ya, saya belum pernah melihat bison dan ingin mengamati binatang itu di
sini.”
Saya sekarang merasakan antusiasme seorang ahli ilmu hewan. Bagi Sam
hal itu aneh. Dia melipat kedua tangannya di dada dan tampak agak kecewa.
“Mengintai, hanya mengintai. Sama seperti seorang anak kecil yang
mengintai kelinci melalui celah kecil di kandangnya karena penasaran! Oh,
greenhorn, apa yang harus saya lakukan terhadap Anda! Saya bukan hanya
mengamati dan mengintip mereka, melainkan sya ingin berburu, benar-benar
berburu!”
“Hari ini, hari Minggu!”
Pertanyaan saya itu terlontar begitu saja. Dia menjadi sangat marah dan
berkata,
“Tutup mulut Anda, Sir! Apa istimewanya hari Minggu bagi seorang pemburu
sejati, apabila dia melihat bison di hadapannya. Berburu bison berarti mendapat
daging, iya kan, daging dan yang lainnya, kalau saya tidak salah! Sekerat daging
pinggang bison masih lebih lezat ketimbang Ambrosius atau Ambrosianna yang
enak, atau apa pun nama makanan para dewa Yunani Kuno itu. Saya harus
mendapatkan pinggang bison meskipun itu membahayakan jiwa saya! Kita
melawan angin, itu baik. Di sini, di tebing lembah sebelah kiri ada sinar matahari
sedangkan di sebelah kanan sana ada bayang-bayang. Kalau kita berlindung dalam
bayang-bayang ini, kita tidak akan terlihat oleh binatang-binatang itu.
“Ayo!” Dia memeriksa “Liddy”nya, memeriksa apakah kedua larasnya beres.
Kemudian dia memacu kudanya ke dinding lembah sebelah selatan. Sambil
mengikuti Sam, saya memeriksa senapan saya, si pembunuh beruang. Dia melihat
ini dan segera saja menghentikan kudanya serta bertanya,
“Anda mau ikut, Sir?”
“Tentu saja!”
“Kalau Anda selama sepuluh menit dari sekarang tidak merusak rencana ini,
pasti semuanya akan aman. Bison bukan burung kenari yang dapat kita ajak
bermain. Sebelum Anda berani melakukan aksi berbahaya, terlebih dahulu Anda
harus mengumpulkan banyak pengalaman dengan melewati berbagai rintangan.”
“Tapi saya ingin …”
“Diam dan jangan membantah!” Dia memotong ucapan saya dengan nada
yang belum pernah dia dengar. ”Saya tidak ingin mencampuri kehidupan Anda.
Hanya kematian yang akan Anda hadapi. Apa yang Anda inginkan itu, lakukan di
lain waktu saja! Sekarang saya tidak mau dibantah!”
Seandainya tidak ada hubungan baik di antara kami, niscaya saya akan
menjawab dengan sangat kasar. Tapi saya diam saja dan terus berkuda perlahan-
pelan mengikuti dia ke tempat yang teduh. Di tempat itu hutan semakin lebat.
Ketika itu dia menjelaskan pada saya sambil berkata dengan nada yang lebih
ramah,
“Sebagaimana yang saya lihat tadi, ada dua puluh ekor. Tetapi Anda pun
pernah lihat, ketika ribuan atau lebih banyak lagi melintasi sabana itu. Dulu saya
melihat kawanan binatang yang terdiri dari sepuluh ribu ekor bahkan lebih banyak.
Itu sumber makanan bagi Indian, dan orang kulitputih telah merampasnya dari
mereka. Orang kulitmerah berhati-hati dengan binatang liar itu karena binatang itu
adalah bahan makanan. Mereka hanya membunuh sebanyak yang mereka
butuhkan. Lain halnya orang kulitputih. Mereka menembaki binatang itu dengan
membabi buta seperti binatang buas yang sedang mengamuk, dan terus saja
membunuhinya hanya untuk menumpahkan darah. Berapa lama hal itu akan
berlangsung, sampai tidak ada lagi bison dan sebentar kemudian juga tidak ada
lagi orang Indian. Inikah takdir Tuhan? Dan begitu pula halnya dengan kuda. Dulu
ada rombongan mustang yang berjumlah ribuan ekor. Kini orang sudah merasa
senang dan beruntung bila melihat seratus ekor kuda bersama-sama.”
Pada saat itu kami semakin dekat sampai kira-kira empat ratus langkah dari
kawanan bison itu, tanpa terlihat oleh mereka. Hawkens menghentikan kudanya.
Bison-bison itu sedang merumput di hulu. Di depan sekali berjalan seekor bison
jantan yang sudah tua. Saya terpesona melihat tubuhnya yang besar. Tingginya
pasti sampai dua meter, dan panjangnya mungkin tiga meter. Waktu itu saya
belum bisa menaksir berat seekor bison, tapi sekarang ini saya berani mengatakan,
bahwa bison ini kira-kira berbobot satu setengah ton, suatu bobot daging dan
tulang yang luar biasa. Bison ini masuk ke dalam kubangan lumpur dan berguling-
guling di sana dengan asyiknya.
“Itu pemimpinnya,” bisik Sam, “yang paling berbahaya dalam kawanan itu.
Siapa berani menghadang dia, harus sudah siap menghadapi kematiannya. Saya
akan mengambil bison betina, yang berada tepat di belakang sebelah kanan bison
jantan itu. Perhatikan, di bagian mana saya akan menembaknya! Di bagian belikat
menyamping terus ke jantung. Itulah yang terbaik. Namun, selain itu, satu-satunya
tembakan yang paling aman adalah ke mata. Tapi hanya orang yang tidak waras
menembak bison dari depan agar mengenai matanya! Anda tetaplah di sini,
bersembunyilah bersama kuda Anda di dalam semak-semak. Kalau mereka melihat
saya dan kemudian kabur, maka perburuan kita akan sia-sia. Jangan sekali-kali
meninggalkan tempat ini sebelum saya kembali atau memanggil Anda.”
Dia menunggu sampai saya bersembunyi di antara dua belukar. Kemudian ia
memacu kudanya, pertama-tama perlahan-lahan sekali dan tidak bersuara. Saya
ingin sekali ikut berburu. Saya sudah sering membaca tentang perburuan bison.
Karena itu bukan hal baru bagi saya. Tetapi ada perbedaan antara cerita di dalam
buku dengan perburuan yang sebenarnya. Pada hari ini untuk pertama kalinya saya
melihat bison dalam hidup. Satwa liar apakah yang telah saya tembak sampai saat
ini? Dibandingkan dengan satwa besar dan berbahaya ini, belum satu pun, sama
sekali belum. Pada waktu itu orang pasti mengira bahwa saya setuju dengan
perintah Sam untuk tidak ikut berburu. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Sebelumnya saya hanya ingin mengamati dan mengintai. Sekarang saya
merasakan dorongan yang kuat yang tidak terbendung untuk ikut berburu. Sam
akan memburu bison betina muda, pfui! Menurut saya, untuk itu tidak diperlukan
keberanian. Lelaki sejati akan memilih bison jantan terkuat !
Kuda saya menjadi sangat gelisah. Ia mendepak-depakkan kakinya
ketakutan dan ingin melarikan diri, karena belum pernah melihat bison. Nyaris saya
tidak mampu mengekangnya. Apakah tidak lebih baik kalau saya tembak saja bison
jantan itu? Saya tidak merasa tegang sedikit pun, malah saya berpikir dengan
sangat tenang, antara ya dan tidak. Akhirnya keadaanlah yang memutuskan.
Sam telah mendekat ke kawanan bison itu hingga tiga ratus langkah.
Kemudian dia memacu kudanya menuju kawanan itu dan melewati bison jantan
yang besar itu untuk mencapai bison betina yang telah ditunjukkan pada saya.
Bison betina itu terhenyak dan terlambat untuk melarikan diri. Sam sampai pada
tempat bison itu. Saya lihat ia menembaknya ketika binatang itu lewat. Bison itu
menggelepar dan menundukkan kepalanya. Saya tidak melihat apakah ia roboh
atau tidak, karena mata saya tertarik pada pemandangan lain.
Bison jantan raksasa sudah bangkit. Dia berpaling kepada Sam Hawkens.
Betapa garangnya binatang itu! Kepalanya besar dan tebal, tengkoraknya bundar,
jidatnya lebar dan dua tanduknya yang pendek tetapi kuat mencuat ke atas. Surai
yang lebat dan kusut membungkus leher dan dadanya. Pundaknya yang tinggi
memberi kesan atau gambaran sempurna tentang kekuatan alam yang dahsyat.
Ya, mahluk itu teramat berbahaya. Sorot matanya menantang manusia yang ingin
mengukur kemampuannya terhadap kekuatan hewan ini.
Saya tidak tahu, apakah saya mau atau tidak. Atau barangkali kuda putih
saya akan membawa saya kabur? Dia melompat keluar dari semak-semak dan
hendak ke kiri. Tetapi saya paksa dia membelok ke kanan dan menuju ke arah
bison jantan itu. Bison itu mendengar saya datang, lalu berpaling ke arah saya.
Sambil memandang saya, ia menundukkan kepalanya untuk menyambut kuda
cantik dan penunggangnya dengan tanduknya. Saya mendengar Sam berteriak
keras. Namun saya tidak punya waktu untuk berpaling ke arahnya. Menembak
bison itu tidak memungkinkan, pertama karena dia tidak berdiri pada sasaran
tembak saya, dan kedua kuda saya akan berontak. Karena ketakutan kuda itu
melompat tepat ke arah tanduk yang sedang mengancam. Bison itu melangkahkan
kaki belakangnya ke samping dan dengan hentakan keras ia mengangkat
kepalanya ke atas untuk menusuk kuda saya.
Dengan segala daya saya berhasil sedikit mengelakkan kuda saya. Dia
melesat dengan suatu lompatan ke atas bagian belakang bison itu, sementara pada
saat yang sama tanduknya nyaris menyentuh kaki saya. Lompatan kami jatuh
tepat ke dalam kubangan lumpur, tempat bison itu berguling-guling. Untunglah,
saya melihat itu dan melepaskan kaki dari sanggurdi, karena kuda saya tergelincir
dan kami pun roboh. Bagaimana hal itu bisa terjadi begitu cepat, bagi saya masih
teka-teki. Selanjutnya saya sudah berdiri, tepat di pinggir kubangan itu dengan
tangan memegang senapan kuat-kuat. Bison itu telah berbalik kepada kami dan
melompat dengan hentakan liar ke arah kuda saya yang telah bangkit dan hendak
melarikan diri. Pada saat itu terbuka peluang bagi saya untuk menembak dari
samping. Saya membidik. Sekaranglah saatnya si Pembunuh Beruang yang berat
itu harus dicoba untuk pertama kalinya. Masih satu lompatan lagi bison itu dapat
mencapai kuda saya. Saya kemudian melepaskan tembakan. Bison itu terdiam.
Apakah karena kaget atau karena tembakan saya mengenai sasaran, saya tidak
tahu. Segera saya lepaskan lagi tembakan kedua. Pelan-pelan ia mengangkat
kepalanya dan mengeluarkan lenguhan panjang dengan sekuat tenaga. Kemudian
berjalan terhuyung-huyung dan roboh di atas tempat ia berdiri.
Karena senang sebenarnya saya ingin bersorak atas kemenangan yang tidak
mudah ini. Namun ada hal yang lebih penting yang harus dilakukan. Kuda saya
berlari ke arah kanan tanpa penunggang, sementara saya melihat Sam Hawkens
sedang berpacu di pinggiran lembah, dikejar oleh seekor bison jantan yang tidak
kalah besar dari bison yang saya tembak tadi.
Orang harus tahu, kalau marah bison tidak akan melepaskan lawannya dan
dapat berlari mengimbangi seekor kuda. Dalam situasi seperti itu, bison bisa
beringas, gesit dan tidak mudah dikalahkan seperti yang dibayangkan orang.
Demikian juga bison jantan itu berusaha mengejar Sam. Untuk bisa lolos, Hawkens
harus berubah-ubah arah. Hal itu melelahkan kudanya. Bagaimanapun kuda itu
tidak sekuat bison. Karena itu saya harus segera menolongnya. Saya tidak punya
waktu untuk memeriksa apakah bison yang saya tembak tadi betul-betul mati atau
belum. Saya cepat-cepat mengisi kedua laras Pembunuh Beruang dan berlari
menyeberangi lembah. Sam melihat ini. Dia ingin menyongsong bantuan saya dan
mengendalikan kudanya ke arah saya. Dia salah besar, karena dengan cara itu
kuda Sam dalam posisi melintang di depan bison jantan yang tidak jauh di
belakangnya.
Saya melihat bison itu merundukkan kepalanya dan menanduk satu kali saja
kemudian mengangkat kuda itu beserta penunggangnya tinggi-tinggi. Ketika
mereka jatuh ke tanah, bison itu tidak melepaskan lawannya tapi terus
menusukkan tanduknya yang dahsyat sambil mengibas-ngibaskan kepalanya. Sam
berteriak sekuat tenaga meminta tolong. Saya masih berada kira-kira seratus lima
puluh langkah dan tidak boleh terlambat sedetik pun. Tembakan saya seyogyanya
dilepas dari jarak yang lebih dekat, tapi kalau saya ragu maka Sam bisa terbunuh.
Kalau tembakan saya tidak mengena, setidaknya saya masih bisa mengalihkan
perhatian bison itu dari Sam ke saya. Karena itu saya berhenti, membidik belikat
bison itu dan melepaskan tembakan. Bison itu mengangkat kepalanya dengan
sebuah hentakan, seolah-olah ia mau pasang telinga dan perlahan-lahan berbalik.
Pada saat itu ia melihat saya kemudian menyerang. Namun kecepatannya sudah
berkurang. Itu menguntungkan saya. Saya dapat mengisi lagi peluru dengan cepat.
Ketika hewan itu tinggal tiga puluh langkah lagi ke arah saya, pengisian sudah
selesai. Ia tidak bisa lagi berlari, hanya berjalan pelan-pelan. Dengan kepala yang
tertunduk rendah dan dengan mata yang merah karena kesakitan, ia melotot buas
dan menuju ke saya. Semakin dekat dan semakin dekat seperti sebuah malapetaka
besar yang tidak dapat dihentikan. Kemudian saya berlutut dan membidikkan
senapan. Gerakan saya itu membuat bison itu berhenti dan mengangkat kepalanya
sedikit agar dapat melihat saya lebih baik dan lebih jelas lagi. Itu membuat
matanya yang buas melotot ke depan, ke kedua laras senapan saya. Saya lepaskan
satu tembakan ke matanya yang kanan, dan satu lagi ke mata kirinya. Binatang itu
menggelepar dan robohlah ke tanah.
Saya melompat untuk melihat Sam. Tapi ternyata tidak perlu karena saya
lihat dia berlari mendatangi saya.
“Hallo,” saya berseru padanya. “Anda selamat? Anda tidak terluka parah?”
“Sama sekali tidak,” jawab dia. “Hanya pinggang saya sebelah kanan sakit
karena terjatuh, atau mungkin yang kiri, kalau saya tidak salah. Saya tidak tahu
pasti.”
“Dan kuda Anda?”
“Di sana. Ia masih hidup, tapi bison itu telah merobek seluruh perutnya.
Untuk mengurangi penderitaannya, kita harus menembaknya. Binatang malang!
Apakah bison itu mati?”
“Saya harap begitu, mari kita periksa.”
Kami periksa dia dan merasa yakin bahwa bison itu sudah mati. Pada saat
itu Hawkens berkata sambil menarik nafas panjang,
“Bison tua yang brutal ini telah menyulitkan saya! Ia seharusnya lebih sopan
pada saya. Tentu saja, bison tidak bisa dituntut bersikap seperti perempuan,
hihihihi!”
“Bagaimana ia bisa menyerang Anda ?”
“Apakah Anda tidak lihat ?”
“Tidak.”
“Begini, saya menembak bison betina. Karena kuda saya sedang melaju
cepat, saya baru bisa menghentikannya persis ketika ia menabrak bison ini. Itu
membuat dia marah dan mengejar-ngejar saya. Cepat-cepat saya tembakkan
peluru dari kedua laras ‘Liddy’.” Namun ternyata meleset, karena itu ia semakin
menjadi dan saya tidak bisa mengelak. Ia terus mengejar-ngejar sehingga saya
tidak bisa mengisi peluru. Karena senapan itu tidak ada gunanya lagi, saya
membuangnya agar tangan saya menjadi bebas dan bisa mengendalikan kuda
dengan lebih baik, kalau saya tidak salah. Kuda malang itu telah berbuat sebaik
mungkin, tapi tidak bisa menyelamatkan diri.”
“Karena Anda terakhir kali berubah arah dengan cepat dan fatal.
Seyogyanya Anda berjalan memutar. Niscaya kuda itu akan selamat.”
“Selamat? Anda berbicara seperti seorang senior. Greenhorn biasanya tidak
bicara seperti itu.”
“Pshaw! Greenhorn juga punya sisi baik!”
“Ya, kalau tidak karena Anda, pasti sekarang saya terkapar dan terkoyak-
koyak seperti kuda saya. Mari kita lihat kuda itu.”
Kami lihat keadaannya menyedihkan. Ususnya keluar dari perutnya yang
robek. Ia mengerang kesakitan. Sam mengambil senapannya yang tadi dibuang,
mengisi peluru dan menembakkannya pada kudanya untuk mengakhiri
penderitaannya. Kemudian ia melepas tali kekang dan pelananya dan berkata,
“Gara-gara lari dikejar bison, sekarang saya harus menyandang pelana
seperti kuda juga.”
“Ya. Di mana Anda akan memperoleh kuda pengganti?” tanya saya.
“Itu tidak begitu saya khawatirkan. Saya akan menangkap seekor lagi, kalau
saya tidak salah.”
“Seekor mustang?”
“Ya. Bison-bison itu di sana, mereka memulai perjalanannya ke selatan3.
Pada saat itu mustang akan segera tampak. Saya hafal itu.”
“Boleh saya ikut menangkap mustang itu ?”
“Tentu saja. Anda juga harus belajar berburu mustang. Sekarang mari kita
pergi. Kita akan akan memeriksa bison jantan tua itu. Mungkin ia masih hidup.
Methussalem4 seperti itu biasanya mempunyai nyawa yang sangat alot.”
Kami pergi ke sana. Hewan itu sudah mati. Kini karena ia terbaring kaku,
orang dapat mengukur bentuk kolosalnya lebih baik lagi secara langsung daripada
sebelumnya. Sam memandang saya dan bison itu bergantian. Wajahnya tampak
sangat takjub. Kemudian menggelengkan kepala dan berkata,
“Ini tidak bisa dijelaskan. Sama sekali tidak bisa dijelaskan! Tahukah Anda,
di bagian mana Anda telah menembaknya ?”
“Di mana?”
“Tepat pada tempat yang semestinya. Bison ini sudah tua sekali. Kalau saya,
akan berpikir dulu sepuluh kali sebelum berani berkelahi dengannya. Tahukah
Anda. Seperti apa Anda ini, Sir?”
“Seperti apa?”
3 Dalam musim gugur bison dan mustang berpindah ke selatan mencari hawa hangat, dan kembali ke utara pada musim semi, demikian seterusnya. 4 Tokoh dalam Alkitab yang disebut-sebut sangat tua.
“Orang paling ceroboh.”
“Oho.”
“Ya, orang paling ceroboh di muka bumi ini.”
“Kecerobohan tidak pernah menjadi kesalahan saya.”
“Jadi, Anda sekarang suka ceroboh, paham! Saya kan sudah memberi
perintah agar Anda tidak ikut campur dengan urusan bison dan agar tetap
sembunyi di dalam semak belukar. Mengapa Anda tidak menurut?”
“Saya sendiri tidak tahu.”
“Jadi! Anda melakukan sesuatu tanpa tahu alasannya. Apakah itu tidak
ceroboh?”
“Saya rasa tidak. Pasti ada alasan penting.”
“Kalau begitu Anda harus tahu itu!”
“Mungkin alasannya karena Anda memerintah saya dan saya tidak bisa
diperintah.”
“Oh! Kalau orang bermaksud baik kepada Anda dan memperingatkan Anda
terhadap suatu bahaya, Anda dengan sengaja membangkang, menerjunkan diri
dalam bahaya itu?”
“Saya datang ke daerah Barat bukan untuk menghindari bahaya yang saya
jumpai.”
“Baiklah. Tapi Anda masih greenhorn dan Anda harus berhati-hati. Karena
Anda tidak mematuhi saya, mengapa Anda tadi justru menembak bison raksasa ini
dan bukannya bison betina?”
“Karena lebih ksatria.”
“Lebih ksatria! Greenhorn ini mau menjadi ksatria, kalau saya tidak salah,
hihihihi!”
Dia tertawa sambil memegangi perutnya dan masih sambil tertawa dia
melanjutkan,
“Kalau Anda benar-benar ingin bertindak sebagai pahlawan, jadilah
pahlawan ‘Toggenburg’ saja. Untuk menjadi pahlawan ‘Bayard atau Roland’ Anda
tidak punya bakat. Anda menyukai bison betina dan setiap malam duduk dalam
remang sinar bulan untuk menunggu sampai binatang itu menampakkan diri dan
turun ke lembah. Bahkan semalaman Anda dapat duduk tenang seperti mayat dan
menjadi santapan coyote (serigala prairie) dan burung pemakan bangkai. Jika
seorang westman sejati melakukan sesuatu, dia tidak bertanya apakah yang dia
lakukan bersifat ksatria atau tidak. Dia hanya bertanya apakah itu bermanfaat
baginya atau tidak.”
“Itulah masalahnya.”
“Masalahnya? Mengapa?”
“Saya memilih bison jantan itu, karena dagingnya lebih banyak daripada
yang betina.”
Lama ia memandangi muka saya kebingungan dan kemudian berteriak,
“Lebih banyak daging ? Anak muda ini telah menembak bison jantan di sini
karena dagingnya hihihihi! Saya bahkan yakin Anda meragukan keberanian saya
karena hanya memburu bison betina.”
“Bukan begitu, meskipun memang saya anggap lebih gagah memilih seekor
binatang yang kuat.”
“Dan makan daging bison tua? Bukan main pintarnya Anda, Sir? Bison tua
itu pasti telah berumur delapan belas sampai dua puluh tahun. Tubuhnya terdiri
dari kulit, tulang belulang, urat dan otot. Dagingnya yang ada tidak bisa lagi
disebut daging, karena sangat alot seperti kulit yang telah disamak. Walaupun
Anda seharian memanggangnya atau memasaknya, Anda tidak dapat
mengunyahnya. Setiap westman yang berpengalaman lebih suka bison betina
ketimbang yang jantan karena dagingnya empuk dan gurih. Kini semakin jelas,
greenhorn macam apa Anda ini. Tadi saya tidak punya waktu untuk menjaga
Anda.”
“Bagaimana serangan Anda yang ceroboh terhadap bison itu terjadi?”
Saya ceritakan kepada dia. Ketika saya selesai, dia terbelalak, sekali lagi
menggelengkan kepalanya dan menyuruh saya,
“Pergilah ke bawah sana, dan ambillah kuda Anda! Kita memerlukan kuda
itu untuk mengangkut daging yang akan kita bawa pulang.”
Saya mengikuti perintahnya. Jujur saya katakan, saya merasa kecewa atas
sikapnya. Dia tidak mengatakan satu patah kata pun setelah mendengarkan
penjelasan saya. Sebenarnya saya sudah yakin akan mendapatkan pengakuan
darinya meskipun hanya sedikit. Dia tidak mengatakan apa-apa, malah menyuruh
saya pergi untuk mengambil kuda saya. Meskipun demikian saya tidak jengkel
padanya karena saya bukanlah orang yang melakukan sesuatu demi pujian.
Ketika saya membawa kuda itu, Sam sedang berlutut di samping bison
betina yang terlentang di depannya. Dia memotong bagian paha bison itu,
kemudian memisahkan daging dari kulit dan tulangnya dengan cekatan dan
memotong lagi di bagian pinggang.
“Nah,” kata dia. “Ini untuk dipanggang malam ini. Kita sudah lama tidak
makan daging panggang. Daging pinggang ini kita muat ke atas kuda Anda,
diikatkan di atas pelana dengan tali kekang. Daging ini hanya untuk saya, Anda,
Will dan Dick. Kalau yang lain juga mau, mereka bisa berkuda ke sini dan
mengambil sisa daging bison betina ini.”
“Kalau tidak, dimakan burung bangkai dan binatang liar lainnya.”
“Begitu? Alangkah pintarnya Anda! Tentu saja begitu. Akan kita tutupi
dengan ranting-ranting dan batu di atasnya. Hanya beruang atau binatang besar
lainnya yang bisa membongkarnya.”
Karena itu saya memotong cabang-cabang yang berat dari semak-semak di
sekitar dan kemudian mengambil beberapa batu yang besar. Kami menimbun bison
betina itu dan memuat daging tadi ke atas kuda. Dalam pada itu saya bertanya,
“Bagaimana dengan bison jantan itu?”
“Bison jantan? Apa manfaatnya?”
“Tidak dapatkah kita memanfaatkannya sedikit pun?”
“Sama sekali tidak!”
“Juga kulitnya?”
“Apakah Anda bisa menyamak kulit ? Kalau saya tidak.”
“Tapi saya pernah membaca, bahwa kulit bison buruan dapat disimpan
dalam caches5
“Oh, itu sudah Anda baca? Ya, kalau Anda sudah membaca, pasti itu benar
adanya, hihihihi! Memang ada sejumlah westman yang memburu binatang demi
kulitnya. Saya juga pernah melakukannya. Tapi sekarang kita tidak tergolong
westman seperti itu dan kita tidak usah repot-repot dengan kulit yang berat ini.”
Kami melanjutkan perjalanan dan setengah jam kemudian sudah sampai di
perkemahan meskipun dengan berjalan kaki, karena perkemahan ini tidak jauh dari
lembah tempat saya pertama kali menembak mati bison, atau tepatnya kedua
bison buruan saya yang pertama.
Kedatangan kami yang berjalan kaki dan tanpa kuda milik Sam
menimbulkan keheranan. Kami ditanyai sebab musababnya.
“Kami memburu bison dan kuda saya dirobek perutnya oleh seekor bison
jantan,” jawab Sam Hawkens.
“Berburu bison, bison, bison!” kata itu terdengar dari mulut semua orang.
“Di mana, di mana?”
“Hanya setengah jam dari sini. Kami membawa daging pinggang. Kalian bisa
mengambil sisanya.”
“Kami akan mengambilnya. Ya, kami ambil…,” seru Rattler. Dia
mengatakannya seolah-olah di antara dia dan saya tidak terjadi apa-apa.
5 tempat pengumpulan dan penyimpanan kulit sebelum diperjual-belikan
“Di mana tempatnya?”
“Kalian berkuda saja dan ikuti jejak kami. Pasti kalian akan menemukannya.
Kalian kan punya banyak mata, kalau saya tidak salah.”
“Berapa ekor tadi bisonnya?”
“Dua puluh.”
“Dan berapa yang Anda tembak?”
“Seekor betina.”
“Hanya itu? Yang lainnya ke mana?”
“Lari. Kalian bisa mencari bison-bison itu. Saya tidak ambil pusing, ke mana
mereka pergi, dan saya juga tidak bertanya pada binatang-binatang itu, hihihihi.”
“Tapi hanya seekor betina! Dua orang pemburu, dan dari dua puluh bison
hanya tertembak satu!” sela seseorang dengan nada yang menghina.
“Kalau Anda bisa, tembaklah lebih banyak, Sir! Sebenarnya Anda bisa
menembak semua binatang itu, bahkan lebih banyak lagi. Kalau kalian ke sana,
selain bison betina itu, masih ada dua bison jantan tua yang berhasil ditembak
gentleman muda ini.”
“Bison jantan. Yang sudah tua!” seru orang-orang di sekeliling. ”Menembak
bison jantan dua puluh tahunan, greenhorn macam mana yang melakukan
ketololan itu!”
“Demi saya, jangan kalian tertawakan dia, Mesch’schurs. Kalian lihatlah dulu
kedua bison jantan itu! Saya katakan pada kalian, bahwa dia melakukan itu untuk
menyelamatkan jiwa saya.”
“Jiwa? Mengapa?”
Mereka penasaran dan ingin mendengarkan cerita petualangan. Namun dia
tidak mau bercerita,
“Saya tidak mau bicara tentang itu sekarang. Biar dia sendiri yang cerita.
Kalau kalian pintar, ambillah dulu daging bison itu sebelum malam tiba.”
Dia benar. Matahari telah condong ke barat dan tidak lama lagi malam pasti
tiba. Karena selain itu juga mereka tahu, bahwa saya tidak akan mau cerita, maka
mereka pun naik ke atas kudanya masing-masing dan berangkat. Saya katakan
semuanya karena tak seorang pun mau tinggal. Mereka tidak saling percaya. Jika
hal itu terjadi pada para pemburu yang memiliki rasa setia kawan, binatang buruan
yang ditembak akan menjadi milik bersama. Tetapi semangat kebersamaan itu
tidak ada pada orang-orang ini. Ketika mereka kembali, saya mendengar betapa
buasnya mereka dalam menyerbu bangkai bison betina itu. Setiap orang berusaha
mendapatkan dagingnya sebanyak dan sebaik mungkin sambil cekcok dan
mengutuk.
Ketika berangkat, kami menurunkan daging pinggang dari pelana kuda saya
dan menuntun kuda itu ke tepi untuk melepas tali kekang dan mengikatnya pada
patok. Dalam pada itu, saya tenang saja. Karena itu Sam punya kesempatan untuk
menceritakan petualangan kami pada Parker dan Stone. Antara tempat saya dan
tempat mereka berdiri terhalang oleh tenda, sehingga mereka tidak melihat saya
ketika saya mendekat lagi ke arah mereka. Ketika saya hampir mencapai tenda itu,
saya mendengar Sam berbicara,
“Kalian dapat mempercayai saya, apa yang saya katakan ini benar. Pemuda
itu justru melawan bison jantan yang paling besar dan paling kuat. Dia
menembaknya sampai mati seperti pemburu bison senior dan berpengalaman!
Tentu saja, saya berpura-pura menganggap tindakannya itu ceroboh, dan tentu
saja saya memarahinya. Tapi saya tahu, bagaimana sebenarnya sikap saya
terhadap dia.”
“Saya juga,” sela Stone. “Dia akan menjadi westman yang tangkas.”
“Dan pasti tidak lama lagi,” saya mendengar Parker menukas.
“Yes,” kata Hawkens. “Tahukah kalian gents, dia berbakat untuk itu, terlahir
sebagai orang baik, westman sejati. Selain itu kekuatan tubuhnya! Bukankah
kemarin dia menyingkirkan kereta pedati itu sendirian tanpa bantuan orang lain! Di
mana ada dia, semuanya beres. Tapi maukah kalian berjanji satu hal pada saya?”
“Apa?” tanya Parker.
“Jangan sampai dia tahu, apa yang kita pikirkan tentang dia.”
“Mengapa tidak?”
“Karena dia bisa besar kepala.”
“Oh tidak!”
“Oh, iya! Dia pemuda yang sangat rendah hati dan sama sekali tidak
sombong. Tetapi memujinya tetap saja salah. Pujian dapat merusak karakter
terbaiknya. Kalian harus tetap saja menyebut dia greenhorn. Dia kan memang
greenhorn meskipun dia memiliki semua sifat yang harus dimiliki westman yang
tangkas, sifat-sifat itu belum terlatih. Dia masih harus banyak menimba
pengalaman dan berlatih.”
“Apakah kamu tidak berterima kasih padanya? Bukankah dia sudah
menyelamatkan jiwamu?”
“Saya tidak mau!”
“Apa kata dia nanti!”
“Saya tidak peduli, kalau saya tidak salah. Tentu saja dia akan menganggap
saya seorang bajingan yang tidak tahu berterima kasih. Tapi ini masalah lain.
Masalah utamanya adalah dia tidak boleh menjadi sombong. Dia harus tetap seperti
semula. Sebenarnya saya tadi ingin sekali memeluk dan menciumnya.”
“Fi!” seru Stone, “dicium oleh kamu? Mungkin kalau hanya dipeluk, orang
masih mau. Tapi kalau dicium pasti dia tidak mau!”
“Masa tidak mau? Mengapa?” tanya Sam.
“Mengapa? Apa kamu belum pernah bercermin atau melihat wajahmu yang
manis di dalam air yang jernih? Wajahmu, jenggotmu dan hidungmu! Wow, barang
siapa yang mau mendaratkan bibirnya di wajahmu, pasti dia sedang pusing tujuh
keliling atau otaknya tidak waras.”
“Ah, masa! Hm! Itu kedengarannya sangat ramah. Saya memang pria jelek.
Kamu sendiri bagaimana? Ganteng ya? Kamu juga tidak mau kan! Saya jamin
kalau kita berdua ikut lomba ketampanan, saya akan mendapatkan hadiah
pertama, sedangkan kamu tidak akan dapat hadiah, hihihihi! Tapi ini bukan topik
kita sekarang. Kita berbicara tentang greenhorn itu. Saya tidak berterima kasih
padanya dan tidak akan. Tapi, kalau daging pinggang itu sudah matang, dia harus
mendapat bagian yang paling baik dan gurih. Saya sendiri yang akan
memotongnya. Dia layak mendapatkan itu. Tahukah kalian, apa yang akan saya
lakukan besok?”
“Apa?” tanya Stone.
“Menyenangkan dia.”
“Dengan apa?”
“Dia boleh menangkap mustang.”
“Kamu mau berburu mustang?”
“Ya. Saya harus memiliki kuda baru. Saya pinjam kudamu untuk berburu.
Karena sekarang ini bison telah tampak, maka mustang pun akan datang. Saya
pikir, saya hanya perlu turun ke padang prairie tempat kita kemarin dulu mematok
dan mengukur rel kereta. Di sana pasti ada mustang, segera setelah kuda-kuda liar
itu sampai di kawasan ini.”
Saya tidak terus nguping, tapi kembali melalui semak belukar untuk
menghampiri ketiga pemburu itu dari sisi lain. Mereka tidak boleh tahu, bahwa saya
tadi mendengar apa yang tidak seharusnya saya dengar.
Api dinyalakan. Pada kedua sisi perapian itu ditancapkan dua buah ranting
bercabang. Kedua ranting itu kuat dan keras sehingga bisa digunakan sebagai tiang
penyangga untuk memanggang daging. Ketiga pemburu itu mempersembahkan
seluruh daging pinggang pada saya dan mulailah Sam Hawkens membolak-balik
tusukan-tusukan itu perlahan-lahan dengan trampil. Wajahnya yang nampak
sangat bahagia secara diam-diam membuat saya senang.
Ketika yang lain kembali dengan membawa daging, mereka menyalakan api
seperti kami. Tentunya mereka tidak tenang dan rukun seperti kami. Karena setiap
orang ingin memanggang daging untuk dirinya sendiri, sehingga tempatnya
menjadi tidak cukup, dan akibatnya mereka memakan porsinya setengah matang.
Saya benar-benar mendapat bagian yang paling bagus, beratnya kira-kira
satu setengah kilogram dan saya makan sampai habis. Meskipun begitu orang tidak
menganggap saya rakus. Sebaliknya saya selalu makan lebih sedikit daripada yang
lain yang berada dalam kondisi seperti saya. Tapi bagi seseorang yang tidak tahu
atau tidak mengalami sendiri dan tidak ikut serta, hampir tidak bisa dipercaya
bahwa seorang westman harus makan banyak daging kalau dia ingin bertahan
hidup.
Manusia memerlukan sejumlah putih telur dan karbohidrat selain zat-zat
lainnya yang diperlukan tubuh. Keduanya harus disediakan dalam komposisi yang
benar, kalau dia hidup di daerah yang beradab. Westman yang berbulan-bulan
lamanya keluar masuk daerah yang tidak berpenghuni, hidupnya hanya dari daging
yang hanya sedikit mengandung karbohidrat. Karena itu dia harus makan dengan
porsi besar untuk memberi sejumlah karbohidrat yang diperlukan oleh tubuhnya.
Baginya tidak ada pengaruhnya jika dia makan banyak putih telur walaupun tidak
sehat. Saya pernah lihat seorang pemburu makan empat kilogram daging
sekaligus, dan ketika saya tanya dia, apakah dia kenyang, dia menjawab sambil
tersenyum. Seharusnya begitu, karena saya sudah tidak punya lagi. Kalau Anda
mau memberi saya sebagian dari punya Anda, maka saya akan segera
menyikatnya sampai habis.
Selama makan para westman itu berbincang-bincang tentang perburuan
bison tadi. Sebagaimana yang saya dengar, ketika mereka melihat kedua bison
jantan itu, mereka menganggap saya telah bertindak bodoh.
Keesokan harinya saya berpura-pura akan pergi bekerja. Sam datang
menghampiri saya dan berkata,
“Simpan saja peralatan Anda, Sir. Ada sesuatu yang lebih menarik untuk
dikerjakan.”
“Apa?”
“Anda akan tahu nanti. Siapkanlah kuda Anda. Kita pergi berkuda.”
“Jalan-jalan? Pekerjaan di sana harus didahulukan!”
“Pshaw! Anda sudah membanting tulang. Selain itu, saya kira kita sudah
akan kembali siang hari. Setelah itu Anda mengukur dan menghitung sesuka hati
Anda.”
Saya melapor dulu kepada Bancroft dan kemudian berangkat. Di perjalanan
Sam berperilaku sangat misterius, dan saya pun tidak mengatakan padanya, bahwa
saya sudah tahu tujuannya. Perjalanan ditempuh melalui lintasan yang sudah kami
ukur sampai di padang prairie yang telah ditandai Sam kemarin.
Prairie itu lebarnya kira-kira tiga kilometer, panjangnya dua kali lipat dan
dikelilingi bukit yang berhutan lebat. Karena dilalui aliran sungai yang agak besar,
udaranya cukup lembab dan karena itu di sana tumbuh rerumputan dengan subur.
Di sebelah utara orang bisa mencapai padang prairie ini diapit di antara dua
gunung, dan di sebelah selatan hamparan prairie berbatasan dengan sebuah
lembah yang menuju ke sini. Ketika kami tiba di sana, Hawkens berhenti dan
memperhatikan dataran dengan pandangan menyelidik. Kemudian kami berkuda
lagi ke arah utara di tepi sungai kecil itu. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan,
mengekang kudanya yang tentu saja bukan miliknya melainkan pinjaman,
kemudian turun dan melompati sungai kecil itu dan pergi ke suatu tempat yang
rumputnya sudah terinjak orang. Dia memeriksa daerah itu kemudian kembali lagi,
dan naik lagi ke atas pelana, lalu berpacu lagi, namun tidak ke arah utara seperti
sebelumnya, melainkan ke arah kanan, sehingga kami mencapai tepi barat prairie
beberapa saat setelahnya. Di sini dia turun lagi dan membiarkan kudanya
merumput, tapi dia mengikatnya dengan seksama. Sejak memeriksa jejak itu, dia
tidak berbicara sepatah kata pun. Namun pada wajahnya yang berjenggot
terpancar kesan puas seperti sinar matahari di atas hutan yang lebat. Sekarang dia
memerintah saya,
“Turunlah Sir, dan ikatlah kuda Anda itu kuat-kuat! Kita akan menunggu di
sini.”
“Mengapa harus diikat kuat-kuat?” tanya saya, meski saya tahu baik
alasannya.
“Karena kalau tidak, kuda Anda bisa hilang. Saya telah melihat berkali-kali,
bahwa pada kesempatan seperti ini kuda akan melarikan diri.”
“Kesempatan yang bagaimana?”
“Apa Anda tidak tahu?”
“Hm!”
“Cobalah tebak!”
“Mustang?”
“Hei, kok tahu?” tanya dia sambil memandang saya dengan kagum.
“Karena itu sudah saya baca.”
“Apa?”
“Bahwa kuda yang patuh akan melarikan diri bersama dengan mustang liar,
jika mereka tidak kita ikat kuat-kuat.”
“Persetan dengan Anda! Anda sudah membaca semuanya dan karena itu
tidak mungkin orang memberi kejutan pada Anda. Saya lebih menyukai orang yang
tidak bisa membaca.”
“Apakah Anda mau memberi saya kejutan?”
“Tentu saja.”
“Dengan berburu mustang?”
“Ya.”
“Ini pasti mustahil. Kalau kejutan, mana mungkin diberitahukan
sebelumnya. Anda tidak boleh memberitahu saya sebelum kuda-kuda itu datang.”
“Benar, hm! Dengarlah, mustang-mustang itu tadi di sini.”
“Apakah sebelumnya ada jejak?”
“Ya, kemarin mereka lewat sini. Tahukah Anda, mereka itu pasukan garis
depan, semacam pengintai. Saya harus katakan pada Anda, bahwa binatang-
binatang itu sangat cerdik. Mereka selalu mengirimkan kelompok kecil lebih dulu ke
muka dan ke samping. Mereka memiliki opsir seperti militer, dan komandan
utamanya selalu mustang jantan yang berpengalaman, kuat dan gagah berani.
Kalau mereka ingin merumput atau bergerak, sisi kiri kanannya selalu dikawal oleh
mustang jantan. Kemudian diikuti mustang betina, dan di tengah-tengah anak-
anaknya. Formasi diatur begitu agar kuda-kuda jantan dapat melindungi kuda
betina dan anak-anaknya. Saya sudah sering menjelaskan, bagaimana orang
menangkap mustang dengan lasso. Apakah Anda sudah paham?”
“Tentu saja.”
“Anda mau menangkap seekor mustang?”
“Ya.”
“Anda punya kesempatan untuk itu pagi ini, Sir.”
“Terima kasih! Kesempatan itu tidak akan saya manfaatkan.”
“Tidak? All devils! Mengapa tidak?”
“Karena saya tidak memerlukan kuda.”
“Tapi, seorang westman tidak bertanya, apa dia memerlukan seekor kuda
atau tidak.”
“Kalau begitu westman tidak seperti yang diceritakan orang.”
“Seperti apa memangnya?”
“Anda kemarin berbicara tentang pemburu gila-gilaan, tentang orang
kulitputih yang membunuh bison secara massal, tanpa memanfaatkan dagingnya.
Saya anggap itu sebuah dosa terhadap binatang dan terhadap orang kulitmerah
yang dirampok rezekinya. Anda juga begitu kan?”
“Tentu saja!”
“Justru begitu juga dengan kuda-kuda itu. Saya tidak mau merampok
kebebasan mustang-mustang yang elok itu.”
“Itu pikiran yang baik, Sir, sangat baik. Setiap manusia dan orang Kristiani
justru harus berpikir, berbicara dan bertindak seperti yang Anda pikirkan dan
bicarakan. Tapi siapa bilang, Anda akan merampok kebebasan seekor mustang?
Saya telah melatih Anda melempar lasso dan Anda harus mencobanya. Saya ingin
melihat, apa Anda lulus ujian. Paham?”
“Itu lain. Ya, kalau begitu saya ikut.”
“Baiklah! Bagi saya hal itu sangat serius tentunya. Saya perlu seekor kuda
dan akan menangkap satu ekor. Sudah sering saya katakan dan sekarang sekali
lagi saya katakan: Anda harus duduk tegak di atas pelana, dan segera tekan kuda
Anda sekuat tenaga pada saat Anda melempar lasso. Kalau tidak, kuda Anda akan
lari dan Anda akan terpelanting dan terseret. Kalau demikian, Anda nanti akan
kehilangan kuda dan menjadi prajurit pejalan kaki seperti saya sekarang.”
Dia ingin terus bicara, tapi berhenti dan menunjuk dengan tangannya ke
kedua gunung yang telah disebutkan, di prairie sebelah utara. Di sana muncul
seekor kuda, hanya seekor. Kuda itu berlari pelan ke arah kami tanpa merumput.
Ia menggerakkan kepalanya dengan cepat ke segala arah dan menghirup udara
melalui lubang hidungnya.
“Anda lihat itu?” bisik Sam, karena tegang dia bicara pelan-pelan padahal
kuda itu tidak mungkin dapat mendengar suara kami.
“Benar bukan kata saya, mereka datang! Yang di depan itu pengintai, ia
memeriksa, apakah daerah ini aman. Ia seekor kuda jantan yang cerdik. Alangkah
gesitnya, ia memandang ke segala arah, dan kemudian berputar! Ia tidak melihat
kita, karena angin bertiup dari depan kita. Karena itu saya memilih tempat ini.”
Sekarang mustang itu berlari kencang, kadang lurus, kadang ke kanan atau
ke kiri, dan akhirnya berbalik ke arah asalnya dan menghilang di sana, di tempat ia
pertama kali muncul.
“Apakah Anda memperhatikan kuda itu?” tanya Sam. “Alangkah cerdik
tingkah lakunya dan tindakannya menggunakan setiap semak-semak untuk
melindungi dirinya agar tidak terlihat! Seorang pengintai Indian belum tentu bisa
melakukannya dengan lebih baik.”
“Itu benar. Saya sangat terpesona.”
“Sekarang ia kembali untuk melapor pada jendralnya, bahwa keadaan
aman. Tapi mereka pasti kecewa, hihihihi! Saya berani bertaruh, paling tidak
sepuluh menit lagi mereka akan datang. Anda tahu, bagaimana kita akan
melakukannya?”
“Bagaimana?”
“Sekarang bergegaslah kembali ke jalan keluar padang prairie ini dan
tetaplah di sana. Saya akan turun ke dekat jalan masuk dan bersembunyi di hutan
sana. Kalau kawanan kuda itu datang, akan saya biarkan mereka lewat dan
kemudian mengikuti di belakangnya. Mereka akan lari ke arah Anda. Kalau mereka
melihat Anda mereka akan berbalik arah. Jadi kita giring mereka ke arah Anda dan
ke arah saya, sampai kita bisa memilih dua kuda yang akan kita tangkap.
Kemudian akan saya pilih lagi yang paling baik, sementara kuda yang satunya lagi
kita biarkan saja lari. Anda setuju?”
“Kenapa Anda bertanya seperti itu? Saya tidak mengerti sama sekali tentang
perburuan kuda. Andalah ahlinya, jadi saya harus mengikuti perintah Anda.”
“Well, Anda benar. Saya sudah menaklukkan beberapa mustang liar dan
dapat mengatakan bahwa Anda tidak berkata bodoh dengan menyebut saya
seorang ‘master’. Jadi bergegaslah, kalau tidak kita akan terlambat dan kehilangan
kesempatan.”
Kami naik lagi ke atas pelana dan berpisah menuju tempat masing-masing.
Dia ke utara dan saya ke selatan, sampai pada tempat kami memasuki prairie tadi.
Karena senjata saya, si Pembunuh Beruang yang berat itu menghambat perjalanan
kami, hampir saja saya melepaskannya. Tapi saya pernah membaca dan
mendengar, bahwa westman yang hati-hati hanya berpisah dengan senjatanya
kalau dia tahu pasti bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dan senjata itu tidak
diperlukan. Tapi kasus di sini lain, setiap saat orang Indian atau binatang buas bisa
muncul. Karena itu, saya berusaha agar senjata tua itu tergantung rapat pada
sarungnya di pelana dan tidak memukul paha saya.
Kemudian dengan tegang saya menunggu munculnya kuda-kuda itu. Saya
berhenti di antara pepohonan yang paling depan di hutan yang berbatasan dengan
prairie itu dan mengikatkan salah satu ujung lasso pada kancing pelana kuat-kuat
serta menggulung simpulnya di depan badan sehingga siap untuk dipakai.
Ujung bagian bawah prairie itu begitu jauh dari saya, sehingga saya tidak
bisa melihat mustang-mustang itu kalau mereka datang. Mereka baru akan
kelihatan kalau Sam menggiringnya. Belum sampai seperempat jam saya di tempat
itu, saya melihat sejumlah titik hitam di bawah sana. Titik-titik hitam itu dengan
cepat menjadi besar karena mereka bergerak ke arah saya. Pertama-tama sebesar
burung pipit, kemudian sebesar kucing, anjing, kambing, sampai mereka begitu
dekat dan tampak sebesar aslinya. Mereka adalah sekelompok mustang yang
sedang digiring Sam ke arah saya.
Cantik nian pemandangan binatang-binatang itu! Surai mereka melambai-
lambai menutupi lehernya dan ekornya beterbangan seperti bulu-bulu halus yang
tertiup angin. Jumlahnya tidak lebih dari tiga ratus ekor. Rasanya bumi berguncang
karena derap kaki mereka. Seekor kuda jantan putih berlari sendirian di depan,
alangkah anggunnya binatang itu. Sebenarnya orang pasti ingin menangkapnya.
Tapi tidak ada pemburu prairie yang mau menunggangi seekor kuda putih.
Binatang berwarna terang seperti itu mudah terlihat keberadaannya oleh musuh
dari kejauhan.
Kini sudah waktunya untuk menunjukkan diri saya kepada kuda-kuda itu.
Saya keluar dari balik pepohonan itu dengan sembarangan dan pengaruhnya begitu
langsung terlihat. Kuda putih yang memimpin barisan langsung berbalik seolah-
olah perutnya tertembak peluru. Kawanan hewan itu berhenti tiba-tiba. Mereka
mendengus keras ketakutan. Seolah-olah mereka diperintahkan untuk mundur.
Kemudian mereka berlari ke arah mereka datang. Kuda putih kembali berada di
depan.
Saya mengikuti mereka perlahan-lahan. Saya tidak terburu-buru karena
saya yakin, bahwa Sam Hawkens akan menggiringnya lagi ke arah saya. Pada saat
itu saya mencoba mempersiapkan suatu hal yang terbersit dalam benak saya.
Meskipun kuda-kuda itu hanya sebentar saja berhenti di depan saya, saya
mendapat kesan bahwa satu diantara hewan-hewan itu seperti bukan kuda. Ia lebih
mirip seekor bagal6. Mungkin saja saya keliru, tapi saya yakin apa yang saya lihat
itu benar. Pada kesempatan kedua saya ingin melihat lebih jelas lagi. Bagal itu
berada di urutan paling depan, tepat di belakang komandannya. Jadi, ia tidak
hanya diakui sebagai binatang sejenis oleh kuda-kuda itu, tetapi juga memiliki
kedudukan penting di antara mereka.
Setelah beberapa saat kawanan kuda itu kembali ke arah saya dan ketika
melihat saya, mereka segera berbalik lagi. Kemudian kembali lagi dan ketika itu
saya tahu, bahwa saya tidak keliru. Memang ada seekor bagal di antara mereka
yang berwarna coklat muda dengan garis punggung gelap yang sangat
mengesankan. Meskipun kepalanya besar dan telinganya panjang ia seekor
binatang yang cantik. Bagal lebih kuat daripada kuda biasa, memiliki langkah yang
lebih mantap dan tidak takut melihat jurang. Itulah kelebihan-kelebihan yang
6 Blasteran kuda dengan keledai.
menonjol. Tentu saja mereka juga keras kepala. Saya pernah melihat bagal yang
lebih suka dipukuli sampai mati, ketimbang maju selangkah pun. Meskipun
pemiliknya tidak memuat apa pun di atasnya dan jalannya baik, ia tetap tidak mau,
semata karena memang tidak mau.
Sejauh yang saya lihat sepintas, mata bagal itu seolah-olah bersinar dan
pandangannya lebih cerdik daripada kuda biasa, sehingga saya berniat
menangkapnya. Nampaknya ia melarikan diri dari pemiliknya, ketika dia diajak
berburu mustang, dan sekarang dia bergabung bersama kawanan mustang yang
lain.”
Sekarang kawanan itu digiring Sam ke arah saya. Kami saling berdekatan
sehingga saya bisa melihatnya. Kini mustang-mustang itu tidak bisa maju atau pun
mundur. Mereka berlarian ke tepi dan kami mengikutinya. Kawanan itu tercerai-
berai. Saya lihat kuda peranakan itu tetap berada di kelompoknya. Sekarang ia
berlari ke arah kuda putih. Benar-benar binatang yang luar biasa cepat dan
mempunyai stamina yang tangguh. Saya tetap berada pada kawanan ini sementara
Sam tampaknya demikian pula.
“Giring ke tengah, saya ke kiri, Anda ke kanan!” serunya kepada saya.
Kami memacu kuda-kuda kami, tidak lagi hanya menyejajari kawanan
mustang itu, akan tetapi lebih tepat mendekati sehingga kami dapat mengejar
sebelum mereka mencapai hutan. Mereka ternyata tidak berlari ke arah sana.
Mereka berbalik dan akan melewati kami. Untuk menghindarinya kami segera
mengejarnya, sehingga mereka terpencar ke segala arah seperti sekawanan ayam
yang akan tertangkap elang. Kuda putih dan bagal keluar terpisah dari
kelompoknya dan melewati kami. Kami mengejarnya. Karena itu Sam berteriak
kepada saya sambil memutar tali lassonya di atas kepala,
“Lagi-lagi greenhorn! Tetaplah di tempat!”
“Kenapa?”
“Karena Anda memburu kuda putih dan hanya greenhornlah yang
melakukannya, hihihihi!”
Saya menjawabnya, tetapi dia tidak mendengar karena suara tawanya yang
keras mengatasi suara saya, sehingga dia beranggapan saya memperhatikan kuda
putih. Terserahlah! Saya biarkan dia mengejar bagal itu dan berbelok ke arah
mustang yang ketakutan. Para mustang itu mendengus dan meringkik tidak teratur
serta berlari ke sana ke mari. Sam telah berada di dekat bagal itu. Kemudian dia
melemparkan tali lassonya. Tali simpul jatuh tepat pada leher binatang itu. Kini
Sam harus menahannya dan mengekang kudanya ke belakang. Dia selalu
menganjurkan hal itu kepada saya agar dapat menahan tarikannya jika tali lasso
itu mengencang. Dia melakukannya juga, tetapi agak terlambat. Kudanya belum
berbalik dan belum dikekang sekuat tenaga, sehingga dia dijatuhkan oleh sentakan
keras kuda itu. Sam Hawkens terpelanting ke udara dan salto dengan indahnya
serta jatuh di tanah. Kuda itu kembali bangkit dan terus berlari, sehingga tali lasso
tidak lagi kencang. Si bagal tertegun, merasa tidak lagi terikat kencang dan
langsung lari melintasi padang prairie dengan menyeret kuda itu, karena tali lasso
masih terikat pada pelana.
Saya bergegas menghampiri Sam untuk melihat apakah dia terluka. Dia
bangkit dan berteriak terkejut,
“Sialan! Tiba-tiba kuda Dick Stone kabur bersama-sama dengan bagal itu,
kalau saya tak salah.”
“Apakah Anda terluka?”
“Tidak, cepatlah turun dan serahkan kuda itu kepada saya. Saya harus
menangkapnya!”
“Untuk apa?”
“Tentu saja saya ingin menangkap keduanya. Ayo cepat turun!”
“Saya tidak mau! Anda nanti salto lagi dan kedua kuda itu bisa hilang!”
Selesai mengucapkan kalimat itu, saya pun memacu kuda saya mengikuti
bagal. Kedua binatang itu sudah jauh tetapi sekarang mereka menghadapi
masalah. Kedua binatang itu ingin berlari ke arah yang berlainan. Sementara
keduanya saling terikat oleh tali lasso. Karena itu saya mendekati keduanya. Tidak
ada gunanya jika saya menggunakan lasso. Saya tarik tali lasso yang mengikat
keduanya, menggulungnya dan sekarang sudah aman untuk mengikat keduanya.
Pertama-tama saya biarkan keduanya berlari dan berguling-guling kemudian
perlahan-lahan menarik talinya sekuat tenaga, sehingga jeratnya semakin pendek
dan lebih mudah menjeratnya. Saya ikuti terus arah lari kuda itu, sehingga
binatang itu kembali ke arah Sam Hawkens berdiri. Di sana saya kencangkan tali
kekang dengan tiba-tiba, sehingga bagal itu terikat, tidak bisa bernafas dan jatuh
ke tanah.
“Pegang erat-erat sampai saya memegang binatang ini dan baru biarkan dia
lepas,” seru Sam.
Dia melangkah ke atas binatang yang walaupun tergeletak di atas tanah,
kaki-kakinya menendang-nendang dengan keras.
“Sekarang!” katanya.
Saya melepaskan tali lasso dan binatang itu kembali bisa bernapas dan
melompat. Secepat itu pula Sam melompat ke punggungnya. Beberapa saat
binatang itu tidak bergerak seperti terkejut takut. Namun, kemudian ia melompat
ke atas, sebentar ke depan sebentar ke belakang, kemudian melompat ke samping
dengan ke empat kakinya, melengkungkan badannya, tetapi si Sam kecil tetap
duduk di atasnya.
“Saya tidak akan dijatuhkan,” serunya.
“Ini adalah gerakan terakhirnya, dan dia akan berlari lagi. Lihat saja, saya
akan membawa kuda itu pulang dalam keadaan jinak!”
Tetapi dia keliru. Binatang itu sama sekali tidak mau takluk padanya,
bahkan tiba-tiba menjatuhkan diri ke tanah dan berguling-guling. Bagal itu bisa
mematahkan tulang rusuk si Sam kecil. Dia harus turun dari pelana. Saya
melompat dari tempat saya dan menangkap tali lasso yang terseret di tanah dan
melilitkannya dua kali ke akar sebuah pohon yang kuat. Binatang itu melemparkan
penunggangnya dan melompat. Ia hendak menerjang, tetapi akar pohon itu
menahannya. Tali lasso menjadi kencang dan ikatannya semakin menegang.
Akhirnya si bagal itu tersungkur.
Sam Hawkens kembali menepi. Dia meraba tulang rusuk dan pahanya.
Dengan wajah menyeringai kesakitan dia berkata,
“Biarkan binatang buas itu lari. Tak seorang pun bisa menaklukkannya,
kalau saya tidak salah.”
“Belum tentu! Saya tidak mau dipermalukan oleh seekor kuda yang ayahnya
bukanlah seorang gentleman melainkan hanya seekor keledai. Dia harus taat.
Awas!”
Saya buka ikatan tali lasso dari akar pohon dan dengan langkah lebar
melompat ke binatang itu. Begitu ia bisa lega bernafas, ia pun melompat. Sekarang
saya tekan bagal itu dengan paha dan untuk hal ini posisi saya lebih baik daripada
Sam yang kecil. Rusuk kuda itu akan melengkung apabila dijepit dengan kedua
paha penunggangnya. Hal itu akan menekan ususnya dan membuatnya takut
mati. Bisa jadi ia akan melemparkan saya dengan cara yang sama seperti yang
dilakukan terhadap Sam, karena itu saya pegang tali lasso yang melingkari
kepalanya, menggulungnya dan menariknya tepat di belakang simpulnya. Ketika
binatang itu mau menjatuhkan diri lagi, saya menekan pahanya sehingga ia tidak
jadi melakukannya. Ini sungguh merupakan perjuangan yang menjengkelkan,
kekuatan lawan kekuatan. Saya mulai bersimbah peluh, tetapi binatang itu juga
berkeringat lebih banyak. Peluh mengalir dari badannya dan mulutnya
mengeluarkan busa. Gerakannya makin melemah dan makin tidak berdaya. Setelah
dengusannya yang marah diikuti oleh ringkikan pendek, akhirnya kuda itu roboh di
bawah kaki saya, tanpa bisa berbuat apa-apa, karena ia sudah tidak bertenaga lagi.
Tanpa bergerak sedikit pun ia berbaring dengan mata yang terbelalak. Saya
menarik napas dalam-dalam. Pada saat itu serasa tulang dan otot di tubuh saya
putus.
“Heavens, Anda ini manusia atau bukan!” seru Sam. “Tenaga Anda lebih
kuat dari pada binatang itu! Lihatlah wajah Anda, begitu menakutkan!”
“Saya tahu.”
“Mata Anda keluar, bibir Anda bengkak dan pipi Anda benar-benar
membiru!”
“Itu karena seorang greenhorn tidak mau dilemparkan, padahal seorang
pemburu mustang yang lebih pandai dikalahkan, setelah sebelumnya dia mengikat
kudanya ke bagal dan membiarkan keduanya berlari bersama-sama.”
Wajahnya semakin menyeringai dan memohon dengan suara yang
menyedihkan.
“Diam, Sir! Saya jelaskan, hal seperti itu bisa saja terjadi pada pemburu
ulung.”
“Bagaimana tulang rusuk dan mata kaki Anda?”
“Saya tidak tahu. Nanti akan saya periksa setelah keadaan saya membaik.
Sekarang seluruh tubuh saya gemetar. Dasar binatang liar, saya belum pernah
merasakan seperti ini sebelumnya. Saya harap binatang ini bisa tenang!”
“Dia sudah tenang. Lihat, betapa letihnya dia, begitu pasrah seperti minta
dikasihani. Maukah Anda menaikkan pelana dan mengikatkan tali kekangnya?
Tunggangilah kuda itu pulang!”
“Kalau begitu nanti ia bertingkah lagi!”
“Tidak akan! Dia sudah bosan. Binatang yang cerdas dan Anda akan mujur
memilikinya.”
“Saya kira. Tetapi dari awal saya sudah mengincar kuda itu. Anehnya Anda
justru mengincar kuda putih itu. Tentu hal itu suatu kekeliruan besar.”
“Anda tahu pasti?”
“Tentu saja itu suatu kebodohan!”
“Bukan begitu maksud saya. Anda yakin saya mengincar kuda putih?”
“Jadi mengincar kuda yang mana?”
“Mengincar bagal.”
“Benar?”
“Ya, walau saya seorang greenhorn tentu saya tahu bahwa kuda putih tidak
cocok untuk penunggang kuda di daerah Barat. Saya langsung tertarik pada bagal
itu begitu melihatnya.”
“Ya, Anda memiliki pengertian tentang kuda, orang harus mengakuinya.”
“Sam yang baik, saya ingin akal saya sebaik Anda juga! Sekarang ke
marilah, tolong saya mengangkat binatang ini!”
Kami menarik binatang itu ke atas. Ia diam saja dan seluruh tubuhnya
gemetar. Bahkan ketika kami mengikatkan pelana dan tali kekang, ia tidak
melawan. Ketika Sam menaikinya, ia menurut dan begitu jinak seperti seekor kuda
tunggangan.
“Ia sudah pernah dipelihara,” kata si Sam kecil .
“Yang pasti seorang penunggang yang baik. Saya kira begitu. Ia mungkin
lari dari tuannya. Tahukah Anda nama apa yang akan saya berikan?”
“Apa?”
“Mary. Dulu saya pernah menunggangi seekor bagal yang bernama Mary
dan sekarang saya tidak perlu susah-susah mencari nama lain.”
“Jadi kuda bernama Mary dan senapan bernama Liddy!”
“Ya. Dua nama yang manis sekali, bukan? Sekarang saya minta Anda untuk
membantu saya.”
“Tentu saja, apa yang bisa saya bantu?”
“Jangan ceritakan tentang semua yang telah terjadi di sini! Saya akan
sangat berterima kasih kepada Anda.”
“Lupakan! Anda tidak perlu berterimakasih untuk hal itu.”
“Tentu saja. Saya tidak ingin mendengar teman-teman Anda di perkemahan
sana tertawa, jika mereka mengetahui bagaimana Sam Hawkens bisa mendapatkan
Mary, kuda barunya. Baginya hal itu merupakan kebahagiaan yang sangat besar.
Jika Anda tutup mulut, maka saya akan …”
“Tenanglah,” potong saya. “Kita tidak perlu membicarakan hal itu. Anda
adalah guru saya dan teman saya. Selain itu saya tidak perlu mengatakan apa-
apa.”
Pada saat itu matanya yang kecil dan cerdik menjadi berkaca-kaca dan dia
berkata dengan semangat,
“Ya, saya teman Anda, Sir. Seandainya saya tahu bahwa Anda juga
menyayangi saya, hati saya sangat bahagia sekali.”
Saya raih tangannya dan menjawab,
“Saya bisa membahagiakan Anda, Sam tersayang. Anda harus yakin bahwa
saya menyayangi Anda, begitu sayang, seperti… seperti. Ya, kira-kira seperti
mencintai pamannya yang baik, berani dan jujur. Puas?”
“Puas, puas sekali, Sir! Saya sangat terharu, karena Anda bersedia
berkorban untuk kebahagiaan saya. Katakanlah, apa yang sebaiknya saya lakukan!
Haruskah saya, haruskah saya, misalnya melahap habis Mary sampai kulit dan
rambutnya di sini? Atau haruskah saya membiarkan diri dihancurkan, dilumatkan
atau menelan diri sendiri, jika itu lebih baik bagi Anda? Atau haruskah saya ……”
“Stop!” jawab saya sambil tertawa. “Jika keduanya dilakukan saya akan
kehilangan Anda karena di satu pihak Anda akan meledak dan di pihak lain Anda
akan sama hancur karena Anda harus menelan rambut palsu Anda. Anda sudah
menyenangkan saya dan Anda akan membuktikan rasa sayang ini semaksimal
mungkin kepada saya. Jadi biarkanlah untuk sementara Mary dan Anda sendiri
tetap hidup dan anggaplah bahwa kita akan segera sampai di perkemahan. Saya
mau bekerja.”
“Kerja! Disini Anda juga kerja. Jika ini bukan pekerjaan, saya tidak tahu lagi
apa yang harus saya sebut dengan pekerjaan.”
Saya ikat kuda Dick Stone dengan tali kekang ke kuda saya, kemudian
melanjutkan perjalanan. Sementara itu kawanan mustang sudah lama melarikan
diri. Bagal itu menurut saja keinginan penunggangnya. Sepanjang jalan Sam
berkali-kali berseru gembira,
“Dia sudah terlatih. Mary sudah terlatih dengan baik! Pada setiap
langkahnya, saya merasa betapa sempurnanya kuda itu adanya. Kuda itu
mengingat apa yang pernah dilatihkan dan ia telah melupakan keberadaannya
bersama kawanan mustang lain. Mudah-mudahan ia tidak lagi pemarah, melainkan
juga mempunyai karakter yang baik.”
“Jika tidak, dia masih bisa Anda latih, dia masih belum tua untuk dilatih.”
“Menurut Anda, berapa umurnya?”
“Lima tahun, tidak lebih.”
“Menurut saya juga begitu. Nanti akan saya selidiki lebih teliti apakah hal itu
benar. Seandainya binatang bisa mengucapkan terima kasih, maka Andalah yang
dituju. Dua hari yang melelahkan bagi saya, sangat menegangkan. Tetapi bagi
Anda penuh kehormatan. Apakah Anda yakin bahwa kita bisa berburu bison dan
mustang dalam waktu yang hampir bersamaan?”
“Mengapa tidak? Di darat sini semuanya harus ditangkap. Saya juga
berharap mengenal perburuan lainnya.”
“Hm, ya. Saya ingin Anda terhindar dari bahaya seperti kemarin dan hari ini.
Bahkan kemarin hidup Anda sudah di ujung tanduk. Terlalu berani. Anda tidak
boleh lupa bahwa Anda adalah seorang greenhorn. Anda biarkan bison mendekati
dan dengan tenang Anda tembak matanya! Ah, mengerikan! Anda masih belum
berpengalaman dan telah menyepelekan bison. Lain kali Anda harus lebih berhati-
hati dan jangan terlalu percaya diri. Perburuan bison sangat berbahaya. Masih ada
satu lagi yang lebih berbahaya.”
“Apa itu?”
“Berburu beruang.”
“Tentu beruang yang Anda maksud bukan beruang hitam dengan moncong
kuning?”
“Baribal7? Bukan itu yang saya maksudkan! Itu binatang yang sopan dan
jinak, sehingga orang bisa memeliharanya dan mengajarinya di rumah. Bukan,
yang saya maksud grizzly, beruang kelabu dari Rocky Mountains. Karena Anda
sering membaca, pernahkah Anda membaca tentang grizzly?”
“Ya.”
“Bersyukurlah jika Anda tidak pernah melihatnya. Jika ia berdiri, tingginya
semeter lebih tinggi daripada Anda. Dengan satu kali gigitan, kepala Anda sudah
remuk dan jika sekali waktu ia diserang atau sedang marah, ia tidak akan tenang
sampai musuhnya hancur dan dikalahkan.”
“Atau mengalahkan dia!”
“Oh, lihatlah, Anda sudah kembali ceroboh! Anda berbicara seolah-olah
beruang kelabu yang perkasa dan tidak terkalahkan seperti membicarakan racoon
yang tidak berbahaya.”
“Bukan begitu. Saya bukan menyepelekannya. Tetapi kata tidak terkalahkan
seperti yang Anda katakan tadi, juga tidak benar. Tak ada seekor binatang buas
pun yang tak terkalahkan, tidak juga seekor grizzly.”
“Apakah Anda juga membaca tentang hal itu?”
“Ya.”
“Kalau begitu, buku-buku itulah yang membuat Anda ceroboh, meskipun
sebenarnya Anda orang yang pandai, kalau saya tidak salah. Barangkali Anda tidak
akan ragu-ragu dan akan mendekati beruang kelabu seperti cara yang Anda
lakukan terhadap bison kemarin.”
“Kalau tidak ada pilihan lain, tentu saja.”
“Tidak ada pilihan lain! Omong kosong! Apa maksud Anda? Setiap orang bisa
berubah haluan jika dia mau!”
“Itu artinya, seseorang bisa kabur kalau dia pengecut. Apakah begitu?”
“Ya, tetapi namanya bukan pengecut. Melarikan diri dari beruang kelabu
bukanlah perbuatan pengecut. Sebaliknya menyerangnya merupakan tindakan
bunuh diri!”
“Itu soal pendapat! Jika saya diserang tiba-tiba dan tidak sempat lari, maka
saya akan mempertahankan diri. Jika teman saya diserang, maka kewajiban saya
7 Beruang berkulit coklat atau gelap di Amerika Utara yang asalnya tidak diketahui.
menolongnya. Itulah dua alasan yang memaksa saya untuk tidak kabur. Selain itu
saya juga tahu, seorang pemburu yang berani suatu saat akan menaklukkan
binatang liar itu, agar dapat membuktikan betapa besar keberaniannya dan untuk
mencoba lezatnya daging cakar beruang.”
“Anda benar-benar sulit diberi nasihat. Mudah-mudahan Tuhan tidak pernah
memberikan kesempatan kepada Anda untuk menikmati dagingnya meskipun saya
akui, bahwa di dunia ini tidak ada makanan seenak daging beruang kelabu.”
“Saya kira Anda tidak usah khawatir. Memangnya di daerah ini ada beruang
kelabu?”
“Mengapa tidak? Grizzly terdapat di mana-mana. Ia berjalan mengikuti arus
sungai dan bahkan berkeliaran di daerah prairie. Sungguh siallah nasib mereka
yang bertemu beruang itu. Sudah, jangan membicarakan itu lagi!”
Sungguh tidak kami duga, tema pembicaraan itu keesokan harinya menjadi
kenyataan dan kami bertemu binatang buas itu. Tidak ada kesempatan untuk
melanjutkan pembicaraan, karena kami telah sampai di perkemahan. Rute jalan
kereta agak berubah, karena selama kami tidak ada, ada kesalahan dalam
pengukuran. Bancroft dan tiga orang surveyor telah bekerja keras untuk
menunjukkan apa yang bisa dikerjakannya. Kedatangan kami menarik perhatian.
“Bagal, bagal!” teriak mereka.
“Dari mana Anda memperolehnya, Hawkens?”
“Baru saja dikirim,” jawabnya dengan serius.
“Tidak mungkin! Dari siapa, dari siapa?”
“Melalui pos kilat dengan harga dua sen. Mungkin kalian mau melihat
bungkusnya?”
Beberapa orang tertawa, yang lainnya mengomel, tetapi dia berhasil
mempermainkan mereka dan orang-orang itu tidak bertanya lagi. Apakah dia mau
bercakap-cakap dengan Dick Stone atau Will Parker tidak bisa saya amati, karena
saya langsung ikut serta dalam pekerjaan mengukur hingga menjelang malam,
sehingga keesokan harinya kami dapat memulai lagi dari lembah. Di tempat itulah
kami bertemu bison kemarin. Ketika pada malam harinya kami membicarakan hal
itu, saya bertanya pada Sam apakah mungkin pekerjaan kami akan diganggu oleh
bison, mengingat jejaknya terlihat melewati lembah. Kami telah mendapati
kelompok kecil perintisnya dan kemungkinan akan menjumpai induk kawanannya.
Sam menjawab,
“Kemungkinan itu tidak ada, Sir! Bison merupakan binatang yang cerdik
seperti mustang. Kawanan bison yang kita serang kemarin telah kembali ke induk
kawanannya dan telah memberi peringatan. Binatang-binatang itu pasti telah
mencari jalan lain dan menghindari lembah ini.”
Ketika fajar menyingsing kami memindahkan perkemahan ke bagian atas
lembah. Hawkens, Stone dan Parker tidak membantu, karena Hawkens ingin
menunggangi Mary dan kedua orang temannya menemaninya. Dia pergi ke arah
prairie untuk menunggangi Mary. Sebagai surveyor, pertama-tama kami sibuk
memasang tongkat pengukur dan beberapa bawahan Rattler membantu kami.
Rattler sendiri berjalan-jalan dengan pegawai lainnya ke sekitar perkemahan.
Ketika Rattler dan kami tiba di tempat bison-bison itu tertembak saya merasa
heran, karena di tempat itu sudah tidak lagi terlihat bangkai bison tuanya. Kami
meneliti tempat itu dengan seksama, terlihat jejak yang lebar menuju ke arah
semak.
“Aneh sekali!” seru Rattler. “Ketika saya kemarin dulu mengambil daging,
saya benar-benar melihat kedua bison itu betul-betul sudah mati. Tetapi rupanya
salah satunya masih hidup.”
“Masih hidup?” tanya saya.
“Ya, atau apakah Anda menyangka bahwa seekor bison mati bisa melarikan
diri?”
“Barangkali ada kemungkinan lain.”
“Kemungkinan apa?”
“Misalnya diseret ke tempat lain oleh Indian. Kami menemukan jejak kaki
mereka di sebelah sana.”
“Oh begitu! Betapa pandai dan bijaksananya si greenhorn ini berbicara!
Karena dari sana ke sini jejaknya pasti akan terlihat. Tidak, bison itu masih hidup
dan dengan sisa-sisa tenaganya ia berhasil menyeret dirinya ke arah semak. Tentu
saja bison itu mati di sana. Ayo kita periksa.”
Dengan orang-orangnya dia mengikuti jejak bison. Mungkin dia mengira
saya akan mengikutinya, tetapi saya tidak beranjak. Kesombongannya membuat
saya kesal dan saya harus bekerja. Lagi pula apa peduli saya dengan bangkai bison
itu. Saya pun kembali ke tempat pekerjaan saya. Namun belum sampai saya
bekerja, terdengar orang menjerit ketakutan dari dalam semak. Terdengar pula
suara tembakan dua atau tiga kali. Kemudian saya mendengar Rattler berteriak,
“Lekas naik ke atas pohon, kalau tidak kalian bisa mati! Binatang itu tidak
bisa memanjat.”
Siapa yang dia maksud tidak bisa memanjat? Pada saat itu keluar salah
seorang anak-buah Rattler berlari tunggang-langgang dari dalam semak ketakutan
setengah mati.
“Ada apa? Ada apa?” tanya saya padanya.
“Beruang, seekor beruang yang sangat besar, seekor beruang grizzly”
katanya terengah-engah sambil berlari ke arah saya.
Pada waktu yang bersamaan saya dengar jeritan lain.
“Tolong, tolong! Saya tertangkap! Aauuw ……aauuww.”
Hanya jeritan seorang yang sedang menghadapi mautlah yang seperti itu.
Lelaki itu sedang dalam bahaya besar. Dia harus ditolong. Tetapi bagaimana? Saya
meninggalkan senapan saya di perkemahan, karena saya tidak memerlukannya
pada saat bekerja. Itu bukan karena saya lengah. Sebagai surveyor kami
mempunyai pelindung sendiri yaitu para westman itu. Kalau saya kembali ke
perkemahan, manusia malang itu pasti sudah habis dikoyak-koyak beruang. Satu-
satunya cara, saya harus melawannya dengan pisau dan kedua pistol yang terselip
pada ikat pinggang. Akan tetapi senjata-senjata itu tidak ada artinya sama sekali
untuk melawan beruang kelabu yang biasa disebut grizzly. Beruang ini termasuk
keluarga dekat beruang gua yang bisa bertahan dan tidak punah sejak jaman
prasejarah. Kalau berdiri, tingginya sampai tiga meter dan beratnya beratus-ratus
kilogram. Ototnya sangat kuat sehingga dengan mudah ia melarikan rusa, anak
rusa atau bison kecil dengan menjepit pada gerahamnya. Seorang penunggang
kuda hanya dapat melepaskan diri apabila dia menunggangi kuda yang luar biasa
hebatnya. Jika tidak, pastilah dia akan tersusul oleh beruang kelabu itu. Karena
kekuatan, keberanian, dan daya tahannya yang luar biasa itulah maka tidak heran
jika orang Indian sangat menghormati dan menjunjung tinggi orang yang dapat
mengalahkan beruang kelabu.
Segera saya melompat ke semak! Jejaknya tampak terus ke arah
pepohonan. Ke sanalah tampak beruang itu menyeret bangkai bison dan dari sana
pulalah ia sebelumnya muncul. Karena itulah kami tidak melihat jejak itu
sebelumnya, sebab tertutupi oleh seretan bison. Tampak pemandangan yang
mengerikan. Di belakang saya terdengar teriakan orang-orang yang tadi lari ke
arah kemah untuk mengambil senapannya. Di hadapan saya terdengar jeritan
kalang-kabut para westman, dan di antaranya terdengar lolongan menyayat orang
yang terserang beruang dan tertahan di cakarnya.
Saya berlari secepat mungkin ke sana. Sekarang saya bisa mendengar
geraman beruang itu. Tapi suara itu berbeda dengan suara beruang yang biasa
saya dengar. Suara itu bukan sekedar geraman melainkan erangan kesakitan
bercampur marah.
Kini saya tiba pada tempat di mana serangan terjadi. Di hadapan saya
tergeletak kerangka dan bangkai bison yang sudah terkoyak-koyak. Di sebelah kiri
dan kanan terdengar teriakan-teriakan para pengawal yang berlarian ke arah
semak dan naik ke atas pohon. Di atas pohon mereka merasa lebih aman, karena
seekor beruang kelabu naik ke atas pohon. Hal seperti itu jarang terjadi bahkan
tidak pernah. Tepat di depan bangkai bison itu ada seorang westman yang ingin
memanjat sebuah pohon, tetapi dikejutkan oleh beruang itu. Kedua tangannya
memeluk pohon erat-erat sedang bagian atas tubuhnya bersandar pada dahan
paling bawah. Beruang itu berdiri tegak, kemudian mengais-ngais paha dan badan
bagian bawah orang itu dengan cakar depannya. Tidak ada yang bisa dilakukan
untuk menolong orang itu. Saya tidak dapat menolongnya dan walaupun saya
melarikan diri, tak seorang pun berhak mencela saya. Tetapi pemandangan yang
menyedihkan itu menumbuhkan keberanian yang luar-biasa dalam diri saya. Saya
lalu memungut salah satu dari bedil-bedil yang dilemparkan oleh orang-orang yang
lari itu. Namun sayang pelurunya kosong. Saya berlari melompati bangkai bison.
Lalu saya memukul kepala beruang itu dengan senapan sekuat tenaga. Sungguh
tak terduga! Di tangan saya senjata itu hancur berkeping-keping seperti kaca.
Begitu kerasnya kepala beruang itu! Tetapi saya berhasil, karena berkat pukulan
saya, beruang itu melepaskan mangsanya. Perlahan-lahan ia memalingkan
kepalanya kepada saya. Nampaknya ia merasa heran melihat seorang makhluk
yang begitu bodoh mau menyerangnya.
Dengan matanya yang kecil ia mengawasi saya, seolah-olah berpikir, apakah
ia akan menyergap saya atau sudah cukup satu korban saja. Detik-detik
kebimbangan itu menolong jiwa saya. Saya cabut pistol saya, melompat ke dekat
beruang itu dan empat buah peluru saya tembakkan berturut-turut ke matanya,
persis seperti yang saya lakukan kemarin dulu terhadap bison. Hal ini terjadi
secepat kilat, kemudian saya melompat ke samping lalu berdiri di sana sambil
mengamati dan mengunus pisau bowie saya.
Seandainya saya tetap berdiri di tempat semula, niscaya saya sudah tewas.
Binatang yang matanya kena tembak itu menyergap ke depan tepat ke tempat
saya tadi berdiri. Karena saya tidak ada di situ, beruang itu mulai mencari-cari saya
dengan menggeram sejadi-jadinya dan mendenguskan nafasnya. Seperti sudah
gila, ia berguling-guling di tanah dan mengais-ngais tanah di sekelilingnya,
melompat ke seluruh penjuru untuk menangkap saya, namun tidak dapat
menemukannya. Untunglah bidikan saya tepat. Seandainya ia mempergunakan alat
penciumannya, tentu ia dapat mengetahui tempat saya berada. Akan tetapi saat itu
ia telah dikuasai amarahnya, dan itu membuatnya kehilangan akal dan instingnya.
Akhirnya ia lebih memperdulikan pada lukanya daripada pada lawannya. Ia
pun mengusap-usap matanya dengan kaki depannya. Secepat kilat saya berdiri di
sampingnya dan menikam dadanya dua kali. Ia berusaha meraih saya, tetapi saya
sudah kembali menyingkir.
Tikaman saya tidak mengenai jantungnya dan ia pun terus berusaha
mencari saya dengan kemarahan yang memuncak. Kira-kira sepuluh menit
lamanya ia berbuat begitu dan selama itu ia telah kehilangan banyak darah serta
kelihatannya sudah lelah.
Untuk kedua kalinya ia duduk dan kesempatan itu saya pergunakan untuk
menikamkan pisau saya dua kali berturut-turut. Binatang itu tersungkur, bangkit
kembali, berjalan terhuyung-huyung sambil menggeram berusaha untuk bangun
tetapi nampaknya tenaganya sudah habis dan akhirnya ia pun roboh kembali. Kini
ia berusaha sekuat tenaga untuk bisa berdiri, berguling ke sana ke mari seperti
sedang sekarat, kemudian tidak bergerak lagi.
“Syukurlah!” seru Rattler dari atas pohon. ”Binatang itu sudah mati. Kita
sudah selamat dari bahaya maut.”
“Saya tidak tahu bahaya apa yang Anda hadapi,” jawab saya. “Anda duduk
dengan aman di atas pohon tetapi sekarang Anda sudah boleh turun.”
“Tidak, tidak, belum. Periksalah kembali apakah binatang itu betul sudah
mati.”
“Ia sudah mati.”
“Anda tidak dapat memastikannya. Anda sama sekali tidak tahu betapa
gigihnya binatang ini mempertahankan hidup. Karena itu periksalah dengan
seksama!”
“Periksalah sendiri, jika Anda ingin tahu apakah ia masih hidup. Anda adalah
seorang westman yang terpandang, sementara saya hanyalah seorang greenhorn.”
Kini saya beranjak ke tempat temannya yang diserang beruang dan masih
tergantung di pohon tadi. Dia telah berhenti mengerang dan tidak bergerak lagi.
Wajahnya mengerikan dan matanya melotot kosong. Pahanya terkoyak hingga
tulangnya nampak dan isi perutnya keluar.
Saya berusaha mengatasi rasa ngeri itu dan berseru padanya,
“Marilah, Sir! Saya akan menurunkan Anda.”
Dia tidak menjawab dan tidak bergerak sedikit pun. Saya meminta teman-
temannya untuk turun dari pohon dan menolong saya. Tetapi tidak seorang pun
dari para westman ini yang beranjak dari tempatnya, sebelum saya menggoncang-
goncangkan tubuh beruang itu beberapa kali untuk membuktikan beruang itu telah
mati. Setelah itu baru mereka percaya dan turun lalu menolong saya menurunkan
temannya yang tubuhnya terkoyak mengerikan. Mereka mengalami kesulitan
karena tangannya begitu kuat memeluk pohon, sehingga mereka harus
melepaskannya dengan paksa. Ternyata dia telah meninggal. Akhir yang
mengerikan ini nampaknya tidak membuat mereka terharu. Ditinggalkannya begitu
saja orang yang malang itu di tempatnya, kemudian Rattler berkata,
“Sekarang semuanya terbalik. Tadi beruang itu yang ingin memangsa kita,
sekarang ia yang akan kita lahap. Cepatlah kuliti agar kita bisa segera makan
dagingnya!”
Dia mengeluarkan pisau dan berlutut untuk menguliti beruang itu. Namun
saya menghalanginya.
“Jangan berbuat segegabah itu. Mengapa tidak mengulitinya pada saat
binatang itu masih hidup? Sekarang sudah terlambat!”
“Apa maksudmu? katanya. “Apakah kau menghalangi saya untuk
memanggang dagingnya?”
“Saya melarangnya, Mr. Rattler.”
“Apa hakmu?”
“Sayalah yang berhak, karena sayalah yang telah merobohkan beruang itu.”
“Itu bohong. Kau ingin mengaku bahwa seorang greenhorn dapat
membunuh seekor grizzly dengan sebuah pisau! Kamilah yang telah
menembaknya.”
“Dan Anda secepat kilat naik ke atas pohon, ya itu benar terjadi!”
“Tetapi peluru kami tepat mengenai sasaran karena peluru-peluru itulah
binatang itu mati dan bukan oleh beberapa tusukan jarum yang kau tusukkan ke
tubuhnya pada saat ia sekarat. Beruang itu milik kami dan kami akan melakukan
apa saja yang kami mau, paham?”
Dia sungguh-sungguh mau melaksanakan rencana tetapi saya memberinya
peringatan,
“Jauhi dia sekarang juga, Mr. Rattler. Kalau tidak saya akan bertindak!
Mengerti?”
Karena dia tidak mengindahkan larangan saya dan tetap akan menyayatkan
pisaunya ke kulit binatang itu, saya mencekiknya, mengangkat tubuhnya tinggi-
tinggi lalu melemparkannya ke pohon terdekat. Dia jatuh membentur batang
pohon. Saya tidak peduli sedikit pun apakah dia mengalami patah tulang atau
tidak. Ketika dia masih melayang, segera saya menarik pelatuk pistol saya yang
masih terisi untuk menantikan serangannya atau balasannya. Dia bangkit kembali,
menatap saya dengan pandangan mata penuh amarah, mencabut pisau, dan
berseru,
“Kau harus merasakan balasan saya. Kau telah melukai saya dan saya tidak
akan membiarkan kau untuk menyerang ketiga kalinya.”
Dia maju selangkah ke arah saya, tapi saya mengacungkan pistol saya
kepadanya,
“Jika maju satu langkah lagi, peluru ini akan melayang ke kepalamu!
Buanglah pisau itu! Pada hitungan ke tiga akan saya tembak, jika pisau itu masih
kau pegang. Satu, dua …”
Dia tetap memegang pisaunya dan saya akan menembak, tidak ke arah
kepalanya melainkan ke tangannya dengan dua atau tiga peluru untuk
membuatnya gentar. Tetapi untunglah, sebelum sempat saya tembakkan, pada
saat kritis itu, terdengar suara yang keras berteriak,
“Tuan-tuan, apa kalian sudah gila! Sesama kulitputih akan berkelahi dengan
senjata? Hentikan!”
Kami memandang ke arah suara itu dan tampak seorang laki-laki keluar dari
balik sebuah pohon. Badannya kecil, kerempeng, agak bungkuk, dengan pakaian
dan senjata seperti orang kulitmerah. Orang tidak bisa memastikan apakah dia
seorang Indian atau kulitputih. Wajahnya yang kemerahan karena terbakar
matahari menunjukkan bahwa asalnya ia berkulitputih. Dia tidak memakai topi dan
rambutnya yang panjang terurai sampai kepada bahunya. Celananya terbuat dari
kulit seperti orang Indian, baju berburunya pun terbuat dari kulit dan demikian juga
mokassinnya. Dia hanya membawa sebuah senapan dan sebuah pisau. Mataya
memancarkan pandangan yang cerdas. Meskipun penampilannya buruk, orang
tidak akan menertawakannya. Hanya orang-orang yang bodohlah yang
meremehkannya.
Melihat orang asing itu Rattler pun berteriak sambil tertawa,
“Orang kerdil, siapa engkau dan mengapa di daerah ini ada orang sejelek
engkau?”
Orang asing itu menatapnya dari atas kebawah dan menjawab dengan suara
tenang,
“Puji Tuhan! Anda menjadi orang yang sempurna! Bagaimanapun juga
seseorang tidak dapat diukur dari fisiknya melainkan dari hati dan jiwanya. Saya
katakan pada Anda bahwa saya tidak merasa malu dengan keadaan ini dan tidak
perlu malu membandingkan dengan diri Anda.”
Kemudian dia berpaling pada saya sambil menggerakkan tangannya.
“Lengan Anda kuat sekali, Sir! Orang yang besar badannya itu Anda angkat
dengan mudah dan Anda lemparkan seolah-olah melempar sepotong ranting.
Senang sekali saya melihat perbuatan Anda.”
Disepaknya bangkai beruang itu, lalu dia berkata dengan suara yang penuh
sesal,
“Inilah beruang yang kami kejar, sayang sekali, kami datang terlambat!”
“Anda hendak membunuhnya?” tanya saya.
“Ya, kemarin kami mengikuti jejaknya lalu saya ikuti sampai ke mari. Tetapi
kini kami melihat bahwa usaha kami itu sia-sia saja.”
“Anda selalu menyebut kata ‘kami’, Sir. Apakah Anda membawa teman?”
“Tidak, ada dua orang lain bersama saya.”
“Siapakah mereka?”
“Pertanyaan Anda baru akan saya jawab apabila Anda lebih dulu
mengatakan siapakah diri Anda. Di sini orang harus berhati-hati. Karena lebih
banyak berkeliaran orang jahat daripada orang baik.”
Sambil mengucapkan kalimatnya dia mengerlingkan matanya ke arah
Rattler, lalu melanjutkan perkataannya,
“Saya telah mendengar sebagian percakapan Anda dan saya sudah bisa
menebak siapa Anda.”
“Kami adalah surveyor, Sir,” kata saya. “Kelompok kami terdiri dari seorang
Insinyur Kepala, empat surveyor, tiga orang penunjuk jalan dan dua belas orang
westman yang harus melindungi kami dari serangan.”
“Hm, saya kira Anda dapat melindungi diri sendiri dan tidak memerlukan
bantuan orang lain. Jadi Anda adalah surveyor. Apakah Anda bekerja di daerah
ini?”
“Ya.”
“Untuk apa tanah ini diukur? Untuk membuat jalan keretaapi yang akan
melewati tanah ini?”
“Ya.”
“Apakah Anda telah membeli tanah ini?”
Ketika bertanya, wajahnya berubah serius. Karena dia memerlukan
jawabannya, maka saya menjawab,
“Saya hanya mendapat perintah untuk mengukur tanah ini, yang lain tidak
pernah saya pikirkan.”
“Hm, ya! Tetapi Anda tentu tahu apa yang Anda lakukan. Tanah tempat
Anda sekarang berdiri ini adalah milik bangsa Indian suku Apache, yakni suku
Apache marga Mescalero. Saya tahu pasti bahwa mereka tidak pernah menjual
atau menghadiahkannya kepada siapa pun juga.”
“Apa urusanmu dengan hal ini?” Rattler memotong. “Jangan ikut campur
dengan urusan orang, urus sendiri urusanmu.”
“Itulah persisnya yang saya lakukan, Sir, karena saya orang Apache.”
“Kau? Jangan bercanda. Orang buta saja yang tidak tahu bahwa kau orang
kulitputih.”
“Anda keliru! Anda tidak boleh melihat warna kulit saya, melainkan lihatlah
nama saya. Nama saya Klekih-petra. Dalam bahasa Apache Klekih-petra berarti
’Bapak Kulitputih’”.
Rupa-rupanya Rattler pernah mendengar nama itu. Karena itu dia mundur
selangkah lalu berkata,
“Oh, Andalah Klekih-petra, kepala sekolah terkenal dari orang Apache.
Sayang punggung Anda bongkok. Tentu Anda sering ditertawakan oleh murid-
murid Anda yang nakal.”
“Oh, tidak apa-apa. Saya sudah biasa ditertawakan oleh orang bodoh. Orang
yang bijaksana tidak akan berbuat begitu. Sekarang saya tahu siapa Anda dan apa
yang Anda kerjakan di sini. Kini giliran saya memperkenalkan teman-teman saya.
Itu pun jika Anda setuju.”
Dia menyerukan kata-kata dalam bahasa Indian yang tidak saya pahami.
Lalu dia kembali ke hutan. Kemudian muncullah dua orang yang wajahnya mirip
dan sangat menarik perhatian keluar dari semak-semak dan dengan pelan
mendekati kami. Mereka orang Indian, dan rupanya ayah bersama anaknya. Orang
bisa langsung melihatnya sekilas.
Yang lebih tua, perawakannya agak tinggi dan tubuhnya kuat. Wajahnya
menunjukkan bahwa dia adalah seorang bangsawan dan dari gerakannya dapat
dilihat bahwa dia seorang yang tangkas. Wajahnya yang serius menunjukkan orang
Indian tulen, tetapi tidak terlalu tajam dan runcing, seperti orang kulitmerah pada
umumnya.
Cahaya matanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang tenang dan
baik hati, kepalanya tidak tertutup. Pada rambutnya diikatkan bulu burung elang
sebagai tanda bahwa dia adalah seorang kepala suku. Dia mengenakan sepatu
mokassin, celana berumbai dan pakaian berburu dari kulit. Namun semuanya serba
sederhana. Pada ikat pinggangnya terselip sebuah pisau dan tergantung beberapa
kantung tempat menyimpan barang-barangnya yang selalu diperlukan oleh orang
di daerah Barat. Kantong jimat tergantung pada lehernya. Di sebelahnya
tergantung pula calumet8 dengan kepalanya dari tanah liat suci. Tangannya
memegang sebuah senapan berlaras ganda. Bagian yang terbuat dari kayu
bertahtakan paku perak. Senapan inilah yang kemudian dibuat terkenal oleh
anaknya, Winnetou, dan diberi nama Senapan Perak.
8 Pipa untuk merokok.
Yang lebih muda pakaiannya sederhana juga, akan tetapi pakaiannya lebih
halus. Sepatunya dihiasi oleh duri landak dan jahitan celana dan pakaian
berburunya dihiasi oleh bordiran merah yang halus. Dia juga membawa kantong
jimat di lehernya dan juga calumet. Persenjatannya sama seperti ayahnya yaitu
terdiri dari sebuah pisau dan senjata berlaras dua. Dia juga tidak memakai penutup
kepala. Rambutnya dikepang tetapi tanpa hiasan bulu. Rambutnya panjang
sehingga berjuntai di punggungnya. Pasti banyak wanita merasa iri pada
rambutnya yang hitam, indah dan berkilauan itu. Roman mukanya menunjukkan
bahwa dia pun seorang bangsawan seperti ayahnya dan warna kulitnya coklat
terang. Seperti yang saya duga dan kelak terbukti, dia sebaya dengan saya.
Seketika itu juga saya menaruh simpati kepadanya. Saya rasa dia seorang yang
baik dan berbakat. Kami saling berpandangan agak lama dengan pandangan yang
menyelidik dan saya mempunyai kesan bahwa pada pandangannya yang serius,
sekilas terpancar pandangan ramah yang berkilauan bagai beludru, ibarat ucapan
salam yang dipancarkan oleh sinar matahari dari balik awan.
“Inilah teman-teman saya dan teman seperjalanan saya,” kata Klekih-petra.
Tuan ini ialah Intschu tschuna (Matahari Cerah) sambil menunjuk pada orang yang
lebih tua,
“Dia adalah kepala marga Mescaleros dan kepala seluruh suku Apache yang
lain. Dan ini anaknya bernama Winnetou. Walaupun masih muda, dia sudah banyak
melakukan perbuatan berani melebihi sepuluh orang prajurit dewasa yang
melakukannya bersama-sama. Namanya tersohor sampai ke mana-mana.”
Pujian itu tampaknya berlebih-lebihan akan tetapi kelak saya mengetahui
bahwa itu benar. Rattler tertawa mengejek dan berkata,
“Anak kecil ini sudah melakukan sekian perbuatan berani? Perbuatan itu
niscaya tak lain daripada pencurian atau perampokan. Semua orang sudah tahu,
kulitmerah pekerjaannya mencuri dan merampok.”
Kata-kata itu merupakan penghinaan yang besar bagi kulitmerah. Ketiga
orang asing bersikap seolah-olah mereka tidak mendengarnya. Mereka mendekati
beruang dan mengamatinya. Klekih-petra berlutut di dekat bangkai binatang itu
dan memeriksanya.
“Beruang ini mati karena tikaman pisau dan bukan oleh tembakan peluru,”
katanya sambil berpaling ke arah saya.
Diam-diam dia telah mendengar pertengkaran saya dengan Rattler dan
dengan perkataannya itu, dia hendak menyatakan bahwa saya ada pada pihak
yang benar.
“Bukan urusan Anda,” kata Rattler. “Seorang guru yang bongkok seperti
Anda tahu apa tentang perburuan beruang. Jika binatang ini nanti kami kuliti akan
jelas siapa yang benar. Pendek kata saya tak mau dibodohi oleh greenhorn.”
Kini Winnetou pun mulai memeriksa luka-luka yang masih berdarah itu lalu
dia bertanya pada saya dengan bahasa Inggris yang fasih,
“Siapa yang menikam binatang ini dengan pisau?”
“Saya,” jawab saya.
“Mengapa Anda tidak menembaknya?”
“Karena saya tidak membawa senapan.”
“Bukankah senjata berserakan di sini.”
“Itu bukan milik saya. Para pemiliknya membuang senjata-senjata itu dan
naik ke atas pohon.”
“Ketika kami mengikuti jejak beruang ini, kami mendengar orang berteriak
ketakutan. Apakah teriakan itu berasal dari sini?”
“Ya.”
“Uff, ternyata di sini ada juga tupai dan sigung9 yang akan naik ke atas
pohon jika ada bahaya. Seharusnya laki-laki harus melawan, karena jika dia berani,
akan dianugerahi kekuatan termasuk mengalahkan binatang yang paling kuat.
Saudara mudaku kulitputih ini memiliki keberanian. Mengapa dia disebut
greenhorn?”
“Karena baru pertama kali dan baru sebentar saya tinggal di daerah Barat
ini.”
“Orang-orang mukapucat10 memang aneh. Orang yang gagah berani dan
sudah membunuh beruang kelabu disebut greenhorn, sementara orang yang lari ke
atas pohon ketika ada bahaya disebut westman yang gagah berani. Karena itu,
orang kulitmerah lebih adil. Mereka tidak akan menyebut seorang pahlawan
pengecut, dan tidak akan menyebut pengecut dengan pahlawan.”
“Anak saya berkata benar,” kata ayahnya dalam Inggris yang agak buruk.
“Si mukapucat yang masih muda dan gagah berani ini bukan lagi seorang
greenhorn. Siapa yang bisa merobohkan beruang kelabu, maka dia pantas disebut
seorang pahlawan besar. Apalagi dia berbuat demikian untuk menolong jiwa
sesama manusia. Dia patut mendapat ucapan terima kasih dan bukan cemoohan.
Howgh! Marilah kita selidiki apa yang dilakukan orang kulitputih di daerah ini.”
Betapa berbedanya teman seperjalanan saya yang sama-sama kulitputih
dengan mereka yang adalah orang Indian! Makna keadilan bagi bangsa kulitmerah
9 Sejenis musang yang akan mengeluarkan bau busuk jika diganggu. 10 Julukan terhadap kulitputih oleh kulitmerah.
tidak pandang bulu. Bahkan apa yang mereka lakukan merupakan sebuah tindakan
yang beresiko. Mereka hanya bertiga dan tidak mengetahui berapa orang kami
semuanya. Mereka berada dalam bahaya jika memusuhi para westman. Tetapi
nampaknya mereka tidak mau ambil pusing. Mereka berjalan dengan langkah pelan
dan bangga melewati kami kemudian keluar dari semak-semak. Kami
mengikutinya. Pada saat itu Intschu tschuna melihat tiang pengukur, berdiri di
dekatnya, memandang saya, kemudian bertanya,
“Apakah yang dikerjakan di sini? Apakah mukapucat mengukur sesuatu di
wilayah ini?”
“Ya.”
“Untuk apa?”
“Untuk membangun rel keretaapi.”
Matanya menunjukkan kemarahan. Kemudian bertanya lagi dengan marah,
“Anda menjadi bagian dari orang-orang ini?”
“Ya.”
“Dan ikut mengukur juga?”
“Ya.”
“Anda juga mendapat upah untuk pekerjaan ini?”
“Ya.”
Dia memandang saya dengan pandangan menghina dan suaranya pun
terdengar sinis ketika dia berbicara pada Klekih-petra,
“Apa yang Anda ceritakan tentang sifat-sifat orang kulitputih kedengarannya
bagus sekali, akan tetapi pada kenyataannya tidak ada nilainya sama sekali. Hari
ini saya bertemu dengan seorang mukapucat yang gagah berani dan mempunyai
wajah yang jujur. Akan tetapi ketika ditanya yang dikerjakannya di sini, ternyata
dia datang untuk mencuri tanah kita. Orang kulitputih ada yang baik dan ada yang
buruk wajahnya akan tetapi batinnya tidak ada yang baik.”
Jika saya mau jujur, sebenarnyalah ucapan kepala suku Indian itu benar.
Karena itu saya tidak bisa membela diri. Saya merasa malu. Dapatkah saya merasa
bangga atas pekerjaan saya? Saya sebagai seorang surveyor yang menganut
agama Kristen dan sangat moralis.
Karena takut beruang, Insinyur Kepala dan ketiga teman sejawatnya
bersembunyi di dalam kemah. Mereka mengintipnya melalui sebuah lubang dengan
ketakutan. Ketika mereka melihat kami datang, barulah mereka berani
menampakkan diri. Tidak kalah herannya ketika mereka melihat orang Indian
bersama kami. Pertanyaan mereka yang pertama ialah bagaimana kami melawan
beruang itu. Rattler menjawab dengan segera.
“Kami telah menembaknya dan malam ini kami akan menikmati daging
beruang.”
Ketiga orang asing itu memandang saya dengan terheran-heran seakan-
akan hendak bertanya apakah kebohongan itu akan saya biarkan saja. Karena itu
saya berkata,
“Dan saya tegaskan, bahwa saya yang menembak beruang itu. Di sini ada
tiga orang ahli yang akan membenarkan perkataan saya, tetapi sebaiknya mereka
tidak perlu melakukan itu. Jika nanti Hawkens, Stone, dan Parker datang, mereka
akan memberikan penilaiannya yang adil tentang kita. Sampai sekarang beruang
itu masih tetap tergeletak tidak ada yang berani menyentuh.”
“Persetan dengan penilaian ketiga orang itu!” Rattler menggerutu. “Saya
dan teman-teman saya akan pergi ke sana untuk mengurus beruang itu dan yang
lain, jangan coba-coba menghalangi saya kalau tubuh kalian tidak ingin
diberondong peluru kami!”
“Jangan membual jika tidak ingin saya bungkam, Mr. Rattler! Saya sama
sekali tidak takut dengan peluru Anda, tidak seperti Anda yang begitu ketakutan
berhadapan dengan seekor beruang. Anda tidak bisa mengusir saya dengan
mengatakan itu! Jika Anda ke sana saya sama sekali tidak menghalangi, tetapi
saya harap, Anda mengubur dulu teman Anda yang tewas itu. Anda tidak bisa
begitu saja membiarkan mayatnya tergeletak di situ.”
“Ada yang meninggal?” tanya Bancroft kaget.
“Ya, Rollins,” jawab Rattler. “Akibat ketololan orang jelek ini yang bikin
celaka orang lain. Semestinya dia masih bisa diselamatkan."
“Kenapa bisa begitu? Karena ketololan siapa?”
“Well, dia melakukan apa yang kita lakukan yaitu berlari ke arah pohon. Dia
sudah di atas pohon, tetapi kemudian datang si greenhorn berlari dan menarik
perhatian beruang itu dengan konyolnya, sehingga beruang itu marah dan
menjatuhkan Rollins dan mengoyak-ngoyak tubuhnya.”
Itu adalah kebohongan yang sudah keterlaluan. Sementara itu saya berdiri
saja tercengang dan hanya diam membisu. Kenyataan yang terjadi seperti ini tidak
boleh saya biarkan begitu saja. Karena itu saya segera bertanya kepadanya,
“Itu keyakinan Anda Mr. Rattler?”
“Ya,” dia mengangguk dengan pasti. Rattler mencabut pistol revolvernya
karena menantikan saya melakukan sesuatu.
“Sebenarnya Rollins bisa diselamatkan dan gara-gara saya dia jadi
terbunuh, begitu?”
“Ya.”
“Tetapi menurut saya, beruang itu sudah menggigitnya, sebelum saya
datang.”
“Bohong!”
“Well, sekarang Anda harus mendengar dan merasakan kebenaran itu.”
Bersamaan dengan itu saya rebut revolvernya dengan tangan kiri dan
tangan kanan menempelengnya dengan kuat, sehingga dia terhuyung-huyung
menjauh sekitar enam sampai delapan langkah sebelum akhirnya jatuh ke tanah.
Dia bangkit lagi dan mengeluarkan pisaunya. Dia datang berlari seperti seekor
binatang yang sedang mengamuk mendekati saya. Saya tangkis tikaman pisaunya
dengan tangan kiri dan memukulnya dengan tinju tangan kanan, sehingga
tergeletak pingsan di bawah kaki saya.
“Uff, uff!” Intschu tschuna berseru penuh pesona. Karena kekaguman akan
tinju saya itu dia lupa akan sikap hati-hati orang Indian yang selama ini
diperlihatkan. Sesaat kemudian dia sadar dan menyesali keterus-terangannya tadi.
“Lagi-lagi Shatterhand,” kata surveyor Wheeler.
Saya tidak peduli dengan komentar itu, tapi mata saya lebih terarah pada
teman-teman Rattler. Mereka benar-benar terlihat jengkel, tapi tak seorang pun
berani bertindak. Mereka menggerutu dan meninggalkan tempat itu. Begitulah
tingkah laku mereka.
“Mohon pertimbangkan Rattler dengan sungguh-sungguh, Mr. Bancroft,”
saya meminta dengan sangat kepada Insinyur Kepala itu. “Saya tidak pernah
berbuat sesuatu apa pun terhadapnya dan dia selalu mencari gara-gara dengan
saya. Saya khawatir, suatu saat akan terjadi pembunuhan di perkemahan ini.
Hentikan dia dan jika Anda tidak suka cara ini, biarlah saya yang akan pergi dari
sini.”
“Oho, Sir, saya kira tidak akan terjadi seburuk itu!”
“Ya, itu bisa terjadi. Di sini Anda melihat pisau dan revolver Rattler. Jangan
boleh dia pegang senjata lagi sampai dia bisa menahan emosi, setelah itu dia baru
boleh kembali ke sini. Saya tegaskan kepada Anda, saya hanya membela diri dan
jika dia sekali lagi menyerang saya dengan senjatanya, maka saya akan
menembaknya. Anda menganggap saya seorang greenhorn, tapi saya tahu hukum
prairie. Barang siapa mengancam saya dengan pisau atau senapan, saat itu juga
saya boleh menembak.”
Perkataan saya itu tidak hanya untuk Rattler melainkan juga bagi para
westman yang membisu saja ketika mendengarnya. Kepala suku Intschu tschuna
berpaling kepada Insinyur Kepala,
“Saya mendengar, bahwa di antara kulitputih yang hadir di sini Andalah
pemimpinnya. Betulkan begitu?”
“Ya,” jawab Bancroft.
“Kalau begitu, ada sesuatu yang hendak saya bicarakan dengan Anda.”
“Apa?”
“Itu akan saya katakan, apabila kita sudah duduk. Anda masih saja berdiri.
Orang yang berunding seharusnya duduk.”
“Anda hendak menjadi tamu saya?”
“Tidak, itu tidak mungkin. Bagaimana saya dapat menjadi tamu Anda, jika
Anda berdiri di tanah saya, di hutan saya, di lembah saya, di padang prairie milik
saya? Orang kulitputih kiranya duduk. Siapa mukapucat yang baru datang itu?”
“Itu pemandu kami.”
“Suruhlah mereka duduk juga.”
Yang baru datang itu ialah Sam, Dick, dan Will. Sebagai pemburu prairie
yang berpengalaman mereka tidak heran melihat Indian duduk di tengah-tengah
kami, akan tetapi mereka menjadi agak cemas ketika mendengar siapa kedua
orang Indian itu.
“Siapakah orang yang ketiga itu?” tanya Sam kepada saya.
“Dia bernama Klekih-petra dan Rattler menyebutnya guru.”
“Klekih-petra, guru orang Apache? Saya sudah pernah mendengar namanya,
kalau saya tidak salah. Seorang yang sangat misterius, seorang kulitputih yang
sudah lama tinggal dengan suku Apache. Orang Indian menyebut dia misionaris,
walaupun dia bukanlah seorang pastor. Saya senang melihatnya, saya ingin
membuktikan kebolehannya, hihihihi.”
“Jika itu bisa dibuktikan.”
“Tidakkah saya akan gigit jari? Adakah sesuatu yang lain telah terjadi?”
“Ya.”
“Apa?”
“Sesuatu yang penting.”
“Ceritakanlah!”
“Saya telah berhasil melakukan apa yang kemarin engkau peringatkan.”
“Saya tidak tahu, apa yang Anda maksud. Saya telah banyak memberi
peringatan kepada Anda.”
“Beruang grizzly.”
“Bagaimana, di mana, apa? Beruang kelabu bukan?”
“Ya, semacam itulah!”
“Di mana, di mana? Anda cuma bercanda!”
“Sama sekali tidak. Itu di sana di belakang semak-semak di dalam hutan,
saya telah menyeretnya ke sana.”
“Sungguh, sungguh? Astaga, dan itu terjadi justru ketika kita tidak ada!
Adakah orang yang menjadi korban?”
“Seorang, yakni Rollins.”
“Dan Anda? Apakah yang Anda perbuat? Apakah Anda berada cukup jauh?”
“Ya.”
“Bagus! Tapi saya sepertinya tidak percaya.”
“Engkau dapat mempercayainya. Saya memang berada jauh dari beruang
itu, sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap saya, tapi pisau saya bisa
menikam sebanyak empat kali di antara tulang rusuknya.”
“Wah hebat sekali! Anda menyerang binatang itu dengan pisau?”
“Ya, senapan saya tidak terbawa.”
“Bukan main anak ini! Seorang greenhorn sejati. Anda punya senapan
Pemburu Beruang yang berat dan ketika beruangnya datang, Anda membunuhnya
dengan pisau, bukannya dengan senapan. Siapa yang mau percaya? Teruskanlah
cerita Anda!”
“Begini, Rattler ngotot bahwa bukan saya yang membunuh beruang itu
melainkan dia.”
Saya bercerita kepadanya, bagaimana peristiwa yang telah terjadi
sesungguhnya dan bagaimana saya kemudian kembali terlibat pertengkaran
dengan Rattler.
“Ya Tuhan, Anda benar-benar seorang anak yang ceroboh,” serunya. “Belum
pernah melihat beruang grizzly, tapi menyerangnya dengan pisau seakan-akan
beruang itu anjing pudel saja! Saya ingin segera melihat binatang itu. Dick dan
Will, ayo! Kalian juga harus melihat, apa yang telah dilakukan greenhorn dengan
tikaman-tikaman bodohnya kali ini.”
Dia akan ke sana, akan tetapi pada saat itu Rattler datang lagi, Sam
berpaling kepadanya seraya berkata,
“Dengar, Mr. Rattler. Saya akan memberitahu sesuatu kepada Anda. Anda
telah bertengkar lagi dengan sahabat muda saya. Jika itu terjadi lagi, saya
khawatir, Anda tidak akan sempat lagi menyesalinya. Kesabaran saya sudah habis.
Camkan itu!”
Dia pergi menjauh bersama Stone dan Parker. Wajah Rattler sangat marah
dan memandang saya penuh kebencian, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Namun
tampak jelas sekali bahwa kemarahannya sewaktu-waktu bisa meledak.
Kedua orang Indian dan Klekih-petra telah duduk di atas rerumputan.
Insinyur Kepala duduk di hadapan mereka. Mereka masih berdiam diri. Mereka
menunggu kedatangan Sam kembali untuk mendengarkan pendapatnya. Tak lama
kemudian Sam sudah kembali dan dari jauh dia sudah berseru,
“Bodoh benar orang yang menembak grizzly dan kemudian lari. Kalau orang
tidak berani melawan, janganlah menembak. Kalau binatang itu tidak diganggu,
niscaya ia tidak akan berbuat apa-apa. Kasihan si Rollins! Siapakah yang
membunuh beruang itu?”
“Saya,” jawab Rattler dengan cepat.
“Anda? Dengan apa?”
“Dengan peluru saya.”
“Well, cocok, itu benar adanya.”
“Benar kan!”
“Ya, beruang itu mati kena tembak!”
“Kalau begitu dia milik saya. Kalian dengar itu! Sam Hawkens membenarkan
saya!” seru Rattler penuh kemenangan.
“Ya, untuk Anda. Peluru Anda meleset di atas kepalanya dan mengenai
ujung telinganya. Karena ujung telinganya luka matilah sang beruang grizzly
seketika, hihihihi! Kalau benar beberapa orang telah menembaknya, pastilah
mereka menembak dengan penuh ketakutan karena hanya satu peluru saja yang
menyerempet ujung telinganya, karena yang lain tidak ada yang mengena. Tetapi
empat tikaman jitu ada di situ, dua di samping jantung dan dua lagi langsung tepat
menghujam ke jantung. Siapa yang telah menikam beruang itu?”
“Saya,” jawab saya.
“Anda sendiri?”
“Tidak ada seorang pun yang lain,”
“Kalau begitu beruang itu milik Anda. Artinya, karena di sini ada beberapa
orang, maka kulitnya akan menjadi milik Anda dan dagingnya milik kita bersama.
Meski begitu, Anda yang memutuskan pembagiannya, itulah tradisi orang di daerah
Barat. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini, Mr. Rattler?”
“Persetan!”
Dia meninggalkan sumpah serapahnya dan berjalan menuju kereta yang
bermuatan tong brandy. Saya lihat, dia mulai menuangkan brandynya ke dalam
cangkir dan saya tahu dia akan terus minum sampai mabuk.
Baru kini terbuka kesempatan bagi Bancroft untuk bertanya kepada Kepala
Suku Apache tentang apa yang dikehendakinya.
“Saya tidak menghendaki sesuatu, melainkan saya hendak menyampaikan
perintah,” jawab Intschu tschuna dengan angkuh.
“Kami tidak mau menerima perintah,” tegas Insinyur Kepala juga sama
angkuhnya.
Sekilas wajah kepala suku tampak marah, tetapi dia berhasil menguasai diri
dan berkata dengan tenang,
“Saudaraku kulitputih boleh menjawab beberapa pertanyaan saya, akan
tetapi pertanyaan itu hendaknya dijawab dengan jujur. Adakah Anda mempunyai
tempat tinggal di sana?”
“Ya.”
“Dan apakah rumah itu juga mempunyai halaman?”
“Ya.”
“Jika ada tetangganya yang hendak membuat jalan yang melalui halaman
itu, akankah Anda biarkan?”
”Tidak.”
“Tanah-tanah di seberang Rocky Mountains dan di sebelah timur sungai
Mississippi adalah milik mukapucat. Bagaimana sikap mereka seandainya orang
Indian datang hendak membuat jalan keretaapi di sana?”
“Mereka akan mengusirnya.”
“Saudaraku kulitputih telah berkata jujur. Tapi sekarang mukapucat datang
ke tanah ini, tanah milik kami ini. Mereka memburu mustang-mustang kami,
mereka membunuh bison-bison kami, mereka mencari emas dan batu-batu mulia
yang ada pada kami. Kini mereka ingin membuat jalan yang sangat panjang,
sehingga keretaapi dapat melintas di atasnya. Dengan adanya rel itu nantinya akan
datang lebih banyak lagi mukapucat. Sebagian di antara mereka akan menyerang
kami dan ada yang akan mengambil milik kami sehingga tidak ada yang tersisa
untuk kami. Kalau demikian kami harus berkata apa?”
Bancroft terdiam.
“Apakah mungkin kami punya hak yang lebih sedikit dari pada kalian? Kalian
beragama Kristen dan selalu berbicara tentang cintakasih. Tapi pada saat itu kalian
juga berkata bahwa kalian boleh mencuri dan merampok kami. Sejujurnya kami
harus melawan kalian. Apakah itu cintakasih? Kalian mengatakan, Tuhan kalian
adalah Bapa yang baik untuk semua kulitmerah dan kulitputih. Apakah kami ini
anak tirinya? Bukankah tanah ini milik orang-orang kulitmerah? Tapi orang
kulitputih telah merampasnya dari kami. Apa yang telah kami peroleh sebagai
gantinya? Penderitaan, penderitaan dan hanya penderitaan. Kalian selalu memburu
kami dan mendesak kami terus-menerus, sehingga dalam waktu singkat kami akan
mati merana. Mengapa kalian lakukan itu? Mungkinkah terpaksa, karena kalian
tidak punya ruang gerak lagi? Bukan, melainkan karena keserakahan, karena di
negeri kalian masih banyak tempat untuk berjuta-juta manusia. Setiap kulitputih
ingin memiliki seluruh negeri, seluruh tanah ini. Tetapi kulitmerah yang menjadi
pemilik sebenarnya dari tanah ini tidak dibiarkan hidup tenang di tanahnya sendiri.
Klekih-petra yang duduk di sebelah saya ini telah bercerita tentang Alkitab. Di situ
diceritakan ada manusia pertama yang mempunyai dua anak laki-laki. Yang satu
membunuh yang lainnya, sehingga darahnya memercik ke surga. Bagaimana
halnya dengan persaudaraan antara kulitmerah dan kulitputih? Apakah kalian yang
menjadi Kain dan kami adalah Abel, yang darahnya memercik ke surga? Untuk itu
kalian masih menuntut, agar kami selayaknya dibunuh, tanpa membela diri! Tidak,
kami harus membela diri, harus! Kami telah dikejar-kejar dari satu tempat ke
tempat lain terus-menerus. Kini kami tinggal di sini, kami kira kami dapat
menikmati hidup dengan tenang dan bernafas lega, tetapi ternyata kini kalian
datang lagi untuk membuat rel keretaapi. Apakah kami tidak mempunyai hak yang
sama seperti Anda di rumah dan halaman Anda sendiri? Jika kami ingin
menggunakan hukum kami, maka kami harus membunuh kalian semua. Namun
kami hanya berharap, bahwa hukum kalian juga berlaku bagi kami. Bisakah
demikian? Tidak! Hukum kalian punya dua sisi. Sisi yang akan diberlakukan kepada
kami, adalah yang justru menguntungkan Anda. Anda di sini akan membangun
jalan. Sudahkah Anda minta ijin kepada kami?”
“Tidak, karena itu tidak perlu.”
“Mengapa tidak? Apakah tanah ini milikmu?”
“Saya pikir begitu.”
“Bukan. Ini tanah kami. Apakah Anda sudah membelinya dari kami?”
“Tidak.”
“Apakah kami menghadiahkan tanah ini kepadamu?”
“Tidak. Tidak kepada saya.”
“Dan tidak juga kepada yang lain. Sekiranya Anda orang yang jujur dan
Anda dikirim ke sini untuk membuat jalan keretaapi, maka seharusnya sejak awal
Anda tanyakan kepada orang yang mengirim Anda, apakah dia mempunyai hak
atas tanah ini. Jika dia mengiyakan, dia harus menunjukkan bukti kepada Anda.
Tetapi Anda tidak melakukannya. Saya melarang kalian untuk melanjutkan
pengukuran tanah di sini!”
Kalimat terakhir yang diucapkan diberi tekanan khusus dan terdengar
sungguh-sungguh. Saya terpesona oleh ucapan orang Indian ini. Sudah banyak
buku-buku tentang bangsa kulitmerah dan pidato-pidato yang diucapkan oleh
orang-orang Indian yang sudah saya baca, tetapi yang seperti tadi belum pernah
saya ketahui.
Intschu tschuna berbicara dengan bahasa Inggris yang jelas dan lancar.
Jalan berpikirnya logis, cara mengungkapkannya seperti seorang yang terpelajar.
Apakah ini berkat ajaran Klekih-petra, guru orang Apache itu?
Sang Insinyur Kepala merasa malu. Jika dia mau mengakui kebenaran dan
bersikap jujur, maka dia sama sekali tidak dapat menangkis dakwaan-dakwaan
yang sudah diajukan tadi. Bancroft mengajukan beberapa alasan, tetapi semuanya
terlalu berbelit-belit, berputar-putar dan banyak kesimpulan yang salah, ketika
kepala suku kembali menjawab dan memojokkannya, Bancroft berpaling kepada
saya,
“Tetapi, Sir. Bukankah Anda tadi menyimak apa yang kami bicarakan tadi?
Silahkan Anda ikut berkomentar!”
“Terima kasih, Mr. Bancroft. Saya seorang surveyor di sini, bukan seorang
pengacara. Lakukan apa yang Anda bisa. Tugas saya mengukur tanah, bukan
berpidato.”
Kepala suku berkata dengan penekanan yang penuh arti,
“Tidak perlu pidato panjang lebar. Sudah saya katakan, bahwa saya tidak
mengijinkan Anda. Saya ingin hari ini Anda pergi dari sini kembali ke tempat asal
Anda. Putuskanlah, apakah Anda mau mematuhi perintah saya atau tidak.
Sekarang saya akan meninggalkan tempat ini bersama Winnetou, putra saya, dan
akan kembali lagi setelah lewat waktu yang oleh orang kulitputih disebut satu jam.
Saya harap nantinya Anda sudah punya jawaban untuk kami. Jika Anda pergi,
maka kita bersaudara, tetapi jika Anda tidak pergi, maka permusuhan di antara
Anda dan kami akan dimulai. Saya Intschu tschuna, Kepala Suku Apache telah
berbicara. Howgh!”
Howgh adalah semacam kata peneguhan bangsa Indian yang artinya kurang
lebih sama dengan amin, sekian, setuju, harap maklum dan tidak dapat diganggu-
gugat. Dia dan Winnetou bangkit. Mereka berjalan dan melangkahkan kaki pelan-
pelan mendaki lembah sampai mereka menghilang di tikungan. Klekih-petra tetap
duduk. Insinyur Kepala menoleh kepadanya dan memohon nasehatnya. Klekih-
petra menjawab,
“Lakukan apa yang Anda inginkan, Sir! Saya sependapat dengan kepala
suku. Telah terjadi kejahatan besar secara terus-menerus pada suku kulitmerah.
Tetapi sebagai orang kulitputih, saya juga tahu, bahwa usaha kulitmerah untuk
melawan adalah sia-sia belaka. Jika kalian hari ini pergi dari sini, maka besok akan
datang orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan kalian. Tetapi saya hendak
memperingatkan kalian, kepala suku itu bersungguh-sungguh.”
“Ke mana dia pergi?”
“Dia mengambil kuda kami.”
“Apakah tadi kalian berkuda?”
“Tentu saja, kuda itu kami sembunyikan ketika kami mengetahui bahwa ada
beruang grizzly di dekat kami. Beruang grizzly tidak bisa diserang sambil berkuda.”
Dia berdiri dan berjalan-jalan mencari angin, setidak-tidaknya untuk
menghindari pertanyaan-pertanyaan dan tekanan-tekanan berikutnya. Saya
mengikutinya dan bertanya,
“Sir, perkenankanlah saya pergi bersama Anda. Saya berjanji tidak akan
berkata atau berbuat yang akan mengganggu Anda. Saya sangat tertarik dengan
Intschu tschuna dan Winnetou.”
Bahwa dia sendiri sangat berpengaruh pada saya, saya tidak ingin
mengatakan kepadanya.
“Ya, silahkan ikut, Sir,” jawabnya. Saya sudah menarik diri dari bangsa
kulitputih dan semua urusannya. Saya tidak mau lagi berhubungan dengan mereka,
tetapi saya tertarik kepada Anda, jadi marilah kita berjalan-jalan bersama.
Tampaknya Anda satu-satunya yang dapat memakai akal sehat. Benarkah
pendapat saya itu?”
“Saya yang paling muda di antara mereka dan masih belum pandai. Saya
tidak akan pernah menjadi sempurna. Saya sangat suka dengan penampilan
manusia yang berhati baik dan bersemangat!”
“Tidak pandai? Semua orang Amerika sama saja.”
“Saya bukan orang Amerika.”
“Jadi orang apa? Apakah pertanyaan saya ini tidak menyinggung Anda?”
“Sama sekali tidak. Saya tidak punya alasan untuk merahasiakan tanah air
saya yang saya cintai. Saya orang Jerman.”
“Seorang Jerman?” kepalanya dengan cepat menengadah. “Saya ucapkan
selamat datang, saudara sebangsa dan setanah-air! Itulah sebabnya, saya segera
tertarik kepada Anda. Sebagai orang Jerman, kita adalah manusia yang unik. Hati
kita saling terpaut sebagai saudara, sebelum kita saling mengatakan bahwa kita
sebangsa. Seorang Jerman yang telah menjadi orang Apache seutuhnya!
Bagaimana kesan Anda? Tidakkah itu luar biasa!”
“Tidak aneh. Suratan takdir sering mengagumkan, tetapi sangat wajar.”
“Suratan takdir! Mengapa Anda berbicara tentang Tuhan dan bukannya
tentang nasib?”
“Karena saya seorang Kristen dan Tuhan saya tidak akan meninggalkan
saya!”
“Benar sekali, Anda benar-benar orang yang bahagia! Ya, Anda benar.
Suratan takdir seringkali mengagumkan, tetapi selalu sangat wajar terjadi. Mukjizat
terbesar adalah proses hukum alam dan mukjizat besar lainnya adalah gejala alam
yang terlihat sehari-hari. Seorang Jerman, seorang terpelajar, cendekiawan
terkenal dan sekarang seorang Apache sejati. Kelihatannya luar biasa, tapi jalan
menuju ke tujuan yang saya lalui sangat wajar.”
Mula-mula dia setengah hati melibatkan saya dengan ceritanya itu, namun
sekarang dia merasa gembira bisa mengeluarkan isi hatinya. Saya segera tahu,
bahwa dia memiliki karakter yang menonjol. Tetapi saya menghindari bertanya
tentang masa lalunya. Dia tidak memperdulikan hal itu dan bertanya dengan polos
tentang keadaan saya. Saya ceritakan secara detil dan kelihatan dia suka sekali
mendengarnya. Kami berada tidak begitu jauh dari perkemahan dan berbaring di
bawah pohon. Garis hidupnya yang pahit tergurat jelas di wajahnya, garis panjang
penderitaan, keraguan, kekhawatiran, kecemasan, kehilangan. Betapa sering dia
terlihat suram, terancam, gusar, terkadang takut, atau bahkan mungkin putus
harapan. Kini di sini semuanya jernih dan tenang seperti danau di tengah hutan,
yang tidak beriak karena hembusan angin, namun sedemikian dalamnya sehingga
orang tidak bisa melihat apakah di dasarnya juga tenang. Ketika dia telah
mendengar semua yang saya ketahui, dia mengangguk pelan dan berkata,
“Anda berada di awal perjuangan sedang saya telah tiba pada akhir
perjuangan. Namun hal ini bagi Anda hanya lahiriah saja, tidak sampai merasuk ke
dalam hati. Anda punya Tuhan yang tidak pernah Anda tinggalkan. Kalau saya lain.
Saya sudah kehilangan Tuhan ketika saya meninggalkan tanah air; dan yang
terburuk adalah, saya merasa besar seperti Tuhan dengan menawarkan suatu
kepercayaan yang kuat yang bisa dimiliki manusia, yaitu suara hati yang jahat.”
Dia memandang saya penuh rasa ingin tahu, bagaimana reaksi saya ketika
mendengar kata-katanya itu. Ketika dia melihat wajah saya tetap tenang, dia
bertanya,
“Anda tidak terkejut?”
“Tidak.”
“Tapi ini bisikan hati yang jahat! Anda bayangkan itu!”
“Pah! Anda bukan pencuri dan bukan pembunuh. Sikap yang lebih jauh lagi
dari itu saya kira Anda tidak mungkin mampu melakukannya.
Dia menjabat tangan saya dan berkata,
“Saya ucapkan terima kasih banyak! Dan Anda telah keliru. Dulu saya
adalah pencuri yang besar, ya, banyak sekali melakukan pencurian! Dan yang
dicuri adalah barang-barang yang sangat berharga! Saya juga seorang pembunuh.
Alangkah banyaknya jiwa yang saya bunuh. Dulu saya seorang guru di sebuah
sekolah tinggi, tetapi tidak perlu saya beritahukan di mana-mana. Kebanggaan
saya yang terbesar terletak pada jiwa bebas yang merendahkan Tuhan, yang
sampai pada titik puncaknya, sehingga bisa meyakinkan orang secara detil, bahwa
kepercayaan terhadap Tuhan adalah omong kosong belaka. Saya pintar berpidato
dan bisa memukau para pendengar. Bibit-bibit ketidakpercayaan kepada Tuhan itu
saya tebarkan secara terbuka hingga tidak ada satu pun yang tertinggal. Saya
adalah pencuri dan perampok massal yang membunuh keyakinan dan kepercayaan
terhadap Tuhan. Kemudian tibalah masa revolusi. Siapa pun yang tidak mengakui
Tuhan, maka dia pun tidak akan menghargai raja atau pemimpin.”
Sebagai pemimpin orang-orang yang tidak puas, secara terbuka saya tampil
di muka publik. Mereka menelan mentah-mentah semua kata-kata saya. Ini
merupakan racun memabukkan yang, tentu saja, saya anggap sebagai obat yang
mujarab. Mereka lalu berkumpul bersama-sama dan mulai mengangkat senjata.
Betapa banyaknya orang yang tewas dalam keributan itu! Sayalah pembunuh
mereka, tetapi mereka mati bukan semata-mata karena saya, karena yang lainnya
meninggal di balik tembok penjara. Tentu saja dengan segala daya-upaya, saya
mulai diselidiki. Saya meloloskan diri dan kabur dari tanah air. Tidak ada yang
bersedih atas kepergian saya. Tidak ada seorang pun yang menangis dan saya
sudah tidak punya lagi ayah, ibu, saudara, juga kerabat. Tidak ada orang yang
menangisi saya, tetapi banyak orang yang menangis karena saya. Itu semua sama
sekali tak terpikirkan sampai kesadaran akan hal itu datang, seperti sebuah
hantaman yang hampir membuat saya tersungkur ke tanah. Pada suatu hari,
sebelum saya melintasi batas negeri Jerman, saya dikejar-kejar oleh polisi, yang
telah semakin dekat. Pada saat itu saya melintas di sebuah desa yang miskin.
Secara kebetulan saya berlari melintasi halaman kecil menuju sebuah gubuk reyot
dan tanpa menyebut nama, saya mencari perlindungan pada seorang ibu tua yang
bertubuh kecil dan anak perempuannya, yang saya temui di biliknya. Mereka
menyembunyikan saya atas kehendak suaminya yang mengatakan bahwa saya ini
teman mereka.
Kemudian mereka duduk bersama dengan saya di sebuah sudut yang gelap
dan bercerita dengan deraian air mata karena hati yang luka. Mereka miskin tetapi
bahagia. Anak perempuannya setahun yang lalu sudah menikah. Suaminya
mendengar pidato saya dan ikut terhasut. Dia mengajak ayah mertuanya ikut ke
dalam perkumpulan, dan racun yang saya tebarkan mulai bereaksi. Saya telah
merenggut empat orang yang baik ini dari kebahagiaan hidupnya. Suami anak-
perempuan mati di ladang pembantaian dengan mengenaskan dan ayah mertuanya
di hukum penjara bertahun-tahun lamanya. Kedua wanita ini menceritakan
semuanya kepada saya. Orang yang telah diselamatkannya, yang juga telah
berdosa atas semua kemalangan mereka. Mereka menyebut nama saya sebagai
seorang penghasut. Itu adalah tamparan bagi saya, bukan secara lahiriah tapi bagi
jiwa saya. Murka Tuhan mulai dijatuhkan. Saya tetap masih bebas, tapi hati saya
menderita, sehingga tidak ada hukuman yang setimpal atas dosa yang sangat
besar itu. Di sini saya mengembara dari satu negara ke negara lain dan berusaha
untuk melakukan sesuatu tetapi tidak menemukan kedamaian. Suara hati saya
terus menyiksa saya! Betapa seringnya saya ingin bunuh diri, namun selalu ada
tangan yang menahan saya - tangan Tuhan. Tuhan telah membimbing saya setelah
penderitaan dan penyesalan selama bertahun-tahun, kepada seorang pastor
Jerman di Kansas, yang merasakan suasana hati saya dan mendesak saya untuk
menceritakan semuanya kepadanya. Saya melakukannya demi kebaikan diri saya.
Saya temukan kebebasan setelah sekian lama dalam kebimbangan, pengampunan
dan penghiburan, keimanan yang kuat dan kedamaian batin. Tuhan, saya
berterima kasih sekali karenanya!”
Dia berhenti sejenak, melipat kedua tangannya dan matanya menerawang
ke langit. Dia kemudian melanjutkan,
“Di dalam hati saya bertekad, meninggalkan urusan dunia dan manusia-
manusianya. Saya pergi masuk ke dalam hutan belantara. Namun bukan saja
keimanan itu sendiri yang membuat bahagia. Pohon keimanan harus menghasilkan
buah. Saya ingin bekerja, sebisa mungkin yang bertentangan dengan pekerjaan
saya dahulu. Saya melihat, orang kulitmerah berjuang melawan kepunahan mereka
dengan penuh keputus-asaan.
Saya melihat mereka terancam mati kelaparan, dan hati saya tersentuh
terlebih karena kemarahan, iba hati, dan kasihan. Nasib mereka telah digariskan
demikian, saya tidak bisa menolong, namun saya masih mungkin melakukan
sesuatu hal yakni sedapat mungkin meringankan sakrat maut yang datang
menjemput mereka dan melepas saat-saat terakhirnya dengan cintakasih dan
kedamaian. Saya mendatangi suku Apache dan belajar untuk memasukkan
pengaruh saya ke dalam kepribadian mereka. Saya telah memperoleh kepercayaan
dari mereka dan semuanya berhasil dengan baik. Saya ingin Anda mengenal
Winnetou, dia benar-benar anak didik saya yang sesungguhnya. Pemuda ini
mempunyai bakat yang baik. Seandainya dia dilahirkan sebagai anak seorang
penguasa Eropa, maka niscaya dia akan menjadi panglima yang ulung atau
menjadi pemimpin perdamaian yang termasyhur. Namun sebagai pewaris seorang
kepala suku Indian dia akan punah seperti bangsanya. Seandainya saya masih
hidup pada saat dia masuk Kristen! Setidak-tidaknya saya akan mendampingi dia
dalam keadaan bahaya dan darurat sampai akhir hayat saya. Dia adalah anak
spiritual saya dan saya menyayanginya lebih daripada diri saya sendiri. Seandainya
saya berumur panjang, jika ada peluru yang seharusnya ditujukan ke arahnya,
biarlah jantung saya yang akan menahannya, dengan begitu saya akan mati
dengan bahagia untuknya dan menganggap kematian itu sekaligus sebagai
penebusan dosa bagi dosa-dosa saya di masa lalu.”
Dia diam dan menundukkan kepalanya. Saya sangat terharu dan tidak
mampu berkata apa-apa, karena saya merasakan hampa setelah mendengar
pengakuan seperti itu. Tetapi saya pegang tangannya dan menggenggamnya
sepenuh hati. Dia memahami saya dan itu ditunjukkannya dengan anggukan pelan
dan membalas genggaman saya. Itu berlangsung beberapa saat sampai kemudian
dengan perlahan dia bertanya,
“Dari mana tadi asalnya hingga saya ceritakan semua ini kepada Anda? Hari
ini untuk pertama kalinya saya berjumpa dengan Anda dan mungkin saya tidak
akan bertemu Anda lagi. Ataukah ini juga sebuah takdir, bahwa saya dan Anda
sekarang bertemu di sini? Anda lihat bukan, saya yang dulunya pendosa, sekarang
berusaha kembali ke jalan yang benar. Bagi saya hal ini begitu luar biasa, begitu
lembut, begitu menyentuh hati, tetapi tidak menyakitkan. Suasana yang serupa
dengan itu adalah ketika daun-daun berjatuhan di musim gugur. Bagaimanakah
daun kehidupan saya lepas dari pohonnya? Perlahan, gampang, dan dengan
tenang? Ataukah daun itu dipatahkan, sebelum tiba saatnya untuk gugur secara
alamiah?”
Dia memandang ke arah lembah seolah-olah tanpa disadarinya ada
kerinduan di dalam hati. Saya melihat Intschu tschuna dan Winnetou datang ke
arah kami. Kini mereka berkuda dan menuntun kuda Klekih-petra di sampingnya.
Kami bangkit, lalu berjalan kembali ke perkemahan, di mana kami tiba bersama-
sama dengan mereka. Rattler bersandar pada pedati dan memandang kami dengan
wajah yang kemerah-merahan dan bengkak serta menghampiri kami. Dalam waktu
yang singkat dia telah minum brandy begitu banyak, sehingga kini dia tidak
sanggup minum lagi. Manusia ini benar-benar seperti binatang yang mengerikan!
Pandangannya tampak bengis seakan-akan pandangan seekor binatang buas yang
hendak menyerang. Saya bertekad akan mengawasi dia.
Kepala suku dan Winnetou turun dari atas kudanya lalu menghampiri kami.
Kami berdiri bersama-sama dan agak berjauhan.
“Apakah saudara-saudaraku kulitputih telah mempertimbangkan, apakah
ingin tetap tinggal di sini atau meninggalkan daerah ini?” tanya Intschu tschuna.
Insinyur Kepala memperoleh gagasan diplomatis. Dia menjawab,
“Sebenarnya kami ingin pergi, tapi kami harus tetap berada di sini
sebagaimana perintah yang telah kami terima. Saya akan mengirim kurir ke Santa
Fé dan bertanya tentang soal ini, kemudian barulah saya bisa memberi jawaban.”
Itu sama sekali bukan gagasan yang buruk, karena dengan begitu kami
harus bisa menyelesaikan pekerjaan kami hingga kurir itu kembali. Tapi kepala
suku itu berbicara dengan nada pasti,
“Saya tidak bisa menunggu begitu lama. Saudara-saudaraku kulitputih harus
segera memutuskan, apa yang hendak Anda lakukan.”
Rattler memegang mangkuk brandy dan datang menghampiri kami. Saya
kira, dia akan menuju ke saya tetapi dia malahan berjalan menuju ke arah kedua
orang Indian itu dan berbicara merancau,
“Jika orang-orang Indian ini mau minum dengan saya, maka kita akan
menuruti kemauan mereka dan meninggalkan tempat ini. Jika tidak mau, kita juga
tidak akan pergi. Yang muda boleh minum dulu. Ini air apinya, Winnetou.”
Dia menyodorkan mangkuk ke Winnetou. Winnetou mundur dan memberi
isyarat penolakan dengan tangan.
“Apa, kamu tidak mau minum dengan saya? Benar-benar sebuah
penghinaan. Kamu mau brandy ini di wajahmu, kulitmerah terkutuk. Jilatilah itu,
jika kamu tidak mau meminumnya!”
Sebelum salah seorang dari kami bisa mencegahnya, dia sudah melempar
mangkuk beserta isinya ke arah wajah pemuda Apache itu. Bagi Indian, itu adalah
penghinaan yang pantas dibalas langsung dengan hukuman di tempat, walaupun
bukan dengan hukuman yang berat. Lalu Winnetou meninju wajah bajingan itu
hingga roboh ke tanah. Dia bangun dengan susah payah. Saya akan turun tangan,
karena saya pikir dia akan melangkah untuk berkelahi, tapi ternyata bukan begitu
kejadiannya. Dia hanya menatap penuh ancaman pemuda Apache itu, memberi
isyarat, kemudian dengan sumpah serapahnya kembali ke pedati.
Winnetou menyeka wajahnya yang basah dan menunjukkan roman muka
yang mashgul seperti yang ditunjukkan juga oleh ayahnya, dan tak seorang pun
mengetahui apa yang ada di benak mereka.
“Saya bertanya sekali lagi,” kata kepala suku. “Ini untuk terakhir kali.
Apakah hari ini mukapucat akan meninggalkan lembah ini?”
“Kami tidak boleh,” jawab seseorang.
“Baiklah kami pergi. Tidak ada lagi perdamaian di antara kita.”
Saya berusaha untuk menengahi, tapi sia-sia, karena ketiga orang itu sudah
menuju ke kuda mereka. Dari arah pedati terdengar suara Rattler,
“Enyahlah kalian! Anjing-anjing merah! Tapi anak yang meninju muka saya
harus membayar perbuatannya.”
Secepat kilat tanpa disadari orang lain, dia telah mengambil senapan dari
dalam pedati dan dibidiknya ke arah Winnetou yang pada saat itu berdiri bebas
tanpa perisai apa pun. Peluru itu pasti menembusnya, karena semua berjalan
begitu cepat, sehingga tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Klekih-petra
berteriak penuh ketakutan,
“Berlindung, Winnetou, cepat! ”
Bersamaan dengan itu pula dia melompat berdiri di depan pemuda Apache
itu untuk melindungi. Terdengar bunyi tembakan, Klekih-petra meraba dadanya
yang tertembus peluru dengan tangan. Dia berjalan terhuyung-huyung dan
kemudian roboh ke tanah.
Tapi dalam sekejap Rattler juga roboh oleh tinju saya. Saya sebenarnya
sudah berusaha menghalangi tembakan itu dengan meloncat ke arahnya secepat
mungkin, tapi ternyata sudah terlambat. Teriakan kaget dari semua yang hadir
terdengar nyaring, kecuali kedua orang Indian yang tidak bersuara sedikit pun.
Mereka berlutut di sebelah Klekih-petra yang telah mengorbankan dirinya demi
Winnetou yang dikasihinya, dan tanpa bersuara mereka memeriksa lukanya.
Tembakan itu mengenai dekat jantungnya tepat di dada, dan darah memancar
keluar dari luka itu. Saya bergegas ke sana. Klekih-petra berusaha membuka
matanya, wajahnya dengan cepat menjadi pucat dan cekung.
“Letakkan kepalanya di pangkuanmu,” pinta saya kepada Winnetou. “Jika
dia nanti membuka matanya dan memandangmu, kematiannya akan membuatnya
lebih bahagia.”
Tanpa berkata apa-apa dia menuruti permintaan saya itu. Matanya tidak
berkedip, tetapi pandangannya tidak lepas menatap wajah Klekih-petra yang
sedang sekarat. Kedua kelopak matanya dengan perlahan mulai membuka. Dia
melihat Winnetou yang berlutut di depannya, senyum bahagia terbersit begitu
cepat pada roman mukanya dan dia berbisik,
“Winnetou, schi ya Winnetou-Winnetou, oh anakku Winnetou!”
Kemudian tampak matanya seperti masih mencari-cari seseorang.
Pandangannya tertuju ke arah saya dan dia berkata kepada saya dalam bahasa
Jerman,
“Dampingilah dia, setialah selamanya, lanjutkan tugas saya…!!”
Dia mengangkat tangannya memohon saya memegang tangan itu dan saya
menjawab,
“Saya lakukan, ya, pasti, akan saya lakukan itu!”
Dari wajahnya tampak ajal akan menjemputnya dan dia berdoa dengan
suara yang semakin melemah,
“Maka gugurlah daun saya... dipatahkan... tidak perlahan... gampang... ini
adalah... penebusan dosa terakhir... saya mati seperti... seperti yang saya
inginkan. Tuhan, ampuni... ampunilah saya! Ampunilah... Ampunilah! Saya datang
menghadapMu ….”
Dia melipat kedua tangannya... darah masih mengalir deras dari lukanya
dan kepalanya kembali terkulai. Dia sudah tiada!
Kini tahulah saya, apa yang dimaksud dengan takdir Tuhan seperti yang
telah dia katakan, yakni dengan mencurahkan isi hatinya kepada saya untuk
meringankan beban pikirannya. Harapannya untuk mati demi membela Winnetou
sudah terlaksana. Betapa cepatnya harapan itu terwujud! Penebusan dosa terakhir
telah terkabul. Tuhan adalah pengasih dan penyayang, rasa penyesalan mendalam
Klekih-petra telah berakhir.
Winnetou meletakkan dengan hati-hati kepala Klekih-petra di atas rumput,
bangkit pelan-pelan dan memandang ayahnya seakan-akan hendak bertanya.
“Di sana pembunuhnya tergeletak, saya sudah memukulnya,” kata saya.
“Terserah mau Anda apakan.”
“Air api!”
Hanya jawaban singkat itu saja yang diucapkan oleh sang kepala suku.
Tentu saja dengan nada mengejek penuh amarah.
“Saya ingin menjadi teman kalian, saudara kalian, saya ingin pergi dengan
kalian!” Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir saya.
Dia meludahi wajah saya dan berkata,
“Anjing kudisan! Pencuri tanah demi uang! Coyote busuk! Berani-beraninya
mau ikut kami, akan saya lumatkan kamu!”
Kalau saja orang lain yang mengatakan, saya akan membalasnya dengan
tinju. Kenapa saya tidak melakukannya? Apakah mungkin karena saya memang
orang yang masuk tanpa ijin ke tanah orang? Saya tidak membalas karena naluri
agar saya meninggalkan kesan menyenangkan bagi mereka. Namun saya tidak bisa
menawarkan diri lagi, meskipun demi sumpah yang telah saya ucapkan di depan
Klekih-petra.
Orang-orang kulitputih itu berdiri membisu, menantikan apa yang akan
dilakukan dua orang Apache itu selanjutnya. Keduanya tidak menghiraukan kami.
Mereka mengangkat jenasah Klekih-petra ke atas kuda dan mengikatnya dengan
kuat, kemudian mereka menaiki pelana kudanya, menegakkan tubuh Klekih-petra
yang lunglai dan berjalan pelan-pelan dengan menyangga jenasah itu di kanan-kiri.
Mereka tidak berkata tentang balas dendam dan tidak juga sejenak berpaling ke
arah kami. Namun itu lebih buruk, jauh lebih buruk daripada jika mereka terus
terang bersumpah membalas kami dengan kematian yang mengerikan.”
“Keterlaluan dan perkara ini masih akan berlanjut!” kata Sam Hawkens.
“Bajingan itu terkapar di sana karena terkena pukulan Anda dan karena
kebanyakan alkohol. Mau kita apakan dia?”
Saya tidak menjawab. Saya memasang pelana pada punggung kuda saya
dan pergi. Saya ingin menyendiri untuk mengatasi peristiwa mengerikan setengah
jam yang lalu, paling tidak secara lahiriah. Larut malam baru saya pulang kembali
ke perkemahan dalam keadaan letih, lelah jiwa dan raga.
MENJADI DETEKTIF
Tidak lama setelah buku jilid pertama terbit, banyak surat yang dikirimkan
kepada saya yang intinya menanyakan kelanjutan kisah Winnetou. Tanggapan
positif ini ternyata di luar dugaan saya.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan dengan berkuda, kami tiba
di muara Rio Boxo de Natchitoches. Di sana kami berharap bisa bertemu dengan
orang Apache yang ditinggalkan Winnetou. Sayang harapan kami itu tidak
terwujud. Kami memang menemukan jejak dari orang-orang yang sebelumnya
berada di tempat itu, tetapi yang kami lihat di sana sangat memilukan, yakni mayat
dua orang trader yang sebelumnya memberikan keterangan kepada kami tentang
perkampungan suku Kiowa. Keduanya ditembak. Belakangan saya tahu dari
Winnetou bahwa penembaknya adalah Santer.
Kedua pedagang itu sebenarnya telah meninggalkan perkemahan Tangua
lebih awal, tetapi kano yang dipakai Santer melaju sangat cepat sehingga mereka
tiba bersamaan di muara sungai. Santer, yang berkantong kosong karena gagal
mendapatkan nugget milik Winnetou, tergiur melihat barang bawaan kedua
pedagang itu. Untuk mendapatkannya, dia menembak mati kedua orang yang tak
menaruh syak wasangka itu, kemungkinan besar dari belakang. Lalu dia
menghilang tanpa jejak dengan membawa kuda bagal mereka. Winnetou
mengetahui rentetan kejadian ini setelah menyelidiki jejak di tempat itu.
Kelihatannya pembunuh itu tidak mudah menggiring kuda beban tersebut
melalui padang sabana yang luas, apalagi dia hanya seorang diri. Selain itu, dia
terpaksa bergegas karena tahu dirinya pasti akan dikejar.
Sial bagi Winnetou, selama beberapa hari hujan turun lebat sehingga
mengaburkan jejak di tanah. Karenanya, dia tak dapat mengandalkan matanya dan
terpaksa harus mereka-reka. Kemungkinan besar Santer pergi ke permukiman
terdekat untuk menjual hasil rampasannya sehingga sang kepala suku Apache itu
tidak mempunyai pilihan selain mendatangi permukiman-permukiman itu satu
persatu.
Setelah kehilangan waktu beberapa hari, Winnetou akhirnya berhasil
menemukan kembali jejak Santer di pos perdagangan Gater. Santer sempat
mampir di sana. Dia menjual semua barang rampasannya lalu membeli seekor
kuda dan pergi ke arah timur menyusuri tepi Sungai Red River.
Winnetou lalu berpamitan kepada orang Apache yang telah menyertainya
dalam perjalanan. Dia menyuruh mereka pulang ke rumah, karena mereka bisa
menghalangi perjalanannya, dan bertekad mengejar pembunuh itu seorang diri. Dia
membawa cukup banyak bijih emas sebagai bekal untuk bertahan dalam waktu
yang lama di daerah Timur.
Di Natchitoches dia tidak meninggalkan pesan buat kami, karena itu kami
tidak tahu keberadaannya dan tidak bisa mengikutinya. Lalu kami berbalik menuju
sungai Arkansas dan mengambil jalan darat menuju St. Louis. Saya merasa sangat
kecewa karena tidak bisa bertemu lagi dengan sahabat baik saya ini. Tetapi saya
tidak mampu mengubah keadaan.
Setelah perjalanan panjang dan meletihkan, akhirnya kami tiba di St. Louis.
Kala itu hari sudah malam. Tentu saja saya langsung mencari Mr. Henry, kawan
lama saya. Dia sedang duduk di bawah lampu di depan mesin bubut dan tidak
mendengar suara derit pintu ketika saya masuk ke bengkelnya.
“Good evening, Mr. Henry!” saya memberinya salam seolah-olah baru
kemarin terakhir berkunjung. “Bagaimana, apakah Anda telah selesai membuat
senapan yang baru itu?”
Setelah menegurnya, saya kemudian duduk di ujung mesin bubut seperti
yang biasa saya lakukan dulu. Dia bangkit dari kursi, menatap saya sejenak seakan
tidak percaya lalu bersorak kegirangan,
“Anda… Anda… Andakah ini? Guru privat… Surveyor… Old Shatterhand!”
Kemudian dia merentangkan kedua tangannya lalu merangkul saya serta
mencium pipi saya berulang-ulang, bahkan sampai berbunyi.
“Old Shatterhand? Dari mana Anda tahu nama itu?” saya bertanya setelah
luapan kegembiraannya agak mereda.
“Dari mana? Haruskah Anda bertanya lagi? Di mana-mana orang
membicarakan tentang Anda, orang linglung! Anda sudah menjadi westman1
seperti yang telah ditakdirkan. Mr. White, insinyur dari seksi terdekat, dialah orang
pertama yang membawa kabar itu. Dia sangat memuji Anda. Saya sungguh merasa
bangga kepada diri Anda, itu harus saya akui. Tetapi yang paling hebat adalah apa
yang diceritakan oleh Winnetou.”
“Apa?”
“Dia menceritakan semuanya kepada saya... semuanya!”
“Apa? Apa saya tidak salah dengar? Dia sempat datang kemari?”
“Tentu saja dia berada di sini!”
“Kapan?”
“Tiga hari yang lalu. Anda menceritakan kepadanya tentang saya dan
tentang senapan Pemburu Beruang yang sudah usang itu. Jadi aneh kalau dia ke
1 Istilah ciptaan pengarang. Maksudnya adalah “man of the west” atau lebih tepatnya “frontierman”, yang konotasinya adalah: perintis atau pionir daerah Barat, pemburu prairie, dan sejenisnya.
St. Louis tanpa mengunjungi saya. Dia mengatakan, Anda telah menjadi seorang
westman yang mahir berburu bison, beruang grizzly, dan lain sebagainya. Anda
bahkan mendapat kehormatan sebagai seorang kepala suku!”
Nada-nada pujian seperti itu terus mengalir dari mulutnya. Berkali-kali saya
berusaha memotongnya tetapi tidak berhasil. Dia memeluk saya berulang-ulang.
Dia sungguh merasa bahagia karena dirinyalah yang membelokkan jalan hidup
saya ke daerah Barat yang liar itu.
Pada waktu itu Winnetou terus menelusuri jejak Santer dan mengejarnya
dengan cepat hingga ke St. Louis. Dari sana jejak tersebut mengarah ke New
Orleans. Karena sangat diburu waktu, dia tiba lebih awal di St. Louis daripada saya.
Dia meninggalkan pesan kepada Henry bahwa saya boleh menyusulnya ke New
Orleans jika mau. Tanpa berpikir dua kali saya segera memutuskan untuk
melakukannya.
Karena itu saya harus segera membereskan semua tugas yang akan saya
kerjakan pada keesokan harinya. Lalu pagi-pagi saya duduk bersama Hawkens,
Stone, dan Parker di balik pintu kaca, tempat dulu saya diwawancarai tanpa
sepengetahuan saya. Kawan lama saya Henry tidak tahan untuk tidak ikut serta.
Banyak hal yang perlu diceritakan, dilaporkan, dan dijelaskan. Seperti dari semua
seksi, seksi sayalah yang mendapatkan pengalaman yang paling menarik dan
paling berbahaya. Namun perlu dicatat pula bahwa sayalah satu-satunya surveyor
yang tersisa.
Sam berusaha sekuat tenaga agar saya bisa memperoleh bonus gaji. Sia-sia
belaka! Kami memang segera menerima gaji namun tidak diberi lebih satu sen pun
dari gaji pokok. Jujur saya akui, saya sangat kecewa karena gaji itu tidak setimpal
dengan jerih payah kami dalam membuat gambar dan catatan kerja. Pimpinan di
tempat itu mempekerjakan lima surveyor, tetapi mereka hanya membayar jatah
gaji untuk seorang dan menyimpan gaji keempat orang lainnya ke saku sendiri. Ini
terjadi justru setelah mereka menerima hasil kerja kami – atau lebih tepat
dikatakan hasil jerih payah saya sendiri.
Sam yang tidak puas segera menyampaikan keberatannya. Tetapi hasilnya
tetap sama. Dia malahan ditertawakan dan diusir bersama Dick serta Will. Dengan
lapang dada saya pun meninggalkan tempat itu mengikuti mereka. Jumlah gaji
yang saya terima hari itu memang tergolong lumayan.
Saya bermaksud menyusul Winnetou. Dia meninggalkan alamat sebuah
hotel di New Orleans kepada Mr. Henry untuk saya. Demi kesopanan dan
kesetiakawanan di antara kami, saya bertanya kepada Sam dan kedua sahabatnya,
apakah mereka mau ikut ke New Orleans. Tapi mereka bermaksud beristirahat di
St. Louis dan saya tidak bisa memaksa mereka. Kemudian saya membeli beberapa
potong pakaian dalam, juga setelan jas baru untuk menggantikan baju Indian saya.
Setelah itu saya menumpang kapal uap dan berlayar ke arah selatan. Beberapa
barang yang tidak akan saya bawa, di antaranya senapan Pemburu Beruang yang
berat itu, saya serahkan kepada Henry, dan dia berjanji akan menjaganya baik-
baik. Kuda putih juga saya tinggalkan karena saya tidak memerlukannya lagi. Kami
semua mengira bahwa saya pergi hanya untuk waktu yang singkat.
Ternyata yang terjadi sungguh lain. Kami terperangkap di tengah-tengah
daerah yang dilanda perang saudara. Hal ini tidak saya singgung sebelumnya
karena tidak ada kaitannya dengan rangkaian peristiwa yang terjadi sampai saat
ini. Kebetulan Sungai Mississippi saat itu terbuka untuk pelayaran karena Farragut,
seorang admiral terkenal, merebutnya kembali ke dalam kekuasaan pihak negara-
negara Utara. Walaupun demikian, kapal yang saya tumpangi harus melewati
beberapa pos pemeriksaan. Ini tentu penting tetapi justru menyita banyak waktu.
Ketika saya tiba di New Orleans dan bertanya kepada hotel yang dimaksud, saya
diberitahukan bahwa kemarin Winnetou telah pergi. Dia meninggalkan pesan
bahwa dia masih mengejar Santer ke Vicksburg. Karena situasi yang tidak aman,
dia menganjurkan supaya saya tidak mengikutinya. Kelak dia akan mengatakan
kepada Mr. Henry di St. Louis, di mana dia bisa ditemui.
Apa yang harus saya lakukan sekarang? Saya ingin mengunjungi sanak
kerabat di kampung yang pasti membutuhkan bantuan saya. Bukankah saya
memiliki cukup uang? Atau apakah saya harus kembali ke St. Louis untuk menanti
Winnetou di sana? Tidak. Siapa tahu, barangkali dia akan datang sendiri ke sana.
Maka pergilah saya menanyakan kapal yang akan berangkat. Ada sebuah kapal,
sebuah yankee, yang hendak berlayar ke Kuba dengan memanfaatkan situasi
peperangan yang sedang tenang saat itu. Di sana saya bisa mendapat kesempatan
untuk pergi ke Jerman atau paling tidak ke New York. Saya membulatkan tekad lalu
melangkah ke atas kapal.
Alangkah baiknya jika terlebih dahulu saya menyimpan seluruh uang saya di
bank. Tetapi bank mana di New Orleans yang bisa dipercaya? Selain itu saya pun
tidak mempunyai waktu yang cukup. Membeli tiket saja baru saya lakukan
beberapa saat sebelum kapal berangkat. Jadi terpaksa saya membawa semua uang
tunai itu di dalam saku.
Kesalahan ini cukup fatal karena malam itu kami dihadang badai hurricane.
Meskipun cuacanya mendung, perjalanan kami aman dan tidak ada tanda-tanda
akan datang angin ribut yang dahsyat pada malam hari. Maka seperti para
penumpang lain yang berangkat dari New Orleans, saya pun pergi tidur tanpa rasa
khawatir. Lewat tengah malam saya dikejutkan oleh gemuruh dan deru angin ribut
yang datang tiba-tiba. Saya pun melompat dari tempat tidur. Pada saat itu kapal
terguncang begitu hebat sehingga saya jatuh terpental. Dan kabin, tempat saya
dan ketiga penumpang lain tidur, tiba-tiba ambruk menimpa saya. Dalam situasi
seperti ini siapa yang akan memikirkan uang? Hidup bisa berubah dalam hitungan
detik. Dalam kegelapan dan kepanikan banyak waktu akan terbuang seandainya
saya berusaha mencari baju dan tas surat saya. Maka saya bergegas keluar dari
reruntuhan lalu lari, atau lebih tepat dikatakan saya berjalan terhuyung-huyung ke
atas geladak, karena kapal mulai oleng dan terombang-ambing.
Sesampainya di luar saya tidak melihat apa-apa. Semuanya gelap gulita.
Badai hurricane menghempaskan tubuh saya ke lantai, sementara itu sebuah
gelombang besar menghantam saya. Saya mendengar suara orang menjerit,
namun deru topan menutupi suara tersebut. Tidak lama kemudian kilat saling
menyambar bersusulan sehingga untuk beberapa saat keadaan menjadi terang.
Saya bisa melihat deburan ombak di depan kami. Di belakang deburan itu tampak
daratan. Sementara itu rupanya kapal terjepit di antara karang. Dan hempasan
gelombang-gelombang besar melambungkan buritan ke atas. Kapal tidak lagi
tertolong dan setiap saat bisa hancur berkeping-keping dan sialnya, semua sekoci
penyelamat sudah hilang dihanyutkan ombak. Lalu bagaimana saya bisa
menyelamatkan diri? Hanya dengan berenang! Kembali kilat menyambar dan saya
sempat melihat sekelompok penumpang yang berguling-guling sambil tangannya
menggapai-gapai untuk mencari pegangan di dek supaya tidak terseret oleh
gelombang. Sebaliknya saya justru berpikir, menghadapi bahaya seperti itu orang
harus lebih mengandalkan diri sendiri.
Tiba-tiba datang sebuah gelombang setinggi rumah yang tampak berkilat-
kilat walaupun dalam kegelapan malam. Gelombang itu menghantam kapal dan
kapal berderak. Saya yakin, kapal telah berubah menjadi puing-puing. Saya
berpegang erat-erat pada sebuah penyangga besi, tapi kemudian pegangan itu
terlepas. Oh Tuhan, tolong selamatkan saya! Saya merasa seolah-olah diangkat
begitu tinggi oleh gelombang. Tubuh saya berputar-putar seperti bola kemudian
dicampakkan ke sebuah jurang yang dalam lalu terlempar lagi ke atas. Begitu
seterusnya. Saya hanya diam karena sekarang semua usaha bakal sia-sia. Tetapi
begitu gelombang mencapai pantai, saya harus berjuang agar tidak terseret
kembali ke tengah laut.
Hanya kira-kira setengah menit saya terperangkap dalam badai yang
dahsyat itu, tetapi rasanya seperti berjam-jam lamanya. Tiba-tiba gelombang-
gelombang besar itu melemparkan tubuh saya ke udara, mempermainkan saya dan
akhirnya menghempaskan saya ke perairan yang tenang di antara batu-batu
karang. Sekarang saya tidak boleh lagi terseret! Saya mengerahkan kedua tangan
dan kaki lalu berenang dengan sekuat tenaga, yang seumur hidup belum pernah
saya lakukan sebelumnya. Yang saya maksudkan dengan ‘perairan yang tenang’
tadi bukanlah perairan yang sungguh aman. Kini saya tidak lagi berjuang melawan
gelombang setinggi rumah. Namun angin masih bertiup kencang dan laut masih
bergelora sehingga berkali-kali tubuh saya dihempaskan kian kemari, seperti
sepotong ranting yang diaduk-aduk dalam tong air. Syukurlah akhirnya saya bisa
melihat daratan. Seandainya daratan itu tidak terlihat sangat mungkin saya sudah
binasa. Saya tahu ke arah mana saya harus berenang. Walaupun saya hanya
berenang perlahan-lahan dalam amukan badai, tapi pada akhirnya saya berhasil
mencapai pantai. Hanya saja semuanya terjadi tidak seperti yang saya kira. Laut
kelihatan gelap, begitu juga daratan. Dalam kegelapan ini saya tidak bisa
membedakan antara keduanya, karena itu saya tidak tahu di mana tempat yang
cocok. Kepala saya tiba-tiba membentur keras pada dinding karang. Rasanya
kepala saya seperti dihantam oleh sebuah palu. Tetapi saya tidak kehilangan akal
dan segera memanjat ke atas karang. Setelah itu saya jatuh pingsan.
Ketika saya kembali sadar ternyata badai hurricane belum mereda. Kepala
saya terasa nyeri, tetapi saya tidak menghiraukannya. Yang lebih mencemaskan
saya adalah kenyataan bahwa saya tidak tahu, di mana saya kini berada. Apakah
saya terbaring di pantai atau di atas sebuah karang yang biasanya tersembul di
atas permukaan laut? Saya tidak boleh beranjak dari sana. Tempat itu datar dan
licin. Dengan susah payah saya bertahan di situ karena dengan mudah dapat
dihanyutkan kembali oleh angin yang masih bertiup kencang. Setelah beberapa
lama badai berangsur-angsur mereda dan kembali tenang. Sama seperti biasanya,
kali ini pun semuanya berlangsung tidak lama. Topan itu tiba-tiba berlalu, hujan
pun berhenti dan tampak bintang-bintang kembali bersinar di angkasa.
Di bawah cahaya bintang saya bisa mengamati keadaan di sekeliling.
Ternyata saya terdampar di pesisir pantai. Di belakang saya terdengar deburan
ombak, sementara itu di depan tampak beberapa pohon yang tumbuh satu-satu.
Saya melangkah ke sana. Pohon-pohon itu mampu bertahan terhadap amukan
angin ribut. Sementara itu kebanyakan pohon lain sudah tercabut akarnya dan
tumbang, bahkan ada yang terlempar cukup jauh. Pada saat itu saya melihat
kerlap-kerlip cahaya di kejauhan. Pasti di tempat itu ada orang. Saya bergegas ke
sana.
Tampak banyak orang berdiri di dekat beberapa bangunan yang porak
poranda akibat badai. Bahkan ada atap sebuah rumah yang hilang diterbangkan
angin. Betapa tercengangnya penduduk di sana ketika melihat saya. Mereka
memandang saya penuh keheranan seolah-olah melihat hantu. Dan karena laut
masih bergejolak, maka kami harus berbicara keras agar bisa saling mengerti.
Ternyata mereka adalah para nelayan. Badai telah menghempaskan kapal kami ke
Pulau Tortugas. Di pulau ini terdapat benteng Jefferson dan dulu dalam benteng ini
diasingkan para tawanan perang negara federal.
Dengan sangat ramah mereka menyambut dan memberikan saya baju ganti
serta beberapa pakaian lainnya karena saya hanya berpakaian tipis seperti
lazimnya orang yang hendak tidur. Kemudian tanda bahaya dibunyikan sebagai
peringatan agar mereka segera ke pantai untuk mencari korban yang mungkin
masih bisa diselamatkan. Hingga keesokan harinya ada enam belas orang yang
ditemukan. Tetapi hanya tiga yang masih bertahan hidup, yang lainnya sudah mati.
Ketika hari siang, saya pergi ke pantai dan melihat puing-puing yang berserakan di
pesisir. Kapal kami memang hancur berkeping-keping. Hanya anjungannya saja
yang tersisa dan bagian itu sekarang tergeletak di atas batu karang.
Sekarang saya menjadi orang yang benar-benar miskin dalam arti yang
sesungguhnya, karena saya tidak memiliki apa-apa lagi. Uang yang sebenarnya
bisa saya gunakan untuk bersenang-senang kini sudah tenggelam ke dasar laut.
Tentu saya menyesal atas kehilangan itu, tetapi saya bisa terhibur karena hanya
saya dan ketiga orang itu yang selamat. Ini merupakan nasib yang sangat mujur.
Komandan benteng menyambut kami di rumahnya dan kami mendapatkan
semua yang kami butuhkan. Bahkan dia memberi kesempatan kepada saya untuk
pergi menuju New York dengan kapal. Ketika tiba di sana, saya jauh lebih miskin
daripada ketika saya dulu untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di kota itu.
Saya tidak memiliki apa pun selain keberanian untuk memulai hidup yang baru.
Mengapa saya memutuskan untuk bertolak ke New York dan bukannya ke
St. Louis, padahal di sana saya mempunyai banyak kenalan dan paling tidak bisa
mengharapkan pertolongan dari Mr. Henry? Itu semata karena saya sudah banyak
berhutang budi padanya dan saya tidak mau membebani dia sekali lagi. Ya, lain
halnya jika sudah pasti bahwa saya akan bertemu dengan Winnetou di tempat itu.
Sayang sekali hal itu sama sekali belum dapat dipastikan. Usahanya memburu
Santer bisa berlangsung berbulan-bulan atau bahkan lebih lama lagi. Di mana saya
harus mencarinya? Saya memang berniat untuk bertemu dengan dia kembali, tentu
saja untuk itu saya harus menuju ke Barat, ke Pueblo di Rio Pecos. Untuk mencapai
tujuan ini pertama-tama saya harus mengumpulkan uang terlebih dahulu untuk
biaya perjalanan. Dan dalam situasi seperti ini rasanya New York adalah tempat
terbaik untuk mencari uang.
Perkiraan saya tidak meleset. Saya bernasib mujur. Di New York saya
berkenalan dengan Mr. Josh Tailor, pemimpin sebuah kantor detektif privat yang
ternama dan saya melamar untuk bergabung dalam lembaga itu. Ketika dia tahu
siapa saya dan apa yang saya kerjakan dalam waktu-waktu terakhir, dia
mengatakan ingin terlebih dahulu membuat tes kelayakan kerja. Dia selalu
beranggapan, orang Jerman tidak terampil untuk profesi detektif. Tetapi saya
akhirnya berhasil melewati tes. Dan hal ini bukan karena kepandaian saya
melainkan lebih karena faktor kebetulan. Lambat laun saya pun memperoleh
kepercayaan yang semakin besar sehingga dia mulai menyukai saya dan
mempercayakan kepada saya pekerjaan-pekerjaan yang berat namun
mendatangkan pemasukan yang memuaskan. Suatu hari, setelah pengarahan, dia
memanggil saya ke kantornya. Di dalamnya sudah duduk seorang pria berumur
yang kelihatan cemas. Kami berkenalan. Namanya Ohlert dan dia adalah seorang
pemilik bank. Maksud kedatangannya adalah meminta bantuan kami untuk suatu
urusan pribadi. Kasus ini sangat meresahkan hatinya sekaligus membahayakan
perusahaannya.
Dia memiliki seorang anak tunggal, seorang anak laki-laki bernama William
Ohlert. Umurnya dua puluh lima tahun dan belum menikah. Dalam urusan bisnis ini
dia mempunyai hak yang setingkat dengan ayahnya. Ayahnya sendiri berdarah
Jerman dan menikahi seorang wanita Jerman. William kelihatannya lebih
menyibukkan diri dengan hal-hal ilmiah dan seni serta buku-buku bernuansa
metafisis daripada buku kas. Dan dia bukan saja menganggap diri sebagai seorang
sarjana hebat melainkan juga seorang penyair. Keyakinan itu semakin diperkuat
setelah beberapa puisinya dimuat dalam koran berbahasa Jerman di New York.
Suatu hari dia berkeinginan menulis cerita tragedi dengan tokoh utama seorang
penyair gila. Untuk bisa menulis cerita ini dia beranggapan, dia harus banyak
belajar tentang penyakit gila. Sejumlah besar buku tentang tema itu
didatangkannya. Akibatnya sungguh mengejutkan. Dari hari ke hari William makin
mengidentifikasikan dirinya dengan penyair imajinatif tersebut dan bahkan
menganggap dia sendiri pun sudah menjadi gila. Beberapa waktu yang lalu
ayahnya mendatangi seorang dokter yang telah lama bercita-cita mendirikan
sebuah pusat rehabilitasi orang gila. Ada sumber yang menyebutkan, dulu dia
pernah menjadi asisten dokter spesialis penyakit jiwa yang terkenal. Karena itu
pemilik bank tadi segera mempercayai orang itu sepenuhnya. Dia kemudian
meminta dokter itu untuk berkenalan dengan anaknya dengan harapan semoga
akhirnya dia bisa menyembuhkan penyakit anak semata wayang tersebut.
Sejak saat itu tumbuh ikatan persahabatan yang erat antara sang dokter
dengan pasiennya, Ohlert yunior. Tanpa diduga, suatu hari keduanya tiba-tiba
menghilang. Setelah menyelidiki lebih jauh, baru pemilik bank itu mendapat
keterangan bahwa ternyata dokter itu adalah salah satu dari sekian banyak dokter
gadungan yang masih terus membuka praktek di Amerika tanpa terjerat sedikit pun
oleh hukum.
Tailor bertanya, siapakah nama dokter gadungan tersebut. Ketika orang
menyebut namanya, Gibson, serta alamat rumahnya, barulah kami sadar bahwa
kini kami kembali berurusan dengan seorang musuh lama yang dulu pernah saya
mata-matai karena suatu kasus. Bahkan saya masih memiliki sebuah fotonya. Foto
itu tersimpan di kantor. Dan ketika saya menunjukkan potret tersebut kepada
Ohlert, dia segera mengenali orang itu, yang tak lain adalah dokter dan sahabat
anaknya.
Gibson sebenarnya seorang penipu kelas wahid yang sudah lama beroperasi
dengan berbagai kedok di Amerika Serikat dan Mexico. Kemarin pemimpin bank itu
pergi ke rumah penginapan tempat Gibson bermalam, dan diberitahu bahwa Gibson
sudah membayar semua biaya penginapannya lalu pergi. Entah ke mana, tak
seorang pun tahu. Sementara itu William membawa uang kontan dalam jumlah
yang besar. Pada hari berikutnya datang telegram dari sebuah bank di Cincinnati
yang bekerjasama dengan bank Ohlert yang isinya memberitahukan bahwa William
telah menarik uang sebanyak lima ribu dollar lalu pergi ke Louisville untuk
menjemput kekasihnya. Berita yang terakhir ini tentu saja bohong.
Dari semua fakta di atas dapat disimpulkan bahwa dokter gadungan itu
menjadikan pasiennya sebagai sandera untuk meminta uang tebusan yang besar.
William dikenal secara dekat oleh banyak pemilik bank ternama dan dia bisa
mendapatkan dari mereka semua yang diinginkannya.
Kami diminta untuk membekuk penculiknya dan membawa William pulang
ke rumah. Penyelesaian kasus berat ini dipercayakan kepada saya. Saya mendapat
surat kuasa dan beberapa petunjuk serta sebuah potret wajah William Ohlert, lalu
segera naik kapal menuju Cincinnati. Karena Gibson mengenal saya, maka saya
juga membawa perlengkapan yang diperlukan untuk menyamar seandainya situasi
memintanya demikian.
Setibanya di Cincinnati saya mengunjungi pemimpin bank yang disebut di
atas. Dia mengatakan bahwa Gibson memang bersama-sama dengan William
Ohlert. Dari sana saya berangkat ke Louisville. Di sana saya diberitahu bahwa
kedua orang itu telah memesan tiket kapal dengan jurusan St. Louis. Tentu saja
saya menyusul ke sana. Saya baru menemukan jejak mereka setelah pencarian
yang panjang dan melelahkan. Tentu saja di sana saya bisa memperoleh bantuan
dari kawan lama saya, Mr. Henry, yang tentu saja segera saya kunjungi begitu tiba
di kota itu. Dia agak terkejut ketika mengetahui bahwa saya bekerja sebagai
seorang detektif. Dia ikut prihatin karena saya kehilangan uang ketika kapal karam
itu. Dan ketika kami akan berpisah, saya harus berjanji kepadanya bahwa setelah
tugas ini selesai, saya akan melepaskan profesi sebagai detektif dan pergi ke Barat.
Di sana saya harus mencoba senapan pemburu yang berhasil dirakitnya. Dia juga
menganjurkan supaya saya menyimpan senapan Pembunuh Beruang.
Ohlert dan Gibson rupanya telah berangkat ke New Orleans dengan
menumpang kapal uap melalui Sungai Mississippi. Maka saya pun menyusul ke
sana. Beruntung Ohlert senior menyerahkan daftar nama bank-bank yang selama
ini selalu menjalin kerjasama dengannya. Di Louisville dan St. Louis saya menemui
beberapa pegawai bank dan saya diberitahu bahwa sebelumnya William berada di
situ dan kembali menarik sejumlah uang. Hal yang sama pun dilakukannya di dua
bank lainnya di New Orleans yang menjadi rekan bisnis ayahnya. Kepada pegawai
tersebut saya mengingatkan sekaligus meminta agar mereka melaporkan kepada
saya jika William datang lagi ke tempat itu.
Hanya begitulah keterangan yang berhasil saya kumpulkan. Dan kini saya
terperangkap dalam lautan manusia yang memadati jalan-jalan di New Orleans.
Sudah tentu saya juga meminta bantuan kepada polisi, dan saya tidak bisa
berbuat apa-apa selain menunggu hasil yang mereka peroleh. Tetapi supaya tidak
hanya duduk berpangku tangan saja, saya menerobos ke dalam kerumunan orang
sambil mencari-cari. Siapa tahu barangkali saya bisa menemukan hal-hal penting
tanpa diduga-duga.
Kota New Orleans memiliki karakter yang sangat kuat dipengaruhi oleh
budaya daerah Selatan. Ini terutama terlihat pada bangunan di bagian kota tua. Di
sana jalan-jalan dan rumah tampak kotor dan sempit dan dipenuhi dengan
bangunan-bangunan yang belum rampung serta balkon. Di situ tinggal orang-orang
yang hidupnya tersembunyi dari keramaian umum. Semua warna kulit bisa
ditemukan di sana, mulai dari warna putih pucat kekuning-kuningan hingga warna
hitam yang paling legam. Para pemusik jalanan, penyanyi musiman, dan pemain
gitar memperdengarkan kemampuannya dengan cara yang sangat memekakkan
telinga. Terdengar suara laki-laki yang berteriak-teriak sementara perempuan
menjerit-jerit. Ada seorang pelaut yang menarik rambut kuncir seorang Tionghoa
yang kemudian balas memaki dirinya. Terlihat juga dua orang Negro yang sedang
berkelahi, dikelilingi oleh penonton yang tertawa senang. Pada sudut yang lain
tampak dua kuli pemikul barang yang tidak sengaja bertabrakan, tetapi lalu
melepaskan pikulannya kemudian saling memukul dengan penuh amarah. Seorang
temannya datang terburu-buru untuk melerai mereka, tetapi malahan dihujani
dengan pukulan yang sebenarnya tidak dimaksudkan baginya.
Kesan yang lebih baik saya jumpai di daerah pinggiran kota. Di sana
terdapat rumah-rumah indah bermotif pedesaan yang dihiasi dengan taman-taman
yang ditata rapi. Di atas taman itu tumbuh mawar, pohon palem, dan berbagai
tumbuhan berbuah lain seperti suduayah, pir, ara, persik, jeruk, dan limau. Di sana
para penduduknya bisa menikmati ketenangan serta kedamaian setelah mereka
disibukkan oleh hiruk-pikuk kota.
Yang paling ramai tentu saja di daerah pelabuhan. Di tempat itu
berseliweran kapal dan kendaraan dari berbagai jenis dan ukuran. Tampak juga
gulungan bola-bola kapas dan tong-tong berukuran raksasa, juga ratusan pekerja
yang sibuk bekerja di antaranya. Orang merasa seolah-olah sedang berada di pasar
kapas di Hindia Timur.2
Saya terus ngeluyur menyusuri kota sambil tetap membuka mata lebar-
lebar – tapi tak ada hasil! Saat itu hari sudah siang dan udara menjadi panas. Saya
berada di Common Street, sebuah jalan yang lebar dan indah. Dari jauh mata saya
menangkap tulisan pada papan nama sebuah kedai minum Jerman. Saya berpikir,
seteguk bir pilsener pada cuaca sepanas ini tentu sangat menyegarkan. Saya pun
melangkah masuk.
Kesukaan orang terhadap bir ini bisa diamati dari sejumlah pengunjung yang
duduk di dalam kedai. Setelah mencari sejenak akhirnya saya melihat sebuah
tempat duduk yang masih kosong di pojok bagian belakang. Di sana terdapat
sebuah meja kecil dengan dua tempat duduk. Sebuah bangku sudah ditempati
seorang pria dengan tampang yang cukup menyeramkan sehingga tak ada
pengunjung yang berani mengambil tempat di depannya. Tanpa peduli saya
melangkah ke sana lalu meminta izin kepadanya supaya boleh minum di tempat
itu.
Di wajahnya terlihat senyum iba. Dia menatap saya dengan pandangan
menyelidik, seperti agak menghina lalu bertanya,
“Anda mempunyai cukup uang, Master?”
“Tentu saja!” saya menjawab tetapi juga merasa heran mendengar
pertanyaan seperti itu.
“Jadi Anda bisa membayar bir juga tempat duduk yang hendak Anda pakai?”
“Saya pikir, ya!”
2 Sebutan untuk negara-negara jajahan Inggris dan Belanda yang ada di sekitar wilayah India.
“Well, lalu mengapa Anda meminta izin saya supaya boleh duduk di sini?
Menurut perhitungan saya, Anda seorang Jerman, seorang greenhorn3 di daerah
ini. Enyahlah ke neraka semua orang yang bermaksud menghalang-halangi saya
untuk duduk pada tempat yang saya sukai. Sekarang duduklah! Letakkan kaki ke
sana seperti yang Anda inginkan dan tendanglah tengkuk orang yang coba-coba
melarang Anda.”
Harus saya akui dengan jujur, cara dan gaya bicara orang ini sungguh
mengesankan. Saya merasa tiba-tiba pipi saya memerah. Sejujurnya harus saya
katakan, ucapan tadi kedengaran seperti menghina saya. Saya merasa tersinggung
dan ingin menunjukkan bahwa kata-katanya tidak berkenan di hati saya. Paling
tidak saya harus mencoba membela diri. Maka setelah duduk, saya menyahut,
“Jika Anda menganggap saya orang Jerman, maka tebakan Anda sungguh
tepat, Master! Tetapi saya tidak suka disebut ‘Dutchman’4. Jika tidak, saya terpaksa
membuktikan kepada Anda, bahwa sesungguhnya saya bukan seorang greenhorn.
Orang boleh bersikap ramah dan itu tidak berarti bahwa dia kurang pengalaman.”
“Pshaw!” jawabnya tenang. “Di mata saya Anda kelihatan tidak begitu
pandai. Tetapi jangan terburu-buru marah, tak ada gunanya. Saya sama sekali
tidak bermaksud jelek terhadap Anda. Saya pun sungguh tidak tahu bagaimana
Anda begitu berani duduk di hadapan saya. Old Death tidak membiarkan
ketenangannya terusik oleh ancaman orang lain.”
Old Death! Ah, ternyata orang ini Old Death! Sudah sering saya mendengar
tentang westman terkenal ini. Ketenarannya bahkan terdengar hingga ke daerah
perkemahan di seberang Sungai Mississippi, juga merambah hingga ke negara-
negara di bagian Timur. Walaupun hanya sekitar sepuluh atau dua puluh persen
dari semua yang diceritakan tentang dirinya mendekati kebenaran, orang harus
mengangkat topi dan mengakui dia sebagai pemburu dan scout5 yang luar biasa.
Sejak lama dia mengembara di daerah Barat dan meskipun menghadapi banyak
bahaya maut, belum pernah dia terluka sedikit pun. Karena kenyataan ini, mereka
yang percaya kepada takhayul menganggap dia kebal peluru.
Tak seorang pun tahu, siapa nama orang ini sebenarnya. Old Death lebih
merupakan nom de guerre6, mungkin karena tubuhnya yang sangat kurus. Seperti
‘mayat hidup’! Ketika saya duduk di hadapannya dan memperhatikan dia, baru
saya mengerti mengapa orang sampai menyebutnya demikian.
3 Menurut asal-usul kata: anak sapi yang tanduknya belum sepenuhnya tumbuh. Jadi konotasinya seseorang yang belum sepenuhnya dewasa. 4 Sebutan olok-olok untuk orang Jerman. 5 Pencari jejak atau pemandu. Mereka adalah westman yang bertugas memandu pasukan serdadu, atau imigran di Wild West.
Dia mempunyai perawakan yang sangat tinggi. Badannya yang bungkuk
kelihatan seperti hanya terdiri dari kulit dan tulang. Celana kulit yang dipakainya
tampak terlalu pendek. Baju berburunya yang terbuat dari kulit pun kelihatan
semakin menyusut bersamaan dengan waktu, sehingga lengan baju tersebut hanya
sedikit melewati sikunya. Pada bagian ini orang bisa melihat kedua tulang hasta
dan tulang pengumpilnya dengan jelas seperti membedakan satu tulang dari
tulang-belulang lainnya. Kedua lengannya juga terlihat seperti kerangka manusia.
Dari dalam baju berburunya menjulur lehernya yang kurus dan panjang.
Sementara itu jakunnya menggantung seperti sebuah pundi-pundi kulit. Dan
sekarang kepalanya! Kepala itu tampak seperti tak berisi daging. Matanya sangat
cekung dan di atas kepalanya tidak tumbuh sehelai rambut pun. Pipinya kurus,
dagunya panjang dengan tulang rahang yang menonjol, hidungnya yang pesek
dengan lubang hidung yang besar… sungguh, kepala itu tak ubahnya seperti
tengkorak mayat. Dan orang akan merasa ngeri seandainya tiba-tiba berpapasan
dengannya. Kesan tentang kepalanya juga diperkuat oleh hidung saya. Saya
mencium bau sulfur dan amoniak yang menyengat. Karena bau ini orang bisa
kehilangan selera makannya.
Telapak kakinya yang panjang dan kurus terbungkus oleh sepatu tinggi yang
terbuat dari sepotong kulit kuda yang dijahit. Pada sepatu itu dipasang penggertak
berukuran raksasa yang terbuat dari uang logam Peso Mexico.
Di sampingnya, di atas lantai tergeletak sebuah pelana kuda beserta tali
kekang dan semua perlengkapannya. Di atasnya bersandar sepucuk senapan
Kentucky sepanjang satu hasta7. Senjata seperti itu jarang ditemui karena tidak
lagi dijual di toko. Dia juga mempersenjatai diri dengan sebilah pisau Bowie dan
dua pucuk revolver besar. Popor senjata yang disebut terakhir tampak menyembul
dari sabuk senjatanya. Sabuk senjata itu terbuat dari kulit berbentuk mirip tas
pinggang dan dihiasi dengan kulit scalp sebesar telapak tangan. Kulit scalp itu
bukan berasal dari mukapucat, jadi bisa dipastikan bahwa kulit itu berasal dari
kepala orang Indian yang telah dibunuhnya.
Seorang boardkeeper datang mengantar bir yang saya pesan. Ketika saya
mendekatkan gelas ke bibir untuk minum, tiba-tiba pemburu itu menahan saya,
“Tunggu sebentar!” katanya. “Jangan terburu-buru, boy! Kita harus
bersama-sama mengangkat gelas lalu bersulang. Bukanlah hal itu menjadi adat
kebiasaan di negeri Anda?”
6 Perancis: Nama julukan. 7 1 hasta = 60 – 80 cm.
“Ya, tapi itu hanya dilakukan bersama kenalan dekat!” jawab saya tanpa
menghiraukan permintaannya.
“Jangan salah mengerti! Sekarang kita duduk bersama dan kita tidak perlu
bersitegang. Jadi marilah kita bersulang! Saya bukan seorang mata-mata atau
pembohong. Dan Anda boleh bersantai sejenak bersama saya barang seperempat
jam.”
Nada suaranya terdengar lebih ramah daripada sebelumnya. Saya
menyentuhkan ujung gelas pada gelasnya lalu berkata,
“Saya tahu siapa Anda, Sir! Seandainya Anda sungguh Old Death, saya tidak
perlu khawatir karena berteman dengan orang yang salah.”
“Jadi Anda mengenal saya? Kalau begitu saya tidak perlu lagi bercerita
tentang diri sendiri. Lebih baik kita bercerita tentang diri Anda. Apa alasan paling
mendasar sehingga Anda datang ke kota ini?”
“Alasan yang sama yang juga mengantar semua orang lain datang ke
tempat ini… saya ingin coba mengadu nasib di sini.”
“Saya mengerti! Di sana, di daratan Eropa, orang berpikir bahwa di sini kita
hanya perlu membuka dompet dan membiarkan lembaran-lembaran dollar
melayang sendiri ke dalamnya. Jika seseorang bernasib mujur, semua koran akan
memuat berita tentang dia. Sedangkan tentang ribuan orang yang tenggelam
dalam perjuangan melawan gelombang kehidupan dan akhirnya menghilang tanpa
jejak tidak pernah diberitakan. Apakah Anda sudah menemukan keberuntungan
ataukah Anda masih harus menantinya?”
“Saya kira, saat ini saya masih harus menanti.”
“Kalau begitu berkonsentrasilah agar jangan sampai Anda melewatkan lagi
peluang yang ada! Saya tahu benar, betapa sulitnya bertahan dalam penantian
seperti itu. Mungkin Anda sudah tahu kalau saya seorang scout yang bisa
disejajarkan dengan seorang westman, hanya hingga kini saya selalu gagal
mengejar nasib mujur. Berkali-kali saya mengira bahwa saya tinggal
menangkapnya. Tapi begitu saya mengulurkan tangan, tiba-tiba keberuntungan itu
lenyap seperti castle in the air (tak berbekas), seolah-olah semuanya hanya
bayang-bayang belaka.”
Dia mengucapkan kalimat ini dengan nada sedih lalu menunduk dalam-
dalam dan menatap ke tanah. Karena saya tidak menanggapinya, dia kemudian
memandang saya setelah beberapa saat lalu berkata,
“Anda pasti tidak mengerti mengapa saya sampai berkata demikian. Sangat
mudah. Saya selalu merasa prihatin bila melihat orang Jerman, apalagi orang
Jerman yang masih muda belia. Karena saya harus mengatakan kepadanya bahwa
dia pun pasti akan gagal. Anda harus tahu, ibu saya orang Jerman dan dari dia
saya belajar bahasa Anda. Apabila Anda mau, kita boleh berbicara dalam bahasa
Jerman. Pada detik-detik kematiannya ia menunjukkan kepada saya jalan-jalan
yang mestinya saya lalui supaya akhirnya saya bisa menuai kebahagiaan. Tetapi
saya merasa diri lebih pintar dan berjalan ke arah yang lain. Master, Anda lebih
bijaksana daripada saya! Tapi tampaknya apa yang terjadi pada saya akan terulang
juga pada diri Anda.”
“Sungguh? – Mengapa?”
“Anda terlalu lembut. Tubuh Anda harum. Apabila orang Indian melihat
potongan rambut Anda, mereka pasti akan jatuh pingsan karena terkejut. Pada
kemeja Anda pun tidak terdapat bercak noda atau pun debu. Karena itu keliru jika
Anda hendak mengadu nasib di daerah Barat ini!”
“Saya sama sekali tidak berniat mengadu nasib di sini.”
“Oh ya? Apakah Anda bersedia mengatakan kepada saya, kira-kira apa
keahlian atau bidang Anda?”
“Saya lulusan perguruan tinggi!”
Saya mengucapkan hal ini dengan nada agak bangga. Tetapi dia hanya
tersenyum kecil menatap saya – kelihatan seperti senyum menyeringai di wajahnya
yang mirip mayat –, menggeleng-gelengkan kepala lalu berkata,
“Lulusan perguruan tinggi! Astaga! Jadi Anda sungguh berharap banyak dari
gelar itu? Justru orang-orang seperti Andalah yang paling tidak mampu mengubah
nasibnya menjadi lebih baik. Tentang itu saya punya cukup pengalaman. Apakah
Anda memiliki sebuah pekerjaan tetap?”
“Ya, di New York!”
“Pekerjaan apa?”
Pertanyaan ini diucapkannya dengan suara yang sangat lain sehingga tidak
mungkin saya menolak untuk menjawabnya. Tetapi karena saya tidak boleh
mengatakan hal yang sebenarnya, maka saya hanya menjawab,
“Saya bekerja pada seorang pemilik bank. Dan dia menugaskan saya untuk
menyelesaikan suatu urusan di tempat ini.”
“Pemilik bank? Ah! Kalau begitu jalan hidup Anda lebih mulus daripada yang
saya bayangkan sebelumnya. Jagalah terus posisi itu, Sir! Tidak semua orang yang
berpendidikan bisa bekerja pada seorang hartawan Amerika. Apalagi di New York!
Anda pasti mendapat kepercayaan yang luar biasa besar walaupun usia Anda masih
muda. Jika tidak, tentu orang tidak berani mengirim Anda dari New York ke daerah
Selatan ini. Maaf kalau tadi saya salah menebak Anda, Sir! Jadi persoalan yang
hendak Anda tuntaskan menyangkut uang?”
“Ya, kira-kira seperti itu.”
“Hm, bagus, bagus!”
Sekali lagi dia menatap saya dengan pandangan memeriksa kemudian
tersenyum menyeringai seperti sebelumnya lalu berkata,
“Saya kira, saya sudah bisa menebak tujuan keberadaan Anda di sini.”
“Saya tidak yakin.”
“Tidak apa-apa. Tetapi saya ingin memberikan satu nasihat baik buat Anda.
Kalau Anda tidak ingin diketahui orang lain bahwa Anda ke tempat ini untuk
mencari seseorang, maka Anda harus membuka mata lebar-lebar. Anda telah
mengamati semua pengunjung di dalam kedai ini satu persatu dan kini pandangan
Anda terarah ke jendela untuk memantau orang-orang yang lewat di sana. Jadi
Anda sedang mencari seseorang. Bukankah demikian?”
“Benar, Master. Saya bermaksud bertemu dengan seseorang. Hanya tempat
tinggalnya tidak saya ketahui.”
“Kalau begitu tanyakan saja ke hotel-hotel!”
“Saya sudah mencobanya, tetapi sia-sia. Bahkan saya pun sudah meminta
bantuan polisi, tetapi hasilnya tetap sama.”
Senyum kembali menghias wajahnya. Lalu dia tertawa sendiri, menepuk-
nepuk punggung saya dan berkata,
“Master, walaupun demikian Anda tetap seorang greenhorn, seorang
greenhorn sejati. Saya harap Anda tidak tersinggung, tetapi yang saya katakan ini
benar.”
Pada saat itu saya baru sadar bahwa saya sudah terlalu banyak bicara. Dia
rupanya menangkap kesan ini, karena itu katanya,
“Jadi Anda datang kemari karena suatu persoalan yang berhubungan dengan
uang, seperti yang Anda katakan tadi. Orang yang bertanggung jawab atas kasus
ini sedang dicari polisi. Dan tugas ini dilimpahkan kepada Anda. Karena itu Anda
berkeliling di setiap sudut jalan serta kedai-kedai minum untuk menemukan dia.
Saya tidak layak digelari Old Death jika saya tidak tahu, siapa orang yang sekarang
duduk di hadapan saya.”
“Kalau begitu siapa saya, Sir?”
“Seorang detektif, seorang polisi swasta yang diberi tugas menguraikan
suatu persoalan. Dan persoalan itu lebih terkait dengan masalah keluarga
ketimbang kejahatan murni.”
Orang ini ternyata mempunyai kemampuan analisa yang tajam. Haruskah
saya berterus terang dengan mengatakan bahwa analisanya benar? Tidak! Karena
itu saya menyahut,
“Analisa Anda sangat tajam, Sir! Tapi kali ini Anda salah!”
“Saya kira tidak.”
“Tentu, Anda salah!”
“Well! Entah Anda bersedia mengakuinya atau tidak, itu urusan Anda. Saya
tidak bisa dan tidak mau memaksa Anda. Tetapi jika Anda ingin agar orang tidak
mengenali Anda, maka jangan bersikap begitu kentara. Urusan ini menyangkut
uang. Sebagai seorang greenhorn, Anda dipercayakan tugas ini, tentu agar tidak
menyolok. Anda harus bertindak hati-hati karena orang yang berada di balik kasus
ini adalah seorang kenalan dekat atau mungkin anggota keluarga dari korban.
Tentu kasus ini berbau kriminal, jika tidak pasti para polisi di sini tidak
mengerahkan bantuannya untuk Anda. Barangkali sang korban mempunyai seorang
penasehat yang selalu bersama-sama dengan dia dan ingin mengeruk semua
hartanya. Ya, ya, Anda boleh memandang saya seperti itu, Sir! Apakah Anda heran
atas analisa saya? Baiklah, seorang westman sejati sanggup merancang sebuah
jalan panjang dari sini hingga ke Canada hanya dengan membaca dua jejak kaki di
tanah. Dan sangat jarang dia keliru.”
“Anda membuat suatu analisa yang berlebihan, Master!”
“Pshaw! Anda boleh terus menyangkal. Saya tidak dirugikan sedikit pun. Di
sini saya dikenal banyak orang dan saya bisa memberikan petunjuk-petunjuk yang
berguna kepada Anda. Tapi jika Anda berpikir, Anda lebih cepat mencapai tujuan
dengan cara Anda sendiri, maka Anda pantas dipuji. Namun apakah cara itu cukup
bijaksana, saya masih meragukannya.”
Dia bangkit, mengeluarkan sebuah pundi-pundi kulit yang sudah usang dari
dalam saku dan membayar minumannya. Saya khawatir kalau saya telah melukai
perasaannya melalui sikap saya yang kurang percaya. Karena itu untuk
memperbaiki keadaan, saya berkata,
“Ada beberapa persoalan, di mana orang lain atau paling tidak orang tak
dikenal tidak boleh dibiarkan tahu terlalu banyak. Saya sama sekali tidak
bermaksud menghina Anda dan saya pikir...”
“Ya, ya!” potongnya sambil meletakkan sekeping uang di atas meja. “Itu
bukanlah penghinaan. Saya mempunyai maksud baik terhadap Anda, sebab Anda
memiliki sesuatu dalam diri Anda yang sungguh menarik hati saya.”
“Barangkali kita akan bertemu lagi!”
“Sangat sulit. Hari ini saya akan pergi ke Texas lalu masuk ke Mexico. Saya
tidak bisa memastikan bahwa Anda pun nanti akan menempuh jurusan yang sama.
Karena itu… Farewell, Sir! Ingatlah selalu bahwa saya menamai Anda seorang
greenhorn! Sedangkan tentang nama saya Old Death, Anda boleh menyebutnya
demikian karena saya tidak malu dengan nama itu. Dan tak ada salahnya kalau
seorang anak muda seperti Anda sedikit lebih merendah.”
Dia mengenakan topi sombrero yang tergantung di dinding di atasnya,
menaikkan pelana dan kekang kuda ke pundaknya lalu menenteng senjatanya dan
pergi. Namun setelah tiga langkah, dia berpaling lalu kembali ke tempat saya dan
berkata,
“Segala sesuatu pasti ada gunanya, Sir! Dulu saya pernah belajar di
perguruan tinggi. Dan kini saya baru sadar, betapa tololnya saya waktu itu. Good
bye!”
Kali ini dia keluar meninggalkan ruangan tanpa menoleh untuk kedua kali.
Pandangan mata saya terus mengikuti dia hingga tubuhnya – yang sangat
menyolok sehingga beberapa pengunjung di kedai ini tertawa – hilang dalam
kerumunan manusia. Sebenarnya saya ingin mengumpatnya. Bahkan saya ingin
sekali mendampratnya, akan tetapi saya tak sampai hati. Tampangnya
mengundang belas kasihan. Kata-katanya memang kurang ramah, tetapi suaranya
kedengaran lembut dan bermaksud baik. Dan dari suaranya sangat jelas bahwa dia
sungguh-sungguh berniat baik terhadap saya. Tetapi apakah dengan itu saya lalu
membiarkan dia tahu tentang maksud kedatangan saya ke sini? Tentu saja hal ini
bukan hanya tindakan yang kurang hati-hati melainkan juga ceroboh, walaupun
saya sadar, kalau saya berterus terang, mungkin dia bisa memberikan petunjuk
penting bagi pemecahan masalah ini. Saya tidak merasa risih dengan gelar
greenhorn yang disebutnya. Sudah sering saya disapa demikian oleh Sam Hawkens
dan sebutan itu tidak membuat saya malu. Di pihak lain saya pun tidak perlu
mengatakan kepadanya bahwa dulu saya pernah berada di daerah Barat.
Saya duduk termenung sambil bertopang dagu di atas meja. Tiba-tiba pintu
dibuka dan seseorang masuk ke dalam. Dan orang itu adalah... Gibson.
Dia berdiri di ambang pintu dan mengamati semua orang yang hadir satu
persatu. Ketika saya merasa bahwa pandangannya tertuju ke arah saya, saya
segera membalikkan tubuh dan duduk membelakangi pintu. Di sini tak ada lagi
tempat duduk yang masih kosong, selain tempat yang baru saja ditinggalkan Old
Death. Pasti Gibson akan ke sini dan duduk di hadapan saya. Diam-diam saya
merasa senang membayangkan bagaimana dia nanti terkejut begitu sorot mata
saya menghujam tubuhnya.
Ternyata dia tidak datang. Saya mendengar suara derit pintu ditutup lalu
cepat-cepat membalikkan tubuh. Benar, rupanya dia telah melihat saya dan
langsung menghilang. Saya melihatnya berjalan keluar lalu pergi dengan langkah
terburu-buru. Saya segera memakai topi, melemparkan uang bayaran kepada
pelayan dan berlari menyusul dia. Nah, itu dia! Dia membelok ke kanan, mungkin
berusaha menghilang di balik kerumunan manusia yang banyak. Dia menoleh
sejenak ke belakang dan menatap saya. Langkahnya lalu dipercepat. Saya pun
mempercepat ayunan langkah saya. Ketika melewati kerumunan itu saya
melihatnya menghilang di sebuah gang kecil. Ketika saya baru mencapai gang itu,
dia sudah membelok pada sudut yang lain. Tetapi sebelumnya dia berbalik sekali
lagi, mengangkat topi lalu melambai-lambaikannya kepada saya. Ini tentu
membuat saya marah. Tanpa peduli, apakah orang-orang di sekeliling
menertawakan saya, saya langsung berlari kencang. Saat itu tak satu pun polisi
yang terlihat, dan meminta bantuan kepada orang lain tentu tidak berguna. Tak
ada seorang pun yang mau menolong saya.
Ketika tiba di sudut gang itu, saya memasuki sebuah lapangan kecil. Di
sebelah kiri dan kanannya berdiri deretan rumah-rumah kecil dengan pintu yang
tertutup. Di hadapan saya ada villa-villa yang dihiasi taman yang sangat indah. Di
lapangan itu berkumpul banyak orang, tetapi Gibson tidak terlihat di sana. Dia
telah menghilang.
Tampak seorang pria Negro sedang bersandar pada pintu sebuah salon
cukur. Kelihatannya dia sudah lama berdiri di sana sehingga pasti dia melihat orang
yang kabur tadi. Saya mendekatinya, mengangkat topi dengan sopan lalu bertanya,
apakah dia melihat seorang gentleman kulitputih yang berlari keluar dari gang ini.
Dia tertawa sambil memamerkan giginya yang panjang kekuning-kuningan dan
menjawab,
“Ya, Sir. Saya melihatnya. Berlari dia sangat cepat, sangat cepat. Dan
masuk ke situ.”
Dia menunjuk ke sebuah villa kecil. Setelah mengucapkan terimakasih, saya
bergegas ke sana. Pintu gerbang baja yang menuju ke taman di depan rumah itu
dalam keadaan tertutup. Lima menit lamanya saya membunyikan bel sampai
seorang pria, lagi-lagi seorang pria Negro, membukakan pintu dan berkata dengan
bahasa Inggris yang jelek,
“Pertama pada Massa8 bertanya. Tanpa izinan dari Massa saya tidaklah
boleh membuka.”
Dia masuk ke dalam dan saya berdiri di sana paling sedikit selama sepuluh
menit. Rasanya seperti berdiri di atas bara api. Akhirnya dia kembali dengan
membawa pesan,
8 Maksudnya: Master (logat Negro dari daerah Selatan).
”Tidak bisa membuka. Massa melarang. Tidak ada masuk orang hari ini.
Pintu selalu tertutup. Jadi harus kamu pergi segera, sebab jika kamu melompati
pagar, maka perlu Massa menjaga keamanan tempat tinggalnya dan dia akan
dengan revolver menembak Anda.”
Saya berdiri sendirian di sana. Apa yang harus saya lakukan? Saya tidak
boleh menerobos masuk dengan jalan kekerasan. Dan saya yakin, pemilik rumah
pasti tidak segan-segan menembak saya. Orang Amerika tidak pernah main-main
dalam urusan keamanan tempat tinggalnya. Saya tidak mempunyai pilihan lain,
selain pergi ke polisi.
Dengan hati kesal saya berjalan pulang melewati lapangan. Pada waktu itu
datanglah seorang anak kecil berlari-lari menghampiri saya. Dia memegang
selembar kertas di tangan.
“Sir, Sir!” serunya. “Tunggu sebentar! Beri saya sepuluh sen untuk surat
ini.”
“Dari siapa?”
“Seorang gentleman yang baru saja berada di sana,” dia bukannya
menunjuk ke villa melainkan ke arah yang berlawanan. “Dia keluar dari rumah itu.
Dia menulis nota ini dan menyuruh saya membawanya kemari. Namun sepuluh sen
dulu, baru Anda bisa mendapatkannya.”
Saya memberinya uang dan menerima kertas itu. Anak itu segera berlari
menghilang. Di atas secarik kertas kumal yang disobek dari buku harian itu tertera
tulisan,
“Yang terhormat, Master Dutchman.
Apakah Anda datang ke New Orleans karena saya? Bisa saya duga,
karena Anda terus mengejar-ngejar saya. Saya selalu memandang
Anda sebagai orang yang bodoh, tapi saya tidak menyangka Anda
bisa sebodoh itu hendak menangkap saya. Siapa yang memiliki otak
tidak lebih dari setengah lot9, tidak pantas menjalankan tugas ini.
Kembalilah ke New York dan sampaikan salam saya buat Master
Ohlert. Saya sudah berusaha agar dia tidak melupakan saya. Saya
pun berharap semoga sewaktu-waktu Anda pun mengenang kembali
pertemuan kita hari ini, suatu pertemuan yang tentu sangat
mengecewakan Anda. Gibson.”
9 1 lot =1/30 pon atau kurang lebih 60 gram.
Bisa dibayangkan betapa marahnya saya setelah membaca surat ini. Saya
meremas kertas itu, memasukkan ke dalam saku lalu pergi. Mungkin secara diam-
diam dia mengawasi saya. Sungguh, saya tidak ingin membiarkan orang ini melihat
saya tertimpa kegagalan.
Saya menatap ke semua sisi lapangan untuk memeriksa. Gibson sama sekali
tidak kelihatan. Pria Negro di depan salon rambut pun sudah tak tampak. Saya pun
tidak menemukan anak kecil itu lagi sehingga saya tak bisa bertanya kepadanya
tentang Gibson. Dia pasti diperintahkan untuk segera menghilang.
Ketika tadi saya berbantah untuk mendapatkan izin masuk ke villa, dengan
tenang Gibson memakai kesempatan untuk menulis sebuah surat sebanyak dua
puluh tiga baris. Pria Negro itu telah mempermainkan saya. Dari tempat
persembunyiannya Gibson pasti menertawakan saya. Anak kecil tadi pun
menunjukkan raut wajah aneh dan dari raut itu saya bisa membaca kesan bahwa
dia tahu kalau saya sedang diperdaya.
Saya sungguh sangat kesal karena baru saja dipermalukan dengan teramat
sangat. Dan saya tidak boleh BERANI?? mengadukan kepada polisi bahwa saya
telah bertemu Gibson. Karena itu dengan diam-diam saya pergi dari sana.
Tanpa melewati lapangan itu lagi, saya memeriksa semua gang yang
bermuara ke lapangan itu. Tentu saja tanpa hasil sedikit pun, sebab Gibson pasti
sudah terburu-buru meninggalkan kota pinggiran yang tidak aman ini. Dugaan
saya, dia akan berusaha secepat mungkin kabur dari New Orleans.
Walaupun otak saya hanya seberat setengah lot, saya kira dugaan terakhir
ini sangat kuat. Karena itu saya memutuskan untuk pergi ke pelabuhan dan
mengecek kapal-kapal yang hendak berangkat ke sana. Dua orang polisi yang
berpakaian preman menolong saya… ternyata usaha mereka juga sia-sia. Rasa
marah karena saya telah dibohongi mentah-mentah membuat saya tidak ingin
beristirahat. Saya terus keluyuran dan menyelidiki semua restoran serta kedai-
kedai minum dan ke jalan-jalan hingga larut malam. Ketika saya merasa benar-
benar letih, saya kembali ke penginapan dan tidur.
Saya bermimpi. Dalam mimpi saya dipindahkan ke sebuah rumah sakit jiwa.
Beratus-ratus orang gila yang menyebut diri penyair, menyodorkan buku-buku
syair yang tebal kepada saya untuk dibaca. Tentu saja isinya tentang cerita tragedi
dengan tokoh utama seorang penyair gila. Saya harus membaca dan terus
membacanya, karena Gibson berdiri di samping saya dengan revolver di tangan
dan mengancam akan segera menembak jika saya berhenti sesaat. Saya terus
membacanya sampai butir-butir keringat mengalir di kening. Untuk menyekanya
saya mengeluarkan saputangan dari saku, berhenti sesaat dan… kemudian
ditembak oleh Gibson!
Bunyi tembakan membuat saya terjaga, tapi bunyi itu bukan dalam mimpi
melainkan bunyi sungguhan. Karena panik, saya berguling-guling di atas tempat
tidur. Dengan maksud menjatuhkan pistol dari tangan Gibson, tanpa sadar saya
memukul lampu yang terletak di atas meja kecil di tempat tidur. Keesokan harinya
saya harus membayar denda delapan dollar untuk kerusakan itu.
Dengan tubuh bermandi keringat, saya bangun. Kemudian saya minum teh
dan pergi ke Danau Pontchartrain yang indah. Di sana saya berenang sampai tubuh
saya kembali segar. Setelah itu saya melanjutkan lagi pencarian. Saya pergi lagi ke
kedai Jerman tempat saya bertemu Old Death kemarin. Saya melangkah masuk
tanpa sedikit pun bermaksud menemukan hal baru di situ. Pada hari ini kedai
minum itu tidak ramai dikunjungi seperti hari sebelumnya. Kemarin saya tidak
melihat koran di sana. Tetapi hari ini tampak banyak koran berserakan di atas meja
tak terbaca. Saya lalu mengambil Deutsche Zeitung10, sebuah koran terbaik yang
dulu terbit di New Orleans. Koran itu masih terus bertahan hingga kini, walaupun
sudah berkali-kali berganti penerbit dan redakturnya menurut kepentingan orang
Amerika. Tanpa bermaksud membaca secara terperinci, saya membolak-balikkan
koran tersebut. Tiba-tiba mata saya terpaku pada sebuah puisi, padahal biasanya
saya membaca kolom puisi di koran hanya sekilas saja atau tidak membacanya
sama sekali. Judul puisi itu mirip dengan judul sebuah roman duka. Saya hanya
sedikit tergerak. Judulnya: Malam Paling Mengerikan. Saya sudah bermaksud
membuka halaman berikut, tapi lagi-lagi mata saya kembali melihat dua huruf yang
tertera pada bagian akhir puisi tersebut, “W.O.” Kedua huruf itu adalah huruf awal
dari nama William Ohlert, orang yang sejak lama menyita perhatian saya! Tidak
heran kalau saya langsung menghubungkan kedua huruf itu dengan dia. Memang
Ohlert yunior menganggap dirinya penyair. Apakah dia lantas menggunakan
kesempatan selagi masih di New Orleans untuk menampilkan karangannya kepada
publik? Barangkali tulisan itu langsung diterbitkan karena dia membayar biaya
pemuatannya. Jika dugaan ini benar maka dengan bantuan puisi itu saya bisa
diantar kembali menuju ke arah jejak kedua orang yang saya cari.
Saya mulai membaca.
Malam Paling Mengerikan
10 Jerman: Harian Jerman.
Tahukah engkau malam yang menyelimuti bumi
seiring angin kencang dan terpaan hujan deras,
malam tanpa gemerlap bintang-bintang surgawi,
tatkala mata terhalang gelap tiada batas?
walau malam itu sedemikian kelam, namun esok pun 'kan tiba;
Oh berbaringlah tenang dan tidurlah tanpa wasyangka.
Tahukah engkau malam yang menyelimuti hidup,
ketika maut datang ke pembaringan terakhir
dan keabadian memanggil tak lagi sayup,
hingga denyut nadimu pun berhenti mengalir?
walau malam itu sedemikian kelam, namun esok pun 'kan tiba;
Oh berbaringlah tenang dan tidurlah tanpa wasyangka!
Tahukah engkau malam yang menyelimuti jiwa,
saat permohonan ampun tiada digubris,
malam bagai beludak yang membelit sukma
dan meracuni pikiran dengan seribu iblis?
Oh jauhkanlah dirimu dari kengerian ini
sebab malam yang ini tak berujung pagi!
W.O.
Saya mengakui, tulisan itu sungguh menggugah hati. Dipandang dari sudut
sastra, puisi ini tidak berharga. Namun ia mengandung jeritan keputusasaan
seorang manusia berbakat yang sia-sia berjuang melawan cengkeraman kegilaan
dan merasa dirinya tidak bisa tertolong lagi. Tapi saya segera menepis rasa haru
dalam hati karena sekarang saya harus bertindak! Saya cukup yakin bahwa William
Ohlert adalah pengarang puisi tersebut. Maka saya mencari di katalog alamat
redaksi koran itu, dan bergegas ke sana.
Ekspedisi dan redaksi berada dalam satu bangunan. Di ruangan pertama
saya membeli selembar koran hari itu, kemudian melaporkan diri pada bagian
redaksi. Di sana saya kemudian tahu bahwa dugaan saya ternyata benar.
Seseorang bernama William Ohlert datang sendiri ke tempat itu sehari sebelumnya
untuk mengantar tulisannya, sekaligus meminta supaya tulisan itu segera dimuat.
Tetapi karena redaktur menolak permintaannya, penyair itu menyodorkan sepuluh
dollar dan menetapkan persyaratan bahwa tulisannya harus terbit pada nomor hari
itu. Mereka pun harus mengirimkan sebuah revisi11 buatnya. Tingkah laku penyair
itu sangat sopan, hanya kadang-kadang dia menatap ke sekeliling dengan cemas.
Dia pun selalu menekankan bahwa puisi itu ditulis dengan darahnya. Ini adalah
suatu gaya bahasa yang biasa dipakai oleh penulis berbakat maupun penulis
murahan. Karena alasan pengiriman revisi itulah, maka dia harus menyerahkan
alamat rumahnya. Dari sini saya akhirnya bisa mendapatkan alamatnya. Dia tinggal
atau pernah tinggal pada sebuah penginapan yang mahal dan terkenal di daerah
kota baru.
Saya segera berangkat ke sana. Sebelum meninggalkan kamar, saya
menyamar agar tidak dikenal. Dan penyamaran kali ini sangat sempurna. Lalu saya
menjemput dua polisi untuk pergi bersama ke alamat yang dimaksud. Keduanya
akan berdiri berjaga-jaga di pintu gerbang, sementara itu saya sendirilah yang
akan masuk.
Saya sendiri cukup yakin, penangkapan buronan itu beserta sanderanya
akan berjalan lancar. Dengan perasaan menggebu-gebu, saya membunyikan
lonceng rumah. Di atas lonceng kecil itu terpampang selempeng aluminium kecil
bertuliskan “First class pension for Ladies and Gentlemen”. Jadi saya berada pada
alamat yang benar. Rumah dan toko di sampingnya adalah milik seorang
perempuan berumur. Penjaga rumah membukakan pintu, menanyakan keperluan
saya, dan menyuruh saya melaporkan diri terlebih dahulu kepada pemilik rumah.
Kepadanya saya memberikan kartu nama. Tetapi pada kartu itu tertera nama
palsu, bukan nama saya yang sebenarnya. Kemudian saya diantar ke ruang dalam
dan menunggu sang lady selama beberapa saat.
Ia berpakaian rapi dan kelihatan anggun. Usianya kira-kira lima puluh tahun.
Melihat rambutnya yang keriting serta kukunya yang agak kehitam-hitaman, saya
bisa memastikan bahwa ia mewarisi sedikit keturunan orang kulithitam. Ia
menampakkan kesan seorang wanita yang ramah dan menerima saya dengan
penuh sopan santun.
Saya memperkenalkan diri sebagai redaktur dari rubrik puisi pada Deutsche
Zeitung lalu menyerahkan satu eksemplar dari koran tersebut. Saya menyampaikan
bahwa saya harus bertemu dengan penulis puisi itu. Untuk itu saya mendapat
alasan yang masuk akal, yakni karena ingin membayar honor dan meminta
beberapa karangan lagi.
Ia mendengarkan saya dengan tenang, lalu memperhatikan saya dengan
seksama dan berkata,
11 Redaksi akhir.
“Jadi Tuan Ohlert telah memberikan puisinya untuk diterbitkan di koran
Anda? Sungguh menarik! Sayang saya tidak mengerti bahasa Jerman, jika tidak
saya pasti meminta Anda untuk membacakannya buat saya. Apakah puisinya
bagus?”
“Ya, luar biasa! Saya harus katakan kepada Anda bahwa saya sungguh
tertarik!”
“Senang sekali mendengarnya. Di mata saya, Tuan Ohlert selalu
memberikan kesan bahwa dia seorang terpelajar, seorang gentleman sejati.
Sayang dia tidak banyak bicara dan tidak bergaul dengan orang lain. Hanya sekali
saja dia keluar, ya, ketika pergi mengantar puisi itu kepada Anda.”
“Sungguh? Dari percakapan singkat dengannya saya menduga, dia menarik
sejumlah uang di kota ini dan untuk maksud itu mestinya dia lebih sering keluar
rumah.”
“Hal itu terjadi ketika saya tidak berada di rumah. Mungkin juga
sekretarisnya yang pergi mengambil uang tersebut.”
“Jadi dia mempunyai seorang sekretaris? Tentang itu dia tak pernah
menyinggungnya. Kalau begitu dia pasti seorang yang sangat kaya.”
“Benar! Dia memberikan gaji yang besar dan makanan yang enak.
Sekretarisnya, Master Clinton, mengatur keuangannya.”
“Clinton! Jika sekretaris itu bernama Clinton, rasanya saya sudah pernah
bertemu dengannya pada sebuah perkumpulan. Dia berasal dari New York atau
paling kurang dari daerah sekitarnya dan dia seorang yang pandai menjalin relasi
dengan orang lain. Kami bertemu kemarin siang .”
“Betul,” dia menyela. “Kemarin dia keluar rumah.”
“Dan kami menjadi akrab satu sama lain,” lanjut saya, “sampai-sampai dia
menghadiahkan sebuah potretnya untuk saya. Pada waktu itu saya tidak membawa
potret saya, tetapi saya berjanji untuk memberinya sekarang, karena hari ini kami
akan bertemu kembali. Ini gambarnya,” saya menunjukkan gambar Gibson yang
selalu saya bawa ke mana-mana.
“Benar, inilah sekretarisnya,” katanya setelah melihat potret itu. “Sayang
Anda tidak akan bertemu lagi dengan mereka. Dan Anda tidak mendapat puisi lain
dari Master Ohlert, karena keduanya sudah pergi.”
Saya terkejut tetapi lalu cepat-cepat menguasai diri dan berkata,
“Oh... sayang sekali. Keputusan untuk pergi dari sini pasti muncul secara
tiba-tiba.”
“Tampaknya begitu. Ini sebenarnya suatu peristiwa yang mengharukan.
Master Ohlert pasti tidak pernah menyinggungnya, karena tak seorang pun mau
menikam pisau ke dalam luka sendiri. Tetapi sekretarisnya menceritakan semuanya
kepada saya, tapi dengan janji bahwa saya harus tutup mulut. Anda pun harus
tahu, saya selalu merasa bahagia atas kepercayaan yang diberikan oleh orang-
orang yang menginap di tempat ini.”
“Saya percaya itu. Gaya Anda yang lembut serta tutur kata Anda yang halus
mampu menggerakkan hati orang untuk segera mempercayai Anda,” kata saya
dengan sangat lancang.
“Ah bisa saja!” jawabnya sambil tersipu malu. “Cerita ini membuat saya
hampir menangis. Namun saya merasa bahagia karena anak muda itu melarikan
diri pada waktu yang tepat.”
“Melarikan diri? Kedengarannya seolah-olah dia dikejar!”
“Ya, begitulah persoalannya.”
“Ah! Sangat menarik! Seorang penyair, berbakat luar biasa, dan cerdas
namun dikejar-kejar! Dalam posisi sebagai redaktur, atau boleh dikatakan rekan
dari korban, saya mempunyai hasrat yang sangat besar untuk mengetahui lebih
jauh tentang hal tersebut. Koran memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh.
Barangkali saya bisa memuat kisah ini dalam sebuah tulisan. Betapa sayangnya
jika kisah menarik ini tidak diterbitkan karena Anda tidak boleh membuka rahasia.”
Pipinya memerah. Ia menarik sebuah sapu tangan yang tidak terlalu bersih
dari saku untuk berjaga-jaga kalau ia menangis. Lalu ia berkata,
“Saya pun tidak lagi merasa wajib menutup mulut, Sir, karena kedua Master
itu telah pergi. Hanya saya tahu, orang mengartikan koran sebagai kekuasaan. Dan
saya sangat bahagia apabila Anda mampu menolong penyair malang itu.”
“Saya pasti akan mengerahkan seluruh kekuatan saya untuk membantu.
Hanya terlebih dahulu saya harus diberitahu tentang apa yang telah terjadi.”
Harus saya akui, saya harus bersusah payah menyembunyikan rasa
penasaran.
“Anda akan mengetahuinya sekarang. Hati saya mendesak untuk
menceritakan semua kepada Anda. Peristiwa ini berhubungan dengan kisah cinta
sejati, kisah cinta yang tidak berakhir dengan kebahagiaan.”
“Sudah saya bayangkan sebelumnya. Karena sejauh yang saya tahu, cinta
yang putus di tengah jalan adalah sebuah penderitaan terbesar yang mampu
mencabik-cabik perasaan orang.”
Tentu saja saya tidak memiliki sedikit pun pengetahuan tentang cinta.
“Betapa Anda sungguh simpatik dengan kata-kata indah itu, Sir. Apakah
Anda pernah mengalami penderitaan sepahit itu?”
“Belum.”
“Kalau begitu Anda sungguh beruntung. Saya pernah mengalami
penderitaan seperti itu. Rasanya seperti mau mati saja. Ibu saya seorang
peranakan. Saya bertunangan dengan putra seorang petani Perancis, yang juga
anak campuran. Kebahagiaan kami tercabik-cabik karena ayah calon suami saya
tidak mau menerima seorang coloured-lady12 di tengah keluarganya. Karena itu
saya sangat prihatin melihat nasib penyair malang itu. Mungkin dia tidak bahagia
karena alasan yang serupa.”
“Jadi dia jatuh cinta pada seorang perempuan berkulit gelap?”
“Ya, seorang peranakan Negro. Ayahnya melarang hubungan cinta itu dan
dengan cara yang licik dia membuat surat keterangan lalu memaksa gadis itu
menandatanganinya. Isinya, gadis itu harus melepaskan kebahagiaan yang akan ia
rajut bersama William Ohlert.”
“Sungguh seorang ayah yang kejam!” saya berkata sedih. Wanita itu
memandang saya dengan penuh simpati.
Kelihatannya ia percaya pada semua hal yang diceritakan Gibson. Tentu saja
sebelumnya wanita ini bercerita tentang kisah cintanya kepada Gibson. Gibson lalu
mengarang sebuah dongeng yang mirip untuk menumbuhkan rasa prihatin di
dalam hati wanita ini. Dengan itu dia mempunyai alasan yang kuat, mengapa dia
harus segera pergi. Keterangan bahwa dia sekarang menyebut dirinya Clinton tentu
sangat penting bagi saya.
“Ya, seorang ayah yang kejam!” ia mengulang perlahan. “Tetapi William
tetap setia kepada kekasihnya dan keduanya melarikan diri hingga ke sini. William
kemudian menyerahkan gadis itu ke sebuah penginapan.”
“Tetapi saya belum mengerti, mengapa dia harus meninggalkan New
Orleans?”
“Karena orang yang mengejarnya pun sudah datang ke sini.”
“Ayahnya menyuruh seseorang untuk membuntutinya ke sini?”
“Ya, seorang Jerman. Lagi-lagi orang Jerman. Saya membenci mereka.
Mereka dinamakan bangsa yang suka berpikir tetapi mereka tidak mampu
mencintai. Dengan berbekal surat kuasa di tangan, orang Jerman itu memburu
William dari kota ke kota hingga kemari.”
Dalam hati, saya hanya tertawa mendengar kecaman wanita itu terhadap
seseorang yang saat ini sedang berbicara dengan dirinya.
“Dia seorang polisi. Dia harus menangkap William dan membawanya pulang
ke New York,” katanya lebih lanjut.
12 Inggris: Perempuan kulit berwarna.
“Apakah sekretarisnya menggambarkan kepada Anda, bagaimana kira-kira
rupa keparat tersebut?” saya bertanya dengan hati berdebar-debar menanti
tanggapannya tentang diri saya.
“Ya, karena mungkin saja si barbar itu menemukan rumah penginapan
William dan akan ke sini. Tetapi saya akan menyambut kedatangannya! Dan saya
sudah mempertimbangkan baik-baik setiap kata yang akan saya ucapkan di
hadapannya. Dia tidak akan diberitahu, ke mana William pergi. Justru saya akan
menyuruhnya pergi ke jurusan yang berlawanan.”
Dia menerangkan tentang si ‘barbar’ itu dan menyebut juga namanya –
sama persis dengan nama saya dan gambarannya cocok pula dengan diri saya.
Hanya ia mengungkapkannya dengan cara yang lebih halus.
“Setiap detik saya menunggu dia datang,” katanya lebih lanjut. “Ketika saya
diberitahu bahwa Anda datang, saya sempat berpikir, inilah orang yang saya nanti-
nantikan. Tapi untunglah saya keliru. Anda bukanlah orang yang memburu kedua
manusia yang lagi dimabuk asmara itu. Anda juga bukan orang yang mau merebut
kebahagiaan mereka, bukan orang yang mencintai kejahatan dan pengkhianatan.
Dari tatapan mata Anda yang polos saya bisa melihat, Anda akan menulis sebuah
artikel di surat kabar untuk mengecam orang Jerman itu dan memberikan
perlindungan terhadap orang yang dikejar.”
“Jika saya bisa, saya akan melakukannya dengan senang hati. Tetapi
pertama-tama saya harus tahu, di mana William Ohlert sekarang. Saya harus
menyurati dia. Semoga Anda mau mengatakan tempat tinggalnya saat ini.”
“Saya tahu pasti kemana dia pergi. Tetapi saya tidak bisa memastikan
bahwa dia masih berada di tempat itu, apabila surat Anda tiba. Orang Jerman itu
tentu akan saya suruh pergi ke arah barat laut. Namun kepada Anda saya katakan,
William telah pergi ke selatan, ke Texas. Dia bermaksud menyeberang ke Mexico
dan mendarat di Veracruz. Saat ini tak ada kapal yang segera berlayar ke sana.
Karena bahaya yang mengancam dia harus bertindak dengan cepat, lalu dia
menumpang kapal Delphin yang berlayar ke Quintanna.”
“Anda tahu pasti?”
“Ya, sangat pasti. Dia harus bergegas. Dia hanya mempunyai sedikit waktu
untuk menaikkan kopornya ke geladak kapal. Pelayan saya mengurus semuanya
sampai dia tiba di geladak. Di sana dia berbicara sejenak dengan anak buah kapal
dan mendapat informasi bahwa Delphin betul-betul berlayar ke Quintanna tetapi
singgah dulu sebentar ke Galveston. Sungguh, Master Ohlert yunior pergi dengan
kapal uap itu. Pelayan saya masih menunggu sampai kapal itu berangkat.”
“Apakah kekasihnya serta sekretaris itu juga ikut berlayar?”
“Tentu! Pelayan saya memang tidak melihat gadis itu, karena ia sudah lebih
dulu masuk ke kabin wanita. Pelayan itu pun tidak bertanya panjang lebar karena
semua karyawan saya sudah dilatih untuk menjaga mulut dan tahu menghormati
tamu. Yang jelas, William tidak meninggalkan kekasihnya dan dia ingin terus
menghindar dari bahaya karena takut ditangkap oleh orang Jerman itu. Saya
sangat senang jika keparat itu datang ke sini. Saya sudah menyiapkan adegan kecil
yang menarik. Pertama-tama, saya akan mencoba melunakkan hatinya dan jika hal
ini tidak berhasil, maka saya akan menyemburkan sumpah serapah ke wajahnya.
Dan saya akan terus menyerang sampai dia akhirnya tertunduk malu di hadapan
saya.”
Wanita lemah lembut itu kini sedang dikuasai emosi. Rupanya persoalan itu
sangat meluluhlantakkan hatinya. Sekarang ia bangkit dari tempat duduk,
mengepalkan tinju, menghadap pintu, dan berteriak mengancam,
“Ya, datanglah, datanglah kau, setan Dutchman. Tatapan mata saya akan
menusuk tubuhmu dan kata-kata saya akan meremukkan tulang-belulangmu.”
Sekarang rasanya saya sudah cukup mendengarkan keterangan yang perlu
dan saya bisa pergi. Orang lain pun akan berbuat yang sama dan meninggalkan
wanita itu dalam kekhilafannya. Tetapi bagi saya, saya merasa wajib menjelaskan
pokok persoalan ini kepadanya. Ia tidak boleh dibiarkan terus menganggap seorang
biadab sebagai seorang yang berhati tulus. Dan tidak salah juga seandainya saya
berterus terang. Karena itu saya lalu berkata,
“Saya pikir, Anda tidak akan mendapat kesempatan untuk mencaci maki
orang itu.”
“Mengapa tidak?”
“Karena pokok persoalan yang sebenarnya sungguh lain daripada yang Anda
kira. Juga Anda tidak akan berhasil menyuruh keparat itu pergi ke arah barat laut.
Karena dia sendiri lebih suka langsung menyusul ke Quintanna untuk menangkap
William serta orang yang disebut sebagai sekretarisnya.”
“Tetapi dia tidak tahu di mana mereka tinggal.”
“Tidak, dia tahu. Karena Anda sudah mengatakan kepadanya.”
“Saya? Tidak mungkin! Saya tahu apa yang saya katakan. Kapan saya
memberitahukannya?”
“Baru saja.”
“Sir, saya tidak mengerti maksud Anda!” wanita itu bertanya dengan penuh
keheranan.
“Saya akan membantu Anda agar bisa mengerti persoalan ini lebih baik.
Tapi pertama-tama izinkanlah saya mengubah sedikit penampilan.”
Setelah itu saya melepaskan rambut hitam, janggut tebal, serta kacamata
dari wajah. Ia mundur beberapa langkah karena terkejut,
“Ya Tuhan!” serunya. “Anda bukan seorang redaktur melainkan orang
Jerman itu! Anda telah membohongi saya!”
“Saya terpaksa berbuat demikian, karena sebelumnya Anda telah ditipu
orang. Cerita tentang wanita peranakan itu dari awal hingga akhir adalah suatu
kebohongan besar. Orang telah mempermainkan kebaikan hati Anda dan
menjadikannya lelucon. Clinton itu bukan sekretaris dari William. Sebenarnya dia
bernama Gibson dan dia adalah seorang penipu yang sangat berbahaya. Dan saya
ingin membekuknya.”
Ia jatuh terduduk tanpa daya di atas kursi dan berkata,
“Tidak, tidak! Semua ini tidak mungkin. Orang yang baik, ramah, dan
menawan itu tidak mungkin menjadi seorang penipu. Saya tidak mempercayai
Anda.”
“Anda akan percaya jika mendengarkan cerita saya. Baik, saya akan
menceritakan semuanya.”
Saya menerangkan tentang pokok persoalan yang sebenarnya. Dan saya
berhasil mempengaruhi bahkan mengubah rasa simpatinya terhadap sekretaris
yang baik hati itu menjadi kemarahan yang meluap-luap. Ia sadar, ia telah ditipu
mentah-mentah. Akhirnya ia mengaku bahagia karena saya datang dengan pakaian
menyamar.
“Jika Anda tadi tidak menyamar,” katanya, “tentu Anda tidak mendapat
keterangan yang benar dan Anda pasti sudah berlayar ke utara, ke Nebraska atau
Dakota sesuai petunjuk saya. Tindak tanduk orang yang bernama Gibson, atau
Clinton itu harus diganjar dengan hukuman yang keras. Saya berharap Anda segera
mengejarnya. Saya juga minta supaya Anda menyurati saya dari Quintanna untuk
memberitahukan, apakah Anda sudah berhasil menangkap keparat itu. Sebelum
menyeretnya ke New York Anda harus membawanya kemari supaya saya bisa
mengatakan kepadanya, betapa rendahnya dia di mata saya.”
“Itu tidak mungkin. Sungguh tidak gampang membekuk seseorang di Texas
lalu menyeretnya ke New York. Saya sudah merasa puas apabila saya berhasil
melepaskan William Ohlert dari tangan penculiknya dan paling tidak bisa
menyelamatkan sebagian uang yang diambil keduanya selama pelarian. Tetapi
untuk saat ini saya akan merasa sangat bahagia kalau Anda cukup mengatakan
bahwa Anda tidak lagi menganggap orang Jerman sebagai bangsa barbar, bangsa
yang tidak bisa mencintai. Saya sedih mendengar bangsa saya dikecam tanpa
alasan, seperti yang baru saja Anda lakukan.”
Jawaban yang keluar dari mulutnya adalah sebuah permintaan maaf. Ia juga
meyakinkan saya bahwa ia telah mengubah pandangannya yang salah. Kami lalu
berpisah dalam suasana yang penuh keakraban. Kepada kedua polisi yang
menunggu di luar, saya mengatakan bahwa urusannya sudah selesai. Saya
memberikan mereka sejumlah uang lelah, lalu segera beranjak pergi.
Tentu saja saya harus secepat mungkin pergi ke Quintanna. Pertama-tama
saya harus mencari kapal yang akan berangkat ke sana. Sayang waktunya tidak
tepat buat saya, karena walaupun ada sebuah kapal uap yang siap untuk berlayar
ke Tampico, namun kapal itu akan singgah di beberapa tempat. Sedangkan kapal-
kapal dengan jurusan Quintanna baru akan berangkat beberapa hari lagi. Akhirnya
saya menemukan sebuah kapal layar yang dipakai untuk mengangkut barang-
barang ke Galveston yang akan berangkat sore ini, dan saya bisa berlayar dengan
kapal itu. Di Galveston saya berharap bisa mendapat sarana yang lebih cepat untuk
pergi ke Quintanna. Dengan segera saya mengepak barang-barang dan naik ke
atas kapal.
Sayang harapan saya untuk berlayar dari Galveston menuju Quintanna tidak
terwujud. Tetapi, masih ada kemungkinan lain bagi saya untuk berlayar
melampaui tempat tujuan hingga ke Matagorda di muara timur Sungai Colorado.
Orang mengatakan, lebih gampang untuk berangkat lagi dari sana menuju ke
Quintanna. Pertimbangan ini membulatkan tekad saya untuk memilih kemungkinan
yang terakhir. Di kemudian hari baru jelas bahwa saya tidak perlu menyesali
keputusan itu.
Pada waktu itu perhatian pemerintah di Washington tertuju pada daerah
Selatan, Mexico. Negara ini masih terus menderita akibat peperangan antara aliran
republik dan aliran yang mendukung sistem kerajaan.
Amerika Serikat mengakui Benito Juarez sebagai Presiden Republik Mexico.
Penduduk Mexico menolak mati-matian kalau akhirnya dia harus kalah melawan
Maximillian. Sama seperti sebelumnya, mereka tetap menganggap Kaisar
Maximillian sebagai penguasa ilegal. Karena itu mereka melakukan tekanan politis
terhadap Napoleon. Napoleon dituntut membuat pernyataan guna menarik
pasukannya dari Mexico. Melalui kemenangan bangsa Prusia dalam peperangan di
Jerman, secara tidak langsung Napoleon dipaksa untuk menepati perjanjian. Di
sinilah awal keruntuhan Maximillian.
Ketika pecah perang saudara, Texas menyatakan diri mendukung
sesessionisme13 dan dengan itu berpihak pada negara-negara yang ingin
13 Aliran yang memperjuangkan hak untuk memisahkan diri dari pemerintah Union.
mempertahankan sistem perbudakan. Kekalahan negara tersebut tidak membawa
kedamaian bagi rakyat. Orang menjadi kecewa terhadap negara-negara Utara dan
mereka menunjukkan sikap yang menentang politik negara tersebut. Sebenarnya
rakyat Texas menganut aliran republik. Orang mengelu-elukan Juarez sebagai
pahlawan suku Indian, karena dia tidak gentar mengangkat senjata melawan
Napoleon dan para sekutunya dari Dinasti Habsburg. Namun karena pemerintahan
di Washington bersekutu dengan pahlawan ini, maka diam-diam orang pun mulai
menentang dia. Jadi dalam kemelut ini rakyat Texas terbagi menjadi dua
kelompok: yang satu secara terang-terangan menyuarakan dukungannya terhadap
Juarez, sedangkan yang lainnya menyatakan penolakan terhadap dirinya. Namun
penolakan itu tidak didasarkan pada keyakinan, tetapi semata-mata karena mereka
ingin menentang semua bentuk undang-undang. Akibat ketegangan yang timbul
dari pertentangan itu, maka sangat sulit untuk bepergian melalui daerah ini. Usaha
seseorang untuk menyembunyikan paham politiknya hanyalah tindakan yang sia-
sia belaka, karena setiap orang dipaksa untuk mendukung satu dari kedua orang di
atas.
Orang Jerman yang menetap di Texas pun tidak sepaham. Sebagai orang
Jerman, mereka menyatakan simpati terhadap Maximillian. Tetapi hal itu tidak
sesuai dengan semangat patriotisme mereka, karena Maximillian pergi ke Mexico di
bawah bendera Napoleon. Sudah cukup lama mereka hidup dalam suasana yang
didominasi oleh paham republik, sehingga mereka percaya bahwa penyerbuan
bangsa Perancis ke daerah Montezuma tidak bisa dibenarkan. Penyerbuan itu
hanya dimaksudkan untuk meraih kembali kejayaan bangsa Perancis yang telah
pudar, dan dengan itu, pandangan rakyat Perancis dialihkan dari situasi dalam
negeri sendiri yang kacau balau. Karena alasan-alasan ini orang-orang Jerman lebih
suka memilih diam dan menjauhkan diri dari urusan politik. Tetapi pada saat yang
sama, sebenarnya selama perang sesessionis mereka memihak negara-negara
Utara dan menentang kaum bangsawan yang mempekerjakan budak.
Suasana seperti inilah yang kami alami ketika berada di tanjung yang luas
yang memisahkan Teluk Matagorda dari Teluk Mexico. Kami bisa berlayar melalui
Paso Caballo, tetapi kemudian kami harus segera menurunkan jangkar karena
perairan itu dangkal sehingga kapal-kapal yang besar bisa terancam kandas.
Di balik tanjung itu berlabuh beberapa kapal kecil. Sedangkan agak ke
tengah berlabuh kapal-kapal besar, kapal bertiang tiga, dan sebuah kapal uap.
Dengan perahu saya cepat-cepat pergi ke Matagorda untuk menanyakan jadwal
kapal ke Quintanna. Sayang saya diberitahu bahwa baru dua hari lagi sebuah kapal
akan berlayar ke sana. Saya tertahan sekali lagi. Sungguh saya merasa sangat
kesal karena Gibson bisa empat hari lebih cepat daripada saya, dan kesempatan ini
bisa dipakainya untuk menghilang tanpa jejak. Saya hanya bisa menghibur diri
dengan mengatakan bahwa dalam situasi terjepit, saya sudah berusaha
semaksimal mungkin.
Tiada pilihan lain bagi saya selain harus menunggu dengan sabar. Maka saya
segera mencari sebuah hotel dan menyuruh orang mengambil barang-barang saya
dari kapal.
Dulu Matagorda belum seluas sekarang. Kota ini terletak di teluk bagian
timur dan merupakan sebuah kota pelabuhan yang kurang terkenal apabila
dibandingkan misalnya dengan Galveston. Seperti semua daerah di Texas, pantai di
tempat itu pun sangat kotor dengan bagian landai yang penuh lumpur tetapi
lembab. Dalam waktu singkat orang bisa terserang sakit demam. Karena itu
rasanya tidak bijaksana jika saya harus berlama-lama di sana.
‘Hotel’ tempat saya menginap ini bisa dibandingkan dengan penginapan
kelas tiga atau kelas empat di Jerman. Sedangkan kamar saya lebih mirip sebuah
kamar tidur kapal yang sempit. Bahkan tempat tidurnya sedemikian pendek
sehingga saat tidur, kaki dan kepala saya menjulur ke luar.
Setelah semua barang diantar ke kamar, saya keluar sebentar untuk
melihat-lihat kota. Untuk keluar dari kamar menuju tangga, saya harus melewati
sebuah kamar yang sedang terbuka pintunya. Saya menengok sepintas ke dalam
ruangan itu. Kamar itu dilengkapi dengan perabot yang sama seperti yang di
kamar saya. Di atas lantai, di dekat dinding tergeletak sebuah pelana kuda dan di
atasnya tergantung tali kekang. Di sudut dekat jendela bersandar sepucuk senapan
Kentucky. Tanpa sadar tiba-tiba saya teringat kepada Old Death! Tapi mungkin saja
barang-barang itu milik orang lain.
Setelah keluar dari bangunan, saya berjalan perlahan menyusuri gang. Tapi
pada saat hendak membelok di tikungan, saya bertabrakan dengan seseorang yang
muncul dari depan. Dia tidak melihat saya sebelumnya karena terhalang oleh
tikungan.
“Thunder-storm!” teriaknya. “Hati-hatilah, Sir! Jangan tergesa-gesa pada
belokan seperti ini!”
“Jika Anda berpikir, langkah sepelan ini sudah dianggap secepat badai, pasti
Anda juga akan mengatakan, laju seekor siput sama cepatnya dengan sebuah
kapal di Sungai Mississippi,” jawab saya sambil tertawa.
Dia mundur selangkah, menatap saya dan berkata,
“Ini rupanya greenfish Jerman yang kemarin tidak mau mengaku bahwa dia
seorang detektif! Apa yang ingin Anda cari di Texas dan di daerah Matagorda ini,
Sir?”
“Tentu bukan Anda yang saya cari, Master Death!”
“Ya, saya tahu! Kelihatannya Anda termasuk orang-orang yang selalu gagal
menemukan apa yang mereka cari. Dan Anda seperti mereka yang terus saja
berlomba bersama dengan orang lain yang sulit mereka kalahkan. Tetapi sekarang
Anda tentu lapar dan haus. Mari kita beristirahat di satu tempat di mana kita bisa
minum bir. Kedai bir Jerman kelihatan kian menyebar ke mana-mana. Di tempat
terpencil seperti ini pun terdapat sebuah kedai bir. Saya kira, bir adalah sesuatu
yang terbaik dari negeri Anda. Anda sudah mendapat penginapan?”
“Ya, di bawah sana, di Hotel Uncle Sam.”
“Bagus! Wigwam saya juga di hotel itu.”
“Barangkali dekat ruangan, di mana saya melihat pelana dan tali kekang
serta senjata, sebelum tangga naik?”
“Ya. Anda tahu, ke mana pun saya pergi, barang-barang itu selalu dibawa.
Kuda bisa ditemukan di semua tempat, tetapi pelana yang bagus tidak. Tetapi
marilah, Sir! Baru saja saya masuk ke sebuah kedai minum yang menawarkan bir
dingin. Minum bir pada hari panas di bulan Juli seperti ini merupakan suatu
kenikmatan sejati. Saya juga masih bersedia untuk minum satu atau beberapa
gelas lagi.”
Dia membawa saya ke sebuah kedai tempat orang menjual bir dengan harga
mahal. Hanya kami berdua yang berada di situ. Saya menawarkan cerutu tetapi dia
menolak. Sebagai gantinya dia mengeluarkan sebungkus tembakau kunyah dari
saku lalu membaginya menjadi beberapa bagian kecil yang cukup untuk lima
orang. Kemudian dia memasukkannya ke dalam mulut dan mendorongnya dengan
lidah ke samping, sehingga pipinya mengembung. Lalu dia berkata,
“Sekarang saya selesai. Hanya saya ingin tahu, apa alasan yang mendorong
Anda menyusul saya ke sini. Apakah alasan itu penting?
“Justru sebaliknya.”
“Jadi sebenarnya Anda tidak bermaksud datang ke sini?”
“Tidak, semestinya saya pergi ke Quintanna. Tapi karena tak ada kapal,
maka saya datang ke sini. Sebab katanya, dari sini orang lebih gampang
mendapatkan kapal ke Quintanna. Sayang ternyata saya harus menunggu dua hari
lagi.”
“Bersabarlah, Master. Hiburlah diri Anda dengan kata-kata manis bahwa
memang Anda lagi sial.”
“Hiburan yang menyenangkan! Apa Anda kira, saya akan mengirimkan Anda
kartu ucapan terimakasih untuk nasehat itu?”
“Oh... bukan itu maksud saya,” dia tertawa. “Saya selalu memberikan
nasehat dengan cuma-cuma. Selain itu, nasib saya pun sama seperti Anda. Saya
duduk di sini tanpa berbuat apa-apa karena saya terlalu lamban. Sebenarnya saya
hendak pergi ke Austin dan terus ke sana melalui Rio Grande del Norte. Saat ini
adalah musim yang tepat. Setiap hari hujan turun dan Sungai Colorado
menampung cukup air sehingga kapal jurusan Austin bisa berlayar di atasnya.
Sungai ini biasa kekurangan air sepanjang tahun.”
“Saya pernah mendengar, ada sebuah gosong di dalam sungai yang
menghambat pelayaran kapal.”
“Sebenarnya bukan gosong melainkan endapan kayu-kayu besar yang
dihanyutkan oleh sungai ke sana, sehingga sekitar delapan kilometer dari sini
sungai itu terbagi menjadi anak-anak sungai. Tetapi setelah gosong itu, airnya
kembali dalam hingga ke Austin. Karena pelayaran terhalang, maka orang harus
lebih dahulu berjalan hingga ke gosong itu dan kemudian naik kapal di sana. Saya
juga mau pergi ke sana, tetapi bir Jerman yang nikmat ini telah menahan saya
untuk tinggal lebih lama. Saya minum dan terus minum dan tinggal terlalu lama di
Matagorda. Ketika saya tiba di gosong, kapal baru saja berangkat. Jadi saya harus
membawa pulang pelana dan menunggu sampai besok pagi di mana kapal
berikutnya akan berlayar ke sana.”
“Jadi nasib kita sama dan Anda pun bisa menghibur diri dengan ucapan yang
baru saja Anda tujukan kepada saya. Anda juga sedang sial.”
“Sama sekali tidak. Saya tidak mengejar seorang pun. Dan bagi saya sama
saja, apakah hari ini atau minggu depan saya tiba di Austin. Tetapi yang membuat
saya jengkel, saya ditertawakan oleh greenfrog (katak hijau) yang bodoh itu. Dia
lebih cepat dari saya dan menyiuli saya dari geladak ketika saya tertinggal di
pelabuhan. Jika saya bertemu lagi orang itu, dia akan menerima pelajaran yang
lebih keras daripada yang dulu pernah didapatnya di atas kapal.”
“Anda berkelahi dengan dia, Sir?”
“Berkelahi? Apa maksud Anda, Sir? Old Death tidak pernah berkelahi. Tapi
saat itu, di atas kapal Delphin ada orang yang merasa lucu karena postur tubuh
saya, lalu tertawa, begitu dia menatap saya. Saya kemudian bertanya, apa yang
membuatnya merasa lucu. Ketika dia menjawab bahwa dia geli melihat tulang-
tulang saya, saya langsung menghadiahkan sebuah slap in the face14 hingga dia
14 Inggris: Tamparan di wajahnya.
terjungkal. Lalu dia mencabut revolver hendak menembak saya, tetapi tiba-tiba
datang sang kapten kapal dan menyuruhnya untuk segera enyah dari tempat itu.
Itu pantas baginya, karena dia telah menghina saya. Mungkin karena itu pula maka
dia tertawa ketika saya terlambat tiba di gosong dan tidak bisa menumpang kapal.
Hanya saja saya kasihan melihat teman seperjalanannya! Kelihatannya gentleman
itu baik, hanya wajahnya murung dan sedih. Dia menatap dengan pandangan
kosong, seperti seseorang yang terganggu jiwanya.”
Kalimatnya yang terakhir membangkitkan rasa ingin tahu saya.
“Seperti orang gila?” tanya saya. “Mungkin Anda mendengar orang
menyebut namanya?”
“Kapten memanggilnya dengan Master Ohlert!”
Saya terkejut, seolah-olah saya baru saja mendapat sebuah pukulan di
kepala. Dengan tergesa-gesa saya bertanya,
“Ah! Dan temannya?”
“Jika saya tidak salah, namanya Clinton.”
“Bagaimana mungkin...” saya berseru sambil melompat bangkit dari tempat
duduk. “Jadi keduanya berada bersama Anda di atas kapal?”
Dia memandang saya penuh keheranan lalu bertanya,
“Apakah Anda sudah mabuk, Sir? Anda begitu cepat berubah. Apakah kedua
orang itu punya sangkut paut dengan Anda?”
“Ya! Merekalah orang yang harus saya temukan.”
Kembali dia tersenyum simpul. Senyum seperti itu selalu berulang kali
menghiasi wajahnya.
“Hm... hm...” dia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akhirnya Anda
berterus terang bahwa Anda sedang mencari dua orang. Mengapa harus kedua
orang itu? Hm! Anda sungguh seorang greenhorn, Sir! Anda hanya sendirian
mengejar buruan!”
“Maksud Anda?”
“Karena di New Orleans Anda tidak bersikap jujur terhadap saya.”
“Saya toh tidak boleh berterus terang,” jawab saya.
“Semua orang boleh berbuat apa saja untuk mencapai tujuan-tujuan yang
baik. Jika saat itu Anda menjelaskan persoalannya kepada saya, maka kini
keduanya sudah berada di tangan Anda. Saya langsung mengenali mereka begitu
mereka tiba di kapal, dan saya bisa menjemput atau menyuruh orang memanggil
Anda. Anda mengerti sekarang, Sir?”
“Tetapi siapa yang tahu sebelumnya bahwa Anda akan bertemu mereka.
Lagipula mereka tidak bermaksud berangkat ke Matagorda melainkan ke
Quintanna.”
“Mereka hanya berkata demikian. Tetapi sebenarnya mereka tidak turun dari
kapal. Semoga Anda bersikap bijak dan mau menceritakan seluruh kejadian kepada
saya. Barangkali saya bisa menolong Anda untuk menangkap kedua orang itu.”
Orang ini bermaksud baik terhadap saya. Dia sama sekali tidak ingin
menyulitkan saya. Tetapi saya merasa malu. Beberapa waktu yang lalu, saya tidak
bersedia memberi keterangan kepadanya. Tetapi hari ini setelah melihat sikapnya,
saya terdorong untuk menceritakan semuanya. Perasaan saya melarang saya untuk
membuka mulut, tetapi akal saya lebih kuat. Saya mengeluarkan kedua foto,
menyodorkan kepadanya sambil berkata,
“Sebelum saya menjelaskan, tolong perhatikan dulu kedua gambar ini.
Apakah kedua orang ini yang Anda maksudkan?”
“Ya, ya, merekalah orangnya!” jawabnya setelah melihat wajah kedua orang
itu. “Tidak salah lagi.”
Secara jujur saya menceritakan inti persoalan. Dia mendengarkan dengan
penuh perhatian. Ketika saya selesai, dia menggeleng-gelengkan kepala lalu
berkata dengan nada prihatin,
“Setelah saya mendengar dari Anda, sekarang semuanya menjadi jelas.
Hanya satu hal yang masih membuat saya bingung. Apakah William Ohlert benar-
benar sudah menjadi gila?”
“Saya kira tidak. Saya tidak mengerti banyak tentang penyakit jiwa. Tetapi
saya hanya melihat gejala monomania15. Oleh karenanya, dia bisa
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya kecuali dalam satu hal.
“Yang tidak jelas bagi saya adalah, mengapa dia membiarkan dirinya begitu
kuat dipengaruhi oleh Gibson. Dia kelihatan taat dan menuruti Gibson dalam segala
hal. Mungkin keparat itu mau menggunakan penyakit monomania Ohlert untuk
memeras dia. Nah, semoga kita bisa segera membuka kedoknya!”
“Anda sungguh yakin bahwa keduanya kini sedang dalam perjalanan menuju
Austin? Atau barangkali mereka ingin turun di tengah jalan?”
“Tidak. Ohlert mengatakan kepada kapten bahwa dia hendak pergi ke
Austin.”
“Ini membingungkan! Semestinya dia tidak mengatakan ke mana dia akan
pergi.”
15 Lihat telaah tentang monomania di lampiran buku ini.
“Mengapa tidak? Mungkin Ohlert belum tahu kalau dia sedang dibuntuti,
sehingga dia mengambil jalan yang salah. Barangkali dia percaya bahwa sejauh ini
dia telah bertindak benar dan hidup demi idealismenya. Semua yang lain menjadi
urusan Gibson. Orang yang bingung itu merasa tidak bodoh dengan mengatakan
Austin sebagai tujuan perjalanannya. Dan kapten itu meneruskan keterangan ini
kepada saya. Sekarang apa yang hendak Anda perbuat?”
“Tentu saya akan menyusul dia ke sana, dan selekas mungkin.”
“Anda harus sabar menunggu sampai besok pagi. Sebelum waktu itu tak ada
kapal yang berangkat ke sana.”
“Kalau begitu kapan kita akan sampai di sana?”
“Melihat keadaan air saat ini, mungkin baru lusa.”
“Itu terlalu lama.”
“Coba Anda bayangkan, kedua orang itu pun terlambat tiba di sana karena
permukaan air masih surut. Tidak bisa dihindari bahwa kapal akan kandas. Orang
harus menunggu lama sebelum permukaan air naik lagi, di mana kapal bisa
berlayar.”
“Andaikan kita tahu apa yang direncanakan Gibson dan ke mana dia akan
melarikan Ohlert!”
“Ya, itu masih menjadi teka-teki. Pasti dia mempunyai rencana tertentu.
Uang yang hingga kini diambilnya sudah cukup untuk membuatnya menjadi kaya
raya. Dia bisa mengambil sebanyak yang dia inginkan, lalu meninggalkan Ohlert
begitu saja. Tetapi hal ini tidak dilakukannya. Ini pertanda bahwa dia masih ingin
memeras Ohlert. Saya sungguh tertarik pada kasus ini. Dan karena kita, sekurang-
kurangnya untuk saat ini, mempunyai tujuan yang sama, saya bisa menolong
Anda. Jika Anda membutuhkan saya, saya bersedia.”
“Terimakasih atas kesediaan Anda, Sir. Saya menaruh kepercayaan pada diri
Anda. Maksud baik Anda sungguh menggembirakan. Saya yakin, pertolongan Anda
akan sangat berguna bagi saya.”
Kami saling berjabatan tangan lalu segera mengosongkan gelas di depan
kami. Kalau saja dari dulu saya mempercayai orang ini!
Gelas kami kembali diisi, ketika terdengar adanya keributan di luar. Suara
orang menjerit serta suara lolongan anjing terdengar mendekat. Tiba-tiba pintu
dibuka dengan kasar. Lalu masuklah enam orang yang kelihatan sudah meneguk
alkohol melampaui batas, sehingga tak seorang pun yang terlihat masih waras.
Mereka dilengkapi dengan senapan, pisau, revolver atau pistol. Selain itu, mereka
juga membawa cambuk yang tergantung di pinggang dan masing-masing
membawa seekor anjing yang diikat dengan tali. Anjing-anjing itu berukuran besar
dan merupakan ras unggul yang dipelihara secara khusus. Di negara-negara
Selatan binatang itu digunakan untuk menangkap orang Negro yang melarikan diri.
Karena itu orang menyebutnya anjing darah atau anjing penangkap manusia.
Keenam orang asing itu masuk tanpa memberikan salam dan memelototi
kami dengan pandangan kurang ajar. Mereka kemudian menjatuhkan diri ke atas
kursi sampai kursi-kursi itu berderak. Mereka lalu menaikkan kaki ke atas meja dan
saling beradu tumit di atasnya. Dengan cara itu mereka hendak memberi tanda
agar si pemilik kedai datang mendekat.
“Hei, ada bir?” salah seorang di antaranya berteriak. “Bir Jerman?”
Pemilik kedai yang ketakutan itu hanya mengangguk.
“Kami ingin minum bir itu. Apa kamu juga orang Jerman?”
“Tidak.”
“Syukurlah! Kami suka minum bir Jerman tetapi kami membenci orang-
orang Jerman. Sebaiknya mereka semua dipanggang di neraka. Sebagai kaum
abolisionis16, mereka telah menolong negara-negara Utara dan merekalah yang
bersalah sehingga kami harus kehilangan pekerjaan.”
Pemilik kedai buru-buru pergi ke belakang supaya secepat mungkin
melayani tamu-tamu istimewa itu. Tanpa sengaja saya menoleh ke belakang untuk
melihat siapa yang baru saja berbicara. Ternyata dia juga melihat saya. Saya
yakin, pandangan saya tidak mengandung maksud penghinaan terhadap dirinya,
tetapi rupanya dia tidak mau dipandang seperti itu atau barangkali dia hanya ingin
mencari gara-gara dengan orang lain. Dia berteriak kepada saya,
“Mengapa kamu memandang saya seperti itu? Apakah saya mengucapkan
sesuatu yang salah?”
Saya kembali membalikkan tubuh ke posisi semula dan tidak menjawab
apa-apa.
“Hati-hatilah!” bisik Old Death kepada saya. “Mereka adalah kaum rowdy17
yang paling brutal. Dahulu mereka sebenarnya pengawas budak yang kehilangan
pekerjaan karena majikannya bangkrut akibat penghapusan sistem perbudakan,
dan sekarang mereka berkumpul bersama hanya untuk membuat onar. Lebih baik
kita jangan memperhatikan mereka. Mari kita habiskan minuman ini lalu segera
pergi dari sini.”
Tetapi ketika melihat kami berbisik-bisik, orang itu tidak suka. Dia berteriak
ke arah kami,
16 Aliran yang memperjuangkan penghapusan sistem perbudakan 17 Panggilan bagi orang yang kasar tabiatnya dan suka berkelahi.
“Apa yang kamu bisikkan, Tulang Tua? Jika kamu berbicara tentang kami,
maka bicaralah yang keras. Jika tidak kami akan membantu membuka mulutmu!”
Old Death mengangkat gelas ke mulutnya dan minum tanpa berkata
sepatah kata pun. Pemilik kedai datang membawa bir dan mereka segera
mencicipinya. Bir itu memang enak. Tetapi karena sedang dongkol, mereka
menuangkannya ke lantai. Orang yang tadi membentak saya mengangkat gelas di
tangannya dan berkata,
“Jangan tuang ke lantai! Di sana duduk dua orang. Kelihatannya cairan ini
pantas mereka terima. Dan mereka akan mendapatkannya.”
Dia mengangkat gelas lalu menumpahkan bir dari seberang meja ke arah
kami berdua. Dengan tenang Old Death mengeringkan wajahnya yang basah
dengan lengan baju. Saya tidak tahan lagi hanya berdiam diri seperti dia dan
menerima perlakuan kurang ajar ini. Topi, baju, dan semua yang saya pakai basah
kuyup akibat terkena siraman. Maka saya berbalik dan menegur dia,
“Sir, saya minta dengan sangat supaya Anda jangan melakukannya untuk
kedua kali! Bersenang-senanglah bersama teman Anda, kami tidak melarangnya.
Tetapi jangan mengganggu kami.”
“Oh ya? Jadi apa yang akan Anda lakukan, jika saya menyiram sekali lagi ke
kepala Anda?”
“Akan terjadi sesuatu.”
“Akan terjadi sesuatu? Baik, kita segera lihat, apa yang akan terjadi. Hei,
bawa lagi bir ke sini!”
Teman-temannya tertawa dan menyoraki matadornya. Dan kelihatannya
orang itu akan mengulangi lagi tindakan kurang ajar tadi.
“Ya Tuhan! Sir, jangan mencari gara-gara dengan orang itu!” kata Old Death
memperingatkan saya.
“Anda takut?” saya balik bertanya.
“Sedikit pun tidak! Tapi mereka pasti segera mencabut senjatanya. Dan
melawan peluru, orang yang paling berani sekali pun tidak mampu berbuat apa-
apa. Pikirkan juga, mereka mempunyai anjing!”
Pengacau-pengacau itu menambatkan anjing pada kaki meja. Supaya tidak
digigit dari belakang, saya lalu pindah dan duduk pada tempat yang lain dengan sisi
kanan menghadap para rowdy itu.
“Aha! Dia duduk dengan posisi menantang!” kata pemimpinnya tertawa.
“Rupanya dia mau melawan. Tetapi begitu dia bergerak, saya akan menyuruh Pluto
menyerangnya. Anjing ini sudah terlatih untuk menyerang manusia.”
Dia melepaskan anjing dari kaki meja dan memegang talinya. Pemilik kedai
belum juga mengantar bir yang dipesan. Kami masih mempunyai sedikit waktu
untuk meletakkan uang pembayaran di atas meja lalu pergi. Tetapi saya yakin,
kawanan itu tidak akan membiarkan kami pergi begitu saja. Saya pun tak mau
menyingkir dari manusia-manusia busuk itu. Bagi mereka tindakan seperti itu
dianggap pengecut.
Saya memasukkan tangan ke dalam saku dan meraba revolver. Saya berdiri
dalam posisi siap. Hanya saya agak ragu, apakah saya akan berhasil mengalahkan
anjing. Tetapi saya pernah memelihara binatang-binatang yang dilatih untuk
menyerang manusia, karena itu kini saya tidak terlalu cemas menghadapi hewan
itu.
Sekarang datanglah si pemilik kedai. Dia meletakkan gelas-gelas di atas
meja dan berkata dengan nada memelas kepada tamu-tamunya yang membuat
onar,
“Gentlemen, saya merasa senang atas kunjungan kalian. Tetapi saya minta,
jangan mengganggu kedua orang di sana. Mereka juga tamu saya.”
“Bangsat!” bentak salah seorang dari mereka. “Kamu mau menggurui kami?
Tunggu, kami akan segera meredam ambisimu!”
Orang itu lalu menyiram dua atau tiga gelas bir ke atas kepala pemilik kedai.
Dia langsung menghilang ke belakang karena menurutnya itulah cara yang terbaik.
“Sekarang giliran si mulut besar di sana!” dia berteriak ke arah saya. “Dia
juga harus merasakannya!”
Sambil memegang tali anjing dengan tangan kiri, dia menyiram isi gelas ke
tubuh saya dengan tangan kanan. Cepat-cepat saya bangkit dari kursi dan
bergerak sedikit ke samping supaya terhindar dari guyuran. Kemudian saya
mengepalkan tinju dan menghampirinya untuk memberikan hukuman yang
setimpal. Tetapi dia lebih cepat.
“Ayo Pluto, go on!” dia berteriak dan melepaskan tali di tangannya sambil
menunjuk ke arah saya.
Saya masih mempunyai sedikit waktu untuk berkelit mundur ke dinding
ketika binatang raksasa itu melompat ke arah saya. Dia berada kira-kira hanya lima
langkah di depan saya, dan jarak ini bisa dijangkaunya dengan sekali lompatan.
Anjing besar itu pasti akan menancapkan taringnya ke leher saya jika saya tetap
berdiri diam. Maka, pada saat ia melompat dan hendak menggigit, saya mengelak
ke samping sehingga tubuhnya melayang menabrak tembok. Akibat benturan yang
keras ke tembok, anjing darah itu nyaris lumpuh. Hewan itu lalu roboh ke lantai.
Dengan gerakan sangat cepat, saya memegang kedua kaki belakangnya,
mengangkatnya tinggi-tinggi dan mengayunkan tubuhnya lalu melemparkan hewan
itu ke dinding dengan kepala lebih dulu. Tulang kepalanya remuk.
Suasana menjadi hiruk-pikuk. Semua anjing melolong keras sambil menarik-
narik tali ikatan sehingga meja-meja tergeser dari tempatnya. Mereka semua
bangun dan pemilik anjing yang mati itu maju hendak menghadang saya. Tetapi
Old Death yang lebih dulu bangkit mengarahkan kedua revolvernya dan
mengancam,
“Stop! Sekarang semuanya sudah cukup, boys. Siapa yang coba-coba maju
selangkah atau menyentuh senjatanya, dia akan saya tembak! Kalian belum
mengenal siapa kami. Saya Old Death, si pencari jejak. Semoga kalian pernah
mendengar tentang saya. Sedangkan orang ini, seorang Sir, sahabat saya. Seperti
saya, dia juga tidak takut sedikit pun kepada kalian. Sekarang duduk dan
minumlah bir kalian dengan tenang. Dan jangan pernah memasukkan tangan ke
dalam saku. Akan saya tembak!”
Peringatan terakhir ini ditujukan kepada seorang dari pengawas budak yang
menggerakkan tangan ke sakunya, tentu dengan maksud mencabut pistol. Saya
pun segera mengeluarkan senjata saya. Kami berdua memiliki delapan belas
peluru. Sebelum seorang dari kaum perusuh itu menyentuh senjatanya, pasti dia
sudah diterjang peluru kami. Saat itu Old Death, sang pencari jejak tua, tampak
sebagai sosok yang sangat lain. Tubuhnya yang biasanya bungkuk kini berdiri
tegak. Matanya bersinar dan pada raut wajahnya terpancar kekuatan yang
membuat orang tidak berani memberikan perlawanan. Saya merasa lucu melihat
bagaimana para pengacau itu tiba-tiba patuh di hadapan Old Death. Mereka
bergumam satu sama lain dengan berbisik-bisik, lalu duduk kembali di tempatnya.
Bahkan pemilik anjing yang mati tidak berani mendekati bangkai anjingnya karena
binatang itu tergeletak di dekat saya.
Kami berdua masih berdiri sambil mengancam dengan revolver di tangan,
ketika seorang pengunjung baru masuk ke dalam… seorang Indian.
Dia memakai baju berburu berwarna putih yang dihiasi dengan manik-manik
yang menjadi corak khas Indian. Celananya pun dibuat dari bahan yang sama dan
jahitan pada rumbai-rumbainya dibubuhi dengan rambut scalp. Tidak ada noda
atau debu yang terlihat pada baju dan celananya. Kakinya yang kecil dibungkus
oleh mokkasin18 yang disulam dengan mutiara dan dihiasi dengan duri landak. Di
lehernya tergantung kantung jimat dan sebuah pipa perdamaian yang dipahat
indah, serta sebuah kalung dari kuku beruang yang diambilnya setelah membunuh
18 Moccasin: Sepatu khas Indian.
binatang buas itu di Rocky Mountains. Pinggangnya dibelit sabuk senjata nan lebar
dari kain santillo yang mahal. Dari balik sabuk itu tersembul gagang pisau dan dua
pucuk revolver. Tangan kanannya memegang sepucuk senapan berlaras ganda.
Gagang senapan itu dihiasi dengan paku-paku perak. Dia tidak memakai penutup
kepala. Rambutnya yang panjang, tebal, dan berwarna hitam kebiru-biruan dirajut
menjadi kepang dan diikat ujungnya dengan kulit dari sejenis ular pematuk yang
sangat beracun. Walaupun rambutnya tidak dihiasi dengan bulu-bulu burung
rajawali atau tanda pengenal lainnya, orang bisa langsung tahu bahwa pemuda itu
adalah seorang kepala suku atau seorang prajurit yang terkenal. Raut wajahnya
yang terkesan dingin dan tampan sangat mirip dengan raut wajah orang Romawi.
Tulang pipinya tidak menonjol. Bibirnya kelihatan penuh tapi lembut dan dia tidak
berjenggot. Kulitnya berwarna coklat terang dan agak kemerah-merahan. Ya,
dialah Winnetou, sang kepala suku Apache, yang juga saudara sedarah saya.
Dia berdiri sejenak di ambang pintu. Matanya yang hitam menatap tajam,
seperti menyelidiki seluruh ruangan dan semua orang yang duduk di sana. Lalu dia
duduk di dekat kami, jauh dari kawanan pengacau yang terus menatap dia dengan
penuh keheranan.
Sebenarnya saya sudah ingin melangkah ke depan untuk menyambut dan
menyalaminya, tetapi dia sama sekali tidak mempedulikan saya walaupun dia
sendiri telah melihat saya dan sudah sejak lama mengenal saya. Dia pasti
mempunyai pertimbangan tertentu. Karena itu saya kembali duduk dan berusaha
bersikap acuh tak acuh terhadapnya.
Tampaknya dia segera memahami situasi yang sedang berkecamuk. Dia
memicingkan matanya sinis saat memandang ke arah para lawan kami. Ketika
kami berdua duduk dan menyimpan kembali revolver, dia tersenyum tapi sangat
halus dan tidak kentara.
Wibawa yang terpancar dari kepribadiannya begitu besar sehingga setelah
dia masuk, suasana di dalam kedai menjadi hening seperti di dalam gereja.
Suasana tenang seperti ini membuat pemilik kedai mengira bahwa bahaya telah
berlalu. Dia menjulurkan kepala dari balik daun pintu yang hanya sedikit terbuka.
Setelah yakin bahwa tidak ada lagi yang perlu dicemaskan, baru dengan hati-hati
dia keluar menampakkan seluruh tubuhnya.
“Saya minta segelas bir, bir Jerman!” kata orang Indian itu dengan suara
lantang dan dalam lafal Inggris yang bagus dan lancar.
Para rowdy heran mendengarnya. Mereka saling merapatkan kepala dan
mulai berbisik-bisik. Dengan diam-diam mereka memandanginya. Ini pertanda
bahwa mereka sedang membicarakan sesuatu yang buruk terhadap dirinya.
Pemilik kedai datang membawa bir yang diminta. Orang Indian itu
menerima, mendekatkan gelas pada jendela yang agak terang, lalu memeriksa bir
itu sebentar, dan meminumnya.
“Well!” katanya kepada pemilik kedai sambil berdecak puas. “Bir Anda enak
rasanya. Manitou Agung dari orang kulitputih telah mengajarkan banyak
keterampilan kepada mereka. Teknik membuat bir ini adalah salah satu di
antaranya.”
“Orang akan segera percaya bahwa dia orang Indian asli!” saya berbisik
pelan kepada Old Death dan berlagak seolah-olah tidak mengenali Winnetou.
“Memang, dia seorang Indian! Seorang Indian yang hebat!” jawab si Tua
dengan pelan namun penuh tekanan.
“Anda mengenalinya? Pernahkah Anda bertemu atau melihatnya?”
“Melihatnya belum pernah. Tetapi saya mengenalinya dari bentuk tubuh,
pakaian, umur, dan yang paling jelas dari senjatanya. Senjata itu adalah Senapan
Perak yang sangat terkenal dan pelurunya belum pernah salah sasaran. Anda
beruntung, bisa berkenalan dengan kepala suku Indian yang termasyhur dari
Amerika Utara ini, Winnetou, kepala suku Apache. Dia seorang yang paling
istimewa dari semua orang Indian. Namanya diceritakan di setiap istana, di rumah-
rumah perkampungan, dan di setiap kemah. Dia seorang yang adil, cerdas, jujur,
setia, penuh percaya diri, berani dan mahir menggunakan semua senjata, dan tidak
ada kepalsuan dalam dirinya. Dia adalah sahabat dan pelindung semua orang yang
membutuhkan pertolongan, serta tidak memandang warna kulit, apakah orang itu
kulitmerah atau kulitputih. Dia terkenal di segenap penjuru Amerika bahkan di luar
negeri sebagai seorang pahlawan hebat dari daerah Barat.”
“Tetapi bagaimana dia bisa berbicara bahasa Inggris begitu fasih dan
memiliki kepribadian seperti seorang gentleman kulitputih?” tanya saya kembali.
“Dia banyak bertualang di daerah Timur. Menurut cerita, ada seorang
sarjana berdarah Eropa yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam kurungan oleh
orang-orang Apache. Namun dia diperlakukan sangat baik selama dalam tahanan
sehingga setelah bebas, dia memutuskan untuk tetap tinggal bersama mereka dan
mengajarkan orang Indian tentang hidup damai. Dialah yang menjadi guru orang
ini. Tetapi pandangannya tentang cintakasih terhadap musuh rupanya tidak
diterima lalu lama-kelamaan dia akhirnya disingkirkan.”
Dia menjelaskannya dengan suara yang sangat pelan, bahkan saya sendiri
pun hampir tidak mendengar apa-apa. Tetapi orang Indian yang duduk kira-kira
lima hasta jauhnya itu, berpaling ke arah teman baru saya dan berkata,
“Anda keliru, Old Death! Sarjana kulitputih itu datang kepada suku Apache
dan dia disambut dengan penuh keramahan. Dia kemudian menjadi guru Winnetou
dan mengajarinya agar menjadi orang yang berguna, yang bisa membedakan
kesalahan dari keadilan dan kebenaran dari kepalsuan. Dia tidak disingkirkan
melainkan sangat dihargai. Dia tidak berkeinginan kembali kepada orang kulitputih.
Ketika dia meninggal, kami memasang sebuah batu nisan di kuburnya dan
menanam bunga di sekelilingnya. Kini dia telah beralih ke padang perburuan abadi,
tempat orang-orang mati tidak lagi dibunuh dan mereka boleh menikmati
kebahagiaan abadi di hadapan Manitou. Di sanalah Winnetou akan bertemu dia
kelak dan akan melupakan semua dendam yang pernah ada di muka bumi.”
Alangkah bahagianya Old Death karena dia pun dikenal oleh Winnetou.
Wajahnya memancarkan binar-binar kegembiraan, ketika dia menanyai orang asing
itu,
“Sir, Anda mengenal saya? Sungguh?”
“Saya belum pernah melihat Anda, tetapi saya segera mengenali Anda
begitu saya masuk ke sini. Anda adalah seorang scout ulung yang namanya
menggema hingga ke Las Animas.”
Setelah selesai mengucapkan kalimat ini dia kembali berpaling. Selama
berbicara tampak wajahnya tidak menoleh kepada saya. Sekarang dia duduk diam
dan kelihatan termenung seorang diri. Hanya telinganya bergerak sebentar,
sepertinya dia menangkap suatu gelagat yang bakal terjadi.
Para rowdy masih terus berbisik-bisik di antara mereka lalu memandangi dia
penuh tanda tanya dan mengangguk-anggukkan kepala. Rupanya mereka telah
menyusun suatu rencana. Mereka tidak mengenal orang Indian ini, juga tidak bisa
memastikan dari tutur katanya, siapakah dia sebenarnya. Tapi mereka ingin
membalas kekalahan yang mereka derita dari kami. Karena itu mereka mau
menunjukkan bahwa mereka sangat membenci kulitmerah. Dalam hal ini mereka
hendak menunjukkan bahwa saya dan Old Death tidak mampu berbuat apa-apa
untuk membela orang Indian itu, sebab seandainya bukan kami yang
dipermalukan, maka menurut aturan umum, kami harus bersikap tenang dan
hanya menonton bagaimana seorang lemah diperlakukan secara tidak wajar. Maka
tampillah salah seorang dari mereka, yakni orang yang tadi bersitegang dengan
saya. Dia berjalan pelan dengan gaya menantang ke arah orang Indian itu. Saya
mengeluarkan revolver dari saku lalu menaruhnya di atas meja sehingga gampang
diraih seandainya dibutuhkan.
“Tidak perlu,” bisik Old Death kepada saya. “Seseorang seperti Winnetou
bisa membela diri melawan orang sebanyak dua kali jumlah rowdy ini.”
Si rowdy tadi berdiri tegap di hadapan Winnetou dengan tangan mencekak
pinggang. Dia berkata,
“Apa yang sebenarnya kamu cari di Matagorda sini, hai kulitmerah? Kami
tidak menerima orang biadab dalam masyarakat kami.”
Winnetou tidak menghiraukan orang itu. Dia mengangkat gelasnya lalu
minum seteguk dan meletakkan kembali di atas meja. Lalu dia mendecak dengan
lidahnya.
“Hei, keparat kulitmerah, kamu dengar apa yang saya katakan?” dia
bertanya lantang. “Saya ingin tahu, apa yang kamu kerjakan di sini. Kamu
mengendap-endap kemari guna mendengarkan semua pembicaraan kami dan
memata-matai kami. Semua kulitmerah bersekutu dengan Juarez, pembohong
yang juga berkulitmerah. Tetapi kami berpihak pada Kaisar Maximillian dan kami
akan menggantung semua orang Indian yang coba menghalang-halangi usaha
kami. Jika kamu tidak ikut berseru ‘Hiduplah Kaisar Maximillian!’ maka kami akan
segera melingkarkan tambang ke lehermu!”
Winnetou diam dan tidak berkata sedikit pun. Raut wajahnya tetap tidak
berubah.
“Anjing, kamu mengerti maksud saya? Saya butuh jawaban!” seorang yang
lain berteriak penuh amarah, sambil mengepalkan tinjunya di atas bahu Winnetou.
Tiba-tiba Winnetou menengadahkan wajahnya ke atas dengan cepat.
“Mundur!” serunya dengan nada memerintah. “Saya tidak membiarkan jika
seekor coyote menggonggong saya seperti itu.”
Coyote adalah nama yang diberikan kepada serigala prairie yang dikenal
sebagai hewan pengecut dan karena itu secara umum dianggap sebagai hewan
yang sangat memalukan. Orang Indian menggunakan kata makian ini jika mereka
marah dan ingin menghina lawannya.
“Seekor coyote?” teriaknya. “Ini suatu penghinaan yang harus segera
dibalas.”
Dia mencabut revolver. Tetapi tiba-tiba terjadi sesuatu yang tidak
dibayangkan sebelumnya. Winnetou memukul jatuh senjatanya kemudian
mencengkeram pinggang orang itu, mengangkatnya ke atas lalu melemparkan
tubuhnya ke luar jendela. Tentu kaca jendela hancur dan jatuh bersama tubuhnya
ke arah jalan.
Semuanya berlangsung begitu cepat. Seiring dengan bunyi pecahnya kaca,
terdengar pula lolongan anjing dan teriakan marah para sahabatnya. Ini
menyebabkan suasana di dalam ruangan menjadi hiruk-pikuk. Walaupun demikian
suara Winnetou mengatasi semua keributan itu. Dia maju mendekati kawanan itu
dan dengan tangan menunjuk ke jendela dia berkata,
“Ada lagi yang mau dilempar keluar? Katakanlah!”
Dia berdiri terlalu dekat dengan seekor anjing. Binatang itu hendak
menggigitnya, tetapi mendapat tendangan keras dari Winnetou sehingga akhirnya
merintih kesakitan di bawah kolong meja. Semua pengawas budak itu mundur
ketakutan dan tidak berani bersuara sedikit pun. Winnetou tidak memegang
senjata di tangan, tetapi kewibawaannya sangat memukau. Tidak seorang pun dari
kawanan itu yang mampu menentang dia. Orang Indian ini bagaikan seorang
pawang binatang dalam sirkus, yang masuk ke dalam arena pertunjukan dan
mampu memaksa singa serta harimau agar duduk hanya dengan sorot matanya.
Tiba-tiba pintu kembali terbuka. Pria malang yang tadi dilemparkan lewat
jendela, melangkah masuk. Wajahnya terluka akibat terkena pecahan kaca. Dia
mencabut pisau dan dengan teriakan penuh kemarahan dia maju menyerang
Winnetou. Orang Indian itu mengelak ke samping dan dengan cepat menangkap
tangannya yang menggenggam pisau. Lalu dia mencengkeram pinggang orang itu,
seperti sebelumnya, mengangkatnya tinggi-tinggi lalu membanting tubuhnya ke
lantai. Seketika orang itu langsung pingsan dan tidak bergerak. Tak seorang pun
dari temannya yang berancang-ancang membalas menyerang. Seolah-olah tidak
terjadi apa-apa, Winnetou mengambil birnya dengan tenang dan meminumnya
sampai habis. Kemudian dia melambaikan tangan kepada pemilik kedai yang
sebelumnya bersembunyi di balik pintu menuju kamar karena ketakutan. Dia
mengambil sebuah pundi-pundi kulit dari sabuk senjatanya dan meletakkan sebuah
benda kecil berwarna kekuning-kuningan di tangan orang itu sambil berkata,
“Ambillah ini untuk pembayaran bir dan jendela yang rusak, Master
Landlord! Anda lihat sendiri, orang biadab seperti saya mau membayar birnya.
Semoga Anda juga menerima pembayaran serupa dari manusia-manusia beradab
itu. Mereka tidak menerima kulitmerah. Winnetou, sang kepala suku Apache, akan
pergi dari sini, tetapi bukan karena dia takut terhadap mereka melainkan karena
dia tahu, pada mukapucat hanya kulitnya saja yang putih, bukan jiwanya. Dan
Winnetou tidak mau bergabung bersama mereka.”
Setelah mengambil senjatanya, dia keluar meninggalkan kedai tanpa
memandang seorang pun. Dia juga tidak memandang saya.
Sekarang para rowdy kembali bergerak. Tampaknya rasa ingin tahu mereka
lebih besar daripada rasa marah, malu, atau rasa prihatin terhadap nasib
temannya yang masih pingsan. Mereka menghampiri pemilik kedai dan bertanya
tentang barang yang baru saja diterimanya dari orang asing tadi.
“Sebutir nugget!” jawab pemilik kedai sambil memperlihatkan emas sebesar
ibu jari kepada mereka. “Sebutir nugget yang berharga paling kurang dua belas
dollar. Dan uang itu cukup untuk memperbaiki jendela yang rusak. Jendela itu
sudah tua dan lapuk serta banyak kacanya yang retak. Orang itu kelihatan memiliki
pundi-pundi yang penuh dengan butiran nugget!”
Para rowdy kesal dan iri karena seorang pria kulitmerah memiliki emas
dalam jumlah yang besar. Butiran nugget itu berpindah dari tangan ke tangan dan
mereka mencoba menaksir harganya. Kami menggunakan kesempatan ini untuk
membayar minuman lalu pergi meninggalkan tempat itu.
“Sekarang, apa pendapat Anda tentang orang Apache itu, Master?” tanya
saya kepada Old Death ketika kami sudah berada di luar.
“Apakah ada orang Indian lain seperti dia? Pengacau-pengacau itu mundur
ketakutan di hadapannya, seperti tikus melihat kucing. Sayang saya tidak bisa
bertemu lagi dengannya. Sebenarnya kita bisa mengikuti dia, sebab saya ingin
tahu, apa yang dikerjakannya di sini. Selain itu apakah dia bermukim di luar kota
ataukah menginap di sebuah hotel. Dia pasti menambatkan kudanya di suatu
tempat, karena mustahil seorang Apache atau juga Winnetou bepergian tanpa
menunggang kuda. Tetapi terlepas dari semua itu, Sir, Anda tadi luar biasa.
Hampir-hampir saya mati ketakutan, karena berurusan dengan orang-orang seperti
itu bisa berakibat fatal. Tetapi ketika Anda membunuh anjing itu dengan sikap
tenang dan penuh percaya diri, saya lalu berpikir, tidak pantas lagi Anda terus
menyandang gelar greenhorn. Tetapi kini kita sudah berada di dekat hotel. Apakah
kita harus masuk sekarang? Lebih baik tunggu dulu. Seorang pemburu tua seperti
saya tidak suka mengurung diri di dalam kamar. Saya lebih senang jalan-jalan dulu
untuk menghirup udara di alam terbuka. Jadi marilah kita berjalan sedikit lagi
untuk mengelilingi kota Matagorda ini. Saya tidak tahu bagaimana kita bisa mengisi
waktu luang ini. Atau apakah Anda lebih suka bermain kartu?”
“Tidak. Saya tidak bisa bermain dan saya pun tidak ingin menjadi seorang
pemain kartu.”
“Bagus, anak muda! Di sini hampir setiap orang bermain kartu dan di Mexico
lebih parah lagi. Di sana bukan hanya suami dan istri melainkan juga segenap
anggota keluarga pun ikut bermain. Dan mereka sangat cepat meraih pisau. Mari
kita menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan! Setelah itu kita pergi makan lalu
tidur. Di daerah yang indah ini orang tidak pernah tahu, bagaimana dan di mana
orang bisa tidur pada malam hari.”
“Tempat ini tentu saja tidak seburuk yang Anda gambarkan!”
“Jangan lupa, Sir, Anda sekarang berada di Texas dan situasi di sini tidak
sepenuhnya aman. Kita misalnya bisa berangkat ke Austin. Tetapi yang menjadi
pertanyaan, apakah kita bisa tiba di sana dengan selamat. Kejadian-kejadian di
Mexico telah menyebarkan pengaruh yang luas hingga melewati Rio Grande.
Sekarang muncul banyak peristiwa yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dan
dalam situasi seperti ini kita harus mengusut perkara Gibson. Apabila dia tiba-tiba
berpikir untuk membatalkan perjalanannya ke Austin dan singgah di suatu tempat,
maka kita pun terpaksa berbuat yang sama.”
“Tetapi bagaimana kita tahu bahwa dia sudah turun dari kapal?”
“Kita harus bertanya. Kapal-kapal yang berlayar di Sungai Colorado
biasanya berlabuh agak lama. Di sini orang tidak terburu-buru seperti di Sungai
Mississippi atau di tempat lain. Jadi di setiap pelabuhan kita masih mempunyai
waktu seperempat jam untuk mengumpulkan keterangan. Tapi kita pun harus
bersiap-siap mendarat di suatu tempat, dimana tidak terdapat perumahan atau
hotel, dan kita pun harus bisa tidur di mana saja.”
“Tetapi bagaimana dengan kopor saya?”
Dia tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan saya.
“Kopor, kopor!” serunya. “Membawa kopor dalam perjalanan adalah
kebiasaan lama dari zaman sebelum Nabi Nuh. Semua orang yang berakal sehat
tidak akan mau membawa banyak barang dalam perjalanan! Jika saya membawa
semua barang yang saya butuhkan untuk perjalanan dan petualangan saya, maka
pasti saya tidak akan berjalan sejauh ini. Anda hanya boleh membawa barang yang
penting untuk saat ini, yang lainnya bisa Anda beli kelak jika dibutuhkan. Barang-
barang penting apa saja yang tersimpan di dalam kopor Anda?”
“Baju, pakaian dalam, perlengkapan untuk merawat tubuh, beberapa helai
baju untuk menyamar, dan lain-lain.”
“Barang-barang itu bagus, tetapi orang bisa mendapatkannya di setiap
tempat. Apa yang kita perlukan, bisa kita beli kelak. Anda cukup mengenakan
sehelai baju hingga baju itu usang lalu membeli yang baru. Perlengkapan untuk
perawatan tubuh? Jangan marah, Sir, tetapi sisir dan pembersih kuku, minyak
rambut serta sikat untuk janggut dan sejenisnya hanya menghambat diri Anda
sendiri. Lalu pakaian untuk menyamar? Pakaian itu dulu mungkin berguna, tapi
sekarang barang itu tidak dibutuhkan lagi. Di sini Anda tidak perlu menyamar
dengan rambut palsu. Ide-ide gila seperti ini tidak mendukung usaha Anda. Yang
berlaku di sini adalah segera bertindak jika bertemu Gibson. Dan...”
Dia masih berdiri, memperhatikan saya dari ujung rambut hingga ke ujung
kaki, lalu tersenyum kecil dan berkata,
“Melihat penampilan Anda saat ini, lebih baik Anda masuk ke salon wanita
atau tampil di atas panggung teater. Tapi Texas bukan salon kecantikan atau
teater. Bisa saja setelah dua atau tiga hari baju Anda sudah compang-camping dan
topi silinder yang indah itu telah menjadi pipih seperti akordeon. Anda tahu, ke
mana Gibson akan melarikan diri? Menetap di Texas rasanya bukanlah rencananya.
Dia ingin menghilang dan pasti dia sudah melewati perbatasan Amerika. Karena dia
mengambil jurusan itu, kita bisa menduga bahwa dia memilih Mexico sebagai
tujuan pelariannya. Dia bisa bersembunyi di negara yang tengah dilanda kemelut
politik itu. Dan tidak ada seorang pun, juga polisi, yang akan membantu Anda
untuk menemukan dia dalam situasi seperti ini.”
“Barangkali Anda benar. Tetapi saya pikir, apabila dia sungguh-sungguh
hendak pergi ke Mexico, maka dia pasti sudah berangkat ke salah satu pelabuhan
di sana.”
“Mustahil! Dia harus secepatnya meninggalkan New Orleans dan dia
terpaksa menumpang kapal apa saja yang berlayar lebih dulu. Selain itu
pelabuhan-pelabuhan di Mexico berada di bawah kekuasaan orang Perancis.
Barangkali Anda tahu apakah dia bersahabat dengan orang-orang Perancis itu?
Rupanya tidak ada pilihan lain baginya, dia harus menempuh jalan darat dan
berusaha sedapat mungkin agar tidak dipergoki orang di tempat-tempat yang
ramai. Jadi sangat mungkin, dia tidak sampai ke Austin melainkan sudah turun dari
kapal di pelabuhan sebelumnya. Lalu dia pergi ke Rio Grande, tentu saja dengan
berkuda, melewati daerah yang gersang itu. Apa Anda mau menyusul dia ke sana
dengan semua kopor sambil mengenakan topi silinder dan jas mahal ini? Jika itu
rencana Anda, maka saya harus menertawakan Anda.”
Saya tahu, dia memang benar. Tetapi sekedar untuk bergurau, saya pura-
pura bersungut-sungut ketika menanggalkan pakaian. Dia kemudian menepuk-
nepuk pundak saya sambil tertawa dan berkata,
“Jangan menyesal karena harus melepaskan pakaian itu. Bukankah pakaian
itu tidak praktis? Mari kita pergi ke toko dan menjual semua barang bekas ini lalu
mencari pakaian lain buat Anda. Anda harus memakai pakaian berburu yang kuat
dan tahan lama. Dalam perhitungan saya, Anda punya cukup uang untuk itu,
bukan?”
Saya mengangguk.
“Kalau begitu apa lagi yang harus Anda pikir? Buanglah semua barang
rombengan ini! Anda juga bisa menunggang kuda dan menembak, bukan?”
Saya kembali mengiyakan.
“Anda harus memiliki seekor kuda. Tetapi kita tidak bisa membeli kuda di
daerah pesisir seperti ini. Di sini tidak ada kuda yang bagus dan harganya pun
mahal. Di daerah pedalaman para petani bisa menjual kudanya kepada Anda, tapi
tanpa pelana. Perlengkapan itu harus dibeli di sini.”
“Ya ampun! Jadi saya harus bepergian sambil terus memikul pelana di
punggung seperti Anda?”
“Ya, kenapa tidak? Apakah Anda malu dilihat orang? Siapa yang merasa
terganggu jika saya memikul pelana? Tidak seorang pun! Jika saya mau, saya
bahkan bisa berkeliling sambil memikul sofa, biar sesekali saya bisa beristirahat di
atasnya, entah di padang prairie atau di hutan belantara. Dan siapa yang berani
menertawakan saya akan menerima hadiah sebuah tonjokan di hidungnya, biar
matanya berkunang-kunang. Kita hanya boleh merasa malu jika melakukan
sesuatu yang tidak benar atau sesuatu yang kekanak-kanakan. Jika kita menduga
bahwa Gibson dan William telah mendarat di suatu tempat, membeli kuda lalu
menghilang, maka Anda baru mengerti betapa pentingnya memiliki sebuah pelana.
Lakukan apa yang Anda suka. Tetapi jika Anda ingin agar saya tetap bersama
Anda, maka turutilah nasehat saya. Jadi sekarang putuskan segera!”
Tanpa menunggu jawaban dari saya, dia meraih tangan, membalikkan tubuh
saya dan menunjukkan sebuah bangunan yang merupakan toko besar. Di atasnya
terpampang tulisan “Store for all things”. Dia menarik saya masuk, lalu dengan
agak keras saya didorong ke dalam sampai-sampai saya tersandar pada beberapa
barang yang dipajang. Dia sendiri masuk dengan perlahan-lahan.
Ternyata papan nama di depan tadi sesuai dengan isi toko. Toko itu sangat
besar dan di sana dijual semua barang yang sangat dibutuhkan orang di daerah ini,
termasuk pelana dan senapan.
Kejadian berikutnya sungguh sangat unik. Saya berdiri di sana seperti
seorang anak sekolah yang berada di pasar malam bersama ayahnya. Dia malu-
malu mengungkapkan keinginannya tetapi pada akhirnya harus menerima saja apa
yang dicarikan oleh ayahnya. Begitu tiba di sana Old Death langsung membuat
kesepakatan dengan pemilik toko bahwa kami boleh menukar baju yang sedang
saya pakai dan semua isi kopor saya dengan apa yang ingin kami beli. Orang itu
setuju dan segera menyuruh storekeeper pergi mengambil kopor saya. Setelah
pelayan tersebut kembali, semua barang itu ditaksir harganya. Lalu Old Death
mulai mencarikan segala sesuatu yang penting buat saya. Saya mendapat sebuah
celana kulit berwarna hitam, sepasang sepatu tinggi dengan penggertaknya,
sebuah kemeja wol berwarna merah, sebuah rompi yang juga berwarna merah
dengan banyak saku, sehelai syal berwarna hitam, sebuah baju polos dari kulit
rusa, sabuk senjata dari kulit kira-kira selebar dua telapak tangan dan tentu
dengan saku di dalamnya, kantong untuk peluru, tempat tembakau, pipa untuk
merokok, kompas, dan sekitar dua puluh perlengkapan kecil lainnya. Dia juga
membeli kain lap kaki sebagai pengganti kaus kaki, sebuah topi sombrero yang
lebar, selimut wol yang dilubangi di tengahnya sebagai tempat masuknya kepala,
seutas laso, tabung penyimpan mesiu, pemantik, sebilah pisau Bowie, pelana yang
dilengkapi dengan saku, dan tali kekang. Lalu kami pergi mencari senjata. Old
Death bukan seorang yang suka barang-barang modern. Dia menyingkirkan semua
barang keluaran terbaru dan lebih suka memilih sebuah bedil tua yang sama sekali
tidak saya perhatikan sebelumnya. Setelah senjata itu ditelitinya dengan seksama,
dia mengisinya dengan peluru. Dia keluar sebentar dari toko dan membidik ujung
atap sebuah rumah yang terletak di kejauhan. Tembakannya tepat.
“Well!” angguknya puas. “Alat ini berfungsi baik. Pasti senjata ini dirawat
dengan baik dan dia lebih berharga daripada pakaian rombengan Anda. Saya
sangat yakin, senjata ini dibuat oleh seorang yang ahli dan saya berharap, semoga
Anda nanti bangga menggunakan hasil karyanya ini. Kini kita masih harus membeli
cetakan peluru, setelah itu lengkaplah semua kebutuhan kita. Kita pun bisa
membeli timbal di sini. Lalu kita pulang ke rumah dan membuat campuran bahan
peledak yang nantinya akan dipakai untuk mengejutkan orang-orang di Mexico.”
Setelah itu saya masih membeli beberapa barang kebutuhan kecil seperti
sapu tangan dan lain-lain. Tentu saja Old Death tidak suka karena menganggapnya
berlebihan. Lalu saya menuju ke ruangan di sebelahnya untuk berganti pakaian.
Ketika saya kembali, si Tua memandang saya dengan puas.
Dalam hati saya berharap semoga dialah yang memikul pelana kuda yang
baru dibeli. Ternyata tidak! Dia menaikkan barang-barang itu ke punggung saya
dan mendorong saya ke luar.
“Baiklah,” katanya setelah kami tiba di luar. “Sekarang dengarlah, Anda
tidak perlu merasa malu! Setiap orang yang berakal sehat pasti akan menganggap
Anda sebagai orang yang bijaksana. Dan tutuplah telinga Anda terhadap komentar
orang-orang yang tidak waras!”
Sekarang saya tidak lagi berharap pada Old Death dan terpaksa harus
memikul sendiri beban berat itu sampai ke hotel. Sementara itu dia berjalan
dengan bangga di samping saya dan merasa senang karena saya bisa memikul
barang sendiri.
Ketika kami tiba di ‘hotel’, dia segera beristirahat. Sedangkan saya sendiri
pergi ke luar mencari Winnetou. Bisa dibayangkan betapa bahagianya hati ketika
saya melihat Winnetou di kedai minum tadi. Pada saat itu saya harus menahan diri
untuk tidak mendekatinya. Tetapi bagaimana dia bisa datang ke Matagorda dan apa
yang sedang dicarinya di sini? Mengapa dia berbuat seolah-olah tidak mengenali
saya? Pasti dia mempunyai alasan tertentu. Tapi apa?
Saya ingin berbicara dengan dia dan dia pun pasti mempunyai keinginan
yang sama. Barangkali dia menunggu saya di suatu tempat. Karena sudah
mengenal kebiasaannya, saya tidak sulit mencarinya. Tentu saja dia sudah
mengamati kami dan melihat kami masuk hotel. Jadi dia pasti berada di sekitar
hotel ini. Saya pergi ke bagian belakang hotel yang berbatasan dengan sebidang
tanah kosong. Ternyata benar! Di kejauhan, sekitar beberapa ratus langkah, saya
melihat dia sedang bersandar pada sebatang pohon. Setelah melihat saya datang,
dia beranjak dari tempat itu lalu berjalan pelan masuk ke hutan. Tentu saja saya
mengikutinya ke sana. Di bawah naungan pohon dia menunggu saya lalu
menyambut kedatangan saya dengan wajah berseri-seri.
“Scharlih, saudaraku terkasih!” katanya bahagia. “Betapa senangnya hati
saya karena bisa bertemu lagi dengan kamu! Ibarat kegembiraan sang fajar
menyongsong mentari yang menampakkan diri setelah malam yang gelap!”
Dia merangkul dan mencium saya. Saya menjawabnya,
“Sang fajar pasti tahu, mentari akan terbit lagi. Sedangkan kita berdua tidak
bisa memastikan sebelumnya bahwa kita akan bertemu lagi di sini. Saya sungguh
merasa bahagia karena bisa mendengar lagi suaramu!”
“Apa alasanmu datang ke kota ini? Adakah suatu urusan penting yang harus
dikerjakan di sini atau kamu hanya singgah sebentar di Matagorda sebelum
meneruskan perjalananmu ke tempat kami di Rio Pecos?”
“Saya memikul suatu tugas yang harus diselesaikan. Itulah sebabnya saya
datang kemari.”
“Maukah saudaraku kulitputih mengatakan kepadaku tentang tugas itu? Dan
menceritakan kepadaku, di mana dia berada selama ini, terutama setelah kita
berpisah di seberang Red River?”
Dia menarik tangan saya dan berjalan agak ke tengah hutan. Di sana kami
lalu duduk berdampingan dan saya mulai menceritakan semua peristiwa yang saya
alami. Ketika saya selesai bercerita, dia mengangguk-anggukkan kepala sambil
berpikir dengan sungguh-sungguh. Kemudian katanya,
“Dulu kita bersama-sama mengukur jalan untuk kuda-api supaya kamu bisa
mendapatkan banyak uang. Sayang badai hurricane telah menenggelamkan semua
uangmu. Apabila dulu kamu tetap tinggal bersama prajurit-prajurit Apache yang
hingga kini masih tetap mencintaimu, pasti kamu tidak akan membutuhkan uang
tersebut. Tapi sekurang-kurangnya kamu telah bertindak tepat karena tidak
berangkat ke St. Louis untuk menanti saya di tempat Mr. Henry, karena saya tidak
pernah datang lagi ke sana.”
“Apakah engkau telah menangkap Santer, sang pembunuh itu?”
“Tidak. Roh jahat masih melindunginya dan Manitou yang agung dan baik
telah membiarkannya lolos dari tangan saya. Dia lalu pergi ke tempat tentara-
tentara negara Selatan dan menghilang di sana. Mata saya memang tidak lagi
mengawasinya di antara ribuan orang itu, tetapi dia tidak akan lolos dari saya!
Saya tidak akan pulang ke Rio Pecos sebelum menghukumnya. Selama musim
dingin para prajurit kami berkabung atas kematian Intschu tschuna dan adik
perempuan saya. Setelah itu saya harus membuat perjalanan jauh untuk
mengunjungi suku-suku Apache dan membatalkan rencana mereka untuk pergi ke
Mexico dan mengambil bagian dalam peperangan di sana. Pernahkah saudaraku
mendengar tentang Juarez, presiden berkulitmerah itu?”
“Ya.”
“Siapa yang berada di pihak yang benar, dia atau Napoleon?”
“Juarez.”
“Saudaraku mempunyai pendirian yang sama seperti saya. Tetapi tolong
jangan tanyakan kepada saya, apa yang saya kerjakan di Matagorda ini! Bahkan
terhadap kamu pun saya harus menutup mulut, sebab saya telah membuat janji
dengan Juarez ketika saya bertemu dengan dia di El Paso del Norte. Jadi setelah ini
apakah kamu akan terus mengejar kedua mukapucat itu?”
“Saya harus mengejar mereka. Betapa senangnya hati saya jika engkau
menemani saya dalam tugas ini! Apakah hal ini mungkin?”
“Tidak. Saya harus menyelesaikan suatu tugas yang sama pentingnya
seperti tugasmu. Hari ini saya masih tinggal di sini, tetapi besok saya akan berlayar
ke La Grange. Dari sana saya melanjutkan perjalanan ke Rio Grande del Norte
melalui benteng Inge.”
“Kalau begitu kita akan berlayar dengan kapal yang sama. Hanya saya tidak
tahu sampai sejauh mana engkau akan berlayar. Tetapi besok kita masih bisa
bersama-sama lagi.”
“Tidak.”
“Tidak? Mengapa tidak?”
“Karena saya tidak mau menyeret saudaraku dalam urusan saya. Karena
alasan ini pula, maka dulu saya berlagak pura-pura tidak mengenal kamu. Selain
itu karena Old Deathlah, maka saya tidak mau berbicara dengan kamu.”
“Kenapa dia? Ada apa?”
“Apakah dia tahu bahwa kamu adalah Old Shatterhand?”
“Tidak. Nama itu tidak pernah disebut-sebut dalam pembicaraan kami.”
“Tetapi dia mengenal nama itu. Selama ini kamu hanya berada di daerah
Timur sehingga kamu tidak tahu betapa sering orang membicarakan namamu di
daerah Barat. Old Death tentu pernah mendengar nama Old Shatterhand. Tapi
rupanya dia lebih menganggapmu sebagai seorang greenhorn.”
“Benar apa yang engkau katakan.”
“Kelak dia akan sangat terkejut kalau akhirnya tahu, siapa sebenarnya
greenhorn yang satu ini. Dan saya tidak ingin merugikan kamu gara-gara hal ini.
Karena itu kita akan berangkat sekapal tetapi kita tidak boleh berbicara satu sama
lain. Setelah kamu menangkap Ohlert dan penyanderanya, baru kita bisa
menghabiskan lebih banyak waktu bersama-sama. Kamu akan mengunjungi kami
lagi, bukan?”
“Tentu saja!”
“Kalau begitu sekarang kita harus berpisah, Scharlih. Di tempat ini ada
beberapa mukapucat yang juga sedang menanti saya.”
Dia lalu berdiri. Saya menghargai sikapnya untuk menutup rapat-rapat
rahasia yang dipegangnya. Kemudian saya berpisah darinya… semoga hanya untuk
waktu yang singkat.
Keesokan harinya kami menyewa dua kuda bagal lalu memacunya menuju
gosong. Di sana bersandar sebuah kapal yang sedang menunggu penumpang.
Pelana dinaikkan ke atas punggung kuda sehingga kami tidak perlu repot-repot
memikulnya.
Kapal ini berbentuk datar dan dibangun menurut konstruksi Amerika.
Banyak penumpang sudah berjejal di atasnya. Sambil memikul pelana di
punggung, kami naik melewati tangga menuju ruang penumpang. Pada saat itu
terdengar seseorang berteriak,
“By Jove! Lihatlah, ada sepasang keledai berkaki dua sedang naik ke kapal
sambil memikul pelana! Apakah kalian pernah melihat hal seperti itu? Ayo minggir,
beri mereka jalan! Biarkan mereka masuk ke ruang bawah. Binatang-binatang
seperti mereka tidak pantas berada bersama para gentlemen seperti kita!”
Kami mengenal suara itu. Ruang terbaik di atas kapal, yang ditutupi dengan
atap kaca, memang ditempati oleh para rowdy yang kemarin membuat keributan
dengan kami di kedai. Orang yang suka berteriak-teriak kemarin, yang rupanya
menjadi pemimpin gerombolan itu, menyambut kami dengan kata-kata penuh
penghinaan. Saya memandang Old Death. Tetapi karena dia tidak mengindahkan
penghinaan tersebut, saya pun hanya diam saja, seakan-akan tidak mendengarnya
sama sekali. Kami lalu mengambil tempat di hadapan orang-orang itu dan
menyorongkan pelana ke bawah tempat duduk.
Old Death duduk dengan tenang. Dia mengeluarkan revolvernya dari saku,
menimangnya lalu meletakkan benda itu di sampingnya. Saya pun berbuat yang
sama untuk berjaga-jaga. Para pengacau itu merapatkan kepala satu sama lain dan
berunding, tapi mereka tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata penghinaan.
Semua anjingnya masih setia menunggui mereka, tapi tentu saja jumlahnya sudah
berkurang satu. Pemimpinnya memandang kami dengan tatapan yang sangat
memusuhi. Tubuhnya masih bungkuk akibat kejadian kemarin, di mana dia
dilempar oleh Winnetou keluar jendela dan setelah itu mendapat pukulan keras
darinya. Di wajahnya pun masih terlihat bekas luka akibat pecahan kaca.
Nahkoda datang dan menanyai kami, sampai kemana kami akan berlayar.
Old Death menyebut daerah Columbus dan kami membayar tiket hingga ke tempat
itu. Jika kami mau, di sana kami bisa membeli tiket untuk perjalanan selanjutnya.
Tetapi Old Death berpendapat, Gibson pasti tidak akan berlayar sampai ke Austin.
Lonceng kapal sudah berbunyi dua kali ketika seorang penumpang datang.
Dan orang itu adalah... Winnetou. Dia menunggang seekor kuda pacuan Indian
yang sangat gagah dan baru turun dari kudanya setelah tiba di atas geladak kapal.
Dia kemudian menuntun hewan itu ke bagian buritan. Di sana disediakan tempat
khusus untuk menambatkan kuda. Tempat itu dilengkapi dengan papan penahan
setinggi bahu. Lalu tanpa mempedulikan siapa pun, dia duduk bersandar pada
pagar pengaman di bagian buritan. Para rowdy mengamati semua gerak-geriknya.
Mereka berdehem-dehem lalu batuk-batuk keras untuk memancing perhatiannya.
Tetapi gagal. Sambil bertopang di atas senjatanya, dia duduk tenang dengan posisi
agak menyamping dan kelihatannya sama sekali tidak menanggapi suara mereka.
Sekarang lonceng kapal dibunyikan untuk terakhir kali. Kapal itu masih
menunggu beberapa saat, barangkali masih ada penumpang yang datang.
Kemudian roda-roda kapal berputar dan kapal pun mulai bergerak maju.
Perjalanan kami tampaknya aman. Di atas kapal semuanya tenang hingga
kami tiba di Wharton. Di sana hanya ada seorang penumpang yang turun tetapi
sebagai gantinya banyak penumpang yang naik. Old Death turun ke darat selama
beberapa menit untuk bertanya tentang Gibson kepada seorang agen kapal. Dia
mendapat keterangan bahwa kedua orang yang dimaksud tidak mendarat di
tempat itu. Keterangan yang sama juga diperolehnya di Columbus. Karena itu kami
harus membayar tiket ekstra dari Columbus ke La Grange. Jarak dari Matagorda ke
Columbus ditempuh kapal dalam waktu yang kira-kira sama dengan lima puluh
jam jika orang berjalan kaki, sehingga ketika kami tiba di sana, hari sudah petang.
Selama kurun waktu itu Winnetou hanya sekali saja meninggalkan tempat
duduknya, yakni untuk memberi kudanya air minum dan biji jagung.
Kelihatannya para rowdy sudah melupakan rasa dendamnya terhadap
Winnetou dan terhadap kami. Begitu ada penumpang baru yang naik, mereka
segera mendekatinya. Biasanya mereka tidak disambut ramah oleh orang itu. Tapi
mereka lalu mulai menjual idenya yang menentang penghapusan sistem
perbudakan. Mereka bertanya tentang pendapat pribadi orang tersebut dan
memaki orang yang tidak sepaham dengan mereka. Kata-kata umpatan seperti
“Terkutuklah orang-orang republik”, “Paman orang Negro”, “Budak yankee” dan
makian lain yang lebih keras keluar dari mulut mereka. Akibatnya, tentu orang-
orang itu menarik diri dan tidak mau berurusan dengan mereka. Itu juga yang
menjadi alasan mengapa mereka kemudian bergabung dengan kami. Para rowdy
tidak berhasil mendapatkan dukungan untuk menentang kami. Seandainya ada
lebih banyak pendukung sesessionis di atas kapal, pasti suasana tenang itu akan
berubah menjadi gaduh.
Di Columbus banyak penumpang yang turun, tapi pada waktu itu banyak
pula penumpang yang naik, yang rupanya suka membuat huru-hara. Mereka
adalah segerombolan pemabuk, yang jumlahnya sekitar lima belas orang. Mereka
berjalan terhuyung-huyung melewati pagar pengaman, sehingga menimbulkan
kesan yang sangat jelek. Mereka disambut oleh kaum rowdy dengan sorak
gembira, sedang para penumpang yang baru naik itu langsung bergabung dengan
mereka. Dalam waktu singkat makin terasa bahwa keributan di atas kapal
bertambah. Orang-orang bejat itu langsung duduk tanpa bertanya terlebih dulu
apakah penumpang lain merasa terganggu atas kehadiran mereka. Mereka bahkan
berdesak-desakan di antara para penumpang yang sudah duduk tenang di sana,
lalu berbuat seakan-akan hendak menunjukkan bahwa merekalah yang berhak
duduk di tempat itu. Kapten kapal membiarkan mereka bertindak semaunya.
Mungkin dia berpendapat, yang terbaik adalah tidak mempedulikan mereka sejauh
mereka tidak mengganggu jalannya kapal, dan dia membiarkan penumpang lain
membela diri terhadap kelompok pengacau itu. Kapten itu tidak berpakaian seperti
yankee. Tubuhnya kekar dan dia tidak kelihatan seperti orang Amerika. Wajahnya
selalu dihiasi senyum. Saya sangat yakin, orang itu keturunan Jerman.
Sejumlah besar pendukung aliran sesessionisme itu kemudian pergi ke
restoran kapal. Dari sana terdengar teriakan yang memekakkan telinga. Terdengar
pula botol-botol minuman yang dipecahkan. Tidak lama kemudian seorang pria
kulithitam yang bekerja sebagai pelayan restoran berlari ke luar sambil menjerit
keras. Dia naik ke ruang kapten dan mengadu dengan keluhan yang kedengaran
tidak jelas. Saya hanya mendengar sepintas, dia baru saja dicambuki dan diancam
akan digantung pada salah satu cerobong asap di kapal.
Kini sang kapten menunjukkan wajah serius. Dia memeriksa sebentar,
apakah kapal berlayar pada posisi yang benar, lalu turun ke bawah menuju
restoran. Dari depan datanglah kondektur menghampirinya. Keduanya bertemu di
dekat kami sehingga kami turut mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
“Capt’n,” lapor kondektur “Kita tidak boleh terus berdiam diri. Orang-orang
itu sedang merencanakan sesuatu yang jahat. Suruh orang Indian itu turun ke
darat! Mereka ingin menggantungnya, karena kemarin dia memukul salah seorang
dari mereka. Selain itu ada juga dua mukapucat di sini, hanya saya tidak tahu siapa
yang dimaksud. Mereka pun akan dianiaya karena mereka juga berada bersama dia
kemarin. Kedua orang itu dituduh sebagai mata-mata Juarez.”
“Astaga! Kalau begitu keadaannya kini sudah gawat! Di mana kedua orang
itu?” dia memandang sekeliling untuk mencari.
“Kami ada di sini, Sir,” saya menjawab lalu berdiri dan menghampirinya.
“Anda? Jadi Anda berdua adalah mata-mata Juarez? Oh... hancurlah kapal
ini!” katanya sambil menatap saya dengan tajam.
“Saya bukan mata-mata! Saya seorang Jerman dan saya tidak mau
mencampuri urusan politik negara kalian.”
“Orang Jerman? Kalau begitu kita sebangsa. Saya dilahirkan di Neckar. Saya
tidak membiarkan sesuatu terjadi pada diri Anda. Karena itu saya segera
merapatkan kapal ke tepi supaya Anda bisa menyelamatkan diri ke tempat yang
aman.”
“Saya tidak mau turun dari kapal! Saya harus meneruskan perjalanan
dengan kapal ini dan saya tidak mau membuang-buang waktu.”
“Sungguh? Rasanya itu bukan sikap yang bijaksana... tetapi tunggu
sebentar!”
Dia pergi menghampiri Winnetou dan mengatakan sesuatu kepadanya.
Orang Apache itu mendengar dengan penuh perhatian lalu menggeleng-gelengkan
kepala dengan tegas dan segera membalikkan tubuhnya. Kapten itu kembali ke
tempat kami dengan wajah kecewa lalu berkata,
“Sudah saya duga sebelumnya. Kulitmerah memang keras kepala. Orang
Indian itu pun tidak mau turun dari kapal.”
“Jika demikian, dia beserta kedua mukapucat ini akan binasa, sebab
pengacau-pengacau itu akan membunuh mereka,” kata kondektur dengan cemas.
“Kita hanya beberapa orang, karena itu kita tidak mampu berbuat apa-apa
melawan kelompok sebesar itu.”
Kapten kapal menunduk termenung. Tetapi kemudian terbayang senyum
jenaka di wajahnya, sepertinya dia telah menemukan jalan keluar yang tepat. Dia
berpaling kepada kami dan berkata,
“Saya akan memperdayai orang-orang itu dengan satu permainan yang tak
akan mereka lupakan seumur hidup. Tetapi kalian semua harus berbuat sesuai
dengan perintah saya. Dan jangan sekali-kali menggunakan senjata. Simpanlah
semua senapan kalian di bawah tempat duduk di dekat pelana. Memberikan
perlawanan hanya akan membuat suasana bertambah keruh.”
“All devils! Jadi apakah kami harus membiarkan diri disiksa, Master?” tanya
Old Death penasaran.
“Tidak. Engkau melawan tetapi dengan sikap pasif! Pada saat yang tepat
siasat ini akan berfungsi baik. Kita akan menceburkan bedebah-bedebah itu ke
dalam air dingin. Percayakan semuanya kepada saya! Tidak ada waktu lagi untuk
penjelasan lebih rinci. Lihat, mereka sudah datang mendekat.”
Benar, gerombolan itu kini naik dari restoran. Kapten segera berbalik
meninggalkan kami dan membisikkan perintah kepada kondektur. Dengan segera
kondektur bergegas mendatangi juru mudi kapal. Di samping juru mudi berdiri dua
orang anak buah kapal. Tidak lama kemudian saya melihat orang itu mendekati
kelompok penumpang yang dari tadi tidak terlibat dalam huru-hara dan
membisikkan beberapa petunjuk kepada mereka. Saya tidak bisa terus
memperhatikan dia karena saya dan Old Death lebih disibukkan oleh kaum
sesessionis yang mendekat. Hanya sejauh yang saya perhatikan, sepuluh menit
sesudahnya para penumpang itu bergerak dan berkumpul bersama di buritan
kapal.
Sambil meninggalkan restoran dalam keadaan mabuk, pengacau-pengacau
itu datang mengepung kami berdua. Seperti petunjuk kapten, kami sudah
melepaskan senjata kami.
“Ini dia orangnya!” seru pemimpinnya sambil menunjuk saya. “Seorang
mata-mata dari negara Utara yang berpihak pada Juarez. Kemarin dia masih
berkeliling dengan mengenakan pakaian a la gentleman. Hari ini dia sudah
memakai pakaian berburu. Untuk apa dia harus mengubah penampilannnya? Anjing
saya dibunuhnya dan kedua orang ini mengancam kita dengan revolver kemarin.”
“Benar, dia seorang mata-mata!” teriak teman-temannya yang lain
bersahut-sahutan. “Buktinya dia telah mengganti pakaiannya untuk menyamar.
Dan dia orang Jerman. Bentuklah sebuah dewan pengadilan. Dia harus segera
digantung! Hancurlah negara-negara Utara, orang-orang yankee dan para
pengikutnya!”
“Apa yang terjadi di situ, gentlemen?” seru kapten dari atas. “Saya
menginginkan suasana tenang dan tertib di atas kapal. Jangan mengganggu
penumpang lain!”
“Diam!” bentak seorang dari antara mereka. “Kami juga menginginkan
suasana tenang dan kami akan berusaha menciptakannya. Apakah Anda berpikir,
mengangkut seorang mata-mata di atas kapal termasuk kewajiban Anda?”
“Saya mempunyai kewajiban untuk mengantar semua orang yang sudah
membayar tiket. Seandainya ada pemimpin sesessionis datang kepada saya,
mereka pun boleh menumpang kapal, asalkan mereka membayar tiket dan
menunjukkan etiket baik. Itulah prinsip yang saya pegang. Dan jika kalian
melanggar aturan ini dengan perilaku yang meresahkan, maka saya akan
menurunkan kamu ke darat dan kalian bisa mencari jalan sendiri untuk sampai ke
Austin.”
Mereka menanggapinya dengan gelak tawa sinis. Sementara itu, saya dan
Old Death semakin dikurung sehingga kami tidak lagi merasa tenang. Tentu saja
kami menentangnya, tapi suara kami tertelan oleh teriakan hiruk-pikuk kawanan
itu. Mereka lalu mendorong kami dari tempat itu ke geladak atas, sampai ke
tempat cerobong asap. Pada tiang itu kami akan diikat. Di sana terlihat beberapa
cincin besi dan di bawahnya tergantung tali yang besar, yang tampaknya sangat
praktis untuk menggantung seseorang. Orang hanya perlu meregangkan tali itu
dan mengalungkannya ke leher kami, supaya kami terangkat ke atas. Di tempat itu
dibentuk sebuah barisan melingkar dan sebuah dewan pengadilan yang akan
memutuskan tentang nasib kami. Dewan pengadilan seperti ini hanya membuat
orang tertawa lucu. Saya yakin, keparat-keparat itu tidak akan bertanya, mengapa
kami hanya diam bergeming dan tidak melawan. Mereka tahu bahwa kami memiliki
pisau dan revolver, walaupun kami tidak menggunakannya. Tentu ada alasan di
baliknya.
Old Death berjuang keras supaya tetap kelihatan tenang. Berkali-kali
tangannya bergerak meraba sabuk senjatanya untuk mencabut senjata. Tapi begitu
tatapan matanya beradu dengan kapten, sang kapten memberikan isyarat
melarang.
“Baiklah,” kata Old Death kepada saya dalam bahasa Jerman supaya orang-
orang itu tidak paham. “Saya akan menurut. Tetapi jika mereka bertindak
berlebihan, maka dalam semenit kedua puluh empat peluru kita akan bersarang di
tubuh mereka. Anda boleh menembak jika saya lebih dulu memulainya!”
“Kalian dengar itu?” teriak seorang rowdy yang sering disebut-sebut
sebelumnya. “Mereka berbicara dalam bahasa Jerman. Kini terbukti bahwa
keduanya adalah Dutchmen terkutuk dan mereka termasuk kelompok yang paling
gigih membela negara Utara. Apa yang ingin mereka lakukan di Texas ini? Mereka
adalah mata-mata dan pengkhianat. Maka kita jangan mengulur-ulur waktu untuk
mengadili mereka!”
Usul itu diterima dengan sorak yang riuh rendah. Kapten memberikan
mereka sebuah peringatan keras, tetapi mereka malahan menertawakannya. Lalu
mereka berunding, siapakah yang harus digantung lebih dulu, Winnetou ataukah
kami. Mereka memutuskan untuk mendahulukan Winnetou. Maka pemimpinnya
mengirim dua orang untuk menjemput orang Indian itu.
Karena dikelilingi oleh orang banyak, kami tidak bisa melihat Winnetou. Tapi
tiba-tiba terdengar sebuah jeritan keras. Rupanya Winnetou memukul jatuh
seorang di antara kedua perusuh itu dan menceburkan yang lainnya ke dalam air.
Kemudian dia masuk bersembunyi di dalam kabin kondektur yang terletak di ruang
mesin. Ruangan ini memiliki jendela kecil dan dari celah kecil ini tampak ujung
senapan Winnetou menyembul keluar. Tentu saja ulahnya ini membuat suasana
menjadi ribut. Semua berlari ke sisi kapal dan orang berteriak agar si kapten
menyuruh seseorang turun ke air menggunakan sekoci penolong untuk
menyelamatkan pria yang sial itu. Dia menurut dan segera memberikan tanda
kepada seorang anak buah kapal. Orang itu melompat ke atas sekoci penolong,
melepaskan tali dari gantungannya lalu segera mendayung ke tempat korban.
Syukurlah pria naas itu bisa berenang sedikit dan berjuang supaya tidak
tenggelam.
Saya berdiri sendirian bersama Old Death. Untuk sementara para rowdy
sudah lupa pada rencananya untuk menggantung kami. Kami melihat, tatapan juru
mudi kapal dan semua anak buah kapal tertuju kepada sang kapten. Dia
melambaikan tangannya supaya kami mendekat lalu berkata dengan suara lirih,
“Perhatian, Mesch'schurs19! Sekarang saya akan memandikan mereka. Apa
pun yang akan terjadi, kalian harus tetap tinggal di atas kapal. Tapi kalian harus
berteriak sekeras mungkin!”
Dia menyuruh mematikan mesin kapal. Dan kapal bergerak perlahan-lahan
mundur menuju ke pinggir sungai sebelah kanan. Di sana ada sebuah tempat, di
mana airnya tampak beriak, karena dasar sungai yang landai. Memang dari tempat
itu hingga ke pinggir sungai airnya tidak dalam. Sekali lagi kapten memberikan
isyarat, juru mudi mengangguk tersenyum dan membiarkan kapal bergerak
menabrak onggokan pasir di perairan yang dangkal itu. Terdengar bunyi derak.
19 Logat Barat, asal kata Perancis: Tuan-tuan.
Sebuah benturan yang cukup keras sehingga semua penumpang terhuyung-
huyung, bahkan ada yang jatuh terpental. Dan tiba-tiba kapal tidak lagi bergerak.
Hal ini mampu mengalihkan perhatian orang-orang dari sekoci penolong di atas air
dan mereka sangat cemas kalau kapal akan karam. Sekelompok penumpang yang
sebelumnya sudah diberitahu oleh kondektur berteriak ketakutan, seolah-olah kini
mereka sedang menghadapi bahaya maut. Sementara itu penumpang lain, yang
percaya bahwa telah terjadi kecelakaan juga ikut menjerit histeris. Kemudian
muncullah seorang anak buah kapal. Sambil berlari dia mendatangi kapten dan
melapor dengan penuh ketakutan,
“Capt’n, air masuk ke dalam ruangan kapal! Lunas kapal sudah terbelah
dua. Dalam dua menit kapal ini akan karam.”
“Kita akan tenggelam!” teriak kapten. “Selamatkan diri masing-masing! Dari
sini hingga ke tepi sungai airnya tidak dalam. Ayo, terjunlah segera!”
Dia berlari turun meninggalkan tempatnya, melepaskan baju, rompi serta
topinya lalu membuka sepatu dengan tergesa-gesa kemudian melompat ke sungai.
Dalamnya air hanya sebatas lehernya.
“Lompat, lompatlah segera!” teriaknya dari dalam air. “Mumpung masih ada
waktu. Jika kapal sudah tenggelam, maka kamu semua akan terkubur dalam
pusaran air!”
Tak seorang pun dari mereka yang menyangka bahwa kapten itulah yang
mula-mula menyelamatkan diri dan lebih dahulu membuka pakaiannya. Tiba-tiba
mereka dihinggapi oleh rasa kepanikan yang hebat, lalu berloncatan dari kapal dan
cepat-cepat berenang ke tepi sungai. Karena begitu panik mereka tidak
memperhatikan bahwa sebenarnya kapten berenang ke sisi lain dari kapal lalu
memanjat tangga tali yang digantung di sana. Sekarang kapal telah dikosongkan
dari kawanan itu. Jika satu menit sebelumnya suasana diliputi oleh kepanikan,
maka kini terdengar suara gelak tawa orang-orang di atas kapal.
Ketika para rowdy yang menyelamatkan diri sudah naik ke darat, kapten
memberi perintah supaya mesin kembali dihidupkan. Bagian bawah kapal yang
lebar dan keras tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Dan kapal pun mulai
bergerak maju seiring putaran roda. Sambil melambai-lambaikan baju sebagai
bendera, sang kapten berteriak ke seberang sungai,
“Farewell, gentlemen! Apabila kalian masih ingin membentuk dewan
pengadilan, maka gantung saja diri kalian sendiri. Semua barang kalian yang masih
tertinggal di atas kapal akan saya turunkan di La Grange. Kalian bisa
mengambilnya sendiri di sana!”
Bisa dibayangkan bagaimana reaksi mereka terhadap olok-olok yang
memalukan itu. Mereka berteriak dengan geram lalu menantang kapten supaya
membiarkan mereka kembali lagi ke kapal. Mereka bahkan mengancam dia akan
melapor ke polisi atau menembak mati serta ancaman-ancaman lain. Kemudian
dengan beberapa senjata yang tadi tidak basah terkena air, mereka menembak ke
arah kapal. Tetapi tidak timbul kerusakan. Akhirnya seorang di antaranya berteriak
kepada kapten dengan sangat marah,
“Anjing! Kami akan menunggu sampai kamu kembali ke tempat ini dan kami
akan menggantungmu pada cerobong asap di kapalmu sendiri!”
“Well, Sir! Naiklah segera kemari! Tapi sebelumnya sampaikan salam saya
buat Jenderal Mejia dan Marquez!”
Sekarang mesin kapal kembali panas dan kami pun melaju dengan
kecepatan tinggi untuk mengejar waktu yang sudah terbuang.
ORANG-ORANG KUKLUX
Sampai sekarang kata ‘Kuklux’ masih menjadi teka-teki walaupun banyak yang
sudah merumuskan definisi atau mencoba mengartikannya dari berbagai sudut.
Menurut pendapat segelintir orang, nama Kukluxklan, atau yang juga ditulis Ku-Klux-
Klan, hanya merupakan tiruan bunyi yang dihasilkan oleh pelatuk senapan. Sementara
itu, sebagian orang lagi mengatakan bahwa kata itu terbentuk dari susunan kata cuc
yang berarti peringatan, gluck bunyi yang timbul ketika orang meneguk air dan clan,
satu kata dari bahasa Skotlandia yang berarti suku, keluarga, atau perkumpulan. Kata
tersebut bisa diartikan apa saja, tergantung orang yang memakainya, dan tidak ada
definisi yang pasti. Bahkan anggota Ku-Klux-Klan sendiri pun tidak tahu tentang asal
dan arti kata tersebut. Tapi bagi mereka, hal itu tidak penting. Barangkali dulu kata itu
diucapkan tanpa sengaja oleh salah seorang dari mereka kemudian diteruskan oleh
anggota yang lain tanpa mempedulikan arti dari bunyi tersebut.
Terlepas dari ketidakjelasan makna ini perkumpulan tersebut mempunyai
tujuan yang jelas. Mula-mula kelompok ini berkembang di beberapa puri di daerah
Carolina Utara lalu menyebar dengan cepat ke Carolina Selatan, Georgia, Alabama,
Mississippi, Kentucky, dan Tennesse. Belakangan anggotanya pun dikirim ke Texas
untuk berjuang demi tercapainya cita-cita perkumpulan. Perkumpulan ini sendiri terdiri
dari sekelompok orang yang menjadi musuh besar negara-negara Utara. Dengan
segala cara, bahkan dengan cara yang paling keji dan kejam, mereka berjuang
melawan semua bentuk peraturan yang dikeluarkan setelah berakhirnya perang
saudara di negara-negara Selatan. Karena itu bisa dibayangkan, aksi Kuklux
menimbulkan kekacauan selama bertahun-tahun di sana: harta benda menjadi tidak
aman, juga perkembangan industri dan perdagangan terhambat. Tindakan tegas yang
diambil untuk menghentikan perbuatan yang keterlaluan itu pun tidak membuahkan
hasil.
Perkumpulan rahasia ini terbentuk akibat munculnya undang-undang
rekonstruksi yang terpaksa dikeluarkan pemerintah terhadap negara-negara Selatan
yang kalah dalam peperangan. Anggota kelompok ini direkrut dari para pendukung
sistem perbudakan dan mereka menjadi musuh Partai Union serta Partai Republik.
Semua anggota harus disumpah untuk menyimpan rapat-rapat rahasia perkumpulan.
Hukuman mati siap dijatuhkan kepada anggota yang membocorkan rahasia. Mereka
tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan, pembakaran, dan pembunuhan.
Secara teratur mereka mengadakan pertemuan rahasia. Bila hendak melakukan
perbuatan jahat, mereka datang dengan menunggang kuda dan menyamar. Pastor
yang sedang berkhotbah di atas mimbar atau hakim yang sedang duduk di meja
pengadilan ditembak. Para kepala keluarga yang tidak bersalah diserang kemudian
mayat mereka ditinggalkan di tengah-tengah keluarganya dengan punggung yang
tercabik-cabik. Tak ada penjahat dan pembunuh yang lebih menakutkan daripada Ku-
Klux-Klan. Kelompok ini makin lama makin meresahkan sehingga gubernur Carolina
Selatan mengajukan permohonan kepada Presiden Grant untuk mengirimkan bantuan
militer mengingat kelompok ini tak bisa ditaklukkan lagi. Grant mengajukan usul itu
dalam rapat kongres. Maka terbentuklah sebuah Undang-Undang Anti Ku-Klux yang
memberikan kuasa penuh kepada presiden untuk membubarkan mereka dan undang-
undang ini terpaksa menyetujui penggunaan cara-cara kekerasan. Hal ini merupakan
bukti bahwa baik secara individu maupun kolektif, seluruh bangsa telah terjerumus ke
dalam krisis akibat ulah Kuklux. Lambat laun perhimpunan ini berubah menjadi kawah
mengerikan yang memuntahkan berbagai pemikiran revolusioner. Suatu hari, dari atas
mimbar seorang pastor mendoakan keselamatan arwah keluarga yang telah dibunuh
anggota Kuklux di siang bolong. Dalam khotbah dan nasihat bijaknya, sang pastor
mengumpamakan perbuatan anggota Kuklux seperti pertempuran antara anak-anak
setan melawan anak-anak Tuhan. Tiba-tiba dari balkon di bagian belakang gereja
muncul seseorang yang menyamar dan menembak kepala pastor itu. Sebelum umat
sadar dari keterkejutannya, setan itu sudah lebih dulu menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------
-------------
Ketika kapal kami tiba di La Grange, hari sudah malam. Kapten kapal
menjelaskan kepada kami, bahwa hari itu dia tidak berani meneruskan pelayaran
karena di dalam sungai akan ada saja bahaya yang mengancam. Jadi kami terpaksa
mendarat di La Grange. Winnetou turun lebih dahulu melalui tangga kapal lalu segera
menghilang di antara rumah-rumah yang diliputi kegelapan malam.
Di La Grange terdapat juga agen kapal yang siap mengurus kepentingan para
penumpang. Old Death segera menuju ke tempat itu.
“Sir, kapan kapal terakhir dari Matagorda tiba di sini dan apakah semua
penumpangnya sudah turun?”
“Kapal terakhir telah tiba dua hari yang lalu, kira-kira pada jam yang sama
seperti hari ini. Semua penumpang turun ke darat karena kapal itu baru berangkat lagi
keesokan harinya.”
“Dan Anda berada di sini ketika kapal itu berangkat?”
“Tentu, Sir.”
“Jika demikian barangkali Anda bisa memberikan informasi kepada saya. Kami
mencari dua orang teman yang berlayar dengan kapal tersebut dan tentu turun juga di
sini. Kami ingin tahu apakah mereka meneruskan perjalanannya atau tidak.”
“Hmmm, saya tidak bisa menjawabnya. Saat itu hari sudah gelap dan para
penumpang tergesa-gesa turun dari kapal sehingga saya tidak bisa memperhatikan
mereka satu persatu. Bisa jadi semua penumpang melanjutkan perjalanan pada
keesokan harinya. Tapi seseorang yang bernama Clinton tidak.”
“Clinton? Ya, dialah yang saya maksudkan. Mari, mendekatlah ke lampu!
Teman saya akan memperlihatkan sebuah potret kepada Anda untuk memastikan,
apakah orang itu benar Master Clinton.”
Dengan penuh keyakinan sang agen mengatakan bahwa memang dialah orang
yang dimaksud.
“Tahukah Anda, di mana dia sekarang?” tanya Old Death.
“Saya tidak tahu pasti. Tapi sangat mungkin dia tinggal di rumah Sennor1
Cortesio karena orang yang mengambilkan kopornya adalah anak buah Sennor
Cortesio. Dia adalah seorang agen untuk semua urusan dan dia berasal dari Spanyol.
Saya yakin, saat ini dia sedang sibuk mengurus penyelundupan senjata secara rahasia
ke Mexico.”
“Apakah dia termasuk orang baik-baik?”
“Sir, pada zaman sekarang ini setiap orang mengaku dirinya orang baik-baik,
meskipun dia memikul pelana kuda di bahunya.”
Tentu saja itu merupakan suatu sindiran bagi kami berdua yang berdiri di
hadapannya sambil memikul pelana kuda. Namun sindiran itu tidak dimaksudkan
untuk mengejek kami. Karena itu Old Death bertanya dengan nada yang tak kalah
halusnya,
“Apakah tidak jauh dari sini ada sebuah penginapan, di mana orang bisa tidur
nyenyak tanpa diganggu oleh manusia atau nyamuk?”
“Di tempat ini hanya ada sebuah penginapan. Tapi karena Anda sudah sekian
lama bercakap-cakap dengan saya di sini, tentu penumpang lain sudah mendahului
Anda dan mengisi beberapa kamar yang kosong.”
“Ini sungguh tidak menyenangkan,” jawab Old Death yang pura-pura tidak
mempedulikan sindiran itu. “Apa kami tidak boleh menumpang di rumah-rumah
penduduk?”
“Hmmm, Sir. Saya tidak mengenal Anda. Dan saya pun tak bisa menerima
Anda di tempat saya karena rumah saya sangat kecil. Tapi saya mempunyai seorang
1 Spanyol: Seňor (Senyor) = Tuan .
kenalan yang tidak akan mengusir Anda dari pintu rumahnya jika Anda orang jujur.
Dia seorang Jerman, seorang pandai besi yang datang dari Missouri.”
“Nah,” sahut Old Death, “teman saya ini juga orang Jerman dan saya pun
lancar berbahasa Jerman. Kami bukan orang jahat. Kami mampu dan mau membayar
sewa penginapan. Jadi dalam perhitungan saya, kenalan Anda tak perlu khawatir
menerima kami. Maukah Anda menunjukkan rumahnya?”
“Seandainya tak ada pekerjaan lagi di kapal, tentu saya akan mengantar kalian
ke sana. Sekarang Master Lange, demikian namanya, tidak berada di rumah. Biasanya
pada saat seperti ini dia berada di kedai minum. Demikianlah kebiasaan orang Jerman
di sini. Jadi tanyakan saja nama Master Lange dari Missouri. Katakan kepadanya
bahwa agen kapal yang menyuruh kalian datang menemuinya. Berjalanlah terus dan
setelah melalui rumah kedua dari sini, Anda mesti belok kiri. Kemudian Anda akan
melihat rumah makan itu karena di sana cahaya lampunya sangat terang. Kedai itu
pasti masih buka.”
Saya memberikan tip pada lelaki itu atas informasi yang diberikannya. Kami
melanjutkan perjalanan sambil memikul pelana kuda. Kedai ini tak hanya dikenal
karena lampu-lampunya tapi juga karena suara gaduh yang terdengar melalui jendela
yang terbuka. Di atas pintu terpampang gambar binatang yang menyerupai penyu
raksasa tapi memiliki sayap dan hanya dua kaki. Di bawahnya tertera tulisan “Hawks
Inn”. Penyu itu melambangkan burung pemangsa dan rumah itu adalah penginapan
bagi ‘elang-elang pemangsa’.
Ketika pintu dibuka, asap rokok yang tebal dan berbau tajam langsung
menerpa kami. Rupanya tamu-tamu itu memiliki paru-paru yang sangat kuat karena
mereka tidak hanya dapat menahan asap yang pengap itu melainkan juga merasa
nyaman berada di sana. Di samping itu kekuatan paru-paru mereka juga tampak dari
cara mereka saat berbicara. Tak ada seorang pun yang berkata pelan, setiap orang
harus berteriak. Tak seorang pun yang sabar mendengarkan omongan rekannya.
Suasana benar-benar hiruk-pikuk. Kami berdiri selama beberapa saat di ambang pintu
dan membiasakan mata melihat ke dalam asap tebal sampai bisa mengenali orang-
orang dan benda-benda yang ada di sana. Kami lihat, kedai ini memiliki dua buah
ruang. Ruang yang besar untuk tamu biasa dan ruang yang kecil untuk tamu yang
lebih terhormat. Di Amerika penataan seperti ini sungguh berbahaya karena sebagai
negara demokratis, penduduk negara itu tidak mengakui perbedaan tingkat atau
derajat sosial.
Karena semua kursi di ruang depan telah penuh, dengan diam-diam kami
berjalan menuju ruang belakang tanpa sepengetahuan pengunjung kedai lainnya. Di
tempat itu masih ada dua kursi kosong. Setelah meletakkan pelana di pojok ruangan,
kami duduk. Di sekeliling meja duduk beberapa pria yang tengah meneguk bir dan
bercakap-cakap dalam bahasa Jerman. Sekilas mereka memandang kami dengan
tajam, seperti ingin tahu. Begitu tahu kami mendekat, mereka segera mengalihkan
pokok pembicaraan. Ini terlihat dari isi pembicaraan mereka yang tiba-tiba menjadi
tidak karuan. Dua orang di antara mereka berwajah mirip. Sepintas orang bisa
menduga bahwa mereka adalah ayah dan anak. Perawakan mereka tegap. Garis wajah
mereka tegas dan tangan mereka kekar; ciri khas orang yang selalu bekerja keras.
Wajah mereka mencerminkan kejujuran dan kepolosan. Tapi pada waktu itu raut
wajah mereka tampak tegang, sepertinya mereka tengah memperbincangkan suatu
hal yang menggelisahkan.
Ketika kami duduk, kedua orang itu menggeser tempat duduknya agak jauh
sehingga ada jarak di antara kami. Suatu isyarat halus bagi kami bahwa mereka tak
ingin bercakap-cakap dengan kami.
“Tetaplah duduk, Mesch’schurs!” kata Old Death. “Kami bukan orang yang
berbahaya meskipun sejak pagi tadi kami belum makan. Dapatkah kalian mengatakan
kepada kami, di mana kami bisa mendapatkan makanan agar perut kami ini tidak lagi
keroncongan?”
Seseorang dari mereka, tampaknya ayah dari orang yang satunya,
memicingkan sebelah matanya lalu menjawab sambil tertawa.
“Apa yang diinginkan oleh orang terhormat seperti Anda, tentu akan kami
sediakan, Sir! Tapi bukankah Anda ini Old Death? Saya kira, Anda tak perlu malu
menyembunyikan identitas diri Anda yang sebenarnya.”
“Old Death? Siapakah orang itu?” tanya sahabat saya ini sambil berlagak
bodoh.
“Seorang yang sangat terkenal. Dia adalah seorang westman dan pencari
jejak. Dalam sebulan dia lebih banyak mengumpulkan petualangan daripada orang lain
sepanjang hidupnya. Anak saya, Will, pernah melihatnya.”
Pemuda yang dimaksud lelaki itu kira-kira berusia dua puluh enam tahun.
Mukanya coklat akibat sengatan matahari. Kesannya seolah-olah dia dapat berkelahi
menghadapi dua belas orang sekaligus. Old Death mengamati pemuda itu dari
samping dan bertanya,
“Anak Anda pernah melihatnya? Di mana?”
“Pada tahun enam puluh dua di Arkansas, tidak lama sebelum meletus
pertempuran di dekat Pea Ridge. Tapi Anda pasti tidak mengetahui peristiwa itu.”
“Mengapa tidak? Saya sering mengembara di Arkansas. Saya yakin, pada
waktu itu saya berada tidak jauh dari tempat itu.”
“Oh ya? Jika saya boleh bertanya, partai manakah yang Anda dukung saat itu?
Keadaan yang terjadi sekarang di daerah kami memaksa kami mengetahui aliran
politik yang dianut orang yang duduk semeja dengan kami.”
“Jangan khawatir, Master! Saya kira, Anda tidak memihak kepada kaum
pemilik budak belian yang kini sudah ditaklukkan. Saya pun demikian. Anda pun dapat
menyimpulkan bahwa saya bukan termasuk orang seperti itu. Saya orang Jerman,
buktinya saya sudah berbicara dengan Anda dalam bahasa Jerman.”
“Selamat datang, Sir! Tapi Anda jangan salah paham. Bahasa Jerman bukanlah
tanda pengenal yang dapat dipercaya. Beberapa orang dari pihak asing memahami
bahasa Jerman dan menggunakan bahasa itu hanya untuk mendapat kepercayaan dari
kami. Saya sudah seringkali mengalaminya. Tapi sekarang kita bicara saja tentang
Arkansas dan Old Death. Barangkali Anda sudah tahu bahwa negara bagian ini hendak
memihak kepada Partai Union pada saat pecahnya perang saudara. Namun
kenyataannya sungguh lain. Banyak orang kritis yang sebelumnya tidak menyetujui
perbudakan dan menganggap terbentuknya kelompok bangsawan di negara Selatan
sebagai tindakan kekejaman, kemudian bersatu dan menyatakan penolakan terhadap
pemisahan. Namun dengan cepat para pemberontak, di dalamnya termasuk juga para
bangsawan, berhasil merebut kekuasaan yang sah. Para cendekiawan diteror.
Akhirnya Arkansas jatuh ke tangan negara Selatan. Tentu saja hal ini menimbulkan
kepedihan di kalangan penduduk keturunan Jerman. Untuk sementara mereka tak
dapat berbuat apa-apa dan terpaksa membiarkan bagian utara negeri yang indah itu
mengalami penderitaan luar biasa akibat peperangan. Pada waktu itu saya tinggal di
Missouri, di Poplar Bluff, dekat perbatasan Arkansas. Anak saya yang duduk di depan
Anda ini tentu saja masuk menjadi anggota pasukan Jerman. Mereka hendak
menolong Partai Union di Arkansas dan mengirimkan pasukan kecil melewati
perbatasan untuk melakukan mata-mata. Will ikut dalam pasukan itu. Tiba-tiba
mereka bertemu dengan pasukan musuh yang sangat besar jumlahnya. Lalu pasukan
Jerman itu berhasil dikalahkan setelah mereka melakukan perlawanan sengit.”
“Jadi mereka ditawan? Saat itu pasti sangat berat. Kita tahu bagaimana
pasukan negara Selatan memperlakukan tawanannya, karena dari seratus tawanan
paling kurang delapan puluh orang meninggal akibat siksaan yang sangat kejam. Tapi
yang lain pun pasti tidak bisa bertahan hidup, bukan?”
“Oho! Anda keliru besar. Para pemberani itu mempertahankan dirinya dengan
gigih. Mereka menembak terus hingga pelurunya habis lalu menyerang dengan gagang
senapan dan pisaunya. Akibatnya kelompok sesessionis mengalami kerugian yang
sangat besar. Mereka sangat marah atas kejadian itu dan m
mutuskan membunuh semua tawanan. Will adalah anak saya satu-satunya.
Hampir saja saya kehilangan anak ini. Bahwa kini dia masih hidup, semua ini berkat
jasa Old Death.”
“Bagaimana, Master? Anda membuat saya penasaran. Apakah pencari jejak itu
membawa bala bantuan untuk membebaskan para tawanan?”
“Tidak, jika demikian halnya maka tentu semuanya sudah terlambat dan
pembunuhan itu pasti telah terjadi sebelum tiba bantuan. Dia bertindak seperti
seorang westman sejati yang gagah berani. Dia sendirian yang membebaskan para
tawanan.”
“Bukan main , benar-benar tindakan yang nekat!”
“Memang! Dia merayap masuk ke dalam perkemahan seperti orang Indian.
Dengan mudah dia menyelinap karena malam itu terjadi hujan lebat yang
mengakibatkan banjir dan memadamkan api unggun. Kemudian penjaga yang berada
di garis depan ditusuknya dengan pisau. Kelompok sesessionis menduduki sebuah
tanah pertanian. Satu batalion berada di tempat itu. Semua opsir menempati rumah
khusus dan serdadu-serdadu ditempatkan di bagian lain. Sementara itu para tawanan
yang berjumlah lebih dari dua puluh orang dikurung dalam gudang gula. Pada setiap
sisi gudang ditempatkan empat penjaga untuk mengawasi mereka. Keesokan harinya
orang-orang malang itu akan ditembak mati. Pada malam harinya, tidak lama setelah
pertukaran penjaga, para tawanan mendengar bunyi aneh di atas kepala mereka.
Namun suara itu bukan bunyi air hujan. Mereka memasang telinga dengan lebih
seksama. Tiba-tiba terdengar bunyi berderak. Atap gudang yang terbuat dari kayu
lapuk itu terkuak. Rupanya seseorang telah melubangi atap itu hingga air hujan
masuk ke dalam. Tapi selama sepuluh menit kemudian keadaan masih sunyi senyap.
Setelah itu sebatang pohon yang masih tampak sisa-sisa cabangnya diturunkan dari
atas atap. Pohon itu cukup kuat sehingga bisa dipanjat naik turun. Lalu seorang demi
seorang memanjat batang pohon itu dan naik ke atap yang rendah lalu melompat ke
tanah. Di sana mereka melihat keempat penjaga yang bukannya tertidur melainkan
terbaring di tanah dan tidak lagi bergerak. Para tawanan segera melucuti senjata
mereka. Dengan cerdik sang penyelamat itu membawa tawanan keluar dari sana dan
menunjukkan jalan menuju perbatasan yang sudah diketahui oleh mereka. Di tempat
itu barulah mereka tahu bahwa orang yang menolong mereka dengan
mempertaruhkan nyawa sendiri itu ialah Old Death, sang pencari jejak.”
“Lalu apakah dia melanjutkan perjalanan bersama mereka?” tanya Old Death.
“Tidak. Dia mengatakan bahwa masih ada urusan penting yang harus
dikerjakannya. Kemudian dia menghilang dalam guyuran hujan lebat di tengah
kegelapan malam tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengucapkan
terima kasih atau menatap wajahnya. Malam itu sangat gelap sehingga mereka tak
dapat mengenali wajah seseorang. Yang dapat dilihat oleh Will hanya badannya yang
tinggi dan kurus. Tapi dia sempat bercakap-cakap dengan orang itu. Sampai sekarang
dia masih ingat perkataan orang yang gagah berani itu. Jika kami nanti berjumpa
dengan Old Death, maka dia akan tahu bahwa kami orang Jerman adalah bangsa yang
tahu berterima kasih dan kami akan berterimakasih kepadanya.”
“Tentu dia sudah tahu akan hal itu. Dalam perhitungan saya, anak Anda bukan
orang Jerman pertama yang dijumpainya. Omong-omong, Sir, barangkali Anda
mengenal seseorang yang bernama Master Lange dari Missouri?”
Anaknya tercengang.
“Lange?” dia bertanya. “Mengapa Anda menanyakannya?”
“Saya khawatir, kami tidak mendapat lagi tempat di rumah penginapan ini.
Maka kami bertanya kepada agen kapal di pinggir sungai apakah ada seseorang yang
bisa memberi kami tumpangan. Dia menyebut nama Master Lange dan menganjurkan
agar kami mengatakan kepadanya bahwa agen itulah yang menyuruh kami datang ke
sini. Dan dia tahu, kami akan bertemu dengan orang itu di sini.”
Lelaki yang lebih tua itu memandang kami dengan tatapan menyelidik dan
berkata,
“Memang benar apa yang dikatakan sang agen, karena saya sendirilah Master
Lange. Karena dia yang menyuruh Anda datang ke mari dan karena saya menganggap
Anda orang yang jujur, maka saya ucapkan selamat datang. Siapakah teman
seperjalanan Anda yang duduk di sana dan dari tadi hanya diam saja?”
“Dia sebangsa dengan Anda dan berasal dari Saksen. Bahkan dia seorang
terpelajar yang datang ke sini untuk mengadu nasib.”
“Ya, Tuhan! Orang di negeri itu mengira bahwa mereka hanya duduk
berpangku tangan menunggu datangnya rejeki. Dengar baik-baik, Sir, orang yang
datang ke negeri ini harus bekerja lebih keras dan mengalami lebih banyak
kekecewaan daripada di tanah airnya sendiri. Tapi bukan berarti semuanya tidak bisa
diraih. Saya berharap, semoga Anda berhasil dan saya mengucapkan selamat datang
kepada Anda.”
Dia juga berjabat tangan dengan saya. Old Death menganggukkan kepala dan
berkata,
“Dan jika Anda masih ragu-ragu dan belum mempercayai kami, saya hendak
berbicara sebentar dengan anak Anda. Dialah nanti yang akan membuktikan bahwa
saya tidak patut dicurigai.”
“Anak saya? Will?” tanya Lange heran.
“Ya, yang saya maksud anak Anda dan bukan orang lain. Tadi Anda
mengatakan bahwa dia telah bercakap-cakap dengan Old Death dan masih ingat setiap
perkataan yang diucapkannya pada waktu itu. Anak muda, maukah Anda mengatakan
kepada saya apa yang dibicarakan waktu itu? Saya ingin mengetahuinya.”
Will menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya itu dengan bersemangat,
“Saat Old Death membawa kami ke jalan yang harus kami tempuh, dia
berjalan paling depan. Saya menderita luka tembak di lengan. Rasanya sakit sekali,
karena luka itu tidak dibalut dan lengan baju saya melekat pada luka itu. Kami
berjalan melewati semak-semak. Old Death tiba-tiba membuang sebuah dahan dan
dahan itu mengenai lengan saya yang luka. Bukan main sakitnya sehingga saya
berteriak kesakitan dan…”
“Dan si pencari jejak itu menyebut Anda keledai,” sela Old Death.
“Dari mana Anda tahu?” tanya Will keheranan.
Old Death tidak menjawab dan melanjutkan perkataannya,
“Kemudian Anda berkata kepadanya bahwa lengan Anda kena tembak dan luka
itu bernanah. Dia juga menganjurkan Anda untuk membasahi lengan baju dengan air
agar tak melekat pada luka serta mengompres luka dengan getah way-bread yang
berkhasiat mencegah luka melepuh.”
“Ya, itu betul! Bagaimana Anda bisa tahu semuanya, Sir?” seru pemuda itu
terkejut.
“Mengapa Anda masih bertanya? Saya sendirilah yang memberikan nasihat itu
kepada Anda. Tadi ayah Anda mengatakan bahwa saya mirip dengan Old Death. Nah,
betul katanya, karena saya serupa benar dengan dia bagaikan pinang dibelah dua.”
“Jadi… jadi… jadi Andalah Old Death?” seru Will girang. Dia bergegas bangkit
dari kursinya sambil merentangkan tangan hendak memeluk Old Death. Namun
ayahnya menghalangi maksudnya dan menariknya agar duduk kembali. Ayahnya
berkata,
“Tunggu anakku! Jika kamu ingin memeluknya, maka sebagai seorang ayah
sebenarnya sayalah yang memiliki hak dan kewajiban pertama untuk memeluk dewa
penolong ini. Tapi hal itu harus kita tangguhkan, karena kamu tahu, di mana kita
sekarang berada. Semua gerak-gerik kita selalu diamati orang. Duduklah dengan
tenang!”
Sambil berpaling kepada Old Death, dia melanjutkan perkataannya,
“Tolong jangan tersinggung atas penolakan ini, Sir! Saya mempunyai alasan
kuat untuk mencegahnya memeluk Anda. Di sini berkeliaran banyak setan. Percayalah!
Saya sangat berterima kasih kepada Anda. Karena itu saya merasa berkewajiban
mencegah segala sesuatu yang bisa membahayakan Anda. Seperti yang saya ketahui
dan sering saya dengar, Anda dikenal sebagai penganut paham abolisionis2. Selama
peperangan Anda telah melakukan pemberontakan yang membuat nama Anda
terkenal di mana-mana. Namun tindakan itu menyebabkan negara-negara Selatan
mengalami kerugian besar. Anda ikut serta dalam pasukan tentara negara Utara
sebagai pemimpin pasukan dan penunjuk jalan. Anda membawa tentara melalui jalan
yang tidak akan ditempuh oleh orang lain, hingga menyusup jauh ke belakang garis
pertahanan musuh. Kami sangat menghormati Anda. Tapi sampai sekarang musuh
pihak Utara masih menyebut Anda mata-mata. Nah, kini Anda tahu, apa pokok
permasalahannya. Jika Anda jatuh ke tangan sesessionis barangkali Anda akan
digantung.”
“Saya pun tahu, Master Lange. Tapi saya tidak mempedulikan semua itu,”
jawab Old Death acuh tak acuh. “Saya sebenarnya tidak mau digantung, namun
seringkali orang mengancam ingin menggantung saya. Hingga kini ancaman itu tidak
pernah terwujud. Baru saja ada segerombolan rowdies yang hendak menggantung
kami berdua pada cerobong asap di kapal. Mereka pun tidak berhasil melakukannya.”
Old Death menceritakan peristiwa sebelumnya yang terjadi di atas kapal.
Setelah dia selesai bercerita, Lange berkata dengan suara berat,
“Capt’n kapal itu sungguh berani. Namun tindakan itu bisa membahayakan
nyawanya sendiri. Dia harus tinggal di La Grange sampai besok pagi. Barangkali
rowdies itu akan tiba di sini malam hari dan akan membalas dendam. Mungkin juga
nasib Anda akan lebih buruk lagi.”
“Pah! Saya tidak takut kepada kawanan kecil itu. Saya pernah berkelahi
dengan orang-orang yang lebih berbahaya daripada mereka.”
“Jangan terlalu yakin, Sir! Di sini rowdies memiliki banyak sekutu yang akan
memberikan bantuan. Sejak beberapa hari yang lalu situasi di La Grange tidak
terkendali. Banyak orang asing yang tak dikenal berdatangan dari segala penjuru.
Mereka berdiri bergerombol di tiap-tiap sudut dan melakukan sesuatu secara diam-
diam. Di sini mereka tidak berdagang, karena hanya berkeliaran tanpa melakukan apa
pun yang berhubungan dengan perdagangan. Saat ini mereka duduk di ruangan
sebelah dan berteriak-teriak sehingga telinga kita pekak dibuatnya. Mereka sudah tahu
bahwa kami orang Jerman, lalu mereka iseng-iseng mengajak kami bercakap-cakap
dalam bahasa Jerman. Jika kami melayani percakapan mereka, pasti akan
mengakibatkan pembunuhan atau pemukulan. Omong-omong, hari ini saya tidak ingin
berlama-lama duduk di sini. Anda tentu juga ingin beristirahat. Tetapi tampaknya
makan malam kita tidak begitu nikmat. Karena saya seorang duda, maka kehidupan
2 Kaum penentang perbudakan.
kami bagaikan kehidupan lelaki bujang. Pada siang hari kami selalu makan di rumah
makan. Beberapa hari yang lalu saya sudah menjual rumah saya, karena menurut
saya situasi di sini sudah mulai memanas. Tapi bukan berarti saya tidak menyukai
orang-orang yang ada di sini. Sebenarnya mereka tidak lebih buruk daripada orang-
orang di tempat lain. Namun di negeri Amerika ini peperangan yang mengerikan tak
kunjung berakhir dan akibatnya masih terasa di tempat ini. Di Mexico orang masih
saling membantai, dan Texas terletak tepat di antara kedua negeri itu. Yang dialami di
sini hanyalah kengerian. Gerombolan perusuh dari berbagai daerah datang kemari
sehingga saya merasa tidak betah lagi tinggal di sini. Karena itu saya memutuskan
untuk menjual rumah saya dan pergi ke rumah anak perempuan saya yang sudah
menikah. Di tempat suaminya saya bisa mendapat pekerjaan, meski pekerjaan itu
tidak lebih baik dari yang saya harapkan. Tak disangka-sangka ternyata ada orang
yang merasa cocok dengan rumah saya dan ingin membelinya serta langsung
membayar harganya dengan uang tunai. Dua hari yang lalu dia sudah menyerahkan
uangnya, jadi saya bisa pergi kapan pun saya mau. Saya akan ke Mexico.”
“Apa Anda sudah gila?” seru Old Death.
“Saya? Mengapa?”
“Baru saja Anda mengeluh tentang keadaan Mexico. Anda bilang, di sana
orang masih terus membunuh dan sekarang malah Anda sendiri ingin pergi ke sana!”
“Tak ada jalan lain bagi saya, Sir. Lagipula keadaan di tempat yang akan saya
tuju tidak sama dengan keadaan di wilayah Mexico lainnya. Tempat itu terletak di
belakang Chihuahua. Di sana peperangan sudah berakhir. Mula-mula Juarez memang
harus mengungsi ke El Paso, namun dia segera datang kembali dan dengan gigih
mengusir orang Perancis ke arah selatan. Waktu mereka sangat terbatas. Tak lama
lagi mereka akan diusir dari negeri itu dan Maximilian yang malang harus menanggung
akibatnya. Sayang kejadian ini harus terjadi. Saya sendiri orang Jerman dan saya
berdoa semoga dia baik-baik saja. Perang yang hebat berkecamuk di sekeliling
ibukota. Sementara itu propinsi yang terletak di bagian utara tidak mendapat
gangguan dan aman-aman saja. Nah, menantu saya tinggal di propinsi tersebut. Ke
sanalah saya dan Will akan pergi. Semua yang kami harapkan sedang menunggu di
sana, Sir. Menantu saya yang jujur itu adalah pemilik pertambangan perak yang kaya
raya. Hingga saat ini dia sudah tinggal di Mexico selama satu setengah tahun. Dalam
suratnya yang terakhir dia mengatakan bahwa anak laki-lakinya telah lahir, dan
sekarang anak itu sudah bisa memanggil-manggil nama kakeknya. Persetan dengan
semuanya! Apalagi yang menahan saya di sini? Saya akan mendapat pekerjaan yang
bagus di pertambangan, begitu juga Will, anak saya ini. Selain itu saya bisa mengajari
cucu saya berdoa sebelum tidur dan menghitung perkalian. Anda lihat sendiri,
Mesch’schurs, saya tidak bisa tinggal lebih lama lagi di tempat ini. Seorang kakek
memang harus mendampingi cucunya. Jika tidak, kakek itu berada di tempat yang
salah. Jadi saya akan pergi ke Mexico dan saya akan senang sekali jika Anda mau
pergi bersama kami.”
“Hmmm!” gumam Old Death. “Jangan bercanda, Sir! Karena bisa jadi kami
akan memegang janji Anda.”
“Apa? Jadi Anda mau ikut? Ide yang bagus! Putuskan sekarang juga, Sir! Lalu
kita pergi bersama-sama.”
Dia mengulurkan tangannya kepada orang itu.
“Tunggu, tunggu dulu!”, kata Old Death sambil tertawa. “Memang kami
bermaksud pergi ke Mexico, tapi itu belum pasti. Dan jika kami akan pergi, kami masih
belum tahu jalan mana yang akan kami tempuh.”
“Jika demikian, saya akan ikut ke mana pun Anda pergi, Sir. Semua jalan
yang ada di sini menuju ke Chihuahua. Tidak menjadi soal, apakah saya tiba di sana
hari ini atau besok. Saya tadi sedikit egois dan hanya mementingkan diri sendiri. Anda
adalah seorang westman yang berpengalaman dan pencari jejak yang handal. Jika
saya boleh pergi bersama Anda, pasti saya akan tiba di sana dengan aman. Apalagi
saat kacau seperti ini, keamanan menjadi barang yang mahal. Ke mana Anda akan
pergi sekarang?”
“Ke rumah seseorang yang bernama Sennor Cortesio. Barangkali Anda
mengenal laki-laki itu?”
“Bagaimana mungkin saya tidak mengenalnya. La Grange ini kota kecil,
sehingga semua orang saling mengenal. Selain itu Sennor Cortesiolah yang telah
membeli rumah saya.”
“Tapi yang paling ingin saya ketahui, apakah dia seorang bajingan atau
seorang lelaki yang jujur?”
“Dia orang yang jujur. Tentu saja saya tidak peduli dengan aliran politik yang
dianutnya. Tidak masalah apakah negara ini akan diperintah oleh seorang kaisar atau
presiden. Yang paling penting dia mau menjalankan kewajibannya dengan baik.
Kelihatannya Sennor Cortesio menjalin hubungan dengan orang yang tinggal di
seberang perbatasan. Tiap malam saya mengamati tempat itu dan melihat kuda-kuda
yang mengangkut peti-peti berat. Secara diam-diam orang berkumpul di rumahnya
lalu pergi ke Rio del Norte. Dari kejadian-kejadian itu saya dapat mengambil
kesimpulan bahwa dia menyelundupkan senjata dan peluru untuk pengikut Juarez dan
mengirimkan juga pasukan khusus yang akan bertempur melawan tentara Perancis.
Tindakannya sungguh berani. Dalam situasi seperti ini, orang akan bersedia
melakukannya jika dia merasa yakin akan tetap mendapatkan keuntungan meskipun
usahanya gagal.”
“Di mana tempat tinggalnya? Sekarang juga saya harus berbicara
dengannya.”
“Anda bisa bertemu dengannya pukul sepuluh nanti. Sebenarnya masih ada
yang harus saya bicarakan dengan dia. Namun pada intinya urusan kami sudah selesai
sehingga tak perlu lagi dibicarakan. Dia mengatakan bahwa saya boleh
mengunjunginya pada pukul sepuluh dan dia akan tiba di rumah sesaat sebelumnya.”
“Apakah pernah dia dikunjungi tamu ketika Anda ke rumahnya?”
“Ya, saat itu ada dua orang laki-laki yang duduk bersamanya. Yang satu masih
muda dan yang seorang lagi lebih tua.”
“Tahukah Anda, siapa nama mereka?” tanya saya penasaran.
“Ya, hampir satu jam kami duduk bersama-sama. Dalam waktu selama itu,
tentu saya bisa mengetahui nama-nama mereka. Yang lebih muda bernama Ohlert
dan yang tua bernama Sennor Gavilano. Orang terakhir ini tampaknya teman Cortesio,
karena keduanya berbicara tentang pertemuan mereka beberapa tahun lalu di ibukota
Mexico.”
“Gavilano? Saya tidak mengenalnya. Apakah sekarang Gibson kembali
mengubah namanya?”
Pertanyaan ini sebenarnya ditujukan kepada saya. Saya mengeluarkan potret
dan menunjukkannya kepada tukang besi itu. Dia langsung mengenalinya dan berkata,
“Ya, merekalah orangnya, Sir! Pria berwajah kurus dan pucat ini adalah Sennor
Gavilano. Sedangkan yang satu ini bernama Master Ohlert, dan dia beberapa kali
menyulitkan saya dengan pertanyaannya tentang orang yang belum pernah saya
temui dalam hidup, misalnya tentang seorang Negro bernama Othello, tentang
seorang gadis muda dari Orleans bernama Johanna, yang pada mulanya
menggembalakan biri-biri, lalu pergi berperang bersama raja, juga tentang Master
Fridolin, seorang yang menjadi anggota geng setelah melepaskan pekerjaannya
sebagai pembuat palu besi, tentang Lady Maria Stuart yang malang, yang kepalanya
dipenggal di Inggris, tentang sebuah lonceng yang seharusnya mendentangkan lagu
dari Schiller, juga tentang seorang Sir yang sangat puitis, namanya Ludwig Uhland. Dia
mencaci maki dua orang penyanyi, walaupun demikian dia memperoleh simpati dari
seorang ratu. Ohlert sangat bangga ketika bertemu dengan saya yang juga orang
Jerman. Kemudian secara berturut-turut dia menyebut berbagai hal seputar nama
orang, puisi dan naskah drama, yang membuat saya pusing tujuh keliling, seperti yang
sudah saya singgung tadi. Semuanya berputar-putar di dalam kepala saya seperti roda
kincir air. Master Ohlert tampaknya seorang baik hati dan tidak berbahaya, tapi saya
berani bertaruh bahwa dia seorang yang aneh. Pada saat terakhir, dia mengeluarkan
selembar puisi lalu membacakannya untuk saya. Puisi itu menceritakan tentang tiga
malam yang sangat mengerikan. Malam pertama dan kedua berakhir dengan
datangnya fajar, sedangkan malam ketiga tidak pernah berakhir. Dia juga
menyinggung tentang hujan dan badai, bintang-bintang, kabut, keabadian, denyut
kehidupan, jeritan jiwa yang ingin melepaskan diri dari belenggu, setan yang sudah
merasuki pikiran dan ular yang membelit jiwanya. Singkatnya tentang hal-hal yang
membingungkan yang sama sekali mustahil dan saling bertentangan. Saya sendiri juga
benar-benar tidak tahu, apakah saya harus tertawa atau menangis.”
Tidak diragukan lagi, dia telah berbicara dengan William Ohlert. Sementara itu
Gibson, orang yang selalu menemaninya, sudah mengganti namanya dua kali.
Mungkin juga nama Gibson bukan nama sebenarnya. Saya sudah tahu kalau wajah
orang yang menculik dan melarikan William itu pucat kekuning-kuningan, karena saya
pernah melihatnya. Mungkin dia benar-benar berasal dari Mexico dan dulu namanya
Gavilano, dan nama itulah yang diperkenalkannya kepada Sennor Cortesio. Gavilano3
artinya burung elang kecil, sebuah sebutan untuk orang-orang terhormat. Hal paling
penting yang ingin saya ketahui adalah alasan di balik usahanya melarikan William.
Barangkali alasan bahwa William Ohlert sakit jiwa sangat menarik untuk disimak dan
mungkin berkaitan erat dengan ide untuk menulis sebuah tragedi tentang penyair gila
tersebut. Mungkin Ohlert juga menyinggungnya kepada pandai besi itu. Karena itu,
saya bertanya,
“Bahasa apa yang digunakan pemuda itu selama berbicara dengan Anda?” “Dia berbicara dalam bahasa Jerman dan banyak bercerita tentang lakon sedih
yang ingin ditulisnya. Tapi katanya, sangat penting jika orang lebih dulu
mengumpulkan pengalaman sebelum menulis cerita.”
“Sungguh tidak masuk akal!”
“Tidak masuk akal? Saya justru berpikir sebaliknya, Sir. Orang sering dianggap
gila karena mampu melakukan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan oleh orang
yang berpikiran waras. Dia sering menyela dengan cerita tentang seorang wanita
bernama Sennorita4 Felisa Perilla. Gadis itu akan diculiknya dengan bantuan temannya
tadi.”
“Itu sudah gila, benar-benar gila! Jika dia ingin membuat cerita tragedi itu
menjadi kenyataan, maksud tersebut harus dihalangi. Apa dia masih berada di La
Grange?”
3 Ejaan seharusnya: Gavillano. 4 Spanyol: Seňorita, Senyorita: Nona.
“Tidak, dia sudah pergi kemarin. Dia juga pergi bersama dengan Sennor
Cortesio ke pertanian Hopkin, dan dari sana terus ke Rio Grande.”
“Sungguh menjengkelkan, benar-benar menjengkelkan! Kita harus pergi
secepat mungkin, kalau bisa hari ini. Anda mungkin tahu, di mana orang bisa membeli
dua ekor kuda yang bagus di sini?”
“Ya, di tempat Sennor Cortesio. Dia selalu mempunyai kuda untuk dijual
khusus kepada orang-orang yang mau direkrutnya untuk mendukung Juarez. Tapi
saya menganjurkan Anda supaya tidak berkuda pada malam hari. Anda tidak tahu
jalan ke sana, karena itu Anda pasti membutuhkan juga seorang pemandu. Sayang
saat ini hari sudah malam, Anda tidak bisa lagi mendapatkan seorang pemandu.”
“Barangkali masih bisa. Kami akan berusaha agar bisa berangkat hari ini. Tapi
terlebih dahulu kami harus berbicara dengan Cortesio. Sekarang sudah jam sepuluh
lewat, dan sekitar jam ini pasti dia sudah ada di rumah. Kalau bisa Anda bisa
menunjukkan rumahnya sekarang.”
“Dengan senang hati. Ayo kita berangkat jika Anda mau, Sir!”
Saat kami berdiri dan hendak berangkat, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda di
depan rumah. Beberapa menit kemudian masuklah beberapa orang ke ruangan depan.
Saya tercengang. Dengan perasaan yang tidak menentu saya memandangi mereka.
Mereka adalah sembilan atau sepuluh orang sesessionis yang diturunkan nakhoda
kapal di tepi sungai siang tadi. Mereka tampaknya mengenal orang-orang yang sudah
ada di sana, karena mendapat sambutan yang hangat. Dari perbincangan mereka,
kami sempat mendengar sesuatu. Rupanya kedatangan mereka sudah ditunggu-
tunggu. Mereka lalu asyik berbicara satu sama lain sehingga tidak sempat
memperhatikan kami. Bagi kami hal itu menguntungkan karena kami juga tidak
menghendaki jika perhatian mereka beralih ke kami. Karena itu kami kemudian duduk
lagi. Jika kami pergi sekarang, kami harus berlalu di depan mereka dan pasti
kesempatan ini akan digunakan untuk mencari persoalan baru dengan kami. Ketika
Lange mengetahui siapa mereka, dia menutup pintu penyekat ruangan supaya kami
terlindung, tetapi kami bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Selain itu, kami
bertukar tempat duduk sehingga Old Death dan saya duduk membelakangi mereka.
“Mereka tidak perlu melihat Anda,” kata pandai besi itu. “Sejak tadi situasi di
luar sana tidak menguntungkan bagi kita. Jika mereka melihat Anda dan menganggap
Anda sebagai mata-mata, maka Anda akan segera digantung, dan berakhirlah huru-
hara itu.”
“Bagus,” jawab Old Death. “Tapi apakah Anda pikir, kami senang duduk terus
di sini sampai mereka pergi? Tak ada waktu untuk itu. Kami harus segera pergi
menemui Cortesio.”
“Jika itu keinginan Anda, Sir, terserahlah! Kita akan melalui jalan lain sehingga
mereka tidak bisa melihatnya.”
Old Death menebarkan pandangan ke sekeliling ruangan kemudian bertanya,
“Di mana? Kita hanya bisa melewati kamar depan.”
“Tidak! Lewat di sana rasanya lebih aman,” katanya sambil menunjuk ke
sebuah jendela.
“Apa Anda bersungguh-sungguh?” tanya si pencari jejak itu. “Anda rupanya
penakut! Apakah kita harus menuruti pepatah Perancis: ibarat tikus yang menyelinap
ke lubang sempit karena takut dimangsa kucing? Orang akan tertawa terbahak-bahak
melihat kita.”
“Saya tidak mengenal rasa takut. Tetapi ada juga pepatah Jerman yang sudah
tua namun masih sarat makna: orang pandai sebaiknya mengalah. Rasanya itu sudah
cukup. Saya hanya mau mengatakan, saya tidak melakukan hal itu karena takut,
melainkan karena ingin berhati-hati. Saya pun tidak gentar, walaupun yang duduk di
luar sana jumlahnya sepuluh kali lebih besar daripada kita. Kaum perusuh itu akan
berang dan bersikap membabi buta. Mereka tidak akan membiarkan kita pergi tanpa
mencari gara-gara, dan saya bukan orang yang mau membiarkan perbuatan seperti
itu. Anda juga bukan orang yang mau menerima hal itu begitu saja. Itu artinya akan
terjadi baku hantam. Saya tidak takut berkelahi dengan tangan, kaki, atau dengan
patahan kaki meja. Saya seorang pandai besi dan saya tahu benar, bagaimana
menghantam kepala orang dengan palu. Tetapi pistol adalah senjata paling terkutuk.
Orang paling pengecut sekalipun dapat merobohkan seorang raksasa berbadan tegap
hanya dengan sebutir peluru sebesar biji kacang. Karena itu saya lebih menganjurkan
supaya kita mengelabui mereka dengan cara kabur diam-diam melalui jendela. Mereka
akan lebih marah karena dibodohi dengan siasat ini daripada jika kita menampakkan
diri lalu membiarkan kepala kita dipalu satu per satu. Hidung kita tentu akan berdarah
dan mungkin terjadi hal yang lebih buruk lagi.”
Dalam hati saya membenarkan pendapatnya. Tak lama kemudian kata Old
Death,
“Pendapat Anda memang tidak salah. Saya pun akan menerobos jendela yang
sempit itu sambil membawa semua barang saya. Tapi coba dengarkan obrolan
mereka! Saya kira, mereka sedang berbicara tentang pengalaman di atas kapal.”
Dia benar. Kelompok yang baru datang itu bercerita tentang peristiwa yang
mereka alami di atas kapal uap, lalu menyebut-nyebut tentang Old Death, seorang
Indian, dan saya. Juga tentang tipu daya sang kapten. Tapi mereka rupanya tidak
sepakat tentang cara membalas dendam. Ada enam rowdies dan para pengikutnya
yang ingin menunggu kedatangan kapal, tapi yang lainnya tidak setuju karena tidak
memiliki waktu.
“Tentu kami tidak bisa duduk berlama-lama di tepi sungai,” cerita salah
seorang dari mereka. “Kami harus segera ke sini karena sedang ditunggu. Untunglah
kami bisa menemukan pertanian yang tidak jauh dan di tempat itulah kami bisa
meminjam beberapa ekor kuda.”
“Meminjam?” tanya salah seorang sambil tertawa.
“Ya, meminjam. Tapi tentunya meminjam dengan cara kita. Sayang jumlah
binatang itu tidak cukup. Dengan demikian setiap kuda harus ditunggangi dua orang.
Tapi kesulitan ini selanjutnya teratasi setelah kami sampai di pertanian lainnya.
Akhirnya setiap orang bisa menunggangi seekor kuda.”
Semua tertawa terbahak-bahak mendengar cerita pencurian itu. Lalu dia
melanjutkan,
“Apakah semuanya beres? Apakah orang-orang yang dicari itu sudah
ditemukan?”
“Ya, sudah.”
“Dan pakaian itu?”
“Kami sudah membawa dua peti, itu sudah cukup.”
“Sekarang kita boleh bersenang-senang. Mata-mata dan si kapten itu akan
mendapat bagiannya. Kapal itu akan berlabuh malam ini di La Grange. Jadi kapten itu
mudah ditemukan, begitu juga orang Indian dan kedua mata-mata itu. Kita tidak akan
membutuhkan waktu yang lama karena mereka sangat mudah dikenali. Salah seorang
mengenakan pakaian pemburu yang masih baru dan keduanya membawa pelana tapi
tanpa kuda.”
“Pelana?” seseorang bertanya dengan nada gembira.
“Bukankah kedua orang yang baru masuk tadi dan sekarang duduk di dalam
kamar sana membawa…”
Dia mengatakannya dengan suara yang sangat pelan. Tentu maksudnya
adalah kami.
“Mesch’schurs,” kata sang pandai besi. “Kini saatnya kita harus melarikan diri
karena tidak lama lagi mereka akan ke mari. Cepat naik ke jendela! Pelana Anda akan
kami turunkan nanti.”
Dia benar. Tanpa malu-malu saya cepat-cepat melompat keluar melalui
jendela, kemudian diikuti Old Death. Lange memegangi barang-barang dan senjata
kami lalu menurunkannya dari jendela. Kemudian dia pun melompat.
Kami sudah berada di sebuah kebun kecil yang berpagar dan berumput. Saat
hendak melompati pagar, kami melihat tamu-tamu yang lain yang tadi berada di
dalam ruangan kecil itu juga keluar melalui jendela yang sama. Rupanya mereka pun
tak ingin diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum sesessionis itu. Mungkin mereka
berpikir, jalan keluar terbaik hanyalah dengan meniru tindakan kami.
“Kini,” kata Lange sambil tertawa. “Mereka akan tercengang jika melihat kita
sudah hengkang dari tempat itu. Ini memang benar-benar jalan terbaik.”
“Tapi perbuatan kita merupakan sesuatu yang sangat memalukan!” kata Old
Death bersungut-sungut. “Rasanya saya mendengar mereka tertawa mengejek kita.”
“Biarkan mereka tertawa! Nanti giliran kitalah yang akan menertawakan
mereka. Saya akan membuktikannya kepada Anda, bahwa saya tidak takut mereka,
hanya saya tidak mau membuat keributan di dalam rumah makan."
Pandai besi itu dan anaknya menurunkan pelana dari punggung kami lalu
memikulnya. Mereka bilang, tamu tidak boleh dibiarkan memikul bebannya sendiri.
Tak lama kemudian kami sudah berdiri di antara dua bangunan. Bangunan di sebelah
kiri benar-benar gelap, sedangkan yang di sebelah kanan tampak terang. Ini terlihat
dari cahaya lampu yang menerobos keluar melalui celah jendela.
“Sennor Cortesio ada di rumah,” kata Lange. “Dia tinggal di sana, di rumah
yang diterangi lampu itu. Anda hanya tinggal mengetuk pintunya, dia akan
membukakannya untuk Anda. Jika urusan Anda sudah selesai, maka datanglah ke
gedung sebelah kiri, ke tempat tinggal kami. Ketuklah jendela yang terletak di
samping pintu! Selama Anda masih di sana, kami akan menyiapkan makan malam.”
Keduanya lalu pergi menuju ke rumahnya, sedangkan kami berdua berbelok ke
kanan. Setelah kami mengetuk, pintu hanya dibuka sedikit, lalu terdengar suara orang
bertanya dari dalam,
“Siapa adalah di luar?”
“Dua orang teman,” jawab Old Death. “Apakah Sennor Cortesio ada di rumah?”
“Mau apakah dari Sennor?”
Dari caranya bertanya bisa dipastikan bahwa pemilik suara itu seorang Negro.
“Sebuah urusan yang harus kami selesaikan dengan dia.”
“Apa? Sebuah urusan? Katakanlah! Jika tidak, dilarang boleh masuk!”
“Katakan bahwa Master Lange mengutus kami ke sini!”
“Massa Lange? Dia adalah baik. Kalau begitu boleh masuk. Tapi tunggu
sebentar!”
Dia menutup pintu sebentar tapi kemudian membukanya lagi setelah beberapa
saat dan berkata,
“Silakan masuk! Sennor telah berujar boleh berbicara dengan manusia asing.”
Kami berjalan melalui lorong sempit menuju ke sebuah kamar kecil yang
kelihatannya digunakan sebagai kantor. Di sana ada sebuah meja tulis, meja biasa,
dan beberapa kursi kayu. Di samping meja tulis berdiri seorang laki-laki yang tinggi
dan kurus. Wajahnya mengarah ke pintu. Dari potongan wajahnya sudah kelihatan
kalau dia orang Spanyol.
“Buenos tardes!5” katanya menjawab salam kami. “Sennor Lange mengutus
Anda? Boleh saya tahu, mengapa Anda kemari, Sennores?”
Saya penasaran dengan jawaban yang akan diberikan Old Death. Dia sudah
meminta saya untuk menyerahkan semua urusan ini ke tangannya.
“Mungkin ini suatu urusan bisnis atau mungkin juga hanya sebuah pertanyaan,
Sennor. Kami sendiri juga belum tahu,” kata Old Death.
“Kita lihat saja nanti. Silahkan duduk dan ambillah zigarillo itu.”
Dia menyodorkan kami satu bungkus cerutu dan pemantik. Tentu kami tidak
bisa menolaknya. Orang-orang Mexico tidak bisa bekerja apalagi berbincang-bincang
atau merundingkan sesuatu tanpa rokok. Old Death yang lebih menyukai rokok
lintingan daripada cerutu terbaik, menggulung sebatang cerutu, lalu membakarnya.
Hanya setelah beberapa tarikan, cerutu itu sudah menjadi puntung kecil. Saya sendiri
menikmati cerutu saya perlahan-lahan.
“Kami datang kepada Anda,” kata Old Death memulai pembicaraan, “bukan
karena suatu alasan yang penting. Terpaksa kami datang malam-malam karena
sepanjang hari Anda tidak bisa ditemui. Kami tidak ingin menunda kunjungan ini
sampai besok pagi karena keadaan di sekitar sini sangat mengkhawatirkan. Kami tidak
bisa berlama-lama di sini. Kami bermaksud pergi ke Mexico dan menawarkan bantuan
kami pada Juarez. Tentu saja kami tidak dapat berbuat seperti itu tanpa perhitungan.
Sebelumnya kami sudah mendapat kabar bahwa kami akan disambut dan diterima
dengan baik. Jadi kami mencari keterangan di mana-mana dan kami diberitahu bahwa
kami akan diterima dengan baik di La Grange ini. Karena orang menyebut nama Anda,
Sennor, jadi kami datang kemari. Sekarang katakanlah, apakah kami benar berada di
rumah orang yang dimaksud.”
Orang Mexico itu tidak langsung menjawab melainkan menatap kami dengan
pandangan penuh selidik. Matanya memandang saya puas. Saya masih muda dan
terlihat kuat. Old Death rupanya kurang berkenan di hatinya. Badan si Tua yang kurus
dan bungkuk itu tampaknya tidak tahan menderita dalam peperangan. Lalu dia
bertanya,
“Siapakah orang yang memberitahu nama saya, Sennor?”
“Seorang pria yang kami jumpai di atas kapal,” jawab Old Death berbohong.
“Kemudian tanpa sengaja kami juga bertemu dengan Master Lange dan mengetahui
5 Spanyol: Selamat Petang/Malam.
dari dia, bahwa sebelum jam sepuluh malam Anda tidak berada di rumah. Kami orang
Amerika Utara berdarah Jerman dan telah berperang melawan negara Selatan. Kami
juga memiliki pengalaman militer sehingga kami berharap bisa menyumbangkan
tenaga kami buat Presiden Mexico.”
“Hmmm! Kedengarannya bagus, Sennor. Tapi saya harus berkata terus terang,
dari bentuk tubuh Anda, tampaknya Anda tidak akan kuat menanggung penderitaan
selama peperangan.”
“Ya, memang benar juga, Sennor,” kata Old Death sambil tertawa. “Tapi saya
hanya ingin menyebut nama saya supaya Anda bisa percaya. Nama saya Old Death.”
“Old Death?” seru Cortesio terkejut. “Sungguh? Jadi Anda pencari jejak
terkenal, yang sudah menimbulkan kerugian besar bagi negara Selatan?”
“Ya, sayalah orangnya. Lihatlah sendiri badan saya.”
“Tentu, tentu saja, Sennor. Saya harus berhati-hati. Tak seorang pun yang
boleh tahu kalau saya menampung orang-orang yang mendukung Juarez. Terutama
pada saat ini saya dituntut bertindak ekstra hati-hati. Tapi karena Anda Old Death, tak
ada alasan bagi saya untuk berhati-hati. Saya dapat mengatakan terus terang, bahwa
Anda masuk ke alamat yang tepat. Dengan senang hati saya siap menerima Anda.
Saya bahkan bisa memberikan jaminan keamanan istimewa kepada Anda, karena
seorang seperti Old Death harus diperlakukan secara khusus dan tidak boleh
ditempatkan bersama para prajurit biasa.”
“Saya pun berharap demikian, Sennor. Dan mengenai sahabat saya ini,
mungkin dia akan ditempatkan bersama prajurit biasa, namun dia akan segera
menunjukkan kehebatannya. Meskipun masih muda, dia telah mencapai pangkat
kapten karena sukses berperang di pihak abolisionis. Namanya Müller. Tapi barangkali
Anda sudah mendengar tentang dia. Dia bergabung bersama pasukan Sheridan dan
sebagai letnan, dia sendiri berjalan paling depan untuk memimpin pasukan yang
terkenal itu melewati Missionary Ridge. Anda tentu tahu, apa akibat dari raids
(penyerbuan) itu. Müller lalu menjadi anak kesayangan Sheridan. Dia bahkan
mendapat kehormatan untuk memimpin pasukan khusus itu jika ada tugas penting.
Dia pulalah prajurit berkuda yang dihormati karena sukses membebaskan Jenderal
Sheridan yang tertangkap dalam pertempuran yang dahsyat di Five Forks. Karena itu
menurut saya, tidak ada salahnya jika dia juga diterima dalam pasukan Anda,
Sennor!”
Old Death menceritakan kebohongan yang tiada taranya! Tapi haruskah saya
menghukumnya atas kebohongan itu? Saya merasa pipi saya memerah. Namun
Cortesio menyangka bahwa saya tersipu-sipu malu. Karena itu dia meraih tangan saya
lalu sambil membual seperti seorang wartawan dia berkata,
“Anda tidak usah malu-malu mendengar pujian itu, Sennor Müller. Saya telah
mendengar tentang Anda dan semua perbuatan Anda. Kini saya mengucapkan selamat
datang kepada Anda. Tentu saja Anda akan segera mendapat pangkat perwira.
Sekarang saya akan menyerahkan sejumlah uang kontan kepada Anda untuk membeli
barang-barang yang Anda perlukan.”
Sebenarnya Old Death pun menyetujui tawaran itu. Saya bisa membaca
gelagat ini di wajahnya, tapi cepat-cepat saya menyela,
“Tidak perlu, Sennor. Kami tidak mau dibebani dengan berbagai barang. Pada
saat ini tak ada yang kami butuhkan selain dua ekor kuda, yang mungkin bisa kami
dapatkan dari Anda. Kami sendiri sudah memiliki pelana.”
“Ya, benar sekali. Saya bisa menyerahkan dua ekor kuda yang bagus kepada
Anda. Jika Anda benar-benar ingin membayarnya, maka saya akan menetapkan
harganya. Besok pagi kita bisa pergi ke kandang. Di sana saya akan menunjukkan
kuda-kuda terbaik yang saya miliki. Apakah Anda sudah mendapat tempat menginap
untuk malam ini?”
“Ya, Master Lange akan menampung kami di rumahnya.”
“Luar biasa. Jika Anda belum mendapat penginapan, saya akan mengajak Anda
tinggal di rumah saya, meski tempat ini sangat sempit. Bagaimana pendapat Anda,
apakah urusan lainnya akan diselesaikan sekarang atau besok pagi?”
“Lebih baik sekarang,” jawab Old Death. “Apa saja syarat-syarat yang harus
dipenuhi?”
“Untuk sekarang tidak ada. Karena Anda sendiri yang membayar semuanya,
maka Anda baru akan diangkat sumpah jika sudah diterima dalam pasukan. Satu-
satunya yang harus saya lakukan adalah memberi Anda surat pengantar dan surat
rekomendasi yang memberi jaminan sehingga Anda diberi kedudukan yang sesuai
dengan kemampuan Anda. Lebih baik saya segera menyelesaikan semua dokumen itu
sekarang, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi kelak. Bersabarlah barang
seperempat jam. Saya akan bergegas mengurusnya. Di sana ada zigarillos. Saya juga
akan menyediakan sebotol minuman yang enak yang tidak pernah saya suguhkan
kepada orang lain. Sayang hanya tinggal sebotol saja.”
Dia menyodorkan cerutu dan mengambil sebotol anggur, kemudian melangkah
menuju meja tulis. Old Death menyeringai di belakang orang Mexico itu. Tampaknya
dia merasa begitu puas dengan tipu muslihatnya. Dia mengisi penuh gelasnya dengan
minuman lalu bersulang untuk kesejahteraan Cortesio dan langsung menghabiskannya
dengan sekali teguk. Sejauh ini saya tidak begitu puas seperti Old Death, karena
kedua orang yang saya kejar belum disinggung dalam pembicaraan. Maka saya
berbisik kepada Old Death. Dia menjawab dengan memberi isyarat, bahwa persoalan
itu akan segera beres.
Seperempat jam kemudian Old Death sudah menghabiskan seluruh isi botol
seorang diri saja. Cortesio pun sudah selesai menulis dokumen. Sebelum diberi cap,
surat itu dibacanya. Kami sangat puas dengan isi surat. Anehnya, dia tidak hanya
memberikan kami dua lembar surat melainkan empat. Jadi masing-masing dari kami
mendapatkan dua lembar. Saya sungguh terkejut, karena yang disodorkan adalah
paspor. Yang satu ditulis dalam bahasa Perancis dan yang lainnya dalam bahasa
Spanyol. Yang pertama ditandatangani oleh Bazaine dan yang kedua oleh Juarez.
Cortesio segera menangkap keheranan saya. Sambil tersenyum puas dia berkata,
“Anda lihat sendiri, Sennor. Kami mampu memberikan perlindungan kepada
Anda seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bagaimana saya bisa
mendapatkan paspor berbahasa Perancis, Anda tidak perlu tahu. Anda pun tidak tahu,
apa yang akan Anda jumpai. Jadi mulai dari sekarang lebih baik keamanan Anda
diprioritaskan. Saya tidak akan memberikan paspor ganda ini kepada orang lain. Surat
ini hanya dicetak terbatas. Para prajurit yang saya kirim dari sini pun tidak mendapat
paspor dari saya.”
Ucapan itu memberi kesempatan kepada Old Death untuk mengajukan
pertanyaan yang sudah lama saya nanti-nantikan.
“Sejak kapan pasukan terakhir pergi dari sini?”
“Kemarin. Saya sendirilah yang mengantar lebih dari tiga puluh prajurit yang
baru direkrut hingga ke pertanian Hopkin. Tapi kali ini ada dua orang sipil yang ikut
serta.”
“Aha, jadi Anda juga mempekerjakan orang sipil?” tanya Old Death pura-pura
heran.
“Tidak, hal itu bisa berbahaya. Tapi kemarin ada pengecualian karena seorang
dari kedua pria itu adalah kenalan baik saya. Omong-omong Anda mendapatkan kuda
yang bagus. Anda bisa menyusul detachement6 itu sebelum mereka tiba di Rio Grande,
jika Anda berangkat pagi-pagi benar dari sini.”
“Di mana mereka akan menyeberangi sungai?”
“Mereka menuju ke Eagle-Pass. Karena keberadaan pasukan itu harus
dirahasiakan maka mereka berjalan sedikit ke arah utara. Mereka melintasi jalan kuda
yang terletak di antara Rio Nueces dan Rio Grande. Jalan itu membentang dari San
Antonio melalui Benteng Inge, tapi benteng itu pun dihindari. Lalu mereka melewati
Sungai Rio Grande. Mereka memilih jalan di antara dua sungai kecil Las Moras dan
6 Detasemen. Kelompok prajurit yang bergerak terpisah dari induk satuannya.
Moral. Di sana ada jalan yang mudah dilalui dan hanya diketahui oleh pemandu kami.
Dari sana mereka bergerak ke arah barat lalu melewati Baya, Cruces, San Vincente,
Tabal, dan San Carlos hingga akhirnya tiba di kota Chihuahua.”
Semua tempat ini terdengar seperti nama-nama dusun udik di daerah
Bohemia. Saya tidak mengenalnya. Namun Old Death mengangguk-anggukkan kepala
dan mengulang nama setiap tempat itu dengan suara keras seolah-olah dia telah
mengenalnya dengan baik.
“Kami pasti akan menyusul mereka kalau kuda kami lebih bagus daripada kuda
mereka,” katanya. “Tapi apakah mereka membiarkan kami ikut bergabung?”
Cortesio mengangguk pasti. Tapi teman saya terus bertanya,
“Tapi apakah kedua pria yang tadi Anda sebut sebagai orang sipil juga setuju?”
“Tentu saja. Mereka tidak berhak melarangnya. Mestinya mereka bersyukur
karena boleh pergi dengan pengawalan detachement. Karena Anda akan bertemu
mereka, maka saya menasehati supaya Anda memperlakukan mereka sebagai lelaki
terhormat. Salah seorang dari keduanya adalah kelahiran Mexico, namanya Gavilano
dan dia adalah kenalan baik saya. Saya pernah mengalami masa-masa yang indah
bersamanya di ibukota. Dia mempunyai seorang adik perempuan yang
meluluhlantakkan hati banyak pemuda.”
“Kalau begitu dia pun pasti tampan.”
“Tidak, wajah mereka jauh berbeda, karena gadis itu adalah saudari tirinya.
Namanya Felisa Perillo. Dulu ia cantora (penyanyi) yang mempesona sekaligus
ballerina (penari balet) yang mengagumkan di kalangan bangsawan. Tak lama
kemudian ia menghilang dan baru sekarang saya mendengar dari saudaranya bahwa
ia tinggal di daerah sekitar Chihuahua. Alamat yang pasti tidak bisa saya berikan
karena dia sendiri pun harus mencari dulu adiknya setelah tiba di sana.”
“Boleh saya tanya, apa sebenarnya pekerjaan Sennor itu?”
“Penyair.”
Old Death menampakkan raut wajah kaget, tapi kemudian tersenyum
menyeringai. Cortesio melanjutkan,
“Sennor Gavilano menulis puisi hanya untuk bersenang-senang tanpa meminta
bayaran. Dia memiliki banyak harta dan tidak mau puisinya dibayar.”
“Pasti orang lain akan merasa iri.”
“Semua orang merasa iri kepadanya sehingga dia difitnah dan dibenci. Bahkan
dia terus didesak untuk meninggalkan kota dan negaranya. Sekarang dia datang
kembali dengan seorang yankee yang ingin mengenal Mexico dari dekat. Orang itu
meminta Gavilano untuk mengajarinya seni sejati tentang puisi. Keduanya ingin
membangun teater di ibukota.”
“Semoga cita-cita mereka berhasil! Jadi apakah Gavilano tahu, bahwa Anda
sekarang tinggal di La Grange?”
“Oh, tidak. Kebetulan saya berdiri di pinggir sungai ketika kapal itu merapat
sehingga penumpangnya dapat bermalam di sini. Saya langsung mengenali Sennor itu
lalu mengundang dia bersama rekan seperjalanannya untuk menginap di tempat saya.
Saya juga diberitahu, bahwa keduanya akan pergi ke Austin lalu dari sana melewati
perbatasan. Saya lalu menunjukkan tempat penyeberangan yang paling cepat dan
aman. Karena bagi orang asing, apalagi jika dia bukan pengikut sesessionis, sama
sekali tidak dianjurkan untuk tinggal di sini. Sekarang di Texas berkeliaran banyak
orang yang suka memancing di air keruh. Mereka disokong oleh banyak gerombolan
penjahat yang sangat berbahaya yang asal dan tujuan hidupnya pun tidak jelas. Di
mana-mana terdengar cerita tentang tindak kekerasan, perampokan, kekejaman
dengan alasan yang tak pernah diungkapkan. Pelakunya menghilang tanpa jejak
seperti halnya kedatangan mereka. Dan polisi pun tidak berdaya menindak kejahatan
itu.”
“Mungkinkah perbuatan itu dilakukan Ku-Klux-Klan?” tanya Old Death.
“Banyak orang menduga seperti itu. Dalam beberapa hari terakhir baru
diketahui bahwa kemungkinan besar pelakunya adalah gerombolan rahasia itu. Dua
hari yang lalu ditemukan dua mayat di Halletsville. Pada tubuh mereka disematkan
kertas dengan tulisan “Yankee Hounds”7. Di Shelby ada keluarga yang hampir mati
dicambuk karena ayah mereka ikut berperang di bawah pimpinan Jenderal Grant. Dan
hari ini saya mendengar bahwa penduduk Lyons menemukan selubung kepala
berwarna hitam dengan potongan kain putih yang dijahit menyerupai cecak putih.”
“Astaga! Topeng semacam ini memang dipakai orang Kuklux!”
“Ya, mereka menutup wajahnya dengan selubung hitam dengan gambar figur-
figur tertentu yang berwarna putih. Tiap-tiap orang mempunyai gambar yang berbeda
sebagai tanda pengenal, karena mereka tidak mengenal nama masing-masing.”
“Jadi bisa dipastikan bahwa perkumpulan rahasia itu pun mulai
mengembangkan sayapnya di sini. Berhati-hatilah, Don Cortesio. Mereka pasti akan
datang ke sini. Mula-mula mereka berada di Halletsville. Sebuah selubung kepala
mereka ditemukan di Lyons. Bukankah letak Lyons lebih dekat ke sini daripada ke
Halletsville?”
“Tentu, Sennor. Anda benar! Mulai hari ini saya akan mengunci jendela dan
pintu rapat-rapat. Saya juga akan menyiapkan senjata.”
7 Inggris: Anjing Yankee. Yankee: nama olok-olok orang Amerika Serikat bagian Utara.
“Itu cara yang tepat. Penjahat itu tak boleh diberi hati, karena mereka pun
tidak mengenal belas kasihan. Siapa yang menyerah tanpa perlawanan, dan
mengharapkan pengampunan dari mereka, maka dia sungguh keliru. Saya hanya akan
menjawab mereka dengan peluru dan mesiu. Omong-omong, suasana di rumah
makan tadi tampaknya tidak terlalu menggembirakan. Di sana saya melihat beberapa
orang yang tidak bisa dipercaya. Anda sungguh cerdik bisa menyembunyikan paham
yang Anda anut sehingga mereka tidak tahu bahwa sebenarnya Anda berpihak pada
Juarez. Peliharalah terus sikap hati-hati itu hari ini. Lebih baik Anda berhati-hati,
walaupun tampaknya berlebihan, karena akibat kelalaian kecil saja Anda bisa
dicambuk atau bahkan ditembak mati. Saya kira, sekarang urusan kita sudah selesai.
Besok pagi kita akan bertemu lagi. Atau barangkali masih ada yang ingin Anda
katakan?”
“Tidak, Sennores. Untuk hari ini tidak ada lagi. Saya sangat senang bisa
berkenalan dengan Anda dan saya harap kelak saya bisa mendengar kabar baik dari
Anda. Saya yakin, Anda akan mendapat keuntungan besar dalam kerjasama dengan
Juarez dan segera mendapat kenaikan pangkat.”
Dengan kalimat ini maka urusan kami selesai. Dengan ramah Cortesio
menjabat tangan kami, dan kemudian kami pun pergi. Ketika pintu ditutup dan kami
menyeberangi jalan menuju ke rumah Lange, saya tidak dapat lagi menahan diri untuk
menggamit Old Death. Saya bertanya,
“Tapi Sennor, apa yang sudah merasuki pikiran Anda sehingga Anda
mengarang cerita bohong yang begitu indah? Kebohongan Anda tadi sudah
keterlaluan.”
“Oh ya? Hmmm! Anda belum memahaminya, Sir? Sejak awal saya sudah was-
was, mungkin saja kita akan ditolaknya. Karena itu saya berusaha merebut simpati
dari Sennor itu agar dia bisa mempercayai kita.”
“Bukankah Anda juga ingin menerima uangnya? Perbuatan itu jelas-jelas
sebuah penipuan!”
“Hmmm, belum tentu, karena dia sama sekali tidak tahu kalau sedang ditipu.
Lalu mengapa saya tidak mau menerima sesuatu yang ditawarkan dengan suka rela?”
“Karena kita tidak bermaksud mencari uang dengan bekerja untuknya!”
“Ya! Pada saat ini kita memang tidak berniat demikian. Tapi dari mana Anda
tahu bahwa kita tidak akan mendapatkan kesempatan untuk bekerja pada Juarez?
Mungkin saja kelak kita terpaksa menempuh cara itu demi kelangsungan hidup kita
sendiri. Tapi saya tidak mau menyalahkan Anda. Syukurlah kita tidak menerima uang
darinya. Karena sebagai gantinya kita diberikan paspor dan surat rekomendasi. Dan
yang terpenting dari semuanya, sekarang kita tahu, ke mana Gibson kabur. Saya tahu
benar jalan ke sana. Besok kita akan berangkat pagi-pagi buta. Saya yakin, kita dapat
menyusulnya. Jika kita menunjukkan surat-surat kita, pasti komandan pasukan tidak
akan ragu-ragu menyerahkan kedua orang itu.”
Kami tidak perlu mengetuk pintu rumah Lange. Dia sudah berdiri di bawah
ambang pintu. Kami diantarnya masuk. Rumah itu memiliki tiga jendela dan ketiganya
ditutup rapat dengan tirai tebal.
“Jangan heran melihat tirai-tirai itu, Mesch’schurs!” katanya. “Saya memang
sengaja menggantungkannya di sana. Dan kalau boleh, sedapat mungkin kita
berbicara dengan suara pelan. Orang-orang Kuklux itu tidak boleh tahu, bahwa kini
Anda berada di rumah kami.”
“Jadi Anda sudah melihat bajingan-bajingan itu?”
“Belum, tapi mata-matanya sudah kelihatan. Ketika Anda masih di rumah
Sennor Cortesio, saya merasa bosan. Maka saya pergi ke luar untuk menunggu Anda,
agar Anda tidak perlu mengetuk pintu kalau kembali. Pada saat itulah saya mendengar
seseorang mengendap-endap dari samping, dari arah rumah makan. Saya membuka
pintu sedikit dan mengintip melalui celah. Tampak tiga orang datang dan berdiri diam
di dekat pintu. Meskipun suasana gelap, saya dapat melihat tubuh mereka yang sangat
tinggi. Mereka memakai celana lebar juga jaket lebar dan penutup kepala, yang
menutupi seluruh wajahnya. Semua pakaiannya terbuat dari bahan berwarna gelap
dan ditambal dengan gambar berwarna terang.”
“Kedengarannya seperti pakaian yang biasa dipakai orang Kuklux.”
“Tepat sekali. Dua dari mereka tetap berdiri di dekat pintu. Sedangkan orang
ketiga menyelinap ke depan jendela dan berusaha mengintip melalui celah-celah
jendela. Setelah kembali ke temannya, dia melapor bahwa di dalam kamar hanya ada
seorang anak muda, tampaknya seperti Lange yunior. Lange sendiri tidak ada, tetapi
ada makanan tersedia di atas meja. Karena itu salah seorang dari mereka berkata,
bahwa sekarang kami akan makan malam dan kemudian pergi tidur. Mereka ingin
mengelilingi rumah untuk mencari jalan terbaik agar bisa menyusup ke dalam rumah.
Tiba-tiba mereka menghilang di sudut, dan tidak lama kemudian Anda datang, setelah
kami menggantungkan tirai jendela. Oh ya, karena bajingan-bajingan itu, saya hampir
lupa bahwa saya sedang mendapat tamu. Mari, silahkan duduk! Makan dan minumlah!
Hanya makanan sederhana ini yang dapat saya suguhkan. Tapi semua yang saya
miliki, saya berikan dengan tulus hati. Sambil makan kita juga bisa membicarakan
bahaya yang kini sedang mengancam.”
“Tentu saja kami tidak akan membiarkan Anda dalam bahaya,” kata Old Death.
“Tapi di mana putra Anda?”
“Ketika Anda keluar, dia pun menyelinap pergi. Saya memiliki beberapa teman
baik, mereka orang Jerman yang dapat dipercaya. Mereka harus dijemput dengan
diam-diam ke sini. Dua dari mereka telah Anda kenal. Ketika di rumah makan, mereka
duduk semeja dengan kita.”
“Mereka berusaha masuk ke rumah ini secara diam-diam? Hal itu tentu
menguntungkan Anda! Orang-orang Kuklux pasti menganggap bahwa mereka hanya
akan menghadapi Anda dan putra Anda.”
“Jangan khawatir! Teman-teman saya sudah tahu apa yang harus mereka
lakukan. Lagipula saya sudah membisikkan ke telinga Will, apa yang harus
dilakukannya.”
Makanan yang dihidangkan hanya berupa daging yang diiris tipis, roti, dan bir.
Ketika kami baru saja mulai makan, tiba-tiba terdengar suara anjing menyalak, hanya
beberapa rumah jauhnya dari tempat kami.
“Itu isyaratnya,” kata Lange sambil berdiri tegang. “Mereka sudah datang!”
Dia beranjak ke depan untuk membukakan pintu kemudian kembali seraya
disertai anaknya beserta lima lelaki yang bersenjatakan senapan, revolver, dan pisau.
Tanpa bersuara, mereka mencari sesuatu yang bisa dijadikan alas duduk. Tak seorang
pun yang berbicara. Mereka semua memandang tegang ke jendela, apakah jendela itu
sudah cukup rapat tertutup dengan tirai. Sungguh, mereka adalah orang-orang yang
tepat. Tidak berbicara, hanya diam membisu, namun siap untuk bertindak. Di antara
mereka ada seorang yang sudah tua, berambut uban dan berjenggot abu-abu. Tak
henti-hentinya dia memandang Old Death. Dia adalah orang pertama yang
memecahkan kesunyian.
“Maaf, Master! Will telah mengatakan kepada saya tentang orang yang akan
saya jumpai di sini. Dan saya benar-benar sangat senang, karena rasanya dulu kita
sudah pernah bertemu.”
“Mungkin saja!” jawab Old Death. “Saya telah bertemu dengan sekian banyak
orang.”
“Anda tidak ingat lagi pada saya?”
Old Death memperhatikan orang itu lebih seksama lalu berkata,
“Dalam perhitungan saya, rasanya kita memang pernah bertemu. Tapi saya
sendiri sudah lupa, di mana.”
“Di California, kira-kira dua puluh tahun yang lalu, di sebuah pemukiman orang
Tionghoa. Coba Anda ingat baik-baik! Pada waktu itu orang ramai-ramai bermain judi
dengan taruhan yang besar sambil mengisap opium8. Saya mempertaruhkan seluruh
8 Sejenis narkoba.
uang saya, jumlahnya hampir mendekati seribu dollar. Pada akhirnya saya hanya
mempunyai sekeping dollar di saku. Namun saya tidak ingin memasang untuk taruhan,
melainkan membeli opium. Setelah itu saya berniat menembakkan peluru ke kepala
sendiri. Saya adalah seorang penjudi kelas kakap dan sudah kehilangan segala-
galanya karena….”
“Ya! Sekarang saya mulai ingat!” kata Old Death menyela. “Tidak perlu Anda
meneruskan cerita itu lagi!”
“Oh, tidak, Sir! Karena Anda telah menyelamatkan saya. Waktu itu Anda
memenangkan kembali setengah dari jumlah uang yang saya pertaruhkan. Lalu Anda
mengembalikan uang itu kepada saya dengan perjanjian, bahwa saya tidak boleh lagi
bermain judi dan saya harus melepaskan ketergantungan pada opium untuk selama-
lamanya. Saya mengucapkan janji itu di hadapan Anda dan hingga kini saya masih
menepatinya, walaupun godaan terus datang silih berganti. Anda telah
menyelamatkan saya. Sekarang saya sudah menjadi orang yang sukses. Dan saya
akan merasa lebih bahagia, jika Anda bersedia menerima kembali uang Anda.”
“Saya tidak sebodoh itu,” jawab Old Death sambil tertawa. “Sudah lama saya
merasa bangga karena sudah melakukan perbuatan baik. Saya tidak bermaksud
menukar terimakasih itu dengan uang Anda. Kelak jika saya mati, tidak ada sesuatu
pun yang dapat saya bawa kecuali kebaikan ini. Tidak, saya tidak ingin mengambilnya
kembali! Mari kita bicarakan hal lain yang jauh lebih penting saat ini. Dulu saya
memperingatkan Anda akan dua setan, yang juga telah berhasil menghancurkan hidup
saya. Tapi sebenarnya kemauan Andalah yang telah menarik Anda keluar dari dunia
kelam. Ah, lebih baik kita tidak perlu mengungkit-ungkit masa lalu!”
Mendengar ucapan pemburu itu, tiba-tiba saya teringat akan ceritanya dulu. Di
New Orleans dia pernah mengatakan kepada saya, sebelum meninggal ibunya telah
menunjukkan kepadanya jalan menuju kebahagiaan. Tapi dia menempuh jalannya
sendiri. Sekarang dia sendiri mengakui, bahwa dulu dia seorang penjudi dan pengisap
opium. Apakah dia bisa memperoleh kekuatan untuk bertobat setelah memperhatikan
nasib orang lain? Sangat sulit. Saya kira, dulu dia sendiri adalah seorang penjudi
ulung, mungkin juga sampai sekarang. Dan mengenai opium, bukankah tubuhnya
yang kurus kering seperti kerangka itu sudah menjadi bukti bahwa dirinya digerogoti
oleh bubuk kenikmatan itu? Apakah sekarang dia masih mengisap opium secara
sembunyi-sembunyi? Mungkin tidak lagi, karena racun opium mengakibatkan orang
lupa diri selama waktu yang lama. Dan dalam perjalanan kami, saya tahu benar,
bahwa dia tidak memiliki banyak waktu untuk terbuai dalam kenikmatan itu. Mungkin
dulu dia adalah seorang pecandu. Tapi tampaknya sampai sekarang pun dia masih
bergantung pada bahan berbahaya ini. Jika tidak tentu badannya lambat laun kembali
kuat dan berotot. Kali ini saya menatap si Tua dengan pandangan yang lain dari
biasanya. Ada perasaan hormat sekaligus belas kasihan. Betapa berat perjuangannya
melawan kedua setan maksiat itu! Tapi harus diakui, dia memiliki tubuh yang luar
biasa dan mental baja, sehingga racun berbahaya itu tidak mampu
menghancurkannya! Semua pengalaman yang penuh penderitaan dan kerasnya
kehidupan di padang belantara telah terekam dalam sanubarinya. Namun tampaknya
semuanya itu belum berarti dibandingkan dengan perjuangan batinnya sendiri.
Mungkin perjuangannya melawan nafsu jahanam itu sama hebatnya dengan
perjuangan bangsa Indian yang sia-sia melawan kekuatan mukapucat yang tak
terbendung. Dia tahu, setiap perjuangannya selalu berakhir dengan kegagalan. Tapi
meskipun sudah tersungkur di tanah dan tak mampu lagi melawan, dia selalu bangkit
dan memulai lagi yang baru. Old Death! Mulai sekarang nama itu terdengar begitu
mengerikan di telinga saya. Scout terkenal itu ditakdirkan untuk binasa. Kematian
mungkin menjadi jalan terbaik agar dia keluar dari lingkaran setan yang
membelenggunya.
Kata-katanya yang terakhir: “Lebih baik kita tidak perlu lagi mengungkit-ungkit
masa lalu” diucapkannya dengan tegas, sehingga orang Jerman yang tua itu pun tidak
berani membantahnya. Dia menjawab,
“Well, Sir! Sekarang kita akan menghadapi musuh yang sama-sama berbahaya
dan kejam seperti judi dan opium. Tapi untunglah musuh kita kali ini lebih mudah
dikalahkan daripada musuh di masa lalu. Dan mereka pasti akan kita kalahkan. Orang
Kuklux membenci semua yang berbau Jerman. Kita semua harus melawan, bukan saja
mereka yang ditimpa penderitaan karena ulah kaum Kuklux. Mereka adalah makhluk-
makhluk biadab yang anggotanya terdiri dari ribuan atau bahkan jutaan orang.
Memberi mereka pengampunan adalah kesalahan yang fatal, karena pasti mereka
akan membalasnya secara sadis. Pada penyerangan kali ini harus kita tunjukkan,
bahwa kita pun tidak mengenal belas kasihan. Jika perkumpulan rahasia itu dibiarkan
berkembang di sini, maka kita semua akan binasa. Mereka akan menyerang dan
menghabisi kita satu per satu. Karena itu menurut hemat saya, hari ini kita harus
menyiapkan penyambutan yang matang. Mereka harus dibuat kapok, sehingga tidak
berani lagi datang ke mari. Saya harap, kalian sependapat dengan saya.”
Yang lainnya setuju dengan pendapatnya.
“Bagus!” katanya lagi. Dia dibiarkan terus berbicara karena dianggap orang
yang paling tua. “Jadi kita harus mengadakan persiapan sebaik mungkin. Rencana
mereka sajalah yang boleh gagal. Selain itu mereka sendiri pun harus merasakan
akibat dari tindak-tanduknya sendiri. Mungkin ada di antara kalian yang ingin
mengajukan usul? Siapa saja yang mempunyai usul, dia boleh mengungkapkannya.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, pandangan orang itu dan semua yang lain
tertuju kepada Old Death. Sebagai seorang westman berpengalaman, tentu dia tahu
lebih baik bagaimana orang harus menghadapi musuh semacam ini. Dia membalas
tatapan penuh pengharapan dari mereka. Dalam tatapan mereka terkandung
permintaan yang tidak terucapkan. Lalu dia tersenyum menyeringai, mengangguk-
anggukkan kepalanya dan berkata,
“Jika tak ada usul lain, maka saya ingin mengatakan beberapa hal,
Mesch’schurs. Pertama-tama harus kita pikirkan, bahwa mereka tidak mungkin datang
sebelum Master Lange tidur. Bagaimana Anda menutup pintu belakang, Master Lange?
Dengan palang?”
“Tidak, dengan kunci sebagaimana semua pintu yang lain.”
“Well! Pasti mereka pun mengetahuinya. Dalam perhitungan saya, mereka
datang dengan membawa kunci-kunci palsu. Bodoh sekali, jika mereka tidak memiliki
kunci-kunci tersebut. Perkumpulan itu pasti juga memiliki anggota yang berprofesi
sebagai tukang kunci atau yang sekurang-kurangnya mengetahui cara membuka pintu
rahasia. Jadi mereka pasti dapat masuk ke sini. Hal terpenting yang harus kita lakukan
sekarang adalah berunding dan menentukan siasat terbaik untuk menyambut
kedatangan mereka.”
“Tentu saja dengan senjata. Kita langsung menembak mereka!”
“Dan mereka juga akan menembak Anda, Sir! Dari percikan api pada moncong
senapan Anda mereka akan tahu, di mana Anda berdiri, di mana Anda bersembunyi.
Tidak, jangan sekali-kali menembak. Dalam perhitungan saya, cara terbaik
menghadapi mereka adalah dengan menangkap mereka hidup-hidup. Kita tidak perlu
menentang bahaya diterjang oleh peluru-peluru mereka.”
“Anda yakin, ide itu bisa diterapkan?”
“Saya sangat yakin, inilah ide yang paling mudah. Kita bersembunyi di dalam
rumah dan membiarkan mereka masuk. Begitu mereka berada di kamar Anda, kita
segera menutup pintu dan menguncinya dari luar. Beberapa orang dari kita menjaga di
depan pintu ini, sementara yang menjaga di luar, di depan jendela. Jadi mereka tidak
dapat keluar karena terkepung dan terpaksa harus menyerah.”
Orang Jerman tua itu menggelengkan kepalanya tidak setuju dan tetap
bersikeras menembak gerombolan yang mau membobol rumah itu. Old Death
memicingkan sebelah matanya ketika mendengar penolakan si tua itu. Lalu dia
memasang wajah jenaka sehingga semua orang yang melihatnya pasti akan tertawa
geli, seandainya suasananya tidak setegang sekarang.
“Mengapa Anda menunjukkan raut wajah seperti itu, Sir?” tanya Lange.
“Apakah Anda tidak setuju?”
“Ya, Master. Usul dari teman kita ini tampaknya begitu praktis dan mudah
dilaksanakan. Tapi dalam perhitungan saya, yang terjadi nanti justru sangat lain
daripada yang dia bayangkan. Perkumpulan rahasia itu tidak terlalu tolol seperti yang
disangkanya. Dia pikir, bajingan-bajingan itu akan masuk serempak ke dalam lalu
berbaris di depan moncong senapan kita dan siap menjadi sasaran empuk peluru kita.
Jika mereka benar-benar melakukannya, berarti mereka tidak memiliki otak. Saya
justru berpikir sebaliknya, mereka akan membuka pintu belakang perlahan-lahan.
Kemudian satu atau dua orang dibiarkan mengendap-endap ke dalam untuk
memeriksa keadaan. Tentu saja salah satu atau kedua-duanya dapat kita tembak.
Namun yang lainnya pasti berusaha secepat mungkin kabur dari kamar dan akan
kembali lagi untuk membalas dendam. Tidak, Sir, rencana Anda terlalu beresiko. Kita
harus membiarkan mereka semua masuk sehingga mudah ditangkap. Untuk itu saya
juga masih memiliki alasan lain yang sangat kuat dan beralasan. Jika rencana Anda
berhasil, saya pun tidak sampai hati mengirim orang sebanyak itu ke akhirat, tanpa
memberi kesempatan bagi mereka untuk bertobat dan merenungkan dosa-dosanya.
Kita adalah sesama manusia, kita juga umat Kristiani, Mesch’schurs. Kita memang
ingin mengangkat senjata melawan mereka dan membuat mereka tidak berani lagi
datang ke mari. Tetapi hal itu dapat kita lakukan tanpa harus menumpahkan darah.
Jika Anda tetap bersikeras menembak mereka seperti kawanan binatang liar, silahkan
saja. Saya dan teman saya tidak akan ikut campur. Kami akan pergi dan mencari
tempat lain untuk bermalam. Kami tak ingin merasa tertekan karena terus dihantui
rasa bersalah.”
Penjelasan ini sungguh keluar dari hatinya yang paling dalam. Karena itu kata-
katanya mampu menggugah perasaan semua yang hadir. Mereka mengangguk-
anggukkan kepala. Lalu kata si Jerman Tua,
“Kalimat terakhir yang Anda ucapkan tadi benar, Sir, dan hal itu sangat
beralasan. Sebelumnya saya mengira, sambutan semacam itu akan mengusir mereka
untuk selama-lamanya dari La Grange. Tapi saya tidak memikirkan tanggung jawab
moral yang harus kita pikul akibat tindakan itu. Karena itu saya akan menerima usul
Anda, walaupun sebenarnya saya masih ragu-ragu, apakah usul Anda tersebut akan
berhasil.”
“Setiap rencana, bahkan rencana terbaik sekali pun, dapat juga gagal, Sir!
Saya yakin, rencana kita bukan hanya manusiawi, melainkan juga sangat luhur jika
kita membiarkan mereka masuk, kemudian menguncinya dari luar. Dengan cara itu
kita bisa menangkap mereka hidup-hidup. Percayalah, itu jauh lebih baik daripada jika
kita menembak. Pikirkan juga, seluruh gerombolan itu akan menaruh dendam pada
Anda, jika Anda berhasil membunuh begitu banyak anggotanya. Tentu Anda tidak akan
mengusir orang Kuklux itu dari La Grange. Malahan sebaliknya, Anda hanya
mengundang mereka ke sini untuk membalas dendam secara kejam atas kematian
teman-temannya. Karena itu saya minta supaya Anda menuruti rencana saya. Inilah
yang terbaik yang dapat Anda lakukan. Agar tidak ada kendala yang dapat
menggagalkan rencana kita, sekarang saya akan ke luar mengintai di sekeliling rumah
ini. Mungkin akan ditemukan sesuatu yang bisa mempermudah rencana kita.”
“Saya rasa sebaiknya Anda mengurungkan niat itu, Sir!” kata Lange. “Tadi
Anda sendiri mengatakan, mungkin mereka menempatkan seorang mata-mata di luar.
Orang ini pasti akan melihat Anda.”
“Melihat saya?” tanya Old Death sambil tertawa. “Belum pernah saya
mendengar orang berkata seperti itu! Old Death tidak sebodoh itu. Dia tak akan
membiarkan dirinya terlihat, jika sedang memata-matai rumah atau orang! Master, hal
itu menggelikan! Jika Anda memiliki sebatang kapur tulis, coba gambarkan denah
rumah Anda dan halamannya di atas meja, supaya saya mendapat gambaran umum
dan bisa menyusun strategi selanjutnya. Saya akan keluar melalui pintu belakang.
Tunggulah sampai saya kembali. Nanti saya tidak akan mengetuk pintu, melainkan
menggaruknya dengan tangan. Jadi jika ada yang mengetuk pintu, itu pasti orang lain
dan Anda tidak boleh membukanya.”
Lange mengambil sebatang kapur di ambang pintu dan menggambar keadaan
di sekeliling rumah. Old Death memperhatikannya dengan cermat dan tersenyum
puas. Kemudian kedua orang itu pergi ke pintu. Ketika mereka sudah berada di depan
pintu, tiba-tiba Old Death berpaling dan bertanya pada saya,
“Pernahkah Anda mengintai orang, Sir?”
“Belum,” jawab saya bohong karena janji saya kepada Winnetou.
“Jadi sekarang Anda memiliki kesempatan emas untuk melihat sendiri,
bagaimana orang melakukannya. Jika Anda mau, Anda boleh ikut!”
“Jangan, Sir!“ potong Lange. “Perbuatan itu terlalu berbahaya. Teman Anda
baru saja mengaku sendiri bahwa dia tidak berpengalaman dalam urusan ini. Jika
terjadi kesalahan kecil saja, mata-mata itu akan segera melihat Anda berdua dan
hancurlah seluruh rencana kita!”
“Tidak mungkin! Saya memang belum lama mengenal Master muda ini, tapi
saya tahu, dia memiliki potensi yang besar untuk menjadi seorang westman handal.
Dia pasti akan berusaha tidak membuat kesalahan. Ya, tapi jika kini kami pergi
mengintai seorang kepala suku Indian, tentu saya tidak berani mengajaknya. Tapi
saya tegaskan kepada Anda, tak seorang pun di antara kaum Ku-Klux-Klan yang
berpengalaman seperti seorang pemburu prairie. Maka bisa dipastikan, mata-mata itu
juga masih butuh banyak latihan dan keterampilan supaya bisa memergoki kami.
Kalaupun misalnya dia melihat kami, Old Death akan tampil untuk memulihkan
situasinya. Saya akan membawa anak muda ini. Dia harus ikut! Ayo, Sir! Tapi
tinggalkan dulu topi sombrero Anda di sini. Saya pun akan meninggalkan kepunyaan
saya. Anyaman topi yang berwarna menyala bisa berbahaya karena orang akan tahu
di mana kita. Jatuhkan rambut Anda ke atas dahi dan tinggikan kerah baju, sehingga
wajah Anda tertutup. Anda harus tetap mengikuti saya dari belakang dan melakukan
semua yang saya lakukan. Kita lihat saja nanti, apakah orang Klux atau Klex itu bisa
melihat kita!”
Tak ada seorang pun yang berani membantah lagi. Kami berjalan melalui
lorong menuju pintu belakang, lalu Lange melepas kepergian kami. Dia membuka
pintu perlahan-lahan dan setelah kami berada di luar, dia kembali menutupnya. Begitu
kami berada di luar, Old Death langsung berjongkok. Saya pun melakukan yang sama.
Dia mencoba melihat menembusi kegelapan malam. Beberapa kali dia mengendus-
endus dengan hidungnya.
“Dalam perhitungan saya, tidak ada seorang pun di depan kita,” bisik si Tua
sambil menunjuk sebuah kandang di seberang halaman. “Tetapi bagaimanapun juga,
saya harus memeriksanya. Orang harus selalu bertindak hati-hati. Barangkali waktu
kecil Anda pernah belajar meniru suara jangkrik dengan cara menjepit daun alang-
alang di antara dua jari?”
“Ya,” jawab saya pelan.
“Di sana, di depan pintu itu tumbuh banyak rumput. Ambillah sehelai daun dan
tunggulah sampai saya kembali. Jangan beranjak dari tempat itu! Tapi jika terjadi
sesuatu, buatlah bunyi jangkrik. Saya akan segera datang!”
Dia merebahkan dirinya di atas tanah. Dalam posisi merangkak, dia
menghilang dalam kegelapan malam. Setelah sepuluh menit, dia kembali. Anehnya
saya sama sekali tidak melihat ketika dia datang. Hanya dari bau tubuhnya saya tahu,
kalau dia sudah berada di dekat saya.
“Seperti yang saya duga,” bisiknya pelan. “Tak seorang pun terlihat di
halaman, juga di sudut atau di samping rumah. Tetapi di sudut depan jendela kamar
tidur berdiri seseorang. Rebahkan diri Anda dan merangkaklah di belakang saya! Tapi
caranya bukan seperti ular melainkan seperti kadal, yakni merangkak dengan
menggunakan ujung jari tangan dan kaki. Telapak kaki Anda jangan sampai
menyentuh tanah. Lebih dulu periksa tanahnya dengan tangan, biar Anda tidak
tersandung pada ranting. Kancinglah baju Anda rapat-rapat, supaya tidak ada bagian
yang menggelantung ke tanah! Sekarang, mari kita pergi!”
Kami merangkak sampai ke sudut rumah. Di tempat itu Old Death berhenti.
Saya pun ikut berhenti. Beberapa saat kemudian dia menoleh kepada saya dan
berbisik,
“Di sana ada dua orang. Berhati-hatilah!”
Dia kembali merangkak maju dan saya mengikutinya sekali lagi. Di dekat
dinding rumah dia tidak berhenti, melainkan terus merayap menuju pagar tinggi yang
dijalari anggur liar atau tanaman sejenisnya. Pagar itu mengelilingi sebuah kebun. Dari
pagar itu kami merangkak maju dan berusaha sejajar dengan bagian samping rumah,
namun dengan jarak kira-kira sepuluh langkah. Sambil merayap tiba-tiba saya melihat
onggokan berwarna hitam yang kelihatan hampir seperti tenda. Kemudian saya tahu
bahwa benda itu adalah tonggak atau tiang yang ditanam sebagai tempat menjalarnya
kacang panjang. Di tiang-tiang itu terdengar suara orang yang berbisik-bisik. Old
Death mundur sejenak lalu menarik leher baju saya supaya lebih dekat, sampai
mulutnya berada persis di samping telinga saya. Kemudian dia berbisik,
“Lihat, mereka duduk di sana. Kita harus mendengarkan pembicaraan mereka.
Sebenarnya saya bisa pergi ke sana sendirian, karena Anda masih seorang greenhorn
yang dapat merusak semua rencana ini. Tapi dua orang akan mendengar lebih baik
daripada satu orang. Apakah Anda berani merayap sampai begitu dekat sehingga
dapat mendengarkan pembicaraan mereka?”
“Ya,” jawab saya.
“Kalau begitu mari kita coba. Anda mendatangi mereka dari sini dan saya dari
sisi yang lain. Begitu Anda sudah di dekat mereka, tundukkan wajah ke tanah agar
mereka tidak melihat kilatan mata Anda. Namun jika Anda sampai terlihat, mungkin
karena Anda bernapas terlalu keras, maka kita harus segera melumpuhkan mereka!”
“Mereka harus dibunuh?” tanya saya berbisik.
“Tidak. Tidak boleh ada keributan. Keduanya bisa dihabisi dengan pisau, tapi
untuk itu Anda sama sekali belum terampil. Jangan sekali-kali menembak, karena
suara tembakan pistol bisa menimbulkan kecurigaan. Begitu mereka memergoki Anda
atau saya, maka saya akan menyerang salah seorang dan Anda yang lainnya. Cekik
lehernya dengan kedua tangan lalu tekan batang tenggorokannya kuat-kuat sehingga
dia tidak bisa mengeluarkan suara. Untuk melakukan hal itu Anda harus
merobohkannya ke atas tanah. Akan saya katakan pada Anda, apa yang harus Anda
lakukan selanjutnya. Tapi yang paling penting, jangan ada keributan! Saya tahu, Anda
berbadan kekar. Apa Anda yakin dapat merobohkan mereka tanpa menimbulkan
suara?”
“Tentu saja,” jawab saya
“Baiklah. Kalau begitu mari kita mulai, Sir!”
Dia merayap perlahan-pelan mengelilingi tiang kebun kacang. Saya merayap
dari sisi yang lain. Sekarang saya sudah sampai di tempat tiang-tiang yang ditanam
membentuk piramida. Kedua bajingan itu duduk berdekatan, sedang menghadap ke
rumah. Tanpa menimbulkan bunyi, saya berhasil menghampiri mereka. Jarak di antara
kami sangat dekat, bahkan tubuh mereka hanya berada satu hasta dari kepala saya.
Kini saya menelungkup dan menundukkan wajah ke tanah dengan beralaskan kedua
tangan. Saya segera sadar, cara ini memberikan keuntungan ganda. Pertama, kulit
wajah saya yang berwarna terang tidak akan terlihat. Dan kedua, saya bisa
mendengar lebih baik dalam posisi itu daripada jika mendongakkan kepala. Mereka
berbicara dengan berbisik-bisik, namun semuanya bisa saya tangkap.
“Kapten itu tidak perlu lagi kita ganggu,” kata seorang yang duduk paling dekat
dengan saya. “Dia memang telah menurunkan kalian ke darat, tetapi secara umum hal
itu bisa dimengerti karena sebenarnya dia hanya melakukan kewajibannya. Tahukah
kamu, Locksmith, dia memang seorang Jerman yang brengsek! Tak ada untungnya
jika kita membunuhnya, justru sebaliknya kita sendirilah yang akan dirugikan. Jika kita
ingin menyebarkan pengaruh di Texas dan mau tinggal di sini, maka kita tidak boleh
bertindak kasar terhadap orang-orang kapal.”
“Benar! Tepat seperti yang Anda katakan, Capt’n. Orang Indian itu lolos dari
tangan kita, seperti yang sudah saya duga. Tapi tak seorang Indian pun yang mau
pergi dan bermalam di La Grange untuk menunggu keberangkatan kapal pada
keesokan harinya. Sedangkan kedua orang lainnya, anjing Jerman yang ingin kita
gantung itu, pasti masih berkeliaran di tempat ini. Mereka adalah mata-mata dan
harus dihukum mati. Seandainya kita tahu di mana mereka! Seperti udara, mereka
menghilang dari ruang tamu di rumah makan, lalu kabur melalui jendela. Dasar
pengecut!”
“Kita pasti segera menemukan mereka. Untuk itulah si ‘Siput’ tetap tinggal di
rumah makan. Dia tidak akan beranjak dari tempatnya sebelum tahu di mana mereka
bersembunyi. Dia memang dewa pembawa keberuntungan. Berkat jasanya kita
akhirnya tahu bahwa Lange telah menjual rumahnya kepada orang Mexico itu dan
sudah menerima uangnya. Jadi kita bisa mendapat keuntungan berlipat ganda dan
boleh hidup berfoya-foya. Anak si Lange itu seorang perwira dan dia pernah
bertempur melawan kita, karena itu dia juga harus dihukum. Ayahnya telah
membelikannya seragam tentara, kini dia harus membayar mahal semua
kesalahannya. Tapi kita tidak akan menggantungnya. Dia akan dicambuki, sampai
semua daging di punggungnya terkelupas. Kemudian dia dilempar ke luar dan
rumahnya kita bakar.”
“Dia tidak akan dirugikan karena rumah itu bukan lagi miliknya!” bantah
temannya.
“Orang Mexico itu pasti akan lebih kebakaran jenggot jika tak ada lagi orang
yang dikirimnya ke seberang Rio Grande untuk bertempur demi Juarez. Tempat ini
akan kita bumi hanguskan kemudian kita layangkan sepucuk surat ancaman
kepadanya supaya dia sadar. Orang-orang itu sudah diperalat. Tapi Locksmith, apa
kamu benar-benar yakin, bahwa semua kuncimu cocok?”
“Jangan membuat saya malu, Capt’n! Saya sungguh menguasai bidang saya.
Semua pintu rumah itu dapat dibuka dengan kunci palsu yang saya buat.”
“Kalau begitu semuanya sesuai rencana. Seandainya keparat-keparat itu tidur
lebih awal! Orang-orang kita sudah tidak sabar lagi. Mereka sudah pegal-pegal karena
terlalu lama menunggu dalam semak di belakang kandang. Lange telah menanam
pecahan kaca di tempat itu. Saya ingin agar Anda segera pergi dan memberi tanda
kepada teman-teman kita. Saya sendiri akan pergi sekali lagi ke dekat kamar untuk
memeriksa apakah orang-orang Jerman itu masih terjaga. Dasar burung hantu!”
Kapten itu bangkit lalu melangkah perlahan-lahan menuju jendela kamar. Dia
disapa Capt’n oleh rekannya. Dari julukan atau sapaan ini bisa disimpulkan bahwa dia
memegang pucuk pimpinan perkumpulan. Yang seorang lagi dipanggil “Locksmith”.
Kata itu artinya tukang kunci. Tapi mungkin memang itulah namanya. Tapi mungkin
juga karena pekerjaannya sebagai tukang kunci, dia dijuluki demikian. Pada saat dia
sedikit bergerak, saya mendengar suara gemerincing kunci. Jadi dia memiliki kunci-
kunci palsu. Konsentrasi saya tiba-tiba buyar karena kaki saya ditarik dari belakang.
Saya merayap mundur. Ternyata Old Death berbaring di belakang saya, di antara
tiang-tiang. Saya merapatkan wajah ke wajahnya. Dia bertanya dengan suara pelan,
apakah saya mendengar dan mengerti semua pembicaraan mereka. Saya
mengangguk.
“Jadi sekarang kita tahu, apa yang harus kita lakukan. Bajingan itu akan kita
permainkan, sehingga dia hanya bisa menggeleng-geleng kepala tanpa henti seakan
tak percaya. Seandainya Anda bisa diandalkan untuk tugas ini!”
“Percayakan tugas itu kepada saya! Apa yang harus saya lakukan?” tanya
saya.
“Mencekik leher salah seorang dari keduanya!”
“Well, Sir. Akan saya lakukan!”
“Bagus, agar semuanya bisa berjalan dengan lancar, terlebih dahulu saya ingin
menjelaskan bagaimana Anda harus melakukannya. Dengar! Dia pasti tidak akan
datang sampai ke mari, ke tempat tiang-tiang ini!”
Pada saat itu, kapten itu kembali. Untunglah dia segera duduk kembali di
tempatnya semula.
Menurut Old Death, kami tidak perlu lagi menguping pembicaraan mereka. Dia
berbisik ke telinga saya,
“Baik, akan saya jelaskan, bagaimana Anda harus membekuknya. Anda
merangkak ke sana, tapi harus tetap berada di belakangnya. Setelah Anda mendengar
teriakan agak keras dari saya, Anda harus segera mencekik lehernya, tapi dengan cara
yang tepat. Anda mengerti? Kedua ibu jari harus Anda tekan ke tengkuknya sampai
kedua ujungnya beradu. Sedangkan kedelapan jari lain harus Anda cengkeramkan di
sekeliling lehernya. Dengan kedelapan ujung jari itu Anda harus menekan
kerongkongannya kuat-kuat, semampu Anda!”
“Dia pasti akan mati lemas!”
“Tidak mungkin! Secepat itu orang tidak akan mati, apalagi karena cekikan.
Semua penjahat, manusia biadab dan bajingan seperti mereka tergolong binatang
buas yang sangat sulit dibinasakan. Jika Anda sudah menangkapnya, robohkan dia ke
tanah. Dengan cara itu Anda makin mudah melumpuhkannya. Tapi jangan gegabah!
Saya ulangi sekali lagi, Anda harus tetap berada di belakangnya. Dia tidak boleh ditarik
ke tubuh Anda. Anda harus membantingnya ke kiri. Setelah dia roboh dan jatuh
telungkup di tanah, loncatlah segera dan duduklah di atas punggungnya. Saat itu dia
pasti sudah tidak berdaya lagi. Karena Anda masih asing dengan teknik ini, mungkin
dia akan mengeluarkan suara, tapi paling-paling hanya terdengar “beehhh”. Jika dia
tidak bergerak lagi, Anda harus mengawasinya sampai saya datang. Anda sanggup
melakukannya?”
“Jangan khawatir. Dulu saya sering berkelahi!”
“Berkelahi?” kata si Tua heran, “Itu belum berarti apa-apa! Anda jangan lupa
bahwa badan sang Capt’n lebih tinggi daripada yang lainnya. Jangan membuat malu
guru Anda, Sir! Dan jangan sampai semua orang di dalam rumah nanti menertawakan
ketololan Anda. Ayo maju! Tunggu sampai saya memberi tanda!”
Dia kembali merangkak menjauhi saya. Saya merangkak ke tempat semula, di
mana saya tadi berbaring. Ya, saya maju mendekati kapten lalu menekuk rapat kedua
lutut. Kini saya berada dalam posisi siap menyerang.
Kedua orang Ku-Klux itu melanjutkan percakapannya. Rupanya mereka kesal
seperti teman-temannya yang lain, karena sudah menunggu terlalu lama. Lalu
keduanya menyinggung nama kami dan berharap semoga si “Siput” bisa mengendus
tempat persembunyian kami. Pada saat itu saya mendengar Old Death memberikan
tanggapan setengah berbisik,
“Kami ada di sini Mesch’schurs! Waspadalah!”
Dengan cepat saya melompat ke belakang kapten dan mencekik lehernya,
seperti petunjuk Old Death. Sambil menekan ujung jari kuat-kuat ke pangkal
tenggorokannya, saya membantingnya ke tanah. Dengan lutut saya membaliknya
sehingga wajahnya menelungkup ke tanah. Lalu saya langsung menindihnya dengan
lutut. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hanya tangan dan kakinya meronta-
ronta sejenak tetapi kemudian lunglai dan tidak bergerak. Tiba-tiba muncul Old Death
dari depan. Si Tua itu lantas menghantam kepala kapten dengan gagang revolver. Dia
menarik tangan saya,
“Jangan diteruskan, Sir, nanti dia benar-benar mati lemas! Sebagai seorang
pemula, Anda telah melakukan awal yang sangat baik. Kelihatannya Anda memiliki
bakat alam. Dalam perhitungan saya, kelak Anda akan menjadi seorang penjahat
terkenal atau seorang westman tangguh. Pikullah orang ini dan ikutilah saya!”
Dia memikul seorang dan saya memikul seorang lagi, lalu kami kembali ke
pintu belakang. Begitu tiba di sana Old Death mulai menggaruk pintu seperti yang
sudah disepakati. Lange membiarkan kami masuk.
“Apa yang Anda pikul?” dia bertanya pelan. Walaupun gelap, dia tahu kalau
kami sedang memikul sesuatu.
“Lihat saja nanti,” jawab Old Death jenaka. “Tutup dulu pintunya dan
masuklah!”
Betapa terkejutnya mereka, ketika kami meletakkan kedua tawanan tersebut
ke atas lantai papan.
“Astaga!” seru si Jerman tua. “Dua orang Kuklux! Apa mereka sudah mati?”
“Semoga saja tidak,” jawab Old Death. “Anda lihat, saya telah bertindak tepat
dengan membawa Master muda ini. Dia sangat berani, bahkan dia mampu
mengalahkan pemimpin gerombolan itu!”
“Pemimpinnya? Wah, sungguh luar biasa! Tapi, di mana anak buahnya?
Mengapa Anda membawa keduanya kemari?”
“Haruskah saya menjelaskannya lagi kepada Anda? Mudah sekali, kami berdua
yakni saya dan Sir muda ini, akan memakai baju kedua penjahat ini kemudian
menggiring gerombolan yang masih bersembunyi di kandang ke sini.”
“Apakah Anda sudah gila? Anda hanya mempertaruhkan nyawa sendiri.
Bagaimana seandainya mereka tahu bahwa Anda orang Kuklux palsu?”
“Tidak ada yang bakal tahu,” jawab scout itu dengan pasti. “Old Death adalah
manusia cerdik dan Master muda ini pun tidak bodoh meskipun penampilannya kurang
meyakinkan.”
Old Death menceritakan semua yang telah kami dengar dan apa saja yang
telah kami perbuat. Lalu dia menjelaskan rencana selanjutnya kepada mereka. Saya
akan pergi ke belakang kandang dan menyamar sebagai Locksmith untuk memancing
orang-orang Kuklux itu ke dalam rumah. Old Death sendiri akan memakai pakaian
kapten yang ukurannya kebetulan persis sama dengan tubuhnya. Dia akan menyamar
dan memainkan peran sebagai pemimpin gerombolan itu.
“Tentu saja,” Old Death menambahkan, “kita harus berbicara pelan-pelan. Dan
pada waktu berbisik, suaranya harus tetap sama.”
“Baiklah, jika Anda berani melakukannya, silahkan!” kata Lange. “Bukan nyawa
kami yang dipertaruhkan, melainkan nyawa Anda sendiri. Tetapi selama Anda pergi,
apa yang harus kami kerjakan?”
“Pertama-tama, menyelinaplah ke luar dan ambillah beberapa tiang atau balok
yang kuat. Semuanya akan kita gunakan untuk mengganjal pintu kamar, sehingga
pintu tidak bisa dibuka dari dalam. Setelah itu padamkan lampu dan bersembunyilah di
dalam rumah. Itu saja yang harus Anda kerjakan. Apa yang terjadi selanjutnya, belum
dapat diramalkan sekarang.”
Ayah dan anaknya itu pergi ke pekarangan untuk mengambil tiang yang
dimaksud. Sementara itu kami melucuti pakaian kedua tawanan. Pakaian itu berwarna
hitam dan di atasnya dijahit simbol khusus berwarna putih. Pakaian kapten dibubuhi
simbol berupa pedang pada topi, bagian dada dan pahanya. Sedangkan pada pakaian
Locksmith tampak gambar kunci. Jadi pedang adalah simbol untuk sang pemimpin.
Seorang lagi disebut dengan julukan si “Siput”. Dialah yang duduk di rumah makan
untuk memantau tempat persembunyian kami. Dia juga pasti mengenakan pakaian
yang sama, tentu dengan gambar siput. Celana yang dipakai kapten mirip potongan
celana yang biasa dipakai oleh petani di Swiss dengan bagian kaki yang sempit. Ketika
kami menggulungnya sampai ke lutut, tiba-tiba dia siuman. Dia memandang kami
dengan bingung bercampur heran. Lalu dia ingin berdiri dan meraba-raba sekujur
tubuhnya untuk mencari tasnya yang berisi revolver. Tapi Old Death segera
menendangnya sehingga dia terjatuh lagi ke tanah. Lalu dia mengarahkan ujung pisau
Bowie ke dada orang itu sambil mengancam,
“Tenang, anakku! Suara atau gerakan kecil saja yang mencurigakan, maka
besi tajam ini akan menusuk ke dadamu!”
Pria Kuklux itu berumur kira-kira tiga puluh tahun. Janggutnya dipotong
pendek seperti tentara. Potongan wajahnya yang mencolok, berwarna sedikit kehitam-
hitaman dan agak keriput menunjukkan bahwa dia berasal dari daerah Selatan.
Dengan kedua tangannya dia mengelus-elus kepalanya yang nyeri terkena gagang
revolver. Lalu dia bertanya,
“Di mana saya sekarang? Lalu siapakah Anda?”
“Anda berada di dalam rumah Lange, orang yang ingin Anda rampok, boy.
Saya dan anak muda ini adalah orang Jerman, dan sebenarnya kamilah yang ingin
dicari si Siput. Lihat, sekarang engkau berada di tempat yang sudah lama kau impi-
impikan.”
Orang itu menggigit bibirnya. Dia melayangkan pandangan ke sekeliling lalu
tampak bingung dan terkejut. Pada saat itu Lange dan anaknya kembali. Mereka
membawa beberapa tonggak dan sebuah gergaji.
“Tali-tali untuk mengikat sudah ada, cukup untuk dua puluh orang,” kata
Lange.
“Kalau begitu berikan kemari. Untuk sementara cukup dulu untuk kedua orang
ini.”
“Tidak, saya tidak mau diikat!” seru Capt’n sambil berusaha sekali lagi untuk
bangun. Tapi dengan segera Old Death menodongkan pisau dan berkata,
“Jangan coba-coba bergerak! Rupanya orang lupa memberitahu kamu, siapa
saya sebenarnya. Orang memanggil saya Old Death dan engkau akan tahu apa arti
nama itu. Atau apa kau kira, saya bersahabat dengan para pedagang budak atau
orang-orang Kuklux?”
“Jadi... Anda... Old… Old Death?” ulangnya dengan suara terbata-bata karena
terkejut.
“Ya, anakku, sayalah orangnya. Sekarang jangan bertindak bodoh. Saya tahu,
kamu berencana mencambuk Lange hingga tubuhnya hanya menyisakan tulang, lalu
menggantung anaknya kemudian membakar hangus rumah ini. Bagus, jika kamu
berharap mendapat keringanan, maka jangan berbuat yang bukan-bukan.”
“Old Death, Old Death!” katanya sekali lagi dengan wajah pucat pasi. “Kini
tamatlah riwayat saya!”
“Oh, belum. Kami bukan pembunuh yang tidak mengenal perikemanusiaan
seperti kalian. Kami akan membiarkan kalian tetap hidup, jika kalian menyerah tanpa
syarat. Tapi jika kalian tidak menurut, maka besok pagi orang akan melihat mayat
kalian mengapung di sungai. Sekarang pasang telinga baik-baik, apa yang hendak
saya katakan. Jika kamu ingin hidup, maka enyahlah segera dari county9 ini dan kalau
perlu dari daerah Texas. Dan jangan pernah kembali lagi! Jika kamu melanggarnya,
maka seluruh anggotamu akan turut binasa. Sekarang saya akan memancing mereka
ke sini. Mereka pun akan ditawan seperti dirimu. Perintahkan agar mereka menyerah.
Jika kamu menolak, maka kami akan menembaki kalian dengan membabi buta,
seperti menembak kawanan merpati liar di atas pohon!”
9 Sebuah bentuk daerah pemerintahan.
Kami mengikatnya dan menyumbat mulutnya dengan sepotong kain. Yang
seorang lagi rupanya telah sadar, tapi dia lebih suka diam. Dia juga diikat dan
disumbat mulutnya. Kemudian keduanya digotong ke tempat tidur yang biasanya
dipakai Lange dan anaknya. Lalu mereka diikat kuat-kuat pada tempat tidur sehingga
tidak dapat bergerak sama sekali. Sebuah selimut dibentang di atas tubuh mereka
sampai ke leher.
“Bagus!” Old Death tertawa puas. “Sekarang sandiwara bisa dimulai. Kita akan
membuat bedebah-bedebah itu tercengang, jika mereka akhirnya tahu, bahwa yang
sedang tidur pulas di sini ternyata temannya sendiri. Ini akan menjadi tontonan yang
sangat menyenangkan! Tapi katakan, Master Lange, jika mereka sudah tertangkap,
bagaimana kita dapat berbicara dengan mereka, tanpa terlihat dan tersentuh oleh
mereka, tapi pada saat yang sama kita tetap bisa mengawasi mereka?”
“Hmmm!” orang yang ditanya bergumam lalu menunjuk ke atap. “Dari atas
sana. Atap itu hanya tersusun dari lembaran-lembaran papan. Kita bisa membongkar
salah satu di antaranya.”
“Bagus, mari kita keluar. Bawalah senjata kalian. Naiki tangga itu dan
tinggallah di sana sampai tiba saatnya untuk bertindak. Tapi sebelumnya kita harus
menyiapkan palang kayu yang pas untuk pintu.”
Beberapa tiang dipotong pendek menggunakan gergaji sehingga menjadi
ukuran yang sesuai dengan rencana kami. Kemudian persiapan dimulai. Saya
mengenakan celana dan baju Locksmith, sedangkan Old Death baju bosnya. Tak lupa
saya memasukkan rangkaian kunci palsu ke kantong celana.
“Anda sama sekali tidak memerlukannya,” kata Old Death. “Anda bukan
seorang tukang kunci, bukan pula seorang pencuri, dan Anda akan ketahuan karena
kurang terampil. Lebih baik cabutlah kunci asli dari gagang pintu dan bawalah. Tapi
buatlah seolah-olah Anda membuka dengan kunci palsu. Pisau dan revolver kita bawa.
Sedangkan senjata kita dititipkan saja buat sobat-sobat kita. Mereka segera ke atap
dan membongkar sebilah papan begitu kita keluar rumah. Namun terlebih dahulu
semua lampu harus dipadamkan.”
Perintah itu segera dijalankan. Lalu pintu dibuka agar kami bisa keluar. Setelah
tiba di luar, saya mengunci semua pintu di rumah itu. Saya juga membawa tiga kunci,
yakni kunci pintu depan, kunci kamar samping dan kunci kamar tidur. Old Death
memberikan saya petunjuk-petunjuk secara lebih gamblang daripada sebelumnya.
Ketika terdengar suara papan di atap mulai dibongkar, kami segera berpisah. Dia pergi
ke bagian samping rumah, di mana berdiri tiang-tiang untuk kacang, sedangkan saya
berjalan melalui pekarangan untuk menjemput “para sahabat saya” yang sudah tidak
sabar lagi menunggu. Di sana saya berbelok menuju ke kandang. Dengan sengaja
saya berjalan dengan langkah yang agak keras supaya didengar dan ditegur. Dengan
cara ini mereka tidak menaruh curiga. Ketika saya mencapai pojok rumah, hampir saja
saya tersandung pada tubuh seseorang yang tiba-tiba bangkit dari tanah.
“Stop!” katanya. “Apakah itu kamu, Locksmith?”
“Yes. Sekarang kalian boleh ke sana, tetapi harus pelan-pelan.”
“Saya akan melapor dulu pada letnan. Tunggu di sini!”
Dia menghilang dengan diam-diam. Jadi mereka juga memiliki seorang letnan!
Tampaknya Ku-Klux-Klan memiliki struktur organisasi seperti militer. Belum sampai
satu menit, datang lagi seorang. Dengan suara berbisik, dia berkata,
“Kita telah lama menunggu. Apakah orang-orang Jerman biadab itu sudah
tidur?”
“Ya! Bahkan sangat nyenyak sekarang. Hari ini mereka terlalu banyak minum
brandy.”
“Kalau begitu, pekerjaan kita akan lebih mudah. Bagaimana dengan pintu-
pintunya?”
“Semuanya sudah beres.”
“Kalau begitu kita bisa pergi sekarang. Waktu sudah menunjukkan pukul satu.
Dan penyerangan yang sama akan terjadi di rumah Cortesio seperti yang sudah
direncanakan. Tunjukkan kami jalannya!”
Di belakangnya muncul sekelompok orang yang menyamar dan mereka segera
mengikuti saya. Ketika kami tiba di dekat rumah, Old Death berjalan pelan-pelan
menghampiri kami. Dalam kegelapan tak seorang pun yang dapat membedakannya
dengan sang kapten.
“Ada perintah khusus, Capt’n?” tanya orang kedua.
“Tidak,” jawab Old Death dengan nada yang pasti dan penuh percaya diri. “Kita
baru akan bertindak setelah mengetahui situasi di dalam rumah. Ayo, Locksmith, kita
harus membuka pintu rumah itu.”
Saya melangkah ke pintu sambil memegang kunci asli. Namun tentu saja
berlagak seolah-olah berkali-kali saya kesulitan membukanya. Setelah pintu itu
berhasil dibuka, mereka dibiarkan masuk. Saya dan Old Death tetap berdiri di luar.
Letnan juga berdiri bersama kami. Ketika semua sudah masuk dengan pelan-pelan, dia
bertanya,
“Haruskah kita nyalakan lenteranya?”
“Untuk sementara ini hanya milik Anda.”
Kemudian kami melangkah masuk. Saya kembali menutup pintu namun tidak
menguncinya. Dari saku celananya letnan mengeluarkan sebuah lentera yang terang
cahayanya.
Pakaiannya ditandai dengan gambar putih berbentuk pisau Bowie. Mereka
semua berjumlah lima belas orang. Tiap orang memakai simbol yang berbeda. Ada
simbol peluru, bulan sabit, salib, ular, bintang, katak, roda, hati, gunting, burung,
binatang-binatang berkaki empat dan figur-figur lain. Tampaknya letnan senang
memberi perintah. Sementara yang lain diam berdiri, dia menerangi sekelilingnya dan
kemudian bertanya,
“Haruskah seseorang berjaga di pintu?”
“Untuk apa?” tanya Old Death. “Tidak perlu. Locksmith sudah menguncinya,
jadi tak seorang pun dapat masuk ke sini.”
Dengan segera saya menguncinya untuk meyakinkan letnan itu, tetapi kunci
itu saya biarkan tertancap pada pintu.
“Kita semua harus masuk,” kata Old Death. “Pandai besi biasanya orang-orang
yang sangat kuat.”
“Hari ini perilaku Anda lain dari biasanya, Capt’n!”
“Karena situasinya juga lain. Ayo maju!”
Dia mendorong saya ke pintu kamar dan peristiwa yang sama pun kembali
terulang. Saya berbuat seolah-olah saya kesulitan menemukan kunci yang cocok. Lalu
kami semua masuk. Old Death mengambil lentera dari tangan letnan dan
mengarahkan ke pintu kamar.
“Ke sana!” katanya. “Tapi pelan-pelan!”
“Bukankah sebaiknya kita juga mengeluarkan lentera-lentera yang lain?”
“Jangan, nanti setelah kita tiba di kamar.”
Old Death mencegahnya supaya orang yang sedang tidur pulas itu tidak segera
dikenali, walau kamar tidurnya mampu menampung kelima belas orang itu. Yang
penting sekarang, bagaimana memasukkan semua orang itu sehingga mereka tidak
harus terkepung di lorong rumah. Sekarang saya membuka pintu kamar dengan lebih
pelan dan sangat berhati-hati. Pintu berhasil dibuka. Old Death membiarkan cahaya
lentera menerangi kamar tidur. Sejenak dia melongok ke dalam dan berbisik,
“Mereka sedang tidur. Ayo, cepat masuk! Tapi pelan-pelan! Letnan lebih dulu!”
Dia tidak memberikan kesempatan kepada letnan untuk membantah dan
berpikir. Orang itu ditariknya masuk dan yang lain mengikutinya sambil berjalan
berjinjit. Setelah orang terakhir masuk, saya segera menutup pintu lalu menguncinya.
“Cepat ambil baloknya!” kata Old Death.
Potongan balok itu terletak di sana dan cukup panjang, sehingga dapat dipakai
untuk mengganjal bingkai jendela dan daun pintu. Kami melakukannya dengan baik.
Mungkin hanya seekor gajah yang mampu mendobrak pintu itu. Saya cepat-cepat
pergi ke luar menuju ke tangga.
“Anda bisa mendengarkan saya?” tanya saya sambil menengadah ke atap.
“Mereka sudah masuk perangkap. Turunlah!”
Mereka melompat turun dengan tergesa-gesa.
“Mereka semua terkurung di kamar tidur. Tiga orang dari kalian harus segera
ke luar, ke depan jendela untuk menahan jendela itu dengan palang. Jika ada yang
ingin melompat melalui jendela, langsung tembak!”
Saya membuka pintu belakang dan tiga orang segera pergi keluar. Yang lain
mengikuti saya ke ruang tengah. Pada saat itu dari dalam kamar terdengar suara yang
sangat gaduh. Rupanya bajingan-bajingan itu sudah sadar bahwa mereka terkurung.
Mereka mengeluarkan lentera dan dengan bantuan cahaya tersebut mereka mengenali
siapa yang terbaring di tempat tidur. Caci maki dan sumpah serapah terdengar
memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu pintu pun digedor-gedor dengan keras.
“Buka, buka, kalau tidak semuanya akan kami hancurkan!” terdengar teriakan
dari dalam. Ketika ancaman mereka sama sekali tidak membuahkan hasil, mereka
mencoba mendobrak pintu. Tetapi tentu saja pintu tidak goyah sedikit jua, tiang
penopangnya berdiri terlalu kokoh. Lalu kami mendengar mereka membuka jendela
dan mencoba mendorong daun jendela.
“Tidak bisa!” teriak seseorang dengan marah. “Jendela ini telah dipalang dari
luar”.
Dari luar terdengar teriakan teman kami yang mengancam,
“Mundurlah dari jendela! Kalian sudah terperangkap. Jika ada yang ingin
menerobos jendela, dia akan ditembak!”
“Ya, “ sahut Old Death dengan keras dari dalam kamar. “Pintu ini juga dijaga.
Di sini berdiri cukup banyak orang yang siap mengirim kalian ke neraka. Tanyakan
pada Capt’n, apa yang harus kalian lakukan!”
Lalu dengan suara pelan dia berbisik kepada saya,
“Mari ikut saya ke atas. Bawa lentera dan senapan Anda! Teman-teman yang
lain boleh menyalakan lampu di sini.”
Kami menuju ke atas, ke kamar loteng yang berada tepat di atas kamar tidur.
Dengan sangat mudah kami menemukan papan yang dibongkar. Setelah lentera kami
ditutup dan topeng penutup wajah diturunkan, kami menyingkirkan papan itu. Kini
kami dapat melihat kamar tidur di bawahnya yang terang karena lentera-lentera
gerombolan itu.
Mereka berdiri berdesak-desakan. Ikatan dan sumbat mulut dari kedua
tawanan sudah dilepaskan. Kapten berbicara kepada anak buahnya dan perintahnya
terdengar tegas.
“Oho!” kata letnan itu lebih keras. “Kita harus menyerah! Memangnya berapa
jumlah musuh yang harus kita hadapi?”
“Cukup banyak sehingga bisa menembak mati kalian semua hanya dalam lima
detik!” teriak Old Death dari atas.
Semua mata menengadah ke atas. Pada saat itu terdengar bunyi tembakan
dari luar, lalu disusul tembakan kedua. Old Death segera memahami maksud dari
tembakan itu. Dia berkata,
“Kalian dengar itu?” lanjutnya. “Teman-teman kalian juga sudah ditembak di
rumah Cortesio. Seluruh penduduk La Grange kini bangkit melawan kalian. Semua
orang sudah tahu bahwa kalian datang ke sini dan mereka sudah siap menyambut
kalian tanpa kalian duga. Kami tidak membutuhkan Ku-Klux-Klan. Di kamar di
sampingmu ada dua belas orang, di luar di depan jendela ada enam dan kami di atas
atap berjumlah enam orang. Nama saya Old Death. Mengerti? Saya memberi waktu
sepuluh menit. Letakkan senjata kalian, maka kalian akan kami perlakukan dengan
baik. Tapi jika kalian menolak, maka kami akan menghujani kalian semua dengan
peluru. Selanjutnya tidak ada lagi penjelasan dari saya, ini ucapan saya yang terakhir.
Pikirkan baik-baik!”
Dia kembali menutup atap dengan papan itu lalu berbisik kepada saya,
“Sekarang cepat turun dan bantu Cortesio!”
Kami juga membawa dua orang lain sehingga hanya tinggal Lange dan
anaknya di kamar itu. Dua orang yang bertugas di dekat jendela juga ikut, karena
untuk sementara satu penjaga saja sudah cukup. Jadi jumlah kami lima orang. Tiba-
tiba terdengar lagi bunyi tembakan. Kami merangkak ke sana dan memergoki empat
atau lima orang yang sedang menyamar. Dari belakang rumah Cortesio pun datang
lima orang lain. Salah seorang darinya berteriak keras,
“Mereka juga menembak dari belakang rumah. Kita tidak bisa masuk ke
dalam!”
Saya menelungkup ke tanah dan merangkak lebih dekat. Lalu saya mendengar
salah seorang dari mereka yang berdiri di depan menjawab,
“Sialan! Siapa yang mengira semuanya akan menjadi seperti ini? Orang Mexico
itu telah mengendus gelagat kita dan dia membangunkan penduduk dengan bunyi
tembakannya. Lihat, di rumah penduduk lampu-lampu kembali dihidupkan. Di
belakang sana bahkan sudah terdengar derap langkah orang. Dalam beberapa saat
kita akan terkepung. Mari kita pergi sekarang. Kita dobrak saja pintu itu dengan
gagang senapan! Kalian setuju?”
Saya tidak menunggu jawaban mereka. Dengan cepat saya merangkak
kembali mendapati teman-teman saya dan meminta mereka,
“Mesch’schurs! Cepat, mari kita hadang kawanan itu dan pukul mereka dengan
gagang senapan! Mereka ingin mendobrak pintu rumah Cortesio.”
“Well, well! Ayo maju!” jawab mereka. Beberapa saat kemudian gagang
senapan sudah melayang dengan cepat seperti sambaran petir dan menghantam
kepala bajingan yang kebingungan itu. Mereka lari tercerai-berai sambil berteriak dan
meninggalkan keempat temannya yang cedera dan tidak bisa lari. Semua senjata
mereka kami lucuti. Kemudian Old Death melangkah ke pintu rumah Cortesio dan
mengetuknya.
“Siapa di luar?” terdengar seseorang bertanya dari dalam.
“Old Death, Sennor. Kami sudah mengusir semua bedebah yang ingin
merenggut nyawa Anda. Mereka sudah kabur. Tolong bukakan pintunya!”
Pintu dibuka dengan hati-hati. Pria Mexico itu segera mengenali Old Death
meskipun scout itu masih menyamar dengan celana dan kemeja kapten. Lalu dia
bertanya,
“Benarkah mereka sudah pergi?”
“Sudah sangat jauh. Tapi empat orang berhasil kami tangkap. Apakah Anda
tadi melepaskan tembakan?”
“Ya. Syukurlah, Anda telah mengingatkan saya. Jika tidak, pasti nasib saya
menjadi lain. Saya menembak di depan rumah dan pelayan Negro saya di belakang,
sehingga mereka tidak bisa masuk. Lalu dengan jelas saya melihat Anda datang
menyerang mereka.”
“Ya, kami telah membebaskan Anda dari bahaya. Sekarang bantulah kami!
Mereka tidak akan kembali lagi ke rumah Anda. Tapi masih ada lima belas orang yang
kami tahan di sana. Dan kami tak ingin mereka lolos. Suruh pelayan Negro itu berlari
dari rumah ke rumah dan membuat suara gaduh. Seluruh penduduk La Grange harus
bangkit dan menghukum penjahat-penjahat itu.”
“Kalau begitu dia harus pergi mencari sherif. Dengar itu, orang-orang sudah
datang! Saya juga akan segera ke sana, Sennor.”
Dia masuk lagi ke rumahnya. Dari arah kanan datang dua orang dengan
senjata di tangan dan bertanya apa maksud dari tembakan tadi. Setelah kami
memberikan penjelasan, mereka langsung menyatakan siap menolong kami. Bahkan
penduduk La Grange yang pro sesessionis pun tidak lagi berpihak pada orang-orang
Ku-Klux karena perbuatan pengikutnya yang secara politis sangat kejam. Kami
mencengkeram kerah baju kedua orang yang terluka itu dan menyeretnya ke kamar
Lange. Seorang dari mereka berusaha mempengaruhi kami dengan dalih, sampai
sekarang orang-orang Ku-Klux tidak berbuat onar. Sennor Cortesio datang kemudian
dan segera disusul oleh penduduk La Grange. Mereka datang berduyun-duyun,
sehingga kamar itu tidak cukup lagi untuk menampung semuanya. Kebanyakan dari
mereka harus tetap tinggal di luar. Suara orang-orang itu menimbulkan kegaduhan,
ditambah lagi dengan derap langkah yang terburu-buru ke sana kemari, sehingga
orang-orang Ku-Klux dapat menduga apa yang kini terjadi. Old Death mengajak saya
kembali ke atas loteng. Setelah papan disingkirkan, kami melihat wajah-wajah yang
putus asa. Para tawanan itu bersandar di dinding, ada yang duduk di tempat tidur atau
merebahkan diri di lantai dan ada lagi yang menundukkan kepala.
“Sekarang,” kata Old Death, “sepuluh menit sudah lewat. Apa yang kalian
putuskan?”
Tak terdengar jawaban. Salah seorang memaki-maki dengan kasar.
“Semuanya diam? Baik, saya mengartikannya bahwa kalian tidak mau
menyerah. Kalau begitu kami mulai menembak.”
Dia membidikkan senjatanya dan saya pun melakukan yang sama. Anehnya,
tak seorang pun dari mereka yang meraih senjatanya dan balas membidik ke arah
kami. Bajingan-bajingan itu ternyata pengecut. Mereka hanya berani melawan orang-
orang yang tidak bersenjata.
“Jawablah sekarang atau saya tembak!” teriak Old Death mengancam. “Ini
kata-kata saya terakhir.”
Tak seorang pun menjawab. Lalu Old Death berbisik kepada saya,
“Tembak saja mereka. Kita harus mencederai mereka, jika tidak mereka tidak
akan patuh kepada kita. Bidiklah tangan sang letnan! Saya sendiri akan membidik
Capt’n-nya!”
Kedua tembakan kami melesat secara bersamaan. Peluru-peluru kami tepat
mengenai sasaran. Kedua perwira itu berteriak keras, lalu semua anak buahnya ikut
berteriak dan menjerit panik. Rupanya tembakan kami terdengar juga di kejauhan.
Orang-orang mengira, kami sedang terlibat baku tembak dengan orang Ku-Klux.
Karena itu terdengar tembakan sahutan dari dalam rumah dan di luar jendela. Peluru-
peluru beterbangan menembus pintu rumah dan jendela menuju ke kamar tidur.
Beberapa Ku-Klux terkena timah panas. Mereka semua merebahkan diri ke lantai agar
terhindar dari peluru, lalu berteriak keras seolah-olah mereka akan dipanggang di
tiang siksaan. Kapten berlutut di depan tempat tidur. Dia membalut tangannya yang
berdarah dengan sapu tangan linen lalu menengadah dan berkata kepada kami,
“Hentikan! Kami menyerah!”
“Bagus!” jawab Old Death. “Semuanya minggir dari tempat tidur! Buang
senjata kalian ke atasnya, setelah itu baru kalian akan digiring ke luar. Siapa yang
coba-coba menyimpan senjatanya secara diam-diam, dia harus siap-siap menerima
peluru di tubuhnya! Kalian dengar, di luar sana sudah berdiri ratusan orang. Kalian
hanya bisa selamat seandainya menyerah tanpa syarat.”
Situasi yang dihadapi perkumpulan rahasia itu benar-benar tidak memberikan
pilihan lain. Tak ada kemungkinan untuk melarikan diri. Mereka tahu hal itu. Tapi jika
mereka menyerah, apa yang akan kami lakukan pada diri mereka? Rencana mereka
belum dilaksanakan. Jadi mereka tidak bisa divonis bersalah atas suatu tindakan yang
belum dilakukan. Tentu saja lebih baik jika mereka menyetujui tawaran Old Death
daripada mencoba melakukan hal yang bodoh yaitu dengan menerobos kepungan
penduduk La Grange. Resiko yang harus mereka tanggung akan jauh lebih besar.
Akhirnya mereka melempar pisau dan senjatanya ke tempat tidur.
“Bagus, Mesch’schurs!” seru Old Death. “Dan sekarang dengarkan, saya akan
menembak siapa saja yang coba-coba bergerak untuk mengambil senjatanya setelah
pintu dibuka. Baik, tunggu sebentar.”
Dia menyuruh saya ke ruang tengah untuk menyampaikan kepada Lange agar
dia segera membuka pintu supaya orang-orang Kuklux bisa keluar. Setelah itu mereka
langsung ditahan. Ternyata hal ini tidak semudah yang kami bayangkan. Sepanjang
lorong rumah yang diterangi dengan lentera-lentera itu penuh dijejali manusia. Selain
topi, saya pun masih mengenakan pakaian Locksmith, sehingga orang mengira bahwa
saya juga seorang anggota perkumpulan rahasia itu. Karena itu saya langsung
diserang. Mereka sama sekali tidak menghiraukan penjelasan saya. Saya ditinju dan
ditendang berkali-kali, sehingga bagian tubuh yang terkena masih terasa sakit hingga
beberapa hari kemudian. Bahkan mereka bermaksud menyeret saya ke depan rumah
untuk digantung di sana.
Posisi saya sangat terjepit, karena para penyerang itu tidak mengenali wajah
saya. Terutama seorang laki-laki yang tinggi dan berbadan kekar yang terus menerus
meninju saya di bagian samping sambil berteriak,
“Seret dia keluar, keluar! Pohon-pohon itu mempunyai dahan-dahan yang
bagus, indah, dan kuat yang tentu tidak akan patah jika seorang manusia jahat seperti
ini digantung di sana!”
Sambil berkata, dia mendorong saya ke pintu belakang.
“Tapi, Sir,” teriak saya. “Saya bukan anggota Kuklux. Tanyakan saja pada
Master Lange!”
“Dahan yang bagus, dahan yang besar!” jawabnya sambil menghadiahkan
sebuah pukulan ke pinggang saya.
“Saya mohon, bawalah saya ke kamar Master Lange! Saya memakai pakaian
ini hanya untuk...”
“Benar-benar dahan yang sangat indah! Dan seutas tali pun mudah ditemukan
di La Grange ini. Seutas tali dari rami yang bagus, halus tapi benar-benar kuat!”
Dia kembali mendorong saya dan memukul saya berkali-kali di bagian yang
sama. Lama-kelamaan kesabaran saya hilang. Sikap orang itu bisa mempengaruhi
orang lain sehingga akhirnya saya betul-betul digantung. Jika saya dibawa keluar,
pasti saya akan dikeroyok.
“Tuan,” teriak saya sekali lagi. “Anda tidak berhak memperlakukan saya seperti
ini! Saya mau pergi ke Master Lange, mengerti?”
“Dahan yang kokoh! Tali yang tak ada tandingannya!” dia berteriak lebih
lantang sambil memukul keras ke rusuk saya. Sekarang darah saya benar-benar
mendidih. Dengan sekuat tenaga, saya meninjunya tepat pada hidung. Dia pasti sudah
terlempar dan jatuh ke lantai, jika tempat ini cukup luas. Di sana orang berdiri
berhimpit-himpitan, namun saya menemukan tempat yang sedikit lapang. Saya harus
menggunakan kesempatan ini. Dengan sekuat tenaga, saya maju dan berteriak sambil
meninju, menendang, dan memukul membabi buta ke sekeliling sehingga membuat
mereka melangkah mundur sejauh mungkin. Saya terus maju melalui lorong yang
sempit dan akhirnya mencapai kamar Lange. Namun ketika saya berusaha menerobos
ke depan, tiba-tiba pintu itu tertutup dengan sendirinya. Tubuh saya babak belur
dihajar oleh pukulan orang-orang yang masih sempat menjangkau saya. Seorang
Kuklux palsu saja sudah dihajar sampai babak belur seperti ini, betapa parahnya nasib
seorang Kuklux sungguhan! Pria berbadan kekar tadi kembali memburu saya dengan
langkah cepat. Dia berteriak seperti babi jantan yang sedang mengamuk. Dia tiba di
kamar Lange hampir bersamaan dengan saya. Ketika melihatnya, Lange bertanya,
“Astaga, apa yang terjadi, Sir? Mengapa Anda menjerit seperti itu? Mengapa
hidung Anda berdarah?”
“Gantung saja si Kuklux ini di pohon!” jawabnya dengan marah. “Dia telah
mematahkan tulang hidung saya, merontokkan dua, tiga, atau mungkin empat gigi
saya. Gigi yang sangat indah! Satu-satunya gigi yang masih saya miliki adalah gigi
bagian depan! Gantung dia!”
Kini kemarahannya kedengaran lebih beralasan daripada sebelumnya, karena
memang banyak darah keluar dari hidungnya.
“Orang ini?” tanya Lange sambil menunjuk ke arah saya. “Tapi, Sir yang
terhormat, dia itu bukan seorang Kuklux! Dia teman kita. Berkat jasanya kita berhasil
menangkap bajingan-bajingan itu. Tanpa bantuannya, kami dan Sennor Cortesio pasti
sudah menjadi mayat dan rumah-rumah kita pun sudah menjadi abu!”
Orang itu membelalakkan matanya. Mulutnya yang berdarah menganga lebar.
Dia menunjuk ke arah saya dan bertanya,
“Tanpa... tanpa... orang ini?”
Famoses Tableau10! Semua orang tertawa. Dengan sapu tangan, dia mengusap
peluh di kening serta darah yang keluar dari mulut dan hidungnya. Saya memijat
bagian-bagian tubuh saya yang terkena pukulan. Beberapa hari kemudian tubuh saya
bengkak dan hampir mirip dengan tubuh si pria kekar itu.
“Sekarang baru Anda tahu, Sir!” saya membentaknya. “Tadi Anda seperti
orang gila dan hendak menggantung saya! Karena pukulan-pukulan Anda yang keras
tadi, saya merasakan bilur-bilur di sekujur tubuh saya. Saya seperti seorang ksatria
yang harus menanggung banyak penderitaan, Sir!”
Orang itu tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mengusap mulutnya
beberapa kali dan tanpa suara memperlihatkan sesuatu di tangan kirinya. Di telapak
tangannya tampak dua gigi depannya. Hanya kedua gigi depan itulah yang
sebelumnya dimilikinya. Sekarang saya juga tidak dapat menahan tawa, karena
tampangnya sangat menyedihkan. Akhirnya saya kemudian menyampaikan perintah
kepada orang-orang di situ.
Semua tali yang tersedia telah dikumpulkan. Tali-tali itu berserakan di sudut.
Ada tali, kain linen dan tambang, dan semuanya bisa dipakai.
“Sekarang, suruh mereka keluar!” perintah saya. “Tetapi satu persatu. Setiap
orang harus segera diikat begitu keluar. Old Death sama sekali tidak mentolerir kalau
kita bertele-tele menjalankan perintahnya. Sherif pasti segera datang. Pelayan
Cortesio yang berdarah Negro itu sudah pergi menjemputnya!”
“Sherif?” tanya Lange keheranan. “Dia sudah ada di sini! Jadi Anda belum tahu
siapa orang yang mendorong Anda tadi? Dialah sherif kita!”
Dia menunjuk kepada pria berbadan kekar tadi.
“Ya ampun, Sir!” kata saya. “Jadi Anda seorang sherif? Anda kepala eksekusi
tertinggi di county nan indah ini? Semestinya Anda bertindak sesuai dengan hukum
dan undang-undang yang berlaku. Tapi nyatanya Anda ingin mengangkat diri sebagai
hakim dan ingin menjatuhkan hukuman gantung pada orang lain tanpa proses hukum?
Ini kesalahan yang fatal! Tidak mengherankan, jika orang-orang Kuklux itu berani
menyusup ke daerah Anda!”
Tak terlukiskan betapa malunya dia. Dia tidak mampu berbuat apa-apa, selain
memperlihatkan kedua giginya sekali lagi lalu berkata dengan terbata-bata,
“Pardon, Sir! Saya khilaf, karena Anda memiliki tampang kriminal!”
“Terima kasih! Tapi akibat kesalahan Anda sendirilah, maka kini wajah Anda
lebih jelek daripada sebelumnya. Mulai sekarang jalankan kewajiban Anda dengan
10 Perancis: Pertunjukan hebat.
benar supaya Anda tidak dicurigai karena ingin menggantung orang baik-baik, dan
dengan itu dikira bersekutu dengan orang Kuklux secara diam-diam!”
Kini dia kembali sadar akan tugas dan tanggung jawab yang harus dipikulnya
sebagai seorang sherif.
“Oho!” teriaknya sambil membusungkan dada. “Saya, sherif dari county Fayett
yang sangat indah ini dituduh memihak orang-orang Kuklux? Akan saya buktikan
bahwa tuduhan itu tidak benar. Hukuman yang akan dijatuhkan kepada semua
bajingan itu harus diputuskan malam ini juga, tidak bisa ditunda-tunda. Minggirlah,
Mesch’schurs, supaya kami bisa pergi menemui mereka. Keluarlah dan pergilah ke
lorong, tetapi arahkan senapan kalian ke pintu, supaya para bajingan ini melihat, siapa
yang kini memegang kendali di rumah ini. Ambillah tali dan bukakan pintunya!”
Perintah itu segera dilaksanakan. Enam ujung senjata berlaras ganda
ditodongkan ke pintu. Kini sherif masuk ke kamar, lalu disusul Master Lange dan
anaknya, Sennor Cortesio, kedua orang Jerman yang sejak awal bahu-membahu
menolong kami, dan yang terakhir saya. Di luar, orang-orang berteriak dan menuntut
supaya sidang dipercepat. Karena itu jendela dibuka agar mereka bisa melihat bahwa
kami tengah menjalankan kewajiban kami. Kini tiang-tiang pengganjal pintu
disingkirkan. Saya membuka pintu kamar. Tidak satu pun anggota Kuklux yang mau
keluar lebih dulu. Saya memerintahkan kapten dan letnan untuk maju. Keduanya telah
membalut tangannya yang terluka dengan sapu tangan. Selain mereka, masih ada tiga
atau empat orang lain lagi yang terluka. Old Death masih duduk di atas loteng dan
mengarahkan senjatanya ke bawah melalui lubang di loteng. Berkat siasatnya yang
begitu cemerlang, kini kami berhasil mengikat tangan para tawanan itu ke balik
punggung. Kemudian mereka digiring melewati keempat rekannya yang juga terikat,
setelah dibekuk di rumah Cortesio dan dibawa ke mari. Orang-orang yang berdiri di
luar menyaksikan semua yang terjadi dan segera menyambutnya dengan teriakan
Hallo dan Hore. Kami masih membiarkan para tawanan mengenakan topengnya,
kecuali kapten dan letnan, supaya semua bisa melihat wajah mereka. Atas permintaan
dan usaha saya, maka didatangkan seorang pria yang kemudian diperkenalkan kepada
saya sebagai ahli bedah. Orang ini berkata, dia mampu membalut, mengoperasi, dan
menyembuhkan luka dalam waktu yang singkat. Dia akan memeriksa pasiennya.
Tetapi sebelumnya dia menyuruh separuh penduduk La Grange untuk mengobrak-
abrik rumah masing-masing guna mencari kapas, serat rami, kain pembalut, plester,
lemak, sabun, dan barang-barang lain yang biasa diperlukan untuk mengobati orang-
orang sakit.
Setelah semua orang Kuklux itu diobati, maka timbul pertanyaan, ke mana
mereka harus dibawa. Di La Grange tidak ada penjara yang bisa menampung sembilan
belas orang sekaligus.
“Bawa saja mereka ke bar di rumah makan!” sherif mengajukan usul. “Yang
paling penting sekarang, urusan ini harus diselesaikan secepat mungkin. Kita akan
membentuk dewan pengadilan dengan anggota yang diangkat sumpahnya lalu
menjatuhkan hukuman secepatnya. Kasus yang kita tangani kali ini sangat lain.
Karena itu prosedur hukumnya juga dibuat agak lain.”
Berita tentang acara pengadilan itu segera tersiar ke mana-mana. Maka orang
datang berduyun-duyun dan berdesak-desakan masuk ke rumah makan untuk
mendapatkan tempat duduk. Yang tidak kebagian tempat, terpaksa harus berdiri di
tangga, di lorong dan di halaman di depan rumah makan. Mereka menyambut
kedatangan orang Kuklux dengan teriakan mengancam. Karena itu para pengawal
harus menjaga dengan sangat ketat supaya mereka tidak dikeroyok massa. Dengan
susah payah kami berhasil mencapai bar. Ruangan itu besar tapi sangat rendah,
karena dulu digunakan sebagai arena dansa. Tempat pertunjukan itu rupanya telah
dipenuhi orang. Agar para tawanan bisa dibawa ke tengah maka tempat itu harus
segera dikosongkan. Ketika topeng mereka dibuka, tampak jelas bahwa tidak seorang
pun dari mereka yang berasal dari daerah di sekitar La Grange.
Sidang pengadilan telah dibentuk. Sherif sendiri yang memimpinnya. Sidang
tersebut terdiri dari seorang jaksa penuntut, seorang pembela, seorang panitera dan
beberapa orang yang sudah disumpah. Susunan dewan itu membuat saya ngeri, tapi
karena tuntutan masyarakat sekitar dan kasus yang unik ini, maka semuanya bisa
diterima.
Sebagai saksi ditampilkan Lange dan anaknya, Cortesio, kelima orang Jerman,
Old Death, dan saya. Senjata para terdakwa diletakkan di atas meja sebagai barang
bukti, begitu juga senapan mereka. Old Death sudah mengupayakan sehingga semua
senjata yang disembunyikan di belakang istal pun dibawa ke mari. Ternyata semuanya
masih berisi peluru. Maka sherif mulai membuka sidang dengan berkata,
“Pengambilan sumpah para terdakwa tidak perlu dilakukan karena moral
mereka sudah bobrok, sehingga gentlemen yang bermoral dan terhormat yang hadir di
sini tidak pantas menerima sumpah mereka.”
Selain Kuklux, yang hadir di dalam rumah makan hanya orang-orang yang
“memiliki pengetahuan yang teruji tentang hukum dan undang-undang, dan proses
pengadilan seperti ini mereka terima dengan senang hati tanpa protes.” Mereka
bersorak riuh mendengar pujian sherif lalu membungkukkan badan untuk menyatakan
terima kasih. Namun saya juga melihat wajah beberapa orang yang tidak senang atas
pujian itu.
Mula-mula para saksi diminta memberikan keterangan. Old Death maju dan
menceritakan semua peristiwa secara terperinci. Kami hanya bisa menyetujuinya.
Setelah itu bangkitlah “Jaksa Penuntut Umum”. Dia mengulangi pernyataan kami dan
menegaskan bahwa para terdakwa termasuk anggota perkumpulan terlarang yang
didirikan hanya untuk menebarkan aksi-aksi teror. Mereka ingin memperkosa hukum,
menggantikan dasar negara, dan melakukan kejahatan terkutuk lainnya. Semua
tindakan kriminal tersebut melanggar hukum dan terancam hukuman penjara selama
beberapa tahun, atau mungkin seumur hidup, atau bahkan hukuman mati. Dengan
masuk menjadi anggota perkumpulan saja, orang sudah diancam hukuman minimal
sepuluh atau dua puluh tahun penjara. Selain itu mereka pun terbukti menyusun suatu
pembunuhan berencana atas seorang bekas pejabat dari Partai Republik, mencambuk
keji dua orang yang terpandang dan ingin membakar sebuah rumah di kota nan indah
ini. Dan tuduhan terakhir, mereka pun bermaksud menggantung dua orang asing yang
cinta damai dan jujur. Ketika mengatakan kalimat terakhir ini, dia membungkuk ke
arah Old Death dan saya. Ya, semua penduduk La Grange berhutang budi pada kami,
karena berkat jasa kami, mereka terhindar dari malapetaka. Karena itu mereka
menuntut, barang siapa yang bermaksud membunuh kami, harus diganjar dengan
hukuman yang paling berat. Maka sherif mendesak hakim untuk menjatuhkan
hukuman tanpa memberi keringanan sedikit pun. Para hakim diminta memilih
beberapa orang Kuklux yang dianggap paling jahat untuk segera digantung.
Sedangkan anggota yang lainnya hanya mendapat hukuman cambuk karena alasan
“perikemanusiaan”. Tapi mereka pun akan disekap dalam penjara seumur hidup
supaya tidak lagi melakukan gerakan-gerakan yang berbahaya bagi negara atau yang
meresahkan masyarakat.
Tuntutan jaksa penuntut itu juga mendapat dukungan dari para bravos11.
Kepada mereka pun dia membungkuk sebagai tanda terima kasih. Setelah selesai
giliran jaksa penuntut umum, kini pembela diberi kesempatan berbicara. Dia
menegaskan bahwa ketua pengadilan membuat kesalahan besar, karena tidak
menanyakan nama terdakwa. Padahal itu diperlukan untuk surat keterangan kematian
dan surat keterangan lainnya... dia juga masih memaparkan beberapa aspek lain, dan
harus saya akui, argumennya memang benar. Dia pun tidak menyangkal bahwa
orang-orang Kuklux telah menyusun rencana jahat dan memang begitulah
kenyataannya. Tetapi rencana tersebut belum sempat dilaksanakan, karena keburu
11 Hadirin yang gagah berani.
digagalkan. Jadi mereka bersalah hanya karena mencoba melakukan kejahatan.
Karena pertimbangan ini, hukuman gantung atau penjara seumur hidup tidak mungkin
diputuskan. Dia bertanya pada setiap orang, apakah seseorang sudah dirugikan oleh
suatu kejahatan yang masih sebatas ide atau rencana. Tak pernah ada pengadilan
yang menjatuhkan keputusan untuk kasus seperti itu. Hal yang sama pun harus
dipraktekkan di sini! Karena tidak ada kerugian yang diderita oleh seseorang, maka
pembela mendesak agar para terdakwa dibebaskan dari segala tuduhan. Dengan
begitu anggota mahkamah dan semua anggota saksi yang hadir menunjukkan bahwa
mereka adalah manusia bermoral dan orang Kristiani yang cinta damai. Setelah
selesai, dia juga mendapat tepuk tangan, walaupun cuma sedikit. Dia membungkuk
dalam-dalam, seolah-olah seluruh dunia menyambutnya dengan sorak riuh rendah.
Kemudian ketua pengadilan berdiri untuk kedua kalinya. Pertama-tama dia
berkata, dengan sengaja dia tidak menanyakan nama dan “kebiasaan lain” dari para
terdakwa, karena dia yakin, mereka akan berbohong. Dia mengajukan usul, setelah
hukuman gantung dilaksanakan, akan dibuat surat kematian yang singkat untuk
semua orang tersebut. Isinya kira-kira begini: “Sembilan belas orang Kuklux ini harus
digantung karena kesalahannya sendiri”. Dia juga mengakui, bahwa para terdakwa
hanya melakukan usaha pembunuhan, lalu mempertanyakan kembali definisi
“bersalah” dalam kasus ini. Tak lupa dia juga menyinggung bahwa berkat usaha kami
berdua, usaha mereka untuk membunuh berhasil digagalkan. Usaha pembunuhan itu
memang berbahaya dan karena mengandung potensi membahayakan orang lain,
maka pelakunya harus dihukum. Dia tidak berminat dan tidak mempunyai waktu untuk
duduk berjam-jam mendengar debat antara jaksa penuntut umum dan pembela. Dia
juga tidak mau lama-lama berurusan dengan komplotan itu, suatu kelompok yang
memang aneh. Jumlah mereka sembilan belas orang dan bersenjata lengkap. Tetapi
dengan mudah mereka dapat dikalahkan oleh dua orang asing. Sikap kepahlawanan
seperti ini tentu tidak boleh dipandang sebelah mata. Dia juga dikira bersekutu dengan
Kuklux. Hal itu tidak diterimanya. Dia berusaha agar orang-orang itu dipermalukan di
muka umum dan menguburkan niatnya untuk menyerang kota ini sekali lagi. Dia
mengajukan pertanyaan kepada anggota mahkamah, apakah para terdakwa akan
dinyatakan bersalah atas usaha pembunuhan, perampokan, pencurian, penganiayaan,
dan pembakaran. Dia meminta supaya jawaban tidak ditunda sampai akhir bulan
Desember tahun depan, karena di depan para juri telah berkumpul orang-orang yang
sudah tidak sabar lagi mendengarkan keputusan hakim.
Sindirannya disambut dengan tepuk tangan meriah. Para juri pergi ke sudut
ruangan dan berunding tidak lebih dari dua menit. Kemudian ketua juri
memberitahukan keputusan akhir kepada sherif. Bunyinya: mereka dinyatakan
bersalah. Lalu sherif berbisik-bisik dengan anggota sidang pengadilan lain untuk
berunding. Menariknya, setelah perundingan itu, sherif memerintahkan orang untuk
mengambil semua barang yang ada di dalam tas terdakwa, terutama yang paling
dicari adalah uang. Setelah perintah itu dilaksanakan, semua uang yang terkumpul
dihitung. Sherif mengangguk puas lalu berdiri untuk mengumumkan keputusan akhir.
“Mesch’schurs,” katanya. “Para terdakwa telah dinyatakan bersalah. Saya kira,
keputusan inilah yang kalian harapkan. Saya tidak akan berkata panjang lebar karena
kita telah berdebat sangat alot tentang bentuk hukuman, antara hukuman gantung
dan pelaksanaannya. Tapi semua kejahatan yang mereka rencanakan tidak jadi
dilaksanakan. Karena itu seperti alasan yang diajukan pembela yang dilandaskan pada
rasa kemanusiaan dan nilai agama Kristiani, maka hukuman gantung terpaksa
dibatalkan...”
Para terdakwa menarik napas lega, hal itu terlihat sangat jelas. Dari barisan
penonton terdengar beberapa suara yang tidak puas. Sherif berkata lebih lanjut,
“Sudah saya katakan tadi, rencana untuk tindak kejahatan sendiri sudah
mengandung bahaya. Jika kita tidak menghukum orang-orang Kuklux ini, maka paling
tidak kita harus mengusir mereka pergi jauh-jauh sehingga tidak lagi menjadi sumber
keresahan bagi kita. Karena itu kami memutuskan untuk mengusir mereka dari Texas
dengan cara yang memalukan sehingga mereka tidak berani lagi menampakkan
batang hidungnya di sini. Pertama-tama rambut dan janggut mereka harus dicukur
habis. Beberapa gentlemen yang hadir di sini tentu dengan senang hati menerima
tugas ini. Siapa yang rumahnya paling dekat, boleh pulang untuk mengambil gunting.
Sedangkan mereka yang sama sekali tidak tahu cara menggunting rambut akan
diberikan kesempatan pertama oleh sidang pengadilan untuk tugas mulia ini.”
Semua tertawa terbahak-bahak. Seseorang lalu membuka jendela dan berseru
menyampaikan kepada yang berdiri di luar,
“Bawa gunting ke sini! Rambut orang-orang Kuklux akan digunduli. Siapa yang
membawa gunting, dia akan diizinkan masuk!”
Saya menduga, semua orang yang berdiri paling belakang pasti segera berlari
mengambil gunting. Dan memang benar. Dalam sekejap mata terdengar derap kaki
yang disusul teriakan shears dan scissars12. Bahkan sebuah suara berteriak keras
shears for clipping trees dan shears for clipping sheeps, yaitu gunting pohon dan
gunting untuk mencukur bulu domba.
“Selain itu,” kata sherif lebih lanjut, “juga sudah diputuskan, bahwa orang-
orang hukuman ini harus dibawa ke kapal, yang malam tadi datang dari Austin jam
12 Inggris: Gunting besar dan Scissor: Gunting rambut.
sebelas lewat. Besok pagi-pagi benar kapal itu akan berangkat ke Matagorda.
Setibanya di sana, mereka akan dinaikkan ke kapal pertama yang berangkat
meninggalkan Texas tanpa kembali lagi. Mereka dinaikkan ke dek tanpa mempedulikan
siapa mereka, dari mana asal mereka dan ke mana kapal itu akan berlayar. Mulai
sekarang hingga saat naik kapal nanti, mereka tidak boleh menanggalkan pakaiannya,
supaya tiap-tiap penumpang bisa melihat, bagaimana kita penduduk Texas
memperlakukan orang-orang Kuklux. Tangan mereka pun harus tetap terikat. Mereka
baru mendapat roti dan air setelah tiba di Matagorda. Semua biaya perjalanan dibayar
dengan uang hasil rampokan mereka, yang semuanya berjumlah lebih dari tiga ribu
dollar. Selain itu semua barang mereka, terutama senjata, akan disita dan dilelang.
Sidang pengadilan telah memutuskan bahwa hasil pelelangan itu akan digunakan
untuk membeli bir dan brandy, supaya saksi-saksi yang telah bersikap kooperatif ini
bersama-sama istrinya boleh minum-minum sedikit dan menari pada pesta yang akan
diadakan di tempat ini setelah sidang berakhir. Kita terus berpesta hingga besok pagi
dan mengiringi kepergian orang-orang Kuklux ini ke kapal dengan musik duka dan
kidung-kidung ratapan. Semua tawanan hanya bisa menyaksikan kita berdansa, tapi
mereka tidak boleh ikut serta atau beranjak dari tempatnya. Jika pembela ingin
mengajukan keberatan terhadap keputusan itu, kami bersedia mendengarnya, tapi
kami minta dengan hormat supaya dia berbicara dengan singkat. Kami masih harus
mencukur kepala mereka, dan barang-barang mereka pun harus dilelang. Jadi masih
banyak tugas yang harus kami kerjakan sebelum pesta dimulai.”
Terdengar tepukan tangan lebih keras daripada sebelumnya dan diselingi
dengan teriakan-teriakan keras. Hakim ketua dan pembela harus berusaha keras
menenangkan massa supaya suara pembela bisa didengarkan.
“Apa yang saya katakan berikut ini bermanfaat bagi klien saya,” kata pembela.
“Saya kira, keputusan sidang pengadilan ini memang keras, tetapi hal itu sudah
diimbangi dengan kebijaksanaan yang menetapkan bahwa uang mereka akan
digunakan untuk membeli bir, brandy, dan lain-lain untuk keperluan pesta. Maka atas
nama semua klien saya, saya menegaskan bahwa saya sangat setuju dengan
keputusan hakim. Saya pun berharap, semoga setelah keputusan ini mereka bisa
memulai hidup baru yang lebih baik dan lebih berguna di masa mendatang. Saya juga
ingin mengingatkan mereka supaya jangan coba-coba datang lagi ke sini, karena saya
sudah muak menjadi pembela dan terlibat dalam perkara aneh seperti ini. Untuk
urusan administrasi perlu saya jelaskan, setiap klien dituntut membayar dua dollar
untuk biaya pembelaan. Jadi untuk sembilan belas orang, saya harus mendapat tiga
puluh delapan dollar. Tapi saya tidak perlu menulis kwitansinya, jika uang tersebut
segera dibayar di hadapan semua orang yang hadir di sini. Dalam perkara ini pun saya
hanya mengambil delapan belas dollar untuk diri sendiri. Sedangkan selebihnya, dua
puluh dollar, akan saya berikan untuk biaya penerangan dan sewa ruangan ini. Dan
supaya para pemusik pun tidak pulang dengan tangan hampa, saya mengusulkan agar
setiap gentleman yang ingin berpesta harus dipungut lima belas sen untuk karcis
masuk. Para ladies tentu saja tidak perlu membayar.”
Kemudian dia duduk kembali. Sherif pun menyatakan sependapat dengannya.
Saya duduk di sana dan menyaksikan semua prosedur hukum seperti dalam
mimpi saja. Jadi semuanya disetujui seperti itu? Tak ada keraguan lagi. Saya melihat
pembela itu menerima uangnya dan banyak orang berlari ke rumah untuk menjemput
istri masing-masing ke tempat pesta. Pada saat yang sama datang juga orang-orang
yang membawa berbagai jenis gunting. Sebenarnya saya ingin marah, tetapi tidak
jadi. Saya harus ikut tertawa bersama Old Death yang sudah terkekeh-kekeh
menyaksikan semua kejadian itu. Orang-orang Kuklux benar-benar dicukur sampai
gundul. Kemudian dimulailah pelelangan barang-barang mereka. Senjata mereka
cepat sekali laku dan harganya pun tinggi. Barang-barang lainnya pun habis terjual.
Tidak bisa dibayangkan betapa hiruk pikuknya suasana ketika penduduk kota itu
datang-pergi dan saling berdesak-desakkan. Semua orang ingin masuk ke dalam bar,
padahal ruangan itu hanya mampu menampung sepersepuluh dari semua yang hadir.
Kemudian tampillah sekelompok pemusik, yang terdiri dari seorang pemain klarinet13,
pemain biola, peniup terompet, dan seseorang dengan seruling tua. Kelompok orkes
ini segera mengambil tempat di pojok dan mulai menyetel alat-alat musiknya yang
kedengaran sumbang. Suatu tanda bahwa kami tidak akan disuguhi musik yang indah
seperti yang diharapkan.
Saya hendak pergi karena kini para ladies mulai bermunculan dalam ruangan.
Namun tiba-tiba Old Death datang mendekat. Dia menjelaskan, bahwa kami berdua
adalah tamu-tamu istimewa dan kami pun boleh sedikit bersenang-senang setelah
melewati bahaya dan perjuangan yang keras. Rupanya sherif juga mendengar
percakapan kami. Dia mendukung, bahkan mendukung dengan sepenuh hati pendapat
Old Death. Dia berkata, jika kami berdua menolak untuk berdansa pada putaran
pertama, maka hal itu merupakan suatu penghinaan besar bagi seluruh penduduk La
Grange. Dia lalu mempersilahkan Old Death dan saya untuk berdansa dengan istri dan
putrinya. Kedua wanita itu sangat pandai menari. Karena saya sudah merontokkan dua
giginya dan dia beberapa kali memukul tulang rusuk saya, maka kini kami harus
memulihkan kembali hubungan. Karena itu jika saya tidak memenuhi ajakannya untuk
tetap tinggal, maka hal tersebut dapat menyakiti hatinya sekali lagi. Dia menyuruh
13 Sejenis alat tiup.
supaya disediakan sebuah meja khusus untuk kami berdua. Apa yang harus saya
perbuat? Sialnya, pada meja tersebut sudah duduk istri dan putrinya yang tadi sudah
berkenalan dengan saya. Mula-mula hanya ikut-ikutan, terperangkap, lalu harus
menanggung akibatnya! Terpaksa saya harus menerima tawarannya untuk berdansa.
Mungkin saya harus membuat beberapa gerakan meluncur dan melompat. Ya, hari ini
saya memang seorang pahlawan – dan detektif privat yang menyamar.
Sherif yang baik itu merasa sangat senang karena telah memberikan dua
kembang terindah yang dimilikinya. Dia memang menyiapkan meja khusus untuk
kami, namun sialnya meja itu hanya cukup ditempati empat orang. Maka tanpa ampun
kami harus duduk semeja dengan kedua ladies itu. Mereka tampak begitu anggun.
Mereka dituntut bersikap anggun mengingat kedudukan suami dan ayah mereka yang
begitu terpandang. Sang nyonya berusia kira-kira lebih dari lima puluh tahun. Ia
merenda sebuah kemeja dari wol dan satu kali menyinggung tentang Codex Napoleon.
Selanjutnya ia hanya diam membisu. Anak gadisnya yang berumur kira-kira tiga puluh
tahun, membawa sebuah buku berisi kumpulan puisi. Meskipun suasana sangat gaduh,
ia tetap maju dan membacakan puisinya dengan berapi-api. Ia juga menyanjung-
nyanjung Old Death dengan berbagai pujian dan membandingkannya dengan Pierre
Jean de Béranger. Namun ketika scout itu mengaku jujur bahwa dia tidak mengenal
Sir yang disebut, maka gadis itu segera diam seribu bahasa. Ketika bir disuguhkan,
kedua wanita itu tidak minum. Namun ketika sherif datang membawa dua gelas
brandy, maka wajah mereka yang tadinya judes dan cemberut kini tampak kembali
bersinar.
Pada saat itu pejabat tinggi itu mencolek saya dan berbisik,
“Sekarang saatnya untuk berdansa. Silahkan maju!”
“Tapi bagaimana jika ajakan dansa yang kami ajukan ditolak?” tanya saya
dengan suara senormal mungkin sehingga tidak tampak bahwa sebenarnya dalam hati
saya pun menginginkannya.
“Oh, tidak! Istri dan puteri saya sudah diberitahu sebelumnya.”
Maka saya bangkit dan membungkuk memberi hormat kepada gadis itu.
Dengan sopan saya mengungkapkan perasaan bangga, bahagia, dan terhormat jika
boleh berdansa dengannya. Sebagai jawaban, saya diberi buku berisi puisi yang selalu
dibawanya. Old Death menggunakan cara yang lebih praktis. Dia berseru kepada istri
sherif,
“Nah, kemarilah, Mis’siss! Berputar ke kanan atau ke kiri, bagi saya sama saja.
Terserah Anda! Yang jelas, saya akan melompat-lompat dengan kedua kaki.”
Bagaimana kami berdansa, atau tentang kecelakaan yang dialami oleh teman
karib saya itu ketika dia jatuh ke lantai bersama istri sherif, dan bagaimana
pengunjung yang hadir meneguk minuman, tidak perlu saya ceritakan panjang lebar.
Cukup! Ketika hari sudah siang, semua persediaan makanan dan minuman di rumah
makan sudah habis. Sherif mengumumkan bahwa uang hasil pelelangan belum dipakai
semuanya. Karena itu besok atau mungkin malam ini pesta bisa diteruskan lagi.
Mereka duduk atau berbaring di lantai di dalam rumah makan, di taman, atau pun di
halaman depan. Kebanyakan dalam keadaan mabuk berat. Tetapi ketika sherif kembali
mengumumkan bahwa para tawanan akan digiring ke pelabuhan, mereka semua
segera bersiap-siap. Iring-iringan itu diatur sebagai berikut: paling depan pemain
musik, kemudian disusul anggota dewan pengadilan, lalu orang-orang Kuklux yang
masih tetap mengenakan pakaian kebesarannya, selanjutnya kami para saksi, dan di
belakang kami Masters, Sirs dan gentlemen lain yang juga ingin ikut.
Orang Amerika memang luar biasa. Apa yang mereka butuhkan selalu ada.
Saya tidak tahu, dari mana mereka memperoleh dan mengambilnya begitu cepat.
Namun semakin banyak orang yang ikut dalam rombongan. Kecuali para pengkhotbah
dan ladies, mereka semua membawa peralatan rumah tangga yang bisa dijadikan alat
musik. Setelah semua berdiri dalam barisan, sherif memberikan isyarat supaya iringan
mulai bergerak. Kelompok yang berjalan paling depan segera mengumandangkan
dendang yankee-doodle. Sedangkan pada bagian akhir barisan terdengar alunan musik
yang hiruk-pikuk. Bagaimana mereka berteriak-teriak, bersorak-sorai dan bernyanyi,
semuanya tak bisa dilukiskan. Saya seolah-olah sedang berada di antara orang-orang
gila. Begitulah iringan duka itu bergerak pelan menuju ke sungai. Setibanya di sana,
tawanan diserahkan kepada kapten kapal. Dia berjanji, dan kami juga percaya, bahwa
para tawanan langsung dikurung. Bahkan dia menjamin, tak ada celah bagi mereka
untuk bisa melarikan diri. Selain itu mereka juga dijaga ketat oleh orang-orang Jerman
yang ikut berlayar.
Pada saat kapal mulai bergerak, pemain musik mulai memperdengarkan lagu
perpisahan yang sangat memilukan. Dan yang lainnya pun mulai menabuh
“instrumen” yang tadi dibawanya dari rumah. Ketika semua mata mengiringi kepergian
kapal, saya menggamit lengan Old Death dan mengajaknya pulang bersama Lange
dan anaknya ke rumah. Setelah tiba di sana, kami memutuskan untuk beristirahat
sebentar. Tapi ternyata kami tidur lebih lama daripada yang direncanakan. Ketika saya
bangun, saya melihat Old Death sudah terjaga. Dia tidak dapat tidur karena sakit di
pangkal pahanya. Saya sungguh terkejut ketika dia mengatakan bahwa hari ini kami
tidak bisa melanjutkan perjalanan. Dia merasa sakit akibat jatuh ketika berdansa tadi
malam. Kami menyuruh orang memanggil ahli bedah. Ahli bedah itu datang lalu
memeriksa pasiennya. Menurutnya, tulang kaki Old Death terlepas dari posisinya dan
harus dikembalikan. Rasanya saya ingin menjewer kuping dukun itu. Berjam-jam dia
menarik-narik kaki Old Death lalu mengatakan bahwa kami pun bisa mendengar bunyi
tulang-tulang yang berderak. Kami segera memasang telinga, namun tidak mendengar
apa-apa. Scout itu pun tidak merasa sakit ketika kakinya ditarik-tarik. Karena itu saya
mendorong dukun itu ke samping lalu memeriksa pangkal paha Old Death. Di sana
tampak memar biru yang mengitari luka. Saya yakin, Old Death hanya terkilir dan
lukanya tidak begitu parah.
“Kita harus mengolesinya dengan minyak gosok atau spiritus. Mungkin cara itu
bisa menolong Anda,” kata saya. “Ya, setidaknya hari ini Anda harus beristirahat. Tapi
sayang, Gibson mendapat kesempatan untuk melarikan diri!”
“Melarikan diri?” tanya si Tua. “Jangan khawatir, Sir! Jika orang memiliki
hidung seekor anjing berburu, seperti saya, maka jejaknya pasti bisa diendus sampai
ke mana pun. Dan dia tidak akan berhenti sebelum buruannya tertangkap.
Percayalah!”
“Saya percaya. Tapi Gibson dan Willian Ohlert tentu sudah terlalu jauh di depan
kita.”
“Kita masih bisa mengejarnya. Dalam perhitungan saya, kita mungkin
menangkapnya satu hari lebih awal atau lebih lama. Tapi yang jelas dia akan
tertangkap. Jangan putus asa! Sherif yang terhormat itu mengacaukan rencana kita
dengan pesta dan anak bininya. Tapi percayalah, saya akan memperbaiki kesalahan
ini. Orang menyebut saya Old Death. Dan Anda tahu, apa arti nama itu, bukan?”
Hati saya senang mendengarnya. Saya percaya kepada si Tua dan saya yakin,
dia tidak berbohong. Karena itu saya berusaha meredam kekhawatiran yang tidak
perlu. Saya tidak dapat meneruskan perjalanan sendirian. Itulah sebabnya saya sangat
senang ketika kami makan siang, Master Lange berkata bahwa dia pun hendak pergi
bersama kami karena arah tujuan kami sama.
“Saya dan anak saya tidak akan menyusahkan Anda,” katanya. “Saya mahir
berkuda dan menembak. Seandainya di tengah jalan kita berpapasan dengan penjahat
kulitputih dan kulitmerah, jangan takut, kami tidak akan lari. Jadi apakah Anda
keberatan jika kami ikut? Katakan!”
Tentu saja kami tidak keberatan. Kemudian datanglah Cortesio yang ternyata
tidur lebih lama daripada kami. Dia ingin menunjukkan kedua kuda yang ingin kami
beli. Walaupun masih pincang, Old Death bergegas ke halaman. Dia ingin melihat
sendiri kuda-kuda itu.
“Master muda ini pernah mengatakan, dia pandai menunggang kuda,” ujarnya.
“Namun kita tahu, apa artinya. Saya sendiri tidak yakin bahwa dia tahu banyak
tentang kuda. Jika saya ingin membeli seekor kuda, maka kadang-kadang saya
memilih seekor yang kelihatan jelek. Tetapi tentu saja saya tahu, kuda pilihan saya
itulah yang terbaik. Hal seperti ini sudah sering saya lakukan.”
Saya harus menunggangi semua kuda yang ada di dalam istal itu satu persatu
di hadapannya. Dia mengamati setiap gerak-gerik binatang itu dengan seksama. Tapi
sebelumnya, dengan berhati-hati dia telah menanyakan harga tiap-tiap kuda. Dan apa
yang tadi dikatakannya memang benar-benar terjadi: dia tidak memilih kedua kuda
yang sebenarnya disiapkan untuk kami.
“Kuda-kuda itu kelihatan bagus, tapi jelek,” katanya. “Setelah ditunggangi
beberapa hari, binatang itu sudah loyo. Tidak, kita mengambil kedua kuda tua itu.
Aneh, harganya pun begitu murah.”
“Tetapi kuda-kuda itu hanya cocok untuk menarik pedati!” kata Cortesio.
“Anda tidak mengerti, Sennor! Itulah sebabnya Anda berpendapat demikian.
Kuda-kuda itu adalah kuda prairie yang tidak terpelihara dengan baik, namun
kegesitannya tidak berkurang. Dalam perhitungan saya, kuda-kuda itu akan tetap
tegar menghadapi berbagai rintangan. Kami membelinya. Habis perkara!”
PERAMPOKAN KERETA API
Sejak pagi-pagi buta saya sudah berkuda dan menempuh jarak yang cukup
jauh. Kini saya merasa agak letih. Sementara itu matahari berada tepat di atas kepala dan memancarkan sinar yang sangat terik. Karena itu saya memutuskan untuk berhenti dan melepas lelah sambil menikmati santap siang. Di hadapan saya terbentang hamparan padang prairie yang luas tak bertepi, membentuk deretan-deretan bukit kecil. Sudah lima hari, semenjak rombongan kami diceraiberaikan oleh kawanan Ogellallah, saya belum pernah melihat binatang ataupun manusia. Lambat laun muncul kerinduan dalam hati saya untuk bertemu dan berbicara dengan seseorang. Saya hanya ingin mengecek apakah saya masih sanggup berbicara dengan baik setelah sekian lama tidak membuka mulut.
Di tempat ini tidak terlihat adanya sungai ataupun mata air. Hutan dan semak belukar pun sangat jarang. Saya tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan tempat yang menurut saya paling baik untuk beristirahat. Pada sebuah dataran yang cekung, saya melompat dari kuda lalu menambatkannya, kemudian melepaskan selimut dari punggungnya. Setelah itu saya mendaki ke atas sebuah bukit kecil kemudian duduk di sana. Kuda saya harus tetap dibiarkan di bawah agar tidak terlihat seandainya ada musuh mendekat. Saya sendiri harus berada di ketinggian supaya bisa mengamati daerah di sekitarnya. Di tempat itu pun orang akan sulit melihat saya, karena saya berbaring di tanah.
Saya memang harus berhati-hati. Dulu kami berangkat bersama dalam rombongan yang terdiri dari dua belas orang. Kami meninggalkan tepi dataran ini lalu turun melalui bagian timur Rocky Mountains menuju ke Texas. Pada waktu itu suku-suku Sioux meninggalkan perkampungannya setelah beberapa prajuritnya terbunuh dan sekarang mereka ingin membalas dendam. Dan kami tahu hal itu. Kami menggunakan semua siasat, tapi pada akhirnya kami toh tetap saja jatuh ke tangan mereka. Setelah pertempuran sengit dan berdarah yang menewaskan lima orang dari rombongan kami, kami lari tercerai-berai ke seluruh penjuru padang prairie.
Karena kami tidak menghilangkan semua jejak, maka orang-orang Indian pasti tahu bahwa kami pergi ke arah selatan. Dan dapat dipastikan, mereka akan mengejar kami. Jadi, yang paling penting sekarang adalah orang harus membuka mata lebar-lebar seandainya tidak ingin kembali bernasib sial. Karena bisa jadi, pada suatu malam orang tidur di balik selimut hangatnya dan keesokan harinya dia harus pergi ke padang perburuan abadi tanpa scalp1 di kepalanya.
Saya duduk lalu mengeluarkan sepotong dendeng bison. Sebagai ganti garam, saya menaburkan bubuk mesiu di atasnya lalu mencoba mengunyahnya sampai bahan sekeras kulit itu bisa masuk ke dalam perut. Setelah itu saya mengambil salah satu ‘hasil racikan sendiri’ lalu menyulutnya dengan api dengan menggunakan punks (pemantik prairie, sejenis batu api). Dengan nikmat saya mengepulkan asap dari mulut, seolah-olah saya seorang petani Virginia yang mengisap tembakau terbaik dari Goosefoot2 sambil mengenakan sarung tangan halus.
Saya berbaring di atas selimut. Tidak lama kemudian tanpa sengaja saya menoleh ke belakang dan melihat sebuah titik kecil di kaki langit. Titik itu bergerak lurus ke arah saya melalui jalan yang tadi saya lewati. Dengan cepat saya melompat dari bukit lalu merebahkan diri di tanah sehingga seluruh tubuh saya terlindungi. Setelah saya perhatikan lebih teliti, ternyata bayangan yang semakin mendekat itu adalah seorang penunggang kuda yang – menurut istilah orang Indian – bertengger terlalu maju di atas kudanya.
1 Kulit kepala. Orang Indian menyayat kulit kepala musuhnya sebagai tanda kemenangan. 2 Sebuah merk rokok.
Ketika saya mula-mula melihatnya, jarak kami kira-kira satu setengah mil inggris3. Kudanya bergerak begitu lamban sehingga dia membutuhkan hampir setengah jam untuk menempuh jarak itu. Sekali lagi saya memandang ke sana. Saya benar-benar terkejut karena melihat ada empat titik lain yang bergerak persis di belakangnya dan melalui jalan yang dilewatinya. Saya tergerak untuk terus memperhatikannya dengan lebih seksama. Penunggang kuda yang di depan adalah seorang kulitputih, seperti yang terlihat jelas dari pakaiannya. Barangkali dia dikejar oleh orang-orang Indian. Saya mengeluarkan teropong. Ternyata saya tidak keliru. Kini mereka semakin dekat dan melalui teropong, saya bisa mengenali dengan jelas senjata dan tato pada sekujur tubuh mereka. Mereka adalah orang-orang Ogellallah, kelompok paling brutal dan paling kejam dari suku Sioux. Mereka menunggangi kudanya begitu gesit, sementara itu kuda si kulitputih tampaknya bukanlah hewan yang luar biasa. Sekarang dia semakin mendekat sehingga saya bisa mengamatinya lebih jelas.
Orang itu mempunyai potongan tubuh kecil, kurus kering, dan mengenakan sebuah topi tua dari bulu binatang di atas kepalanya. Topi tersebut sama sekali tidak memiliki caping. Hal itu memang tidak aneh di padang prairie. Tetapi justru kekurangan ini menonjolkan cacatnya yang segera terlihat oleh saya; dia tidak memiliki telinga. Di tempat yang semestinya ada telinga, terlihat bekas-bekas penganiayaan yang kejam. Ya, telinganya sudah dikerat. Di atas pundaknya tersampir sehelai selimut besar yang menyelubungi seluruh tubuhnya dan hanya menyisakan kakinya yang kurus. Kaki itu terbungkus oleh sepasang sepatu yang aneh. Di Eropa, orang pasti sudah tertawa melihat sepatu seperti ini. Sepatu itu terbuat dari sejenis pembalut kaki yang biasa dibuat dan dipakai oleh orang-orang Gaucho di Amerika Utara. Proses pembuatannya sangat sederhana: kulit dari bagian pinggang kuda disayat lalu dipasang pada kaki seseorang selagi kulit itu masih basah lalu dibiarkan hingga kering. Kulit tersebut akan menempel erat lalu mengeras pada bagian kaki hingga pergelangan kaki, sehingga akan membentuk semacam pembalut kaki. Sepatu ini memang sangat unik karena bagaimanapun juga pemakainya tetap menginjak tanah dengan telapaknya. Pada pelana kudanya tergantung sebuah benda. Bentuknya seperti senapan, tetapi tampaknya lebih menyerupai kayu lapuk yang sering dijumpai orang di hutan. Dia menunggangi seekor kuda betina yang sangat tua dan mempunyai kaki mirip kaki unta. Kuda itu sama sekali tidak berekor. Kepalanya tampak lebih besar daripada ukuran rata-rata, dan telinganya begitu panjang sehingga orang pasti akan terkejut begitu melihatnya. Binatang itu tampak seolah-olah tersusun dari berbagai bagian tubuh kuda, keledai, dan unta. Waktu berlari, kepalanya menjulur begitu rendah ke tanah. Dan seolah-olah karena terlalu berat, telinganya jatuh terkulai di kepalanya, seperti telinga anjing laut dari Newfoundland.
Dalam keadaan normal atau apabila orang belum pernah mengalami hal seperti itu, maka dia pasti akan menertawakan kuda beserta penunggangnya. Tapi tidak demikian halnya dengan saya. Walaupun penampilannya tergolong aneh, di mata saya dia tampak seperti seorang westman4 yang baru bisa dinilai setelah orang mengenalnya lebih dekat. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada empat orang musuh besar para pemburu prairie. Jika tahu pasti dia tidak akan memacu kuda begitu lamban tanpa rasa takut. Dan sesekali dia pun harus menoleh ke belakang.
Sekarang dia sudah berada pada jarak seratus langkah dan mencapai jejak saya. Saya tidak bisa mengatakan apakah dia atau kudanya yang lebih dulu melihat jejak tersebut. Yang jelas, tiba-tiba kuda itu berhenti dengan sendirinya lalu menurunkan kepalanya lebih rendah ke tanah dan menelusuri jejak kuda saya. Sementara itu telinganya yang panjang dikibas-kibas, kadang ke atas kadang ke bawah, lalu ke depan dan ke belakang. Kelihatannya seolah-olah ada tangan yang menggerak-gerakkan kedua telinga tersebut. Penunggangnya ingin turun untuk
3 Satu mil inggris sekitar 1.609 meter. 4 Frontierman. Petualang, pengelana, pemandu di daerah Barat.
memeriksa jejak lebih teliti. Tetapi dengan itu dia hanya membuang-buang waktu karena kini bahaya semakin dekat. Karena itu saya mengingatkan dia dengan berteriak,
“Hallo, hai Bung! Paculah terus kuda Anda dan datanglah kemari!” Saya mengubah posisi berbaring saya sehingga dia bisa melihat saya. Kudanya
menegakkan kepala dan meninggikan telinga lurus ke depan, seolah-olah bisa menangkap seruan saya dengan tepat. Sementara itu ia mengibas-ngibaskan ekornya yang pendek dan tak berbulu.
“Hallo, Master,” jawabnya. “Jagalah suara Anda dan bicaralah sedikit lebih halus. Di padang sepi ini kita tidak tahu dengan pasti apakah di sini atau di sana ada orang yang sebenarnya tidak perlu mendengar suara Anda! Ayo, Tony!”
Kuda betina itu kemudian bergerak sesuai perintah dan berhenti dengan sendirinya di dekat kuda saya. Setelah melihat kuda saya, dengan angkuh dan aneh binatang itu membalikkan bagian tubuhnya yang oleh orang-orang kapal biasa disebut buritan. Kuda itu memang termasuk kuda tunggangan yang hanya hidup untuk pemiliknya dan tidak akan patuh kepada perintah orang lain. Karena itu tak mungkin ia bisa ditunggangi orang asing. Kuda seperti ini banyak ditemui di padang prairie.
“Saya tahu, seberapa keras saya boleh berbicara!” jawab saya. “Dari mana Anda datang dan ke mana Anda mau pergi, Master?”
“Itu sama sekali bukan urusan Anda!” jawabnya. “Oh ya? Tampaknya Anda tidak terlalu sopan, Master. Saya sudah bisa
mengatakan demikian walaupun baru beberapa saat saya bercakap-cakap dengan Anda. Tapi harus saya akui terus terang, saya sudah terbiasa mendengar jawaban seperti itu jika saya bertanya kepada seseorang!”
“Hmmm, ya! Kelihatannya Anda seorang gentleman yang tahu sopan santun,” jawabnya sambil memandang saya dengan tatapan sinis. “Kalau begitu saya akan memberikan jawaban seperti yang Anda minta!”
Dia menunjuk ke belakang dan kemudian ke depan. “Saya datang dari sana dan hendak pergi ke sana.” Orang itu mulai menarik perhatian saya. Barangkali dia mengira bahwa saya
adalah seorang pemburu amatir yang mau bergabung dengan kelompoknya. Seorang westman sejati tidak akan mempedulikan penampilannya dan secara terang-terangan dia menentang semua hal yang berhubungan dengan kebersihan. Setiap orang yang pernah mengembara selama bertahun-tahun di daerah Barat tidak akan berpikir untuk mengurus penampilannya, apalagi mau berhias diri. Malahan dia menganggap orang-orang yang berpakaian rapi sebagai greenbill5 dan mereka sama sekali tidak bisa diandalkan. Ketika masih berada di Benteng Wilfers, saya mengenakan pakaian bersih dan seperti biasanya saya pun merawat kebersihan senjata saya. Karena kedua alasan inilah maka di mata seorang pemburu sabana, saya tidak cocok dianggap sebagai westman sejati. Namun demikian saya tidak merasa tersinggung melihat sikap orang asing ini. Maka saya menanggapinya dengan menunjuk ke arah depan seperti yang tadi dilakukannya sambil berkata,
“Kalau begitu pergilah segera ‘ke sana’. Tetapi waspadalah terhadap empat orang Indian yang terus membuntuti Anda dari belakang! Apakah Anda tidak melihat mereka?”
Dari balik matanya yang bening dan tajam, dia menatap saya dengan pandangan heran bercampur geli.
“Saya tidak melihat mereka? Hihihihi! Empat orang Indian di belakang saya dan saya tidak tahu! Di mata saya, Anda misalnya kelihatan seperti orang aneh! Orang-orang itu telah mengejar saya sejak pagi tadi. Tetapi saya tidak perlu menoleh untuk melihat mereka karena saya tahu siasat yang dipakai kulitmerah itu, Mesch’schurs6. Selama hari masih siang, mereka tetap mengikuti saya dari jauh.
5 Si Bill yang masih hijau. Anak bawang. Julukan untuk orang yang belum berpengalaman. 6 Perancis: Tuan-tuan, dalam logat Barat.
Tetapi begitu saya membaringkan diri untuk tidur pada malam hari, mereka akan mendekati saya. Akan tetapi mereka misalnya pasti telah salah membuat perhitungan, karena saya akan mengambil jalan melingkar dan akan kembali lagi persis di belakang mereka. Hanya saja sampai sekarang saya belum menemukan dataran yang cocok. Tetapi di sini, di bukit-bukit ini akhirnya saya bisa menerapkan rencana itu. Jika Anda ingin belajar dan melihat bagaimana seorang westman tua menghadapi redmen (orang-orang kulitmerah, Indian), maka Anda boleh tinggal di sini dan menunggu sepuluh menit lagi. Namun Anda harus duduk tenang di sini, karena orang seperti Anda misalnya tidak biasa menyentuh tubuh orang Indian yang berbau busuk! Come on,Tony!”
Tanpa mempedulikan saya, dia memacu kudanya pergi. Setengah menit kemudian dia dan kudanya yang aneh itu sudah menghilang di balik bebukitan.
Saya bisa memahami rencananya. Apabila dikejar seperti dia, saya pun akan melakukan yang sama. Jadi dia ingin berjalan memutar lalu tiba-tiba menyergap para pengejarnya dari belakang. Tetapi dia harus mendekati mereka secara diam-diam, dan hal ini sebaiknya dilakukan sebelum mereka bisa membaca taktik yang akan diterapkannya, yakni dengan mengubah haluan. Untuk maksud ini sebenarnya dia hanya perlu bersembunyi di balik bebukitan. Selain itu rasanya lebih baik kalau dia tidak mendekati orang-orang Indian itu dari belakang tetapi mengambil jalan agak memutar dan membiarkan mereka lewat. Hingga kini mereka bisa mengamati dia dengan seksama, sehingga mereka tahu, betapa besar jarak di antara mereka. Tetapi mereka tidak menduga bahwa jarak itu makin mengecil.
Empat lawan satu. Situasi ini memaksa saya untuk menggunakan senjata. Karena itu saya memeriksa senjata saya kemudian menunggu apa yang terjadi selanjutnya.
Dari waktu ke waktu kelompok Indian makin mendekat. Mereka berkuda secara beriringan, satu di depan yang lainnya. Ketika mereka hampir tiba di tempat berpadunya jejak kaki si kerdil itu dengan jejak saya, salah seorang dari mereka yang berkuda paling depan segera menghentikan kudanya kemudian berbalik. Tampaknya mereka merasa aneh karena jejak kulitputih yang mereka kejar kini tiba-tiba menghilang. Maka mereka saling merapatkan kepala dan berembuk sejenak. Sebenarnya saya bisa langsung menembak mereka dengan Senapan Pembunuh Beruang. Tapi hal itu tidak perlu karena sekonyong-konyong terdengar bunyi tembakan, dan pada detik berikutnya terdengar sekali lagi. Dua orang Indian jatuh terjungkal dari kudanya dan langsung tak berkutik. Pada saat yang sama terdengar sebuah pekikan keras yang membahana.
“O … hi … hi … hiii!” terdengar pekikan dengan suara kerongkongan seperti yang biasa dibunyikan orang-orang Indian sebelum membantai musuhnya.
Tetapi kali ini pekikan itu bukan berasal dari orang Indian, melainkan dari pemburu kerdil tadi. Dia kemudian menampakkan diri dari balik bukit terdekat. Sesuai dengan rencananya, dia menghilang di belakang saya dan kini muncul lagi di depan saya. Dia berbuat seolah-olah hendak melarikan diri setelah melepaskan dua kali tembakan. Sekarang kudanya berperangai sangat lain. Kakinya diangkat tinggi-tinggi sehingga rumput di tempat itu tercabut. Kepala dan telinganya kembali tegak. Kulit dan bulu-bulu di tubuhnya pun berdiri tegang. Penunggang kuda dan kudanya kelihatan seperti saling memahami. Penunggangnya mengayun-ayunkan senjatanya kemudian mengisinya dengan peluru, sementara itu dia terus berlari bersama kudanya. Bisa dipastikan, ini bukan kali pertamanya dia menghadapi persoalan seperti itu.
Di belakangnya terdengar dua tembakan susulan. Ternyata kedua orang Indian menembaknya, tapi peluru mereka tidak mengenai sasaran. Mereka pun berteriak penuh amarah, lalu mencabut tomahawk dan mengejar dia. Tetapi pada saat itu dia sudah selesai mengisi peluru dan tiba-tiba membalikkan kudanya. Tampak seakan-akan kuda itu turut memahami maksud penunggangnya. Binatang itu lalu berhenti, berdiri tegak dan tidak bergerak sedikit pun seperti sebuah tiang kokoh. Dia
menaikkan senjatanya dan membidik sebentar. Pada detik berikutnya kembali senjatanya meletus dua kali, tanpa membuat kudanya goyah. Kepala kedua orang Indian tadi tertembus peluru.
Hingga saat itu jari telunjuk saya masih berada pada pelatuk senjata tetapi saya tidak menariknya, karena si kerdil tidak membutuhkan pertolongan saya. Sekarang dia melompat turun dari kudanya untuk memeriksa orang-orang Indian yang mati. Saya berjalan mendekatinya.
“Jadi, Sir, sekarang Anda misalnya tahu, bagaimana saya mengelabui bedebah-bedebah kulitmerah ini, bukan?” katanya kepada saya.
“Thank you, Master! Saya sudah melihatnya. Ternyata orang bisa belajar sesuatu dari Anda,” jawab saya sambil tersenyum.
Senyum saya kelihatannya salah dimengerti oleh orang itu. Dia menatap saya dengan tajam kemudian berkata,
“Atau barangkali sayalah yang harus belajar dari Anda?” “Saya kira, tadi Anda tidak perlu mengambil jalan melingkar. Di dataran seperti
ini rasanya cukup apabila orang bersembunyi di balik bukit-bukit kecil ini sehingga musuh akan mendapat kesan bahwa dia telah berada jauh di depan. Setelah itu dengan mudah dia bisa kembali melalui jalan yang tadi dilewatinya. Berjalan melingkar lebih cocok seandainya orang berada di dataran yang rata atau di padang prairie yang terbuka.”
“Hei, dari mana Anda tahu semuanya? Siapakah Anda sebenarnya, he?” “Saya seorang penulis buku.” “Anda … penulis … buku?” karena terkejut bukan kepalang dia mundur
selangkah lalu memandang saya dengan heran bercampur kasihan, “Apa Anda sakit, Sir?” Dia berkata sambil menunjuk dahinya, sehingga saya bisa memahami,
penyakit apa yang dimaksudkannya. “Tidak!” jawab saya. “Tidak? Mungkin seekor beruang bisa mengerti Anda, tetapi saya tidak! Saya
menembak seekor karena saya ingin makan dagingnya. Apa alasan Anda menulis buku?”
“Supaya dibaca orang.” “Sir, jangan marah, tetapi hal itu merupakan tindakan paling bodoh yang
pernah ada! Barangsiapa yang ingin membaca buku, dia bisa mengarangnya sendiri. Dan semua anak kecil pun misalnya tahu. Saya juga tidak menembak binatang buruan untuk orang lain! Jadi, hmmm, ya, Anda seorang book-maker? Tapi untuk apa Anda datang ke padang sabana ini, he? Apakah Anda misalnya ingin menulis buku tentang daerah ini?”
“Saya baru akan menulisnya kalau sudah kembali ke rumah. Saya akan menceritakan semua peristiwa yang saya alami dan saya lihat. Dan ribuan orang akan membacanya. Mereka akan mengetahui apa yang terjadi di padang prairie ini dan tidak perlu datang sendiri ke sini untuk menyaksikannya.”
“Jadi Anda juga akan menceritakan tentang saya?” “Tentu saja.” Lagi-lagi dia mundur selangkah. Kemudian dia maju mendekati saya,
meletakkan tangan kanan pada gagang pisau Bowie-nya , dan sambil memegang lengan saya dengan tangan kiri, dia berkata,
“Sir, di sana kuda Anda. Naiklah segera ke punggungnya dan tinggalkan tempat ini secepatnya sebelum ujung pisau yang dingin dan tajam ini menancap di tubuh Anda! Orang tidak boleh mengumpat atau menyentuh tubuh Anda karena seluruh dunia pasti akan tahu. Sekarang enyahlah dari sini!”
Pemburu kecil itu hanya setinggi bahu saya, walaupun demikian dia mengancam dengan sungguh-sungguh. Ini tentu saja membuat saya merasa lucu, tetapi saya tidak memperlihatkannya.
“Saya berjanji hanya menceritakan yang baik-baik tentang Anda!” kata saya.
“Pergilah sekarang! Sudah saya katakan dan itu tidak akan ditarik kembali!” “Kalau Anda tidak mau, saya berjanji tidak akan menulis tentang Anda!” “Sama saja! Orang yang duduk dan menulis buku untuk orang lain adalah
orang gila. Dan orang gila tidak akan menepati janji. Jadi berangkatlah, Bung! Jika tidak saya akan segera naik darah dan akan mengambil tindakan yang pasti tidak menyenangkan Anda.”
“Tindakan apa?” “Anda akan segera lihat!” Saya melihat dia tersenyum dengan mata yang memancarkan amarah. Lalu
saya berkata dengan tenang, “Kalau begitu, baiklah kita akan melihatnya!” “Lihatlah ke sini! Apakah Anda tertarik dengan pisau tajam ini?” Dengan gerakan cepat, saya membekuknya lalu mencengkeram kedua
tangannya ke belakang dan menekan punggungnya dengan tangan kiri. Lalu saya menarik tubuhnya ke arah saya sambil mendorong pergelangan tangannya ke atas. Karena kesakitan dia berteriak dan pisau di tangannya pun jatuh. Serangan yang tak terduga ini membuat si kerdil tidak berdaya. Sebelum dia sempat memberikan perlawanan, saya sudah mengikat kedua tangannya ke belakang dengan menggunakan tali dari kantong peluru.
“All devils!” teriaknya. “Apakah Anda sudah gila! Apa yang hendak Anda lakukan misalnya terhadap saya?”
“Halllooo, Master, jagalah suara Anda dan bicaralah sedikit lebih halus,” jawab saya meniru perkataannya tadi. “Di padang ini kita tidak tahu pasti apakah di sini atau di sana ada orang yang sebenarnya tidak perlu mendengar suara Anda!”
Saya melepaskan dia dan dengan gerakan cepat menyambar pisau serta senjatanya yang sebelumnya dia letakkan di tanah ketika memeriksa mayat. Dia mencoba melepaskan ikatan di tangannya dan berjuang keras sampai mukanya memerah. Tetapi dia tidak berhasil melonggarkan ikatan.
“Jangan coba-coba membuka talinya, Master. Anda tidak akan bebas sebelum saya menghendakinya,” kata saya memberikan peringatan. “Sebenarnya saya hanya ingin membuktikan kepada Anda bahwa seorang book-maker pun bisa memperlakukan orang lain sebagaimana mereka ingin memperlakukan dia. Anda mencabut pisau hendak menikam saya, padahal saya tidak menghina atau merugikan Anda sedikit pun. Menurut hukum prairie, Anda telah bersikap curang terhadap saya, sehingga saya bisa berbuat apa saja terhadap Anda sesuai keinginan saya. Tak ada seorang pun yang bisa menyalahkan saya seandainya sekarang saya menusukkan besi yang dingin dan tajam ini ke dada Anda dan bukannya ke dada saya seperti yang Anda rencanakan tadi.”
“Tikamlah,” jawabnya dengan nada muram. “Anda pantas membunuh saya. Anda telah berhasil mengamat-amati saya di siang bolong lalu mengikat saya tanpa ada perlawanan sedikit pun. Ini adalah sebuah aib dan seorang Sans-ear tidak tahan menanggung aib seperti ini!”
“Sans-ear? Jadi Anda Sans-ear?” teriak saya tidak percaya. Banyak sekali cerita yang sudah saya dengar tentang westman terkenal ini.
Tak seorang pun dari masyarakat kebanyakan yang pernah melihat dia, karena dia merasa diri tidak pantas bergaul dengan mereka. Sudah lama dia kehilangan telinganya, yakni ketika dia hidup bersama orang-orang Navajo. Karena itu dia mendapat julukan yang terbentuk dari dua kata “Sans-ear” yang artinya ‘tanpa-telinga’. Dengan nama ini dia dikenal sampai ke ujung padang sabana, bahkan melewati batas-batas padang sabana.
Dia tidak menjawab pertanyaan saya. Baru setelah saya mengulanginya, dia menjawab,
“Nama saya tidak berkaitan dengan Anda! Apabila nama itu buruk, maka tak ada gunanya saya dipanggil demikian. Dan apabila nama itu baik, maka lebih baik saya menyembunyikannya setelah mendapat aib ini.”
Saya maju mendekat dan membuka tali yang mengikat tangannya. “Ini, ambillah pisau dan senjata Anda. Kini Anda bebas. Pergilah ke mana pun
Anda mau!” “Jangan bergurau! Apakah saya harus membiarkan aib ini setelah saya
dikalahkan oleh seorang greenhorn7? Kalau saya ditaklukkan oleh orang-orang termasyhur seperti Winnetou, prajurit kulitmerah itu, atau oleh Haller yang bertubuh kekar atau bahkan oleh seorang pencari jejak seperti Old Firehand dan Old Shatterhand, maka, ya … maka ….”
Saya merasa iba melihat si tua ini. Coup8 saya telah melukai perasaannya. Karena itu saya merasa tergerak untuk menghiburnya. Dia baru saja menyebutkan namanya, sebuah nama yang sangat terkenal di perkemahan kulitputih dan di wigwam prajurit Indian.
“Saya seorang greenhorn?” tanya saya. “Apakah Anda sungguh yakin, bahwa seorang yang belum berpengalaman bisa bergurau dengan Sans-ear yang terkenal begitu tangguh?”
“Jadi Anda bukan seorang greenhorn? Ya, tapi Anda kelihatan begitu rapi seakan-akan baru keluar dari toko pakaian. Senjata Anda pun terawat bersih, seakan-akan hendak dipersiapkan untuk karnaval!”
“Tetapi senjata ini sangat ampuh. Saya bisa membuktikannya! Lihatlah!” Saya memungut sebuah batu dari tanah yang ukurannya dua kali lebih besar
dari kepingan uang logam dollar, lalu melemparkannya ke atas. Kemudian saya segera membidiknya. Ketika batu itu mencapai titik tertinggi dan tampak seperti tidak bergerak lagi karena hendak jatuh, peluru saya mengenainya sehingga melambung lebih tinggi.
Sebagai latihan, dulu saya telah mencoba ratusan kali menembak seperti itu sampai akhirnya berhasil. Kini hal seperti itu bukan lagi sesuatu yang luar biasa. Tetapi pemburu kerdil itu memandang saya dengan mata terbelalak karena begitu terpesona.
“Heavens, tembakan yang sangat menakjubkan! Apakah tembakan Anda selalu mengenai sasaran?”
“Dari dua puluh kali tembakan bisa dipastikan sembilan belas kali kena.” “Ya, kalau begitu Anda pasti seorang terkenal. Siapakah nama Anda misalnya?” “Old Shatterhand.” “Mustahil! Mestinya Old Shatterhand lebih tua daripada Anda. Jika tidak, maka
pasti dia tidak disebut ‘Old Shatterhand’!” “Rupanya Anda lupa, kata ‘old’ tidak selamanya dipakai untuk menyatakan
usia.” “Benar! Tetapi hmmm, jangan tersinggung, Sir. Old Shatterhand pernah
disergap oleh seekor beruang grizzly secara tiba-tiba ketika dia sedang tidur. Binatang itu mengoyak dagingnya dari bahu sampai ke tulang rusuk. Syukurlah luka itu tertutup kembali, tetapi bekas luka itu misalnya pasti masih kelihatan!”
Saya membuka baju dari kulit bison, juga pakaian berburu warna putih di baliknya yang terbuat dari kulit rusa.
“Lihatlah!” “Astaga, Anda sungguh diserang oleh binatang itu! Pasti ke-68 tulang rusuk
Anda telah terkelupas pada saat itu.” “Hampir saja saya mengalami naas itu. Peristiwa tersebut terjadi di Red River.
Dengan luka yang mengerikan saya terbaring seorang diri di tepi sungai selama dua minggu, di samping beruang itu, sampai Winnetou, sang Kepala Suku Apache, datang dan menemukan saya. Dialah yang memberi julukan yang tadi Anda sebutkan.”
“Jadi ternyata Anda benar-benar Old Shatterhand! Hmmm! Saya ingin menanyakan sesuatu. Apakah Anda berpikir bahwa saya misalnya seorang yang sangat tolol?”
7 Anak bawang. Orang yang belum berpengalaman. Konotasinya seperti greenbill. 8 Perancis: Muslihat yang mengejutkan.
“Sama sekali tidak. Anda hanya khilaf karena menganggap saya seorang greenhorn. Hanya itu saja. Seorang yang belum berpengalaman tentu tidak akan melakukan penyergapan seperti itu. Sans-ear hanya dapat dikalahkan secara kebetulan.”
“Oho! Tetapi bagi Anda tampaknya hal itu bukanlah kebetulan. Hanya ada sedikit orang yang memiliki kekuatan seekor banteng seperti Anda. Jadi saya tidak merasa malu karena dikalahkan oleh Anda. Nama saya yang sebenarnya ialah Sam Hawerfield. Jika Anda mau menyenangkan hati saya, cukup panggillah saya dengan Sam!”
“Dan Anda boleh memanggil saya Charley. Semua sahabat saya pun memanggil demikian. Mari kita berjabatan tangan!”
“Topp, kita sepakat, Sir! Sam yang sudah berumur ini tidak biasanya begitu cepat menjabat tangan orang. Tapi bagi Anda saya bersedia mengulurkan tangan. Hanya saya minta supaya Anda tidak bertindak kasar sehingga tangan saya tidak hancur menjadi puding! Saya masih membutuhkannya.”
“Jangan khawatir, Sam! Tangan Anda bisa saja berguna bagi saya kelak. Demikian juga tangan saya selalu terbuka untuk menolong Anda. Namun sekarang saya mengulangi lagi pertanyaan saya sebelumnya. Dari mana Anda datang? Dan ke mana Anda mau pergi?”
“Saya baru datang dari Canada. Di sana saya mengunjungi sekelompok lumberstrikers (para penebang kayu). Sekarang saya misalnya hendak pergi ke Texas dan Mexico. Katanya di sana terdapat banyak orang biadab yang hanya tertawa senang ketika mereka menggunakan pisau atau peluru untuk membunuh orang lain.”
“Saya pun sedang menuju ke sana! Saya ingin berangkat ke Texas dan California. Tapi saya tidak keberatan, seandainya saya harus singgah sebentar di Mexico. Apakah saya boleh pergi bersama Anda?”
“Apakah Anda boleh? Ya, tentu saja! Anda sudah pernah menjelajahi daerah Selatan, jadi just Andalah orang yang sebenarnya saya butuhkan. Tapi katakan sekali lagi dengan serius, apakah Anda sungguh menulis buku?”
“Ya.” “Hmmm! Kalau Old Shatterhand menulis buku, pasti persoalannya sungguh
lain daripada yang saya bayangkan. Namun saya katakan, lebih baik saya jatuh terperosok ke dalam sarang beruang dengan punggung lebih dulu daripada saya harus mencelupkan pena ke dalam tinta. Sepanjang hidup belum satu kata pun yang berhasil saya tulis. Tetapi sekarang ceritakanlah, bagaimana orang-orang Indian itu bisa datang sampai ke daerah ini! Mereka adalah suku Ogellallah dan orang harus berhati-hati terhadap mereka.”
Saya lalu menceritakan kepadanya semua yang saya ketahui. “Hmmm!” sahutnya. “Kalau begitu, tidak aman jika kita berlama-lama di sini.
Kemarin saya menemukan jejak yang membuat saya tercengang. Saya lalu menghitungnya, paling sedikit ada enam puluh kuda yang melewati tempat itu. Keempat orang Indian ini pasti anggota kelompok itu dan mereka dikirim untuk membuat patroli keliling. Apa Anda sudah pernah berada di sini?”
“Belum.” “Kira-kira dua puluh mil dari sini ke arah barat terbentang padang prairie yang
rata. Sepuluh mil sesudahnya terdapat sebuah sungai. Orang-orang Indian pasti pergi ke sana untuk memberi minum kudanya. Tentu saja kita harus menghindari mereka dan lebih baik kita pergi ke selatan. Kita akan tiba di sungai tersebut besok sore. Kalau kita segera berangkat, maka sebelum hari malam kita sudah tiba di rel kereta api yang dibangun dari Amerika menuju ke daerah Barat. Seandainya kita sampai pada saat yang tepat, kita bisa beruntung melihat kereta yang misalnya lewat di depan mata.”
“Saya siap berangkat. Namun apa yang akan kita lakukan dengan mayat-mayat ini?”
“Apa yang akan kita lakukan? Tidak banyak. Kita membiarkan saja mereka tergeletak di sini. Hanya sebelumnya saya ingin mengerat telinga mereka.”
“Kita harus menguburkan mereka, karena apabila orang menemukannya, maka akan ketahuan bahwa kita berada di tempat ini.”
“Orang harus menemukan mayat-mayat ini, Charley. Saya justru menghendakinya demikian.”
Maka keempat mayat itu dipikulnya ke atas sebuah bukit lalu dibaringkan berdampingan. Kemudian dia memotong telinga mereka dan meletakkannya di tangan masing-masing.
“Selesai, Charley! Kawan-kawannya akan menemukan mereka dan segera tahu, bahwa Sans-ear berada di sini. Dengarlah, rasanya sangat mengerikan jika telinga kita menggigil kedinginan pada musim dingin. Sekarang mereka tidak akan mengalaminya lagi. Pada suatu hari saya kurang gesit sehingga akhirnya saya ditangkap oleh kulitmerah. Saya memang bisa membunuh beberapa dari mereka, tetapi ada seorang yang berhasil lolos. Saya mengayunkan tomahawk, namun hanya telinganya yang kena. Karena itu sebelum saya dibunuh, mereka mengerat telinga saya sebagai balasan untuk menghina saya. Mereka berhasil mengambil telinga saya tapi bukan hidup saya, karena tanpa diduga-duga Sam Hawerfield bisa melepaskan diri lalu kabur. Tetapi untuk menebus kedua telinga saya … nah, hitunglah!”
Dia mengambil senjatanya dan dengan tenang memperlihatkan sejumlah garis yang terpahat di sana.
“Setiap garis mewakili nyawa seorang musuh dari pihak Indian. Sekarang saya akan membuat lagi empat garis baru.”
Dia memahat empat garis kemudian berkata, “Yang terpahat di sini adalah nyawa kulitmerah. Sedangkan di atasnya
terpahat delapan garis untuk kulitputih yang sudah merasakan peluru saya. Mengapa saya sampai melakukannya, kelak akan saya ceritakan kepada Anda. Dan dari kulitputih hanya dua orang yang masih terus saya buru. Keduanya adalah bapak dan anak. Mereka merupakan manusia paling jahat yang pernah terlahir ke dunia ini. Jika saya menemukan keduanya, maka selesailah tugas saya.”
Matanya yang berkilat-kilat tiba-tiba tampak berlinang. Di wajahnya yang keras terpancar ekspresi duka cita, kesedihan dan kasih sayang. Saya menduga, hati pemburu tua itu berkabung karena terkenang suatu peristiwa di masa lampau. Barangkali seperti kebanyakan orang lain, dia ingin mengubur rasa sakit atau dendamnya dengan pergi bertualang di padang rumput yang keras ini. Karena di sini seorang pemburu prairie sejati tidak mengindahkan perintah utama dari Yesus “Kasihilah musuh-musuhmu!”
Dia kembali mengisi senjatanya. Senjata itu merupakan mesin tembak yang menakutkan yang banyak ditemukan di padang prairie. Lekukan pada senjata itu sudah kehilangan bentuk aslinya. Garis-garis dibuat tumpang tindih, begitu pula dengan pahatan lain. Setiap garis meninggalkan pesan bahwa senjata itu telah merenggut satu nyawa musuh. Larasnya sudah dipenuhi lapisan karat yang tebal dan kelihatan seperti sudah bengkok. Tak seorang pun yang bisa melepaskan tembakan dari besi tua itu. Tetapi di tangan pemiliknya, senjata itu tidak pernah salah sasaran. Sepanjang hidupnya dia sudah terbiasa menggunakannya dan dia tahu segala kelebihan serta kekurangan alat itu. Jika tembakan sudah dilepaskan, dia tahu pasti bahwa pelurunya akan mencapai sasaran.
“Tony!” panggilnya. Kuda itu sedang merumput di sekitar tempat kami. Mendengar seruan
tuannya, ia datang mendekat kemudian menekukkan lutut di sampingnya, sehingga pemburu itu hanya perlu meletakkan tangan di atas punggungnya lalu melompat ke atasnya.
“Sam, Anda memiliki seekor kuda yang luar biasa! Siapa yang pertama kali melihatnya tidak akan mengeluarkan selembar dollar pun untuk membelinya. Tetapi
siapa yang sudah mengenalnya akan segera tahu bahwa Anda tidak akan melepaskan kuda ini walaupun dibayar dengan seribu sovereigns9.”
“Seribu? Pshaw! Lebih baik katakan satu juta! Saya mengenal tambang-tambang emas di Rocky Mountains dan saya bisa meraup emas dari tempat itu. Ya, tetapi seandainya suatu saat saya menemukan seseorang yang pantas mendapatkannya, dan Sam Hawerfield menyukai pribadi orang itu, maka saya akan menunjukkan placers itu kepadanya. Karena itu saya tidak perlu melepaskan Tony karena uang. Dengarlah cerita saya, Charley! Dia yang sekarang bernama Sans-ear, dulunya adalah seorang manusia yang sangat lain, tidak seperti sekarang. Dia hidup bahagia dan sejahtera, ibarat hari yang disinari cahaya matahari dan laut yang penuh berisi air. Dia bekerja sebagai seorang farmer muda. Dia memiliki seorang istri yang begitu dikasihinya sehingga dia rela mempertaruhkan hidupnya untuk sang istri. Dia juga memiliki seorang putra. Baginya hidup sang putra seribu kali lebih bernilai daripada hidupnya sendiri. Sang istri diboyongnya pulang ke rumah dengan menunggang kuda kesayangannya. Tony nama kuda itu. Ketika kuda itu melahirkan seekor anak yang sehat dan lincah, tidak seperti kuda lainnya, mengapa ia tidak dinamai dengan Tony seperti nama induknya? Bukankah begitu, Charley?”
“Ya,” jawab saya terpesona mendengar kisah cinta yang begitu sederhana. Tanpa diminta dia menceritakan semuanya kepada saya dengan polos.
“Well! Pada suatu hari datanglah kesepuluh kulitputih yang sudah saya ceritakan tadi. Mereka adalah komplotan bushheaders yang hanya membuat huru-hara di daerah itu. Mereka membakar lahan pertanian saya dan membunuh istri serta putra saya. Kuda saya tidak mereka bawa karena biantang itu tidak mau ditunggangi orang asing. Maka mereka menembaknya hingga mati. Hanya anak kuda yang selamat, karena kebetulan pada waktu itu ia sedang tersesat di luar. Ketika kembali dari berburu, saya menemukan binatang itu yang menjadi satu-satunya saksi dari kegetiran saya. Apa lagi yang harus saya ceritakan? Delapan orang dari penjahat itu tewas, tewas di tangan saya setelah terkena peluru dari senjata ini. Tapi kedua orang lain yang meloloskan diri itu pun kelak akan jatuh ke tangan saya. Karena jika si tua Sans-ear menemukan jejak mereka, maka dia akan terus mengejarnya sampai ke Mongolia. Mereka tidak akan luput darinya. Itulah sebabnya mengapa saya ingin pergi ke Texas kemudian terus ke Mexico. Seorang farmer yang dulu muda dan bahagia kini telah berubah menjadi seorang pemburu prairie tua yang hanya menuntut darah dan balas dendam. Anak kuda itu pun telah berubah menjadi mahluk yang kelihatan lebih mirip seekor kambing daripada seekor kuda pilihan. Tetapi sampai hari ini keduanya masih tetap bersemangat dan saling menolong sampai sebilah panah, sebutir peluru atau mungkin tomahawk mengakhiri sejarah hidup salah satu dari keduanya. Yang bertahan hidup pasti akan segera menyusul mati, entah si kuda atau saya pemiliknya, karena dia tidak bisa menahan duka cita dan kerinduan kepada sahabatnya yang hilang.”
Dia mengusap matanya dengan tangan. Kemudian dia naik ke atas punggung kudanya lalu berkata,
“Itulah sedikit tentang kisah masa lalu saya, Charley. Anda adalah orang pertama yang saya ceritakan tentang kisah ini, walaupun saya baru pertama kali bertemu Anda hari ini. Anda juga menjadi orang terakhir yang mendengar kisah ini. Anda pasti sudah sering mendengar tentang saya. Saya pun sudah mendengar cerita tentang Anda ketika saya duduk di seputar api unggun bersama teman-teman saya atau orang lain. Karena itu saya hanya mau menunjukkan bahwa Anda bukanlah orang yang baru bagi saya. Sekarang buatlah hati saya senang dan lupakan bahwa hari ini saya dikalahkan oleh Anda! Kelak saya akan menunjukkan bahwa si tua Sam Hawerfield ini selalu siap di tempat setiap saat.”
Setelah melepaskan ikatan mustang, saya naik ke atas pelana kuda. Tadi dia mengatakan, kami akan pergi ke arah selatan, tetapi sekarang dia justru memacu
9 Uang logam Inggris yang terbuat dari emas dan bernilai ₤1, suatu nominal yang sangat tinggi.
kudanya ke arah barat. Saya tidak bertanya karena saya yakin, dia pasti mempunyai maksud tertentu yang sudah diperhitungkannya dengan matang. Saya juga tidak mengucapkan sepatah kata pun ketika dia mengambil dan membawa tombak milik keempat orang Indian tadi. Tiba-tiba saya teringat akan si tua sahabat saya, Sam Hawkens, yang juga memiliki nama depan yang sama.
Kelihatannya kami sudah berjalan lumayan jauh. Selama perjalanan kami tidak bercakap-cakap sedikit pun. Tiba-tiba dia menghentikan kudanya lalu turun dan menancapkan sebilah tombak pada puncak bukit. Sekarang saya paham maksudnya. Rupanya dia ingin memasang tombak itu sebagai penunjuk jalan bagi orang-orang Indian agar mereka bisa sampai ke tempat mayat-mayat tadi. Mereka akan segera tahu bahwa dendam Sans-ear telah menelan empat korban lagi.
Kemudian dia membuka tas pada pelana kudanya lalu mengeluarkan delapan potong kain keras yang dibagikan untuk saya dan dirinya.
“Ambillah, Charley. Turun dan bungkuslah telapak kaki mustang Anda dengan kain ini sehingga kita tidak meninggalkan jejak sedikit pun di tanah. Orang-orang Indian pasti berpikir bahwa kita terbang dari sini melalui udara. Sekarang Anda harus terus berkuda ke selatan, sampai Anda tiba pada rel kereta. Di sana Anda harus menunggu saya. Terlebih dahulu saya harus menancapkan ketiga tombak ini, kemudian saya misalnya segera menyusul Anda dari belakang. Kita pasti akan bertemu di sana. Tapi seandainya kita tersesat, maka seorang dari kita harus memberi tanda, yakni dengan bunyi burung gagak jika saat itu hari siang atau bunyi lolongan coyote10 jika hari sudah malam.”
Lima menit kemudian saya tidak melihatnya lagi. Sambil merenung dalam keheningan saya memacu kuda menuju arah yang tadi ditunjuknya. Dengan telapak kaki yang terbungkus, kuda saya tidak bisa berlari cepat. Karena itu setelah menempuh jarak kira-kira lima mil inggris, saya turun dan melepaskan kain tersebut. Maksud kain pembungkus itu hanya untuk menghilangkan jejak kami di sekitar tempat tombak itu terpancang.
Kini kuda saya bisa berlari lagi seperti biasa. Padang prairie yang saya lewati lambat laun tampak semakin rata. Di sana-sini terlihat beberapa tumbuhan berbiji dan semak-semak liar. Matahari masih berada beberapa derajat di atas horison barat. Karena itu dengan mudah saya bisa melihat sebuah garis di selatan yang membentang dari arah barat menuju timur.
Itukah rel kereta yang dimaksudkan oleh Sam Hawerfield? Tentu saja. Saya segera berlari ke sana dan memastikan bahwa dugaan saya benar. Di hadapan saya terbentang rel kereta yang dibangun di atas gundukan tanah yang agak tinggi.
Tiba-tiba saya dihinggapi perasaan aneh, perasaan yang tidak menentu. Setelah sekian lama akhirnya saya merasa berhubungan kembali dengan dunia maju di tempat ini. Kalau sebuah kereta mendekat, saya hanya perlu memberi tanda. Pasti kereta akan berhenti lalu saya naik; kemudian saya pun bisa pergi ke barat atau timur.
Setelah mengikat kuda dengan laso, saya mencari potongan-potongan kayu kering di dalam semak belukar untuk membuat api unggun. Seonggok semak tumbuh sangat rapat pada rel kereta. Saya membungkuk untuk memungut ranting-rantingnya. Tapi saya terkejut ketika melihat sebuah palu tergeletak di tanah. Alat itu baru saja ditinggalkan, karena kepala palu itu masih mengkilat. Pasti ia baru saja digunakan. Selain itu saya pun sama sekali tidak menemukan karat pada bagian mata palu, ujung pengungkitnya ataupun pada tempat masuknya pasak. Seandainya alat itu sudah tergeletak beberapa hari dan basah terkena embun malam, maka ia pasti sudah berkarat. Karena itu bisa saya simpulkan, hari ini atau paling lama kemarin tempat ini telah didatangi orang.
Pertama-tama saya memeriksa sisi seberang rel kereta, tapi tak ada yang mencurigakan. Kemudian saya naik ke atas gundukan tanah itu dan meneliti beberapa saat, tapi juga sia-sia. Tiba-tiba saya melihat seonggok semak tebal dari rumput yang
10 Sejenis serigala prairie.
berbau dan agak terpintal. Tanaman tersebut sangat menyolok mata karena jarang ditemukan. Benar, ada orang yang menjejakkan kakinya di tempat itu! Jejak itu masih baru, paling tidak ditinggalkan dua jam yang lalu. Bagian rumput yang hanya terlipat oleh tepi sepatu sudah kembali berdiri tegak. Sedangkan bagian yang terinjak oleh telapak kaki masih jelas menampakkan bentuk tumit dan jari-jari kaki. Itu adalah jejak mokassin11 Indian. Apa benar ada orang Indian di sekitar sini? Bagaimana saya bisa menghubungkannya dengan palu tadi? Bukankah kulitputih pun memakai sepatu mokassin? Atau mungkin ada seorang pegawai kereta yang terbiasa memakai sepatu empuk itu? Saya terus mencari dan belum merasa tenang jika saya hanya bisa menduga-duga. Yang paling penting sekarang adalah saya harus mendapatkan kejelasan.
Tetapi harus saya akui, menyelidik di sepanjang rel kereta merupakan tindakan yang sangat berbahaya. Bisa saja ada musuh yang bersembunyi di dalam semak-semak pada kedua sisi rel dan dari jauh mereka sudah mengamati saya di atas rel. Benar, tetapi di lain pihak palu tadi membuat saya merasa tidak tenang. Maka tanpa ragu-ragu saya mulai membuat penyelidikan. Karena saya tahu bahwa sekarang suku Ogellallah berkeliaran di daerah ini, maka saya sangat berhati-hati dengan semua hal yang kelihatan sepele. Saya menyandangkan senapan ke pundak dan menggenggam revolver di tangan. Sambil berlindung dari satu semak ke semak lain, saya terus merangkak maju. Tak ada hasil. Maka saya kembali dengan menempuh sisi lain dari rel, juga sia-sia. Penyelidikan diteruskan ke arah selatan, menuju ke tempat kuda saya merumput, lalu dilanjutkan ke arah timur. Mula-mula hasilnya nihil. Sambil membungkuk saya ingin menyeberangi rel kereta. Dengan bertumpu pada kedua tangan dan kaki, saya merangkak maju. Tiba-tiba saya melihat sesuatu yang lembab, seperti sebuah jejak dari pasir. Anehnya pasir-pasir itu membentuk figur melingkar yang kelihatan seolah-olah sengaja ditaburkan di sana. Saya kemudian mengaisnya dengan jari dan – terus terang – alangkah terkejutnya saya. Tangan saya dipenuhi lumuran darah. Pasir itu pun berwarna merah dan basah. Sambil berbaring di atas tanah, saya memeriksa lebih teliti. Baru saya tahu bahwa pasir itu ditaburkan di atas gumpalan darah.
Seseorang telah dibunuh di tempat ini. Jika ini darah seekor hewan, maka orang tidak perlu repot-repot menutupinya. Tapi siapakah yang telah dibunuh dan siapa pembunuhnya? Tak ada jejak yang terlihat di situ karena tanah yang keras tidak bisa merekam jejak sedikit pun. Ketika saya mengamati semak di seberang rel yang tumbuh di dekat rumput gajah, baru saya melihat beberapa jejak kaki dan dua jejak lain. Tampaknya seseorang telah diseret dari gundukan tanah pada rel sehingga kakinya menggores di tanah. Tubuhnya dipegangi, sedangkan kakinya dibiarkan sehingga meninggalkan garis di tanah.
Sangat berbahaya jika saya menyeberang ke sisi rel yang lain. Darah itu belum sepenuhnya meresap ke dalam tanah dan jejak kaki pun tampak masih baru serta belum rusak. Dugaan saya, pembunuhan ini baru saja terjadi dan sang pembunuh masih berada di dekat sini. Saya merangkak turun lalu mengambil arah yang berlawanan. Setelah agak jauh dari tempat itu, saya menyeberangi rel lalu mulai mengendap-endap menuju ke arah timur.
Semuanya berlangsung sangat lambat karena saya harus menggunakan semua siasat dan keahlian. Saya juga harus mengatur semua gerakan dan posisi tubuh sedemikian rupa agar tidak terlihat oleh musuh yang mungkin saja dekat. Untunglah di tempat itu tumbuh alang-alang yang begitu rapat. Jadi, kalau saya bersembunyi di balik semak dengan hati-hati dan bisa mengamati semak berikutnya sebelum saya menyusup ke sana, maka tanpa terlihat saya akan tiba di tempat saya melihat darah tadi.
Di situ tumbuh semak lentisken yang lebat dan di depannya ada sederetan pohon ceri. Sambil bertiarap saya bersembunyi di baliknya. Jarak saya ke pohon itu
11 Moccasin: sepatu Indian.
sekitar delapan meter. Di antara saya dan pohon ceri terbentang lahan kosong. Pohon ceri memang menghalangi saya untuk melihat dengan jelas, begitu pula semak-semak lentisken yang tumbuh rapat. Walaupun demikian tampak seolah-olah ada tubuh manusia terbaring di bawahnya. Sosok itu agak tersembunyi tapi membentuk sebuah bayangan hitam yang sangat berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Ukurannya sebesar tubuh manusia. Barangkali korban pembunuhan disembunyikan di sana? Tetapi mungkin saja dialah sang pembunuhnya. Saya harus menyelidikinya supaya tahu.
Mengapa saya berani melibatkan diri dalam bahaya? Sebenarnya saya bisa menunggu sampai Sam datang kemudian dengan tenang kami meneruskan perjalanan! Tapi seorang pemburu prairie harus tahu, siapa musuh yang berada di depan, di belakang maupun di sampingnya. Selain itu dia akan menyelidiki setiap hal, yang tampak sepele sekalipun. Dengan demikian dia bisa menarik kesimpulan tentang apa yang ingin diketahuinya. Dia akan merasa lebih tenang jika mengetahui rahasia itu. Pengetahuan seperti ini biasanya diabaikan begitu saja oleh profesor maupun kaum terpelajar. Seorang pemburu prairie membuat kesimpulan dari hal yang kelihatan tidak berarti dan dianggap tidak berhubungan satu sama lain. Sementara itu orang lain yang tidak berpengetahuan mungkin akan menertawakan dia. Tapi kemudian selalu terbukti bahwa kesimpulannya tepat. Bisa jadi pada suatu hari dia berkuda menempuh jarak empat puluh atau lima puluh mil inggris, sedangkan keesokan harinya dia berjalan tidak sampai setengah mil. Hal ini karena sebelum maju selangkah, dia harus menyelidiki apakah keadaan di sekitarnya aman. Kalaupun sikap hati-hati ini tidak berguna bagi dirinya, pengalamannya bisa berharga bagi orang lain. Dia bisa menasihati mereka, memperingatkan, dan memberi petunjuk kepada mereka. Selain itu, ada dorongan dalam diri setiap manusia untuk mencari rasa aman dari bahaya dan berjuang sekuat tenaga melawan setiap kejahatan. Ini belum termasuk keberanian yang biasanya dimiliki oleh orang-orang kuat yang membuat mereka berani bertindak nekat.
Saya memungut sepotong ranting, memasangkan topi saya di ujungnya lalu menggoyangkan semak-semak ceri dengan maksud menimbulkan bunyi gemerisik sehingga terlihat dari sana bahwa ada orang yang berusaha mendekat. Namun tak ada tanggapan. Barangkali tidak ada musuh di sana atau saya sedang menghadapi seseorang yang cerdik dan berpengalaman sehingga tidak mau diperdaya oleh cara seperti itu.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil resiko. Saya merangkak balik dan berhenti. Dengan dua lompatan saya sudah melewati lahan terbuka tadi dan menyusup ke dalam semak lentisken sambil menggenggam pisau yang siap ditikamkan. Di bawah timbunan ranting-ranting yang dipatahkan terbaring seseorang. Saya langsung memeriksanya, tetapi ternyata dia sudah mati. Saya menyingkirkan ranting-ranting dan tampak sebuah wajah yang mengerikan dengan kepala berlumuran darah. Dia seorang pria kulitputih dan kepalanya sudah dikuliti. Setelah memeriksa tubuhnya, saya menemukan sebuah anak panah tertancap di punggungnya. Jadi sekarang saya berurusan dengan orang-orang Indian yang sedang dalam perjalanan ke medan perang. Hal ini dapat terlihat dari anak panah itu.
Apakah mereka sudah pergi atau masih berada di sekitar sini? Saya harus tahu. Di sini jejak mereka tampak jelas yakni dari rel kereta menuju padang prairie. Saya mengikuti jejak itu dengan berpindah dari satu semak ke semak berikutnya. Setiap saat bisa saja saya dipanah, karena itu saya selalu menggenggam pisau yang siap digunakan. Dari ukuran jejak kaki, saya bisa menyimpulkan bahwa mereka berjumlah empat orang, dua orang dewasa dan dua anak muda. Saya bergerak maju dengan hanya bertumpu pada ujung jari tangan dan jari kaki. Cara ini menuntut latihan yang tekun dan hanya membutuhkan sedikit tenaga. Mereka tidak berusaha menghapus jejaknya; ini karena mereka merasa tempat ini benar-benar aman.
Angin bertiup dari arah tenggara, jadi berlawanan arah dengan tempat tujuan saya. Karena itu saya tak terkejut ketika mendengar suara endusan kuda. Yang dicium
binatang itu pasti bukan bau tubuh saya. Saya terus merangkak maju. Akhirnya saya sampai pada tujuan atau paling kurang saya bisa mengamati dan bisa langsung pulang. Di hadapan saya berdiri kira-kira enam puluh ekor kuda di antara semak-semak. Kecuali dua ekor kuda, kuda-kuda lainnya dihiasi perlengkapan berkuda a la Indian. Kuda-kuda itu tidak berpelana. Kelihatannya pelananya sudah diambil dan digunakan sebagai alas duduk atau bantal di dekat tempat mereka beristirahat. Dua orang ditugaskan untuk menjaga kuda-kuda tersebut. Salah seorang penjaga yang kelihatan masih muda mengenakan sepasang sepatu lars dari kulit sapi yang rupanya dirampas dari orang yang tadi saya temukan tewas. Tentu saja pakaian serta semua harta korban dibagikan di antara para pembunuh itu. Jadi anak muda itu termasuk dalam kelompok empat orang tadi yang jejaknya terus saya ikuti sampai kemari.
Orang-orang Indian juga sering bergaul dengan kulitputih, walaupun kulitputih tidak mengerti bahasa mereka. Karena alasan ini maka kulitmerah dan mukapucat saling berbicara dengan menggunakan bahasa isyarat. Gerakan, isyarat serta artinya pasti dipahami oleh setiap orang yang pernah hidup di Wild West. Sering terjadi bahwa orang memakai suara apabila pembicaraan itu sangat menarik atau apabila hal yang ingin disampaikan bersifat mendesak. Ungkapan itu diiringi dengan gerakan tangan, sehingga artinya bisa dimengerti, sama seperti jika orang berbicara. Kedua penjaga tadi bercakap-cakap. Isi pembicaraan mereka tampaknya sangat menarik, karena keduanya memberi isyarat bahwa mereka sedang tidak diamati musuh. Tampak dari tatapan matanya, prajurit yang kalem dan lebih tua kurang senang. Mereka menunjuk ke arah barat lalu memberi isyarat api dan kuda. Aha … jadi artinya lokomotif atau yang biasa disebut ‘kudaapi’ oleh orang Indian. Lalu busurnya dipukul-pukulkan ke tanah seakan-akan mereka ingin memecahkan sesuatu atau memukul dengan palu. Ada juga gerakan membidik seperti siap menembak, gerakan menusuk dan ayunan tomahawk.
Saya merasa sudah cukup memahaminya lalu saya merangkak pulang sambil berusaha sedapat mungkin menghilangkan semua jejak saya.
Ini memakan waktu yang lama, bahkan sangat lama, sampai saya tiba lagi pada kuda saya. Kuda itu tidak lagi merumput sendirian, karena di sampingnya ada juga kuda Sam. Sam sendiri berbaring santai di belakang semak dan sedang mengunyah sepotong dendeng keras.
“Berapa jumlah mereka, Charley?” “Siapa maksud Anda?” “Orang-orang Indian.” “Bagaimana Anda bisa tahu?” “Anda menganggap si tua Sans-ear ini sebagai seorang greenhorn, seperti dia
menganggap Anda kemarin? Kalau begitu Anda sangat keliru, hihihihi!” Suara tawanya terdengar tidak keras dan sangat terukur seperti yang pernah
saya dengar sebelumnya. Dia tertawa jika merasa diri lebih tahu daripada orang lain. Kesamaan ini pun dijumpai pada diri Sam Hawkens yang juga biasa tertawa seperti itu.
“Apa maksud Anda, Sam?” “Haruskah saya katakan kepada Anda, Charley? Apa yang akan Anda lakukan
jika Anda datang ke sini dan hanya menemukan palu ini di dekat kuda, sementara itu orang yang bernama Old Shatterhand sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya?”
“Saya akan menunggu sampai dia kembali.” “Sungguh? Saya misalnya tidak yakin bahwa Anda sudah pergi ketika saya
datang. Barangkali terjadi sesuatu pada diri Anda, karena itu saya pergi menyusul Anda.”
“Tetapi rencana saya bisa saja gagal lantaran kehadiran Anda. Saya pikir, Old Shatterhand tidak akan bertindak sebelum mempertimbangkan semuanya masak-masak. Berapa jauh Anda mengikuti saya?”
“Mula-mula ke sana, lalu ke sana, sampai ke tempat manusia malang yang dihabisi orang Indian itu. Saya bisa bergerak cepat karena saya tahu, Anda berada di
depan saya. Ketika melihat mayat tersebut, saya berpikir Anda hanya pergi untuk mengamat-amati lalu segera kembali. Makanya saya misalnya berbaring tenang menunggu Anda pulang. Jadi berapa jumlah mereka?”
“Kira-kira enam puluh orang.” “Sekarang sudah jelas. Mereka adalah kawanan yang sudah saya lihat jejaknya
kemarin. Apakah mereka sedang dalam perjalanan ke medan perang?” “Ya.” “Mereka hanya berhenti untuk sementara?” “Pelana kudanya dilepas.” “Gila! Pasti mereka merencanakan sesuatu di tempat ini. Apa Anda tidak
mendengar rencana mereka?” “Kelihatannya mereka bermaksud merusakkan rel kereta sehingga kereta yang
lewat akan terbalik, kemudian merampoknya.” “Apa Anda sedang bergurau, Charley? Hal seperti itu terlalu berbahaya bagi
railroader dan para penumpangnya! Dari mana Anda tahu rencana itu?” “Saya mendengar mereka membicarakannya.” “Jadi Anda mengerti bahasa Ogellallah?” “Ya, tapi hal itu tidak penting. Saya berhasil mendekati penjaga kuda dan
melihat mereka bercakap-cakap dengan bahasa isyarat.” “Bisa jadi Anda salah mengerti. Ulangi sekali lagi gerakan-gerakan yang Anda
lihat!” Saya pun memperagakannya. Manusia kerdil itu meloncat bangkit, tapi segera
menguasai diri, kemudian duduk kembali. “Kalau begitu Anda benar mengartikan isyarat itu. Kita harus menolong para
penumpang kereta. Namun kita misalnya tidak boleh tergesa-gesa, karena persoalan berat ini seperti harus dipertimbangkan dengan tenang dan harus dirundingkan. Jadi ada enam puluh orang? Hmmm, pada senjata saya hanya ada tempat untuk sepuluh garis lagi. Di mana saya harus memahat garis-garis yang lain?”
Walaupun situasinya menegangkan, saya hampir tertawa. Manusia kerdil ini akan menghadapi enam puluh Indian. Dia bukannya merasa cemas karena akan diserang, sebaliknya dia malah memikirkan tempat untuk pahatan baru pada senjatanya.
“Berapa orang yang hendak Anda bunuh, Sam?” tanya saya. “Saya misalnya belum tahu. Namun saya pikir, paling banyak dua atau tiga
orang, karena yang lainnya pasti akan melarikan diri seandainya melihat dua puluh atau tiga puluh kulitputih.”
Jadi seperti saya, dia pun berpikir bahwa kami akan mendapat bantuan dari pegawai kereta dan para penumpang.
“Yang paling penting adalah,“ ujar saya memberi penegasan, “kita harus tahu kereta mana yang akan diserang. Sangat disayangkan seandainya kita salah menebak arah datangnya kereta.”
“Melihat isyarat mereka tadi, mereka menargetkan kereta mountain yang datang dari arah barat. Ini tentu membuat saya heran, sebab kereta yang memuat barang-barang penting yang dibutuhkan orang Indian sebenarnya kereta api dari arah timur, dan bukan dari barat. Karena itu tak ada cara lain, kita harus membagi tugas. Salah seorang dari kita harus pergi ke arah matahari terbit dan yang lain ke arah matahari terbenam.”
“Kalau mau berhasil tentu saja kita harus melakukan demikian supaya lebih pasti. Ya, andaikan kita tahu kapan dan dari arah mana kereta akan datang.”
“Siapa yang bisa tahu! Seumur hidup saya, saya belum pernah masuk ke dalam kotak yang disebut gerbong yang di dalamnya orang pun tidak leluasa menjulurkan kakinya. Saya lebih menyukai padang prairie dan Tony! Apakah Anda melihat orang Indian yang sudah mulai bekerja?”
“Belum, saya hanya melihat kuda-kudanya. Tapi bisa diduga, mereka tahu kapan kereta akan lewat dan kelihatannya mereka akan merusak rel sebelum malam.
Paling lama kita membutuhkan satu setengah jam untuk tiba di rel kereta, kemudian kita mengintai mereka untuk mengetahui maksud mereka."
“Well, harus seperti itu!” “Tapi sebaiknya salah seorang dari kita berjaga-jaga di dekat rel kereta. Bisa
jadi ada kulitmerah yang datang melalui sisi lain dari rel untuk meninjau ke sini. Setidak-tidaknya saya menduga, mereka akan merusakkan rel hingga ke sini, karena mereka memerlukan tempat yang luas untuk lokasi penyerangan.”
“Rasanya hal itu tidak perlu, Charley. Pandanglah Tony! Tidak pernah saya mengikat atau menambatnya. Tony adalah seekor kuda yang sangat pintar dan ia mempunyai daya penciuman yang sangat tajam serta bisa diandalkan. Pernahkah Anda menemukan seekor kuda yang tidak mendengus jika mencium bau musuh di dekatnya?”
“Tidak.” “Nah, hanya ada seekor kuda yang berbeda, dan kuda itu adalah Tony. Kalau
seekor kuda mendengus, ia akan memberi peringatan kepada pemiliknya. Namun di samping itu musuh pun akan tahu, pertama-tama di mana kuda dan tuannya berada, dan kedua, bahwa tuannya sudah diperingatkan akan bahaya. Tapi saya melatih Tony secara lain dan kuda itu sangat memahami maksud saya. Saya selalu membiarkannya bebas merumput. Begitu mencium bahaya, ia datang mendekat dan menggosok-gosokkan moncongnya pada saya.”
“Dan seandainya ia tidak mencium apa-apa seperti hari ini?” “Pshaw! Angin berhembus dari tempat orang-orang Indian itu, dan Anda boleh
membunuh saya apabila Tony tidak bisa mencium bau mereka pada jarak seribu langkah. Selain itu, orang-orang itu mempunyai mata yang tajam seperti elang, mungkin mereka sudah melihatnya dari jauh ketika Anda mengendap-endap sepanjang rel. Jadi tenang sajalah, Charley!”
“Anda benar. Saya pun bisa mempercayai Tony seperti Anda. Saya belum lama mengenal binatang itu, tetapi saya sudah cukup yakin, kuda itu bisa diandalkan.”
Lalu saya mengeluarkan sebatang ‘hasil racikan sendiri’ dan menyulutnya dengan api. Sam membelalakkan matanya yang kecil. Mulutnya menganga lebar. Hidungnya bertambah panjang dan dia mulai menghirup aroma tembakau dengan penuh hasrat. Sementara itu di wajahnya terpancar rasa gembira. Westman ini jarang sekali mengisap tembakau yang enak dan tidak bisa menahan diri untuk segera menikmati tembakau saya.
“Oh ... wonderful! Charley …! Jadi Anda mempunyai cerutu?” “Tentu saja! Bahkan masih ada dua belas batang. Anda mau?” “Berikan kemari! Anda adalah pria yang harus disegani!” Dia menyulut cerutunya pada cerutu saya. Kemudian seperti kebiasaan orang
Indian, dia menelan asapnya beberapa kali lalu menghembuskan kembali dari dalam perut. Wajahnya tampak berbinar-binar karena bahagia, seakan-akan dia berada di surga ketujuh bersama Nabi Muhammad.
“Hang sorrow! Alangkah nikmatnya! Boleh saya tahu, cerutu jenis apa ini, Charley?”
“Tebaklah! Bukankah Anda mengenal jenis-jenis cerutu?” “Pasti ini cerutu kegemaran saya!” “Apa itu?” “Goosefoot dari Virginia atau Maryland!” “Bukan!” “Apa? Kalau begitu untuk pertama kalinya saya keliru menebak. Pasti itu
adalah cerutu Goosefoot, karena saya mengenal aroma dan rasanya.” “Yang ini bukan Goosefoot!” “Kalau begitu cerutu Legittimo dari Brazil?” “Juga bukan!” “Curassao dari Bahia?” “Salah lagi!”
“Kalau begitu apa?” “Perhatikan cerutu ini!” Saya mengeluarkan sebatang lagi, membuka gulungannya kemudian
memberikan kepadanya lembaran pembungkus serta campuran tembakau itu. “Apa Anda sudah gila, Charley, sehingga Anda merusak cerutu seperti itu!
Seorang pemasang jebakan yang sudah lama tidak merokok, bisa menukarkan lima sampai delapan lembar kulit beaver12 untuk mendapatkan cerutu itu!”
“Dalam dua atau tiga hari saya akan memperoleh lagi cerutu baru.” “Dalam tiga hari? Cerutu yang baru? Dari mana?” “Dari pabrik saya.” “Apa? Jadi Anda memiliki pabrik cerutu?” “Ya.” “Di mana?” “Di sana!” Saya menunjuk ke tempat mustang saya. “Charley, saya minta agar Anda hanya boleh bergurau dengan saya, jika
gurauan itu misalnya berbobot!” “Ini bukan gurauan melainkan kenyataan.” “Hmmm! Seandainya Anda bukanlah Old Shatterhand, pasti saya sudah
berpikir isi kepala Anda terlalu banyak atau terlalu sedikit!” “Perhatikan dulu tembakau ini!” Dia memeriksanya dengan teliti. “Saya tidak mengenal jenis cerutunya. Tapi rasanya nikmat, sungguh-sungguh
nikmat!” “Sekarang akan saya tunjukkan pabriknya!” Saya melangkah menghampiri mustang dan melonggarkan pelananya lalu
mengeluarkan sebuah bantal kecil yang kemudian saya buka. “Ini, rogohlah ke dalam!” Dia menarik tangannya keluar sambil menggenggam dedaunan. “Charley, jangan menjadikan saya badut. Ini hanyalah daun-daun pohon
ceri dan lentisken!” “Benar! Memang hanya ada beberapa daun ganja liar, dan lembaran
pembungkusnya berasal dari sejenis tanaman yang Anda sebut sebagai verhally. Dalam bantal inilah sebenarnya pabrik tembakau. Setiap kali saya menemukan dedaunan ini, saya segera mengumpulkannya sebanyak mungkin kemudian memasukkannya ke dalam bantal lalu menyimpan bantal di bawah pelana kuda. Suhunya akan menjadi hangat sehingga daun-daun itu mengalami fermentasi. Itulah teknik yang saya pakai!”
“Sungguh sulit dipercaya!” “Tetapi terbukti! Cerutu jenis ini hanya merupakan pengganti tembakau.
Seorang perokok yang mempunyai langit-langit sekeras kulit bison pun hanya mampu menghisap paling banyak sekali, kemudian segera mencampakkannya. Namun jika Anda bertahun-tahun mengembara di padang sabana lalu mengisap tembakau jenis ini, maka rasanya akan sangat nikmat seperti cerutu Goosefoot. Anda bisa membuktikannya dengan pengalaman Anda tadi!”
“Charley, saya semakin menyegani Anda!” “Tapi jangan ceritakan sedikit pun tentang cerutu ini, jika Anda nanti berada
bersama orang-orang yang belum pernah mengembara di daerah Barat, karena nanti Anda akan dikira orang Tungus13, atau orang Kirgis14 atau mungkin orang Tibet, karena indra pengecap dan penciuman dari suku-suku itu sudah dilapisi tar atau dipenuhi oleh lapisan nikotin!”
12 Binatang sejenis linsang air. 13 Sebuah suku di Asia Tengah. 14 Sebuah suku di Siberia dan Cina bagian utara.
“Dianggap sebagai orang Tungus ataupun Tibet, bagi saya tak ada bedanya, yang penting cerutu ini terasa nikmat. Lagipula saya pun tidak tahu, di belahan Bumi mana suku-suku itu hidup.”
Walaupun saya sudah membuka rahasia pembuatan cerutu saya, dia tidak merasa terusik dan terus menikmati cerutu itu. Malahan dia mengisapnya sampai menjadi puntung yang begitu pendek sehingga tidak bisa lagi dijepit di antara kedua bibirnya.
Matahari sudah terbenam. Suasananya mulai remang dan hari mulai gelap, sehingga kami harus memikirkan rencana selanjutnya.
“Sekarang?” tanya Sam. “Ya.” “Bagaimana?” “Kita berangkat bersama-sama sampai di tempat kuda-kuda kulitmerah itu,
lalu berpencar. Kemudian kita memata-matai perkemahan mereka dan bertemu lagi sesudahnya.”
“Baiklah. Apabila terjadi sesuatu sehingga kita terpaksa harus melarikan diri, maka supaya tidak tersesat, kita berlari ke arah selatan menuju ke sungai. Di tempat itu ada hutan lebat yang tumbuh mulai dari puncak gunung hingga ke padang prairie. Dua mil dari puncak gunung itu, tepatnya pada sisi selatan hutan, terdapat sebuah hutan yang menjorok masuk ke prairie dan di tempat itulah kita bertemu lagi.”
“Kalau begitu baiklah! Mari kita berangkat!” Saya pikir, rasanya tidak mungkin kami diceraiberaikan oleh musuh. Tetapi
baik juga membuat kesepakatan seperti itu untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
Kami pun berangkat. Sekarang hari sudah gelap, sehingga dengan aman kami bisa berjalan tegak
menyeberangi rel kereta. Kami berbelok ke kiri lalu berkuda sepanjang tepi rel sambil menggenggam pisau yang siap ditikamkan jika ada bahaya menghadang. Di padang prairie mata kami sudah terbiasa melihat ke dalam kegelapan, sehingga kami bisa mengenali orang Indian yang berada beberapa langkah di depan kami. Setelah melewati mayat kulitputih tadi, kami tiba kembali di tempat, di mana sebelumnya orang-orang Indian menambatkan kuda. Binatang-binatang itu masih ada.
“Anda ke kanan dan saya ke kiri!” kata Sam. Dia segera mengendap-endap menjauhi saya.
Saya berbalik lalu mengendap-endap menghindari kuda-kuda itu dan tiba pada sebuah tanah lapang yang tidak ditumbuhi semak. Di sana tampak orang-orang Indian yang sedang berbaring. Mereka tidak menyalakan api unggun dan sedang bercakap-cakap. Tapi suara mereka begitu pelan, sehingga saya bahkan bisa mendengar bunyi getaran sayap kumbang di rerumputan. Agak jauh dari tempat itu, saya melihat tiga orang. Sebenarnya hanya suara merekalah yang tadi terdengar. Dengan sangat hati-hati saya merangkak ke belakang mereka. Betapa terkejutnya saya karena di antara mereka ada seorang kulitputih. Apa urusannya dengan orang-orang Indian ini? Dia bukanlah tawanan, hal ini terlihat jelas. Atau barangkali dia seorang pemburu prairie yang sebentar-sebentar bergaul dengan kulitmerah dan sebentar lagi dengan kulitputih, tergantung maksud jahat yang ingin dijalankannya. Atau bisa juga dia seorang pemburu yang setelah ditangkap orang Indian, dipaksa untuk mengambil seorang gadis kulitmerah sebagai squaw-nya dan kemudian menjadi anggota suku, supaya dengan itu dia tetap dibiarkan hidup. Namun jika demikian, maka pakaiannya, perhiasannya serta jahitannya yang bisa saya amati dalam gelap, tentu lebih menampakkan corak khas Indian.
Kedua orang yang lain adalah kepala suku. Ini bisa terlihat dari bulu burung gagak yang terselip tegak di atas ikat rambut di kepalanya. Tampak pula sejumlah prajurit dari dua suku yang berbeda atau dari dua perkampungan yang dikumpulkan untuk menjalankan misi tertentu.
Ketiganya duduk di pinggir tanah lapang dan sangat dekat pada sebuah onggokan semak. Hal ini memungkinkan saya mendekati mereka guna menguping isi pembicaraan mereka. Saya merangkak maju, kemudian berbaring begitu dekat, sampai-sampai tangan saya bisa menjamah mereka.
Percakapan mereka terhenti sejenak. Selama beberapa menit mereka hanya diam. Kemudian bertanyalah seorang kepala suku kepada pemburu itu dengan menggunakan bahasa Inggris bercampur bahasa Indian. Orang Indian biasanya memakai bahasa campuran kalau berbicara dengan kulitputih.
“Dan saudara saya kulitputih tahu pasti, bahwa kita just akan mendapatkan banyak emas yang dibawa oleh kudaapi yang akan datang?”
“Ya,” jawab orang yang ditanya. “Siapa yang memberitahukannya?” “Seseorang yang tinggal di kandang kudaapi itu.” “Emas itu berasal dari negeri Waikur15?” “Ya.” “Dan akan dikirimkan untuk kepala mukapucat16 yang kemudian akan
memberinya keuntungan besar?” “Benar.” “Kepala mukapucat tidak akan mendapatkan emas itu, sehingga dia tidak akan
memperoleh keuntungan sedikit pun. Apakah ada banyak orang yang akan menunggangi kudaapi itu?”
“Saya tidak tahu. Tetapi berapa pun banyaknya jumlah mereka, mereka tetap akan ditaklukkan oleh saudara saya kulitmerah bersama pasukannya yang gagah berani.”
“Prajurit-prajuri Ogellallah akan membawa pulang scalp mereka. Istri dan gadis-gadis akan menyambut kedatangan mereka dengan tarian suka cita. Apakah para penunggang kudaapi juga membawa banyak barang yang dapat digunakan kulitmerah? Seperti pakaian, senjata, dan callico17?”
“Sudah tentu, malahan lebih dari itu. Namun apakah benar, kulitmerah juga akan memberikan kepada saudaranya kulitputih sebanyak yang dia minta?”
“Saudara saya kulitputih akan memperoleh emas dan perak yang dibawa kudaapi. Kami tidak memerlukannya, karena di gunung-gunung kami tersimpan butiran nugget dalam jumlah yang berlimpah-limpah, sehingga kami hanya tinggal mengambilnya. Ka-wo-mien, kepala suku Ogellallah,“ katanya sambil menunjuk diri sendiri, “pernah mengenal seorang mukapucat yang sangat bijaksana dan gagah perkasa. Dia mengatakan, bahwa emas tidak lebih daripada deadly dust (debu maut) dan barang itu diciptakan oleh roh jahat penghuni bumi supaya manusia dihasut menjadi perampok dan pembunuh.”
“Kalau begitu si mukapucat itu sudah gila. Siapa namanya?” “Dia bukan orang gila, melainkan seorang prajurit yang sangat cerdik dan
berani. Orang-orang Ogellallah pernah berkumpul di sana, di dekat Sungai Broad-Fork untuk mengumpulkan scalp dari sejumlah pemburu kulit binatang yang menangkap beaver di daerah itu. Di antara mereka ada seorang kulitputih. Mereka menganggapnya gila, karena dia mengumpulkan tumbuh-tumbuhan serta menangkap kumbang, dan dia hanya datang untuk melihat-lihat padang sabana. Tetapi kepalanya dipenuhi kebijaksanaan dan tangannya dialiri kekuatan yang dahsyat. Tembakan senapannya tidak pernah meleset dan dengan pisaunya dia tidak gentar menghadapi beruang dari Rocky Mountains. Dia bermaksud mengajar kulitputih tentang cara-cara
15 California. 16 Presiden Amerika Serikat. 17 Sejenis kain tebal.
menghadapi kulitmerah, tetapi mereka malahan menertawakan dia. Karena itu mereka kemudian dibunuh dan kulit-kulit kepala mereka masih menghiasi wigwam orang Ogellallah hingga hari ini. Dia tidak lari meninggalkan saudara-saudaranya kulitputih, malahan dia membunuh banyak kulitmerah. Akan tetapi jumlah kulitmerah begitu banyak, sehingga dia berhasil dirobohkan, walalupun tubuhnya kokoh seperti sebatang pohon ek yang akan menghancurkan semuanya jika tumbang ditebang kapak woodman18. Dia lalu ditangkap dan digiring ke perkampungan suku Ogellallah. Mereka tidak membunuhnya karena dia seorang prajurit yang gagah berani dan banyak gadis kulitmerah ingin pergi ke kemahnya agar dijadikan squaw. Ma-ti-ru, kepala suku tertinggi Ogellallah, mengajukan dua pilihan: dia harus mengambil anak gadisnya untuk dijadikan istri atau dia akan dijatuhi hukuman mati. Tetapi dia malahan mencampakkan kembang prairie yang cantik itu, mencuri kuda kepala suku dan merebut kembali senjatanya lalu membunuh banyak prajurit, kemudian melarikan diri.”
“Sudah berapa lama peristiwa itu terjadi?” “Sejak peristiwa itu matahari kembali bersinar selama empat musim dingin.” “Siapa nama orang itu?” “Tinjunya ibarat cakar beruang. Dengan tangan kosong dia berhasil
menghancurkan tengkorak banyak kulitmerah dan juga beberapa mukapucat. Karena itu oleh pemburu-pemburu kulitputih, dia dinamai Old Shatterhand.”
Apa yang diceritakan Ka-wo-mien merupakan salah satu kisah petualangan saya di masa lampau. Sekarang saya kembali mengenali dia dan juga Ma-ti-ru yang duduk di sampingnya. Dulu keduanya pernah menangkap saya. Yang diceritakan tadi memang benar, tetapi dalam hati saya harus mengumpat, karena dia terlalu membesar-besarkan kemampuan saya.
“Old Shatterhand? Saya pun mengenalnya!” jawab si kulitputih. “Dulu dia berada di hide-spot19 milik Old Firehand, ketika saya dan beberapa prajurit tangguh menyerang tempat itu untuk merampas kulit otter20 dan beaver. Saya berhasil melarikan diri bersama-sama dua orang lain. Saya ingin sekali bertemu lagi dengan keparat itu, karena dia harus membayar kembali semua utang beserta bunganya kepada saya.”
Sekarang saya pun bisa mengenali orang itu. Dia adalah pemimpin para bushheaders yang dulu merampok kami. Tapi kami menyambutnya dengan cara yang sepadan, sehingga hanya tiga orang yang berhasil lolos. Dia adalah seorang perampok prairie yang lebih ditakuti daripada manusia-manusia primitif itu, karena dalam dirinya tertanam perpaduan sifat jahat dari kulitputih dan kulitmerah dengan ukuran dua kali lipat.
Ma-ti-ru yang sampai saat ini tidak berkata apa-apa, mengangkat tangannya. “Celakalah dia, seandainya dia jatuh sekali lagi ke tangan kulitmerah! Dia akan
diikat pada tiang siksaan dan Ma-ti-ru akan menyayat daging dari tulang-tulangnya. Dia telah membunuh prajurit Ogellallah, merampas kuda terbaik milik kepala suku, dan menolak cinta yang diberikan oleh gadis tercantik padang sabana!”
Andaikan ketiga orang itu tahu, bahwa orang yang sedang mereka kecam kini sedang berbaring tiga depa di belakang mereka!
“Kulitmerah tidak akan melihatnya lagi, karena dia telah menyeberangi laut menuju suatu daerah, di mana matahari terasa membakar seperti api, di mana hamparan pasirnya lebih luas daripada padang sabana, suatu tempat di mana singa-singa mengaum, dan pria boleh beristrikan beberapa wanita.”
Memang saya seringkali bercerita di beberapa api unggun, bahwa saya akan pergi ke Gurun Sahara. Perjalanan itu pun sudah saya lakukan. Sekarang, ketika saya mengembara keliling di padang prairie ini, saya merasa terkejut karena berita tersebut
18 Penebang kayu. 19 Tempat persembunyian hasil buruan para pemburu. 20 Binatang sejenis berang-berang.
telah tersebar sampai ke telinga orang-orang Indian. Kelihatannya di daerah ini saya lebih terkenal karena mahir menggunakan pisau daripada menulis dengan pena di tanah air sendiri.
“Dia akan kembali lagi,” kata Ma-ti-ru. “Barangsiapa yang telah menghirup hawa prairie, dia pasti selalu merasa rindu untuk kembali lagi selama Roh Agung masih membiarkannya hidup!”
Dalam hal ini dia benar. Seperti penduduk pegunungan yang tinggal di dataran rendah begitu merindukan puncak-puncak gunung dan seperti seorang pelaut yang tak sanggup berpisah dari lautan, demikian pula halnya dengan setiap orang yang sudah pernah mengembara di padang prairie. Saya memang kembali setelah perjalanan tersebut.
Sekarang Ka-wo-mien menunjuk ke arah bintang. “Saudara saya kulitputih, lihatlah ke langit! Kini tiba waktunya kita pergi ke
jalan kudaapi. Apakah tangan-tangan besi yang direbut prajurit saya dari pelayan kuda kulitputih itu cukup kuat untuk membongkar jalan kudaapi?”
Pertanyaan ini sekaligus memberikan keterangan, siapa orang yang tadi terbunuh; tentu saja seorang pegawai kereta yang membawa peralatannya untuk memeriksa rel kereta. Alat itulah yang disebut ‘tangan besi’ oleh kepala suku tadi.
“Tangan-tangan itu lebih kuat daripada tangan dua puluh kulitmerah,” jawab si kulitputih.
“Dan saudara saya tahu bagaimana menggunakannya?” “Ya. Kulitmerah harus menuruti perintah saya! Satu jam lagi kereta itu akan
tiba di sini. Tapi saudara-saudara saya harus ingat sekali lagi bahwa emas dan perak akan menjadi milik saya!”
“Ma-ti-ru tidak pernah berdusta!” kata kepala suku untuk meyakinkan dia lalu berdiri. “Emas itu menjadi milikmu, sedangkan semua barang lain, termasuk scalps para mukapucat, akan menjadi milik prajurit-prajurit Ogellallah yang gagah berani.”
“Dan kalian akan memberikan saya bagal21 untuk mengangkut emas-emas, juga beberapa orang yang akan melindungi saya dalam perjalanan menuju Canada?”
“Kamu akan mendapat bagal dan prajurit-prajurit Ogellallah akan mengantarmu hingga ke perbatasan negeri Aztlan (demikian orang Sioux menyebut Mexico). Seandainya kudaapi membawa lebih banyak barang yang berkenan di hati Ka-wo-mien dan Ma-ti-ru, maka mereka akan mengantarmu hingga ke ibukota Aztlan, tempat putramu sedang menantikan kedatanganmu, seperti yang pernah kamu ceritakan.”
Orang itu kemudian berseru. Tiba-tiba semua orang Indian bangkit. Saya menoleh ke belakang. Tidak jauh dari tempat saya berbaring, terdengar bunyi desiran halus yang mirip hembusan angin pada rerumputan.
“Sam!” Perkataan ini saya ucapkan seperti berbisik. Tapi dia yang hanya beberapa
langkah jauhnya dari saya, bisa mendengarnya. Sahabat saya yang bertubuh kerdil itu mula-mula hanya sedikit menampakkan diri tapi kemudian seluruh tubuhnya.
“Charley!” Saya merangkak mendekatinya. “Apa yang Anda lihat?” tanya saya. “Tidak banyak. Hanya orang-orang Indian seperti yang Anda lihat.” “Anda juga mendengar sesuatu?” “Sama sekali tidak, tak sepatah kata pun. Dan Anda?” “Sangat banyak. Kemarilah! Kita berangkat, tentu saja ke arah barat dan kita
harus bergegas menuju ke tempat kuda-kuda kita.” Tanpa suara saya merangkak mundur. Dia mengikuti dari belakang. Ketika tiba
di rel kereta, kami menyeberang ke sisi yang lain. Di sana kami berhenti.
21 Peranakan kuda dan keledai.
“Sam, pergilah ke tempat kuda-kuda kita dan berkudalah sepanjang rel sampai setengah mil, lalu tunggulah saya di sana. Saya tak akan meninggalkan kulitmerah itu sebelum saya mengetahui dengan pasti, apa yang akan mereka lakukan.”
“Dapatkah saya mengambil alih tugas ini? Sampai saat ini Anda sudah terlalu banyak memata-matai, hingga saya merasa malu karena sama sekali tidak berbuat apa-apa.”
“Tidak mungkin, Sam! Mustang saya akan menuruti perintah Anda, tetapi Tony Anda mungkin tidak akan mengindahkan perintah saya.”
“Memang Anda misalnya benar, Charley. Baiklah, saya akan pergi!” Dia berjalan dengan badan tegak dan segera menghilang. Rasanya hanya
membuang-buang tenaga, jika saya memeriksa apakah dia meninggalkan jejak kaki di tanah. Setelah dia menghilang dalam kegelapan malam, saya segera berbaring di sisi rel yang lain sambil melihat orang-orang Indian di seberang rel. Mereka mengendap-endap beriringan dengan diam-diam.
Saya lalu mengikuti mereka sedemikian rupa sehingga kami tetap berada dalam posisi sejajar. Mereka berhenti tidak jauh dari tempat saya menemukan palu, lalu naik ke atas rel. Saya menarik diri ke belakang semak-semak. Tak lama kemudian saya mendengar bunyi besi yang beradu dan disusul bunyi palu yang keras. Para bushheaders itu mulai bekerja. Dengan bantuan alat yang berhasil dirampas dari pegawai kereta, mereka mulai mendongkel rel.
Kini tibalah saatnya untuk bertindak. Saya meninggalkan tempat yang akan menjadi saksi perampokan itu, dan bergegas merangkak maju. Setelah lima menit saya berhasil menyusul Sam.
“Mereka mulai merusak rel?” tanyanya kepada saya. “Ya.” “Saya bisa mendengarnya. Jika orang menempelkan telinganya pada rel, dia
misalnya bisa menangkap bunyi pukulan palu itu.” “Sekarang maju terus, Sam! Kereta akan tiba dalam tiga perempat jam. Kita
harus pergi menghadangnya sebelum orang-orang Indian melihat lampu sorot kereta.” “Dengar, Charley, saya tidak bisa ikut!” “Mengapa?” “Seandainya kita berdua meninggalkan tempat ini, maka kelak kita akan
kehilangan waktu karena harus memata-matai mereka dua kali. Tapi kalau saya pergi ke tempat orang Indian untuk mengamati mereka, maka setelah kembali saya bisa langsung menceritakannya kepada Anda.”
“Benar! Lalu bagaimana dengan Tony?” “Saya akan membiarkannya di sini. Ia tidak akan beranjak dari tempatnya
sampai saya pulang.” “Baiklah! Saya tahu, Anda tidak akan menghancurkan rencana kita.” “Tentu saja tidak, percayalah. Sekarang pergilah, Charley! Anda akan bertemu
lagi dengan saya di sini.” Saya naik ke pelana kuda dan berangkat untuk menghadang kereta yang akan
datang. Dalam kegelapan saya berkuda dengan cepat. Rasanya penting jika saya menempuh jarak yang agak jauh sehingga orang-orang Indian tidak bisa melihat di mana kereta dihentikan. Malam perlahan-lahan menjadi terang. Bintang-bintang mulai bersinar dan memancarkan kilaunya yang lembut di atas padang prairie sehingga orang bisa melihat cukup jelas sampai jarak beberapa meter. Akibatnya saya memacu kuda semakin cepat dan terus berlari tanpa henti sampai saya menempuh jarak kira-kira tiga mil inggris.
Di sana saya berhenti, melompat turun lalu menambatkan kuda serta mengikat kedua kaki depannya. Hal ini penting karena bunyi yang ditimbulkan oleh kereta bisa membuat kuda itu berontak.
Sekarang saya mengumpulkan sebanyak mungkin rumput kering dan membungkusnya pada sepotong ranting kecil untuk membentuk sebuah obor. Rumput itu ditancapkan pada setangkai kayu yang saya ambil dari semak-semak. Setelah
selesai, saya tinggal menunggu kereta. Selimut saya bentangkan di atas rel lalu dari waktu ke waktu saya hanya duduk memasang telinga pada rel kereta. Kemudian saya kembali menyelidiki dari arah mana kereta datang.
Belum sampai sepuluh menit, saya menangkap bunyi halus yang timbul akibat putaran roda. Makin lama bunyi itu terdengar makin keras. Lalu di kejauhan saya melihat titik kecil yang terang yang muncul seperti bintang di atas kaki langit. Tapi itu tentu bukan bintang, karena makin lama titik itu membesar dan bergerak cepat kemari. Kereta sudah datang.
Dalam waktu singkat tampak lampu sorotnya terbagi dua. Sekarang tibalah saatnya. Saya menyulut obor dan nyala api segera berkobar-kobar sehingga bisa terlihat oleh orang-orang di kereta. Bunyi roda terdengar makin keras. Saya sudah melihat dengan jelas kedua lampu sorot yang bersinar terang menembus kegelapan malam. Hanya dalam satu menit kereta itu sudah sampai di tempat saya.
Maka saya membakar obor dan sambil melambai-lambaikannya di atas kepala, saya berlari menghadang kereta. Tentu saja masinis melihat bahwa saya memberinya tanda untuk berhenti. Dia menurut. Terdengar bunyi peluit tiga kali secara bersusulan. Rem ditekan rapat-rapat pada roda. Setelah bunyi gemuruh yang memekakkan telinga disertai bunyi putaran roda, akhirnya kereta berhenti persis di tempat saya menyalakan obor. Masinis segera membungkukkan badannya dari atas dan bertanya,
“Hallo Bung, apa maksud Anda? Barangkali Anda ingin naik?” “Tidak, Sir! Justru sebaliknya saya ingin meminta supaya Anda turun dari
kereta.” “Hal itu tidak mungkin!” “Tapi Anda harus turun karena di depan sana rel kereta sudah dibongkar oleh
orang-orang Indian.” “Apa? Orang Indian? ‘s death! Anda mengatakan yang sebenarnya, Bung?” “Tak ada alasan untuk berbohong!” “Apa maksud Anda?” tanya kondektur yang kemudian datang turun
menghampiri saya. “Katanya ada orang-orang Indian di depan kita,” jawab masinis. “Apa? Anda melihat mereka?” “Saya melihat dan menguping pembicaraan mereka. Mereka adalah orang-
orang Ogellallah.” “Manusia-manusia paling kejam yang pernah ada di muka Bumi. Berapa
jumlah mereka?” “Sekitar enam puluh orang.” “Terkutuk! Dalam tahun ini bajingan-bajingan itu sudah tiga kali merampok
kereta. Tetapi kali ini pun kita akan menghalau mereka. Sudah lama saya merindukan kesempatan untuk memberi mereka pelajaran. Berapa jauhnya dari sini?”
“Kira-kira tiga mil.” “Kalau begitu tutuplah semua lampu, Masinis! Mata mereka sangat tajam.
Dengarlah, Master, saya sangat berutang budi kepada Anda karena Anda telah mengingatkan kami tentang bahaya itu! Tapi Anda pasti seorang pemburu prairie seperti yang terlihat dari pakaian Anda.”
“Ya, begitulah. Saya juga masih membawa seorang teman yang bertugas mengawasi kulitmerah itu sampai kita datang.”
“Anda bertindak bijaksana. Tapi jangan cemas! Ini bukan sebuah tragedi, malahan sebaliknya sesuatu yang sangat menyenangkan buat kita.”
Para penumpang dalam gerbong terdekat rupanya mendengar percakapan kami dan segera membuka pintu. Mereka berlompatan turun dan menghujani kami dengan ratusan pertanyaan serta seruan. Atas perintah kondektur, mereka kembali tenang.
“Anda memuat emas dan perak di dalam kereta?” tanya saya kepadanya. “Siapa yang mengatakannya?”
“Orang-orang Indian itu! Mereka diberitahu oleh seorang bushheader kulitputih. Dia akan mendapatkan logam-logam itu sebagai jatahnya, sedangkan semua barang yang lain, termasuk scalp, akan jatuh ke tangan Indian.”
“Ah! Bagaimana keparat itu bisa tahu apa yang kami bawa?” “Kelihatannya dia mendapat keterangan ini dari seorang pegawai kereta. Tapi
bagaimana caranya, saya sendiri tidak tahu.” “Kita segera mengetahuinya jika dia jatuh hidup-hidup ke tangan kita, dan
saya menginginkannya demikian. Tapi katakan dulu, siapa nama Anda, Master! Biar orang tahu bagaimana harus memanggil Anda!”
“Teman saya bernama Sans-ear, dan saya…” “Sans-ear? Ya ampun, dia adalah seorang yang sangat kuat dalam urusan
seperti ini dan kekuatannya setara dengan kekuatan dua belas orang! Lalu Anda sendiri?”
“Di padang prairie ini saya dipanggil Old Shatterhand.” “Old Shatterhand, orang yang dikejar lebih dari seratus prajurit Sioux tiga
bulan lalu di daerah Montana dan menempuh perjalanan dari Yellow-Stone, dari puncak bersalju hingga ke Benteng Fort selama tiga hari hanya dengan menggunakan sepatu salju?”
“Ya.” “Sir, saya sudah banyak kali mendengar tentang Anda dan saya senang
bertemu Anda saat ini. Luar biasa! Bukankah beberapa waktu yang lalu Anda berhasil menggagalkan rencana Parranoh, kepala suku kulitputih Sioux, yang bermaksud mencelakakan kereta22?”
“Benar. Waktu itu saya ditemani Winnetou, kepala suku paling termasyhur di seluruh padang prairie. Tapi, Sir, mari kita menentukan langkah kita selanjutnya! Orang-orang Indian tahu persis, kapan kereta akan tiba. Mereka bisa menaruh curiga, seandainya kita berlama-lama di sini.”
“Benar pendapat Anda. Tapi terlebih dulu saya ingin tahu, apa rencana mereka. Barangsiapa yang ingin menyerang musuh, dia harus diberitahu tentang rencana yang akan diterapkan musuhnya.”
“Anda berbicara seperti seorang panglima perang, Sir. Sayang saya tidak bisa memberikan keterangan lebih. Sekedar mengingatkan Anda, saya tidak bisa menunggu lebih lama sampai orang-orang Indian selesai dengan rencananya. Kita akan mengetahui semua hal yang penting dari sahabat saya. Jika saya meminta Anda untuk menentukan sikap, sebenarnya saya hanya ingin tahu, apakah Anda berani menyerang mereka atau tidak.”
“Tentu saja, tentu saja saya akan menyerang mereka,” jawabnya cepat. “Saya harus menghancurkan keserakahan suku yang ingin merampas barang muatan kita. Anda dan teman Anda tentu tidak kuat melawan enam puluh orang kulitmerah sehingga Anda tidak berani…”
“Pshaw, Sir!” saya memotongnya. “Apakah kami berani melakukannya atau tidak, tentang hal itu kami tentu tahu lebih baik daripada orang lain. Hari ini, ketika matahari masih bersinar, Sans-ear telah menyerang empat kulitmerah dan membunuh mereka hanya dalam dua menit. Dan saya tegaskan kepada Anda, kami pun bisa mengirim lagi beberapa orang Ogellallah ke padang perburuan abadi tanpa membutuhkan bantuan Anda. Yang lebih penting di sini bukan jumlah melainkan bagaimana orang menggunakan tangan dan kepalanya. Apabila saya sendiri melepaskan dua puluh lima tembakan dari senjata buatan Henry dalam kegelapan, tanpa perlu mengisi dengan peluru baru, pasti orang Indian tidak tahu apakah mereka sedang menghadapi dua atau dua puluh orang. Dengarlah, kalian semua, adakah di antara kalian yang membawa senjata?”
Pertanyaan ini sebenarnya berlebihan. Saya tahu, mereka semua selalu membawa senjata. Hanya saja kondektur bertindak seakan-akan dia ingin mengambil
22 Bacalah: Winnetou II Si Pencari Jejak.
alih komando. Tentu saya tidak setuju. Tugas memimpin penyerangan terhadap kawanan Indian, apalagi pada malam hari, tidak bisa dipercayakan begitu saja kepada seorang pegawai kereta, walaupun orang itu berbadan tegap dan sangat berani. Saya mendapat jawaban “Ya” secara serentak dari mereka. Kemudian si kondektur menambahkan,
“Saya membawa enam belas pekerja kereta api sebagai penumpang. Mereka tahu menggunakan pisau dan senjatanya dengan baik. Selain itu ada dua puluh orang militer yang hendak dibawa ke Benteng Palwieh, dan kelompok ini dilengkapi dengan senjata, revolver serta pisau. Namun ada juga beberapa gentlemen di sini yang ingin bersenang-senang karena ingin mencakar kulit orang Indian sedikit lebih dalam. Hei, siapa yang mau ikut?”
Semua orang tanpa kecuali menyatakan siap untuk pergi. Kalau terdapat seseorang yang takut, pasti dia juga akan mengiyakan, supaya tidak dianggap pengecut. Tentu saja orang-orang ini nanti tidak akan berbuat banyak dan lebih baik jika mereka tinggal. Karena itu saya berkata,
“Dengarlah, Mesch'schurs! Kalian semua adalah pria-pria yang tangguh, tetapi tidak semua orang boleh ikut. Kalian harus memahaminya. Saya lihat, di sini ada beberapa ladies dan tidak mungkin kita membiarkan mereka sendirian tanpa perlindungan. Seandainya kita menang, dan hal itu tidak diragukan lagi, bisa jadi orang-orang Indian lari tercerai-berai dan akan datang kemari lalu menyerang kereta yang kita tinggalkan. Karena itu kita harus menempatkan beberapa orang berani di sini. Yang mau menerima tugas ini, harap melapor!”
Benar! Ada beberapa orang yang bersedia membela penumpang kereta dengan berjanji mempertaruhkan nyawa sendiri. Mereka adalah suami dari tiga wanita dan lima penumpang lainnya. Saya mendapat kesan seolah-olah kelompok terakhir ini tahu lebih baik tentang harga perkakas besi, anggur, cerutu dan buah kenari, daripada cara memakai pisau Bowie dengan benar. Saya tidak marah menanggapi sikap kelompok pertama di atas yang mau tinggal karena mereka menjalankan kewajibannya untuk melindungi istrinya.
“Kereta tidak dapat ditinggalkan tanpa petugas. Siapa yang akan menjaga di sini?” tanya saya kepada kondektur.
“Masinis dan seorang yang mengatur bahan bakar,” demikian jawabnya. “Dia bisa memimpin para gentlemen yang berani ini. Tentu saja saya akan pergi bersama Anda dan akan memimpin pasukan.”
“Baiklah, seperti yang Anda inginkan, Sir! Pasti Anda sudah sering kali bertempur melawan orang Indian, bukan?”
“Hal itu tidak penting! Orang-orang Yambariko (golongan yang paling hina dari suku Indian) hanya tahu menyerang musuhnya dengan diam-diam kemudian membantainya. Apabila mereka diserang secara terang-terangan dan terencana, maka mereka akan lari terbirit-birit guna menyelamatkan diri. Jadi pekerjaan kita tidak terlalu berat.”
“Saya tidak yakin, Sir! Mereka adalah orang Ogellallah, kelompok Sioux yang terkenal haus darah, dan mereka dipimpin kepala suku ternama, Ka-wo-mien dan Ma-ti-ru.”
“Apakah Anda bermaksud mengatakan bahwa saya takut terhadap mereka? Di sini jumlah kita lebih dari dua puluh orang dan saya kira, persoalan ini sangat gampang. Saya akan menyuruh orang menutup lampu kereta sehingga kulitmerah tidak tahu bahwa saya sudah diperingatkan. Sekarang kita membuka tutup lampu. Anda naik ke kereta dan masinis akan mengemudikan kereta sampai ke tempat rel yang dirusakkan. Di sana kita berhenti lalu turun dari kereta dan menyerang penjahat-penjahat itu sehingga tak seorang pun dari mereka yang dibiarkan hidup. Kemudian kita memperbaiki kembali potongan besi pada rel yang dirusakkan. Paling-paling kita akan terlambat satu jam.”
“Harus saya akui, rencana Anda lahir dari pemikiran seorang komandan pasukan berkuda, karena bagi dia, tidak ada yang lebih menggembirakan daripada
merobohkan musuhnya dalam duel berkuda. Tetapi situasi sekarang tidak sama. Jika Anda bersikeras menjalankan rencana Anda, maka keempat puluh prajurit Anda akan mati. Dan saya menolak untuk terlibat dalam rencana itu.”
“Apa? Jadi Anda tidak mau menolong kami? Apa Anda takut atau jengkel karena Anda tidak dipercayakan untuk memimpin?”
“Takut? Pshaw! Jika Anda benar-benar sudah mendengar tentang saya, pasti Anda tidak akan gegabah berkata seperti itu. Old Shatterhand sangat mudah terpancing emosinya sehingga dia bisa menghancurkan kepala Anda dengan tangannya untuk membuktikan bahwa tidak sia-sia dia menyandang nama itu. Tentang rasa jengkel, sebenarnya bagi saya tak ada bedanya, apakah dalam jam berikutnya kereta dan scalp kalian masih menjadi milik kalian atau sudah menjadi milik orang Indian. Namun tidak seorang pun berhak atas scalp saya, kecuali saya sendiri. Dan saya akan mempertahankannya. Good evening, Mesch'schurs!”
Saya berbalik. Kondektur menahan tangan saya dan berkata, “Stopp, Master! Anda tak boleh pergi seenaknya! Sekarang sayalah yang
mengambil alih komando dan Anda harus menuruti perintah saya. Saya tidak bisa membiarkan kereta berhenti terlalu jauh dari tempat perampokan karena sayalah yang bertanggung jawab jika terjadi kerusakan pada kereta. Jadi saya tetap berpegang pada rencana saya: Anda membawa kami ke tempat itu dan kami tidak akan turun dari kereta sebelum tiba di sana. Seorang panglima perang yang sejati harus memperhitungkan semua kemungkinan, termasuk dia juga bisa kalah dalam pertempuran. Dalam hal ini kereta bisa menjadi tempat perlindungan yang aman buat kita. Dari dalam kereta kita pun bisa mempertahankan diri sampai kita mendapat bantuan dari kereta berikutnya yang datang dari arah barat atau timur. Bukankah begitu, tuan-tuan?”
Semua menjawab setuju. Mereka bukanlah westman, dan bagi mereka rencananya kelihatan gampang diterapkan, sehingga mereka terpengaruh. Dia sangat senang mendapat tanggapan seperti itu lalu berkata kepada saya,
“Kalau begitu naiklah, Sir!” “Baik! Anda memberi perintah dan saya menurut!” Dengan sekali lompat saya sudah duduk kembali di atas punggung kuda.
Selama pembicaraan tadi kuda itu sudah saya lepaskan ikatannya. “Oh, bukan my dear. Maksud saya, Anda naik ke atas kereta!” “Saya kira, ke atas kuda, Sir. Pemikiran kita saling bertolak belakang.” “Saya memerintahkan Anda untuk turun dari kuda!” Saya berkuda ke sampingnya lalu membungkukkan badan dan berkata, “Bung, tampaknya Anda belum pernah berjumpa dengan seorang pemburu
prairie sejati. Jika sudah, tentu Anda akan berbicara kepada saya dengan suara lain. Bersiap-siaplah dan naiklah sendiri ke atas kereta!”
Dengan tangan kanan, saya mencengkeram baju pada bagian dadanya lalu mengangkatnya ke atas. Dengan sebuah hentakan keras pada punggung kuda, binatang itu segera merapat ke kereta. Pada detik berikutnya kereta melaju dengan lampu dalam keadaan tertutup. Saya pun beranjak dari sana.
Malam semakin terang, sehingga saya bisa berkuda dengan cepat tanpa terhalang sedikit pun oleh semak-semak. Setelah kurang dari seperempat jam, sampailah saya di tempat Sam.
“Jadi?” dia bertanya ketika saya turun dari kuda. “Saya kira, Anda membawa orang-orang ke sini!”
Kepadanya saya ceritakan, mengapa hal itu tidak saya lakukan. “Anda sudah bertindak tepat, Charley, sangat tepat! Seorang railroader seperti
dia pasti memandang kita dengan sebelah mata karena kita misalnya tidak berdandan tiga kali dalam sehari. Tentu mereka akan menjalankan rencananya, tapi nanti mereka akan terkejut, hihihihi!”
Sambil tertawa kecil, dia membuat gerakan orang menguliti kepala, kemudian meneruskan,
“Namun Anda belum menceritakan sama sekali, apa yang Anda alami di sana!” “Mereka akan dipimpin oleh Ka-wo-mien dan Ma-ti-ru.” “Ah! Kalau begitu akan terjadi pertempuran yang sudah lama saya nanti-
nantikan.” “Seorang kulitputih ada di antara mereka. Dialah yang membocorkan rahasia
kepada mereka bahwa kereta mengangkut emas dan perak.” “Tentu saja dia ingin memilikinya dan membiarkan semua barang lain serta
scalp diambil oleh orang Ogellallah?” “Ya.” “Bisa saya bayangkan! Mereka tentu sekelompok bushheader!” “Saya mengenali orang itu. Pada suatu hari dia bersama kawanannya
merampok hide-spot Old Firehand, tetapi dia harus pulang dengan tangan hampa.” “Siapa namanya?” “Entahlah. Tidak penting mengetahui namanya, karena manusia seperti itu
selalu mengubah namanya setiap hari. Apa Anda sudah memata-matai?” “Ya. Mereka berpencar dan berdiri menanti pada kedua sisi rel kereta, kira-kira
di bagian tengah antara rel yang dirusakkan dan kuda-kuda mereka. Di tempat kuda-kuda, saya kembali melihat dua orang penjaga. Tetapi apa yang harus kita lakukan, Charley? Apakah kita harus menolong railroaders atau kita misalnya melanjutkan perjalanan?”
“Kita wajib menolong mereka, Sam. Atau mungkin Anda berpikir lain?” “Sama sekali tidak! Anda benar, itu adalah kewajiban kita. Selain itu Anda
harus ingat kedua telinga saya sampai sekarang belum lunas harganya. Saya berani menukar Tony dengan seekor katak seandainya besok pagi beberapa mayat Indian yang terkapar mati di atas rel masih memiliki telinga! Tapi apa yang kita lakukan sekarang, Charley?”
“Kita pun berpencar dan berdiri mengawasi kedua sisi rel, di antara orang Indian dan kuda-kudanya.”
“Well! Tapi saya mempunyai ide lain! Bagaimana pendapat Anda dengan stampedo (mengusir kuda hingga lari tercerai-berai)?”
“Hmmm! Ide itu baik, seandainya jumlah kita lebih banyak daripada mereka atau seandainya kita tahu bagaimana menghancurkan mereka semua. Dalam kasus ini ide itu tidak praktis. Dalam waktu singkat semua railroader akan binasa dan kita berdua tidak mampu berbuat apa-apa selain mencegah supaya orang Indian jangan sampai ke kereta berikutnya. Atau kita pun bisa menyergap mereka dengan tiba-tiba sehingga mereka lari. Untuk kedua pilihan ini rasanya lebih baik jika mereka melarikan diri. Tapi jika kita merampas kuda mereka, maka dengan sendirinya mereka tidak akan meninggalkan tempat ini. Apakah Anda pernah mendengar tentang hukum yang mengatakan, dalam keadaan tertentu orang harus membangun jembatan emas bagi musuhnya?”
“Hingga kini saya hanya mengenal jembatan kayu, jembatan batu, dan jembatan besi! Saya menghargai pendapat Anda, Charley, tetapi kalau saya misalnya membayangkan betapa marahnya orang Indian ketika mereka turun dari kereta dan tidak menemukan lagi kudanya, maka rasanya sungguh menggelikan. Dan yang paling penting, kita tidak boleh membuat mereka terkejut dan panik, jika kita merebut kuda mereka.”
“Benar! Tetapi lebih baik kita melihat dulu apa yang terjadi.” “Saya pun berpikir demikian! Namun pertama-tama Anda harus berjanji
kepada saya!” “Apa?” “Bahwa sayalah yang akan menyingkirkan kedua penjaga itu. Setuju?” “Saya bukanlah seseorang yang menginginkan pertumpahan darah secara sia-
sia. Tapi dalam hal ini, saya lihat Anda berhak melakukannya. Ini suatu jalan keluar yang menyedihkan! Jika kedua penjaga terbunuh, maka kuda-kuda mereka akan jatuh
ke tangan kita. Tapi terlebih dahulu mari kita sembunyikan kuda kita di tempat yang aman. Kemudian baru kita pergi!”
Kami berkuda menjauh dari tempat itu. Kemudian saya mengikat kuda saya sedemikian rupa sehingga hewan itu tidak bisa berpindah lebih dari tiga langkah. Sam juga berbuat yang sama dengan Tony. Walaupun dia biasanya sangat yakin pada kudanya, tetapi jika terjadi stampedo mungkin saja kawanan kuda yang tercerai-berai berlari ke arah kuda kami lalu kedua hewan itu pun ikut lari bersama kawanan tersebut.
Sekarang kami berbalik dengan mengambil jalan memutar dan kembali ke belakang orang Indian. Lampu sorot lokomotif belum juga terlihat. Barangkali rencana si kondektur ditentang atau mereka tidak bisa langsung memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa pengawalan saya.
Ketika kami tiba di tempat kuda-kuda Indian, dengan mudah kami bisa melihat sosok kedua penjaga. Mereka kelihatan tidak tenang dan berpatroli secara terpisah di sekitar daerah itu. Seorang dari mereka perlahan-lahan menghampiri onggokan semak, tempat kami bersembunyi. Ketika dia melewati kami, Sam mencabut pisaunya dan menikam orang itu. Tak ada suara keluar dari mulutnya. Yang seorang lagi pun mengalami nasib yang sama, ketika dia lewat di sana. Barangsiapa yang tidak mengenal padang prairie, pasti tidak merasakan dendam kesumat yang menyulut pertempuran antara kulitmerah dan kulitputih dan bahwa masing-masing pihak mereka sudah terbiasa melangkah di atas tumpahan darah musuhnya.
Saya membuang muka supaya tidak melihat bagaimana korban kedua itu roboh. Pada saat itu saya melihat seekor kuda berdiri di dekat saya. Di punggungnya terdapat pelana empuk buatan Spanyol dan kuda ini memakai sepatu ladam besar, seperti yang biasa dijumpai di Amerika Tengah dan Selatan. Ia pun tidak dilengkapi dengan peralatan berkuda a la Indian. Apa kuda itu milik seorang kulitputih? Saya maju mendekat. Pada kedua sisi pelana terdapat saku kecil. Saya segera memeriksanya isinya. Di dalamnya saya menemukan beberapa lembar kertas dan dua buah pundi-pundi. Isi pundi-pundi tersebut belum saya periksa sekarang. Saya memasukkan semuanya ke dalam saku.
“Sekarang bagaimana?” tanya Sam. “Kita berpencar. Saya ke kanan dan Anda ke kiri. Tapi sebentar, lihatlah ke
sana!” “Kereta api, benar! Sekarang kereta api misalnya sudah datang! Kita
menunggu sebentar, Charley, untuk melihat apakah rencana mereka berhasil.” Ternyata rencana kondektur tadi tetap dipertahankan. Kedua lampu kereta
kelihatan semakin mendekat, tetapi dengan pelan, bahkan sangat pelan, karena masinis harus mencari rel kereta yang sudah dirusakkan. Tak lama kemudian kami mendengar bunyi putaran roda yang makin lama makin keras. Akhirnya kereta berhenti di dekat tempat yang dirusak.
Orang-orang Indian pasti sangat marah jika sadar bahwa rencana mereka sudah terbongkar! Barangkali mereka menyimpulkan bahwa para railroader telah diberitahu. Saat ini rasanya sangat menguntungkan kalau kelompok railroader itu tetap tinggal tenang di dalam gerbong kereta. Saya cukup yakin bahwa mereka akan bersikap demikian. Namun betapa kecewanya saya, karena begitu pintu kereta dibuka, saya melihat orang-orang kulitputih itu berhamburan keluar dan berlari maju untuk menyerang. Mereka pasti segera merasakan akibat dari kecerobohan ini. Saat menyerang, mereka berlari ke tempat yang diterangi lampu kereta dan dengan demikian menyerahkan diri menjadi sasaran empuk bagi orang-orang Indian. Terdengar bunyi tembakan, kemudian sekali lagi lalu terdengar pekikan keras yang mengerikan.
Orang-orang Indian mendesak maju sambil membawa senjata yang sudah kosong karena peluru-pelurunya sudah ditembakkan. Tapi mereka hanya menemukan mayat dan korban-korban yang terluka, sedangkan yang lainnya sudah berlari mencari perlindungan di dalam kereta. Beberapa orang Indian membungkuk guna menguliti
scalp dari kepala mayat-mayat itu, tetapi mereka harus mengurungkan niatnya karena ditembak dari dalam oleh orang yang berada di gerbong paling depan.
Sekarang alangkah baiknya jika kereta bergerak mundur. Tapi hal itu tidak terjadi. Barangkali masinis, juru api, serta penumpang yang lain melarikan diri dan masuk ke dalam gerbong barang atau gerbong penumpang.
“Kini kereta misalnya akan dikepung oleh mereka,” kata Sam. “Saya kira tidak mungkin! Kulitmerah itu tahu, mereka hanya punya sedikit
waktu sampai kereta berikutnya datang. Mereka akan menyerang walaupun sebenarnya mereka enggan melakukannya.”
“Lalu apa yang akan kita lakukan? Sangat sulit bagi kita untuk mengambil keputusan yang tepat.”
“Tapi keputusan itu hanya akan berguna jika dibuat dengan cepat dan bisa langsung diterapkan. Senjata terbaik untuk menyerang mereka adalah api. Kita harus kembali ke tempat kuda-kuda itu. Setiap orang berkuda menempuh jalan setengah lingkaran dan setiap lima puluh atau enam puluh meter, dia harus turun untuk membakar rerumputan di padang prairie. Tetapi sebelumnya kita harus mengerahkan stampedo untuk mencegah musuh membalas serangan dengan cepat dan membuat mereka kesulitan untuk melarikan diri. Dalam situasi seperti ini tak ada kemungkinan lain yang lebih baik.”
“Astaga! Rencana ini akan mendatangkan kesulitan besar bagi mereka! Namun dengan itu kereta pun akan ikut terbakar!”
“Tunggu dulu! Memang saya tidak tahu, apakah dalam kereta juga dimuat bahan-bahan yang mudah terbakar seperti minyak dan aspal. Tetapi kayu kereta sangat kuat dan bisa tahan terhadap nyala api yang timbul dari rerumputan yang terbakar. Kemudian Anda juga harus memikirkan satu-satunya cara yang akan dipakai orang Indian untuk menyelamatkan diri dari kepungan asap. Mereka pasti akan balas membakar, yakni membakar rerumputan di dekat kereta. Percayalah! Seandainya saya berada pada posisi mereka, maka saya misalnya akan mencari tempat perlindungan di bawah kereta.”
“Apakah Anda juga berpikir, berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk menyalakan api dengan bantuan punks? Kita pun tidak bisa menghidupkan obor, karena nanti akan ketahuan.”
“Seorang pemburu prairie sejati harus siap menghadapi segala situasi. Untuk keperluan semacam ini, saya selalu menyediakan cukup korek api. Ini, ambillah!”
“Bravo, Charley! Sekarang saatnya kita membuat stampedo kemudian kembali ke tempat kuda-kuda kita.”
“Sebentar, Sam! Saya baru sadar bahwa tadi saya begitu bodoh! Kita tidak perlu mengambil kuda-kuda kita. Di sini terdapat kuda mereka yang jumlahnya lebih dari cukup. Saya akan mengambil kuda coklat itu!”
“Dan untuk saya yang berwarna merah kecokelat-cokelatan di sampingnya. Ayo maju, dan potonglah tali lasonya!”
Kami bertindak dan bergerak cepat dari satu kuda ke kuda lain. Kemudian kami membakar semak-semak yang terletak di belakang kawanan itu, lalu naik ke atas kuda. Mula-mula nyala api tidak seberapa besar sehingga tidak terlihat oleh orang-orang Indian. Sekarang kami bisa mulai beraksi tanpa terlihat oleh mereka.
“Di mana kita bertemu lagi?” tanya Sam. “Di atas sana, di dekat rel, tetapi bukan di depan lampu kereta melainkan di
antara kobaran api. Mengerti?” “Ya. Ayo, go on, kuda handal!” Kuda-kuda itu sudah meronta-ronta ketika ikatannya dilepas. Sekarang hewan-
hewan itu merasa panas karena api yang kian mendekat dan menegakkan bulu surainya. Beberapa kuda sudah berlari-lari tidak tenang sehingga setiap saat binatang-binatang itu bisa tercerai-berai. Saya berkuda ke arah kanan hingga masuk ke prairie lalu berlari cepat dan mengambil jalan memutar dengan radius kira-kira satu mil inggris. Lima kali saya turun dari kuda untuk menyulut api pada rerumputan. Kini saya
tiba kembali di dekat rel kereta dan saya teringat, rupanya karena kurang berpikir, kami telah membuat kesalahan besar. Kami hanya menaruh perhatian pada keadaan waktu itu dan sama sekali tidak memikirkan nasib kuda sendiri.
Saya segera menghela kuda tunggangan saya dan memacunya lurus menuju ke tempat kuda-kuda kami ditambat. Kini kobaran api di sekeliling kami menerangi semuanya. Jauh di padang sabana terdengar derap kuda yang berlari. Di dekat sini terdengar teriakan marah serta kecewa yang kedengarannya hanya keluar dari mulut orang Indian. Di bawah gerbong kereta tampak beberapa percikan api kecil. Jadi dugaan saya bahwa orang-orang Indian itu mencoba menyelamatkan diri dengan balas membakar tempat itu, ternyata tidak salah. Jauh di sebelah kiri terdapat kuda saya dan Tony yang berkaki panjang, dan di sana … benar, dari sana datang Sam dengan terburu-buru, sehingga tubuh kudanya hampir menyentuh tanah. Dia juga sadar akan kesalahan dalam rencana kami.
Tetapi kuda-kuda kami pun sudah terlihat oleh orang-orang Indian. Beberapa orang dari mereka berlari menuju kuda kami dan dua orang yang paling cepat berada hanya beberapa langkah dari hewan-hewan tersebut. Saya mengencangkan tali senjata, melompat ke atas pelana dan mengambil tomahawk. Dengan langkah secepat singa, kuda saya berlari maju dan saya segera tiba di tempat kedua orang itu. Dengan sekali memandang, saya langsung mengenali mereka. Keduanya adalah kepala suku.
“Berhenti, Ma-ti-ru. Itu kuda saya!” Dia memalingkan wajahnya ke arah saya dan melihat saya. “Old Shatterhand! Matilah kau, katak mukapucat!” Dia mencabut pisau. Dengan sekali loncatan dia sudah berada di samping kuda
saya. Dia berancang-ancang menikam saya, tetapi kapak saya lebih dulu mengenainya sehingga dia roboh ke tanah. Seorang lagi sudah melompat ke atas punggung kuda milik saya, tetapi dia tidak memperhatikan bahwa kuda itu masih terikat.
“Ka-wo-min, tadi kamu berbicara dengan seorang pengkhianat kulitputih tentang saya. Kini saya mau berbicara denganmu!”
Dia sadar bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa di atas kuda yang tak bisa lari. Karena itu dia meluncur turun dan berlari menghilang di balik semak. Saya mengayunkan tomahawk mengarah ke kepalanya. Senjata berat itu mengenai kepalanya yang berhiaskan bulu rajawali. Dia pun roboh ke tanah. Sekarang saya melompat turun, meraih Senapan Mr. Henry lalu berbalik kepada teman-temannya yang lain. Tiga tembakan merobohkan tiga orang Indian. Mengingat api semakin dekat, saya tidak mempunyai waktu lagi untuk melanjutkan pertempuran. Saya memotong ikatan pada kaki kuda saya dan meloncat ke atasnya. Kuda cokelat itu berdiri dan berlari.
“Hallo, Charley, lewatlah pada celah yang tidak terbakar!” teriak Sam. Dia baru sampai pada bagian itu lalu meloncat dari kudanya yang terus berlari
dan mendarat di atas punggung Tony. Kemudian dia membungkuk untuk memisahkan talinya dan berlari di samping saya menuju suatu celah lain di mana lingkaran api belum menyatu.
Kami lewat dengan selamat, lalu berbelok ke kiri, ke balik kobaran api dan berhenti di sana. Kami berada pada tempat ketiga yang tadi saya sulut dengan api. Tanah kelihatan hitam karena terbakar walau sudah kembali dingin. Di depan dan di belakang kami tampak jalur hitam yang hangus pada jalan yang tadi saya lalui, tapi kedua sisinya dikelilingi oleh lautan api. Kobaran api juga menyebarkan asap tebal ke udara sehingga kami hampir sesak napas.
Tapi dari waktu ke waktu asap yang menyesakkan dada ini terlihat semakin berkurang. Hawa terasa semakin dingin seiring dengan jilatan api yang makin menjauh. Setelah seperempat jam hanya tersisa bara-bara hitam di tanah. Padang prairie tempat kami berdiri dipenuhi asap hitam sehingga kami tidak bisa melihat lebih jauh dari tiga langkah; juga karena cahaya bintang terhalangi oleh asap.
“Bless me, seperti kobaran api di neraka!” ujar Sam. “Saya kira mustahil kalau kereta tidak ikut terbakar.”
“Saya yakin, tidak. Kereta biasanya dibuat untuk menghadapi situasi seperti ini, karena seringkali kereta harus melewati daerah yang dilanda kebakaran hutan atau kebakaran di padang sabana.”
“Apa yang kita lakukan sekarang, Charley? Mereka sudah melihat kita dan akan lebih waspada.”
“Sekarang pun mereka masih melihat kita karena kita berdiri di antara mereka dan daerah yang terang. Kita harus membuat mereka mengira bahwa kita berjalan terus. Mungkin saja mereka menganggap kita anggota suatu kelompok berburu yang menjalankan tugas tertentu dan mereka berpikir, kita pergi tergesa-gesa karena ingin menjemput prajurit-prajurit kita untuk membantu aksi perampokan ini. Kita memacu kuda ke utara, kemudian berbelok ke arah timur dan kembali lagi ke sini setelah mengambil jalan memutar.”
“Saya juga misalnya berpikir yang sama dan saya kira, pada akhirnya beberapa orang Indian akan kehilangan telinganya. Tomahawk Anda tadi juga misalnya begitu ampuh.”
“Tapi korbannya tidak mati!” saya menanggapi dengan suara kering. “Tidak mati? Lalu separah apa misalnya?” “Saya hanya membuatnya lumpuh dengan tomahawk.” “Hanya membuatnya lumpuh? Apakah Anda masih waras? Hanya
melumpuhkan orang Indian padahal dia pantas mendapat hukuman yang lebih keras! Ya, kelak Anda akan mendapat masalah baru dengan mereka.”
“Tapi saya mempunyai alasan untuk tidak membunuhnya, dan saya meminta Anda untuk paling tidak memahaminya.”
“Tidak, sama sekali tidak, Charley! Apa karena mereka adalah kepala suku? Justru terhadap mereka, orang tidak boleh menunjukkan belas kasihan.”
“Dulu saya pernah menjadi tawanan mereka. Mereka bisa membunuh saya tetapi mereka tidak melakukannya. Saya membalas kebaikan mereka dengan sikap tidak tahu berterima kasih pada waktu melarikan diri. Karena itu tadi saya tidak mengayunkan tomahawk dengan sekuat tenaga.”
“Jangan marah, Charley, tetapi Anda misalnya telah bersikap begitu tolol! Ya, semoga keparat-keparat ini mengerti ungkapan terima kasih Anda! Paling-paling mereka akan berkata, Old Shatterhand tidak memiliki cukup tenaga untuk menghancurkan kepala seorang kulitmerah. Saya hanya berharap mudah-mudahan kobaran api ini bisa meluruskan lagi kesalahan yang sudah Anda buat.”
Sambil berbicara keras, seperti berteriak-teriak, kami terus memacu kuda berdampingan melewati padang prairie. Kuda betina Sam mampu berlari cepat karena kakinya begitu panjang sehingga ia tetap berada sejajar di samping kuda saya. Memang hanya beberapa menit sesudahnya kami tiba kembali pada rel, tepatnya di sebuah tempat yang berjarak kira-kira satu mil ke arah timur dari tempat kereta berhenti. Kemudian kami mengikat kuda dan mengendap-endap sepanjang rel menuju tempat perampokan.
Udara dipenuhi oleh bau hangus dan abu-abu halus menutupi dataran itu. Hembusan angin menerbangkan abu-abu itu ke hidung kami. Rasanya sangat sulit menahan bersin. Tapi jika kami bersin, itu berarti kehadiran kami akan diketahui. Kami bisa melihat kedua lampu kereta dengan jelas. Tapi tak ada seorang Indian pun yang terlihat pada kedua sisi rel kereta. Kami merangkak lebih dekat. Saya memperhatikan lebih teliti dan memang benar, apa yang sudah saya duga. Karena takut terbakar mereka menarik diri dan bersembunyi di bawah kolong gerbong kereta. Di sana mereka berbaring berdesak-desakan dan tidak berani menampakkan diri karena pasti akan terkena peluru kulitputih.
Tiba-tiba saya mendapat sebuah ide. Ide ini sangat sulit dijalankan tetapi akibat yang ditimbulkannya sangat besar.
“Sam, kembalilah ke kuda-kuda kita supaya binatang-binatang itu jangan sampai diambil oleh orang-orang Indian!”
“Pshaw! Kuda-kuda itu sedang disembunyikan di tempat yang aman!”
“Saya akan mengusirnya dari tempat itu.” “Dengan senapan?” “Bukan.” Saya menerangkan rencana saya. Dia mengangguk puas. “Well, Charley. Ide ini sangat tepat. Hanya bergegaslah supaya mereka tidak
memergoki Anda ketika sedang berlari. Saya misalnya bersiap-siap dengan kuda setiap saat, dan hihihihi, kita akan berkuda ke tengah-tengah mereka, ibarat bison menerobos ke tengah-tengah kawanan coyote!”
Dia merangkak mundur, sementara itu saya bergerak maju sambil tetap memegang pisau di tangan kanan untuk berjaga-jaga jika diserang tiba-tiba. Saya berhasil tiba di bawah rel kereta tanpa terlihat. Di atasnya terdapat lokomotif. Roda-roda penggerak yang besar dan tempat berbaring yang agak rendah menghalangi saya untuk melihat apakah ada juga orang Indian yang berbaring di bawah lokomotif. Saya merangkak ke atas rel dan setelah dua loncatan yang cepat, saya sudah berada di atas ‘kudaapi’.
Sebuah seruan keras terdengar dari bawah kereta. Tangan saya mulai bekerja dan pada detik berikutnya train bergerak mundur. Terdengar suara orang berteriak, ada yang karena kesakitan dan ada yang karena terkejut. Setelah kereta dimundurkan kira-kira tiga puluh langkah, saya memajukannya lagi.
“Anjing!” teriak seseorang di samping saya. Sambil menggenggam pisau di tangan, orang itu berusaha naik ke tempat saya.
Dia seorang kulitputih. Sebuah tendangan kaki yang keras ke arah dada membuatnya jatuh ke tanah.
“Kemari, Charley!” saya mendengar suara teriakan. “Cepat, cepat!” Di sebelah kiri saya tampak Sans-ear sedang menunggang Tony. Sambil
memegang tali kekang kuda saya dengan sebuah tangan, dia mempertahankan diri melawan dua orang Indian dengan tangan yang lain. Di depan saya muncul beberapa orang Indian yang tidak terluka karena roda kereta, berlarian ke tempat kuda-kuda mereka. Mustahil kalau mereka berpikir bahwa kuda-kuda itu masih berada di sana setelah kebakaran tadi.
Saya segera menghentikan kereta, melompat turun dan bergegas mengejar kawanan itu. Karena teriakan Sam, kedua orang Indian itu terkejut. Sejenak mereka melihat saya kemudian kabur. Saya pun mengejar dan tak lama kemudian kami saling bersusulan. Hal ini tidak sebahaya yang dibayangkan orang. Mereka sangat terkejut dan panik ketika mengetahui bahwa kudanya telah lenyap. Karena itu mereka lari terbirit-birit, ibarat kawanan hewan liar yang lari tercerai-berai ketika melihat anjing pemburu.
Tiba-tiba saya mendengar suara teriakan Sam, “All devils, ini dia Fred Morgan! Hei setan, kau harus mati!” Saya menoleh ke sana. Walaupun tempat itu silau oleh nyala api, saya bisa
melihat Sam sedang bersiap-siap menikam orang itu. Tikamannya tidak kena karena lawannya membungkuk kemudian berlari menghilang dalam gerombolan temannya yang sedang berlari.
Sam memacu kudanya lebih cepat dan terus mengejar. Kejadian selanjutnya tidak bisa saya ikuti karena di hadapan saya berdiri beberapa kulitmerah. Saya terpaksa melayani mereka dan berhasil mengusir mereka hingga kabur.
Saya merasa tidak perlu mengejar mereka. Sudah cukup terjadi pertumpahan darah dan saya yakin, orang-orang Indian tidak akan kembali setelah mendapat pelajaran berharga hari ini. Maka saya berteriak keras meniru lolongan coyote untuk memberi tanda kepada Sam supaya dia menghentikan pengejaran, karena hal itu bisa berbahaya bagi dirinya. Kemudian saya kembali ke kereta.
Petugas kereta sudah turun ke tanah dan mencari penumpang yang tewas dan terluka. Sementara itu, masinis menghidupkan kembali mesin dan kondektur berdiri di sana sambil mengumpat. Ketika melihat saya, dia berkata marah,
“Apa yang merasuki pikiran Anda sehingga Anda menjalankan mesin dan menghalau kulitmerah kemari, padahal kami sudah yakin kami bisa membasmi mereka tanpa menyisakan seorang pun!”
“Sebentar, sebentar, Bung! Anda harus bersyukur bahwa mereka kabur karena sebenarnya bukan kalian yang membasmi mereka tetapi justru sebaliknya. Beruntung kalian bisa selamat.”
“Siapa yang membakar prairie?” “Saya.” “Anda sudah sinting! Dengan itu Anda juga ingin membinasakan saya! Tahukah
Anda, bahwa saya bisa menangkap Anda dan menyerahkan Anda kepada court of justice23?”
“Tidak, saya tidak tahu, tetapi dengan senang hati saya mengizinkan Anda untuk menyuruh Old Shatterhand turun dari kuda, memasukkan dia ke dalam gerbong dan menyerahkannya kepada pengadilan. Saya ingin tahu, apa yang akan Anda lakukan.”
Kelihatannya dia agak terpojok. “Saya tidak bermaksud demikian, Sir! Anda memang telah melakukan
ketololan yang tak ada duanya, tetapi saya memaafkannya.” “Terima kasih, Sir! Hati semua orang akan bersorak riang apabila para
penguasa dunia begitu rela mengampuni dan berbelas kasihan. Tapi apa yang sekarang Anda lakukan?”
“Tak ada, kecuali menyuruh orang memperbaiki rel kereta kemudian melanjutkan perjalanan! Atau apakah kita akan diserang lagi?”
“Saya kira tidak, Sir! Penyerbuan yang Anda lakukan sudah direncanakan dan dilaksanakan begitu hebat sehingga mereka pasti tidak berani datang lagi.”
“Anda bermaksud mengolok-olok saya, Sir? Saya tidak mau menerimanya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa karena jumlah mereka begitu banyak dan mereka begitu gigih memberikan perlawanan!"
“Sudah saya katakan. Orang Ogellallah mahir menggunakan senjatanya. Lihatlah, dari enam belas petugas kereta dan dua puluh militer, tidak kurang dari sembilan orang yang gugur. Saya tidak bertanggung jawab atas kematian mereka. Jika Anda bayangkan, bahwa saya dan teman saya, hanya kami berdua yang berhasil mengusir pergi seluruh prajurit kulitmerah, maka kira-kira Anda bisa membandingkan, apa yang akan terjadi seandainya tadi Anda menuruti perintah saya dan bukannya perintah Anda sendiri.”
Tampaknya dia ingin membantah. Tapi beberapa orang membenarkan pendapat saya. Karena itu dia berkata dengan agak ketus,
“Anda masih tinggal di sini sampai kami pergi?” “Tentu saja! Seorang westman sejati tidak pernah bekerja setengah-setengah.
Kalian harus mulai bekerja. Nyalakan api agar menerangi kalian selama bekerja. Di sini banyak terdapat semak-semak. Tempatkan beberapa orang penjaga untuk berjaga-jaga seandainya kulitmerah kembali lagi ke sini.”
“Apa Anda bersedia mengambil alih, Sir?” “Apa?” “Tugas menjaga.” “Tidak. Saya sudah cukup banyak berjuang bagi Anda, dan masih banyak
tugas lain yang sedang menanti saya. Sementara itu Anda sendiri hanya perlu meneruskan perjalanan. Dari taktik Anda orang bisa tahu bagaimana Anda akan membuat tugas penjagaan.”
“Tapi mata dan telinga kami tidak begitu tajam dan terlatih seperti Anda!” “Berusahalah, Sir! Berusahalah sedikit lebih keras, maka Anda bisa melihat
serta mendengar dengan baik seperti saya! Saya akan segera memberikan contohnya. Tenanglah, tuan-tuan dan dengarlah ke arah kiri! Apakah kalian mendengar sesuatu?”
23 Inggris: Sidang Pengadilan.
“Ya. Ada kuda datang. Pasti seorang Indian.” “Pshaw! Kalian sungguh yakin bahwa orang Indian memacu kudanya begitu
ribut kalau mereka ingin merampok kalian? Yang datang ini adalah teman saya. Saya meminta dengan sangat supaya kalian menyambutnya dengan ramah. Dia adalah Sans-ear dan orangnya sangat serius!”
Memang yang datang adalah Sam. Dia memacu kuda mendekat dan turun sambil menunjukkan raut wajah seolah-olah dia hendak menantang seluruh dunia.
“Anda mendengar tanda dari saya?” saya bertanya kepadanya. Dia hanya mengangguk lalu berpaling kepada kondektur. “Jadi Andalah yang memimpin penyerangan hebat tadi?” “Ya,” jawabnya begitu tolol sehingga hampir-hampir saya tak kuat menahan
tawa. “Well, Sir! Kalau begitu saya harus memuji Anda, karena kuda ini, Tony, masih
memiliki otak yang lebih baik daripada otak Anda. Anda bisa menjadi orang penting. Tapi perhatikanlah, jangan sampai orang memilih Anda menjadi presiden! Tetaplah di sini, Tony, saya akan kembali lagi!”
Petugas kereta itu hanya berdiri tercengang dan tidak tahu harus berkata apa. Juga seandainya dia ingin berbicara, tidak mungkin dia menyampaikannya karena Sans-ear sudah menghilang dalam kegelapan malam. Tentu saja saya bertanya, apa yang menyebabkan Sam begitu jengkel. Saya tidak berpikir lain, alasannya pasti karena Fred Morgan. Orang itu tidak lain bushheader kulitputih yang saya tendang dari atas lokomotif. Ke mana Sam pergi sekarang, bisa saya bayangkan. Sebenarnya saya ingin sekali menyusul dia, tetapi saat ini saya tidak punya waktu. Setelah beberapa menit dia kembali. Saya duduk dan dalam cahaya api saya melihat persiapan yang dilakukan untuk memperbaiki rel. Dia mengambil tempat di samping saya. Raut wajahnya kesal, bahkan kini bertambah jengkel.
“Bagaimana?” tanya saya. “Bagaimana apa?” dia menantang saya. “Apakah mereka sudah mati?” “Mati? Lucu! Bagaimana dua kepala suku Indian bisa mati kalau Anda hanya
menggaruk kepala mereka seperti menghalau lalat. Itu hanya membuat mereka merasa geli! Anda tahu, apa yang saya katakan tadi kepada kondektur?”
“Apa?” “Bahwa otak Tony lebih baik daripada otaknya.” “Lalu?” “Bandingkan dengan diri Anda sendiri! Tony misalnya pasti sudah membunuh
Ka-wo-min dan Ma-ti-ru, dan bukan hanya membuat mereka lumpuh. Keduanya sudah menghilang!”
“Saya senang karenanya!” “Senang? Ini sesuatu yang pitiful24, sesuatu yang sungguh menyakitkan. Anda
membiarkan kedua keparat itu kabur, padahal scalp mereka sudah ada di tangan Anda!”
“Saya ‘kan sudah menjelaskan alasannya kepada Anda, Sam. Hentikan umpatan semacam itu! Lebih baik Anda ceritakan, mengapa Anda uring-uringan!”
“Well, juga setelah peristiwa itu. Apa Anda tahu orang yang saya jumpai?” “Fred Morgan.” “Egad! Siapa yang memberitahukan kepada Anda?” “Anda menyebut namanya cukup keras ketika melihat dia.” “Baiklah! Saya sudah lupa. Tebaklah, siapa orang itu!” Dari pertanyaan dan raut wajah pemburu tua yang sedang geram itu saya
segera tahu. “Dialah orang yang telah membunuh istri dan anak Anda!” “Tentu saja! ... Siapa lagi kalau bukan dia?”
24 Inggris: Menyedihkan.
Saya melanjutkan, “Menyedihkan! Berat rasanya! Anda berhasil menangkapnya?” “Jahanam itu lolos dari kejaran saya. Bangsat itu raib, menghilang di
pegunungan! Oh, kejengkelan ini bisa membuat saya memotong telinga sendiri seandainya saya masih memilikinya!”
“Saya melihat, bagaimana Anda memburunya dengan kuda, ke tengah-tengah orang Indian.”
“Tidak berhasil, tidak berhasil. Saya tidak melihatnya lagi. Barangkali dia tiarap di atas tanah sehingga saya melewatinya. Tapi dia akan menjadi milik saya, saya harus menemukannya! Kuda-kuda telah lari, jadi kita bisa menelusuri jejak kakinya.”
“Itu pekerjaan yang sulit! Memang jejak kulitputih bisa dibedakan dari jejak kulitmerah. Tapi siapa yang bisa memastikan bahwa mereka tidak bisa mengubah kebiasaan dengan berjalan menggunakan ujung jari kaki seperti orang-orang Indian? Dan bukankah selalu terdapat jejak pada setiap dataran?"
“Anda benar, Charley. Tapi apa yang harus saya lakukan?” Saya meraih tas dan mengeluarkan dua pundi-pundi serta beberapa lembar
kertas yang saya temukan pada kuda kulitputih. “Barangkali kita bisa menemukan sesuatu yang membantu kita menentukan
rencana selanjutnya.” Saya membuka kantung. Di dekat kami, api masih menyala. Cahayanya cukup
terang sehingga saya bisa memeriksa isinya. Saya berteriak kaget. “Batu, batu mulia, berlian! Sam, saya menggenggam harta melimpah dalam
tangan!” Dari mana bushheader memperoleh barang ini dan bagaimana mereka
membawanya ke sabana? Mereka pasti tidak memilikinya dengan cara yang halal, ini sudah jelas. Saya harus menemukan pemilik sebenarnya dari barang-barang tersebut.
“Berlian? ‘s death, benarkah? Tunjukkan! Sepanjang hidup, saya misalnya belum pernah memegang sebutir barang tambang itu di tangan.”
Saya memberikan kepadanya sambil berkata, “Berlian dari Brazil. Ini, lihatlah!” “Hmmm! Manusia memang makhluk yang aneh. Ini hanyalah sebuah batu,
bukan besi yang kuat dan awet. Benar ‘kan, Charley?” “Karbon, Sam, tidak lebih dari karbon!” “Karbon atau kokain, sama saja. Saya tidak mau menukar senjata tua saya
dengan seluruh barang ini! Apa yang akan Anda lakukan dengan arang-arang itu, Charley?”
“Memulangkan kepada pemilik yang sebenarnya.” “Siapa?” “Entahlah. Tapi saya akan mengetahuinya karena orang yang kehilangan
barang ini pasti tidak akan tinggal diam. Dia akan menulis pemberitahuan di surat kabar.”
“Hihihihi, jadi mulai besok kita akan berlangganan surat kabar, Charley!” “Tidak perlu. Pada akhirnya kita akan menemukan petunjuk dalam kertas-
kertas ini.” “Kalau begitu lihatlah misalnya dengan segera!” Saya membuka dan menemukan dua buah kartu pos yang indah dari Amerika
Serikat serta sebuah surat tanpa amplop. Surat itu berbunyi, Galveston, tanggal ... Ayah yang tercinta, Saya membutuhkanmu. Datanglah secepat mungkin. Tidak menjadi masalah, apakah Ayah berhasil mendapat berlian atau tidak. Yang jelas kita akan menjadi kaya raya. Pada pertengahan Agustus, ayah bisa menemui saya di Sierra Ranca, tempat sungai Rio Pecos mengalir keluar
di antara Skettel-Pik dan Head-Pik. Hal-hal lain akan saya sampaikan secara lisan. Anakmu, Patrik Tanggal dari surat itu sudah tersobek sehingga saya tidak bisa mengira kapan
surat itu ditulis. Saya membacakannya buat Sam. “Behold,” ujarnya ketika saya selesai membaca. “Benar, nama anak itu
misalnya tidak lain adalah Patrik. Keduanya termasuk dalam kesepuluh orang yang nyawanya belum terpahat pada gagang senjata saya. Tapi coba ulangi lagi, apa nama kedua gunung tadi?”
“Skettel-Pik dan Head-Pik25.” “Anda tahu gunung itu?” “Sedikit. Saya berangkat dari Santa Fé menuju pegunungan Organos. Karena
katanya di Sierra Rianca dan Sierra Guadeluppe ada beruang, maka saya singgah sebentar ke sana.”
“Anda pun tahu tentang sungai Rio Pecos?” “Saya tahu sekali.” “Kalau begitu Andalah orang yang saya butuhkan. Kita akan pergi ke Texas
dan Mexico dan kita bisa mengambil jalan membelok sebentar ke kanan. Saya hanya ke sana, karena saya misalnya ingin menjumpai teman-teman saya. Tapi karena mereka sudah mengatakan di mana mereka akan ditemui, maka rasanya lucu jika Sans-ear yang tua ini tidak menampakkan diri bersama Tony di hadapan mereka. Maukah Anda pergi bersama saya, jika besok pagi kita tidak menemukan jejak Fred Morgan?”
“Tentu saja! Saya harus menangkapnya karena hanya dari dia saya bisa tahu siapa pemilik batu-batu mulia ini.”
“Kalau begitu simpanlah kembali barang-barang itu. Mari kita lihat apa yang dikerjakan railroader!”
Sesuai anjuran saya, kondektur menempatkan penjaga. Selain pekerja kereta, para pegawai kereta pun sibuk memperbaiki rel kereta yang rusak. Para penumpang hanya berdiri, sebagian dari mereka memperhatikan pekerjaan perbaikan, dan sebagian lagi sibuk mengurusi jenasah korban yang tewas atau memperhatikan kami berdua, tapi mereka tidak berani mengganggu percakapan kami. Ketika kami berdiri, beberapa orang datang menghampiri kami untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongan kami. Mereka lebih ramah daripada masinis. Mereka bertanya, bagaimana mereka mengungkapkan rasa terima kasihnya dalam bentuk barang. Saya menjawab, saya ingin membeli peluru, tembakau, roti, dan korek api seandainya barang-barang itu dijual. Dengan segera mereka mengeluarkan barang-barang tersebut dari kantongnya sehingga kami menerima hadiah yang jumlahnya lebih dari cukup. Tentu saja saya tidak perlu membayarnya karena pasti akan ditolak.
Dalam waktu yang singkat perbaikan rel kereta sudah selesai. Perkakas kembali disimpan. Kondektur mendekati kami lalu bertanya,
“Apakah Anda mau ikut, Mesch'schurs? Dengan senang hati saya mau mengantar Anda ke tempat yang Anda inginkan.”
“Terima kasih, Sir! Kami tetap tinggal di sini,“ jawab saya. “Terserahlah. Tentu saya akan menulis berita tentang peristiwa hari ini dan
saya tidak lupa menyanjung nama Anda. Tidak tertutup kemungkinan bahwa Anda akan mendapat hadiah.”
“Terima kasih, hadiah itu tidak perlu, karena kami tidak tinggal lama di daerah ini.”
“Siapa yang berhak atas barang-barang yang direbut dari musuh?”
25 Skettel Peak dan Head Peak. Peak=Puncak (Inggris).
“Menurut undang-undang padang prairie, semuanya menjadi milik pihak yang menang.”
“Kita sudah menang, karena itu kita bisa mengambil barang-barang yang dibawa orang Indian. Silakan, tuan-tuan! Setiap orang harus mengambil tanda mata untuk mengenang pertempuran hari ini!”
Tiba-tiba Sam maju menghampirinya dan berkata, “Maukah Anda menunjukkan kami mayat-mayat orang Indian yang telah Anda
kalahkan atau Anda bunuh, Sir?” Orang itu menatapnya agak terperangah. “Apa maksud Anda?” “Apabila Anda telah membunuh seseorang, maka Anda misalnya boleh
merampas hartanya, tapi jika tidak maka Anda tidak boleh.” “Sam, biarlah mereka mengambilnya,” kata saya sambil berpaling kepada
sahabat saya. “Kita tidak membutuhkannya sama sekali!” “Jika Anda berpendapat demikian, baiklah. Tetapi scalp mereka jangan
disentuh!” “Anda pun harus mengambil mayat pemeriksa rel yang tergeletak di sana,”
saya menambahkan. “Itu merupakan kewajiban Anda!” Keinginan saya tentu saja dipenuhi. Mereka mencari mayat-mayat orang
Indian dan merampas senjata serta harta bendanya. Kemudian mereka menaikkan mayat kulitputih ke dalam sebuah gerbong. Setelah perpisahan yang singkat, kereta pun bergerak maju. Selama beberapa saat kami masih mendengar bunyi putaran roda, lambat laun makin melemah. Setelah itu kami sendirian lagi di padang sabana yang luas dan sepi ini.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Charley?” tanya Sam. “Tidur.” “Apakah Anda berpikir, bahwa orang-orang Indian tidak akan datang lagi
karena manusia-manusia berani itu kini telah pergi?” “Saya kira tidak.” “Tapi saya misalnya merasa heran, mengapa Fred Morgan tidak kembali lagi
dan paling tidak berusaha menemukan kembali kuda serta batu berliannya!” “Hal itu mungkin, tapi saya meragukannya. Siapa yang mau mencari lagi
kudanya yang sudah lari terhalau oleh api? Dia juga tahu, selain railroader masih ada orang lain di sini dan dia tidak boleh menunjukkan batang hidungnya kepada mereka jika tidak ingin menjerumuskan diri ke dalam bahaya.”
“Tadi dia melihat saya, begitu pula sebaliknya. Saya heran kalau dia tidak ingin menghadiahi saya peluru atau besi tajam!”
“Kita harus menunggu. Hari ini keadaannya aman. Walaupun demikian kita bisa sedikit menghindar dari rel kereta sampai kita cukup yakin bahwa kita tidak akan diganggu.”
“Well, mari kita pergi!” Dia bangkit. Saya naik ke punggung kuda dan kami berkuda kira-kira satu mil
inggris ke arah utara. Di tempat itu kami berhenti, lalu mengikat kuda dan membungkus diri dalam selimut.
Saya benar-benar letih sehingga segera tertidur. Kemudian, seperti dalam mimpi, saya mendengar bunyi kereta melaju dari timur ke barat. Tapi saya tidak terjaga sepenuhnya, lalu saya kembali tertidur.
Ketika saya bangun dan membuka selimut, hari masih sangat pagi. Tapi Sam sudah duduk di hadapan saya dan dengan nikmat dia mengisap sebuah cerutu yang kemarin malam dihadiahkan kepada kami.
“Good morning, Charley! Memang ada perbedaan antara cerutu pemberian penumpang dan cerutu patent-smokers Anda, yang pabriknya terdapat di bawah pelana kuda. Mari, isaplah bersama saya barang satu batang kemudian kita pergi bekerja. Kita harus menunda sarapan sampai menemukan air.”
“Semoga kita segera menemukannya. Ini tentu sangat baik untuk kuda kita yang belum diberi makan. Omong-omong saya pun bisa menikmati cerutu di atas punggung kuda.”
Saya menyulut sebatang cerutu kemudian melepaskan tali ikatan kuda. “Ke mana kita pergi?” tanya Sam. “Kita berangkat dari sini sampai ke tempat kereta berhenti. Di sana tak ada
jejak yang akan luput dari perhatian kita.” “Tapi kita tidak berkuda berdampingan.” “Ya. Tentu saja kita berkuda beriring-iringan. Ayo, mari pergi!” Abu halus dari rerumputan yang terbakar mampu merekam jejak prajurit
Ogellallah yang kabur. Tapi hembusan angin sepanjang malam telah mengaburkan jejak-jejak itu sehingga tidak terlihat lagi. Akhirnya kami tiba di sana tanpa mendapat hasil.
“Apa Anda melihat sesuatu, Charley?” tanya Sam. “Tidak.” “Saya pun tidak. Angin terkutuk, dia misalnya hanya datang seandainya tidak
diperlukan! Kalau Anda tidak menemukan surat itu, pasti kita tidak bisa menyusun rencana kita selanjutnya.”
“Jadi mari kita berangkat ke Rio Pecos!” “Well! Tapi sebelumnya saya ingin mengatakan kepada kulitmerah, bahwa
mereka harus berterima kasih kepada seseorang atas peristiwa kemarin.” Pada saat saya naik dan berbaring di rel, dia memulai pekerjaannya. Saya
tidak mau ikut ambil bagian. Dia membaringkan mayat Indian berdampingan dan meletakkan telinga mereka yang sudah terpotong ke dalam tangannya masing-masing.
“Sekarang marilah!” katanya. “Kita terus berkuda sampai tiba di mata air terdekat. Saya ingin tahu, siapa yang lebih kuat menahan haus, kuda Anda atau si tua Tony.”
“Kuda Anda memikul beban yang lebih ringan daripada kuda saya.” “Well, Charley. Daging manusia yang dipikulnya lebih ringan, tetapi ia memiliki
otak yang lebih banyak. Bung, saya tidak bisa menerima bahwa Fred Morgan bisa lolos. Tetapi bahwa Anda tidak langsung membunuh kedua kepala suku itu, hal itu misalnya akan saya maafkan, seandainya Anda membantu saya menangkap Morgan.”
PENANCAP TIANG
Di antara Texas, Arizona, New Mexico, dan Indian Territory terbentang sebidang tanah yang sangat luas. Daerah ini sebenarnya berada di antara sungai yang mengalir dari pegunungan Ozark, yaitu antara Sierra Guadelupe di bagian utara dan Gunung Gualpa di selatan. Daerah ini dikelilingi oleh puncak-puncak gunung yang tinggi yang membatasi aliran Sungai Rio Pecos di sebelah utara dan mata air dari Sungai Red River, daerah Sabine, Trinidad, Brazos dan Colorado.
Hamparan padang pasir yang gersang dan tandus itu diselingi oleh hamparan kerikil yang tajam dan kering. Tanah di sana begitu gersang, sehingga tak ada tanaman yang bisa tumbuh di atasnya. Suhu yang menyengat kulit pada siang hari akan berubah menjadi begitu dingin menusuk tulang pada malam hari. Di padang pasir ini tidak ditemukan wahah atau oase seperti layaknya di Gurun Sahara. Tak terlihat tanah lembab di mana orang bisa menduga ada mata air di bawahnya. Bahkan di sana hampir tidak terdapat daerah peralihan antara pegunungan yang ditumbuhi hutan lebat dan padang tandus. Keadaan ini tentu saja mengandung bahaya tersembunyi yang tidak kasat mata. Di beberapa tempat tumbuh semak mezquite yang jarang dan berkulit keras. Tidak diketahui, dengan kekuatan apa tumbuhan itu bisa bertahan hidup. Daunnya tidak lagi hijau. Ada hal lain yang mengherankan, di tempat itu dijumpai pula sejenis kaktus liar yang hanya tumbuh beberapa batang atau membentuk sebuah rumpun atau tersebar di beberapa tempat lain di sekitarnya. Kehadiran kaktus itu masih menjadi teka-teki yang belum bisa dijelaskan. Tanaman mezquite maupun kaktus kelihatan tidak menarik untuk dipandang karena berwarna cokelat abu-abu dan mempunyai bentuk batang yang jelek. Tumbuhan itu tertutup oleh lapisan debu pasir yang tebal. Kuda-kuda yang terjebak di dalam lautan kaktus, akibat penunggangnya yang kurang berhati-hati, pasti akan menderita luka parah karena kakinya tertusuk duri-duri yang tajam dan keras. Pasti hewan itu tidak bisa lagi meneruskan perjalanan. Penunggangnya harus menyerah dan membunuh kudanya jika dia tidak ingin melihat binatang itu keluar dari sana dengan luka parah.
Walaupun gurun pasir itu sangat berbahaya, masih ada juga manusia yang berani melewatinya. Di tempat itu terbentang jalan ke Santa Fé dan Fort Union sampai ke Passo del Norte dan terus turun ke padang prairie yang mengandung cukup air serta ke hutan-hutan di daerah Texas. Tetapi ‘jalan’ di sini tidak boleh dibayangkan seperti jalan raya yang dijumpai di negara-negara maju. Bisa saja seorang penunggang kuda, rastreador1 atau sekelompok orang nekat, ataupun orang Indian yang berkuda dengan cepat melewati padang pasir ini. Tapi kadang-kadang terlihat kafilah yang ditarik lembu bergerak begitu lamban seperti siput darat melintasi padang sepi ini. Sebenarnya tak ada jalan di sana, juga tak ada jalan sejajar yang berjarak lima belas menit perjalanan seperti yang terdapat di padang rumput di Lüneburg atau pada pesisir pantai di Brandenburg. Setiap orang yang berkuda atau berjalan kaki, membuat jalannya sendiri, selama masih terlihat tanda-tanda di tanah yang menunjukkan bahwa dia masih berada pada arah yang benar. Namun makin lama tanda-tanda itu mulai menghilang, sehingga orang dengan penglihatan tajam sekalipun tidak bisa menelusurinya. Mulai dari tempat itu dibuat tanda lain, yakni tiang-tiang yang ditancapkan di atas tanah sebagai penunjuk arah.
Walaupun sudah diberi tanda, padang pasir itu tetap saja meminta korban. Bahkan jumlahnya lebih banyak daripada yang terjadi di Gurun Sahara di Afrika atau Gurun Schamo di Asia yang terkenal sebagai padang gurun yang angker. Mayat manusia, bangkai binatang, sobekan pelana kuda, dan barang-barang rongsokan lainnya berserakan di tepi dan tengah jalan. Barang-barang itu menjadi saksi bisu tentang kisah yang tidak pernah didengar oleh telinga dan hanya bisa ditangkap oleh mata. Burung-burung nasar pemakan bangkai terbang tinggi di udara dan dengan
1 Spanyol: Pencari emas atau penunjuk jalan.
penasaran memantau gerak maju makhluk hidup di bawahnya, seolah-olah binatang itu tahu bahwa mangsa-mangsa empuk itu tidak akan lolos.
Lalu, apa nama gurun pasir ini? Penduduk yang tinggal di sekitarnya memberinya nama yang berbeda-beda, kadang dalam bahasa Inggris, kadang Perancis ataupun Spanyol. Tetapi karena tiang-tiang yang ditancapkan sebagai penunjuk jalan tadi, maka gurun itu disebut Llano Estaccado (estaccado berarti tertancap).
Dua orang penunggang kuda sedang berjalan dari arah hulu Red River menuju ke Sierra Rianca. Kuda-kuda mereka terlihat sangat kelelahan. Binatang malang itu begitu kurus dan hanya tinggal kulit pembalut tulang. Kedua binatang itu pun tampak lusuh ibarat burung yang terbujur kaku di dalam sarangnya. Dengan menyeret kakinya tanpa tenaga, binatang itu bergerak maju perlahan-lahan, seolah-olah akan tersandung setiap kali melangkah. Karena itu orang bisa menduga, setiap saat kuda itu bisa roboh ke tanah. Matanya sudah merah. Lidahnya yang kering terjulur keluar di antara sudut bibirnya dan jatuh terkulai lemas. Tapi walaupun panas yang membakar, pada tubuhnya tidak terlihat butir-butir keringat. Dari mulutnya pun tidak keluar buih. Ini menunjukkan bahwa binatang-binatang itu tidak lagi memiliki cairan dalam tubuhnya selain darah, karena cairan itu telah menguap akibat panasnya gurun pasir.
Kedua kuda itu adalah Tony dan mustang saya. Tentu penunggangnya adalah Sam dan saya.
Sudah lima hari kami berkuda menempuh Llano Estaccado. Sebelumnya kami masih menjumpai mata air di beberapa tempat. Namun kini sama sekali tidak terlihat adanya air. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana unta-unta di padang pasir begitu praktis menyimpan persediaan air di punuknya. Kini saya teringat akan sebuah peribahasa dari Uhland2 yang kira-kira berarti,
“Jika kuda terlalu letih untuk memikul tuannya, maka tuannya harus ganti memikul kudanya!”
Walaupun mungkin, realisasi dari ungkapan ini sangat sulit dibayangkan, karena penunggang kuda itu pun berada dalam keadaan tanpa harapan seperti si kudanya.
Si kerdil Sam yang semakin kurus bergantung pada leher kudanya seakan-akan tubuhnya ditopang begitu saja oleh leher kuda. Mulutnya menganga, matanya memandang kosong, tampak nanar. Sementara itu keadaan saya, kelopak mata saya terasa begitu berat seperti digantung dengan timah. Tenggorokan saya terasa kering. Saya tidak bisa bersuara karena kerongkongan saya seperti hendak pecah setiap kali berbicara. Nadi saya dialiri oleh sesuatu yang mendidih seperti leburan besi panas. Saya kira, tidak sampai satu jam lagi, saya akan terjatuh dari punggung kuda dan terkapar di tanah tanpa daya.
“A...ir!” Sam mengerang perlahan. Saya menegakkan kepala. Apa yang harus saya jawab? Saya hanya diam.
Tiba-tiba kuda saya tersentak dan berhenti. Saya berusaha sedapat mungkin untuk memacunya, namun binatang itu tidak mau maju. Si Tony yang sudah tua itu pun sama.
“Turun!” kata saya. Semua organ berbicara terasa sakit saat saya mengucapkan kata ini. Bagian tubuh saya mulai dari paru-paru sampai ke mulut, terasa seperti ditusuk oleh ribuan jarum.
Saya jatuh melorot dari kuda, meraih tali kekang dan melangkah maju dengan bisu. Kuda itu mengikuti saya perlahan-lahan, tak ada lagi beban yang harus dipikulnya. Sam pun menuntun kudanya dari belakang, namun pada saat itu dia tampaknya lebih letih daripada saya. Kami terus berjalan maju perlahan-lahan sejauh setengah mil. Pada waktu itu saya mendengar suara erangan keras dari belakang. Saya membalikkan tubuh. Sam tergeletak di tanah dengan mata tertutup. Saya maju
2 (Johann) Ludwig Uhland (1787-1862), penyair dan filologis Jerman ternama.
menghampiri dia lalu duduk di sampingnya, diam dan tanpa suara, karena keadaan kami tetap tidak akan berubah walaupun kami berbicara.
Rasanya hidup saya akan segera berakhir, saya tiba pada tujuan akhir pengembaraan! Saya ingin mengenang kembali orang tua dan saudara-saudara saya yang tinggal jauh di tanah Jerman. Saya ingin menenangkan pikiran untuk berdoa ... tapi tidak berhasil. Pikiran saya kusut. Tanpa sadar kami sudah menjadi korban dari siasat jahat yang sebelumnya pun sudah menelan banyak nyawa.
Kelompok pencari emas yang mendapat rezeki pada diggins di California sering datang dari Santa Fé menyeberang ke Paso del Norte dan kini ingin membawa hasil pekerjaannya ke daerah Timur. Mereka mengambil jalan pintas melalui Llano Estaccado. Dengan melalui jalan ini, mereka justru menantang bahaya yang bukan timbul karena pengaruh tanah dan cuaca, karena selain itu mereka akan disambut oleh orang-orang lain. Orang-orang ini adalah mereka yang tidak puas bekerja pada tambang emas dan tidak berhasrat untuk bekerja secara jujur. Mereka adalah orang-orang yang dipecat dan dicaci-maki di daerah Timur karena kasus korupsi. Kini mereka berkumpul di dekat Estaccado untuk menjarah para penambang emas itu. Kebanyakan dari mereka mempunyai perawakan kekar dan terlatih. Keberanian mereka sudah teruji dalam berbagai kesulitan dan pertempuran, karena itu tentu saja sangat berbahaya jika orang mencari persoalan dengan mereka. Para perampok liar itu merancang sebuah ide yang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan: mereka mencabut tonggak-tonggak yang dipasang sebagai penunjuk arah lalu menanamnya menuju arah yang lain, sehingga para pengelana akan digiring kepada keganasan padang pasir lalu akhirnya terbunuh dalam ketidakberdayaan. Dengan itu mudah bagi mereka untuk merampas harta korban tanpa perlu bersusah payah atau menghadang bahaya. Tulang belulang korban yang telah pudar karena diterpa panas matahari berserakan di padang sepi ini. Sementara itu kerabatnya di rumah sia-sia menunggu mereka pulang dan mereka tidak pernah mendengar lagi cerita tentang nasib orang-orang malang itu.
Sampai sekarang kami mengikuti tonggak itu tanpa menaruh curiga. Baru pada waktu tengah hari, kami sadar bahwa tiang-tiang itu telah menyesatkan kami. Saya tidak tahu, sejak kapan kami menyimpang dari arah yang sebenarnya. Tetapi rasanya tidak berguna jika kami kembali ke tempat semula, terutama karena dari waktu ke waktu keadaan kami semakin parah. Sam tidak mungkin lagi meneruskan perjalanan. Saya sendiri pun tidak bisa berjalan lagi lebih dari satu mil walaupun saya mengerahkan seluruh tenaga saya yang masih tersisa sedikit. Hanya satu hal yang pasti, kami akan segera menjadi mayat, seandainya tidak ada yang datang menolong kami. Dan pertolongan itu harus segera datang.
Tiba-tiba terdengar suara yang keras dan serak di atas kepala saya. Saya menengadah ke atas dan melihat seekor burung nasar. Binatang yang barangkali baru saja terbang ke udara itu, melayang rendah di atas kami. Burung itu terbang berputar-putar di atas seolah-olah kami pasti akan menjadi mangsanya. Di dekat kami pasti terkapar seorang atau para stakemen3. Kelompok terakhir ini biasa disebut perampok dari Estaccado. Saya memandang sekeliling untuk mencari jejak yang mungkin ada di sana.
Mata saya memerah karena terik matahari dan sakit demam, sehingga terasa sakit dan tidak bisa berfungsi dengan baik. Walaupun demikian, pada jarak sekitar beberapa langkah di depan, saya melihat beberapa titik. Titik-titik itu bukan bebatuan atau gundukan tanah. Saya meraih senapan berlaras ganda dan berusaha untuk berjalan mendekat.
Sebelum mencapai setengah dari jarak ke tempat itu, saya melihat tiga ekor coyote, dan tidak jauh darinya tampak beberapa ekor burung ruak-ruak. Binatang-binatang itu mengerumuni sesuatu yang tidak jelas terlihat oleh saya. Pasti tubuh binatang atau manusia, tetapi pemilik tubuh itu belum mati. Jika tidak pasti binatang-
3 Orang-orang yang menancapkan tiang penunjuk jalan.
binatang pemangsa itu sudah lama melahap bangkainya. Pada saat yang sama tumbuh harapan dalam diri saya setelah melihat coyote. Binatang ini berani menyusup agak jauh ke daerah gurun pasir, walaupun mereka sebenarnya tidak bisa bertahan hidup tanpa air. Saya juga harus menyelidiki apa yang sedang dikerubutinya. Saya sudah mengayunkan langkah untuk maju. Tiba-tiba terbersit suatu pikiran untuk menggunakan senjata.
Kami hampir sekarat. Di sini tidak ada air untuk melepaskan dahaga, tetapi paling tidak kami bisa minum darah binatang itu. Saya membidik. Namun, karena saya begitu lemah dan sedang sakit demam, maka ujung senapan bergetar hebat. Karena itu saya duduk, menopang tangan di atas lutut supaya bisa menembak dengan tepat.
Saya menarik pelatuk dua kali. Dua ekor coyote roboh ke atas pasir. Pada saat itu saya melupakan semua keletihan lalu berlari dengan cepat ke sana. Seekor serigala tertembak di kepalanya, sedangkan tembakan yang lain tampaknya kurang tepat, sehingga saya harus malu seandainya saya tidak berada dalam kondisi sakit. Peluru hanya meremukkan kedua kaki depannya. Ketika saya menembak, serigala itu sedang lari. Sekarang binatang itu roboh ke pasir sambil meraung-raung.
Saya mencabut pisau, memotong urat nadi pada leher serigala yang lebih dulu tertembak lalu meminum darahnya dengan puas seakan-akan saya minum nektar4. Kemudian saya mengambil cangkir kulit dari ikat pinggang lalu mengisinya sampai penuh dan bergegas menghampiri seorang pria yang terkapar di dekatnya, seorang Negro. Cangkir yang saya pegang hampir jatuh terlepas, karena saya begitu terkejut melihat wajah orang itu yang bukan tampak hitam melainkan keabu-abuan karena debu pasir.
“Bob!” Mendengar seruan saya, dia membuka sedikit kelopak matanya. “Air!” dia mengerang. Saya berlutut di sampingnya, lalu meninggikan tubuhnya kemudian
mendekatkan cangkir ke mulutnya. “Minumlah!” Dia membuka mulut, tapi karena tenggorokannya kering, dia tidak bisa
menelannya. Hal ini berlangsung lama, sehingga akhirnya saya menuangkan cairan menjijikkan itu ke dalam mulutnya. Kemudian dia rebah lagi ke tanah.
Sekarang saya harus memikirkan nasib Sam. Dengan hati-hati saya mengambil darah dari coyote yang lebih dulu tertembak mati karena darahnya lebih kental daripada serigala yang hanya terluka.
Lalu saya mendekati serigala kedua. Binatang itu meraung-raung dan menggigit saya. Tetapi saya masih membiarkannya hidup. Kemudian saya mencekik lehernya dan menyeretnya sampai ke tempat Sans-ear. Lalu binatang itu saya tekan ke tanah, sehingga tidak bergerak. Kemudian saya memotong nadinya.
“Sam, minumlah ini!” Dia tergolek tanpa daya di tanah. Tetapi kini dia bangun. “Minum? Oh!” Dengan terburu-buru dia menyambar cangkir dan mengosongkannya dengan
sekali teguk. Saya mengambil cangkir itu dari tangannya lalu mengisinya lagi. Sam minum lagi sampai habis.
“Darah, fie! Ah, brrr, ooohhh, tapi itu lebih baik daripada tidak minum sama sekali!”
Saya menghabiskan beberapa teguk darah yang masih tersisa kemudian bangkit. Serigala ketiga yang tadi melarikan diri, kini datang lagi dan mengancam hendak menggigit Bob, walaupun si Negro itu masih hidup. Saya kembali mengisi senjata, melangkah ke dekat binatang itu lalu menembaknya mati. Dengan darahnya saya bisa membantu si kulithitam, sehingga kesadarannya pulih kembali dan dia bisa menggerakkan tubuhnya.
4 Minuman sangat lezat.
Para pengembara seringkali mengalami perjumpaan yang sangat mengesankan. Perjumpaan seperti itu kini saya alami pada si orang Negro itu. Saya mengenal dia dengan sangat baik. Saya pernah menginap selama beberapa hari di rumah majikannya, Marshall, seorang pedagang permata di Louisville. Pada waktu itu saya menyukai pria Negro itu karena dia seorang yang setia dan lucu. Dua putra pedagang itu pergi berburu bersama saya ke pegunungan Cumberlands, kemudian menemani saya sampai ke Mississippi. Keduanya adalah pemuda tampan dan rasa persaudaraan di antara mereka membuat saya sungguh kagum. Mengapa Bob, pria kulithitam yang sudah tua dan beruban ini, bisa datang sampai ke Llano Estaccado?
“Apakah sekarang keadaannya lebih baik, Bob?” tanya saya kepadanya. “Lebih baik ... oh, sangat baik,” dia berdiri dan sekarang tampaknya dia
mengenal saya. “Massa, apa saya tidak salah? Massa Charley, pemburu yang luar daripada biasa! Oh, Bob senang bahwa bertemu Massa, karena Massa Charley harus tolong Massa Bern’, jika tidak akan mati dia.”
“Bernard? Di mana dia berada?” “O, di mana Massa Bern’ ya?” Dia memandang sekeliling lalu menunjuk ke
selatan. “Massa Bern’ adalah di sana! Oh bukan, adalah di sana... atau di sana... atau di sana!” Dia memutar tubuhnya dan menunjuk ke arah barat, utara dan timur. Bob tidak tahu, di mana Massa yang masih muda itu berada.
“Apa yang dilakukan Bernard di Llano Estaccado ini?” “Melakukan apa? Tidak Bob mengetahui, sebab tidak Bob melihat Massa Bern’
yang pergi bersama Massa-Massa yang lain.” “Siapakah yang pergi bersama dengannya?” “Mereka adalah pemburu, adalah pedagang, adalah … oh, tidak Bob
mengetahui semuanya!” “Ke mana dia hendak pergi?” “Ke Californ’, ke Francisco, ke tempat Massa Allan.” “Jadi Allan berada di Francisco?” “Massa Allan adalah di sana, membeli banyak emas untuk Massa Marshall.
Tetapi Massa Marshall membutuhkan tidak lagi emas, karena Massa Marshall adalah sudah mati.”
“Master Marshall sudah meninggal?” tanya saya tercengang karena dulu pedagang permata itu masih terlihat segar bugar.
“Ya, tetapi tidaklah mati karena sakit tetapi oleh karena pembunuhan.” “Dia dibunuh?” teriak saya tidak percaya. “Siapa pembunuhnya?” “Tidak Bob mengetahui pembunuhnya. Juga tidak mengetahui seorang pun.
Pembunuh itu datang pada malam hari, menghujam pisau ke dada Massa Marshall, mengambil semua batu-batu permata dan emas yang adalah menjadi milik Massa Marshall. Siapa adalah pembunuhnya dan ke mana dia pergi, itu tidak sheriff mengetahui, tidak juga jury5, tidak juga Massa Bern’ atau Bob.”
“Kapan peristiwa itu terjadi?” “Terjadinya beberapa minggu yang lalu, beberapa bulan yang lalu. Sudah lewat
lima bulan. Massa Bern’ jadi sangat miskin. Massa Bern’ menuliskan surat kepada Massa Allan di Californ’, tetapi tidak dibalas, sehingga berangkat dia sendiri ke Californ’ untuk mencarikan Massa Allan.”
Berita yang sekarang saya dengar tentu saja sangat mengejutkan; sebuah pembunuhan dengan latar belakang perampokan. Pembunuhan tersebut telah menghancurkan kebahagiaan keluarga yang hidup penuh damai. Sang ayah dibunuh dan kedua putranya jatuh dalam jurang kemiskinan. Jadi semua batu mulia dan permata sudah dirampok? Tanpa sadar, saya teringat kembali akan batu berlian yang saya curi dari Fred Morgan. Berlian itu masih tetap saya bawa. Tetapi mengapa pembunuh itu meninggalkan Louisville dan pergi ke padang prairie?
“Bagaimana engkau berangkat kemari?” tanya saya lagi.
5 Dewan pengadilan.
“Dari Memphis ke Fort Smith, kemudian melintasi pegunungan lalu sampai ke Prestan, Massa. Bob adalah berjalan, berkuda, berlari sampai ke padang pasir Estaccad’ yang luas dan mengerikan ini. Karena tidak menemukan air lagi, tiba-tiba menjadi letih kuda dan Bob. Bob menjatuh dari kuda, kuda melari terus dan Bob tidur terkapar. Sekarang menghadapi Bob bahaya yang sangat besar dan pelan-pelan mati karena kehausan, sampai Massa Charley mendatangi dan memberikan Bob minum dengan darah. O, Massa, selamatkan Massa Marshall maka cinta Bob kepada Massa Charley akan menjadi selebar dunia ini!”
Ini tentu saja suatu permintaan, namun saya tidak berharap sedikit pun untuk bisa memenuhinya. Bagaimana orang Negro ini sampai bisa mempercayai saya untuk tugas itu, saya tidak tahu. Tetapi untuk menolak permintaan itu pun rasanya tidak mungkin. Saya bertanya lagi,
“Berapa besar kelompok kalian?” “Sangat besar, Massa. Sembilan orang, ditambah Bob.” “Ke mana kalian akan pergi waktu itu?” “Tidak Bob mengetahui. Selalu Bob berkuda dari belakang dan tidak
mendengar, apa yang dikatakan Massa lain.” “Engkau membawa pisau dan pedang. Apakah kalian semua memiliki senjata?” “Tidak banyak kanon dan meriam, tetapi kami memiliki banyak bedil dan
senjata dan pisau dan pistol dan revolver.” “Siapa yang memimpin kalian?” “Seseorang yang bernama Williams.” “Ingatlah sekali lagi dengan sungguh-sungguh, ke mana mereka pergi ketika
engkau jatuh dari kuda.” “Saya tidak tahu lagi. Ke sana, ke situ, ke sana.” “Kapan? Kira-kira pada jam berapa?” “Saat itu hari adalah hampir malam … ah, oh, sekarang Bob mengetahui:
Massa Bern’ berkuda lurus ke arah matahari terbenam ketika Bob menjatuh dari kuda.”
“Bagus! Engkau sudah mampu berjalan kembali?” “Bob bisa berlarikan lagi seperti seekor rusa. Darah tadi adalah baik untuk
mengobati dahaga.” Benar, minuman yang tidak lazim itu juga mampu memuaskan dahaga saya,
sehingga lenyaplah demam dari tubuh saya. Sekarang si kerdil Sam berdiri di samping saya, dia pun merasakan perubahan besar dalam dirinya. Dia datang mendekat untuk mendengarkan pembicaraan kami. Keadaannya kelihatan seratus persen lebih baik daripada lima menit sebelumnya.
Kelompok, tempat Bernard Marshall bergabung, pasti menderita keletihan yang hebat seperti kami. Jika tidak tentu saja pemuda tegap itu tidak akan membiarkan pelayannya yang setia ini seorang diri saja. Barangkali rasa haus dan demam begitu menderanya, sehingga dia tidak mampu mengontrol pikiran dan inderanya. Dari keterangan Bob yang terakhir saya bisa menduga, dia mau pergi ke arah barat, seperti kami. Tetapi bagaimana kami bisa menyusulnya? Bagaimana kami bisa menolongnya sementara kami sendiri masih membutuhkan pertolongan dan selain itu tidak bisa memakai kuda-kuda kami?
Saya berpikir dan terus berpikir, tetapi tidak berhasil menemukan sebuah ide yang gemilang. Hanya saya bisa membayangkan, kelompok itu pasti belum pergi terlalu jauh. Tetapi bagaimana mungkin mereka tidak meninggalkan jejak sedikit pun?
Saya berpaling kepada Sam, “Tinggallah di sini bersama kuda-kuda. Binatang-binatang itu barangkali sudah
cukup beristirahat, sehingga nanti bisa berlari lagi sejauh satu mil. Seandainya saya belum kembali dalam dua jam, maka ikutilah saya.”
“Well, Charley. Kamu tidak akan pergi terlalu jauh karena minuman dari jus coyote tadi misalnya tidak akan bertahan lama."
Jelas bahwa sekarang kami saling menyapa dengan “kamu” dan bukan lagi dengan “Anda” seperti pada hari pertama pertemuan kami. Yang saya maksudkan di sini adalah sebutan “kamu” yang biasa dipakai para pemburu prairie.
Saya memeriksa tanah di tempat itu dan menemukan bahwa jejak Bob mulai dari tempat di mana dia terbaring, mengarah ke utara. Saya mengikutinya. Kira-kira setelah dua puluh menit saya tiba di suatu tempat. Di sana terlihat jejak sepuluh ekor kuda yang mengarah ke barat. Di sini Bob terjatuh dari kudanya karena letih, dan tampaknya tak seorang pun memperhatikan hal itu. Mungkin saja pada waktu itu dia berada agak jauh di belakang kelompoknya. Saya kembali mengikuti jejak dan menemukan bahwa kudanya lalu lari mengikuti kuda-kuda yang lain. Tapi tampaknya seluruh kuda tersebut begitu lemah karena setiap saat binatang-binatang itu tersungkur ke tanah dan hanya berjalan terseok-seok. Karena itulah di pasir terlihat garis-garis yang sangat jelas yang timbul setiap kali kuda-kuda itu melangkah.
Hal ini meninggalkan jejak yang sangat jelas, sehingga tanpa susah payah saya bisa mengikutinya dengan cepat. Saya menyebutnya “dengan cepat” karena memang hal itu berlangsung cepat. Tidak bisa saya pastikan apakah saya tiba-tiba digerakkan oleh kekuatan yang timbul karena minuman yang menjijikkan tadi atau karena rasa cemas pada nasib Bernard Marshall.
Saya sudah berjalan sejauh satu mil. Saya melihat beberapa pohon kaktus yang tumbuh jarang-jarang. Tanaman itu benar-benar meranggas, sehingga hampir seluruhnya berwarna kuning. Semakin jauh saya melangkah, tampak tanaman itu tumbuh dalam rumpun yang berpencar-pencar. Makin lama tanaman itu makin banyak terlihat dan akhirnya menghalangi serta menutupi jalan yang membentang hingga ke kaki langit di seberang.
Tentu saja jejak-jejak yang terus saya telusuri tidak menerobos ke dalam rumpun ini, tetapi memutar. Saya mengikutinya, namun tidak lama, karena tiba-tiba saya menemukan suatu ide yang memberikan saya kekuatan baru.
Jika terik matahari makin bertambah di dataran rendah pada Semenanjung Florida yang panas, maka sumur-sumur air di sana akan mengering, sehingga manusia dan hewan menderita kehausan. Tanah terasa begitu panas seperti timah cair dan hawa membakar seperti magma. Di langit tidak tampak sedikit pun gumpalan awan. Jika terjadi hal seperti ini maka orang-orang yang menderita kepanasan membakar alang-alang dan semak-semak kering lainnya untuk menciptakan hujan. Saya sendiri sudah dua kali mengalami hal itu. Barangsiapa yang mengenal hukum, kekuatan, dan perubahan alam; dia pasti bisa memahami teknik seperti ini dan tidak perlu membuat suatu uraian ilmiah terhadapnya.
Pada saat ini saya berpikir tentang teknik itu. Belum selesai berpikir, saya sudah berlutut di dekat tanaman kaktus dan memotong daun-daun kering untuk dibakar. Beberapa menit kemudian timbul nyala api yang kecil, makin lama api itu bertambah besar, dan dalam waktu yang singkat membentuk kobaran api yang merambat luas.
Sudah beberapa kali saya mengalami kebakaran di padang prairie. Tapi tak ada kebakaran dengan api berkobar-kobar ke langit disertai bunyi-bunyi keras seperti kaktus-kaktus ini. Karena setiap pohon yang terbakar, meledak dan mengeluarkan bunyi mirip tembakan, seolah-olah satu pasukan tentara sedang terlibat bentrok senjata. Nyala api membumbung tinggi ke langit dan di atasnya beterbangan debu-debu panas yang mengandung potongan-potongan kaktus yang terlontar ke atas akibat panas. Di bawah kaki saya, tanah terasa bergetar dan di udara terdengar bunyi seperti gemuruh.
Ini merupakan cara terbaik yang bisa saya lakukan – paling tidak pada saat ini – untuk menolong Bernard Marshall dan orang-orangnya. Saya berjalan balik tanpa merasa khawatir apakah nanti saya masih bisa membaca jejak mereka atau tidak. Harapan ini menguatkan hati saya dan saya memerlukan tidak lebih dari setengah jam untuk sampai ke tempat semula. Tapi ternyata hal itu tidak perlu karena di tengah
jalan saya melihat Sam datang bersama Bob, membawa serta kuda-kuda kami. Binatang-binatang itu sudah bisa berjalan lagi.
“Zounds, Charley, apa yang sebenarnya terjadi di sana? Mula-mula saya kira ada gempa bumi, tetapi sekarang saya misalnya berpikir, hamparan pasir yang panas ini tidak mungkin terbakar.”
“Bukan pasir, Sam, melainkan kaktus yang tumbuh berumpun-rumpun di sana.”
“Dari mana api itu? Saya tidak yakin bahwa kamulah yang telah membakarnya.”
“Mengapa tidak?” “Jadi ternyata kamulah orangnya! Tapi katakan, untuk apa?” “Untuk mendatangkan hujan.” “Hujan? Jangan marah, Charley, tapi saya kira, kamu rupanya sudah gila,
sehingga bertindak seperti itu!” “Apa engkau tidak tahu bahwa pada orang-orang primitif, orang-orang yang
dianggap gila justru menjadi orang-orang pandai?” “Saya tidak yakin, jika kamu berdalih bahwa kamu telah melakukan sesuatu
yang bijaksana! Karena udara akan menjadi dua kali lebih panas daripada sebelumnya.”
“Hawa panas akan bertambah dan dengan itu akan timbul pula tegangan listrik di udara.”
“Listrikmu sama sekali tidak berguna buat saya misalnya! Saya tidak makan atau minum listrik. Saya tidak mengenal makhluk asing yang bernama listrik itu.”
“Engkau akan segera mengetahuinya, karena dalam waktu singkat kilat akan menyambar dan barangkali disertai dengan sedikit petir.”
“Teruslah menanti! Charley yang malang, kamu benar-benar sudah sinting!” Dia memandang saya dengan rasa iba, sehingga saya mengerti bahwa dia
tidak bergurau. Saya kemudian menunjuk ke atas, “Apakah engkau melihat kabut-kabut hitam yang kini mulai berkumpul?” “Astaga! Charley, ternyata kamu sama sekali tidak gila seperti yang saya
bayangkan!” “Kabut-kabut itu akan membentuk awan yang akan berubah menjadi hujan
akibat tekanan.” “Charley, seandainya benar demikian, maka saya adalah seekor keledai bodoh
dan kamu adalah orang paling pintar di daratan Amerika, juga di negara-negara lain.” “Ah biasa saja, Sam. Saya sudah melihat peristiwa ini di Florida dan sekarang
saya hanya menirunya, karena saya pikir, hujan inilah yang kita harapkan. Lihatlah, di sana sudah tampak awan! Begitu kaktus ini habis terbakar maka akan turun hujan. Dan jika engkau tidak mau percaya maka perhatikanlah Tony, kudamu. Ia mengibas-ibas ekor buntungnya dan hidungnya mendongak ke langit. Kuda mustang saya pun sudah mencium bau hujan yang tentu saja tidak melayang jauh dari tempat kebakaran. Mari kita ke sana supaya kita pun terkena guyuran hujan!”
Kami berlari tetapi sebenarnya sekarang kami bisa naik ke punggung kuda, karena binatang-binatang itu kelihatan begitu bersemangat seakan-akan mendapat tenaga baru. Sekarang kuda-kuda itu bergerak maju seperti biasanya. Nalurinya pada air segar membuat binatang itu berjingkrak-jingkrak.
Ramalan saya terbukti. Setengah jam kemudian awan-awan kecil berkumpul, sehingga langit di atas kepala kami tampak gelap. Kemudian hujan turun, tetapi bukan dengan perlahan melainkan secara tiba-tiba, seolah-olah tumpah dari sebuah bejana keras yang dipecahkan. Rasanya seperti ada dua puluh tangan yang memukul-mukul di pundak kami. Hanya dalam waktu sepuluh menit, tubuh kami sudah basah kuyup, seolah-olah kami berenang menyeberangi sungai dengan pakaian lengkap. Mula-mula kedua kuda berdiri tenang dan hanya membiarkan butir-butir air hujan yang jatuh sambil menggerakkan hidungnya. Tetapi kemudian binatang-binatang itu mulai meloncat-loncat dan kami bisa melihat bahwa tenaganya telah pulih kembali. Kami
sendiri diliputi rasa girang yang tak terlukiskan. Lalu kami merentangkan selimut untuk menampung curahan-curahan air hujan dan setelah cukup meminumnya, kami mengisinya dalam tabung air.
Yang paling merasa gembira adalah si Negro Bob. Dia berguling-guling di atas tanah dan melumuri tubuhnya, sehingga tubuhnya, rambutnya yang kontras dengan kulitnya serta wajahnya menjadi sulit dikenali.
“Massa, Massa, oh, oh, air, air segar, air melimpah! Bob adalah sehat kembali, Bob adalah kuat kembali, Bob bisa berlari lagi, berjalan dan berkuda sampai ke Californ’! Akan juga Massa Bern’ mendapat air?”
“Barangkali, karena saya yakin, dia pasti berada tidak jauh dari padang kaktus ini. Tapi minumlah, karena sebentar lagi hujan akan berhenti.”
Dia memungut kembali topinya yang jatuh dari tanah. Topi itu bersisi lebar. Dia memegang sisi bawahnya tinggi-tinggi, lalu membuka lebar kedua bibirnya yang tebal, sehingga mulutnya menganga lebar, selebar jarak antara kedua telinganya. Kemudian dia memiringkan kepalanya ke belakang dan menuangkan minuman segar itu di antara rahangnya yang direnggangkan.
“Oh, oh, segar, Massa. Bob minum lebih banyak lagi!” Dia menaikkan topinya sekali lagi, tetapi kemudian kecewa. “Ah, hujan sudah selesai. Tak ada air lagi!”
Memang setelah terdengar bunyi gemuruh beruntun, akhirnya hujan pun berhenti dengan tiba-tiba, sama seperti ketika hujan mulai turun. Tetapi kami tidak memerlukannya lagi karena rasa dahaga kami telah dipuaskan dan di samping itu tabung air kami pun sudah diisi sampai penuh.
“Sekarang mari kita makan,” ujar saya, “kemudian segera berangkat, sehingga kita bisa menyusul Marshall!”
Setelah beberapa menit kami selesai. Santapan kami hanya berupa sepotong dendeng kerbau. Lalu kami naik ke punggung kuda dan memacunya maju. Pada waktu itu Bob membuktikan diri sebagai seorang pelari sejati, karena dengan mudah dia mampu mengikuti langkah kami.
Tentu saja semua jejak telah terhapus oleh air hujan, namun saya sudah tahu ke mana jejak-jejak itu mengarah. Tak lama setelahnya, saya melihat sebuah kendi air dari buah labu yang tergeletak di atas tanah. Pasti benda itu telah dibuang oleh seseorang dari mereka.
Padang kaktus ini tentulah terbentang luas dari arah timur ke barat, karena ujung lahan yang hangus akibat kebakaran belum juga nampak. Hal ini sangat menguntungkan karena dengan demikian, saya menyimpulkan, orang-orang yang saya cari pun pasti terkena guyuran hujan. Akhirnya kami tiba pada ujung lahan yang terbakar. Segera setelahnya saya melihat sekelompok manusia dari kejauhan, selain itu ada juga hewan. Saya meraih teropong. Ada sembilan orang dan sepuluh ekor kuda. Delapan orang sedang duduk di tanah, sedangkan orang kesembilan berada di dekat kuda dan memisahkan diri dari kelompok itu lalu memacu kudanya ke arah kami. Tiba-tiba tampaknya dia melihat kami dan menghentikan kudanya. Saya membidik teropong lebih tajam dan mengenalinya. Orang itu adalah Bernard Marshall.
Saya bisa memahami maksudnya. Dia berada pada suatu situasi antara kebingungan dan keputusasaan sehingga seperti temannya yang lain, dia pun tidak memperhatikan bahwa pelayannya telah lenyap. Akibat air hujan, kini dia pun memperoleh tenaga baru. Dia segera menyadari kewajibannya yaitu pergi mencari Bob dan membawanya pulang ke kelompok. Saya bisa membaca maksud ini setelah melihat seekor kuda lain yang dituntunnya dengan tali kekang. Bahwa tidak ada orang lain yang mau pergi bersamanya, saya tidak perlu merasa heran. Mereka adalah orang-orang yankee6 dan mereka menganggap nyawa seorang Negro tidak lebih berharga daripada biji-bijian kosong.
6 Orang Amerika Serikat bagian utara.
Dia menatap rombongan kami, lalu berteriak memanggil teman-temannya. Dengan segera mereka melompat ke atas punggung kuda masing-masing sambil memegang senjata di tangan.
“Maju Bob, dan jelaskan siapa kita sebenarnya!” saya memberi perinah kepada orang Negro itu.
Dia segera berlari ke sana, kami menyusulnya. Ketika Marshall melihat pelayannya, kemarahannya pun mereda. Teman-temannya pun turun dari kuda dan menunggu kami dengan sikap damai. Kami hanya sedikit tertinggal di belakang Bob, jadi kami bisa menangkap seruannya yang ditujukan kepada pedagang permata itu.
“Jangan tembak, Massa, jangan tikam. Ini yang datang adalah orang baik-baik. Adalah Massa Charley, yang hanya membunuh orang-orang Indian dan penjahat tapi membiarkan hidup para gentleman dan orang Negro!”
“Charley? Benarkah yang datang ini Charley!” katanya sambil terkejut lalu mengamat-amati saya.
Di kampung halaman, biasanya saya berpakaian lebih seperti gentleman daripada di padang sabana. Setelah beberapa bulan, orang tidak langsung mengenali wajah saya yang dihiasi janggut tipis, karena janggut itu telah tersembunyi di balik janggut tebal yang tumbuh tidak terawat. Karena dia belum pernah melihat saya dalam penampilan seperti saat ini, maka saya tidak tersinggung jika dia belum mengenali saya dari jauh. Tetapi sekarang setelah saya sampai pada jarak sekitar tiga puluh kuda darinya, dia terbelalak, karena yang dikatakan Bob memang benar. Dengan tergesa-gesa dia datang menghampiri saya dan mengulurkan tangannya dari atas kuda.
“Charley, bagaimana mungkin? Benarkah Anda Charley? Saya kira, Anda pergi ke Fort Benton dan ke pegunungan salju! Bagaimana mungkin Anda turun hingga ke daerah selatan ini?”
“Saya sudah berada di pegunungan salju, Bernard. Tetapi rasanya saya kedinginan di sana, sehingga saya meluncur turun. Selain itu syukur kepada Tuhan , kita bisa bertemu di Estaccado ini! Maukah Anda memperkenalkan saya kepada teman-teman seperjalanan Anda?”
“Tentu saja! Saya katakan, kehadiran Anda saat ini lebih berharga daripada uang ribuan dollar! Turun dan majulah kemari!”
Dia memperkenalkan saya kepada teman-temannya lalu menyebutkan nama-nama mereka kepada saya. Kemudian dia menghujani saya dengan begitu banyak pertanyaan. Sedapat mungkin saya berusaha menjawabnya. Teman-temannya terdiri dari yankee liar, lima orang voyageur dari perusahaan kulit yang membawa perlengkapan-perlengkapan penting, juga tiga orang lain yang bersenjata. Tapi mereka menggantungkan senjatanya sedemikian rupa, sehingga bisa dilihat bahwa mereka bukanlah westmen. Tentu saja mereka adalah para pedagang, seperti yang diceritakan Bob. Tapi saya lebih menganggap mereka sebagai para perantau yang mau pergi ke daerah Barat untuk mengadu nasib, baik melalui cara halal maupun tidak. Rombongan itu dipimpin oleh voyageur tertua yang diperkenalkan kepada saya dengan nama Williams. Di mata saya, dia adalah seekor “anak beruang”, seperti istilah yang biasa dipakai orang di daerah Barat. Dia berpaling kepada saya setelah saya menjawab beberapa pertanyaan kecil dari Bernard. Si kerdil Sam menunjukkan kesan tidak senang terhadap orang itu.
“Jadi sekarang kami tahu, kira-kira siapa kalian dan dari mana kalian datang. Hanya kami belum tahu, ke mana kalian hendak pergi!”
“Barangkali ke Passo del Norte, atau barangkali ke satu tempat lain, Sir. Semuanya tergantung kepada pekerjaan yang kami terima.”
Saya merasa tidak perlu menceritakan lebih banyak daripada apa yang boleh diketahuinya saat ini.
“Dan apa pekerjaan kalian?” “Kami bermaksud sedikit mengelilingi dunia.”
“Lack-a-day, untuk pekerjaan seperti itu orang tidak akan merasa bosan, walaupun demikian orang harus berusaha keras. Pasti Anda adalah seorang yang sangat kaya. Orang juga bisa melihatnya dari senjata Anda yang mengkilat!”
Dengan dugaan seperti itu, dia pasti akan terus bertanya, karena selain senjata, saya juga memiliki beberapa barang kecil yang sebenarnya harus saya tinggalkan di rumah. Pertanyaannya sungguh mengusik saya. Selain itu tatapan matanya yang agak licik dan suaranya yang mengolok serta terburu-buru saat berbicara dengan saya membuat saya tidak senang. Orang itu sangat lancang dan walaupun tampangnya rapi, saya tidak percaya kepadanya. Saya lalu menatapnya dengan tajam dan memberikan jawaban yang tidak mengandung ungkapan setuju ataupun penolakan.
“Saya kira, entah kaya atau miskin, di Estaccado hal itu sama saja.” “Memang Anda benar, Sir. Setengah jam lalu kami semua hampir mati
kehausan. Kami berhasil hanya karena kebetulan, karena sebuah mukjizat. Peristiwa seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya.”
“Peristiwa apa?” “Tentu saja hujan. Atau mungkin Anda datang dari jurusan lain, sehingga tidak
terkena curah hujan tadi?” “Kami kehujanan karena kamilah yang mendatangkannya.” “Mendatangkannya? Apa yang sebenarnya ingin Anda katakan, Sir?” “Seperti Anda, kami pun hampir mati kehausan. Engkau tahu, kami hanya bisa
selamat seandainya kami bisa membuat awan, kilat serta guntur.” “Dengar, Master Gombal, saya harap Anda tidak menganggap kami sebagai
orang-orang yang bisa dikibuli seekor beruang dengan Wipp-por-will7. Jika tidak maka dalam beberapa menit kulit Anda tidak lagi seindah sekarang. Pasti Anda sudah pernah berada di Utah, di daerah Danau Garam8 dan termasuk anggota ‘orang-orang kudus dari akhir zaman’ yang juga mampu membuat mukjizat -mukjizat.”
“Memang saya pernah berada di sana. Tetapi sekarang saya tidak mau berbicara tentang akhir zaman, melainkan pertama-tama tentang hari ini dan tentang Anda. Apakah Anda akan mengizinkan kami untuk bergabung bersama rombongan Anda?”
“Mengapa tidak? Terutama karena Anda dikenal oleh Master Marshall. Bagaimana ceritanya, sehingga Anda berani menempuh Llano Estaccado hanya berdua?”
Saya pura-pura tidak tahu sambil bersikap seperti orang bodoh dan belum berpengalaman,
“Apa yang perlu ditakutkan? Jalan ini ditandai dengan tiang-tiang penunjuk jalan. Jadi setiap orang boleh pergi ke sana dan keluar lagi dari sana dengan selamat.”
“Good lack, Anda akan segera binasa! Belum pernah Anda mendengar sedikit pun tentang stakemen?”
“Siapakah mereka?” “Anda harus tahu! Saya tidak mau bercerita tentang mereka, karena saya tidak
mau menakut-nakuti Anda. Hanya saya ingin katakan kepada Anda, yang berani datang berdua ke Estaccado hanyalah orang-orang seperti Old Firehand, Old Shatterhand, atau seseorang yang pintar dan cerdik seperti Sans-ear, pembunuh Indian itu. Apakah Anda pernah mendengar tentang orang-orang itu?”
“Mungkin, tetapi saya tidak mengingatnya lagi. Berapa lama lagi kita harus berkuda, sampai kita keluar dari Estaccado?”
“Dua hari.” “Tentu saja kita sudah berada pada jalan yang benar, bukan?” “Mengapa tidak!”
7 Sejenis burung penyanyi. 8 Salt Lake.
“Karena saya mendapat kesan, tiang-tiang itu tiba-tiba mengarah ke tenggara dan bukannya ke barat daya.”
“Masuk akal jika Anda mendapat kesan demikian, tetapi seorang voyageur yang sudah tua dan berpengalaman seperti saya pasti tidak akan keliru. Saya mengenal Estaccado dengan baik seperti mengenal isi tas saya sendiri.”
Kecurigaan saya semakin bertambah. Jika dia benar-benar sudah berpengalaman maka dia pasti tahu, bahwa dia telah menyimpang dari arah yang sebenarnya. Saya memutuskan untuk terus memburunya lebih jauh.
“Mengapa perusahaan mengirim Anda begitu jauh ke arah selatan? Yang saya tahu, di daerah utara terdapat lebih banyak kerajinan kulit daripada di selatan.”
“Anda sungguh bijaksana dan cerdik! Kulit tetaplah kulit. Karena di sini terdapat beruang cokelat, beruang hitam, racoon (binatang mirip beruang) dan opossum, serta binatang-binatang berbulu lainnya dalam jumlah yang banyak, maka setelah tengah hari kami akan pergi berburu untuk mengumpulkan ribuan kulit bison karena binatang-binatang itu berkeliaran pada musim gugur.”
“Oh ya? Tadi saya menduga, Anda lebih gampang berburu bison di hutan di daerah utara daripada di sini. Selain itu, sebagai seorang voyageur, Anda pasti mampu karena Anda tidak takut sedikit pun terhadap orang-orang Indian. Pernah saya mendapat cerita bahwa perusahaan mengirim para voyageur sekaligus sebagai kurir. Surat perintah jalan akan menjadi pelindung supaya tidak diserang oleh orang-orang Indian. Benarkah demikian?”
“Ya. Sebenarnya kami bisa mengharapkan bantuan dari kulitmerah dan bukannya merasa takut diserang oleh mereka.”
“Jadi sekarang Anda pun membawa surat itu?” “Tentu saja. Saya hanya perlu menunjukkan capnya dan orang Indian akan
memberikan perlindungan kepada saya.” “Anda membuat saya penasaran, Sir. Izinkanlah saya melihat sebentar cap
itu!” Saya melihat, dia tampak terpojok, tetapi dia berusaha menyembunyikannya di
balik raut wajahnya yang geram. “Apa Anda pernah mendengar tentang kode etik pos, bung? Saya hanya boleh
menunjukkan cap itu kepada orang-orang Indian.” “Saya tidak meminta untuk membaca isi surat. Kelihatannya Anda tidak
mampu memperkenalkan diri kepada seorang kulitputih.” “Dalam hal seperti itu senjata saya lebih jelas menunjukkan siapa saya.
Camkan ini baik-baik!” Saya membuat raut wajah, seolah-olah saya merasa berada di bawah
tekanannya dan hanya diam sambil berpura-pura merasa takut. Sam tidak menatap saya, karena nanti ketahuan kalau saya hanya bersandiwara. Dia memandang Tony seolah-olah dia dan kudanya sangat setuju dengan sikap saya. Saya membalikkan tubuh menghadap Marshall,
“Bob sudah mengatakan kepada saya, ke mana Anda hendak pergi, Bernard, dan mengapa Anda melakukan perjalanan ini. Apakah Anda tidak menemukan jejak sang pembunuh yang sudah merampas segala harta milik Anda?”
“Sama sekali tidak. Selain itu pasti ada beberapa orang yang melakukan perbuatan itu.”
“Di mana Allan?” “Di San Francisco. Atau setidaknya semua suratnya dikirim dari sana.” “Well, pasti Anda akan menemukannya dengan mudah. Apakah hari ini Anda
akan melanjutkan perjalanan atau bermalam di tempat ini?” “Sudah disepakati bahwa kami akan tinggal di sini.” “Kalau begitu saya akan melepaskan semua perlengkapan kuda saya.” Saya bangkit lalu melepaskan pelana dan peralatan dari kuda mustang,
kemudian memberinya makan beberapa genggam biji jagung. Sam juga melakukan yang sama terhadap kudanya. Kami menahan diri agar tidak berbicara satu sama lain.
Tetapi hal itu rasanya tidak penting karena tanpa berbicara pun kami bisa saling mengerti. Jika dua orang pemburu hidup bersama selama beberapa minggu, maka mereka bisa membaca pikiran satu sama lain hanya dengan melihat matanya. Juga saya tidak berbicara dengan diam-diam atau berbisik kepada Marshall, sehingga waktu yang tersisa berlalu tanpa pembicaraan yang penting. Kini hari telah malam.
“Buatlah pembagian tugas jaga, Sir,” kata saya kepada Williams. “Kami letih dan ingin tidur.”
Dia melakukannya. Saya lihat, hanya saya, Sam dan Marshall yang tidak diberikan giliran untuk menjaga. Setiap kali ditentukan dua orang.
“Tidurlah di tengah-tengah mereka, sehingga mereka tidak bisa membicarakan sesuatu secara sembunyi-sembunyi!” Saya berbisik kepada Marshall. Mendengar petunjuk rahasia itu, dia menatap saya penuh keheranan, tetapi dia tetap menurutinya.
Kuda-kuda berbaring karena tak ada lagi makanan buat mereka. Sementara orang lain tidur dalam lingkaran, saya merebahkan diri di samping mustang saya, dan menggunakan tubuhnya sebagai alas kepala, sedangkan orang-orang menggunakan pelana. Saya mempunyai alasan untuk tidur dengan posisi seperti itu. Sam tidak perlu petunjuk dari saya. Dia benar-benar paham dan mencari tempat di antara para voyageur itu, sehingga mereka hanya bisa berbicara satu sama lain secara diam-diam pada waktu giliran jaga.
Bintang-bintang tampak bersinar di angkasa. Namun, ada kabut aneh yang melayang di antara langit dan Bumi, mungkin karena pengaruh hujan, sehingga cahaya bintang tampak redup dan tidak terang seperti biasanya. Dua orang pedagang mendapat tugas jaga pertama. Keduanya bertugas tanpa menimbulkan sesuatu yang mencurigakan. Untuk tugas jaga kedua, Williams menentukan dirinya sendiri dan voyageur yang paling muda. Ketika tiba giliran mereka, ternyata mereka belum tidur. Mereka bangkit lalu masing-masing membuat patroli sejauh setengah lingkaran. Saya memperhatikan dengan seksama kedua titik tempat mereka saling bertemu. Tempat pertemuan pertama berada di dekat kuda milik Bob. Hal ini tampaknya menguntungkan saya, karena saya yakin, si kulithitam itu tidak memiliki kuda yang bagus, sehingga orang tidak perlu berhati-hati terhadap ketajaman daya pendengaran dan penciumannya.
Saya tidak bisa melihat, apakah kedua orang itu berbicara ketika mereka saling bertemu. Tapi dari bunyi langkahnya, saya bisa menduga bahwa keduanya saling membisikkan beberapa kata sebelum berbalik. Pengembaraan yang lama di padang sabana telah mengasah pendengaran saya menjadi tajam. Jika saya tidak keliru, kini saya sedang berurusan dengan dua orang pembohong besar.
Dengan hati-hati saya merangkak mengambil jalan memutar menuju ke tempat kuda-kuda. Binatang bodoh itu terlihat lamban dan tenang karena ia tidak mencium kehadiran saya, sehingga sedikit pun tidak mendengus ataupun berubah. Saya bersembunyi begitu rapat pada tubuhnya, sehingga saya tidak takut dipergoki.
Tak lama kemudian datanglah Williams dari satu sisi dan si voyageur dari sisi yang lain. Sebelum keduanya kembali berpisah, saya mendengar dengan sangat jelas,
“Saya tangani dia dan kamu orang Negro itu!” Kalimat itu diucapkan oleh Williams. Ketika mereka kembali bertemu, saya
mendengar, “Tentu saja mereka juga!” Tampaknya maksud orang itu adalah saya dan Sam karena kami berbaring di
depan tempat pertemuan itu. Ketika mereka kembali mendekati saya, terdengar lagi suara,
“Pshaw! Yang seorang kecil dan yang lain … ini dilakukan pada waktu mereka tidur!”
Yang dimaksudkan dengan “yang kecil” adalah Sam dan “yang lain” adalah saya sendiri. Sudah jelas bahwa kami akan dibunuh. Tapi mengapa? Saya tidak bisa menjelaskannya. Kembali mereka mendekat dan saya mendengar jawaban yang jelas,
“Ketiga-tiganya!” Barangkali pertanyaannya sudah diajukan pada titik pertemuan yang lain,
yakni apakah ketiga pedagang itu ikut dibunuh bersama kami atau tidak. Jadi kelima voyageur ini hendak menyergap kami, lima melawan lima. Kesimpulannya sangat gampang, seandainya saya tidak berinisiatif untuk mendengarkan pembicaraan mereka, tentu mereka akan membunuh kami tanpa bersusah payah. Sekarang kedua orang itu bertemu lagi.
“Tidak boleh satu menit pun lebih awal … dan sekarang, baiklah!” kata Williams.
Percakapan menarik itu berakhir. Dengan mudah bisa saya bayangkan, kalimat terakhir tadi berhubungan dengan waktu, kapan mereka akan bertindak. Tapi kapan? Ini mestinya terjadi pada waktu tidur! Hari ini atau besok? Saya merasa lebih aman, jika saya mengandaikan seolah-olah mereka akan melakukannya hari ini. Karena kedua bajingan itu masih memiliki waktu seperempat jam untuk membuat ronda, maka rasanya baik jika saya bertindak lebih awal.
Saya bersiap-siap. Mereka bertemu lagi, tapi kali ini tidak berkata apa-apa. Keduanya berbalik pada waktu yang bersamaan. Begitu Williams lewat di dekat saya, dengan cepat saya melompat ke belakangnya, lalu memukul sisi kiri lehernya, sehingga dia tidak mampu bersuara kemudian menghadiahkan sebuah tinju pada pelipisnya. Tubuhnya roboh tak bergerak.
Sekarang saya menggantikan tempatnya dan berjalan menuju ke titik pertemuan yang lain untuk bertemu dengan temannya. Orang itu sama sekali tidak tahu dan mengira saya adalah Williams. Saya segera mencekik lehernya dari depan dan memukulnya hingga roboh. Paling kurang selama sepuluh menit, keduanya terkapar pingsan. Saya tahu hal itu, karena itu dengan cepat saya berlari mendapati orang-orang yang sedang tidur. Hanya dua orang yang terjaga, tentu saja Sam dan Bernard. Petunjuk yang saya bisikkan kepada Bernard membuat hatinya tidak tenang, sehingga dia tidak bisa tidur.
Saya melepaskan laso dari gulungan. Sam pun segera melakukan hal yang sama.
“Hanya tiga orang voyageur,” kata saya sambil berbisik. Kemudian saya berteriak dengan keras, “Hallo semua, bangunlah!”
Dalam sekejap mata mereka semua bangun, termasuk Bob. Tetapi dengan cepat pula laso kami mengikat tangan dan dada dua voyageur. Sekali lagi tali dilingkarkan ke tubuh mereka. Kini ikatan itu begitu kuat, sehingga para tawanan itu tidak bisa melepaskan diri. Karena hanya menduga-duga dan belum paham, Bernard Marshall menyerang orang ketiga dan memeluknya erat-erat sampai saya mengikat orang itu dengan lasonya. Hal ini terjadi begitu cepat, sehingga ketika sudah selesai, kami mendengar seorang dari ketiga pedagang itu berseru sambil meraih senjatanya,
“Pengkhianat, ambil senjata!” Sam tertawa keras. “Simpan kembali senjatamu, anakku. Sumbu senjatamu dan juga senjata
kawan-kawanmu sudah dicabut, hihihihi!” Si kerdil yang selalu berhati-hati ini telah mencopot sumbu ketiga senjata itu
pada waktu saya bersembunyi untuk mendengarkan percakapan tadi. Ini adalah bukti bahwa dia bisa mengerti maksud saya dengan tepat walaupun kami tidak berbicara satu sama lain.
“Jangan khawatir, sobat, kalian tidak akan diapa-apakan!” katanya menenangkan mereka. “Orang-orang ini hendak membunuh kami dan kalian. Karena itu kami terpaksa melumpuhkan mereka.”
Meskipun gelap, bisa terlihat bagaimana mereka terkejut ketika mendengar apa yang saya sampaikan. Bob juga bergegas datang mendekat.
“Massa, apakah mereka juga bermaksud bunuh Bob?” “Ya!”
“Maka harus mereka mati, digantung pada Estaccad’, tinggi-tinggi pada tiang itu!”
Para tawanan tidak bersuara. Mereka mungkin mengharapkan pertolongan dari orang yang bertugas jaga.
“Bob, di sana tergeletak Williams, dan di sana yang seorang lagi. Bawa mereka ke sini!” saya memberi perintah kepada orang Negro itu.
“Sudah mati mereka?” dia bertanya. “Belum, hanya pingsan.” “Saya akan ambil mereka!” Si kulithitam bertubuh raksasa ini memikul kedua orang itu berturut-turut di
atas bahunya yang bidang ke sini lalu melemparkan mereka ke tanah. Pada saat itu mereka masih terikat. Sekarang kami bisa berbicara. Saya menjelaskan kepada ketiga pedagang itu mengapa kami bertindak demikian. Mereka berubah menjadi geram dan menuntut hukuman mati atas para voyageur. Tapi saya membantahnya.
Di padang sabana pun ada hukum dan undang-undang. Seandainya mereka menghadang kami dengan senjatanya, sehingga hidup kami terancam, maka kami boleh menembak mereka sampai mati. Tetapi sekarang persoalannya lain, sehingga kami tidak boleh membunuh mereka tetapi harus membentuk jury untuk menghukum mereka.
“Oh, oh, ya, sebuah jury,” ujar si Negro. Dia merasa senang menyaksikan tontonan seperti itu, “dan Bob akan menggantung mereka semua lima orang!”
“Tapi bukan sekarang! Hari sudah malam. Kita tidak membuat api unggun, jadi kita harus menunggu sampai fajar menyingsing. Jumlah kita sembilan orang. Lima orang boleh tidur dengan tenang, tapi dua orang harus tetap berjaga. Para tawanan harus diawasi sampai matahari terbit.”
Saya bersusah payah membujuk mereka dan setelah akhirnya berhasil, kelima orang itu mau pergi tidur. Saya dan seorang pedagang mendapat tugas menjaga. Setelah satu jam kami diganti. Sam mengambil alih tugas jaga terakhir seorang diri, karena pada saat itu hari sudah mulai terang dan satu orang sudah cukup untuk menjaga keamanan kami.
Sepanjang malam tawanan-tawanan itu hanya menutup mulut. Namun ketika kami bangun, saya melihat Williams dan rekannya sudah kembali sadar. Pertama-tama kami sarapan pagi. Kuda kami mendapat jatah biji-biji jagung. Kemudian kami memulai proses pengadilan. Sam menunjuk ke arah saya kemudian berkata,
“Inilah sheriff kita. Dia misalnya akan membuka persidangan sekarang.” “Tidak, Sam, saya tidak mau mengambil alih jabatan ketua. Engkaulah yang
harus melakukannya!” “Saya? Heigh-ho, apa yang kamu pikirkan? Sam Hawerfield sebagai seorang
sheriff! Siapa yang menulis buku, lebih cocok untuk posisi itu!” “Saya bukan warga Amerika dan saya pun belum lama mengembara di padang
sabana seperti kau. Apabila engkau tidak mau, maka Bob harus melakukannya!” “Bob? Seorang kulithitam sebagai sheriff? Ini akan menjadi sandiwara paling
aneh yang kita mainkan di padang pasir ini. Jadi saya terpaksa harus menerimanya jika kamu misalnya tetap bersikeras menolak!”
Dia duduk dengan posisi menantang dan menunjukkan raut wajah yang diartikan dalam pengadilan padang sabana dengan ekspresi penuh pertimbangan dan keadilan, seperti yang terlihat pada sidang pengadilan di dunia maju.
“Duduklah melingkar, Mesch'schurs. Kalian semua adalah wakil-wakil masyarakat awam dan Bob, orang Negro ini, tetap berdiri karena dia akan berperan sebagai constabel9!”
Bob mengencangkan tali pengikat pedangnya dan berusaha menunjukkan wajah sewibawa mungkin.
9 Constable (Inggris): Polisi.
“Constabel, lepaskan ikatan dari tawanan karena kita hidup di negeri yang merdeka dan di sini pembunuh-pembunuh harus berdiri tanpa ikatan di hadapan hakim!”
“Tetapi jika lima semuanya dilepaskan, maka …” Negro itu ragu-ragu melakukannya.
“Turuti!” bentak Sans-ear. “Tak seorang pun dari mereka akan kabur karena kita telah merebut senjatanya. Dan sebelum mereka misalnya berlari sepuluh langkah, pasti peluru-peluru kita sudah menerjang mereka!”
Tali-tali ikatan dilepaskan. Para tawanan bangkit, tetapi masih belum berkata-kata. Masing-masing kami memegang senjata di tangan, sehingga tidak mungkin mereka berniat untuk melarikan diri.
“Kamu menamakan dirimu Williams,” Sam memulai pembicaraan. “Apakah itu namamu yang sebenarnya?”
Orang yang ditanya menjawab dengan wajah marah, “Saya tidak akan menjawabnya. Kalian sendiri adalah pembunuh. Kalianlah
yang menyerang kami. Kalian harus dihadapkan kepada pengadilan padang sabana.” “Bicaralah semaumu, anakku. Kamu memiliki hak sepenuhnya. Tapi dengarlah,
jika kamu tidak menjawab, itu berarti kamu memberikan pengakuan. Jadi … apakah kamu benar-benar seorang voyageur?”
“Ya.” “Buktikan! Di mana kamu menyimpan surat-surat itu?” “Tidak ada.” “Baiklah, anakku. Itu sudah cukup untuk menentukan hukuman apa yang akan
dijatuhkan atas dirimu! Apakah kamu mau mengaku bahwa tadi malam kamu berbicara dengan rekanmu selama tugas jaga dan menyusun suatu rencana?”
“Tidak! Kami tidak berbicara sepatah kata pun.” “Orang yang tersohor ini mendengarkan semua percakapan kalian dengan
sangat jelas. Kalian bukanlah westman, karena seorang pemburu prairie sejati pasti akan lebih berhati-hati dalam bertindak.”
“Kami bukanlah westman? All devil’s, hentikan lelucon Anda! Kami akan menunjukkan bahwa kami tidak takut terhadap siapa pun. Lalu siapa kalian? Para greenhorn yang menyergap kami pada waktu tidur untuk membunuh dan merampok harta kami!”
“Tidak perlu begitu gusar, anakku! Akan saya katakan kepadamu, siapakah para greenhorn ini yang akan menjatuhkan keputusan tentang hidup dan mati kalian! Setelah mendengar pembicaraan kalian, orang ini merobohkan kalian dengan tangannya, dan perbuatan itu misalnya dilakukannya dengan sempurna, sehingga tak terlihat oleh seorang pun, juga oleh kalian sendiri. Tinju yang keras itu hanya dimiliki oleh orang ini yang dijuluki Old Shatterhand. Sekarang tataplah saya! Apakah ada orang lain yang pernah dikerat telinganya oleh orang-orang Navajo, yang bernama Sans-ear? Jadi hanya kami berdua yang berani datang sendirian ke Llano Estaccado. Di samping itu benar bahwa kamilah yang kemarin mendatangkan hujan. Siapa lagi kalau bukan kami? Atau pernahkah kalian mendengar bahwa hujan turun dengan sendirinya di Estaccado?”
Kelima orang itu terkejut ketika mendengar nama kami. Williams-lah yang pertama-tama membuka mulut. Dia sudah mempertimbangkan keadaannya. Mendengar nama kami, dia rupanya berpikir bahwa dia tidak akan diperlakukan dengan tidak adil.
“Jika kalian benar-benar Old Shatterhand dan Sans-ear seperti yang kalian jelaskan, maka kami harap supaya persoalan ini diputuskan dengan adil. Saya akan menjawab dengan terus terang. Dulu nama saya lain, bukan Williams. Tapi mengganti nama bukanlah suatu kejahatan, karena dulu nama kalian yang sebenarnya pun bukan Old Shatterhand atau Sans-ear. Setiap orang bebas memilih nama yang disukainya.”
“Well, tapi kamu pun tidak didakwa karena persoalan nama!”
“Kalian pun tidak bisa mendakwa kami dengan alasan pembunuhan, karena kami tidak melakukannya. Selain itu kami juga tidak berencana membunuh seseorang. Ya, tadi malam kami berbicara satu sama lain, tapi kami tidak menyinggung mengenai pembunuhan. Apakah kami menyebut-nyebut nama kalian?”
Sam tertunduk lalu berkata dengan agak geram. “Tidak, tentu saja kalian tidak menyebutnya. Namun dari percakapan kalian,
orang bisa menyimpulkan demikian dengan jelas.” “Menarik suatu kesimpulan tidak bisa dijadikan sebagai bukti, karena hal itu
belum dilaksanakan. Pengadilan padang sabana merupakan sesuatu yang sangat dijunjung tinggi, tetapi jurinya hanya bisa menghakimi berdasarkan kenyataan dan bukannya dugaan. Kami sudah menerima Sans-ear dan Old Shatterhand begitu ramah dalam rombongan kami dan sebagai balasannya mereka ingin membunuh kami tanpa alasan. Dengan demikian semua pemburu mulai dari Danau Besar sampai ke Sungai Mississippi, dari Teluk Mexico sampai ke Sungai Budak akan tahu dan mereka akan berkata, kedua pemburu ternama itu telah berubah menjadi perampok dan pembunuh.”
Dalam hati harus saya akui bahwa bajingan ini sangat lihai membuat pembelaan. Sam akhirnya terpojok, dia meloncat bangkit,
“’s death, orang tak akan berkata seperti itu karena kami tak menghakimi kalian. Kini kalian bebas, saya kira! Bagaimana pendapat yang lain?"
“Mereka harus bebas. Mereka tidak bersalah!” kata ketiga pedagang. Sejak awal ketiganya yakin bahwa kesalahan yang dituduhkan sebenarnya tidak beralasan.
“Berdasarkan apa yang saya tahu, saya pun tidak bisa menuntut mereka,” ujar Bernard. “Siapakah mereka dan siapa nama mereka, hal itu bukanlah urusan kita. Untuk menuntut mereka, kita hanya berpatokan pada dugaan-dugaan tapi bukan bukti-bukti yang nyata.”
Wajah Bob tampak kecewa. Harapannya untuk menggantung para penjahat itu tidak terpenuhi. Bagi saya sendiri, saya merasa cukup senang karena perkara ini diakhiri dengan cara seperti itu. Saya bahkan menghendakinya demikian, karena itu kemarin saya menunda proses pengadilan ini dan hari ini pun saya menyerahkan pimpinan sidang ke tangan Sam. Sebagai seorang pemburu dia memiliki kemampuan khusus. Tapi dia bukanlah orang yang mampu menjerat seorang pembunuh melalui debat pendapat. Di padang prairie ini orang tidak pernah merasa aman dalam hidupnya. Mengapa hidup kelima orang ini harus diakhiri seandainya tidak ditemukan bukti sedikit pun bahwa mereka memusuhi kami? Jika terbukti, maka mereka harus segera dibunuh. Saya kurang setuju kalau orang-orang itu dibunuh, yang lebih penting bagi saya adalah keamanan kami. Untuk tujuan itu kami bisa memilih langkah-langkah yang tepat. Namun, saya harus memberikan sebuah saran kecil kepada Sam, supaya dia bisa mengerti bahwa sebenarnya kami bisa bersikap lebih lembut atau berbelaskasihan. Ketika dia melemparkan pertanyaan itu kepada saya, saya menjawab,
“Engkau masih ingat, Sam, apa kelebihan Tony, kudamu?” “Apa?” “Binatang itu mempunyai otak.” “Egad, sekarang saya teringat kembali. Kelihatannya kamu pun memiliki
ingatan yang kuat tentang hal itu. Tetapi apa yang bisa saya lakukan? Saya hanyalah seorang pemburu dan bukan ahli hukum. Sebenarnya kamu bisa mengorek keterangan dari mereka. Mengapa kamu tidak mau menerima peran sebagai sheriff? Sekarang mereka sudah bebas. Apa yang sudah diputuskan harus ditepati.”
“Tentu saja, pendapat saya pun tidak dapat mengubah keputusan itu. Mereka hanya bebas dari tuduhan melakukan usaha pembunuhan, tetapi belum bebas dari kasus-kasus lain. Master Williams, sekarang saya akan mengajukan sebuah pertanyaan kepada Anda. Jawaban Anda akan menentukan nasib Anda selanjutnya. Arah mana yang harus ditempuh supaya orang bisa tiba di Rio Pecos dengan cepat?”
“Lurus ke barat.”
“Kapan orang tiba di sana?” “Dalam dua hari.” “Kalau begitu kalian adalah stakemen. Kemarin kalian memperingatkan kami
agar berhati-hati dan berkata kepada rombongan kalian, terutama setelah mereka semua begitu lemah, bahwa kalian berada pada jurusan yang benar. Kalian akan kami tahan sebagai sandera selama dua hari. Jika dalam dua hari kita belum tiba di sungai tersebut, maka nasib kalian akan berubah karena saya sendirilah yang akan menembak atau menggantung leher kalian, atau saya akan memimpin sebuah sidang pengadilan untuk menghukum kalian. Sekarang kalian tahu apa yang harus kalian perbuat! Ikatlah orang-orang ini ke atas kuda mereka, kemudian kita berangkat!”
“Oh, oh, adalah baik!” kata Bob. “Jika tidak tiba di sungai, akan Bob menggantung mereka pada pohon!”
Seperempat jam kemudian kami pun berangkat. Tawanan yang diikat di atas kudanya tentu saja berjalan di tengah. Tampaknya Bob tidak mau melepaskan jabatannya sebagai constabel. Dia tidak beranjak dari mereka dan terus mengawasi mereka dengan ketat. Untuk menjaga keamanan, Sam berkuda paling belakang. Saya dan Bernard Marshall berjalan di depan.
Tentu kami berbicara tentang peristiwa kemarin. Tetapi saya tidak berminat untuk membesar-besarkannya. Setelah menjauh dari para voyageur, akhirnya Bernard berkata,
“Apa benar yang dikatakan Sans-ear, bahwa Anda membuat hujan?” “Ya.” “Saya sama sekali tidak mengerti walaupun saya tahu, Anda tidak berbohong.” “Saya mendatangkan hujan untuk menyelamatkan kami dan Anda.” Lalu saya menjelaskan tentang cara paling sederhana yang dipakai oleh
pawang hujan dan orang-orang sakti dari kelompok masyarakat primitif, sehingga para pengikutnya dibuat tercengang ketika mereka mendatangkan hujan.
“Kalau begitu kami semua harus berterima kasih kepada Anda karena kami masih hidup. Pasti kami sudah mati kehausan di tempat itu seandainya Anda tidak datang.”
“Bukan mati kehausan melainkan sudah mati dibunuh. Perhatikan pelana kuda dari orang-orang yang menyebut diri voyageur itu. Di bawahnya tersimpan tabung air yang masih penuh. Saya pasti sudah merusaknya seandainya saya tidak enggan menumpahkan darah manusia. Siapa nama anak muda yang kemarin malam berjaga bersama Williams?”
“Mercroft.” “Tentu saja itu adalah nama samaran. Walaupun masih muda belia,
tampangnya paling mencurigakan. Saya rasa, dulu saya pernah melihat wajah yang mirip dengan wajahnya. Celakalah mereka jika kita belum sampai ke sungai pada waktu yang telah disebutkan! Sekarang ceritakan lebih jelas tentang pembunuhan ayah Anda dan perampokan itu!”
“Tak ada cerita yang jelas. Allan pergi ke Francisco untuk membeli emas. Jadi bersama Bob dan seorang pembantu rumah tangga, kami hanya berempat di rumah. Semua pekerja toko dan pelayan tinggal di luar rumah. Seperti yang Anda tahu, Ayah sering keluar rumah pada malam hari. Pada keesokan paginya kami menemukan mayatnya di lantai. Rumah itu dalam keadaan tertutup, sedangkan bengkel dan toko terbuka. Semua benda berharga sudah dirampok. Ayah selalu membawa sebuah kunci yang bisa membuka semua pintu. Setelah dia dibunuh, kunci itu diambil dan dengan kunci itu perampok menggasak semua barang tanpa perlu bersusah payah.”
“Apakah Anda tidak mencurigai seorang pun?” “Hanya seorang pelayan yang tahu rahasia kunci tersebut. Tapi semua
penyelidikan yang dilakukan polisi tetap tidak membuahkan hasil. Semua pelayan terpaksa dipecat dan mereka kemudian menghilang. Di antara permata-permata yang dicuri terdapat juga surat deposito. Saya harus mengganti semua kerugian, karena itu
saya tidak mempunyai biaya lagi untuk pergi ke California. Tapi saya harus ke sana karena saya ingin menemukan saudara saya yang tiba-tiba tidak mengirim kabar lagi.”
“Jadi tak ada harapan untuk menemukan sang pembunuh dan paling kurang memperoleh kembali sebagian dari harta milik Anda?”
“Sama sekali tidak. Tentu saja para pelaku dan barang rampasannya sudah lama diselundupkan ke luar negeri. Hingga sekarang usaha pencarian tidak membuahkan hasil, walaupun peristiwa itu sudah dimuat di semua koran terkenal di Eropa dan Amerika dan semua barang yang dicuri sudah diuraikan secara terperinci. Perampok-perampok kelas kakap selalu menemukan alat dan cara untuk bisa meloloskan diri.”
“Saya ingin membaca tulisan itu.” “Bisa. Saya masih membawa satu eksemplar Morning Herald yang memuat
tulisan itu, sehingga bisa dibaca setiap saat.” Dia memasukkan tangan ke dalam tasnya dan mengeluarkan selembar koran
yang kemudian diserahkannya kepada saya. Sambil berkuda saya membaca tulisan itu. Waktu itu saya terkejut karena saya mengalami lagi apa yang biasa disebut orang sebagai “kebetulan”. Ketika selesai membaca, saya melipat kertas itu dan mengembalikan padanya.
“Bagaimana tanggapan Anda, jika saya bisa menggambarkan pembunuh-pembunuh itu atau paling kurang salah seorang dari mereka?”
“Anda, Charley?” dia bertanya cepat. “Dan membantu Anda mendapatkan kembali sebagian dari barang Anda yang
dicuri?” “Jangan membuat lelucon yang tidak lucu, Charley! Anda berada di padang
prairie ketika peristiwa itu terjadi. Bagaimana mungkin Anda bisa, sedangkan orang-orang yang menyelidiki langsung setelah peristiwa itu terjadi, tidak berhasil menemukan apa-apa?”
“Bernard, saya adalah orang muda yang peka. Berbahagialah orang yang pada masa mudanya tetap memegang keyakinan dari masa kecilnya dan menjaganya sampai ke masa tuanya; orang yang memiliki mata untuk mengawasi semua, dan tangan untuk bisa mengubah kejahatan yang direncanakan pada diri kita menjadi kebaikan. Karena mata dan tangan, jarak antara Louisville dan padang sabana menjadi dekat. Lihatlah ini!”
Saya mengeluarkan pundi-pundi lalu menyodorkan kepadanya. Dia menerimanya dengan perasaan berdebar-debar. Ketika dia membukanya, saya melihat tangannya gemetar. Setelah dia memandang sekilas ke dalamnya, dia berteriak terkejut bercampur gembira.
“Ya, Tuhan! Intan-intan kami! Ya, inilah intan yang dicuri, tak bisa disangkal lagi! Bagaimana Anda bisa ….”
“Stopp!” potong saya. “Tenanglah, anakku! Orang-orang yang berada di belakang kita tidak perlu tahu apa yang sedang kita bicarakan! Jika batu-batu mulia ini milik Anda, dan tentang ini saya sangat yakin, maka ambillah. Supaya Anda tidak salah sangka bahwa saya telah mencurinya, saya ingin menceritakan bagaimana saya memperolehnya.”
“Charley, saya tidak berpikir seperti itu! Bagaimana mungkin Anda ….” “Tenang, tenang! Anda berteriak begitu keras, sehingga orang-orang di
Australia bahkan bisa mendengar apa yang kita bincangkan di sini!” Hati Bernard tentu saja diliputi oleh perasaan gembira. Dengan tulus, saya
membiarkan dia bersuka cita. Saya hanya menyesal, karena saya tidak bisa mengembalikan batu-batu itu bersama ayahnya.
“Ceritakanlah, Charley! Saya ingin sekali mendengar, bagaimana benda-benda itu jatuh ke tangan Anda,” katanya dengan nada meminta.
“Hampir saja saya menangkap pembunuhnya. Dia ada begitu dekat, sehingga saya menendangnya dengan kaki dari atas lokomotif, ketika saya berdiri di sana. Sesudah itu Sam juga mengejarnya. Tentu saja sia-sia. Namun saya berharap, dia
jatuh lagi ke tangan saya dalam waktu dekat, barangkali di seberang Rio Pecos. Dia telah berangkat ke sana, tentu saja karena ingin merampok lagi di sana. Kita pasti akan membongkar lagi rencana itu.”
“Ceritakan, Charley, ceritakan tentang hal itu!” Saya menceritakan peristiwa perampokan kereta api oleh orang-orang
Ogellallah secara panjang lebar lalu membacakan surat yang ditulis oleh Patrik untuk ayahnya, Fred Morgan. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian lalu akhirnya berkata,
“Kita akan menangkapnya, Charley, kita akan menangkapnya. Kita juga akan tahu, ke mana larinya barang-barang curian yang lain!”
“Jangan mulai lagi berteriak seperti itu, Bernard! Kita memang berada dalam jarak beberapa kuda di depan; tetapi di sini, di daerah Barat, orang harus berhati-hati dalam persoalan paling kecil sekali pun, karena kecerobohan kecil saja bisa mendatangkan bencana.”
“Anda benar-benar ingin mengembalikan berlian-berlian ini tanpa syarat, tanpa menuntut apa-apa?”
“Tentu saja, barang-barang itu ‘kan milik Anda!” “Charley, Anda adalah … tapi sebentar,” dia meraba pundi-pundinya dan
mengeluarkan batu berlian yang lebih besar. “Buatlah hati saya senang dan terimalah ini sebagai kenang-kenangan dari saya!”
“Pshaw! Saya tak akan menerimanya, Bernard. Anda tidak perlu menghadiahkan sesuatu kepada saya, sama sekali tidak perlu karena batu-batu mulia itu bukan hanya milik Anda sendiri melainkan juga saudara Anda.”
“Allan akan menyambut baik apa yang saya lakukan ini!” “Tentu. Ya, bahkan saya sangat yakin, tapi saya kira barang-barang yang
hilang itu belum lengkap semuanya. Jadi simpanlah. Jika suatu saat kita berpisah, berikan saya cindera mata yang lain yang tidak akan merugikan Anda tapi menarik dan berharga bagi saya. Tapi sekarang Anda harus terus berkuda menempuh arah ini, saya akan menunggu Sam!”
Saya membiarkan dia bersuka cita seorang diri dan berdiri untuk membiarkan rombongan itu lewat, sampai Sans-ear tiba di samping saya.
“Hal penting apa yang kamu rundingkan tadi di depan, Charley?” tanyanya kepada saya. “Anda memukul-mukul ke udara, sehingga misalnya kelihatan seperti orang yang sedang menari ballet.”
“Tahukah kamu, siapa pembunuh ayah Bernard?” “Siapa? Apa kamu sudah menemukannya?” “Ya!” “Well done! Kamu adalah manusia yang beruntung dalam semua hal. Jika
orang-orang lain mencari sesuatu bertahun-tahun lamanya, kamu sebaliknya sudah menemukannya dalam waktu singkat, seperti dalam mimpi. Nah, siapa pembunuhnya? Saya harap kamu tidak salah terka!”
“Fred Morgan.” “Fred Morgan … orang itu lagi?! Charley, saya percaya semua yang kamu
katakan, tapi yang ini tidak. Morgan adalah seorang penjahat di antara westman. Tapi dia tidak berani datang ke daerah Timur.”
“Terserah, apa yang engkau pikirkan. Tetapi batu-batu itu milik Marshall, dan saya sudah memulangkannya kepadanya.”
“Hah, kalau kamu bertindak seperti itu maka pasti kamu mempunyai keyakinan yang kuat. Pemuda malang itu akan merasa sangat bahagia! Kini kita menemukan lagi satu alasan baru untuk berurusan dengan Morgan. Semoga saya segera memahat garis kematiannya pada senjata saya.”
“Dan jika kita telah menemukan dia dan membereskan dia, apa lagi yang kita lakukan setelahnya?”
“Apa lagi? Hmmm, yang pasti saya akan berangkat ke selatan dan terus mengikutinya sampai ke Mexico, Brazil, dan Tanah Api10. Namun, jika saya sudah menemukan dia di sini, maka ke mana pun saya akan pergi, itu bagi saya sama saja. Barangkali saya misalnya berminat berjalan-jalan ke California. Katanya, di sana orang bisa membuat petualangan yang mengesankan.”
“Saya pun mau ikut untuk tujuan itu. Saya masih mempunyai waktu beberapa bulan dan saya tidak mau membiarkan Marshall sendirian menempuh perjalanan yang begitu jauh dan berbahaya.”
“Well, kalau begitu kita pergi bersama-sama. Yang perlu kita cemaskan adalah pertama-tama bagaimana kita keluar dengan selamat dari lautan pasir ini lalu melepaskan diri dari kawanan itu. Sekarang kebencian saya kepada mereka lebih besar daripada pagi tadi. Lebih-lebih saya tidak suka melihat wajah anak muda itu. Dia harus mendapat pelajaran. Saya kira, suatu ketika saya pernah melihat wajahnya ketika timbul sebuah aksi kejahatan.”
“Saya pun sama. Barangkali saya harus mengingat kembali, di mana saya berjumpa dengannya!”
Kami terus berkuda sampai malam tanpa beristirahat. Kemudian kami berhenti, mengurus kuda, lalu pergi tidur. Sepanjang malam para tawanan diikat. Selain itu kami menempatkan penjaga, sehingga mereka tidak bisa membebaskan diri. Ketika fajar tiba, kami kembali melanjutkan perjalanan. Pada waktu tengah hari kami melihat bahwa tanah menjadi semakin subur. Pohon kaktus yang kami jumpai kelihatan semakin segar. Bahkan di beberapa tempat di padang pasir itu tampak tunas alang-alang atau rumput-rumput kecil berdaun hijau. Kuda-kuda kami melihat tanaman itu dengan penuh selera. Makin lama tunas-tunas dan rerumputan tumbuh makin rapat. Padang pasir berubah menjadi padang rumput kecil. Kami turun dan membiarkan kuda-kuda merumput. Binatang-binatang yang kelaparan memuaskan diri dengan daun-daun hijau. Jelas kami tidak membiarkannya merumput terlalu banyak, karena itu kami menambatkannya, sehingga kuda itu hanya makan rumput yang bisa dijangkau oleh tali. Sekarang kami yakin bahwa kami bisa segera menemukan air sehingga kami menghabiskan persediaan air yang masih tersisa.
Kami ikut berbahagia karena pada akhirnya berhasil keluar dari padang gurun yang mengerikan itu. Pada saat itu Williams mendekati saya,
“Sir, percayakah Anda sekarang bahwa saya berkata jujur?” “Saya percaya.” “Jika demikian, kembalikan kuda dan senjata kami, dan biarkan kami pergi.
Kami tidak berbuat jahat terhadap Anda. Masuk akal jika kami menuntut supaya dibebaskan.”
“Hal itu mungkin. Tapi bukan hanya saya sendirian yang berhak menentukan nasib kalian, saya harus bertanya dulu kepada teman-teman.”
Kami berkumpul bersama untuk berunding. Saya memberikan bahan pertimbangan.
“Mesch'schurs, padang gurun sudah kita lewati dan di depan kita terbentang dataran hijau. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah kita masih perlu bersama-sama. Ke mana kalian ingin pergi?” saya berpaling kepada para pedagang.
“Ke Passo del Norte,” jawab mereka. “Kami berempat hendak berangkat ke Santa Fé. Jadi kita tidak akan
menempuh jalan yang sama. Sekarang masalahnya, apa yang akan kita perbuat terhadap kelima orang itu.”
Setelah berembuk sebentar kami berhasil menemukan penyelesaian atas masalah ini, yakni kami akan membebaskan para voyageur. Ini dilakukan bukan pada keesokan hari melainkan hari ini. Pembebasan ini sesuai dengan rencana saya. Jadi mereka akan memperoleh kembali semua harta benda mereka dan segera berangkat. Ketika ditanya, ke mana mereka akan pergi, Williams menjawab, mereka akan
10 Tierra del Fuego: Ujung selatan benua Amerika.
menyusuri Rio Pecos sampai tiba di Rio Grande untuk berburu bison di sana. Belum sampai setengah jam mereka berangkat, pedagang-pedagang itu pun pergi. Kedua kelompok itu segera menghilang di ujung cakrawala.
Kami duduk diam setelah mereka pergi. Kini Sam memecahkan keheningan dengan berkata,
“Apa pendapatmu, Charley?” dia bertanya kepada saya. “Mereka tidak akan pergi ke Rio Grande, melainkan mengubah haluan lalu
mengikuti kita ke Santa Fé.” “Well, saya pun berpendapat demikian. Kamu memang pintar karena telah
mengelabui mereka dengan mengatakan, kita justru hendak pergi ke sana. Sekarang persoalannya, apakah kita misalnya tetap tinggal di sini atau melanjutkan perjalanan.”
“Menurut saya, lebih baik kita tinggal dulu. Kita belum bisa mengikuti mereka karena mereka pasti bisa menduga hal itu dan akan berhati-hati. Barangkali kita akan menghadapi kesulitan, sementara itu kuda-kuda kita pun belum cukup kuat. Maka lebih baik jika membiarkan binatang itu beristirahat dan merumput sampai besok pagi.”
“Tetapi bagaimana jika malam ini orang-orang itu kembali dan menyerang kita?” tanya Marshall.
“Maka kita mempunyai alasan untuk membalas mereka dengan cara yang pantas. Selain itu saya akan pergi mengintai mereka. Saya mengambil alih tugas ini karena kuda sayalah yang paling segar. Tentu saja kalian tinggal di sini sampai saya kembali, mungkin baru pada malam hari. “
Saya naik ke atas pelana. Tanpa mengindahkan bantahan Sam, saya pergi menelusuri jejak para voyageur. Jejak mereka menuju ke arah barat daya dan masuk ke padang rumput, sedangkan jejak para pedagang mengarah ke selatan.
Saya memacu kuda dengan cepat. Para voyageur berjalan dengan lambat, tetapi kemudian mereka pasti berkuda dengan lebih cepat, karena setelah setengah jam saya berhasil menyusul mereka. Saya tahu, mereka tidak mempunyai teropong, karena itu saya bisa mengikuti mereka dari jarak yang aman dengan bantuan alat ini.
Saya terkejut karena setelah beberapa saat salah seorang dari mereka memisahkan diri dan mengambil jalan lurus menuju ke barat. Dari kejauhan, saya melihat, di sana ada barisan semak belukar yang menjorok masuk ke padang prairie seperti sebuah tanjung. Di tempat itu pasti ada telaga atau sungai kecil. Apa yang harus saya perbuat? Siapakah yang sebaiknya saya ikuti? Keempat orang itu atau yang seorang? Suara hati saya berkata, orang terakhir mempunyai suatu rencana yang berhubungan dengan kami. Ke mana keempat orang itu pergi, ini tidak menjadi persoalan bagi kami karena mereka terus berjalan menjauh dari tempat perkemahan kami. Tapi apa yang dilakukan satu orang tadi? Akan sangat berguna bagi kami jika saya mengetahuinya, karena itu saya menyusuli dia.
Kira-kira tiga perempat jam saya melihatnya lenyap di antara semak belukar. Kini saya memacu kuda dengan cepat dan mengambil jalan memutar, sehingga tidak terlihat olehnya, seandainya dia kembali melalui jalan yang sama. Saya tiba tidak jauh dari tempat, di mana dia menyusup masuk ke dalam semak. Tapi saya berkuda agak jauh ke dalam sampai saya tiba pada sebuah lapangan kecil dan terbuka yang dikelilingi oleh semak-semak kecil. Semak itu dipenuhi daun-daun hijau karena ada mata air bening yang memancar di sana. Saya memperhatikannya dengan perasaan senang. Saya turun lalu menambatkan kuda sedemikian rupa, sehingga binatang itu bisa minum dan merumput. Kemudian saya sendiri pun minum dari mata air jernih itu lalu pergi mencari jejak penunggang kuda tadi.
Ini berlangsung tidak lama. Saya sungguh terperangah ketika melihat bahwa banyak penunggang kuda telah lewat di tempat ini, sehingga terbentuk sebuah jalan setapak. Pasti jalan ini sudah sangat sering dipakai. Saya menghindar dan tidak melaluinya. Bisa jadi jalan itu dijaga dan setiap saat saya bisa ditembak. Saya lebih memilih merangkak melalui semak yang sejajar dengan jalan itu, sampai saya dikejutkan oleh suara dengusan kuda yang keras.
Ketika saya ingin masuk ke sebuah semak untuk melihat di mana kuda itu berada, sehingga suaranya bisa kedengaran, tiba-tiba saya terkejut dan harus menarik diri dengan cepat. Di hadapan saya berbaring seorang pria yang meletakkan kepalanya di antara dahan pohon supaya bisa memantau jalan setapak itu dengan jelas. Padahal tidak mungkin saya mengamati dia dari jalan itu. Tentu dia adalah seorang penjaga seperti yang sudah saya duga. Melihat keberadaan penjaga itu bisa disimpulkan bahwa sekelompok orang sedang berada di dekatnya.
Orang itu tidak melihat ataupun mendengar saya. Saya mundur beberapa langkah untuk menghindarinya. Saya berhasil melakukannya dengan sempurna, sehingga setelah lima menit saya sudah mengintai dataran itu.
Jalan itu menuju ke sebuah hutan gundul yang lebar dan luas. Di tengah-tengahnya tumbuh semak tebal berbentuk bundar yang dilingkupi dan ditutupi rapat oleh tumbuhan-tumbuhan menjalar, sehingga orang tidak bisa melihat ke seberangnya. Suara dengusan kuda tadi datang dari semak itu. Saya merangkak di sepanjang sisi hutan gundul untuk melihat apakah ada celah di antara semak-semak. Namun saya tidak menemukannya. Celah itu pasti sudah ditutup. Baru saja terdengar suara manusia. Kini sekali lagi. Ini pertanda bahwa ada orang di sana.
Apakah saya harus memata-matai mereka? Hal ini berbahaya,namun walaupun begitu saya bertekad melakukannya. Dengan langkah cepat saya berlari melewati lingkaran dari hutan gundul itu. Saya melewati tempat yang aman tanpa terlihat oleh penjaga karena ada semak yang tumbuh di antara saya dan tempat dia berada, sehingga saya bisa berjalan begitu jauh. Saya menemukan sebuah semak yang begitu lebat, sehingga saya tidak bisa melihat ke seberang. Hanya ada satu celah, letaknya agak rendah di tanah dan sangat dekat ke bagian akar. Sambil bertiarap, saya merangkak melewatinya. Hal ini memang berlangsung lama, sangat lama, tetapi akhirnya saya berhasil. Kini tampak deretan semak yang dulu tumbuh di sana, namun ditebang sampai habis, sehingga di tengah-tengahnya terbentuk daerah lapang dengan diameter kira-kira tiga puluh hasta11. Hutan gundul itu tidak tampak dari luar karena tertutup oleh dedaunan yang lebat. Pada bagian tepi lapangan saya melihat tidak kurang dari delapan belas ekor kuda yang tertambat berdekatan. Di dekat tempat saya bersembunyi, ada tujuh belas orang yang berbaring atau duduk di tanah. Di tempat yang lain tampak tumpukan berbagai jenis barang yang ditutupi dengan kulit-kulit bison. Saya menduga, tempat itu merupakan sarang perampok dan di sana ditimbun semua barang yang dirampas dari orang-orang yang diserang.
Baru saja terdengar seseorang dari mereka berbicara kepada teman-temannya yang lain. Orang itu adalah Williams. Kini saya tahu siapakah orang yang memisahkan diri dari keempat voyageur tadi. Saya menangkap semua isi pembicaraan mereka,
“Pasti ada orang yang telah menguping pembicaraan kami karena tiba-tiba saya mendapat pukulan di kepala, sehingga roboh tak berdaya ….”
“Seseorang telah menguping pembicaraanmu?” tanya seorang pria yang mengenakan pakaian Mexico dengan suara geram. “Kampungan, kami tidak lagi memerlukan orang seperti kamu. Bagaimana mungkin orang bisa mendengar pembicaraanmu, apalagi di Estaccado, di mana tak ada tempat untuk bersembunyi.”
“Jangan marah dulu, Capitano12!” jawab Williams. “Seandainya kamu tahu, siapakah orang itu, maka kamu akan sadar, bahwa di hadapannya, kamu tidak akan merasa aman.”
“Saya? Haruskah saya menembakkan peluru ke kepalamu? Bukan hanya pembicaraanmu yang didengarkan, malahan kamu pun dirobohkan hanya dengan pukulan tangan. Kamu seperti seorang anak kecil, anak ingusan!"
Urat pada kening Williams membesar.
11 Satu hasta kira-kira 60-80 cm. 12 Spanyol: Kapten atau pemimpin.
“Kamu tahu, Capitano, saya bukan seorang anak ingusan. Orang yang telah merobohkan saya, pasti juga akan membuatmu terjungkal ke tanah dengan sekali pukulan.”
Capitano tertawa terbahak-bahak. “Lanjutkan ceritamu!” “Juga Patrik, yang sekarang bernama Mercroft, pun ditaklukan olehnya.” “Patrik? Orang yang mempunyai tengkorak sekeras binatang itu? Kapan hal itu
terjadi?” Williams menceritakan seluruh rangkaian peristiwa sampai ketika kami
melepaskan mereka kembali. “Carajo, keparat, saya akan membunuhmu seperti membunuh seekor anjing.
Bayangkan, seandainya kamu bersama empat orang terbaik saya ditaklukkan oleh dua orang yang tersesat kemudian ditawan seperti seorang bocah lemah yang belum berhenti menyusu!”
“Thunder-storm! Capitano, tahukah kamu siapa kedua orang itu? Yang satu dipanggil dengan nama Charley dan yang lainnya bernama Sam Hawerfield. Jika sekarang keduanya muncul di tempat ini dengan membawa senjata di tangan dan pisau yang terselip di ikat pinggang, maka banyak dari kita yang tidak tahu apakah kita akan memberikan perlawanan atau lebih baik menyerah. Kedua orang itu adalah Old Shatterhand dan si kerdil Sans-ear!”
Pemimpin itu terkejut. “Pembohong! Kamu hanya ingin menutup-nutupi rasa takut!” “Capitano, tikamlah saya! Kamu tahu, saya akan menerimanya dengan
tenang!” “Jadi kamu sungguh berkata jujur?” “Ya.” “Jika hal itu benar, per todos las santos13, maka kedua orang itu harus mati,
demikian juga dengan yankee dan si Negro itu, karena kedua pembunuh itu tidak akan tinggal diam sebelum mereka menemukan dan menghancurkan kita.”
“Mereka tidak akan mengganggu kita karena mereka bermaksud segera pergi ke Santa Fé.”
“Diam! Kamu seribu kali lebih bodoh daripada mereka, dan kamu pasti akan mengatakan dengan polos kepada mereka, ke mana sebenarnya kamu pergi. Saya mengenal baik cara dan siasat yang dipakai pemburu prairie dari Utara. Kalau mereka ingin mencari jejak kita, mereka pasti akan menemukannya, meskipun kita terbang di udara. Ya, tidak bisa kita pastikan. Bisa saja salah seorang dari mereka bersembunyi di dalam semak-semak di dekat kita dan mendengar semua yang kita bicarakan."
Mendengar perkataan itu darah saya berdesir. Namun dia meneruskan, “Ya, saya mengenal siasat mereka dengan sangat baik, karena saya pernah
tinggal setahun lamanya pada seorang Florimont terkenal bernama Trick-Smeller (Pengendus Jejak). Orang-orang Indian menyebut dia As-ko-lah (Hati Beruang). Dari dia saya mempelajari semua trik dan teknik-teknik khusus yang dipakai kedua pemburu itu. Dengar, kedua orang itu tidak pergi ke Santa Fé dan tidak juga meninggalkan perkemahan mereka hari ini. Mereka tahu, besok pun mereka masih bisa menemukan jejak kalian. Selain itu, kuda-kuda mereka harus beristirahat. Karena itu besok pagi mereka akan mengejar kalian dengan tubuh segar dan pikiran yang jernih. Walaupun mereka akan kita kalahkan, tapi separuh dari kita pasti binasa. Saya pernah mendengar cerita bahwa Old Shatterhand memiliki sebuah senjata yang bisa ditembakkan terus menerus selama seminggu tanpa harus diisi dengan peluru baru. Senjata itu diciptakan oleh Setan untuknya dan dia membayarnya dengan nyawa sendiri. Karena itu malam ini kita harus menyerang ketika mereka tidur karena paling-paling mereka hanya menempatkan seorang penjaga mengingat jumlah mereka cuma empat orang. Apakah kamu kenal baik tempat itu?”
“Ya,” jawab Williams.
13 Spanyol: Demi semua orang kudus.
“Kalau begitu, bersiap-siaplah. Tepat tengah malam kita harus berada di sana, tapi tanpa kuda. Kita mengendap-endap lalu menyergap mereka, sehingga mereka tidak sempat memberikan perlawanan.”
Sang Capitano belum mengenal kami dengan baik seperti yang dia sangka. Sebenarnya dia harus memilih siasat yang lain. Seperti di setiap tempat pada negara-negara maju, di padang prairie ini pun ditemukan kebiasaan untuk membesar-besarkan suatu hal. Persoalan kecil seperti nyamuk bisa dibesar-besarkan menjadi seekor gajah, demikian kata orang. Jika seorang pemburu sekali atau dua kali berhasil mengatasi musuhnya dan tahu menggunakan akalnya dengan baik, maka namanya akan diceritakan dari satu perkemahan ke perkemahan lain. Di mana-mana cerita itu terus berkembang, sehingga pada akhirnya dia menjadi seorang pahlawan dalam arti superlatif dan namanya sangat disegani, begitu pula senjatanya. Sekarang saya mendengar, saya bahkan mendapat sepucuk senapan dari Setan, dan benda ajaib itu dipadatkan, sehingga berbentuk seperti senjata Henry. Memang saya bisa melepaskan dua puluh lima tembakan dari senjata itu.
“Di mana Patrik dan yang lainnya?” tanya pemimpin itu lagi. “Ke Head-Pik untuk menanti ayahnya di sana seperti yang sudah
diceritakannya kepadamu. Pada kesempatan itu dia akan merampok ketiga pedagang yang membawa senjata-senjata pilihan serta uang. Barangkali dia sudah selesai menangani mereka karena dia tidak mau membuang-buang waktu bersama mereka.”
“Jadi dia akan mengirimkan barang-barang rampasannya buat saya?” “Barang-barang itu dibawa oleh dua orang, sedangkan orang ketiga akan ikut
bersamanya.” “Kita akan mendapat senjata-senjata terbaik dari tangan kedua pemburu itu.
Kata orang, Sans-ear memiliki sepucuk senapan yang bisa ditembakkan dari jarak 1.200 langkah.”
Pada saat itu dari jauh terdengar lolongan seekor anjing prairie. Tentu saja ini merupakan isyarat yang aneh karena tidak mungkin binatang itu hidup di daerah ini.
“Antonio datang membawa tiang-tiang yang akan ditanam di Estaccado,” kata Capitano. “Tiang-tiang itu jangan diturunkan di luar, bawa ke dalam. Karena para pemburu itu berada di dekat kita, kita harus berhati-hati dua kali lipat.”
Penjelasan ini meyakinkan saya bahwa saya sedang berhadapan dengan segerombolan penancap tiang yang bekerja secara terorganisasi. Barang-barang yang diselimuti dengan kulit merupakan hasil rampokan yang dikumpulkan setelah pemiliknya dibunuh.
Sekarang dinding semak-semak di depan saya terkuak. Tempat itu hanya ditutupi oleh tanaman menjalar yang menggantung, sehingga gampang disibakkan ke atas ataupun ke samping. Tiga orang berkuda masuk sambil menarik sejumlah tiang. Tiang-tiang itu ditarik dengan tali yang terikat pada kedua sisi pelana lalu diseret dengan cara yang sama seperti kebiasaan orang Indian mengangkut tiang-tiang kemahnya.
Kedatangan orang-orang itu segera menarik perhatian semua yang berkumpul, sehingga saya bisa menarik diri dari sana tanpa terlihat. Tapi saya tidak mau melakukannya sebelum membawa suatu tanda bahwa saya pernah ada di sana. Pemimpin itu melepaskan sabuk senjatanya. Di dalamnya terselip pisau dan senapan berlaras ganda yang dilapisi perak. Dia meletakkan sabuk senjata itu di belakangnya, sehingga cukup dengan menjulurkan tangan, saya berhasil meraih satu pistolnya. Saya mengambilnya lalu merangkak mundur, sambil berusaha menghapus jejak dengan cermat. Hal yang sama pun saya lakukan di luar dinding semak. Kemudian saya berlari melewati lahan gundul dan menyusup ke dalam semak. Sambil mengendap-endap, saya mundur hanya dengan menggunakan ujung jari tangan dan kaki dengan maksud merusakkan jejak saya sebelumnya. Lalu saya tiba pada jarak yang aman, sehingga saya bisa kembali berjalan tegak dan kembali ke tempat kuda saya. Saya melepaskan ikatannya, naik ke punggungnya dan berlari dengan
mengambil jalan memutar, sehingga saya yakin, para stakemen itu tak akan tahu bahwa saya ada di sana.
Ketika saya tiba di tempat teman-teman, kabut sudah mulai turun. Dari raut wajah mereka saya bisa melihat, mereka mencemaskan nasib saya dan tidak sabar menunggu saya pulang.
“Itu adalah Massa Charley!” teriak Bob. Suaranya terdengar penuh kerinduan. “Oh, Bob merasakan khawatir dan semua merasakan khawatir tentang nasib Massa Charley!”
Teman-teman yang lain terlihat tidak secemas Bob. Mereka membiarkan saya turun dari kuda dan duduk bersama mereka. Setelah itu Sam mulai bertanya,
“Bagaimana?” “Para pedagang itu telah dibunuh!” “Saya sudah menduganya. Para voyageur itu yang ternyata adalah stakemen,
telah mengubah rencananya dan mereka akan menyergap korbannya pada malam hari seandainya mereka tidak berhasil melakukannya pada siang hari.”
“Coba tebak, siapa Mercroft sebenarnya!” “Sudah saya katakan berulang-ulang, lebih baik saya bercanda dengan seekor
beruang daripada harus menebak-nebak, karena pasti saya akan segera diberitahu jawabannya!”
“Mercroft adalah nama palsu, dan …” “Saya pun tidak terlalu bodoh, sehingga segera percaya bahwa nama itu
merupakan namanya yang sesungguhnya.” “Dan,” saya melanjutkan dengan suara terputus-putus, “nama asli orang itu
adalah Patrik Morgan!” “Pa…trik…Mor…gan!” teriak Sam terperangah untuk pertama kali sejak kami
bersama-sama; saya belum pernah melihat rasa terkejut yang begitu hebat di wajahnya seperti kali ini. “Patrik Morgan! Bagaimana mungkin? Oh, Sam Hawerfield, coon14 tua (ungkapan yang lazim dipakai para penunggang kuda untuk menyebut diri), kamu tidak lebih dari seekor keledai dungu. Kamu telah memegang keparat itu di antara jari-jarimu, dan berperan sebagai sheriff yang bertugas memutuskan hukuman atasnya, tapi kemudian membiarkan dia pergi begitu saja! Charley, apa kamu tahu pasti bahwa dia benar-benar Patrik Morgan?”
“Sangat pasti dan sekarang saya pun tahu, mengapa wajahnya seperti tidak asing lagi bagi saya. Dia sangat mirip dengan ayahnya!”
“All right! Sekarang semuanya menjadi jelas! Karena alasan yang sama saya pun berpikir, saya pernah melihat dia. Di mana dia sekarang? Saya harap, semoga dia tidak akan lolos dari kita!”
“Dia membantai para pedagang kemudian pergi ke Skettel-Pik dan Head-Pik bersama seorang rekannya untuk mencari ayahnya.”
“Kalau begitu, ayo kita berangkat! Kita harus mengejarnya!” “Stopp, Sam! Sekarang hari mulai gelap, sehingga kita tidak bisa membaca
jejaknya. Selain itu kita harus mempersiapkan diri menyambut sebuah kunjungan istimewa.”
“Kunjungan istimewa? Siapa yang akan datang?” “Patrik adalah anggota gerombolan stakemen yang kini berkemah di sana.
Pemimpinnya adalah seorang Mexico, mereka menamakan dia Kapten. Orang itu pernah belajar pada si tua Florimont. Saya mendengar pembicaraan di antara perampok itu, ketika Williams menceritakan pengalamannya bersama kita. Mereka bermaksud menyerang kita tepat tengah malam."
“Jadi mereka tahu bahwa kita akan bermalam di sini?” “Tentu saja.” “Well! Kalau begitu mereka boleh datang. Kita masih berada di sini dan akan
menyapa mereka good evening! Berapa jumlah mereka?”
14 Kependekan dari: Raccoon.
“Dua puluh satu orang.” “Agak banyak buat kita berempat! Apa pendapatmu, Charley? Kita menyalakan
api unggun lalu memasang baju kita di sekelilingnya, sehingga mereka mengira bahwa kita sedang duduk di dekat api. Tetapi kita sebenarnya berdiri berjaga-jaga di tempat lain, sehingga mereka datang dan berada di antara kita dan api unggun. Dengan cara ini kita bisa menembaki mereka dengan aman.”
“Rencana ini baik,” kata Bernard Marshall setuju. “Ini juga merupakan satu-satunya rencana yang mungkin bisa kita lakukan pada saat ini.”
“Baiklah! Kalau begitu kita harus secepatnya mencari potongan kayu untuk membuat api unggun, sebelum hari mulai gelap,” kata Sam lalu berdiri.
“Nanti dulu,” saya melarangnya. “Apakah engkau sungguh yakin bahwa kita bisa menghadapi dua puluh satu orang dengan cara seperti itu?”
“Mengapa tidak? Setelah mendengar bunyi tembakan pertama, mereka tentu akan lari karena mereka tidak tahu, siapa yang berada di belakangnya.”
“Dan apa yang terjadi seandainya Capitano cukup cerdik, sehingga bisa menebak siasat kita? Kita akan mendapat pekerjaan yang berat dan akan terbunuh walaupun kita melakukan perlawanan.”
“Untuk masalah seperti itu seorang pemburu misalnya harus selalu bersiap-siap!”
“Dan engkau pun akan membiarkan Morgan dan anaknya itu kabur begitu saja?”.
“Behold, itu benar! Jadi kamu kira, kita bisa pergi dengan diam-diam tanpa mencelakakan mereka? Kita tidak bisa mempertanggungjawabkan hal itu di hadapan Tuhan dan terhadap semua orang berani yang nekat melalui Estaccado!”
“Bukan itu maksud saya! Saya mempunyai sebuah rencana lain yang tampaknya lebih baik.”
“Katakan!” “Pada waktu mereka mencari kita di sini, kita pergi ke hide-spot milik mereka
dan merampas semua kuda serta hartanya.” “Good lack, benar! Namun, kamu katakan, kuda-kuda mereka … apakah
mereka datang kemari dengan berjalan kaki?” “Ya. Dengan demikian bisa dipastikan, mereka akan meninggalkan tempat
persembunyiannya dua jam sebelum tengah malam, karena itu untuk tiba di sini, mereka harus berjalan kaki agak lama.”
“Apa kamu mendengarnya dengan seksama?” “Tentu saja! Apabila kita menunggu mereka di sini, maka kita hanya
mempertaruhkan nyawa sendiri. Namun seandainya kita merebut perbekalan, peluru dan kuda-kuda mereka, maka paling tidak dalam waktu yang lama mereka tidak mungkin meneruskan pekerjaan. Selain itu, kita pun tidak perlu menembaki mereka.”
“Tetapi tentu saja mereka akan meninggalkan seseorang untuk menjaga!” “Saya tahu tempat di mana penjaga itu berada.” “Mereka akan mengejar kita!” “Mereka akan melakukannya seandainya kita tetap menunggu di sini dan
kemudian harus melarikan diri.” “Kalau begitu baiklah, kamu benar. Kapan kita berangkat?” “Seperempat jam lagi. Sekarang hari sudah benar-benar gelap.” “Oh, adalah menarik sekali!” kata Bob. “Bob ikut berkuda dan ambil semua
barang yang tersimpankan di tempat perampok-perampok itu. Itu adalah lebih baik daripada tinggal di sini dan Bob akan ditembak mati!”
Hari mulai gelap, sehingga orang tidak bisa melihat lebih jauh dari sepuluh langkah. Kami berangkat. Saya berkuda paling depan dan yang lain mengikuti dari belakang dengan beriring-iringan, seperti cara orang Indian.
Tentu saja saya tidak menempuh jalan lurus menuju tempat persembunyian itu, melainkan mengambil jalan memutar yang cukup jauh. Setelah itu kami berkuda pada tepi semak yang terletak sekitar satu mil inggris dari hide-spot. Di sini kami
mengikat kuda-kuda kami lalu berjalan kaki menuju tempat persembunyian itu. Walaupun Marshall maupun si Negro tidak memiliki keterampilan dalam hal memata-matai musuh, kami berhasil tiba pada pinggiran lahan gundul tanpa terlihat, tepat di depan jalan setapak. Dalam onggokan semak pada jalan itu sebelumnya berbaring seorang penjaga.
Ada cahaya terlihat di atas tempat persembunyian itu. Ini pertanda, di sana ada api atau sesuatu yang terbakar. Tetapi di sekitar kami suasananya begitu gelap. Tanpa cemas saya bisa berjalan tegak melalui lahan gundul. Saya kembali tiba di tempat di mana sebelumnya saya mendengar pembicaraan mereka. Sebelum membungkuk, dari dalam saya mendengar suara pemimpinnya. Saya menyusup di antara akar-akar dan melihat bahwa mereka semua berdiri di tengah sambil memegang senjata dan bersiap-siap untuk berangkat. Sang Capitano masih sempat berbicara,
“Jika kita hanya menemukan sedikit jejak, maka bisa dipastikan, salah seorang dari pemburu itu telah berada di sini dan ikut mendengar percakapan kita. Di mana pistol saya? Barangkali pistol itu jatuh tadi pagi ketika saya sedang berkuda dan saya tidak memperhatikannya pada saat menanggalkan sabuk senjata. Nah, Hoblyn, apa kamu sungguh-sungguh melihat keempat orang itu duduk bersama?”
“Keempat-empatnya. Ada tiga orang kulitputih dan seorang Negro, kuda-kuda mereka merumput di dekatnya. Salah satu dari binatang itu tidak berekor dan tampak seperti seekor kambing liar tanpa tanduk.”
“Itu adalah kuda Sans-ear yang begitu terkenal seperti pemiliknya. Tapi mereka tidak melihatmu, bukan?”
“Tidak. Bersama Williams saya hanya berkuda sampai di tempat yang aman, kemudian saya merangkak di tanah sampai saya bisa melihat semuanya dengan jelas.”
Murid dari Florimont itu cukup cerdik dan berhati-hati, sehingga dia mengirim orang untuk meninjau tempat kami. Kami beruntung, karena hal itu terjadi ketika saya sudah duduk kembali bersama teman-teman saya.
“Kalau begitu semuanya akan berjalan lancar! Kamu, Williams, kamu letih karena itu kamu tinggal di sini. Dan kamu, Hoblyn, kamu mendapat tugas jaga pada jalan masuk. Sedangkan semua yang lainnya harus berangkat!”
Dalam cahaya api yang tidak terlalu terang, saya melihat pintu masuk terbuka. Dua puluh satu orang meninggalkan tempat persembunyian itu dan hanya dua orang saja yang tetap tinggal. Sebelum semuanya menghilang ke jalan setapak, saya sudah berdiri lagi di samping Sam.
“Bagaimana keadaannya, Charley? Kelihatannya sekarang mereka akan berangkat!”
“Ya. Hanya dua orang yang tinggal di sini, yakni seorang penjaga pada jalan masuk dan Williams yang berada di dalam tempat persembunyian. Williams tidak bersenjata sedangkan penjaga itu membawa senjata di tangan. Sekarang kita belum bisa bertindak karena bisa saja seseorang lupa sesuatu lalu kembali untuk mengambilnya. Tapi kita harus bersiap-siap, Sam. Kalian berdua tinggal di sini sampai kami berteriak memanggil atau datang menjemput kalian!”
Kami mengendap-endap sampai ke jalan setapak dan harus menunggu selama sepuluh menit, sampai penjaga keluar. Dengan hati-hati dia berjalan hilir mudik dalam kegelapan. Kami yakin, dia sama sekali tidak mencemaskan keadaan di sekitarnya. Setelah lima belas menit berlalu, dia datang mendekati kami. Sekarang kami tidak lagi khawatir kalau-kalau seseorang akan kembali, karena itu kami tidak perlu lagi menunggu lebih lama.
Saya berlari ke sana dan Sam menyusup ke balik semak. Ketika penjaga itu lewat di antara kami, Sam segera mencekik lehernya. Sementara itu saya menarik sobekan dari jaketnya yang kemudian dipakai untuk menyumbat mulutnya. Lalu kaki dan tangannya diikat dengan lasonya sendiri yang sebelumnya tergantung di pinggangnya. Setelah itu dia diikat ke semak-semak.
“Sekarang maju terus!” Kami melangkah ke pintu masuk. Saya menyibak sulur-sulur tanaman hop15
sedikit ke samping. Tampak Williams duduk di dekat api, dia sedang membakar sepotong daging. Dia duduk membelakangi saya, sehingga tidak melihat saya ketika saya berjalan mendekatinya.
“Angkat daging itu sedikit lebih tinggi, Master Williams. Jika tidak nanti akan hangus!” kata saya.
Dia berpaling. Ketika melihat saya, dia begitu terkejut, sehingga terpaku tanpa gerak.
“Selamat malam! Hampir saja saya lupa memberi salam. Tapi terhadap seorang gentleman seperti Anda, orang tidak boleh bersikap terlalu sopan.”
“O…O…Old Shat…Shatterhand!” dia berkata dengan gagap sambil memandang saya dengan mata terbelalak. “Apa maksud Anda ke sini?”
“Saya harus mengembalikan pistol ini kepada sang Capitano. Saya mengambilnya tadi ketika Anda menceritakan pengalaman Anda kepadanya.”
Dia menarik satu kakinya, seakan-akan dia bersiap-siap untuk bangun, lalu menatap ke sekeliling untuk melihat, apakah dia bisa meraih senjatanya. Tapi di sampingnya hanya ada pisau Bowie.
“Tetaplah duduk dengan tenang, Master Stakeman, karena satu gerakan kecil saja akan ditebus dengan nyawamu. Pertama-tama, pistol pemimpin Anda ini masih terisi dan kedua, Anda hanya perlu menengok ke arah pintu masuk dan melihat bahwa kami masih mempunyai banyak peluru lain!”
Dia berpaling dan melihat Sam yang membidiknya dengan senjata yang sudah terkokang.
“Thunder-storm … saya mati!” “Barangkali belum saatnya jika Anda tetap bersikap tenang. Bernard, Bob, ke
sini!” Mendengar teriakan saya, kedua orang yang sebelumnya berdiri di luar segera
muncul di pintu masuk. “Pada pelana-pelana kuda tergantung laso, Bob. Ambil dan ikatlah orang ini!” “Maut dan neraka! Kalian tidak akan lagi menangkap saya hidup-hidup!” Setelah berkata demikian, penancap tiang ini menghujamkan pisau Bowie ke
dadanya lalu roboh ke tanah. “Semoga Tuhan berbelas kasih kepada jiwanya!” kata saya. “Barangkali keparat ini merasa bersalah atas nyawa lebih dari seratus orang,”
kata Sam dengan geram. “Tikaman pisaunya kali ini sempurna.” “Dia menghabisi dirinya sendiri,” jawab saya, “Untunglah, kita tidak perlu
membunuhnya!” Lalu saya menyuruh Bob keluar untuk menjemput Hoblyn. Tak lama kemudian
orang itu terbaring di hadapan kami. Sumbat yang menutup mulutnya dilepaskan, dan dia menarik napas dalam-dalam. Dengan sangat terkejut dia memandang mayat rekannya.
“Engkau pun akan mati seperti dia, seandainya kau menolak memberikan keterangan kepada kami.”
“Saya akan mengatakan semuanya!” dia berjanji dengan ketakutan. “Kalau begitu katakan, di mana emas disembunyikan?” “Barang itu dikuburkan di bagian belakang, di bawah karung-karung tepung.” Kini kulit yang menutupinya disingkirkan, lalu kami memeriksa segala barang
yang ada. Di situ terdapat berbagai jenis barang yang pernah dibawa orang melalui Estaccado, yakni senjata dari berbagai jenis dan ukuran, bubuk mesiu, timah, peluru, laso, pelana kuda, kantung, selimut, pakaian untuk bepergian dan pakaian berburu yang masih utuh, kain tenunan dan callico, kalung palsu dari kerang dan barang perhiasan, untaian mutiara yang selalu diidam-idamkan oleh wanita Indian, beberapa
15 Humulus lupulus.
barang kecil, peralatan dan perkakas pertukangan, sejumlah kaleng berisi pemmican (daging sapi yang diawetkan), perbekalan dan bahan-bahan makanan yang lain dalam jumlah yang besar. Tidak sulit bagi kami untuk menebak bahwa semua barang itu adalah hasil rampokan.
Bob menyisihkan barang-barang itu ke samping seperti melempar bungkus-bungkus rokok. Marshall mencari pacul dan sekop di antara perkakas-perkakas. Setelah itu penggalian dimulai. Dalam waktu singkat kami menemukan butir-butir emas dan batang-batangan emas dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga kami harus mengangkutnya dengan seekor kuda.
Saya merasa ngeri jika membayangkan, betapa banyak pencari emas malang yang harus menderita sengsara ketika mereka mengumpulkan deadly dust (debu maut) ini. Kesengsaraan mereka terbukti dengan sebutan ini. Para diggers16 yang pulang biasanya hanya membawa sedikit emas ke rumah dan biasanya menukar hasil jerih payah mereka dengan uang kertas atau surat deposito atau menyimpannya di bank. Tentu saja para korban yang dibunuh membawa surat-surat itu. Ke mana surat-surat itu menghilang?
“Di manakah uang dan surat-surat berharga yang telah kalian rampok dari para korban?” tanya saya kepada Hoblyn.
“Di sebuah tempat persembunyian yang jauh dari sini. Capitano tidak mau menyimpannya di sini, karena ada anggota kelompok yang tidak dia percayai.”
“Jadi hanya dia sendiri yang tahu tempat persembunyian itu?” “Hanya dia dan seorang letnan.” “Siapa nama letnan itu?” “Patrik Morgan.” Saya terperangah. “Tentu saja kita akan menjadi kaya raya.” Demikian bunyi
surat yang ditulis orang itu kepada ayahnya. Apakah dia bermaksud mengkhianati rekan-rekannya?
“Apa engkau tahu, kira-kira di mana letak persembunyian itu?” “Saya tidak tahu pasti. Tapi Capitano tampaknya tidak mempercayai letnan.
Hari ini orang itu pergi ke Head-Pik di Rio Pecos bersama seorang kawan dan besok saya akan menyusul keduanya untuk memata-matai dia.”
“Aha! Kapten menjelaskan tempat itu dengan jelas?” Orang yang ditanya hanya diam. “Jawablah dengan jujur! Jika engkau tutup mulut, maka kau akan mati. Jika
engkau berkata terus terang, maka kau akan mendapat pengampunan walaupun kalian semua sebenarnya harus digantung.”
“Anda benar, Sir!” “Di mana tempat itu?” “Saya harus segera pergi dari sini untuk mencari tempat itu dan membunuh
letnan jika dia mendekatinya. Tempatnya terletak pada sebuah lembah kecil yang tidak asing lagi bagi saya karena saya pernah berada di sana. Tapi keterangan ini tidak banyak berguna bagi Anda karena Anda tidak akan menemukannya.”
“Apakah dia hanya menggambarkan tentang lembah itu atau dia menyebut suatu lokasi tertentu?”
“Capitano menolak menyebut lokasi itu. Dia memberi perintah, saya harus bersembunyi dan menembak letnan jika dia menjejakkan kakinya di lembah.”
“Bagus! Saya akan membiarkanmu terus hidup, tapi tentu saja dengan syarat, engkau harus mengantar kami ke lembah itu.”
“Saya bersedia.” “Tapi ingat, jika engkau coba-coba membohongi kami, maka kau segera mati.
Engkau pergi bersama kami bukan dalam keadaan bebas melainkan sebagai tawanan.” “Well,” ujar Sam, “kalau begitu selesailah interogasi ini. Apa yang harus kita
lakukan sekarang?”
16 Penambang emas.
“Kita hanya mengambil emas dan barang-barang lain yang perlu seperti senjata, peluru, tembakau dan bekal. Juga beberapa barang kecil yang bisa diberikan buat orang-orang Indian, jika kita berjumpa dengan mereka. Pilihlah! Sementara itu saya ingin memeriksa kuda-kuda.”
Saya menemukan empat ekor kuda Michigan yang kuat, sehingga sangat cocok dipakai mengangkut barang, selain itu hanya ada tiga ekor mustang yang pantas diambil. Kuda-kuda itu lebih baik daripada kuda yang dipakai Bernard dan Bob. Jadi kuda mereka bisa ditukar dengan dua kuda itu, sedangkan kuda ketiga, saya peruntukkan buat Hoblyn.
Di situ terdapat juga pelana-pelana pengangkut barang yang biasa dibawa kuda-kuda bagal. Kini semua yang hendak kami bawa dibungkus dengan selimut. Semuanya ada delapan bungkusan. Tiap kuda mengangkut dua bungkusan. Kemudian kami mengumpulkan semua barang yang ditinggalkan. Di dasar tumpukan itu kami meletakkan campuran mesiu yang tidak bisa dibawa serta bahan-bahan yang mudah terbakar.
“Apa yang kita lakukan dengan kuda-kuda lain?” tanya Sam. “Bob akan melepaskan lalu mengusirnya ke padang prairie. Memang hal ini
tidak bijaksana, tapi saya sama sekali tidak tega membunuhnya. Berangkatlah lebih dulu bersama rombongan. Saya akan tinggal sebentar untuk membakar tumpukan barang ini.”
“Mengapa tidak dilakukan sekarang?” tanya Marshall. “Kobaran api akan terlihat dari jauh. Jika para stakemen tidak menemukan kita
di tempat perkemahan, maka tentu saja mereka akan cepat-cepat kembali dan bisa jadi memergoki kita dalam kegelapan. Jadi lebih baik, saya membiarkan kalian berangkat dulu agak jauh. Saya akan cepat-cepat menyusul dari belakang.”
“Well! Kamu benar, Charley. Mari berangkat, boys!” perintah Sam. Dia berkuda di depan sambil menggiring seekor kuda pengangkut barang.
Ketiga kuda beban yang lain mengikutinya. Marshall berkuda di belakang bersama Bob dan Hoblyn yang terikat pada kudanya. Saya tinggal sebentar bersama kuda saya dan menunggu. Makin lama bunyi derap kuda mereka terdengar semakin jauh. Kini seperempat jam sudah berlalu. Saya tidak boleh menunda lebih lama karena bisa jadi para stakemen itu kembali dan memergoki saya. Saya kembali lagi ke tempat persembunyian untuk membakar barang-barang di sana.
Dengan bantuan sobekan selimut, saya berhasil membuat semacam sumbu yang dipilin. Dengan itu saya masih bisa berlari ke tempat yang aman sebelum rambatan api menjangkau mesiu. Mungkin akan terjadi sebuah ledakan dahsyat karena kami juga menuang peluru di atas tumpukan. Lalu saya membakar sumbu itu, meraih tali kekang kuda dan berlari keluar melalui jalan setapak menuju ke padang prairie. Sebelum tiba pada onggokan semak terakhir, saya melompat ke atas pelana. Tiba-tiba dari hide-spot terdengar bunyi ledakan yang menggelegar. Api telah merambat ke selimut yang membungkus peluru. Saya memacu kuda dan berlari dengan cepat dari sana, sehingga terhindar dari daerah yang terang karena cahaya api, mengingat nyala api di tempat itu menjulang tinggi ke angkasa. Seluruh barang hasil rampokan stakemen hangus terbakar.