Upload
mh98
View
8.491
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PENERAPAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA DALAM KONTRAK BAGI HASIL DI BIDANG MINYAK DAN
GAS BUMI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL
Oleh
Achmad Madjedi Hasan
NPM L2F04542
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh Magister Ilmu Hukum
Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Bisnis
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG
2005
PENERAPAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA DALAM KONTRAK BAGI HASIL DI BIDANG MINYAK DAN
GAS BUMI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL
Oleh
Achmad Madjedi Hasan
NPM L2F04542
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Magister Hukum
Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum ini telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal
seperti tertera dibawah ini
Bandung, Februari 2005
Prof. DR. H. Yudha Bhakti, S.H., M.H. Prof. DR. Djuhaendah Hasan, S.H. Anggota Tim Pembimbing Ketua Tim Pembimbing
iii
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof. DR. Rukmana Amanwinata S.H., M.H Ketua Program Studi Ilmu Hukum
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doctor), baik di Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penulisan saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Bandung, Februari 2005
Yang membuat pernyataan,
Achmad Madjedi Hasan
NPM L2F04542
v
ABSTRAK
Bumi Indonesia diketahui mengandung berbagai kekayaan alam dengan jumlah
yang cukup dan selama beberapa tahun kegiatan industri perminyakan senantiasa diusahakan agar tetap aktif. Namun demikian, kedudukan bersaing Indonesia untuk menarik modal investasi untuk proyek berisiko tinggi (risk capital) cenderung menurun selama dua dasawarsa terakhir. Sementara persepsi investor terhadap potensi mendapatkan cadangan minyak tambahan di Indonesia masih tetap tinggi, faktor penyebabnya diperkirakan pertimbangan komersial, khususnya masalah keamanan, kepastian hukum dan kesucian kontrak.
Tesis ini mengkaji salah satu dari masalah yang dikedepankan tersebut, yaitu kesucian kontrak, khususnya apakah dan bagaimana asas pacta sunt servanda dapat diterapkan terhadap Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil (KBH) dan akibat hukum dari diberlakukannya peraturan perundang-undangan baru dalam kontrak yang berjalan, mengingat peran ganda Pemerintah dalam kontrak. Pembahasan meliputi beberapa aspek teori dan praktis dari kontrak, termasuk kontrak minyak dan gas bumi (migas), kegiatan usaha hulu migas di Indonesia, kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil dan dampak dari kebijakan Pemerintah yang berubah.
Kajian ini menyimpulkan bahwa Pemerintah merupakan salah satu pihak dalam KBH, karena itu Pemerintah terikat untuk menerapkan asas pacta sunt servanda dalam memberlakukan peraturan perundang-undangan baru terhadap KBH. Peraturan perundang-undangan baru tidak seharusnya diberlakukan terhadap KBH yang berjalan, apabila akan menimbulkan perubahan terhadap persyaratan komersial kontrak. Disarankan agar kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh departemen-departemen dalam pemerintahan diharmonisasikan dan disinkronisasikan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dan kontradiksi kebijakan. Demikian pula, naskah kontrak KBH agar disempurnakan untuk mengurangi ambuigitas yang akan menfasilitasi penerapan asas pacta sunt servanda dan memberikan kepastian hukum.
Asas persamaan dan manfaat bersama merupakan dasar yang fundamental untuk investasi. Kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan asas pacta sunt servanda, dapat menjadi kontra produktif, apabila hasilnya adalah penolakan terhadap keperluan untuk meningkatkan kegiatan migas.
vi
ABSTRACT
Indonesia is endowed with large deposits of natural riches and an active
petroleum industry has been maintained for many years. However, Indonesia’s competitive position for securing risk capital has been deteriorating steadily for the past two decades. While the investor’s perception of the potential for additional oil reserves within Indonesia remains to be good, the contributing factor to decline is the commercial consideration, namely security, law enforcement and contract sanctity.
This thesis examines one of those issues, namely contract sanctity, in particular whether and as to how the principle of pacta sunt servanda could be applied to the Government in the Production Sharing Contract (PSC) and legal implications on new law and regulations on the existing contract, given the government’s dual role in the contract. The discussion includes theoretical and practical aspects of contract including petroleum contract, Indonesia’s upstream petroleum activities, the government’s position in the PSC and impacts of changed government’s policy.
The study concludes that the Government is a party of the PSC therefore it is bound to observe pacta sunt servanda in putting into effect new laws and regulations on the PSC. New laws and regulations shall not be put into effect on the ongoing PSC, if their application will change the commercial terms of the contract. The study recommends that any policy and new law and regulation shall be harmonized and synchronized in order to avoid overlapping and conflicting policies. Also, the contract text shall be improved to eliminate ambuigity, thereby facilitating the application of pacta sunt servanda and ensuring legal certainty.
The principle of equity and mutual benefits is the fundamental basis of investment. Government policies that fail to observe the principle of pacta sunt servanda can be counter-productive when the result is a denial of the need to increase the petroleum activities.
vii
KATA PENGANTAR
Perkenanlah penulis memanjatkan puji syukut ke hadirat Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan waktu kepada penulis, untuk
menyelesaikan studi program magister hukum. Lebih dari 40 tahun penulis telah
menjalani masa bakti dengan profesi di lingkungan kegiatan hulu minyak dan gas bumi
dalam berbagai kapasitas, kecuali sebagai ahli hukum. Kuliah yang cukup padat selama
empat semester telah memberikan wawasan baru kepada penulis dalam melihat
permasalahan yang menyangkut industri minyak dan gas bumi di tanah air.
Tesis ini membahas hasil kajian mengenai penerapan asas pacta sunt servanda
dalam kontrak pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi di Indonesia. Topik ini
dipilih sebagai tanggapan atas keprihatinan penulis melihat kecenderungan menurunnya
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Berbagai macam insentif ekonomi untuk
mendorong investasi telah diberikan oleh Pemerintah, namun belum berhasil mencapai
sasarannya. Dari hasil kajian ditemukan bahwa masalah kesucian kontrak ini belum
mendapatkan perhatian Pemerintah dalam membuat kebijakan, khususnya yang bersifat
sektoral. Harapan penulis selanjutnya, tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengambil
putusan dan pengembangan ilmu hukum di Indonesia.
Penelitian dan penulisan tesis ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada Ibu Prof. DR. Djuhaendah Hasan S.H., Ketua Bidang Kajian Hukum
Bisnis Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana dan Bapak Prof. DR. H.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, S.H., M.H. atas kebaikan, bimbingan dan pengarahan pada
penyusunan tesis ini dan Bapak-bapak Prof. DR. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.,
viii
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Prof. DR. H. Man Suparman
Sastrawidjaja, S.H., S.U., Dekan Fakultas Hukum dan para dosen bidang kajian hukum
bisnis Universitas Padjadjaran.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada para sahabat,
khususnya Bapak-bapak H. Widyawan S.H. dan H. Hoesein Wiriadinata S.H., MCL atas
kebaikan yang mengizinkan penulis menggunakan fasilitas perpustakaan di Kantor
Konsultan Hukum Wiriadinata & Widyawan, Bapak Drs. H. Hoezif Abubakar, mantan
Vice President Finance PT Caltex Pacific Indonesia, yang telah memberikan informasi
berupa catatan-catatan dan dokumen-dokumen mengenai kegiatan pengusahaan minyak
dan gas bumi di Indonesia sebelum tahun 1966 dan para senior executive Kontraktor
Bagi Hasil di Indonesia yang telah bersedia diwawancarai.
Ucapan terima kasih ini disampaikan pula kepada dua orang anak penulis Nedia
dan Rizki beserta para menantu Didi dan Dea dan lima orang cucu Digo, Dimas,
Yasmine, Idzan dan Frea yang telah memberikan dukungan moral. Akhirulkata,
penulis ingin mempersembahkan tesis ini sebagai kenang-kenangan terhadap
almarhumah Hj Jani Maslian, yang telah mendampingi penulis sebagai isteri selama 38
tahun.
Februari 2005
A. Madjedi Hasan
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul i Lembar Pengesahan ii Lembar Pernyataan iv Abstrak v Abstract vi Kata Pengantar vii Daftar Isi ix Daftar Singkatan xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian 1 B. Identifikasi Masalah 7 C. Tujuan Penelitian 7 D. Kegunaan Penelitian 8 E. Kerangka Pemikirian 8
1. Pasal 33 UUD 1945 8 2. Hukum sebagai sarana pembangunan 9 3. Teori Hukum Perjanjian 10 4. Penanaman Modal Asing 12 5. Kontrak Bagi Hasil 13
F. Metode Penelitian 16
BAB II SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENGELOLAAN MINYAK DAN GAS BUMI
A. Kontrak sebagai dasar perikatan 18 B. Pihak-pihak dalam perjanjian 20 C. Pemerintah sebagai subyek hukum perdata 21 D. Pemberian Kuasa 24 E. Asas-asas Hukum Perjanjian 26 F. Asas pacta sunt servanda 28 G. Klausula rebus sic stantibus 32 H. Kontrak pengelolaan minyak dan gas bumi 35 I, Kontrak Bagi Hasil 39
x
BAB III KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI
A. Perkembangan Pengusahaan Migas 41 1. Masa sebelum proklamasi kemerdekaan 41 2. Masa awal kemerdekaan 48 3. Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 51 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 62
B. Ketentuan Pokok Kontrak Bagi Hasil 68 1. Hak dan Kewajiban Kontraktor 69 2. Hak dan Kewajiban PERTAMINA/Badan Pelaksana 72
C. Kegiatan Hulu Migas 74 D. Permasalahan berasal dari penafsiran kontrak 81
BAB IV ASAS PACTA SUNT SERVANDA DIHUBUNGKAN DENGAN KONTRAK BAGI HASIL
A. Kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil 84 1. Dalam Kontrak 5A 84 2. Sebelum UU Migas 85 3. Setelah diundang-undangkannya UU Migas 89
B. Asas pacta sunt servanda dalam Kontrak Bagi Hasil 91 C. Dampak dari kebijakan Pemerintah yang berubah 94
1. Pengutamaan penggunaan produk dan jasa dari dalam negeri 94 2. Perpajakan 99 3. Penerapan asas pacta sunt servanda berlandaskan kepentingan 107 dan manfaat bersama
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 117 B. Saran 117
DAFTAR PUSTAKA 119
xi
DAFTAR SINGKATAN
A. Peraturan perundang-undangan
UUD 1945 = Undang-undang Dasar 1945 UU Bagi Hasil = Undang-undang Nomor 20 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil UU Migas 1960 = Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi UUPK = Undang-undang Nomor 14 Tahun 1963 Tentang
Pengesahan “Perjanjian Karya” antara PN PERTAMIN dengan PT Caltex Pacific Indonesia dan California Asiatic Oil Company (Calasiatic), Texaco Overseas Petroleum Company (Topco); PN PERMINA dengan PT Stanvac Indonesia; PN PERMIGAN dengan PT Shell Indonesia
UU Bagi Hasil Perikanan = Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikanan UUPMA = Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang
Penanaman Modal Asing UU Kehutanan 1967 = Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang
Kehutanan UU Pertambangan = Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan UU Pertamina = Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang
PERTAMINA UU Pertanian = Undang-undang Nomor 12 Tahun 1982 Tentang
Pertanian UU Industri = Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang
Industri UUPPh = Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
UUPPN 1984 = Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
UUPPN 1994 = Undang-undang Nomor 11 Tahun 1984 Tentang Perubahan Atas Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
UUPPN 2000 = Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Perubahan Atas Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
UU Migas 2001 = Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi PP 41/1982 = Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1982 Tentang
Kewajiban dan Tata Cara Penyetoran Pendapatan
xii
Pemerintah Dari Hasil Operasi PERTAMINA Sendiri Dan Kontrak Production Sharing
PP KBH = Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat Dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi
PP Pertamina = Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2003 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) Menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO)
PPBP = Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
PP Migas = Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
Keppres 14A 1980 = Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Anggaran Belanja Negara
Keppres 22/1989 = Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1989 Tentang Penundaan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Jasa Pencarian Dan Pemboran Sumber Minyak, Gas Bumi dan Panas Bumi Untuk Yang Belum Berproduksi
Keppres APBN 1995 = Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Keppres 18/2000 = Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah
Inpres No. 1/1976 = Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 Tentang Sinkronisasi Tugas-tugas Keagraian dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum
KMK 267/1978 = Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.012/ 1978 Tentang Tata Cara Menghitung and Pembayaran Pajak Perseroan dan Pajak Atas Bunga, Dividen dan Royalty Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Melakukan Kontrak Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) Dibidang Minyak dan Gas Bumi dengan PERTAMINA
KMK 572/1989 = Keputusan Menteri Keuangan Nomor 572/KMK.04/ 1989 Tentang Penundaan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Jasa Pencarian Dan Pemboran Sumber Minyak, Gas Bumi dan Panas Bumi Untuk Yang Belum Berproduksi.Oleh Kontraktor Yang Beroperasi Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dengan PERTAMINA
xiii
B. Akronim
APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Pelaksana = Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu Minyak dan
Gas Bumi BBM = Bahan Bakar Minyak BHMN = Badan Hukum Milik Negara BUMN = Badan Usaha Milik Negara EOR-JOB = Enhanced Oil Recovery Joint Operating Body
Contract CPP PSC = The Coastal Plain Pekanbaru between PERTAMINA
And TexacoOverseas Petroleum Company and California Asiatic OiCompany
DIM = Daftar Inventarisasi Masalah Ditjen Migas = Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Pajak = Direktorat Jenderal Pajak DKPP = Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina DMO = Domestic Market Obilgation DPR = Dewan Perwakilan Rakyat FTP = First Tranche Petroleum Indische Mijnwet = Indische Mijnwet Tahun 1899 IGA = Indonesian Gas Association IMA = Indonesian Mining Association Inpres = Instruksi Presiden IPA = Indonesian Petroleum Association IRS = Internal Revenue Service JOA-PSC = Joint Operating Agreement - Production Sharing Contract KBH = Kontrak Bagi Hasil Keppres = Keputusan Presiden KK = Kontrak Karya KKS = Kontrak Kerja Sama KPS = Kontrak Production Sharing (KPS) KUH Perdata = Kitab Undang-undang Hukum Perdata LNG = Liquefied Natural Gas (Gas alam yang dicairkan) Migas = Minyak dan Gas Bumi MPR = Majelis Permusyawaratan Rakyat PERMIGAN = Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Nasional PERMINA = Perusahaan Minyak Nasional PERTAMIN = Perusahaan Pertambangan Minyak Indonesia PERTAMINA = Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Negara (P/T. PERTAMINA (Persero)) PLN = Perusahaan Listrik Negara (P.T. PLN (Persero)) PLTP = Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi PN = Perusahaan Negara POD = Plan of Development (Rencana Pengembangan
Lapangan) PPh = Pajak Penghasilan PPN = Pajak Pertambahan Nilai
xiv
PSC = Production Sharing Contract PT = Perseroan Terbatas RKA = Rencana Kerja dan Anggaran RPTK = Rencana Penggunaan Tenaga Kerja TAC = Technical Assistance Contract USD = US Dollar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Bumi Indonesia diketahui mengandung berbagai kekayaan alam dengan jumlah
yang cukup. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa “bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Selanjutnya, Pasal 33 ayat (2) UUD 1945
menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”.
Dengan penduduk lebih dari 200 juta, Indonesia membutuhkan pembangunan
ekonomi nasional yang menurut Pasal 33 UUD 1945 yang diamendemen (yaitu ayat 4),
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, kemakmuran segala
orang. Untuk menunjang pertumbuhan perekonomian nasional, Indonesia
membutuhkan penanaman modal yang berkesinambungan dalam bidang penggalian
kekayaan alam, pembangunan infrastruktur, meningkatkan ekspor dan memperkuat
necara pembayaran luar negeri. Faedah dari penanaman modal, khususnya asing terasa
untuk bidang-bidang usaha yang bersifat padat modal, seperti proyek-proyek
pertambangan, pembangunan industri berat dan lain-lain yang memerlukan modal dan
biaya yang besar, ketrampilan (skill) dan teknologi.
Dalam rangka upaya menggalakkan penanaman modal dalam awal orde baru,
pada tahun 1967 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967
1
2
Tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA). Pengertian penanaman modal asing
menurut Pasal 1 UUPMA ialah penanaman modal asing secara langsung, dalam arti
bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal
tersebut. Selanjutnya, Pasal 2 UUPMA menyatakan bahwa pengertian modal asing
dalam UUPMA ialah:
1). Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa
Indonesia yang dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan
perusahaan di Indonesia. Persetujuan Pemerintah ini berupa izin penanaman
modal asing sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 18 UUPMA.
2). Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang
asing dan bahan-bahan yang diimpor dari luar kedalam wilayah Indonesia,
selama alat-alat tersebut tidak dibiayai oleh kekayaan devisa Indonesia.
3). Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan UUPMA diperkenankan di
transfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia.
Pasal 6 UUPMA mengatur bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman
modal asing secara penuh, yaitu bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup rakyat banyak seperti pelabuhan, produksi dan transmisi tenaga listrik untuk
umum, telekomunikasi, transportasi, sarana air minum dan bidang-bidang yang
menduduki peranan penting dalam pertahanan negara. Namun Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 1994 Tentang Kepemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan
dalam rangka PMA kemudian menetapkan dibukanya bidang-bidang usaha tersebut
dengan persyaratan bahwa dalam waktu tidak lebih dari 15 tahun setelah berproduksi
secara komersial pemegang saham asing diwajibkan menjual sebagian sahamnya
kepada warga negara atau perusahaan Indonesia.
3
Selanjutnya, Pasal 8 mengatur bahwa penanaman modal asing dalam bidang
pertambangan hanya mungkin dilaksanakan atas dasar kerja sama dengan Pemerintah
melalui kontrak karya atau bentuk lain yang akan ditentukan oleh Pemerintah. Dengan
demikian UUPMA membedakan antara bidang-bidang usaha yang terbuka bagi
penanaman modal asing dalam dua pola pengusahaan, yaitu:
1). Penanaman modal asing atas bidang-bidang usaha yang terbuka untuk PMA;
2). Penanaman modal asing atas dasar kerja sama dengan Pemerintah.
Dalam pola penanaman modal asing untuk bidang-bidang usaha yang terbuka,
Pemerintah hanya berperan sebagai regulator yang memberikan izin dan kemudahan-
kemudahan untuk jangka waktu tertentu kepada investor berupa hak-hak atas tanah (hak
pakai, hak guna bangunan dan hak usaha), dan kelonggaran-kelonggaran meliputi
bidang perpajakan, bea masuk terhadap barang-barang kapital, izin penggunaan tenaga
kerja asing, mentransfer keuntungan dalam valuta asli, dan lain-lain. Penanaman modal
dilakukan melalui badan usaha yang dibentuk berdasarkan Undang-undang RI dan
berdomisili dan beroperasi di bagian terbesar Indonesia. Menurut Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (UU
Pertambangan), badan usaha PMA dapat berbentuk usaha patungan (joint venture), di
mana mitra pihak Indonesia dapat terdiri perusahaan swasta, BUMN dan BUMD.
Selain UUPMA, badan usaha PMA dan lain-lain tunduk pada kebijakan sektoral yang
dikeluarkan oleh masing-masing Departemen, seperti tercantum dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Industri (UU Industri), Undang-undang Nomor 5 Tahun
1967 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan 1967), Undang-undang Nomor 12 Tahun
1982 Tentang Pertanian (UU Pertanian), dan sebagainya. UUPMA tidak menetapkan
persyaratan lain mengenai jumlah investasi, ekuitas maupun pinjaman, dan hal itu
diserahkan pada investor berdasarkan skala ekonomi dan pertimbangan bisnis.
4
Dalam pola penanaman modal asing di bidang pertambangan ini, Pemerintah
mempunyai peran ganda, yaitu sebagai regulator dan pelaku bisnis. Pola ini dilandasi
pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pertama kali diterapkan dalam Perjanjian Karya
(Contract of Work) di bidang minyak dan gas bumi yang ditanda tangani pertama kali
dalam tahun 1963 berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960), dan yang kemudian diganti
dengan Kontrak Production Sharing (KPS).1 Perjanjian Karya juga diterapkan dalam
bidang pertambangan umum untuk bahan galian vital dan strategis (golongan I dan II)
seperti pertambangan batu bara, tembaga, emas dan sebagainya.
Peran pemerintah sebagai pelaku bisnis dapat berbentuk langsung sebagai pihak
dalam perjanjian seperti Perjanjian Karya bidang pertambangan umum (cq Departemen
Pertambangan) atau melalui perusahaan negara (BUMN) seperti dalam bidang minyak
dan gas bumi dan pembangkitan tenaga listrik panas bumi. Dengan peran ganda
tersebut kemungkinan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest) antara
instansi Pemerintah yang mengatur dan Departemen Teknis atau BUMN yang
menjalankan kebijakan Pemerintah dalam pengusahaan dapat menimbulkan berbagai
permasalahan dengan mitra usahanya penanam modal asing.
Penelitian berikut berusaha mengkaji aspek benturan kepentingan akibat peran
ganda Pemerintah dan BUMN yang melaksanakan kebijakan Pemerintah dihubungkan
dengan tiga asas yang bersifat keperdataan dalam hukum perikatan atau hukum kontrak,
yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat persetujuan dan asas kebebasan
berkontrak. Studi kasus difokuskan pada penanaman modal asing di bidang
1 Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1963 Tentang Pengesahan “Perjanjian Karya” antara PN PERTAMIN dengan PT Caltex Pacific Indonesia dan California Asiatic Oil Company (Calasiatic), Texaco Overseas Petroleum Company (Topco); PN PERMINA dengan PT Stanvac Indonesia; PN PERMIGAN dengan PT Shell Indonesia (UUPK).
5
pertambangan, khususnya minyak dan gas bumi (migas), suatu komoditas penting yang
telah menunjang perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dalam empat dasawarsa
terakhir.
Industri minyak dan gas bumi di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup lama,
yaitu sudah ada sejak tahun 1871, lima tahun setelah pemboran minyak pertama kali
oleh Colonel Drake di Titusville Pensylvania (Amerika Serikat). Demikian pula,
peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum pengusahaan telah juga
mengalami perubahan mengikuti perkembangan politik dan ekonomi. Sampai dengan
dikeluarkannya Indische Mijinwet pada tahun 1899 pengusahaan minyak dan gas bumi
dilakukan berlandaskan izin konsesi dari pemilik tanah atau para sultan. Pada tahun
1899 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Indische Mijnwet yang kemudian
mengalami amendemen beberapa kali.
Setelah proklamasi kemerdekaan, dalam melaksanakan amanat Pasal 33 UUD
1945, pada tahun 1951 pemerintah berdasarkan mosi Tengku Mohammad Hasan
memutuskan untuk tidak mengeluarkan izin konsesi baru untuk pertambangan minyak
bumi berdasarkan Indische Mijnwet Tahun 1899 (sering disebut sebagai “5A-
Contracten”). 2 Namun baru pada tahun 1960 Pemerintah berhasil mengeluarkan
Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 (UU Migas 1960) menggantikan Indische
Mijnwet, yang memberi hak eksklusif kepada negara untuk menggali sumber minyak
dan gas bumi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 ini, pada tahun
1962 dan 1963 ditandatangani enam Perjanjian Karya antara tiga perusahaan negara
(PERMIGAN, PERTAMIN dan PERMINA) dengan empat perusahaan asing (Pan
American, Shell, Stanvac dan Caltex) meliputi lima wilayah pertambangan, tiga
2 T.N. Machmud, The Indonesian Production Sharing Contract, Kluwer Law International, The Hague, 2000, hlm 46
6
diantaranya telah berproduksi. Perjanjian Karya yang sering juga disebut Kontrak
Karya (“KK”) yang disahkan sebagai Undang-undang Nomor.14 Tahun 1963 tersebut
menetapkan bahwa perusahaan swasta tersebut akan bekerja sebagai kontraktor
perusahaan negara untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi.3
Jumlah perusahaan asing yang menandatangani perjanjian dengan perusahaan
negara terus meningkat, semuanya dalam bentuk Kontrak Production Sharing atau
Kontrak Bagi Hasil (“KBH”), yang menggantikan Perjanjian Karya.4 Dimulai dengan
kontrak lepas pantai pertama antara IIAPCO dan PERMINA pada bulan Agustus 1966,
sampai dengan akhir tahun 2003 telah ditandatangani 340 KBH, 170 diantaranya masih
aktif dan sisanya telah dikembalikan dan sekitar 40 kontrak dalam tahapan produksi5.
Prospek dan lajunya pengembangan minyak dan gas bumi banyak ditentukan
oleh keberhasilan Indonesia menarik investasi modal yang diperlukan. Karena posisi
kompetitif Indonesia dalam menarik modal untuk berinvestasi di proyek berisiko tinggi
(risk capital) cenderung menurun dalam dua warsa terakhir, maka satu-satunya cara
untuk membalikkan kecenderungan menurun tersebut menjadi positif ialah melakukan
perbaikan yang memberikan dampak cukup berarti bagi pengembalian modal para
investor.
Keberhasilan program ini memerlukan iklim usaha yang menarik dan menuntut
adanya kerja sama antara pemerintah dan pihak investor. Selain persyaratan kontrak,
3 Caltex Pacific Indonesia, Pipeline to Progress: The Story of PT Caltex Pacific Indonesia, November 1983, hlm 41 Knowles, Ruth Sheldon, Indonesia Today: The Nation That Helps Itself, Nash Publishing, Los Angeles,
1973, hlm 74 4 Catatan: Dalam peraturan perundang-undangan istilah Kontrak Production Sharing pertama kali digunakan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang PERTAMINA, yang diterjemahkan dari Production Sharing Contract, istilah yang digunakan dalam kontrak-kontrak yang ditanda tangani sejak tahun 1966. Istilah lain yang digunakan adalah Kontrak Bagi Hasil dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat Dan Pedoman Kerja Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. Dan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas bumi, digunakan istilah Kontrak Bagi Hasil. Selanjutnya, dalam penulisan tesis ini digunakan istilah Kontrak Bagi Hasil yang disingkat menjadi “KBH”. 5 US Embassy, Petroleum Report 2002 - 2003, Jakarta, March 2004, Appendix 15.
7
penciptaan iklim usaha yang menarik menuntut adanya kepastian hukum dalam
melaksanakan kontrak kerja sama. Masalah kepastian hukum dalam era reformasi ini
banyak menimbulkan pertanyaan bagi para penanam modal asing, mengingat banyaknya
peraturan perundang-undangan yang diundangkan yang tampaknya justru memicu
benturan-benturan dengan mengikis persyaratan komersial kontrak kerja sama antara
investor dengan Pemerintah atau BUMN, yaitu dalam arti mengurangi hak-hak investor
secara finansial yang telah disepakati dalam kontrak kerja sama..
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan dalam penelitian meliputi hal-hal berikut:
1). Bagaimana penerapan asas pacta sunt servanda dalam Kontrak Bagi Hasil
dihubungkan dengan hak investor?
2) Bagaimana akibat hukum kontrak yang dibuat berdasarkan peraturan perundang-
undangan lama saat kontrak ditanda tangani dihubungkan dengan
dikeluarkannya undang-undang baru dalam KBH yang sedang berjalan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1). Melalui kajian peraturan perundang-undangan dan makna tiga asas dalam hukum
kontrak sesuai dengan asas hukum nasional dan internasional menemukan
implikasi hukum diberlakukannya peraturan perundang-undangan baru terhadap
KBH yang sedang berjalan. Peraturan perundang-undangan ini meliputi antara
lain Undang-undang tentang perpajakan, kehutanan dan migas.
2). Menemukan upaya-upaya mengurangi (mitigation measures) dampak yang
merugikan dari peraturan perundang-undangan baru terhadap pelaksanaan KBH.
8
D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran kepada pengembangan teori ilmu hukum kontrak terutama dalam hal ini
mengenai kontrak-kontrak pertambangan minyak dan gas bumi, serta dapat melengkapi
kepustakaan pada pengajaran hukum bisnis.
Secara praktis hasil penelitian dimaksudkan untuk bahan masukan bagi
pemegang otoritas di pemerintahaan dalam menetapkan kebijakan agar iklim usaha di
bidang minyak dan gas bumi tetap kondusif untuk investasi. Hasil penelitian juga
merupakan bahan masukan kepada pelaku bisnis di bidang pertambangan minyak dan
gas bumi.
E. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kerangka pemikiran berikut. Dua
kerangka pemikiran yang pertama adalah Pasal 33 UUD 1945 dan hukum sebagai
sarana pembangunan masyarakat. Kerangka pemikiran berikutnya adalah teori dan
sejumlah asas dalam hukum perjanjian dan prasayarat untuk menciptakan iklim usaha
yang dapat menunjang keberhasilan dari penanaman modal asing, khususnya
penyelenggaraan Kontrak Bagi Hasil di bidang minyak dan gas bumi.
1. Pasal 33 UUD 1945
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara dan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penafsiran ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dalam perkembangan perundang-undangan
kita selama ini cukup sulit, mengingat sesungguhnya kata-kata “dikuasai oleh Negara”
9
dapat mempunyai berbagai pengertian, yaitu mulai dari kepemilikan dan pengelolaan
secara langsung atau tidak langsung oleh negara hingga pengertian bahwa yang
terpenting negara tetap mengatur dan mengatasi cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Pengertian yang terakhir inilah yang tampaknya menjadi landasan bagi kebijakan
Pemerintah mengundang modal swasta untuk berpartisipasi dalam pengusahaan
kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi, sesuai dengan pemikiran tokoh
proklamator Bung Hatta sebagai berikut:
“Dikuasai negara dalam pasal 33 UUD 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang lain yang bermodal… Cita-cita yang tertanam dalam pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah… Terutama digerakkan tenaga-tenaga Indonesia yang lemah dengan jalan koperasi. Kemudian diberi kesempatan kepada golongan swasta untuk mengerahkan pekerja dan capital nasional. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di Tanah Air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri… Kesempatan yang dibuka bagi bangsa asing untuk menanam modal mereka di Indonesia ialah supaya mereka ikut serta mengembangkan kemakmuran bangsa kita, bangsa Indonesia”.6
2. Hukum sebagai sarana pembangunan
Pemikiran Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum merupakan
sarana pembangunan masyarakat, dimana hal ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa
adanya keteraturan atau ketertiban itu merupakan suatu hal yang diinginkan, bahkan
dipandang perlu. Lebih jauh lagi anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah hukum dalam arti kaidah atau peraturan
hukum yang dapat berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam
6 Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta, 1979, hlm 201 – 204.
10
arti penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau
pembaharuan.7
3. Teori Hukum Perjanjian
Hukum Perjanjian di Indonesia diatur dalam buku III KUH Perdata, yang mulai
berlaku pada tanggal 30 April 1847 (St.No. 23/1847).8 Pasal 1313 KUH Perdata
memberikan definisi “Perjanjian” atau “Persetujuan” sebagai “suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. 9
Dengan menganut sistem terbuka, Hukum Perjanjian memberikan kebebasan seluas-
luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan
tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam Hukum Perjanjian berlaku
sekurang-kurangnya tiga prinsip atau asas yang bersifat universal, yaitu:
1) Asas konsensualisme, yang berarti bahwa hal-hal itu terjadi melalui persesuaian
kehendak atau konsensus para pihak.
2) Asas kekuatan mengikat persetujuan, di mana para pihak harus memenuhi apa
yang mereka tarima sebagai kewajiban masing-masing atau sebagaimana Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa “persetujuan merupakan undang-
undang bagi pihak-pihak yang mengadakannya”.
3) Asas kebebasan berkontrak, yang menyatakan bahwa setiap orang bebas
mengadakan persetujuan dengan siapa saja yang dikehendaki, menentukan isi,
daya kerja dan persyaratan-persyaratan persetujuan sesuai dengan pandangan
sendiri, menuangkannya dalam bentuk tertentu atau tidak dan tunduk pada
7 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm 4. 8 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm 3 9 Lihat Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Itermasa, Jakarta, 2001, hlm 1 yang menamakan perjanjian sebagai persetujuan atau dua kata tersebut adalah sejenis. Perkataan kontrak mempunyai arti lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
11
ketentuan-ketentuan perundang-undangan tertentu yang dipilih. Asas ini sangat
erat hubungannya dengan asas konsensualisme.
Grotius mencari dasar konsensus itu dalam Hukum Kodrat dengan mengatakan
bahwa “janji itu mengikat” (“pacta sunt servanda”) dan “kita harus memenuhi janji
kita” (promissorum implendorum obligati). Falsafah ini terdapat juga dalam sebuah
pantun Melayu yang mengatakan “kerbau dipegang talinya, manusia dipegang janjinya”
(Mariam Darus Badrulzaman10).
Asas yang telah secara universal diterima dalam kontrak atau perjanjian
komersial internasional, “pacta sunt servanda” merupakan landasan (cornerstone) dari
lex mercatoria. Berdasarkan asas ini yang juga sering disebut “asas kesucian kontrak”
(sanctity of contract), setiap pihak dalam perjanjian bertanggung jawab untuk hal-hal
yang tidak dijalankan, meskipun kegagalan itu diluar kekuasaannya dan tidak dapat
dilihat lebih dahulu pada waktu penandatanganan perjanjian.
Feenstra dan Ahsman menyatakan bahwa pacta sunt servanda yang
diperkenalkan dalam ilmu hukum pada abad XII merupakan adagium yang
dipergunakan dalam perjuangan mengenai apa yang sekarang disebut konsensualisme;
hal ini juga sesuai dengan apa yang ditambahkan pada formulasi lengkap, betapapun
persetujuan-persetujuan itu nuda atau tidak sempurna. Formulasi ini akan berhadapan
dengan klausula “rebus sic stantibus”, suatu persyaratan yang dianggap diterima secara
diam-diam bahwa kita tidak akan memenuhi janji-janji dalam hal terjadi perubahan-
perubahan di dalam situasi dan kondisi. 11 Implementasi rebus sic stantibus harus
tunduk pada persyaratan kontrak, dan apabila tidak dijelaskan dalam kontrak, maka 10 Mariam Darus Badrulzaman, et. al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 83-84. 11 Lihat Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang Internasional), Mandar Maju, Bandung, 2003 , hlm 65 -99 yang menyadur tulisan Feenstra, R. dan Ahsman, M, Contract Aspecten Van de begrippen contract en contractvrijheid in historich perspectief, Kluwer-Deventer de Nederlands, hlm 3 – 25.
12
tunduk pada persyaratan force majeure berdasarkan ketentuan perundang-undangan
(khususnya KUH Perdata).
Selanjutnya, Hans Wehberg menyatakan bahwa pacta sunt servanda sebagai
prinsip dasar hukum (general principles of law) ditemukan dalam semua bangsa.
Prinsip tersebut mengikuti cara yang sama, apakah dia berhubungan dengan kontrak
antar negara atau antara negara dengan perusahaan swasta. Kesucian kontrak
merupakan hal esensial dalam kehidupan sosial; menurut Wehberg tidak akan ada
hubungan ekonomi antara negara dengan perusahaan asing tanpa prinsip pacta sunt
servanda12.
4. Penanaman Modal Asing
Dalam penanaman modal, penciptaan iklim usaha yang menarik bagi investor
merupakan prasyarat (prerequisite), yang pada gilirannya menuntut adanya kepastian
hukum dalam melaksanakan kontrak kerja sama. Berdasarkan premise ini, dalam
UUPMA terdapat pasal-pasal yang mengandung ketentuan-ketentuan berupa
kelonggaran-kelonggaran yang meliputi berbagai bidang (seperti perpajakan, transfer
dari pendapatan dan modal, dan aspek-aspek operasional) dan pemberian jaminan. Jika
dibandingkan dengan undang-undang penanaman modal yang terdahulu (Undang-
undang Nomor 78 Tahun 1958, yang kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-
undang Nomor 15 Tahun 1960), UUPMA lebih memberikan jaminan kepada
perusahaan modal asing.
Misalnya, Pasal 9 UUPMA menetapkan bahwa Pemerintah tidak akan
melakukan tindakan-tindakan nasionalisasi/pencabutan hak milik secara menyeluruh
atas perusahaan-perusahaan modal asing, atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak
12 Wehberg, Hans, Pacta Sunt Servanda, http://tldk.uni-koeln.de/php/pub, 2 Agustus 2004.
13
menguasai dan/atau mengurus perusahaan asing yang bersangkutan. Dalam hal
kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian, Pemerintah akan memberikan
ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah
pihak, dan apabila tidak tercapai kesepakatan, penyelesaian dilakukan melalui forum
arbitrase.13
5. Kontrak Bagi Hasil
Model Kontrak Bagi Hasil (KBH) yang mulai diperkenalkan pada awal tahun
1960an merupakan penemuan bangsa Indonesia yang telah diterima oleh banyak negara
di dunia untuk penanaman modal asing dalam bidang pertambangan minyak dan gas
bumi. Diciptakannya KBH tersebut bertujuan untuk menampung aspirasi bangsa
Indonesia yang ingin tetap menggali dan mengolah kekayaan alamnya sesuai dengan
amanat dalam Pasal 33 UUD 1945, namun karena keterbatasan dana terpaksa harus
bekerja sama dengan pihak swasta.
Pendirian tiga BUMN (PERMIGAN, PERTAMIN dan PERMINA) pada awal
tahun 1960an merupakan langkah penting dalam upaya pemerintah untuk ikut serta
langsung dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Untuk
meningkatkan efisiensi, pada tahun 1969 ketiga perusahaan negara tersebut dilebur dan
digabung menjadi PERTAMINA dan status dan tugas PERTAMINA di bidang minyak
dan gas bumi kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971
Tentang PERTAMINA (UU Pertamina).
Dari pandangan fiskal tidak terdapat perbedaan yang besar antara sistem konsesi
dan KBH. Perbedaan kedua sistem tersebut lebih bersifat simbolis dan filosofis. Seperti
dinyatakan oleh Daniel Johnston bahwa di Perancis kekayaan bahan galian (mineral
13 Ismail Sunny dan Rudioro Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1972, hlm 13.
14
wealth) tidak dimiliki oleh perorangan tetapi oleh Negara untuk kepentingan rakyat,
namun demikian sistem fiskal migas yang berlaku di negara tersebut tidak berdasarkan
pembagian hasil produksi tetapi menggunakan sistem konsesi dengan royalti/pajak.14
Selanjutnya, kajian terhadap Undang-undang Minyak dan Gas Bumi di beberapa
negara oleh Thomas Waelde dan W.T. Onorato menunjukkan bahwa KBH tidak
ditemukan dalam negara-negara maju atau liberal tetapi umumnya ditemukan pada
negara-negara sedang berkembang (developing countries) yang memiliki kemampuan
dana dan teknologi yang terbatas tetapi juga menganggap unsur “kedaulatan”
(sovereignty) penting dalam pengelolaan kekayaan alam. 15 Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa KBH dapat diterima oleh kedua belah pihak, karena berhasil
mengakomodasi kepentingan politik pemerintah dan kepentingan komersial kontraktor.
Dalam pelaksanaan selama 40 tahun, kegiatan pertambangan minyak dan gas
bumi di Indonesia mengalami pasang surut. Selain faktor eksternal, berbagai kendala
yang dihadapi dalam penyelenggaraan KBH juga berasal dari dalam seperti perbedaan
interpretasi atas beberapa ketentuan dalam kontrak dan diterbitkannya peraturan
perundang-undangan baru, yang sering memicu benturan-benturan dengan mengikis
persyaratan komersial kontrak kerja sama investasi antara investor dengan Pemerintah
atau BUMN. Dari data yang dihimpun dapat disimpulkan bahwa sejak awal tahun
1980an kegiatan minyak dan gas bumi di sektor hulu cenderung menurun dan
14 Johnston, Daniel, Petroleum Fiscal Systems and Production Sharing Contracts, PennWell Books, Tulsa, Oklahoma, 1994, hlm 22 15 Waelde, T.W.., The Current Status of International Petroleum Investment: Regulating, Licensing, Taxing and Contracting, Centre for Energy, Petroleum and Mineral Law and Policy University of Dundee Dundee, July 1995, dan Onorato, W.T. Legislative Frameworks Used to Foster Petroleum Development, World Bank Washington D.C., Feb 1995.
15
membandingkannya dengan kegiatan di negara lain mengisyaratkan bahwa posisi
bersaing Indonesia dalam menarik “risk capital” terus menurun.16
Disamping risiko kegagalan yang umumnya lebih besar dari usaha-usaha bisnis
lainnya, pengembangan sumber daya minyak dan gas bumi hingga mencapai tahap
produksi membutuhkan waktu yang lama serta dana yang besar. Namun demikian,
ditopang dengan iklim usaha yang kondusif, penambangan bahan galian ini masih tetap
menarik dan dapat memberikan keuntungan yang layak bagi Negara.
Kemunduran yang berkepanjangan ini bukan diakibatkan harga minyak di
pasaran dunia atau tidak tersedianya risk capital (penanaman modal pada proyek
berisiko tinggi) di dunia untuk kegiatan minyak dan gas bumi, mengingat kedua faktor
tersebut hakekatnya berlaku sama bagi semua negara. Karena iklim politik di Indonesia
pada saat itu (zaman orde baru) cukup stabil, maka iklim politik nampaknya juga bukan
merupakan faktor yang menyebabkan kemunduran tersebut. Di pihak lain, persepsi para
investor tentang potensi minyak dam gas bumi di Indonesia masih cukup optimis.
Dengan demikian faktor yang nampaknya masih tinggal adalah pertimbangan komersial,
yaitu faktor-faktor yang memberi dampak kurang menguntungkan terhadap
pengembalian modal investor (investor’s return)17.
Sejak diperkenalkannya persyaratan komersial dalam KBH yang berkaitan
dengan pembagian keuntungan mengalami beberapa kali penyesuaian, yang semuanya
ditujukan meningkatkan penerimaan negara. Misalnya, pada awal rumusan bagi hasil
(setelah pengembalian biaya) dalam KBH adalah 65% untuk Negara dan 35% untuk
kontraktor, yang kemudian diubah menjadi 85% untuk Negara dan 15% untuk
16 Madjedi Hasan, Petroleum Contract – Indonesia’s Issues and Challenges, Petromin, Singapore, December 2001, hlm 20. 17 Ibid.
16
kontraktor.18 Demikian pula, sejalan dengan dikeluarkannya peraturan baru tentang
perpajakan dan penggunaan lahan, terdapat berbagai desakan dari instansi yang
bersangkutan agar ketentuan tersebut juga diberlakukan terhadap KBH yang sering kali
berdampak merugikan penerimaan dan kegiatan kontraktor.
Selanjutnya, survai yang dilakukan oleh PriceWaterhouseCoopers di antara para
pimpinan perusahaan minyak di Indonesia menunjukkan bahwa ketidakjelasan
mengenai peran pemerintah pusat dan daerah setelah diundang-undangkannya Undang-
undang Otonomi Daerah dan campur tangan berbagai instansi pemerintah dalam
pelaksanaan KBH terutama diberlakukannya berbagai peraturan perundang-undangan
baru terhadap KBH yang sedang berjalan, menduduki peringkat teratas di antara 10
permasalahan yang dipandang sangat mempengaruhi iklim investasi di bidang minysk
dan gas bumi.19
F. Metode Penelitian
1) Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menitikberatkan
penelitian pada data kepustakaan dan data sekunder.20
2) Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis dengan sasaran mendapatkan
gambaran fakta-fakta disertai analisis mengenai peraturan perundang-
undangan yang berlaku dihubungkan dengan teori-teori dan prinsip-prinsip
hukum serta kebiasaan internasional.
18 Penyesuaian pertama dilakukan pada akhir tahun 1973 mengikuti melonjaknya harga minyak dari dibawah US$ 2.00 menjadi diatas US$ 10.00 per barrel akibat dari perang di Timur Tengah. Penyesuaian kedua dilakukan pada pada tahun 1976 setelah terjadinya krisis keuangan PERTAMINA. 19 PriceWaterhouseCoopers, CEO Survey – Upstream Oil & Gas, October 2002, hlm 5. 20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers (Jakarta, 1990), hlm 5.
17
3) Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam dua tahapan, terdiri dari:
a) Penelitian kepustakaan (library research)
Dalam tahapan ini akan dikaji bahan hukum primer berupa bahan hukum
seperti peraturan perundang-undangan nasional yang berhubungan
dengan penanaman modal dan pertambangan di Indonesia, teori-teori
hukum yang relevan dan biasa digunakan, bahan hukum sekunder yang
meliputi referensi hukum dan non-hukum berupa makalah, hasil
penelitian, karya tulis dari kalangan hukum dan non-hukum serta bahan
hukum tersier berupa kamus, ensiklopedia.dan artikel di media cetak. 21
b) Penelitian lapangan
Penelitian ini mendukung data kepustakaan yang bertujuan mendapatkan
pandangan pimpinan perusahaan di bidang minyak dan gas bumi,
profesional dan tokoh bisnis terhadap perkembangan investasi di bidang
energi dan sumber daya mineral.
4). Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data sekunder ini dilakukan melalui studi dokumen dan survai
berupa wawancara atau questionnaire di antara para pimpinan atau eksekutif
industri minyak dan gas bumi yang beroperasi di Indonesia.
5). Metoda Analisis Data
Data primer dan data sekunder akan dianalisis dengan metode kualitatif
normatif, sementara data empirik akan dianalisis dengan metode kuantitatif,
kedua-duanya kemudian akan disajikan dalam bentuk deskriptif.
21 Ibid, hlm 13, di mana dikatakan bahwa bahan hukum sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
BAB II
SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENGELOLAAN
MINYAK DAN GAS BUMI
A. Kontrak sebagai dasar perikatan
Istilah “kontrak” berasal dari bahasa Inggerís, yaitu “contract”, sementara dalam
bahasa Belanda disebut dengan “overeenkomst“, yang diterjemahkan dengan istilah
“perjanjian”. Pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 KUH
Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Subekti menamakan perjanjian sebagai persetujuan atau dua
kata tersebut adalah sejenis dan kata “kontrak” mempunyai arti lebih sempit, karena
ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.22
Banyak pihak merasakan bahwa rumusan dalam KUH Perdata ini kurang lengkap,
karena tidak menjelaskan adanya asas konsensualisme, yang menimbulkan akibat hukum.
Karena itu Soedjono Dirdjosisworo berusaha memberi definisi yang sederhana tetapi cukup
jelas sebagai berikut:
“Kontrak adalah suatu janji atau seperangkat janji-janji dan akibat pengingkaran atau pelanggaran atasnya hukum memberikan pemulihan atau menetapkan kewajiban bagi yang ingkar janji disertai sanksi untuk pelaksanaannya.”23
Selanjutnya, Black’s Law Dictionary memberikan definisi “contract” sebagai suatu
perjanjian antara dua atau lebih pihak yang menimbulkan kewajiban yang dapat ditegakkan
atau diakui oleh hukum. 24
22 Subekti, loc. cit. 23 Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sisstem Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang Internasional), Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm 29. 24 Black, Henry Campbell., Black’s Law Dictionary, 7th. Edition, West Group, St. Paull Minn, 1999, hlm 318: “An agreement between two or more person creating obligations that are enforceable or otherwise recognizable at law.”
18
19
Lebih lanjut, Black Law’s Dictionary mengutip pernyataan William R Anson bahwa
istilah “kontrak” digunakan secara acak juga untuk menyatakan tiga macam hal, yaitu satu
rangkaian tindakan-tindakan operasional dari para pihak yang menimbulkan hubungan
hukum baru, dokumen yang dilaksanakan oleh para pihak sebagai bukti akhir telah
dijalankannya oleh para pihak tindakan-tindakan operasional, dan hubungan hukum akibat
dari tindakan operasional, yang terdiri dari hak atau hak-hak pribadi and kewajibannya,
yang disertai dengan kekuasaan, hak istimewa dan kekebalan, dan hubungan hukum ini
sering disebut “kewajiban”.25
Kemudian, Samuel Williston dalam Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa
kontrak adalah suatu janji, atau satu rangkaian janji, di mana hukum akan berlaku mutlak
kalau ingkar, yang menurut hukum hal tersebut merupakan tugas. Definisi ini tidak
memuaskan karena memerlukan definisi lebih lanjut mengenai peristiwa (circumstances) di
mana diberikan kewajiban hukum terhadap janji itu. Tetapi jika dikehendaki adanya
definisi mengenai tindakan-tindakan operasional, maka seluruh hukum mengenai
pembentukan kontrak akan perlu dipadatkan dalam satu kalimat.26
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kontrak merupakan suatu
persetujuan tertulis dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban hukum secara bersama-
sama dilandasi pada saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang.
Menurut namanya, kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang bernama dan
tidak bernama. Perjanjian bernama (benoemd) adalah perjanjian yang mempunyai nama
25William R Anson, Principles of the Law of Contract: “The term contract has been used indifferently to refer to three different tthings(1) the series of operative acts by the parties resulting for new legal relations; (2) the physical document executed by the parties as the lasting evidence of their having performed the necessary operationve acts and also as an operative fact in itself; (3) the legal relations resulting from the operative acts, consisting of a right or rights in personam and their corresponding duties, accompanied by certain powers, privileges and immunities. The sum of these legal relations is often called obligation” 26 Samuel Williston, A treatise on the Law of Contracts: “A contract is a promise, or a set of promises, for breach of which the law gives a remedy, or the performance of which the law in some way recognize as a duty. This definition may not be entirely satisfactoriy since it requires a subsequent definition of the circumstances under which the law does in fact attach legal obligations to promise. But if a definiton were attempted which should cover these operative facts, it would require compressing the entire law relating to the formation of contracts into a single sentence.”
20
sendiri, yaitu diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang atau merupakan
perjanjian yang terdapat dan dikenal dalam KUH Perdata dan undang-undang lain.
Perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst) merupakan perjanjian yang timbul,
tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Termasuk dalam perjanjian tidak bernama ini antara lain adalah Kontrak Bagi Hasil,
Kontrak Karya di bidang migas dan pertambangan non-migas, Kontrak Operasi Bersama
Panas Bumi antara PERTAMINA dan Investor dan Kontrak Jual Beli Listrik antara PLN
dan PERTAMINA dan Investor. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan
berkontrak27 Perjanjian tidak bernama ini diatur dalam satu ketentuan di KUH Perdata,
yaitu Pasal 1319 yang menyatakan:
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain.”
Dengan demikian, para pihak yang mengadakan kontrak tidak bernama ini tunduk
pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata dan berbagai peraturan yang
mengaturnya. Karena merupakan ketentuan hukum yang bersifat khusus, maka pada
perjanjian tidak bernama ini berlaku asas “Lex specialis derogaat lex generalis”
B. Pihak-pihak dalam perjanjian
Di dalam KUH Perdata pihak-pihak dalam perjanjian dapat dibedakan dalam tiga
golongan sebagaimana ditetapkan dalam pasal-pasal berikut:
1. Pasal 1315 jo. Pasal 1340, yaitu para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.
2. Pasal 1318 yang menetapkan para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak
dari padanya sebagai akibat peralihan berdasarkan atas hak khusus.
3. Pihak ketiga yang telah menyatakan kehendaknya atau kemauannya untuk
mempergunakannya. (Pasal 1317). 27Mariam Darus Badrulzaman, et.al, op. cit., hlm 67.
21
Para pihak yang mengikatkan diri tersebut adalah subjek hukum perdata. Menurut
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto28, dengan subjek hukum dimaksudkan adalah
setiap yang menjadi pendukung hak dan kewajiban yang terdiri dari pribadi kodrati, pribadi
hukum dan pejabat atau tokoh, sementara Black’s Law Dictionary memberikan pengertian
tentang “persona” (person) adalah (1) manusia; (2) badan (seperti perusahaan) yang diakui
hukum mempunyai hak dan kewajiban manusia; dan (3) badan yang hidup dari manusia. 29
Selanjutnya John Salmond sebagaimana yang dikutip dalam Black’s Law Dictionary
memberikan pengertian bahwa dari teori hukum, “persona” adalah setiap pribadi yang
mampu mempunyai hak dan kewajiban. Sesuatu yang mampu adalah “persona”, apakah dia
manusia atau bukan, yang tidak mampu bukanlah “persona”, meskipun dia manusia.
Persona adalah yang susbstansinya memiliki hak dan kewajiban. Hanya dengan cara seperti
ini persona memiliki arti dalam hukum, dan ini merupakan pandangan yang eksklusif di
mana kepribadian (personality) mendapatkan pengakuan hukum.30
C. Pemerintah sebagai subjek hukum perdata
Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa subjek hukum dalam perjanjian perdata
dapat berupa perorangan atau badan hukum. Dalam KHU Perdata, ketentuan-ketentuan
mengenai badan hukum (definisi dan kewenangannya) diatur dalam Pasal 1653 sampai
dengan Pasal 1665. Dalam Pasal 1653 dinyatakan sebagai berikut:
“Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuaaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang
28 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Sendi-sendi Hukum dan Tata Hukum, Alumni Bandung, 1982, hlm 50. 29 Black, Henry Campbell, op. cit., hlm 1162: “a person is (1) a human being; (2) an entity (such as corporation) that is recognized by law as having the rights and duties of a human being; (3) the living of body of a human being.” 30 Ibid; John Salmond, Jurisprudence 318 (Glenville L. Williams ed., 10th. ed 1947): “So far as legal theory is concerned, a person is any being whom the law regards as capable of rights and duties. Any being that is so capable is a person, whether a human being or not, and no being that is not so capable is a person, even though he be a man. Persons are the substances of which rights and duties are the attributes. It is only in this respect that persons possess juridical significance, and this is the exclusive point of view from which personality receives legal recognition.”
22
diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.”
Selanjutnya, Pasal 1654 KUH Perdata menegaskan kewenangan badan hukum untuk
melakukan perbuatan-perbuatan perdata sebagai berikut:
“Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasi atau menundukkannya kepada tata cara tertentu.”
Lebih lanjut, Pasal 1655 KUH Perdata menetapkan kewenangan pengurus badan
hukum sebagai berikut:
“Para pengurus badan hukum, bila tidak ditentukan lain akta pendiriannya, dalam surat perjanjian atau dalam reglemen, berkuasa untuk bertindak demi dan atas nama badan hukum itu kepada pihak ketiga atau sebaliknya dan untuk bertindak dalam sidang pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat.”
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah merupakan jenis badan
hukum yang didirikan oleh kekuasaan umum. Dengan demikian Pemerintah selaku badan
hukum dapat melakukan tindakan perdata dan sebagai subjek hukum perdata Pemerintah
dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga, dapat pula digugat atau menggugat di
pengadilan perdata. 31
Kegiatan Pemerintah dalam kegiatan bisnis antara lain membeli barang yang
dibutuhkan baik bersifat habis pakai maupun barang kapital, menggunakan jasa
pengangkutan, jasa konsultasi dan lain-lain, melakukan kerja sama dengan pihak swasta
untuk pembangunan sarana, dan sebagainya. Dalam perjanjian ini kedudukan para pihak
adalah sejajar; karena itu sebagai subjek hukum perdata, Pemerintah harus memposisikan
dirinya sejajar dengan mitranya dalam pemenuhan kewajiban dan hak seperti yang
tercantum dalam kesepakatan. Meskipun demikian, dalam kenyataannya sering sulit untuk
31 Lihat Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001 hlm 42, yang mengutip Apeldoorn, L.J, Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1962, hlm 164, dimana dinyatakan bahwa negara, propinsi, kotapraja, dan lain sebagainya adalah badan hukum; hanya saja pendiriannya tidak dilakukan secara khusus, melainkan tumbuh secara histories.
23
menetapkan kapan pemerintah menjalankan tindakan komersial (acts jure gestionisi) dan
kapan pemerintah menjalankan kegiatan pemerintahaan (acts jure imperil).
Masalah lain yang berkaitan dengan Pemerintah sebagai subjek hukum perdata
adalah siapa yang dimaksud dengan pengurus yang bertindak untuk dan atas nama
Pemerintah. Dalam suatu Perseroan Terbatas (PT) hal ini tidak menimbulkan masalah
karena telah dicantumkan dalam anggaran dasar PT.
Menurut Bagir Manan, hingga saat ini belum ada hukum nasional yang mengatur
secara umum mengenai badan-badan atau lembaga yang merupakan badan hukum, namun
tidak berarti sama sekali tidak pengaturannya. Untuk menjawab pertanyaan ini dapat
digunakan pemahaman dan hukum positif di Belanda, sehingga yang merupakan badan
hukum dalam perbuatan keperdataan yang dilakukan Pemerintah adalah Negara Republik
Indonesia, Daerah Propinisi atau Daerah Kabupaten dan Kota, bukan Pemerintah Republik
Indonesia dan juga bukan Pemerintah Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Kota.32
Lebih lanjut Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa rujukan untuk mengetahui
siapa yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pasal 1655 KUH Perdata dan Keputusan
Presiden No. 16 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (Keppres APBN 1995), yang telah mengalami beberapa kali perubahan. Dalam
Pasal 4 ayat (1) Keppres APBN 1995 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Departemen/Lembaga adalah lembaga tertinggi/tinggi negara, kantor menteri kordinator dan
kantor menteri negara, departemen, kejaksaan agung, sekretariat negara dan lembaga
pemerintah non-departemen. Selanjutnya, Pasal 4 ayat (4) Keppres APBN 1995 dinyatakan
bahwa pengeluaran beban anggaran belanja negara dilakukan dengan penerbitan surat
keputusan otorisasi (SKO), sementara Pasal 16 menetapkan bahwa Menteri/Ketua Lembaga
yang menguasai bagian anggaran mempunyai wewenang otorisasi, di antaranya untuk 32 Lihat Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm 59, yang mengutip Bagir Manan, Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Majalah Ilmiah UNPAD, Bandung, Nomor 3 Volume 14 Tahun 1986, hlm 23.
24
menetapkan pejabat yang diberi wewenang untuk menanda tangani SKO (sering disebut
Pimpinan Proyek).33
Dengan demikian, Hikmahanto Juwana menyimpulkan bahwa pihak yang dapat
menandatangani kontrak bisnis yang berdimensi publik sebagai wakil Pemerintah adalah
Menteri atau Ketua Lembaga atau Pimpinan Proyek. Keppres APBN 1995 tersebut tidak
mengatur tentang kewenangan dari pejabat-pejabat di daerah dan juga dalam praktik sering
dijumpai bahwa para pejabat pemerintah yang menandatangani kontrak bisnis ini sangat
beragam, yang kesemuanya menyebutkan bahwa pihak yang menandatangani bertindak
untuk dan atas nama Pemerintah.
Sebagai contoh adalah kasus Ibnu Hartomo selaku Deputi Dewan Pertahanan
Keamanan Nasional mengeluarkan Promissory Notes sejumlah US$ 3 milyar atas nama
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1985, padahal dia tidak berwenang untuk
melakukan hal tersebut.34 Disarankan oleh Hikmahanto Juwana agar Pemerintah
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur pejabat mana
yang berhak untuk mewakili Pemerintah apabila Pemerintah menjadi pihak dalam sebuah
kontrak bisnis.
D. Pemberian Kuasa
Menurut KUH Perdata, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana
seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang menerimanya,
untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792 KUH Perdata). Dengan
menyelenggarakan suatu urusan dimaksudkan adalah melakukan suatu perbuatan hukum,
yaitu suatu perbuatan yang mempunyai atau menelorkan suatu akibat hukum. Pemberian
kuasa itu menerbitkan “perwakilan”, yaitu adanya seorang yang mewakili orang lain untuk
33 Ibid, hlm 44 - 45 34 Sudargo Gautama, Aneka Perkara Indonesia di Luar Negeri, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hlm 59 - 65
25
melakukan suatu perbuatan hukum. Perwakilan seperti itu ada juga yang dilahirkan oleh
atau menemukan sumbernya pada undang-undang.
Orang yang menerima kuasa atau penerima kuasa melakukan perbuatan hukum
tersebut atas nama orang yang memberikan kuasa atau juga mewakili pemberi kuasa.
Artinya menurut Subekti adalah apa yang dilakukan adalah atas tanggungan pemberi kuasa
dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu
menjadikan hak dan kewajiban pemberi kuasa, atau bahwa kalau yang dilakukan itu berupa
membuat suatu perjanjian, maka pemberi kuasalah yang menjadi pihak dalam perjanjian
itu.35
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu
kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan
pemberi kuasa (Pasal 1795 KUH Perdata). Penerima kuasa tidak boleh melakukan apapun
yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu perkara
secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan penyelesaian perkara pada
keputusan wasit (Pasal 1797 KUH Perdata).
Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan siapa penerima
kuasa telah bertindak dalam kedudukannya dan menuntut dari padanya pemenuhan
perjanjiannya (Pasal 1799 KUH Perdata). Sebagaimana telah diuraikan di muka, dalam
perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh penerima kuasa dengan pihak ketiga, yang
memperoleh hak dan menerima kewajiban dari perjanjian-perjanjian tersebut adalah orang
yang memberi kuasa, dan ia menjadi pihak dalam perjanjian-perjanjian itu; karena itu ia
berhak menuntut langsung pihak lawannya.
Pasal 1807 KUH Perdata menetapkan pemberi kuasa diwajibkan memenuhi
perikatan-perikatan yang diperbuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang ia telah
35 Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 141
26
berikan kepadanya. Ia tidak terikat pada apa yang telah dilakukan di luar kekuasaan itu
kecuali jika ia telah menyetujui hal itu secara tegas atau diam-diam.
E. Asas-asas Hukum Perjanjian
Melihat perkembangan kegiatan usaha hulu sejak tahun 1910, Indonesia telah
mengenal tiga macam bentuk kontrak pengelolaan migas. Bentuk kontrak yang pertama
adalah berdasarkan Pasal 5A Indische Mijnwet, yang digunakan sampai dengan tahun 1963
dan kemudian diganti dengan Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil menurut UU Migas
1960 dan UU Migas 2001. Karena itu kegiatan usaha hulu migas tersebut tunduk pada asas-
asas Hukum Perjanjian baik yang universal maupun yang diatur dalam Buku III KUH
Perdata.
Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal empat asas penting yang bersifat universal,
yaitu asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik dan asas
konsensualisme. Tiga asas yang pertama (kebebasan berkontrak, pacta sunt servanda dan
itikad baik) dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Asas konsensualisme mengandung arti “kemauan” (will) dan terdapat didalam Pasal
1320, yang menyatakan bahwa:
“Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu pokok persoalan tertentu, suatu sebab yang tidak terlarang”.
Dengan demikian, perjanjian atau perikatan yang timbul pada dasarnya sudah sah
apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas
untuk menjadikannya sah. Kebebasan berkontrak berlatar belakang pada faham
individualisme yang lahir dalam zaman Yunani dan berkembang pesat dalam zaman
27
reinaissance. Faham ini berpandangan bahwa setiap orang bebas untuk memperoleh apa
yang dikehendakinya. Asas kebebasan berkontrak ini juga merupakan dasar dalam
Principles of International Commercial Contracts, seperti tercantum dalam Article 1.1
UNIDROIT yang berbunyi:
“The parties are free to enter into a contract and to determine its content”.36
Di Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan muncul pemikiran apakah kebebasan
berkontrak ini harus tetap dipertahankan sebagai asas esensial di dalam Hukum Perjanjian
Indonesia. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa kebebasan berkontrak tetap
perlu dipertahankan sebagai asas utama di dalam Hukum Perjanjian Nasional.37
Pemahaman asas berkontrak ini bukan dalam pengertian kebebasan yang mutlak, karena
dalam kebebasan tersebut terdapat berbagai pembatasan, antara lain oleh undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan. Seperti dikatakan oleh Friedman bahwa kebebasan
berkontrak masih dianggap aspek yang esensial dari kebebasan individu, tetapi tidak lagi
mempunyai nilai absolut seperti satu abad yang lalu.38
Selanjutnya, di dalam setiap perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan
selalu tersirat adanya itikad baik dari para pihak. Asas itikad baik merupakan asas bahwa
para pihak harus melaksanakan substansi kontrak, berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
atau kemauan baik dari para pihak. Itikad baik ini tidak terbatas pada waktu mengadakan
hubungan hukum, akan tetapi juga pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.
Menurut Subekti, itikad baik merupakan suatu sendi yang terpenting dalam hukum
perjanjian. Apabila pada awalnya di tanah air para ahli hukum menganggap itikad baik
bersifat subyektif, maka di Belanda pengertian itikad baik telah berkembang yang
memandang bahwa itikad baik itu juga bersifat obyektif. Misalnya, dalam Nieuwe 36 UNIDROIT, Principles of International Commercial Contracts, Rome, 1994, hlm 7. 37 Mariam Darus Badrulzaman, et. al, op.cit, hlm 85 38 Friedman, Legal Theory, Stevens & Sons Limited, Fourth edition, 1960, hlm 369.
28
Burgerlijk Wetbboek (NBW) pengertian itikad baik itu juga mengandung asas kepantasan
dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid). Dengan demikian selain terletak pada hati
sanubari manusia, itikad baik dalam melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
timbul dari suatu hubungan hukum (perjanjian) harus mengindahkan norma-norma
kepatutan dan keadilan dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan
kerugian pihak lain.39
Selanjutnya Subekti menyatakan bahwa hukum itu selalu mengejar dua tujuan, yaitu
menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan. Kalau ayat pertama
Pasal 1338 KUH Perdata dapat dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian
hukum (janji itu mengikat), maka ayat ketiga Pasal 1338 KUH Perdata harus dipandang
sebagai suatu tuntutan keadilan.40
F. Asas pacta sunt servanda
Suatu perikatan hukum yang dilahirkan dari suatu perjanjian mempunyai dua atribut,
yaitu hak dan kewajiban hukum. Kewajiban hukum adalah mengikatkan diri untuk
melakukan sesuatu kepada pihak lain, sementara hak atau manfaat berupa tuntutan
dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Karena itu dalam setiap
perjanjian, masing-masing pihak harus menepati janjinya untuk melaksanakan
kewajibannya dan juga menghormati hak pihak lain.
Grotius mencari dasar konsensus itu dalam Hukum Kodrat dengan mengatakan
bahwa “janji itu mengikat” (pacta sunt servanda) dan “kita harus memenuhi janji kita”
(promissorum implendorum obligati). Falsafah ini juga terdapat dalam syari’at Islam,
sebagaimana dalam Surat Al Maidah ayat pertama yang berbunyi “Yaa ayyuhalladziina
39 Subekti, Hukum Perjanjian, op. cit. hlm 41 Lihat juga, Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cetakan VII, Sumur Bandung, Bandung, 1979 hlm 85. 40 Subekti, loc. cit.
29
aamanuu aufuu bil ‘uqud” yang artinya “wahai orang-orang yang beriman tepatilah janji-
janji itu” dan Surat Al Isra ayat 34 yang berbunyi “wa aufu bil”ahdi innal ‘ahda kana mas
uulan” yang artinya “dan penuhilah olehmu akan janji, sesungguhnya janji itu akan
ditanyakan [dimintakan pertanggungjawaban]”. Namun, syari’at Islam juga sangat
memperhatikan kesadaran individu dengan motif, aspirasi, kesadaran yang baik dan itikad
baik. Dengan itikad baik seseorang tidak akan mengambil keuntungan dari kesulitan orang
lain yang tidak terlihat sebelumnya, karena hal itu bukan merupakan bagian dari hal yang
disepakati.
Selanjutnya, menurut Grotius asas pacta sunt servanda ini timbul dari premise
bahwa kontrak secara alam dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan.
Alasan pertama adalah sifat kesederhanaan bahwa seorang harus berinteraksi dan bekerja
sama dengan orang lain, yang berarti bahwa orang-orang ini harus saling mempercayai,
yang pada gilirannya akan memberikan kejujuran dan kesetiaan. Alasan kedua adalah
setiap individu memiliki hak, di mana yang paling mendasar adalah hak milik yang dapat
dialihkan. Apabila seorang individu memiliki hak untuk melepaskan miliknya, maka tidak
ada alasan mengapa dia harus dicegah untuk melepaskan haknya yang kurang penting
seperti melalui kontrak.41
Meskipun sudah dimasukkan ke dalam Hukum Gereja sejak abad XIII, masih
beberapa abad sebelum prinsip nudus consensus obligat, pacta nuda servanda sunt ini
diakui dalam jus civile. Adagium pacta sunt servanda mempunyai arti yang besar sejak
abad XVI, bukan saja di bidang hukum privat melainkan juga dalam bidang-bidang hukum
tata negara dan hukum internasional. Penerapan asas pacta sunt servanda dalam suatu
perjanjian pada awalnya sebagai Hukum Gereja dikuatkan dengan sumpah. Namun di
bawah pengaruh kaum ahli teologi moral sedikit demi sedikit telah dikembangkan prinsip, 41 Grotius, H., The Law of War and Peace: De Jure Belli et Pacis, 1646 ed., Kelsey, F.W. trans., Oxford, 1916 – 25 dan Pufendorf, S., The Law of Nature and Nations: De Jure Naturae et Gentium, 1688 ed. Oxford, 1934, TLDB Document ID: 105700, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/php/pub
30
bahwa persetujuan-persetujuan yang tidak dikuatkan dengan pengangkatan sumpah juga
mempunyai kekuatan mengikat.42
Dengan demikian, adagium tersebut telah berubah sifatnya, yaitu sekarang telah
menjadi kekuatan mengikat suatu persetujuan. Prinsip bahwa kita terikat pada janji-janji
dan kesanggupan-kesanggupan kontraktual, bukan saja harus dipenuhi secara moral, tetapi
juga merupakan kewajiban hukum. Hal ini harus dianggap sebagai sesuatu yang berlaku
sendirinya, sehingga tidak perlu dipersoalkan lebih lanjut.
Dengan meningkatnya pergaulan hidup, maka kebutuhan akan kontrak yang
beraneka ragam juga meningkat. Pergaulan hidup yang berbasiskan tatanan tukar-menukar
barang-barang dan jasa-jasa memerlukan suatu kebebasan tertentu untuk mengadakan
hubungan-hubungan kontraktual. Hal ini pada gilirannya memerlukan peningkatan
kepercayaan dan kepastian bahwa perjanjian-perjanjian tersebut dipenuhi sebagaimana
mestinya. Tanpa kepercayaan ini dan tanpa kepastian bahwa janji-janji dan kesanggupan-
kesanggupan sedemikian ini akan dipenuhi, maka masyarakat tidak dapat berkembang
dengan baik. Dengan hilangnya kepastian, maka lalu-lintas ekonomi juga tidak akan
berjalan lancar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pacta sunt servanda diterima sebagai
salah satu prinsip yang umum dalam perdagangan internasional dan perjanjian antara
negara. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa setiap perjanjian (Treaty)
mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. 43 Para pihak berkewajiban
untuk melaksanakan suatu kontrak sedemikian rupa menurut yang telah disepakati,
meskipun pelaksanaan tersebut menjadi tidak menguntungkan atau sulit bagi salah satu
pihak. Ketentuan ini merupakan aturan dasar (basic rule) dari "lex mercatoria", yang
dimaksudkan untuk menjamin perdagangan. 42 Soedjono Dirdjosisworo, op.cit., hlm 104. 43 UN Conventions on the Law of Treaties, Viena (23 May 1969), Artcile 26: “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith”
31
Prinsip pacta sunt servanda ini telah dikenal baik dalam sistem hukum kontinental
maupun common law yang mendukung adanya jaminan dan kepastian perdagangan dan
telah diintengrasikan dalam hukum internasional. Karena itu adagium ini dapat dipandang
bagian dari hukum kebiasaan, yang penerapannya mencapai kehidupan pribadi dan bangsa.
Meskipun banyak pelanggaran dari kontrak telah terjadi, namun fakta menunjukkan bahwa
prinsip kesucian kontrak internasional ini tetap hidup. Ingkar janji selalu dianggap sebagai
suatu tindakan yang salah yang dikenakan keharusan memberikan kompensasi (ganti rugi).
Sebagaimana dikatakan oleh Hans Wehberg, adagium pacta sunt servanda sebagai
prinsip hukum yang umum dijumpai di semua negara dan akan diberlakukan sama, apakah
itu dalam perjanjian antara negara atau kontrak antara negara dan perusahaan swasta.
Kehidupan masyarakat internasional tidak hanya didasarkan pada hubungan antara negara
tetapi juga meliputi hubungan antara negara dan perusahaan asing. Tanpa asas pact sunt
servanda, upaya menyelesaikan sengketa melalui proses peradilan akan sia-sia.44
Pada saat ini, prinsip tersebut di atas tidak memiliki ciri yang mutlak (absolute).
Lingkupnya dibatasi dengan pengecualian, yang diberikan oleh hukum, misalnya, perbuatan
yang tidak mungkin baik secara hukum maupun fisik dan memperkaya diri secara tidak adil.
Hak suatu pihak untuk mengundurkan diri dari kontrak bertentangan dengan prinsip
kesucian kontrak (sanctity of contracts). Kepentingan terutama para pihak pada saat
kontrak ditutup, adalah dengan menghormatinya. Namun demikian, meskipun ada itikad
baik dalam membuat dan menutup kontrak oleh para pihak, mungkin dapat terjadi kontrak
tersebut dilaksanakan tidak sempurna atau dalam beberapa hal tidak dilaksanakan sama
sekali. Dalam situasi demikian, pihak yang dirugikan dilengkapi dengan perangkat hukum
lengkap dengan cara penanggulannya. Tindakan yang paling drastis karena tidak memenuhi
persyaratan kontrak adalah pemutusan kontrak.
44 Wehberg, Hans, loc. cit.
32
G. Klausula rebus sic stantibus
Secara umum dapat dikatakan bahwa kontrak-kontrak perdagangan internasional
memuat ketentuan-ketentuan yang mengikat kewajiban dan pihak yang tidak melakukannya
bertanggung jawab untuk membayar kerugian. Ketentuan ini didasarkan pada prinsip pacta
sunt servanda, yang berarti bahwa masing-masing pihak bertanggung jawab atas
kegagalannya melakukan kewajiban, meskipun penyebabnya berada di luar kekuasaannya
dan tidak dilihat sebelum menandatangani perjanjian.
Namun, dalam pelaksanaan sering dijumpai bahwa penerapan asas tersebut
memberikan hasil yang berlawanan dari sasarannya. Hal ini disebabkan oleh karena situasi
pada saat kontrak dibuat telah berubah sedemikian sehingga para pihak tidak dapat
melaksanakan kontrak, atau kesepakatan menjadi lain apabila hal tersebut sudah dapat
diramalkan akan terjadi. Karena itu sebagai suatu pengecualian, kewajiban untuk
memenuhi janji mungkin dapat dimaafkan apabila peristiwa yang luar biasa telah
menyebabkan kewajiban tersebut tidak dapat dilaksanakan. Pengecualian ini kemudian
melahirkan doktrin rebus stic stantibus, yang diartikan bahwa kewajiban dalam suatu
perjanjian akan berakhir (atau disesuaikan) apabila situasi berubah.
Menurut Liu Chengwei, aspek penting dari doktrin ini adalah memberikan perhatian
pada perubahan yang bertentangan dengan harapan atau ekspektasi para pihak, sehingga
mengalahkan maksud dari perjanjian. Dengan demikian, masalah yang dikedepankan disini
adalah adanya dua pilihan, yaitu penerapan secara kaku pacta sunt servanda menjaga
kesucian kontrak atau penerapan klausula rebus sic stantibus.45 Dalam hal ini Goldman
berpandangan bahwa pacta sunt servanda hakekatnya berarti bahwa kontrak-kontrak yang
45 Chengwei, Liu, Remedies for Non-performance: Perspective from CSIG, UNIDROIT Principle and PECL, Chapter 19 Change of Circumstances, September 2003, diakses dari http://cisgw3.law.pace.edu/cisg/biblio/ chengwei-79 html.
33
secara hukum sah dan berjalan harus dihormati. Dengan demikian kontrak tidak dapat
diganggu gugat maupun diubah.46
Konsep rebus sic stantibus diakui dalam hukum internasional dan berkembang pada
abad XVIII dalam hukum privat, tetapi mendapat banyak kritik karena tidak kejelasan dan
tidak kepastiannya. Konsep ini harus ditafsirkan secara sempit, karena dapat berdampak
negatif terhadap kesucian kontrak (contract sanctity). Dengan makin menguatnya faham
liberalisme pada abad XIX yang menghendaki kebebasan berkontrak, klausula rebus sic
stantibus kehilangan pengaruhnya di negara-negara dengan sistem hukum kontinental (civil
law). Klausula rebus sic stantibus ini umumnya ditemukan dalam hukum internasional
publik.47
Dengan perubahan pemikiran hukum dalam abad XX yang berlandaskan pada ide
itikad baik dan persamaan, hukum kontrak telah meninggalkan doktrin kewajiban mutlak
dan sistem hukum mulai memberikan kepada salah satu atau kedua belah pihak untuk tidak
melaksanakan kewajibannya apabila suatu kontrak menjadi tidak mungkin dilaksanakan.
Menurut Liu Chengwei, perubahan ini berbeda untuk setiap negara; dalam banyak negara
pelepasan melaksanakan kewajiban ini ditampung dengan konsep “force majeure”,
sementara di Inggerís diterapkan “doctrine of frustration”. Hak untuk memberlakukan
force majeure sebagai alasan untuk tidak melaksanakan tidak dapat hanya diasumsikan,
tetapi harus dinyatakan dalam kontrak. 48
Selanjutnya, Liu Chengwei menyatakan bahwa dalam abad XX sejumlah teori baru
telah dikembangkan, misalnya imprevision, frustration of common venture, impracticability
dan Wegfall de Geschaftsgrundlage. Teori-teori ini menampung untuk situasi yang mutlak
di mana perubahan yang tidak diharapkan akan menyebabkan pelaksanaannya menjadi 46 Goldman, Berthold, The Applicable Law: General Principles of Law – the Lex Mercatoria, Lew ed. Contemporary Problems in Internacional Arbitration, London, 1986, p. 125, TLDB Document ID 112400, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/php/pub. 47 Chengwei, Liu, loc. cit. 48 Ibid
34
sangat mahal jauh diatas yang diantisipasi. Di beberapa sistem hukum, seperti Perancis
situasi tersebut tidak memberikan efek. Di sistem yang lain, seperti di Ingerís situasi
tersebut mungkin sinonim dengan “impossibility”, sementara di Jerman atau Amerika
pengadilan dapat melakukan penyesuaian kontrak.49
Hukum kontrak di Perancis tidak memberikan keringanan untuk perubahan situasi
yang menyulitkan pelaksanaan kontrak tetapi masih dapat dijalankan. Doktrin imprevision
hanya diterapkan oleh Pengadilan Tata Usaha untuk kontrak-kontrak yang berkaitan dengan
kepentingan atau perusahaan-perusahaan publik (public entities). Dalam kontrak-kontrak
komersial, harga kontrak yang disepakati tidak dipengaruhi oleh kenaikan harga atau
depresiasi mata uang. Doktrin imprevision ini dikembangkan dari asas “itikad baik” dalam
French Civil Code oleh Counsel d”Etat berkaitan dengan kontrak-kontrak yang
menyangkut pelayanan kepada publik. 50
Selanjutnya, hukum kontrak Swiss banyak mempunyai persamaan dengan Perancis.
Misalnya, Swiss Federal Tribunal telah menghentikan kontrak-kontrak jangka panjang
disebabkan oleh adanya perubahan situasi yang mendasar dan tidak dapat dilihat
sebelumnya berdasarkan asas itikad baik dalam Swiss Civil Code. Hanya terhadap
perubahan-perubahan yang tidak (tidak dapat) diantisipasi ini dan berdampak terhadap dasar
kontrak dan merubah secara mendasar kewajiban atau memperkaya salah satu pihak secara
tidak adil yang dapat diberikan keringanan; dengan demikian klausula rebus sic stantibus
diterapkan sangat terbatas.51
49 Ibid 50 Nassar, Nalga, Sanctity of Contracts Revisited, Dordrecht, Boston, London, 1995, p. 193. TLDB Document ID 105700, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/TLDN html Houtte, Hans, Changed Circumstances and Pacta Sunt Servanda, Gatllard ed., Transnacional Rules in Internacional Comercial Arbitration, ICC Oubl. Nr. 480, 4, Paris, 1993, p 116, TLDB Document ID 117300, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/TLDN html 51 Ibid
35
H. Kontrak pengelolaan migas
Kegiatan usaha hulu migas adalah industri padat modal dan berisiko tinggi. Sampai
saat ini kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di negara-negara berkembang (developing
countries) didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Situasi ini tidak akan
banyak berubah meskipun kemampuan dan keahlian di negara-negara berkembang ini telah
meningkat, karena masih dibutuhkannya risk capital dan teknologi.
Usaha eksploitasi sumber daya migas di negara-negara berkembang ini
menghubungkan pemerintah, pemilik sumber daya migas dan perusahaan swasta
multinasional yang menyediakan dana, teknologi dan peralatan yang diperlukan untuk
mengembangkan sumber daya ini dalam suatu sektor bisnis di mana taruhannya dan risiko
maupun potensi mendapatkan keuntungan cukup tinggi. Karena itu pertanyaan-pertanyaan
seperti bagaimana kemitraan itu dibina dan bagaimana keuntungan itu dibagikan merupakan
masalah-masalah mendasar yang dikedepankan oleh para pihak yang berkontrak.
Melihat perkembangan di Indonesia dan di negara-negara berkembang, dalam
perjalanannya hubungan ini sering mengalami perubahan karena beberapa faktor berikut:
1). Tujuan dari kedua pihak yang berkontrak tidak saja berbeda tetapi sering kali
bertentangan. Negara-negara yang memiliki sumber daya akan senantiasa berusaha
menggunakan penanaman modal asing untuk mengembangkan sumber daya yang
dipunyai untuk perkembangan ekonomi nasionalnya, sementara motivasi
perusahaan-perusahaan asing adalah mendapatkan keuntungan dan memaksimalkan
investasinya dengan risiko yang paling kecil.
2). Kontrak pengelolaan migas adalah berjangka panjang (lebih dari 30 tahun). Selama
kontrak berjalan kedudukan kedua pihak dapat berubah dan keseimbangan
kekuasaan dapat bergeser dari satu pihak ke pihak lain.
36
3). Hubungan ini rentan terhadap perubahaan-perubahan di luar, seperti perubahaan-
perubahaan harga minyak, politik internasional dan peristiwa-peristiwa lain.
Dengan demikian, menjadi sangat penting bagi para pihak yang berkontrak untuk
menjaga hubungan yang stabil dan saling menguntungkan.
Sebelum tahun 1950-an, kegiatan pengusahaan migas ini berbentuk perjanjian
konsesi yang memberikan kepada perusahaan-perusahaan asing hak yang sangat luas
dengan berbagai kemudahan, sementara pembayaran royalti kepada Negara sebagai pemilik
sumber daya relatif kecil, atau hubungan Pemerintah dan perusahaan tidak seimbang.
Meningkatnya rasa kebangsaan menimbulkan upaya dari Negara pemilik sumber daya
untuk mengubah hubungan ini menjadi lebih seimbang baik mengenai kepentingan, hak,
kewajiban maupun manfaat para pihak. Salah satu contoh bentuk hubungan ini adalah
seperti yang diatur dalam Perjanjian Karya atau Kontrak Bagi Hasil, yaitu hubungan antara
pemilik sebagai penguasa dan investor sebagai kontraktor.
Dari substansinya, kontrak-kontrak pengelolaan migas moderen mengandung unsur-
unsur perdata dan publik. Unsur perdata merupakan akibat logis dari sifat kontrak dan
komersial dari transaksi, sementara unsur publik meliputi kendali pemerintah, partisipasi
negara, penyediaan kebutuhan minyak dalam negeri dan keselamatan kerja dan
perlindungan lingkungan.
Naskah kontrak cukup kompleks untuk mengatur hubungan yang berjangka panjang
ini yang dibuat berdasarkan keadaan pada saat ditandatangani dan asumsi-asumsi yang
dipergunakan baru dapat diuji kebenarannya beberapa tahun kemudian. Karena itu, apabila
kerangka kerja yang mengelilingi kegiatan pengusahaan dipandang sebagai bagian dari
proses yang dinamis, di mana perubahan pola dalam hubungan pemerintah dan perusahaan
akan menggeser posisi tawar menawar kedua pihak, maka tidak dapat dihindari akan
terjadinya ketidakpuasan atas persyaratan kontrak. Desakan dari pemerintah yang minta
37
perbaikan persyaratan untuk meningkatkan penerimaan tidak saja berasal dari perubahan-
perubahan jangka panjang dalam industri migas internasional tetapi dapat juga dari
perkembangan setempat yang memperkuat posisi tawar menawar pemerintah tuan rumah.
Fenomena ini merupakan sifat yang melekat dalam kegiatan pengusahaan migas sesuai
dengan tahapannya.
Pada umumnya, dalam tahapan eksplorasi, posisi tawar menawar pemerintah relatif
agak lemah, dan akan menguat setelah ditemukan cadangan yang dapat dikembangkan
secara komersial. Di lain sisi, selama masih tidak tersedianya dana untuk eksplorasi dan
pengembangan, posisi pemerintah untuk negosiasi kembali relatif juga lemah. Posisi tawar
menawar pemerintah akan menguat apabila penanaman modal asing tidak diperlukan lagi.
Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia; misalnya permintaan Pemerintah untuk
mengubah rumusan bagi hasil mengikuti keberhasilan eksplorasi dan melonjaknya harga
minyak pada awal tahun 1970-an. Demikian pula, pada awal tahun 1980-an, Pemerintah
memberlakukan Keppres 14A pada kegiatan Kontrak Bagi Hasil yang menjadi tanggung
jawab Kontraktor. Di lain waktu, ketika Indonesia membutuhkan peningkatan kegiatan
eksplorasi untuk mengimbangi menurunnya kapasitas produksi, Pemerintah mengeluarkan
berbagai kebijakan baru untuk menarik investasi melalui pemberian insnetif tambahan.
Argumentasi antara kedua pihak pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan persepsi
mengenai risiko, yaitu siapa yang harus menanggungnya dan bagaimana risiko tersebut
harus diberi imbalan pada proses tawar menawar awal. Perubahan-perubahan persepsi
mengenai risiko ini selama kegiatan berjalan akan menimbulkan elemen ketidakpastian dan
ketegangan antara para pihak. Investor tentu mengharapkan agar investasi dalam proyek
yang berisiko tinggi ini diberi imbalan melebihi dari proyek yang tidak berisiko.
Investor asing cenderung untuk menekankan kesucian kontrak, yang dipandang
merupakan prinsip dasar yang melandasi partisipasi mereka dalam kegiatan ini. Investor
38
asing ini memerlukan jaminan tidak saja berupa manfaat untuk pemegang sahamnya, tetapi
juga untuk meyakinkan sponsor dari proyek tersebut (bank, lembaga keuangan, dan lain-
lain) bahwa proyek tersebut akan menghasilkan penerimaan yang cukup untuk membayar
pinjaman. Tujuan ini hanya akan tercapai apabila persyaratan dalam perjanjian investasi
dihormati oleh pemerintah tuan rumah.
Di sisi lain pemerintah akan menanggapinya bahwa investor asing ini tentu saja
selalu menghormati kontrak karena persyaratannya telah dirundingkan dalam keadaan yang
telah menguntungkan mereka. Kontrak ini dibuat dengan beberapa ketidakpastian
mengenai mutu dan harga dari komoditas; dengan demikian pemerintah umumnya
menghendaki kontrak tersebut cukup fleksibel dan dapat diamendemen dengan berubahnya
keadaan politik dan ekonomi baik di dalam maupun luar negeri. Karena itu pemerintah
memandang kontrak sebagai dokumen perencanaan yang dijadikan sebagai acuan dan
diamendemen dengan berkembangnya hubungan antara para pihak. Hal ini yang kemudian
sering menimbulkan perbenturan dalam kontrak-kontrak berjangka panjang.
Kemungkinan memang selalu terbuka bahwa Pemerintah dapat mempergunakan
kekuasaannya melalui haknya mengeluarkan peraturan perundang-undangan, termasuk
melakukan modifikasi atas persyaratan atau kewajiban kontrak dengan dalih untuk
kepentingan publik. Menurut Zhigue Gao, apabila hal ini dilakukan, maka dampak dari
tindakan sepihak ini hanya akan memperburuk citra Pemerintah di antara para investor.52
Para pakar dari negara tuan rumah umumnya berpendapat bahwa kontrak-kontrak
tersebut seharusnya diatur oleh hukum nasional negara tuan rumah berdasarkan prinsip-
prinsip hukum perdata internasional dan kontrak tersebut dapat diamendemen oleh
Pemerintah untuk kepentingan publik. Di lain pihak para pakar dari negara-negara Barat
52 Gao, Zhigue, International Offshore Petroleum Contracts, Towards the Compatibility of Energy Need and Sustainable Development, Dissertation Doctor of Science Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, UMI Dissertation Services, Ann Rabor, Michigan, July 1993, hlm 502.
39
berpendapat bahwa kontrak-kontrak ini adalah perjanjian internasional dan karena itu
tunduk pada asas hukum pacta sunt servanda. 53
Perbedaan pendapat ini menurut Zhiguo Gao akan terus berlanjut sepanjang masih
adanya perbenturan kepentingan. Namun, terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut
terdapat satu kesamaan pandangan bahwa kesucian kontrak tidak pernah diperlakukan
sebagai asas yang mutlak baik dalam teori maupun praktek.54 Sebagaimana dikatakan oleh
R.Y. Jennings baik asas pengambilan hak maupun asas pacta sunt servanda tidak harus
dipandang secara mutlak maupun tidak bersyarat dalam penerapannya. 55
Selanjutnya, Zhigue Gao juga menyatakan bahwa berdasarkan penelitiannya hanya
beberapa (itupun kalau ada), kontrak-kontrak migas yang tidak mengalami perubahan atau
masih dalam bentuk aslinya. Perubahan-perubahan ini meliputi terutama persyaratan fiskal
yang dilakukan melalui undang-undang atau perundingan kembali untuk mencapai
keseimbangan antara kepentingan Pemerintah dan perusahaan.56
I. Kontrak Bagi Hasil
Kontrak Bagi Hasil telah dikenal lama dan diterapkan secara luas di Indonesia, yaitu
perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Kontrak bagi hasil ini semula diatur menurut Hukum
Adat setempat. Menurut aturan Hukum Adat rumusan bagi hasil ditetapkan atas persetujuan
kedua belah pihak. Karena tanah yang tersedia untuk dibagihasilkan tidak seimbang dengan
jumlah petani yang memerlukan tanah garapan, maka rumusan bagi hasil ini umumnya tidak
menguntungkan bagi pihak penggarap.
Dalam rangka untuk melindungi golongan petani ekonomis lemah, maka pada tahun
1960 dikeluarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil (UU 53 Gao, Zhigue, op. cit., hlm 503 54 Ibid 55 Jennings, R.Y., State Contracts in International Law, British YB International Law, 1961, hlm 156: “Neither the principle of acquired rights nor the principle of pacta sunt servanda is therefore to be regarded as being necessary absolute or unconditional in its application.” 56 Gao, Zhigue, loc. cit.
40
Bagi Hasil). UU Bagi Hasil ini menetapkan aturan perjanjian bagi hasil, antara lain
mengenai rumusan bagi hasil, jangka waktu perjanjian, bentuk perjanjian dan siapa-siapa
yang diperbolehkan menjadi penggarap. Pada tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikanan.
Konsep Bagi Hasil ini kemudian dikembangkan secara nasional untuk kegiatan hulu
migas dari Hukum Perjanjian, dengan pemikiran asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338
KUH Perdata). Menurut Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana dikutip oleh T.N.
Machmud, skema bagi hasil juga sudah diterapkan dalam industri, dan pengembangan
sumber daya pertanian dan kehutanan pada tahun 1960an, namun minat untuk
menerapkannya sangat sedikit. Disamping situasi ekonomi dan politik di Indonesia pada
saat itu yang tidak kondusif untuk penanaman modal asing, persyaratan komersialnya juga
dipandang tidak realistik.57
Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa dasar dari Kontrak Bagi
Hasil di Indonesia adalah Keputusan Presiden Tahun 1962 Tentang Pinjaman dan Kredit
Berdasarkan Bagi Hasil, dan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1962 Tentang Fasilitas
Proyek Yang Dibiayai Dengan Pinjaman Luar Negeri Berdasarkan Bagi Hasil. Transaksi
demikian dalam faktanya adalah pinjaman modal, barang dan jasa (dalam bentuk pabrik
atau seluruh proyek) yang akan dibayar kembali dengan produksi. Proyek ini tidak berjalan
dengan baik, karena kurang perencanaan, kecuali satu proyek penambangan nikel di
Pomala, Sulawesi antara P.N. Tambang Umum dan SUNIDECO. 58
57 T.N. Machmud, op. cit., hlm 44, yang mengutip Mochtar Kusumaatmadja, Mining Law, University of Padjadjaran Law School, Bandung, 1974, hlm 7. 58 Ibid
BAB III
KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DI
INDONESIA
A. Perkembangan pengusahaan minyak dan gas bumi
Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum pengusahaan
minyak dan gas bumi di Indonesia telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan
politik dan ekonomi. Bab berikut membahas perkembangan pengusahaan minyak dan
gas bumi (migas) yang dapat dibagi dalam empat kurun waktu, yaitu masa sebelum
proklamasi kemerdekaan, masa awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1963, selama
masa berlakunya UU Migas 1960 dan masa setelah dikeluarkannya UU Migas 2001.
Pembahasan meliputi konsep-konsep dasar penyelenggaraan kegiatan usaha hulu
minyak dan gas bumi dan analisis peran politik dalam menetapkan kebijakan dan
karakter produk hukum yang menjadi landasan kegiatan pertambangan bahan galian
(mineral) di Indonesia.
1. Masa sebelum proklamasi kemerdekaan
Industri migas di Indonesia dimulai ketika Jan Reerink mulai melakukan
pemboran untuk mencari minyak di selatan Cirebon (Jawa Barat). Meskipun berhasil
menemukan minyak, Jan Reerink terpaksa menghentikan usahanya setelah lima tahun,
karena kekurangan modal dan hasil penemuannya dipandang tidak komersial. Upaya
pencarian minyak ini kemudian dilanjutkan oleh A.J. Zijlker, seorang manajer dalam
perkebunan tembakau di Sumatera Utara, yang mendapatkan konsesi dari Sultan
Langkat.
41
42
Pada tahun 1885 Zijlker berhasil menemukan minyak di Telaga Said (Aceh)
dalam jumlah yang cukup untuk dipasarkan (komersial). Dengan penemuan ini Zijlker
kemudian membentuk Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van
Petroleumbronnen in Nederlansch Indie yang kemudian berganti nama menjadi Royal
Dutch Company.59 Tahun 1885 ini kemudian dipandang sebagai hari jadi industri migas
di Indonesia.
Penemuan minyak di Sumatera Utara ini kemudian diikuti dengan kegiatan-
kegiatan di bagian lain Indonesia, antara lain di Kalimantan Timur berdasarkan izin
konsesi yang diberikan oleh Sultan Kutei, dan Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Pada
awal abad dua puluh ini terdapat sekitar 18 perusahaan yang aktif mencari minyak,
antara lain Shell Transport and Trading Company. Pada tahun 1907 Shell dan Royal
Dutch bergabung menjadi perusahaan dengan nama Royal Dutch-Shell, yang tumbuh
dengan pesat dengan mengambil alih perusahaan-perusahaan lain.
Royal Dutch-Shell kemudian membagi kegiatannya dalam tiga perusahaan yang
masing-masing bergerak dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran dan
transport. Melalui anak perusahaannya Bataafssche Petroleum Maatschappij (BPM),
Royal Dutch-Shell Group mendominasi kegiatan hulu migas di tanah air dengan 44
konsesi meliputi wilayah seluas 3.2 juta hektar.60
Dalam bidang peraturan perundang-undangan, Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1899 mengeluarkan Indische Mijnwet yang mengatur kegiatan pertambangan
bahan galian termasuk minyak bumi. Dengan undang-undang ini semua bahan galian
menjadi dikuasai oleh Pemerintah dan kegiatan pertambangan hanya dapat dilakukan
dengan izin konsesi yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal. Menurut Indische 59 Knowles, Ruth Sheldon, op. cit., hlm 42 - 43 60 Ooi Jin Bee, The Petroleum Resources of Indonesia, Oxford University Press, Kualalumpur, 1982, hlm 2–3.
43
Mijnwet, konsesi hanya diberikan kepada warga negara Belanda, penduduk Belanda dan
Hindia Belanda, atau perusahaan-perusahaan yang didirikan di negeri Belanda atau
Hindia Belanda. Dengan demikian, hak para Sultan untuk mengeluarkan izin konsesi
ditiadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Selain di negeri Belanda, penemuan minyak di Indonesia juga menarik perhatian
perusahaan minyak raksasa dari Amerika Serikat. Misalnya, Jersey Standard melalui
perusahaan afiliasinya yang didirikan di negeri Belanda (Nederlandsche Koloniale
Petroleum Maatscahppij atau NKPM) memperoleh konsesi diberbagai daerah di
Indonesia, umumnya merupakan daerah-daerah yang dianggap tidak prospektif oleh
Royal Dutch-Shell. Kegiatan eksplorasi NKPM gagal menemukan minyak dalam
jumlah komersial dan upaya Jersey Standard untuk memperoleh konsesi tambahan di
Jambi dan Sumatera Selatan ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Penolakan ini menimbulkan ketegangan diplomatik antara Pemerintah Belanda
dan Amerika Serikat, dan sebagai balasan terhadap tindakan Pemerintah Hindia
Belanda, pada tahun 1920 US Congress mengeluarkan “Mineral Leasing Act”, yang
memberikan wewenang kepada Pemerintah Federal untuk menolak permintaan akan
konsesi diatas tanah-tanah yang dikuasai pemerintah (public lands) oleh perusahaan-
perusahaan asing, khususnya yang berasal dari negara-negara yang menolak
memberikan konsesi kepada perusahaan-perusahaan Amerika Serikat.
Undang-undang itu terutama ditujukan kepada Belanda yang menolak
permintaan Jersey Standard dan Inggeris yang juga menolak memberikan konsesi
kepada perusahaan Amerika di wilayah jajahannya di Mesopotamia61. Berdasarkan
“Mineral Leasing Act of 1920” ini Pemerintah Federal Amerika Serikat menolak
61 Yergin, Daniel, The Price, Simon & Schuster, New York, 1991, hlm 195.
44
permintaan Royal Dutch-Shell Group memperoleh konsesi di tanah-tanah yang dikuasai
oleh Pemerintah Federal dan yang diperuntukkan bagi penduduk keturunan Indian
(Indian lands)62.
Ketika menolak permohonan Jersey Standard, Pemerintah Belanda sebenarnya
mengalami suatu dilema. Di satu pihak, Pemerintah Belanda merasa perlu untuk
memberi proteksi kepada kepentingan Royal Dutch-Shell di Hindia Belanda terhadap
pesaing utamanya, yaitu Jersey Standard, sementara di sisi lain pemberian konsesi akan
menimbulkan praktik monopoli yang mendapat tentangan di negeri Belanda mengingat
adanya saham Inggerís yang cukup besar di perusahaan tersebut. Sebagai tindak
penyelamatan pada bulan Mei 1913 Pemerintah Belanda membekukan untuk sementara
Indische Mijinwet.63
Setelah menunggu cukup lama Pemerintah Hindia Belanda akhirnya menyetujui
untuk memberikan konsesi kepada NKPM, tetapi di wilayah-wilayah yang mereka
sebenarnya tidak minta, sementara wilayah-wilayah yang diminta diberikan kepada
Royal Dutch Shell Group. Kegiatan eksplorasi NKPM di wilayah baru ini cukup
berhasil dan menjadikan NKPM produsen minyak kedua di samping Royal Dutch-Shell.
Pada saat Pemerintah Hindia Belanda akhirnya memberikan konsesi kepada NKPM
(1925), perusahaan multinasional lain dari Amerika Serikat, yaitu Standard Oil of
California mulai mengirimkan tenaga ahlinya ke Hindia Belanda untuk melakukan
survai geologi di berbagai wilayah yang kemudian diikuti dengan pengajuan
permohonan untuk memperoleh konsesi di Kalimantan Timur. Seperti halnya dengan
NKPM, Standard of California harus menunggu lebih dari 10 tahun untuk memperoleh
konsesi, itupun tidak di Kalimantan Timur (wilayah yang diminta) melainkan di
62 Knowles, Ruth Sheldon, op.cit., hlm 46 63 Ibid, op.cit., hlm 45
45
Sumatera Tengah, di wilayah yang tidak dikehendaki oleh Royal Dutch-Shell Group
karena dianggap tidak prospektif.
Menurut R.H. Hopper dalam mempertimbangkan permohonan Jersey Standard
dan Standard of California, Pemerintah Hindia Belanda mendasarkan keputusannya
pada “policy of prudence”. Dengan kebijakan yang penuh kehati-hatian ini, prioritas
untuk memperoleh konsesi diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang telah
memiliki kilang minyak, terutama untuk daerah-daerah di sekitar kilang minyak.
Kebijakan semacam ini diambil untuk memberikan kesempatan pada perusahaan yang
memiliki kilang mendapatkan suplai bahan baku untuk diolah. Di satu sisi kebijakan
yang bertujuan melindungi kelangsungan suplai bahan baku untuk kilang-kilang
pengolahan minyak yang sudah ada, cukup beralasan; namun di sisi lain kebijakan
tersebut dipandang diskriminatif yang bertujuan melindungi kepentingan Pemerintah
Kolonial Belanda dan perusahaan-perusahaan Belanda. 64
Untuk peraturan pelaksanaan, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
Mijnordonantie pada tahun 1 Mei 1907, yang kemudian diperbaharui dengan
Mijnordonantie 1930 yang dikeluarkan pada 1 Juli 1930. Selain itu Pemerintah Hindia
Belanda juga mengeluarkan Mijn Politie Reglement yang khusus mengatur Pengawasan
Keselamatan Kerja Pertambangan dan yang hingga kini masih berlaku disamping
peraturan-peraturan keselamatan kerja lain.65
Pasal-pasal yang penting dalam Indische Mijnwet antara lain:
1). Pasal 13 yang menetapkan jangka waktu konsesi untuk 75 tahun;
64 Caltex Pacific Indonesia, Pipeline to Progress: The Story of PT Caltex Pacific Indonesia, November 1983, hlm 22, yang memuat tulisan Dr. R.H. Hopper seorang mantan Executive Caltex, yang berlatar belakang pendidikan ahli geologi tetapi juga seorang penulis sejarah yang banyak menulis tentang kegiatan eksplorasi dan sejarah budaya di berbagai daerah di Indonesia. 65 Soetarjo Sigit dan S. Yudonarpodo, Legal Aspects of the Mineral Industry in Indonesia, Indonesia Mining Association (IMA), Jakarta, 1993, hlm 7.
46
2). Pasal 16 yang menetapkan bahwa pemegang konsesi mempunyai hak untuk
mengendalikan bahan galian dalam wilayah konsesinya yang berada diatas dan
dibawah permukaan tanah.
3). Bab VI yang mengatur penerimaan Pemerintah, yaitu berasal dari pajak
perseroan, iuran tetap (vast recht) yang dihitung berdasarkan luas wilayah
konsesi, dan pungutan hasil kotor pertambangan (cijns).
Dalam tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda menambahkan Pasal 5A pada
Indische Mijnwet. Penambahan Pasal 5A ini merupakan perubahan yang cukup
mendasar, karena dengan ketentuan baru ini:
1). Pemerintah berwenang untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi selama hal
ini tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan kepada penyelidik
atau pemegang hak konsesi;
2). Pemerintah dapat melakukan sendiri eksplorasi dan eksploitasi atau mengadakan
perjanjian dengan perorangan atau perusahaan di mana perusahaan wajib
melaksanakan eksploitasi atau eksplorasi dan eksploitasi; dan
3). Perjanjian demikian itu tidak akan dilaksanakan kecuali telah disahkan dengan
undang-undang (ketentuan ini kemudian hanya diberlakukan untuk kegiatan
eksploitasi berdasarkan amendemen tahun 1918).66
Dengan berlandaskan pada Pasal 5A tersebut, Pemerintah Hindia Belanda
kemudian melaksanakan sendiri usaha pertambangan migas. 67 Dalam pelaksanaannya
Pemerintah mengadakan kontrak dengan perusahaan migas dalam bentuk kontrak, yang
dapat berbentuk Kontrak Eksplorasi (Kontrak 5AE) atau Kontrak Eksplorasi dan
66 Lihat Soetarjo Sigit, Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangitan Pertambangan Indonesia, Pidato Ilmiah Penganugerhan Gelar Doktor Honoris Causa di ITB, Bandung, 9 Maret 1996, hlm 10. 67 Departemen Pertambangan, 40 Tahun Peranan Perambangan dan Energi di Indonesia 1945 - 1985, Majalah Pertambangan dan Energi, Jakarta, 1985, hlm 224
47
Eksploitasi (Kontrak 5AEE). Kontrak 5A ini memuat persyaratan tertentu antara lain
jangka waktu berlakunya 40 tahun. Berbeda dengan konsesi, Kontrak 5A dimuat dalam
Staatsblad (Lembaran Negara) karena migas dianggap sebagai bahan galian yang
penting.68
Dengan ketentuan tersebut Pemerintah dapat melaksanakan pengawasan bidang
usaha ini secara langsung. Jika dengan konsesi murni pengawasan berupa perizinan,
peraturan perpajakan dan lalu lintas devisa, maka dengan Pasal 5A ini pengawasan
diperluas dengan kekuasaan mengendalikan produksi minyak dan pembagian
keuntungan. Di samping kewajiban membayar pajak perseroan sesuai dengan
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, iuran tetap dan pungutan hasil pertambangan
(kewajiban akibat ketentuan perundang-undangan), perusahaan minyak wajib
menyerahkan bagian Pemerintah dari hasil usahanya, yang dihitung atas laba bersih
(jumlah produksi komersial dikurangi biaya eksplorasi dan produksi) menurut satu
rumusan yang ditetapkan dalam kontrak (kewajiban yang timbul dari kontrak).69
Menjelang pecahnya Perang Dunia II produksi minyak Indonesia setiap hari
telah mencapai 350 ribu barrel dengan lima kilang pengolahan minyak di Pangkalan
Susu (Sumatra Utara), Plaju dan Sei Gerong (Sumatera Selatan), Wonokromo (Jawa
Timur) dan Balikpapan (Kalimantan Timur). Sebagian besar produksi minyak di ekspor
dan dengan tingkat produksi tersebut Indonesia menduduki peringkat kelima di antara
negara produsen minyak di dunia. 68 Lihat Rokan III 5A Exploratie en Exploitatie Contract antara Pemerintah dan Nerderlandsche Pacific Petroleum Maatschapij, 12 Agustus 1949. Bagian Pemerintah diluar pajak, iuran tetap dan pungutan dihitung sebagai berikut: 25% pertama = 10%; 10% kedua = 15%; 10% ketiga = 20%; 10% keempat = 25% Diatas 55% = 30% Jumlah = 25% dari laba bersih. 69 Ibid
48
Menjelang berakhirnya perang perjuangan kemerdekaan, Pemerintah Belanda
mengeluarkan ketentuan mengenai pemberian insentif untuk usaha rehabilitasi, berupa
kelonggaran dalam penggunaan devisa yang diatur dalam suatu pengaturan keuangan
yang dikenal dengan “Let Alone Agreement”. Pengaturan ini merupakan penyimpangan
dari peraturan umum yang berlaku dalam lalu lintas devisa dengan memberikan
kebebasan kepada perusahaan minyak untuk menahan dan mengeluarkan valuta asing
berasal dari hasil ekspor minyak bumi, mengeluarkan biaya dalam valuta asing untuk
keperluan rehabilitasi dan melakukan ekspor dan impor untuk keperluan operasinya.70
2. Masa awal kemerdekaan (1945 – 1963)
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia lahir sebagai negara merdeka dengan
membawa semangat baru untuk melakukan pembaruan terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Belanda, antara lain Indische
Mijnwet. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri perang kemerdekaan,
Indonesia sepakat untuk menjamin hak para investor asing, namun demikian Pemerintah
juga ingin mendapatkan porsi yang lebih besar dari hasil penggalian kekayaan alamnya
karena merasa tidak mendapatkan hasil pembagian keuntungan yang adil dari sistem
konsesi. Keinginan ini cukup beralasan dan didukung dengan perkembangan di dunia
setelah selesainya Perang Dunia II. Misalnya, pada tahun 1948 Venezuela mempelopori
undang-undang minyak baru yang memberikan pembagian keuntungan 50–50 antara
Pemerintah dan perusahaan minyak internasional71. Prinsip pembagian keuntungan
(profit sharing principle) ini kemudian menyebar ke negara-negara produsen minyak di
Timur Tengah, yang pada tahun 1959 di Cairo menyelenggarakan konferensi pertama
70 Departemen Pertambangan, loc.cit. 71 Ghanem, S.M., OPEC: The rise and fall of an exclusive club, PKI Limited, London, 1986, hlm 12
49
Negara Produsen Arab, di mana dicapai kesepakatan agar negara-negara produsen
minyak bersatu.
Di dalam negeri, pada tahun bulan Agustus 1951 Dewan Perwakilan Rakyat
menerima mosi dari Tengku Mohamad Hasan, yang pada intinya minta agar Pemerintah
membekukan pemberian izin konsesi baru sampai dikeluarkannya undang-undang baru
tentang pertambangan menggantikan Indische Mijnwet. Dalam mosi tersebut, DPR juga
memberi tugas yang sulit kepada Komisi Pertambangan untuk memutuskan apakah
Pemerintah harus mengembalikan konsesi BPM di Sumatera Utara, di mana ditemukan
minyak untuk pertama kali di Indonesia. Pengembalian konsesi tersebut ke BPM
mendapat tatangan terutama dari Serikat Buruh yang berafiliasi dengan partai komunis
dan beberapa partai-partai politik baik di daerah maupun di pusat. Berbagai komisi
dibentuk dan menyelidiki masalah tersebut tanpa memberikan hasil.
Dengan situasi demikian, kegiatan eksplorasi di Sumatera praktis terhenti dan
fasilitas produksi dan kilang minyak yang dibangun sebelum Perang Dunia menjadi
terbengkalai dan menjadi puing-puing. Pembangunan kembali baru dapat dimulai pada
akhir 1957 setelah pimpinan Angkatan Darat mengangkat Ibnu Sutowo untuk
mengambil alih berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya dan Perang. Keputusan
ini merupakan cikal bakal berdirinya PERMINA yang setelah bergabung dengan PN
PERTAMIN dan PN PERMIGAN menjadi PERTAMINA. Dengan bantuan dari
Refican (Canada), rehabilitasi sarana produksi dapat diselesaikan yang ditandai dengan
pengiriman produksi minyak dari lapangan Katapa (Sumatera Utara) yang pertama
setelah berakhirnya Perang Dunia pada 24 Mei 1958. Pengiriman minyak 13 ribu barrel
50
ke Jepang merupakan “test case” untuk melihat tanggapan Royal Dutch-Shell yang
mungkin masih merasa memiliki hak sebagai pemegang konsesi.72
Dengan dibekukannya pemberian konsesi baru dan adanya tuntutan untuk
melakukan nasionalisasi dari kelompok yang berafiliasi dengan partai komunis, kegiatan
mencari ladang minyak baru di daerah-daerah lain juga praktis terhenti dan kegiatan
industri migas yang beroperasi pada saat itu (Shell, Stanvac dan Caltex) terbatas pada
pengembangan ladang-ladang yang sudah ditemukan sebelumnya. Seperti yang dicatat
oleh Fabrikant:
“Selama tahun 1950 terjadi pengurangan di industri migas dan kegiatan eksplorasi praktis terhenti. Pengurangan in sebagian karena berkurangnya peluang ekspor, tetapi juga karena tuntutan untuk melakukan nasionalisasi seluruh lapangan migas, yang menyebabkan pemerintah menolak menandatangani kontrak konsesi baru dan membatasi pemegang konsesi pada daerah yang ada. Juga, keberadaan panitia negara yang dibentuk pada tahun 1951 untuk membuat undang-undang pertambangan Indonesia yang selaras dengan keadaan sekarang, kesemuanya itu telah menyebabkan perusahaan-perusahaan merasa bahwa mereka beroperasi dalam masa peralihan perundang-undangan (legal twilight zone). 73
Setelah menunggu hampir sembilan tahun, pada tanggal 26 Oktober 1960,
Pemerintah akhirnya mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang untuk menggantikan Indische Mijnwet. Dengan Peraturan Pemerintah tersebut
kegiatan pertambangan diatur dalam dua undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor
37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan (UUP) dan Undang-undang Nomor 44 Prp
Tahun1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960). Sasaran
72 Departemen Pertambangan, op.cit., hlm 236 73 Lihat T.N. Machmud, op. cit., hlm 47, yang mengutip Fabrikant, Robert, Production Sharing Contracts in the Indonesian Petroleum Industry, Harvard International Law Journal, vol 16, 1975: “During the 1950s an overall retrenchment took place in the petroleum industry and exploration activities virtually ceased. Partly, this slowdown was attributed to a shortage of export opportunities. But also significant were the increasing demands for nationalization of all petroleum fields, which prompted the government to refrain from signing new concession contracts and to confine concessionaires to existing acreage. Also the existence of a state commission which had been formed in 1951, inter alia, to draft ‘an Indonesia mining law in harmony with present conditions’ all of which caused the companies to believe that they were operating in a legal twilight zone”.
51
kedua undang-undang ini adalah meletakkan dasar bagi terciptanya struktur hukum
pertambangan yang dapat menggalakkan kegiatan pertambangan sesuai dengan amanat
dalam Undang-undang Dasar.
Melihat dibutuhkan waktu hampir sembilan tahun sejak dikeluarkannya mosi
Tengku Mohamad Hasan untuk menyelesaikan undang-undang pengganti Indische
Mijnwet 1899, tampak bahwa pembahasan mengenai undang-undang ini menunjukkan
adanya perdebatan dan pertentangan yang berkepanjangan. Persoalan pokok bersumber
pada menetapkan peran modal asing dalam pengusahaan migas, karena Pemerintah tidak
memiliki dana dan ketrampilan untuk melaksanakannya. Dalam iklim politik perang
dingin, dimensi politik pertentangan dalam menyikapi upaya mengganti Indische
Mijnwet 1899 meliputi dua kelompok, yaitu:
1). Kelompok yang didominasi oleh aliran yang pro Uni Sovyet yang menuntut
dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing; dan
2). Kelompok yang melihat diperlukannya modal asing untuk membantu Indonesia
meningkatkan kegiatan pengusahaan kekayaan alamnya.
3. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960
Pasal 3 UU Migas 1960 menetapkan bahwa pertambangan minyak dan gas bumi
hanya dapat dilaksanakan oleh Negara yang pengoperasiannya dilakukan oleh
Perusahaan Negara. Termasuk dalam kegiatan pertambangan adalah eksplorasi,
eksploitasi, pengolahan, transportasi dan penjualan. Hal ini berarti bahwa Pemerintah
tetap memegang “Hak Penguasaan” dan Perusahaan Negara mendapatkan “Kuasa
Pertambangan”.
52
Struktur penguasaan dan pengusahaan migas menurut UU Migas 1960 dan UU
Pertamina dapat digambarkan dalam bagan berikut:74
Menyadari bahwa kegiatan industri migas memerlukan dana yang besar dan
ketrampilan, dalam Pasal 6 UU Migas 1960 ditetapkan bahwa Menteri Pertambangan
dapat menunjuk pihak ketiga sebagai kontraktor dari Perusahaan Negara bilamana
Perusahaan Negara tidak dapat melakukannya sendiri karena tidak tesedianya dana atau
lain-lain. Selanjutnya, Perusahaan Negara wajib mengikuti pedoman, petunjuk dan
74 Tim Bimasena, Naskah Akademik Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Bimasena, Jakarta, Juni 2002, hlm 18.
NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pemegang Hak Penguasaan
Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia dan
Penyelenggara Pengusahaan Pertambangan
Departemen yang bidang tugasnya meliputi
Pertambangan Migas selaku tata usaha,
pengawas pekerjaan dan pelaksanaan Pengusahaan
Pertambangan Migas termasuk pengawasan hasil pertambangannya
PERTAMINA Pemegang Kuasa Pertambangan
(menerima pendelegasian penyelenggaraan pengusahaan pertambangan Migas)
Pasal 33 UUD 1945
Wilayah Kuasa Pertambangan PERTAMINA
Wilayah Kuasa Pertambangan yang diusahakan sendiri oleh PERTAMINA
Wilayah Kuasa Pertambangan yang diusahakan oleh Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap sebagai Kontraktor PERTAMINA
PERTAMINA Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
Perjanjian Karya & KBH
53
kondisi-kondisi yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertambangan dalam melakukan
Perjanjian Karya dengan kontraktor.75
Dalam Peraturan Peralihan (Pasal 22 UU Migas 1960) ditetapkan bahwa semua
hak pertambangan yang diberikan kepada perusahaan bukan milik negara yang
diperoleh berdasarkan undang-undang sebelum berlakunya UU Migas 1960 akan tetap
berlaku dan dapat dilanjutkan untuk waktu yang tidak lama, yang akan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah. Pada saat UU Migas 1960 dikeluarkan, terdapat tiga
perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, yaitu Royal Dutch-Shell, Stanvac dan
Caltex dan menurut Pasal 22 UU Migas 1960 ketiga perusahaan multinasional tersebut
diberikan prioritas (preferential treatment) untuk ditunjuk sebagai kontraktor.
Sebagaimana telah diantisipasi, tanggapan tiga perusahaan asing tersebut adalah
negatif, karena sebagai perusahaan multinasional apapun yang disepakati di Indonesia
akan mempengaruhi aset mereka di negara lain yang melibatkan cadangan lebih besar.
Perundingan untuk mencapai kesepakatan berjalan cukup lama; persoalan pokok dalam
mencapai kesepakatan adalah rumusan bagi hasil dan keinginan perusahaan-perusahaan
untuk tetap memegang kendali operasi dan hak eksklusif untuk menetapkan harga
minyak.
Setelah berunding lebih dari satu tahun, Pemerintah akhirnya mengeluarkan
Keputusan Presiden, yang menetapkan pembagian keuntungan 60% untuk Pemerintah
dan harga jual minyak dan produk (BBM) ditetapkan bersama-sama dengan Pemerintah.
Meskipun iklim politik Indonesia pada tahun 1962 tidak kondusif untuk penanaman
modal asing, potensi menemukan minyak di Indonesia masih cukup mempunyai daya
tarik bagi perusahaan-perusahaan internasional yang lain. Pada bulan Juni 1962, setelah 75 Dalam naskah perjanjian, Perjanjian Karya ini diterjemahkan sebagai Contract of Work, yang kemudian dalam banyak tulisan diterjemahkan sebagai Kontrak Karya, suatu istilah yang kemudian digunakan dalam UUPMA.
54
berunding beberapa lama Pan American Oil Company (anak perusahaan Standard of Oil
Indiana) menanda tangani Perjanjian Karya dengan PN PERTAMIN untuk wilayah
kerja di Riau berbatasan dengan wilayah kerja Caltex. Persyaratan dalam Perjanjian
Karya ini mengacu pada Keputusan Presiden, yaitu rumusan bagi hasil keuntungan 60-
40 yang dihitung dengan menggunakan harga minyak yang sebenarnya direalisasikan
(realized price).
Dengan tidak adanya kemajuan dalam perundingan, pada bulan April 1963
Presiden Sukarno mengeluarkan pemberitahuan kepada tiga perusahaan minyak asing
yang beroperasi di Indonesia bahwa mereka diberi waktu tujuh minggu untuk membuat
keputusan, menerima atau menolak tawaran Pemerintah, dan apabila dalam jangka
tersebut tidak tercapai kesepakatan maka Pemerintah akan mengambil tindakan sepihak.
Ultimatum ini cukup mengejutkan pemerintah Amerika Serikat, Inggerís dan Belanda,
yang mengkhawatirkan terseretnya Indonesia dalam pengaruh Uni Sovyet. Menghadapi
ultimatum ini Presiden Kennedy memutuskan untuk mengirimkan utusan khususnya,
William Wyatt yang akan bertindak sebagai mediator. Pertemuan tiga hari yang
dilakukan di Tokyo akhirnya menghasilkan kesepakatan, di mana ketiga perusahaan
minyak tersebut sepakat untuk menyerahkan kembali konsesinya dan menjadi
kontraktor dengan persyaratan yang sama dengan Perjanjian Karya antara Pan American
Oil Company dan PERTAMIN.76
Perjanjian Karya antara PN PERMIGAN dan Royal Dutch-Shell, antara PN
PERTAMIN dan Caltex, dan antara PN PERMINA dan Stanvac meliputi lima wilayah
kerja diundang-undangkan sebagai Undang-undang Nomor. 14 Tahun 1963 setelah
76 Lihat Heads of Agreement tanggal 1 Juni 1963 antara Pemerintah Republik Indonesia, Caltex Pacific Oil Company, PT Stanvac Indonesia dan PT Shell Indonesia. Pokok-pokok kesepakatan yang terrcapai antara lain: pembagian laba operasi 60% untuk Pemerintah dan 40% untuk Perusahaan, jaminan pendapatan minimum untuk Pemerintah, Kewajiban Penyediaan Minyak untuk pasaran dalam negeri, nilai tukar mata uang, pokok-pokok menyangkut pengalihan aset kilang dan pemasaran dalam negeri..
55
mendapat persetujuan DPR. Perjanjian Karya tersebut menetapkan jangka waktu
kontrak selama 20 tahun untuk wilayah-wilayah yang sudah berproduksi dan 30 tahun
untuk wilayah-wilayah baru dekat dengan wilayah-wilayah yang sudah berproduksi.
Disepakati pula bahwa pemasaran BBM dalam negeri akan dialihkan dalam waktu lima
tahun dan kilang atau fasilitas pengolahan akan dialihkan dalam waktu sepuluh tahun
berdasarkan harga kompensasi yang disepakati bersama. Karena Caltex tidak terlibat
dalam kegiatan pengolahan dan pemasaran BBM dalam negeri, ketentuan ini hanya
berlaku untuk Royal Dutch-Shell dan Stanvac.
Dengan tercapainya kesepakatan, dalam keterangannya William Wyatt
menjelaskan bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak ikut dalam perundingan atau
bertindak sebagai arbitrator, tetapi menurutnya kehadiran wakil Pemerintah Amerika
Serikat telah memberi kesan kepada Pemerintah Indonesia bahwa Pemerintah Amerika
Serikat sangat menaruh perhatian pada tercapainya kesepakatan. Selanjutnya, menurut
Wyatt pembagian laba 60/40 sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan pembagian
keuntungan 50/50 yang berlaku di Timur Tengah. Hal ini disebabkan bahwa dalam
menghitung keuntungan Indonesia menggunakan harga penjualan yang sebenarnya dan
tanpa ada pungutan lain, sementara di Timur Tengah digunakan “posted price”, yaitu
harga yang disepakati kedua pihak.77
Ketiga Perusahaan Negara di atas didirikan sebelum tahun 1963 dengan berbagai
latar belakang. Misalnya, PERMINA didirikan oleh Angkatan Darat untuk
mengoperasikan lapangan-lapangan minyak Shell sebelum Perang Dunia di Sumatera
Utara, sementara PERTAMIN didirikan untuk mengambil alih lapangan-lapangan
minyak di Jambi dan Bunyu yang dahulu dioperasikan oleh Nederland Indische
77 Lihat Petroleum Intellegence Weekly, Mc.Graw Hill, New York, 10 Juni 1963, hlm 4-5.
56
Aardolie Maatschappij (NIAM), perusahaan patungan antara Pemerintah dan Shell, dan
habis masa konsesinya.78 PERMIGAN yang didominasi oleh kelompok berhaluan kiri
didirikan untuk mengoperasikan lapangan-lapangan Shell di Jawa Tengah (Cepu) yang
setelah berakhirnya Perang Dunia II tidak dikembalikan.79
Dengan latar belakang dan kepentingan kelompok yang berbeda, ketiga
Perusahaan Negara tampak tidak bersatu dan tidak memiliki visi yang sama dalam
menjalankan misinya. Setelah peristiwa G-30S, PERMIGAN diambil alih oleh
PERTAMINA yang kemudian disusul dengan digabungkannya PERTAMIN dan
PERMINA pada tahun 1968 menjadi PERTAMINA. Kedudukan, misi dan organisasi
PERTAMINA kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971
Tentang PERTAMINA (UU Pertamina).
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Karya yang berdasarkan UU Migas 1960,
Indonesia mempunyai landasan baru dalam mengembangkan sumber minyak dan gas
buminya. Namun perkembangan politik dalam negeri masih dipenuhi dengan
pertentangan antara kelompok yang bersimpati kepada Blok Barat dan kelompok yang
bersimpati kepada Blok Timur. Tuntutan untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-
perusahaan asing terus dilontarkan oleh kelompok yang berafiliasi dengan Partai
Komunis dan baru berhenti setelah terjadinya peristiwa G-30S. Ketidakstabilan politik
ini akhirnya memicu Shell untuk menjual semua asetnya di Indonesia kepada
PERMINA pada akhir tahun 1965 yang terdiri dari dari tiga kilang minyak dan
lapangan-lapangan minyak di Sumatera Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan
Selatan, dan Irian Jaya.
78 Departemen Pertambangan, op. cit., hlm 232. 79 Ibid, hlm 260.
57
Perdebatan mengenai Perjanjian Karya juga terus berlanjut antara dua kelompok,
yaitu yang setuju dengan Perjanjian Karya dan kelompok yang menganggap Perjanjian
Karya tidak lebih baik dari sistem konsesi. Kelompok yang tidak setuju dengan
Perjanjian Karya dipelopori oleh Ibnu Sutowo yang memimpin PERMINA dan
menjabat Menteri Negara Urusan Perminyakan dalam Kabinet Sukarno. Dalam
wawancara dengan Ruth Sheldon Knowles, Ibnu Sutowo menamakan Perjanjian Karya
sebagai “dressed-up concession agreements”.
Dalam pernyataannya Ibnu Sutowo menjelaskan sebagai berikut:
“Perbedaan yang penting antara sistem konsesi dan bukan konsesi adalah masalah kepemilikan minyak. Prinsip pokok dalam sistem konsesi adalah minyak dimiliki oleh pemerintah dalam bentuk geologi di dalam bumi, tetapi segera seseorang memproduksinya maka dia menjadi pemilik minyak tersebut. Dengan lain kata, minyak yang berada di kepala sumur dimiliki oleh perusahaan asing dan perusahaan membayar pajak 60 persen dari keuntungan penjualan minyak. Dalam perjanjian karya, setiap kita membutuhkan minyak kita dapat memintanya tetapi maksimum hanya 20 persen dari produksi. Dua aspek ini menunjukkan bahwa perjanjian karya tidak lebih baik dari sistem konsesi. Tetapi jika kita berpegang pada prinsip bahwa minyak dimiliki oleh rakyat Indonesia, maka yang pertama kendali manajemen operasi perminyakan harus berada di tangan Indonesia.” 80
Selanjutnya, menurut Ibnu Sutowo cara untuk menghilangkan perbenturan
kepentingan (conflict of interest) antara perusahaan minyak asing dan pemerintah tuan
rumah adalah menggunakan sistem bagi hasil produksi (production sharing system) dan
perusahaan minyak nasional memegang kendali manajemen. Perjanjian bagi hasil akan
80 Knowles, Ruth Sheldon, op. cit., hlm 74 – 75 yang mengutip pernyataan Ibnu Sutowo: “The most important thing in the difference between a concession and a non-concession is the matter of ownership of the oil. The fundamental principle underlying a concession, and highly favored by foreign oil companies, is that oil is owned by the government in its natural geological form, but as soon as man has done something to it, he is the owner of the oil. In the other words, oil at the well-head becomes foreign property and the company pays a tax in the form of 60 percent of the profits from the sale of the oil. Under the work contracts, whenever we want oil we have to request it from the foreign oil company, and we can ask for and obtain a maximum of only 20 percent of gross production. These two aspects indicate that the work contract is no better than the old concession, and this should be opposed. Furthermore, if we are to adhere to the principle that the oil belongs to the Indonesian people, then, first of all, the management of the oil fields must be placed into Indonesian hands”.
58
menghilangkan sengketa mengenai harga minyak yang dipergunakan untuk menghitung
keuntungan, yaitu artifisial atau dimanipulasi oleh perusahaan-perusahaan minyak untuk
kerugian pemerintah.
Dari pandangan lain, Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana yang dikutip oleh
T.N. Machmud menyatakan bahwa dari segi praktek memang Perjanjian Karya
memberikan hak dan kewajiban kepada Kontraktor sama dengan pemegang konsesi.
Misalnya, penerapan peraturan keselamatan kerja Mijn Politie Reglement tidak berbeda
dan hanya perlu mengganti kata-kata pemegang konsesi menjadi kontraktor. Namun
demikian Mochtar Kusumaatmadja tidak dapat menyetujui bahwa Kontrak Karya dan
konsesi itu sama, berdasarkan dua alasan. Alasan yang pertama ialah jangka waktu
dalam Kontrak Karya lebih terbatas, dan alasan kedua yang lebih penting dipandang dari
segi hukum ialah hak kontraktor dalam Kontrak Karya sangat berbeda dengan hak
dalam konsesi. Berdasarkan Indische Mijnwet hak konsesi adalah “right in rem” yang
dapat dijadikan jaminan, sementara hak kontraktor dalam Kontrak Karya adalah rights
in personam yang tidak dapat dijadikan jaminan. Dalam Kontrak Bagi Hasil hak
Kontraktor adalah sama dengan Kontrak Karya, yaitu “rights in personam”.81
Selanjutnya, mengkaji Article 6 dari Perjanjian Karya antara PN PERTAMIN
dan PT Caltex Pacific Indonesia dapat disimpulkan bahwa pengalihan kepemilikan
minyak (Transfer of Oil Title) berada di tempat penjualan (point of sale) dan bukan di
kepala sumur sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sutowo. Untuk minyak yang dijual ke
pihak ketiga atau pihak yang tidak berafiliasi dengan Kontraktor, maka point of sales ini
adalah pelabuhan penerima (di luar negeri) dan untuk yang dijual ke perusahaan yang
berafiliasi dengan Kontraktor atau Perusahaan Negara point of sales ini adalah
81 T.N. Machmud, op.cit., hlm 50, yang mengutip Mochtar Kusumaatmadja, op. cit. hlm 57
59
pelabuhan ekspor. Dengan demikian, dalam Perjanjian Karya maka minyak yang dijual
ke pihak ketiga selama dalam transit ke pelabuhan penerima di luar negeri masih
menjadi milik Perusahaan Negara.82
Lebih lanjut, Article 8 Perjanjian Karya menetapkan adanya “Value Committee”,
terdiri dari wakil-wakil Perusahaan Negara (PN) dan Kontraktor untuk mengkaji
kebenaran harga minyak yang dipergunakan untuk perhitungan laba apabila PN
meragukan kebenaran harga tersebut. Apabila wakil para pihak dalam Value Committee
gagal mencapai kesepakatan, maka akan ditunjuk orang ketiga yang mempunyai
reputasi internasional dan mengenal industri migas internasional. Baik Perjanjian Karya
maupun Kontrak Bagi Hasil menggunakan harga minyak yang direalisasikan oleh
Kontraktor dalam menghitung bagian masing-masing, kecuali Perusahaan Negara dapat
memperoleh harga yang lebih tinggi.
Kemudian, kewajiban Kontraktor temasuk komitmen, penyiapan Rencana Kerja
dan Anggaran yang harus disetujui Pemerintah dan Pertamina, dan sistem pelaporan
lebih dirinci apabila dibandingkan dengan Kontrak 5A. Semua fakta tersebut
mendukung pandangan Mochtar Kusumaatmadja bahwa dari aspek hukum Perjanjian
Karya tidak sama dengan sistem konsesi. Karena itu substansi perdebatan pro dan
kontra mengenai Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil tampak lebih bersifat politis.
Salah satu pihak yang menyetujui Perjanjian Karya ialah Slamet Bratanata yang
menjadi Menteri Pertambangan dalam Kabinet Suharto yang pertama. Menurut Slamet
Bratanata rumusan pembagian keuntungan (bukan produksi) sebagaimana tertera dalam
Perjanjian Karya sudah cukup bagi Indonesia dan cara yang tercepat untuk
82 Article 6 COW: “…… Title to such crude oil and products shall pass at and the value thereof shall be calculated from the point of sale. Subject to the other provision of this Article 6 PN shall have the right to receive at Contractors’ normal Sumatran export port up to twenty percent (20%) of each grade and quality of crude oil produced by Contractors from the Area less the quantity of crude oil physically lost or rendered useless or required and used for the operations ………….”
60
mengembangkan minyak dan gas bumi adalah dengan membagi wilayah-wilayah kerja
dalam blok-blok yang kecil dan menawarkannya melalui tender terbuka dengan
pembayaran bonus pada saat penandatanganan perjanjian83.
Sebagai Direktur Utama PERMINA (juga merangkap sebagai Direktur Jendral
Migas), pada bulan Agustus 1966 Ibnu Sutowo menandatangani Kontrak Bagi Hasil
dengan IIAPCO, sebuah perusahaan minyak dari Amerika Serikat untuk wilayah lepas
pantai laut Jawa, yang kemudian diikuti dengan Refican (Canada) dan dua perusahaan
dari Jepang, yaitu Japan Petroleum Exploration Company dan Kyushu untuk wilayah
kerja di lepas pantai Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.84
Pada saat bersamaan, Menteri Pertambangan mengusulkan kepada Presiden agar
meneruskan Perjanjian Karya dan mengalihkan bentuk kontrak-kontrak yang sudah
ditandatangani oleh PERMINA menjadi Perjanjian Karya. Perselisihan antara kedua
pejabat tinggi tersebut mencapai puncaknya dalam awal tahun 1967 ketika Presiden
Suharto memberitahukan kepada Menteri Pertambangan bahwa beliau telah
memutuskan untuk menerima Kontrak Bagi Hasil dan menempatkan Direktorat Jendral
Minyak dan Gas langsung dibawah kabinet. Sebagai tindak lanjut, Presiden juga
mengangkat Menteri Pertambangan baru Sumantri Brodjonegoro menggantikan Slamet
Bratanata dan menempatkan kembali Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi dibawah
Menteri Pertambangan.
Salah satu masalah yang menjadi keberatan bagi perusahaan minyak asing untuk
menandatangani Kontrak Bagi Hasil pada awalnya adalah adanya ketentuan bahwa
83 Ibid 84 Catatan Penulis: Sejarah KBH sebenarnya dimulai pada tahun 1961, yaitu pada saat penandatanganan perjanjian kerja sama antara PERMINA dan Asamera untuk suatu wilayah pertambangan di Sumatra Utara. Namun baru pada bulan Agustus 1966, bentuk KBH mulai digalakkan untuk diterapkan di Indonesia menggantikan Perjanjian Karya dengan ditandatanganinya kontrak lepas pantai pertama antara IIAPCO dan PERMINA.
61
manajemen berada di tangan PERTAMINA. Menanggapi hal ini, Ibnu Sutowo
menjelaskan kepada Donald Todd (Direktur IIAPCO yang menandatangani Kontrak
Bagi Hasil yang pertama) bahwa PERTAMINA tidak bermaksud melakukan interupsi
terhadap kegiatan operasi dalam melaksanakan haknya sebagai manajemen dalam
Kontrak Bagi Hasil, namun PERTAMINA memandang perlu tersedianya hak tersebut
untuk membuat keputusan bilamana dipandang perlu.85
Dalam upaya agar konsep Kontrak Bagi Hasil dapat diterima, Ibnu Sutowo
menerapkan strategi dasar untuk mulai menawarkan konsep tersebut kepada perusahaan-
perusahaan kecil, yang umumnya baru, tidak memiliki aset di negara asalnya dan khusus
didirikan untuk menangani Kontrak Bagi Hasil. Untuk mendukung strategi ini, dalam
melaksanakan pengawasan PERMINA tidak mencampuri terlalu ke dalam operasi
kontraktor sebagaimana yang dijanjikan oleh Ibnu Sutowo. Hal ini pada gilirannya
memberikan daya tarik kepada perusahaan-perusahaan minyak multinasional untuk
akhirnya bersedia menerima klausula “manajemen ditangan Perusahaan Negara” dalam
Kontrak Bagi Hasil. Sampai dengan tahun 1968 lebih dari 15 Kontrak Bagi Hasil telah
ditandatangani, lima diantaranya adalah perusahaan-perusahaan multinasional.
Dengan meningkatnya kebutuhan akan “risk capital”, lingkup kerja sama
minyak dan gas bumi telah berkembang meliputi lapangan-lapangan yang dioperasikan
PERTAMINA dan wilayah pertambangan yang awalnya dicadangkan untuk
PERTAMINA. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai ragam kontrak, seperti
Technical Assistance Contract (TAC), Enhanced Oil Recovery Joint Operating Body
Contract (EOR-JOB) dan Joint Operating Agreement (JOA-PSC). Meskipun bentuknya
85 Knowles, Ruth Sheldon, op. cit., hlm 76: “In explaining his concept of Indonesian management control, Genereal Ibnu said: ‘This doesn’t mean that we insist on making every decision, but we do insist on being able to make any decision we find necessary.”
62
berbeda, berbagai turunan kontrak tersebut semuanya mengacu pada ketentuan dan
persyaratan dalam Kontrak Bagi Hasil tentang pembagian hasil operasi.
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
Menghadapi era globalisasi dan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif
bagi penanaman modal di bidang migas, pada tahun 1999 Pemerintahan Habibie
mengajukan Rencana Undang-undang Tentang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas
2001) untuk menggantikan UU Migas 1960 dan UU Pertamina. RUU Migas 2001 ini
sebenarnya sudah mulai disiapkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi dalam
Kabinet Pembangunan VI tetapi baru dapat diselesaikan pada awal tahun 1998 oleh satu
tim yang dibentuk oleh Menteri Pertambangan dan Energi dalam Pemerintahan Habibie
(Kuntoro Mangkusubroto). Dalam persiapan, tim juga minta masukan dari kalangan
masyarakat yang tergabung dalam berbagai asosiasi bisnis dan organisasi profesi seperti
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Indonesian Petroleum Association,
Indonesian Gas Association, dan lain-lain.
Dalam jawaban atas pemandangan umum fraksi-fraksi DPR, pada tanggal 24
Maret 1999 Menteri Pertambangan dan Energi menjelaskan pola pikir yang mendasari
penyusunan RUU Migas 2001, yaitu semua yang merugikan rakyat baik secara langsung
maupun tidak langsung perlu diakhiri dengan menata kembali sektor yang mempunyai
peran yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan rakyat. Untuk mencapai sasaran
tersebut perlu dilakukan pemisahan yang tegas antara peran Pemerintah dan peran
perusahaan86.
86 Menteri Pertambangan dan Energi RI, Tanggapan Pemerintah Atas Pengantar Musyawarah Fraksi-fraksi, Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta, 22 April 1999.
63
Dalam RUU Migas 2001 yang disampaikan kepada DPR, perubahan mendasar
yang diusulkan antara lain:
1). Mencabut hak pertambangan yang diberikan kepada PERTAMINA dan
dibentuknya Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi
(Badan Pelaksana) untuk melaksanakan penyelenggaraan pengusahaan
menggantikan PERTAMINA. Dengan demikian, semua Perjanjian Kerja Sama
Migas akan dilakukan oleh Badan Pelaksana sebagai wakil Pemerintah.
2). Menghapuskan hak-hak eksklusif atau monopoli PERTAMINA untuk mengolah
dan memasarkan produk minyak dan gas di dalam negeri dan membuka
partisipasi swasta untuk kegiatan hilir tersebut dan dibentuknya Badan Pengatur
Kegiatan Hilir Migas sebagai regulator dalam kegiatan hilir.
3). Mengurangi subsidi BBM dengan menyerahkan harga BBM dalam negeri
kepada mekanisme pasar.
4). Mengalihkan status PERTAMINA yang didirikan dengan UU Pertamina
menjadi Persero dan memberlakukan PERTAMINA sama dengan perusahaan-
perusahaan lain. Pengalihan ini dilakukan dengan tujuan agar PERTAMINA
tidak dibebani dengan tugas pengaturan dan pengawasan dan dapat mefokuskan
usahanya dalam bisnis untuk menjadikannya perusahaan minyak terkemuka di
dunia.
5). Memisahkan kegiatan transportasi gas dari kegiatan eksplorasi dan produksi
untuk meningkatkan pemanfaatan gas dalam negeri.
6). Mengizinkan bentuk perjanjian lain disamping Kontrak Bagi Hasil untuk
kegiatan hulu.
64
7). Membagi penerimaan negara dari kegiatan migas antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
8). Meningkatkan ketrampilan perusahaan nasional dan penggunaan produk dan jasa
dalam negeri secara transparan melalui pemberian kesempatan yang sama bagi
seluruh industri.
Sebagaimana telah diantisipasi, perdebatan mengenai RUU ini cukup ramai baik
di dalam sidang DPR maupun di luar forum DPR. Pada dasarnya dapat dibedakan tiga
kelompok dalam menyikapi RUU tersebut, yaitu mereka yang tidak melihat urgensinya
mengganti UU Migas 1960, mereka yang memandang perlu diadakan pembaruan dan
penataan kembali secara komprehensif untuk memperbaiki iklim usaha yang kondusif
dalam situasi dunia yang sudah berubah, dan mereka yang setuju untuk mengganti UU
Migas 1960 dan pembaruan tetapi tidak setuju dengan penataan yang komprehensif,
termasuk penghapusan monopoli dan dialihkannya tugas pengawasan kepada bukan
BUMN. Mereka yang tidak menyetujui RUU berpendapat bahwa untuk menciptakan
iklim usaha yang kondusif cukup dilakukan dengan menghilangkan KKN dan
memperbaiki kinerja PERTAMINA.
Termasuk dalam kelompok yang tidak menyetujui RUU Migas 2001 ini ialah
PERTAMINA sendiri yang merasa tidak pernah diikut sertakan dalam membuat RUU
Migas 2001 tersebut. Sampai dengan berakhirnya Pemerintahan Habibie RUU Migas
2001 ini gagal mendapatkan persetujuan dari DPR. Dari Daftar Inventarisasi Masalah
(DIM) yang disiapkan oleh DPR diketahui bahwa permasalahan pokok adalah
berhubungan dengan penghapusan monopoli dan liberalisasi pemasaran BBM dalam
65
negeri, dialihkannya tugas pengawasan perjanjian kerja sama kepada bukan BUMN, dan
diizinkannya bentuk perjanjian diluar Perjanjian Bagi Hasil87.
Setelah dilakukan perbaikan redaksional, RUU Migas 2001 ini kemudian
diajukan kembali kepada DPR baru, sementara dengan Direksi baru sikap
PERTAMINA dalam menanggapi RUU Migas 2001 juga berubah, yaitu menyerahkan
sepenuhnya kepada kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Melalui perdebatan
yang cukup lama akhirnya dalam Rapat Paripurna pada tanggal 23 Oktober 2001 DPR
menyetujui RUU Migas 2001 yang kemudian di undang-undangkan sebagai Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Dibandingkan dengan RUU Migas 2001 yang diajukan dalam Pemerintahan
Habibie UU Migas yang disahkan ini tidak mengalami perubahan yang mendasar.
Seperti pada masa persidangan yang terdahulu, pokok-pokok masalah yang
diperdebatkan adalah penghapusan monopoli dan liberalisasi pemasaran BBM dalam
negeri dan kewenangan atau dialihkannya tugas pengawasan perjanjian kerja sama
kepada bukan BUMN.
Dengan telah diundang-undangkannya UU Migas 2001, maka konsep
penguasaan dan pengusahaan migas adalah sebagai berikut:
1). Migas yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara (penguasaan).
2) Negara memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan
pengusahaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi atau Pemerintah adalah
pemegang Kuasa Pertambangan.
87 Dewan Perwakilan Rakyat RI, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi, April 1999.
66
3) Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan
Pelaksana untuk melaksanakan penyelenggaraan pengusahaan.
4) Pelaksanaan penyelenggaraan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan
Pelaksana diwujudkan dengan melakukan Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan
Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha Tetap. KKS dapat berupa Kontrak Bagi
Hasil atau bentuk-bentuk lainnya. UU Migas 2001 tidak menjelaskan lebih
lanjut mengenai bentuk-bentuk lain, dan hanya menetapkan bahwa:
a). Pengendalian sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai titik
penyerahan;
b). Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; dan
c). Modal serta risiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap.
Struktur Penguasaan dan Pengusahaan Migas menurut UU Migas 2001 dapat
digambarkan dengan bagan berikut:88
88 Tim Bimasena, op. cit., hlm 20
NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pemegang Hak Penguasaan Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia
PEMERINTAH Pemegang Kuasa Pertambangan
(Penyelenggara atas Hak Penguasaan Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia dalam bentuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas – Pasal 33 UUD 1945
BADAN PELAKSANA Kuasa PEMERINTAH untuk
menandatangani dan Mengendalikan Manajemen Operasi Kegiatan Usaha
Hulu (Merupakan badan bentukan
Pemerintah)
Wilayah Kerja (WK)Penetapan dari
Penawaran WK oleh Menteri
Lelang umum dan penetapan WK oleh Menteri
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
Kontrak Kerja Sama
67
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Badan Pelaksana dalam menanda
tangani KKS bertindak dalam kapasitasnya sebagai kuasa dari pemegang Kuasa
Pertambangan, yaitu Pemerintah. Hal ini berbeda dengan yang diatur dalam UU Migas
1960, di mana Kuasa Pertambangan berada di Perusahaan Negara.
Sebagai tanggapan terhadap disahkannya RUU Migas 2001 tersebut dalam Rapat
Paripurna sejumlah 11 orang anggota DPR mengajukan “Minderheidsnota”, yang
intinya menyatakan bahwa mereka tidak dapat menerima, tidak menyetujui dan tidak
ikut bertanggung jawab atas disahkannya RUU Migas 2001 menjadi undang-undang.
Menurut 11 orang anggota DPR tersebut, RUU Migas 2001 memiliki kelemahan
strategis yang sangat mendasar, yaitu bertentangan atau sekurang-kurangnya tidak
sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Selain dari pada itu para
anggota DPR berpendapat bahwa:
1). RUU Migas 2001 telah mengabaikan peran serta daerah-daerah penghasil migas.
2). RUU Migas 2001 tidak mengandung klausula yang tegas yang bertujuan
memberdayakan perusahaan-perusahaan nasional.
3). Kebijaksanaan untuk menyerahkan harga minyak kepada mekanisme pasar akan
menimbulkan konflik antar Daerah.
4). Tidak melihat urgensinya untuk mengganti UU Nomor 44 Prp Tahun 1960.
5). Mengkhawatirkan implikasi hukum bilamana terjadi persengketaan dengan
investor karena dialihkannya hak pertambangan ke Pemerintah (Badan
Pelaksana).
Dari sejarah perkembangan pengusahaan migas di tanah air lebih dari satu abad
tampak bahwa pembuatan undang-undang yang mengaturnya sarat dengan kepentingan
politik penguasa. Konsep yang menunjukkan adanya kekuasaan negara atas kekayaan
68
alam merupakan faktor utama dalam menetapkan produk hukum dan kebijakan
Pemerintah.
B. Ketentuan pokok dalam Kontrak Bagi Hasil
Baik Kontrak 5A, Perjanjian Karya maupun Kontrak Bagi Hasil dapat
digolongkan sebagai perjanjian timbal balik. Sebagai konsekuensi logis dari keinginan
Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari pengembangan
sumber daya, Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil memuat ketentuan-ketentuan
yang lebih lengkap dan menyeluruh dibandingkan dengan Kontrak 5A pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda. Kecuali tentang pasal-pasal yang mengatur wilayah
kerja dan komitmen minimum kontraktor mengenai biaya dan rencana kerja dalam
tahapan eksplorasi, naskah Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil memuat ketentuan-
ketentuan baku yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
berkontrak dan persyaratan-persyaratan komersial.
Untuk Kontrak Bagi Hasil, ketentuan pokok ini pertama kali diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat Dan Pedoman Kerja
Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (PP KBH). Persyaratan ini kemudian
diperbaharui dalam Pasal 11 ayat (3) UU Migas 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor
35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP Migas), di
mana ditetapkan bahwa Kontrak Kerja Sama wajib memuat paling sedikit ketentuan-
ketentuan pokok sebagai berikut:
1). Penerimaan negara
2). Wilayah kerja dan pengembaliannya;
3). Kewajiban Kontraktor untuk mengeluarkan dana;
4). Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi;
69
5). Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
6). Penyelesaian perselisihan;
7). Kewajiban kontraktor menyerahkan sebagian dari hasil produksi yang menjadi
haknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
8). Berakhirnya kontrak;
9). Kewajiban pasca pertambangan;
10). Keselamatan dan kesehatan kerja;
11). Pengelolaan lingkungan hidup;
12). Pengalihan hak dan kewajiban;
13). Pelaporan yang diperlukan;
14). Rencana pengembangan lapangan;
15). Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
16). Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
17). Pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Selanjutnya, Pemerintah memberikan perlakuan khusus atau lex specialis
terhadap Perjanjian Karya maupun Kontrak Bagi Hasil. Dengan adanya perlakuan
khusus ini, semua ketentuan-ketentuan atau kesepakatan yang tercantum dalam kontrak
tidak akan pernah berubah, karena keluarnya peraturan perundang-undangan yang
berlaku umum (lex generalis). Kalaupun akan diubah harus terlebih dahulu dilakukan
kesepakatan baru antara para pihak untuk tercapainya jaminan kepastian hukum.
1. Hak dan Kewajiban Kontraktor
Hak dan Kewajiban para pihak dalam model Kontrak Bagi Hasil diatur dalam
Section I dan V, yang antara lain menetapkan Kontraktor bertindak sebagai operator dan
bertanggung jawab dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kegiatan
70
operasi. Dalam pelaksanaannya, Kontraktor berkewajiban menyampaikan Rencana
Kerja dan Anggaran (RKA) untuk mendapatkan persetujuan PERTAMINA
(berdasarkan UU Migas 2001 beralih ke Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu Minyak
dan Gas Bumi atau Badan Pelaksana), disamping kewajiban melaporkan hasil kegiatan
eksplorasi dan produksi dan hasil keuangan.
Kewajiban Kontraktor pokok yang lain adalah memberikan bantuan teknis
termasuk tenaga asing, mengendalikan peralatan yang dibeli, melakukan pelatihan,
melaporkan hasil operasi dan menyerahkan data operasi, dan menyediakan kebutuhan
dalam negeri (Domestic Market Obligation) yang dibatasi tidak melebihi 25% dari
bagian laba yang merupakan hak kontraktor. Untuk penyerahan DMO ini Kontraktor
menerima imbalan sebesar USD 0.20 untuk setiap barrel DMO. Sebagai insentif untuk
menggalakkan kegiatan, sejak akhir tahun 1970, dalam kontrak-kontrak yang ditanda
tangani setelah itu imbalan DMO ini dinaikkan menjadi 10% dari harga pasar dan untuk
wilayah-wilayah yang sulit menjadi 15%.
Imbalan untuk Kontraktor atas usaha dan investasinya diberikan melalui hak
mendapatkan pengembalian biaya dan pembagian laba berupa produksi. Rumusan bagi
hasil untuk laba pada awalnya adalah 65% untuk Negara dan PERTAMINA dan 35%
untuk Kontraktor. Termasuk dalam 65% penerimaan Negara pajak penghasilan dan
pajak atas dividen serta pajak-pajak lain seperti PBB, dsbnya. Dalam perjalanannya,
atas permintaan Pemerintah rumusan bagi hasil ini mengalami beberapa kali perubahan.
Perubahan yang pertama terjadi pada akhir tahun 1973 setelah meletusnya
perang di Timur Tengah yang menaikan harga minyak lebih dari lima kali. Untuk
Perjanjian Karya perubahan dilakukan dengan mekanisme pembayaran tambahan yang
dikaitkan dengan tingkatan harga dan produksi, sementara untuk Kontrak Bagi Hasil
71
dengan mengubah rumusan bagi hasil untuk harga minyak diatas USD 5.00/barrel.
Perubahan yang kedua terjadi pada awal tahun 1976 setelah terjadi krisis keuangan
PERTAMINA yang dimulai pada tahun 1975 dan diberlakukan baik untuk Perjanjian
Karya maupun Kontrak Bagi Hasil. Selain mengubah rumusan bagi hasil menjadi
85%/15%, perubahan juga dilakukan dengan memisahkan penerimaan Negara dalam
dua kelompok, yaitu:
1) Penerimaan Negara berupa Pajak Perseroan dan Dividen termaksud dalam
Peraturan Perpajakan yang berlaku pada saat penandatanganan perjanjian; dan
2) Penerimaan Negara diluar pajak-pajak tersebut dalam butir 1 di atas, termasuk
bagian produksi yang diserahkan kepada Negara sebagai pemilik sumber daya
minyak dan gas bumi, kewajiban Kontraktor menyerahkan sebagian dari hak
produksi untuk kebutuhan dalam negeri, bea masuk, iuran pembangunan daerah
(pajak bumi bangunan), bonus dan lain-lain.
Pemisahan penerimaan Negara menjadi Pajak Perseoran dan Bukan Pajak
Perseroan tersebut dilakukan untuk memenuhi permintaan para Kontraktor dari Amerika
Serikat dalam rangka memenuhi peraturan perpajakan di Amerika Serikat sehingga
kontraktor dapat memperoleh kredit pajak (tax credit) atas bagian produksi yang
diserahkan kepada Negara. Menurut US Internal Revenue Service ruling (IRS ruling
atau peraturan perpajakan Amerika Serikat), bagian produksi yang diserahkan tidak
dapat diberlakukan sebagai pembayaran pajak, tetapi hanya sebagai royalti yang tidak
dapat digunakan untuk memperoleh kredit pajak.
Persyaratan lain yang ditetapkan oleh IRS untuk dapat memperoleh kredit pajak
ini adalah adanya bukti pembayaran yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan
perpajakan yang umum berlaku dan tidak ada pembatasan pengembalian biaya (cost
72
recovery ceiling). Untuk mengakomodasi usulan sebagai kompensasi atas kesediaan
Kontraktor menerima perubahan rumusan bagi hasil, Pemerintah juga menghapuskan
ketentuan yang membatasi pengembalian biaya. Hal ini juga berarti dihapuskannya
jaminan minimum penerimaan Negara dari setiap produksi.
Dihapuskannya cost recovery ceiling ini memang tidak mengubah penerimaan
Negara yang berasal dari lapangan-lapangan dengan cadangan atau produksi yang besar,
tetapi berdampak pada penemuan-penemuan dengan cadangan yang kecil. Dengan tidak
adanya jaminan penerimaan minimum, maka PERTAMINA sering menolak usulan
Kontraktor untuk mengembangkan penemuan dengan kandungan cadangan yang kecil.
Menyadari dampak negatifnya pada kapasitas produksi Indonesia, pada akhir tahun
1980-an mengusulkan untuk memberlakukan kembali pembatasan pengembalian biaya,
tetapi dengan mekanisme yang lain, yaitu dengan menyisihkan sebagian produksi
terlebih dahulu (First Tranche Petroleum atau FTP) untuk dibagikan menurut rumusan
yang disepakati dan sisa produksi setelah dikurangi FTP dapat dipergunakan untuk
pengembalian biaya kontraktor.
Dampak negatif dari perubahan rumusan bagi hasil ini pada tahun 1976 dan
perbedaan penafsiran adalah menurunnya kegiatan eksplorasi yang baru mulai
meningkat kembali setelah Pemerintah memberikan insentif tambahan untuk
pengembangan lapangan-lapangan baru. Insentif ini berupa perubahan rumusan bagi
hasil menjadi 80%/20% untuk penemuan-penemuan yang marginal (dibawah 10
ribu/barrel per hari) dan mendorong penggunaan teknologi yang lebih maju untuk
meningkatkan cadangan yang dapat diambil. Untuk wilayah kerja yang terpencil dan
laut dalam (dikenal sebagai frontier areas), rumusan bagi hasil untuk minyak menjadi
65%/35%, atau sama dengan yang berlaku pada saat KBH diperkenalkan pertama kali
73
pada pertengahan tahun 1960an. Insentif ini hanya diberikan untuk kontrak-kontrak
baru.
2. Hak dan Kewajiban PERTAMINA/Badan Pelaksana
Berbeda dengan Perjanjian Karya, dalam Kontrak Bagi Hasil ditetapkan bahwa
PERTAMINA atau Badan Pelaksana memegang kendali atas manajemen; namun
demikian, apa yang dimaksudkan dengan manajemen tidak dijelaskan secara rinci dalam
naskah kontrak. Dari Section V dan IV The Coastal Plain Pekanbaru Production
Sharing Contract between PERTAMINA and Texaco Overseas Petroleum Company
and California Asiatic Oil Company (CPP PSC) dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksudkan manajemen berada ditangan PERTAMINA adalah kewenangan
memberikan persetujuan atas RKA (termasuk Rencana Pengembangan Lapangan). 89
Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 10 PP KBH. Selanjutnya Pasal 11 PP KBH
menyatakan kewajiban Kontraktor untuk minta persetujuan PERTAMINA mengenai
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja (RPTK). Baik naskah Kontrak Bagi Hasil maupun
PP KBH tidak mengatur kewajiban Kontraktor minta persetujuan terlebih untuk
pembelian barang dan peralatan dan pengadaan jasa.
89Section V CPP PSC: “Pertamina shall have and be responsible for the management of the operations contenmplated hereunder; however, Pertamina shall assit and consult with Contractor with a view to the fact Contractor is responsible for the Work Program.” Section IV. (1.3) CPP PSC: “At least three (3) months prior to the beginning of each Contract Year or at such other times as otherwise mutually agreed by the Parties Contractor shall prepare and submit for approval to Pertamina a Work Program and Budget for the Contract Area setting forth the Petroleum Operations which Contractor proposes to carry out during the existing Contract Year.” Section IV. (1.4) CPP PSC: “Should Pertamina wish to propose a revision as to certain specific features of said Work Program and Budget, it shall within thirty (30) days after receipt thereof so notify Contractor specifying is reasonable details its reasons therefor. Promptly thereafter, the Parties will meet and endevaor to agree on the revisions proposed by Pertamina. In any event, any portion of the Work Program as to which Pertamina has not proposed a revision shall in so far as possible be carried out as prescribed herein” Section IV (1.6) CPP PSC: “Pertamina agrees that the approval of a proposed Work Program will not be unreasonably withheld.”
74
Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2) huruf (b) PP Migas disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan pengendalian manajemen operasi adalah pemberian persetujuan atas
Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), Rencana Pengembangan Lapangan (Plan of
Development atau POD) serta pengawasan terhadap realisasi dari rencana tersebut.
Suatu hal yang tampak masih memerlukan penafsiran adalah lingkup pengawasan
terhadap realisasi RKA dan POD, khususnya menjawab pertanyaan apakah pengawasan
dilaksanakan melalui “post audit” seperti yang diterapkan dalam Perjanjian Karya atau
tetap mengsyaratkan agar Kontraktor minta persetujuan terdahulu untuk merealisasikan
setiap kegiatan dalam RKA dan POD, sebagaimana yang telah berjalan sebelum UU
Migas 2001. Kesepakatan para pihak dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan ini
penting dalam rangka penciptaan iklim investasi yang kondusif dan kesucian kontrak.
Lebih lanjut, Section V.1.3 (b) CPP PSC menetapkan bahwa PERTAMINA
berkewajiban membantu Kontraktor dalam pelaksanaan Rencana Kerja dengan
menyediakan sarana, suplai dan tenaga kerja, mendapat visa, izin kerja, transportasi, dan
perlindungan keamanan dan hak memasuki wilayah kerja apabila diminta oleh
Kontraktor. Selain hasil finansial dari kegiatan operasi, hak PERTAMINA seperti
diatur dalam Section V ini meliputi kepemilikan data asli yang didapat dari kegiatan
operasi dan dapat menggunakan peralatan yang ada untuk keperluan PERTAMINA
setelah persetujuan dari Kontraktor.
C. Kegiatan hulu migas
Dengan meningkatnya jumlah kontrak kerja sama dalam bentuk Perjanjian
Karya dan Kontrak Bagi Hasil, produksi minyak dan gas Indonesia melonjak dari sekitar
600 ribu barrel setiap hari pada akhir tahun 1967 menjadi 1.7 juta barrel pada tahun
1975 dan pada tahun 1977 Indonesia melakukan ekspor yang pertama gas alam cair
75
(LNG). Data statistik sebagaimana terlihat dalam Tabel 1, menunjukkan bahwa kegiatan
eksplorasi dan tingkat keberhasilan cenderung menurun dengan makin matangnya
Wilayah Kerja yang sudah berproduksi dan beralihnya kegiatan eksplorasi ke Wilayah
Kerja baru dengan sasaran yang umumnya lebih tersembunyi dan sulit. Dampak
menurunnya kegiatan eksplorasi tersebut ialah menurunnya kapasitas produksi
Diharapkan kecenderungan menurunnya kegiatan eksplorasi ini dapat dihentikan
dengan mulai bekerjanya kontrak-kontrak baru yang ditanda tangani. Namun demikian,
peningkatan produksi (kalau ada) diperkirakan untuk sementara, kecuali ditemukan
ladang-ladang baru dengan cadangan yang besar.
Sementara itu produksi gas relatif stabil dan cenderung meningkat dengan
ditemukannya lapangan-lapangan gas baru di Sumatera Selatan, Sulawesi dan Papua.
Dengan penemuan-penemuan ini cadangan gas telah melebihi cadangan minyak, dan
dalam waktu dekat ini akan merupakan sumber devisa utama.
Tabel 1
Kegiatan Eksplorasi dan Produksi
Tahun KPS Baru
TAC Baru
Seismik Juta km
Sumur Eksplorasi
Ladang Baru
Investasi Expl/Dev. Juta USD
Produksi Minyak *) Barrel/Hari
ProduksiGas TCF
1997 19 10 388 100 28 1,840 1,418 3,164 1998 15 7 260 145 21 2,068 1,401 3,166 1999 4 0 175 89 19 1,311 1,351 2,979 2000 1 4 166 82 34 1,289 1,272 3,068 2001 8 2 284 62 ? 1,158 1,214 2,807 2002 1 4 150 73 20 1,119 3,180 2003 5 0 < 150 51 13 1,124 1,150 3,300
*) Tidak termasuk kondensat
Sumber: Dirjen Migas & US Petroleum Report
76
Khusus mengenai kontrak-kontrak baru, data dari Direktorat Jenderal Minyak
dan Gas Bumi (Ditjen Migas) menunjukkan bahwa pada tahun 2002 Pemerintah
menawarkan 17 blok baru, tetapi hanya satu yang diminati dan ditutup dengan kontrak,
yaitu blok dilepas pantai Muara Bakau di Selat Makasar (Konsorsium Enilasmo
Company di Indonesia & Unocal Indonesia). Komitmen kerja dari konsorsium tersebut
antara lain kesediaan melakukan investasi sebesar USD 35 juta selama enam tahun
pertama untuk eksplorasi.
Rendahnya minat terhadap tender tersebut disebabkan blok yang ditawarkan
bukan merupakan wilayah yang dianggap prospektif oleh investor. Mengambil
pengalaman tersebut, maka dalam tender berikutnya lima dari 11 blok yang ditawarkan
adalah wilayah yang diminati dan diusulkan oleh investor untuk dimasukkan dalam
tender. Dari hasil tender, tujuh blok ternyata diminati oleh investor dan enam
diantaranya telah menanda tangani kontrak. Komitmen kerja dan investasi dari ketujuh
blok tersebut berjumlah USD174 juta. Sebagaimana pada kontrak sebelumnya, pola
bagi hasil untuk lima kontrak yang baru disesuaikan dengan kesulitan wilayah kerja,
yaitu mengacu pada paket insentif yang diterbitkan pada awal tahun 1990an.
Seperti terlihat dalam Tabel 1, kontrak migas baru yang ditanda tangani dalam
dua tahun terakhir berada jauh dibawah periode 1997 – 1999 baik dari segi jumlah
kontrak maupun besarnya komitmen kerja dan investasi. Disamping itu, sebagian besar
pengikut dan pemenang tender kali ini adalah perusahaan dalam negeri dan muka baru.
Dari enam kontraktor, empat diantaranya adalah perusahaan dalam negeri dan dua
berasal dari Singapura dan Malaysia.
Hasil ini menunjukkan meningkatnya kesediaan investor dalam negeri
menanamkan “risk capital”. Disisi lain, hasil ini menunjukkan menurunnya minat
77
investor asing untuk menanamkan “risk capital” di Indonesia. Kecenderungan ini juga
terlihat dari meningkatnya perusahaan migas asing melepaskan kontraknya di Indonesia,
yang kemudian membuka kesempatan bagi pengusaha dalam negeri untuk mengambil
alih. Pada umumnya para kontraktor asing yang saat ini beroperasi di Indonesia
menfokuskan usahanya untuk memperbaiki produksi (dan arus kas) dari aset yang ada
dan belum bersedia melakukan investasi yang besar dan berisiko tinggi.
Kemampuan finansial perusahaan dalam negeri masih perlu dibuktikan melalui
pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan komitmen dalam kontrak berupa program
kerja dan investasi. Pengalaman pahit PERTAMINA dengan para pemegang kontrak
TAC dari dalam negeri seyogyanya tidak terulang untuk menjamin terlaksananya
program eksplorasi. Dari hampir 40 perusahaan dalam negeri yang memiliki TAC
(kecuali dua) telah mengalihkan kontraknya kepada perusahaan asing, sementara 65%
dari TAC tidak berjalan karena kesulitan mendapatkan pendanaan atau mitra usaha.
Alasan tidak berjalannya TAC bermacam-macam; selain terbatasnya dana untuk
memulai (termasuk pembayaran bonus), banyak pemegang TAC dari dalam negeri tidak
memiliki komitmen untuk mengambil risiko. 90
Tabel 2 berikut adalah data statistik mengenai kegiatan eksplorasi,
pengembangan dan produksi Indonesia dibandingkan dengan negara lain. 91
Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2, pangsa Indonesia di antara 15 negara
produsen migas di dunia cenderung menurun sejak akhir tahun 1970-an. Data ini
mencerminkan bahwa kedudukan atau posisi bersaing Indonesia menarik risk capital
90 Madjedi Hasan, op.cit., hlm 30 91 ibid, hlm 23
78
untuk kegiatan usaha hulu migas cenderung memburuk (deteriorating), yang berdampak
dengan menurunnya kapasitas produksi Indonesia.92
Tabel 2
Indonesia’s Percent Share of a Group of 15 Countries*
Activity 1974 1977 1982 1987 1992 1997
Production 27% 27% 18% 14% 13.6% 11.4% Exploratory Wells 34% 24% 21% 11% 10% 9.4% Seismic Surveys NA 21% 18% 8% 8% NA Development Wells 46% 52% 38% 37% NA NA SLC Price - $/B 6.50 12.80 34.93 17.69 17.35 19.05 *) Columbia, Trinidad, Norway, UK, Angola, Cameron, Egypt, Nigeria, Tunisia,
Malaysia, Pakistan, Thailand, Australia, New Zealand.
Penyebab utama menurunnya kegiatan minyak dan gas bumi di tanah air ini
tidak disebabkan oleh berkurangnya persepsi investor terhadap potensi sumber daya
migas di Indonesia, turunnya harga minyak atau gejolak politik, tetapi oleh
pertimbangan komersial, yaitu faktor-faktor yang memberi dampak negatif pada laju
pengembalian modal kontraktor, seperti tata cara administrasi, cara-cara penentuan
harga minyak, menjelang masa berakhirnya kontrak dan lain-lain. 93
Memburuknya iklim usaha ini disebabkan antara lain oleh meningkatnya
birokrasi yang berdampak pada pelaksanaan program kerja karena keterlibatan
PERTAMINA yang dirasakan berlebihan dalam melaksanakan hak manajemen.
Penyebab yang lain ialah meningkatnya kebijakan sektoral dari Departemen Teknis 92 ibid, hlm 22 93 ibid, hlm 20: “This prolonged regression of Indonesia’s competitive position was clearly not attributable to crude oil market conditions or the amount of available risk capital for worldwide oil industry ventures. Also, Indonesia’s political climate had been stable during that time; therefore, Indonesia’s relative political climate did not seem to be contributing to the decline. The investor’s perception of the potential for additional oil exploration, development and enhanced oil recovery within Indonesia was considered to be good to excellent. All the possible factors of significance appear to be eliminated except for commercial consideration, namely those factors impacting adversely on the investor’s return such as contract terms, administrative procedure, crude pricing practices, approaching contract termination dates, etc.”
79
dalam pemerintahan dalam pelaksanaan kontrak. Misalnya, melalui kekuasaan
perundang-undangan, kepada PERTAMINA dan Kontrak Bagi Hasil diberlakukan
Keppres tentang tatacara pengadaan barang dan jasa yang awalnya diperuntukan untuk
instansi pemerintahan. Diberlakukannya Keppres tersebut menimbulkan biaya ekonomi
yang tinggi akibat birokrasi dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 94
Kesimpulan yang sama dapat dilihat dari hasil survai yang dilakukan oleh
PriceWaterhouseCoopers. Survai yang dilakukan dalam awal tahun 2002 melibatkan
sebelas pimpinan perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia. Survai yang diadakan
menghadapi dikeluarkannya UU Migas 2001 bertujuan memperoleh gambaran
mengenai pandangan para eksekutif terhadap hari depan industri migas di Indonesia dan
permasalahan-permasalahan apa yang menjadi kendala operasional. Hasil survai
PriceWaterHouse Coopers disajikan dalam Tabel 3.95
Table 3
Hasil Survai PriceWaterhouseCooper Peringkat Parameter untuk Investasi di Indonesia
1 = Paling menarik 5 = Paling tidak menarik
Parameter Nilai Peringkat
Geological Prospectivity 1.7 Paling menarik The existing PSC framework 2.6 Trained workforce 3.4 Foreign Ownership Regulatory 3.5 Contract and Project approval process 3.6 Infrastructure 4.1 Regulatory framework 4.5 Paling Tidak Menarik
94 Lihat Madjedi Hasan, op.cit, hlm 23 - 26. 95 PriceWaterhouseCoopers, CEO Survey – Upstream Oil & Gas, October 2002, hlm 5.
80
Kesimpulan dari hasil survai adalah bahwa faktor yang paling menarik untuk
investasi di bidang migas adalah “geological prospectivity”. Pandangan ini juga
didukung oleh survai yang dilakukan oleh Robertson Research pada tahun 2001 di
antara 85 perusahaan multinational di 46 negara diluar Amerika Utara menempatkan
Indonesia dalam 10 besar untuk eksplorasi setelah Iran, Libya, Aljazair, Australia,
Brazil, Inggris, Mesir dan Angola.96 Kerangka kontrak dalam bentuk Kontrak Bagi
Hasil bukan merupakan kendala, meskipun mereka mengharapkan adanya beberapa
perbaikan dalam persyaratan komersial dengan penambahan insentif untuk
pengembangan sumber daya gas bumi.
Namun demikian, para eksekutif tersebut juga menyatakan keprihatinannya
melihat terganggunya stabilitas Kontrak Bagi Hasil dalam beberapa tahun terakhir ini,
terutama yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan (regulatory framework).
Diharapkan agar Pemerintah segera melakukan tindakan-tindakan perbaikan dan
menjaga agar ketentuan-ketentuan dalam kontrak dipatuhi (contract sanctity) untuk
perbaikan iklim investasi.
Hal ini mengisyaratkan bahwa iklim usaha yang sehat perlu segera diwujudkan.
Kecenderungan yang meningkat untuk bergabung, konsolidasi dan akusisi yang terjadi
di industri migas dalam 5 tahun terakhir menempatkan anggaran eksplorasi hanya di
beberapa tangan, karena itu jumlah pemain yang mencari lahan eksplorasi berkurang.
Penyesuaian persyaratan kontrak yang lebih besar perlu diantisipasi menghadapi
kompetisi yang makin ketat untuk mendapatkan “risk capital”.97
Selanjutnya, hasil survai PriceWaterhouseCoopers melaporkan adanya 10
permasalahan pokok yang dihadapi industri migas dewasa ini, lima yang teratas adalah:
96 Oil and Gas Journal, 29 March 2000. 97 Madjedi Hasan op.cit., hlm 28
81
1). Tidak adanya kejelasan mengenai peran daerah dan pusat setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Otonomi Daerah.
2). Intervensi instansi Pemerintah lain seperti dalam bidang perpajakan.
3) Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
4) Hubungan masyarakat.
5). Keamanan meliputi aset, personalia dan hak milik.
Untuk melengkapi analisis, wawancara telah pula dilakukan melibatkan
beberapa Senior Executive empat Kontraktor Kontrak Bagi Hasil yang beroperasi di
Indonesia. Seperti hasil survai PriceWaterhouseCoopers, para Senior Executive
berpendapat bahwa Indonesia masih tetap menarik dari segi prospek dan kerangka
kontrak. Menurut mereka, persoalan pokok yang segera memerlukan perbaikan adalah
masalah-masalah yang berhubungan dengan keamanan, kepastian hukum dan kesucian
kontrak.
Masalah-masalah yang dikedepankan dalam aspek kepastian hukum adalah
berkaitan dengan integritas peradilan dan penegakan hukum di Indonesia, sementara
masalah berkaitan dengan kesucian kontrak adalah diberlakukannya ketentuan-
ketentuan baru pada kontrak yang sedang berjalan dan berdampak pada penerimaan
Kontraktor. Tidak adanya kepastian hukum dan kesucian kontrak telah menyulitkan
para investor untuk mengevaluasi prospek investasi di Indonesia.
D Permasalahan berasal dari penafsiran kontrak
Sebagaimana diketahui dalam setiap hubungan kontraktual, kemungkinan
terjadinya perselisihan antara para pihak akan selalu terbuka yang meliputi berbagai
ragam masalah. Dalam hal pelaksanaan KBH di Indonesia, permasalahan tersebut dapat
dikelompokkan berdasarkan sumbernya, yaitu yang berasal dari penafsiran ketentuan-
82
ketentuan dalam kontrak dan yang berasal dari faktor eksternal seperti kebijakan
Pemerintah. Berikut ini akan disajikan beberapa permasalahan dari kelompok pertama,
sementara permasalahan yang berasal dari kebijakan Pemerintah akan dibahas dalam
Bab IV.
Untuk penyelesaian permasalahan berasal dari perbedaan penafsiran, baik
Kontrak Bagi Hasil maupun kontrak yang terdahulu telah memberikan forum untuk
menyelesaikannya, yaitu forum arbitrase apabila gagal mencapai kesepakatan melalui
konsultasi. Perbedaan penafsiran yang dominan dalam akhir tahun 1970-an dan awal
tahun 1980-an dan berdampak negatif terhadap upaya peningkatan kapasitas produksi
Indonesia adalah penentuan status komersial penemuan-penemuan dengan cadangan
yang marjinal dan insentif untuk pengembangan lapangan-lapangan baru dan penerapan
teknik produksi lanjutan untuk meningkatkan pengurasan cadangan (secondary
recovery).
Perbedaan penfasiran ini berasal tidak diberikannya definisi yang jelas dalam
kontrak atau tidak jelasnya parameter yang dijadikan acuan, misalnya apa yang disebut
dengan lapangan baru dan secondary recovery dan kriteria teknis untuk
mendapatkannya. Kemudian parameter keekonomian apa yang seharusnya digunakan
dalam menentukan status komersial, apakah yang umum digunakan seperti Net Present
Value, Internal Rate of Return dan Payout, atau cadangan minimum yang akan diterima
oleh PERTAMINA. Jika yang pertama yang dijadikan acuan, maka putusan akhir ada
pada Kontraktor, sementara dalam hal yang kedua PERTAMINA yang akan
menentukan. Namun, mengingat bahwa modal investasi dan risiko kegagalan
sepenuhnya merupakan beban Kontraktor, maka sudah sewajarnya apabila parameter
keekonomian umum yang dipergunakan.
83
Permasalahan ini yang berdampak dengan tertundanya pengembangan lapangan-
lapangan baru dan proyek-proyek untuk meningkatkan pengurasan cadangan akhirnya
dapat diselesaikan melalui mediasi Pemerintah dengan memasukkan kembali ketentuan-
ketentuan mengenai pembatasan pengembalian biaya yang dihapuskan dalam KBH
generasi II melalui mekanisme First Tranche Petroleum (FTP). Dengan mekanisme ini
jumlah produksi yang dapat dipergunakan untuk pengembalian biaya dibatasi, sehingga
Pemerintah akan selalu menerima hasil produksi dari setiap penemuan yang
dikembangkan. Meskipun demikian, masalah tersebut masih muncul dari waktu ke
waktu.
Permasalahan ini disebabkan masih adanya perbedaan antara pemilik sumber
daya dan kontraktor dalam memperkirakan jumlah cadangan migas yang dapat
diproduksikan. Perkiraan besarnya cadangan dari suatu penemuan bersifat dinamis,
yang berubah sesuai dengan tahapan pengembangan pada saat dilakukan penilaian. Dari
segi teknik, perkiraan besarnya cadangan yang dapat diambil tersebut cukup kompleks
karena dipengaruhi berbagai faktor teknologi, finansial dan politik.
Perkiraan besarnya cadangan dan waktu eksploitasinya cenderung pesimistik,
karena definisi mengenai cadangan yang dapat diambil (recoverable reserves) erat
kaitannya dengan parameter ekonomi tertentu, misalnya harga minyak, makin tinggi
harga minyak makin besar cadangan yang dapat diambil. Alasan yang lain adalah
adanya fakta bahwa metodologi yang dipergunakan dalam membuat perkiraan belum
mampu memprediksi perkembangan teknologi dalam teknik penambangan dan proses.
Namun demikian, berbagai asosiasi profesi dan institusí telah menerbitkan semacam
pedoman yang seharusnya dapat dijadikan acuan dalam KBH.
BAB IV
ASAS PACTA SUNT SERVANDA DIHUBUNGKAN DENGAN
KONTRAK BAGI HASIL
A. Kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil
Mengingat kompleksitas hubungan pemerintah tuan rumah dan perusahaan
asing, maka kemungkinan terjadinya perselisihan mengenai persyaratan kontrak akan
selalu terbuka yang meliputi berbagai masalah. Permasalahan yang rumit adalah yang
berasal dari kebijakan Pemerintah.
Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah timbulnya pertanyaan-pertanyaan
mengenai apakah dan bagaimana asas pacta sunt servanda dapat diterapkan dalam
Kontrak Bagi Hasil dihubungkan dengan hak investor dan bagaimana akibat hukum atas
kontrak yang dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan lama saat kontrak
ditanda tangani dihubungkan dengan dikeluarkannya undang-undang baru dalam KBH
yang sedang berjalan?
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka pertama-tama harus
ditentukan terlebih dahulu kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil. Dalam
pembahasan perlu dibedakan keadaan sebelum UU Migas 1960, selama UU Migas 1960
dan setelah dikeluarkannya UU Migas.
1. Dalam Kontrak 5A
Dalam Kontrak 5A ini para pihak dalam kontrak adalah Pemerintah (diwakili
oleh Kepala Dinas Pertambangan) dan perusahaan minyak yang ditunjuk. Dalam
perjanjian ini kedudukan para pihak adalah sejajar; karena itu sebagai subjek hukum
perdata, Pemerintah harus memposisikan dirinya sejajar dengan mitranya dalam
84
85
pemenuhan kewajiban dan hak seperti yang tercantum dalam kesepakatan. Sebagai
subjek hukum perdata Pemerintah dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga dan dapat
pula digugat atau menggugat di pengadilan perdata.
2. Sebelum UU Migas 2001
Abrar Saleng berpandangan bahwa menurut UU Migas 1960 kedudukan
Pemerintah berada di atas para pihak, karena PERTAMINA yang bertindak sebagai
pihak yang menandatangani kontrak. Dengan kedudukan demikian, Pemerintah dapat
memposisikan dirinya sebagai pembimbing atau pengawas yang dapat mencegah
timbulnya sengketa. Kalaupun terjadi sengketa, Pemerintah dapat menjadi mediator
atau wasit sebelum sengketa para pihak di bawa ke forum arbitrase98
Pendapat bahwa Pemerintah dapat memposisikan sebagai pembimbing atau
pengawas yang dapat mencegah sengketa tentunya hanya berlaku pada penyelesaian
sengketa yang berkaitan dengan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam kontrak, tetapi
tidak untuk permasalahan yang berasal dari perubahan kebijakan Pemerintah.
Sebagaimana akan dibahas di bawah sebagian permasalahan dalam pelaksanaan Kontrak
Bagi Hasil yang berdampak negatif pada kegiatan hulu berasal dari perubahan kebijakan
Pemerintah ini. Masalah-masalah yang dapat dikedepankan antara lain usulan
perubahan rumusan bagi hasil dan kebijakan Pemerintah mengenai harga minyak,
penerapan Keppres Nomor 14A dalam kegiatan Kontrak Bagi Hasil dan perpajakan,
khususnya mengenai Pajak Pertambahan Nilai.99
Analisis kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil dapat juga ditinjau
dari sudut pandang berikut. Meskipun tidak diundang-undangkan sebagai undang-
undang seperti pada Perjanjian Karya, penandatanganan kontrak dilakukan setelah 98 Abrar Saleng, op. cit., hlm 160 – 161. 99 Lihat Madjedi Hasan, op. cit., hlm 23 – 27.
86
mendapatkan persetujuan Presiden yang merupakan mandataris MPR. Sebagai tanda
persetujuan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Pertambangan ikut menandatangani
Kontrak Bagi Hasil. Penandatanganan oleh Pemerintah dalam naskah perjanjian ini
baru dilakukan setelah diundang-undangkannya UU Pertamina dan mengacu pada
Penjelasan Pasal 12 UU Pertamina yang menyatakan:
“Dalam mengadakan kerja sama ini harus diusahakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi Negara. Dengan sendirinya Pemerintah hanya akan menyetujui kerja sama ini setelah Dewan Komisaris Pemerintah mengizinkan Perusahaan mengadakan kerja sama. Setiap Kontrak Production Sharing yang telah disetujui oleh Presiden diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”100
Menurut T.N. Machmud, keikutsertaan Pemerintah menandatangani Kontrak
Bagi Hasil tidak harus diartikan bahwa Pemerintah merupakan pihak dalam perjanjian,
melainkan lebih pada penunjukan berlakunya perjanjian.101 Pandangan T.N. Machmud
ini tampaknya hanya melihat permasalahannya dari segi naskah formal kontrak.
Dengan melandasi penafsiran pada konsep penguasaan dan pengusahaan berdasarkan
baik UU Migas 1960 dan UU Pertamina maupun UU Migas 2001, maka keikutsertaan
Pemerintah menandatangani kontrak dapat juga diartikan sebagai jaminan Pemerintah
bahwa PERTAMINA akan mentaati dan menjalankan kewajibannya sesuai dengan
kontrak.
Dari struktur organisasi PERTAMINA dapat disimpulkan bahwa sebagaimana
ditetapkan dalam UU Pertamina, Pemerintah berperan aktif dalam membuat kebijakan
umum. Pasal 16 ayat (1) menyatakan bahwa Dewan Komisaris Pemerintah untuk
100 Penandatanganan KBH dilakukan setelah Menteri Pertambangan dan Energi mendapat persetujuan dari Presiden. Selanjutnya, dalam Perjanjian Karya, pihak yang menandatangani Perjanjian atas nama Pemerintah adalah Direktorat Minyak dan Gas Bumi yang bernaung dibawah Departemn Perindustrian Dasar. Selain memberikan pengesahan, penandatangan ini juga memuat pernyataan bahwa Pemerintah akan mentaati kesepakatan dalam kontrak sebagaimana terlihat dari pernyataan berikut: “The Directorate of Oil and Gas of The Ministry of Basic Industry/Mining, acting for and on behalf of the Republic of Indonesia, hereby approves the within and foregoing Contract and agrees to be bound by its provisions.” 101 T.N. Machmud, op. cit. hlm 56
87
Pertamina (DKPP) menetapkan kebijaksanaan umum PERTAMINA, mengawasi
pengurusan PERTAMINA dan mengusulkan kepada Pemerintah langkah yang perlu
diambil dalam rangka menyempurnakan pengurusan PERTAMINA termasuk susunan
Direksi PERTAMINA.
Selanjutnya, Pasal 16 ayat (2) sampai dengan ayat (6) UU Pertamina
menetapkan bahwa anggota DKPP diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Anggota DKPP terdiri atas tiga anggota, yaitu
Menteri dalam bidang pertambangan sebagai Ketua, Menteri Keuangan sebagai Wakil
Ketua dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai anggota. Apabila
dipandang perlu Presiden dapat menambah sebanyak-banyaknya dua orang Menteri.
Dengan demikian diharapkan Menteri yang merangkap anggota DKPP akan
mempertimbangkan dampak dari kebijakan publik yang akan dikeluarkan oleh
Departemen Teknis yang dibawah pimpinannya terhadap pelaksanaan KBH.
Lebih lanjut, menurut UU Migas 1960 PERTAMINA dan perusahaan-
perusahaan milik Negara sebelum dilebur (PERMINA, PERTAMIN dan PERMIGAN)
merupakan wakil Pemerintah selaku Pemegang Hak Kekuasaan Wilayah Hukum
Pertambangan Indonesia. Sebagai pemegang Kuasa Pertambangan, PERTAMINA
menerima pendelegasian penyelenggaraan pengusahaan pertambangan migas. Kepada
PERTAMINA disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia, sepanjang
mengenai pertambangan migas (Pasal 11 ayat (1) UU Pertamina). Dengan demikian,
para calon penanam modal hakekatnya hanya mempunyai satu pilihan apabila ingin
melakukan kegiatan usaha hulu migas di Indonesia, yaitu bekerja sama dengan
PERTAMINA. Ditambah dengan persyaratan pokok yang dibakukan, hal ini
mengurangi lingkup asas kebebasan berkontrak.
88
Sebagai wakil Pemerintah, PERTAMINA wajib mengikuti kebijakan yang
digariskan oleh Pemerintah dalam melakukan kerja sama dan melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam Kontrak Bagi Hasil atau Perjanjian Karya. Misalnya, Pasal 12 ayat
(2) UU Pertamina menetapkan bahwa syarat-syarat kerja sama dalam bentuk Kontrak
Bagi Hasil akan diatur oleh Pemerintah dan kontrak akan mulai berlaku setelah disetujui
oleh Presiden, persetujuan mana dicerminkan dengan ikut menandatangani kontrak.
Selanjutnya, Pasal 14 ayat (1) UU Pertamina menetapkan bahwa PERTAMINA
wajib menyetor ke Kas Negara 60% dari penerimaan bersih usaha atas hasil Kontrak
Bagi Hasil sebelum dibagi antara Perusahaan dan Kontraktor, seluruh hasil yang
diperoleh dari Perjanjian Karya dan 60% dari penerimaan bonus Perusahaan yang
diperoleh dari hasil Kontrak Bagi Hasil. Dengan mendapatkan hanya retainer fee untuk
perannya dalam melaksanakan Kontrak Bagi Hasil, ketentuan ini dapat diartikan bahwa
ultimate beneficiary dari Kontrak Bagi hasil adalah Pemerintah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan Pemerintah dan
PERTAMINA dalam KBH meliputi pemberian kuasa, yang diatur dalam KUH Perdata.
Pemberian kuasa ini menerbitkan perwakilan di mana PERTAMINA sebagai penerima
kuasa adalah pihak yang mewakili pemberi kuasa (Pemerintah) untuk melakukan
perbuatan hukum. Artinya adalah bahwa apa yang dilakukan itu adalah atas tanggungan
Pemerintah sebagai pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari
perbuatan yang dilakukannya itu menjadilah hak dan kewajiban Pemerintah, yaitu pihak
yang memberi kuasa. Dalam hal ini, karena yang dilakukan oleh PERTAMINA berupa
membuat (menutup) suatu perjanjian (KBH), maka sebagaimana dikatakan oleh Subekti
Pemerintah sebagai pemberi kuasa yang menjadi pihak dalam KBH itu. 102
102 Subekti, op.cit, hlm 141
89
3. Setelah diundang-undangkannya UU Migas 2001
UU Migas yang diundang-undangkan pada akhir tahun 2001 lebih menegaskan
kedudukan dan peran Pemerintah dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Sama. Dalam UU
Migas 2001 ini Pemegang Kuasa Pertambangan kembali kepada Pemerintah, di mana
Pemerintah kemudian membentuk Badan Pelaksana yang akan menerima kuasa dari
Pemerintah untuk menandatangani dan mengendalikan manajemen operasi kegiatan
usaha hulu.
Dengan berlakunya UU Migas 2001, kedudukan PERTAMINA sebagai pihak
yang berkontrak digantikan oleh Pemerintah yang diwakili oleh Badan Pelaksana yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PPBP). Tugas Badan
Pelaksana sebagaimana ditetapkan dalam PPBP adalah sebagai berikut:
1). Memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal
penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta kontrak kerja sama;
2). Melakukan penandatanganan kontrak kerja sama;
3). Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama
kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada Menteri untuk
mendapatkan persetujuan;
4). Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan, selain yang
tercantum pada angka 3) di atas;
5). Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
6). Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai
pelaksanaan kontrak kerja sama;
90
7). Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Badan Pelaksana didirikan dalam bentuk badan hukum milik negara (BHMN),
suatu konsep badan hukum yang baru diperkenalkan keberadaannya di Indonesia dan
sudah mulai diterapkan di beberapa Perguruan Tinggi Indonesia sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan
Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Berdasarkan UU Migas 2001 dan PP BP Migas
tersebut, maka Negara sebagai pemegang kekuasaan berwenang memberikan kuasa
kepada badan usaha (dalam hal ini Badan Pelaksana) untuk melakukan pengusahaan
pengelolaan atas bahan galian yang ada dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia. Dengan melakukan kerja sama dengan badan hukum perdata dalam suatu
kontrak, maka penguasa Negara atau Pemerintah menurut Kranenburg dan Vegting
bertindak sebagai organ dari badan publik yang berupa badan hukum perdata.103
Bertolak dari pendapat di atas, maka Negara dalam Kontrak Bagi Hasil
berdasarkan UU Migas 2001 menjadi subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban.
Kedudukan aparatur Pemerintah selaku subjek pendukung hak dan kewajiban dalam
hubungan kontraktual mempunyai karakter khusus, sebab Pemerintah tidak bertindak
sebagai pemegang kekuasaan publik, tetapi sebagai pihak yang bersifat keperdataan.
Posisi Pemerintah sebagai subjek hukum ini dipertegas dalam Pasal 94 ayat (1)
PP Migas beserta penjelasannya yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan
penandatangan Kontrak Kerja Sama, Badan Pelaksana bertindak sebagai pihak yang
berkontrak dan sebagai pihak yang berkontrak Pemerintah menjamin bahwa Badan
Pelaksana dapat melaksanakan ketentuan dalam KKS atau Kontrak lain yang terkait
103 Lihat Abrar Saleng, op. cit., hlm 58, yang mengutip Kranenburg, R. en Vegting, W.G., Inleiding in het Nederlandsxhe Administratiefrecht, NV H.D. Theenk Willink & Zoon, Haarlem, 1955. hlm 16.
91
dengan KKS. Selanjutnya Pasal 94 ayat (2) dan (3) PP Migas menetapkan bahwa
penandatanganan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dilaksanakan
setelah mendapat persetujuan Menteri atas nama Pemerintah dan secara tertulis akan
dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat beserta salinan naskah kontrak setelah
ditandatangani.104
B. Asas pacta sunt servanda dalam Kontrak Bagi Hasil
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa meskipun bukan merupakan pihak
yang terlibat langsung dalam Kontrak Kerja Sama (KKS), Pemerintah sebagai pihak
yang memberi kuasa memperoleh segala hak dan memikul segala kewajiban yang
timbul dari KKS. Pemerintah adalah stakeholder yang paling berkepentingan dan
Badan Pelaksana (atau PERTAMINA sebelum UU Migas 2001) hanya merupakan
kepanjangan tangan dari Pemerintah dalam hubungan kontraktual. Dengan demikian
Pemerintah mempunyai kedudukan rangkap, yaitu sebagai pihak maupun sebagai
pemegang kekuasaan.
Sebagai pihak yang berkontrak, hubungan Pemerintah dan Kontraktor dalam
kontrak mempunyai kedudukan yang sama atau sejajar dalam melakukan perbuatan
perdata. Hubungan kesederajatan ini merupakan jaminan bahwa kedudukan badan
pemerintahan yang bersangkutan tidak dalam kedudukan yang diistimewakan, baik pada
penyusunan maupun pada pelaksanaan kontrak Dengan ini para pihak diharapkan 104 Pasal 94 PP Migas: “(1). Dalam melaksanakan penandatangan Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf b, Badan Pelaksana bertindak sebagai pihak yang berkontrak dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. (2) Penandatanganan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Menteri atas nama Pemerintah. (3) Badan Pelaksana memberitahukan secara tertulis Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan melampirkan salinannya.” Penjelasan Pasal 94 ayat (1) PP Migas: “Sebagai pihak yang berkontrak, dalam melakukan penandatanganan Kontrak Kerja Sama, Pemerintah menjamin bahwa Badan Pelaksana dapat melaksanakan ketentuan dalam Kontrak Kerja Sama atau Kontrak lain yang terkait dengan Kontrak Kerja Sama.”
92
menerapkan asas pacta sunt servanda ini dalam melaksanakan kewajiban dan haknya,
yang juga berlaku bagi Pemerintah mengingat bahwa dalam faktanya peran Pemerintah
sangat menentukan.
Seperti diuraikan di muka, kesucian kontrak secara mutlak baik dalam teori
maupun praktek itu sulit diwujudkan, namun demikian.penerapan asas pacta sunt
servanda tetap merupakan hal esensial dalam kehidupan sosial dan bisnis dan hubungan
internasional. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, asas pacta sunt servanda ini
juga telah dijadikan landasan dalam Kontrak Bagi Hasil sebagaimana dinyatakan dalam
preamble Kontrak Bagi Hasil yang berbunyi sebagai berikut:
”dengan pertimbangan janji bersama, perjanjian dan keadaan yang oleh para pihak akan dilaksanakan dan dipatuhi, maka para pihak sepakat dengan hal-hal berikut.”105
Para pihak juga sepakat untuk melakukan kewajibannya dengan itikad baik demi
kepentingan bersama, sebagaimana ditunjukkan dalam pasal-pasal berikut mengenai
kewajiban masing-masing pihak.
“Section V.1.2 ayat (d) CPP PSC: Kontraktor bertanggung jawab untuk mempersiapkan dan melaksanakan Rencana Kerja yang harus dikerjakan dengan cakap (workmanlike) dan dengan menggunakan metode keilmuan yang tepat, dan Kontraktor wajib mengambil langkah-langkah untuk melindungi navigasi dan perikanan dan wajib mencegah pencemaran di laut atau sungai. Kontraktor mengerti bahwa Rencana Kerja dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan kewajiban Pemerintah yang dibebankan kepadanya berdasarkan Hukum Internasional.
Section V.1.3 ayat (a) CPP PSC: PERTAMINA bertanggung jawab atas kendali manajemen operasi, namun PERTAMINA berkewajiban membantu dan melakukan konsultasi dengan Kontraktor mengingat bahwa Kontraktor bertanggung jawab atas Rencana Kerja.”106
105 Preamble PSC: “Now, therefore, in consideration of the mutual promises, covenants and conditons, hereinafter set out, to be performed and kept by the parties hereto, it is hereby stipulated and agreed by and between the parties hereto as follows:” 106 Section V.1.2.d CPP PSC:
93
Selanjutnya, Section XI CPP PSC menetapkan pentingnya saling berkonsultasi
dalam melakukan operasi migas dan menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan
musyawarah.107
Dari pasal-pasal tersebut tersirat kehendak dan komitmen para pihak untuk
memelihara hubungan yang dilandasi pada kepentingan bersama dalam Kontrak Bagi
Hasil. Fenomena ini juga dijumpai dalam kontrak-kontrak migas di dunia, seperti yang
diungkapkan oleh Zhiguo Gao seperti berikut:
“Istilah “kepentingan bersama” dinyatakan beraneka ragam dalam perjanjian-perjanjian. Dalam kasus Cina, asas “persamaan dan manfaat bersama” dinyatakan sebagai dasar untuk hubungan ekonomi dan perdagangan luar negeri. Jadi asas manfaat bersama ditekankan berulang-ulang dalam semua perundingan kontrak dan diulangi dalam kontrak.”108
Selanjutnya, mengutip pernyataan Mochtar Kusumaatmadja, Zhiguo Gao
menyatakan bahwa di Indonesia KBH juga menerapkan “principles of mutual good will
and good faith”.109 Dengan menjadikan prinsip itikad baik dan hal timbal balik
(reciprocity) sebagai fundasi dari keberhasilan usaha, Zhiguo Gao mengartikan
“Contractor shall be responsible for the preparation and execution of the Work Program which shall be implemented in a workmanlike manner and by appropriate scientific methods, and Contractor shall take the necessary precautions for protection of navigation and fishing and shall prevent extensive pollution of the sea or rivers. It is also understood that the execution of the Work Program shall be exercised so as not to conflict with Government obligations imposed on the Government by International Law.” Section V.1.3.a CPP PSC: “Pertamina shall have and be responsible for the management of the operations contemplated hereunder; however, Pertamina shall assist and consult with Contractor with a view to the fact Contractor is responsible for the Work Program.” 107 Section XI: “Periodically, Pertamina and Contractors shall meet to discuss the conduct of Petroleum Operations envisaged under this Contract and will make every effort to settle amicably any problem arising therefrom.” 108 Gao, Zhigue, op.cit, hlm 507: “The term ‘mutuality of interests’ is expressed variously in agreements. In the Chinese case, the principle of ‘equity and mutual benefits’ is expressed as the fundamental basis of foreign economic and trade relations. So the ‘principle of mutual benefit’ is repeatedly emphasized in all contract negotiations annd reiterated throughout the contract.” 109 Ibid, yang mengutip M. Kusumaatmadja, Indonesia’s National Policy on Offshore Mineral Resources: Some Legal Issues, Ocean Yearbook 9, The University of Chicago Press, Chicago, 1991, hlm 97 – 98.
94
kepentingan bersama sebagai “fair government take and a fair return for oil
companies”.110
C. Dampak dari kebijakan Pemerintah yang berubah
Sebagaimana telah diuraikan dimuka, salah satu sifat yang melekat dari kontrak
pengelolaan migas adalah hubungan kontraktual yang panjang dan rentan terhadap
perubahan-perubahan eksternal seperti perkembangan politik internasional dan dalam
negeri termasuk kebijakan pemerintah. Dalam Bab ini akan disajikan dua kasus
permasalahan dalam pelaksanaan KBH yang menyangkut perubahan kebijakan
pemerintah yang berdampak pada kegiatan eksplorasi dan produksi migas.
1. Pengutamaan penggunaan produk dan jasa dari dalam negeri.
Sebagaimana telah disebutkan, salah satu masalah pokok yang dikedepankan
dalam survai PriceWaterhouseCoopers adalah adanya intervensí dari instansi
pemerintahan lain ke dalam pelaksanaan KBH. Intervensi instansi Pemerintah lain
dalam kegiatan langsung operasi KBH sebenarnya mulai terlihat dengan
diberlakukannya Keppres Nomor 10 Tahun 1980 dan Nomor 14A Tahun 1980 yang
sebenarnya diperuntukkan untuk pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintahan.
Keppress 14A ini menetapkan bahwa pembelian barang di atas Rp 500 juta harus
melalui Tim Pengendalian Pengadaan Barang-Barang/Peralatan Pemerintah yang
dikenal sebagai Tim Pengendali yang diatur dalam Keppres No. 10 Tahun 1980.111
Ketentuan tersebut berlaku untuk BUMN termasuk PERTAMINA dan KBH, tetapi
tidak diberlakukan untuk kegiatan eksplorasi dan produksi dalam Perjanjian Karya.
110 Ibid. 111 Madjedi Hasan, op. cit., hlm 26.
95
Pemerintah membenarkan kebijakannya untuk menerapkan Keppres 14A Tahun
1980 pada operasi KBH dengan dalih “untuk kepentingan umum”, yaitu demi
pembangunan nasional dan promosi produk dalam negeri sesuai dengan amanat Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengingat bahwa Pemerintah pada akhirnya
membayar 85% dari biaya.112 PERTAMINA juga berpandangan bahwa karena kendali
atas manajemen di KBH berada di tangan PERTAMINA dan karena PERTAMINA
milik Pemerintah, maka PERTAMINA wajib mengikuti tata cara yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah.
Pemberian perlakuan khusus (preference) kepada produk dalam negeri bukan hal
yang unik bagi Indonesia, karena dalam kenyataan banyak negara berkembang telah
menerapkannya. Kontraktor KBH umumnya tidak berkeberatan untuk mempromosikan
penggunaan fasilitas di dalam negeri dan produk dalam negeri, tetapi sangat keberatan
dengan tata cara pengadaan yang harus diikuti. Kewajiban untuk memberi perlakuan
khusus pada produk dan jasa dalam negeri sudah diatur dalam kontrak baik Perjanjian
Karya maupun KBH, seperti yang terlihat dalam Section V ayat (1.2.q) CPP PSC yang
ditanda tangani pada tahun 1971, di mana ditetapkan kewajiban kontraktor sebagai
berikut:
“Kontraktor berkewajiban memberikan perlakuan istimewa kepada barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan di Indonesia atau diberikan oleh warga negara Indonesia, asalkan barang-barang dan jasa-jasa yang ditawarkan sama keadaannya dalam hal kualitas, harga, persediaan dan jumlahnya.”113
112 Pernyataan bahwa Pemerintah menanggung 85% dari biaya operasi sebenarnya kurang tepat, karena seluruh biaya investasi dilakukan oleh Kontraktor dan risiko kegagalan sepenuhnya merupakan beban Kontraktor. 113 Section V ayat (1.2.q) CPP PSC: “Contractor shall give preference to such goods and services which are produced in Indonesia or rendered by Indonesian nationals, provided such goods and services are offered at equally advantageous conditions with regard to quality, price, availabilityat the time and in the quantities required.”
96
Ketentuan mengenai promosi kepentingan nasional juga ditetapkan dalam
kontrak yang terdahulu, yaitu Perjanjian Karya dimana kewajiban ini dijabarkan lebih
rinci dari pada ketentuan dalam KBH termasuk program pengembangan masyarakat
(Community Development). Misalnya, dalam Article 14 Perjanjian Karya, Kontraktor
diwajibkan mempersiapkan setiap waktu studi mengenai kemungkinan kegiatan yang
berkaitan dengan promosi pertumbuhan dan industrialisasi ekonomi Indonesia, dan akan
bekerja sama dalam mendorong produksi dan manufakturing barang-barang, peralatan
dan suplai yang bermutu yang dibutuhkan oleh Indonesia.114
Keppres 10 dan 14A Tahun 1980 ini tidak diberlakukan dalam Perjanjian Karya,
karena Kontraktor memegang kendali manajemen operasi. Namun hal ini tidak berarti
bahwa tidak adanya pengawasan Pemerintah terhadap pemanfaatan barang dan jasa
dalam negeri. Dalam melakukan pengawasan atas Perjanjian Karya, Direktorat Jenderal
Minyak dan Gas Bumi menerbitkan daftar barang-barang yang dilarang diimpor dan
mensyaratkan pendaftaran bagi perusahaan-perusahaan jasa luar negeri yang akan
beroperasi di Indonesia, tetapi tata cara pengadaan barang dan jasa diserahkan
sepenuhnya kepada Kontraktor.
Keberatan Kontraktor KBH mengikuti Keppres 10 dan 14A Tahun 1980 tersebut
adalah terhadap tata cara, khususnya adanya berbagai lapisan yang harus dilalui untuk
mendapatkan persetujuan dan proses negosiasi untuk mendapatkan harga yang rendah
114 Article 14 Perjanjian Karya: “………. Contractors will, all other conditions, including design, quality, prices and delivery date, being equal, give priority to utilization of goods produced domestically. Contractors will be prepared at all times to study the possibility of further activities, in and related to the field of mineral oil and gas, which might assist in promoting the growth and industrilization of the Indonesian economy, and will cooperate in the encouragement of the production and manufacture within Indonesia of goods, equipment, materials and supplies of a type and quality which are needed in the country and which will assist in the conduct of the operations, such as, for example, improved agricultural and diary products required for the use of Contractors’ employees, and will assist in securing and making available the latest and most modern information, advice and training in these fields. Contractors will utilize qualified Indonesian subcontractors to the maximum extent they are available at competitive terms, and ……….”
97
telah menunda program pengadaan barang dan jasa, yang pada gilirannya memberi
dampak pada pelaksanaan program kerja. Menyadari dampak negatif pada kegiatan
minyak dan gas bumi, Pemerintah menanggapinya dengan meningkatkan otorisasi
pembelanjaan yang diberikan kepada KBH dan menyederhanakan proses mendapatkan
persetujuan (Keppres Nomor 16 Tahun 1994, Keppres Nomor 6 Tahun 1999 dan
Keppres Nomor18 Tahun 2000).
Dampak dari diberlakukannya Keppres 10 dan 14A Tahun 1980 ini íalah
tertundanya proyek-proyek pengembangan yang berakibat menurunnya investasi untuk
eksplorasi dan pengembangan. Misalnya untuk tahun 1984 investasi barang-barang
kapital menurun menjadi USD 1,286 milyar atau 23,6% dibawah tahun 1983. Dampak
jangka panjang adalah menurunnya kapasitas produksi.115
Dalam hal ini Pemerintah tampak telah memperlakukan KBH sebagai salah satu
unit kegiatan dari pemerintahan dan menempatkan posisi PERTAMINA tidak sejajar
atau berada di atas Kontraktor. Kebijakan publik yang bertujuan melindungi produk dan
jasa domestik dalam rangka penciptaan lapangan kerja cukup beralasan; namun di sisi
lain pelaksanaan kebijakan tersebut dipandang oleh para investor berlebihan yang
merugikan baik investor maupun negara. Mengkaji kesepakatan dalam KBH, tindakan
yang menjadikan kegiatan KBH sebagai salah unit kegiatan pemerintahan dan
kedudukan PERTAMINA berada diatas Kontraktor tidak sejalan dengan ketentuan-
ketentuan dalam kontrak seperti ditunjukkan dalam pasal-pasal berikut:
1). Section I.1 yang menetapkan bahwa Kontraktor bertanggung jawab kepada
PERTAMINA untuk melaksanakan operasi menurut ketentuan dalam kontrak,
dan ditunjuk sebagai satu-satunya perusahaan yang melakukan operasi
115 US Embassy, Petroleum Report 1984, Jakarta, 1985
98
perminyakan. Selanjutnya Kontraktor berkewajiban menyediakan dana dan
teknologi untuk melakasanakan operasi dan menanggung beban risiko.
2). Section V ayat (1.3.a) CPP PSC tentang kewajiban PERTAMINA menetapkan
bahwa PERTAMINA bertanggung jawab atas kendali manajemen operasi,
namun, PERTAMINA berkewajiban membantu dan melakukan konsultasi
dengan Kontraktor mengingat Kontraktor bertanggung jawab atas Rencana
Kerja.
3). Section V ayat (1.3.c) CPP PSC menyatakan bahwa PERTAMINA berkewajiban
membantu dan melancarkan pelaksanaan Rencana Kerja dari Kontraktor dengan
menyediakan fasilitas, suplai dan personalia termasuk tetapi tidak terbatas pada
pemberian visa, izin kerja, transportasi, perlindungan keamanan dan hak-hak
untuk memasuki yang mungkin diminta oleh Kontraktor dan tersedia dari
sumber-sumber lain dibawah kendali PERTAMINA.116
Penafsiran tentang PERTAMINA memegang kendali atas manajemen operasi
Kontrak Kerja Sama yang pada awalnya diartikan hubungan paralel yang bersifat kerja
sama dan koordinasi sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ibnu Sutowo yang
memperkenalkan KBH tampak telah bergeser menjadi hubungan para pihak yang tidak
116CPP PSC Section I.1: “Contractor shall be responsible to PERTAMINA for the execution of such operations in accordance with the provisions of this Contract, and is hereby appointed and constituted the exclusive company to conduct Petroleum Operations; Contractor shall provide all the financial and technical assistance required for such operations; Contractor shall carry the risk of Operating Cost required in carrying out operations and shall therefore have an economic interest in the development of the Petroleum deposits in the Contract Area. Section V.1.3.a: “Pertamina shall have and be responsible for the management of operations contenplated hereunder, however, Pertamina shall assist and consult with Contractor with a view to the fact Contractor is responsible for the Work Program”; Section V.1.3.c: “Pertamina shall otherwise assist and expedite Contractor’s execution of the Work Program by providing facilities, supplies and personnel including, but not limited to, supplying or otherwise making available all necessary visas, work permit, transportation, security potection and rights of way and asessments as may be requested by Contractor and made available from the resources under Pertamina’s control. In the event …….”
99
sejajar dengan PERTAMINA/Pemerintah seolah-olah mempunyai kewenangan
membuat putusan yang menentukan (determining vote). 117 Di Malaysia, ketentuan
tentang manajemen yang sama dengan KBH Indonesia, namun dalam prakteknya
dilakukan melalui “joint operating committee”, terdiri dari wakil-wakil Petronas
(BUMN) dan Kontraktor dengan putusan berdasarkan mufakat. Dalam memanfaatkan
produk dalam negeri, Petronas menerbitkan tata cata dan aturan yang disepakati oleh
kedua pihak.118
Di Cina, ketentuan mengenai manajemen menyatakan bahwa fungsí manajemen
dilakukan oleh Joint Management Committee (JMC), terdiri dari wakil-wakil BUMN
dan Kontraktor dan putusan dilakukan dengan musyawarah dan mufakat. JMC juga
menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa, termasuk menentukan perlakuan
khusus untuk produk domestik melalui standardisasi muatan lokal (local content).119
2. Perpajakan
Pembayaran pajak Kontraktor merupakan isu yang sering dibahas dan
dipermasalahkan, meskipun salah satu maksud dari diadakannya Kontrak Bagi Hasil
adalah untuk menghindari permasalahan ini melalui pembagian produksi. Dalam
naskah kontrak KBH generasi I (sebelum tahun 1977), ketentuan mengenai perpajakan
agak berbeda antara satu kontrak dengan kontrak yang lain, namun demikian terdapat
satu pengertian yang sama bahwa termasuk dalam bagian dari minyak yang menjadi hak
PERTAMINA adalah seluruh pajak yang dibayarkan kepada Pemerintah, dan karena itu
PERTAMINA membebaskan Kontraktor dari pembayaran pajak tersebut. Pajak-pajak
117 Lihat Knowles, Ruth Sheldon, loc. cit. 118 T.N. Machmud, op. cit. 96-97 119 Kinney, B.D., Petroleum Laws and Model Contract Terms: Production Sharing in China, Oil & Gas Law and Taxation Review, Vol 12 August 1994, Sweet & Maxwell/ESC Publishing (Oxford UK), hlm 231-239
100
ini adalah pajak perseroan dan pajak-pajak keuntungan termasuk dividen dan lain-lain
yang dikenakan oleh Pemerintah120 Kemudian dalam KBH generasi II penerimaan
Pemerintah ini dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu berupa Pajak Perseroan dan
Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti, dan Penerimaan Bukan Pajak termasuk
didalamnya pajak impor, pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai, pungutan-
pungutan. Berikut ini beberapa permasalahan mengenai perpajakan yang timbul dengan
berubahnya kebijakan Pemerintah.
a. Pajak Perseroan
Dalam hal ini masalah yang dikedepankan adalah adanya kekhawatiran
Kontraktor atas tax liability dalam hal PERTAMINA tidak melakukan pembayaran
kepada Negara Sebagaimana dikatakan oleh Fabrikant, meskipun ketentuan dalam
kontrak menyebutkan bahwa Kontraktor dibebaskan dari utang pajak ketika
PERTAMINA telah menerima produksi yang menjadi haknya, Menteri Keuangan selalu
dapat mengenakan pajak-pajak kepada perusahaan dalam hal PERTAMINA tidak
membayarkan atas namanya kepada Kas Negara.121
Kekhawatiran ini kemudian terhapus dengan dikeluarkannya UU Pertamina, di
mana Pasal 15 menetapkan:
120 Kontrak Bagi Hasil antara PERMINA dan Conoco tanggal 12 Mei 1967 menyatakan ketentuan tentang perpajakan ini sebagai berikut: “the portion of crude oil of which Pertamina is entitled to take and receive hereunder shall be inclusive of all income taxes payable to the Republic of Indonesia, such as Company tax, income taxes or taxes based on income or profits including all dividend, withholding, and other taxes imposed by the Government of Indonesia on the distribution of income or profits by the Company. PERMINA agrees to pay and discharge such taxes for the account of the Company.” Kontrak Bagi Hasil antara PERTAMINA dan Trend Exploation Limited tanggal 15 Ojtober 1970: “The Company shall be subject to the Indonesia Income Tax Laws and shall comply with the requirements of the law………. Pertamina shall pay on behalf of the Company, the Company’s Indonesian Income Tax out of Sixty-Five per cent (65%) or Sixty-Seven and one-half per cent (67.5%) as the case may be of the value of Crude Oil produced and saved and not used in Petroleum Operations after deducting Operating Costs…..” 121 Frabikant, Robert, Oil Discovery and Technical Change in Southeast Asia: Legal Aspects of Production Sharing Contracts in the Indonesian Petroleum Industry, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 1973, hlm 39 – 57.
101
1). Kewajiban PERTAMINA menyerahkan kepada Kas Negara 60% dari
pendapatan bersih dari kegiatan Kontrak Bagi Hasil sebelum dilakukan
pembagian antara PERTAMINA dan Kontraktor;
2). Pembayaran ini akan membebaskan PERTAMINA dan Kontraktor dari
kewajiban pembayaran pajak seperti ditetapkan dalam undang-undang.
Ketentuan ini kemudian diperkuat dengan adanya amendemen dalam Kontrak
Bagi Hasil yang memisahkan komponen penerimaan PERTAMINA dari pajak dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.012/1978 Tentang Tata Cara
Menghitung dan Pembayaran Pajak Perseroan dan Pajak Atas Bunga, Dividen dan
Royalti Oleh Kontraktor Yang Beroperasi Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil Minyak dan
Gas Bumi dengan PERTAMINA tertanggal 19 Juli 1978.122
Selanjutnya, membandingkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000 (UUPh) dan UU Migas 2001, tampak bahwa UUPPh yang berlaku tidak secara
khusus mengatur perlakuan pajak yang berlaku di KBH. Meskipun saat ini belum
122 Lihat Section V.3 (b) CPP PSC “Pertamina shall except with respect to Contractor’s obligation to pay Indonesian Corporate Tax and the Tax on Interest, Dividends and Royalty as set forth in paragraph (a) of subsection 1.2 of this Section, assume and discharge all Indonesian taxes of Contractor including transfer tax, import and export ruties on materials, equipment and supplies brought into Indonesia by Contractor, its contractors and subcontractors, exactions in respect of property, capital, net worth, operations, remittances or transactions including any tax or levy on or in connection with operations performed hereunder by Contractor or its Affiliates rendering services in connection therewith provided such services shall be charged at cost. Pertamina shall not be obliged to pay taxes on tobacco, liquor and personnel income tax; and income tax and other taxes not listed above of contractors and subcontractors. The obligations of Pertamina.hereunder shall be deemed to have been complied with by the delivery to Contractors, within one hundred and twenty (120) days alter the end of each Calendar Year, of documentary proof in accordance with the Indonesian fiscal laws that liability for the above mentioned taxes has been satisfied, except that with respect to any of such liabilities which Contractor may be obliged to pay directly, Pertamina shall reimburse it within sixty (60) days after receipt of invoice therefor. Pertamina should be consulted prior to payment of such taxes by Contractor or by any other party on Contractor’s behalf. Section V. (1.2) (s): “Contractor shall be subject to and shall pay the Government of the Republic of Indonesia the Indonesian Corporate Tax and the Tax on Interest, Dividends and Royalty imposed on its income pursuant to the Indonesian tax laws. Contractor shall comply with the requirements of the law in particular with respect to filing of returns, assessments of tax, and keeping and showing of books and records.”
102
menimbulkan permasalahan, perlakuan semacam ini dapat menimbulkan masalah
(khususnya kontrak-kontrak baru) karena karakteristik dari sektor hulu yang
memerlukan perlakuan pajak secara khusus untuk memberikan perlakuan pajak yang
netral.
Misalnya, dalam UUPPh ditetapkan bahwa amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai manfaat lebih dari satu tahun di
bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi amortisasi. Jika ketentuan dalam Pasal 11A ayat (4) ini diberlakukan
terhadap KBH, perlakuan pajaknya menjadi tidak netral karena pada saat perusahaan
mulai berproduksi, pembebanan amortisasinya tidak akan dapat kembali secara penuh.
KBH tidak mengenal adanya kompensasi kerugian yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2)
UUPPh, di mana dikatakan bahwa kompensasi kerugian dapat dikompensasikan selama
lima tahun berturut-turut.123
Dalam sistim akuntansi KBH semua pengeluaran pada masa eksplorasi diperoleh
kembali melalui mekanisme perhitungan "costs recovery" yang dapat diperoleh kembali
tanpa pembatasan. Mekanisme dalam KBH ini lebih tepat, mengingat masa eksplorasi
membutuhkan waktu yang cukup lama (lebih dari 5 tahun); jika kompensasi kerugian di
sektor hulu diberlakukan aturan yang umum maka ketentuan ini tidak akan mendorong
investasi. Industri hulu di sektor migas memerlukan modal yang besar dengan risiko
yang tinggi dan waktu yang cukup lama untuk mencapai tahapan produksi, sehingga
diperlukan perlakuan pajak yang netral.124
Selanjutnya, Pasal 31 ayat (4) UU Migas 2001 dan Pasal 53 PP Migas
menetapkan kewajiban Kontraktor membayar pajak berdasarkan salah satu dari dua 123 Rachmanto Surahmat, PP 35/2004 & Perlakuan PPh Sektor Hulu Migas, Bisnis Indonesia, 22 November 2004 124 Ibid
103
pilihan yang ada, yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada
saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani; atau berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Pertanyaan yang kemudian
timbul adalah ketentuan yang mana yang berlaku bagi industri migas di sektor hulu?
Ketentuan Pasal 31 ayat (4) UU Migas 2001 dan Pasal 53 PP Migas tidak memberikan
kepastian hukum terhadap kegiatan di sektor migas industri hulu. Hal ini
mengisyaratkan perlu dikajinya kembali ketentuan tersebut untuk memberikan kepastian
hukum dan perlakuan yang sama antara kontrak yang lama dan yang baru.
b. Pajak Pertambahan Nilai
Masalah perpajakan yang lain dan masih belum terselesaikan adalah mengenai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada tahun 1983 Pemerintah mengeluarkan Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UUPPN 1984), yang berlaku efektif pada tanggal
1 April 1984 tetapi kemudian ditangguhkan sampai 1 Januari 1986. PPN ini
menggantikan Pajak Penjualan yang pemungutannya berdasarkan Undang-undang
Darurat Nomor 19 Tahun 1951 yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1953
Sejak diundang-undangkannya, UUPPN 1984 telah mengalami dua perubahan.
Perubahan pertama adalah pada akhir tahun 1994 dengan dikeluarkannya Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah yang mulai berlaku 1 Januari 1995 (UUPPN 1995). Perubahan kedua
adalah tahun 2000 dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan
104
Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa Dan Pajak Pennjualan Atas Barang Mewah (UUPPN 2000).
Berbeda dengan pajak penjualan, PPN dikenakan atas nilai tambah yang timbul
pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi. Namun sebelum barang atau jasa
tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN sudah dikenakan pada setiap tingkat mata
rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan secara
bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode perolehan kembali
pajak yang telah dibayar (kredit pajak) oleh Pengusaha Kena Pajak sehingga presentase
beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku.
Dalam hal ini panjang pendek jalur produksi atau jalur distribusi tidak mempengaruhi
presentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen. Oleh karena itu mekanisme
pemungutannya juga berbeda dengan pajak yang digantikannya.125
Khusus untuk kegiatan pengusahaan migas berdasarkan Kontrak Bagi hasil
berlaku ketentuan-ketentuan berikut:126
1). Minyak dan gas bumi tidak dikenakan PPN;
2). Untuk Kontrak Bagi Hasil yang telah berproduksi, PPN dan Pajak Penjualan
Barang Mewah dibayar kembali (restitusi) dari PERTAMINA;
3). Kegiatan pemboran bukan obyek dari PPN (Surat Menteri Keuangan Nomor S-
1107/MK/1985 tanggal 27 September 1985);
4). Untuk Kontrak Bagi Hasil yang belum berproduksi, pembayaran PPN
ditangguhkan sampai dimulainya produksi (Keppres Nomor 22 Tahun 1989,
tanggal 24 Mei 1989 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor
125 Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2003, cetakan keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 30 – 31. 126 Lihat Abas Kartadinata, Tax Regulations for Production Sharing Contractors, Perhimpunan Pengelola Akutansi dan Keuangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia, Jakarta, 1991.
105
572/KMK.04/1989). Kemudahan ini akan berakhir sesuai dengan jangka waktu
penundaan yang telah diberikan paling lambat 31 Desember 1999).
Meskipun masih berpendapat bahwa kewajiban membayar PPN adalah beban
dan tanggung jawab PERTAMINA/Badan Pelaksana, Kontraktor KBH mematuhi
ketetapan pajak tersebut dengan melakukan pembayaran PPN sesuai dengan tata cara
yang telah ditetapkan. Hal-hal yang dipermasalahkan adalah mekanisme untuk
pengembalian PPN yang dibayarkan, khususnya mengenai waktu pengembalian yang
cukup lama. Restitusi PPN yang seharusnya dilakukan paling lambat 60 hari, dalam
kenyataannya sampai berbulan-bulan, dan ini merupakan indikasi kurangya koordinasi
antara instansi satu dan instansi lainnya. Dalam jangka panjang hal ini berdampak pada
meningkatnya kebutuhan akan modal kerja, yang kemudian ditambah dengan kendala
administratif dalam pemeriksaan dan persiapan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan restitusi telah mengurangi minat untuk berinvestasi.127
Kemudian, dengan berakhirnya kemudahan yang diberikan dalam Keppres
Nomor 22 Tahun 1989, maka meningkatnya kebutuhan akan modal kerja untuk proyek
yang berisiko tinggi atau “risk capital” dirasakan sangat memberatkan bagi Kontrak
Bagi Hasil yang masih dalam tahapan eksplorasi. Permasalahan mengenai PPN ini
makin menjadi kompleks dengan perubahan status PERTAMINA menjadi Persero dan
tidak lagi mewakili Pemerintah dalam KBH, sementara peraturan pelaksanaan belum
dikeluarkan. Sejak bulan Mei 2003, PERTAMINA tidak lagi dalam kedudukan untuk
memberikan restitusi PPN kepada KBH dan yang kemudian disusul dengan peraturan
bahwa mulai 1 Januari 2004, KBH tidak lagi menjadi Pemungut PPN. Dengan tidak
127 Pandangan yang sama dikemukakan oleh Indonesian Petroleum Association (IPA), Indonesian Gas Assoction (IGA) dan Indonesian Mining Association (IMA) dalam Pre-Conference Dialog # 2, yang diselenggarakan oleh Bimasena di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2004 dan dihadiri oleh wakil Direktorat Jenderal Pajak.
106
menjadi Pemungut PPN, maka KBH tidak memiliki bukti pembayaran PPN, sehingga
tidak dapat mengajukan klaim pembayaran kembali PPN yang telah dibayarkan.128
Dari hasil wawancara juga ditemukan adanya beberapa perkara sengketa antara
Direktorat Jenderal Pajak dan Operator Kontrak Bagi Hasil mengenai pengenaan PPN
untuk wilayah kontrak yang belum berproduksi, salah satu diantaranya adalah Amoseas
Indonesia lawan Direktorat Jenderal Pajak. Perkara ini dimulai dengan diterimanya
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN oleh Amoseas Indonesia Inc.
selaku Operator dari beberapa KBH yang telah dikembalikan karena tidak menemukan
cadangan minyak yang komersial. Dalam putusannya nomor 01/B/PK/PJK/2003
tanggal 29 September 2003 yang mengadili peninjauan kembali perkara Amoseas
Indonesia Inc. lawan Direktur Jenderal Pajak, Mahkamah Agung membatalkan putusan
Pengadilan Pajak tanggal 3 Mei 2002 Nomor 0144/PP/A/M.V/16/2002 yang
menerapkan ketentuan Pasal II huruf (a) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994
Tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam amar putusan, Mahkamah Agung memerintahkan Direktur Jenderal Pajak
mengembalikan PPN yang telah disetor sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai masa pajak Desember 1999. Sampai dengan
penulisan tesis ini, pengembalian pajak yang telah disetor tersebut belum dilaksanakan
oleh Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini kemudian menimbulkan rasa keprihatinan
mengenai ketidakpatuhan Direktur Jenderal Pajak atas putusan Mahkamah Agung.
128 Ibid: Dari informasi yang disampaikan oleh IPA dalam Pre-Conference Dialog # 2 (13 Oktober 2004) diketahui bahwa sampai dengan 1 September 2004 utang restitusi yang harus dibayarkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada KBH telah mencapai hampir Rp 1 trilyun.
107
c. Pajak Impor
Masalah lain yang berkaitan dengan pungutan Negara ini adalah mengenai pajak
impor dan bea masuk Sesuai dengan Section V.1.3.b, semua pungutan Negara diluar
Pajak Perseroan dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti sudah termasuk dalam
bagian Pemerintah Bukan Pajak, karena itu pungutan-pungutan ini sepenuhnya
merupakan beban Pertamina (atau Badan Pelaksana setelah UU Migas 2001). Dalam
pelaksanaan, sebelum UU Migas 2001 pajak impor termasuk PPN dibebaskan melalui
fasilitas “master list” dengan Angka Pengenal Importir (API) milik PERTAMINA,
karena peralatan menjadi milik PERTAMINA.
Karena bukan merupakan perusahaan Badan Pelaksana tidak dapat bertindak
sebagai importir sebagaimana halnya dengan PERTAMINA, yang mengakibatkan KBH
tidak dapat menggunakan fasilitas pembebasan pajak impor dan bea masuk. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, maka sebagai solusi sementara PERTAMINA
menyetujui untuk KBH sebelum tahun 2002 menggunakan API PERTAMINA
sehingga KBH tersebut masih mendapatkan pembebasan pajak impor dan bea masuk.
Persetujuan PERTAMINA tersebut dibatasi untuk barang-barang operasional (Kategori
I), tetapi tidak untuk barang-barang kapital (Kategori II).
3. Penerapan asas pacta sunt servanda berlandaskan kepentingan dan
manfaat bersama
Dari kasus-kasus tersebut, terlihat banyak peraturan perundang-undangan baru
yang penerbitannya tidak dikordinasikan atau dikonsultasikan terlebih dahulu dengan
unit atau departemen yang mewakili Pemerintah dan mengawasi pelaksanaan KBH.
Dalam masalah pengutamaan produk dalam negeri, selain tidak sesuai dengan ketentuan
dalam kontrak pemberlakuan Keputusan Presiden Tentang Pedoman Pelaksanaan
108
Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah terhadap Kontrak Bagi Hasil telah
menyulitkan pemisahan tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan kontrak, yaitu
investor atau kontraktor sebagai penyandang dana dan pelaksana rencana dan program
kerja, dan PERTAMINA sebagai manajemen. Hal ini berdampak pada tidak
tercapainya salah satu tujuan Kontrak Bagi Hasil, yaitu keseimbangan dalam mengelola
sumber daya migas dengan penuh akuntabilitas yang meliputi tanggung jawab yang
jelas dari masing-masing pihak yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan
strategi kontrak pengelolaan migas. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan kesadaran
bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang, dan harus
dijalankan dengan penuh kehati-hatian (prudent).
Selain menfasilitasi mobilisasi modal pelaksanaan tata kelola kontrak
pengelolaan sumber daya migas dengan penuh akuntabilitas yang dilandasi pada asas
pacta sunt servanda akan menjamin penggunaan modal yang efisien yang akan
mendukung terciptanya operasi yang efisien pula. Sebagai suatu sistem, tata kelola
KBH yang baik seharusnya juga melakukan pengecekan dan perimbangan kewenangan
dan pengendalian kegiatan para pihak yang dapat membatasi peluang pengelolaan yang
salah dan peluang penyalahgunaan wewenang. Proses tersebut tidak dipengaruhi oleh
pihak di luar sistem tetapi harus transparan, agar mencapai tujuan kontrak pengelolaan,
yaitu pencapaian dan pengukuran kinerja masing-masing pihak dalam kontrak.
Selanjutnya, dalam masalah perpajakan sekalipun diakui bahwa terhadap
Kontrak Bagi Hasil diberlakukan ketentuan perpajakan yang bersifat lex specialis,
dalam kenyataan Ditjen Pajak mempunyai pertimbangan lain untuk menerapkan
kebijakan umum, seperti halnya dengan tata cara pembayaran PPN. Dihapuskannya
perlakuan khusus (lex specialis) di sektor migas menyusul diberlakukannya peraturan
109
perpajakan oleh Ditjen Pajak telah menyebabkan perhitungan pola bagi hasil produksi
migas tidak lagi memasukkan besaran pajak yang harus ditanggung Kontraktor KBH
atau pemberlakuan pajak ini tidak sesuai dengan kesepakatan dalam KBH.
Berlandaskan pada asas pacta sunt servanda Pemerintah sebagai salah satu pihak dalam
Kontrak Bagi Hasil harus menjamin kekuatan hukum kontrak bagi hasil yang telah
ditandatangani, termasuk kepastian pemberlakuan sejumlah pajak.
Kebijakan perpajakan yang mengabaikan adagium lex specialis derogat legi
generalis dapat kontra produktif apabila hasilnya adalah penolakan terhadap keperluan
untuk meningkatkan kegiatan migas. Karena itu agar kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh Pemerintah efektif dan sesuai dengan tujuan dan sasaran, maka sejumlah kebijakan
dan peraturan yang dikeluarkan oleh departemen-departemen harus diharmonisasikan
untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dan kontradiksi kebijakan. Misalnya,
dalam UUPPh perlu ditambahkan ketentuan yang memberikan perlakuan pajak khusus
terhadap kegiatan di industri hulu sektor migas agar dapat dijamin kepastian hukum.
Penambahan aturan ini harus didasarkan atas pertimbangan utama memberikan aturan
yang sifatnya netral terhadap industri hulu di sektor migas. Jika pendekatan ini yang
dipilih, sebaiknya hal ini diberlakukan terhadap kontrak-kontrak yang lama sehingga
kepastian hukum dapat diciptakan. Perlakuan pajak secara khusus untuk memberikan
perlakuan pajak yang netral kepada kegiatan pencarian dan pengembangan sumber daya
migas diterapkan hampir di semua negara-negara berkembang dan maju.
Dari kajian terhadap data penyelesaian sengketa tampak bahwa sampai saat ini
belum tercatat kasus sengketa di bidang migas yang diajukan kepada forum arbitrase.
Investor KBH cenderung memilih penyelesaian sengketa secara musyawarah baik
secara langsung maupun melalui forum asosiasi seperti Indonesian Petroleum
110
Association. Namun demikian dampak dari negosiasi yang berkepanjangan adalah
sama, yaitu dihindarinya Indonesia sebagai tujuan investasi, sementara sikap investor
KBH tersebut dapat berubah meninggalkan cara musyawarah dalam penyelesaian
sengketa. Dengan potensi menemukan cadangan migas masih tetap tinggi tetapi
sasarannya lebih tersembunyi dan terletak di laut dalam dan wilayah-wilayah terpencil,
kegiatan eksplorasi yang aktif perlu digalakkan dalam iklim usaha dengan jaminan
adanya kepastian hukum.
Menanggapi keluhan para investor migas mengenai kesucian kontrak,
Pemerintah Indonesia diharapkan dapat mengambil pelajaran dari penyelesaian sengketa
di forum arbitrase atau pengadilan internasional. Baik asas kesucian kontrak maupun
klausula rebus sic stantibus diakui dalam putusan forum arbitrase atau pengadilan
internasional dalam menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan kontrak-kontrak
berjangka panjang. Misalnya, dalam perkara Texas Overseas Petroleum
Company/California Asiatic Oil Company lawan Pemerintah Libya (1978), putusan
Mahkamah Arbitrase mengakui asas kesucian kontrak ini dengan mendasarkan
putusannya pada itikad baik dalam perjanjian tertulis antara para pihak. 129
Selanjutnya, meskipun beberapa putusan arbitrase internasional mengakui
klausula rebus sic stantibus, seperti dalam perkara Pemerintah Kuwait lawan American
Independent Oil Company (Aminoil) pada tahun 1982, penerapannya memerlukan
pembuktian yang kuat bahwa perubahan yang terjadi tidak atau tidak dapat diantisipasi.
Dalam putusannya, tindakan Kuwait melakukan nasionalisasi dapat dibenarkan dengan
129 Abba Kolo, Renegotiation and Contract Adaption in the International Investment Projects: Appplicable Legal Principles and Industry Practices, Oil, Gas & Energy Law Intellegence, Vol 1, Issue # 02, March 2003, University of Dundee, http://www.gasandoil.com/ogel/samples/, hlm 20. Maitrise En Droit International Et Europeen, Texaco/Calasiatic c/ Gouvernement Libyen, Sentence Arbitrale Au Fond, 19 Janiver 1977. www.pict-pcti.org/publications/Bibliographies/Arb_Cases.doc
111
memberikan kompensasi kepada Aminoil berupa ganti rugi dan potensi kehilangan laba
(lucrum cessans).130
Dalam perkara Slovakia lawan Hongaria di International Court of Justice
mengenai sengketa proyek bersama bendungan Gabcikovo-Nagymaros di sungai Donau,
pecahnya Cekoslovakia menjadi dua negara (Ceko dan Slovakia) diakui sebagai change
of circumstances. Namun, perubahan itu tidak ada kaitannya dengan objek dari proyek
dan maksud dari Budapest Treaty (1977) yang merupakan dasar kesepakatan untuk
pembangunan proyek bendungan tersebut; dengan demikian alasan Hongaria untuk
membatalkan proyek bendungan tersebut tidak dapat diterima. Juga perubahan standar
lingkungan merupakan hal yang seharusnya sudah diantisipasi dan karena itu tidak dapat
dijadikan alasan oleh Hungaria untuk membatalkan proyek.131
Di dalam negeri, dalam perkara PERTAMINA dan PLN lawan Karaha Bodas
Company L.L.C dan PLN lawan Himpurna California Energy dan Patuha, putusan
Pemerintah untuk menunda proyek tersebut karena krisis moneter diterima sebagai
“force majeure”, tetapi hanya diberlakukan untuk investor. Pertamina dan PLN tidak
dalam posisi untuk menggunakan Keppres Nomor 39 Tahun 1997 tentang penundaan
sejumlah proyek infrastuktur sebagai landasan untuk pembebasan kewajibannya, dan
karena itu Pertamina dan PLN harus dianggap telah ingkar janji. Putusan ini dapat
diartikan bahwa klaim PERTAMINA dan PLN agar dibebaskan dari kewajibannya
berdasarkan klausula rebuc sic stantibus tidak diterima. 132
130 Abba Kolo, loc. cit. 131 International Court of Justice, Case concerning Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia), Summary of the Judgement of 25 September 1997, http://www.lawschool.cornell.edu/library/cijwww/ icjwww/docket/ihs/iHS_summaries/ihssummary/1997 132 Dalam putusannya Mahkamah Arbitrase Internasional perkara Karaha Bodas menetapkan bahwa bantahan Pertamina dan PLN yang menyatakan bahwa mereka juga berhak dianggap sebagai upaya untuk menghilangkan (deprive) arti penting dari Artikel 15.2 (JOC) dan Seksi 9.2 (ESC) yang menyatakan
112
Sebagaimana dinyatakan oleh Abba Kolo bahwa meskipun mengakui klausula
rebus sic stantibus hukum internasional tidak memberikan definisi yang jelas mengenai
kondisi untuk penerapannya. 133 Kasus-kasus tersebut juga menunjukkan adanya
persepsi yang asimetris antara negara-negara maju atau pemilik modal dan negara-
negara berkembang atau pemilik sumber daya alam dalam mencari cara yang terbaik
untuk mencapai integrasi ekonomi internasional.134
Adanya kepentingan Pemerintah yang sering berubah ini mengisyaratkan
diperlukannya suatu dialog yang berkesinambungan antara para pihak. Dilandasi pada
kepentingan bersama (mutuality of interests), para pihak harus bersedia menerima
keterbatasannya dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menunjang
keberhasilan usaha. Semacam proses interaksi yang dintegrasikan dalam kontrak
diperkirakan dapat memberikan suatu dasar untuk mengatur perubahan tanpa berusaha
untuk menetapkan dengan pasti hubungan yang akan datang. Dalam hal ini sangat
penting untuk para pihak mengetahuinya dari awal hal-hal yang pokok dalam kontrak,
terutama hal-hal yang mempunyai kemungkinan akan berubah selama kontrak berjalan
dan yang berpotensi menimbulkan sengketa. Misalnya, kemungkinan adanya perubahan
dalam sistem perpajakan, impor dan tata ruang perlu diantisipasi dan garis besar cara
penyelesaian diakomodasi dalam kontrak.
Seperti dalam Joint Operation Contract (JOC) antara investor dengan
PERTAMINA dan Energy Sales Contract (ESC) antara investor dengan PERTAMINA
dan PLN dalam proyek Pembangkitan Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), disepakati
bahwa kejadian-kejadian yang berhubungan dengan tindakan Pemerintah (Government Related Event) bukan merupakan keadaan kahar bagi Pertamina dan PLN. 133 Abba Kolo, loc. cit. 134 Lihat Banani, Dinesh D, International Arbitration and Project Finance in Developing Countries: Blurring the Public/Private Distinction, Boston College International & Comparative Law Review www.bc.edu/schools/law/lawreviews/meta-elements/journals/bciclr/26_2/0.
113
untuk menyesuaikan harga jual-beli listrik jika terjadi perubahan dalam kebijakan
Pemerintah yang memperburuk kelayakan ekonomi proyek tersebut. Selanjutnya, untuk
mencegah terulangya pengalaman pahit PERTAMINA dengan sejumlah TAC, sanksi
yang lebih berat juga perlu dipertimbangkan untuk melindungi kepentingan Pemerintah
terhadap investor yang tidak melakukan kewajibannya karena tidak memiliki dana.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kontrak Bagi Hasil harus menjamin
kepastian dan memenuhi keadilan bagi kedua pihak yang berkontrak. Para pihak yang
mengadakan KBH ini tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH
Perdata dan berbagai peraturan yang mengaturnya (Pasal 1319 KUH Perdata). Karena
merupakan ketentuan hukum yang bersifat khusus, maka pada KBH ini juga berlaku
asas “Lex specialis derogaat lex generalis”.
Dalam pelaksanaannya peranan itikad baik dan penerapan asas pacta sunt
servanda mempunyai arti yang sangat penting sekali. Sebagaimana dinyatakan oleh
Subekti, itikad baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul dari suatu
hubungan hukum (perjanjian) harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan
keadilan dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian
pihak lain. Syarat atau tuntutan kepastian hukum tercermin dalam ayat pertama Pasal
1338 KUH Perdata (yaitu janji itu mengikat), sementara ayat ketiga Pasal 1338 KUH
Perdata harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan.135
Kepada Pemerintah diharapkan agar pemberlakuan peraturan perundang-
undangan baru kepada KBH diselaraskan dengan tujuan dan sasaran KBH. Di sisi lain
kepada investor dituntut untuk memenuhi seluruh kewajibannya dalam kontrak, baik
berupa kewajiban fiskal maupun janji-janji lain seperti pemberian prioritas kepada
135 Subekti, loc. cit.
114
penggunaan atau pemanfaatan produk dalam negeri. Misalnya, pada waktu menetapkan
persyaratan dalam pengadaan barang atau jasa untuk mendukung operasi KBH, investor
dari luar negeri diharapkan bersedia mempertimbangkan kemampuan dan kedudukan
bersaing dari perusahaan-perusahaan pendukung dan jasa dalam negeri dan menghindari
penetapan persyaratan yang hanya dapat dipenuhi oleh perusahaan jasa luar negeri.
Untuk mengurangi permasalahan dengan penafsiran, pengertian mengenai
berbagai istilah atau parameter yang dijadikan acuan atau bench mark dalam
pelaksanaan kontrak didefinisikan lebih jelas. Misalnya, istilah-istilah seperti lapangan
baru, status komersial dan lain-lain perlu diperjelas. Demikian pula, istilah
“manajemen” dalam kontrak diperjelas meliputi lingkup tugas dan kewenangan serta
tanggung jawab. Seperti yang terjadi pada awal tahun 1980an ambiguitas mengenai
klausula manajemen ini telah menimbulkan celah hukum yang menuju ke birokrasi dan
“inefficiency” yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Penerapan asas pacta sunt
servanda akan lebih efektif apabila fungsi manajemen ini dilakukan melalui Joint
Management Committee yang terdiri dari BP Migas dan investor dan putusan dilakukan
dengan musyawarah dan mufakat, sebagaimana yang dipraktekkan di Malaysia dan
Cina.
Mengingat kesulitan untuk menetapkan kapan pemerintah menjalankan tindakan
komersial (acts jure gestionisi) dan kapan ia menjalankan kegiatan pemerintahaan (acts
jure imperil), maka untuk kontrak-kontrak berjangka panjang dengan pihak swasta luar
negeri yang melibatkan aset-aset yang dimiliki atau dikuasai negara atau yang
menyangkut kewajiban atau semacam jaminan negara, seringkali terdapat permintaan
dari investor untuk memasukkan ketentuan tambahan yang menetapkan bahwa
pelaksanaan kontrak merupakan perbuatan bersifat komersial dan bukan perbuatan
115
kenegaraan dan tidak digunakannya hak kekebalan negara dalam penyelesaian hukum.
Ketentuan tambahan tentang pelepasan hak kekebalan negara tersebut dimaksudkan agar
memberikan semacam perasaan lebih nyaman atau comfort bagi pihak yang menanam
modal dan khususnya pihak pemberi pinjaman atau penyandang dana. Ketentuan
semacam itu dijumpai dalam JOC dan ESC antara investor dengan PERTAMINA dan
PLN dalam proyek PLTP.
Selama ini KBH migas yang berlaku memang tidak memuat klausul tentang
pelepasan hak kekebalan negara. Hal ini lebih berkenaan dengan dipergunakannya dana
sendiri untuk membiayai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Akan tetapi, dengan
makin langkanya dana sendiri (own equity) bagi proyek pengembangan dan eksploitasi
migas, perlu diantisipasi adanya permintaan untuk memasukkan klausul tentang
pelepasan hak kekebalan negara dalam KKS migas. Sektor migas dan sektor keuangan
merupakan industri yang dinamis, penuh dengan perubahan, terutama perubahan akibat
makin langkanya dana sendiri untuk membiayai proyek-proyek yang padat modal.
Salah satu contoh juga bekaitan dengan upaya meningkatkan kemampuan swasta
nasional. Terbatasnya dana mungkin akan mengharuskan perusahaan yang
bersangkutan untuk mencari pendanaan dari institusi keuangan di luar negeri untuk
membiayai kegiatan pengembangan (development) dan eksploitasi migas. Sebagaimana
yang terjadi pada JOC dan ESC dalam PLTP, para penyandang dana umumnya
mensyaratkan agar klausul waiver of sovereign immunity dalam KKS, disamping
ketentuan tentang dipergunakannya arbitrasi internasional.
Dalam pengelolaan sumber daya migas Indonesia telah berhasil menggeser
keseimbangan kearah yang lebih menguntungkan bagi pihak pemerintah. Secara umum
Kontrak Bagi Hasil sama dengan kontak-kontrak bisnis lainnya, namun demikian ada
116
keunikan tersendiri mengingat yang menjadi salah satu pihak dalam kontrak adalah
Pemerintah. Apa yang diperlukan oleh Indonesia saat ini adalah memelihara iklim yang
kondusif untuk investasi. Meskipun penerapannya secara mutlak sulit, asas pacta sunt
servanda merupakan hal esensial dalam menciptakan iklim insvetasi yang kondusif ini.
Kebijakan Pemerintah dalam suatu bidang perlu diselaraskan dan disinkronisasikan
dengan kebijakan di bidang lain demi tercapainya hasil yang optimum. Investor dan
pemerintah harus dapat membina empathy dalam motif dan kedudukan masing-masing
pihak, sehingga sistem bagi hasil dalam industri migas dapat melanjutkan perannya
sebagai sesuatu yang mengikat kepentingan-kepentingan para pihak yang berbeda.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian di muka, hasil penelitian kepustakaan dan kajian atas kegiatan
pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia dapat dirangkum dengan beberapa
kesimpulan dan saran berikut.
A. Kesimpulan
1). UU Migas 2001 lebih menegaskan kedudukan Pemerintah Republik Indonesia
dalam Kontrak Bagi Hasil, yaitu sebagai salah satu pihak yang berkontrak secara
tidak langsung (indirect contracting party). Dengan pacta sunt servanda
sebagai landasan Kontrak Bagi Hasil, Pemerintah terikat untuk senantiasa
menerapkan asas tersebut dalam memberlakukan peraturan perundang-undangan
baru yang akan berdampak pada berubahnya persyaratan komersial KBH.
2). Dengan kedudukan Pemerintah sebagai pihak yang berkontrak dan berdasarkan
adagium les specialis derogat legi generalis, maka peraturan perundang-
undangan baru yang dikeluarkan setelah suatu Kontrak Bagi Hasil
ditandatangani tidak dapat diberlakukan pada Kontrak Bagi Hasil tersebut,
apabila pemberlakuannya akan mengubah persyaratan komersial kontrak.
2. Saran
1). Dalam mengemban amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat, maka
pemberlakukan peraturan perundang-undangan baru kepada KBH yang sedang
berjalan harus selaras dan sinkron dengan tujuan dan sasaran KBH.
117
118
2). Untuk menfasilitasi penerapan pacta sunt servanda, naskah Kontrak Bagi Hasil
disarankan agar disempurnakan dengan menghilangkan “ambiguity”, antara lain
dengan memberikan definisi yang lebih jelas terhadap beberapa istilah dan
menambah ketentuan-ketentuan yang lebih memberikan perlindungan kepada
para pihak dalam hal terjadi perubahan baik yang berasal dari faktor internal
maupun eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004.
Apeldoorn, L.J, Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1962
Friedman, Legal Theory, Stevens & Sons Limited, Fourth edition, 1960.
Ghanem, S.M., OPEC: The rise and fall of an exclusive club, PKI Limited, London, 1986.
Grotius, H., The Law of War and Peace: De Jure Belli et Pacis, 1646 ed., Kelsey, F.W. trans., Oxford, 1916 – 25, http://tldb.uni-koeln.de/php/pub.
Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001.
Ismail Sunny dan Rudioro Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1972.
Johnston, Daniel, Petroleum Fiscal Systems and Production Sharing Contracts, PennWell Books, Tulsa, Oklahoma, 1994.
Knowles, Ruth Sheldon, Indonesia Today: The Nation That Helps Itself, Nash Publishing, Los Angeles, 1973.
Kranenburg, R. en Vegting, W.G., Inleiding in het Nederlandsche Administratiefrecht, NV H.D. Theenk Willink & Zoon, Haarlem, 1955
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Penerbit Alumni, Bandung, 1994.
Mariam Darus Badrulzaman, et. al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976.
Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta, 1979.
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
Ooi Jin Bee, The Petroleum Resources of Indonesia, Oxford University Press Kualalumpur, 1982.
Pufendorf, S., The Law of Nature and Nations: De Jure Naturae et Gentium, 1688 ed. Oxford, 1934, TLDB Document ID: 105700, http://tldb.uni-koeln.de/php/pub
119
120
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Sendi-sendi Hukum dan Tata Hukum, Alumni Bandung, 1982
Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang Internasional), Mandar Maju, Bandung, 2003.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1990.
Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995
Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Itermasa, Jakarta, 2001.
Sudargo Gautama, Aneka Perkara Indonesia di Luar Negeri, Penerbit Alumni, Bandung, 1999.
Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2003, cetakan keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cetakan VII, Sumur Bandung, Bandung, 1979.
Yergin, Daniel, The Price, Simon & Schuster, New York, 1991.
Disertasi:
Gao, Zhigue, International Offshore Petroleum Contracts, Towards the Compatibility of Energy Need and Sustainable Development, Dissertation Doctor of Science Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, UMI Dissertation Services, Ann Arbor, Michigan, July 1993.
Soetarjo Sigit, Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangitan Pertambangan Indonesia, Pidato Ilmiah Penganugerhan Gelar Doktor Honoris Causa di ITB, Bandung, 9 Maret 1996.
T.N. Machmud, The Indonesian Production Sharing Contract, Kluwer Law International, The Hague, 2000.
Jurnal, Makalah dan Laporan:
Abas Kartadinata, New PSC – Indonesia: Impact of New Tax Laws and Regulations, Petroleum Lawyers Luncheon, October 26, 1984.
Abas Kartadinata, Tax Regulations for Production Sharing Contractors, Perhimpunan Pengelola Akutansi dan Keuangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia, Jakarta, 1991.
Abba Kolo, Renegotiation and Contract Adaption in the International Investment Projects: Appplicable Legal Principles and Industry Practices, Oil, Gas &
121
Energy Law Intellegence, Vol 1, Issue # 02, March 2003, University of Dundee, http://www.gasandoil.com/ogel/samples/
Anton Tjahjono, Improving Investment Climate for the Gas Industry, Pre Conference Dialogues # 2, Jakarta, 13 October 2004
Bagir Manan, Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Majalah Ilmiah UNPAD, Bandung, Nomor 3 Volume 14 Tahun 1986.
Banani, Dinesh D, International Arbitration and Project Finance in Developing Countries: Blurring the Public/Private Distinction, Boston College International & Comparative Law Review, http://www.bc.edu/schools/law/lawreviews/meta-elements/journals/bciclr/26_2/0
Caltex Pacific Indonesia, Pipeline to Progress: The Story of PT Caltex Pacific Indonesia, November 1983.
Chengwei, Liu, Remedies for Non-performance: Perspective from CSIG, UNIDROIT Principle and PECL, Chapter 19 Change of Circumstances, September 2003, http://cisgw3.law.pace.edu/cisg/biblio/ chengwei-79 html.
Departemen Pertambangan, 40 Tahun Peranan Pertambangan dan Energi di Indonesia 1945 - 1985, Majalah Pertambangan dan Energi, Jakarta, 1985.
Dewan Perwakilan Rakyat RI, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi, April 1999.
Direktorat Jenderal Pajak, Kebijakan PPN di bidang Migas dan Panas Bumi, Pre Conference Dialogues # 2, Jakarta, 13 October 2004.
Frabikant, Robert, Oil Discovery and Technical Change in Southeast Asia: Legal Aspects of Production Sharing Contracts in the Indonesian Petroleum Industry, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 1973.
Fabrikant, Robert, Production Sharing Contracts in the Indonesian Petroleum Industry, Harvard International Law Journal, vol 16, 1975.
Goldman, Berthold, The Applicable Law: General Principles of Law – the Lex Mercatoria, Lew ed. Contemporary Problems in International Arbitration, London, 1986, p. 125, TLDB Document ID 112400, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/php/pub.
Hamel, Eugene, Fiscal and Tax Update – Remarks From Indonesian Petroleum Association, Pre Conference Dialogues # 2, Jakarta, 13 October 2004
Houtte, Hans, Changed Circumstances and Pacta Sunt Servanda, Gatllard ed., Transnational Rules in International Commercial Arbitration, ICC Oubl. Nr. 480, 4, Paris, 1993, p 116, TLDB Document ID 117300, http://tldb.uni-koeln.de/TLDN html
122
Indonesian Mining Association, Mining Taxation - Proposal, Pre Conference Dialogues # 2, Jakarta, 13 October 2004.
Jennings, R.Y., State Contracts in International Law, British YB International Law, 1961
Kinney, B.D., Petroleum Laws and Model Contract Terms: Production Sharing in China, Oil & Gas Law and Taxation Review, Vol 12 August 1994, Sweet & Maxwell/ESC Publishing (Oxford UK).
Madjedi Hasan, Petroleum Contract – Indonesia’s Issues and Challenges, Petromin, Singapore, December 2001.
Menteri Pertambangan dan Energi RI, Tanggapan Pemerintah Atas Pengantar Musyawarah Fraksi-fraksi, Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta, 22 April 1999.
Nassar, Nalga, Sanctity of Contracts Revisited, Dordrecht, Boston, London, 1995, p. 193. TLDB Document ID 105700, http://tldb.uni-koeln.de/TLDN html
Onorato, W.T. Legislative Frameworks Used to Foster Petroleum Development, World Bank, Washington D.C., Feb 1995.
Petroleum Intellegence Weekly, Mc. Graw Hill Publication, New York, 10 June 1963.
PriceWaterhouseCoopers, CEO Survey – Upstream Oil & Gas, October 2002.
Rachmanto Surahmat, PP 35/2004 & Perlakuan PPh Sektor Hulu Migas, Bisnis Indonesia, 22 November 2004
Soetarjo Sigit dan S. Yudonarpodo, Legal Aspects of the Mineral Industry in Indonesia, Indonesia Mining Association (IMA), Jakarta, 1993
Tim Bimasena, Naskah Akademik Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Bimasena, Jakarta, Juni 2002
US Embassy, Petroleum Report 1984, Jakarta, 1985
US Embassy, Petroleum Report 2002 – 2003, Jakarta, March 2004.
Waelde, T.W.., The Current Status of International Petroleum Investment: Regulating, Licensing, Taxing and Contracting, Centre for Energy, Petroleum and Mineral Law and Policy University of Dundee, Dundee, July 1995.
Wehberg, Hans, Pacta Sunt Servanda, http://tldk.uni-koeln.de/php/pub, 2 Agustus 2004.
123
Kamus
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 7th ed., West Group, St Paul, Minnesota, 1999.
Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.
J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.
Kontrak
Rokan III 5A Exploratie en Exploitatie Contract tussen Gouvernemen en Nerderlandsche Pacific Petroleum Maatschapij, 12 Agustus 1949.
Heads of Agreement, Government of Republic of Indonesia, PT Caltex Pacific Indonesia Company, PT Stanvac Indonesia and PT Shell Indonesia, 1 Juni 1963.
Contract of Work between P.N. Pertambangan Minyak Indonesia and P.T. Caltex Pacific Indonesia, 25 September 1963.
Contract of Work between P.N. Pertambangan Minyak Indonesia and California Asiatic Oil Company and Texaco Overseas Petroleum Company, 25 September 1963.
The Production Sharing Contract between Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional (PERMINA) and Continental Overases Oil Company, May 12 1967
The Production Sharing Contract between Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) and Trend Exploation Limited 15 October 1970:
The Coastal Plain Production Sharing Contract between Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara and Texaco Overseas Petroleum Company and California Asiatic Oil Company.
Peraturan perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar 1945.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Indische Mijnwet (Staatsblad 1899 Nomor 214).
Undang-undang Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil.
124
Undang-undang Nomor 15 Prp Tahun 1960 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing.
Undang-undang Nomor 37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan.
Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1963 Tentang Pengesahan Perjanjian Karya antara PN PERTAMIN dengan PT Caltex Pacific Indonesia dan California Asiatic Oil Company (Calasiatic), Texaxo Overseas Petroleum Company (Topco), PN PERMINA dengan PT Stanvac Indonesia, PN PERMIGAN dengan PT Shell Indonesia.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikanan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1965 Pencabutan Undang-undang No. 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 15 Prp Tahun 1960.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Negara.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1974 Tentang Perubahan Pasal 19 Ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Pennjualan Atas Barang Mewah.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
125
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Pennjualan Atas Barang Mewah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
Mijnordonantie Tentang Pelaksanaan Indische Mijnwet (Staatsblad 1930 No. 38).
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1982 Tentang Kewajiban dan Tata Cara Penyetoran Pendapatan Pemerintah Dari Hasil Operasi PERTAMINA Sendiri dan Kontrak Production Sharing.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 Tentang Kepemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam rangka PMA.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi.
Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Jenis Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undan-undang Nomor 18 Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) Menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO).
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Keputusan Presiden Tahun 1962 Tentang Pinjaman dan Kredit Berdasarkan Bagi Hasil.
Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1963 Tentang Fasilitas Proyek Yang Dibiayai Dengan Pinjaman Luar Negeri Berdasarkan Bagi Hasil.
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1974 Tentang Wilayah Kuasa Pertambangan PERTAMINA.
126
Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1974 Tentang Wilayah Kuasa Pertambangan PERTAMINA.
Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1980 Tentang Team Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah.
Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1989 Tentang Penundaan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Jasa Pencarian Dan Pemboran Sumber Minyak, Gas Bumi dan Panas Bumi Untuk Yang Belum Berproduksi.
Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 Tentang Penagguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara.
Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 1998 tentang Tim Evaluasi Dalam Rangka Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta Proyek dan Kegiatan Kerjasama Pemerintah dan Swasta di Bidang Infrastruktur.
Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1997.
Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah.
Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 2000 Tentang Pokok-Pokok Organisasi PERTAMINA.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.012/1978 Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak Perseroan Dan Pajak Atas Bunga, Dividen dan Royalti Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Melakukan Kontrak Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) Di Bidang Minyak dan Gas Bumi dengan PERTAMINA.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 572/KMK.04/1989 Tentang Penundaan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Jasa Pencarian Dan Pemboran Sumber Minyak, Gas Bumi dan Panas Bumi Untuk Yang Belum Berproduksi.
127
Konvensi
United Nations Convention on the Law of Treaties, Signed at Vienna 23 May 1969, Entry into Force: 27 January 1980.
Putusan Pengadilan dan Mahkamah Arbitrase
Maitrise En Droit International Et Europeen, Texaco/Calasiatic c/ Gouvernement Libyen, Sentence Arbitrale Au Fond, 19 Janiver 1977. www.pict-pcti.org/publications/Bibliographies/Arb_Cases.doc
International Court of Justice, Case concerning Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia), Summary of the Judgement of 25 September 1997, www.lawschool.cornell.edu/library/cijwww/icjwww/docket/ihs/ iHSsummaries/ihssummary/1997
Mealey’s International Arbitration Rep, Himpurna California Energy Ltd. (Bermuda) v PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara (Indonesia), A-26 December 1999, www.mealeys,com/.
Mealey’s International Arbitration Rep, Patuha Power Ltd. (Bermuda) v PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara (Indonesia), B-14 December 1999, www.mealeys,com/.
Derains & Associes, Final Award in an Arbitration Procedure Under the Uncitral Arbitration Rules Karaha Bodas Company v Pertamina and PLN (18 November 2000), www.karahabodas.com/legal/FinalArb.pdf.
Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor 01/B/PK/PJK/2003 Tanggal 29 September 2003 Mengenai Perkara Peninjauan Kembali Atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor 0144/PP/A/M.V/16/2002 Antara Amoseas Indonesia Inc Melawan Direktur Jenderal Pajak.