Upload
vanbao
View
226
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris Berbasis
Imajinasi Rekonstruktif *)
HENDAR PUTRANTO
Universitas Multimedia Nusantara
Scientia Garden, Jl. Boulevard Gading Serpong, Tangerang – Banten
Telepon (021) 54220808, ext. 3622
Surel: [email protected]
Diterima: 30 Juli 2013
Disetujui: 20 Agustus 2013
ABSTRACT The method of teaching Pancasila for university students should be made more interesting, relevant, creative and non-
indoctrinative today, more than ever. During New Order era, the teaching of Pancasila largely emphasized on the
method of memorizing and reciting and also heavily imbued with thick formality. The goal of this (new) approach is not
to make university students feel alienated and detached from Pancasila who some people would still call ‘a relic of the
past,’ but rather, a participatory approach. A reading and close reflection of Nuova Scienza from Giambattista Vico
yields to ‘reconstructive imagination’ as a necessary tool and capacity for understanding historical knowledge, such as
Pancasila, in a participatory way. By promoting this ‘reconstructive imagination’-based participatory approach, the
internalization of Pancasila values and its re-actualization in daily lives of Indonesian citizens is facilitated. Having
accumulated five years experience of teaching Pancasila and Citizenship at Multimedia Nusantara University,
Tangerang, the writer has tried to introduce this ‘reconstructive imagination’ approach in explaining some teaching
materials such as The Historical Birth of Pancasila, Pancasila as Philosophy and Ideology. The students’ participative
activities in doing various assignments also strengthen the case argued.
Kata kunci: pendekatan partisipatoris, pengetahuan yang menyejarah, imajinasi rekonstruktif, naskah
pidato Pancasila versi Bung Karno dan Muh. Yamin, Ideologi Pancasila.
Pendahuluan
Pada hari Rabu, 1 Juni 2011, dalam rangka memeringati hari Kesaktian Pancasila, mantan Presiden
RI ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie, menyampaikan pidato yang menggugah audiens yang hadir.
Bagian awal pidato tersebut berbunyi sebagai berikut1,
Di manakah Pancasila kini berada? Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak
reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang
tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang
dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip,
dibahas, dan apalagi diterapkan, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan,
kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong
sunyi, justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk
dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Sejak Reformasi bergulir pada 1998, pengajaran, pembahasan dan sosialiasi Pancasila
memang seolah-olah “tenggelam” di tengah hiruk-pikuk agenda demokratisasi rezim pemerintahan
1 Versi lengkap pidato Pancasila BJ Habibie tersebut bisa diakses di
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/11/06/01/lm3gk2-ini-pidato-pancasila-bj-habibie-reaktualisasi-
pancasila-dalam-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara dan
http://news.detik.com/read/2011/06/01/113343/1651577/10/pidato-lengkap-bj-habibie-yang-memukau?n991102605 .
Untuk versi rekaman videonya, bisa disaksikan di
http://www.youtube.com/watch?v=WTkg5AFdsFU
Republik Indonesia dan dinamika kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Setahun setelah pidato
tersebut berlalu keluarlah Undang-Undang No. 12, tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi. Salah
satu pasalnya (Pasal 35 ayat 3) membela dan mempertahankan keberadaan Pembelajaran Pancasila
dan Kewarganegaraan di tingkat Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia. Namun disayangkan bahwa
gaung keberadaan payung hukum tentang sosialisasi formal Pancasila dan Kewarganegaraan ini
sayup-sayup tidak sampai. Kembali energi bangsa tersedot oleh aneka macam isu politis dan
keamanan seperti terkuaknya pelbagai kasus korupsi tingkat tinggi yang melibatkan sejumlah
petinggi partai (Demokrat dan PKS) serta ketua Mahkamah Konstitusi, misteri sosok Bunda Putri
yang dikabarkan dekat dengan jajaran kabinet SBY, sengketa Pilkada selama 2012 – 2013, kontestasi
penetapan partai politik sebagai peserta Pemilu 2014 oleh KPU, juga kisruh seputar DPT dan e-KTP.
Di hadapan semua gejala dan peristiwa yang terjadi di bumi pertiwi ini, sekali lagi kita bertanya
sebuah pertanyaan yang mendasar, “Quo vadis, Pancasila”?
Sudah jamak dipahami bahwa normativitas pengajaran Pancasila dan Kewarganegaraan di
tingkat PT merupakan sebuah keniscayaan “untuk membentuk mahasiswa menjadi warga negara
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air,”2 dalam rangka pembangunan mentalitas
kebangsaan serta pewarisan kemampuan hidup sebagai warganegara yang baik (nation-building
capacity). Terkait dengan itu, sejauh menyangkut materi ajar dan metode pengajaran Pancasila dan
Kewarganegaraan, kita bisa melihat bahwa di satu sisi, materi ajar Pancasila dan Kewarganegaraan
di tingkat PT tidak mengalami banyak perubahan. Hal ini merupakan sesuatu yang baik dalam arti
penguatan identitas kebangsaan.
Di sisi lain, metode pengajaran Pancasila dan Kewarganegaraan terbilang masih belum terlalu
banyak disentuh oleh pembaruan dan penyegaran3, belum cukup dieksplorasi dan diperkaya, belum
dibuat jadi lebih menarik dan relevan, padahal zaman terus bergerak dan kita sudah memasuki era
digital dan Media Baru. Ketika mahasiswa sekarang sudah mulai terbiasa mencatat dengan
menggunakan laptop, tabs dan digital notes di dalam ruang kelas, metode pengajaran dan
pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan juga perlu di-update agar tidak menjadi “sekedar
nostalgia masa lalu” dan diacuhkan siswa karena dirasa membosankan.
*) Versi asli dari artikel ini dalam bentuk power point presentations pernah disampaikan dalam Kongres Pancasila V, 31
Mei – 1 Juni 2013, di kampus Universitas Gadjah Mada. Abstrak artikel, dalam bahasa Indonesia, dimuat di Prosiding
Kongres Pancasila 2013 (ISBN = 978-602-7918-01-6), hlm. 125. Versi lengkap artikel ini tidak dimuat dalam Prosiding. 2 Lih. bagian Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia, No. 12 Tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi, hlm. 81.
3 Beberapa pengecualian dapat dikatakan di sini, yaitu adanya sejumlah artikel atau naskah penelitian yang disertakan
dalam Kongres Pancasila I s/d V, di mana penulis beruntung ikut serta dalam Kongres Pancasila V, 31 Mei – 1 Juni
2013. Artikel-artikel berisikan pembaruan dan penyegaran metode Pengajaran Pancasila yang dimaksud, abstraknya
dapat dilihat dalam Prosiding Kongres Pancasila V (2013), hlm. 120 – 143.
Lantas, apa yang harus dilakukan agar metode pengajaran Pancasila dan Kewarganegaraan
jadi lebih menarik dan relevan bagi para siswa didik di tingkat Perguruan Tinggi? Bagaimana
caranya? Dua pertanyaan inilah yang meresahkan penulis ketika mulai menulis artikel ini sejak
beberapa bulan yang lalu. Dalam gerak bolak-balik antara telusur gagasan dan amatan lapangan,
penulis berhipotesis bahwa kurangnya pengayaan metode pengajaran Pancasila dan
Kewarganegaraan yang partisipatoris berbasis imajinasi rekonstruktif adalah sebuah penyebab
kurang menarik dan kurang disukainya Mata Kuliah KWN ini di Perguruan Tinggi.
Berikut paparan reflektif yang didasarkan pada pengalaman penulis selama mengajar MK
Pancasila dan Kewarganegaraan di Universitas Multimedia Nusantara (Tangerang) sejak 2009
hingga sekarang (2013) guna mengeksplorasi hipotesis sekaligus menjawab pertanyaan dan
kegelisahan tersebut.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian kecil dan penulisan artikel ini adalah metode hermeneutika
kritis-evaluatif yang didasarkan pada amatan (observasi) terhadap penerapan metode partisipatoris
berbasis imajinasi rekonstruktif di ruang kelas selama pengajaran MK Pendidikan Kewarganegaraan
di Universitas Multimedia Nusantara, yang dilakukan sejak Semester Gasal tahun ajaran 2009 – 2010
sampai dengan Semester Genap tahun ajaran 2012 - 2013.
Metode hermeneutika yang bersifat kritis evaluatif---yang awal mulanya dikembangkan oleh
Wilhelm Dilthey (1833 – 1911) berlanjut sampai Hans-Georg Gadamer (1900 – 2002)---adalah
sebuah metode ilmiah untuk mencari makna dan kebenaran dari sebuah teks atau peristiwa, dengan
tujuan memahami (verstehen) dan bukan menjelaskan (erklären) fenomena. Pemahaman tentang
kebenaran adalah peristiwa penyingkapan (aletheia) makna yang terjadi secara terus menerus,
sehingga pada prinsipnya kebenaran itu bisa digali dan ditemukan dalam aktivitas menafsir
(hermeneutic). Seorang penggiat dan penulis metode hermeneutika, Thomas Hidya Tjaya,
mengatakan bahwa
“pengetahuan manusia tidak pernah berelasi langsung dengan realitas telanjang pada
dirinya, melainkan selalu dengan realitas dalam konteks kultural tertentu yang dihidupi
oleh manusia, dengan penafsirannya melalui tradisi dan asimilasi kontemporer yang
dilaluinya.” (Tjaya, 2005: 68).
Metode hermeneutika merupakan sebuah metode yang menarik sekaligus menantang untuk
dipraktikkan dalam pengajaran dan pembelajaran Pancasila justru karena sifatnya yang terbuka dan
dinamis. Metode hermeneutika tidak pernah memutlakkan makna suatu teks, entah itu, sebagai
missal, rumusan baku Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD‟45, maupun teks
pidato rumusan Pancasila versi Bung Karno maupun versi Muh. Yamin.
Sementara itu, berbicara tentang metode “partisipatoris berbasis imajinasi rekonstruktif”4
(untuk ringkasnya akan disebut PBIR dalam artikel ini), penulis merujuk pada pandangan
Giambattista Vico (1668 – 1744), seorang filsuf bahasa dan sejarah dari Italia sekaligus profesor
retorika di Universitas Napoli, yang terkenal dengan adikaryanya Scienza Nuova (Sains yang Baru).
Alasan penulis memilih tokoh ini sebagai inspirator metode PBIR adalah karena dalam buku adi
karyanya tersebut, Vico menekankan pentingnya imajinasi untuk memahami pengetahuan sejarah.
Menurut Ernst Cassirer (dalam Auxier, 1997), Vicolah pemikir pertama yang dengan sukses
mengaitkan bidang sejarah, kodrat manusia, dan matematika. Dalam Nuova Scienza, Vico
berpandangan bahwa
“Dalam kabut kegelapan yang mencungkupi era kuno, bersinarlah nur kebenaran yang
abadi: bahwa dunia masyarakat sipil itu sudah jelas-jelas dibuat oleh manusia-manusia
dan bahwa prinsip-prinsipnya dapat ditemukan dalam modifikasi akal budi kita sendiri.”
(Vico, 1744: 361 dalam Berlin, 1976: 27)
Yang dimaksud Vico dengan modifikasi di sini ialah tahap-tahap pertumbuhan, cakupan, atau
arah, dari pikiran manusia, imajinasi, kehendak, perasaan yang dengannya manusia dapat „masuk‟ ke
dalam alam pikiran orang-orang tertentu, di tempat tertentu, pada era tertentu. „Memodifikasi akal
budi kita sendiri‟, atau dalam istilah asli Vico disebut sebagai “Dentro le modificazioni della
medesima nostra mente umana,” merupakan kartu truf Vico untuk membulatkan filsafat sejarahnya.
Tidak hanya sekedar mengetahui fakta (prinsip verum/factum), tugas manusia lebih terletak pada
memahami motivasi-motivasi atau tindakan-tindakan orang lain sebab manusia memiliki kapasitas
pemahaman yang imajinatif. Pengetahuan historis bukan sekedar pengetahuan tentang peristiwa,
kejadian masa lalu, namun lebih pada peristiwa-peristiwa sejauh mereka “masuk” (menjadi bagian)
ke dalam aktivitas manusia dan merupakan unsur dari biografi seorang individu atau sebuah
kelompok.
Vico percaya bahwa dengan berupaya sangat keras, kita dapat memahami masyarakat dan
peradaban “zaman batu” yang bercirikan dunia komunikasi yang minim “kata dan kalimat,” namun
kaya akan gerak-gerik tubuh, isyarat, atau gambar. Yang kita butuhkan hanyalah imaginative faculty
untuk dapat memahami sejarah dari suatu kebudayaan, peradaban, yang terpisah jauh dari kita, baik
dalam artian waktu maupun tempat (Berlin, 1976: 30). Dengan memperkenalkan dan
mempromosikan metode modificazioni atau imaginative reconstruction of the historical facts ini
Vico mengkritik kecenderungan berpikir para tokoh intelektual pada zaman itu, baik mereka yang
4 Berlin, dalam Verene (1991: 125), mengajukan istilah “reconstructive fantasia” guna membahasakan metode yang
digunakan Vico untuk memahami fakta dan peristiwa sejarah dengan menggunakan daya imajinasi rekonstruktif.
mendukung teori Natural Law atau kontrak sosial (Hobbes, Locke, Rousseau) maupun para
rasionalis semacam Descartes dan Spinoza, yang kukuh berpegang pada asumsi mengenai kodrat
manusia yang ajeg, yang tidak pernah berubah sekali dan selama-lamanya, yang berlaku universal
pada umat manusia sepanjang segala zaman.
Keyakinan akan kodrat manusia yang ajeg pada gilirannya dapat mengarahkan kita pada
argumen reductio ad absurdum. Sejarah bukanlah proses linier dalam loop tertutup. Sejarah perlu
lebih dimengerti sebagai nascimento, proses kelahiran kembali, coming-into-being, lagi dan lagi, dari
cara manusia memahami baik dirinya sendiri maupun tindakan manusia secara kolektif, tidak hanya
pada zamannya saja namun juga pada zaman dan tempat tertentu, berkat bantuan rekonstruksi
imajinasinya serta dibimbing oleh penyelenggaraan ilahi atau daya kreatif Roh Ilahi (Berlin, 1976:
35). Memahami sejarah dengan demikian bukanlah melulu amatan terhadap gerak objektif fakta dan
peristiwa dalam kronologi namun justru pelibatan imajinasi rekonstruktif yang sudah selalu
mengundang sekaligus mengandung kebaruan dan kemenjadian.
Isaiah Berlin mengakui dan memuji orisinalitas pemikiran Vico tentang pengetahuan sejarah
(historical knowledge) sebagai berikut,
“[berbicara tentang Vico] Ketika berpikir tentang masa lalu, kita bergerak
melampaui perilaku; kita ingin memahami bagaimana mereka (manusia) hidup pada
waktu itu, juga memahami motif-motif, ketakutan dan harapan, ambisi dan cinta dan
kebencian … Kita dapat melakukan ini karena kita sendiri juga manusia dan
memahami dunia batin kita sendiri yang terkait dengan istilah-istilah ini tadi.”
(Berlin, 2002: 7)
Berangkat dari serpih gagasan di atas, pantas dipertanyakan dan direnungkan kembali,
sudahkah inspirasi dari pemikiran Vico dan penafsirannya oleh Isaiah Berlin ini berlaku dan
diberlakukan dalam metode pengajaran ilmu-ilmu sosial yang berbasis pada pengetahuan sejarah
seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan?
Metode pengajaran yang umum berlaku di Indonesia sampai saat ini cenderung masih
merujuk pada model taksonomi Bloom, yang memberikan arah serta tekanan tujuan pendidikan pada
tiga wilayah (domain), yaitu: Kognitif, Afektif dan Psikomotorik (Bloom, 1956; Krathwohl, Bloom,
& Masia, 1956.) Apa yang masih kurang dari pembelajaran dengan menggunakan model taksonomi
Bloom ini? Kemampuan berimajinasi (faculty of imagination). Di sinilah pentingnya sumbangan
pemikiran Vico tentang pengetahuan sejarah dan peran kemampuan imajinasi rekonstruktif manusia
untuk melengkapi taksonomi Bloom.
Mengapa disebut “imajinasi rekonstruktif”? Apa yang khas dari pendekatan ini dibandingkan
pendekatan sejenis (misalnya, active learning atau CBSA)? Pendekatan imajinasi rekonstruktif,
mengajak peserta didik dengan difasilitasi oleh dosen untuk masuk lebih ke dalam dari „apa yang
nampak‟ (phenomenon) dalam teks atau gambar. Peserta didik diundang untuk “memodifikasi
pikiran mereka” dan berimajinasi, seperti apa rasanya hidup, merasa, berpikir, berharap, berbincang,
berdebat, pada zaman pra-kemerdekaan RI, pada tahun-tahun formulasi Pancasila, terutama sejak
Sidang BPUPKI 29 Mei 1945 sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan RI dan sehari sesudahnya,
saat rumusan Pancasila yang sah akhirnya termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Berimajinasi di
sini bukan aktivitas mengkhayal dan melantur (daydreaming), melainkan, seperti disampaikan Vico
di atas, aktivitas untuk memahami baik teks maupun konteks, isi maupun mood yang menyertai
Proses Kelahiran Pancasila dan setelahnya.
Hasil dan Pembahasan
Ketika pertama kali mengajar PKN di tingkat Perguruan Tinggi (September 2009), terus terang
penulis merasa gamang dan kurang percaya diri, mengingat luhur dan mulianya materi ajar yang
disampaikan, yang sayangnya sudah terkontaminasi bias ideologis rezim Orde Baru di bawah
Soeharto “yang pernah menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo
kekuasaan dan indoktrinasi pemaknaan Pancasila lewat penataran P4.” (Azra, 2010: 10). Akan tetapi,
syukurnya, berkat latihan teater yang diikuti selama dua tahun selama di bangku kuliah (2001 –
2002), juga naik ke atas panggung untuk pementasan naskah, penulis merasa tertantang untuk
memadukan keterampilan dan pengetahuan yang sudah dimiliki tentang dasar-dasar teknik teater ke
dalam metode pengajaran. Kesempatan itu datang ketika masuk ke materi ajar “Kelahiran Pancasila”
dan “Ideologi Pancasila.” Pada materi ini, ruang untuk berimajinasi dan berekspresi terbuka lebih
luas mengingat siswa didik diajak untuk masuk menyelami alam pikiran masa lalu sambil senantiasa
berpijak pada kekinian dan aktualitas zaman.
Meskipun mendapat resistensi kecil di awal introduksi metode ini dari sejumlah peserta didik,
misalnya komentar, “wah, repot, Pak” atau “wah, sulit juga ya membayangkan bagaimana Bung
Karno, Muh. Yamin, atau Moh. Hatta waktu itu berpidato dalam sidang BPUPKI,” namun penulis
sebagai pengajar bergeming. Pemahaman sejarah yang dicapai lewat imajinasi rekonstruktif
partisipan lebih menantang untuk dilakukan daripada bertahan menggunakan metode konvensional
seperti kuliah mimbar atau dikte. Kebiasaan (habit) peserta didik untuk menggeluti metode “baru”
ini masih bisa dibentuk asalkan ada visi yang memandu, kepercayaan kuat, dan dosen yang asertif.
Berdasarkan metode PBIR yang dipercaya penulis dapat meningkatkan respon dan
ketertarikan mahasiswa pada materi ajar Pancasila dan Kewarganegaraan, berikut adalah sejumlah
aplikasinya yang sudah diuji-cobakan di ruang kelas:
1. Mahasiswa melakukan pementasan teatrikal ideologi Pancasila berhadap-hadapan dengan
sejumlah ideologi besar dunia lainnya (liberalisme, kapitalisme, komunisme, marxisme,
fasisme, dan sosial demokrat).
2. Dosen bersama-sama mahasiswa membaca naskah asli pidato Pancasila versi Bung Karno
dan versi Muh. Yamin, lalu kedua naskah tersebut dipresentasikan di depan kelas secara
kreatif dan menggugah.
3. Pembuatan website “ideologi Pancasila” yang di dalamnya diisi dengan gambar, wawancara,
video, dan artikel.
Dari tiga model aplikasi di atas, berikut adalah perbandingannya dalam bentuk bagan:
Nomenklatur
parameter
Teatrikal Ideologi
Pancasila vis-à-vis
ideologi-ideologi besar
dunia lainnya
Membaca ulang dan
merepresentasikan teks
pidato Bung Karno dan
Muh. Yamin
Pembuatan website
Ideologi Pancasila
(http://id-
one.wix.com/manuk-
dadali)
Tingkat kesulitan
preparasi Tinggi Sedang Tinggi
Tingkat imajinasi yang
dibutuhkan Tinggi Sedang Sedang
Tingkat keterlibatan
(partisipasi) semua
anggota kelompok
Sedang Rendah Sedang
Retensi pengetahuan dan
pemahaman post-event Sedang (diskontinyu) Sedang (diskontinyu) Tinggi (kontinyu)
Efek dramatis Tinggi Sedang Rendah
Sejumlah amatan dan catatan evaluatif:
1. Perbedaan kualitatif rendah, sedang, dan tinggi didasarkan pada hasil amatan penulis sebagai
dosen, baik di dalam ruang kelas selama semester berjalan maupun sesudahnya (dalam percakapan
sehari-hari ketika bertemu di kantin, di selasar, di saat-saat santai non-formal). Selain itu, juga
didapatkan feedback dari mahasiswa baik secara lisan maupun tertulis setelah metode ini diuji-
cobakan.
2. Beberapa print-screen dilampirkan di bagian akhir untuk menguatkan objektivitas temuan
sekaligus sebagai langkah awal untuk proses koroborasi dan triangulasi hasil temuan.
3. Feedback tertulis dari mahasiswa mengenai kinerja dosen dalam pengajaran Mata Kuliah ini,
berupa kuisioner isian (format kuisioner dibuat oleh BAAK UMN) menunjukkan hasil “memuaskan”
(dalam rentang skala 2.80 – 3.40 dari 0 – 4.00)
4. Masih ada sejumlah aplikasi lainnya dari metode PBIR, seperti pembuatan video (stop motion,
animasi maupun live) yang didahului dengan riset kecil serta turun ke lapangan (contohnya untuk
Materi Ajar: Multikulturalisme, Demokrasi), games “I, You, We and They” (materi ajar: Identitas
Nasional dan Multilkulturalisme), namun hal tersebut tidak dielaborasi dalam artikel ini dikarenakan
keterbatasan ruang penyampaian dan fokus pembahasan pada tiga jenis aplikasi di atas.
5. Kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan metode partisipatoris berbasis imajinasi rekonstruktif
di kelas adalah:
a. Daya imajinasi yang berbeda-beda antara siswa yang satu dengan lainnya. Ada siswa yang
antusias, hidup, dan “out of the box” dalam berimajinasi, ada juga yang masih “inside the box” dan
kurang antusias,
b. Sulitnya siswa „masuk dan memodifikasi akal budi mereka‟ ke dalam alam pikiran Indonesia
tahun 1945 sehingga daya imajinasi mereka tentang peristiwa-peristiwa sejarah tersebut relatif
kurang berkembang sesuai harapan penulis sebagai pengajar,
c. Kesulitan dosen untuk menembus bahkan membongkar zona nyaman siswa yang sudah terbiasa
(dibiasakan para guru Kewarganegaraan sejak bangku SD?) dengan model Taksonomi Bloom yang
bertumpu pada dimensi Kognitif, Afektif dan Motorik, minus imajinasi, apalagi imajinasi
rekonstruktif untuk mencapai pemahaman sejarah.
d. Mekanisme penilaian (scoring) hasil imajinasi rekonstruktif (dalam bentuk theatrical performance
atau imaginative speech recital, atau pembuatan website Pancasila yang kreatif dan interaktif) yang
masih belum baku serta terstandarisasi sehingga kecenderungan subjektif dalam menilai masih sulit
dielakkan penulis.
Simpulan
Dari feedback lisan maupun tertulis yang disampaikan mahasiswa kepada penulis, sebagian besar
dari mereka merasa terkesan dan bersemangat mengikuti Mata Kuliah Pancasila dan
Kewarganegaraan. Artikel ini, meskipun tidak memerinci langkah demi langkah pengajaran
Pancasila yang menggunakan metode PBIR, diharapkan sudah memberikan gambaran awal soal
pentingnya metode PBIR ini. Bukan hanya membuat suasana pembelajaran di ruang kelas menjadi
lebih hidup dan bergairah, namun juga, dalam jangka panjang, kesan tentang Pancasila (proses,
tokoh, peristiwa, filsafatnya) menjadi lebih positif dan melekat di sanubari siswa didik. Pada
gilirannya nanti, ketika ditanya orang asing dan orang yang “mengasingkan serta mencemooh”
Pancasila, mereka dapat dengan bangga dan percaya diri dapat menjelaskan bahwa upaya mengenali
dan mencintai Pancasila tidaklah semembosankan dan se-indoktrinatif seperti yang awalnya mereka
sangka. Bukankah tidak ada satu usaha pun yang mudah untuk mendapatkan serta berbagi cinta yang
sejati dan mendalam?
Sekiranya imajinasi diberikan ruang yang lebih luas, intensif, dan ekstensif dalam pengajaran
dan pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan, mungkin saja kita tidak perlu terlalu khawatir
“Pancasila dibahas dalam ruang-ruang sempit dan pengap ... penghayatan dan pengamalan Pancasila
menjadi kedodoran ... (mengalami) existential vacuum, (bahkan) masuk angin dan merana.” (Bagun,
2010: xviii).
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. ([1983] 1996). Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread
of Nationalism. New York dan London: Verso.
A.Sudiarja, G. Budi Subanar, St. Sunardi dan T. Sarkim. Tim Penyunting. (2006). Karya Lengkap
Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Auxier, Randall E. (1997). "Imagination and Historical Knowledge in Vico: A Critique of Leon
Pompa‟s Recent Work" dalam HUMANITAS, X (1). (bisa diakses di
http://www.nhinet.org/auxier2.htm)
Azra, Azyumardi. (2010). “Revisitasi Pancasila” dalam Rindu Pancasila. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, hlm. 9 – 12.
Bagun, Rikard. (2010). “Pancasila Janganlah Diabaikan” dalam Rindu Pancasila. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, hlm. xvii – xx.
Bloom, B.S. (Ed.) (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational
goals: Handbook I, cognitive domain. New York, Toronto: Longmans, Green.
Berlin, Isaiah. (1976). Vico and Herder: Two Studies in the History of Ideas. London: The Hogarth
Press.
---. (2002). The Power of Ideas. Princeton: Princeton University Press.
Caponigri, A. R. (1968). Time and Idea: The Theory of History in Giambattista Vico. Notre Dame:
University of Notre Dame Press.
Hogg, Jonathan. (2004). “The Ambiguity of Intellectual Engagement: Towards a Reassessment of
Isaiah Berlin's Legacy,” dalam Jurnal on-line ERAS, Edisi 6, Nov. 2004. Diakses dari
http://www.arts.monash.edu.au/publications/eras/edition-6/hoggarticle.php oleh Hendar
Putranto, pada 11 September 2013 pukul 15.48 WIB
Krathwohl, D., Bloom, B., & Masia, B. (1956). Taxonomy of educational objectives. Handbook II:
Affective domain. New York: David McKay.
Kresna, Aryaning Arya, Agus Riyanto, dan Hendar Putranto. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan
(Civics). Tangerang: UMN Press.
Tjaya, Thomas Hidya. (2005). “Hermeneutika Tradisi dan Kebenaran” dalam Tjaya, T. H. dan
Sudarminta, J. Menggagas Manusia sebagai Penafsir. Jogjakarta: Kanisius, hlm. 59 – 83.
Verene, Donald Phillip. (1991). Vico's Science of Imagination. Cornell (USA): Cornell University
Press.
Vico, Giambattista. ([1744] 1948). The New Science (Nuova Scienza). Diterjemahkan dari edisi
ketiga (1744) oleh Thomas Goddard Bergin dan Max Harold Fisch. Ithaca, New York:
Cornell University Press.
Lampiran foto dan print-screen (website):