Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA
(LEGAL PROTECTION ON WITNESSES IN THE INVESTIGATION PROCESS OF CRIMINAL CASES IN INDONESIA)
OLEH:
MILA GUSTIANA ANSARY
Nomor Pokok : P0902211603
FAKULTAS HUKUM PROGAM PASCA SARJANA KELAS KERJASAMA
KEJAKSAAN AGUNG RI DAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
ABSTRAK
MILA GUSTIANA ANSARY. Perlindungan Hukum bagi Saksi dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di Indonesia (dibimbing oleh M. Syukri Akub dan Syamsuddin Muchtar)
Penelitian ini bertujuan mengetahui konsep perlindungan saksi dan implementasi perlindungan saksi dalam proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan bersifat normatif empiris yang ditempuh melalui kajian kepustakaan dan wawancara. Penelitian dilaksanakan di lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK). Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak dan kewajiban saksi harus dilindungi negara. Dalam proses persidangan pidana, pemenuhan hak saksi oleh negara merupakan suatu hal yang wajib dan apabila saksi merasa hak-haknya terpenuhi, secara tidak langsung akan berdampak positif bagi pelaksanaan kewajibannya di dalam proses persidangan. Perlindungan terhadap saksi dilakukan berdasarkan prosedur yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban maupun dalam Peraturan LPSK Nomor 6 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban. Peran LPSK dalam perlindungan saksi adalah bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan kepada saksi berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sedangkan pelaksanaan perlindungan saksi oleh LPSK dalam praktik sering menghadapi kendala, baik yang bersifat intern maupun ekstern.
Kata kunci : perlindungan, saksi, LPSK.
ABSTRACT
MILA GUSTIANA ANSARY. Legal Protection on Witnesses in the Investigation Process of Criminal Cases in Indonesia. (Supervised by M. Syukri Akub and Syamsuddin Muchtar)
The aims of the research is to acknowledge the concepts of witness protection and implementation of witness protection in the process of criminal case investigation in Indonesia.
The research was conducted at the witness and victims protection imstitution (LPSK) with empirical normative method with library studies and interviews. The data employed are primary and secondary data. The data is then analyzed qualitatively.
The result of the research indicated that the rights and the obligation of the witness should be protected by the state. In the process of criminal court, the witness rights fulfillment by the state is obligatory, and when the witness feel their rights were fulfilled, it will automatically have a positive impact on their obligation implementation in the court process. Witness protection is conducted according to procedures regulated Constitution No. 13, 2006 on witness and victims protection, as well as in LPSK regulation No. 6, 2010, on the procedures of witness and victims protection procedures. The roles of LPSK in the witness protection is to be responsible of handling protection provision for the witness based on the jobs and the responsibility which is regulated in the Constitution No. 13, 2006 on witness and victims protection. Meanwhile the witness protection implementation by LPSK, in practice, frequently faces internal and external problems.
Keyword : protection, witness, LPSK.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara berdasar atas hukum,
penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam amandemen ketiga
UUD 1945 tahun 2001 ditegaskan kembali dalam Pasal 1 ayat (3)
yang berbunyi : "Negara Indonesia merupakan negara hukum".
Hal penting dalam negara hukum adalah adanya penghargaan
dan komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia serta jaminan
semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum (equality
before the law). Adanya perlindungan dan penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia merupakan pilar yang sangat penting dalam
setiap negara yang disebut negara hukum. Argumentasi hukum yang
dapat diajukan tentang hal ini, ditunjukkan dengan ciri negara hukum
itu sendiri, bahwa salah satu diantaranya adalah perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Perlindungan terhadap hak asasi
manusia dalam negara hukum, terwujud dalam bentuk penormaan hak
tersebut dalam konstitusi undang-undang dan untuk selanjutnya
penegakannya melalui badan-badan peradilan sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman.
Pasal 28D ayat 1 amandemen kedua Undang-undang Dasar
1945 menegaskan :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Prinsip demikian idealnya bukan hanya sekedar tertuang di dalam UUD
1945 dan perundang-undangan. Namun yang lebih utama dan
terutama adalah dalam pelaksanaan atau implementasinya.
Praktik penegakan hukum seringkali diwarnai dengan hal-hal yang
bertentangan dengan prinsip tersebut. Misalnya penganiayaan
terhadap tersangka untuk mengejar pengakuan, intimidasi, rekayasa
perkara, pemerasan, pungutan liar dan sebagainya. Kemudian dari
pihak korban juga merasakan diabaikan hak-haknya, antara lain
dakwaan lemah, tuntutan ringan, tidak mengetahui perkembangan
penanganan perkara, tidak menerima kompensasi dan tidak terpenuhi
hak-hak yang lain.
Selain tersangka dan korban yang sering diabaikan hak-haknya,
satu lagi yang berperan penting dalam mengungkap kebenaran suatu
tindak pidana adalah saksi.
Dalam konteks penegakan hukum pidana menurut sistem
peradilan pidana (criminal justice system ) Indonesia sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan
peraturan lainnya, yang dimulai dari fase pemeriksaan pendahuluan
(penyelidikan dan penyidikan) oleh Penyelidik dan Penyidik Polri atau
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), penuntutan oleh Penuntut
Umum (Kejaksaan), pemeriksaan pengadilan oleh hakim Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, sampai eksekusi
putusan pengadilan, peran masyarakat sangatlah besar, khususnya
dalam peranannya menjadi saksi terhadap tindak pidana yang terjadi.
Sebagaimana diketahui, peranan saksi yang melihat atau
mendengar terjadinya tindak pidana sangatlah penting, karena
keterbatasan menjadikan penyelidik dan penyidik tidak dapat secara
langsung mengetahui semua tindak pidana yang terjadi di masyarakat.
Polisi dan PPNS sebagai penyelidik atau penyidik, mengetahui tindak
pidana yang terjadi di masyarakat dari laporan dan pengaduan dari
anggota masyarakat. Dalam konstalasi inilah peran masyarakat
dengan budaya hukumnya mempengaruhi kinerja penegakan hukum
pidana.
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kedudukan saksi
sangatlah penting sehingga keterangan saksi dijadikan salah satu di
antara lima alat bukti yang sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal
184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: a)
Keterangan saksi; b) Keterangan ahli; c) Surat; d) Petunjuk; dan e)
Keterangan terdakwa. Penempatan keterangan saksi dalam urutan
pertama dari lima alat bukti yang sah, menunjukkan tentang pentingnya
alat bukti keterangan saksi dalam penyelesaian perkara pidana.
Pentingnya alat bukti keterangan saksi ini terkait dengan sistem
pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana Indonesia yaitu
negative wettelijk, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang
berbunyi:
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya".
Salah satu alat bukti yang sah yang hampir selalu ada dan
diperlukan dalam setiap perkara pidana adalah keterangan saksi.
Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering
mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi
disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak
tertentu.
Persoalan yang juga sering dijumpai dalam proses peradilan
pidana adalah kadang muncul seorang yang dihadapkan dalam
persidangan merupakan satu-satunya saksi. Padahal dalam peradilan
pidana berlaku prinsip unus testis nulus testis, yang berarti satu saksi
bukan merupakan saksi, sehingga apabila tidak didukung oleh alat
bukti lain maka putusan hakim akan berwujud putusan lepas dari
segala tuntutan.
Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana,
telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Harus diakui bahwa
terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan
informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya,
ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan
saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus
bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai
kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan
keadilan .
Berhubungan dengan hal tersebut, saksi merupakan salah satu
faktor penting dalam pembuktian atau pengungkapan fakta yang akan
dijadikan acuan dalam menemukan bukti-bukti lain untuk menguatkan
sebuah penyelidikan, penyidikan, dan bahkan pembuktian di
pengadilan.
Pentingnya peran saksi dalam proses penegakan hukum
terutama hukum pidana tentunya membawa konsekuensi tersendiri
bagi orang yang dijadikan saksi, baik itu saksi korban dan saksi
pelapor maupun saksi-saksi lain dalam pembuktian pelaku tindak
pidana.
Dalam lapangan hukum pidana terutama untuk penegakkannya
tidak semudah yang dibayangkan masyarakat, terlebih dalam
mendapatkan keterangan saksi. Hal ini terbukti bahwa masih banyak
kasus yang terjadi belum dapat diselesaikan secara cepat atau tidak
dapat terungkap, karena tidak ada atau kurangnya alat bukti yang
didapat antara lain dari saksi. Sebagian besar saksi merasa enggan
dan takut memberi keterangan karena mereka tidak mendapat
perlindungan hukum yang jelas. Apalagi dalam kasus-kasus besar
yang mungkin melibatkan pihak-pihak yang mempunyai kekuatan atau
kekuasaan tertentu dalam masyarakat, mempunyai peluang untuk
memberikan penekanan atau intimidasi pada saksi agar tidak
memberikan kesaksiannya .
Posisi saksi yang demikian penting nampaknya sangat jauh dari
perhatian masyarakat maupun penegak hukum. Ternyata sikap ini
memang sejalan dengan sikap pembentuk undang-undang, yang tidak
secara khusus memberikan perlindungan kepada saksi berupa
pemberian sejumlah hak, seperti yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa.
Dalam KUHAP, sebagai ketentuan hukum beracara pidana di
Indonesia, tersangka/terdakwa memiliki sejumlah hak yang diatur
secara tegas dan rinci dalam suatu bab tersendiri. Sebaliknya bagi
saksi, hanya ada beberapa pasal dalam KUHAP yang memberikan hak
pada saksi, tetapi pemberiannya pun selalu dikaitkan dengan
tersangka/terdakwa. Jadi hak yang dimiliki saksi lebih sedikit dari hak
yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa.
Kondisi saksi yang berada pada posisi yang lemah, justru Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bahkan mengancam dengan
pidana apabila saksi tidak datang untuk memberikan keterangan
setelah menerima panggilan dari penegak hukum. Selanjutnya KUHAP
mewajibkan saksi untuk bersumpah dan berjanji sebelum memberikan
keterangan tujuannya adalah agar saksi tersebut dapat memberikan
keterangan dengan sungguh-sungguh dengan apa yang diketehui, baik
yang dilihat, didengar atau dialami oleh saksi. Berbicara tentang
kewajiban dalam hukum tentu erat kaitannya dengan Hak Asasi
Manusia dalam hal ini adalah hak saksi, dengan demikian Undang-
undang memberikan hak bagi saksi berupa perlindungan bagi saksi itu
sendiri.
Mengutip artikel yang ditulis Surastini Fitriasih dijelaskan bahwa
sementara saksi sebagai warga masyarakat, juga korban sebagai
pihak yang dirugikan kepentingannya, karena telah diwakili oleh negara
yang berperan sebagai pelaksana proses hukum dianggap tidak perlu
lagi memiliki sejumlah hak yang memberikan perlindungan baginya
dalam proses peradilan. Sesungguhnya bila di cermati dalam
kenyataannya, kondisi saksi tidak jauh berbeda dengan
tersangka/terdakwa, mereka sama-sama memerlukan perlindungan,
karena:
1. Bagi saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan
bukanlah suatu hal yang mudah.
2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman
pidana baginya karena dianggap bersumpah palsu.
3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya
mendapat ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan.
4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya.
5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti
seorang tersangka/terdakwa.
Dengan uraian di atas, tentu muncul dilema bagi saksi saat ini,
disisi lain harus memenuhi kewajiban namun dipihak lain haknya
sendiri tidak terpenuhi dan bahkan malah dirugikan oleh kepentingan
pemeriksaan dalam setiap proses peradilan pidana. Kerugian yang
diderita oleh saksi adalah hak yang dilanggar oleh sebuah undang-
undang, karena kadang kala bukan hanya sekedar hak atas biaya saja
namun lebih dari itu adalah hak untuk tidak mendapatkan ancaman
baik fisik maupun mental, sehingga dengan keadaan yang demikian
tidak jarang saksi keberatan untuk memberikan keterangan atau
kesaksian dalam proses peradilan pidana.
Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before
the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dalam
proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum.
Dengan jaminan perlindungan hukum tersebut, diharapkan tercipta
suatu keadaan yang memungkinkan saksi tidak lagi merasa takut untuk
memberikan kesaksian terhadap suatu perkara pidana dalam proses
persidangan.
Hal ini sesuai dengan Pasal 28I ayat (4) amandemen kedua UUD 1945
yang berbunyi :
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.”
Selanjutnya dalam Pasal 28I ayat (5) menyatakan :
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”
Lahirnya Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu perwujudan
perlindungan hak asasi manusia dalam hal ini perlindungan hak saksi
dan korban.
Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan
Korban adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan
Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK
dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam UU Perlindungan
Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang
mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden dan merupakan
lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan
perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban
sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Dengan lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban serta
terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan
dapat memberikan landasan hukum yang kuat khususnya bagi
perlindungan terhadap saksi agar berani dalam memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya dalam proses pemeriksaan
perkara pidana tanpa mengalami ancaman atau tuntutan hukum.
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, permasalahan yang akan diteliti adalah:
a. Bagaimanakah konsep perlindungan hukum bagi saksi?
b. Bagaimanakah implementasi perlindungan hukum bagi saksi dalam
proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui konsep perlindungan hukum bagi saksi.
b. Untuk mengetahui implementasi perlindungan hukum bagi saksi
dalam proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian adalah:
a. Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi
dan mendiskripsikan permasalahan yang timbul serta memberikan
sumbangan pemikiran tentang konsep perlindungan hukum bagi
saksi dan implementasi perlindungan hukum bagi saksi dalam
proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia.
b. Kegunaan praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
membuka cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan
pemikiran bagi para penegak hukum atau pemerintah dalam
mewujudkan penegakan hukum khususnya yang berkaitan dengan
perlindungan hukum bagi saksi dalam proses pemeriksaan perkara
pidana di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perlindungan Hukum
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa:
“Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya”.
Menurut Soedikno Mertokusumo :
“Perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun di dalam hubungan dengan manusia lain dan apabila terjadinya tindak pidana akan adanya sanksi sesuai ketentuan undang-undang.”
Menurut Satijipto Raharjo :
“Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.”
Dalam penulisan ini, perlindungan hukum diberi batasan sebagai
suatu upaya yang dilakukan di bidang hukum dengan maksud dan tujuan
memberikan jaminan perlindungan terhadap saksi agar merasa aman
dalam memberikan keterangan dalam setiap proses pemeriksaan perkara
pidana.
B. Pengertian Saksi
Pasal 1 angka 26 KUHAP menyatakan:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Definisi saksi di atas cukup luas atau umum, sehingga yang
termasuk dalam pengertian saksi bisa orang yang menjadi korban,
pelapor, pengadu, maupun orang lain yang dapat memberikan keterangan
tentang suatu perkara pidana, baik di tingkat penyidikan, penuntutan,
maupun di muka sidang pengadilan.
Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban sebagai produk hukum terbaru yang secara khusus mengatur
tentang perlindungan saksi dan korban, dalam Pasal 1 angka 1 diberikan
pengertian saksi yakni:
"Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri".
Subekti menyatakan :
“Saksi adalah orang yang didengar keterangannya di muka sidang pengadilan, yang mendapat tugas membantu pengadilan yang sedang perkara.”
Suryono Sutarto mengemukakan bahwa :
“Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Uraian di atas menunjukkan bahwa saksi dalam proses peradilan
adalah faktor penting dalam setiap tahap dalam proses peradilan pidana.
Pengertian saksi ini menunjukkan betapa berartinya sebuah
kesaksian dalam proses peradilan pidana, agar terungkapnya sebuah
tindak pidana.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saksi adalah
seseorang yang memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana
untuk menemukan titik terang apakah suatu tindak pidana benar-benar
terjadi sebagaimana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia
alami sendiri.
C. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara Pidana menurut Undang-
undang Hukum Acara Pidana
Tahap-tahap pemeriksaan perkara pidana dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana
mengenal 4 (empat) tahapan pemeriksaan perkara pidana, yaitu tahap
penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian, tahap penuntutan oleh
Penuntut Umum, tahap pemeriksaan di sidang pengadilan, dan tahap
pelaksanaan putusan pengadilan.
Dalam konteks inilah yang menjadi pembahasan tentang mekanisme
peradilan pidana sebagai suatu proses, atau disebut “criminal justice
process”. Pemeriksaan perkara pidana berawal dari terjadinya tindak
pidana (delict) atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana yaitu berupa
kejahatan atau pelanggaran. Peristiwa atau perbuatan tersebut diterima
oleh aparat penyelidik dalam hal ini adalah Kepolisian Republik Indonesia
melalui laporan dari masyarakat, pengaduan dari pihak yang
berkepentingan atau diketahui oleh aparat sendiri dalam hal tertangkap
tangan (heterdaad).
Uraian tersebut di atas, menunjukkan bahwa tahap-tahap pemeriksaan
perkara dimulai dari proses yang dinamakan “penyelidikan”.
Penyelidikan menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah :
“Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Jadi, secara umum penyelidikan adalah untuk menentukan apakah
suatu peristiwa atau perbuatan (feit) merupakan peristiwa/perbuatan
pidana atau bukan. Jika dalam penyelidikan telah diketahui atau terdapat
dugaan kuat bahwa kasus, peristiwa atau perbuatan tersebut merupakan
tindak pidana (delict) maka dapat dilanjutkan pada proses selanjutnya
yaitu penyidikan.
Penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah :
“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Jadi, secara umum penyidikan adalah upaya pengusutan, mencari, dan
mengumpulkan bukti-bukti untuk membuat terang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Berbeda dengan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi yang
diperiksa dalam tingkat penyidikan ini tidak perlu disumpah, kecuali jika
dengan tegas saksi tersebut menyatakan tidak dapat hadir dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan, maka saksi perlu disumpah agar
keterangan yang diberikan ditingkat penyidikan memiliki kekuatan yang
sama seperti jika diajukan di persidangan.
Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
dan dijadikan satu berkas dengan surat-surat lainnya. Jika, dalam
pemeriksaan awal tidak terdapat cukup bukti adanya tindak pidana, maka
penyidik dapat menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan Surat
Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3). Namun, jika dipandang bukti
telah cukup maka penyidik dapat segera melimpahkan berkas perkara ke
kejaksaan untuk proses penuntutan.
Jika perkara telah diterima oleh jaksa penuntut umum, namun jaksa
penuntut umum memandang bahwa berkas perkara masih kurang
sempurna atau kurang lengkap atau alat bukti masih kurang, maka
penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik
disertai dengan catatan atau petunjuk tentang hal yang harus dilakukan
oleh penyidik agar berkas atau bukti tersebut dilengkapi. Proses ini
disebut dengan istilah “prapenuntutan” dan diatur dalam Pasal 138 ayat
(2) KUHAP.
Penuntut umum apabila berpendapat bahwa berkas yang
dilimpahkan oleh penyidik tersebut lengkap atau sempurna, maka
penuntut umum segera melakukan proses penuntutan. Dalam proses ini
jaksa penuntut umum melakukan klarifikasi kasus dengan mempelajari
dan mengupas bahan-bahan yang telah diperoleh dari hasil penyidikan
sehingga kronologis peristiwa hukumnya tampak dengan jelas. Hasil
kongkrit dari proses penuntutan ini adalah “Surat Dakwaan” dimana
tampak di dalamnya terdapat uraian secara lengkap dan jelas mengenai
unsur-unsur perbuatan terdakwa, waktu dan tempat terjadinya tindak
pidana (Locus dan Tempus Delicti), dan cara-cara terdakwa melakukan
tindak pidana. Dalam proses penuntutan, Penuntut Umum juga
menyiapkan barang bukti dari penyidik dan mempersiapkan dengan
cermat segala sesuatu yang diperlukan untuk meyakinkan hakim dan
membuktikan dakwaannya dalam persidangan.
Dengan diajukannya perkara, terdakwa, dan barang bukti ke pengadilan
oleh penuntut umum berarti proses pemeriksaan perkara terdakwa telah
sampai pada tahap peradilan. Tahap ini merupakan tahap yang
menentukan nasib terdakwa karena dalam tahap ini semua argumentasi
para pihak, masing-masing diadu secara terbuka dan masing-masing
dikuatkan dengan bukti-bukti yang ada.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh majelis hakim yang
jumlahnya ganjil yang pada umumnya 3 orang terdiri dari seorang hakim
ketua dan dua orang hakim anggota.
Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri, apa yang
diajukan oleh jaksa penuntut umum berupa dakwaan, tuntutan, dan semua
bukti yang diajukan, diperiksa oleh hakim/majelis hakim dan dijadikan
dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Terhadap putusan
tersebut semua pihak diberi kesempatan untuk menyatakan sikap;
menerima, pikir-pikir atau akan mengajukan upaya hukum.
Jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka putusan
tersebut dapat segera dilaksanakan (dieksekusi). Pelaksanaan eksekusi
putusan pengadilan dalam perkara pidana adalah jaksa. Jika amar
putusannya menyatakan bahwa terdakwa bebas atau lepas sedangkan
status terdakwa dalam tahanan, maka terdakwa harus segera dikeluarkan
dari tahanan dan dipulihkan hak-haknya kembali seperti sebelum diadili.
Jika amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa dipidana berupa
penjara atau kurungan, maka jaksa segera menyerahkan terdakwa ke
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) untuk menjalani hukuman dan
pembinaan.
Perlindungan hukum bagi saksi dalam proses peradilan pidana
tidak terlepas dengan tahapan-tahapan proses peradilan pidana itu
sendiri, mulai dari penyidikan hingga adanya putusan hakim yang
berkekuatan tetap serta sampai pada pelaksanaan keputusan pengadilan.
D. Keterangan Saksi sebagai Alat Bukti yang Sah dalam
Pembuktian Perkara Pidana
Pasal 1 angka 27 KUHAP memberikan penjelasan bahwa:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP.
Menurut M. Yahya Harahap bahwa:
“Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.”
Dalam Pasal 185 KUHAP, berbunyi:
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang Pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang
lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mengkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Pada umumnya semua orang dapat menjadi seorang saksi,
namun demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan mereka
tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
168 KUHAP yang berbunyi:
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Selanjutnya dalam Pasal 171 KUHAP juga menambahkan
pengecualian untuk memberikan kesaksian dibawah sumpah, yakni
berbunyi :
Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin.
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-
kadang baik kembali, boleh diperiksa memberi keterangan “tanpa
sumpah” di sidang pengadilan. Nilai keterangan mereka dinilai bukan
merupakan alat bukti yang sah. Akan tetapi, sekalipun keterangan itu
tidak merupakan alat bukti yang sah, penjelasan Pasal 171 KUHAP
telah menentukan nilai pembuktian yang melekat pada keterangan itu,
“dapat” dipakai sebagai “petunjuk”.
Orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya dapat
dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian, pada Pasal
170 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan
saksi yang dinyatakan dimuka sidang mengenai apa yang ia lihat, ia
rasakan, ia alami adalah keterangan sebagai alat bukti (Pasal 185 ayat
(1) KUHAP), bagaimana terhadap keterangan saksi yang diperoleh dari
pihak ketiga? Misalnya, pihak ketiga menceritakan suatu hal kepada
saksi bahwa telah terjadi pembunuhan. Kesaksian demikian adalah
disebut testimonium de auditu.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang
mengatakan :
“Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”.
Selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yang mencari
kebenaran material, dan juga untuk perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia dimana keterangan seorang saksi yang hanya
mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, maka
kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak dipakai di
Indonesia. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu didengar oleh
hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi
dapat memperkuat keyakinan hakim bersumber pada dua alat bukti
yang lain .
Hal ini terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP juga menyebutkan sebagai
berikut:
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya”.
Menurut D. Simons :
“Satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri, suatu petunjuk suatu dasar pembuktian dan juga ajaran Hoge Raad bahwa dapat diterima keterangan seorang saksi untuk suatu unsur (bestanddeel) delik”.
M. Yahya Harahap mengungkapkan:
“Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis”. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, “kesaksian tunggal” yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya”.
Namun apabila disuatu persidangan seorang terdakwa mengaku
kesalahan yang didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang saksi saja
sudah dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Karena selain keterangan
seorang saksi tadi, juga telah dicukupi dengan alat bukti keterangan
terdakwa. Akhirnya telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian yakni
keterangan saksi dan keterangan terdakwa.
Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi tergantung pada
penilaian hakim, artinya hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran
yang melekat pada keterangan saksi. Tidak ada keharusan bagi hakim
untuk menerima kebenaran yang melekat pada keterangan saksi dan
hakim dapat menerima atau menyingkirkan keterangan saksi tersebut.
Jika seandainya undang-undang menentukan bahwa alat bukti kesaksian
mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan,
maka hakim tidak boleh menilai kekuatan pembuktiannya, hakim secara
bulat harus terikat untuk mempergunakannya dalam putusan, tidak lagi
berwenang menilainya secara bebas. Namun dalam hal, hakim
mempergunakan kebebasan menilai kekuatan pembuktian kesaksian,
harus benar-benar bertanggung jawab. Jangan sampai kebebasan
penilaian itu menjurus kepada kesewenang-wenangan tanpa moralitas
dan kejujuran yang tinggi. Kebebasan penilaian tanpa diawasi rasa
tangggung yang tinggi, bisa berakibat orang yang jahat akan mengenyam
keuntungan. Orang yang tak bersalah akan mengalami kesengsaraan.
Oleh karena itu kebebasan hakim dalam menilai kebenaran keterangan
saksi harus berpedoman pada tujuan mewujudkan kebenaran sejati.
E. Kerangka Pemikiran
Istilah negara hukum di Indonesia sudah sangat popular, sehingga
orang tidak asing lagi dengan sebutan itu. Konsep tersebut selalu
dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab konsep itu tidak
lepas dari gagasan untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia.
Konsep negara juga hukum terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie)
yang berarti penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara adalah
hukum.
Menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah
rechtsstaat mencakup empat elemen penting, yaitu :
1. Perlindungan hak asasi manusia.2. Pembagian kekuasaan.3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.4. Peradilan tata usaha negara.
Adapun AV Decey menyebutkan ciri-ciri negara hukum (The Rule of
Law) yaitu :
1. Supremacy of Law.2. Equality before the Law.3. Due Process of law.
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, ada 12 (dua belas) prinsip pokok
atau pilar utama suatu negara hukum, yaitu :
1. Supremasi hukum (Supremacy of Law)2. Persamaan dalam hukum (Equality before the Law)3. Asas legalitas4. Pembatasan kekuasaan. 5. Organ-organ eksekutif yang independen. 6. Peradilan bebas dan tidak memihak. 7. Peradilan tata usaha negara, 8. Mahkamah konstitusi (Constitutional Court). 9. Perlindungan hak asasi manusia. 10.Bersifat demokratis (Democratishe Rechtsstaat). 11.Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara
(Welfare Rechtsstaat).12.Transparansi dan kontrol sosial.
Baik Frederich J Stahl maupun AV Dicey maupun Jimly Asshiddiqie
memasukkan masalah perlindungan hak –hak asasi manusia dalam salah
satu ciri negara hukum.
Perlindungan saksi adalah perlindungan yang tidak terlepas dengan
perlindungan hak asasi manusia.
Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah
perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia. Oleh karena itu, Hak
Asasi Manusia (HAM) merupakan materi inti dari naskah undang-undang
dasar negara modern. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia .
Oleh karena itu, materi pengaturan mengenai pengakuan dan
perlindungan HAM dipandang perlu untuk diatur dalam konstitusi karena
mengenai pengakuan dan perlindungan HAM merupakan hal dasar yang
harus ada dalam konstitusi (tata hukum), agar mempunyai legitimasi yang
kuat sehingga dalam penerapan perlindungan terhadap HAM mempunyai
dasar hukum yang kuat.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan
tentang hak-hak asasi manusia yang telah diadopsikan ke dalam sistem
hukum dan konstitusi Indonesia itu berasal dari berbagai konvensi
internasional dan deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia serta
berbagai instrumen hukum internasional lainnya .
Oleh karena itu dalam proses peradilan pidana, setiap orang yang akan
memberi kesaksian harus dilindungi karena itu merupakan hak asasi yang
paling mendasar yang dimiliki setiap manusia.
Muladi menyatakan bahwa perlunya pengaturan dan perlindungan hukum
bagi saksi dan korban dapat dibenarkan secara sosiologis bahwa dalam
kehidupan bermasyarakat semua warga negara harus berpartisipasi
penuh, sebab masyarakat dipandang sebagai sistem kepercayaan yang
melembaga “system of in instuitutionalizet trust”. Tanpa kepercayaan ini,
kehidupan sosial tidak mungkin berjalan baik, sebab tidak ada pedoman
atau patokan yang pasti dalam bertingkah laku. Kepercayaan ini terpadu
melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan
(organisasi) seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan sebagainya.
Perlindungan terhadap saksi harus diberikan bila menginginkan
proses hukum berjalan benar dan keadilan ditegakkan. Ini karena fakta
menunjukkan, banyak kasus-kasus pidana maupun pelanggaran hak asasi
manusia yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan adanya
ancaman baik fisik atau psikis maupun upaya kriminalisasi terhadap saksi
yang membuat mereka takut memberi kesaksian kepada penegak hukum.
Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel bebas adalah variabel yang
mempengaruhi perlindungan hukum bagi saksi dalam proses pemeriksaan
perkara pidana. Adapun yang dikaji dalam penelitian ini terdiri dari variabel
utama, yakni : (1) bagaimana konsep perlindungan hukum bagi saksi dan
(2) implementasi perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses
pemeriksaan perkara pidana di Indonesia.
Indikator-indikator variabel yang akan dikaji dari konsep perlindungan
hukum bagi saksi dilihat dari hak dan kewajiban saksi, prosedur
perlindungan saksi, dan tanggung jawab LPSK terhadap perlindungan
saksi.
Adapun indikator-indikator variabel yang akan dikaji dari implementasi
perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses pemeriksaan
perkara pidana di Indonesia dilihat dari peran LPSK dan kendala-
kendala LPSK dalam memberikan perlindungan hukum terhadap saksi.
Apabila kedua variabel bebas tersebut diatas telah berfungsi sebagaimana
mestinya, maka akan terwujud variabel terikat, yakni optimalisasi
perlindungan hukum bagi saksi dalam proses pemeriksaan perkara
pidana.
Untuk memperjelas kerangka pemikiran tersebut, maka dapat
diperhatikan bagan kerangka pikir berikut ini :
Bagan Kerangka Pikir
Implementasi perlindungan hukum bagi saksi :
1. Peran LPSK2. Kendala-kendala LPSK
dalam memberikan perlindungan hukum terhadap saksi
Konsep perlindungan hukum bagi saksi :
1. Hak dan kewajiban saksi2. Prosedur perlindungan saksi3. Tanggung jawab LPSK
terhadap perlindungan saksi
Optimalisasi perlindungan hukum bagi saksi dalam proses pemeriksaan
perkara pidana
Perlindungan saksi
F. Definisi Operasional
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan :
1. Konsep adalah gambaran dari proses perlindungan hukum bagi saksi
dalam proses pemeriksaan perkara pidana.
2. Hak adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu krn telah ditentukan oleh
undang-undang.
3. Kewajiban adalah sesuatu yg harus dilaksanakan.
4. Prosedur adalah suatu tata cara kerja atau tahap kegiatan untuk
menyelesaikan pekerjaan dengan urutan waktu dan memiliki pola kerja
yang tetap yang telah ditentukan.
5. Tanggung jawab adalah kesadaran seseorang akan perbuatannya baik
yang disengaja maupun yang tidak di sengaja dan wajib menanggung
segala akibat dari perbuatannya tersebut.
6. Implementasi adalah pelaksanaan atau penerapan dari suatu
pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang
dan terperinci.
7. Peran adalah tindakan yg dilakukan oleh seseorang dalam suatu
peristiwa.
8. Kendala adalah keadaan yg menghalangi pencapaian pelaksanaan
suatu pekerjaan.
9. Optimalisasi perlindungan saksi adalah upaya yang dilakukan untuk
memberikan perlindungan yang terbaik kepada setiap orang yang akan
bersaksi dalam proses pemeriksaan perkara pidana sehingga tidak
takut lagi memberikan kesaksiannya karena telah dijamin hak-haknya
sebagai saksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Permasalahan pokok dalam penelitian adalah tentang perlindungan
hukum bagi saksi dalam proses peradilan pidana di Indonesia, yang
berorientasi pada kebijakan sistem peradilan pidana. Oleh karena itu
penelitian ini akan menggunakan pendekatan normatif empiris.
Dalam penelitian ini akan dikaji pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap saksi, dalam hal ini mencakup :
- Hak dan kewajiban saksi.
- Prosedur perlindungan saksi.
- Tanggung jawab LPSK terhadap perlindungan saksi.
- Peran LPSK.
- Kendala-kendala LPSK dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap saksi.
B. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menyajikan
gambaran tentang perlindungan hukum bagi saksi dalam proses
peradilan pidana di Indonesia dan menganalisis permasalahan
tersebut secara cermat dan objektif.
C. Jenis Data
Untuk penelitian normatif empiris menggunakan peraturan
perundang-undangan dan data yang diperoleh langsung dari responden
sebagai data primer, sedangkan untuk data sekundernya melalui studi
kepustakaan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dikenal adalah studi kepustakaan,
pengamatan (observasi), wawancara (interview), dan daftar pertanyaan
(kuesioner). Sesuai dengan jenis data seperti yang dijelaskan di atas,
maka dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a. Studi kepustakaan
Terhadap data sekunder dikumpulkan dengan melakukan studi
kepustakaan, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan serta
mengkaji peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan artikel
ilmiah yang berhubungan dengan perlindungan saksi.
b. Wawancara
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan melalui tatap muka secara
langsung dengan cara tanya jawab kepada responden yang dipandang
kompoten dengan penelitian.
E. Metode Analisa Data
Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari
responden melalui wawancara akan dianalisis dengan menggunakan
metode analisa kualitatif. Analisa kualitatif yaitu metode analisis data yang
mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari studi
kepustakaan dan responden melalui wawancara sehingga diperoleh
jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.
F. Lokasi Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, lokasi yang menjadi objek
penelitian adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di
Jakarta.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Perlindungan Hukum bagi Saksi
1. Hak dan Kewajiban Saksi
Perlindungan hukum terhadap saksi mutlak harus dilakukan.
KUHAP, yang menjadi landasan beracara di dalam peradilan pidana tidak
mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi secara spesifik. Hanya
terdapat beberapa ketentuan di KUHAP yang mengatur mengenai hak-hak
seorang saksi.
KUHAP tidak secara jelas mengatur mengenai perlindungan
terhadap saksi. Namun, terdapat beberapa ketentuan di dalam KUHAP
yang mengatur mengenai hak-hak dan kewajiban seorang saksi dalam
suatu proses pemeriksaan perkara pidana.
Hak-hak saksi dalam KUHAP, yaitu :
1. Hak untuk tidak mendapat tekanan dari siapa pun dan atau dalam
bentuk apapun dalam memberikan keterangan kepada penyidik
(Pasal 117 ayat (1)).
2. Hak untuk tidak diberikan pertanyaan yang bersifat menjerat pada
saat persidangan (Pasal 166).
3. Hak untuk diperiksa tanpa hadirnya terdakwa pada saat saksi
diperiksa (Pasal 173).
4. Hak untuk mendapatkan penterjemah atas saksi yang tidak paham
bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat (1)).
5. Hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk
mendapatkan penerjemah (Pasal 178 ayat (1)).
6. Hak untuk mendapatkan pemberitahuan sebelumnya selambat-
lambatnya 3 hari sebelum menghadiri sidang (Pasal 227 ayat (1)).
7. Hak untuk mendapatkan biaya pengganti atas kehadiran di sidang
pengadilan (Pasal 229 ayat (1)).
Hak-hak di atas masih sangat terbatas, mengingat modus tindak pidana
yang terus berkembang.
Adapun kewajiban dari saksi menurut KUHAP antara lain:
1. Pasal 112 ayat (2) mewajibkan saksi yang dipanggil untuk
memberikan keterangan kepada penyidik, kecuali ada alasan wajar
bahwa dia tidak dapat hadir dalam hal mana penyidiklah yang
datang kepadanya (Pasal 113).
2. Sebelum memberi keterangan di pengadilan, saksi wajib
mengucapkan sumpah atau janji (Pasal 160 ayat (3)).
3. Saksi wajib memberikan keterangan yang sebenarnya, jika
keterangan saksi disangka palsu maka saksi tersebut dapat dituntut
karena memberikan keterangan palsu (Pasal 174 ayat (1)).
Menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyebutkan beberapa hak
saksi (termasuk korban), yaitu:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru;j. mendapatkan tempat kediaman baru;k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; dan/ataum. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas
waktu perlindungan berakhir.
Hak-hak ini dilakukan di luar pengadilan dan dalam proses peradilan
jika yang bersangkutan menjadi saksi. Jika dicermati dalam Pasal 5
ayat (2), maka hak-hak sebagaimana dimaksudkan di atas sebenarnya
hanya berlaku untuk kasus-kasus tertentu sesuai keputusan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jadi pemberian hak-hak
tersebut secara selektif dan prosedural melalui LPSK. Yang dimaksud
dengan kasus-kasus tertentu, antara lain: tindak pidana korupsi, tindak
pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak
pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi (dan korban) dihadapkan
pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
Hak-hak yang diberikan kepada saksi diatas belum cukup memberikan
hak-hak kepada saksi secara lebih spesifik misalnya:
1. Hak mendapatkan kepastian atas status hukum.
2. Hak atas jaminan tidak adanya sanksi dari atasan berkenaan
dengan keterangan yang diberikan.
3. Hak untuk mendapatkan pekerjaan pengganti.
Keseimbangan dari hak yang melekat pada seorang saksi,
terdapat juga kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan oleh saksi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban, bila saksi menginginkan perlindungan, maka yang
bersangkutan mengajukan permohonan tertulis kepada pihak LPSK.
Jika permohonan saksi diterima, maka diwajibkan untuk
menandatangani persyaratan kesediaan mengikuti syarat dan
ketentuan perlindungan (Pasal 30), sebagai berikut:
1. Kesediaan saksi untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan.
2. Kesediaan saksi untuk mentaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya.
3. Kesediaan saksi untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK.
4. Kewajiban saksi untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK.
5. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
2. Prosedur Perlindungan Saksi
Untuk memperoleh perlindungan dari LPSK, ada beberapa
prosedur yang harus dilaksanakan diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Saksi wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Ketua LPSK
untuk memperoleh perlindungan.
Permohonan diajukan secara tertulis oleh pihak yang
bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri, diajukan oleh orang yang
mewakilinya, dan atau oleh pejabat yang berwenang.
Pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah :
1) aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan;
2) instansi yang diberikan kewenangan dalam Undang-undang untuk memberikan perlindungan saksi dan/atau korban; dan
3) lembaga atau komisi, yang mempunyai kewenangan untuk melindungi saksi dan/atau korban.
Jika pemohon mengajukan permohonan melalui kuasa hukumnya,
maka kuasa hukumnya harus memperlihatkan surat kuasa dari
pemohon.
Selain itu, pemohon dapat juga mengajukan permohonan melalui
surat maupun dokumen elektronik.
b. LPSK melakukan pemeriksaan terhadap permohonan.
Setelah permohonan diterima oleh LPSK, LPSK lalu menganalisis
dan melakukan investigasi permohonan tersebut.
c. Pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi ditentukan dan
didasarkan pada Keputusan LPSK.
Permohonan yang diajukan oleh pemohon selanjutnya akan
dibahas dalam Rapat Paripurna Anggota LPSK untuk diambil
keputusan diterima atau ditolaknya permohonan dari pemohon.
Jika keputusan Rapat Paripurna LPSK menolak permohonan
pemohon, maka LPSK majib memberitahukan secara tertulis
kepada pemohon dengan disertai alasan penolakannya.
Jika keputusan Rapat Paripurna LPSK menerima permohonan
pemohon, LPSK memberitahukannya secara tertulis kepada
pemohon, kuasa hukum, keluarganya, atau pejabat yang
berwenang mengajukan permohonan perlindungan bahwa
permohonannya telah diterima.
d. Dalam hal LPSK menerima permohonan tersebut, saksi yang
bersangkutan berkewajiban menandatangani perjanjian
perlindungan dan pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan
ketentuan perlindungan Saksi.
e. Sebelum menandatangani perjanjian perlindungan, pemohon wajib
memahami konsep perjanjian perlindungan yang berisi materi
sebagai berikut :
1) Komparasi, yaitu hal yang menjelaskan kedudukan Para Pihak.2) Resital, yaitu hal yang menjelaskan posisi dan/atau
kewenangan Para Pihak.3) Hal yang mendasari dalam pembuatan perjanjian.4) Klasifikasi perlindungan.5) Bentuk perlindungan.6) Hak dan kewajiban para Pihak.7) Batas waktu perjanjian atau berhentinya perlindungan.
8) Perubahan / Addendum.9) Anggaran. Surat pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan
perlindungan saksi, yang telah ditandatangani oleh saksi,
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian
perlindungan.
f. Perlindungan LPSK diberikan kepada Saksi termasuk keluarganya
sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan mengikuti syarat
dan ketentuan perlindungan saksi.
Program perlindungan dinyatakan berlaku sejak ditandatanganinya
Perjanjian Perlindungan dan Pernyataan kesediaan oleh Para
Pihak dalam hal ini Ketua LPSK sebagai Pihak Pertama dan
pemohon sebagai Pihak Kedua.
g. Pembiayaan perlindungan dan bantuan yang diberikan dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dalam
memberikan perlindungan kepada saksi dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
h. Perlindungan bagi saksi hanya dapat dihentikan berdasarkan
alasan:
1) Saksi meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
2) Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap saksi berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;
3) Saksi melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau
4) LPSK berpendapat bahwa saksi tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
i. Penghentian atau perubahan perlindungan keamanan seorang
saksi harus dilakukan secara tertulis.
3. Tanggung Jawab LPSK
LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian
perlindungan kepada saksi berdasarkan tugas dan kewenangan
sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Adapun tanggung jawab LPSK dalam hal perlindungan saksi antara lain:
1. Memberikan rasa aman kepada para saksi dalam memberikan keterangan dalam semua tahapan proses peradilan hukum pidana;
2. Memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada para saksi yang akan, sedang dan atau telah memberikan keterangan sehubungan dengan perkara pidana tertentu;
3. Mendayagunakan berbagai sumberdaya kemampuan dan anggaran negara untuk melakukan perlindungan, bantuan, dan perwujudan hak-hak saksi berkenaan dengan proses peradilan pidana terhadap kasus-kasus tertentu;
4. Melakukan upaya perlindungan saksi sesuai kewenangan yang ditentukan oleh ketentuan hukum perundang-undangan yang berlaku;
5. Membuat sistem dan model-model pertanggungjawaban proses pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi; dan
6. Membuat laporan berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada DPR-RI dan Presiden RI.
Undang-Undang No 13 Tahun 2006 menyatakan LPSK
bertanggung jawab kepada Presiden. Implikasi atas hal ini maka presiden
sebagai pejabat negara tertinggi yang bertanggungjawab atas kerja-kerja
dari LPSK dan oleh karena itu pula maka presiden harus memfasilitasi
lembaga ini sesuai dengan mandat dan tugasnya. Jangan sampai
lembaga ini dibiarkan menjadi lembaga yang dikucilkan dan tak terdukung
oleh Presiden.
Salah satu tanggung jawab LPSK adalah membuat laporan secara
berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan
Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun. Penugasan ini adalah
sebagai fungsi kontrol dari DPR sebagai perwakilan rakyat Indonesia.
Namun perlu diperhatikan isi dan format seperti apa yang harus dilaporkan
kepada DPR maupun Presiden. Karena laporan-laporan tersebut jangan
sampai membuka informasi yang justru telah ditetapkan sebagai rahasia
oleh LPSK dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006.
Disamping sebagai fungsi kontrol dan pengawasan kinerja, DPR
juga seharusnya menjadi rekan dari LPSK baik sebagai pendukung
program LPSK maupun pemberi rekomendasi yang membantu
pengembangan program LPSK itu sendiri.
B. Implementasi Perlindungan Hukum bagi Saksi dalam Proses
Pemeriksaan Perkara Pidana di Indonesia
1. Peran LPSK
Dalam proses pemeriksaan perkara pidana mulai dari tahap
penyelidikan sampai dengan pembuktian di persidangan, keberadaan
dan peran saksi sangatlah diharapkan. Bahkan keterangan dari saksi
merupakan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam
pengungkapan kasus pidana atau bisa di katakan juga saksi bisa
menjadi kunci untuk menerangkan suatu kasus pidana.
Pada saat saksi akan memberikan keterangan tentunya harus
disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut
sebelum, pada saat dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini
penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang
akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil
dari tekanan pihak-pihak tertentu.
Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan
pada pemeriksaan keterangan saksi bahkan pemeriksaan di sidang
pengadilan menurut KUHAP dimulai de ngan mendengarkan saksi,
walaupun dalam permulaan sidang hakim menanyakan identitas dari
terdakwa dan jaksa membacakan surat dakwaan, sekurang-kurangnya
di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu
diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Menjadi
saksi dalam persidangan merupakan suatu kewajiban bagi setiap
warga Negara. Kesadaran orang yang menjadi saksi merupakan tanda
bahwa orang tersebut telah taat dan sadar hukum.
Saksi dalam proses peradilan pidana selama ini kurang
mendapat perhatian dari masyarakat maupun para penegak hukum.
Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk
melaporkan atau menjadi saksi atas suatu tindak pidana jika dirinya,
keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari
ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukannya.
Kalau tidak mendapat perlindungan yang memadai, saksi akan enggan
memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan
dirasakannya sendiri.
Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan
banyak disebabkan karena saksi yang takut untuk memberikan
keterangan yang ia ketahui tentang suatu tindak pidana yang ia lihat
dan dengar sendiri, ini disebabkan karena saksi telah mendapat
ancaman dari pihak tertentu. Untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat untuk mengungkap tindak pidana sudah seharusnyalah
perlu diciptakan keadaan yang kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang
mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu
mengungkap tentang suatu tindak pidana yang telah terjadi dan tanpa
ada rasa takut memberikan laporan atau keterangan kepada aparat
penegak hukum demi terungkapnya kebenaran atas suatu peristiwa
tindak pidana. Saksi harus diberikan perlindungan hukum dan
keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa
terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan
terciptanya suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi
merasa takut atau khawatir jiwanya terancam oleh pihak tertentu untuk
melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak
hukum akan memudahkan terungkapnya fakta di dalam proses
peradilan pidana.
Perlindungan hukum bagi saksi dalam proses pemeriksaan
perkara pidana di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK).
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban pada awalnya
adalah amanat yang didasarkan ketetapan (TAP) MPR No. VIII tahun
2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan
pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme, yang menyatakan bahwa
perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang
perlindungan saksi. Berdasarkan amanat TAP MPR tersebut maka
badan legislasi DPR RI kemudian mengajukan sebuah RUU
perlindungan saksi dan korban pada tanggal 27 Juni 2002 dan
ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU
usul inisiatif DPR. Selanjutnya pada tanggal 30 Agustus 2005 presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan sebuah Surat Presiden
(Supres) mengenai kesiapan pemerintah untuk pembahasan RUU
Perlindungan Saksi dan Korban serta sekaligus menunjuk Menteri
Hukum dan HAM sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan
tersebut. Turunnya Supres tersebut sudah menunjukan itikad baik dari
pemerintah agar RUU PSK dapat segera dibahas di DPR. Hal tersebut
kemudian direspon oleh komisi III DPR RI yang menetapkan
pembahasan RUU PSK dalam bentuk Panitia Kerja (Panja). Proses
pembahasan RUU yang dibantu oleh wakil dari pemerintah dilakukan
secara marathon sejak tanggal 8 Februari 2006, hasil pembahasan
tersebut dirumuskan oleh tim perumus (Timus) dan penelitian bahasa
(Libas) yang diteruskan dalam rapat komisi III dan Pleno DPR. Pada
tanggal 18 Juli akhirnya RUU ini disahkan menjadi UU No. 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Sakai dan Korban.
Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before
the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dalam
proses penegakan hukum pidana harus diberi jaminan perlindungan
hukum. Keberadaan Undang-undang Perlindungan saksi dan korban
diharapkan menjadi terobosan di dunia peradilan di Indonesia. Salah
satu alasan diajukannya Undang-undang ini karena ketentuan hukum
acara pidana atau perundang-undangan lainnya belum memberikan
perlindungan hukum khususnya bagi saksi untuk dapat menyampaikan
sendiri apa yang ia dengar, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
pada tahun 2008 telah memunculkan harapan baru bagi masyarakat,
khususnya mereka yang menjadi saksi. Masyarakat berharap agar LPSK
dapat memperhatikan kepentingan saksi dan untuk mendapatkan
perlindungan dan keadilan, terutama dalam memberikan perlindungan
terhadap saksi.
Harapan masyarakat tersebut tidaklah jauh berbeda dengan maksud dan
tujuan pembentukan LPSK, yaitu dalam rangka meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam mengungkap suatu tindak pidana.
Oleh karena itu, LPSK harus menciptakan suasana yang kondusif agar
setiap orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana memiliki kemauan
dan keberanian untuk melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Respon yang baik terhadap keberadaan LPSK ini tampak dari
meningkatnya laporan dan pengaduan dari saksi kepada LPSK.
Berdasarkan hasil penelitian, laporan dan pengaduan terhadap LPSK
selalu mengalami peningkatan sejak dibentuknya LPSK pada tahun 2008
sampai dengan tahun 2012. Peningkatan perlindungan saksi yang
dilakukan oleh LPSK dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1
Data saksi yang telah mendapat perlindungan LPSK sejak Agustus 2008 s/d Desember 2012
Tahun Jumlah saksi yang dilindungi LPSK2008
2009
2010
2011
2012
10
74
94
266
281
(Sumber : LPSK)
Dari data diatas dapat dilihat bahwa sejak berdirinya LPSK pada
bulan Agustus tahun 2008 sampai dengan bulan Desember tahun 2012,
jumlah saksi yang mendapat perlindungan dari LPSK selalu mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun.
Peningkatan ini disebabkan karena LPSK telah membuat berbagai
sistem dan mekanisme yang memudahkan saksi untuk mengakses dan
berkomunikasi dengan LPSK, sehingga memberikan gambaran yang jelas
mengenai prosedur dan tahapan yang harus dilalui saksi untuk
mendapatkan perlindungan dari LPSK.
Peningkatan ini juga disebabkan karena sambutan masyarakat atas
keberadaan dan peran LPSK semakin meningkat. Keberadaan LPSK
memberi harapan masyarakat akan adanya penegakan hukum yang lebih
baik di Indonesia.
Khusus untuk propinsi Sulawesi Selatan sejak berdirinya LPSK sampai
dengan tahun 2011 telah menerima laporan permohonan perlindungan
sebanyak 8 (delapan) kasus, sedangkan untuk 2012 tidak ada
permohonan dari Sulsel yang masuk ke LPSK.
Mengutip pendapat Ketua LPSK :
Dalam rentang waktu dari 2008 hingga 2010, lembaga ini baru menerima empat kasus. Sementara hingga September 2011, telah mencapai empat kasus. Sejak berdiri 2008, laporan permintaan perlindungan saksi dari Sulsel total delapan kasus.
Permohonan perlindungan berasal dari kasus pembunuhan, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan
aparat penegak hukum. Tentu permintaan yang masuk tidak kami terima semua, ada beberapa hal yang harus dilengkapi. Disinyalir masih banyak kasus serupa, tapi enggan dilaporkan, terutama di daerah yang akses informasinya cukup sulit. Kami telah meneliti intensitas terjadinya tindak kekerasan terhadap saksi dan hasilnya cukup banyak. Namun, karena letak LPSK dengan tempat kejadian jauh mengakibatkan laporan yang masuk terbilang kecil.
Perlindungan hukum yang diberikan UU PSK terhadap saksi
dapat dilihat dalam Pasal 10 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan
Korban yang berbunyi :
(1) Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
Perlindungan hukum terhadap saksi yang dimaksud pada ayat
tersebut adalah berupa kekebalan yang diberikan kepada saksi untuk
tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas
laporan maupun kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
Selain itu perlindungan hukum terhadap saksi juga dapat dilihat
dalam Pasal 31 Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi
dan Korban, yang menyatakan bahwa bentuk pemberian perlindungan
hukum kepada saksi diberikan dengan mengadakan :
a. Pelayanan jasa penasehat hukum; b. Pendampingan terhadap saksi dan/atau korban pada saat
memberikan keterangan atau kesaksiannya dalam proses peradilan pidana yang sedang, dan telah dihadapi;
c. Memberikan surat rekomendasi Ketua LPSK disampaikan kepada pejabat berwenang yang menangani kasus/perkaranya yang memuat antara lain : 1. saksi dalam memberikan keterangan atau kesaksiannya
agar tidak mendapat tekanan; 2. bebas dari pertanyaan yang menjerat.
d. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; e. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; dan f. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.
LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi bersifat
pasif maupun aktif.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Anggota LPSK Tasman Gultom, yang
menyatakan :
“LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dapat bersifat pasif maupun aktif. Pasif artinya LPSK menunggu permohonan dari saksi yang ingin mendapatkan perlindungan, sedangkan aktif artinya tim dari LPSK dapat terjun langsung ke lapangan untuk langsung memberikan perlindungan tanpa harus ada permohonan dari saksi.”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Wakil Ketua LPSK Lies
Sulistiani, yang menyatakan :
”Jenis kasus apa pun jika ada pihak yang melaporkan butuh perlindungan dalam sebuah kasus akan kami dampingi. Kami juga menjemput bola jika ada saksi yang tidak melaporkan dirinya, tapi kasus cukup besar akan dilindungi.”
LPSK memberikan perlindungan secara aktif dapat dilihat dalam kasus
Mesuji dimana LPSK telah menjemput “bola” terlebih dulu, dalam
kerangka pemberian perlindungan. LPSK menemukan saksi
mengalami penderitaan dan trauma yang mendalam sehingga perlu
percepatan penanganan proses penegakan hukum agar konflik tidak
berkepanjangan di masyarakat, serta memberikan kepastian hukum
terhadap saksi dalam kasus tersebut.
Adapun kriteria kasus yang dijemput bola LPSK, adalah kasus
yang spesifik dan menonjol. Kasus yang berpotensi membahayakan
saksi menjadi prioritas untuk segera diantisipasi.
Berdasarkan hasil penelitian, saksi-saksi yang dilindungi LPSK
sebagian besar mulai dilakukan perlindungan sejak awal penyelidikan
karena sebagian besar saksi sudah merasa terancam dan sering
diteror pada saat penyelidikan khususnya untuk perkara tindak pidana
korupsi, contohnya pada kasus suap pengurusan kuota impor daging
sapi di Kementerian Pertanian, dimana salah satu saksinya yakni
Mantan Direktur Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian,
Prabowo Respatiyo Caturroso telah memperoleh perlindungan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Perlindungan itu
diberikan karena Prabowo yang kini menjabat staf ahli Menteri
Pertanian merupakan saksi dalam kasus suap pengurusan kuota impor
daging di Kementerian Pertanian dan memohon kepada LPSK untuk
dilindungi karena ia mengaku sering mendapat ancaman melalui
teleponn sejak menjadi saksi dalam kasus tersebut.
Sepanjang tahun 2012, 22 dari 30 saksi yang meminta
perlindungan ke LPSK sebelumnya mengalami ancaman serangan balik
dari pihak yang dirugikan akibat laporan atau kesaksiannya. Serangan
balik ini dilakukan mulai dari dilaporkan tindak pidana lain, teror, sampai
upaya percobaan pembunuhan terhadap saksi .
Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai mengatakan :
“Kondisi ini mencerminkan potensi ancaman dan serangan balik terhadap saksi dalam kasus korupsi sangat besar. Korupsi merupakan kategori tindak pidana terorganisir, sehingga potensi ancaman terhadap saksi dilakukan secara terorganisir karena melibatkan pihak yang berpengaruh dan posisi 'kuat’.Tingginya potensi ancaman terhadap saksi dalam tindak pidana korupsi ini seharusnya didukung dengan upaya aparat penegak hukum untuk lebih hati-hati dalam menangani proses hukum tindak pidana korupsi. Seharusnya aparat penegak hukum lebih sensitif terhadap potensi ancaman terhadap para saksi dalam tindak pidana korupsi, yakni dengan merahasiakan identitas saksi dan proses pemeriksaan yang kondusif sehingga membuat saksi nyaman dan tidak khawatir akan keselamatan jiwanya ketika diperiksa.”
Juru Bicara LPSK Maharani Siti Shopia, mengatakan :
"LPSK memberikan penanganan khusus terhadap saksi tindak pidana korupsi tersebut, dengan melakukan analisis resiko secara berkala dan intensif untuk meminimalisir perubahan situasi yang dapat memperburuk kondisi saksi tersebut. Perubahan situasi tersebut pernah terjadi dan dialami seorang saksi di Bengkulu. Konstelasi ancaman terhadap saksi tersebut meningkat, seiring rencana bebasnya pelaku korupsi yang dilaporkannya, bentuk ancaman tersebut berupa pembakaran rumah saksi oleh orang yang tidak dikenal pada malam hari.”
Pada dasarnya perlindungan bagi saksi di Indonesia yang
diberikan Negara melalui LPSK sebagai pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini difokuskan pada tindak
pidana/kasus-kasus tertentu seperti penjelasan Pasal 5 ayat (2) yang
dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu”, antara lain tindak pidana
korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme
dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dihadapkan
pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya, tetapi pada
kenyataannya perlindungan dan bantuan bagi saksi saat ini bukan
hanya diperlukan untuk tindak pidana atau kasus-kasus tertentu seperti
dimaksud penjelasan Pasal 5 ayat (2) tersebut melainkan tindak
pidana umum lainnya yang bersentuhan dengan konflik sosial di
Indonesia terutama masyarakat di wilayah luar Jakarta dan luar pulau
Jawa yang sedikit lebih sensitif dengan permasalahan hukum yang
dialami. Hal ini sesuai dengan data pada LPSK, bahwa jenis tindak
pidana yang dimasukkan permohonan perlindungan hukum oleh saksi
ke LPSK lebih banyak berasal dari tindak pidana umum.
Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan penegakan
hukum, peran LPSK semakin diperlukan untuk mencari kebenaran dan
pengungkapan suatu tindak pidana terutama untuk kasus-kasus yang
mempunyai implikasi pada kepentingan umum. Peran LPSK dalam
penegakan hukum adalah memastikan perlindungan khususnya
terhadap hak-hak saksi untuk dapat direalisasikan dalam setiap proses
pemeriksaan perkara pidana. Peran LPSK adalah memberikan
dukungan bagi penegak hukum agar proses pemeriksaan perkara
pidana dapat berjalan dan memberikan jaminan keadilan bagi saksi.
Adanya dorongan terhadap peran LPSK yang makin penting dalam
mendukung proses penegakan hukum dan perlindungan hak asasi
manusia, menuntut LPSK untuk dapat berjalan sesuai dengan aspirasi
dan tuntutan publik yang semakin meningkat.
2. Kendala – kendala LPSK dalam memberikan Perlindungan Hukum
terhadap Saksi
LPSK dalam memberikan layanan pemberian perlindungan memiliki
tugas untuk menjamin agar saksi dapat memberikan keterangan pada
setiap proses pemeriksaan perkara pidana atas apa yang ia dengar, lihat,
dan ia alami sendiri dengan aman tanpa adanya ancaman atau intimidasi
dari pihak manapun, sehingga dapat memberikan kontribusi secara
optimal dalam mengungkap suatu tindak pidana. Namun, LPSK dalam
menjalankan tugasnya, sering menghadapi kendala sehingga hasil kerja
LPSK menjadi tidak optimal. Berdasarkan hasil penelitian, kendala-
kendala LPSK selama menjalankan tugasnya memberikan perlindungan
hukum bagi saksi terbagi 2 yakni :
1. Kendala internal
Dari segi kedudukan LPSK.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan
kedudukan LPSK berada di Jakarta,
Bisa dibayangkan kalau LPSK disentralkan di Jakarta, jelas akan
sulit menangani permohonan yang telah dikabulkan LPSK pada
waktu yang bersamaan. Jelas, di tingkat operasional, perlu
desentralisasi penanganan.
Mengutip pendapat Juru bicara LPSK :
“Keberadaan LPSK yang hanya bertempat di ibukota memang menjadi kendala tersendiri dalam pengajuan permohonan perlindungan oleh masyarakat.”
Untuk mengatasi hal tersebut, UU PSK memberikan keleluasaan
bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di wilayah atau daerah
lain jika hal tersebut dianggap menjadi peran yang sangat penting
untuk pemberian perlindungan. Pilihan UU PSK memberikan akses
bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan
yang tepat karena dari segi geografis wilayah Republik Indonesia
yang sangat luas dan akses informasi maupun komunikasi yang
terbatas baik antara wilayah maupun antar ibukota dengan wilayah
lainnya, dan kasus-kasus intimidasi terhadap saksi yang terjadi
selama ini justru paling banyak terjadi di luar wilayah Jakarta.
Perwakilan LPSK di daerah bisa didirikan ditingkat wilayah tertentu
(antar propinsi) atau dapat juga didirikan di tiap propinsi atau dalam
kondisi khusus (penting dan mendesak) LPSK perwakilan bisa juga
didirikan di wilayah terpilih, misalnya karena tingginya kasus
intimidasi dan ancaman saksi di daerah tertentu maka LPSK
mendirikan kantor perwakilannya.
Banyaknya permohonan perlindungan dari daerah menjadi indikasi
bahwa warga daerah lebih rentan terkena dampak hukum.
Banyaknya jumlah permohonan dari daerah luar Jakarta tersebut
bertolak belakang dengan keberadaan LPSK yang hanya berada di
Jakarta sehingga membuat para pemohon kesulitan untuk meminta
perlindungan. Untuk menampung pemohon perlindungan yang ada
di daerah, LPSK bahkan harus menjemput bola sekaligus terus
menyosialisasikan fungsi lembaga ke daerah-daerah.
Anggota LPSK Tasman Gultom, mengatakan :
“Sesegera mungkin LPSK sudah merencanakan akan mendirikan kantor perwakilan di 3 kota besar di Indonesia yakni Surabaya, Medan, dan Makassar”.
Walaupun idealnya LPSK ini ada ditiap wilayah Propinsi, namun
kebutuhan untuk mendirikan perwakilan tersebut juga akan
memberikan implikasi atas sumberdaya yang besar pula, baik dari
segi pembiayaan, maupun penyiapan infrastruktur dan sumberdaya
manusianya. Jangan sampai pendirian perwakilan tersebut justru
malah kontraproduktif dengan tujuan dari LPSK misalnya makin
membebani kerja-kerja yang justru menjadi prioritas LPSK karena
problem administrasi dan lain sebagainya.
Pembentukan LPSK di daerah juga masuk dalam revisi UU PSK.
Mengutip pendapat Ketua LPSK :
“Pembentukan LPSK di daerah merupakan kewajiban, mengingat banyaknya permohonan perlindungan yang masuk dari daerah selain Jakarta. Hal ini mengakibatkan permohonan banyak dilakukan dengan cara melalui email, surat tercatat hingga faks. Jika ada LPSK di daerah akan lebih mengefesiensi dan mengefektifkan pemberian perlindungan terhadap pemohon.”
Dari segi kewenangan.
Dalam UU PSK secara tegas menyatakan bahwa LPSK adalah
lembaga yang mandiri.
Disamping lembaga yang mandiri dan independen, UU PSK juga
telah memberikan sebuah kewenangan yang besar kepada LPSK
dalam hal melakukan koordinasi dalam melaksanakan tugas-
tugasnya.
Pasal 1 angka 3 UU PSK menyatakan :
“Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”
Namun UU PSK tidak merinci tugas dan kewenangan dari LPSK
tersebut lebih lanjut perumus UU kelihatannya tidak menjabarkan
tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu bagian atau bab
tersendiri dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 seperti peraturan
lainnya. Problem atas minimalnya kewenangan dari LPSK dalam
prakteknya akan menyulitkan peranan-peranan dari LPSK.
Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2006, yaitu:
1) Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk
perlindungan (Pasal 29),
2) Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau
Korban (Pasal 29),
3) Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban
(Pasal 1),
4) Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban
(Pasal 32),
5) Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang
diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban
(Pasal 34).
Dari jabaran tersebut, tugas dan kewenangan LPSK dikelompokan
menjadi empat tugas dan kewenangan pokok yakni:
1. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Program
Perlindungan Saksi.
2. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Kompensasi dan
Restitusi Korban.
3. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Program Bantuan
Korban.
4. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Kerjasama.
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU
PSK terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi.
Namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi jika dikaitkan dengan
mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga
ini masih kurang memadai.
Ada beberapa hal penting yang sebaiknya menjadi kewenangan
LPSK yang seharusnya dapat dimasukkan dalam revisi UU
Perlindungan Saksi dan Korban, yakni :
1. Wewenang untuk membuat peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan :
a. bantuan dan dukungan bagi saksi selama di pengadilan;
b. penyediaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan;
c. konsultasi bagi para saksi; dan
d. hal-hal lain yang oleh LPSK dipandang sangat perlu diatur
untuk menyediakan pelayanan bagi saksi di pengadilan;
2. Wewenang untuk melaksanakan tugas-tugas administratif
menyangkut perlindungan saksi dan orang-orang terkait,
termasuk menyangkut perlindungan sementara dan layanan-
layanan lainnya.
3. Wewenang untuk tidak memberikan informasi tentang data-data
tertentu dari saksi (rahasia) yang masuk dalam program
perlindungan saksi.
Masalah atas minimnya kewenangan dari LPSK dalam praktiknya
dikhawatirkan akan menyulitkan implementasi dari pekerjaan yang
harus dilakukan LPSK. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam
melaksanakan sebagian dari tugas-tugasnya LPSK akan
tergantung pula dengan keberadaan institusi-institusi lainnya. Oleh
karena itu maka ketergantungan akan kerjasama dari institusi
lainnya harus segera disadari oleh LPSK, dalam konteks ini ada
beberapa hal yang harus menjadi perhatian yakni adanya problem
eksistensi antar lembaga negara maupun antar instansi pemerintah
bisa dikatakan tidak akan pernah hilang.
UU PSK sebenarnya sudah menentukan kewenangan dari LPSK,
maka untuk membantu dan mendukung kerja-kerja LPSK harus
segera membuat (pemetaan) daftar kewenangan dan turunan
kewenangan yang telah dimandatkan oleh UU PSK. Setelah
melakukan pemetaan, LPSK sebaiknya melihat kembali beberapa
kelemahan dari kewenangan dan menutupinya dengan
menetapkan dalam sebuah keputusan internal LPSK. Walaupun
nantinya keputusan LPSK akan terbatas dapat diterapkan di luar
LPSK. Namun dengan melakukan pemetaan kebutuhan, (tentunya
untuk memperbesar kewenangan) LPSK bisa juga menggunakan
perjanjian-perjanjian atau membuat Surat Keputusan Bersama
(SKB) dengan berbagai instansi lainnya, tentunya dengan
difasilitasi oleh pemerintah. Dengan menggunakan model SKB atau
perjanjian pemerintah ini diharapkan masalah kewenangan antar
lembaga dapat diminimalisir.
Dari segi anggaran.
UU PSK menyatakan bahwa biaya yang diperlukan untuk
pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Salah satu ruang lingkup dari pengeluaran adalah pengunaan atau
pendirian tempat perlindungan atau “rumah aman” untuk para saksi
maupun orang terkait dengan saksi, misalnya keluarga saksi.
Anggaran menggunakan rumah aman harus ada dalam program
perlindungan. Apakah LPSK ingin membangun sendiri atau
menyewa dari pihak-pihak lainnya.
Biaya lain yang akan dibutuhkan oleh LPSK adalah berkenaan
dengan biaya-biaya khusus yang dikeluarkan untuk perlindungan
khusus yang diberikan kepada saksi. Beberapa hal yang
mempengaruhi besarnya biaya tiap kasus yang dilindungi meliputi
berbagai faktor, termasuk di dalamnya adalah apakah saksi
memiliki keluarga yang membutuhkan perlindungan, waktu yang
dihabiskan oleh saksi di tempat tinggal sementara, standar
kehidupan saksi, dan hak saksi atas bantuan keuangan. Adanya
berbagai macam faktor yang mempengaruhi biaya dan
ketidakpastian pengeluarannya di masa yang akan datang akan
membuat makin sulit untuk memprediksi dengan tepat jumlah biaya
yang akan dikeluarkan untuk membantu saksi.
Dari segi SDM, terkait dengan kemampuan LPSK menangani dan
menindaklanjuti permohonan yang jumlahnya semakin meningkat
dari tahun ke tahun.
Hal ini didukung oleh pendapat Tasman Gultom, yang menyatakan :
“Jumlah permohonan yang masuk ke LPSK tidak sebanding dengan jumlah personil LPSK, namun dengan jumlah yang sedikit kami berusaha untuk dapat bekerja semaksimal mungkin.”
Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa hal yang mungkin paling
sering dialami saksi ketika berhadapan dengan LPSK adalah terlalu
lamanya proses pengambilan keputusan mengenai diterima atau
tidaknya permohonan perlindungan yang diajukan saksi yang harus
menunggu Sidang Paripurna dimana hal ini disebabkan karena
kurangnya personil dari LPSK sendiri untuk bisa menangani dalam
waktu yang bersamaan semua permohonan yang masuk ke LPSK
yang meningkat dari tahun ke tahun.
Ketentuan UU Perlindungan Saksi dan Korban saat ini belum
mengakomodasi dan memberikan kewenangan LPSK untuk
menentukan sistem manajemen SDM sendiri. Sebagai gambaran,
kriteria perlindungan antara lain; memenuhi kualifikasi pengalaman
perlindungan pribadi, penanganan senjata, hukum dan psikologi,
memenuhi integritas menjaga rahasia, memenuhi profil psikologis
mengubah peran, merekrut jenis pegawai yang lazim dan fleksibel
(pegawai tetap, pegawai kontrak/honorer, dan tenaga sukarela),
menentukan kebijakan rotasi staf setiap 3-5 tahun (untuk
pengembangan karir, pencegahan korupsi dan sifat pekerjaan yang
menuntut produktivitas tinggi) . Perlu juga memuat ruang lingkup
kemandirian sistem manajemen SDM LPSK yang berbasis
kompetensi atau meritrokrasi. Misalnya seperti persyaratan menjadi
pegawai LPSK, kewenangan mengangkat dan memberhentikan
pegawai, pola kepangkatan, ketentuan mengenai penyertaan
jenjang kepangkatan pegawai yang dipekerjakan ke dalam jenjang
kepangkatan di LPSK, dan dasar yang kuat terhadap aturan
mengenai gaji, honorarium, serta hak-hak lain bagi pegawai LPSK.
Keberhasilan program kerja LPSK hanya dapat dicapai jika adanya
dukungan baik dari segi penambahan jumlah personil maupun
sumber daya manusia yang baik dari kalangan pegawai atau staf
yang bekerja di LPSK. Karena itulah maka keberadaan dukungan
staf yang berintegritas tinggi, profesional, berkualitas dan memiliki
produktifitas yang tinggi sangatlah penting dalam kerja LPSK
terutama jika dikaitkan dengan misi yang spesifik dari kerja-kerja
perlindungan saksi yang menuntut kedisiplinan dan kerahasiaan
yang sangat tinggi.
2. Kendala eksternal
Dari segi koordinasi.
LPSK dalam melakukan perlindungan terhadap khususnya
terhadap saksi tentunya menyadari bahwa kerja-kerja lembaga
akan melibatkan banyak dukungan dari instansi lain.
Pasal 36 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 berbunyi :
“Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerjasama dengan instansi terkait yang berwenang.”
Hal ini menjelaskan bahwa LPSK dalam melakukan perlindungan
saksi dapat berkoordinasi dengan lembaga pemerintah dan non-
pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki
kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung
maupun tidak langsung, yang diperlukan dan disetujui
keberadaannya oleh saksi .
Sebagai contoh, berkaitan dengan intimidasi dan ancaman yang
serius yang melibatkan relokasi saksi baik relokasi sementara
maupun permanen, kerjasama antar-lembaga dengan program
perlindungan saksi sangatlah penting baik dalam mengamankan
perpindahan saksi dari rumah mereka dengan komunitas baru.
Namun jika seseorang merupakan saksi yang berisiko terkena
intimidasi yang serius yang mungkin juga akan mengancam jiwanya
maupun keluarganya dan memiliki kemungkinan akan ada usaha
dari pihak lain untuk melacak keberadaannya, maka sangatlah
penting bila hubungan dengan lembaga-lembaga terkait dilakukan
secara cepat dan aman.
Kerjasama ini diperlukan karena tidak mungkin LPSK berjalan
sendiri dalam melindungi saksi sementara beberapa pihak ada
yang menginginkan agar LPSK tidak dapat menjalankan tugas dan
fungsinya.
Oleh karena itu pula maka hubungan antar lembaga tersebut harus
didukung dan difasilitasi oleh Presiden, karena LPSK
bertanggungjawab pula kepada Presiden. Posisi Presiden sebagai
posisi yang sangat sentral dalam mendukung kerja LPSK sekaligus
sebagai posisi yang membawahi masing-masing departemen atau
lembaga terkait lainnya.
Seiring berjalannya waktu LPSK dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan.
Banyak hal yang terjadi sehingga menimbulkan masalah di dalam
segala kegiatan LPSK dalam melindungi saksi. Salah satu masalah
yang terjadi adalah timbulnya ketidaksepahaman antara LPSK
dengan pihak-pihak terkait yang berwenang khususnya aparat
penegak hukum. Hal ini tentu akan menghambat tugas paling
utama dari LPSK yaitu melindungi saksi.
Ketua LPSK mengungkapkan, pihaknya masih kesulitan
berkoordinasi dengan aparat penegak hukum terutama di daerah,
terkait tugas lembaganya untuk memberikan perlindungan saksi
dan korban.
Mengutip pendapat Ketua LPSK :
"Aparat penegak hukum di tingkat operasional terutama daerah seringkali belum memahami dan mengetahui detail peran mereka dalam pelaksanaan pemberian perlindungan saksi dan korban sesuai keputusan LPSK."
Padahal, pemberian perlindungan saksi dan korban mustahil
memutus peran berbagai pihak terkait. Dari pihak penegak hukum
misalnya, yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, advokat,
dan hakim.
Berdasarkan hasil penelitian, banyak aparat penegak hukum yang
belum mengetahui keberadaan LPSK. Padahal, LPSK yang
dibentuk pada 8 Agustus 2008 lalu berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
berkaitan langsung dengan aparat penegak hukum.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Tasman Gultom, yang
menyatakan :
“LPSK sudah sering melakukan sosialisasi ke daerah di luar Jakarta namun sampai saat ini masih banyak yang belum mengetahui keberadaan LPSK khususnya bagi aparat penegak hukum contohnya ada seorang hakim di Pengadilan Negeri di Jakarta yang mengatakan LPSK itu LSM dari mana.”
Hal yang sama juga disampaikan Penanggung Jawab Bidang
Hukum, Diseminasi, dan Humas LPSK, Hotma David Nixon , yang
mengatakan :
"Mayoritas aparat penegak hukum tidak kenal LPSK. Apakah LSM atau lembaga negara? Bahkan, jaksa, hakim, kepolisian, tidak tahu.Kalau penegak hukum tidak kenal LPSK, itu sangat menyedihkan, dan bukan hanya aparat penegak hukum yang
tidak mengetahui adanya LPSK sebagai lembaga negara yang membidangi masalah perlindungan saksi dan korban, tetapi anggota DPR juga ada yang tidak mengetahui keberadaan lembaga ini. Anggota DPR Komisi X Deddy 'Miing' Gumelar saja tidak tahu apa itu LPSK ketika dia dipindahkan ke Komisi III bidang hukum. Ada juga seorang hakim di Bekasi yang mengira LPSK itu sebuah LSM. Seluruh penegak hukum diharapkan untuk terus mengembangkan diri dalam membaca dan mendapatkan informasi. "Kan informasi tidak hanya harus dari koran, tapi juga bisa browsing melalui internet. Jadi jangan sampai aparat penegak hukum hanya fokus dengan kerjaan, tapi juga harus tahu mengenai informasi lain."
Namun demikian, Ketua LPSK mengatakan pihaknya pun turut
mengapresiasi sejumlah aparat penegak hukum yang telah
menerapkan pola kerjasama yang baik dengan LPSK terutama
dalam pelaksanaan perlindungan saksi dan korban.
Mengutip pendapat Ketua LPSK bahwa :
“Sepanjang tahun 2012, inisiatif aparat penegak hukum untuk merekomendasikan saksi dan korban yang perlu dilindungi pun meningkat jika dibanding tahun-tahun sebelumnya, setidaknya ada sekitar 15 saksi dan korban yang diajukan aparat penegak hukum (Jaksa dan Polisi) untuk diberikan perlindungan oleh LPSK. Respon aparat penegak hukum merupakan point penting untuk menentukan berjalan atau tidaknya pelayanan pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban. Komitmen aparat penegak hukum untuk serius dalam menangani proses penegakan hukum menunjukan penghargaan yang signifikan terhadap informasi dan keterangan yang telah disampaikan saksi terutama yang telah mendapatkan perlindungan LPSK. Untuk itu, Ketua LPSK berharap, pelaksanaan forum koordinasi aparat penegak hukum dapat mengurai benang kusut kendala kerjasama aparat penegak hukum dalam melaksanakan keputusan LPSK dan optimalisasi pelaksanaan perlindungan terhadap saksi dan korban. Berjalan atau tidaknya proses hukum sangat menentukan jangka waktu pemberian perlindungan LPSK terhadap saksi, sehingga perlu adanya pemahaman bersama aparat penegak hukum mengenai urgensi pemberian perlindungan terhadap saksi .”
LPSK tidak dapat bekerja sendiri, ada bagian-bagian dimana LPSK
tidak mempunyai kewenangan untuk mengintervensi tugas dan
wewenang lembaga penegak hukum lainnya. Misalnya masalah
peradilan, LPSK tidak bisa sampai ke sana tanpa ada kerjasama
dengan pihak Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung. Artinya, dengan mengharmonisasikan
perbedaan yang ada maka diharapkan LPSK dapat menjadi
lembaga yang komplemen yang dapat berguna bagi lembaga-
lembaga penegak hukum dan instansi terkait lainnya.
Sebagai lembaga yang masih relatif baru, LPSK memerlukan
dukungan dari berbagai instansi lainnya. Untuk menyamakan
persepsi tentang jalur dan sistem kerjasama seperti apa yang akan
dipakai untuk perlindungan saksi, LPSK terus membangun
kerjasama kelembagaan secara formal yang dituangkan dalam
Nota Kesepahaman Bersama. Sampai saat ini, kerjasama
kelembagaan telah terwujud dalam penyelenggaraan
penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama antara LPSK
dengan :
- Kejaksaan RI
- Kepolisian RI
- Kemenkumham RI
- Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT)
- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
- Komnas HAM
- Komnas anti Kekerasan terhadap Perempuan
- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
- PPATK
- Ombudsman
- Badan Narkotika Nasional (BNN)
- Departemen Sosial (Depsos)
- BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara)
Kerjasama yang dibangun, selain dengan Instansi/Lembaga
Negara, Lembaga Pendidikan, Lembaga Masyarakat maupun
Lembaga Usaha (dunia penerbitan) didalam negeri juga dilakukan
kerjasama dengan negara-negara lain dan lembaga pada tataran
internasional.
Selain hal tersebut diatas, kendala yang juga sering dihadapi
LPSK dalam menjalankan tugasnya adalah adanya intimidasi dari
pihak-pihak tertentu yang ingin menghalangi LPSK dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap saksi. Contohnya pada
kasus penyerangan Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan terdakwa 12 prajurit Kopassus Grup 2
Kandang Menjangan, Kartosuro, Sukoharjo yang saat ini sudah
masuk tahap pemeriksaan di Pengadilan Militer (Dilmil) II-11
Yogyakarta.
Peran LPSK sangat penting dalam perkara tersebut, dimana LPSK
telah menerima permohonan perlindungan terhadap 42 saksi dalam
kasus tersebut. Berdasarkan data pada LPSK, 42 saksi itu di
antaranya terdiri dari 31 tahanan Lapas Cebongan dan 11 sipir
tahanan. Jumlah tersebut merupakan rekomendasi hasil investigasi
yang dilakukan LPSK.
Namun tindakan LPSK tersebut tidak disambut baik oleh pihak
tertentu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Komandan Korem
(Danrem) 072/Pamungkas Brigadir Jenderal Adi Widjaja, yang
menyebutkan 42 saksi yang akan memberikan keterangan di
persidangan kasus penembakan tahanan di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Cebongan tidak mengalami stres dan
trauma.
Kepada media massa, Danrem tersebut menyatakan bahwa tidak
ada saksi yang merasa keberatan untuk memberikan kesaksian
langung di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. Begitu pula
pernyataan Danrem mengenai permohonan LPSK ke Mahkamah
Agung untuk meminta persetujuan penggunaan video conference
untuk para saksi yang masih trauma untuk memberikan kesaksian
secara langsung didepan persidangan dimana Danrem menuduh
LPSK dalam pemberitaan di beberapa media, memiliki kepentingan
pendanaan dibalik penggunaan Video Conference (VCR) tersebut.
Atas pernyataan Danrem tersebut, Ketua LPSK menyatakan :
"Pernyataan seperti itu tidak pantas diucapkan seorang Danrem. Jika yang bersangkutan belum pernah membaca hasil rekam psikologis para saksi dan tidak melihat langsung kondisi para saksi tersebut. LPSK telah melibatkan 18 orang psikolog untuk memulihkan trauma para saksi tersebut. Jika saksi dianggap tidak trauma dan stres, buat apa 18 orang psikolog kami kerahkan untuk memulihkan psikologis para saksi. LPSK adalah lembaga independen, dibentuk berdasarkan ketentuan UU, dan semua fasilitas yang dimiliki LPSK dibiayai oleh APBN dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Kepentingan kami ya cuma satu, yakni untuk melindungi saksi dan korban, dan kami tidak punya problem pendanaan apalagi kepentingan lain dalam penggunaan VCR, hal itu murni untuk mengakomodir kepentingan saksi yang masuk program perlindungan LPSK."
Selanjutnya, Ketua LPSK juga menyatakan bahwa sikap Danrem
yang demikian justru dapat menunjukan sinyal buruk pelaksanaan
sidang kasus LP Cebongan. Dengan dibiarkannya saksi
berhadapan langsung dengan pelaku, akan membuat saksi
ketakutan, tertekan dan trauma berulang. Akibatnya, keterangan
yang diberikan para saksi tidak maksimal. Jika tidak maksimal,
hukuman bagi pelaku bisa ringan atau bahkan dibebaskan. Agar
Danrem dapat memahami fungsi perlindungan saksi dalam sistem
peradilan pidana. Dalam beberapa kasus yang melibatkan anggota
militer, kehadiran LPSK dapat diterima dengan baik, dan saran-
saran LPSK pun selama ini dijalankan pengadilan militer, kenapa
untuk pengungkapan kasus di LP Cebongan justru dipersulit .
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Anggota LPSK, Teguh
Soedarsono, yang menyatakan :
“Tindakan LPSK selama ini menangani saksi kasus penyerangan LP Cebongan adalah bentuk itikad baik terhadap militer, pernyataan Danrem tersebut terkesan melecehkan LPSK. Itikad baik LPSK memberikan perlindungan terhadap para saksi dalam kasus ini adalah agar proses peradilan militer dalam kasus cebongan dapat dipercaya masyarakat dan terkesan transparan, selain itu dengan mengakomodir perlindungan saksi, dapat menaikkan citra TNI AD yang kian terpuruk akibat tragedi ini. Diizinkan atau tidak, lembaganya tetap akan mempersiapkan VCR untuk kebutuhan saksi yang takut berhadapan langsung dengan terdakwa di persidangan nanti. VCR merupakan media alternatif yang dapat digunakan saksi dalam memberikan keterangan di persidangan,jika merasa terancam atau ketakutan."
Salah satu bukti dari pentingnya peran LPSK dalam memberikan
perlindungan hukum bagi saksi kasus penyerangan Lapas
Cebongan tersebut adalah dengan mengajukan permohonan
penggunaan video teleconference ke Mahkamah Agung untuk
beberapa saksi yang tidak ingin bersaksi secara langsung didepan
pengadilan karena masih mengalami trauma pasca kejadian
penyerangan tersebut dimana hal tersebut telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban yang secara umum menyatakan
bahwa saksi yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang
sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian
tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang
diperiksa dan dapat didengar kesaksiannya secara langsung
melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang
berwenang.
Permohonan LPSK tersebut telah mendapat persetujuan MA
dimana MA menyetujui penggunaan alat bantu video conference
untuk proses pemberian kesaksian Cebongan di Pengadilan Militer
II–11 Jogjakarta. Ketua LPSK menyatakan :
“MA menyetujui permintaan dari LPSK, namun dana pemasangan dan saluran video conference dibiayai LPSK. Secara administrasi kita telah mengajukan surat kepada ketua pengadilan militer. Dan setelah kita tunggu akhirnya keluar dan pada dasarnya mereka tidak keberatan dan tidak ada masalah, hanya terkait tidak ada alokasi anggaran. Kalau itu masalahnya kita tidak keberatan, kita akan pakai anggaran dari LPSK yaitu dari APBN.”
Meskipun MA telah menyetujui penggunaan alat bantu video
conference, namun berdasarkan ketentuan Pasal 9 UU
Perlindungan Saksi dan Korban, penggunaan alat tersebut harus
berdasarkan persetujuan hakim.
Bentuk perlindungan LPSK untuk para saksi kasus Cebongan
antara lain saksi yang terlindungi LPSK yang dipanggil pengadilan
akan didampingi oleh LPSK dan psikolog. Untuk saksi yang merasa
siap bersaksi di pengadilan akan dikawal dan dilindungi sejak
keberangkatan hingga Lapas Cebongan. Sedangkan saksi yang
masih tertekan dan trauma akan diprioritaskan memakai video
conference yang telah disiapkan MA, LPSK dan bekerjasama
dengan Telkom.
Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Anggota LPSK, Teguh
Soedarsono yang menyatakan :
“Selama ini LPSK telah memberikan pengamanan dan pengawalan terhadap para saksi, pendampingan dalam proses pemeriksaan oleh Polisi Militer dan pemulihan psikologis jelang sidang, LPSK akan berikan pengamanan dan pengawalan khusus terhadap saksi di persidangan, pendampingan dan menyediakan sarana VCR yang siap digunakan."
Selain pernyataan Danrem tersebut, LPSK juga mendapat
intimidasi yang disampaikan secara langsung ke LPSK melalui
surat. Termasuk tekanan agar saksi memberikan kesaksian
langsung di Pengadilan Militer.
Juru bicara LPSK menyatakan :
“Surat itu berisi tentang penolakan penggunaan Teleconference dalam proses sidang pengadilan militer perkara di LP Cebongan. Itu bentuk intimidasi kepada para saksi. surat tersebut disampaikan ke LPSK oleh gabungan organisasi masyarakat (ormas) di Jogja, terdiri dari Paksi Katon, Sekretariat Bersama Keistimewaan DIY, Gerakan Pemuda Anshor, Laskar Srikandi Mataram, dan Jogja Wallnation. Surat yang dikirim juga ditembuskan juga ke Komandan Resort Mililiter (Danrem) 072 Pamungkas.”
Adanya intimidasi dari pihak-pihak tersebut menjadi kendala
tersendiri bagi LPSK dalam menjalankan perannya memberikan
perlindungan hukum terhadap para saksi kasus Cebongan.
Upaya perlindungan terhadap saksi kasus Cebongan yang
dilakukan LPSK dimaksudkan untuk kepentingan TNI. LPSK
berharap proses peradilan militer digelar secara transparan
sehingga dipercaya oleh publik.
LPSK dalam kasus LP Cebongan ditantang untuk menunjukkan
peran pentingnya, yakni dapat memberikan jaminan keamanan
kepada para saksi terkait keselamatan jiwa mereka pada setiap
proses pemeriksaan perkara tersebut dan dapat menjaga agar para
saksi tidak mendapatkan intimidasi dari pihak-pihak tertentu. Hal ini
bertujuan agar para saksi dapat memberikan kesaksian
sebagaimana mestinya dalam rangka pencarian dan
pengungkapan kebenaran sebagaimana yang terjadi di lapangan
dan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi majelis hakim untuk
dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.
Dan untuk mewujudkan hal tersebut perlu dukungan dari semua
pihak demi terciptanya peradilan yang adil (fair trial) bagi saksi.
BAB V
P EN U T U P
A. Kesimpulan
1. Konsep perlindungan saksi.
Hak dan kewajiban saksi harus dilindungi negara. Dalam proses
proses pemeriksaan perkara pidana, pemenuhan hak saksi oleh
negara merupakan satu hal yang wajib dan apabila saksi merasa hak-
haknya telah terpenuhi, maka secara tidak langsung akan berdampak
positif bagi pelaksanaan kewajibannya di dalam proses persidangan.
Perlindungan terhadap saksi dilakukan berdasarkan prosedur yang
telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban maupun dalam Peraturan LPSK
Nomor 6 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan
Saksi dan Korban. LPSK bertanggung jawab untuk menangani
pemberian perlindungan kepada saksi berdasarkan tugas dan
kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
2. Implementasi perlindungan hukum bagi saksi dalam proses
pemeriksaan perkara pidana.
LPSK mempunyai peran yang sangat penting dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam setiap proses
pemeriksaan perkara pidana di Indonesia. Hadirnya LPSK dengan
segala kewenangan, tanggung jawab dan peran yang diembannya
merupakan sebuah pencapaian penting dalam konteks pemenuhan
hak saksi. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah saksi yang
mendapat pelindungan LPSK sejak berdirinya LPSK pada tahun 2008
sampai dengan bulan Desember tahun 2012.
Namun dalam menjalankan tugasnya, LPSK sering mengalami kendala
baik yang bersifat internal yakni dari segi kedudukan, kewenangan,
anggaran, dan SDM LPSK mupun kendala yang bersifat eksternal
yakni dari segi koordinasi. Selain itu, adanya intimidasi dari pihak-pihak
tertentu dapat pula mempengaruhi peran LPSK dalam memberikan
perlindungan hukum bagi saksi.
B. Saran
1. Untuk optimalisasi perlindungan hukum terhadap saksi dibutuhkan
peran pemerintah bersama-sama LPSK untuk lebih fokus lagi
melakukan sosialisasi tentang perlindungan hukum terhadap saksi
yang tidak hanya berpusat di ibukota setiap propinsi saja tetapi
diharapkan dapat sampai ke tingkat pedesaan agar masyarakat dapat
mengetahui dan mudah memahami apa hak-hak mereka ketika
menjadi saksi dan tidak takut lagi memberi kesaksiannya.
2. Keberadaan LPSK mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam
mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu khususnya dalam
memberikan perlindungan hukum bagi saksi dalam proses
pemeriksaan pekara pidana di Indonesia. Meningkatnya jumlah
perlindungan terhadap saksi dari tahun ke tahun menjadi dasar bagi
LPSK untuk segera membentuk kantor perwakilan LPSK di luar
wilayah Jakarta karena sebagian besar permohonan perlindungan
lebih banyak berasal dari daerah luar Jakarta.
Dalam laporan tahunan LPSK, agar dibuat dalam tabel tersendiri jenis tindak pidana dari saksi yang mendapat perlindungan LPSK.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Al. Wisnubroto 2002. Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana). PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 2012. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Sinar Grafika, Jakarta.
Baehr, Peter, Pieter van Dijk dkk, (eds.). 2001. Instrumen Internasional
Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.
_____________. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.
Harahap, M. Yahya. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika, Jakarta.
Mertokusumo, Soedikno. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.
Muhaddar, dkk. 2010. Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana. CV. Putra Media Nusantara, Surabaya.
Muladi. 2002. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Nasution, Bahder Johan. 2012. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. CV. Mandar Maju, Bandung.
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 2006. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Edisi 4. Makassar.
Subekti dan R. Tjitro Soedibia. 1976. Kamus Hukum. Pradya Paramita, Jakarta.
Sutarto, Suryono. 1982. Hukum Acara Pidana, Jilid I. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
B. Media Elektronik
Adam, Riski. 2012. Wah, banyak Aparat Penegak Hukum tak Kenal LPSK,http://news.liputan6.com/read/461993/wah-banyak-aparat-penegak-hukum-tak-kenal-lpsk, diakses pada bulan Mei 2013.
Anonim. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21093/4/ChapterI.pdf hal. 10, diakses pada bulan Mei 2013.
Firdaus, Edwin. 2013. LPSK Tetap siapkan Video Conference bagi Saksi, http://www.tribunnews.com/2013/06/12/lpsk-tetap- siapkan-
video-conference-bagi-saksi, diakses pada bulan Juli 2013.
Fitriasih, Surastini. 2003. “Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) Yang Jujur Dan Adil”, http/www.antikorupsi.org/mod=tema&op=viewarticle&artid=53, diakses pada bulan Desember 2012.
Hardiansya, Rahmat. 2011. LPSK akan buka Perwakilan di Sulsel. http://makassarterkini.com/home/index-berita/3260-lpsk-akan-
buka-perwakilan-di-sulsel.html, diakses pada bulan Juli 2013.
Iksan, Muchamad. 2012. Seri Kuliah Hukum Perlindungan Saksi. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://hukum.ums.ac.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=46
diakses pada bulan Desember 2012.
Nur, M Bachtiar. 2012. Revisi UU Perlindungan Saksi masuk Prolegnas 2013, http://cetak.shnews.co/web/read/2012-12-
26/5407/revisi.uu.perlindungan.saksi.masuk.prolegnas.2013, diakses pada bulan Juni 2013.
Nur/Rahmat. 2012. Restrukturisasi Organisasi menuju Kemandirian, http://www.lpsk.go.id/upload/MajalahKesaksianEdisiII.pdf, diakses pada bulan Juli 2013.
Razak, Abdul Hamied. 2013. Kasus Cebongan : Aksi Massa, Marak, Pengamanan Dilmil Sidang Cebongan tak Kondusif, http://www.sragenpos.com/2013/kasus-cebongan-aksi-massa-marak-pengamanan-dilmil-sidang-cebongan-tak-kondusif, diakses pada bulan Juli 2013.
Romi Rinando. 2011. LPSK Akui Sulit Koordinasi dengan Penegak Hukum Daerah,http://lampung.tribunnews.com/m/index.php/2011/11/22/lpsk-akui-sulit-koordinasi-dengan-penegak-hukum-daerah, diakses pada bulan Juni 2013.
Rozy, Firardy. 2013. Pembantaian LP Cebongan,“Ketua LPSK Geram Atas Tuduhan Danrem 072/Pamungkas,
http://polhukam.rmol.co/read/2013/06/06/113506/Ketua-LPSK-Geram-Dituduh-Danrem-072/Pamungkas, diakses pada bulan Juli 2013.
Shinta. 2013. Kasus Cebongan : MA Setuju pakai Videoconference. http://sorotjogja.com/berita-jogja-1160--kasus-cebongan-ma--setuju-pakai-videoconference.html, diakses pada bulan Juli 2013.
Shopia, Maharani Siti. 2012. Minimalisir Serangan Balik Saksi, LPSK Gelar Rapat Koordinasi Aparat Penegak Hukum, Pers Release LPSK No. : 57/PR/LPSK/XI/2012, http://www.lpsk.go.id, diakses bulan Mei 2013.
__________________. 2012. Menyambut Hari Anti Korupsi Sedunia “22 dari 30 Saksi Korupsi Alami Serangan Balik”, Pers Release LPSK No. : 62/PR/LPSK/XII/2012, http://www.lpsk.go.id, diakses bulan Mei 2013.
__________________. 2013. LPSK : Danrem Tak Peka Perlindungan Saksi LP Cebongan, Pers Release LPSK No. : 40/PR/LPSK/VI/2013, http://www.lpsk.go.id, diakses pada bulan Juli 2013.
Susetyo, Heru. 2011. Peran Negara dan LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia (disampaikan oleh Abdul Haris Semendawai, Ketua LPSK RI, pada Kuliah Umum Victimologi FHUI tanggal 17 Oktober 2011),
http://herususetyodotcom.files.wordpress.com, diakses pada bulan Mei 2013.
Vardian, Agnes Vira. 2008. Prospek Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam Kesenian Tradisional di Indonesia, (Semarang : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2008),http://eprints.undip.ac.id/16220/1/AGNES_VIRA_ARDIAN.pdf, diakses pada bulan Mei 2013.
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta amandemennya.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3.