35
PENGANTAR MEMAHAMI FIQIH ISLAM Oleh : Drs. Agus Wahir Rahman, Ph.D Jakarta 1

Pengantar Memahami Fiqih Islam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

uhg

Citation preview

PENGANTAR MEMAHAMI FIQIH ISLAM

Oleh : Drs. Agus Wahir Rahman, Ph.D

Jakarta2015

Pengertian FiqihFiqih secara etimologi (bahasa Arab) memiliki arti pemahaman (al-fahm). Oleh karena itu orang-orang Arab (sebelum islam) menggunakan kata faqh untuk seorang cendikiawan yang mempunyai ilmu yang luas. Selain itu, masih secara bahasa fiqih berarti pengetahuan (al-ilm). Hal tersebut bisa kita lihat penggunaannya pada istilah fiqh al-lughah yang mempunyai makna hampir sama dengan ilmu al-lughah karena isinya sama-sama membahas tentang kaidah-kaidah dan aturan bahasa Arab.Adapun secara terminologi makna fiqih mengalami perubahan dari masa ke masa. Dari maknanya yang begitu luas dan mencakup berbagai objek seiring dengan perubahan zaman maknanya terus menyempit dan menjadi suatu disiplin ilmu yang khusus, tidak ada bedanya dengan filsafat yang pada akhirnya berubah menjadi salah satu disiplin ilmu tertentu.Fiqih pada masa awal tasyri (takwn) mempunyai arti yang umum yaitu pemahaman terhadap ajaran agama islam secara menyeluruh. Hal ini bisa kita lihat pada ayat-ayat al-Quran yang menggunakan kata fiqih yang disandingkan dengan kata dien (agama). Juga pada hadits-hadits Nabi Saw. Yang di antaranya ketika beliau mendoakan Ibnu Abbas, beliau berkata Allahumma faqqihhu fi al-dn wa allimhu fi al- tawl.Penggunaan istilah fiqih dengan makna umum tersebut terus berlanjut sampai pada masa tadwn tasyri (kodifikasi) periode awal. Terbukti dengan kitab al-fiqh al-akbar yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah. Yang mana isinya membahas tentang pokok-pokok keyakinan (akidah) islam dan bukannya membahas tentang permasalahan hukum.Barulah pada akhir abad kedua hijriyah, fiqih mengalami penyempitan makna. Fiqih hanya digunakan secara eklusif dalam permasalahan hukum. Di mana saat itu para ulama sudah mulai menulis karya-karya yang berdiri sendiri mengenai masalah khusus ini. Seperti karya-karya Abu Yusuf (182 H) dan al-Syaibani (189 H) merupakan usaha sistematis yang pertama kali dalam bidang ini.Adapun yang menjadi sebab terjadinya penyempitan makna tersebut adalah karena semakin luasnya wilayah khilafah islamiyyah waktu itu sehingga banyak orang-orang asing yang memeluk agama islam. Maka di sanalah mulai terjadinya dialektika peradaban sebagaimana lazimnya. Hal tersebut sebagaimana yang disinyalir oleh Prof. Dr. Ahmad Hasan, ia mengatakan:Alasan terjadinya perubahan ini jelas sekali, karena masyarakat kaum muslimin semasa hidup rasulullah tidaklah sedemikian kompleks dan beraneka ragam sebagaiamana tumbuh kemudian. Pembauran kaum muslimin dengan kaum non-muslim di daerah-daerah takluskan, munculnya beberapa madzhab hukum dan theologis dalam islam, serta perkembangan ilmu-ilmu keislaman merupakan faktor-faktor utama yang menyebabkan perubahan arti beberapa istilah dalam islam yang sederhana dan tidakpelik sebagaimana yang dipahami kaum muslimin pada masa rasululah.Maka mulai dari akhir abad kedua hijriyah sampai sekarang fiqih dipahami sebagai satu disiplin ilmu yang membahas tentang hukum syariah praktis sebagai hasil dari ijtihad yang berdasarkan kepada dalil-dalilnya yang rinci. Sebagaimana yang tercantum jelas dalam literatur-literatur ushul fiqih.Abdu al-Wahab Khalaf mencatat bahwa fiqih menurut istilah ialah ilmu tentang hukum-hukum syarI yang bersifat praktis yang didapatkan dari dalil-dalilnya yang rinci. Atau fiqih juga bisa didefinisikan sebagai kumpulan hukum-hukum syarI praktis yang diambil dari dalil-dalilnya yang rinci.Dari definisi yang telah disepakati oleh para ulama tersebut maka ada dua objek ilmu fiqih sebagaimana yang dipaparkan dengan gamblang oleh Muhamad Abu Zahrah. Yang pertama, adalah hukum syarI praktis, maka hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok-pokok keyakinan (akidah) tidak termasuk ke dalam pengertian fiqih secara terminologi. Kedua, dalil-dalil yang rinci untuk setiap permasalahan hukum.Namun makna fiqih yang sekarang banyak dipahami oleh umat islam ternyata hanya sebatas fiqih ibadah saja. Ketika terdengar kata fiqih maka yang tergambar oleh masyarakat luas ialah tata cara wudlu, rukun shalat, syarat wajib zakat, pembatal shaum, rukun sahnya haji dan hal-hal lainnya yang hanya terbatas pada makna ibadah saja. Padahal fiqih walaupun hanya membicarakan sekitar hukum syarI secara aplikatif meliputi cakupan yang luas yaitu seluruh aspek kehidupan manusia. Karena yang menjadi objek fiqih adalah perbuatan (amaliyah) manusia ditinjau dari segi hukumnya. Untuk masalah cakupan dan ruang lingkup fiqih lebih jelasnya akan dibahas dalam pembahasan cabang-cabang ilmu fiqih.

Sumber-sumber Fiqih Islam.Sebagaimana yang diterangkan di atas bahwa fiqih merupakan pengetahuan tentang hukum syariah praktis yang diambil dari dalil-dalilnya yang rinci. Maka apa yang menjadi dalil-dalil tersebut yang menjadi sumber fiqih dalam melahirkan suatu hukum tentang suatu perbuatan mukallaf.Dr. Thaha Jabir al-Alwani merangkum pendapat Imam al-Ghazali dan ulama-ulama ushul fiqih lainnya, bahwa yang menjadi sumber fiqih itu ada tiga. Pertama, wahyu yang meliputi al-Quran dan sunnah. Kedua akal berupa tafsiran-tafsiran bagi al-Quran maupun sunnah Nabi Nabi, juga termasuk di dalamnya berijtihad menentukan hukum sesuatu yang tidak terdapat di dalam nash. Ketiga, eksperimen, adat kebiasaan dan mashlahat.Dan jika kita merujuk kepada literatur-literatur ushul fiqih, kita akan mendapati dua jenis dalil. Yang pertama dalil yang disepakati oleh para ulama sebagai sumber yang layak dijadikan pijakan (adillah muttafaq alaiha) dan yang kedua dalil-dalil yang dipertentangkan kevaliditasannya untuk dijadikan argumen (adilah mukhtalaf fieha).Dalil-dalil yang sudah disepakati ini ada empat yang di antaranya ialah:Al-QuranPara ulama mendefinisikan al-Quran ini sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. Melalui malaikat Jibril selain sebagi bukti kerasulan Nabi Muhammad Saw. Juga sebagai aturan hidup bagi seluruh manusia. Firman Allah tersebut terkodifikasikan dalm sebuah mushaf (lembaran-lembaran kertas yang disatukan menjadi buku) yang dimulai dengan surat al-Ftihah dan diakhiri dengan surat al-Ns. Diriwiyatkan dan sampai kepada kita dengan cara mutawatir (dari orang banyak dan diterima oleh orang banyak pula) yang terpelihara dari segala bentuk perubahan.Di antara karakteristik al-Quran ini adalah wahyu Allah yang berbentuk lafad dan makna. Maksudnya bahwa baik lafad maupun maknanya berasal dari Allah langsung dan bukan bahasa Nabi Muhammad Saw. Berbeda dengan hadits.Sudah menjadi konsensus bahwa al-Quran merupakan sumber yang pertama bagi syariah Islam. Bukan hanya sumber untuk hukum saja, tetapi al-Quran merupakan sumber seluruh ajaran islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai Allah Sang Khaliq.Walaupun dalil yang berasal dari al-Quran bersifat qatiyu tsubut tetapi dari segi dilalahnya ada yang bersifat qath dan ada yang zhann. Nash yang qathyu dilalah sudah tidak perlu lagi kepada penafsiran yang detail, karena dengan sendirinya ia telah mejelaskan secara detail tentnag hukum yang terkandung dalam nash tersebut. Contohnya saja seperti ayat-ayat warits, shaum, zakat dan ayat-ayat lainnya yang serupa.Berbeda dengan ayat-ayat yang zhannyu dilalah yang tidak secara detail menerangkan tentang suatu hukum, oleh karena itu ayat tersebut memerlukan penafsiran yang detail baik itu dari ayat lain, sunnah Nabi dan sumber-sumber lainnya yang diakui secara konsensus. Contohnya ayat-ayat yang bersifat umum, muthlaq dan lainnya yang serupa yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.SunnahDengan sederhana para fuqaha mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. Selain al-Quran baik itu berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuannya terhadap suatu perkara yang diperbuat oleh sahabatnya.Namun ternyata tidak semua yang datang dari Nabi itu sunnah yang harus kita ikuti, karena ada beberapa perbuatan yang dikhususkan bagi Nabi saja, contohnya menikah lebih dari empat, wajibnya shalat qiyamu al-lail dan perbuatan lainnya yang dikhususkan bagi Nabi Saw. Maka yang demikin itu tidak termasuk kategori sunnah. Selain itu juga ti dak semua perkataan dan perbuatan Nabi Saw. Bisa dijadikan argumen hukum. Karena biarpun Nabi, beliau tetap seorang manusia. Maka perkataan dan perbuatan Nabi Saw. Yang bisa dijadikan hujjah adalah yang didukung dengan wahyu dan isi dari perbuatan maupun perkataannya ditujukan untuk menerangkan ajaran agama.Sunnah merupakan sumber syariah islam yang kedua setelah al-Quran. Dan hal ini sudah menjadi konsensus di kalangan umat islam kecuali bagi mereka yang belum memahami islam secara utuh. Sebagaimana perkataan al-Syaukani yang dikutip Dr. Ahmad al-Hashari dalam bukunya: Legitimasi sunnah dengan keindependenannya sebagai argumen dan sumber hukum merupakan hal yang sudah pasti dan tidak bisa diragukan lagi. Dan tidak ada seorangpun yang mengingkari hal itu kecuali bagi orang yang tidak memahami islam secara utuh.IjmaPada garis besarnya ijma merupakan kesepakatan para mujtahid umat pada satu zaman setelah Nabi Saw. Wafat tentnag satu perkara hukum syarI praktis.Ijma tidak seperti al-Quran dan sunnah yang merupakan sumber hukum yang independen. Ijma tidak melahirkan hukum yang baru. Karena ijma harus selalu bersandar kepada nash dan tidak bisa tidak.Tentang kehujjahan ijma ini sudah menjadi konsensus umat dan diakui bersama kelayakannya menjadi sumber hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan nash.QiyasQiyas oleh para ulama ushul fiqih didefinisikan sebagai penyerupaan hukum suatu perkara yang tidak terdapat di dalam nash kepada perkara yang hukumnya secara gamblang terdapat dalam nash karena terdapat kesamaan sebab di antara keduanya.Sama seperti tiga sumber hukum yang pertama, qiyas pun sudah menjadi konsensus untuk dijadikan sebagai argumen hukum. Selain itu juga, prinsip yang digunakan oleh qiyas yaitu mencari keserupaan sebab adalah prinsip yang digunakan al-Quran dalam menerangkan suatu perkara. Hal ini lebih memperkuat bahwa qiyas layak dijadikan argumen.Sedangkan dalil-dalil yang masih diperselisihkan kekuatan hukumnya untuk dijadikan sumber hukum di antaranya:IstishlhIstishlh adalah sebuah usaha menentukan hukum yang tidak terdapat dalam nash maupun ijma dengan memperhatikan mashlahat yang terkandung dalam suatu perkara tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan mashlahat di sini adalah manfaat yang dimaksudkan oleh Allah untuk hamba-hambaNya seperti menjaga keberadaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya.IstihsnPara ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan istihsan ini. Namun Dr. Musthafa Dib al-Bugha dalam bukunya lebih condong memilih pendapat Abu al-Hasan al-Kurkhi al-Hanafi ketika mendefinisikan istihsan sebagai suatu dalil yang bertentangan dengan qiyas jali atau dengan kata lain mentakhshish qiyas dengan dalil yang lebih kuat darinya. Alasan beliau memilih definisi ini adalah karena definisi tersebut dianggap sebagai definisi yang paling komprenhensif dan banyak digunakan pada literatur-literatur fiqih.IstishbIstishab diartikan sebagai menentukan hukum dengan cara memberlakukan tetapnya keberadan sesuatu sehingga ada argumen lain yang menyatakannya tidak ada ataupun sebaliknya.Saddu DzariahSaddu Dzariah didefinisikan sebagai pelarangan terhadap perkara yang pada dasarnya dibolehkan namun bisa menyebabkan terjadinya perkara yang diharamkan. Oleh karena itu pada prinsipnya saddu dzariah merupakan usaha preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum.Karakteristik Fiqih IslamKarena fiqih merupakan salah satu dari khazanah pengetahuan yang mempunyai sumbu ke langit, maka tentu saja karakteristik yang dimiliki syariah islam sebagai aturan yang Allah turunkan untuk umat manusia dimiliki juga oleh fiqih. Karena fiqih merupakan salah satu bagian dari sistem syariah islam yang komprehensif. Dan kalau kita perhatikan apa yang ditulis oleh Dr. Yusuf Qardhawi ketika menerangkan karakteristik fiqih islam sebenarnya adalah karakteristik syariah itu sendiri. Ia mengatakan: Karakteristik dan keistimewaan yang dimiliki fiqih islam atau bisa juga disebut karakteristik syariah islamiyah tidak akan cukup diterangkan dan ditulis dalam sebuah buku tetapi akan memerlukan berjilid-jilid bukuDi sana beliau menyamakan antara karakteristik syariah dengan fiqih. Hal itu memang tidaklah aneh karena fiqih merupakan bagian dari sejumbah anasir syariah.Selanjutnya dalam bukunya itu Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan dengan ringkas karakteristik-karakteristik tersebut, di antaranya ialah:

Bersumber langsung dari AllahFiqih mempunyai sumber yang datang langsung dari Allah yaitu wahyu yang terdapat dalam al-Quran dan sunnah yang berisi tentang pokok-pokok aturan dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetepkan demi kemashlahatan manusia.Menumbuhkan nurani dan kesadaran mentaati hukumKarena sumbernya yang langsung dari Allah, hal tersebut menumbuhkan dalam diri manusia sebagai pelaksana hukum Allah tersebut nurani kesadaran untuk mentaatinya. Karena rasa takut akan pengawasanNya mendorongnya untuk selalu taat di mana dan kapanpun juga.Manusiawi (humanis)Lagi-lagi karena sumbernya yang langsung dari Allah Sang Pencipta alam semesta termasuk di dalamnya manusia, maka isi dari aturan tersebut benar-benar sesuai dengan kemashlahatan manusia. Allah yang menciptakan manusia, maka Dia juga yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hambaNya. Terbukti dengan hak-hak asasi manusia dam kebebasan yang sangat dijunjung tinggi oleh Syariat Islam.KomprehensifSebagaimana yang kita ketahui bahwa fiqih tidak hanya membahas hubugan manusia secara vertikal saja namun juga tidak luput dari pembahasan hubungan manusia secara horizontal. Dengan demikian ruang lingkup fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya akan dibahas pada pembahasan tentang cabang-cabang ilmu fiqih.Menjunjung tinggi moralitasJika kita perhatikan hukum-hukum yang terdapat pada fiqih ibadah, muamalah, ahwal syakhshiyah, hudud dan fiqih lainnya, kita akan menemukan bahwa pada prinsipnya semua hukum itu bertujuan untuk mengarahkan dan memelihara moral manusia menjadi baik. Sebagai contoh kita bisa lihat tujuan dari diperintahkan shalat di antaranya ialah untuk mencegah manusia dari perbuatan tercela.UniversalSebagai efek dari sumbernya yang pertama yaitu al-Quran bersifat universal karena ia ada dan dituturnkan untuk seluruh umat manusia. Bukan hanya manusia malah, melainkan diperuntukkan pula untuk jin. Keuniversalan sumbernya tersebut tentu saja akan memberi pengaruh yang sama terhadap fiqih sebagai sarana aplikasi syariah Islam.ObjektifFiqih bersifat objektif karena dia bersumber langsung dari Allah. Apa yang menjadi undang-undang yang harus ditaati manusia sudah disesuaikan dengan kebutuhan manusia itu sendiri dan tidak berat sebelah atau memenangkan salah satu kelas sosial tertentu. Berbeda jauh dengan hukum positiv buatan manusia yang terkadang dibuat sesuai dengan kepentingan salah satu kelas sosial dan merugiakan yang lainnya.ModeratKarena sifatnya yang objektif secara otomatis fiqih pun bersifat moderat dalam artian tidak terlalu keras ataupun terlalu lunak. Baik itu berupa perintah, larangan maupun sangsi yang diberikan bagi pelanggar tidak terlalu berat ataupun trlalu ringan untuk dijalankan.Adanya keseimbangan dalam memperhatikan hak manusia baik secara individu maupun sosialFiqih slam sangat memperhatikan hak manusia secara seimbang baik manusia secara individu maupun sosial. Tidak seperti negara kapitalis yang terlalu memperhatikan hak manusia secara individu sehingga melahirkan adanya kelas-kelas sosial yang tidak merata. Siapa yang memiliki modal dialah yang berkuasa. Juga tidak seperti negara sosialis yang terlalu memperhatikan hak manusia secara sosial sehingga tidak memperduliakn hak individu. Setiap individu tidak memiliki apa-apa, karena semua milik negara dan itu berarti milik bersama sebagaimana anggapannya. Tetapi fiqih slam menghargai hak manusia baik dari segi individunya maupun sosialnya. Sebagai salah satu buktinya ialah diakuinya hak kepemilikan individu yang tentunya berbatasan dengan hak kepemilikan orang lain. Dan juga adanya aturan hak kepemilikan bersama seperti wakaf yang kesemuanya itu diatur secara rinci dalam fiqih muamalah.Prinsip-prinsipnya bersifat globalPrinsip-prinsip fiqih yang lebih dikenal dengan nama ushul fiqih adalah kumpulan dari kaidah-kaidah yang bersifat umum. Sehingga bisa dijadikan rujukan untuk setiap perkara yang beragam dan bermacam-macam. Kita hanya tinggal mengembalikan setiap perkara kepada prinsipnya yang sesuai. Atau pun sebaliknya dari prinsip-prinsipnya yang bersifat global itu kita bisa menerapkannya pada perkara-perkara yang berbeda-beda.Menerima perubahan (inovatif)Karena fiqih merupakan hasil pemikiran manusia yang tidak terlepas dari koridor wahyu, maka ia bersifat fleksibel. Islam mempunyai kemampuan untuk membrikan apa yang dibutuhkan oleh seluruh umat manusia tak terkecuali. Sebagai buktinya islam bisa diterima oleh semua kalangan dari berbagai lingkungan dan zaman yang berbeda, dimana fiqih merupakan salah satu bagian dari sistem ajaran islam terbebut. Fiqih bisa ditafsirkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada karena fiqih merupakan hasil pemikiran manusia dalam usahanya mengaplikasikan syariah yang disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Maka di sini fiqih mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya.Fiqih dan SyariahSyariah diartikan sebagai perintah Allah yang harus dijalankan. Pada masa awal syariah memliki makna yang umum sama seperti fiqih. Ia meliputi teologi, ibadah, muamalah, akhlak dan pokok ajaran lainnya. Dengan kata lain syariah adalah agama islam itu sendiri. Tetapi ada juga di antara ulama yang membedakan antara syariah dengan din (agama). Dia adalah Abu Hanifah, menurutnya din dianggap sebagai ajaran-ajaran yang berkaitan dengan pokok keimanan (tauhid) sehingga dia tetap dari dulu (nabi pertama) sampai sekarang (nabi terakhir). Sedangkan syariah kewajiban yang harus ditaati oleh seorang hamba dan kewajiban tersebut berbeda beda dari satu nabi denga nabi lainnya.Dan sekarang istilah syariah diartikan meliputi semua aspek islam mencakup fiqih dan kalam bersama-sama sebagaimana yang dipaparkan oleh Prof. Dr. Ahmad Hasan.Syariah dan fiqih mempunyai hubungan umum wa khusus ala muthlaq. Syariah lebih umum dari fiqih. Jika syariah meliputi segala aspek kehidupan manusia semua perilaku dan perbuatannya, sedangkan fiqih lebih sempit cakupannya. Ia hanya meliputi hal-hal yang hanya berkaitan dengan aturan-aturan dan tindak hukum saja.Syariat merupakan perintah Tuhan yang harus ditaati, maka ia bersifat tetap dan tidak berubah. Sedangkan fiqih merupakan hasil nalar manusia yang bersumber dari nash, maka ia bersifat berubah dan terus berkembang sesuai dengan kondisi zaman dan tempat manusia itu hidup yang terus berubah semakin kompleks.Oleh karena itu fiqih bisa diartikan sebagai artikulasi dari usaha penyelarasan syariah dengan kondisi masyarakat dan zamannya.Fiqih dan Ushul FiqihUshul fiqih terdiri dari dua kata yang masing-masing mempunyai makna yang berdiri sendiri. Yaitu ushul dan fiqih. Ushul secara bahasa berati pokok. Maka secara etimologi ushul fiqih berarti pokok yang menjadi landasan lahirnya fiqih. Sedangkan ushul fiqih sebagai salah satu cabang ilmu syariah didefinisikan oleh para ulama sebagai pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dijadikan landasan dalam melahirkan fiqih dari dalil-dalilnya yang rinci.Dari definisi di atas bisa kita lihat adanya perbedaan antara ushul fiqih dan fiqih. Namun walaupun berbeda keduanya saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan. Jika fiqih diartikan sebagai hasil nalar manusia yang bersumber kepada nash tentnag hukum suatu perbuatan, maka ushul fiqih berfungsi sebagai metodologinya (manhaj) untuk dapat melahirkan fiqih. Maka ushul fiqih menempati fungsi ilmu mantiq bagi ilmu filsafat.Sedangkan perbedaan ditinjau dari segi objeknya adalah objek Fiqih meliputi perbuatan manusia (mukallaf) dari segi hukumnya. Atau dengan ungakapan lain objek fiqih adalah hukum-hukum syari yang bersifat aplikatif (amaliyah).Adapun yang menjadi objek ushul fiqih adalah penjelasan tentang metodologi pengambilan hukum.Lebih jelasnya Muhamad Abu Zahrah dengan gamblang menjelaskan tetang persamaan sekaligus perbedaan antara fiqih dan ushul fiqih, ia mengatakan: Kedua ilmu itu (fiqih dan ushul fiqih) sama-sama membahas tentang dalil. Tetapi fiqih membahas dalil dari segi mengeluarkan hukum amaliyah darinya sedangkan ushul fiqih membahas dalil dari segi metodologi istinbath hukumnya dan menjelaskan hirarki argumen-argumen hukum (mulai dari al-Quran, sunnah, ijma dan qiyas)Fiqih dan Qawid FiqhiyyahQawid merupakan bentuk jamak dari qidah yang berarti prinsip global yang meliputi seluruh bagian-bagiannya secara keumuman untuk mengetahui hukum-hukum setiap bagian-bagian tersebut dari prinsip yang global tadi. Maka yang dimaksud dengan qawid fiqhiyyah ialah permasalahan-permasalahan yang bersifat global yang termasuk ke dalamnya bagian-bagainnya yang diketahui hukum dari setiap bagian bagian tersebut dari permasalahan-permasalahan global tadi. Dan pada keumumannya prinsip atau permasalahan yang global tadi sesuai dengan bagian-bagiannya.Tetapi perlu digaris bawahi, bahwa sifat kaidah-kaidah ini tidak seperti kaidah-nahwu atau ushul fiqih yang bersifat mutlak pasti. Maksudnya setiap kaidah nahwu atau ushul fiqih pasti berlaku pada permasalahan-permasalahan yang sama dengan kaidahnya. Sebagai contoh di dalam kaidah nahwu bahwa setiap fail itu marfu, maka sudah pasti ketentuan itu berlaku kepada setiap kata yang berkedudukan menjadi fail tidak terkecuali. Begitu juga yang berlaku dengan kaidah ushul fiqih.Berbeda dengan keduanya, kaidah yang terdapat pada qawid fiqhiyyah tidak bersifat mutlak akan tetapi bersifat aglabiyah atau keumumannya saja. Karena ada beberapa permasalahan yang secara zhahir termasuk ke dalam kaidah global tetapi pada kenyataannya ternyata tidak sesuai dan tidak bisa dipaksakan. Oleh karena itu para fuqaha menambahkan variabel aglabiyah di akhir definisi qawid fiqhiyyah.Kemudian hubungannya dengan fiqih, secara kronologis lahirnya qawid fiqhiyyah lebih terakhir dibandingkan dengan fiqih. Jadi hukum-hukum fiqih yang serupa dikumpulkan dan diakitkan yang satu dengan yang lain sehigga melahirkan kaidah umum yang disebut qawid fiqhiyyah.Secara garis besarnya hubungan antara fiqih, ushul fiqih dan qawid fiqhiyyah bisa kita petakan sebagai berikut. Ketika kita menemukan sebuah nash yang ingin kita istinbath hukum yang terkandung dalam nash tersebut maka kita gunakan ushul fiqih sebagai metodologi fiqih. Dari sana maka lahirlah fiqih/hukum amaliyah dari nash tersebut. Kemudian hukum-hukum fiqih yang serupa tersebut dikumpulkan dan dikaitkan yang satu dengan yang lain sehingga melahirkan kaidah umum fiqih yang disebut qawid fiqhiyyah yang digunakan sebagai rujukan untuk diterapkan pada permasalahan yang serupa.Cabang-cabang ilmu fiqih islamDi atas telah disinggung mengenai karakteristik fiqih islam yang salah satu di antaranya ialah bersifat komprehensif. Hal tersebut terbukti dengan cakupan ilmu fiqih yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dari segi hukumnya. Semua kegiatan manusia mulai dari bangun tidur di pagi hari sampai tidur kembali di malam hari semuanya sudah terangkum dalam fiqih. Semua kegiatan manusia yang bersifat pemenuhan kebutuhannya sebagai individu dan sosial pun merupakan objek fiqih. Tidak hanya itu hatta konsep bernegara pun tidak luput dari perhatian fiqih.Sebagaimana yang dipaparkan Dr. Yusuf Qardhawi ketika menjelaskan tentang fiqih islam yang komprehensif meliputi segala aspek kehidupan manusia, ia mengatakan:Ilmu fiqih adalah suatu ilmu yang mengatur kehidupan seorang muslim, komunitas muslim, umat islam secara keseluruhan maupun dalam bentuk sebuah negara dengan hukum-hukum syariat. Baik itu yang mengatur hubungan manusia secara vertikal denga Tuhannya yang dikenal dengan sebutan fiqih ibadah. Atau yang mengatur hubungan manusia dengan pribadinya sendiri yang dikenal dengan adab tingkah laku atau etika. Atau yang mengatur individu dengan anggota keluarganya yang dikenal dengan sebutan fiqih usrah/ahwal syakhshiyah. Atau yang mengatur kehidupan manusia dengan sesamanya yang dikenal dengan sebutan fiqih muamalah. Atau yang berhubungan dengan kriminalitas dan sangsi hukumannya yang dikenal dengan sebutan fiqih jinai. Atau yang mengatur hubungan antara negara dengan rakyatnya yang dikenal dengan sebutan siyasah syariyyah. Atau yang mengatur tentang peperangan (pembelaan terhadap serangan musuh/jihad) yang termasuk ke dalam istilah alaqat dauliyah dan macam-macam fiqih lainnya.Dari paparan Yusuf Qardlawi tersebut disebutkan beberapa cabang ilmu fiqih yang kita kenal, seperti:Fiqih Ibadah: mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun mina al-Lh).Fiqih Muamalah: mengatur hubugan manusia dengan sesamanya (hablun mina al-ns).Fiqih Usrah/Ahwal Syakhshiyyah: mengatur hubungan manusia dengan keluarganya, seperti pernikahan (al-zawj), perceraian (al-thalq), dan lain sebagainya.Fiqih Jinai/Hudud: mengatur masalah kriminalitas dan sangsi hukumannya.Siysah Syariyyah: mengatur tentang kepemimpinan dalam bernegara. Al-Ahkm al Sulthniyyah adalah salah satu karya klasik yang khusus membahas tentang hal tersebut.Alqt Dauliyyah: mengatur hubungan satu negara dengan negara lain termasuk di dalamnya pembelaan diri dari serangan musuh. Dan lain sebagainya.Fiqih dan IjtihadIjihad secara etimologi mempunyai arti bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu. Sedangkan secara terminologi yang sering digunakan ulama ushul fiqih ialah usaha seorang faqh (ahli fiqih) dengan mencurahkan segala kemampuannya dalam mengeluarkan hukum dari dalil yang rinci.Di sini kita dapati bahwa fiqih merupakan hasil dari ijtihad, maka bisa disimpulkan bahwa no ijtihad no fiqih. Dengan demikian ijtihad mempunyai peranan yang sangat penting di dalam fiqih. Fiqih tidak akan terwujud jika tidak ada ijtihad. Karena fiqih merupakan usaha mujtahid dalam mengejewantahkan syariah sesuai dengan kondisi masyarakatnya melalui penelitiannya dalam memahami maksud sumber-sumber syariah (nash).Ijtihad sebagai sebuah proses berpikir tentu saja tidak akan terlepas dari pengaruh situsai dan kondisi yang ada. Situasi dan kondisi yang berbeda akan mengakibatkan hasil ijtihad yang berbeda pula padahal masih tentang permasalahan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa fiqih menerima perubahan. Sebagaimana yang kita bahas di atas bahwa fiqih merupakan hasil ijtihad, maka ketika terjadi perubahan situasi dan kondisi yang menyebabkan perubahan ijtihad hal itu akan ikut mempengaruhi perubahan fiqih sebagai hasil dari ijtihad. Dan hal ini sebagai bukti bahwa syariah islam shlihun likulli zaman wa makn. Karena fiqih merupakan aplikasi dari syariah tersebut.Tetapi tentu saja ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam berijtihad. Karena jika berpikir tanpa aturan tentu tidak akan menghasilkan sesuatu yang tertib dan teratur. Yang ada hanyalah kerusakan. Jika ijtihad tidak memiliki prinsip dan aturan yang jelas maka tidak mungkin menghasilkan fiqih yang saat ini terbukti sangat tertib dan rapi. Hal ini menunjukkan bahwa fiqih yang kita miliki saat ini sebagi hasil ijtihad para ulama pendahulu kita dihasilkan dari ijtihad yang memperhatikan prinsip dan aturan yang harus diperhatikan. Di sisi lain tanpa adanya prinsip dan kaidah dalam berijtihad akan membuka terjadinya huru hara dalam pemikiran islam. Semua orang akan menginterpretasikan nash dan mengaplikasikannya sesuai dengan keinginan dan kepentingan masing-masing dengan alasan sebagai hasil ijtihadnya. Tentu saja pintu tersebut harus ditutup rapat-rapat agar tidak terjadinya huru hara tersebut.Oleh karena itu para ulama telah membuat serangkaian prinsip dan kaidah yang harus diperhatikan dalam berijtihad agar tidak menghasilkan ijtihad yang menyimpang. Prinsip dan kaidah tersebut terbagi dua, ada yang berhubungan dengan pelaku ijtihad dan yang kedua berhubungan dengan proses ijtihadnya itu sendiri.Para ulama mensyaratkan bagi mereka yang akan melakukan ijtihad agar memnuhi syarat-syarat tersebut. Imam al-Syathibi (790 H) menyaratkan bagi para pelaku ijtihad, pertama harus menguasai kaidah linguistik bahasa Arab dan kedua memahami tujuan syariah secara menyeluruh (maqshid syarah).Namun para ulama lain lebih memperinci lagi syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid yang di antaranya ialah:Muslim dan adilDisyaratkan beragama islam karena ijtihad merupakan bagian dari ibadah, sedangkan syarat sahnya suatu ibadah adalah islam. Maka suatu kewajaran jika yang pertama kali disyaratkan bagi seorang mujtahid adalah islam.Dan yang dimaksud dengan adil di sini ialah mempunyai akhlak yang terpuji dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Karena tidak mungkin seseorang yang akan memberikan fatwa tentang hukum suatu perkara yang pada hakekatnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq adalah seorang pendosa. Hal tersebut tentu sama sekali bertentangan dengan pekerjaannya yang mulia.Menguasai al-QuranCukuplah bagi seorang mujtahid untuk mengetahui dan menguasai ayat-ayat ahkam yang menurut hitungan para ulama ada sekitar 500 ayat. Dan tidak disyaratkan hafal seluruh al-quran di luar kepala.Menguasai Sunnah Nabi Saw.Tidak berbeda dengan syarat yang kedua, yang dimaksud dengan menguasai Sunnah Nabi adalah menguasai dan memahami hadits-hadits ahkam baik secara linguistik maupun maksudnya. Dan mengetahui literatur-literatur hadits yang biasa dijadikan referensi sehingga dengan mudah baginya untuk merujuk dengan cepat kepada literatur tersebut ketika menghadapi suatu permasalahan.Mengetahui nsikh dan manskh baik di dalam al-Quran maupun SunnahHal tersebut untuk menghindari dari pengamalan suatu hukum yang sudah tidak diberlakukan lagi baik dalam al-Quran maupun Sunnah (manskh).Mengetahui permasalahan-permasalahn yang sudah ijmaKarena dengan mengetahui hal tersebut agar terhindar dari berijtihad pada suatu perkara yang sebenarnya sudah menjadi ijma. Sehingga hal itu hanya membuang waktu dan tenaga saja.Mengetahui qiys dan permasalahannyaYaitu dengan mengetahui sebab (illah) suatu hukum yang dijadikan sandaran lahirnya hukum tersebut untuk dijadikan rujukan dalam menentukan permasalahan yang sama (menganalogikannya).Menguasai kaidah linguistik bahasa ArabSebagai perangkat untuk memahami nash-nash yang dijadikan sumber hukum. Karena nash-nash tersebut sebagaimana telah kita ketahui bersama diturunkan dengan bahasa Arab. Maka sudah menjadi keharusan ketika ingin memahami maksud suatu nash, pertama kali yang dilakukan adalah memahaminya dulu dari segi bahasanya.Menguasai ushul fiqihKarena ushul fiqih merupakan metodologi fiqih yang dijadikan sandaran dalam mengeluarkan suatu hukum dari nash-nash yang menjadi sumber hukum tersebut.Mengetahui maqashid syariahYaitu mengetahui apa saja yang menjadi dharuri (primer), hajiyat (sekunder), dan tahsiniyat (suplementer) bagi manusia. Karena tujun diturunkannya syariat ini adalah untuk kemashlahatan manusia dan bukan sebaliknya.Memiliki metodologi berpikir yang benarDalam artian menguasai kaidah berpikir yang benar atau yang lebih dikenal dengan ilmu manthiq. Agar bisa membuat kongklusi dengan benar dari premis-premis yang ada.Selanjutnya prinsip-prinsip yang harus diperhatikan yang berkaitan dengan kegiatan ijtihadnya itu sendiri. Di antaranya ialah:Memperhatikan lapangan ijtihadKarena tidak semua bisa dijadikan lapangan ijtihad. Ada beberapa hal dalam syariah islam yang tidak boleh adanya intervensi akal menusia. Oleh karena itu para ulama menentukan bahwa lapangan ijtihad hanya berkisar pada permasalahan yang tidak diterangkan di dalam nash maupun ijma dan permasalahan yang diterangkan di dalam nash namun masih bersifat samar maksudnya (zhannyu dillah).Memperhatikan nash muhkamt dan mutasybihtAgar tidak terjebak oleh orang-orang yang ingin mempermainkan syariah islam dengan mengotak-atik nash muhkamat dirubah menjadi mutasyabihat yang menerima multi interpretasi. Sehingga hal-hal yang sudah jelas duduk perkaranya dan tidak bisa ditawar-tawar lagi menjadi samar dan bisa ditafsirkan dengan pemahaman lain sesuai dengan kehendak dan kepentingan masing-masing.Jika ayat-ayat muhkamat ini sudah dipermainkan maka tidak ada lagi standar kebenaran yang absolud pada nash karena semuanya menjadi relatif.Memperhatikan yang qath dan zhannSeorang mujtahid harus memperhatikan nash itu apa adanya, jika nash yang datang dengan sifat qath maka harus tetap dianggap qath sehingga tidak boleh dirubah atau ditafsirkan lain. Namun jika nash tersebut bersifat zhann maka harus tetap dianggap zhann sehingga bisa ditafsirkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada agar tercapainya kemashlahatan yang menjadi tujuan diturunkannya syariah tersebut.Dan jangan sebaliknya hal yang qath (sudah pasti hukumnya) diberlakukan seperti yang zhann sehingga diotak-atik seenaknya sehingga hal yang sudah pastipun disamarkan dan yang absolud pun menjadi relatif. Demikian juga yang zhann diberlakukan seperi yang qath sehingga nash tersebut dipahami begitu kaku yang pada akhirnya melahirkan kesulitan dan keberatan bagi yang akan mangamalkannya.4. Tidak terpengaruh oleh tekanan realitasRealitas umat islam sekarang janganlah sampai mempengaruhi hasil ijtihad. Ijtihad jangan dijadikan alat pelegitimasi realitas yang ada saat ini. Di mana umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang menyedihkan. Hilangnya persatuan, kepemimpinan, terjajah, tertinggal dan keterpurukan lainnya. Tetapi justru ijtihad harus bersih dari tekanan realitas tersebut dan bukan sebaliknya malah mengikuti tekanan realitas tersebut. Sehingga ijtihad yang dihasilkan malah melegitimasi realitas umat islam yang sedang terpuruk saat ini. Walaupun ijtihad itu harus memperhatikan situasi dan kondisi umat, namun bukan berarti harus tunduk pada realitas yang ada. Ijtihad harus tetap bersifat idealis dan tidak menyerah pada realitas.5. Memperhatikan inovasi yang berkembangTidak semua yang baru dan asing itu harus dijauhi, sekiranya ada manfaat dan mashlahat yang bisa diambil kenapa tidak. Itulah yang harus diperhatikan oleh seorang mujtahid. Dengan demikian seorang mujtahid harus bisa membedakan mana yang pokok (ushl) dan mana yang cabang (fur). Pada yang ushl dia harus bersikap tegas untuk mempertahankannya karena itulah standar kebenaran syariah ini. Sedangkan pada yang fur seorang mujtahid bisa bersikap inovatif dengan melihat perkembangan zaman dan memperhatikan kebutuhan umat.6. Memperhatikan syarat menjadi seorang mujtahidHarus dibedakan mana ijtihad yang salah dan mana ijtihad yang benar. Dan hal itu tentu saja dengan memperhatikan apa saja yang harus dikuasai seseorang sehingga ia layak untuk berijtihad. Karena hadits Nabi yang menerangkan tentang ijtihad yang benar mendapatkan dua pahala sedangkan yang salah hanya satu pahala, hal itu tidak berlaku untuk semua orang. Karena jika demikian akan terjadi kekacauan pemikiran. Semua orang bisa menentukan sendiri semua hukum sesuai dengan kehendak dan kepentingannya masing-masing. Tetapi yang dimaksud hadits tersebut adalah yang memang layak untuk berijtihad karena mempunyai kemampuan yang menunjang untuk itu. Maka ketika ijtihadnya itu salah maka tetap ia mendapatkan satu pahala karena usahanya itu.Dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut Insya Allahakan dihasilkan sebuah ijtihad yang benar atau minimalnya mendekati kebenaran. Dan terhindar dari ijtihad yang serampangan yang hanya bertujuan untuk memenuhi kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja.FLEKSIBILITAS FIQIH ISLAM

Fleksibilitas dipahami sebagai sifat lentur dan mudah menyesuaikan diri dengan unsur lain yang ada di sekitarnya.[1]Fleksibilitas hukum Islam berarti kelenturan hukum Islam dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada di masyarakat. Kondisi masyarakat yang terus berubah menjadikan hukum Islam harus mampu menjawab berbagai persoalan yang muncul, terutama berkaitan dengan masalah-masalah kontemporer yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu fleksibilitas hukum Islam juga dihadapkan dengan berbagai permasalahan baru yang dihadapi oleh hukum Islam karena kondisi waktu dan tempat yang berbeda-beda.Jika pada awal kemunculannya hukum Islam dihadapkan pada adat kebiasaan masyarakat Arab, maka ketika Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia hukum Islam berhadapan dengan adat dari berbagai suku bangsa di dunia. Adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat menguji bagaimana sifat hukum Islam yang fleksibel dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitarnya.Beberapa kaidah yang telah dirumuskan oleh ahli hukum Islam menunjukan bagaimana sifat dari hukum Islam yang fleksibel, diantaranya adalah: Hukum itu berputar bersamaillat(sebab)-nya, ada dan tidaknya.Hukum itu akan senantiasa ada bersama dengan adanya sebab, jika sebab itu sudah tidak ada maka hukum tersebut tidak lagi ada. Ini berkaitan dengan hukum yang berkaitan dengan sebab-musabab suatu kejadian entah itu waktu ataupun tempat. Kaidah fiqhiyah lainnya menyebutkan: Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum lantaran berubahnya masa.Kaidah ini sebagai penguat dari kaidah sebelumnya bahwa perubahan waktu itu akan mempengaruhi perubahan hukum. Selain hukum, fatwapun bisa berubah dengan perubahan zaman, sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah: Tidak dapat diingkari adanya perubahan fatwa lantaran berubahnya masa.Fatwa sebagai hasil dari ijtihad seorangmuftiuntuk menjawab suatu permasalahan umat dihasilkan dariistidlal al-ahkamdari nash al-Quran dan al-Hadits. Jika tidak ditemukan pada keduanya maka didasarkan kepada metode ijtihadnya, dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah waktu, tempat, keadaan dan adat kebiasaan di wilayah tersebut. Sebagaimana dalam sebuah kaidah dirumuskan: Perubahan fatwa terjadi dengan berubahnya zaman, tempat, keadaan, dan adat kebiasaan.Para ahli hukum Islam selanjutnya mengembangkan kaidah ini dengan menambahkan adanya unsure niat dan individu yang meminta fatwa: Perubahan fatwa terjadi dengan berubahnya zaman, tempat, keadaan, individu, niat dan adat kebiasaan.Berdasarkan kaidah tersebut maka sejatinya hukum Islam akan fleksibel dalam menghadapi berbagai keadaan masyarakat. Selain adanya nash-nash hukum yang menunjukan kelenturan hukum Islam, perkembanganfiqhdi beberapa wilayah juga menunjukan bahwa hukum Islam sangat fleksibel dengan keadaan masyarakat. Sebagai contoh corak hukum Islam di Saudi Arabia akan berbeda dengan corang hukum Islam yang ada di mesir, Sudan, Afganistan, Pakistan dan Indonesia.Adanya perbedaan hukum bukan menunjukan bahwa hukum Islam tidak konsisten, sebaliknya dalam ranahfiqhmaka Islam memberikan toleransi yang tinggi untuk dilaksanakan sesuai dengan keadaan masyarakat di mana hukum Islam dilaksanakan. Jika selama ini muncul satu opini bahwa antara hukum Islam dan adat kebiasaan masyarakat selalu bertentangan maka berdasarkan karakteristik dari hukum Islam yang fleksibel seharusnya hal tersebut bisa diminimalisir.Pertanyaan selanjutnya apakah hukum yang fleksibel itu pada keseluruhan hukum Islam atau hanya pada hukum yang bersifatdzanny? Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perubahan hukum dapat terjadi pada seluruh bidang hukum Islam baik yang bersifatqathiataupun yangdzanny. Subhi Mahmasani berpendapat bahwa hukum yang bisa berubah adalah hanya yang berkaitan dengan hukumdzannyyang dipengaruhi oleh adat kebiasaan dan hukum yang bersumber dari negara.

Hukum Islam: Antara Ketegaran dan Kelenturan(telaah kritis terhadap keabsahan urf sebagai dasar pengambilan Keputusan hukum)Hukum Islam menempati posisi diantara syariat wadhiyah (aturan produk manusia) dan syariat samawiyah (ketentuan-ketentuan Agama samawi) sebelum Islam. Syariat samawiyah selain Islam secara umum berwatak tegas, tegar dan konstan. Ini sangat logis dan masuk akal, karena Agama-Agama itu dikhususkan kepada suatu komunitas tertentu disuatu tempat tertentu dan waktu tertentu. Jadi bersifat lokal dan temporal. Yang tidak masuk akal ialah bila ketegasan dan ketegaran itu berubah menjadi kekakuan dan kebekuan yang melampaui batas ketika menghadapi perkembangan zaman dan persoalan-persoalan baru, seperti kemajuan ilmu pengetahuan, sistematisasi ilmiah dan kebebasan berfikir.Bahwa ketegasan dan ketegaran syariat menjelma menjadi kebekuan dan kekakuan bahkan kekerasan benar-benar telah menjadi fakta sejarah. Sebagai salah satu buktinya, penulis kemukakan disini reaksi keras dalam bentuk kutukan dan hukuman dari dewan Gereja Romawi kepada Copernicus, seorang astronomer besar abad 16 (tahun 1530 M) gara-gara salah satu teorinya di bidang astronomi yang dianggap bertentangan dengan Agama Kristen, yaitu bahwa bumi ini bergerak dan berputar mengelilingi porosnya dari Barat ke Timur.[1]Kebalikan dari itu adalah syariat wadhiyah. Sebagai aturan dan ketentuan yang murni produk pemikiran manusia, syariat wadhiyah memiliki kelenturan dan elastisitas yang tidak terbatas; gampang berubah, ditambah dan dikurangi. Bahkan undang-undang dasar yang merupakan induk aturanaturan hukum tidak luput dari coretan pena Pemerintah yang sedang berkuasa atau dewan revolusi atau parlemen terpilih. Dampaknya rakyat tidak memiliki ketentraman hukum dan kepastian terhadap kaidah-kaidah hukum tertentu.Syariat Islam yang dikehendaki oleh Allah SWT. untuk menjadi pegangan hidup bagi seluruh umat manusia di segala tempat dan waktu tampil dengan dua dimensi secara bersama-sama, yakni ketegaran dan kelenturan. Islam lahir dalam bentuknya yang sempurna dan tahapnya yang final. Hal ini dinyatakan di dalam al-Quran surah al- Midah ayat 3 : Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu Agamamudan telah kucukupkankepadamu nimatku dan telah kuridhoi Islam itu menjadi AgamamuSempurna dan final disini bukan berarti tidak ada aktifitas lagi bagi kaum muslimin terkait persoalan syariat Agamanya. Justru dibalik kesempurnaan dan finalitas Agama Islam bersembunyi fitalitas yang tidak ada habisnya dan aktifitas yang tidak ada akhirnya, suatu hal yang membuat perkembangan hukum Islam menjadi sangat semarak.Dengan perpaduan antara sifat tegar dan lentur, syariat Islam menjadi syariat yang unik ia bukan sesuatu yang cair yang mudah terhanyut dan bukan sesuatu yang beku yang selalu menentang arus. Ia adalah sesuatu dengan bergoyang yang penuh keseimbangan antara dua sifat tersebut.Adanya perpaduan antara ketegaran dan kelenturan di dalam hukum Islam tidak bisa dipisahkan dari kebijakan al-Quran sebagai acuan utama syariat Islam, yang tidak selalu memberikan aturan secara langsung melalui ayat-ayat juziyyah, melainkan sebagian besar ketentuan hukum Islam yang diyakini sangat syamil dan kamil acuan al-Qurannya berupa ayat-ayat kulliyah (global). Sementara ayat-ayat yang masuk dalam kategori juziyyah tidak seluruhnya memberi aturan tegas dan pasti ( ), akan tetapi banyak di antaranya yang membuka peluang adanya multi penafsiran ( ).MEKANISME PENAFSIRAN dan PENJABARANAyat-ayat al-Quran yang berkategori kulliyah dan ayat-ayat juziyyah yang berkategori dhanniyah sudah barang tentu memerlukan penjabaran dan penafsiran. As-Sunnah sebagai acuan kedua syariat Islam telah ditunjuk oleh al-Quran untuk menjadi penafsir dan penjabar utamanya, selain tugasnya untuk menetapkan hukum yang tidak ditetapkan di dalam al-Quran. As-Sunnah sendiri ternyata mengikuti jejak al-Quran di dalam menampilkan Hadits-Haditsnya. Maksudnya nash-nash Hadits ada yang kulli di samping yang juziy dan ada yang dhanny disamping yang qathiy. Nash-nash yang juziy qathiy dari al-Quran dan As-Sunnah melahirkan hukum-hukum yang tegar dan tegas, sementara nash-nash yang kully dan dhanny menjadi sumber hukum-hukum yang lentur dan berpotensi untuk dikembangkan.Nash-nash kully menjadi sumber utama lahirnya kelenturan dan semaraknya perkembangan hukum Islam bisa diklasifikasi sebagai berikut:1. Nash-nash mujmal, seperti ayat-ayat yang memberikan ketentuan langsung tentang suatu persoalan dengan tidak memberikan rincian tentang syarat, rukun dan tata caranya. Seperti ayat-ayat tentang shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain. Ayat-ayat seperti ini hanya As-Sunnah yang dapat menjelaskannya. Dan sejauh apa yang sudah dijelaskan oleh As-Sunnah, kaum muslimin telah bisa mengamalkannya.2. Nash-nash kully yang berisi penjelasan tentang keabsahan dan kehujjahan dalil- dalil cabang ( ), seperti nash-nash yang menjelaskan kehujjahan ijma, qiyas, urf dan sebagainya. Dengan kehadiran dalil-dalil sekunder ( ) seperti ini hukum Islam mampu menembus dan menerobos segala macam perkembangan kehidupan di segala zaman dan tempat.3. Nash-nash kully yang berwujud qaidah-qaidah kulliyah, yakni patokan-patokan umum yang bisa menjadi acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah fariyah yang tidak terbatas jumlahnya, seperti beberapa contoh dibawah ini: : 78Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam Agama -: 185Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu -:286Allah tidak membebani seseorang kecuali apa yang menjadi kesanggupannya Sesungguhnya jual beli harus atas dasar rela sama rela Tidak boleh menyakiti/membahayakan diri sendiri dan orang lain0. Nash-nash yang berisi penjelasan maqashid al-syariah.Di dalam al-Quran banyak ayat-ayat yang berisi penjelasan bahwa ketentuan-ketentuan hukum dalam Islam ada tujuan-tujuan ideal yang hendak dicapai, juga banyak ayat-ayat yang berisi pernyataan bahwa Islam adalah petunjuk, obat dan rahmat. Dari itu semua para ulama sampai pada sebuah kesimpulan bahwa syariat Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan () bagi umat manusia, secara dhahir batin, dunia akhirat.Maslahah pada asalnya berarti kebaikan dan keuntungan. Akan tetapi maslahah yang bisa dijadikan dasar penetapan hukum bukan semata apa yang menurut penilaian manusia baik dan menguntungkan. Tentang apa yang dimaksud maslahah disini, kita banyak mendapat penjelasan dari Fuqaha dan Ushuliyyun. Al-Ghazali di dalam al-Mustashfa menjelaskan bahwa maslahah adalah terpeliharanya tujuan syara, yakni terpeliharanya Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maka setiap hal yang menjamin terpeliharanya lima dasar pokok tersebut adalah maslahah dan setiap hal yang mendorong terabaikannya lima dasar tersebut adalah mafsadah, sedang menolaknya menjadi maslahah.[2] Asy-Syathibi di dalam al-Muwafaqat mengatakan sebagai berikut:Maslahah yang mutabarah indassyari adalah maslahah yang menjadi pendorong tegak dan stabilnya kehidupan dunia untuk persiapan hidup di akhirat. Hal ini tentu hanya bisa diketahui dengan jalan mengikuti petunjuk-petunjuk yang digariskan oleh syari yang mengetahui maslahah itu.[3]Dengan mempertimbangkan unsur maslahah atau mafsadah yang melekat dengan perbuatan manusia, dalam hal-hal tertentu kita dapat menentukan status hukum perbuatan itu, meski tanpa ada acuan langsung dari al-Quran dan As-Sunnah atau dalil-dalil lain.Prinsip mewujudkan maslahah sebagai tujuan syariat mengandung konsekwensi dan implikasi yang amat luas, karena di atas prinsip ini terbangun beberapa kaidah ushuliyah, yaitu kaidah istihsan, kaidah syadduz dzariah dan keharusan memperhatikan urf (tradisi) manusia. Yang disebutkan terakhir ini kami jadikan fokus pembahasan dalam makalah sederhana ini.URF DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM ISLAMSelain merupakan konsekwensi dari prinsip mewujudkan maslahah, keniscayaan memperhatikan urf juga mendapatkan penunjukan langsung dari nash, misalnya firman Allah: Dan sebuah Hadits yang dimauqufkan kepada Ibnu Masud: Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka baik menurut Allah dan sesuatu yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka buruk pula menurut Allah . Urf dalam istilah ahli hukum Islam ialah hal-hal yang diketahui bersama dan dijalani bersama oleh manusia berupa ucapan, perbuatan atau ketiadaan berbuat.[4]Pada umumnya mereka tidak membedakan urf dengan adat, namun ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa urf dan adat merupakan dua istilah yang berbeda mafhumnya tapi sama mshadaqnya.[5]Maksudnya urf dan adat mempunyai akar kata yang berbeda, urf berasal dari kata atau yang berarti pengetahuan. Sedangkan adat berasal dari kata yang berarti pengulang-ulangan, akan tetapi apa yang disebut urf dalam waktu yang sama disebut adat dan apa yang disebut adat dalam waktu yang sama disebut urf.Ulama ushul membagi urf kepada dua bagian; urf qauli (berupa ucapan) seperti kata Mutakallim secara lughawi berarti orang yang berbicara, secara urfi berarti orang yang ahli ilmu kalam dan urf amali (berupa perbuatan) seperti tradisi bai al- muatahah (jual beli tanpa ijab qabul). Baik yang qauli maupun yang amali, urf terbagi kepada urf khsh (urf yang berlaku di ruang lingkup yang sempit) dan urf m (urf yang berlaku di ruang lingkup yang luas). Ditinjau dari segi absah tidaknya dalam pandangan syara urf dibagi kepada urf fsid, yaitu urf yang bertentangan dengan ketentuan nash atau salah satu kaidah Syariat dan urf shahih, yaitu urf yang tidak bertentangan dengan ketentuan nash dan kaidah Syariat. urf yang disebut terakhir inilah yang bisa dijadikan dasar penetuan hukum, sedang urf yang fsid harus diubah dan dirombak.Dunia ini banyak menyaksikan urf dan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan urf terjadi karena perbedaan waktu, tempat dan kepentingan manusia. Hukum Islam yang dibangun di atas petimbangan urf bisa berubah mengikuti perubahan urf itu sendiri. Memang unik, syariat Islam yang punya misi merombak tradisi dan budaya manusia dalam waktu yang sama menjadikan tradisi itu sebagai salah satu acuannya di dalam menentukan hukum.Kitab-kitab fiqh dari berbagai madzhabnya sarat dengan produk hukum yang dibangun di atas pertimbangan urf, yang oleh karenanya mempunyai potensi untuk berubah bila urf yang menjadi pertimbangannya sudah berubah. Menghadapi realitas seperti ini, kita tidak boleh terlalu takut, tapi juga tidak boleh terlalu berani, harus bijak, tanggap, tidak apriori, tidak liberal, tetapi tidak konservatif, tidak terlalu cair yang sebentar-sebentar mau mengubah hukum dan tidak terlalu beku yang selalu pasang badan untuk menghadang setiap perubahan dengan dalih untuk menjaga kemurnian Islam. Sikap kaku seperti ini, meski dengan niatan yang baik belum tentu memberi manfaat, malah justru bisa membawa mudlarat dan mencoreng keindahan Agama itu sendiri. Barang kali ada gunanya, penulis kemukakan komentar para ulama tentang persoalan ini sebagai berikut : Komentar al-Qarafi : .[6]Tetap memberlakukan hukum-hukum yang didasarkan pada tradisi, sementara tradisi itu sudah berubah adalah menyalahi ijma dan merupakan kebodohan dalam Agama. Komentar dari Ibnu al-Qayyim : .[7]Sikap jumud dengan terus bertahan dengan nukilan-nukilan adalah kesesatan dalam Agama dan ketidakfahaman terhdap maksud tujuan ulama kaum muslimin dan para salaf zaman lalu. Komentar dari Ibnu Abidin : [8].Mufti tidak boleh beku dengan (hanya menerima) apa yang dinukil di dalam kitab-kitab dhahir al-Riwayah, tanpa memperhatikan zaman dan manusia zaman itu. Kalau ini terjadi, maka akan banyak hak yang ia korbankan dan mudlaratnya lebih besar dari manfaatnya.Sebagai contoh, penulis kemukakan berikut ini beberapa produk hukum di dalam kitab-kitab fiqh yang dibangun di atas dasar urf :1. Di antara shighat jual beli murabahah ialah perkataan bi : dengan shighat ijab seperti ini, maka musytari selain harus membayar harga mab, juga harus membayar semua beban biaya yang dikeluarkan oleh bi, seperti ongkos tukang takar, makelar, penjaga, pemutih kain, pencelup kain, dan semua pembiayaan yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan.[9]Mengomentari masalah ini, al-Qarafi berkata : Rincian ini secara bahasa tidak dapat dipahami dari perkataan . Namun, jual beli ini bisa sah dengan menggunakan ibarat ini, kalau memang secara adat memberi pemahaman demikian, sehingga harga barang menjadi malum. Dalam urf zaman sekarang pemahaman seperti ini sudah tidak ada lagi, di pasar-pasar manusia sudah tidak lagi bertransaksi dengan menggunakan ibarat ini, sehingga harga barang tidak diketahui (majhul). Oleh karena itu, apa yang ada dalam kitab tentang sahnya jual beli tersebut tidak boleh difatwakan karena tradisinya sudah berubah.[10]1. Ulama Mutaakhkhirin dari kalangan Hanafiyah membolehkan pengajar al-Quran, imam shalat dan para muadzdzin memungut bayaran. Ini berbeda dengan pendapat ulama pendahulu mereka, yaitu Abu hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan yang sepakat tidak membolehkan hal tersebut. Perbedaan dalam soal ini antara Mutaqaddimin dan Mutaakhkhirin terjadi karena perbedaan urf disebabkan perbedaan zaman. Di zaman Mutaqaddimin, para muallim, imam, dan muadzdzin mendapat kucuran rizqi dari negara yang cukup untuk kebutuhan hidup, sehingga mereka bisa berkonsentrasi melaksanakan wadhifah sebagai muallim, imam, dan muadzdzin. Sedangkan di zaman muataakhkhirin, kucuran rizqi seperti itu sudah tidak ada lagi, sehingga kalau memungut bayaran tidak dibolehkan dikahwatirkan tugas-tugas penting tersebut tidak ada yang melaksanakan.[11]2. Ada keterangan di dalam kitab al-Mudawwanah karangan Imam Malik begini ; Bila seseorang berkata kepada isterinya yang sudah pernah didukhul, atau atau atau , maka terjadilah talak tiga meskipun dia tidak berniat talak tiga. Secara lughawi, shighat-shighat tersebut tidak menunjukkan arti talak, apalagi talak tiga, akan tetapi dalam urf saat itu, lafadz-lafadz tersebut dikenal memiliki tiga makna urfi, yaitu : pertama, lafadz tersebut bermakna insya bukan sebagai khabar. Kedua, makna lepasnya perlindungan terhadap perempuan sebgai isteri, ketiga, makna bilangan tiga. Dalam perkembangan berikutnya, ketiga makna urfi tersebut, terlepas semuanya dari lafadz-lafadz itu, sehingga yang tertinggal adalah makna lughawinya yang tidak punya konsekuensi apa-apa. Di dalam mengomentari masalah ini, al-Qarafi menyatakan bahwa pada masanya, orang-orang tidak lagi menggunakan shighat-shighat tersebut untuk keperluan talak dan tidak terdengar ada seseorang yang hendak mentalak isterinya menyatakan atau . Namun al-Qarafi mengakui bahwa kata dalam urf di masanya tetap punya makna lepasnya perlindungan. Dengan demikian, lafadz ini menunjukkan talak satu.[12]3. Tentang zakat tanah pertanian yang disewakan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa beban kewajiban zakat pada tanah yang disewakan berada di atas pundak mujir (orang yang menyewakan), alasannya ialah bahwa zakat merupakan beban kepemilikan, sedang kepemilikan atas tanah di sini ada di tangan mujir. Namun kemudian, Abu yusuf dan muhammad bin Hasan memfatwakan pandangan yang berbeda. Menurut dua Imam ini, yang berkewajiban membayar zakat adalah mustajir (orang yang menyewa), alasannya dua; pertama, bahwa ini lebih baik bagi kondisi zaman ketika itu, lebih banyak faedahnya, dan lebih manjur bagi pemberantasan kemiskinan. Kedua, bahwa zakat iu diambil dari tanaman, maka tidak bisa dipisahkan dari mustajir sebagai pemilik tanaman.[13]Hukum Islam akan terus mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan situasi dan tradisi. Berikut ini penulis kemukakan beberapa contoh fiqh kontemporer yang perumusannya tidak terlepas dari pengaruh situasi dan tradisi masyarakat (urf) sebagai berikut;1. Pada umumnya Fuqaha mewajibkan adanya ijab dan qabul di dalam setiap akad jual beli, alasannya ijab dan qabul merupakan satu-satunya qarinah yang mengindikasikan adanya taraddi (rela sama rela) yang dipandang sebagai prinsip yang tidak bisa ditawar dalam akad jual beli ( ). Sekarang ini ada praktek jual beli dengan mengunakan koin. Dalam akad jual beli model ini yang ada hanya musytari, sementara bi cukup diwakili alat elektronik, tempat memasukkan koin. Jika tindakan bi dengan menyiapkan barang jualan berikut alat elektronik, tempat memasukkan koin, dan tindakan musytari dengan memasukkan koinnya ke dalam alat yang disiapkan oleh bi telah menjadi urf masyarakat, sekaligus menjadi qorinah yang mengindikasikan adanya taraddi dari kedua belah pihak maka jual beli model ini adalah sah.2. Dalam persoalan , pada umumnya ulama ushul berkesimpulan bahwa hukum harus dikaitkan dengan illat () bukan dengan hikmah (). Atas dasar ini, maka semua kendaraan yang lalu dijalan raya harus berhenti ketika lampu merah yang ada di jalan raya dalam keadaan menyala, termasuk di saat-saat kondisi lalu lintas sangat lengang seperti ketika larut malam, karena wajib tidaknya kendaraan berhenti dikaitkan dengan menyala tidaknya lampu merah sebagai illat, bukan dengan khawatir tidaknya terjadi tabrakan sebagai hikmah. Akan tetapi bila di suatu daerah berlaku sebuah urf, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan penegak hukum bahwa semua kendaraan berjalan terus meski lampu merah sedang menyala pada saat waktu telah larut malam, maka sepanjang urf berjalan seperti itu, para pengendara yang tidak mengikuti petunjuk lampu merah tersebut tidak boleh dihukum.3. Banyak cara yang dilakukan orang untuk memenuhi keperluan hidupnya, diantaranya dengan meminjam sejumlah uang sambil menyerahkan sawah atau kebun sebagai jaminan. Pada umumya, pihak penerima gadai () memanfaatkan barang gadai itu atau mengambil hasilnya, ini dilakukan bukan karena ada syarat atau perjanjian antara penggadai () dan penerima gadai, melainkan karena telah menjadi tradisi. Kaidah fiqhiyah yang konon didukung oleh jumhur fuqaha menyatakan tradisi yang berlaku umum di suatu daerah tidak berstatus sama dengan syarat/ perjanjian. Dengan demikian pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai adalah boleh,[14]meskipun sesungguhnya sangat eksploitatif dan mencekik. Suatu hal mesti diperhatikan adalah adanya urf lain yang tidak terpisah denganurf di atas. urf ini berkenaan dengan pemahaman masyarakat tentang hutang piutang dan gadai. Masyarakat sekarang memahami pemberian pinjaman dengan suatu jaminan (sawah atau kebun) sebagai salah satu cara mendapatkan keuntungan, bukan sebagai sarana untuk membantu orang yang memerlukan pinjaman. Maka dengan realitas ini dan dengan adanya unsur eksploitasi yang mencekik, penulis berpendapat bahwa pemanfaatan barang gadai oleh murtahin tidak boleh.4. Seandainya saya ditanya: bolehkah perempuan menjadi Presiden di negeri ini. Pasti saya menjawab: boleh, dasarnya sekurang-kurangnya ada dua. Pertama , yakni bahwa urf negara Indonesia yang berbentuk Republik berbeda dengan urf kerajaan Persi yang menjadi latar belakang (sabab al-wurud) munculnya Hadits: . Seorang presiden di Republik ini tidak menjadi satu-satunya penentu kebijakan negara, berbeda dengan seorang Raja atau Ratu di suatu negara Kerajaan seperti Persi. Kedua, yakni bahwa tampilnya perempuan sebagai Presiden di negara ini tidak masuk dalam cakupan keumuman Hadits tersebut, karena kata pada Hadits di atas bermakna menyerahkan sepenuhnya sesuai dengan riwayat lain yang menggunakan kata yang bermakna menyandarkan. Dengan demikian, tidak memasukkan kasus ini kedalam cakupan Hadits di atas tidak menyimpang dari kaidah: .Prinsip Dasar Fiqh MuamalahPrinsip Dasar Fiqh MuamalahSebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut;Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan).Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat syariat dari-Nya.Allah berfirman: Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah? (QS.Yunus:59). Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang.Konsen Fiqh Muamalah untuk Mewujudkan KemaslahatanFiqh muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. Ibnu Taimiyah berkata: Syariah diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, mengeliminasi dan mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa pilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat, dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil .Menetapkan Harga yang KompetitifMasyarakat sangat membutuhkan barang produksi, tidak peduli ia seorang yang kaya atau miskin, mereka menginginkan konsumsi barang kebutuhan dengan harga yang lebih rendah. Harga yang lebih rendah (kompetitif) tidak mungkin dapat diperoleh kecuali dengan menurunkan biaya produksi. Untuk itu, harus dilakukan pemangkasan biaya produksi yang tidak begitu krusial, serta biaya-biaya overhead lainnya.Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar), karena hal ini berpotensi menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen. Rasulullah SAW bersabda: Orang yang men-supply barang akan diberi rizki, dan orang yang menimbunnya akan mendapat laknat dalam hadits lain Rasul bersabda: Sejelek-jelek hamba adalah seorang penimbun, yakni jika Allah (mekanisme pasar) menurunkan harga, maka ia akan bersedih, dan jika menaikkannya, maka ia akan bahagia .Di samping itu, Islam juga tidak begitu suka (makruh) dengan praktik makelar (simsar), dan lebih mengutamakan transaksi jual beli (pertukaran) secara langsung antara produsen dan konsumen, tanpa menggunakan jasa perantara. Karena upah untuk makelar, pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Untuk itu Rasulullah melarang transaksi jual beli hadir lilbad , yakni transaksi yang menggunakan jasa makelar.Imam Bukhari memberikan komentar bahwa praktik ini akan dapat memicu kenaikan harga yang hanya akan memberatkan konsumen. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: Janganlah kalian melakukan jual beli talaqqi rukban yakni, janganlah kalian menjemput produsen yang sedang berjalan ke pasar di pinggiran kota, kalian membeli barang mereka dan menjualnya kembali di pasaran dengan harga yang lebih tinggi.Meninggalkan Intervensi yang DilarangIslam memberikan tuntunan kepada kaum muslimin untuk mengimani konsepsi qadla dan qadar Allah (segala ketentuan dan takdir). Apa yang telah Allah tetapkan untuk seorang hamba tidak akan pernah tertukar dengan bagian hamba lain, dan rizki seorang hamba tidak akan pernah berpindah tangan kepada orang lain. Perlu disadari bahwa nilai-nilai solidaritas sosial ataupun ikatan persaudaraan dengan orang lain lebih penting daripada sekedar nilai materi. Untuk itu, Rasulullah melarang untuk menumpangi transaksi yang sedang dilakukan orang lain, kita tidak diperbolehkan untuk intervensi terhadap akad atau pun jual beli yang sedang dilakukan oleh orang lain. Rasulullah bersabda: Seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas jual beli yang sedang dilakukan oleh saudaranya .Menghindari EksploitasiIslam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, dimana Rasulullah bersabda: Sesama orang muslim adalah saudara, tidak mendzalimi satu sama lainnya, barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan barang siapa membantu mengurangi beban sesama saudaranya, maka Allah akan menghilangkan bebannya di hari kiamat nanti .Semangat hadits ini memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi sesama saudara muslim yang sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara menaikkan harga atau syarat tambahan yang memberatkan. Kita tidak boleh memanfaatkan keadaan orang lain demi kepentingan pribadi. Untuk itu, Rasulullah melarang melakukan transaksi dengan orang yang sedang sangat membutuhkan (darurat) , Allah berfirman: dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangan (QS. Al Araf:85).Memberikan Kelenturan dan ToleransiToleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingin direalisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisa dipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatan lainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan dengan memper-mudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang terkait. Karena, Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang mempermudah dalam transaksi jual beli.Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa diberikan kepada debitur yang sedang mengalami kesulitan finansial, karena bisnis yang dijalankan sedang mengalami resesi. Melakukan re-scheduling piutang yang telah jatuh tempo, disesuaikan dengan kemapanan finansial yang diproyeksikan. Di samping itu, tetap membuka peluang bagi para pembeli yang ingin membatalkan transaksi jual beli, karena terdapat indikasi ke-tidak-butuh-annya terhadap obyek transaksi (inferior product).Jujur dan AmanahKejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip ini dalam kehidupan. Seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan lipstick kebohongan dalam bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahan dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan.Kejujuran tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak memiliki nilai keimanan yang kuat. Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa ia selalu dalam kontrol dan pengawasan Allah SWT. Dengan kata lain, hanyalah orang-orang beriman yang akan memiliki nilai kejujuran. Untuk itu, Rasulullah memberikan apresiasi khusus bagi orang yang jujur, Seorang pedagang yang amanah dan jujur akan disertakan bersama para Nabi, siddiqin (orang jujur) dan syuhada .Satu hal yang bisa menafikan semangat kejujuran dan amanah adalah penipuan (ghisy). Dalam konteks bisnis, bentuk penipuan ini bisa diwujudkan dengan melakukan manipulasi harga, memasang harga tidak sesuai dengan kriteria yang sebenarnya. Menyembunyikan cacat yang bisa mengurangi nilai obyek transaksi. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, Tidak dihalalkan bagi pribadi muslim menjual barang yang diketahui terdapat cacatnya, tanpa ia memberikan informasinya .Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam kehidupan muamalah. Di antaranya, menjauhi adanya gharar dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty) yang dapat memicu perselisihan dan pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil, terutama yang terkait dengan hak dan kewajiban, karena hal ini berpotensi menimbulkan konflik.Ketika kontrak bisnis telah disepakati, masing-masing pihak terkait harus melakukan kewajiban yang merupakan hak bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sebisa mungkin dihindari terjadinya wan prestasi. Memiliki komitmen untuk menjalankan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis. Allah berfirman dalam QS al-Maidah ayat 1. Dan yang terpenting, dalam menjalankan kontrak bisnis harus dilakukan secara profesional. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang profesional dalam menjalankan pekerjaannya .diambil dari (pengantar Fiqh Muamalah, Dimyauddin)

SYARIAH, FIKIH DAN HUKUM ISLAMSYARIAH, FIKIH DAN HUKUM ISLAMABSTRAKIslam sebagai ad-di>n tentu sarat dengan ajaran-ajaran yang universal dan abadi. Ajaran-ajaran itu tertuang dalam dua sumber resmi, yaitu al-Qura>n dan al-H}adis} yang isinya mencakup berbagai aspek. Salah satu aspek yang terdapat dalam ajaran Islam tersebut adalah hukum Islam yang merupakan bagian penting ajaran Islam.Hukum Islam memiliki daya lentur yang tampak dari minimnya ayat-ayat hukum (a>ya>t al-ah}ka>m) dalam Quran dan hadis-hadis hukum (h}adis} al-ah}ka>m). Di sini terlihat bahwa ada peluang adaptabilitas hukum Islam.Namun demikian, adanya istilah-istilah yang digunakan dalam kaitannya dengan hukum Islam, yaitu kata shari>ah dan fiqh menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan adanya kerancuan dalam pengertian istilah-istilah tersebut ketika diterjemahkan ke dalam bahasa selain Arab. Dengan demikian, muncullah pertanyaan, apakah hukum Islam bisa dan perlu diperbaharui? Atau dengan kata lain apakah hukum Islam perlu diperbaharui agar sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman?Melihat fenomena di atas, penulis mencoba mengulas sedikit tentang kedua istilah tersebut dengan harapan kita dapat memperoleh pencerahaan mengenai masalah tersebut.A. SYARIAH (SHARIAH)Kata syariah berasal dari bahasa Arab, yaitu . Sedangkan kata at-tashri> yang merupakan mas}dar dari , yang diadopsi dari syariah ini secara etimologi mempunyai dua arti , yaitu:1. yang artinya aliran air yang digunakan untuk minum. Dikatakan demikian karena sumber/aliran air merupakan sumber kehidupan dan kesehatan bagi tubuh.2. (jalan yang lurus) seperti firman Allah SWT, yang berbunyi: Artinya:Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.Syariah itu dikatakan sebagai jalan yang lurus karena ia merupakan petunjuk bagi umat manusia kepada kebaikan, baik kebaikan jiwa maupun akal mereka.Kata syari'ah (Ar: ash-shari>'ah) secara etimologis berarti sumber atau aliran air yang digunakan untuk minum dalam perkembangannya, digunakan orang Arab untuk mengacu kepada jalan (agama) yang lurus (at}-t}ari>qah al-mustaqi>mah), karena kedua makna tersebut mempunyai keterkaitan makna. Jika sumber atau aliran air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara keselamatan jiwa dan tubuh mereka, maka at}-t}ari>qah al-mustaqi>mah merupakan kebutuhan pokok yang akan menyelamatkan dan membawa kebaikan bagi umat manusia. Dari akar kata ini, syari'ah diartikan sebagai agama yang lurus yang diturunkan Allah SWT bagi umat manusia.Secara terminologis, ada beberapa pendapat para ulama tentang definisi atau pengertian syari'ah, yaitu:a. Manna>' al-Qat}t}a>n (ahli fiqh dari Mesir) mendefinisikan syari'ah sebagai segala ketentuan Allah SWT bagi hamba-Nya yang meliputi masalah akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.b. Imam asy-Syatibi menyatakan bahwa syariat sama dengan agama.c. Fath}i> ad-Duraini> memeberikan definisi syari'ah sebagai berikut: syari'ah adalah segala yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berupa wahyu, baik yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun dalam sunnah Nabi SAW yang diyakini kesahihannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa syari'ah adalah an-nus}u>s al-muqaddasah (teks-teks suci) yang dikandung oleh Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW.d. Menurut sebagian besar para fuqaha' merupakan hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah SWT kepada hamba-hambanya melalui lisan nabi-nabi-Nya.Jika kita melihat beberapa definisi yang telah disebutkan, ternyata ada yang mendefinisikan makna syari'ah secara ijmal (global, seperti definisi yang diberikan oleh as-Syathibi, Manna' al-Qaththan dan para fuqaha. Sedangkan definisi yang diberikan Fathi ad-Duraini merupakan pengertian syari'ah secara khusus, yaitu syari'ah Islamiyah (syari'at Islam).Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa syari'ah itu sebenarnya adalah agama. Sebab agama itu tentunya memiliki ajaran-ajarannya, yang dalam konteks ini merupakan agama yang berasal dari Allah SWT, yang berisi ketentuan-ketentuan-Nya kepada hamba-hambanya yang wahyukan kepada para Rasul.Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian syari'ah di atas merupakan pengertian syari'ah secara umum. Bagaimana dengan syari'ah Islamiyah (syari'at Islam)? Jika kita ingin mendefinisikan pengertian syari'ah Islamiyah, kita dapat mengambil definisi yang diberikan oleh Fathi ad-Duraini, seperti yang disebutkan pada poin b. Definisi syari'ah Islamiyah juga disebutkan oleh Muhammad Must}afa Shalabi> : syari'ah Islamiyah atau Islam adalah majmu'ah al-ahkam (kumpulan hukum-hukum) yang diturunkan Allah SWT dengan perantaran wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad ibn Abdillah Shallallahu 'alaihi wa sallam.Jika kita memperhatikan lebih lanjut definisi-definisi dari syari'ah, maka kita akan mengetahui bahwa syari'ah itu terdiri terdiri dari dua unsur (berasal dari dua sumber), yaitu al-Qur'a>n yang merupakan kitab suci kita umat Islam, dan as-Sunnah (al-H}adis}) yang merupakan perkataan, tingkah laku dan ketetapan Nabi kita Muhammad SAW. Dengan demikian syari'ah itu bersifat s}abat (tepat sepanjang zaman), tidak berubah meski ditelan waktu dan zaman, di manapun dan kapan pun. Dengan sifat tsabat tersebut syari'at Allah SWT akan tetap berlaku sepanjang masa dan tidak seorang pun yang mampu untuk menggantikannya.Syari'ah datang untuk membina, membangun, mengatur kehidupan manusia, serta menuntun manusia ke jalan yang benar (jalan Allah) agar ia selamat, baik di dunia maupun di akherat.

B. FIQIHKata fiqih (Ar.= al-fiqh) secara etimologi berarti al-fahm atau pemahaman, yang dalam hal ini adalah pemahaman yang mendalam, al-'ilm dan al-fat}anah (kecerdasan). Sedangkan pengertian fiqih secara terminologi ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ulama' fiqih sesuai dengan masanya (sesuai dengan perkembangan arti fiqih tersebut), yaitu:a. Menurut Imam Abu Hanifah, fiqih adalah ma'rifat an-nafs ma laha wa ma 'alaiha (pengetahuan tentang diri terhadap segala yang berkaitan dengan akidah maupun amaliyah). Definisi meliputi aqidah, akhlak, ibadah dan mu'amalah.b. Menurut Imam Syafi'i, fiqih adalah ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara' yang 'amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.c. Menurut al-Baji, fiqih itu adalah ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara'.d. Imam Haramain mendefinisikan fiqih sebagai ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum taklif.e. Imam Al-Amidi menjelaskan bahwa fiqih merupakan pengetahuan (ilmu) tentang hukum syara' yang furu>' yang dihasilkan dengan naz}ar dan istid}la>l.f. Fathi ad-Duraini menyatakan bahwa fiqih merupakan suatu upaya memperoleh hukum syara' melalui kaidah dan metode ushul fiqh.Dari beberapa pengertian fiqih di atas pengertian yang paling masyhur, seperti yang disebutkan oleh Wahbah al-Zuhailiy, adalah definisi yang diberikan oleh Imam Syafi'i, yaitu ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara' yang 'amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci. Dikatakan 'amaliyah sebab sebagian besar fiqih itu mengatur hal-hal yang bersifat 'amaliyah meski ada juga yang nadzariy ikhtila>f ad-di>n (beda agama) menyebabkan tidak boleh saling mewarisi.Dari sini diketahui bahwa fiqih lebih khusus daripada syari'ah. Syari'ah merupakan sumber dari fiqh. Alasannya, fiqh merupakan pemahaman yang mendalam terhadap an-nus}u>s al-muqaddasah dan merupakan upaya mujtahid dalam menangkap makna serta illat yang dikandung oleh an-nus}u>s al-muqaddasah tersebut. Dengan demikian, fiqh merupakan hasil ijtihad ulama terhadap ayat Al-Qur'an atau sunnah Nabi SAW.Menurut Fathi ad-Duraini, sebelum dimasuki oleh pemikiran manusia, syariat selamanya bersifat benar. Sedangkan fiqh, karena sudah merupakan hasil pemikiran manusia, bisa salah dan bisa benar. Namun demikian, menurut Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh dari Mesir) syariat dan fiqh mempunyai keterkaitan yang erat, karenanya fiqh tidak bisa dipisahkan dari syariat.Dengan demikian, fiqh merupakan interpretasi keagamaan yang mencoba merasionalisasikan syariah. Hal ini terbukti dengan terjadinya perbedaan pemahaman dalam syariat sehingga menghasilkan interpretasi yang berbeda. Hal ini menimbulkan munculnya madzhab-madzhab dalam bidang fiqh. Perbedaan ini terlihat jelas khususnya pada hukum muamalah (hubungan horizontal). Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan sosial para imam madzhab fiqh tersebut. Maka lahirlah Imam-Imam madzhab seperti Imam Abu Hanifah yang terkenal sebagai sosok rasionalis (menggunakan rasio dengan porsi yang lebih banyak) karena beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang heterogen. Sedangkan Imam Malik yang tinggal di tempat dimana hadits bersumber menjadi sosok yang tekstualis. Namun demikian, mereka tidak sedikitpun memonopoli penafsiran wahyu Allah, bahkan membuka pintu seluas-luasnya untuk memahami dan menafsirkan syariah.

C. HUKUM ISLAMIstilah Hukum Islam sama sekali tidak ditemukan dalam al-Quran dan literatur hukum dalam Islam, yang ada adalah syariah, fiqh, hukum Allah atau yang seakar dengan itu. Dalam literatur hukum dalam Islam adalah syariah Islam, fiqh Islam dan hukum syara.Dengan demikian, istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia yang diterjemahkan dalam literatur barat secara harfiah, yaitu Islamic Law.Mengenai definisi hukum Islam ini, setidaknya ada dua pendapat yang berbeda dikalangan ahli hukum Indonesia. Muhammad Hasbi As-Shiddiqiy mendefiniskan Hukum Islam itu dengan koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Melihat definisi yang dikemukakan Hasbi ini, kita dapat melihat bahwa ia mendefinisikan hukum Islam dengan makna fiqh.Amir Syarifuddin, ahli Hukum Islam lainnya mendefinisikan Hukum Islam itu dengan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Dari definisi ini kita dapat melihat bahwa ia mencakup syariah dan fiqh karena arti syara dan fiqh terkandung di dalamnya.Dengan demikian, jika ada yang mengatakan bahwa hukum Islam itu tidak berubah dan tetap maka yang dimaksudkan adalah hukum Islam dalam pengertian syariah. Sedangkan jika dikatakan hukum Islam itu berubah mengikuti perubahan dan perkembangan zaman dan masa maka itu adalah hukum Islam dalam pengertian fiqh.Menurut Pete Seda, Islamic Law atau hukum Islam hanya berasal dari al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya (tentang tata cara menyembah Tuhan dan bagaimana berbuat kepada yang lain). Melihat statemen ini, maka pengertian hukum Islam dapat disamakan dengan syariat Islam, namun dalam prosedur tataran aplikatif.Jadi, Hukum Islam itu, dalam bahasa Mohammad Daud Ali (1996) , mempunyai dua istilah kunci yakni (a) syari'at dan (b) fikih. Syari'at terdiri dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad dan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syari'at.Dengan kata lain, Hukum Islam merupakan hukum yang ditetapkan atas keduanya (syariah dan fiqh) tentang perilaku umat yang beragama Islam.

PENUTUPDari penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya syari'ah tidak dapat dipisahkan dari fiqih. Keduanya memiliki ikatan yang kuat dan sulit dipisahkan, namun diantara keduanya terdapat perbedaan mendasar. Syari'at terdiri dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad dan fiqih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syari'at.Syari'at yang memang bersumber dari wahyu Allah SWT (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi kita Muhammad SAW (al-Hadits) bersifat tsabat (tetap) kapan pun dan dimanapun. Sedangkan fiqih bersifat tathowwur (terus-menerus berkembang) sebab ia adalah hasil pemahaman manusia tentang syari'at. Dengan sifat tsabat tersebut syari'at Allah SWT akan tetap berlaku sepanjang masa dan tidak seorang pun yang mampu untuk menggantikannya. Sedangkan dengan sifat fiqih yang tathowwur, maka menunjukkan bahwa hukum Islam itu fleksibel (tidak kaku) di setiap kondisi dan situasi masyarakat serta terus mengikuti perkembangan zaman. Namun demikian, tetaplah Hukum Qur'ani.Fiqh merupakan interpretasi keagamaan yang mencoba merasionalisasikan syariah. Hal ini terbukti dengan terjadinya perbedaan pemahaman dalam syariat sehingga menghasilkan interpretasi yang berbeda, yang pada akhirnya memunculkan madzhab-madzhab dalam bidang fiqh.Hukum Islam merupakan hukum yang ditetapkan atas syariah dan fiqh tentang perilaku yang mengikat umat Islam. Dengan demikian, syariah dan fiqh merupakan esensi dari Hukum Islam itu sendiri tanpa adanya pemisahan antara keduanya (syariah dan fiqh tersebut).Di sinilah Letak kekuatan syari'at Islam. Ia adalah murni berasal dari wahyu Allah SWT tanpa dicampuri oleh daya nalar manusia. Sedangkan fiqih itu sendiri adalah pemahaman yang berarti proses pembentukan Hukum Islam melalui daya nalar manusia. Baik itu pemahaman wahyu secara langsung maupun tidak langsung. Di sinilah fleksibilitas hukum Islam yang ketika membahas masalah mu'amalah kita diberikan kesempatan untuk berijtihad (pintu ijtihad itu tidak tertutup) dan al-Qur'an sendiri hanya membahas masalah mu'amalah ini secara global saja.

1