36
MAKALAH PENGANTAR AGAMA ISLAM TOPIK TENTANG: “AGAMA” ROMBONGAN BELAJAR KELAS TRANFER KELAS D PROGRAM KUALIFIKASI S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DISUSUN OLEH: 1. Nama : Imam Ghazali NIM : 3100121 2. Nama : Robi’ah NIM : 3100124 3. Nama :Khunaenah NIM : 3100125 4. Nama : Nur Hidayat NIM : 3100130 5. Nama : Kusmaenah NIM : 3100136 6. Nama : M. Mukhalip Askuria

PENGANTAR AGAMA ISLAM

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGANTAR AGAMA ISLAM

MAKALAH

PENGANTAR AGAMA ISLAMTOPIK TENTANG:

“AGAMA”ROMBONGAN BELAJAR KELAS TRANFER KELAS D

PROGRAM KUALIFIKASI S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DISUSUN OLEH:

1. Nama : Imam GhazaliNIM : 3100121

2. Nama : Robi’ahNIM : 3100124

3. Nama :KhunaenahNIM : 3100125

4. Nama : Nur HidayatNIM : 3100130

5. Nama : KusmaenahNIM : 3100136

6. Nama : M. Mukhalip AskuriaNIM : 3100150

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH

Jln. Pemuda Komplek Masjid Al-Hidayah / Asrama Haji IPHI Pemalang

Page 2: PENGANTAR AGAMA ISLAM

BAB I PENDAHULUAN

Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah, dan ketidak sanggupan manusia untuk mendefinisikan agama karena disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itu tidak mengherankan jika secara internal  muncul pendapat-pendapat yang secara apriori menyatakan bahwa agama tertentu saja sebagai satu-satunya agama samawi, meskipun dalam waktu yang bersamaan menyatakan bahwa agama samawi itu meliputi Islam, Kristen dan Yahudi.

Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi.—-dan agama Wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan.

Dalam prakteknya, sulit memisahkan antara wahyu Illahi dengan budaya, karena pandangan-pandangan, ajaran-ajaran, seruan-seruan pemuka agama meskipun diluar Kitab Sucinya, tetapi oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai Perintah Illahi, sedangkan pemuka-pemuka agama itu sendiri merupakan bagian dari budaya dan tidak dapat melepaskan diri dari budaya dalam masa kehidupannya, manusia selalu dalam jalinan lingkup budaya karena manusia berpikir dan berperilaku.

Beberapa acuan yang berkaitan dengan kata  “Agama” pada umumnya; berdasarkan Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Illahi dari kata A-GAM-A, awalan A berarti “tidak” dan GAM berarti “pergi atau berjalan, sedangkan akhiran A bersifat menguatkan yang kekal, dengan demikian “agama: berarti pedoman hidup yang kekal”

BAB II PEMBAHASAN

AGAMA

A. Arti dan Ruang Lingkup Agama Islam

Secara bahasa, kata “agama” berasal dari bahasa sanskerta yang berarti “tidak pergi”, tetap di tempat, diwarisi turun temurun.

Menurut Abu Ahmadi, agam menurut bahasa ada 2 arti, yaitu:

1. Agam berasal dari bahasa sanskerta yang diartikan dengan haluan, peraturan, jalan atau kebaktian kepada Tuhan.

2. Agam terdiri dari 2 kata yaitu A. berarti tidak, dan Gama berarti kacau balau, tidak teratur. Jadi agama berarti tidak kacau balau yang berarti teratur.

Sedangkan kata Islam berarti kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, ketaatan, dan kepatuhan.

Secara istilah agama berarti undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengikat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesame manusia dan hubungan manusia dengan alam yang teratur dan damai.

Islam sebagai agama wahyu yang memberi bimbingan kepada manusia mengenai semua aspek hidup dan kehidupannya. Sebagai agama wahyu terakhir, agama islam merupakan satu system akidah dan syari’ah serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai hubungan. Ruang lingkup agama islam lebih luas dari pada agama nasrani. Agama islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat termasuk dengan diri manusia itu sendiri tetapi juga dengan alam sekitarnya yang terkenal dengan istilah lingkungan hidup. Menurut Wilfred CantwellSmith, dibandingkan dengan agama lain, agama islam adalah “sui generis” yaitu sesuai dengan wataknya, mempunyai corak dan sifat sendiri dalam jensinya.

Page 3: PENGANTAR AGAMA ISLAM

Diantara perbedaannya dengan agama lain yaitu:

1. Agama lain, namanya dihubungkan dengan manusia yang mendirikan atau yang menyampaikan agam itu, sedangkan nama agama yang di bawa Nabi Muhammad tidak dihubungkan dengan nama orang yang menyampaikannya atau nama tempat mula-mula agama itu tumbuh dan berkembang.

2. Islam mengandung makna damai, sejahtera, selamat, penyerahan diri,taat, patuh dan menerima kehendak Allah.

Ada 3 persoalan pokok  dalam sebuah agama, diantaranya:

1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta alam.

2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi atau pengakuan dan ketundukannya.

3. Sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinannya tersebut.

Unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah agama diantaranya:

1. Adanya keyakinan pada yang gaib2. Adanya kitab suci sebagai pedoman3. Adanya Rasul pembawanya4. Adanyaajaran yang bisa dipatuhi5. Adanya upacara ibadah yang standar

Agama sebagai fitrah manusia melahirkan keyakinan bahwa agama adalah satu-satunya cara pemenuhan kebutuhan. Posisi ini tidak dapat digantikan dengan yang lain.

B. Jenis-jenis Agama

Agama dibagi menjadi beberapa jenis menurut kriteria tertentu. Orang biasanya menjeniskan

agama kepada agama yang sahih dan agama sesat. Penjenisan mudah ini adalah subjektif yang

mendatangkan perasaan tidak puas hati dalam masyarakat yang terbilang kaum dan agama.

Dengan itu, agama haruslah dijeniskan berdasarkan kriteria yang zahir.

1. Dari Segi Penyebaran

Dari segi penyebarannya, agama dibagi menjadi dua jenis yaitu:

a. Agama Universal, yaitu merupakan agama-agama yang "besar" dan mempunyai minat

untuk menyebarkan ajaran untuk keseluruhan umat manusia. Sasaran agama jenis ini

adalah ke semua manusia. Contohnya: Agama Islam, Kristian dan Buddha.

b. Agama Folk, yaitu merupakan agama yang kecil dan tidak mempunyai sifat dakwah

seperti agama universal. Amalannya hanya terhadap etnik tertentu. Contohnya: Agama

Rakyat China/Taoisme.

2. Dari Segi Sumber Rujukan

Semua agama menganggap ajarannya kudus. Kekudusan itu berasal dari satu sumber yang

kudus juga. Dari segi sumber, agama-agama di dunia boleh dibagi menjadi dua jenis:

a. Agama Bersumberkan wahyu.                                                                             

Page 4: PENGANTAR AGAMA ISLAM

Merujuk kepada agama yang menuntut dirinya sebagai agama yang diturunkan oleh

Tuhan sendiri. Penurunan ini biasanya melalui seorang Rasul. Daripada itu, agama yang

berkenaan menganggap ajarannya adalah kebenaran yang mutlak. Contohnya: agama

Islam, Yahudi, dan Kristian.

b. Agama Budaya

Merujuk kepada agama yang tidak menuntut kepada sumber wahyu. Agama ini

mengabsahkan dirinya dengan merujuk kepada berbagai sumber seperti pembuktian,

tradisi, falsafah dan sebagainya. Contohnya: agama Buddha, Hindu.

3. Dari Segi Tanggapan Ketuhan

Agama-agama yang berbeda mempunyai pandangan yang berbeda mengenai Tuhan.

Perbedaan ini mungkin dari segi nama Tuhan dan sifat Tuhan. Agama menurut penjenisan

ini dapat dibagi kepada dua jenis :

a. Agama Monoteisme, yaitu merupakan agama yang menganggap Tuhan hanya satu,

yakni mendukung konsep kewahidan Tuhan. Contohnya, agama Islam.

b. Agama Politeisme, yaitu merupakan agama yang menganggap bahawa Tuhan berwujud

secara berbilangan, yakni ada banyak Tuhan atau Tuhan boleh berpecah kepada banyak

bentuk. Contohnya, agama Hindu, agama Rakyat China.

C. Agama Sebagai Kebenaran

Hubungan Manusia dengan Agama

1. Fitrah terhadap Agama

Dalam masyarakat sederhana banyak peristiwa yang terjadi dan berlangsung di sekitar manusia dan di dalam diri manusia, tetapi tidak dapat dipahami oleh mereka. Yang tidak dipahami itu dimasukkan ke dalam kategori gaib. Karena banyak hal atau peristiwa gaib ini menurut pendapat mereka, mereka merasakan hidup dan kehidupan penuh kegaiban. Menghadapi peristiwa gaib ini mereka merasa lemah tidak berdaya. Untuk menguatkan diri, mereka mencari perlindungan pada kekuatan yang menurut anggapan mereka menguasai alam gaib yaitu Dewa atau Tuhan. Karena itu hubungan mereka dengan para Dewa atau Tuhan menjadi akrab. Keakraban hubungan dengan Dewa-Dewa atau Tuhan itu terjalin dalam berbagai segi kehidupan: sosial, ekonomi, kesenian dan sebagainya. Kepercayaan dan sistem hubungan manusia dengan para Dewa atau Tuhan ini membentuk sistem agama. Karena itu, dalam masyarakat sederhana mempunyai hubungan erat dalam agama. Gmbaran ini berlaku di seluruh dunia.

Kenyataan ditemukannya berbagai macam agama dalam masyarakat sejak dahulu hingga kini membuktikan bahwa hidup di bawah sistem keyakinan adalah tabiat yang merata pada manusia. Tabiat ini telah ada sejak manusia lahir sehingga tak ada pertentangan sedikit pun dari seseorang yang tumbuh dewasa dalam sebuah sistem kehidupan. Agama-agama yang berbeda-beda tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat tersebut.

Susunan jagat raya yang demikian mengagumkan telah menggiring manusia kepada keberadaan Sang Pencipta yang Maha Sempurna.

Pendapat bahwa kemunculan alam ini sebagai sebuah proses kebetulan sangat tidak memuaskan hati manusia dari masa ke masa. Bahkan teori-teori tentang tentang peluang tidak dapat

Page 5: PENGANTAR AGAMA ISLAM

menjawab proses-proses penciptaan pada makhluk bersel satu sekalipun yang merupakan bagian yang amat kecil dalam penciptaan. Keberadaan Sang Pencipta lebih mendatangkan rasa tentram pada intelek manusia.

Keteraturan seluruh elemen alam ini membangkitkan kesadaran bahwa kehidupan manusia pun memerlukan keteraturan tersebut. Penerimaan manusia pada sebuah sistem aturan hidup terus berlangsung dari masa ke masa. Agama adalah suatu bentuk sistem tersebut yang kehadirannya berlangsung sejak lama di berbagai sudut bumi dengan bentuk yang berbeda-beda. Kekhasan watak manusia memunculkan dimensi (ukuran) yang berbeda-beda pada hukum-hukumnya. Penyimpangan atas hukum alam menyebabkan kehancuran fisik dan penyimpangan pada hukum manusia yang dapat menyebabkan kehancuran fisik dan juga sosial.

Dimensi pahala dan dosa serta hari pembalasan terdapat pada hampir semua agama yang ada di dunia. Dimensi ini secara luas diterima manusia bahkan dalam cara berpikir modern sekalipun. Paham materialisme yang menganggap materi sebagai hakikat yang abadi di alam ini justru tidak mendapat tempat di dunia moden. Bertrand Russel menyatakan bahwa Teori Relativitas telah menjebol pengertian tradisional mengenai substansi lebih dahsyat dari argumen filosofi mana pun. Materi bagi pengertian sehari-hari adalah sesuatu yang bertahan dalam waktu dan bergerak dalam ruang. Tetapi bagi ilmu alam, relativitas pandangan tersebut tak dapat lagi dibenarkan. Sebongkah materi tidak lagi merupakan sebuah benda yang tetap dengan keadaan yang bermacam-macam tetapi merupakan suatu sistem peristiwa, yang saling berhubungan. Yang semula dianggap sifat padat dari benda-benda sudah tidak ada lagi, dan juga sifat-sifat yang menyebabkan materi di mata seorang materialisme nampak lebih nyata daripada kilasan pikiran, juga tidak ada lagi. Alla SWT berfiman:

“Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Mereka tidak mempunyai Pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanya menduga-duga saja”. (Q.S: Al-Jaasiyah,45:24)

2. Pencarian Manusia terhadap Agama

Akal yang sempurna akan senantiasa menuntut kepuasan berpikir. Oleh karena itu, pencarian manusia terhadap kebenaran agama tak pernah lepas dari muka bumi ini. Penyimpangan dari sebuah ajaran agama dalam sejarah kehidupan manusia dapat diketahui pada akhirnya oleh pemenuhan kepuasan berpikir manusia yang hidup kemudian. Nabi Ibrahim a.s. dikisahkan sangat tidak puas menyaksikan bagaimana manusia mempertuhankan benda-benda mati di alam ini seperti patung, matahari, bulan, dan bintang. Demikian pula Nabi Muhammad SAW, pada akhirnya memerlukan tahannus karena jiwanya tak dapat menerima aturan hidup yang dikembangkan masyarakat Quraisy di Mekkah yang mengaku masih menyembah Tuhan Ibrahim. Allah berfiman dalam ( Q.S: Ad-Dhuhaa, 93:7) ;

”Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberi petunjuk”. 

Seiring dengan sifat-sifat mendasar pada diri manusia itu Alqur’an dalam sebagian besar ayat-ayatnya menantang kemampuan berpikir manusia untuk menemukan kebenaran yang sejati sebagaimana yang dibawa dalam ajaran islam. Keteraturan alam dan sejarah bangsa-bangsa masa lalu menjadi obyek yang dianjurkan untuk dipikirkan. Perbandingan ajaran antar berbagai agama pun diketengahkan Alqur’an dalam rangka mengokohkan pengambilan pendapat manusia.

Akibat adanya proses berpikir ini, baik itu merupakan sebuah kemajuan atau kemunduran, terjadilah perpindahan (transformasi) agama dalam kehidupan manusia. Tatkala seseorang merasa gelisah dengan jalan yang dilaluinya kemudian ia menemukan sebuah pencerahan, maka niscaya ia akan memasuki dunia yang lebih memuaskan akal dan jiwanya itu. Ketenangan adalah modal dasar dalam upaya mengarungi kehidupan pribadi. Padahal masyarakat itu adalah

Page 6: PENGANTAR AGAMA ISLAM

kumpulan pribadi-pribadi. Masyarakat yang tenang, bangsa yang cerah sesungguhnya lahir dari keputusan para anggotanya dalam memilih jalan kehidupan.

3. Konsistensi Keagamaan

Manusia diciptakan dengan hati nurani yang sepenuhnya mampu mengatakan realitas secara benar dan apa adanya. Namun, manusia juga memiliki ketrampilan kejiwaan lain yang dapat menutupi apa-apa yang terlintas dalam hati nuraninya, yaitu sifat berpura-pura. Meskipun demikian seseorang berpura-pura hanya dalam situasi tertentu yang sifatnya temporal atau aksidental. Tiada keberpura-puraan yang permanen dan esensial. Sikap konsisten seseorang terhadap agamanya terletak pada pengakuan hati nuraninya terhadap agama yang dipeluknya. Konsistensi ini akan membekas pada seluruh aspek kehidupannya membentuk sebuah pandangan hidup. Namun membentuk sikap konsistensi, juga bukanlah persoalan yang mudah. Di antara langkah-langkahnya adalah;

a. Pengenalan

Seseorang harus mengenal dengan jelas agama yang dipeluknya, sehingga bisa membedakannya dangan agama yang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pokok dan cabang yang terdapat dalam sebuah agama. Jika ada orang yang menyatakan bahwa ”semua agama itu sama”, maka hampir dipastikan bahwa ia sebenarnya tak mengenali agama itu satu persatu.

b. Pengertian

Ajaran agama yang dipeluk pasti memiliki landasan yang kuat, tempat dari mana seharusnya kita memandang. Mengapa suatu ajaran diajarkan, apa faedahnya untuk kehidupan pribadi dan masyarakat, apa yang akan terjadi jika manusia meninggalkan ajaran tersebut dan lain-lainnya, ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya akan mengantarkan kita kepada sebuah pengertian. Seseorang yang mengerti ajaran agamanya akan dengan mudah mempertahankannya dari upaya-upaya pengacauan orang lain. Ia juga dapat menyiarkan ajaran agamanya dengan baik dan bergairah.

c. Penghayatan

Penghayatan terhadap suatu agama lebih tinggi nilainya daripada sekedar pengertian. Ajaran yang hidup dalam dan menjadi sebuah kecenderungan yang instingtif mencerminkan tumbuhnya sebuah kesatuan yang tak terpisahkan antara agama dan kehidupan. Interaksi seseorang terhadap ajaran agamanya pada fase ini tidak sekedar dengan pikirannya tetapi lebih masuk ke relung-relung hatinya. Dengan penghayatan yang dalam seseorang dapat mengamalkan ajaran agamanya, melahirkan keyakinan atau keimanan yang mendorongnya untuk melaksanakan agama dengan tulus ikhlas.

d. Pengabdian

Seseorang yang tidak lagi memiliki ambisi pribadi dalam mengamalkan ajaran agamanya akan dapat memasuki pengabdian yang sempurna. Kepentingan hidupnya adalah kepentingan agamanya, tujuan hidupnya adalah tujuan agamanya, dan jiwanya adalah warna agamanya. Orang yang memilki fase bagaikan sudah tidak memilki diri lagi, karena demikianlah hakikat penghambaanyaitu . Fase penghambaan ini disebut ibadah, yaitu penyerahan diri secara total dan menyeluruh kepada Tuhannya. Penghambaan ini akan menjelmakan pengamalan cara ibadah tertentu (ritual, mahdhah)dan meletakkan seluruh hidupnya dibawah pengabdian kepad Tuhannya (ghair mahdah)

Page 7: PENGANTAR AGAMA ISLAM

e. Pembelaan

Apabila kecintaan seseorang terhadap agamanya telah demikian tinggi, maka tak boleh ada lagi perintang yang menghalang jalannya agama. Rintangan terhadap agama adalah rintangan terhadap dirinya sendiri, sehingga ia akan segera melakukan pembelaan. Ia rela mengorbankan apa saja yang ada pada dirinya harta benda bahkan nyawa, bagi nama baik dan keagungan agama yang dipeluknya. Pembelaan ini juga disebut jihad, yaitu suatu jiwa yang sungguh-sungguh dalam membela agamanya.

Itulah makna konsistensi keagamaan seseorang yang tampak pada jalankehidupannya. Sejarah mencatat fenomena ini dalam berbagai agama dan ideologi yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia. Para pahlawan muncul dalam berbagai bangsa. Dalam kaitan ini Allah SWT berfirman:

”Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”. (Q.S: Al-Hujurat, 49:15)

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa agama, sangat perlu bagi manusia terutama bagi orang yang berilmu, apapun disiplin ilmunya. Karena dengan agama ilmunya akan lebih bermakna. Bagi kita umat islam, agama yang dimaksud adalah agama yang kita peluk yaitu agama islam.

Kenapa islam ?

Karena agama islam adalah agama akhir yang tetap mutakhir, agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentangdi alam semesta, dan memahami ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat didalam al-qur’an. Agama Islam adalah agama keseimbangan dunia dan akhirat, agama yang tidak mempertentangkan iman dan ilmu, bahkan menurut sunnah Rasulullah SAW, Islam mewajibkan manusia, baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu pengetahuan mulai dari buaian sampai ke liang lahat : Minal mahdi ilal lahd, yang kemudian dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Life long Education yang diterjemahkan kedalam bahasa indonesia yaitu pendidikan seumur hidup, menuntut ilmu selama dikandung badan. Singkat kata, dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna. Dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia. Dalam masyarakat modern pun agama tetap diperlukan manusia.

Di kalangan cendekiawan muslim Indonesia ada pemikiran untuk memadukan ilmu dengan agama, mengendalikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan agama supaya manusia sejahtera.

Islam memiliki beberapa keistimewaan yang menjdi akidah umat di setiap masa, yaitu antara lain:

a. Luwes, logis dan praktis

Islam bukanlah agama dongengan. Ajarannya luwes, jelas dan bisa di pahami. Islam tidak membenarkan adanya khurafat, tidak pula keyakinan-keyakinan yang mematikan akal dan membuat kejumudan intelektual, islam tidak membenarkan keyakinan yang bisa melenyapkan keimanan akan ke Esaan Allah SWT, risalah Muhammad SAW, dan kehidupan akhirat, yang semua itu menjadi dasar pokok akidah islamiah. Semua berdiri di atas dasar ”Akal pikiran yang sehat dan logika yang tepat dan pasti.” Islam menganjurkan manusia mempergunakan akal pikirannya dan merenungi segala

Page 8: PENGANTAR AGAMA ISLAM

perkaranya. Islam juga menganjurkan mengkaji dan mencari kebenaran (hakikat) dan berusaha keras mendapatkan ilmu pengetahuan (ma’rifat). Allah memerintahkan umat manusia memohon tambahan ilmu kepada Tuhannya, sebagaimana difirmankan:

”Dan katakanlah! Berikanlah aku tambahan ilmu”

(Q.S. Thahaa, 20:114)

Islam juga menjelaskan, betapa jauh perbedaan antara orang berilmu dan tidak berilmu. Allah berfirman:

”Apakah kamu lebih beruntung, hai orang musyrik ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam, dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada azab akhirat dan mengharaokan rahmat Tuhannya? Katakanlah! Samakah orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

(Q.S. Az-Zumar, 39:9)

Islam menyelamatkan manusia dari ajaran khurafat dan kebodohan. Islam membimbing manusia menuju dunia ilmu pengetahuan dan cahaya yang terang-benderang. Dalam hal itu islam adalah agama yang praktis, bukan hanya merupakan teori kosong yang mandul. Isla menegaskan, bahwa iman itu bukanlah kepercayaan semata yang harus diimani umat manusia, tetapi islam menegaskan, agar iman itu dijadikan sumber pancaran kehidupan konkret, menjalar kepada seluruh amal perbuatan islami, bagai mengalirnya air ke dalam sel-sel makhuk hidup. Karena itu maka iman kepada Allah, menuntut pelaksanaan perintah-Nya. Maka islam bukan semata-mata merupakan ungkapan kata dan penuturan lidah melalui pembacaan zikir kepada Allah, memuji dan menyanjung-Nya, tetapi seluruh kehidupan manusia secara total itulah yang harus diislami. Karena itu Allah SWT berfirman:

”Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik.”

(Q.S. Ar-Ra’d, 13:29)

b. Islam Tatanan Lengkap untuk Kehidupan

Islam bukanlah agama yang efisiensinya hanya dalam kehidupan individu semata, sebagaimana yang digambrkan oleh kebanyakan orang. Akan tetapi, islam adalah suatu tatanan lengkap untuk kehidupan umat manusia, didalam berbagai bidang dan dimensi kehidupan

MAKNA KEBENARANSalah satu isu krusial dikalangan para filosof dan pemikir dari dulu hingga saat ini adalah problem kebenaran dalam pengetahuan manusia. Persoalan ini bisa dikatakan sebagai problem utama epistemologi, artinya jika kebenaran tidak dikukuhkan maka seluruh bangunan pengetahuan manusia akan kehilangan maknanya.

Page 9: PENGANTAR AGAMA ISLAM

Ada kelompok yang memandang kebenaran hanya dari sudut pandang dirinya saja, di sisi lain kita temui pula, sebagian kelompok yang mencoba pula mengeliminir kebenaran menjadi milik semua orang bahkan sampai pada tingkat merelativitaskan kebenaran, atau bahkan menolak kemungkinan benar pada susunan pengetahuan manusia. Kelompok seperti ini dahulu dikenal dengan sophis atau sekarang dengan nama skeptis. Karenanya, diperlukan kajian yang serius untuk menjelaskan nilai kebenaran secara lebih detil. Namun pada kesempatan ini hanya akan menguraikan secara sederhana hal-hal penting tentang kebenaran tersebut.Jika kita cermati dari uraian-uraian sebelum ini bahwa ilmu hudhuri terjamin kebenaranya, sedangkan ilmu hushuli mengandung dualisme: kebenaran dan kesalahan. Karena itu problem kebenaran hanya berlaku dalam ilmu hushuli. Hal itu karena ilmu hushuli bersifat korespondensi, yang mana pengetahuan subjek didapat melalui gambaran objek dan bukan objek itu sendiri. Persoalannya, apa yang menjamin bahwa gambaran objek itu berkorespondensi dengan objek eksternal sehingga subjek mengetahui objek eksternal dengan sesungguhnya?Dari persoalan mendasar di atas, kita dapat menurunkan makna kebenaran yang sesungguhnya dalam konteks pengetahuan: Kebenaran adalah kesesuaian proposisi rasional (akal) atau forma mental dengan realitas (objek eksternal).[1]SISI ONTOLOGIS KEBENARANKebenaran merupakan sifat kemestian bagi pengetahuan baik dari sisi kesesuaiannya dengan realita (kenyataan) dan nafs al-amr[2] dengan kata lain kenyataan yang sebenarnya adalah kebenaran suatu predikat terhadap subjeknya baik kebenaran itu sesuai dengan ukuran keberadaan yang diluar akal (eksternal) atau dalam akal (internal).Dari penjelasan di atas diketahui ada wujud dalam akal (eksistensi internal) dan ada wujud di luar akal (eksistensi eksternal). Masalahnya, adakah kebenaran itu?Persoalan ini adalah persoalan yang cukup pelik dan sulit sehingga tak jarang para ahli dan pemikir terjebak dalam permainannya tanpa pernah menyelesaikannya. Karenanya diperlukan kesabaran dan ketenangan dalam memahaminya.Dalam pandangan filsafat, kebenaran adalah eksis (keberadaan nyata) karena bersumber dari keberadaan (realitas), sedangkan kesalahan adalah tidak eksis (tidak memiliki keberadaan nyata) karena bersumber dari ketiadaan. Artinya, salah satu ciri umum dari ‘yang ada’ ialah bahwa ‘yang ada’ itu benar. Begitu pula ‘yang ada’ dapat dipahami dan merupakan salah satu seginya. Dalam hubungan dengan intelek atau akal, ‘yang ada’ menjelma menjadi kebenaran. Karena itu, kebenaran merupakan atribut atau sifat dari ‘yang ada’ dalam kaitannya dengan pemahaman. Secara ontologis, sesuatu menjadi semakin sempurna kalau sesuatu itu dimungkinkan untuk diketahui. Hanya yang tiada yang tidak mempunyai hubungan dengan kebenaran. Jadi, dasar dari kebenaran ialah ‘yang ada’ atau ‘yang bereksistensi’. Kebenaran hanya mungkin terjadi kalau sesuatu itu ada, jika sesuatu itu tidak ada, kita tidak dapat mengatakan bahwa sesuatu itu benar.[3]Salah satu hal yang dapat dijadikan dalil tentang kebenaran itu ada dan dapat diperoleh adalah bahwa tidak mungkinnya klaim “kebenaran itu tidak ada” (relatifitas kebenaran). Sebab klaim ini menentang dirinya sendiri, artinya klaim “tidak adanya kebenaran” menunjukkan “kebenaran itu ada”. Minimal, kebenaran pernyataannya tersebut, karena jika tidak, maka pernyataannya menjadi tak bermakna.Adapun tentang masalah kemampuan untuk menggapai kebenaran yang nyata dan absolut, maka hal itu bukanlah kemustahilan, melainkan kemestian pengetahuan. Karena itu ungkapan yang menjelaskan bahwa “tidak ada kebenaran” atau “semua kebenaran itu relatif” adalah ungkapan yang tidak valid. Karena ungkapan itu, diterima atau tidak akan tetap menunjukkan adanya kebenaran absolut. Yaitu jika ungkapan itu diterima, berarti telah ada kebenaran mutlak, yakni kebenaran ungkapan itu. Sedangkan jika ditolak dan salah itu berarti menunjukkan pemahaman sebaliknya yakni adanya kebenaran mutlak– sebagai lawan dari kerelatifan.NERACA KEBENARANBerdasarkan alat dan sumber pengetahuan maka nilai kebenaran pengetahuan (neraca kebenaran) juga tergantung pada alat memperoleh pengetahuan tersebut, baik indera, akal, maupun hati (intuisi). Dalam hal inilah, para filosof Muslim menyimpulkan neraca kebanaran dalam satu kaedah ringkas, yakni: ‘neraca kebenaran epistemologi adalah epistemologi itu sendiri’.[4]Akan tetapi perlu diperhatikan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ilmu hudhuri menjadi landasan bagi ilmu hushuli. Ini berarti, capaian-capaian pengetahuan manusia melalui ilmu hushuli dapat dibandingkan dengan capaianilmu hudhuri yang telah terjamin kebenarannya,

Page 10: PENGANTAR AGAMA ISLAM

untuk dijadikan patokan dan standar dalam menilai kebenaran atau hasil korespondensi subjek dengan objek eksternal dalam ilmu hushuli. Dengan demikian, kita memiliki tahapan dalam menentukan kebenaran :

1. Melalui landasan ilmu hudhuri. Artinya, Ilmu hudhuri yang menjamin kebenaran bersambung dengan proposisi-proposisi swabukti primer, yang kemudian dengan proposisi itu, kita dapat mengenali dan menilai proposisi-proposisi teoritis lainnya, termasuk proposisi-proposisi inderawi dan hasil pengalaman.

2. Melalui perbandingan antara pelbagai subjek dan predikat dalam proposisi. Hal ini karena konsep predikat dalam proposisi diturunkan dari analisis terhadap konsep subjek. Dalam hal ini, maka proposisi-proposisi yang tidak swabukti mesti dinilai melalui patokan-patokan logika, yaitu: ‘jika suatu proposisi diperoleh lewat aturan-aturan logika tentang penyimpulan (inference), maka ia benar, jika tidak, maka ia salah’.[5]

 Dalam hal ini, mungkin ada masalah yang diajukan kalangan empirisme yaitu: karena defenisi kebenaran adalah kesesuaian dengan realitas, maka kekeliruan dan kebenaran hanya berlaku pada proposisi-proposisi yang dapat dibandingkan dengan realitas luaran. Kita ketahui, proposisi-proposisi metafisika, sederhananya, dipandang tidak memiliki realitas eksternal yang bisa dijadikan patokan kesesuaian. Karena tu, seluruh proposisi metafisika tidak bisa dianggap benar ataupun salah, tetapi mesti dianggap absurd dan tak bermakna.Keraguan seperti ini, menurut Misbah Yazdi berasal dari asumsi bahwa realitas objektif eksternal setara dengan realitas bendawi (yang terindera). Untuk itu, menjawab keraguan ini diajukan dua tesis sebagai berikut: Pertama, realitas objektif eksternal tidaklah terbatas pada realitas bendawi, tetapi juga mencakup realitasmujarrad. Kedua, realitas yang menjadi tumpuan kesesuaian seluruh proposisi adalah acuan mutlak yang diungkapkannya—tidak mesti bersifat bendawi. Yang dimaksud realitas eksternal adalah sesuatu yang melatar belakangi dan berada di balik (pemunculan) konsep, meskipun realitas eksternalnya berada dalam benak atau bersifat kejiwaan, seperti halnya proposisi-proposisi logika. Hubungan antara tingkatan benak yang mewadahi seluruh acuan proposisi ini dan tingkatan benak yang meninjau mereka adalah sama dengan hubungan antara sesuatu di luar benak dan benak itu sendiri. [6] Ketiga, ada perbedaan antara konsep dan bukti. Konsep adalah makna umum yang kita pahami secara mental, seperti konsep tentang manusia, sedangkan bukti adalah hal yang padanya sebuah konsep tertentu dapat diterapkan, misalnya sosok lahir manusia seperti Candiki sebagai bukti. Pada dasarnya, fungsi akal adalah memahami konsep, bukan menunjukkan bukti. Bukti harus ditemukan melalui pengalaman indera atau pengetahuan intuitif (visoner). Karenanya, kesalahan orang yang menolak pengetahuan tentang hal-hal yang metafisik (tidak terindera) seperti malaikat atau Tuhan, disebabkan kekeliruan dalam membedakan konsep dengan bukti. Artinya, Tuhan misalnya, kita mengetahui konsepnya secara benar, meskipun kita tidak dapat menunjukkan buktinya.[7]Oleh sebab itu, kriteria umum kebenaran dan kesalahan proposisi adalah kesesuaian atau tidak sesuainya dengan apa yang ada di balik konsep-konsepnya. Dengan demikian untuk mengenali kebenaran dan kesalahan pengetahuan-pengetahuan empiris yang menggunakan indera kita mesti membandingkannya dengan realitas bendawi yang terpaut dengannya. Misalnya, untuk menemukan kebenaran proposisi “besi memuai bila dipanaskan”, maka kita mesti memanaskan besi dan mengamati perbedaan ukuran yang terjadi (pemuaian). Akan tetapi, dalam hal proposisi-proposisi akal (logika), maka kita harus menilainya melalui konsep-konsep mental yang terkait dengannya. Untuk mengenali kebenaran dan kesalahan proposisi-proposisi filsafat, kita mesti memperhatikan dan mempertimbangkan hubungan antara konsep dalam benak (akal) dan objeknya. Proposisi-proposisi filsafat dikatakan benar ketika akal bisa sedemikian rupa mengabstraksikan pelbagai konsep dari acuan-acuan objektifnya, baik acuan-acuan objektif itu bersifat bendawi (materi) atau mujarrad (immateri). Proses ini terlaksana secara langsung dalam kasusu proposisi-proposisi yang berasal dari indera batin, dan dalam kasus proposisi-proposisi lainnya, ia terlaksana dengan satu atau dua perantaraan.[8]Satu hal lagi yang terpenting adalah gagasan nafs al-amr yang dalam nalar filsafat Islam, telah melahirkan banyak uraian-uraian dan anlisis yang teoritis dari para filosof Muslim. Nafs al-amr secara harfiah berarti berarti ‘yang menerangkan kesesuaian perkaranya sendiri’ (the case

Page 11: PENGANTAR AGAMA ISLAM

itself).  Dalam hal kebenaran dan kesalahan proposisi, nafs al-amr bukan saja merujuk pada realitas luaran, tetapi juga pembuktian akal (intellectual demonstration) atas objek-objek yang dirujuk oleh proposisi yang berbeda dalam tiap-tiap kasus. Dalam beberapa kasus, seperti kasus proposisi-proposisi logika, wadah pembuktian itu adalah tingkatan tertentu dalam benak. Dan pada kasus-kasus lain, seperti dalam kasus objek yang dirujuk oleh proposisi ‘kemustahilan bersatunya dua lawan kontradiktif’ (contradictiory), wadah pembuktian itu adalah asumsi pembuktian eksternal.Begitu pula dengan ‘proposisi-proposisi hakiki’  (al-qadhaya al-haqiqiyah), yaitu proposisi yang seluruh subjeknya tidak memiliki contoh-contoh luaran, tetapi bila subjek itu diasumsikan mewujud, predikat dalam proposisi hakiki itu pastilah berlaku padanya. Kriteria kebenaran dalam ‘proposisi hakiki’ adalah kesesuaiannya dengan perkaranya atau kasusnya sendiri (nafs al-amr), lantaran seluruh subjeknya tidak memiliki contoh-contoh yang mewujud di alam luaran untuk bias kita lihat kesesuaian mereka dengan kandungan proposisi. Demikian pula dengan proposisi-proposisi yang terbuat dari objek-objek kawruhan sekunder, seperti proposisi-proposisi logika atau proposisi-proposisi yang mengandung penetapan hukum bagi hal-ihwal yang tiada atau mustahil. Jadi, kriteria kebenaran dalam dua jenis proposisi tersebut adalah kesesuaiannya dengan ‘hal atau perkaranya sendiri’ (nafs al-amr).[9]Untuk itu, beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengulas kebenaran, yaitu :

1. Prinsip-prinsip rasional niscaya (swaobjektif atau badihi) adalah dasar umum bagi semua kebenaran filsafat dan ilmiah.

2. Nilai teori-teori dan hasil-hasil ilmiah dalam bidang eksperimental itu bergantung pada sejauh mana akurasi teori-teori dan hasil-hasil itu dalam menerapkan prinsip-prinsip niscaya (badihi) tersebut pada totalitas data empirikal yang terhimpun.

3. Dalam bidang-bidang non-eksperimental, seperti dalam persoalan metafisika, teori filsafat mendasarkan dirinya pada penerapan prinsip-prinsip niscaya (badihi) tersebut pada bidang-bidang itu. Aplikasinya terjadi melalui proses berpikir dan penyimpulan rasional murni yang terlepas dari eksperimen.

4. Pengetahuan tashdiqi (afirmatif/penilaian) adalah yang mengungkapakan objektivitas konsepsi dan adanya suatu realitas objektif konsep yang ada di dalam benak kita. Pengetahuan tashdiqi itu bersifat pasti karena ia bertumpu pada prinsip-prinsip niscaya.[10]

 Demikian pula, perlu ditegaskan bahwa setiap hukum ilmiah yang benar mengandung kebenaran-kebenaran yang sama dengan kasus-kasus yang diterapkan kepadanya. Jika eksperimen menunjukkan kesalahannya dalam beberapa kasus, maka hal itu bukanlah menunjukkan bahwa kebenaran itu nisbi, relatif, atau bersatunya kebenaran dan kesalahan. Akan tetapi, yang seharusnya dikatakan adalah bahwa kandungan hukum itu (kebenaran) sesuai dengan realitas dalam sebagian kasus-kasus tertentu, dan tidak sesuai dengan ralitas pada sebagian kasus lainnya. Artinya, kebenaran memiliki tempat tersendiri dan tempat itu adalah kebenaran mutlak. Karena itu, Pertama, kebenaran adalah mutlak dan tidak progressif meskipun realitas objektif senantiasa berkembang dan bergerak. Kedua,kebenaran itu berbeda total dengan kesalahan, dimana satu proposisi sederhana tidak mungkin benar sekaligus salah. [11]JENIS-JENIS KEBENARANSecara umum dapat dikatakan bahwa, dalam perolehan pengetahuan, nilai kebenarannya dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

1. Kebenaran mutlak/absolut merupakan kebenaran yang tidak bisa ditolak oleh akal kita. Ada 2 jenis yaitu:

1. Kebenaran absolut Karena dirinya/sumbernya absolut seperti Allah dan orang yang maksum.

2. Kebenaran absolut yang keluar dari sumber yang tidak absolute (tidak maksum), maka kebenaran seperti ini mesti bersyarat yakni harus didukung oleh argumentasi yang jelas dan akurat serta kuat yang tidak dapat ditolak. Dalam hal yang bertentangan (kontradiksi) misalnya, pasti salah satunya benar secara

Page 12: PENGANTAR AGAMA ISLAM

mutlak, sebab dua hal yang kontradiksi tidak bisa keduanya benar atau keduanya salah.

2. Kebenaran tidak mutlak (relative) yaitu kebenaran yang belum tentu benar tetapi juga belum tentu salah. Memiliki kemungkinan salah tetapi bukan mesti salah, dan memiliki kemungkinan benar, tetapi tidak mesti benar. Salah dan benar dalam urusan relatif ini bisa diakui setelah adanya argumentasi. Relatif ini ada dua yakni:

1. Horizontal (sejajar) yakni hal yang saling berlainan (tadhad) yaitu hal yang tidak mesti salah atau benar, akan tetapi tidak bisa semuanya dibenarkan. Yang mungkin terjadi adalah bahwa yang benar adalah satu atau semuanya salah. Dalam hal ini kita dibolehkan untuk mengutarakan pendapat dan menyalahkan pendapat yang lain dengan argumentasi kita, akan tetapi dilarang memaksakan pendapat kita kepada orang lain dan meghina pendapat orang lain.

2. Vertikal (ke atas) yaitu ragam kebenaran dengan tingkatan yang berbeda (tadhakhul). Dalam hal ini semua bisa dianggap benar hanya saja memiliki tingkat kedalaman argumentasi yang berbeda (gradasi kebenaran) dengan perbandingan universal dan partikular. Misalnya, kebenaran pengetahuan, filsafat dan irfan.

Untuk lebih jelasnya, kebenaran berhubungan dengan proposisi, karenanya penting untuk merujuk pembahasan logika tentang persoalan ini. Dalam pembahasan logika, proposisi (qadhiyah) yang paling mendasar adalah proposisi kontradiksi (tanaqudh), yaitu hukum yang memustahilkan bertemunya dua hal yang bertentangan (istihalah ijtima’ al-naqidhain). Lebih konkritnya, secara umum, terdapat empat macam hubungan proposisi yang berurusan dengan jenis penentuan kebenaran, yaitu: 

1. 1. Tanaqudh (kontradiktif; bertentangan), yaitu dua proposisi yang subjek dan predikatnya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujibah (universal afirmatif) dan yang lainnya juz’iyyahsalibah (partikular negatif). Misalnya, “Semua manusia hewan” (universal afirmatif) dengan “Sebagian manusia bukan hewan” (partikular negatif).

Hukum dua proposisi yang kontradiktif adalah ‘jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah; demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya pasti benar. Artinya tidak mungkin keduanya benar atau keduanya salah. Inilah yang biasa dikenal dengan kaedah ‘istihalah ijtima’ al-naqidhain’ (mustahilnya bergabung dua hal yang kontradiktif). 

1. 2. Tadhad (kontrariatif; berlainan) adalah dua proposisi yang sama kuantitasnya (keduanya universal), tetapi yang satu afirmatif dan yang lain negatif. Misalnya, “Semua manusia dapat berpikir” (universal afirmatif) dengan “Tidak satupun dari manusia dapat berpikir” (universal negatif).

Hukum dua proposisi kontrariatif adalah ‘jika salah satu dari dua proposisi itu benar, maka yang lain pasti salah, tetapi, jika yang satu salah, maka yang lain belum tentu benar’. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin untuk salah. 

1. 3. Dukhul tahta tadhad (sub-kontrariatif) adalah dua proposisi yang sama kuantitasnya (keduanya partikular), tetapi yang satu afirmatif dan yang lain negatif. Misalnya: “Sebagian manusia pintar” (partikular afirmatif) dengan “Sebagian manusia tidak pintar” (partikular negatif).

Hukum dua proposisi sub-kontrariatif adalah ‘jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar, tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah’. Dengan kata lain, kedua proposisi itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar. 

Page 13: PENGANTAR AGAMA ISLAM

1. 4. Tadakhul adalah dua proposisi yang sama kualitasnya (keduanya sama-sama afirmatif atau sama-sama negatif) tetapi kuantitasnya berbeda (yang satu universal sedang yang lainnya partikular). Misalnya: “Semua manusia akan mati” (universal afirmatif) dengan “Sebagian manusia akan mati” (partikular afirmatif); atau “Tidak satupun dari manusia akan kekal” (universal negatif) dengan “Sebagian manusia tidak kekal” (partikular negatif).

Hukum dua proposisi interferentif adalah ‘jika proposisi universal benar, maka proposisi partikular pasti benar; tetapi, jika proposisi partikular benar, maka proposisi universal belum tentu benar’. Misalnya: jika “setiap A adalah B” (proposisi universal), maka pasti “sebagian A pasti B” (proposisi partikular). Tetapi jika “sebagian A adalah B” (proposisi partikular), maka belum pasti “setiap A adalah B” (proposisi universal). Dari keempat hubungan di atas, kontradiksi merupakan proposisi yang menjadi dasar semua pembahasan logika dan filsafat. Para ahli logika dan filsafat menyebutkan bahwa agar dua hal dikatakan kontradiksi, maka harus memiliki syarat penting yaitu “adanya kesamaan dalam kedua proposisi yang bertentangan” tersebut. Kesamaan itu terletak pada:

1. Kesamaan subjek (mawdhu’)2. Kesamaan predikat (mahmul)3. Kesamaan tempat (makan)4. Kesamaan waktu (zaman)5. Kesamaan kondisi (syart)6. Kesamaan korelasi (idhafah)7. Kesamaan pada kuantitas: partikular atau universal (juz’i dan kulli)8. Kesamaan dalam potensi dan aktual (quwwah dan fi’li).

 Apabila syarat-sayarat di atas tidak ada pada proposisi maka tidak terjadi kontradiksi.Dengan uraian-uraian di atas maka menjadi jelaslah bahwa epistemologi memiliki kekukuhan argumentasi dan keutuhan kebenaran. Dengannya filsafat menjadi dimensi penting untuk membentuk pandangan dunia dan ideologi yang mapan sebagai basis pemikiran agama.KRITIK TERHADAP BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KEBENARANUraian tentang kebenaran ini, kurang lengkap rasanya jika tidak menguraikan pandangan-pandangan lain yang juga memiliki bobot ilmiah untuk ditelisik sebagai bahan perbandingan. Di bawah ini, penulis berusaha memberikan studi perbandingan atas makna dan neraca kebenaran yang disampaikan oleh beberapa pandangan, dan akan coba mengkritisinya secara sederhana, sesuai kebutuhan. Beberapa pandangan tersebut adalah sebagai berikut: 

1. Pragmatisme. Kalangan pragmatis mendefenisikan kebenaran sebagai pemikiran yang berguna bagi kehidupan praktis manusia. Pemaknaan kaum pragmatis ini merupakan pemaknaan yang popular, padahal mengandung kekeliruan yang akut. Makna ini tidak mungkin menyelesaikan problem kebenaran, bahkan menghasilkan problem baru, sebab kemanfaatan atau kegunaan itu sendiri memerlukan bukti kebenaran. Artinya apa yang menjadi jaminan bahwa guna itu adalah benar? Kekeliruan makna dan neraca pragmatis ini karena tidak dapat membedakan antara kajian teoritis mental dengan kegunaan praktis dari aktivitas itu. Ini berarti, pragmatisme tidak berurusan dengan epistemologi dan neraca kebenaran, melainkan lebih pada hasil dari pengetahuan. Dalam doktrin ini terdapat kekacauan yang jelas antara kebenaran itu sendiri dan tujuan pokok usaha mendapatkan kebenaran. Tujuan mendapatkan kebenaran adalah untuk memakainya dalam lapangan praktis dan mendapatkan penerangan dengan kebenaran itu dalam pengalaman-pengalaman kehidupan. Tetapi, ini bukan arti kebenaran itu sendiri. Selain itu ada beberapa tanggapan lainnya. Pertama, memberikan makna praktis murni kepada kebenaran, dan melepaskannya dari kualitas pengungkapan apa yang ada dan yang sebelumnya adalah mengakui mutlak skeptisisme filosofis. Kedua, adakah hak kita untuk mempertanyakan kegunaan praktis ini yang dianggap pragmatisme sebagai kriteria

Page 14: PENGANTAR AGAMA ISLAM

kebenaran dan kepalsuan. Apakah itu kegunaan individu tertentu yang berpikir atau kegunaan kelompok? Apa batas-batasnya? Ketiga, fakta adanya maslahat manusiawi dalam benarnya ide tertentu tidak cukup untuk membenarkan ide ini.[12]

 

1. Koherensi. Ada defenisi koherensi yang mengartikan kebenaran adalah kesesuaian pengetahuan yang belakangan dengan pengetahuan sebelumnya. Artinya, pengetahuan yang ada pada seseorang mestilah sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Pemaknaan ini juga tidak dapat dipegang karena tidak menyelesaikan masalah utama kebenaran, yaitu keseuaian dengan realitas. Artinya, pengetahuan yang kita peroleh saat ini mesti disesuaikan dengan pengetahuan lainnya, masalahnya apa yang menjamin kebenaran pengetahuan lain yang sebelumnya itu? Jika dikatakan, yang menjaminnya adalah pengetahuan-pengetahuan lainnya yang sebelumnya dan terus berlangsung dengan tak terhingga (tasalsul), maka hal ini tidak dapat dibenarkan, karena tasalsul adalah kemustahilan. Meskipun begitu, koherensi yang berlandaskan pada epistemologi hudhuri dapat menjadi patokan kebenaran dan memperkaya pengetahuan setelah melalui konsep swabukti.

 

1. Konvensi. Ada yang mendefenisikan kebenaran sebagai perkara yang disepakati semua orang. Pemaknaan ini juga mengalami kerancuan yang fatal, karena tetap tidak menyelesaikan problem fundamental kebenaran, yakni menemukan realitas yang sesungguhnya. Jika kebenaran adalah kesepakatan bersama, apa yang menjamin kesepakatan itu sesuai dengan realitas? Terlebih lagi, bagaimana jika terjadi perbedaan dan tidak ditemukan kesepakatan, apa yang menjadi pilihan untuk menentukan kebenaran? Begitu pula, kebenaran tidaklah berhubungan dengan istilah ataupun kesepakatan yang kita buat, karena pengetahuan dan kebenaran, memiliki cirri-ciri yang esensial yang mampu menjelaskan realitas eksternal. Karena iru, jika ada sebuah pendapat yang diterima secara umum selama berabad-abad sehingga dianggap kebenaran, akan tetapi, pada suatu hari dibuktikan dengan akurat bahwa pendapat itu salah, maka bukanlah kebenaran mengalamai perubahan atau adanya dua kebenaran yaitu kebenaran yang lama dan kebenaran yang baru, melainkan bahwa kita telah mengikuti kesalahan selama berabad-abad tanpa kita sadari. [13] Karena itu, pernyataan lainnya bahwa ‘kebenaran adalah kesalahan yang belum terungkap’ juga tidak dapat diterima karena pernyataan ini kontradiksi dan berujung pada relativisme, sophisme, atau skeptisisme.[14]

 

1. Empirisme. Kalangan empirisme memaknai kebenaran adalah pengetahuan yang dapat dialami secara inderawi. Pemaknaan ini keliru, karena, pertama,makna ini hanya berlaku pada benda-benda yang kasatmata dan perkara-perkara yang bisa dialami secara inderawi dan praktis. Masalah-masalah logika dan matematika murni tidak akan bisa dinilai dengan tolok ukur ini.Kedua, hasil pengamatan inderawi dan praktis mesti dipahami melalui ilmu hushuli. Seperti dijelaskan sebelumnya, ilmu hushuli merupakan pengetahuan yang relasinya dengan subjek bersifat korespondensi, sehingga pengetahuan manusia tentang objek-objek material tidaklah konkrit dan secara langsung, melainkan dengan perantaraan dan bersifat abstrak. Ini berarti, meskipun objek material kontak dengan indera, tetapi dalam pembentukan ide atau pengetahuan, tidaklah berdasarkan pada objek material itu, melainkan reperesentasi (gambaran) dari objek terebut yang dengan kreatifitas akal diubah menjadi objek internal yang bersifat abstrak. Jika demikian, maka problem awal kebenaran tidaklah terselesaikan, yaitu apa yang menjamin kebenaran korespondensi dalam ilmu hushuli tersebut?Ketiga, prinsip empirisme sendiri bukan merupakan prinsip yang didapat melalui pengalaman empiris, melainkan dari pengetahuan yang swabukti (non-empiris). Dengan demikian ia bertentangan dengan

Page 15: PENGANTAR AGAMA ISLAM

doktrinnya sendiri.Keempat, ada konsep-konsep yang tidak bisa dianalisis melalui empiris, seperti konsep matematika dan logika. Begitu pula dengan hal-hal yang non-material (tak terindera), di mana hal itu tidak bisa ditetapkan atau ditolak keberadaannya.[15]

KESIMPULANNilai kebenaran merupakan problem paling mendasar dalam pengetahuan manusia. Hanya saja, masalah ini berurusan dengan ilmu hushuli, sebab hanya dalam ilmu hushuli persoalan kebenaran dan kesalahan mendapatkan tempatnya, sedangkan dalam ilmu hudhuri, tidak ada dualisme kebenaran dan kesalahan, disebabkan tidak adanya proses korespondensi dalam pengetahuan tersebut.Secara umum, makna dan neraca kebenaran adalah kesesuaian proposisi atau forma mental dengan realitas eksternal. Pembahasan di atas, telah dengan jelas membuktikan bahwa manusia dapat memperoleh kebenaran secara pasti dan nyata, sehingga sophisme, skeptisisme, dan relativisme tidak mendapatkan tempat dalam sistem pemikiran Islam.  

[1] Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam. (Bandung: Mizan, 2003), h. 145.[2] Nafs al-amr memiliki banyak pemaknaan—selain realitas objektif— adalah alam ketetapan intelektual bagi obyek-obyek yang diungkap oleh proposisi. Ini berarti nafs al-amr adalah proposisi yang benar tetapi tidak memiliki sebagian atau keseluruhan eksistensi subjeknya pada realita, akan tetapi bila ia ada pada realita niscaya predikatnya dapat diterapkan padanya.[3] Lorens Bagus. Metafisika. (Jakarta: Gramedia, 1991), h. 86-87.[4] Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi. (Jakarta: lentera, 2001), h. 251.[5] Perlu diketahui, kebenaran sempurna itu secara logis jika memenuhi dua syarat yaitu : benarnya isi premis yang digunakan (bahan silogisme) dan benarnya menggunakan aturan logika (bentuk silogisme), yang sering disebut dengan benarnya dalam bahan dan bentuk. Karena itu, jika sesorang telah dengan benar menerapkan aturan-aturan logika, namun kesimpulannya keliru, maka dapat dipastikan bahwa kesalahan silogisme terletak pada isi premis atau bahan silogisme.[6] Misbah Yazdi, Buku Daras, h. 150-151.[7] Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Filsafat Tauhid. (Bandung: Mizan, 2003), h. 116-119.[8] Misbah Yazdi, Buku Daras, h. 150-151.[9] Misbah Yazdi, Buku Daras, h. 151-152.[10] Muhammad Baqir Shadr. Falsafatuna. (Bandung : Mizan, 1995), h. 109.[11] Muhammad Baqir Shadr. Falsafatuna, h. 134-135.[12] Lihat Muhammad Baqir Shadr, Falsafatuna, h.126-127.[13] Murtadha Muthahhari, Mengenal, h. 242.[14] Yang seharusnya pernyataan tersebut berbunyi ‘kebenaran adalah pengungkapan atas kesalahan. Hal ini karena kebenaran adalah kesesuaian dengan realitas, sedangkan kesalahan berarti ketidaksesuaian dengan realitas. Artinya, dengan mengungkapkan kesalahan, kita dapat menemukan kebenaran. Jadi, kebenaran adalah hasil atau konsekuensi dari pengungkapan atas kesalahan. Sedangkan ungkapan ‘kebenaran adalah kesalahan yang belum terungkap’, tidaklah menunjukkan hasil dari pengungkapan kesalahan, melainkan keterjebakan diri dengan menganggap kesalahan sebagai kebenaran. Inilah mengapa dikatakan bahwa ungkapan tersebut kontradiksi dan menghasilkan sophisme.[15] Lihat Misbah Yazdi, Buku Daras, h. 122-126, 130-131, 147; Muhammad Baqir Shadr, Falsafatuna, h. 41-44; Murtadha Muthahhari, Mengenal, h.261-267.saudaraku…MAKNA AGAMAAgama dalam bahasa Arab disebut al-din yang menunjukkan arti balasan atau ketaatan. Sedangkan secara teknis, al-din berarti iman kepada pencipta manusia dan alam semesta serta kepada hukum praktis yang sesuai dengan keimanan tersebut.[1] Dari defenisi ini ada dua hal penting dalam susunan agama yaitu sisi teoritis (kepercayaan, keyakinan) yang lebih populer di kenal dengan akidah, dan sisi praktis (perbuatan, amal saleh) yang lebih sering disebut dengan syariah. Dan dalam tertib keagamaan, sisi teoritis mendahului yang praktis, keyakinan

Page 16: PENGANTAR AGAMA ISLAM

mendahului perbuatan, atau akidah mendahului syariah. Artinya, yakin dulu akan keberadaan Tuhan, baru kita buisa menyembahnya. Karna tertib ini, maka akidah menjadi ushul al-din (pokok agama), sedangkan syariah menjadi furu’ al-din (cabang agama). Dan pada kesempatan ini, penulis hanya akan mengulas persoalan ushul al-din.SUMBER JIWA BERAGAMABeragam pandangan telah diutarakan oleh para ahli tentang sumber jiwa keberagamaan pada mansuia. Ada yang meninjaunya dari sisi sosiologi, filosofis, dan juga psikologi. Pada dasarnya, secara umum pandangan ini bermuara pada dua pendapat. Pertama, pendapat yang meyakini bahwa agama bersumber dari sistem eksternal (luar diri) manusia. Artinya, manusia bukanlah makhluk yang pada dasarnya beragama. Kedua, pendapat yang meyakini bahwa manusia adalah makhluk religius yang mana agama sebenarnya bersumber dari sistem internal diri manusia itu sendiri. Kedua pandangan ini akan diuraikan di bawah ini.Pendapat Pertama:Manusia Makhluk Non ReligiusBagi sebagian ahli, anak diibaratkan sebagai kertas kosong (tabularasa) yang tidak memiliki pembawaan apapun termasuk jiwa religius. Mereka memandang manusia sebagai bentuk, bukan secara kejiwaan,[2] dan kalangan ilmuan ini menganggap bahwa manusia pada awalnya tidaklah beragama. Keberagamaan timbul dikarenakan kondisi dan situasi yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupannya di dunia ini. Nico Syukur Dister menjelaskan empat motif yang menjadi penyebab kelakuan beragama manusia, yaitu :

1. Untuk mengatasi frustrasi2. Untuk menjaga kesusilaan serta tata tertib masyarakat3. Untuk memuaskan intelek yang ingin tahu4. Untuk mengatasi ketakutan.[3]

 Keempat motif ini menunjukkan bahwa agama bukanlah hal yang asasi dalam diri dan kehidupan manusia, tetapi hanya merupakan suatu yang fungsional dan pragmatis, yang menekankan segi egoistis (ananiyah) manusia yang ingin menjadikan agama sebagai alat bagi kepentingannya sendiri.[4]Adapun bahan dasar bagi keberagamaan individu adalah pengalaman beragamadan keinginan beragama. Pengalaman beragama merupakan pengalaman mengenai hal-hal yang di dunia ini sebagai tanda yang mengarahkan pada wujud Yang Maha Lain, Yang Transenden, atau yang lebih dikenal dengan Tuhan. Ini adalah pengalaman yang elementer dan fundamental, serta sebagiannya bersifat intuisi, afeksi dan emosi.Sedangkan keinginan beragama merupakan bahan yang perlu disusun dan diintegrasikan ke dalam kepribadian manusia, agar orang yang bersangkutan mampu bersikap religius. Ini merupakan wujud dari motivasi psikologis untuk beragama. Proses-proses psikologis macam ini ada sangkut pautnya dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu yang ditimbulkan dalam diri manusia oleh situasi dan kondisi tertentu, baik situasi religius maupun tidak. Hanya saja situasi dan kondisi yang tidak religius itu, tetap ditanggapi manusia secara religius. Misalnya  keempat motif di atas (situasi frustrasi, menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat, pemuasan intelektual, ketakutan) yang secara esensial tidak berhubungan dengan situasi dan kondisi religius, namun dianggap melahirkan sikap beragama.[5]Pandangan-pandangan seperti ini dapat kita lihat dari tulisan-tulisan yang diajukan oleh Sigmund Frued, Karl Marx, Emile Durkheim, Williem James, dan lainnya.Bagi Sigmund Freud (1856-1939), agama dipandangnya sebagai gangguan pikiran atau obsesi (obsession), sebagai pemenuhan keinginan masa kanak-kanak yang terhambat (fiksasi), dan juga sebagai khayalan (illusion).[6] Sebagai bentuk penyaluran keinginan, agama tak lebih hanya sekedar pemuasan dari libido (nafsu) yang terhambat. Libido merupakan energi seksual yang mesti disalurkan agar mendatangkan apa yang disebut Freud dengan istilah lust (kenikmatan). Ketegangan libido dan penyalurannya berlangsung secara terus menerus yang disebut dengan istilah lustprinzip (asas kelezatan atau mencari nikmat), yang mana jika tidak tersalurkan atau terhambat pemuasan penyalurannya, maka akan mendatangkan ketidaksenangan, kekecewaan dan frustrasi pada diri individu.[7] Teori ini diperkuat Freud dengan mengedepankan kasus Oedipus Complex yang menyukai ibunya, namun terhambat karena keberadaan ayahnya,

Page 17: PENGANTAR AGAMA ISLAM

akhirnya ia membunuh ayahnya demi menyalurkan libidonya yang terpendam. Namun perbuatan itu mendatangkan penyesalan yang pada puncaknya terjadi penyembahan kepada ayahnya itu. Inilah awal dari munculnya agama.[8]Keadaan frustrasi inilah yang mengarahkan manusia pada sublimasi yaitu merubah energi seksualnya kepada dimensi lain yang bisa memuaskan atau mengurangi tingkat frustrasinya. Perubahan energi seksual ini dapat mengarah pada dimensi atau energi rasional dan rohani yang kemudian menjadi dasar munculnya agama.Adapun Emile Durkheim, ia lebih menekankan agama sebagai sistem sosial yang diciptakan masyarakat. Dengan tegas ia menulis :“ …agama merupakan sesuatu yang benar-benar bersifat sosial. Representasi-representasi religius adalah representasi-representasi kolektif yang mengungkapkan realitas-realitas kolektif; ritus-ritus merupakan bentuk tindakan (a way of acting) yang hanya lahir di tengah-tengah kelompok-kelompok manusia dan tujuannya adalah untuk melahirkan, mempertahankan atau menciptakan kembali keadaan-keadaan mental (mental states) tertentu dari kelompok-kelompok itu. Tapi jika kategori-kategori merupakan asal mula religius, maka mereka harus terdapat dan ikut serta di dalam apa-apa yang menjadi umum bagi setiap agama. Kategori-kategori ini juga harus menjadi sesuatu yang bersifat sosial, menjadi produk dari pemikiran-pemikiran kolektif.”[9] Untaian kalimat di atas dengan jelas menjadikan agama sebagai ciptaan manusia yang berkoloni. Agama yang mereka ciptakan itu sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan kehidupan yang mereka alami bersama dalam kelompok atau masyarakatnya.Jika kita cermati dengan seksama, motif dan teori munculnya agama tersebut di atas jelas tidak memiliki kekukuhan dan keutuhan argumentasi. Secara sederhana kita dapat mengajukan pertanyaan, jika motif-motif tersebutlah sebagai penyebab munculnya jiwa keberagamaan, namun mengapa setelah motif-motif tersebut hilang atau dapat terlaksana, jiwa keberagamaan masih tetap bersinar di dalam diri manusia dan bertahan hingga kini?Sejarah telah membuktikan bahwa para pejuang agama awalnya bukanlah orang-orang frustrasi, bodoh dan pengecut, akan tetapi mereka adalah utusan-utusan Tuhan yang sukses, cerdas, dan pemberani. Jika agama produk kebodohan, mengapa banyak para ilmuwan yang sangat religius? Sebaliknya, banyak ditemukan manusia-manusia penakut dan bodoh yang hidup tanpa agama dan tidak meyakini Tuhan. Selain itu saat ini, dalam kondisi yang nyaman, masyarakat yang tertata, canggih dan hidup dalam tingkat pengetahuan tertinggi, namun agama tetap menjadi kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan. Bahkan, ditemukan kasus-kasus serius di Negara yang maju dan berperadaban, orang-orang yang menjauh dari agama akan merasa teralienasi (asing).Pendapat Kedua :Manusia Makhluk ReligiusJika sebelumnya diuraikan bahwa agama bersumber dari luar diri manusia yang diperoleh dari lingkungan dan kondisi serta situasi yang melingkupinya. Maka pada pembahasan ini akan menguraikan bahwa jiwa keberagamaan secara asasi, instinktif dan intrinsik telah tertanam dalam diri manusia.Banyak ahli yang menyatakan bahwa anak dilahirkan telah membawa jiwa keagamaan, dan baru berfungsi kemudian setelah melalui bimbingan dan latihan sesuai dengan tahap perkembangan jiwanya. Will Durant dengan tegas menyatakan bahwa agama merupakan suatu perkara yang alamiah, lahir secara lansung dari kebutuhan dan perasaan instinktif kita (Religion is a natural matter, born directly of our instinctive needs and feelings).[10] Adapun Alexis Carrel menulis, ‘perasaan beragama (mistic) terpancar dalam diri manusia sebagai insting dasar. Manusia, lanjutnya, sebagaimana ia membutuhkan air bagi kehidupan, begitu pula ia membutuhkan Tuhan (The mistic sense is the stirring deep within us of a basic instinct. Man, just as he needs water, solikewise needs God).[11]Pandangan bahwa jiwa keberagamaan pada manusia telah tertanam sejak awal didukung oleh banyak penelitian ilmiah mutakhir. Penelitian-penelitian ini banyak mengedepankan otak sebagai objek yang diteliti dengan menggunakan analisa ilmunuorologi. R. Josep mengemukakan hal ini sebagai berikut :“Pernah dikemukakan bahwa Tuhan sudah mati dan bahwa spiritualitas adalah candu bagi rakyat. Tetapi, sekarang sudah ditemukan dasar ilmiah, neurologis, dan genetik untuk kepercayaan agama, spiritualitas dan gejala paranormal, termasuk pengalaman tentang dewa,

Page 18: PENGANTAR AGAMA ISLAM

setan, arwah, nyawa, dan kehidupan setelah kematian. Ada bagian tertentu dari otak yang menjadi sangat aktif ketika bermimpi selama dalam keadaan trans (trance), meditasi, sembahyang atau karena pengaruh LSD, dan yang memungkinkan kita untuk mengalami wilayah realitas Tuhan, arwah, jin, dan kehidupan setelah kematian.”[12] Perkembangan psikologi belakangan ini, telah mengembangkan suatu bentuk penelitian tentang otak dan kecerdasan manusia. Danah Zohar dan Ian Marshal, telah mengemukakan berbagai penelitian para neorolog yang konsentrasi pada penelitian secara empirik dimensi otak manusia. Dari studi ilmiah mereka, kecerdasan tidak lagi hanya sebatas intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ), serta kecerdasan spiritual (SQ). Untuk kecerdasan yang terakhir, para ilmuan telah mengajukan bukti-bukti ilmiah yang valid, dengan kajian dan penelitian neurologi bahwa dalam struktur otak dan syaraf manusia ada tempat tersendiri yang unik dan permanen sebagai wilayah ekspresi spiritual, agama, dan Tuhan. Mereka bahkan menyebut wilayah ini sebagai “titik Tuhan” (God Spot), dan berkesimpulan bahwa memang ada mesin syaraf di dalam lobus temporal yang dirancang untuk berhubungan dengan agama dan “terpatri” (hard-wired) di dalam otak manusia.[13]Jadi, kesadaran beragama sudah mendapat format khusus dalam sisi intrinsik individu dan bersifat universal yang semua manusia membutuhkannya.[14] Bahkan bagi Abraham Maslow, pengalaman keagamaan merupakan pengalaman puncak (peak experience), kedamaian dan kebahagiaan yang berlangsung terus menerus (plateau), dan sisi terdalam dari tabiat manusia (farthest reaches of human nature).[15] Menariknya, kata Maslow, pengalaman puncak dalam keagamaan (disebut juga pengalaman mistik) dilukiskan dengan kata-kata yang nyaris sama oleh setiap penganut agama, disetiap zaman dan di setiap peradaban.[16]Islam dan para ilmuan Muslim juga mengemukakan pendapat yang nyaris seragam dengan menganggap anak telah memiliki potensi keberagamaan sejak lahir yang dikenal dengan istilah fitrah.[17]Fitrah berasal dari kata fathara yang salah satu maknanya adalah penciptaan (al-khilqah), sedangkan secara linguistik bermakna sistem khusus penciptaan. Dengan demikian, fitrah manusia berarti sebuah sistem ciptaan khusus bagi manusia.[18]Manusia dengan bentuk ciptaannya memiliki format khusus. Ia juga memiliki pengetahuan-pengetahuan serta kecenderungan-kecenderungan khusus yang muncul dari dalam wujudnya, bukan dari luar fisiknya. Dengan kata lain, manusia bukanlah kain putih nan polos dan tak bertulis sebelumnya (kosong dari segalanya). Akan tetapi, dalam lubuk hati setiap manusia sudah tersimpan sejumlah potensi-potensi khusus.Kecenderungan dan berbagai potensi pengetahuan yang berada dalam diri manusia itu sebagiannya berhubungan dengan sifat hewani seperti makan dan seksualitas, dan sebagian lagi berhubungan dengan sifat kemanusiaannya. Fitrah Ilahi manusia hanya bertalian dengan kecenderungan manusiawi. Inilah yang menjadi faktor pembeda dan kelebihan manusia dari binatang. Oleh karena itu, siapapun yang kehilangan kecenderungan kemanusiaan yang ilahiah tersebut, ia tak ubahnya seperti hewan dalam bentuk manusia.Kecenderungan ini adalah milik spesies manusia. Artinya, bukan terbatas pada segelintir orang saja atau khusus dimiliki kelompok masyarakat dalam masa tertentu. Melainkan dimiliki oleh semua manusia di setiap waktu dan tempat serta dalam kondisi bagaimanapun. Di sisi lain, kecenderungan ini juga potensial sifatnya. Ia dimiliki oleh setiap manusia, tetapi, tumbuh dan berkembangnya bergantung pada upaya dan usaha masing-masing individu manusia. Jika manusia mampu memelihara dan memupuk kecenderungan ini, ia akan menjadi makhluk terbaik, bahkan lebih baik dari para malaikat sekalipun, dan ia akan sampai pada kesempurnaannya. Sebaliknya, jika kecenderungan itu mati, secara otomatis kecenderungan hewani akan menguat dan unggul, orang semacam ini akan lebih rendah dari setiap binatang dan terjerembab ke dasar neraka yang paling dalam. Firman Allah swt, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Q.S. al-A’raf: 179)Dengan demikian, secara sederhana, fitrah manusia dibagi kepada dua bagian:

Page 19: PENGANTAR AGAMA ISLAM

1. Fitrah akal (aqliah) yang merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tanpa dipelajari (badihiyât awwaliyah)

2. Fitrah iman, kecenderungan dan keinginan untuk beribadah dan menyembah Tuhan.

 Secara naqliyah, menurut al-Quran, mengenal dan menyembah Tuhan adalah hal yang fitri, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. al-Rum: 30).Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini senyatanya menunjukkan secara intrinsik dan instinktif seluruh manusia memiliki jiwa keberagamaan yang terpatri dalam dan tidak bisa hilang.[19] Maksud dari dîn dalam ayat ini bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah. Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan dan meyembahnya adalah hal yang bersifat fitri dan telah dibawa sejak lahir. Ringkasnya, manusia adalah makhluk religius. [20]Rasulullah saw pernah bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang akan menjadikan ia sebagai yahudi atau nasrani.”[21]Imam Ja’far Shadiq a.s. ketika ditanya tentang makna ayat 30 surat al-Rum di atas menjelaskan bahwa fitrah itu berarti tauhid, Islam, dan juga ma’rifah[22]. Imam Khumaini saat mengomentari perkataan Imam Ja’far Shadiq a.s. ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah yang semua manusia tercipta dengannya adalah kondisi dan kualitas penciptaan manusia. Semua manusia, tanpa terkecuali, tercipta dalam pola fitrah itu sebagai konsekuensi logis dari keberadaannya. Fitrah ini telah berjalin kelindan dengan esensi wujudnya. Fitrah adalah salah satu rahmat Allah Swt. yang khusus dianugerahkan kepada manusia. Makhluk-makhluk selain manusia tidak memiliki fitrah semacam ini, atau mereka memilikinya dengan kadar yang lebih rendah daripadanya.[23]Bahkan lebih jauh Imam Khomeini menyebutkan beberapa fitrah pemberian Allah yaitu, pertama, keyakinan kepada Wujud Awal segala sesuatu Yang Maha Agung dan Maha Tinggi; kedua, keyakinan akan keesaan-Nya; ketiga, keyakinan kepada wujud suci itu meliputi segala kesempurnaan; keempat, keyakinan pada hari kebangkitan;kelima, keyakinan fitri kepada kenabian; keenam, keyakinan kepada keberadaan malaikat-malaikat, ruh-ruh suci, penurunan kitab-kitab suci, dan pengumandangan jalan kebenaran. [24]Selain ayat 30 surat al-Rum di atas, masih banyak ayat-ayat al-Quran yang mengarahkan dan menguatkan teori fitrah ini diantaranya surat al-A’raf: 172-173, al-Baqarah: 138, Yasin: 60-61, dan Luqman: 25.Dalam ayat lainnya Allah berfirman, “Dan (ingatlah) Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat nanti kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’ (Q.S. al-A’raf: 172).Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa sebelum manusia dilahirkan ke alam materi, mereka terlebih dahulu dikumpulkan di alam malakuti (alam gaib) untuk memberikan kesaksian atas keberadaan dan keesaan Allah swt. Kesaksian mereka menjadi mitsaq (perjanjian) yang mengikat sejak dari alam malakuti hingga alam akhirat nanti. Ini mengindikasikan bahwa setiap individu secara genetik telah cenderung berketuhanan. Para mufassir melihat ayat ini sebagai pengumpulan penting, yang meskipun berdimensi malakuti tetapi tetap memiliki pertanggungjawaban serius hingga ke hari kiamat kelak, yang mana manusia tidak dapat ingkar dan berpaling darinya dengan mengemukakan berbagai hujjah dan alasan, karena ia telah terikat dengan perjanjian terhadap dirinya sendiri dengan Tuhan secara langsung dalam suatu acara “tatap muka”, sehingga tidak memberi peluang bagi mereka untuk mengikuti politeisme dan jejak nenek moyang mereka yang salah kaprah, sebab pengetahuan intuitif ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya.[25] Bahkan kecenderungan terhadap ketuhanan (agama), bagi Sayid Baheshti, bersemayam kuat dalam setiap jiwa manusia baik secara sadar maupun tidak, sekalipun pada individu-individu yang mengaku ateis.[26]

Page 20: PENGANTAR AGAMA ISLAM

Sayid Mujtaba Musawi Lari menyebutkan ada empat pembawan dasar manusia yang salah satunya adalah perasaan beragama (religious sense) disamping kebenaran (truth), kebaikan (goodness), dan keindahan (beauty).[27] Tentang perasaan beragama ini, Mujtaba Lari dengan sangat baik menguraikan bahwa fitrah merupakan prinsip yang tak bisa diubah dan dihilangkan, walaupun ia dapat ditekan dan disembunyikan. Bahkan pengutusan para Nabi ke dunia ini, tidak lain sebagai penopang luar yang memperkuat keberadaan fitrah manusia. Beliau menulis :“Dakwah para Nabi didasarkan pada kecenderungan bawaan manusia kepada keesaan dan akhlak yang melekat secara alami. Prinsip-prinsip alamiah ini beserta rasio menjadi basis yang fundamental dalam penyelenggaraan pendidikan. Tugas utama para Nabi Allah, yang mereka sampaikan melalui misi dan pengajaran, adalah membangkitkan kekuatan-kekuatan bawaan yang tersembunyi di dalam fitrahnya. Pancaran cahaya fitrah dapat saja menjadi lemah pada kondisi-kondisi tertentu, pengaruh lingkungan, dan beragam faktor lainnya yang berhubungan dengan manusia, tetapi fitrah tersebut tidak akan pernah bisa dihilangkan. Fondasi-fondasi dari fitrah ini tetap akan terjamin kokoh dan stabil walaupun menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan dan rintangan-rintangan yang muncul dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah. Akhirnya, penyimpangan-penyimpangan dari jalan fitrah tidak berhubungan dengan pembawaan dan realitas manusia.” [28] Jika kita cermati penjelasan di atas, maka dengan jelas menunjukkan fitrah tersebut mengarah pada dimensi akidah (ketuhanan dan turunannya) yang umumnya bersifat gaib.Dengan uraian-uraian di atas, fitrah dapat dikenali dengan beberapa ciri penting, yaitu :

1. Fitrah merupakan pemberian Allah dan format penciptaan.2. Fitrah bersifat universal yakni terdapat pada setiap wujud manusia.3. Fitrah tidak dapat dilenyapkan (meskipun sering disembunyikan) dan akan senantiasa ada

selama manusia hidup.4. Fitrah tidak diperoleh dari proses belajar, meskipun untuk memperkuat dan

mengarahkannya proses pendidikan sangat diperlukan.

 Perlu diketahui bahwa setiap manusia mempunyai ilmu hudhuri[29] (ilmu kehadiran) yang jelas dan gamblang dan menjadi dalil akal yang kokoh. Misalnya, setiap manusia tidak dapat menyangkal keberadaan dirinya sendiri, karena dia mengetahui secara langsung bahwa dirinya ada. Dengan ilmu hudhuri ini manusia memiliki dasar-dasar pengetahuan yang diantaranya dapat digunakan  untuk mengenal dan meyakini keberadaan Tuhan. Dari pengetahuan ini akan berkembang sedemikian banyak melalui pengetahuan yang bersifat hushuli[30] dalam memperjelas argumentasi keberadaan Tuhan.Dengan demikian, fitrah mengenal Tuhan telah terdapat dalam diri manusia secara langsung yang menjadi model sekaligus modal khusus bagi dirinya. Terdapat ruang di dalam hati manusia untuk mengenal Tuhan secara sadar dan mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan menggunakan dalil-dalil akal yang argumentatif. Jika akal menemukan Tuhan dengan keteraturan dan pemikiran, maka rasa keberagamaan (religious sense) menemukan-Nya dengan cinta.[31] Intinya, keberagamaan adalah cetak biru yang telah tertanam kuat pada diri manusia, bukan hasil rekayasa budaya dan ilmu, seperti dikatakan Taqi Falsafi, ”Cahaya keimanan terus membara dalam kalbu umat manusia, karena sumber cahaya yang membara ini adalah fitrah manusia. Selama di muka bumi masih terdapat manusia, selama masih terdapat fitrah, niscaya cahaya tersebut tak akan pernah padam.”[32]MAKNA USHULUDDIN Agama terdiri dari keimanan dan pengamalan. Keimanan yang disebut dengan akidah merupakan unsur dasar yang menjadikan manusia mengamalkan agama, yang tanpanya seluruh tindakan praktis manusia tidak berdimensi ilahiah.Karena nilai pentingnya tersebut, akidah atau keimanan dijadikan sebagai dasar agama yang semua prinsipnya menjadi landasan bagi pengamalan agama. Akidah inilah yang dalam terminologi teologi disebut dengan ushuluddin, sedangkan amal-amal praktis agama disebut cabang agama (furu’uddin).

Page 21: PENGANTAR AGAMA ISLAM

Secara etimologi, ushuluddin berasal dari bahasa Arab yang digabungkan dari dua kata: ushul dan al-din. Ushul berarti dasar, fondasi, prinsip, atau pokok, sedangkanal-din berarti balasan, ketaatan, atau agama. Jadi ushuluddin sederhananya adalah dasar atau prinsip agama. Mahmud Syaltut menyatakan bahwa akidah merupakan segi teoritis yang pertama-tama dituntut dan mendahului segala sesuatu untuk dipercayai dengan keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh syakwasangka dan tidak dipengaruhi oleh keraguan.[33] METODE MENENTUKAN USHULUDDIN Seperti telah dijelaskan, agama memiliki dua unsur penting yaitu seperangkat keyakinan (teoritis) dan seperangkat amalan (tindakan praktis). Secara urutan akal, keyakinan lebih dahulu sebelum lahirnya tindakan (amal) praktis manusia, meskipun, keduanya merupakan satu kesatuan yang saling dukung. Karena itu, penentuan keyakinan mendapatkan posisi pertama dan utama dalam struktur agama yang mesti dikaji, dibahas, dan ditemukan dengan sungguh-sungguh dengan seluruh perangkat potensi yang dimiliki manusia. Dan secara asumtif kita bisa menetapkan empat sumber dan sarana pengetahuan manusia, yaitu : a). Melalui indera; b). Melalui akal; c). Melalui hati (intuisi); dan d). Melalui wahyu.Melalui analisis yang mendalam kita dapat menyimpulkan bahwa, satu-satunya jalan yang mungkin digunakan manusia untuk menentukan ushuluddin adalah melalui jalan rasional (akal). Hal ini karena ketiga jalan lainnya tidak akan menghasilkan analisis teoritis.[34]Misalnya, melalui indera. Sumber dan alat inderawi sangatlah terbatas pada benda-benda fisik, sedangkan pada benda-benda non-material, ia tidak dapat memberikan kajian teoritis apapun. Bahkan, pada benda-benda material sekalipun, indera hanyalah berfungsi secara sekunder yaitu menangkap kesan untuk menghasilkan persepsi inderawi yang kemudian di kirim ke akal agar dapat menghasilkan serangkaian pengetahuan korespondensi. Jika kita cermati, ushuluddin bukan hanya berhubungan dengan benda-benda material, tetapi juga dengan wujud non-material, bahkan wujud non-material inilah yang menjadi fondasi terpenting ushuluddin. Selain itu, persoalan ushul al-din adalah persoalan teoritis yang bersifat abstrak, yang berhubungan dengan konsepsi (tashawwur) dan afirmasi/pembukltian (tashdiq), dan kedua hal ini merupakan kerja akal.Begitu pula dengan jalan intuisi dan penyaksian (syuhudi), di mana jalan ini diperoleh dengan didahului seperangkat pengetahuan teoritis dan tindakan praktis agar tidak terjadi kekeliruan yang fatal. Seseorang harus meyakini terlebih dahulu keberadaan Tuhan, baru menyatakan ingin menyaksikannya. Bahkan seseorang harus beramal baik, baru Tuhan berkenan menemuinya. Dan cara beramal yang baik harus dirumuskan secara teoritis terlebih dahulu, baru bisa dilaksanakan secara praktis. Seperangkat pengetahuan teoritis itu tidak mungkin diperoleh melalui jalan intuisi, sebab intuisi hanyalah berurusan dengan penyingkapan (kasyaf) bukan dalam kajian teoritis. Selain itu, kehujjahan dalil kasyaf hanya dapat dijadikan hujah oleh pemilik dalil tersebut (subjektif), itupun setelah ditemukan adanya kesesuaian dalil tersebut dengan neraca al-Quran dan hadits, serta akal.Adapun melalui jalan wahyu semakin tidak mungkin, sebab akan mengakibatkan posisi terbalik dalam menentukan ushuluddin. Hal ini karena, ushuluddin merupakan kajian teoritis awal untuk menghantarkan manusia pada keyakinan agama dan meletakkan fondasi serta kebenaran agama, sedangkan wahyu, jelas akan berlaku setelah adanya keyakinan manusia terhadap agama bahkan terhadap pembawa agama (nabi atau rasul). Artinya, sebelum meyakini sumber dan pembawa wahyu (Tuhan dan Nabi), maka kita tidak mungkin mengakui dan menggunakan wahyu. Muungkinkah orang yang tidak percaya kepada Tuhan dan Nabi, akan mempercayai bahwa al-Quran adalah wahyu?Dengan demikian, maka terbuktilah bahwa akal menjadi jalan utama dan pertama dalam metode keyakinan, membentuk dan menentukan ushuluddin. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hukum akal, diantaranya:

1. Hukum tanaqudh, yaitu “mustahilnya bergabung dua hal yang kontradiksi/bertentangan”, yaitu jika ada dua hal yang bertentangan maka salah satunya pasti benar sedangkan yang lainnya salah, dan tidak mungkin keduanya benar atau keduanya salah. Misalnya, tidak mungkin sesuatu itu ada sekaligus tidak ada pada saat yang bersamaan.

Page 22: PENGANTAR AGAMA ISLAM

2. Hukum “mustahilnya tasalsul”, yaitu ‘Ketergantungan sesuatu kepada sesuatu yang lain, dimana sesuatu yang lainnya itu juga tergantung pada selain dirinya, begitu seterusnya secara tidak terbatas’. Misalnya, A disebabkan oleh B, B disebabkan oleg C, C disebabkan oleh D, dan begitu seterusnya hingga tidak ada akhirnya. Ini berarti tidak ada yang mengawali keberadaan, jika demikian darimana keberadaan itu datang? Jadi, tasalsul akan menghasilkan ketiadaan.

3. Hukum ‘mustahilnya daur (pemikiran berputar)’, yaitu ‘Ketergantungan adanya sesuatu kepada sesuatu yang lain yang dalam keberadaannya tergantung pada yang pertama.’ Misalnya, A disebabkan oleh B, dan B disebabkan oleh C, dan C disebabkan pula oleh A. Ini berarti semuanya saling membutuhkan dan menghasilkan ketiadaan.

 JENIS-JENIS USHULUDDIN Keimanan atau keyakinan itu sendiri pada dasarnya dapat dibagi kepada dua hal, yaitu ushuluddin dan furu’uddin. Ushuluddin merupakan landasan utama dalam bangunan keyakinan teoritis agama, sedangkan furu’uddin merupakan keyakinan cabang yang terbentuk atau telah inklud di dalam ushuluddin. Artinya, ushuluddinmerupakan prinsip yang mesti ada dalam agama dan tanpanya, agama akan kehilangan fungsinya. Misalnya, percaya adanya Tuhan merupakan ushul al-din dan dari keyakinan ini dihasilkan kepercayaan lainnya seperti Esa-Nya Tuhan, sifat-sifat Tuhan, karakteritik Tuhan, dan sebagainya, yang merupakan keyakinan parsial atau cabang keyakinan (furu al-din) yang bersifat teoritis.Dengan analisis yang cermat, ditetapkanlah tiga ushuluddin yang lintas agama, artinya harus dimiliki oleh struktur agama apapun, yaitu : Ketuhanan, Kenabian, dan Kebangkitan (Hari Akhir).  Adapun dalam Islam, maka ushuluddin biasanya akan terbagi sesuai dengan mazhab-mazhab yang diikuti (ushul al-mazhab). Dalam mazhab sunni, misalnya, rukun iman disebutkan ada enam macam yaitu : Iman Kepada Allah, Malaikat, Nabi dan Rasul, Kitab-Kitab, Hari Akhir, serta Qada dan Qadar. Adapun dalam syiah, ada lima macam ushuluddin yakni : Tauhid, Keadilan (al-adl), Kenabian (an-Nubuah), kepemimpinan (al-imamah), dan Kebangkitan (al-Maad). Insya Allah kita akan mengulas semua keyakinan tersebut sesuai kebutuhan dan konteks yang memungkinkan untuk pengajaran dasar-dasar agama.    

[1] M.T. Misbah Yazdi. Iman Semesta. (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 1.[2] Jalaluddin dan Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), h. 32.[3] Nico Syukur Dister. Pengalaman dan Motivasi Beragama (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 74.[4] Nico Syukur Dister. Pengalaman, h. 74.[5] Nico Syukur Dister. Psikologi Agama. (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 10-11.[6] Robert W. Crapps. Dialog Psikologi dan Agama. (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 66.[7] Nico Syukur Dister. Pengalaman, h. 76.[8] Sigmund Freud. Psikoanalisis Sigmund Freud. (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002)h. 219-220 dan 361-368. Lihat juga analisi pemikiran Frued ini oleh Eric From.Psychoanalysis and Reliigion. (New Haven& London: Yale University Press, 1950); Calvin S. Hall. A Primer of Fruedian Psychology. (New York: A Mentor Books, 1957).[9] Emile Durkheim. Sejarah Agama. (Yogyakarta: Ircisod, 2003), h. 29-30.[10] Sayid Mujtaba Musawi Lari. Knowing God. (Qum: Foundation of Islamic Cultur Propagation in the World, 2006), h. 21.[11] Sayid Mujtaba Musawi Lari. Knowing, h. 21.[12] Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. (Bandung: Mizan, 2003), h. 205.[13] Tentang berbagai penelitian masalah SQ ini banyak diungkapkan oleh Danah Zohar dan Ian Marsahal. Salah satunya adalah peneltian Michael Pessinger seorang neuro-psikolog asal Kanada pada awal 1990-an. Dalam Laboratoriumnya di Laurentian, Pessinger menghubungkan

Page 23: PENGANTAR AGAMA ISLAM

kepalanya dengan stimulator magnettranscranial, suatu piranti yang mengeluarkan medan magnetic kuat dan berubah-ubah dengan cepat di area kecil jaringan otak. Dalam percobaan ini, Pessinger merancang piranti tersebut untuk merangsang jaringan di lobus temporal, bagian otak yang berada tepat di bawah pelipis, dan saat itu dia melihat “Tuhan”. Peneliti lain V.S. Ramachandran pada 1997 dan koleganya lebih dalam melanjutkan studi Pessinger tentang lobus temporal dan mengaitkannya dengan pengalaman spiritual. Elektroda-elektroda EEG (electroencephalograph) dihubungkan dengan pelipis dan ketika diberi nasihat religius atau spiritual yang menyentuh, aktivitas lobus temporalmereka meningkat. Lihat Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan (Bandung: Mizan, 2000), h.80-83.[14] Erich Fromm. Psychoanalysis and Religion. (New Haven: Yale University Press, 1976), h. 25.[15] Jalaluddin Rakhmat. SQ: Psikologi dan Agama, kata Pengantar dalam Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ, h. xxvi.[16] Frank G. Goble. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow.(Yogyakarta: kanisius, 1994), h. 101.[17] Lihat misalnya Quraish Shihab. Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), h. 210; Murtadha Muthahhari. Fitrah. (Jakarta: Lentera, 1998); dan juga Murtadha Muthahhari. Perspektif al-Quran Tentang Manusia dan Agama. (Bandung: Mizan, 1998).[18] Murtadha Muthahhari. Fitrah, h. 8.[19] Lihat misalnya, Allamah Sayid Muhammad Husain Thabthabai, al-Mizan fi Tafsir al-Quran Jilid 16. (Beirut: Muassasah al-a’lami, 1991M/1413 H), h. 182-186; Syeikh Nashir Makarim Syirazi. al-Amtsal fi Tafsir Kitabillah al-Munzil Jilid 12. (Beirut: Muassasah al-Bi’sah, 1992 M/1413 H), h. 471-473.[20] Mulla Sadra dalam bukunya al-Mabda wa al-Maad menulis: “pemahaman tentang Allah (Sang Maha Pemberi) itu adlah seuatu fitrah yang dibawa sejak lahir, karena ketika manusia itu lahir dan ia harus menghadapi suatu yang menakutkan dan menyulitkan dirinya, maka ia secara naluriah akan bersandar kepada sesuatu yang Maha Pemberi pertolongan dan secara otomatis ia akan berpaling kepada-Nya” Dengan nada yang hampir sama Sayid Husayni Baheshti menegaskan bahwa setiap manusia telah dibekali fitrah sejak lahir yang menyiratkan akan keesaan Allah dan pernyataan tak tertulis agar manusia sadar bahwa politeisme itu tidak mempunyai dasar sama sekali kecuali bagi orang-orang yang bodoh dan dungu.  Lihat Sayyid Muhammad Husayni Baheshti. Selangkah Menuju Allah: Penjelasan Al-Quran Tentang Tuhan. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), h. 52.[21] Allamah al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 3. (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1992), h. 178.[22] .Lihat Al-Kulaini, Al-Kafi Jilid 2, h. 12-13 Pada Bab Fitrat al-Khalq ‘ala al-Tauhidmenyebutkan empat hadis tentang makna fitrah yang ada pada ayat 30 surat al-Rum; Allamah al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 3. (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1992), h. 175-178.[23] Imam Khomeini. 40 Hadis: Telaah Atas Hadis-Hadis Mistis dan Akhlak.(Bandung: Mizan, 2004), h. 207.[24] Imam Khomeini, 40 Hadis, h. 210.[25] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi. Filsafat Tauhid: Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman. (Bandung: Mizan, 2003), h. 45-47. Penjelaan panjang lebar ayat ini dapat dilihat dalam Allamah Thabathabai. al-Mizan jilid 8, h. 311-330; Syeikh Nashir Makarim Syirazi, al-Amtsal jilid 5, h. 262-267  ; Fakhr al-Razi, Tafsir al-Kabir jilid 15, h. 40-49; Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran jilid 3, h. 670.[26] Muhammad Husayni Baheshti. Selangkah, h. 62.[27] Sayid Mujtaba Musawi Lari, Knowing, h. 20. Lihat juga Sayid Mujtaba Musawi Lari.Ushul al-Aqaid fi al-Islam Juz I. (Qum: Foundation of Islamic C.P.W, 1424 H), h. 28-29.[28] Sayid Mujtaba Musawi Lari. Ethics and Spiritual Growth. (Qum: Foundation of Islamic C.P.W, 2005), h. 36.[29] Ilmu hudhuri adalah ilmu kehadiran yaitu hadirnya secara langsung objek yang diketahui pada diri subjek yang mengetahui. Misalnya, pengetahuan kita tentang diri kita sendiri. Penjelasan lebih detail tentang hal ini dapat dilihat pada pembahasan epistemology (diktat epistemology).

Page 24: PENGANTAR AGAMA ISLAM

[30] Ilmu hushuli adalah ilmu perolehan yaitu hadirnya gambaran objek yang diketahui pada diri subjek yang mengetahui. Misalnya, pengetahuan kita tentang berbagai benda-benda di alam  ini. Penjelasan lebih detail tentang hal ini dapat dilihat pada pembahasan epistemology (diktat epistemology).[31] Sayid Mujtaba Musawi Lari. Knowing, h. 21.[32] Muhammad Taqi Falsafi. Anak Antara Kekuatan Gen dan Pendidikan. (Bogor: Cahaya, 2003), h. 254.[33] Mahmud Syaltut. Islam Akidah dan Syariah. (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), h. 4.[34] Lihat pembahasannya dalam M.T. Misbah Yazdi. Iman,h. 24-27.Filed under: Uncategorized« MAKNA ILMU HUDHURI dan ilmu   HUSHULI  Kenabian Menurut Syi’ah   Imamiyah  »