Upload
doanthuan
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR DI SURAKARTA TAHUN 1946
SKRIPSI
Oleh: Masdar Hilmi
NIM: K4405026
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2009
ii
PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR
DI SURAKARTA TAHUN 1946
Oleh : MASDAR HILMI NIM: K4405026
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2009
iii
Halaman Persetujuan
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Hj. Sri Wahyuning S., M. Pd NIP.195310241981032001
Drs. H. Tri Yuniyanto, M. Hum NIP. 196506271990031003
iv
Halaman Pengesahan
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Pada Hari : Rabu
Tanggal : 11 November 2009
Tim Penguji Skripsi Nama Terang Tanda Tangan Ketua : Drs. Djono, M. Pd ........................ Sekretaris : Dra. Sri Wahyuni, M. Pd ....................... Anggota I : Dra. Hj. Sri Wahyuning S, M. Pd ........................ Anggota II : Drs. H. Tri Yuniyanto, M. Hum .......................
Disahkan oleh Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd NIP. 196007271987021001
v
ABSTRAK
Masdar Hilmi. K4405026. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Oktober 2009.
Tujuan Penelitian ini untuk: (1) Memahami situasi yang menyebabkan terjadinya Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946, (2) Mengetahui proses terjadinya Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946, (3) Memahami dampak Penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta Tahun 1946.
Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber primer berupa surat kabar sementara sumber sekunder digunakan yaitu buku-buku, foto dan dan informan. Teknik pengumpulan data penelitian ini yaitu studi pustaka dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam mengolah suatu data sejarah. Prosedur penelitian dilakukan dengan empat tahap yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1). Pemerintahan Sjahrir yang dibentuk pada 14 November 1945 menimbulkan ketidakpuasan menyangkut susunan menteri yang kurang representatif dan program Pemerintah yang dianggap kurang menekankan perjuangan melawan Belanda. Tekanan terhadap Pemerintahan Sjahrir makin terasa sejak Persatuan Perjuangan (PP) terbentuk. Kuatnya tekanan terutama dari PP membuat Pemerintahan Sjahrir memilih mundur pada 26 Februari 1946. Presiden Sukarno lalu kembali menunjuk Sjahrir membentuk pemerintahan. Pemerintahan Sjahrir kedua yang diresmikan pada 13 Maret 1946 tidak meredakan ketidakpuasan yang ada. Ketidakpuasan terhadap Pemerintahan Sjahrir memuncak saat usulan perundingan Indonesia dengan Belanda diketahui umum. (2). Kekecewaan terhadap Pemerintahan Sjahrir dilampiaskan dengan menculik Perdana Menteri Sjahrir. Penculikan Sjahrir dan rombongan di Surakarta pada 28 Juni 1946 dipimpin oleh Mayor A. K. Yusuf, dari Divisi III yang didukung Panglima Divisi III Jenderal Soedarsono dan dibantu pimpinan Divisi IV Kolonel Sutarto. Sjahrir dan rombongan yang diculik dibawa ke daerah Paras di Boyolali. (3). Penculikan Perdana Menteri Sjahrir membuat Presiden Sukarno menyatakan Indonesia dalam keadaaan darurat pada 28 Juni 1946. Kekuasaan Pemerintahan untuk sementara dikembalikan kepada Presiden pada 30 Juni 1946. Presiden Sukarno kemudian segera berpidato yang antara lain mencela penculikan Sjahrir dan meminta pembebasannya. Sjahrir dan rombongan yang diculik dibebaskan pada 1 Juli 1946. Para pelaku dan tokoh yang terkait dengan kelompok penculik baru ditangkap setelah terjadi Peristiwa 3 Juli 1946.
vi
ABSTRACT
Masdar Hilmi. K4405026. The Prime Minister Sjahrir Kiddnap in Surakarta on 1946. Paper. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, October 2009.
The objectives of this research are (1) To learn the condition that causes the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946, (2) To know the process of the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946, (3) To learn damages of the Prime Minister Sjahrir kiddnap in Surakarta on 1946.
This research use history methods. The research data sources is primary sources that consist by the newspapaer, and secondary sources that consist by the books, picture and informant. The data gathering in this research are library learning and interview. The technique of data analysis that used in this research is historical analysis, it give a priority to sharp the process of history data. The procedures of this reasearch was done with four steps, that is heuristic, criticism, interpretation, dan historiography.
Based on this research, it concluded that: (1). The Sjahrir Establishment had found on November 14th 1945 make disappointment about the cabinet person that less representative and the program that not focus about fight againts Dutch. The pressure to Sjahrir Establishment stronger since Persatuan Perjuangan (PP) has been found. The PP pressure has powerfull and make the Sjahrir Establishment resign on February 26th 1946. President Sukarno then appoint Sjahrir to form the establishment. The second cabinet of Sjahrir that found March 13th 1946 not down unsatisfied attitude. Finally, the disappoinment become top when the secret agreement Indonesia-Dutch opened to the public (2). Unsatisfied to the Sjahrir Establishment did by kiddnap the Prime Minister Sjahrir. This action lead by Major A. K. Yusuf from 3rd Divition and supprort by 3rd Divition Commander General Major Soedarsono and also helped by the leader 4th Divition Colonel Sutarto. Sjahrir and his friends take to Paras in Boyolali regency. (3). The Prime Mininte Sjahrir kiddnap make President Sukarno declare state on emergency. The authoroty power take again by Presiden Sukarno on June 30th 1946. Then President Sukarno speech and call down the Prime Minister Sjahrir kidnap and want his release. Sjahrir and his friend release on July 1st 1946. All the kiddnaper and the other close person arrested after July 3rd 1946 Affair.
vii
MOTTO
Een leidersweg is een lijdensweg
Leiden is lijden
(Jalan Kepemimpinan Bukan Jalan Yang Mudah
Memimpin Adalah Jalan Yang Menderita)
(Kasman Singodimedjo)
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
1. Bapak dan Ibu
2. Kakak-Kakak dan Keponakanku
3. Kawan-kawan P. Sejarah UNS 2005
4. Mereka yang telah membantuku
5. Almamater
6. Semua orang yang mengenalku
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan
Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas
Maret Surakarta (UNS) yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah
menyetujui atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS yang telah memberikan
pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.
4. Dra. Hj. Sri Wahyuning. S, M. Pd selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. H. Tri Yuniyanto, M. Hum selaku dosen Pembimbing II yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah
membantu pembuatan skripsi. Penulis memohon pula maaf apablila terdapat
tindakan dan perkataan penulis yang kurang berkenaan.
Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan
skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada khususnya dan
perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, November 2009
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii
HALAMAN ABSTRAK .......................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ viii
KATA PENGANTAR .............................................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 6
D. Manfaat Penelitiaan ........................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................... 8
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 8
1. Kebijakan Pemerintah .................................................................. 8
2. Polarisasi Politik .......................................................................... 15
3. Konflik Politik ............................................................................. 22
4. Subversi ....................................................................................... 28
5. Penculikan ................................................................................... 35
B. Kerangka Berpikir .............................................................................. 38
BAB III METODOLOGI ......................................................................... 40
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 40
B. Metode Penelitian .............................................................................. 40
C. Sumber Data ...................................................................................... 42
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 44
E. Teknik Analisis Data ......................................................................... 47
xi
F. Prosedur Penelitian ............................................................................ 48
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................... 50
A. Latar Belakang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir .......................... 50
1. Latar Belakang Terbentuknya Pemerintahan Sjahrir ....................... 50
2. Pemerintahan Parlementer Sjahrir ................................................... 57
3. Kabinet Sjahrir II ............................................................................ 67
B. Proses Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ........................................ 81
1. Situasi Surakarta Menjelang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ... 81
2. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ................................................ 85
C. Dampak Penculikan Perdana Menteri Sjahrir ..................................... 88
1. Situasi Selama Perdana Menteri Sjahrir Diculik ............................. 88
2. Proses Pembebasan Perdana Menteri Sjahrir ................................... 89
3 Perkembangan Setelah Perdana Menteri Sjahrir Bebas .................... 91
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 94
A. Kesimpulan ....................................................................................... 94
B. Implikasi ........................................................................................... 95
C. Saran ................................................................................................. 96
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 98
LAMPIRAN .............................................................................................. 106
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jepang menyerah terhadap Sekutu dalam Perang Dunia II pada 15
Agustus tahun 1945. Jepang lalu diperintahkan Sekutu untuk mempertahankan
status quo di Indonesia sebelum Sekutu mengambil alih kekuasaan. Menyerahnya
Jepang membuat Indonesia dalam keadaan vacuum of power. Kelompok pemuda
di Jakarta yang mengetahui kekalahan Jepang merasa yakin bahwa telah tiba saat
untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi kelompok pemuda menyadari
bahwa peran Sukarno dan Hatta sebagai tokoh yang lebih tua dan lebih dikenal
rakyat, penting untuk memproklamirkan kemerdekaan. Beberapa perwakilan
kelompok pemuda menemui Sukarno dan Hatta untuk meminta keduanya
memproklamirkan Indonesia. Kedua tokoh tersebut tidak langsung menerima
permintaan kelompok pemuda. Sukarno dan Hatta ingin memastikan terlebih
dahulu situasi yang sebenarnya dari Jepang dan menginginkan proses
kemerdekaan melibatkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hal
itu sangat mengecewakan kelompok pemuda yang ingin segera meraih
kemerdekaan namun tanpa campur tangan PPKI.
Kelompok pemuda yang putus asa terhadap sikap Sukarno dan Hatta lalu memutuskan untuk mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Sukarno dan Hatta tetap didesak kelompok pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta awalnya tetap tidak mau menuruti kemauan pemuda. Akan tetapi setelah mendapat jaminan dari Jepang (Laksamana Maeda) dan pengertian dari kelompok pemuda maka Sukarno, Hatta dan pemuda segera kembali ke Jakarta. Setibanya di Jakarta Sukarno, Hatta dan kelompok pemuda bersama para anggota PPKI langsung berkumpul membahas persiapan proklamasi. Pertikaian tetap berlanjut antara kelompok pemuda dengan para tokoh tua termasuk Sukarno dan Hatta.
Setelah melewati pembahasan yang menegangkan, Proklamasi Indonesia
dilaksanakan pada 17 Agustus 1945. Sehari setelah Proklamasi pemerintahan
Indonesia mulai dibentuk. PPKI yang telah disesuaikan, memilih Sukarno sebagai
Presiden, Hatta sebagai Wakil Presiden dan mengesahkan konstitusi Indonesia.
xiii
Dalam perkembangannya PPKI berubah menjadi Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) dengan tugas sebagai penasehat presiden dan kabinet. Akhir bulan
Agustus 1945 kabinet Indonesia berhasil dibentuk. Semua posisi dalam
pemerintahan diisi oleh orang-orang yang bekerja dalam instansi Jepang untuk
menjamin pengalihan kekuasaan sipil dari Jepang ke Indonesia. (Ricklefs, 1989:
319). Pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) dan pemerintahan daerah
dilakukan bersamaan dengan pembagian provinsi Indonesia (Kahin, 1995: 177).
Militer Jepang di Indonesia umummnya membiarkan euforia proklamasi
Indonesia berlangsung sambil menantikan kedatangan Sekutu.
Kabinet Sukarno yang terbentuk mendapat tantangan dari luar kabinet.
Kabinet dikritik kelompok pemuda yang anti Jepang setelah melihat para menteri
terlalu berbau Jepang. Kekecewaan terhadap kabinet bertambah setelah kabinet
mengambil sikap lunak yang cenderung terhadap Jepang. Kegelisahan Kabinet
Sukarno bertambah dengan menjelang waktu kedatangan Sekutu ke Indonesia.
Pihak Sekutu belum memiliki sikap jelas terhadap Indonesia. Belanda sebagai
penguasa wilayah Indonesia sebelum Jepang dan anggota Sekutu justru
mengambil sikap bermusuhan dengan Kabinet Sukarno dan ingin mengembalikan
kekuasaannya di Indonesia.
Sikap lebih aktif diperlihatkan para pemuda di berbagai daerah
(Anderson, 1988: 140). Berbagai aksi menyambut proklamasi dilakukan terutama
oleh kelompok pemuda di Jawa dan Sumatera yang berhasil mengambil alih
tempat-tempat penting dan berbagai persenjataan Jepang. Proses pengambilalihan
senjata ada yang berjalan damai namun tak jarang terjadi pertempuran. Situasi
mulai memanas saat Sekutu yang diwakili Inggris tiba di Indonesia pada akhir
September 1945. Sikap Kabinet Sukarno yang mempersilakan Inggris
melaksanakan tugasnya menimbulkan kekecewaan banyak pihak. Terlebih
kedatangan Inggris ternyata disertai oleh Belanda yang ingin mengembalikan
kekuasaannya di Indonesia. Hal tersebut makin memacu sikap keras khususnya
para pemuda. Berbagai insiden dan pertempuran muncul antara rakyat dengan
Inggris dan Belanda di berbagai daerah. Jepang yang harus mematuhi perintah
xiv
Sekutu turut pula memanaskan suasana yang ada. Kabinet Sukarno mulai tidak
sepenuhnya mampu menguasai situasi yang berkembang.
Kabinet Sukarno pun menghadapi tekanan dalam bidang politik.
Sejumlah anggota KNIP merasa peran KNIP tidak jelas dalam pemerintahan.
Pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai negara tunggal pun
dianggap akan tumpang tindih dengan fungsi KNIP. PNI sebagai partai negara
negara yang tunggal dianggap pula dapat menimbulkan bahaya politik.
Kekhawatiran lain menyangkut sistem presidensial yang dianut Indonesia. Sistem
presidensial dengan kekuasaan besar di tangan presiden tanpa adanya lembaga
legislatif dapat menimbulkan bahaya kediktatoran dari presiden. Apalagi situasi
Indonesia yang belum kondusif.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, dilakukan sejumlah perubahan politik.
KNIP diberikan fungsi legislatif. Untuk mengefektikan fungsi KNIP, dibentuklah
Badan Pekerja (BP) KNIP. Disamping itu sistem multi partai diputuskan untuk
diterapkan di Indonesia. Pembentukan PNI sebagai partai negara dibatalkan dan
sebagai gantinya berdirilah berbagai organisasi partai politik, organisasi pemuda,
badan perjuangan dan organisasi lainnya. Sistem presidensial juga diubah menjadi
sistem parlementer. Sutan Sjahrir kemudian ditunjuk memimpin pemerintahan
parlementer (Kahin, 1995: 190). Citra dan kemampuan Sjahrir dianggap paling
tepat memimpin pemerintahan Indonesia. Sjahrir telah dikenal sebagai tokoh
Pergerakan Nasional dan cukup dikenal kalangan kelompok pemuda.
Setelah terbentuk, Kabinet Sjahrir justru mendapat kecaman keras.
Susunan menteri dan juga BP-KNIP dianggap sangat tidak repersentatif
(Kahin, 1995: 214). Perwakilan Islam dan nasionalis sangat kurang sementara
perwakilan Kristen dianggap berlebihan dalam kabinet. Unsur kelompok
pemuda malah hampir tidak ada dalam kabinet. Posisi-posisi kunci kabinet
dipegang Sjahrir sendiri dan rekannya, Amir Sjarifuddin. Kolega-kolega dekat
Sjahrir dan Amir mengisi hampir semua jabatan menteri. Kabinet pun
dianggap terlalu Dutch Minded karena kebanyakan menteri lulusan pendidikan
xv
Belanda. Kekecewaan makin besar setelah program Kabinet Sjahrir
diumumkan (Anderson, 1988: 226).
Ketegangan masih berlangsung meskipun pemerintahan telah berganti.
Pertempuran dan insiden dengan Sekutu tetap terjadi. Ibukota Jakarta bahkan
harus dipindahkan ke Yogyakarta karena gawatnya situasi. Bersamaan dengan itu
mundurnya ketertiban sosial mulai berlangsung. Aksi penculikan dan
penyerobotan sering terjadi pada masa Revolusi. Unsur-unsur penguasa lama di
beberapa daerah yang dianggap menyengsarakan rakyat atau tidak jelas
dukungannya terhadap proklamasi mulai disingkirkan. Peristiwa Rengasdengklok
telah menjadi model para pemuda di daerah untuk menekan kaum tua agar tidak
hanya mengandalkan kompromi belaka dan lebih tegas bertindak. Akan tetapi
banyak tindakan “revolusioner” yang ada sulit dibedakan dengan aksi kriminal
biasa. Pemerintah tetap kesulitan mengatasi situasi. Di daerah, laskar atau
kelompok yang memiliki senjata terkadang malah lebih berkuasa dari pemerintah.
Selanjutnya alat-alat negara di daerah makin tidak menghiraukan pemerintah
pusat. Saling tangkap atau serobot antara pemerintah dengan laskar malah kerap
terjadi (Ricklefs, 1989: 328; Nasution, 1992: 4).
Keberadaan berbagai partai politik, badan perjuangan, laskar dan
pihak tentara makin menyulitkan posisi Sjahrir. Banyak dari partai politik,
badan perjuangan, laskar dan pihak tentara yang menentang berbagai
kebijakan Pemerintahan Sjahrir. Serangan Sjahrir terhadap hal-hal berbau
Jepang juga meningkatkan kebencian terhadap Kabinetnya. Banyak kalangan
politisi, pemuda dan militer yang marah karena merasa menjadi sasaran
propaganda Sjahrir. Kabinet Sjahrir mendapat tekanan-tekanan kuat dari para
penentangnya dalam KNIP maupun agitasi-agitasi langsung di lapangan. Para
penentang Kabinet Sjahrir segera mengambil sikap oposisi terhadap
pemerintah. Upaya oposisi terhadap Sjahrir mendapatkan hasil ketika Kabinet
xvi
mengundurkan diri pada akhir Februari tahun 1946 (Kahin, 1995: 217; Reid,
1996: 162).
Sjahrir kembali ditunjuk memimpin pemerintahan. Kabinet Sjahrir II
kali ini mendapat dukungan penting dari Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Hatta. Meskipun demikian, ketidakpuasan terhadap Kabinet Sjahrir II tetap
besar meski telah melakukan sejumlah perubahan. Berbagai kelompok di luar
pemerintah tetap keras menentang Pemerintahan Sjahrir. Pemerintah dan
oposisi sama-sama mempertahankan sikap yang dipegang. Situasi tidak
mereda karena pemerintah dan penentangnya saling melakukan berbagai
manuver untuk melemahkan satu sama lain.
Tingginya tensi politik nasional turut memengaruhi wilayah Surakarta.
Situasi politik Surakarta telah panas sejak awal Proklamasi. Pemerintahan
Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta telah menyatakan mendukung
proklamasi dan pemerintahan. Kedua kerajaan mendapat hak istimewa untuk tetap
memerintah dibawah Republik. Gerakan Anti Swapraja kemudian muncul
menentang Pemerintahan dari Kasunanan dan Mangkunegaran yang dianggap
sebagai lambang feodal. Perpindahan Ibukota Indonesia dari makin meningkatkan
suhu politik Surakarta. Banyak orang dari Jakarta yang berada di Surakarta setelah
perpindahan tersebut. Surakarta segera berkembang menjadi daerah oposisi yang
kuat Kabinet Sjahrir. Gerakan Anti Swapraja sedikit banyak termasuk bagian dari
kelompok penentang Kabinet Sjahrir.
Situasi nasional Indonesia terus memanas. Pemerintah dan kelompok
penentangnya sama-sama tidak mau mengalah. Ketegangan kondisi di Indonesia
akhirnya mencapai puncak saat Perdana Menteri Sjahrir tiba-tiba menghilang
ketika singgah di Surakarta. Menghilangnya Sjahrir pada 27 Juni 1946
menimbulkan dampak besar terhadap perkembangan situasi Indonesia berikutnya.
xvii
Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti
masalah tersebut dalam skripsi berjudul “PENCULIKAN PERDANA MENTERI
SJAHRIR DI SURAKARTA TAHUN 1946”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir di
Surakarta tahun 1946?
2. Bagaimana proses penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta
tahun 1946?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari terjadinya penculikan
Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitan ini yaitu:
1. Untuk memahami situasi yang menyebabkan terjadinya penculikan
Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.
2. Untuk mengetahui proses penculikan Perdana Menteri Sjahrir di
Surakarta tahun 1946.
3. Untuk memahami dampak yang ditimbulkan atas penculikan Perdana
Menteri Sjahrir di Surakarta tahun 1946.
D. Manfaat Penelitian
Nilai suatu penelitian dilihat dari besarnya manfaat yang bisa diperoleh
dari penelitian tersebut. Berdasarkan hal itu, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat yaitu:
xviii
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis bermanfaat:
a. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna
dalam rangka pengembangan ilmu sejarah.
b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi
para pembaca tentang penculikan Perdana Menteri Sjahrir di
Surakarta tahun 1946.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis bermanfaat:
a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana
Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Dapat memberikan acuan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kebijakan Pemerintah
a. Konsep Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah sering pula disebut dengan istilah kebijakan
publik atau kebijakan umum. Kebijakan sendiri memiliki beragam
pemahaman yang berbeda. Bambang Sunggono (1994: 11) mengutip beberapa
pendapat mengenai konsep kebijakan, yaitu:
xix
1). Kleijn menguraikan kebijakan sebagai tindakan sadar dan sistematis,
dengan memakai sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik
yang jelas sebagai sasaran, yang dilakukan secara bertahap;
2). Carl J. Fredrick menerangkan kebijakan sebagai serangkaian tindakan
yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan
tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu;
3). James E. Anderson mendefinisikan kebijakan sebagai rentetan
tindakan yang memiliki tujuan tertentu dan diikuti dan dilaksanakan
oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku untuk memecahkan
persoalan tertentu.
Menurut Miriam Budiarjo (2008: 20), kebijakan merupakan
kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik,
dalam usaha memilih tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut. Pada
prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan yang memiliki kekuasaan untuk
melaksananakan kebijakan.
Thomas Dye yang dikutip Bambang Sunggono (1994: 25) mengatakan
bahwa kebijakan tidak dapat menjadi kebijakan publik apabila tidak dirumuskan,
disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah seperti legislatif, eksekutif
dan yudikatif.
Menurut Hoogerwerf dalam Bambang Sunggono (1994: 24), suatu
kebijakan akan dianggap sebagai kebijakan publik jika:
1). Kebijakan publik berkaitan langsung atau tidak
langsung dengan semua anggota masyarakat di daerah kekuasaan
tertentu;
2). Kebijakan publik mengikat semua anggota masyarakat.
Kesimpulannya, kebijakan pemerintah merupakan keputusan yang
diambil pemerintah mengenai suatu permasalahan tertentu dengan serangkaian
8
xx
prosedur yang harus dijalani. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah akan
memiliki dampak terhadap semua atau sebagian anggota masyarakat, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
b. Tujuan Kebijakan Pemerintah
Menurut Hoogerwerf yang dikutip oleh Bambang Sunggono (1994: 12)
mengungkapkan tujuan-tujuan penting kebijakan yaitu:
1). Memelihara ketertiban umum (negara sebagai stabilisator);
2). Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal
(negara sebagai stimulator);
3). Memadukan berbagai aktivitas (negara sebagai koordinator);
4). Menunjuk dan membagi benda material dan non material (negara
sebagai distributor).
Sementara Robert H. Simmons dalam Ibnu Syamsi (1986: 54)
menyatakan bahwa tujuan kebijakan pemerintahan yaitu:
1). Meningkatkan pemuasan kepentingan umum;
2). Menetapkan proses administrasi yang tepat;
3). Menghindari konflik sosial yang destruktif.
c. Faktor Yang Memengaruhi Kebijakan Pemerintah
Kebijakan publik dibuat sebagai solusi dari masalah publik yang
muncul dan berkembang dalam masyarakat (Joko Widodo, 2007: 50). Namun
tak semua masalah bisa menjadi kebijakan (M. Irfan Islamy, 2004: 77).
Charles F. Andrain (1992: 16) mengemukakan bahwa dalam suatu
sistem politik, keyakinan, struktur masyarakat, motif, persepsi dan sikap
individual semuanya berinteraksi untuk memengaruhi pilihan atau kebijakan
negara.
xxi
Menurut Nigro dan Nigro dalam M. Irfan Islamy (2004: 25), pembuatan
kebijakan dipengaruhi oleh:
1). Tekanan dari luar dimana pembuatan keputusan tidak bisa lepas dari
pengaruh dunia nyata;
2). Kebiasaan lama yang dipandang masih memuaskan untuk diteruskan
atau karena kengganan admininstrator untuk mengkritik kebiasaan
lama yang ada;
3). Sifat pribadi dari pihak pembuat keputusan;
4). Kelompok dari luar dalam hal ini lingkungan sosial dimana peran
dari pihak lain diperlukan dalam pembuatan keputusan;
5). Pengaruh keadaaan masa lalu.
Ramlan Surbakti (1992: 191) menjelaskan bahwa jumlah yang terlibat,
aturan pembuatan dan informasi yang cukup harus dipertimbangkan saat membuat
keputusan. Randall B. Ripley dalam Ramlan Surbakti (1992: 194) menyatakan
proses kebijakan dipengaruhi oleh lingkungan (lingkungan dalam dan luar
pemerintah serta lingkungan khusus kebijakan tertentu), persepsi pembuat
kebijakan tentang lingkungan, aktivitas pemerintah dalam menghasilkan rumusan
keputusan dan aktivitas masyarakat tentang kebijakan.
Nilai-nilai seperti nilai politik, nilai organisasi, nilai pribadi, nilai
kebijakan dan nilai ideologi turut melandasi tindakan dari pihak pembuat
keputusan dalam mengambil keputusan (Anderson dalam Irfan Islamy, 2004: 27).
M. Irfan Islamy (2004: 121) mengemukakan bahwa nilai itu berasal dari
pola keyakinan dan aspirasi masyarakat untuk mempertahankan dan
menyejahterakan kehidupan fisik dan mentalnya. Nilai-nilai tersebut turut pula
menentukan penggunaan sumber-sumber (manusia, energi, uang, alam dan lain-
lain) dalam suatu sistem sosial (M. Irfan Islamy, 2004: 121).
Peter Brigman dan Glyn Davis dalam Kristian Widya Wicaksono (2006:
65) menyatakan bahwa kebijakan publik memiliki beberapa karakteristik yaitu:
1). Memiliki tujuan untuk dicapai atau tujuan yang dipahami;
2). Melibatkan keputusan beserta konsekuensinya;
3). Hakekatnya adalah politis;
xxii
4). Bersifat dinamis.
Brigman dan Davis meneruskan bahwa kebijakan publik bisa dilihat dari
3 dimensi (Kristian Widya Wicaksono, 2006: 65), yaitu:
1). As Authoritative Choice, yaitu kebijakan bisa dilihat sebagai
tanggapan pembuat keputusan terhadap isu atau problem publik;
2). As Hypothesis, yaitu kebijakan dibangun dalam sebuah kerangka
model teori sebab dan akibat;
3). As Objective, yaitu kebijakan publik merupakan pencapaian tujuan.
Menurut Amara Rakasasataya dalam M. Irfan Islamy (2004: 20),
kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu
tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat tiga macam elemen yaitu:
1). Identifikasi tujuan yang ingin dicapai;
2). Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan
yang diinginkan;
3). Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara
nyata dari taktik atau strategi.
M. Irfan Islamy (2004: 77) mengungkapkan bahwa membuat suatu
kebijakan negara bukanlah proses yang sederhana karena banyak faktor yang
memengaruhinya. Suatu kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan politik
namun untuk menyejahterakan anggota masyarakat secara keseluruhan.
Sjahrir berkeinginan mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang
merupakan jembatan untuk mencapai tujuan sebuah negara yang menjunjung
kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, menghindari tekanan dan
penghisapan, menegakkan keadilan, membebaskan bangsa dari genggaman
feodalisme dan menuju pendewasaan bangsa (Roesdy Husein dalam
sudarjanto.multiply.com).
Pemerintahan Sjahrir telah mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti
penarikan semua kekuatan bersenjata Indonesia dari Jakarta, pengangkutan
tentara Jepang dan APWI (Allied Prisoner of War and Internees), bantuan
xxiii
makanan bagi anggota APWI di Bandung, kebijakan Pepolit dalam tentara dan
perundingan dengan Sekutu (Roesdy Husein dalam sudarjanto.multiply.com).
d. Perumusan Kebijakan Pemerintah
M. Irfan Islamy (2004: 77) mengungkapkan bahwa membuat suatu
kebijakan negara bukanlah proses yang sederhana karena banyak faktor yang
memengaruhinya. Suatu kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan politik
namun untuk menyejahterakan anggota masyarakat secara keseluruhan.
Pembuat kebijakan harus mencari dan menentukan identitas dari
permasalahan kebijakan dengan benar dalam merumuskan suatu kebijakan.
Kekeliruan menentukan permasalahan kebijakan akan membuat salahnya
perumusan permasalahan kebijakan sendiri. Kekeliruan tersebut akan
berdampak panjang dalam proses selanjutnya (Bambang Sunggono 1994: 50).
Langkah berikutnya ialah memasukkan permasalahan dalam agenda
pemerintah. Agenda pemerintah harus menggambarkan permasalahan atau isu
dimana para pembuat keputusan harus memiliki perhatian khusus
terhadapnya.
Menurut Cobb dan Elder dalam Charles O. Jones (Joko Widodo,
2007: 56), prasyarat permasalahan masuk ke agenda pemerintah yaitu:
1). Permasalahan kebijakan mendapat perhatian luas dari masyarakat;
2). Adanya persepsi dan pendapat publik yang luas bahwa diperlukan
beberapa tindakan untuk mengatasi permasalahan kebijakan;
3). Persepsi yang sama dari masyarakat bahwa permasalahan kebijakan
menjadi tanggung jawab pemerintah.
xxiv
Sementara Anderson dalam Irfan Islamy (2004: 86) menyebutkan
bahwa adanya ancaman keseimbangan antar kelompok, kepemimpinan politik,
krisis besar, gerakan protes dan isu umum yang masuk ke pers turut
memengaruhi problema umum masuk menjadi agenda pemerintah
Setelah agenda pemerintah dibuat, dipilihlah salah satu alternatif
pemecahan yang akan diajukan menjadi usulan kebijakan. Usulan kebijakan
biasanya diajukan oleh lembaga eksekutif kepada badan legislatif atau pihak yang
berwenang. Usulan tersebut oleh badan legistaltif bisa diterima, ditolak atau
diterima dengan catatan. Apabila usulan kebijakan disahkan maka kebijakan
publik perlu diberi bentuk hukum dengan berbagai bentuk perundang-undangan
yang ada. Pemberian bentuk hukum akan memberikan legitimasi bagi kebijakan.
Berikutnya kebijakan dapat dipaksakan berlaku dan pelaksanaannya bersifat
mengikat bagi yang menjadi sasaran kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 53).
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo dalam Bambang Sunggono (1994: 53),
tahap-tahap pembentukan kebijakan publik yaitu:
1). Policy germination, yaitu penyusunan konsep pertama dari suatu
kebijakan;
2). Policy recomendation, yaitu rekomendasi mengenai suatu kebijakan;
3). Policy analysis, yaitu analisa kebijakan dimana berbagai informasi
dan penelaahan dilakukan terhadap adanya suatu rekomendasi suatu
kebijakan, yang biasanya juga mempertimbangkan berbagai alternatif
implikasi pelaksanaanya;
4). Policy formulation, yaitu perumusan kebijakan;
5). Policy decision atau policy approval, yaitu pengambilan keputusan
formal terhadap suatu kebijakan, yang umumnya hal ini kemudian
disahkan dalam bentuk perundang-undangan;
6). Policy implementation, yaitu pelaksanaan kebijakan;
7). Policy evaluation, yaitu penilaian pelaksanaan kebijakan.
e. Kendala Pelaksanaan Kebijakan
xxv
Kerap kali dalam pelaksanaan kebijakan cenderung akan bermasalah.
Beberapa tipe kebijakan menurut Budi Winarno (2002: 158) yang berpotensi
menimbulkan masalah ialah kebijakan yang sama sekali baru, kebijakan yang
didesentralisasikan, kebijakan yang kontroversial, kebijakan yang kompleks,
kebijakan yang terkait dengan krisis dan kebijakan yang ditetapkan
pengadilan.
Pelaksanaan kebijakan umumnya dilakukan oleh lembaga pemerintah di
berbagai tingkat. Dalam rangka mencapai tujuan kebijakan, perlu diperhatikan
peran dari kelompok-kelompok kepentingan yang bertindak sebagai wakil dari
obyek kebijakan. Kegiatan dari kelompok-kelompok kepentingan yang ditujukan
untuk menghambat atau mempercepat pelaksanaan kebijakan menjadi bagian dari
proses pelaksanaan itu sendiri. Disamping itu, perlu diperhatikan pula suara dari
pers dan keputusan keputusan dari pengadilan yang bisa saja terkait dengan
pelaksanaan kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 139).
Menurut James E. Anderson dalam Budi Winarno (2002: 179)
melesetnya dampak kebijakan pemerintahan dari yang diinginkan semula
dikarenakan beberapa hal, yaitu:
1). Sumber-sumber yang tidak memadai;
2). Cara melaksanakan kebijakan yang tidak pas;
3). Banyaknya faktor yang memengaruhi suatu kebijakan;
4). Cara orang menanggapi suatu kebijakan, yang berbeda dengan apa
yang diperkirakan sebelumnya;
5). Tujuan-tujuan kebijakan yang tidak sebanding atau malahan
bertentangan satu sama lain;
6). Biaya yang diperuntukkan menyelesaikan masalah justru lebih besar
dari masalah itu sendiri;
7). Terlalu banyak masalah publik yang sulit diselesaikan;
xxvi
8). Sifat masalah yang akan dipecahkan oleh tindakan kebijakan.
Anderson yang dikutip Bambang Sunggono (1994: 139) menjelaskan
anggota masyarakat dapat menerima suatu kebijakan karena:
1). Respek terhadap otoritas dan keputusan badan-badan pemerintah;
2). Kesadaran menerima kebijakan;
3). Keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah dan dibuat para
pembuat kebijakan lewat mekanisme yang telah ditetapkan;
4). Anggapan bahwa kebijakan sesuai dengan kepentingannya;
5). Sanksi yang akan diterapkan apabila tidak melaksanakan kebijakan;
6). Penyesuaian waktu terutama untuk kebijakan yang kontroversial
yang lebih banyak mendapat penolakan warga masyarakat dalam
pelaksanaannya.
Anderson menambahkan bahwa anggota masyarakat bisa saja menolak
suatu kebijakan (Bambang Sunggono, 1994: 139) karena:
1). Konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum karena sifat
kebijakan yang kurang mengikat;
2). Bertentangan dengan pemikiran atau gagasan kelompok tempat
anggota masyarakat bergabung;
3). Keinginan mencari keuntungan dengan cepat yang membuat orang
cenderung bertindak melawan hukum;
4). Ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan yang
bisa saja saling bertentangan satu sama lain;
5). Pertentangan tajam antara kebijakan dengan sistem nilai yang dianut
masyarakat secara luas atau kelompok tertentu dalam masyarakat.
Perbedaan pandangan antara Pemerintah Sjahrir dengan kelompok diluar
pemerintah cukup lebar. Pemerintah berkepentingan mengambil berbagai
kebijakan yang moderat terhadap Belanda. Pandangan sebaliknya yang banyak
dipegang kelompok luar Pemerintah adalah justru tidak perlu melakukan
kompromi dengan Belanda (Reid, 1996: 149).
Misalnya upaya pemerintah melakukan pembicaraan dengan Sekutu
karena merasa lebih realistis menghadapi Belanda dan Sekutunya mengingat
xxvii
terbatasnya alat atau badan perjuangan yang ada. Golongan radikalis justru
menginginkan kemerdekaan 100% dan menolak berkompromi dengan Belanda
(Sartono Kartodirdjo dalam Lapian dan Drooglever, 1992: 85).
Kelompok pemuda terutama yang menentang kebijakan perundingan.
Pertempuran di Surabaya dan Jawa Tengah membuat mereka yakin akan
perjuangan kemerdekaan 100%. Para pemimpin yang juga berkaca dari
pertempuran tersebut justru menganggap diplomasi menjadi jalan terbaik
mempertahankan kemerdekaan (de Jong dalam Lapian dan Drooglever, 1992: 64).
2. Polarisasi Politik
a. Konsep Polarisasi Politik
Polarisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 339) yaitu pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Jadi polarisasi politik merupakan pembagian kelompok yang memiliki pandangan politik menjadi dua bagian yang berbeda satu sama lain.
James E. Anderson dalam Bambang Sunggono (1994: 139) menyatakan
anggota masyarakat bisa saja menolak kebijakan mengingat beberapa hal seperti
konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum karena sifat kebijakan yang
kurang mengikat, kebijakan yang bertentangan dengan pemikiran atau gagasan
kelompok tempat anggota masyarakat bergabung, keinginan mencari keuntungan
dengan cepat yang membuat orang cenderung bertindak melawan hukum,
ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan yang bisa saja
saling bertentangan satu sama lain dan pertentangan tajam antara kebijakan
dengan sistem nilai yang dianut masyarakat secara luas atau kelompok tertentu
dalam masyarakat.
Ramlan Surbakti (1992: 158) mengatakan dalam proses pembuatan
keputusan, hampir akan terjadi konflik, konsesnsus dan perubahan. Didalam
proses politik selalu terjadi konflik diantara pihak-pihak yang berusaha
mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Dalam proses politik pula kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan akan
memiliki aspirasi yang berbeda dan bahkan bertentangan satu sama lain.
xxviii
Dalam bidang politik, persaingan kelompok diwujudkan dalam sikap
kelompok yang tidak menyampaikan kepada yang lainnya tujuan masing-masing
kelompok. Bahkan mereka mengharapkan agar lawan menjadi lengah. Masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari belum tentu merasakan adanya persaingan yang ada.
Masyarakat baru menyadari jika persaingan berubah menjadi pertentangan (Astrid
S. Soesanto, 1983: 108).
Peluang kontraversi yang berakibat terjadinya polarisasi selalu ada
dimana-mana. Hendropuspito (1989: 246) menyatakan hal itu wajar karena
pendapat orang tidak selalu sama dengan orang yang lain. Keuntungan yang
diperoleh satu pihak belum tentu menyenangkan pihak lainnya. Kontravensi
sebagi fakta sosial selalu berkaitan dengan sikap-sikap sosial yang bersifat
negatif, seperti rasa antipati, iri hati, praduga, rasa kahawatir akan terdesak oleh
piohak lain, frustasi dan sebagainya. Sikap-sikap tersebut muncul hampir selalu
berkaitan dengan maslah pernbedaan ras, suku, agama atau keperceyaan, ideologi
dan politik, perbedaan status, perbedaan nasib dan perbedaan dalam sosial dan
ekonomi.
Hendropuspito (1989: 246) melanjutkan bahwa pelaku kontravensi
mudah ditemukan. Baik secara terang-terangan atau tersembunyi, terjadi
kontravensi antara golongan agama yang satu melawan golongan agama dengan
yang lain, golongan kaya dengan golongan miskin, golongan terdidik dengan
golongan yang tidak terdidik dan kelas yang berkuasa dengan kelas yang tidak
berkuasa. Kontravensi dapat pula terjadi antara partai politik yang satu dengan
partai politik yang lain dan negara yang satu dengan negara lainnya.
b. Kelompok Polarisasi Politik
Sering kali dalam masyarakat terdapat kelompok yang tidak
menyesuaikan diri dengan kaidah yang berlaku. Kelompok-kelompok tersebut
memiliki motivasi yang berbeda namun motivasi mereka dikarenakan dua hal
(Hendropuspito, 1989: 312), yaitu
xxix
1) Kelompok yang tidak puas dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Kelompok ini dibedakan dua yaitu golongan ekstrim (non konformis)
dan golongan moderat.
a). Golongan ekstrim dibedakan dua, yaitu ektrim kanan (melakukan
penyimpangan karena dasar halauan masyarakat yang ada
dianggap tidak menjamin tercapainya nilai sprirtual keagamaan
yang mereka inginkan) dan ekstrim kiri (melakukan
penyimpangan karena dasar halauan masyarakat yang ada
dianggap tidak menjamin tercapainya nilai materiil yang
memuaskan);
b). Sementara golongan moderat tidak setuju dengan pelaksanaan
pola dasar di masyarakat namun tidak menentang pola dasarnya
sendiri.
2) Kelompok yang tidak bisa mengikuti aturan permainan yang ada,
seperti:
a). Kelompok penderita cacat mental;
b). Kelompok pemderita cacat fisik;
c). Kelompok pengemis pelacur dan gelandangan; dan
d). Kelompok kriminil.
Ralf Dahrendorf yang dikutip Veeger (1990: 217) mengungkapkan
jika ada sekelompok orang yang memilki kepentingan bersama namun mereka
belum berorganisasi, mereka disebut “kelompok konflik potensial”. Ginsberg
(Veeger, 1990: 217) menyebut mereka sebagai field for groups (ladang-ladang
darimana kelompok-kelompok dapat dikerahkan). Selama mereka tidak
berinteraksi mengenai tujuan bersama maka belum akan lahir solidaritas dan
perasaan bersatu.
Dahrendorf menambahkan jika sekelompok orang yang memiliki
kepentingan yang sama berkumpul dalam satu wadah, kepentingan mereka
xxx
akan menjadi suatu program yang nyata. Mereka akan berubah menjadi
“kelompok kepentingan yang aktual”. Mereka makin sadar dimana letak
kepentingan mereka dan struktur kekuasaan apa yang menghalangi mereka
(Veeger, 1990: 218).
Dahrendorf lalu menyatakan kondisi yang diperlukan untuk
mengubah kelompok kepentingan potensial menjadi aktual (Veeger, 1990:
218), yaitu:
1). Kondisi struktural, yaitu adanya nilai atau program bersama,
organisasi yang terarah dan pemikir dalam organisasi;
2). Kondisi politik dalam suatu negara, entah menguntungkan atau
merugikan kelompok kepentingan itu sendiri;
3). Kondisi sosial yaitu adanya pertemuan dan interaksi anggota
kelompok.
Penghayatan dari tujuan utama kelompok yang murni ditemukan jika
terdapat kesediaan pengorbanan, yang seimbang dengan perwujudan tujuan
kelompok tersebut dan apabila partisipasi masyarakat ditingkatkan. Suatu
kelompok baru mencapai fase idealnya jika perbedaan yang ada mengalami
pengintegrasian. Pembentukan kelompok dipengaruhi keyakinan bersama
perlunya pengelompokan dan tujuan, harapan yang dihayati kelompok dan
ideologi yang mengikat semua anggota kelompok (Astrid S. Soesanto, 1983: 112
dan 39).
Dalam polarisasi politik biasanya terjadi persaingan antar kelompok
untuk meraih tujuan yang hendak dicapai masing-masing kelompok Sudijono
Sastroatmodjo (1995: 111) menyatakan biasanya dalam masyarakat memiliki infra
struktur politik yaitu komplek hal-hal yang berkenaan dengan pengelompokan
warga negara dan anggota masyarakat kedalam berbagai macam golongan yang
biasaya dikenal dengan kekuatan sosial politik dalam mayarakat. Kehidupan
politik masyarakat dalam infra struktur politik turut memengaruhi jalannya
xxxi
lembaga negara atau sistem pemerintahan. Sebaliknya, lembaga pemerintah dapat
pula memengaruhi kehidupan masyarakat.
Secara umum infra struktur politik (Sudijono Sastroatmodjo, 1995: 111),
terdiri dari:
1) Partai Politik;
2) Kelompok Penekan;
3) Kelompok Kepentingan;
4) Media Komunikasi Politik; dan
5) Tokoh Politik.
Komponen-komponen infra struktur politik tersebut dalam jalannya sistem memiliki fungsi masukan. Fungsi masukan tersebut memberikan bahan masukan atau informasi yang harus diproses oleh sistem tersebut serta tenaga yang yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup sistem tersebut. Fungsi masukan meliputi dua unsur, yaitu tuntutan dan dukungan.
Yang dimaksud dengan tuntutan yaitu keinginan atau aspirasi dari masyarakat yang terorganisasi dalam berbagai bentuk partai-partai politik maupun kelompok-kelompok kepentingan. Unsur dukungan merupakan pandangan-pandangan maupun tindakan-tindakan yang memberikan “support” untuk berjalannya sistem. Tanpa dukungan, tuntutan-tuntutan yang datang dari masyarakat tidak dapat terpenuhi dan konflik-konflik yang ada dalam sistem politik tidak dapat terselesaikan. Agar tuntutan yang diajukan dalam sistem politik mendapat tanggapan yang baik maka anggota-anggota yang memperjuangkan tuntutan menjadi keputusan yang mengikat. Bagi mereka yang ingin memengaruhi proses politik maka mereka harus mampu memperoleh dukungan dari pihak lain dalam sistem tersebut (Sudijono Sastroatmodjo, 1995: 134).
c. Jalannya Polarisasi Politik
Persaingan bisa memiliki fungsi yang positif seperti mendorong
terciptanya kemajuan yang lebih tinggi, adanya fokus untuk mencapai hasil yang
lebih baik dari hasil yang telah diperoleh sekarang dan memacu orang untuk
menciptakan hal-hal baru yang menungguli orang lain. Namun persaingan dapat
pula memicu pihak yang lemah menjadi tertutup kesempatan hidup dan apabila
tidak dapat dikontrol dapat menimbulkan bentrokan dalam masyarakat
(Hendropuspito, 1989: 241).
Bila dalam masyarakat terdapat gejolak diantara berbagai pihak, dengan
segala motivasi yang mendorongnya maka masing-masing pihak akan berusaha
merumuskan dan mengajukan kepada pemerintah selaku pembuat dan pelaksana
xxxii
kebijakan politk. Pihak-pihak yang bertikai akan mengadakan politisasi agar
keinginannya menjadi isu politik. Untuk itu maka setiap pihak akan membuat
perhitungan tersendiri agar kepentingannya tercapai dengan efektif. Upaya
tersebut bisa dilakukan dengan koalisi dengan pihak lain atau cukup
diperjuangkan sendiri. Kedua cara tersebut tentu dilakukan dengan berbagai
pertimbangan matang. Usaha berikutnya dengan mempengaruhi agar pemerintah
keinginannya terkabul.
Pemerintah memiliki tentu saja memiliki pertimbangan tersendiri dalam
menghadapi tuntutan-tuntutan tersebut. Tuntutan tersebut bisa diterima atau justru
ditolak. Namun tentu saja keputusan yang diambil dan dilaksanakan pemerintah
tidak selalu mampu menghentikan pertikaian yang ada. Pihak-pihak yang
berkepentingan belum tentu bisa menerima keputusan pemerintah dan justru terus
menyuarakan tuntutannya sehingga permasalahan bisa terus berkelanjutan atau
malah dimulai dari awal lagi. Apabila tuntutan pihak yang berkepentingan
diterima pun bisa pula membuat perubahan baru di bidang lain yang justru dapat
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat (Ramlan Surbakti, 1992: 164).
Persaingan yang timbul diantara pihak yang bertikai dapat berkembang
menjadi permusuhan atau kontravensi. Kontravensi atau oposisi dapat dilakukan
dengan beberapa cara (Hendropuspito, 1989: 244), yaitu
1) Oposisi kasar dan oposisi halus. Oposisi kasar ditandai dengan
ketidaksopanan seperti gangguan, fitnah, provokasi dan lain-lain
yang bermaksud menjelekkan lawan; Sementara oposisi halus
dilakukan dengan bahasa yang sopan namun memiliki makna tajam
dan diketahui oleh umum.
2) Oposisi terbuka dan oposisi tertutup. Oposisi terbuka terjadi bila
pihak mana atau siapa yang melakukan penentangan diketahui seperti
demonstrasi atau unjuk rasa; Sementara oposisi tertutup sulit
diketahui pihak yang menentang karena aksi yang dilakukan meski
diketahui umum namun sulit diterka pihak yang melakukannya
seperti surat kaleng atau selebaran gelap;
xxxiii
3) Oposisi resmi dan oposisi tidak resmi. Oposisi resmi adalah
penentangan yang diterima dan ditegaskan dengan ketentuan hukum.
Penegasannya dilakukan lewat lembaga negara atau agama. Ada pula
partai oposisi dalam demokrasi yang berfungsi mengkritik yang
berguna untuk jalannya pemerintahan; Oposisi tidak resmi
merupakan cara penentangan yang tidak dikukuhkan dengan
peraturan hukum dan tidak dilembagakan. Oposisi tidak resmi kerap
ditemui dalamdiskusi atau proses promosi kesarjanaan. Maksud dari
“kritik” ialah supaya suatu kebenaran yang hendak diterima sungguh
merupakan kebenaran yang tangguh dan tahan uji.
Kontravensi atau oposisi memiliki dampak (Hendropuspito, 1989: 247),
yaitu:
1) Bagi yang menjadi sasaran kontravensi, dapat membuat tertunda atau
bahkan gagalnya tujuan yang hendak dicapai;
2) Terlibatnya pihak ketiga dalam ketegangan.
Konflik kepentingan akibat polarisasi politik dapat menyebabkan
terjadinya perubahan politik. Konflik kepentingan diantara berbagai kelompok
yang menyebabkan perubahan merupakan hasil interaksi kepentingan yang
secara ketat dikontrol bahkan ditentukan oleh posisi sosial atau kondisi
materiil elit yang terlibat. Gagasan dan nilai merupakan pencerminan dari
kepentingan saja.
Kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda biasanya
mengartikulasi dan memperjuangkan “budaya” yang berbeda pula. Kelompok
yang memiliki posisi funsional lebih penting dari kelompok lain akan lebih
memiliki kemungkinan untuk mencapai kepuasan daripada kelompok yang
tidak memiliki posisi yang dominan. Oleh karena itu inovasi budaya yang
xxxiv
akan datang dipandang sebagai sangat berhubungan dengan struktur sosial
yang ada pada masa sekarang (Ramlan Surbakti, 1992: 246).
Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Rahman Zainuddin (1992: 180)
menyatakan bahwa solidaritas diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan
bersama atau kepentingan orang banyak. Tanpa adanya solidaritas, sulit bagi
orang untuk memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Orang-orang yang
tidak memerhatikan faktor solidaritas dalam perjuangannya seringkali gagal
dalam mencapai tujuannya.
Khaldun menambahkan bahwa hal itu berlaku juga dalam melakukan
perjuangan atau oposisi terhadap negara. Jika ingin melakukan oposisi
terhadap negara maka diperlukan kelompok solidaritas yang lebih kuat dari
kelompok solidaritas yang dimiliki negara. Jika tidak memilikinya, lebih baik
tidak melakukan oposisi karena tindakan oposisi apalagi dalam kondisi negara
yang masih kuat, hanya akan berakhir dengan kehancuran oposisi sendiri
(Rahman Zainuddin, 1992: 181).
Kehidupan politik Indonesia cukup baik pasca munculnya kebebasan
mendirikan organisasi. Banyak organisasi kemudian bersemangat
menyuarakan pendapatnya mengenai permasalahan-permasalahan yang ada.
Berbagai kebijakan Pemerintah segera mendapat respon dari organisasi-
organisasi dalam berbagai bentuk mulai dari cara terbuka hingga tertutup.
3. Konflik Politik
a. Pengertian Konflik
xxxv
Tidak ada masyarakat yang terbebas dari konflik. Kita tidak dapat
menghilangkan konflik, yang bisa dilakukan hanya mengurangi jumlah konflik
dan mencegah semakin mendalam dan meluasnya suatu konflik. Keberadaan
konflik yang selalu terjadi dalam masyarakat bersumber dari hubungan sosial
(social relation) yang merupakan hakekat suatu masyarakat (Maswadi Rauf,
1992: 77).
Ralf Dahrendorf (1986: 197) menerangkan tiap masyarakat selalu
berubah, dan memperlihatkan pertentangan dan konflik dibanyak bidang. Unsur-
unsur dalam masyarakat sendiri yang menyumbang disintegrasi dan perubahan.
Kemudian berdirinya suatu masyarakat disebabkan paksaan segelintir anggota
masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya.
Salah satu bentuk konflik sosial dalam masyarakat adalah konflik politik.
Konflik politik dapat dikelompokkan ke dalam konflik sosial karena terjadi dalam
masyarakat sebagai akibat dari adanya hubungan sosial yang cukup intensif.
Konflik politik dapat menimbulkan disintegrasi nasional seperti halnya konflik
sosial, malah berdampak langsung bagi disintegrasi nasional jika konflik politik
menjadi berlarut-larut tanpa penyelesaian yang pasti (Maswadi Rauf, 1992: 80).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 587), konflik berarti
percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Soerjono Soekanto (1982: 89)
mendefinisikan konflik sebagai suatu proses dimana orang-perorangan atau
kelompok manusia untuk memenuhi tujuannya.
Maswadi Rauf (2002: 2) mengartikan konflik sebagai setiap pertentangan
atau perbedaan antara paling tidak dua orang atau kelompok. Lewis A. Coser
dalam Veeger (1990: 211) menerangkan konflik sebagai perselisihan mengenai
nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-
sumber kekayaan yang jumlahnya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang
berselisih tidak hanya ingin memperoleh barang yang ia inginkan namun juga
berusaha memojokkan lawan-lawannya.
Konflik politik sendiri ialah setiap konflik yang berkaitan dengan kebijakan yang dibuat penguasa politik dan jabatan yang diduduki oleh penguasa politik, termasuk kepentingan penguasa politik (Maswadi Rauf, 2001: 22).
xxxvi
Ramlan Surbakti dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995: 244)
mendefinisikan konflik politik sebagai perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan dalam usaha mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber keputusan yang akan dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Konflik antara dua orang karena perbedaan pendapat tidak selalu menyangkut politik. Konflik bisa menyangkut politik jika perbedaan yang ada melibatkan lembaga politik.
Kesimpulannya, konflik politik merupakan persaingan, pertentangan dan perbedaan pendapat yang melibatkan penguasa politik. Umumnya, masalah yang dipertentangkan berkaitan dengan kebijakan yang akan dan sedang dilaksanakan pemerintah.
b. Macam-Macam Konflik
Ramlan Surbakti (1992: 149) membagi konflik dalam dua bentuk yaitu: 1). Konflik berwujud kekerasan, umumnya terjadi dalam masyarakat
atau negara yang belum memiliki konsensus mengenai dasar dan
tujuan negara dan mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik
yang melembaga. Misalnya: huru-hara, pemogokan, pengajuan petisi,
pembangkangan sipil dan dialog;
2). Konflik yang tidak berwujud kekerasan, kerap terjadi di negara atau
masyarakat yang memiliki konsensus mengenai dasar dan tujuan
negara, dan memiliki mekanisme pengaturan dan penyelesaian
konflik yang melembaga. Misalnya: demonstrasi, pemogokan,
pengajuan petisi, pembangkangan sipil dan dialog.
Kedua konflik di atas termasuk konflik yang bisa diselesaikan lewat
kompromi atau kerjasama antara kedua belah pihak yang saling menguntungkan
meskipun hasilnya tidak optimal.
Menurut Paul Conn dalam Ramlan Surbakti (1992: 144), jenis konflik
yaitu:
1). Zero-sum Conflict: konflik yang bersifat antagonis dan tidak mungkin
diadakan kerjasama atau kompromi diantara pihak yang berkonflik;
2). Non Zero-sum Conflict: konflik yang dapat diselesaikan baik itu
dengan kompromi maupun kerjasama yang menguntungkan kedua
pihak, meskipun hasilnya tidak optimal.
c. Karakteristik Konflik Politik
xxxvii
Ted Robert Gurr yang dikutip Maswadi Rauf (2001: 7) menjelaskan ciri-
ciri konflik ialah:
1). Terdapat dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik;
2). Sikap permusuhan masing-masing pihak yang berkonflik;
3). Adanya penggunaan kekerasan untuk menghancurkan, melukai atau
menghambat lawan;
4). Interaksi pihak-pihak yang bertikai bersifat terbuka sehingga dengan
pengamat independen mudah mendeteksi adanya konflik.
Sementara Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan Tangdililing (1992: 83), mengungkapkan beberapa ciri konflik politik yaitu:
1). Perbedaan besar diantara masyarakat mengenai obyek politik;
2). Polarisasi yang lebih jelas dalam masyarakat;
3). Keterlibatan penguasa politik dalam konflik.
d. Pemicu Konflik Politik
Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan Tangdililing (1992: 81) menyatakan konflik politik dapat terjadi karena perbedaan pandangan tentang penguasa politik, sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki penguasa politik dan mengenai keputusan politik.
Menurut O’Brien, Scharg dan Martin yang dikutip Astrid S. Soesanto (1983: 104), konflik sering terjadi karena:
1). Ketidaksepahaman dalam anggota kelompok mengenai tujuan
masyarakat yang semula menjadi pegangan kelompok;
2). Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat dalam
mencapai tujuan yang disepakati;
3). Norma-norma kelompok yang dihayati oleh para anggotanya
bertentangan satu sama lain;
4). Sanksi dalam norma melemah dan tidak konsekuen dijalankan;
5). Tindakan anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma
kelompok.
Menurut Soerjono Soekanto (1982: 94), yang menjadi penyebab konflik
adalah perbedaan antara individu-individu atau kelompok-kelompok, kebudayaan,
kepentingan dan sosial.
Maurice Duverger (2003: 159) mengungkapkan bahwa konflik berasal dari antagonisme politik yaitu:
xxxviii
1). Sebab-sebab individual:
a). bakat-bakat individual: dimana ada manusia yang memiliki bakat
alami lebih dari manusia yang lain dan cenderung berada di atas
angin, untuk menjamin kekuasaan;
b). sebab-sebab psikologis: perbedaan dalam kecenderungan
psikologis dimana individu-individu tertentu cenderung
mematuhi individu lain. Sebaliknya, ada individu yang
cenderung menguasai yang lain.
Kedua hal di atas bukan merupakan dua alasan berbeda dari antagonisme politik namun merupakan dua aspek dari antagonisme politik menuju ke konflik.
2). Sebab-sebab kolektif (Maurice Duverger, 2003: 188), yaitu
perjuangan kelas, konflik rasial dan konflik antar kelompok
horizontal.
Ralf Dahrendorf dalam Veeger (1990: 214) menyatakan masyarakat terdiri dari penguasa dan orang yang dikuasai. Dualisme ini mengakibatkan kepentingan-kepentingan yang berbeda dan bisa saja saling berlawanan. Lalu, perbedaan tersebut dapat memunculkan kelompok-kelompok yang berbenturan.
Dahrendorf melanjutkan bahwa situasi konflik dalam masyarakat, secara mudah bisa dipahami jika dilihat sebagai konflik mengenai keabsahan wewenang penguasa. Penguasa berusaha mempertahankan kepentingannya, agar keabsahan kedudukannya makin kokoh. Mereka akan mencurigai dan menghambat oposisi, dimana oposisi sering disamakan dengan aksi subversi. Sebaliknya, pihak yang dikuasai yang memiliki perbedaan dengan penguasa, akan mempermasalahkan setiap penyimpangan wewenang yang ada (Veeger, 1990: 216).
Akar konflik di Indonesia pasca kemerdekaan adalah perbedaan pandangan dan kepentingan mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perbedaan tersebut terjadi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok diluar pemerintah. Pertentangan yang muncul sering kali berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang umumnya mendapat perhatian dari masyarakat.
e. Dampak Konflik
Maswadi Rauf dalam Saafroedin Bahar dan A.B. Tangdiling (1992 : 79)
menyatakan dampak munculnya konflik adalah hancurnya kehidupan
bermasyarakat yang terkena konflik. Bahkan hubungan sosial yang buruk itu
dapat memunculkan disintegrasi politik.
Soerjono Soekanto (1982: 98) menyebutkan bahwa dampak konflik yang berkembang dalam masyarakat, yaitu:
1). Bertambahnya solidaritas in-group karena terdapat persinggungan
dengan kelompok lain;
xxxix
2). Apabila pertentangan terjadi dalam satu kelompok maka yang terjadi
adalah retaknya persatuan kelompok;
3). Perubahan kepribadian orang-perorangan;
4). Hancurmya harta benda dan jatuhnya korban jiwa;
5). Akomodasi, dominasi dan takluknya salah satu pihak.
Lewis A. Coser menyebutkan bahwa dampak konflik tidak selalu bersifat negatif. Justru konfliklah yang memberikan banyak kepada keberlangsungan kelompok dan mempererat hubungan antar anggota kelompok. Adanya musuh bersama akan membuat integrasi kedalam kelompok, menghasilkan solidaritas dan keterlibatan, dan membuat anggota-anggota kelompok melupakan perselisihan intern diantara mereka sendiri (Veeger, 1990: 212).
f. Penyelesaian Konflik
Konflik memang gejala alami dan tidak bisa dihindari dalam kehidupan sosial namun bisa dikurangi. Keinginan mengakhiri konflik bisa karena rasa lelah atau bosan para pelaku dan keinginan untuk mencurahkan tenaga ke hal-hal lain.
Simmel dalam Doyle Paul Johnson (1986: 273) mengemukakan cara mengakhiri konflik yaitu menghilangkan dasar dari tindakan-tindakan pihak yang berkonflik, kemenangan salah satu pihak dan kekalahan pihak lain, kompromi, perdamaian dan ketidakmungkinan untuk berdamai.
Beberapa cara yang sering dipakai untuk mengakhiri konflik (Hendropuspito, 1989: 250) yaitu:
1). Conciliato: mempertemukan pihak-pihak yang berselisih untuk
mencapai persetujuan bersama untuk berdamai;
2). Mediasi: menyelesaikan konflik lewat jasa perantara atau mediator.
Mediator umumnya memiliki wewenang untuk memberikan
keputusan yang mengikat;
3). Arbitrasi: menyelesaikan konflik lewat pengadilan dengan hakim
sebagai pembuat keputusan. Keputusan dari arbiter atau hakim
mengikat dan harus ditaati kedua belah pihak;
4). Coercion: menyelesaikan konflik dengan mengunakan paksaan fisik
atau psikologis.
5). Detente: mengurangi ketegangan diantara pihak yang bertikai. Cara
ini merupakan persiapan untuk melakukan pendekatan dalam rangka
pembicaraan mengenai langkah-langkah perdamaian.
Sedangkan Maswadi Rauf (2001: 10) memberikan dua cara penyelesaian konflik politik, yaitu cara persuasif untuk mencari titik temu diantara pihak-pihak yang berkonflik dan cara koersif dengan menggunakan kekerasan fisik untuk
xl
menghilangkan perbedaan dari pihak-pihak yang berkonflik. Maswadi Rauf (2001: 35) menambahkan bahwa konsensus politik bisa diperoleh lewat pemilihan umum, musyawarah dan pemungutan suara.
Astrid S. Susanto (1983: 103) menyatakan proses integrasi juga merupakan proses konflik (fase disorganisasi dan disintegrasi). Fase-fase dalam integrasi yaitu akomodasi, koperasi, koordinasi dan asimilasi.
4. Subversi
a. Pengertian Subversi
Subversi berasal dari bahasa latin yaitu subversus, yang berarti menggulingkan. Dalam bahasa Inggris, subversi (subversion) berarti gerakan bawah tanah untuk menggulingkan pemerintahan yang sah (Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Amir Muhsin, 1987: 280). Subversi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1096) ialah penggulingan kekuasaan atau pemerintahan dengan jalan melemahkan kepercayaan (kesetiaan) rakyat kepada pemerintah.
Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Pnps No 11 Tahun 1963 mengenai pemberantasan kegiatan subversi, subversi merupakan manifestasi pertentangan-pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan (bijgleged), suatu lanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara-cara tertutup (covert), sering pula dibarengi atau disusul tindakan kekerasan yang terbuka (Niniek Suparni, 1990: 95). Departemen Pertahanan dan Keamanan Indonesia menyatakan subversi yaitu kegiatan yang dilancarkan pihak secara terselubung dan secara tidak sah terhadap kepentingan negara sasaran (Djoko Prakoso et al, 1987: 280).
Kesimpulannya subversi merupakan usaha untuk menjatuhkan pemerintahan yang ada dengan cara yang tidak sah yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang sulit dipertemukan.
b. Penyebab Subversi
Setiap bangsa dan negara menginginkan agar kehidupan bernegaranya terwujud dalam keselarasan yang dinamis antara kepentingan yang terdapat pada rakyat dan pemerintahan yang mengelola sumber daya dalam wilayah negara. Kenyataannya tidak demikian karena pada suatu masa akan terjadi pertentangan kepentingan yang sulit dipertemukan penyelesaiannya. Akibatnya kemungkinan terjadi ketegangan politik sebelum berlangsungnya suatu peperangan (Bambang Poernomo, 1984: 117). Pertentangan politik dalam negara kerap terjadi karena ketidakselarasan antara kehendak negara yang akan dilaksanakan pemerintah dengan keinginan sekelompok orang yang memiliki kekuatan sosial-politik dalam suatu negara (Bambang Poernomo, 1984: 118).
Penjelasan umum UU Pnps No 11 Tahun 1963 menyatakan bahwa subversi merupakan manifestasi pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan, lanjutan perjuangan politik dengan merusak kekuatan lawan dengan cara tertutup, sering pula disusul tindakan kekerasan yang terbuka (Niniek Suparni, 1990: 95).
xli
Menurut Djoko Prakoso et al (1987: 289) subversi memiliki beberapa
sumber yaitu dari luar negeri atau dalam negeri dari orang-orang negara yang bersangkutan, simpatisan atau orang yang diperalat atau memiliki persamaan kepentingan. Biasanya subversi berlandaskan kepentingan nasional dengan motivasi politik terselubung yang dalam prakek sering tercampur. Djoko Prakoso et al melanjutkan bahwa meski sumber subversi berlainan namun keduanya dapat bekerja sama, sehingga tercipta pola yaitu pola subversi asing dengan bantuan unsur dalam negeri, subversi dalam negeri yang dibantu pihak asing dan subversi dalam negeri yang berdiri sendiri.
c. Ruang Lingkup Subversi
Menurut penjelasan UU No.11 Pnps Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, subversi selalu terkait dengan politik dan merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dikehendaki golongan yang berkepentingan. Namun bidang non politik bisa dihubungkan dengan tindakan subversi (Niniek Suparni, 1990: 95).
Keputusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 22 Februari 1969 No. 89/Kr/1968 antara lain menetapkan unsur penting dalam tindak pidana subversi adalah latar belakang politik, yang harus selalu dibuktikan di muka sidang setiap unsur delik yang dituduhkan. Menurut putusan lain MA tanggal 17 Juli 1971 No. 28K/Kr/1969 memberikan pertimbangan lain dimana latar belakang tindak pidana subversi dalam kaitanya dengan kekuatan politik dan asing dan lainnya tidak memerlukan karena yang perlu disimpulkan yaitu unsur delik-delik subversi yang dari perbuatan nyata terdakwa (Bambang Poernomo, 1984: 122).
Sementara dalam putusan MA No. 364 K/Kr/1980 tanggal 26 Januari 1984 menyatakan istilah politik harus dipandang luas dan bukan semata sebagai practical politics atau partai politik melainkan sebagai kebijakan negara dalam ekonomi, sosial dan budaya (Djoko Prakoso et al, 1987: 287)
Oemar Seno Adji (1984: 159) menyatakan pengertian luas dalam UU No.11 Pnps Tahun 1963 bisa memancing hakim untuk memasukkan delik-delik yang semula tidak dimaksudkan untuk tindak pidana subversi ke dalam tindak pidana subversi. Oemar Seno Adji melanjutkan bahwa perumusan yang luas dalam tindak pidana subversi dan delik politik, yang memiliki fungsi perlindungan keamanan atau keselamatan negara, membuka hakim untuk mengadakan interpretasi extensif.
Ruang lingkup subversi (Djoko Prakoso et al, 1987: 289) yaitu: 1). Bidang Ideologi: sasaran ditujukan pada kelemahan-kelemahan
dalam bidang ideologi;
2). Bidang Politik: mempertentangkan perbedaan antar kekuatan sosial
guna memudahkan subversi infiltrasi terhadap kekuatan sosial yang
ada, ditujukan untuk bisa mendukung tujuan politik dari pihak yang
melakukan subversi;
xlii
3). Bidang Ekonomi: mengacau pelbagai macam ekonomi khususnya
bidang-bidang vital yang jika berhasil akan memberikan dampak
psikologis dan ekonomi kegoncangan masyarakat sasaran subversi,
secara sistematis mengenai bidang-bidang tertentu dalam bidang
ekonomi dengan maksud untuk dapat dimanipulasi guna kepentingan
masyarakat dan menghambat atau menghancurkan usaha-usaha
pembangunan ekonomi yang telah dicapai;
4). Bidang Sosial-Budaya: mempertentangkan perbedaan-perbedaan di
bidang sosial-budaya secara eksplosif dalam masyarakat,
memasukkan nilai-nilai baru di bidang sosial budaya untuk
menimbulkan frustasi atau keragu-raguan dan melemahkan integritas
persatuan dan kepribadian bangsa;
5). Bidang Pertahanan-Keamanan: melemahkan potensi militer yang ada,
memisahkan hubungan rakyat, pertahanan dan keamanan daerah, dan
menimbulkan kekacauan serta ketidakpastian dalam masyarakat.
Djoko Prakoso et al (1987: 296) menambahkan bahwa subversi memiliki sifat yang spontan dan spektakuler, pragmatis dalam menghadapi masalah dan memakai isu dari masalah-masalah yang timbul pada suatu waktu.
d. Kegiatan Subversi
Kegiatan subversi adalah menguasai keadaan, menciptakan keadaan yang menguntungkan bagi yang melakukan dengan tujuan intermedier antara lain meruntuhkan negara dari dalam, menjatuhkan pemerintahan yang sah, menarik negara sasaran kedalam pengaruh atau blok negara penggerak/pengendali/pelaku subversi dan menimbulkan kerugian baik materi atau imateri kepada negara/pemerintahan yang sah.
Subversi dilakukan dengan menimbulkan perpecahan dan pengrusakan diberbagai bidang, penyelewengan usaha yang mencapai dan memelihara tujuan dan kepentingan nasional, gangguan keamanan negara, berbagai ancaman dibanyak bidang dari negara sasaran subversi, dengan sasaran pemerintahannya agar melemah dengan menggunakan berbagai saluran di negara tersebut (Niniek Suparni, 1991: 15).
Djoko Prakoso et al (1987: 290) mengungkapkan bahwa kegiatan subversi dalam negeri ada yang bersifat konsepsional dimana mereka yang melakukan subversi telah memiliki tujuan, rencana dan program tertentu untuk mengubah atau mengganti sistem sosial atau pemerintah yang ada. Ada pula kegiatan subversi yang tidak bersifat konsepsional karena memaksakan perubahan namun tanpa memiliki rencana tertentu sebagaimana perubahan yang dimiliki.
xliii
Menurut Pasal 1 UU No.11 Pnps Tahun 1963, yang temasuk kegiatan
subversi yaitu: 1). Kegiatan yang bermaksud atau diketahui memiliki potensi negatif
atau destruktif terhadap ideologi negara Pancasila atau GBHN,
kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau
aparatur negara dan perekonomian yang diselenggarakan atau
berdasar keputusan Pemerintah atau berpengaruh luas terhadap hajat
hidup rakyat banyak;
2). Bersimpati terhadap musuh negara atau negara yang tidak bersahabat
dengan Indonesia;
3). Merusak bangunan umum atau perseorangan atau badan yang
dilakukan secara luas;
4). Melakukan kegiatan mata-mata;
5). Melakukan kegiatan sabotase;
6). Memikat tindak-tindak pidana tersebut di atas.
Djoko Prakoso et al (1987: 296) menyatakan pola-pola yang digunakan dalam subversi yaitu:
1). Mengadakan gerakan yang mudah ditiru di tempat-tempat lain;
2). Kampanye diawali dalam surat kabar atau selebaran untuk memicu
demostrasi atau gerakan;
3). Umumnya gerakan dimulai dari golongan kecil yang diharapkan akan
mendapat dukungan luas dalam masyarakat;
4). Sasaran utama biasanya pemerintah dan tiap gerakan didukung pers;
5). Kerap bertujuan untuk menggiring opini umum yang sesuai pendapat
kelompok.
Djoko Prakoso et al (1987: 296) menyatakan pula bahwa beberapa pola sumber yang digunakan dalam subversi yaitu:
1). Pola luar negeri, yaitu pola merah (komunis), pola putih (anti
komunis) dan pola New Left;
2). Pola dalam negeri, yaitu:
a). Pola subvesi dalam bidang seperti pertentangan ideologi,
konsepsi politik, kepercayaan/agama dan sosial (sosial-ekonomi,
kedaerahan, kesukuan);
xliv
b). Pola subversi ekstrim, yaitu golongan ekstrim kiri dan golongan
ekstrim kanan serta golongan ekstrim lain (intelektualisme,
separatisme, anarkisme).
e. Metode Subversi
Bentuk subversi yaitu intimidasi, insinuasi, provokasi, intervensi, penetrasi, sabotase, spionase, penghasutan, adu domba dan lain-lain. Strategi subversi yang dilakukan bisa jangka pendek, menengah, panjang dan dalam lingkup lokal, regional, global (Niniek Suparni, 1991: 15).
Djoko Prakoso et al (1987: 313) menyatakan subversi dijalankan lewat: 1). Spionase: usaha memperoleh secara tidak sah keterangan-keterangan
untuk tujuan yang merugikan atau membahayakan negara;
2). Sabotase: usaha kejahatan dan tindakan yang sengaja dilakukan
dengan ilegal untuk merusak, membuat agar tidak dapat dipakai,
menghilangkan sesuatu benda atau tanaman, membinasakan binatang,
menggagalkan atau menghambat program pemerintah sehingga
menimbulkan akibat yang luas yang membahayakan negara dalam
ekonomi, psikologis, politik atau pertahanan-keamanan;
3). Penggalangan: usaha membuat atau menciptakan kondisi yang
menguntungkan bagi subversi;
4). Infiltrasi: usaha ilegal memasuki wilayah negara tempat-tempat yang
tertentu yang sembunyi atau menyembunyikan identitas atau melalui
jalan lain daripada yang telah ditentukan dengan maksud spionase,
pengalangan, gangguan keamanan, pembentukan kekuatan bersenjata
dan atau mengambil bagian memimpin pemberontakan bersenjata;
5). Gangguan keamanan dalam upaya subversi: usaha sengaja dan
melawan hukum bersifat menyeluruh dan berdampak nasional
dengan tujuan subversi, seperti demonstrasi liar, kriminalitas,
propaganda liar, teror dan tindak pidana terhadap keamanan negara;
6). Pembentukan kekuatan bersenjata: usaha mempersiapkan kekuatan
fisik bersenjata secara melawan hukum untuk mencapai subversi.
f. Gangguan Keamanan
Tindak pidana yang termasuk gangguan keamanan keamanan negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikutip Wiryono
xlv
Prodjodikoro (1986: 193) yaitu: pasal 104 tentang makar terhadap kepala negara seperti membunuh, menghilangkan kemerdekaan atau membuat kepala negara tidak bisa menjalankan pemerintahan, pasal 106 tentang makar memasukkan Indonesia dibawah penguasaan asing dan pasal 107 tentang makar menggulingkan pemerintahan.
Gangguan keamanan lain dalam KUHP (pasal 108-129) yaitu pemberontakan, permufakatan untuk melakukan kejahatan, penyertaan istimewa, berhubungan dengan negara asing yang mungkin akan bermusuhan dengan negara, berhubungan dengan negara asing dengan tujuan agar asing membantu penggulingan pemerintahan, menyiarkan surat-surat rahasia, kejahatan mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara, merugikan negara dalam perundingan diplomatik, kejahatan spionase, menyembunyikan mata-mata musuh, menipu dalam hal menjual barang keperluan negara (Wiryono Prodjodikoro, 1986: 199).
Tindakan subversi terjadi karena ada upaya menjatuhkan pemerintahan dengan cara tidak sah. Biasanya subversi terjadi karena adanya pertentangan-pertentangan politik dalam suatu negara. Cara menjatuhkan pemerintahan bisa dengan dari demonstrasi atau aksi fisik seperti penganiayaan, penculikan dan pembunuhan terhadap diri kepala negara atau kepala pemerintahan.
5. Penculikan
a. Pengertian Penculikan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 223) menculik yaitu
melarikan orang lain dengan maksud tertentu seperti dibunuh atau dijadikan
sandera. Menurut KUHP Pasal 328 menyatakan barang siapa membawa pergi
seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan
maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum dibawah
kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam
keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
Jadi penculikan merupakan kegiatan melarikan orang lain dengan
maksud-maksud tertentu, dan menjadikan orang tersebut dibawah kekuasaannya
dengan berlawanan secara hukum.
b. Penyebab Penculikan
Penculikan menurut KUHP merupakan salah satu bentuk kejahatan yaitu
kejahatan melanggar kemerdekaan orang lain (Wiryono Prodjodikoro, 1986: 388).
Kartini Kartono (2005: 185) menyebutkan faktor eksternal atau sosial yang
menstimulasi banyaknya kejahatan, antara lain:
1). Saat-saat penuh perubahan transformasi sosial dan ekonomi;
xlvi
2). Pemerintah yang lemah dan korup, hukum dilanggar, tidak ada
kontrol sosial dan sanksi tegas;
3). Konflik kebudayaan karena perubahan kehidupan rural ke pola urban
lewat proses urbanisasi;
4). Terhambatnya mobilitas vertikal dan tidak mungkinnya penyaluran
usaha meningkatkan status sendiri;
5). Kebudayaan judi yang serba kompleks dimana rakyat tidak percaya
kebijakan pemerintah dan memunculkan sikap spekulatif untuk
memenuhi kebutuhan;
6). Pengembangan secara keliru sikap-sikap mental pada zaman modern;
Abdulsyani (1987: 21) menjelaskan beberapa fase timbulnya suatu
perbuatan jahat disebabkan oleh:
1). Sifat keserakahan manusia;
2). Sifat jahat yang muncul dari luar manusia sendiri;
3). Pengaruh iklim yang disertai faktor lain seperti pengalaman,
pendidikan dan moral;
4). Faktor individualistis dan intelektualistis dimana manusia bisa
membuat pilihan dalam berbuat hal yang menyenangkan atau tidak;
5). Muncul dari faktor keturunan;
6). Adanya kemelaratan atau ketunaan akan kebutuhan hidup;
7). Pengaruh lingkungan terutama lingkungan sosial.
Abdulsyani (1987: 44) lalu mengemukakan faktor yang dapat
menimbulkan kriminalitas, yaitu:
1). Faktor dalam diri manusia, yaitu:
a). Sifat khusus seperti sakit jiwa, daya emosional, mental dan
anomi (kebingungan);
b). Sifat umum seperti umur, seks, kedudukan individu dalam
masyarakat, pendidikan dan hiburan.
2). Sifat umum dalam individu, yaitu:
a). Faktor ekonomi, seperti perubahan harga, pengangguran,
urbanisasi;
xlvii
b). Faktor agama;
c). Faktor bacaan;
d). Faktor film termasuk televisi.
c. Jenis-Jenis Penculikan
KUHP memberikan beberapa pasal yang memiliki kaitan dengan jenis
penculikan (Wiryono Prodjodikoro, 1986: 388), yaitu:
1). Menculik orang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya
sementara (Pasal 328);
2). Menculik orang ke daerah lain padahal orang itu telah membuat
perjanjian untuk bekerja di suatu tempat tertentu (Pasal 329);
3). Menculik anak yang belum cukup umur (Pasal 330 ayat 1);
4). Menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331);
5). Melarikan wanita (Pasal 332 ayat 1).
d. Fungsi dan Disfungsi Penculikan
Penculikan seperti tertulis di atas merupakan salah satu bentuk kejahatan
melanggar kemerdekaan orang lain. Kartini Kartono (2005: 175) menyatakan
kejahatan merupakan tantangan bagi masyarakat karena:
1). Kejahatan yang berulang membuat demoralisir/merusak orde sosial;
2). Timbul rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan dan kepanikan di
masyarakat;
3). Terbuangnya materi dan energi dengan percuma;
4). Menambah beban ekonomi bagi sebagaian masyarakat.
Kartini Kartono (2005: 176) menambahkan bahwa kejahatan memiliki
pengaruh sosial, yaitu:
1). Menumbuhkan solidaritas dalam kelompok-kelompok yang tengah
diteror penjahat;
2). Muncullah kemudian tanda-tanda baru dengan norma susila yang
lebih baik yang diharapkan mampu mengatur masyarakat dengan
lebih baik dimasa datang;
3). Orang berupaya memperbesar hukum dan menambah kekuatan fisik
lain untuk memberantas kejahatan.
xlviii
Terpilihnya Sjahrir menjadi Perdana Menteri memberi harapan baru
dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejumlah kebijakan
segera dibuat setelah kabinet mulai bekerja. Akan tetapi kebijakan Pemerintahan
Sjahrir justru mendapat tantangan keras dari berbagai pihak, terutama kelompok-
kelompok yang berada diluar kabinet. Kebijakan Sjahrir dirasakan sangat kurang
untuk kepentingan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Sjahrir mulai terasa. Pertentangan
antara Pemerintah dengan kelompok-kelompok penentangnya mulai muncul ke
permukaan. Masing-masing pihak bersikeras mempertahankan sikap. Berbagai
manuver untuk menjatuhkan satu sama lain mulai berlangsung. Situasi kian rumit
karena kondisi Indonesia tidak kunjung membaik selama masa Pemerintahan
Sjahrir.
B. Kerangka Berpikir
Keterangan:
Kedatangan pihak Sekutu ke Indonesia telah membuat perbedaan
pandangan di kalangan orang Indonesia sendiri dalam upaya mempertahankan
kemerdekaan. Perpecahan makin terasa sejak Sjahrir menjadi Perdana Menteri.
Menolak
Penculikan Perdana Menteri Sjahrir
Dampak
Mendukung
Pemikiran Perdana Menteri Sjahrir
Kebijakan Pemerintahan Sjahrir
Tujuan Nasional Tekanan Dari Luar
xlix
Kebijakan-kebijakan Pemerintahan Sjahrir mengecewakan banyak pihak terutama
kelompok-kelompok yang berada diluar pemerintah.
Perundingan dengan Sekutu dan ketegangan senjata antara rakyat dengan
Sekutu di beberapa daerah makin menimbulkan kekecewaan terhadap
Pemerintahan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir harus jatuh bangun menghadapi
tekanan yang ada. Perpindahan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta
justru memperjelas pola perpecahan perjuangan. Kota Surakarta yang berada
dekat dengan ibukota turut terpengaruh oleh kondisi politik nasional. Tekanan
yang makin besar dari luar kabinet memaksa Kabinet Sjahrir mengundurkan diri.
Situasi politik Indonesia terus memanas. Kebijakan Kabinet Sjahrir yang
kembali terbentuk tetap mendapat sorotan. Situasi panas di berbagai daerah
termasuk di Surakarta terus mengguncang Pemerintahan Sjahrir. Kelompok
penentang Pemerintahan Sjahrir makin keras melancarkan aksi penentangannya.
Kekuatan kelompok penentang tidak bisa diacuhkan begitu saja oleh
Pemerintahan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir berusaha meredam meskipun belum
efektif mengurangi tekanan kelompok penekan.
Pertentangan antara Kabinet Sjahrir dengan kelompok penentang terus
berlanjut. Masing-masing pihak tetap mempertahankan sikap yang telah diambil.
Ditengah-tengah pertentangan politik yang makin panas, Perdana Menteri Sjahrir
menghilang di Surakarta. Peristiwa yang terjadi pada 27 Juni 1946 ini
menimbulkan beberapa dampak yang luas.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian berjudul “PENCULIKAN PERDANA MENTERI SJAHRIR
DI SURAKARTA TAHUN 1946” memakai teknik pengumpulan data dengan
wawancara dan studi pustaka. Studi pustaka merupakan studi mengenai literatur
l
baik dari koleksi pribadi maupun dari perpustakaan. Adapun perpustakaan yang
digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta;
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS;
c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS;
d. Perpustakaan Monumen Pers Nasional Surakarta;
e. Badan Perpustakaan Daerah Yogyakarta;
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai pada bulan Februari tahun 2009 dan direncanakan
akan selesai pada bulan Oktober tahun 2009.
B. Metode Penelitian
Koentjaraningrat (1986: 7) menerangkan bahwa kata metode berasal dari
bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti cara atau jalan. Metode (dalam kaitan
dengan karya ilmiah) menyangkut tentang masalah cara kerja, yaitu cara kerja
untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Menurut
Dudung Abdurrahman (1999: 43), metode merupakan cara, jalan atau petunjuk
pelaksanaan atau petunjuk teknis.
Helius Sjamsudin (2007: 13) menyatakan metode memiliki kaitan dengan
suatu prosedur atau teknik yang sistematis dalam melakukan penyidikan suatu
disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek (bahan) yang diteliti.
Sementara Sartono Kartodirdjo (1992: ix) mengungkapkan
bahwa metode berhubungan dengan bagaimana cara untuk memperoleh
pengetahuan.
Penelitian ini dilakukan untuk merekonstruksikan, mendiskripsikan dan
memaparkan konflik yang terjadi pada awal masa Revolusi Indonesia. Oleh
karena fokus dalam penelitian ini adalah peristiwa di masa lalu maka metode yang
digunakan adalah metode historis atau sejarah. Penggunaan metode historis
40
li
dilakukan untuk merekonstruksi ulang peristiwa masa lalu untuk kemudian
dihasilkan suatu historiografi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Gilbert J. Garraghan dalam Dudung Abdurrahman (1999: 43)
menyatakan metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip
sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai
secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Louis Gottschalk (1975: 32) menjelaskan metode sejarah sebagai proses
menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik
dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah
sejarah yang dapat dipercaya.
Hadari Nawawi (1998: 78) mengemukakan bahwa metode penelitian
sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu
atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan
yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan masa sekarang.
Sementara Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 60) menyatakan bahwa
metode sejarah adalah rekronstruksi imajinatif dari gambaran masa lalu peristiwa-
peristiwa sejarah secara kritis dan analitis berlandaskan bukti dan data warisan
masa lalu yang disebut sumber sejarah.
Prosedur yang ditempuh yaitu:
1). Mencari jejak masa lalu;
2). Meneliti dengan kritis jejak masa lalu;
3). Membayangkan gambaran masa lalu dari informasi jejak masa lalu;
4). Menyampaikan hasil rekonstruksi imajinatif masa lalu sehingga
sesuai dengan jejak-jejaknya dan imajinasi ilmiah.
Kesimpulannya, metode sejarah merupakan metode pemecahan masalah
lewat pengumpulan sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan
diteliti. Pemakaian metode sejarah akan membantu memahami kejadian masa lalu
untuk kemudian diuji dan dianalisis secara kritis. Setelah itu dibuat sintesis dari
sumber sejarah dalam bentuk tertulis agar dapat dijadikan suatu cerita sejarah
yang obyektif, dipercaya dan menarik.
lii
C. Sumber Data
Sumber data sejarah merupakan sumber data yang dipakai dalam
penelitian ini. Sumber data sejarah kerap disebut data sejarah. Kuntowijoyo
(2001: 96) menyatakan perkataan data merupakan bentuk jamak dari kata tunggal
datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan.
Dudung Abdurrachman (1999: 30) menyatakan data sejarah merupakan
bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian dan pengkategorian.
Sumber sejarah menurut Helius Sjamsuddin (2007: 95), yaitu segala
sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang
sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Helius
Sjamsuddin melanjutkan, sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw
materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah
ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa
lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lesan).
Menurut Sidi Gasalba (1981: 105), sumber sejarah menurut bentuk dan
sifat warisannya terdiri dari
1. Sumber lesan yang merupakan sumber tradisional sejarah dalam arti
luas;
2. Sumber tertulis dimana tulisan memiliki fungsi mutlak dalam
sejarah;
3. Sumber visual, yaitu semua warisan masa lalu yang memiliki bentuk
dan rupa.
Menurut Louis Gottschalk (1975: 35), sumber sejarah dibagi dua yaitu
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer merupakan kesaksian dari
seorang saksi dengan alat inderanya atau dengan alat mekanis seperti diktafon,
yaitu orang atau alat yang hadir dalam peristiwa yang dideritakan (saksi
pandangan mata). Oleh karena itu sumber primer harus berasal dari sumber yang
sejaman dengan peristiwa yang dikisahkan. Sumber sekunder merupakan sumber
yang bukan merupakan saksi pandangan mata.
liii
Menurut Kuntowijoyo (2001: 96) sumber sejarah menurut bahannya
dibagi dua yaitu sumber tertulis dan tidak tertulis atau dokumen dan artefak.
Kuntowijoyo (2001: 97) menambahkan bahwa jenis sumber terdiri dari:
1. Dokumen tertulis, yaitu surat-surat, notulen rapat, kontrak kerja dan
lain-lain;
2. Artefak, yaitu foto, bangunan atau alat;
3. Sumber lesan;
4. Sumber kuantitatif, yaitu pajak, akunting dan catatan lain.
Sedangkan Nugroho Notosusanto (1971: 19) membedakan sumber
sejarah menjadi dua macam yaitu:
1. Sumber primer yaitu sumber yang didapat secara langsung dari yang
menyaksikan peristiwa itu sendiri;
2. Sumber sekunder yaitu sumber yang keterangannya didapat
pengarang dari orang atau sumber lain.
Sumber data yang dipergunakan penelitian ini yaitu sumber tertulis dan
sumber tidak tertulis, baik primer maupun sekunder. Sumber tertulis primer dalam
penelitian ini antara lain koran Kedaulatan Rakjat yang terbit tahun 1946. Sumber
tertulis sekunder dalam penulisan ini antara lain berupa buku literatur dan artikel
yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya Revolusi Pemoeda: Pendudukan
Jepang di Jawa 1944-1946 karangan Ben Anderson dan Sekitar Perang
Kemerdekaan Indonesia Jilid 3: Diplomasi Sambil Bertempur karangan Nasution.
Sumber tidak tertulis dalam penelitian berupa foto dan informan yaitu Bapak
Handoyo Leksono dan Bapak Soemaryono.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Studi Pustaka
Menurut Hadari Nawawi (1998: 82), penelitian kepustakaan
mengungkapkan berbagai teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat dan
sebagainya yang dalam berbagai peninggalan tertulis terutama berupa buku–buku
yang dihasilkan zaman tertentu dalam proses sejarah.
liv
Mely G. Tan dalam Koentjaraningrat (1986: 18) mengungkapkan fungsi
studi pustaka, yaitu:
1). Memperdalam kerangka teoritis sebagai landasan teori;
2). Memperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti;
3). Mempertajam konsep yang digunakan untuk mempermudah dalam
perumusannya;
4). Menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian.
Hal yang penting dalam studi pustaka yaitu membuat catatan. Data yang
diperoleh dari studi pustaka hendaknya dibuat dalam catatan karena sangat sulit
menyimpan data hanya dalam ingatan belaka (Dudung Abdurrahman, 1999: 56).
Pengumpulan data lewat studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan
buku dan bentuk data lainnya mengenai peristiwa masa lalu dari beberapa tempat
penelitian. Buku atau data yang terkumpul kemudian diteliti dan disesuaikan
dengan tema penelitian. Data-data dalam penelitian ini diperoleh lewat studi
tentang sumber-sumber primer dan sumber yang berupa buku-buku, koran dan
majalah yang tersimpan di perpustakaan.
Dalam penelitian ini langkah penulis dalam mengumpulkan data adalah:
1). Mengumpulkan buku, surat kabar dan artikel internet yang relevan
dengan masalah yang diteliti;
2). Membaca dan mencatat sumber data yang diperlukan, baik sumber
primer maupun sekunder;
3). Menyalin dan mencatat literatur kepustakaan yang dianggap penting
dan relevan dengan masalah yang diteliti.
2. Wawancara
Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 57), teknik penting dalam
pengumpulan sumber lesan yaitu wawancara. Sutopo (2006: 60) menyatakan
wawancara merupakan suatu interaksi dan komunikasi. Interaksi antara orang
yang bertanya atau peneliti dengan informan.
lv
Paul yang dikutip Koetjaraningrat (1986: 129) menerangkan wawancara
dalam suatu penelitian memiliki tujuan untuk mendapatkan keterangan tentang
kehidupan manusia dimasyarakat dan pendirian-pendiriannya.
Menurut Koentjaraningrat (1986: 130), wawancara memiliki memiliki
dua sifat, yaitu:
1). Wawancara untuk mendapatkan keterangan dan data dari individu
tertentu untuk mendapatkan informasi. Sasaran wawancaranya
disebut informan;
2). Wawancara untuk mendapatkan data pribadi, pendirian atau
pandangan dari individu. Sasaran wawancaranya disebut responden.
Menurut Sutopo (2006: 68), terdapat dua teknik wawancara. Pertama
ialah wawancara terstruktur/terfokus. Peneliti dalam teknik ini menentukan
masalah penelitian dahulu sebelum wawancara. Pertanyaan dirancang secara pasti
dan responden diharapkan menjawab pertanyaan sesuai dengan kerangka kerja
pewawancara dan definisi permasalahan. Wawancara kerap bersifat formal dan
bisa dilakukan sekali. Cara ini dilakukan bila peneliti tahu yang dihadapi dan bisa
mengembangkan kerangka pertanyaan untuk mencari jawaban yang mengarah
pembuktian prediksinya.
Teknik wawancara kedua ialah wawancara tidak terstruktur/mendalam
(In-depth Interviewing). Teknik ini dilakukan terbuka (open ended) dan mengarah
pada kedalaman informasi. Tujuannya untuk menggali pandangan subyek yang
diteliti mengenai banyak hal yang berguna untuk menjadi dasar penggalian
informasinya yang lebih lengkap dan mendalam. Subyek yang diteliti lebih
bersifat informan daripada responden. Pertanyaan dan jawaban diserahkan pada
yang diwawancara. Dalam wawancara ini, sebaiknya jangan secara langsung
mengajukan pertanyaan pokok melainkan membicarakan dulu berbagai hal umum
untuk pengakraban dengan informan. Wawancara ini dapat dilakukan beberapa
kali sesuai kebutuhan.
Sutopo (2006: 70) menambahkan wawancara memiliki beberapa tahapan
yang tidak harus selalu linear namun harus selalu mendapatkan perhatian. Hal itu
dikarenakan wawancara terkadang dilakukan lebih dari sekali sesuai kebutuhan
lvi
penelitian. Tahapan tersebut pada umumnya meliputi penentuan siapa yang
diwawancara, persiapan wawancara, langkah awal yaitu pemahaman konteks
wawancara, pengupayaan wawancara yang produktif dan penghentian wawancara
dan penngambilan kesimpulan.
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan guna mendapatkan keterangan
informan yang dilakukan dengan mendalam, bersifat terstruktur dan tidak
terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan sistematis dan berencana dalam
bentuk pertanyaan tercatat kepada informan. Wawancara tidak terstruktur
dilakukan secara bebas kepada informan untuk mendapatkan memberikan
keterangan umum dan tidak terduga, yang tidak diketahui bila memakai
wawancara terstruktur.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis.
Menurut Kuntowijoyo (2001: 103), interpretasi atau penafsiran sejarah kerap
disebut analisis sejarah. Analisis berarti menguraikan, dan secara terminologis
berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang
sebagai metode-metode utama dalam interpretasi.
Menurut Berkhofer yang dikutip Alfian dalam Dudung Abdurrahman
(1999: 64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang
diperoleh dari sumber-sumber sejarah. Fakta-fakta tersebut dengan teori-teori
disusun kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Suatu analisa historis dari
sebuah kejadian masa lalu mencari kepastian mengenai arti kausalitas bagi kerja
selanjutnya atau bagi perkembangannya (Sartono Kartodirdjo, 1982: 60).
Sartono Kartodirdjo (1992: 2) mengatakan bahwa hal yang diperlukan
dalam analisis sejarah adalah menyediakan suatu kerangka pemikiran atau
referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam
membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh diinterpretasikan, dianalisis isinya
dan analisis data harus berpijak pada kerangka teori yang dipakai sehingga
menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan penelitian.
lvii
Peneliti ini dilakukan dengan membandingkan data satu dengan yang lain
sesuai data yang diinginkan setelah mengumpulkan data. Hasilnya yaitu berupa
fakta-fakta sejarah yang relevan. Fakta-fakta itu diseleksi, diklarifikasi dan
ditafsirkan. Baru kemudian fakta-fakta itu dirangkaikan menjadi bahan penulisan
penelitian yang utuh dalam sebuah karya ilmiah.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu
persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Penelitian
ini menggunakan metode historis sehingga terdapat empat langkah yang harus
dipenuhi dalam penelitian. Empat langkah penelitian tersebut yaitu heuristik,
kritik, interpretasi dan historiografi.
Bagan prosedur penelitian tersebut yaitu:
Keterangan:
a. Heuristik
Heuristik berasal dari bahasa Yunani yaitu heurisken yang berarti
menemukan. Heuristik sendiri adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lalu
(Nugroho Notosusanto, 1971: 18).
Menurut G. J Rener dalam Dudung Abdurrahman (1997: 55), heuristik
adalah suatu teknik, suatu seni dan bukan suatu ilmu. Heuristik tidak mempunyai
peraturan-peraturan umum dan sedikit mengetahui tentang bagian-bagian yang
pendek. Sidi Gazalba (1981: 114) menyatakan heuristik adalah kegiatan mencari
bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian.
Jadi, heuristik adalah kegiatan pengumpulan jejak-jejak sejarah atau
kegiatan mencari sumber sejarah.
Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi
Fakta Sejarah
lviii
Pada tahap ini, peneliti berusaha menemukan sumber tertulis dan
informan yang relevan dengan penelitian. Mengenai Sumber tertulis, perpustakaan
yang dituju untuk mencari sumber sejarah diantaranya Perpustakaan Pusat UNS,
Perpustakaan FKIP UNS, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP
UNS, Perpustakaan Program Pasca Sarjana UNS, Perpustakaan Monumen Pers
Nasional dan Badan Perpustakaan Daerah Yogyakarta.
b. Kritik
Tahap penelitian sejarah sesudah heuristik adalah melakukan verifikasi
atau kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Menurut Nugroho Notosusanto
(1971: 20), setiap sumber memiliki aspek ekstern dan intern.
Helius Sjamsudin (2007: 132) menyatakan kritik sumber umumnya
dilakukan terhadap sumber pertama. Keabsahan sumber ini dicari lewat pengujian
mengenai kebenaran atau ketetapan sumber.
Kritik terhadap sumber data dilakukan dengan cara kritik ekstern dan
kritik intern. Menurut Helius Sjamsudin (2007: 133), kritik ekstern merupakan
suatu penelitian atas asal-usul sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau
peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan
untuk mengetahui apakah sumber telah mengalami perubahan atau tidak. Kritik
intern lebih menekankan aspek isi dari sumber (kesaksian), dalam hal ini
menyangkut apakah kesaksian tersebut bisa diandalkan atau tidak (Helius
Sjamsudin, 2007: 143).
Sidi Gazalba (1981: 115) membedakan kritik menjadi dua yaitu kritik
dalam dan kritik luar. Kritik dalam berusaha memastikan peristiwa yang
dinyatakan oleh bahan. Kritik luar untuk memastikan keaslian dan hubungan antar
bahan.
c. Interpretasi
Interpretasi menurut Nugroho Notosusanto (1971: 17) yaitu menetapkan
makna dan saling berhubungan dari fakta yang diperoleh secara itu. Interpretasi
lix
penelitian ini dilakukan dengan mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan
sumber sejarah yang lain.
Seorang peneliti dalam proses interpretasi sejarah harus mencapai
pengertian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa (Dudung
Abdurrahman, 1999: 54). Dengan demikian akan diketahui hubungan sebab akibat
suatu peristiwa masa lalu yang menjadi obyek penelitian. Sumber sejarah
kemudian ditafsirkan, diberi makna dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga
dapat dipahami makna tersebut sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan
obyek penelitian yang dikaji.
Jadi kegiatan kritik sumber dan interpretasi menghasilkan fakta atau
sintesis sejarah.
d. Historiografi
Prosedur terakhir penelitian dalam metode sejarah adalah historiografi.
Historiografi menurut Dudung Aburrahman merupakan cara penulisan, pemaparn
atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang dilakukan. Nugroho Notosusanto
(1971: 17), historiografi adalah menyampaikan sintesa yang didapat dalam bentuk
kisah.
Imajinasi sangat diperlukan dalam historiografi untuk merangkai fakta-
fakta yang ada sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan dapat
dipercaya kebenarannya. Dalam penelitian ini, penulis berusaha menghasilkan
suatu cerita sejarah yang dapat dipercaya, dapat dipertanggungjawabkan sekaligus
menarik untuk dibaca.
BAB IV PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir
1. Latar Belakang Terbentuknya Pemerintahan Sjahrir
a. Situasi Indonesia Sebelum Terbentuknya Pemerintahan Sjahrir
lx
Pemerintah Indonesia dibawah Presiden Sukarno mengambil langkah
menghindari konfrontasi senjata dengan Inggris yang mewakili Sekutu saat tiba di Indonesia dan dengan Jepang yang masih di Indonesia. Kedatangan Sekutu justru meningkat ketegangan di Indonesia. Kriminalitas meningkat dan menjadi hal yang biasa terjadi diantara interniran, Sekutu dan orang Indonesia. Aksi penculikan, pembunuhan dan penyerobotan menimpa mereka yang dianggap mementingkan diri sendiri atau dicurigai berpihak pada lawan. Ledakan kekerasan tak jarang meletus di berbagai tempat (Nasution, 1977: 7). Ketidakpuasan lain menyangkut hubungan baik Pemerintah presidensiil dengan Jepang dan sikap lunak saat Presiden Sukarno saat berpidato di Ikada (Anderson, 1988: 198).
Para pemuda tidak menyukai kebijakan diatas. Berbagai perlawanan terhadap Sekutu dan juga Jepang terjadi di berbagai wilayah namun kebanyakan tidak menemui hasil. Di Jakarta, para pemuda masih bisa dikontrol Pemerintah. Kota Bandung, Semarang dan Surabaya dikuasai Sekutu lewat pertempuran besar. Wilayah lainnya seperti Kupang, Banjarmasin, Makasar, Manado jatuh ke tangan Sekutu sepanjang bulan September hingga pertengahan Oktober 1945. Pemerintahan Indonesia di wilayah tersebut tidak mampu berbuat banyak (Reid, 1996: 76 dan 83).
Pada awal Oktober 1945 muncul semacam kesepakatan diantara pemuda yang sadar politik agar kelemahan yang mereka pandang dari Pemerintah harus dihentikan (Anderson, 1988: 198). Perkembangan berikutnya terjadi dengan cepat. PPKI berubah menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945 (Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 86). Presiden Sukarno menguraikan tugas KNIP yaitu menyatakan keinginan untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka, mempersatukan rakyat dari segala lapisan dan jabatan, supaya terpadu di segala tempat di seluruh Indonesia, persatuan kebagsaan yang bulat dan erat, membantu menentramkan rakyat dan turut menjaga keselamatan umum serta membantu memimpin dan menyelenggarakan cita-cita bangsa dan di daerah membantu Pemerintahan Daerah meningkatkan kesejahteraan umum (Anderson, 1988: 138).
Memasuki bulan Oktober 1945 sejumlah anggota KNIP tidak puas terhadap sistem presidensial. Mereka menginginkan sistem presidensiil menjadi parlementer. Dengan demikian, KNIP akan diserahi fungsi legislatif dan Pemerintahan akan bertanggung jawab pada KNIP. Dasar yang dipakai ialah Pasal 4 dalam Aturan Peralihan UUD 1945 yang dapat memberikan jalan bagi KNIP untuk berperan sebagai badan konstitusional. UUD 1945 secara nyata tidak berbau Jepang. Namun kekuasaan besar yang dimiliki Presiden akan dapat menimbulkan tuduhan bahwa Presiden dipengaruhi Jepang. Dengan adanya badan yang demokratis akan berguna untuk menghilangkan tuduhan tersebut dan mempercepat pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia.
Untuk itu, 50 anggota KNIP menandatangani petisi kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta agar KNIP diberi fungsi badan legislatif. Petisi tersebut diserahkan kepada Presiden Sukarno pada 7 Oktober 1945. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta menyetujui perubahan yang diusulkan KNIP. Keluarlah Maklumat Pemerintah No. X pada 16 Oktober 1945 (Kahin, 1995: 190; Anderson, 1988: 200). Menurut Maklumat Pemerintah No. X, KNIP diberi fungsi
lx
lxi
legislatif sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat terbentuk serta akan bekerja sama dengan Presiden dalam menetapkan garis besar halauan negara. Isi Maklumat Pemerintah No. X lainnya yaitu pembentukan suatu Badan Pekerja (BP) untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNIP. BP KNIP akan bertanggung jawab kepada KNIP sendiri (Osman Raliby, 1953: 511; badilag.net).
Pada 17 Oktober 1945 KNIP kembali bersidang. KNIP memutuskan menyetujui dua resolusi dengan tujuan kedalam dan keluar. Selain itu dibentuk pula BP KNIP dimana Sutan Sjahrir terpilih menjadi ketua (Osman Raliby, 1953: 58; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 38).
Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan Surat Keputusan mengenai peran BP KNIP untuk secara luas turut menentukan garis besar halauan negara namun tidak dalam usaha perinciannya karena merupakan hak tunggal presiden. Selain itu, BP KNIP bersama presiden menyusun hukum-hukum yang berkaitan dengan semua bidang pemerintahan. Hukum tersebut dijalankan pemerintah yaitu presiden dibantu para menteri dan para pembantu menteri (Kahin, 1995: 192).
Memasuki bulan November 1945, Pemerintah mengeluarkan Maklumat Politik tanggal 1 November 1945. Maklumat itu dipengaruhi sikap Sekutu yang menyatakan menghargai cita-cita Indonesia dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia (Engelen et al, 1997: 232). Maklumat tersebut antara lain berisi uraian pertikaian Indonesia dan Belanda. Untuk menyelesaikannya, Pemerintah mengusahakan agar Indonesia mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan dan pemerintahannya. Berkenaan dengan itu, hak milik asing tidak akan disita. Maklumat tersebut menjadi halauan politik pemerintahan selanjutnya (Osman Raliby, 1953: 525; Nasution, 1977: 119).
Selanjutnya, KNIP berusaha membuka kebebasan mendirikan partai-partai. Hal itu dilakukan agar demokrasi berkembang di Indonesia. Pada awalnya hanya terdapat satu partai di Indonesia yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Pembentukan PNI sebagai partai negara tersebut menimbulkan berbagai kritik (Nasution, 1977: 114). PNI dikecam karena kurang mewakili seluruh golongan. Para pemimpin Islam dan tokoh besar gerakan bawah tanah kurang terwakili dalam PNI. Sejumlah besar tokoh PNI dekat dengan Jepang sehingga PNI dianggap kesinambungan Jawa Hokokai dari masa Jepang. Keberadaan PNI dapat menimbulkan tumpang tindih dengan peran KNIP. Namun sejak dari awal berdirinya terdapat perbedaan diantara para tokoh PNI sendiri (Anderson, 1988: 114). Pada 31 Agustus 1945 Pemerintah mengeluarkan Maklumat yang membekukan pembentukan PNI karena pembentukan Komite Nasional lebih penting untuk didahulukan (Osman Raliby, 1953: 29; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 49).
Pada 30 Oktober 1945 BP KNIP mengusulkan sistem satu partai agar diganti dengan sistem multi partai untuk mencerminkan semua aliran politik penting di Indonesia (Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999: 104). Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta menyetujui usulan tersebut. Kemudian dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang antara lain berisi Pemerintah menyukai terbentuknya berbagai macam partai politik (Osman Raliby, 1953: 529; Nasution, 1977: 114). Keberadaan partai
lxii
meskipun belum berpengaruh penting karena pengakuan atas partai dan janji pemilihan umum menjadi dasar pembentukan pemerintahan yang bersifat parlementer (Anderson, 1988: 204). Partai-partai politik segera berdiri setelah pengumuman tersebut seperti Partai Sosialis (PS), Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Buruh Indonesia (PBI).
Di luar Jakarta, partai-partai telah dirintis pembentukannya sebelum Maklumat tanggal 3 November 1945. Malahan terbentuknya partai-partai tidak mematuhi keinginan tokoh pusatnya. Reaksi di daerah mengenai maklumat tersebut bukanlah pemberian hak mendirikan partai melainkan pengakuan atas kenyataan yang telah ada. Beberapa partai seperti Masyumi dan Partai Sosialis memang telah dirintis pembentukannya sebelum terjadi perubahan dalam KNIP. Kelahiran partai-partai lain hanya menunggu waktu saja.
b. Perkembangan Kekuatan Bersenjata di Indonesia
Kebijakan Pemerintah Sukarno yang penting adalah keputusan tidak membentuk organisasi tentara setelah pembubaran PETA (Pembela Tanah Air). Pembubaran PETA diputuskan pimpinan militer Jepang pada 17 Agustus 1945 karena Jepang tidak mungkin meneruskan PETA yang diciptakan untuk memerangi Sekutu. Perintah pembubaran PETA berlangsung lancar dimana para anggota PETA di daerah dilucuti dengan berbagi alasan. Kebanyakan PETA tidak melakukan perlawanan. Pembubaran PETA dipermudah dengan adanya Konferensi PETA se-Jawa sejak 14 Agustus. Pembubaran PETA juga disepakati dalam rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945. Keberadaan PETA dianggap tidak menguntungkan dimata Sekutu. Sebagai ganti PETA, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi bagian Badan Penolong Keluarga Korban Perang.
Namun tindakan pemerintah yang tidak membentuk tentara menyebabkan kebanyakan kalangan pemuda dan pejuang bersenjata beranggapan bahwa hal itu merupakan suatu kelambatan dan kesalahan besar pemerintah. Maksud didirikan BKR hanya untuk memelihara ketentraman setempat belaka yang sesuai dengan strategi diplomasi Sukarno-Hatta. Namun jelas kehadiran BKR tidak memuaskan kalangan pemuda dan pejuang bersenjata yang memiliki semangat bertarung dan kekuatan senjata. Disamping itu BKR baik di Pusat maupun di daerah tidak berada dibawah Presiden melainkan berada dibawah KNIP dan KNI Daerah (Jahja Muhaimin, 1971: 26; Anderson, 1988: 120).
Menjelang akhir September 1945 ternyata BKR menjadi kurang efektif. Oleh karena itu pada 5 Oktober 1945, Pemerintah mengeluarkan suatu maklumat pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Keesokan hari Suprijadi diangkat menjadi Menteri Keamanan Keamanan Rakyat. Pada 14 Oktober 1945 Pemerintah mengangkat bekas Mayor Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL), Oerip Soemohardjo menjadi Kepala Staf Umum (KSU) Angkatan Perang dengan tugas menyusun dan merencanakan pengembangan TKR.
Pada tanggal 9 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengeluarkan keputusan bahwa TKR sebagai organisasi yang membawahi BKR. Hal ini dimaksudkan agar tentara-tentara bekas PETA, Heiho, KNIL dan laskar-laskar serta barisan rakyat lainnya dapat lebih bersatu (Anderson, 1988: 261). Selain pengangkatan KSU, ditunjuk pula Suprijadi menjadi Menteri Pertahanan
lxiii
kemudian menjadi pemimpin tertinggi, kemudian disebut Menteri Keamanan Rakyat (Nasution, 1977: 213).
Meskipun telah ada pengumuman pembentukan TKR, terbentuknya tentara lebih merupakan inisiatif setempat. Disamping itu telah menjadi kebiasaan jika komandan tentara dipilih sendiri oleh para bawahannya. Apabila ada pengangkatan dari pemerintah pusat, belum tentu para bawahan mau menerima calon dari pusat. Demikian pula yang terjadi dengan pengangkatan Oerip Soemohardjo menjadi KSU TKR dimana para panglima di daerah tidak menyukai pengangkatan tersebut (Nasution, 1977: 277).
Pembubaran PETA ternyata berdampak dalam upaya membentuk tentara Indonesia yang padu dibawah wewenang pemerintahan sipil pusat. Ketika PETA dibubarkan, para mantan PETA kembali ke daerah masing-masing. Banyak dari mereka lalu mengumpulkan pemuda setempat entah sesama mantan PETA, Seinendan, organisasi pemuda yang bersifat kemiliteran atau berdasar kemampuan dan wibawa pribadi. Tentara Indonesia mulai terbentuk sejak itu namun sering tanpa tuntunan dari atas sehingga tentara cenderung mandiri dari Pemerintah (Anderson, 1988: 128).
KSU TKR Oerip Sumohardjo membentuk Markas Besar TKR di Yogyakarta. Setelah itu wilayah Jawa dibagi menjadi 10 Divisi dan Sumatera menjadi 6 Divisi. Pembagian tersebut dianggap terburu-buru sehingga kurang efisien. Struktur Markas TKR pun demikian besar hingga Oerip Sumohardjo tidak lagi bisa mengatur dengan baik perkembangan TKR. Hal tersebut diakibatkan pula persaingan antara para mantan PETA dan KNIL dalam TKR.
Kehadiran TKR belum memuaskan banyak pihak terutama para mantan PETA dan KNIL. Banyak yang menilai bahwa TKR mencerminkan keraguan pemerintah yang lebih mengutamakan pendekatan diplomasi dalam perjuangangannya. Pemerintah berusaha menghindari citra fasis, militeristis dan sebagainya sekaligus membangun penampilan bangsa Indonesia yang cinta damai. Selain itu TKR bersifat kerakyatan dan masih mengutamakan keamanan dalam negeri. Menurut para mantan PETA dan KNIL, keamanan dalam negeri seharusnya bisa dikontrol oleh pemerintah sendiri (Jahja Muhaimin, 1971: 30; Nasution, 1977: 72).
Hubungan antara pemerintah dengan kalangan tentara tetap belum lancar kareana KSU TKR belum secara nyata memimpin. Oerip Sumohardjo yang menduduki jabatan KSU ditolak kedudukannya sebagai pemimpin militer tertinggi. Oerip hanya dianggap mengepalai kantor umum TKR. Kementerian Pertahanan juga belum ada karena Suprijadi ditunjuk Pemerintah menjadi Menteri Pertahanan tidak pernah muncul dan tidak pula diketahui keberadaannya. Oleh karena itu para panglima tentara di daerah membuat suatu Konferensi untuk mengatur ketentaraan Indonesia. Konferensi dilangsungkan di Yogyakarta pada 12 November 1945 dan dipimpin Oerip Sumohardjo. Konggrges dihadiri hampir semua panglima divisi dan komandan resimen, Wakil Pemerintah Pusat Suljohadikusumo dan para Jenderal tituler yaitu Paku Buwono (PB) XII, Hamengkubuwono (HB) IX, Mangkunegoro (MN) VII dan Paku Alam (PA)VIII.
Pembicaraan dalam kongres tidak bisa dikontrol KSU yang sebenarnya memimpin kongres tersebut. Wakil Pemerintah Pusat juga tidak dapat
lxiv
memberikan tuntunan yang semestinya. Pembicaraan konferensi meningkat ke pemilihan Panglima Besar Tentara, Menteri Pertahanan dan pembentukan panitia. Dalam kesempatan itu, KSU Oerip Sumohardjo kalah suara dalam pemilihan panglima besar oleh Jenderal Sudirman dari Divisi V. Terpilih pula Sultan HB IX menjadi Menteri Pertahanan pilihan kongres tentara (Nasution, 1977: 277). Kemampuan Jenderal Sudirman segera memperkuat kedudukannya dalam TKR, baik di mata para mantan PETA maupun KNIL (Anderson, 1988: 275).
Disamping TKR yang telah terbentuk, berbagai badan perjuangan atau laskar tetap diperbolehkan berdiri (Nasution dalam Jahja Muhaimin, 1971: 30). Kehadiran badan perjuangan selama revolusi tidak hanya menjadi sarana melakukan perlawanan. Badan perjuangan juga menjadi identitas kelompok dan tempat bertahan hidup pemuda. Perkembangan selanjutnya, badan-badan perjuangan berafiliasi dengan partai-partai-politik. tindakan tersebut bermakna untuk mempertahankan kemerdekaan sekaligus membela membela dan menjaga kepentingan kekuatan politik yang diikutinya (Julianto Ibrahim, 2004: 99). Beberapa badan perjuangan yang ada antara lain Laskar Rakyat, Barisan Banteng, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Hizbullah dan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI).
Badan perjuangan sering terlihat seperti tentara dengan pemakaian atribut tentara, sikap yang mereka tunjukkan serta organisasinya yang menyerupai tentara. Terkadang diantara badan-badan perjuangan terjadi perselisihan satu sama lain atau dengan tentara resmi. Kondisi tersebut bisa menjadi rawan karena pertikaian badan perjuangan sering menggunakan senjata. Memang selain tentara pemerintah, badan-badan perjuangan memiliki persenjataan sendiri. Persenjataan badan perjuangan terkadang lebih bagus dari tentara resmi. Kebanyakan persenjataan badan perjuangan merupakan rampasan dari tentara Jepang. Oleh karena mereka enggan menyerahkan persenjataannya kepada Pemerintah meski ada instruksi sebelumnya. Bahkan persenjataan yang mereka miliki akan dipertahankan hingga mati karena untuk mendapatkannya juga dengan taruhan nyawa (Wawancara dengan Soemaryono, 27 Juli 2009).
Kehadiran badan perjuangan membuat terjadinya persaingan dengan tentara biasa. Persaingan menyangkut hal-hal seperti penguasaan senjata, upaya mempertahankan eksistensi dan mendapat dukungan dari rakyat. Hal tersebut membuat sering terjadi bentrokan antara tentara dan badan perjuangan. Terjadi pula persaingan antara Pemerintah dengan Markas Besar Tentara yang ingin menguasai badan perjuangan atau laskar. Tentara ingin agar badan perjuangan atau laskar agar melebur dalam tentara sementara pemerintah lewat Kementerian Pertahanan berusaha memasukkan badan perjuangan atau laskar dibawah pengaruhnya (Sundhaussen, 1988: 40).
2. Pemerintahan Parlementer Sjahrir a. Pembentukan Pemerintahan Sjahrir
Perubahan penting berikutnya dalam politik Indonesia adalah pembentukan kabinet parlementer. Upaya itu dirintis pada 1 November 1946 saat BP KNIP mendesak presiden agar mempertimbangkan pengalihan tanggung jawab menteri kepada legislatif. Presiden Sukarno menyetujui hal tersebut dengan
lxv
dasar pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945. BP KNIP lalu menunjuk Sjahrir dan Amir Sjarifuddin sebagai pembentuk kabinet parlementer. Presiden Sukarno tidak menolak penunjukkan tersebut.
Perubahan sistem kabinet sebenarnya bertentangan dengan UUD 1945. Namun kebanyakan lembaga-lembaga Republik juga bersifat sementara. Oleh karena itu perubahan kabinet dapat dilakukan dengan dibuat dalam bentuk konvensi dengan corak dari Inggris. Perubahan tersebut tak lepas dari kinerja Pemerintah Soekarno yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan umum. Kekecewaan bertambah setelah kedatangan Sekutu di Indonesia. Pihak Sekutu dan terutama Belanda nampak enggan menerima keberadaan Sukarno sebagai pemimpin meskipun beberapa usaha telah dilakukan kabinet. Sikap Kabinet Sukarno yang berusaha menghindari sikap revolusioner justru menimbulkan kekecewaan dari kekuatan-kekuatan revolusioner di daerah terutama para pemuda (Anderson 1988: 206).
Pada 14 November 1945 Sjahrir mengumumkan anggota kabinetnya. Kabinet baru ini terdiri dari para pejabat non-politikus yang kompeten dan tercatat tidak turut bekerja sama dengan Jepang (Kahin, 1995: 213). Susunan menteri dalam kabinet Sjahrir, yaitu:
1). Perdana Menteri : Sutan Sjahrir
2). Menteri Dalam Negeri : Sutan Sjahrir
3). Menteri Luar Negeri : Sutan Sjahrir
4). Menteri Penerangan : Amir Syarifuddin
5). Menteri Keamanan Rakyat : Amir Syarifuddin
6). Menteri Keuangan : Sunario Kolopaking
7). Menteri Pendidikan : T.G.S Moelia
8). Menteri Kehakiman : Suwandi
9). Menteri Sosial : Adjidarmo
10). Menteri Kesehatan : Darmasetiawan
11). Menteri Perekonomian : Darmawan Mangunkusumo
12). Menteri Tenaga Kerja : Putuhena
13). Menteri Pekerjaan Umum : Putuhena
14). Menteri Perhubungan : Rasad
Berkenaan dengan pembentukan pemerintahan baru, Pemerintah
mengeluarkan Maklumat tanggal 14 November 1945 yang diantaranya
menyatakan Pemerintah pertama bersifat sementara sehingga pembaharuan perlu
dilakukan untuk menyempurnakan usaha pemerintah menuju demokrasi
(Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, 1999: 149).
lxvi
Pada 17 November 1945 Kabinet Sjahrir mengeluarkan pernyataan yang
diantaranya menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tidak berubah dan sesuai dengan yang tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Kabinet akan tetap menuntut kemerdekaan Indonesia yang sepenuhnya dengan memperhatikan kaidah negara merdeka dalam hubungan internasional dan juga kewajiban membangun tatanan dunia baru berdasarkan cita-cita perjanjian perdamaian dunia (Charter for Peace) (Engelen et al, 1997: 219). Berkenaan dengan politik dalam negeri, kabinet akan memperhatikan hal-hal (Engelen et al, 1997: 220; Osman Raliby, 1953: 103) sebagai berikut:
1). Menyempurnakan susunan pemerintahan daerah berdasarkan
kedaulatan rakyat;
2). Mencapai koordinasi segala tenaga rakyat didalam usaha
menegakkan Republik Indonesia serta pembangunan masyarakat
yang berdasarkan keadilan dan peri kemanusiaan;
3). Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat diantaranya
dengan jalan pembagian makanan;
4). Berusaha mempercepat keberesan tentang Oeang Republik Indonesia
(ORI).
Beragam tanggapan muncul setelah susunan kabinet diumumkan. Suara dari koran-koran tidak dalam satu pendapat terhadap susunan kabinet. Sukiman (Ketua Masjumi) memprotes keberadaan kabinet Sjahrir yang dianggap menyalahi UUD 1945. Beberapa golongan pemuda revolusioner dan para mantan menteri Kabinet Sukarno kecewa dengan susunan kabinet (Engelen et al, 1997:218).
Protes-protes terhadap kabinet Sjahrir disebabkan oleh susunan dalam kabinet sendiri. Sjahrir dan Amir mendominasi posisi menteri-menteri yang penting. Perwakilan Kristen dalam kabinet dianggap terlalu besar sementara tidak ada tokoh Islam yang berwibawa dalam kabinet. Beberapa menteri ternyata pernah mendapat jabatan tinggi selama masa Jepang. Tak banyak tokoh gerakan bawah tanah bahkan tidak ada tokoh pemuda yang masuk kabinet ini. sebagian besar menteri bisa dikatakan merupakan kawan-kawan dari Sjahrir atau Amir sendiri. Kabinet ini juga dianggap berbau Belanda karena sebagian menteri pernah menjadi pejabat saat Belanda berkuasa (Anderson, 1988: 226). Kabinet terlalu dianggap bersifat teknokrat dan tidak revolusioner (Engelen et al, 1997:218). Kekecewaan bertambah setelah program kabinet yang diumumkan pada 17 November 1945 dinilai tidak revolusioner (Anderson, 1988: 229).
Meskipun mendapat kritik, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memiliki
pertimbangan tersendiri dalam menyusun kabinet. Keduanya menyusun kabinet
untuk mematangkan sikap Indonesia menghadapi diplomasi dengan Sekutu-
Belanda. Beberapa menteri seperti Moelia dan Soewandi merupakan ahli
dibidangnya yang diakui sejak masa Hindia Belanda (Engelen et al, 1997:218).
lxvii
Pada 5 Desember dilakukan perubahan kabinet. Sunario Kolopaking
digantikan oleh Soedarsono, Soerachman kembali masuk kabinet menggantikan posisi Adjidarmo dan Amir Sjarifuddin melepas jabatan Menteri Penerangan kepada Muhammad Natsir pada bulan Januari 1946 (Anderson, 1988: 330; Soebadio Sastrosatomo, 1987: 200).
b. Sutan Sjahrir
Sutan Sjahrir muncul dalam politik nasional ketika perubahan politik Indonesia tengah dimulai akibat ketidakpuasan terhadap kinerja Pemerintahan Presidensiil. Sjahrir telah lama menjadi tokoh pergerakan nasional dan sempat diasingkan Belanda akibat aktivitasnya. Oleh karena itu Sjahrir juga dikenal tokoh nasionalis tua lainnya. Namun umur Sjahrir yang relatif muda membuatnya dapat dekat dengan pemuda terutama di Jakarta saat pendudukan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, Sjahrir tidak turut bekerja sama dengan Jepang. Sjahrir yakin bahwa Jepang akan kalah dari Sekutu. Ia lalu membangun jaringan bawah tanah yang sebagian besar merupakan pemuda terutama dari Asrama Mahasiswa Kedokteran. Oleh karena itu, Sjahrir mendapat dukungan luas pemuda Jakarta ketika naik ke politik nasional (Anderson, 1988: 198 dan 61).
Sjahrir sendiri sangat mendambakan kebebasan untuk setiap orang,
dimana individu-individu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk
bertanggung jawab terhadap cita-cita dan tindak-perbuatannya masing-masing.
Impian itu mempunyai beberapa konsekuensi yang amat nyata. Cita-cita
kebebasan dan kemandirian manusia yang telah mendorong Sjahrir memilih
sosialisme sebagai paham politiknya. Menurutnya sosialisme dibutuhkan untuk
melaksanakan revolusi sosial di Indonesia. Oleh karena itu sosial-demokrasi pada
Sjahrir pada tempat pertama berarti sosialisme kerakyatan yang tujuannya adalah
membebaskan dan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia, yaitu
bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia (Ignas
Kelden dalam www.komunitasdemokrasi.or.id).
Pada awal November 1945, Sjahrir membuat pamflet terkenal yang berjudul “Perdjoeangan Kita”. Isi pokok pamflet tersebut antara lain catatan pahit dari ciri masa pendudukan Jepang. Pamflet tersebut juga membahas akibat dari Perang Dunia II seperti naiknya nasionalisme, yang dianggap Sjahrir menjual diri terhadap Jepang. Sjahrir juga membahas doktrinasi negatif Jepang dalam organisasi-organisasi yang didirikannya yang terlihat dalam sikap militeristis dan fasis. Dampak dari doktrinasi tersebut terasa setelah Perang Dunia II berakhir dalam bentuk penyerahan, kekejaman dan teror terhadap orang Belanda, Indo dan minoritas Indonesia yang dianggap pro Belanda. Oleh karena itu Sjahrir menyerukan pembersihan unsur-unsur “kolaborator” Jepang dan usaha pengembangan prinsip sosialisme kemanusiaan yang sesuai pemikiran pemuda Indonesia (Anderson, 1988: 219).
lxviii
Berkenaan dengan situasi internasional, Sjahrir mengatakan adanya
pertentangan besar antara kekuatan kapitalisme Inggris dan Amerika Serikat dan kelemahan Republik akibat pendudukan Jepang. Sjahrir beralasan bahwa karena letak Indonesia yang berada dalam lingkungan kapitalisme Inggris dan Amerika Serikat membuat Indonesia akan banyak tergantung kedua negara tersebut. Untuk mengatasinya adalah perlu dilakukan diplomasi cerdas untuk memengaruhi Inggris dan Amerika Serikat agar tidak membantu Belanda.
Pamflet tersebut nampaknya tidak menyebar luas namun memiliki pengaruh yang nyata. Banyak nasionalis yang tersinggung atas serangan Sjahrir terhadap nasionalisme yang muncul selama Perang Dunia II. Para pemuda juga terkena serangan Sjahir dan cukup mengena karena pamflet itu muncul saat puncak pertempuran Surabaya. Namun pamflet tersebut menjadi salah satu analisa mengenai kondisi yang muncul setelah Perang Dunia II dan memberikan sudut pandang yang menyeluruh tentang masa depan gerakan kemerdekaan Indonesia (Anderson, 1988: 223).
Dengan demikian, Sjahrir berusaha agar Republik Indonesia tak runtuh
namun perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis. Ia mengarsiteki
perubahan kabinet dari sistem Presidensil menjadi Parlementer dimana kabinet
bertanggung jawab kepada KNIP, yang telah diberikan fungsi legislatif. RI lalu
menganut sistem multi partai. Tatanan ini sesuai dengan arus politik pasca Perang
Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme.
Kepada rakyat, Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan
anti kekerasan. Dengan demikian Sjahrir ingin menunjukkan kepada dunia bahwa
revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan
demokratis. Hal itu sesuai dengan suasana kebangkitan bangsa-bangsa
melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca Perang Dunia II.
Perjuangan Indonesia tidak seperti propaganda buruk dari Belanda tentang
Indonesia (Ignas Kleden dalam www.komunitasdemokrasi.or.id).
c. Kebijakan Sjahrir Setelah Menjadi Perdana Menteri
Tak lama setelah menjadi Perdana Menteri, pada 17 November 1945, Sjahrir bersama beberapa anggota kabinet berunding dengan Belanda di Jakarta dibawah pimpinan Panglima Sekutu di Indonesia. Namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan nyata (Osman Raliby, 1953: 102; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, 1999: 162).
Pada 19 November 1945 Sjahrir memerintahkan semua kekuatan senjata di Jakarta agar keluar dari ibukota. Keputusan itu ditempuh untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang tenang dan damai untuk kegiatan internasional dan tempat diplomasi. Sjahrir menambahkan bahwa perintah itu merupakan permintaan dari Sekutu dalam perundingan antara Indonesia, Inggris dan Belanda.
lxix
Sekutu sebagai imbalannya menyetujui Indonesia membuka Kantor
Penghubung Tentara di Jakarta. Kantor tersebut memiliki tugas sebagai perwakilan TKR sekaligus memelihara hubungan dengan Pemerintah Pusat RI dan Markas Besar Sekutu. Kantor Penghubung Tentara dikepalai oleh Kapten M.T. Haryono yang memiliki tanggung jawab langsung kepada Kepala Staf Umum TKR Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo (Engelen et al, 1997: 222).
Kota Jakarta praktis dikuasai tentara Sekutu setelah terjadi pengosongan dari kekuatan senjata Indonesia (Engelen et al, 1997: 230). Jakarta bertambah kacau setelah kekuatan senjata Indonesia keluar dari Jakarta. Hampir tiap hari terjadi insiden senjata yang melibatkan tentara Sekutu atau NICA dengan rakyat. Situasi makin tidak terkendali setelah sejumlah tokoh dan petinggi Indonesia mendapat serangan dari dari NICA. Perdana Menteri Sjahrir bahkan hampir tewas karena ulah oknum NICA yang brutal (Soebagjio, 1981: 172). Tempat-tempat strategis di Jakarta juga diduduki Sekutu. NICA Belanda makin merajalela di Jakarta. Dilakukan pembersihan di sekitar Jakarta oleh Inggris dan Belanda. Lalu lintas kota tertutup dan pemasukan diblokade. Distribusi bahan pangan ke Jakarta pun terhambat. Pasar dan warung mendapat teror. Kantor-kantor yang belum diduduki Sekutu tidak berjalan normal karena para pegawai banyak yang hilang, terhalang pertempuran atau harus mencari makan di luar (Nasution, 1977: 261).
Meskipun mendapat perlakukan yang tidak menyenangkan, pemerintah tidak mengubah politik damai dan politik diplomasi sesuai Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Pemerintah terus berusaha menentramkan hati rakyat yang marah atas berbagai teror yang terjadi dan menjaga agar rakyat tetap mengikuti politik pemerintah tersebut (Nasution, 1977: 180). Namun situasi Jakarta yang makin tidak nyaman memaksa Pemerintah memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Kepindahan tersebut terjadi pada 6 Januari 1946 dengan upacara penyambutan dilakukan hari berikutnya (Kedaulatan Rakjat, 7 Januari 1946). Meskipun ibukota telah pindah dari Jakarta, Perdana Menteri dan Kementerian Luar Negeri masih tetap di Jakarta dalam rangka menjaga hubungan diplomasi dengan Sekutu. Hanya di akhir pekan Perdana Menteri akan pergi ke Yogyakarta mengadakan sidang kabinet.
Sementara itu hasil Kongres Tentara di Yogyakarta menimbulkan polemik baru. Pengangkatan panglima besar dan menteri pertahanan oleh Kongres Tentara tidak disetujui pemerintah. Perdana Menteri Sjahrir berpegang pada kekuasaannya untuk menentukan siapa menterinya termasuk menteri pertahanan. Terjadi tarik ulur yang lama mengenai siapa yang akan menduduki jabatan menteri dan panglima besar (Nasution, 1977: 278). Akhirnya Amir Sjarifuddin tetap menjadi Menteri Pertahanan sementara Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar pada 18 Desember 1945 (Anderson, 1988: 276).
Pelantikan Sjahrir menjadi Perdana Menteri memulai persaingan antara pemerintah dengan militer. Sjahrir dan Amir menyadari “kebebasan” dan permusuhan dari tentara akan menghambat langkah mereka membatasi peran Sudirman. Jenderal Sudirman dan rekan-rekannya merasa tersinggung dengan tuduhan terselubung pemerintah yang menganggap keptutusan mereka terhubung dengan militersime dan fasis. Perbedaan mengenai konsepsi ketentaraan antara Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin dengan Jenderal Soedirman cukup lebar.
lxx
Sudirman dengan cepat muncul menjadi penarik mereka yang menentang pemerintahan Sjahrir (Anderson, 1988: 277).
Kebijakan lain Kabinet Sjahrir yaitu pengiriman bahan pangan ke Bandung. Kota Bandung yang memiliki banyak kamp APWI dimana bagian utara Bandung jatuh ke penguasaan Sekutu sekitar bulan Oktober 1945. Pada 21 November 1945, iring-iringan perbekalan Sekutu dari Jakarta ke Bandung dihadang. Sejak itu, kota Bandung terisolir karena upaya berikutnya pada 9 Desember 1945 untuk mengantarkan perbekalan yang dikawal parjurit Gurkha juga gagal karena dihadang pejuang lokal. Berdasarkan hal tersebut, Sekutu meminta bantuan Pemerintah Indonesia untuk mengawal perbekalan pangan ke Bandung dengan alasan rasa kemanusiaan bagi para APWI dan bukan untuk tujuan militer. Pemerintah menyetujui permintaan tersebut karena upaya itu akan membantu proses pengakuan kedaulatan Indonesia dari dunia internasional (Saleh, 1995: 49 dan Aboe Bakar Loebis, 1992: 138).
Pelaksanaan pengiriman bahan pangan ke daerah pendudukan Sekutu
dilakukan oleh Akademi Militer Tangerang (MA). Pengiriman pertama dilakukan
menuju Bandung pada 11 Desember 1945 yang dipimpin Mayor Daan Mogot,
Direktur MA. Tidak banyak hambatan yang diterima saat taruna MA memasuki
daerah pendudukan Sekutu. Kesulitan baru dirasakan justru saat melewati daerah
Indonesia sendiri. Gangguan muncul dari TKR dan laskar perjuangan setempat
yang hampir menggagalkan pengiriman tersebut.
Tugas pertama tersebut berhasil dilakukan dengan baik. Kesuksesan itu
dilanjutkan dengan pengiriman berikutnya oleh taruna MA hingga dua kali.
Pengiriman terakhir dilakukan Taruna MA pada pertengahan bulan Januari 1946
dimana pengiriman berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan dengan
Peristiwa Bandung Lautan Api. Saat rombongan MA kembali ke Tangerang,
terjadi Peristiwa Lengkong yang menewaskan puluhan taruna MA dan Direktur
MA sendiri, Daan Mogot (Saleh, 1995: 50).
d. Persatuan Perjuangan
Naiknya Sjahrir menjadi Perdana Menteri dengan cepat mendapat
tantangan. Kabinet Sjahrir diserang dalam dua hal yaitu dalam komposisi kabinet
dan program kabinet terutama kebijakan untuk lebih mengutamakan diplomasi
daripada perlawanan bersenjata. Ditengah perkembangan berbagai organisasi dan
kelemahan pemerintah, muncullah sosok Tan Malaka (Anderson, 1988: 298).
Tan Malaka memiliki pengalaman politik yang luas. Ia pernah menjadi guru yang membawanya menjadi Ketua PKI. Akan tetapi Tan Malaka segera
lxxi
diasingkan ke negeri Belanda akibat aktivitas politiknya. Di Belanda Tan Malaka menjadi calon legislatif dalam pemilihan umum di Belanda. Setelah itu Tan Malaka menghadiri sidang keempat Communist International (Comintern) dan ditunjuk sebagai agen Comintern di Asia Tenggara.
Tan Malaka dalam pengasingannya sempat melancarkan kampanye yang
menggagalkan pemberontakan PKI pada tahun 1926. Kegagalan pemberontakan
PKI membuat Tan Malaka sangat dibenci PKI. Sejak itu pula Tan Malaka
berpindah-pindah tempat untuk menghindari aparat negara yang disinggahinya.
Pada tahun 1942 secara diam-diam Tan Malaka kembali ke Indonesia di Medan.
Ia berhasil mendapat pekerjaan sebagai juru tulis di Banten (Donald Hindley,
1992: 212-213).
Kehidupnnya yang terpencil di Banten membuat Tan Malaka tidak
terlibat dalam “kolaborator” atau dalam kelompok bawah tanah selama masa
penjajahan Jepang. Tan Malaka juga tidak terlibat dalam proses proklamasi
meskipun ada di tempat kelompok pemuda di Jakarta. Pertemuannya dengan
Ahmad Subardjo pada 25 Agustus 1945 merupakan kemunculan pertamanya
dengan kelompok elit setelah lama dalam pengasingan (Anderson, 1988: 307).
Pada 2 Desember 1945 Tan Malaka mengeluarkan pemikirannya dalam
pamflet berjudul “Moelihat”. Moeslihat merupakan pemikiran Tan Malaka
mengenai situasi Indonesia terutama setelah pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya. Pamflet tersebut menjadi semacam tandingan pamflet Perdjuangan Kita
dari Sjahrir. Tan Malaka baru benar-benar muncul setelah Muhammad Yamin
menulis pamflet mengenai dirinya dan pejuangannya. Terbitnya pamflet Yamin
bersamaan dengan mulai munculnya ketidakpuasan terhadap Kabinet Sjahrir pada
akhir Desember 1945 (Anderson, 1988: 314 dan 318).
Pada awal tahun 1946, Tan Malaka menghadiri Kongres Rakyat di
Purwokerto. Kongres tersebut menginginkan adanya persatuan nasional untuk
melawan Sekutu. Tan Malaka pun diberi kesempatan berpidato dalam kongres
tersebut. Diakhir pidatonya, Tan Malaka menyatakan Minimum Program untuk
revolusi (Kedaulatan Rakjat, 6 Januari 1946; Anderson, 1988: 318), yang berisi:
1). Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%;
lxxii
2). Pemerintahan rakyat (dalam arti sesuai halauan pemerintah sesuai
kemauan rakyat);
3). Tentara rakyat (dalam arti sesuai halauan tentara sesuai kemauan
rakyat);
4). Melucuti tentara Jepang;
5). Mengurus tawanan perang bangsa Eropa;
6). Menyita dan menyelenggarakan pertanian musuh;
7). Menyita dan menyelenggarakan perindustrian musuh.
Minimum Program tersebut menjadi perdebatan selama bulan-bulan berikutnya. Pasal 1, 6 dan 7 bisa dibilang bertentangan dengan Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November dan program Pemerintah. Hal itu menjadi tantangan bagi Pemerintah dan pemerintah mencoba untuk menghadangnya. Pada 11 November 1946, Partai Sosialis yang merupakan partai Pemerintah mengirim surat terbuka yang menghimbau untuk menggabungkan semua organisasi dan partai politik dalam barisan nasional dengan program bersama. Akan tetapi Brisan Nasional tersebut tidak pernah berjalan (Anderson, 1988: 321).
Pada 15-16 Januari 1946 diselenggarakan kongres kedua di Surakarta yang dihadiri sekitar 133 organisasi. Daya tarik Minimun Program dan Tan Malaka sendiri membuat kongres tersebut dihadiri banyak organisasi. Kongres juga mengundang Pemerintah namun wakil Pemerintah tidak ada yang datang. Tan Malaka kembali berpidato di hari pertama kongres. Ia menyatakan perluanya persatuan untuk perjuangan dan pentingnya Minimum Program untuk perjuangan. Jenderal Soedirman juga hadir dan berpidato. Jenderal Soedirman menyatakan lebih baik dibom atom daripada tidak merdeka 100%. Perbedaan antara Pemerintah dengan yang menentang kebijakannya mulai nyata.
Setelah Tan Malaka selesai berpidato, nama Persatuan Perjuangan (PP) ditetapkan sebagai nama front persatuan rakyat. “Panitia Kecil” lalu dibentuk dan merumuskan secara nyata usul pengorganisasian dari badan baru tersebut. Hari kedua Panitia Kecil menyerahkan usul-usulnya seperti bentuk dari organisasi baru tersebut kepada Kongres. Kongres menyetujui usulan dari Panitia Kecil dan mendesak Pemerintah agar mengambil langkah sesuai Minimum Program PP (Anderson, 1988: 323).
2. Kabinet Sjahrir II
a. Terbentuknya Kabinet Sjahrir II
PP terus berkembang dan mencangkup berbagai macam organisasi di Indonesia seperti PKI, Masyumi, PS, BPRI, Barisan Banteng dan lain-lain. Pemerintah meyadari bahwa PP tengah tumbuh dan dapat menjadi ancaman terhadap kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Bahkan keanggotaan PP dianggap lebih representatif daripada KINP (Anderson, 1988: 324).
Tekanan terhadap kabinet Sjahrir makin kencang memasuki bulan Februari tahun 1946. Hal itu terlihat dalam pawai besar PP di Yogyakarta pada
lxxiii
pertengahan Februari 1946 yang menuntut Pemerintah agar lebih tegas terhadap pemerintah. Beragam telegram dan surat dari banyak organinasi di seluruh Indonesia meminta Sjahrir agar memperjuangkan kemerdekaan 100% meski banyak yang tetap mendukung Sjahrir. Upaya PP untuk mengubah kabinet agar lebih bersifat nasional mendapat banyak dukungan. Tuntutan tersebut sulit untuk diabaikan KNIP maupun Presiden Sukarno (Anderson, 1988: 341 dan 337).
Pada 26 Februari 1946, Sjahrir secara rahasia mengajukan pengunduran diri sebagai Perdana Menteri kepada Presiden Sukarno. Presiden Sukarno baru mengumumkan pengunduran diri Sjahrir dalam Konggres KNIP di Surakarta yang dimulai 28 Februari 1946. PP nampak diatas angin dengan pengunduran diri Sjahrir. Apalagi Presiden Sukarno memberikan mandat kepada PP membentuk kabinet baru. Upaya PP untuk membentuk kabinet baru tidak berhasil karena unsur-unsur dalam PP berbeda pendapat dalam beberapa hal seperti alokasi posisi dan kepentingan sosial (Kahin, 1995: 221; Anderson, 1988: 344).
Kegagalan PP membuat Presiden Sukarno menunjuk kembali Sjahrir agar membentuk kabinet yang baru. KNIP setuju penunjukan Sjahrir namun dengan tambahan agar kabinet diperluas untuk lebih mencerminkan perwakilan aliran politik utama di Indonesia. Sjahrir yang menjadi formatur kabinet sepakat dengan hal tersebut namun menginginkan pemilihan anggota tetap ditangannya. Sjahrir bersama Sukarno dan Hatta selama seminggu berunding mengenai pemilihan menteri. Kabinet baru Sjahrir dengan beberapa perubahan (Kahin, 1995: 221). Susunan menteri dari Kabinet Sjahrir II yang diresmikan pada 13 Maret 1946 (Barisan Rakjat, No. 16 Maret 1946), yaitu:
1). Perdana Menteri : Sjahrir
2). Menteri Luar Negeri : Sjahrir
3). Menteri Dalam Negeri : Soedarsono
4). Menteri Kesehatan : Darmasetiawan
5). Menteri Keuangan : Surachman Tjokroadisurjo
6). Menteri Perdagangan dan
Industri : Darmawan Mangunkusumo
7). Menteri Pertanian dan
Persediaan : Rasad
8). Menteri Pertahanan : Amir Syarifuddin
9). Menteri Kehakiman : Suwandi
10). Menteri Pengajaran : Moh.Syafei
11). Menteri Penerangan : Mohammad Natsir
12). Menteri Sosial : Maria Ulfah Santoso
13). Menteri Agama : Moh. Rasjidi
14). Menteri Perhubungan : Abdul Karim
lxxiv
15). Menteri Pekerjaan Umum : Putuhena
16). Menteri Negara : Wikana
Kabinet Sjahrir II terdapat pula jabatan Menteri Muda. Mereka yang
menjadi menteri muda yaitu Agus Salim, Samadikun, Leimena, Syarifudin
Prawiranegara, Samsu Harya Udaya, Saksono, Aruji Kartawninata, Hadi, T.G.S.
Moelia, Abdul Madjid Djojohadiningrat, Juanda dan Laoh. Hanya Perdana
Menteri, Menteri Penerangan, Menteri Agama dan Menteri Negara yang tidak
memiliki menteri muda (Soebadio Sastrosastomo, 1987: 239). Kabinet yang baru
masih didominasi kelompok Sjahrir. Meskipun mendapat serangan kuat dari PP,
Kabinet Sjahrir II diberi mandat kekuasaan legislatif yang jelas oleh KNIP dalam
sidangnya di Solo pada 28 Februari hingga 2 Maret 1946 (Kahin, 1995: 223).
Mandat yang menjadi politik Kabinet ke dalam dan keluar negeri tersebut
(Kedaulatan rakjat, 6 Maret 1946), yaitu:
1). Berunding atas pengakuan negara Republik Indonesia (100%);
2). Mempersiapkan rakyat dan negara disegala lapangan politik,
ketentaraan, ekonomi dan sosial untuk mempertahankan kedaulatan
Republik Indonesia;
3). Mencapai susunan pemerintah pusat dan daerah yang demokratis;
4). Berusaha segiat-giatnya untuk menyempurnakan produksi dan
pembagian makanan dan pakaian;
5). Tentang perusahaan dan perkebunan yang penting hendaknya ole
pemerintah diambil tindakan-tindakan seperlunya, hingga memenuhi
maksud sebagai termaktub dalam Undang-Undang Dasar pasal 33
(hal kesejahteraan sosial).
Perkembangan berikutnya, Sjamsu Harja Udaja dan Samadikun menolak
pengangkatannya sebagai menteri dalam Kabinet (Simanjuntak, 2003: 34). Pada
25 Juni 1946 Darmawan Mangunkusumo menjadi Menteri Kemakmuran yang
merupakan gabungan Kementerian Pangan dan Persediaan dan Kementerian
Perindustrian dan Perdagangan (Kedaulatan Rakjat, 28 Juni 1946).
b. Kriris Politik Maret 1946
lxxv
Para pemimpin PP tidak puas terhadap kabinet Sjahrir II. Sikap tersebut
diperjelas saat PP mengadakan rapat raksasa di Madiun pada 15 Maret 1946.
Rapat tersebut tidak dihadiri peserta sebanyak rapat PP sebelumnya karena tidak
lebih dari 40 anggota yang datang. Anggota yang mundur terutama dari organisasi
politik yang berhalauan sosialis. Meskipun demikian, beberapa peserta yang
masih ada berasal dari badan-badan perjuangan seperti BPRI, Hizbullah, Barisan
Banteng dan Laskar Rakyat. Jenderal Sudirman juga mengirim delegasi ke
kongres itu. Rapat itu menyatakan antara lain menentang politik diplomasi dengan
Belanda dan lebih mendukung kebijakan perang (Soebadio Sastrosastomo, 1987:
242). Selain rapat, PP juga mengadakan pawai besar yang antara lain menyatakan
menentang kebijakan diplomasi Pemerintah (Wawancara dengan Handoyo
Leksono, 22 Juni 2009).
Pemerintah segera bertindak terhadap para penentangnya. Pada 17 Maret
1946, pasukan pemerintah menangkap para tokoh penting seperti Tan Malaka,
Abikusno Tjokrosujoso, Chairul Saleh, Sukarni, Suprapto, Muhammad Yamin
dan Wondoamiseno. Akibat penangkapan tersebut, PP menjadi lumpuh terutama
di Jawa (Kahin, 1995: 223).
Awal mula penangkapan berasal dari percakapan antara Perdana Menteri
Sjahrir dengan Aboe Bakar Loebis pada 10 Maret 1946. Perdana Menteri Sjahrir
merasa sulit untuk menjalankan perundingan apabila ada penentangan keras di
daerah pedalaman. Aboe Bakar Loebis kemudian ke Yogyakarta dan berunding
dengan Soebadio dan Menteri Dalam Negeri Soedarsono berkenaan dengan
keluhan Sjahrir. Mereka berdua menemui Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin di
Surakarta. Perundingan lalu dilakukan. Atas perintah Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Pertahanan, diputuskan agar Tan Malaka dan para pemimpin PP
ditangkap. Surat penangkapan ditandatangani kedua Menteri yang diberikan pada
Aboe Bakar Loebis dan Imam Slamet.
Aboe Bakar Loebis dan Imam Slamet kemudian menghadap Presiden
Sukarno. Presiden Sukarno menyetujui perintah penangkapan tersebut dan
menyediakan sejumlah uang dan pinjaman mobil. Aboe Bakar Loebis dan Imam
Slamet lalu menuju Madiun pada 17 Maret 1946 karena disana tengah
lxxvi
berlangsung rapat PP yang dihadiri para tokoh terkemuka PP. Para tokoh PP
setelah rapat PP selesai menuju ke Yogyakarta melalui stasiun kereta di Madiun.
Stasiun tersebut menjadi tempat penangkapan para tokoh PP seperti Abikusno
Tjokrosujoso, Chairul Saleh dan Muhammad Yamin. Proses penangkapan
dilakukan Polisi Tentara dan Pesindo karena pihak Kepolisian dan resimen TKR
setempat menyatakan tidak sanggup untuk melakukan penangkapan. Tan Malaka
dan Sukarni baru tertangkap kemudian di rumah Residen Madiun Soesanto
Tirtoprodjo. Tan Malaka kemudian diserahkan ke Polisi Tentara Surakarta (Aboe
Bakar Loebis, 1992: 152). Para tahanan politik dari PP kemudian ditempatkan di
daerah Tawangmangu dengan penjagaan dari Mayor Sastro Lawu dari Divisi IV
(Nasution, 1992: 322).
Menanggapi penangkapan para tokohnya, unsur-unsur PP tidak tinggal
diam. Serangkaian perundingan dilakukan untuk mencapai kompromi. Pada 22
dan 27 Maret 1946, PP mengirim delegasi menemui Presiden Sukarno untuk
meminta penjelasan dan mendesak dibebaskannya para tahanan politik PP.
Pemerintah sempat pula mengirim utusan menemui para tahanan namun tidak
terjadi kesepakatan (Anderson, 1988: 361). PP lalu mengirim Mosi ke pemerintah
meminta penjelasan lengkap mengenai penangkapan tersebut (Kedaulatan Rakjat,
6 April 1946). Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan dan Kementerian
Dalam Negeri baru mengumumkan penangkapan tersebut pada 22 Maret 1946.
Alasan melakukan penangkapan tersebut adalah untuk menyelamatkan
masyarakat dan pertahanan negara dalam masa genting tersebut (Kedaulatan
Rakjat, 23 Maret 1946). Keterangan lebih lengkap mengenai penangkapan
tersebut baru dijelaskan pada 1 April 1946 Anderson, 1988: 359).
c. Kebijakan-Kebijakan Penting Kabinet Sjahrir II
Sjahrir tetap melanjutkan kebijakan diplomasi dengan Belanda setelah
kembali memimpin kabinet. Beberapa pertemuan digelar antara pihak Indonesia
dengan Belanda. Persetujuan pendahuluan yang dikenal dengan Rumusan Jakarta
atau Batavia Concept disepakati kedua belah pihak. Bagian penting dari
kesepakatan itu ialah pengakuan de facto Indonesia atas Jawa, Sumatera lalu
kesepakatan kedua belah pihak untuk duduk sebagai mitra sejajar didalam struktur
lxxvii
federal dalam masa peralihan (de Jong dalam Lapian dan Drooglever, 1992: 71).
Perundingan ke tingkat yang lebih tinggi direncanakan akan dilakukan di Belanda.
Hoge Veluwe menjadi tempat perundingan antara Delegasi Indonesia
dengan Pemerintah Belanda. Perundingan berlangsung 14-24 April 1946. Pihak
Indonesia diwakili oleh Soewandi, A.K. Pringgodigdo dan Soedarsono sementara
pemerintah Belanda diwakili Perdana Menteri Schermerhorn, Menteri Sosial W.
Dress, Menteri Urusan Daerah Seberang J. Longemann, Menteri Luar Negeri J.H.
Van Roijen dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.J. Van Mook (Ide
Anak Agung Gde Agung, 1995: 79).
Sebelum perundingan dimulai, telah terjadi gejolak di Belanda.
Kesepakatan di Jakarta yang dihasilkan sebelumnya ditolak kabinet Belanda. Hal
itu berdampak pada jalannya perundingan kemudian. Misalnya Belanda
mengajukan gagasan yang dikenal sebagai Protokol 14 April 1946. Tentu saja hal
tersebut ditolak delegasi Indonesia yang menginginkan bentuk perjanjian antar
dua negara yang sederajat seperti dalam Rumusan Jakarta bukan bentuk protokol.
Perundingan tidak menemui titik temu meskipun kedua pihak berpendapat bahwa
semua pokok permasalahan bisa dibicarakan. Waktu pemilihan umum di Belanda
yang dekat dengan waktu perundingan membuat pemerintah Belanda tidak mau
mengambil resiko mengambil keputusan besar.
Perundingan Hoge Veluwe tidak membuahkan hasil yang nyata.
Meskipun demikian, perundingan telah memberikan manfaat bagi kedua pihak
mengenai pendirian masing-masing. Akan tetapi Soedarsono, salah satu anggota
delegasi Indonesia, dalam suatu wawancara pers menyatakan perundingan Hoge
Veluwe merupakan kegagalan. Pernyataan Soedarsono tersebut menjadi pendapat
umum di Indonesia bahwa perundingan Hoge Veluwe telah gagal sama sekali (Ide
Anak Agung Gde Agung, 1995: 84).
Pernyataan Soedarsono tersebut memiliki dampak yang luas di Indonesia.
Perundingan tidak menghasilkan apa-apa dan delegasi Indonesia pulang dengan
tangan kosong. Kegagalan perundingan Hoge Veluwe membuat posisi Sjahrir
menjadi sulit. Partai-partai politik dan Persatuan Perjuangan mengecam Sjahrir
lxxviii
dan delegasi Indonesia dalam perundingan Hoge Veluwe karena dianggap tidak
memperjuangkan kemerdekaan 100% (Ide Anak Agung Gde Agung, 1995: 104).
Meskipun perundingan Hoge Veluwe tidak menghasilkan sesuatu,
Inggris terus mendorong Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan
persengketaan diantara mereka. Inggris memiliki perhitungan mengenai kekuatan
militer Indonesia dan Belanda. Kenyataan pula bahwa tentara India turut dipakai
Sekutu untuk tugas di Indonesia. Apabila tidak terjadi penyelesaian yang cepat,
Nehru yang akan memperoleh kekuasaan di India pasti tidak akan mengizinkan
pemakaian tentara India di Indonesia. Inggris mengharapkan penyelesaian
masalah Indonesia dan Belanda terjadi sebelum semua tentara Inggris ditarik dari
Indonesia (Nasution, 1992: 64).
Kebijakan Pemerintahan Sjahrir yang juga mengundang perhatian
mengenai keberadaan tentara Jepang dan para interniran. Pasca berakhirnya
Perang Dunia II, banyak tentara Jepang yang masih berada di Indonesia dan
sejumlah besar tawanan dan interniran perang masih terjebak di daerah pedalaman
pulau Jawa. Pada 30 November 1945, dilakukan perundingan antara Pemerintah
Indonesia dengan Sekutu. Perundingan tersebut menyepakati bahwa pelaksanaan
pengangkutan tawanan perang dan sipil Sekutu akan dilakukan Indonesia.
Indonesia akan membawa para tawanan dari daerah pedalaman ke wilayah
pelabuhan terutama Jakarta, Semarang dan Surabaya. Mengenai pasukan Jepang,
mereka akan dilucuti senjatanya pihak Indonesia untuk kemudian dibawa ke
tempat penampungan di Riau (Engelen et al, 1997: 223).
Sesuai tugasnya, Inggris sempat mencoba untuk mengurus dan membawa tawanan wanita dan anak-anak dari Belanda di Magelang dan Ambarawa pada Desember 1945. Akan tetapi karena kurangnya tenaga maka Inggris tidak mampu menduduki dan menguasai Semarang, Salatiga Magelang dan Ambarawa untuk menjaga para tawanan Belanda tersebut. Malahan upaya Sekutu membebaskan tawanan Belanda mengakibatkan terjadinya pertempuran Palagan Ambarawa. Inggris kemudian harus kembali ke Semarang (Soebadio Sastrosastomo, 1987: 238). Pertempuran itu pula yang mencuatkan nama Jenderal Sudirman.
Pemerintah kemudian mengadakan konferensi di Solo mengenai APWI
dan tawanan Jepang yang dihadiri seluruh Panglima dan komandan resimen TKR.
Para panglima dan komandan resimen TKR menyetujui maksud pemerintah untuk
menyelenggarakan pengangkutan APWI dan tawanan Jepang. Pada 24 Desember
lxxix
1945 tercapai kesepakatan antara TKR dan Sekutu dimana TKR akan mengangkut
APWI dan tawanan Jepang jika tidak ada tentara Inggris (Nasution, 1992: 55).
Untuk melaksanakan tugas pengangkitan interniran dan tentara Jepang
dibentuklah POPDA (Panitia Onteoek Penyingkiran Djepang dan APWI) yang
dipimpin Jenderal Mayor Sudibjo. TKR dilibatkan tugas POPDA. Berkenaan
dengan hal tersebut dan karena tugas POPDA yang bersifat internasional maka
Kantor Penghubung Tentara diperluas perannya untuk mengurusi langsung
operasi pemulangan APWI dan tentara Jepang (Engelen et al, 1997: 223).
Pada 19 Januari 1946 kembali berlangsung pertemuan antara Indonesia
dengan Inggris di Jakarta. Pertemuan tersebut menyepakati beberapa hal
(Soebadio Sastrosastomo, 1987: 253), antara lain:
1). Indonesia akan mulai memindahkan seluruh APWI dari tempat
mereka sekarang ke Jakarta;
2). Indonesia bertanggung jawab dalam menyerahkan APWI dalam
keadaan baik kepada Sekutu di Jakarta;
3). Indonesia akan mengurus transportasi dan keamanan dalam
perjalanan APWI dari pedalaman ke Jakarta;
4). Sekutu akan mengambil alih tanggung jawab APWI begitu
diserahakan Indonesia di Jakarta;
5). Sekutu menjamin APWI yang telah diserahkan tidak akan
dipersenjatai.
Berkaitan dengan Jepang, diputuskan antara lain:
1). Sekutu dan Indonesia berkeinginan memindahkan secepatnya Jepang
dari Jawa;
2). Seluruh persenjataan perang akan dimusnahkan dibawah pengawasan
Sekutu dan Indonesia;
3). Jakarta menjadi tempat pengumpulan Jepang.
Atas usaha Jenderal Mayor Abdul Kadir dan Sudibyo dari POPDA maka
pada 2 April 1946 disepakati cara-cara penyingkiran APWI dan tawanan Jepang.
Rombongan pertama APWI pertama berangkat pada 24 April 1946 di Jawa
lxxx
Tengah ke Jakarta. Pada 28 April 1946 rombongan Jepang pertama dari Jawa
Timur menuju Riau (Nasution, 1992: 55).
Berkenaan dengan persenjataan milik Jepang, pada 15 Mei 1946 di Jakarta dilakukan upacara resmi penyerahan persenjataan dari Jepang ke Sekutu. Dengan pimpinan Jenderal Nishimura, para pembesar Jepang menyerahkan pedangnya kepada Sekutu (Nasution, 1992: 60).
Pihak Belanda menyampaikan protes kepada Inggris karena kesepakatan mengenai pemindahan tawanan perang dan interniran tidak melibatkan Belanda dalam berunding. Belanda merasa dirugikan dan diperlakukan tidak sebagai pihak yang berdaulat di Indonesia. kesepakatan itu berarti mengakui Indonesia sebagai suatu pemerintahan dan sangat memperlemah posisi Belanda sendiri (Soebadio Sastrosastomo, 1987: 254). Namun pengangkutan tetap dilaksanakan Indonesia.
Tugas pengangkutan APWI dan Jepang bukan tugas yang mudah bahkan cenderung berbahaya. Ancaman gangguan dapat muncul dari Jepang yang telah kalah perang, gangguan para prajurit Belanda dan terkadang Inggris bahkan dari orang Indonesia sendiri yang menganggap pelaksanaan tugas itu berarti membantu NICA (Aboe Bakar Loebis, 1992: 139). Kecurigaan pemuda terhadap penyingkiran APWI dan Jepang cukup besar. Saat itu sebagian orang Jepang dipergunakan Belanda untuk menjaga kepentingannya seperti di Plaju dan sungai Gerong. Kecurigaan diperparah dengan sebagian orang Belanda yang diserahkan ternyata dipesenjatai kembali dalam milisi atau tugas NICA untuk menyerang Republik (Nasution, 1992: 55).
Pada akhir Juni 1946 kementerian Pertahanan lewat Kantor Penghubung
Tentara menyatakan bahwa pengangkutan tentara Jepang dari Jawa Tengah dan
Jawa Timur telah usai dengan baik (Kedaulatan Rakjat, 25 Juni 1946).
Rombongan Jepang telah selesai semua disingkirkan tepatnya pada 18 Juni 1946.
Pengangkutan APWI lebih lama selesai karena banyak hal yang diperdebatkan
(Nasution, 1992: 55).
Kebijakan militer yang juga menimbulkan pertentangan ialah masalah struktur dan batas kekuasaan Kementrian Pertahanan dan pengangkatan pimpinan divisi. Pada 23 Februari 1946 dibentuk panitia untuk reorganisasi Kementerian Pertahanan, Tentara dan keberadaan laskar. Bukan hal yang mudah bagi panitia tersebut dalam menjalankan tugas. Terdapat persaingan diantara Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara sehingga Panitia tersebut baru memberikan rekomendasi resmi terakhir pada 25 Mei 1946. Rekomendasi panitia tersebut membuat struktur administrasi Kementerian Pertahanan lebih luas dari Tentara. Polisi Tentara pun bertanggung jawab pada Kementerian Pertahanan. Panitia juga mengusulkan pengurangan jumlah Divisi di Jawa dari 10 menjadi 7. Usul tersebut bisa diterima namun terjadi sengketa di Divisi III baru (Pekalongan, Kedu, Yogyakarta) dan Divisi IV baru (Surakarta, Semarang, Madiun).
Panglima Divisi III Jenderal Mayor Soedarsono menolak Sarbini sebagai Kepala Staf Divisi III dan menginginkan Umar Djoy sebagai Kepala Stafnya.
lxxxi
Pemerintah mengalah dan mengangkat Umar Djoy sebagai Kepala Staf Divisi III. Saat Soediro akan dilantik sebagai Panglima Divisi IV, Sutarto dan bawahannya menolak pengangkatan Soediro sebagai Panglima Divisi IV. Pemerintah pun mengalah dan mengangkat Sutarto sebagai Divisi IV dengan Soediro sebagai Panglima Cadangan. Soediro lalu ditempatkan sebagai Panglima Divisi III yang baru menggantikan Jenderal Mayor Soedarsono. Namun penempatan Soediro kembali ditolak dan Jenderal Mayor Soedarsono tetap menjadi Panglima Divisi III (Anderson, 1988: 406; Nasution, 1992:).
Kebijakan Pemerintahan Sjahrir yang juga mengundang kontroversi yaitu
pendidikan politik tentara. Sebenarnya Kongres Tentara di Yogyakarta telah
mengusulkan pembentukan badan pendidikan tentara. Pelaksanaannya dilakukan
pada 24 Januari 1946 dengan membentuk suatu komisi yang bertugas menetapkan
pola dasar tentang pendidikan tentara. Disamping itu dibentuk pula badan
pendidikan. Badan pendidikan ini kemudian disesuaikan dengan konsepsi Menteri
Pertahanan Amir Sjarifuddin dimana tentara memiliki keyakinan politik yang
teguh dimana Amir nampaknya mengambil contoh dari Tentara Merah Uni
Sovyet (Nugroho Notosusanto et al, 1985:44).
Pembentukan Komisi Staf Pendidikan Tentara Republik Indonesia dilakukan pada 21 Januari 1946. Maksud didirikannya Staf Pendidikan tersebut menurut Kementerian Pertahanan adalah untuk menghilangkan sifat buruk dari penjajahan Belanda dan terutama penjajahan Jepang. Kedudukan Staf Pendidik berada dibawah Kementerian Pertahanan. Kewajiban dari para Staf Pendidikan adalah untuk mendidik politik, agama, kejiwaan, sosial dan pengetahuan umum agar para tentara berjiwa tinggi seperti cita-cita rakyat Indonesia. Untuk melakukan hal tersebut, Staf Pendidikan akan melatih dan mendidik para opsir pendidik sesuai garis-garis yang ditetapkan pemerintah serta mengusahakan cara pendidikannya (Kedaulatan Rakjat, 20 Februari 1946).
Staf pendidikan membawahi korps Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) yang terdiri dari 55 opsir politik. Pada awalnya kebanyakan opsir diambil dari Pesindo sampai munculnya protes dari partai-partai lain. Para opsir disebar ke seluruh Indonesia dimana disediakan 5 opsir politik di tiap divisi. Kedudukan para opsir tersebut dalam bebas dari panglima divisinya. Hal itu dilakukan untuk menjamin indoktrinasi bebas dari intervensi Markas Besar Tentara (Sundhaussen, 1988: 46). Staf Pendidikan yang diberikan pangkat perwira tinggi ini dikepalai Soekono Djojopratikno dan dibantu Wijono, Sumarsono, Anwar Tjokroaminoto, Faried Ma’ruf, Abdoel Mukti dan Moestopo. Diantara pimpinan staf pendidikan, hanya Moetopo yang memiliki pengalaman dalam bidang militer di PETA (Kedaulatan Rakjat, 20 Februari 1946 dan Sundhaussen, 1988: 46).
Menanggapi keputusan Kementerian Pertahanan, banyak perwira yang
memprotes keberadaan para perwira Pepolit tersebut saat rapat kerja pertama
antara perwira Markas Besar Tentara dengan para panglima divisi dilakukan.
lxxxii
Mereka juga tidak suka campur tangan para staf Pepolit dalam divisinya. Pangkat
tinggi yang diberikan kepada para staf Pepolit menimbulkan pula ketidakpuasan
di kalangan tentara. Markas Besar Tentara saat itu belum mengeluarkan solusi
sehingga terjadi perbedaan sikap para panglima divisi terhadap keberadaan staf
Pepolit. Sejumlah panglima mengizinkan staf Pepolit dalam divisinya sementara
yang lain justru menolak mentah-mentah (Sundhaussen, 1988: 47).
Markas Besar Tentara pada 20 April 1946 mengeluarkan keputusan membentuk Dewan Penasehat pimpinan tentara yang bertugas memberikan pertimbangan politik kepada Markas Besar. Kemudian para panglima divisi juga diminta melakukan hal serupa. Keputusan tersebut terkait dengan keberadaan Pepolit dimana kalangan tentara ingin menyingkirkan para staf Pepolit. Pihak tentara banyak mengangkat para tokoh pemuda terkemuka dalam Dewan Penasehatnya yang diantara mereka yang diangkat cenderung memiliki pandangan menentang pemerintah.
Upaya Pemerintahan Sjahrir lain yang juga penting dalam diplomasi adalah tawaran bantuan beras dari Indonesia kepada India yang sedang menghadapi bahaya kelaparan. Tawaran tersebut diberikan Perdana Menteri Sjahrir pada 7 April 1946 dan diberitakan di India pada 8 April 1946. Pemimpin India, Jawaharlal Nehru mengucapkan terima kasih atas tawaran beras dari Indonesia kepada Perdana Menteri Sjahrir dan pemimpin Indonesia lain. Nehru menambahkan akan berusaha memenuhi permintaan Indonesia menyediakan bahan pakaian. Perwakilan pemerintah India segera dikirim ke Jakarta untuk merundingkan pengiriman beras tersebut (Nasution, 1992: 60).
Persiapan barter segera dilakukan. Pemerintah India giat menyiapkan
kapal-kapal untuk dikirim ke Indonesia. Kapal-kapal tersebut akan membawa
bahan pakaian, alat pertanian dan sebagainya yang sangat dibutuhkan rakyat.
Indonesia pun serius mempersiapkan pengiriman beras. Suatu komite dibentuk
untuk melakukan persiapan pengiriman beras. Di daerah yang surplus beras,
digiatkan pengumpulan beras.
Pemerintah Belanda menentang pengiriman beras tersebut. Van Mook
beralasan di kota-kota pendudukan Sekutu mengalami kesukaran pangan akibat
blokade tentara Indonesia hingga harus mengimpor pangan dari Brazil. Van Mook
pun menyatakan pengiriman beras hendaknya melewati jalur Republik-Inggris-
India yang tentu saja melewati Belanda yang “berdaulat”.
Pihak India langsung mendesak Sekutu agar menghilangkan hambatan
Belanda. Pada 2 Mei 1946 disepakati bahwa Republik hanya akan mengirim
setengah dari jumlah beras yang dijanjikan sebelumnya ke India. Sisanya
lxxxiii
diserahkan kepada Sekutu di kota-kota pendudukan. Sekutu membarter beras
tersebut dengan mesin dan alat pertanian.
Muncul reaksi di dalam negeri atas kesepakatan tersebut. Jenderal
Sudirman menyetujui pengiriman beras ke India namun menolak jika pengiriman
beras ditujukan kepada Sekutu. Pihak Tentara, partai politik, badan perjuangan
dan rakyat juga tidak dapat menerima pemberian beras kepada Sekutu. Pemberian
beras kepada India banyak didukung karena memang mulia. Sebaliknya, jika
memberi beras kepada Sekutu sama dengan memberi makan NICA, yang ingin
menguasai kembali Indonesia. Pada 24 Mei 1946 di Karawang, berbagai partai
dan badan perjuangan dan tentara seperti Barisan Banteng, Masyumi, Pesindo,
Hizbullah dan lain-lain mengajukan resolusi terhadap pemerintah. Pada intinya
mereka menyatakan keberatan mengenai pengiriman beras kepada Sekutu.
Apabila Pemerintah tidak menggubris resolusi tersebut maka mereka tidak
bertanggung jawab atas keamanan pengiriman beras (Nasution, 1992: 62).
Pelaksanaan pengiriman beras kepada India mulai direalisasikan pada
bulan Juni 1946. Indonesia berhasil mengirimkan sebagian besar bantuan yang
dijanjikan. Sebagai gantinya, Indonesia menerima berbagai alat pertanian, tekstil
dan lain-lain. Namun dampak terpenting dari pengiriman beras tersebut terletak
pada aspek politik dimana Indonesia membuktikan mampu menyediakan beras
bagi India sekaligus mematahkan propaganda Belanda di dunia internasional
(Mani, 1989: 126).
d. Situasi Politik Nasional Pasca Perundingan Hoge Veluwe
Setelah kembali dari Hoge Veluwe, Van Mook mengajukan usul-usul
baru dari Belanda. Usul tersebut berupa rancangan protokol yang antara lain berisi
pengakuan de facto Republik atas Jawa, bahwa negara Indonesia Serikat tetap
menjadi bagian Kerajaan Belanda dan penolakan atas tuntutan Republik untuk
ikut mengatur perwakilan dari Kalimantan dan Indonesia Timur untuk
perundingan berikutnya.
Pemerintah Republik Indonesia mempelajari usul-usul tersebut dengan
rahasia. Secara tegas Pemerintah menolak persetujuan yang berbentuk protokol
dan menginginkan perjanjian antar negara yang sederajat. Usul balasan dari
lxxxiv
Perdana Menteri Sjahrir ke Belanda yang disampaikan secara rahasia, berisi
menuntut kekuasaan de facto atas Jawa, Sumatera termasuk kota-kota pendudukan
Sekutu, menolak ikatan kerajaan, menuntut pengiriman tentara Belanda
dihentikan dengan kesanggupan Republik untuk tidak menambah pasukan dan
menolak pengakuan Belanda selama masa peralihan. Namun usulan rancangan
protokol Belanda dan usulan balasan Indonesia yang seharusnya bersifat rahasia
justru dipublikasikan oleh Pemerintah Belanda. Radio Belanda di daerah
pendudukan di Bandung dan alat publikasi lain segera menyebarluaskan publikasi
tersebut. Pemerintah Indonesia sebenarnya masih menyimpan rahasia tersebut.
Pada 28 Juni 1946 Perdana Menteri Sjahrir kembali mengajukan usul
tentang pemberlakuan terlebih dahulu gencatan senjata dengan syarat penghentian
pengiriman tentara Belanda ke Indonesia dan pemindahan pasukan. Belanda tidak
menolak usul gencatan senjata namun menolak persyaratan yang diajukan
Indonesia dan justru menuntut status quo kedudukan dan jaminan keamanan
garis-garis perhubungan di seperti Jakarta-Bandung.
Pengumuman usulan balasan Indonesia oleh Belanda kian meningkat suasana panas di Indonesia. Pengumuman yang dilakukan Belanda tersebut menimbulkan kekecewaan mendalam di Indonesia. Banyak yang kemudian menafsirkan bahwa penangkapan tokoh PP pada bulan Maret tahun 1946 merupakan desakan dari Inggris dan Belanda untuk melumpuhkan perlawanan rakyat (Nasution, 1992: 321).
Partai-partai politik dan Persatuan perjuangan serta pemuda-pemuda
kecewa karena Sjahrir dianggap tidak memperjuangkan Indonesia yang merdeka
100% dalam perundingan dengan Belanda. Mereka juga menyesalkan delegasi
Indonesia dalam pembicaraan Hoge Veluwe yang juga dianggap tidak
memperjuangkan prinsip kemerdekaan 100% (Ide Anak Agung Gde Agung, 1995:
104). Oleh karena itu mereka membentuk Konsentrasi Nasional yang tetap
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 100% namun tetap berdiri dibelakang
Pemerintah (Kedaulatan, 6 Mei 1946).
Gentingnya situasi membuat Wakil Presiden Hatta membuka beberapa
bagian usul perundingan dengan Belanda yang sebenarnya masih bersifat rahasia
pada perayaan Isra’ Mi’raj pada 27 Juni 1946, di Yogyakarta. Dalam kesempatan
tersebut, Hatta mengungkapkan bahwa pengakuan de facto atas wilayah Jawa dan
lxxxv
Sumatera dituntut terlebih dahulu Pemerintah Indonesia dari Belanda. Wilayah-
wilayah lain di Indonesia baru akan diadakan plebisit setelah tiga tahun, yaitu
apakah akan bergabung dengan Indonesia atau tetap dibawah Belanda
(Kedaulatan Rakjat, 28 Juni 1946).
Menteri Penerangan memberi keterangan tambahan antara lain usul
balasan kepada Belanda tidak untuk mengembalikan bagian-bagian wilayah
Indonesia kepada Belanda. Apabila ada wilayah yang enggan masuk Indonesia
maka wilayah tesebut tidak akan dilepaskan begitu saja. Perjuangan tetap untuk
menuju Negara Indonesia yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Keterangan
dari Menteri Penerangan dan Pidato Wakil Presiden segera mengundang reaksi.
Masyumi, PBI dan PNI meminta Presiden agar membuka seluruh usulan balasan
kepada Belanda. Selain itu agar susunan kabinet dirombak terutama Kementerian
Pertahanan, Kemakmuran dan Dalam Negeri (Kedaulatan Rakjat, 29 Juni 1946).
B. Proses Penculikan Perdana Menteri Sjahrir
1. Situasi Surakarta Menjelang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir
Situasi Surakarta memiliki kekhususan dalam revolusi Indonesia.. Sejak lama Surakarta menjadi kota yang cenderung memiliki sikap memberontak. Sebagai contoh Sarekat Islam yang pernah menjadi organisasi besar Indonesia tahun 1920-an, lahir di kota ini. Pada saat yang hampir bersamaan, paham komunisme berkembang di sini dengan pengaruh dari Haji Misbach (Wawancara dengan Soemaryono, 27 Juli 2009).
Pada masa revolusi, situasi Surakarta tidak menentu. Tidak ada pedoman
mengenai jalannya revolusi di Surakarta sehingga masyarakat seperti berjalan
sendiri dalam revolusi. Hal itu berakibat beberapa pihak menyalahgunakan
kondisi yang ada (Karkono Kamajaya, 1993: 11). Pihak yang merasa kuat seakan-
akan bisa berbuat semaunya terhadap lawan politiknya. Misalnya dalam kasus
penculikan yang menjadi hal biasa di Surakarta termasuk penculikan terhadap
pemimpin suatu kelompok tertentu oleh kelompok yang lain. Apabila hal itu
terjadi, akan muncul aksi balas dendam dari kelompok yang pemimpinnya diculik
akan dilakukan dengan menculik pemimpin kelompok lain. Biasanya dalam
lxxxvi
proses tersebut akan mempergunakan pasukan dan aksi pengepungan markas
lawan (Soebagjio, 1981: 172).
Surakarta seperti Yogyakata memiliki dua kerajaan yaitu Kasunanan dan
Mangkunegaran. Kedua raja Surakarta memerintah lewat patihnya masing-
masing. Kedua kerajaan di Surkarta tidak mau saling bekerja sama. Pihak
Mangkunegaran hanya mau bekerja sama dengan Kasunanan apabila kerjasama
tersebut tidak dalam satu kedudukan yang sederajat dengan Kasunanan. Hal itu
berbeda dua kerajaan di Yogyakarta dimana pihak Paku Alaman sejak awal telah
bersedia berada dibawah Kasultanan Yogyakarta meskipun Paku Alam VIII lebih
tua dari Sultan HB IX (Wawancara dengan Handoyo Leksono, 27 Juli 2009).
Kedua penguasa kerajaan yaitu Sunan Pakubuwono XII dan Sri
Mangkunegoro VIII memang sama-sama masih muda dan belum lama
memerintah. Keduanya juga kurang berpengalaman sehingga tidak bisa
mengambil kebijaksanaan tepat pada awal revolusi. Selain itu keduanya kurang
memiliki wibawa pribadi dan banyak dipengaruhi unsur disekelilingnya yang
cenderung pro Belanda. Pada awal revolusi kedua raja kurang terlibat langsung
dalam proses pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Hal itu berdampak pada
wibawa keduanya yang jatuh di kalangan para pejuang (Wawancara dengan
Handoyo Leksono dan Soemaryono, 27 Juli 2009).
Sekitar bulan September hingga Desember 1945 merupakan masa
terbentuknya berbagai laskar di Surakarta oleh para pemuda. Berbagai laskar
tersebut awalnya tergabung dalam BKR. Pada bulan Oktober 1945, BKR berhasil
merebut markas Kenpetai Jepang di Surakarta. Sejak itu berbagai macam laskar
berkembang di Surakarta dengan beragam bentuk dan gaya (Soejatno, 1974: 102).
Pada September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)
Surakarta terbentuk dan diketuai oleh Sumodiningrat dengan 9 anggota lain.
Pemerintahan Surakarta secara resmi dibentuk pada 1 Oktober 1945 dibawah
Soeprapto, Soetopo Adisapoetro dan Soemantri. Pembentukan pemerintahan
tersebut merupakan awal demokratisasi dari pemerintahan tradisional Surakarta.
Badan Pekerja KNID Surakarta lalu mengumumkan pembentukan Collegial
Bestuur. Namun Pemerintahan di Surakarta mengalami kekacauan. Kasunanan
lxxxvii
dan Mangkunegaran tidak mau duduk dalam pemerintahan Collegial Bestuur. Hal
itu mengakibatkan muncul Gerakan Anti Swapraja pada awal tahun 1946
(Wawancara dengan Handoyo Leksono, 27 Juli 2009; Soejatno, 1974: 108).
Ketegangan mulai muncul. Terjadi penculikan terhadap Sunan
Pakubuwono XII, Kanjeng Ratu dan Soerjomihardjo yang dilakukan Barisan
Banteng. Selama penculikan mereka diperlakukan baik oleh penculiknya.
Mekipun demikian mereka diputuskan hubungan dengan dunia luar untuk
memperlihatkan bahwa rakyat tidak menyenangi kraton. Ketiga dibebaskan
setelah dirasa telah memahami keinginan rakyat (Julianto Ibrahim, 2004: 157).
Situasi Surakarta makin panas setelah Yogyakarta menjadi ibukota baru
Indonesia. Kepindahan ibukota menyebabkan turut berpindah pula kekuatan-
kekuatan penentang pemerintah dari Jakarta. Daerah yang yang banyak ditempati
kekuatan kelompok penentang pemerinta yaitu Surakarta (Wawancara dengan
Soemaryono, 27 Juli 2009). Tan Malaka dengan PP dan Barisan Banteng yang
menjadi salah satu unsur terkuat PP memiliki markas besar di Surakarta. Bahkan
Barisan Banteng memiliki massa yang besar di sini. PNI juga sangat kuat di
Surakarta. Sebagian besar pemimpin Masjumi yang menentang Pemerintahan
Sjahrir juga berkumpul di Surakarta (Kahin, 1995: 233).
Pemerintah Pusat lewat Kementerian Dalam Negeri akhirnya turut
campur mengenai masalah di Surakarta. Kementerian Dalam Negeri mengangkat
R.P. Suroso menjadi Komisaris Tinggi Daerah Surakarta, Kasunanan dan
Mangkunegaran. Pengangkatan R.P. Suroso sebagai Komisaris Tinggi ternyata
tidak juga mengatasi situasi panas di Surakarta. Kepemimpinan R.P. Suroso
dianggap tidak revolusioner dan dekat dengan Swapraja. Akibatnya muncul
pemerintahan bayangan di Surakarta yang disebut “Direktorium”. PB XII dan MN
VIII menolak pemerintahan Direktorium. Sikap keduanya berakibat Kabupaten
Karanganyar, Klaten, Boyolali dan Sragen memilih lepas dari Swapraja dan
bergabung langsung dengan Pemerintah Pusat (Karkono Kamajaya, 1993: 12).
Pada 5 Mei pihak Kasunanan mengeluarkan maklumat yang intinya
menyerahkan kepada pemerintah pusat mengenai keberadaan Daerah Istimewa
Surakarta. Barisan Banteng menyambut hangat pengumuman dari Kasunanan
lxxxviii
(Kedaulatan Rakjat, 4 Mei 1946). Kementerian Dalam Negeri kemudian
menanggapi situasi di Surakarta dengan mengangkat Gubernur Jawa Timur Surjo
sebagai wakil Pemerintah Pusat di Surakarta, dengan tugas untuk mengembalikan
ketentraman di Surakarta. Ditegaskan pula akan diambil tindakan bila ada yang
melanggar peraturan pemerintah (Kedaulatan Rakjat, 23 Mei 1946).
Mangkunegaran menanggapi maklumat tersebut dengan menyatakan
keberadaan Wakil Pemerintah Pusat di Surakarta tidak akan mengubah
Pemerintahan Mangkunegaran. Keberadaan Wakil Pemerintah Pusat hanya untuk
mengatasi kekacauan di Surakarta. Pihak Mangkunegaran akan membantu
semestinya Wakil Pemerintah Pusat. Rakyat diminta tetap tenang karena
Pemerintahan Mangkunegaran adalah pemerintahan Indonesia juga (Kedaulatan
Rakjat, 29 Mei 1946).
Kementerian Dalam Negeri lalu memutuskan agar dilakukan pemilihan
umum yang kemudian bisa menyelesaikan penyelesaian swapraja di Surakarta.
Akan tetapi geolombang revolusioner tidak berhenti. Barisan Banteng terus
mengadakan rapat-rapat raksasa anti swapraja. Menteri Dalam Negeri Soedarsono
lalu memerintahkan untuk menangkap pemimpin Barisan Banteng dr. Moewardi
dan tokoh Gerakan Anti Swapraja lainnya (Reid, 1996: 158).
Tindakan tersebut justru menimbulkan kekacauan baru. Pihak Tentara
menyatakan tidak turut campur mengenai penangkapan tersebut (Kedaulatan
Rakjat, 23 Mei 1946). dr. Moewardi yang ditahan di Yogyakarta berhasil
dibebaskan para pengikutnya dari Barisan Banteng. Barisan Banteng kemudian
mengarak keliling Surakarta dr. moewardi yang telah dibebaskan disertai dengan
unjuk kekuatan yang dimiliki Barisan Banteng (Soebagijo, 1981: 166). Kemudian
Pada 1 Juni 1946, dibentuklah Dewan Pemerintahan Rakyat dan Tentara (DPRT)
yang menghapus kekuasaan kerajaan di Surakarta. DPRT dibentuk oleh Kolonel
Sutarto yang juga merupakan Kepala TRI Surakarta (Kedaulatan Rakjat, 3 Juni
1946). Dengan demikian upaya pemerintah di Surakarta tidak berhasil.
Pemerintah pada 6 Juni 1946 menyatakan keadaan darurat di Surakarta.
Tujuannya agar masalah yang berkaitan dengan DPRT yang telah terbentuk di
Surakarta bisa selesai. Presiden Sukarno menyatakan apa yang telah dijalankan di
lxxxix
Surakarta akan disesuaikan dengan Undang-Undang (Kedaulatan Rakjat, 7 Juni
1946). Keadaan darurat diperluas ke wilayah Jawa dan Madura keesokan harinya.
Pembantaian di Tangerang dan insiden penyerangan dari Belanda menjadi dasar
pemberlakukan tersebut (Barisan Rakjat, No. 26 Juni 1946). Pada 13 Juni 1946
Pemerintah Pusat mengeluarkan Maklumat yang mengesahkan Dewan Pertahanan
Surakarta. Dewan ini akan menjalankan kekuasaan di Surakarta sesuai petunjuk
Dewan Pertahanan Pusat. Dengan demikian kekuasaan kedua kerajaan Surakarta
hilang sementara kedudukan Sutarto menguat karena ia menjadi ketua Dewan
Pertahanan Daerah Surakarta (Kedaulatan Rakjat, 17 Juni 1946).
2. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir a. Situasi Menjelang Penculikan Perdana Menteri Sjahrir
Perdana Menteri Sjahrir pada 27 Juni 1946 berada di Jawa Timur dalam
rangka meninjau persiapan pengiriman beras dari Indonesia ke India. Sjahrir lalu
bergegas ke Solo untuk beristirahat sejenak sebelum berangkat ke Yogyakarta
menghadiri sidang kabinet. Setibanya di Solo, Sjahrir beserta rombongan yang
antara lain terdiri dari Menteri Dalam Negeri Sudarsono, Menteri Kemakmuran
Darmawan Mangunkusumo, Kepala POPDA Jenderal Mayor Sudibyo, Sekretaris
Kabinet Sumitro menginap di bekas gedung de Javascshe Bank dengan
pengamanan dari Polisi Negara (Anderson, 1988: 419).
Sementara itu di Yogyakarta terjadi pembicaraan serius di rumah Boedhiyarto Martoatmodjo terkait dengan pidato Hatta pada peringatan Isra’ Mi’raj di Yogyakarta. Dalam pembicaraan tersebut hadir Buntaran Martoatmodjo, Ahmad Subardjo, Iwa Kusumasumantri, Sajuti Melik, Jenderal Mayor Sudarsono (Panglima Divisi III Yogyakarta) dan Mayor A.K Mayor Yusuf. Tidak ada hasil konkret yang dihasilkan dari pertemuan tersebut namun semua merasa harus ada tindakan yang dilakukan. Setelah pertemuan itu berakhir, Jenderal Mayor Soedarsono bersama Mayor Yusuf yang merupakan bawahannya pulang ke rumah (Anderson, 1988: 417).
Sesampainya di rumah Jenderal Sudarsono, Mayor Yusuf berbicara dengan sengit kepada Sudarsono bahwa Pemerintahan Sjahrir yang telah berkhianat terhadap Indonesia merdeka. Mayor Yusuf kemudian mendesak Sudarsono agar mengizinkannya “menyingkirkan” Sjahrir, dengan perkiraan Presiden Sukarno akan mengambil alih kekuasaan dan mengubah kebijakan pemerintah setelah Sjahrir tidak ada. Jenderal Sudarsono menyetujui desakan Mayor Yusuf dengan menandatangi surat penangkapan atas Sjahrir, Soedarsono
xc
dan Abdulmadjid (Anderson, 1988: 418). Diharapkan dengan penangkapan terhadap Sjahrir, Presiden Sukarno akan mengambil alih kekuasaan. Setelah itu, mungkin Sukarno akan dibujuk untuk mengangkat para tokoh PP termasuk Tan Malaka masuk kedalam Pemerintahan (Sundhaussen, 1988: 51).
Mayor Yusuf lalu menemui Iwa Kusuma Sumantri dan mereka bersama-sama bergegas ke Solo. Sesampainya di sana, mereka menginap di rumah dokter Kartono dan bertemu dengan Muhammad Yamin, yang diberi izin untuk meninggalkan Tawangmangu. Di Surakarta mereka mengetahui jika Sjahrir dan rombongannya pada malam harinya akan ke Solo dan menginap disana (Anderson, 1988: 419).
Mayor Yusuf sebenarnya pernah menjadi murid Sjahrir selama masa
pendudukan Jepang. Akan tetapi selama Sjahrir menjadi Perdana Menteri,
beberapa kebijakan Sjahrir tidak menyenangkan bagi Mayor Yusuf. Salah satunya
adalah kebijakan Sjahrir melakukan penarikan tentara dari Jakarta. Sejak itu
Yusuf mengambil posisi yang menentang pemerintahan Sjahrir (Wawancara
dengan Handoyo Leksono, 27 Juli 2009).
Sebelum bergabung dengan tentara di Yogyakarta, Mayor Yusuf
merupakan pemimpin kelompok pemuda “PB” yang bermarkas di Istana Bogor.
Akibat kedatangan Sekutu, Bogor yang terletak di dekat Jakarta turut mengalami
kekacauan seperti yang terjadi di Jakarta. Selama masa itu, Tan Malaka telah
berada di Bogor dan kerap menerima pemimpin-pemimpin Jakarta seperti Menteri
Sosial Iwa Kusuma Sumantri. Selama berada di Bogor pula Iwa kerap
berhubungan dengan pemuda revolusioner di Bogor. Nampaknya dari situ Yusuf
kerap berhubungan dengan Iwa sehingga Yusuf sering disebut sebagai “anak” Iwa
(Nasution, 1977: 531). Setelah Inggris masuk ke Bogor dan berhasil menduduki
Istana Bogor, Mayor Yusuf mengungsi ke Puncak sebelum kemudian pindah ke
Yogyakarta (Nasution, 1977: 321).
b. Proses Penculikan Perdana Menteri Sjahrir
Setelah mendapat surat dari Jenderal Sudarsono, Mayor Yusuf memulai
usaha untuk melakukan aksi penculikan yang dianggapnya sebagai sebuah
penangkapan. Untuk memudahkan upaya penangkapan Sjahrir, Mayor Yusuf
menghubungi Lettu Mardijo dari Polisi Tentara untuk menjalankan aksinya. Akan
tetapi Mardijo menolak melakukan hal tersebut kecuali ada perintah tertulis dari
Kolonel Sutarto. Mayor Yusuf lalu meminta bantuan Kolonel Sutarto. Setelah
xci
terjadi perundingan, Kolonel Sutarto mengeluarkan perintah kepada Lettu Mardijo
dan Lettu Suyatno untuk menghentikan semua komunikasi dan lalu lintas masuk
dan keluar dari Surakarta. Disamping itu, agar menghubungi pos Polisi Tentara di
Kartasura dan Boyolali agar membiarkan Mayor Yusuf menjalankan aksinya
(Sukoco, 1990: 75). Penjagaan di Javasche Bank pun ditarik secara diam-diam.
Menjelang tengah malam pada 27 Juni 1946, dilaksanakan penculikan
terhadap Sjahrir dan rombongannya. Mayor Yusuf yang memimpin sendiri
penculikan tersebut bersama empat orang lain. Namun pada umumnya mereka
tidak mengetahui siapa yang dibawa dan mengira bahwa yang dibawa merupakan
kaki tangan Belanda. Sjahrir sempat mengajukan protes tehadap tindakan Mayor
Yusuf namun ia tidak bisa melawan. Bersama dengan Sjahrir, dibawa pula
Darmawan Mangunkusumo, Jenderal Mayor Sudibyo, Sumitro dan beberapa
orang lain. Sudarsono yang sebenarnya menjadi sasaran penculikan berhasil
meloloskan diri dari hotel dan segera pergi ke Yogyakarta. Sjahrir dan rombongan
dengan menggunakan dua mobil dibawa ke Paras, Boyolali. Di sana terdapat
tempat peristirahatan Sunan Surakarta yang saat itu sedang kosong. Pengamanan
terhadap Sjahrir dilakukan oleh pimpinan tentara setempat, Mayor Soekarto
(Kahin, 1995: 238; Anderson, 1988: 420).
Sjahrir terlihat tenang selama masa penculikan. Ia sempat bersenda gurau
dan mengajak sesama rekan yang diculik bermain ayunan. Kelak setelah Sjahrir
bebas, ia dengan bergurau berterima kasih kepada para penculik karena memberi
“hari-hari libur selaku selingan kerja berat Perdana Menteri” (Mangunwijaya
dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae, 1983: 65).
C. Dampak Penculikan Perdana Menteri Sjahrir
1. Situasi Selama Perdana Menteri Sjahrir Diculik Setelah meninggalkan Sjahrir, Mayor Jusuf kembali ke ke Surakarta serta
mengantar Iwa dan Yamin ke Tawangmangu. Di Tawangmangu, mereka menceritakan penculikan Perdana Menteri Sjahrir pada para tahanan politik. Para tahanan memberikan reaksi beragam terhadap tindakan tersebut, ada yang cemas, ada yang menganggapnya sebagai tindakan ceroboh, namun ada pula yang senang dengan penculikan terhadap Sjahrir. Pada 28 Juni 1946 sore hari Yusuf Mayor
xcii
Yusuf, Iwa dan Yamin kembali ke Yogyakarta. Mereka menyampaikan hal serupa kepada Buntaran dan Bhoeddhyarto Martoatmodjo serta Ahmad Soebardjo. Reaksi senang muncul saat ketiga orang tersebut mengetahui penculikan Sjahrir. Mereka mengharapkan terbentuknya pemerintahan baru, yang mungkin seperti pemerintahan presidensiil dahulu. Namun Yusuf belum berhasil menemui Jenderal Mayor Soedarsono (Nasution, 1992: 330; Anderson, 1988: 421).
Keesokan hari setelah Sjahrir menghilang di Surakarta, diadakan sidang
kabinet yang dihadiri sisa anggota kabinet yang ada. Dalam sidang tersebut,
diputuskan bahwa Presiden Sukarno dengan persetujuan kabinet akan mengambil
alih pemerintahan untuk sementara waktu. Dewan Pertahanan Negara dengan
ketua Presiden Sukarno akan dibentuk untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan. Diumumkan pula Indonesia dalam keadaan darurat karena serangan
dan ancaman serangan dari musuh sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 sub A dan B UU
No.6 Tahun 1946 tentang keadaan bahaya dan mengingat Pasal 12 UUD 1945
(Kedaulatan Rakjat, 28 Juni 1946).
Situasi di Surakarta agak mencekam selama Sjahrir diculik. Pasukan
Pesindo yang merupakan pendukung pemerintahan mulai bergerak dan
menduduki beberapa tempat di Surakarta dari Jawa Timur. Selama sehari penuh
pada tanggal 28 Juni 1946 kota Surakarta menjadi sepi. Kantor Pemerintahan
Rakyat dan Tentara telah kosong lantaran para pemimpinnya telah diamankan di
Resimen XXV. Mereka baru pulang setelah Presiden Sukarno mengucapkan
pidato agar membebaskan Sjahrir (Karkono Kamajaya, 1993: 16). Wilayah
Yogyakarta, kesatuan-kesatuan Siliwangi bergerak masuk dan bersiaga di bagian
barat Yogyakarta. Penjagaan keamanan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan
Pemuda Indonesia Maluku (PIM). Selain itu Polisi Tentara dan para pemuda yang
setia terhadap pemerintah terutama tokoh terkemuka Pesindo berkumpul di sekitar
Gedung Kepresidenan. Hampir semua dari mereka memakai persenjataan (Aboe
Bakar Loebis, 1992: 164).
Meskipun suasana cukup mencekam, masyarakat luas belum mengetahui
adanya penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir di Surakarta sepanjang hari
pada 28 Juni 1946. Kabar mengenai diculiknya Sjahrir memang tidak diumumkan
Pemerintah. Namun upaya-upaya keras dilakukan Pemerintah untuk mencari
Perdana Menteri Sjahrir dan merundingkan pembebasannya. Disamping itu
xciii
Pemerintah mengirim kawat ke Jakarta agar terjadi gencatan senjata di sepanjang
garis pertempuran dengan Belanda. Hal itu dilakukan pemerintah untuk menjaga
kemungkinan agar Belanda tidak memanfaatkan situasi dengan melakukan suatu
serangan selama Sjahrir diculik (Anderson, 1988: 421).
2. Proses Pembebasan Perdana Menteri Sjahrir
Menjelang sore hari tanggal 28 Juni 1946 Jenderal Mayor Soedarsono menemui Sukiman dari Masyumi yang juga merupakan tokoh penentang pemerintah. Jenderal Mayor Soedarsono bersama Kepala Intelejen Angkatan Darat Kolonel Sutjipto berhasil menemui Sukiman yang tengah berpidato dalam rapat Masyumi. Jenderal Mayor Soedarsono lantas memberi tahu Sukiman mengenai penculikan Sjahrir dan meminta Sukiman mengumumkannya dalam rapat tersebut. Sukiman langsung mengumumkan kabar tersebut. Ia lalu mengajukan pertanyaan yang telah ada dalam pikiran para peserta rapat, apa yang harus dilakukan pemerintah setelah Perdana Menteri menghilang (Anderson, 1988: 422). Tindakan Jenderal Soedarsono menyebabkan berita penculikan Sjahrir cepat menyebar. Malam harinya, Pemerintah segera menanggapi meluasnya kabar penculikan Sjahrir dengan mengumumkan bahwa Presiden Sukarno dengan persetujuan kabinet, mengambil alih kekuasaan pemerintah sampai kondisi normal kembali (Kedaulatan Rakjat, 29 Juni 1946). Kabinet Sjahrir menjadi demisioner.
Jenderal Mayor Soedarsono pagi hari setelah pengumuman dari Presiden Sukarno mengumpulkan Buntaran Martoatmodjo, Boedhyarto Martoatmodjo, Muhammad Yamin, Iwa Kusuma Sumantri, Ahmad Subardjo dan Chaerul Saleh di markas Divisi III. Jenderal Mayor Soedarsono memberitahukan kepada mereka bahwa Jenderal Sudirman memintanya untuk mengumpulkan para penasehat politiknya dan politisi agar menyusun daftar kabinet baru yang akan diajukan kepada Presiden Sukarno. Permintaan tersebut bisa dilakukan dengan tambahan suatu “konsep” yang dibuat Yamin yaitu Dewan Pimpinan Politik. Dewan tersebut menjadi semacam kabinet inti yang bisa disamakan dengan Dewan Pertahanan Negara. Setelah itu Jenderal Mayor Soedarsono membawa rancangan-rancangan diatas kepada Jenderal Soedirman sebelum Soedirman berangkat ke Surakarta. Tidak terlalu jelas apa yang menjadi keinginan Jenderal Soedirman terhadap rancangan-rancangan tersebut (Anderson, 1988: 423).
Keesokan hari pada 30 Juni 1946 Jenderal Soediman kembali lagi ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat yang dengan para pemimpin pemerintahan. Rapat itu menjadi ajang konfrontasi penuh kemarahan. Sukarno, Hatta dan Amir Sjarifuddin mencurigai Jenderal Soerdiman mengetahui keberadaan Perdana Menteri Sjahrir dan meminta Jenderal Soedirman agar menggunakan pengaruhnya agar Sjahrir dibebaskan. Namun Jenderal Soedirman rupanya menolak melakukan apapun sehingga rapat terlihat menemui jalan buntu Jenderal Soedirman kembali pergi ke Surakarta dengan memerintahkan Jenderal Mayor Soedarsono secara lesan agar melapor padanya keesokan harinya (Anderson, 1988: 424).
xciv
Petang harinya, Pemerintah melakukan tindakan yang sangat penting.
Presiden Sukarno berpidato lewat radio yang antara lain mendesak agar para penculik segera membebaskan Sjahrir. Sukarno menambahkan tindakan penculikan terhadap Sjahrir merupakan tindakan melawan hukum. Sukarno melanjutkan bahwa dengan adanya penculikan tersebut, posisi Indonesia juga akan melemah (Reid, 1996: 161). Rencana para penculik yang terlihat berhasil saat Presiden Sukarno mengambil alih kekuasaan justru berubah karena Presiden Sukarno mencela penculikan terhadap Sjahrir (Sundhaussen, 1988: 51).
Pidato Presiden Sukarno membuahkan hasil. Perdana Menteri Sjahrir dan rombongan dibebaskan pada malam harinya dan dibawa ke Surakarta. Pembebasan Sjahrir dilakukan perwira bawahan terpercaya Kolonel Sutarto yaitu Letkol Suadi Suromihardjo, Letkol Iskandar, dan Mayor Soeharto. Setelah bebas, Sjahrir bertolak ke Jakarta dengan pesawat dari Surakarta (Anderson, 1988: 426). Presiden Sukarno tetap memegang kekuasaan meski Sjahrir telah bebas. Kabinet tidak dikembalikan lagi seperti semula namun Sjahrir tetap menjabat Menteri Luar Negeri (Simanjuntak, 2003: 37).
3. Perkembangan Setelah Perdana Menteri Sjahrir Bebas
Jenderal Mayor Soedarsono menghadap Jenderal Soedirman di Surakarta ketika Sjahrir dibebaskan. Dalam pertemuan itu, Jenderal Soedirman mengungkapkan pemerintah hendak menangkap Jenderal Mayor Soedarsono namun ditolak Jenderal Soedirman. Setelah berdiskusi dengan Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Sutjipto, Kolonel Sutarto dan Mayor Mursito, lalu dikeluarkanlah surat sebaran atas nama tentara bahwa kelompok yang melakukan penculikan merupakan kelompok yang berjuang atas kemerdekaan 100%. Untuk mencegah tindakan keras dari Pemerintah, Jenderal Soedirman akan ke Yogyakarta menemui Pemerintah. Jenderal Mayor Soedarsono dan Kolonel Sutjipto akan menyusul kemudian (Anderson, 1988: 428).
Pemerintah mulai bertindak terhadap kelompok penculik setelah Perdana Menteri Sjahrir Bebas. Jenderal Mayor Soedarsono diperlemah kedudukannya dengan mengangkat Kepala Staf Divisi III Umar Djoy sebagai wakil Sultan HB IX dalam bidang militer di Dewan Pertahanan Negara. Keputusan itu ditempuh agar Umar Djoy lebih memihak pemerintah daripada atasannya. Langkah berikutnya dengan melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh penentang yang bekerja sama dengan kelompok penculik. Pada 1 Juli 1946, pemerintah memberikan wewewang kepada Polisi Negara Yogyakarta menangkap Buntaran dan Bhoeddyarto Matoatmondjo, Chaerul Saleh, Mohammad Saleh, Sajuti Melik, Ahmad Subardjo, Ibnu Parna, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Sumantoro dan lain-lain. Keesokan hari, para tahanan dipindahkan ke penjara Wirogunan. Iwa dan Yamin lolos dari upaya penangkapan.
Bersamaan dengan penangkapan para tokoh, Jenderal Mayor Soedarsono dan Kolonel Sutjipto kembali ke Yogyakarta. Mereka waspada karena tingkat kegiatan polisi yang luar biasa. Jenderal Mayor Soedarsono dan Kolonel Sutjipto menemui Umar Djoy yang lalu menunjukkan surat perintah penangkapan kepada Jenderal Mayor Soedarsono. Kemudian disepakati mengerahkan pasukan untuk menjaga markas divisi dan melakukan patroli untuk memantau kegiatan kesatuan
xcv
yang pro pemerintah. Umar Djoy lalu mengetahui bahwa para tokoh dibawa ke penjara Wirogunan. Ia memberitahu Jenderal Mayor Soedarsono dan mereka waspada akan kemungkinan penangkapan terhadap mereka. Markas Divisi III lalu dipindahkan ke Markas Resimen 3 di Wiyoro oleh Umar Djoy. Jenderal Mayor Soedarsono masih di Yogyakarta sebelum menyusul ke Wiyoro setelah mendapat laporan dari Kepala Markas Resimen 3 akan ancaman penangkapan (Anderson, 1988: 428).
Sementara itu Iwa dan Yamin berada di rumah Mayor Yusuf. Kemudian Iwa berangkat ke Surakarta. Jenderal Mayor Soedarsono setelah tahu keberadaan Yamin bersama Mayor Yusuf lalu mendesak mereka ke Wiyoro. Umar Djoy lalu membawa surat dari Jenderal Soedirman agar Jenderal Mayor Soedarsono menemuinya di Surakarta. Umar Djoy, Jenderal Mayor Soedarsono dan Yamin kemudian segera ke Surakarta. Tak terlalu jelas apa yang dibicarakan di Surakarta. Jenderal Soedirman nampaknya marah atas penangkapan para tokoh setelah Sjahrir bebas. Ia lalu memerintahkan Jenderal Mayor Soedarsono membebaskan mereka untuk kemudian menghadap Presiden dan meminta Presiden untuk merubah kabinet.
Jenderal Mayor Soedarsono kembali ke Yogyakarta dan membebaskan para tahanan politik di penjara Wirogunan. Para tahanan tersebut dibawa ke Wiyoro. Disana Yamin menulis sejumlah Maklumat agar diserahkan pada Presiden. Pada 3 Juli 1946, Jenderal Mayor Soedarsono bersama para mantan tahanan politik menemui Presiden Sukarno. Jenderal Mayor Soedarsono diijinkan menghadap Presiden dan menyerahkan maklumat yang ditulis Yamin. Setelah itu, Jenderal Mayor Soedarsono ditangkap bersama dan para mantan tahanan lain. Kejadian itu dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli (Anderson, 1988: 429). Mayor A. K. Yusuf baru ditangkap saat berada di Kalasan, Yogyakarta (Iwa Kusuma Sumantri. 1965: 144).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka kesimpulan yang dapat diambil, yaitu: 1. Pemerintahan Sjahrir yang dibentuk pada 14 November 1945
menimbulkan ketidakpuasan karena kurangnya perwakilan partai
politik, pemuda dan tokoh Islam dalam kabinet. Ketidakpuasan pun
muncul dari program Pemerintah Sjahrir yang dianggap kurang
menekankan perjuangan melawan Belanda. Tekanan terhadap
Pemerintahan Sjahrir makin terasa sejak Persatuan Perjuangan (PP)
terbentuk. PP memiliki program seperti perundingan berdasar
xcvi
kemerdekaan 100% yang berlawanan dari program pemerintah. PP
cepat mendapat dukungan dari berbagai organisasi di Indonesia.
Kuatnya tekanan terutama dari PP membuat Pemerintahan Sjahrir
memilih mundur pada 26 Februari 1946 sebelum berlangsung rapat
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Surakarta.
Presiden Sukarno kembali menunjuk Sjahrir membentuk
pemerintahan. Pemerintahan Sjahrir kedua yang diresmikan pada 13
Maret 1946 tidak meredakan pertikaian dengan para penentang
pemerintah. Susunan menteri dan program kabinet masih mendapat
kritik seperti sebelumnya. Kongges PP di Madiun pada 15 Maret
1946 memutuskan menentang diplomasi dengan Belanda. Pemerintah
bertindak dengan menangkap tokoh PP seperti Tan Malaka, Sukarni
dan Abikusno Tjokrosujoso. Pemerintah terus menjalankan sejumlah
kebijakan seperti berunding dengan Belanda meskipun pembicaraan
sebelumnya dengan Belanda di Hoge Veluwe tidak membuahkan
hasil. Ketidakpuasan terhadap Pemerintahan Sjahrir memuncak saat
usulan perundingan Indonesia dengan Belanda diketahui umum.
2. Kekecewaan terhadap Pemerintahan Sjahrir dilampiaskan dengan
menculik Sjahrir. Perdana Menteri Sjahrir dan rombongan diculik di
Surakarta pada 28 Juni 1946. Penculikan dipimpin
oleh Mayor A. K. Yusuf, yang kecewa terutama
atas kebijakan diplomasi Pemerintahan Sjahrir. Penculikan terhadap
Sjahrir didukung Panglima Divisi III Jenderal Soedarsono dan
mendapat bantuan pimpinan Divisi IV Kolonel Sutarto. Sjahrir dan
rombongan yang diculik kemudian dibawa ke daerah Paras di
Boyolali dan dijaga tentara setempat dibawah Mayor Soekarto.
3. Penculikan Perdana Menteri Sjahrir menyebabkan Presiden Sukarno
memberlakukan keadaaan darurat di Indonesia tanggal 28 Juni 1946.
Kekuasaan Pemerintahan dikembalikan sementara pada Presiden
tanggal 30 Juni 1946 yang membuat kabinet Sjahrir demisioner.
Presiden Sukarno lalu berpidato mencela penculikan Sjahrir dan
94
xcvii
meminta pembebasannya. Perdana Menteri Sjahrir dan rombongan
dibebaskan sejumlah perwira dari Divisi III pada 1 Juli 1946. Para
pelaku dan tokoh yang terkait dengan kelompok penculik baru
ditangkap setelah terjadi Peristiwa 3 Juli 1946.
B. Implikasi
1. Teoritis
Konflik politik pasca kemerdekaan Indonesia terjadi karena perbedaan pandangan dan kepentingan berbagai kebijakan pemerintah. Berbagai kebijakan pemerintah banyak mendapat tantangan terutama mengenai cara mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Para penentang berusaha agar Pemerintah mengambil kebijakan perjuangan senjata semantara Pemerintah menginginkan para penentangnya mendukung diplomasi. Pertentangan antara Pemerintah dengan para penentangnya antara lain terlihat jelas dalam rapat KNIP di Surakarta dan rapat PP di Madiun. Pertentangan antara Pemerintah dengan para penentangnya memuncak saat Perdana Menteri Sjahrir diculik saat berada di Surakarta. Konflik yang awalnya masih merupakan konflik yang non kekerasan mulai berubah menjadi konflik kekerasan. Indonesia hampir mengalami perpecahan akibat penculikan Perdana Menteri Sjahrir. Diculiknya Sjahrir mengakibatkan perubahan dalam pemerintahan Indonesia namun tekanan terhadap pemerintah berkurang.
2. Praktis
Naiknya Sjahrir menjadi Perdana Menteri mempertajam perbedaan pandangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berbagai kebijakan Pemerintahan
Sjahrir kerap ditentang kelompok penentang yang menyebabkan Pemerintahan
Sjahrir tidak selalu bisa menjalankan kebijakannya dengan baik. Lama-kelamaan
perbedaan pandangan antara Pemerintahan Sjahrir dengan para penentangnya
menimbulkan pertentangan politik yang tajam yang kemudian berujung pada
penculikan Perdana Menteri Sjahrir. Indonesia hampir mengalami perpecahan
diawal kemerdekaannya.
C. Saran
xcviii
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat saran yang dapat
diajukan, yaitu: 1. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini merupakan salah satu penelitian rintisan mengenai masa
Revolusi Indonesia yang terjadi sekitar tahun 1945-1949. Bagi peneliti sejarah
lain yang juga berkeinginan untuk meneliti masa Revolusi Indonesia, dapat
menggunakan penelitian ini sebagai salah satu pijakan awal dalam melakukan
penelitiannya.
2. Bagi Mahasiswa Program Studi Sejarah FKIP UNS
Mahasiswa Program Pendidikan Sejarah dapat banyak belajar dari
pengalaman bangsa Indonesia ketika terjadi perbedaan dalam mempertahankan
kemerdekaan. Para mahasiswa agar dapat mengembangkan sikap saling
menghargai sekaligus saling menghormati perbedaaan dengan berkaca dari
pengalaman tersebut. Disamping itu, agar mahasiswa mampu mencari solusi
terbaik ketika menghadapi perbedaan.
3. Bagi Para Pendidik
Seorang pendidik agar menanamkan kepada para pelajar rasa saling
menghormati dan menghargai perbedaan yang ada. Pendidik pun agar
menanamkan pengertian kepada para pelajar bahwa perbedaan yang bukan untuk
saling bertikai namun justru untuk saling melengkapi. Penanaman sikap-sikap
tersebut dapat mencegah timbulnya pertentangan yang berakibat pada perpecahan
bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aboe Bakar Loebis. 1992. Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku Dan Saksi. Jakarta: UI Press.
Abdulsyani. 1987. Sosiologi Kriminalitas. Bandung: Remadja Karya CV.
Anderson, Ben. 1988. Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang di Jawa 1944-1946; Penerjemah Jiman Rumbo. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
xcix
Andrain, Charles F. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial; Penerjemah
Luqman Hakim. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Astrid S. Susanto. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Binacipta.
Bambang Poernomo. 1984. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Bandung: Sinar Grafika.
Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik Dan Konflik Dalam Masyarakat: Sebuah Anslisa-Kritik; Penerjemah Ali Mandan. Jakarta: C.V. Rajawali.
Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany, Amir Muhsin. 1987. Kejahatan-Kejahatan Yang Merugikan Dan Membahayakan Negara. Jakarta: PT Bina Aksara.
Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos Wacana.
Duverger, Maurice. 2003. Sosiologi Politik; Penerjemah Daniel Dhakidae. Jakarta: P.T. RajaGrafindo dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
Engelen, O.E., Aboe Bakar Loebis, F. Pattisiana, Abdullah Ciptoprawiro, Soejono Joedodibroto, Oetarjo, Idris Siregar. 1997. Lahirnya Satu Bangsa dan Negara. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah; Penerjemah Nugroho Notosusanto. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Helius Syamsuddin dan Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
c
Hendropuspito OC, D. 1989. Sosiologi Sistemik. Yogyakarta: Kanisius.
Ibnu Syamsi. 1986. Pokok-Pokok Kebijaksanaan, Perencanaan, Pemograman dan Penganggaran Pembangunan Tingkat Nasional dan Regional. Jakarta: C.V. Rajawali.
Ide Anak Agung Gde Agung; 1995. Persetujuan Linggajati: Prolog dan Epilog. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Utama Nusatama dan Sebelas Maret University Press.
Irfan Islamy, M. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Iwa Kusuma Sumantri. 1965. Sedjarah Revolusi Indonesia Jilid II. Jakarta: Grafica.
Jahja Muhaimin. 1971. Perkembangan Militer Dalam Politik di Indonesia 1945-1965. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sosial Politik UGM.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Klasik dan Modern Sosiologi Jilid 1; Penerjemah Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia.
Joko Widodo. 2007. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia Publishing.
Julianto Ibrahim. 2004. Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi Surakarta. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.
Kahin, George McTurnan. 1995. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia; Penerjemah Nin Bakdi Soemanto. Surakarta: UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan.
Karkono Kamajaya Pk, H. Revolusi di Surakarta. Naskah dalam Temu Ilmiah di Balai Kajian Jarahnitra Depdikbud Yogyakarta pada 28 Agustus 1993.
Kartini Kartono. 2005. Patologi Sosial -Jilid 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Koentjaraningrat (Editor). 1986. Metode Penelitian-Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.
Kristian Widya Wicaksono. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemerintahan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
ci
Kuntiwijoyo. 2001. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Yayasan
Benteng Budaya.
Lapian, A.B. dan P.J. Drooglever (Penyunting). 1992. Menelusuri Jalur Linggarjati: Diplomasi Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Mani, P.R.S. 1989. Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Maswadi Rauf. 2001. Konsensus Dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Depdiknas.
Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad ke-20 Jilid 1: Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggajati. Yogyakarta: Kanisius
Nasution, A.H. 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2: Diplomasi Atau Bertempur. Bandung: Disjarah AD dan Angkasa Bandung.
_________. 1992. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 3: Diplomasi Sambil Bertempur. Bandung: Disjarah TNI AD dan Angkasa.
Niniek Suparni. 1990. Tindak Pidana Subversi: Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta: Sinar Grafika.
Nugroho Notosusanto. 1971. Norma-Norma Penelitian Dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI-Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Nugroho Notosusanto (Editor), A.S.S. Tambunan, Soebijono, Hidayat Mukmin. 1985. Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI. Jakarta: Depdikbud
Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. 1999. Kronik Revolusi Indonesia Jilid I (1945). Jakarta: Karya Pustaka Gramedia,Yayasan Ikapi dan The Ford Foundation.
Oemar Seno Adji. 1984. Hukum~Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga.
cii
Osman Raliby. 1953. Documenta Historica: Sejarah Dokumenter Dari
Pertumbuhan dan Perdjuangan Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang
Rahman Zainuddin, A. 1992. Kekuasaan Dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Reid, A.J.S. 1996. Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Ricklefs, M.C. 1989. Sejarah Indonesia Modern; Penerjemah Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Saafroedin Bahar dan A.B Tangdililing (Penyunting). 1992. Integrasi Nasional: Teori, Masalah Dan Strategi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Saleh, R.H.A. 1995. Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong. Surakarta: Yayasan Nusatama dan Sebelas Maret University Press.
Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Sebuah Alternatif. Jakarta: PT Gramedia.
_________. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Simanjuntak, P.N.H. 2003. Kabinet-Kabinet RI Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi. Jakarta: Djambatan.
Soebadio Sastrosastomo. 1987. Perjuangan Revolusi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Soebagijo, I.N. 1981. Sudiro: Pejuang Tanpa Henti. Jakarta: PT Gunung Agung.
Soerjono Soekanto. 1982. Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.
Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.
ciii
Sukoco. 1990. Revolusi di Surakarta Tahun 1945-1950: Suatu Tinjauan Sosial
Politik. Skripsi. Surakarta: FKIP UNS.
Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI; Penerjemah Hasan Basri. Jakarta: LP3ES.
Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS.
Taufik Abdullah, Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae. 1983. Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES.
Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Wirjono Pradjodikoro. 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Eresco.
Veeger, K.J. 1990. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama.
Sumber Internet
Ignas Kleden. 2006. “Sutan Sjahrir: Etos politik dan Jiwa Klasik” dalam Orasi mengenang Sutan Sjahrir, 8 April 2006, TIM, Jakarta. http://www.komunitasdemokrasi.or.id/article/sjahrir.pdf. Diakses tanggal 5 Maret 2009.
Rushdy Hoesein. 2008. “Sjahrir dan Kabinetnya”. http://sudarjanto.multiply.com/journal/item/1317. Diakses 5 Maret 2009.
Wakil Presiden Republik Indonesia. 1945. Maklumat wakil Presiden No X. badilag.net/data/UUD/Maklumat%20Wakil%20President%20No%20X. Diakses tanggal 5 Maret 2009.
Jurnal
Donald Hindley. “From Jail to Jail”. Journal of Asian Studies. 1992 Februari. 51 (1). 212-213.
civ
Soejatno. “Revolution and Social Tensions in Surakarta 1945-1950”. Indonesia.
1974 April. 17. 102, 108. http://cip.cornell.edu/DPubS?service=Repository&version=1.0&verb=Disseminate&handle=seap.indo/1107130753&view=body&content-type=pdf_1#. Diakses tanggal 23 Agustus 2009.
Surat Kabar
Tan Malaka. “Isi dan Soesoenan Volksfront”. 1946. Januari 6. Kedaulatan Rakjat. 1.
“Oepatjara Pemjamboetan Presiden dan Wakil Presiden”. 1946. Januari 7. Kedaulatan Rakjat. APA Monitor. 1.
Staf Pendidikan TRI Kementerian Pertahanan. “Toedjoean dan Tjara Pekerdjaan Staf Pendidikan T.R.I.” 1946. Februari 20. Kedaulatan Rakjat. 2.
Perdana Menteri Sjahrir. “Politik Kabinet Baroe: Hanya Beroending Atas Pengakoean Kemerdekaan 100%”. 1946. Maret 6. Kedaulatan Rakjat. 1.
Antara. “Disekitar Kabinet Baroe: Menteri Wanita Pertama Dari Seluruh Dunia”. 1946. No. 16 Maret. Barisan Rakjat. 1.
Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri. “Keterangan Pemerintah Tentang Pemimpin Politik”. 1946. Maret 23. Kedaulatan Rakjat. 1.
Rapat Persatoean Perdjoeangan. “Mosi Rapat Persatoean Perdjoeangan Tentang Penangkapan pemimpin2”. 1946. April 6. Kedaulatan Rakjat. 1.
Kepala Daerah Istimewa Soerakarta. “Maklumat No 2 Kepala Daerah Istimewa Soerakarta”. 1946. Mei 4. Kedaulatan Rakjat. 2.
Barisan Banteng. “Pengumuman Markas Besar Barisan Banteng”. 1946. Mei 4. Kedaulatan Rakjat. 2.
Konsentrasi Nasional. “Konsentrasi Nasional Melawan Pendjadjahan”. 1946. Mei 5. Kedaulatan Rakjat. 1.
Menteri Dalam Negeri. “Tindakan Pemerintah Poesat Terhadap Daerah Istimewa Soerakarta”. 1946. Mei 23. Kedaulatan Rakjat. 2.
cv
Mangkoenegoro VIII. Makloemat Mangkoenegoro VIII Tentang Penempatan P.T.
Soerjo di Solo. 1946. Mei 29. Kedaulatan Rakjat. 2.
Kepala TRI Soerakarta. “Dewan Pemerintahan Rakjat dan Tentara Daerah Soerakarta Berdiri”. 1946. Juni 3. Kedaulatan Rakjat. 2.
Presiden Republik Indonesia. “Pernyataan Keadaan Bahaja Didaerah Soerakarta”. 1946. Juni 7. Kedaulatan Rakjat. 1.
Presiden Republik Indonesia. “Pernyataan Keadaan Bahaja di Djawa dan Madoera”. 1946. No. 26 Juni. Barisan Rakjat. 1.
Presiden Republik Indonesia. “Dewan Pertahanan Soerakarta Disjahkan”. 1946. Juni 17. Kedaulatan Rakjat. 2.
Kantor Penghubung Tentara. “Pengangkoetan Djepang Selesai”. 1946. Juni 25. Kedaulatan Rakjat. 1.
Presiden Republik Indonesia. “Peroebahan Kementerian”. 1946. Juni 28. Kedaulatan Rakjat.1.
“Peringatan Mikrodj Dimasa Revoeloesi”. 1946. Juni 28. Kedaulatan Rakjat. Apa Monitor 1.
Presiden Republik Indonesia. “Seloeroeh Indonesia Dalam Keadaan Bahaja”. 1946. Juni 28. Kedaulatan Rakjat.1.
Presiden Republik Indonesia. “Dewan Militer Dibentoek”. 1946. Juni 28. Kedaulatan Rakjat.1.
Menteri Penerangan. “Langkah Pertama Menuju Kemerdekaan 100%”. 1946. Juni 29. Kedaulatan Rakjat.1.
Masjoemi, PBI dan PNI. “Oeseoel Balasan Pemerintah Indonesia Minta Dioemoemkan”. 1946. Juni 29. Kedaulatan Rakjat.1.
Presiden Republik Indonesia. “Kekoeasaan Pemerintah Sepenoeh-Penohja Kembali Ketangan Presiden”. 1946. Juni 29. Kedaulatan Rakjat. 1.
Sumber Foto
Bank Indonesia dalam mepow.files.wordpress.com. Diakses tanggal 4 Mei 2009.