Upload
muhammand-dicky-hidayat
View
220
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
edu
Citation preview
PEMILU TAHUN 1955 : PESTA DEMOKRASI PERTAMA INDONESIA
Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Politik Pemilihan Tingkat
Nasional dan Daerah (PPTND)
Dosen Pengampu : Andhyka Muttaqin, SAP, MPA
Oleh:
Dian Purnama Sari 105030100111123
Putri Permata Taqwa 105030100111127
Nurul Afifah 105030100111127
Kelas : I
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah .........................................................................................2
1.3. Tujuan ............................................................................................................2
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ..................................................................................3
2.1. Konsep Sistem Pemilu...................................................................................3
2.2. Konsep Sistem Politik ...................................................................................5
BAB 3 METODE PENULISAN............................................................................7
3.1. Jenis Penulisan ..............................................................................................7
3.2. Objek Penulisan .............................................................................................7
3.3. Teknik Pengambilan Data .............................................................................7
3.4. Prosedur Penulisan ........................................................................................7
3.5. Kerangka Berpikir .........................................................................................8
BAB 4 PEMBAHASAN .........................................................................................9
4.1. Proses dan Sistem Politik Pada Tahun 1955 .................................................9
4.2. Analisis Kelompok : ....................................................................................21
BAB 5 PENUTUP.................................................................................................24
5.1. Kesimpulan ..................................................................................................24
5.2. Rekomendasi ...............................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................26
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perjalanan sejarah partai-partai di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama
jika dibandingkan sejarah bangsa Indonesia. Partai-partai di Indonesia mulai
berdiri hampir bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, yaitu mulai muncul
sejak dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang
mengimbau agar bangsa Indonesia mendirikan partai-partai dalam rangka
menyongsong pemilihan umum (baik untuk parlemen/KNIP maupun Badan
Konstituante) yang direncanakan akan segera dilaksanakan.
Sejarah mencatat bahwa rencana tersebut baru dapat terlaksana tujuh tahun
kemudian, tahun 1955. Itu ketika bangsa Indonesia pertama kali melaksanakan
pemilihan umum anggota DPR yang menghasilkan adanya 27 partai yang
memperoleh kursi di parlemen dari 36 partai yang mengikuti pemilihan umum.
Sejarah partai politik Indonesia mencatat bahwa inilah satu-satunya Pemilu
(yang dapat dilaksanakan dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun masa Orde
Lama) yang dapat dipergunakan untuk mengukur kekuatan partai-partai politik
masa Orde Lama. Sampai dengan berakhirnya Orde Lama pada pertengahan
dekade 1960-an, tidak ada lagi pemilihan umum yang dapat dipergunakan untuk
mengukur distribusi kekuatan antarpartai secara nasional.
Pemilu 1955 diwarnai konflik antar aliran politik karena adanya perbedaan
ideologis-kultural. Konflik-konflik tersebut seringkali dapat didamaikan melalui
mekanisme solidaritas di kalangan elite partai. Namun konflik antar partai tersebut
sangat berkepanjangan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa (Puspoyo:2012).
Dengan maraknya konflik ideologi dan konflik internal partai pada masa itu,
mengakibatkan kabinet atau parlemen yang dikuasai partai-partai menjadi
melemah. Selain permasalahan di atas, Pemilu tahun 1955 juga diwarnai dengan
jatuh bangunnya kabinet Demokrasi Parlementer. Beerbagai peristiwa di atas
menjadi bukti yang jelas betapa pemerintahan Indonesia pada saat pelaksanaan
Pemilu Orde Lama tidak berada pada kondisi yang stabil.
2
Berdasarkan paparan di atas, maka kelompok kami memberi judul “Pemilu
1955: Pesta Demokrasi Pertama di Indonesia” untuk makalah kami. Dalam
makalah ini kami akan menganalisis proses Pemilu yang terjadi pada tahun 1955,
mulai dari sistem kepartaian dan berbagai peristiwa yang berkaitan dengan Pemilu
tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana proses dan sistem pemilihan umum pada tahun 1955?
1.3. Tujuan
1) Mengetahui proses dan sistem pemilihan umum pada tahun 1955
3
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Konsep Sistem Pemilu
a. Pemilu
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para
pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-
jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam,
mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan,
sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga
berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua
kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga
disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu
menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye.
Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang
hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan
dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem
penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui
oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Menurut UU no 08 tahun 2008 pasal 1 Pemilu adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan
4
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Sistem Pemilu
Umumnya ada dua sistem pelaksanaan pemilihan umum yang
dipakai, yaitu sebagai berikut:
Sistem Distrik
Sistem ini diselenggerakan berdasarkan lokasi daerah
pemilihan, dalam arti tidak membedakan jumlah penduduk,
tetapi tempat yang sudah ditentukan. Jadi daerah yang sedikit
penduduknya memiliki wakil yang sama dengan daerah yang
padat penduduknya. Oleh karena itu sudah barang tentu
banyak jumlah suara yang akan terbuang di satu pihak tetapi
malahan menguntungkan pihak yang renggang penduduknya.
Tetapi karena wakil yang akan dipilih adalah orangnya
langsung, maka pemilih akrab dengan wakilnya (personan
stetsel). Satu distrik biasanya satu wakil (single member
constituency).
Sistem Proposional
Sistem ini didasari jumlah penduduk yang akan
menjadi peserta pemilih, misalnya setiap 40.000 penduduk
pemilih memperoleh satu wakil (suara berimbang), sedangkan
yang dipilih adalah kelompok orang yang diajukan kontestan
Pemilu, yaitu para partai politik (multi member constituency)
yang dikenal lewat tanda gambar (lijsten stetsel) sehingga
wakil dan pemilih kurang akrab.
5
2.2. Konsep Sistem Politik
Menurut Pamudji, sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan
yang komplek atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal
atau bagian-bagian yang membrntuk suatu kebulatan atau keseluruhan
yang komplek atau utuh.
Sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian , yang kait-
mengkait satu sama lain, bagian atau anak cabang dari suatu sistem,
menjadi induk dari rangkaian selanjutnya.
Politik berasal dari kata “polis” yang berarti negara kota, dengan
politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama,
dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan, kelakuan pejabat,
legalitas keabsahan, dan akhirnya kekuasaan. Politik juga dapat dikatakan
sebagai kebijaksanaan, kekuasaan, kekuatan, kekuasaan pemerintah,
pengaturan konflik yang menjadi konsensus nasional, serta kemudian
kekuatan masa rakyat.
Menurut Robert Dahl sistem politik mencakup dua hal yaitu: pola
yang tetap dari hubungan manusia, kemudian melibatkan sesuatu yang
luas tentang kekuasaan, aturan dan kewenangan.
Pada dasarnya konsep sistem politik dipakai untuk keperluan
analisa, di mana suatu sistem bersifat abstark pula. Dalam konsteks ini
sistem terdiri dari beberapa variabel. Di samping itu konsep sistem politik
dapat diterapkan pada suatu situasi yang konkrit, misalnya negara, atau
kesatuan yang lebih kecil, seperti kota, atau suku-bangsa, atau pun
kesatuan yang lebih besar seperti bidang internasional, di mana sistem
politik terdiri dari beberapa negara.
Sistem politik menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu untuk
masyarakat. Fungsi-fungsi itu adalah membuat keputusan-keputusan
kebijaksanaan (policy decisions) yang mengikat mengenai alokasi dari
nilai-nilai (baik yang bersifat materiil, maupun yang non-materiil). Sistem
politik menghasilkan “output” yaitu keputusan-keputusan kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang mengikat. Dengan kata lain : melalui sistem politik
6
tujuan-tujuan masyarakat dirumuskan dan selanjutnya dilaksanakan oleh
keputusan-keputusan kebijkasanaan.
Salah satu aspek penting dalam sistem politik adalah budaya
politik (political culture) yang mencerminkan faktor subyektif. Dalam
sistem politik terdapat 4 variabel:
1. Kekuasaan : Sebagai cara untuk mencapai hal yang
diinginkan antara lain membagi sumber-sumber di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat.
2. Kepentingan : Tujuan-tujuan yang dikejar oleh pelaku-pelaku
atau kelompok politik.
3. Kebijaksanaan : Hasil dari interaksi antara kekuasaan dan
kepentingan, biasanya dalam bentuk perundang-undangan.
4. Budaya Politik : Orientasi subyektif dari individu terhadap
sistem politik.
7
BAB 3
METODE PENULISAN
3.1. Jenis Penulisan
Tulisan dalam makalah ini bersifat kajian pustaka atau library research.
Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif yang disertai dengan analisis
sehingga menunjukkan suatu kajian ilmiah yang dapat dikembangkan dan
diterapkan lebih lanjut.
3.2. Objek Penulisan
Objek penulisan dari makalah ini adalah sistem pemilihan umum pada masa
Orde Lama tahun 1955 beserta bagaimana saja prosesnya, mulai dari kampanye
hingga hasil Pemilu.
3.3. Teknik Pengambilan Data
Informasi yang dikumpulkan adalah informasi yang berkaitan tentang
peristiwa Pemilihan Umum pada tahun 1955. Informasi yang dikumpulkan
meliputi sistem Pemilu yang diterapkan, proses kampanye dan Pemilu, hasil dari
Pemilu itu sendiri beserta peristiwa-peristiwa yang terkait dengan Pemilu tahun
1955. Adapun informasi ini diperoleh dari berbagai literatur, mulai dari majalah.
jurnal ilmiah, internet maupun buku yang relevan dengan objek yang akan dikaji.
3.4. Prosedur Penulisan
Setelah dilakukan pengumpulan data informasi, semua hasil diseleksi untuk
mengambil data dan informasi yang relevan dengan masalah yang dikaji. Untuk
menyajikan masalah yang akan dibahas, maka dalam tulisan ini penyajian dibagi
atas satu pokok bahasan, yaitu proses dan sistem Pemilu yang terjadi pada tahun
1955. Pokok bahasan tersebut nantinya masih akan terbagi ke dalam 4 sub pokok
bahasan yang terdiri dari :
8
1) Sistem Pemilu yang digunakan pada Pemilu tahun 1955
2) Partai politik yang ikut meramaikan pesta Pemilu tahun 1955
3) Proses Pemilu yang menggambarkan jalannya Pemilu tahun 1955
4) Hasil Pemilu tahun 1955
3.5. Kerangka Berpikir
Tulisan ini memiliki kerangka berpikir dalan proses penulisannya. Kerangka
atau alur berpikir digunakan untuk mempermudah proses penulisan. Adapun
kerangka berpikir dalam tulisan ini akan dijelaskan pada skema di bawah ini.
LATAR BELAKANG
Partai-partai di Indonesia mulai muncul sejak dikeluarkannya
Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang mengimbau agar
bangsa Indonesia mendirikan partai-partai dalam rangka
menyongsong pemilihan umum
Pemilu 1955 diwarnai konflik antar aliran politik karena adanya
perbedaan ideologis-kultural.
Pemilu tahun 1955 juga diwarnai dengan jatuh bangunnya kabinet
Demokrasi Parlementer.
Pemilu tahun 1955 satu-satunya pemilu (yang dapat dilaksanakan
dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun masa Orde Lama) yang
dapat dipergunakan untuk mengukur kekuatan partai-partai politik.
masa Orde Lama.
RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana proses dan sistem pemilihan umum pada tahun 1955?
STUDI LITERATUR
Tinjauan tentang sistem Pemilu tahun 1955
Tinjauan tentang proses dan hasil Pemilu tahun 1955
Tinjauan tentang peristiwa-peristiwa pada saat dan setelah Pemilu
tahun 1955
9
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1. Proses dan Sistem Politik Pada Tahun 1955
A. Sistem Pemilu
pemilu 1955 yang
dilaksanakan pada
tanggal 29 September
1955 untuk memilih
anggota DPR dan
tanggal 15 Desember
1955 untuk memilih
anggota Dewan
Konstituante berada di
bawah rezim hukum konstitusi Pasal 1 Ayat 1, Pasal 35, Pasal 56 s.d. Pasal
60, Pasal 134 dan Pasal 135 UUDS 1950 yang kemudian diderivasi dalam
UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum. Pemilu tersebut berada
dalam konteks sistem ketatanegaraan kabinet parlementer dengan sistem
multipartai. Sebenarnya gagasan untuk menyelenggarakan Pemilu sudah
muncul 3 bulan setelah Proklamasi 1945 lewat Maklumat Wakil Presiden
Nomor X tanggal 3 November 1945, namun tidak terlaksana karena
berbagai faktor dan kemudian juga lahir UU Nomor 27 Tahun 1948 tentang
Pemilu yang kemudian diuabah dengan UU Nomor 12 Tahun 1949 yang
merupakan sistem Pemilu bertingkat, jadi Pemilu tidak langsung. Berikut
merupakan isi Maklumat Wakil Presiden Nomor X :
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena
dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang
teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
Gambar 3.1
10
2. Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum
dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat.
Pemilihan ini diharapkan dapat dilakukan pada bulan Januari 1946.
Pemilu 1955 berlansung dengan sistem proporsional (multimember
contituency) yang dikombinasikan dengan sistem daftar (listsystem) diikuti
oleh lebih dari 30 Partai Politik dan lebih dari 100 organisasi / perkumpulan
dan perseorangan untuk memilih 257 anggota DPR. Dalam sistem Pemilu
proporsional satu wilayah besar memilih beberapa wakil. Dan dalam sistem
ini satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah tersebut
jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para calon atau
kontestan, secara nassional tanpa menghiraukan distribusi suara itu.
Sedangkan maksud sistem daftar disini adalah dimana partai-partai peserta
Pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup
memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah
ada.
B. Partai Politik
Jika diperhatikan perkembangan kehidupan kepartaian di Indoensia,
maka segera diketahui bahwa pengalaman berpartai masyarakat Indonesia
berlumlah begitu lama. sebelum tercapainya kemerdekaan, khususnya pada
masa Hindia Belanda, kaum pergerakan mendirikan sejumlah partai yang
antara lain dipakai sebagai wahanan untuk pendidikan politik dan mobilisasi
politik dalam rangka perjuangan kemerdekaan. sebelum tahun 1930-an
kehidupan kepartaian dapat dicirikan sebagai radikal dan konservatif,
dengan pengertian yang berani menentang Belanda secara terang-terangan
dan yang lain melakukan perjuangan politik melalui cara persuasif dengan
pemerintah kolonial. Tetapi setelah partai komunis dibubarkan pemerintah
kolonial Belanda menyusul pmberontakan yang gagal tahun 1926/1927 oleh
komunis, kehidupan kepartaian mengalami masa suram. Penyesuaian gaya
kemudian dilakukan disana sini dan baru mulai menjadi radikal lagi
menjelang Jepang mendarat di Indonesia.
11
Jika dilihat dari mau tidaknya memasuki institusi-institusi kolonial,
maka kehidupan kepartaian pada masa Hindia Belanda ini dicirikan dengan
mereka mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial (kooperasi) dan yang
menolak mamasuki institusi kolonial (non kooperasi).
Seirama dengan ekslarasi perjuangan, beberapa tahun sebelum Jepang
mendarat di Indonesia, terlihat pendekatan partai radikal dengan konservatif
atau antara kaum kooperator dengan non kooperator baik dalam ikatan atas
dasar kebangsaan seperti yang terwujud dalam Gabungan Politik Indonesia
(GAPI) maupun atas dasar ideologi keagamaan seperti terlihat pada majelis
Islam Ala Indonesia (MIAI).
Pada masa pendudukan militer Jepang, kegiatan kepartaian dilarang,
kecuali MIAI yang diperkenankan terus berdiri edngan cara menyesuaikan
AD/ART nya dengan keinginan perang Asia Timur raya. Namun ternyata
MIAI juga tidak dapat bertahan lama, karena kegiatan-kegiatan MIAI
dicurigai Jepang. MIAI lalu dibubarkan dan pemerintah pendudukan Jepang
menggantikannya dengan Masyumi (1943).
Pada awal proklamasi, PPKI merencanakan membentuk partai tunggal
(partai negara) dengan sebutan Partai Nasional Indonesia yang sama sekali
tidak ada hubungan dengan PNI. Gagasan partai tunggal ini diprakarsai
Soekarno sebetulnya tidak begitu disokong oleh Bung Hatta. Hal itu
barangkali karena partai tunggal mirip dengan bentuk kepartaian di negara
komunis, yang dalam aktivitasnya cenderung diktator.
Dalam kenyataannya rencana partai tunggal ini juga terwujud antara
lain karena KNIP mampu mengorganisir massa untuk membela eksistensi
proklamasi.
Penentangan terhadap gagasan partai tunggal diperlihatkan lagi dengan
usulan politik Badan Pekerja KNIP kepada wakil Presiden. Pemerintah
merealisasi usul Badan Pekerja ini melalui Maklumat Wakil Presiden
tanggal 3 November 1945 yang memberi kesempatan kepada masyarakat
untuk mendirikan partai politik. Sejak itu bermunculanlah partai-partai
politik yang jumlahnya tanpa batas. Keadaan ini menjadi runyam karena
12
sebagian partai-partai ini menuntut untuk diberi tempat dalam pemerintahan
dan KNIP. Keadaan yang sama juga terjadi pada negara/daerah bagian yang
diciptakan Van Mook melalui Konferensi Malino dan Pangkalpinang.
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lahir sejak bulan Agustus
1950 mewarisi sistem multi partai ini. Jika melihat jumlah partai yang
diwakili dalam parlemen. Sekurang-kurangnya terdapat 27 partai politik.
Partai-partai tersebut adalah:
a. Masyumi (kemudian pecah : PSII menjadi partai politik sendiri
tahun 1947 dan NU tahun 1952).
b. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
c. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).
d. Partai Kristen Indonesia (PARKINDO).
e. Partai Katolik
f. Partai Nasional Indonesia (PNI)
g. Persatuan Indonesia Raya (PIR)
h. Partai Indonesia Raya (PARINDRA)
i. Partai Rakyat Indonesia (PRI)
j. Partai Demokrasi Rakyat (BANTENG)
k. Partai Rakyat Nasional (PRN)
l. Partai Wanita Rakyat (PWR)
m. Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI)
n. Partai Kedaulatan Rakyat (PKR)
o. Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI)
p. Ikatan Nasional Indonesia (INI)
q. Partai Rakyat Djelata (PRD)
r. Partai Tani Indonesia (PTI)
s. Wanita Demokrasi Indonesia (WDI)
t. Partai Komunis Indonesia (PKI)
u. Partai Sosialis Indonesia (PSI)
v. Partai Murba
w. Partai Buruh (dua buah)
13
x. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI)
y. Partai Demokrasi Tionghoa Indonesia (PDTI)
z. Partai Indo Nasional (PIN)
Kehidupan kepartaian diusahakan menjadi modern, kesadaran
berpolitik meningkat. Masyarakat mulai melihat bahwa melalui partai
memungkinkan mereka dapat mengikuti arus mobilisasi sosial, baik vertikal
maupun horizontal. Melalui partai seseorang seringkali mengharapkan
perlindungan, bahkan mungkin juga melalui partai seseorang mungkin bisa
meningkatkan kesejahteraan pribadinya dengan cara memanfaatkan
hubungan teman separtai.
Kehidupan kepartaian juga memasuki dunia pegawai negeri, tidak
terkecuali mereka yang kebetulan sedang menjadi pejabat tinggi, hakim, dan
sebagainya, sebagian besar memutuskan memasuki salah satu partai politik.
Dengan begitu klik sesama teman separtai kemudian terbentuk pada bagian-
bagian tertentu di instansi pemerintah. Pengecualian dari situasi ini adalah
kalangan tentara dan kepolisian negara yang sejak semula memang tidak
diperkenankan menjadi anggota partai. Dengan pengertian lain jika mereka
ingin menjadi anggota partai, dengan sendirinya harus membuka pakaian
seragamnya dan menjadi orang sipil. Walaupun begitu ternyata militer dan
polisi tidak luput dari penetralisasi ideologi kepartaian, yang tergambar
dalam sikap mereka yang secara samar-samar seringkali menyokong
kebijaksanaan partai tertentu.
Orang-orang terkemuka seringkali tidak secara formal menyatakan
dirinya menjadi anggota satu partai. Baik sejumlah anggota parlemen
maupun beberapa pejabat senior pemerintahan seringkali memunculkan
kesan bahwa mereka seorang non partai.
Jumlah anggota partai pada masa ini sukar dihitung. Biasanya masing-
masing partai mengukur sendiri berarnya jumlah anggota mereka.
Pengakuan mengenai jumlah anggota seringkali berlebihan, karena tidak ada
catatan resmi mengenai keanggotaan. PNI umpamanya mengklaim jumlah
14
anggotanya sebanyak 1.466.783 orang dengan 228 ncabang di seluruh
Indonesia pada tahun 1950. Sementara Masyumi menyebutkan anggotanya
sebanyak 10.000.000 orang dengan 237 cabang. Partai Kristen Parkindo
menyatakan mempunyai anggota sebanyak 320.000 orang. Sementara Partai
Rakyat Nasional menyebutkan anggotanya sebanyak dua juta orang,
Perhatian partai-partai terhadap persoalan-persoalan politik sangat
terasa di Jakarta dibanding dengan daerah-daerah lainnya. Bilamana mereka
bergerak diluar ibukota, biasanya kegiatan lebih banyak terarah kepada
wilayah-wilayah yang memiliki potensi yang mendukung kebijaksanaan
nasional mereka, seperti di kota-kota besar, di kota-kota residensi atau
kabupaten dan wilayah-wilayah yang secara ekonomis merupakan pusat-
pusat produksi untuk pasaran dunia.
Sebagian partai memusatkan perhatiannya di daerah Jawa. Sasaran
mereka adalah mempengaruhi organisasi sosial si pedesaan, para wanita,
pemuda, buruh, petani, alim ulama, tenaga terdidik, budayawan, organisasi,
olahraga, dan kaum veteran. Lapisan mayyarakat ini diikat mereka dengan
ideologi kepartaian dan aliran-aliran tertentu. Dengan demikian orang desa
ini dipaksa untuk menerima kepemimpinan orang kota melalui garis
ideologi. Sebaliknya hubungan desa kota juga menemukan saluran baru.
Hampir bisa dipastikan bahwa partai tidak bisa hidup hanya dari iuran
anggota. Beberapa dana diperoleh dari potongan honorarium anggota
legislatif, organ-organ partai, dan melalui hubungan dengan birokrasi
pemerintah.
C. Proses Pemilu
1. Kampanye Partai Politik Tahun 1955
Kampanye Pemilu yang sangat sengit pada tahun 1955 berlangsung
lama sekali yang memperuncing konflik sosial di banyak daerah.
Ketiadaan konsensus politik yang mencolok pada masa kamanye itu
menjadi jelas lagi pada masa pasca Pemilu, yaitu pada masa kabinet Ali
Sastroamidjojo kedua (Maret 1956-Maret 1957). Dari empat partai yang
15
keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 1955,
PNI, Masyumi, NU dan PKI, semuanya,
kecuali PKI, diwakili dalam kabinet Ali itu.
Tetapi, konflik PNI dan Masyumi berjalan
terus di dalam kabinet itu, sehingga kabinet
dilihat lemah dan kurang tegas. Hal itu
menyuburkan lahan bagi beberapa aktor
politik yang dari dulu merasa diri
dikesampingkan oleh sistem demokrasi
parlementer. Yang paling nyata Presiden
Soekarno dan pimpinan tentara.
Menarik pula perilaku para politikus saat berkampanye. Semua
politikus, termasuk PM Burhanudin Harahap dan para menteri yang
menjadi calon anggota DPR, tidak pernah menggunakan fasilitas negara
maupun memanfaatkan otoritasnya sebagai pejabat negara.
Mereka juga tidak pernah meminta pejabat di bawahnya untuk
menggiring masyarakat masyarakat pemilih untuk mengambil sikap yang
menguntungkan partainya. Sebab, mereka tak menganggap sesama
pejabat negara sebagai pesaing yang menakutkan. Selain itu, tak ada
gelagat dari pejabat negara tertentu untuk menghalalkan segala cara
selama mengikuti kampanye. Teladan para pejabat pada masa lalu inilah
yang kita rindukan bersama saat ini. Tidak diketahui pasti berapa lama
masa kampanye pada Pemilu 1955. Tetapi masa kampanye yang semula
dikhawatirkan gaduh, ternyata berlangsung aman dan tertib.
2. Proses Pemilu
Pada November tahun 1952, Kabinet Wilopo mengajukan rancangan
undang-undang pemilihan umum baru. Sistem perwakilan proporsional
diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang
tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran
pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada
Gambar 3.2
16
November. Ada 43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik
suara. Dari jumlah itu, sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang
menggunakan hak pilihnya pada saat itu. Pada Pemilu pertama tahun
1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional yang tidak murni.
Proposionalitas penduduk dengan kuota 1; 300.000.
Tidak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan
perorangan ikut serta mencalonkan diri dalam Pemilu yang pertama ini.
Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172 tanda gambar.
Pada Pemilu ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya
berdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu
pertama, Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang meliputi
208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan
perbandingan setiap 300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu
pertama ini diikuti oleh banyak partai politik karena pada saat itu NKRI
menganut kabinet multi partai sehingga DPR hasil Pemilu terbagi ke
dalam beberapa fraksi.
Pemilu tahun 1955 diselenggarakan dalam dua tahap. Tahap-tahap
tersebut antara lain:
a) Tahap 1 (29 September 1955), dilaksanakan untuk memilih
anggota DPR
b) Tahap 2 (15 Desember 1955), dilaksanakan untuk memilih
anggota Dewan Konstituante
Menurut George
McTurnan Kahin,
Pemilu tahun 1955
tersebut begitu penting
sebab dengan itu
kekuatan partai-partai
politik terukur lebih
cermat dan parlemen
yang dihasilkan lebih
Gambar 3.3
17
bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum Pemilu, parlemen selalu
menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang
merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga
memiliki harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali
jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan
dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di
dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada lembaga
penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian
pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil
partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan,
mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Partai-partai berjuang untuk
merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya
mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah
penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk
meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan
pilihannya.
Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 menelan biaya Rp 479.891.729.
Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan
seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara
Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau
mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah
kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya
menambah beban biaya.
D. Hasil Pemilu Tahun 1955
1. Hasil Pemilu Tahap 1 (29 September 1955)
Dari 172 kontestan Pemilu 1955, hanya 28 kontestan (tiga
diantaranya perseorangan) yang berhasil memperoleh kursi. Empat partai
besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional
Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul
Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39
18
kursi/15,4%). Berikut merupakan tabel hasil Pemilu tahap pertama tahun
1955 :
No
.
Partai Jumlah
Suara
Persentase
(%)
Jumlah
Kursi
1. Partai Nasional Indonesia
(PNI)
8.434.653 22,32 57
2. Masyumi 7.903.886 20,92 57
3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45
4. Partai Komunis Indonesia
(PKI)
6.179.914 16,36 39
5. Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII)
1.091.160 2,89 8
6. Partai Kristen Indonesia
(Parkindo)
1.003.326 2,66 8
7. Partai Katolik 770.740 2,04 6
8. Partai Sosialis Indonesia
(PSI)
753.191 1,99 5
9. Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia
(IPKI)
541.306 1,43 4
10. Pergerakan Tarbiyah
Islamiyah (Perti)
483.014 1,28 4
11. Partai Rakyat Nasional
(PRN)
242.125 0,64 2
12. Partai Buruh 224.167 0,59 2
13. Gerakan Pembela Panca
Sila (GPPS)
219.985 0,58 2
14. Partai Rakyat Indonesia
(PRI)
206.161 0,55 2
15. Persatuan Pegawai Polisi
RI (P3RI)
200.419 0,53 2
16. Murba 199.588 0,53 2
17. Baperki 178.887 0,47 1
18. Persatuan Indonesia Raya
(PIR) Wongsonegoro
178.481 0,47 1
19. Grinda 154.792 0,41 1
20. Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia (Permai)
149.287 0,40 1
Tabel 3.1
19
21. Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1
22. PIR Hazairin 114.644 0,30 1
23. Partai Politik Tarikat Islam
(PPTI)
85.131 0,22 1
24. AKUI 81.454 0,21 1
25. Persatuan Rakyat Desa
(PRD)
77.919 0,21 1
26. Partai Republik Indonesis
Merdeka (PRIM)
72.523 0,19 1
27. Angkatan Comunis Muda
(Acoma)
64.514 0,17 1
28. R.Soedjono
Prawirisoedarso
53.306 0,14 1
29. Lain-lain 1.022.433 2,71 -
Jumlah 37.785.299 100,00 257
Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257 kursi. Tiga
kursi sisa diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya
diangkat Presiden. Selain itu diangkat juga 6 anggota parlemen mewakili
Tonghoa dan 6 lagi mewakili Eropa. Dengan demikian keseluruhan
anggota DPR hasil Pemilu 1955 adalah 272 orang.
2. Hasil Pemilu Tahap 2 (15 Desember 1955)
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di
Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi
yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante
menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya,
sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan
suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam
pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang
mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut:
20
No. Partai/Nama Daftar Jumlah
Suara
Persentase
(%)
Jumlah
Kursi
1. Partai Nasional Indonesia
(PNI)
9.070.218 23,97 119
2. Masyumi 7.789.619 20,59 112
3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,47 91
4. Partai Komunis Indonesia
(PKI)
6.232.512 16,47 80
5. Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII)
1.059.922 2,80 16
6. Partai Kristen Indonesia
(Parkindo)
988.810 2,61 16
7. Partai Katolik 748.591 1,99 10
8. Partai Sosialis Indonesia
(PSI)
695.932 1,84 10
9. Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia
(IPKI)
544.803 1,44 8
10. Pergerakan Tarbiyah
Islamiyah (Perti)
465.359 1,23 7
11. Partai Rakyat Nasional
(PRN)
220.652 0,58 3
12. Partai Buruh 332.047 0,88 5
13. Gerakan Pembela Panca
Sila (GPPS)
152.892 0,40 2
14. Partai Rakyat Indonesia
(PRI)
134.011 0,35 2
15. Persatuan Pegawai Polisi RI
(P3RI)
179.346 0,47 3
16. Murba 248.633 0,66 4
17. Baperki 160.456 0,42 2
18. Persatuan Indonesia Raya
(PIR) Wongsonegoro
162.420 0,43 2
19. Grinda 157.976 0,42 2
20. Persatuan Rakyat Marhaen 164.386 0,43 2
Tabel 3.2
21
Indonesia (Permai)
21. Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3
22. PIR Hazairin 101.509 0,27 2
23. Partai Politik Tarikat Islam
(PPTI)
74.913 0,20 1
24. AKUI 84.862 0,22 1
25. Persatuan Rakyat Desa
(PRD)
39.278 0,10 1
26. Partai Republik Indonesis
Merdeka (PRIM)
143.907 0,38 2
27. Angkatan Comunis Muda
(Acoma)
55.844 0,15 1
28. R.Soedjono
Prawirisoedarso
38.356 0,10 1
29. Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1
30. Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1
31. Radja Keprabonan 33.660 0,09 1
32. Gerakan Banteng Republik
Indonesis (GBRI)
39.874 0,11
33. PIR NTB 33.823 0,09 1
34. L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1
35. Lain-lain 426.856 1,13
Jumlah 37.837.105 514
4.2. Analisis Kelompok :
“Pesta Demokrasi Tersukses sebagai Penutup Demokrasi
Parlementer”
Dalam Pemilu tahun 1955, baik Pemilu tahap I maupun tahap II,
diketahui bahwa tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas
mutlak, sehingga tujuan Pemilu yang semula dimaksudkan untuk
menghasilkan parlemen yang representatif, stabilitas pemerintahan dan
mampu menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950
tidak berhasil. Pemilu 1955 bahkan berujung pada krisis ketatanegaraan
yang mendorong lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagai
22
akibat dari kegagalan Dewan Konstituante dalam menghasilkan
konstitusi baru.
Tidak adanya
pemenang mayoritas juga
menimbulkan masalah
lain, dimana kekuasaan
terbagi-bagi ke dalam
berbagai aliran politik
yang akhirnya
mengakibatkan sistem
pemerintahan saat itu
menjadi tidak stabil. Kebebasan politik yang semula dimaksudkan untuk
membangkitkan partisipasi politik masyarakat ternyata lebih banyak
diwarnai oleh kepentingan masing-masing aliran politik.
Menurut Herbert Faith (1999), kegagalan tujuan Pemilu 1955 yang
berujung pada krisis ketatanegaraan Indonesia lebih disebabkan oleh
terjadinya gerakan separatisme dan persekutuan antara Presiden
Soekarno dan militer yang tidak puas dengan sistem parlementer yang
ditandai oleh peranan partai-partai politik yang sangat dominan.
Ketidakpuasan Presiden tersebut disampaikan oleh Presiden Soekarno
melalui pidatonya pada peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1956
dimana beliau mengecam keras keputusan dikeluarkannya Maklumat
Wakil Presiden Nomor X Tanggal 3 November 1945. Maklumat tersebut
oleh Presiden dianggap sebagai kesalahan terbesar yang telah dibuat pada
waktu itu.
Kegagalan dibentuknya konstitusi baru oleh Dewan Konstituante
juga menandai berakhirnya sistem demokrasi parlementer di Indonesia
yang telah dijalankan selama lebih dari satu dasawarsa (3 November
1946-5 Juli 1959). Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945
(Konstitusi pasca Proklamasi 1945) diberlakukan kembali yang berarti
Indonesia kembali ke sistem semi presidensial yang diikuti dengan
Gambar 3.4
23
penerapan sistem demokrasi terpimpin tanpa tradisi Pemilu untuk jangka
waktu yang cukup panjang (1959-1971) sehingga pengisian para anggota
lembaga perwakilan (MPRS, DPRGR, dan DPRDGR) dilakukan melalui
sistem pengangkatan. Di bidang kepartaian, era demokrasi terpimpin juga
ditandai dengan kebijakan penyederhanaan partai politik melalui regulasi
presiden, yakni Penetapan Presiden (Penpres ) Nomor 7 Tahun 1959
Tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian dan Peraturan
Presiden Nomor 13 Tahun 1960 Tentang Pengakuan, Pengawasan, dan
Pembubaran Partai-Partai.
Sebagai akibat regulasi tersebut, jumlah partai politik yang diakui
pemerintah tinggal 10 partai, sedangkan ditolak pengakuannya dan 2
partai dibubarkan, yaitu Masyumi dan PSI. Era demokrasi terpimpin
berujung dengan terjadinya krisis politik pada tahun 1965 yang ditandai
dengan terjadinya G30S/PKI dan muncullah rezim orde baru dengan
sisem demokrasi Pancasila serta jatuhnya pemerintahan Presiden
Soekarno.
Meskipun Pemilu 1955 telah dianggap gagal menghasilkan
pemerintahan yang stabil, menyederhanakan sistem kepartaian, dan
melahirkan suatu konstitusi baru yang dibentuk secara demokratis untuk
menggantikan UUDS 1950, tetapi oleh banyak kalangan, termasuk para
pengamat dari luar negeri dinilai sebagai Pemilu yang paling demokratis
dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Dalam Pemilu tersebut relatif
tidak banyak pelanggaran, konflik, dan protes. Hal tersebut bisa dibilang
sukses mengingat pada saat itu Indonesia baru menginjak 10 tahun usia
kemerdekaan dan sedang berada dalam kondisi persaingan ideologi yang
keras antara kelompok nasionalis, islam dan komunis.
24
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lahir sejak bulan Agustus 1950
mewarisi sistem multi partai. Jika melihat jumlah partai yang diwakili
dalam parlemen. sekurang-kurangnya terdapat 27 partai politik.
2. Pemilu 1955 berlansung dengan sistem proporsional (multimember
contituency) yang dikombinasikan dengan sistem daftar (listsystem) diikuti
oleh lebih dari 30 Partai Politik dan lebih dari 100 organisasi /
perkumpulan dan perseorangan untuk memilih 257 anggota DPR. Dari
empat partai yang keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 1955, PNI,
Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali PKI, diwakili dalam kabinet
Ali Sastroamidjojo.
3. Pada November tahun 1952, Kabinet Wilopo mengajukan rancangan
undang-undang pemilihan umum baru. Sistem perwakilan proporsional
diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang
tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran
pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada
November. Ada 43.104.464 pemilih yang memenuhi syarat masuk bilik
suara.
4. Pada Pemilu pertama tahun 1955, Indonesia menggunakan sistem
proporsional yang tidak murni. Empat partai besar secara berturut-turut
memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%),
Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai
Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%).
5. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian
Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang
dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante
menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya,
sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan
25
suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam
pemilihan anggota DPR.
6. Dalam Pemilu tahun 1955, baik Pemilu tahap I maupun tahap II, diketahui
bahwa tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak,
sehingga tujuan Pemilu yang semula dimaksudkan untuk menghasilkan
parlemen yang representatif, stabilitas pemerintahan dan mampu
menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950 tidak
berhasil, bahkan berujung pada krisis ketatanegaraan yang mendorong
lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagai akibat dari kegagalan
Dewan Konstituante dalam menghasilkan konstitusi baru.
5.2. Rekomendasi
1. Bahwa kesalahan-kesalahan Pemilu yang telah dilakukan oleh pemerintah
era tahun 1995 diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah masa
kini agar mampu menjalankan sistem Pemilunya lebih baik lagi.
2. Diupayakan agar pemerintah menjalankan sistem Pemilu disesuaikan
dengan kondisi negara pada saat akan dilaksanakan Pemilu.
3. Adanya partisipasi masyarakat untuk ikut serta berperan dalam
pelaksanaan Pemilu di Indonesia.
4. Diharapan pemerintah lebih mengedepankan kepentingan masyarakat
daripada kepentingannya sendiri dalam melaksanakan Pemilu.
26
DAFTAR PUSTAKA
Fadjar, A. Muktakhie, Prof. 2013. Pemilu, Perselisihan Hasil Pemilu, dan
Demokrasi : Membangun Pemilu Legislatif, Presiden, dan Kepala Daerah
dan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu secara Demokratis. Setara
Press : Malang
Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Jakarta. Kepustakaan Populer
Gramedia.
Gazali, Zulfikar, Anhar Gonggong, JR. Chaniago. 1989. Sejarah Politik
Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Naasional : Jakarta
Muslim, Dudung Abdul. 2004. Pemilu Dari Masa Ke Masa (1) : Meneladani
Para Elite di Tahun 1955 (Online). http://www.suaramerdeka.com.
Diakses pada 9-5-2013
Puspoyo, Widjanarko. 2012. Dari Soekarno Hingga Yudhoyono : Pemilu
Indonesia 1955-2009. Era Adicitra Intermedia : Solo
Rellyanti, Febriantin, dkk. 2012. MEMAHAMI Pemilu INDONESIA TAHUN
1955. (Online). http://mylovelyhomework11.blogspot.com. Diakses pada 9
mei 2013.
Syafiie, Inu Kencana, Azhari, SSTP. 2002. Sistem Politik Indonesia. Refika
Aditama : Bandung