207
PENDAHULUAN Tiap ideologi yang original -yaitu ideologi yang bersumber pada aliran filsafat tertentu- niscaya memiliki metoda-berpikir tersendiri, yaitu metoda-berpikir yang mampu mewujudkan kekhasan cita-cita intrinsik dari ideologi yang bersangkutan menjadi kenyataan-kehidupan suatu masyarakat dalam ia menegara. Ideologi Liberalisme memiliki metode-berpikir Analisis Kausal; ideologi Komunisme memiliki metoda-berpikir Historik-materialisme. Kedua jenis metoda-berpikir ini didasarkan pada faham ontologik dan faham epistemologik dari aliran filsafat yang mendasari ideologi yang bersangkutan. Hanya dengan memahami serba-konsep yang terkandung di dalam ideologi Pancasila beserta interrelasinya, para lulusan Universitas Pnacasila dengan menggunakan metoda-berpikir reflektif-teleologik 2) - yaitu metoda-berpikir yang mampu mewujudkan serba konsep yang terkandung di dalam ideologi Pancasila- mampu mentransformasi serba konsep termaksud menjadi kenyataan-hidup bermasyarakat dan bernegara. Dengan uraian sepanjang ini, kita menjadi tahu betapa menentukan fungsi suatu metoda-berpikir bagi terwujudnya cita-cita intrinsik dari ideologi. Kita menjadi sadar bahwa apabila Ideologi A diwujudkan dengan menggunakan metoda-berpikir dari Ideologi B, maka yang terwujud adalah cita-cita intrinsik dari Ideologi B. Sejak 1945 sampai dewasa ini, Pancasila belum pernah terwujud menjadi kenyataan pada kehidupan masyarakat maupun kehidupan kenegaraan, karena: pada rentang-waktu dari 1945-1949 seluruh rakyat dan para penyelenggara negara disibukkan oleh perang kemerdekaan dan perjuangan diplomasi untuk mendapatkan pengakuan internasional bagi telah berdirinya negara Republik Indonesia; masa sepuluh tahun kemudian antara Desember 1949 sampai Juli 1959, berhubung diberlakukan sistem pemerintahan parlementer berdasarkan UUD RIS 1949 maupun UUDS-RI 1950, 2 ) Metoda-berpikir yang akan diterangkan kemudian dalam naskah ini. 1

PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

PENDAHULUAN

Tiap ideologi yang original -yaitu ideologi yang bersumber pada aliran filsafat tertentu- niscaya memiliki metoda-berpikir tersendiri, yaitu metoda-berpikir yang mampu mewujudkan kekhasan cita-cita intrinsik dari ideologi yang bersangkutan menjadi kenyataan-kehidupan suatu masyarakat dalam ia menegara. Ideologi Liberalisme memiliki metode-berpikir Analisis Kausal; ideologi Komunisme memiliki metoda-berpikir Historik-materialisme. Kedua jenis metoda-berpikir ini didasarkan pada faham ontologik dan faham epistemologik dari aliran filsafat yang mendasari ideologi yang bersangkutan.

Hanya dengan memahami serba-konsep yang terkandung di dalam ideologi Pancasila beserta interrelasinya, para lulusan Universitas Pnacasila dengan menggunakan metoda-berpikir reflektif-teleologik 2) -yaitu metoda-berpikir yang mampu mewujudkan serba konsep yang terkandung di dalam ideologi Pancasila- mampu mentransformasi serba konsep termaksud menjadi kenyataan-hidup bermasyarakat dan bernegara.

Dengan uraian sepanjang ini, kita menjadi tahu betapa menentukan fungsi suatu metoda-berpikir bagi terwujudnya cita-cita intrinsik dari ideologi. Kita menjadi sadar bahwa apabila Ideologi A diwujudkan dengan menggunakan metoda-berpikir dari Ideologi B, maka yang terwujud adalah cita-cita intrinsik dari Ideologi B.

Sejak 1945 sampai dewasa ini, Pancasila belum pernah terwujud menjadi kenyataan pada kehidupan masyarakat maupun kehidupan kenegaraan, karena: pada rentang-waktu dari 1945-1949 seluruh rakyat dan para penyelenggara negara disibukkan oleh perang kemerdekaan dan perjuangan diplomasi untuk mendapatkan pengakuan internasional bagi telah berdirinya negara Republik Indonesia; masa sepuluh tahun kemudian antara Desember 1949 sampai Juli 1959, berhubung diberlakukan sistem pemerintahan parlementer berdasarkan UUD RIS 1949 maupun UUDS-RI 1950, berdampak terjadinya instabilitas pemerintahan yang berupa seringnya pergantian pemerintahan. Terjadinya pemberontakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo sejak tahun 1950 dan baru bisa diselesaikan pada tahun 1963; pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1957, yang penyelesaiannya membutuhkan waktu 6 tahun dan baru berakhir pada tahun 1963; meningkatnya ofensif politik PKI yang bermuara pada peristiwa G30S/PKI dengan segala akibat politiknya yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Orde Baru untuk diselesaikannya dalam waktu yang cukup lama.

Selain itu -dan inilah yang merupakan penyebab-mendasar mengapa Pancasila yang oleh para pendiri-negara Republik Indonesia ditetapkan sebagai dasarnegara (= ideologi negara) belum pernah terwujud menjadi kenyataan dalam sistem kehidupan bermasyarakat maupun sistem kehidupan kenegaraan.

Memang, karena Pancasila itu oleh Bung Karno digali dari budaya Indonesia, maka masyarakat di pedesaan Indonesia -tanpa mengetahui rumusan formal dari Pancasila yang diungkapkan oleh Bung Karno pada tgl. 1 Juni 1945- mereka berpegang teguh pada kehidupan gotong-royong yang merupakan faham substansial dari Pancasila. Namun, kenyataannya teknologi juga

2 ) Metoda-berpikir yang akan diterangkan kemudian dalam naskah ini.

1

Page 2: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

merambah ke kehidupan di pedesaan, seperti (1) transport otomotif hasil produksi pertanian mereka dari sawah ke jalan-besar yang menghubungkan ke berbagai kota-bisnis di kota sekitarnya, (2) pergaulan petani dengan pupuk-teknologik, yaitu pupuk yang diproduksi besar-besaran secara teknologik di kota-besar, dan meninggalkan penggunaaan pupuk alami. Seiring dengan berlakunya waktu, masyarakat petani pun cepat atau lambat akan beralih dari masyarakat gotong-royong ke masyarakat individualistik.

Nilai yang terkandung di dalam teknologi adalah efesiensi dan efektifitas. Nilai ini bersifat nir-personal, yaitu: segala sesuatu yang tidak efesien dan atau tidak efektif menurut ukuran: output harus lebih besar dari input, harus ditinggalkan, dan diganti dengan yang efesien dan atau yang efektif tanpa memperhitungkan nilai spiritual yang terkandung di dalam obyek yang bersangkutan.

Berkenaan dengan itu, Pemerintah beserta masyarakat Indonesia seharusnya (ought to be): (1) memanusiakan teknologi dengan cara h a n y a menggunakan teknologi yang tepat-kultural pada kehidupan masyarakat pedesaan; (2) dan secara umum : memanusiakan teknologi dengan cara mengganti nilai efesiensi maupun nilai efektif yang bersifat impersonal dengan yang terpadu dengan nilai spiritual yang terkandung di dalam obyek yang bersangkutan. Artinya, mengganti output harus lebih besar dari input dengan kriterium asli Indonesia: tuno satak bathi sanak (bhs. Jawa) yang artinya: rugi materi namun menguntungkan persaudaraan manusia.

Asas teknologi tepat-kultural maupun kriterium tuno satak bathi sanak dua-duanya berkemampuan memelihara kebersamaan hidup (gotong royong) masyarakat Indonesia; dan gotong royong adalah substansi yang terkandung di dalam Pancasila (Sukarno, 1 Juni 1945).

Berkenaan dengan Pendahuluan tsb, materi buku berjudul “Pendidikan Ideologi- dan Filsafat Pancasila” ini akan saya paparkan dengan sistematik sebagai berikut: Pertama, akan dipaparkan: Pokok bahasan (1) teori universal mengenai: pengertian, karakteristik, dan fungsi dari ideologi-, agar para peserta pendidikan memahami konsep internasional mengenai ideologi, yaitu: pengertian original yang dikemukakan oleh Destutt de Tracy; dan kemudian pengertian-terleceh (discredited meaning) dari ideologi-, berlanjut ke Pokok bahasan (2) yaitu mengenai pengertian ideologi- yang diungkapkan oleh para pendiri-negara Republik Indonesia agar para lulusan dari Program Studi Ketahanan Nasional ini mampu memahami bahwa empat Pokok-Pikiran (selanjutnya disingkat menjadi 4PP) yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 adalah transformasian dari Pancasila menjadi 4 asas untuk penyelenggaraan negara.

Selain itu, dalam rangka mendapatkan kemampuan analitik yang tajam dan berargumen mapan, akan diperkenalkan pengertian ideologi dari Corbett yang belum terisi oleh nilai tertentu.

Pokok bahasan ke (3) akan dipaparkan isu tentang debat mengenai matinya ideologi. Daniel Bell maupun Raymon Aron berpendapat bahwa ideologi telah mati, didasarkan pada kajiannya terhadap ideologi Komunisme, yang memuat prediksi kesejarahan yang menjangkau masadepan yang sangat-sangat panjang; yang menurut mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, sekaligus didominasi oleh tujuan politik. Sedangkan Edward Shills berpendapat bahwa fakta yang menunjukkan penindasan militer Uni Soviet terhadap dua negara Eropa Timur,

2

Page 3: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

negara sosialis satelitnya, yaitu Jerman Timur pada th 1963 dan Hongaria pada tahun 1957 membuktikan bahwa masa politik-ideologi telah lewat.

Sebaliknya, Prof Henry David Aken (gurubesar filsafat) menunjukkan bahwa dalam masa perang-dingin, ‘the revolt agains ideology’, menunjukkan bahwa semua penelitian adalah atas pesanan lembaga-lembaga pemerintah di berbagai negara Barat sebagai lembaga yang mempunyai dana besar, yang dengan sendirinya dikusai oleh tujuan politik. Prof. Mostafa Rejai (gurubesar di Harvard University) berpendapat bahwa ideologi tidak pernah mati; yang terjadi adalah the emergence, decline, and resurgencence of ideology. Sedangkan Kenneth E Boulding, berpendapat bahwa hanya half truth atau uncertain truth merupakan kandidat utama untuk menjadi ideologi; sedang a whole truth, karena ia diakui oleh seluruh umat manusia, tidak mungkin menjadi ideologi.

Pokok-bahasan ke (4) adalah suatu topik mengenai: ideologi dan metoda berpikir. Berpangkal tolak dari hasil kajian filsafati dari Prof. Mario Bunge, gurubesar filsafat pada MacGill University di Canada, berwujud suatu hipotesis tentang adanya relasi heuristik antara ontologi ke epistemologi; berlanjut ke relasi antara epistemologi ke metodologi. Setelah hipotesis Bunge saya kaji pada ideologi Liberalisme dan ideologi Komunisme, ternyata benar, dan dengan demikian hipotesis Bunge telah menjadi tesis yang didukung oleh fakta empirik.

Ideologi Pancasila belum mempunyai metoda-berpikir khas yang mampu mewujudkan nilai-nilai intrinsik yang terkandung di dalamnya. Dalam Matakuliah Politik Ideologiini, didiskusikan metoda-berpikir Integral sebagai metoda-berpikir yang mampu mewujudkan cita-cita intrinsik Pancasila menjadi kenyataan hidup dalam kehidupan nasional maupun antarbangsa.

Untuk terlaksananya serba konsep yang terkandung dalam tiap sila dari ideologi Pancasila, dan interrelasi antarkonsep antarsila, dalam pokok bahasan ke (5) dilakukan refleksi-filsafati pada ideologi Pancasila. Refleksi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan (filsafati) fenomenologik, yang prosedur penggunaannya seperti berikut : (1) mengintuisi muatan-khas (esensi) dari fenomen, melalui “bracketing the existence’ dari obyek yang diteliti, dan dikaji melalui prosedur variasi imajinasi bebas. Juga akan dipaparkan bagaimana memperoleh dengan sahih tiap konsep yang terkandung di dalam tiap sila dari ideologi Pancasila, dengan menggunakan penerangan filsafati dari Gotlobb Frege (seorang filsuf dan matematikus) mengenai pengertian ‘konsep’, yang ia uraikan dalam karyanya berjudul Sinn und Bedeutung (Sense and Meaning). Konsep yang kita temukan adalah Mantikan Eksistensi Alam Semesta, disingkat MEAS. Selain itu, dalam menjelaskan relasi antarkonsep antarsila, digunakan logika-sistem yang dikerangkai oleh Tiga Tesis Ontologik yang terkandung di dalam Mantikan Eksistensi Alam Semesta (MEAS). MEAS merupakan the thing refered to the owner of the name (yaitu si subyek dari suatu proposisi) seperti yang dimaksud oleh Frege.

---------------

3

Page 4: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

I. IDEOLOGI : Pengertian Original

Kata Inggeris ‘ideology’ berasal dari kata Perancis “idēologie’, yang disosialisasikan pada akhir abad delapan belas, oleh suatu mazab para pemikir yang menyebut dirinya ideologues, untuk menyatakan ilmu fundamental baru, yaaitu : “the science of ideas”. Hakikat, tujuan dan hasil dari bentuk original dari ideologi adalah sebagai berikut.

Para ideologues sadar bahwa mereka mendasarkan diri pada perkembangan filsafat yang terjadi sebelumnya.Secara spesifik dapat dinyatakan bahwa mereka sadar mendasarkan diri pada hasil pemikiran filsafati dari: Francis Bacon, Thomas Hobbes, dan John Locke di Inggeris, dan Rene Descartes di Prancis.

Mazhab ideologues menilai empat filsuf tersebut sebagai empat-filsuf-Barat-modern pertama (the first four Western modern philosophers):

1. Francis Bacon (1591—1626)

Analisis Bacon mengenai sejumlah prasangka manusia, merupakan kritik-ideologi yang membuat dirinya dikenal sebagi filsuf modern. Dia membedakan empat jenis dari sesatan manusia, yang ia sebut sebagai gambaran-palsu yang ia namai idola. Dia mengidentifikasi bahwa kepampuan-pikir manusia dipengaruhi sekaligus dicemai oleh kemampuan (the skill) dan nafsu (passion), yaitu (1) idola tribus, yang ia maksud sebagai sesatan dari manusia selaku warga dari suatu suku (tribe), (2) idola specus, yaitu sesatan dari goa, (3) idola fori, yaitu sesatan yang ditimbulkan oleh kekacauan-pengaruh dari bahasa yang digunakan dalam interaksi antarmanusia, dan yang terakhir adalah ideola theatri, yaitu sesatan yang ditimbulkan oleh berbagai pandangan-mapan yang telah lama dikemukakan para filsuf senior. Bacon menyatakan pendapat bahwa dengan dihapuskannya 4 macam idola termaksud, ilmu (science) dapat dikembagkan. Dalam hubungan ini, Bacon dalam bukunya berjudul Novum Organon menyatakan bahwa hanya dengan metode induksi sebagai tuntutan bagi pengalaman dan penginderaan yang akan mengantar ilmu yang sejati (Kuypers, 1978:109).

4

Page 5: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

2. Thomas Hobbes (1588—1679)

Dengan menggunakan metode deduktif Hobbes berusaha menerapkan sistem-pengertian (begrippenstelsel) dari mekanika pada semua bidang ilmu: di satu pihak ia menganggap bahwa geometri adalah ilmu mengenai gerak sederhana yang diperlukan untuk mengkonstruksi garis, dataran (plane), dan lingkaran; di lain pihak ia mencoba gejala-gejala psikhis, seperti penginderaan dapat diterangkan dalam terminologi yang berlaku pada gerak dari bahan-bahan ragawi. Dengan penjelasan ini, juga dapat diperluas berlakunya sampai kehidupan masyarakat yang ia lihat sebagai gerak manusia ke manusia lain, atau gerak manusia memisahkan diri dari manusia lain; maka lahirlah suatu trilogi yang ia lahirlah bukakan dengan judul De Corpore (1655), De Homine (1657), De Cive (1642), yang merupakan metafisika yang mengajarkan bahwa segenap hal materiil, dalam kejiwaan manusia, dan kehidupan sosial politik, diterangkan dengan asas-asas dan kategori yang sama (mekanik), disusun menjadi suatu kesatuan yang sistematik (Kuypers, et.al., 1978:333—334).

3. John Locke (1632—1704)

Karya ilmiah yang utama dari Locke ia tulis dengan judul Essay Concerning Human Understanding (1690), yang menguraikan hasil penelitiannya mengenai asal-mula, kepastian, dan lingkup dari pengetahuan manusia. Dalam buku pertama berisi kritik panjang-lebar terhadap idea-bawaan (inate ideas). Dalam buku kedua, ia mempertahankan tesisinya bahwa pengetahuan manusia diperoleh dari pengelaman empirik (induktif). Buku ketiga dedikasikan pada masalah bahasa dan artinya; menurut Locke arti sebenarnya dari suatu kata terbentuk oleh idea yang ada di dalam jiwa dari si pengguna kata, dan berkorespondensi dengan idea termaksud. Pada akhirnya, buku keempat membahas pengetahuan (knowledge), yang didefinisi sebagai tindak penginderaan mengenai kesesuaian atau bertentangannya antara dua idea.

Bersamaan dengan Essay termaksud, Locke juga mempublikasi buku Two Treatise of Government, yang dalam jilid satu-nya Locke membantah pendapat Sir Robert Filmer yang mempertahankan hak-hak ketuhanan dari para raja mengenai kekuasaan absolutnya, sekaligus dalam jilid keduanya, Locke mengajukan teorinya mengenai monarkhi konstitusional berdasarkan kontrak sosial (Kuypers, 1978:410-411).

5

Page 6: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

4. Rene Descartes (1596-1650).

Adalah seorang filsuf berkebangsaan Perancis. Oleh masyarakat Eropa ia dipandang sebagai bapak dari filsafat modern.

Descartes adalah seorang Katolik saleh, sejak kecil menempuh pendidikan di lingkungan sekolah Ordo Jezuit sehingga merasa berada di rumah sendiri dalam filsafat skolastik yang dalam seluruh hasil karyanya yang kemudian, ditemukan kembali. Setelah selesai dengan studi hukumnya, dan pendidikan militer di Breda ia menjalani dinas militer di negeri Belanda dan berkenalan dengan Beekman yang memberi stimulasi padanya untuk teguh meneruskan karya ilmiahnya: dan baru kemudian pada tahun 1619 mendapat semacam panggilan hati untuk menekuni filsafat. Dia selalu bepergian ke berbagai negara, dan baru ada tahun 1628 dia menyatakan secara terbuka pendirian filsafatinya.

Setelah itu, kembali ke negerai Belanda dan hidup menyendiri dalam menekuni menulis filsafat. Yang pertama selesai adalah Discourse de la Methode pada tahun 1637, yang kedua mengenai kosmologi berjudul Le Monde, ia tidak berani menerbitkannya mengingat nasib Galilei dari Italia yang dihukum dikucilkan untuk selamanya dari masyarakat sampai mati.

Descartes menolak dengan tegas metafisika sebagai metoda filsafat, karena kebenaran yang dihasilkan tidak bisa diandalkan. Berhubung dengan itu, ia bertekad untuk mambangun filsafat yang kebenarannya tidak dapat ditolak oleh nalar manusia.

Untuk itu, Descartes menciptakan suatu metoda baru yang kemudian dikenal dengan nama Peraguan-Metodologik (Methodological Doubting). Semua ilmu dan filsafat yang telah ia pelajari, ia ragukan kebenarannya (termasuk matematika yang menjadi disiplin ilmu yang ia andalkan kebenarannya). Berarti ia mengosongkan diri dari segala referensi, dengan maksud untuk mengetahui apa yang akan terjadi yang sampai masa itu belum pernah diketahui oleh manusia.

Descartes ingin menemukan premis-pertama yang kebenarannya tidak dapat ditolak oleh nalar manusia. Perlu diketahui, bahwa tanpa premis manusia tidak mungkin bisa memikirkan sesuatu. Setelah berbulan-bulan premis pertama tersebut belum ditemukan, Descartes seperti hampir putus asa berada di Amsterdam, sekonyong-konyong mendapatkan idea yang kebenarannya tidak

6

Page 7: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

dapat ditolak oleh nalar manusia, dan ia jadikan idea tersebut sebagai premis-pertama untuk membangun filsafat yang kebenarannya tidak dapat ditolak oleh nalar manusia; yang kemudian dinilai oleh masyarakat Eropa sebagai filsafat modern.

Idea tersebut yang ia dapat di Amsterdam, adalah seperti berikut:

Saya sedang berpikir: dua ditambah tiga sama dengan……… . Belum sempat mengucapkan kata lima, ada setan lewat yang membisikkan pada saya kata empat, maka saya secara spontan mengatakan empat.

Dari isnpirasi ini, saya menemukan idea bahwa :

pada saat saya berpikir, membuktikan bahwa saya ada (eksis). karena kalau saya tidak ada, setan mau menipu siapa?

Jadi : - saya berpikir, karena itu saya ada.- I think, therfore I am- Cogito ergo sum (bhs. Latin)

Inilah premis pertama yang kebenarannya tidak dapat ditolak oleh nalar manusia, dan oleh Descartes dijadikan pangkal-tolak dalam membangun filsafat modernnya.

Kaum Ideolouges berpendapat bahwa para filsuf tersebut sebagai pemikir-mula yang merentang jalan: (1) untuk merestorasi cara belajar, dan (2) yang menetapkan dengan pasti apa yang diartikan dengan kebenaran (truth)……….?

Pertama, empat filsuf tersebut telah menyerang secara bernalar dan menyeluruh filsafat kuno dan filsafat abad menengah mengenai kegunaan dan metodanya. Kedua, kaum ideolouges percaya bahwa empat orang filsuf termaksud telah meletakkan dasar-dasar yang amat penting dan prinsip-prinsip dasar dari metoda-yang-benar dari semua ilmu. Kaum ideolouges menyebut metoda tersebut analisis. Yang mereka maksud dengan analisis adalah suatu proses intelektual mereduksi tiap idea mengenai tiap fenomen, secara teliti dan sistematik sampai ditemukannya elemen yang tersederhana dan tak bisa direduksi lagi; disusul dengan suatu sintesis dari elemen-elemen termaksud. Perlu saya kemukakan segera bahwa arti dari analisis ini adalah hasil cipta dari Descartes. Proses

7

Page 8: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

tersebut dinilai mampu menghasilkan suatu pengetahuan eksak dari tiap idea; dan ilmu itu tidak lain adalah produk-akhir dari proses dua arah ini.

Kekaguman mazab ideolouges mengenai analisis tergambar oleh aplikasi mereka secara: alami atau sosial, fisikal atau spiritual, pada binatang atau manusia. Ungkapan dari P.J.G. Cabanis (1757-1808), salah seorang dari ideolouges yang sangat berpengaruh, merupakan suatu contoh:

“Sejak Locke, Helvitues dan Condillac (dua yang terakhir adalah orang Perancis pengikut Locke), metafisika itu secara esensial adalah pengetahuan (knowledge) mengenai prosedur yang berlangsung dalam pikiran manusia, terdiri dari penetapan rinci mengenai aturan yang harus diikuti oleh manusia dalam mencari kebenaran….. . Hal itu berlaku sama pada ilmu fisik dan ilmu moral, dan juga pada kesenian …. Metafisika yang benar dapat dinyatakan dengan satu ungkapan singkat : the science of methods (ilmu tentang metoda (s) ) yang didasrkan pada pengetahuan yang ada pada kemampuan intelektual manusia, dan yang diaplikasikan pada sifat-hakikat dari berbagai obyek yang berbeda di dunia.” (Cox, 1969:….)

Pernyataan tersebut menunjukkan: pertama bahwa konsep klasik tentang metafisika sebagai filsafat-yang-pertama (the first philosophy) atau ‘ilmu tentang ada’ (the science of being) telah dijungkir-balikkan secra pasti; kedua, bahwa analisis mengenai idea adalah ilmu yang fundamental. Karena apabila suatu ilmu partikular, seperti fisika atau kimia atau psikologi, mencoba beroperasi tanpa lebih dahulu mengklarifikasi isi-eksak dari idea-dasarnya, ilmu-ilmu tersebut tidak akan mampu mengatasi kesukaran yang menjatuhkan filsafat kuno dan filsafat abad pertengahan.

Bersamaan dengan itu, Descartes mengarah pada perkembangan ilmiah baru -yaitu: geometri dan fisika- dijadikan dasar dari penciptaan ketentuan-ketentuan secara metodik. Ia wujudkan dalam karyanya Discours de La Methode, yang berwujud-empat aturan (rules) sebagai berikut: (1) jangan menganggap sesuatu sebagai benar apabila sesuatu itu tidak membuktikan sendiri sebagai hal yang benar (self-evident), (2) tiap problem-direduksi sampai elemen yang terkecil, yang memang diperlukan untuk mendapatkan solusinya, (3) menjumlahkan (summing up) dari bawah ke atas semua nalaran yang terdapat antara efek ke kausa (sintesis), (4) dengan cara sesempurna mungkin untuk mendapatkan simpulan umum/jawaban terhadap persoalan yang digarap. Inilah

8

Page 9: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

empat aturan dari metoda-berpikir ciptaan Descartes yang ia beri sebutan analisis-kausal.

Metoda-berpikir analisis kausal ini oleh Descartes dikaitkan dengan pandangannya mengenai alam semesta, yang darinya ia bangun suatu teori kausalitas yang terdiri dari tiga dalil, yaitu: (a) tiap hal mesti punya kausa, (b) satu kausa memproduksi satu efek; satu efek diproduksi oleh satu kausa; (c) tiap efek tidak mungkin lebih besar nilainya dari kausanya.

Sesuai dengan teori kausalitasnya, dalam proses berpikir analisis-kausal hanya memperhitungkan satu kausa yang paling berpengaruh pada efek yang dipersoalkan; sedang kausa lainnya di-no-kan untuk selama-lamanya, tidak pernah dipersoalkan lagi.

Namun demikian, para ideologues percaya bahwa pemahaman mereka mengenai analisis, melampaui keempat filsuf modern termaksud dalam dua hal. Pertama, meskipun Bacon dan tiga filsuf lain telah menemukan metoda analisis, mereka tidak berhasil dalam mengembangkannya menjadi suatu ilmu yang riil (into real science), seperti yang diyakini oleh para ideolouges bahwa para filsuf termaksud mampu mengembangkannya. Kedua, meskipun Bacon dan filsuf lain menyadari bahwa tiap orang akan mendapatkan manfaat yang menguntungkan dari ilmu baru termaksud, mereka tidak menyebarkan analisis atau pendapatnya mengenai bentuk baru dari ilmu partikular berdasarkan analisis. Secara singkat, para ideolouges merasa bahwa para filsuf moyangnya itu telah berhenti tepat pada saat yang seharusnya dimulai dengan penyebaran corpus of science maupun rincian metoda-proseduralnya pada seluruh masyarakat.

Perhatian kita pada diskusi mengenai para ideolouges adalah mengenai aplikasi dari garis pikiran mereka pada kehidupan politik. Mereka berpendapat bahwa kegagalan untuk memulai dari ‘the science of ideas’, maka tiap teori politik sebelumnya adalah defektif mutlak, dan bahwa semua praktik politik di masa lalu maupun sekarang (waktu itu) sedang berlaku, secara keseluruhan atau untuk bagian besar adalah salah. Suatu rezim mungkin secara kebetulan melakukan asas yang benar, tetapi hal ini merupakan kecualian, dan asas termaksud bersifat tidak ilmiah dan karenanya tidak sahih.

Para ideolog sangat berkepentingan dengan banyak idea-politik, antara lain mengenai: perlakuan sama (equality) atau tak-sama (inequality) di bidang politik dan intelektualitas, sifat hakikat dari kebebasan dan hak atas properti. Tetapi bagi mereka, segenap idea-politik tersebut secara esensial adalah prasangka (prejudice)

9

Page 10: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

seperti yang ditemukan dalam tulisan dari para filsuf abad pertengahan atau abad kuno, dalam hukum atau dalam perdebatan politik antara penguasa dan rakyat. Hal ini berarti bahwa karena teknik dari analisis belum diterapkan pada prasangka-prasangka tersebut, maka serba prasangka termaksud eksis dalam pikiran manusia hanya sebagai image yang tersusun oleh campuran informasi yang tak teratur. Konsekuensi praktis darinya adalah manusia yang satu tak mampu memahami manusia yang lain, jatuh pada saling-pertentangan, dan sering diakhiri dengan saling bunuh; pendek kata, akhir dari pertentangan sosial adalah prasangka-salah mengenai hakikat obyek dari kehidupan politik (Cox, 1969:12).

Masalah yang sebenarnya adalah ketegangan antara politik ideal (baru bersifat protektif, tetapi ilmiah dan tercerahkan) dan politik aktual (despotik, tak peduli, dan fanatik). Perbandingan antara wibawa-prospektif dari tak-pedulian (ignorance) dan wibawa-prospektif dari kecerahan (enlightment) diungkapkan oleh Cabanis dengan pernyataan sebagai berikut:

“Nir-pedulian itu mengabaikan kesengsaraan dan tergantungan rakyat miskin. Ia mencipta berturut-turut penundukan dan dominasi mereka terhadap orang lain, yang hukum paling bijak pun tidak berdaya mengatasinya. Hal inilah yang hanya dipahami secara benar oleh para filsuf modern, dan karenanya telah membuat ilmu yang sebenarnya mengenai kebebasan (liberty). Karena mereka telah mengajar kita bahwa kebebasan itu meskipun terkadang merupakan produk dari happy instict suatu bangsa, tidak mungkin dipelihara atau disempurnakan kecuali oleh manusia yang mengalami pencerahan (Cox, 1969:13).”

Pencerahan yang dilakukan oleh para idelouges tidak hanya berupa skema spekulatif, melainkan meskipun terbatas tetapi merupakan usaha penting yang untuk dilaksanakan dalam dunia praktik yang berlangsung dalam masa Revolusi Perancis dengan wibawa dari suatu Institut Nasional baru, yang didirikan oleh Konvensi Nasional (22 Agustus 1795). Dalam Institut Nasional itu terdapat tiga kelompok mata kuliah yang diajarkan: (1) ilmu matematik dan fisika, (2) moral dan ilmu politik, (3) ilmu sastra dan kesenian. Kelas kedua dibagi menjadi enam seksi, yaitu: analisis mengenai penginderaan dan idea, moral, ilmu sosial, dan legislasi, politik ekonomi, serta sejarah dan geografi. Sejumlah kaum ideolouges merupakan anggota original dari Institusional Nasional, dan pengaruhnya pada isi dari kelas kedua yang bisa dilihat dari judul matakuliah dan kedudukan utama dari saksi kesatu dalam Institut Nasional.

10

Page 11: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Obyek dari Konvensi Nasional adalah memasyarakatkan the science of ideas secara luas melalui pendidikan yang teratur dan berencana, dengan tujuan memberi kemampuan kepada generasi muda mengenai menganalisis serba idea yang terkandung di dalam politik, ekonomi, moral, sejarah, geografi, dan ilmu sosial lainnya, serta legislasi. Tujuan tersebut dimaksudkan sebagai tindak-lanjut dari karya para filsuf modern yang seharusnya mereka lakukan.

Untuk beberapa tahun setelah didirikannya, klas kedua yang mengajarkan moral dan ilmu politik, pengaruh mereka sangat luas. Para ideolouges bahkan berhasil mengajak Napoleon menjadi anggota kehormatan dari Institut Nasional, dan dia menunjukkan kesepakatannya pada tujuan dan metoda yang dipergunakan oeh Institut tersebut, dengan kadangkala bicara menggunakan bahasa mereka, seperti : “satu-satunya penaklukan sejati yang tak bisa ditolak, adalah penaklukan terhadap mereka yang bersikap tak peduli pada masyarakat.” (Hans Barth, 1945:25)

Pengertian Terleceh

Namun, pada akhirnya, para ideolouges terperangkap dalam pertentangan intelektual maupun politik dari Revolusi Perancis. Pusat persoalannya adalah: apakah bukan ideologi yang dikembangkan di Perancis yang merupakan penyebab dari berbagai ekses negatif dari revolusi. Bahkan, Napoleon pada bulan Januari 1803, menyimpulkan bahwa teori dari para ideolouges yang pada kenyataannya merupakan doktrin destruktif. Napoleon menutup klas kedua dari Institut Nasional dan melancarkan perang polemik yang berkepanjangan terhadap kaum ideolouges. Perang termaksud disimpulkan dalam pernyataan Napoleon yang ia buat pada tahun 1812, setelah ia mengalami kekalahan dalam perang melawan Rusia, sebagai berikut:

“Pada ideologi-lah. -yang merupakan metafisika yang kabur (obscure), tak jelas mencari kausa-pertama untuk dijadikan dasar dari legislasi nasional, ketimbang (in stead of) mengadaptasi hukum pada hati-nurani manusia dan pada pelajaran dari sejarah- yang harus kita tuntut tanggung jawabnya mengenai kesengsaraan (calamity) yang harus dialami oleh Revolusi Perancis. (Cox, 1969:14)

11

Page 12: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Para ideolouges melawan habis-habisan tidak kenal menyerah terhadap Napoleon dan kelompok-kelompok yang menentangnya, termasuk kelompok religius yang sejak semula merasa dirugikan oleh gerakan mazhab ideolouges.

Perlawanan politik yang tak kenal menyerah dari kaum ideolouges terhadap Napoleon inilah yang kemudian berakibat merubah pengertian ideologi yang murni ilmiah, yaitu the science of ideas, berubah menjadi pengertian-terleceh (disceredited meaning) dari ideologi, dengan rumusan: suatu penteorian yang abstrak visioner yang semata-mata ditujukan untuk menggulingkan sistem politik yang berlaku dengan cara merongrong pendapat-umum mapan (Cox, 1969:14).

Pengertian-terleceh dari ideologi inilah yang sekarang merupakan salah satu rumusan pengertian dari ideologi di semua kamus negara Barat berbahasa Inggeris.*

II. IDEOLOGI : Pengertian Para Pendiri Negara R.I.

Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 berkualifikasi sebagai dasarnegara. Sejak diselenggarakannya Rapat Besar pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung dari tanggal 29 Mei s/d. 1 Juni 1945, apa yang kini kita kenal dengan nama Pancasila, memang sadar diniatkan oleh para pendiri-negara kita untuk dijadikan dasar dari Negara Indonesia Merdeka yang pada waktu itu hendak didirikan. Niat ini terungkap dari tiga hal berikut ini.

1. Rapat Besar pertama itu beracara tunggal, yang berbentuk pertanyaan dari Ketua BPUPKI: “Atas dasar apa Negara Indonesia Merdeka akan kita dirikan ?”

2. Jawaban pertama dari tiga orang anggota yang satu demi satu menunjukkan nilai kedudukan dari apa yang mereka usulkan adalah per se untuk dijadikan dasar dari negara Indonesia Merdeka :Muhammad Yamin (29 Mei 1945) menyatakan: “Kewajiban untuk menyelidiki bahan-bahan yang akan menjadi dasar dari susunan negara yang akan terbentuk dalam suasana kemerdekaan ….”.

* Sebagai contoh, dalam kamus Webster’s New Words Dictionary, tahun 1970, terbitan The World Publishing Company, U.S.A, tertulis sebagai berikut: ideology: thingking or theorizing of an idealistic, abstract, or impractical nature; fanciful speculation.

12

Page 13: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Supomo (31 Mei 1945) mengemukakan: “Jikalau kita hendak membicarakan tentang dasar sistem pemerintahan yang hendak kita pakai untuk negara Indonesia, maka ….”.Soekarno (1 Juni 1945) menegaskan : “Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda : filosofische grondslag (dasar filsafati) daripada Indonesia Merdeka.”

3. Keluaran dari sejumlah rapat besar dan rapat panitia kecil dari BPUPKI, dan rapat Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 yang berwujud Pembukaan UUD yang aliena keempatnya menyatakan:

“Kemudian daripada itu …., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Baik oleh sifat bawaannya sendiri --yang melekat pada pertanyaan, jawaban dan keluaran itu-- maupun dari diskusi para pendiri-negara dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 15—16 Juli 1945 dan sejumlah Rapat Panitia Kecil yang merumuskan Pembukaan maupun yang menyusun batang-tubuh UUD, terungkap apa yang dimaksud oleh para pendiri-negara dengan dasarnegara, yaitu :

seperangkat nilai intrinsik yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Indonesia, dijadikan dasar untuk menata pengorganisasian dirinya dalam negara Indonesia Merdeka.

Apabila partikularitas keindonesiaannya ditanggalkan dan rumusannya diefesiensikan menjadi :

seperangkat nilai intrinsik yang diyakini kebenarannya oleh suatu masyarakat, dijadikan dasar menata dirinya dalam menegara,

maka pengertian dasarnegara itu mendapatkan sifat universal. Pengertian universal dasarnegara ini adalah ekuivalen dengan pengertian ideologi, seperti yang dikemukakan oleh Patrick Corbett.

13

Page 14: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Berikut ini dikemukakan deskripsi pengertian ideologi oleh Corbett yang masih bersifat umum, belum terisi nilai tertentu. Berhubung dengan itu, definisi ini mampu mengakomodasi semua ideologi partikular.

Ideologi adalah setiap struktur kejiwaan yang tersusun oleh: seperangkat keyakinan mengenai penyelenggaraan kehidupan masyarakat beserta pengorganisasiannya, seperangkat keyakinan mengenai sifat hakekat manusia dan alam semesta dimana ia hidup di dalamnya; suatu pendirian bahwa kedua perangkat keyakinan tersebut interdependen; dan suatu dambaan agar keyakinan-keyakinan termaksud dihayati, dan pernyataan pendirian itu diakui sebagai kebenaran oleh segenap orang yang menjadi anggota penuh dari kelompok sosial yang bersangkutan (Patrick Corbett, 1970 : 14).

Hubungan Hirarkhi antara Filsafat dan Ideologi

Berfilsafat selalu dimulai dengan suatu pertanyaan yang mendasar. Yang dimaksud dengan 'pertanyaan mendasar' adalah pertanyaan yang menghendaki jawaban yang bersifat hakiki. Yang dimaksud dengan 'jawaban hakiki' adalah jawaban yang tak dapat dipertanyakan lagi. 'Jawaban hakiki' itu niscaya bersifat umum universal, dan karenanya belum dapat diaplikasikan menjadi kenyataan konkrit.

Pertanyaan mendasar itu dimunculkan oleh kekaguman atau keraguan manusia mengenai sesuatu. Sebagai contoh tentang 'kekaguman' dapat dikemukakan: teraturnya sekaligus ketepatannya pergantian siang dan malam yang telah berlangsung berabad-abad tanpa pernah cacat; sedang contoh mengenai 'keraguan' antara lain adalah: alam semesta ini ada berkat suatu proses evolusi atau ada yang membuat? Nalaran metafisik atau nalaran fenomenologik yang terbentang antara 'pertanyaan mendasar' d a n 'jawaban hakiki' itulah filsafat.

Ideologi berpangkal-tolak dari jawaban hakiki yang telah didapat oleh filsafat, ditransformasi sampai ke tataran operasional; artinya pertransformasian itu dilakukan sampai didapatkannya serba konsep yang cukup konkrit, sehingga dapat diaplikasikan menjadi kenyataan. Dengan demikian, kita menjadi tahu bahwa ideologi adalah jabaran langsung satu tingkat lebih konkrit dari filsafat; dan inilah hubungan hirarkhi antara filsafat dan ideologi.

14

Page 15: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa: tiap ideologi niscaya bersumber pada aliran filsafat tertentu. Dalam kenyataannya memang demikian. Ideologi Liberalisme bersumber pada filsafat Individualisme, ideologi Komunisme bersumber pada filsafat Materialisme. Dengan sendirinya ideologi Pancasila juga bersumber pada filsafat tertentu; dalam hal ini bersumber pada filsafat --yang kita namai-- filsafat Pancasila.

Berhubung Pancasila dalam kualifikasinya sebagai ideologi berada di dalam Pembukaan (preambul) UUD 1945, perlu kita ketahui kedudukan dan fungsi preambul beserta muatan yang terkandung di dalamnya.

Namun, untuk mendapatkan makna yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, kita perlu lebih dahulu mempelajari teori tentang kedudukan dan fungsi dari preambul konstitusi. Untuk itu, lebih dahulu dipelajari pengertian dari konstitusi. Dengan merujuk pada pengertian konstitusi termaksud, kita identifikasi kedudukan dan fungsi preambul konstitusi.

Pengertian Konstitusi

1. Pengertian Sempit

Apabila kita pelajari konstitusi dari berbagai bangsa, nampak perbedaan yang menyolok tentang pendirian tiap bangsa mengenai: ‘apa yang selayaknya dimuat di dalam konstitusi’. Bangsa Norwegia mencukupkan diri memasukkan semua hal yang mereka anggap perlu dan layak ke dalam konstitusi, hanya dalam 25 halaman. Sebaliknya, bangsa India memerlukan 250 halaman dalam menyusun konstitusinya.

Perbedaan pandangan mengenai ‘apa yang selayaknya dimuat dalam konstitusi’ menunjukkan garis pemisah yang mendasar antara mereka yang memahamkan konstitusi sebagai dokumen hukum yang bersifat eksklusif: semata-mata merupakan wadah bagi ketentuan-hukum (rules of law), dan karenanya tidak mungkin untuk dimuati materi lain, dan mereka yang berfaham bahwa Konstitusi adalah suatu piagam pernyataan (manifesto) yang berisi pengakuan akan keyakinan tertentu dan pernyataan cita-cita bangsa.

Faham yang pertama dipelopori oleh K.C Wheare seorang penganut tradisi English view of consttitutional law, mengajarkan bahwa: Konstitusi adalah semata-mata merupakan dokumen hukum. Konstitusi dimaksudkan untuk

15

Page 16: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

menyatakan ketentuan-ketentuan hukum tertinggi. Karena itu, sesempurna mungkin hanya memuat ketentuan-hukum, dan seketat mungkin tidak memuat: opini, aspirasi, pengarahan (directives), dan kebijakan (policies) (KC Wheare, 1960:73). Ia pertegas ajarannya dengan menyatakan: Konstitusi itu tidak hanya menanamkan penghormatan warganegara kepada hukum, melainkan juga penghormatan kepada hukum tertinggi dalam negara; karenanya pasti bijaksana tidak memuatinya dengan serba hal yang tidak dimaksudkan sebagai ketentuan-hukum (KC Wheare, 1960:73).

Faham yang sama dikemukakan oleh Edward S. Corwin dari Amerika Serikat. Menurutnya, preambul konstitusi secara hukum tidak merupakan bagian dari Konstitusi; ia “sekedar berjalan mendahului konstitusi” (just walks before the constitution). Karena itu, Preambul sama sekali tidak dapat dijadikan dasarhukum bagi kekuasaan pemerintah maupun bagi hak warganegara (Corwin, 1960:1). Namun, menurutnya: bagaimanapun juga Preambul mempunyai 2 fungsi penting (Corwin, 1960:1):

a. menunjukkan sumber dari mana konstitusi itu menjadi ada, dan sumber tersebut merupakan pula sumber wewenang dari konstitusi untuk menuntut ketaatan segenap subyek kehidupan kenegaraan. Sumber wewenang itu tidak lain adalah rakyat yang berdaulat,

b. mengumumkan tujuan besar yang ditetapkan oleh konstitusi dan pemerintahan negara yang diharapkan untuk diwujudkan.

Fungsi pertama sama dengan yang dikemukakan oleh Wheare, sedang fungsi kedua sepintas nampak bertentangan dengan faham dari Wheare; namun karena faham Corwin pertama-tama justeru mengajarkan bahwa preambul konstitusi tidak dapat digunakan sebagai dasarhukum dari kekuasaan negara maupun hak warganegara, maka “tampakan bertentangan” itu hanya merupakan kilasan pertama, sedang hakikatnya pertentangan itu tidak ada.

Aliran yang memahamkan konstitusi sebagai ‘dokumen hukum’ melahirkan pengertian Konstitusi dalam arti sempit dengan rumusan : himpunan aturan-hukum terpilih yang mengatur kehidupan pemerintahan suatu negara, tertuang dalam satu dokumen (K.C. Wheare, 1960:2).

2. Pengertian LuasBerbagai bangsa yang berpandangan bahwa Konstitusi itu lebih dari sekedar

himpunan hukum terpilih, berpendapat bahwa Konstitusi merupakan manifesto

16

Page 17: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

atau piagam pernyataan suatu bangsa yang memuat berbagai pengakuan keyakinan dan pernyataan cita-cita bangsa yang bersangkutan. Padangan ini melahirkan pengertian Konstitusi dalam arti luas yang rumusannya menurut Bolingbroke seperti berikut ini : seluruhan hukum, institusi, dan kebiasaan yang dialirkan dari prinsip-prinsip alasan yang pasti dan tertentu, yang membentuk seluruh sistem yang disepakati masyarakat untuk mengatur dirinya (Wheare 1960 :3).

‘Prinsip-prinsip alasan yang pasti dan tertentu’ itu dapat berwujud: pandangan-hidup, cita-cita, moralitas, keyakinan filsafati, keyakinan religius maupun keyakinan politik, dari suatu bangsa. Berbagai prinsip ini bila ditransformasi menjadi ketentuan-hukum, akan kehilangan substansinya; sebaliknya bila dibiarkan dalam rumusan aslinya, ia bukan ketentuan-hukum sehingga tidak layak untuk dimuat dalam Konstitusi. Berhubung dengan itu, berbagai bangsa di dunia dalam menyusun Konstitusinya, menempatkannya di dalam Preambul Konstitusi. Wheare mengakui bahwa Konstitusi yang dalam Preambulnya memuat pengakuan keyakinan tertentu yang dipegang teguh oleh bangsa yang bersangkutan dan memuat cita-cita bangsa yang hendak diwujudkan, selain melahirkan respect juga menumbuhkan affection rakyat pada Konstitusi, yang bermuara pada kesediaan bertaat pada Konstitusi demikian rupa yang tidak dapat diharapkan ditimbulkan oleh Konstitusi yang semata-mata memuat ketentuan hukum terpilih saja (Wheare, 1960 : 74).

Prinsip-prinsip non-hukum yang dituangkan dalam Preambul itu, dalam ilmu hukum dinamai sebagai apriori-hukum (rechtsapriorie) yang mendahului- dan sekaligus menjadi sumber dari hukum-positif.

Yang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi hukum dalam arti : apa yang tidak dapat dipersatukan dengan dirinya adalah bukan hukum. (Larenz, dalam Hommes, 1972:145). Tanpa adanya apriori-hukum tidak akan ada hukum yang memiliki watak normatif.

Dalam pengertian ini, prinsip-prinsip termaksud ditransformasi menjadi pasal-pasal dalam konstitusi, dalam bentuk sebagai ketentuan-hukum. Sebagai contoh, Wheare mengemukakan Konstitusi Irlandia yang dalam Preambulnya atara lain mencantumklan keyakinan religius rakyatnya dengan rumusan : “The Most Holy Trinity from Whom all authority and to Whom, as our final end all actions both of men and states must be referred.” (Wheare, 1960:73). Rumusan tersebut menunjukkan sendiri bahwa segenap ketentuan-hukum yang dituangkan dalam

17

Page 18: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

batang tubuh Konstitusi –dalam bentuk pasal-pasal-- harus dialirkan dari- atau dapat dipertanggungjawabkan kepada keyakinan religius itu. Faham mengenai Konstitusi sebagai piagam pernyataan bangsa dianut oleh sejumlah bangsa di dunia Barat maupun Timur dalam menyusun konstitusinya.

3. Kedudukan dan Fungsi Preambul

Studi mengenai perbedaan pengertian konstitusi tersebut melahirkan 2 aliran faham mengenai kedudukan dan fungsi preambul Konstitusi di lingkungan Teori Konstitusi.

a. Kedudukan Preambul

Konsekuen dengan fahamnya mengenai pengertian Konstitusi dalam arti sempit, Wheare berpendapat bahwa preambul konstitusi yang memang tidak merupakan bagian dari Konstitusi, dan dengan demikian juga bukan bagian dari hukum, apabila diadakan. Ia merupakan tempat yang semata-mata (strictly) untuk menuliskan proses faktual mengenai terjadinya Konstitusi dan untuk menyatakan siapa pembuat Konstitusi, dengan maksud agar Konstitusi memiliki wibawa sebagai hukum tertinggi (KC Wheare, 1960:72). Dalam kaitan ini, Wheare mencontohkan rumusan Preambul Konstitusi Amerika Serikat.

Baik Wheare maupun Corwin adalah penganut faham konstitusi dalam arti sempit. Menurut faham ini, kedudukan Preambul berada di luar Konstitusi; sebagai konsekuensinya tidak memiliki watak normatif.

Alih-alih, para pakar konstitusi yang menganut pengertian konstitusi dalam arti luas berpendapat bahwa Preambul adalah bagian inharent dari Konstitusi; bagian yang tak terpisahkan dari- dan sekaligus yang memberi kualitas pada Konstitusi. Dengan kata lain, Preambul berkedudukan di dalam Konstitusi, dan sebagai pemberi kualitas pada Konstitusi, ia adalah apriori-hukum yang secara imperatif menentukan muatan dari kentuan-hukum yang dituangkan dalam pasal-pasal konstitusi.

b. Fungsi Preambul

Dalam faham konstitusi dalam arti sempit, fungsi Preambul adalah sekadar sebagai tempat untuk menyatakan siapa pembuat Konstitusi, dan ada kalanya dimuati dengan pernyataan mengenai tujuan besar yang telah ditetapkan oleh

18

Page 19: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Konstitusi dan pemerintahan negara yang diharapkan untuk mewujudkannya. Preambul tidak memiliki watak normatif.

Faham konstitusi dalam arti luas mengajarkan bahwa fungsi preambul adalah sebagai apriori-hukum pemberi makna-hukum sekaligus watak-normatif pada ketentuan-hukum yang dituangkan dalam batang-tubuh Konstitusi dalam bentuk sebagai pasal. Semua ketentuan-hukum dalam batang-tubuh konstitusi harus teralir dari-dan dapat dipertanggungjawabkan kepada apriori-hukum. Dengan kata lain, ketentuan-hukum yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada apriori-hukum, adalah bukan hukum, dan secara yuridik batal karena hukum.

4. Pembukaan UUD 1945

Para pendiri-negara Republik Indonesia menganut faham Konstitusi dalam pengertian luas: Konstitusi sebagai ‘piagam pernyataan bangsa’. Pembukaan UUD ’45 mengandung :

- Keyakinan filsafati beserta konsekuensi-politiknya seperti yang tercantum dalam alinea pertama: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa (keyakinan filsafati) dan oleh karena sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” (konsekuensi politik).

- Pernyataan historik mengenai p e r j u a n g a n panjang merubut kemerdekaan dari tangan penjajah sekaligus pernyataan teleologik mengenai t u j u a n yang hendak diwujudkan oleh negara, seperti yang tercantum dalam alinea kedua: Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonseia ke depan pintu gerbang kemerdekaan (perjuangan historik) negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (tujuan-negara).

- Keyakinan religius bahwa tercapainya kemerdekaan Indonesia adalah berkat dilimpahkanNya rahmat Allah kepada rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya, seperti yang terumus dalam alinea ketiga “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya”.

- Embanan (mission) yang dilimpahkan oleh rakyat kepada negara yang tercantum dalam alinea keempat seperti yang terumus sebagai 4 fungsi-negara: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan

19

Page 20: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

- Keyakinan filsafati yang tercantum dalam alinea keempat, tersusun oleh 5 nilai intrinsik yang merupakan seluruhan integral: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;yang niscaya dijadikan d a s a r dalam melaksanakan embanan negara menuju terwujudnya tujuan dari didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan memegang teguh keyakinan religius dan keyakinan filsafati bangsa, dan senantiasa mengingati perjuangan para perintis- dan pahlawan kemerdekaan.

Dalam kerangka interaksi sistemik antarsubstansi yang terkandung dalam empat alinea Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila sebagai pembimbing inilah para pendiri-negara menetapkan bahwa : Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini –yang tidak lain adalah Pancasila itu sendiri- dalam pasal-pasalnya (Penjelasan UUD 1945, angka III, sebelum diamandemen).

a. Makna Yang Terkandung Dalam Pembukaan UUD 1945

1). Alinea Pertama

Makna filsafati yang terkandung di dalam Alinea Pertama adalah : bangsa Indonesia berkeyakinan semua bangsa di dunia sama derajad; keyakinan ini mengandung konsekuensi-politik : tiap bangsa berhak berpemerintahan sendiri.

Makna politik dari keyakinan ini adalah bahwa bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan politik luar negeri, mengemban kewajiban moral dan kewajiban politik : a-priori berpihak pada bangsa yang berjuang untuk kemerdekaannya. Bersikap netral tidak dimungkinkan lagi apabila bangsa Indonesia tak ingin didakwa ingkar terhadap keyakinannya sendiri.

Makna politik dari alinea Pertama sebagai seluruhan adalah pembelaan terbuka terhadap eksistensi pemerintahan merdeka.

2). Alinea Kedua

Penggalan pernyataan “…telah sampailah kepada saat yang berbahagia…” mengungkapkan makna historik bahwa sebelum saat itu tiba, bangsa Indonesia

20

Page 21: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

mengalami kesengsaraan lahir dan batin yang ditimpakan oleh penjajahan Belanda selama 350 tahun dan disusul penjajahan Jepang selama 3,5 tahun.

Penggalan pernyataan “… saat yang berbahagia…” mengungkapkan makna sesaat pada waktu itu, yang berwujud rasa syukur bangsa Indonesia atas berhasilnya perjuangan panjang beserta penderitaannya dalam melawan penjajahan Belanda di bumi Indonesia dan atas terbukanya pintu gerbang kemerdekaan untuk dimasuki rakyat Indonesia mendirikan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, yang sejak berpuluh tahun sebelumnya merupakan t u j u a n dari pergerakan kemerdekaan Indonesia yang ditetapkan oleh para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Makna historik yang terkandung di dalam alinea kedua adalah: bahwa embanan (mission) dari perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah mengantarkan rakyat Indonesia sampai di depan pintu gerbang kemerdekaan. Rakyat Indonesia sendirilah yang akan memasuki alam kemerdekaan yang berada di sebelah dalam dari pintu gerbang itu. Berkenaan dengan itu, Alinea kedua ini juga mengandung makna teleologik yaitu: bahwa pewujudan Negara Indonesia yang merdeka, yang bersatu, yang berdaulat, yang adil , dan yang makmur adalah tugas rakyat seterusnya dibawah bimbingan Pancasila dan berdasarkan pada UUD 1945.

3). Alinea Ketiga

Alinea Ketiga mengungkapkan makna religius dan makna moral.Makna religius yang terungkap dari Alinea Ketiga adalah: pengakuan bangsa Indonesia mengenai kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan sebagai prima kuasa. Segala sesuatu yang ada atau terjadi di dunia niscaya atas kehendakNya. Demikian juga dengan kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia yakin dan sadar bahwa pergerakan kemerdekaan Indonesia yang penuh penderitaan itu sekedar ikhtiar manusia. Tanpa ridho Tuhan, kemerdekaan Indonesia tidak mungkin terwujud.

Makna moral terungkap dari pernyataan: “…dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,…”. Artinya, pewujudan ‘Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur’, yang diamanatkan oleh para pendiri-negara dalam Alinea Kedua, melalui penyelenggaraan empat fungsi-negara yang tercantum di dalam Alinea Keempat, benar-benar akan membahagiakan bangsa Indonesia, selama bangsa Indonesia memelihara ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan setia

21

Page 22: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

pada keinginan yang luhur yang mendorong terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Alinea Ketiga menimbulkan pertanyaan: mengapa pernyataan kemerdekaan masih perlu dicantumkan dalam Pembukaan UUD’45 sedang pernyataan yang sama telah dikumandangkan sehari sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1945 dalam bentuk Proklamasi Kemerdekaan. Memperhatikan antara teks Proklamasi Kemerdekaan dan rumusan Alinea Ketiga, jawaban yang terdekat pada kebenaran adalah: pernyataan kemerdekaan yang tertuang didalam Alinea Ketiga merupakan pertanggungjawaban mengenai dan penegasan terhadap Proklamasi Kemer-dekaan.

Pertanggungjawabannya terletak pada : pernyataan kemerdekaan yang d i s e r - t a i pernyataan apa yang menjadi penyebabnya, yaitu yang terdapat didalam Alinea Kedua Pembukaan UUD 1945 seperti yang telah dipaparkan di muka, dan d i d a s a r k a n pada keyakinan filsafati bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa yang tertuang didalam Alinea Pertama.

Penegasannya terletak pada pernyataan: bahwa kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Dengan itu bangsa Indonesia menegaskan keyakinannya bahwa tercapainya kemerdekaan bukan semata-mata hasil usaha manusia, melainkan terutama karena ridho Tuhan. Penegasan ini dirasa perlu sebagai pelengkap teks Proklamasi Kemerdekaan, karena dalam teks tersebut tidak terdapat ungkapan keimanan kepada Tuhan. Memang, sesudah Bung Karno selesai membaca teks Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, beliau langsung mengucapkan panjatan doa: “Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu”.

4). Alinea Keempat

Alinea Keempat mengandung 3 makna ketatanegaraan. Petama, tujuan-negara (staatsdoel) yang tercantum dalam Alinea Ketiga, yaitu: terselenggaranya negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, oleh para pendiri-negara ditetapkan melalui penyelenggaraan 4 macam fungsi-negara (staatsfunctie) yang terdapat dalam Alinea Keempat: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpahdarah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kedua, penyelenggaraan keempat fungsi-negara tersebut harus merujuk pada Pancasila sebagai dasarnya. Ketiga, fungsi yang pertama itu tidak mungkin diselenggarakan

22

Page 23: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

oleh negara yang menganut citanegara (staatsidee) liberal, yang faham-dasarnya adalah kedaulatan individu, dan karenanya niscaya berpihak pada mayoritas rakyat (Locke, 1965 : 375-376; Book II, Chap. VIII, para : 95,96,97).

Juga tidak mungkin diselenggarakan oleh negara yang menganut citanegara klas, yang berfaham bahwa negara adalah mesin penindas dari klas yang berkuasa terhadap klas yang dikuasai (Afanasyev, 1960 : 297). Karenanya, negara mutlak berfihak pada kelas proletar.

Negara yang sepadan untuk menyelenggarakan fungsi termaksud adalah negara yang menganut citanegara ‘negara perstuan’. Sesungguhnya, fungsi-negara yang pertama itu justru yang teralir dari citanegara ‘negara persatuan’ yang dianut oleh negara Repblik Indonesia, seperti yang dinyatakan dalam Penjelasan UUD 1945 Angka II, butir 1 : “Dalam Pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan, ….”.

Makna historik yang terkandung di dalam rumusan fungsi pertama adalah: bahwa selama masa penjajahan, pemerintah Hindia Belanda dalam rangka memelihara kolonialismenya, melakukan politik ‘devide et impera’ (dipecah untuk dikuasai) melalui jalur budaya secara halus. Dampaknya ditiap daerah lahir himpunan pemuda lokal dengan nama yang mencerminkan kepecahan mental bangsa seperti Jong Java, Jong Sumatera, jong Ambon, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya. Fungsi-negara dengan rumusan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah itu, selain secara konseptual dimaksudkan oleh para pendiri-negara untuk mengintegrasi serba majemukan-obyektif yang melekat pada masyarakat Indonesia, secara ad hoc dimaksudkan untuk menghapus mental perpecahan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.

5. Transformasi Ideologik

a. Transformasi Pancasila menjadi Empat-PP

Para pendiri-negara menyatakan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa Pembukaan UUD 1945 mengandung empat Pokok Pikiran (selanjutnya disingkat menjadi 4-PP). Bila 4-PP itu kita pelajari dengan seksama, kita mendapat pengetahuan bahwa 4-PP itu tak lain adalah Pancasila itu sendiri; artinya 4-PP adalah Pancasila yang oleh pendiri-negara ditransformasi menjadi 4 buah asas yang khusus diproyeksikan pada penyelenggaraan kehidupan bernegara. Berikut ini kita sandingkan 4-PP dengan Pancasila. Menarik perhatian kita bahwa urutan dari 4-PP tidak mengikuti urutan hirarkhik dari

23

Page 24: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

lima silanya Pancasila. Mengenai logik dari kebedaan urutan ini akan diterangkan kemudian, setelah selesai membicarakan Pokok Pikiran yang keempat.

PANCASILA EMPAT POKOK PIKIRAN3. Persatuan Indonesia I. Negara melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

II. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

III. Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

IV. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Per definisi, transformasi adalah perubahan bentuk atau tampilan ke luar dari suatu obyek tanpa terubah nilainya demikian rupa sehingga dapat dipakai untuk penggunaan baru. Dalam hal tranformasi ideologi Pancasila mejadi 4 asas kenegaraan (4-PP), d e f i n i e n s yang mengungkapkan ‘perubahan tampilan ke luar’ berwujud rumusan tiap Pokok Pikiran yang berbeda dari Sila yang bersangkutan; sedang d e f i n i e n s yang mengungkapkan 'tanpa terubah nilainya’ niscaya berwujud: ikut termutasinya nilai intrinsik yang terkandung di dalam ideologi Pancasila ke 4-PP. Termutasinya nilai intrinsik ini masih harus kita buktikan kebenarannya.

D e f i n i e n s yang mengungkapkan ‘dipakai untuk penggunaan baru’ berwujud penggunaan sebagai ‘empat asas penyelenggaraan negara’, dan sebagai empat fungsi negara.

24

Page 25: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Untuk mengetahui ada atau tidaknya nilai intrinsik yang termutasi dari ideologi Pancasila ke 4-PP, jalan yang terbuka adalah: melakukan proses refleksi untuk mendapatkan pengetahuan: nilai intrinsik apa yang terkandung di dalam ideologi Pancasila; kemudian mengkaji apakah nilai intrinsik termaksud termutasi atau tidak ke 4-PP.

b. Nilai Intrinsik yang Terkandung di dalam Ideologi Pancasila

Seperti telah diketahui, Pancasila itu digali dari bumi budaya Indonesia. Penggali Pancasila -yaitu Ir. Soekarno- menyatakan sendiri bahwa Pancasila digalinya dari bumi budaya Indonesia sampai empat saf dalamnya.

Budaya Indonesia itu kaya akan faham dan pranata sosial yang mengungkapkan nilai k e b e r s a m a a n , seperti antara lain : gotong-royong, yang dikenal oleh masyarakat di seluruh Nusantara, rembug deso, kerapatan adat, dalian na tolu, sebagai pranata sosial yang berlaku secara berturut di lingkungan masyarakat Jawa, Minangkabau, dan Batak; faham Si tou tou tumou tou di lingkungan masyarakat Manado, yang artinya: manusia menjadi manusia karena memanusiakan orang lain; tanggap ing sasmito di lingkungan masyarakat Jawa yang maknanya: tanpa diminta, berpeduli akan kepentingan orang lain; pohon berbuah bukan untuk dirinya sendiri dan masih banyak lagi faham dan pranata sosial di lingkungan semua sub-etnik di Indonesia yang mencerminkan nilai kebersamaan.

Segenap faham dan pranata sosial partikular yang mencerminkan nilai kebersamaan, yang berlaku di lingkungan sub-etnik tertentu itu melalui proses sublimasi yang dilakukan oleh Empu Tantular pada abad XV dan oleh Bung Karno pada abad XX, memunculkan faham yang sama, yaitu faham integrasi. Tantular langsung mendapatkan sublimasian paling tinggi, yaitu suatu faham yang ia ungkapkan dengan bahasa susastera bhineka tunggal ika. Bersamaan berdirinya Negara Republik Indonesia lima abad kemudian, bhineka tunggal ika dijadikan sasanti resmi dari Negara. Bung Karno mendapatkan tiga saf sublimasian secara berjenjang dari bawah ke atas; pada saf pertama didapatkan lima buah sila yang kemudian kita kenal sebagai Pancasila; pada saf kedua di atasnya, didapatkan tiga sila, yaitu: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan; pada saf ketiga di atasnya lagi, didapatkan satu sila, yakni: gotong-royong.

25

Page 26: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Khusus mengenai sila ‘gotong-royong’ ini, Bung Karno memberi penjelasan di hadapan Rapat Besar Pertama BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai berikut ini.

“Jadi, yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? Sebagai tadi telah saya katakan, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua ! bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikusumo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu perkataan ‘g o t o n g - r o y o n g’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara g o t o n g - r o y o n g ! Alangkah hebatnya! N e g a r a g o t o n g - r o y o n g ! (tepuk tangan riuh rendah).‘Gotong-royong’ adalah faham yang d i n a m i s, lebih dinamis dari ‘kekeluargaan’, saudara-saudara! ‘Kekeluargaan’ adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Sukardjo : satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, secara b e r s a m a - s a m a ! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan k e r i n g a t bersama, semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong-Royong ! (tepuk tangan riuh rendah) (Mualif Nasution, 1949 : 44-45).

Uraian Bung Karno mengenai Gotong-Royong itu mengungkapkan faham i n t e g r a s i dalam pengertian p r o s e s , yaitu proses interaksi saling-membantu, saling-menunjang, saling-memberi antarsegenap subyek dalam ke-hidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, yang pada muaranya atau puncaknya menghasilkan keadilan dan kemakmuran bersama.

c. Bhineka Tunggal Ika

‘Bhineka Tunggal Ika’ adalah suatu ungkapan yang sangat terpelajar dari Empu Tantular lima abad yang lalu. Dikatakan ‘sangat terpelajar’ karena

26

Page 27: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

ungkapan termaksud menunjukkan bahwa Tantular telah menempuh proses bernalar yang dalam dunia modern dikategori sebagai matematika modern, dalam menemukan faham ‘bhineka tunggal ika’ yaitu: bahwa ‘ika’ adalah fungsi yang daripadanya fungsi lain tertentu adalah derivat atau differensialnya. Fungsi differensial adalah fungsi dari tiap ‘bhin’ partikular, yang ada di dalam ‘bhinneka’. ‘Ika’ yang demikian itu, dalam matematika didefinisi sebagai i n t e g r a s i .

‘Bhinneka Tungal Ika’ adalah ungkapan dalam bahasa sanskerta. Ungkapan itu diciptakan oleh Empu Tantular untuk digunakan sebagai semboyan yang dimaksudkan untuk memadu kemajemukan yang ada di seluruh Nusantara pada masa kerajaan Majapahit.

Arti harfiah dari: ‘bhineka’ adalah beraneka atau berbeda-beda; ‘tunggal’ itu sama dengan arti dalam bahasa Indonesia, yaitu tidak jamak, atau diungkapkan secara positif satu yang tertentu, sedang ‘ika’ adalah kosa kata sanskerta yang artinya satu. Dengan demikian arti harfiah dari ungkapan ‘bhineka tunggal ika’ adalah :

berbeda beda (tetapi merupakan) satu yang tertentu (yang) satu.

Bubuhan ‘(tetapi merupakan)’ dan ‘(yang’) yang diselipkan diantara tiga arti harfiah tersebut dapat dibenarkan, karena suatu ungkapan yang dijadikan semboyan itu lebih mengutamakan tertangkapnya pesan daripada pemenuhan hukum gramatikal bahasa. Arti harfiah yang telah kita dapatkan di muka demikian harfiahnya hingga belum mengungkapkan makna tertentu. Untuk mendapatkannya, pada tahap berikutnya kita dapat mengubah kosa kata ‘satu’ tanpa menyimpang dari arti aslinya, menjadi ‘bersatu’ sehingga kita mendapatkan rumusan kalimat yang berkurang sifat harfiahnya, seperti berikut:

berbeda-beda (tetapi merupakan) satu yang tertentu (yang) bersatu.

Pada tahap berikutnya, (1) kita analisis ungkapan ‘satu yang tertentu (yang) bersatu’ :‘satu yang tertentu’ itu berarti: satu yang khas. (2) ‘(yang) bersatu’ adalah suatu kondisi yang berkualifikasi persatuan. Suatu kondisi persatuan niscaya mengandung sejumlah komponen. Interaksi saling memberi antar-komponennya itulah yang menghasilkan kondisi persatuan.

27

Page 28: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Kesimpulan dari (1) dan (2) adalah: kekhasan dari ‘satu yang tertentu’ itu adalah : bahwa ia menjadi ada berkat interaksi saling-memberi antarkom-ponennya.

Merujuk pada matematika, khususnya teori himpunan, terbentuknya suatu seluruhan oleh sejumlah komponen yang berinteraksi satu dengan yang lain, dikenal dengan figur integrasi. Berhubung dengan itu, sasanti bhineka tunggal ika itu mengandung sekaligus mengungkapkan konsep i n t e g r a s i .

Merujuk pada teori etikal, nilai adalah ‘suatu konsep yang eksplisit atau implisit khas perorangan atau karakteristik dari sekelompok orang mengenai sesuatu yang didambakan, yang berpengaruh pada pemilihan pola, sarana, dan tujuan, dari tindakan.” (Clyde Kluckhorn, seperti yang dikutip Talcott Parsons, 1954:395).

Sedangkan yang dimaksud dengan intrinsik dapat digambarkan sebagai berikut: sesuatu yang menjadi dambaan orang, berkat apa adanya dia; berkat ciri-ciri yang dimilikinya, atau relasi antarciri. Jadi, ciri-ciri yang membuat sesuatu menjadi dambaan orang, sama sekali tidak melibatkan apapun dari luar sesuatu yang didamba itu; ciri-ciri termaksud adalah apa adanya dia, tidak tergantung dari semua hal lainnya yang ada di dunia, dalam arti : secara logik ciri-ciri tersebut dimungkinkan merupakan hal yang beda bagi semua hal lainnya di dunia, tetapi baginya sendiri tetap sama. Ciri-ciri yang demikian itu kita kategorikan sebagai intrinsik, dan kita dapat menyatakan bahwa sesuatu hal -dapat berupa peristiwa, kondisi tertentu, atau nilai- didambakan secara intriksik, hanya apabila ia terdamba berkat ciri-cirinya yang intrinsik (Brandt, 1959:102-103). Jadi tiap nilai intrinsik niscaya bersifat khas, tidak ada duanya.

Melalui dua rujukan terakhir, faham integrasi yang terkandung di dalam sasanti Bhineka Tunggal Ika maupun yang dihasilkan oleh proses sublimasi Bung Karno dapat dikualifikasi sebagai nilai intrinsik. Jadi, kita telah mendapat pengetahuan bahwa: nilai intrinsik yang terkandung di dalam ideologi Pancasila adalah integrasi.

d. Mutasi Nilai Integrasi

Merujuk pada definisi pengertian transformasi yang telah dikemukakan pada halaman 23, dan telah teridentifikasinya nilai intrinsik yang terkandung di dalam Pancasila, yaitu : nilai intergasi, pada tahap ini perlu kita kaji benar-

28

Page 29: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

tidaknya termutasinya nilai integrasi yang terkandung di dalam Pancasila ke 4-PP melalui tiap PP-nya.

Dalam rangka ini, tiap PP perlu dipelajari secara seksama, dalam arti : mempelajari rumusan formalnya beserta penjelasan resminya ; bila perlu, juga mempelajari penjelasan historik yang dapat diperoleh dari beberapa rapat BPUPKI pada tahun 1945.

Pokok Pikiran I

Rumusan Formal“Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.” (Penjelasan UUD 1945, butir II, angka 1).

Penjelasan Resmi“Dalam pembukaan ini diterima aliran pikiran negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi, negara mengatasi segala faham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara, menurut pengertian ‘pembukaan’ itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan.” (Penjelasan UUD 1945, Butir II, Angka 1).

Penjelasan resmi yang menyatakan : “Dalam pembukaan ini diterima aliran pikiran negara persatuan, ….,” menunjukkan bahwa PP-I adalah rumusan suatu citanegara (staatsidee). Sedang seluruh kalimat yang berada di belakangnya, yaitu :‘negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya’,‘negara mengatasi segala paham golongan’,‘negara mengatasi segala paham perorangan’,‘negara menghendaki persatuan (yang) meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya’, mengungkapkan muatan dari citanegara termaksud.

Rumusan pasal dari Penjelasan Resmi di atas, meskipun tak dimaksudkan sebagai rumusan suatu definisi, namun ditinjau dari strukturnya, ia menggunakan bentuk definisi, yaitu: ‘negara persatuan’ sebagai definiendum dan semua ungkapan yang bersifat formal yang berada di belakangnya adalah definiens-nya. Bila beberapa frase kalimat yang bersifat informal, seperti:

29

Page 30: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

“Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian …”, “….menurut pengertian “pembukaan” itu …”, dan kata sambung : “Jadi …“, ditanggalkan, maka ia menampilkan diri sebagai definisi mengenai pengertian ‘negara persatuan’.

Ternyata, semua definiens-nya mengungkapkan nilai integrasi. Kunci dari konsep integrasi adalah kata sifat ‘persatuan’ yang melekat pada definiendum ‘negara persatuan’. Kata sifat ‘persatuan’ itu menunjuk pada suatu kondisi terintegrasi sebagai suatu keluaran dari interaksi saling-memberi antarkomponen konstitutifnya. Dalam hal negara, komponen konstitutif termaksud adalah individu warga negara, golongan yang ada dalam masyarakat dengan berbagai bentuknya, dan wilayah beserta segenap kekayaan alamnya, yang satu dengan lainnya saling terkait. Kondisi terintegrasi tersebut, oleh negara diniatkan untuk dilindunginya secara integratif yang diungkapkan oleh definiens ‘meliputi seluruhnya’.

Definiens ‘mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perorangan’ juga mengungkapkan nilai integrasi. Definiens tersebut menyatakan bahwa yang menjadi perhatian negara adalah segenap golongan, maupun segenap individu warga-negara dalam keadaan kebersamaannya ; bukan golongan tertentu saja, dan bukan individu tertentu saja. Pernyataan tersebut adalah pernyataan integratif.

Definiens ‘… menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya’ juga mengungkapkan nilai integrasi. ‘persatuan’ dalam definiens ini adalah ‘keadaan ter-integrasi’ sebagai suatu keluaran. Sedang ‘meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya’ mengungkapkan sosok suatu seluruhan integral atau suatu totalitas dari obyek yang di-persatukan. Dari refleksi tersebut, kita mendapat pengetahuan bahwa : defeniendum dan semua definiens dari Penjelasan Resmi mengungkapkan nilai integrasi.

Berkenaan dengan itu, tipe dari citanegara yang dianut UUD 1945 adalah citanegara integratif, yang oleh Prof. Supomo pada Rapat Besar BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 diperkenalkan dengan nama citanegara integralistik. Dalam rumusan PP-I, citanegara integralistik itu mendapat sebutan resmi : Citanegara Negara Persatuan.

Pokok Pikiran II

Rumusan Formal“Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.”

30

Page 31: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Penjelasan ResmiRumusan PP-II demikian lugas dan bahasanya begitu sederhana sehingga makna yang terkandung di dalamnya mudah dipahami. Para pendiri-negara merasa tidak perlu memberi penjelasan resmi.

Penjelasan Historik“Saudara-saudara, saya usulkan : kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, ya’ni politiek-economische demokratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial ! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil ? Yang dimaksud dengan Ratu Adil ialah sociale rechtvaardigheid (keadilan sosial). Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan dibawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.” (Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, di hadapan Rapat Besar BPUPKI ; Mualif Nasution, 1949:39-40).

“Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terhormat. Kita telah menentukan di dalam sidang yang pertama (29 Mei s.d. 1 Juni 1945), bahwa kita menyetujui kata keadilan sosial dan preambule. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme.” (Pidato Bung Karno, tanggal 15 Juli 1945, di hadapan Rapat Besar ke-2 BPUPKI ; Himpunan Risalah Sidang-sidang BPUPKI, Reproduksi Sekretariat Negara RI, 1978 : 230).

Perlu diketahui bahwa dalam seluruh sidang BPUPKI, yang mengajukan pikiran mengenai keadilan sosial hanyalah Bung Karno. Sedang Bung Hatta mengajukan konsep ekonomi yang didasarkan pada asas kekeluargaan, yang kemudian dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Bila Pasal 33 itu benar-benar terlaksana seperti yang dimaksudkan oleh Bung Hatta, akan menghasilkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari penjelasan-historik yang pertama, yang menerangkan bahwa keadilan sosial adalah kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya, kita mendapatkan pengetahuan bahwa keadilan sosial itu adalah keadilan intersubyektif, keadilan yang lahir dari interaksi antar-manusia yang saling peduli. Dari penjelasan-

31

Page 32: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

historik yang kedua, yang menyatakan bahwa: “keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme”, kita mendapat pengetahuan bahwa keadilan sosial bukanlah keadilan yang bersubyek individual, seperti yang diajarkan oleh para filsuf liberal, antara lain Thomas Hobbes dan John Locke yang berpangkal tolak dari premis: “aku adalah milik diriku sendiri, tidak pernah berhutang budi kepada masyarakat! (Macpherson, 1972:3), John Locke yang berpendapat bahwa hak-pemilikan (posession) adalah barang-jadi (ready-made thing) yang original individual (Locke, 1960: Vol II, State of Nature, passim).

Bahwa keadilan sosial adalah keadilan intersubyektif, ke-adilan hasil interaksi antara manusia yang saling peduli, menunjukkan sendiri bahwa ia adalah keadilan integratif. Dengan demikian, kita mendapat pengetahuan bahwa PP-II yang menyatakan: “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat” mengungkapkan nilai integrasi yang terkandung di dalam ideologi Pancasila.

Pokok Pikiran III

Rumusan Formal“Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.”

Penjelasan Resmi“Oleh karena itu sistem negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.”

Penjelasan Historik“Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terhormat ! Kita rancangkan Undang-undang Dasar dengan kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulatan individu.

“Kedaulatan rakyat sekali lagi, dan bukan kedaulatan individu. Inilah menurut paham Panitya Perancang Undang-undang Dasar, satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian hari. Jikalau faham inipun dipakai oleh bangsa-bangsa lain, itu akan memberi jaminan akan perdamaian dunia yang kekal dan abadi.” (Bung Karno, dihadapan Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 ; Moh. Yamin, 1960 : 297).

32

Page 33: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

“Kedaulatan adalah ditangan rakyat. Artinya sebagai penjelmaan rakyat, tadi Panitya Perancang menyebut ‘Majelis Permusyawaratan Rakyat’, sebagai penjelmaan rakyat. Jadi dengan lain perkataan, ‘Majelis Permu-syawaratan Rakyat’ yalah penyelenggara negara yang tertinggi, maka oleh karena itu harus bersifat penjelmaan rakyat sendiri, penjelmaan seluruh rakyat. Dan oleh karena itu juga, yang dikehendaki oleh panitya, ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat itu hendak dibentuk sedemikian, sehingga betul-betul seluruh rakyat mempunyai wakil di situ.” (Supomo, di hadapan Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945; Moh. Yamin, 1960:308).

“Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi disebelah itu janganlah kita memberi kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu, ada baiknya dalam salah satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga di sebelah hak yang sudah diberikan kepada rakyat, misalnya tiap-tiap warga-negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebutkan disini hak untuk berkumpul, dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Formulering-nya atau redaksinya kita serahkan kepada Panitia Kecil. Tetapi tanggungan (jaminan) ini perlu untuk menjaga, supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakyat. Tetapi kedaulatan rakyat bisa dipergunakan oleh negara, apalagi menurut susunan Undang-Undang Dasar sekarang ini yang menghendaki kedaulatan rakyat yang kita temui di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan penyerahan kekuasaan kepada Presiden, ialah Presiden jangan sanggup menimbulkan suatu negara kekuasaan.” (Bung Hatta, di hadapan Rapat Besar BPUPKI, tanggal 15 Juli 1945 ; Moh. Yamin, 1960:299).

Penjelasan yang dikemukakan oleh Bung Karno memberi pengetahuan mengenai apa yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat. Yaitu yang berdaulat adalah seluruh rakyat ; artinya yang berdaulat adalah para individu warganegara dalam keadaan kebersamaannya, bukan dalam keadaan solitaire, terpisah dari individu yang lain. Sedang penjelasan Supomo memberi pengetahuan kepada kita bahwa sebagai konsekuensi dari faham kedaulatan rakyat yang bersifat integral, MPR sebagai lembaga pelaku kedaulatan rakyat, niscaya merupakan penjelmaan dari rakyat sebagai seluruhan,dari seluruh rakyat dalam keadaan kebersamaannya; bukan dari mayoritas rakyat yang

33

Page 34: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

niscaya merupakan figur dari kedaulatan individu. Penjelasan Bung Hatta memberi pengetahuan kepada kita bahwa: kedaulatan seluruh rakyat yang dijelmakan menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan pada gilirannya Majelis memberikan mandat kekuasaan kedaulatan rakyat kepada Presiden untuk melaksanakan kehendak rakyat yang berdaulat (dalam bentuk GBHN) dan menjalankan pemerintahan negara, harus dijaga jangan sampai Presiden berpeluang untuk merubah ‘negara pengurus’ menjadi ‘negara kekuasaan’.

‘Kedaulatan seluruh rakyat’ adalah kedaulatan rakyat yang bersifat integral; MPR yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat adalah majelis yang komposisi anggotanya mencerminkan integrasi dari segenap golongan rakyat yang ada dalam masyarakat Indonesia. Jaminan hukum yang diusulkan Bung Hatta (Pasal 28 UUD 1945) bertujuan untuk menjaga kedaulatan rakyat integral, yang berada ditangan Majelis, maupun yang dikuasakannya kepada Presiden, tidak bisa disalahgunakan untuk menimbulkan negara kekuasaan. Ketiga institusi yang terkandung di dalam Pokok-Pikiran III tersebut mengungkapkan bahwa nilai integrasi yang terkandung di dalam ideologi Pancasila ternyata termutasi ke Pokok Pikiran III.

Pokok Pikiran IV

Rumusan Formal“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.”

Penjelasan Resmi“Oleh karena itu, Undang-undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur” (Penjelasan UUD 1945, Butir II, Angka 4).

Penjelasan Historik“Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Perkataan ini kita ambil dari Pembukaan. Sesuai dengan gentlement agreement itu sebetulnya ketentuan dalam Pembukaan sudah cukup. Tetapi kita maju selangkah, maju dengan ketentuan dalam Undang-undang Dasar yaitu ayat (1) “Negara berdasar ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut kepercayaan masing-masing. Ayat (2) masuk dalam

34

Page 35: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Pembukaan itu, dan dimajukan juga dalam kompromis itu. Sekali-kali bukan maksudnya akan mengganggu dan membatasi golongan-golongan lain yang beragama lain, sama sekali tidak. Memang kita menghendaki dasar ke-Tuhanan dan dasar kemanusiaan, dan atas dasar-dasar itu dengan sendirinya kita harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan beribadah menurut kepercayaan masing-masing.

Ini adalah suatu kompromis, artinya bahwa kaum kebangsaan atau salah seorang yang bukan beragama Islam tidak boleh --umpamanya-- minta atau mendesak supaya mengurangi jaminan kaum Islam, sebab sudah menjadi kompromis, perjanjian moral yang sangat luhur; dan begitu juga sebaliknya, seperti kemarin diuraikan oleh Tuan Abikusno, dan tuan-tuan sekalian bulat mufakat ; janganlah golongan agama minta jaminan lebih lagi untuk ditambahkan dalam pasal apapun, supaya dikemukakan jaminan kepada agama Islam. Jadi, kedua belah pihak sudah cukup terjamin kepentingannya.” (Uraian Supomo dihadapan Rapat Besar BPUPKI, tanggal 15 Juli 1945; Moh. Yamin, 1960 : 304-305).

Penjelasan historik tersebut mengungkapkan bahwa PP-4 itu ditinjau dari proses perumusannya, merupakan kompromi antara golongan kebangsaan yang menghendaki negara Indonesia yang akan didirikan ber-t i p e negara sekuler dan golongan Islam yang menginginkan t i p e negara klerikal (negara keagamaan), yaitu: negara Islam. Ditinjau dari substansi materinya, PP-4 merupakan integrasi dari kedua t i p e negara termaksud, seperti berikut ini:

‘Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ membersitkan nuansa ‘negara keagamaan’, dalam arti: segenap kebijaksanaan negara tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan keduniawian –yang merupakan asas-pokok dari negara sekuler- melainkan juga melibatkan pertimbangan moral keagamaan, t a n p a menjadikan hukum dari agama tertentu sebagai hukum negara; ‘menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab’ membersitkan nuansa ‘negara sekuler’, dalam arti: negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya t a n p a memberlakukan doktrin sekularisme.

Penjelasan historik dari PP-4 seperti yang telah dikutip di halaman 33, mengungkapkan relasi integratif antara: Tipe negara yang terrumus sebagai PP-4 dan citanegara yang terumus sebagai PP-1.

35

Page 36: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Relasi integratif termaksud ditunjukkan sendiri oleh para pendiri-negara seperti yang terumus sebagai implikasi normatif pada kehidupan kenegaraan; dalam hal ini pada para penyeleng-gara negara :

“Oleh karena itu, Undang-undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur”. (Penjelasan UUD 1945, angka I, butir 4).'Kewajiban memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur’ itu tertuju pada keharusan pemerintah dan lain penyelenggara negara, untuk memelihara keinsyafan bahwa : kekuasaan yang mereka emban adalah milik rakyat yang berdaulat seperti yang terumus sebagai PP-3. ‘Kewajiban memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur’ itu tertuju pada keharusan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk setia pada tujuan yang hendak dicapai dengan menggunakan kekuasaan yang berasal dari rakyat yang berdaulat; dalam hal ini adalah: ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat’ yang terumus sebagai PP-2.

Dari segenap uraian tersebut di muka, kita mendapat pengetahuan bahwa PP-4 itu :- adalah integrasi dari dua tipe-negara, yaitu : ‘negara sekuler’ dan ‘negara

klerikal’ ;- adalah integrasi dari tipe-negara : ‘Negara berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, dan citanegara: “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.

- mengandung implikasi normatif yang teralir dari kondisi terintegrasinya tipe-negara dan cita-negara.

Dari segenap uraian itu, kita mendapat pengetahuan bahwa nilai intergrasi yang terkandung di dalam ideologi Pancasila t e r m u t a s i ke Pokok Pikiran 4.

Dengan demikian, kita telah mendapat pengetahuan bahwa nilai integrasi yang terkandung di dalam ideologi Pancasila benar termutasi ke dalam tiap Pokok Pikiran. Berarti: empat Pokok Pikiran yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 adalah benar t r a n s f o r m a s i a n dari ideologi Pancasila.

36

Page 37: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

e. Beda Urutan

Meskipun 4-PP yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan transformasian dari 5 silanya Pancasila, terdapat kebedaan antara urutan Sila dalam Pancasila dan urutan 4-PP. Kebedaan urutan itu menunjukkan bahwa yang berubah adalah urutan sila, sedang penyebabnya adalah semacam n i s c a y a a n (necessity) urutan yang melekat pada 4-PP.

Selama ini, urutan sila itu secara nalar maupun sebagai keyakinan, kita fahamkan sebagai urutan hirarkhik. Dalam hal ini, sangat terkenal ajaran almarhum Prof. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada mengenai susunan sila Pancasila yang bersifat hirarkhis piramidal. Artinya, sila pada urutan yang lebih atas mengkualifikasi sila yang berada di urutan satu tingkat lebih bawah ; dan secara transitif, sila pertama mengkualifikasi sila ke-2, sila ke-3, sila ke-4, dan sila ke-5. Sila yang berkedudukan pada puncak piramida –atau pada jenjang hirarkhi tertinggi– adalah sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ada suatu dalil yang menyatakan: ‘sesuatu yang tersusun hirarkhik niscaya tidak mengakomodasi perubahan urutan kedudukan unsur-unsur konstitutifnya’. Bila demikian halnya, yang perlu kita pelajari adalah ‘niscayaan’ yang melekat pada urutan 4-PP ; atau dengan rumusan yang lebih tajam: logik yang terkandung di dalam ‘niscayaan’ itu. Untuk itu, kita perlu melihat kembali sandingan dua buah urutan termaksud, dengan urutan 4-PP sebagai penjurunya, seperti yang telah disajikan pada halaman 23 di muka.

Bila kita pelajari urutan 4-PP dengan seksama, ternyata ia menunjukkan dua hal yang esensial, yaitu (1) tiap PP mengungkapkan satu aspek dari eksistensi negara, dan (2) urutan-nya mengungkapkan sistematik dari seluruhan eksistensi negara.

1). Aspek Eksistensi Negara

a). Citanegara Ibarat orang akan membangun rumah, niscaya ditentukan lebih dahulu

model rumah yang diidamkan untuk dihuni: rumah Joglo arsitektur Jawa, rumah Gadang arsitektur Minangkabau, atau rumah Villa arsitektur Barat, dan sebagainya. Tiap jenis arsitektur memiliki karakter tersendiri yang bersumber pada budaya dari kelompok masyarakat yang bersangkutan. Sesuaian antara budaya penghuni dan arsitektur rumah itulah yang membuat penghuni merasa

37

Page 38: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

sejuk, tenteram, bahagia, hidup di dalam rumah itu. Singkat kata benar-benar merasa betah berasa di rumah sendiri.

Negara adalah ibarat rumah besar dari suatu bangsa; dan tiap bangsa niscaya berbudaya khas; bahkan budaya itulah yang memelihara bangsa tetap bersatu. Dalam disiplin Ilmu Negara “arsitektur” negara dikenal dengan sebutan citanegara (staatsidee). Namun, karena negara itu bukan rumah dalam arti fisik, melainkan rumah dalam pengertian idea, maka karakteristik kultural yang ditransformasi ke dalam citanegara, tidak hanya berpengaruh pada bentuk dan struktur dari negara, seperti yang terjadi pada rumah fisik, melainkan juga menentukan sifat-sifat dari negara dan bagaimana seharusnya negara bekerja dalam mewujudkan tujuannya.

Melalui analogi ‘pembangunan rumah’, mendirikan negara itu, juga didahului dengan penetapan arsitektur, dalam hal ini penetapan citanegara dari negara yang akan didirikan. Pernyataan Prof. Supomo dalam pidatonya tanggal 31 Mei 1945 di hadapan Rapat Besar BPUPKI mengungkapkan hal itu. Berikut ini kutipan bagian pidatonya mengenai hal dimaksud.

“Jikalau kita hendak membicarakan tentang dasar sistem pemerintahan yang hendak kita pakai untuk Negara Indonesia, maka dasar pemerintahan itu bergantung pada Staatsidee, pada “bergrip” “staat” (negara) yang hendak kita pakai untuk pembangunan Negara Indonesia. Menurut dasar apa Negara Indonesia akan didirikan ?” (Moh. Yamin, 1960:100).

Uraian Supomo tersebut di atas mengungkapkan bahwa citanegara itu secara logik merupakan aspek pertama dari eksistensi negara. Inilah penjelasannya, mengapa citanegara itu mendapat status sebagai PP-pertama.

b). Tujuan NegaraSetelah citanegara ‘Negara Persatuan’ ditetapkan dalam PP-1, maka

tujuan dari didirikannya negara Indonesia merupakan hal yang kedua yang harus ditetapkan oleh para pendiri-negara. Memang, secara logik, tujuan-negara baru bisa ditentukan setelah diketahui: bentuk, struktur, sifat, dan cara-kerja negara yang akan didirikan, yang kesemuanya itu tercakup di dalam citanegara. Antara citanegara dan tujuan-negara terdapat relasi fungsional. Logik ini mengungkapkan pengetahuan: bahwa tujuan-negara merupakan aspek kedua dari eksistensi negara, dan oleh para pendiri negara dikemas menjadi PP-kedua.

38

Page 39: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

c). Sistem NegaraSetelah tujuan-negara ditetapkan dalam PP-kedua, niscaya diperlukan

suatu sistem sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan-negara itu. Dalam kaitan ini, terlibat sebuah dalil tentang relasi antara sarana dan tujuan (means and end relations). Dalil ini mengandung dua arti. Arti pertama, tiap tujuan niscaya membutuhkan sarana untuk mewujudkannya. Untuk mewujudkan suatu tujuan-negara diperlukan sarana yang berbentuk sistem ; dalam hal ini sistem negara. Arti pertama ini sekaligus menunjukkan bahwa sistem negara adalah aspek ketiga dari eksistensi negara. Arti kedua, tujuan yang baik hanya dapat diwujudkan dengan sarana yang baik; tujuan yang baik, yang diwujudkan dengan menggunakan sarana yang buruk, niscaya menghasilkan keluaran yang buruk. Dalam kerangka arti yang kedua ini, para pendiri-negara menetapkan sistem negara yang mengandung moral yang sama mulianya dengan moral dari tujuan-negara yang telah mereka tetapkan di PP-kedua, sebagai PP-ketiga.

d). Moral NegaraNegara adalah organisasi yang dicipta oleh manusia untuk kepentingan manusia. Berkenan dengan itu, wajarlah apabila m a n u s i a menjadi pusat perhatian dari kehidupan negara. Negara sebagai suatu struktur, bereksistensi dalam keadaan diam. Negara menjadi hidup berkat digerakkan oleh manusia, yang dalam khasanah istilah Indonesia dikenal dengan sebutan penyelenggara-negara.

Dalam negara demokrasi, penyelenggara-negara berasal dari rakyat, yang melalui seleksi pemilihan umum mewakili rakyat secara sah untuk menjalankan kekuasaan negara. Manusia adalah makhluk-berfikir yang mampu mengetahui apa yang benar dan apa yang salah; ia juga makhluk-bernafsu yang dapat mengaburkan apa yang baik dan apa yang jelek. Dalam pengertian dwi-fitrah manusia ini, tiap sistem yang dikelola oleh manusia perlu dilindungi dengan kaidah moral. Tanpa perlindungan moral, sistem tidak terjamin keberhasilannya dalam mewujudkan tujuan. Bila sistem itu berwujud negara, maka kaidah moral itu niscaya sepadan dengan cita-negaranya, dengan tujuan yang hendak diwujudkan, dan dengan sifat negara beserta metoda-kerja yang diberlakukan dalam negara. Tanpa kaidah moral yang sepadan, negara tidak terjamin keberhasilannya dalam mewujudkan tujuannya. Bila hal ini yang terjadi, berarti tiga aspek eksistensi-negara yang telah ditetapkan sebelumnya, menjadi tidak berarti.

39

Page 40: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Uraian yang mutakhir ini menunjukkan bahwa moral-negara merupakan aspek keempat dari eksistensi negara. Jauh-jauh hari, para pendiri-negara telah menetapkan moral negara yang dituangkan dalam PP-keempat.

2). Sistematik Eksistensi Negara

Per definisi, sistematik itu berarti: ‘suatu seri linier deduktif, yang seluruh rentangannya mengungkapkan suatu makna tertentu’. Bila definisi ini kita pelajari dengan seksama, ia mengungkapkan suatu figur hirarkhi yang khas. Hirarkhi-nya ditunjukkan oleh kinerja dari deduksi, yaitu: seri-yang-kemudian teralir secara logik dari seri-yang-sebelumnya, sebagai padanan dari relasi kendali a-simetrik dari jenjang-atas terhadap jenjang-bawahnya. Khasannya diungkapkan oleh interposisi antarseri yang bersifat linier, tidak vertikal seperti interposisi antar-jenjang dalam pengertian konvensional hirarkhi.

Pada waktu menguraikan aspek eksistensi negara, sekaligus telah ditunjukkan bahwa aspek pertama dituangkan menjadi PP-1, aspek kedua dikemas sebagai PP-2, dan seterusnya. Uraian itu bersifat deskriptif. Pada tingkat ini, setelah dipaparkan definisi mengenai pengertian sistematik beserta kandungan hirarkhi liniernya, kita menjadi tahu bahwa u r u t a n dari 4-PP mengikuti hirarkhi dari sistematik eksistensi negara; dan itulah yang menyebabkan terjadinya perubahan urutan 5 Sila dari Pancasila dalam transformasiannya sebagai 4-PP.

Dari nalaran mengenai eksistensi negara itu, kita mendapat pengetahuan bahwa perubahan urutan Sila dalam 4-PP bersifat internal; terjadi karena adanya tuntutan dari hirarkhi yang terkandung di dalam sistematik eksistensi negara, dan tidak mengubah urutan sila dari Pancasila sebagai dasarnegara.

Pengertian dan Fungsi Citanegara

1. Pengertian

Dalam perjalanan sejarah dunia, citanegara (staatsidee) itu telah mewujudkan diri dengan berbagai cara. Manusia ingin membedakan berbagai perwujudan termaksud dengan menggunakan bentuk negara sebagai tolok ukurnya. Yang didapat adalah : monarkhi absolut atau konstitutional, republik oligarkhik atau demokratik, negara kependetaan theokratif, dan lain sebagainya. Perbedaan yang didapat ini tidak mengungkapkan hakekat dari citanegara, karena

40

Page 41: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

penelitiannya hanya diarahkan pada kenyataan historik, tidak berpangkaltolak dari citanegara itu sendiri yang memberlakukan diri dalam sejarah. Berikut ini paparan mengenai teori citanegara yang dikemukakan oleh Bierens de Haan (Bodlaender, 1947: Introduksi)

a. Tolak Ukur.

Kita dapat membedakan tiga tipe citanegara bila kita dalam melakukan penelitian menggunakan kekuasaan penyelenggara negara yang memang merupakan substansi dari citanegara, sebagai tolok ukurnya. Tipe suatu citanegara akan tertentukan oleh apa yang menjadi d a s a r dari kekuasaan, dan apa yang menjadi t u j u a n dari penggunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara. Tiga tipe citanegara yang kita kenal dalam sejarah didasarkan pada idea transenden, pada idea empiri, dan pada idea immanen.

Pada citanegara yang pertama, penyelenggara negara maupun rakyat beranggapan bahwa kekuasaannya didasarkan pada dunia transenden. Kekuasaan berasal dari Tuhan dan diembankanNya kepada Raja atau Ratu selaku penyelenggara negara. Penyelenggara negara mewakili Tuhan dan karenanya tujuan dari penggunaan kekuasaan ada di dalam diri penyelenggara negara, dan rakyat sekedar merupakan hamba pengabdi kepada Raja atau Ratu selaku penyelenggara negara.

Tipe kedua, yaitu yang didasarkan pada idea empiri, menganggap bahwa yang menjadi dasar dari kekuasan penyelenggara negara dan sekaligus menjadi tujuan dari penggunaan kekuasaan, adalah masyarakat dalam keadaannya yang aktual empirik.

Tipe ketiga, adalah yang didasarkan pada idea immanensi. Yang dimaksud dengan immanensi adalah : bersemayamnya nalaran Tuhan di dalam sejarah, mengejawantah dalam diri masyarakat. Dalam faham ini dasar dari kekuasaan penyelenggara negara adalah nalaran tersebut dan tujuan dari penggunaan kekuasaan adalah: memberi bentuk (hukum) pada aspirasi dari masyarakat-sebagai-seluruhan (volksgemeenschap).

b. Pendapat Sendiri

Khusus mengenai tipe ketiga ini, saya mempunyai pendapat sendiri yang merujuk pada hasil refleksi-filsafati saya pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang bisa di pelajari sebagai berikut : ‘yang dimaksud dengan

41

Page 42: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

immanensi adalah berlakunya logika Tuhan (God’s logic) di dalam eksistensi alam semesta, yang mengungkapkan diri sebagai Mantikan Eksistensi Alam Semesta (MEAS)*) MEAS ini bukanlah sesuatu yang baru, karena dalam budaya Minangkabau sejak sebelum masuknya agama Islam abad XVI dan untuk seterusnya sampai sekarang, MEAS tersebut terbaca dan tertangkap logiknya oleh masyarakat tertentu, seperti yang terjadi pada masyarakat Minangkabau (sebagai contoh). Masyarakat adalah salah satu fenomen –di antara fenomen yang tak terhingga jenisnya-- yang ada dan hidup di dalam alam semesta. Berkenaan dengan itu, masyarakat Minangkabau mentransformasi Mantikan Eksistensi Alam Semesta menjadi bentuk gurindam yang berkualitas sebagai amanat adat, berisi ajaran perilaku manusia yang sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam semesta, seperti bentuk ini: ’tanah segumpal dijadikan gunung, air setetes dijadikan laut, alam terkembang dijadikan guru.’

c. Tipe Pertama

Kekuasaan penyelenggara negara dalam citanegara tipe pertama memiliki watak theokratik; Tuhan melimpahkan kekuasaan kepada penyelenggara negara di dunia, dan karenanya ia bertanggungjawab hanya kepada Tuhan. Dalam hal ini, penyelenggara negara tidak apriori harus terdiri dari satu orang --kita ingat pada republik teokratik di Jenewa pada jaman Calvin-- namun pada umumnya memang demikian.

Faham theokratik ini berasalmula dari suatu kepercayaan pra-kultural dari masyarakat tani yang beranggapan bahwa ada suatu kekuatan Tuhani yang berkuasa memberi kesuburan kepada tanaman, binatang, dan manusia, yang dengan cara yang rahasia mengalir ke dunia melalui kepala suku yang bertindak sebagai perantara antara Tuhan dan kemakmuran rakyat. Faham ini sempat berlaku berabad-abad dan baru memudar oleh adanya Revolusi Perancis 1789 yang memproklamasikan faham kedaulatan rakyat.

d. Tipe Kedua

Oleh citanegara tipe kedua, yang difahamkan sebagai masyarakat adalah dalam pengertian postivistik dan empirik. Dalam pengertian itu, kekuasaan penyelenggaran negara didasarkan pada jumlah dari warga masyarakat yang

* ) Karena ‘MEAS’ ini merupakan ungkapan dalam bahasa Indonesia yang berkualifikasi sebagai istilah belum lazim, agaknya untuk memudahkan pembaca dalam memahaminya, salah satu caranya adalah mengalihkan ke bahasa Inggeris, seperti berikut ini : The Logic of The Existence of The Universe.

42

Page 43: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

dalam kualitasnya sebagai jumlahan dikualifikasi sebagai bangsa. Dengan demikian, masyarakat difahamkan sebagai penjumlahan atomistik warganya, bukan sebagai seluruhan warganya. Tujuan yang hendak diwujudkan ialah: kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbanyak (the greatest happinnes for the greatest number).

Rousseau sebagai pencetus faham kedaulatan rakyat, sesungguhnya telah berhasil memberi arti yang sebenarnya mengenai konsepnya yang ia namai volente generale yang ia bedakan dari volente de tous; namun pembedaan itu gagal ia terapkan pada kenyataan kehidupan kenegaraan, karena volente generale bukanlah idea empirik melainkan idea metafisik; sedangkan kedaulatan rakyat sebagai fakta empirik mempersyaratkan perlakuan empirik pula.

Rousseau menyadari hal ini dan berusaha menyerasikan volente de tous dengan volente generale, yang hasilnya justru hapusnya makna volente generale. Dia berusaha mengidentikkan mayoritas suara yang terjadi secara faktual dalam parlemen dengan volente generale. Secara faktual, mayoritas suara tersebut adalah mayoritas-partai; dan sesungguhnya tiap muncul mayoritas suara, secara logik muncul pula minoritas suara.

Menurut Rousseau, minoritas suara akan menyadari bahwa pendapatnya atau pendiriannya adalah tersesat; karenanya bersedia menggabungkan diri pada mayoritas, dan dengan demikian volente de tous menjadi volente generale. Bahwa nalaran ini merupakan nalaran salah dapat segera diketahui oleh siapapun. Namun bagi Rousseau mutlak diperlukan untuk mempertahankan teorinya mengenai volente generale.

Menurut Bierens de Haan, volente generale niscaya diartikan sebagai idea dari masyarakat-sebagai-seluruhan dan idea ini lebih mungkin diungkapkan oleh minoritas daripada oleh mayoritas dalam masyarakat. Mayoritas itu menurutnya, bisa terbentuk oleh tekanan yang tidak etik, seperti: ditakut-takuti, sogokan, atau janji tertentu; juga dapat terbentuk oleh fanatisme partai, atau bahkan oleh ketidak-fahaman mengenai persoalan yang dihadapi. Memang ada kalanya dalam masa yang panjang tidak muncul minoritas yang mengungkapkan idea dari masyarakat-sebagai-seluruhan, seperti contoh di Indonesia berikut ini: idea Sumpah Pemuda yang dicetuskan oleh sekelompok pemuda Indonesia yang berapat di Jakarta bulan Oktober 1928; kemudian baru bulan Juni 1945 muncul 38 anggota BPUPKI mengungkapkan idea ‘merdeka sekarang juga!’ yang ternyata merupakan stimulus bagi lahirnya pembukaan

43

Page 44: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

UUD 1945; baru disusul lahirnya idea ‘kembali ke UUD 1945’ dari pimpinan TNI-AD pada tahun 1956 yang kemudian menjadi kenyataan yang menyelamatkan persatuan dan kesatuan Bangsa melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959; kemudian baru pada bulan Januari 1966 muncul lagi idea TRITURA yang dicetuskan oleh sekelompok mahasiswa di Jakarta, yang ternyata merupakan stimulus bagi runtuhnya rezim Orde Lama sekaligus lahirnya Orde Baru. Baru 32 tahun kemudian tercetus idea REFORMASI POL-EK-KUM, yang diperjuangkan mahasiswa, yang berdaya meruntuhkan rezim Orde Baru. Itulah idea dari masyarakat-sebagai-seluruhan, atau yang semula dinamai volente generale oleh Rousseau.

e. Tipe Ketiga

Citanegara tipe ketiga merupakan sintesis dari kedua tipe terdahulu, dan sebagai sintesis ia merupakan tipe yang lebih mulia atau sublime. Tipe ini mengakui adanya tatanan immanen dari idea, yaitu suatu mantikan immanen yang memberlakukan diri dalam alam semesta (immanente redelijkerheid der wereld). Transendensi-nya berupa pengakuan bahwa: tiap hal yang ada dalam alam semesta adalah manifestasi dari MAHAESA-an Tuhan; dan immanensinya berupa pengakuan bahwa: Tuhan terus menerus mengelola alam semesta. Dalam pengertian ini, faham immanensi mengakui bahwa fakta empirik tentang adanya masyarakat, tidak dapat diterangkan karena bekerjanya kausa alam. Melainkan sebagai bukti dari Kehendak Tertinggi yang mendapat sosok perwujudannya dalam sejarah. Di dalam eksistensi masyarakat bekerja waskitaan Tuhan.

Hal ini mengungkapkan bahwa dasar dari kekuasaan penyelenggara-negara bukan kekuasaan Tuhan yang bersifat transenden, juga bukan masyarakat empirik faktual, tetapi n a l a r yang atas kehendak Tuhan bersemayam di dalam eksistensi masyarakat. Dari nalar inilah teralir kekuasaan negara yang menata dan mengatur, yang menetapkan hukum, yang memelihara keadilan, yang menyelenggarakan pemerintahan, dan yang menjamin perlindungan.

Berdasarkan nalar termaksud, tujuan yang hendak diwujudkan dengan menggunakan kekuasaan negara adalah: memberi bentuk hukum pada idea konkrit dan spesifik yang hidup dalam masyarakat. Dalam membentuk hukum, penyelenggara-negara bertujuan memberi bentuk yang sepadan dengan kebersamaan hidup yang terselenggara dalam masyarakat.

44

Page 45: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Dalam negara sebagai suatu organisasi, tiap bagiannya menjalankan fungsi masing-masing demikian rupa sehingga tiap bagian itu menyumbang sesuatu kepada seluruhan yang bersangkutan. Dalam kehidupan alam seperti yang ditunjukkan oleh Mantikan Eksistensi Alam Semesta (MEAS) melaksanakan tugas ini secara spontan, sedang kehidupan antarmanusia membutuhkan suatu "atasan" untuk mengkoordinasi kerjasama harmonis pada tingkat yang lebih tinggi, yang dalam kehidupan alam pada tingkat lebih bawah terselenggara dengan sendirinya.

f. Kesimpulan

Demikian, sejarah dan pengertian tentang citanegara telah dipaparkan secukupnya. Baik sejarahnya maupun pengertiannya, diangkat dari teori yang dikemukakan oleh Bierens de Haan. Pada akhir uraian ini, perlu kita simpulkan bahwa:

Citanegara adalah tipe-negara yang tertentukan oleh apa yang menjadi dasar dari kekuasaan Negara, dan apa yang menjadi tujuan dari penggunaan kekuasaan.

Tiga tipe citanegara yang dikemukakan oleh Bierens de Haan di muka, tipe pertama adalah Citanegara Monarkhi, tipe kedua Citanegara Liberal, dan tipe ketiga Citanegara Integral, yang dalam UUD 1945 diistilahkan dengan citanegara Negara Persatuan.

2. Konsep Kekuasaan

Tiap citanegara niscaya mengandung –atau sekurang-kurangnya secara implisit berasumsikan-- suatu konsep kekuasaan. Dengan sendirinya konsep kekuasaan itu berpadanan dengan nilai intrinsik yang mendasari citanegara yang bersangkutan.

a. Kekuasaan Mutlak Konsep kekuasaan dari Citanegara Monarkhi adalah kekuasaan mutlak yang tak dapat dibagi, karena kekuasaan itu diasumsikan sebagai limpahan dari Tuhan. Sebagai konsekuensinya, kekuasaan termaksud dipegang oleh satu orang, yaitu raja. Karenanya, tujuan dari penggunaan kekuasaan --seperti telah dikemukakan sebelumnya-- ditentukan sendiri secara subjektif oleh pengemban

45

Page 46: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

kekuasaan. Rakyat diperlakukan sebagai hamba yang wajib-mutlak mentaati segenap kehendak dan putusan raja.

b. Kekuasaan Kontraktual-PerdataKonsep kekuasaan dari Citanegara Liberal adalah kekuasaan yang lahir dari suatu kontrak-perdata antara para individu pemilik kedaulatan dan partai politik yang menang dalam pemilihan umum. Begitu antara kedua pihak tercapai kesepakatan, maka partai politik yang bersangkutan menempati posisi sebagai yang memerintah (the governor), dan para individu warga negara dalam keadaannya sebagai jumlahan (agregasi) menempati posisi selaku yang diperintah (the governed). Sesuai dengan kontrak-perdatanya, the governor sah memegang kekuasaan selama ia mendapat dukungan 51 % dari para wakil dari para individu pemilik kedaulatan; dan harus melepaskan kekuasaan bila dukungan yang ia terima berkurang dari itu.

c. Kekuasaan Alami Konsep kekuasaan dari Citanegara Negara Persatuan adalah padanan dari wibawa atau energi yang diungkapkan oleh Mantikan Eksistensi Alam Semesta, yaitu : relasi kendali a-simetrik yang secara alami diemban oleh novum (jenjang-atas) yang ia perlakukan terhadap fenomen yang melahirkannya dan berada pada jenjang-bawahnya. Seperti diketahui, novum tersebut adalah produk dari interaksi saling-memberi antar fenomen pada jenjang bawah itu. Dalam interposisi yang demikian, relasi kendali a-simetrik itu digunakan oleh novum untuk menata dan mengatur agar interaksi saling-memberi antarfenomen yang berada pada jenjang satu tingkat di bawahnya, terjamin terselenggaranya.

Relasi kendali asimetrik adalah kekuasaan, atau wibawa, atau energi yang pas presis diperlukan untuk eksistensi dari semua hal yang ada di dunia. Tanpa adanya relasi kendali a-simetrik, eksistensi alam semesta pun tidak dimungkinkan. Budaya Minangkabau memiliki ungkapan yang sepadan untuk melukiskan relasi kendali a-simetrik sebagai kekuasaan yang pas presis untuk eksistensi, seperti berikut ini: "Pemimpin itu didahulukan satu langkah, dan ditinggikan satu ranting."

Bila didahulukan lebih dari satu langkah, dan atau ditinggikan lebih dari satu ranting, dia bukan lagi pemimpin tetapi penguasa; Bila kurang dari satu ranting, dan atau kurang dari satu langkah, dia bukan pemimpin lagi, tetapi teman seiring.

46

Page 47: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Singkat kata, konsep kekuasaan dari citanegara Negara Persatuan adalah relasi kendali a-simetrik, suatu energi yang pas presis untuk eksistensi dari semua hal, termasuk eksistensi negara.

3. Konsep Kebebasan Manusia

a. Kebebasan BersituasiSeperti yang ditunjukkan oleh Tesis-ontologik I yang terkandung dalam

Mantikan Eksistensi Alam Semesta, tiap hal yang eksis niscaya terkait dengan sejumlah hal yang bertautan dengannya. Dalam kehidupan sosial, sejumlah hal yang bertautan dengan manusia sebagai subyek adalah s i t u a s i . Jadi, eksistensi itu sendiri yang membuat manusia terbuka terhadap dan sekaligus terkait dengan situasi. Sebagaimana manusia oleh eksistensinya sendiri dibatasi oleh situasi, demikian pula kebebasan manusia dengan sendirinya berwujud kebebasan yang bersituasi, disingkat kebebasan bersituasi*. Artinya, kebebasan manusia itu sebagai sesuatu yang eksis, berada dalam kondisi saling tergantung dengan situasi.

b. Kebebasan dan Orang LainKata kebebasan yang merupakan padanan dari kata Inggeris freedom,

niscaya menunjuk pada adanya orang lain atau hal lain yang berada di luar orang yang berstatus sebagai subyek. Bila kebebasan itu diartikan “bebas untuk …”, secara logik menunjuk pada adanya orang lain, yaitu : bahwa orang lain yang manapun tidak memiliki hak untuk mencegah, menghalangi, apa lagi melarang seseorang untuk berbuat apapun sesuai yang dia kehendaki. Kebebasan seperti itu, baik sebagai idea dan lebih-lebih sebagai kenyataan, adalah tidak logik, dan karenanya tak mungkin ada.

Bila kebebasan diartikan “bebas dari …”, seperti “kebebasan dari kelaparan” atau “bebas dari ketakutan”, ungkapan itu secara logik juga menunjuk pada adanya orang lain. Dalam hal ini, orang lain itu adalah (umpamanya) suatu rezim pemerintahan yang karena tidak kemampuannya mengakibatkan rakyat kelaparan; karena ambisinya mempertahankan kekuasaan, menjalankan pemerintahan totalitarian. Kebebasan seperti itu sebagai idea, secara logik tidak mungkin ada, dan sebagai kenyataan, secara praktis tak mungkin terwujud.

* Istilah kebebasan bersituasi saya pinjam dari Dr. P. Leenhouwers, gesitueerde vrijheid, Mens-zijn, Een Opgave !, Uig.Zwijsen Tilburg, Nederland, 1970, hlm. 96

47

Page 48: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Dalam budaya kekeluargaan, alam semesta dipandang sebagai alam semesta bersama. Dalam kerangka pandangan ini, berfikir, bersikap, dan bertingkahlakunya orang lain, secara tak terelakkan berpengaruh pada individu manusia yang bertautan. Realitas kehidupan konkrit ini menunjukkan bahwa hakekat dari kebebasan adalah relasi, bukan hal yang secara apriori ada sebelum adanya orang lain.

c. Orang Lain dalam Budaya KekeluargaanDalam budaya kekeluargaan, sosok orang lain itu mempunyai peranan penting bagi kehidupan individu orang. Beberapa wujudnya adalah: institusi-sosial gotong-royong, tolong-menolong, gugur-gunung, arisan, yang semuanya telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Orang lain itu sangat dipedulikan oleh individu manusia yang bertautan. Ajaran budaya yang menunjukkan kepedulian ini, antara lain adalah tanggap ing sasmito yang artinya : tanggapilah kepentingan orang lain, meski kepentingan itu hanya terungkap dalam bentuk isyarat. Ajaran ojo dumeh, yang artinya: jangan bersikap mentang-mentang terhadap orang lain; misalnya jangan mentang-mentang kaya lalu menganggap rendah orang miskin.

d. Pewujudan KebebasanTerbawa oleh hakekat dari kebebasan itu sendiri –yaitu relasi– maka

hanya terdapat satu cara untuk mewujudkan kebebasan, yaitu melalui interaksi saling-memberi antarmanusia yang saling bertautan. Merujuk pada tesis: tugas hidup manusia adalah apriori memberi kepada lingkungan, yang terlibat dalam interaksi saling-memberi adalah : s e m u a orang yang bertautan dengan s e o r a n g yang ingin mendapatkan kebebasan tertentu, memberi sesuatu yang bertautan dengan kebebasan yang dihasrati oleh o r a n g s a t u itu. Integrasi dari segenap hasil terlaksananya kewajiban-memberi dari semua orang yang bertautan, oleh s a t u o r a n g itu dipersepsi dan dihayati sebagai hak kebebasannya untuk berbuat atau mendapatkan sesuatu.

Berian itu tidak selalu harus bersifat materiil, melainkan dapat bersifat immateriil. Berian yang relevan dengan kebebasan bisa berupa, misalnya : kesempatan, peluang, kemungkinan, persetujuan (approval), pengakuan, dan sejenisnya.

Seorang yang ingin mendapatkan kebebasan tertentu, berinteraksi dengan semua orang yang bertautan melalui relasi satu-banyak sehingga tersusun sejumlah pasangan relasi yang teranyam menjadi satu jaringan relasi yang

48

Page 49: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

terintegrasi. Jaringan relasi ini merupakan kondisi-relasional yang memungkinkan terwujudnya kebebasan. Dengan ungkapan lain, dapat dinyatakan bahwa kondisi-relasional itu merupakan a r e n a k e b e b a s -a n bagi orang yang satu bertaut dengan orang-orang yang lain. Inilah pengertian dari kebebasan bersituasi.

4. Fungsi

Fungsi citanegara adalah sebagai dasar konstitutif pembentukan suatu negara. Tanpa didasarkan pada citanegara, pembentukan suatu negara tidak terjamin mejadi suatu sistem yang terpadu ; lebih-lebih bila sistem negara yang terbentuk itu menjadi tak sesuai dengan budaya dari masyarakatnya. Keadaan yang demikian, menyulitkan para penyelenggara-negaranya dalam mewujudkan tujuan-negara. Dalam hubungan ini, kita telah mendapat pengetahuan bahwa Citanegara Negara Persatuan merupakan ejawantahan dari nilai intrinsik integrasi yang terkandung di dalam budaya kekeluargaan masyarakat Indonesia

SubfungsiFungsi konstitutif termaksud mengandung dua subfungsi sebagai komponennya, yaitu :

a Dasar Kekuasaan NegaraDari sudut pandang “apa yang menjadi dasar” dari kekuasaan negara, cita

negara menentukan bentuk-pemerintahan dari negara yaitu: bentuk monarkhi (pemerintahan oleh satu orang), atau bentuk aristokrasi (pemerintahan oleh sekelompok elite), atau bentuk demokrasi (pemerintahan oleh banyak orang) ; dan menentukan relasi antara negara dan warganegara, yaitu : relasi hirarkhik antara raja dan hamba, atau relasi kontraktual-perdata antara yang memerintah dan yang diperintah, atau relasi integratif antara pemerintah dan rakyat.

Perlu diperhatikan bahwa citanegara tidak bersifat imperatif dalam hubungannya dengan bentuk-negara. Para founding fathers dari Negara Amerika Serikat yang sasanti-negaranya ‘E Pluribus Unum’ sama dengan Bhineka Tunggal Ika kita, memilih bentuk negara federasi; sedang para pendiri-negara Republik Indonesia, memilih bentuk negara kesatuan. Agaknya ada faktor sejarah atau faktor geagrafik maupun kultural yang mempengaruhi pemilihan bentuk-negara, di luar logik yang terkandung di dalam suatu citanegara.

b Tujuan Penggunaan Kekuasaan Negara

49

Page 50: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Dari sudut pandang apa yang menjadi tujuan dari penggunaan kekuasaan negara, citanegra menentukan struktur dari negara beserta hubungan kekuasaan antarstruktur, dan menentukan proses yang niscaya diberlakukan dalam mengartikulasikan aspirasi rakyat sampai menjadi kebijaksanaan negara.

5. Sifat Negara

Interaksi antara dua sub-fungsi tersebut menghasilkan totalitas makna dari fungsi konstitutif citanegara, yaitu: citanegara menentukan sifat-sifat negara, yang lazimnya terumus dalam bentuk sasanti, seperti ‘kehendak raja adalah kehendak negara’ (monarkhi); ‘negara adalah pelindung hak asasi warga’ (liberal); ‘negara adalah badan penyelenggara keinsyafan keadilan rakyat’ (integral).

Sifat-sifat negara sebagai totalitas makna dari fungsi konstitutif citanegara, merupakan denominator dari aktualisasi citanegara dalam kehidupan negara.

Berhubung dengan itu, mengenai aktualisasi citanegara Negara Persatuan dalam kehidupan negara, akan dicukupkan dengan memaparkan sifat-sifat dari Negara Republik Indonesia, yang langsung teralir darinya ; tidak akan disajikan : determinasi citanegara Negara Persatuan pada: (1) struktur negara, (2) hubungan kekuasaan antar struktur, (3) proses yang diberlakukan dalam mentransformasi aspirasi rakyat mejadi kebijaksanaan negara, dan (4) berbagai faham mengenai kehidupan bernegara. Keempat persoalan tersebut niscaya melibatkan berbagai disiplin ilmu yang spesifik, yang berada di luar ranah ideologi.

III. DEBAT TENTANG MATINYA IDEOLOGI

1. Didasarkan pada pengertian-terleceh.

Pera pemikir Barat yang berpendapat bahwa ideologi telah mati atau yang menurut Marx-Engels ideologi akan mati, semuanya berpangkal tolak dari pengertian ideologi yang terleceh (discredited meaning) :

“Ideologi adalah jenis penteorian yang abstrak dan imajiner yang semata-mata ditujukan untuk menumbangkan sistem politik yang berlaku, dengan jalan merongrong (subvert) pendapat-umum mapan yang ada.” (Corbett, 1969;14)

50

Page 51: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Berikut ini pengertian mereka mengenai ideologi, yang merujuk pada pengertian terleceh tersebut dengan berbagai rumusan sebagai berikut:

a. Karl Marx-Fridriech Engels:

“Ideology is the ideas of the ruling class, seeking to rationalized and justify the prevailing order and their previleged positin in it.”

b. Karl Mannheim dengan rumusan yang mirip dengan rumusan Marx-Engels:

“Ideology as a preserving set of ideas designated to promote the interest of an advantaged or ruling class.

c. D.D. Raphael:

“Ideoogy is a prescriptive doctrine that is not supported by rational argument.”“A set of value judgement which have not been subjected to rational scrutiny by the test of logical consistency or the empirical test of accordance with fact.”

d. Carl J. Fridriech:

“Ideology is a set of ideas related to the existing political and social order and intended either to change or to defend it.”

e. Raymon Aron:

Tidak percaya pada: large scale social planning, maupun pada the impossibility of large scale historical predication of social behavior, melainkan lebih percaya pada ‘the open society”. (Cox, 1969: 142)

Berhubung dengan itu, Aron mengutuk (castigate) tiap usaha memastikan proses dan makna sejarah, dan berdasarkan itu merumus hukum-hukum sejarah yang universal dan niscaya, mengenai perkembangannya. Yang dimaksud oleh Aron adalah teori yang bersifat preskriptif yang dituangkan oleh Marx-Engels di dalam Historik Materialisme, yaitu: (1) bahwa perkembangan sejarah umat manusia digerakkan oleh jenis hubungan-produksi yang ada dalam masyarakat yang bermuara pada perkembangan masyarakat dari mayarakat kapitalis, ke masyarakat sosialis, dan berakhir

51

Page 52: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

pada masyarakat komunis yang disertai menghilangnya negara, dan kehidupan masyarakat didasarkan pada asas distribusi kekayaan materiil “to each according to his needs”, dan (2) adanya niscayaan-sejarah (historical necessity) yang merupakan dasar-obyektif bagi terwujudnya kebebasan manusia (Afanasyef, 1965:190).

2. Yang tegas berpendapat: Ideologi telah matiPara pemikir Barat yang tegas-tegas menyatakan bahwa ideologi telah

mati adalah:

a. Daniel Bell.Bell adalah seorang sosiolog yang mendasarkan pikirannya pada ideologi Komunisme yang dicipta oleh Marx-Engels. Menurut Bell, pandangan mendasar dari Marx-Engels memberi landasan pada faham Hegel mengenai ‘drama alam semesta’, yaitu bahwa dualitas manusia itu tidak bersumber pada pikiran atau idea, tetapi pada (1) pembagian kerja dan (2) adanya klas sosial. tersebut yang pertama menghasilkan kapitalisme, bordjuasi; sedangkan tersebut kedua menghasilkan orang melarat yang mereka sebut proletar. Dengan kata lain, menurut Marx-Engels: perealisasian dari filsafat berada di kehidupan ekonomi, dan penggerak dari keberhasilan manusia bukanlah idea, tetapi proletariat.

Sikap anti ideology dari Bell tidak hanya mengenai muatan ideanya. (the contents of ideology), tetapi juga mengenai asalmula-sosialnya (social origin) kausanya, dan peranannya.

b. Sumber dari berpikir-ideologik.Dalam usahanya untuk melokalisasi sumber dari ideological thinking, Bell membagi kaum intelegensia menjadi dua karakter; para ilmuwan (the scolar) dan para cendekiawan (the intellectuals)

Ilmuwan itu menurut pendapat Bell: (1) memiliki lapangan pengetahuan (knowledge) yang berbatas (bounded filds of knowledge) dan tradisi tertentu, yaitu: kebenaran yang teruji secara empirik, berpandangan serba relatif, dan prosedur pembuktian kebenaran; dan (2) mencari atau mengidentifikasi tempat kedudukan atau serba temuan ilmiahnya dalam seluruhan temuan yang memperkaya mozaik suatu ilmu tertentu.

52

Page 53: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Dengan menerima sekaligus mengakui scholar-tradition, ia telah menemukan dirinya di dalamnya, membuat seorang ilmuwan mampu menilai dirinya, sekurang-kurangnya menilai hasil-kerjanya secara nir-personal (impersonal) dan berdasarkan standar obyektif. Apabila seorang ilmuwan (scholar) berkinerja dengan pola efesiensi, dan tidak menjorok ke luar dari kompetensi-keilmuwannya, ia mendapatkan kualifikasi sebagai ilmuwan yang memiliki kehormatan-diri (self-respect).Kehormatan-diri mengendalikan pikiran-sikap-dan perilakunya, dan secara tidak langsung: respek dari masyarakat yang berupa pengakuan bahwa disiplin ilmunya merupakan bagian yang diakui secara mapan.

Cendikiawan, di lain fihak, tidak memiliki tanggung jawab atau pengamanan pemikirannya seperti yang dimiliki oleh para ilmuwan. Tidak memiliki disiplin ilmiah, bahkan mungkin tidak memiliki bakat berprestasi dalam disiplin ilmu tertentu yang seharusnya terus-menerus mengendali dia untuk menggunakan metoda-obyektif dalam memperlakukan segenap fakta obyektif, maka satu-satunya wahana yang ia pergunakan adalah dialektik yang tak kenal akhir dan kritik terhadap serba idea-umum (general ideas).

Karena ia tidak memiliki peranan-sosial yang diakui oleh dan dalam masyarakat, ia terasing dari berbagai lembaga masyarakat yang berlaku, dan satu-satunya jalan yang tersedia baginya adalah: memanipulasi idea-ideanya dalam suasana (mood) kejengkelan yang tidak berujung. Karena itu, dalam berpikir para cendikiawan (intellectuals) tidak mengutamakan argumen, tetapi efek yang diinginkan. Yang ia sajikan pada para pembaca bukan informasi, tetapi desakan (goad) dan saluran pelampiasan (outlet) emosi.

c. Edward Shills (sosiolog)

Ia berpendapat bahwa abad politik ideologik (ideological politics) telah berlalu. Berikut ini saya kemukakan pendapat Shills:

“Meskipun di negara berkembang, ideologi sedang laku-lakunya, tetapi sesungguhnya abad politik-ideologik telah berlalu.”

1) Pemicu Pikiran ShillsSejumlah alasan yang mendasari pendapat tersebut adalah sebagai sbb:“Yang terpenting adalah bahwa kaum intelektual yang dalam abad 19 merupakan inti pendukung ideologi, kini secara melemah (decompassing) seperti yang pertama kali dicatat oleh Betrand Russell,

53

Page 54: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Waldeman Gureon, dan sejumlah orang Demokrat Eropa dan para pendekar liberal. Marxisme mulai menggembos-diri (self deflating) di pertengahan tahun 1950, pada saat kepercayaan kaum intelektual sedang dalam keadaan mendukung pemikiran ideologik secara maximum.

- The Moscow Trials tahun 1930 terjadi pada saat kaum komunis menyatakan bahwa langkah besar sedang terjadi di Uni Soviet menuju tahap-akhir sejarah, yaitu terwujudnya kebebasan-manusia yang sebenarnya.

- The Berlin uprising tgl. 17 Juni 1953, merupakan langkah lanjutan. Kaum Komunis mengklaim bahwa di antara semua negara sosialis terjalin oleh harmoni sosialis, terjadi peristiwa tank-tank militer Rusia menembaki kaum buruh Jerman Timur, di jalan-jalan di Berlin Timur yang menyelenggarakan pemogokan,

- Terjadinya penindasan terhadap Revolusi Hongaria tahun 1956.2) Politik ideologik versus politik sipil.

Edward Shills membangun teori tentang perbedaan antara politik ideologik (ideological politics) dan politik-sipil (civil politics) sebagai berikut.

Dalam abad 19 kehidupan masyarakat di negara-negara Barat dikuasai oleh serba pandangan ideologik, dan pada abad 20 keadaan macam itu menguasai seluruh dunia. Kedahsyatan dan demam-ideologik ini berbeda di berbagai negara. Di Amerika dan Inggeris bersifat lemah, namun di Perancis, Jerman, Itali, dan Rusia, ideology mendapat kekuatan yang luar biasa.

Begitu kehidupan ideologi itu mencapai taraf yang kuat, maka ia, (1) secara praktik melumpuhkan dayapikir kritis dalam kehidupan intelektual, karena (2) memberlakukan struktur berpikir yang tidak mendukung terpeliharanya kreativitas dan merongrong penemuan-penemuan baru; (3) dan dalam politik ia membatasi atau bahkan menghancurkan kemungkinan-kemungkinan terjadinya konsensus yang niscaya diperlakukan oleh masyarakat yang bebas dan spontan.

a) Bentuk IdeologiIdeologi itu menampakkan diri dalam berbagai sosok khas,

seperti: Fasisme Italia, Nasional Sosialisme Jerman, Bolsyevisme Russia, Komunisme Perancis dan Mc Carthysm di Amerika Serikat.

54

Page 55: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Shills bertanya pada dirinya senditri: “kalau begitu, apa yang merupakan keyakinan inti (artlcle of faith) dari suatu politik yang didasarkan pada ideologi?

b) Keyakinan (artlcle of faith) yang mendasari politik-ideologik.Jawaban terhadap pertanyaan tersebut, menurut Shills adalah:

pertama, suatu asumsi bahwa penyelenggaraan kehidupan politik harus didasarkan pada seperangkat keyakinan yang komprehensif yang harus mengatasi semua pertimbangan yang lain.

Keyakinan semacam ini menanamkan rasa supirior pada suatu grup atau suatu klas, seperti: bangsa, proletariat, kelompok etnik beserta pemimpin serta partainya, yang dianggap sebagai organ yang mewakili segenap kebijakan, dan sekaligus sebagai kriteria yang menafikan semua hal yang asing (datang dari luar) seperti Yahudi, Borjuis.Inti dari keyakinan tersebut, mempersyaratkan bahwa keyakinan itu harus: (1) meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat (tidak hanya politik saja), (2) ada kalanya mengganti agama, (3) menjadi criteria estetik, (4) membimbing riset ilmiah dan pemikiran filsafati, (50 mengatur kehidupan seksual dan keluarga (di Jerman pada jaman Nazi Hitler, para gadis remaja harus bersedia menjadi pembiak keturunan dari laki-laki Aria, menjadi anak bangsa, (6) menjadi keyakinan bahwa mereka yang melakukan politik ideologik, yang memonopoli kebenaran mengenai pengaturan yang benar tentang kehidupan bangsa di semua aspeknya, mengakibatkan tak percayai lagi intitusi-intitusi tradisional seperti: keluarga, gereja, organisasi ekonomi, sekolah, dan semua intitusi yang dalam masyarakat modern digunakan untuk menyelenggarakan negara. Demikian juga lembaga-lembaga negara yang secara komersial merupakan penyelenggara politik di negara modern, juga tidak mereka percayai lagi (7) meskipun mereka ikut serta menjadi anggota dari lembaga-lembaga konstitusional, namun peransertanya adalah untuk melumpuhkan fungsinya dari dalam. Sikap ekstrakonstitusional termaksud melekat (inherent) dalam konsepsi dan aspirasi mereka (8) Politik ideologik menciptakan platform di luar system. Dalam hal ini, mereka merongrongi loyalitas rakyat terhadap system yang berlaku, dan bertujuan menghancurkannya, serta menggantinya dengan yang benar. Perlu diketahui bahwa delapan cirri ini berproyeksi pada ideology yang totalitarian, termasuk komunisme.

55

Page 56: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

c) Politik ideologik adalah politik mengasingkan diri (alienative)

Politik ideologik adalah politik dari mereka yang bertujuan menyampingkan pusat lembaga dari system politik yang berlaku. Meskipun mereka ikut berperan-serta dalam berbagai lembaga negara, tetapi tujuannya berbeda daripada yang biasanya. Tujuan mereka justeru untuk menumbangkannya.

(1) Politik ideologik adalah politik yang berasaskan:“kawan-lawan”; “kami-mereka”. Siapapun yang tidak berada pada fihaknya dianggap sebagai penentang mereka.

(2) Separatisme-moral menjadi tajam dan tidak terjembatani lagi, mengakibatkan pembedaan tajam antara: baik dan jelek, kiri dan kanan, kompromi atau campuran, tidak ditoleransi, dan apabila ada sesuatu-lain yang baik atau ada seseorang yang mendapat perbandingan dari negara lain (another good, another national) dsb, mereka tolak sebagai hal yang tidak riil, menyesatkan, dan tidak stabil.

d) Poltik ideologi selalu dihinggapi obsesi akan totalitas.Sebelumnya telah diterangkan bahwa politik ideologik dihinggapi obsesi akan kemasa depanan-an (futurity) mereka meyakini bahwa politik yang baik mempersyaratkan suatu doktrin yang memadukan tiap peristiwa yang terjadi dalam alam semesta, tidak hanya dalam ruang tetapi juga dalam waktu. Untuk hidup sekedar mengalir dari tahun ke tahun, untuk memecahkan persoalan dari tahun dan dsari decade tidaklah cukup bagi para penganut politik ideologik. Kaum politik dari mazab politik ideologik, mengharuskan diri agar tindakkannya selalu dalam konteks totalitas kesejarahannya. Mereka harus melihat dirinya bergerak menuju suatu kulminasi sejarah, baik kulminasi tersebut merupakan suatu epoch yang sama sekali baru dalam tiap aspeknya, atau membawa dirinya ke terciptanya kembali suatu kondisi yang telah lama dilupakan oleh kehidupan manusia; baik yang sama sekali belum pernah ada presedennya atau yang berwujud suatu pembaruan sesuatu yang telah lama hilang; hasil akhirnya akan merupakan hal yang unik dalam sejarah.

56

Page 57: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Segala sesuatu merupakan penungguan dan persiapan bagi yang akan terjadi pada masadepan yang amat jauh.

3) Kritik terhadap Shills

Meskipun Shills berpendapat bahwa politik-ideologi yang ia deskripsi sebagai politik dengan enam syarat yang serba negatif, namun bisa dipertanyakan: apakah Shills sebagai penganut setia faham kebebasan manusia (human freedom) yang dalam teori John Locke ‘dalam keadaan alami’ (state on nature) (Locke, 1690: volume two, paragraph 4) manusia dilahirkan dalam keadaan bebas-sempurna (perfect freedom) dan juga dalam keadaan sama-sempurna (perfect equality), t i d a k memperlakukannya sebagai ideologi? Jawabannya adalah positif: ya!

Berikut ini, perkenankan saya mengemukakan enam syarat Shills yang ia berlakukan pada politik ideologi (vide halm 54), yang dalam realitasnya juga berlaku dalam lingkungan politik sipil dengan urutan penomoran yang sama seperti yang dibuat oleh Shills sebagai berikut.

“Inti dari keyakinan tersebut, mempersyaratkan bahwa keyakinan itu harus: (1) meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat tidak hanya politik saja, (2) ada kalanya mengganti agama, ……”

Dalam hal ini, kepusatan dari keyakinan akan kebebasan (freedom) merambah ke semua aspek kehidupan masyarakat, yaitu: faham kebebasan ada kalanya menggantikan agama (istilah Shills), dalam arti faham kebebasan manusia ditempatkan pada hirarkhi di atas agama, sehingga manusia; bebas tak beragama, bebas mengecam agama (contoh: pernah disiarkan oleh T.V. di Nederland), bebas bertukar agama yang dianut dengan mengabaikan iman keagamaan.

“……. (3) menjadi criteria estetika………..”

Dalam pengertian ini, contohnya adalah: wanita bugil dikategori sebagai wajar dan diperbolehkan karena tubuh (lebih-lebih tubuh wanita) adalah sesuatu yang poetik**).

* *) Dr. Risa Permanadeli, Harian Kompas, tgl. 29 Juli 2006

57

Page 58: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

4) Politik-Sipil (civil politics)

Menurut Shills (Cox,………..) politik-sipil didasarkan pada perilaku-politik yang sopan (civility), yang berupa kebajikan warganegara yang bertanggungjawab terhadap pemerintahannya sendiri, baik ia sebagai yang memerintah atau sebagai yang diperintah. Politik-sipil tidak membakar nafsu, tidak mengiming-iming manusia untuk menjadi pahlawan atau nabi. Dalam politik-sipil penyelenggaraan kekuasaan dilakukan secara bijaksana dan diselenggarakan secara hati-hati (prudent and carefully in conduct), yaitu: (1) selalu berusaha mengantisipasi berbagai konsekuensinya, sambil mengakui kaburnya batas kekuasaan manusia, dan (2) tidak pastinya perkiraan manusia.

Penyelenggara politik-sipil selalu sadar mengenai batas yang kabur antara penyelenggaraan kekuasaan dan manipulasi yang mungkin terjadi terhadap manusia selaku obyek, di luar lingkup moral.

Ada kalanya ia (yang memerintah) harus mengabaikan batas itu, dan sesekali melewatinya; namun ia harus menyadari terjadinya sejumlah korbanan moral sebagai akibatnya, serentak dengan itu menyadari betapa sulit maupun keharusannya menyeberang balik ke wilayah legitimasi, ia harus memelihara keakraban dengan masyarakatnya dan bersama para warganya memelihara kebersamaan dalam satu satuan transpersonal.

Apabila kita bandingkan dengan bangsa Indonesia, ia memiliki asas penyelenggaraan negara sebagai berikut. “Tiap penyelenggara negara wajib memelihara kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita rakyat yang luhur”. (Penjelasaan UUD 1945).

Berkenaan dengan itu, masalah pokoknya buka a-priori mengganti politik-ideologi dengan politik-sipil seperti yang dimaksud oleh Shills, tetapi semangat para penyelenggara negara yang sewajarnya didasarkan pada kebersamaan hidup seperti yang tercantum dalam Empat Pokok Pikiran yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945.

58

Page 59: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

IV. REFLEKSI-FILSAFATI PADA IDEOLOGI PANCASILA

PENGANTAR

Dalam melakukan refleksi-filsafati pada Pancasila (dasar-negara/ideologi) saya gunakan pendekatan-fenomenologik. Berhubung dengan itu, para peserta pendidikan PSP angkatan ke-3 perlu lebih dahulu memahami, bahkan menguasai pendekatan fenomenologi termaksud.

1. Metoda Fenomenologik.

a. Motivasi.

Dalam melakukan refleksi-filsafati LIMA SILA dari PANCASILA sebagai dasar-negara yang identik artinya dengan ideologi, saya menggunakan metoda fenomenologik hasil temuan dari Edmund Husserl (1911). Metoda fenomenologik adalah hasil kajian filsafati dari Husserl, dan merupakan reaksi Husserl yang menilai bahwa pemikiran filsafati para filsuf Eropa sedang mengalami krisis (Philosophy and The Crisis of European Man) ia hadapkan pada apa yang seharusnya, yaitu: Philosophy as Rigorous Science.Ambisi Husserl adalah: untuk mendudukkan filsafat berdasarkan unimpeacchable rationality (Husserl, 1965:4). Dalam pikirannya, ambisi ini hanya bisa direalisasi melalui dedikasi sepenuhnya pada kebenaran (Husserl, 1954:4). Jadi, Husserl melihat tiap persoalan filsafat, dapat dikatakan sebagai hal yang otonom yang membutuhkan solusinya sebagai suatu permulaan baru (a new beginning), tidak merupakan sistem prefabrikasi. Tiap masalah harus diperlakukan sebagai dirinya sendiri dan

59

Page 60: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

dikaji melalui aplikasi-ketat dari metoda fenomenologi, satu-satunya metoda filsafati yang sesuai dengan nama yang disandangnya, karena fenomenologi adalah satu-satunya yang mampu memberi garansi-ilmiah yang tegas-dan-pasti (rigor) dalam berpikir filsafati (Husserl, 1965:4).

b. Prosedur

Metoda fenomenologik mempersyaratkan ditempuhnya suatu prosedur secara ketat dan berurutan sebagai berikut:

Tiap pernyataan (proposisi) fenomenologik harus: (1) merupakan esensi (muatan khas) dari fenomen, (2) yang didapat melalui intuisi (3) sebagai hasil dari model refleksi dengan proses yang dinamai variasi imajinasi bebas,(4) yang eksistensi obyeknya ditaruh di dalam kurung (bracketing existence), (5) dan dibatasi pada pernyataan mengenai tindak intensional (international act).

Eksplanasi (explanation).

Mengintuisi Muatan Khas

Metoda fenomenologik menerangkan bahwa tiap fenomen1 niscaya mempunyai esensi atau muatan-khas. Muatan-khas adalah kebenaran hakiki.Alasan untuk mengidentifikasi fenomen melalui muatan khas-nya adalah imperatif. Seperti telah diketahui, ada suatu entitas yang dengannya pernyataan-pernyataan dalam fenomenologi dinyatakan benar atau salah. Entitas (atau fenomen) ini bukanlah obyek partikular yang dapat diketahui melalui indera seperti yang dengannya pernyataan-pernyataan empirik dikonformasi atau tidak dikonformasi. Sulihan dari (instead of) ini, para fenomenolog menandaskan bahwa yang membenarkan atau tidak membenarkan tiap pernyataan fenomenologik adalah ciri-ciri yang niscaya dan permanen dari obyek. Fenomenologi menandaskan bahwa tanpa ciri-ciri yang demikian, suatu obyek tidak dapat dinyatakan sebagai obyek seperti apa adanya dia. Ciri-ciri umum dan permanen dari obyek itu oleh para filsuf lain, dinamai esensi. Para fenomenolog juga berbicara tentang esensi.

1 Yang dimaksud dengan fenomen adalah tiap hal yang ada di alam semesta yang dapat diindera.

60

Page 61: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Pengidentifikasian fenomen sebagai muatan khas itu membawa kita satu langkah lebih dekat ke tujuan dari usaha mengklarifikasi suatu cara khas dalam melihat obyek yang mengungkapkan dirinya sebagai fenomen.

Intuisi adalah istilah dalam psikologi. Padanannya dalam bahasa Jerman adalah Anschauung, yang artinya tidak lebih dari “melihat”. Obyek yang “dilihat”, dalam arti yang biasa adalah obyek empirik. Muatan khas itu bukan obyek empirik , karenanya tidak dapat dilihat dalam pengertian “melihat” yang biasa. Jadi, intuisi adalah suatu jenis luar biasa dari melihat.

Tujuan dari pengintroduksian intuisi bukan psikologik, tetapi epistemologik. Digunakannya intuisi t i d a k dimaksudkan untuk membuat suatu pernyataan psikologik mengenai asalmula kausal dari suatu pernyataan tertentu, t e t a p i pernyataan epistemologik itu mengenai jenis bukti yang relevan dengan pernyataan tersebut. Menyatakan bahwa kita mengetahui muatan khas melalui intuisi adalah sama dengan menyatakan secara negatif bahwa benar atau salahnya suatu pernyataan mengenai muatan khas tidak tergantung pada kebenaran mengenai pernyataan empirik.

Pernyataan fenomenologik itu tidak didapatkan melalui abstraksi dari sejumlah pernyataan partikular, karena apabila demikian, ia tidak akan berkualifikasi sebagai pernyataan yang men-sahihkan sendiri. Tetapi pernyataan fenomenologik bukan satu-satunya pernyataan yang bersifat men-sahihkan sendriri; pernyataan empirik pun juga men-sahihkan sendiri. Suatu penjelasan yang kuat mengenai fenomen harus menyertakan lebih lengkap daripada apa yang diungkapkan oleh fenomen melalui intuisi muatan khas ; kita harus mempelajari lebih lanjut intuisi ini untuk mengklarifikasi dalam hal apa ia berbeda dari melihat dengan cara biasa suatu obyek dengan pengamatan indera.

Menaruh Eksistensi di Dalam Kurung: Variasi Imajinasi Bebas.

Dalam kerangka pemahaman makna dari intuisi, perlu diketahui lebih lanjut kondisi yang bagaimana yang dipersyaratkan bagi suatu obyek untuk bisa dikualifikasi sebagai fenomen. Meskipun tidak semua fenomenolog sependapat mengenai kondisi berikut ini, tetapi Husserl, Pfander, Reinach, dan Scheler, memperlakukannya sebagai hal yang niscaya. Mereka menyatakan: “kita berada dalam posisi untuk mendeskripsi obyek s e b a g a i fenomen, hanya sesudah kita “menaruh eksistensi obyek di dalam kurung”, atau

61

Page 62: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

“menunda sementara keyakinan kita mengenai eksistensi obyek”. Husserl menamakan hal ini ‘reduksi fenomenologik’.

Dalam rangka membantah pendapat-salah yang menyatakan bahwa ajaran fenomenologi tentang ‘menaruh eksistensi di dalam kurung’ difahamkan sebagai deskripsi dari metoda ‘peraguan metodologik’ dari Descartes, Husserl menyatakan bahwa pendapat seperti itu merupakan salah faham. Karena Husserl secara konsekuen membedakan antara ‘menunda keyakinan mengenai eksistensi’ dari ‘meragukan eksistensi’ Berhubung dengan itu, perbedaan tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja.

Dalam hubungan ini, fenomenologi mencontohkan sebagai suatu andai-andaian mengenai seorang perempuan muda yang menyatakan bahwa ia memiliki bukti-bukti langsung bahwa dirinya itu luar biasa menariknya bagi lelaki-berambut-merah. Pernyataan perempuan tersebut tidak didasarkan pada hukum psikologi tentang preferensi para lelaki-berambut-merah, atau hukum fisiologi tentang mudahnya terpengaruh secara emosional oleh figur perempuan seperti itu.

Pernyataan perempuan tersebut merupakan generalisasi induktif langsung, merupakan hasil langsung dari pengalamannya sendiri dalam bergaul dengan pria-berambut-merah, yang mengungkapkan sesuatu dari sejumlah banyak atau semua lelaki-berambut-merah, kepada kita.

Dua hal penting terlibat di sini, yaitu: bahwa lelaki-berambut-merah itu nyata ada, dan tertarik mereka pada wanita muda tersebut, riil. Kebenaran dari generalisasi induktif ini tergantung sekurang-kurangnya pada dua kondisi tersebut. Apabila sejumlah lelaki-berambut-merah tidak ada, atau tertarikan sejumlah lelaki-berambut-merah itu hanya merupakan angan-angan imajinatif dari perempuan termaksud, pernyataan wanita itu tidak benar.

Cerita tentang wanita muda ini dikemukakan untuk menjelaskan melalui suatu contoh, mengenai hubungan antara generalisasi empirik dengan pernyataan empirik partikular, d.h.i. antara “daya tarik saya tak dapat dielak oleh lelaki-berambut-merah” dengan misalnya “seorang idola-matinee1 berambut merah di New York melakukan bunuh diri karena cintanya pada saya.” Hubungan ini diterangkan dengan menggunakan suatu contoh imajiner; karena itu tidaklah

1 ‘Idola matinee’ adalah pengindonesiaan istilah ‘matinee idol’ dalam bahasa Inggris yang artinya: seorang aktor yang karena tampan dan tingkahlakunya menjadi populer di kalangan wanita penggemar nonton bioskop.

62

Page 63: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

penting bahwa saya tidak pernah tahu tentang seorang perempuan seperti yang dideskripsi dalam contoh itu. Suatu deskripsi yang dijadikan contoh dalam pengertian seperti ini (‘contoh’ adalah suatu kata yang multi makna), tidaklah relevan apakah yang dideskripsi itu eksis atau tidak. Ini merupakan salah satu arti dari “menaruh eksistensi didalam kurung” (“bracketing existence”).

Sebaliknya, apabila saya hendak membuat suatu pernyataan umum mengenai obyek inderaan, maka obyek partikular yang terkandung di dalam pernyataan itu harus benar-benar eksis, dan eksis seperti yang dideskripsi.

Perlu diingat bahwa ‘contoh’ itu digunakan dalam berbagai arti. Ada kalanya digunakan untuk menunjukkan satu tahap tertentu (one instance) dalam suatu proses generalisasi empirik; tetapi arti ini bukanlah yang dipakai dalam fenomenologi. Pada kesempatan lain, ‘contoh’ itu sekedar memenuhi fungsi pedagogik. Dikemukakannya cerita tentang perempuan muda dan para lelaki-berambut-merah dimaksudkan semata-mata untuk menyajikan suatu ilustrasi konkrit mengenai kebenaran abstrak yang disimpulkan dari generalisasi empirik, dengan tujuan untuk memudahkan pemahaman mengenai pernyataan abstrak tertentu. Dalam arti ketiga –‘contoh’ yang digunakan dalam fenomenologi adalah dalam arti ini: tiap “contoh” digunakan dalam dua arti, yaitu : (1) sebagai ilustrasi, yang sekaligus (2) memiliki fungsi pembuktian.

Dalam rangka memahami “menaruh eksistensi di dalam kurung” dalam pengertian ini, kita harus mampu menjawab dua pertanyaan: (1) kapan deskripsi dari suatu contoh dapat dinyatakan akurat? (2) bagaimana cara mendapatkan suatu pernyataan fenomenologik dari suatu contoh?

Dalam konteks ini, Husserl berbicara tentang prosedur yang ia namai ‘variasi imajinatif bebas’ (free imaginative variation), yang berpadan dengan apa yang oleh para filsuf Anglo-American dinamai “counter examples”. Dalam pengertian ini, kita mendeskripsi suatu ‘contoh’, kemudian mentransformasi2 deskripsi tersebut dengan menambah (adding) atau menghapus (deleting) satu dari beberapa predikat yang terdapat di dalam rumusan deskripsi . Dengan tiap penambahan atau penghapusan, kita menilai apakah deskripsi yang telah ter-amandemen itu masih tetap dapat dinyatakan mendeskripsi suatu ‘contoh’ dari jenis obyek yang sama seperti obyek yang ‘contoh’-nya diungkapkan oleh deskripsi original.

2 Transformasi adalah perubahan bentuk atau tampilan ke luar dari suatu obyek tanpa terubah nilainya demikian rupa, sehingga dapat dipakai untuk penggunaan baru.

63

Page 64: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Kadang, kita harus mengatakan bahwa apabila kita menambah predikat tertentu pada suatu deskripsi, atau menghapus salah satu predikat yang terdapat di dalam deskripsi yang sama, apa yang kemudian terdeskripsi oleh proposisi yang telah terubah, adalah sebuah ‘contoh’ dari obyek yang lain. Pada waktu yang lain, penambahan atau penghapusan suatu predikat, tidak berpengaruh pada ciri esensial dari jenis obyek yang diterangkan dengan ‘contoh’ yang deskripsinya telah teramandemen.

Dengan cara ini kita menemukan ciri-ciri esensial dan konstan dari suatu jenis fenomen, yang ‘contoh’-nya harus memilikinya, apabila “contoh” trsebut ingin menjadikan dirinya sebagai ‘contoh’ dari jenis ‘fenomen’ yang dimaksud. Kita juga menemukan ciri-ciri mana yang bersifat insidental, dan karenanya tidak relevan dengan pertanyaan apakah obyek termaksud, seperti yang diungkapkan oleh deskripsinya merupakan atau tidak merupakan contoh dari ‘fenomen’ jenis tertentu.3 Apa yang kita temukan adalah apa yang oleh para fenomenolog dinamai muatan khas atau esensi dari obyek.

Sebagai misal, dapat diandaikan kita berjumpa dengan seseorang yang tidak memiliki lima indera seperti biasanya, tetapi hanya tiga: penglihatan, perabaan, dan pendengaran. Kita mungkin sedikit ragu-ragu, tetapi akhirnya kita tetap menamai dia sebagai orang. Hal yang sama akan berlaku, apabila orang itu memiliki tiga inderaan lebih daripada yang normal, indera yang berkaitan dengan rabaan, ciuman, dan rasaan (taste). Dia tetap dianggap sebagai orang. Tetapi, andaikan kita bersua dengan sesuatu yang mirip dengan orang, tetapi agaknya tuli dan buta dan tidak memiliki indera yang berkaitan dengan rabaan, ciuman, dan rasaan (taste). Dia tetap dianggap sebagai orang.Tatapi, andaikan selanjutnya kita menemu suatu makhluk hidup yang mirip manusia kecuali bahwa dia tidak memiliki organ inderaan sama sekali. Apakah, walau bagaimanapun keadaan dia, tetap dinamai manusia? Tidak! Apakah ia itu binatang? Bukan! Tanaman? Tidak juga! Kita tidak memiliki kata dalam bahasa kita bagi makhluk seperti itu. Kita tidak akan tahu untuk mengatakan apa mengenai makhluk itu.

Baru saja, kita telah melakukan variasi dalam imajinasi kita suatu ‘contoh’ mengenai orang dengan bereferensi pada satu predikat, yaitu ‘memiliki organ inderaan’. Hasil dari ‘variasi imajinatif bebas’ adalah pernyataan yang

3 Meskipun ‘fenomen’ dan ‘obyek’ itu menunjuk pada ‘sesuatu’ yang sama, harus difahami perbedaan penggunaannya. ‘Fenomen’ digunakan dalam suatu pernyataan, apabila yang dimaksud adalah fenomen dalam eksistensinya sendiri, seperti apa adanya dia; belum dikenai intuisi oleh subyek. Sdangkan ‘obyek’ adalah fenomen yang telah menjadi sasaran intuisi dari subyek.

64

Page 65: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

mengandung koneksi (relasi) yang demikian esensialnya. Sejak pernyataan mengenai fenomen adalah suatu jenis pernyataan mengenai esensi –dan vice versa-- pernyataan yang dihasilkan oleh prosedur ini adalah pernyataan fenomenologik.Tindak Intensional

Fenomenologi menerangkan secara filsafati bahwa pengetahuan (human knowledge) berkualitas sebagai tindak intensionalitas. Arti dari intensionalitas adalah kearahan pada dan keterbutkaan pada dunia. Pengetahuan itu bukan ‘suatu yang berada di antara dua hal,’ bukan relasi antara realitas yang terpisah, tetapi terlibatnya si subyek itu sendiri di dalam dunia (Husserl, Ideen I:80, seperti dikutip oleh W. Luijpen).

Jadi kebenaran dari pengetahuan manusia itu pada saat dinyatakan oleh subyek yang bersangkutan, ia perlakukan sebagai kearahan pada kebenaran. Kebenarannya sendiri baru akan terbukti oleh realitas yang bersangkutan.Yang dimaksud dengan horizon dari tindak-intensional adalah: jika tindak intensionalitas itu berseri, dan tiap seri tindak intensional berpangkal tolak dari premis, atau nilai, atau suatu kesepakatan bersama, yang sama.

Prosedur diskusi di klas

Untuk itu semua, para peserta pendidikan PSP angkatan ke-3 dianjurkan mempelajari sendiri praktek pendekatan-fenomenologik seperti yang tertulis dalam makalah berjudul “Kebenaran itu apa?”. Dengan bekal pengetahuan tentang kebenaran hasil pembelajaran sendiri, akan diselenggarakan d i s - k u s i antarkelompok peserta. Seluruh peserta dibagi menjadi empat kelompok. Secara berurutan, tiap kelompok-peserta menyampaikan makalah yang berisi uraian (dalam bentuk paparan) mengenai kefahaman-kelompoknya tentang kebenaran hasil dari pendekatan fenomenologik. Tiga kelompok-peserta lainnya memberi tanggapan terhadapnya: bisa berwujud pendapat positif atau berwujud kritik terhadap materi makalah dari kelompok penyaji.

Dengan prosedur yang sama diselenggarakan diskusi, bagi tiga kelompok-peserta lainnya.

Pada tiap akhir diskusi diadakan ulasan oleh pengajar.

Dengan metoda diskusi tersebut, diharapkan para peserta pendidikan PSP angkatan ke-3 benar-benar memahami dan menguasai metoda fenomenologik..

65

Page 66: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Setelah itu, dilakukan praktek melakukan intuisi melalui prosedur: (1) menempatkan eksistensi di dalam kurung (bracketing existence) pelajari makalah berjudul Fenomenologi I, ditindak-lanjuti dengan prosedur (2) variasi imajinasi bebas (free imagination variation), pelajari makalah berjudul Fenomenologi II, untuk mendapatkan unsur-unsur yang bersifat niscaya dan memadai (necessary and proper) dari suatu proposisi fenomenologik. Proposisi fenomenologik ini, karena ia bersifat intuitif, tidak ada hubungannya dengan analisis yang bersifat empirik; artinya tidak bisa dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh nalaran yang diterapkan pada obyek empirik.

Dalam pendekatan fenomenologik ini, dilibatkan pengertian filsafati tentang k o n s e p dari filsuf sekaligus ahli matematika Gottlob Frege, yang ia tulis dalam buku berjudul “Sinn” und “Bedeutung” (Sense and Meaning); dan dilibatkan juga logika system.

2. Logika Sistem

Terdapat sepuluh dalil umum mengenai system, yaitu (1) sistem tersusun oleh nilai, struktur, dan proses, (2) sistem adalah sejumlah bagian (komponen) yang saling berkaitan membentuk suatu seluruhan, (3) seluruhan sebagai wujud dari hirarkhi neo-genetik berada pada jenjang satu tingkat di atas jenjang bagian-bagiannya, (4) antara jenjang-bawah dan jenjang atas terjalin oleh relasi saling tergantung, (5) seluruhan sistem (yang dalam model dilambangkan sebagai jenjang-atas) niscaya merupakan kondisi integrasi dari segenap bagiannya, (6) sistem mempunyai batas dan berada pada lingkungan tertentu, (7) antara sistem dan lingkungan terjadi interaksi timbal-balik, (8) system berorientasi pada tujuan yang diingini (desired output), (9) karena itu, sistem selalu dalam keadaan dinamik, berproses menuju tercapainya tujuan, (10) sistem tidak hanya memperhatikan tingkah laku formal, melainkan juga tingkah laku informal dari bagian-bagiannya.

Relasi antara sepuluh dalil sistem termaksud membentuk logika sistem.

3. Pengertian Tentang Konsep4

Untuk memahami pengertian ‘konsep’, saya menggunakan penerangan filsafati dari Gottlob Frege (1849-1925), seorang matematikus dan filsuf dan

4 Referensi : Paul Edwards, eds, 1967. The Encyclopedia of Philosophy, Volume 3 and 4, Macmillan Inc., USA.

66

Page 67: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

penemu logika matematika modern. Bagian besar dari karyanya adalah mengenai logika-filsafati (philosophical logic). Karya mutakhir dari frege adalah tentang ‘Sinn und Bedeutung’. Pertama kali, Frege menerangkan tentang perbedaan antara Sinn (sense) dan Bedeutung. Terjemahan baku (standard) dari kata Jerman Bedeutung ialah ‘makna’ (‘meaning’); tetapi kebiasaan penggunaan oleh Frege ia artikan sebagai ‘referensi’ (yang ia artikan sebagai kata-benda yang se-asalmula dengan ‘makna’) sebagai ganti kata dari ‘makna’ (‘meaning’) dalam arti apa yang diketahui pada waktu difahaminya suatu pernyataan (expression), digunakan kata ‘signiticance’; jadi ‘signicance’ itu mencakup ‘arti’ (sense) namun tidak bersifat tuntas. Makna (the meaning) dari suatu nama, dalam pengertian Frege, adalah si pengemban nama yang bersangkutan, yang dengan penggunaan nama tersebut, kita bicarakan orang termaksud.

Frege tanpa segan-segan berargumen bahwa eksistensi mengenai sesuatu itu tidak pernah bisa dinyatakan oleh suatu predikat yang memang selalu bersifat tidak tuntas (incomplete) ; dan dalam hal ini, naluri frege adalah benar (correct): karena eksistensi dalam realitas dari entitas seperti itu merupakan hal yang secara salah (misconceived) diketahui oleh predikat.

Suatu gambaran alami adalah sebagai berikut, untuk mengetahui arti (the sense of) dari suatu nama tertentu, adalah mengetahui criteria penentu untuk mengidentifikasi obyek sebagai makna dari nama yang dimaksud; untuk mengetahui arti (the sense of) dari predikat adalah untuk mengetahui kriterium bagi penentuan kebenaran dari tiap obyek acak yang diteliti (any given arbitrary object). Jadi, dalam menentukan nilai-kebenaran (truth-value) dari kalimat subyek-prediket sederhana, kita akan menempuh proses penemuan obyek dimaksudkan oleh nama yang bersangkutan, dan kemudian menentukan apakah predikatnya benar berkaitan dengannya. Dalam hal ini, perlu dilakukan modifikasi pada obyek yang tidak berkualitas sebagai yang berbukti-sendiri (self-evident).

Demikianlah nalaran Frege telah saya kutip sekaligus saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

4. Penutup

Dengan telah dipahami metoda fenomenologik, logika system, dan teori tentang konsep dapat dipaparkan sebagai berikut.

67

Page 68: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

(1)Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung konsep mengenai Mantikan Eksistensi Alam Semesta beserta tiga tesis ontologiknya. Tiga tesis ontologik ini berfungsi sebagai principles we judge by mengenai interrelasi antarkonsep antarsila.

(2)Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengandung konsep mengenai Manusia sebagai Mahluk Berpikir yang melalui tindak intensional dengan memelihara horizon-nya berkualifikasi sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial..

(3)Dengan merujuk pada Mantikan Eksistensi Alam Semesta dan Tiga Tesis Ontologik disertai penerapan logika system pada Sila Ketiga, Sila Keempat, dan Sila Kelima didapatkan berbagai konsep yang terkandung dalam tiap sila Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmad Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Barth, Hans. 1945. Wahrheit und Ideologies, Manesse Verlag, Zurich.

Edwards, Paul. Ed, 1967. The Enclypodia of Phlosophy. USA: Macmilan Inc.

Husserl, Edmund, 1965. Phenomenology and the Crisis of Philosophy, New York, Harper & Row.

Luijpen, W. Prof. Dr, 1967. Nieuwe Inleiding tot De Exixtentiele Fenomenologie. Utrecht: Uitg. Het Spectrum.

-------------

68

Page 69: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

KEBENARAN ITU APA?suatu usaha memahaminya melalui pendekatan fenologik1

berian: Abdulkadir Besar

I. PENDAHULUAN

Pada ujung renungan yang saya lakukan -sebagai seorang pelajar filsafat- selama kurang lebih dua dasawarsa, saya dapatkan suatu tesis-ontologik bahwa: seluruhan integralistik adalah substansi dari segala hal yang ada dalam alam semesta. Tesis ini juga dapat mengungkapkan diri secara lain, yaitu bahwa: tiap hal yang ada dalam alam semesta niscaya merupakan suatu totalitas.

Sesuai dengan peristilahan yang berlaku di lingkungan filsafat, tiap hal yang ada dalam alam semesta itu saya bubuhi nama fenomen, dan saya perlakukan sebagai fenomen seperti apa adanya dia beserta tingkahlaku alaminya. Kemudian (1995), saya menjadi tahu bahwa tesis ontologik tersebut maupun cara memperlakukan fenomen seperti itu, adalah identik dengan dua konsep yang mendasari metoda fenomenologi ciptaan Edmund Husserl (1908), yaitu secara berturutan konsep “totaliteitsvisie op de werkelijkheid” dan “Zu den Sachen selbst”.

“Metoda yang berada di bawah sadar” yang selama ini saya gunakan setiap saya melakukan refleksi-filsafati, kini, bagi saya telah memperoleh bentuknya yang eksplisit, yaitu : metoda fenomenologi yang dicipta oleh Husserl hampir satu abad yang lalu.

METODA FENOMENOLOGI

1 Catatan kuliah pada Program Pascasarjana, Program Pengkajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia Jakarta, dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun akademik 1994-1995

69

Page 70: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Edmund Husserl adalah peletak dasar dari apa yang disebut berpikir fenomenologik. Yang dimaksud dengan ajaran tersebut adalah:

Suatu faham yang menekankan bahwa manusia itu dalam kegiatan berpikirnya harus bersedia untuk dibimbing oleh fenomen-fenomen, oleh gejala-gejala, yaitu: oleh semua hal seperti ia menampilkan diri, mengungkapkan diri, seperti apa adanya; manusia harus berusaha “membaca”, mengertikan, dan selanjutnya memahaminya. Fenomen-fenomen itu dapat dikatakan harus dapat mendesakkan diri demikian rupa pada pikiran manusia, sehingga ia dapat menentukan isi dan arah berpikir manusia, dan tidak membiarkan manusia berbicara seenaknya mengenai dirinya (fenomen itu) dengan risikonya yang melekat: bahwa manusia merancukannya, bahwa manusia tidak mendekati fenomen itu sesuai dengan kekhasannya, tetapi sepenuhnya mengarahkan fenomen ke arah dirinya. Jadi, fenomen-fenomen adalah norma atau kriterium dari kebenaran, bukan si manusia, bukan si subyek yang berpikir.

Sebagai norma dari kebenaran, fenomen itu adalah evidensi; ia adalah realitas apa adanya yang ditujukan pada manusia. Untuk mengetahui dengan pasti bahwa fenomen-fenomen itu benar-benar mendapatkan kesempatan mengungkapkan diri sesuai kekhasannya, si manusia harus memiliki kemampuan mengosongkan diri, yaitu: ia harus melepaskan diri dari semua kearahan pribadi terhadap fenomen yang bersangkutan; menanggalkan semua pola-pikiran sehari-hari yang membuat manusia hanya memikirkan manfaat apa atau kegunaan langsung dari fenomen yang bersangkutan, bagi dirinya.

Manusia harus mengosongkan diri demikian rupa sehingga menjadi manusia-pendengar yang baik. Dilain fihak, semua hal yang dapat menutupi khasan fenomen, juga harus kita tanggalkan; artinya: fenomen-fenomen itu juga kita bersihkan demikian rupa sehingga terungkap intinya. Dalam kenyataannya, hal itu berarti: semua makna historik, semua interpretasi, yang telah dilekatkan oleh orang lain pada fenomen yang bersangkutan di masa lalu, ditaruh di antara tanda kurung ( ….. ). Selain itu, kita harus berusaha melepaskan fenomen-fenomen dari semua hal yang bersifat tambahan (yang tidak penting), agar dengan demikian terbuka peluang bagi suatu pemahaman yang menemsbus sampai ke inti-hakiki dari fenomen, untuk selanjutnya dari inti-hakiki itu dapat difahami secara benar semua hal yang berkaitan dengan

70

Page 71: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

fenomen yang bersangkutan. Hasilnya adalah: terfahaminya hakekat dari semua fenomen yang diperlajarinya.

Cara-pemahaman dan metoda-pendekatan ini di kenal dengan nama metoda fenommenologi. Metoda ini berlaku bagi seluruh kemampuan-mengetahui dari manusia. Dimanapun, manusia sewajarnya mengikuti cara-pemahaman fenomenologik ini, meskipun bagian-bagian atau tahap-tahap berpikirnya tidak selalu secara sadar diterapkan, dan meskipun tidak selalu berakhir pada diketahuinya hakekat dari fenomen yang bersangkutan.

Dengan menggunakan metoda-fenomenologi ini marilah kita berusaha mendapatkan pengetahuan mengenai kebenaran dengan menanyakan pada diri kita sendiri: kebenaran itu apa ?

KEBENARAN ITU APA?

Pokok-pokok dari refleksi-filsafati ini saya angkat dari pemikiran P.Leenhouwers2 yang saya rangkai secara integratif dengan hasil-hasil refleksi saya sendiri.

Sebagai permulaan, akan bermanfaat sekali bila jawaban terhadap pertanyaan-mendasar itu berupa berbagai proposisi yang kualifikasinya mendekati dalil; hal itu akan membuat kita menjadi tahu apa yang sebaliknya kita jadikan pegangan dalam penelusuran lebih lanjut. Wajar apabila kita membutuhkan sejumlah pegangan-kuat yang mampu menghapus segenap nir-pastian (uncertainty), dan mampu membuka kedok berbagai pendapat- dan pendirian palsu.

Pada tingkat pemikiran ini, kita belum bermaksud memperoleh jawaban final terhadap pertanyaan “keadilan itu apa ?”. Pikiran kita masih perlu kita pusatkan pada pertanyaan yang mendahuluinya, yaitu: “apa yang seharusnya kita fahamkan sebagai kebenaran ?, “apa yang menjadikan kebenaran -bila dipilah dari semua hal yang lain- adalah sesuatu seperti apa adanya dia?”, “apa hakekat dari kebenaran ?”. Dengan kata lain, pusat perhatian kita belum tertuju pada kebenaran kongkrit, melainkan pada pemaknaan gejala dari kebenaran itu sendiri, dengan cara menjajaginya, mencarinya dan bahkan dengan menanyainya.

Berbagai arti dari kebenaran.2 DR P.Leenhouwers, “Mens-zijn, Een Opgave”, Uitg.Zwijsen, Tilburg, Nederland, 1970

71

Page 72: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Proses pemikiran kita sebaiknya sejauh mungkin kita tautkan dengan ‘kehidupan” yang kita alami sehari-hari; dari situ kita refleksi “kebenaran itu apa ?”, dimulai dengan pengetahuan sehari-hari kita mengenai kebenaran.Bila kita amati dengan seksama, ternyata bahwa “kebenaran” itu kita gunakan dengan berbagai cara.

Kebenaran dalam kaitannya dengan berpikir, berpendapat, dan berbicara.

Dalam bahasa pergaulan sehari-hari, bila kita sedang berpikir, berpendapat, dan berbicara, yang kita maksud dengan ‘kebenaran” adalah bahwa kita sedang menyatakan sesuatu yang memang berkesesuaian dengan realitas atau fakta. Apa yang kita pikirkan, apa yang menjadi pendapat kita, dan apa yang kita bicarakan, semuanya didukung oleh fakta. Dengan kata lain: kita sedang menyatakan “kebenaran” dalam kualifikasinya sebagai sifat, sebagai kualitas, sebagai kondisi, dari apa yang kita pikirkan, apa yang kita nyatakan sebagai pendapat, dan apa yang kita bicarakan.

Dalam hal ini, “ kebenaran” adalah sifat yang tidak terlekat secara alami pada ketiga apa termaksud, karena kita dapat berbohong, salah-pikir, dan mengemukakan pendapat-salah. Kebenaran adalah kondisi kesesuaian antara tiap apa tersebut dan realitas. Dengan mengetahui hal ini, betapapun sedehananya temuan ini, sesungguhnya kita telah mendapatkan sesuatu yang fundamental, yaitu:

adanya ketergantungan yang sangat jelas yang melekat pada diri manusia pada saat ia berpikir, berpendapat dan berbicara, pada semua hal (fenomen) yang berada di sekelilingnya. Berarti: manusia itu bukanlah penentu “kebenaran”. Dalam berpikir, berpendapat dan berbicara, manusia niscaya menyesuaikan diri pada fenomen di sekelilingnya; ia niscaya menaatinya.

Jadi, “kebenaran” itu bisa dicapai hanya apabila manusia bersedia menuruti, mendengarkan, apa yang diungkapkan oleh fenomen seperti apa adanya dia. Dengan sikap yang demikian, kita sekaligus telah mendapatkan norma yang kita gunakan untuk menilai “kebenaran” dari pendapat, faham, dan semua pernyataan, dari orang lain. Dengan demikian, meskipun manusia itu bukan penentu “kebenaran”, ia tidak tak berdaya berada ditengah-tengah pluralitas pendapat dan teori yang ada.

72

Page 73: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Apa yang kita pikir bermuara pada sebuah pendapat; pendapat itu kita kemukakan kepada orang lain dengan media berbicara. Pendapat itu selalu berbentuk proposisi yang tersusun oleh subyek yang berpredikat tertentu. Karenanya, “kebenaran” itu paling jelas terungkap oleh prosisi. Berkenaan dengan itu, “kebenaran” sebagai sifat itu kia namai kebenaran-propisisif.

Kebenaran dari realitas, dari fakta, dari fenomen

Bila pada waktu berpikir, berpendapat, dan berbicara, kita harus menyesuaikan diri dengan realitas, maka hal itu mengandung niscayaan bahwa realitas itu berfungsi menyatakan sesuatu kepada manusia sang pencari “kebenaran”. Jadi, setiap fenomen yang berada di sekeliling manusia niscaya memiliki muatan khas; bila fenomen-fenomen itu kosong muatan, maka fenomen itu bukanlah sesuatu yang bermakna bagi kehidupan umat manusia, yang akibatnya adalah: manusia dengan cara apapun tidak dapat menyesuaikan diri dengannya; manusia dapat menyatakan segala sesuatu mengenai tiap fenomen, dan dengan cara apapun ia tak dapat dituduh sebagai telah menyatakan sesuatu yang nir-benar.

Dalam keadaan seperti itu, tiap orang secara pribadi menjadi penguasa tunggal terhadap “kebenaran”.

Sepintas lalu, hal ini nampak seperti biasa-biasa saja; tetapi sesungguhnya mengandung konsekuensi yang dasyat, yaitu: bahwa manusia dapat secara subyektif dan seenaknya menentukan muatan dan makna dari tiap fenomen. Berarti: semua fenomen yang ada di sekeliling manusia tak memiliki muatan maupun makna apapun bagi kehidupan semesta; bahwa manusia sama sekali tidak dapat merujuk pada fenomen yang ada di sekelilingnya; dengan demikian, alam semesta menjadi sepenuhnya goyah, tidak dapat dipercaya dan tidak dapat diperhitungkan.

Gambaran dunia seperti itu sungguh bertentangan dengan kondisi spontan kehidupan nyata yang kita alami sehari-hari, sehingga tidak dapat kita terima kebenarannya. Jadi, kita harus menerima bahwa semua fenomen memiliki muatan khas yang bermakna bagi seluruh kehidupan di alam semesta.

Karena tiap fenomen memiliki muatan khas, maka ia bisa menyatakan sesuatu kepada manusia; dan fenomen itu -kita ungkapan secara manusiawi-

73

Page 74: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

“mengharapkan” agar manusia dalam menyatakan pendapatnya, dan berbicara, selalu mencerminkan dirinya sebagai realitas apa adanya.

Dari proses refleksi ini, kita mendapatkan pengetahuan bahwa tidak tergantung pada manusia, pada pikirannya, fenomen-fenomen itu ada sebagai realitas yang memiliki muatan-khas masing-masing; semuanya itu merupakan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan manusia, bahkan bagi eksistesi alam semesta. Pemilikan muatan khas ini atau merupakan sesuatu ini dinamai: kebenaran hakiki. Baru setelah menerima adanya kebenaran hakiki ini, kita dapat berbicara secara bertanggungjawab tentang kebenaran proposisif; dengan kata lain: kebenaran hakiki merupakan prasyarat mutlak bagi adanya kebenaran prosisif.

Dua cara atau dua bentuk kebenaran ini juga sering kita jumpai dengan istilah lain, yaitu:Kebenaran proposisif disebut juga sebagai kebenaran-logik karena ia berada pada tataran pikiran;Kebenaran hakiki disebut juga sebagai kebenaran ontologik karena ia berada pada tataran kehakekatan dari “ada”. (ontos=ada; logos=nalar atau ilmu; ontologi=nalaran atau ilmu tentang “ada”, “the science of being”).

Mengabdi kepada Kebenaran

Hasil refleksi tersebut di butir a dan b menunjukkan bahwa secara hakiki manusia itu tidak mungkin dan tidak boleh menjadi pemikir bebas. Sebagai pencari kebenaran, manusia harus menjadi pengabdi kebenaran, yaitu agar ia dalam berpikir, berdapat dan berbicara, mampu mendapatkan kebenaran, ia harus mengarahkan diri ke kebenaran hakiki. Inilah yang dimaksud bila kita menyatakan tentang obyektivitas dari kebenaran. Dalam mendapatkan pengetahuan dan dalam berpikir, manusia harus berusaha mengambil dan menerima semua realitas seperti apa adanya, seperti apa yang dimanifestasikannya. Pendekatan masalah macam ini, oleh Husserl diistilahkan dengan “pendekatan masalah seperti yang diungkapkan oleh dirinya sendiri (self-giveneess).

Manusia harus memberi peluang dan kesempatan kepada “obyek” (yaitu: segala sesuatu yang mengungkapkan diri, baik yang berupa benda maupun orang) untuk menyatakan muatan-khasnya. Hanya apabila hal ini terjadi -yaitu apabila manusia memiliki kadar obyektivitas yang memadai- kebena-ran dapat dicapainya.

74

Page 75: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Kemampuan-mengetahui sebagai dialog, sebagai proses dinamik antara subyek dan obyek

Kebenaran yang dapat diperoleh oleh manusia dalam ia berbicara, berpendapat dan berpikir, harus merupakan hasil bimbingan dari dan penormaan oleh kebenaran hakiki. Manusia itu -dapat kita katakan- bahwa dalam mencari kebenaran senantiasa “berdialog” dengan realitas, tidak dengan dirinya sendiri. Keadaan ini menunjukkan adanya karakter-dialogik di dalam ‘kemampuan manusia untuk mengetahui’ segala sesuatunya. Hal ini perlu kita pelajari lebih lanjut, karena daripadanya akankita peroleh berbagai faset lain yang akan memperjelas bagaimana berpikir-nya manusia dan bagaimana kebenaran itu didapatkannya.

Pemberian makna oleh manusia

Memang benar bahwa fenomen sebagai realitas memiliki kebenarannya sendiri, memiliki muatan-khasnya sendiri. Tetapi juga sama benarnya bahwa hanya setelah diketahui oleh manusialah muatan-khas itu mendapatkan makna tertentu. Selama manusia belum mengetahuinya, realitas itu bagaikan tak memiliki daya; memang terdapat muatan yang dapat dikenali yang melekat padanya, namun muatan itu masih dalam keadaan tersembunyi dan tertutupi. ‘Kemampuan-mengetahui’ dari manusialah yang sesungguhnya menjadikan realitas itu ‘a d a’, sesuatu ke dalam ‘cakrawala-ada’-nya manusia, dan dengan demikian realitas itu terklasifikasi sebagai sesuatu yang ‘a d a’.

Bagi manusia, realitas itu ‘ada’ sepanjang telah ia konfirmasi sendiri; di luar konfirmasinya, realitas itu baginya tidak ‘ada’.

Pernyataan ini mungkin dirasakan sebagai aneh atau bahkan dianggap berlebihan. Namun sesungguhnya tidak; penyataan tersebut sebenarnya adalah sekedar ungkapan formal mengenai apa yang telah diketahui oleh tiap orang. Arti dari pernyataan tersebut tidak lain adalah: semua hal yang sekarang kita kualifikasi sebagai ‘ada’, sebelumnya niscaya kita ketahui lebih dahulu. Hal ini juga dapat diperjelas sebagai berikut: tiap orang mengalami bahwa tiap mendapatkan pengetahuan baru, tiap menemukan hal yang baru, hal-baru tersebut baru sejak saat itu menjadi ada baginya. Memang, hal-baru itu sebelumnya telah ada -sebab bila tidak, ia tidak akan pernah bisa kita ketahui- namun bagi kita, bagi saya, pada saat itu hal-baru termaksud belum ada. Dengan kata lain, kita tidak dapat berbicara mengenai apapun, kecuali apa yang kita bicarakan itu dengan suatu cara tertentu telah kita ketahui eksistensinya.

75

Page 76: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Pada saat seseorang mengetahui sesuatu, sesuatu itu dia masukkan ke dalam suatu s e l u r u h a n dari apa yang baginya telah ia kualifikasi sebagai ‘ada’. Sesuatu itu ia beri nama, dan dengan demikian sesuatu tersebut terdudukkan dalam suatu susunan dari semua hal yang telah ia ketahui. Dengan duduk-dalam-suatu susunan dan telah-mendapatkan-nama, sesuatu tersebut serta-merta mendapatkan makna tertentu. Jadi, kemampuan-mengetahui dari manusia itu adalah pemberi makna. Sebagai contoh dapat dikemukakan: bila suatu obyek kita beri nama ‘kursi’, maka dengan penamaan itu obyek termaksud tertempatkan dan sekaligus tersusun dalam suatu t o t a l i t a s dunia kehidupan kita, dan oleh kedudukannya yang demkian itu, ia mendapatkan maknanya sebagai: tempat untuk duduk. Makna dan arti dari semua hal lahir dari proses-mengetahui; proses ini berlangsung sebagai dialog: sang realitas mengungkapkan muatan-khasnya, menyatakan apa yang harus ia nyatakan dan manusia sebagai fihak yang lain memberi jawaban dengan ‘kata’, dengan pemberian makna, yang menjadikan realitas yang bersangkutan secara nyata mendapatkan maknanya. Melalui kemampuan-mengetahui dari manusia itulah realitas menjadi ada; realitas itu secara bertahap dibebaskan dari anonimitas; tiap realitas mendapatkan nama.

Apa yang ditanyakan suatu Einstellung.

Husserl menunjukkan lebih lanjut bahwa seberapa lengkap suatu realitas mengungkapkan muatan-khasnya kepada manusia, tergantung pada Einstellung dari manusai yang bersangkutan.

Arti harfiah dari kata Einstellung adalah penempatan, pengangkatan atau institusi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Einstellung adalah seluruhan hal yang diketahui sebagai ada oleh seseorang, dan telah merupakan institusi-pikir yang memberi kemampuan kepada manusia tetapi sekaligus juga membatasinya dalam menentukan ápa yang akan ditanyakan kepada suatu realitas. Bergerak antara kemampuan dan membatasinya dalam menentukan “apa yang ditanyakan” kepada suatu realitas. Bergerak antara kemampuan dan pembatasannya, apa yang bisa diketahui oleh manusia mengenai suatu realitas, tergantung dari apa yang ia tanyakan kepadanya. Realitas itu tidak akan mengungkapkan muatan-khasnya lebih dari apa yang ditanyakan kepadanya.

Pada tiap usaha-mengetahui sesuatu, manusia itu dengan cara tertentu menjumpa realitas tertentu; dalam tiap usaha-mengetahui, manusia itu ibaratnya menanyakan sesuatu kepada realitas; realitas itu akan menjawab sesuai dengan apa yang ditanyakan kepadanya. Meskipun kita tidak selalu sadar, sesungguhnya dalam tiap usaha untuk mengetahui sesuatu, selalu merupakan interaksi antara

76

Page 77: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

pertanyaan dan jawaban. Dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan bahwa realitas itu tidak memberi jawaban yang sama tuntasnya kepada tiap orang. Untuk orang tertentu, suatu realitas lebih bermakna daripada untuk orang lain; akar dari perbedaan ini adalah perbedaan “Einstellung” dari manusia yang bersangkutan; perbedaan mengenai apa yang ditanyakan oleh manusia pada saat ia menjumpai suatu realitas.

Bila perbedaan ini direfleksi lebih lanjut, kita akan menjumpai berbagai aspek dari pendekatan kebenaran, yang sangat mengasyikkan dan penting.

Relativitas Kebenaran

Yang menyolok dari apa yang telah diuraikan sepanjang ini adalah: sifat relatif dari kebenaran. Apa yang dahulu berlaku sebagai b e n a r, sebagai bernilai-tinggi, tak mungkin berubah dan tak terjamah oleh siapapun, kini -meski mungkin belum sepenuhnya ditinggalkan, tetapi sekurang-kurannya- diragukan, dipersoalkan, dijadikan pokok-bahasan dalam diskusi. Kita sering mendapat kesan bahwa ‘tak ada apapun’ lagi yang benar atau pasti, dan tak ada lagi pernyataan yang dapat berlaku mutlak. Bagi sementara orang, dipersoalkannya sifat mutlak dari kebenaran-dalam-konsteks-tertentu dirasakan sebagai melegakan, tetapi bagi yang lain hal itu diartikan sebagai nir-pastian (uncertainty) yang makin menjadi dan menumbuhkan ketakutan dan keresahan: yaitu manusia kehilangan pegangan yang dapat dipercaya.

Bagaimana kita menjelaskan hal ini ? Apakah kita pada masa lalu telah berbuat keliru, yaitu menganggap semua hal sebagai “mutlak”; atau sekarang ini berada pada akhir yang salah karena begitu menekankan pada “relatifitas” ? atau, apabila kebenaran itu berada di tengahnya, kita akan memilih suatu “kompromi yang mudah” ?.

Penjelasannya adalah sebagai berikut ini. Berbagai aspek dari pendekatan-kebenaran seperti yang telah diuraikan di muka, harus kita integrasikan demikian rupa sehingga kita dapatkan suatu proposisi-proporsional yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pertama-tama, kita harus berpegang teguh bahwa ada kebenaran hakiki, yakni bahwa realitas itu memiliki muatan-khas, dan karenanya mampu menyatakan sesuatu kepada manusia-penanya; di lain fihak kita juga tahu bahwa tiap pendekatan-kebenaran berpangkaltolak dari “Einstellung” tertentu; dengan kata lain: apa yang dilepas dari dirinya oleh realitas dan diberitahukan kepada manusia-

77

Page 78: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

penanya sekaligus pencari-kebenaran adalah benar, tak dapat disangkal lagi, jadi tetap benar; karenanya harus diterima sebagai kebenaran mutlak, sebagai kebenaran yang tak dapat ditolak.

Tetapi ‘apa’ yang oleh realitas dikemukakan kepada manusia adalah tergantung pada Einstellung manusia yang bersangkutan, tergantung pada kapasitas-menangkap saat itu. Jadi, realitas itu tak akan pernah mendapat kesempatan mengemukakan muatan-khasnya secara tuntas; realitas itu memiliki lebih banyak aspek dan facet daripada apa yang secara faktual telah “diberitahukan” kepada manusia. Dengan demikian, ‘apa’ yang dapat diketahui mengenai kebenaran, tertentu kan oleh relasi konkrit antara manusia dengan realitas. Relasi inilah yang melekatkan sifat relatif pada pengetahuan kita, pada daya gapai-kebenaran kita, namun semua hal yang bertautan dengan kebenaran yang telah kita peroleh, adalah benar, betul-betul benar, benar yang tak dapat ditolak, yang berarti benar mutlak.

Penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa relatifitas yang melekat pada kebenaran itu sama sekali tidak menyentuh watak dari kebenaran-nya, melainkan sekedar berkaitan: dengan keluasan pengetahuan kita; dengan “apa” yang telah diberitahukan oleh realitas kepada kita; jadi, sekedar berkaitan dengan terbatasnya jangkauan daya-gapai kita terhadap kebenaran. Dengan pemahaman secara demikian, kita menjadi tahu bahwa sifat absolut dan sifat relatif dari kebenaran mengintegrasikan diri menjadi satu kesatuan, tanpa kita terjebak dalam suatu kompromi yang tak bermakna.

Memang ada bahayanya, yaitu bila orang dengan daya-gapai-kebenarannya yang terbatas jangkauannya, dengan pengetahuannya mengenai kebenaran yang relatif; me-mutlak-kan kebenaran yang telah ia dapatkan; bila orang menyamakan apa yang ia ketahui -yang mesti bersifat relatif itu- dengan kebenaran hakiki; bila orang menyamakan pengetahuan-pribadinya dengan semua hal yang oleh umum dikenal sebagai realitas. Berbagai ke-sefihak-an seperti itu dengan sendirinya mengarah ke kepicikan-pandangan, ke kepicikan-sikap-hidup, yang pada ujung menumbuhkan sikap tak toleran terhadap orang lain, menumbuhkan kekakuan dalam berpikir dan berbicara.

Sebaliknya, dengan menyadari sifat relatif yang melekat pada kemampuan-mengetahui dari dirinya, membuat menusia justru menjadi dinamik dalam arti membuatnya terus-menerus sebagai manusia-pencari kebenaran, yang mengetahui dan sekaligus menerimanya bahwa ia tak mengetahui segalanya, namun kesadaran tak mengetahui ini justeru merupakan stimulus untuk memperluas

78

Page 79: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

pengetahuannya, yang akan berdampak memperkaya “Einstellung”-nya. Bagi dia, relatifitas tidak merupakan masalah. Bila kita dapat menerima semua hal tersebut, sekarang juga menjadi tahu bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan, in casu kebenaran yang tuntas dan mutlak.

Faham mengenai teranyamnya keabsolutan dan kerelatifan dari kebenaran (tersebut dimuka) dengan kemampuan-mengetahui dari manusia menunjukkan adanya facet penting yang lain lagi dari pendekatan manusia terhadap realitas, yaitu: w a t a k s o s i a l . Yang dimaksud dengan watak-sosial adalah bahwa manusia itu dalam usahanya mengetahui sesuatu, dalam memperdalam pengetahuannya, (saling) tergantung pada o r a n g l a i n ; atau diungkapkan secara lain: bahwa orang-orang lain itu dapat menyumbang banyak pada usaha seseorang membangun pengetahuannya.

Tiap orang dalam menghadapi realitas selalu berpangkaltolak dari “Einstellung”-nya sendiri; sedang kepada tiap Einstellung, realitas hanya mengungkapkan mutan-khasnya yang tertentu saja sebagai jawabannya (sesuai dengan apa yang ditanyakan). Dengan berinteraksi dengan orang lain, seseorang belajar memperluas “Einstellung”-nya, ia menjadi terdorong untuk memperhatikan kemungkinan melihat realitas secara lain, dan dengan itu pengetahuannya diperdalam dan diperkaya.

Cara kita -sebagai orang yang hidup pada jaman sekarang- memahamkan serba realitas yang ada, sesungguhnya tertentukan oleh apa yang kita pelajari dari “Einstellung” dari generasi sebelumnya; demikian juga “Einstellung” yang dimiliki oleh tiap individu adalah buah dari lingkungan sosialnya.

Bahwa tiap realitas itu memiliki muatan yang lebih daripada yang diketahui oleh manusia pada suatu saat tertentu, Husserl memperjelas dengan menyatakan adanya dua cakrawala yang terkandung di dalam realitas. Berikut ini pendapatnya:

Semua hal yang kita jumpai banyak memiliki dua buah cakrawala, yaitu “cakrawala-dalam’ dan “cakrawala-luar”; bila kita mengetahui sesuatu, kita akan mengalami sendiri bahwa sesungguhnya masih banyak yang bisa kita bicarakan mengenai sesuatu termaksud; bahwa masih dapat diperdalam lebih lanjut; bahwa pengetahuan kita senantiasa mengandung rujukan yang mengarah “ke-dalam”, mengarah ke pengetahuan yang lebih hakiki, yang lebih mendasar dari hal atau orang yang dipersoalkan;

79

Page 80: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

dan bersamaan dengan itu kita menjadi sadar bahwa semua hal bertautan dengan sumua hal yang lain, bahwa hal yang satu terkait dengan hal yang lain, bahwa dalam kenyataannya ada “cakrawala-luar”.

Dengan kesadaran ini, manusia terundang untuk mencari lebih lanjut dengan jalan menyingkap cakrawala, untuk mengindentifikasi tempat-kedudukan dari pengetahuan mengenai sesuatu yang telah dimilikinya, dalam seluruhan keterkaitan antar semua pengetahuan yang saling bertautan. Dengan duduk dalam suatu keterkaitan itu; pengetahuan mengenai sesuatu hal tersebut mendapatkan kebenarannya yang maksimum.

Multi-demensionalitas dari kebenaran.

Tergantung pada “Einstellung” yang bersangkutanlah apa yang diungkapkan oleh realitas mengenai muatan-khasnya. Kecuali cara pendekatan yang bersifat sangat pribadi dan bernuansa tertentu, kita dapat membedakan beberapa jenis institusi yang dapat dikatakan konstan, yang dapat kita gunakan untuk memilah-milah “dunia-pengetahuan” dan “kemungkinan-mengetahui” dari manusia.3

Bentuk-bentuk mengetahui tersebut pada ujungnya dapat dikembalikan pada adanya perbedaan Einstellung; cara mengetahui realitas yang kita tempuh dalam kehidupan sehari-hari menggunakan pendekatan yang lain daripada bila kita sedang melakukan kegiatan ilmiah, juga lain dibandingkan dengan pendekatan yang digunakan oleh seorang filsuf dalam merefleksi realitas; demikian juga lain dari pendekatan oleh seorang yang berpangkaltolak dari suatu keyakinan tertentu, ingin mendapat jawaban mengenai berbagai hal.

Realitas itu membiarkan diri ditanya oleh menusia melalui beragamcara, dan tiap jawabannya mengungkan dimensi tertentu dari dirinya. Bersesuai dengan “lapisan-lapisan” dari kemampuan-mengetahui manusia, realitas memberi jawaban padanannya yang berlapis-lapis pula. Kebenaran-hakiki mengenal berbagai d i m e n s i , mengandung muatan yang sangat kaya sehingga membuka peluang terjadinya pertanyaan maupun penelitian yang kontroversial terhadap dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa: manusia tidak akan pernah

3 Dalam filsafat dikenal empat kemungkinan-mengetahui yang dapat ditempuh:(1) mengetahui secara pra-ilmiah seperti yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,(2) mengetahui secara ilmiah, (3) mengetahui secara filsafati, dan (4) mengetahui secara teleologik.

80

Page 81: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

mendapatkan kebenaran yang tuntas dengan hanya melalui satu cara; begitu pula seluruh “kemampuan-mengetahui’ manusia tak akan pernah dapat diwujudkan dengan hanya menggunakan salah satu bentuk-mengetahui saja. Maka dari itu kita dapat mengerti bahwa dalam mengetahui itu muncul apa yang kita kenal dengan s p e s i a l i s a s i , yang menunjukkan bahwa orang yang satu lebih terpanggil dan tetarik pada bentuk -mengetahui tertentu, pada dimensi tertentu dari realitas; sedang orang lain lebih memperhatikan pada- dan lebih berkemampuan menggunakan bentuk-mengetahui yang lain.

Selain itu, juga menjadi jelas bagi kita bahwa seharusnya terjadi kerjasama antara berbagai pendekatan terhadap realitas termaksud.

Hanya di dalam dan melalui kerjasama, semua kebenaran yang didapat melalui berbagai pendekatan itu mampu mengungkapkan diri dalam interelasi yang tepat. Bila hal itu tidak terjadi, maka risiko yang mengikuti adalah: tiap spesialis memutlakkan konsepnya sendiri yang berarti tidak memberi peluang bagi kemungkinan lain. Kita menjadi tahu bahwa bahaya sefihakan tidak merupakan hal yang fiktif, tetapi nyata; bahkan tak hanya dalam arti bahwa ilmu itu dianggap mampu menjawab semua persoalan yang dihadapi manusia, melinkan juga dalam arti: bahwa dalam pagelaran ilmu, tiap jenis ilmu berperilaku dengan mandirinya sehingga kurang bersedia merelatifkan diri dalam kaitannya dengan ilmu lain. Kondisi seperti ini niscaya mengarah ke gambaran yang buram mengenai realitas, juga mengenai manusia itu sendiri.

Berkenaan dengan itu, nyata-nyata perlu dilakukannya refleksi fisafati mengenai manusia. Melalui refleksi, manusia dapat mengetahui dirinya secara lebih mendalam, yang akan menggerakkannya untuk bertanya lebih banyak mengenai dirinya ketimbang apa yang telah diangkat menjadi teori oleh ilmu.

Kebenaran sebagai masalah yang tak pernah terjawab sempurna.

Perjumpaan antara manusia-penanya dan ralitas tidak pernah berakhir, karena perjumpaan itu sendiri tak akan pernah berhasil mengungkapkan kebanaran-hakiki dalam kualitasnya yang utuh. Manusia akan mengalami sendiri bahwa realitas itu senantiasa bersedia mengungkapkan lagi hal yang lain daripada apa yang telah diketahuinya. Tiap jawaban terhadap suatu pertanyaan selalu membawa serta pertanyaan baru yang mengandung atau menantang manusia untuk mencari jawaban lebih jauh lagi. Dengan perluasan jawaban itu hal telah diketahui mendapatkan penerangan baru; dengan kata lain, di dalam mengetahui sesuatu terdapat dinamika yang mengasyikkan.

81

Page 82: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Prof. Dondeijne memperjelas gerak internal dari proses mengetahui ini seperti yang saya kutip berikut ini:4

Dalam kaitan ini, perlu kita perhatikan bahwa kita tidak hanya terlibat dengan tak-tuntasan horisontal (horizontale onvotooidheid) melainkan juga dengan yang vertikal. Tidak hanya tersedianya tempat bagi berbagai temuan baru yang membuat cakrawala dunia-kebenaran kita makin menjadi luas, melainkan juga dengan tak-tuntasan vertikal yang memungkin didapatkan juga kebenaran yang lebih mendalam, yang disebabkan oleh: tak ada sesuatupun -dalam arti tertentu- yang mendapatkan jawaban tuntas sempurna. Segenap pengertian maupun asas yang kita pegunakan, termasuk yang kita anggap sebagai hal: yang fundamental, yang tidak diragukan, yang dengan sendirinya kita anggap benar, membuka peluang bagi pemasalahan baru, bagi perenungan lebih lanjut, bagi penggalian lebih dalam, dengan akibatnya bahwa pengetahuan manusia itu tak hanya maju secara horisontal berkat adanya temuan baru, melainkan juga secara vertikal atau lebih tepat lagi melalui gerak spiral, karena pengetahuan itu secara teratur mengecek dirinya kembali pada asas-asas pertamanya (yang merupakan pangkaltolaknya), dan kemudian -seolah-olah- memperbaharui dirinya berdasarkan asas-asas tersebut.

Dalam pengertian yang dikemukan oleh Dondeijne termaksud, manusia dituntut untuk bersikap sabar; manusia harus mampu menenggang dirinya sendiri maupun orang lain, karena realitas itu tidak dapat diketahui oleh manusia secara tuntas, dan karena manusia hanya mampu maju setapak demi setapak dalam membuka tabir realitas. Nir-sabar justeru merupakan ‘institusi’ yang tidak memberi perluang bagi realitas untuk mengungkapkan diri secara bertahap; keinginan untuk sekaligus mengetahui, justeru membuat manusia tak mampu menangkap kebenaran yang saat itu diungkapkan oleh realitas, bahkan melihat sebagai hal yang tidak penting.

MANUSIA SEBAGAI PENCARI KEBENARAN

4 Prof. A. Dondeijne, Geloof en Wereld, Patmos, Antwerpen, 1962, p.153.

82

Page 83: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Mengapa manusia itu -mengapa saya ini- begitu intens mencari kebenaran ? Mengapa pencarian kebenaran itu hampir merupakan hasrat-birahi bagi manusia ? Apa yang dilihat oleh manusia mengenai kebenaran itu dan apa yang diharapkan darinya ? Inilah pertanyaan yang penting, karena pertanyaan-pertanyaan ini justeru mencari jawaban mengenai: bagaimanakah relasi antara manusia dan kebenaran.

Kebenaran dan desain-diri manusia.

Dalam filsafat modern, hidup subur suatu pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu merupakan persoalan, bahwa manusia itu belum tuntas mengetahui dirinya, bahwa manusia itu justeru mendapatkan tugas untuk --dalam kebebasan dan tanggungjawab pribadinya-- memberi watak pada eksistensinya, memberi isi yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga hidupnya benar-benar bermartabat dan bermanfaat bagi lingkungannya. Dalam perspektif inilah kebenaran itu menunaikan peranannya yang mendasar.

Kebenaran membuka tabir realitas.

Di dalam dan melalui kebenaran manusia belajar mengenai semua hal: ia menjadi tahu dengan apa ia berrelasi, ia menjadi tahu kapan ia seharusnya berinteraksi dengannya; manusia menjadi mampu melihat sosok dirinya yang sebenarnya. Kebenaran-lah yang mengatakan ‘apa’ dan ‘bagaimana’ realitas itu ‘sebenarnya’; ia membuka tabir dari semua realitas meskipun kebenaran itu tidak pernah tuntas sempurna. Dari itu, kebenaran -dapat dikatakan- bekerja bagaikan sejenis sinar-penerang: ia menyinari segala hal, menghapus semua bayang-bayang ke-tak-jelasan yang menutupi tiap realitas, dan membiarkan realitas menampakkan wajahnya yang sebenarnya. Dalam pengertian itu, dapat dikatakan bahwa kerja kebenaran adalah “membebaskan”: ia menyingkirkan segala ke-tak-tahuan manusia mengenai realitas yang sebelumnya tidak ia kenal muatan-khasnya.

Bagi manusia yang sedang menhadapi persoalan “siapa dirinya”, kebenaran yang bekerja “membebaskan” itu, sangat mendasar peranannya dalam ia memberi isi pada eksistensinya sendiri yang memadai sekaligus dapat diterima oleh khalayak lingkungannya. Kita dapat merenungkan; bagaimana manusia dapat memecahkan perosalan termaksud bila ia sebelumnya tidak tahu kemanusiaan itu apa; bila ia tidak tahu apa yang diharapkan darinya sebagai manusia; bila ia tidak tahu seberapa jauh orang lain dan segenap realitas yang ada di sekelilingya memberi sumbangan positf pada perkembangan dirinya.

83

Page 84: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Berkat kebenaran-lah manusia memulai hidup bagi dirinya, tetapi serentak dengan itu segenap realitas yang ada di sekelilingnya juga memulai hidup bagi dia. Dengan cara yang demikian, kebenaran mencipta i k l i m - h i d u p , yaitu: manusia individu mengetahui siapa dirinya sekaligus tahu apa yang harus ia perbuat dalam kebersamaanya dengan yang lain.

Kebenaran dan kebebasan.

Dari iklim-hidup yang demikian, segera mencuat pertanyaan: bagaimanakah relasi antara kebenaran dan kebebasan ? Jawabannya jelas bahwa kebenaran berrelasi dengan kebebasan, yaitu; kebenaran itu menerangkan dan mengiring5

kebebasan. Manusia itu harus tahu ke arah mana kebebasan itu harus ia kembangkan: apa yang harus ia pilih; dalam situasi konkrit, apa yang harus ia anggap sebagai baik, dan karenanya ia manfaatkannya; apa yang harus ia anggap sebagai jahat dan karenanya harus ia tinggalkan.

Kebebasan manusia itu diikat oleh kebenaran, dalam ari: bahwa kebenaran membuat manusai menjadi jelas apa yang harus ia perbuat bila ia ingin konsekuen mengaktualkan dirinya. Tetapi serentak dengan itu, kebenaran juga membuka peluang bagi manusia untuk bersikap “tidak”, utnuk penolakan, untuk pilihan yang salah. Dengan kata lain, kebenaran tidak melakukan paksaan terhadap kebebasan, justeru menghormatinya. Disinilah justru terletaknya kemungkinan untuk ‘berbuat salah’, untuk ‘berbuat dosa’: manusia tahu harus berbuat begini, tetapi ia mimilih -bertentangan dengan pengetahuan tersebut- berbuat begitu. Kita menjadi tahu bahwa dalam diri manusia terdapat ketegangan antara “mengetahui” dan “mengingini”; dalam hal memilih yang salah maupun bebuat dosa, keseimbangan antara keduanya terpatah.

Kebenaran sebagai seruan.

Kebenaran itu ingin lebih dari sekedar diketahui. Ia ingin menerapkan pengaruhnya pada eksistensi manusia, ia ingin membimbingnya, ia ingin mengorientasikannya ke arah tertentu: dengan kata lain, ia merupakan s e r u a n .Kebenaran ingin diwujudkan.

Apabila kebenaran betul-betul ingin membimbing manusia, membebaskannya, dan mengarahkan, maka ia harus ditaatinya. Bila manusia 5 sesungguhnya katakerja dalam bahasa Jawa ndherekaken yang kandungan maknanya adalah “mengiring

secara aktif-positif” lebih tepat untuk mengungkapkan relasi ini.

84

Page 85: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

hanya sekedar mengetahuinya, maka belum terjadi apa-apa dalam hidupnya; dia belum mengayunkan langkah untuk memberi makna pada aksistensinya sesuai dengan berbagai perspektif yang telah di buka oleh kebenaran. Pemberian makna tersebut hanya bisa terjadi, bila manusia menetapkan tekadnya: merealisasi kebenaran, melaksanakan kebenaran. Dengan kata lain: kebenaran berseru kepada manusia untuk mentrasformasi segala kebaikan yang telah diajarkan menjadi kenyataan. Selama seorang dokter (sebagai misal) mendiamkan pengetahuan mengenai penyebab dari suatu penyakit, tidak menyusun suatu diagnosis, dan tak melakukan terapi pengobatan untuk meniadakan atau sekurang-kurangnya memperlemah kinerja penyebab termaksud, maka pengetahuan tersebut belum berfungsi; pengetahuan itu tak membawa kemajuan apa-apa.

Memang, hal tersebut tak berarti bahwa manusia harus mewujudkan semua kebenaran; ia harus menentukan sendiri kebenaran yang mana yang baginya demikian penting sehingga harus ia wujudkan. Kebenaran yang mana, tergantung pada idea tentang kepribadian dirinya yang ingin ia tampilkan. Penentuan kebenaran yang dianggap penting, adalah “tugas” dari hatinurani. Hatinurani itu dapat dikatakan sebagai ‘organ penilai” yang ada di dalam diri manusia, yang menyusun semua hasil pilihannya ke dalam satu citra-ideal yang utuh, yang diinginkan oleh manusia yang bersangkutan.

Kebenaran sebagai embanan (mission).

Kebenaran menghendaki diwujudkan. Kehendak yang demikian itu membawa serta suatu moralitas: bahwa manusia seharusnya berusaha agar kebenaran-kebenaran yang telah dialaminya sendiri daya-bimbingannya, meneruskannya kepada orang lain, mendorong mereka untuk juga melaksanakan kebenaran, dan dengan begitu mampu memberi makna kepada eksistensinya. Bila orang telah mengalami kebaikan dari kebenaran, seyogyanya ia membagi kebaikan itu dengan orang lain. Kebenaran itu berwatak s o s i a l , dalam arti: bahwa ia diperuntukkan untuk s e m u a orang. Manusia tidak boleh memaksakan kebenaran, karena kebenaran justru menghendaki penerimaan sukarela ke dalam desain eksistensi. Manusia harus menggambarkan kebenaran demikian rupa sehingga ia sendiri berdaya mengundang orang lain; dengan kata lain, kebenaran harus disajikan sebagai hal yang telah teruji, sehingga orang lain segera menangkap nilai positif-nya bagi kehidupan manusia.

85

Page 86: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

SESATAN

Sesungguhnya di latar-belakang dari seluruh uraian yang telah dipaparkan di muka, secara implisit, tak sadar, dan tidak terkatakan, telah kita dapatkan gambaran mengenai apa ‘sesatan’ itu. Namun, agaknya tetap bermanfaat untuk dikemukakan beberapa catatan penting mengenainya.

Hakekat dari sesatan.

Secara sangat umum, s e s a t a n dapat kita deskripsi sebagai: berpikir, berpendapat, dan berbicara, yang tak sesuai dengan realitas, tak sesuai dengan kebenaran hakiki. Jadi, sesatan adalah sifat dari kemampuan-mengetahui manusia; dalam hal terjadi sesatan, “pengetahuan” yang tertangkap dari realitas bukanlah muatan-khasnya atau tak tertangkap secara benar. Manusia sebagai makhluk berpikir, bahkan bisa tak terampil dalam mengalami sesatannya sendiri. Ia bisa saja tersesat-yang-tak-berdosa, sehingga terhadap terjadinya sesatannya itu sendiri maupun dalam penilaian mengenai dampaknya, merupakan unsur yang meringankan.

Meskipun sesatan itu merupakan kesalahan-pikir dari manusia, ia tidak dapat dikatan sebagai kesalahan-moril. Waktu kita membicarakan kebenaran proposisif, kita telah menjadi tahu bahwa ia mempersyaratkan adanya ‘kebenaran-hakiki’ (pagina 6-7). Tanpa adanya kebenaran-hakiki tidak mungkin ada kebenaran proposisif. Karena itu, sesatan tak mungkin terjadi terhadap kebenaran hakiki; realitas tidak mungkin sesat, ia adalah apa adanya ia. Dengan kata lain, realitas itu menempel pada manusia. Sebagai contoh dapat dikemukakan: kita tidak mungkin menyatakan bahwa “gigi palsu” itu ada (eksis). Apa yang kita namai “gigi palsu” adalah justeru bukan gigi, tetapi ia membangkitkan kesan bahwa ia adalah “gigi”. Sebagai benda partikular, ia adalah materi yang dibuat berbentuk mirip sekali dengan gigi.

Dayagoda dari sesatan.

Berpegang teguh pada temuan kita bahwa kebenaran itu bekerja membebaskan manusia (pagina 20), sekarang kita menyatakan bahwa: sesatan t i d a k membebaskan, tetapi justeru membelenggu manusia; membuat manusia bersikeras pada sesuatu yang tidak berguna baginya. Kenyataan menunjukkan

86

Page 87: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

bahwa sesatan itu sering memancarkan pengaruh yang menggoda. Manusia sering dipengaruhi oleh keinginan dan kebutuhan sesaat, yang dayatariknya lebih besar daripada apa yang sebelumnya merupakan ideal baginya. Sesatan itu seringkali menyatakan sesuatu sebagai “benar” dan “bernilai”, yang “bermanfaat” atau “menyenangkan” ; tidak memper-syaratkan modal besar maupun kerja keras untuk mendapatkannya; dengan kata lain, dalam terjadinya sesatan berlaku norma dan kriteria lain daripada kebenaran hakiki; yang menjadi ukuran normatif adalah ke-pragmatis-an dan kesempatan yang terbuka.

Jadi, keterbukaan, kesediaan yang jujur untuk menerima realitas seperti apa adanya dia, niscaya merupakan prasyarat untuk sampai pada k e b e n a r a n.

Sikap praktis menghadapi “orang-orang tersesat”.

Bila terjadi pada tataran pandangan-hidup, sesatan itu oleh orang lain dengan sendirinya dikutuk, yang berakibatkan memojokkan orang tersesat yang berangkutan. Dalam hal ini sikap hati-hati dan kejujuran sangat dianjurkan.

Kita jangan tergesa menilai bahwa pendapat orang lain itu nyata-nyata salah, sama sekali tidak dapat diterima. Disamping adanya perbedaan, selalu ada titik temu dengan pendapat kita; merujuk pada titik temu termaksud sekaligus berpangkaltolak darinya dalam berinteraksi dan berdiskusi adalah lebih bermanfaat, lebih membangun, daripada mengaksentuasi perbedaan maupun pertentangan pendapat yang ada. Selain itu, kita harus ber-praanggapan bahwa orang lain itu mempunyai tujuan yang baik; tidak ada seorangpun yang sesat dengan tujuan untuk tersesat. Menghormati tujuan yang jujur dari orang lain, membuat kita menjadi berani mengakui kebenaran yang diajukan oleh orang lain, sekaligus berani mengakui kesalahan sendiri.

Memang kita harus menjaga agar jangan sampai keyakinan kita yang benar kita rongrongi sendiri dengan terlalu terpaku pada tujuan yang baik dari orang lain itu. Jadi sikap yang memadai dalam menghadapi orang yang tersesat adalah: tetap berkeyakinan kuat bahwa: dari orang tersesat yang jujur, kita dapat belajar banyak.

Rangkuman

Kita telah mempelajari metoda fenomenologi yang bila kita gunakan akan mejaga kita pada jalur kebenaran hakiki (I). Dengan menggunakan metoda termaksud, kita telah menanyakan pada diri kita sendiri “kebenaran itu apa ?”,

87

Page 88: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

apa bentuk-bentuknya, bagaimana saling kaitannya dan berdasarkan itu, kita telah menjadi tahu bahwa proses mengetahui itu bersifat dialog dengan realitas (II). Selanjutnya kita telah membuat sketsa mengenai relasi yang ada antara manusia dan kebenaran, dengan berpangkaltolak dari premis bahwa “manusia adalah pencari kebenaran” (III). Di akhir pembicaraan, kita telah memperhatikan beberapa catatan penting tentang sesatan (IV).

Jakarta, 4 Juni 1995.

88

Page 89: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

F E N O M E N O L O G I (1) *)

MENGINTUISI MUATAN KHAS.

Pernyataan fenomenologik memiliki tiga ciri :(1) Pernyataan fenomenologik adalah nonempirik;(2) Pernyataan fenomenologik adalah deskriptif;(3) Pernyataan fenomenologik itu mendeskripsi fenomen.

Tiga ciri ini masih menyisakan persoalan, yaitu belum disepakatinya di antara fenomenolog mengenai rakitan kondisi (the set of conditions) yang niscaya ada pada tiap hal untuk bisa dikualifikasi sebagai fenomen. Berikut ini akan dikemukakan berbagai kondisi yang diajukan oleh para fenomenolog, dimulai dari yang sederhana dan berlanjut ke yang lebih rumit, pada saat kondisi yang sederhana dinilai menjadi nir-lengkap.

Kriterium dari lengkapnya rakitan niscayaan kondisi ini adalah: bahwa tiap rakitan kondisi yang dipersyaratkan bagi tiap hal untuk bisa dikualifikasi sebagai fenomen, sekurang-kurangnya adalah konsistensi dengan syarat pertama dari ‘pernyataan fenomenologik’, yaitu bahwa rakitan kondisi itu bersifat nonempirik. Karena itu, rakitan kondisi yang mendasari setiap hal agar hal yang bersangkutan bisa dikualifikasi sebagai fenomen, harus jelas-jelas menghapus tiap kemungkinan fenomen itu bisa dideskripsi dengan pernyataan empirik.

Spesifikasi sederhana mengenai fenomen yang diajukan oleh para fenomenolog pertama, hanya ada dua kondisi :

(1) fenomen adalah muatan khasnya atau esensi-nya;(2) fenomen dapat diketahui hanya melalui intuisi.

Alasan untuk mengidentifikasi fenomen melalui muatan khas-nya adalah imperatif. Seperti telah diketahui, ada suatu entitas yang dengannya pernyataan-pernyataan dalam fenomenologi dinyatakan benar atau salah. Entitas (atau fenomen) ini bukanlah obyek partikular yang dapat diketahui melalui indera * ) Angka (1) menunjuk pada kuliah lanjutan pertama setelah klas selesai berdiskusi tentang ‘Kebenaran Itu

Apa?’.

Catatan kuliah pada Program Pascasarjana, Program Pengkajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia Jakarta dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, thn akademik 1999-2000

89

Page 90: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

seperti yang dengannya pernyataan-pernyataan empirik dikonformasi atau tidak dikonformasi. Sulihan dari (instead of) ini, para fenomenolog menandaskan bahwa yang membenarkan atau tidak membenarkan tiap pernyataan fenomenologik adalah ciri-ciri yang niscaya dan permanen dari obyek. Fenomenologi menandaskan bahwa tanpa ciri-ciri yang demikian, suatu obyek tidak dapat dinyatakan sebagai obyek seperti apa adanya dia. Ciri-ciri umum dan permanen dari obyek itu oleh para filsuf lain, dinamai esensi. Para fenomenolog juga berbicara tentang esensi.

Pada masa lalu, banyak filsuf yang berpendapat bahwa pernyataan mengenai

esensi adalah pernyataan empirik, yang didapatkan dengan membandingkan sejumlah contoh dari satu tipe obyek, kemudian diekstraksi (dicuplik) satu ciri yang sama yang terdapat pada deskripsi dari semua contoh tersebut, sekaligus diabaikannya ciri-ciri lainnya yang berbeda satu sama lain. Proses seperti ini dikenal dengan nama abstraksi. Pernyataan hasil proses abstraksi itu, karena ia tergantung pada deskripsi dari kasus partikular, maka ia adalah pernyataan empirik. Sedangkan pernyataan fenomenologik itu dengan alasan yang telah diterangkan di muka, bukanlah pernyataan empirik. Menurut para fenomenolog, pernyataan fenomenologik itu diangkat dari pemeriksaan seksama terhadap kasus pertikular melalui proses intuisi terhadap muatan khasnya.

Pengidentifikasian fenomen sebagai muatan khas itu membawa kita satu langkah lebih dekat ke tujuan dari usaha mengklarifikasi suatu cara khas dalam melihat obyek yang mengungkapkan dirinya sebagai fenomen.

Ciri khas dan partikular ini, kemudian diakui oleh dunia filsafat sebagai salah satu species dari intuisi. Fenomenologi adalah suatu bentuk intuisi dan karenanya terlekati dengan reputasi negatif dari semua intuisionisme, yaitu suatu anggapan bahwa intuisionisme itu tidak lebih dari penyembunyian suatu penolakan untuk memberi bukti mengenai kebenaran suatu pernyataan filsafati seseorang. Memang, penganggapan termaksud ada kalanya dapat dibenarkan. Intusionisme itu dapat ditolak h a n y a apabila filsuf yang bersangkutan tidak bersedia memberi argumentasi mengenai sifat hakekat dari intuisinya, atau memaparkan justufikasinya mengapa ia menggunakan intuisi dalam merefleksi persoalan yang dihadapinya. Sikap para fenomenolog terhadap intuisi tidak berjenis seperti itu. Berhubung dengan itu, perlu dan harus dijelaskan lebih lanjut mengenai intuisi.

Intuisi adalah istilah dalam psikologi. Padanannya dalam bahasa Jerman adalah Anschauung, yang artinya tidak lebih dari “melihat”. Obyek yang “dilihat”, dalam arti yang biasa adalah obyek empirik. Muatan khas itu bukan

90

Page 91: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

obyek empirik , karenanya tidak dapat dilihat dalam pengertian “melihat” yang biasa. Jadi, intuisi adalah suatu jenis luar biasa dari melihat. Khalayak bisa berpendapat bahwa para fenomenolog telah menemukan satu jenis kemampuan kognitif manusia yang baru, di luar yang selama ini telah diketahui; tetapi penemuan kemampuan-aktual manusia itu dengan sendirinya terdudukkan dalam pernyatan empirik. Para fenomenolog sama sekali tidak akan pernah membuat pernyataan empirik, dan dengan demikian mereka tidak bisa mengaku –dan memang tidak pernah mengaku- telah menemukan suatu kemampuan kognitif manusia, yang sebelumnya tidak diketahui.

Tujuan dari pengintroduksian intuisi bukan psikologik, tetapi epistemologik. Digunakannya intuisi t i d a k dimaksudkan untuk membuat suatu pernyataan psikologik mengenai asamula kausal dari suatu pernyataan tertentu, t e t a p i pernyataan epistemologik itu mengenai jenis bukti yang relevan dengan pernyataan tersebut. Menyatakan bahwa kita mengetahui muatan khas melalui intuisi adalah sama dengan menyatakan secara negatif ahwa benar atau salahnya suatu pernyataan mengenai muatan khas tidak tergantung pada kebenaran mengenai pernyataan empirik.

Penggunaan intuisi menghasilkan hal positif lain; yaitu suatu makna epistemologik: pengetahuan kita mengenai muatan khas itu selain memiliki ciri epistemologik, juga kita dapatkan dari penginderaan obyek partikular. Ciri logik ini, seringkali dideskripsi dengan mengatakan bahwa yang saya lihat diungkapkan dengan pernyataan yang men-sahihkan sendiri (self validating statements). Suatu pernyataan “P” mengenai obyek partikular itu men-sahihkan sendiri apabila bukti terkuat yang dapat kita bubuhkan padanya adalah suatu pernyataan seperti : “Saya melihat sendiri bahwa P” atau “Saya telah amati bahwa P”. Dengan demikian kita tidak bisa menyetakan bahwa : “P” adalah benar karena ada pernyataan lain yang benar, misalnya “Q”, yang “P” dapat dideduksi darinya yang tidak sama dengan “P”. Pernyataan mengenai muatan khas itu men-sahihkan sendiri dalam arti yang seperti tersebut di muka. Pernyataan mengenai fenomen apapun, misalnya pernyataan “E”, dengan bentuk :

“…….” adalah muatan khas dari ………”,

kita tidak bisa menyatakan bahwa “E” itu benar karena ada pernyataan lain yang benar, yaitu “F”, yang tidak ekuivalen dengan “E” dan darinya dapat dideduksi “E”.

91

Page 92: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Memang betul, bahwa mengenai eksistensi suatu obyek partikular itu dapat dideduksi dari pernyataan lain, dan sama betulnya bahwa suatu pernyataan mengenai muatan khas dapat dideduksi dari pernyataan lain. Tetapi deduksi seperti itu tidak menghasilkan bukti yang lebih kuat bagi pernyataan empirik atau pernyataan mengenai muatan khas, seperti yang disajikan oleh pernyataan yang men-sahihkan sendiri.

Pernyataan fenomenologik itu tidak didapatkan melalui abstraksi dari sejumlah pernyataan partikular, karena apabila demikian, ia tidak akan berkualifikasi sebagai pernyataan yang men-sahihkan sendiri. Tetapi pernyataan fenomenologik bukan satu-satunya pernyataan yang bersifat men-sahihkan sendriri; pernyataan empirik pun juga men-sahihkan sendiri. Suatu penjelasan yang kuat mengenai fenomen harus menyertakan lebih lengkap daripada apa yang diungkapkan oleh fenomen melalui intuisi muatan khas ; kita harus mempelajari lebih lanjut intuisi ini untuk mengklarifikasi dalam hal apa ia berbeda dari melihat dengan cara biasa suatu obyek dengan pengamatan indera.

---------------------

92

Page 93: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

F E N O M E N O L O G I (2)

MENARUH EKSISTENSI DI DALAM KURUNG:

VARIASI IMAJINATIF BEBAS

Dalam kerangka pemahaman makna dari intuisi, perlu diketahui lebih lanjut kondisi yang bagaimana yang dipersyaratkan bagi suatu obyek untuk bisa dikualifikasi sebagai fenomen. Meskipun tidak semua fenomenolog sependapat mengenai kondisi berikut ini, tetapi Husserl, Pfander, Reinach, dan Scheler, memperlakukannya sebagai hal yang niscaya. Mereka menyatakan: “kita berada dalam posisi untuk mendeskripsi obyek s e b a g a i fenomen, hanya sesudah kita “menaruh eksistensi di dalam kurung”, atau “menunda sementara keyakinan kita mengenai eksistensi obyek”. Husserl menamakan hal ini ‘reduksi fenomenologik’.

Perujukan pada “menaruh di dalam kurung” atau “menunda sementara keyakinan mengenai eksistensi” bersamaan dengan pembicaraan mengenai muatan-khasnya (esensi), mengantar ke pandangan bahwa fenomenologi adalah sejenis esensialisme, dan dengan demikian, fenomenologi itu bertentangan diametrik dengan eksistensialisme. Dalam tulisan ini, tak cukup ruang untuk memberi penjelasan panjang lebar mengenai kerancuan yang membuahkan interpretasi umum yang menyamakan fenomenologi dengan eksistensialisme. Cukup ditereangakn bahwa reduksi fenomenologik itu tidak dicapai dengan: tidak lagi membuat penyataan mengenai eksistensi atau mengenai semua hal yang eksis. “Menaruh eksistensi di dalam kurung” itu bukan menghapus eksistensi secara universal, atau secara partikular menghapus entitas yang eksis dari daftar obyek studi fenomenologik.

Dalam kerangka apa yang oleh Husserl terus-menerus ditekankan, yaitu tentang kemiripan antara fenomenologi ajarannya-khususnya mengenai “menaruh eksistensi di dalam kurung”-dan’peraguan metodologik’ dari Descartes, menurutnya frase “menunda keyakinan mengenai eksistensi obyek” sering difahamkan sebagai deskripsi dari “peraguan metodologik” Descartes. Menurut Husserl, pemahaman seperti itu merupakan salah faham, karena Husserl secara

Angka (2) ini menunjukkan kuliah lanjutan ke-2 setelah selesainya diskusi mengenai ‘Kebenaran Itu Apa ?’.

Catatan kuliah pada Program Pascasarjana, Program Pengkajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia Jakarta dan Universitas Gajah mada Yogyakarta, thn akademik 1999-2000

93

Page 94: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

konsekuen membedakan antara “menunda keyakinan mengenai eksistensi” dari meragukan eksistensi. Berhubung dengan itu, perbedaan tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja.

Diandaikan, seorang perempuan muda menyatakan bahwa ia memiliki bukti-bukti langsung bahwa dirinya itu luar biasa menariknya bagi lelaki-berambut-merah. Pernyataan perempuan tersebut tidak didasarkan pada hukum psikologi tentang preferensi para lelaki-berambut-merah, atau hukum fisiologi tentang mudahnya terpengaruh secara emosional oleh figur perempuan seperti itu. Pernyataan perempuan tersebut yang merupakan generalisasi induktif langsung, merupakan hasil dari pengalamannya sendiri dalam bergaul dengan pria-berambut-merah, yang mengungkapkan sesuatu dari sejumlah banyak atau semua lelaki-berambut-merah, kepada kita. Disamping obyek dari pernyataan perempuan tersebut semuanya berambut merah dan laki-laaki, mereka memiliki satu ciri lagi : tidak berkemampuan menolak daya tarik wanita termaksud. Untuk men-sahihkan pernyataannya, wanita muda itu harus menyertakan beberapa kasus dari sejumlah lelaki-berambut-merah yang pada waktu yang berbeda dan dalam kondisi yang beragam, menunjukkan bukti-bukti yang tidak dapat diragukan mengenai tertariknya mereka padanya. Dua hal penting terlibat disini, yaitu: bahwa lelaki-berambut-merah itu nyata-nyata ada, dan tertarik mereka pada wanita muda itu riil. Kebenaran dari generalisasi induktif ini tergantung sekurang-kurangnya pada dua kondisi tersebut. Sebaliknya, apabila generalisasi tersebut benar, maka sejumlah lelaki-berambut-merah itu memang ada atau pernah ada dalam kondisi partikular ini. Apabila sejumlah laki-berambut-merah tidak ada, atau tertarikan sejumlah lelaki-berambut-merah itu.hanya merupakan angan-angan imajinatif dari perempuan termaksud, pernyataan wanita itu tidak benar.

Cerita tentang wanita muda ini dikemukakan untuk menjelaskan melalui suatu contoh, mengenai hubungan antara generalisasi empirik dengan pernyataan empirik partikular, d.h.i. antara “Daya tarik saya tak dapat dielak oleh lelaki-berambut-merah” dngan misalnya “seorang idola-matinee*) berambut merah di New York melakukan bunuh diri karena cintanya pada saya.” Hubungan ini diterangkan dengan menggunakan suatu contoh imajiner; karena itu tidaklah penting bahwa saya tidak pernah tahu tentang seorang perempuan seperti yang dideskripsi dalam contoh itu. Suatu deskripsi yang dijadikan contoh dalam pengertian seperti ini (‘contoh’ adalah suatu kata yang multi makna), tidaklah relevan apakah yang dideskripsi itu eksis atau tidak. Sebaliknya, apabila saya

* ) ‘Idola matinee’ adalah pengindonesiaan istilah ‘matinee idol’ dalam bahasa Inggris yang artinya: seorang aktor yang karena tampan dan tingkahlakunya menjadi populer di kalangan wanita penggemar nonton bioskop.

94

Page 95: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

hendak membuat suatu pernyataan umum mengenai obyek inderaan, maka obyek partikular yang terkandung di dalam pernyataan itu harus benar-benar eksis, dan eksis seperti yang dideskripsi. Ini merupakan salah satu arti dari “menaruh eksistensi didalam kurung” (“bracketing existence”).

Jika eksistensi telah “ditaruh di dalam kurung” dalam arti ini, maka deskripsi dari obyek atau situasi tidak berfungsi sebagai premis#) bagi berlangsungnya proses generalisasi induktif (atau abstraksi), tetapi sebagai suatu contoh. Perlu diingat bahwa ‘contoh’ itu digunakan dalam berbagai arti. Ada kalanya digunakan untuk menunjukkan satu tahap tertentu (one instance) dalam suatu proses generalisasi empirik; tetapi arti ini bukanlah yang dipakai dalam fenomenologi. Pada kesempatan lain, ‘contoh’ itu sekedar memenuhi fungsi pedagogik. Dikemukakannya cerita tentang perempuan muda dan para lelaki-berambut-merah dimaksudkan semata-mata untuk menyajikan suatu ilustrasi konkrit mengenai kebenaran abstrak yang disimpulkan dari generalisasi empirik, dengan tujuan untuk memudahkan pemahaman mengenai pernyataan abstrak tertentu. Dalam arti ketiga –‘contoh’ yang digunakan dalam fenomenologi adalah dalam arti ini: tiap “contoh” digunakan dalam dua arti, yaitu : (1) sebagai ilustrasi, yang sekaligus (2) memiliki fungsi pembuktian.

Kebenaran dari suatu pernyataan mengenai generalisasi empirik itu tergantung pada akurasi (accuracy) deskripsi dari contoh yang bersangkutan. Saya dapat mengklaim (claim) bahwa pernyataan-umum saya benar, karena deskripsi dari contoh partikularnya akurat. Tetapi bagaimana saya dapat mengetahui bahwa deskripsi dari contoh yang saya kemukakan, akurat sedemikian rupa sehingga sebagai suatu contoh mempunyai daya-bukti? Sejak kita menaruh eksistensi di dalam kurung, saya tidak dapat mengatakan bahwa deskripsi saya akurat, karena kasus yang dideskripsi itu nyatanya telah teramati sebagai hal yang eksis di suatu tempat partikular dan pada waktu partikular; sedangkan contoh itu (dalam fenomenologi) tidak perlu merupakan sesuatu yang secara aktual eksis.

Dalam rangka memahami “menaruh eksistensi di dalam kurung” dalam pengertian ini, kita harus mampu menjawab dua pertanyaan: (1) kapan deskripsi dari suatu contoh dapat dinyatakan akurat? (2) bagaimana cara mendapatkan suatu pernyataan fenomenologik dari suatu contoh?Dalam konteks ini, Husserl berbicara tentang prosedur yang ia namai ‘variasi imajinatif bebas’ (free imaginative variartion), yang berpadan dengan apa yang oleh para filsuf Anglo-American dinamai “counter examples”. Dalam pengertian #) ‘Premis’ adalah suatu pendapat berbentuk proposisi, yang dijadikan dasar untuk berpikir lebih lanjut.

95

Page 96: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

ini, kita mendeskripsi suatu ‘contoh’, kemudian mentransformasi*) deskripsi tersebut dengan menambah (adding) atau menghapus (deleting) satu dari beberapa predikat yang terdapat di dalam rumusan deskripsi . Dengan tiap penambahan atau penghapusan, kita menilai apakah deskripsi yang telah ter-amandemen itu masih tetap dapat dinyatakan mendeskripsi suatu ‘contoh’ dari jenis obyek yang sama seperti obyek yang ‘contoh’-nya diungkapkan oleh deskripsi original.

Kadang, kita harus mengatakan bahwa apabila kita menambah predikat tertentu pada suatu deskripsi, atau menghapus salah satu predikat yang terdapat di dalam deskripsi yang sama, apa yang kemudian terdeskripsi oleh proposisi yang telah terubah, adalah sebuah ‘contoh’ dari obyek yang lain. Pada waktu yang lain, penambahan atau penghapusan suatu predikat, tidak berpengaruh pada ciri esensial dari jenis obyek yang diterangkan dengan ‘contoh’ yang deskripsinya telah teramandemen.

Dengan cara ini kita menemukan ciri-ciri esensial dan konstan dari suatu jenis fenomen, yang ‘contoh’-nya harus memilikinya, apabila “contoh” trsebut ingin menjadikan dirinya sebagai ‘contoh’ dari jenis ‘fenomen’ termaksud. Kita juga menemukan ciri-ciri mana yang bersifat insidental, dan karenanya tidak relevan dengan pertanyaan apakah obyek termaksud , seperti yang diungkapkan oleh deskripsinya merupakan atau tidak merupakan contoh dari ‘fenomen’ jenis tertentu.#) Apa yang kita temukan adalah apa yang oleh para fenomenolog dinamai muatan khas atau esensi dari obyek.

Sebagai misal, dapat diandaikan kita berjumpa dengan seseorang yang tidak memiliki lima indera seperti biasanya, tetapi hanya tiga :penglihatan, perabaan, dan pendengaran. Kita mungkin sedikit ragu-ragu, tetapi akhirnya kita tetap menamai dia sebagai orang. Hal yang sama akan berlaku, apabila orang itu memiliki tiga inderaan lebih daripada yang normal. indera yang berkaitan dengan rabaan, ciuman, dan rasaan (taste). Dia tetap dianggap sebagai orang. Tetapi, andaikan kita bersua dengan sesuatu yang mirip dengan orang, tetapi agaknya tuli dan buta dan tidak memiliki indera yang berkaitan dengan rabaan, ciuman, dan rasaan (taste). Dia tetap dianggap sebagai orang.Tatapi, andaikan selanjutnya kita menemu suatu makhluk hidup yang mirip manusia kecuali bahwa dia tidak

* ) ‘Transformasi’ adalah perubahan bentuk atau tampilan ke luar dari suatu obyek tanpa terubah nilainya demikian rupa, sehingga dapat dipakai untuk penggunaan baru.

# ) Meskipun ‘fenomen’ dan ‘obyek’ itu menunjuk pada ‘sesuatu’ yang sama, harus difahami perbedaan penggunaannya. ‘Fenomen’ digunakan dalam suatu pernyataan, apabila yang dimaksud adalah fenomen dalam eksistensinya sendiri, seperti apa adanya dia; belum dikenai intuisi oleh subyek. Sdangkan ‘obyek’ adalah fenomen yang telah menjadi sasaran intuisi dari subyek.

96

Page 97: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

memiliki organ inderaan sama sekali. Apakah, walau bagaimanapun keadaan dia, tetap dinamai manusia? Tidak! Apakah ia itu binatang? Bukan! Tanaman? Tidak juga! Kita tidak memiliki kata dalam bahasa kita bagi makhluk seperti itu. Kita tidak akan tahu untuk mengatakan apa mengenai makhluk itu.

Baru saja, kita telah melakukan variasi dalam imajinasi kita suatu ‘contoh’ mengenai orang dengan bereferensi pada satu predikat, yaitu ‘memiliki organ inderaan’. Hasil dari ‘variasi imajinatif bebas’ adalah pernyataan yang mengandung koneksi (relasi) yang demikian esensialnya. Sejak pernyataan mengenai fenomen adalah suatu jenis pernyataan mengenai esensi –dan vice versa- pernyataan yang dihasilkan oleh prosedur ini adalah pernyataan fenomenologik.

-----------------

Proses Refleksi Filsafati

PENGANTAR

97

Page 98: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Arti dari reflection sebagai katabenda adalah kemam-puan intelektual manusia yang tidak hanya bergerak dinamik, melainkan juga sadar mengenai geraknya, dan mampu menelusuri kembali untuk mengetahui dirinya dan efektifitas geraknya.

Kata refleksi dalam ungkapan refleksi filsafati adalah dalam kualifikasinya sebagai kata kerja ; yang dimaksud dengan ungkapan tersebut adalah merefleksi suatu obyek yang berupa pengetahuan (knowledge) tertentu --d.h.i. adalah tiap Sila dari Pancasila-- dengan mengikuti kaidah-kaidah filsafat, untuk mengetahui konsep ontologik yang merupakan sumber-genetik dari tiap sila dari Pancasila, dan inter-relasinya antarkonsep antarsila.

Dalam melakukan refleksi-filsafati pada tiap Sila dari Pancasila ini, saya menempuh pendekatan fenomenologik (Edmund Husserll) yang secara prosedural berlangsung secara berurutan, yaitu: proposisi fenomenologik harus : (1) merupa-kan muatan-khas (esensi), (2) yang didapat melalui intuisi, (3) sebagai hasil dari model refleksi dengan proses variasi imajinasi bebas, (4) yang eksistensi obyeknya ditaruh di dalam kurung, dan (5) dibatasi pada pernyataan mengenai tindak intensional. Lima prosedur berurutan ini merupakan implementasi feno-menologik dari apa yang oleh George Thomas White Pattrick dikategori sebagai ‘thinking things through’idalam definisinya mengenai filsafat yang ia formulasi sebagai the art of thinking things through (Patrick: 1925:5).

_________

KETUHANAN YANG MAHA ESA

98

Page 99: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Sebagai pendahuluan singkat, saya perlu menerangkan hal berikut ini. Merujuk pada ungkapan ‘ketuhanan’ dalam Sila pertama dari Pancasila, saya berpendapat bahwa konsep yang terkandung di dalam Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah faham tentang siapa Tuhan, melainkan faham mengenai relasi vertikal antara manusia dan Tuhan. Siapa Tuhan itu sudah terjawab oleh predikat Yang Maha Esa1. Merujuk pada realitas Indonesia bahwa warganegara Indonesia memeluk berbagai agama, maka pada tempatnyalah Pancasila sebagai dasar didirikannya negara mencukupkan diri dengan menunjuk pada predikat Yang Maha Esa sebagai ‘hakikat’ Tuhan. Hasil refleksi filsafati yang akan saya sajikan ini adalah refleksi yang saya lakukan pada Pancasila dasarnegara.

___________

Ungkapan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa pada umumnya manusia Indonesia bertuhan sesuai dengan agama yang dianutnya. Semua agama mengajarkan bahwa alam semesta beserta segenap hal yang eksis di dalamnya, yang tak terhingga jenisnya dan dengan demikian tak terhingga jumlahnya, adalah ciptaaan Tuhan. Untuk selanjutnya, tiap hal yang eksis dalam alam semesta saya lekati sebutan ‘fenomen’. Dalam alam semesta ada fenomen yang permanen dan ada yang durasi eksistensinya terbatas. Dalam pengertian ruang-waktu yang terbentang sekaligus berlangsung tak terhingga dalam alam semesta, tiap fenomen niscaya mengokupasi volume ruang tertentu dan sekaligus mengkonsumsi waktu selama eksistensinya.

Tiap fenomen dalam alam semesta niscaya punya fungsi; apabila tidak, buat apa ia eksis. Berfungsi adalah menjadi atau berbuat sesuatu dengan cara apapun. Tiap ada-yang-sedang-berfungsi, ia adalah fenomen; dan fenomen yang berfungsi itu adalah substansi. Yang saya maksud dengan substansi adalah muatan-khas atau esensi dari fenomen. Substansi niscaya berelasi dengan fungsi; artinya fenomen yang dalam realitasnya berfungsi, ia adalah substansi. Apabila ada fenomen yang berhenti berfungsi, maka ia tidak lagi berkualitas sebagai substansi, bahkan tidak lagi eksis.

Fungsi dari fenomen-permanen pada waktu-1*) adalah terbentuk-nya alam semesta ; sekali alam semesta telah terbentuk, maka sejak waktu-2*) sampai waktu-n*), fungsi tersebut tertrans-formasi secara alami menjadi terpeliharanya eksistensi alam semesta. Fungsi dari fenomen nir-permanen adalah terpulihnya kondisi interaksi saling-memberi antarfenomen-permanen yang telah mengalami derajat 1 Dalam ungkapan bahasa Inggris God the Almighty.*) Saya pinjam ungkapan di lingkungan bahasa Inggeris : time-1, time-2, time-n

99

Page 100: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

disfungsi tertentu oleh tingkahlaku negatif, bahkan ada kalanya destruktif dari fenomen yang bersosok manusia.

Terwujudnya fungsi dari fenomen niscaya melalui suatu proses. Proses adalah suatu seri berlanjutan dari perubahan yang ber-langsung dalam ruang-waktu. Perubahan itu tidak lain dari menjadi berbeda. Tanpa adanya bedaan tidak mungkin ada perubahan. Fungsi fenomen-permanen berlangsung terus-menerus, tidak kenal henti. Seri berlanjutan perubahan dari tiap fenomen-permanen yang berlangsung tak terhingga dalam waktu, mengokupasi volume ruang yang terus membesar dalam tiga demensi.

Dapat kita bayangkan dalam pikiran : fenomen permanen yang tak terhingga jenisnya, semuanya terus-menerus menjalankan fungsinya dalam satu ruang-waktu yang sama --meskipun ruang waktu itu juga tak terhingga-- dan tersela-sela oleh berlangsungnya funsgsi fenomen nir-permanen, tidak terjadi benturan antarfenomen. Bagaimana keadaan alami ini menerangkan dirinya sendiri? Dalam kenyataannya, alam semesta memberlakukan --apa yang kemudian kita sebut- hirarkhi pada dirinya sendiri. Hirarkhi dan jenjang merupakan suatu korelat: hirarkhi muncul hanya dalam sistem yang berstruktur multi-jenjang; sebaliknya suatu struktur jenjang terbentuk oleh hirarkhi.

Hirarkhi, Relasi Ekuivalensi, Seluruhan Integral

Berkenaan dengan itu, kita bisa definisikan hirarkhi seperti berikut ini: hirarkhi atau lebih tepat struktur hirarkhi adalah seperangkat fenomen yang kondisi rakitannya terlengkapi dengan relasi kendali, atau sebaliknya ditinjau dari fenomen-obyek (fenomen yang terkenai kendalian),: relasi kooperasi. Hirarkhi berdaya menyederhanakan pluralitas. Artinya, hirarkhi memungkinkan dengan pasti sejumlah fenomen yang secara berpasangan berelasi ekuivalensi satu dengan yang lain merakit diri, membentuk suatu seluruhan integral. Relasi ekuivalensi antar-pasangan fenomen menunjuk pada adanya tak-samaan tertentu yang melekat pada masing-masing fenomen dan sekaligus memiliki samaan tertentu. Dalam pengertian relasi antar-pasangan fenomen, tak-samaan itu bernotasi relasi saling-tergantung antarfenomen yang berpasangan itu. Samaannya berwujud suatu kearahan-tujuan yang sama dari fungsi fenomen yang ber-pasangan termaksud. Kearahan-tujuan ini yang tidak lain adalah ‘tendensi bergerak dari’ suatu titik atau dari suatu kondisi tertentu, mengungkapkan makna-ontologik: ia adalah koordinat-organik bagi berlangsungnya proses interaksi antarfungsi yang berelasi ekuivalensi dari pasangan fenomen-subuyek. Koordinat-organik ini dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah h a l u a n .

100

Page 101: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Berhubung dengan itu, relasi ekuivalensi antarpasangan fenomen pun jenisnya tak terhingga, tertentukan oleh jenis taksamaannya, dan apa wujud dari haluannya. Dalam pengertian inilah yang saya maksud apabila saya menyatakan relasi ekuivalensi tertentu, yakni suatu relasi ekuivalensi partikular di antara relasi ekuivalensi yang tak terhingga jenisnya.

Merujuk pada fenomen dalam alam semesta yang tak terhingga jenis beserta jumlahnya, seluruhan integral yang terbentuk oleh interaksi saling-memberi antara sejumlah fenomen yang fungsinya berelasi ekuivalensi satu sama lain -untuk memudah-kan ilustrasi, kita lambangkan sebagai S-1 (Seluruhan-1)- pada gilirannya merakit diri dengan sejumlah S-1 lain yang berelasi ekuivalensi dengannya, membentuk S-2; seterusnya dengan proses yang sama terbentuk S-3, S-4, S-5 dan berkelanjutan sampai S-n yang tidak lain adalah seluruhan alam semesta.

Mantikan Eksistensi Alam Semesta

Dari proses refleksi ini saya dapatkan ontologi eksistensi alam semesta seperti berikut :

dalam alam semesta, segenap fenomen yang fungsinya berelasi ekuivalensi merakit diri secara organik, membentuk seluruhan in-tegral tiga demensional pada jenjang satu tingkat di atasnya; berlangsung tak terhingga ke atas, dan tak terhingga ke bawah melalui struktur sebaliknya, membentuk struktur-jenjang tak terhingga, yang jenjang n-nya adalah seluruhan alam semesta.

Ternyata ontologi eksistensi alam semesta ini mengung-kapkan diri sebagai suatu mantikan tertentu (a certain genre of logic). Dalam hal ini, mantikannya dari eksistensi alam semesta (the logic of the existence of the universe). Berhubung dengan itu, ontologi eksistensi alam semesta ini saya namai Mantikan Eksistensi Alam Semesta, disingkat MEAS.

MEAS inilah yang menerangkan mengapa fenomen yang tak terhingga jenis beserta jumlahnya, yang tiap fenomen menjalankan fungsinya melalui proses yang berlangsung terus-menerus, dalam ruang-waktu yang sama dalam alam semesta, tidak berbenturan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, inilah fungsi MEAS.MEAS Itu Mantik

101

Page 102: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Pasangan fenomen yang berelasi ekuivalensi menunjukkan sendiri bahwa dua fenomen itu berelasi simetrik. A ekuivalen B; dengan sendirinya B ekuivalen A. Terbawa oleh sifat relasinya yang simetrik, dua fenomen itu berkedudukan di jenjang (level) yang sama. Memang, hanya fenomen-fenomen yang berkedudukan sejenjang yang bisa berinteraksi satu dengan yang lainnya.

Sisi sebaliknya dari relasi tak-samaan antara dua fenomen yang berpasangan adalah relasi saling-tergantung (interdependen). Karakteristik dari interaksi antarfenomen yang berelasi saling-tergantung adalah saling-memberi. Hanya interaksi saling-memberi yang berkemampuan menghasilkan sesuatu yang baru (novum), yang nilainya lebih besar daripada jumlah berian dari tiap fenomen yang melahirkannya. Begitu novum muncul, ia secara alami, dan dengan demikian secara logik, terembani dengan relasi kendali a-simetrik. Relasi-kendali adalah relasi pasangan antarfenomen yang memanifestasi kewibawaan dari fenomen pengembannya yaitu ‘seluruhan’-baru (novum) terhadap para pasangan-fenomen yang melahirkannya. Relasi kendali itu dengan sendirinya berlangsung satu arah, dari pengembannya ke fenomen yang dikendali; karenanya bersifat a-simetrik.

W i b a w a atau e n e r g i yang terkandung dalam relasi kendali a-simetrik adalah p a s - p e r s i s untuk eksistensi dari semua hal yang eksis dalam alam semesta. Apabila lebih kuat dari kendali, maka kualitas dari relasi itu berubah menjadi dominan a-simetrik yang niscaya m e n g h a p u s eksistensi, karena tidak memungkinkan berlangsungnya interaksi antar-fenomen yang semula melahirkannya. Apabila kurang dari kendali, maka sifat dari relasi tersebut berubah menjadi kendali simetrik yang secara logik maupun secara empirik relasi macam itu tidak mungkin ada. Masyarakat Minangkabau mengenal konsep ‘relasi kendali a-simetrik’ seperti yang diajarkan oleh Amanat Adat berikut ini: Pemimpin itu didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Novum beserta muatannya relasi kendali a-simetrik inilah yang merupakan subyek yang berenergi, berdaya menghidupi eksistensi para fenomen dalam keadaan kebersamaannya. Di lain pihak, interaksi saling-minta niscaya bermuara pada kepunahan pasangan fenomen yang berinteraksi.

MEAS Itu Riil Artinya, proses interaksi antara semua pasangan fenomen yang berelasi

berbagai jenis ekuivalensi tak terhingga, yang berkedudukan di jenjang alpha (terbawah) sampai yang berkedudukan di jenjang n (teratas, tetapi belum terpastikan posisinya) berlangsung dalam waktu riil. Seluruh rantai proses interaksi ini berlangsung secara sekuensial. Output dari interaksi antarpasangan fenomen di dalam tiap rakitan seluruhan integral pada tiap jenjang menjadi input

102

Page 103: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

energi bagi interaksi antarpasangan fenomen yang berkedudukan dalam rakitan integral di jenjang satu tingkat di atasnya ; seterusnya proses yang sama berlangsung sampai jenjang n (teratas) yang identik dengan seluruhan alam semesta. Perlu dikemukakan bahwa struktur jenjang termaksud terbangun dalam waktu, di ketiga demensi ruang dari alam semesta.

Tiga Tesis OntologikAgaknya, konsep MEAS yang terkandung di dalam Sila Ketuhanan Yang

Maha Esa mengungkapkan pengetahuan yang berkualitas sebagai tesis-ontologik pada nalar kita. Ada tiga tesis ontologik terungkap dari MEAS, yaitu :

1. Dalam alam semesta, tidak ada satu fenomenpun yang mandiri berdiri sendiri, terlepas dari fenomen lain.

2. Ada itu memberi; sama benarnya dengan pernyataan ‘tidak ada itu tidak memberi’; memang sesuatu yang tidak ada tidak mungkin memberi. Jadi, ‘ada itu memberi’ adalah evidensi.

3. Suatu pendapat adalah benar, hanya apabila ia bersesuaian dengan segenap relasi yang berkaitan dengannya; apabila tidak, maka ia nir-benar.

Sesungguhnya, tesis pertama dan tesis kedua adalah sekedar usaha pembedaan dua aspek dari satu tesis yang utuh dan tunggal. Tesis tunggal itu berkategori sebagai teori tentang eksistensi (the theory of existence). Dalam hal ini: eksistensi dari semua hal yang ada dalam alam-semesta adalah berkat adanya relasi antarpasangan fenomen yang ekuivalen satu sama lain; dan relasi itu dalam wujudnya sebagai interaksi antarpasangan fenomen yang berelasi saling-tergantung, niscaya berkualitas tipikal saling-memberi.

MEAS yang menunjuk adanya relasi saling tergantung antarpasangan fenomen yang ekuivalen satu dengan yang lain, yang melalui proses interaksi saling-memberi yang berlangsung tak terhingga dalam ruang-waktu yang tak terhingga, mem-bentuk alam semesta, diungkapkan oleh Tesis Ontologik per-tama sebagai teori tentang eksistensi (the theory of existence); sedangkan niscayaan interaksi antarpasangan fenomen yang berkualitas saling-memberi, diungkapkan oleh Tesis Ontologik kedua, sebagai teori tentang “ada” (the theory of being); Tesis Ontologik ketiga menunjuk pada teori tentang kebenaran (the theory of truth), teralir berturut-turut secara transitif dari tesis ontologik pertama dan kedua.Tiga tesis ontologik ini, seperti yang akan kita ketahui bersamaan waktu dengan kefahaman kita mengenai serba konsep yang terkandung di dalam empat Sila

103

Page 104: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

lainnya dari Pancasila, berfungsi sebagai ‘principles we judge by’*) untuk mengetahui ada tidaknya relasi mantik antarkonsep yang terkandung dalam tiap Sila dan antarkonsep antarsila. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat, seharusnya relasi mantik itu ada dalam dirinya. Apabila terbukti benar demikian, maka Tiga Tesis Ontologik ini adalah konsep-raya ontologik1 yang terkandung di dalam Pancasila dalam kualitasnya sebagai filsafat.

KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB

Rumusan Sila kedua dari Pancasila tersusun oleh subyek dan predikat. ‘Kemanusiaan’ adalah subyek, ‘adil’ maupun ‘beradab’ adalah predikat.2 ‘Adil’ adalah predikat yang berkedudukan pada hirarkhi pertama dan ‘beradab’ pada hirarkhi kedua. Ungkapan kemanusiaan yang adil dan beradab menunjuk pada karakteristik ideal dari manusia; dengan demikian, ungkapan itu juga menunjuk pada manusia sebagai subyek yang memiliki karakteristik termaksud. Manusia yang karakteristik alaminya adil dan beradab inilah yang akan kita refleksi hakikat dirinya.

Dalam alam semesta, manusia merupakan salah satu saja dari fenomen yang tak terhingga jenisnya. Berpanggahan*) dengan Tesis Ontologik I, manusia itu secara alami tidak pada tempatnya mandiri berdiri sendiri, terlepas dari fenomen lain. Ia sewajarnya dalam keadaan kebersamaan dengan manusia lain beserta segenap fenomen yang ada dalam lingkungannya. Keadaan kebersamaan ini tidak lain adalah rakitan integral antarfenomen yang berelasi ekuivalensi.

Manusia Adalah Makhluk Individu Sekaligus Makhluk SosialFenomenologi menamai manusia-selaku-subyek sebagai makhluk-berpikir,

(denkend wezen; Cogito) dan pengetahuan-manusia (human knowleage) sebagai intensionalitas, sebagai: kearahan-pada dan keterbukaan-bagi dunia. Pengetahuan itu bukan ‘berumahnya simbul-simbul pengenal’ dari realitas kasar di dalam diri si subyek, tetapi keberadaan langsung dari subyek sebagai suatu ‘sinar’ tertentu pada

* ) Meminjam ungkapan dari J.D.Mortimer, dalam bukunya Six Great Ideas, Macmillan Publishing Co.,INC,New York,1981

1 Padanan dari the grand ontological concept.2 Perlu saya kemukakan bahwa dalam bahasa Indonesia, predikat lazimnya dinyatakan segera sesudah kata-

tunjuk ‘yang’. Bahkan apabila predikatnya banyak dan berhirarkhi, kata-tunjuk digunakan sejumlah kali secara berurutan untuk menunjukkan hirarkhi dari sejumlah predikat. Predikat yang hirarkhinya tertinggi ditempatkan segera sesudah ‘yang’ yang pertama, dan selanjutnya secara berurut predikat hirarkhi kedua ditempatkan sesudah “yang” kedua, dan seterusnya.

* ) ‘Berpanggahan dengan’ adalah ungkapan dalam bahasa Indonesia, padanan dari ungkapan dalam bahasa Inggris ‘consistent with’

104

Page 105: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

realitas yang bersangkutan. Dalam pengertian ini, pada mulanya si subyek tidak dianggap sebagai suatu “benda psikhik” yang selanjutnya dengan perantara simbul-simbul pengenal menjadi berelasi dengan berbagai realitas fisik. Pengetahuan itu bukan ‘sesuatu yang berada di antara dua hal’, bukan relasi antara dua realitas yang terpisah, tetapi terlibatnya sisubyek itu sendiri di dalam dunia. (Husserll, Ideen I : 80; seperti dikutip oleh Prof. Dr. W. Luijpen, 1976: 102)

Penerangan fenomenologik ini menunjuk pada faham bahwa: manusia adalah makhluk individu yang melalui serba tindak intensionalnya mengungkapkan diri sebagai makhluk sosial. Dengan ungkapan lain, secara fenomenologik, manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Bukan makhluk individu saja seperti yang diajarkan oleh filsafat Individualisme (John Locke, Vol. 2, 1690:§ 4) dan bukan makhluk sosial saja dengan istilahnya the working people, seperti yang diajarkan oleh filsafat Marxis (Afanasyef, 1960:242-246).

Manusia adalah satu-satunya fenomen yang berkualitas sebagai pelaku-sadar1. Fenomen lain --termasuk makhluk yang lain-- berkualitas sebagai pelaku-alami atau pelaku-naluriah2. Pelaku-alami berperilaku sesuai dengan hukum alam, sedangkan perilaku dari pelaku-naluriah mengikuti naluri alaminya. Perilaku manusia tertentukan oleh serba pengetahuannya sebagai intensionalitas. Sepanjang tindak-intensional manusia-sebagai-subyek merujuk pada nilai-sepakatan-bersama yang berlaku dalam masyarakatnya; dan apabila tindak-intensional itu merupakan seri-tindak yang berangkai, bertaat mengikuti horisonnya, maka idealitas kepribadian manusia terjaga dan terpelihara. Intensionalitas yang ada di dalam serba tindak manusia-sebagai-subyek ini menjadikan manusia sadar akan tiap tindak yang ia akan atau harus lakukan pada tiap situasi yang ia hadapi.

Relasi Saling Tergantung dan Interaksi Saling Memberi

Faham atau konsep mengenai manusia tersebut di muka, mengandung makna ontologik bahwa antarmanusia terjalin oleh relasi saling-tergantung. Relasi saling-tergantung antarsubyek ini mengungkapkan sendiri kepada nalar manusia bahwa interaksi antarpasangan manusia yang berelasi ekuivalensi --demikian juga antarpasangan fenomen jenis yang manapun-- niscaya berkualitas tipikal: saling-memberi. Interaksi saling-memberi ini menunjuk pada faham yang

1 Dalam bahasa Inggris diistilahkan ‘agent’2 Dalam bahasa Inggris dua jenis pelaku ini diistilahkan ‘patient’.

105

Page 106: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

presupposed ada dan mendahuluinya, yaitu: tugas hidup manusia adalah apriori memberi kepada lingkungan.

Tujuan dari memberi adalah demi terpeliharanya kemampuan memberi dari obyek yang diberi, agar ia pada gilirannya selaku subyek mampu memberi kepada obyek yang lain lagi. Saling-memberi antarsubyek jamak menghasilkan sesuatu yang baru (novum) yang nilainya lebih besar daripada penjumlahan tiap berian dari tiap subyek yang berinteraksi. Dua fenomen atau lebih yang berelasi ekuivalensi --dan dengan demikian saling-tergantung satu sama lain-- terpelihara eksistensinya oleh novum yang diproduksi sendiri oleh para fenomen-subyek melalui interaksi saling-memberi. Hanya manusia selaku pelaku-sadar yang mampu aktif berprakarsa melaksanakan kewajiban memberi kepada lingkungan.

Makna ‘yang adil dan beradab’Berkenaan dengan itu, makna dari ungkapan ‘yang adil’ dalam kaitannya

dengan ‘yang beradab’ adalah : hanya manusia-subyek yang melaksanakan kewajiban memberi kepada lingkungannya saja yang sewajarnya mendapatkan hak, sebagai manifestasi dari hakikat manusia selaku makhluk individu. Sebaliknya, manusia yang tidak melaksanakan kewajiban memberi kepada lingkungan, sesuai dengan Tesis Ontologik II, ia menghapus dirinya sebagai subyek; hapus kualitasnya sebagai subyek penerima hak.

Fungsi dari interaksi antara kewajiban dan hak antar-pasangan-subyek jamak adalah kondisi keadilan dalam arti luas bagi para subyeknya, tergantung pada haluan yang terkandung di dalam koordinat-organik yang bersangkutan. Makna dari ungkapan ‘yang beradab’ dalam kaitannya dengan ‘yang adil’ adalah: bahwa keadilan itu intersubyektif, yaitu subyeknya jamak, sebagai manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Selanjutnya, mengenai konsep keadilan yang menyeluruh akan kita dapatkan pada waktu membicarakan Sila Kelima dari Pancasila.

Lingkungan itu tidak lain daripada segala sesuatu yang berada di luar diri manusia; bersifat dinamik, bersesuaian dengan tempat beradanya manusia tiap saat. Tiap kali manusia berpindah tempat, lingkungannya berubah.

Imperatif KategorikDengan merujuk pada faham Immanuel Kant, tugas hidup manusia: apriori

memberi kepada lingkungan yang dipreskripsi oleh MEAS itu berkualitas sebagai imperatif kategorik. Menurut penerangan Kant, tindak (the act) yang terkandung di dalam sesuatu yang berkualitas imperatif kategorik didasarkan pada “behaviour

106

Page 107: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

as an end in itself: “tindak manusia dalam kategori ini, secara obyektif adalah tindak yang niscaya dilakukan, tidak dalam rangka tujuan apapun”. Dengan mengakui kebenaran ini, masih menurut Kant, “manusia merasakan sesuatu yang berkualitas imperatif kategorik --dalam hal pembicaraan kita, sesuatu itu adalah: tugas hidup manusia adalah apriori memberi kepada lingkungan-- dirasakan oleh manusia sebagai suatu hal untuk diperbuat, semata-mata karena berbuat demikian adalah perbuatan yang benar”.

Dengan ungkapan lain, tindak apriori memberi kepada lingkungan, adalah kewajiban alami yang bersumber dari dalam diri sendiri, yang memang seharusnya dijalankan oleh manusia.

PERSATUAN (INDONESIA)*)

Pada waktu kita menemukan konsep MEAS yang terkandung di dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kita temukan pula di dalamnya sub-konsep rakitan-organik yang integral. Rakitan inilah yang difahamkan sebagai fenomen yang bersosok persatuan. Persatuan antara sejumlah fenomen yang berelasi ekuivalensi yang terbentuk oleh interaksi saling-memberi antarmereka. Persatuannya mengaktualkan diri sebagai jenjang baru yang berperilaku sesuai dengan relasi kendali asimetrik yang diembannya, berfungsi terpeliharanya kelang-sungan interaksi saling-memberi antarfenomen pembentuk dirinya.

Kebersamaan Hidup Antarmanusia Beserta Lingkungan-nyaDari realitas alami yang berlangsung dalam alam semesta ini, kita mendapat

pengetahuan yang berkualitas sebagai konsep ontologik tentang kebersamaan hidup antarmanusia beserta lingkungannya ; baik yang mengaktualkan diri sebagai kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan bernegara, yaitu: (1) persatuan itu tercipta oleh interaksi saling-memberi antar sejumlah fenomen yang berada di jenjang bawah, dan (2) sekali suatu jenjang atas terbentuk, ia secara alami terembani dengan relasi kendali asimetrik sebagai wibawa yang pas-persis kadarnya untuk memelihara persatuan. Dengan kata lain, persatuan itu terbentuk dan selanjutnya terpelihara oleh interaksi timbal balik antara fenomen yang berada pada jenjang bawah dan yang berada pada jenjang satu tingkat di atasnya. Perlu segera kita catat dengan seksama bahwa relasi-kendali asimetrik adalah energi yang pas-persis bagi eksistensi semua hal, termasuk eksistensi alam semesta itu sendiri.* ) Predikat ‘Indonesia’ saya taruh di dalam kurung, tidak saya libatkan dalam proses reflektif, karena predikat

termaksud mem-partikularkan ‘Persatuan’.

107

Page 108: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Tiap jenjang dalam struktur-jenjang-tiga-demensi tak terhingga dalam alam semesta, berkualitas persatuan dari segenap pasangan fenomen yang berelasi ekuivalensi yang berada pada jenjang satu tingkat di bawahnya. Secara alami, manusia dalam mengorganisasi diri dalam kebersamaan hidupnya mengikuti pola struktur-jenjang alam semesta beserta konsep persatuannya. Manusia niscaya berada dalam lingkungan tertentu. Seperti yang telah saya terangkan di muka, manusia adalah pelaku-sadar, sedangkan fenomen lain yang berada di lingkungannya ada yang pelaku-alami, ada yang pelaku-naluriah. Hanya fenomen yang bersosok manusia saja sebagai pelaku-sadar yang mampu menangkap dan menghayati haluan yang fungsional dalam tiap konteks relasi ekuivalensi, yang diemban oleh koordinat-organik yang bersangkutan. Fenomen pelaku-alami berperilaku ajeg menjalankan fungsinya seperti yang terpreskripsi sekali dan untuk seterusnya dalam MEAS; fenomen pelaku-naluriah berperilaku sesuai dengan naluri alami yang secara alami telah dibekalkan pada tiap species.

Melalui relasi satu-banyak, manusia berelasi ekuivalensi dengan semua fenomen lain --termasuk manusia lain-- yang ada dalam lingkungannya. Melalui interaksi saling-memberi antara manusia dan semua fenomen lain yang ada dalam lingkungannya, terbentuklah rakitan-organik jenjang pertama yang berwujud keluarga sebagai suatu persatuan.

Keluarga sebagai suatu fenomen, berelasi ekuivalensi dengan sejumlah keluarga lain beserta semua fenomen lain yang ada dalam lingkungannya, membentuk rakitan-organik pada jenjang kedua di atas jenjang pertama, yang berwujud sukubangsa, sebagai suatu persatuan.

Sukubangsa sebagai suatu fenomen, berelasi ekuivalensi dengan sejumlah sukubangsa lain membentuk rakitan-organik jenjang ketiga yang berwujud bangsa sebagai suatu persatuan.

Demikian seterusnya, dengan proses yang sama, bangsa membentuk rakitan-organik pada jenjang di atasnya yang berwujud masyarakat internasional yang identik dengan seluruh umat manusia, dan pada gilirannya, umat manusia dengan segenap fenomen yang ada dalam ruang-waktu yang tak terhingga membentuk rakitan-organik yang berwujud alam semesta sebagai satu kesatuan integral.

Loyalitas Kepada Lingkungan

108

Page 109: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Interaksi saling-memberi antar sejumlah pasangan fenomen yang berelasi ekuivalensi, yang berlangsung dengan tiga jenis perilaku, menunjukkan sendiri bahwa perilaku manusia berfungsi sebagai penjurus terikutinya haluan yang fungsional dari tiap jenis relasi-ekuivalensi yang diemban oleh koordinat-organik yang bersangkutan.

Fungsi penjurus dari perilaku manusia ini mengaktualkan diri berkat adanya rasa keterikatan diri manusia pada lingkungannya yang tergerakkan oleh hasyrat melaksanakan kewajiban memberi. Merujuk pada tujuan dari memberi (seperti telah diterangkan di muka), yaitu demi terpeliharanya kemampuan memberi dari obyek yang ada dalam lingkungan, maka tindak memberi ini berkualitas sebagai loyalitas kepada lingkungan.

Dengan demikian, dapat dinyatakan dengan sahih: bahwa terbentuknya tiap rakitan-organik pada tiap jenjang, dimana manusia terlibat di dalam relasi-ekuivalensi tertentu, selain berlangsung mengikuti ketertiban dinamik sistem, juga digerakkan oleh loyalitas manusia pada lingkungan, sebagai satu-satunya pelaku-sadar dalam alam semesta. Kita bisa berhipotesis: manusia sebagai pelaku-sadar dapat bertingkah laku yang bertentangan dengan loyalitasnya pada lingkungan, yaitu : apabila ia mengingkari horison dari tindak intensionalnya. Terjadinya cemaran lingkungan, seperti: cemaran udara, air, tanah, dan ozon, merupakan contoh konkrit mengenai tindak-intensional manusia (intensional act) yang tidak berpadanan dengan horison yang seharusnya.

Alhasil, dapat kita nyatakan bahwa terbentuknya rakitan-organik pada tiap jenjang dari keorganisasian manusia dalam kebersamaan hidupnya, berpadanan dengan loyalitas manusia pada lingkup lingkungan dari tiap jenjang. Pada jenjang alpha (paling mula) loyalitas manusia pada lingkungan berwujud loyalitas pada Tuhan. Tuhan adalah zat yang maha riil dan maha sempurna, memiliki segalanya. Dalam pengertian ini, kerja Tuhan tiap saat adalah m e m b e r i kepada segenap fenomen ciptaan-Nya; tidak pernah meminta dari fenomen ciptaan-Nya. Dalam usahanya untuk mendekatkan diri pada Tuhan sekaligus untuk mendapatkan ridho-Nya, manusia mengikuti apa yang dilakukan oleh Tuhan, yaitu m e m b e r i , meski hanya mampu dalam skala kecil. Apabila Tuhan memberi kepada segenap fenomen yang ada dalam alam semesta, manusia memberi kepada fenomen sebatas yang berada dalam lingkungan sekitar dirinya. Inilah wujud dari loyalitas alpha dari manusia, yaitu loyalitas yang tertuju pada Tuhan.

Lingkungan terkecil yang mengelilingi manusia adalah keluarga. Dari itu loyalitas lanjutannya --yaitu jenjang kedua-- adalah loyalitas pada keluarga.

109

Page 110: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Pada gilirannya, keluarga sebagai suatu rakitan-organik, melaksanakan kewajiban memberi kepada lingkungan tempat ia berada, yaitu rumpun keluarga. Terjadilah loyalitas pada sukubangsa sebagai loyalitas jenjang ketiga.Sukubangsa sebagai suatu rakitan-organik, melaksanakan kewajiban memberi kepada lingkungannya yang tidak lain adalah bangsa. Loyalitas pada bangsa ini berada pada jenjang keempat.1

Seterusnya, bangsa sebagai suatu rakitan-organik tidak mungkin hidup sendiri, kedap dari saling-butuh dengan bangsa lain. Interaksi saling-memberi antarbangsa s e w a j a r n y a terselenggara secara alami dan disitulah terwujud loyalitas pada umat manusia, sebagai loyalitas jenjang kelima.1

Akhirnya loyalitas umat manusia seplanit bumi tertuju pada alam semesta2 ciptaan Tuhan; dengan ungkapan lain: loyalitas manusia pada lingkungan berpuncak di loyalitas pada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai loyalitas omeganya.

KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN

DALAM PERMUSYAWARATAN-PERWAKILAN

Bentuk rumusan dari Sila IV ini sama dengan Sila II, yaitu tersusun oleh subyek dan predikat. Kerakyatan adalah subyek yang diabstrakkan, dan seluruh kalimat yang berada sesudah kerakyatan adalah predikat. Terdapat kekhususan pada rumusan Sila ini, yaitu kosakata ‘yang’ yang biasanya dalam konstruksi proposisi dalam bahasa Indonesia berfungsi sebagai kosa-kata yang memeri subyek, dalam Sila IV pemerian tersebut dinyatakan secara eksplisit dengan ungkapan ‘dipimpin oleh’. Berkenaan dengan itu, dalam merefleksi Sila IV ini, ungkapan ‘yang dimpin oleh’ perlu kita temukan maknanya. Refleksi filsafati

1 Loyalitas pada jenjang ini yang dalam Pancasila sebagai dasarnegara terumus sebagai Persatuan Indonesia. Loyalitas manusia pada jenjang bangsa, bersifat khas karena terbentuk oleh loyalitas antarmanusia, antar semua manusia dan lingkungannya, yang ber acu pada: sejarah, etnik, budaya, pengalaman, kesamaan nasib, wilayah; berlangsung secara intensif dengan frekuensi yang tinggi, terjadi dalam kurun waktu yang lama, sehingga persatuannya tersusun oleh multi dimensi yang telah terintegrasi secara mapan; dan pada gilirannya membentuk pandangan hidup, menumbuhkan kesadaran kebangsaan sekaligus kekuatan kebangsaan yang solid. Lahirlah f a h a m k e b a n g s a a n yang tersusun oleh loyalitas berjenjang yang bersumber pada loyalitas pada Tuhan dan berarah pada loyalitas pada Tuhan. Loyalitas pada jenjang keempat yang mengungkapkan faham kebangsaan ini, dalam ideologi Pancasila diungkapkan sebagai : Persatuan Indonesia.

1 Loyalitas ini oleh para pendiri-negara RI ditransformasi menjadi faham “ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Lihat Pembukaan UUD 1945, alinea IV.

2 Dalam hal ini, antara lain, terwujud sebagai disiplin ilmu yang dikenal dengan nama Ekologi, gerakan perlindungan lingkungan yang disponsori oleh PBB, dan hampir semua negara mempunyai menteri urusan lingkungan hidup.

110

Page 111: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

mengenai Sila IV dari Pancasila saya lakukan secara berturut-turut, pertama mengenai ‘kerakyatan’ sebagai subyek, kemudian ‘yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan rakyat’ sebagai predikat.

Makna Kerakyatan sebagai SubyekKerakyatan adalah pengabstrakan dari kata-dasar rakyat. Apabila arti ‘rakyat’

adalah suatu concretus yang berwujud sejumlah banyak orang yang secara spesifik berstatus sebagai warganegara dari suatu negara, maka ‘kerakyatan’ menunjuk pada sifat-sifat alami yang melekat pada rakyat. Dengan merujuk pada hakikat manusia yang telah diungkapkan oleh Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu: manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial, sifat-sifat alami yang melekat pada kepribadian rakyat adalah: kepekaan dalam berasa, berpikir, bersikap, dan kesediaan berbuat, sesuai dengan keinsyafan keadilan rakyat; inilah makna hakiki dari kerakyatan.

Antara berasa ke berpikir, antara berpikir ke bersikap, dan antara bersikap ke kesediaan berbuat, terjalin oleh relasi heuristik yang dapat saya ilustrasikan seperti berikut ini. Apa yang dirasa, itulah yang dipikir; apa yang dipikir, itulah yang menjadi sikap; apa yang merupakan sikap, itulah yang diperbuat.

Makna yang Terkandung di dalam Predikat‘……yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan

perwakilan’ sebagai predikat dari ‘kerakyatan’ menunjuk pada faham demokrasi; sedangkan predikat termak-sud sebagai dirinya sendiri menunjuk pada prosedur-demokratik pengambilan putusan.

Faham DemokrasiSebagai faham demokrasi : merujuk pada konsep ontologik tentang kebersamaan hidup antarmanusia beserta lingkungannya, yaitu : (1) persatuan --dalam hal ini berwujud negara beserta sistem pemerintahannya-- terbentuk oleh interaksi saling-memberi antargolongan rakyat yang alami maupun yang diorganisasi, yang berada di jenjang infra-struktur, dan (2) sekali jenjang supra-struktur yang berwujud negara beserta pemerintahannya terbentuk, ia terembani dengan relasi kendali a-simetrik sebagai wibawa untuk memelihara kelangsungan interaksi saling-memberi antar-komponen rakyat yang berada pada jenjang infrastruktur, maka ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’ sebagai faham demokrasi menunjuk pada faham: sistem pemerintahan dari-oleh-untuk rakyat dengan tujuan terwujudnya keinsyafan keadilan rakyat, melalui proses yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per-musyawaratan perwakilan.

111

Page 112: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Yang khas dari faham demokrasi ini adalah: (1) memuat secara eksplisit tujuan dari sistem pemerintahan demokratik, dan (2) pencapaian tujuan termaksud dipersyaratkan melalui prosedur permusyawaratan perwakilan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.

Prosedur Pengambilan PutusanSedangkan, sebagai prosedur pengambilan putusan, yang akan dikemukakan adalah prosedur yang terumit, yaitu mendapatkan putusan yang terbaik di antara berbagai pendapat yang berbeda mengenai obyek persoalan yang sama.

Apabila prosedur tersebut kita perlakukan sebagai pertanyaan dengan membubuhkan kata-tanya “bagaimana” di depan kosakata prosedur, maka MEAS-lah yang memberi jawaban yang tepat dan benar, seperti berikut ini.

Beberapa konsep yang telah diungkapkan oleh MEAS dijadikan premis dalam usaha mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan termaksud, yakni:- Dalam alam semesta tidak ada satu fenomen yang mandiri

berdiri sendiri, terlepas dari fenomen lain.- Manusia adalah fenomen yang khas, karena terbekali

dengan nalar yang memungkinkan ia berpendapat berbeda mengenai hal yang sama.

- Sebagai fenomen yang sejenjang, pendapat sejumlah manusia yang berbeda mengenai hal yang sama berelasi-ekuivalensi secara berpasangan dengan pendapat manusia yang lain.

Dengan menggunakan tiga buah premis ini selaku pangkal tolak, MEAS menunjukkan prosedur berikut ini.

- Hal yang sama yang menjadi obyek dari pendapat yang berbeda, menciptakan kondisi relasi-ekuivalensi antarpendapat yang berbeda;

- Perbedaan pendapat adalah ungkapan dari kondisi taksamaan antarpendapat yang ada;

- Dengan demikian, dua pendapat atau lebih yang berbeda mengenai hal yang sama, justeru berelasi-ekuivalensi sehingga memungkinkan berlangsungnya interaksi saling-memberi antarpendapat.

112

Page 113: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Dalam hubungan ini, saling-memberi itu berwujud: ikhlas mengakui kebenaran pendapat orang lain, berpasangan dengan berani mengakui kesalahan atau kekhilafan sendiri.

- Dengan terjadinya interaksi saling-memberi antarpendapat yang berbeda, muncullah novum yang berupa pendapat yang terbaik dari sejumlah pendapat yang berbeda mengenai hal yang sama.

Proses penemuan pendapat yang terbaik, yang sepenuhnya mengikuti hukum-hukum yang berlaku dalam MEAS itu mempunyai padanan yang serasi dengan kehidupan kenegaraan nyata seperti berikut ini :

- Sejumlah fenomen yang sejenjang selaku subyek yang melakukan interaksi saling-memberi, dalam realitas kehidupan kenegaraan adalah mereka yang mewakili rakyat; karenanya diberi sebutan ‘perwakilan’.

- Berlangsungnya interaksi saling-memberi antar-fenomen yang sejenjang adalah identik dengan ‘permusyawaratan’.

- Integrasi dari sejumlah berian yang berupa pendapat yang berbeda dari pasangan fenomen-subyek, berkualitas sebagai novum yang mengungkapkan diri sebagai ‘kebijaksanaan’.

- Pada gilirannya, integrasi dari segenap kebijaksanaan, berkualitas sebagai novum pada jenjang satu tingkat di atasnya, yang mengungkapkan diri sebagai ‘hikmat’.

- Kearahan-tujuan yang diikuti dengan melakukan interaksi saling-memberi, yang niscaya berfungsi sebagai koordinat-organik bersosok sebagai ‘pemimpin’ dan dinyatakan dengan ungkapan ‘dipimpin oleh’.

- Proses identifikasi kebenaran yang dapat diterima oleh segenap fenomen yang sejenjang dan berelasi-ekuivalensi itu, dalam realitas kehidupan kenegaraan berpadanan dengan proses identifikasi kebenaran yang sesuai dengan keinsyafan keadilan rakyat, dan karenanya dinyatakan dengan ungkapan “kerakyatan’.

Enam buah padanan yang terdapat dalam realitas kehidupan kenegaraan dari enam butir mantikan (logik) yang terdapat di dalam MEAS, oleh (filsuf) nenek moyang dari bangsa Indonesia disusun menjadi ajaran untuk menemukan pendapat yang terbaik dari sejumlah pendapat yang berbeda mengenai obyek yang sama, dengan rumusan yang tersusun oleh padanan tersebut yang ditempatkan dengan urutan terbalik dari belakang ke muka: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

113

Page 114: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Dengan demikian, kita mendapat pengetahuan bahwa Sila ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’ adalah faham demokrasi sekaligus prosedur demokratik pengambilan putusan.

Dari serba uraian yang baru saja disampaikan, kita sekaligus mendapat pengetahuan bahwa arti dari ungkapan ‘yang dipimpin oleh’ yang merupakan pemeri atau pewatas terhadap ‘Kerakyatan’ sebagai subyek dari proposisi, adalah identik dengan koordinat-organik yang merupakan komponen fungsional dari Mantikan Eksistensi Alam Semesta.

KEADILAN SOSIAL(BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA)*)

Keadilan Produk Interaksi AntarsubyekKonsep universal yang terkandung didalam Sila Keadilan sosial (bagi seluruh

rakyat Indonesia) adalah: keadilan itu produk dari interaksi antarsubyek; bukan barang-jadi (ready-made thing) yang berkualifikasi sebagai hak bawaan dari tiap individu manusia sejak ia dilahirkan. Konsep yang mendasari keadilan adalah keseimbangan antara kewajiban dan hak. Berpanggahan dengan pengakuan ontologik yang telah diidentifikasi di muka, yaitu: bahwa antarmanusia terjalin relasi saling-tergantung, maka subyek dari keseimbangan antara kewajiban dan hak adalah jamak.

Manusia mengemban kewajiban alami memberi kepada lingkungan. Hasil penenuaian kewajiban-memberi manusia yang satu (subyek) kepada manusia yang lain (obyek), dipersepsi-dirasakan-dihayati oleh obyek sebagai haknya. Pada tiap interaksi antarpasangan subyek yang berelasi ekuivalensi tertunailah kewajiban-memberi dari manusia yang satu kepada manusia pasangannya; artinya, terwujudlah keadilan.

Konsep Kewajiban dan Hak Manusia (KHM)Dalam kerangka pemikiran inilah terungkap konsep Pancasila mengenai

kewajiban dan hak manusia (KHM). Dari interaksi saling-memberi antarsubyek jamak seperti yang dipaparkan di muka, terungkaplah pengertian h a k , yaitu : hak seseorang adalah hasil terlaksananya kewajiban orang lain yang berelasi ekuivalensi dengannya. Dengan ungkapan lain, hak adalah derivat dari kewajiban.

* ) Berhubung yang hendak kita identifikasi adalah konsep universal KEADILAN SOSIAL yang terkandung di dalam Sila ke-5 dari Pancasila, ungkapan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai predikat partikular, saya taruh di dalam tanda kurung, tidak dilibatkan dalam proses refleksi.

114

Page 115: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Kosakata h a k , baik secara logik maupun secara empirik menunjuk pada adanya orang lain. Apabila bumi ini hanya dihuni oleh seorang, maka kosakata hak tak akan pernah ada, karena tak akan pernah diperlukan. Baru setelah ada orang kedua, terciptalah kondisi yang mengkualifikasi “ini hak saya” dan “itu hak kamu”.

Keadaan alami itu menunjukkan bahwa hakikat dari h a k adalah r e l a s i . Hak itu menjadi ada secara a-posteriori, yaitu setelah berlangsungnya interaksi dengan orang lain yang berelasi ekuivalensi dengannya.

Tiap hal yang ada dalam lingkungan dapat menjadi obyek dari kewajiban-memberi manusia. Serentak dengan terjadinya interaksi antara manusia dan suatu obyek dalam lingkungan, obyek tsb juga bertingkahlaku sebagai subyek yang memberi kepada manusia atau obyek yang lain lagi. Dengan demikian, dalam tiap interaksi terwujudlah keseimbangan antara kewajiban dan hak antara segenap pasangan subyek-obyek, yang secara menyeluruh membentuk totalitas keseimbangan, seperti ditunjukkan oleh gambar 1`.

kwj hak subyek obyek obyek subyek

hak kwj Gb. 1 Arti lambang : = tindak memberi; kwj = kewajibanPerlu saya kemukakan bahwa terwujudnya keadilan oleh keseimbangan antara kewajiban dan hak antarsubyek jamak, bisa terjadi secara vi-ce ver-sa antara dua subyek (gambar-1), maupun secara berantai seperti yang ditunjukkan oleh Gb.-2.

kwj haksubyek obyek kwj hakobyek subyek obyek kwj hak hak subyek obyek subyek

kwj Gb.-2.

115

Page 116: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Berarti, dalam tiap interaksi antara manusia dan lingkungannya terwujudlah keadilan; dan melalui relasi satu-banyak, terwujudlah keadilan sebagai suatu totalitas, yang identik dengan keadilan sosial.

Ciri Khas KeadilanYang khas dari faham keadilan menurut faham Pancasila adalah: (1) subyeknya jamak yang berinteraksi secara berpasangan (2) bahan baku dari keadilan adalah hasil tunaian kewajiban memberi dari para subyek; (3) keadilannya bersifat fungsional, (4) dengan terjadinya transformasi kewajiban menjadi hak antarpasangan-subyek yang jamak, melalui relasi satu-banyak, keadilan sosial terwujud.*)

Daftar Pustaka

Afanasyev, A. 1965. Marxist Philosophy. Moscow: The Foreigen Language Publishing House

Jolivet, Regis. 1948 Beknopt Hanboek der Wijsbegerte. Utrecth: Dekker & van de Vegt N.V.

Kant, Immanuel. 1785. Metaphysies of Morals, dalam buku Curzon L.B. 1979. Jurisprudence. Plymouth, England: Macdonald & Evans Ltd.

Lavine, T.Z. 1984 From Socrates to Sartre: the Philophic Quest. Toronto: Bantam Books.

Locke, John. 1960. Two Treatises of Government: with introduction and notes by Peter Laslet, a Mentor Book, First Printing, December, 1965, published by The New English Library Ltd, London.

Luijpen, W. Prof.Dr. 1976. Nieuwe Inleiding tot de Existensiele Fenomenologie, Uitgeverij Het Speectrum. Utrecht/ Antwerpen.

Patrick, George Thomas White. 1925. Introduction to Philosophy, George Allen & Unwin, London.

* ) Kondisi keseimbangan antara kewajiban dan hak yang terwujud oleh setiap interaksi antar segenap pasangan-subyek yang berelasi ekuivalensi inilah yang dalam ideologi Pancasila diungkapkan dengan keadilan sosial, dan khusus dalam konteks Indonesia dibubuhi predikat partikular: bagi seluruh rakyat Indonesia.

116

Page 117: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

V. IDEOLOGI DAN METODA BERPIKIR

Bab ini semula merupakan makalah yang disajikan pada Internship Dosen-dosen Filsafat Pancasila se-Indonesia pada tanggal 31 Agustus s/d 15 September 1997 di Yogyakarta. Diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dengan prakata pertama tanggal 24 Juli 1997 dan prakata pada edisi perbaikan tanggal 20 Desember 2001.

Prakata

Universitas Gadjah Mada, meminta saya untuk menyajikan suatu topik baru: metoda berpikir komprehensif integral di hadapan para peserta Internship Dosen Filsafat Pancasila se-Indonesia di Universitas Gadjah Mada. Saya usahakan dengan sekuat tenaga dan pikiran, memenuhi permintaan beliau; mudah-mudahan apa yang akan saya sajikan ini, memenuhi harapannya,

Bila saya diperkenankan memperbaiki rumusan topik termaksud, sebenarnya lebih tepat bila kita sederhanakan menjadi: metoda berpikir integral. Seperti kita ketahui, arti dari komprehensif maupun integral adalah sama, yaitu: menyeluruh; dua-duanya adalah kata sifat yang dibubuhkan pada metoda berpikir untuk menyatakan ‘metoda berpikir menyeluruh’.

Sebagai metoda berpikir, metoda berpikir integral ini adalah baru; belum luas dikenal di dunia akademik, lebih-lebih di kalangan masyarakat ramai. Secara dini, perkenankanlah saya memberi tahu kepada para peserta Internship ini bahwa metoda berpikir integral adalah metoda berpikir yang terkandung di dalam ideology Pancasila. Berkenaan dengan itu, mempelajari metoda berpikir integral sebagai mataacara dari Internship Dosen Filsafat Pancasila -yang secara ideologik niscaya berkait dengan Pancasila- tidak hanya bersifat pada tempatnya, melainkan juga suatu usaha yang niscaya-dan-memadai.

Yogyakarta, 24 Juli 1997Abdulkadir Besar

117

Page 118: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Edisi Perbaikan

Tulisan ini telah diperbaiki dalam tiga hal: (1) dilengkapi dengan karakteristik ‘scientific individualism’ yang melekat pada metoda-berpikir analisis-kausal ciptaan Descartes, (2) rumusan MEAS disempurnakan sifatnya menjadi tiga dimensional, dan (3) rumusan gerak nalar reflektif final diganti dengan reflektif teleologik.

Khusus mengenai perbaikan yang ke (3) ini perlu diterangkan bahwa: istilah finis atau finalitas itu terlalu terbebani oleh anggapan tentang adanya tujuan tertentu yang berada di latar-belakang, dan dengan demikian menjadi tidak ilmiah. Sedang kearahan tujuan (dselgerichtheden) itu secara ilmiah memang dapat ditentukan. ‘Telos’ (kosakata Yunani) menunjuk pada kearahan tertentu (Encyclopedie van de Filosofie, Elsevier, Amsterdam). Berkenaan dengan itu, kata finis diganti dengan kata telos; dan katasifat final diganti dengan teleologik.

Jakarta, 5 November 2007Abdulkadir Besar

I. TIAP IDEOLOGI YANG ORIGINAL NISCAYA MEMILIKI METODA BERPIKIR TERSENDIRI

Yang saya maksud dengan ideologi yang original adalah ideologi yang bersumber pada suatu aliran filsafat tertentu. Ideologi yang demikian, mendasarkan diri pada faham ontologik dari filsafat termaksud mengenai alam semesta.

Mario Bunge, seorang gurubesar filsafat pada Univeritas McGill, Canada, mengemukakan hipotesisnya mengenai adanya relasi heuristik satu arah antara ontologi ke epistemologi, berlanjut ke metodologi, di hadapan simposium tentang ‘hirarchical structure in nature and artifact’, yang diselenggarakan pada tahun 1968 di California. Relasi heuristik temuan dari hasil studi Bunge itu menurut hasil kajian yang saya lakukan, ternyata dalam realitas empirik relasi heuristik itu memang berlaku antara: faham ontologik mengenai alam semesta ke ajaran epistemologi, berlanjut ke ajaran metodologi, dari ideologi Liberalisme maupun ideologi Komunisme. Berikut ini kenyataannya.

Ideologi Liberalisme memandang alam semesta sebagai “suatu mesin besar yang sekali diputar oleh Tuhan, berputar untuk selamanya; tersusun oleh

118

Page 119: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

dua entitas-dasar, yaitu: materi dan gerak. Spirit, dalam wujud Tuhan, berjaga di luar alam semesta yang berbentuk bola bilyar, tetapi tidak berperan langsung di dalamnya. Semua fenomen non-materiil itu pada akhirnya niscaya mempunyai dasar-materiil.”6 Menurut Descartes: “tingkahlaku dari magnit yang saling menarik, mengatasi jarak, nampak seperti non-materiil; tetapi metoda berpikir analisis-kausal (ciptaannya), dapat dan akan membuka tabir yang menutupi eksistensi dari dasar-materiil partikular dari tingkahlaku termaksud.”

Lebih lanjut Descartes mengajarkan: “semua gerak materi mengikuti hukum impak-mekanik (mechanical impact),seperti kerja-mekanik yang terjadi di dalam sebuah jam. Alam semesta itu dalam segala tingkatnya, bersifat mekanik. Dari kerja jam raksasa yang berskala antarplanit sampai dengan segenap benda fisik non-organik, semuanya bergerak mekanik berkat sentakan impak.”7

Perlu dicatat bahwa Corpus Cartesian ini membawa impak yang dahsyat pada kesadaran-sejarah bangsa-bangsa Barat dan berperan sebagai stimulus bagi lahirnya paradigma teknologik, dan mentransformasinya menjadi kenyataan. Dalam pengertian ini, pandangan ontologik Descartes mengenai alam semesta, ajaran epistemologinya, maupun ajaran metoda berpikirnya, tanpa melalui formalitas, teradopsi ke dalam ideologi Liberalisme yang lahir sejaman dengannya. Khusus mengenai karakteristik scientific individualism yang melekat pada metoda berpikir ajaran Descartes akan dikemukakan kemudian.

Faham ontologik yang mendapat sebutan “the clockwork universe” itu, berkat adanya relasi heuristik, dalam kenyataannya memang melahirkan pasangan epistemologi yang berpadanan dengannya, seperti yang dapat kita identifikasi dari sejumlah pernyataan Descartes pada waktu dia membuktikan kebenaran dari pengetahuan (knowledge) bahwa: Tuhan itu ada.

“Pertama-tama, kita mempunyai idea yang jernih dan terbedakan (clear and distinct) tentang Tuhan. Sedang semua idea adalah efek dari kausa. Karena itu pasti ada kausa tertentu yang menyebabkan timbulnya idea tentang Tuhan.”8

6 Pandangan ontologik Descartes tentang alam semesta, seperti yang dikutip Morris Berman, dalam bukunya ‘The Reenchantment of The World’, Bantam Books, New York, 1984, p 21.

7 Pandangan ontologik Descrates tentang alam semesta, seperti yang dikutip oleh T.Z Lavine, “From Socrates to Sartre, the philosophic quest”, Bantam Books, New York, 1984, p 117.8 Lavine, op. cit., p 104.

119

Page 120: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Selanjutnya ia nyatakan: “dalam kaitan ini, kita harus ingat pada tiga buah proposisi yang berbukti-sendiri (self-evident) mengenai kausa,9 : (1) di dalam kausa terdapat realitas yang sama kualitasnya dengan yang ada di dalam efek ;10

(2) sesuatu tidak dapat ada dari yang tak ada, (3) Sesuatu yang lebih sempurna tak mungkin menjadi ada dari yang kurang sempurna.

“Sesuai dengan tiga proposisi itu,” menurut Descartes: “tak ada hal apapun yang dapat menyebabkan timbulnya idea pada pikiran saya mengenai Tuhan sebagai substansi yang sempurna, selain kausa yang sama sempurnanya dengan idea tersebut.”11 “Maka dari itu kausa dari idea saya mengenai Tuhan, karena ia harus sama besarnya dengan efek, tidak bisa tidak mesti suatu substansi yang sempurna, tak terhingga (infinite), yaitu Tuhan. Dengan demikian, Tuhan itu eksis sebagai satu-satunya kausa dari idea saya mengenai Dia.12

Pengetahuan tentang eksistensi Tuhan tersebut, seperti halnya dengan pengetahuan mengenai semua hal yang didapatkan melalui prosedur penelusuran dari efek ke kausa, adalah proposisi epistemologik yang berpadanan dengan pandangan ontologik Descartes mengenai alam semesta. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis Mario Bunge di muka, tentang adanya relasi heuristik dari ontologi ke epistemologi, berlaku antara ontologi dan epistemologi ajaran Descartes.

Perlu dicatat bahwa menurut Descartes: pengetahuan itu didapat melalui penelusuran dari efek ke kausa.13 Proposisi epistemologik ini kemudian ia transformasi menjadi metodologi, dalam wujud metoda-berpikir.

Epistemologi sebagai ilmu yang mempelajari “pengetahuan”, terutama menyelidiki: (1) apa yang menjadi sumber dari pengetahuan, dan (2) apa yang membuat pengetahuan menjadi sahih. Dalam hubungannya dengan problematik (1), jawaban Descartes adalah : nalar. Menurutnya: “nalar (reason) adalah universal, dimiliki oleh semua orang; bahwa nalar adalah elemen yang paling penting dari sifat hakekat manusia; bahwa nalar adalah satu-satunya piranti untuk mendapatkan kepastian dalam pengetahuan; bahwa nalar adalah satu-satunya cara

9 3 proposisi ini oleh Descartes ada kalanya diungkapkan sbb: (1) satu kausa memproduksi satu efek; satu efek mesti diproduksi oleh satu kausa; (2) tiap hal mesti mempunyai kausa, (3) nilai efek tidak mungkin lebih besar dari nilai kausa.

10 Dalam rangka pengertian ini, Descartes bertanya: “karenanya, dari mana efek mendapatkan realitas bila bukan dari kausa?”.

11 Lavine, op.cit., p.10412 Op.cit., p.10513 Rene Descartes, “Over de Metode”, Boom Meppel, Amsterdam, 1977, p.99

120

Page 121: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

untuk menentukan apa yang secara moral benar dan baik, dan apa yang merupakan konstituen dari masyarakat-yang-baik.14

Pengetahuan adalah idea, dan menurut Descartes terdapat tiga jenis idea, yaitu: (1) idea bawaan yang dimiliki manusia sejak dilahirkan, seperti idea mengenai: substansi, kausa, eksistensi, waktu, ruang, prinsip-prinsip dasar dari matematika dan logika; (2) idea yang terreka oleh imajinasi manusia, seperti idea mengenai ikan duyung, utopia, atau dunia masadepan, yang ia namakan idea fiktif; dan (3) idea yang ditimbulkan oleh hal yang datang dari luar diri manusia, yang ia namakan idea-bentukan-luar (adventitious ideas), seperti: mendengar suatu suara, melihat matahari, pohon, atau warna.15 Dengan itu, Descartes telah menunjukkan cara-cara bagaimana idea itu berbeda, yang terkait dengan perbedaan sumbernya, atau bagaimana manusia mendapatkan idea-idea itu. Idea bawaan bersumber pada sifat hakekat nalar manusia, dan bersifat alami; idea fiktif bersumber pada reka imajinasi manusia; dan idea-bentukan-luar berkausa sesuatu yang berada di luar diri manusia.

Dalam hubungannya dengan problematik ke-2, yaitu: apa yang membuat pengetahuan menjadi sahih, jawaban Descartes adalah juga: nalar. Dalam hal ini yang ia maksud adalah pengaplikasian prinsip-prinsip dasar matematika dan logika -yang tidak lain adalah idea bawaan- pada problematik tersebut sebagai obyeknya, seperti yang ia kemukakan: “let mathematics be your ideal, let mathematics be your model for the use of reason”16 Dalam bukunya “Over de Methode”, Discartes menyatakan: “dari semua orang yang mencari kebenaran dalam ilmu, hanya para matematikus saja yang berhasil menciptakan nalaran yang mampu membuktikan kebenaran yang pasti.”17

Yang dimaksud dengan metoda matematik tersebut adalah: berpangkaltolak dari premis yang berbukti-sendiri, kemudian dideduksi segenap konsekuensinya. Proses deduktifnya -dengan sendirinya- berlangsung setapak demi setapak; artinya kebenaran yang kemudian dialirkan dari kebenaran sebelumnya yang telah terbuktikan.18

Proses gerak nalar yang mengikuti prosedur matematik ini, oleh Descartes ditransformasi menjadi apa yang ia namakan a n a l i s i s, yang menurutnya diartikan sebagai: proses intelektual mereduksi tiap problem -yang selalu berupa 14 Lavine, op.cit., p.9315 Op.cit., p.10316 Lavine, op.cit., p.9317 Rene Descartes, op.cit., p.5818 Ibidem

121

Page 122: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

efek- yang akan diselidiki, secara sistematik sampai tingkat elemen yang paling sederhana, yang niscaya diperlukan untuk mendapatkan pemecahan yang benar.19

Analisis ini dikaitkan dengan 3 proposisi mengenai kausa yang telah disebutkan di muka, membentuk keseluruhan metoda-berpikir ciptaan Descartes menjadi a n a l i s i s k a u s a l, yang gerak nalarnya menempuh proses penelusuran dari efek ke kausa sampai ditemukannya kausa tunggal pada elemen yang paling sederhana, yang memproduksi efek pada tingkat yang sama.

Berikut ini metoda berpikir analisis-kausal ajaran Descartes :

Setelah kausa dari efek -yang identik dengan elemen yang paling sederhana- ditemukan, maka dilakukan s i n t e s i s, yang oleh Descartes diungkapkan sebagai berikut: “agar tiap bagian nalaran yang terpisah-pisah20, selalu dijumlahkan secara sempurna, dan dari kesemuanya dibuat suatu kesimpulan umum.”21 Kesimpulan umum tersebut adalah identik dengan jawaban terhadap problim yang ingin dipecahkan.

Paparan sepanjang ini menunjukkan adanya relasi heuristik antara pandangan ontologik Descartes bahwa alam semesta bersubstansi materi dan gerak yang mengikuti hukum mekanika ke konsep espistemologi yang prinsip-dasarnya : pengetahuan adalah efek dari kausa(mekanik) ke metoda berpikir analisis-kausal yang esensinya : memperlakukan idea maupun masalah sebagai materi yang bisa direduksi sampai bagian yang terkecil, sekaligus memberlakukan impak mekanik dari kausa terhadap efek secara linier dalam proses sintesis dalam memecahkan persoalan.

Seperti telah saya kemukakan pada pagina 2, ontologi, epistemologi dan metoda-berpikir ajaran Descartes dengan perantara semangat Renaissance, teradopsi secara diam-diam ke dalam ideologi Liberalisme. Intisari dari semangat ini adalah :manusia menemukan dirinya kembali. Artinya, manusia menjadi sadar kembali akan dirinya bahwa ia memiliki kemampuan intelektual yang mampu 19 Rene Descartes, op.cit., p.57; Analisis ini merupakan ketentuan yang ke-2 dari 4 ketentuan dalam metoda-

berpikir ciptaannya; ia namai ‘rule of analysis’20 Ungkapan “terpisah-pisah” itu menunjuk pada nalaran yang terbentang antara tiap pasangan kausa-efek.

Setelah kausa-n dari efek-n ditemukan, maka efek-n termutasi menjadi kausa-n-1 dari efek n-1; pada gilirannya, efek-n-1 termutasi menjadi kausa-n-2 dari efek-n-2, dan seterusnya sampai efek yang dijadikan problim terjawab; dan jawaban itu tidak lain adalah kesimpulan umum yang didapat dari penjumlahan seluruh rangkaian nalaran, melalui proses sintesis.

21 Rene Descartes, op.cit.,p.58; sintesis ini merupakan ketentuan ke-4 (terakhir) dalam metoda-berpikir Analisis Kausal ciptaannya, yang ia sebut “regel van opsomming”/”rule of summing up”.

122

Page 123: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

memecahkan semua persoalan duniawi. Kesadaran tersebut merupakan impetus dari lahirnya faham individualisme.

Seperti diketahui, metoda berpikir analisis kausal ajaran Descartes tersusun oleh empat aturan berpikir yang harus diikuti secara berturutan, apabila orang ingin menemukan kebenaran yang secara nalar dapat dipertanggung-jawabkan mengenai problem yang hendak dipecahkan atau suatu idea yang ingin ia wjudkan.Pertama adalah : rule of evidency, kedua : rule of analysis, ketiga : rule of order, dan keempat : rule of summing up (synthesis).

Di dalam rule of evidency inilah terkandung faham scientific individualism.22 yang dimaksud dengan scientific individualism oleh Lindsay adalah bahwa : Descartes sebagai filsuf pertama dari ilmu-ilmu baru, berdalil bahwa kebenaran (truth) tidak ditemukan di dalam suatu sistem, tetapi didalam clear and distinct ideas; artinya : kebenaran itu didapatkan sebagai hal yang individual, terpisah, serta terbedakan.23

Scientific individualism ini membawa serta arti lain. Kebangkitan kembali semangat ilmiah pada abad 17 ini tidak hanya tidak lagi mengakui final purposes, melainkan juga menghidupkan kembali faham atomisme. Keberhasilan Fisika itu didasarkan pada asumsi bahwa pada analisis terakhir, realitas itu tersusun oleh atom yang identik dan berulang, yang jumlahnya tak terhingga : dan dengan demikian, segenap perbedaan kualitatif dapat direduksi menjadi berbagi variasi kuantitatif dari tiap atom; bahwa analisis mampu mereduksi segala macam hal dan warna yang ada pada dunia inderaan menjadi realitas kuantitatif.

Prestise dari kejayaan fisika termaksud membuat banyak pemikir terpicu untuk memperluas pemberlakuan metoda yang sama pada analisis dan pemahaman mengenai masyarakat. Jika manusia sebagai obyek kajian ilmiah difahamkan secara demikian, ia diperlakukan sebagai individu atomistik, tidak sebagai insan yang berkepribadian. Masyarakat diperlakukan selaku obyek yang dapat dianalisis sebagai suatu himpunan dari sejumlah hal yang independen, yang dapat diisolasi, seperti atom. Doktrin mengenai kualitas kemanusiaan seperti yang dianut oleh Bentham (misalnya), bermakna bahwa segenap manusia dalam kaitannya dengan all practical purposes, diperlakukan identik.24 Manusia dianggap seperti sukucadang dari suatu mesin yang dapat diganti-ganti. Metoda analitik yang dipinjam dari

22 Lindsay, AD, The Modern Democratic State, Oxford University Press, New York, 1969, p. 78-8023 Lindsay, op.cit., p.7824 Lindsay, op.cit., p.79

123

Page 124: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

fisika, mengaplikasi asumsi yang sama pada pikiran manusia, mereduksinya melalui psikologi assosiasionis menjadi himpunan idea-idea independen, dengan hanya berelasi eksternal antaridea.Kehidupan manusia dengan jiwa seperti itu, tertopang oleh adanya keinginan eksidental dan hanya berkemampuan bertindak sesuai dengan dorongan kepentingan diri (self-interest) yang muncul secara eksidental.25

Demikianlah penjelasan ilmiah dari teradopsinya metoda berpikir analisis-kausal ajaran Descartes yang terlekati karakteristik scientific individualism ke dalam ideologi Liberalisme yang premis-dasarnya adalah kebebasan individu.

Relasi heuristik antara ontologi epistemologi metodologi juga berlaku di lingkungan ideologi Komunisme. Relasi heuristik ini ditunjukkan sendiri oleh sejumlah ajaran komunis.

Ideologi Komunisme memandang alam semesta sebagai : hanya terdiri dari materi; selain materi tidak ada hal lain apapun. “Materi adalah kategori filsafati yang menunjuk pada realitas obyektif yang dapat diketahui oleh manusia melalui inderaannya, dan yang terrekam, terpotret dan terrefleksi oleh indera manusia, sedang eksistensinya tak tergantung pada semua hal termaksud.”21 “Materi adalah primer dan abadi, tidak dapat dicipta dan tidak dapat hancur, ia adalah kausa-final dari semua hal yang ada.”22 “Eksistensi materi hanyalah dalam gerak; artinya melalui gerak itulah ia mengungkapkan diri.”23 “gerak dari materi adalah absolut dan abadi; tidak dapat dicipta dan tidak dapat hancur, sama seperti materi itu sendiri.”24” Materi itu berkembang mengikuti hukum-hukum dialektik.”25

Alam-semesta-dialektik-materialis yang merupakan pandangan ontologik dari ideologi Komunisme itu berrelasi heuristik dengan faham epistemologinya. Berikut ini adalah pokok-pokok pengertian (algemene begrippen) dari Epistemologi Dialektik Materialis :

“Pengetahuan itu bersifat aktif, merupakan refleksi perposive di dalam pikiran manusia mengenai dunia obyektif beserta hukum-hukumnya. Sumber dari pengetahuan adalah dunia-luar disekitar manusia. Dunia-luar itu bertingkah pada

25 Lindsay, op.cit., p.802 1 Definisi dari Lenin, yang dikutip oleh V.Afansyef, dalam “Marxist Philoshophy”, The Foreign Languages

Publishing House, Moscow, 1965,p.58-59.2 2 V.Avanasyef,op.cit,.p.5923 Op.cit, p.6424 Op.cit, p.6525 Op.cit, p.89

124

Page 125: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

manusia dan menimbulkan persepsi, idea, konsep, yang berpadanan dengannya. Manusia melihat hutan, ladang, dan gunung, mempersepsi sinar dan panasnya matahari, mendengar kicau burung, mencium wanginya bunga. Bila obyek yang berada di luar kesadaran manusia ini tidak bertingkah pada manusia, maka manusia tidak akan mempunyai idea sedikitpun mengenainya.”26

“Praxis adalah pangkaltolak dan dasar dari pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri timbul dari praxis, terutama atas pengaruh dari produksi materiil. Yang dimaksud dengan praxis oleh ideologi Komunis adalah : “kerja aktif manusia dalam mentransformasi alam dan masyarakat.”27 “Dasar dari praxis adalah kerja (labour) dan produksi materiil. Praxis juga mencakup aspek politik dari kehidupan, perjuangan klas, gerakan pembebasan nasional, dan pengalaman ilmiah seperti eksperimen-eksperimen. Praxis itu berwatak sosial. Praxsis bukanlah kegiatan dari individu manusia yang terisolasi, melainkan kegiatan dari seluruh rakyat pekerja, para produsen kemakmuran materiil.”28

Pokok-pokok pengertian tersebut menunjukkan sendiri bahwa konsep epistemologi dari ideologi Komunisme adalah pasangan padanan dari pandangan ontologinya; dengan kata lain menunjukkan sendiri adanya relasi heuristik antara ontologi ke epistemologi, seperti yang dikemukakan oleh Avanasyef berikut ini:

“Kebedaan mendasar dari teori Marxis tentang pengetahuan adalah bahwa ia mendasarkan proses kognisi (cognition) pada praksis, yaitu : kegiatan manusia dalam produksi materiil. Dalam kegiatan inilah manusia menjadi mengetahui obyek dan fenomena. Dalam filsafat Marxis, praksis adalah pangkaltolak, dasar dari proses tumbuhnya pengetahuan dan sebagai kriterium kebenaran. Praksis sebagai sudut-pandang adalah utama dan mendasar dalam epistemologi. Ia niscaya mengarah pada materialisme.”29

“Dari sudut pandang dialektik materialisme, pengetahuan adalah proses pemahaman yang tak kenal henti mengenai obyek-terindera, gerak nalar dari tak-tahu-apa-apa ke pengetahuan, dari pengetahuan yang tak lengkap dan tidak eksak ke yang lebih lengkap dan yang lebih eksak. Mengganti teori yang usang dengan yang baru, memperbaiki teori lama menjadi lebih eksak;

26 Op.cit, p.16127 V.Avanasyef, op.cit., p.16328 Ibidem

125

Page 126: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

pengetahuan bergerak maju, sepanjang waktu mengungkapkan realitas baru.”30

Ternyata, dalam ideologi Komunisme, pada gilirannya juga terdapat relasi heuristik antara Epistemologi Dialektik Materialis ke metodologi; dalam hal ini metodologi dalam kualifikasinya sebagai metoda-berpikir. Seperti diketahui dialektik materialisme itu menunjuk pada proses yang berlangsung dalam realitas dan sebagai metoda. Pada keduanya berlaku hukum-hukum yang sama, yaitu : (1) hukum mengenai kesatuan dan pejuangan antara yang berlawanan (the law of the unity and struggle of opposites), (2) hukum mengenai peralihan dari perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif, dan (3) hukum mengenai negasi dari negasi.Dialektika materialisme itu bila diterapkan pada kehidupan masyarakat, menghasilkan sejumlah konsep yang bersifat materi yang terdapat di sepanjang sejarah. Oleh karena itu mereka namai historik materialisme. Salah satu dari konsep itu adalah “berlakunya suatu niscayaan sejarah bahwa kaum proletar pasti menang dalam perjuangannya menghancurkan kapitalisme”.

Ajaran-ajaran ideologi Komunisme seperti yang telah dipaparkan di muka, menunjukkan sendiri adanya relasi heuristik antara ontologi epistemologi metodologi, yang dianutnya. Dalam hal ini, yang menunjukkan adalah ciri dialektik materialis yang terdapat dalam ketiga-tiganya.

Ideologi Pancasila memandang alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang eksistensinya dikerangkai oleh suatu Mantikan (logic) yang juga ciptaan Tuhan, yang selanjutnya saya sebut Mantikan Eksistensi Alam Semesta (MEAS). MEAS itu ada secara riil tergelar meliputi seluruh alam semesta; manusia sekedar membacanya dengan nalar sebagai pirantinya. Inilah Mantikan termaksud:

dalam alam semesta, segenap fenomen yang fungsinya berelasi ekuivalensi merakit diri secara organik, membentuk seluruhan integral pada jenjang satu tingkat di atasnya; berlangsung tak terhingga ke atas dan tak terhingga ke bawah melalui struktur sebaliknya, membentuk struktur-jenjang tak terhingga tiga demensional, yang jenjang n-nya adalah seluruhan alam semesta. 31

329 V.Avanasyef, op.cit., p.16230 Ibidem3 1 Bandingkan dengan ajaran Sultan Agung “Wus kanyatan gumlaring bumi langit” dalam “Sastra

Gendhing”, pupuh 4, bait 7, serta tafsir saya, dalam makalah berjudul “Citanegara Integralistik, Faham Indonesia”, ditulis untuk seminar BP-7 Pusat, 2-4 Agustus 1994. bandingkan juga dengan amanat adat Minangkabau: “Alam terkembang dijadikan guru”.

126

Page 127: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Meskipun pengertian baku dari fenomen adalah tiap hal yang ada dalam alam semesta yang terinderakan, dalam buku ini, saya gunakan sebagai mencakup juga pengertian noumenon yang hanya ada dalam pikiran manusia, tak terindera.

Yang saya maksud dengan relasi ekuivalensi adalah relasi antarpasangan fenomen yang tersusun oleh relasi samaan dan relasi taksamaan tertentu32. Relasi ekuivalensi itu bersifat simetrik. Bila relasi termaksud meliputi 3 fenomen atau lebih, maka relasi ekuivalensi itu mendapat sifat tambahan, yaitu sifat transitif. Kondisi ekuivalensi antara dua fenomen, niscaya memiliki kondisi taksamaan; bila tidak, maka kondisi tersebut adalah identik satu sama lain, yang tak memungkinkan terjadinya interaksi. Kondisi taksamaan ini mencipta relasi saling-butuh.

Dalam pengertian sistem, relasi ekuivalensi merupakan informasi tentang “terbukanya kemungkinan interaksi” bagi para fenomen-subyek, sedang relasi saling-butuh merupakan energi penggerak bagi terjadinya interaksi saling-memberi, dan kondisi taksamaan properti antar fenomen-subyek adalah materi yang akan diproses -d.h.i. saling diberikan- melalui interaksi.

Hasil dari interaksi saling-memberi adalah sesuatu yang baru, disebut n o v u m, yang nilainya lebih besar daripada jumlah berian dari para fenomen yang melahirkannya. Novum itu menjadi energi yang menghidupi para fenomen tersebut dalam keadaan kebersamaannya. Dalam kualitasnya yang demikian, novum itu, meskipun bersifat abstrak, terbawa oleh peranannya memelilahara integrasi para fenomen termaksud, dilambangkan sebagai berkedudukan pada jenjang satu tingkat di atas kedudukan para fenomen yang melahirkannya.

Yang dimaksud dengan merakit-diri adalah proses interaksi saling-memberi sampai munculnya novum, yang untuk selanjutnya novum itu memelihara eksistensi kebersamaan para fenomen yang melahirkannya. Kondisi kebersamaan antarfenomen itulah yang disebut rakitan, merupakan suatu t o t a l i t a s yang bersifat integral.

Yang dimaksud dengan totalitas adalah kondisi terintegrasinya segenap fenomen berkat terselenggaranya interaksi saling-memberi antar mereka, yang sesungguhnya tanpa pernyataan eksplisit pun, dengan sendirinya bersifat integral. Dengan kata lain, terintegrasinya sejumlah fenomen itu apabila dilihat sebagai kondisi, menampakkan diri sebagai totalitas; dan apabila dipelajari apa yang 32 Baca Buku Satu, Filsafat Pancasila, Refleksi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

127

Page 128: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

menyebabkan terintegrasinya sejumlah fenomen, ia menampakkan diri sebagai ciri-ciri khas dari kondisi integrasi atau kondisi kebersamaan antar sejumlah fenomen, yaitu : keadaan saling-tergantungan antarfenomen dan interaksi saling-memberi. Dua buah ciri inilah yang mencipta kualitas integral.

Totalitas itu, bila ditinjau dari fenomen-subyek, ia menampakkan diri sebagai: manunggalnya diri (salah satu fenomen-subyek) dengan yang-lain (fenomen-subyek lainnya); dan itulah definisi dari totalitas.33

Mantikan Eksistensi Alam Semesta -hasil bacaan-nalar mengenai realitas alam- yang tersusun oleh : relasi saling-tergantung antarfenomen, interaksi saling-memberi, kemunculan novum dari tiap proses tiga dimensional yang berlangsung pada tiap jenjang, mengungkapkan bahwa pandangan ontologik dari ideologi Pancasila mengenai alam semesta adalah : alam semesta integral; alam semesta bagi seluruh umat manusia.

Faham ontologi integral ini melalui relasi heuristik mendapatkan pasangan epistemologi yang juga bersifat integral. Logik yang terkandung di dalam relasi heuristik ini adalah sebagai berikut :

Salah satu tesis yang terkandung di dalam Mantikan Eksistensi Alam Semesta adalah : dalam alam semesta, tidak ada satu fenomen pun yang mandiri berdiri sendiri, terlepas dari fenomen lain yang bertautan. P e n g e t a h u a n (knowledge) adalah fenomen yang berwujud idea. Sebagai fenomen, pengetahuan itu dengan sendirinya merupakan totalitas (seluruhan). Totalitas tersebut terbentuk oleh interaksi antara diri manusia beserta inginan-tahu bawaannya, lingkungan tempat beradanya obyek yang ia indera, nalar yang berkemampuan : mengakumulasi, memanfaatkan sesuatu

3 3 Totalitas adalah manunggalnya diri dengan yang-lain” adalah definisi yang saya angkat dari ajaran dalam filsafat Jawa “manunggal kawulo gusti”. Ajaran ini mengandung 2 buah makna, yaitu: (1) religius: manunggalnya seseorang dengan Tuhan, setelah menjalani laku tertentu; (2) manunggalnya dua subyek sebagai hasil interaksi saling-memberi antar mereka. Makna kedua inilah yang saya angkat menjadi definisi. Untuk memenuhi syarat-obyektif satu definisi, subyeknya harus bersifat universal, dan sekaligus mengungkapkan keterkaitan yang relevan, sebagai pertanda adanya energi untuk berinteraksi. Mengikuti pola rumusan yang demikian, kita dapatkan definisi totalitas seperti tersebut di atas. Diri maupun yang-lain adalah subyek yang bersifat universal; dapat diterapkan pada partikularitas apapun. Antara diri dan yang-lain terdapat relasi, yaitu” manunggal dan relasi adalah identik dengan interaksi. Perlu dikemukakan, bahwa dalam totalitas itu subyeknya tidak mungkin tunggal, karena keadaan yang demikian tidak mengandung relasi. Sebaliknya, justeru bisa banyak, bisa berjumlah genap atau gasal. Perlu diingat bahwa relasi yang terdapat di dalam suatu totalitas, selalu relasi-pasangan (bukan relasi linier), sehingga tiap subyek melalui relasi satu-banyak (one-many relation) berrelasi dengan semua subyek lainnya. Segenap relasi antar segenap subyek itulah yang membentuk totalitas.

128

Page 129: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

baginya, mengorganisasi serba pengalaman, kemudian memperlakukannya secara efektif pada situasi baru.

Dengan kata lain, pengetahuan mengenai obyek apapun, niscaya merupakan suatu seluruhan integral yang terbentuk oleh sejumlah komponen yang berinteraksi saling-memberi.

Dalam faham Epistemologi Integral ini terkandung proposisi: pengetahuan itu bukan barang-jadi yang kesahihannya ditentukan oleh sumbernya, tetapi muncul dari suatu proses sehingga kesahihannya ditentukan oleh kondisi yang melahirkannya seperti yang diterangkan di muka. Apabila pertanyaan tradisional yang berlaku di lingkungan epistemologi, yaitu : ‘apa yang membuat pengetahuan itu sahih kita terapkan, maka jawabannya adalah : inderaan dan nalaran yang bekerja interaktif saling melengkapi; bukan nalar saja seperti yang diajarkan oleh epistemologi aliran Rasionalisme, juga bukan empiri saja seperti yang diajarkan oleh epistemologi aliran Empirisisme. Epistemologi Integral berdampak mendamaikan pertentangan tradisional antara epistemologi aliran Rasionalisme dan aliran Empirisisme, dan menjadikan kedua aliran tersebut berintegrasi dalam melahirkan pengetahuan.

Epistemologi aliran Integral ini, melalui niscayaan adanya relasi heuristik yang menjalinnya dengan metodologi, melahirkan Metoda Berpikir Integral, yang secara khusus akan dipaparkan di Bab II.

Uraian sepanjang ini dalam Bab I, menunjukkan bahwa postulat ‘tiap ideologi yang original niscaya memiliki metoda berpikir tersendiri’ telah membuktikan sendiri kebenarannya, berkat adanya relasi heuristik antara ontologi ke epistemologi berlanjut antara epistemologi ke metoda berpikir, di dalam tiap ideologi.

II. METODA BERPIKIR INTEGRAL

Berpanggahan dengan Epistemologi Integral, yang dimaksud dengan b e r p i k i r adalah : merefleksi suatu idea yang telah terpersepsi sampai diketahuinya jawaban: harus diapakan idea tersebut. Jadi, berpikir itu terdiri dari dua tahap, yaitu : tahap mempersepsi obyek sampai tertangkapnya idea-benar dari obyek yang ditindaklanjuti tahap proses merefleksi idea benar tsb.

TAHAP PERSEPSI.

129

Page 130: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Yang dimaksud dengan persepsi adalah : gambaran di dalam jiwa manusia mengenai suatu obyek, yang tertangkap melalui penginderaan.

Yang terpersepsi dari suatu obyek haruslah idea yang integral : idea yang terbentuk oleh segenap informasi yang diungkapkan oleh segenap relasi antar segenap komponen yang membentuk obyek. Selanjutnya idea yang integral ini kita beri sebutuan : idea-benar.

1. Perspektif, Biografi, dan Skala Amatan.Persepsi mengenai suatu obyek niscaya dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu:

perspektif, biografi, dan skala amatan.

a. Perspektif.Yang dimaksud dengan perspektif adalah kenampakan suatu obyek yang tertentukan oleh jarak -atau posisi relatif- dari pengindera. Suatu obyek yang berada jauh dari pengindera, nampak lebih kecil dalam penglihatan pengindera dibanding bila obyek itu berada dekat darinya (jarak). Sebuah gelas-minum nampak cekung bila dilihat dari atas, dan nampak pipih bila dilihat dari bawah (posisi). Mengindera obyek selalu dalam jarak-perspektif dan posisi-pespektif tertentu.

b. Biografi.Adalah segala sesuatu yang telah dimiliki seseorang sebelum ia mempersepsi obyek. Muatan dari biografi adalah : pengalaman, referensi, nilai kultural, dan kepribadian seseorang. Mempersepsi niscaya berada dalam jalur biografi tertentu; karena itu persepsi orang mengenai obyek yang sama dimungkinkan beda.

c. Skala amatan.Persepsi seseorang juga dipengaruhi oleh ‘skala amatan’ yang diproyeksikan pengindera pada obyek. Makin sempit skala amatan, suatu peristiwa tunggal terpersepsi sebagai peristiwa besar; sebaliknya, makin luas skala amatan, peristiwa tunggal yang sama terpersepsi sebagai peristiwa kecil. Dapat dikatakan bahwa: dari sudut pandang manusia, skala amatan itulah yang mencipta obyek yang bersangkutan. Tiap kali skala amatan dirubah menjadi lebih luas, terpersepsi obyek baru.

Karena ‘persepsi’ merupakan tahap pertama dari berpikir, maka hukum-hukum yang berpengaruh pada terjadinya persepsi, yaitu : ‘perspektif’ yang terbentuk

130

Page 131: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

oleh jarak dan posisi, ‘biografi’ seseorang yang secara alami berfungsi sebagai referensi, dan ‘skala amatan’ yang berpengaruh pada tingkat kompleksitas kaitan antara obyek yang diindera dan lingkungannya, ketiga-tiganya perlu dikuasai untuk mendapatkan idea-benar dari obyek.

2. TAHAP PROSES.a. Postulat berbukti-sendiri.

Dalam tahap proses, berlaku sebuah postulat yang berbukti-sendiri (self-evident), yaitu: sekali idea-benar terpersepsi, nalar bergerak dengan sendirinya mengikuti telos. Gerak nalar tersebut terjadi secara alami, tidak dipicu maupun diatur oleh hukum-hukum berpikir buatan manusia seperti empat aturan berpikir yang harus diikuti secara berurutan dalam metoda berpikir ‘analis-kausal’ ciptaan Rene Descartes.

Yang dimaksud dengan ‘telos’ adalah kearahan-tujuan tertentu (doelgerichtheid) yang relevan dengan tak-samaan yang melekat pada pasangan fenomen-subyek yang berinteraksi satu sama lain ; telos berada di luar pasangan fenomen-subyek yang bersangkutan. Dalam bahasa Indonesia, untuk telos atau kearahan-tujuan dikenal dengan istilah haluan.

Logik dari ‘gerak nalar yang secara alami mengikuti telos’ dapat dipaparkan sebagai berikut :

Idea-benar itu tidak identik dengan obyek riil yang diindera. Idea-benar terbentuk oleh informasi yang diungkapkan oleh segenap relasi antar segenap komponen yang membentuk obyek. Meskipun relasi itu abstrak, namun karena ia dapat dibedakan dari obyek yang diindera, ia dapat diketahui melalui dirinya sendiri. Dengan kata lain, idea-benar itu, dalam arti esensi-obyektifnya, dapat menjadi obyek yang merupakan representasi dari idea lain. Kemudian, esensi-obyektif dari idea lain itu (idea-benar kedua) dapat diperlakukan sebagai obyek (kedua) yang merupakan representasi dari idea lain lagi (idea-benar ketiga), dan seterusnya, tak berhingga.

Karena idea-benar bersifat integral, maka idea kedua, idea ketiga, dan seterusnya, yang didapat melalui proses deduktif, niscaya bersifat integral pula. Berkenaan dengan itu, metoda berpikir ini saya namai ‘metoda berpikir

131

Page 132: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

integral’, yang sekaligus menunjukkan kebedaan sifatnya dari ‘metoda berpikir analisis-kausal’ yang bersifat mekanik individualistik, maupun dari ‘metoda berpikir dialektik-materialis’ yang bersifat kontradiktif deterministik.

Proses terpersepsinya idea-benar kedua, idea-benar ketiga, dan seterusnya yang mengikuti kearahan-tujuan sampai terwujudnya tujuan tertentu sesuai dengan kearahan dari telos, menempuh gerak deduktif, beda dari proses analitik yang menempuh gerak nalar reduktif, beda pula dari proses dialektik yang menempuh gerak nalar trilangkah tesis-antitesis-sintesis.

Berpikir reflektif adalah bergeraknya nalar secara deduktif dari idea-benar pertama ke idea-benar kedua, ketiga, dan seterusnya sampai terwujudnya tujuan seperti yang diarahkan oleh telos. Berhubung dengan itu, cara berpikir ini, secara teknikal dinamai : metoda berpikir reflektif teleologik. Arti dari ‘metoda berpikir integral’ dan ‘metoda berpikir reflektif teleologik’ adalah identik.

Perbedaan s i f a t dan g e r a k n a l a r tersebut menunjukkan sendiri bahwa : cita-cita intrinsik dari ideologi yang satu h a n y a bisa diwujudkan a p a b i l a menggunakan metoda berpikir dari ideologi yang bersangkutan. Secara a contrario: bila digunakan metoda berpikir dari ideologi lain, maka yang terwujud adalah cita-cita -atau tahapan kondisi tertentu- dari masyarakat yang dicta-citakan oleh ideologi lain yang metoda berpikirnya digunakan itu.

b. ‘Telos’, Haluan Gerak Nalar.

Seperti telah diterangkan di muka, ‘telos’ adalah kosakata Latin yang artinya maksud (bahasa Inggris purpose, bahasa Belanda gerichtheid). Dalam buku ini, telos saya maknakan kearahan-tujuan yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah yang pas, yaitu haluan. Dalam kerangka metoda-berpikir integral, dapat diterangkan bahwa telos itu muncul dengan sendirinya dari relasi tak-samaan tertentu yang melekat pada pasangan fenomen yang berinteraksi dalam pikiran orang yang sedang memikirkan sesuatu, satu sama lain berkat adanya relasi ekuivalensi antar mereka.34 Dalam pengertian relasi ekuivalensi, telos adalah samaan tertentu yang berada di luar pasangan fenomen yang bersangkutan, yang dimunculkan oleh interposisi antarfungsi dari pasangan fenomen termaksud. Sebagai contoh, dapat dikemukakan relasi ekuivalensi antara pasien dan dokter. Tak-samaan tertentu yang melekat pada pasien dan dokter adalah : pasien berkemampuan membayar jasa medik dokter,

34 Baca kembali Buku Satu : khususnya mengenai pengertian relasi ekuivalensi.

132

Page 133: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

sedangkan dokter berkemampuan menyembuhkan penyakit pasien. Tak-samaan ini melahirkan konotasi relasi saling-tergantung antarsubyek, yang berfungsi sebagai energi yang mampu menggerakkan interaksi saling-memberi antarmereka. Energi tersebut menjadi aktual, berkat samaan tertentu yang muncul dari interposisi antarfungsi dari pasangan subyek ; dalam hal ini, samaan itu bersosok sebagai terpulihnya kesehatan.

III. Penguasaan Metoda Berpikir Integral.

Memperkenalkan suatu metoda berpikir baru, merupakan suatu usaha yang tidak mudah, karena orang telah terbiasa berpikir dengan mengikuti cara berpikir tertentu -baik cara pra ilmiah, seperti berpikirnya warga masyarakat dalam menanggapi dinamik kehidupan sehari-hari, maupun cara ilmiah seperti berpikirnya para terpelajar yang mengikuti metoda berpikir tertentu- yang telah terekam kokoh dalam kemampuan-intelektual orang yang bersangkutan. Kesulitan itu pada gilirannya melahirkan keengganan untuk mempelajari metoda berpikir baru.

Sesuai dengan teori persepsi yang telah dipaparkan di muka, metoda berpikir itu termasuk kategori ‘biografi’ seseorang, yaitu segenap pengalaman yang telah dimiliki sebelum ia mempersepsi sesuatu, yang berfungsi sebagai referensi. Perlu dikemukakan bahwa : tanpa referensi, orang tidak bisa memikirkan sesuatu. Kondisi alami ini, menunjukkan betapa menentukan peran referensi pada kegiatan berpikir manusia; dan dalam pengertian ini, metoda berpikir merupakan referensi di antara semua referensi yang dimiliki seseorang yang paling menentukan terhadap hasil pikirnya.

Sebagai contoh dapat dikemukakan : peristiwa pemogokan pekerdja dalam suatu pabrik, menuntut kenaikan upah.

- seseorang yang menggunakan metoda berpikir analisis kausal, berpendapat bahwa pemogokan merupakan kausa yang niscaya menimbulkan efek: merugikan perusahaan; memenuhi tuntutan kenaikan upah (kausa), niscaya berefek mengurangi keuntungan perusahaan. Putusannya: menghapus kausa dengan memberhentikan pekerja yang mogok, dan menggantinya dengan pekerja baru yang bersedia bekerja dengan upah yang tidak dinaikkan.

- seseorang yang menggunakan metoda berpikir dialektik materialis, berpendapat bahwa pemogokan buruh adalah kondisi revolusioner yang

133

Page 134: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

merupakan antitesis terhadap kapitalisme (tesis). Putusannya: mendukung pemogokan buruh dalam rangka mempertajam kontradiksi tak-terdamaikan antara kaum kapitalis sebagai tesis dan buruh sebagai antitesisnya.

- seorang yang menggunakan metoda berpikir integral, berpendapat bahwa terjadinya pemogokan pekerja menunjukkan rusaknya keseimbangan relasi antara pemilik pabrik dan para pekerjanya. Putusannya: memulihkan keseimbangan interaksi saling-memberi antara kedua belah fihak, dengan cara musyawarah untuk mendapatkan mufakat.

Dari contoh itu, peristiwa yang sama, dipersepsi berbeda oleh tiga orang yang menggunakan metoda berpikir yang berbeda, mendapatkan tanggapan (yang berupa putusan) yang berbeda pula. Dengan kata lain, peranan metoda berpikir sebagai referensi, sangat menentukan terhadap hasil berpikir orang.

Pada permulaan buku ini, telah dikemukakan bahwa tiap ideologi yang original niscaya memiliki metoda berpikir tersendiri. Dalam pengertian ini, cita-cita intrinsik yang terkandung di dalam ideologi Pancasila bisa diwujudkan hanya apabila digunakan metoda berpikir integral, yang memang merupakan metoda berpikir yang bersesuaian dengan ideologi Pancasila. Artinya, metoda berpikir yang berkemampuan mewujudkan kekhasan cita-cita intrinsik yang terkandung di dalam Ideologi Pancasila.

Berkenaan dengan itu, penguasaan penggunaan metoda berpikir integral merupakan keharusan apriori, jika cita-cita yang terkandung di dalam ideologi Pancasila kita inginkan menjadi kenyataan hidup. Selain itu, kondisi globalisasi dunia berstruktur relasi saling-tergantungan antarbangsa. Dalam hubungan ini, penggunaan metoda berpikir integral merupakan suatu kebutuhan yang tak terelakkan sekaligus suatu keharusan apriori.

Daftar Pustaka

Afanasyef, V, 1965. Marxist Philoshophy, The Foreign Language Publishing House, Moscow

134

Page 135: PENDAHULUAN · Web viewYang dimaksud dengan ‘apriori-hukum’ adalah padatan makna yang bersifat umum, mendahuluhi semua hukum dan memberi makna pada hukum, sekaligus membatasi

Berman, Morris, 1984. The Reenchanment of The World, Bantam Books, New York.

Descartes, Rene, 1977. Over de Methode, Boom Meppel, Amsterdam.

Lavine, T.Z, 1984, From Socrates to Sartre, The Philosophie Quest, Bantam Books, New York.

135