29

Click here to load reader

PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU

Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat

penting untuk mewujudkan warga negara yang handal profesional dan berdaya saing tinggi.

Pendidikan juga dipandang sebagai investasi penting dalam pembangunan nilai-nilai dan

pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dalam perjalanan hidup berbangsa dan bernegara. Di

samping itu, pendidikan juga diyakini merupakan cara yang paling efektif dalam proses nation

and character building, yang sangat menentukan perjalanan dan regenerasi suatu bangsa.

Pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya menyeluruh dan

sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Keberhasilan dalam

membangun pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan

pembangunan suatu bangsa. Berdasarkan hal tersebut, pembangunan pendidikan mencakup

berbagai dimensi yang luas dan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan

sistem terbuka dan multimakna.

Pendidikan secara faktual merupakan pengalaman belajar seseorang sepanjang hidup.

Seperti yang dinyatakan dalam pernyataan resmi Unesco tentang pendidikan untuk semua

(education for all atau EFA) pada tahun 1990. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa setiap

orang di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan dapat dilakukan oleh siapa

saja, di mana saja, dan kapan saja. Artinya pendidikan dapat dilakukan dengan tanpa mengenal

batas usia, ruang, dan waktu. Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan

pemerintah wajib untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang menunjang

keberlangsungan proses pendidikan. Hal sesuai dengan apa yang telah digariskan pada Undang-

undang Dasar tahun 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2). Pendidikan juga tidak mengenal pembatasan

bentuk dan kegiatan, dalam hal ini pendidikan dapat dilakukan di sekolah, luar sekolah, pondok

pesantren, perguruan-perguruan, dan lain sebagainya.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang (developing country) telah

menunjukkan perhatian yang cukup besar terhadap pendidikan, yang secara yuridis tercermin

dalam Pasal 31 ayat (1), UUD 1945 dinyatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan

pendidikan”, artinya setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh

Page 2: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

pendidikan. Upaya untuk menjabarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang

Sistem Pendidikan Nasional, dan dalam rangka mencapai sasaran pembangunan pendidikan

nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun

2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004 - 2009

RPJMN tersebut mencakup 3 (tiga) misi pembangunan, yaitu (1) Mewujudkan negara Indonesia

yang aman dan damai; (2) Mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan demokratis; dan (3)

Mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera. Salah satu upaya untuk mendukung tercapainya

misi pembangunan untuk mewujudkan bangsa indonesia yang sejahtera adalah dengan

membangun sektor pendidikan melalui peningkatan program-program pendidikan.

Selanjutnya untuk mendukung RPJMN departemen pendidikan nasional menyusun

Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan 2005-2009 yang merupakan penjabaran lebih lanjut

dari program-program pendidikan yang terdapat pada RPJMN tersebut. Perencanaan

pembangunan pendidikan, selain diarahkan untuk mencapai sasaran dan target pembangunan

nasional juga sudah mencakup sasaran dan target yang menjadi komitmen internasional dalam

berbagai konvensi internasional dalam pemenuhan hak-hak anak tanpa diskriminasi.

Berdasarkan perjanjian internasional menegaskan bahwa pendidikan dasar wajib

diselenggarakan oleh pemerintah dengan tanpa biaya dan wajib. Hal ini didasarkan kenyataan

bahwa terdapat korelasi antara pendidikan dengan kemiskinan. Oleh karena itu menjadi

kewajiban pemerintah untuk menyeleng-garakan pendidikan yang bebas biaya dan bermutu.

Meskipun disadari bahwa tidak atau belum semua negara dapat memenuhi perjanjian tersebut.

Termasuk di negeri ini, Pemerintah belum dapat membebaskan biaya untuk penyelenggaraan

pendidikan dasar. Padahal, pendidikan merupakan hak azasi bagi setiap warga di seluruh dunia.

Seiring dengan pernyataan di atas, pada tahun 2000 di Dakar, masyarakat pendidikan

yang mewakili masyarakat dunia menyerukan kepada seluruh pemerintah di seluruh dunia untuk

lebih memperhatikan pendidikan bagi seluruh warga negaranya. Seruan itu dikenal dengan

Kerangka Kerja Aksi Dakar (The Dakar Framework for Action) berisi suatu pernyataan yang

tegas, bahwa pendidikan merupakan hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, dan

memberikan penekanan tentang pentingnya aksi pemerintah berbasis hak asasi untuk mencapai

tujuan Pendidikan Untuk Semua (Education for All). Hal ini didukung juga oleh Unesco yang

Page 3: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

secara aktif mendukung pandangan bahwa pendekatan berbasis hak asasi dalam pembangunan

pendidikan merupakan prasyarat untuk mewujudkan Pendidikan Untuk Semua (PUS).

Sebagai Negara anggota yang telah menandatangani konvensi internasional tentang

PUS dan menyepakati deklarasi kerangka kerja aksi Dakar, Indonesia telah menyusun rencana

aksi nasional pendidikan untuk semua (RAN-PUS), dalam rangka mencapai sasaran dan target

PUS pada tahun 2015. Dalam RAN-PUS tersebut ditetapkan bahwa enam target yang harus

dicapai pada tahun 2015, yaitu (1) pendidikan anak usia dini, (2) pendidikan dasar, (3)

pendidikan kecakapan hidup (life skills), (4) keaksaraan, (5) kesetaraan gender, dan (6)

peningkatan mutu pendidikan. Upaya pencapaian PUS melalui enam target tersebut sejalan

dengan upaya untuk meningkatkan angka partisipasi murni pendidikan pada jenjang usia dini dan

pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs).

Data susenas menunjukkan adanya perbaikan Angka Partisipasi Murni (APM) jenjang

SD/MI atau untuk anak usia 7–12 tahun dari 88,7 persen pada 1992 dan menjadi 92 persen pada

akhir tahun tahun 1995. Bahkan data Depdiknas pada tahun tersebut menunjukkan APM yang

lebih tinggi, yaitu 94 persen. Pada tahun 2004, Indonesia telah mencapai APM SD/MI sebesar

93%, dan APM sebesar SMP/MTs 65%. Walaupun perluasan SD/MI sudah mencapai prestasi

yang gemilang, Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk meningkatkan angka

partisipasi kasar (APK) SMP/MTs hingga mencapai angka 95% pada tahun 2009. Pada akhir

tahun 2008 APM jenjang SD/MI menurut Depdiknas menunjukkan angka partisipasi 95,14% dan

APM jenjang SMP/MTs mencapai 96,18%. Berdasarkan data-data tersebut nampaknya kita telah

berhasil mencapai target pencapaian kinerja pemerintah dalam bidang pendidikan.

Keberhasilan pencapaian kinerja pemerintah dalam bidang pendidikan tidak terlepas

dari upaya pemerintah dalam mengurangi berbagai hambatan yang dihadapi calon peserta didik

dari keluarga miskin dan kurang beruntung, yaitu hambatan dalam pembiayaan pendidikan dan

persekolahan. Upaya tersebut dilakukan dengan pemberian subsidi Biaya Operasional Sekolah

(BOS) yang dimulai pada tahun 2005. Melalui BOS diharapkan dapat membebaskan sebagian

besar biaya sekolah yang selama ini ditanggung oleh siswa. BOS dikembangkan terus sejalan

dengan kemampuan pemerintah yang semakin besar dalam rangka mewujudkan free basic

education.

Page 4: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

Target atau sasaran tujuan pembangunan milenium (Milenium Development Goal’s)

adalah menjamin bahwa sampai dengan 2015, semua anak, di mana pun, laki-laki dan

perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Berdasarkan laporan perkembangan

pencapaian tujuan pembangunan milenium di Indonesia, lebih tinggi dari pada standar

internasional untuk pendidikan dasar. Target itu sejalan dengan target program wajib belajar

pendidikan dasar sembilan tahun, yaitu meningkatkan partisipasi pendidikan dasar dengan

indikator kinerja pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SLTP/MTs mencapai 90

persen persen paling lambat pada 2008, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar yang pada saat

ini masih di bawah standar nasional.

2. Konsep Desentralisasi Pendidikan

Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal

tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau menyerahkan

wewenang pemerintahan kepada daerah otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi.

Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari

bahasa Latin “de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan

melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1

disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem

Negara Kesatuan RI. Sedangkan menurut Jose Endriga (Verania Andria & Yulia Indrawati

Sari,2000:iii) desentralisasi diartikan sebagai “systematic and rasional dispersal of governmental

powers and authority to lower level institutions so as to allow multi–sectoral decision making as

close as possible to problem area”. Lain halnya dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan

desentralisasi sebagai “delegations of responsibilities and powers to authorities at the lower

levels”.

Secara konseptual, penerapan asas desentralisasi didasari oleh keinginan menciptakan

demokrasi, pemerataan dan efisiensi. Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan

demokrasi melalui partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini diharapkan

akan mendorong tercapainya pemerataan pembangunan terutama di daerah pedesaan dimana

sebagian besar masyarakat tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena jarak antara

Page 5: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan sumber daya digunakan

saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi

yang besar untuk mendukung pemerintah lokal. Sementara itu, Kotter (1997) dalam buku

“Leading Change”, menyatakan bahwa lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa

keunggulan, antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat terhadap

lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3) lebih inovatif, dan (4)

menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih produktif. Sedangkan

Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi (1998:216) menyatakan bahwa dengan pengambilan

keputusan dalam organisasi ke tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh

keputusan yang lebih baik. Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan tetapi juga

kualitas pengambilan keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan lebih cepat,

lebih luwes dan konstruktif.

Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya

dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam

semua bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001:3) desentralisasi

pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya

menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan,

termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan.

Senada dengan itu, Husen & Postlethwaite (1994:1407) mengartikan desentralisasi pendidikan

sebagai “the devolution of authority from a higher level of government, such as a departement of

education or local education authority, to a lower organizational level, such as individual

schools”. Sementara itu, menurut Fakry Gaffar (1990:18) desentralisasi pendidikan merupakan

sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada

keberagaman, dan sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan

keputusan untuk memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis

dan budaya, baik menyangkut substansi nasional, internasional atau universal sekalipun.

Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah otoritas yang diserahkan.

Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya dua macam otoritas (kewenangan dan

tanggung jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, yaitu

desentralisasi politis (political decentralization) dan desentralisasi administrasi (administrative

Page 6: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

decentralization). Perbedaan antar keduanya terletak dalam hal tingkat kewenangan yang

dilimpahkan.

Pada desentralisasi politik, kewenangan yang dilimpahkan bersifat mutlak. Pemda menerima

kewenangan melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang otoritas untuk

menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakatnya. Hal itu

mencakup kewenangan untuk menentukan model, jenis, sistem pendidikan, pembiayaan, serta

lembaga apa yang akan melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut. Sedangkan dalam

desentralisasi administrasi, kewenangan yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan

tugas-tugas pendidikan di daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa strategi

pengelolaan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu fungsi pendidikan. Dalam

desentralisasi model ini, pemerintah pusat masih memegang kekuasaan tertinggi dalam

menentukan kebijakan makro, sedangkan pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan

kewenangan untuk merencanakan, mengatur, menyediakan dana dan fungsi-fungsi implementasi

kebijakan lainnya.

Mengapa bidang pendidikan didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai pendapat dari

para ahli. Husen & Postlethwaite (1994:1407) menguraikan mengenai alasan desentralisasi

(reasons for decentralization), yaitu (a) the improvement of schools, (b) the belief that local

participation is a logical form of governance in a democracy, dan (c) in relation to fundamental

values of liberty, equality, fraternity, efficiency, and economic growth. Sementara itu, setelah

melakukan studi di berbagai negara, Fiske (1998:24-47) menyebutkan sekurang-kurangnya ada

empat alasan rasional diterapkannya sistem desentralisasi, termasuk pendidikan, yaitu (a) alasan

politis, seperti untuk mempertahankan stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah

pusat dari masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan laissez-faire dan

untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan sosio-kultural, yakni untuk

memberdayakan masyarakat lokal, (c) alasan teknis administratif dan paedagogis, seperti untuk

memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat membayar gaji guru tepat waktu atau untuk

meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial,

seperti meningkatkan sumber daya tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat

pembangunan ekonomi.

Pendapat lain yang lebih sesuai dengan konteks desentralisasi pendidikan di Indonesia

dikemukakan oleh Nuril Huda (1998:3-5). Ia berpendapat bahwa desentralisasi pendidikan di

Page 7: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

Indonesia dimaksudkan untuk mencapai efisiensi pendidikan dengan mengakomodasi aspirasi

masyarakat lokal. Ia juga memberi alasan rinci mengapa pertanggungjawaban implementasi

pendidikan didesentralisasikan, yaitu:

Pertama, secara politik desentralisasi adalah cara mendemokratiskan manajemen urusan-urusan

publik (politically decentralization is a way of democratizing the management of public affairs).

Di bawah skema desentralisasi, pertanggungjawaban pendidikan tertentu diberikan kepada

pemerintah daerah. DPRD mengawasi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di daerah.

Dengan melibatkan wakil rakyat di dalam urusan pendidikan, diharapkan akan mendukung

partisipasi masyarakat yang lebih besar di dalam pelaksanaan pendidikan dan dalam

memecahkan masalah yang berhubungan dengannya.

Kedua, secara teknis adalah sulit untuk mengelola pendidikan secara efisien di dalam sebuah

wilayah yang luas yang berisi banyak pulau (technically it is difficult to manage education

efficiently in a vast area consisting of islands). Masalah komunikasi dan transportasi antara

pemerintah pusat dan daerah, khususnya pada masa lalu, telah menjadi pertimbangan penting

untuk desentralisasi. Lagi pula, sentralisasi akan membuat sulit untuk memecahkan masalah -

masalah perbedaan-perbedaan regional dan untuk mempertemukan kebutuhan dan tuntutan

khusus mereka. Perbedaan-perbedaan budaya dan tingkat perkembangan masing-masing daerah

menyumbang perbedaan-perbedaan dalam kebutuhan-kebutuhan dan hakekat pendekatan untuk

menyelesaikan masalah.

Ketiga, alasan utama desentralisasi pendidikan adalah efisiensi dan efektifitas dalam menangani

masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan (efficiency and effectiveness

in handling problems related to the implementation of education). Dan, alasan keempat, untuk

mengurangi beban administrasi yang berlebihan dari pemerintah pusat (to reduce the overloaded

burden of administration of the central government).

Sementara itu, berbeda dengan empat argumen itu, Kacung Marijan (Abdurrahmansyah,

2001:58) melihat penerapan desentralisasi pendidikan di Indonesia justru sebagai gejala

keputusasaan pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan. Sedangkan Arbi Sanit

(2000:1) memandang penerapan desentralisasi secara umum sebagai “jalan keluar” bagi

problematik ketimpangan kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Karena

itu, menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari asumsi pemberian sebagian kekuasaan

pemerintah pusat kepada pemerintah lokal atau yang lebih rendah dalam rangka mencapai tujuan

Page 8: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

nasional. Pemberian sebagian kekuasaan tersebut untuk mengatasi kekecewaan daerah terhadap

pemerintah pusat, yang berakar pada persoalan: (1) ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar

Jawa, (2) sentralisasi politik, (3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi SDA, (5) represi dan

pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga kultural.

Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan

dengan melibatkan lebih banyak stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah

dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah dengan kebutuhan

dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian

murid. Selain itu, desentralisasi tersebut juga dalam rangka memberi kesempatan kepada rakyat

atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga pendidikan mampu

menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan

daerah.

3. Model-Model Desentralisasi Pendidikan

Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemda membawa konsekuensi pada model

pelaksanaannya. William (Depdiknas, 2001:5) memerinci desentralisasi ke dalam tiga model,

yaitu dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan devolusi (devolution).

Dekonsentrasi adalah model pengalihan tanggung jawab pengelolaan pendidikan dari pemerintah

pusat ke pemerintah yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga lembaga di pemerintah pusat

masih memegang kendali pelaksanaan pendidikan secara penuh. Model desentralisasi ini

seringkali dilaksanakan dengan membentuk lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat

melaksanakan tanggung jawab pemerintah pusat.

Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan kekuasaannya pada

pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom. Kekuasaan pemerintah pusat ini

tidak diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintah memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik

kembali. Sementara, dalam model devolusi pemerintah pusat menyerahkan kewenangan dalam

seluruh pelaksanaan pendidikan meliputi pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih

luas. Kewenangan yang diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat ditarik kembali lagi hanya

karena tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di pusat.

Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan yang disampaikan. Model

dekonsentrasi adalah model penyerahan kewenangan yang paling rendah, model delegasi lebih

besar/tinggi, dan model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang dilimpahkan ini

Page 9: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

juga akan berkonsekuensi lebih jauh pada pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang

diterima dari pemerintah pusat, semakin besar sumberdaya yang harus dikeluarkan untuk

melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka bagi penerima kewenangan

untuk mencari segala upaya dalam melaksanakan kewenangan itu, termasuk bekerja sama

dengan pihak-pihak lain yang mereka nilai membantu dan menguntungkan mereka.

Rondinelli (Husen & Postlethwaite, 1994:1412) menambahkan satu kategori lagi, yaitu

privatisasi (privatization), yaitu model penyerahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan

kepada pihak swasta. Model ini berbeda dengan ketiga model William dari segi penerima

kewenangan. Menurut Abdurrahmansyah (2001:61), dalam kasus pembicaraan desentralisasi

pendidikan di Indonesia sejauh yang telah dilakukan nampaknya cenderung mengambil model

yang terakhir, swastanisasi. Selain tidak terlalu rumit, menurutnya, bentuk ini terkesan hanya

sekedar pemindahan pelimpahan kewajiban dari urusan pemerintah menjadi urusan masyarakat.

Sementara itu, Nuril Huda (1999:16) mengemukakan tiga model desentralisasi pendidikan, yaitu

(1) manajemen berbasis lokasi (site-based management), (2) pengurangan administrasi pusat,

dan (3) inovasi kurikulum. Pada model manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan

meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah. Model pengurangan

administrasi pusat merupakan konsekuensi dari model pertama. Pengurangan administrasi pusat

diikuti dengan peningkatan wewenang dan urusan pada masing-masing sekolah. Model ketiga,

inovasi kurikulum menekankan pada inovasi kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan

kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum ini disesuaikan benar dengan

kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah yang bervariasi. Di antara ketiga model ini,

model manajemen berbasis lokasi yang banyak diterapkan, untuk 4 Bandingkan dengan pendapat

H.A.R. Tilaar. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta;

Azyumardi Azra.2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas; dan

Sindhunata.2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 5 Sebenarnya, adalah sangat menarik untuk menganalisis perbedaan dan persamaan di antara dua

pendapat di atas, kemudian menyimpulkan dan menguraikannya secara lebih detail mengenai

pergeseran atau perubahan-perubahan yang ada menyangkut paradigma pendidikan. Tapi, untuk

keperluan makalah ini cukuplah kalau dipaparkan ”seadanya”, karena tekanan makalah ini lebih

pada perencanaan pendidikan di era otonomi daerah sebagai implikasi paradigma baru

pendidikan tersebut.

Page 10: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada guru-guru, orang tua, siswa

dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.

4. Paradigma Baru Pendidikan

Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma

pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar yang

saling berkaitan, yaitu (1) dari sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari kebijakan yang top

down ke kebijakan yang bottom up, (3) dari orientasi pengembangan parsial menjadi orientasi

pengembangan holistik, (4) dari peran pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peranserta

masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif, serta (5) dari lemahnya peran institusi non sekolah

ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, LSM, pesantren, maupun dunia usaha

(Fasli Jalal, 2001: 5).4

Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku Depdiknas (2002:10) tentang Materi Pelatihan

Terpadu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari “sentralistik ke

desentralistik” dan orientasi pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach) ke

pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach) sebagaimana yang sudah disebut dalam

buku Fasli Jalal, juga disebutkan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi

berlebihan” ke “debirokratisasi”, dari “Manajemen Tertutup” (Closed Management) ke

“Manajemen Terbuka” (Open Management), dan pengembangan pendidikan, termasuk biayanya,

“terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke “sebagian besar menjadi tanggung

jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).5

Bila kedua pendapat di atas dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran

paradigma pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut.

a. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan

Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh kebijakan

pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Depdikbud. Seluruh jajaran,

tingkat Kanwil Depdikbud, tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota, bahkan sampai di

sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan- 6 H. Noeng Muhadjir (2003: 61)

menyatakan bahwa kebijakan yang berasal dari atas (top down), di bawah membantu

implementasinya disebut menggunakan paradigma public policy, sedangkan kebijakan yang

berasal dari bawah (bottom up), disebut menggunakan paradigma social policy.

Page 11: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya.

Kakandep dan sekolah-sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang

sudah ditetapkan oleh Depdikbud/Kanwil Depdikbud, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi,

potensi, kebutuhan sekolah dan masyarakat di daerah.

Dalam era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik

dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas

Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan

juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor,

bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.

Dengan UU dan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi daerah, Kabupaten/Kota dan

DPRD Kabupaten/Kota, diberi wewenang membuat Peraturan-Peraturan Daerah, mengenai

pendidikan tingkat Kabupaten/Kota. Dengan desentralisasi manajemen pendidikan tersebut,

Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah Kabupaten/Kota yang

otonom, dapat membuat kebijakan-kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai wewenang yang

dilimpahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam

pengelolaan pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota, setiap sekolah juga diberi peluang untuk

membuat kebijakan sekolah (school policy) masing-masing atas dasar konsep “manajemen

berbasis sekolah” dan “pendidikan berbasis masyarakat”

Dengan demikian, sebagian perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota

sangat bergantung pada kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing

Kepala Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.

Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses

demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di

unit-unit satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan

berkembang pada seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah

dan di kelas-kelas ruang belajar.

b. Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up;

Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan

dengan mekanisme pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach)6. Berbagai kebijakan

pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam

Page 12: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

hal khusus di Propinsi ditentukan oleh Kanwil Depdikbud, dan dalam hal khusus lainnya di

Kabupaten/Kota ditentukan oleh Kakandepdikbud, untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran

pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah-sekolah.

Lain halnya dalam era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan

dilakukan dengan orientasi pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach). Pendekatan

bottom up harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level instansi, misalnya sekolah,

Dinas Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara pendidikan, dan sebagainya. Berbagai aspirasi

dan kebutuhan yang menjadi kepentingan umum, sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah,

diakomodasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung jawabnya.

Dan hal-hal lainnya yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan

pada tingkat Depdiknas.

Oleh karenanya, tidak heran bila di Kabupaten/Kota sering terjadi “unjuk rasa” para guru,

siswa, orang tua siswa, dan masyarakat menuntut perbaikan kebijakan pendidikan yang tidak

sesuai dengan harapan mereka. Dan berbagai aspirasi yang baik sudah seyogyanya diterima oleh

Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.

c. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik

Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan lebih

ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan

teknologi perakitan (Fasli Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif,

sedangkan segi spiritual, emosional, sosial, fisik dan seni kurang mendapatkan tekanan (Paul

Suparno, 2003:98). Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam

pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang

lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama), to be (menjadi) kurang menonjol. Di

Indonesia kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat anak didik

lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah

kebanyakan terpisah-pisah dan kurang integrated. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan

tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.

Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik.

Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan

budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif,

Page 13: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

dan kesadaran hukum (Fasli Jalal, 2001:5). Menurut Paul Suparno (2003:100), pendidikan

holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah keterkaitan

(connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi (being).

Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu bagian

dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka tidak mungkin

suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari bagian-bagian yang

lain. Saling keterkaitan dapat dijabarkan dalam beberapa konsep berikut, yaitu interdependensi,

interrelasi, partisipasi dan non linier (Hent, 2001). Interdependensi adalah saling ketergantungan

satu unsur dengan yang lain. Masing-masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang

lain. Ada saling ketergantungan antara guru dengan siswa, antara siswa dengan siswa lain, antara

guru dengan guru lain, dan lain-lain.

Interrelasi dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan antara unsur

yang satu dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan antara pendidik dengan yang

dididik, antara siswa dengan siswa lain, antara pendidik dengan pendidik lain. Relasi ini bukan

hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi juga relasi sebagai manusia, sebagai pribadi.

Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut andil dalam sistem itu. Dalam pendidikan

secara nyata siswa hanya akan berkembang bila terlibat, ikut aktif didalamnya. Non linier

menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan secara linier serba jelas sebelumnya. Ada banyak hal

yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya dalam pendidikan, meski kita telah menentukan

unsur-unsurnya. Kita dapat membantu anak-anak dengan segala macam nilai yang baik, namun

dapat terjadi mereka berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan yang mekanistis tidak tepat

lagi. Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila langkah-langkahnya jelas

lalu hasilnya menjadi jelas; tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap unsur yang tidak

dapat ditentukan sebelumnya.

Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada

penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan

memperhatikan semua segi kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara

menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua

mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang lain sehingga

mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan

Page 14: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan

memperhatikan unsur pribadi, lingkungan dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan

inteligensi ganda, dengan mengembangkan IQ, SQ, dan EQ secara integral.

Prinsip ”proses menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus berkembang

menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi, keaktifan, tanggung

jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan sangat penting.

Proses itu terus-menerus dan selalu terbuka terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan,

prinsip kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari,

menemukan dan berkembang sesuai dengan keputusan dan tanggungjawabnya. Dalam proses itu,

siswa diajak lebih banyak mengalami sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya.

Dalam proses ini siswa dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon

pekerja atau pengisi lowongan kerja.

d. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat

secara kualitatif dan kuantitatif.

Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari

pendidikan diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat Pusat, sehingga daerah

terkondisikan lebih hanya sebagai pelaksana (Sumarno, 2001:3). Pendidikan dikelola tanpa

mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat, malah cenderung meniadakan partisipasi

masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung

jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat tidak mempunyai

wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan sendirinya orang tua dan

masyarakat, sebagai constituent dari sistem pendidikan nasional yang terpenting, telah

kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi

korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter. (Tilaar, 1999:113)

Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan

baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi

masyarakat, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan, sedangkan di tingkat

sekolah dibentuk komite sekolah. Pembentukan komite sekolah didasarkan pada keputusan

Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite sekolah.

Page 15: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

Menurut panduan, pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan, akuntabel,

dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan

diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses

sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon anggota,

pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan. Akuntabel

berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite sekolah hendaknya menyampikan laporan

pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara

demokratis berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan

musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.

e. Dari lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat.

Sebelum era otonomi, peran institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era otonomi,

masyarakat diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama

institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Berbagai institusi

kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat

berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan. Institusi pendidikan

tradisionil seperti pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah organisasi pemuda bahkan

partai politik bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan

dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari

pendidikan nasional.

Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan sektor swasta

dalam pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung

jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi kemasyarakatan peduli

terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih mampu menjangkau berbagai kelompok

sasaran khusus seperti kelompok wanita dan anak-anak kurang beruntung (miskin, berkelainan,

tinggal di daerah terpencil dan sebagainya).

Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai kebijakan

dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan, pengembangan kebijakan

sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous enrichment) dan pengembangan kebijakan afirmatif

(affirmative policy) (Fasli Jalal, 2001:72-73).

Page 16: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

f. Dari ”birokrasi berlebihan” ke ”debirokratisasi”.

Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol

oleh pejabat-pejabat (birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan (regulasi) yang ketat,

bahkan sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh Kandepdikbud/Kanwildikbud. Hal ini

mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah-sekolah, dalam iklim ”birokrasi berlebihan”.

Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan adanya ”kasus birokrasi yang berlebihan”

dari sebagian pejabat birokrat yang menggunakan ”kekuasaan berlebihan” dalam pembinaan

guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya. Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan

karya inovatif di sekolah-sekolah.

Dalam era reformasi, terjadi proses ”debirokratisasi” dengan jalan memperpendek jalur

birokrasi dalam penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar

”kekuasaan” atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme dalam

pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam desentralisasi. Di

samping itu juga dilakukan ”deregulasi”, dalam arti ”pengurangan” aturan-aturan kebijakan

pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan kepentingan

masyarakat (stakeholders) untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan

penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan prasarana/sarana untuk sekolah.

g. Dari ”manajemen tertutup” (close management) ke ”management terbuka” (open

management).

Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk ”manajemen tertutup”, sehingga tidak

transparan, tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan.

Dalam era reformasi, manajemen pendidikan menerapkan ”manajemen terbuka” dari

pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan perbaikan kebijakan.

Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka

kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima

kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Page 17: PENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU file · Web viewPENDIDIKAN CERDAS DAN BERMUTU. Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan

h. Dari pengembangan pendidikan ”terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah”

berubah ke ”sebagian besar menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan

masyarakat (stakeholders)

Sebelum otonomi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar menjadi tanggung

jawab pemerintah, dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan

masyarakat (stakeholders).

Dalam era reformasi, pengembangan pendidikan, termasuk pembiayaan pendidikan, berupa gaji

honorarium/tunjangan mengajar, penataran/pelatihan, rehabilitasi gedung dan lain-lain,

diupayakan supaya sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat

(stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan banyak bergantung pada

partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing, di

samping proyek-proyek khusus, dan juga kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal

kepentingan nasional lainnya dari DEPDIKNAS, dan dari Dinas Propinsi.