10
PEMIKIRAN HASSAN HANAFI TENTANG REKONSTRUKSI TASAWUF Yayan Suryana Pendahuluan Semua Muslim percaya bahwa ajaran Islam adalah suatu norma ideal yang dapat diadaptasi oleh bangsa apa saja dan kapan saja. Ajaran Islam bersifat universal dan tidak bertentangan dengan rasio. Semua kaum Muslim harus selalu membangun peradaban yang bertumpu pada pesan-pesan abadi itu. Persoalannya, bagaimana semestinya mendekati dan mengkaji aspek-aspek peradaban, kesejarahan, politik, ekonomi dan sosial Islam yang dibangun atas universalitas itu? Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki komitmen cukup baik kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam tersebut. Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam. Hanafi mencoba merekonstruksi dimensi ajaran tersebut, mulai dari teologi, hukum, sosial kemasayarakatan sampai pada dimensi mistik Islam (Tasawuf ). Makalah ini akan mengkaji kerangka pemikiran Hassan Hanafi dalam upaya merekonstruksi Tasawuf Islam. Latar Belakang Kehidupan Hassan Hanafi Hassan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1935 di Kairo, dari keluarga musisi. Ia adalah seorang filosof dan teolog Mesir yang meraih gelar Sarjana Muda bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956. Kemudian, gelar Doktor diperolehnya dari Universitas Sorbonne Paris dengan disertasinya berjudul "L Exegeses de la Phenomenologie Letat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application an Phenomene Religieux". Karya setebal 900 halaman itu mendapat penghargaan sebagai penulis karya ilmiah

Pemikiran Hassan Hanafi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pemikiran Hassan Hanafi

PEMIKIRAN HASSAN HANAFITENTANG REKONSTRUKSI TASAWUF

Yayan Suryana 

  

Pendahuluan

Semua Muslim percaya bahwa ajaran Islam adalah suatu norma ideal yang dapat diadaptasi oleh bangsa apa saja dan kapan saja. Ajaran Islam bersifat universal dan tidak bertentangan dengan rasio. Semua kaum Muslim harus selalu membangun peradaban yang bertumpu pada pesan-pesan abadi itu. Persoalannya, bagaimana semestinya mendekati dan mengkaji aspek-aspek peradaban, kesejarahan, politik, ekonomi dan sosial Islam yang dibangun atas universalitas itu?

Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki komitmen cukup baik kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam tersebut.

Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam. Hanafi mencoba merekonstruksi dimensi ajaran tersebut, mulai dari teologi, hukum, sosial kemasayarakatan sampai pada dimensi mistik Islam (Tasawuf ).

Makalah ini akan mengkaji kerangka pemikiran Hassan Hanafi dalam upaya merekonstruksi Tasawuf Islam.

Latar Belakang Kehidupan Hassan Hanafi

Hassan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1935 di Kairo, dari keluarga musisi. Ia adalah seorang filosof dan teolog Mesir yang meraih gelar Sarjana Muda bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956. Kemudian, gelar Doktor diperolehnya dari Universitas Sorbonne Paris dengan disertasinya berjudul "L Exegeses de la Phenomenologie Letat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application an Phenomene Religieux". Karya setebal 900 halaman itu mendapat penghargaan sebagai penulis karya ilmiah terbaik Mesir pada tahun 1961. Karya tersebut merupakan upaya Hassan Hanafi untuk menghadapkan ilmu Ushul Fiqh

( Islamic Legal Teory) pada madzhab filsafat fenomenologi dari Edmund Husserl. Pendidikan Hassan Hanafi diawali pada tahun 1948, kemudian dilanjutkan pada Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa Tsanawiyah, ia aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwan al-Muslimin. Karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Ikhwan al-Muslimin dan aktifitas-aktifitas sosialnya. Hassan Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak itu, ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial.

Page 2: Pemikiran Hassan Hanafi

Di dunia akademik, Hassan Hanafi aktif memberikan kuliah seperti di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelphia Amerika Serikat (1971-1975), Universitas Kuwait (1979), Universitas Fez Maroko ( 1982-1984) dan menjadi Guru Besar tamu di Tokyo ( 1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985). Kemudian, ia diangkat menjadi Penasehat Program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987), dan sekembalinya dari Jepang pada tahun 1988 Hassan Hanafi diserahi jabatan Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo.

Aktifitas di dunia akademik tersebut ditunjang dengan aktifitasnya di organisasi masyarakat. Tercatat, Hanafi aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir. Ia menjadi anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika serta menjadi Wakil Presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.

Pemikiran Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa. Pada tahun 1981, ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al-Islami. Pemikiran yang terkenal dengan al-Yasar al-Islami sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir, Anwar Sadat, yang memasukkannya ke dalam penjara.

Dalam Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) tersebut, Hassan Hanafi mendiskusikan bebarapa isu penting berkaitan dengan kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid) dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam. Rasionalisme merupakan keniscayaan bagi kemajuan dan kesejahteraan Muslim, disamping untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat. Ia memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang, secara kesejarahan, kaya. Ia mengusulkan "Oksidentlisme" sebagai jawaban "Orientalisme" dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hassan Hanafi, dunia Islam sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu imperialisme, zionisme dan kapitalisme (dari luar) serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan (dari dalam). Kiri Islam berfokus pada problem-problem era ini.

Hassan Hanafi banyak menyerap pengetahuan Barat dan mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Karena itu, meskipun ia menolak dan mengkritik Barat, sebagaimana dikatakan Kazuo Shimogaki, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya. Sehingga, Shimogaki mengkategorikan Hassan Hanafi sebagai seorang pemikir medernis liberal. Karakteristik lain pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi pada dasawarsa 1960-an banyak dipengaruhi oleh paham-paham dunia yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik, sosialistik dan populistik, yang juga dirumuskan sebagai ideologi pan-Arabik. Baru pada akhir dasawarsa itu, Hanafi mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (at-taharrur, liberation). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan , jika diinginkan Islam dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebutuhan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.

Page 3: Pemikiran Hassan Hanafi

Kerangka Metodologis Pemikiran Hassan Hanafi

Shimogaki menegaskan bahwa untuk memantapkan posisi pemikiran Hassan Hanafi dalam dunia pemikiran Islam dapat ditengarai dari tiga wajah, yaitu: Wajah pertama adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner. Segera setelah Islam Iran menang, Ia meluncurkan Kiri Islam. Salah satu tugasnya ialah untuk mencapai revolusi tauhid (keesaan, pengesaan: konsep inti dalam pandangan dunia Islam). Dalam hal ini, ia dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam revolusioner, seperti Ali Syari’ati, pemikir yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran dan Imam Khomeini yang memimpin revolusi dengan sukses.

Wajah kedua adalah sebagai seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik. Dalam hal ini, ia mirip dengan posisi Muhammad Abduh (seorang pemikir Mesir terkemuka, 1849-1905). Sebagai seorang reformis tradisi Islam, Hassan Hanafi adalah seorang rasionalis sebagaimana Abduh.

Wajah ketiga adalah penerus gerakan al-Afghani ( 1838-1896), pendiri gerakan Islam modern, yang disebut sebagai berjuang melawan imperialisme Barat dan mempersatukan dunia Islam. Hassan Hanafi menyebut perjuangannya dengan hal yang sama, yaitu perjuangan melawan imperialisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam.

Issa J. Boullata menegaskan bahwa pemikiran Hassan Hanafi tertumpu pada tiga landasan metodologi: Pertama, tradisi atau sejarah Islam; Kedua, metode fenomenologi, dan; Ketiga, analisis sosial Marxian.

Hassan Hanafi adalah salah seorang pemikir Arab yang sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran filsafat Materialisme-Historis dari Marx.. Dengan menggunakan metode dialektika, Hassan Hanafi mengadakan sistematisasi dan penyatuan semua aspek pengetahuan dan pengalaman serta menyusunnya ke dalam suatu keutuhan yang inklusif. Pemikiran Hanafi bisa disebut Marxis walaupun tidak harus menjadi marxisme. Dalam bentuknya yang paling sederhana, metode ini berpandangan bahwa proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis, dimana tesis menimbulkan antitesis dan keduanya akan diangkat menjadi sintesis.

Dalam bangun pikiran Hanafi, metode dialektik dipakai untuk menjelaskan sejarah perkembangan pemikiran Islam dan untuk menentukan titik pijak dan alasan dasar mengadakan suatu revolusi. Demikianlah revolusi harus dipandang sebagai panggilan sejarah.

Hassan Hanafi terpengaruh oleh dialektika Marx, yang ia jadikan sebagai metode untuk melihat sejarah perkembangan perjuangan Islam. Dengan bantuan metode itu, Hassan Hanafi mencoba melihat kembali sejarah perkembangan perjuangan Islam dengan berusaha melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional, yang menururt Hanafi selama ini mengandalkan pada otoritas teks dan bertumpu pada metodologi yang hanya mengalihkan teks ke dalam kenyataan.

Hassan Hanafi menemukan kelemahan yang mendasar dalam tradisi pemikiran Islam tradisional. Hanafi memberikan kritik terhadap metode ini, diantaranya bahwa teks bukanlah realitas; ia hanya sebuah teks. Teks adalah ekspresi mistik yang menggambarkan realitas, tetapi bukan realitas itu sendiri. Teks bertumpu pada otoritas Kitab, bukan pada otoritas rasio. Otoritas Kitab bukan bukti, karena ada beberapa teks yang disakralkan, sementara di sisi lain ada realitas dan ada akal. Teks memerlukan interpretasi terhadap acuan realitas yang ditunjuknya, yakni

Page 4: Pemikiran Hassan Hanafi

peristiwa yang ditandai teks. Tanpa interpretasi, teks menjadi tidak bermakna. Konsekuensinya, akan terjadi interpretasi teks di luar apa yang dimaksudkannya, dan terjadilah kesalahpahaman dan penggunaan teks di luar konteksnya.

Hassan Hanafi tidak mau berhenti pada teks, tetapi berusaha mencari hubungan relasional antara teks dan konteks. Tradisi dapat dipelajari dengan obyektifitas historis yang memadai dan dipisahkan tidak saja dari masa kini, tetapi juga dari faktor-faktor normatif yang diduga telah melahirkannya. Kerangka inilah yang membedakan tradisi pemikiran Mu’tazilah yang pure reason dengan metode berpikir Hassan Hanafi yang menghargai sisi historis sebagai sebuah proses yang dapat memberikan pemahaman yang inklusif tentang suatu pengetahuan.

Sebagai contoh dalam dimensi teologis dituangkan dalam bukunya Al-Din wa al-Tsaurah vol. IV. Di buku itu, Hanafi menunjukkan perjalanan peran agama dalam pergolakan politik di Mesir dari tahun 1952 sampai 1981. Selama periode hampir 30 tahun ini, ia membagi tiga tahap peran agama. Tahap pertama, agama dan revolusi (1952-1966). Tahap kedua, agama dan pembangunan masa depan (1961-1966). Tahap ketiga, kembali ke iman. Kemudian, Hanafi menggunakan dialektika untuk menggagas teologi sebagai antropologi yang merupakan cara ilmiah untuk mengatasi keterasingan teologi itu sendiri.

Upaya tersebut tampaknya, secara profokatif, dilakukan Hanafi sebagaimana terlihat dalam sub-sub judul artikelnya: "Dari Tuhan ke Bumi", "Dari Keabadian ke waktu", "Dari takdir ke kehendak bebas", "Dari otoritas ke akal", "Dari teori ke tindakan", "Dari kharisma ke partisipasi masa", "Dari jiwa ke tubuh" dan "Dari eskatologi ke futurologi".

Cara yang sama juga diarahkan kepada sufisme yang dinilainya pasif, seperti dalam: "Dari jiwa ke tubuh", "Dari rohani ke jasmani", "Dari etika individual ke politik sosial", "Dari meditasi menyendiri ke tindakan terbuka", "Dari organisasi sufi ke gerakan sosial", "Dari nilai pasif ke nilai aktif", "Dari kondisi psikologis ke perjuangan sosial", "Dari vertikal ke horizontal", "Dari langkah moral ke periode sejarah", "Dari dunia lain ke dunia ini" dan "Dari kesatuan hayal ke penyatuan nyata".

Disamping itu, gerakan peradaban dan kebudayaan Hanafi sangat dipengaruhi oleh ketajaman analisis pemahaman terhadap realitas. Realitas, bagi Hanafi, adalah realitas masyarakat, politik dan ekonomi, khazanah Islam dan tantangan Barat. Keberhasilan mencapai cita-cita revolusi Islam tergantung pada kecermatan menganalisis realitas-relaitas itu. Untuk menganalisis realitas-realitas itu dan memetakan semuanya, Hassan Hanafi menggunakan metode fenomenologi.

Hanafi meyakini pentingnya menggunakan metode fenomenologi sebagai pilihan metode yang tepat, sebagaimana ia jelaskan: "Sebagai bagian dari gerakan Islam Mesir dan sebagai seorang fenomenolog, saya tidak mempunyai pilihan lain untuk menggunakan metodologi fenomenologi dalam menganalisis Islam alternatif di Mesir."

Ide Rekonstruksi Tasawuf

Kiri Islam menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin. Tasawuf sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, arogansi, gila kekuasaan dan kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partai oposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan Husein mengalami kekalahan. Maka, ketika kekuasaan dinasti Umayyah mulai mapan, orang-orang meninggalkan

Page 5: Pemikiran Hassan Hanafi

gebyar duniawi yang dinilai sebagai penyebab perpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalah menyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetap dalam kesucian roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan.

Islam, lalu, berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadi gerakan vertikal, yang keluar dari kehidupan dunia. Cita-cita kesejarahan menjadi cita-cita historis; dari milik seluruh umat --Islam pun-- menjadi milik eksklusif jamaah tarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`) dan manunggal dengan Tuhan (al-ittiha>d) secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnya tanpa mengubah dunia.

Hanafi menuding bahwa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain adalah egoisme, kesucian jiwa tanpa kesucian dunia adalah naif dan destruktif. Kaum Muslimin menderita karena nilai-nilai negatif yang dikembangkan, seperti faqr (kemiskinan), khawf (ketakutan), dan al-ju’ (kelaparan). Maka, kaum Muslimin benar-benar miskin, takut lapar dan mengalami krisis yang tak ada yang dapat melepaskan diri dari krisis itu.

Kaum Muslimin merasa sebagai "sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia" (khaira ummatin ukhrijat li al-nas), memilih peradaban tinggi yang pernah lahir dalam sejarah dan menjadi umat yang unggul, akan tetapi mereka tak mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar agar menjadi umat yang terbaik. Adapun ekstase sesungguhnya adalah ekstase dalam karya dan berkorban untuk menegaskan misi kemanusiaan manunggal (al-ittihad), yakni menerapkan syariat Islam dan membumikan wahyu dalam tatanan dunia secara aktif, melalui gerakan kaum Muslim dalam sejarah.

Atas pertimbangan diatas, Hanafi mencoba merekonstruksi tasawuf. Hanafi mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian integral dari kebudayaan Islam. Ia merupakan salah satu dari empat besar ilmu rasional (‘aql) yang bersifat tradisional (naql). Sesudah serangan yang dilancarkan al-Ghazali atas ilmu-ilmu rasional yang diwakili filsafat, yang melalui ilmu itu teologi mu’tazilah berhasil menampilkan rasionalisme Islam selama empat abad, dari abad II hingga abad V Hijriyah, tasawuf menjalin hubungan dengan teologi tradisional, yakni Asy’ariyah yang mengambil alih semua ilmu Islam selama tujuh abad berikutnya dan sepanjang masa kerajaan Usmaniyah hingga gerakan pembaharuan modern.

Manurut Hanafi, tasawuf lahir dalam kondisi historis yang mengharuskan adanya upaya untuk menanggulangi kekalahan politik dan militer, yang telah disublimasikan dalam kemenangan rohani, sehingga tasawuf seolah-olah tidak memiliki lagi sentuhan makna sosiologis dan keduniawian yang secara nyata sedang dihadapi oleh manusia. Oleh karena itu, Hanafi berusaha merekonstruksi nilai mistik jenjang-jenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak untuk membantu generasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang sedang dihadapi.

Bagi Hanafi, tasawuf adalah sebuah ideologi perjuangan yang diterapkan secara terbalik, ideologi kemenangan batin dan spiritual diri dalam menghadapi pihak lain dengan meninggalkan dunia kekalahan untuk membina adi dunia kemenangan, sehingga mudah membawanya kembali ke dunia. Tasawuf merupakan suatu jalan (tariqah) yang meliputi tiga tahap: tahap moral, tahap etiko-psikologis dan tahap metafisik. Hanafi kemudian melakukan rekonstruksi tasawuf dalam ketiga hal tersebut.

Page 6: Pemikiran Hassan Hanafi

Pertama, rekonstruksi tahap moral. Dalam tahap moral, tasawuf muncul sebagai ilmu etika yang bertujuan untuk menyempurnakan moral individu. Jika masyarakat hilang, paling tidak individu dapat dipertahankan. Rekonstruksi tahap moral mencakup: a) Dari jiwa ke tubuh. Karena krisis permulaan yang merupakan awal timbulnya tasawuf disebabkan oleh nafsu serakah jiwa, maka tubuh tidak kurang parahnya dibandingkan jiwa. Jika semua masalah masa lampau dihubungkan dengan jiwa, maka semua masalah saat ini dihubungkan dengan tubuh; b) Dari rohani ke jasmani. Tasawuf lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai kompensasi atas dunia jasmani yang material. Segala hal memiliki makna ganda, karena realitas memiliki wajah ganda. Jika kekuasaan sosial politik merampas lahiriah, maka tasawuf mempertahankan batiniah. Dalam era pembangunan, yang dipertahankan adalah dunia lahir. Kekuasaan sosial politik yang mengontrol dunia lahir dapat diubah, karena tidak ada pembangunan tanpa kekuasaan; c). Dari etika individu ke etika sosial. Salah satu alasan lahirnya tasawuf lama adalah rusaknya individu. Maka reaksi alaminya adalah meningkatkan pergolakan moral bagi individu; d). Dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka. Meditasi hanyalah cara memperoleh kekhusyu'an untuk mengungkap rasa cemas dan penderitaan. Sekalipun berpendapat secara individual dipentingkan, namun sesungguhnya untuk dunia sekarang tindakan terbuka sangat diperlukan untuk perubahan-perubahan; e). Dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik.

Kedua, rekonstruksi tahap etiko-psikologis. Tahap ini mengandung arti bahwa tasawuf maju dari moralitas praktis ke psikologis individual, dari ilmu perilaku ke psikologi murni nafsu manusia. Tasawuf tidak lagi berhubungan dengan tindakan lahir perilaku melainkan tindakan batin kesalehan. Fokusnya bukan lagi pada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada tindakan-tindakan hati. Kini, tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia hati. Ilmu ini terdiri dari dua bagian; langkah-langkah moral (maqamat) dan kondisi-kondisi psikologis (ahwal). Rekonstruksi pada tahap ini mencakup dua hal, yaitu dari nilai pasif ke nilai aktif dan dari kondisi psikologis ke perjuangan sosial.

Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan bahwa ketika sufi melintasi kawasan hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan, ia sampai pada tahap terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya, karena sufi telah melewati seluruh latihannya dengan keberhasilan yang gemilang. Tahap ketiga ini benar-benar merupakan buah yang harus dikumpulkan, hasil yang harus dicapai dan hadiah yang harus diterima.

Namun demikian, tahap ini perlu direkonstruksi agar perkembangan tersebut tercapai dibumi. Rekonstruksi pada tahap ini mencakup pada empat hal: a). Dari vertikal ke horizontal. Karena tasawuf telah mengarahkan diri ke arah yang tertinggi, maka sejak itu yang rendah bersikeras kepada kehendak murni, setelah dikuasai oleh kehendak tidak murni yang mudah untuk membawanya kembali untuk turun ke bumi. Generasi sekarang paling tidak sedang mencoba menguasai kembali dunia. Tindakan-tindakan besar yang telah dilakukan sebelumnya bermaksud untuk dekolonisasi dan sekarang untuk pembangunan. Akan tetapi, tindakan-tindakan ini muncul terbatas, karena kesemuanya selalu menguap akibat digunakan di tempat-tempat lain. Jika vertikal ditransformasikan kembali ke bawah, tindakan-tindakan ini mungkin bersifat konklusif dan produktif. Jika gerakan di jalan sufi bermula dari luar (tahap moral) ke dalam (tahap etiko-psikologi) dan lalu ke yang tertinggi (kepercayaan metafisik), maka gerakan dalam pebangunan bermula dari yang tertinggi (perencanaan) ke dalam (pengelolaan) dan selanjutnya ke luar (pencapaian). Jika bumi pada masa kelahiran tasawuf putus asa dan diperbandingkan dengan langit, sekarang negara-negara sedang berkembang mencoba menaklukkkan bumi lagi. Pada saat yang bersamaan, Tuhan adalah Tuhan langit dan bumi. Tanah

Page 7: Pemikiran Hassan Hanafi

mesti muncul dari inti tradisi sebagai manifestasi utamanya, yakni apakah untuk dekolonisasi atau untuk bekerja; b). Dari langkah moral ke periode sejarah. Karena langkah-langkah moral merupakan tahap-tahap periodik di jalan pengawasan, mungkinkah menyusun langkah-langkah moral ini sebagai periode sejarah yang progresif? Dalam tasawuf, terdapat apa yang benar-benar diperlukan pembangunan.: mobilitas, perubahan, periodisasi, kesempurnaan, rasa keharusan mengikuti pedoman, kemunduran, kesudahan, nafsu, komitmen, perjuangan, harapan memperoleh keberhasilan dan sebagainya. Ini hanya masalah pengalihan hubungan depan-belakang; c). Dari dunia ini ke dunia lain. Tasawuf pada mulanya merupakan reaksi terhadap kekalahan kesalehan, sementara kebenaran dunia lain merupakan tempat perlindungan yang terakhir, yang tak dapat dicapai oleh ketidak salehan dan kebatilah di dunia. Karena kehidupan yang lurus di bumi pada hakekatnya tidak ada, maka yang saleh pun meninggal dalam keadaan syahid, sebagai kehidupan abadi yang kekal bagi mereka. Namun demikian kondisi modern ini lebih banyak berhubungan dengan kehidupan daripada kematian. Kondisi ini lebih banyak berhubungan dengan para penghuni di luar kubur di wilayah-wilayah pembangunan urban kota-kota besar; d). Dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata. Akibat kekalahan kesalehan dan kemenangan ketidaksalehan, maka terjadi pemisahan antara cita-cita dan kenyataan. Kesatuan antara keduanya menjadi sekedar harapan dan impian yang diteruskan di dalam tasawuf. Kaum sufi memberikan beberapa kesan untuk mengungkapkan kesatuan ini, yakni misalnya, antara Tuhan dan dunia, kebenaran dan realitas, rohani dan alam dan sebagainya. Maksud dan tujuan akhir tasawuf adalah kesatuan dan penyatuan yang berhubungan dengan tauhid, yang merupakan dasar dalam keimanan Islam. Mengapa tidak beralih dari kesatuan khayali antara cita-cita dan kenyataan ke penyatuan nyata masyarakat Islam, untuk merobohkan rintangan-rintangan artifisial yang dihadapi sebagai upaya peralihan dari era kolonial? Jawabannya, metafisik kesatuan dalam tasawuf dapat memainkan peranan sangat penting untuk mecapai kesatuan sebagai tujuan politik. Panteisme dapat direkonstruksi sebagai kerangka konseptual bagi Pan-Islamisme.

Catatan Akhir

Dilihat dari uraian diatas tampak dengan jelas bahwa rekonstruksi yang dilakukan Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang sangat tinggi. Pemikiran ini tampaknya lahir dari kesadaran yang sangat penuh atas posisi kaum Muslimin yang sedang terbelakang, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebesan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan.

Sebagai cendikiawan, Hanafi berusaha menawarkan suatu bentuk transformasi pengetahuan yang diperolehnya sebagai akibat dari interaksi akademis yang cukup dalam antara wilayah internal timur Hassan Hanafi dengan tradisi intelektual Barat.

Hanafi dengan sangat berani mengadopsi tradisi filsafat materialisme-dialektis, yang dalam dunia Islam dianggap sebagai ancaman bagi keberhasilan kehidupan spiritual. Namun demikian, Hanafi tidak semata-mata memakai analisa filsafat materialisme. Ia juga menggunakan analisis kesejarahan dunia Islam, sehingga secara jujur dapat mengungkap fakta-fakta dan relasinya untuk melakukan rekonstruksi.

Tampaklah dengan jelas, bahwa Hassan Hanafi sangat kental keterpengaruhannya dengan tradisi pemikiran Barat. Hal ini wajar terjadi, seperti bisa dijumpai pada gagasannya sendiri tentang "Oksidentalisme". Penggunaan tradisi filsafat Barat ini, selanjutnya Hanafi jadikan sebagai alat untuk mengoreksi dan mengkritik kelemahan Barat. Bagi Hanafi, tantangan umat Islam adalah bagaimana mengembangkan dunia

Page 8: Pemikiran Hassan Hanafi

Islam melalui tradisi-tradisinya sendiri, yang meliputi tasawuf, dan tidak melalui ideologi-ideologi yang sekuler seperti Marxisme, sosialisme, nasionalisme, liberalisme dan sebagainya.

Islam bukan berarti ketundukan atau penghambaan, melainkan lebih merupakan revolusi transendensi, yakni sebuah struktur yang dinamis untuk kesadaran individu, untuk tatanan sosial dan untuk kemajuan dalam sejarah. @