Upload
ukon-purkonudin
View
231
Download
16
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pembahasan pada pemikiran politik islam masa Umayyah dan Abasiyah merupakan peralihan kekuasaan politik menuju dinasti monarki, dinasti Umayyah dari segi pemerintahan dan administrasi dipengaruhi oleh sistem kerajaan dan dinasti Byzantium sedangkan dinasti Abbasiyah dipengaruhi oleh sistem kerajaan Persia
Citation preview
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MASA UMAYYAH DAN ABBASIYAH
Pengantar1. Dua masa kekuasaan Islam ini, selain
kekuasan Islam bersifat monarkhis, juga sistem pemerintahan mengalami perubahan antara kedua daulah tersebut.
2. Pada kedua periode ini juga mulai tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran ulama dan filosof tentang politik dan negara
UMAYYAH Masa ini merupakan titik awal perubahan
sistem politik dalam Islam, antara lain Muawiyah naik menjadi khalifah tidak melalui musyawarah, melainkan lewat ketajaman pedang
Masa ini juga merupakan titik awal lahirnya sistem monarchi, yang ditunjukkan dengan pengangkatan putera mahkota, Yazid ibn Muawiyah, menjelang wafatnya Muawiyah ibn Abi Sufyan
Faktor-faktor obyektif yang mendukung sistem monarchi itu, antara lain: 1) musyawarah sukar dilaksanakan, karena hak untuk menentukan khalifah itu tidak hanya monopoli orang Madinah, melainkan komunitas-komunitas muslim di wilayah lain berhak menentukan politiknya; 2) Adanya pengaruh luar, terutama Byzantium, Persia, dan Cina yang pada masanya berbentuk kerajaan.
SISTEM POLITIK UMAYYAH Secara umum, pemerintahan Umayyah di Damaskus
banyak meminjam pola-pola pemerintahan dari Byzantium, termasuk atribut-atribut dan pola hidup raja, dan berbagai formalitas serta peraturan protokoler yang diberlakukan.
Ditetapkannya perangkat pemerintahan seperti: Hajib, yang bertugas mengatur audiensi dengan khalifah; Wazir, suatu jabatan yang diberikan kepada penasihat dan pembantu utama khalifah.
Dibentuk lima macam kepaniteraan: 1) korespondensi, 2) pajak, 3)angkatan bersenjata, 4) kepolisian, 5) peradilan
Badan Peradilan mulai berkembang menjadi lembaga yang mandiri. Para hakim bebas dalam mengambil keputusan yang juga berlaku terhadap pejabat tinggi negara
Jabatan khalifah adalah satu lembaga politik semata, ia tanpa memiliki otoritas keagamaan sebagai Wakil Allah di bumi.
Kekuatan militer pada masa ini pada mulanya dikhususkan bagi orang-orang Arab, tetapi ketika keadaan mereka mulai melemah maka mereka banyak diganti oleh orang-orang Barbar untuk wilayah Barat dan para pekerja Persia untuk sebelah timur
Struktur sosial pada masa ini, di kalangan umat Islam sendiri dibedakan antara orang-orang Arab dan bukan Arab (Mawali); sedangkan oang-orang non Islam, terutama Yahudi dan Nasrani ditetapkan sebagai Ahl al-Zimmah, mereka berkewajiban membayar jizyah (pajak perorangan).
Pemerintahan Umayyah tergolong sekuler, karena menjadikan politik dan ekonomi sebagai ikatan persatuan. Meski demikian, Muawiyah sendiri tetap menjunjung agamanya
Itulah sebabnya, pada masa ini hampir tidak pernah dijumpai perubahan-perubahan konseptual yang mencerminkan aplikasi ajaran Islam tentang tata negara.
ABBASIYAH Dinasti ini lahir dari hasil sebuah revolusi,
yang digerakkan panglima Abu Muslim al-Khurasani
Abbasiyah memproklamirkan diri sebagai pelindung agama, dan khalifah merupakan bayang-bayang Tuhan di bumi.
Tidak ada perbedaan antara Arab dengan A’jam
Kedudukan khalifah sebagai amirul mu’minin, dan setiap katanya adalah hukum. Ia menjabat al-Imam pada saat Jum’at, panglima tertinggi pada pasukan peperangan, dan menjamin ketertiban berdasarkan Hukum Islam.
PANDANGAN UMUM Allah adalah penguasa yang absolut bagi alam
semensta dan merupakan pokok wewenang bagi negara. Melalui amanat, wewenang itu didelegasikan kepada manusia sebagai khalifah Allah di bumi
Lembaga khilafat itu berdasarkan wahyu, yakni pernyataan-pernyataan al-Quran untuk pegangan (khalifah) Allah, bukan semata-mata berdasarkan akal
Khalif dicalonkan dan dipilih oleh pemuka masyarakat, melalui Ahl al-Hilli wa al-Aqdi
Klasifikasi Khalifah: adil, ‘alim, taat, berani, sehat jasmani dan rohani, keturunan Quraisy, dan Tugas utamanya adalah melakanakan syariah, melindungi Islam dan membela keimanan.
Teori-teori tentang NegaraTeori-teori tentang Negara
Ibn Khaldun (1332 -1406 M) - Menerima penggabungan khilafat dan
kerajaan - Pemerintahan maupun kerajaan
adalah khilafat Allah di antara manusia bagi pelaksanaan segala peraturan di antara manusia itu.
- Membenarkan kemestian tunduk kepada kenyataan politik yang ada, karena pemeliharaan ketertiban lebih baik daripada kekacauan politik
Al-Ghazali (1056 - 1111 M.) - membenarkan kemestian tunduk kepada
kenyataan politik yang ada, karena pemeliharaan ketertiban lebih baik daripada kekacauan politik
- negara yang ideal dan bermoral - lambang kesatuan dan identitas
Muslim tetap terpelihara. - Khalifah tidak dapat dijatuhkan,
walaupun khalifah yang dzalim - Khalifah dapat menyerahkan
kekuasaan untuk memerintah kepada sultan yang berkuasa
Ibn Taimiyah (1263-1328 M.)
Syariah merupakan kedaulatan tertinggi, petunjuk satu-satunya dan pegangan yang lengkap bagi umat Islam.
Negara diperlukan untuk pengembangan syariah itu, didasarkan pemikiran, bahwa mengatur urusan umat manusia adalah salah satu kewajiban agama yang terpenting.
Hubungan antara pengatur dan ummat adalah hubungan kerjasama. Keduanya wajib menjalankan perintah aama (syariah), yakni menjalankan tugas amar ma’ruf nahy al-munkar.
Kewajiban mentaati penguasa hanyalah jika penguasa itu menjalankan keadilan
Penguasa hendaknya selalu berkonsultasi kepada ulama.
Al-Mawardi (972-1058 M) - Karyanya al-Ahkam al-Sulthaniyah
- Mengemukakan tinjauan yang teoretis dan idealistis mengenai khilafat, sebagaimana pandangan umum di atas.
- Syarat yang sekurang-kurangnya bagi pemerintahan Islam itu bukan watak kepala negara tapi pemerintah sesuai dengan syari’ah
- Hukum Islam adalah kriteria bagi legitimasi negara Islam.
- Tidak boleh ada dua khalifah dalam suatu negara