6
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 AbstrakAntisipasi ancaman kebakaran hutan yang terjadi sejauh ini dapat di prediksi dengan beragam pendekatan salah satunya adalah dengan melihat hubungan kemunculan hotspot dengan beberapa data pendukung lainnya seperti indeks kekeringan atau indeks vegetasi. Dilihat dari analisa spasial kemunculan hotspot dari satelit NOAA-18/AVHRR dengan metode clustering, di Provinsi Riau intensitas kemunculan hotspot rata-rata sangat rendah dalam satu grid. Hal ini berpengaruh pada analisa hubungan dengan data lainnya sehingga dibutuhkan data hotspot dari satelit lain yang resolusinya lebih tinggi. Selanjutnya perhitungan hubungan antara hotspot dengan indeks kekeringan secara spasial memiliki variasi keragaman yang baik pada bulan Juli dan September 2014 tetapi rendah pada bulan Agustus 2014 hal ini disebabkan persebaran dan pola kemunculan hotspot paling besar hanya 4 kali dalam satu grid serta pengaruhnya terhadap cuaca dan nilai kekeringan saat itu. Sedangkan jika dilihat secara temporal pola hubungan hotspot dan kekeringan memiliki hubungan yang erat. Berbeda dengan indeks vegetasi tidak memiliki hubungan yang erat secara spasial terhadap intensitas kemunculan hotspot karena indeks vegetasi lebih tepatnya untuk analisa kawasan bekas kebakaran hutan ataupun sebelum kebakaran hutan. Perbedaan hasil dari regresi secara spasial dan secara temporal ini diperlukan perhitungan statistika yang lebih akurat selain menggunakan regresi linier sederhana. Hasil dari dua data perbandingan ini menghasilkan peta zona rawan kebakaran hutan yang didapat dari analisa hubungan indeks kekeringan dengan hotspot. Kata KunciClustering, Hotspot, Indeks Kekeringan, Indeks Vegetasi, I. PENDAHULUAN EJAK bulan Februari hingga Maret 2014, sebuah sistem online baru yang mencatat perubahan tutupan lahan dan kebakaran hutan, Global Forest Watch mendeteksi sekitar 3.101 peringatan titik api muncul di Pulau Sumatera. Mayoritas kebakaran terjadi di Provinsi Riau sebanyak 87 persen dari peringatan titik api hal ini dikarenakan kawasan Provinsi Riau banyak dikelola oleh konsesi kelapa sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Hal ini menunjukkan bencana kebakaran hutan di Provinsi Riau sering tidak terkendali karena kurangnya pengawasan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar [1] Provinsi Riau merupakan salah satu Provinsi yang memiliki kawasan dengan titik hotspot paling tinggi sehingga daerah sekitar lokasi hotspot merupakan daerah yang rawan terhadap kebakaran dan di daerah tersebut sebaiknya tidak dilakukan kegiatan pembakaran. [2] Oleh karena itu dibutuhkan sebuah informasi kawasan-kawasan yang tidak boleh dilakukan pembakaran secara disengaja karena akan berakibat fatal jika dibiarkan. Untuk mempermudah pengambilan keputusan antisipasi bencana dapat dilakukan dengan bantuan teknologi salah satunya yaitu dengan data hotspot dari NOAA dan melihat kerapaan vegetasi dengan menggunakan citra Landsat 8. Hotspot juga bisa diartikan wilayah yang memiliki suhu tertinggi dibandingkan daerah lain. Meski disebut titik panas, tidak seluruh hotspot adalah actual fire (api sebenarnya) di lapangan. Jumlah titik panas dapat juga digunakan sebagai dasar untuk memastikan luas kebakaran di lapangan [3] Pengolahan data hotspot yang diperoleh dari data citra satelit NOAA-18/AVHRR yang bersumber dari ASMC (ASEAN Specialized Meteorogical Centre) yaitu pusat meteorologi khusus ASEAN yang memberikan data koordinat (lintang dan bujur) hotspot di Indonesia sebagai peringatan titik api agar lebih waspada akan bencana kebakaran hutan. Data yang diberikan ASMC ini adalah data titik panas atau hotspot yang belum membuktikan adanya kebakaran hutan, sedangkan di Indonesia sendiri membutuhkan kevalidasian data hotspot apakah benar-benar adanya titik api penyebab kebakaran hutan dan lahan. Banyaknya hotspot yang ditangkap oleh satelit memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor lain, oleh karena itu dilakukan analisa spasial dengan metode Clustering dan tentunya data hotspot ini memerlukan komponen-komponen lain yang mendukung seperti kekeringan lahan dan nilai indeks vegetasi. Perhitungan kekeringan lahan menggunakan metode KBDI (Keetch Byram Drought Index) dan perhitungan indeks vegetasi menggunakan metode SAVI (Soil Adjusted Vegetation Index). Dari keterkaitan antara munculnya hotspot dengan nilai kekeringan dan indeks vegetasi yang terjadi dapat ditentukan faktor yang berpengaruh sehingga didapat zona atau kawasan yang rawan terjadinya kebakaran. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian Tugas Akhir ini mengambil daerah studi di Provinsi Riau. Secara geografis tertetak pada koordinat antara 1° 15’ Lintang Selatan sampai 4° 45’ Lintang Utara atau antara 100° 3’ - 109° 19’ Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Riau adalah 107.932,71 kilometer persegi dengan luas daratan 89.150,15 kilometer persegi dan luas lautan 18.782,56 kilometer persegi. Keberadaannya membentang dari lereng Analisa Penentuan Zona Rawan Kebakaran Hutan Berdasarkan Indeks Kekeringan KBDI dan Indeks Vegetasi SAVI (Studi Kasus : Provinsi Riau) T. Alfira Devy 1 , dan Bangun Mulyo Sukojo 1 , Awaluddin 2 1 Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia 2 Badan Pusat Penelitian Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Indonesia e-mail: 1 [email protected], 2 [email protected] S

penentuan zona rawan kebakaran hutan

  • Upload
    kipialf

  • View
    284

  • Download
    10

Embed Size (px)

DESCRIPTION

penentuan zona rawan kebakaran hutan remote sensing dan gisteknik geomatika

Citation preview

Page 1: penentuan zona rawan kebakaran hutan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

1

Abstrak— Antisipasi ancaman kebakaran hutan yang terjadi

sejauh ini dapat di prediksi dengan beragam pendekatan salah

satunya adalah dengan melihat hubungan kemunculan hotspot

dengan beberapa data pendukung lainnya seperti indeks

kekeringan atau indeks vegetasi. Dilihat dari analisa spasial

kemunculan hotspot dari satelit NOAA-18/AVHRR dengan

metode clustering, di Provinsi Riau intensitas kemunculan hotspot

rata-rata sangat rendah dalam satu grid. Hal ini berpengaruh

pada analisa hubungan dengan data lainnya sehingga dibutuhkan

data hotspot dari satelit lain yang resolusinya lebih tinggi.

Selanjutnya perhitungan hubungan antara hotspot dengan indeks

kekeringan secara spasial memiliki variasi keragaman yang baik

pada bulan Juli dan September 2014 tetapi rendah pada bulan

Agustus 2014 hal ini disebabkan persebaran dan pola kemunculan

hotspot paling besar hanya 4 kali dalam satu grid serta

pengaruhnya terhadap cuaca dan nilai kekeringan saat itu.

Sedangkan jika dilihat secara temporal pola hubungan hotspot

dan kekeringan memiliki hubungan yang erat. Berbeda dengan

indeks vegetasi tidak memiliki hubungan yang erat secara spasial

terhadap intensitas kemunculan hotspot karena indeks vegetasi

lebih tepatnya untuk analisa kawasan bekas kebakaran hutan

ataupun sebelum kebakaran hutan. Perbedaan hasil dari regresi

secara spasial dan secara temporal ini diperlukan perhitungan

statistika yang lebih akurat selain menggunakan regresi linier

sederhana. Hasil dari dua data perbandingan ini menghasilkan

peta zona rawan kebakaran hutan yang didapat dari analisa

hubungan indeks kekeringan dengan hotspot.

Kata Kunci— Clustering, Hotspot, Indeks Kekeringan, Indeks

Vegetasi,

I. PENDAHULUAN

EJAK bulan Februari hingga Maret 2014, sebuah sistem

online baru yang mencatat perubahan tutupan lahan dan

kebakaran hutan, Global Forest Watch mendeteksi sekitar

3.101 peringatan titik api muncul di Pulau Sumatera. Mayoritas

kebakaran terjadi di Provinsi Riau sebanyak 87 persen dari

peringatan titik api hal ini dikarenakan kawasan Provinsi Riau

banyak dikelola oleh konsesi kelapa sawit, HTI (Hutan

Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Hal ini

menunjukkan bencana kebakaran hutan di Provinsi Riau sering

tidak terkendali karena kurangnya pengawasan yang dilakukan

baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar [1]

Provinsi Riau merupakan salah satu Provinsi yang memiliki

kawasan dengan titik hotspot paling tinggi sehingga daerah

sekitar lokasi hotspot merupakan daerah yang rawan terhadap

kebakaran dan di daerah tersebut sebaiknya tidak dilakukan

kegiatan pembakaran. [2] Oleh karena itu dibutuhkan sebuah

informasi kawasan-kawasan yang tidak boleh dilakukan

pembakaran secara disengaja karena akan berakibat fatal jika

dibiarkan. Untuk mempermudah pengambilan keputusan

antisipasi bencana dapat dilakukan dengan bantuan teknologi

salah satunya yaitu dengan data hotspot dari NOAA dan melihat

kerapaan vegetasi dengan menggunakan citra Landsat 8.

Hotspot juga bisa diartikan wilayah yang memiliki suhu

tertinggi dibandingkan daerah lain. Meski disebut titik panas,

tidak seluruh hotspot adalah actual fire (api sebenarnya) di

lapangan. Jumlah titik panas dapat juga digunakan sebagai

dasar untuk memastikan luas kebakaran di lapangan [3]

Pengolahan data hotspot yang diperoleh dari data citra satelit

NOAA-18/AVHRR yang bersumber dari ASMC (ASEAN

Specialized Meteorogical Centre) yaitu pusat meteorologi

khusus ASEAN yang memberikan data koordinat (lintang dan

bujur) hotspot di Indonesia sebagai peringatan titik api agar

lebih waspada akan bencana kebakaran hutan. Data yang

diberikan ASMC ini adalah data titik panas atau hotspot yang

belum membuktikan adanya kebakaran hutan, sedangkan di

Indonesia sendiri membutuhkan kevalidasian data hotspot

apakah benar-benar adanya titik api penyebab kebakaran hutan

dan lahan. Banyaknya hotspot yang ditangkap oleh satelit

memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor lain, oleh karena itu

dilakukan analisa spasial dengan metode Clustering dan

tentunya data hotspot ini memerlukan komponen-komponen

lain yang mendukung seperti kekeringan lahan dan nilai indeks

vegetasi. Perhitungan kekeringan lahan menggunakan metode

KBDI (Keetch Byram Drought Index) dan perhitungan indeks

vegetasi menggunakan metode SAVI (Soil Adjusted Vegetation

Index). Dari keterkaitan antara munculnya hotspot dengan nilai

kekeringan dan indeks vegetasi yang terjadi dapat ditentukan

faktor yang berpengaruh sehingga didapat zona atau kawasan

yang rawan terjadinya kebakaran.

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian Tugas Akhir ini mengambil daerah studi di

Provinsi Riau. Secara geografis tertetak pada koordinat antara

1° 15’ Lintang Selatan sampai 4° 45’ Lintang Utara atau antara

100° 3’ - 109° 19’ Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Riau

adalah 107.932,71 kilometer persegi dengan luas daratan

89.150,15 kilometer persegi dan luas lautan 18.782,56

kilometer persegi. Keberadaannya membentang dari lereng

Analisa Penentuan Zona Rawan Kebakaran Hutan

Berdasarkan Indeks Kekeringan KBDI dan Indeks

Vegetasi SAVI (Studi Kasus : Provinsi Riau) T. Alfira Devy1, dan Bangun Mulyo Sukojo1, Awaluddin2

1Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh

Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia 2Badan Pusat Penelitian Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Indonesia

e-mail: [email protected], [email protected]

S

Page 2: penentuan zona rawan kebakaran hutan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

2

Bukit Barisan sampai Laut Cina selatan.

B. Tahap Pengolahan Data

Tahap pengolahan data yang dilakukan dapat dijelaskan

dalam diagram alir berikut ini :

Gambar 1 Diagram Alir Pengolahan Data

Penjelasan dari diagram alir diatas adalah sebagai berikut :

a. Terdapat 3 pengolahan data yaitu :

1. Pengolahan data Hotspot NOAA-18 dari ASMC

Pengolahan data hotspot ini dapat dilihat pada

diagram alir berikut :

Gambar 2 Diagram Alir Pengolahan Data Hotspot

2. Pengolahan data Indeks Kekeringan KBDI

Pengolahan data indeks kekeringan KBDI

menggunakan formula sebagai berikut [4] :

KBDI hari ini = (∑ KBDI kemarin - (10*CH)+DF hari ini

Dimana :

CH : Curah Hujan bersih

DF : Faktor kekeringan yang telah dimodifikasi

dan dapat digunakan untuk perkiraan

bahaya kebakaran. Rumus DF adalah :

DF = ((2000−𝑌𝐾𝐵𝐷𝐼)∗(0.9679∗𝑒𝑥𝑝(0.0875∗𝑇𝑚𝑎𝑥+1.552)−8.229)∗0.001

(1+10.88∗𝑒𝑥𝑝(−0.00175∗𝑎𝑛𝑛.𝑟𝑎𝑖𝑛))

Dimana :

Tmax : Suhu maksimum

Ann Rain : Rata-rata curah hujan bulanan

YKBDI : Nilai KBDI kemarin

Untuk pengolahannya dapat dilihat pada

diagram alir berikut :

Gambar 3 Diagram Alir Pengolahan Indeks Kekeringan KBDI

Setelah didapat nilai hasil perhitungan indeks

kekeringan KBDI dapat dilihat rentang kelas

kekeringan sebagai berikut :

Tabel 1 Skala sifat indeks vegetasi KBDI

Nilai KBDI Skala Sifat

0 - 999 Rendah

1000 – 1499 Sedang

1500 – 1749 Tinggi

Page 3: penentuan zona rawan kebakaran hutan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

3

1750 - 2000 Sangat tinggi

3. Pengolahan data Indeks Vegetasi SAVI

SAVI (Soil Adjusted Vegetation Index) adalah

indeks vegetasi yang mendesain suatu formula

untuk meminimalisir efek dari tanah yang pada

citra menjadi latar belakang objek vegetasi [5]

Pengolahan data indeks vegetasi SAVI

menggunakan data Citra Landsat 8 dengan

algoritma :

SAVI = 𝐵𝑉𝑖𝑛𝑓𝑟𝑎𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ𝑑𝑒𝑘𝑎𝑡−𝐵𝑉𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ

𝐵𝑉𝑖𝑛𝑓𝑟𝑎𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ𝑑𝑒𝑘𝑎𝑡+𝐵𝑉𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ+𝐿 (1 + L)

Dimana :

L : Faktor koreksi untuk vegetasi yang

besarnya 0 untuk vegetasi rapat dan 1

untuk vegetasi sangat jarang

Untuk pengolahannya dapat dilihat pada diagram

alir berikut ini :

Gambar 4 Diagram Alir Pengolahan Data Indeks Vegetasi SAVI

b. Setelah dilakukan pengolahan data tersebut dilakukan

analisa data. Analisa data dapat dijelaskan melalui

diagram alir berikut ini :

Gambar 5 Diagram Alir Analisa Data

Penjelasan dari diagram alir diatas adalah sebagai berikut :

1. Hotspot Provinsi Riau dilakukan analisa spasial

dengan menggunakan metode clustering untuk

mengetahui kawasan berdasarkan grid yang

memiliki intensitas kemunculan hotspot paling

banyak selama bulan Juli – September 2014

2. Nilai Kekeringan berdasarkan perhitungan

KBDI di lakukan proses Clustering agar

memiliki nilai kekeringan berdasarkan zona

3. Citra klasifikasi SAVI yang memiliki nilai

Indeks Vegetasi juga dilakukan clustering

untuk membaginya dalam zona grid yang sama

seperti hotspot dan kekeringan

4. Overlay data dilakukan untuk melihat

hubungan antara ketiga komponen yang dapat

menyebabkan kebakaran hutan dengan

perhitungan statistika

5. Setelah didapat algoritma kesesuaian atau

saling berhubungannya antara munculnya

hotspot dengan indeks kekeringan dan indeks

vegetasi maka dapat disimpulkan penentuan

zona kebakaran dapat di cari menggunakan

indeks kekeringan atau indeks vegetasi

6. Untuk menampilkan informasi tentang zona

rawan kebakaran hutan berdasarkan hubungan

yang paling kuat antara ketiga komponen maka

dilakukan layout peta untuk menghasilkan Peta

Zona Rawan Kebakaran Hutan Provinsi Riau

c. Menampilkan informasi dalam bentuk Peta Zona

Rawan Kebakaran Hutan

Page 4: penentuan zona rawan kebakaran hutan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

4

III. HASIL

A. Pengolahan Data Hotspot

Berikut ini adalah hasil pengolahan data hotspot selama

bulan Juli sampai Agustus 2014.

1. Bulan Juli

Gambar 6 kemunculan hotspot bulan Juli 2014

Kemunculan hotspot di Bulan Juli sebanyak 594 titik

dan setelah dilakukan clustering intensitas kemunculan

hotspot paling banyak berada di Kabupaten Rokan Hilir

dengan intensitas kemunculan mulai dari 8 kali hingga 1

kali.

2. Bulan Agustus

Gambar 7 kemunculan hotspot bulan Agustus 2014

Kemunculan hotspot di Bulan Agustus sebanyak 148

titik dan setelah dilakukan clustering intensitas

kemunculan hotspot paling besar hanya 4 kali di

kabupaten Rokan Hilir selebihnya intensitas kemunculan

hotspot rendah sebanyak 2 hingga 1 kali.

3. Bulan September

Gambar 8 kemunculan hotspot bulan September 2014

Kemunculan hotspot di Bulan September sebanyak 164 titik

dan setelah dilakukan clustering intensitas kemunculan hotspot

paling besar hanya 6 kali di kabupaten Pelalawan selebihnya

intensitas kemunculan hotspot rendah sebanyak 2 hingga 1 kali.

B. Pengolahan Data Indeks Kekeringan

Hasil pengolahan Indeks Kekeringan KBDI didapat rentang

indeks kekeringan pada bulan Juli hanya berkisar 136 hingga

1390 dalam skala sifat pada bulan Juli nilai kekeringan hanya

dalam skala sedang. Pada bulan Agustus skala sifat kekeringan

memiliki rentang nilai dari 72 hingga 888 yang berarti rendah.

Selanjutnya pada bulan September rentang nilai kekeringan

berada pada nilai 411 hingga 968 yang berarti rendah dalam

skala sifat.

C. Pengolahan Data Indeks Vegetasi

Hasil pengolahan data indeks vegetasi berupa data nilai

reflektan per piksel dimana data ini yang diambil hanya rata-

rata nilai reflektan yang memiliki nilai kemunculan hotspot

dalam 1 grid atau clustering. Hasil pengolahan indeks vegetasi

ditemukan bahwa grid yang memiliki nilai kemunculan hotspot

memiliki rentang indeks vegetasi atau kerapatan sebesar -1

sampai dengan 0,32 yaitu tingkat kerapatan vegetasi yang

rendah dalam skala sifat.

D. Analisa Hubungan Hotspot dengan Indeks Kekeringan

Berdasarkan perhitungan regresi linier hubungan antara

hotspot dan indeks kekeringan bulan Juli keeratan data sebesar

r = 0.8340 dengan koefisien korelasi R2 = 0.6956 yang berarti

hanya 69% dari sampel data yang menunjukkan variasi

keragaman total hotspot yang dapat diterangkan oleh variasi

indeks kekeringan.

Pada bulan Agustus keeratan data sebesar r = 0.1860 dengan

koefisien korelasi R2 = 0.0346 yang berarti hanya 3,4% dari

sampel data yang menunjukkan variasi keragaman total hotspot

yang dapat diterangkan oleh variasi indeks kekeringan.

Pada bulan September keeratan data sebesar r = 0.9060

dengan koefisien korelasi R2 = 0.8209 yang berarti 82% dari

sampel data yang menunjukkan variasi keragaman total hotspot

yang dapat diterangkan oleh variasi indeks kekeringan.

Dari pengolahan statistika data bulan Juli, Agustus dan

September diatas dapat dijelaskan bahwa pengaruh antara

indeks kekeringan terhadap intensitas kemunculan hotspot baik

pada bulan Juli dan September tetapi buruk pada bulan Agustus

hal ini dikarenakan adanya hubungan cuaca pada bulan tersebut

sehingga nilai kekeringan yang didapat dipengaruhi oleh

kemunculan hotspot walaupun nilai intensitas kemunculannya

tidak selalu sama di setiap grid. Sedangkan pada bulan Agustus

dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi dan kelembaban

tanah yang tinggi sehingga kemungkinan kemunculan hotspot

sulit terjadi walaupun masih ada kemunculan di setiap grid

tetapi perlu diperhatikan lagi apakah titik tersebut benar-benar

hotspot ataukah pada titik tersebut kawasan industri atau

pembakaran yang dilakukan manusia saat satelit merekam.

Kemunculan hotspot selalu ditandai dengan kekeringan yang

tinggi. Karena yang dianalisa adalah berbentuk spasial yaitu

kawasan hubungan hotspot dan kekeringan tidak begitu kuat

karena tidak semua kekeringan dipengaruhi oleh hotspot. Akan

tetapi jika dikumpulkan data rata-rata perbulan maka didapat

Page 5: penentuan zona rawan kebakaran hutan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

5

hubungan yang erat yaitu semakin tinggi nilai kekeringan maka

semakin tinggi juga intensitas hotspot yang muncul begitu juga

sebaliknya. Seperti dijelaskan tabel dan grafik dibawah ini :

Tabel 2 Jumlah Hotspot dan Rata-rata Nilai Kekeringan Selama bulan Juli -

September 2014

Dilihat secara grafik sebagai berikut :

Gambar 4. 1 Grafik Kemunculan Hotspot dan Indeks Kekeringan Bulan Juli -

September

E. Analisa Hubungan Hotspot dengan Indeks Vegetasi

Berdasarkan perhitungan regresi linier hubungan antara

hotspot dan indeks vegetasi bulan Juli keeratan data sebesar r =

0.0374 dengan koefisien korelasi R2 = 0.0014 yang berarti

hanya 0,1% dari sampel data yang menunjukkan variasi

keragaman total hotspot yang dapat diterangkan oleh variasi

indeks kekeringan.

Pada bulan Agustus keeratan data sebesar r = 0.001 dengan

koefisien korelasi R2 = 0.0001 yang berarti hanya 0,001% dari

sampel data yang menunjukkan variasi keragaman total hotspot

yang dapat diterangkan oleh variasi indeks kekeringan.

Pada bulan September keeratan data sebesar r = 0.2643

dengan koefisien korelasi R2 = 0.0699 yang berarti hanya 7%

dari sampel data yang menunjukkan variasi keragaman total

hotspot yang dapat diterangkan oleh variasi indeks kekeringan.

Berdasarkan hasil dari semua pengolahan regresi antara

indeks vegetasi dan hotspot pada Bulan Juli hingga September

2014 dapat dilihat bahwa keragaman antara indeks vegetasi dan

hotspot sangat kecil dikarenakan tidak semua vegetasi jarang

menyebabkan munculnya hotspot. Hal ini disebabkan oleh

sebaran vegetasi dan kerapatan yang berbeda-beda. Pada lokasi

bekas kebakaran sebaran vegetasi didominasi oleh tanaman

bawah yang masih muda dan berdaun lunak sehingga kadar

airnya tinggi. Dan karena sebaran indeks vegetasi tidak merata

dan bernilai jarang maka hasil korelasinya negatif dan tidak

menunjukkan hubungan yang erat. Sedangkan pada lokasi yang

tidak menunjukkan kemunculan hotspot menunjukkan tingkat

vegetasi sedang hingga tinggi karena disebabkan jenis vegetasi

yang mendominasi pada area tersebut berupa tumbuhan keras

dan berdaun hijau serta persebaran yang merata dan rapat.

F. Analisa Penentuan Zona Rawan Kebakaran Hutan

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisa data antara

hubungan hotspot dan indeks kekeringan dan hotspot dan

indeks vegetasi. didapat hasil penentuan zona rawan kebakaran

hutan lebih akurat menggunakan data berdasarkan nilai

kekeringan. Sebenarnya keragaman data dari perbandingan dua

analisa diatas memiliki sifat yang sama yaitu berapapun jumlah

hotspotnya akan masuk kepada nilai kekeringan yang berada

dalam skala sama begitu juga vegetasi sehingga menyebabkan

nilai keragaman sangat kecil. Tetapi jika dilihat dari grafik

besar kemunculan hotspot dan rata-rata indeks kekeringan

secara temporal memiliki pola grafik yang sama yaitu ketika

kekeringan tinggi maka hotspot juga tinggi dan ketika

kekeringan rendah maka jumlah hotspot juga rendah. Maka

Hasil Peta Zona Rawan Kebakaran Hutan Provinsi Riau adalah

sebagai berikut :

a. Peta Zona Rawan Kebakaran Provinsi Riau Bulan Juli

2014

b. Peta Zona Rawan Kebakaran Provinsi Riau Bulan

Agustus 2014

c. Peta Zona Rawan Kebakaran Provinsi Riau Bulan

September 2014

0

200

400

600

800

Juli Agustus september

0

500

1000

JUM

LAH

HO

TSP

OT

BULAN IND

EKS

KEK

ERIN

GA

N

GRAFIK KEMUNCULAN HOTSPOT DAN INDEKS KEKERINGAN BULAN

JULI - SEPTEMBER 2014

rata-rata nilai kekeringan jumlah hotspot

Bulan jumlah

hotspot

rata-rata nilai

kekeringan

Juli 594 839

Agustus 148 478

september 164 645

Page 6: penentuan zona rawan kebakaran hutan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)

6

Berdasarkan hasil pemetaan zona rawan kebakaran hutan

dapat dijelaskan secara spesifik skala rawan sebagai berikut :

1. Aman : Nilai KBDI lebih kecil dari 999 dan tidak

ditemukan kemunculan hotspot

2. Rendah : Nilai KBDI antara 0-999 dan adanya

kemunculan hotspot lebih dari 1 kali

3. Sedang : Nilai KBDI lebih besar samadengan 1000 dan

adanya kemunculan hotspot 1-3 kali

4. Tinggi : Nilai KBDI lebih besar samadengan 1000 dan

adanya kemunculan hotspot lebih dari 3 kali.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Berdasarkan analisa spasial kemunculan hotspot

dengan metode clustering dari 3863 grid Provinsi Riau

pada bulan Juli-September 2014 nilai intensitas

kemunculan hotspot sangat kecil sehingga akan sulit

dilakukan analisa hubungan dengan data lain

dikarenakan resolusi satelit NOAA-18/AVHRR kecil

oleh karena itu diperlukan data hotspot dari satelit

yang memiliki resolusi lebih tinggi.

b. Nilai R2 antara hotspot dan indeks kekeringan yang

tidak mendekati 1 disebabkan tidak semua secara

spasial nilai kekeringan yang tinggi memiliki nilai

hotspot yang tinggi juga dalam arti lain tidak semua

nilai kekeringan berpengaruh terhadap hotspot. Akan

tetapi secara spasial kemunculan hotspot pasti

memiliki nilai kekeringan yang tinggi. Selanjutnya

nilai R2 sangat kecil antara hotspot dan indeks

vegetasi secara spasial atau clustering dikarenakan

sebaran vegetasi dan kerapatan yang berbeda-beda

tidak mendukung terjadinya kebakaran hutan karena

indeks vegetasi melihat kadar air tanaman.

Dikarenakan perbedaan hasil regresi antara data secara

spasial dan data secara temporal maka dibutuhkan

suatu metode perhitungan yang lebih akurat.

c. Berdasarkan perbandingan analisa antara hotspot dan

indeks kekeringan lalu hotspot dan indeks vegetasi

maka indeks yang paling mendekati zona yang rawan

kebakaran hutan adalah menggunakan indeks

kekeringan karena pola kemunculan hotspot hampir

mengikuti pola kekeringan

DAFTAR PUSTAKA

[1] S. Niger, J. Anderson, F. Stolle, S. Minnemeyer, M.

Higgins, A. Leach, A. Alisjahbana and A. Utami,

"Kebakaran Hutan di Indonesia mencapai Tingkat

Tertinggi Sejak Kondisi Darurat Kabut Asap Juni 2013,"

14 March 2014. [Online]. Available:

http://www.wri.org/blog/2014/03/kebakaran-hutan-di-

indonesia-mencapai-tingkat-tertinggi-sejak-kondisi-

darurat-kabut.

[2] Ratnasari, "Pemantauan Kebakaran Hutan dengan

Menggunakan Data Citra NOAA-AVHRR dan Citra

Landsat TM : Studi Kasus di Daerah Kalimantan Timur,"

Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2000.

[3] Dewan Riset Nasional, "Liputan6," 23 Agustus 2002.

[Online]. Available:

http://news.liputan6.com/read/40144/tidak-seluruh-titik-

panas-adalah-api-sebenarnya.

[4] A. Wardhana, "Penyusunan Peringkat Bahaya Kebakaran

Hutan Berdasarkan Indeks Kekeringan Keetch-Byram

(Keetch-Byram Drought Index/KBDI) dan Kode

Kekeringan (Drought Code/DC) di Provinsi Riau," Institut

Pertanian Bogor, Bogor, 2003.

[5] P. Danoedoro, Pengantar Penginderaan Jauh Digital,

Yogyakarta: C.V. Andi Offset, 2012.