Upload
phungtuyen
View
236
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
i
PENERAPAN MODEL ARIMA UNTUK PREDIKSI ANOMALI CURAH
HUJAN BERDASARKAN INDEKS MONSUN DAN EL NIÑO DI
BEBERAPA KAWASAN DI INDONESIA
RENDRA EDWUARD
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
PENERAPAN MODEL ARIMA UNTUK PREDIKSI ANOMALI CURAH
HUJAN BERDASARKAN INDEKS MONSUN DAN EL NIÑO DI
BEBERAPA KAWASAN DI INDONESIA
RENDRA EDWUARD
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Mayor Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
iii
ABSTRACT
RENDRA EDWUARD. The application of ARIMA Model in rainfall Anomalies prediction base
on Monsoon and El Niño Index in some areas in Indonesia. Supervised by RIZALDI BOER and
EDDY HERMAWAN.
This study based on atmosphere-ocean interaction that is very important to be investigated because
of its influences to the rainfall variability over Indonesia. This study aims to investigate Monsoon
and Niño 3.4 interaction in influencing rainfall fluctuation over Indonesia. The study areas cover
Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, and Pandeglang from Januari 1976 - Desember
2000. The results of Power Spectral Density (PSD) and Wavelet analysis on rainfall anomaly and
monsoon index data show strong at 12 months. Dominant oscillation pattern of Niño 3.4 is about
60 months. The result of regression analyses shows more significant relation between rainfall
anomaly and AUSMI (Australian Monsoon Index) and WNPMI (Western North Pacific Monsoon
Index). Therefore, it is suggested that the Monsoon (AUSMI and WNPMI) and El-Niño(Niño 3.4)
can be used for further analysis. This study was undertaken with assumption that Monsoon
oscillation and El-Niño are interacted and the model is developed by using multivariate regression
method: Y = a + bAUSMI + cWNPMI + dNiño3.4. By using Box-Jenkins method based on
ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average), the prediction model that is close to
observed time series data of rainfall anomaly is ARIMA (1,0,1)12
with model equation Zt =
0.9989Zt-12 - 0.9338at-12 + at (AUSMI), ARIMA (1,1,1)12
with model equation Zt = -0.0674Zt-12
+ Zt-12 - Zt-24 - 0.9347at-12 + at, (WNPMI), dan ARIMA (2,0,2) with model equation Zt = 3.594Zt-1 -
0.8362Zt-2 – 1.634at-1 - 0.1053at-2 + at (NINO3.4). Model equation shows that time series data
forecast of rainfall anomaly depend on previous “t” months data and previous ”t” months error.
Keywords: Monsoon, El-Niño , ARIMA
iv
RINGKASAN
RENDRA EDWUARD. Penerapan Model ARIMA untuk Prediksi Anomali Curah Hujan
Berdasarkan Indeks Monsun dan El Niño di Beberapa Kawasan di Indonesia. Dibimbing Oleh
RIZALDI BOER dan EDDY HERMAWAN.
Penelitian ini didasarkan pada interaksi antara atmosfer dan laut yang sangat penting untuk diteliti
terkait pengaruhnya yang besar terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari interaksi Monsun dan Niño 3.4 dalam mempengaruhi fluktuasi curah
hujan di Indonesia. Wilayah kajian penelitian meliputi Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu,
Banjarbaru, dan Pandeglang untuk periode Januari 1976 - Desember 2000. Hasil analisis Power
Spectral Density (PSD) dan analisis wavelet pada anomali curah hujan dan data indeks monsun
terlihat kuat pada 12 bulanan. Pola osilasi dominan Nino 3.4 adalah sekitar 60 bulanan. Hasil
analisis regresi menunjukkan hubungan yang signifikan antara anomali curah hujan dengan data
AUSMI (Australian Monsoon Index) dan WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index). Oleh
karena itu, hal ini menunjukkan monsun (AUSMI dan WNPMI) dan El Niño (Niño 3.4) dapat
digunakan untuk analisis lebih lanjut. Penelitian ini dilakukan dengan asumsi ketika osilasi Monsun
dan El Niño berinteraksi dan dikembangkan dengan menggunakan metode regresi multivariat
dengan model awal Y = a + bAUSMI + cWNPMI + dNiño3.4. Melalui metode Box-Jenkins
berdasarkan ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average), model yang digunakan untuk
prediksi data deret waktu indeks iklim global adalah ARIMA (1,0,1)12
dengan persamaan Zt =
0.9989Zt-12 - 0.9338at-12 + at (AUSMI), ARIMA (1,1,1)12
dengan persamaan Zt = -0.0674Zt-12 +
Zt-12 - Zt-24 - 0.9347at-12 + at, (WNPMI), dan ARIMA (2,0,2) dengan persamaan Zt = 3.594Zt-1 -
0.8362Zt-2 – 1.634at-1 - 0.1053at-2 + at (NINO3.4). Persamaan model menunjukkan, untuk prakiraan
data deret waktu anomali curah hujan waktu mendatang tergantung dari data “t” bulan sebelumnya
dan galat “t” bulan sebelumnya.
Kata kunci : Monsun, El Niño, ARIMA
v
Judul Skripsi : Penerapan Model ARIMA untuk Prediksi Anomali Hujan Berdasarkan Indeks
MONSUN dan El Niño di Beberapa Kawasan di Indonesia
Nama : Rendra Edwuard
NIM : G24070063
Menyetujui
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc.
NIP. 19600927 198903 1 002 NIP. 19620128 199003 1 003
Mengetahui:
Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS
NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus :
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat dan Karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Penerapan Model ARIMA Untuk
Prediksi Anomali Hujan Berdasarkan Indeks ENSO dan MONSUN di Beberapa Kawasan di
Indonesia“. Penelitian, penulisan, dan penyusunan tugas akhir ini tidak terlepas dari peranan pihak-
pihak yang telah membantu hingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua atas doa, kasih sayang, dan segala dukungan moril serta materil.
2. Bapak Prof. Rizaldi Boer sebagai pembimbing I dan Bapak Prof. Eddy Hermawan sebagai
pembimbing II, yang telah banyak memberikan pengarahan, ilmu, masukan dan bimbingan
dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
3. Pihak Centre for Climate Risk and Opportunity Management (CCROM), yang sudah
memberikan izin menggunakan data curah hujan.
4. Staff bidang Permodelan Atmosfer LAPAN Bandung.
5. Seluruh Dosen dan Staff Departemen Geofisika dan Meteorologi.
6. Teman-teman penelitian di LAPAN.
7. Teman-teman di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi.
8. Teman-teman GFM 44, kakak dan adik kelas GFM.
9. Teman-teman di Istana Ceria.
10. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari tugas akhir ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis berbesar hati untuk menerima saran, kritik, dan masukan yang sifatnya
membangun. Semoga tugas akhir ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Rendra Edwuard
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 28 November 1988 dari pasangan Edi Suaedi dan Yuliani.
Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD
Harapan Abadi Jakarta Utara pada tahun 2001, SMP Tarsisius Vireta pada tahun 2004, dan SMAN
4 Tangerang pada tahun 2007. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, penulis melajutkan
pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB)
mengambil Mayor Meteorologi Terapan. Selama menjalani studinya penulis aktif di Keluarga
Mahasiswa Katolik. Penulis juga aktif di Himpunan Profesi Mahasiswa Agrometeorolgi
(HIMAGRETO) tahun 2008/2009 sebagai Staff Bidang Kemasyarakatan dan Informasi serta Staff
Departemen of Publik Relation HIMAGRETO pada tahun 2009-2010. Pada Juli-Agustus 2011
penulis melakukan magang di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung.
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................... ix
PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................................ 1
Tujuan ............................................................................................................................ 1
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 1
Curah Hujan di Indonesia ................................................................................................ 1
Fenomena El Niño di Samudera Pasifik .......................................................................... 3
Fenomena Monsun .......................................................................................................... 4
Analisis Spektral ............................................................................................................. 6
FFT (Fast Fourier Transform) ............................................................................... 6
Transformasi Wavelet ............................................................................................ 6
Metode Box-Jenskins ...................................................................................................... 7
Fungsi Autokorelasi dan Fungsi Autokorelasi Parsial ............................................. 7
Stasioneritas dan Nonstasioneritas .......................................................................... 7
Klasifikasi Model ARIMA ..................................................................................... 8
Korelasi Silang ............................................................................................................... 8
Regresi Linear Berganda ................................................................................................. 9
DATA DAN METODOLOGI ................................................................................................ 9
Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................................................... 9
Alat dan Data yang digunakan ........................................................................................ 10
Metode Penelitian ........................................................................................................... 10
Anomali Curah Hujan ............................................................................................ 10
Analisis Spektral .................................................................................................... 10
FFT (Fast Fourier Transform) ...................................................................... 10
Transformasi Wavelet ................................................................................... 10
Analisis Statistik .................................................................................................... 10
Metode Korelasi Silang ................................................................................ 10
Analisis Multivariat ...................................................................................... 10
Metode Pendekatan Box-Jenskins ................................................................. 11
Lokasi Kajian.................................................................................................................. 11
Tahapan Penelitian .......................................................................................................... 12
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................... 13
Analisis Data Curah Hujan .............................................................................................. 13
Analisis Monsun dan Nino 3.4 ........................................................................................ 14
Analisis Spektral Monsun dan Nino 3.4 .......................................................................... 15
Analisis Statistik Data Curah Hujan dan Data Iklim Global ............................................. 17
Analisis Korelasi Silang .................................................................................................. 18
Model Prediksi ARIMA .................................................................................................. 19
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 24
LAMPIRAN ........................................................................................................................... 26
ix
DAFTAR TABEL
1 Tingkat anomali SPL berdasarkan kekuatan El Niño ...................................................... 4
2 Acuan model ACF dan PACF ........................................................................................ 7
3 Kaitan interaksi antara dua fenomena (AUSMI - WNPMI - Nino3.4) dengan curah
hujan bulanan Periode 1976 – 2000 ................................................................................ 18
4 Persamaan ARIMA ........................................................................................................ 20
DAFTAR GAMBAR
1 Pola hujan di Indonesia .................................................................................................. 2
2 Wilayah Nino di Samudera Pasifik................................................................................. 3
3 Struktur laut Samudera Pasifik pada saat normal dan El Niño ........................................ 4
4 Pola pergerakan Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsun)
dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the South Asian Summer Monsun). ................. 5
5 Skema transformasi wavelet ........................................................................................... 7
6 Skema pendekatan Box-Jenskin ..................................................................................... 11
7 Wilayah kajian ............................................................................................................... 11
8 Diagram alir penelitian .................................................................................................. 12
9 Deret waktu curah hujan berbagai wilayah di Indonesia periode 1976-2000 ................... 13
10 Power Spektral Density (PSD) curah hujan periode 1976-2000 ...................................... 14
11 Deret waktu data iklim global periode 1976-2000 .......................................................... 14
12 Power Spektral Density (PSD) indeks monsun (a), Nino 3.4 (b) dan periode 1976 –
2000............................................................................................................................... 15
13 Wavelet Indian Summer Monsun Index (ISMI) periode 1976 – 2000 .............................. 15
14 Wavelet Western North Pacific Monsun Index (WNPMI) periode 1976 – 2000 .............. 16
15 Wavelet Australian Monsun Index (AUSMI) periode 1976 – 2000 ................................. 16
16 Wavelet Nino 3.4 periode 1976 – 2000 .......................................................................... 16
17 Mean varians monsun dan Nino 3.4 periode 1976 – 2000 .............................................. 16
18 Diagram batang fenomena interkoneksi dan curah hujan periode 1996-1999 .................. 17
19 Validasi curah hujan model multivariate periode Januari 2000 – Desember 2000 ........... 19
20 Plot data, Plot data differencing 2, ACF(2), PACF iklim global bulanan di di berbagai
wilayah kajian periode Januari 1976 – Desember 1999 .................................................. 21
21 Plot data validasi iklim global asli dengan prediksi iklim global (Januari 2000 –
Desember 2000) dan plot data prediksi iklim global (Januari 2013 – Desember 2013). .. 22
22 Prediksi anomali curah hujan model multivariate untuk wilayah kajian periode Januari
2013 – Desember 2013 .................................................................................................. 23
DAFTAR LAMPIRAN
1 Script untuk pengolahan time series data menggunakan software Matlab R2008a ............ 27
2 Script untuk pengolahan data dengan teknik Power Spectral Density (PSD) .................... 28
3 Script Wavelet ................................................................................................................. 29
4 Pendugaan Model ARIMA(p,d,q) wilayah kajian ............................................................. 32
5 Output SPSS 16 untuk menentukan nilai CCF hubungan antara fenomena interaksi
terhadap curah hujan wilayah kajian................................................................................. 35
6 Output SPSS 16 untuk regresi multivariate wilayah kajian ............................................... 37
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Iklim dapat didefinisikan sebagai ukuran
statistik cuaca untuk jangka waktu tertentu.
Iklim terdiri atas berbagai parameter, seperti
tekanan, suhu, kelembaban, arah dan
kecepatan angin serta curah hujan. Diantara
parameter iklim tersebut, curah hujan
merupakan unsur iklim yang paling dominan
di Indonesia. Secara umum curah hujan di
indonesia didominasi oleh dua tipe monsun
yang dicirikan oleh musim basah dan musim
kering. Monsun merujuk pada siklus tahunan
yang membedakan secara tegas keadaan
atmosfer selama fase kering dan fase basah.
Siklus tahunan ini membagi fase kering dan
fase basah menjadi dua periode.
Meskipun Monsun terjadi secara periodik,
tetapi awal musim hujan dan musim kemarau
tidak selalu sama sepanjang tahun. Ini
disebabkan musim di Indonesia dipengaruhi
oleh beberapa fenomen, seperti El Niño/La
Niña, Osilasi Selatan, dan Dipole Mode Event
(DME) atau Indian Ocean Dipole (IOD),
sirkulasi Timur-Barat (Siklus Walker) dan
sirkulasi Utara-Selatan (Siklus Hadley) serta
beberapa sirkulasi karena pengaruh lokal
(McBride 2002). Monsun berkaitan dengan
variasi curah hujan tahunan, sedangkan El
Niño dan IOD berkaitan dengan variasi curah
hujan antar-tahunan.
Fenomena iklim sangat berpengaruh
terhadap sektor pertanian di Indonesia.
Kejadian tersebut memperlihatkan peran yang
semakin penting dengan munculnya kondisi
iklim yang semakin ekstrim sehingga
menimbulkan dampak yang signifikan
terhadap produksi pertanian (IPCC 2001),
seperti pergeseran pola curah hujan dan
perubahan temperatur udara. Beberapa contoh
nyata ketika terjadi musim kering panjang
diikuti dengan musim basah panjang adalah
tahun 1997 sampai tahun 1998. Pada periode
tersebut di Indonesia mengalami musim
kering panjang hampir 10 bulan lamanya dan
juga musim basah yang panjang.
Hubungan yang terjadi antara monsun dan
El Niño perlu dikaji lebih mendalam terkait
dampak yang ditimbulkannya terhadap iklim
global. Pada dasarnya proses penyimpangan
iklim terjadi secara bertahap. Oleh karena itu,
upaya untuk mengantisipasi pengaruh dari
penyimpangan iklim harus dipahami secara
menyeluruh mulai dari proses terjadinya
hingga penanganan dampak yang tepat dan
benar. Oleh karena itu perlu pengembangan
ilmu pengetahuan yang menggabungkan
atmosfer dan lautan, termasuk interaksinya
untuk mangantisipasi hingga beberapa tahun
kedepan.
Akurasi model yang akurat dan handal
akan sangat membantu dalam pengembangan
informasi prakiraan iklim. Akan tetapi,
penelitian yang mengkaji interaksi secara fisis
dan dinamis antara fenomena El Niño dan
monsun di wilayah Indonesia masih jarang
dilakukan. Hal ini di antaranya karena
kompleksitas kondisi monsun di wilayah
Indonesia yang secara acak dipengaruhi oleh
beberapa monsun sekaligus; monsun Asia,
India, Pasifik, dan monsun Australia.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh interaksi Monsun
dan El Niño terhadap fluktuasi curah hujan
di beberapa kawasan di indonesia.
2. Menentukan model prediksi dengan
ARIMA.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Curah Hujan di Indonesia
Curah hujan merupakan ketinggian air
hujan yang terkumpul dalam tempat yang
datar, tidak menguap, tidak meresap, dan
tidak mengalir dalam satuan milimeter (mm).
Curah hujan 1 (satu) milimeter, artinya dalam
luasan satu meter persegi pada tempat yang
datar tertampung air setinggi satu milimeter
atau tertampung air sebanyak satu liter
(BMKG 2010).
Tipe hujan monsoonal, adalah tipe curah
hujan yang wilayahnya memiliki
perbedaan yang jelas antara periode
musim hujan dan periode musim kemarau
kemudian dikelompokkan dalam Zona
Musim (ZOM), tipe curah hujan yang
bersifat unimodal (satu puncak musim
hujan, DJF musim hujan, JJA musim
kemarau).
Tipe hujan ekuatorial, adalah tipe curah
hujan yang wilayahnya memiliki
distribusi hujan bulanan bimodal dengan
dua puncak musim hujan maksimum dan
hampir sepanjang tahun masuk kriteria
musim hujan. Musim hujan biasanya
terjadi sekitar bukan Maret dan Oktober
atau pada saat terjadi ekinoks.
Tipe hujan lokal, adalah tipe curah hujan
yang wilayahnya memiliki distribusi
hujan bulanan kebalikan dengan pola
curah hujan monsun. Cirinya adalah pola
hujan unimodal dan bentuknya
berlawanan dengan monsun.
2
Gambar 1 Pola hujan di Indonesia (BMKG dalam Kadarsah 2007)
Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk
setiap tahunnya tidak sama. Namun masih
tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000
– 3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat
yang satu dengan tempat yang lain rata-rata
curah hujannya tidak sama.
Pola umum curah hujan di Indonesia
antara lain dipengaruhi oleh letak geografis.
Secara rinci pola umum hujan di Indonesia
dapat diuraikan sebagai berikut (Kadarsah
2007)
1. Pantai sebelah barat setiap pulau
memperoleh jumlah hujan selalu lebih
banyak daripada pantai sebelah timur.
2. Curah hujan di Indonesia bagian barat
lebih besar daripada Indonesia bagian
timur. Sebagai contoh, deretan pulau-
pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang
dihubungkan oleh selat-selat sempit,
jumlah curah hujan yang terbanyak
adalah Jawa Barat.
3. Curah hujan juga bertambah sesuai
dengan ketinggian tempat. Curah hujan
terbanyak umumnya berada pada
ketinggian antara 600 – 900 m di atas
permukaan laut.
4. Di daerah pedalaman, di semua pulau
musim hujan jatuh pada musim
pancaroba. Demikian juga halnya di
daerah-daerah rawa yang besar.
5. Saat mulai turunnya hujan bergeser dari
barat ke timur seperti: Pantai barat pulau
Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat
hujan terbanyak pada bulan November,
Lampung-Bangka yang letaknya ke timur
mendapat hujan terbanyak pada bulan
Desember, Jawa bagian utara, Bali, NTB,
dan NTT pada bulan Januari – Februari.
6. Di Sulawesi Selatan bagian timur,
Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah,
musim hujannya berbeda, yaitu bulan
Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain
sedang mengalami musim kering. Batas
daerah hujan Indonesia barat dan timur
terletak pada kira-kira 120( Bujur Timur.
Grafik perbandingan empat pola curah
hujan di Indonesia dapat Anda lihat pada
gambar dibawah ini.
Ada beberapa daerah yang mendapat curah
hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang
mendapat curah hujan tinggi (Kadarsah 2007):
1. Daerah yang mendapat curah hujan rata-
rata per tahun kurang dari 1000 mm,
meliputi 0,6% dari luas wilayah
Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara,
dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu
dan Luwuk).
2. Daerah yang mendapat curah hujan antara
1000 – 2000 mm per tahun di antaranya
sebagian Nusa Tenggara, daerah sempit
di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar.
3. Daerah yang mendapat curah hujan antara
2000 – 3000 mm per tahun, meliputi
Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan
Timur sebagian besar Jawa Barat dan
Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya,
Kepulauan Maluku dan sebagaian besar
Sulawesi.
4. Daerah yang mendapat curah hujan
tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun
meliputi dataran tinggi di Sumatera Barat,
Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian
bagian tengah, dan beberapa daerah di
Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba.
Menurut Kadarsah 2007 hujan terbanyak
di Indonesia terdapat di Baturaden Jawa
Tengah, yaitu curah hujan mencapai 7,069
mm/tahun. Hujan paling sedikit di Palu
Sulawesi Tengah, merupakan daerah yang
paling kering dengan curah hujan sekitar 547
mm/tahun. Sebagai bahan perbandingan curah
hujan di daerah lain :540 mm/tahun di Eropa
sedangkan dipedalaman 1250 mm/tahun, di
Pegunungan Rocky 3400 mm/tahun, di
pedalaman Amerika 400 mm/tahun. Daerah
yang memiliki curah hujan tertinggi di
Cherrapunji 10820 mm/tahun ( selama 1860-
Juli 1861 memiliki curah hujan 2646,12
3
mm/tahun dan selama 5 hari berturut-turut
dibulan Agustus 1841 sebesar 38000
mm/tahun atau setara dengan curah hujan
selama 4 tahun di New York), sedangkan di
Puncak Gunung Waialeale di Kanai Tengah,
Kepulauan Hawaii sebesar 1175,84
mm/tahun.
2.2 Fenomena El Niño di Samudera Pasifik
Salah satu parameter yang sangat penting
untuk menentukan sistem iklim adalah suhu
permukaan laut, karena suhu permukaan laut
menentukan fluks panas nyata (sensible) dan
panas terselubung (latent) melalui permukaan
laut. Bjerkness (1966) untuk pertama kali
menunjukkan kemungkinan adanya hubungan
antara fluktuasi atmosfer dengan ragam
oseanik. Sejak itu, pengkajian intensif terkait
iklim global telah dilakukan dengan
pengembangan konsep kopel atmosfer-lautan.
Sehingga diketahui adanya fluktuasi suhu
permukaan laut (SPL) antar tahunan. Salah
satu yang sangat terkenal adalah fenomena El
Niño, yaitu penyimpangan suhu permukaan
laut di pantai Peru yang menjadi panas.
Kemudian diketahui bahwa ragam suhu
permukaan laut ini berkaitan dengan ragam
suhu permukaan global di atas basin Pasifik.
Anomali pemanasan terjadi dalam interval
waktu beberapa tahun (~4 tahunan). Pada
waktu terjadi El Niño, konveksi di daerah
tropis bergeser ke arah timur (Tjasyono 2004).
Gambar 2 Wilayah Nino di Samudera Pasifik
(www.hko.gov.hk 2011)
El Niño sebagai mode dominan interaksi
kopel atmosfer-lautan dengan skala waktu
antar tahunan memiliki karakter penghangatan
dari kondisi normal di sepanjang Samudera
Pasifik bagian tengah dan timur. Menurut
Trenberth (1997), El Niño didefenisikan oleh
4 wilayah Niño (Gambar 2) yaitu, Niño1 (80º–
90ºW dan 5º–10ºS), Niño2 (80º–90ºW dan 0º–
5ºS), Niño3 (90º–150ºW dan 5ºN–5ºS), Niño4
(150ºW–160ºE dan 5ºN–5ºS), Niño3.4
(120Wº–170ºW dan 5ºN–5ºS).
Menurut Tjasyono (2004), El Niño adalah
peristiwa memanasnya suhu air permukaan
laut di pantai barat Peru – Ekuador (Amerika
Selatan yang mengakibatkan gangguan iklim
secara global) yang mengakibatkan suhu air
permukaan laut di daerah tersebut dingin
karena adanya up‐welling (arus dari dasar laut
menuju permukaan). Menurut bahasa
setempat El Niño berarti bayi laki‐laki karena
munculnya di sekitar hari Natal (akhir
Desember). Dalam keadaan normal, sirkulasi
atmosfer-lautan di Samudera Pasifik akan
memusat di sekitar wilayah Indonesia. Akan
tetapi pada tahun El Niño, terjadi subsidensi
sirkulasi Walker di atas benua maritim
Indonesia yang menghambat konvergensi
sirkulasi Hadley dan konveksi lokal.
Mekanisme kondisi normal dan El Niño dapat
dilihat pada gambar 3.
Selama perkembangan El Niño, struktur
permukaan laut Samudera Pasifik seperti pada
gambar 3 menunjukkan adanya air hangat di
lapisan dalam yang tidak normal dan
meningkatnya kedalaman termoklin di
sepanjang Pasifik tropis bagian timur,
sehingga kemiringan (slope) berkurang
sepanjang basin tersebut. Pada episode El
Niño yang sangat kuat, termoklin secara nyata
menjadi datar di seluruh Pasifik tropis untuk
waktu beberapa bulan. Kondisi ini diikuti
dengan adanya sea level yang lebih tinggi dari
normalnya di Pasifik bagian timur, yang
menghasilkan penurunan kemiringan (slope)
ketinggian permukan laut di sepanjang basin
tersebut. Evolusi ini terjadi sebaliknya pada
episode La Niña (Philander 1990).
Fenomena El Niño merupakan sirkulasi
zonal (timur-barat) yang terjadi di sepanjang
Pasifik tropis. El Niño merupakan salah satu
bentuk penyimpangan iklim di Samudera
Pasifik yang ditandai dengan kenaikan SPL di
daerah katulistiwa bagian tengah dan timur.
Sebagai indikator untuk memantau kejadian
El Niño, biasanya digunakan data pengukuran
SPL di zona Nino 3.4 dimana anomali positif
mengindikasikan terjadinya El Niño.
Kenaikan anomali SST Nino 3.4 diikuti
dengan melemahnya angin pasat (trade winds)
yang mengakibatkan pergeseran daerah
konveksi pembentukan awan-awan hujan.
Pada kondisi normal (Gambar 3a), daerah
konveksi berada di daerah barat Samudera
Pasifik. Namun pada kondisi El Niño
(Gambar 3b), zona konveksi bergeser ke
bagian timur Samudera Pasifik
(Septicorini 2009).
4
a. Kondisi Normal
b. Kondisi El Niño
Gambar 3 Struktur laut Samudera Pasifik pada
saat Normal dan El Niño (NOAA
2011)
Menurut Haryanto (1998), yang dimaksud
dengan tahun El Niño adalah periode dimana
kondisi anomali SST di kawasan ekuator
samudera pasifik bagian tengah dan timur >
1⁰C dari rata-rata kurun waktu tertentu. Tabel
1 menunjukkan besar tingkat anomali SST,
maka tingkat kekuatan El Niño di bagi dalam
empat kategori :
Tabel 1 Tingkat anomali SPL berdasarkan
kekuatan El Niño.
Anomali SPL (⁰C) Kondisi
> 3 Sangat kuat
2.5 – 3 Kuat
1.5 – 2.5 Lemah
0 – 1.5 Sangat lemah
Adapun dampak El Niño terhadap kondisi
cuaca global, antara lain: angin pasat timuran
melemah, sirkulasi monsun melemah,
akumulasi curah hujan berkurang di wilayah
Indonesia, Amerika Tengah dan amerika
Selatan bagian Utara. Cuaca di wilayah ini
cenderung lebih dingin dan kering. Selain itu
El Niño juga menyebabkan meningkatnya
potensi hujan yang terdapat di sepanjang
Pasifik ekuatorial tengah dan barat serta
wilayah Argentina, cuaca cenderung hangat
dan lembab. Adapun dampaknya di Indonesia,
angin monsun (muson) yang datang dari Asia
dan membawa banyak uap air, sebagian besar
juga berbelok menuju daerah tekanan rendah
di pantai barat Peru – Ekuador. Akibatnya,
angin yang menuju Indonesia hanya
membawa sedikit uap air sehingga terjadilah
musim kemarau yang panjang.
Sejauh mana pengaruh El Niño di
Indonesia, sangat tergantung dengan kondisi
perairan wilayah. Fenomena El Niño yang
berpengaruh di wilayah Indonesia yang diikuti
berkurangnya curah hujan secara drastis, baru
akan terjadi bila kondisi suhu perairan
Indonesia cukup dingin. Namun bila kondisi
suhu perairan Indonesia cukup hangat tidak
berpengaruh terhadap kurangnya curah hujan
secara signifikan di Indonesia. Disamping itu,
mengingat luasnya wilayah Indonesia, tidak
seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh
fenomena El Niño (BMKG 2011).
2.3 Fenomena Monsun
Monsun merupakan angin yang bertiup
sepanjang tahun dan berganti arah dua kali
dalam setahun. Umumnya pada setengah
tahun pertama bertiup angin darat yang kering
dan setengah tahun berikutnya bertiup angin
laut yang basah. Pada bulan Oktober – April,
matahari berada pada belahan langit Selatan,
sehingga benua Australia lebih banyak
memperoleh pemanasan matahari dari benua
Asia. Akibatnya di Australia terdapat pusat
tekanan udara rendah (depresi) sedangkan di
Asia terdapatpusat-pusat tekanan udara tinggi
(kompresi). Keadaan ini menyebabkan arus
angin dari benua Asia ke benua Australia. Di
Indonesia angin ini merupakan angin musim
Timur Laut di belahan bumi Utara dan angin
musim Barat di belahan bumi Selatan. Oleh
karena angin ini melewati Samudra Pasifik
dan Samudra Hindia maka banyak membawa
uap air, sehingga pada umumnya di Indonesia
terjadi musim penghujan. Musim penghujan
meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia,
hanya saja persebarannya tidak merata. Makin
ke Timur curah hujan makin berkurang karena
kandungan uap airnya makin sedikit.
Ada dua ciri utama daripada iklim
Monsun, yakni adanya perbedaan yang tegas
antara musim basah (wet season) dan musim
kering (dry season) yang umumnya terjadi
pada periode Desember, Januari, dan februari
(DJF) dan Juni, Juli dan Agustus (JJA). Pada
tahun 1686, Edmund Halley mengemukakan
teori bahwa Monsun terjadi akibat adanya
perbedaan panas antara daratan dengan lautan
5
sebagai hasil dari zenithal march matahari
(Chang 1984). Kata Monsun biasanya
digunakan hanya untuk system angin
(Neuwolt 1977). Ramage (1971) memberikan
kriteria untuk areal Monsun berdasarkan
sirkulasi permukaan bulan Januari dan Juli
sebagai berikut:
1. Pergeseran arah angin yang berlangsung
kurang lebih 120o antara bulan Januari dan
Juli.
2. Frekuensi rata-rata angin dominan pada
bulan Januari dan Juli melebihi 40%.
3. Rata-rata kecepatan resultan angin pada
salah satu bulan tersebut (Januari dan Juli)
melebihi 10 m/s.
4. Kurang dari satu siklon-antisiklon
alternatif terjadi setiap dua tahun di salah
satu bulan pada 5o latitude-longitude
rectangle.
Chang (1984) menyatakan angin dalam
sistem Monsun tersebut harus ditimbulkan
akibat efek thermal, dan bukan dari
pergerakan akibat angin dalam skala planetan
dan pressure belt. Ramage (1971)
mengemukakan bahwa ada dua sistem
Monsun di Asia, yaitu Monsun Musim Dingin
Asia Timur (the East Asian Winter Monsun)
dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the
South Asian Summer Monsun).
1. Monsun Musim Dingin Asia Timur (the
East Asian Winter Monsun).
Angin yang terjadi sekitar bulan Desember
– Februari. Angin monsun barat ini terjadi
ketika letak matahari berada di bagian
selatan bumi (Australia) yang
menyebabkan daerah selatan bersuhu lebih
tinggi (bertekanan rendah). Sedangkan di
bagian utara bumi (Asia) bersuhu lebih
rendah (bertekanan lebih tinggi). Dengan
sifat angin yang bergerak dari daerah
bertekanan tinggi menuju yang bertekanan
rendah, maka angin pun akan berhembus
dari Asia menuju Australia. Sehingga pada
periode ini, sebagian besar wilayah
Indonesia akan memiliki curah hujan yang
tinggi karena angin ini berhembus dengan
membawa banyak massa uap air ketika
melalui lautan luas dari arah Timur Laut
dari Pasifik menuju ke Selatan –
Tenggara.
2. Monsun Musim Panas Asia Selatan (the
South Asian Summer Monsun) Biasanya
terjadi pada bulan Juni-Agustus. Posisi
matahari berada di belahan utara bumi.
Sehingga di belahan utara (Asia) bersuhu
tinggi (bertekanan rendah), sedangkan di
belahan selatan (Australia) bersuhu rendah
(bertekanan tinggi). Maka angin akan
bertiup dari belahan selatan ke utara.
Angin bertiup dari arah Tenggara melalui
gurun pasir di bagian utara Australia yang
kering dan hanya melalui lautan yang
sempit, menuju Utara – Timur Laut dan
menyebabkan curah hujan sedikit di
sebagian besar wilayah Indonesia (musim
kemarau). Namun angin membawa udara
dingin dari arah Selatan yang sedang
musim dingin, sehingga cenderung saat
kemarau relatif lebih sejuk.
Gambar 4 Pola pergerakan Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsun)
dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the South Asian Summer Monsun).
6
Asia Timur dan Asia sebelah Selatan
mempunyai sirkulasi Monsun yang terbesar
dan paling berkembang. Sedangkan Monsun
Asia Timur dan tenggara adalah Monsun yang
berkembang dengan baik dan Monsun di
Indonesia merupakan bagian dari Monsun
Asia Timur dan Asia Tenggara. Hal ini
disebabkan oleh besarnya Benua Asia dan
efek dari daratan tinggi Tibet terhadap aliran
udara (Prawirowardoyo 1996).
2.4 Analisis Spektral
Data deret waktu adalah data yang
merupakan fungsi atas waktu dan antar
pengamatannya terdapat suatu hubungan yang
disebut dengan istilah berautokorelasi,
sehingga untuk menyajikan bentuk hubungan
fungsional antara data dengan waktunya tidak
bisa menggunakan metode analisis regresi
biasa. Salah satu metode dalam analisis data
deret waktu yang jarang dibahas, padahal
peranannya sangat besar dalam melengkapi
informasi mengenai ciri (characters) data
deret waktu adalah analisis spektral. Analisis
spektral membahas mengenai cara menelaah
periodesitas data tersembunyi (hidden
periodecities) yang sulit diperoleh pada saat
kajian dilakukan pada kawasan (domain)
waktu. Kajian periodesitas data perlu
dilakukan untuk menambah informasi
mengenai karakteristik dari data deret waktu
tersebut, dan harus dilakukan pada kawasan
frekuensi melalui analisis spektral (Mulyana
2004).
2.4.1 FFT (Fast Fourier Transform)
Salah satu metode analisis spektral
yang umum digunakan adalah FFT (Fast
Fourier Transform). Data deret waktu dapat
dinyatakan sebagai deret fourier yang
merupakan fungsi harmonis, sehingga dengan
membangun fungsi spektrum kuasanya,
periodesitas data dapat ditentukan. Tetapi
menentukannya tidak dapat dalam kawasan
(domain) waktu, dan harus dalam kawasan
frekuensi sebab fungsi spektrum kuasa
merupakan fungsi atas autokorelasi dengan
frekuensi. Jika dilakukan pendugaan terhadap
fungsi spektrum kuasa, dan nilai-nilai
dugaannya dipetakan terhadap frekuensinya,
maka akan diperoleh sebuah garis spektrum.
Telaahan periodesitas data dilakukan terhadap
frekuensi yang berpasangan dengan titik-titik
puncak garis spektrumnya (Mulyana 2004).
Definisi deret fourier adalah sebagai
berikut (Hermawan 2003):
dimana:
Tranformasi Fourier (Tranformasi Fourier
kompleks atau Spektrum Fourier) dari suatu
fungsi f(t) adalah F(ω):
Persamaan ini merupakan analisis fourier dari
f(t).
adalah phase-lag spectrum dengan n = Ø, ±1,
±2, … -Ø(ω) yang juga disebut sebagai.
Langkah berikutnya adalah melakukan invers
transformasi Fourier sebagai berikut :
Persamaan ini merupakan sintesis fourier
dari f(t), yaitu sintesis dari berbagai komponen
spektral F(ω) ke fungsi asalnya f(t). Fungsi
f(t) dan F(ω) disebut pasangan fourier,
dualisme pasangan fungsi tersebut dinyatakan
dengan: f(t) ↔ F(ω). Dengan menggunakan
sifat ortogonalitas dari fungsi trigonometri,
faktor e-iωt berfungsi sebagai sebuah
operator, yang hanya mempunyai komponen
berfrekwensi ω dari f(t) atau dengan kata lain,
F(ω) adalah rata-rata dari komponen f(t)
tersebut yang mempunyai frekwensi ω.
Apabila F(ω) berada dalam satuan interval
frekuensi, kuantitas F(ω) disebut sebagai
kerapatan spektral atau spectral density, dan
|F(ω)| disebut kerapatan amplitudo atau
amplitudo density. (Hermawan 2003)
2.4.2 Transformasi Wavelet
Seperti halnya transformasi fourier,
transformasi wavelet digunakan juga untuk
menganalisis sinyal ataupun data.
Transformasi Wavelet (TW) adalah suatu alat
untuk memilah-milah data, fungsi atau
operator ke dalam komponen frekuensi yang
berbeda-beda, kemudian mempelajari setiap
komponen dengan suatu resolusi yang cocok
dengan skalanya (Tang 2009).
7
Gambar 5 Skema Transformasi Wavelet
(Tang 2009)
2.5 Metode Box-Jenkins
Pengertian time series di sini adalah deret
atau urutan observasi atau pengamatan, dan
biasanya urutan ini berdasarkan waktu (Wei
1994). Analisis deret waktu diperkenalkan
pertama kali pada tahun 1970 oleh George E.
P. Box dan Gwilym M. pendekatan time series
dapat menggunakan metode analisis fungsi
autokorelasi dan fungsi autokorelasi parsial
untuk mempelajari perubahan data runtun
waktu. Untuk model perametrik seringkali
dikenal dengan analisis ARIMA (Von Storch
dan Zwier 1999).
Autoregressive Integrated Moving
Average (ARIMA) adalah model yang secara
penuh mengabaikan independen variabel
dalam membuat peramalan. ARIMA sering
juga disebut metode runtun waktu Box-
Jenskins. ARIMA sangat baik digunakan
untuk peramalan jangka pendek, sedangkan
untuk peramalan jangka panjang ketepatan
peramalan kurang baik. Arima biasanya akan
cenderung mendatar atau flat untuk periode
jangka waktu yang cukup panjang. ARIMA
menggunakan nilai masa lalu dan sekarang
dari variabel dependen untuk menghasilkan
peramalan jangka pendek yang akurat.
ARIMA sangat cocok jika observasi dari deret
waktu (time series) secara statistik
berhubungan satu sama lain (dependent).
2.5.1 Stasioneritas dan Nonstasioneritas
Perlu diperhatikan bahwa kebanyakan
data deret waktu bersifat nonstasioner dan
bahwa aspek-aspek AR dan MA dari model
ARIMA hanya berkenan dengan data deret
waktu yang bersifat stasioner. Data stasioner
berarti tidak terdapat pertumbuhan atau
penurunan pada data. Data secara kasarnya
harus horizontal sepanjang sumbu waktu.
Dengan kata lain, fluktuasi data berada di
sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak
tergantung pada waktu dan varians dan
fluktuasi tersebut pada pokoknya tetap
konstan setiap waktu.
Suatu data yang tidak stasioner harus diubah
menjadi data yang stasioner dengan
melakukan differencing. Yang dimaksud
dengan differencing adalah menghitung
perubahan atau selisih nilai observasi. Nilai
selisih yang diperoleh dicek ulang apakah data
tersebut sudah stasioner atau tidak. Apabila
data tersebut belum stasioner maka dilakukan
differencing lagi. Jika varians tidak stasioner,
maka dilakukan transformasi logaritma.
2.5.2 Fungsi Autokorelasi dan Fungsi
Autokorelasi Parsial
Konsepsi autokorelasi setara dengan
korelasi Pearson untuk data bivariat, yang
berarti, autokorelasi merupakan korelasi
antara suatuderet dengan dirinya sendiri.
Koefisien autokorelasi menunjukkan keeratan
hubungan dengan nilai peubah yang
samadalam periode waktu yang berbeda
(Makridakis 1983). Notasi untuk fungsi
autokorelasi adalah
dengan k = 0,1,2,...
Dalam analisis data deret waktu untuk
mendapatkan hasil yang baik, nilai n harus
cukup besar, dan autokorelasi disebut berarti
jika nilai k cukup kecil dibandingkan dengan
n, sehingga bisa dianggap.
Seperti halnya autokorelasi yang
merupakan fungsi atas lagnya, yang
hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi
(ACF), autokorelasi parsial juga merupakan
fungsi atas lagnya, dan hubungannya
dinamakan Fungsi Autokorelasi Parsial
(partial autocorrelation function, PACF).
Gambar dari ACF dan PACF dinamakan
korelogram (correlogram) dan dapat
digunakan untuk menelaah signifikansi
autokorelasi dan kestasioneran data. Jika
gambar ACF membangun sebuah histogram
yang menurun (pola eksponensial), maka
autokorelasi signifikans atau data
berautokorelasi, dan jika diikuti oleh gambar
PACF yang histogramnya langsung terpotong
pada lag-2, maka data tidak stasioner, dan
dapat distasionerkan melalui proses diferensi.
Tabel 2 Acuan model ACF dan PACF
8
2.5.3 Klasifikasi Model ARIMA
Model Box-Jenkins (ARIMA) dibagi
kedalam 3 kelompok, yaitu: model
autoregressive (AR), moving average (MA),
dan model campuran ARIMA (autoregresive
moving average) yang mempunyai
karakteristik dari dua model pertama.
1) Autoregressive Model (AR)
Bentuk umum model autoregressive
dengan ordo p (AR(p)) atau model ARIMA
(p,0,0) dinyatakan sebagai berikut:
Dimana,
Zt = deret waktu stasioner
Φp = koefisien model autoregresif
Zt-p = nilai masa lalu yang berhubungan
at = residual pada waktu t
2) Moving Average Model (MA)
Bentuk umum model moving average
ordo q (MA(q)) atau ARIMA (0,0,q).
Persamaan moving avergae ditunjukkan oleh
Dimana,
Zt = deret waktu stasioner
θp = koefisien model moving average
at-q = residual lampau yang digunakan oleh
model
3) Model campuran
a. Proses ARMA
Model ARMA merupakan gabungan dari
model autoregresif dan moving average.
Asumsi yang diterapkan adalah ketika deret
waktu merupakan campuran dari fungsi
autoregresif dan moving average, maka
persamaan model ARMA (p,q) menjadi:
Zt = ϕ1Zt-1 + ϕ2Zt-2 +...+ ϕpZt-p + at - θ1at-1 - θ2at-
2-...-θqat-q
Dimana Zt dan atsama seperti sebelumnya, Zt
adalah konstanta, ϕ dan θ adalah koefisien
model. Zt dikatakan proses campuran
autoregressive moving average orde p dan q.
b. Proses ARIMA
Apabila nonstasioneritas ditambahkan
pada campuran proses ARMA, maka model
umum ARIMA (p,d,q) terpenuhi. secara
umum persamaan untuk model ARIMA
(1,1,1) adalah:
Zt = (1+Ø1)Zt-1 + (-Ø1)Zt-2 + at – θ1 at-1
Nilai ordo dari proses autoregressive dan
moving average diduga secara visual dari plot
ACF dan PACF. Plot tersebut menampilkan
distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien
autokorelasi parsial.
Plot yang tampak dalam plot ACF dan PACF
dapat digunakan dalam pendugaan ordo MA
dan AR karena masing – masing model
memiliki pola yang khusus. Secara teoritis ρk
= 0 bagi k > q dalam model MA(q) dan ϕkk =
0 bagi k > pdalam model AR(p). Arti dari
ARIMA (p,d,q) sendiri adalah model tersebut
menggunakan p nilai lag dependen, d tingkat
proses pembedaan, dan q lag residual.
2.6 Korelasi Silang
Korelasi menunjukkan adanya
hubungan keeratan antara dua variabel atau
lebih. Jika dua variabel atau lebih tersebut
saling berhubungan maka hasilnya dapat
ditentukan dengan nilai koefisien korelasi
yang berkisar antara -1 dan +1. Nilai koefisien
korelasi menunjukkan berbagai derajat
hubungan dari yang sangat lemah hingga
sangat kuat.
Karakteristik korelasi silang sama
dengan korelasi biasa dengan nilai berkisar
antara -1 dan +1 yang berfungsi sebagai
autokorelasi di dalam pemodelan untuk
analisis deret berkala inivariat, korelasi silang
sangat berperan penting dalam pemodelan
multivariate yang berhubungan dengan suatu
data time series dengan adanya suatu
hubungan antara satu deret yang
dilambangkan dengan lag dengan yang
lainnya dan sebaliknya (Makridakis 1983).
Perhatikan dua buah proses stokastik, Xt
dan Yt, t = 0, ± 1, ± 2, . . .. X t dan Yt
dikatakan stasioner gabungan ( jointly
stationary), jika Xt dan Yt masing-
masingmerupakan proses stasioner, dan
kovarians silang (cross-covariance) Xt dengan
Ys, kov.(Xt, Ys) hanya merupakan fungsi atas
selisih waktu (t – s). Untuk beberapa kasus
kovarians silang Xt dengan Yt, didefinisikan
oleh
µx dan µy masing-masing rata-rata hitung Xt
dan Yt , k = 0, ± 1, ± 2, . . . karena γ XY(k)
merupakan fungsi atas k, maka γ XY(k)
selanjutnya ditulis, γ XY(k), dan dinamakan
fungsi kovarians silang. Jika varians Xt dan
Yt masing-masing σ x2 dan σ y
2, maka fungsi
dinamakan fungsi korelasi silang (cross-
dorrelation function, CCF), yang merupakan
bentuk standarisasi dari fungsi kovarians
silang. Jika ditelaah dari deskripsinya, fungsi
korelasi silang merupakan formulasi umum
dari fungsi autokorelasi (ACF), sebab γ XX(k)
= γ X
(k) tetapi perbedaannya, jika autokorelasi
merupakan bentuk simetris, artinya ρX(k)
=ρX(−k), sedangkan fungsi korelasi silang
9
tidak simetris sebab ρXX(k) ≠ ρXX(−k).
Jika nilai ACF sebagai ukuran kekuatan dari
hubungan antar pengamatan, maka nilai CCF
selain sebagai ukuran kekuatan hubungan
antar variabel, nilai dari CCF juga sebagai
ukuran arah hubungan. Untuk mendapatkan
gambaran secara menyeluruh mengenai
hubungan antara data deret waktu Xt dengan
Yt, pengujian mengenai CCF, ρXX(k), harus
dilakukan untuk k > 0 dan k < 0, melalui
analisis korelasi silang atau gambar CCF yang
biasa dinamakan korelogram silang (cross
correlogram) (Mulyana 2004).
2.7 Regresi Linear Berganda
Analisis Multivariat (Multivariat
Analysis) merupakan salah satu jenis analisis
statistik yang digunakan untuk menganalisis
data dimana data yang digunakan berupa
banyak peubah bebas (independen variabels)
dan juga banyak peubah terikat (dependen
variabels). Analisis Regresi Linear Ganda atau
sering disebut juga Analisis Multiple
Regression Linear merupakan perluasan dari
Simple Regression Linear (Regresi Linear
Sederhana). Pada analisis ini bentuk
hubungannya adalah beberapa variabel bebas
terhadap satu variabel terikat. Misalkan untuk
mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan
tekanan darah sistolik (variabel Y) analisis
dilakukan dengan melibatkan kadar glukosa
darah (variabel X1), kadar kolesterol darah
(X2) dan Berat Badan (X3). Perbedaan
dengan analisis-analisis statistik yang lain
adalah bahwa jumlah peubah tak bebas pada
analisis statistik lain, seperti analisis regresi
ganda, terdiri dari hanya satu peubah misalnya
(Y) tetapi pada analisis multivariat, peubah
terikat dapat berjumlah lebih dari satu
(misalnya Y1, Y2, ……….Yq). Secara
sederhana model persamaan regresi ganda
digambarkan sebagai berikut :
Y = a + b1X1+b2X2+…+bnXn+e
Keterangan :
Y = variabel terikat
a = konstanta
b1,b2 = koefisien regresi
X1, X2 = variabel bebas
e = nilai kesalahan (error) yaitu selisih
antara nilai Y individual yang
teramati dengan nilai Y
sesungguhnya pada titik X tertentu
Menurut (Yusuf 2003) Untuk
menentukan model yang paling fit
(sesuai/cocok) menggambarkan faktor-faktor
yang terkait dengan variabel dependen
(terikat). Model Regresi Ganda dapat berguna
untuk dua hal, yaitu :
Prediksi, memperkirakan variabel
dependen dengan menggunakan informasi
yang ada pada sebuah atau beberapa
variabel independen. Misalnya kita
melakukan analisis variabel independen
kadar glukosa darah, kadar kolesterol
darah dan BB dihubungkan dengan
tekanan darah sistolik. Dari hasil regresi,
seseorang individu dapat diperkirakan
tekanan darahnya pada kadar glukosa,
kolesterol dan BB tertentu.
Estimasi, mengkuantifikasi hubungan
sebuah atau beberapa variabel independen
dengan sebuah variabel dependen.
Difungsi ini regresi dapat digunakan untuk
mengetahui variabel independen apa saja
yang berhubungan dengan variabel
dependen. Difungsi ini regresi dapat
digunakan untuk mengetahui variabel
independen apa saja yang berhubungan
dengan variabel dependen. Selain itu kita
dapat mengetahui seberapa besar
hubungan masing-masing variabel
independen dengan dependen setelah
memperhitungkan/mengontrol variabel
independen lainnya. Dari analisis tersebut
dapat diketahui variabel mana yang paling
besar pengaruhnya/dominan dalam
mempengaruhi variabel dependen, yang
ditujukan dari nilai koefisien regresi (b)
yang sudah distandarisasi yaitu nilai beta.
Analisis regresi berganda ini memiliki
tujuan untuk memperkirakan/meramalkan
nilai Y, jika semua variable bebas diketahui
nilainya. Persamaan regresi linear berganda
dibentuk dengan menggunakan metode
kuadrat terkecil (least square method). Selain
itu juga untuk mengetahui besarnya pengaruh
dari setiap variable bebas yang terdapat dalam
persamaan (Avip 2007).
III. DATA DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret
hingga Agustus 2011 di bagian Pemodelan
Atmosfer Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung dan
Laboratorium Klimatologi Departemen
Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian
Bogor (IPB).
10
3.2 Alat dan Data yang digunakan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Laptop dengan software MATLAB
versi 2008a, SPSS versi 16.0, Minitab 15,
Microsoft excel dan Microsoft word 2007.
Data yang digunakan dalam penelitian kali ini
adalah sebagai berikut:
a. Data curah hujan bulanan daerah
Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu,
Banjar Baru, dan Pandeglang periode
1976–2000.
b. Data Nino 3.4 yang diperoleh dari
(http://www.cpc.noaa.gov/data/indices/
nino34.mth.ascii.txt). Periode 1950-2009
c. Data Monsoon Index periode 1950-2009
• Australian Monsoon Index (AUSMI)
• Western North Pasific Monsoon
Index (WNPMI)
• Indian Summer Monsoon Index
(ISMI)
Data indeks monsun diperoleh dari:
http://iprc.soest.hawaii.edu/users/ykaji/
monsoon/realtime-monidx.html
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Anomali Curah Hujan
Sebelum melakukan tahapan penelitian
lebih lanjut, tahap awal penelitian yaitu
mengubah data curah hujan bulanan menjadi
suatu data anomali, tujuannya agar data
tersebut lebih mudah diolah. Ada berbagai
macam cara pengolahan data curah hujan
menjadi data anomali. Dalam penelitian ini,
metode yang digunakan adalah
Rumus diatas digunakan dengan tujuan
agar sifat monsunal pada data curah hujan
bulanan tidak dihilangkan. Setelah data curah
hujan berbentuk anomali, maka dapat
dilakukan tahap-tahap penelitian selanjutnya.
3.3.2 Analisis Spektral
Salah satu metode dalam analisis data
deret waktu yang jarang dibahas, padahal
peranannya sangat besar dalam melengkapi
informasi mengenai ciri (characters) data
deret waktu adalah analisis spektral. Analisis
spektral membahas mengenai cara menelaah
periodesitas data tersembunyi (hidden
periodecities) yang sulit diperoleh pada saat
kajian dilakukan pada kawasan (domain)
waktu. Kajian periodesitas data perlu
dilakukan untuk menambah informasi
mengenai karakteristik dari data deret waktu
tersebut, dan harus dilakukan pada kawasan
frekuensi melalui analisis spektral (Mulyana
2004).
3.3.2.1 FFT (Fast Fourier Transform)
Salah satu metode analisis spektral yang
umum digunakan adalah FFT (Fast Fourier
Transform). Data deret waktu dapat
dinyatakan sebagai deret fourier yang
merupakan fungsi harmonis, sehingga dengan
membangun fungsi spektrum kuasanya,
periodesitas data dapat ditentukan.
3.3.2.2 Transformasi Wavelet
Seperti halnya transformasi fourier,
transformasi wavelet digunakan juga untuk
menganalisis sinyal ataupun data.
Transformasi Wavelet (TW) adalah suatu alat
untuk memilah-milah data, fungsi atau
operator ke dalam komponen frekuensi yang
berbeda-beda, kemudian mempelajari setiap
komponen dengan suatu resolusi yang cocok
dengan skalanya. (Tang 2009)
3.3.3 Analisis Statistik
Analisis statistik pada penelitian kali ini
menggunakan dua metode yaitu: metode
korelasi silang dan metode pendekatan Box-
jenkins.
3.3.3.1 Metode Korelasi Silang
Korelasi menunjukkan adanya
hubungan keeratan antara dua variabel atau
lebih. Jika dua variabel atau lebih tersebut
saling berhubungan maka hasilnya dapat
ditentukan dengan nilai koefisien korelasi
yang berkisar antara -1 dan +1.
3.3.3.2 Analisis Multivariat
Analisis Regresi Linear Berganda
(multivariat) digunakan untuk mengukur
pengaruh antara lebih dari satu variabel
predictor (variabel bebas) terhadap variabel
terikat. Adapun persamaan umum dari regresi
berganda adalah
Y = a + b1X1+b2X2+…+bnXn
Keterangan : Y = variabel terikat
a = konstanta
b1,b2 = koefisien regresi
X1, X2 = variabel bebas
Analisis regresi berganda dalam
penelitian digunakan untuk membuktikan
hubungan antara interaksi fenomena monsun
dan Nino3.4 terhadap curah hujan. Analisis
regresi berganda dapat digunakan untuk
menentukan model prediksi awal pengaruh
antara interaksi monsun dan Nino3.4 terhadap
curah hujan. Selain itu, dapat juga digunakan
untuk menentukan berapa lamakah waktu
tunggu iklim global dapat mempengaruhi
curah hujan di wilayah kajian. Analisis ini
dilakukan dengan bantuan software SPSS 16.0
dan Microsoft excel.
11
3.3.3.3 Metode Pendekatan Box-Jenskins
Menurut Makridakis 1983 metode ini
menggunakan beberapa tahapan-tahapan yang
perlu dilakukan sebelum membuat model.
Tahap 1: Identifikasi Model
Cara yang dilakukan pada tahapan
identifikasi model adalah:
Plot data aktual (data iklim global yang
meliputi AUSMI, WNPMI dan Nino 3.4)
sehingga dapat terlihat apakah data tersebut
stasioner atau tidak. Apabila data belum
stasioner maka data harus distasionerkan
terlebih dahulu agar data dapat dimodelkan.
Melihat plot dari fungsi autokorelasi (ACF)
dan fungsi autokorelasi parsial (PACF)
untuk melihat model data.
Apabila ACF signifikan pada lag (lead
time) q dan PACF menurun secara
eksponensial, maka data dapat dimodelkan
dengan model MA(q) (Moving average
derajat q) dan jika ACF turun secara
eksponensial dan PACF signifikan pada lag p
maka data dapat dimodelkan dengan model
AR(p) (Autoregresif derajat p). Apabila kedua
hal tersebut tidak diperoleh, ada kemungkinan
model merupakan gabungan antara AR dan
MA atau ARMA(p,q).
Gambar 6 Skema pendekatan Box-Jenskin.
Tahap 2: Pendugaan Parameter Model
Cara-cara yang dapat dilakukan adalah:
Cara mencoba-coba (trial and error),
menguji beberapa nilai yang berbeda dan
memilih salah satu nilai tersebut
(sekumpulan nilai apabila terdapat lebih
dari satu parameter yang akan ditaksir) yang
meminimumkan jumlah kuadrat nilai sisa
(sum of squared residuals)
Perbaikan secara iteratif, memilih taksiran
awal dan kemudian membiarkan program
computer memperhalus penaksiran tersebut
secara iteratif (Makridakis 1983).
Tahap 3: Pengujian atau Validasi Model
Setelah berhasil menduga nilai parameter
dari model ARIMA selanjutnya melakukan
pemeriksaan diagnostic untuk membuktikan
bahwa model tersebut cukup memadai. Cara
yang dapat dilakukan adalah dengan
mempelajari nilai sisa (residual) untuk
melihat apakah masih terdapat model yang
dapat dipertimbangkan. Kedua dengan cara
mempelajari statistik sampling dari
pemecahan optimum untuk melihat apakah
model masih dapat disederhanakan
(Makridakis 1983).
Tahap 4: Penetapan Model ARIMA
Tahap ini merupakan tahap terakhir
dimana kita dapat melakukan prakiraan
(forecasting) dari model yang kita buat.
3.4 Lokasi Kajian
Gambar 7 Wilayah kajian
12
3.5 Tahapan Penelitian
Gambar 8 Diagram alir penelitian
13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Adanya perubahan perilaku iklim di
Indonesia dengan munculnya curah hujan
yang ekstrim tidak terlewati oleh pengaruh
fenomena iklim global. El Niño menjadi
faktor dominan yang mempengaruhi
keragaman iklim global. Pengaruhnya
terhadap perilaku curah hujan monsunal di
Indonesia menarik perhatian untuk mengkaji
lebih dalam mengenai interaksi atmosfer dan
lautan.
4.1 Analisis Data Curah hujan
Curah hujan merupakan jumlah air yang
jatuh di permukaan tanah datar selama periode
tertentu yang diukur dengan satuan tinggi
(mm). Secara umum, pola curah hujan di
Indonesia terbagi menjadi 3 tipe: monsunal,
ekuatorial, dan lokal. Penelitian ini
menggunakan data curah hujan wilayah
Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu,
Banjarbaru, dan Pandeglang untuk melihat
pengaruh interaksi El Niño dan monsun
terhadap kondisi curah hujan di wilayah
kajian.
Gambar 9 menunjukkan adanya fase
positif (+) dan negatif (-). Fase positif (+)
merupakan suatu fase dimana dalam periode
tertentu pada suatu wilayah mengalami hujan
atau kondisi basah yang biasanya terjadi pada
bulan DJF (Desember, Januari, Februari)
dengan nilai puncak maksimum pada bulan
Januari, sedangkan untuk fase negatif (-)
merupakan suatu fase dimana dalam periode
tertentu pada suatu wilayah tidak turun hujan
dan mengalami kondisi yang kering yang
biasanya terjadi pada bulan JJA (Juni, Juli,
Agustus) dengan nilai puncak minimum pada
bulan Juli.
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat
bahwa wilayah Lampung, Sumbawa Besar,
Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang
memiliki tipe hujan monsunal yang dicirikan
oleh distribusi curah hujan bulanan berbentuk
huruf V dengan jumlah curah hujan musiman
terendah terjadi pada bulan kering (JJA) dan
tertinggi pada bulan basah (DJF). Wilayah
dengan pola curah hujan monsunal memiliki
perbedaan yang jelas antara periode musim
hujan dan periode musim kering. Berdasarkan
penjelasan dari BMKG dalam Marjuki 2011,
curah hujan bulanan ketika dalam
kondisi basah (musim penghujan) adalah >
150 mm, sedangkan curah hujan bulanan
ketika dalam kondisi kering (musim kemarau)
adalah < 150 mm.
Berdasarkan hasil deret waktu curah
hujan yang telah diperoleh dapat dilihat
bahwa wilayah-wilayah yang memiliki hujan
tipe monsunal antara puncak yang satu dengan
yang lain baik puncak maksimum maupun
puncak minimum memiliki periode atau
osilasi 12 bulan. Berbeda dengan wilayah
kajian yang memiliki hujan tipe equatorial
dalam satu tahun terdapat dua puncak
maksimum dengan osilasi yang nyata terlihat
antara 6 bulan.
Untuk melihat adanya osilasi yang nyata
terhadap data curah hujan di wilayah
Lampung, Sumbawa Besar, Indramayu,
Banjarbaru, dan Pandeglang selain
menggunakan analisis deret waktu, dapat juga
dilakukan analisis PSD (Power Spectral
Density) seperti gambar 10.
Jan-76 Jan-77 Jan-78 Jan-79 Jan-80 Jan-81 Jan-82 Jan-83 Jan-84 Jan-85 Jan-86 Jan-87 Jan-88 Jan-89 Jan-90 Jan-91 Jan-92 Jan-93 Jan-94 Jan-95 Jan-96 Jan-97 Jan-98 Jan-99 Jan-00-400
-200
0
200
400
600
800
1000
1200
Waktu
An
om
ali
SUMBAWA BESAR
INDRAMAYU
BANJARBARU
PANDEGLANG
LAMPUNG
Gambar 9 Deret waktu anomali curah hujan berbagai wilayah di Indonesia periode 1976-2000.
14
1 6 12 180
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5x 10
8
Periode (bulan)
Ene
rgi S
pekt
ral
SUMBAWA BESAR
INDRAMAYU
BANJAR BARU
PANDEGLANG
LAMPUNG
Gambar 10 Power Spektral Density (PSD) curah hujan periode 1976-2000.
Analisis PSD (Power Spectral Density)
merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk mengetahui periodesitas dari suatu data
deret waktu. Pada gambar 10 dapat dilihat
bahwa wilayah-wilayah kajian yang bertipe
curah hujan monsunal (Lampung, Sumbawa
Besar, Indramayu, Banjarbaru, dan
Pandeglang) menunjukkan pola osilasi
dominan 12 bulanan. Hal ini terlihat dari
puncak energi spektral masing-masing
wilayah kajian berada pada periode 12
bulanan, artinya kejadian kuat akan berulang
dalam selang waktu 12 bulanan. Wilayah
Indramayu dan Banjarbaru memiliki puncak
yang lebih tinggi dibandingkan wilayah
Lampung, Sumbawa Besar, dan Pandeglang,
hal ini berarti kekuatan monsun di wilayah
Indramayu dan Banjarbaru lebih kuat
dibandingkan wilayah lainnya.
4.2 Analisis Monsun dan Nino 3.4
Monsun merupakan siklus tahunan yang
membedakan secara tegas keadaan atmosfer
ketika musim basah dan musim kering.
Menurut Webster 1987 monsun juga
merupakan suatu fenomena yang kuat dan
luas sehingga suatu sistem monsun dapat
mempengaruhi suatu wilayah yang luas.
Fenomena ini juga sangat berpengaruh
terhadap penentuan awal musim hujan dan
musim kering.
Menurut Bhalme 1991, El Niño
merupakan anomali suhu permukaan laut yang
terjadi di daerah khatulistiwa bagian tengah
dan timur, yaitu menghangatnya permukaan
laut hingga mencapai suhu satu derajat di atas
standar deviasi rata – rata bulanan selama
empat bulan berturut – turut. Secara umum
hubungan antara monsun dengan Nino 3.4
adalah berbanding terbalik, artinya apabila
monsun melemah maka Nino 3.4 akan
menguat dan begitu juga sebaliknya semakin
melemahnya monsun maka Nino 3.4 akan
semakin menguat.
Jan-76 Jan-77 Jan-78 Jan-79 Jan-80 Jan-81 Jan-82 Jan-83 Jan-84 Jan-85 Jan-86 Jan-87 Jan-88 Jan-89 Jan-90 Jan-91 Jan-92 Jan-93 Jan-94 Jan-95 Jan-96 Jan-97 Jan-98 Jan-99 Jan-00-15
-10
-5
0
5
10
15
Waktu
Ind
eks
ISMI WNPMI AUSMI NINO3.4
Gambar 11 Deret waktu data iklim global periode 1976 – 2000.
15
Berdasarkan hasil plot (Gambar 11) data
monsun indeks (ISMI, WNPMI, dan AUSMI)
dengan Nino 3.4 dapat dilihat bahwa tidak
selamanya kedua fenomena tersebut
berbanding terbalik. Monsun ASIA (ISMI dan
WNPMI) sendiri berbanding terbalik dengan
monsun AUSTRALIA (AUSMI), ketika
AUSMI menguat maka monsun ASIA
melemah dan sebaliknya ketika AUSMI
melemah maka monsun ASIA menguat.
Namun ketika digabungkan dengan Nino 3.4,
ada kalanya monsun Asia maupun monsun
AUSTRALIA sama-sama menguat dengan
Nino 3.4, begitu juga sebaliknya ketika Nino
3.4 melemah maka ketiga indeks monsun
tersebut juga melemah.
4.3 Analisis Spektral Monsun dan Nino 3.4
Analisis PSD (Power Spectral Density)
untuk indeks monsun (ISMI, WNPMI, dan
AUSMI) dapat dilihat pada gambar 6. Pada
gambar terlihat bahwa ISMI, WNPMI, dan
AUSMI memiliki osilasi dominan sekitar 12
bulanan artinya kejadian kuat akan terjadi
sekali dalam waktu 12 bulan. Selain itu osilasi
6 bulanan juga terlihat. Osilasi 6 bulan berarti
dalam 1 tahun terjadi dua kejadian kuat
dengan masing-masing kejadian memiliki
periode 6 bulanan.
Selain analisis PSD, untuk memperjelas
periodesitas data digunakan juga analisis
wavelet. Monsun (ISMI, WNPMI, dan
AUSMI) memiliki osilasi dominan sekitar 12
bulanan yang ditunjukkan oleh spektrum
wavelet global pada gambar 13b (ISMI), 14b
(WNPMI), dan 15b (AUSMI). Spektrum
kuasa wavelet (13a, 14a, dan 15a)
menunjukkan kekuatan osilasi tiap monsun.
Spektrum warna wavelet yang yang semakin
mengarah ke warna merah menunjukkan
indeks monsun yang semakin kuat dan warna
wavelet yang semakin mengarah ke warna
biru menunjukkan indeks monsun yang
semakin lemah. ISMI, WNPMI, dan AUSMI
memiliki pola yang sama. Spektrum warna
wavelet yang berwarna merah pada tahun
1976-2000 berada pada periode 12 bulanan.
Untuk mempertajam analisis PSD pada
Nino 3.4, digunakan analisis wavelet
ditunjukkan oleh gambar 16. Spektrum
wavelet global Nino 3.4 (16b) semakin
mempertegas bahwa kejadian kuat Nino 3.4
akan berulang dalam waktu 60 bulan. Gambar
16a merupakan spektrum kuasa wavelet Nino
3.4. Spektrum warna wavelet yang yang
semakin mengarah ke warna merah
menunjukkan anomali suhu muka laut yang
semakin menghangat atau berada pada fase
positif di atas 0oC. Spektrum warna wavelet
yang semakin mengarah ke warna biru
menunjukkan anomali suhu muka laut yang
semakin mendingin atau berada pada fase
negatif di bawah 0oC.
1 6 12 180
2
4
6
8
10
12
14
16x 10
5
Periode (bulan)
En
erg
i S
pektr
al
ISMI
WNPMI
AUSMI
1 6 12 18 2224 30 3638 43 600
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Periode (bulan)
En
erg
i S
pektr
al
Power Spectral Density NINO3.4 Periode Jan 1976 - Ags 2000
NINO3.4
(a) (b)
Gambar 12 Power Spektral Density (PSD) indeks monsun (a) dan Nino 3.4 (b) periode 1976 –
2000
Time Observation
Pe
rio
d (
mo
nth
)
a) The Wavelet Power Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
4
8
16
32
64
128
256 -4
-2
0
2
4
0 200 400 600
4
8
16
32
64
128
256
b) The Global Wavelet Spectrum
Gambar 13 Wavelet Indian Summer Monsun Index (ISMI) periode 1976 – 2000
16
Time Observation
Pe
rio
d (
mo
nth
)
a) The Wavelet Power Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
4
8
16
32
64
128
256 -4
-2
0
2
4
0 200 400 600
4
8
16
32
64
128
256
b) The Global Wavelet Spectrum
Gambar 14 Wavelet Western North Pacific Monsun Index (WNPMI) periode 1976 – 2000
Time Observation
Peri
od
(m
on
th)
a) The Wavelet Power Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
4
8
16
32
64
128
256 -4
-2
0
2
4
0 50 100 150 200 250
4
8
16
32
64
128
256
b) The Global Wavelet Spectrum
Gambar 15 Wavelet Australia Monsun Index (AUSMI) periode 1976 – 2000
Time Observation
Peri
od
(m
on
th)
a) The Wavelet Power Spectrum
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00
4
8
16
32
64
128
256 -4
-2
0
2
4
0 5 10 15 20
4
8
16
32
64
128
256
b) The Global Wavelet Spectrum
Gambar 16 Wavelet Nino 3.4 periode 1976 – 2000
Gambar 17 Mean varians monsun dan Nino 3.4 periode 1976 – 2000
Analisis varians pada gambar 17
menunjukkan nilai rata-rata sebaran data deret
waktu. Mean varians (rata-rata varians)
merupakan suatu kisaran nilai rata-rata data
menyimpang dari kondisi normalnya. Jika
dibandingkan, monsun (ISMI, WNPMI,
AUSMI) dan Nino 3.4 menunjukkan puncak
yang sama pada tahun 1997-1998. Akan
tetapi, pola rata-rata varians AUSMI dan
WNPMI yang hampir menyamai pola
pergerakan rata-rata varians Nino 3.4 pada
periode 1976-2000. Tahun 1997-1998
merupakan tahun El Niño kuat (1997) dan
langsung disambut tahun La Nina (1998).
Oleh karena itu, pada pembahasan selanjutnya
mengenai pemodelan untuk memprediksi
curah hujan monsunal wilayah kajian maka
dapat menggunakan variabel AUSMI,
WNPMI dan Nino 3.4.
17
4.4 Analisis Statistik Data Curah Hujan
dan Data Iklim Global
Berdasarkan ketiga monsun (ISMI,
WNPMI dan AUSMI) yang akan dianalisis
lebih lanjut dan dilihat pengaruhnya apabila
digabungkan dengan Nino 3.4 adalah AUSMI
dan WNPMI. Kedua monsun ini merupakan
monsun yang memiliki pengaruh yang besar
terhadap wilayah Indonesia dimana ketika
dalam kondisi basah monsun ASIA yang
berperan dan salah satunya WNPMI,
sedangkan ketika Indonesia dalam keadaan
kering monsun AUSTRALIA yang akan
berberan secara langsung. Ketika monsun
menguat dan Nino 3.4 melemah, di Indonesia
akan mengalami kondisi yang basah.
Sebaliknya apabila monsun melemah dan
Nino 3.4 menguat maka sebagian besar
wilayah Indonesia akan mengalami kondisi
yang cenderung kering.
Gambar 18 Diagram batang fenomena interkoneksi dan curah hujan periode 1996-1999
18
Gambar 18 menjelaskan kondisi pada
tahun 1996–1999 baik dari segi
interkoneksinya maupun dari curah hujan.
Pada gambar terlihat, secara keseluruhan
curah hujan mengalami kondisi ekstrim akibat
terjadi interkoneksi antara monsun dan El
Niño. Pada gambar dapat dilihat bahwa pola
curah hujan seluruh wilayah kajian mengikuti
pola interaksi antara monsun dan Nino 3.4.
Akibat dari interkoneksi kedua fenomena
tersebut ditunjukkan oleh curah hujan yang
ekstrim kering pada tahun 1997 dilanjutkan
dengan curah hujan yang ekstrim basah pada
tahun 1998.
4.5 Analisis Korelasi Silang
Asumsi mendasar interaksi antara
monsun dan Nino 3.4 ialah curah hujan yang
terjadi atau turun di suatu wilayah dipengaruhi
oleh iklim global, maka curah hujan yang
akan turun di suatu wilayah merupakan fungsi
dari fenomena global diatas yang
disederhanakan menjadi : CH = f (AUSMI,
WNPMI, Nino3.4) (Hermawan 2010). Dari
asumsi tersebut didapatkan sebuah persamaan
multivariate (tabel 3) dari masing-masing
wilayah.
Persamaan Multivariate menjelaskan
peranan masing-masing fenomena iklim
dalam mempengaruhi curah hujan wilayah
kajian. Persamaan multivariate (tabel 3)
digunakan untuk membuat curah hujan model
yang akan dipakai untuk membuat model
prediksi. Keeratan antara curah hujan model
dengan curah hujan pengamatan dijelaskan
melalui nilai koefisien korelasi (r). Korelasi
merupakan teknik analisis yang termasuk
dalam salah satu teknik pengukuran hubungan
mengenai ada atau tidaknya hubungan antara
dua fenomena atau lebih (Hasan 2003).
Wilayah Banjarbaru memiliki nilai korelasi
(r) yang lebih besar dibandingkan dengan
wilayah kajian lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa wilayah Banjarbaru menunjukkan
respon yang lebih besar pada telekoneksi yang
menurunkan curah hujan di daerah tersebut.
Analisis Cross Correlation Fungtion
(CCF) digunakan untuk mengetahui waktu
tunda atau lag time antara fenomena interaksi
(AUSMI dan El Niño) terhadap curah hujan.
Tanda positif (+) dan negatif (-) pada nilai
CCF menunjukkan arah hubungan terhadap
dua variabel. Jika nilai CCF memiliki tanda
(+) berarti kedua variabel memiliki hubungan
yang berbanding lurus dan sebaliknya, apabila
nilai CCF memiliki nilai negatif (-) maka
kedua variabel memiliki hubungan yang
berbanding terbalik.
Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa seluruh
wilayah kajian (Lampung, Sumbawa Besar,
Indramayu, Banjarbaru dan Pandeglang)
memiliki nilai CCF yang positif (+), hal ini
menunjukkan bahwa fenomena interaksi
antara monsun dan El Niño terhadap curah
hujan memiliki hubungan yang berbanding
lurus. Artinnya apabila fenomena interaksi
menguat maka curah hujan di wilayah kajian
akan meningkat, begitu juga sebaliknya
semakin melemahnya fenomena interaksi
maka curah hujan di wilayah kajian akan
semakin menurun.
Selain mengetahui nilai CCF, pada tabel
3 dapat dilihat juga seberapa lama lag time
atau waktu tunda di beberapa wilayah kajian.
Lag time atau waktu tunda ini merupakan
waktu yang dibutuhkan oleh fenomena
interaksi monsun dan El Niño untuk dapat
mempengaruhi curah hujan di wilayah kajian.
Pada tabel dapat dilihat bahwa seluruh
wilayah kajian (Lampung, Sumbawa Besar,
Indramayu, Banjarbaru, dan Pandeglang)
memiliki lag time 0 bulan. Artinya antara
kejadian interaksi monsun dan El Niño tidak
memiliki waktu tunda untuk mempengaruhi
curah hujan di wilayah tersebut.
Tabel 3 Kaitan Interaksi antara dua Fenomena (AUSMI – WNPMI – Nino3.4) dengan Curah
Hujan Bulanan Periode 1976 – 2000.
KOTA CCF Lag time
(bulan) Error r2 Persamaan Multivariant
Sumbawa Besar 0.692 0 78.23313 0.532 Y = 16.267X1 - 3.940X2 - 6.790X3 + 6.819
Indramayu 0.642 0 124.86441 0.445 Y = 20.549X1 - 5.976X2 - 15.042X3 + 10.883
Banjarbaru 0.76 0 84.99061 0.591 Y = 8.195X1 - 12.388X2 - 25.964X3 + 7.408
Pandeglang 0.695 0 74.67462 0.535 Y = 15.923X1 - 3.445X2 - 5.264X3 + 6.509
Lampung 0.694 0 75.64186 0.486 Y = 9.954X1 - 6.721X2 - 2.913X3 + 6.593
Keterangan: Y menunjukkan Curah Hujan
X1 menunjukkan nilai AUSMI
X2 menunjukkan nilai WNPMI
X3 menunjukkan nilai Nino3.4
19
Gambar 19 merupakan validasi dari data
curah hujan model multivariate dengan data
asli. Pada gambar dapat dilihat bahwa kelima
wilyah kajian memiliki nilai korelasi yang
besar. Hal ini menunjukkan bahwa model
tersebut baik dan dapat digunakan untuk
menjelaskan kejadian hujan di wilayah kajian
yang telah terpengaruh oleh interaksi antara
monsun dengan Nino 3.4. Hasil validasi
menjelaskan, curah hujan di seluruh wilayah
kajian mendapat pengaruh yang berbeda-beda
dari interaksi monsun dan nino 3.4. Ini
dikarenakan adanya pengaruh geografis
masing-masing wilyah kajian.
121110987654321
200
150
100
50
0
-50
-100
WAKTU (BULAN)
Da
ta
CH asli
CH model
Variable
Time Series Plot of CH asli, CH model SUMBAWA BESAR
Korelasi 0.943
121110987654321
500
400
300
200
100
0
-100
-200
Waktu (bulan)
Da
ta
CH asli
CH model
Variable
Time Series Plot of CH asli dan CH model INDRAMAYU
Korelasi 0.683
121110987654321
300
200
100
0
-100
-200
Waktu (bulan)
Da
ta
CH asli
CH model
Variable
Time Series Plot of CH asli dan CH model BANJARBARU
Korelasi 0.846
121110987654321
400
300
200
100
0
-100
Waktu (bulan)
Da
ta
CH asli
CH model
Variable
Time Series Plot of CH asli dan CH Model PANDEGLANG
Korelasi 0.810
121110987654321
150
100
50
0
-50
-100
waktu (bulan)
Da
ta
CH asli
CH model
Variable
Time Series Plot of CH asli dan CH model LAMPUNG
Korelasi 0.951
Gambar 19 Validasi curah hujan model
multivariate periode Januari
2000 – Desember 2000
4.6 Prediksi ARIMA
Sebelum melakukan pemodelan data
curah hujan, maka dilakukan uji stasioneritas
data. Hal itu dilakukan karena merupakan
syarat pemodelan data deret waktu, karena
data yang tidak stasioner sulit untuk diprediksi
sehingga model yang dihasilkan tidak
maksimal. Perlu diperhatikan bahwa
kebanyakan data deret waktu bersifat
nonstasioner dan bahwa aspek-aspek AR dan
MA dari model ARIMA hanya berkenan
dengan data deret waktu yang bersifat
stasioner. Data stasioner berarti tidak terdapat
pertumbuhan atau penurunan pada data. Data
secara kasarnya harus horizontal sepanjang
sumbu waktu. Dengan kata lain, fluktuasi data
berada di sekitar suatu nilai rata-rata yang
konstan, tidak tergantung pada waktu dan
varians dan fluktuasi tersebut pada pokoknya
tetap konstan setiap waktu.
Untuk memeriksa stasioneritas dapat
dilihat melalui fungsi autokorelasi, fungsi
autokorelasi parsial, dan plot deret waktu dari
data yang akan diperiksa stasioneritasnya.
Suatu data yang tidak stasioner harus diubah
menjadi data yang stasioner dengan
melakukan differencing. Yang dimaksud
dengan differencing adalah menghitung
20
perubahan atau selisih nilai observasi. Nilai
selisih yang diperoleh dicek ulang apakah data
tersebut sudah stasioner atau tidak. Apabila
data tersebut belum stasioner maka dilakukan
differencing lagi. Jika varians tidak stasioner,
maka dilakukan transformasi logaritma.
Gambar 20 menunjukkan pemeriksaan
terhadap data untuk stasioneritas. Hasil dari
pemeriksaan menunjukkan bahwa data yang
digunakan tidak stasioner. Oleh karena itu
data tersebut diolah kembali dengan teknik
differencing, cukup satu kali differencing.
Setelah dilakukan differencing terlihat bahwa
data menjadi lebih stasioner dan dapat
diperkirakan daripada sebelum dilakukan
differencing. ACF dan PACF pada seluruh
wilayah kajian memiliki pola musiman
sehingga data curah hujan merupakan data
seasonal pada lag 1.
Melalui proses identifikasi, penaksiran
dan pengujian, diperoleh model sementara
dari plot data iklim global adalah model
ARIMA (1,0,1)12
, ARIMA (0,1,1)12
, ARIMA
(1,1,1)12
, dan ARIMA (2,0,2)12
. Dari semua
model sementara diperoleh model yang cocok
untuk data iklim global yaitu model ARIMA
(1,0,1)12
untuk AUSMI, ARIMA (1,1,1)12
untuk WNMPI, dan ARIMA (2,0,2)
untuk
Nino 3.4. Dari model arima didapatkan
sebuah persamaan pada masing-masing iklim
global (tabel 4) dimana Zt merupakan data
pada bulan ke-t dan at merupakan galat pada
bulan ke-t. Persamaan tersebut kemudian
divalidasi dengan data observasi.
Validasi dilakukan dengan
membandingkan hasil perhitungan model
dengan data observasi, periode waktu yang
digunakan untuk memvalidasi model adalah
Januari 2000 – Desember 2000 (gambar 21).
Plot data untuk model ARIMA seluruh data
ikim global memiliki nilai korelasi yang besar
yaitu diatas 0.9. Hal ini menunjukkan bahwa
model ARIMA
sangat baik dan dapat
digunakan untuk menjelaskan kejadian
monsun dengan Nino 3.4.
Berdasarkan persamaan model ARIMA di
dapatkan data deret waktu iklim global
prediksi bulan Januari 2013 – Desember 2013
(gambar 21). Data tersebut kemudian
dikembangkan kembali dengan persamaan
multivariate, sehingga didapatkan curah hujan
prediksi untuk bulan Januari 2013 – Desember
2013. Model ARIMA yang baik akan
membantu untuk memperkirakan curah hujan
ketika kejadian interaksi berlangsung
sehingga dapat diantisipasi dengan tepat. Hal
ini sangat penting karena kelima wilayah
tersebut merupakan kawasan sentra produksi
pangan terutama Indramayu yang menjadi
lumbung padi Indonesia. Sehingga, fluktuasi
curah hujan pada kelima wilayah tersebut
harus diawasi dengan baik.
Tabel 4 Persamaan ARIMA
KOTA PERSAMAAN ARIMA Korelasi
AUSMI (1,0,1)12
Zt = 0.9989Zt-12 - 0.9338at-12 + at 0.944
WNPMI (1,1,1)12
Zt = -0.0674Zt-12 + Zt-12 – Zt-24 - 0.9347at-12 + at 0.94
Nino 3.4 (2,0,2) Zt = 3.594Zt-1 – 0.8362Zt-2 – 1.634at-1 – 0.1053at-2 + at 0.951
21
Gambar 20 Plot data, Plot data differencing, ACF, PACF iklim global periode Januari 1976 – Desember 1999.
AUSMI WNPMI NINO 3.4
2612322031741451168758291
10
5
0
-5
-10
WAKTU (bulan)
ausm
i
605550454035302520151051
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Au
toco
rre
lati
on
Autocorrelation Function for C16(with 5% significance limits for the autocorrelations)
605550454035302520151051
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Part
ial A
utoc
orre
lati
on
Partial Autocorrelation Function for C16(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
2612322031741451168758291
15
10
5
0
-5
-10
Waktu (bulan)
wnp
mi
605550454035302520151051
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Aut
ocor
rela
tion
Autocorrelation Function for C16(with 5% significance limits for the autocorrelations)
605550454035302520151051
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Part
ial A
utoc
orre
latio
n
Partial Autocorrelation Function for C16(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
2612322031741451168758291
3
2
1
0
-1
-2
-3
waktu (bulan)
nino
7065605550454035302520151051
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Aut
ocor
rela
tion
Autocorrelation Function for ANOM(with 5% significance limits for the autocorrelations)
7065605550454035302520151051
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Part
ial A
utoc
orre
lati
on
Partial Autocorrelation Function for ANOM(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
22
Iklim Global Validasi (Jan 2000 – Des 2000) Prediksi (Jan 2013 – Des 2013)
AUSMI
ARIMA (1,0,1)12
121110987654321
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
-7.5
waktu (bulan)In
deks
data asli
forecast
Variable
Time Series Plot of data asli dan forecast AUSMI
121110987654321
5.0
2.5
0.0
-2.5
-5.0
-7.5
WAKTU (bulan)
ausm
i
Time Series Plot of ausmi
WNPMI
ARIMA (1,1,1)12
121110987654321
5
0
-5
-10
waktu (bulan)
inde
ks
data asli
forecast
Variable
Time Series Plot of data asli dan forecast WNPMI
121110987654321
5
0
-5
-10
waktu (bulan)
wnp
mi
Time Series Plot of wnpmi
NINO 3.4
ARIMA
(2,2)
121110987654321
2
1
0
-1
-2
Index
Data
C36
C37
Variable
Time Series Plot of C36, C37
121110987654321
-14
-15
-16
-17
-18
-19
-20
-21
-22
-23
waktu (bulan)
nino
Time Series Plot of nino 3.4
Gambar 21 Plot data validasi iklim global asli dengan prediksi iklim global (Januari 2000 – Desember 2000) dan plot data prediksi (Januari 2013 – Desember 2013)
23
Setelah melewati tahap-tahap ARIMA,
didapatkan nilai prediksi data fenomena iklim
global (AUSMI, WNMPI, dan Nino3.4)
periode Januari 2013 – Desember 2013. Data
iklim global tersebut kemudian
disubstitusikan ke dalam persamaan
multivariate pada tabel 3. Dari proses
substitusi didapatkan data anomali curah
hujan untuk masing-masing wilayah kajian
periode Januari 2013 – Desember 2013
(gambar 22). Dengan demikian, dapat
diartikan bahwa persamaan multivariate dapat
digunakan untuk menjelaskan kejadian curah
hujan yang telah terpengaruh oleh interaksi
antara monsun dengan Nino 3.4.
121110987654321
100
50
0
-50
-100
-150
WAKTU (BULAN)
DA
TA
Time Series Plot of SUMBAWA BESAR
Rataan curah hujan = 102 mm per bulan
121110987654321
150
100
50
0
-50
-100
-150
WAKTU (BULAN)
DA
TA
Time Series Plot of INDRAMAYU
Rataan curah hujan = 151 mm per bulan
121110987654321
150
100
50
0
-50
-100
WAKTU (BULAN)
DA
TA
Time Series Plot of BANJARBARU
Rataan curah hujan = 210 mm per bulan
121110987654321
100
50
0
-50
-100
WAKTU (BULAN)
DA
TA
Time Series Plot of PANDEGLANG
Rataan curah hujan = 120 mm per bulan
121110987654321
100
50
0
-50
-100
WAKTU (BULAN)
DA
TA
Time Series Plot of LAMPUNG
Rataan curah hujan = 152 mm per bulan
Gambar 22 Prediksi anomali curah hujan
model multivariate untuk
wilayah kajian periode Januari
2013 – Desember 2013
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Fenomena El Niño dan Monsun
berpengaruh besar terhadap curah hujan di
Indonesia pada saat kedua fenomena ini
berinteraksi. Pola curah hujan seluruh wilayah
kajian mengikuti pola interaksi antara monsun
asia, monsun Australia, dan nino 3.4.
Persamaan multivariate dapat digunakan
untuk menjelaskan kejadian hujan di wilayah
kajian yang telah terpengaruh oleh interaksi
antara monsun dengan Nino 3.4. Pola
interaksi digambarkan berdasarkan sudut
pandang temporal dan spasial terhadap
perilaku curah hujan wilayah kajian
(Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru,
Pandeglang, dan Lampung). Berdasarkan hasil
analisis, wilayah kajian memiliki tipe hujan
monsoonal yang ditunjukkan dengan pola
osilasi 12 bulanan.
Berdasarkan hasil analisis model dengan
menggunakan metode Box-Jenkins dan
melalui proses identifikasi, penaksiran dan
pengujian, maka diperoleh model prediksi
ARIMA (1,0,1)12
untuk data AUSMI, ARIMA
24
(1,1,1)12
untuk data WNPMI, dan ARIMA
(2,0,2) untuk Nino3.4. Persamaan ARIMA
untuk ketiga indeks tersebut adalah Zt =
0.9989Zt-12 - 0.9338at-12 + at (AUSMI), Zt =
-0.0674Zt-12 + Zt-12 - Zt-24 - 0.9347at-12 + at,
(WNPMI), dan Zt = 3.594Zt-1 - 0.8362Zt-2 –
1.634at-1 - 0.1053at-2 + at (Nino3.4).
Persamaan ARIMA menunjukkan, untuk
prakiraan waktu mendatang tergantung dari
data ke-t bulan sebelumnya dan galat ke-t
bulan sebelumnya. Model ARIMA dapat
digunakan untuk memprediksi curah hujan di
seluruh wilayah kajian dengan R2 validasi
sebesar 0.9.
5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya, untuk
memperoleh suatu model prediksi yang akurat
sebaiknya menggunakan data deret waktu
yang lebih panjang dan lengkap. Selain itu,
untuk menjelaskan distribusi curah hujan
wilayah dengan analisis spasial sebaiknya
menggunakan analisis Hovmoller. Penelitian
selanjutnya diharapkan juga dapat membuat
model statistik dengan menggunakan metode
statistik lainya seperti CCA (Canonical
Correlation Analysis).
DAFTAR PUSTAKA
[BMKG] http://www.bmkg.go.id/ [2010]
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika. 2011.
http://www.bmkg.go.id/Bmkg_Pusat/Dat
aDokumen/Update_Niño_040411.pdf [6
April 2011].
[CPC-NCEP] Climate Center Prediction –
National Centers for Environmental
Prediction.Mothly Atmospheric and SST
Indices.http://www.cpc.noaa.gov/data/indi
ces/nino34.mth.ascii.txt [September 2010].
[HKO] Hong Kong Observatory. 2011.
Graphical depiction of the four Niño
regions and the location of Tahiti and
Darwin for SOI.
http://www.hko.gov.hk/lrf/enso/enso-
backgnd.htm [20 April 2011].
Bhalme HN. 1991. El-Niño-Southern
Oscillation (ENSO) – Onset, Growth,
and Decay.WMO/TD. 496 : 84-87.
Chang J. 1984. The Monsoon Circulation of
Asia, hlm 3-34. Di dalam M.M.
Yoshino (Penyunting). Climate and
Agricultural Land Use in Monsoon
Asia. University of Tokyo Press.
Tokyo.
Haryanto U. 1998. Memahami ENSO untuk
Meramalkan Kekeringan. Majalah
BPPT. Hlm 165-171.
Hasan M. Iqbal. 2003. Pokok-Pokok Materi
Statistik 2 (Statistik Iterensif) Edisi
Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
Hermawan E. 2003. The Characteristics of
Indian Ocean Dipole Mode
Premiliminary Study of the Monsoon
Variability in the Western Part of
Indonesian Region. Jurnal Sains
Dirgantara,Vol. 1 No.1 Desember 2003.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional ( LAPAN ). Jakarta.
Hermawan E. 2010. Evaluasi Kondisi
Monsun, El Niño & La-Nina, DM, SOI,
dan MJO Selama Bulan Mei 2010 dan
Proyeksinya dalam Beberapa Bulan
Mendatang. Bandung: Pusat
Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim
LAPAN.
IPCC. 2001 .Climate Change 2001 : Impact,
Adaptation and Vulnerabi1ity.
Cambridge: Cambridge University
Press.
Kadarsah. 2007. Tiga Pola Curah Hujan
Indonesia.
http://kadarsah.wordpress.com/2007/06/
29/tiga-daerah-iklim-indonesia/
Makridakis S, Wheelwright SC. Mcgee VE.
1983. Forecasting Terjemahan: metode
dan aplikasi peramalan oleh Untung SA
dan Abdul B edisi 2 jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Marjuki. 2011. Model Prediksi Awal Musim
Hujan di Pulau Jawa Dengan
Menggunakan Infoemasi Suhu Muka
Laut di Kawasan Pasifik dan India.
25
[tesis] Bogor: Departemen Geofisika dan
Meteorologi FMIPA IPB.
McBride. 2002. Kapan Hujan Turun? Dampak
Osilasi Selatan dan El Niño di Indonesia.
Department of Primary Industries,
Queensland.
Monsoon Monitoring Page.
http://iprc.soest.hawaii.edu/users/ykaji/
monsoon/realtime-monidx.html
[September 2010] Mulyana. 2004. Analisis Spektral untuk
Menelaah Periodesitas Tersembunyi dari
Data Deret Waktu. Bandung: Statistika
FMIPA Universitas Padjadjaran.
Neuwolt S. 1977. Tropical Climatology.
Cichaster. New York: John Willey and
Sons.
Philander SG. 1990. El Niño, La Niña, and the
Southern Oscillation, Academic Press,
Inc. New York, USA.
Prawirowardoyo S. 1996. Meteorologi.
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Priatna BA. 2007. Teknik-Teknik Analisis
Multivariat Terkini Yang Sering
Digunakan Dalam Penelitian.
Bandung: Matematika FMIPA-UPI
Bandung.
Ramage C. 1971. Monsoon Meteorology.
International Geophisics Series, Vol. 15.
San Diego, CA: Academic Press.
Septicorini, Purwandini E. 2009. Identifikasi
Fenomena ENSO (El Niño-Southern
Oscillation) dan IOD (Indian Ocean
Dipole Mode) terhadap Dinamika
Waktu Tanam Padi di Daerah Jawa
Barat (Studi Kasus Kabupaten
Indramayu dan Cianjur). [Tesis] Insitut
Pertanian Bogor.
Storch HV and Zwlers FH. 1999. Statistical
Analysis in Climate Research. United
Kingdom: Cambridge University.
Tang YY. 2009. Wavelet Theory Approach to
Pattern Recognition 2nd Edition.
Singapore: World Scientific Publishing
Co. Pte. Ltd.
Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Edisi Ke-2.
Bandung: Penerbit ITB.
Trenberth, KE. 1997. The definition of El
Niño. Bull. Amer. Meteor. Soc
78:2771–2777.
Webster PJ. 1987. The Variable and
Interactive Monsoon. Dalam Fein JS and
Stephen PL, (eds) Monsoon. John Wiley
and son: New York; 269-330.
Yusuf MN. 2003. Analisis Data Multivariat
(Konsep Dan Aplikasi Regresi
Berganda). Depok.
LAMPIRAN
27
Lampiran 1 Script untuk pengolahan time series data menggunakan software Matlab R2008a
%====================================================================
% Program Membaca Data Curah hujan Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, Pandeglang,
Lampung
% Januari 1976 – Desember 2000
% By: Rendra Edwuard
% Departemen Geofisika dan Meteorologi
% Institut Pertanian Bogor
%====================================================================
% Load Data
%====================================================================
y=xlsread('DATA BARU',1,'B2:F301'); x=1:length(y); plot(x,y); xlabel('Waktu','fontweight','bold','fontsize',16); ylabel('Indeks','fontweight','bold','fontsize',16); h= legend('SUMBAWA
BESAR','INDRAMAYU','BANJARBARU','PANDEGLANG','LAMPUNG',5) set(gca,'xtick',[1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181 193 205 217 229 241 253
265 277 289]); set(gca,'xticklabel',{'Jan-76' 'Jan-77' 'Jan-78' 'Jan-79' 'Jan-80' 'Jan-81' 'Jan-82' 'Jan-83' 'Jan-84' 'Jan-
85' 'Jan-86' 'Jan-87' 'Jan-88' 'Jan-89' 'Jan-90' 'Jan-91' 'Jan-92' 'Jan-93' 'Jan-94' 'Jan-95' 'Jan-96' 'Jan-
97' 'Jan-98' 'Jan-99' 'Jan-00'}); title('Time Series Anomali Cujan Hujan bulanan periode 1976-
2000','fontweight','bold','fontsize',20)
28
Lampiran 2 Script untuk pengolahan data dengan teknik Power Spectral Density (PSD)
%====================================================================
% Program Membaca Data Curah hujan Sumbawa Besar, Indramayu, Banjarbaru, Pandeglang,
Lampung
% Teknik PSD
% Januari 1976 – Desember 2000
% By: Rendra Edwuard
% Departemen Geofisika dan Meteorologi
% Institut Pertanian Bogor
%====================================================================
% Load Data
%====================================================================
%load data dari excel data=xlsread('DATA BARU',1,'B2:F301'); [m,n]=size(data); t=1:length(data); y=data; [spec,f]= fftrl(y,t); spec=real(spec).^2+imag(spec).^2; %rms frekuensi f=1./f; figure;semilogx(f,spec);grid on h= legend('SUMBAWA
BESAR','INDRAMAYU','BANJARBARU','PANDEGLANG','LAMPUNG',5) set (gca,'xtick',[1 6 12 18 24 30 36 42 60]) xlabel('Periode (bulan)','fontweight','bold','fontsize',16) ylabel('Energi Spektral','fontweight','bold','fontsize',16) title('Power Spectral Density Curah Hujan Bulanan Periode 1976-
2000','fontweight','bold','fontsize',16)
29
Lampiran 3 Script Wavelet
%====================================================================
% Program Membaca Data AUSMI dengan Teknik Wavelet
% Januari 1976 – Desember 2000
% By: Rendra Edwuard
% Departemen Geofisika dan Meteorologi
% Institut Pertanian Bogor
%====================================================================
% Load Data
%====================================================================
% WAVETEST Example Matlab script for WAVELET, using NINO3 SST dataset % See "http://paos.colorado.edu/research/wavelets/" % Written January 1998 by C. Torrence % Modified Oct 1999, changed Global Wavelet Spectrum (GWS) to be sideways, % changed all "log" to "log2", changed logarithmic axis on GWS to a normal % axis. % normalize by standard deviation (not necessary, but makes it easier % to compare with plot on Interactive Wavelet page, at % "http://paos.colorado.edu/research/wavelets/plot/" % Modified by rendra edwuard on July, 2011 % ------------------------ loading data -------------------------------- % load 'AUSMI.txt' ; % input zonal wind series % ---------------------------------------------------------------- %------------------------- computation --------------------------- madden_julian = AUSMI(:,:); variance = std(madden_julian)^2; madden_julian = (madden_julian-mean(madden_julian))/sqrt(variance) ; n = length(madden_julian); dt = 1 ; time = [0:length(madden_julian)-1]*dt + 1.0 ; % construct time array xlim = [1,85]; % plotting range pad = 1; % pad the time series with zeroes (recommended) dj = 0.25; % this will do 4 sub-octaves per octave s0 = 2*dt; % this says start at a scale of 6 months j1 = 7/dj; % this says do 7 powers-of-two with dj sub-octaves each lag1 = 0.72; % lag-1 autocorrelation for red noise background mother = 'Morlet'; % Wavelet transform: [wave,period,scale,coi] = wavelet(madden_julian,dt,pad,dj,s0,j1,mother); power = (abs(wave)).^2 ; % compute wavelet power spectrum % Significance levels: (variance=1 for the normalized SST) [signif,fft_theor] = wave_signif(1.0,dt,scale,0,lag1,-1,-1,mother); sig95 = (signif')*(ones(1,n)); % expand signif --> (J+1)x(N) array sig95 = power ./ sig95 ; % where ratio > 1, power is significant % Global wavelet spectrum & significance levels: global_ws = variance*(sum(power')/n); % time-average over all times dof = n - scale; % the -scale corrects for padding at edges global_signif = wave_signif(variance,dt,scale,1,lag1,-1,dof,mother); % Scale-average between Madden_Julian periods of 30--60days avg = find((scale >= 30) & (scale < 60)); Cdelta = 0.776; % this is for the MORLET wavelet
30
scale_avg = (scale')*(ones(1,n)); % expand scale --> (J+1)x(N) array scale_avg = power ./ scale_avg; % [Eqn(24)] scale_avg = variance*dj*dt/Cdelta*sum(scale_avg(avg,:)); % [Eqn(24)] scaleavg_signif = wave_signif(variance,dt,scale,2,lag1,-1,[2,7.9],mother); whos %------------------------------------------------------ Plotting %--- Plot time series subplot('position',[0.08 0.75 0.56 0.18]) plot(time,madden_julian) grid set(gca,'XLim',xlim(:)) %set(gca,'XTickLabel',a) xlabel('Time Observation','fontweight','bold','fontsize',14) set(gca,'xtick',[1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181 193 205 217 229 241 253
265 277 289]); set(gca,'xticklabel',{'76' '77' '78' '79' '80' '81' '82' '83' '84' '85' '86' '87' '88' '89' '90' '91' '92' '93' '94'
'95' '96' '97' '98' '99' '00'}); ylabel('Index','fontweight','bold','fontsize',14) title('a) The Time Series of AUSMI for Period Jan 1976 to Dec
2000','fontweight','bold','fontsize',14) hold off %--- Contour plot wavelet power spectrum subplot('position',[0.08 0.38 0.66 0.25]) levels = [0.0625,0.125,0.25,0.5,1,2,4,8,16] ; Yticks = 2.^(fix(log2(min(period))):fix(log2(max(period)))); % contour(time,log2(period),log2(power),log2(levels)); %*** or use 'contourfill' [C,h]=contourf(time,log2(period),log2(power),log2(levels)); %*** or use 'contourfill' colormap colorbar %imagesc(time,log2(period),log2(power)); %*** uncomment for 'image' plot xlabel('Time Observation','fontweight','bold','fontsize',14) set(gca,'xtick',[1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181 193 205 217 229 241 253
265 277 289]); set(gca,'xticklabel',{'76' '77' '78' '79' '80' '81' '82' '83' '84' '85' '86' '87' '88' '89' '90' '91' '92' '93' '94'
'95' '96' '97' '98' '99' '00'}); ylabel('Period (month)','fontweight','bold','fontsize',14) title('b) The Wavelet Power Spectrum','fontweight','bold','fontsize',14) set(gca,'XLim',xlim(:)) set(gca,'YLim',log2([min(period),max(period)]), ... 'YDir','reverse', ... 'YTick',log2(Yticks(:)), ... 'YTickLabel',Yticks) % 95% significance contour, levels at -99 (fake) and 1 (95% signif) hold on contour(time,log2(period),sig95,[-99,1],'k'); hold on % cone-of-influence, anything "below" is dubious plot(time,log2(coi),'k') hold off %--- Plot global wavelet spectrum subplot('position',[0.78 0.37 0.2 0.25]) plot(global_ws,log2(period))
31
grid hold on plot(global_signif,log2(period),'--') grid hold off xlabel('Power (m/s)^2','fontweight','bold','fontsize',14) Yticks = 2.^(fix(log2(min(period))):fix(log2(max(period)))); title('c) The Global Wavelet Spectrum','fontweight','bold','fontsize',14) set(gca,'YLim',log2([min(period),max(period)]), ... 'YDir','reverse', ... 'YTick',log2(Yticks(:)), ... 'YTickLabel',Yticks) set(gca,'XLim',[0,1.25*max(global_ws)]) %--- Plot 30--60 days scale-average time series subplot('position',[0.08 0.07 0.56 0.18]) plot(time,scale_avg) grid set(gca,'XLim',xlim(:)) xlabel('Time Observation','fontweight','bold','fontsize',14) set(gca,'xtick',[1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181 193 205 217 229 241 253
265 277 289]); set(gca,'xticklabel',{'76' '77' '78' '79' '80' '81' '82' '83' '84' '85' '86' '87' '88' '89' '90' '91' '92' '93' '94'
'95' '96' '97' '98' '99' '00'}); ylabel('Mean varians (m/s)^2','fontweight','bold','fontsize',14) title('d) The Average Time Series','fontweight','bold','fontsize',14) hold on plot(xlim,scaleavg_signif+[0,0],'--') hold off
32
Lampiran 4 Pendugaan Model ARIMA(p,d,q) wilayah kajian
ARIMA Model: ausmi
Estimates at each iteration
Iteration SSE
Parameters
0 1669.20 0.100 0.100
0.098
1 1329.49 -0.050 0.250
0.008
2 1271.48 0.051 0.400
0.004
3 1205.83 0.142 0.550
0.000
4 1129.31 0.215 0.700
-0.004
5 1035.08 0.245 0.850
-0.010
6 974.81 0.095 0.971
-0.012
7 935.96 0.022 0.953
0.002
8 931.71 0.002 0.942
-0.000
9 931.29 0.001 0.939
-0.002
10 931.25 0.001 0.938
-0.003
11 931.24 0.001 0.938
-0.003
12 931.24 0.001 0.938
-0.003
13 931.24 0.001 0.938
-0.003
14 931.24 0.001 0.938
-0.003
Relative change in each estimate
less than 0.0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T
P
SAR 12 0.0013 0.0654 0.02
0.985
SMA 12 0.9376 0.0357 26.25
0.000
Constant -0.00307 0.01204 -0.25
0.799
Differencing: 0 regular, 1
seasonal of order 12
Number of observations: Original
series 300, after differencing 288
Residuals: SS = 894.102
(backforecasts excluded)
MS = 3.137 DF =
285
Modified Box-Pierce (Ljung-Box)
Chi-Square statistic
Lag 12 24 36
48
Chi-Square 9.7 28.5 38.5
46.2
DF 9 21 33
45
P-Value 0.376 0.126 0.236
0.421
Forecasts from period 288
95% Limits
Period Forecast Lower
Upper
289 3.53712 0.06484
7.00940
290 4.32196 0.84968
7.79424
291 -0.51431 -3.98659
2.95797
292 -4.38558 -7.85786 -
0.91330
293 -5.51570 -8.98798 -
2.04342
294 -5.43306 -8.90534 -
1.96078
295 -5.69540 -9.16768 -
2.22313
296 -6.09752 -9.56980 -
2.62524
297 -5.56317 -9.03545 -
2.09089
298 -4.54908 -8.02136 -
1.07680
299 -2.18675 -5.65903
1.28553
300 1.47250 -1.99978
4.94478
Correlations: C4, C5
Pearson correlation of C4 and C5 =
0.941
P-Value = 0.000
ARIMA Model: wnpmi
Estimates at each iteration
Iteration SSE
Parameters
33
0 3412.18 0.100 0.100
0.099
1 2682.06 -0.050 0.250
0.014
2 2553.75 0.046 0.400
0.005
3 2406.09 0.130 0.550
-0.005
4 2230.97 0.190 0.700
-0.015
5 2011.85 0.203 0.850
-0.025
6 1884.80 0.171 0.925
-0.027
7 1798.72 0.021 0.932
-0.031
8 1785.04 -0.055 0.933
-0.027
9 1784.73 -0.064 0.935
-0.027
10 1784.73 -0.066 0.934
-0.027
11 1784.71 -0.071 0.934
-0.026
12 1784.66 -0.067 0.935
-0.027
Unable to reduce sum of squares
any further
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T
P
SAR 12 -0.0674 0.0641 -1.05
0.294
SMA 12 0.9347 0.0373 25.07
0.000
Constant -0.02693 0.01571 -1.71
0.088
Differencing: 0 regular, 1
seasonal of order 12
Number of observations: Original
series 300, after differencing 288
Residuals: SS = 1724.52
(backforecasts excluded)
MS = 6.05 DF = 285
Modified Box-Pierce (Ljung-Box)
Chi-Square statistic
Lag 12 24 36
48
Chi-Square 27.2 37.8 39.8
50.9
DF 9 21 33
45
P-Value 0.001 0.014 0.192
0.252
Forecasts from period 288
95% Limits
Period Forecast Lower
Upper
289 -8.5762 -13.3985 -
3.7539
290 -8.9182 -13.7405 -
4.0959
291 -8.9630 -13.7853 -
4.1407
292 -6.7271 -11.5494 -
1.9047
293 -2.7405 -7.5629
2.0818
294 -0.3408 -5.1631
4.4815
295 3.5480 -1.2743
8.3703
296 6.2259 1.4036
11.0482
297 5.7691 0.9468
10.5914
298 2.2747 -2.5477
7.0970
299 -2.0324 -6.8547
2.7899
300 -6.0965 -10.9188 -
1.2742
Correlations: C4, C6
Pearson correlation of C4 and C6 =
0.940
P-Value = 0.000
ARIMA Model: nino
Estimates at each iteration
Iteration SSE
Parameters
0 273.167 0.100 0.100
0.100 0.100 0.083
1 173.395 0.250 0.046
-0.050 0.154 0.071
2 143.911 0.275 -0.085
-0.141 0.004 0.080
3 135.881 0.425 -0.091
-0.014 0.048 0.065
4 129.077 0.575 -0.106
0.117 0.090 0.052
5 122.159 0.725 -0.130
0.248 0.129 0.039
6 114.037 0.875 -0.165
0.375 0.161 0.028
7 103.091 1.025 -0.218
0.493 0.179 0.018
8 88.724 1.175 -0.295
0.594 0.182 0.011
9 77.098 1.325 -0.376
0.701 0.192 0.005
34
10 54.467 1.475 -0.523
0.727 0.158 0.004
11 37.701 1.625 -0.658
0.745 0.156 0.003
12 27.689 1.753 -0.808
0.689 0.102 0.005
13 23.771 1.842 -0.877
0.698 0.070 0.002
14 23.636 1.850 -0.881
0.696 0.053 -0.000
15 23.629 1.850 -0.881
0.693 0.047 -0.001
Unable to reduce sum of squares
any further
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef
T P
AR 1 3.8498 0.0527
35.08 0.000
AR 2 -0.8362 0.0481 -
18.31 0.000
MA 1 -1.634 0.0780
8.89 0.000
MA 2 -0.1053 0.0669
0.70 0.484
Constant -0.000978 0.004226 -
0.23 0.817
Mean -0.0313 0.1353
Number of observations: 300
Residuals: SS = 23.3038
(backforecasts excluded)
MS = 0.0790 DF =
295
Modified Box-Pierce (Ljung-Box)
Chi-Square statistic
Lag 12 24 36
48
Chi-Square 15.6 30.2 48.5
55.7
DF 7 19 31
43
P-Value 0.029 0.050 0.024
0.093
Forecasts from period 288
95% Limits
Period Forecast Lower
Upper
289 -1.58429 -2.13528 -
1.03330
290 -1.45147 -2.29395 -
0.60899
291 -1.29008 -2.36502 -
0.21514
292 -1.10856 -2.37703
0.15992
293 -0.91497 -2.34374
0.51381
294 -0.71680 -2.27549
0.84190
295 -0.52078 -2.18149
1.13993
296 -0.33278 -2.07040
1.40483
297 -0.15773 -1.95037
1.63490
298 0.00045 -1.82894
1.82984
299 0.13883 -1.71287
1.99053
300 0.25543 -1.60800
2.11886
Correlations: C4, C7
Pearson correlation of C4 and C7 =
0.951
P-Value = 0.000
35
Lampiran 5 Output SPSS 16 untuk menentukan nilai CCF hubungan antara fenomena interaksi
terhadap curah hujan wilayah kajian
SUMBAWA BESAR
Cross Correlations
Series Pair:Sumbawa with
INTERAKSI
Lag Cross
Correlation Std. Error
a
-5 -0.605 0.058
-4 -0.43 0.058
-3 -0.153 0.058
-2 0.226 0.058
-1 0.51 0.058
0 0.692 0.058
1 0.611 0.058
2 0.382 0.058
3 0.09 0.058
4 -0.195 0.058
5 -0.444 0.058
INDRAMAYU
Cross Correlations
Series Pair:Indramayu with
INTERAKSI
Lag Cross
Correlation Std. Error
a
-5 -0.478 0.058
-4 -0.325 0.058
-3 -0.054 0.058
-2 0.207 0.058
-1 0.45 0.058
0 0.642 0.058
1 0.583 0.058
2 0.361 0.058
3 0.046 0.058
4 -0.231 0.058
5 -0.385 0.058
BANJARBARU
Cross Correlations
Series Pair:BanjarBaru with
INTERAKSI
Lag Cross
Correlation Std. Error
a
-5 -0.579 0.058
-4 -0.365 0.058
-3 -0.038 0.058
-2 0.3 0.058
-1 0.589 0.058
0 0.76 0.058
1 0.681 0.058
2 0.441 0.058
3 0.06 0.058
4 -0.295 0.058
5 -0.557 0.058
36
PANDEGLANG
Cross Correlations
Series Pair:Pandeglang with
INTERAKSI
Lag Cross
Correlation Std. Error
a
-5 -0.578 0.058
-4 -0.435 0.058
-3 -0.143 0.058
-2 0.182 0.058
-1 0.476 0.058
0 0.695 0.058
1 0.665 0.058
2 0.418 0.058
3 0.102 0.058
4 -0.189 0.058
5 -0.416 0.058
LAMPUNG
Cross Correlations
Series Pair:Lampung with
INTERAKSI
Lag Cross
Correlation Std. Error
a
-5 -0.594 0.058
-4 -0.407 0.058
-3 -0.098 0.058
-2 0.254 0.058
-1 0.567 0.058
0 0.694 0.058
1 0.641 0.058
2 0.391 0.058
3 0.1 0.058
4 -0.254 0.058
5 -0.475 0.058
37
Lampiran 6 Output SPSS 16 untuk regresi multivariate wilayah kajian
SUMBAWABESAR
Variables Entered/Removedb
Model Variables Entered
Variables
Removed Method
1 NINO34,
WNPMI, AUSMIa
. Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: sumbawabesar
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 .729a .532 .527 78.23313
a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 2055732.245 3 685244.082 111.960 .000a
Residual 1811645.210 296 6120.423
Total 3867377.455 299
a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI
b. Dependent Variable: sumbawabesar
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 33.259 6.819
4.877 .000
WNPMI -3.940 1.006 -.208 -3.915 .000
AUSMI 16.267 1.502 .577 10.833 .000
NINO34 6.790 4.854 .057 1.399 .163
a. Dependent Variable: sumbawabesar
38
INDRAMAYU
Variables Entered/Removedb
Model
Variables
Entered
Variables
Removed Method
1 NINO34,
WNPMI,
AUSMIa
. Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: indramayu
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 .667a .445 .439 124.86441
a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 3698135.840 3 1232711.947 79.065 .000a
Residual 4614972.147 296 15591.122
Total 8313107.987 299
a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI
b. Dependent Variable: indramayu
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 40.297 10.883
3.703 .000
WNPMI -5.976 1.606 -.215 -3.721 .000
AUSMI 20.549 2.397 .497 8.574 .000
NINO34 -15.042 7.748 -.086 -1.941 .053
a. Dependent Variable: indramayu
39
BANJARBARU
Variables Entered/Removedb
Model
Variables
Entered
Variables
Removed Method
1 NINO34,
WNPMI,
AUSMIa
. Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: banjarbaru
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of
the Estimate
1 .769a .591 .586 84.99061
a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 3084395.628 3 1028131.876 142.333 .000a
Residual 2138127.758 296 7223.405
Total 5222523.387 299
a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI
b. Dependent Variable: banjarbaru
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -1.887 7.408
-.255 .799
WNPMI -12.388 1.093 -.563 -11.331 .000
AUSMI 8.195 1.631 .250 5.023 .000
NINO34 -25.964 5.273 -.187 -4.924 .000
a. Dependent Variable: banjarbaru
40
PANDEGLANG
Variables Entered/Removedb
Model
Variables
Entered
Variables
Removed Method
1 NINO34,
WNPMI,
AUSMIa
. Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: pandeglang
Model Summary
Model R
R
Square Adjusted R Square
Std. Error of
the Estimate
1 .731a .535 .530 74.67462
a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 1898505.386 3 632835.129 113.487 .000a
Residual 1650584.544 296 5576.299
Total 3549089.930 299
a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI
b. Dependent Variable: pandeglang
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 33.340 6.509
5.123 .000
WNPMI -3.445 .961 -.190 -3.587 .000
AUSMI 15.923 1.433 .589 11.110 .000
NINO34 -5.264 4.633 -.046 -1.136 .257
a. Dependent Variable: pandeglang
41
LAMPUNG
Variables Entered/Removedb
Model
Variables
Entered
Variables
Removed
Metho
d
1 NINO34,
WNPMI,
AUSMIa
. Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: lampung
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of
the Estimate
1 .697a .486 .481 75.64186
a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 1604411.809 3 534803.936 93.470 .000a
Residual 1693620.376 296 5721.690
Total 3298032.184 299
a. Predictors: (Constant), NINO34, WNPMI, AUSMI
b. Dependent Variable: lampung
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 12.600 6.593
1.911 .057
WNPMI -6.724 .973 -.385 -6.911 .000
AUSMI 9.952 1.452 .382 6.855 .000
NINO34 -2.925 4.693 -.026 -.623 .534
a. Dependent Variable: lampung