36
Tugas Mata Kuliah Pemikiran Politik Islam “Pemikiran Politik Hasan al-Banna” Oleh: Riduwan NPM: 2009130011 Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta 2011

Pemikiran Politik Hasan al-Banna

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hasan al-Banna adalah salah satu tokoh pergerakan besar Islam. Jama’ah-nya yang bernama Ikhwanul Muslimin memberikan pengaruh yang banyak di berbagai penjuru dunia muslim. Zabir Rizq menyebutkan bahwa al-Banna “Sangat pantas didaulat sebagai pembaru abad ke-14 Hijriyah.” Tokoh Islam ini, lanjut Rizq dalam bukunya al-Imam as-Syahid Hasan al-Banna, adalah pemimpin rakyat yang sampai saat ini belum seorang pun mampu menandinginya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pemikiran politik Hasan al-Banna. Bagaimana ia menuangkan ide dan gagasannya, sehingga bisa mewujudkan organisasi Islam yang berpolitik dengan semangat pembaruan pada zamannya dan menjadi cermin dan rujukan pada masa setelahnya.

Citation preview

Page 1: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

Tugas Mata Kuliah

Pemikiran Politik Islam

“Pemikiran Politik Hasan al-Banna”

Oleh: Riduwan

NPM: 2009130011

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Jakarta2011

Page 2: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-

Nya, sehingga makalah berjudul “Pemikiran Politik Hasan al-Banna” ini dapat selesai pada

waktu yang telah ditentukan.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Tengah Semester yang diberikan oleh

dosen mata kuliah “Pemikiran Politik Islam” di Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta. Di samping itu juga sebagai referensi

akademik dalam menambah khazanah keilmuan politik.

Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik

berupa bimbingan, pengarahan, nasehat maupun dukungan moral.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh

dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dan solutif

dari semua pembaca sangat diharpakan untuk kebaikan dan kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan.

Jakarta, 2011

Penyusun

Page 3: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................................1

BAB II BIOGRAFI SINGKAT HASSAN AL-BANNA.................................................................................3

2.1. Riwayat Hidup.........................................................................................................................3

2.2. Karya- Karya Tulis ...................................................................................................................6

BAB III PEMIKIRAN POLITIK HASAN AL-BANNA .................................................................................7

3.1. Kerangka Pemikiran Politik ....................................................................................................7

3.2. Pandangan Tentang Penerapan Syariat Islam .....................................................................15

3.3. Pemikiran Tentang Relasi Agama dan Negara.....................................................................17

3.4. Konsep Bernegara dalam Risalah Nizhamul Hukm..............................................................20

3.5. Lima Babak Kebangkitan Umat ............................................................................................29

BAB IV KESIMPULAN.............................................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................33

Page 4: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

1

BAB IPENDAHULUAN

Islam sebagai agama universal memiliki kandungan ajaran dan konsep yang integral. Islam

sebagai way of life merupakan peradaban yang tidak mendikotomikan dunia dan akhirat, jasad dan

ruh, profan dan sakral, wadah dan isi, materi dan nilai. Islam menyentuh seluruh lapisan dan bidang

kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, dengan konsepsi umum yang kemudian melahirkan

banyak interpretasi. Tafsiran antar para pemikir beragam macamnya, termasuk dalam hal pemikiran

politik.

Politik merupakan istilah yang dipergunakan untuk konsep pengaturan dalam masyarakat,

membahas soal-soal yang berkenaan dengan masalah, bagaimana sebuah pemerintah dijalankan dan

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, agar terwujud masyarakat atau negara yang baik. Dengan

demikian, politik mengandung unsur-unsur aktivitas pemerintah, masyarakat, dan hukum-hukum

yang menjadi sarana pengaturan dalam negara.1

Islam mendudukan politik sebagai sarana penjagaan urusan umat (ri’āyah syu-ūn al-ummah).

Islam dan politik tidak bisa dipisahkan, karena Islam tanpa politik akan melahirkan terbelenggunya

kaum muslimin yang tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan melaksanakan syari’at Islam. Begitu

pula politik tanpa Islam, hanya akan melahirkan masyarakat yang mengagungkan kekuasaan, jabatan,

materi, dan duniawi saja, kosong dari aspek moral dan spiritual. Oleh karena itu kedudukan politik

dalam Islam sangat urgen, mengingat kemerdekaan dan kebebasan melaksanakan syari’at Islam

dapat diwadahi oleh politik.

Secara teori, politik Islam merupakan suatu kegiatan politik yang sangat terkait dengan

landasan, dimensi-dimensi dan nilai-nilai yang berdasarkan pada ajaran dan syari’at Islam. Artinya

hubungan dengan kekuasaan atau berbagai kepentingan manusia yang diilhami dengan petunjuk-

petunjuk Islam yang bersumber pada Al-Qur’an.2 Karena pada prinsipnya Islam adalah agama yang

tujuan utamanya menegakkan dan membangkitkan kembali faham tauhid dengan segala kemurnian

yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-sunnah.3

Pemikiran Politik dalam Islam berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Beberapa

nama pemikir muslim yang menjadi rujukan dalam pemikiran politik diantaranya Al-Mawardi (w.1058

M), Ibn Taimiyyah (w.1328 M) Ibn Khaldun (w.1406 M), Ibn Abd al-Wahhab (w.1793 M), Jamaluddin

al-Afghani (w.1897 M), dan Muhammad Abduh (w.1905 M). Selain beberapa nama itu, tokoh

pergerakan Islam yang tidak kalah penting adalah Hasan al-Banna. Beliau berasal dari tanah Mesir

dan memiliki pemikiran yang menarik dalam bidang politik.

1 Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qu’ran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 342 Abdul Aziz, Politik Islam Politik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 17.3 Zainuddin, Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Pensil, 2004), 56.

Page 5: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

2

Menurut Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam bukunya “Fikih Politik Menurut Imam

Hasan al-Banna”, orang yang membaca apa yang ditulis oleh Hasan al-Banna apa yang disampaikan

dalam berbagai kesempatan ceramah umum maupun khusus, penguasaannya terhadap berbagai

disiplin ilmu dan bahkan menghafalnya, maka akan memahaminya dengan mudah, bahwa Hasan al-

Banna adalah seorang ulama yang mumpuni dalam memahami nash-nash syar’i. Beliau juga

mendalami berbagai persoalan zamannya di dunia Arab dan Islam, mengikuti peristiwa-peristiwa

dunia, dan memahami hakikat peradaban barat yang merupakan peradaban yang terfokus pada

kenikmatan dan nafsu syahwat.4

Hasan al-Banna adalah salah satu tokoh pergerakan besar Islam. Jama’ah-nya yang bernama

Ikhwanul Muslimin memberikan pengaruh yang banyak di berbagai penjuru dunia muslim. Zabir Rizq

menyebutkan bahwa al-Banna “Sangat pantas didaulat sebagai pembaru abad ke-14 Hijriyah.” Tokoh

Islam ini, lanjut Rizq dalam bukunya al-Imam as-Syahid Hasan al-Banna, adalah pemimpin rakyat yang

sampai saat ini belum seorang pun mampu menandinginya.5

Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pemikiran politik Hasan al-Banna.

Bagaimana ia menuangkan ide dan gagasannya, sehingga bisa mewujudkan organisasi Islam yang

berpolitik dengan semangat pembaruan pada zamannya dan menjadi cermin dan rujukan pada masa

setelahnya.

4 Lihat http://www.eramuslim.com/manhaj-dakwah/fikih-siyasi/fikih-siyasi-dan-kredibilitas-hasan-al-banna.htm5 Zabir Rizq. Hasan al-Banna, hal.viii.

Page 6: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

3

BAB IIBIOGRAFI SINGKAT HASAN AL-BANNA

2.1. RIWAYAT HIDUPHasan al-Banna adalah pendiri dan pimpinan organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir, lahir di

distrik Mahmudiyah, Mesir pada 17 Oktober 1906 bertepatan dengan 1323 H. Ia dibesarkan oleh

keluarga yang terkenal dengan keilmuannya, pendidikannya, keagamaannya, kaya dan dihormati.

Ayahnya Syekh Ahmad bin Abd. Al-Rahman bin Muhammad al-Banna al-Sa’ati. Ia adalah seorang

muslim yang taat. Pada masa kanak-kanak ia dididik langsung oleh sang ayah yang selalu mendidik

dan mengajarkan d Al-Qur’an, hadits, fiqih, bahasa dan ajaran tasawuf.6

Ketika usia dua belas tahun, Hasan al-Banna masuk Sekolah Dasar Negeri. Waktu itulah

Hasan al-Banna sebuah kelompok Islam “Himpunan Perilaku Moral”. Himpunan ini mewajibkan

kepada setiap anggotanya untuk mengikuti moralitas Islam dengan seksama dan menjatuhkan

hukuman pada yang melanggar.

Bagi Hasan al-Banna yang paling berpengaruh dalam kehidupannya adalah tarekat sufi

Hasafiah. Ia tertarik, karena tarekat ini berpegang teguh pada kitab suci dalam segala ritual dan

upacaranya. Ikatan Banna dengan tarekat ini, membuatnya merasakan betapa penting hubungan

antara pemimpin dengan pengikutnya. Dalam memoar (catatan harian), ia menguraikan bagaimana

cara seorang guru pertamanya mengajarkan padanya cara menilai ikatan spiritual dan emosi yang

dapat tumbuh antara guru dengan murid. Berkat hubungan dengan sufi, ia senantiasa menghargai

tasawuf, selama tidak mengandung bid’ah yang menurut sebagian orang mengotori praktek dan

keyakinan sufi. Tarekat Hasafiyah ini, paling banyak mempengaruhi kehidupan al-Banna.7

Pada usia empat belas tahun, ia dimasukkan ayahnya ke Sekolah Guru di Damanhur.

Kegeniusannya mulai tampak di bangku sekolah ini. Ia selalu melampaui teman sekelasnya, karena

disaat lulus ujian terakhir ia memegang rangking pertama. Pengetahuannya sangat luas,

kemampuannya untuk menyelesaikan masalah sangat tajam dan mempunyai kecakapan khusus

dalam memimpin teman-temannya di kelas.

Dengan motivasi ayahnya dalam menghafal al-Qur’an, sehingga di usia 14 tahun juga ia

berhasil menghafal al-Qur’an. Di usia ke 16 tahun, ia melanjutkan studinya di sekolah tinggi Darul

Ulum Kairo, Mesir. Di sini ia dikenal rajin, cerdas, tajam ingatan, dan mempunyai bakat jadi

pemimpin.8

6 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, 351.7 Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, 1998), 129-130.8 Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Yang Berpengaruh Pada Abad 20 (Jakarta: GemaInsani Press, 2006), 202.

Page 7: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

4

Di kota besar itulah ia dikenalkan dengan Rasyid Ridha beserta gerakan Salafiyahnya. Ia

sangat rajin membaca majalah Al-Manar. Melalui pembacaan itulah ia menyerap semangat

pembaharuan Afghani dan Abduh. Masa itu, adalah masa kebangkitan Wahabi di Hijaz. Akan tetapi

yang paling berpengaruh pada pembentukan pandangan Banna adalah karya-karya tulis Ridha

tentang aspek-aspek politik, sosial, pembaharuan Islam, serta perlunya didirikan negara atau

pemerintahan Islam dan diberlakukannya hukum Islam. Karena Islam dipandang sebagai agama yang

sempurna dengan segala sistem yang dibutuhkan bagi kehidupan umat Islam.9

Ketika usia 25 tahun ia menamatkan studinya di Darul Ulum. Pada tahun 1927, diangkat

kementrian pendidikan menjadi pengajar atau guru bahasa Arab untuk Sekolah Dasar di Isma’iliyah

yang berlokasi dekat Terusan Suez, dan tempatnya tak jauh dari markas besar Suez canal company.

Di sinilah Banna melihat adanya dominasi asing secara jelas. Manajer perusahaan, tentu orang Inggris

tinggal di rumah dan kawasan mewah. Sementara orang-orang Mesir banyak yang tinggal di gubuk-

gubuk menyedihkan.10

Tahun 1928 al-Banna mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin di Isma’iliyah (Mesir). Yang

bertujuan untuk menyebarkan moral, amal baik, dan mempromosikan Islam sebagai respon terhadap

berbagai perkembangan yang terjadi di dunia Islam, khususnya Timur Tengah, yang berkaitan dengan

makin luasnya dominasi imperialisme Barat. Ikhwanul Muslimin meluncurkan perjuangannya untuk

melawan dominasi asing.11 Ketika Menteri Pendidikan memindahkan Banna untuk mengajar di Kairo

tahun 1932, organisasi ini pun juga ikut pindah ke Kairo. Dari sinilah Ikhwanul Muslimin menyebar ke

seluruh Mesir dan menjadi organisasi nasional.

Pengaruh Ikhwanul Muslimun maupun misi publik, membawa Banna terlibat dalam politik

nasional. Di tahun 1936 ini, ia menulis surat untuk raja, perdana menteri, dan penguasa Arab lainnya

untuk mendorong mereka mempromosikan tatanan Islam. Dua tahun kemudian, Banna menyeru raja

untuk membubarkan partai-partai politik di Mesir. Karena partai-partai itu dianggap melakukan

korupsi dan berdampak memecah belah negara.12 Ikhwanul Muslimin memfokuskan kegiatan pada

pembaharuan moral, sosial, dan condong menjadi organisasi politik melalui permusuhannya

terhadap pendudukan Inggris. Di samping itu juga dukungannya kepada bangsa Palestina melawan

zionisme. Ikhwanul Muslimun menganggap Palestina sebagai jantung dunia Arab pengikat orang-

orang Islam. Sejak terjadi pemogokan umum dan pemberontakan Palestina tahun 1936-1937,

Ikhwanul Muslimun memberikan dukungan moral dan keuangan kepada bangsa Palestina.13

Pada tahun 1948, Ikhwanul Muslimin ikut serta dalam peperangan Palestina melawan Israel

dengan semangat yang tinggi dan cita-cita untuk syahid. Oleh karena itu, pemerintah semakin

9 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hal 147.10 Rahmena, Para Perintis Zaman, hal 133.11 Afadlal, dkk, Islam dan Radikalisme DiIndonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), hal 56.12 Rahmena, Para Perintis Zaman, hal 133.13 Mortimer, Islam dan Kekuasaan (Bandung: Mizan, 1984), hal 237.

Page 8: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

5

khawatir dengan keterlibatan Ikhwanul Muslimin. Pada akhir tahun ini Perdana Menteri Mesir Fahmi

Nuqrashi Pasha, mengeluarkan keputusan tentang pembubaran organisasi Ikhwanul Muslimin.

Kemudian pemerintah menyita kekayaan organisasi itu dan menangkap sebagian besar anggotanya,

kecuali al-Banna.14 Dengan peristiwa yang dilakukan pemerintah terhadap Ikhwanul Muslimin itu,

tiga minggu kemudian anggota Ikhwan muda membunuh perdana menteri Nuqrashi Pasha.15

Dengan terbunuhnya Nuqrashi di tangan anggota Ikhwan, pemerintah ingin membalas

dendam terhadap Ikhwanul Muslimin, sehingga pemerintah mengutus lima orang dari staf intelejen

rahasia untuk membunuh Banna. Mereka berhasil membunuhnya di Kairo, depan kantor pusat

pemuda Ikhwanul Muslimin (Dar Asy-Syubban al-Muslimin) pada tanggal 12 Februari 1949 M/1368 H.

Banna terluka parah, kemudian dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Akan tetapi

pihak pemerintah mengeluarkan perintah yang sangat keras agar pihak rumah sakit membiarkan

mengucurkan darah sampai mati. Akhirnya Banna menyerahkan ruhnya keharibaan sang penciptanya

dalam keadaan suci.16

14 Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna (Jakarta: Harakah, 2002), hal 15.15 Mortimer, Islam dan Kekuasaan, hal 239.16 Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Bann, hal 7.

Page 9: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

6

2.2. KARYA-KARYA TULIS

Meskipun Hassan al-Banna meninggal dunia, akan tetapi ia banyak meninggalkan karya-karya

yang dihasilkan sewaktu hidupnya. Karya-karyanya terkenal di dunia Islam sampai sekarang.

Diantara karya-karya tulis yang ditinggalkan adalah:

1) Ahaditsul jum’ah (Pesan Setiap Jum’at)2) Mudzakkiratud Dakwah wad-Da’iah (Memoar atau Catatan Harian Buat Dakwah dan Da’i)3) Al-Ma’tsurat (Do’a-Do’a)Karya-karyanya dalam bentuk kumpulan pesan (Majmu’atur Rasail) adalah:

1) Da’watuna (Dakwah Kita)2) Nahwa Nur (Menuju Kecerahan)3) Ila Asy-Syabab (Kepada Para Pemuda)4) Bainal Amsi wal Yaum (Antara Kemarin Dan Hari ini)5) Risalatul jihad (Pesan Jihad)6) Risalatut Ta’alim (Pesan-Pesan Pendidikan)7) Al-Mu’tamar al-Khamis (Konferensi Kelima)8) Nizhamul Usar (Sistem Kelompok-Kelompok Keluarga)9) Al-‘Aqaid (Akidah)10) Nizhamul Hukm (Sistem Pemerintahan)11) Al-Ikhwan Tahta rayatil Qur’an (Ikhwan Di bawah Bendera Al-Qur’an)12) Da’watuna fi Thaurin Jadid (Dakwah Kita Dalam Masa Baru)13) Ila ayyi Syai’in Nad’un Nas (Ke arah Mana Kita Menyeru Manusia)14) An-Nizham al-Iqtishadi (Sistem Perekonomian).17

17 Ibid, hal 13.

Page 10: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

7

BAB IIIPEMIKIRAN POLITIK HASAN AL-BANNA

3.1. KERANGKA PEMIKIRAN POLITIKHassan al-Banna (1906-1949) adalah seorang tokoh yang fenomenal. Karena banyak pakar-

pakar dalam studi Islam kontemporer menilai dirinya sebagai pelopor dari gerakan-gerakan Islam

modern. Hal ini dilihat dari pergerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikannya, pemikiran-pemikiran

dan sistem pengkaderan dari gerakan ini banyak diadopsi oleh berbagai organisasi dan gerakan-

gerakan dan organisasi Islam kontemporer misalnya parta FIS di Aljazair, Partai Keadilan di Indonesia,

IIIT di Amerika, MSA ( Muslim Student Association) di berbagai perguruan tinggi di Amerika, PAS di

Malaysia, Partai Refah di Turki, demikian pula dengan cabang-cabang Ikhwanul Muslimin di negara

lain, seperti di Yordania, dan di Sudan. Kebanyakan dari gerakan-gerakan tersebut menunjukkan

eksistensi pada wilayah politik kenegaraan, hal ini tidak bisa dilepaskan dari konsep pemikiran

gerakan tersebut (Ikhwan) dimana konsep ini sebagian besarnya dicanangkan oleh pendiri gerakan

tersebut (Hassan al-Banna), meskipun dalam perkembangannya terjadi beberapa perubahan dalam

pemikiran gerakan ini. Gerakan Ikhwanul Muslimin ini sendiri diakui telah berhasil membendung arus

sekularisme di Mesir, meskipun pada akhirnya gerakan ini dihancurkan pemerintah Mesir pada tahun

1960-an namun ketika gerakan ini dihancurkan, justru memberi kesempatan bagi para tokohnya yang

keluar dari negara Mesir untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran ini di negara tempat mereka

bernaung, dan hasilnya dapat dilihat dari kesamaan-kesamaan pemikiran yang tercermin pada

gerakan-gerakan politik yang telah disebut sebelumnya, pemikiran yang menyatukan antara konsep

Islam dan negara (din wa daulah).

Mesir dan dunia Islam, pada masa kecil Hassan al-Banna tengah mengalami pergolakan yang

luar biasa, hal tersebut secara tidak langsung telah mempengaruhi pola pikir dan pandangan beliau

mengenai politik kenegaraan. Adapun beberapa kejadian tersebut adalah :

a. Revolusi Nasional Mesir pada Tahun 1919.

Dimana pada masa tersebut beliau termasuk pelajar yang paling dikenal di kalangan

demonstran. Beliau mengatakan:

“Meski sibuk bergelut dengan dunia tasawuf dan ibadah, aku berkeyakinan bahwa berbakti

kepada negara merupakan jihad yang tidak bisa ditawar lagi. Maka sesuai dengan akidah dan

kapasitasku sebagai pelajar – dia adalah tokoh pelajar terkemuka– aku bertekad akan

melaksanakan peranan yang nyata dalam pergerakan-pergerakan ini”18.

18 Jumah Amin Abdul Aziz, Tarikh Al-Ikhwan Al-Muslimun 1: Masa Pertumbuhan dan Profil sang Pendiri, EraIntermedia, hal 34

Page 11: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

8

b. Runtuhnya Khilafah Islamiyah Tahun 1924.

Dimana dalam usaha-usaha untuk membangun khilafah Islamiyah al-Banna ikut serta di

dalamnya. Dalam Tarikh Al-Ikhwan Al-Muslimun Dr Muhammad Immarah mengatakan “ Setelah

usaha dan harapan untuk membangun kembali khilafah Islamiyah pupus .. para ulama dan

pemikir ternama pada 1345 H / 1927 M. berinisiatif untuk menggelar konferensi di Kairo yang

menghasilkan berdirinya jam’iyah Asy-Syubban Al-Muslimiin (Organisasi Pemuda Muslim) dan

pada tahun berikutnya tahun 1346 H. / 1928 M., Imam Syahid Hassan al-Banna mendirikan

Jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimun sebagai sebuah organisasi massa pertama bagi tren penghidupan

dan pembaharuan Islam masa modern. Imam al-Banna lah yang turut serta dalam konferensi

pendirian Asy-Syubbanul Al-Muslimun.19

Mengenai khilafah ini al-Banna menyatakan: “ Al- Ikhwan Al-Muslimun berkeyakinan bahwa

khilafah adalah simbol persatuan Islam sekaligus lambang persaudaraan antar berbagai negara

Islam. Khilafah adalah sebuah syiar Islam yang harus dipikirkan keberadaannya serta diperhatikan

oleh kaum Muslimin. Khilafah banyak sekali berhubungan dengan hukum-hukum dalam ajaran

agama Allah. Oleh karenanya para sahabat Nabi SAW lebih mendahulukan urusan khilafah

daripada mengurus jenazah Nabi SAW dan menguburkannya sehingga mereka menyelesaikan

masalah dalam kekhilafahan ini. Berbagai hadits yang menceritakan tentang wajibnya

mengengkat seorang imam dan menjelaskan hukum tentang kepemimpinan dan segala hal yang

berhubungan dengan hal ini tidak menimbulkan ruang sedikitpun untuk keraguan bahwa tugas

kaum Muslimin adalah memperhatikan urusan khilafah mereka setelah khilafah tersebut dialihkan

jalannya dan ditumbangkan untuk selamanya”20

Dalam pemikiran politik Hassan al-Banna, setidaknya ada empat hal yang menjadi perhatian

dalam mengawal gerak perjuangannya. Keempat point pemikiran ini menjadi sisi penting untuk

memahami bagaimana ia menggerakan Ikhwanul Muslimin hingga menjadi organisasi Islam yang

menjadi panutan dan rujukan pergerakan ormas Islam lain di beberapa penjuru dunia. Pertama,

mengenai konsep Arabisme (‘Urubah). Kedua, konsep patriotisme (Wathaniyyah). Ketiga, konsep

nasionalisme (Qaumiyyah). Keempat, konsep internasionalisme (Ālamiyyah).

a. ‘Urubah (Arabisme)

Arabisme memiliki tempat tersendiri dan peran yang berarti dalam dakwah Hasan al-Banna.

Bangsa Arab adalah bangsa yang pertama kali menerima kedatangan Islam. Dia juga merupakan

bahwa yang terpilih. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Jika bangsa

Arab hina, maka hina pulalah Islam.” Arabisme menurut al-Banna adalah kesatuan bahasa. Ia

19 Ibid, hal 48-4920 Ibid, hal 51

Page 12: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

9

berkata dalam Muktamar Kelima Ikhwan,“…Bahwa Ikhwanul Muslimin memaknai kata al-‘Urubah

(Arabisme) sebagaimana yang diperkenalkan Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir

dari Mu’adz bin Jabal ra, Ingatlah, sesungguhnya Arab itu bahasa. Ingatlah, bahwa Arab itu

bahasa.”

Menurut al-Banna, Arab adalah umat Islam yang pertama, yang merupakan bangsa pilihan.

Islam, menurutnya, tidak pernah bangkit tanpa bersatunya bangsa Arab. Batas-batas geografis

dan pemetaan politis tidak pernah mengoyak makna kesatuan Arab dan Islam. Islam juga tumbuh

pertama kali di tanah Arab, kemudian berkembang ke berbagai bangsa melalui orang-orang Arab.

Kitabnya datang dengan bahasa Arab yang jelas, dan berbagai bangsa pun bersatu dengan

namanya.

Dalam riwayat Ibnu Asakir, dengan sanad dari Malik bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Wahai

sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan itu satu, bapak itu satu, dan agama itu satu. Bukanlah

Arab di kalangan kamu itu sebagai bapak atau ibu. Sesungguhnya, Arab itu adalah lisan (bahasa),

maka barangsiapa yang berbicara dengan bahasa Arab, dia adalah orang Arab.”

Dalam hadits ini, tulis Hasan al-Banna, kita mengetahui bahwa bangsa-bangsa Arab yang

membentang dari Teluk Persi sampai Maroko dan Mauritania di Lautan Atlantik, semuanya adalah

bangsa Arab. Mereka dihimpun oleh akidah serta dipersatukan oleh bahasa dan teritorial yang

satu. Tidak ada yang memisahkan dan membatasinya. Menurut al-Banna, ketika kita beramal

untuk Arab, berarti kita juga beramal untuk Islam dan untuk kebaikan dunia seisinya.21

Atas dasar ini, menurut Abdul Hamid al-Ghazali, dalam bukunya Meretas Jalan Kebangkitan

Islam, kita dapat menyimpulkan beberapa unsur dari pemikiran al-Banna bahwa berbangga

dengan Arabisme tidak termasuk fanatisme dan tidak berarti merendahkan pihak lain.22 Arabisme

dengan tujuan untuk membangkitkan Islam demi tersebarnya Islam adalah dibolehkan.

b. Wathaniyah (Patriotisme)

Banyak definisi tentang patriotisme. Ada yang menyebut sebagai kecintaan yang mendalam

terhadap bangsa, negara dan tanah air. “Man who have offered their life for their country, know

that patriotism is not the fear of something, it is the love of something,” demikian salah satu

definisinya.23

Dalam memaknai Wathaniyah (patriotisme), ada tiga arti yang dikemukakan oleh Hasan al-

Banna, yaitu: Pertama, Patriotisme Kerinduan (Cinta Tanah Air). al-Banna berkata: “Jika yang

dimaksud dengan patriotisme oleh para penyerunya adalah cinta negeri ini, keterikatan padanya,

21 Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I, hal. 167-16822 Abdul Hamid al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, hal. 19523 Diringkas dari pidato sambutan Presiden RI pada saat menerima peserta rapat Dewan Paripurna Pusat LVRI diIstana Negara Jakarta, 11/01/2005. Lihat:http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2005/01/11/276.html

Page 13: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

10

kerinduan padanya, dan ikatan emosional dengannya, maka hal itu sudah tertanam secara alami

dalam fitrah manusia di satu sisi, dan dianjurkan Islam di sisi lainnya.” Kedua, Patriotisme

Kemerdekaan dan Kehormatan (Kemerdekaan Negeri). al-Banna berkata: “Jika yang mereka

maksudkan dengan patriotisme adalah keharusan berjuang untuk membebaskan tanah air dari

cengkeraman perampok imperialis, menyempurnakan kemerdekaannya, dan menanamkan

kehormatan diri dan kebebasan dalam jiwa putra-putra bangsa, maka kami sepakat dengan

mereka tentang itu.” Ketiga, Patriotisme Kebangsaan (Kesatuan Bangsa). al-Banna berkata: “Jika

yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah mempererat ikatan antara anggota

masyarakat suatu Negara dan membimbingnya ke arah memberdayakan ikatan itu untuk

kepentingan bersama, maka kami pun sepakat dengan mereka.”

Patriotisme juga memiliki prinsip di mata Hasan al-Banna. Ia mengatakan: “Suatu kekeliruan

bagi orang-orang yang menyangka bahwa Ikhwanul Muslimin berputus asa terhadap kondisi

negeri dan tanah airnya. Sesungguhnya kaum Muslimin adalah orang-orang yang paling ikhlas

berkorban bagi negara, habis-habisan berkhidmat untuknya, dan menghormati siapa saja yang

mau berjuang dengan ikhlas dalam membelanya. Dan anda tahu sampai batas mana mereka

menegakkan prinsip patriotisme mereka, serta kemuliaan macam apa yang mereka inginkan bagi

umatnya. Hanya saja, perbedaan prinsip antara kaum muslimin dengan kaum yang lainnya dari

para penyeru patriotisme murni adalah bahwa asas patriotisme Islam adalah akidah Islamiyah.

Adapun tentang patriotisme Ikhwanul Muslimin, cukuplah bahwa mereka menyakini dengan

kukuh bahwa sikap acuh terhadap sejengkal tanah yang ditinggali seorang muslim yang terampas

merupakan tindakan kriminal yang tidak terampuni, hingga dapat mengembalikannya atau hancur

dalam mempertahankannya. Tidak ada keselamatan bagi mereka dari siksa Allah kecuali dengan

itu.”

Al-Banna juga mengkiritik pandangan tentang patriotisme yang hanya berpikir untuk

membebaskan regionalnya saja. Seperti dalam kasus masyarakat Barat yang lebih cenderung pada

pembangunan unsur fisik dalam tatanan kehidupannya, ini tidak dikehendaki oleh Islam. Adapun

kami, kata beliau, “kami percaya bahwa di pundak setiap muslim terpikul amanah besar untuk

mengorbankan seluruh jiwa, darah, dan hartanya demi membimbing umat manusia menuju

cahaya Islam.” Dari sini, kita mendapatkan gambaran bahwa tujuan hidup seorang muslim

tidaklah hanya dibatasi oleh region-region tertentu, akan tetapi dalam skala yang lebih luas

adalah untuk seluruh umat manusia.

c. Qaumiyah (Nasionalisme)

Menurut Ensiklopedia Wikipedia, Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan

mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan

Page 14: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

11

mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.24 Menurut Hasan al-

Banna ada tiga unsur nasionalisme, yaitu: nasionalisme kejayaan, nasionalisme umat, dan berkata

tidak pada nasionalisme jahiliyah.

Tentang nasionalisme kejayaan, al-Banna mendukung nasionalisme yang berarti bahwa

generasi penerus harus mengikuti jejak para pendahulunya dalam mencapai kejayaannya. Ini

adalah maksud yang baik, menurutnya dan mendukung. Hal ini sejal dengan sabda Rasululllah

Saw yang berbunyi, “Manusia seperti tambang. Yang terbaik di antara mereka di masa jahiliahnya

adalah juga yang terbaik di masa Islam, jika mereka memahami.”

Menurutnya, jika yang dimaksud dengan nasionalisme adalah anggapan bahwa suatu

kelompok etnis atau sebuah komunitas masyarakat adalah pihak yang paling berhak memperoleh

kebaikan-kebaikan yang merupakan hasil perjuangannya, maka ia benar adanya. Jika yang mereka

maksudkan dengan nasionalisme adalah bahwa setiap kita dituntut untuk bekerja dan berjuang,

bahwa setiap kelompok harus mewujudkan tujuannya hingga kita bertemu—dengan izin Allah—di

medan kemenangan, maka inilah pengelompokan terbaik. Semua makna nasionalisme ini adalah

indah dan mengagumkan, tidak diingkari oleh Islam. Itulah tolak ukur terbaik menurut al-Banna.

Nasionalisme Islam bersumber dari hadits Nabi: “Orang muslim itu saudara muslim yang

lain.” Sedangkan sabdanya yang lain mengatakan: ”Orang-orang muslim itu satu darah, orang-

orang yang berada di atas bekerja untuk menyantuni yang lain, dan mereka bersatu untuk

melawan musuhnya.”25 Ini berarti bahwa nasionalisme Islam tidak terbatas pada negara saja.

Islam datang untuk menghapus budaya jahiliyah. Nasionalisme yang jahiliyah haruslah

ditinggalkan oleh umat Islam. Ia berkata bahwa jika yang dimaksudkan dengan nasionalisme

adalah menghidupkan tradisi jahiliyah yang sudah lapuk, menegakkan kembali peradaban yang

telah terkubur dan digantikan oleh peradaban baru yang telah eksis dan bermanfaat, atau

melepaskan dirinya dari ikatan Islam dengan klaim demi nasionalisme dan harga diri kebangsaan,

maka pengertian nasionalisme seperti ini adalah buruk, hina akibatnya, dan jelek kesudahannya.

d. ‘Alamiyah (Internasionalisme)

Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus

kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Ayat ini berarti bahwa diutusnya

nabi Muhammad Saw adalah ditujukan untuk seluruh umat manusia dari seluruh suku bangsa.

”Rahmatan Lil’Alamin” adalah konsep yang menjelaskan tentang internasionalisme Islam yang

tidak mengenal sekat-sekat teritori.

Jika internasionalisme diterjemahkan dengan “Pemerintahan Dunia”, maka pengertiannya

yang bisa diberikan adalah “Sebuah kesatuan pemerintahan dengan otoritas mencakup planet

24 http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme25 Ali Abdul Halim Mahmud, Perangkat-Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, hal.44

Page 15: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

12

Bumi.26 Tidak pernah ada satu Pemerintahan Dunia yang pernah terjadi sebelumnya, meskipun

kerajaan besar dan superpower telah mendapatkan tingkatan kekuasaan yang mirip. Contoh

sejarah telah dihambat oleh kenyataan bahwa komunikasi dan perjalanan yang tak

memungkinkan membuat organisasi dunia ini tidak terjadi. Beberapa internasionalis mencari

pembentukan pemerintahan dunia sebagai cara mendapatkan kebebasan dan sebuah peraturan

hukum di seluruh dunia. Beberapa orang khawatir bahwa pemerintah dunia harus dapat

menghormati keragaman negara atau manusia yang tercakup di dalamnya. Dan di sisi lain

memandang ide ini sebagai sebuah kemungkinan mimpi buruk, dalam dunia yang kacau

pemerintah berusaha menciptakan negara totalitarian yang tak berakhir tanpa ada kemungkinan

untuk kabur atau revolusi.

Internasionalisme menurut Hasan al-Banna inheren dalam Islam, oleh karena Islam adalah

agama yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. “Adapun dakwah kita disebut

internasional, karena ia ditujukan kepada seluruh umat manusia. Manusia pada dasarnya

bersaudara; asal mereka satu, bapak mereka satu, dan nasab mereka pun satu. Tidak ada

keutamaan selain karena takwa dan karena amal yang dipersembahkannya, meliputi kebaikan

dan keutamaan yang dapat dirasakan semuanya,” demikian tulisnya.

Konsep internasionalisme merupakan lingkaran terakhir dari proyek politik al-Banna dalam

program ishlahul ummah (perbaikan umat). Dunia, tidak bisa tidak, bergerak mengarah ke sana.

Persatuan antar bangsa, perhimpunan antar suku dan ras, bersatunya sesama pihak yang lemah

untuk memperoleh kekuatan, dan bergabungnya mereka yang terpisah untuk mendapatkan

hangatnya persatuan, semua itu merupakan pengantar menuju terwujudnya kepemimpinan

prinsip internasionalisme untuk menggantikan pemikiran rasialisme dan kesukuan yang diyakini

umat manusia sebelum ini. Dahulu memang harus meyakini ini untuk menghimpun unsur-unsur

dasar, lalu harus dilepaskan kemudian untuk menggabungkan berbagai kelompok besar, setelah

itu terwujudlah kesatuan total di akhirnya. Langkah ini, menurutnya memang lambat, namun itu

harus terjadi.

Untuk mewujudkan konsep ini juga Islam telah menyodorkan sebuah penyelesaian yang jelas

bagi masyarakat untuk keluar dari lingkaran masalah seperti ini. Langkah pertama kali yang

dilakukan adalah dengan mengajak kepada kesatuan akidah, kemudian mewujudkan kesatuan

amal. Hal ini sejalan dengan ayat dalam al-Qur’an surat Asyura 13: “Dia telah mensyari’atkan bagi

kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh dan apa yang telah Kami

wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, Musa dan Isa yaitu

‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”

26 Ringkasan dari definisi Wikipedia. Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_dunia

Page 16: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

13

Dalam Risalah Pergerakan, Hasan al-Banna berharap pada negerinya yaitu Mesir yang

mendukung upaya dakwah Islamiyah, menyatukan seluruh bangsa Arab untuk kemudian

melindungi seluruh kaum muslimin di penjuru bumi.27 Namun, harapan ini tetaplah belum

membuahkan hasil maksimal karena sejak Hasan al-Banna wafat sampai sekarang Mesir belum

menjadi sentrum dari kesatuan umat Islam sedunia. Malah, pada beberapa kasus, seperti masalah

invasi Israel ke Gaza Palestina (2009), Mesir banyak mendapat kecaman karena tidak kooperatif

dengan aktivis pergerakan Islam namun dekat dan bahkan pada titik tertentu, mendapatkan

intervensi dari Barat.28

Teori Maslahat

Dalam empat pemikiran politik Hasan al-Banna diatas, kita menemukan bahwa kemaslahatan

sangat ditekankan oleh al-Banna. Ini didasarkan oleh tafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang

menghendaki umat Islam untuk tampil ke muka bumi sebagai khalifah untuk menciptakan

masyarakat yang ber-Tauhid Islam.29 Dengan demikian, segala hal yang bisa mendatangkan kebaikan,

itu dibolehkan dalam agama.

Hasan al-Banna meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang universal. Menurutnya, “Islam

adalah agama dan sistem kehidupan yang utuh sekaligus memuat di dalamnya aspek politik.” Islam,

menurutnya, adalah akidah dan ibadah, negara dan kewarganegaraan, moral dan material,

peradaban dan perundang-undangan.30 Tokoh Islam dari Mesir itu berkata, “Sebagai hasil

pemahaman yang komprehensif dan utuh terhadap Islam dalam diri Ikhwanul Muslimin ini, fikrah

mereka melingkupi seluruh perbaikan masyarakat dan tercermin di dalamnya setiap unsur dari

berbagai pemikiran dalam rangka perbaikan (maslahat).”

Dari kutipan di atas kita melihat bahwa faktor kemaslahatan menjadi perhatian penting

dalam pemikiran Hasan al-Banna. Konsep ‘Urubah (Arabisme) yang dikemukakannya adalah karena

dalam sebagai muslim, ia berpatokan pada ketentuan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi

Muhammad Saw. Konsep ini dilontarkan olehnya karena melihat secara faktual bahwa orang Arab

adalah bangsa pilihan tempat diturunkannya para nabi dan al-Qur’an dalam bahasa Arab.

Dengan demikian, siapapun kaum muslim yang ingin mempertahankan Islam patut

memberikan penghargaan kepada bangsa Arab, dalam batas-batas yang tidak keluar dari ajaran

Islam. Lebih jauh dalam masalah Arab ini, ke-Araban juga tidak dimaknai semata sebagai sebuah suku

di daerah Arab, akan tetapi secara umum umat Islam yang juga mempelajari bahasa Arab. Hadits

27 Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin II, hal. 17028 Salah satu intervensi asing bisa dilihat dari keputusan Dubes Inggris, Amerika dan Prancis pada 10 November1948 di Fayd yang diberikan kepada Perdana Menteri Mahmud Fahmi Naqrasyi untuk membubarkan Ikhwan.Lihat, Zabir Rizq, hal.xxxvi.29 Tijani Abd. Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam al-Qur’an, hal. 2230 Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan...., hal. 66

Page 17: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

14

Nabi tentang “Ingatlah, sesungguhnya Arab itu bahasa. Ingatlah, bahwa Arab itu bahasa”, bermakna

bahwa siapapun umat Islam yang mempelajari al-Qur’an yang notabene berbahasa Arab, termasuk

dalam Islam yang perlu membela Arab. “Jika bangsa Arab hina, hina pulalah Islam, “ yang

dikemukakan oleh al-Banna semata karena penghargaannya kepada bangsa Arab yang telah

menyebarkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia.

Dalam hal Wathaniyah (Patriotisme), kerinduan akan tanah air tempat manusia dibesarkan

adalah sesuatu yang alamiah dalam fitrah manusia. Artinya, kecintaan pada negeri sendiri adalah

bagian dari kepedulian umat Islam terhadap lingkungannya. Tujuan utama dari patriotisme ini,

menurut al-Banna adalah untuk membimbing umat manusia menuju cahaya Islam, lain dari itu

(seperti hanya mementingkan aspek-aspek fisik di Eropa), bertentangan dengan Islam. Dilihat dari

kacamata Ibnu Qayyim, cinta pada negeri demi kemaslahatan negeri itu sendiri, termasuk dalam

agama.

Dalam membahas Qaumiyah (Nasionalisme), al-Banna menfokuskan pada sikap loyal

(wala’)31 pada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Dalil yang dikemukakannya, salah satunya

adalah, “Sesungguhnya Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257.

Dengan demikian, jika ada orang-orang beriman yang berjuang untuk kemajuan negerinya agar

dakwah Islamiyah berkembang, maka itu termasuk dalam perlindungan Allah. Nasionalisme ala al-

Banna juga memposisikan diri secara diametral dengan nasionalisme ala Jahiliyah yang sarat dengan

muatan pengagungan nenek moyang tanpa dalil yang pasti atau untuk menanamkan rasa bangga

pada jiwa anak-anaknya.

Nasionalisme Islam menurut al-Banna mengandung kemaslahatan karena membawa

manusia agar meninggalkan fanatisme buta pada nenek moyang menuju penghambaan kepada

Allah. Paganisme yang ada pada peradaban sebelum Islam yang kemudian berkembang dalam

banyak bentuk juga ditentang oleh al-Banna. Menjadikan patung-patung, bahkan ideologi hasil

pemikiran manusia sebagai sesuatu yang harus diikuti ketimbang dalil dari al-Qur’an dan Sunnah nabi

juga ditentang. al-Banna berkehendak menciptakan umat Islam yang menjalankan seluruh

kehidupannya secara kaaffah (menyeluruh) dalam bingkai Islam. Dan, ini termasuk dalam

kemaslahatan umat manusia.

Pandangan ‘Alamiyah (Internasionalisme) adalah berdasarkan pada dalil bahwa umat Islam

dikeluarkan untuk menjadi “khairu ummah” (umat terbaik) yang Allah utus kepada manusia agar

menjalankan kaidah menyeru kepada kebenaran dan mencegah pada yang mungkar. Rasulullah Saw

juga diutus Allah untuk seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin). Dari perspektif ini, dakwah al-

Banna berpatokan pada persaudaraan seluruh umat manusia. Dalil yang diambil oleh al-Banna

31 Wala’ kepada Allah, akan meruntuhkan wala’-wala’ kepada selain-Nya. Manusia akan menjadi bebas danmenjadi hamba bagi Tuhannya. Di sini dipahami bahwa kebebasan seorang manusia tidak akan dikekang lagioleh seorang tuan atau pendeta. Ibid, hal. 116

Page 18: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

15

berladaskan pada ayat, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya

Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah

yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah

hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa: 1)

Kemaslahatan internasionalisme ini sekilas memiliki kesamaan dengan konsepsi kaum Zionis

yang berupaya menciptakan pemerintahan satu dunia. Akan tetapi, Zionisme lebih menitikberatkan

pada penguasaan kaum Yahudi atas kalangan goyyim (non-Yahudi) dengan memperlakukannya

sebagai budak. Persaudaraan umat sedunia yang diinginkan oleh al-Banna, adalah karena umat

manusia berasal dari satu nenek moyang yaitu Adam as. Selanjutnya, dalam dakwah menuju

persaudaraan internasional, harus dijalankan berdasarkan fondasi nilai yang adil dan tidak

diskriminatif.32 Dari sinilah kelak ada mekanisme take and give antar peradaban umat manusia. Unsur

kerjasama demi kemaslahatan bersama sangat ditekankan oleh Hasan al-Banna.

3.2. PANDANGAN TENTANG PENERAPAN SYARIAT ISLAMKetika masa hidup Banna, negara Mesir dalam situasi yang menganut sistem kerajaan, kepala

negara ditentukan melalui garis keturunan. Menurut Islam, sistem ini tidak berdasarkan Islam.

Karena Islam yang ideal itu, sistem pemerintahannya harus berdasarkan dengan bay’ah dan syura.33

Menurut Banna, bahwa sistem ini menyimpang dari cita-cita Islam yang sebenarnya. Ketika itu juga,

Banna melihat bentuk pengaruh modernisasi sekuler Barat terhadap kehidupan Islam serta

kelemahan pemerintahan yang kurang tanggap dalam menghadapi kesenjangan sosio-ekonomi

masyarakat Mesir.

Dengan melihat kondisi ini, Banna menegaskan tentang sifat politik Islam, guna menegakkan

dan melaksanakan syari’at Islam.34 Dengan keinginannya untuk menerapkan syari’at Islam di tengah-

tengah kehidupan masyarakat, Banna tidak mempunyai niat melakukan kudeta atau tidak ingin

mengubah bentuk pemerintahan yang ada, ia hanya ingin menjadikan syari' Islam menjadi hukum

negara. Untuk mencapai tujuan, Banna ikut mencalonkan diri menjadi anggota parlemen.

Keikutsertaan Banna dalam pemilu tahun 1942 ini, merupakan jawaban atas kebutuhan praktis

pergerakan, dan perubahan, demi kepentingan dakwah.35

Pemikiran tentang penerapan syari’at Islam ini, menjadi tujuan agenda gerakannya. Dalam

pandangan Banna, apapun bentuk negara baik republik atau kerajaan, harus didirikan atas dasar-

dasar Islam yang kuat dan benar. Ada beberapa tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintahan

32 Abdul Hamid al-Ghazali, Meretas.., hal. 20233 Hasan Hanafi, Fundamentalisme Islam (Yogyakarta: Islamika, 2008), hal.134.34 John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam (Jakarta: Rajawali, 1987), hal. 11.35 Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna (Jakarta: UI-Press, 1990), hal. 42.

Page 19: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

16

negara, yaitu tanggung jawab penguasa terhadap kekuasaannya, persatuan masyarakat, dan sikap

tanggap terhadap keinginan masyarakat.36

Islam mewajibkan pemerintah untuk bekerja demi kemaslahatan rakyat dengan

membenarkan kebenaran dan menggugurkan kebatilan, dan diharuskan semua rakyat untuk

mentaati pemerintah, selama pemerintah menjalankan kewajibannya. Apabila pemerintah itu

menyimpang dari kebenaran, maka rakyat mempunyai kewajiban untuk meluruskannya, agar

kembali pada kebenaran dan berkomitmen pada undang-undang Islam yang bersumber pada hukum

Al-Qur’an dan As-Sunnah.37

Negara merupakan instrumen kekuasaan untuk menegakkan syariat Allah dan menegakkan

etika Islam yang universal. Karena hubungan antara negara dan umat bersifat teodemokratik.38

Berdasarkan pemikiran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam adalah agama dan sekaligus

negara (din wa dawlah) yang memiliki konsep sosial dan politik. Pada dasarnya pemikiran dan

gerakan Banna dalam penerapan syari’at Islam banyak mengacu pada aliran moderat, dengan

menekankan tentang urgensitas peran agama di dalam proses perubahan. Dari sinilah, Banna

menemukan dan menawarkan berbagai metode pembaharuan atau model gerak sosial menuju

perubahan. Meskipun pada intinya Banna ingin menegakkan politik Islam dengan menjalankan

syari’at dengan cara merujuk pada Al-Qur’an dan As- Sunnah, ia menggagas tahapan-tahapan yang

harus ditempuh untuk dijadikan landasan, menuju sistem ideal demi terwujudnya suatu perubahan.

1) Melakukan Reformasi Diri (Ishlah).

Langkah ini menjadi syarat pertama yang harus dilakukan seseorang ketika melakukan

perubahan. Dengan memperbaiki diri pribadi, dirinya dapat mempunyai fisik yang kuat,

berakhlak mulia, berintelektual, mampu berusaha dan beraqidah lurus dan benar dalam

beribadah. Banna meyakini, bahwa sesungguhnya perubahan dan perbaikan itu harus dimulai

dari diri, dan agama Islam dijadikan sebagai faktor yang efektif.39 Dalam QS. Ar-Ra’d: 9 Allah

berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah

keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Rad: 11).40

2) Perubahan atau Ishlah dalam Membentuk Keluarga Islami.

Langkah ini merupakan lanjutan langkah pertama. Ketika seseorang dapat memperbaiki diri

pribadinya, maka seharusnya dapat membentuk keluarga yang Islami. Tahap kedua ini bertujuan

36 Fathi Osman, Ikhwan dan Demokrasi (Yogyakarta: Titian Wacana, 2005), hal. 15.37 Hasan Al-Banna, Kumpulan Risalah Dakwah (Jakarta: Al-I’tishom, 2008), hal. 257-258.38 Abdurrahman Mas’ud, Negara Bangsa Versus Negara Syariah (Yogyakarta: Gema Media, 2006), hal. 19.39 Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna, hal. 29-30.40 Al-Qur’an dan Terjemah, 13 (Al-Ra’d): hal. 11.

Page 20: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

17

membentuk dan membawa keluarga untuk tetap berpegang pada pemikiran dan etika Islam di

dalam setiap prilaku kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, dalam rumah tangga harus

benar-benar dikembangkan kehidupan yang Islami, mulai dari pemikiran hingga tindakan yang

dilakukan sehari-hari.41 Adanya perbaikan pada individu, akan memberi pengaruh pada keluarga.

Maka terbentuklah keluarga yang ideal sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh

Islam.42

3) Perubahan (ishlah) pada Masyarakat.

Perbaikan masyarakat ini harus mencakup pada tingkatan masyarakat secara keseluruhan.

Tahap ini merupakan suatu pengembangan misi kebaikan dan memerangi kemungkaran. Banna

menegaskan, bahwa tidaklah sempurna ke Islaman seseorang yang mengabaikan kondisi umat

yang rusak dengan menyibukkan diri dengan ibadah. Karena hakikat Islam adalah jihad, kerja

keras, agama dan negara. Jihad dalam hal ini adalah jihad untuk merubah masyarakat yang rusak

menuju masyarakat yang lebih baik.43 Baik buruknya masyarakat akan membawa pengaruh besar

pada perkembangan negara.

Menurut Banna, ketika seseorang dapat melakukan perubahan pada dirinya, keluarganya,

hingga masyarakat, maka seseorang itu akan dapat menegakkan syari’at Islam dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Pergerakan yang dilakukan Banna merupakan suatu pergerakan atas dasar dakwah, yang

mempunyai tujuan-tujuan yang tidak terikat, mulai dari pembinaan (tarbiyah), penyadaran pada

individu, hingga tegaknya syari’at Islam. Dalam menyebarkan dakwahnya, Banna bersifat

membangun dan menghimpun, tidak menghancurkan, tidak memecah belah, dan tidak menyukai

kekerasan.44

Jadi, ketika seseorang dapat melakukan perubahan pada dirinya, keluarganya, hingga

masyarakat, maka seseorang itu akan dapat menegakkan syari’at Islam dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

3.3. PEMIKIRAN TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARAMenurut Hasan al-Banna, Islam sebagai agama mempunyai arti yang sangat luas. Ia meyakini

bahwa Islam adalah agama yang universal yang mencakup sendi-sendi kehidupan umat manusia

seluruhnya. Dengan begitu, Islam telah merumuskan nilai-nilai konkret atas keberagamaan manusia

dalam menghadapi realitas kehidupan untuk mencapai sebuah kemaslahatan.45

41 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal (Jakarta: ERLANGGA,2005), hal. 37.42 Yusuf Qordhawi, 70 tahun Ikhwanul Muslimin (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hal. 175.43 Rahmat, Arus Baru Islam, hal. 36.44 Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna, hal. 138.45 Hasan al-Banna, Majmuatu Rasa’il al-Imam Hasan al-Banna, (Kairo: 1991), 18.

Page 21: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

18

Sebuah persepsi yang salah kalau mengatakan bahwa agama hanya meliputi urusan ritual

ibadah atau nilai-nilai ruhaniyah semata, karena, bagi Hasan al-Banna, agama juga mencakup segala

urusan dunia dan akhirat seperti yang ia pahami melalui al-Qur’an.

Secara eksplisit Hasan al-Banna tidak membicarakan definisi tentang negara, namun ia

memberikan karakteristik terhadap sebuah negara. Ia menyebutkan bahwa jika yang dikehendaki

negara adalah mengentaskan diri dari penjajah, menanamkan kemuliaan dan kebebasan, kesatuan

antar umat walaupun berbeda partai maka ia dan anggota Ikhwan akan menyutujui dan

melazimkannya.

Baginya, negara adalah nilai kesuciannya, rasa ikhlas dalam membangunnya, dan upaya jihad

dalam mencapai kebaikannya. Perasaan ini harus selalu dirasakan bersama-sama. Membangun

negara untuk bisa menjadi maju adalah tanggung jawab semua penduduk negeri tak terkecuali, dan

kuncinya adalah nilai persatuan yang harus terus dijunjung tinggi.

Dalam menjawab isu-isu menganai hubungan agama dan negara, ada beberapa hal yang

diwacanakan oleh Hasan al-Banna antara lain:

a) Khilafah Islamiyah

Bagi Hasan al-Banna, pendirian negara Islam adalah sesuatu yang amatlah penting, karena

menurutnya, Islam telah meletakkan pemerintahan sebagai salah satu rukun-Nya. Seperti apa

yang coba dikembangkan oleh Nabi ketika membentuk pemerintahan yang bernafaskan Islam.

Menurut Hasan, Islam sudah sedemikian komplit dalam menjelaskan prinsip-prinsip kehidupan

baik dalam sistem perundang-undangan perdagangan, hukum pidana dan hubungan kenegaraan.

Namun, ketika Hasan al-Banna mencoba menguraikan pendapatnya mengenai sistem

perundang-undangan negara Mesir yang tidak berlandaskan atas khilafah Islam, ia mengatakan,

walaupun pada kenyataannya secara formal Mesir sebagai negara yang tidak memakai label

negara Islam namun sumber inspirasi dari negara tersebut sudah memakai karakteristik ideologi

negara Islam. Di mana kebebasan terhadap penduduknya, prinsip-prinsip syura, memberikan

kekuasaan terhadap penduduk dan rasa tanggung jawab pemerintahan terhadap seluruh

masyarakat ini juga terinspirasi dari nilai-nilai Islam sekaligus merupakan ciri dari negara Islam itu

sendiri.

Selama negara tersebut mengedepankan sistem-sitem yang bermoral seperti melarang

perjudian, perzinaan, minuman keras maka Hasan al-Banna dan gerakan Ikhwan al-Muslimin

pimpinannya akan selalu mentaati bentuk pemerintahan tersebut. Sebaliknya, jika hal tersebut

sudah dilanggar maka ia dan gerakannya tidak segan-segan menentang hal itu.

Dalam berbagai argumentasi mengenai hal ini, Hasan juga menjelaskan sebab-sebab

kemunduran atau kehancuran negara-negara Islam dalam rangkaian sejarah Islam klasik. Ia

menyebut bahwa hal itu terjadi karena pola pikir pemerintahan saat itu tidak mengindahkan

moralitas yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Kecenderungan dalam pertikaian antara

Page 22: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

19

kepentingan atau politik, prinsip-prinsip materialisme, fanatisme mazhab dan agama, hidup

bermewah-mewah dan bersikap boros, perpindahan pemerintahan dari tangan Arab ke non-

Arab, kurang peka terhadap pentingnya ilmu-ilmu non-Agama, kebohongan para penguasa

terhadap publik adalah faktor-faktor yang menunjang terjadinya kehancuran negara-negara

Islam di masa lalu.

Oleh karena itu, sembari Hasan dan gerakan Ikhwan menyusun strategi ideologis untuk

mendirikan negara Islam di Mesir di masa mendatang maka walaupun sistem pemeritahan saat

itu bukan merupakan bentuk dari khilafah Islam namun jika masih memegang nilai-nilai Islam,

mereka senantiasa mendukungnya.

b) Nasionalisme, Pluralisme dan Sekularisme

Ketika berbicara mengenai nasionalisme, Hasan merasa hal itu sangat penting diaplikasikan.

Akan tetapi nasionalisme yang coba ia kembangkan adalah sebentuk gerakan yang tetap

menjunjung tinggi nilai Islam. Bahwa seyogyanya masa depan masyarakat terletak kepada

kesatuannya, namun bukan kesatuan atau nasionalisme Jahiliyah di mana terdapat maksiat di

mana-mana.

Penyebutan nasionalisme yang dipakai Hasan adalah bukan dengan nasionalisme Firaun atau

nasionalisme Arab. Karena bagi Hasan, tidak ada keutamaan dalam diri setiap muslim kecuali

dengan ketakawaannya. Maka dari itu setiap muslim selalu dituntut untuk selalu berbuat baik

demi agama dan negaranya.

Mengenai pluralisme, secara eksplisit Hasan al-Banna tidak menyebut kata pluralisme yang

dalam bahasa Arab berarti at-ta’addudiyah. Namun, ketika melihat keterangan Hasan al-Banna

mengenai pentingnya memahami dan mengakui adanya perbedaan yang ada, ia secara tegas

menjunjung tinggi hal tersebut. Bagi kesatuan menjadi begitu penting dan perbedaan adalah

sesuatu hal yang lazim karena menurutnya tidak hanya dalam level antar agama namun pada

wilayah pemikiran ke Islaman, hal-hal furu’iyah (cabang-cabang pembahasan agama contoh fikih

dll) banyak mewarnai pemikiran umat Islam. Dan itu harus diakui.

Di samping itu, kapasitas berpikir tiap individu adalah berbeda-beda oleh karenanya

penyerapan terhadap dalil-dalil agama tentunya berbeda-beda pula. Maka dari itu, Hasan

menekankan pentingnya memahami bentuk-bentuk perbedaan itu sebagai rahmat bagi semua.

Hasan al-Banna juga menolak dengan ideologi sekularisme Barat. Baginya, apa yang dicita-

citakan oleh Barat melalui sekularisme hanya akan memasung prinsip moralitas yang dibangun

atas kesadaran keberagamaan inidividu.

Page 23: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

20

3.4. KONSEP BERNEGARA DALAM RISALAH NIZHAMUL HUKM

Dalam risalah Nizhamul Hukm, al-Banna membagi tiang-tiang penyangga pemerintahan Islam

ke dalam tiga pilar yaitu :

1) Tanggung Jawab Pemerintah

Yang dimaksud dengan tanggung jawab pemerintah adalah bahwasannya dalam

menjalankan tugasnya pemerintah bertanggung jawab kepada Allah dan rakyatnya. Ia adalah

pelayan dan pekerja bari rakyat yang menjadi tuannya. Rasulullah SAW bersabda “Setiap kalian

adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya”.

Al Banna Mengutip pernyataan Abu Bakar ra “ Wahai sekalian manusia, aku dulu bekerja

untuk keluargaku. Akulah yang menghasilkan makan buat mereka. Namun, kini aku bekerja untuk

kalian, maka bayarlah aku dari Baitul Maal kalian”. Selanjutnya ia menerangkan bahwasannya

ungkapan tersebut memberikan penafsiran paling baik dan paling adil terhadap teori kontrak

sosial antara pemerintah dan rakyatnya. Bahkan Abu Bakar ra telah meletakkan dasar-dasarnya

bahwa kontrak antara rakyat dengan pemerintah adalah sama-sama terikat untuk memelihara

kepentingan bersama. Jika ditunaikan dengan sebaik mungkin ia berhak mendapat pahala.

Sebaliknya jika tidak, sanksi hukuman telah siap menanti.46

Pengertian ini bersesuaian dengan teori perjanjian dalam ilmu negara, yang membahas

tentang mengapa manusia bersepakat untuk membuat suatu perjanjian bersama untuk

membentuk suatu masyarakat untuk membentuk suatu negara, ada beberapa teori terkait

perjanjian ini47:

dimulai dari teori yang berasal dari Cicero yang lingkupnya sangat perdata sekali,

bahwasannya negara itu dibentuk untuk melakukan hak milik oleh karena itu diadakan

perjanjian yang sifatnya timbal balik.

teori Hobbes, bahwasanya perjanjian tersebut dilakukan karena kekhawatiran pada tiap

manusia/individu yang mendorong mereka untuk melakukan suatu perjanjian penyerahan

kekuasaan (pactum subjectionis) kepada yang lebih dari mereka sehingga rasa takut mereka

akan hilang.

Teori dari John Locke dimana perjanjian di lakukan untuk melindungi hak-hak azasi setiap

orang dan diperlukan adanya suatu perjanjian penyerahan kekuasaan. Dan badan yang

diserahkan kekuasaan tersebut haruslah netral untuk menjamin kepentingan semua orang.

Teori John Locke ini membenarkan sistem monarki/ kerajaan.

Teori dari Rosseau yang dengan perjanjian masyarakat tersebut hendak mencegah atau

menghapuskan sama sekali kekuasaan yang mutlak dari raja.

46 Hassan Al-Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hassan Al-Banna jilid 2, I’tishom Cahaya Ummat, cet 1, BabRisalah Nizhmul Hukam, hal. 71-7247 Ilmu Negara, kuliah-kuliah Padmo Wahjono, SH, Ind Hill Co, hal. 82-88

Page 24: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

21

Semua teori di atas adalah teori yang dibuat untuk membenarkan penguasa pada zaman

mereka, kecuali Rosseau yang justru ingin membatasi. Dalam konsep Islam yang murni, tanpa

terkontaminasi pemikiran-pemikiran barat di atas. Penyerahan kekuasaan melalui perjanjian

(yaitu dengan bai’at) justru telah terjadi dengan nyata / konkrit. Dan terdapat kaidah-kaidah

langsung dari syariat yang mengatur bagaimana ketaatan yang seharusnya dilakukan. Hal inilah

yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Quranul Azhim ketika menafsirkan ayat 59 Surat

An-Nisaa tentang keharusan menaati Allah, menaati rasulNya dan Ulil Amri. Bahwasannya tidak

ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khaliq, taat dalam hal yang ma’ruf.

Dalam tafsir tersebut Ibnu Katsir menjelaskan asbabun nuzul dari ayat ini terkait dengan

Abdullah bin Hudzaifah bin Qais bin Adi tatkala ia diutus oleh Rasulullah SAW dalam suatu

pasukan. Dimana pemimpin pasukan tersebut memerintahkan pasukannya untuk mentaati

perintahnya untuk masuk ke dalam api yang dibakar di atas kayu bakar. Kemudian pemuda yang

berada di pasukan tersebut enggan mentaatinya kecuali setelah menanyakan kepada Rasulullah,

maka Rasulullah mengatakan “apabila kalian memasukinya niscaya kalian tidak pernah keluar lagi

untuk selama-lamanya, sesungguhnya ketaatan itu hanya mencakup kema’rufan”, hadits

tersebut terdapat dalam shahihain.48

Pemaparan di atas menjelaskan bahwa terjadinya penyerahan kekuasaan melalui perjanjian

(bai’at) dari rakyat kepada penguasa / pemerintah, tidaklah membenarkan kesewenangannya,

justru ia terikat oleh tanggung jawab, terhadap pihak yang memberikan bai’at untuk melayani

mereka, dan bagi yang telah memberikan urusan dirinya (yang berbai’at) maka ia hanya terikat

ketaatan selama hal tersebut tidak melanggar hal-hal yang ma’ruf. Apabila diperintahkan untuk

melakukan kerusakan maka boleh untuk tidak taat dan berlepas diri dari hal tersebut. Inilah yang

dimaksud oleh al-Banna sebagai penafsiran yang paling baik terhadap teori kontrak sosial.

2) Kesatuan Ummat

Kemudian yang dimaksud al-Banna dengan kesatuan ummat adalah bahwasannya

pemerintah dalam bertindak dan mengambil kebijakan haruslah menjaga kesatuan ummat.

Bukan justru diartikan sebagai semuanya harus mengikuti apapun kata penguasa / elit tanpa

reserve. Karena dalam Islam justru terdapat praktek memberi nasihat amar ma’ruf nahi munkar.

al-Banna mengutip hadits Rasulullah49:

48 Muhammad Nasib Ar-Rifai’, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, Gema Insani Press, hal.73949 Hassan Al-Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hassan Al-Banna jilid 2, I’tishom Cahaya Ummat, cet 1, BabRisalah Nizhmul Hukam, hal. 74

Page 25: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

22

Rasulullah bersabda “Agama itu nasihat” mereka bertanya bagi siapa wahai Rasulullah ?”

Beliau menjawab, “Bagi Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan

kalangan umum mereka”

“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang berdiri di

hadapan pemimpin durjana dengan memerintahnya (berbuat ma’ruf) dan melarangnya (dari

perbuatan mungkar), kemudian ia dibunuh”

Dalam penjelasan mengenai kesatuan ummat ini al-Banna juga menjelaskan mengenai

perbedaan, bahwasannya tidak ada perbedaan prinsip / hal yang pokok dalam Islam, tetapi

dalam hal-hal yang sifatnya cabang (furu’) perbedaan itu diperbolehkan dengan tetap menjaga

bingkai persatuan. al-Banna mengatakan “ Yang ada adalah keharusan risat, kajian, musyawarah,

dan saling menasihati. Jika termasuk pada hal yang telah dinashkan maka pintu ijtihad tertutup.

Sedangkan bila tidak dinashkan, maka keputusan pemerintah harus menyatukan umat. Namun

ketentuan kedua terlaksana setelah ketentuan pertama.”50

3) Sikap Menghargai Aspirasi Rakyat

Mengenai menghargai aspirasi rakyat, al-Banna menjelaskan, “Di antara hak umat Islam

adalah mengawasi roda pemerintahan sedetail mungkin dan aktif bermusyawarah berkenaan

sesuatu yang dipandang baik. Sedangkan kewajiban pemerintah adalah bermusyawarah dengan

rakyat, menghargai aspirasinya, dan mengambil masukan-masukan yang baik. Allah swt. telah

memerintahkan kepada pemerintah agar melakukan hal itu “Dan bermusyawarahlah dengan

mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran : 159). Bahkan, Allah memuji kaum muslimin yang mau

bermusyawarah sebagai muslimin yang baik. “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan

musyawarah di antara mereka” (Asy-Syura : 38)

Masalah ini juga ditegaskan Sunnah Rasulullah SAW dan Khaulafur Rasyidin. Di mana ketika

muncul suatu masalah, mereka mengumpulkan para ahli dari kaum muslimin, bermusyawarah,

dan mengambil pendapat yang benar dari mereka. Lebih dari itu, para khalifah mengajak dan

menganjurkan kaum muslimin untuk (berpegang) pada pendapat yang benar tadi. Abu Bakar

Ash-Shiddiq berkata, “Jika kalian melihat aku di atas kebenaran, maka dukunglah (untuk

melaksanakannya), dan jika kalian melihatku dalam kebatilan, maka betulkan dan luruskanlah.”

Umar bin Khatthab berkata “ Siapa saja yang melihatku menyimpang, maka luruskanlah.”

Prinsip di atas sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat demokrasi, atau lebih tepat dikatakan

bahwa konsep demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang

dikatakan oleh Abraham Lincoln, adalah bersesuaian dengan nilai-nilai Islam yang mengatur

tentang masalah ini. Dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara

50 Ibid, hal. 74

Page 26: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

23

langsung oleh mereka, atau oleh wakil mereka yang terpilih dalam sistem pemilu yang bebas.

Karenanya sistem ini, meniadakan kekuasaan yang bersifat autokrasi, otoritarian, zalim, diktator,

tirani, totalitarian, monarki, oligarki, plutokrasi, aristokrasi, dan kesultanan.51 Hanya saja terjadi

perbedaan pendapat ketika menafsirkan kekuasan tertinggi berada di tangan Allah, padahal

Islam hanya memberikan hak tasyri’ hanya di tangan Allah semata, bukan di tangan rakyat.

Terhadap masalah itu maka kita harus memandang bahwasannya demokrasi haruslah

dipandang bukan sebagai konsep yang ideal, bahwasannya memang haram bagi rakyat untuk

melakukan perbuatan mengganti syariat. Namun justru konsep bahwasannya pemerintah harus

memperhatikan aspirasi dari rakyat adalah suatu hal yang memang diatur dalam Islam. Oleh

karena itu demokrasi sebenarnya dapat saja berjalan dalam suatu masyarakat Islam yang benar

dalam artian demokrasi tersebut dijalankan oleh masyarakat yang berhukum dengan hukum

Allah, sehingga ketika mereka menyelenggarakan kekuasaan di tangan mereka yang menjadi

pijakan adalah hukum Allah/syariat Islam. Inilah juga yang menjadi pijakan dalam fatwa Dr.Yusuf

Al-Qaradhawi tentang Islam dan demokrasi:

“Perlu diingat bahwa kita sedang membicarakan demokrasi dalam masyarakat muslim, yang

mayoritas adalah orang-orang yang mengerti dan mengetahui, beriman dan bersyukur. Kita tidak

sedang membicarakan masyarakat ateis atau masyarakat yang telah tersesat dari jalan Allah”52

Atau dapat juga dikatakan bahwa demokrasi disini adalah demokrasi secara prosedural saja.

Yang diutamakan dari prinsip yang terakhir ini adalah bagaimana penguasa wajib memperhatikan

aspirasi rakyat, dan rakyat pun berhak untuk meluruskan penguasa. Karena sesungguhnya

pemerintahan tirani tidak hanya lahir dari kemauan mereka sendiri melainkan dari kondisi

rakyatnya juga yang tunduk kepada mereka dan tidak melakukan fungsi kontrol atas

pemerintahan mereka.

Sesungguhnya ketentuan-ketentuan di atas tidak akan terpenuhi juga apabila ummat Islam

tidak memiliki pemahaman dan penghayatan yang baik mengenai nilai-nilai Islam, hal ini terkait

dengan keimanan. Oleh karena itu al-Banna sendiri mengingatkan bahwasannya hal tersebut

(ketiga kaidah d atas) tidak dapat terpelihara tanpa kehadiran nurani yang selalu terjada dan

perasaan yang tulus akan kesucian akan ajaran ini. Dalam bagian awal risalah Nizhamul Hukam

al-Banna telah menegaskan

“Daulah Islamiyah tidak akan tegak kecuali berdiri di atas pondasi dakwah, sehingga ia

menjadi negara risalah bukan hanya sekedar bagan struktur dan bukan pula pemerintahan yang

51 Nashir Fahmi, Menegakkan Syariat Islam Ala PKS, Era Intermedia, hal 2952 Dr. Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2, Gema Insani Press, hal 934

Page 27: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

24

materialistis, yang jumud, pasif, tanpa ruh di dalamnya. Demikian Pula dakwah tidak mungkin

tegak kecuali jika ada jaminan perlindungan yang akan menjaga, dan mengokohkannya.53

Maksud dari perkataan ini adalah bahwasanya ketiga kaidah yang disebutkan di atas haruslah

disokong oleh pemahaman dan penghayatan Islam yang benar dari tiap individu, sebagaimana

sistem yang benar juga akan mendukung setiap individu untuk memahami dan menghayati Islam

secara benar.

Kaidah-kaidah yang disebutkan oleh al-Banna sebenarnya makin menegaskan bahwasannya

konsep bernegara dalam Islam sangat jauh dari kediktatoran. sebaliknya ia justru merupakan

sistem yang sangat terbuka yang menghargai aspirasi rakyat, dan pemerintah memiliki tanggung

jawabnya sendiri, di dunia maupun di akhirat, atas amanah kepemimpinan tersebut. Hal ini juga

menegaskan bahwa Islam tidak sejalan dengan sistem Teokrasi dimana raja/penguasa dianggap

sebagai wakil Tuhan di muka bumi, namun justru mengedepankan prinsip supremasi hukum,

dengan hukum Allah sebagai hukum satu-satunya dan yang tertinggi. Sedangkan hukum Allah

(yang terdapat dalam al-Quran dan sunnah) itu sendiri melarang penguasa bertindak sewenang-

wenang, dan memberikan ruang yang luas bagi partisipasi rakyat mengontrol dan memberi

masukan kepada pemerintahan, disamping mewajibkan mereka untuk mendukung hal-hal yang

ma’ruf.

Mengutamakan Prinsip Dibandingkan Bentuk

Al-Banna mengatakan dalam Nizhamul Hukam, “Sistem Islam dalam makna ini tidak

mementingkan bentuk atau nama. Selama kaidah-kaidah pokok tadi terealisasikan, di mana tidak

mungkin suatu hukum akan tegak tanpanya dan selama diterapkan secara tepat hingga dapat

menjaga keseimbangan yang masing-masing bagian tidak mendominasi bagian yang lain ....”54

Pendapat al-Banna ini menegaskan bahwasannya yang harus menjadi patokan adalah kaidah-

kaidah dalam menjalankan negara / aktivitas pemerintahan, bukanlah bentuk formal dari praktek

kenegaraan Islam yang pernah dijalankan di masa terdahulu seperti kesultanan, kerajaan, ataupun

kekhalifahan. Walaupun sebenarnya al-Banna menetapkan standar yang berbeda untuk masalah

kekhalifahan, bahkan ia menjadikan khilafah adalah sesuatu yang harus diperjuangkan oleh seluruh

ummat Islam.

Pandangan Terhadap Sistem Pemerintahan Modern

Setelah memberikan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam ke tatanegaraan Islam,

maka al-Banna lalu mengalihkan pembahasannya kepada sistem pemerintahan modern yang

53 Hassan Al-Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hassan Al-Banna jilid 2, I’tishom Cahaya Ummat, cet 1, BabRisalah Nizhmul Hukam, hal 7054 Ibid, hal. 70

Page 28: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

25

diterapkan di Mesir. Hal ini merupakan suatu langkah untuk membuat suatu formulasi yang mudah

diterima agar konsep-konsep Islam tersebut dapat berhadapan dengan realita yang terjadi, sambil

memberikan solusi tentang apa yang seharusnya dilakukan. Pendekatan seperti ini adalah

pendekatan yang telah diklasifikasikan oleh John L. Esposito sebagai pendekatan revivalis /

modernisasi Islam sebagaimana telah dibahas di awal tulisan ini. Adapun dalam risalah nizhamul

hukam al-Banna memberikan pandangan terhadap Sistem Pemerintahan Parlementer, Konstitusi /

Undang-Undang Dasar (khususnya Undang-Undang Dasar Mesir), Sistem Kepartaian, dan Pemilu.

Pandangan al-Banna adalaha sebagai berikut :

1) Sistem Pemerintahan Parlementer

Dalam pandangannya yang tersebar di beberapa risalah yang ditulisnya al-Banna

memberikan kompromi terhadap berbagai sistem pemerintahan modern asalkan sistem tersebut

bersesuaian dengan kaidah-kaidah Islam. Terhadap sistem pemerintahan parlementer ini (yang

ketika itu diterapkan di Mesir), dalam risalah nizhamul hukam al-Banna mengatakan:

“Seorang pakar hukum perundang-undangan mengatakan bahwa sistem parlementer tegak

di atas pondasi tanggung jawab pemerintahan, kedaulatan rakyat dan penghargaan terhadap

aspirasi mereka. Dalam sistem parlementer, tidak ada yang menghalangi persatuan dan kesatuan

umat. Perpecahan dan konflik bukan termasuk prasyarat di dalamnya, kendati sebagian orang

mengatakan bahwa salah satu tiang penyangga sistem parlementer adalah sistem kepartaian.

Namun walaupun kepartaian telah menjadi tradisi, akan tetapi ia bukan merupakan pondasi bagi

tegaknya sistem ini. Sebab sangat mungkin sistem parlemen dipraktikkan tanpa adanya parta,

dan tanpa keluar dari kaidah-kaidah aslinya.

Atas dasar ini, tidak ada kaidah-kaidah sistem parlementer yang bertentangan dengan

kaidah-kaidah yang digariskan dalam Islam dalam menata pemerinthahan. Itu berarti sistem

parlemen tidak begitu jauh melenceng dan tidak asing bagi sistem Islam ....”55

Dari pemaparan di atas al-Banna tampak memberikan komprominya terhadap sistem

pemerintahan parlementer yang berjalan di Mesir pada saat itu. Namun ia juga memberikan

prasyarat yang bersumber dari tiga kaidah yang diberikannya di awal risalahnya, dan mengkritisi

sistem kepartaian yang dilaksanakan dalam sistem pemerintahan parlementer / modern, yang

mengakibatkan perpecahan.

Mengenai kekuasaan eksekutif, al-Banna mengatakan kaidah-kaidah kekuasaan eksekutif

(kabinet) dalam sistem pemerintahan parlementer juga tidak bertentangan dengan Islam.

Bahwasannya Kepala Negara dalam Islam berhak mendelegasikan tugas dan wewenangnya

kepada organ / lembaga apapun. Dalam sistem parlementer, Kepala pemerintahan dijalankan

55 Ibid Ibid, hal. 82

Page 29: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

26

oleh perdana menter yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen, di sisi lain

parlemen bertanggung jawab kepada Presiden / kepala Negara.

Dalam konsep Islam di masa lalu pendelegasian ini disebut dengan wizaratut tafwidh, ia juga

mengutip penjelasan dari al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah, mengenai sistem

pemerintahan parlementer ini yang mendasarkan bolehnye pendelegasian pada firman Allah

mengenai permohonan nabi Musa as, “dan jadikanlah untukku seorang pembantu (menteri) dari

keluargaku (yaitu) Harun saudaraku. Teguhkanlah dia dengan kekuatanku, dan jadikanlah ia

sekutu dalam urusanku”(Thaha : 29-32)56

2) Konstitusi / Undang-Undang Dasar

Demikian pula ketika menanggapi konstitusi / UUD Mesir, maka sikap al-Banna menjadikan

tiga pilar yang telah ia tentukan sebagai patokan untuk menilai baik buruknya. Setelah menilai

sistem parlementer ia memberikan penilaian tentang UUD ini:

“Atas premis ini (setelah membahas sistem parlementer) dapat kita katakan dengan mantap

bahwa kaidah-kaidah dasar yang menjadi tupuan UUD Mesir tidak bertentangan (dengan Islam).

Bahkan para tokoh yang menggodok UUD Mesir, walaupun bersandar pada prinsip-prinsip

kontemporer dan teori perundang-undangan mutakhir, mereka sangat begitu hati-hati agar tidak

da satu butir pun dari undang-undang yang bertentangan dengan kaidah Islam. Ada yang secara

tegas tersurat sesuai dengan kaidah Islam seperti butir yang mengaakan “Agama Resmi Negara

adalah Islam”. Adapula yang tersirat dan terbuka untuk ditafsirkan, namun dijamin tidak

bertentangan dengan kaidah Islam, seperti butir Undang-undang (dasar) yang berbunyi

“Kebebasan berkeyakinan itu dijamin undang-undang”.57

Di bagian lain dari risalah nizhamul hukam ini al-Banna memberikan kritikannya terhadap

UUD Mesir, yang isinya mengenai kontradiksi-kontradiksi isi pasal dengan pasal lain, maupun isi

pasal tertentu dengan sistem yang dianut dalam sistem pemerintahan parlementer yang berjalan

di Mesir. Terlihat bahwasannya al-Banna telah selesai dengan pembahasan benar tidaknya

sistem konstitusional dalam pandangan Islam, ia justru menyelami, dalam pembahasannya,

tentang apa yang harus diperbaiki dari UUD Mesir, yang artinya ia sendiri telah menerima

penggunaan UUD.

Bila dilihat dari ilmu perundang-undangan modern maka pandangan al-Banna ini hampir

sejalan dengan teori perundang-undangan modern seperti Stufentheorie dari Hans Kelsen, yang

menerangkan bahwa norma hukum itu bertingkat-tingkat, dan dalam tingkatan yang paling atas

56 Ibid, hal. 8457 Ibid, hal. 82-83

Page 30: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

27

berhenti pada Gerund Norm. Begitu pula dengan teri dari Hans Nawiasky yang membagi jenjang

norma hukum menjadi empat tingkatan yaitu58:

Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) Staatsgrundgezets (Aturan Pokok Negara) Formal Gesetz (Undang-undang formal) Verordnung & Autonomr Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom)

Dimana kedua teori tersebut menjadikan norma dasar / gerundnorm atau norma

fundamental negara / staatsfundamental norm sebagai sebuah norma tertinggi yang memang

sudah ditetapkan oleh masyarakat sebagai norma yang menjadi dasar bagi norma-norma

dibawahnya. Hanya saja keduanya mengasumsikan nilai ini sebagai hasil dari pemikiran

masyarakat, bahkan Nawiasky mengatakan nilai-nilai ini dapat berubah karena peristiwa

tertentu.59

Apa bila dilihat dari kajian kemasyarakatan memang demikian adanya bahwasannya suatu

norma yang berlaku di masyarakat tergantung dari pemikiran masyarakat itu sendiri. Hal ini

sebenarnya tidak bertentangan dengan sunatullah yang telah Allah tetapkan, oleh karena itu

manusia diberikan pilihan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an “Apakah hukum jahiliyah yang mereka

kehendaki, dan (hukum) siapa yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang

yakin ?” (Al-Maidah: 50). Dan bagi setiap mukmin dikenai kewajiban fardhu kifayah untuk

berdakwah menyebarkan konsep Islam. Dalam masyarakat Islam, apabila mereka memahami

Islam dengan benar sudah jelas bahwa Gerundnorm ataupun staatsfundamental norm dalam

negara Islam adalah syariat itu sendiri.

Kembali kepada pemikiran al-Banna, pada dasarnya bila dibandingkan dengan dua teori

perundang-undangan modern di atas maka al-Banna menempatkan syariat Islam/ Islam sebagai

norma dasar bahkan mencapai tingkat yang lebih rendah yaitu aturan pokok negara,

sebagaimana kaidah-kaidah di UUD Mesir yang disinggungnya.

3) Sistem Kepartaian

Sistem kepartaian adalah sistem yang paling ditentang al-Banna dalam pemikiran-

pemikirannya hal ini karena ia beranggapan dengan adanya sistem kepartaian, terutama yang

membuka kesempatan bagi banyak partai untuk muncul, hanya akan memunculkan

pertentangan dan perpecahan di masyarakat. al-Banna justru mengambil contoh dari sistem

kepartaian di Amerika yang membatasi hanya dua partai di pemilu (yaitu demokrat dan republik),

ia mengatakan:

58 Maria Farida Indrawati, jilid 1 Ilmu Perundang-undangan, cet 1 tahun 2007, penerbit kanisius, hal. 41-45.59 Ibid, hal. 41-45.

Page 31: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

28

“Di Amerika Serikat pun demikian, hanya ada dua partai yang gaungnya tidak kita dengar

kecuali saat musim pemilu, tidak ada fanatisme partai atau perpecahan karena partai. Sejarah

membuktikan, di negara-negara yang iklim kepartaiannya terlalu ekspansif dan selalu berambisi

membentuk partai baru, selalu mengalami suasana perang dan damai yang datang berganti.

Perancis (pada masanya, pen) adalah contoh yang paling tepat.”60

al-Banna lalu mengkritik partai-partai di Mesir yang dalam pandangannya hanya berorientasi

kepada kekuasaan tapi tidak memberikan platform yang jelas mengenai Mesir. Poin inilah yang

dikritik al-Banna. Tampak bahwa yang dimaksud beliau adalah sistem kepartaian yang terjadi di

Mesir pada saat itu. Dalam risalah yang sama ia mengatakan:

“Pada kenyataannya partai-partai di Mesir bukanlah partai sebagaimana yang dikenal

berbagai negara di dunia. Ia tidak lebih dari sekedar rentetan konflik yang ditimbulkan oleh

perbedaan pendapat individual di tengah umat ini, yang pada suatu ketika mereka terkondisi

untuk berbicara atas nama partai dan menuntut hak-haknya dengan mengatas namakan

nasionalisme.”61

Miriam Budiharjo memberikan definisi yang ideal tentan partai politik yaitu “Suatu kelompok

yang terorganisisr yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang

sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kedudukan politik –(biasanya) dengan cara

konstitusionil– untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka”.62

Definisi di atas yang tidak tampak dalam analisa al-Banna, hal ini mungkin karena sistem

kepartaian pada saat itu justru tidak mengakomodir aspirasi dari masyarakat Mesir, malah justru

memecah belah masyarakat untuk mengikuti kemauan partai-partai yang ada, dan menimbulkan

konflik kepentingan.

4) Pemilu

Mengenai Pemilu, al-Banna menganalogikan sistem pemilu sebagai sebuah cara untuk

memilih wakil rakyat, dan merupakan salah satu bentuk dari penghargaan atas aspirasi rakyat.

Dalam hal ini ia menyamakan bahwasannya kedudukan wakil rakyat ini sebagai ahlu halli wal

‘aqdi, hanya saja untuk keperluan memilih ahlu halli wal ‘aqdi maka harus memiliki kriteria-

kriteria tertentu. Diantaranya:

Ahli fiqih dengan standar mujtahid di mana pendapat-pendapat mereka dalam fatwa danistinbath hukum diperhitungkan umat

Pemilik skill, pengalaman, pakar dan kemampuan dalam urusan publik

60 Hassan Al-Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hassan Al-Banna jilid 2, I’tishom Cahaya Ummat, cet 1, BabRisalah Nizhmul Hukam, hal 9261 Ibid, hal 9362 Prof Abdul Bari Azed SH MH dan Makmur Amir SH MH, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, hal 32-33

Page 32: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

29

Para tokoh kharismatik yang memiliki komando dan kepemimpinan di tengah masyarakat,seperti tetua suku, tokoh masyarakat, dan pemimpin organisasi

Permasalahan ini sebenarnya permasalah yang banyak dibahas dalam permasalahan pemilu

kontemporer yaitu diperlukannya kriteria-kriteria untuk calon wakil rakyat yang akan dipilih di

pemilu. al-Banna pun mengkritik sistem pemilu di Mesir, mulai dari kualitas kerja KPU Mesir,

hingga amandemen UU Pemilu mesir untuk membuat kriteria calon yang pantas, aturan main

dan rambu-rambu kampanye yang jelas, pelaksanaan yang baik, sanksi yang berat bagi setiap

pelanggaran. Hanya saja al-Banna justru menyarankan agar pemilihan calon dengan

menggunakan gambar (partai) bukan memilih orang, maksud al-Banna adalah agar ketika mereka

berhadapan dengan konstituen yang mereka perjuangkan bukanlah kepentingan pribadi mereka,

namun kepentingan umum yang diartikulasikan melalui program partai politik mereka ataupun

kelompok mereka. Bila melihat pada maksud al-Banna ini maka mengarah pada pengertian ideal

menganai partai politik yang diberikan oleh Miriam Budiharjo.

3.5. LIMA BABAK KEBANGKITAN UMATDalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa, kebangkitan dan kemajuan adalah sebuah

keniscayaan yang mesti diyakini. Namun, kelemahan yang sedang mengungkung suatu bangsa

seringkali memicu keputusasaan sehingga bayang-bayang ketidakpastian dan kemustahilan menjadi

begitu kuat. Realitas kejiwaan masyarakat inilah yang ingin didobrak oleh Hasan al-Banna, dengan

salah satu ungkapannya: “Inna haqaiqa al-yaumi hiya ahlamu al-amsi, wa ahlama al-yaumi haqaiqu

al-ghadi (Sesungguhnya kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari ini akan menjadi

kenyataan esok hari).”

Di atas keyakinan ini, Hasan al-Banna menyodorkan perpektif baru dalam menatap

kebangkitan. Bahwa, kehancuran material adalah indikasi fenomenalogis yang zhahir dari kelemahan

suatu bangsa, sementara akar penyebab kelemahan yang sebenarnya ada pada kehancuran jiwa

masyarakatnya. Ini yang secara kuat dicemaskan oleh Abul Hasan An-Nadwi dengan ucapannya,

“Kemanusiaan sedang ada dalam sakratul maut.” (Abul Hasan An-Nadwi, Madza Khasira al-Alam bi

Inkhithathi al-Muslimin , 1969). Bahkan, kecemasan dunia modern yang digjaya seperti Amerika

misalnya, juga terletak di sini. Laurence Gould pernah mengingatkan publik Amerika, “Saya tidak

yakin bahaya terbesar yang mengancam masa depan kita adalah bom nuklir. Peradaban AS hancur

ketika tekad mempertahankan kehormatan dan nilai-nilai moral dalam hati nurani warga kita telah

mati.” (Hamilton Howze, The Tragic Descent: America in 2020 , 1992).

Dari pemahaman inilah, Hasan al-Banna menyimpulkan bahwa pilar kekuatan utama untuk

bangkit adalah kesabaran (ash-shabru), keteguhan (ats-tsabat), kearifan (al-hikmah), dan ketenangan

(al-anat) yang kesemuanya menggambarkan kekuatan kejiwaan (al-quwwah an-nafsiyah) suatu

Page 33: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

30

bangsa. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah

kondisi kejiwaannya”; (QS. 13:11).

Transisi politik merupakan titik-berangkat (muntholaq) untuk membangun kembali umat.

Kepada para pelaku perubahan (anashir at-taghyir), Hasan al-Banna mengingatkan dua pandangan

dasar (an-nadhoriyah al-asasiyah) yang mesti dipegang teguh. Pertama, sekalipun jalan ini sangat

panjang dan berliku, tetapi tidak ada pilihan lain selain ini. Kedua, bahwa seorang pekerja pertama

kali harus bekerja menunaikan kewajibannya, baru kemudian boleh mengharap hasil kerjanya.

Dalam proses pembangunan kembali umat, Hasan al-Banna menyimpulkan adanya lima

babak yang akan dilalui. Kesimpulan ini berangkat dari analisa sejarah perjalanan bangsa-bangsa dan

upaya memahami arahan-arahan Rabbani (taujihat rabbaniyah). Apa kelima babakan itu?

1) Kelemahan (adh-dho fu).

Faktor utama kelemahan adalah terjadinya kesewenang-wenangan rezim kekuasaan yang

tiranik. Kekuasaan inilah yang memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan

memberangus potensi-potensi kebaikannya dengan dalih kepentingan kekuasaan.

“Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan

penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, membunuh anak laki-

laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun

termasuk orang yang membuat kerusakan.” (QS. 28:4) Itulah sebabnya tujuan pertama transisi

politik menurut al-Banna adalah membebaskan umat dari belenggu penindasan dalam kehidupan

politik.

2) Kepemimpinan (az-zuaamah)

Sejarah perubahan menunjukkan bahwa upaya bangkit kembali dari kehancuran

membutuhkan seorang pemimpin yang kuat. Kepemimpinan ini mesti muncul pada dua wilayah,

yaitu pemimpin di tengah-tengah masyarakat (az-zuaamah ad-da wiyah) yang menyeru kepada

kebaikan dan pemimpin pemerintahan (az-zuaamah as-siyasiyah) yang sejatinya muncul atau

menjadi bagian dari mata rantai barisan penyeru kebaikan itu. “Allah telah berjanji kepada orang-

orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan

menjadikan mereka berkuasa di muka bumi quot; (QS. 24:55). Ini artinya kekuatan-kekuatan

Islam mesti mempersiapkan diri secara sistematis, sehingga masa transisi politik menjadi

kesempatan untuk meneguhkan kepemimpinan dakwah dan untuk meraih kepemimpinan politik.

Inilah tantangan sekaligus rintangan terberat kaum muslimin pada hari ini.

3) Pertarungan (ash-shiraa u)

Ketika suatu bangsa memasuki masa transisi politik, al-Banna mengingatkan akan muncul

dan maraknya berbagai kekuatan ideologis yang lengkap dengan tawaran sistem dan para

Page 34: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

31

penyerunya. Akan terjadi kompetisi terbuka untuk menanamkan pengaruh, meraih dukungan

dan memperebutkan kekuasaan.

Ada dua karakter dasar ideologi-ideologi kuffar. Pertama, secara hakiki ia berlawanan dengan

ideologi Islam. Dan kedua, untuk menjamin eksistensinya di muka bumi, ideologi-ideologi kuffar

itu akan berupaya menghancurkan ideologi Islam. Pertarungan terberat adalah pada upaya untuk

membebaskan diri dari mentalitas, sikap, perilaku dan budaya yang sudah terkooptasi oleh

ideologi materialisme-sekuler. Pertarungan ini tidak bisa dimenangkan dengan kekuatan senjata,

tetapi dengan bangunan keimanan baru yang memantulkan izzah (harga diri) umat di hadapan

peradaban-peradaban kuffar.

4) Iman (Al-Iman)

Pertarungan ideologi di fase transisi menuju kebangkitan adalah masa-masa ujian berat bagi

umat. Pertarungan akan memunculkan dua golongan manusia. Pertama, mereka yang tidak

istiqamah dengan cita-cita Islam dan menggadaikan perjuangannya demi keuntungan-

keuntungan material. Perjuangan bagi mereka adalah bagaimana mengumpulkan sebanyak-

banyaknya perhiasan dunia sesuatu yang tidak mereka miliki sebelumnya. Golongan kedua,

adalah mereka yang istiqamah dan iltizam dengan garis dan cita-cita perjuangan. Besarnya

kekuatan musuh justru menambah keimanan mereka dan semakin mendekatkan diri mereka

kepada Allah. Inilah golongan yang sedikit, tapi dijanjikan kemenangan oleh Allah. Proses

kebangkitan umat tidak akan berjalan tanpa keberadaan mereka; orang-orang yang akan

menorehkan garis sejarah panjang perjuangan yang diliputi berbagai keistimewaan dan

keajaiban.

5) Pertolongan Allah (Al-Intishar)

Inilah hakikat kemenangan bagi umat, yaitu ketika Allah swt. telah menurunkan

pertolongannya untuk mencapai kemenangan sejati. Kemenangan tidak semata diukur oleh

terkalahkannya musuh. Tetapi, kemenangan adalah ketika tangan-tangan Allah ikut bersama kita

menghancurkan seluruh kekuatan musuh. Inilah awal tumbuhnya kehidupan baru di mana Allah

akan menerangi dengan cahayaNya dan Allah akan menaungi kehidupan umat dengan

Keperkasaan dan Kasih-sayangNya. Di sinilah pembalikan keadaan (tabdil) dalam kehidupan akan

terjadi. Kemakmuran, keamanan, kedamaian dan keadilan akan menjadi nikmat yang bisa dimiliki

setiap makhluk yang mendiami negeri itu. “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu

kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang

telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmatNya atasmu dan memimpin kamu

kepada jalan yang lurus dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang besar.” (QS. Al-

Fath: 1-3)

Page 35: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

32

BAB IVKESIMPULAN

Pemikiran Hassan al-Banna dapat digolongkan sebagai pemikiran revivalis/modernisme Islam

yang merupakan respon dari kemerosotan ummat Islam dan merajalelanya imperialisme barat pada

waktu itu. John L. Esposito menggolongkan modernisme Islam sebagai sebuah pemikiran yang

menyatakan perlunya reformasi Islam. Pemikiran ini menyalahkan kemerosotan internal masyarakat

muslim, impotensi, kemunduran mereka, serta ketidakmampuan mereka untuk menjawab tantangan

kolonialisme Eropa dengan cara taklid (mengikuti sepenuhnya tanpa pemahaman) buta kepada masa

lalu. Para reformis ini menekankan pada semangat, keleturan, dan keterbukaan yang menjadi ciri

khas awal perkembangan Islam.

Modernisme Islam adalah suatu proses otokritik internal, suatu perjuangan untuk

mendefinisikan kembali Islam guna menunjukkan relevansinya dengan situasi-situasi baru yang

melingkupi muslim ketika masyarakat mereka dimodernisasikan. Tokoh dari pemikiran ini di

antaranya adalah Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang tersohor yaitu Muhammad Abduh lalu

diteruskan oleh Rasyid Ridla.63 Nama yang terakhir ini yang memiliki pengaruh langsung pada Hassan

al-Banna, dikarenakan majelis-majelisnya yang dihadiri oleh Hassan al-Banna, dalam sejarahnya

majalah Al-Manar yang dipimpin oleh Rasyid Ridha ini diserahkan pengelolaannya kepada al-Banna,

setelah ia meninggal dunia.

Substansi dari pemikiran modernisasi tersebut menunjukkan konsep kesempurnaan Islam,

berdasarkan sumber-sumbernya, dan relevansinya dengan masyarakat yang modern, menunjukkan

bahwa konsep yang terbaik bagi masyarakat modern iu sebenarnya sudah terdapat pada sumber-

sumber Islam, sehingga untuk memperbaiki kondisi ummat Islam adalah dengan berpedoman

dengan sumber-sumber Islam yang murni.

Dari uraian makalah di atas, maka pemikiran politik Hasan al-Banna dapat disimpulkan

kepada empat kerangka, yaitu: pertama, Arabisme (urubah) menurut Hasan al-Banna adalah karena

faktor kesatuan bahasa. Tanpa Arab tidak ada Islam. Islam turun di dunia Arab, olehnya itu maka

kaum muslimin perlu menjaga nama baik Arab. Kedua, Patriotisme (wathaniyah) dalam Islam

dibolehkan selama tidak mengarah pada kesempitan pandangan jahiliyah. Kerinduan pada tanah air

adalah sesuatu yang fitrawi, namun tetap dikendalikan oleh konsepsi Islam.

Ketiga, Nasionalisme (qaumiyah) terbagi tiga yaitu nasionalisme kejayaan, nasionalisme

umat, dan berkata tidak pada nasionalisme jahiliyah. Keempat, Internasionalisme (‘alamiyah) adalah

konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin).

63 John L Esposito, Islam Warna-Warni, bab 4, hal 157-158

Page 36: Pemikiran Politik Hasan al-Banna

33

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

al-Banna, Hasan. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I (Majmu’ah ar-Rasail al-Imam as-SyahidHasan al-Banna—terj. Anis Matta dkk), cet.15. Solo: Era Intermedia, 2008.

al-Banna, Hasan. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin II (Majmu’ah ar-Rasail al-Imam as-SyahidHasan al-Banna—terj. Anis Matta dkk), cet.6. Solo: Era Intermedia, 2001

Esposito, John L. Unholy War: Teror Atas Nama Islam.

Faqih, Khozin Abu. Bersama 6 Mursyid ‘Am: Mengenal Perintis Kebangkitan Islam Abad 15 H. Solo:Auliya Press, 2006

al-Ghazali, Abdul Hamid. Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan al-Banna (HaulaAsasiyat al-Masyru’ al-Islami Linahdhah al-Ummah—terj. Wahid Ahmadi & Jasiman). Solo: EraIntermedia

Hamid, Tijani Abd. Qadir. Pemikiran Politik dalam al-Qur’an (al-Ushul al-Fikri al-Siyasi fi al-Qur’an al-Makki—terj. Abdul Hayyie al-Kattani). Jakarta: Gema Insani Press, 2001

Jabir, Hussain bin Muhammad bin Ali. Menuju Jama’atul Muslimin: Telaah Sistem Jama’ah dalamGerakan Islam (al-Thariq ila Jama’at al-Muslimin—terj. Aunur Rafiq Shaleh Tahmid),cet.kedua. Jakarta: Robbani Press, 2002

Mahmud, Ali Abdul Halim. Perangkat-Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin (Wasail a-Tarbiyah‘inda Ikhwanil Muslimin (Dirasah Tahliliyah Tarikhiyah—terj. Wahid Ahmadi dkk), cet.kelima.Solo: Era Intermedia, 2000

al-Qaradhawi, Yusuf. Sistem Kaderisasi Ikhwanul Muslimin (at-Tarbiyah al-Islamiyah wa MadrasahHasan al-Banna—terj. Ghazali Mukri). Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1992

Rizq, Zabir. Hasan al-Banna: Dai, Murabbi, dan Pemimpin yang Mengabdi (al-Imam Hasan al-Bannabil Aqlami Talamidzatihi wa Mu’ashirahi -terj. Syarif Ridwan). Bandung: HarakatunaPublishing, 2007

Zainuddin, AR. Pemikiran Politik Islam: Islam, Timur Tengah, dan Benturan Ideologi (HermawanSulistyo, ed.), cet.1. Jakarta: Pensil-324, 2004

INTERNET:

http://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_al-Banna http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2005/01/11/276.html http://www.eramuslim.com/manhaj-dakwah/fikih-siyasi/fikih-siyasi-dan-kredibilitas-hasan-

al-banna.htm http://robirahman.blogspot.com/ http://santrigenggong.wordpress.com/