48

Penerbit DAFTAR ISI REVIEW... · ini, struktur baja sudah banyak digunakan untuk girder jembatan dan jalan tol layang. Beberapa kelebihan struktur baja jika dibandingkan konstruksi

  • Upload
    others

  • View
    30

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Penerbit

Subdit Research & Technology PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

Pelindung

Direksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

Pimpinan Umum

Zaenal A. Muslim

Pimpinan Redaksi

Ahmad Desrianto

Dewan Redaksi & Editor

Dr. Muhammad Helmi Nur Widiyarto,

Gunawan Setyadi, Aditya Tejo W, Wawan Setyawan, Agy Yogha P,

Agung Baskoro, Yanuar Nugraha,

Aris Hadyo Wicaksono, Irwan, Febrian Ramaputra, Sudahra

Desain & Tata Letak

Vicky M Rosyad, Tedi Supriyadi

Koresponden

Rio Arosyid P

Distribusi Uus Kusmana, Iwan Nuryadi

Alamat Redaksi

Gd. Perencanaan Lt.1,

Plant Site Krakatau Steel, Jl. Asia Raya, Kawasan Industrial Estate

Cilegon, 42443,

Telp. +62-254-371352, email: divisi.r&[email protected]

DAFTAR ISI

IPTEK Desain Girder Baja Modular dengan Panjang

Span 40 m, 50 m, dan 60 m di Indonesia

Sudahra, Febry Pernata ....................................... 1 Produksi Hot Rolled Coil untuk Aplikasi

Ketahanan Korosi Titik Embun Asam Sulfat

dan Asam Klorida

Febrian Ramaputra, Agung Baskoro .................... 10 Process Optimization to Improve Edge

Quality of Cold Rolled Coil

Sudahra, Aris Hadyo Wicaksono.......................... 17 Revamping of EAF Dedusting Plant to

Optimize Off-Gas & Dust Control System in

PT Krakatau Steel (Persero), Tbk. Rio Arosyid Putra, Syafiq Hadi ............................ 24

MODERNISASI PROGRAMMABLE LOGIC

CONTROLLER PADA FASILITAS LIGHT PELATE TRIMDAN CROSSCUT SHEAR LINE

DI PT. KRAKATAU STEEL (PERSERO), TBK.

Aditya Tejo Widagdo, Linggar Fergisha, Suhaipik .. 31

FOKUS

Eksistensi Industri Baja Nasional: Penentu

Masa Depan Bangsa Indonesia

Aditya Tejo Widagdo ......................................... 38 Baja Tahan Api (Fire Resistant Steel):

Baja Struktur Berkekuatan Tinggi pada

Aplikasi Ekstrim Agung Baskoro ................................................. 40

INFO

Pengantar Redaksi

"Reborn"..... Setelah vakum selama hampir 12 tahun sejak edisi terakhir pada Desember 2007, kini

KS Review hadir kembali sebagai salah satu wadah publikasi ilmiah pengembangan teknologi besi dan

baja. Seiring dengan perkembangan teknologi digitalisasi, KS Review edisi reborn ini hadir dalam format digital yang nantinya akan dapat diakses melalui website PT Krakatau Steel. Pada edisi

perdana ini, KS Review fokus sebagai wahana informasi di internal Krakatau Steel yang dapat diakses

internal melalui sso.krakatausteel.com.

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, program pembangunan infrastruktur nasional yang mencapai

besaran 4,000 trilyun rupiah yang meliputi pembangunan dermaga, bandara udara, jalan tol,

jembatan, fasilitas telekomunikasi, jaringan kelistrikan dan lain sebagainya. Seiring dengan program

pembangunan infrastruktur tersebut, edisi kali ini mengulas tentang pengalaman PT Krakatau Steel

bersama PT. LAPI ITB dalam mendesain girder baja modular yang disesuaikan dengan kebutuhan dan

kondisi di Indonesia. Dari sisi pengembangan produk untuk aplikasi konstruksi, diulas pengembangan

produk baja HRC berkekuatan tinggi dengan karakteristik ketahanan korosi pengembunan asam

klorida dan asam sulfat. Disamping itu, program modernisasi system pada fasilitas produksi untuk

mengantipasi keusangan disajikan dalam makalah bertema Modernisasi Programmable Logic

Controller pada Fasilitas Light pelate Trim and Crosscut Shear Line serta makalah bertemakan

optimasi proses untuk perbaikan produk CRC, disajikan pada edisi kali ini. Tidak kalah penting terkait

antisipasi isu lingkungan, disajikan makalah bertemakan rekondisi fasilitas dedusting pada salah satu

fasilitas produksi steel making.

Untuk para pembaca Dewan Redaksi juga menyajikan informasi mengenai perkembangan baja di

tanah air sebagai pilar penopang industri hilir serta informasi terkait pengembangan produk baja

tahan api.

Dewan Redaksi

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 1

KS REVIEW IPTEK

Desain Girder Baja Modular

dengan Panjang Span 40 m, 50 m, dan 60 m di Indonesia

Sudahraa, Febry Pernatab

a Engineer of Technology Development, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk b Senior Engineer of Mechanical & Civil Engineering, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

ABSTRAK

Indonesia adalah negara kepulauan dengan populasi penduduk yang tinggi. Di Indonesia

terdapat sekitar 17.500 pulau dengan populasi sekitar 261 juta penduduk. Walaupun wilayah negara Indonesia cukup luas, namun populasi penduduk terkonsentrasi di beberapa

wilayah. Kondisi geografis dan pola distribusi penduduk di Indonesia menuntut

pengembangan infrastruktur yang sesuai seperti jembatan untuk menghubungkan antar

pulau dan jalan tol layang atau jalan layang untuk menyiasati keterbatasan lahan. Dewasa

ini, struktur baja sudah banyak digunakan untuk girder jembatan dan jalan tol layang. Beberapa kelebihan struktur baja jika dibandingkan konstruksi berbasis beton antara lain:

lebih cepat dalam hal fabrikasi dan perakitan, jarak span yang lebih panjang, keunggulan

dalam hal estetika struktur.

Makalah ini menjelaskan secara singkat pengalaman PT Krakatau Steel (PTKS) dalam mendesain girder baja modular dengan panjang span 40 m, 50 m, dan 60 m. PTKS dibantu

oleh PT LAPI ITB selaku konsultan independen untuk menhasilkan desain girder yang prima

dan sesuai kebutuhan dan kondisi di Indonesia. Desain tersebut diarahkan untuk dapat

mengoptimalkan daya guna baja domestic. Dimensi dan karakteristik girder didesain agar bisa menggunakan pelat baja PTKS dan perusahaan baja domestik lainnya dengan yield

strength berkisar 450 – 550 MPa, nilai elongasi berkisar 20 – 24%, lebar pelat 1.700 –

2.500 mm, dan tebal pelat 20 – 22 mm. Metode dan perhitungan dalam mendesain girder

baja modular berbasis regulasi dan standard yang berlaku di Indonesia. Analisis dan perhitungan difokuskan pada bagian girder baja, sedangkan pier, pierhead dan pondasi

akan disesuaikan dengan kondisi topografi, tipe tanah dan parameter kegempaan di lokasi

yang dipilih. Selain kelebihan yang telah disebutkan sebelumnya, biaya produksi menjadi

lebih murah baik untuk produksi girder bahkan untuk biaya proyek secara keseluruhan.

Desain girder baja PTKS diharapkan dapat menjadi standar desain untuk pengembangan jembatan dan jalan layang di Indonesia sehingga waktu konstruksi menjadi lebih cepat,

kualitas lebih baik, anggaran proyek lebih murah dan konstruksi memiliki estetika yang

baik. Selain itu, peran perusahaan baja domestik akan lebih optimal.

Kata kunci: Girder baja modular, yield strength 450 – 550 MPa, lebar pelat 1.700 – 2.500 mm

I. PENGANTAR

Pengembangan infrastruktur memegang

peranan penting untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Indonesia

merupakan negara kepulauan dengan

populasi penduduk yang cukup banyak.

Akan tetapi populasi penduduk terpusat di

beberapa wilayah saja. Kondisi geografis dan pola distribusi penduduk di Indonesia

menuntut pengembangan infrastruktur yang

sesuai seperti jembatan untuk

menghubungkan antar pulau dan jalan

layang untuk menyiasati keterbatasan

lahan. PT Krakatau steel memiliki tanggungjawab untuk mendukung

pengembangan infrastruktur sesuai

kompetensinya sebagai produsen baja.

Dewasa ini, struktur baja dikenal cukup baik

dalam pengembangan infrastruktur dan memegang peranan penting untuk

mendapatkan struktur yang efisien dalam

hal waktu dan biaya. Untuk jembatan dan

2 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

jalan layang, girder baja dapat digunakan

untuk menggantikan girder berbasis beton.

Beberapa kelebihan girder baja antara lain: cepat dalam fabrikasi dan perakitan,

panjang span bisa lebih panjang, lebih baik

dalam hal estetika struktur. Namun, untuk

alasan optimlisasi baja domestik, desain girder baja harus disesuaikan dengan

kemampuan perusahaan baja domestik.

Dalam rangka mendapatkan desain girder

yang sesuai yang dapat mengakomodasi beban statis dan dinamis yang didasarkan

kondisi-kondisi spesifik di Indonesia baik

dalam hal regulasi dan topografi serta untuk

mengakomodasi baja domestik, ada dua parameter desain yang bisa diatur yaitu

dimensi girder baja dan karakteristik baja

yang digunakan.

II. GIRDER BAJA

Girder merupakan salah satu komponen struktur atas pada jembatan atau jalan

layang yang berfungsi untuk menyalurkan

beban – beban dari komponen diatasnya

seperti beban kendaraan, berat girder sendiri dan beban-beban lain ke struktur di

bawahnya. Pada umumnya, girder dapat

dalam bentuk I-Beam (I-Girder), kotak

(Box-Girder), dan bentuk lainnya yang didesain sesuai kebutuhan. Ada lima bentuk

girder yang banyak digunakan saat ini yaitu

I-Girder, Box Girder, U-Girder, T-Girder, dan

Plate Girder.

Bentuk – bentuk girder tersebut dapat dibuat dengan bahan baja ataupun beton.

Namun untuk span yang pendek tidak

disarankan menggunakan girder baja karena

biaya awal proyek yang cukup tinggi.

Saat ini, penggunaan struktur baja cukup terkenal baik. Kebutuhan untuk

memproduksi struktur yang kuat dengan

biaya yang murah dan waktu pengerjaan

yang cepat menjadi pemacu banyaknya inovasi terkait konstruksi seperti girder baja.

Girder baja memiliki beberapa kelebihan

dibandingkan dengan girder beton seperti

pada tabel 1.

(a) I-Girder (b) Box Girder

(c) U-Girder (d) T-Girder

(e) Plate Girder

Gambar 1: Bentuk-bentuk Girder

Tabel 1: Kelebihan Girder Baja

Bahan

Perbandingan

Girder

Baja

Girder

Beton Efek Keuntungan

Rasion kuat

terhadap berat

Tinggi Rendah - Tahan terhadap beban statis

- Span panjang

- Mudah dalam hal handling - Pondasi lebih sederhana

Total biaya bahan

baku, transportasi

dan handling lebih murah

Kemampu-

bentukan

Tinggi Rendah - Fabrikasi dan konstruksi lebih cepat

- Mudah dirakit - Lebih baik dalam hal estetika

Hemat waktu

dalam proses konstruksi

Nilai scrap Bernilai Tidak

bernilai

Bisa didaur ulang Green structure

Keuletan Tinggi Rendah - Tahan terhadap kegagalan tiba-tiba - Lebih tahan terhadap gempa

- Lebih aman

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 3

KS REVIEW IPTEK

III. PRODUSEN PELAT BAJA DI

INDONESIA

Indonesia merupakan salah satu negara produsen baja terbesar di Asia Tenggara.

Berdasarkan data SEAISI tahun 2018, pada

tahun 2017 Indonesia menempati peringkat

kedua sebagai produsen baja terbesar di Asia Tenggara dengan pertumbuhan

produksi sekitar 19,5%. Sementara

peringkat pertama adalah Vietnam yang

mencatatkan pertumbuhan produksi sebesar 30,5%. Berikut adalah 6 negara produsen

baja terbesar di Asia Tenggara.

Tabel 2: Enam Besar Negara Penghasil Baja

di Asia Tenggara

Negara

2016

Produksi

(kton)

2017

Produksi

(kton)

2017

Porsi

(%)

Growth

y-o-y

(%)

Indonesia 6.582 7.866 22,7 19.5 Malaysia 3.781 3.772 10,9 -0,3

Philippines 4.346 4.300 12,4 -1,1

Singapore 528 595 1,7 12,7 Thailand 7.977 6.875 19,8 -13,8

Vietnam 8.657 11.302 32,6 30,6

ASEAN (6 Total)

31.872 34.711 100 8,9

Proyek pengembangan dan infrastruktur

yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah

Indonesia memegang peranan penting dalam pertumbuhan industri baja di

Indonesia dalam kurun waktu 3 hingga 5

tahun terakhir. Hal ini dibuktikan dengan

meningkatnya anggaran untuk proyek infrastruktur seperti ditunjukkan pada grafik

berikut.

Sumber: Kemenkeu, 2016

Gambar 2: Anggaran Infrastruktur Indonesia

Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan

baja yang memproduksi pelat sebagai

material girder baja, berikut beberapa perusahaan tersebut:

Tabel 3: Penyedia Pelat Baja Indonesia

Perusahaan Lokasi

Tebal

Produk (mm)

Lebar

Produk (mm)

PT Krakatau

Steel

Cilegon,

Banten

1,2 - 25 600

– 2.250 PT Krakatau

Posco

Cilegon,

Banten

6,0 - 120 1.200

– 4.650

PT Gunung Garuda

Bekasi, Jawa Barat

5,0 – 150 1.200 –3.550

PT Jayapari

Steel

Surabaya,

Jawa Timur

8,0 – 25 900

– 1.550 PT Gunawan Surabaya,

Jawa Timur

6,0 – 80 1.200

– 2.500

IV. DESAIN GIRDER BAJA UNTUK SPAN

40 m, 50 m, dan 60 m

Metode dan perhitungan desain didasarkan

pada regulasi dan standar yang berlaku di

Indonesia. Analisis dan perhitungan

difokuskan pada girder baja, sementara pier, pier head, dan pondasi akan

disesuaikan kondisi topografi, tipe tanah dan

parameter kegempaan di lokasi.

4.1 Sistem Struktur

Sistem struktur atas jembatan atau jalan

layang merupakan span sederhana berbasis

girder baja dengan data sebagai berikut:

a. Bentuk Girder : Composite U Girder

b. Span (L) : 40 m, 50 m dan 60 m c. Tinggi girder : 1,7 m (L=40 m)

2,0 m (L=50 m)

2,5 m (L=60 m)

d. Lebar girder : 2,0 meter e. Jumlah girder : 3 girder

f. Jumlah lajur : 3 lajur * 3,5 meter

g. Desain kendaraan: Truk dengan berat

50 ton 9% 8%

14% 15%

19%

0

100

200

300

400

500

2013 2014 2015 2016 2017

Trilio

n R

up

iah

Infrastructure Budget

4 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

Gambar 3: Dimensi Jembatan Modular

Searah Lebar dalam mm

4.2 Referensi Standar dan Kode

Sistem jembatan akan dianalisis

berdasarkan beberapa standard dank ode

yang berlaku di Indonesia dan beberapa

standard lain sebagai berikut:

a. SNI 1725 – 2016 : Peraturan Pembebanan untuk Jembatan

b. RSNI T03 – 2005: Peraturan Baja untuk

Jembatan

c. RSNI 03 – 2833 – 201x: Perancanagan Jembatan terhadap Beban Gempa

d. AISC Steel Design LRFD

e. AAHTO LRFD Bridge Design

Specifications 6th Ed-2012

4.3 Spesifikasi Baja yang Digunakan

Spesifikasi bahan baku yang digunakan

untuk pembuatan girder dan asesorisnya

adalah sebagai berikut:

a. Baja untuk U Girder Grade : JIS G 3106 SM570

Yield Strength : 450 – 540 MPa

Young Modulus : 200.000 MPa

Coef. Expansion: 1,20e – 0,5 per oC Poisson Ratio : 0,3

Berat Spesifik : 7.850 kg/m3

Elongasi : 20 – 24%

b. Baja untuk Diafragma dan Stiffener

Grade : JIS G 3106 SM520 B

Yield Strength : 355 – 520 MPa

Young Modulus : 200.000 MPa Coef. Expansion : 1,20e – 0,5 per oC

Poisson Ratio : 0,3

Berat Spesifik : 7.850 kg/m3

4.4 Tipe Pembebanan

Secara umum kriteria pembebanan yang

digunakan dalam perancangan mempertimbangkan beberapa kondisi

berikut:

Beban kerja/beban layan

Beban kerja/beban layan adalah beban yang bekerja selama jembatan dalam

kondisi layan, hal ini terkait dengan

daya layan jembatan.

Beban ultimate

Beban ultimate adalah beban yang

dihasilkan dari perkalian beban kerja

dan koefisien faktor kerja.

Perencanaan pembebanan pada desain ini

dibagi menjadi 2 kategori yaitu beban

permanen dan beban transien. Berikut

adalah pengkategorian untuk beban yang

diterapkan dalam desain ini:

1. Beban Permanen:

Simbol Deskripsi

MS Beban structural dan non-

struktural komponen jembatan MA Trotoar dan beban mati utilitas

TA Beban horizontal lateral tanah

PL Gaya pada struktur jembatan yang

terjadi karena proses implementasi PR Pratekan

2. Beban Transien:

Simbol Deskripsi

SH Gaya karena penyusutan

TB Gaya karena pengereman TR Gaya Centrifugal

TC Gaya karena tumbukan

kendaraan

TV Gaya karena tumbukan kapal EQ Gaya gempa

BF Gaya gesek

TD Beban jalur “D”

TT Beban truk “T” TP Beban pejalan kaki

SE Beban karena turunan

ET Gaya karena temperature

gradient EUn Gaya karena uniformity of

temperature

EF Gaya Buoyant

EWs Beban angin pada struktur

EWl Beban angin pada kendaraan EU Beban aliran air dan angin

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 5

KS REVIEW IPTEK

Kombinasi SNI 1725 2016 beban terfaktor

untuk daya layan dan kondisi ultimatseperti

ditunjukkan tabel 4.

Tabel 4: Kombinasi Pembebanan SNI 1725 2016

4.5 Analisis dan Pemodelan Struktur

Jembatan

a. Pemodelan Struktur Jembatan

Pemodelan dan analisis untuk jembatan

utama disimulasi dengan software MIDAS Civil. Pemodelan jembatan

disajikan sebagai struktur atas yang

terdiri dari girder, pierhead, dan pier.

Semua komponen dimodelkan sebagai elemen beam/frame namun girder

dimodelkan sebagai beam khusus yang memiliki bagian komposit. Penempatan

box girder di atas pierhead dimodelkan

sebagai hubungan rigid kondisi batas

yang salah satu ujung rigid link diatur sebagai engsel dan ujung yang lain

diatur sebagai roller sehingga dapat

merepresentasikan simple span pada

girder.

Gambar 4: Pemodelan Konstruksi Jembatan

6 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

b. Bentuk Girder

Girder baja didesain sebagai U-

Type girder seperti berikut:

Gambar 5: Bentuk Girder

c. Analisis Struktur Jembatan

Setelah pemodelan struktur

jembatan dan penerapan pembebanan, langkah selanjutnya adalah

menganalisis struktur menggunakan

perhitungan manual dan program

komputer (MIDAS Civil) untuk mengetahui respon struktur terhadap

gaya internal seperti gaya axial, gaya

geser, dan moment gaya. Berikut

adalah hasil simulasi dengan MIDAS Cilvil untuk span 60 m:

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 7

KS REVIEW IPTEK

Gambar 6: Diagram momen, penjumlahan tahap akhir

Kondisi yang disebabkan oleh kombinasi pembebanan (kuat I, II, III, IV, V):

Gambar 7: Diagram momen My, Enveloped strength combination

Gambar 8: Diagram momen Mz, Enveloped strength combination

8 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

Kondisi yang disebabkan oleh kombinasi gabungan pembebanan ekstrem (extreme I, II):

Gambar 9: Diagram Momen My, Extreme envelope combination

Gambar 10: Diagram momen Mz, extreme envelope combination

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 9

KS REVIEW IPTEK

V. KESIMPULAN

Perhitungan dan analisis jembatan modular

telah dilakukan berdasarkan desain struktur serta aturan pembebanan yang dapat

diterapkan. Berikut adalah kesimpulan

desain girder baja U untuk jembatan

modular komposit:

Grade baja menggunakan SM 570 atau

dengan mechanical properties yield strength

450 – 550 MPa, elongasi 20 – 24% dengan

dimensi girder sebagai berikut:

1. Girder baja U untuk span 40 m

2. Girder baja U untuk span 50 m

3. Girder baja U untuk span 60 m

Referensi 1. LAPI ITB & Krakatau Steel, Desain

Struktur Jembatan Modular Span 40,

50 dan 60 m,Dok. Krakatau Steel,

Indonesia 2017 2. Faqih Ma’arif, M.Eng., Analisis Struktur

Jembatan, Learning Module, University

of Negeri Yogyakarta, Indonesia, 2012.

3. Civildigital.com, Complete Comparison of Steel and Concrete, 2018.

4. Badan Standardisasi Nasional,

Pembebanan untuk Jembatan, SNI

1725:2016, Indonesia, 2016.

10 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

Produksi Hot Rolled Coil untuk Aplikasi Ketahanan Korosi Titik

Embun Asam Sulfat dan Asam Klorida

Febrian Ramaputraa, Agung Baskorob aEngineer Research and Development, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

bSenior Engineer Research and Development, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

ABSTRAK

Sejak tahun 2014, pemerintah Indonesia memiliki rencana untuk membangun pembangkit

listrik baru dengan kapasitas 35.000 MW. Salah satu jenis bahan bakar yang digunakan pada pembangkit listrik adalah bahan bakar fosil. Pembangkit listrik yang menggunakan

bahan bakar fosil tidak hanya menghasilkan energi listrik namun juga menghasilkan gas

sisa yang memiliki kandungan sulfur. Sulfur yang terdapat pada gas sisa dapat

menyebabkan lingkungan menjadi lebih korosif, sehingga material yang digunakan pada

area yang terpapar langsung pada lingkungan tersebut seperti cerobong asap (chimney), boiler, dll harus bisa tahan terhadap kondisi tersebut. Jawaban dari tantangan itu adalah

baja tahan korosi titik embun.

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (PTKS) sebagai perusahaan baja terintegrasi di Indonesia

mendukung program pemerintah dengan mengembangkan produk baja baru, baik itu berupa baja gulungan canai panas (hot rolled coil) atau pelat, baja gulungan canai dingin

(cold rolled coil) atau pelat, maupun produk baja batangan yang dapat digunakan pada area

pembangkit listrik. Khusus untuk produk hot rolled coil, PTKS mengembangkan produk baru

berupa hot rolled coil yang tahan terhadap korosi cuaca khususnya pada korosi titik embun.

Makalah ini membahas tentang desain parameter proses untuk membuat baja tahan korosi

titik embun di PTKS yang sesuai dengan standar ASTM A 588 Grade A, dimulai dari

pembuatan slab di Slab Steel Plant kemudian dilanjutkan dengan proses hot rolling di Hot

Strip Mill Plant. Komposisi kimia dan sifat mekanik produk diamati dengan hasil sesuai dan memenuhi standar. Mikrostruktur yang terbentuk pada produk adalah ferit + perlit dengan

ukuran butir rata-rata 5,40 µm (ASTM No. 12.10). Berdasarkan komposisi kima pada heat

analysis, perhitungan nilai indeks ketahanan korosi produk berkisar antara 6,31 hingga 6,97

sesuai dengan persyaratan standar.

Kata Kunci: Ketahanan korosi titik embun, ASTM A 588 Grade A, Indeks Ketahanan Korosi.

I. Pendahuluan

Energi listrik merupakan sumber energi

yang sangat penting bagi negara untuk

keperluan sehari-hari, seperti untuk sektor perindustrian, transportasi, rumah tangga

dan kegiatan lainnya, sehingga keberadaan

pembangkit listrik menjadi sangat penting

untuk memenuhi kebutuhan listrik negara. Pemerintah Indonesia memiliki rencana

untuk membangun pembangkit listrik baru

sebesar 35.000 MW. Salah satu bahan bakar

yang digunakan pada pembangkit listrik

adalah batu bara atau bahan bakar fosil. Ketika proses pembakaran tersebut

berlangsung, akan dihasilkan gas buang

yang mengandung sulfur yang dapat

meningkatkan pH dan laju korosi pada

daerah tersebut. Hal ini akan menjadi

tantangan tersendiri karena dibutuhkan

material khusus untuk dapat diaplikasikan pada lingkungan tersebut, seperti pada area

cerobong, area boiler, dll. Jawaban dari

tantangan itu adalah baja tahan korosi titik

embun.

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (PTKS)

sebagai perusahaan baja terintegrasi di

Indonesia mendukung program pemerintah

dengan mengembangkan produk baja baru,

baik itu berupa baja gulungan canai panas (hot rolled coil) atau pelat, baja gulungan

canai dingin (cold rolled coil) atau pelat,

maupun produk baja batangan yang dapat

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 11

KS REVIEW IPTEK

digunakan pada area pembangkit listrik.

PTKS sebelumnya telah memproduksi baja

tahan korosi cuaca seperti Corten A, BTKC-A, SPAH. Pada saat ini, PTKS

mengembangkan produk hot rolled coil baru

berupa baja tahan korosi cuaca, khususnya

untuk ketahanan korosi titik embun asam sulfat dan asam klorida. Namun demikian,

untuk bisa tahan terhadap korosi pada

kondisi asam, khususnya asam sulfat dan

asam klorida, kandungan fosfor dalam

produk baja harus dibatasi.[1]

Hal ini

berbeda dengan baja tahan korosi cuaca biasa seperti BTKC-A atau SPAH yang

membutuhkan penambahan fosfor sebesar

0,07-0,15%. Efek kandungan sulfur dan

fosfor terhadap laju korosi pada kondisi

lingkungan yang mengandung asam sulfat ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1: Pengaruh Kandungan Sulfur dan

Fosfor terhadap Laju Korosi pada Kondisi

40% H2SO4 T=40°C [1]

II. Mekanisme Korosi Titik Embun

Korosi titik embun biasanya terjadi pada daerah yang kaya akan kandungan sulfur,

misalnya pada area pembakaran bahan

bakar fosil. Korosi akan terjadi karena

kondensasi asam sulfat yang terbentuk dari

sulfur pada gas sisa pembakaran. Istilah ini dikenal sebagai korosi titik embun asam

sulfat. Secara skematis, diagram korosi titik

embun ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2: Diagram Korosi Titik Embun[2]

Asam sulfat terbentuk sebagai hasil reaksi

SO2 dengan H2O dan O2. Asam sulfat

bereaksi dengan baja untuk membentuk

ferrous sulfat, yang kemudian teroksidasi menjadi ferric sulfat dan ferric hidrat oksida

atau yang biasa kita sebut dengan karat.

Kemudian pada akhirnya ferric sulfat

mengalami hidrolisis membentuk ferric

hidrat oksida sebagai karat tambahan[3]

.

Reaksi pembentukan karat tersebut adalah sebagai berikut:

SO2 + H2O + O2 H2SO4 (1)

2 H2SO4 + 2 Fe + O2 2 H2O + 2 FeSO4 (2)

6 FeSO4 + H2O + 3/2 O2 2 Fe2(SO4)3

+ 2 FeOOH (3)

Fe2(SO4)3 + 4 H2O 2 FeOOH + 3 H2SO4 (4)

Dengan adanya kandungan asam sulfat

(H2SO4) akan menyebabkan tingkat

keasaman pada lingkungan meningkat.

Semakin tinggi kandungan asam sulfat, akan menyebabkan nilai pH akan semakin

rendah (menjadi semakin asam). Tingkat

keasaman ini akan berpengaruh pada laju

korosi pada baja. Berdasarkan literatur, semakin tinggi tingkat keasaman lingkungan

maka laju korosi pada baja karbon juga

akan meningkat, seperti yang ditunjukkan

pada Gambar 3.

Corr

osio

n R

ate

for

S (m

g/cm

2/h

r)

S ( %) or ( Phosphorus)

Co

rro

sio

n R

ate

fo

r S

(m

g/c

m2/h

r)

Sulfur ( %) or (Phosphorus)

Co

rro

sio

n R

ate

fo

r P

(m

g/c

m2/h

r)

Co

nd

en

sati

on

of S

O2, S

O3

130

12 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

Gambar 3: Pengaruh pH terhadap Laju

Korosi pada Baja Karbon[4]

Komposisi kimia baja sangat penting untuk meminimalisir laju korosi pada permukaan

baja yang disebabkan oleh asam sulfat dan

asam klorida. Mekanisme dari korosi titik

embun sulfur pada baja terjadi pada tiga tahap [5], seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 4. Tahap pertama, korosi terjadi

pada permukaan baja dengan kondisi

konsentrasi asam sulfat dan temperatur

yang rendah. Tahap ini terjadi pada saat awal proses pembakaran berlangsung.

Tahap kedua terjadi ketika temperatur

permukaan baja meningkat, dimana pada

saat tersebut konsentrasi asam sulfat dan temperatur yang tinggi. Tahap ketiga terjadi

pada kondisi temperatur dan konsentrasi

asam sulfat yang sama dengan tahap kedua,

namun terdapat tambahan deposit karbon yang tidak habis terbakar selama proses

pembakaran sebelumnya. Pada ketiga tahap

ini, deposit karbon berperan sebagai katalis

untuk mempercepat proses oksidasi ion

ferrous menjadi ion ferric.

Berbeda dengan baja karbon biasa,

penambahan elemen paduan seperti Cu-Ni-

Cr pada baja tahan korosi titik embun akan

membentuk lapisan pasif pada permukaan baja sehingga laju korosi baja tahan korosi

titik embun menjadi lebih rendah

dibandingkan dengan laju korosi baja

karbon biasa. Karakteristik ini menjadi pembeda antara baja karbon biasa dengan

baja tahan korosi titik embun.

Gambar 4: Mekanisme Korosi Titik Embun

Sulfur pada Baja Karbon dan Baja Tahan

Korosi [5].

III. Deskripsi Proses

Proses pembuatan baja tahan korosi

titik embun dimulai dari pembuatan slab di

Slab Steel Plant, lalu dilanjutkan dengan proses hot rolling di Hot Rolling Mill.

A. Proses Pembuatan Slab di Slab

Steel Plant

Proses pembuatan slab dimulai dari proses peleburan di Electric Arc Furnace kemudian

dilanjutkan dengan proses sekunder

(secondary steel making) yang dilakukan di

ladle furnace untuk mendapatkan komposisi kimia sesuai standar dengan cara

penambahan elemen paduan. Setelah itu

baja cair dicetak secara kontinyu menjadi

slab baja di continuous casting machine.

Pada tahap ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi kimia slab baja

yang sesuai dengan persyaratan standar

ASTM A 588 Grade A[6]. Standar komposisi

kimia diperlihatkan pada Tabel 1, sedangkan flow proses yang dilakukan di SSP

diperlihatkan pada Gambar 5.

Co

rro

sio

n ra

te /

mm

a-1

pH

Corrosion Step

Metal surface temperature

Start

6 %

Stationary state

> 60%

Cu Steel

Corrosion in the primary passivestate Cu-Cr steel, Cu-Ni-Cr steel

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 13

KS REVIEW IPTEK

Gambar 5: Flow Proses di SSP

Tabel 1: Persyaratan Standar Komposisi Kimia Unsur Komposisi, % Unsur Komposisi, %

C 0,19 maks Ni 0,40 maks

Mn 0,80 – 1,25 maks Cr 0,40 – 0,65

Si 0,30 – 0,65 Mo -

P 0,03 maks Nb -

S 0,03 maks V 0,02 – 0,10

Cu 0,25 – 0,40

Nilai Indeks Ketahanan Korosi (I), dilakukan dengan perhitungan terhadap komposisi

kimia produk sesuai dengan standar ASTM

G 101 [7]. Nilai indeks ketahanan korosi yang

dipersyaratkan adalah minimal 6,0, dengan perhitungan nilai I dilakukan berdasarkan

persamaan berikut:

I= (26.01×Cu) + (3.88×Ni) + (1.20×Cr) +

(1.49×Si) + (17.28×P) - (7.29×Cu×Ni) - (9.1×Ni×P) - (33.39×Cu2).

B. Hot Rolling Mill

Proses pada hot rolling mill bertujuan untuk

mendapatkan sifat mekanik yang sesuai

dengan persyaratan standar seperti ditunjukkan pada Tabel 2.

Untuk mencapai sifat mekanik yang sesuai

dengan persyaratan standar, slab

dipanaskan di reheating furnace hingga temperatur sekitar 1200-1300°C dan

ditahan pada temperatur tersebut untuk

memastikan bahwa temperatur slab telah

homogen. Slab kemudian dirolling secara reversibel pada temperatur di atas

temperatur non-rekristalisasi (Tnr) di

roughing mill. Hal ini bertujuan untuk

mendapatkan ukuran butir austenite yang halus. Baja kemudian dirolling pada

temperatur antara Tnr dan temperatur

transformasi Ar3 di finishing mill. Proses ini

akan menyebabkan deformasi pada butir

austenite dan terbentuknya struktur ferrite. Selanjutnya baja digulung pada temperatur

600 - 700°C setelah melewati laminar

cooling. Flow proses pengerolan di hot strip

mill ditunjukkan pada Gambar 6.

Table 2: Persyaratan standar sifat mekanik Hot Rolled Plate berdasarkan ASTM A 588 Grade A

Sifat Mekanik Satuan Standar

Arah pengujian

(Reference: ASTM A6 point 11.2) Transversal terhadap arah rolling

Yield Strength MPa 345 min

Tensile Strength MPa 485 min

Elongation % 18 min (Lo: 200 mm)

21 min (Lo: 50 mm)

ELECTRIC ARC

FURNACE

SLAB

LADLE FURNACE CONTINUOUS CASTING

MACHINE

14 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

Gambar 6: Flow proses pengerolan pada Hot Strip Mill

IV. Hasil dan Analisis

A. Komposisi Kimia

Analisa komposisi kimia dilakukan pada baja

cair yang diambil dari ladle (heat analysis), dengan hasil pengujian diperlihatkan pada

Tabel 3.

Tabel 3: Komposisi Kimia Produk

Unsur

Persyaratan

Standar ASTM A

588 Grade A (%)

Komposisi

Kimia Aktual

(%)

C 0.19 maks 0.17 maks

Mn 0.80 – 1.25 maks 1.15 maks

Si 0.30 – 0.65 0.45 maks

P 0.03 maks 0.01 maks

S 0.03 maks 0.005 maks

Cu 0.25 – 0.40 0.4 maks

Ni 0.40 maks 0.4 maks

Cr 0.40 – 0.65 0.6 maks

Mo - -

Nb - -

V 0.02 – 0.10 0.065 maks

Dari hasil analisa komposisi kimia diatas,

dilakukan perhitungan nilai indeks

ketahanan korosi produk dengan hasil

perhitungan berada pada nilai antara 6.31 sampai 6.97. Hasil ini menunjukkan bahwa

komposisi kimia dan nilai indeks ketahanan

korosi dari produk yang dihasilkan sesuai

dengan persyaratan standar ASTM A 588 Grade A.

B. Sifat Mekanik

Pengujian tarik dilakukan pada sampel

produk, yang diambil pada posisi ½ dan ¼

dari lebar coil pada arah transversal dan

longitudinal terhadap arah rolling untuk

mengetahui karakteristik produk.

Sedangkan persyaratan pada standar spesifikasi yang diacu hanya dibutuhkan

pengujian sampel pada arah transversal

terhadap arah rolling. Secara skematik,

pengambilan sampel untuk pengujian tarik diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 7: Pengambilan sample Pengujian

Tarik

Berdasarkan hasil pengujian tarik, sifat mekanik produk yang dihasilkan memenuhi

persyaratan standar Spesifikasi ASTM A588

Grade A, seperti diperlihatkan pada Tabel 4.

Nilai yield ratio (YS/TS) produk berkisar

dibawah 80%, dimana material memiliki kapasitas deformasi plastis yang cukup

besar sebelum terjadinya kegagalan.

REHEATING FURNACESLAB SIZING PRESSROUGHING MILL FINISHING MILL

LAMINAR COOLING

DOWN COILERHOT ROLLED COIL

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 15

KS REVIEW IPTEK

Tabel 4: Hasil Pengujian Tarik (Gauge Length 50 mm)

No Posisi Arah Yield Strength

(MPa)

Tensile Strength

(MPa)

Elongation

(%)

1 ¼ Lebar Long 486 660 40

2 ¼ Lebar Trans 512 664 42

3 ½ Lebar Long 451 661 38

4 ½ Lebar Trans 518 662 40

Persyaratan Standar Trans Min. 345 Min. 485 Min. 21

C. Pengamatan Metallografi

Pengamatan struktur mikro dilakukan pada

produk dengan menggunakan mikroskop optik. Hasil pengamatan struktur mikro

ditunjukkan pada Tabel 5 dan Gambar 8.

Hasil pengamatan diketahui bahwa fasa

yang terbentuk adalah ferrite + perlite, rata-rata ukuran butiran 5.40 µm (ASTM No.

12.10). Berdasarkan ukuran butiran, produk

yang dihasilkan tergolong fine grain (halus)

berkorelasi dengan nilai kekuatan produk.

Tabel 5: Hasil Pengamatan Metallografi

Posisi Ukuran Butir

(µm)

(ASTM

No.) Fasa

Permukaan

atas 3.79 13.12

Ferrite +

Perlite

¼ tebal 5.51 12.04 Ferrite + Perlite

½ tebal 5.79 11.90 Ferrite +

Perlite

¾ tebal 6.01 11.79 Ferrite +

Perlite

Permukaan bawah

6.35 11.63 Ferrite + Perlite

Gambar 8: Mikrostruktur Produk

D. Hasil Pengujian Tidak Merusak

(Non-Destructive Test (NDT))

Pengujian tidak merusak ini dilakukan untuk mengetahui kondisi permukaan dan bagian

dalam produk dengan metode Liquid

Penetrant Test (LPT) dan Ultrasonic Test

(UT) dengan hasil diperlihatkan pada Tabel 6 berikut:

Tabel 6. Hasil pengujian tidak merusak

Pengujian Hasil

Liquid Penetrant Test (LPT)

Tidak ditemukan retak pada permukaan atas

dan bawah

Ultrasonic Test (UT) Tidak ditemukan

refleksi indikasi

Hasil ini menunjukkan bahwa produk yang

dihasilkan baik dan tidak ditemukan adanya

cacat pada bagian permukaan maupun bagian dalam dari produk.

V. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian terhadap

produk baja tahan korosi titik embun yang diproduksi oleh PTKS, dapat disimpulkan

bahwa:

1. PTKS mampu menghasilkan baja tahan

korosi titik embun, dimana komposisi kimia produk memiliki peran penting

untuk peningkatan ketahanan korosi

tersebut.

2. Nilai Indeks Ketahanan Korosi dari baja

tahan korosi titik embun yang diproduksi oleh PTKS berada pada

rentang 6,31 hingga 6,97 sesuai dengan

persyaratan standar ASTM A588 Grade

A. 3. Sifat mekanik baja tahan korosi titik

embun yang diproduksi oleh PTKS

sesuai dengan peryaratan standar ASTM

A588 Grade A.

16 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

4. Struktur mikro produk adalah ferit +

perlit dengan ukuran butir rata-rata

5.40 µm (ASTM No 12.10), yang diklasifikasikan sebagai butiran halus.

Referensi

[1] A. Teramae, Effect of Alloying Elements

on the Corrosion of Low-Alloy Steels in Sulfuric Acid, pp. 954-959, 1968.

[2] L. Zhiyuan and Z. Qinxin, Research on

Dew point Corrosion of Materials,

Applied Mechanics nd Materials, vol. 281, pp. 441-447, 2013.

[3] P. Albrecht and A. H. Naeemi,

Performance of Weathering Steel in

Bridges, Washington D. C., 1984.

[4] M. Kowaka and H. Nagano, The

Mechanism of Sulfur Dewpoint

Corrosion, vol. XII, pp. 184-191, 1971.

[5] O. Guofu and Z. Lulu, Dew-Point

Corrosion Behavior of 10# Carbon Steel

in HCl-H2O Environment, Corrosion and

Protection, vol. 38, No. 1, pp. 33-38,

2018.

[6] ASTM International, Standard

Specification for High-Strength Low-

Alloy Steel, up to 50 ksi [345 MPa]

Minimum Yield Point, with Atmospheric Corrosion Resistance (ASTM A588),

United State: ASTM International,

2015.

[7] ASTM International, Standard Guide for Estimating the Atmospheric Corrosion

Resistance of Low-Alloy Steels (ASTM

G101), United States: ASTM

International, 2010.

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 17

KS REVIEW IPTEK

Process Optimization to Improve Edge Quality of Cold Rolled Coil

Sudahrab, Aris Hadyo Wicaksonob aEngineer Technology Development, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Indonesia

bEngineer Applied Research, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Indonesia

ABSTRACT

Cold Rolled Coil (CRC) is one of the main products of the steel industry. Almost all CRC

produced in the thickness range of 0.20 – 0.45 mm demands excellent surface, appearance,

and edge quality. The edge of the CRC is the most susceptible area where crack can initiate, so maintaining high edge quality is very challenging. One of the crack types in the

edge area of the CRC is called serrated edge. This kind of defect has a high probability to

occur in thin strip of CRC from 0.20 mm to 0.45 mm and become a huge obstacle in

production of CRC.

This paper presents a method to minimize serrated edge defects of CRC by optimizing the

process and order size in the Hot Rolling Process without adding any sophisticated facility

in the Hot Strip Mill. Raising the rolling temperature to 900oC – 920oC and setting

additional width of the CRC’s raw material by 32 mm have been observed to have a significant role in decreasing the percentage of serrated edge defect in Cold Rolled Coil

product.

Keywords: Edge quality, CRC, HRC, serrated edge, rolling temperature, additional width

I. INTRODUCTION

As an integrated steel company, PT

Krakatau Steel (Persero) Tbk, abbreviated

as PTKS, has its downstream facilities

divided into 2 categories, long product and

flat product. The flat product facilities consist of a Hot Strip Mill (HSM) & a Cold

Rolling Mill (CRM). About 30% of the HRC

produced by HSM are transferred to CRM for

further processing to produce CRC with the thickness range of 0.20 – 3.00 mm.

Maintaining product quality is a challenging

situation due to the strict quality

requirements, especially the edge quality of the thinner strips. Almost 60% of the CRC

products in Krakatau Steel have a

thickness range of 0.20 – 0.45 mm and

these are more susceptible to cracks in the

edge area than CRC with thicker strips. The defect caused by these cracks is called

serrated edge and in the current market

situation, indicated by the increasing level

of product acceptance from PTKS’s customers, increased level of product

quality, especially edge quality, is required.

Based on the non-conforming product

(NCP) data of PTKS’s product mix of 0.20 –

0.45 mm, edge defects contribute significantly to this number. From a small

group of top 5 NCP data from PTKS CRM,

serrated edges are the most prominent for

both low and heavy level defects. In order

to elaborate that fact, PTKS technical team performed further observation and

evaluation in a certain period to study the

patterns or factors causing this defect and

how to optimize the mitigation actions.

II. MAIN PROBLEM IN EDGE QUALITY

A. Microstructural Approach

The follow up observation to investigate this

defect was conducted in CRM and HSM. The observed material for further study in the

microstructural approach was limited to

incoming materials (HRC) of the cold rolling

process. The edge microstructure of the

HRC PTKS internally produced was checked and compared to the externally procured

HRC which was also processed in CRM

producing almost zero occurence of serrated

edge. This comparative method led to the findings that the edge microstructure of the

HSM’s HRC and externally procurred HRC is

different. Although this differentiation is

18 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

affected by the different processing facilities

between PTKS HSM and the external HRC

maker, the point is that good grain uniformity (no mix grain) at the edge

microstructure helps improving the quality

of CRC products by reducing the occurence

of serrated edges significantly.

Good grain uniformity of microstructure at

the edge of HRC can be designed and

adjusted only during the process occurring

in the HSM plant. Good uniformity of grain across the strip can be achieved when there

is a low temperature deviation between

centre and both edges of the HRC.

However, Panigrahi (Panigrahi, B.K. 2001)

stated that mixed grain heavily occurs if the Finishing Rolling Temperature (last pass

rolling temperature) is below A3

temperature line. The statement indicates

that the huge temperature deviation between the centre and edges of the HRC

strip can increase the probability of mix

grain creation during last pass rolling

because the edge temperature of HRC already below the A3 temperature line.

Figure 1: Comparison of edge microstructure between KS material and Foreign material.

Figure 2: (a). The origin of mix grain (b). Temperature difference between center strip and

edge strip in HSM

B. Side Trimmer Approach

B A

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 19

KS REVIEW IPTEK

Based on the observations during the trial

period, poor trimming quality increased the

serrated edge defect occurences. Trimmed edge considered as “bad trimmed” of the

incoming material (HRC) contributed to

32,5% of serrated edge occurences. Bad

trims are caused hypothetically by factors such as clearance & overlap setting of the

side trimmer knife, trimmer life cycle, and

trimmer mechanical properties. Optimizing

side trimmer parameter need to be evaluated to investigate its effect or

correlation on serrated edge defect.

C. Order Size: Width Approach

This approach is actually related to

microstructural approach in point A and with emphasizing the fact that mix grain

can be reduced by cutting (trimming) the

edge much wider. This method must

carefully consider how deep the mix grain is in the existing material. Wider trimming

in the CRM process requires wider incoming

material (HRC).

Based on figure 4, the strip width must ideally be added 100 mm wide on each side

in order to eliminate all the mix grain

portion by trimming 100 mm on each side.

Figure 3: Illustration of side trimmer knife and strip, (A: Clearance, B: Gap)

Figure 4: Typical length of mixed grain from the edge strip

20 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

III. NEW PARAMETER DESIGN

Based on the three initiatives above,

three parameter designs are proposed, including the modification and setting of a

new parameter.

A. Raising Up the Finishing Rolling

Temperature

The first parameter design is by modifying

the Finishing Rolling Temperature (FRT) for

re-rolled applications. The modification is

conducted by increasing the FRT by 12% in

order to maintain the edge temperature

above the Ar3 line based on the Fe-Fe3C

diagram. The temperature across the width

of the strip shall be above Ar3 to minimize

the creation of mixed grain in the strip’s

edge.

B. Side Trimmer Adjustment

Based on the data evaluated, “bad trimmed”

defect is responsible for 32,5% of serrated edge occurences. Considering that fact,

optimizing the side trimmer setting was

conducted to minimize “bad trimmed” defect

occurrence. The new parameter consists of timmer overlap and trimmer gap settings of

the trimmer blades.

The overlap value of the trimmer is reduced

50% from the previous value, while the gap value is increased by 25% of the previous

value. Those actions were recorded and

observed by the operator.

C. Additional HRC Width

Provision of HRC supply with additional width is to increase the capability of side

trimmer to remove the “d” area much larger

and wider than the existing process. With

higher proportion of the “d” area removed by a single cut with the side trimmer, less

mixed grain remains at the edge of the

strip. Nevertheless, the probability of

serrated edge occurence can only be decreased, not eliminated, to a minimum

level. This method of improvement can

provide a solution, but it carries a

consequence of lower productivity yield.

Figure 5: The effect of maintaining edge

temperature above the Ar3 line

Figure 6: two crucial point in optimizing parameter of the trimmer blade,

A). Trimmer Gap Setting. B). Trimmer

Overlap Setting.

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 21

KS REVIEW IPTEK

Figure 7: Morphology of HRC’s edge microstructure

IV. RESULT & ANALYSIS

Those three initiatives were executed

separately to observe its each effect on the

occurence of serrated edges. The result

shows that those initiatives have its own correlation on decreasing the occurence of

this defect. The first initiative by rising up

the finishing rolling temperature can only

slightly increase the tonage of CRC free of serrated edge.

From figure 8, rising up the rolling

temperature can increase the probability of

producing CRC without serrated edge defects up to 7%. While the second

initiative, by optimizing the gap and

overlap of the side trimmer, gave only a

slight effect on the decrease of serrated

edges, so this initiative was executed by combining it to the first or third initiative.

The third initiative which is by providing

additional HRC width gave a significant

effect in the reduction of serrated edge

defects.

The additional width initiative offered a significant impact to the decrease of

serrated edge defect occurences. That

method can decrease the defect occurence

from 72% to 44% for 3 feet wide orders and for 4 feet wide, almost 50% more CRC

can be eliminated from serrated edge

defects.

Finally, knowing each effect of those initiatives, those 3 initiatives then were

executed in combination to observe the

effect. The combination effect shows that

non-conforming product (NCP) of CRC

because of serrated edge can be decreased in a significant amount.

Figure 8: Effect of upgrading rolling temperature design on emergence of serrated edge

28% 35%

72% 65%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Previous Design New Design

Free Serrated Edge

Period Jun - Oct. 2016 (CRC for GI/GV)

Thickness 0,20 - 0,60 mm (Trial Data)

22 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

Figure 9: Effect of additional width in HRC to serrated edge defect occurrence in CRC

Figure 10: NCP performance because of serrated edge defect after Combination

Improvement of three initiative

V. CONCLUSION

Based on the results of the implementations and analysis, some

conclusions can be obtained as follows.

a. Edge microstructure of strip is

considered as the main factor relevant to serrated edge defect occurrence.

b. The edge microstructure must be

controlled to inhibit mixed grain

occurrence by modifying Finishing Rolling Temperature (FRT) as

preventive action.

c. As countermeasures action, mixed grain

area can be removed in a big portion by

adding the width of strip and cutting its edge with side trimmer.

d. Without adding sophisticated

equipment, serrated edge cannot be eliminated. However, its occurrence can

be reduced by conducting three

initiatives, modifying FRT, setting gap &

clearance of the side trimmer, and adding some additional width in HRC

for CR Rerolling in a single action.

1,75% 1,98% 1,33%

4,45%

1,72%

0,0%

1,0%

2,0%

3,0%

4,0%

5,0%

Jan-17 Feb-17 Mar-17

% N

CP

Serrate

d E

dg

e

Avg. Jun – Okt 16

Realization

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 23

KS REVIEW IPTEK

ACKNOWLEDGEMENTS

The acknowledgement is mainly given to

the Board of Management of PT Krakatau Steel (Persero) Tbk for issuing the

permission to the authors in publishing this

paper. The authors would also like to

acknowledge the whole Smooth Edge Team for their total support for successfully

performing the whole observation and trial

phases.

REFERENCES

1. Panigrahi, B.K. Bull. Mater. Sci. 2001.

Vol 24. pp. 361 – 371 2. Xie,H. Jiang,Z. Yuen,

W.Daniel.(2011).Analysis of

microstructure effects on edge crack of

thin strip during cold rolling. Metallurgical and Materials

Transactions B: Process Metallurgy and

Materials Processing Science, 42 (6),

1244 – 1252. 3. Xie, Haibo, The Research on the edge

crack of cold rolled thin strip, Doctor of

Philosophy thesis, School of Mechanical,

Materials and Mechatronic Engineering, Faculty of Engineering, University of

Wollongong, 2011.

24 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

Revamping of EAF Dedusting Plant to Optimize Off-Gas & Dust

Control System in PT Krakatau Steel (Persero), Tbk.

Rio Arosyid Putraa, Syafiq Hadib

aSenior Specialist of Techno-economy, Project Control of EAF Dedusting Plant Revamping. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

bSuperintendent Melting-2 of Slab Steel Plant, Head of Commissioning & Performance

Test of EAF Dedusting Plant Revamping. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

ABSTRACT

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk is currently building Blast Furnace Plant which produces hot

metal to be fed into Electric Arc Furnace (EAF) and it will reduce the percentage of required

solid material there. The use of hot metal will impact to the operation of Dedusting Plant

since it was designed only to process EAF off-gas (sponge iron based operation). This paper

describes about revamping project of EAF Dedusting Plant which was finished under self-management of PT Krakatau Steel (Persero) Tbk including basic and detail design,

manufacturing, procurement, installation, and commissioning. The Water-Cooled Duct

(WCD) was reconditioned and extended to increase Dedusting Plant capability to absorb

heat from larger volume of off-gas. In addition, Drop Out Box (DOB) was also installed to isolate larger duct particles and therefore it will minimize dust settlement in the duct. The

results of this project were not only successful to modify optimized off-gas & dust control,

but also significantly reduce the capital expenditure by 35% and accelerate the project

progress so that it can be finished in 18 months due to the efficiency and effectivity of the team’s effort during engineering, fabrication, and commissioning phases. Moreover, this

self-managed project was effectively helpful in accelerating transfer of knowledge and

shortening the learning curve of the personnel.

Keywords: Dedusting Plant, Revamping, Dust, Off-Gas, Drop Out Box

I. INTRODUCTION

As an integrated steel company, PT

Krakatau Steel (Persero) Tbk is currently

developing its ironmaking production facility by building Blast Furnace Plant which will

produce hot metal. Hot metal from Blast

Furnace Plant will be fed into Electric Arc

Furnace (EAF) and certainly will impact the operation of EAF Dedusting Plant since it

was designed only to process EAF off-gas

from a solid material-based operation.

To avoid the impacts of EAF raw material

recompositing, revamping is necessary to be implemented. The revamping includes the

installation of DOB and several modifications

in Water-Cooled Duct and Uncooled Duct.

DOB was installed to isolate larger duct particles and therefore it will minimize dust

settlement in the duct. The WCD was

reconditioned and extended to increase

Dedusting Plant capability to absorb heat

from larger volume of off-gas. The main

background of revamping necessity was

shown in this section. The main problem in Dedusting Plant in overcoming EAF raw

material transformation was explained in

Section II. Section III presented the new

design of Dedusting Plant and the mechanism of project execution. The result

of implementations was described and

analyzed in Section IV. Section V provided

the conclusions and future recommendations

which should be followed up after this project was finished.

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 25

KS REVIEW IPTEK

II. MAIN PROBLEM IN DEDUSTING

PLANT

A. Overview Of Dedusting Plant

As shown in Figure 1 and Figure 2, the

dedusting system is designed with two duct

systems consists of the primary duct

(including water-cooled and uncooled duct) and the secondary duct (canopy duct) are

both mixed in the mixer duct before the

filter. Off-gas or waste gas from the EAF is

consecutively sucked through some water-cooled hot section of gas line, uncooled hot

gas line, force draft cooler and filter by

operation 2 ID fans (1 standby). Negative

pressure inside the EAF is measured, controlled and regulated by the Dilution

Electric Control (DEC) damper.

Figure 1: Dedusting Plant of Electric Arc Furnace

Figure 2: Dedusting Plant of Electric Arc Furnace (Top View)

26 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

The temperature at the inlet filter is

controlled by the Mixing Chamber which is

the equipment to mix temperature between the primary duct to the secondary duct

canopy while the water emergency damper

acts to lower the temperature in the duct

system in case of over temperature.

Filter bag in the filter plant is cleaned

through the cleaning system by cooling air

jet instrument. Dust will descend into the

filter hopper and passed continuously by a chain conveyor/rotary valve and bucket

elevator to the silo and ends in an open

container or truck.

Water-cooled Hot Gas Line

Water-Cooled Hot Gas Line is made by using

pipe boiler ST. 35.8.I. Water-cooled hot gas

line consists of furnace elbow, sliding sleeve,

and water-cooled duct section. To prevent

overheating in hot gas line as a result of heat radiation or heat impact or due to lack

of the flow of cooling water, water

temperature sensor and flow meter

measurement are installed to monitor each circuit water-cooling line.

Furnace elbow or elbow is fixed to face each

other with the elbow roof so that under

normal conditions (sliding sleeve close) has a clearance of approximately 50 mm. The

distance between the elbow with a fixed roof

which can be adjusted via a mechanism of

elbow sleeve sliding back and forth with the motor electric drive system (open and

close). The main function of the sliding

sleeve is for additional input from

atmospheric oxygen so that the exothermic reaction CO can take place completely in the

hot gas line. Under automatic conditions,

sliding movement of the sleeve is set based

on mode operating conditions EAF is happening.

As shown in Figure 3, uncooled duct is made

from high resistant material which is steel

plate 16Mo3. For avoiding the over-heating

in the uncooled duct and controlling the inlet temperature of Force Draft Cooler (FDC),

the system is equipped with emergency

water dilution damper. Emergency water

dilution damper is designed by using the motor driving system AUMA (open and

close) with the set point temperature sensor

at the inlet FDC 550oC so that the

temperature uncooled would be restrained.

Figure 2: Uncooled Duct

Force Draught Cooler

Force draft cooler, as shown in Figure 4, is designed to reduce the temperature of

primary duct into 250oC. Hot gas from

uncooled duct enters the draft force cooler

through the inlet header then it is distributed to the multiple-chamber heat

exchanger package casing. Hot air from the

inlet transfers heat to the walls of the

chamber (heat exchange area), the walls of the chamber receiving heat from the inside

is cooled by blowing air from the outside

(outside force convection) through 9 pieces

of axial cooling fan that works by setting the temperature of the temperature sensor

placed in the outlet side of FDC.

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 27

KS REVIEW IPTEK

Figure 4: Forced Draught Cooler

B. Performance Obstacles: Off-gas & Dust Settlement Increase

As shown in Figure 5, existing conditions

described in this study is related to the

operation of the process based on EAF data testing after Performance Test of new Oxy

Fuel Burner. Based on that testing, EAF frequent trips / off time due to maximum

limit of temperature in the primary duct (hot

gas line) was more than 700oC (600oC

design), as shown in the Figure 6.

Figure 5: Process Flow of Dedusting Plant

Figure 6: Dedusting System Trip Alarm due to Over Heat

1st

cooling

stage

Gas

cleaning

Primary

dedusting

Secondary dedusting

2nd

cooling

stage

28 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

If temperature of the hot gas line more than

700oC, the corresponding dedusting Trip

Alarm System will active then the EAF will switch off (trip) and will be operated again

after about 3 minutes when the temperature

of the hot gas line has dropped to 625oC.

This mechanism causes the power on time and tap to tap time of EAF increases

resulting in lower productivity.

Therefore, the condition of dedusting system

that often causes trip in EAF, the way is taken to reduce the utilization of Oxy Fuel

Burner which is only using 2 lances (from a

total of 3 units). This method is done to

reduce the thermal load received Hot Gas Line and avoid the occurrence of electricity

trip.

III. DESIGN OF REVAMPED

DEDUSTING PLANT

A. New Design Of Dedusting Plant

Carbon content in pig iron or hot metal

varies considerably depending on the

process source. Typically pig iron will

contain between 3 and 4.5 %. It is easy to see that use of large amounts of high carbon

materials must be balanced with oxygen

availability so that decarburization time is

not extended. The maximum practical decarburization rate in the EAF is much

lesser than in the BOF due to the shallow

metal bath. Exceeding a rate of 0.1 % C per

minute typically results in excessive metal

splashing and increased fume losses to the offgas system (see Equation (i)).

…………………(i)

The term ∂E/∂t denotes the internal energy

change of the gas stream due to combustion

reactions and evaporation of water spray in

the gas phase. Post-combustion of CO and H2 bearing off-gasses with air occurs in the

first plant unit (drop out box, post

combustion chamber, hot gas duct)/

Combustion reaction of CO, H2, and natural gas (CH4) from burners release energy to

the Off-gas as shown in Equation (ii):

(ii)

The position of the sampling lance ensures that the EAF off-gasses are measure before

mixing with air. Off-gas temperature and the

velocity of the gas flow are also measured.

The off-gas enthalpy is calculated on the basis of these measurements and yield

about 15-25% of total energy input. The

amount of infiltrated air in the furnace is

determined with calculated N2 volume flow

rate at EAF elbow. Measured off-gas enthalpy and infiltrated air volume flow

provide information about the tightness of

the furnace and the possibility of decreasing

the off-gas enthalpy in order to optimize the energy balance.

Figure 7: Influence of water-cooling system to the off-gas temperature

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 29

KS REVIEW IPTEK

Figure 8: Measuring point at primary and secondary dedusting system

Figure 9: New Design of Water-cooled Duct

B. Project Schedule

The project was executed in six phases

which was shown in Table I. Basic Design and Detail Design was the first and second

phase. These were the very fundamental

phases in which the new design and

revamping mechanism were planned. The

chosen design, which was shown in Figure

7 and Figure 8, was followed up by manufacturing necessary equipment,

erection, commissioning and final

acceptance.

TABLE 1: Project Schedule of Revamping of EAF Dedusting Plant

No Project Phase 2014 2015

6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 Basic Design

2 Detail Design

3 Manufacturing

4 Erection

5 Commissioning

6 Final Acceptance

30 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

IV. RESULT & ANALYSIS

Individual test has been conducted to

examine the function of all equipment which consist of Cooled Duct, Uncooled Duct, Force

Drought Cooler, Mixing Chamber, Filter

System dan ID-Fan. The individual test

result is shown in Table II and Table III:

TABLE 2: Segment, Standard, and Result

SEGMENT STANDARD

(max) RESULT

Flow Fix L1 188 m3/h 188 m3/h

Flow Fix L2 183 m3/h 166 m3/h

Section 1 143 m3/h 113 m3/h

Section 2 143 m3/h 120 m3/h

TABLE 3: Performance Test Result

NO PERFORMANCE WARRANTIES VALUE HASIL PERFORMANCE TEST

1. Inlet Force Draught Cooler, Max (0C) 530 371

2. Inlet to filter chamber, Max (0C) 120 83

3. Dust Content, Max (mg/m3) 50 5

V. CONCLUSION

Based on the results of the implementations

and analysis, some conclusions could be

obtained as follows:

1) Revamping of EAF Dedusting Plant could eliminate the impact of raw material

transformation in EAF (hot metal

material-based operation).

2) By doing the revamping, transfer of knowledge was rapidly accelerated and

the learning time could be effectively

shortened.

Acknowledgements

The acknowledgement was mainly given to

the Board of Management of PT Krakatau

Steel (Persero) Tbk for issuing the

permission to the authors in publishing this

paper. The authors would also like to acknowledge the Revamping Team from any

discipline for their total supports in

succeeding the whole project phases.

References

1. VAI Team. Plant Manual of SSP-2.

Cilegon: PT Krakatau Steel. 1993.

2. Siemens VAI Team. Technical

Specification of SSP 1 Revitalization Project. Cilegon: PT Krakatau Steel.

2010.

3. PTKS Team. Profile of Central Workshop

PT Krakatau Steel. Cilegon: PT Krakatau Steel. 2013.

4. Tang, Kirschen, and Pfeifer. Modelling of

EAF Dedusting Units with Co-

combustion Using CFD. Institute for Industrial Furnaces and Heat

Engineering. RWTH Aachen. Germany

5. Kirschen, Velikorodov, Pfeifer, Kuhn,

Lenz, Loh, and Schaefers. Off-gas

Measurements at the EAF Primary Dedusting System. EEC Birmingham.

2005

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 31

KS REVIEW IPTEK

MODERNISASI PROGRAMMABLE LOGIC CONTROLLER PADA

FASILITAS LIGHT PELATE TRIMDAN CROSSCUT SHEAR LINE

DI PT. KRAKATAU STEEL (PERSERO), TBK.

Aditya Tejo Widagdoa, Linggar Fergishab, Suhaipikc aDivisi Perawatan Pabrik Hot Strip Mill dan Wire Rod Mill, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. bDivisi Perawatan Pabrik Hot Strip Mill dan Wire Rod Mill. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. cDivisi Otomasi. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

ABSTRAK

Seiring perkembangan teknologi yang sangat cepat, keusangan (obsolete) menjadi salah satu ancaman paling potensial dalam sistem otomasi. Masalah ini bahkan dapat

menghentikan pengoperasian peralatan dan dapat membuat proses produksi tidak lagi

berkelanjutan. Modernisasi (revamping) adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan

untuk mengatasi ancaman ini. Makalah ini menjelaskan pelaksanaan proyek modernisasi system otomasi dari fasilitas “4-25 mm Light pelate Trim dan Crosscut Shear Line” (disebut

dengan “Shearing Line 1”) yang telah diselesaikan pada tahun 2012 secara swakelola oleh

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (PTKS). Programmable Logic Controller (PLC) yang telah

usang diganti dengan peralatan baru dengan beberapa adaptasi dan modifikasi program. Selain itu, ditambahkan pula fasilitas Human Machine Interface (HMI) pada peralatan

tersebut untuk memudahkan proses operasional dan perawatan. Hasil dari proyek ini tidak

hanya berhasil menghilangkan keusangan PLC, tetapi juga menekan penundaan perawatan

dari sisi otomasi secara signifikan hingga 100% selama setahun. Karena tidak ada

kebutuhan konsultasi teknis dari pihak eksternal selama fase engineering, erection, dan commissioning; maka proyek ini juga menghasilkan penghematan pengeluaran modal.

Selain itu, proyek yang dikelola secara mandiri ini secara efektif membantu dalam

mempercepat transfer pengetahuan dan memperpendek kurva pembelajaran personil.

1. PENDAHULUAN Setiap industri besi dan baja menghadapi

keusangan, bahkan di Tiongkok dan Amerika

Serikat sekalipun [2] [3]. Salah satu

karakteristik industri manufaktur ini adalah perlunya teknologi otomasi canggih untuk

memenuhi permintaan ketelitian proses

produksi dan kualitas produknya [4]. Untuk

industri semacam ini, keusangan adalah

ancaman yang sangat potensial. Keusangan adalah kondisi tertentu yang terjadi dalam

sistem otomasi ketika suku cadang tidak

diproduksi kembali [1]. Ketika ditemukan

teknologi yang lebih modern, pengembangan teknologi yang lebih tua

akan kurang diperhatikan. Skema ini akan

mengarah pada penghentian produksi suku

cadang yang dibuat dengan teknologi lama. Karena teknologi tumbuh dan berkembang

dengan cepat, masalah ini akan dihadapi

oleh setiap sistem otomasi yang terpasang

di seluruh dunia. Di PTKS, teknologi otomasi Shearing Line 1, terutama PLC, sudah

usang. Siemens, sebagai Original Equipment

Manufacturer (OEM) dari otomasi Shearing Line 1, secara resmi menyatakan bahwa

suku cadang yang dipasang dihentikan dan

tidak lagi tersedia di pasar. Jika sistem

otomasi telah usang, maka kerusakan apa pun yang terjadi pada peralatan hampir

tidak dapat diatasi. Pengadaan suku cadang

tidak dapat ditempuh karena tidak

diproduksi lagi, maka personil perawatan

hanya dapat mengandalkan suku cadang yang telah dimiliki sebelumnya. Setiap

modifikasi dari teknologi yang dilakukan

untuk memecahkan masalah tidak akan

memberikan efek jangka panjang. Dalam kondisi ini, keandalan pabrik akan turun

secara bertahap dan seluruh proses

produksi tidak lagi berkelanjutan. Untuk

menghindari dampak masif dari ancaman ini, pembenahan perlu segera dilakukan.

Modernisasi (revamping) adalah kegiatan

instalasi teknologi baru yang diterapkan

dalam satu set perangkat keras dan/atau perangkat lunak yang dinyatakan usang [4].

Revamping umumnya mencakup beberapa

32 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

modifikasi untuk menjembatani kesenjangan

yang ada antara dua teknologi yang

berbeda. Revamping, yang dilaksanakan dalam beberapa fase proyek, sangat efektif

untuk menghilangkan keusangan karena

ketersediaan setiap suku cadang baru yang

dipasang sangat tinggi untuk tahun-tahun berikutnya. Pembenahan otomasi yang

diterapkan di banyak industri besi dan baja

telah membawa beberapa kisah sukses,

seperti di Wuhan Iron and Steel Co. (WISCO), Aluminium Norf GmbH, Tata Steel

Corus (TSC), Salzgitter Flachstahl AG, dan di

Hot Strip Mill ( HSM) PTKS. [5] [6].

2. PERMASALAHAN OTOMASI DI SHEARING LINE 1

A. Gambaran Umum Shearing Line 1

Shearing Line 1 adalah salah satu jalur

finishing produk lembaran canai panas milik

PTKS. Fasilitas ini dibangun bersama dengan Hot Strip Mill (HSM) pada tahun 1983 oleh

SMS AG bekerja sama dengan Ferrostaal

AG. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar

1. HSM memproduksi pelat melalui Reheating Furnace, Sizing Press, Roughing

Mill, Crop Shear, Finishing Mill, Laminar

Cooling, dan Down Coiler untuk membuat

produk Hot Rolled Coil (HRC). Shearing Line 1 dibangun di sebelah HSM sehingga HRC

dapat segera diproses menjadi Hot Rolled

pelate (HRP). Pabrik ini menggunakan

bahan baku HRC dengan kisaran ketebalan

4-25 mm dan menghasilkan produk HRP dengan rentang panjang 3-12 m. Jika

dibandingkan dengan HSM yang mampu

menghasilkan 2.400.000 ton per tahun,

kapasitas produksi Shearing Line 1 adalah 300.000 ton HRP per tahun.

Gambar 1: Diagram proses produk lembaran

canai panas PT. Krakatau Steel [7]

Gambar 2 menjelaskan proses produksi

Shearing Line 1. Pada awalnya, HRC dimuat

ke dalam mandrel Pay Off Reel dan ditarik oleh Pinch Roll No. 1 untuk memasuki

Leveler No. 1. Setelah diratakan, strip

kemudian ditarik oleh Pinch Roll No. 2 ke

Trimming Shear. Tepi strip yang telah dipangkas dipotong-potong dengan Scrap

Chopper di setiap sisi. Strip kemudian sekali

lagi ditarik oleh Pinch Roll No. 3 sebelum

dipotong menjadi pelat dengan menggunakan Crosscut Shear. Pelat

mengalir melalui Run Out Conveyor,

diratakan oleh Leveler No. 2, dicap/ditandai

dengan label identitas produk, dan akhirnya ditumpuk oleh Piling Bridge. Crane

kemudian menangani pelat yang ditransfer

ke area penyimpanan, sedangkan pelat yang

ditolak akan dilokalkan oleh Pinch Roll

terakhir. Shearing Line 1 memiliki dua mode operasi. Mode Trimmed Edge digunakan

untuk menghasilkan pelat yang dipotong

pada bagian tepinya (edge-trimmed),

sedangkan mode Mill Edge memiliki proses yang hampir sama dengan Trimmed Edge

tetapi tidak ada proses pemotongan di tepi

yang terjadi.

Gambar 2: Shearing Line 1 PT. Krakatau

Steel (Persero), Tbk. [8]

B. Hambatan Kinerja: Keusangan dan Perawatan Fasilitas

Peralatan rolling di Shearing Line 1 sebagian

besar digerakkan oleh motor listrik. Motor-

motor ini dijalankan dengan beberapa

prasyarat yang mencakup tidak hanya aspek keselamatan tetapi juga kesiapan peralatan

itu sendiri. Proses otomasi ini, yang

dirumuskan sebagai sistem kontrol logika

berurutan, ditangani oleh PLC. PLC adalah nama yang diberikan untuk jenis komputer

yang biasa digunakan dalam aplikasi kontrol

komersial dan industri. PLC berbeda dari

komputer kantor baik dalam jenis tugas

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 33

KS REVIEW IPTEK

yang dilakukan maupun perangkat keras

dan perangkat lunak yang dibutuhkan untuk

melakukan tugas-tugas itu. Selain masing-masing aplikasi spesifik sangat bervariasi,

semua PLC memonitor input dan nilai

variabel yang dikontrol, membuat keputusan

berdasarkan program yang tersimpan, dan mengontrol output untuk membuat proses

atau mesin bekerja secara otomatis. [9]

Setiap industri besi dan baja melibatkan PLC

dalam proses produksinya, termasuk Shearing Line 1 PTKS. PLC yang digunakan

di Shearing Line 1 adalah tipe S5-150 yang

diproduksi oleh Siemens. PLC ini sudah

sangat tua sejak dipasang pada saat pembangunan Shearing Line 1. Saat ini, S5-

150 dinyatakan oleh Siemens sebagai salah

satu produk yang telah usang. Oleh karena

itu, semua suku cadangnya dihentikan dan

tidak lagi tersedia di pasar. Kondisi ini memaksa personel perawatan untuk hanya

mengandalkan suku cadang lama PLC.

Selain itu, beberapa suku cadang PLC tidak

memiliki suku cadang yang tersisa karena beberapa di antaranya telah digunakan

sebagai pengganti yang rusak. Fakta ini

benar-benar ancaman potensial. Jika terjadi

kerusakan pada PLC dan tidak ada suku cadang yang tersedia, proses produksi

Shearing Line 1 akan dipaksa berhenti.

Kondisi ini akan berdampak pada

keberlanjutan seluruh proses produksi PTKS.

Selain usang, PLC S5-150 menggunakan bahasa pemrograman Statement List (STL)

yang dijalankan di bawah sistem operasi

DOS.[10] yang sulit dipahami oleh sebagian

besar personel perawatan. Oleh karena itu, jika masalah terjadi dalam sistem kontrol

logika berurutan, proses pemecahan

masalah akan memakan waktu yang cukup

lama. Penundaan perawatan ini menurunkan ketersediaan peralatan dan dengan

demikian tonase produksi maksimum tidak

dapat dicapai. Kondisi-kondisi ini, baik

keusangan dan kesulitan perawatan, dapat diselesaikan dengan skema modernisasi

seperti pembenahan.

3. DESAIN MODERNISASI OTOMASI

A. Arsitektur Otomasi

PLC seri S7 adalah penerus seri PLC S5. Hal

ini berarti bahwa S7 dapat "memahami"

bahasa pemrograman yang digunakan

dalam S5 sehingga tidak akan ada kebutuhan rekayasa ulang secara total dan

lebih banyak waktu dapat dihemat selama

proses pembenahan. S7-400 adalah varian

dari seri S7, yang tidak hanya memberikan kapasitas memori yang besar untuk

menangani beberapa program dengan

kompleksitas tinggi, tetapi juga bit rate

tinggi untuk pemrosesan data[9]. Karakteristik ini sesuai untuk dipasang di

Shearing Line 1 karena pabrik ini memiliki

ratusan sinyal input/output (I/O). Selain itu,

bagian peralatan S7-400 itu sendiri lebih sederhana dari S5, baik dalam dimensi

maupun fungsinya. Sebagai contoh, modul

I/O S5 memiliki 2 byte I/O (saluran 16 bit),

sedangkan modul yang sama di S7 dapat

menampung hingga 4 byte I/O (saluran 32 bit). Fitur ini akan menyederhanakan

aktivitas perawatan. Oleh karena itu, dalam

pembenahan Shearing Line 1, seri S7 dipilih

sebagai pengganti S5.

Arsitektur sistem PLC yang diubah

ditunjukkan pada Gambar 3. Sistem PLC ini

dibagi menjadi tiga blok: blok utama PLC,

blok I/O jarak jauh, dan blok HMI. Blok Utama terhubung ke I/O jarak jauh dengan

menggunakan Profibus-DP, sementara HMI

terhubung ke blok utama melalui Ethernet

dengan protokol komunikasi TCP/IP. Blok

HMI juga terhubung ke Corporate Local Area Network (LAN) PTKS. Koneksi ini

memberikan kemampuan sistem PLC untuk

mengakses data dari mainframe dan Process

Control System (PCS). Blok utama PLC S7-400 terdiri dari modul catu daya PS 407 4A,

Central Processing Unit (CPU) CPU 414-2

DP, dan modul komunikasi CP 343-1. Catu

daya mempertahankan catu daya yang diperlukan untuk CPU dan modul

komunikasi. Modul CPU, otak PLC, memiliki

tanggung jawab untuk mempertahankan

semua operasi logis dalam sistem kontrol berurutan yang diprogram. Selain itu, modul

komunikasi bertindak sebagai pengatur lalu

lintas antara CPU, Remote I/O, dan HMI.

Remote I/Os adalah perangkat keras tempat

sensor dan kontaktor pada Shearing Line 1 terhubung. Modul Input Jauh menerima

sinyal input dari sensor medan dan

34 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

mengirimkannya ke CPU untuk diproses oleh

sistem kontrol logika berurutan. Program ini

memberikan beberapa nilai output ke Remote Output dan modul-modul ini akan

mengirimkan sinyal ini ke dalam kontaktor

dan relay. Untuk lebih dari 1500 I/O yang

tersedia, lebih dari 50 modul dipasang di delapan blok I/O yang terpisah. Masing-

masing didukung oleh modul antarmuka

independen ET-200M.

Gambar 3: Arsitektur sistem PLC revitalisasi

Shearing Line 1 [11]

Selain penggantian PLC, HMI juga dipasang

dan disinkronkan dengan PLC. HMI dapat secara sederhana didefinisikan sebagai

perangkat lunak yang membantu orang

untuk mengoperasikan perangkat keras.

HMI yang dipasang di otomasi Shearing Line

1 adalah Intouch Wonderware Versi 10.1.[12]

Blok HMI terdiri dari komputer server dan

komputer klien. Komputer server terletak di

ruang kontrol listrik/rumah switch untuk

tujuan rekayasa dan perawatan, sedangkan komputer klien berada di ruang kontrol

mimbar/operator untuk tujuan operasional.

HMI ini menjembatani operator dengan

perangkat keras seperti PLC, sistem penandaan pelat, mainframe dan PCS. Oleh

karena itu, HMI memungkinkan operator

dalam memantau kondisi pabrik, menandai

strip program untuk ditandai, dan mengakses data produksi dalam satu

komputer. Untuk pengembangan di masa

mendatang, komputer klien tambahan dapat

dipasang dan ditempatkan di ruang kontrol

operator sekunder Shearing Line 1.

B. Skema dan Mekanisme Proyek

Proyek ini dilaksanakan dalam delapan fase

yang ditunjukkan pada Tabel 1. Design dan

Engineering adalah fase pertama. Fase ini

adalah fase yang sangat mendasar di mana arsitektur otomasi dan mekanisme

pembenahan direncanakan. Arsitektur yang

dipilih, sebagaimana ditunjukkan pada

Gambar 3, diikuti dengan pengadaan peralatan yang diperlukan. Fase

engineering, yang dilakukan tanpa

partisipasi ahli teknis eksternal, difokuskan

terutama pada migrasi program otomasi S5-150 ke dalam format bahasa pemrograman

S7-400. Salah satu keunggulan produk

otomasi Siemens adalah kompatibilitas,

yaitu memungkinkan penerus PLC untuk memahami bahasa pendahulunya. Hal ini

memberi banyak keuntungan dalam

penghematan waktu dan pengurangan

kompleksitas. Setelah peralatan yang dibeli

dikirimkan, beberapa pengembangan juga dipertimbangkan untuk memastikan bahwa

karakteristik perangkat keras dapat

disinkronkan dengan perangkat lunak.

Fase berikutnya adalah Erection. Fase ini sebenarnya dapat diselesaikan dalam waktu

kurang dari sebulan karena hanya terdiri

dari pembongkaran set S5-150 dan

langsung menggantinya dengan S7-400. Namun, beban produksi Shearing Line 1

sangat tinggi pada waktu itu, sehingga

pabrik tidak diizinkan berhenti kecuali

selama hari perawatan, yang berlangsung

dua shift dalam setiap dua minggu. Persyaratan ini memaksa tim proyek untuk

melaksanakan fase ini langkah demi

langkah: pemasangan perangkat keras di

panel kontrol listrik baru, persiapan koneksi kabel paralel, dan akhirnya menghubungkan

I/O jarak jauh ke relay. Fase berikutnya

dilakukan dengan persyaratan yang sama

dari pemilik pabrik. Fase terakhir dari Proyek ini adalah commissioning.

Commissioning adalah proses lengkap untuk

memeriksa setiap aspek fungsional baik

perangkat keras maupun perangkat lunak. Fase ini memastikan bahwa setiap arsitektur

dan program otomasi yang direkayasa

bekerja sesuai dengan rancangan untuk

peralatan tersebut. Kerusakan yang diamati

segera ditindaklanjuti dengan modifikasi program atau pemecahan masalah

perangkat keras.

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 35

KS REVIEW IPTEK

Tabel 1: Jadwal Proyek Pembenahan PLC [11]

Setelah sistem PLC yang dirubah

sepenuhnya ditugaskan, finalisasi

dokumentasi dibuat dalam bentuk diagram

bangun, diagram sirkuit dan diagram blok program fungsional, dan buku manual

pemecahan masalah. Dokumen-dokumen ini

digunakan pada tahap berikutnya sebagai

materi pelatihan. Tujuan pelatihan adalah untuk memastikan bahwa petugas

perawatan dapat memahami teknologi yang

dipasang dengan baik dan mengetahui

standar prosedur pemecahan masalah ketika kesalahan terjadi. Pelatihan ini

diadakan tidak hanya dalam format kelas,

tetapi juga di pabrik, terutama dengan

mengeksplorasi studi kasus beberapa

kegagalan fungsi PLC. Akhirnya, setelah semua fase di atas diselesaikan, Final

Acceptance Certificate (FAC) ditandatangani

dan hasil pekerjaan diserahkan dari

pelaksana proyek ke pemilik proyek.

4. HASIL DAN ANALISIS

A. Peningkatan Kinerja Peralatan

Setelah diubah, kontrol logika berurutan

dari sistem otomasi ditangani oleh PLC S7-400 baru. Ketersediaan suku cadang S7-400

tinggi, tidak hanya untuk modul utama

tetapi juga aksesori. Oleh karena itu,

masalah keusangan yang dihadapi oleh PLC dapat dihilangkan. Dalam aspek kinerja

peralatan, S7-400 memiliki keandalan yang

tinggi. Catatan kinerja PLC Shearing Line 1

diwakili oleh grafik penundaan perawatan

yang ditunjukkan pada Gambar 4. Pada tahun 2011, ketika S5-150 masih

digunakan, waktu penundaan perawatan

cukup lama. Penundaan ini disebabkan oleh

beberapa kegagalan fungsi pada CPU dan

modul I/O jarak jauh. S5-150 sebagian

besar terdiri dari komponen elektronik yang

dirakit dalam format kartu dengan jangka waktu pengoperasian hampir 30 tahun

sehingga kinerjanya menurun secara

bertahap dan beberapa masalah sering

terjadi. Selain itu, karena bahasa pemrograman dan unit pemrograman

benar-benar dasar, bahkan personel

perawatan yang terampil membutuhkan

waktu yang cukup lama dalam melacak akar masalah sebelum dapat melakukan tindakan

korektif. Setelah PLC diganti pada tahun

2012, penundaan perawatan dapat ditekan

hingga 100% dalam dua semester berturut-turut. Tidak ada kesalahan pada CPU dan

modul I/O jarak jauh. Ini membuktikan

bahwa sistem yang diubah sangat andal

dalam mendukung sistem otomasi Shearing

Line 1, baik dalam mode operasi Mill Edge dan Trimmed Edge.

Gambar 4: Keterlambatan Perawatan PLC

dari Shearing Line 12011-2012 [13]

B. HMI Sebagai Nilai Tambah Operasi

dan Perawatan

HMI membantu operator dalam

mengoperasikan dan memantau tidak hanya

setiap unit rolling tetapi juga peralatan

tambahan. Gambar 5 menunjukkan tampilan utama HMI di ruang kontrol

operator. Keberadaan HMI memberikan

peningkatan operasional yang signifikan di

area Shearing Line 1. Karena HMI ini

terhubung ke mainframe, identitas koil tersedia online dan karenanya proses

penandaan pelat bisa otomatis. Selain itu,

karena HMI juga bertindak sebagai

jembatan antara PLC, PCS, mainframe, dan

V VI VII VII IX X XI XII I II III IV

1Design and

Engineering

2 Procurement

3 Development

4 Erection

5 Commissioning

6 Documentation

7 Training

8Final

Acceptance

2011 2012No Project Phase

36 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW IPTEK

sistem penandaan pelat, operasi menjadi

lebih terintegrasi dalam satu komputer

sehingga menyederhanakan pekerjaan operator. Untuk personel perawatan, HMI

sangat membantu dalam memperpendek

langkah pemecahan masalah. Gambaran

umum unit rolling Shearing Line 1, yang ditunjukkan pada Gambar 2, juga diwakili

dalam HMI. Setiap unit rolling, yang

terhubung ke motor, sensor, dan PLC,

dimonitor secara digital. Saat Shearing Line 1 dijalankan, warna unit rolling menjadi

hijau. Jika terjadi kesalahan, warna lokasi

gangguan menjadi merah. Dari tanda merah

ini, petugas perawatan dapat melacak lokasi kesalahan pada alamat input/output PLC

yang akan ditampilkan dalam HMI. Dengan

membaca alamat kesalahan yang

ditunjukkan dalam HMI, petugas perawatan

dapat langsung memeriksa lokasi dan memberikan tindakan pemecahan masalah

sesegera mungkin. HMI juga mencatat

beberapa kesalahan dan peringatan selama

proses operasi dalam daftar alarm. Petugas perawatan juga dapat menggunakan fitur ini

untuk tujuan tindakan preventif dan

prediktif.

Gambar 5: Tampilan Utama HMI dari

Shearing Line 1 Revamping PLC [11]

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil implementasi dan analisis,

beberapa kesimpulan dapat diperoleh sebagai berikut:

1. Pembenahan PLC Shearing Line 1

menghilangkan masalah keusangan.

2. Setelah diubah, penundaan perawatan

dalam otomasi Shearing Line 1 bisa ditekan hingga 100% selama setahun.

3. Dengan melakukan pembenahan,

transfer pengetahuan dipercepat dan

waktu belajar dapat diperpendek secara efektif.

B. Rekomendasi

Selain kesimpulan dari percobaan,

beberapa rekomendasi untuk penelitian dan pengembangan masa depan dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk meningkatkan keandalan

arsitektur otomasi secara keseluruhan, drive modernisasi dan integrasi dengan

PLC yang diubah harus ditetapkan.

2. Untuk mempermudah pemecahan

masalah, instalasi Process Data Acquisition (PDA) sebagai alat ukur

sinyal dan sinkronisasi dengan sistem

otomasi yang ada harus

dipertimbangkan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ini terutama

diberikan kepada Dewan Manajemen PTKS

untuk mengeluarkan izin kepada penulis

dalam menerbitkan makalah ini. Para penulis juga ingin mengucapkan terima

kasih kepada Tim Revamping atas dukungan

total mereka dalam menyukseskan seluruh

fase proyek.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Kiefer, Franz and Jungfer Helmar.

Retrofits Help Battle Technological

Obsolescence. Siemens-VAI Electrics

and Automation Bulletins for the Metal Industries, pp 18-20, June 2011.

2011.

[2] Fisher-Vanden, Karen. Technological

Diffusion in China's Iron and Steel Industry. BCSIA Discussion Paper 98-

26, ENRP Discussion Paper E-98-22,

Kennedy School of Government,

Harvard University. 1998.

[3] Boyd, B.K. and Gove, Steve. Nucor

Corporation and the U.S. steel

Industry. In, Strategic Management:

Competitiveness and Globalization, 4e, Hitt, M.A., Ireland, R.D., & Hoskisson,

R.E. Southwestern Publishing. 2000.

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 37

KS REVIEW IPTEK

[4] Hoffmann, Bernd. Modernization

Package: Pacesetter for the Metals

Industries. Siemens-VAI Electrics and Automation Bulletin for the Metal

Industries, pp 6-11, June 2011. 2011.

[5] Monch, Michael. Best Engineered Drive

System for Best Plant Performance. Siemens-VAI Electrics and Automation

Bulletin for the Metal Industries, pp

42-46, June 2011. 2011.

[6] Febrian, Nicky Andra. Performance Report of Hot Strip Mill after

Revitalization. Cilegon: PT Krakatau

Steel (Persero) Tbk. 2011.

[7] HCT&EC Instructor Team. Hot Strip Mill Production Facility of PT Krakatau Steel

(Persero) Tbk. Cilegon: PT Krakatau

Steel (Persero) Tbk. 2010.

[8] Anonym. 4-25 mm Light pelate Trim

and Crosscut Shear Line Manual Book. Krakatau Steel HSM 88” Electrical

Equipment Volume 10 E283/002374.

Siemens AG & Ferrostaal AG. 1983.

[9] -----------. S7-400 Automation System

Module Data Reference Manual,

08/2011, Book Number A5E00850736-07. Nurnberg: Siemens AG – Industry

Sector. 2011.

[10] -----------. Simatic S5-150 Training

Course and Basic Principles. Siemens Training Center for Automation, Book

Number E80850-K17-X-AI-7600.

Siemens AG. 1983.

[11] Suhaipik and Widagdo, Aditya Tejo. Project Documentation of Retrofit

Shearing Line 1. Cilegon: PT Krakatau

Steel (Persero) Tbk. 2012.

[12] Anonym. Wonderware® FactorySuite™ InTouch™ User’s Guide.

Massachusetts: Invensys Systems,

Inc. 2002.

[13] Farida, Siti. Monthly Production Report

of Shearing Line 1 and Hot Skin Pass Mill Area. Cilegon: PT Krakatau Steel

(Persero) Tbk. 2012.

38 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW FOKUS

Eksistensi Industri Baja Nasional: Penentu Masa Depan Bangsa

Indonesia

Oleh: Aditya Tejo Widagdo

(Superintendent Project Contract Preparation, Divisi Project Development)

“Baja adalah ‘mother of industries’

dan merupakan basis keamanan

nasional. Tanpa baja, tidak akan

ada industri. Oleh karena itu, telah

diakui bahwa industri baja

menentukan nasib dari sebuah

bangsa”

(Eiho Nishida, Nippon Steel

Corporation, 1973)[1]

“Industri baja sebagai sektor hulu,

disebut juga ‘mother of industries'

karena berperan penting untuk

memasok kebutuhan bahan baku

dalam mendukung proyek

infrastruktur dan menopang

kegiatan sektor industri lainnya,”

(Harjanto, Dirjen ILMATE

Kementerian Perindustrian RI,

2019)[2]

Industri baja adalah industri utama (mother

of industries) yang harus dikembangkan

untuk mendorong industri lainnya (baik

infrastruktur, manufaktur, dll). Tidak ada

negara yang mampu mengembangkan

industri tanpa pengembangan industri

baja[3]. Belajar dari Jepang[3], Korea

Selatan[4], dan Cina[5] sebagai negara-

negara besar di Asia dengan pertumbuhan

ekonomi yang sangat ditopang oleh industri

baja, setiap negara yang sedang dalam

kondisi pertumbuhan industri seperti

Indonesia harus mengembangkan industri

baja nasional. Aplikasi produk-produk baja

beserta turunannya sangat berperan baik

dalam pembangunan infrastruktur, fasilitas

penunjang produksi di masing-masing

industri hilir, maupun penggunaan langsung

oleh pengguna akhir (end user). Industri

baja sebagai industri logam dasar sangat

berperan dalam menyangga industri-industri

prioritas lainnya yang ditetapkan oleh

pemerintah sebagaimana disajikan dalam

Gambar 1.

Gambar 1: Bangun Industri Baja[6]

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 39

KS REVIEW FOKUS

Permintaan kebutuhan baja di Indonesia

meningkat dengan pesat dalam beberapa

tahun terakhir. Pada tahun 2018, terdapat

permintaan baja domestic hingga mencapai

15 juta ton, tumbuh lebih dari 10%

dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Namun, walaupun telah tumbuh di atas 25%

dalam satu tahun, kapasitas suplai baja

nasional saat ini hanya sebesar 10 juta ton

per tahun, sehingga sisanya diisi oleh

pemain baja impor[7]. Jika kenaikan

permintaan baja yang sangat pesat ini tidak

diimbangi dengan peningkatan kapasitas

produksi dalam negeri, maka akan semakin

banyak produk baja impor yang membanjiri

Indonesia. Derasnya arus impor produk baja

ini dapat memberikan dampak negatif baik

terhadap industri baja dalam negeri secara

mikro maupun terhadap negara Indonesia

secara makro. Secara mikro, keberlanjutan

bisnis industri baja dalam negeri dapat

terganggu karena produk baja impor ini,

khususnya yang berupa grade komersial dan

berasal dari negara tertentu, memiliki harga

lebih murah dibanding produk baja dalam

negeri akibat adanya indikasi perdagangan

tidak sehat yang semakin meluas. Dari aspek

makro, aktivitas impor secara kontinu

dengan nilai yang cukup besar ini dapat

menghasilkan defisit yang sangat besar

dalam neraca perdagangan Indonesia.

Sebagai mitigasi atas fenomena tersebut,

pemerintah melalui kementerian terkait

berupaya menekan laju impor produk baja

untuk menjaga kestabilan neraca

perdagangan. Selain melakukan revisi

terhadap Permendag 22/2018 menjadi

Permendag 110/2018 untuk membuat iklim

kompetisi bisnis baja dalam negeri menjadi

lebih kondusif, pemerintah juga melakukan

beberapa inisiasi untuk mengembangkan

industri baja dalam negeri baik melalui peran

industri lokal maupun partisipasi investor

asing. Pemerintah telah berhasil

menggandeng investor untuk membangun

kompleks pabrik baja senilai 6 Miliar US

Dollar dengan kapasitas produksi 3,5 juta

ton/tahun di Morowali, Sulawesi Tenggara.

Investor lain juga telah berminat untuk

membangun kompleks pabrik baja senilai 2,5

Miliar US Dollar dengan kapasitas produksi 3

juta ton/tahun di Kendal, Jawa Tengah.

Tidak ketinggalan dengan dua investasi asing

yang baru masuk ini, Pemerintah juga

mendukung penuh upaya PT Krakatau Steel

(Persero) Tbk (“PTKS”) untuk bekerja sama

dengan POSCO sebagai salah satu

peusahaan baja terbesar dan terbaik di dunia

dalam rangka mewujudkan pembangunan

Klaster Baja 10 Juta Ton di Cilegon yang

memiliki nilai investasi jangka panjang

hingga 4 Miliar US Dollar. Ketiga contoh ini

merupakan bukti nyata komitmen

pemerintah dalam mendukung pertumbuhan

industri baja di dalam negeri sebagai mother

of industries.

Namun demikian, dengan upaya-upaya yang

telah ditempuh tersebut, bukan berarti

kemandirian baja nasional sudah menjadi

jaminan akan tercapai di depan mata. Masih

banyak tantangan yang harus ditindaklanjuti

bersama oleh industri dalam negeri untuk

mempertahankan eksistensinya di tengah

derasnya arus globalisasi dan perdagangan

bebas. Mulai dari ketergantungan terhadap

bahan baku impor yang nyaris mutlak,

tingginya harga gas alam dan batu bara,

hingga permasalahan operasional yang

bersifat teknis seperti produktivitas dan

efisiensi. Dalam menghadapi tantangan

internal dan eksternal yang dahsyat ini,

industri baja nasional perlu melakukan

internalisasi yang optimal dengan disertai

kerja sama strategis yang sinergis untuk

tumbuh dan berkembang secara bersama-

sama. Melalui peran aktif dan kolaborasi

yang efektif, industri baja nasional

diharapkan dapat menjadi salah satu tulang

punggung perekonomian nasional. Melalui

berlimpahnya produk baja dalam negeri

dengan kualitas yang memadai, Indonesia

dapat memiliki ketahanan ekonomi yang

lebih kuat dan mengurangi ketergantungan

terhadap produk impor. Mengalirnya produk

baja nasional ini ke sektor yang lebih hilir

untuk diaplikasikan dalam skala yang lebih

luas dapat menimbulkan multiplier effect

yang mampu mendongkrak perekonomian

40 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW FOKUS

Indonesia lebih jauh di masa depan dan

menimbulkan lompatan yang lebih jauh bagi

Indonesia untuk bertransformasi menjadi

negara maju. Steel as a national power.

Referensi:

1. Nishida, Eiho. 1973. History of Steel in

Japan. Tokyo: Nippon Steel

Corporation.

2. Ansori, Munib. 2019. RI Tingkatkan

Kapasitas Produksi Baja untuk

Kebutuhan Domestik. Dikutip dari

Harian Ekonomi Neraca Edisi 26 Maret

2019.

3. Elbaum, Bernard. 2007. How Godzilla

Ate Pittsburgh: The Long Rise of the

Japanese Iron and Steel Industry,

1900–1973. Social Science Japan

Journal Vol. 10, No. 2, pp 243-264.

4. Chung, C.H., and Sa, D.C. 2017. The

Korean Steel Industry in Retrospect:

Lessons for Developing Countries. Asian

Steel Watch Vol-04 December 2017.

5. Popescu, GH.H., et al. 2015. China’s

Steel Industry as A Driving Force for

Economic Growth and International

Competitiveness. Metalurgija 55 (2016)

1, 123-126. ISSN 0543-5846.

6. Kementerian Perindustrian Republik

Indonesia. 2015. Rencana Induk

Pembangunan Industri Nasional 2015 –

2035. Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 14 Tahun 2015.

7. Yong, T.A. 2019. Performance of the

ASEAN Iron and Steel Industry in 2018

and Outlook. South East Asia Steel

Industry Institute (SEAISI) Conference

and Exhibition 2019.

Baja Tahan Api (Fire Resistant Steel):

Baja Struktur Berkekuatan Tinggi pada Aplikasi Ekstrim

Oleh: Agung Baskoro (Senior Engineer Process & Product Development, Divisi Research & Development)

Baja pada dasarnya merupakan material

yang tidak mudah terbakar, namun baja

dapat kehilangan kekuatan saat dipanaskan pada temperatur tertentu. Oleh karena itu

pada struktur gedung maupun bangunan

lainnya dibutuhkan baja yang memiliki

ketahanan terhadap temperatur tinggi yang dapat mempertahankan kualitas dan sifat

mekanik nya.

Salah satu karakteristik dari baja tahan api

atau baja tahan temperatur tinggi adalah nilai yield strength pada temperatur 600oC

sebesar 2/3 atau lebih dari nilai yield

strength standard yang ditetapkan pada

temperatur ruang. Selain itu, nilai yield ratio

(YR) baja ≤ 80% untuk mendapatkan kekuatan yang lebih baik pada temperatur

tinggi[1].

Salah satu contoh aplikasi baja tahan

temperatur tinggi adalah Uncooled Ducting

yang merupakan salah satu bagian dari

sistem dedusting di Electric Arc Furnace

(EAF) PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Uncooled Ducting berfungsi sebagai saluran

pembuangan debu panas (temperatur

500oC) yang dihasilkan selama proses

peleburan baja di EAF. Spesifikasi baja yang digunakan untuk aplikasi ini adalah DIN

17175 15Mo3 yang diproduksi oleh PT

Krakatau Steel (Persero) Tbk sendiri dengan

menambahkan elemen paduan Molibdenum (Mo). Elemen ini di dalam baja dapat

meningkatkan ketahanan baja pada

temperatur tinggi dan meningkatkan

ketahanan mulur (creep resistant)

dikarenakan dapat memberikan pengaruh dalam menghambat pergerakan dislokasi

melalui mekanisme solid solution

strengthening.

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 41

KS REVIEW FOKUS

Baja Tahan Api ini juga dapat diaplikasikan

pada Boiler, Bejana Bertekanan, Struktur Bangunan, dan struktur lain pada kondisi

operasi hingga temperature 600oC.

Catatan :

1. Y. Mizutani, etc, 590MPa Class Fire-Resistant Steel for Building Structural Use, Nippon Steel

Technical Report, 2004

2. DIN Deutsches Institut fur Normung e. V, 1982

42 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW INFO

Blast Furnace PT Krakatau Steel

Mulai Beroperasi

Setelah penantian sekian lama akhirnya

pada tanggal 11 Juli 2019 PT Krakatau Steel

melakukan first blow in Blast Furnace

berkapasitas 1,2 juta ton hot metal per tahun.

Blast Furnace Complex PT Krakatau Steel

yang dibangun oleh MCC CERI sebagai

kontraktor utama terdiri dari 1 unit blast

furnace dengan volume 1.832 m3, 64-hole

6-metre coke oven, dan 180 m2 sintering

machine.

Rencananya setelah melalui serangkaian proses metalurgi seperti desilikonisiasi,

deposporisasi, dan desulfurisasi di Hot Metal

Treatment Plant, sebagian besar hot metal

tersebut akan diumpankan ke dalam Electric Arc Furnace di Slab Steel Plant sehingga

bisa menurunkan penggunaan energi listrik

pada proses peleburan baja.

Blast Furnace PT Krakakatu Steel

Hot Metal perdana, keluar tanggal

12 Juli 2019

Konservasi Energi dengan

Pemanfaatan Coke Oven Gas

pada Reheating Furnace Hot

Strip Mill

Coke Oven Plant PT Krakatau Steel selain

menghasilkan metallurgical coke untuk

reduktor bijih besi pada proses tanur tinggi

juga menghasilkan aneka by product yang

memiliki nilai ekonomi yang tinggi, salah

satunya adalah coke oeven gas atau COG.

COG memiliki nilai kalor yang cukup tinggi,

yakni sekitar 4.000 kCal/Nm3 atau hampir

setengah nilai kalor gas alam. COG

dimanfaatkan antara lain untuk bahan bakar

pada sinter plant, COP battery, boiler station

dan hot blast stove yang kesemuanya

adalah fasilitas pada Blast Furnace Complex.

Produksi COG sekitar 27.800 Nm3/jam dan

sebanyak 16.078 Nm3/jam digunakan untuk

blast furnace complex sehingga masih

terdapat excess sebesar 11.722 Nm3/jam.

PT Krakatau Steel saat ini telah

merampungkan proyek pembangunan

instalasi pengaliran excess COG dari Coke

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 43

KS REVIEW INFO

Oven Plant ke Pabrik Hot Strip Mill di mana

excess COG tersebut digunakan sebagai

bahan bakar pada reheating furnace yang

menggantikan sebagian gas alam. Proses

gas-in COG ke dalam system pembakaran

reheating furnace telah dimulai pada hari

Senin tanggal 26 Agustus 2019.

Instalasi pipa COG ke Reheating

Furnace HSM

Reheating Furnace Hot Strip Mill

PENGGUNAAN LAMPU LED

DI PT KRAKATAU STEEL

Seiring dengan upaya penghematan biaya operasional energi listrik untuk penerangan,

pada tanggal 10 Oktober 2018 PT Krakatau

Steel telah menjalin kerjasama dengan PT

Krakatau Daya Listrik melalui, “Kontrak Terang Penggunaan Lampu LED Untuk

Pencahayaan Outdoor dan Indoor Di

Lingkungan Pabrik dan Perkantoran PT

Krakatau Steel (Persero) Tbk”. Kerjasama diprakarsai oleh Subdit Riset dan Teknologi

dengan jangka waktu kontrak selama 5

tahun.

Ruang lingkup kerjasama meliputi penyediaan disain, pengadaan,

pemasangan, pengukuran, monitoring,

penggantian dan perbaikan, pemusnahan

lampu bekas konvensional terpasang,

pengalihan inventory stok lampu konvensional, serta pembayaran bulanan

atas penyediaan penerangan.

Kerjasama ini dilatarbelakangi oleh pesatnya

perkembangan teknologi sistim pencahayaan menggunakan Light Emitting

Dioda (LED) yang hemat energi.

Penggunaan lampu LED menjadi trend

karena sistem LED mudah diatur sesuai

fungsi pencahayaan dengan konsistensi kinerja yang baik, konsumsi energi yang

lebih rendah dan lifetime lebih lama

dibanding lampu konvensional.

Secara grafis perbandingan konversi energi listrik antara lampu konvensional dengan

lampu LED disajikan sebagai berikut:

Konversi energi listrik pada lampu konvensional.

44 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW INFO

Konversi energi listrik pada lampu LED.

Berikut contoh perbandingan penerangan menggunakan lampu konvensional dan

lampu LED di area pabrik:

Penerangan dengan lampu konvensional

Penerangan dengan lampu LED

Penggantian lampu konvensional dengan

lampu LED mempunyai potensi

penghematan biaya operasional energi listrik untuk pencahayaan hingga 68%, dan jangka

waktu pengembalian proyek 2,6 tahun.

Progres pemasangan lampu LED di PT

Krakatau Steel ditargetkan selesai pada

akhir tahun 2019.

[Gunawan Setyadi, Divisi T&ED].

KS

KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019 45

KS REVIEW IKLAN

46 KS-Review Vol. VIII No.1/Agustus 2019

KS REVIEW INFO