106
PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR DI SURAKARTA TAHUN 1946 SKRIPSI Oleh: Masdar Hilmi NIM: K4405026 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR DI SURAKARTA …...Tujuan Penelitian ini untuk: (1) Memahami situasi yang menyebabkan terjadinya Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta

Embed Size (px)

Citation preview

PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR DI SURAKARTA TAHUN 1946

SKRIPSI

Oleh: Masdar Hilmi

NIM: K4405026

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2009

ii

PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR

DI SURAKARTA TAHUN 1946

Oleh : MASDAR HILMI NIM: K4405026

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2009

iii

Halaman Persetujuan

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hj. Sri Wahyuning S., M. Pd NIP.195310241981032001

Drs. H. Tri Yuniyanto, M. Hum NIP. 196506271990031003

iv

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Pada Hari : Rabu

Tanggal : 11 November 2009

Tim Penguji Skripsi Nama Terang Tanda Tangan Ketua : Drs. Djono, M. Pd ........................ Sekretaris : Dra. Sri Wahyuni, M. Pd ....................... Anggota I : Dra. Hj. Sri Wahyuning S, M. Pd ........................ Anggota II : Drs. H. Tri Yuniyanto, M. Hum .......................

Disahkan oleh Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd NIP. 196007271987021001

v

ABSTRAK

Masdar Hilmi. K4405026. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Oktober 2009.

Tujuan Penelitian ini untuk: (1) Memahami situasi yang menyebabkan terjadinya Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946, (2) Mengetahui proses terjadinya Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946, (3) Memahami dampak Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber primer berupa surat kabar sementara sumber sekunder digunakan yaitu buku-buku, foto dan dan informan. Teknik pengumpulan data penelitian ini yaitu studi pustaka dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam mengolah suatu data sejarah. Prosedur penelitian dilakukan dengan empat tahap yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1). Pemerintahan Sjahrir yang dibentuk pada 14 November 1945 menimbulkan ketidakpuasan menyangkut susunan menteri yang kurang representatif dan program Pemerintah yang dianggap kurang menekankan perjuangan melawan Belanda. Tekanan terhadap Pemerintahan Sjahrir makin terasa sejak Persatuan Perjuangan (PP) terbentuk. Kuatnya tekanan terutama dari PP membuat Pemerintahan Sjahrir memilih mundur pada 26 Februari 1946. Presiden Sukarno lalu kembali menunjuk Sjahrir membentuk pemerintahan. Pemerintahan Sjahrir kedua yang diresmikan pada 13 Maret 1946 tidak meredakan ketidakpuasan yang ada. Ketidakpuasan terhadap Pemerintahan Sjahrir memuncak saat usulan perundingan Indonesia dengan Belanda diketahui umum. (2). Kekecewaan terhadap Pemerintahan Sjahrir dilampiaskan dengan menculik Perdana Menteri Sjahrir. Penculikan Sjahrir dan rombongan di Surakarta pada 28 Juni 1946 dipimpin oleh Mayor A. K. Yusuf, dari Divisi III yang didukung Panglima Divisi III Jenderal Soedarsono dan dibantu pimpinan Divisi IV Kolonel Sutarto. Sjahrir dan rombongan yang diculik dibawa ke daerah Paras di Boyolali. (3). Penculikan Perdana Menteri Sjahrir membuat Presiden Sukarno menyatakan Indonesia dalam keadaaan darurat pada 28 Juni 1946. Kekuasaan Pemerintahan untuk sementara dikembalikan kepada Presiden pada 30 Juni 1946. Presiden Sukarno kemudian segera berpidato yang antara lain mencela penculikan Sjahrir dan meminta pembebasannya. Sjahrir dan rombongan yang diculik dibebaskan pada 1 Juli 1946. Para pelaku dan tokoh yang terkait dengan kelompok penculik baru ditangkap setelah terjadi Peristiwa 3 Juli 1946.

vi

ABSTRACT

Masdar Hilmi. K4405026. The Prime Minister Sjahrir Kiddnap in Surakarta on 1946. Paper. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, October 2009.

The objectives of this research are (1) To learn the condition that causes the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946, (2) To know the process of the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946, (3) To learn damages of the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946.

This research use history methods. The research data sources is primary sources that consist by the newspapaer, and secondary sources that consist by the books, picture and informant. The data gathering in this research are library learning and interview. The technique of data analysis that used in this research is historical analysis, it give a priority to sharp the process of history data. The procedures of this reasearch was done with four steps, that is heuristic, criticism, interpretation, dan historiography.

Based on this research, it concluded that: (1). The Sjahrir Establishment had found on November 14th 1945 make disappointment about the cabinet person that less representative and the program that not focus about fight againts Dutch. The pressure to Sjahrir Establishment stronger since Persatuan Perjuangan (PP) has been found. The PP pressure has powerfull and make the Sjahrir Establishment resign on February 26th 1946. President Sukarno then appoint Sjahrir to form the establishment. The second cabinet of Sjahrir that found March 13th 1946 not down unsatisfied attitude. Finally, the disappoinment become top when the secret agreement Indonesia-Dutch opened to the public (2). Unsatisfied to the Sjahrir Establishment did by kiddnap the Prime Minister Sjahrir. This action lead by Major A. K. Yusuf from 3rd Divition and supprort by 3rd Divition Commander General Major Soedarsono and also helped by the leader 4th Divition Colonel Sutarto. Sjahrir and his friends take to Paras in Boyolali regency. (3). The Prime Mininte Sjahrir kiddnap make President Sukarno declare state on emergency. The authoroty power take again by Presiden Sukarno on June 30th 1946. Then President Sukarno speech and call down the Prime Minister Sjahrir kidnap and want his release. Sjahrir and his friend release on July 1st 1946. All the kiddnaper and the other close person arrested after July 3rd 1946 Affair.

vii

MOTTO

Een leidersweg is een lijdensweg

Leiden is lijden

(Jalan Kepemimpinan Bukan Jalan Yang Mudah

Memimpin Adalah Jalan Yang Menderita)

(Kasman Singodimedjo)

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu

2. Kakak-Kakak dan Keponakanku

3. Kawan-kawan P. Sejarah UNS 2005

4. Mereka yang telah membantuku

5. Almamater

6. Semua orang yang mengenalku

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk

memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan

Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai

pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas

Maret Surakarta (UNS) yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah

menyetujui atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS yang telah memberikan

pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.

4. Dra. Hj. Sri Wahyuning. S, M. Pd selaku dosen pembimbing I yang telah

memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Drs. H. Tri Yuniyanto, M. Hum selaku dosen Pembimbing II yang telah

memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah

membantu pembuatan skripsi. Penulis memohon pula maaf apablila terdapat

tindakan dan perkataan penulis yang kurang berkenaan.

Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan

skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada khususnya dan

perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, November 2009

Penulis

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii

HALAMAN ABSTRAK .......................................................................... iv

HALAMAN MOTTO ............................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ viii

KATA PENGANTAR .............................................................................. ix

DAFTAR ISI ............................................................................................ x

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Perumusan Masalah ........................................................................... 5

C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 6

D. Manfaat Penelitiaan ........................................................................... 6

BAB II LANDASAN TEORI .................................................................... 8

A. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 8

1. Kebijakan Pemerintah .................................................................. 8

2. Polarisasi Politik .......................................................................... 15

3. Konflik Politik ............................................................................. 22

4. Subversi ....................................................................................... 28

5. Penculikan ................................................................................... 35

B. Kerangka Berpikir .............................................................................. 38

BAB III METODOLOGI ......................................................................... 40

A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 40

B. Metode Penelitian .............................................................................. 40

C. Sumber Data ...................................................................................... 42

D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 44

E. Teknik Analisis Data ......................................................................... 47

xi

F. Prosedur Penelitian ............................................................................ 48

BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................... 50

A. Latar Belakang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir .......................... 50

1. Latar Belakang Terbentuknya Pemerintahan Sjahrir ....................... 50

2. Pemerintahan Parlementer Sjahrir ................................................... 57

3. Kabinet Sjahrir II ............................................................................ 67

B. Proses Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ........................................ 81

1. Situasi Surakarta Menjelang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ... 81

2. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ................................................ 85

C. Dampak Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ..................................... 88

1. Situasi Selama Perdana Menteri Sjahrir Diculik ............................. 88

2. Proses Pembebasan Perdana Menteri Sjahrir ................................... 89

3 Perkembangan Setelah Perdana Menteri Sjahrir Bebas .................... 91

BAB V PENUTUP ..................................................................................... 94

A. Kesimpulan ....................................................................................... 94

B. Implikasi ........................................................................................... 95

C. Saran ................................................................................................. 96

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 98

LAMPIRAN .............................................................................................. 106

xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jepang menyerah terhadap Sekutu dalam Perang Dunia II pada 15

Agustus tahun 1945. Jepang lalu diperintahkan Sekutu untuk mempertahankan

status quo di Indonesia sebelum Sekutu mengambil alih kekuasaan. Menyerahnya

Jepang membuat Indonesia dalam keadaan vacuum of power. Kelompok pemuda

di Jakarta yang mengetahui kekalahan Jepang merasa yakin bahwa telah tiba saat

untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi kelompok pemuda menyadari

bahwa peran Sukarno dan Hatta sebagai tokoh yang lebih tua dan lebih dikenal

rakyat, penting untuk memproklamirkan kemerdekaan. Beberapa perwakilan

kelompok pemuda menemui Sukarno dan Hatta untuk meminta keduanya

memproklamirkan Indonesia. Kedua tokoh tersebut tidak langsung menerima

permintaan kelompok pemuda. Sukarno dan Hatta ingin memastikan terlebih

dahulu situasi yang sebenarnya dari Jepang dan menginginkan proses

kemerdekaan melibatkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hal

itu sangat mengecewakan kelompok pemuda yang ingin segera meraih

kemerdekaan namun tanpa campur tangan PPKI.

Kelompok pemuda yang putus asa terhadap sikap Sukarno dan Hatta lalu memutuskan untuk mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Sukarno dan Hatta tetap didesak kelompok pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta awalnya tetap tidak mau menuruti kemauan pemuda. Akan tetapi setelah mendapat jaminan dari Jepang (Laksamana Maeda) dan pengertian dari kelompok pemuda maka Sukarno, Hatta dan pemuda segera kembali ke Jakarta. Setibanya di Jakarta Sukarno, Hatta dan kelompok pemuda bersama para anggota PPKI langsung berkumpul membahas persiapan proklamasi. Pertikaian tetap berlanjut antara kelompok pemuda dengan para tokoh tua termasuk Sukarno dan Hatta.

Setelah melewati pembahasan yang menegangkan, Proklamasi Indonesia

dilaksanakan pada 17 Agustus 1945. Sehari setelah Proklamasi pemerintahan

Indonesia mulai dibentuk. PPKI yang telah disesuaikan, memilih Sukarno sebagai

Presiden, Hatta sebagai Wakil Presiden dan mengesahkan konstitusi Indonesia.

xiii

Dalam perkembangannya PPKI berubah menjadi Komite Nasional Indonesia

Pusat (KNIP) dengan tugas sebagai penasehat presiden dan kabinet. Akhir bulan

Agustus 1945 kabinet Indonesia berhasil dibentuk. Semua posisi dalam

pemerintahan diisi oleh orang-orang yang bekerja dalam instansi Jepang untuk

menjamin pengalihan kekuasaan sipil dari Jepang ke Indonesia. (Ricklefs, 1989:

319). Pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) dan pemerintahan daerah

dilakukan bersamaan dengan pembagian provinsi Indonesia (Kahin, 1995: 177).

Militer Jepang di Indonesia umummnya membiarkan euforia proklamasi

Indonesia berlangsung sambil menantikan kedatangan Sekutu.

Kabinet Sukarno yang terbentuk mendapat tantangan dari luar kabinet.

Kabinet dikritik kelompok pemuda yang anti Jepang setelah melihat para menteri

terlalu berbau Jepang. Kekecewaan terhadap kabinet bertambah setelah kabinet

mengambil sikap lunak yang cenderung terhadap Jepang. Kegelisahan Kabinet

Sukarno bertambah dengan menjelang waktu kedatangan Sekutu ke Indonesia.

Pihak Sekutu belum memiliki sikap jelas terhadap Indonesia. Belanda sebagai

penguasa wilayah Indonesia sebelum Jepang dan anggota Sekutu justru

mengambil sikap bermusuhan dengan Kabinet Sukarno dan ingin mengembalikan

kekuasaannya di Indonesia.

Sikap lebih aktif diperlihatkan para pemuda di berbagai daerah

(Anderson, 1988: 140). Berbagai aksi menyambut proklamasi dilakukan terutama

oleh kelompok pemuda di Jawa dan Sumatera yang berhasil mengambil alih

tempat-tempat penting dan berbagai persenjataan Jepang. Proses pengambilalihan

senjata ada yang berjalan damai namun tak jarang terjadi pertempuran. Situasi

mulai memanas saat Sekutu yang diwakili Inggris tiba di Indonesia pada akhir

September 1945. Sikap Kabinet Sukarno yang mempersilakan Inggris

melaksanakan tugasnya menimbulkan kekecewaan banyak pihak. Terlebih

kedatangan Inggris ternyata disertai oleh Belanda yang ingin mengembalikan

kekuasaannya di Indonesia. Hal tersebut makin memacu sikap keras khususnya

para pemuda. Berbagai insiden dan pertempuran muncul antara rakyat dengan

Inggris dan Belanda di berbagai daerah. Jepang yang harus mematuhi perintah

xiv

Sekutu turut pula memanaskan suasana yang ada. Kabinet Sukarno mulai tidak

sepenuhnya mampu menguasai situasi yang berkembang.

Kabinet Sukarno pun menghadapi tekanan dalam bidang politik.

Sejumlah anggota KNIP merasa peran KNIP tidak jelas dalam pemerintahan.

Pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai negara tunggal pun

dianggap akan tumpang tindih dengan fungsi KNIP. PNI sebagai partai negara

negara yang tunggal dianggap pula dapat menimbulkan bahaya politik.

Kekhawatiran lain menyangkut sistem presidensial yang dianut Indonesia. Sistem

presidensial dengan kekuasaan besar di tangan presiden tanpa adanya lembaga

legislatif dapat menimbulkan bahaya kediktatoran dari presiden. Apalagi situasi

Indonesia yang belum kondusif.

Untuk mengatasi kondisi tersebut, dilakukan sejumlah perubahan politik.

KNIP diberikan fungsi legislatif. Untuk mengefektikan fungsi KNIP, dibentuklah

Badan Pekerja (BP) KNIP. Disamping itu sistem multi partai diputuskan untuk

diterapkan di Indonesia. Pembentukan PNI sebagai partai negara dibatalkan dan

sebagai gantinya berdirilah berbagai organisasi partai politik, organisasi pemuda,

badan perjuangan dan organisasi lainnya. Sistem presidensial juga diubah menjadi

sistem parlementer. Sutan Sjahrir kemudian ditunjuk memimpin pemerintahan

parlementer (Kahin, 1995: 190). Citra dan kemampuan Sjahrir dianggap paling

tepat memimpin pemerintahan Indonesia. Sjahrir telah dikenal sebagai tokoh

Pergerakan Nasional dan cukup dikenal kalangan kelompok pemuda.

Setelah terbentuk, Kabinet Sjahrir justru mendapat kecaman keras.

Susunan menteri dan juga BP-KNIP dianggap sangat tidak repersentatif

(Kahin, 1995: 214). Perwakilan Islam dan nasionalis sangat kurang sementara

perwakilan Kristen dianggap berlebihan dalam kabinet. Unsur kelompok

pemuda malah hampir tidak ada dalam kabinet. Posisi-posisi kunci kabinet

dipegang Sjahrir sendiri dan rekannya, Amir Sjarifuddin. Kolega-kolega dekat

Sjahrir dan Amir mengisi hampir semua jabatan menteri. Kabinet pun

dianggap terlalu Dutch Minded karena kebanyakan menteri lulusan pendidikan

xv

Belanda. Kekecewaan makin besar setelah program Kabinet Sjahrir

diumumkan (Anderson, 1988: 226).

Ketegangan masih berlangsung meskipun pemerintahan telah berganti.

Pertempuran dan insiden dengan Sekutu tetap terjadi. Ibukota Jakarta bahkan

harus dipindahkan ke Yogyakarta karena gawatnya situasi. Bersamaan dengan itu

mundurnya ketertiban sosial mulai berlangsung. Aksi penculikan dan

penyerobotan sering terjadi pada masa Revolusi. Unsur-unsur penguasa lama di

beberapa daerah yang dianggap menyengsarakan rakyat atau tidak jelas

dukungannya terhadap proklamasi mulai disingkirkan. Peristiwa Rengasdengklok

telah menjadi model para pemuda di daerah untuk menekan kaum tua agar tidak

hanya mengandalkan kompromi belaka dan lebih tegas bertindak. Akan tetapi

banyak tindakan “revolusioner” yang ada sulit dibedakan dengan aksi kriminal

biasa. Pemerintah tetap kesulitan mengatasi situasi. Di daerah, laskar atau

kelompok yang memiliki senjata terkadang malah lebih berkuasa dari pemerintah.

Selanjutnya alat-alat negara di daerah makin tidak menghiraukan pemerintah

pusat. Saling tangkap atau serobot antara pemerintah dengan laskar malah kerap

terjadi (Ricklefs, 1989: 328; Nasution, 1992: 4).

Keberadaan berbagai partai politik, badan perjuangan, laskar dan

pihak tentara makin menyulitkan posisi Sjahrir. Banyak dari partai politik,

badan perjuangan, laskar dan pihak tentara yang menentang berbagai

kebijakan Pemerintahan Sjahrir. Serangan Sjahrir terhadap hal-hal berbau

Jepang juga meningkatkan kebencian terhadap Kabinetnya. Banyak kalangan

politisi, pemuda dan militer yang marah karena merasa menjadi sasaran

propaganda Sjahrir. Kabinet Sjahrir mendapat tekanan-tekanan kuat dari para

penentangnya dalam KNIP maupun agitasi-agitasi langsung di lapangan. Para

penentang Kabinet Sjahrir segera mengambil sikap oposisi terhadap

pemerintah. Upaya oposisi terhadap Sjahrir mendapatkan hasil ketika Kabinet

xvi

mengundurkan diri pada akhir Februari tahun 1946 (Kahin, 1995: 217; Reid,

1996: 162).

Sjahrir kembali ditunjuk memimpin pemerintahan. Kabinet Sjahrir II

kali ini mendapat dukungan penting dari Presiden Sukarno dan Wakil Presiden

Hatta. Meskipun demikian, ketidakpuasan terhadap Kabinet Sjahrir II tetap

besar meski telah melakukan sejumlah perubahan. Berbagai kelompok di luar

pemerintah tetap keras menentang Pemerintahan Sjahrir. Pemerintah dan

oposisi sama-sama mempertahankan sikap yang dipegang. Situasi tidak

mereda karena pemerintah dan penentangnya saling melakukan berbagai

manuver untuk melemahkan satu sama lain.

Tingginya tensi politik nasional turut memengaruhi wilayah Surakarta.

Situasi politik Surakarta telah panas sejak awal Proklamasi. Pemerintahan

Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta telah menyatakan mendukung

proklamasi dan pemerintahan. Kedua kerajaan mendapat hak istimewa untuk tetap

memerintah dibawah Republik. Gerakan Anti Swapraja kemudian muncul

menentang Pemerintahan dari Kasunanan dan Mangkunegaran yang dianggap

sebagai lambang feodal. Perpindahan Ibukota Indonesia dari makin meningkatkan

suhu politik Surakarta. Banyak orang dari Jakarta yang berada di Surakarta setelah

perpindahan tersebut. Surakarta segera berkembang menjadi daerah oposisi yang

kuat Kabinet Sjahrir. Gerakan Anti Swapraja sedikit banyak termasuk bagian dari

kelompok penentang Kabinet Sjahrir.

Situasi nasional Indonesia terus memanas. Pemerintah dan kelompok

penentangnya sama-sama tidak mau mengalah. Ketegangan kondisi di Indonesia

akhirnya mencapai puncak saat Perdana Menteri Sjahrir tiba-tiba menghilang

ketika singgah di Surakarta. Menghilangnya Sjahrir pada 27 Juni 1946

menimbulkan dampak besar terhadap perkembangan situasi Indonesia berikutnya.

xvii

Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti

masalah tersebut dalam skripsi berjudul “PENCULIKAN PERDANA MENTERI

SJAHRIR DI SURAKARTA TAHUN 1946”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merumuskan

permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Mengapa terjadi penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir di

Surakarta tahun 1946?

2. Bagaimana proses penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta

tahun 1946?

3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari terjadinya penculikan

Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang

ingin dicapai dalam penelitan ini yaitu:

1. Untuk memahami situasi yang menyebabkan terjadinya penculikan

Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.

2. Untuk mengetahui proses penculikan Perdana Menteri Sjahrir di

Surakarta tahun 1946.

3. Untuk memahami dampak yang ditimbulkan atas penculikan Perdana

Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.

D. Manfaat Penelitian

Nilai suatu penelitian dilihat dari besarnya manfaat yang bisa diperoleh

dari penelitian tersebut. Berdasarkan hal itu, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat yaitu:

xviii

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis bermanfaat:

a. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna

dalam rangka pengembangan ilmu sejarah.

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi

para pembaca tentang penculikan Perdana Menteri Sjahrir di

Surakarta tahun 1946.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis bermanfaat:

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana

Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Dapat memberikan acuan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kebijakan Pemerintah

a. Konsep Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah sering pula disebut dengan istilah kebijakan

publik atau kebijakan umum. Kebijakan sendiri memiliki beragam

pemahaman yang berbeda. Bambang Sunggono (1994: 11) mengutip beberapa

pendapat mengenai konsep kebijakan, yaitu:

xix

1). Kleijn menguraikan kebijakan sebagai tindakan sadar dan sistematis,

dengan memakai sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik

yang jelas sebagai sasaran, yang dilakukan secara bertahap;

2). Carl J. Fredrick menerangkan kebijakan sebagai serangkaian tindakan

yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu

lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan

kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan

tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu;

3). James E. Anderson mendefinisikan kebijakan sebagai rentetan

tindakan yang memiliki tujuan tertentu dan diikuti dan dilaksanakan

oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku untuk memecahkan

persoalan tertentu.

Menurut Miriam Budiarjo (2008: 20), kebijakan merupakan

kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik,

dalam usaha memilih tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut. Pada

prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan yang memiliki kekuasaan untuk

melaksananakan kebijakan.

Thomas Dye yang dikutip Bambang Sunggono (1994: 25) mengatakan

bahwa kebijakan tidak dapat menjadi kebijakan publik apabila tidak dirumuskan,

disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah seperti legislatif, eksekutif

dan yudikatif.

Menurut Hoogerwerf dalam Bambang Sunggono (1994: 24), suatu

kebijakan akan dianggap sebagai kebijakan publik jika:

1). Kebijakan publik berkaitan langsung atau tidak

langsung dengan semua anggota masyarakat di daerah kekuasaan

tertentu;

2). Kebijakan publik mengikat semua anggota masyarakat.

Kesimpulannya, kebijakan pemerintah merupakan keputusan yang

diambil pemerintah mengenai suatu permasalahan tertentu dengan serangkaian

8

xx

prosedur yang harus dijalani. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah akan

memiliki dampak terhadap semua atau sebagian anggota masyarakat, baik

secara langsung maupun tidak langsung.

b. Tujuan Kebijakan Pemerintah

Menurut Hoogerwerf yang dikutip oleh Bambang Sunggono (1994: 12)

mengungkapkan tujuan-tujuan penting kebijakan yaitu:

1). Memelihara ketertiban umum (negara sebagai stabilisator);

2). Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal

(negara sebagai stimulator);

3). Memadukan berbagai aktivitas (negara sebagai koordinator);

4). Menunjuk dan membagi benda material dan non material (negara

sebagai distributor).

Sementara Robert H. Simmons dalam Ibnu Syamsi (1986: 54)

menyatakan bahwa tujuan kebijakan pemerintahan yaitu:

1). Meningkatkan pemuasan kepentingan umum;

2). Menetapkan proses administrasi yang tepat;

3). Menghindari konflik sosial yang destruktif.

c. Faktor Yang Memengaruhi Kebijakan Pemerintah

Kebijakan publik dibuat sebagai solusi dari masalah publik yang

muncul dan berkembang dalam masyarakat (Joko Widodo, 2007: 50). Namun

tak semua masalah bisa menjadi kebijakan (M. Irfan Islamy, 2004: 77).

Charles F. Andrain (1992: 16) mengemukakan bahwa dalam suatu

sistem politik, keyakinan, struktur masyarakat, motif, persepsi dan sikap

individual semuanya berinteraksi untuk memengaruhi pilihan atau kebijakan

negara.

xxi

Menurut Nigro dan Nigro dalam M. Irfan Islamy (2004: 25), pembuatan

kebijakan dipengaruhi oleh:

1). Tekanan dari luar dimana pembuatan keputusan tidak bisa lepas dari

pengaruh dunia nyata;

2). Kebiasaan lama yang dipandang masih memuaskan untuk diteruskan

atau karena kengganan admininstrator untuk mengkritik kebiasaan

lama yang ada;

3). Sifat pribadi dari pihak pembuat keputusan;

4). Kelompok dari luar dalam hal ini lingkungan sosial dimana peran

dari pihak lain diperlukan dalam pembuatan keputusan;

5). Pengaruh keadaaan masa lalu.

Ramlan Surbakti (1992: 191) menjelaskan bahwa jumlah yang terlibat,

aturan pembuatan dan informasi yang cukup harus dipertimbangkan saat membuat

keputusan. Randall B. Ripley dalam Ramlan Surbakti (1992: 194) menyatakan

proses kebijakan dipengaruhi oleh lingkungan (lingkungan dalam dan luar

pemerintah serta lingkungan khusus kebijakan tertentu), persepsi pembuat

kebijakan tentang lingkungan, aktivitas pemerintah dalam menghasilkan rumusan

keputusan dan aktivitas masyarakat tentang kebijakan.

Nilai-nilai seperti nilai politik, nilai organisasi, nilai pribadi, nilai

kebijakan dan nilai ideologi turut melandasi tindakan dari pihak pembuat

keputusan dalam mengambil keputusan (Anderson dalam Irfan Islamy, 2004: 27).

M. Irfan Islamy (2004: 121) mengemukakan bahwa nilai itu berasal dari

pola keyakinan dan aspirasi masyarakat untuk mempertahankan dan

menyejahterakan kehidupan fisik dan mentalnya. Nilai-nilai tersebut turut pula

menentukan penggunaan sumber-sumber (manusia, energi, uang, alam dan lain-

lain) dalam suatu sistem sosial (M. Irfan Islamy, 2004: 121).

Peter Brigman dan Glyn Davis dalam Kristian Widya Wicaksono (2006:

65) menyatakan bahwa kebijakan publik memiliki beberapa karakteristik yaitu:

1). Memiliki tujuan untuk dicapai atau tujuan yang dipahami;

2). Melibatkan keputusan beserta konsekuensinya;

3). Hakekatnya adalah politis;

xxii

4). Bersifat dinamis.

Brigman dan Davis meneruskan bahwa kebijakan publik bisa dilihat dari

3 dimensi (Kristian Widya Wicaksono, 2006: 65), yaitu:

1). As Authoritative Choice, yaitu kebijakan bisa dilihat sebagai

tanggapan pembuat keputusan terhadap isu atau problem publik;

2). As Hypothesis, yaitu kebijakan dibangun dalam sebuah kerangka

model teori sebab dan akibat;

3). As Objective, yaitu kebijakan publik merupakan pencapaian tujuan.

Menurut Amara Rakasasataya dalam M. Irfan Islamy (2004: 20),

kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu

tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat tiga macam elemen yaitu:

1). Identifikasi tujuan yang ingin dicapai;

2). Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan

yang diinginkan;

3). Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara

nyata dari taktik atau strategi.

M. Irfan Islamy (2004: 77) mengungkapkan bahwa membuat suatu

kebijakan negara bukanlah proses yang sederhana karena banyak faktor yang

memengaruhinya. Suatu kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan politik

namun untuk menyejahterakan anggota masyarakat secara keseluruhan.

Sjahrir berkeinginan mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang

merupakan jembatan untuk mencapai tujuan sebuah negara yang menjunjung

kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, menghindari tekanan dan

penghisapan, menegakkan keadilan, membebaskan bangsa dari genggaman

feodalisme dan menuju pendewasaan bangsa (Roesdy Husein dalam

sudarjanto.multiply.com).

Pemerintahan Sjahrir telah mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti

penarikan semua kekuatan bersenjata Indonesia dari Jakarta, pengangkutan

tentara Jepang dan APWI (Allied Prisoner of War and Internees), bantuan

xxiii

makanan bagi anggota APWI di Bandung, kebijakan Pepolit dalam tentara dan

perundingan dengan Sekutu (Roesdy Husein dalam sudarjanto.multiply.com).

d. Perumusan Kebijakan Pemerintah

M. Irfan Islamy (2004: 77) mengungkapkan bahwa membuat suatu

kebijakan negara bukanlah proses yang sederhana karena banyak faktor yang

memengaruhinya. Suatu kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan politik

namun untuk menyejahterakan anggota masyarakat secara keseluruhan.

Pembuat kebijakan harus mencari dan menentukan identitas dari

permasalahan kebijakan dengan benar dalam merumuskan suatu kebijakan.

Kekeliruan menentukan permasalahan kebijakan akan membuat salahnya

perumusan permasalahan kebijakan sendiri. Kekeliruan tersebut akan

berdampak panjang dalam proses selanjutnya (Bambang Sunggono 1994: 50).

Langkah berikutnya ialah memasukkan permasalahan dalam agenda

pemerintah. Agenda pemerintah harus menggambarkan permasalahan atau isu

dimana para pembuat keputusan harus memiliki perhatian khusus

terhadapnya.

Menurut Cobb dan Elder dalam Charles O. Jones (Joko Widodo,

2007: 56), prasyarat permasalahan masuk ke agenda pemerintah yaitu:

1). Permasalahan kebijakan mendapat perhatian luas dari masyarakat;

2). Adanya persepsi dan pendapat publik yang luas bahwa diperlukan

beberapa tindakan untuk mengatasi permasalahan kebijakan;

3). Persepsi yang sama dari masyarakat bahwa permasalahan kebijakan

menjadi tanggung jawab pemerintah.

xxiv

Sementara Anderson dalam Irfan Islamy (2004: 86) menyebutkan

bahwa adanya ancaman keseimbangan antar kelompok, kepemimpinan politik,

krisis besar, gerakan protes dan isu umum yang masuk ke pers turut

memengaruhi problema umum masuk menjadi agenda pemerintah

Setelah agenda pemerintah dibuat, dipilihlah salah satu alternatif

pemecahan yang akan diajukan menjadi usulan kebijakan. Usulan kebijakan

biasanya diajukan oleh lembaga eksekutif kepada badan legislatif atau pihak yang

berwenang. Usulan tersebut oleh badan legistaltif bisa diterima, ditolak atau

diterima dengan catatan. Apabila usulan kebijakan disahkan maka kebijakan

publik perlu diberi bentuk hukum dengan berbagai bentuk perundang-undangan

yang ada. Pemberian bentuk hukum akan memberikan legitimasi bagi kebijakan.

Berikutnya kebijakan dapat dipaksakan berlaku dan pelaksanaannya bersifat

mengikat bagi yang menjadi sasaran kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 53).

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo dalam Bambang Sunggono (1994: 53),

tahap-tahap pembentukan kebijakan publik yaitu:

1). Policy germination, yaitu penyusunan konsep pertama dari suatu

kebijakan;

2). Policy recomendation, yaitu rekomendasi mengenai suatu kebijakan;

3). Policy analysis, yaitu analisa kebijakan dimana berbagai informasi

dan penelaahan dilakukan terhadap adanya suatu rekomendasi suatu

kebijakan, yang biasanya juga mempertimbangkan berbagai alternatif

implikasi pelaksanaanya;

4). Policy formulation, yaitu perumusan kebijakan;

5). Policy decision atau policy approval, yaitu pengambilan keputusan

formal terhadap suatu kebijakan, yang umumnya hal ini kemudian

disahkan dalam bentuk perundang-undangan;

6). Policy implementation, yaitu pelaksanaan kebijakan;

7). Policy evaluation, yaitu penilaian pelaksanaan kebijakan.

e. Kendala Pelaksanaan Kebijakan

xxv

Kerap kali dalam pelaksanaan kebijakan cenderung akan bermasalah.

Beberapa tipe kebijakan menurut Budi Winarno (2002: 158) yang berpotensi

menimbulkan masalah ialah kebijakan yang sama sekali baru, kebijakan yang

didesentralisasikan, kebijakan yang kontroversial, kebijakan yang kompleks,

kebijakan yang terkait dengan krisis dan kebijakan yang ditetapkan

pengadilan.

Pelaksanaan kebijakan umumnya dilakukan oleh lembaga pemerintah di

berbagai tingkat. Dalam rangka mencapai tujuan kebijakan, perlu diperhatikan

peran dari kelompok-kelompok kepentingan yang bertindak sebagai wakil dari

obyek kebijakan. Kegiatan dari kelompok-kelompok kepentingan yang ditujukan

untuk menghambat atau mempercepat pelaksanaan kebijakan menjadi bagian dari

proses pelaksanaan itu sendiri. Disamping itu, perlu diperhatikan pula suara dari

pers dan keputusan keputusan dari pengadilan yang bisa saja terkait dengan

pelaksanaan kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 139).

Menurut James E. Anderson dalam Budi Winarno (2002: 179)

melesetnya dampak kebijakan pemerintahan dari yang diinginkan semula

dikarenakan beberapa hal, yaitu:

1). Sumber-sumber yang tidak memadai;

2). Cara melaksanakan kebijakan yang tidak pas;

3). Banyaknya faktor yang memengaruhi suatu kebijakan;

4). Cara orang menanggapi suatu kebijakan, yang berbeda dengan apa

yang diperkirakan sebelumnya;

5). Tujuan-tujuan kebijakan yang tidak sebanding atau malahan

bertentangan satu sama lain;

6). Biaya yang diperuntukkan menyelesaikan masalah justru lebih besar

dari masalah itu sendiri;

7). Terlalu banyak masalah publik yang sulit diselesaikan;

xxvi

8). Sifat masalah yang akan dipecahkan oleh tindakan kebijakan.

Anderson yang dikutip Bambang Sunggono (1994: 139) menjelaskan

anggota masyarakat dapat menerima suatu kebijakan karena:

1). Respek terhadap otoritas dan keputusan badan-badan pemerintah;

2). Kesadaran menerima kebijakan;

3). Keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah dan dibuat para

pembuat kebijakan lewat mekanisme yang telah ditetapkan;

4). Anggapan bahwa kebijakan sesuai dengan kepentingannya;

5). Sanksi yang akan diterapkan apabila tidak melaksanakan kebijakan;

6). Penyesuaian waktu terutama untuk kebijakan yang kontroversial

yang lebih banyak mendapat penolakan warga masyarakat dalam

pelaksanaannya.

Anderson menambahkan bahwa anggota masyarakat bisa saja menolak

suatu kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 139) karena:

1). Konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum karena sifat

kebijakan yang kurang mengikat;

2). Bertentangan dengan pemikiran atau gagasan kelompok tempat

anggota masyarakat bergabung;

3). Keinginan mencari keuntungan dengan cepat yang membuat orang

cenderung bertindak melawan hukum;

4). Ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan yang

bisa saja saling bertentangan satu sama lain;

5). Pertentangan tajam antara kebijakan dengan sistem nilai yang dianut

masyarakat secara luas atau kelompok tertentu dalam masyarakat.

Perbedaan pandangan antara Pemerintah Sjahrir dengan kelompok diluar

pemerintah cukup lebar. Pemerintah berkepentingan mengambil berbagai

kebijakan yang moderat terhadap Belanda. Pandangan sebaliknya yang banyak

dipegang kelompok luar Pemerintah adalah justru tidak perlu melakukan

kompromi dengan Belanda (Reid, 1996: 149).

Misalnya upaya pemerintah melakukan pembicaraan dengan Sekutu

karena merasa lebih realistis menghadapi Belanda dan Sekutunya mengingat

xxvii

terbatasnya alat atau badan perjuangan yang ada. Golongan radikalis justru

menginginkan kemerdekaan 100% dan menolak berkompromi dengan Belanda

(Sartono Kartodirdjo dalam Lapian dan Drooglever, 1992: 85).

Kelompok pemuda terutama yang menentang kebijakan perundingan.

Pertempuran di Surabaya dan Jawa Tengah membuat mereka yakin akan

perjuangan kemerdekaan 100%. Para pemimpin yang juga berkaca dari

pertempuran tersebut justru menganggap diplomasi menjadi jalan terbaik

mempertahankan kemerdekaan (de Jong dalam Lapian dan Drooglever, 1992: 64).

2. Polarisasi Politik

a. Konsep Polarisasi Politik

Polarisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 339) yaitu pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Jadi polarisasi politik merupakan pembagian kelompok yang memiliki pandangan politik menjadi dua bagian yang berbeda satu sama lain.

James E. Anderson dalam Bambang Sunggono (1994: 139) menyatakan

anggota masyarakat bisa saja menolak kebijakan mengingat beberapa hal seperti

konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum karena sifat kebijakan yang

kurang mengikat, kebijakan yang bertentangan dengan pemikiran atau gagasan

kelompok tempat anggota masyarakat bergabung, keinginan mencari keuntungan

dengan cepat yang membuat orang cenderung bertindak melawan hukum,

ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan yang bisa saja

saling bertentangan satu sama lain dan pertentangan tajam antara kebijakan

dengan sistem nilai yang dianut masyarakat secara luas atau kelompok tertentu

dalam masyarakat.

Ramlan Surbakti (1992: 158) mengatakan dalam proses pembuatan

keputusan, hampir akan terjadi konflik, konsesnsus dan perubahan. Didalam

proses politik selalu terjadi konflik diantara pihak-pihak yang berusaha

mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.

Dalam proses politik pula kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan akan

memiliki aspirasi yang berbeda dan bahkan bertentangan satu sama lain.

xxviii

Dalam bidang politik, persaingan kelompok diwujudkan dalam sikap

kelompok yang tidak menyampaikan kepada yang lainnya tujuan masing-masing

kelompok. Bahkan mereka mengharapkan agar lawan menjadi lengah. Masyarakat

dalam kehidupan sehari-hari belum tentu merasakan adanya persaingan yang ada.

Masyarakat baru menyadari jika persaingan berubah menjadi pertentangan (Astrid

S. Soesanto, 1983: 108).

Peluang kontraversi yang berakibat terjadinya polarisasi selalu ada

dimana-mana. Hendropuspito (1989: 246) menyatakan hal itu wajar karena

pendapat orang tidak selalu sama dengan orang yang lain. Keuntungan yang

diperoleh satu pihak belum tentu menyenangkan pihak lainnya. Kontravensi

sebagi fakta sosial selalu berkaitan dengan sikap-sikap sosial yang bersifat

negatif, seperti rasa antipati, iri hati, praduga, rasa kahawatir akan terdesak oleh

piohak lain, frustasi dan sebagainya. Sikap-sikap tersebut muncul hampir selalu

berkaitan dengan maslah pernbedaan ras, suku, agama atau keperceyaan, ideologi

dan politik, perbedaan status, perbedaan nasib dan perbedaan dalam sosial dan

ekonomi.

Hendropuspito (1989: 246) melanjutkan bahwa pelaku kontravensi

mudah ditemukan. Baik secara terang-terangan atau tersembunyi, terjadi

kontravensi antara golongan agama yang satu melawan golongan agama dengan

yang lain, golongan kaya dengan golongan miskin, golongan terdidik dengan

golongan yang tidak terdidik dan kelas yang berkuasa dengan kelas yang tidak

berkuasa. Kontravensi dapat pula terjadi antara partai politik yang satu dengan

partai politik yang lain dan negara yang satu dengan negara lainnya.

b. Kelompok Polarisasi Politik

Sering kali dalam masyarakat terdapat kelompok yang tidak

menyesuaikan diri dengan kaidah yang berlaku. Kelompok-kelompok tersebut

memiliki motivasi yang berbeda namun motivasi mereka dikarenakan dua hal

(Hendropuspito, 1989: 312), yaitu

xxix

1) Kelompok yang tidak puas dengan situasi dan kondisi masyarakat.

Kelompok ini dibedakan dua yaitu golongan ekstrim (non konformis)

dan golongan moderat.

a). Golongan ekstrim dibedakan dua, yaitu ektrim kanan (melakukan

penyimpangan karena dasar halauan masyarakat yang ada

dianggap tidak menjamin tercapainya nilai sprirtual keagamaan

yang mereka inginkan) dan ekstrim kiri (melakukan

penyimpangan karena dasar halauan masyarakat yang ada

dianggap tidak menjamin tercapainya nilai materiil yang

memuaskan);

b). Sementara golongan moderat tidak setuju dengan pelaksanaan

pola dasar di masyarakat namun tidak menentang pola dasarnya

sendiri.

2) Kelompok yang tidak bisa mengikuti aturan permainan yang ada,

seperti:

a). Kelompok penderita cacat mental;

b). Kelompok pemderita cacat fisik;

c). Kelompok pengemis pelacur dan gelandangan; dan

d). Kelompok kriminil.

Ralf Dahrendorf yang dikutip Veeger (1990: 217) mengungkapkan

jika ada sekelompok orang yang memilki kepentingan bersama namun mereka

belum berorganisasi, mereka disebut “kelompok konflik potensial”. Ginsberg

(Veeger, 1990: 217) menyebut mereka sebagai field for groups (ladang-ladang

darimana kelompok-kelompok dapat dikerahkan). Selama mereka tidak

berinteraksi mengenai tujuan bersama maka belum akan lahir solidaritas dan

perasaan bersatu.

Dahrendorf menambahkan jika sekelompok orang yang memiliki

kepentingan yang sama berkumpul dalam satu wadah, kepentingan mereka

xxx

akan menjadi suatu program yang nyata. Mereka akan berubah menjadi

“kelompok kepentingan yang aktual”. Mereka makin sadar dimana letak

kepentingan mereka dan struktur kekuasaan apa yang menghalangi mereka

(Veeger, 1990: 218).

Dahrendorf lalu menyatakan kondisi yang diperlukan untuk

mengubah kelompok kepentingan potensial menjadi aktual (Veeger, 1990:

218), yaitu:

1). Kondisi struktural, yaitu adanya nilai atau program bersama,

organisasi yang terarah dan pemikir dalam organisasi;

2). Kondisi politik dalam suatu negara, entah menguntungkan atau

merugikan kelompok kepentingan itu sendiri;

3). Kondisi sosial yaitu adanya pertemuan dan interaksi anggota

kelompok.

Penghayatan dari tujuan utama kelompok yang murni ditemukan jika

terdapat kesediaan pengorbanan, yang seimbang dengan perwujudan tujuan

kelompok tersebut dan apabila partisipasi masyarakat ditingkatkan. Suatu

kelompok baru mencapai fase idealnya jika perbedaan yang ada mengalami

pengintegrasian. Pembentukan kelompok dipengaruhi keyakinan bersama

perlunya pengelompokan dan tujuan, harapan yang dihayati kelompok dan

ideologi yang mengikat semua anggota kelompok (Astrid S. Soesanto, 1983: 112

dan 39).

Dalam polarisasi politik biasanya terjadi persaingan antar kelompok

untuk meraih tujuan yang hendak dicapai masing-masing kelompok Sudijono

Sastroatmodjo (1995: 111) menyatakan biasanya dalam masyarakat memiliki infra

struktur politik yaitu komplek hal-hal yang berkenaan dengan pengelompokan

warga negara dan anggota masyarakat kedalam berbagai macam golongan yang

biasaya dikenal dengan kekuatan sosial politik dalam mayarakat. Kehidupan

politik masyarakat dalam infra struktur politik turut memengaruhi jalannya

xxxi

lembaga negara atau sistem pemerintahan. Sebaliknya, lembaga pemerintah dapat

pula memengaruhi kehidupan masyarakat.

Secara umum infra struktur politik (Sudijono Sastroatmodjo, 1995: 111),

terdiri dari:

1) Partai Politik;

2) Kelompok Penekan;

3) Kelompok Kepentingan;

4) Media Komunikasi Politik; dan

5) Tokoh Politik.

Komponen-komponen infra struktur politik tersebut dalam jalannya sistem memiliki fungsi masukan. Fungsi masukan tersebut memberikan bahan masukan atau informasi yang harus diproses oleh sistem tersebut serta tenaga yang yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup sistem tersebut. Fungsi masukan meliputi dua unsur, yaitu tuntutan dan dukungan.

Yang dimaksud dengan tuntutan yaitu keinginan atau aspirasi dari masyarakat yang terorganisasi dalam berbagai bentuk partai-partai politik maupun kelompok-kelompok kepentingan. Unsur dukungan merupakan pandangan-pandangan maupun tindakan-tindakan yang memberikan “support” untuk berjalannya sistem. Tanpa dukungan, tuntutan-tuntutan yang datang dari masyarakat tidak dapat terpenuhi dan konflik-konflik yang ada dalam sistem politik tidak dapat terselesaikan. Agar tuntutan yang diajukan dalam sistem politik mendapat tanggapan yang baik maka anggota-anggota yang memperjuangkan tuntutan menjadi keputusan yang mengikat. Bagi mereka yang ingin memengaruhi proses politik maka mereka harus mampu memperoleh dukungan dari pihak lain dalam sistem tersebut (Sudijono Sastroatmodjo, 1995: 134).

c. Jalannya Polarisasi Politik

Persaingan bisa memiliki fungsi yang positif seperti mendorong

terciptanya kemajuan yang lebih tinggi, adanya fokus untuk mencapai hasil yang

lebih baik dari hasil yang telah diperoleh sekarang dan memacu orang untuk

menciptakan hal-hal baru yang menungguli orang lain. Namun persaingan dapat

pula memicu pihak yang lemah menjadi tertutup kesempatan hidup dan apabila

tidak dapat dikontrol dapat menimbulkan bentrokan dalam masyarakat

(Hendropuspito, 1989: 241).

Bila dalam masyarakat terdapat gejolak diantara berbagai pihak, dengan

segala motivasi yang mendorongnya maka masing-masing pihak akan berusaha

merumuskan dan mengajukan kepada pemerintah selaku pembuat dan pelaksana

xxxii

kebijakan politk. Pihak-pihak yang bertikai akan mengadakan politisasi agar

keinginannya menjadi isu politik. Untuk itu maka setiap pihak akan membuat

perhitungan tersendiri agar kepentingannya tercapai dengan efektif. Upaya

tersebut bisa dilakukan dengan koalisi dengan pihak lain atau cukup

diperjuangkan sendiri. Kedua cara tersebut tentu dilakukan dengan berbagai

pertimbangan matang. Usaha berikutnya dengan mempengaruhi agar pemerintah

keinginannya terkabul.

Pemerintah memiliki tentu saja memiliki pertimbangan tersendiri dalam

menghadapi tuntutan-tuntutan tersebut. Tuntutan tersebut bisa diterima atau justru

ditolak. Namun tentu saja keputusan yang diambil dan dilaksanakan pemerintah

tidak selalu mampu menghentikan pertikaian yang ada. Pihak-pihak yang

berkepentingan belum tentu bisa menerima keputusan pemerintah dan justru terus

menyuarakan tuntutannya sehingga permasalahan bisa terus berkelanjutan atau

malah dimulai dari awal lagi. Apabila tuntutan pihak yang berkepentingan

diterima pun bisa pula membuat perubahan baru di bidang lain yang justru dapat

menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat (Ramlan Surbakti, 1992: 164).

Persaingan yang timbul diantara pihak yang bertikai dapat berkembang

menjadi permusuhan atau kontravensi. Kontravensi atau oposisi dapat dilakukan

dengan beberapa cara (Hendropuspito, 1989: 244), yaitu

1) Oposisi kasar dan oposisi halus. Oposisi kasar ditandai dengan

ketidaksopanan seperti gangguan, fitnah, provokasi dan lain-lain

yang bermaksud menjelekkan lawan; Sementara oposisi halus

dilakukan dengan bahasa yang sopan namun memiliki makna tajam

dan diketahui oleh umum.

2) Oposisi terbuka dan oposisi tertutup. Oposisi terbuka terjadi bila

pihak mana atau siapa yang melakukan penentangan diketahui seperti

demonstrasi atau unjuk rasa; Sementara oposisi tertutup sulit

diketahui pihak yang menentang karena aksi yang dilakukan meski

diketahui umum namun sulit diterka pihak yang melakukannya

seperti surat kaleng atau selebaran gelap;

xxxiii

3) Oposisi resmi dan oposisi tidak resmi. Oposisi resmi adalah

penentangan yang diterima dan ditegaskan dengan ketentuan hukum.

Penegasannya dilakukan lewat lembaga negara atau agama. Ada pula

partai oposisi dalam demokrasi yang berfungsi mengkritik yang

berguna untuk jalannya pemerintahan; Oposisi tidak resmi

merupakan cara penentangan yang tidak dikukuhkan dengan

peraturan hukum dan tidak dilembagakan. Oposisi tidak resmi kerap

ditemui dalamdiskusi atau proses promosi kesarjanaan. Maksud dari

“kritik” ialah supaya suatu kebenaran yang hendak diterima sungguh

merupakan kebenaran yang tangguh dan tahan uji.

Kontravensi atau oposisi memiliki dampak (Hendropuspito, 1989: 247),

yaitu:

1) Bagi yang menjadi sasaran kontravensi, dapat membuat tertunda atau

bahkan gagalnya tujuan yang hendak dicapai;

2) Terlibatnya pihak ketiga dalam ketegangan.

Konflik kepentingan akibat polarisasi politik dapat menyebabkan

terjadinya perubahan politik. Konflik kepentingan diantara berbagai kelompok

yang menyebabkan perubahan merupakan hasil interaksi kepentingan yang

secara ketat dikontrol bahkan ditentukan oleh posisi sosial atau kondisi

materiil elit yang terlibat. Gagasan dan nilai merupakan pencerminan dari

kepentingan saja.

Kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda biasanya

mengartikulasi dan memperjuangkan “budaya” yang berbeda pula. Kelompok

yang memiliki posisi funsional lebih penting dari kelompok lain akan lebih

memiliki kemungkinan untuk mencapai kepuasan daripada kelompok yang

tidak memiliki posisi yang dominan. Oleh karena itu inovasi budaya yang

xxxiv

akan datang dipandang sebagai sangat berhubungan dengan struktur sosial

yang ada pada masa sekarang (Ramlan Surbakti, 1992: 246).

Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Rahman Zainuddin (1992: 180)

menyatakan bahwa solidaritas diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan

bersama atau kepentingan orang banyak. Tanpa adanya solidaritas, sulit bagi

orang untuk memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Orang-orang yang

tidak memerhatikan faktor solidaritas dalam perjuangannya seringkali gagal

dalam mencapai tujuannya.

Khaldun menambahkan bahwa hal itu berlaku juga dalam melakukan

perjuangan atau oposisi terhadap negara. Jika ingin melakukan oposisi

terhadap negara maka diperlukan kelompok solidaritas yang lebih kuat dari

kelompok solidaritas yang dimiliki negara. Jika tidak memilikinya, lebih baik

tidak melakukan oposisi karena tindakan oposisi apalagi dalam kondisi negara

yang masih kuat, hanya akan berakhir dengan kehancuran oposisi sendiri

(Rahman Zainuddin, 1992: 181).

Kehidupan politik Indonesia cukup baik pasca munculnya kebebasan

mendirikan organisasi. Banyak organisasi kemudian bersemangat

menyuarakan pendapatnya mengenai permasalahan-permasalahan yang ada.

Berbagai kebijakan Pemerintah segera mendapat respon dari organisasi-

organisasi dalam berbagai bentuk mulai dari cara terbuka hingga tertutup.

3. Konflik Politik

a. Pengertian Konflik

xxxv

Tidak ada masyarakat yang terbebas dari konflik. Kita tidak dapat

menghilangkan konflik, yang bisa dilakukan hanya mengurangi jumlah konflik

dan mencegah semakin mendalam dan meluasnya suatu konflik. Keberadaan

konflik yang selalu terjadi dalam masyarakat bersumber dari hubungan sosial

(social relation) yang merupakan hakekat suatu masyarakat (Maswadi Rauf,

1992: 77).

Ralf Dahrendorf (1986: 197) menerangkan tiap masyarakat selalu

berubah, dan memperlihatkan pertentangan dan konflik dibanyak bidang. Unsur-

unsur dalam masyarakat sendiri yang menyumbang disintegrasi dan perubahan.

Kemudian berdirinya suatu masyarakat disebabkan paksaan segelintir anggota

masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya.

Salah satu bentuk konflik sosial dalam masyarakat adalah konflik politik.

Konflik politik dapat dikelompokkan ke dalam konflik sosial karena terjadi dalam

masyarakat sebagai akibat dari adanya hubungan sosial yang cukup intensif.

Konflik politik dapat menimbulkan disintegrasi nasional seperti halnya konflik

sosial, malah berdampak langsung bagi disintegrasi nasional jika konflik politik

menjadi berlarut-larut tanpa penyelesaian yang pasti (Maswadi Rauf, 1992: 80).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 587), konflik berarti

percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Soerjono Soekanto (1982: 89)

mendefinisikan konflik sebagai suatu proses dimana orang-perorangan atau

kelompok manusia untuk memenuhi tujuannya.

Maswadi Rauf (2002: 2) mengartikan konflik sebagai setiap pertentangan

atau perbedaan antara paling tidak dua orang atau kelompok. Lewis A. Coser

dalam Veeger (1990: 211) menerangkan konflik sebagai perselisihan mengenai

nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-

sumber kekayaan yang jumlahnya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang

berselisih tidak hanya ingin memperoleh barang yang ia inginkan namun juga

berusaha memojokkan lawan-lawannya.

Konflik politik sendiri ialah setiap konflik yang berkaitan dengan kebijakan yang dibuat penguasa politik dan jabatan yang diduduki oleh penguasa politik, termasuk kepentingan penguasa politik (Maswadi Rauf, 2001: 22).

xxxvi

Ramlan Surbakti dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 244)

mendefinisikan konflik politik sebagai perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan dalam usaha mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber keputusan yang akan dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Konflik antara dua orang karena perbedaan pendapat tidak selalu menyangkut politik. Konflik bisa menyangkut politik jika perbedaan yang ada melibatkan lembaga politik.

Kesimpulannya, konflik politik merupakan persaingan, pertentangan dan perbedaan pendapat yang melibatkan penguasa politik. Umumnya, masalah yang dipertentangkan berkaitan dengan kebijakan yang akan dan sedang dilaksanakan pemerintah.

b. Macam-Macam Konflik

Ramlan Surbakti (1992: 149) membagi konflik dalam dua bentuk yaitu: 1). Konflik berwujud kekerasan, umumnya terjadi dalam masyarakat

atau negara yang belum memiliki konsensus mengenai dasar dan

tujuan negara dan mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik

yang melembaga. Misalnya: huru-hara, pemogokan, pengajuan petisi,

pembangkangan sipil dan dialog;

2). Konflik yang tidak berwujud kekerasan, kerap terjadi di negara atau

masyarakat yang memiliki konsensus mengenai dasar dan tujuan

negara, dan memiliki mekanisme pengaturan dan penyelesaian

konflik yang melembaga. Misalnya: demonstrasi, pemogokan,

pengajuan petisi, pembangkangan sipil dan dialog.

Kedua konflik di atas termasuk konflik yang bisa diselesaikan lewat

kompromi atau kerjasama antara kedua belah pihak yang saling menguntungkan

meskipun hasilnya tidak optimal.

Menurut Paul Conn dalam Ramlan Surbakti (1992: 144), jenis konflik

yaitu:

1). Zero-sum Conflict: konflik yang bersifat antagonis dan tidak mungkin

diadakan kerjasama atau kompromi diantara pihak yang berkonflik;

2). Non Zero-sum Conflict: konflik yang dapat diselesaikan baik itu

dengan kompromi maupun kerjasama yang menguntungkan kedua

pihak, meskipun hasilnya tidak optimal.

c. Karakteristik Konflik Politik

xxxvii

Ted Robert Gurr yang dikutip Maswadi Rauf (2001: 7) menjelaskan ciri-

ciri konflik ialah:

1). Terdapat dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik;

2). Sikap permusuhan masing-masing pihak yang berkonflik;

3). Adanya penggunaan kekerasan untuk menghancurkan, melukai atau

menghambat lawan;

4). Interaksi pihak-pihak yang bertikai bersifat terbuka sehingga dengan

pengamat independen mudah mendeteksi adanya konflik.

Sementara Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan Tangdililing (1992: 83), mengungkapkan beberapa ciri konflik politik yaitu:

1). Perbedaan besar diantara masyarakat mengenai obyek politik;

2). Polarisasi yang lebih jelas dalam masyarakat;

3). Keterlibatan penguasa politik dalam konflik.

d. Pemicu Konflik Politik

Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan Tangdililing (1992: 81) menyatakan konflik politik dapat terjadi karena perbedaan pandangan tentang penguasa politik, sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki penguasa politik dan mengenai keputusan politik.

Menurut O’Brien, Scharg dan Martin yang dikutip Astrid S. Soesanto (1983: 104), konflik sering terjadi karena:

1). Ketidaksepahaman dalam anggota kelompok mengenai tujuan

masyarakat yang semula menjadi pegangan kelompok;

2). Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat dalam

mencapai tujuan yang disepakati;

3). Norma-norma kelompok yang dihayati oleh para anggotanya

bertentangan satu sama lain;

4). Sanksi dalam norma melemah dan tidak konsekuen dijalankan;

5). Tindakan anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma

kelompok.

Menurut Soerjono Soekanto (1982: 94), yang menjadi penyebab konflik

adalah perbedaan antara individu-individu atau kelompok-kelompok, kebudayaan,

kepentingan dan sosial.

Maurice Duverger (2003: 159) mengungkapkan bahwa konflik berasal dari antagonisme politik yaitu:

xxxviii

1). Sebab-sebab individual:

a). bakat-bakat individual: dimana ada manusia yang memiliki bakat

alami lebih dari manusia yang lain dan cenderung berada di atas

angin, untuk menjamin kekuasaan;

b). sebab-sebab psikologis: perbedaan dalam kecenderungan

psikologis dimana individu-individu tertentu cenderung

mematuhi individu lain. Sebaliknya, ada individu yang

cenderung menguasai yang lain.

Kedua hal di atas bukan merupakan dua alasan berbeda dari antagonisme politik namun merupakan dua aspek dari antagonisme politik menuju ke konflik.

2). Sebab-sebab kolektif (Maurice Duverger, 2003: 188), yaitu

perjuangan kelas, konflik rasial dan konflik antar kelompok

horizontal.

Ralf Dahrendorf dalam Veeger (1990: 214) menyatakan masyarakat terdiri dari penguasa dan orang yang dikuasai. Dualisme ini mengakibatkan kepentingan-kepentingan yang berbeda dan bisa saja saling berlawanan. Lalu, perbedaan tersebut dapat memunculkan kelompok-kelompok yang berbenturan.

Dahrendorf melanjutkan bahwa situasi konflik dalam masyarakat, secara mudah bisa dipahami jika dilihat sebagai konflik mengenai keabsahan wewenang penguasa. Penguasa berusaha mempertahankan kepentingannya, agar keabsahan kedudukannya makin kokoh. Mereka akan mencurigai dan menghambat oposisi, dimana oposisi sering disamakan dengan aksi subversi. Sebaliknya, pihak yang dikuasai yang memiliki perbedaan dengan penguasa, akan mempermasalahkan setiap penyimpangan wewenang yang ada (Veeger, 1990: 216).

Akar konflik di Indonesia pasca kemerdekaan adalah perbedaan pandangan dan kepentingan mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perbedaan tersebut terjadi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok diluar pemerintah. Pertentangan yang muncul sering kali berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang umumnya mendapat perhatian dari masyarakat.

e. Dampak Konflik

Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan A.B. Tangdiling (1992 : 79)

menyatakan dampak munculnya konflik adalah hancurnya kehidupan

bermasyarakat yang terkena konflik. Bahkan hubungan sosial yang buruk itu

dapat memunculkan disintegrasi politik.

Soerjono Soekanto (1982: 98) menyebutkan bahwa dampak konflik yang berkembang dalam masyarakat, yaitu:

1). Bertambahnya solidaritas in-group karena terdapat persinggungan

dengan kelompok lain;

xxxix

2). Apabila pertentangan terjadi dalam satu kelompok maka yang terjadi

adalah retaknya persatuan kelompok;

3). Perubahan kepribadian orang-perorangan;

4). Hancurmya harta benda dan jatuhnya korban jiwa;

5). Akomodasi, dominasi dan takluknya salah satu pihak.

Lewis A. Coser menyebutkan bahwa dampak konflik tidak selalu bersifat negatif. Justru konfliklah yang memberikan banyak kepada keberlangsungan kelompok dan mempererat hubungan antar anggota kelompok. Adanya musuh bersama akan membuat integrasi kedalam kelompok, menghasilkan solidaritas dan keterlibatan, dan membuat anggota-anggota kelompok melupakan perselisihan intern diantara mereka sendiri (Veeger, 1990: 212).

f. Penyelesaian Konflik

Konflik memang gejala alami dan tidak bisa dihindari dalam kehidupan sosial namun bisa dikurangi. Keinginan mengakhiri konflik bisa karena rasa lelah atau bosan para pelaku dan keinginan untuk mencurahkan tenaga ke hal-hal lain.

Simmel dalam Doyle Paul Johnson (1986: 273) mengemukakan cara mengakhiri konflik yaitu menghilangkan dasar dari tindakan-tindakan pihak yang berkonflik, kemenangan salah satu pihak dan kekalahan pihak lain, kompromi, perdamaian dan ketidakmungkinan untuk berdamai.

Beberapa cara yang sering dipakai untuk mengakhiri konflik (Hendropuspito, 1989: 250) yaitu:

1). Conciliato: mempertemukan pihak-pihak yang berselisih untuk

mencapai persetujuan bersama untuk berdamai;

2). Mediasi: menyelesaikan konflik lewat jasa perantara atau mediator.

Mediator umumnya memiliki wewenang untuk memberikan

keputusan yang mengikat;

3). Arbitrasi: menyelesaikan konflik lewat pengadilan dengan hakim

sebagai pembuat keputusan. Keputusan dari arbiter atau hakim

mengikat dan harus ditaati kedua belah pihak;

4). Coercion: menyelesaikan konflik dengan mengunakan paksaan fisik

atau psikologis.

5). Detente: mengurangi ketegangan diantara pihak yang bertikai. Cara

ini merupakan persiapan untuk melakukan pendekatan dalam rangka

pembicaraan mengenai langkah-langkah perdamaian.

Sedangkan Maswadi Rauf (2001: 10) memberikan dua cara penyelesaian konflik politik, yaitu cara persuasif untuk mencari titik temu diantara pihak-pihak yang berkonflik dan cara koersif dengan menggunakan kekerasan fisik untuk

xl

menghilangkan perbedaan dari pihak-pihak yang berkonflik. Maswadi Rauf (2001: 35) menambahkan bahwa konsensus politik bisa diperoleh lewat pemilihan umum, musyawarah dan pemungutan suara.

Astrid S. Susanto (1983: 103) menyatakan proses integrasi juga merupakan proses konflik (fase disorganisasi dan disintegrasi). Fase-fase dalam integrasi yaitu akomodasi, koperasi, koordinasi dan asimilasi.

4. Subversi

a. Pengertian Subversi

Subversi berasal dari bahasa latin yaitu subversus, yang berarti menggulingkan. Dalam bahasa Inggris, subversi (subversion) berarti gerakan bawah tanah untuk menggulingkan pemerintahan yang sah (Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Amir Muhsin, 1987: 280). Subversi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1096) ialah penggulingan kekuasaan atau pemerintahan dengan jalan melemahkan kepercayaan (kesetiaan) rakyat kepada pemerintah.

Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Pnps No 11 Tahun 1963 mengenai pemberantasan kegiatan subversi, subversi merupakan manifestasi pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan (bijgleged), suatu lanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara-cara tertutup (covert), sering pula dibarengi atau disusul tindakan kekerasan yang terbuka (Niniek Suparni, 1990: 95). Departemen Pertahanan dan Keamanan Indonesia menyatakan subversi yaitu kegiatan yang dilancarkan pihak secara terselubung dan secara tidak sah terhadap kepentingan negara sasaran (Djoko Prakoso et al, 1987: 280).

Kesimpulannya subversi merupakan usaha untuk menjatuhkan pemerintahan yang ada dengan cara yang tidak sah yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang sulit dipertemukan.

b. Penyebab Subversi

Setiap bangsa dan negara menginginkan agar kehidupan bernegaranya terwujud dalam keselarasan yang dinamis antara kepentingan yang terdapat pada rakyat dan pemerintahan yang mengelola sumber daya dalam wilayah negara. Kenyataannya tidak demikian karena pada suatu masa akan terjadi pertentangan kepentingan yang sulit dipertemukan penyelesaiannya. Akibatnya kemungkinan terjadi ketegangan politik sebelum berlangsungnya suatu peperangan (Bambang Poernomo, 1984: 117). Pertentangan politik dalam negara kerap terjadi karena ketidakselarasan antara kehendak negara yang akan dilaksanakan pemerintah dengan keinginan sekelompok orang yang memiliki kekuatan sosial-politik dalam suatu negara (Bambang Poernomo, 1984: 118).

Penjelasan umum UU Pnps No 11 Tahun 1963 menyatakan bahwa subversi merupakan manifestasi pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan, lanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara tertutup, sering pula disusul tindakan kekerasan yang terbuka (Niniek Suparni, 1990: 95).

xli

Menurut Djoko Prakoso et al (1987: 289) subversi memiliki beberapa

sumber yaitu dari luar negeri atau dalam negeri dari orang-orang negara yang bersangkutan, simpatisan atau orang yang diperalat atau memiliki persamaan kepentingan. Biasanya subversi berlandaskan kepentingan nasional dengan motivasi politik terselubung yang dalam prakek sering tercampur. Djoko Prakoso et al melanjutkan bahwa meski sumber subversi berlainan namun keduanya dapat bekerja sama, sehingga tercipta pola yaitu pola subversi asing dengan bantuan unsur dalam negeri, subversi dalam negeri yang dibantu pihak asing dan subversi dalam negeri yang berdiri sendiri.

c. Ruang Lingkup Subversi

Menurut penjelasan UU No.11 Pnps Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, subversi selalu terkait dengan politik dan merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dikehendaki golongan yang berkepentingan. Namun bidang non politik bisa dihubungkan dengan tindakan subversi (Niniek Suparni, 1990: 95).

Keputusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 22 Februari 1969 No. 89/Kr/1968 antara lain menetapkan unsur penting dalam tindak pidana subversi adalah latar belakang politik, yang harus selalu dibuktikan di muka sidang setiap unsur delik yang dituduhkan. Menurut putusan lain MA tanggal 17 Juli 1971 No. 28K/Kr/1969 memberikan pertimbangan lain dimana latar belakang tindak pidana subversi dalam kaitanya dengan kekuatan politik dan asing dan lainnya tidak memerlukan karena yang perlu disimpulkan yaitu unsur delik-delik subversi yang dari perbuatan nyata terdakwa (Bambang Poernomo, 1984: 122).

Sementara dalam putusan MA No. 364 K/Kr/1980 tanggal 26 Januari 1984 menyatakan istilah politik harus dipandang luas dan bukan semata sebagai practical politics atau partai politik melainkan sebagai kebijakan negara dalam ekonomi, sosial dan budaya (Djoko Prakoso et al, 1987: 287)

Oemar Seno Adji (1984: 159) menyatakan pengertian luas dalam UU No.11 Pnps Tahun 1963 bisa memancing hakim untuk memasukkan delik-delik yang semula tidak dimaksudkan untuk tindak pidana subversi ke dalam tindak pidana subversi. Oemar Seno Adji melanjutkan bahwa perumusan yang luas dalam tindak pidana subversi dan delik politik, yang memiliki fungsi perlindungan keamanan atau keselamatan negara, membuka hakim untuk mengadakan interpretasi extensif.

Ruang lingkup subversi (Djoko Prakoso et al, 1987: 289) yaitu: 1). Bidang Ideologi: sasaran ditujukan pada kelemahan-kelemahan

dalam bidang ideologi;

2). Bidang Politik: mempertentangkan perbedaan antar kekuatan sosial

guna memudahkan subversi infiltrasi terhadap kekuatan sosial yang

ada, ditujukan untuk bisa mendukung tujuan politik dari pihak yang

melakukan subversi;

xlii

3). Bidang Ekonomi: mengacau pelbagai macam ekonomi khususnya

bidang-bidang vital yang jika berhasil akan memberikan dampak

psikologis dan ekonomi kegoncangan masyarakat sasaran subversi,

secara sistematis mengenai bidang-bidang tertentu dalam bidang

ekonomi dengan maksud untuk dapat dimanipulasi guna kepentingan

masyarakat dan menghambat atau menghancurkan usaha-usaha

pembangunan ekonomi yang telah dicapai;

4). Bidang Sosial-Budaya: mempertentangkan perbedaan-perbedaan di

bidang sosial-budaya secara eksplosif dalam masyarakat,

memasukkan nilai-nilai baru di bidang sosial budaya untuk

menimbulkan frustasi atau keragu-raguan dan melemahkan integritas

persatuan dan kepribadian bangsa;

5). Bidang Pertahanan-Keamanan: melemahkan potensi militer yang ada,

memisahkan hubungan rakyat, pertahanan dan keamanan daerah, dan

menimbulkan kekacauan serta ketidakpastian dalam masyarakat.

Djoko Prakoso et al (1987: 296) menambahkan bahwa subversi memiliki sifat yang spontan dan spektakuler, pragmatis dalam menghadapi masalah dan memakai isu dari masalah-masalah yang timbul pada suatu waktu.

d. Kegiatan Subversi

Kegiatan subversi adalah menguasai keadaan, menciptakan keadaan yang menguntungkan bagi yang melakukan dengan tujuan intermedier antara lain meruntuhkan negara dari dalam, menjatuhkan pemerintahan yang sah, menarik negara sasaran kedalam pengaruh atau blok negara penggerak/pengendali/pelaku subversi dan menimbulkan kerugian baik materi atau imateri kepada negara/pemerintahan yang sah.

Subversi dilakukan dengan menimbulkan perpecahan dan pengrusakan diberbagai bidang, penyelewengan usaha yang mencapai dan memelihara tujuan dan kepentingan nasional, gangguan keamanan negara, berbagai ancaman dibanyak bidang dari negara sasaran subversi, dengan sasaran pemerintahannya agar melemah dengan menggunakan berbagai saluran di negara tersebut (Niniek Suparni, 1991: 15).

Djoko Prakoso et al (1987: 290) mengungkapkan bahwa kegiatan subversi dalam negeri ada yang bersifat konsepsional dimana mereka yang melakukan subversi telah memiliki tujuan, rencana dan program tertentu untuk mengubah atau mengganti sistem sosial atau pemerintah yang ada. Ada pula kegiatan subversi yang tidak bersifat konsepsional karena memaksakan perubahan namun tanpa memiliki rencana tertentu sebagaimana perubahan yang dimiliki.

xliii

Menurut Pasal 1 UU No.11 Pnps Tahun 1963, yang temasuk kegiatan

subversi yaitu: 1). Kegiatan yang bermaksud atau diketahui memiliki potensi negatif

atau destruktif terhadap ideologi negara Pancasila atau GBHN,

kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau

aparatur negara dan perekonomian yang diselenggarakan atau

berdasar keputusan Pemerintah atau berpengaruh luas terhadap hajat

hidup rakyat banyak;

2). Bersimpati terhadap musuh negara atau negara yang tidak bersahabat

dengan Indonesia;

3). Merusak bangunan umum atau perseorangan atau badan yang

dilakukan secara luas;

4). Melakukan kegiatan mata-mata;

5). Melakukan kegiatan sabotase;

6). Memikat tindak-tindak pidana tersebut di atas.

Djoko Prakoso et al (1987: 296) menyatakan pola-pola yang digunakan dalam subversi yaitu:

1). Mengadakan gerakan yang mudah ditiru di tempat-tempat lain;

2). Kampanye diawali dalam surat kabar atau selebaran untuk memicu

demostrasi atau gerakan;

3). Umumnya gerakan dimulai dari golongan kecil yang diharapkan akan

mendapat dukungan luas dalam masyarakat;

4). Sasaran utama biasanya pemerintah dan tiap gerakan didukung pers;

5). Kerap bertujuan untuk menggiring opini umum yang sesuai pendapat

kelompok.

Djoko Prakoso et al (1987: 296) menyatakan pula bahwa beberapa pola sumber yang digunakan dalam subversi yaitu:

1). Pola luar negeri, yaitu pola merah (komunis), pola putih (anti

komunis) dan pola New Left;

2). Pola dalam negeri, yaitu:

a). Pola subvesi dalam bidang seperti pertentangan ideologi,

konsepsi politik, kepercayaan/agama dan sosial (sosial-ekonomi,

kedaerahan, kesukuan);

xliv

b). Pola subversi ekstrim, yaitu golongan ekstrim kiri dan golongan

ekstrim kanan serta golongan ekstrim lain (intelektualisme,

separatisme, anarkisme).

e. Metode Subversi

Bentuk subversi yaitu intimidasi, insinuasi, provokasi, intervensi, penetrasi, sabotase, spionase, penghasutan, adu domba dan lain-lain. Strategi subversi yang dilakukan bisa jangka pendek, menengah, panjang dan dalam lingkup lokal, regional, global (Niniek Suparni, 1991: 15).

Djoko Prakoso et al (1987: 313) menyatakan subversi dijalankan lewat: 1). Spionase: usaha memperoleh secara tidak sah keterangan-keterangan

untuk tujuan yang merugikan atau membahayakan negara;

2). Sabotase: usaha kejahatan dan tindakan yang sengaja dilakukan

dengan ilegal untuk merusak, membuat agar tidak dapat dipakai,

menghilangkan sesuatu benda atau tanaman, membinasakan binatang,

menggagalkan atau menghambat program pemerintah sehingga

menimbulkan akibat yang luas yang membahayakan negara dalam

ekonomi, psikologis, politik atau pertahanan-keamanan;

3). Penggalangan: usaha membuat atau menciptakan kondisi yang

menguntungkan bagi subversi;

4). Infiltrasi: usaha ilegal memasuki wilayah negara tempat-tempat yang

tertentu yang sembunyi atau menyembunyikan identitas atau melalui

jalan lain daripada yang telah ditentukan dengan maksud spionase,

pengalangan, gangguan keamanan, pembentukan kekuatan bersenjata

dan atau mengambil bagian memimpin pemberontakan bersenjata;

5). Gangguan keamanan dalam upaya subversi: usaha sengaja dan

melawan hukum bersifat menyeluruh dan berdampak nasional

dengan tujuan subversi, seperti demonstrasi liar, kriminalitas,

propaganda liar, teror dan tindak pidana terhadap keamanan negara;

6). Pembentukan kekuatan bersenjata: usaha mempersiapkan kekuatan

fisik bersenjata secara melawan hukum untuk mencapai subversi.

f. Gangguan Keamanan

Tindak pidana yang termasuk gangguan keamanan keamanan negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikutip Wiryono

xlv

Prodjodikoro (1986: 193) yaitu: pasal 104 tentang makar terhadap kepala negara seperti membunuh, menghilangkan kemerdekaan atau membuat kepala negara tidak bisa menjalankan pemerintahan, pasal 106 tentang makar memasukkan Indonesia dibawah penguasaan asing dan pasal 107 tentang makar menggulingkan pemerintahan.

Gangguan keamanan lain dalam KUHP (pasal 108-129) yaitu pemberontakan, permufakatan untuk melakukan kejahatan, penyertaan istimewa, berhubungan dengan negara asing yang mungkin akan bermusuhan dengan negara, berhubungan dengan negara asing dengan tujuan agar asing membantu penggulingan pemerintahan, menyiarkan surat-surat rahasia, kejahatan mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara, merugikan negara dalam perundingan diplomatik, kejahatan spionase, menyembunyikan mata-mata musuh, menipu dalam hal menjual barang keperluan negara (Wiryono Prodjodikoro, 1986: 199).

Tindakan subversi terjadi karena ada upaya menjatuhkan pemerintahan dengan cara tidak sah. Biasanya subversi terjadi karena adanya pertentangan-pertentangan politik dalam suatu negara. Cara menjatuhkan pemerintahan bisa dengan dari demonstrasi atau aksi fisik seperti penganiayaan, penculikan dan pembunuhan terhadap diri kepala negara atau kepala pemerintahan.

5. Penculikan

a. Pengertian Penculikan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 223) menculik yaitu

melarikan orang lain dengan maksud tertentu seperti dibunuh atau dijadikan

sandera. Menurut KUHP Pasal 328 menyatakan barang siapa membawa pergi

seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan

maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum dibawah

kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam

keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama

dua belas tahun.

Jadi penculikan merupakan kegiatan melarikan orang lain dengan

maksud-maksud tertentu, dan menjadikan orang tersebut dibawah kekuasaannya

dengan berlawanan secara hukum.

b. Penyebab Penculikan

Penculikan menurut KUHP merupakan salah satu bentuk kejahatan yaitu

kejahatan melanggar kemerdekaan orang lain (Wiryono Prodjodikoro, 1986: 388).

Kartini Kartono (2005: 185) menyebutkan faktor eksternal atau sosial yang

menstimulasi banyaknya kejahatan, antara lain:

1). Saat-saat penuh perubahan transformasi sosial dan ekonomi;

xlvi

2). Pemerintah yang lemah dan korup, hukum dilanggar, tidak ada

kontrol sosial dan sanksi tegas;

3). Konflik kebudayaan karena perubahan kehidupan rural ke pola urban

lewat proses urbanisasi;

4). Terhambatnya mobilitas vertikal dan tidak mungkinnya penyaluran

usaha meningkatkan status sendiri;

5). Kebudayaan judi yang serba kompleks dimana rakyat tidak percaya

kebijakan pemerintah dan memunculkan sikap spekulatif untuk

memenuhi kebutuhan;

6). Pengembangan secara keliru sikap-sikap mental pada zaman modern;

Abdulsyani (1987: 21) menjelaskan beberapa fase timbulnya suatu

perbuatan jahat disebabkan oleh:

1). Sifat keserakahan manusia;

2). Sifat jahat yang muncul dari luar manusia sendiri;

3). Pengaruh iklim yang disertai faktor lain seperti pengalaman,

pendidikan dan moral;

4). Faktor individualistis dan intelektualistis dimana manusia bisa

membuat pilihan dalam berbuat hal yang menyenangkan atau tidak;

5). Muncul dari faktor keturunan;

6). Adanya kemelaratan atau ketunaan akan kebutuhan hidup;

7). Pengaruh lingkungan terutama lingkungan sosial.

Abdulsyani (1987: 44) lalu mengemukakan faktor yang dapat

menimbulkan kriminalitas, yaitu:

1). Faktor dalam diri manusia, yaitu:

a). Sifat khusus seperti sakit jiwa, daya emosional, mental dan

anomi (kebingungan);

b). Sifat umum seperti umur, seks, kedudukan individu dalam

masyarakat, pendidikan dan hiburan.

2). Sifat umum dalam individu, yaitu:

a). Faktor ekonomi, seperti perubahan harga, pengangguran,

urbanisasi;

xlvii

b). Faktor agama;

c). Faktor bacaan;

d). Faktor film termasuk televisi.

c. Jenis-Jenis Penculikan

KUHP memberikan beberapa pasal yang memiliki kaitan dengan jenis

penculikan (Wiryono Prodjodikoro, 1986: 388), yaitu:

1). Menculik orang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya

sementara (Pasal 328);

2). Menculik orang ke daerah lain padahal orang itu telah membuat

perjanjian untuk bekerja di suatu tempat tertentu (Pasal 329);

3). Menculik anak yang belum cukup umur (Pasal 330 ayat 1);

4). Menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331);

5). Melarikan wanita (Pasal 332 ayat 1).

d. Fungsi dan Disfungsi Penculikan

Penculikan seperti tertulis di atas merupakan salah satu bentuk kejahatan

melanggar kemerdekaan orang lain. Kartini Kartono (2005: 175) menyatakan

kejahatan merupakan tantangan bagi masyarakat karena:

1). Kejahatan yang berulang membuat demoralisir/merusak orde sosial;

2). Timbul rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan dan kepanikan di

masyarakat;

3). Terbuangnya materi dan energi dengan percuma;

4). Menambah beban ekonomi bagi sebagaian masyarakat.

Kartini Kartono (2005: 176) menambahkan bahwa kejahatan memiliki

pengaruh sosial, yaitu:

1). Menumbuhkan solidaritas dalam kelompok-kelompok yang tengah

diteror penjahat;

2). Muncullah kemudian tanda-tanda baru dengan norma susila yang

lebih baik yang diharapkan mampu mengatur masyarakat dengan

lebih baik dimasa datang;

3). Orang berupaya memperbesar hukum dan menambah kekuatan fisik

lain untuk memberantas kejahatan.

xlviii

Terpilihnya Sjahrir menjadi Perdana Menteri memberi harapan baru

dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejumlah kebijakan

segera dibuat setelah kabinet mulai bekerja. Akan tetapi kebijakan Pemerintahan

Sjahrir justru mendapat tantangan keras dari berbagai pihak, terutama kelompok-

kelompok yang berada diluar kabinet. Kebijakan Sjahrir dirasakan sangat kurang

untuk kepentingan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Sjahrir mulai terasa. Pertentangan

antara Pemerintah dengan kelompok-kelompok penentangnya mulai muncul ke

permukaan. Masing-masing pihak bersikeras mempertahankan sikap. Berbagai

manuver untuk menjatuhkan satu sama lain mulai berlangsung. Situasi kian rumit

karena kondisi Indonesia tidak kunjung membaik selama masa Pemerintahan

Sjahrir.

B. Kerangka Berpikir

Keterangan:

Kedatangan pihak Sekutu ke Indonesia telah membuat perbedaan

pandangan di kalangan orang Indonesia sendiri dalam upaya mempertahankan

kemerdekaan. Perpecahan makin terasa sejak Sjahrir menjadi Perdana Menteri.

Menolak

Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

Dampak

Mendukung

Pemikiran Perdana Menteri Sjahrir

Kebijakan Pemerintahan Sjahrir

Tujuan Nasional Tekanan Dari Luar

xlix

Kebijakan-kebijakan Pemerintahan Sjahrir mengecewakan banyak pihak terutama

kelompok-kelompok yang berada diluar pemerintah.

Perundingan dengan Sekutu dan ketegangan senjata antara rakyat dengan

Sekutu di beberapa daerah makin menimbulkan kekecewaan terhadap

Pemerintahan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir harus jatuh bangun menghadapi

tekanan yang ada. Perpindahan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta

justru memperjelas pola perpecahan perjuangan. Kota Surakarta yang berada

dekat dengan ibukota turut terpengaruh oleh kondisi politik nasional. Tekanan

yang makin besar dari luar kabinet memaksa Kabinet Sjahrir mengundurkan diri.

Situasi politik Indonesia terus memanas. Kebijakan Kabinet Sjahrir yang

kembali terbentuk tetap mendapat sorotan. Situasi panas di berbagai daerah

termasuk di Surakarta terus mengguncang Pemerintahan Sjahrir. Kelompok

penentang Pemerintahan Sjahrir makin keras melancarkan aksi penentangannya.

Kekuatan kelompok penentang tidak bisa diacuhkan begitu saja oleh

Pemerintahan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir berusaha meredam meskipun belum

efektif mengurangi tekanan kelompok penekan.

Pertentangan antara Kabinet Sjahrir dengan kelompok penentang terus

berlanjut. Masing-masing pihak tetap mempertahankan sikap yang telah diambil.

Ditengah-tengah pertentangan politik yang makin panas, Perdana Menteri Sjahrir

menghilang di Surakarta. Peristiwa yang terjadi pada 27 Juni 1946 ini

menimbulkan beberapa dampak yang luas.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian berjudul “PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR

DI SURAKARTA TAHUN 1946” memakai teknik pengumpulan data dengan

wawancara dan studi pustaka. Studi pustaka merupakan studi mengenai literatur

l

baik dari koleksi pribadi maupun dari perpustakaan. Adapun perpustakaan yang

digunakan dalam penelitian ini, antara lain:

a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta;

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS;

c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS;

d. Perpustakaan Monumen Pers Nasional Surakarta;

e. Badan Perpustakaan Daerah Yogyakarta;

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai pada bulan Februari tahun 2009 dan direncanakan

akan selesai pada bulan Oktober tahun 2009.

B. Metode Penelitian

Koentjaraningrat (1986: 7) menerangkan bahwa kata metode berasal dari

bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti cara atau jalan. Metode (dalam kaitan

dengan karya ilmiah) menyangkut tentang masalah cara kerja, yaitu cara kerja

untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Menurut

Dudung Abdurrahman (1999: 43), metode merupakan cara, jalan atau petunjuk

pelaksanaan atau petunjuk teknis.

Helius Sjamsudin (2007: 13) menyatakan metode memiliki kaitan dengan

suatu prosedur atau teknik yang sistematis dalam melakukan penyidikan suatu

disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek (bahan) yang diteliti.

Sementara Sartono Kartodirdjo (1992: ix) mengungkapkan

bahwa metode berhubungan dengan bagaimana cara untuk memperoleh

pengetahuan.

Penelitian ini dilakukan untuk merekonstruksikan, mendiskripsikan dan

memaparkan konflik yang terjadi pada awal masa Revolusi Indonesia. Oleh

karena fokus dalam penelitian ini adalah peristiwa di masa lalu maka metode yang

digunakan adalah metode historis atau sejarah. Penggunaan metode historis

40

li

dilakukan untuk merekonstruksi ulang peristiwa masa lalu untuk kemudian

dihasilkan suatu historiografi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Gilbert J. Garraghan dalam Dudung Abdurrahman (1999: 43)

menyatakan metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip

sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai

secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.

Louis Gottschalk (1975: 32) menjelaskan metode sejarah sebagai proses

menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik

dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah

sejarah yang dapat dipercaya.

Hadari Nawawi (1998: 78) mengemukakan bahwa metode penelitian

sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu

atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan

yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan masa sekarang.

Sementara Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 60) menyatakan bahwa

metode sejarah adalah rekronstruksi imajinatif dari gambaran masa lalu peristiwa-

peristiwa sejarah secara kritis dan analitis berlandaskan bukti dan data warisan

masa lalu yang disebut sumber sejarah.

Prosedur yang ditempuh yaitu:

1). Mencari jejak masa lalu;

2). Meneliti dengan kritis jejak masa lalu;

3). Membayangkan gambaran masa lalu dari informasi jejak masa lalu;

4). Menyampaikan hasil rekonstruksi imajinatif masa lalu sehingga

sesuai dengan jejak-jejaknya dan imajinasi ilmiah.

Kesimpulannya, metode sejarah merupakan metode pemecahan masalah

lewat pengumpulan sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan

diteliti. Pemakaian metode sejarah akan membantu memahami kejadian masa lalu

untuk kemudian diuji dan dianalisis secara kritis. Setelah itu dibuat sintesis dari

sumber sejarah dalam bentuk tertulis agar dapat dijadikan suatu cerita sejarah

yang obyektif, dipercaya dan menarik.

lii

C. Sumber Data

Sumber data sejarah merupakan sumber data yang dipakai dalam

penelitian ini. Sumber data sejarah kerap disebut data sejarah. Kuntowijoyo

(2001: 96) menyatakan perkataan data merupakan bentuk jamak dari kata tunggal

datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan.

Dudung Abdurrachman (1999: 30) menyatakan data sejarah merupakan

bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian dan pengkategorian.

Sumber sejarah menurut Helius Sjamsuddin (2007: 95), yaitu segala

sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang

sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Helius

Sjamsuddin melanjutkan, sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw

materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah

ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa

lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lesan).

Menurut Sidi Gasalba (1981: 105), sumber sejarah menurut bentuk dan

sifat warisannya terdiri dari

1. Sumber lesan yang merupakan sumber tradisional sejarah dalam arti

luas;

2. Sumber tertulis dimana tulisan memiliki fungsi mutlak dalam

sejarah;

3. Sumber visual, yaitu semua warisan masa lalu yang memiliki bentuk

dan rupa.

Menurut Louis Gottschalk (1975: 35), sumber sejarah dibagi dua yaitu

sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer merupakan kesaksian dari

seorang saksi dengan alat inderanya atau dengan alat mekanis seperti diktafon,

yaitu orang atau alat yang hadir dalam peristiwa yang dideritakan (saksi

pandangan mata). Oleh karena itu sumber primer harus berasal dari sumber yang

sejaman dengan peristiwa yang dikisahkan. Sumber sekunder merupakan sumber

yang bukan merupakan saksi pandangan mata.

liii

Menurut Kuntowijoyo (2001: 96) sumber sejarah menurut bahannya

dibagi dua yaitu sumber tertulis dan tidak tertulis atau dokumen dan artefak.

Kuntowijoyo (2001: 97) menambahkan bahwa jenis sumber terdiri dari:

1. Dokumen tertulis, yaitu surat-surat, notulen rapat, kontrak kerja dan

lain-lain;

2. Artefak, yaitu foto, bangunan atau alat;

3. Sumber lesan;

4. Sumber kuantitatif, yaitu pajak, akunting dan catatan lain.

Sedangkan Nugroho Notosusanto (1971: 19) membedakan sumber

sejarah menjadi dua macam yaitu:

1. Sumber primer yaitu sumber yang didapat secara langsung dari yang

menyaksikan peristiwa itu sendiri;

2. Sumber sekunder yaitu sumber yang keterangannya didapat

pengarang dari orang atau sumber lain.

Sumber data yang dipergunakan penelitian ini yaitu sumber tertulis dan

sumber tidak tertulis, baik primer maupun sekunder. Sumber tertulis primer dalam

penelitian ini antara lain koran Kedaulatan Rakjat yang terbit tahun 1946. Sumber

tertulis sekunder dalam penulisan ini antara lain berupa buku literatur dan artikel

yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya Revolusi Pemoeda: Pendudukan

Jepang di Jawa 1944-1946 karangan Ben Anderson dan Sekitar Perang

Kemerdekaan Indonesia Jilid 3: Diplomasi Sambil Bertempur karangan Nasution.

Sumber tidak tertulis dalam penelitian berupa foto dan informan yaitu Bapak

Handoyo Leksono dan Bapak Soemaryono.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Studi Pustaka

Menurut Hadari Nawawi (1998: 82), penelitian kepustakaan

mengungkapkan berbagai teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat dan

sebagainya yang dalam berbagai peninggalan tertulis terutama berupa buku–buku

yang dihasilkan zaman tertentu dalam proses sejarah.

liv

Mely G. Tan dalam Koentjaraningrat (1986: 18) mengungkapkan fungsi

studi pustaka, yaitu:

1). Memperdalam kerangka teoritis sebagai landasan teori;

2). Memperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti;

3). Mempertajam konsep yang digunakan untuk mempermudah dalam

perumusannya;

4). Menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian.

Hal yang penting dalam studi pustaka yaitu membuat catatan. Data yang

diperoleh dari studi pustaka hendaknya dibuat dalam catatan karena sangat sulit

menyimpan data hanya dalam ingatan belaka (Dudung Abdurrahman, 1999: 56).

Pengumpulan data lewat studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan

buku dan bentuk data lainnya mengenai peristiwa masa lalu dari beberapa tempat

penelitian. Buku atau data yang terkumpul kemudian diteliti dan disesuaikan

dengan tema penelitian. Data-data dalam penelitian ini diperoleh lewat studi

tentang sumber-sumber primer dan sumber yang berupa buku-buku, koran dan

majalah yang tersimpan di perpustakaan.

Dalam penelitian ini langkah penulis dalam mengumpulkan data adalah:

1). Mengumpulkan buku, surat kabar dan artikel internet yang relevan

dengan masalah yang diteliti;

2). Membaca dan mencatat sumber data yang diperlukan, baik sumber

primer maupun sekunder;

3). Menyalin dan mencatat literatur kepustakaan yang dianggap penting

dan relevan dengan masalah yang diteliti.

2. Wawancara

Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 57), teknik penting dalam

pengumpulan sumber lesan yaitu wawancara. Sutopo (2006: 60) menyatakan

wawancara merupakan suatu interaksi dan komunikasi. Interaksi antara orang

yang bertanya atau peneliti dengan informan.

lv

Paul yang dikutip Koetjaraningrat (1986: 129) menerangkan wawancara

dalam suatu penelitian memiliki tujuan untuk mendapatkan keterangan tentang

kehidupan manusia dimasyarakat dan pendirian-pendiriannya.

Menurut Koentjaraningrat (1986: 130), wawancara memiliki memiliki

dua sifat, yaitu:

1). Wawancara untuk mendapatkan keterangan dan data dari individu

tertentu untuk mendapatkan informasi. Sasaran wawancaranya

disebut informan;

2). Wawancara untuk mendapatkan data pribadi, pendirian atau

pandangan dari individu. Sasaran wawancaranya disebut responden.

Menurut Sutopo (2006: 68), terdapat dua teknik wawancara. Pertama

ialah wawancara terstruktur/terfokus. Peneliti dalam teknik ini menentukan

masalah penelitian dahulu sebelum wawancara. Pertanyaan dirancang secara pasti

dan responden diharapkan menjawab pertanyaan sesuai dengan kerangka kerja

pewawancara dan definisi permasalahan. Wawancara kerap bersifat formal dan

bisa dilakukan sekali. Cara ini dilakukan bila peneliti tahu yang dihadapi dan bisa

mengembangkan kerangka pertanyaan untuk mencari jawaban yang mengarah

pembuktian prediksinya.

Teknik wawancara kedua ialah wawancara tidak terstruktur/mendalam

(In-depth Interviewing). Teknik ini dilakukan terbuka (open ended) dan mengarah

pada kedalaman informasi. Tujuannya untuk menggali pandangan subyek yang

diteliti mengenai banyak hal yang berguna untuk menjadi dasar penggalian

informasinya yang lebih lengkap dan mendalam. Subyek yang diteliti lebih

bersifat informan daripada responden. Pertanyaan dan jawaban diserahkan pada

yang diwawancara. Dalam wawancara ini, sebaiknya jangan secara langsung

mengajukan pertanyaan pokok melainkan membicarakan dulu berbagai hal umum

untuk pengakraban dengan informan. Wawancara ini dapat dilakukan beberapa

kali sesuai kebutuhan.

Sutopo (2006: 70) menambahkan wawancara memiliki beberapa tahapan

yang tidak harus selalu linear namun harus selalu mendapatkan perhatian. Hal itu

dikarenakan wawancara terkadang dilakukan lebih dari sekali sesuai kebutuhan

lvi

penelitian. Tahapan tersebut pada umumnya meliputi penentuan siapa yang

diwawancara, persiapan wawancara, langkah awal yaitu pemahaman konteks

wawancara, pengupayaan wawancara yang produktif dan penghentian wawancara

dan penngambilan kesimpulan.

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan guna mendapatkan keterangan

informan yang dilakukan dengan mendalam, bersifat terstruktur dan tidak

terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan sistematis dan berencana dalam

bentuk pertanyaan tercatat kepada informan. Wawancara tidak terstruktur

dilakukan secara bebas kepada informan untuk mendapatkan memberikan

keterangan umum dan tidak terduga, yang tidak diketahui bila memakai

wawancara terstruktur.

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis.

Menurut Kuntowijoyo (2001: 103), interpretasi atau penafsiran sejarah kerap

disebut analisis sejarah. Analisis berarti menguraikan, dan secara terminologis

berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang

sebagai metode-metode utama dalam interpretasi.

Menurut Berkhofer yang dikutip Alfian dalam Dudung Abdurrahman

(1999: 64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang

diperoleh dari sumber-sumber sejarah. Fakta-fakta tersebut dengan teori-teori

disusun kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Suatu analisa historis dari

sebuah kejadian masa lalu mencari kepastian mengenai arti kausalitas bagi kerja

selanjutnya atau bagi perkembangannya (Sartono Kartodirdjo, 1982: 60).

Sartono Kartodirdjo (1992: 2) mengatakan bahwa hal yang diperlukan

dalam analisis sejarah adalah menyediakan suatu kerangka pemikiran atau

referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam

membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh diinterpretasikan, dianalisis isinya

dan analisis data harus berpijak pada kerangka teori yang dipakai sehingga

menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan penelitian.

lvii

Peneliti ini dilakukan dengan membandingkan data satu dengan yang lain

sesuai data yang diinginkan setelah mengumpulkan data. Hasilnya yaitu berupa

fakta-fakta sejarah yang relevan. Fakta-fakta itu diseleksi, diklarifikasi dan

ditafsirkan. Baru kemudian fakta-fakta itu dirangkaikan menjadi bahan penulisan

penelitian yang utuh dalam sebuah karya ilmiah.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu

persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Penelitian

ini menggunakan metode historis sehingga terdapat empat langkah yang harus

dipenuhi dalam penelitian. Empat langkah penelitian tersebut yaitu heuristik,

kritik, interpretasi dan historiografi.

Bagan prosedur penelitian tersebut yaitu:

Keterangan:

a. Heuristik

Heuristik berasal dari bahasa Yunani yaitu heurisken yang berarti

menemukan. Heuristik sendiri adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lalu

(Nugroho Notosusanto, 1971: 18).

Menurut G. J Rener dalam Dudung Abdurrahman (1997: 55), heuristik

adalah suatu teknik, suatu seni dan bukan suatu ilmu. Heuristik tidak mempunyai

peraturan-peraturan umum dan sedikit mengetahui tentang bagian-bagian yang

pendek. Sidi Gazalba (1981: 114) menyatakan heuristik adalah kegiatan mencari

bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian.

Jadi, heuristik adalah kegiatan pengumpulan jejak-jejak sejarah atau

kegiatan mencari sumber sejarah.

Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi

Fakta Sejarah

lviii

Pada tahap ini, peneliti berusaha menemukan sumber tertulis dan

informan yang relevan dengan penelitian. Mengenai Sumber tertulis, perpustakaan

yang dituju untuk mencari sumber sejarah diantaranya Perpustakaan Pusat UNS,

Perpustakaan FKIP UNS, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP

UNS, Perpustakaan Program Pasca Sarjana UNS, Perpustakaan Monumen Pers

Nasional dan Badan Perpustakaan Daerah Yogyakarta.

b. Kritik

Tahap penelitian sejarah sesudah heuristik adalah melakukan verifikasi

atau kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Menurut Nugroho Notosusanto

(1971: 20), setiap sumber memiliki aspek ekstern dan intern.

Helius Sjamsudin (2007: 132) menyatakan kritik sumber umumnya

dilakukan terhadap sumber pertama. Keabsahan sumber ini dicari lewat pengujian

mengenai kebenaran atau ketetapan sumber.

Kritik terhadap sumber data dilakukan dengan cara kritik ekstern dan

kritik intern. Menurut Helius Sjamsudin (2007: 133), kritik ekstern merupakan

suatu penelitian atas asal-usul sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau

peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan

untuk mengetahui apakah sumber telah mengalami perubahan atau tidak. Kritik

intern lebih menekankan aspek isi dari sumber (kesaksian), dalam hal ini

menyangkut apakah kesaksian tersebut bisa diandalkan atau tidak (Helius

Sjamsudin, 2007: 143).

Sidi Gazalba (1981: 115) membedakan kritik menjadi dua yaitu kritik

dalam dan kritik luar. Kritik dalam berusaha memastikan peristiwa yang

dinyatakan oleh bahan. Kritik luar untuk memastikan keaslian dan hubungan antar

bahan.

c. Interpretasi

Interpretasi menurut Nugroho Notosusanto (1971: 17) yaitu menetapkan

makna dan saling berhubungan dari fakta yang diperoleh secara itu. Interpretasi

lix

penelitian ini dilakukan dengan mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan

sumber sejarah yang lain.

Seorang peneliti dalam proses interpretasi sejarah harus mencapai

pengertian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa (Dudung

Abdurrahman, 1999: 54). Dengan demikian akan diketahui hubungan sebab akibat

suatu peristiwa masa lalu yang menjadi obyek penelitian. Sumber sejarah

kemudian ditafsirkan, diberi makna dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga

dapat dipahami makna tersebut sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan

obyek penelitian yang dikaji.

Jadi kegiatan kritik sumber dan interpretasi menghasilkan fakta atau

sintesis sejarah.

d. Historiografi

Prosedur terakhir penelitian dalam metode sejarah adalah historiografi.

Historiografi menurut Dudung Aburrahman merupakan cara penulisan, pemaparn

atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang dilakukan. Nugroho Notosusanto

(1971: 17), historiografi adalah menyampaikan sintesa yang didapat dalam bentuk

kisah.

Imajinasi sangat diperlukan dalam historiografi untuk merangkai fakta-

fakta yang ada sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan dapat

dipercaya kebenarannya. Dalam penelitian ini, penulis berusaha menghasilkan

suatu cerita sejarah yang dapat dipercaya, dapat dipertanggungjawabkan sekaligus

menarik untuk dibaca.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

1. Latar Belakang Terbentuknya Pemerintahan Sjahrir

a. Situasi Indonesia Sebelum Terbentuknya Pemerintahan Sjahrir

lx

Pemerintah Indonesia dibawah Presiden Sukarno mengambil langkah

menghindari konfrontasi senjata dengan Inggris yang mewakili Sekutu saat tiba di Indonesia dan dengan Jepang yang masih di Indonesia. Kedatangan Sekutu justru meningkat ketegangan di Indonesia. Kriminalitas meningkat dan menjadi hal yang biasa terjadi diantara interniran, Sekutu dan orang Indonesia. Aksi penculikan, pembunuhan dan penyerobotan menimpa mereka yang dianggap mementingkan diri sendiri atau dicurigai berpihak pada lawan. Ledakan kekerasan tak jarang meletus di berbagai tempat (Nasution, 1977: 7). Ketidakpuasan lain menyangkut hubungan baik Pemerintah presidensiil dengan Jepang dan sikap lunak saat Presiden Sukarno saat berpidato di Ikada (Anderson, 1988: 198).

Para pemuda tidak menyukai kebijakan diatas. Berbagai perlawanan terhadap Sekutu dan juga Jepang terjadi di berbagai wilayah namun kebanyakan tidak menemui hasil. Di Jakarta, para pemuda masih bisa dikontrol Pemerintah. Kota Bandung, Semarang dan Surabaya dikuasai Sekutu lewat pertempuran besar. Wilayah lainnya seperti Kupang, Banjarmasin, Makasar, Manado jatuh ke tangan Sekutu sepanjang bulan September hingga pertengahan Oktober 1945. Pemerintahan Indonesia di wilayah tersebut tidak mampu berbuat banyak (Reid, 1996: 76 dan 83).

Pada awal Oktober 1945 muncul semacam kesepakatan diantara pemuda yang sadar politik agar kelemahan yang mereka pandang dari Pemerintah harus dihentikan (Anderson, 1988: 198). Perkembangan berikutnya terjadi dengan cepat. PPKI berubah menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945 (Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 86). Presiden Sukarno menguraikan tugas KNIP yaitu menyatakan keinginan untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka, mempersatukan rakyat dari segala lapisan dan jabatan, supaya terpadu di segala tempat di seluruh Indonesia, persatuan kebagsaan yang bulat dan erat, membantu menentramkan rakyat dan turut menjaga keselamatan umum serta membantu memimpin dan menyelenggarakan cita-cita bangsa dan di daerah membantu Pemerintahan Daerah meningkatkan kesejahteraan umum (Anderson, 1988: 138).

Memasuki bulan Oktober 1945 sejumlah anggota KNIP tidak puas terhadap sistem presidensial. Mereka menginginkan sistem presidensiil menjadi parlementer. Dengan demikian, KNIP akan diserahi fungsi legislatif dan Pemerintahan akan bertanggung jawab pada KNIP. Dasar yang dipakai ialah Pasal 4 dalam Aturan Peralihan UUD 1945 yang dapat memberikan jalan bagi KNIP untuk berperan sebagai badan konstitusional. UUD 1945 secara nyata tidak berbau Jepang. Namun kekuasaan besar yang dimiliki Presiden akan dapat menimbulkan tuduhan bahwa Presiden dipengaruhi Jepang. Dengan adanya badan yang demokratis akan berguna untuk menghilangkan tuduhan tersebut dan mempercepat pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia.

Untuk itu, 50 anggota KNIP menandatangani petisi kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta agar KNIP diberi fungsi badan legislatif. Petisi tersebut diserahkan kepada Presiden Sukarno pada 7 Oktober 1945. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta menyetujui perubahan yang diusulkan KNIP. Keluarlah Maklumat Pemerintah No. X pada 16 Oktober 1945 (Kahin, 1995: 190; Anderson, 1988: 200). Menurut Maklumat Pemerintah No. X, KNIP diberi fungsi

lx

lxi

legislatif sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat terbentuk serta akan bekerja sama dengan Presiden dalam menetapkan garis besar halauan negara. Isi Maklumat Pemerintah No. X lainnya yaitu pembentukan suatu Badan Pekerja (BP) untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNIP. BP KNIP akan bertanggung jawab kepada KNIP sendiri (Osman Raliby, 1953: 511; badilag.net).

Pada 17 Oktober 1945 KNIP kembali bersidang. KNIP memutuskan menyetujui dua resolusi dengan tujuan kedalam dan keluar. Selain itu dibentuk pula BP KNIP dimana Sutan Sjahrir terpilih menjadi ketua (Osman Raliby, 1953: 58; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 38).

Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan Surat Keputusan mengenai peran BP KNIP untuk secara luas turut menentukan garis besar halauan negara namun tidak dalam usaha perinciannya karena merupakan hak tunggal presiden. Selain itu, BP KNIP bersama presiden menyusun hukum-hukum yang berkaitan dengan semua bidang pemerintahan. Hukum tersebut dijalankan pemerintah yaitu presiden dibantu para menteri dan para pembantu menteri (Kahin, 1995: 192).

Memasuki bulan November 1945, Pemerintah mengeluarkan Maklumat Politik tanggal 1 November 1945. Maklumat itu dipengaruhi sikap Sekutu yang menyatakan menghargai cita-cita Indonesia dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia (Engelen et al, 1997: 232). Maklumat tersebut antara lain berisi uraian pertikaian Indonesia dan Belanda. Untuk menyelesaikannya, Pemerintah mengusahakan agar Indonesia mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan dan pemerintahannya. Berkenaan dengan itu, hak milik asing tidak akan disita. Maklumat tersebut menjadi halauan politik pemerintahan selanjutnya (Osman Raliby, 1953: 525; Nasution, 1977: 119).

Selanjutnya, KNIP berusaha membuka kebebasan mendirikan partai-partai. Hal itu dilakukan agar demokrasi berkembang di Indonesia. Pada awalnya hanya terdapat satu partai di Indonesia yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Pembentukan PNI sebagai partai negara tersebut menimbulkan berbagai kritik (Nasution, 1977: 114). PNI dikecam karena kurang mewakili seluruh golongan. Para pemimpin Islam dan tokoh besar gerakan bawah tanah kurang terwakili dalam PNI. Sejumlah besar tokoh PNI dekat dengan Jepang sehingga PNI dianggap kesinambungan Jawa Hokokai dari masa Jepang. Keberadaan PNI dapat menimbulkan tumpang tindih dengan peran KNIP. Namun sejak dari awal berdirinya terdapat perbedaan diantara para tokoh PNI sendiri (Anderson, 1988: 114). Pada 31 Agustus 1945 Pemerintah mengeluarkan Maklumat yang membekukan pembentukan PNI karena pembentukan Komite Nasional lebih penting untuk didahulukan (Osman Raliby, 1953: 29; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 49).

Pada 30 Oktober 1945 BP KNIP mengusulkan sistem satu partai agar diganti dengan sistem multi partai untuk mencerminkan semua aliran politik penting di Indonesia (Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 104). Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta menyetujui usulan tersebut. Kemudian dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang antara lain berisi Pemerintah menyukai terbentuknya berbagai macam partai politik (Osman Raliby, 1953: 529; Nasution, 1977: 114). Keberadaan partai

lxii

meskipun belum berpengaruh penting karena pengakuan atas partai dan janji pemilihan umum menjadi dasar pembentukan pemerintahan yang bersifat parlementer (Anderson, 1988: 204). Partai-partai politik segera berdiri setelah pengumuman tersebut seperti Partai Sosialis (PS), Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Buruh Indonesia (PBI).

Di luar Jakarta, partai-partai telah dirintis pembentukannya sebelum Maklumat tanggal 3 November 1945. Malahan terbentuknya partai-partai tidak mematuhi keinginan tokoh pusatnya. Reaksi di daerah mengenai maklumat tersebut bukanlah pemberian hak mendirikan partai melainkan pengakuan atas kenyataan yang telah ada. Beberapa partai seperti Masyumi dan Partai Sosialis memang telah dirintis pembentukannya sebelum terjadi perubahan dalam KNIP. Kelahiran partai-partai lain hanya menunggu waktu saja.

b. Perkembangan Kekuatan Bersenjata di Indonesia

Kebijakan Pemerintah Sukarno yang penting adalah keputusan tidak membentuk organisasi tentara setelah pembubaran PETA (Pembela Tanah Air). Pembubaran PETA diputuskan pimpinan militer Jepang pada 17 Agustus 1945 karena Jepang tidak mungkin meneruskan PETA yang diciptakan untuk memerangi Sekutu. Perintah pembubaran PETA berlangsung lancar dimana para anggota PETA di daerah dilucuti dengan berbagi alasan. Kebanyakan PETA tidak melakukan perlawanan. Pembubaran PETA dipermudah dengan adanya Konferensi PETA se-Jawa sejak 14 Agustus. Pembubaran PETA juga disepakati dalam rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945. Keberadaan PETA dianggap tidak menguntungkan dimata Sekutu. Sebagai ganti PETA, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi bagian Badan Penolong Keluarga Korban Perang.

Namun tindakan pemerintah yang tidak membentuk tentara menyebabkan kebanyakan kalangan pemuda dan pejuang bersenjata beranggapan bahwa hal itu merupakan suatu kelambatan dan kesalahan besar pemerintah. Maksud didirikan BKR hanya untuk memelihara ketentraman setempat belaka yang sesuai dengan strategi diplomasi Sukarno-Hatta. Namun jelas kehadiran BKR tidak memuaskan kalangan pemuda dan pejuang bersenjata yang memiliki semangat bertarung dan kekuatan senjata. Disamping itu BKR baik di Pusat maupun di daerah tidak berada dibawah Presiden melainkan berada dibawah KNIP dan KNI Daerah (Jahja Muhaimin, 1971: 26; Anderson, 1988: 120).

Menjelang akhir September 1945 ternyata BKR menjadi kurang efektif. Oleh karena itu pada 5 Oktober 1945, Pemerintah mengeluarkan suatu maklumat pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Keesokan hari Suprijadi diangkat menjadi Menteri Keamanan Keamanan Rakyat. Pada 14 Oktober 1945 Pemerintah mengangkat bekas Mayor Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL), Oerip Soemohardjo menjadi Kepala Staf Umum (KSU) Angkatan Perang dengan tugas menyusun dan merencanakan pengembangan TKR.

Pada tanggal 9 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengeluarkan keputusan bahwa TKR sebagai organisasi yang membawahi BKR. Hal ini dimaksudkan agar tentara-tentara bekas PETA, Heiho, KNIL dan laskar-laskar serta barisan rakyat lainnya dapat lebih bersatu (Anderson, 1988: 261). Selain pengangkatan KSU, ditunjuk pula Suprijadi menjadi Menteri Pertahanan

lxiii

kemudian menjadi pemimpin tertinggi, kemudian disebut Menteri Keamanan Rakyat (Nasution, 1977: 213).

Meskipun telah ada pengumuman pembentukan TKR, terbentuknya tentara lebih merupakan inisiatif setempat. Disamping itu telah menjadi kebiasaan jika komandan tentara dipilih sendiri oleh para bawahannya. Apabila ada pengangkatan dari pemerintah pusat, belum tentu para bawahan mau menerima calon dari pusat. Demikian pula yang terjadi dengan pengangkatan Oerip Soemohardjo menjadi KSU TKR dimana para panglima di daerah tidak menyukai pengangkatan tersebut (Nasution, 1977: 277).

Pembubaran PETA ternyata berdampak dalam upaya membentuk tentara Indonesia yang padu dibawah wewenang pemerintahan sipil pusat. Ketika PETA dibubarkan, para mantan PETA kembali ke daerah masing-masing. Banyak dari mereka lalu mengumpulkan pemuda setempat entah sesama mantan PETA, Seinendan, organisasi pemuda yang bersifat kemiliteran atau berdasar kemampuan dan wibawa pribadi. Tentara Indonesia mulai terbentuk sejak itu namun sering tanpa tuntunan dari atas sehingga tentara cenderung mandiri dari Pemerintah (Anderson, 1988: 128).

KSU TKR Oerip Sumohardjo membentuk Markas Besar TKR di Yogyakarta. Setelah itu wilayah Jawa dibagi menjadi 10 Divisi dan Sumatera menjadi 6 Divisi. Pembagian tersebut dianggap terburu-buru sehingga kurang efisien. Struktur Markas TKR pun demikian besar hingga Oerip Sumohardjo tidak lagi bisa mengatur dengan baik perkembangan TKR. Hal tersebut diakibatkan pula persaingan antara para mantan PETA dan KNIL dalam TKR.

Kehadiran TKR belum memuaskan banyak pihak terutama para mantan PETA dan KNIL. Banyak yang menilai bahwa TKR mencerminkan keraguan pemerintah yang lebih mengutamakan pendekatan diplomasi dalam perjuangangannya. Pemerintah berusaha menghindari citra fasis, militeristis dan sebagainya sekaligus membangun penampilan bangsa Indonesia yang cinta damai. Selain itu TKR bersifat kerakyatan dan masih mengutamakan keamanan dalam negeri. Menurut para mantan PETA dan KNIL, keamanan dalam negeri seharusnya bisa dikontrol oleh pemerintah sendiri (Jahja Muhaimin, 1971: 30; Nasution, 1977: 72).

Hubungan antara pemerintah dengan kalangan tentara tetap belum lancar kareana KSU TKR belum secara nyata memimpin. Oerip Sumohardjo yang menduduki jabatan KSU ditolak kedudukannya sebagai pemimpin militer tertinggi. Oerip hanya dianggap mengepalai kantor umum TKR. Kementerian Pertahanan juga belum ada karena Suprijadi ditunjuk Pemerintah menjadi Menteri Pertahanan tidak pernah muncul dan tidak pula diketahui keberadaannya. Oleh karena itu para panglima tentara di daerah membuat suatu Konferensi untuk mengatur ketentaraan Indonesia. Konferensi dilangsungkan di Yogyakarta pada 12 November 1945 dan dipimpin Oerip Sumohardjo. Konggrges dihadiri hampir semua panglima divisi dan komandan resimen, Wakil Pemerintah Pusat Suljohadikusumo dan para Jenderal tituler yaitu Paku Buwono (PB) XII, Hamengkubuwono (HB) IX, Mangkunegoro (MN) VII dan Paku Alam (PA)VIII.

Pembicaraan dalam kongres tidak bisa dikontrol KSU yang sebenarnya memimpin kongres tersebut. Wakil Pemerintah Pusat juga tidak dapat

lxiv

memberikan tuntunan yang semestinya. Pembicaraan konferensi meningkat ke pemilihan Panglima Besar Tentara, Menteri Pertahanan dan pembentukan panitia. Dalam kesempatan itu, KSU Oerip Sumohardjo kalah suara dalam pemilihan panglima besar oleh Jenderal Sudirman dari Divisi V. Terpilih pula Sultan HB IX menjadi Menteri Pertahanan pilihan kongres tentara (Nasution, 1977: 277). Kemampuan Jenderal Sudirman segera memperkuat kedudukannya dalam TKR, baik di mata para mantan PETA maupun KNIL (Anderson, 1988: 275).

Disamping TKR yang telah terbentuk, berbagai badan perjuangan atau laskar tetap diperbolehkan berdiri (Nasution dalam Jahja Muhaimin, 1971: 30). Kehadiran badan perjuangan selama revolusi tidak hanya menjadi sarana melakukan perlawanan. Badan perjuangan juga menjadi identitas kelompok dan tempat bertahan hidup pemuda. Perkembangan selanjutnya, badan-badan perjuangan berafiliasi dengan partai-partai-politik. tindakan tersebut bermakna untuk mempertahankan kemerdekaan sekaligus membela membela dan menjaga kepentingan kekuatan politik yang diikutinya (Julianto Ibrahim, 2004: 99). Beberapa badan perjuangan yang ada antara lain Laskar Rakyat, Barisan Banteng, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Hizbullah dan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI).

Badan perjuangan sering terlihat seperti tentara dengan pemakaian atribut tentara, sikap yang mereka tunjukkan serta organisasinya yang menyerupai tentara. Terkadang diantara badan-badan perjuangan terjadi perselisihan satu sama lain atau dengan tentara resmi. Kondisi tersebut bisa menjadi rawan karena pertikaian badan perjuangan sering menggunakan senjata. Memang selain tentara pemerintah, badan-badan perjuangan memiliki persenjataan sendiri. Persenjataan badan perjuangan terkadang lebih bagus dari tentara resmi. Kebanyakan persenjataan badan perjuangan merupakan rampasan dari tentara Jepang. Oleh karena mereka enggan menyerahkan persenjataannya kepada Pemerintah meski ada instruksi sebelumnya. Bahkan persenjataan yang mereka miliki akan dipertahankan hingga mati karena untuk mendapatkannya juga dengan taruhan nyawa (Wawancara dengan Soemaryono, 27 Juli 2009).

Kehadiran badan perjuangan membuat terjadinya persaingan dengan tentara biasa. Persaingan menyangkut hal-hal seperti penguasaan senjata, upaya mempertahankan eksistensi dan mendapat dukungan dari rakyat. Hal tersebut membuat sering terjadi bentrokan antara tentara dan badan perjuangan. Terjadi pula persaingan antara Pemerintah dengan Markas Besar Tentara yang ingin menguasai badan perjuangan atau laskar. Tentara ingin agar badan perjuangan atau laskar agar melebur dalam tentara sementara pemerintah lewat Kementerian Pertahanan berusaha memasukkan badan perjuangan atau laskar dibawah pengaruhnya (Sundhaussen, 1988: 40).

2. Pemerintahan Parlementer Sjahrir a. Pembentukan Pemerintahan Sjahrir

Perubahan penting berikutnya dalam politik Indonesia adalah pembentukan kabinet parlementer. Upaya itu dirintis pada 1 November 1946 saat BP KNIP mendesak presiden agar mempertimbangkan pengalihan tanggung jawab menteri kepada legislatif. Presiden Sukarno menyetujui hal tersebut dengan

lxv

dasar pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945. BP KNIP lalu menunjuk Sjahrir dan Amir Sjarifuddin sebagai pembentuk kabinet parlementer. Presiden Sukarno tidak menolak penunjukkan tersebut.

Perubahan sistem kabinet sebenarnya bertentangan dengan UUD 1945. Namun kebanyakan lembaga-lembaga Republik juga bersifat sementara. Oleh karena itu perubahan kabinet dapat dilakukan dengan dibuat dalam bentuk konvensi dengan corak dari Inggris. Perubahan tersebut tak lepas dari kinerja Pemerintah Soekarno yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan umum. Kekecewaan bertambah setelah kedatangan Sekutu di Indonesia. Pihak Sekutu dan terutama Belanda nampak enggan menerima keberadaan Sukarno sebagai pemimpin meskipun beberapa usaha telah dilakukan kabinet. Sikap Kabinet Sukarno yang berusaha menghindari sikap revolusioner justru menimbulkan kekecewaan dari kekuatan-kekuatan revolusioner di daerah terutama para pemuda (Anderson 1988: 206).

Pada 14 November 1945 Sjahrir mengumumkan anggota kabinetnya. Kabinet baru ini terdiri dari para pejabat non-politikus yang kompeten dan tercatat tidak turut bekerja sama dengan Jepang (Kahin, 1995: 213). Susunan menteri dalam kabinet Sjahrir, yaitu:

1). Perdana Menteri : Sutan Sjahrir

2). Menteri Dalam Negeri : Sutan Sjahrir

3). Menteri Luar Negeri : Sutan Sjahrir

4). Menteri Penerangan : Amir Syarifuddin

5). Menteri Keamanan Rakyat : Amir Syarifuddin

6). Menteri Keuangan : Sunario Kolopaking

7). Menteri Pendidikan : T.G.S Moelia

8). Menteri Kehakiman : Suwandi

9). Menteri Sosial : Adjidarmo

10). Menteri Kesehatan : Darmasetiawan

11). Menteri Perekonomian : Darmawan Mangunkusumo

12). Menteri Tenaga Kerja : Putuhena

13). Menteri Pekerjaan Umum : Putuhena

14). Menteri Perhubungan : Rasad

Berkenaan dengan pembentukan pemerintahan baru, Pemerintah

mengeluarkan Maklumat tanggal 14 November 1945 yang diantaranya

menyatakan Pemerintah pertama bersifat sementara sehingga pembaharuan perlu

dilakukan untuk menyempurnakan usaha pemerintah menuju demokrasi

(Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, 1999: 149).

lxvi

Pada 17 November 1945 Kabinet Sjahrir mengeluarkan pernyataan yang

diantaranya menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tidak berubah dan sesuai dengan yang tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Kabinet akan tetap menuntut kemerdekaan Indonesia yang sepenuhnya dengan memperhatikan kaidah negara merdeka dalam hubungan internasional dan juga kewajiban membangun tatanan dunia baru berdasarkan cita-cita perjanjian perdamaian dunia (Charter for Peace) (Engelen et al, 1997: 219). Berkenaan dengan politik dalam negeri, kabinet akan memperhatikan hal-hal (Engelen et al, 1997: 220; Osman Raliby, 1953: 103) sebagai berikut:

1). Menyempurnakan susunan pemerintahan daerah berdasarkan

kedaulatan rakyat;

2). Mencapai koordinasi segala tenaga rakyat didalam usaha

menegakkan Republik Indonesia serta pembangunan masyarakat

yang berdasarkan keadilan dan peri kemanusiaan;

3). Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat diantaranya

dengan jalan pembagian makanan;

4). Berusaha mempercepat keberesan tentang Oeang Republik Indonesia

(ORI).

Beragam tanggapan muncul setelah susunan kabinet diumumkan. Suara dari koran-koran tidak dalam satu pendapat terhadap susunan kabinet. Sukiman (Ketua Masjumi) memprotes keberadaan kabinet Sjahrir yang dianggap menyalahi UUD 1945. Beberapa golongan pemuda revolusioner dan para mantan menteri Kabinet Sukarno kecewa dengan susunan kabinet (Engelen et al, 1997:218).

Protes-protes terhadap kabinet Sjahrir disebabkan oleh susunan dalam kabinet sendiri. Sjahrir dan Amir mendominasi posisi menteri-menteri yang penting. Perwakilan Kristen dalam kabinet dianggap terlalu besar sementara tidak ada tokoh Islam yang berwibawa dalam kabinet. Beberapa menteri ternyata pernah mendapat jabatan tinggi selama masa Jepang. Tak banyak tokoh gerakan bawah tanah bahkan tidak ada tokoh pemuda yang masuk kabinet ini. sebagian besar menteri bisa dikatakan merupakan kawan-kawan dari Sjahrir atau Amir sendiri. Kabinet ini juga dianggap berbau Belanda karena sebagian menteri pernah menjadi pejabat saat Belanda berkuasa (Anderson, 1988: 226). Kabinet terlalu dianggap bersifat teknokrat dan tidak revolusioner (Engelen et al, 1997:218). Kekecewaan bertambah setelah program kabinet yang diumumkan pada 17 November 1945 dinilai tidak revolusioner (Anderson, 1988: 229).

Meskipun mendapat kritik, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memiliki

pertimbangan tersendiri dalam menyusun kabinet. Keduanya menyusun kabinet

untuk mematangkan sikap Indonesia menghadapi diplomasi dengan Sekutu-

Belanda. Beberapa menteri seperti Moelia dan Soewandi merupakan ahli

dibidangnya yang diakui sejak masa Hindia Belanda (Engelen et al, 1997:218).

lxvii

Pada 5 Desember dilakukan perubahan kabinet. Sunario Kolopaking

digantikan oleh Soedarsono, Soerachman kembali masuk kabinet menggantikan posisi Adjidarmo dan Amir Sjarifuddin melepas jabatan Menteri Penerangan kepada Muhammad Natsir pada bulan Januari 1946 (Anderson, 1988: 330; Soebadio Sastrosatomo, 1987: 200).

b. Sutan Sjahrir

Sutan Sjahrir muncul dalam politik nasional ketika perubahan politik Indonesia tengah dimulai akibat ketidakpuasan terhadap kinerja Pemerintahan Presidensiil. Sjahrir telah lama menjadi tokoh pergerakan nasional dan sempat diasingkan Belanda akibat aktivitasnya. Oleh karena itu Sjahrir juga dikenal tokoh nasionalis tua lainnya. Namun umur Sjahrir yang relatif muda membuatnya dapat dekat dengan pemuda terutama di Jakarta saat pendudukan Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang, Sjahrir tidak turut bekerja sama dengan Jepang. Sjahrir yakin bahwa Jepang akan kalah dari Sekutu. Ia lalu membangun jaringan bawah tanah yang sebagian besar merupakan pemuda terutama dari Asrama Mahasiswa Kedokteran. Oleh karena itu, Sjahrir mendapat dukungan luas pemuda Jakarta ketika naik ke politik nasional (Anderson, 1988: 198 dan 61).

Sjahrir sendiri sangat mendambakan kebebasan untuk setiap orang,

dimana individu-individu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk

bertanggung jawab terhadap cita-cita dan tindak-perbuatannya masing-masing.

Impian itu mempunyai beberapa konsekuensi yang amat nyata. Cita-cita

kebebasan dan kemandirian manusia yang telah mendorong Sjahrir memilih

sosialisme sebagai paham politiknya. Menurutnya sosialisme dibutuhkan untuk

melaksanakan revolusi sosial di Indonesia. Oleh karena itu sosial-demokrasi pada

Sjahrir pada tempat pertama berarti sosialisme kerakyatan yang tujuannya adalah

membebaskan dan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia, yaitu

bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia (Ignas

Kelden dalam www.komunitasdemokrasi.or.id).

Pada awal November 1945, Sjahrir membuat pamflet terkenal yang berjudul “Perdjoeangan Kita”. Isi pokok pamflet tersebut antara lain catatan pahit dari ciri masa pendudukan Jepang. Pamflet tersebut juga membahas akibat dari Perang Dunia II seperti naiknya nasionalisme, yang dianggap Sjahrir menjual diri terhadap Jepang. Sjahrir juga membahas doktrinasi negatif Jepang dalam organisasi-organisasi yang didirikannya yang terlihat dalam sikap militeristis dan fasis. Dampak dari doktrinasi tersebut terasa setelah Perang Dunia II berakhir dalam bentuk penyerahan, kekejaman dan teror terhadap orang Belanda, Indo dan minoritas Indonesia yang dianggap pro Belanda. Oleh karena itu Sjahrir menyerukan pembersihan unsur-unsur “kolaborator” Jepang dan usaha pengembangan prinsip sosialisme kemanusiaan yang sesuai pemikiran pemuda Indonesia (Anderson, 1988: 219).

lxviii

Berkenaan dengan situasi internasional, Sjahrir mengatakan adanya

pertentangan besar antara kekuatan kapitalisme Inggris dan Amerika Serikat dan kelemahan Republik akibat pendudukan Jepang. Sjahrir beralasan bahwa karena letak Indonesia yang berada dalam lingkungan kapitalisme Inggris dan Amerika Serikat membuat Indonesia akan banyak tergantung kedua negara tersebut. Untuk mengatasinya adalah perlu dilakukan diplomasi cerdas untuk memengaruhi Inggris dan Amerika Serikat agar tidak membantu Belanda.

Pamflet tersebut nampaknya tidak menyebar luas namun memiliki pengaruh yang nyata. Banyak nasionalis yang tersinggung atas serangan Sjahrir terhadap nasionalisme yang muncul selama Perang Dunia II. Para pemuda juga terkena serangan Sjahir dan cukup mengena karena pamflet itu muncul saat puncak pertempuran Surabaya. Namun pamflet tersebut menjadi salah satu analisa mengenai kondisi yang muncul setelah Perang Dunia II dan memberikan sudut pandang yang menyeluruh tentang masa depan gerakan kemerdekaan Indonesia (Anderson, 1988: 223).

Dengan demikian, Sjahrir berusaha agar Republik Indonesia tak runtuh

namun perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis. Ia mengarsiteki

perubahan kabinet dari sistem Presidensil menjadi Parlementer dimana kabinet

bertanggung jawab kepada KNIP, yang telah diberikan fungsi legislatif. RI lalu

menganut sistem multi partai. Tatanan ini sesuai dengan arus politik pasca Perang

Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme.

Kepada rakyat, Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan

anti kekerasan. Dengan demikian Sjahrir ingin menunjukkan kepada dunia bahwa

revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan

demokratis. Hal itu sesuai dengan suasana kebangkitan bangsa-bangsa

melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca Perang Dunia II.

Perjuangan Indonesia tidak seperti propaganda buruk dari Belanda tentang

Indonesia (Ignas Kleden dalam www.komunitasdemokrasi.or.id).

c. Kebijakan Sjahrir Setelah Menjadi Perdana Menteri

Tak lama setelah menjadi Perdana Menteri, pada 17 November 1945, Sjahrir bersama beberapa anggota kabinet berunding dengan Belanda di Jakarta dibawah pimpinan Panglima Sekutu di Indonesia. Namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan nyata (Osman Raliby, 1953: 102; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, 1999: 162).

Pada 19 November 1945 Sjahrir memerintahkan semua kekuatan senjata di Jakarta agar keluar dari ibukota. Keputusan itu ditempuh untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang tenang dan damai untuk kegiatan internasional dan tempat diplomasi. Sjahrir menambahkan bahwa perintah itu merupakan permintaan dari Sekutu dalam perundingan antara Indonesia, Inggris dan Belanda.

lxix

Sekutu sebagai imbalannya menyetujui Indonesia membuka Kantor

Penghubung Tentara di Jakarta. Kantor tersebut memiliki tugas sebagai perwakilan TKR sekaligus memelihara hubungan dengan Pemerintah Pusat RI dan Markas Besar Sekutu. Kantor Penghubung Tentara dikepalai oleh Kapten M.T. Haryono yang memiliki tanggung jawab langsung kepada Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo (Engelen et al, 1997: 222).

Kota Jakarta praktis dikuasai tentara Sekutu setelah terjadi pengosongan dari kekuatan senjata Indonesia (Engelen et al, 1997: 230). Jakarta bertambah kacau setelah kekuatan senjata Indonesia keluar dari Jakarta. Hampir tiap hari terjadi insiden senjata yang melibatkan tentara Sekutu atau NICA dengan rakyat. Situasi makin tidak terkendali setelah sejumlah tokoh dan petinggi Indonesia mendapat serangan dari dari NICA. Perdana Menteri Sjahrir bahkan hampir tewas karena ulah oknum NICA yang brutal (Soebagjio, 1981: 172). Tempat-tempat strategis di Jakarta juga diduduki Sekutu. NICA Belanda makin merajalela di Jakarta. Dilakukan pembersihan di sekitar Jakarta oleh Inggris dan Belanda. Lalu lintas kota tertutup dan pemasukan diblokade. Distribusi bahan pangan ke Jakarta pun terhambat. Pasar dan warung mendapat teror. Kantor-kantor yang belum diduduki Sekutu tidak berjalan normal karena para pegawai banyak yang hilang, terhalang pertempuran atau harus mencari makan di luar (Nasution, 1977: 261).

Meskipun mendapat perlakukan yang tidak menyenangkan, pemerintah tidak mengubah politik damai dan politik diplomasi sesuai Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Pemerintah terus berusaha menentramkan hati rakyat yang marah atas berbagai teror yang terjadi dan menjaga agar rakyat tetap mengikuti politik pemerintah tersebut (Nasution, 1977: 180). Namun situasi Jakarta yang makin tidak nyaman memaksa Pemerintah memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Kepindahan tersebut terjadi pada 6 Januari 1946 dengan upacara penyambutan dilakukan hari berikutnya (Kedaulatan Rakjat, 7 Januari 1946). Meskipun ibukota telah pindah dari Jakarta, Perdana Menteri dan Kementerian Luar Negeri masih tetap di Jakarta dalam rangka menjaga hubungan diplomasi dengan Sekutu. Hanya di akhir pekan Perdana Menteri akan pergi ke Yogyakarta mengadakan sidang kabinet.

Sementara itu hasil Kongres Tentara di Yogyakarta menimbulkan polemik baru. Pengangkatan panglima besar dan menteri pertahanan oleh Kongres Tentara tidak disetujui pemerintah. Perdana Menteri Sjahrir berpegang pada kekuasaannya untuk menentukan siapa menterinya termasuk menteri pertahanan. Terjadi tarik ulur yang lama mengenai siapa yang akan menduduki jabatan menteri dan panglima besar (Nasution, 1977: 278). Akhirnya Amir Sjarifuddin tetap menjadi Menteri Pertahanan sementara Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar pada 18 Desember 1945 (Anderson, 1988: 276).

Pelantikan Sjahrir menjadi Perdana Menteri memulai persaingan antara pemerintah dengan militer. Sjahrir dan Amir menyadari “kebebasan” dan permusuhan dari tentara akan menghambat langkah mereka membatasi peran Sudirman. Jenderal Sudirman dan rekan-rekannya merasa tersinggung dengan tuduhan terselubung pemerintah yang menganggap keptutusan mereka terhubung dengan militersime dan fasis. Perbedaan mengenai konsepsi ketentaraan antara Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin dengan Jenderal Soedirman cukup lebar.

lxx

Sudirman dengan cepat muncul menjadi penarik mereka yang menentang pemerintahan Sjahrir (Anderson, 1988: 277).

Kebijakan lain Kabinet Sjahrir yaitu pengiriman bahan pangan ke Bandung. Kota Bandung yang memiliki banyak kamp APWI dimana bagian utara Bandung jatuh ke penguasaan Sekutu sekitar bulan Oktober 1945. Pada 21 November 1945, iring-iringan perbekalan Sekutu dari Jakarta ke Bandung dihadang. Sejak itu, kota Bandung terisolir karena upaya berikutnya pada 9 Desember 1945 untuk mengantarkan perbekalan yang dikawal parjurit Gurkha juga gagal karena dihadang pejuang lokal. Berdasarkan hal tersebut, Sekutu meminta bantuan Pemerintah Indonesia untuk mengawal perbekalan pangan ke Bandung dengan alasan rasa kemanusiaan bagi para APWI dan bukan untuk tujuan militer. Pemerintah menyetujui permintaan tersebut karena upaya itu akan membantu proses pengakuan kedaulatan Indonesia dari dunia internasional (Saleh, 1995: 49 dan Aboe Bakar Loebis, 1992: 138).

Pelaksanaan pengiriman bahan pangan ke daerah pendudukan Sekutu

dilakukan oleh Akademi Militer Tangerang (MA). Pengiriman pertama dilakukan

menuju Bandung pada 11 Desember 1945 yang dipimpin Mayor Daan Mogot,

Direktur MA. Tidak banyak hambatan yang diterima saat taruna MA memasuki

daerah pendudukan Sekutu. Kesulitan baru dirasakan justru saat melewati daerah

Indonesia sendiri. Gangguan muncul dari TKR dan laskar perjuangan setempat

yang hampir menggagalkan pengiriman tersebut.

Tugas pertama tersebut berhasil dilakukan dengan baik. Kesuksesan itu

dilanjutkan dengan pengiriman berikutnya oleh taruna MA hingga dua kali.

Pengiriman terakhir dilakukan Taruna MA pada pertengahan bulan Januari 1946

dimana pengiriman berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan dengan

Peristiwa Bandung Lautan Api. Saat rombongan MA kembali ke Tangerang,

terjadi Peristiwa Lengkong yang menewaskan puluhan taruna MA dan Direktur

MA sendiri, Daan Mogot (Saleh, 1995: 50).

d. Persatuan Perjuangan

Naiknya Sjahrir menjadi Perdana Menteri dengan cepat mendapat

tantangan. Kabinet Sjahrir diserang dalam dua hal yaitu dalam komposisi kabinet

dan program kabinet terutama kebijakan untuk lebih mengutamakan diplomasi

daripada perlawanan bersenjata. Ditengah perkembangan berbagai organisasi dan

kelemahan pemerintah, muncullah sosok Tan Malaka (Anderson, 1988: 298).

Tan Malaka memiliki pengalaman politik yang luas. Ia pernah menjadi guru yang membawanya menjadi Ketua PKI. Akan tetapi Tan Malaka segera

lxxi

diasingkan ke negeri Belanda akibat aktivitas politiknya. Di Belanda Tan Malaka menjadi calon legislatif dalam pemilihan umum di Belanda. Setelah itu Tan Malaka menghadiri sidang keempat Communist International (Comintern) dan ditunjuk sebagai agen Comintern di Asia Tenggara.

Tan Malaka dalam pengasingannya sempat melancarkan kampanye yang

menggagalkan pemberontakan PKI pada tahun 1926. Kegagalan pemberontakan

PKI membuat Tan Malaka sangat dibenci PKI. Sejak itu pula Tan Malaka

berpindah-pindah tempat untuk menghindari aparat negara yang disinggahinya.

Pada tahun 1942 secara diam-diam Tan Malaka kembali ke Indonesia di Medan.

Ia berhasil mendapat pekerjaan sebagai juru tulis di Banten (Donald Hindley,

1992: 212-213).

Kehidupnnya yang terpencil di Banten membuat Tan Malaka tidak

terlibat dalam “kolaborator” atau dalam kelompok bawah tanah selama masa

penjajahan Jepang. Tan Malaka juga tidak terlibat dalam proses proklamasi

meskipun ada di tempat kelompok pemuda di Jakarta. Pertemuannya dengan

Ahmad Subardjo pada 25 Agustus 1945 merupakan kemunculan pertamanya

dengan kelompok elit setelah lama dalam pengasingan (Anderson, 1988: 307).

Pada 2 Desember 1945 Tan Malaka mengeluarkan pemikirannya dalam

pamflet berjudul “Moelihat”. Moeslihat merupakan pemikiran Tan Malaka

mengenai situasi Indonesia terutama setelah pertempuran 10 November 1945 di

Surabaya. Pamflet tersebut menjadi semacam tandingan pamflet Perdjuangan Kita

dari Sjahrir. Tan Malaka baru benar-benar muncul setelah Muhammad Yamin

menulis pamflet mengenai dirinya dan pejuangannya. Terbitnya pamflet Yamin

bersamaan dengan mulai munculnya ketidakpuasan terhadap Kabinet Sjahrir pada

akhir Desember 1945 (Anderson, 1988: 314 dan 318).

Pada awal tahun 1946, Tan Malaka menghadiri Kongres Rakyat di

Purwokerto. Kongres tersebut menginginkan adanya persatuan nasional untuk

melawan Sekutu. Tan Malaka pun diberi kesempatan berpidato dalam kongres

tersebut. Diakhir pidatonya, Tan Malaka menyatakan Minimum Program untuk

revolusi (Kedaulatan Rakjat, 6 Januari 1946; Anderson, 1988: 318), yang berisi:

1). Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%;

lxxii

2). Pemerintahan rakyat (dalam arti sesuai halauan pemerintah sesuai

kemauan rakyat);

3). Tentara rakyat (dalam arti sesuai halauan tentara sesuai kemauan

rakyat);

4). Melucuti tentara Jepang;

5). Mengurus tawanan perang bangsa Eropa;

6). Menyita dan menyelenggarakan pertanian musuh;

7). Menyita dan menyelenggarakan perindustrian musuh.

Minimum Program tersebut menjadi perdebatan selama bulan-bulan berikutnya. Pasal 1, 6 dan 7 bisa dibilang bertentangan dengan Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November dan program Pemerintah. Hal itu menjadi tantangan bagi Pemerintah dan pemerintah mencoba untuk menghadangnya. Pada 11 November 1946, Partai Sosialis yang merupakan partai Pemerintah mengirim surat terbuka yang menghimbau untuk menggabungkan semua organisasi dan partai politik dalam barisan nasional dengan program bersama. Akan tetapi Brisan Nasional tersebut tidak pernah berjalan (Anderson, 1988: 321).

Pada 15-16 Januari 1946 diselenggarakan kongres kedua di Surakarta yang dihadiri sekitar 133 organisasi. Daya tarik Minimun Program dan Tan Malaka sendiri membuat kongres tersebut dihadiri banyak organisasi. Kongres juga mengundang Pemerintah namun wakil Pemerintah tidak ada yang datang. Tan Malaka kembali berpidato di hari pertama kongres. Ia menyatakan perluanya persatuan untuk perjuangan dan pentingnya Minimum Program untuk perjuangan. Jenderal Soedirman juga hadir dan berpidato. Jenderal Soedirman menyatakan lebih baik dibom atom daripada tidak merdeka 100%. Perbedaan antara Pemerintah dengan yang menentang kebijakannya mulai nyata.

Setelah Tan Malaka selesai berpidato, nama Persatuan Perjuangan (PP) ditetapkan sebagai nama front persatuan rakyat. “Panitia Kecil” lalu dibentuk dan merumuskan secara nyata usul pengorganisasian dari badan baru tersebut. Hari kedua Panitia Kecil menyerahkan usul-usulnya seperti bentuk dari organisasi baru tersebut kepada Kongres. Kongres menyetujui usulan dari Panitia Kecil dan mendesak Pemerintah agar mengambil langkah sesuai Minimum Program PP (Anderson, 1988: 323).

2. Kabinet Sjahrir II

a. Terbentuknya Kabinet Sjahrir II

PP terus berkembang dan mencangkup berbagai macam organisasi di Indonesia seperti PKI, Masyumi, PS, BPRI, Barisan Banteng dan lain-lain. Pemerintah meyadari bahwa PP tengah tumbuh dan dapat menjadi ancaman terhadap kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Bahkan keanggotaan PP dianggap lebih representatif daripada KINP (Anderson, 1988: 324).

Tekanan terhadap kabinet Sjahrir makin kencang memasuki bulan Februari tahun 1946. Hal itu terlihat dalam pawai besar PP di Yogyakarta pada

lxxiii

pertengahan Februari 1946 yang menuntut Pemerintah agar lebih tegas terhadap pemerintah. Beragam telegram dan surat dari banyak organinasi di seluruh Indonesia meminta Sjahrir agar memperjuangkan kemerdekaan 100% meski banyak yang tetap mendukung Sjahrir. Upaya PP untuk mengubah kabinet agar lebih bersifat nasional mendapat banyak dukungan. Tuntutan tersebut sulit untuk diabaikan KNIP maupun Presiden Sukarno (Anderson, 1988: 341 dan 337).

Pada 26 Februari 1946, Sjahrir secara rahasia mengajukan pengunduran diri sebagai Perdana Menteri kepada Presiden Sukarno. Presiden Sukarno baru mengumumkan pengunduran diri Sjahrir dalam Konggres KNIP di Surakarta yang dimulai 28 Februari 1946. PP nampak diatas angin dengan pengunduran diri Sjahrir. Apalagi Presiden Sukarno memberikan mandat kepada PP membentuk kabinet baru. Upaya PP untuk membentuk kabinet baru tidak berhasil karena unsur-unsur dalam PP berbeda pendapat dalam beberapa hal seperti alokasi posisi dan kepentingan sosial (Kahin, 1995: 221; Anderson, 1988: 344).

Kegagalan PP membuat Presiden Sukarno menunjuk kembali Sjahrir agar membentuk kabinet yang baru. KNIP setuju penunjukan Sjahrir namun dengan tambahan agar kabinet diperluas untuk lebih mencerminkan perwakilan aliran politik utama di Indonesia. Sjahrir yang menjadi formatur kabinet sepakat dengan hal tersebut namun menginginkan pemilihan anggota tetap ditangannya. Sjahrir bersama Sukarno dan Hatta selama seminggu berunding mengenai pemilihan menteri. Kabinet baru Sjahrir dengan beberapa perubahan (Kahin, 1995: 221). Susunan menteri dari Kabinet Sjahrir II yang diresmikan pada 13 Maret 1946 (Barisan Rakjat, No. 16 Maret 1946), yaitu:

1). Perdana Menteri : Sjahrir

2). Menteri Luar Negeri : Sjahrir

3). Menteri Dalam Negeri : Soedarsono

4). Menteri Kesehatan : Darmasetiawan

5). Menteri Keuangan : Surachman Tjokroadisurjo

6). Menteri Perdagangan dan

Industri : Darmawan Mangunkusumo

7). Menteri Pertanian dan

Persediaan : Rasad

8). Menteri Pertahanan : Amir Syarifuddin

9). Menteri Kehakiman : Suwandi

10). Menteri Pengajaran : Moh.Syafei

11). Menteri Penerangan : Mohammad Natsir

12). Menteri Sosial : Maria Ulfah Santoso

13). Menteri Agama : Moh. Rasjidi

14). Menteri Perhubungan : Abdul Karim

lxxiv

15). Menteri Pekerjaan Umum : Putuhena

16). Menteri Negara : Wikana

Kabinet Sjahrir II terdapat pula jabatan Menteri Muda. Mereka yang

menjadi menteri muda yaitu Agus Salim, Samadikun, Leimena, Syarifudin

Prawiranegara, Samsu Harya Udaya, Saksono, Aruji Kartawninata, Hadi, T.G.S.

Moelia, Abdul Madjid Djojohadiningrat, Juanda dan Laoh. Hanya Perdana

Menteri, Menteri Penerangan, Menteri Agama dan Menteri Negara yang tidak

memiliki menteri muda (Soebadio Sastrosastomo, 1987: 239). Kabinet yang baru

masih didominasi kelompok Sjahrir. Meskipun mendapat serangan kuat dari PP,

Kabinet Sjahrir II diberi mandat kekuasaan legislatif yang jelas oleh KNIP dalam

sidangnya di Solo pada 28 Februari hingga 2 Maret 1946 (Kahin, 1995: 223).

Mandat yang menjadi politik Kabinet ke dalam dan keluar negeri tersebut

(Kedaulatan rakjat, 6 Maret 1946), yaitu:

1). Berunding atas pengakuan negara Republik Indonesia (100%);

2). Mempersiapkan rakyat dan negara disegala lapangan politik,

ketentaraan, ekonomi dan sosial untuk mempertahankan kedaulatan

Republik Indonesia;

3). Mencapai susunan pemerintah pusat dan daerah yang demokratis;

4). Berusaha segiat-giatnya untuk menyempurnakan produksi dan

pembagian makanan dan pakaian;

5). Tentang perusahaan dan perkebunan yang penting hendaknya ole

pemerintah diambil tindakan-tindakan seperlunya, hingga memenuhi

maksud sebagai termaktub dalam Undang-Undang Dasar pasal 33

(hal kesejahteraan sosial).

Perkembangan berikutnya, Sjamsu Harja Udaja dan Samadikun menolak

pengangkatannya sebagai menteri dalam Kabinet (Simanjuntak, 2003: 34). Pada

25 Juni 1946 Darmawan Mangunkusumo menjadi Menteri Kemakmuran yang

merupakan gabungan Kementerian Pangan dan Persediaan dan Kementerian

Perindustrian dan Perdagangan (Kedaulatan Rakjat, 28 Juni 1946).

b. Kriris Politik Maret 1946

lxxv

Para pemimpin PP tidak puas terhadap kabinet Sjahrir II. Sikap tersebut

diperjelas saat PP mengadakan rapat raksasa di Madiun pada 15 Maret 1946.

Rapat tersebut tidak dihadiri peserta sebanyak rapat PP sebelumnya karena tidak

lebih dari 40 anggota yang datang. Anggota yang mundur terutama dari organisasi

politik yang berhalauan sosialis. Meskipun demikian, beberapa peserta yang

masih ada berasal dari badan-badan perjuangan seperti BPRI, Hizbullah, Barisan

Banteng dan Laskar Rakyat. Jenderal Sudirman juga mengirim delegasi ke

kongres itu. Rapat itu menyatakan antara lain menentang politik diplomasi dengan

Belanda dan lebih mendukung kebijakan perang (Soebadio Sastrosastomo, 1987:

242). Selain rapat, PP juga mengadakan pawai besar yang antara lain menyatakan

menentang kebijakan diplomasi Pemerintah (Wawancara dengan Handoyo

Leksono, 22 Juni 2009).

Pemerintah segera bertindak terhadap para penentangnya. Pada 17 Maret

1946, pasukan pemerintah menangkap para tokoh penting seperti Tan Malaka,

Abikusno Tjokrosujoso, Chairul Saleh, Sukarni, Suprapto, Muhammad Yamin

dan Wondoamiseno. Akibat penangkapan tersebut, PP menjadi lumpuh terutama

di Jawa (Kahin, 1995: 223).

Awal mula penangkapan berasal dari percakapan antara Perdana Menteri

Sjahrir dengan Aboe Bakar Loebis pada 10 Maret 1946. Perdana Menteri Sjahrir

merasa sulit untuk menjalankan perundingan apabila ada penentangan keras di

daerah pedalaman. Aboe Bakar Loebis kemudian ke Yogyakarta dan berunding

dengan Soebadio dan Menteri Dalam Negeri Soedarsono berkenaan dengan

keluhan Sjahrir. Mereka berdua menemui Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin di

Surakarta. Perundingan lalu dilakukan. Atas perintah Menteri Dalam Negeri dan

Menteri Pertahanan, diputuskan agar Tan Malaka dan para pemimpin PP

ditangkap. Surat penangkapan ditandatangani kedua Menteri yang diberikan pada

Aboe Bakar Loebis dan Imam Slamet.

Aboe Bakar Loebis dan Imam Slamet kemudian menghadap Presiden

Sukarno. Presiden Sukarno menyetujui perintah penangkapan tersebut dan

menyediakan sejumlah uang dan pinjaman mobil. Aboe Bakar Loebis dan Imam

Slamet lalu menuju Madiun pada 17 Maret 1946 karena disana tengah

lxxvi

berlangsung rapat PP yang dihadiri para tokoh terkemuka PP. Para tokoh PP

setelah rapat PP selesai menuju ke Yogyakarta melalui stasiun kereta di Madiun.

Stasiun tersebut menjadi tempat penangkapan para tokoh PP seperti Abikusno

Tjokrosujoso, Chairul Saleh dan Muhammad Yamin. Proses penangkapan

dilakukan Polisi Tentara dan Pesindo karena pihak Kepolisian dan resimen TKR

setempat menyatakan tidak sanggup untuk melakukan penangkapan. Tan Malaka

dan Sukarni baru tertangkap kemudian di rumah Residen Madiun Soesanto

Tirtoprodjo. Tan Malaka kemudian diserahkan ke Polisi Tentara Surakarta (Aboe

Bakar Loebis, 1992: 152). Para tahanan politik dari PP kemudian ditempatkan di

daerah Tawangmangu dengan penjagaan dari Mayor Sastro Lawu dari Divisi IV

(Nasution, 1992: 322).

Menanggapi penangkapan para tokohnya, unsur-unsur PP tidak tinggal

diam. Serangkaian perundingan dilakukan untuk mencapai kompromi. Pada 22

dan 27 Maret 1946, PP mengirim delegasi menemui Presiden Sukarno untuk

meminta penjelasan dan mendesak dibebaskannya para tahanan politik PP.

Pemerintah sempat pula mengirim utusan menemui para tahanan namun tidak

terjadi kesepakatan (Anderson, 1988: 361). PP lalu mengirim Mosi ke pemerintah

meminta penjelasan lengkap mengenai penangkapan tersebut (Kedaulatan Rakjat,

6 April 1946). Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan dan Kementerian

Dalam Negeri baru mengumumkan penangkapan tersebut pada 22 Maret 1946.

Alasan melakukan penangkapan tersebut adalah untuk menyelamatkan

masyarakat dan pertahanan negara dalam masa genting tersebut (Kedaulatan

Rakjat, 23 Maret 1946). Keterangan lebih lengkap mengenai penangkapan

tersebut baru dijelaskan pada 1 April 1946 Anderson, 1988: 359).

c. Kebijakan-Kebijakan Penting Kabinet Sjahrir II

Sjahrir tetap melanjutkan kebijakan diplomasi dengan Belanda setelah

kembali memimpin kabinet. Beberapa pertemuan digelar antara pihak Indonesia

dengan Belanda. Persetujuan pendahuluan yang dikenal dengan Rumusan Jakarta

atau Batavia Concept disepakati kedua belah pihak. Bagian penting dari

kesepakatan itu ialah pengakuan de facto Indonesia atas Jawa, Sumatera lalu

kesepakatan kedua belah pihak untuk duduk sebagai mitra sejajar didalam struktur

lxxvii

federal dalam masa peralihan (de Jong dalam Lapian dan Drooglever, 1992: 71).

Perundingan ke tingkat yang lebih tinggi direncanakan akan dilakukan di Belanda.

Hoge Veluwe menjadi tempat perundingan antara Delegasi Indonesia

dengan Pemerintah Belanda. Perundingan berlangsung 14-24 April 1946. Pihak

Indonesia diwakili oleh Soewandi, A.K. Pringgodigdo dan Soedarsono sementara

pemerintah Belanda diwakili Perdana Menteri Schermerhorn, Menteri Sosial W.

Dress, Menteri Urusan Daerah Seberang J. Longemann, Menteri Luar Negeri J.H.

Van Roijen dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.J. Van Mook (Ide

Anak Agung Gde Agung, 1995: 79).

Sebelum perundingan dimulai, telah terjadi gejolak di Belanda.

Kesepakatan di Jakarta yang dihasilkan sebelumnya ditolak kabinet Belanda. Hal

itu berdampak pada jalannya perundingan kemudian. Misalnya Belanda

mengajukan gagasan yang dikenal sebagai Protokol 14 April 1946. Tentu saja hal

tersebut ditolak delegasi Indonesia yang menginginkan bentuk perjanjian antar

dua negara yang sederajat seperti dalam Rumusan Jakarta bukan bentuk protokol.

Perundingan tidak menemui titik temu meskipun kedua pihak berpendapat bahwa

semua pokok permasalahan bisa dibicarakan. Waktu pemilihan umum di Belanda

yang dekat dengan waktu perundingan membuat pemerintah Belanda tidak mau

mengambil resiko mengambil keputusan besar.

Perundingan Hoge Veluwe tidak membuahkan hasil yang nyata.

Meskipun demikian, perundingan telah memberikan manfaat bagi kedua pihak

mengenai pendirian masing-masing. Akan tetapi Soedarsono, salah satu anggota

delegasi Indonesia, dalam suatu wawancara pers menyatakan perundingan Hoge

Veluwe merupakan kegagalan. Pernyataan Soedarsono tersebut menjadi pendapat

umum di Indonesia bahwa perundingan Hoge Veluwe telah gagal sama sekali (Ide

Anak Agung Gde Agung, 1995: 84).

Pernyataan Soedarsono tersebut memiliki dampak yang luas di Indonesia.

Perundingan tidak menghasilkan apa-apa dan delegasi Indonesia pulang dengan

tangan kosong. Kegagalan perundingan Hoge Veluwe membuat posisi Sjahrir

menjadi sulit. Partai-partai politik dan Persatuan Perjuangan mengecam Sjahrir

lxxviii

dan delegasi Indonesia dalam perundingan Hoge Veluwe karena dianggap tidak

memperjuangkan kemerdekaan 100% (Ide Anak Agung Gde Agung, 1995: 104).

Meskipun perundingan Hoge Veluwe tidak menghasilkan sesuatu,

Inggris terus mendorong Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan

persengketaan diantara mereka. Inggris memiliki perhitungan mengenai kekuatan

militer Indonesia dan Belanda. Kenyataan pula bahwa tentara India turut dipakai

Sekutu untuk tugas di Indonesia. Apabila tidak terjadi penyelesaian yang cepat,

Nehru yang akan memperoleh kekuasaan di India pasti tidak akan mengizinkan

pemakaian tentara India di Indonesia. Inggris mengharapkan penyelesaian

masalah Indonesia dan Belanda terjadi sebelum semua tentara Inggris ditarik dari

Indonesia (Nasution, 1992: 64).

Kebijakan Pemerintahan Sjahrir yang juga mengundang perhatian

mengenai keberadaan tentara Jepang dan para interniran. Pasca berakhirnya

Perang Dunia II, banyak tentara Jepang yang masih berada di Indonesia dan

sejumlah besar tawanan dan interniran perang masih terjebak di daerah pedalaman

pulau Jawa. Pada 30 November 1945, dilakukan perundingan antara Pemerintah

Indonesia dengan Sekutu. Perundingan tersebut menyepakati bahwa pelaksanaan

pengangkutan tawanan perang dan sipil Sekutu akan dilakukan Indonesia.

Indonesia akan membawa para tawanan dari daerah pedalaman ke wilayah

pelabuhan terutama Jakarta, Semarang dan Surabaya. Mengenai pasukan Jepang,

mereka akan dilucuti senjatanya pihak Indonesia untuk kemudian dibawa ke

tempat penampungan di Riau (Engelen et al, 1997: 223).

Sesuai tugasnya, Inggris sempat mencoba untuk mengurus dan membawa tawanan wanita dan anak-anak dari Belanda di Magelang dan Ambarawa pada Desember 1945. Akan tetapi karena kurangnya tenaga maka Inggris tidak mampu menduduki dan menguasai Semarang, Salatiga Magelang dan Ambarawa untuk menjaga para tawanan Belanda tersebut. Malahan upaya Sekutu membebaskan tawanan Belanda mengakibatkan terjadinya pertempuran Palagan Ambarawa. Inggris kemudian harus kembali ke Semarang (Soebadio Sastrosastomo, 1987: 238). Pertempuran itu pula yang mencuatkan nama Jenderal Sudirman.

Pemerintah kemudian mengadakan konferensi di Solo mengenai APWI

dan tawanan Jepang yang dihadiri seluruh Panglima dan komandan resimen TKR.

Para panglima dan komandan resimen TKR menyetujui maksud pemerintah untuk

menyelenggarakan pengangkutan APWI dan tawanan Jepang. Pada 24 Desember

lxxix

1945 tercapai kesepakatan antara TKR dan Sekutu dimana TKR akan mengangkut

APWI dan tawanan Jepang jika tidak ada tentara Inggris (Nasution, 1992: 55).

Untuk melaksanakan tugas pengangkitan interniran dan tentara Jepang

dibentuklah POPDA (Panitia Onteoek Penyingkiran Djepang dan APWI) yang

dipimpin Jenderal Mayor Sudibjo. TKR dilibatkan tugas POPDA. Berkenaan

dengan hal tersebut dan karena tugas POPDA yang bersifat internasional maka

Kantor Penghubung Tentara diperluas perannya untuk mengurusi langsung

operasi pemulangan APWI dan tentara Jepang (Engelen et al, 1997: 223).

Pada 19 Januari 1946 kembali berlangsung pertemuan antara Indonesia

dengan Inggris di Jakarta. Pertemuan tersebut menyepakati beberapa hal

(Soebadio Sastrosastomo, 1987: 253), antara lain:

1). Indonesia akan mulai memindahkan seluruh APWI dari tempat

mereka sekarang ke Jakarta;

2). Indonesia bertanggung jawab dalam menyerahkan APWI dalam

keadaan baik kepada Sekutu di Jakarta;

3). Indonesia akan mengurus transportasi dan keamanan dalam

perjalanan APWI dari pedalaman ke Jakarta;

4). Sekutu akan mengambil alih tanggung jawab APWI begitu

diserahakan Indonesia di Jakarta;

5). Sekutu menjamin APWI yang telah diserahkan tidak akan

dipersenjatai.

Berkaitan dengan Jepang, diputuskan antara lain:

1). Sekutu dan Indonesia berkeinginan memindahkan secepatnya Jepang

dari Jawa;

2). Seluruh persenjataan perang akan dimusnahkan dibawah pengawasan

Sekutu dan Indonesia;

3). Jakarta menjadi tempat pengumpulan Jepang.

Atas usaha Jenderal Mayor Abdul Kadir dan Sudibyo dari POPDA maka

pada 2 April 1946 disepakati cara-cara penyingkiran APWI dan tawanan Jepang.

Rombongan pertama APWI pertama berangkat pada 24 April 1946 di Jawa

lxxx

Tengah ke Jakarta. Pada 28 April 1946 rombongan Jepang pertama dari Jawa

Timur menuju Riau (Nasution, 1992: 55).

Berkenaan dengan persenjataan milik Jepang, pada 15 Mei 1946 di Jakarta dilakukan upacara resmi penyerahan persenjataan dari Jepang ke Sekutu. Dengan pimpinan Jenderal Nishimura, para pembesar Jepang menyerahkan pedangnya kepada Sekutu (Nasution, 1992: 60).

Pihak Belanda menyampaikan protes kepada Inggris karena kesepakatan mengenai pemindahan tawanan perang dan interniran tidak melibatkan Belanda dalam berunding. Belanda merasa dirugikan dan diperlakukan tidak sebagai pihak yang berdaulat di Indonesia. kesepakatan itu berarti mengakui Indonesia sebagai suatu pemerintahan dan sangat memperlemah posisi Belanda sendiri (Soebadio Sastrosastomo, 1987: 254). Namun pengangkutan tetap dilaksanakan Indonesia.

Tugas pengangkutan APWI dan Jepang bukan tugas yang mudah bahkan cenderung berbahaya. Ancaman gangguan dapat muncul dari Jepang yang telah kalah perang, gangguan para prajurit Belanda dan terkadang Inggris bahkan dari orang Indonesia sendiri yang menganggap pelaksanaan tugas itu berarti membantu NICA (Aboe Bakar Loebis, 1992: 139). Kecurigaan pemuda terhadap penyingkiran APWI dan Jepang cukup besar. Saat itu sebagian orang Jepang dipergunakan Belanda untuk menjaga kepentingannya seperti di Plaju dan sungai Gerong. Kecurigaan diperparah dengan sebagian orang Belanda yang diserahkan ternyata dipesenjatai kembali dalam milisi atau tugas NICA untuk menyerang Republik (Nasution, 1992: 55).

Pada akhir Juni 1946 kementerian Pertahanan lewat Kantor Penghubung

Tentara menyatakan bahwa pengangkutan tentara Jepang dari Jawa Tengah dan

Jawa Timur telah usai dengan baik (Kedaulatan Rakjat, 25 Juni 1946).

Rombongan Jepang telah selesai semua disingkirkan tepatnya pada 18 Juni 1946.

Pengangkutan APWI lebih lama selesai karena banyak hal yang diperdebatkan

(Nasution, 1992: 55).

Kebijakan militer yang juga menimbulkan pertentangan ialah masalah struktur dan batas kekuasaan Kementrian Pertahanan dan pengangkatan pimpinan divisi. Pada 23 Februari 1946 dibentuk panitia untuk reorganisasi Kementerian Pertahanan, Tentara dan keberadaan laskar. Bukan hal yang mudah bagi panitia tersebut dalam menjalankan tugas. Terdapat persaingan diantara Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara sehingga Panitia tersebut baru memberikan rekomendasi resmi terakhir pada 25 Mei 1946. Rekomendasi panitia tersebut membuat struktur administrasi Kementerian Pertahanan lebih luas dari Tentara. Polisi Tentara pun bertanggung jawab pada Kementerian Pertahanan. Panitia juga mengusulkan pengurangan jumlah Divisi di Jawa dari 10 menjadi 7. Usul tersebut bisa diterima namun terjadi sengketa di Divisi III baru (Pekalongan, Kedu, Yogyakarta) dan Divisi IV baru (Surakarta, Semarang, Madiun).

Panglima Divisi III Jenderal Mayor Soedarsono menolak Sarbini sebagai Kepala Staf Divisi III dan menginginkan Umar Djoy sebagai Kepala Stafnya.

lxxxi

Pemerintah mengalah dan mengangkat Umar Djoy sebagai Kepala Staf Divisi III. Saat Soediro akan dilantik sebagai Panglima Divisi IV, Sutarto dan bawahannya menolak pengangkatan Soediro sebagai Panglima Divisi IV. Pemerintah pun mengalah dan mengangkat Sutarto sebagai Divisi IV dengan Soediro sebagai Panglima Cadangan. Soediro lalu ditempatkan sebagai Panglima Divisi III yang baru menggantikan Jenderal Mayor Soedarsono. Namun penempatan Soediro kembali ditolak dan Jenderal Mayor Soedarsono tetap menjadi Panglima Divisi III (Anderson, 1988: 406; Nasution, 1992:).

Kebijakan Pemerintahan Sjahrir yang juga mengundang kontroversi yaitu

pendidikan politik tentara. Sebenarnya Kongres Tentara di Yogyakarta telah

mengusulkan pembentukan badan pendidikan tentara. Pelaksanaannya dilakukan

pada 24 Januari 1946 dengan membentuk suatu komisi yang bertugas menetapkan

pola dasar tentang pendidikan tentara. Disamping itu dibentuk pula badan

pendidikan. Badan pendidikan ini kemudian disesuaikan dengan konsepsi Menteri

Pertahanan Amir Sjarifuddin dimana tentara memiliki keyakinan politik yang

teguh dimana Amir nampaknya mengambil contoh dari Tentara Merah Uni

Sovyet (Nugroho Notosusanto et al, 1985:44).

Pembentukan Komisi Staf Pendidikan Tentara Republik Indonesia dilakukan pada 21 Januari 1946. Maksud didirikannya Staf Pendidikan tersebut menurut Kementerian Pertahanan adalah untuk menghilangkan sifat buruk dari penjajahan Belanda dan terutama penjajahan Jepang. Kedudukan Staf Pendidik berada dibawah Kementerian Pertahanan. Kewajiban dari para Staf Pendidikan adalah untuk mendidik politik, agama, kejiwaan, sosial dan pengetahuan umum agar para tentara berjiwa tinggi seperti cita-cita rakyat Indonesia. Untuk melakukan hal tersebut, Staf Pendidikan akan melatih dan mendidik para opsir pendidik sesuai garis-garis yang ditetapkan pemerintah serta mengusahakan cara pendidikannya (Kedaulatan Rakjat, 20 Februari 1946).

Staf pendidikan membawahi korps Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) yang terdiri dari 55 opsir politik. Pada awalnya kebanyakan opsir diambil dari Pesindo sampai munculnya protes dari partai-partai lain. Para opsir disebar ke seluruh Indonesia dimana disediakan 5 opsir politik di tiap divisi. Kedudukan para opsir tersebut dalam bebas dari panglima divisinya. Hal itu dilakukan untuk menjamin indoktrinasi bebas dari intervensi Markas Besar Tentara (Sundhaussen, 1988: 46). Staf Pendidikan yang diberikan pangkat perwira tinggi ini dikepalai Soekono Djojopratikno dan dibantu Wijono, Sumarsono, Anwar Tjokroaminoto, Faried Ma’ruf, Abdoel Mukti dan Moestopo. Diantara pimpinan staf pendidikan, hanya Moetopo yang memiliki pengalaman dalam bidang militer di PETA (Kedaulatan Rakjat, 20 Februari 1946 dan Sundhaussen, 1988: 46).

Menanggapi keputusan Kementerian Pertahanan, banyak perwira yang

memprotes keberadaan para perwira Pepolit tersebut saat rapat kerja pertama

antara perwira Markas Besar Tentara dengan para panglima divisi dilakukan.

lxxxii

Mereka juga tidak suka campur tangan para staf Pepolit dalam divisinya. Pangkat

tinggi yang diberikan kepada para staf Pepolit menimbulkan pula ketidakpuasan

di kalangan tentara. Markas Besar Tentara saat itu belum mengeluarkan solusi

sehingga terjadi perbedaan sikap para panglima divisi terhadap keberadaan staf

Pepolit. Sejumlah panglima mengizinkan staf Pepolit dalam divisinya sementara

yang lain justru menolak mentah-mentah (Sundhaussen, 1988: 47).

Markas Besar Tentara pada 20 April 1946 mengeluarkan keputusan membentuk Dewan Penasehat pimpinan tentara yang bertugas memberikan pertimbangan politik kepada Markas Besar. Kemudian para panglima divisi juga diminta melakukan hal serupa. Keputusan tersebut terkait dengan keberadaan Pepolit dimana kalangan tentara ingin menyingkirkan para staf Pepolit. Pihak tentara banyak mengangkat para tokoh pemuda terkemuka dalam Dewan Penasehatnya yang diantara mereka yang diangkat cenderung memiliki pandangan menentang pemerintah.

Upaya Pemerintahan Sjahrir lain yang juga penting dalam diplomasi adalah tawaran bantuan beras dari Indonesia kepada India yang sedang menghadapi bahaya kelaparan. Tawaran tersebut diberikan Perdana Menteri Sjahrir pada 7 April 1946 dan diberitakan di India pada 8 April 1946. Pemimpin India, Jawaharlal Nehru mengucapkan terima kasih atas tawaran beras dari Indonesia kepada Perdana Menteri Sjahrir dan pemimpin Indonesia lain. Nehru menambahkan akan berusaha memenuhi permintaan Indonesia menyediakan bahan pakaian. Perwakilan pemerintah India segera dikirim ke Jakarta untuk merundingkan pengiriman beras tersebut (Nasution, 1992: 60).

Persiapan barter segera dilakukan. Pemerintah India giat menyiapkan

kapal-kapal untuk dikirim ke Indonesia. Kapal-kapal tersebut akan membawa

bahan pakaian, alat pertanian dan sebagainya yang sangat dibutuhkan rakyat.

Indonesia pun serius mempersiapkan pengiriman beras. Suatu komite dibentuk

untuk melakukan persiapan pengiriman beras. Di daerah yang surplus beras,

digiatkan pengumpulan beras.

Pemerintah Belanda menentang pengiriman beras tersebut. Van Mook

beralasan di kota-kota pendudukan Sekutu mengalami kesukaran pangan akibat

blokade tentara Indonesia hingga harus mengimpor pangan dari Brazil. Van Mook

pun menyatakan pengiriman beras hendaknya melewati jalur Republik-Inggris-

India yang tentu saja melewati Belanda yang “berdaulat”.

Pihak India langsung mendesak Sekutu agar menghilangkan hambatan

Belanda. Pada 2 Mei 1946 disepakati bahwa Republik hanya akan mengirim

setengah dari jumlah beras yang dijanjikan sebelumnya ke India. Sisanya

lxxxiii

diserahkan kepada Sekutu di kota-kota pendudukan. Sekutu membarter beras

tersebut dengan mesin dan alat pertanian.

Muncul reaksi di dalam negeri atas kesepakatan tersebut. Jenderal

Sudirman menyetujui pengiriman beras ke India namun menolak jika pengiriman

beras ditujukan kepada Sekutu. Pihak Tentara, partai politik, badan perjuangan

dan rakyat juga tidak dapat menerima pemberian beras kepada Sekutu. Pemberian

beras kepada India banyak didukung karena memang mulia. Sebaliknya, jika

memberi beras kepada Sekutu sama dengan memberi makan NICA, yang ingin

menguasai kembali Indonesia. Pada 24 Mei 1946 di Karawang, berbagai partai

dan badan perjuangan dan tentara seperti Barisan Banteng, Masyumi, Pesindo,

Hizbullah dan lain-lain mengajukan resolusi terhadap pemerintah. Pada intinya

mereka menyatakan keberatan mengenai pengiriman beras kepada Sekutu.

Apabila Pemerintah tidak menggubris resolusi tersebut maka mereka tidak

bertanggung jawab atas keamanan pengiriman beras (Nasution, 1992: 62).

Pelaksanaan pengiriman beras kepada India mulai direalisasikan pada

bulan Juni 1946. Indonesia berhasil mengirimkan sebagian besar bantuan yang

dijanjikan. Sebagai gantinya, Indonesia menerima berbagai alat pertanian, tekstil

dan lain-lain. Namun dampak terpenting dari pengiriman beras tersebut terletak

pada aspek politik dimana Indonesia membuktikan mampu menyediakan beras

bagi India sekaligus mematahkan propaganda Belanda di dunia internasional

(Mani, 1989: 126).

d. Situasi Politik Nasional Pasca Perundingan Hoge Veluwe

Setelah kembali dari Hoge Veluwe, Van Mook mengajukan usul-usul

baru dari Belanda. Usul tersebut berupa rancangan protokol yang antara lain berisi

pengakuan de facto Republik atas Jawa, bahwa negara Indonesia Serikat tetap

menjadi bagian Kerajaan Belanda dan penolakan atas tuntutan Republik untuk

ikut mengatur perwakilan dari Kalimantan dan Indonesia Timur untuk

perundingan berikutnya.

Pemerintah Republik Indonesia mempelajari usul-usul tersebut dengan

rahasia. Secara tegas Pemerintah menolak persetujuan yang berbentuk protokol

dan menginginkan perjanjian antar negara yang sederajat. Usul balasan dari

lxxxiv

Perdana Menteri Sjahrir ke Belanda yang disampaikan secara rahasia, berisi

menuntut kekuasaan de facto atas Jawa, Sumatera termasuk kota-kota pendudukan

Sekutu, menolak ikatan kerajaan, menuntut pengiriman tentara Belanda

dihentikan dengan kesanggupan Republik untuk tidak menambah pasukan dan

menolak pengakuan Belanda selama masa peralihan. Namun usulan rancangan

protokol Belanda dan usulan balasan Indonesia yang seharusnya bersifat rahasia

justru dipublikasikan oleh Pemerintah Belanda. Radio Belanda di daerah

pendudukan di Bandung dan alat publikasi lain segera menyebarluaskan publikasi

tersebut. Pemerintah Indonesia sebenarnya masih menyimpan rahasia tersebut.

Pada 28 Juni 1946 Perdana Menteri Sjahrir kembali mengajukan usul

tentang pemberlakuan terlebih dahulu gencatan senjata dengan syarat penghentian

pengiriman tentara Belanda ke Indonesia dan pemindahan pasukan. Belanda tidak

menolak usul gencatan senjata namun menolak persyaratan yang diajukan

Indonesia dan justru menuntut status quo kedudukan dan jaminan keamanan

garis-garis perhubungan di seperti Jakarta-Bandung.

Pengumuman usulan balasan Indonesia oleh Belanda kian meningkat suasana panas di Indonesia. Pengumuman yang dilakukan Belanda tersebut menimbulkan kekecewaan mendalam di Indonesia. Banyak yang kemudian menafsirkan bahwa penangkapan tokoh PP pada bulan Maret tahun 1946 merupakan desakan dari Inggris dan Belanda untuk melumpuhkan perlawanan rakyat (Nasution, 1992: 321).

Partai-partai politik dan Persatuan perjuangan serta pemuda-pemuda

kecewa karena Sjahrir dianggap tidak memperjuangkan Indonesia yang merdeka

100% dalam perundingan dengan Belanda. Mereka juga menyesalkan delegasi

Indonesia dalam pembicaraan Hoge Veluwe yang juga dianggap tidak

memperjuangkan prinsip kemerdekaan 100% (Ide Anak Agung Gde Agung, 1995:

104). Oleh karena itu mereka membentuk Konsentrasi Nasional yang tetap

memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 100% namun tetap berdiri dibelakang

Pemerintah (Kedaulatan, 6 Mei 1946).

Gentingnya situasi membuat Wakil Presiden Hatta membuka beberapa

bagian usul perundingan dengan Belanda yang sebenarnya masih bersifat rahasia

pada perayaan Isra’ Mi’raj pada 27 Juni 1946, di Yogyakarta. Dalam kesempatan

tersebut, Hatta mengungkapkan bahwa pengakuan de facto atas wilayah Jawa dan

lxxxv

Sumatera dituntut terlebih dahulu Pemerintah Indonesia dari Belanda. Wilayah-

wilayah lain di Indonesia baru akan diadakan plebisit setelah tiga tahun, yaitu

apakah akan bergabung dengan Indonesia atau tetap dibawah Belanda

(Kedaulatan Rakjat, 28 Juni 1946).

Menteri Penerangan memberi keterangan tambahan antara lain usul

balasan kepada Belanda tidak untuk mengembalikan bagian-bagian wilayah

Indonesia kepada Belanda. Apabila ada wilayah yang enggan masuk Indonesia

maka wilayah tesebut tidak akan dilepaskan begitu saja. Perjuangan tetap untuk

menuju Negara Indonesia yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Keterangan

dari Menteri Penerangan dan Pidato Wakil Presiden segera mengundang reaksi.

Masyumi, PBI dan PNI meminta Presiden agar membuka seluruh usulan balasan

kepada Belanda. Selain itu agar susunan kabinet dirombak terutama Kementerian

Pertahanan, Kemakmuran dan Dalam Negeri (Kedaulatan Rakjat, 29 Juni 1946).

B. Proses Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

1. Situasi Surakarta Menjelang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

Situasi Surakarta memiliki kekhususan dalam revolusi Indonesia.. Sejak lama Surakarta menjadi kota yang cenderung memiliki sikap memberontak. Sebagai contoh Sarekat Islam yang pernah menjadi organisasi besar Indonesia tahun 1920-an, lahir di kota ini. Pada saat yang hampir bersamaan, paham komunisme berkembang di sini dengan pengaruh dari Haji Misbach (Wawancara dengan Soemaryono, 27 Juli 2009).

Pada masa revolusi, situasi Surakarta tidak menentu. Tidak ada pedoman

mengenai jalannya revolusi di Surakarta sehingga masyarakat seperti berjalan

sendiri dalam revolusi. Hal itu berakibat beberapa pihak menyalahgunakan

kondisi yang ada (Karkono Kamajaya, 1993: 11). Pihak yang merasa kuat seakan-

akan bisa berbuat semaunya terhadap lawan politiknya. Misalnya dalam kasus

penculikan yang menjadi hal biasa di Surakarta termasuk penculikan terhadap

pemimpin suatu kelompok tertentu oleh kelompok yang lain. Apabila hal itu

terjadi, akan muncul aksi balas dendam dari kelompok yang pemimpinnya diculik

akan dilakukan dengan menculik pemimpin kelompok lain. Biasanya dalam

lxxxvi

proses tersebut akan mempergunakan pasukan dan aksi pengepungan markas

lawan (Soebagjio, 1981: 172).

Surakarta seperti Yogyakata memiliki dua kerajaan yaitu Kasunanan dan

Mangkunegaran. Kedua raja Surakarta memerintah lewat patihnya masing-

masing. Kedua kerajaan di Surkarta tidak mau saling bekerja sama. Pihak

Mangkunegaran hanya mau bekerja sama dengan Kasunanan apabila kerjasama

tersebut tidak dalam satu kedudukan yang sederajat dengan Kasunanan. Hal itu

berbeda dua kerajaan di Yogyakarta dimana pihak Paku Alaman sejak awal telah

bersedia berada dibawah Kasultanan Yogyakarta meskipun Paku Alam VIII lebih

tua dari Sultan HB IX (Wawancara dengan Handoyo Leksono, 27 Juli 2009).

Kedua penguasa kerajaan yaitu Sunan Pakubuwono XII dan Sri

Mangkunegoro VIII memang sama-sama masih muda dan belum lama

memerintah. Keduanya juga kurang berpengalaman sehingga tidak bisa

mengambil kebijaksanaan tepat pada awal revolusi. Selain itu keduanya kurang

memiliki wibawa pribadi dan banyak dipengaruhi unsur disekelilingnya yang

cenderung pro Belanda. Pada awal revolusi kedua raja kurang terlibat langsung

dalam proses pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Hal itu berdampak pada

wibawa keduanya yang jatuh di kalangan para pejuang (Wawancara dengan

Handoyo Leksono dan Soemaryono, 27 Juli 2009).

Sekitar bulan September hingga Desember 1945 merupakan masa

terbentuknya berbagai laskar di Surakarta oleh para pemuda. Berbagai laskar

tersebut awalnya tergabung dalam BKR. Pada bulan Oktober 1945, BKR berhasil

merebut markas Kenpetai Jepang di Surakarta. Sejak itu berbagai macam laskar

berkembang di Surakarta dengan beragam bentuk dan gaya (Soejatno, 1974: 102).

Pada September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)

Surakarta terbentuk dan diketuai oleh Sumodiningrat dengan 9 anggota lain.

Pemerintahan Surakarta secara resmi dibentuk pada 1 Oktober 1945 dibawah

Soeprapto, Soetopo Adisapoetro dan Soemantri. Pembentukan pemerintahan

tersebut merupakan awal demokratisasi dari pemerintahan tradisional Surakarta.

Badan Pekerja KNID Surakarta lalu mengumumkan pembentukan Collegial

Bestuur. Namun Pemerintahan di Surakarta mengalami kekacauan. Kasunanan

lxxxvii

dan Mangkunegaran tidak mau duduk dalam pemerintahan Collegial Bestuur. Hal

itu mengakibatkan muncul Gerakan Anti Swapraja pada awal tahun 1946

(Wawancara dengan Handoyo Leksono, 27 Juli 2009; Soejatno, 1974: 108).

Ketegangan mulai muncul. Terjadi penculikan terhadap Sunan

Pakubuwono XII, Kanjeng Ratu dan Soerjomihardjo yang dilakukan Barisan

Banteng. Selama penculikan mereka diperlakukan baik oleh penculiknya.

Mekipun demikian mereka diputuskan hubungan dengan dunia luar untuk

memperlihatkan bahwa rakyat tidak menyenangi kraton. Ketiga dibebaskan

setelah dirasa telah memahami keinginan rakyat (Julianto Ibrahim, 2004: 157).

Situasi Surakarta makin panas setelah Yogyakarta menjadi ibukota baru

Indonesia. Kepindahan ibukota menyebabkan turut berpindah pula kekuatan-

kekuatan penentang pemerintah dari Jakarta. Daerah yang yang banyak ditempati

kekuatan kelompok penentang pemerinta yaitu Surakarta (Wawancara dengan

Soemaryono, 27 Juli 2009). Tan Malaka dengan PP dan Barisan Banteng yang

menjadi salah satu unsur terkuat PP memiliki markas besar di Surakarta. Bahkan

Barisan Banteng memiliki massa yang besar di sini. PNI juga sangat kuat di

Surakarta. Sebagian besar pemimpin Masjumi yang menentang Pemerintahan

Sjahrir juga berkumpul di Surakarta (Kahin, 1995: 233).

Pemerintah Pusat lewat Kementerian Dalam Negeri akhirnya turut

campur mengenai masalah di Surakarta. Kementerian Dalam Negeri mengangkat

R.P. Suroso menjadi Komisaris Tinggi Daerah Surakarta, Kasunanan dan

Mangkunegaran. Pengangkatan R.P. Suroso sebagai Komisaris Tinggi ternyata

tidak juga mengatasi situasi panas di Surakarta. Kepemimpinan R.P. Suroso

dianggap tidak revolusioner dan dekat dengan Swapraja. Akibatnya muncul

pemerintahan bayangan di Surakarta yang disebut “Direktorium”. PB XII dan MN

VIII menolak pemerintahan Direktorium. Sikap keduanya berakibat Kabupaten

Karanganyar, Klaten, Boyolali dan Sragen memilih lepas dari Swapraja dan

bergabung langsung dengan Pemerintah Pusat (Karkono Kamajaya, 1993: 12).

Pada 5 Mei pihak Kasunanan mengeluarkan maklumat yang intinya

menyerahkan kepada pemerintah pusat mengenai keberadaan Daerah Istimewa

Surakarta. Barisan Banteng menyambut hangat pengumuman dari Kasunanan

lxxxviii

(Kedaulatan Rakjat, 4 Mei 1946). Kementerian Dalam Negeri kemudian

menanggapi situasi di Surakarta dengan mengangkat Gubernur Jawa Timur Surjo

sebagai wakil Pemerintah Pusat di Surakarta, dengan tugas untuk mengembalikan

ketentraman di Surakarta. Ditegaskan pula akan diambil tindakan bila ada yang

melanggar peraturan pemerintah (Kedaulatan Rakjat, 23 Mei 1946).

Mangkunegaran menanggapi maklumat tersebut dengan menyatakan

keberadaan Wakil Pemerintah Pusat di Surakarta tidak akan mengubah

Pemerintahan Mangkunegaran. Keberadaan Wakil Pemerintah Pusat hanya untuk

mengatasi kekacauan di Surakarta. Pihak Mangkunegaran akan membantu

semestinya Wakil Pemerintah Pusat. Rakyat diminta tetap tenang karena

Pemerintahan Mangkunegaran adalah pemerintahan Indonesia juga (Kedaulatan

Rakjat, 29 Mei 1946).

Kementerian Dalam Negeri lalu memutuskan agar dilakukan pemilihan

umum yang kemudian bisa menyelesaikan penyelesaian swapraja di Surakarta.

Akan tetapi geolombang revolusioner tidak berhenti. Barisan Banteng terus

mengadakan rapat-rapat raksasa anti swapraja. Menteri Dalam Negeri Soedarsono

lalu memerintahkan untuk menangkap pemimpin Barisan Banteng dr. Moewardi

dan tokoh Gerakan Anti Swapraja lainnya (Reid, 1996: 158).

Tindakan tersebut justru menimbulkan kekacauan baru. Pihak Tentara

menyatakan tidak turut campur mengenai penangkapan tersebut (Kedaulatan

Rakjat, 23 Mei 1946). dr. Moewardi yang ditahan di Yogyakarta berhasil

dibebaskan para pengikutnya dari Barisan Banteng. Barisan Banteng kemudian

mengarak keliling Surakarta dr. moewardi yang telah dibebaskan disertai dengan

unjuk kekuatan yang dimiliki Barisan Banteng (Soebagijo, 1981: 166). Kemudian

Pada 1 Juni 1946, dibentuklah Dewan Pemerintahan Rakyat dan Tentara (DPRT)

yang menghapus kekuasaan kerajaan di Surakarta. DPRT dibentuk oleh Kolonel

Sutarto yang juga merupakan Kepala TRI Surakarta (Kedaulatan Rakjat, 3 Juni

1946). Dengan demikian upaya pemerintah di Surakarta tidak berhasil.

Pemerintah pada 6 Juni 1946 menyatakan keadaan darurat di Surakarta.

Tujuannya agar masalah yang berkaitan dengan DPRT yang telah terbentuk di

Surakarta bisa selesai. Presiden Sukarno menyatakan apa yang telah dijalankan di

lxxxix

Surakarta akan disesuaikan dengan Undang-Undang (Kedaulatan Rakjat, 7 Juni

1946). Keadaan darurat diperluas ke wilayah Jawa dan Madura keesokan harinya.

Pembantaian di Tangerang dan insiden penyerangan dari Belanda menjadi dasar

pemberlakukan tersebut (Barisan Rakjat, No. 26 Juni 1946). Pada 13 Juni 1946

Pemerintah Pusat mengeluarkan Maklumat yang mengesahkan Dewan Pertahanan

Surakarta. Dewan ini akan menjalankan kekuasaan di Surakarta sesuai petunjuk

Dewan Pertahanan Pusat. Dengan demikian kekuasaan kedua kerajaan Surakarta

hilang sementara kedudukan Sutarto menguat karena ia menjadi ketua Dewan

Pertahanan Daerah Surakarta (Kedaulatan Rakjat, 17 Juni 1946).

2. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir a. Situasi Menjelang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

Perdana Menteri Sjahrir pada 27 Juni 1946 berada di Jawa Timur dalam

rangka meninjau persiapan pengiriman beras dari Indonesia ke India. Sjahrir lalu

bergegas ke Solo untuk beristirahat sejenak sebelum berangkat ke Yogyakarta

menghadiri sidang kabinet. Setibanya di Solo, Sjahrir beserta rombongan yang

antara lain terdiri dari Menteri Dalam Negeri Sudarsono, Menteri Kemakmuran

Darmawan Mangunkusumo, Kepala POPDA Jenderal Mayor Sudibyo, Sekretaris

Kabinet Sumitro menginap di bekas gedung de Javascshe Bank dengan

pengamanan dari Polisi Negara (Anderson, 1988: 419).

Sementara itu di Yogyakarta terjadi pembicaraan serius di rumah Boedhiyarto Martoatmodjo terkait dengan pidato Hatta pada peringatan Isra’ Mi’raj di Yogyakarta. Dalam pembicaraan tersebut hadir Buntaran Martoatmodjo, Ahmad Subardjo, Iwa Kusumasumantri, Sajuti Melik, Jenderal Mayor Sudarsono (Panglima Divisi III Yogyakarta) dan Mayor A.K Mayor Yusuf. Tidak ada hasil konkret yang dihasilkan dari pertemuan tersebut namun semua merasa harus ada tindakan yang dilakukan. Setelah pertemuan itu berakhir, Jenderal Mayor Soedarsono bersama Mayor Yusuf yang merupakan bawahannya pulang ke rumah (Anderson, 1988: 417).

Sesampainya di rumah Jenderal Sudarsono, Mayor Yusuf berbicara dengan sengit kepada Sudarsono bahwa Pemerintahan Sjahrir yang telah berkhianat terhadap Indonesia merdeka. Mayor Yusuf kemudian mendesak Sudarsono agar mengizinkannya “menyingkirkan” Sjahrir, dengan perkiraan Presiden Sukarno akan mengambil alih kekuasaan dan mengubah kebijakan pemerintah setelah Sjahrir tidak ada. Jenderal Sudarsono menyetujui desakan Mayor Yusuf dengan menandatangi surat penangkapan atas Sjahrir, Soedarsono

xc

dan Abdulmadjid (Anderson, 1988: 418). Diharapkan dengan penangkapan terhadap Sjahrir, Presiden Sukarno akan mengambil alih kekuasaan. Setelah itu, mungkin Sukarno akan dibujuk untuk mengangkat para tokoh PP termasuk Tan Malaka masuk kedalam Pemerintahan (Sundhaussen, 1988: 51).

Mayor Yusuf lalu menemui Iwa Kusuma Sumantri dan mereka bersama-sama bergegas ke Solo. Sesampainya di sana, mereka menginap di rumah dokter Kartono dan bertemu dengan Muhammad Yamin, yang diberi izin untuk meninggalkan Tawangmangu. Di Surakarta mereka mengetahui jika Sjahrir dan rombongannya pada malam harinya akan ke Solo dan menginap disana (Anderson, 1988: 419).

Mayor Yusuf sebenarnya pernah menjadi murid Sjahrir selama masa

pendudukan Jepang. Akan tetapi selama Sjahrir menjadi Perdana Menteri,

beberapa kebijakan Sjahrir tidak menyenangkan bagi Mayor Yusuf. Salah satunya

adalah kebijakan Sjahrir melakukan penarikan tentara dari Jakarta. Sejak itu

Yusuf mengambil posisi yang menentang pemerintahan Sjahrir (Wawancara

dengan Handoyo Leksono, 27 Juli 2009).

Sebelum bergabung dengan tentara di Yogyakarta, Mayor Yusuf

merupakan pemimpin kelompok pemuda “PB” yang bermarkas di Istana Bogor.

Akibat kedatangan Sekutu, Bogor yang terletak di dekat Jakarta turut mengalami

kekacauan seperti yang terjadi di Jakarta. Selama masa itu, Tan Malaka telah

berada di Bogor dan kerap menerima pemimpin-pemimpin Jakarta seperti Menteri

Sosial Iwa Kusuma Sumantri. Selama berada di Bogor pula Iwa kerap

berhubungan dengan pemuda revolusioner di Bogor. Nampaknya dari situ Yusuf

kerap berhubungan dengan Iwa sehingga Yusuf sering disebut sebagai “anak” Iwa

(Nasution, 1977: 531). Setelah Inggris masuk ke Bogor dan berhasil menduduki

Istana Bogor, Mayor Yusuf mengungsi ke Puncak sebelum kemudian pindah ke

Yogyakarta (Nasution, 1977: 321).

b. Proses Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

Setelah mendapat surat dari Jenderal Sudarsono, Mayor Yusuf memulai

usaha untuk melakukan aksi penculikan yang dianggapnya sebagai sebuah

penangkapan. Untuk memudahkan upaya penangkapan Sjahrir, Mayor Yusuf

menghubungi Lettu Mardijo dari Polisi Tentara untuk menjalankan aksinya. Akan

tetapi Mardijo menolak melakukan hal tersebut kecuali ada perintah tertulis dari

Kolonel Sutarto. Mayor Yusuf lalu meminta bantuan Kolonel Sutarto. Setelah

xci

terjadi perundingan, Kolonel Sutarto mengeluarkan perintah kepada Lettu Mardijo

dan Lettu Suyatno untuk menghentikan semua komunikasi dan lalu lintas masuk

dan keluar dari Surakarta. Disamping itu, agar menghubungi pos Polisi Tentara di

Kartasura dan Boyolali agar membiarkan Mayor Yusuf menjalankan aksinya

(Sukoco, 1990: 75). Penjagaan di Javasche Bank pun ditarik secara diam-diam.

Menjelang tengah malam pada 27 Juni 1946, dilaksanakan penculikan

terhadap Sjahrir dan rombongannya. Mayor Yusuf yang memimpin sendiri

penculikan tersebut bersama empat orang lain. Namun pada umumnya mereka

tidak mengetahui siapa yang dibawa dan mengira bahwa yang dibawa merupakan

kaki tangan Belanda. Sjahrir sempat mengajukan protes tehadap tindakan Mayor

Yusuf namun ia tidak bisa melawan. Bersama dengan Sjahrir, dibawa pula

Darmawan Mangunkusumo, Jenderal Mayor Sudibyo, Sumitro dan beberapa

orang lain. Sudarsono yang sebenarnya menjadi sasaran penculikan berhasil

meloloskan diri dari hotel dan segera pergi ke Yogyakarta. Sjahrir dan rombongan

dengan menggunakan dua mobil dibawa ke Paras, Boyolali. Di sana terdapat

tempat peristirahatan Sunan Surakarta yang saat itu sedang kosong. Pengamanan

terhadap Sjahrir dilakukan oleh pimpinan tentara setempat, Mayor Soekarto

(Kahin, 1995: 238; Anderson, 1988: 420).

Sjahrir terlihat tenang selama masa penculikan. Ia sempat bersenda gurau

dan mengajak sesama rekan yang diculik bermain ayunan. Kelak setelah Sjahrir

bebas, ia dengan bergurau berterima kasih kepada para penculik karena memberi

“hari-hari libur selaku selingan kerja berat Perdana Menteri” (Mangunwijaya

dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae, 1983: 65).

C. Dampak Penculikan Perdana Menteri Sjahrir

1. Situasi Selama Perdana Menteri Sjahrir Diculik Setelah meninggalkan Sjahrir, Mayor Jusuf kembali ke ke Surakarta serta

mengantar Iwa dan Yamin ke Tawangmangu. Di Tawangmangu, mereka menceritakan penculikan Perdana Menteri Sjahrir pada para tahanan politik. Para tahanan memberikan reaksi beragam terhadap tindakan tersebut, ada yang cemas, ada yang menganggapnya sebagai tindakan ceroboh, namun ada pula yang senang dengan penculikan terhadap Sjahrir. Pada 28 Juni 1946 sore hari Yusuf Mayor

xcii

Yusuf, Iwa dan Yamin kembali ke Yogyakarta. Mereka menyampaikan hal serupa kepada Buntaran dan Bhoeddhyarto Martoatmodjo serta Ahmad Soebardjo. Reaksi senang muncul saat ketiga orang tersebut mengetahui penculikan Sjahrir. Mereka mengharapkan terbentuknya pemerintahan baru, yang mungkin seperti pemerintahan presidensiil dahulu. Namun Yusuf belum berhasil menemui Jenderal Mayor Soedarsono (Nasution, 1992: 330; Anderson, 1988: 421).

Keesokan hari setelah Sjahrir menghilang di Surakarta, diadakan sidang

kabinet yang dihadiri sisa anggota kabinet yang ada. Dalam sidang tersebut,

diputuskan bahwa Presiden Sukarno dengan persetujuan kabinet akan mengambil

alih pemerintahan untuk sementara waktu. Dewan Pertahanan Negara dengan

ketua Presiden Sukarno akan dibentuk untuk mengambil langkah-langkah yang

diperlukan. Diumumkan pula Indonesia dalam keadaan darurat karena serangan

dan ancaman serangan dari musuh sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 sub A dan B UU

No.6 Tahun 1946 tentang keadaan bahaya dan mengingat Pasal 12 UUD 1945

(Kedaulatan Rakjat, 28 Juni 1946).

Situasi di Surakarta agak mencekam selama Sjahrir diculik. Pasukan

Pesindo yang merupakan pendukung pemerintahan mulai bergerak dan

menduduki beberapa tempat di Surakarta dari Jawa Timur. Selama sehari penuh

pada tanggal 28 Juni 1946 kota Surakarta menjadi sepi. Kantor Pemerintahan

Rakyat dan Tentara telah kosong lantaran para pemimpinnya telah diamankan di

Resimen XXV. Mereka baru pulang setelah Presiden Sukarno mengucapkan

pidato agar membebaskan Sjahrir (Karkono Kamajaya, 1993: 16). Wilayah

Yogyakarta, kesatuan-kesatuan Siliwangi bergerak masuk dan bersiaga di bagian

barat Yogyakarta. Penjagaan keamanan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan

Pemuda Indonesia Maluku (PIM). Selain itu Polisi Tentara dan para pemuda yang

setia terhadap pemerintah terutama tokoh terkemuka Pesindo berkumpul di sekitar

Gedung Kepresidenan. Hampir semua dari mereka memakai persenjataan (Aboe

Bakar Loebis, 1992: 164).

Meskipun suasana cukup mencekam, masyarakat luas belum mengetahui

adanya penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta sepanjang hari

pada 28 Juni 1946. Kabar mengenai diculiknya Sjahrir memang tidak diumumkan

Pemerintah. Namun upaya-upaya keras dilakukan Pemerintah untuk mencari

Perdana Menteri Sjahrir dan merundingkan pembebasannya. Disamping itu

xciii

Pemerintah mengirim kawat ke Jakarta agar terjadi gencatan senjata di sepanjang

garis pertempuran dengan Belanda. Hal itu dilakukan pemerintah untuk menjaga

kemungkinan agar Belanda tidak memanfaatkan situasi dengan melakukan suatu

serangan selama Sjahrir diculik (Anderson, 1988: 421).

2. Proses Pembebasan Perdana Menteri Sjahrir

Menjelang sore hari tanggal 28 Juni 1946 Jenderal Mayor Soedarsono menemui Sukiman dari Masyumi yang juga merupakan tokoh penentang pemerintah. Jenderal Mayor Soedarsono bersama Kepala Intelejen Angkatan Darat Kolonel Sutjipto berhasil menemui Sukiman yang tengah berpidato dalam rapat Masyumi. Jenderal Mayor Soedarsono lantas memberi tahu Sukiman mengenai penculikan Sjahrir dan meminta Sukiman mengumumkannya dalam rapat tersebut. Sukiman langsung mengumumkan kabar tersebut. Ia lalu mengajukan pertanyaan yang telah ada dalam pikiran para peserta rapat, apa yang harus dilakukan pemerintah setelah Perdana Menteri menghilang (Anderson, 1988: 422). Tindakan Jenderal Soedarsono menyebabkan berita penculikan Sjahrir cepat menyebar. Malam harinya, Pemerintah segera menanggapi meluasnya kabar penculikan Sjahrir dengan mengumumkan bahwa Presiden Sukarno dengan persetujuan kabinet, mengambil alih kekuasaan pemerintah sampai kondisi normal kembali (Kedaulatan Rakjat, 29 Juni 1946). Kabinet Sjahrir menjadi demisioner.

Jenderal Mayor Soedarsono pagi hari setelah pengumuman dari Presiden Sukarno mengumpulkan Buntaran Martoatmodjo, Boedhyarto Martoatmodjo, Muhammad Yamin, Iwa Kusuma Sumantri, Ahmad Subardjo dan Chaerul Saleh di markas Divisi III. Jenderal Mayor Soedarsono memberitahukan kepada mereka bahwa Jenderal Sudirman memintanya untuk mengumpulkan para penasehat politiknya dan politisi agar menyusun daftar kabinet baru yang akan diajukan kepada Presiden Sukarno. Permintaan tersebut bisa dilakukan dengan tambahan suatu “konsep” yang dibuat Yamin yaitu Dewan Pimpinan Politik. Dewan tersebut menjadi semacam kabinet inti yang bisa disamakan dengan Dewan Pertahanan Negara. Setelah itu Jenderal Mayor Soedarsono membawa rancangan-rancangan diatas kepada Jenderal Soedirman sebelum Soedirman berangkat ke Surakarta. Tidak terlalu jelas apa yang menjadi keinginan Jenderal Soedirman terhadap rancangan-rancangan tersebut (Anderson, 1988: 423).

Keesokan hari pada 30 Juni 1946 Jenderal Soediman kembali lagi ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat yang dengan para pemimpin pemerintahan. Rapat itu menjadi ajang konfrontasi penuh kemarahan. Sukarno, Hatta dan Amir Sjarifuddin mencurigai Jenderal Soerdiman mengetahui keberadaan Perdana Menteri Sjahrir dan meminta Jenderal Soedirman agar menggunakan pengaruhnya agar Sjahrir dibebaskan. Namun Jenderal Soedirman rupanya menolak melakukan apapun sehingga rapat terlihat menemui jalan buntu Jenderal Soedirman kembali pergi ke Surakarta dengan memerintahkan Jenderal Mayor Soedarsono secara lesan agar melapor padanya keesokan harinya (Anderson, 1988: 424).

xciv

Petang harinya, Pemerintah melakukan tindakan yang sangat penting.

Presiden Sukarno berpidato lewat radio yang antara lain mendesak agar para penculik segera membebaskan Sjahrir. Sukarno menambahkan tindakan penculikan terhadap Sjahrir merupakan tindakan melawan hukum. Sukarno melanjutkan bahwa dengan adanya penculikan tersebut, posisi Indonesia juga akan melemah (Reid, 1996: 161). Rencana para penculik yang terlihat berhasil saat Presiden Sukarno mengambil alih kekuasaan justru berubah karena Presiden Sukarno mencela penculikan terhadap Sjahrir (Sundhaussen, 1988: 51).

Pidato Presiden Sukarno membuahkan hasil. Perdana Menteri Sjahrir dan rombongan dibebaskan pada malam harinya dan dibawa ke Surakarta. Pembebasan Sjahrir dilakukan perwira bawahan terpercaya Kolonel Sutarto yaitu Letkol Suadi Suromihardjo, Letkol Iskandar, dan Mayor Soeharto. Setelah bebas, Sjahrir bertolak ke Jakarta dengan pesawat dari Surakarta (Anderson, 1988: 426). Presiden Sukarno tetap memegang kekuasaan meski Sjahrir telah bebas. Kabinet tidak dikembalikan lagi seperti semula namun Sjahrir tetap menjabat Menteri Luar Negeri (Simanjuntak, 2003: 37).

3. Perkembangan Setelah Perdana Menteri Sjahrir Bebas

Jenderal Mayor Soedarsono menghadap Jenderal Soedirman di Surakarta ketika Sjahrir dibebaskan. Dalam pertemuan itu, Jenderal Soedirman mengungkapkan pemerintah hendak menangkap Jenderal Mayor Soedarsono namun ditolak Jenderal Soedirman. Setelah berdiskusi dengan Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Sutjipto, Kolonel Sutarto dan Mayor Mursito, lalu dikeluarkanlah surat sebaran atas nama tentara bahwa kelompok yang melakukan penculikan merupakan kelompok yang berjuang atas kemerdekaan 100%. Untuk mencegah tindakan keras dari Pemerintah, Jenderal Soedirman akan ke Yogyakarta menemui Pemerintah. Jenderal Mayor Soedarsono dan Kolonel Sutjipto akan menyusul kemudian (Anderson, 1988: 428).

Pemerintah mulai bertindak terhadap kelompok penculik setelah Perdana Menteri Sjahrir Bebas. Jenderal Mayor Soedarsono diperlemah kedudukannya dengan mengangkat Kepala Staf Divisi III Umar Djoy sebagai wakil Sultan HB IX dalam bidang militer di Dewan Pertahanan Negara. Keputusan itu ditempuh agar Umar Djoy lebih memihak pemerintah daripada atasannya. Langkah berikutnya dengan melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh penentang yang bekerja sama dengan kelompok penculik. Pada 1 Juli 1946, pemerintah memberikan wewewang kepada Polisi Negara Yogyakarta menangkap Buntaran dan Bhoeddyarto Matoatmondjo, Chaerul Saleh, Mohammad Saleh, Sajuti Melik, Ahmad Subardjo, Ibnu Parna, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Sumantoro dan lain-lain. Keesokan hari, para tahanan dipindahkan ke penjara Wirogunan. Iwa dan Yamin lolos dari upaya penangkapan.

Bersamaan dengan penangkapan para tokoh, Jenderal Mayor Soedarsono dan Kolonel Sutjipto kembali ke Yogyakarta. Mereka waspada karena tingkat kegiatan polisi yang luar biasa. Jenderal Mayor Soedarsono dan Kolonel Sutjipto menemui Umar Djoy yang lalu menunjukkan surat perintah penangkapan kepada Jenderal Mayor Soedarsono. Kemudian disepakati mengerahkan pasukan untuk menjaga markas divisi dan melakukan patroli untuk memantau kegiatan kesatuan

xcv

yang pro pemerintah. Umar Djoy lalu mengetahui bahwa para tokoh dibawa ke penjara Wirogunan. Ia memberitahu Jenderal Mayor Soedarsono dan mereka waspada akan kemungkinan penangkapan terhadap mereka. Markas Divisi III lalu dipindahkan ke Markas Resimen 3 di Wiyoro oleh Umar Djoy. Jenderal Mayor Soedarsono masih di Yogyakarta sebelum menyusul ke Wiyoro setelah mendapat laporan dari Kepala Markas Resimen 3 akan ancaman penangkapan (Anderson, 1988: 428).

Sementara itu Iwa dan Yamin berada di rumah Mayor Yusuf. Kemudian Iwa berangkat ke Surakarta. Jenderal Mayor Soedarsono setelah tahu keberadaan Yamin bersama Mayor Yusuf lalu mendesak mereka ke Wiyoro. Umar Djoy lalu membawa surat dari Jenderal Soedirman agar Jenderal Mayor Soedarsono menemuinya di Surakarta. Umar Djoy, Jenderal Mayor Soedarsono dan Yamin kemudian segera ke Surakarta. Tak terlalu jelas apa yang dibicarakan di Surakarta. Jenderal Soedirman nampaknya marah atas penangkapan para tokoh setelah Sjahrir bebas. Ia lalu memerintahkan Jenderal Mayor Soedarsono membebaskan mereka untuk kemudian menghadap Presiden dan meminta Presiden untuk merubah kabinet.

Jenderal Mayor Soedarsono kembali ke Yogyakarta dan membebaskan para tahanan politik di penjara Wirogunan. Para tahanan tersebut dibawa ke Wiyoro. Disana Yamin menulis sejumlah Maklumat agar diserahkan pada Presiden. Pada 3 Juli 1946, Jenderal Mayor Soedarsono bersama para mantan tahanan politik menemui Presiden Sukarno. Jenderal Mayor Soedarsono diijinkan menghadap Presiden dan menyerahkan maklumat yang ditulis Yamin. Setelah itu, Jenderal Mayor Soedarsono ditangkap bersama dan para mantan tahanan lain. Kejadian itu dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli (Anderson, 1988: 429). Mayor A. K. Yusuf baru ditangkap saat berada di Kalasan, Yogyakarta (Iwa Kusuma Sumantri. 1965: 144).

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka kesimpulan yang dapat diambil, yaitu: 1. Pemerintahan Sjahrir yang dibentuk pada 14 November 1945

menimbulkan ketidakpuasan karena kurangnya perwakilan partai

politik, pemuda dan tokoh Islam dalam kabinet. Ketidakpuasan pun

muncul dari program Pemerintah Sjahrir yang dianggap kurang

menekankan perjuangan melawan Belanda. Tekanan terhadap

Pemerintahan Sjahrir makin terasa sejak Persatuan Perjuangan (PP)

terbentuk. PP memiliki program seperti perundingan berdasar

xcvi

kemerdekaan 100% yang berlawanan dari program pemerintah. PP

cepat mendapat dukungan dari berbagai organisasi di Indonesia.

Kuatnya tekanan terutama dari PP membuat Pemerintahan Sjahrir

memilih mundur pada 26 Februari 1946 sebelum berlangsung rapat

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Surakarta.

Presiden Sukarno kembali menunjuk Sjahrir membentuk

pemerintahan. Pemerintahan Sjahrir kedua yang diresmikan pada 13

Maret 1946 tidak meredakan pertikaian dengan para penentang

pemerintah. Susunan menteri dan program kabinet masih mendapat

kritik seperti sebelumnya. Kongges PP di Madiun pada 15 Maret

1946 memutuskan menentang diplomasi dengan Belanda. Pemerintah

bertindak dengan menangkap tokoh PP seperti Tan Malaka, Sukarni

dan Abikusno Tjokrosujoso. Pemerintah terus menjalankan sejumlah

kebijakan seperti berunding dengan Belanda meskipun pembicaraan

sebelumnya dengan Belanda di Hoge Veluwe tidak membuahkan

hasil. Ketidakpuasan terhadap Pemerintahan Sjahrir memuncak saat

usulan perundingan Indonesia dengan Belanda diketahui umum.

2. Kekecewaan terhadap Pemerintahan Sjahrir dilampiaskan dengan

menculik Sjahrir. Perdana Menteri Sjahrir dan rombongan diculik di

Surakarta pada 28 Juni 1946. Penculikan dipimpin

oleh Mayor A. K. Yusuf, yang kecewa terutama

atas kebijakan diplomasi Pemerintahan Sjahrir. Penculikan terhadap

Sjahrir didukung Panglima Divisi III Jenderal Soedarsono dan

mendapat bantuan pimpinan Divisi IV Kolonel Sutarto. Sjahrir dan

rombongan yang diculik kemudian dibawa ke daerah Paras di

Boyolali dan dijaga tentara setempat dibawah Mayor Soekarto.

3. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir menyebabkan Presiden Sukarno

memberlakukan keadaaan darurat di Indonesia tanggal 28 Juni 1946.

Kekuasaan Pemerintahan dikembalikan sementara pada Presiden

tanggal 30 Juni 1946 yang membuat kabinet Sjahrir demisioner.

Presiden Sukarno lalu berpidato mencela penculikan Sjahrir dan

94

xcvii

meminta pembebasannya. Perdana Menteri Sjahrir dan rombongan

dibebaskan sejumlah perwira dari Divisi III pada 1 Juli 1946. Para

pelaku dan tokoh yang terkait dengan kelompok penculik baru

ditangkap setelah terjadi Peristiwa 3 Juli 1946.

B. Implikasi

1. Teoritis

Konflik politik pasca kemerdekaan Indonesia terjadi karena perbedaan pandangan dan kepentingan berbagai kebijakan pemerintah. Berbagai kebijakan pemerintah banyak mendapat tantangan terutama mengenai cara mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Para penentang berusaha agar Pemerintah mengambil kebijakan perjuangan senjata semantara Pemerintah menginginkan para penentangnya mendukung diplomasi. Pertentangan antara Pemerintah dengan para penentangnya antara lain terlihat jelas dalam rapat KNIP di Surakarta dan rapat PP di Madiun. Pertentangan antara Pemerintah dengan para penentangnya memuncak saat Perdana Menteri Sjahrir diculik saat berada di Surakarta. Konflik yang awalnya masih merupakan konflik yang non kekerasan mulai berubah menjadi konflik kekerasan. Indonesia hampir mengalami perpecahan akibat penculikan Perdana Menteri Sjahrir. Diculiknya Sjahrir mengakibatkan perubahan dalam pemerintahan Indonesia namun tekanan terhadap pemerintah berkurang.

2. Praktis

Naiknya Sjahrir menjadi Perdana Menteri mempertajam perbedaan pandangan

mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berbagai kebijakan Pemerintahan

Sjahrir kerap ditentang kelompok penentang yang menyebabkan Pemerintahan

Sjahrir tidak selalu bisa menjalankan kebijakannya dengan baik. Lama-kelamaan

perbedaan pandangan antara Pemerintahan Sjahrir dengan para penentangnya

menimbulkan pertentangan politik yang tajam yang kemudian berujung pada

penculikan Perdana Menteri Sjahrir. Indonesia hampir mengalami perpecahan

diawal kemerdekaannya.

C. Saran

xcviii

Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat saran yang dapat

diajukan, yaitu: 1. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini merupakan salah satu penelitian rintisan mengenai masa

Revolusi Indonesia yang terjadi sekitar tahun 1945-1949. Bagi peneliti sejarah

lain yang juga berkeinginan untuk meneliti masa Revolusi Indonesia, dapat

menggunakan penelitian ini sebagai salah satu pijakan awal dalam melakukan

penelitiannya.

2. Bagi Mahasiswa Program Studi Sejarah FKIP UNS

Mahasiswa Program Pendidikan Sejarah dapat banyak belajar dari

pengalaman bangsa Indonesia ketika terjadi perbedaan dalam mempertahankan

kemerdekaan. Para mahasiswa agar dapat mengembangkan sikap saling

menghargai sekaligus saling menghormati perbedaaan dengan berkaca dari

pengalaman tersebut. Disamping itu, agar mahasiswa mampu mencari solusi

terbaik ketika menghadapi perbedaan.

3. Bagi Para Pendidik

Seorang pendidik agar menanamkan kepada para pelajar rasa saling

menghormati dan menghargai perbedaan yang ada. Pendidik pun agar

menanamkan pengertian kepada para pelajar bahwa perbedaan yang bukan untuk

saling bertikai namun justru untuk saling melengkapi. Penanaman sikap-sikap

tersebut dapat mencegah timbulnya pertentangan yang berakibat pada perpecahan

bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aboe Bakar Loebis. 1992. Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku Dan Saksi. Jakarta: UI Press.

Abdulsyani. 1987. Sosiologi Kriminalitas. Bandung: Remadja Karya CV.

Anderson, Ben. 1988. Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang di Jawa 1944-1946; Penerjemah Jiman Rumbo. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

xcix

Andrain, Charles F. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial; Penerjemah

Luqman Hakim. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Astrid S. Susanto. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Binacipta.

Bambang Poernomo. 1984. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Bandung: Sinar Grafika.

Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.

Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik Dan Konflik Dalam Masyarakat: Sebuah Anslisa-Kritik; Penerjemah Ali Mandan. Jakarta: C.V. Rajawali.

Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany, Amir Muhsin. 1987. Kejahatan-Kejahatan Yang Merugikan Dan Membahayakan Negara. Jakarta: PT Bina Aksara.

Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos Wacana.

Duverger, Maurice. 2003. Sosiologi Politik; Penerjemah Daniel Dhakidae. Jakarta: P.T. RajaGrafindo dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.

Engelen, O.E., Aboe Bakar Loebis, F. Pattisiana, Abdullah Ciptoprawiro, Soejono Joedodibroto, Oetarjo, Idris Siregar. 1997. Lahirnya Satu Bangsa dan Negara. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah; Penerjemah Nugroho Notosusanto. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Helius Syamsuddin dan Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud.

Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

c

Hendropuspito OC, D. 1989. Sosiologi Sistemik. Yogyakarta: Kanisius.

Ibnu Syamsi. 1986. Pokok-Pokok Kebijaksanaan, Perencanaan, Pemograman dan Penganggaran Pembangunan Tingkat Nasional dan Regional. Jakarta: C.V. Rajawali.

Ide Anak Agung Gde Agung; 1995. Persetujuan Linggajati: Prolog dan Epilog. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Utama Nusatama dan Sebelas Maret University Press.

Irfan Islamy, M. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Iwa Kusuma Sumantri. 1965. Sedjarah Revolusi Indonesia Jilid II. Jakarta: Grafica.

Jahja Muhaimin. 1971. Perkembangan Militer Dalam Politik di Indonesia 1945-1965. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sosial Politik UGM.

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Klasik dan Modern Sosiologi Jilid 1; Penerjemah Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia.

Joko Widodo. 2007. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia Publishing.

Julianto Ibrahim. 2004. Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi Surakarta. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.

Kahin, George McTurnan. 1995. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia; Penerjemah Nin Bakdi Soemanto. Surakarta: UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan.

Karkono Kamajaya Pk, H. Revolusi di Surakarta. Naskah dalam Temu Ilmiah di Balai Kajian Jarahnitra Depdikbud Yogyakarta pada 28 Agustus 1993.

Kartini Kartono. 2005. Patologi Sosial -Jilid 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Koentjaraningrat (Editor). 1986. Metode Penelitian-Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

Kristian Widya Wicaksono. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemerintahan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

ci

Kuntiwijoyo. 2001. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Yayasan

Benteng Budaya.

Lapian, A.B. dan P.J. Drooglever (Penyunting). 1992. Menelusuri Jalur Linggarjati: Diplomasi Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Mani, P.R.S. 1989. Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Maswadi Rauf. 2001. Konsensus Dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Depdiknas.

Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad ke-20 Jilid 1: Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggajati. Yogyakarta: Kanisius

Nasution, A.H. 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2: Diplomasi Atau Bertempur. Bandung: Disjarah AD dan Angkasa Bandung.

_________. 1992. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 3: Diplomasi Sambil Bertempur. Bandung: Disjarah TNI AD dan Angkasa.

Niniek Suparni. 1990. Tindak Pidana Subversi: Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta: Sinar Grafika.

Nugroho Notosusanto. 1971. Norma-Norma Penelitian Dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI-Departemen Pertahanan dan Keamanan.

Nugroho Notosusanto (Editor), A.S.S. Tambunan, Soebijono, Hidayat Mukmin. 1985. Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI. Jakarta: Depdikbud

Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999. Kronik Revolusi Indonesia Jilid I (1945). Jakarta: Karya Pustaka Gramedia,Yayasan Ikapi dan The Ford Foundation.

Oemar Seno Adji. 1984. Hukum~Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga.

cii

Osman Raliby. 1953. Documenta Historica: Sejarah Dokumenter Dari

Pertumbuhan dan Perdjuangan Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang

Rahman Zainuddin, A. 1992. Kekuasaan Dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Reid, A.J.S. 1996. Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Ricklefs, M.C. 1989. Sejarah Indonesia Modern; Penerjemah Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Saafroedin Bahar dan A.B Tangdililing (Penyunting). 1992. Integrasi Nasional: Teori, Masalah Dan Strategi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Saleh, R.H.A. 1995. Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong. Surakarta: Yayasan Nusatama dan Sebelas Maret University Press.

Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Sebuah Alternatif. Jakarta: PT Gramedia.

_________. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.

Simanjuntak, P.N.H. 2003. Kabinet-Kabinet RI Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi. Jakarta: Djambatan.

Soebadio Sastrosastomo. 1987. Perjuangan Revolusi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Soebagijo, I.N. 1981. Sudiro: Pejuang Tanpa Henti. Jakarta: PT Gunung Agung.

Soerjono Soekanto. 1982. Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.

Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.

ciii

Sukoco. 1990. Revolusi di Surakarta Tahun 1945-1950: Suatu Tinjauan Sosial

Politik. Skripsi. Surakarta: FKIP UNS.

Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI; Penerjemah Hasan Basri. Jakarta: LP3ES.

Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS.

Taufik Abdullah, Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae. 1983. Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES.

Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Wirjono Pradjodikoro. 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Eresco.

Veeger, K.J. 1990. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama.

Sumber Internet

Ignas Kleden. 2006. “Sutan Sjahrir: Etos politik dan Jiwa Klasik” dalam Orasi mengenang Sutan Sjahrir, 8 April 2006, TIM, Jakarta. http://www.komunitasdemokrasi.or.id/article/sjahrir.pdf. Diakses tanggal 5 Maret 2009.

Rushdy Hoesein. 2008. “Sjahrir dan Kabinetnya”. http://sudarjanto.multiply.com/journal/item/1317. Diakses 5 Maret 2009.

Wakil Presiden Republik Indonesia. 1945. Maklumat wakil Presiden No X. badilag.net/data/UUD/Maklumat%20Wakil%20President%20No%20X. Diakses tanggal 5 Maret 2009.

Jurnal

Donald Hindley. “From Jail to Jail”. Journal of Asian Studies. 1992 Februari. 51 (1). 212-213.

civ

Soejatno. “Revolution and Social Tensions in Surakarta 1945-1950”. Indonesia.

1974 April. 17. 102, 108. http://cip.cornell.edu/DPubS?service=Repository&version=1.0&verb=Disseminate&handle=seap.indo/1107130753&view=body&content-type=pdf_1#. Diakses tanggal 23 Agustus 2009.

Surat Kabar

Tan Malaka. “Isi dan Soesoenan Volksfront”. 1946. Januari 6. Kedaulatan Rakjat. 1.

“Oepatjara Pemjamboetan Presiden dan Wakil Presiden”. 1946. Januari 7. Kedaulatan Rakjat. APA Monitor. 1.

Staf Pendidikan TRI Kementerian Pertahanan. “Toedjoean dan Tjara Pekerdjaan Staf Pendidikan T.R.I.” 1946. Februari 20. Kedaulatan Rakjat. 2.

Perdana Menteri Sjahrir. “Politik Kabinet Baroe: Hanya Beroending Atas Pengakoean Kemerdekaan 100%”. 1946. Maret 6. Kedaulatan Rakjat. 1.

Antara. “Disekitar Kabinet Baroe: Menteri Wanita Pertama Dari Seluruh Dunia”. 1946. No. 16 Maret. Barisan Rakjat. 1.

Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri. “Keterangan Pemerintah Tentang Pemimpin Politik”. 1946. Maret 23. Kedaulatan Rakjat. 1.

Rapat Persatoean Perdjoeangan. “Mosi Rapat Persatoean Perdjoeangan Tentang Penangkapan pemimpin2”. 1946. April 6. Kedaulatan Rakjat. 1.

Kepala Daerah Istimewa Soerakarta. “Maklumat No 2 Kepala Daerah Istimewa Soerakarta”. 1946. Mei 4. Kedaulatan Rakjat. 2.

Barisan Banteng. “Pengumuman Markas Besar Barisan Banteng”. 1946. Mei 4. Kedaulatan Rakjat. 2.

Konsentrasi Nasional. “Konsentrasi Nasional Melawan Pendjadjahan”. 1946. Mei 5. Kedaulatan Rakjat. 1.

Menteri Dalam Negeri. “Tindakan Pemerintah Poesat Terhadap Daerah Istimewa Soerakarta”. 1946. Mei 23. Kedaulatan Rakjat. 2.

cv

Mangkoenegoro VIII. Makloemat Mangkoenegoro VIII Tentang Penempatan P.T.

Soerjo di Solo. 1946. Mei 29. Kedaulatan Rakjat. 2.

Kepala TRI Soerakarta. “Dewan Pemerintahan Rakjat dan Tentara Daerah Soerakarta Berdiri”. 1946. Juni 3. Kedaulatan Rakjat. 2.

Presiden Republik Indonesia. “Pernyataan Keadaan Bahaja Didaerah Soerakarta”. 1946. Juni 7. Kedaulatan Rakjat. 1.

Presiden Republik Indonesia. “Pernyataan Keadaan Bahaja di Djawa dan Madoera”. 1946. No. 26 Juni. Barisan Rakjat. 1.

Presiden Republik Indonesia. “Dewan Pertahanan Soerakarta Disjahkan”. 1946. Juni 17. Kedaulatan Rakjat. 2.

Kantor Penghubung Tentara. “Pengangkoetan Djepang Selesai”. 1946. Juni 25. Kedaulatan Rakjat. 1.

Presiden Republik Indonesia. “Peroebahan Kementerian”. 1946. Juni 28. Kedaulatan Rakjat.1.

“Peringatan Mikrodj Dimasa Revoeloesi”. 1946. Juni 28. Kedaulatan Rakjat. Apa Monitor 1.

Presiden Republik Indonesia. “Seloeroeh Indonesia Dalam Keadaan Bahaja”. 1946. Juni 28. Kedaulatan Rakjat.1.

Presiden Republik Indonesia. “Dewan Militer Dibentoek”. 1946. Juni 28. Kedaulatan Rakjat.1.

Menteri Penerangan. “Langkah Pertama Menuju Kemerdekaan 100%”. 1946. Juni 29. Kedaulatan Rakjat.1.

Masjoemi, PBI dan PNI. “Oeseoel Balasan Pemerintah Indonesia Minta Dioemoemkan”. 1946. Juni 29. Kedaulatan Rakjat.1.

Presiden Republik Indonesia. “Kekoeasaan Pemerintah Sepenoeh-Penohja Kembali Ketangan Presiden”. 1946. Juni 29. Kedaulatan Rakjat. 1.

Sumber Foto

Bank Indonesia dalam mepow.files.wordpress.com. Diakses tanggal 4 Mei 2009.

cvi

IPPHOS dalam www.sutansjahrir.com. Diakses tanggal 4 Mei 2009.