52
April 2014, Vol. 11 No. 1, 110 Online version: http://journal.ipb.ac.id/index.php/entomologi DOI: 10.5994/jei.11.1.1 Jurnal Entomologi Indonesia Indonesian Journal of Entomology ISSN: 1829-7722 Syahrizal Koem 1, 2 *, Yonny Koesmaryono 1 , Impron 1 1 Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Jalan Miranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 2 Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Gorontalo, Jalan Jendral Sudirman No. 6, Gorontalo 96128 (diterima Mei 2013, disetujui Juli 2013) ABSTRAK Iklim merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada kelimpahan hama penggerek batang padi. Penelitian ini bertujuan untuk (i) menyusun model prediksi populasi penggerek batang padi kuning (PBK) dan (ii) menilai kemampuan model untuk memprediksi kelimpahan dan puncak populasi PBK pada skenario perubahan iklim SRES A1FI dan B1. Pemodelan PBK membutuhkan dua komponen utama, yaitu paramater iklim dan suhu ambang bawah perkembangan (T o ) untuk menggambarkan siklus hidup PBK dari tahap telur, larva, pupa, dan imago. Penelitian menggunakan perangkat lunak DYMEX yang dapat menggambarkan perkembangan, mortalitas, transfer individu dari satu tahap ke tahap kehidupan selanjutnya, serta fekunditas dan reproduksi PBK. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) kalibrasi model antara prediksi dan observasi menunjukkan korelasi positif yang kuat dengan nilai R 2 sebesar 0,65. Validasi model juga dapat memprediksi populasi puncak, dengan R 2 sebesar 0,42. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kecenderungan puncak populasi terjadi ketika intensitas curah hujan tinggi, yaitu pada bulan Maret sampai April, Juli sampai September, dan November sampai Desember. Model memprediksi populasi PBK di wilayah Sukamandi mencapai 3 generasi per tahun, sedangkan di Kuningan 2 generasi per tahun. Simulasi model di bawah skenario perubahan iklim SRES A1FI dan B1 menunjukkan perbedaan sensitivitas. Ada kecenderungan peningkatan populasi PBK di wilayah Kuningan, dan kecenderungan penurunan di wilayah Sukamandi. Di bawah perubahan iklim, kondisi lingkungan di Kuningan menjadi lebih cocok untuk perkembangbiakan PBK, yang memungkinkan peningkatan jumlah generasi per tahun. Kata kunci: DYMEX, kelimpahan, model populasi, perubahan iklim, puncak populasi ABSTRACT Rice stem borer abundance are largely influenced by climate. This research aims to (i) develop a population dynamic model of yellow stem borer (YSB) and (ii) to assess the model’s ability to predict abundance and population peak of YSB under climate change scenario SRES A1FI and B1. Modeling the YSB requires two major components: climate parameter and lower developmental threshold temperatures (T o ) to describe life cycle of YSB from the egg, larva, pupa, and adult stages. The research utilized DYMEX software to describe development, mortality, transfer of individuals from one to the next life stages, fecundity and reproduction of YSB. The coefficient of determination (R 2 ) of calibration models between predictions and observations showed a strong positive correlation of 0.65. Model validation could well predict the peak population, with R 2 = 0.42. The simulations showed that the trend of population peak occur at high rainfall i.e. in March to April, July to *Penulis korespondensi: Syahrizal Koem. Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Jalan Miranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Tel: 0251-8623850, Email: [email protected] 1 Pemodelan fenologi populasi penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (Walker) berbasis pengaruh iklim Population phenology modeling of rice yellow stem borer Scirpophaga incertulas (Walker) based on climate effect

Pemodelan fenologi populasi penggerek batang padi kuning ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/vol-11-no.1.pdfApril 2014, Vol. 11 No. 1, 1–10 Online version: DOI: 10.5994/jei.11.1.1

Embed Size (px)

Citation preview

April 2014, Vol. 11 No. 1, 1–10Online version: http://journal.ipb.ac.id/index.php/entomologi

DOI: 10.5994/jei.11.1.1

Jurnal Entomologi IndonesiaIndonesian Journal of EntomologyISSN: 1829-7722

Syahrizal Koem1, 2*, Yonny Koesmaryono1, Impron1

1Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Jalan Miranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

2Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Gorontalo, Jalan Jendral Sudirman No. 6, Gorontalo 96128

(diterima Mei 2013, disetujui Juli 2013)

ABSTRAK

Iklim merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada kelimpahan hama penggerek batang padi. Penelitian ini bertujuan untuk (i) menyusun model prediksi populasi penggerek batang padi kuning (PBK) dan (ii) menilai kemampuan model untuk memprediksi kelimpahan dan puncak populasi PBK pada skenario perubahan iklim SRES A1FI dan B1. Pemodelan PBK membutuhkan dua komponen utama, yaitu paramater iklim dan suhu ambang bawah perkembangan (To) untuk menggambarkan siklus hidup PBK dari tahap telur, larva, pupa, dan imago. Penelitian menggunakan perangkat lunak DYMEX yang dapat menggambarkan perkembangan, mortalitas, transfer individu dari satu tahap ke tahap kehidupan selanjutnya, serta fekunditas dan reproduksi PBK. Nilai koefisien determinasi (R2) kalibrasi model antara prediksi dan observasi menunjukkan korelasi positif yang kuat dengan nilai R2 sebesar 0,65. Validasi model juga dapat memprediksi populasi puncak, dengan R2 sebesar 0,42. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kecenderungan puncak populasi terjadi ketika intensitas curah hujan tinggi, yaitu pada bulan Maret sampai April, Juli sampai September, dan November sampai Desember. Model memprediksi populasi PBK di wilayah Sukamandi mencapai 3 generasi per tahun, sedangkan di Kuningan 2 generasi per tahun. Simulasi model di bawah skenario perubahan iklim SRES A1FI dan B1 menunjukkan perbedaan sensitivitas. Ada kecenderungan peningkatan populasi PBK di wilayah Kuningan, dan kecenderungan penurunan di wilayah Sukamandi. Di bawah perubahan iklim, kondisi lingkungan di Kuningan menjadi lebih cocok untuk perkembangbiakan PBK, yang memungkinkan peningkatan jumlah generasi per tahun.

Kata kunci: DYMEX, kelimpahan, model populasi, perubahan iklim, puncak populasi

ABSTRACT

Rice stem borer abundance are largely influenced by climate. This research aims to (i) develop a population dynamic model of yellow stem borer (YSB) and (ii) to assess the model’s ability to predict abundance and population peak of YSB under climate change scenario SRES A1FI and B1. Modeling the YSB requires two major components: climate parameter and lower developmental threshold temperatures (To) to describe life cycle of YSB from the egg, larva, pupa, and adult stages. The research utilized DYMEX software to describe development, mortality, transfer of individuals from one to the next life stages, fecundity and reproduction of YSB. The coefficient of determination (R2) of calibration models between predictions and observations showed a strong positive correlation of 0.65. Model validation could well predict the peak population, with R2 = 0.42. The simulations showed that the trend of population peak occur at high rainfall i.e. in March to April, July to

*Penulis korespondensi: Syahrizal Koem. Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Jalan Miranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Tel: 0251-8623850, Email: [email protected]

1

Pemodelan fenologi populasi penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (Walker) berbasis pengaruh iklim

Population phenology modeling of rice yellow stem borer Scirpophaga incertulas (Walker) based on climate effect

Koem et al.: Pemodelan fenologi S. incertulas

PENDAHULUAN

Hama penggerek batang padi kuning (PBK) Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Crambidae) terdistribusi di wilayah tropis, seperti Bangladesh, India, Malaysia, Pakistan, Filipina, Sri Langka, Thailand, Vietnam, dan sebagian wilayah Indonesia (Pathak & Khan 1994). Di Indonesia, PBK merupakan hama utama pada tanaman padi dan lebih dominan menyerang khususnya di Provinsi Jawa Barat. Di sisi lain, Jawa Barat merupakan provinsi dengan produksi padi tertinggi, menyumbang rata-rata produksi beras nasional sebesar 17,4% dengan rata-rata luas panen mencapai 1.967.781 ha pada tahun 2009 sampai 2012 (BPS 2012). Pada tahun 2012 luas serangan penggerek batang padi di Kabupaten Karawang, Bekasi, Indramayu, dan Subang masing-masing 11.544, 10.191, 2.377, dan 1.163 ha (DPTP 2012).

Penyebab munculnya PBK diduga akibat dari perubahan iklim (Estay et al. 2009). Fenomena kemarau panjang yang terjadi pada tahun 1982 sampai 1983 menunjukkan bahwa faktor iklim memicu kematian PBK, sementara kondisi pada saat terjadi kemarau panjang hanya memungkinkan untuk penggerek batang padi putih (PBP) S. innotata bertahan hidup, sebab larva PBP mampu berdiapause dan bertahan hidup 10 sampai 12 bulan (Litsinger et al. 2006). Namun, pada tahun 1995 populasi PBP mengalami penurunan, sedangkan populasi PBK meningkat menjadi 30% sehingga PBK lebih mendominasi dengan populasi lebih dari 90% (Suharto & Sembiring 2007; Suharto & Usyati 2008). Disisi lain, PBK lebih mudah beradaptasi dengan iklim monsun (Litsinger et al. 2006) yang merupakan tipe iklim di wilayah Jawa Barat (Aldrian & Susanto 2003). Spesies yang mudah beradaptasi cenderung lebih mobile dan lebih cepat bereproduksi (Harrington et al. 2001).

Penyusunan model prediksi dinamika populasi PBK dilakukan untuk keperluan manajemen

strategis dan pengambilan keputusan ke depan pada kondisi iklim yang cenderung mengalami perubahan setiap dekade. Berdasarkan laporan IPCC (2007a), sejak tahun 1990 sampai 2005 terjadi peningkatan suhu rata-rata global antara 0,15 °C sampai 0,30 °C. Dampak perubahan iklim secara langsung akan mempengaruhi dinamika populasi hama pertanian, seperti fisiologi, kelimpahan, fenologi, dan distribusi serangga (Bale et al. 2002; Dukes et al. 2009; Lastuvka 2009; Shi et al. 2011). Selain itu, perubahan iklim mempengaruhi perubahan dimensi hama (Thomson et al. 2010). Beberapa penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa perubahan iklim dapat mempengaruhi distribusi serangga fitofag khususnya Lepidoptera yang merupakan ordo dari PBK (Cannon 1998; Parmesan et al. 1999; Batalden et al. 2007; Trnka et al. 2007).

Memahami siklus hidup dan dinamika popu-lasi hama yang erat kaitannya dengan iklim penting dilakukan untuk strategi manajemen jangka panjang (Nylin 2001), sedangkan untuk mengurangi kehilangan hasil produksi dan ke-rugian ekonomi diperlukan prediksi musiman yang dapat digunakan dalam menerapkan tindakan pengendalian yang efektif (Nahrung et al. 2008). Proses dinamika tersebut dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak DYMEX, yang meliputi antara lain perkembangan dan mortalitas, kelimpahan dan waktu puncak populasi PBK pada kondisi iklim yang cenderung fluktuatif. Penelitian ini bertujuan menyusun model prediksi jumlah dan puncak populasi PBK berbasis iklim, dan menguji kemampuan model dalam memprediksi kelimpahan dan puncak populasi PBK pada skenario perubahan iklim SRES A1F1 dan B1.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2013 sampai April 2013 di Laboratorium

2

September, and November to December. The model predicted YSB population in the Sukamandi reaches 3 generations per year, while in Kuningan 2 generations per year. Simulation models under climate change scenarios SRES A1FI and B1 showed differences in the sensitivities. Trend of YSB population is increasing in the regions Kuningan and decreasing in region Sukamandi. Under changing climate, environment conditions in Kuningan become more suitable for the proliferation of YSB, allowing an increase in the number of generations per year.

Key words: abundance, climate change, DYMEX, population models, population peak

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 1–10

Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini terdiri atas pengumpulan data light trap populasi harian imago diperoleh dari Balai Besar Peramalan Organisme Penggangu Tanaman (BBPOPT) Jatisari Kabupaten Karawang pada 5 Juni 2011 sampai 10 November 2012, pengumpulan data iklim (suhu minimum dan maksimum, kelembaban minimum dan maksimum, data curah hujan) diperoleh dari dua lokasi stasiun milik Balai Penelitian Agroklimatologi dan Hidrologi (BALITKLIMAT) dan satu stasiun milik BBPOPT Jatisari di wilayah pantai utara Jawa Barat tahun 2009–2012, yaitu Sukamandi Balai Penelitian Tanaman Padi (BALITPA) -6,35 °LS–107,65 °BT alt 50 m dpl, Kuningan Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP) -6,98 °LS–108,46 °BT alt 577 m dpl, SMPK Jatisari -6,21 °LS–107,30 °BT alt 28 m dpl. Penelitian ini menggunakan perangkat lunak DYMEX versi 3.0 untuk menganalisis dinamika populasi PBK dan Climatic Data Generator versi 2.0 untuk membangkitkan data iklim serta Minitab versi 16 untuk uji statistik.

Deskripsi modelDYMEX merupakan model waktu diskrit

yang dapat menelusuri keadaan individu dalam kohort. Sebuah kohort baru akan terbentuk jika satu atau lebih individu memasuki sebuah tahapan kehidupan melalui penggunaan fungsi fisiologis bergantung pada keadaan variabel pada satu waktu tertentu (Kriticos et al. 2009). Pemodelan PBK membutuhkan 2 komponen utama, yaitu paramater iklim dan suhu ambang bawah perkembangan

(To) yang dapat diproses dalam siklus hidup menggunakan DYMEX (Gambar 1). Dalam model ini, siklus hidup PBK dapat dimodelkan dari telur, larva, pupa, dan imago. DYMEX mengidentifikasi tahap kehidupan dalam siklus hidup PBK, serangkaian proses yang menggambarkan siklus hidup, perkembangan, mortalitas, transfer individu dari satu tahap ke tahap kehidupan berikutnya, fekunditas dan reproduksi (Nahrung et al. 2008).

Perkembangan dan mortalitas Periode perkembangan (hari) yang digunakan

untuk menentukan To pada fase telur, larva, dan pupa disajikan pada Tabel 1. To dimaksudkan sebagai suhu ambang yang dapat ditoleransi oleh setiap fase untuk berkembang dan hubungan fungsi linier antara suhu dan laju perkembangan PBK. Data pada Tabel 1 digunakan untuk menentukan laju perkembangan (development rate) pada setiap fase menggukan persamaan DR = 1/d, dengan DR: laju perkembangan (development rate); d: lama perkembangan (hari) (Lauziere et al. 2002). To, yaitu suhu yang menyebabkan tidak terjadi perkembangan PBK atau laju perkembangan (DR) = 0. To setiap fase perkembangan PBK

3Gambar 1. Skema diagram siklus hidup penggerek batang padi kuning dalam DYMEX.

Kelembaban tanah

Mulai

Panjang Hari

Evaporasi

Pupa Imago Telur Larva 3 Larva 4 Larva 1-2

Data iklim harian Suhu min dan max RH min dan max

Curah Hujan Suhu ambang bawah perkembangan (To)

Jumlah populasi luaran

DYMEX Kalibrasi Uji kebaikan model:

Koefisien determinasi (R2)

Data luaran DYMEX dapat digunakan

Validasi model

Simulasi model pada kondisi iklim aktual

Climate change scenario

(SRES A1FI & B1 )

Selesai

Pola dinamika populasi bulanan

Manajemen dan rekomendasi

Apakah pola luaran DYMEX

mendekati observasi ?

Tidak

Ya

Data Iklim harianSuhu min dan maxRH min dan max

Curah Hujan

Panjang Hari Evaporasi Kelembaban

tanah

Suhu ambang bawah perkembangan (To)

Telur Larva 1-2 Larva 3 Larva 4 Pupa Imago

Tabel 1. Periode perkembangan (hari) telur, larva, dan pupa pada suhu konstan (°C)

Suhu (°C) Telur Larva Pupa1520253035

15,8312,66 9,51 5,73 4,03

Periode perkembangan (hari)

75,5655,98

22,5015,9415,41

24,7710,50 9,60 5,56 2,73

Sumber: (Rahman & Khalequzzaman 2004).

Koem et al.: Pemodelan fenologi S. incertulas

ditentukan dengan model regresi linier antara laju perkembangan dan suhu berdasarkan persamaan y = a + bx, dengan y: laju perkembangan (1/d); x: suhu; a dan b: konstanta (Lauziere et al. 2002; Nahrung et al. 2008). To pada fase imago ditentukan dengan menggunakan persamaan:

d: lama perkembangan (hari); T: suhu tinggi yang dibutuhkan untuk perkembangan (°C); To: suhu dasar (°C); DD: derajat hari (Lauziere et al. 2002).

Mortalitas dalam model ini didorong oleh suhu dan kelembaban tanah. Mortalitas konstan pada fase larva diasumsikan 0,01 per hari, sedangkan mortalitas imago dimodelkan dengan menggunakan nilai 0,1 sehingga mengurangi jumlah populasi sebesar 10% (Maywald et al. 2007b). Mortalitas diasumsikan terkait dengan musuh alami, faktor biotik dan abiotik, serta mortalitas akibat usia. Selain itu, larva terlindungi dari faktor-faktor yang menyebabkan mortalitas, sebab posisi larva berada di dalam batang padi. Hal ini yang menyebabkan mortalitas larva relatif lebih rendah dari mortalitas imago.

Tahapan transfer (stage transfer)Seluruh fase mentransfer setelah mencapai

perkembangan penuh, yaitu mencapai usia fisiologis 1. Jika ambang usia fisiologis diatur ke nilai 1 maka usia fisiologis pada setiap waktu akan sama, seperti akumulasi derajat hari di atas ambang suhu perkembangan (Yonow et al. 2004; Maywald et al. 2007a; Nahrung et al. 2008).

Fekunditas dan reproduksi Fekunditas secara umum diartikan sebagai

kemampuan serangga untuk bereproduksi, dan dimodelkan dalam bentuk parameter potensial telur PBK. Jika setiap betina PBK mampu memproduksi telur sebanyak 100 sampai 600 butir (Suharto & Usyati 2008) dan usia rata-rata jantan dan betina masing-masing 2,5 dan 5,09 hari (Krishnaiah et al. 2004), serta dengan mengasumsikan bahwa sex ratio antara jantan dan betina adalah 1 : 2 maka diperoleh telur sebanyak 400 butir dalam populasi.

Reproduksi diasumsikan dikendalikan oleh siklus suhu harian dan curah hujan. Produksi meningkat jika siklus suhu harian berkisar 22 °C, hal ini didasarkan pada suhu minimum rata-rata wilayah kajian. Penggunaan suhu minimum

sebagai indikator reproduksi disebabkan oleh imago betina bereproduksi dan meletakkan telur pada malam hari (bersifat nokturnal). Oleh karena itu, suhu minimum rata-rata dinilai cukup tepat untuk digunakan, sedangkan curah hujan 5 sampai 40 mm atau lebih digunakan sebagai nilai acuan puncak aktivitas munculnya imago betina untuk bereproduksi (Yonow et al. 2004; Krishnaiah et al. 2004).

Kalibrasi, validasi, dan simulasi modelKalibrasi dan validasi model dilakukan

di wilayah Jatisari Kabupaten Karawang menggunakan data populasi imago yang tersedia di lapangan sejak 5 Juni 2011 sampai 10 November 2012, kemudian dibandingkan dengan jumlah populasi yang diperoleh dari hasil prediksi model. Evaluasi kebaikan model mengacu pada indeks statistik koefisien determinasi (R2) antara 0 sampai 1. Simulasi model menggunakan data iklim harian tanggal 1 April 2009 sampai 31 Oktober 2012 untuk menganalisis pola dinamika populasi PBK.

Skenario perubahan iklimNilai perubahan iklim digunakan untuk melihat

respon PBK ±60 tahun kedepan (Tabel 2). Skenario dan proyeksi perubahan suhu udara dan curah hujan berdasarkan pada laporan special report on emissions scenarios (SRES) A1FI dan B1, yaitu proyeksi tahun 2020-an dan 2050-an dengan sub wilayah Southeast Asia (10S - 12N; 100E - 150E) (IPCC 2007b). Respon perbedaan populasi pada setiap skenario perubahan iklim terhadap kondisi iklim kini dianalisis menggunakan uji t untuk 2 sampel berpasangan (paired two sample for means).

HASIL

Persyaratan ambang suhu perkembangan PBKPenentuan To PBK menggunakan model

regresi linier yang didukung oleh data periode perkembangan setiap fase PBK sehingga diperoleh laju perkembangan (1/d) untuk telur 0,040, 0,095, 0,104, 0,180, 0,366, sedangkan laju perkembangan larva 0,013, 0,018, 0,044, 0,063, 0,065, dan laju perkembangan pupa 0,063, 0,079, 0,105, 0,175, 0,248 pada suhu 15 sampai 35 °C. Nilai laju perkembangan setiap fase kemudian digunakan

4

DD= d (T - To), dengan

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 1–10

untuk menentukan To dimana tidak terjadi perkembangan pada setiap fase PBK sehingga diperoleh To adalah 14,4 °C, 11,2 °C, dan 10,6 °C untuk telur, larva, dan pupa pada suhu 15 sampai 35 °C (Tabel 3) sedangkan untuk menentukan To pada fase imago menggunakan nilai thermal constant (DD) dan usia rata-rata (hari) yang dilaporkan oleh Rahman & Khalequzzaman (2004), yaitu 75,2 DD dan 4,8 hari sehingga diperoleh nilai To untuk fase imago, yaitu 19,2 °C.

Kalibrasi dan validasi modelLuaran hasil prediksi model jumlah populasi

imago PBK dan jumlah populasi tangkapan light trap harian dikonversi menjadi total populasi 3 minggu. Luaran hasil prediksi model dan observasi menggunakan nilai ln x + 1 untuk memperkecil nilai karena perbedaan nilai sangat besar antara hasil prediksi model dan observasi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara hasil prediksi dan observasi, yaitu jumlah populasi hasil prediksi lebih tinggi dari jumlah populasi observasi. Namun, prediksi model cenderung mengikuti pola fluktuasi observasi (Gambar 2b) sehingga dapat dikatakan bahwa model yang dibangun hanya memprediksi puncak kelimpahan populasi dan tidak memprediksi secara spesifik jumlah populasi. Nilai R2 antara prediksi dan observasi menunjukkan hubungan yang kuat dan berkorelasi positif dengan nilai R2 sebesar 0,65 (Gambar 2a).

Proses validasi model menunjukkan hasil yang baik antara hasil prediksi dan observasi periode terjadinya puncak populasi. Model dengan baik memprediksi puncak kelimpahan populasi selama periode simulasi. Namun, pada beberapa titik prediksi puncak kelimpahan populasi bergeser 30 hari dari observasi (Gambar 3b). Hubungan linier antara observasi dan prediksi dengan nilai R2 sebesar 0,42 (Gambar 3a). Meskipun nilai R2 hasil kalibrasi dan validasi berbeda, namun hasil validasi model dengan nilai R2 sebesar 0,42 memberikan gambaran bahwa 42% dinamika populasi PBK dipengaruhi oleh faktor iklim, sedangkan 58% dinamika populasi PBK dipengaruhi oleh faktor lain.

DYMEX: Simulasi model pada kondisi iklim kini dan skenario perubahan iklim

Simulasi pada kondisi iklim kini di wilayah Sukamandi menunjukan kecenderungan puncak populasi terjadi ketika curah hujan tinggi, yaitu pada bulan Maret sampai April, Juli sampai September, dan bulan November sampai Desember. Populasi PBK pada semua fase pada saat curah hujan tinggi menunjukan jumlah populasi PBK rendah, sedangkan ketika curah hujan rendah populasi PBK tinggi (Gambar 4). Hasil prediksi model menunjukan bahwa populasi PBK mencapai 3 generasi per tahun di wilayah Sukamandi (Gambar 4), sedangkan di Kuningan 2 generasi per tahun (Gambar 5), hal ini disebabkan

5

Tabel 2. Nilai yang digunakan dalam simulasi untuk skenario perubahan iklim tahun 2020-an dan 2050-an

Sub-wilayah BulanA1FIa B1b

Southeast Asia(10S-12N; 100E-150E)

0,860,920,830,85

0,720,800,740,75

-10-1-2

1000

A1FIa B1b

2020-an

DJFMAMJJASON

Suhu (°C) CH (%)A1FIa B1b

2,252,322,131,32

1,321,341,301,32

230-1

4311

A1FIa B1b

Suhu (°C) CH (%)2050-an

Tabel 3. Persamaan regresi, R2, suhu ambang bawah perkembangan (To) dan derajat hari untuk perkembangan telur, larva, dan pupa penggerek batang padi kuning

Fase perkembanganTelurLarvaPupa

0,840,930,92

14,411,210,6

55,61367,22 98,29

y = 0,0147x - 0,2111y = 0,003x - 0,0335y = 0,0093x - 0,0987

Persamaan regresia R2 To (°C)b DD

Sumber: IPCC (2007b); CH: curah hujan; aA1FI: emisi tinggi; bB1: emisi rendah.

aRentang suhu 15–35 °C; Model regresi linier y = a + bx, dengan y adalah laju perkembangan (1/hari), x adalah suhu, a dan b dalah konstanta. bTo: suhu ambang bawah perkembangan; DD: degree days; R2: nilai koefisien determinasi.

Koem et al.: Pemodelan fenologi S. incertulas

6

oleh pengaruh faktor iklim, yaitu suhu terhadap dinamika yang diterapkan dalam model.

Simulasi model pada skenario perubahan iklim A1FI dan B1 di wilayah Sukamandi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan jumlah populasi imago setelah dilakukan skenario, dengan kecenderungan penurunan jumlah populasi imago untuk proyeksi tahun 2020-an dan 2050-an (Tabel 4 dan 5). Sedangkan jumlah populasi telur pada kondisi iklim kini menunjukkan adanya jumlah populasi yang sama pada saat dilakukan skenario, dengan kata lain telur masih dapat mentolerir peningkatan suhu pada tahun 2020-an dan 2050-an.

Simulasi model di wilayah Kuningan pada ketinggian 577 m dpl memperlihatkan sensitivitas model terhadap dampak perubahan iklim pada dinamika jumlah populasi PBK (Gambar 5). Hasil simulasi diperoleh bahwa pada 2 skenario perubahan iklim yang dilakukan terjadi perbedaan dinamika jumlah populasi PBK. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan jumlah populasi

pada kondisi iklim kini dengan jumlah populasi pada 2 skenario perubahan iklim, dengan kecenderungan kenaikan jumlah populasi PBK (Tabel 4 dan 5).

PEMBAHASAN

Penurunan jumlah populasi PBK pada kondisi iklim kini di wilayah Kuningan dapat disebabkan oleh penurunan fekunditas akibat penurunan suhu (Hodkinson 2005). Penurunan suhu disebabkan oleh perbedaan ketinggian, dimana wilayah Kuningan memiliki ketinggian lebih tinggi (577 m dpl) bila dibandingkan dengan wilayah Sukamandi (50 m dpl). Hal ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa jumlah spesies serangga menurun dengan meningkatnya lintang (Wilf & Labandeira 1999), hal serupa ditemukan bahwa dengan meningkatnya ketinggian terjadi penurunan jumlah spesies yang

Gambar 2. (a) Hubungan antara jumlah populasi imago penggerek batang padi kuning hasil prediksi dan observasi hasil kalibrasi. (b) Jumlah populasi imago 3 minggu 5 Juni-31 Deseber 2011, hasil prediksi (- - -) dan observasi (—) penggerek batang padi kuning.

R² = 0.65n = 1012.5

12.7

12.9

13.1

13.3

1 2 3 4 5 6

Ln (P

redi

ksi +

1)

Ln (Observasi + 1)

Ln (P

redi

ksi +

1)

Ln (Observasi + 1)

13,3

13,1

12,9

12,7

12,50,65

1 2 3 4 5 6

3,40 3,56

1,95

3,00

4,96

1,10

5,13

3,47

1,101,61

12,90

13,14

12,69

13,05

13,15

12,93

13,26

13,12

12,8612,82

12.6

12.8

13.0

13.2

13.4

0

2

3

5

6

05/0

6/11

26/0

6/11

17/0

7/11

07/0

8/11

28/0

8/11

18/0

9/11

09/1

0/11

30/1

0/11

20/1

1/11

11/1

2/11

Ln (P

redi

ksi +

1)

Ln (O

bser

vasi

+1)

Tanggal simulasi

Ln (O

bser

vasi

- 1)

Ln (P

redi

ksi -

1)

Tanggal simulasi

6

5

3

2

0

13,4

13,2

13,0

12,8

12,6

Gambar 3. (a) Hubungan antara jumlah populasi imago penggerek batang padi kuning hasil prediksi dan observasi hasil validasi. (b) Jumlah populasi imago penggerek batang padi kuning 3 minggu 22 Januari–10 November 2012, hasil prediksi (- - -) dan observasi (—) penggerek batang padi kuning.

3,143,89

2,89

4,66

2,20

0,00

1,95

3,53

2,08

7,61

4,63

6,14

4,56

6,09

12,76

12,91 12,9012,95

13,00

12,85

12,97

13,1313,07

13,20 13,16

13,12

13,14 13,13

12.7

12.8

13.0

13.1

13.3

0

2

4

6

8

22/0

1/12

21/0

2/12

22/0

3/12

22/0

4/12

22/0

5/12

22/0

6/12

22/0

7/12

21/0

8/12

21/0

9/12

21/1

0/12

Ln (P

redi

ksi +

1)

Ln (O

bser

vasi

+ 1

)

Tanggal Simulasi

Ln (O

bser

vasi

+ 1)

Ln (P

redi

ksi +

1)

Tanggal simulasi

8

6

4

2

0

13,3

13,1

13,0

12,8

12,7R² = 0.42n = 14

12.7

12.8

13.0

13.1

13.3

0 2 4 6 8

Ln (P

redi

ksi +

1)

Ln (Observasi +1)

13,3

13,1

13,0

12,8

12,7

Ln (P

redi

ksi +

1)

Ln (Observasi + 1)

0,42

0 2 4 6 8

(a) (b)

(a) (b)

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 1–10

7

Gambar 4. Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk imago dan telur wilayah Sukamandi. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an.

Gambar 5. Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk imago dan telur wilayah Kuningan. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an.

disebabkan oleh pengaruh lingkungan (Hoiss et al. 2012). Selain itu, tempat yang lebih tinggi dapat memperlambat reproduksi serangga (Duyck et al. 2010) sehingga jumlah generasi dan jumlah populasi serangga cenderung lebih sedikit.

Kenaikan jumlah populasi PBK di wilayah Kuningan disebabkan oleh semua fase PBK mencapai kondisi suhu ideal untuk berkembang. Pada dasarnya, wilayah Kuningan terletak pada tempat yang lebih tinggi sehingga pada kondisi iklim kini jumlah populasi di wilayah Kuningan

lebih rendah dibandingkan dengan jumlah populasi di wilayah Sukamandi.

Laju perkembangan (development rate) merupakan suatu variabel mendasar dalam membangun model fenologi PBK yang digunakan untuk menentukan To sehingga dengan adanya To dapat digunakan untuk memprediksi puncak populasi di setiap wilayah. Karitani (2006); Nietschke et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan To dan thermal constant (K) berguna dalam menyusun model fenologi populasi serangga

A1FI

12.3

12.7

13.0

13.4

13.7

Popu

lasi

Imag

o

13.4

13.9

14.4

14.9

15.4

01/0

4/09

07/0

8/09

13/1

2/09

20/0

4/10

26/0

8/10

01/0

1/11

09/0

5/11

14/0

9/11

20/0

1/12

27/0

5/12

02/1

0/12

Popu

lasi

Telu

r

Tanggal Simulasi

B1

12.9

13.1

13.3

13.5

13.7

Popu

lasi

Imag

o

14.1

14.5

14.8

15.2

15.5

01/0

4/09

07/0

8/09

13/1

2/09

20/0

4/10

26/0

8/10

01/0

1/11

09/0

5/11

14/0

9/11

20/0

1/12

27/0

5/12

02/1

0/12

Popu

lasi

Telu

rTanggal Simulasi

Sukamandi

13,7

13,4

13,0

12,7

12,3

14,9

14,4

13,9

13,4Popu

lasi

telu

rPo

pula

si im

ago

Tanggal simulasi Tanggal simulasi

15,4

13,7

13,5

13,3

13,1

12,915,5

15,2

14,8

14,5

14,1

B1

12.4

12.7

13.0

13.3

13.6

Popu

lasi

Imag

o

12.7

13.3

14.0

14.6

15.2

01/0

4/09

07/0

8/09

13/1

2/09

20/0

4/10

26/0

8/10

01/0

1/11

09/0

5/11

14/0

9/11

20/0

1/12

27/0

5/12

02/1

0/12

Popu

lasi

Tel

ur

Tanggal Simulasi

A1FI

12.4

12.7

13.0

13.3

13.6

Popu

lasi

Imag

o

12.7

13.3

14.0

14.6

15.2

01/0

4/09

07/0

8/09

13/1

2/09

20/0

4/10

26/0

8/10

01/0

1/11

09/0

5/11

14/0

9/11

20/0

1/12

27/0

5/12

02/1

0/12

Popu

lasi

Tel

ur

Tanggal Simulasi

Kuningan

Popu

lasi

telu

rPo

pula

si im

ago

Tanggal simulasi Tanggal simulasi

13,6

13,3

13,0

12,7

12,415,2

14,6

14,0

13,3

12,7

13,6

13,3

13,0

12,7

12,415,2

14,6

14,0

13,3

12,7

Koem et al.: Pemodelan fenologi S. incertulas

8

Tabel 4. Dinamika populasi penggerek batang padi kuning wilayah Sukamandi dan Kuningan di bawah skenario perubahan iklim SRES A1FI

Wilayah Fase perkembangan t value P valuea

Sukamandi

Kuningan

5,29-1,52-0,57-1,00

-15,50-28,17 -8,29 -9,14

0,0000,1360,5740,323

0,0000,0000,0000,000

STSTSTS

SSSS

10,57 4,01 1,32 1,32

-13,76-28,81 -8,33 -8,88

S/TS2020-an

ImagoTelurLarvaPupa

ImagoTelurLarvaPupa

0,0000,0000,1940,195

0,0000,0000,0000,000

SS

TSTS

SSSS

2050-ant value P value

a S/TS

Tabel 5. Dinamika populasi penggerek batang padi kuning wilayah Sukamandi dan Kuningan di bawah skenario perubahan iklim SRES B1

Wilayah Fase perkembangan t value P valuea

Sukamandi

Kuningan

5,08-1,81-0,63-0,87

-15,09-24,99 -8,47 -9,14

0,0000,0780,5320,388

0,0000,0000,0000,000

STSTSTS

SSSS

7,540,500,190,27

-14,31-28,19 -8,58 -9,11

S/TS2020-an

ImagoTelurLarvaPupa

ImagoTelurLarvaPupa

0,0000,6220,8460,788

0,0000,0000,0000,000

STSTSTS

SSSS

2050-ant value P value

a S/TS

aTaraf nyata sebesar 5%; S: signifikan; TS: tidak signifikan.

aTaraf nyata sebesar 5%; S: signifikan; TS: tidak signifikan.

di era pemanasan global karena fenologi serangga bergantung pada suhu yang memungkinkan terjadinya distribusi geografis serangga (Regniere et al. 2012).

Agar aktivitas memprediksi kejadian hama dapat dilakukan secara lebih baik diperlukan adanya sebuah database dari faktor yang relevan yang mempengaruhi terjadinya kelimpahan hama (Nietschke et al. 2007; Yang et al. 2009), salah satu yang utama adalah database suhu ambang bawah perkembangan (To). Memproyeksikan risiko spesies serangga di bawah skenario perubahan iklim membutuhkan pengamatan time series sejarah dan translokasi spesies untuk validasi (Sutherst et al. 2007). Sebuah kerangka prediksi lebih bermanfaat jika pengembangan model didasarkan pada pemahaman terhadap proses fenologi serangga yang akan dimodelkan, terutama serangga dan tanaman inangnya (Thomson et al. 2010). Kompleksitas faktor ini tidak menjadi hambatan dalam membangun model fenologi populasi karena pemodelan fenologi menggunakan DYMEX memberikan pilihan komponen dalam

menjalankan proses simulasi dengan sederhana yang telah disediakan dalam perpustakaan modul sesuai dengan serangga yang akan dimodelkan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kelimpahannya. Namun, pemodelan yang hanya memperhatikan fakor iklim memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap dinamika populasi serangga. Yonow et al. (2004) menyatakan bahwa 37% faktor iklim mempengaruhi dinamika serangga dinilai hasil prediksi model cukup baik.

KESIMPULAN

Model mampu memprediksi dengan baik pengaruh iklim terhadap populasi PBK dan menghasilkan pola tren yang sesuai antara hasil prediksi dan observasi. Model memprediksi dengan baik jumlah generasi dan puncak populasi ketika intensitas curah hujan tinggi maupun intensitas curah hujan rendah. Puncak populasi tertinggi terjadi pada saat intensitas curah hujan rendah. Model juga dapat diterapkan pada

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 1–10

9

kondisi perubahan iklim sehingga membantu memberikan informasi untuk menilai tingkat risiko dampak perbahan iklim terhadap tingkat kelimpahan populasi PBK. Kemampuan model DYMEX tersebut dapat dipakai untuk merumuskan manajemen dan perencanaan pengendalian populasi PBK saat ini dan masa depan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Lilik Retnowati dan Davied Aprianto Sofyan dari BBPOPT atas dukungan data light trap imago dan data iklim. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Karmila Sari dari BALITKLIMAT atas dukungan data iklim dan kepada jajaran Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan RI atas dukungan data serangan penggerek batang padi.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within indonesia and their relationship to sea surface temperature. International Journal of Climatologi 23:1435–1452. doi: http://dx.doi.org/10.1002/joc.950.

Bale JS, Masters GJ, Hodkinson ID, Awmack C, Bezemer TM, Brown VK, Butterfield J, Buse A, Coulson JC et al. 2002. Herbivory in global climate change research: direct effects of rising temperatures on insect herbivores. Global Change Biology 8:1–16. doi: http://dx.doi.org/10.1046/j.1365-2486.2002.00451.x.

Batalden RV, Oberhauser K, Peterson AA. 2007. Ecological niches in sequential generations of eastern North American Monarch butterflies (Lepidoptera: Danaidae): the ecology of migration and likely climate change implications. Environmental Entomology 36:1365–1373. doi: http://dx.doi.org/10.1603/0046-225X(2007)36[1365:ENISGO]2.0.CO;2.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Cannon RJC. 1998. The implications of predicted climate change for insect pests in the UK, with emphasis on non-indigenous species. Global Change Biology 4:785–796. doi: http://dx.doi.org/10.1046/j.1365-2486.1998.00190.x.

[DPTP] Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2012. Data Luas Serangan Penggerek Batang Padi 2005-2012. Jakarta: DPTP

Dukes JS, Pontius J, Orwig D, Garnas JR, Rodgers VL, Brazee N, Cooke B, Theoharides KA, Stange

EE, Harrington R et al. 2009. Responses of insect pests, pathogens, and invasive plant species to climate change in the forests of northeastern North America: What can we predict?. Canadian Journal of Forest Research 39:231–248. doi: http://dx.doi.org/10.1139/X08-171.

Duyck PF, Kouloussis NA, Papadopoulos NT, Quilici S, Wang JL, Jiang CR, Muller HG, Carey JR. 2010. Lifespan of a Ceratitis fruit fly increases with higher altitude. Biological Journal of the Linnean Society 101:345–350. doi: http://dx.doi.org/10.1111/j.1095-8312.2010.01497.x.

Estay SA, Lima M, Labra FA. 2009. Predicting insect pest status under climate change scenarios: combining experimental data and population dynamics modelling. Journal of Applied Entomology 133:491–499. doi: http://dx.doi.org/10.1111/j.1439-0418.2008.01380.x.

Harrington R, Fleming RA, Woiwod IP. 2001. Climate change impacts on insect management and conservation in temperate regions: can they be predicted?. Agricultural and Forest Entomology 3:233–240. doi: http://dx.doi.org/10.1046/j.1461-9555.2001.00120.x.

Hodkinson ID. 2005. Terrestrial insects along elevation gradients: species and community responses to altitude. Biology Review 80:489–513. doi: http://dx.doi.org/10.1017/S1464793105006767.

Hoiss B, Krauss J, Potts SG, Roberts S, Dewenter IS. 2012. Altitude acts as an environmental filter on phylogenetic composition, traits and diversity in bee communities. Proceedings of the Royal Society B. 279:4447-4456. doi: http://dx.doi.org/10.1098/rspb.2012.1581.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007a. Summary for policymakers: A report of working group I. Cambridge and New York: Cambridge University Press.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007b. Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II. Cambridgeand New York: Cambridge University Press.

Kiritani K. 2006. Predicting impacts of global warming on population dynamics and distribution of arthropods in Japan. Review. Population Ecology 48:5–12. doi: http://dx.doi.org/10.1007/s10144-005-0225-0.

Krishnaiah NV, Prasad ASR, Reddy CS, Pasalu IC, Mishra B, Krishna YSR, Prasad YG, Prabhakar M. 2004. Forewarning and management of rice yellow stem borer Scirpophaga incertulas (Walker). Directorate of Rice Research Rajendranagar. Technical Bulletin 7:1–39.

Kriticos DJ, Watt MS, Withers TM, Leriche A, Watson MC. 2009. A process-based population dynamics model to explore target and non-target impacts of

Koem et al.: Pemodelan fenologi S. incertulas

10

a biological control agent. Ecological Modelling 220:2035–2050. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.ecolmodel.2009.04.039.

Lastuvka Z. 2009. Climate change and its possible influence on the occurrence and importance of insect pests. Plant Protection Science 45:S53–S62.

Lauziere I, Setamou M, Legaspi J, Jones W. 2002. Effect of temperature on life cycle of Lydella jalisco (Diptera: Tachinidae), a parasitoid of Eoreuma loftini (Lepidoptera: Pyralidae). Environmental Entomology 31:432–437. doi: http://dx.doi.org/10.1603/0046-225X-31.3.432.

Litsinger JA, Alviola AL, Cruz CGD, Canapi BL, Batay-An EH, Barrion AT. 2006. Rice white stemborer Scirpophaga incertulas (Walker) in Southern Mindanao, Philippines. I. supplantation of yellow stemborer S. incertulas (Walker) and pest status. International Journal of Pest Management 52:11–21. doi: http://dx.doi.org/10.1080/09670870600552497.

Maywald GF, Kriticos DJ, Sutherst RW, Bottomley W. 2007a. DYMEX model builder version 3. Melbourne: CSIRO Publising.

Maywald GF, Bottomley W, Sutherst RW. 2007b. DYMEX model simulator version 3. Melbourne: CSIRO Publising.

Nahrung HF, Schutze MK, Clarke AR, Duffy MP, Dunlop EA, Lawson SA. 2008. Thermal requirements, field mortality and population phenology modelling of Paropsis atomaria Olivier, an emergent pest in subtropical hardwood plantations. Forest Ecology and Management 255:3515–3523. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.foreco.2008.02.033.

Nietschke BS, Magarey RD, Borchert DM, Calvin DD, Jones E. 2007. A developmental database to support insect phenology models. Crop Protection 26:1444–1448. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.cropro.2006.12.006.

Nylin S. 2001. Life history perspectives on pest insects: What’s the use?. Australian of Ecology 26:507–517. doi: http://dx.doi.org/10.1046/j.1442 -9993.2001.01134.x.

Parmesan C, Ryrholm N, Stefanescus C, Hill JK, Thomas CD, Descimon H, Huntley B, Kaila L, Kullberg J, Tammaru T, Tennent WJ, Thomas JA, Warren M. 1999. Poleward shifts in geographical ranges of butterfly species associated with regional warming. Nature 399:579–583. doi: http://dx.doi.org/10.1038/21181.

Pathak MD, Khan ZR. 1994. Insect Pest of Rice. Manila: International Rice Research Institute.

Rahman MT, Khalequzzaman. 2004. Temperature requirements for the development and survival of rice stemborers in laboratory conditions. Entomologia Sinica 11:47–60.

Regniere J, Powell J, Bentz B, Nealis V. 2012. Effects of temperature on development, survival and reproduction of insects: experimental design, data analysis and modeling. Journal of Insect Physiology 58:634–647. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.jinsphys.2012.01.010.

Shi P, Zhong L, Sandhu HS, Ge F, Xu X, Chen W. 2011. Population decrease of Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera Pyralidae) under climate warming. Ecologi and Evolution 2:58–64. doi: http://dx.doi.org/10.1002/ece3.69.

Suharto H, Sembiring H. 2007. Status hama penggerek batang padi di Indonesia: Apresiasi hasil penelitian padi. BPTP 61–71.

Suharto H, Usyati N. 2008. Pengendalian hama penggerek batang padi. Di dalam: Daradjat et al. (Eds.). Padi Inovasi Teknologi Produksi. pp. 327–349. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Jakarta. LIPI Press.

Sutherst RW, Maywald GF, Bourne S. 2007. Including species interactions in risk assessments for global change. Global Change Biology 13:1843–1859. doi: http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2486.2007. 01396.x.

Thomson LJ, Macfadyen S, Hoffmann AA. 2010. Predicting the effects of climate change on natural enemies of agricultural pests. Biological Control 52:296–306. http://dx.doi.org/10.1016/j.biocontrol.2009.01.022.

Trnka M, Muskab F, Semeradovaa D, Dubrovsky M, Kocmankovaa E, Zaluda Z. 2007. European corn borer life stage model: regional estimates of pest development and spatial distribution under present and future climate. Ecological Modelling 207:61–84. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.ecol model.2007.04.014.

Wilf P, Labandeira CC. 1999. Response of plant-insect associations to paleocene-eocene warming. Science 284:2153–2156. doi: http://dx.doi.org/ 10.1126/science.284.5423.2153.

Yang LN, Peng L, Zhang LM, Zhang LL, Yang SS. 2009. A Prediction model for population occurrence of paddy stem borer (Scirpophaga incertulas), based on back propagation artificial neural network and principal components analysis. Computers and Electronics in Agricultur 68:200–206. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.compag.2009.06.003.

Yonow T, Zalucki MP, Sutherst RW, Dominiak BC, Maywald GF, Maelzer DA, Kriticos DJ. 2004. Modelling the population dynamics of the Queensland fruit fly, Bactrocera (Dacus) tryoni: A cohort-based approach incorporating the effects of weather. Ecological Modelling 173:9–30. doi: http://dx.doi.org/10.1016/S0304-3800(03)00306-5.

April 2014, Vol. 11 No. 1, 11–18Online version: http://journal.ipb.ac.id/index.php/entomologi

DOI: 10.5994/jei.11.1.11

Jurnal Entomologi IndonesiaIndonesian Journal of EntomologyISSN: 1829-7722

Neraca kehidupan kutukebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) pada tanaman cabai dan gulma

babadotan pada suhu 25 °C dan 29 °C

Life table of the silverleaf whitefly, Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) on chili pepper and goatweed

at temperatures 25 °C and 29 °C

Vani Nur Oktaviany Subagyo, Purnama Hidayat*

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJalan Kamper, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

(diterima Juli 2013, disetujui Januari 2014)

ABSTRAK

Bemisia tabaci (Gennadius) merupakan hama penting pada tanaman hortikultura. Selain dapat mengakibatkan kerusakan langsung pada tanaman, B. tabaci juga berperan sebagai vektor virus tanaman yang menyebabkan penyakit keriting kuning pada tanaman cabai. B. tabaci juga dapat menyerang gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman cabai, diantaranya adalah Ageratum conyzoides atau gulma babadotan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari neraca kehidupan B. tabaci pada tanaman cabai dan gulma babadotan. Percobaan dilakukan dengan mengamati 50 telur yang dipelihara pada masing-masing tanaman uji (3 ulangan). Tanaman ditumbuhkan pada suhu 25 °C dan 29 °C di dalam growth chamber dengan pencahayaan 12 jam terang dan 12 jam gelap (L : D = 12 : 12). Hasil analisis neraca kehidupan pada suhu 25 °C dan 29 °C menunjukkan bahwa B. tabaci memiliki laju reproduksi bersih (R0), laju pertambahan intrinsik (r) dan keperidian lebih tinggi pada gulma babadotan dibandingkan dengan tanaman cabai. Oleh karena itu, keberadaan gulma babadotan di sekitar pertanaman cabai perlu diwaspadai, karena dapat menjadi inang yang baik bagi perkembangan B. tabaci.

Kata kunci: Bemisia tabaci, gulma babadotan, neraca kehidupan, tanaman cabai

ABSTRACT

Bemisia tabaci (Gennadius) is an important pest on horticultural crops that can also become a vector of Geminivirus that transmit the yellow curl disease. B. tabaci can also attack weeds that grow around the field such as Ageratum conyzoides or goatweed. The objective of this research was to study the life cycle, life time, fecundity, and reproduction rate of B. tabaci on chili pepper and goatweed. The experiment was conducted by observing the development of 50 eggs into adulthood. All 50 eggs were put on one plant and repeated 3 times. The plants were grown at temperatures 25 °C and 29 °C inside growth chamber (L : D = 12 : 12). The result of this experiments showed that at both temperatures of 25 °C and 29 °C, reproductive rate (R0), intrinsic rate of increase (r) and fecundity of B. tabaci were higher on goatweed than chili pepper. This implies that the existence of goatweed around chili pepper in the field can serve as a good alternative host for B. tabaci, hereby supporting the pest population even further.

Key words: Bemisia tabaci, chili, goatweed, life table

*Penulis korespondensi: Purnama Hidayat. Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Tel/Faks: 0251-8621267, Email: [email protected], [email protected]

11

Subagyo & Hidayat: Neraca kehidupan kutukebul Bemisia tabaci

PENDAHULUAN

Bemisia tabaci (Gennadius) merupakan salah satu spesies kutukebul yang berperan sebagai hama penting pada berbagai tanaman pertanian (Simala et al. 2009). Selain itu, B. tabaci juga memiliki kemampuan sebagai vektor Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) yang umumnya menyerang pertanaman cabai di Indonesia (Ghanim et al. 2001; Sudiono 2003; Polston et al. 2006; Sudiono & Yasin 2006). Kerusakan akibat TYLCV pada pertanaman cabai dapat menyebabkan kehilangan hasil panen 20% sampai 100% (Sudiono 2003; Sudiono & Yasin 2006; Setiawati et al. 2007). B. tabaci juga menyerang berbagai jenis gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman cabai. Salah satu spesies gulma yang paling banyak diserang adalah Ageratum conyzoides (Linnaeus) (Asterales: Asteraceae) atau lebih dikenal dengan nama gulma babadotan (Hendrival 2010). Menurut Meliansyah (2010), terdapat tiga belas jenis spesies gulma yang sudah terinfeksi Geminivirus di Pulau Jawa.

Penyebaran dan perkembangan B. tabaci pada berbagai tanaman didukung oleh kemampuan tingkat reproduksinya yang tinggi dan beberapa faktor lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya dinamika populasi, seperti tanaman inang dan suhu (Naranjo & Ellsworth 2005; Huang et al. 2008; Regniere et al. 2012). Menurut Naranjo & Ellsworth (2005), tanaman inang dapat mempengaruhi aspek biologi dan kelangsungan hidup suatu organisme dan berdasarkan hasil penelitian Kurniawan (2007), B. tabaci memiliki waktu generasi lebih cepat pada tanaman mentimun daripada tanaman cabai. Selain itu, menurut Huang et al. (2008), siklus hidup serangga juga akan lebih cepat seiring dengan meningkatnya suhu dan hasil penelitian Purbosari (2008), juga memperlihatkan bahwa siklus hidup imago B. tabaci pada suhu 29 °C lebih cepat dibandingkan dengan pada suhu ruang dan suhu 23 °C. Oleh kerena itu, informasi mengenai neraca kehidupan B. tabaci pada berbagai tanaman dan pada beberapa tingkatan suhu yang berbeda sangat diperlukan sebagai informasi dasar dalam menelaah perubahan kepadatan dan laju pertumbuhan atau penurunan populasi B. tabaci tersebut, yang hasilnya dapat berguna sebagai bahan pertimbangan tindakan pengendalian serangga ini di lapangan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis neraca kehidupan B. tabaci pada tanaman cabai dan gulma babadotan dengan dua tingkatan suhu yang berbeda, yaitu suhu 25 °C dan 29 °C. Suhu 25 °C dipilih untuk mewakili daerah dataran sedang, sedangkan suhu 29 °C dipilih untuk mewakili daerah dataran rendah. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan pengaruh perbedaan tanaman inang dan suhu terhadap perkembangan dan pertumbuhan B. tabaci.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan waktu penelitianPenelitian dilaksanakan di Laboratorium

Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Februari 2010 sampai Juli 2010.

Persiapan pengujianPerbanyakan serangga. Perbanyakan diawali

dengan menginvestasikan imago atau pupa B. tabaci dari lapangan ke dalam kurungan serangga, dengan tanaman tomat dan kapas sebagai inangnya. Setelah satu bulan populasi imago B. tabaci dalam kurungan digunakan sebagai bahan pengujian.

Persiapan tanaman uji. Tanaman yang digunakan dalam pengujian adalah tanaman cabai varietas Keriting Bogor umur tiga bulan dan gulma babadotan umur satu bulan. Pemilihan jenis tanaman uji didasarkan pada jenis tanaman yang umumnya banyak diserang B. tabaci dan dapat menjadi inang utama atau alternatif B. tabaci di lapangan, sedangkan pemilihan umur tanaman di dasarkan pada kesiapan tanaman untuk diujikan, yaitu tanaman tidak terlalu muda tetapi juga belum berbunga. Budi daya tanaman tidak menggunakan bahan kimia yang dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama.

Pengujian neraca kehidupanPengujian neraca kehidupan pada tanaman

diawali dengan memasukkan 15 individu imago B. tabaci (5 jantan dan 10 betina) ke dalam tabung plastik mika berbentuk silinder yang bagian atasnya dilapisi kain kasa dan pada bagian tengahnya terdapat lubang yang berfungsi untuk

12

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 11–18

memasukkan imago tersebut dan setelah 24 jam, imago dikeluarkan dari tabung.

Setiap tanaman uji terdiri dari 3 ulangan dan banyaknya telur yang diamati pada setiap ulangan adalah 50 telur, sisa telur pada setiap ulangan dimatikan dengan cara ditusuk menggunakan jarum. Sehingga total populasi awal pada setiap jenis tanaman uji dalam suatu suhu adalah 150 telur.

Imago yang dihasilkan dari telur tersebut dipindahkan ke tanaman lain yang sama dengan inang sebelumnya, setiap kurungan hanya berisi satu imago (baik jantan maupun betina). Pengujian dilakukan pada suhu 25 °C dan 29 °C di dalam growth chamber merk SANYO model MLR-350H (L : D = 12 : 12).

Parameter neraca kehidupanSiklus hidup, lama hidup, dan keperidian

dihitung menggunakan software SPSS 15 dengan uji Duncan taraf 5%. Laju reproduksi dihitung berdasarkan parameter demografi menurut Birch (1948), meliputi:1. Laju reproduksi bersih (R0), dihitung dengan persamaan:

2. Laju pertambahan intrinsik (r), dihitung dengan persamaan:

3. Rataan masa generasi (T), dihitung dengan persamaan:

4. Populasi berlipat ganda (DT), dihitung dengan persamaan:

dengan x: kelas umur kohort (hari); lx: proporsi individu yang hidup pada umur ke-x; dan mx: keperidian spesifik individu pada kelas umur ke- x.

Sementara itu, peubah biologi yang diamati adalah lama waktu perkembangan yang dibutuhkan sejak telur diletakkan oleh imago betina sampai

menetas menjadi nimfa instar satu, lama waktu perkembangan yang dibutuhkan nimfa instar satu sampai menjadi pupa, lama waktu perkembangan yang dibutuhkan pupa sampai menjadi imago, lama hidup imago sejak keluar dari pupa sampai mati, masa sebelum peletakkan telur sampai meletakkan telur pertama kali (prapeneluran), dan jumlah telur yang diletakkan imago betina.

HASIL

Siklus hidupSiklus hidup B. tabaci pada suhu 25 °C

lebih singkat 3,79 hari pada gulma babadotan dibandingkan dengan pada tanaman cabai, sedangkan pada suhu 29 °C lebih singkat 1,63 hari pada tanaman cabai dibandingkan dengan pada gulma babadotan (Tabel 1). Hasil penelitian juga memperlihatkan adanya penurunan lamanya siklus hidup seiring peningkatan suhu pada tanaman cabai sebesar 3,92 hari, tetapi penurunan ini tidak terjadi pada gulma babadotan yang mengalami penurunan kondisi secara fisik (mengeringnya beberapa helai daun bagian bawah) pada suhu 29 °C, sehingga siklus hidup B. tabaci pada gulma babadotan mengalami peningkatan 1,5 hari seiring meningkatnya suhu perlakuan.

Lama hidupLama hidup B. tabaci pada suhu 25 °C

lebih singkat 3,13 hari pada gulma babadotan dibandingkan dengan pada tanaman cabai, sedangkan pada suhu 29 °C lebih singkat 2,04 hari pada tanaman cabai dibandingkan dengan pada gulma babadotan (Tabel 1). Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa peningkatan suhu akan mempersingkat lama hidup B. tabaci pada tanaman cabai sebesar 4,21 hari, tetapi penurunan lama hidup seiring peningkatan suhu tidak terjadi pada gulma babadotan. Lama hidup B. tabaci pada

13

T = Σxlxmx/Σlxmx

r = ln R0/T

R0 = Σlxmx

DT = ln (2)/r

Tabel 1. Siklus hidup, lama hidup, dan keperidian Bemisia tabaci pada suhu 25 °C dan 29 °C pada tanaman cabai dan gulma babadotan

Parameter populasiCabai Babadotan

Siklus hidup (hari)Lama hidup (hari)Keperidian (butir telur)

21,04 ± 0,91 a27,00 ± 2,62 a31,96 ± 10,65 a

22,67 ± 1,01 b29,04 ± 1,68 b43,83 ± 9,64 b

25 °C

24,96 ± 2,22 b31,21 ± 3,79 b37,71 ± 18,11 a

Cabai21,17 ± 1,61 a28,08 ± 3,51 a48,50 ± 17,01 b

Babadotan29 °C

Angka-angka pada baris yang sama dan suhu yang sama serta diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf α = 5%.

Subagyo & Hidayat: Neraca kehidupan kutukebul Bemisia tabaci

gulma babadotan pada suhu 25 °C lebih singkat 0,96 hari dibandingkan dengan pada suhu 29 °C.

KeperidianKeperidian imago betina B. tabaci pada suhu

25 °C pada tanaman cabai dan gulma babadotan secara berurutan adalah 37,71 dan 48,50 butir telur (Tabel 1). Puncak nilai mx pada tanaman cabai terjadi pada hari ke-25 dengan rata-rata 6,53 butir telur per satu individu betina, sedangkan puncak nilai mx pada gulma babadotan terjadi pada hari ke-22 dengan rata-rata 8,34 butir telur per satu individu betina (Gambar 1a dan 2a). Sementara itu, keperidian imago betina B. tabaci pada suhu 29 °C pada tanaman cabai dan gulma babadotan secara berurutan adalah 31,96 dan 43,83 butir telur (Tabel 1). Puncak nilai mx pada tanaman cabai terjadi pada hari ke-21 dengan rata-rata 6,89 butir telur per satu individu betina, sedangkan puncak nilai mx pada gulma babadotan terjadi pada hari ke-22 dengan rata-rata 7,80 butir telur per satu individu betina (Gambar 1b dan 2b).

Laju kematian B. tabaci pada suhu 25 °C dan 29 °C pada tanaman cabai dan gulma babadotan mulai terjadi pada stadia telur, yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah telur pada hari ke-12 dan ke-9 pada suhu 25 °C (Gambar 1a dan 2a) dan pada hari ke-6 dan ke-12 pada suhu 29 °C (Gambar 1b dan 2b). Persentase keberhasilan telur untuk menetas dapat dilihat dari data kematian pada stadia telur, dimana keberhasilan telur untuk menetas pada suhu 25 °C sebesar 98,67% pada gulma babadotan, sedangkan pada tanaman cabai sebesar 99,33%. Sementara itu, persentase keberhasilan telur menetas pada suhu 29 °C pada tanaman cabai dan gulma babadotan secara berurutan sebesar 91,33% dan 94,67%.

Laju reproduksiNilai R0 atau laju reproduksi bersih pada

tanaman cabai dan gulma babadotan pada suhu 25 °C masing-masing adalah 28,94 dan 57,28 individu per induk per generasi. Pada suhu 29 °C nilai R0 pada tanaman cabai dan gulma babadotan secara berurutan adalah 15,77 dan 23,09 individu per induk per generasi. Hasil penelitian juga menunjukkan seiring peningkatan suhu dari 25 °C ke 29 °C terjadi penurunan nilai R0 pada tanaman cabai dan gulma babadotan, secara berurutan nilainya adalah 13,17 dan 34,19 individu per induk per generasi (Tabel 2).14

Gambar 1. Kurva individu Bemisia tabaci yang hidup pada umur ke-x (lx) dan rataan keperidian individu B. tabaci pada umur ke-x (mx) pada tanaman cabai pada suhu 25 °C (a) dan 29 °C (b).

Gambar 2. Kurva individu Bemisia tabaci yang hidup pada umur ke-x (lx) dan rataan keperidian individu B. tabaci pada umur ke-x (mx) pada gulma babadotan pada suhu 25 °C (a) dan 29 °C (b).

1 6 11 16 21 26 31

1,2

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

9,08,07,06,05,04,03,02,01,00,0

1,2

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

9,08,07,06,05,04,03,02,01,00,0 1 6 11 16 21 26 31 36

Hari

Hari

1,2

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

9,08,07,06,05,04,03,02,01,00,0

1 6 11 16 21 26 31

1,2

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

9,08,07,06,05,04,03,02,01,00,0

1 6 11 16 21 26 31 Hari

Hari

Indi

vidu

yan

g be

rtaha

n hi

dup

(Ix)

Rat

aan

kepe

ridia

n be

tina

per h

ari (

mx)

Indi

vidu

yan

g be

rtaha

n hi

dup

(Ix)

Rat

aan

kepe

ridia

n be

tina

per h

ari (

mx)

(a)

(b)

(a)

(b)

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 11–18

Nilai r B. tabaci pada suhu 25 °C pada tanaman cabai dan gulma babadotan berturut-turut adalah 0,13 dan 0,18 individu per induk per hari. Pada suhu 29 °C nilai r pada tanaman cabai dan gulma babadotan adalah 0,12 dan 0,13 individu per induk per hari. Nilai r pada tanaman cabai dan gulma babadotan menurun seiring meningkatnya suhu, besarnya penurunan nilai r secara berurutan adalah 0,1 dan 0,5 individu per induk per hari. Perbedaan nilai r ini disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat kematian, kelahiran, dan waktu perkembangan B. tabaci pada masing-masing tanaman tersebut disetiap tahap pengujian (Tabel 2).

Rataan masa generasi B. tabaci pada suhu 25 °C pada tanaman cabai dan gulma babadotan masing-masing adalah 25,68 dan 22,74 hari, sedangkan nilai T B. tabaci pada suhu 29 °C pada tanaman cabai dan pada gulma babadotan secara berurutan adalah 22,97 dan 24,45 hari. Rataan masa generasi B. tabaci pada tanaman cabai seiring meningkatnya suhu mengalami penurunan 2,71 hari, sedangkan pada gulma babadotan seiring meningkatnya suhu masa generasi B. tabaci bertambah 1,71 hari (Tabel 2).

Waktu yang dibutuhkan B. tabaci untuk berlipat ganda (DT) pada suhu 25 °C pada tanaman cabai dan gulma babadotan masing-masing adalah 5,33 dan 3,85 hari, sedangkan DT B. tabaci pada suhu 29 °C pada tanaman cabai dan gulma babadotan secara berurutan adalah 5,78 dan 5,33 hari. Nilai DT pada tanaman cabai dan gulma babadotan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu dari 25 °C ke 29 oC, secara berurutan adalah 0,45 dan 1,48 hari.

PEMBAHASAN

Perbedaan siklus hidup serangga dapat dipengaruhi oleh jenis spesies, tanaman inang,

suhu, dan teknik perbanyakan serangga tersebut dan beberapa faktor dari tanaman yang dapat mempengaruhi serangga dalam proses pemilihan dan penentuan inang adalah bentuk daun, jumlah trikoma, serta senyawa kimia hasil proses metabolisme sekunder tanaman tersebut (Morgan et al. 2001; Schoonhoven et al. 2005). Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siklus hidup B. tabaci lebih singkat pada gulma babadotan dibandingkan dengan pada tanaman cabai. Menurut Muniz (2000), B. tabaci memang memiliki kesesuaian hidup yang tinggi pada beberapa jenis gulma.

Faktor lainnya yang juga mempengaruhi siklus hidup B. tabaci adalah suhu, dimana semakin meningkatnya suhu maka siklus hidup serangga akan semakin singkat, tetapi pada suhu di atas 30 °C waktu yang diperlukan serangga untuk menyelesaikan siklus hidupnya pada umumnya akan lebih lama, karena kemampuan bertahan hidupnya menurun drastis (Wang & Tsai 1996). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian, dimana siklus hidup dan lama hidup B. tabaci pada tanaman cabai pada suhu 29 °C lebih singkat dibandingkan dengan pada suhu 25 °C. Namun, penurunan waktu siklus hidup dan lama hidup B. tabaci seiring dengan peningkatan suhu, tidak terjadi pada gulma babadotan. Hal ini disebabkan oleh, adanya penurunan kondisi gulma babadotan (daun mengering) yang berpengaruh pada perkembangan B. tabaci, karena kisaran suhu optimum bagi gulma babadotan itu sendiri menurut Moenandir (1988) adalah pada suhu 16 °C sampai 24 °C.

Jumlah individu betina dalam suatu populasi dapat mempengaruhi nilai keperidian, sedangkan jumlah telur yang dihasilkan oleh imago betina dapat memperlihatkan tingkat kesesuaian individu pada tanaman inangnya (Wang & Tsai 1996). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kedua suhu pengujian keperidian B. tabaci lebih tinggi

15

Tabel 2. Neraca kehidupan Bemisia tabaci tanaman cabai dan gulma babadotan pada suhu 25 °C dan 29 °C

Parameter populasiCabai Babadotan

R0rTDT

15,77 0,1222,97 5,78

23,09 0,1324,45 5,33

25 °C

28,94 0,1325,68 5,33

Cabai57,28 0,1822,74 3,85

Babadotan29 °C

R0: laju reproduksi bersih (individu/induk/generasi); r: laju pertambahan intrinsik (individu/induk/hari); T: rataan masa gene-rasi (hari); DT: waktu untuk populasi berlipat ganda (hari)

Subagyo & Hidayat: Neraca kehidupan kutukebul Bemisia tabaci

16

pada gulma babadotan dibandingkan dengan pada tanaman cabai, selain itu seiring peningkatan suhu terjadi penurunan keperidian imago betina baik pada tanaman cabai maupun pada gulma babadotan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Purbosari (2008), yang menunjukkan bahwa keperidian imago betina B. tabaci pada suhu 23 °C lebih tinggi dibandingkan dengan pada suhu ruang dan suhu 29 °C. Peningkatan suhu juga berpengaruh pada pergeseran kurva mx, bergeser ke sebelah kiri seiring dengan peningkatan suhu, kecuali pada gulma babadotan yang memang mengalami penurunan kondisi secara fisik pada suhu 29 °C, sehingga hasilnya berdampak lain. Hal ini berarti, peningkatan suhu akan mempercepat waktu peneluran dan mempersingkat masa peneluran.

Laju reproduksi dapat menggambarkan kesesuaian tanaman inang bagi B. tabaci, karena hasil siklus hidup, lama hidup, dan keperidian belum bisa menggambarkan hal tersebut (Birch 1948). Nilai R0 yang tinggi memperlihatkan tingkat kesesuian hidup B. tabaci pada suatu tanaman. Nilai R0 paling tinggi pada suhu 25 °C dan 29 °C terdapat pada gulma babadotan sehingga dapat disimpulkan bahwa B. tabaci lebih sesuai hidup pada gulma babadotan dibandingkan dengan tanaman cabai. Penurunan nilai R0 yang tinggi pada gulma babadotan pada suhu 29 °C tidak akan merubah kesimpulan bahwa B. tabaci lebih sesuai hidup pada gulma babadotan pada suhu tersebut. Hal ini disebabkan oleh singkatnya waktu untuk populasi berlipat ganda (DT) pada gulma babadotan dibandingkan dengan pada tanaman cabai. Nilai DT yang tinggi akan meningkatkan nilai R0 dalam satuan waktu tertentu dan jika nilai R0 < 1 artinya populasi serangga akan menurun menuju kepunahan, sedangkan bila R0 > 1 artinya populasi serangga akan meningkat (Birch 1948).

Menurut Birch (1948), jika nilai r lebih kecil dari nilai r minimum artinya spesies tersebut gagal dalam bertahan hidup. Suatu populasi akan mencapai nilai r yang tinggi apabila suatu individu mencapai fase dewasa dengan tingkat reproduksi yang lebih awal. Nilai r tertinggi dari hasil pengujian terdapat pada gulma babadotan, baik pada suhu 25 °C maupun pada suhu 29 °C. Tingginya nilai r ini disebabkan oleh tingginya keperidian, rendahnya mortalitas pradewasa dan

masa dewasa B. tabaci pada gulma babadotan pada kedua suhu tersebut. Tetapi, nilai laju pertambahan intrinsik (r) yang tinggi pada suatu spesies tidak selalu diartikan sebagai tingkat keberhasilan dalam suatu habitat. Hal ini disebabkan oleh adanya proses seleksi dari spesies tersebut agar nilai r nya menjadi relatif tinggi, sehingga dapat berkompetisi dengan spesies yang lain (Birch 1948).

Rataan masa generasi (T) adalah rataan waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga saat imago betina menghasilkan separuh keturunannya (Birch 1948). Spesies pada suatu populasi yang mempunyai nilai T yang rendah akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan spesies pada populasi yang mempunyai nilai T yang tinggi dan dari hasil pengujian menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan B. tabaci untuk menghasilkan separuh keturunannya pada gulma babadotan lebih singkat dibandingkan dengan pada tanaman cabai pada suhu 25 °C, sedangkan pada suhu 29 °C adalah sebaliknya. Hal ini berarti, pada tanaman cabai populasi B. tabaci tumbuh lebih cepat pada suhu 29 °C dibandingkan dengan pada suhu 25 °C, sedangkan pada gulma babadotan populasi B. tabaci tumbuh lebih cepat pada suhu 25 °C dibandingkan dengan pada suhu 29 °C. Walaupun demikian, kesesuaian inang tidak dapat digambarkan hanya dari nilai T, karena nilai R0, r, dan DT juga sangat berpengaruh.

Waktu yang dibutuhkan B. tabaci untuk berlipat ganda (DT) pada kedua suhu lebih singkat pada gulma babadotan dibandingkan dengan pada tanaman cabai. Menurut Birch (1948), nilai populasi berlipat ganda yang tinggi pada suatu individu dapat menyebabkan penurunan sumber daya lingkungan dan mempengaruhi nilai laju pertambahan intrinsik (r). Terlihat bahwa nilai DT yang tinggi pada suhu 29 °C, telah mempengaruhi penurunan nilai r dari suhu 25 °C ke suhu 29 °C. Pertambahan individu dalam suatu populasi akan mengurangi sumberdaya pada lingkungan tersebut yang diasumsikan konstan. Sementara itu, peningkatan nilai DT seiring dengan peningkatan suhu pada kedua tanaman inang menunjukkan bahwa B. tabaci pada tanaman cabai dan gulma babadotan akan lebih cepat berlipat ganda pada suhu 25 °C.

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 11–18

17

KESIMPULAN

Siklus hidup dan lama hidup B. tabaci pada suhu 25 °C lebih singkat pada gulma babadotan dibandingkan dengan pada tanaman cabai, sedangkan pada suhu 29 °C terjadi sebaliknya. Nilai keperidian B. tabaci pada gulma babadotan di kedua suhu pengujian lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanaman cabai. Hasil laju reproduksi B. tabaci pada suhu 25 °C dan 29 °C menunjukkan bahwa B. tabaci lebih sesuai hidup pada gulma babadotan dibandingkan dengan pada tanaman cabai. Oleh karena itu, keberadaan gulma babadotan disekitar pertanaman cabai harus diwaspadai, karena dapat menjadi inang yang baik bagi perkembangan B. tabaci.

DAFTAR PUSTAKA

Birch LC. 1948. The intristic rate of natural increase of an insect population. The Journal of Animal Ecology 17:15–26.

Ghanim M, Morin S, Czosnek H. 2001. Rate of Tomato yellow leaf curl virus translocation in the circulative transmission pathway of its vector, the whitefly Bemisia tabaci. Phytopathology 91:188–196.

Hendrival. 2010. Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae): Kisaran Inang, Dinamika Populasi, dan Kelimpahan Musuh Alami di Area Pertanaman Cabai Merah di Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Provinsi DIY. Master Thesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Huang Z, Ren S, Musa PD. 2008. Effects of temperature on development, survival, longevity, and fecundity of the Bemisia tabaci Gennadius (Homoptera: Aleyrodidae) predator, Axinoscymnus cardilobus (Coleoptera: Coccinellidae). Biological Control 46(2008): 209–215.

Kurniawan HA. 2007. Neraca Kehidupan Kutu- kebul Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae) Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun (Curcumis sativus L.) dan Cabai (Capsicum annuum L.). Master Thesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Meliansyah R. 2010. Peranan Gulma sebagai Inang Alternatif Geminivirus di Pertanaman Cabai di Jawa. Master Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Moenandir J. 1988. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Jakarta: Rajawali Press.

Morgan D, Walters KFA, Aegerter JN. 2001. Effect of temperatur and cultivar on pea Aphid, Acyrthosiphon pisum (Hemiptera: Aphididae) life history. Bulletin of Entomological Research 91:47–52.

Muniz M. 2000. Host suitability of two biotypes of Bemisia tabaci on some common weeds. Entomologia Experimentalis et Applicata 95: 63–70.

Naranjo SE, Ellsworth PC. 2005. Mortality dinamics and population regulation in Bemisia tabaci. Entomologia Exsperimentalis et Applicata 116:93–108.

Polston JE, Cohen L, Sherwood TA, Ben JR, Lapidot M. 2006. Capsicum species: Symptomless hosts and reservoirs of Tomato yellow leaf curl virus. Phytopathology 96:447–452.

Purbosari S. 2008. Neraca Kehidupan Kutukebul, Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Suhu 23 °C, Ruang, dan 29 °C. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Regniere J, Powell J, Bentz B, Nealis V. 2012. Effects of temperature on development, survival and reproduction of insects: Experimental design, data analysis and modeling. Journal of Insect Physiology 58 (2012):634–647.

Schoonhoven LM, Loon JJA van, Dicke M. 2005. Insect Plant Biology. Oxford: Oxford University Press.

Setiawati W, Udiarto BK, Soetiarso TA. 2007. Selektivitas beberapa insektisida terhadap hama kutukebul (Bemisia tabaci Genn.) dan predator Menochilus sexmaculata. Jurnal Hortikultura 17:168–174.

Simala M, Milek TM, Koric B. 2009. Whitefly species (Hemiptera: Aleyrodidae) recorded on imported ornamental plants in Croatia from 2005–2008. In: Joze Macek (Ed.), Proceedings of the 9th International Symposium on Plant Protection; (Nova Gorica, 2009 March 4–5). pp. 389–396. Nova Gorica: Drustvo za Varstvo Rastlin Slovenije.

Sudiono. 2003. Deteksi symtomolgy dan teknik PCR virus gemini asal tanaman tomat. Jurnal Agritek 11:537–544

Sudiono, Yasin N. 2006. Karakteristik kutukebul (Bemisia tabaci) sebagai vektor virus gemini dengan teknik PCR-RAPD. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 6:113–119.

Wang K, Tsai JH. 1996. Temperature effect on development and reproduction of silverleaf

Subagyo & Hidayat: Neraca kehidupan kutukebul Bemisia tabaci

whitefly (Homoptera: Aleyrodidae). Annals of the Entomological Society of America 89:573–579.

18

April 2014, Vol. 11 No. 1, 19–26Online version: http://journal.ipb.ac.id/index.php/entomologi

DOI: 10.5994/jei.11.1.19

Jurnal Entomologi IndonesiaIndonesian Journal of EntomologyISSN: 1829-7722

Aras kerusakan ekonomi (AKE) larva Ostrinia furnacalis (Lepidoptera: Crambidae) pada

tiga fase pertumbuhan tanaman jagung

Economic injury level (EIL) of Ostrinia furnacalis (Lepidoptera: Crambidae) larvae on three growth stages of corn

Subiadi¹*, Y. Andi Trisyono², Edhi Martono²

¹Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua BaratJalan Base Camp – Arfai Gunung Kompleks Perkantoran Pemda

Papua Barat, Manokwari 98315²Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,Universitas Gadjah Mada

Jalan Flora No.1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281

(diterima Juli 2013, disetujui Januari 2014)

ABSTRAK

Penggerek batang jagung Asia, Ostrinia furnacalis (Guenée) merupakan hama penting tanaman jagung dan telah tersebar luas di wilayah Asia-Pasifik termasuk Indonesia sehingga perlu dikendalikan dengan memperhatikan analisis biaya dan manfaat pengendalian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepadatan populasi larva O. furnacalis terhadap tingkat kehilangan hasil pada tiga fase pertumbuhan tanaman jagung, dan untuk menghitung nilai aras luka ekonomi (ALE) larva O. furnacalis pada tiga fase pertumbuhan tanaman jagung (V10, R1, dan R2). Percobaan ditata berdasarkan rancangan petak terpisah dengan rancangan lingkungan rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Selisih bobot biji gram per tanaman antara tanaman yang tidak diinfestasi larva (kontrol) dan infestasi enam larva per tanaman untuk fase V10, R1, dan R2, masing-masing adalah 59,81, 58,76, dan 49,20 g/tanaman. Model regresi linier menunjukkan bahwa setiap pertambahan satu larva per tanaman pada fase V10, R1, dan R2 akan menurunkan hasil masing-masing 4,94%, 4,56%, dan 3,76%. Nilai ALE dikalkulasi dengan asumsi pengendalian dengan pestisida akan menurunkan populasi larva O. furnacalis sebesar 67%. Nilai ALE terendah terdapat pada fase V10 sebesar 0,31 larva per tanaman ketika biaya pengendalian Rp.125.000 per ha dan nilai tanaman Rp.12.000.000 per ha. Nilai ALE tertinggi terdapat pada fase R2 sebesar 1,24 larva per tanaman ketika biaya pengendalian Rp.250.000 per ha dan nilai tanaman Rp.8.000.000 per ha.

Kata kunci: jagung, kehilangan hasil, Ostrinia furnacalis

ABSTRACT

The Asian corn borer, Ostrinia furnacalis (Guenée) is an important economic pest of corn and is widely distributed in the Asia-Pacific region, including Indonesia. The objective of this research is to investigate the effect of infestation levels of O. furnacalis larvae per plant on corn grain yield reductions, and to determine economic injury levels (EIL) of O. furnacalis larvae at three growth stages (V10, R1, and R2) of corn. The experiment was designed in a split-plot randomized complete

*Penulis korespondensi: Subiadi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat, Jalan Base Camp – Arfai Gunung, Kompleks Perkantoran Pemda, Provinsi Papua Barat, Manokwari 98315 Tel: 081343673122, Email: [email protected], [email protected].

19

Subiadi et al.: AKE larva penggerek batang jagung

PENDAHULUAN

Salah satu hama yang memiliki arti penting terhadap budi daya tanaman jagung adalah genus Ostrinia (Crambidae: Pyraustinae), yaitu penggerek batang jagung Eropa O. nubilalis (Hubner) dan penggerek batang jagung Asia O. furnacalis (Guenee) (Ohno et al. 2003). O. furnacalis merupakan hama penting pada jagung di Filipina, Kamboja, Vietnam, Cina, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Papua New Guinea (Granados 2000). Di Indonesia serangga ini menyebar luas di Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Sumatera (Waterhouse 1993).

O. furnacalis merupakan hama minor dan sporadis pada tanaman jagung, tetapi bila terjadi serangan bobot, kehilangan hasil bisa mencapai 20–80% (Guo & Li 2009). Saat ini O. furnacalis menjadi hama penting dimanapun jagung dibudidayakan (Capinera 2008).

Kehilangan hasil dapat berbeda pada berbagai tempat bergantung pada kepadatan populasi larva dan umur tanaman saat diserang (Nonci 2004). Larva O. furnacalis mulai menyerang jagung pada minggu ketiga setelah penanaman dengan memakan daun dan mulai menggerek batang dari minggu kelima setelah penanaman sampai panen (Douangboupha et al. 2006). Kehilangan hasil mencapai 28% terjadi pada batang yang ditemukan satu lubang gerekan, dan 48% pada batang yang ditemukan empat lubang gerekan (Litsinger et al. 2007).

Pengendalian hama sering difokuskan pada tindakan pencegahan dan tidak didasarkan pada analisis manfaat sehingga terkadang biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian hanya menambah ongkos produksi karena pengendalian dilakukan sebelum ada hama, atau hama sudah merusak baru

dikendalikan. Karena itu, perlu penentuan tingkat kepadatan populasi hama yang menjadi dasar untuk pengambilan keputusan pengendalian hama yang disebut dengan nilai aras kerusakan ekonomi (AKE). Nilai AKE adalah tingkat kepadatan populasi hama yang merupakan titik impas antara biaya pengendalian dan hasil yang terselamatkan bila dilakukan pengendalian. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan kepadatan populasi larva O. furnacalis terhadap tingkat kehilangan hasil pada tiga fase pertumbuFhan tanaman jagung, dan untuk menghitung nilai AKE larva O. furnacalis pada tiga fase pertumbuhan tanaman jagung (V10, R1, dan R2).

BAHAN DAN METODE

Perbanyakan O. furnacalis di laboratoriumPembiakan massal O. furnacalis dilaksanakan

di Laboratorium Toksikologi Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM) menggunakan pakan buatan mengikuti metode yang telah digunakan di laboratorium sejak tahun 2009. Larva yang digunakan berasal dari generasi O. furnacalis yang sudah dipelihara di laboratorium sejak tahun 2009.

Percobaan lapanganPercobaan lapang dilaksanakan di Kebun

Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Yogyakarta dari Oktober 2011 sampai Februari 2012. Percobaan ditata berdasarkan rancangan petak terpisah (RPT) dengan rancangan lingkungan rancangan acak kelompok (RAK) yang diulang tiga kali. Setiap ulangan terdiri atas petak utama yang mewakili dua fase pertumbuhan tanaman jagung (V10:

20

block with blocks replicated three times. Differences in grain weight between the uninfested and highest infestation levels (six larvae per plant) V10, R1, and R2 were 59.81; 58.76; and 49.20 g/plant, respectively. For each additional infestation by one larvae per plant at V10, R1, dan R2, there is reduction in grain weight of 4.94%, 4.56% and 3.76% respectively. The calculation of EILs was based on the proportion of yield loss per larvae per plant on three corn growth stages with the assumption that pesticide control reduced 67% of O. furnacalis population. The lowest EIL was 0.31 larvae per plant at V10 when the cost of control reaching Rp.125,000 per ha and crop value of Rp.12,000,000 per ha. The highest EIL of 1.24 larvae per plant was found at R2 with the cost of control of Rp.250,000 per ha and crop value of Rp.8,000,000 per ha.

Key words: corn, Ostrinia furnacalis, yield loss

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 19–26

10 daun terbuka sempurna, dan R1: keluarnya rambut tongkol). Petak utama terdiri atas anak petak mewakili enam tingkat infestasi larva O. furnacalis per tanaman (0, 1, 2, 3, 4, dan 5 individu per tanaman). Variasi tingkat infestasi larva tersebut digunakan karena lima lubang gerekan per tanaman paling banyak ditemukan pada tanaman jagung bila terserang O. furnacalis (Abdullah & Rauf 2011).

Anak petak (ukuran 3,2 m × 2,6 m) ditanami jagung hibrida varietas Pioneer 21 dengan jarak tanam 80 cm × 20 cm sehingga diperoleh lima baris tanaman dan tiap baris terdapat 14 rumpun tanaman dengan satu tanaman per rumpun (70 tanaman/petak). Jarak antar kelompok 2 meter, jarak antar petak utama 2 m, dan jarak antar anak petak 1,5 m.

Penggunaan insektisida berbahan aktif Deltametrin dilakukan pada saat tanaman berumur 8 hari setelah tanam (HST) untuk mengendalikan serangan kumbang Chrysomelidae dan lalat bibit. Selanjutnya tanaman tidak disemprot lagi dengan insektisida hingga panen. Hama lain yang ditemukan, yaitu penggerek tongkol jagung dengan tingkat populasi yang rendah, dan dikendalikan secara mekanik dengan mengumpulkan dan mematikan larva yang ditemukan.

Infestasi larva O. furnacalis secara buatan. Infestasi larva pada setiap perlakuan dilakukan pada 10 tanaman yang dipilih pada tiga baris tanaman di bagian tengah setiap anak petak. Semua tingkat infestasi digunakan larva instar III karena larva instar III yang mulai menggerek batang (Jordan 2008; Tiwari et al. 2009).

Larva diinfestasi dengan menggunakan selang plastik yang berukuran diameter bagian dalam 1,1 cm yang dipotong dengan ukuran panjang 3,5 cm sehingga bentuknya menyerupai tabung. Sisi kiri dan kanan tabung dibelah dengan kemiringan ±15º sedalam ±1 cm. Pada masing-masing sisi yang terbelah tersebut dipasang satu buah karet gelang kemudian dibalut dengan solasi (vinyl electrical tape) untuk menutup celah bekas irisan. Salah satu ujung dari selang plastik dimodifikasi menyerupai lengkungan alami batang jagung agar tidak ada celah bagi larva untuk melarikan diri. Ujung tabung lainnya

ditutup dengan menggunakan tutup botol diameter 1,1 cm. Metode ini merupakan modifikasi dari metode wire-nut oleh Tiwari et al. (2009).

Pada fase V10, semua larva ditempatkan pada ruas batang jagung yang daunnya sudah terbuka sempurna dengan satu larva per ruas (masing-masing tabung diisi dengan satu larva). Pada fase R1, setengah dari jumlah larva ditempatkan pada ruas yang ada di atas tongkol dan setengah sisa ditempatkan pada ruas yang ada di bawah tongkol (untuk infestasi dua dan empat larva). Pada tingkat infestasi tiga dan lima larva per tanaman, larva sisa ditempatkan di bawah tongkol (Jordan 2008). Pada tingkat infestasi satu larva per tanaman, larva ditempatkan di bawah tongkol. Untuk memudahkan penetrasi larva, setiap ruas batang jagung yang dipasangi tabung dibor sedalam 4 mm dengan menggunakan mata bor kayu diameter 5 mm.

Larva yang diinfestasi buatan pada fase V10, sekitar 90% berhasil menggerek batang 24 jam setelah infestasi dan tabung infestasi dilepas dari batang jagung setelah larva berhasil menggerek batang. Sekitar 10% larva mati dalam tabung karena terendam air hujan sebelum berhasil menggerek batang. Pada fase R1, hanya sekitar 6% larva yang mati dalam tabung dengan penyebab yang sama pada fase V10. Larva yang mati diganti 24 jam setelah infestasi awal, dan larva 100% berhasil menggerek batang pada hari ketiga dari infestasi awal.

Infestasi larva O. furnacalis secara alami. Pada saat tanaman berumur 67 HST (fase R2: rambut tongkol telah kering), terjadi infestasi alami larva O. furnacalis pada tanaman sebesar 88,3% termasuk tanaman yang telah diinfestasi secara buatan. Infestasi alami larva pada bunga jantan, bunga betina, dan tongkol dikendalikan secara mekanik. Sebanyak 162 tanaman diambil secara acak sebagai sampel untuk pengamatan tanaman yang terinfestasi secara alami pada fase R2, diluar tanaman yang telah diinfestasi larva secara buatan. Tanaman contoh untuk kontrol diambil secara sengaja dengan mengambil tanaman yang bebas serangan larva sebanyak 60 tanaman (20 tanaman per blok). Rata-rata hasil biji dari tanaman kontrol digunakan sebagai pembanding rata-rata hasil untuk semua fase tanaman.

21

Subiadi et al.: AKE larva penggerek batang jagung

Pengukuran parameter penelitianJumlah lubang gerekan. Jumlah lubang

gerekan per tanaman pada setiap perlakuan diamati dan dihitung pada saat panen.

Hasil biji pipilan kering (PK). Tongkol jagung dipisahkan dari kelobotnya dan dikeringkan selama satu minggu di rumah kaca kemudian dipipil. Hasil biji pipilan dimasukkan ke dalam kantong plastik masing-masing satu tongkol per plastik. Biji per tongkol kemudian ditimbang dengan timbangan digital Scout® Pro Portable Balances dan kadar air diukur dengan Dole®–Radson Moisture Tester Model 400B. Hasil biji pipilan kering dihitung pada kadar air yang sama (ka = 14%) dengan persamaan:

dengan Bb: bobot biji; Bt: bobot biji terukur; dan Kat: kadar air terukur.

Proporsi kehilangan hasil per larva per tanaman. Proporsi kehilangan hasil dihitung berdasarkan persamaan Walker (1983), sebagai berikut:

dengan r: proporsi kehilangan hasil; Yp: hasil panen pada kontrol; dan Yr: hasil panen yang diperoleh pada perlakuan.

Kehilangan hasil diasumsikan sebagai model linier antara persentase kehilangan hasil dan jumlah larva per tanaman. Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh satu individu larva per tanaman ditentukan dengan metode regresi linier y = a + bx, hubungan antara kepadatan populasi hama dan proporsi kehilangan hasil (Jordan 2008), dengan y: proporsi kehilangan hasil, a: intercept; b: proporsi kehilangan hasil per larva per tanaman; dan x: jumlah larva per tanaman.

Aras kerusakan ekonomi (AKE) larva O. furnacalis. AKE atau economic injury level (EIL) dihitung dengan metode yang dikembangkan oleh Bode & Calvin (1990) dengan persamaan:

dengan TC: total biaya untuk sekali pengendalian termasuk harga pestisida dan upah tenaga penyemprot (Rp/ha); PL: proporsi kehilangan hasil per larva per tanaman (sama dengan nilai koefisien “b” pada analisis regresi); CV: nilai hasil tanaman; MV: harga hasil tanaman di pasaran (Rp/kg); EY: prediksi hasil bila tidak terjadi serangan hama yang diteliti atau kontrol (kg/ha); dan PC: proporsi penurunan populasi hama karena tindakan pengendalian.

Analisis ragam. Data hasil panen pada perlakuan fase tanaman dan tingkat infestasi larva dianalisis dengan menggunakan ANOVA dua arah untuk rancangan petak terpisah dengan program SAS (SAS Institute 2001). Uji Post Hoc dilakukan dengan duncan’s multiple range test (DMRT) pada tingkat ketelitian 95% jika terdapat pengaruh beda nyata pada perlakuan yang diuji. ANOVA regresi linier hubungan antara jumlah larva per tanaman dan proporsi kehilangan hasil dibuat untuk setiap fase pertumbuhan tanaman dengan program SAS.

HASIL

Hubungan antara rata-rata hasil biji dan jumlah larva O. furnacalis per tanaman

Lubang gerekan pada setiap tanaman sampel dihitung secara keseluruhan, baik lubang gerekan karena infestasi buatan maupun lubang gerekan tambahan karena infestasi alami. Jumlah lubang gerekan akhirnya ada yang mencapai enam lubang per tanaman. Diasumsikan bahwa jumlah lubang gerekan sama dengan jumlah larva (satu larva hanya membuat satu lubang gerekan). Tanaman sampel yang terserang penyakit tidak dimasukkan dalam pengumpulan data.

Rata-rata hasil biji (g/tanaman) yang diassosiasikan dengan standar deviasi (SD)untuk tiga fase pertumbuhan tanaman jagung menunjukkan bahwa rata-rata hasil biji semakin rendah dengan bertambahnya jumlah infestasi larva per tanaman (Tabel 1).

Hasil analisis SAS general linier model (GLM) untuk rancangan petak terbagi (RPT) menunjukkan bahwa interaksi tingkat infestasi larva dan fase pertumbuhan tanaman jagung menghasilkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap hasil biji

22

r = (Yp - Yr)Yp

EIL = TCCV × PL × PC CV = MV × EY,

Bb (Ka 14%) = Bt x (100 - Kat)(100 - 14)

dan

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 19–26

(F12,62 = 1,16; P = 0,35). Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat infestasi larva dengan jumlah yang sama per tanaman pada tiga fase pertumbuhan tanaman jagung menyebabkan kehilangan hasil yang tidak berbeda nyata. Misalnya infestasi satu larva per tanaman pada fase V10 menyebabkan kehilangan hasil yang tidak berbeda nyata dengan infestasi satu larva per tanaman pada fase R1 dan R2.

Faktor fase tanaman menghasilkan pengaruh yang signifikan terhadap hasil biji (F2,62 = 4,07; P = 0,0255). Hasil ini menunjukkan bahwa fase tanaman yang berbeda memiliki respon yang berbeda terhadap berbagai tingkat infestasi larva per tanaman. Faktor jumlah larva per tanaman menghasilkan pengaruh yang signifikan terhadap hasil biji (F6,62 = 45,31; P = 0,0001). Rata-rata hasil biji semakin rendah dengan tingkat infestasi larva yang semakin tinggi.

Regresi linier hubungan antara proporsi kehilangan hasil dan jumlah larva O. furnacalis per tanaman

Proporsi kehilangan hasil per larva per tanaman lebih tinggi pada fase V10 dan nilainya menurun dengan bertambahnya umur tanaman (fase R1 dan R2), dan proporsi kehilangan hasil pada ketiga fase

pertumbuhan tanaman jagung meningkat secara linier dengan bertambahnya jumlah infestasi larva per tanaman (Tabel 2).

Hasil analisis regresi linier hubungan antara proporsi kehilangan hasil dan jumlah larva per tanaman menghasilkan pengaruh yang signifikan untuk semua fase tanaman (F1,20 = 126,34; P = 0,0001; R2 = 0,87 untuk fase V10; F1,20 = 77,82; P = 0,0001; R2 = 0,80 untuk fase R1; dan F1,20 = 47,60; P = 0,0001; R2 = 0,71 untuk fase R2). Hal ini menunjukkan bahwa model linier hubungan antara jumlah larva per tanaman dan proporsi kehilangan hasil terpenuhi. Berdasarkan prediksi analisis regresi linier, setiap pertambahan infestasi satu ekor larva per tanaman menyebabkan bertambahnya proporsi kehilangan hasil sebesar 0,0494 pada fase V10; 0,0456 pada fase R1; dan 0,0376 pada fase R2.

Aras kerusakan ekonomi (AKE) larva O. furnacalis

Komponen-komponen dalam AKE, seperti biaya pengendalian (TC) dan nilai tanaman (CV) bisa berbeda berdasarkan tempat dan waktu sehingga nilai AKE pada studi ini dihitung pada berbagai variasi TC dan CV. Semakin banyak variasi TC dan CV yang disajikan pada tabel AKE,

23

Tabel 1. Rata-rata (± SD) hasil biji (g/tanaman) pada berbagai tingkat infestasi larva Ostrinia furnacalis untuk tiga fase pertumbuhan tanaman jagung hibrida Pioneer 21 (V10, R1, dan R2)

Jumlah larvaper tanaman

Jumlah tanaman sampel

0123456

208,33 ± 1,13 a206,76 ± 1,70 a201,62 ± 13,50 b175,53 ± 7,85 c173,48 ± 2,09 c165,65 ± 9,51 d148,52 ± 4,83 e

60 1 718263016

Rata-rata (± SD) hasil biji (g/tanaman)1

60 31518313118

Fase V10Jumlah tanaman sampel

208,33 ± 1,13 a189,16 ± 0,00 b187,98 ± 18,23 b174,59 ± 14,38 c160,71 ± 11,77 d157,51 ± 5,64 d149,57 ± 0,56 e

602929343927 4

208,33 ± 1,13 a192,97 ± 3,02 b188,72 ± 3,48 b179,36 ± 1,49 c179,49 ± 5,53 c161,69 ± 8,84 d159,13 ± 26,95 d

Fase R1Jumlah tanaman sampel

Fase R2

Rata-rata ( ± SE)2 182,84 ± 6,28 a 175,41 ± 8,97 b 181,38 ± 10,97 a1 Nilai pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Duncan, P > 0,05).2 Nilai pada baris yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Duncan, P > 0,05).

Fase tanaman

Tabel 2. Formula regresi linier hubungan antara proporsi kehilangan hasil dengan jumlah larva Ostrinia furnacalis pada tiga fase pertumbuhan jagung hibrida Pioneer 21 (V10, R1, dan R2)

SlopeRegresi linier

V10R1R2

Y = 0,0494 X – 0,0255Y = 0,0456 X + 0,0217Y = 0,0376 X + 0,0166

0,00440,00520,0054

0,01590,01860,0196

0,86930,80380,7147

InterceptR²

SE

0,00010,00010,0001

Pr > F

Subiadi et al.: AKE larva penggerek batang jagung

24

semakin baik untuk mengakomodasi kemungkinan perbedaan yang lebih besar pada komponen-komponen tersebut.

Proporsi pengendalian (PC) didasarkan pada penggunaan pestisida karena sampai saat ini cara pengendalian yang masih menjadi andalan petani adalah pestisida. Diasumsikan bahwa penggunaan pestisida cair hanya mampu mengendalikan 67% populasi O. furnacalis di lapangan (PC = 0,67). Nilai PC bisa disesuaikan dengan efikasi pestisida yang digunakan pada daerah setempat berdasarkan hasil penelitian atau pengalaman petani di lapangan.

AKE merupakan tingkat kepadatan populasi hama yang merupakan titik impas antara biaya pengendalian dan hasil yang terselamatkan bila dilakukan pengendalian. Pada studi ini, ketika biaya pengendalian dan nilai tanaman berada

pada level terendah maka nilai AKE pada fase V10 adalah 125.000 / (8.000.000 × 0,0494 × 0,67) = 0,47 larva per tanaman atau 47 larva per 100 tanaman yang diamati; sebaliknya ketika biaya pengendalian dan nilai tanaman berada pada level tertinggi maka nilai AKE pada fase V10 adalah 250.000 / (12.000.000 × 0,0494 × 0,67) = 0,63 larva per tanaman atau 63 larva per 100 tanaman. Ketika biaya pengendalian berada pada level tinggi dan nilai tanaman pada level rendah, nilai AKE untuk fase V10 adalah 250.000 / (8.000.000 × 0,0494 × 0,67) = 0,94 larva per tanaman atau 94 larva per 100 tanaman; sebaliknya ketika biaya pengendalian berada pada level rendah dan nilai tanaman pada level tinggi maka nilai AKE untuk fase V10 adalah 125.000 / (12.000.000 × 0,0494 × 0,67) = 0,31 larva per tanaman atau 31 larva per 100 tanaman. Metode yang sama digunakan untuk

Tabel 3. Nilai aras kerusakan ekonomi (AKE) Ostrinia furnacalis (larva per tanaman) untuk beberapa variasi total biaya pengendalian dan prediksi nilai tanaman untuk tiga fase pertumbuhan tanaman jagung

Nilai tanaman (CV) (Rp/ha) 150.000 175.000 8.000.000 8.500.000 9.000.000 9.500.000 10.000.000 10.500.000 11.000.000 11.500.000 12.000.000

8.000.000 8.500.000 9.000.000 9.500.00010.000.00010.500.00011.000.00011.500.00012.000.000

8.000.000 8.500.000 9.000.000 9.500.000 10.000.000 10.500.000 11.000.000 11.500.000 12.000.000

0,66 0,62 0,59 0,56 0,53 0,50 0,48 0,46 0,44

0,72 0,67 0,64 0,60 0,57 0,55 0,52 0,50 0,48

0,87 0,82 0,77 0,73 0,69 0,66 0,63 0,60 0,58

0,76 0,71 0,67 0,64 0,60 0,58 0,55 0,53 0,50

0,82 0,77 0,73 0,69 0,65 0,62 0,60 0,57 0,55

0,99 0,93 0,88 0,84 0,79 0,76 0,72 0,69 0,66

0,85 0,80 0,76 0,72 0,68 0,65 0,62 0,59 0,57

0,92 0,87 0,82 0,78 0,74 0,70 0,67 0,64 0,61

1,12 1,05 0,99 0,94 0,89 0,85 0,81 0,78 0,74

0,94 0,89 0,84 0,80 0,76 0,72 0,69 0,66 0,63

1,02 0,96 0,91 0,86 0,82 0,78 0,74 0,71 0,68

1,24 1,17 1,10 1,04 0,99 0,95 0,90 0,86 0,83

200.000 225.000Total biaya pengendalian (TC) (Rp/ha)

0,47 0,44 0,42 0,40 0,38 0,36 0,34 0,33 0,31

0,51 0,48 0,45 0,43 0,41 0,39 0,37 0,36 0,34

0,62 0,58 0,55 0,52 0,50 0,47 0,45 0,43 0,41

125.000

0,57 0,53 0,50 0,48 0,45 0,43 0,41 0,39 0,38

0,61 0,58 0,55 0,52 0,49 0,47 0,45 0,43 0,41

0,74 0,70 0,66 0,63 0,60 0,57 0,54 0,52 0,50

125.000Fase V10

Fase R1

Fase R2

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 19–26

25

menghitung nilai AKE pada fase R1 dan R2 (Tabel 3).

PEMBAHASAN

Rata-rata hasil biji pada tanaman yang diinfestasi dengan larva penggerek batang jagung lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol. Semakin tinggi tingkat infestasi larva per tanaman semakin rendah rata-rata hasil biji untuk tiga fase tanaman karena terjadinya gangguan translokasi hara ke bagian-bagian tanaman. Menurut James (2003); Cook et al. (2004) bahwa lubang gerekan pada batang akan menyebabkan penurunan gerakan hidrolik dalam batang dan gangguan sistem pembuluh sehingga mengurangi pergerakan air dari bawah ke bagian atas tanaman yang berfotosintesis yang dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah dan bobot biji dalam tongkol.

Berdasarkan regresi linier, proporsi kehilangan hasil per larva per tanaman tertinggi pada fase tanaman V10 dibandingkan dengan fase R1 dan R2. Hal ini disebabkan oleh selisih hasil biji antara tanaman yang tidak diinfestasi larva (kontrol) dan infestasi larva tertinggi (enam larva per tanaman) yang lebih tinggi pada fase V10, disusul R1 dan R2, masing-masing 59,81; 58,76; dan 49,20 g/tanaman. Data ini juga mengindikasikan bahwa fase tanaman yang lebih muda lebih rentan terhadap kerusakan oleh larva O. furnacalis. Menurut Bode et al. (2009) bahwa larva penggerek batang jagung yang memulai makan pada awal perkembangan tanaman jagung memiliki potensi untuk menyebabkan kehilangan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan bila serangan dimulai pada fase tanaman yang lebih tua. Efek dari serangan larva penggerek batang jagung berkurang mulai dari fase reproduktif hingga masak fisiologis. Pada fase akhir pengisian biji, lubang gerekan pada batang hanya memberikan efek yang lebih rendah terhadap hasil.

Nilai AKE pada studi ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan nilai ambang ekonomi (AE) untuk pegambilan keputusan pengendalian di lapangan. Secara umum AE ditentukan pada persentase tetap dari nilai AKE (fixed ecomomic threshold), misalnya penentuan nilai AE 50% atau 70% dari nilai AKE (Pedigo 2009). Semakin cepat

laju peningkatan populasi hama semakin besar jarak nilai AE di bawah nilai AKE dan apabila sifat dinamika populasi hama kurang diketahui maka nilai AE ditetapkan sedikit di bawah nilai AKE (Untung 2006).

Efikasi dari teknik pengendalian juga merupakan faktor yang dipertimbangkan untuk menentukan posisi nilai AE dari nilai AKE. Apabila teknik pengendalian yang akan digunakan dapat menurunkan populasi hama dalam waktu cepat maka nilai AE sedikit di bawah nilai AKE. Apabila teknik pengendalian yang digunakan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menurunkan populasi hama maka nilai AE agak jauh di bawah nilai AKE. Pemantauan populasi sesering mungkin sangat penting untuk penentuan pengambilan keputusan dalam pengendalian hama.

KESIMPULAN

Kehilangan hasil tanaman jagung meningkat dengan bertambahnya tingkat kepadatan populasi larva O. furnacalis per tanaman. Kehilangan hasil yang lebih tinggi terjadi fase tanaman yang lebih muda dibandingkan dengan fase tanaman yang lebih tua. Kehilangan hasil tertinggi berturut-turut pada fase V10, R1, dan R2, dan nilai AKE meningkat dengan berkurangnya tingkat kehilangan hasil per fase tanaman. Penerapan hasil penelitian ini berlaku spesifik jika larva O. furnacalis menyerang batang, dan perlu pertimbangan lain jika serangan juga terjadi pada bunga jantan, bunga betina (rambut tongkol) dan tongkol.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Kepala Kebun Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM, Yogyakarta yang telah memberi izin kepada penulis untuk penggunaan lahan penelitian di KP4; kepada Sriyanto Haryanto atas saran-sarannya pada teknis penelitian ini; Hendracipta dan Yosefus Da Lopes atas saran-sarannya pada tulisan ini.

Subiadi et al.: AKE larva penggerek batang jagung

26

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah T, Rauf A. 2011. Karakteristik populasi dan serangan penggerek jagung Asia, Ostrinia furnacalis (Lepidoptera: Pyralidae), dan hubungannya dengan kehilangan hasil. Jurnal Fitomedika 7:175–181.

Bode WM, Calvin DD. 1990. Yield-Loss relationships and economic injury levels for European corn borer (Lepidoptera: Pyralidae) populations infesting Pennsylvania field corn. Journal of Economic Entomology 83:1595–1608..

Bode WM, Calvin DD, Mason CE. 2009. How corn is damaged by the European corn borer. In Iowa State University, 2009. The European Corn Borer. Available at: http://www.ent.iastate.edu/pest/cornborer/insect/damage [accessed 23 September 2011].

Capinera JL. 2008. Maize (Corn) pests and their management. In: John L. Capinera (Ed.), Encyclopedia of Entomology. 2nd Edition. pp. 2266–2272. Netherlands: Springer Netherlands.

Cook KA, Susan TR, Michael EG, Kevin LS. 2004. European corn borer (Ostrinia nubilalis Hubner). University of Illinois at Urbana-Champaign. Available at: http://ipm.illinois.edu/fieldcrops/insects/european_cornborer/factsheet.html [accessed 21 Januari 2012].

Douangboupha BT, Jamjanya N, Siri Y, Hanboonsong. 2006. Sweet corn insect pests and their control. Khon Kaen University Research Journal 6:25–37.

Granados G. 2000. Maize Insects: Tropical Maize, Improvement and Production. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Guo L, Li GQ. 2009. Olfactory perception of oviposition-deterring fatty acids and their methyl esters by the Asian corn borer, Ostrinia furnacalis. Journal of Insect Science 9:1–9.

James C. 2003. Global Review of Commercialized Transgenic Crops: 2002 Feature: Bt Maize. ISAAA Briefs No. 29. Ithaca: ISAAA.

Jordan TA. 2008. Pest Management Studies Of Early Season and Stalk-Boring Insects On Corn In Virginia. Master Thesis. Virginia: Virginia Polytechnic Institute and State University.

Litsinger JA, Dela Cruz CG, Canapi BL, Barrion AT. 2007. Maize planting time and arthropod abundance in Southern Mindanao, Philippines. I. population dynamics of insect pests. International Journal of Pest Management 53:147–159.

Nonci N. 2004. Biologi dan musuh alami penggerek batang Ostrinia furnacalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae) pada tanaman jagung. Jurnal Litbang Pertanian 23:8–14.

Ohno S, Sugihiko H, Sadahiro T, Yukio I. 2003. New record of Ostrinia ovalipennis (Lepidoptera: Crambidae) from Hokkaido, and Morphometric analyses for species identification and geographic variation. Applied Entomology and Zoology 38:529–535.

Pedigo LP. 2009. Economic threshold and economic injury levels (IPM World Textbook). University of Minnesota. Available at: http://ipmworld.umn.edu/chapters/pedigo.htm [accessed 19 July 2011].

SAS Institute. 2001. SAS user’s guide: statistic. SAS Institute, Cary, NC.

Tiwari S, Youngman RR, Laub CA, Brewster CC, Jordan TA, Teutsch C. 2009. European corn borer (Lepidoptera: Crambidae) infestation level and plant growth stage on whole-plant corn yield grown for Silage in Virginia. Journal of Economic Entomology 102:2146–2153.

Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu Ed-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Walker PT. 1983. Crop losses: the need to quantify the effects of pests, diseases and weeds on agricultural production. Agriculture, Ecosystems and Environment 9:119–158.

Waterhouse DF. 1993. The Major Arthropod Pests and Weeds of Agriculture in Southeast Asia: Distribution, Importance and Origin. Canberra: ACIAR.

April 2014, Vol. 11 No. 1, 27–33Online version: http://journal.ipb.ac.id/index.php/entomologi

DOI: 10.5994/jei.11.1.27

Jurnal Entomologi IndonesiaIndonesian Journal of EntomologyISSN: 1829-7722

Gangguan fisiologis wereng batang padi coklat akibat pemberian abu terbang batubara

Physiological disorders of brown planthopper associated with coal fly ash

Hafiz Fauzana1*, F.X. Wagiman2, Edhi Martono2

1Fakultas Pertanian, Universitas RiauJalan H.R. Soebrantas Km 12, Panam, Riau 28293

2Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada Jalan Flora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281

(diterima Agustus 2013, disetujui Januari 2014)

ABSTRAK

Abu terbang batubara (ATB) dapat dimanfaatkan sebagai agens pengendalian wereng batang padi coklat (WBC) Nilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae). Kajian ini bertujuan mempelajari gangguan fisiologis WBC yang diberi pemaparan ATB. Pengujian meliputi mortalitas WBC, pengukuran bobot WBC sebelum dan sesudah perlakuan ATB, analisis kadar air WBC, analisis jaringan, dan analisis kimia WBC. Hasil kajian menunjukkan bahwa mortalitas WBC setelah perlakuan sebesar 71%. Gangguan fisiologis ditunjukkan oleh penurunan bobot WBC perlakuan sebesar 67,04% dan peningkatan bobot WBC kontrol sebesar 6,9%. Kadar air WBC perlakuan signifikan lebih rendah dibandingkan dengan WBC kontrol. ATB menyebabkan terjadinya pengkerutan jaringan tubuh dan peningkatan kandungan silika dan alumina pada WBC.

Kata kunci: abu terbang batubara, aktivitas, gangguan fisiologis, Nilaparvata lugens

ABSTRACT

Coal fly ash (CFA) can be used as a control agent of brown plant hopper (BPH) Nilaparvata lugens (Hemiptera; Delphacidae). This study was aimed to investigate the physiological disorders in BPH when exposed to CFA. The research was conducted by carrying out tests covering the mortality of BPH, measurement of BPH weight before and after CFA treatment, an analysis of the moisture content in BPH, an analysis of the BPH tissue, and a chemical analysis of BPH. The results of the study showed that the mortality rate of BPH after treatment was 71%. The physiological disorders due to CFA treatment was indicated by a 67.04% weight reduction as opposed to a 6.9% weight increase on the control specimens. The average moisture content of the treated BPH was significantly lower than that of the control specimens. CFA caused a shrinkage of body tissues and an increase in the contents of silica and alumina on BPH.

Key words: activity, brown planthopper, coal fly ash, physiological disorders

*Penulis korespondensi: Hafiz Fauzana. Fakultas Pertanian Universitas Riau, Kampus Binawidya, Jalan H.R. Soebrantas Km 12, Kecamatan Tampan Panam, Pekanbaru, Riau 28293 Tel: 0761-63270,63271, Faks: 0761-63270, Email: [email protected]

27

Fauzana et al.: Gangguan fisiologis WBC

PENDAHULUAN

Wereng batang padi coklat (WBC), Nilaparvata lugens Stal, merupakan hama utama tanaman padi dan sering terjadi eksplosi yang menyebabkan gagal panen. Untuk mengendalikan WBC, umumnya petani menggunakan insektisida kimia sintetik yang menyebabkan dampak negatif, yaitu terbentuklah koloni WBC yang resisten dan terbunuhnya musuh alami. Selain itu, insektisida kimia sintetik juga menimbulkan problem lingkungan dan residu pestisida pada bahan makanan sehingga berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia (Miller 2002). Oleh karenanya, teknologi pengendalian hama dengan bahan insektisida yang ramah lingkungan dan ekonomis perlu dikembangkan.

Diantara bahan-bahan insektisida yang bersifat ekonomis dan ramah lingkungan adalah abu terbang (fly ash) (Kiruba et al. 2006). Petani tradisional sering menabur abu dapur pada persemaian padi dan pertanaman kedelai untuk tujuan mengendalikan hama. Pengalaman empiris petani tradisional tersebut belum diteliti sejauhmana efektif. Testimoni oleh petani padi di Bantul, Yogyakarta menyatakan bahwa walang sangit (Leptocorisa acuta (Hemiptera; Alydidae)) terkendali oleh adanya taburan abu vulkanik Gunung Merapi yang meletus pada tahun 2009 (Susamto 2010; komunikasi pribadi).

Kajian aktivitas abu terbang limbah pembakaran kayu pada hama WBC menunjukkan mortalitas 90% pada dosis tertinggi (12 g/m2), dengan LD50 sebesar 4,84 g/m2 atau sebesar 48,4 kg/ha (Wagiman & Fauzana 2010). Dosis tersebut dipakai untuk kajian efikasi lapangan yang diaplikasi dengan cara dusting juga menunjukkan efektif dan sangat signifikan menurunkan populasi WBC sampai 2 hari setelah aplikasi. Abu terbang batubara (ATB) telah diteliti aktivitasnya pada berbagai serangga hama termasuk Ordo Hemiptera (Narayanasamy 2001).

ATB mempunyai surface area yang tinggi, bersifat pozzolanik dan berfungsi sebagai adsorben. Hal itu terjadi karena ATB berpori dan mempunyai situs aktif yang mempunyai sifat-sifat, seperti elektron dan positive change sehingga dapat mengadsopsi, mempunyai daya ikat terhadap air dan senyawa lainnya. Kandungan SiO2

(54,59%) dan Al2O3 (31,69%) yang tinggi pada ATB menunjukkan bahwa ATB memungkinkan digunakan sebagai adsorben. Semakin besar kadar kedua komponen dalam ATB, berarti makin banyak situs aktif dari permukaan padatan yang dapat berinteraksi dengan molekul adsorbat sehingga berpengaruh positif terhadap kemampuan adsorpsinya (Rusdiarso 1996; Dahoklory 2009). Kemampuan adsorpsi ATB ini diduga apabila mengenai WBC akan menyebabkan serangga mengalami dehidrasi sehingga terjadi kematian. Aspek yang dipelajari pada kajian ini adalah kinerja ATB dalam membunuh serangga uji.

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui dampak fisiologis pemaparan ATB terhadap WBC, yaitu kerusakan jaringan, pengurangan bobot tubuh WBC dan reaksi kimia dari ATB, terutama kandungan silika dan alumina terabsorpsi ke tubuh WBC.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Analitik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada (UGM); Laboratorium Pengendalian Hayati, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian UGM; dan Pusat Studi Pengelolaan Sumber Daya Hayati, UGM. Penelitian ini dimulai dari bulan Maret 2012 sampai Oktober 2012.

Menyiapkan serangga uji Serangga uji yang digunakan adalah imago

brakhiptera WBC yang umur 2 hari. WBC diambil dari sawah di Yogyakarta kemudian diperbanyak di Pusat Studi Pengelolaan Sumber Daya Hayati, UGM. Bibit padi varietas IR 64 umur seminggu setelah semai digunakan sebagai inang dan WBC dipelihara dalam stoples diameter 19 cm x tinggi 21 cm hingga tumbuh dan berkembangbiak sampai mencukupi untuk perlakuan. Regenerasi dilakukan seminggu sekali secara terus menerus selama perbanyakan.

Pengaruh ATB terhadap mortalitas WBC ATB yang digunakan berasal dari PT. PLN

Pembangkitan Jepara, Jawa Tengah. Pengaruh ATB terhadap mortalitas WBC brakhiptera dikaji

28

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 27–42

dengan membandingkan antara mortalitas WBC yang diperlakukan ATB dan kontrol, dengan 5 ulangan. WBC brakhiptera sebanyak 20 ekor dipelihara dalam cup plastik 250 ml yang ditutup kain kasa dengan inang bibit padi varietas IR 64 umur 2 minggu. Pada WBC perlakuan dipapar dengan ATB mengunakan aquarium air pump dengan dosis 0,48 g/cup atau 12 g/m2 (Wagiman & Fauzana 2010) Pengamatan mortalitas dilakukan setiap 24 jam sejak perlakuan sampai 72 jam.

Metode pengukuran bobot WBCMortalitas WBC yang disebakan oleh

gangguan fisiologis, dianalisis dengan mengukur laju dehidrasi WBC ditunjukkan dengan penurunan bobot tubuh WBC. Metode ini dilakukan dengan menimbang bobot segar satu individu brakhiptera WBC hidup umur 2 hari yang diambil menggunakan aspirator, ditimbang bobot awalnya (A), cara menimbangnya, yaitu seekor WBC dimasukkan dalam kapsul transparan, digunakan timbangan digital kepekaan 0,1 mg. Seekor WBC selanjutnya dipapar dengan ATB untuk WBC perlakuan. Caranya seekor WBC dimasukkan ke dalam gelas plastik diameter 6,5 cm x tinggi 20 cm. ATB ditimbang sesuai dosis pemaparan, yaitu 12 g/m2 (Wagiman & Fauzana 2010), kemudian dipaparkan kedalam gelas plastik yang berisi seekor WBC menggunakan aquarium air pump dan perlengkapannya. WBC terpapar dipindahkan ke cup plastik volume 240 ml (2 cup plastik yang didempetkan, cup bawah diberi air secukupnya, mulut cup ditutup kain kasa untuk mencegah WBC keluar dari arena percobaan). Satu individu WBC yang mati 24 jam (Fauzana 2011) setelah perlakuan dibersihkan dari partikel ATB, lalu ditimbang lagi bobotnya (B). Selisih bobot seekor WBC sebelum dan sesudah perlakuan (C) digunakan untuk ukuran gangguan fisiologisnya. Cara penimbangan yang sama dilakukan terhadap WBC kontrol. Untuk WBC perlakuan dan kontrol masing-masing sebanyak 30 ulangan, yaitu 30 individu WBC kontrol dan 30 individu WBC perlakuan.

Pengukuran kadar air WBC Analisis gangguan fisiologis WBC berupa

dehidrasi ditunjukkan dengan penurunan kadar air pada WBC terpapar. Ini dibuktikan dengan

mengukur kadar air tubuh menggunakan metode gravimetri. Botol kosong ditimbang (A). Botol kosong diisi 300 individu WBC mati terpapar ATB (B), dioven dengan suhu 105 °C selama 4 jam, kemudian ditimbang (C). Kadar air WBC dihitung dengan persamaan:

KaWBC: kadar air WBC (%); A: bobot botol kosong (g); B: bobot WBC dan botol (g); C: bobot WBC setelah dioven sampai mencapai bobot konstan dan botol (g).

Pada kontrol 300 individu WBC dimatikan dengan chloroform, selanjutnya metode sama dengan WBC perlakuan. Kriteria gangguan fisiologis ialah jika kadar air tubuh WBC perlakuan secara signifikan lebih rendah daripada kontrol. Pengukuran dilakukan masing-masing 4 ulangan untuk kontrol dan perlakuan.

Analisis jaringan WBCGangguan fisiologis ditandai dengan

kerusakan jaringan WBC, dibuktikan dengan pengamatan terhadap imago WBC yang mati akibat terpapar ATB dan kontrol. Pengamatan jaringan difokuskan pada bagian abdomen WBC brakhiptera, yang dianalisis dengan transmission electron microscopy (TEM) perbesaran 3000 kali. Prosedur pertama dilakukan preparasi sampel, meliputi tahap fixative, dehydrate (pencucian), proses resinasi (memberi resin), dan tahap ultra thin sectioning (pengirisan tipis) dengan ultra microtom merek Leica EM UC7–NT. Kedua dilakukan pengukuran dengan TEM merek Jeol JEM-1400. Langkah pelaksanaannya sampel diletakan ke grid, dimasukan grid ke holder, di vacuum pada column. Setelah vacuum mencapai ±29 uA baru holder dimasukan dan divacuum sampai mencapai 25–27 uA. Spesimen imago WBC dilihat dengan mengatur control panel agar sampel terlihat pas posisi ditengah, focus, baru di foto. Imago WBC yang diamati, yaitu 10 individu WBC kontrol dan 10 individu WBC perlakuan.

Analisis kimia WBCATB mengandung senyawa silika dan

alumina mencapai 86,28% (Rusdiarso 1996), kedua senyawa tersebut bersifat absorben yang

29

KaWBC= (B - C)(C - A)

x 100%, dengan

Fauzana et al.: Gangguan fisiologis WBC

dapat menyerap air dan senyawa polar dari serangga (Ulrich et al. 2009) sehingga diprediksi menimbulkan gangguan fisiologis jaringan WBC. Terserapnya kedua senyawa dalam tubuh WBC, dianalisis menggunakan metode destruksi dan diukur dengan atomic absorption spectrophotometer (AAS). Analisis membutuhkan serangga sampel ±0,05g WBC (±500 individu imago WBC). Analisis dilakukan terhadap WBC perlakuan dan kontrol. Sebelum dianalisis WBC yang mati karena terpapar ATB dibersihkan tubuhnya dari partikel ATB.

HASIL

Pengaruh ATB terhadap mortalitas, bobot dan kadar air WBC

Aktivitas ATB pada WBC menunjukkan sifat insektisidal. Mortalitas brakhiptera WBC yang diperlakukan dengan ATB mencapai 71% pada 72 jam setelah pemaparan, sedangkan kontrol tidak ada kematian WBC (Tabel 1).

Hasil pengukuran bobot seekor brakhiptera WBC sebelum dan setelah 24 jam terpapar ATB sebanyak 30 ulangan didapat bahwa rerata bobot satu individu imago WBC, yaitu 2,1 mg sebelum

dan menjadi 0,6 mg setelah terpapar ATB, dimana terjadi penurunan bobot sebesar rata-rata 67,04%. Pada WBC kontrol terjadi peningkatan bobot rerata 6,9%, yaitu dari rerata 2,2 mg menjadi 2,4 mg (Tabel 2).

Hasil pengukuran kadar air imago WBC setelah pemaparan ATB signifikan berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 3). Kadar air WBC yang diberi pemaparan ATB ternyata sangat rendah, yaitu rerata 4,81%, sementara WBC kontrol sangat tinggi, yaitu rerata 64,94% (Tabel 3).

Pengaruh ATB terhadap jaringan abdomen WBC

Hasil pengamatan terhadap jaringan pada bagian abdomen imago brakhiptera WBC dianalisis dengan TEM, menunjukkan jaringan WBC yang dipaparkan ATB mengalami pengerutan sel dibanding jaringan WBC tanpa pemaparan ATB (Gambar 1 dan 2).

Jaringan pada bagian abdomen imago WBC yang tidak terpapar ATB terlihat jelas bagian-bagiannya dimana terdapat vesikel, kromatin, vakuola, lumen, sitoplasma, dan lainnya (Bambang 2014; komunikasi pribadi), tetapi pada jaringan WBC yang terpapar ATB terlihat sudah rusak, mengkerut dimana bagian-bagian dari jaringan

30

Tabel 1. Mortalitas brakhiptera wereng batang coklat (WBC) pada kontrol dan perlakuan abu terbang batubara

UlanganPerlakuan Kontrol

1 65 0 70 0 70 02 60 0 70 0 80 03 60 0 60 0 60 04 55 0 55 0 55 05 90 0 90 0 90 0Rerata 65,00 0 69,00 0 71,00 0SD 10,48 12,00 12,80CV 16,13 17,39 18,03

Perlakuan Kontrol

Mortalitas brakhiptera WBC (%)

Perlakuan Kontrol 24 jam 48 jam 72 jam

Tabel 2. Bobot awal dan akhir imago wereng batang coklat 24 jam setelah pemaparan abu terbang batubara (30 ulangan)

Statistik

Rerata 0,0021 0,0022 0,0006 0,0024 0,0014 0,00016 67,0404 6,900SD 0,0005 0,0004 0,0001 0,0003 0,0005 0,00028 12,5361 15,777CV 26,9467 19,2107 27,2868 14,3469 40,4394 181,8430 18,6994 228,635

Selisih bobot

Perlakuan Kontrol

Bobot awal (g) Bobot akhir (g) g %Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol

SD: standard deviation; CV: coefficint of variation

SD: standard deviation; CV: coefficint of variation

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 27–42

tidak terlihat jelas lagi sehingga tidak dapat lagi dianalisis secara struktural. Jaringan pada saluran pencernaan imago WBC yang tidak terpapar ATB juga terlihat lengkap dimana terdapat lumen, sitoplasma, dan lainnya, sementara pada jaringan WBC yang terpapar ATB terlihat selnya sudah rusak, terjadi pengkerutan sel (Gambar 2).

31

Pengaruh ATB terhadap kandungan silika dan alumina WBC

Hasil analisis kandungan silika dan alumina pada tubuh imago yang terpapar ATB signifikan berbeda nyata dibanding kontrol. Kandungan senyawa silika pada WBC terpapar ATB lebih tinggi yaitu rerata 2,35% dibanding WBC pada kontrol yaitu rerata 1,33%. Begitupun kandungan senyawa alumina pada WBC terpapar ATB lebih tinggi yaitu rerata 0,80% dibanding WBC kontrol yaitu rerata 0,15% (Tabel 4).

PEMBAHASAN

ATB bersifat insektisidal terhadap WBC. Aktivitas ATB menyebabkan mortalitas nimfa WBC dan imago. Stadia nimfa WBC lebih cepat mati oleh pemaparan ATB dibanding stadia imago (Fauzana 2011). ATB dihembuskan ke tanaman

Tabel 3. Kadar air imago wereng batang coklat (WBC) terpapar abu terbang batubara dan wereng batang coklat kontrol

Ulangan

1 2,40 60,372 2,13 59,603 6,10 68,004 8,61 71,78Rerata 4,81 64,94

SD 3,11 5,93

Kadar air WBC (%)WBC perlakuan WBC kontrol

2

4

1

3

a bGambar 1. Penampang melintang jaringan bagian abdomen brakiptera wereng batang coklat kontrol (a)

dan terpapar abu terbang batubara (b). 1: vesikel; 2: kromatin; 3 vakuola; 4: sitoplasma. (TEM perbesaran 3000 X).

Gambar 2. Penampang membujur jaringan saluran pencernaan imago wereng batang coklat kontrol (a) dan terpapar abu terbang batubara (b). 1: lumen; 2: sitoplasma. (TEM perbesaran 2000 X dan 8000 X).

a b

1

2

Fauzana et al.: Gangguan fisiologis WBC

32

padi merupakan racun lambung terhadap serangga penggigit pengunyah. ATB menyebabkan kerusakan mandibel. Partikel ATB yang termakan mengganggu saluran pencernaan larva serangga sehingga menimbulkan kematian (Narayanasamy 1994). Bagaimana ATB membunuh WBC belum diketahui dan menjadi alasan utama kajian ini.

Penurunan bobot WBC yang mencapai rata-rata 67,04% mengindikasikan bahwa WBC mengalami gangguan fisiologis berupa dehidrasi akibat pemaparan ATB. Hasil pengukuran kadar air WBC yang terpapar ATB dan kontrol mendukung hasil penimbangan bahwa WBC memang mengalami gangguan fisiologis, yaitu dehidrasi dengan pemaparan ATB. Dehidrasi menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan air tubuh. Air komponen essensial yang berfungsi sebagai medium dimana seluruh reaksi kimia (metabolisme) berlangsung. Media melarutkan makanan dan diangkut keseluruh tubuh. Dehidrasi menyebabkan terhambatnya metabolisme tubuh, dan pada tahap berikutnya dapat menimbulkan kematian (Beckett 1986).

ATB berfungsi sebagai adsorben. Oleh karena itu, serangga yang diperlakukan dengan ATB akan mengalami gangguan air tubuh dan zat lilin pada epikutikula serangga. Partikel ATB yang berinteraksi dengan kutikula akan menyerap senyawa polar pada kutikula serangga dan abu terserap dalam kutikula (Ulrichs et al. 2009).

Menurut Kumar et al. (2005) dan Dahoklory (2009) ATB bersifat pozzolanik berarti dapat

bereaksi dengan kapur dan dengan media air membentuk senyawa yang bersifat mengikat. Sifat ini ditentukan dengan adanya kandungan berbagai senyawa kimia yang biasa terdapat dalam bahan pozzolan yang juga dalam jumlah besar terdapat pada ATB, yaitu SiO2, Al2O3, dan Fe2O3. Dengan demikian apabila ATB dipaparkan pada WBC, senyawa-senyawa pozzolan dalam ATB akan mengikat air yang terdapat pada tubuh WBC. Pada akhirnya mengakibatkan WBC dehidrasi, zat elektrolit dan metabolisme terhambat, pada tingkat dehidrasi bobot serangga mengalami kematian.

Kadar air tubuh serangga bervariasi dari kira-kira 50–90% bobot tubuh, pengurangan kadar air dapat menyebabkan kematian, misalnya hama Rhodnius sp. dan Tenebrio sp. mati bila kadar airnya turun dari kira-kira 75 sampai 60%. Hal ini terjadi karena defisit kelembaban yang permeabel. Serangga tidak bisa mengatasi laju kehilangan air, sehingga terjadi gangguan metabolisme tubuh, dan selanjutnya serangga akan mati (Chapman 1982).

ATB apabila dipaparkan terhadap imago WBC menyebabkan jaringan hancur dan mengkerut. Terjadinya pengkerutan pada jaringan WBC adalah implikasi dari peristiwa plasmolisis dalam sel WBC, yaitu terjadinya peristiwa osmosis di mana cairan yang ada didalam sel keluar dari sel akibat sel berada pada lingkungan yang bersifat hipertonis, sehingga tekanan sel terus berkurang. Karena kadar air dalam sel menurun drastis, sel akan mengalami pengkerutan (krenasi) (Ling 2007; Mader & Windelspecht 2011).

Terjadinya peningkatan kandungan silika dan alumina pada WBC yang terpapar ATB, menunjukkan bahwa silika dan alumina yang tinggi pada ATB, yaitu 83,55% (Fauzana 2013; unpublished) meresap ke dalam tubuh WBC. Sifat senyawa yang ada pada ATB, yaitu silika dan alumina yang bersifat sebagai absorben, menyebabkan gangguan fisiologis pada WBC, yaitu terjadi dehidrasi yang ditunjukkan oleh penurunan bobot tubuh, kadar air dan kerusakan jaringan.

Kadar SiO2 dan Al2O3 yang tinggi menentukan kekuatan adsorben. Semakin tinggi kadar kedua senyawa tersebut dalam ATB semakin banyak situs aktif dari permukaan partikel ATB yang dapat berinteraksi dengan molekul adsorbat sehingga semakin kuat kemampuan absorpsinya (Rusdiarso

Tabel 4. Kandungan silika dan alumina pada imago wereng batang coklat (WBC) dengan per-lakuan abu terbang batubara

Ulangan

1 1,5114 2,3380 0,0297 0,81222 1,5356 2,3583 0,0304 0,80753 1,4872 2,3785 0,0304 0,81694 1,1749 2,3385 0,1007 0,81375 1,1225 2,3556 0,3653 0,79786 1,1487 2,3556 0,3756 0,8057Rerata 1,3305 2,3540 0,1553 0,8089

SD 0,1999 0,0149 0,1688 0,0068

CV 15,0321 0,6357 108,7041 0,8444

Nilai P (Uji t α0,05) 0,00005 0,00025

Alumina pada WBC (%)

Perlakuan Kontrol

Silika pada WBC (%)

Perlakuan Kontrol

SD: standard deviation; CV: coefficint of variation

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 27–42

33

1996). Dengan demikian kemampuan absorbsi dari senyawa silika dan alumina dalam ATB yang terpapar ke tubuh WBC menyebabkan gangguan fisiologis terhadap WBC. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya dehidrasi dan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan kematian WBC.

KESIMPULAN

Hasil pengujian menyimpulkan bahwa telah terjadi gangguan fisiologis terhadap imago WBC yang dipapar ATB yang ditunjukkan oleh penurunan bobot 67,04% WBC perlakuan dan peningkatan bobot 6,9% WBC kontrol. Kadar air WBC perlakuan rendah, yaitu rerata 4,81% sementara WBC kontrol rerata 64,94%. Terjadi pengkerutan jaringan pada bagian abdomen imago WBC yang terpapar ATB.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana hibah Doktor tahun 2013 melalui Lembaga Penelitian Universitas Riau untuk mahasiswa program Doktor.

DAFTAR PUSTAKA

Beckett BS. 1986. Biology A. Modern Introduction. GCSE edition. New York: Oxford University Press.

Chapman RF. 1982. The Insects Structure and Function. 3th Edition. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Dahoklory JD. 2009. Rekayasa Pemanfaatan Abu terbang Sebagai Bahan Baku Pembuatan Batako (Studi kasus Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur). Master Thesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Fauzana H. 2011. Kajian Potensi Abu Terbang (fly ash) dari Batubara untuk Mengendalikan Hama Wereng Batang Padi Cokelat (Nilaparvata lugens Stal.). Riau: Laporan Penelitian DIPA Universitas Riau Tahun Anggaran 2011.

Fauzana H. 2013. Mekanisme Limbah Abu Terbang Batubara Membunuh Hama Wereng Batang Padi Coklat (Nilaparvata lugens). PhD Thesis. Riau: Universitas Riau.

Kiruba S, Mishra BP, Stalin ST, Jeeva S, Dhas SSM. 2006. Traditional pest management practices in Kanyakumari distict, Southern Peninsular India. Indian Journal of Traditional Knowledge 5:71–74.

Kumar V, Singh G, Rai R. 2005. Fly ash: A material for an other green revolution. New Delhi: Fly ash utilization Programme (FAUP), TIFAC, DST.

Ling G. 2007. History of the membrane (Pump) theory of the living cell from its beginning in mid-19th century to its disproof 45 years ago – though still taught worldwide today as established truth. Physicological Chemistry and Physics and Medical NMR 39:1–67.

Mader SS, Windelspecht M. 2011. Essentials of biology. 2sd edition. New York: McGraw-Hill Publishing Company.

Narayanasamy P. 1994. Studies on the utility of lignite fly ash as an insecticide and an adjuvant in insecticide formulations. Final Project Report. Chennai: Tamil Nadu State Council for Science and Technology.

Narayanasamy P. 2001. Indigenous pest suppression. In: Upadhyay RK, Mukerji KG, Chamola BP (Eds.). Biocontrol Potential and its Exploitation in Sustainable Agriculture. Volume 2. Insect Pest. pp. 87–111. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers.

Rusdiarso B. 1996. Laporan Penelitian Analisis dan Kajian Tentang Pemanfaatan Abu Layang Sebagai Adsorben Zat Warna. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Ulrichs C, Schmidt U, Pelzer TM, Goswami A, Mewis I. 2009. Hard coal fly ash and silica effect of fine particulate matter deposits on Brassica chinensis. American Journal of Agricultural and Biological Sciences. 4:24–31. doi: http://dx.doi.org/10.3844/ajabssp.2009.24.31.

Wagiman FX, Fauzana H. 2010. Toksisitas Abu Terbang terhadap Nilaparvata lugens dan Kompleks Predatornya. Laporan Akhir Hibah Penelitian Fakultas Pertanian Tahun Anggaran 2010. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Miller GT. 2002. Living in the environment, principles, connections and solutions. Journal Biologia Plantarum. 45:128. doi: http://dx.doi.org/10.1023/A:1015199330106.

April 2014, Vol. 11, No. 1, 34–42Online version: http://journal.ipb.ac.id/index.php/entomologi

DOI: 10.5994/jei.11.1.34

Biologi dan kelimpahan tungau merah Tetranychus sp. (Acari: Tetranychidae) pada dua kultivar

jarak pagar (Jatropha curcas)

Biology and abundance of spider mite Tetranychus sp. (Acari: Tetranychidae) on two Jatropha curcas cultivars

Sugeng Santoso1*, Aunu Rauf1, Nelly Mastina Gultom1,Elna Karmawati2, Widi Rumini2

1 Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJalan Kamper, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

2Balai Penelitian Tanaman Industri, Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianJalan Tentara Pelajar, Cimanggu, Bogor 16111

(diterima Januari 2013, disetujui Juni 2013)

ABSTRAK

Tungau merah Tetranychus sp. merupakan salah satu hama penting yang menyerang daun jarak pagar (Jatropha curcas). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masa perkembangan, parameter neraca hayati dan kelimpahan tungau merah Tetranychus sp. pada dua kultivar jarak pagar. Pengamatan lapangan dilaksanakan di kebun jarak pagar Balai Penelitian Tanaman Industri (BALITTRI), Sukabumi, sedangkan penelitian laboratorium dilaksanakan di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kultivar jarak pagar berpengaruh nyata terhadap beberapa parameter neraca kehidupan Tetranychus sp. Tetranychus sp. yang dipelihara pada kultivar IP1-P-P mempunyai masa oviposisi yang lebih panjang dan keperidian yang lebih tinggi (7,00 hari dan 25,56 telur) dibandingkan pada IP2-P-P (5,00 hari dan 10,00 telur). Nisbah kelamin Tetranychus sp. 3,2 : 1 pada IP1-P-P dan 2,5 : 1 pada IP2-P-P. Laju pertumbuhan intrinsik Tetranychus sp. juga lebih tinggi pada kultivar IP1-P. Namun demikian, pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kelimpahan Tetranychus sp. pada kultivar IP1-P-P, lebih rendah dibandingkan dengan IP2-P-P. Hal ini diduga berkaitan dengan keberadaan arthropoda lain pada kultivar IP1-P-P. Secara umum populasi tertinggi Tetranychus sp. terjadi pada bulan Agustus dan terendah pada bulan Oktober–November. Tungau predator Famili Phytoseiidae ditemukan berasosiasi dengan tungau merah, tetapi kurang memiliki peran aktif sebagai pengendali alamiah.

Kata kunci: jarak pagar, tungau merah, tungau predator

ABSTRACT

Red spider mite Tetranychus sp. is one of the most important pests attacking leaves of Jatropha curcas. The objective of this study was to elucidate life history parameters and abundance of spider mite on two J. curcas cultivars. Field studies were carried out in BALITTRI Pakuwon Sukabumi, and laboratory experiments were conducted at the Department of Plant Protection, Bogor Agricultural University, from June to November 2008. Cultivars significantly affected several life history parameters of the spider mite. Spider mite reared on IP1-P cultivar have longer oviposition period and higher fecundity than those on IP2-P (7.00 days and 25.56 eggs against 5.00 days and

*Penulis korespondensi: Sugeng Santoso. Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Email: [email protected]

34

Jurnal Entomologi IndonesiaIndonesian Journal of EntomologyISSN: 1829-7722

Santoso at al.: Biologi dan kelimpahan tungau merah Tetranychus sp.

10.00 eggs). The sex ratio of spider mite was 3.2 : 1 on IP1-P and 2.5 : 1 on IP2-P. Intrinsic rate of increase was also higher on IP1-P. However, field studies indicated that the spider mite were less abundant on this cultivar. These might be due to the presence of other arthropods which were higher on IP1-P. In general, the highest population of spider mite occurred in August and the lowest in October–November. Predatory mite Family Phytoseiidae was found associated with spider mite, however its role as natural control agent was not significant.

Key words: Jatropha curcas, predatory mite, spider mite

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki 60 tumbuhan yang dapat menghasilkan bahan bakar minyak, namun hanya empat tanaman yang lebih diprioritaskan, yaitu kelapa sawit, tebu, singkong, dan jarak pagar (Prihandana et al. 2007). Dari keempat tanaman tersebut, jarak pagar paling potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku biodisel karena minyaknya tidak dapat dimakan sehingga semuanya dimanfaatkan untuk bahan bakar, sedangkan minyak dari kelapa sawit, tebu, dan singkong masih dapat digunakan sebagai bahan pangan/minyak makan untuk kebutuhan sehari-hari (Prihandana et al. 2007). Jarak pagar merupakan jenis tanaman semak atau pohon yang tahan terhadap kekeringan, sehingga tahan hidup di daerah dengan curah hujan rendah. Tanaman ini banyak ditemukan di Afrika Selatan, Afrika Tengah, India Selatan dan Asia Tenggara (Hamdi 2007). Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang mempunyai kandungan minyak cukup tinggi, yaitu mencapai 35–45% (Hambali et al. 2006). Komoditas ini juga sangat potensial karena dapat ditanam di lahan-lahan marjinal dan lahan kritis. Pengembangan perkebunan jarak pagar dalam skala besar di Indonesia cocok dilakukan di wilayah Indonesia Timur, terutama NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku dan Papua (Hambali et al. 2006). Beberapa kultivar unggulan jarak sudah dikembangkan, diantaranya IP1-Asembagus (IP1-A) dan IP2-Asembagus (IP2A) untuk wilayah kering dataran rendah. Kultivar unggulan lain adalah IP1-Muktiharjo (IP1-M) dan IP2-Muktiharjo (IP2-M) untuk wilayah iklim sedang dataran sedang serta IP1-Pakuwon (IP1-P) dan IP2-Pakuwon (IP2-P) untuk wilayah iklim basah dataran tinggi.

Salah satu yang menjadi masalah dalam pengusahaan jarak pagar adalah adanya serangan hama. Hambali et al. (2006) melaporkan

berbagai spesies serangga dan organisme lainnya yang menjadi hama pada tanaman jarak pagar, diantaranya ulat tanah, lundi, belalang, ulat grayak, penggerek batang, ulat api, wereng daun, kepik hijau, penggerek pucuk dan tungau. Sementara itu, dari hasil survei yang dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ditemukan 3 famili tungau yang menyerang tanaman jarak pagar, yaitu famili Tarsonemidae, Eriophyidae, dan Tetranychidae. Berdasarkan tingkat serangannya di lapangan, tungau-tungau ini sudah dapat digolongkan dalam kategori hama penting pada tanaman jarak pagar, karena tingkat serangannya melebihi 90% (Asbani et al. 2007). Dari hasil survei di tempat lain, Rumini & Karmawati (2007) juga melaporkan bahwa diantara berbagai jenis hama yang ditemukan menyerang pertanaman jarak pagar terdapat tungau famili Tarsonemidae dan Eriophyidae.

Tetranychidae, salah satu tungau yang menyerang jarak pagar yang termasuk famili terbesar sebagai fitopag (Deciyanto et al. 1991). Tetranychus (Acari: Tetranychidae) adalah tungau pengisap daun yang menjadi hama pada sebagian besar komoditas pertanian. Tungau ini memintal sarang jaring yang halus di sekeliling daun sebagai tempat untuk menambatkan telur dan juga sebagai pelindung agar koloni tungau ini dapat makan tanpa terganggu (Deciyanto et al. 1991). Tetranychus sp. menyerang daun-daun muda maupun yang tua (relatif tua) dengan cara menghisap cairan pada jaringan epidermis daun sehingga timbul bercak-bercak putih, semakin banyak dan daun menjadi kuning selain itu mengakibatkan daun berlekuk tidak teratur, pada serangan berat daun menjadi rontok (Asbani et al. 2007). Serangan tungau seringkali tidak dikenali karena ukuran tubuhnya yang sangat kecil dan hidup tersembunyi dan serangan baru dapat diketahui setelah daun berubah warna menjadi putih kecoklat-coklatan (Deciyanto et al. 1989). Berdasarkan pengalaman di lapangan tungau dapat menyebabkan kerusakan pada daun

35

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No 1, 34–42

hampir 90%. Serangan tungau di lapangan pada musim hujan bisa mencapai 40%, sedangkan pada musim kemarau dapat lebih tinggi. Tungau adalah hama yang paling berbahaya pada masa vegetatif karena dapat membawa virus dan serangannya menjadi lebih berat (Karmawati 2006). Sampai saat ini belum ada penelitian tentang biologi dan kelimpahan populasi tungau merah, serta musuh alaminya pada tanaman jarak pagar. Oleh karena itu, penelitian ini mempunyai arti sangat penting untuk melengkapi berbagai informasi yang ada yang bisa digunakan dalam penyusunan strategi pengendalian tungau pada tanaman jarak pagar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masa perkembangan, parameter neraca hayati dan kelimpahan tungau merah Tetranychus sp. pada dua kultivar jarak pagar.

.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempatPenelitian dilaksanakan di Laboratorium

Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Kebun Jarak Pagar, Balai Penelitian Tanaman Industri (BALITTRI) Pakuwon, Sukabumi sejak bulan Juni 2008 sampai November 2008

Biologi tungau merah pada tanaman jarak pagar kultivar IP1-P dan IP2-P

Arena pemeliharaan adalah cawan petri (ø = 6 cm), yang di dalamnya secara berurutan diletakkan busa (ø= 5,5 cm), kapas (5 cm x 4 cm), dan daun jarak pagar yang bebas pestisida. Busa dan kapas selalu dijenuhi dengan air untuk menjaga kesegaran daun jarak pagar dan mencegah tungau keluar dari arena percobaan. Tungau diperoleh dari kebun jarak di Pakuwon Sukabumi. Tungau dipelihara dan dikembangbiakkan pada arena pemeliharaan. Kultivar jarak pagar yang digunakan adalah IP1-P dan IP2-P.

Lima puluh imago tungau merah betina ditempatkan pada arena percobaan dan dibiarkan selama dua jam agar meletakkan telur. Telur yang diletakkan dibuang dengan menyisakan satu butir telur per arena percobaan (50 telur untuk masing-masing kultivar). Telur diamati setiap enam jam sampai menetas dan menjadi

imago. Lama perkembangan dari setiap stadia dicatat. Keberadaan eksuvia pada daun digunakan sebagai tanda ganti kulit. Setelah menjadi imago, nisbah kelamin, masa praoviposisi, oviposisi, pascaoviposisi, keperidian, serta lama hidup imago diamati dan dicatat.

Kelimpahan tungau merah dan tungau predator pada pertanaman jarak pagar kultivar IP1-P dan IP2-P

Pengamatan kelimpahan populasi tungau merah dan tungau predator pada dua kultivar jarak pagar dilakukan setiap 10 hari sekali. Pengamatan dilakukan terhadap 50 tanaman contoh yang sama untuk masing-masing kultivar. Dari setiap tanaman contoh diambil masing-masing satu daun pucuk, sedang dan tua. Daun contoh dimasukkan ke dalam kantong plastik, ditempatkan di dalam kotak pendingin (ice box) dan dibawa ke laboratorium untuk diamati. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop stereo standar penelitian. Jumlah semua stadia tungau merah serta tungau predator dihitung. Sebagai data tambahan hama-hama dan musuh alami lain yang ditemukan juga dihitung.

HASIL

Biologi tungau merah pada tanaman jarak pagar kultivar IP1-P dan IP2-P

Selama masa hidupnya Tetranychus sp. melewati empat stadia utama, sampai menjadi dewasa, yaitu telur, larva, protonimfa, dan deutonimfa. Di antara stadia larva dan protonimfa terdapat fase istirahat yang disebut dengan protochrysalis, sedangkan di antara stadia protonimfa dan deutonimfa terdapat fase istirahat yang disebut dengan deutochrysalis. Telur tungau berbentuk bulat, berwarna bening. Larva berwarna kehijauan dan bertungkai tiga pasang. Protonimfa mempunyai ukuran yang lebih besar dari larva, bertungkai empat pasang, dan berwarna kehijauan. Warna hijau lebih disebabkan oleh warna hijau daun yang tergambar pada tubuh yang transparan. Deutonimfa berwarna kemerahan dengan ukuran yang lebih besar. Imago betina berukuran sekitar 0,4 mm berbentuk bulat lonjong. Imago jantan berukuran lebih kecil dan ramping, dengan bentuk abdomen meruncing pada ujungnya.

36

Santoso at al.: Biologi dan kelimpahan tungau merah Tetranychus sp.

Lama beberapa stadia pradewasa dipengaruhi oleh kultivar jarak pagar yang menjadi makanannya (Tabel 1), tetapi total lama siklus hidup pradewasa tungau merah (sejak telur hingga terbentuk imago) tidak dipengaruhi oleh kultivar jarak pagar yang digunakan. Total siklus hidup tungau merah ini adalah 10,12 ± 0,93 hari pada IP1-P dan 10.05 ± 1,02 hari pada IP2-P .

Beberapa parameter hayati sangat dipengaruhi oleh kultivar jarak pagar yang digunakan (Tabel 2). Masa oviposisi tungau merah yang dipelihara pada kultivar IP1-P lebih panjang dibandingkan dengan IP2-P, yaitu 7,00 ± 2,37 hari berbanding 5,00 ± 2,71 hari. Keperidian tungau merah pada IP1-P juga lebih tinggi dibandingkan dengan IP2-P, yaitu 25,56 ± 8,61 telur berbanding 10,00 ± 7,06 telur. Nisbah kelamin (♀/♂) pada IP1-P lebih tinggi dibandingkan dengan IP2-P.

Nilai laju reproduksi bersih (Ro) pada IP1-P (6,1490) lebih tinggi dibandingkan dengan IP2-P (2,4370). Laju pertumbuhan intrinsik tungau merah pada IP1-P dan IP2-P adalah 0,112 dan

0,0529 betina per induk per hari, yang bisa diartikan bahwa perkembangan populasi tungau merah pada IP1-P dua kali lipat dari IP2-P. Laju pertumbuhan terbatas pada IP1-P = 1,118 dan IP2-P = 1,054. Rata-rata lama generasi (T) adalah waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga saat betina menghasilkan keturunanya pada IP1-P dan IP2-P selama 16,2169 hari dan 16,8392 hari; waktu penggandaan (Dt) IP1-P dan IP2-P selama 6,1888 hari dan 13,1029 hari (Tabel 3).

Kelimpahan tungau merah dan tungau predator pada pertanaman jarak pagar kultivar IP1-P dan IP2-P

Tungau merah lebih banyak ditemukan pada daun sedang dan tua dibandingkan dengan pucuk (Gambar 1 dan 2). Populasi tungau merah pada pertanaman jarak pagar berfluktuasi sepanjang tahun. Secara umum populasi tertinggi terjadi pada bulan Agustus, sedangkan tingkat populasi terendah terjadi pada bulan Oktober–November. Pada musim penghujan, yang dimulai bulan

37

Masa perkembangan (hari)

Tabel 1. Perkembangan pradewasa tungau merah Tetranychus sp. pada tanaman jarak pagar kultivar IP1 dan IP2

N x ± SD n tIP1 IP2

x ± SD db P3,18 ± 0,23 45 3,26 ± 24 33 1,52 76 0,062,28 ± 0,54 30 1,91 ± 1,12 24 1,84 52 0,030,77 ± 0,15 28 0,71 ± 0,12 20 1,35 46 0,091,27 ± 0,37 24 1,80 ± 0,66 16 3,23 38 <0,010,72 ± 0,20 23 0.69 ± 21 16 1,62 37 0,061,20 ± 0,42 21 1,29 ± 0,50 14 0,53 33 0,290,79 ± 0,14 21 0,88 ± 0,13 14 1,87 33 0,03

TelurLarvaProtokrisalisProtonimfaDeutokrisalisDeutonimfaTeliokrisalisTotal pradewasa 10,12 ± 0,93 16 10,05 ± 1,02 14 0,19 33 0,42

Lama perkembangan

Tabel 2. Sifat biologi imago tungau merah Tetranychus sp. pada tanaman jarak pagar kultivar IP1 dan IP2

N x ± SD n tIP1 IP2

x ± SD db P 1,16 ± 0,38 16 1,48 ± 0,57 10 1,72 24 0,05 7,00 ± 2,37 16 5,00 ± 2,71 10 1,98 24 0,03 3,50 ± 2,48 16 4,40 ± 3,47 10 0,77 24 0,22 9,40 ± 1,82 5 8,25 ± 1,50 4 1,01 7 0,1711,66 ± 3,31 16 10,88 ± 3,66 10 0,56 24 0,2925,56 ± 8,61 16 10,00 ± 7,06 10 3,29 24 0,001

3,2 : 1 16 2,5 : 1 10

PraoviposisiOviposisisiPascaoviposisiLama jantanLama betinaKeperidian Nisbah kelamin (♀/♂)

Kultivar

Tabel 3. Parameter neraca hayati tungau merah Tetranychus sp. pada jarak pagar kultivar IP1 dan IP2

RoR T DtGRR

16,0312 6,1490 0,112 16,2169 6,1888 1,1185 8,236 2,437075 0,0529 16,8392 13,1029 1,0543

IP1IP2

λ

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No 1, 34–42

38

Gambar 1. Kelimpahan populasi tungau merah Tetranychus sp. pada dua kultivar jarak pagar IP1-P di Pakuwon. : Telur; : Pradewasa; : Imago; : Total.

Varietas

Tabel 4. Nilai korelasi antara kelimpahan tungau merah Tetranychus sp. dan tungau predator Famili Phytoseiidae

RBagian

TanamanIP1

IP2

PucukMudaTuaPucukMudaTua

- 0,182- 0,212- 0,382- 0,061 0,182- 0,170

0,4990,430,1440,8240,4720,572

P

September, populasi tungau menjadi sangat rendah karena pengaruh mekanis dari curah hujan (Gambar 1 dan 2). Berdasarkan analisis ragam pengukuran berulang, kelimpahan populasi tungau merah pada kultivar IP2-P secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan IP1-P (F1,98= 22,87; P < 0,001).

Tungau predator Famili Phytoseiidae ditemukan pada semua umur daun, tetapi cenderung lebih tinggi pada daun sedang dan tua dibandingkan

dengan pucuk (Gambar 3). Populasi predator pada IP1-P dan IP2-P sangat rendah, rata-rata kurang dari satu ekor per daun. Beberapa jenis predator, yaitu Stethorus, Scolotrips, Coccinellidae, dan laba-laba juga ditemukan pada pertanaman jarak pagar. Phytoseiidae dapat mengatur populasi mangsa pada kerapatan yang rendah sehingga bisa terus bertahan hidup pada populasi mangsa yang rendah. Dalam penelitian ini tidak terdapat korelasi antara populasi tungau merah dengan populasi tungau predator (Tabel 4).

PEMBAHASAN

Salah satu masalah utama dalam pengembangan jarak pagar di Indonesia adalah serangan tungau. Ada tiga famili tungau yang diketahui menyerang jarak pagar, yaitu Eriophyidae, Tarsonemidae dan Tetranychidae. Tungau Famili Tarsonemidae banyak menyerang daun pucuk, Eriophyidae

Indi

vidu

/dau

n

Tanggal pengamatan

Daun sedang

0

40

80

120

160

Daun tua

0

40

80

120

160

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Pucuk

0

40

80

120

160

Telur

Pradewasa

Imago

Total

Daun sedang

0

40

80

120

160

Daun tua

0

40

80

120

160

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Pucuk

0

40

80

120

160

Telur

Pradewasa

Imago

Total

Daun sedang

0

40

80

120

160

Daun tua

0

40

80

120

160

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Pucuk

0

40

80

120

160

Telur

Pradewasa

Imago

Total

Daun sedang

0

40

80

120

160

Daun tua

0

40

80

120

160

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Pucuk

0

40

80

120

160

Telur

Pradewasa

Imago

Total

Daun sedang

0

40

80

120

160

Daun tua

0

40

80

120

160

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Pucuk

0

40

80

120

160

Telur

Pradewasa

Imago

Total

Santoso at al.: Biologi dan kelimpahan tungau merah Tetranychus sp.

menyerang daun muda, sedangkan Tetranychidae banyak menyerang daun sedang dan tua.

Beberapa parameter neraca hayati Tetranychus sp. sangat dipengaruhi oleh kultivar jarak pagar yang digunakan, di antaranya masa oviposisi, keperidian dan proporsi betina. Namun demikian, beberapa parameter lain, seperti lama hidup betina dan masa praoviposisi tidak dipengaruhi oleh kultivar jarak pagar yang digunakan. Cone (1985) menyatakan bahwa masa praoviposisi tungau merah adalah satu hari pada suhu 24–29 °C Peningkatan suhu dapat mendorong peningkatan laju oviposisi (Zhang 2003). Lama masa oviposisi tungau merah pada kultivar IP1-P (7,00 ± 2,37 hari) lebih lama dibandingkan dengan IP2-P (5,00 ± 2,71 hari). Zhang (2003) menyatakan bahwa periode oviposisi tungau merah adalah sekitar 10 hari. Masa pascaoviposisi pada IP1-P 3,50 ± 2,48 hari, tidak berbeda nyata dengan pada IP2-P (4,40 ± 3,47 hari).

Kultivar jarak pagar juga mempengaruhi beberapa parameter neraca hayati tungau merah, yaitu laju reproduksi kotor, laju reproduksi bersih, dan laju pertumbuhan intrinsik. Nilai laju reproduksi bersih (Ro) pada IP1-P (6,1490) lebih tinggi dibandingkan dengan IP2-P (2,4370), yang berarti jumlah keturunan betina pada IP1-P lebih banyak yang menjadi imago dibandingkan dengan IP2-P. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa laju pertumbuhan intrinsik tungau merah pada IP1-P dan IP2-P adalah 0,112 dan 0,0529 betina per induk per hari, yang bisa diartikan bahwa perkembangan populasi tungau merah pada IP1-P dua kali lipat dari IP2-P.

Laju pertumbuhan terbatas pada IP1-P = 1,118 dan IP2-P = 1,054. Rata-rata lama generasi (T) adalah waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga saat betina menghasilkan keturunanya pada IP1-P dan IP2-P selama 16,2169 hari dan 16,8392 hari; waktu penggandaan (Dt)

39

Gambar 2. Kelimpahan populasi tungau merah Tetranychus sp. pada dua kultivar jarak pagar IP2-P di Pakuwon. : Telur; : Pradewasa; : Imago; : Total.

Tanggal pengamatan

Indi

vidu

/dau

nPucuk

0

40

80

120

160

Daun tua

0

40

80

120

160

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Daun sedang

0

40

80

120

160

Telur

Pradewasa

Imago

Total

Daun sedang

0

40

80

120

160

Daun tua

0

40

80

120

160

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Pucuk

0

40

80

120

160

Telur

Pradewasa

Imago

Total

Daun sedang

0

40

80

120

160

Daun tua

0

40

80

120

160

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Pucuk

0

40

80

120

160

Telur

Pradewasa

Imago

Total

Daun sedang

0

40

80

120

160

Daun tua

0

40

80

120

160

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Pucuk

0

40

80

120

160

Telur

Pradewasa

Imago

Total

Daun sedang

0

40

80

120

160

Daun tua

0

40

80

120

160

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Pucuk

0

40

80

120

160

Telur

Pradewasa

Imago

Total

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No 1, 34–42

40

Gambar 3. Kelimpahan populasi tungau predator Famili Phytoseiidae pada kultivar IP1-P (atas) dan IP2-P (bawah). : Pucuk; : Sedang; : Tua.

IP1-P dan IP2-P selama 6,1888 hari dan 13,1029 hari. Laju intrinsik (r) adalah laju pertumbuhan populasi pada keadaan lingkungan konstan, sumberdaya tidak terbatas serta kematian yang terjadi hanya disebabkan oleh faktor fisiologi (Birch 1948).

Di lapangan populasi tungau merah lebih banyak ditemukan pada daun sedang dan tua dibandingkan dengan pada pucuk. Hal ini disebabkan oleh tungau merah lebih menyukai daun sedang dan tua, dan biasanya pada permukaan bawah daun (Sonneveld et al. 1996). Reddall et al. (2004) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa tungau merah lebih menyukai bagian dasar daun daripada ujung daun. Huffaker et al. (1969) menyatakan bahwa tungau merah lebih menyukai daun tanaman yang lebih tua karena memiliki jaringan tanaman yang mencukupi kandungan nutrisi yang dibutuhkannya.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa populasi tungau merah berfluktuasi sepanjang tahun. Secara umum populasi tertinggi terjadi pada bulan Agustus yang sangat kering, sedangkan tingkat populasi terendah terjadi pada bulan Oktober–November yang sangat basah.

Rendahnya populasi tungau merah pada musim penghujan diduga karena pengaruh mekanis dari curah hujan. Berdasarkan analisis ragam pengukuran berulang, kelimpahan populasi tungau merah pada kultivar IP2-P secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan IP1-P (F1,98 = 22,87; P < 0.001). Lebih berlimpahnya populasi tungau merah pada IP2-P dibandingkan dengan IP1-P tidak konsisten dengan hasil penelitian neraca hayati sebelumnya, yang laju pertambahan intrinsik (r) lebih tinggi pada IP1-P daripada IP2-P. Hal ini diduga terkait dengan adanya kompetisi dari artropoda lain. Selama penelitian berlangsung, selain famili Tetranychidae, ditemukan tungau fitofag lain seperti tungau kuning (Tarsonemidae), tungau koma (Eriophyidae), tungau golongan Acaridae. Selain bebagai jenis tungau tersebut, hasil pengamatan juga menemukan berbagai jenis serangga hama yang berasosiasi dengan tanaman jarak pagar, yaitu trips, kutu tempurung (Megapulvinaria maxima), kutu putih (Paracoccus marginatus), kutu daun, ulat api (Lepidoptera), juga serangga pemakan serasah seperti Collembola. Populasi serangga hama ini sangat tinggi pada IP1-P dibandingkan dengan IP2-P, sehingga

Tanggal pengamatan

Indi

vidu

/dau

n

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1 Pucuk Sedang Tua

0

0,2

0,4

0,6

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Tanggal Pengamatan

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1 Pucuk Sedang Tua

0

0,2

0,4

0,6

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Tanggal Pengamatan

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1 Pucuk Sedang Tua

0

0,2

0,4

0,6

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Tanggal Pengamatan

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1 Pucuk Sedang Tua

0

0,2

0,4

0,6

27/6 9/7

18/7 29/7

8/8 19/8

29/8 8/9

18/9 27/9

7/10 22/10

31/10 10/11

20/11 30/11

Tanggal Pengamatan

Santoso at al.: Biologi dan kelimpahan tungau merah Tetranychus sp.

41

mungkin mengganggu perkembangan populasi tungau merah.

Tungau predator Famili Phytoseiidae ditemukan pada semua umur daun, tetapi cenderung lebih tinggi pada daun sedang dan tua dibandingkan pucuk. Hal ini diduga karena tungau merah lebih banyak ditemukan pada daun sedang dan tua. Meskipun ditemukan sepanjang penelitian, dan populasinya berfluktuasi, namun rata-rata kerapatan predator per daun kurang dari satu ekor. Dari hasil pengamatan juga ditemukan beberapa jenis predator yaitu Stethorus, Scolotrips, Coccinellidae, dan laba-laba. Predator Phytoseiidae termasuk predator generalis sehingga selain memakan tungau merah juga memakan tungau fitofag yang lain, kutu, telur-telur trips. Phytoseiidae dapat mengatur populasi mangsa pada kerapatan yang rendah sehingga bisa terus bertahan hidup pada populasi mangsa yang rendah.

Tidak ada korelasi antara populasi populasi tungau predator dan populasi tungau merah di pertanaman jarak pagar. Hal ini diduga disebabkan oleh sifat predator Phytoseiidae yang generalis, sehingga populasinya tidak hanya tergantung pada populasi satu jenis mangsa. Selain itu, ditemukannya beberapa jenis serangga predator tungau diduga mempengaruhi hal ini. Hagen et al. (1999) menyatakan bahwa Famili Phytoseiidae mendapat perhatian dan banyak diteliti. Cukup banyak spesies yang dimanfaatkan dalam pengendalian tungau dan serangga pada berbagai komoditi di berbagai negara. Spesies Phytoseiulus persimilis mampu mengonsumsi 10–12 telur tungau merah selama stadia nimfa, dan 14–22 telur per hari per betina yang sudah bertelur. Kelebihan dari karakteristik tungau predator ini adalah karena dapat berkembang pada kerapatan mangsa yang rendah, siklus hidup pendek, menghasilkan tanggap yang baik terhadap kenaikan populasi mangsa, bahkan jika jumlah mangsa relatif rendah (van de Vrie et al. 1972; Hagen et al. 1999).

KESIMPULAN

Kultivar IP1-P lebih sesuai bagi perkembangan tungau merah yang ditunjukkan oleh nilai laju pertambahan intrinsik (r) yang lebih tinggi. Kelimpahan populasi tungau merah lebih tinggi

pada kultivar IP2-P dibandingkan dengan IP1-P, terutama sepanjang akhir bulan Juli hingga akhir Agustus. Tungau predator famili Phytoseiidae ditemukan berasosiasi dengan tungau merah, tetapi kurang memiliki peran sebagai pengendali alamiah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian yang sudah mendanai penelitian ini melalui Hibah KKP3T.

DAFTAR PUSTAKA

Asbani N, Amir AM, Subiyakto. 2007. Inventarisasi hama tanaman jarak pagar Jatropha curcas L. Di dalam: Prosiding Lokakarya II: Status Teknologi Tanaman Jarak Pagar Jatropha curcas L. (Bogor, 29 November 2006). pp. 83–90. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.

Birch LC. 1948. The intrinsic rate of natural increase of an insect population. Journal of Animal Ecology 17:15–26.

Cone WW. 1985. Mating and chemical communication. In : Helle W, Sabelis MW, (Eds.). Spider Mites Their Biology, Natural Enemies, and Control. Vol 1A. pp: 243–251. Tokyo: Elsevier.

Deciyanto S, Amir M, Trisawa IM, Harijanto S. 1989. Studi biologi dan perkembangan hama tungau Tetranychus sp. (Tetranychidae: Acarina) pada tanaman mentha. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 15:9–14.

Deciyanto S, Trisawa IM, Adriani RR. 1991. Studi beberapa inang hama tungau (Tetranychus sp.) asal tanaman Mentha sp. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 17:48–55.

Hagen KS, Mills NJ, Gordh G, McMurty JA. 1999. Terresterial arthropod predators of insects and mites pests. In: Bellows TS, Fisher TW, (Eds.). Handbook of Biologycal Control. Principles and Applications of Biologycal Control. pp 383–503. Sydney: Academis Press.

Hambali E, Suryani A, Dadang, Hariyadi, Hanafie H, Imam KR, Rivai M, Ihsanur M, Suryadarma P, Tjitrosemito S, Soerawidjaja TH, Prawitasari T, Prakoso T, Purnama W. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodisel. Jakarta: Penebar Swadaya.

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No 1, 34–42

Hamdi A. 2007. Implementasi Kebijakan Pengembangan Jarak Pagar Sebagai Sumber BBN. Di dalam: Prosiding Lokakarya II Status Teknologi Tanaman Jarak Pagar Jatropha curcas L. (Bogor, 29 Nopember 2006). pp. 1–16. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.

Huffaker CB, Van de vrie M, McMurtry JA. 1969. The ecology of tetranychid mites and their natural control. Annual Review of Entomology 14:125–174. doi: http://dx.doi.org/10.1146/annurev.en. 14.010169.001013.

Karmawati E. 2006. Jarak pagar (Jatropha curcas). Available at: http://www.perkebunan.litbang.deptan.go.id [acessed 1 April 2008].

Prihandana R, Hambali E, Mujdalipah S, Hendroko R. 2007. Meraup Untung dari Jarak Pagar. Jakarta: PT Agro Media Pustaka.

Reddal A, Sadras VO, Wilson LJ, Gregg PC 2004. Physiological responses of cotton to two spotted spider mite damage. Crop Science 44:835–846.

doi: http://dx.doi.org/10.2135/cropsci2004.0835.Rumini W, Karmawati E. 2007. Hama Pada Tanaman

Jarak Pagar. Di dalam: Prosiding Lokakarya II Status Teknologi Tanaman Jarak Pagar Jatropha curcas L. (Bogor, 29 Nopember 2006). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.

Sonneveld T, Wainwraight H, Labuschagne L. 1996. Development of two spotted spider mite on strawberry and rasphberry cultivars. Annals of Applied Biology 129:405–413. doi: http://dx.doi.org/10.1111/j.1744-7348.1996.tb05764.x.

Vrie M van de, McMurtry JA, Huffaker CB.1972. Biology, ecology, and pests status and host-plant relations of tetranychids. Hilgardia 41:343–432.

Zhang ZQ. 2003. Mites of Greenhouses, Identification, Biology and Control. Cambridge: CABI Publishing. doi: http://dx.doi.org/10.1079/ 9780851995908.0000.

42

April 2014, Vol. 11 No. 1, 43–52Online version: http://journal.ipb.ac.id/index.php/entomologi

DOI: 10.5994/jei.11.1.43

Jurnal Entomologi IndonesiaIndonesian Journal of EntomologyISSN: 1829-7722

Asosiasi antara marka SSR dengan ketahanan terhadap wereng batang coklat pada varietas dan

calon galur harapan padi

Association between SSR markers and brown planthopper resistance in rice varieties and promising lines

Chaerani1*, Dwinita W. Utami1, Nurul Hidayatun1, Buang Abdullah2, Bambang Suprihatno2

1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111

2Balai Penelitian Padi Jalan Raya 9, Subang 41256

(diterima Juli 2013, disetujui Desember 2013)

ABSTRAK

Perakitan varietas padi tahan wereng batang coklat (WBC, Nilaparvata lugens Stål.) perlu diupayakan secara kontinyu untuk mengatasi perubahan genetik WBC yang terjadi secara spasial dan temporal menjadi biotipe yang lebih ganas. Tersedianya marka molekuler yang terpaut erat dengan ketahanan terhadap WBC dapat mempercepat proses seleksi pada populasi persilangan. Marka yang terpaut erat dengan sebuah karakter fenotipe tertentu dapat diidentifikasi dengan cara mengasosiasikan sejumlah marka dengan karakter fenotipik pada individu-individu yang tidak berkerabat sebagai alternatif dari metode tradisional menggunakan analisis pautan yang memerlukan populasi persilangan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi marka simple sequence repeat (SSR) padi yang berasosiasi dengan ketahanan terhadap WBC. Sebanyak 44 varietas dan calon galur harapan yang telah diketahui tingkat ketahanannya terhadap WBC biotipe 3 dianalisis menggunakan 30 marka SSR yang tersebar di delapan kromosom padi. Uji asosiasi antara marka SSR dengan ketahanan terhadap WBC mendapatkan delapan marka SSR (RM17, RM38, RM125, RM144, RM250, RM287, RM328, dan RM536) yang berasosiasi signifikan dengan ketahanan WBC (R2=0,18 sampai 0,89; P<0,05). Dua puluh satu varietas dan 11 calon galur harapan terdeteksi mengandung alel-alel SSR yang berasosiasi dengan ketahanan WBC biotipe 3. Marka RM17 terdeteksi pada 15 varietas dan 11 calon galur harapan yang dikategorikan tahan dan agak tahan sehingga berpotensi digunakan sebagai marka diagnostik awal untuk mendeteksi alel-alel ketahanan terhadap WBC. Untuk mendapatkan marka SSR yang dapat digunakan sebagai alat seleksi ketahanan WBC yang terpercaya, perlu dilakukan analisis lanjutan pada populasi yang bersegragasi untuk kedelapan marka tersebut dan uji asosiasi lebih banyak marka SSR yang tersebar luas pada kromosom padi.

Kata kunci: ketahanan, padi, SSR, wereng batang coklat

ABSTRACT

Development of resistant rice varieties to brown planthopper (BPH, Nilaparvata lugens Stål) must be countinuously conducted to overcome the spatial and temporal genetic change in BPH into more virulent ones which can adapt to resistance rice. The availability of linked molecular markers with BPH resistant trait can speed up selection of hybridization progenies. Close-linked markers

*Penulis korespondensi: Chaerani. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111 Tel: 0251-833795, Faks: 0251-8338820, Email: [email protected]

43

Chaerani et al.: Asosiasi SSR dengan ketahanan terhadap wereng batang coklat

PENDAHULUAN

Wereng batang coklat (WBC), Nilaparvata lugens Stål. (Homoptera: Delphacidae) adalah serangga hama tipe penusuk-penghisap utama padi di Indonesia (Baehaki 2011). Serangan WBC dalam populasi tinggi dapat menyebabkan tanaman kering dan mati (hopper burn). Luas serangan WBC cenderung meningkat seiring dengan penanaman varietas padi berdaya hasil tinggi tetapi rentan WBC. Di tahun 2011, luas serangan WBC hampir dua kali lipat dari serangan pada tahun 2010, mencapai 173.890 ha dengan 22.613 ha diantaranya mengalami puso (PTP2011).

Penanaman varietas tahan merupakan strategi pengendalian WBC yang paling efektif, ekonomis, dan ramah lingkungan sehingga menjadi komponen penting program pengendalian hama terpadu (Bahagiawati 2012). Akan tetapi, ketahanan yang dikendalikan oleh gen-gen tunggal mayor tidak berlangsung lama karena timbulnya populasi WBC (biotipe) yang lebih virulen (Cohen et al. 1997). Di Indonesia, WBC biotipe 1, 2, dan 3 berturut-turut muncul setelah penanaman varietas Pelita I/1 (tanpa gen ketahanan terhadap WBC), varietas IR26 (memiliki gen ketahanan Bph1), dan IR42 (memiliki gen ketahanan Bph2) (Baehaki & Munawar 2008). Penanaman varietas IR64 dan turunannya seperti Ciherang mampu mengatasi serangan WBC biotipe 3 di lapangan dalam waktu lama hingga terdeteksinya biotipe 4 di Sumatera Utara pada tahun 2006 (Baehaki & Munawar 2008). WBC yang diidentifikasi di Jawa dan

Sumatera Selatan adalah biotipe 3, di Sulawesi Selatan campuran biotipe 2 dan 3, sedangkan di Sumatera Utara campuran biotipe 2, 3, dan 4; namun yang paling dominan di lapangan adalah biotipe 3 sehingga biotipe 3 digunakan dalam pengujian ketahanan galur-galur padi (Baehaki & Munawar 2008; Effendi & Munawar 2013).

Selain gen-gen mayor, terdapat lokus-lokus sifat kuantitatif (quantitative trait locus, [QTL]) yang tersebar pada 12 kromosom padi yang memberikan ketahanan terhadap WBC (Xu et al. 2002). Masing-masing lokus kuantitatif ini memberikan efek kecil terhadap ketahanan terhadap WBC tetapi gabungan beberapa lokus berkontribusi membentuk sifat ketahanan moderat dan dapat bertahan lama di lapangan dibandingkan dengan gen-gen mayor tunggal (Xu et al. 2002, Kazushige et al. 2003). Efek gabungan dari QTL menyulitkan WBC untuk mengatasi produk dari tiap lokus kuantitatif tersebut. Ketahanan IR64 dapat bertahan lama di lapangan karena selain mengandung gen mayor Bph1, varietas ini juga mengandung gen-gen minor dan QTL sehingga mampu memperlambat perubahan biotipe 3 ke arah yang lebih ganas (Cohen et al. 1997).

Gen-gen dan QTL ketahanan terhadap WBC pada umumnya diidentifikasi pada stadia tanaman muda (berumur 5-14 hari) dan tanaman lebih dewasa (berumur >1 bulan) sehingga mekanisme ketahanan yang dideteksi adalah antixenosis (non-preference) dan antibiosis (gangguan terhadap proses metabolik) (Soundararajan et al. 2005). Gen Bph14 telah diklon dan diketahui mengkode protein

44

with trait of interest can be identified using association studies between markers and phenotypic data of unrelated individuals without the need to generate hybridization progenies as an alternative method to linkage studies which use mapping population. The objective of this study was to analyze the association of rice simple sequence repeat (SSR) markers with resistance to BPH. Forty-four rice varieties and promising lines with known resistance degree to BPH biotype 3 were assessed using 30 rice microsatellite markers previously mapped in the rice chromosomal regions with effects on resistance to BPH. Association test between SSR markers and BPH resistance scores revealed eight markers (RM17, RM38, RM125, RM144, RM250, RM287, RM328, dan RM536) which were significantly associated with BPH resistance (R2=0,18 to 0,89; P<0,05). Twenty-one varieties and 11 promising lines were detected to contain SSR alleles that were associated with BPH resistance. Marker RM17 was detected in 15 varieties and 11 promising lines which were scored as resistant and moderately resistant to BPH and therefore it is potentially the most useful as early diagnostic marker to detect BPH resistance alleles. Nevertheless, to obtain SSRs that can be used as reliable selection markers for BPH resistance, marker analysis in segregating populations for the eight markers is still needed as well as associtaion test of more SSR markers widely distributed in rice chromosomes.

Key words: brown planthopper, resistance, rice, SSR

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 43–52

bermotif CC-NB-LRR (coiled-coil, nucleotide-binding, and leucine-rich repeat) (Du et al. 2009). Bph14 diekspresikan di jaringan vaskuler tanaman dan mengaktifkan jalur lintas pensinyalan salicylic acid, menginduksi deposisi kalus dalam sel-sel floem, dan menghasilkan inhibitor trypsin, sehingga menurunkan laju pertumbuhan dan lama hidup WBC (Du et al. 2009).

Karena perubahan biotipe WBC ke arah yang lebih ganas merupakan ancaman kontinyu terhadap peningkatan produksi padi, maka introduksi gen-gen ketahanan baru terhadap WBC dari berbagai donor ke dalam padi untuk mendapatkan varietas dengan produksi dan kualitas hasil beras tinggi serta tahan WBC terus dilakukan. Tersedianya marka molekuler yang terpaut erat dengan gen-gen ketahanan terhadap WBC akan sangat membantu kegiatan pemuliaan karena marka molekuler memungkinkan dilakukannya seleksi turunan persilangan berdasarkan genotipe dibandingkan seleksi berdasarkan fenotipe ketahanan (Su et al. 2006).

Metode alternatif untuk mencari marka molekuler yang terkait dengan sifat (trait) yang diminati tanpa melalui pemetaan marka molekuler pada populasi persilangan (linkage mapping) adalah melalui metode pemetaan asosiasi (association mapping). Pada metode ini marka diidentifikasi berdasarkan kekuatan asosiasinya dengan fenotipe tertentu pada sebuah populasi yang terdiri dari individu-individu yang “tidak berkerabat” dari sebuah populasi umum dengan sebuah karakter fenotipe yang serupa (Pritchard et al. 2000; Aranzana et al. 2005). Diasumsikan bahwa individu-individu yang tidak berkerabat dapat mirip secara fenotipik karena memiliki alel-alel yang dikelilingi oleh haplotipe marka yang diwariskan dari nenek moyang. Alel-alel ini diidentifikasi dengan pemindaian menggunakan sejumlah marka yang tersebar dalam genom (genome-wide scan) (Aranzana et al. 2005).

Di antara sejumlah marka molekuler, marka mikrosatelit atau simple sequence repeats (SSR) memiliki banyak kelebihan, antara lain tersebar luas dalam genom padi, mempunyai variasi alelik yang tinggi, mudah dianalisis menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR), dan memiliki kemampuan untuk diulang (reprodusibilitas) yang tinggi (McCouch et al. 2002). Ribuan marka SSR

padi telah dikembangkan dan dipetakan lokasinya pada kromosom padi sehingga menjadi rujukan untuk pemetaan gen dan QTL terkait sifat-sifat penting pada padi (http://www.gramene.org/resources/). Peta rujukan marka SSR ini dapat dimanfaatkan untuk mencari SSR putatif terkait dengan sifat ketahanan terhadap WBC dengan jalan mensejajarkannya dengan peta-peta (map alignment) marka restriction fragment length polymorphism (RFLP), random amplified polymorphism DNA (RAPD), dan amplified fragment length polymorphism (AFLP), pada mana banyak gen dan QTL ketahanan terhadap WBC telah dipetakan (http://www.gramene.org/resources/).

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi marka-marka SSR yang terpaut dengan gen dan QTL ketahanan terhadap WBC pada varietas-varietas unggul nasional, introduksi, dan calon galur harapan melalui uji asosiasi.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempat penelitianPenelitian dilaksanakan di Laboratorium

Terpadu dan Laboratorium Biologi Molekuler, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber-daya Genetik Pertanian dari bulan Agustus 2007 sampai dengan Oktober 2008.

Bahan tanaman dan isolasi DNASebanyak 33 aksesi padi dengan skor ketahanan

1 dan 3 dari hasil skrining massal dan population build-up terhadap WBC biotipe 3 (Effendi & Munawar 2013, B. Suprihatno & B. Abdullah, data tidak dipublikasikan) dianalisis dengan marka SSR. Aksesi-aksesi tersebut terdiri dari 11 varietas unggul nasional, sembilan varietas introduksi, satu spesies kerabat liar padi (Oryza australiensis) serta 12 calon galur harapan (Tabel 1). Sepuluh benih dari setiap varietas atau calon galur harapan ditanam dalam bak-bak plastik. Tanaman dipelihara hingga umur 4–6 minggu. DNA diisolasi dari daun-daun muda yang diperoleh dari 10 tanaman menggunakan bufer ekstraksi sodium dodecyl sulfate (SDS) dalam skala miniprep mengikuti prosedur dari Lab Terpadu Litbang (2006). DNA dilarutkan dalam bufer TE (pH 8,0)

45

Chaerani et al.: Asosiasi SSR dengan ketahanan terhadap wereng batang coklat

kemudian kualitas dan kuantitasnya diperiksa pada gel agarose 0,8–1% setelah perendaman gel dalam larutan etidium bromida. DNA divisualisasi menggunakan alat dokumentasi ChemiDoc XRS (Bio-Rad).

Primer mikrosatelit dan amplifikasi DNATiga puluh marka SSR (Tabel 2) dipilih yang

berada pada segmen kromosom mengandung gen dan QTL pengendali ketahanan terhadap WBC berdasarkan penyejajaran peta marka restriction fragment length polymorphism (RFLP) dengan peta marka SSR (http://www.gramene.org/resources/). DNA tiap aksesi diamplifikasi secara terpisah untuk tiap pasang primer dalam volume

reaksi 20 μl pada mesin PCR (Biometra T1) menggunakan prosedur seperti yang diuraikan dalam Schuelke (2000) dan Chaerani et al. (2009).

Deteksi fragmen SSRProduk PCR dari setiap primer diencerkan

dalam sample loading solution (SLS, Beckman Coulter) kemudian dicampurkan dalam satu set panel multiloading bersama dengan produk PCR dari tiga sampai tujuh primer lainnya (Tabel 2). Perbandingan campuran antar produk PCR dan prosedur deteksi SSR pada pada genetic analyzer (CEQ8000 Beckman Coulter) dilakukan seperti yang diterangkan dalam Chaerani et al. (2009) (Tabel 3).

46

Tabel 1. Daftar 33 aksesi padi tahan wereng batang coklat (WBC) biotipe 3 yang dianalisis dengan 30 penanda SSR telit

No. Aksesi Skor ketahanan terhadap WBC biotipe 3*

666162651427111517191432453

1205789

45421193829

15301543

-1880681

152615461506

00048------------

333333333333113131111333333333333

Batang LembangBatang PiamanBondoyudoCelebes 1CiapusCigeulisDigulGilirangKelaraMemberamo Way Apo BuruWidasARC10550 (bph5)Babawee (bph4)H27 Mudgo (Bph1)Pokkali (Bph9)PTB33 (bph2 dan Bph3)Rathu Heenati (Bph3)Swarnalata (Bph6)Oryza australiensis (Bph18)BP2870-4e-Kn-22-2-1-5*BBP3244-2e-8-3-2-3*BBP3684-2e-10-1-3*BBP4124-1f-3-3*BBP4124-1f-4-2-2*BBP4124-2f-6-1-2*BBP4130-1f-3-3-2*BBP4188-7f-1-2-2*BBP4198-4f-2-1-2*BBP4200-2f-3-2-2*BBP4556-1f-12-2*BBPT164c-68-7-3-1

Aksesi dan gen ketahananterhadap WBC

Var. unggulVar. unggulVar. unggulVar. unggulVar. unggulVar. unggulVar. unggulVar. unggulVar. unggulVar. unggulVar. unggulVar. unggulVar. introduksiVar. introduksiVar. introduksiVar. introduksiVar. introduksiVar. introduksiVar. introduksiVar. introduksiKerabat liar padi Calon galur harapanCalon galur harapanCalon galur harapanCalon galur harapanCalon galur harapanCalon galur harapanCalon galur harapanCalon galur harapanCalon galur harapanCalon galur harapanCalon galur harapanCalon galur harapan

Kelompok

*0: sangat tahan; 1: tahan; 3: agak tahan; 5: agak rentan; 7=rentan; 9: sangat rentan; SU: koloni Sumatera Utara

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 43–52

47

RM

5R

M17

RM

182

RM

401

RM

38

RM

223

RM

111

RM

596

RM

317

RM

475

RM

209

RM

328

RM

517

RM

261

RM

414

Marka

SSR112748861042119341

TGC

AA

CTTC

TAG

CTG

CTC

GA

TGTA

AA

AC

GA

CG

GC

CA

GTTG

CC

CTG

T-TATTTTC

TTCTC

TCTG

TAA

AA

CG

AC

GG

CC

AG

TTGG

GATG

CA

-G

AG

TGC

AG

TTGG

CTG

TAA

AA

CG

AC

GG

CC

AG

TTGG

AA

CA

GA

-TA

GG

GTG

TAA

GG

GTG

TAA

AA

CG

AC

GG

CC

AG

TAC

-G

AG

CTC

TCG

ATCA

GC

CTA

TGTA

AA

AC

GA

CG

GC

CA

GTG

AG

T-G

AG

CTTG

GG

CTG

AA

AC

TGTA

AA

AC

GA

CG

GC

CA

GTC

AC

AA

C-

CTTTG

AG

CA

CC

GG

GTC

TGTA

AA

AC

GA

CG

GC

CA

GTATC

TAC

AC

G-

GA

CG

AATTG

CC

TGTA

AA

AC

GA

CG

GC

CA

GTC

ATAC

TTAC

-C

AG

TTCA

CC

GC

CTG

TAA

AA

CG

AC

GG

CC

AG

TCC

TCA

C-

GATTTTC

CTC

CA

AC

TGTA

AA

AC

GA

CG

GC

CA

GTATATG

AG

TT-G

CTG

TCG

TGC

GTG

TAA

AA

CG

AC

GG

CC

AG

TCATA

GTG

-G

AG

TATGC

AG

CTG

CTG

TAA

AA

CG

AC

GG

CC

AG

TGG

CTTA

CTG

-G

CTTC

GATTTG

TGTA

AA

AC

GA

CG

GC

CA

GTC

TAC

TTCTC

C-

CC

TTGTG

TCG

TGTA

AA

AC

GA

CG

GC

CA

GTATTG

CA

GT-

CATG

CA

GC

AG

TC

GC

ATCC

GATC

TTGATG

GG

GG

TGATC

CTTTC

CC

ATTTCA

CG

CA

GG

CA

CG

GTG

CC

TTG TA

AG

CC

GTTC

AC

AA

CA

CTATA

CA

AG

C

TCG

GTC

TCC

ATGTC

CC

AC

GA

AG

GC

AA

GTC

TTGG

AC

TG

AC

GC

CTG

CA

GC

TTGATC

AC

CG

G

AG

AA

GC

TTCA

GC

CTC

TGC

AG

CTG

GA

GA

GTG

TCA

GC

TAG

TTGA

AC

GG

TGG

GATTA

GA

CTG

TGC

CA

AC

TTGC

ATCC

TCC

CC

TCC

CC

TTCTC

CC

AG

TCG

TATCTG

CG

TCTC

CTTTG

GTTA

GTG

CC

TGTA

CC

ATCG

CC

AA

ATCTC

C

ATATCTC

CA

ATGTG

GC

AG

GG

D2 (hitam

)D

2 (hitam)

D2 (hitam

)

D2 (hitam

)

D3 (hijau)

D3 (hijau)

D4 (biru)

D4 (biru)

D2 (hitam

)

D2 (hitam

)

D3 (hijau)

D3 (hijau)

D3 (hijau)

D4 (biru)

D4 (biru)

111111112222222

110–114178–208

338–401

239–288

239–253

169–182

124–137

124–320

154–174

189–205

135–169

197–199

141–148

203–233

189–219

Krom

osomPrim

er forward

(5’ ke 3’)*Prim

er reverse (5’ ke 3’)

Label fluoresen

Panel multi-

loadingU

kuran alel (pb)

Tabel 2. Sekuen primer dan set panel m

ultiloading produk PCR

untuk amplifikasi m

arka SSR padi

122222222222222

ABBBBBBBAAAAAAA

0,70,7

0,7

0,7

0,3

0,3

0,2

0,2

0,7

0,5

0,3

0,3

0,5

0,2

0,2

Reaksi

PCR

**μl produk

PCR

§Program

PC

R#

Chaerani et al.: Asosiasi SSR dengan ketahanan terhadap wereng batang coklat

48

TGTA

AA

AC

GA

CG

GC

CA

GTT

TCC

CC

TC-

CTT

TTAT

GG

TGC

ATC

AG

CA

GC

CAT

GG

CA

GC

GA

CC

TCTC

CC

TCC

TCA

CC

ATTG

TCC

GG

TCA

AAT

CAT

CA

CC

TGA

CTC

TCTC

CTC

TTG

TTTG

GC

TCTT

GG

ATTG

TTTT

GC

TGG

CTC

GC

AA

AC

TGTT

TTA

CC

CC

TGG

CC

ATC

GTC

TGC

GTT

GC

GG

CTG

CTG

TGTA

AA

AC

GA

CG

GC

CA

GTC

CTC

GC

TTAT

-G

AG

AG

CTT

CG

TTC

CC

TGTT

AA

GA

GA

GA

AAT

CG

GTT

CA

AA

CC

AA

GC

TGAT

CA

CTG

ATG

ATA

GA

AA

CC

TCTT

CTC

TCTC

CTC

TTC

CC

CC

GAT

CTG

CC

CTG

GC

GC

AA

ATTT

GAT

CC

CA

AA

ATG

GA

GC

AG

CA

AG

AG

C

TGTT

CTC

CTC

AG

TCA

CTG

CG

AG

GG

GAT

CAT

GTG

CC

GA

AG

GC

CTG

CTG

CC

CTC

TCTC

TCTC

TCC

AA

GG

CTT

GC

AA

GG

GA

AG

AC

AC

AC

CA

AC

AC

GA

CC

AC

AC

GG

AA

CA

CG

GG

GTC

GG

AA

GC

GA

CAT

CC

CC

TTC

TGC

GG

TAA

AA

CC

ATG

GAT

CA

CC

GA

GC

TCC

CC

CC

CTT

CTC

CAT

CA

CTC

CC

ATG

G

GTG

TATT

TGG

TGA

AA

GC

AA

CG

ATG

AA

GG

CC

TTC

CA

CG

CA

GA

AG

AA

CA

GC

TGA

CTT

CA

CA

AAT

AG

CG

GG

CG

AG

GC

TTA

GG

CTA

GA

GG

AG

ATC

AG

ATG

GTA

GT-

GC

ATG

TGA

GC

AC

CTC

CTT

CTC

TGTA

G

RM

463

RM

125

RM

484

RM

277

RM

536

RM

133

RM

161

RM

124

RM

274

RM

287

RM

250

RM

214

RM

11R

M14

4

RM

215

12 7 10 12 11 6 5 4 5 11 2 7 7 11 9

D4

(biru

)

D2

(hita

m)

D3

(hija

u)D

4 (b

iru)

D4

(biru

)D

2 (h

itam

)D

2 (h

itam

)D

3 (h

ijau)

D3

(hija

u)

D3

(hija

u)D

4 (b

iru)

D2

(hita

m)

D3

(hija

u)D

3 (h

ijau)

D4

(biru

)

2 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 5 5 5 5

273–

291

101–

188

120–

296

121–

135

224–

378

116–

326

108–

208

225–

328

146–

213

93–1

2110

9–16

811

5–18

112

4–15

021

7–24

3

106–

151

2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1

A A A A A A A A B A A A A A A

0,2

0,7

0,3

0,2

0,2

0,5

0,5

0,5

0,3

0,3

0,2

0,8

0,7

0,7

0,2

Mar

kaSS

RK

rom

osom

Prim

er fo

rwar

d (5

’ ke

3’)*

Prim

er re

vers

e (5

’ ke

3’)

Labe

l flu

ores

enPa

nel m

ulti-

load

ing

Uku

ran

alel

(pb)

Tabe

l 2. L

anju

tan

Rea

ksi

PCR

**μl

pro

duk

PCR

§Pr

ogra

m

PCR

#

*TG

T A

AA

AC

G A

CG

GC

C A

GT

= se

kuen

tam

baha

n da

ri pr

imer

uni

vers

al M

-13

berla

bel fl

uore

sens

; prim

er ta

npa

tam

baha

n se

kuen

prim

er M

-13

suda

h be

rlabe

l fluo

rese

ns.

**1

= 1×

buf

fer P

CR

+MgC

l2; 0

,30

mM

dN

TP; 0

,75

mM

MgC

l2; 0

,30

μM p

rimer

forw

ard;

0,3

0 μM

prim

er re

vers

e; 0

,75

U T

aqPo

lym

eras

e, d

an 2

0 ng

DN

A; 2

= 1

× bu

ffer P

CR

+MgC

l2; 0

,30

mM

dN

TP; 1

mM

MgC

l2; 0

,10

μM p

rimer

forw

ard;

0,4

0 μM

prim

er re

vers

e; 0

,40

μM p

rimer

M-1

3 be

rlabe

l fluo

rese

n; 0

,75

U T

aqPo

lym

eras

e (F

astS

tart

dan

Viv

antis

), da

n 20

ng

DN

A; p

rimer

da

n dN

TP d

ibel

i dar

i Inv

itrog

en.

#A =

touc

hdow

n PC

R: 4

men

it de

natu

rasi

pad

a su

hu 9

5°C

diik

uti d

enga

n 13

sikl

us ta

hapa

n ya

ng te

rdiri

dar

i 45

detik

den

atur

asi p

ada

suhu

95

°C, 4

5 de

tik a

nnea

ling

(pen

empe

lan

prim

er) p

ada

suhu

61,

5°C

; 30

detik

elo

ngat

ion

(per

panj

anga

n ba

sa) p

ada

suhu

72

°C d

enga

n pe

nuru

nan

suhu

0,5

°C p

er si

klus

nya;

diik

uti d

enga

n 27

sikl

us ta

hapa

n ya

ng te

rdiri

dar

i 45

detik

den

atur

asi p

ada

95 °C

; 45

detik

ann

ealin

g (p

enem

pela

n pr

imer

) pad

a su

hu 5

5 °C

; 30

detik

elo

ngat

ion

pada

suhu

72

°C; d

iakh

iri d

enga

n sa

tu si

klus

fina

l elo

ngat

ion

(per

panj

anga

n ak

hir)

pad

a su

hu 7

2 °C

sela

ma

5 m

enit

(Lab

Ter

padu

Litb

ang

2006

); B

= 5

men

it de

natu

rasi

pad

a su

hu 9

4 °C

diik

uti d

enga

n 30

sikl

us ta

hapa

n ya

ng te

rdiri

dar

i 30

detik

den

atur

asi p

ada

suhu

94o

C; 4

5 de

tik p

enem

pela

n pr

imer

pa

da su

hu 5

5 °C

; 45

detik

per

panj

anga

n ba

sa p

ada

suhu

72

°C; d

iikut

i den

gan

8 si

klus

taha

pan

yang

terd

iri d

ari 3

0 de

tik d

enat

uras

i pad

a 94

°C; 4

5 de

tik p

enem

pela

n pr

imer

pad

a su

hu 5

3 °C

; 45

detik

per

panj

anga

n ba

sa p

ada

suhu

72

°C; d

an d

iakh

iri d

enga

n sa

tu si

klus

per

panj

anga

n ak

hir p

ada

suhu

72

°C se

lam

a 10

men

it (S

chue

lke

2000

).§V

olum

e ek

uiva

len;

pro

duk

PCR

die

ncer

kan

terle

bih

dahu

lu d

alam

ddH

2O d

enga

n pe

rban

ding

an 1

: 5 k

emud

ian

dari

peng

ence

ran

ini d

iam

bil s

ejum

lah

volu

me

untu

k di

ence

rkan

dal

am S

LS d

en-

gan

perb

andi

ngan

1 :

6.

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 43–52

49

Analisis data Data berat molekul alel SSR diskor sebagai

‘0’ (tidak ada alel), ‘1’ (alel homosigus) dan ‘2’ (alel heterosigus). Ukuran alel dibulatkan ke bilangan bulat terdekat kemudian diolah dengan CEQ Fragment Analysis Software untuk pengelompokan (binning) berdasarkan motif pengulangan SSR. Asosiasi antara lokus SSR dengan skor ketahanan terhadap WBC (association test) dianalisis menggunakan prosedur general linear model (GLM) dari program Tassel 3.0 (www.maizegenetics.net/tassel). Lokus dan alel SSR dengan nilai P marka yang signifikan pada taraf 5% (P<0,05) diasumsikan berasosiasi dengan ketahanan terhadap WBC.

HASIL

Uji asosiasi (association test) antara data marka SSR dengan data skor ketahanan padi terhadap WBC menunjukkan bahwa delapan SSR berasosiasi signifikan (P<0,05) dengan ketahanan terhadap WBC biotipe 3 dengan nilai R2 dari 0,126 sampai 0,497 (Tabel 3). Kedelapan SSR tersebut berada pada tujuh kromosom. Tujuh marka SSR, yaitu RM250 (kromosom 2), RM124 (kromosom 4), RM125 (kromosom 7), RM38 (kromosom 8), RM328 (kromosom 9), serta RM209 dan RM287 (kromosom 11), masing-masing memiliki satu alel yang berasosiasi dengan ketahanan terhadap WBC. Sementara itu marka RM17 pada kromosom 12 memiliki dua alel (179 dan 206 pasang basa [pb]) yang berasosiasi dengan ketahanan terhadap WBC biotipe 3.

Secara keseluruhan terdapat 28 aksesi padi yang terdiri dari masing-masing delapan varietas unggul nasional dan introduksi, satu spesies, serta 11 calon galur harapan yang terdeteksi mengandung marka SSR yang berasosiasi signifikan dengan ketahanan terhadap WBC biotipe 3 (Tabel 3). Varietas Digul memiliki jumlah marka SSR terbanyak (5) yang berasosiasi signifikan dengan ketahanan terhadap WBC, yaitu RM17, RM124, RM125, RM250, dan RM328; sedangkan varietas lainnya mengandung satu sampai tiga marka SSR.

PEMBAHASAN

Berdasarkan pensejajaran peta marka SSR dengan peta RFLP (http://www.gramene.org/resources/), pada mana gen-gen dan QTL pengendali ketahanan terhadap WBC diidentifikasi, marka RM17, RM38 dan RM125 terpetakan pada daerah QTL; RM209 dan RM287 berada di segmen kromosom mengandung gen Bph18, RM250 dan RM328 berturut-turut berada dalam lokasi gen Bph13 dan Bph11; sedangkan RM124 berada di daerah QTL dan Bph15. Di antara kedelapan marka tersebut, RM17 dianggap paling potensial sebagai marka diagnostik awal untuk mengetahui calon galur harapan yang terindikasi tahan terhadap WBC biotipe 3, karena: 1) lokasinya yang berada pada daerah QTL yang juga berdekatan dengan gen pengendali ketahanan terhadap WBC, yaitu gen Bph10 dan Bph19(t) (Lang & Buu 2003; Li et al. 2010) diduga dapat memberikan kemampuan membedakan ketahanan dengan lebih baik dibandingkan marka lainnya; 2) memiliki dua alel yang berasosiasi dengan ketahanan terhadap WBC, dan 3) terdeteksi pada sebagian besar aksesi, yaitu 14 varietas, satu spesies (O. australiensis), serta 10 calon galur harapan. Marka RM17 berjarak hanya 16,7 cM dari gen Bph19(t) pada kromosom 12 dari hasil pemetaan pada populasi persilangan TN1×galur no. 2183 (Li et al. 2010). Individu-individu tahan dan rentan pada progeni populasi persilangan tersebut dapat dibedakan dengan menggunakan marka RM17 (Li et al. 2010).

Calon-calon galur harapan yang terdeteksi mengandung lokus RM17 dikembangkan melalui persilangan antara tetua elit dengan sumber-sumber ketahanan. Tiga calon galur di antaranya, yaitu BP4130-1f-13-13-2*B, BP2870-4e-Kn-22-2-1-5*B, dan BP4188-7f-1-2-2*B diketahui memiliki ketahanan yang stabil hingga tanaman umur satu bulan berdasarkan uji population build-up (Effendi & Munawar 2013). BP4130-1f-13-13-2*B memiliki mekanisme ketahanan antibiosis dan toleran terhadap serangan WBC, sedangkan BP4188-7f-1-2-2*B tidak memiliki mekanisme ketahanan antibiosis tetapi toleran terhadap serangan WBC. Calon galur harapan lainnya diketahui bereaksi agak tahan terhadap biotipe 3

Chaerani et al.: Asosiasi SSR dengan ketahanan terhadap wereng batang coklat

50

pada uji skrining massal tahap pertama terhadap >600 aksesi namun menjadi agak rentan pada uji skrining massal tahap kedua (Effendi & Munawar 2013). Dengan demikian marka RM17 dapat digunakan sebagai alat bantu deteksi ketahanan terhadap WBC biotipe 3 pada skrining ketahanan tahap awal tanpa memerlukan infestasi WBC.

Pada penelitian ini tidak ditemukan marka yang berasosiasi sangat signifikan (P<0,001) dengan ketahanan WBC. Asosiasi marka yang sangat signifikan dengan karakter fenotipik tertentu biasanya ditemukan pada populasi yang terstruktur, misalnya populasi yang sampel-sampelnya berasal dari lokasi geografik yang beragam (Pritchard et al. 2000; Aranzana et al. 2005). Hasil penelitian Aranzana et al. (2005) menunjukkan bahwa uji asosiasi genom secara luas (genome-wide association [GWAS]) terhadap 95 aksesi Arabidopsis yang berasal dari berbagai lokasi geografik dan mempunyai fenotipe waktu pembungaan yang berbeda-beda, mendapatkan marka-marka yang berasosiasi sangat signifikan dengan lokus vernalisasi dengan nilai P yang sangat condong ke nilai ‘0’.

Hasil uji asosiasi dalam penelitian ini dianggap masih memiliki kekuatan rendah (low power), dengan alasan: 1) analisis SSR tidak dilakukan

RM328RM124RM17

RM17

RM125RM250RM209RM38RM287

Marka

9 412

12

7 2 11 8 11

0,0090,0130,016

0,017

0,0200,0200,0210,0300,040

0,2250,2210,174

0,169

0,2130,2210,2770,4150,126

198267179

206

123153153254111

Kro-mosom Gen/QTL P R2

Tabel 3. Marka SSR putatif terkait gen atau QTL ketahanan padi terhadap wereng batang coklat (WBC) biotipe 3 dan varietas/calon galur harapan yang terdeteksi mengandung alel gen atau QTL tersebut

AksesiUkuran alel (pb)

Bph11QTL, Bph15qBPH12-3

qBPH12-3

QTL Bph13Bph18QTLBph18

‡heterosigus untuk marka RM17 (berukuran alel 179 dan 206).

Digul, BP4124-1f-3-3-2*BDigulARC10550, Babawe, Mudgo, Oryza australiensis‡, Pokkali, PTB33, Rathu Heenati, Swamalata, BP2870-4e-Kn-22-2-1-5*B, BP3684-2e-10-1-3*B‡, BP4200-2f-3-2-2*B, BP4556-1f-12-2*B, BPT164c-68-7-3-1Batang Piaman, Celebes1, Ciapus, Cigeulis, Digul, H27, Oryza australiensis‡, Pokkali, Widas, BP3684-2e-10-1-3*B, BP4124-1f-3-3-2*B, BP4124-1f-4-2-2*B, BP4130-1f-3-3-2*B, BP4188-7f-1-2-2*B, BP4198-4f-2-1-2*B, BPT164c-68-7-3-1Digul, Gilirang, BP2870-4e-Kn-22-2-1-5*B DigulBP4188-7f-1-2-2*BBP3244-2e-8-3-2-3*BBatang Lembang, BP2870-4e-Kn-22-2-1-5*B, BP4124-1f-3-3-2*B, BP4130-1f-3-3-2*B

pada individu-individu tanaman yang sama dengan yang diuji fenotipik, dan 2) kepadatan marka SSR belum mencakup seluruh segmen kromosom. Studi GWAS oleh Aranzana et al. (2005) pada Arabidopsis misalnya, uji fenotipik dan uji asosiasi dilakukan pada individu tanaman yang sama untuk mencari lokus waktu pembungaan dan ketahanan terhadap penyakit. Dengan menggunakan metode statistik yang berbeda, lokus-lokus utama pengontrol kedua macam karakter yang sudah diidentifikasi sebelumnya, berhasil dikonfirmasi kembali dengan pemindaian menggunakan sekuen-sekuen DNA berukuran 500-600 pb di sekitar lokus-lokus tersebut dan pada setiap 100 kb ukuran genom Arabidopsis. SSR padi diperkirakan berada pada setiap 157 kb genom padi (McCouch et al. 2002), sehingga uji asosiasi ketahanan terhadap WBC dengan sejumlah besar SSR dapat meningkatkan kekuatan hasil analisis.

Marka-marka SSR yang diidentifikasi pada penelitian ini merupakan petunjuk awal untuk mengetahui aksesi padi yang mengandung lokus-lokus mikrosatelit yang terpetakan berdekatan dengan atau berada dalam segmen gen dan QTL ketahanan terhadap WBC biotipe 3. Marka-marka tersebut, terutama RM17, perlu dikonfirmasi lebih lanjut pada populasi turunan yang bersegregasi

Jurnal Entomologi Indonesia, April 2014, Vol. 11, No. 1, 43–52

untuk marka SSR tersebut dan fenotipe ketahanan terhadap WBC untuk memastikan kelayakannya sebagai alat seleksi ketahanan (marker-asisted selection [MAS]).

KESIMPULAN

Delapan marka SSR (RM17, RM38, RM124, RM125, RM209, RM250, RM287, dan RM328) berasosiasi signifikan (P<0,05; R2=0,126-0,497) dengan ketahanan terhadap WBC biotipe 3. Dua puluh delapan aksesi yang terdiri dari 16 varietas, satu spesies, serta 11 calon galur harapan padi terdeteksi mengandung alel-alel SSR yang berasosiasi dengan ketahanan WBC tersebut. Marka RM17 terdeteksi pada sebagian besar aksesi (25) sehingga berpotensi sebagai alat seleksi ketahanan terhadap WBC biotipe 3, namun masih perlu diuji pada populasi yang bersegragasi untuk marka tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami berterima kasih kepada Sujarno, Ma’sumah dan Ahmad Syarief untuk penyiapan tanaman dan DNA, dan kepada para penelaah yang telah memberikan masukan berguna untuk perbaikan makalah ini. Penelitian didanai APBN dengan nomor proyek 3209.0/018-09.0/XII/2007.1525.0460.A5.

DAFTAR PUSTAKA

Aranzana MJ, Kim S, Zhao K, Bakker E, Horton M, Jakob K, Lister C, Molitor J, Shindo C, Tang C, Toomajian C, Traw B, Zheng H, Bergelson J, Dean C, Marjoram P, Nordborg M. 2005. Genome-wide association mapping in Arabidopsis identifies previously known flowering time and pathogen resistance genes. PLoS Genetics 1:e60. doi: http://dx.doi.org/10.1371/journal.pgen.0010060.

Baehaki SE. 2011. Strategi fundamental pengendalian hama wereng batang coklat dalam pengamanan produksi padi nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian 4:63–75.

Baehaki SE, Munawar D. 2008. Identifikasi biotipe wereng coklat di Jawa, Sumatera dan Sulawesi

dan reaksi ketahanan kultivar padi. Di dalam: Suprihatno B et al. (Eds.), Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN (Subang, 19–20 Nopember 2007). pp 351–366. Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Bahagiawati. 2012. Kontribusi teknologi marka molekuler dalam pengendalian wereng coklat. Pengembangan Inovasi Pertanian 5:1–18.

Chaerani, Hidayatun N, Utami DW. 2009. Pengembangan set multipleks penanda DNA mikrosatelit untuk analisis variasi genetik padi dan kedelai. Jurnal Agrobiogen 5:57–64.

Cohen MB, Alam SN, Medina EB, Bernal CC. 1997. Brown planthopper, Nilaparvata lugens, resistance in rice cultivar IR64: mechanism and role in successful N. lugens management in Central Luzon, Philippines. Entomologia Experimentalis et Applicata 85:221–229. doi: http://dx.doi.org/10.1046/j.1570-7458.1997.00252.x.

Du B, Zhang W, Liu B, Hu J, Wei Z, Shi Z, He R, Zhu L, Chen R, Han B, He G. 2009. Identification and characterization of Bph14, a gene conferring resistance to brown planthopper in rice. Proceedings of the National Academy of Sciences 106:22163–2216. doi: http://dx.doi.org/10.1073/pnas.0912139106.

[DPTP] Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2011. Laporan Serangan Organisme Pengganggu Tanaman Pangan. Jakarta: DPTP.

Effendi BS, Munawar D. 2013. Uji ketahanan galur padi terhadap wereng coklat biotipe 3 melalui population build-up. Jurnal Entomologi Indonesia 10:7–17. doi: http://dx.doi.org/10.5994/jei.10.1.7.

Kazushige S, Juan Z, Zhong-hai Q. 2003. Applications of DNA markers to analyze rice planthopper resistance genes. Chinese Journal of Rice Science 17:37–46.

Laboratorium Terpadu Litbang. 2006. Lab Manual Protocol Standar Operating Procedure BB Biogen. Departemen Pertanian Indonesia. (tidak dipublikasikan).

Lang, NT, Buu, BC. 2003. Genetic and physical maps of gene Bph-10 controlling brown plant hopper resistance in rice (Oryza sativa L.). Omonrice 11: 35–41.

Li R, Li L, Wei S, Wei Y, Chen Y, Bai D, Yang L, Huang F, Lu W, Zhang X, Li X, Yang X, Wei Y. 2010. The evaluation and utilization of new genes for brown planthopper resistance in common wild rice (Oryza rufipogon Griff.). Molecular Entomologi 1:1–7.

McCouch SR, Teytelman L, Xu Y, Lobos KB, Clare K, Walton M, Fu B, Maghirang R, Li Z, Xing

51

Chaerani et al.: Asosiasi SSR dengan ketahanan terhadap wereng batang coklat

Y, Zhang Q, Kono I, Yano M, Fjellstrom R, DeClerck G, Schneider D, Cartinhour S, Ware D, Stein L. 2002. Development and mapping of 2240 new SSR markers for rice (Oryza sativa L.). DNA Research 9:199–207. doi: http://dx.doi.org/10.1093/dnares/9.6.199.

Pritchard JK, Stephens M, Rosenberg NA, Donnelly P. 2000. Association mapping in structured populations. American Journal of Human Genetics 67:170–181. doi: http://dx.doi.org/10.1086/302959.

Schuelke M. 2000. An economic method for the fluorescent labeling of PCR fragments. Nature Biotechnology 18:233–234. doi: http://dx.doi.org/10.1038/72708.

Soundararajan RP, Gunathilagaraj K, Chitra N, Maheswaran M, Kadirvel P. 2005. Mechanisms and genetics of resistance of brown planthopper,

Nilaparvata lugens (Stal.) in rice, Oryza sativa. Agriculture Review 26:79–91.

Su, C-C, H-Q, Zhai, C-M Wang, L-H Sun, J-M Wan. 2006. SSR Mapping of brown planthopper resistance gene Bph9 in Kaharamana, an indica rice (Oryza sativa L.). Acta Genetica Sinica 33:262–268. http://dx.doi.org/10.1016/S0379-41 72(06)60049-8.

Xu XF, Mei HW, Luo LJ, Cheng XN, Li ZK. 2002. RFLP-facilitated investigation of the quantitative resistance of rice to brown planthopper (Nilaparvata lugens). Theoretical and Applied Genetics 104:248–253. doi: http://dx.doi.org/10. 1007/s00122-001-0777-0

52