Penafsiran Quraish Shihab tentang ayat sunnatullah.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • 29

    BAB III PENAFSIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB

    TENTANG AYAT-AYAT SUNNATULLAH DALAM TAFSIR AL-MISBAH

    A. Riwayat Hidup Muhammad Quraish Shihab

    Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang (sekitar 180

    km sebelah utara kota Ujung Pandang-Sulawesi) pada tanggal 16

    Februari 1944.1 meskipun keturunan Arab, kakek dan buyutnya

    lahir di Madura. Ayahnya, Abdurrahman Shihab, adalah guru

    besar bidang tafsir sekaligus saudagar. Ibunya, Asma, cucu raja

    Bugis. Tak heran bila Muhammad Quraish Shihab dan saudara-

    saudaranya dipanggil Puang (tuan) atau Andi oleh masyarakat

    setempat. Mereka juga mendapat perlakuan khusus dalam

    upacara-upacara adat.

    Sejak kecil, Muhammad Quraish Shihab dididik dengan

    disiplin yang keras. Walapun keluarganya tidak miskin, mereka

    tidak mempunyai pembantu. Itu tidak lain agar mereka bisa

    mandiri. Tidak jarang pula Muhammad Quraish Shihab

    mendapat hadiah pukulan dari ibunya bila tidak menurut.

    Walau hanya tamatan SD, sang ibu sangat memperhatikan

    pendidikan anak-anaknya. Pada jam-jam belajar ia selalu

    mengawasi dengan ketat. Di keluarga Shihab hanya anak laki-

    laki yang sekolah tinggi, sedangkan anak perempuan hanya

    bersekolah di sekolah ketrampilan wanita.2

    1 Alimin Mesra, Makalah Tafsir al-Misbah (Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran), Program Pasca Sarjana S3 IAIN Syarif Hidayatullah, 2001, hlm. 2.

    2 Majalah Femina (Serial Femina), bagian 2. No. 15/XXIL-18-24 April 1996.

  • 30

    Muhammad Quraish Shihab sudah senang kepada tafsir

    al-Quran sejak belia. Ayahnya Abdurrahman Shihab (1905-1986)

    seorang Guru Besar dalam bidang tafsir pada IAIN Alauddin

    Ujung Pandang, sering kali mengajak Muhammad Quraish

    Shihab bersama saudara-saudaranya yang lain bercengkrama

    bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan.

    Dari sinilah rupanya mulai bersemi benih cinta dalam diri

    Muhammad Quraish Shihab terhadap studi al-Quran.3

    Pengkajian terhadap studi al-Quran dan tafsirnya kemudian ia

    dalami di Universitas Al-Azhar Kairo, setelah melalui pendidikan

    dasarnya (SD-SLTP) di Ujung Pandang.

    Tahun 1956 ketika masih duduk di kelas dua SMP,

    Muhammad Quraish Shihab berangkat ke Malang, Jawa Timur.

    Ayahnya memasukkannya ke SMP Muhammadiyah, sekaligus

    mendaftarkannya pada Pesantren Mahad Darul Hadist Al-

    Faqihiyah pimpinan Kiai Habib Abdul Qadir bin Faqih. Tapi di

    SMP itu ia tidak lama, karena ia lebih tertarik mendalami

    pendidikan agama di pesantren. Di pesantren Muhammad

    Quraish Shihab menjadi santri kesayangan Kiai. Kemanapun Kiai

    memberikan ceramah, ia selalu diajak serta. Tidak sekedar ikut

    tetapi juga berceramah sebelum Kiai berpidato.

    Ketika pemerintah Mesir menawarkan program bea siswa

    pendidikan, bersama Alwie Shihab, adiknya Muhammad Quraish

    Shihab mengikuti tes, dan menjadi anggota termuda diantara 20

    pelajar atau mahasiswa Indonesia yang berangkat ke Kairo.4

    3 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Mizan, Bandung,

    1995, hlm. 14. 4 Majalah Femina (Serial Femina), bagian 3, No. 16/XXIV-25 April 1996.

  • 31

    Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir dan diterima di

    kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc (S-

    1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadist

    Universitas Al-Azhar, pada 1969 meraih gelar MA untuk

    spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul Al-Ijaz

    Al-Tsyriiy li Al-Quran Al-Karim. Dengan suka cita ia lalu kembali

    ke kampung halamannya. Rasa rindu yang ia pendam kepada

    ayah bundanya, untuk bercengkrama dengan sanak saudara dan

    segenap handai taulan yang telah lama ia tinggalkan dapat

    terobati.

    Muhammad Quraish Shihab nyaris menjadi bujang lapuk.

    Menjelang usia 30 tahun ia belum juga menikah. Padahal

    kakaknya menikah pada usia 18 tahun, sedangkan adiknya

    sudah lebih dulu menikah. Setiap kali ia bertugas ke luar kota, ia

    sekaligus berburu calon pasangan. Tetapi sayangnya, setiap

    kali bertemu wanita, ia merasa ada saja yang kurang cocok.

    Untunglah ia mendapat resep jitu dari AJ Mokodompit,

    mantan Rektor IKIP Ujung- Pandang. Tidak lama kemudian ia

    menemukan jodoh, seorang putri Solo bernama Fatmawati. Ia

    menikah dengan Fatmawati tepat di hari ulang tahunnya yang

    ke-31, 16 Februari 1975. Mereka dikarunai lima anak, empat

    perempuan satu lelaki. Anak pertama diberi nama Najla (Ela)

    lahir tanggal 11 september 1976, anak kedua diberi nama Najwa

    lahir 16 September 1977, ketiga Naswa lahir tahun 1982,

    keempat Ahad lahir 1 Juli 1983 dan yang terakhir Nahla lahir

    Oktober 1986.

    Pada 1980, Muhammad Quraish Shihab kembali ke Kairo

    dan melanjutkan pendidikkannya di almamaternya yang lama,

    Universitas Al- Azhar. Pada 1982, dengan disertasi berjudul

  • 32

    Nadzm Al-Durar Li Al-Biqaiy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil

    meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu al-Quran dengan yudisium

    Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz maa

    martabat al-syaraf al-ula). Ia menjadi orang pertama di Asia

    Tenggara yang meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu al-Quran di

    Universitas Al-Azhar.5

    1. Karier Intelektual dan Politik Muhammad Quraish Shihab Sekembalinya ke Tanah Air pada tahun 1970, setelah

    meraih gelar MA, Muhammad Quraish Shihab dipercaya

    untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan

    Kemahasiswaan pada IAIN Alaudin, Ujung Pandang. Selain

    itu, dia juga diserahi jabata-jabatan lain, baik di dalam

    kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah

    VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti

    Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang

    pembinaan mental. Selama di ujung pandang ini, dia juga

    sempat melakukan berbagai penelitian antara lain, penelitian

    dengan tema Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di

    Indonesia Timur (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi

    Selatan(1978).

    Sekembalinya ke Indonesia setelah mencapai gelar

    Doktornya yaitu sejak tahun 1984, Muhammad Quraish

    Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas

    Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selang 9

    tahun kemudian yaitu pada tahun 1993, ia diangkat menjadi

    5 Islah Gusmian, Khasanah Tafsir Indonesia, TERAJU, Bandung, 2003,

    hlm. 18.

  • 33

    Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggantikan Ahmad

    Syadali.

    Selain itu, di luar kampus dia juga dipercaya untuk

    menduduki berbagai jabatan. Antara lain : Ketua Majelis

    Ulama Indonesia ( MUI) pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah

    Pentashihan al-Quran Departemen Agama (sejak 1984);

    Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasionaal (sejak

    1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak

    terlibat dalam beberapa organisasi professional; antara lain :

    Pengurus Penghimpunan Ilmu-Ilmu Syariah : Pengurus

    Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan

    Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan

    Muslim Indonesia (ICMI).6

    Di samping itu juga, Muhammad Quraish Shihab tercatat

    dekat dengan tampuk kepemimpinan pada masa Orde Baru.

    Ketika acara tahlilan memperingati meninggalnya ibu Tien

    Soeharto, ia ditunjuk menjadi penceramah dan pemimpin doa.

    Mungkin jalur relasi inilah yang membuat Muhammad

    Quraish Shihab ikut masuk kekancah politik praktis. Pada

    pemilu 1997, ia disebut-sebut menjadi juru kampanye untuk

    partai Golkar. Setelah Golkar meraih kemenangan, dalam

    struktur Kementerian Kabinet Pembangunan VII tercantum

    nama Muhammad Quraish Shihab sebagai Menteri Agama RI

    maka ia memegang jabatan rangkap yang juga sebagai Rektor

    IAIN Jakarta. Namun tidak lebih dari dua bulan, jabatan

    sebagai Menteri Agama RI tersebut lepas dari tangannya

    seiring dengan angin reformasi yang melanda Indonesia.

    Dalam konteks Nasional, nama Muhammad Quraish Shihab

    6 Ibid.

  • 34

    agaknya tenggelam terbawa arus keluarga Cendana yang

    mendapat sorotan negatif di mata Rakyat Indonesia pada

    umumnya.

    Lalu pada tahun 1999, melalui kebijakan Pemerintah

    Habibi, Muhammad Quraish Shihab mendapat jabatan baru

    sebaga Duta Besar Indonesia untuk Mesir dan saat ini

    Muhammad Quraish Shihab menjadi Imam besar di Masjid Al-

    Thin di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).7

    2. Karya-Karyanya Aktifitas keorganisasian Muhammad Quraish Shihab

    memang begitu padat, namun semua itu tidak menghalangi

    untuk aktif dan produktif dalam wacana Intektual. Kehadiran

    tulisan-tulisannya di berbagai Media Masa harian dan

    mingguan seperti Pelita Hati di harian Pelita, dan fatwa-

    fatwanya di harian Republika demikian juga Rubrik Tafsir Al-

    Amanah yang diasuhnya pada majalah Umat (terbit dua

    mingguan) merupakan bukti kecil dari keaktifan dan

    produktifitasnya di bidang itu. Semua ini, telah diedit dan

    diterbitkan menjadi buku yang masing-masing berjudul

    Lentera Hati, Fatwa-Fatwa Muhammad Quraish Shihab dan

    Tafsir Al-Amanah. Selain itu dia juga, tercatat sebagai anggota

    Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Quran dan Mimbar Ulama,

    keduanya terbit di Jakarta. Di Media elektronik, ia muncul

    pada bulan Ramadhan sebulan penuh melontarkan kajian

    Tafsirnya di RCTI dan stasiun-stasiun TV swasta lainnya, dan

    menyumbangkan pemikirannya di Metro TV dalam acara

    Lentera Hati setiap hari minggu pukul 14.00.

    7 Alimin Mesra, op. cit, hlm. 3.

  • 35

    Di sela-sela berbagai kesibukannya ia masih sempat

    terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun di

    Luar Negeri dan aktif dalam kegiatan tulis menulis. Berbagai

    buku yang telah dihasilkannya ialah :

    1. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhui Berbagai Persoalan

    Umat

    Buku ini, mulanya merupakan makalah yang disampaikan

    Muhammad Quraish Shihab dalam Pengajian Istiqlal

    Umat Para Eksekutif di Masjit Istiqlal Jakarta. Pengajian

    yang dilakukan sebulan sekali itu dirancang untuk diikuti

    oleh para pejabat baik dari kalangan swasta atau

    pemerintah. Namun tidak tertutup bagi siapa pun yang

    berminat. Mengingat sasaran pengajian ini adalah para

    eksekutif, yang tentunya tidak mempunyai cukup waktu

    untuk menerima berbagai informasi tentang berbagai

    disiplin ilmu ke Islaman maka Muhammad Quraish Shihab

    memilih al-Quran sebagai subyek kajian. Alasannya,

    karena al-Quran adalah sumber utama ajaran Islam dan

    sekaligus rujukan untuk menetapkan sekian rincian

    ajaran.8

    2. Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil

    Buku ini merupakan kumpulan ceramah-ceramah yang

    disajikan Muhammad Quraish Shihab pada acara tahlilan

    yang dilaksanakan di kediaman Presiden Soeharta dalam

    rangka mendoakan kematian Fatimah Siti Hartinah

    Soeharto (pada tahun 1996). Di bagian awal terdapat dua

    tulisan yang berasal dari ceramah peringatan 40 hari

    8 Lihat, Sekapur Sirih Wawasan al-Quran, Mizan, Bandung, 1996.

  • 36

    wafatnya ibu Tien Soeharto dan ceramah peringatan 100

    hari wafatnya ibu Tien Soeharto.

    3. Tafsir al-Quran al-Karim, Tafsir atas Surat-Surat Pendek

    Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu.

    Buku ini terbit setelah buku Wawasan al-Quran, namun

    sebetulnya sebagian isinya telah ditulis Muhammad

    Quraish Shihab jauh sebelum Wawasan al-Quran. Bahkan

    telah dimuat di majalah al-Manar dalam rubrik Tafsir al-

    Amanah. Uraian buku ini menggunakan mekanisme

    penyajian yang agak lain dibandingkan karya Muhammad

    Quraish Shihab sebelumnya yaitu disajikan berdasarkan

    urutan turunnya wahyu, dan lebih mengacu pada surat-

    surat pendek, bukan berdasarkan runtutan surah

    sebagaimana tercantum dalam mushaf.9

    4. Membumikan al-Quran

    Buku ini berasal dari 60 lebih makalah dan ceramah yang

    pernah disampaikan oleh Muhammad Quraish Shihab

    pada rentang waktu 1975-1992, tema dan gaya bahasa

    buku ini terpola menjadi 2 bagian. Bagian pertama secara

    efektif dan efisien Muhammad Quraish Shihab

    menjabarkan dan membahas berbagai aturan main

    berkaitan dengan cara-cara memahami al-Quran, di

    bagian kedua secara jenial Muhammad Quraish Shihab

    mendemonstrasikan keahliannya dalam memahami

    sekaligus mencarikan jalan keluar bagi problem-problem

    intelektual dan sosial yang muncul dalam masyrakat

    dengan berpijak pada aturan main al-Quran.10

    9 Islah Gusmian, op. cit, hlm. 82-83. 10 Lihat Membumikan A-Quran, Mizan, Bandung, 1999.

  • 37

    5. Lentera Hati

    Buku ini merupakan sebuah antologi tentang makna dan

    ungkapan Islam sebagai sistem religius bagi individu

    mukmin dan bagi komunitas muslim Indonesia. Terungkap

    di dalamnya pendekatan sebagaimana yang diambil dalam

    kebanyakan literatur inspirasional mutakhir yang ditulis

    oleh para peulis Indonesia, yang banyak mengacu pada

    tulisan muslim Timur Tengah dalam bahasa Arab.11

    6. Fatwa-Fatwa Muhammad Quraish Shihab Seputar Tafsir al-

    Quran

    Buku ini membahas tentang ijtihad fardhi Muhammad

    Quraish Shihab dalam arti membahas penafsiran al-Quran

    dari berbagai aspeknya. Mencakup seputar hukum agama,

    seputar wawasan agama, dan seputar puasa dan zakat.12

    7. Fatwa-Fatwa Muhammad Quraish Shihab Seputar Ibadah

    Mahdhah

    Buku ini membahas seputar ijtihad fardhi Muhammad

    Quraish Shihab di bidang ibadah terutama mahdhah, yaitu

    shalat, puasa, zakat dan haji.

    8. Fatwa-Fatwa Muhammad Quraish Shihab Seputar

    Muamalah

    Buku ini juga membahas hal yang sama namun dalam

    bidang ilmu yang berbeda yaitu seputar muamalah dan

    cara-cara mentasyarufkan harta, serta teori pemilikan yang

    ada dalam al-Quran.

    11 Howard M Fedespiel, Kajian al-Quran di Indonesia dari Muhammad

    Yunus hingga Muhammad Quraish Shihab, Mizan, Cet. I, Bandung, 1996, hlm. 296.

    12 Muhammad Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa Muhammad Quraish Shihab Seputaf Tafsir al-Quran, Mizan, Bandung, 2001, hlm. Vii.

  • 38

    9. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung

    Pandang: IAIN Alaudin, 1984)

    Buku ini merupakan karya yang mencoba menkritisi

    pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid

    Ridha, keduanya adalah pengarang Tafsir al-Manar. Pada

    mulanya tafsir ini merupakan Jurnal al-Manar di Mesir.

    Jurnal ini mendapat implikasi dari pemikiran-pemikiran

    Jamaluddin al-Afghani, kemudian karena di tengah-

    tengah menafsirkan ayat-ayat al-Quran Muhammad

    Rasyid Ridha.

    Dalam kontes ini Muhammad Quraish Shihab mencoba

    mengurai kelebihan-kelebihan al-Manar yang sangat

    mengedepankan ciri-ciri rasionalitas dalam menafsirkan

    ayat-ayat al-Quran. Di samping itu Muhammad Quraish

    Shihab juga mengurai ciri-ciri kekurangannya terutama

    berkaitan dengan konsistensinya yang dilakukan oleh

    Abduh.13

    10. Menyikap Tabir Ilahi Asma al-Husna dalam Perspektif al-

    Quran

    Dalam buku ini Muhammad Quraish Shihab mengajak

    pembacanya untuk menyikap Tabir Ilahi- melihat Allah

    dengan mata hati bukan Allah Yang Maha Pedih Siksanya

    dan Maha Besar Ancamnya. Tetapi Allah yang amarahnya

    dikalahkan oleh Rahmat-Nya yang pintu ampunan-Nya

    terbuka setiap saat disini, Muhammad Quraish Shihab

    mengajak pembaca untuk kembali menyembah Tuhan dan

    tidak lagi menyembah agana, untuk kembali

    13 Lihat Muhammad Quraish Shihab dalam, Studi Kritis Tafsif al-Manar

    Keistimewaan dan Kelemahannya, Ujung Pandang, IAIN Alauidin, 1984.

  • 39

    mempertuhankan Allah dan tidak lagi mempertuhankan

    agama.14

    B. Metode Tafsir Al-Misbah Dalam tafsir al-Misbah ini, Muhammad Quraish Shihab

    menggunakan metode tahlili (urai).15 Sebuah bentuk karya tafsir

    yang berusaha untuk mengungkap kandungan al-Quran dari

    berbagai aspeknya. Dari segi teknis tafsir dalam bentuk ini

    disusun berdasarkan urutan ayat-ayat di dalam al-Quran.

    Selanjutnya memberikan penjelasan-penjelasan tentang kosa

    kata makna global ayat, korelasi Asbab al-Nuzul dan hal-hal lain

    yang dianggap dapat membantu untuk memahami ayat-ayat al-

    Quran.16

    Menurut pengamatan penulis, penggunaan metode ini

    banyak dipertanyakan oleh para pembaca, karena selama ini

    Muhammad Quraish Shihab dikenal sebagai tokoh yang

    memperkenalkan tafsir maudhui dan mempopulerkannya di

    tanah air. Sebab menurtnya ada beberapa keistimewaan pada

    metode maudhui dibandingkan metode lainnya yaitu Pertama,

    menghindari problem atau kelemahan metode lain (Ijmali, Tahlil,

    Muqarrin). Kedua, menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan

    hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Quran.

    Ketiga, kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini

    disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk al-

    Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci

    14 Lihat Muhammad Quraish Shihab dalam, Menyikap Tabir-Tabir Ilahi,

    Lentera Hati, Jakarta, 1981. 15 Nashiruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran, kajian kritis Terhadap

    Ayat-Ayat yang Berredaksi Mirip, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 70. 16 Abdul Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhui dan cara penerapannya,

    terj. Rasihan Anwar, Pustaka Setia, Bandung, 2002, hlm. 11.

  • 40

    dalam satu disiplin ilmu. Dengan metode ini juga dapat

    dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Quran bukan

    bersifat teoritis semata-mata dan tidak dapat ditetapkan dalam

    kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita

    kepada pendapat al-Quran tentang berbagai problem hidup

    disertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas

    kembali fungsi al-Quran sebagai kitab suci dan dapat

    membuktikan keistimewaan al-Quran. Keempat, metode ini

    memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya

    ayat-ayat yang bertentangan di dalam al-Quran sekaligus dapat

    dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Quran sejalan dengan

    perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.17

    C. Corak Tafsir Al-Misbah Tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab ini

    lebih cenderung bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan

    (Adabul ijtimai). Corak tafsir yang berusaha memahami nash-

    nash al-Quran dengan cara pertama dan utama mengemukakan

    ungkapan-ungkapan al-Quran secara teliti. Selanjutnya

    menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Quran tersebut

    dengan bahasa yang indah dan menarik. Kemudian seorang

    mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-Quran yang

    dikaji dengan kenyataan sosial dengan sistim budaya yang ada.18

    17Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Mizan, bandung,

    1999, 117. 18 Abdul Hay Al-Farmawi, op. cit, hlm 28.

  • 41

    Corak tafsir ini merupakan corak baru yang menarik

    pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Quran serta

    memotifasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia

    al-Quran.19 Menurut Muhammad Husein al-Dzahabi, bahwa

    corak penafsiran ini terlepas dari kekurangannya berusaha

    mengemukakan segi keindahan ( balaghah) bahasa dan

    kemukjizatan al-Quran, menjelaskan makna-makna dan

    sasaran-sasaran yang dituju oleh al-Quran, mengungkapkan

    hukum-hukum alam yang agung dan tatanan kemasyarakatan

    yang dikandungnya, membantu memecahkan segala problem

    yang dihadapi umat Islam khususnya dan umat manusia pada

    umumnya melalui petunjuk dan ajaran al-Quran untuk

    mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat, serta

    berusaha mempertemukan antara al-Quran dengan teori-teori

    ilmiah yang benar.

    Di dalam al-Quran juga berusaha menjelaskan kepada

    umat manusia bahwa al-Quran itu adalah kitab suci yang kekal,

    yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan

    kebudayaan manusia sampai akhir masa, juga berusaha

    melenyapkan kebohongan dan keraguan yang dilontarkan

    terhadap al-Quran dengan argumen kuat yang mampu

    menangkis segala kebatilan, sehingga jelas bagi mereka bahwa

    al-Quran itu benar.20

    19 Said Agil Husein al-Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Keshalehan

    Hakiki, ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm. 71. 20 Abdul Hayy al-Farmawi, op. cit, hlm 71-72.

  • 42

    D. Penafsiran Muhammad Qurais Sihab Tentang Sunnatullah DalamTafsir Al-Misbah.

    1.Penafsiran Ayat-Ayat Sunnatullah

    Pada uraian berikut ini penulis akan memaparkan

    penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat-ayat

    sunnatullah dalam tafsir al-Misbah. Ayat-ayat tersebut terdapat

    dalam surat Al-Anfal ayat 38, Al-Hijr ayat 13, Al-Ahzab ayat 38,

    68, Al-Fatir ayat 43, Al-Fatah ayat 23, Al-Isra ayat 77 dan Ali

    Imran ayat 13721. Di dalam al-Quran ayat-ayat sunnatullah

    dan yang semakna dengannya seperti sunnatina atau sunnatul

    awwalin terulang sebanyak 13 kali.

    Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat al-

    Quran yang merupakan kitab sucinya kaum muslimin sedunia

    itu, disesuaikan dengan kondisi sosial yaitu menjelaskan

    hakikat ajaran Islam yang murni, yang menurut pandangannya

    serta menghubungkan ajaran Islam tersebut dengan ajaran

    masa kini.

    1. Penafsiran Surat Ali Imran Ayat 137

    Artinya : Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-

    sunnah karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (Rasul-Rasul).22

    21 Muhammad Fuad Abdul Al-Baqi, Mujam Al-Muhfahros Li alfadli Al-

    Quran al-Karim, Darl Fikr, TT, 1981, hlm. 367. 22 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, CV.

    Jaya Sakti, Surabaya, 1971, hlm.98.

  • 43

    Muhammad Quraish Shihab mengatakan sesungguhnya

    bahwa telah berlaku sebelum kamu sunnah-sunnah yakni

    hukum-hukum kemasyarakatan yang tidak mengalami

    perubahan. Sunnah tersebut antara lain adalah yang melanggar

    perintah-Nya dan perintah rasul-rasul-Nya akan binasa, dan

    yang mengikutinya berbahagia. Yang menegakkan disiplin akan

    sukses hari-hari kekalahan dan kemenangan silih berganti, dan

    lain-lain. Sunnah-sunnah itu ditetapkan Allah demi

    kemaslahatan manusia dan itu semua dapat terlihat dengan

    jelas dalam sejarah dan peninggalan umat-umat yang lalu.23

    Menurut Muhammad Quraish Shihab ayat di atas

    memerintahkan untuk mempelajari sunnah yakni kebiasaan-

    kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Perlu

    diingat bahwa apa yang dinamai hukum-hukum alam pun

    adalah kebiasaan-kebiasaan yang dialami manusia

    menyangkut fenomena alam. Kebiasaan itu dinyatakannya

    sebagai tidak beralih (QS. Bani Israil : 77) dan tidak pula

    berubah (QS Al-Fatah : 23) karena sifatnya demikian maka ia

    dapat dinamai juga dengan hukum-hukum kemasyarakatan

    atau ketetapan-ketetapan bagi masyarakat. Ini berarti ada

    keniscayaan bagi sunnatullah atau hukum-hukum

    kemasyarakatan itu, tidak ubahnya dengan hukum-hukum

    alam atau hukum yang berkaitan dengan materi. Apa yang

    ditegaskan al-Quran ini dikonfirmasikan oleh ilmuan :

    Hukum-hukum alam sebagaimana hukum-hukum

    kemasyarakatan bersifat umum dan pasti, tidak satu pun dan

    di negeri mana pun yang dapat terbebaskan dari sangsi bila

    23 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta,

    2003, Vol. 2, hlm. 210.

  • 44

    melanggarnya. Hukum-hukum itu tidak memperingatkan

    siapa yang melanggarnya dan sangsinya pun membisu

    sebagaimana membisunya hukum itu sendiri. Masyarakat dan

    jenis manusia yang tidak membedakan antara yang haram

    dengan yang halal akan terbentur oleh malapetaka,

    ketercabikan dan kematian. Ini semata-mata adalah sangsi

    otomatis, karena kepunahan adalah akhir dari semua mereka

    yang melanggar hukum-hukum alam atau kemasyarakatan

    dengan hukum-hukum alam atau materi24.

    2. Penafsiran Surat Al-Fatah Ayat 23

    Artinya : Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak

    dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.25

    Kata sunnatullah dari segi bahasa terdiri dari kata

    sunnah dan Allah. Kata sunnah antara lain berarti kebiasaan.

    Sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam

    memperlakukan masyarakat. Dalam al-Quran, kata

    sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatina

    atau sunnatu al-awwalin terulang sebanyak tiga belas kali.

    Semuanya berbicara dalam konteks kemasyarakatan.

    Ayat 23 di atas berkaitan dengan ayat 22 yang

    menjelaskan apa yang terjadi bila kaum musyrikin Makah

    bersikeras untuk berperang. Di sini Allah bagaikan berfirman

    : Seandainya Allah menghendaki niscaya Dia

    24 Tafsir Al-Misbah, op.cit, Vol 2,. hlm. 211. 25 Al-Quran dan Terjemahnya, op. cit, hlm. 841.

  • 45

    menganugrahkan kamu kemampuan untuk melaksanakan

    Umrah pada tahun Hudaibiyah itu, dan seandainya orang-

    orang kafir (kaum musyrikin Makah) yang telah bersedia

    menandatangani perjanjian Hudaibiyah itu memerangi kamu

    yang ketika itu telah berkumpul di bawah pimpinan Khalid

    Ibnu Walid sebelum Khalid memeluk Islam, mereka dengan

    penuh kesungguhan berbalik melarikan diri ke belakang

    karena mereka merasa takut kepada kamu ketakutan yang

    dicampakkan Allah ke jiwa mereka dan dengan demikian

    mereka dikalahkan Allah, kemudian yang lebih parah lagi dari

    itu dan berlanjut masa yang lama.26

    Pada ayat 23 ini Muhammad Quraish Shihab

    menerangkan bahwa orang-orang kafir sewaktu-waktu tidak

    akan memperoleh satu pun perlindungan yang dapat

    melindungi mereka dari kekalahan dan tidak pula satu

    penolong pun yang dapat menolong mereka menghindari

    kebinasaan. Perlakuan Allah yang semacam ini serta

    kemenangan yang dianugrahkan kepada orang-orang mukmin

    adalah satu sunnatullah yakni kebiasaan Allah dan

    ketetapannya dalam kehidupan bermasyarakat dari sekian

    banyak sunnah-Nya, jika kaum mukmin tulus dan

    bersungguh-sungguh dalam membela agama Allah. Itulah

    kebiasaan yang telah berlaku sejak dahulu dan kamu sekali-

    kali tidak akan menemukan perubahan bagi sunnah itu27.

    26 Tafsir Al-Misbah, op. cit, Vol. 13, hlm. 204 27 Ibid, hlm. 205.

  • 46

    3. Penafsiran Surat Al-Hijr Ayat 13

    Artinya : Mereka tidak beriman kepadanya (al-Quran) dan

    sesungguhnya telah berlalu sunnatullah terhadap orang-orang dahulu.28

    Ayat 13 berkaitan dengan ayat 12, yang menjelaskan

    bahwa boleh jadi terlintas dalam benak siapa yang mendengar

    ayat lalu satu pertanyaan : Bagaimana bisa umat-umat yang

    lalu itu mengambil sikap yang sama untuk menolak risalah

    para nabi mereka padahal mereka hidup pada masa dan

    tempat yang berbeda. Untuk itu ayat ini menyatakan bahwa :

    Sebagaimana yang terjadi terhadap orang-orang kafir yang

    hidup pada masa lalu itu, demikian juga Kami

    memasukkannya pemahaman al-Quran ke dalam hati para

    pendurhaka (orang-orang) kafir yang telah mendarah daging

    kebejatan dan dosa-dosa dalam diri mereka. Tetapi

    pemahaman itu tidak mengantar mereka mempercayainya,

    dengan demikian mereka tidak beriman kepada al-Quran

    atau kepada Nabi Muhammad dan sesungguhnya telah

    berlaku sunnah orang-orang terdahulu.29

    Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa

    beberapa ulama memahami sunnatu al awalin pada ayat 13 di

    atas dalam arti kebiasaan-kebiasaan yang diperlakukan Allah,

    terhadap orang-orang yang terdahulu yakni jatuhnya siksa

    terhadap para pembangkang. Ada juga yang memahaminya

    dalam arti kebiasaan umat-umat terdahulu yakni kebiasaan

    28 Al-Quran dan Terjemahnya, op. cit, hlm. 391. 29 Tafsir Al-Misbah, op. cit, vol.7, hlm. 99.

  • 47

    mereka selalu menolak ajakan para Nabi dan memperolok-

    olok mereka30.

    4. Penafsiran Surat Al-Isra Ayat 77

    Artinya : (Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu

    ketetapan terhadap Rasul-Rasul Kami, yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu.31

    Pada surat Al-Isra ayat 77 berkaitan dengan ayat 76,

    ayat ini menegaskan bahwa kaum musyrikin Makah hampir

    memaksa Nabi Muhammad ke luar dengan jalan memancing

    amarah beliau, tetapi itu tidak terlaksana sehingga beliau

    tidak meninggalkan Makah pada waktu yang mereka ingikan.

    Nabi tetap bermukim di Makah menghadapi penganiayaan

    dan rencana jahat mereka, Nabi mengizinkan sekian banyak

    sahabat untuk berhijrah ke Ethiopia. Nanti setelah Allah

    mengizinkan beliau berhijrah, dan mereka membatalkan

    rencana pengusiran dengan rencana pembunuhan, barulah

    Allah mengizinkan Nabi berhijrah. Memang izin ini lahir

    karena permusuhan kaum musyrikin sehingga mereka juga

    yang menjadi penyebab hijrahnya Nabi, tetapi rencana

    pengusiran pada waktu yang mereka inginkan tidak

    terlaksana, dan Istifzaz atau pemaksaan yang menjengkelkan

    itu tidak berhasil mengeluarkan Nabi dari Makah, walaupun

    seperti bunyi ayat 76, hal tersebut hampir saja berhasil.

    Demikian Allah memelihara Nabi menghadapi rencana jahat

    30 Ibid, hlm. 100. 31 Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 436.

  • 48

    kaum musyrikin dan menggagalkannya setelah ayat yang lalu

    menguraikan bagaimana usul-usul buruk mereka pun

    tertampik karena kekuatan pribadi Nabi serta pemeliharaan

    Allah. Ayat 76 ini mengisyaratkan bahwa suatu ketika Nabi

    akan meninggalkan kota Makah, dalam bentuk hijrah Nabi

    dan itulah awal keruntuhan kekuasaan kaum musyrikin.32

    Pada ayat 77 ini, dahulu para pakar tidak menyadari

    bahwa ayat ini berbicara tentang salah satu hukum

    kemasyarakatan, karena itu hukum-hukum tersebut belum

    populer atau diketahui, karena itu ada yang menganggap

    bahwa firman Allah di atas yang menyatakan tidak akan

    tinggal sepeninggalmu berarti mereka akan mati.33

    Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan bahwa

    ayat 77 di atas pada hakekatnya berbicara tentang

    sunnatullah atau hukum-hukum kemasyarakatan, sebagai

    bunyi kelanjutannya dan tidak akan engkau dapati

    perubahan bagi sunnah atau ketetapan Kami itu. Maka

    karena itu kalimat sepeninggalmu mereka tidak tinggal

    melainkan sebentar saja tidak boleh dipahami sebagai

    kematian orang-orang, tetapi kematian sistem atau orde

    masyarakat. Orang-orang yang hidup dalam masyarakat

    tersebut tetap bertahan hidup, tetapi sistem kemasyarakatan

    dan pandangan jahiliyah yang mereka anut menurut ayat

    yang ditafsirkan ini sebentar lagi akan runtuh dan ini terbukti

    kebenarannya setelah sekitar 10 tahun dari hijrah Rasul di

    Makah. Ayat ini merupakan salah satu bukti bahwa al-Quran

    adalah kitab pertama yang menjelaskan hukum-hukum

    32 Tafsir Al-Misbah, op.cit, vol.7, hlm. 523. 33 Ibid

  • 49

    kemasyarakatan dan bahwa di samping ajal perorangan ada

    juga ajal bagi masyarakat34.

    Seperti dalam firman Allah pada surat Al-Araf ayat 34,

    sebagai berikut :

    Artinya : Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.

    Ditetapkan lain dinyatakan dalam surat Al-Muminun ayat 43. Artinya : Tidak (dapat) sesuatu umat pun mendahului ajalnya,

    dan tidak (dapat pula) mereka terlambat (dari ajalnya itu).

    Selanjutnya kalau al-Quran antara lain menyatakan

    bahwa : Segala sesuatu ada kadar dan ada juga sebabnya,

    maka usia dan keruntuhan suatu sistem dalam masyarakat

    pun pasti ada kadar dan ada pula penyebabnya. Ayat 76-77

    surat Al-Isra di atas dapat menjadi salah satu hukum

    kemasyarakatan yang menjelaskan kadar dan penyebab itu,

    yakni jika satu masyarakat telah sampai pada satu tingkat

    yang amat menggelisahkan maka ketika itu ia akan runtuh,

    ini sejalan dengan firman Allah pada surat Al-Kahfi ayat 59.

    Artinya : Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan. Ketika mereka berbuat zalim, dan telah kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.

    34 Ibid, hlm. 524.

  • 50

    5. Penafsiran Surat Al-Ahzab Ayat 38

    Artinya : Tidak ada suatu ketetapan pun atas Nabi tentang

    apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.35

    Ayat 38 di atas berkaitan dengan ayat-ayat

    sebelumnya yaitu turun berkenaan dengan kasus Zainab Ibn

    Jahesy yang dipinang oleh Rasulullah, mantan anak yang

    diadopsinya yaitu Zaid Ibn Haritsah. Zainab pada mulanya

    menolak demikian juga saudara Zainab yaitu Abdullah.

    Keduanya merasa memiliki garis keturunan terhormat dari

    suku Quraisy, sedang status Zaid sebelum diadopsi Nabi

    adalah seorang budak. Ada beberapa riwayat tentang sikap

    Zainab ketika itu. Ada yang mengatakan bahwa dia meminta

    agar diberi waktu untuk istikharah, yang jelas begitu ayat ini

    turun, dia menerima pinangan Rasul walau dengan berat hati.

    Ada riwayat lain yang menyatakan bahwa ayat ini

    turun berkenaan dengan Ummu Kaltsum binti Uqbah Ibn Abi

    Muith yang merupakan wanita pertama yang hijrah setelah

    perjanjian Hudaibiyah. Wanita itu datang kepada Nabi

    menyerahkan diri (mengharap untuk dinikahi). Rasul

    35 Al-Quran dan terjemahnya, op.cit, hlm. 674.

  • 51

    menerima dan menikahkannya dengan Zaid Ibn Haritsah

    (boleh jadi setelah perceraiannya dengan Zainab). Wanita

    tersebut demikian juga saudaranya marah atas pernikahan

    itu, saudaranya berkata : Kami mengharapkan Rasul, tetapi

    ternyata dia nikahkan dengan bekas budaknya.36

    Yang jelas pernikahan Nabi dengan mantan istri Zaid

    Ibn Haritsah yakni Zainab binti Jahesy telah menimbulkan

    isu dan tanggapan negatif . Sebenarnya Nabi Muhammad

    sendiri telah menyadari akan timbulnya tanggapan negatif itu,

    namun Allah bermaksud membatalkan dampak adopsi secara

    amaliah dan yang langsung dilakukan oleh Nabi sendiri,

    sehingga menjadi jelas bagi semua pihak. Memang Allah telah

    mewahyukan kepada Nabi Muhammad melalui mimpi bahwa

    beliau akan diperintahkan menikahi Zainab, tetapi karena

    mempertimbangkan dampak negatif itu beliau tidak

    menyampaikan kepada siapa pun tentang hal tersebut. Ini di

    samping karena beliau tidak atau belum diperintahkan untuk

    menyampaikannya.37

    Mengenai peminangan Nabi di dalam riwayat Muslim

    dinyatakan bahwa setelah selesainya iddah Zainab, Nabi

    Muhammad meminta kepada mantan anak angkatnya

    sekaligus mantan suami Zainab yakni Zaid untuk pergi

    meminang Zainab buat Nabi Zaid pun pergi. Dia berkata :

    Ketika aku melihatnya, terasa keanggunannya di dadaku,

    maka aku membelakanginya lalu kusampaikan kepadanya

    bahwa Rasul mengutusku untuk meminangmu. Zainab

    menjawab :saya tidak akan melakukan sesuatu sebelum aku

    36 Tafsir Al-Misbah, op.cit, vol. 11, hlm. 276. 37 Ibid, hlm. 278.

  • 52

    bermohon kepada Tuhanku. Dia kemudian masuk ketempat

    shalatnya (melakukan shalat istikharah dan berketetapan hati

    untuk menerima pinangan Nabi). Lalu turun ayat 37 dan

    Rasul masuk menemuinya tanpa meminta izin lagi.

    Perintah Rasul agar yang meminangkan untuk beliau

    adalah mantan suami Zainab sendiri, di samping untuk

    melihat kesan Zaid, juga untuk membuktikan kepada

    khalayak bahwa sebenarnya beliau menikahinya setelah Zaid

    benar-benar tidak berminat bahkan tidak memiliki sedikit pun

    kecemburuan.38

    Seperti yang dikatakan Quraish Shihab bahwa ayat

    38 di atas adalah penjelasan tambahan tentang persamaan

    Nabi Muhammad dalam hal kebolehan mengawini janda bekas

    anak angkat dan bahwa hal itu tidak mengurangi nilai

    kenabian, karena melakukan hal-hal mubah merupakan

    kebiasaan para Nabi-Nabi sebelum beliau. Nabi apabila

    menginginkan sesuatu yang bersifat mubah maka tidak ada

    halangan baginya untuk melakukannya, karena dalam

    masalah ini ia tidak harus bermujahadah, yakni menekan

    dorongan keinginannya dalam hal-hal yang tidak

    diperintahkan Allah. Untuk melakukan mujahadah terhadap-

    Nya. Dia justru hendaknya menggunakan potensinya untuk

    bermujahadah menangkal apa yang dilarang Allah.

    Menikah merupakan sunnah para Nabi, Nabi

    Ibrahim as menikah, bahwa konon Nabi Daud dan Sulaiman

    mempunyai banyak istri, karena itu bukanlah suatu yang aib

    bila Nabi Muhammad pun menikah39.

    38 Ibid, hlm. 319. 39Ibid, hlm. 283.

  • 53

    6. Penafsiran Surat Al-Ahzab Ayat 62

    Artinya : Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-

    orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.40

    Ayat 62 ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya,

    pada ayat 53 mengandung dua tuntunan pokok. Pertama

    menyangkut etika mengunjungi Nabi di rumah dan yang

    kedua menyangkut hijab. Baagian pertama ayat ini menurut

    sahabat Nabi, Anas Ibn Malik berkaitan dengan pernikahan

    Nabi dengan Zainab binti Jahesy. Ketika itu Nabi menyiapkan

    makanan untuk para undangan. Namun setelah mereka

    makan, sebagian undangan daalam riwayat ini dikatakan tiga

    orang masih tetap duduk berbincang-bincang. Naabi masuk

    ke kamar Aisyah lalu keluar, dengan harapan para tamu yang

    masih tinggal itu segera pulaang, tetapi mereka belum juga

    pulang maka Naabi masuk lagi ke kamar istri yang lain

    demikian seterusnya, silih berganti masuk daan keluar ke

    kamar-kamar semua istri beliau. Akhirnya mereka keluar juga

    setelah sekian lama Nabi menanti. Anas Ibn Malik yang

    menuturkan kisah ini berkata : Maka aku menyampaikan hal

    tersebut kepada Nabi, maka beliau masuk aku pun ketika itu

    akan masuk tetapi telah dipasang hijab antara aku dengan

    beliau, lalu turun ayat 53.

    40 Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 679.

  • 54

    Dalam riwayat yang lain sahabat Nabi, Anas Ibn

    Malik menyatakan bahwa Sayyidina Umar mengusulkan

    kepada Nabi bahwa : Wahai Rasul, orang baik dan tidak baik

    masuk ke rumah mu, apakah tidak sebaiknya engkau

    memerintahkan Ummahat al-Muminin (istri-istri Nabi)

    memasang hijab maka turunlah ayat 53 ini memerintahan

    penggunaan tabir. Kedua riwayat di atas tidak harus

    dipertentangkan. Bisa saja Sayyidina Umar mengusulkannya

    beberapa saat sebelum terjadinya undangan Nabi merayakan

    pernikahan beliau dengan Zainab itu.41

    Sebelum turun ayat 59 cara berpakaian wanita

    merdeka maupun budak, yang baik-baik atau yang kurang

    sopan hampir dikatakan sama. Karena itu leleki usil sering

    kali mengganggu wanita-wanita khususnya yang mereka

    ketahui atau diduga sebagai hamba sahaya. Untuk

    menghindarkan gangguan tersebut, serta menampakkan

    keterhormatan wanita muslimah ayat 59 turun.42

    Sedangkan ayat 62 di atas berkaitan dengan

    ancaman terhadap orang-orang munafik setelah bimbingan

    kepada wanita-wanita agar berpenampilan terhormat,

    mengisyaratkan betapa besar peranan perempuan dalam

    lahirnya keusilan pria. Seandaianya mereka keluar rumah

    secara terhormat, maka paling tidak sebagian besar dari yang

    usil tidak akan berani melakukan pelecehan atas mereka. Dan

    ini adalah sunnah Allah43.

    41 Tafsir Al-Misbah, op.cit, vol. 11, hlm.309-310. 42 Ibid, hlm. 319. 43 Ibid, hlm. 323.

  • 55

    7. Penafsiran Surat Al-Anfal ayat 38

    Artinya : Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu : jika

    mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu.44

    Ayat 38 di atas berkaitan dengan ayat-ayat

    sebelumnya, pada ayat 30 menggambarkan jalannya diskusi

    tokoh-tokoh kaum musyrik di balai pertemuan mereka Dar

    an-Nadwah Makah, beberapa hari sebelum peristiwa hijrah.

    Ada yang mengusulkan agar Nabi diikat untuk membendung

    meluasnya dakwah Islamiyah. Usul ini ditolak karena mereka

    khawatir jangan sampai Bani Hasyim suku Nabi menyerang

    siapa yang mengganggu dan menawan beliau. Usul ke dua

    adalah mengusir Nabi dari Makah, inipun mereka tolak

    karena khawatir jangan sampai denga demikian pengikut Nabi

    akan lebih banyak dan suatu ketika akan menyerang balik ke

    Makah. Usul ke tiga adalah membunuhnya, inipun pada

    mulanya ditolak serupa dengan alasan penolakan usul

    pertama. Tetapi akhirnya mereka sepakati untuk memilih dari

    setiap suku seorang pemuda tangguh lalu mereka secara

    bersama-sama membunuh Nabi, dengan demikian suku Nabi

    tidak akan berani menuntut balas kepada semua suku yang

    diwakili pemuda-pemuda tangguh itu, rencana busuk mereka

    diketahui dan dibongkar oleh Allah Yang Maha Mengetahui itu

    44 Al-Quran dan Terjemahnya, op. cit, hlm. 266.

  • 56

    melakukan pula rencana-Nya dan gagallah semua makar (tipu

    daya) yang mereka rencanakan itu.

    Nabi memerintahkan Sayyidina Ali untuk tidur di

    pembaringan beliau sambil memakai selimut beliau, dan pada

    malam itu juga Nabi meninggalkan rumah menuju Madinah

    melalui pintu di tengah-tengah pengawasan ketat wakil-wakil

    pelaku makar (tipu daya) yang tidak melihat Nabi keluar.

    Bahkan beberapa riwayat menginformasikan bahwa Nabi

    menabur tanah di atas kepala para pelaku makar (tipu daya),

    sambil membaca awal ayat-ayat surah Yasin sampai firman-

    Nya : Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di

    belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka

    sehingga mereka tidak dapat melihat (QS. Yasin : 9).45

    Menurut Quraish Shihab bahwa ayat yang lalu

    menjelaskan kesia-siaan amal dan harta mereka (orang-orang

    kafir). Ini mengesankan bahwa siksa Allah pasti jatuh apalagi

    redaksi yang digunakan menggambarkan keadaan mereka

    pada umumnya berbentuk kata kerja masa lalu yang

    mengesankan kepastian. Untuk itu agar tidak menimbulkan

    keputusasaan, ayat 38 ini membuka kesempatan bertaubat.

    Nabi Muhammad diperintahkan : Katakanlah kepada orang-

    orang kafir yang tidak percaya keesaan Allah dan berusaha

    memadamkan cahaya ajarannya bahwa jika mereka berhenti

    dari usaha memadamkan cahaya ilahi yakni berhenti dari

    kekufuran dengan memeluk agama Islam, niscaya Allah akan

    mengampuni dosa dan pelanggaran mereka yang telah lalu,

    sehingga Allah tidak akan menyiksa, mengecam atau meminta

    pertanggungjawaban mereka, dan jika mereka kembali

    45Taafsir Al-Misbah,op. cit, vol. 5, hlm. 411.

  • 57

    melakukan dosa serupa maka Allah akan menjatuhkan sanksi

    atas mereka karena sesungguhnya telah berlalu sunnah

    kebiasaan Allah menjatuhkan sanksi atas orang-orang dahulu

    dan semua orang telah mengetahuinya sehingga itu pun akan

    berlaku atas mereka dan mestinya mereka pun telah

    mengetahuinya.

    Ayat ini menunjukkan bahwa orang kafir yang

    memeluk agama Islam, terhapus seluruh dosa dan

    kesalahannya begitu dia memeluk Islam. Tidak juga ia

    dituntut melaksanakan kewajiban keagamaan yang mestinya

    dia amalkan sebelum keislamannya46.

    8. Penafsiran Surat Fatir Ayat 43

    Artinya : Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan

    karena rencana (mereka) yang jahat. Dan tidaklah menimpa makar jahat, kecuali perencana-Nya. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.47

    Ayat 43 berkaitan dengan ayat 42, bahwa ada

    sebagian ulama berpendapat pada ayat 42 menguraikan

    ucapan kaum musyrikin Makah sebelum diutusnya Nabi

    46Ibid, hlm. 420-421. 47 Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 702-703.

  • 58

    Muhammad. Mereka mengetahui sikap orang Yahudi dan

    Nasrani yang mendustakan para Nabi yang diutus Allah.

    Kaum musyrikin Makah itu berkomentar: Demi Allah jika

    kami didatangi oleh Rasul, pasti kami akan bersikap lebih

    baik dari orang-orang Yahudi dan Nasrani itu.

    Thahir Ibnu Asyur berpendapat bahwa ucapan kaum

    Musyrikin Makah ini lahir ketika sebagian orang Yahudi atau

    Nasrani yang menemui mereka di Makah, atau dalam

    perjalanan mereka ke Madinah atau Syam, mengajak kaum

    musyrikin Makah itu memeluk agama Yahudi atau Nasrani

    serta menunjukkan keburukan syirik. Kaum musyrikin segan

    kepada orang Yahudi dan Nasrani, sebab disamping itu

    mereka adalah ahl Al-Kitab juga mereka pandai membaca dan

    menulis. Untuk itu kaum Musyrikin Makah menampik ajakan

    Ahl Al-Kitab tersebut dengan berkata: Rasul yang diutus

    kepada kalian, tidak diutus kepada kami orang Arab. Kami

    bersumpah, sesungguhnya jika datang kepada kami seorang

    pemberi peringatan seperti halnya yang datang kepada kamu,

    niscaya kami akan lebih mendapat petunjuk dan taat dari

    pada kamu semua.48

    Di dalam ayat 43 di atas disebutkan kata makar

    dalam bahasa al-Quran berarti mengalihkan pihak lain dari

    apa yang dikehendaki dengan cara tersembunyi atau tipu

    daya. Kata ini pada mulanya digunakan untuk

    menggambarkan keadakan sekian banyak daun dari satu

    pohon lebat yang saling bergantungan satu dengan yang kain,

    sehingga tidak diketahui pada dahan mana daun itu

    bergantung. Dari sini kata makar digunakan untuk sesuatu

    48 Tafsir Al-Misbah, op. cit, Vol. 11, hlm. 491.

  • 59

    yang tidak jelas. Siapa yang melakukan makar, maka dia

    telah melakukan satu kegiatan yang tidak jelas hakekatnya

    bagi yang dilakukan terhadapnya makar itu. Makar ada dua

    macam, ada yang bertujuan baik dan ada yang buruk. Ayat 43

    menjelaskan bahwa makar yang dimaksud adalah Al-Makr Al-

    Sayyi atau makar yang buruk.49

    Kata yahiqu berarti menimpa atau meliputi.

    Penggalan ayat ini telah menjadi semacam peribahasa, yang

    maksudnya serupa dengan ungkapan siapa yang menggali

    lubang untuk menjerumuskan orang lain, dia sendiri yang

    akan terjerumus ke dalamnya. Ini bukanlah janji tentang

    tidak akan mempan makar buruk terhadap orang lain. Tetapi

    maksudnya makar itu, tidak akan bersinambungan pengaruh

    buruknya terhadap orang lain, tetapi justru terhadap yang

    melakukannya, yang melakukannya akan ditimpa akibat

    buruk upayanya itu, kalau bukan di Dunia ini maka di

    akhirat kelak.

    Kata Quraish Shihab pada ayat 43 ini mengatakan

    siapa pun tidak akan mampu mengubah cara yang ditetapkan

    Allah memperlakukan umat manusia. Kalau kita

    membandingkannya dengan hukum alam, maka kita tidak

    akan menjadikan beku air yang sedang dididihkan sehingga

    mencapai 100 derajat celcius, dan tidak mungkin pula

    mencairkannya saat ia telah mencapai 0 derejat celcius.

    Untuk mencairkan atau membekukan air, kita harus

    berusaha mengubah temperaturnya sesuai dengan ketentuan

    hukum Alllah yang berlaku terhadap air. Dalam hukum-

    hukum kemasyarakatan pun hal serupa terjadi. Kita tidak

    49 IBid, hlm. 493.

  • 60

    mungkin menjadikan masyarakat yang saling bermusuhan

    atau malas, tidak mungkin menjadikannya meraih sukses

    atau kesejahteraan hidup. Sebaliknya siapapun yang

    mengikuti hukum-hukum Tuhan menyangkut syarat-syarat

    pasti akan meraihnya.50

    Siapa pun dari mahluk ini, tidak akan mampu

    mengalihkan hukum Allah dari arah yang telah ditentukan-

    Nya. Bagi yang mendinginkan air hingga mencapai 0 derajat

    celcius tidak mungkin dapat menjadikan air yang lain menjadi

    beku. Bagi yang bekerja keras, tidak mungkin sukses

    usahanya diraih oleh orang yang malas, itu adalah sunnah

    Allah atau kebiasaan-kebiasaan yang diperlakukan-Nya

    terhadap apa, siapa, dan kapan pun. Karena ia adalah

    sunnah yang tidak menyimpang dari arah yang ditetapkan.

    Ada juga ulama yang memahami pergantian

    sunnatullah dalam arti siksa Allah tidak akan diganti dengan

    siksa lain, sedang penyimpangan sunnatullah mereka pahami

    dalam arti bencana yang mestinya menimpa seseorang

    (kaum), tidak dapat dialihkan kepada seseorang (kaum yang

    lain)51.

    50 Ibid, hlm. 493-494. 51Ibid, hlm. 495.

  • 61

    2. Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Peristiwa yang Tekesan Bertentangan Dengan Sunnatullah

    a. Nabi Ibrahim Tidak Terbakar Oleh Api

    Penafsiran surat Al-Anbiya ayat 68-70.

    Artinya : Mereka berkata : Bakarlah dia dan bantulah tuhan-

    tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak. Kami berfirman : Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim. Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.52

    Kaum Nabi Ibrahim yang sangat terpojok dan marah

    terhadap Nabi Ibrahim, mendiskusikan sikap yang harus

    mereka ambil terhadap Nabi Ibrahim. Akhirnya, sebagaimana

    kebiasaan orang kuat yang terpojok, mereka sepakat untuk

    menghabisi Nabi Ibrahim, lalu mengumpulkan bahan bakar

    dan menyalakan api. 53

    Dalam beberapa riwayat dikemukakan bahwa saat

    Nabi Ibrahim dilempar masuk ke dalam kobaran api, Malaikat

    Jibril menemui beliau dan berkata : Adakah hajatmu yang

    dapat ku penuhi? Beliau menjawab : Jika dirimu hai Jibril

    tidak ada. Beliau memang hanya mengharap pertolongan dari

    Allah.

    52 Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 503. 53 Tafsir Al-Misbah, op. cit, Vol. 8, hlm. 476.

  • 62

    Dengan pembakaran itu kaum Nabi Ibrahim hendak

    berbuat makar terhadap Nabi Ibrahim, yakni membunuh dan

    menghabisi ajaran-ajarannya, maka Allah menjadikan mereka

    yang bermaksud buruk itu orang-orang yang paling merugi.

    Rugi karena gagal usaha mereka, dan rugi pula karena

    mereka mendapat murka Allah atas ulah mereka itu. Menurut

    Tahir Ibn Asyur, murka Allah yang menimpa mereka di dunia

    adalah kehancuran kekuasaan orang-orang kafir pada masa

    Nabi Ibrahim, sekitar 286 sebelum masehi.54

    Menurut Quraish Shihab perintah Allah kepada api

    agar menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim

    adalah perintah yang dinamai amr takwiny atau perintah

    perwujudan sehingga dengan demikian Allah mencabut dari

    api potensi panas dan pembakaran dan menjadikannya

    dingin. Tetapi karena dingin dapat membahayakan bila

    melampaui batas, maka perintah menjadi dingin itu dibarengi

    untuk menjadi keselamatan bagi Nabi Ibrahim.

    Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim itu merupakan

    suatu keluarbiasaan yakni di luar hukum-hukum alam yang

    kita kenal, karena itu kita tidak dapat mengetahui hakikat

    peristiwa itu. Memang pembahasan akliyah menyangkut

    peristiwa-peristiwa alam yang biasa terjadi dapat kita jangkau

    melalui pengetahuan kita tentang hukum sebab dan akibat,

    serta pengalaman keseharian yang terjadi berkali-kali kapan

    dan dimana. Adapun peristiwa luar biasa yang hanya terjadi

    sekali, dan tidak kita ketahui hubungannya maka tidak ada

    tempat untuk pembahasan akliyah menyangkut hal tersebut.

    Paling kita dapat mengingatkan bahwa hukum-hukum alam

    54 Ibid, hlm. 479.

  • 63

    tidak lain kecuali ikhtisar dari pukul rata statistik. Setiap

    saat kita melihat air mengalir menuju tempat yang rendah,

    matahari terbit dari sebelah timur, si sakit sembuh karena

    minum obat tertentu dan sebagainya, hal yang lazim kita lihat

    dan ketahui, maka memunculkan rumus-rumus dari apa

    yang dinamai hukum-hukum alam. Tetapi jangan menduga

    bahwa sebab itulah yang mewujudkan akibat, karena para

    ilmuan sendiri pun tidak tahu secara pasti faktor apa dari

    sekian banyak faktor yang menghantarkannya kesana.55

    Hakikat sebab yang diketahui, hanyalah

    berbarengan dan terjadi sebelum terjadinya akibat. Tidak ada

    satu bukti yang dapat menunjukan bahwa sebab itulah yang

    mewujudkan akibat. Sebaliknya sekian banyak kebenaran

    ilmiah yang menghadang pendapat yang menyatakan bahwa

    apa yang kita namakan sebab itulah yang mewujudkan

    akibat. Cahaya yang kita lihat sebelum terdengarnya suara

    letusan meriam, bukanlah penyebab meletusnya meriam,

    kata David Hume, filosof Inggris kenamaan itu (1711-1776 M).

    Apa yang kita namakan kebetulan hari ini mungkin

    merupakan proses dari terjadi suatu kebiasaan atau hukum

    alam. Demikian sementara menurut ahli fikir yang lain.56

    Setelah ditemukannya bagian-bagian atom, elektron

    dan proton, sadarlah ilmuwan masa kini tentang

    ketidakpastian dan lahirlah salah satu prinsip ilmiah yaitu

    probability. Ilmuwan kini mengakui bahwa apa yang sebelum

    ini diduga keadaan A pasti menghasilkan keadaan B, tidak

    dapat lagi dipertahankan. Kini mereka berkata keadaan A

    55Ibid, hlm. 477. 56 Ibid.

  • 64

    boleh jadi mengakibatkan B atau C atau D atau selain itu

    semua. Paling tinggi yang dapat dikatakan adalah bahwa

    keadaan B mengandung kemungkinan yang lebih besar dari

    pada keadaan C dan bahwa derajat kemungkinan keadaan ini

    lebih besar dari keadaan itu. Adapun memastikannya, maka

    hal tersebut di luar kemampuan siapa pun. Ia kembali kepada

    ketentuan takdir, apapun hakekat atau siapa pun takdir itu.

    Manusia atau alat yang digunakan seperti obat bagi

    kesembuhan atau senjata untuk kemenangan, kesemuanya

    hanyalah perantara-perantara. Sehingga pada akhirnya

    seperti kata Einstein, apa yang terjadi semuanya diwujudkan

    oleh suatu kekuatan Yang Maha Dahsyat, lagi Maha

    Mengetahui superior reasoning power, atau dalam istilah al-

    Quran Allah al qowiyu al alim (Allah Yang Maha Perkasa

    Lagi Maha Mengetahui).57

    Tidak ada alasan untuk meragukan adanya mukjizat,

    karena tidak ada perbedaan antara peristiwa yang terjadi

    sekali dengan peristiwa yang terjadi berulang-ulang kali,

    selama kita percaya bahwa yang mewujudkan adalah Allah,

    Tuhan Yang Maha Kuasa Lagi Maha Bijaksana. Yang perlu

    dipertanyakan adalah mengapa ini terjadi pada setiap saat

    dan pada setiap situasi yang sama, sedang mukjizat hanya

    terjadi pada suatu saat atau pada manusia tertentu. Itu yang

    wajar dipertanyakan bukan apakah dia dapat terjadi atau

    tidak.

    Sayyed Quthub berkomentar tentang ayat ini setelah

    terlebih dahulu ia bagaikan mendengar bisikan yang bertanya

    : Bagaimana itu dapat terjadi? komentarnya adalah :

    57 Ibid, hlm. 478.

  • 65

    Mengapa hanya ini saja yang kita tanyakan? Padahal kata

    kuni yang disebut ayat ini, adalah kata yang digunakan untuk

    menggambarkan cepatnya penciptaan seluruh alam raya,

    penetapan sistem dan hukum-hukumnya? Bukankah baginya

    jika dia menghendaki sesuatu hanya berkata kun atau jadilah,

    maka jadilah sesuatu itu? karena itu kita jangan bertanya :

    Bagaimana api tidak membakar Ibrahim, padahal dikenal

    dan disaksikan bahwa api membakar jasmani yang hidup?

    perlu kita ketahui bahwa yang memerintahkan kepada api

    untuk membakar adalah Allah. Dia juga yang memerintahkan

    untuk menjadi dingin dan keselamatan. Kalimat yang satu

    itulah (kun atau Kuni) dengan makna yang dikandungnya

    yang terjadi dalam kenyataan baik kenyataan itu merupakan

    sesuatu yang lumrah bagi manusia, maupun tidak. Hanya

    orang-orang yang membandingkan perbuatan Allah dan

    perbuatan manusia yang bertanya : Bagaimana ini dapat

    terjadi?. Tetapi yang menyadari perbedaannya yang

    demikian jauh bahkan tanpa perbandingan sama sekali maka

    dia tidak akan bertanya, dan tidak pula akan memaparkan

    analisis baik ilmiah maupun bukan ilmiah, karena hal

    tersebut bukan dalam wilayah analisis yang menggunakan

    tolak ukur manusia.58

    Pembakaran atas perintah raja Namrud, adalah

    suatu peristiwa yang dapat dimasukkan pada suatu katagori

    ilmu. Disebabkan merusak patung-patung sesembahan raja-

    rajanya, umatnya dan ayahnya, maka Ibrahim diperintahkan

    untuk dibakar. Umat Islam meyakini bahwa Ibrahim tidak

    hanya selamat dan tidak meninggal bahkan hangus pun

    58 Tafsir Al-Misbah, op.cit, vol. 8, hlm. 477-479.

  • 66

    tidak. Dia keluar dari api unggun dengan utuh. Kalau kita

    sekarang melemparkan seekor kambing hidup atau manusia

    hidup ke dalam api unggun, maka kita yakin bahwa keduanya

    akan mati, hangus jadi arang dan jadi abu. Itulah hukum

    fisika dan biologi. Baik hukum alam benda maupun hukum

    lain dua-duanya adalah hukum Allah dan antara keduanya

    tidak bertentangan.59

    b. Maryam Melahirkan Anak Tanpa Suami Hal ini dijelaskan dalam surat Maryam ayat 20-21

    sebagai berikut :

    Artinya: (Maryam) berkata: Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina (Jibril) berkata :Demikianlah Tuhanmu berfirman : Hal itu bagi-Ku mudah; dan agar Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan rahmat dari Kami; dan hal itu adalah sesuatu yang sudah diputuskan.60

    Muhammad Quraish Shihab dalam ayat ini

    mengatakan bahwa mendengar ucapan malaikat tentang

    anugrah anak itu, Maryam terheran-heran sehingga Maryam

    berkata : Bagaimana dan dengan cara apa akan ada bagiku

    59 Prof. DR. Ace Partadiredja, Al-Quran, Mukjizat, Karomat, Maunat, dan

    Hukum Evolusi Spiritual, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1997, hlm. 14-15.

    60 Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 464.

  • 67

    seorang anak laki-laki yang kulahirkan dari rahimku,

    sedangkan tidak pernah seorang laki-laki pun menyentuhku (

    melakukan hubungan seks) dengan cara halal dan aku sejak

    dahulu hingga kini bukan seorang pezina yang rela

    melakukan hubungan seks tanpa nikah yang sah.

    Malaikat Jibril menampik keheranan Maryam. Jibril

    berkata : Demikian lah benar apa yang engkau katakan.

    Engkau memang tidak pernah disentuh oleh siapa pun dan

    benar juga bahwa seorang anak lahir akibat hubunga seks

    pria dan wanita. Dengan demikian Tuhan berfirman :

    Kelahiran anak tanpa hubungan seks bagi-Ku secara khusus adalah mudah. Kami melakukan itu sebagai anugrah untukmu dan Kami menciptakan seorang anak tanpa melakukan hubungan seks agar Kami menjadikannya suatu tanda yang sangat nyata tentang kesempurnaan kekuatan Kami sehingga menjadi bukti bagi manusia dan untuk menjadi rahmat dari Kami buat seluruh manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk, dan penciptaan seorang anak dalam hal ini Isa as, melalui Maryam tanpa ayah adalah suatu perkara yang sudah diputuskan pasti akan terjadi. Karena itu Maryam terimalah ketetapan Allah itu dengan penuh suka cita dan hati tentram.61

    Kelahiran Isa , merupakan kelahiran tanpa ayah,

    sedangkan Maryam adalah seorang perempuan suci, tidak

    pernah ternoda dan tidak pernah tersentuh seorang laki-laki.

    Mungkinkah Isa adalah seorang dari dunia lain yang

    didatangkan Allah lewat Maryam dengan tujuan untuk

    mendidik umat manusia kejalan yang diridhai Allah.62

    61 Tafsir al-Misbah, op. cit, Vol. 8, hlm, 167. 62 Rahnip M. BA, Sanggahan Terhadap Buku Al-Quran Dasar Tanya Jawab

    Ilmiah Oleh Nazwar Syamsu, Pustaka Progressif, Surabaya, Cet. I, 1979, hlm. 268.

  • 68

    Mengenai peristiwa ini dilanjutkan pada ayat 22-23 sebagai berikut :

    Artinya : Maka ia mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri

    dengannya ketempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia kepangkal pohon kurma, ia berkata: Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti. 63

    Malaikat Jibril meniupkan ruh ke tubuh Maryam,

    maka ia mengandung anak laki-laki yaitu Isa, lalu ketika

    Maryam sadar akan kandungannya ia menyisihkan diri ke

    tempat yang jauh dari tempat sebelumnya. Rasa sakit akibat

    kontraksi akan melahirkan anak memaksa Maryam menuju

    ke pangkal pohon kurma untuk bersandar. Kini terbayang

    oleh Maryam sikap dan cemooh yang akan didengarnya

    karena ia melahirkan anak tanpa memiliki suami, karena

    Maryam berkata, Aduhai, alangkah baiknya aku mati (tidak

    pernah hidup sebelum ini), agar aku tidak memikul aib dan

    malu dari satu perbuatan yang sama sekali tidak kukerjakan

    dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi.64

    Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa

    mayoritas ulama menegaskan bahwa kelahiran Nabi Isa as

    melalui proses biasa, yakni kehamilan selama sembilan bulan,

    tidak seperti pendapat sementara orang bahwa itu terjadi

    sekejap, antara lain dengan menunjuk firman-Nya yang

    63 Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 465. 64 Tafsir Al-Misbah, op. cit, vol. 8, hlm. 168.

  • 69

    menyatakan bahwa Adam dan Isa as, dilahirkan dengan

    kalimat kun fayakun (QS. Ali-Imran : 59). Sebenarnya kalimat

    kun fayakun sama sekali bukan berarti terjadinya sesuatu

    dengan kalimat itu atau dalam masa pengucapan kalimat itu.

    Bukankah terbaca di atas, bahwa ada proses yang terjadi

    pada saat kelahirannya, proses yang makan waktu lebih lama

    dari waktu pengucapan kalimat kun fayakun itu masa

    kelahirannya, sedang masa kehamilannya tidak disinggung di

    sini. Ayat ini hanya mengisyaratkan bahwa setelah kehamilan

    itu (tanda-tanda kehamilannya) sangat sulit disembunyikan

    maka ia menjauh dari keluarganya. Banyak ulama

    berpendapat bahwa lokasi yang dipilihnya adalah Bait Lahem,

    daerah sebelah selatan al-Qudus (Yerusalem) di Palestina, dan

    di sanalah Nabi Isa as dilahirkan.65

    Kata jidi an-Nakhlah adalah batang pohon kurma.

    Al-Biqai memahami keberadaan pohon kurma di tempat dan

    waktu itu sebagai satu keajaiban. Ini karena ulama tersebut

    menduga peristiwa kelahiran Isa as terjadi di musim dingin,

    sedangkan kurma hanya berbuah di musim panas, dan

    sangat sulit bertahan di musim dingin. Selanjutnya ulama itu

    menulis bahwa barangkali beliau sengaja diarahkan ke pohon

    kurma karena banyaknya keserasian antara pohon kurma

    dengan peristiwa kelahiran itu. Pohon kurma tidak dapat

    berbuah kecuali setelah melalui proses perkawinan, sedang di

    sini buahnya berjatuhan tanpa perkawinan dan hanya dengan

    gerakan yang dilakukan Maryam, persis sama dengan apa

    yang dialami oleh kelahiran anak Maryam yang tanpa

    65 Ibid, hlm. 168-169.

  • 70

    perkawinan itu yang lebih aneh lagi bahwa itu terjadi bukan

    pada masa berbuahnya kurma.66

    c. Nabi Isa Dapat Berbicara Pada Saat Dalam Ayunan Ibunya

    Muhammad Quraish Shihab mengatakan dalam

    tafsirnya bahwa ayat sebelumnya menerangkan bahwa Allah

    mengilhami Maryam agar jangan berbicara karena Allah

    bermaksud membungkam semua yang meragukan kesucian

    beliau melalui ucapan bayi yang dilahirkannya itu. Ini juga

    mengesankan bahwa tidak terpuji berdiskusi dengan orang-

    orang yang hanya bermaksud mencari-cari kesalahan atau

    yang tidak jernih pemikiran dan hatinya.67

    Pada ayat 27 dan 28 surat Maryam menunjukkan

    bahwa Maryam datang dengan sengaja sambil menggendong

    anaknya untuk menghadap kaumnya dan itu dilakukannya

    tanpa merasa malu, bahkan dengan penuh percaya diri.

    Sementara ulama berkata bahwa itu terjadi setelah berlalu

    empat puluh hari dari kelahiran Isa as. Di sisi lain dalam

    Perjanjian Baru disebutkan bahwa saat persalinan Maryam, ia

    didampingi oleh tunangannya Yusuf an-Najjar, yang juga

    mendapat ilham bahwa anak yang dikandung Maryam itu

    bukanlah hasil perzinaan tetapi anugrah Allah Yang Maha

    Kuasa.68 Pada ayat 29-32 akan dijelaskan mengenai

    perkataan Isa as sebagai berikut :

    66 Ibid, hlm. 169. 67 Ibid, hlm. I72. 68 Ibid, hlm. 173.

  • 71

    Artinya : Maka ia menunjuk kepadanya. Mereka berkata

    bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan? Ia berkata : Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia telah memberiku al-Kitab dan Dia telah menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana pun aku berada, dan Dia mewasiatiku melaksanakan shalat dan zakat selama aku hidup, dan bakti kepada ibuku dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.69

    Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa

    Maryam yang mendengar tuduhan kaumnya, tetap tegar dan

    tenang lalu sesuai petunjuk yang diterimanya, maka Maryam

    menunjuk kepada anaknya bagaikan berkata Tanyalah anak

    ini, dia akan menjelaskan kepada kalian duduk soalnya

    kaumnya itu berkata bagaimana kami akan berbicara dengan

    anak kecil yang masih berada dalam ayunan ? Isa as berkata

    yang ketika itu masih bayi. Sesungguhnya aku adalah hamba

    Allah, Allah telah memberiku al-Kitab yakni Injil sesuai

    dengan ketetapan-Nya sejak azal, juga mengajarkan kepadaku

    kitab-kitab sebelumnya, seperti Taurat dan Allah telah

    menjadikan aku kelak bila tiba masanya sebagai seorang Nabi

    yakni utusan-Nya untuk menyampaikan tuntunan-tuntunan

    agama kepada Bani Israil. Dan Dia Yang Maha Esa itu juga

    telah menjadikan aku seorang yang diberkati dengan aneka

    keberkatan di mana pun aku berada, dan Dia mewasiati aku

    69 Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 465-466.

  • 72

    yakni memerintahkan dengan sangat kepadaku agar

    melaksanakan secara bersinambungan shalat dan

    menunaikan secara sempurna zakat selama aku hidup, dan

    Dia juga menganugrahkan kepadaku kemampuan lahir dan

    batin untuk bakti, patuh dan taat serta selalu berbuat baik

    kepda ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang

    sombong lagi celaka.70

    70 Tafsir Al-Misbah, op. cit, Vol.8, hlm. 177-178.

  • 73

  • 74