41
BAB I PENDAHULUAN Sejak permulaan sejarah peradaban umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam zaman modern hubungan itu disebut sebagai transaksi terapeutik antara dokter dan penderita, yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai (konfidential). Timbulnya hubungan tersebut adalah karena pasien itu mencari pertolongan untuk penyembuhan penyakitnya, dalam hal ini kepada dokter atau rumah sakit. Hal ini membawa akibat bahwa hubungan pemberian pertolongan ini mempunyai ciri ciri khas. Karena pasien berada dalam suatu posisi yang lemah dan tergantung kepada dokternya, Seorang dokter mempunyai kedudukan yang lebih kuat, yaitu suatu profesi yang darinya banyak diharapkan dapat menghilangkan penyakit pasien. Namun di dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena kadang kala timbul perbedaan persepsi karena berlainannya sudut pandang. Dimana dokter dipandang suatu profesi yang dapat membantu menyelesaikan seluruh persoalan tentang kesehatannya, sehingga pasien akan berharap banyak atas pertolongannya. 1 Hukum kedokteran atau hukum kesehatan merupakan cabang ilmu yang masih tergolong muda, terutama bagi 1

Pembuktian Malpraktik Medik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Ilmu Kedokteran Forensik - Medikolegal

Citation preview

Page 1: Pembuktian Malpraktik Medik

BAB I

PENDAHULUAN

Sejak permulaan sejarah peradaban umat manusia, sudah dikenal

hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam

zaman modern hubungan itu disebut sebagai transaksi terapeutik antara dokter dan

penderita, yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai

(konfidential). Timbulnya hubungan tersebut adalah karena pasien itu mencari

pertolongan untuk penyembuhan penyakitnya, dalam hal ini kepada dokter atau

rumah sakit. Hal ini membawa akibat bahwa hubungan pemberian pertolongan ini

mempunyai ciri ciri khas. Karena pasien berada dalam suatu posisi yang lemah

dan tergantung kepada dokternya, Seorang dokter mempunyai kedudukan yang

lebih kuat, yaitu suatu profesi yang darinya banyak diharapkan dapat

menghilangkan penyakit pasien. Namun di dalam kenyataannya tidaklah

demikian, karena kadang kala timbul perbedaan persepsi karena berlainannya

sudut pandang. Dimana dokter dipandang suatu profesi yang dapat membantu

menyelesaikan seluruh persoalan tentang kesehatannya, sehingga pasien akan

berharap banyak atas pertolongannya.1

Hukum kedokteran atau hukum kesehatan merupakan cabang ilmu yang

masih tergolong muda, terutama bagi khasanah hukum nasional Indonesia.

Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara

mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktik belum bisa dirumuskan,

sehingga isi pengertian dan batasan-batasan malpraktik kedokteran belum

seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya. Pada kenyataannya

UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak memuat tentang

ketentuan malpraktik kedokteran karena Pasal 66 ayat (1) yang berbunyi “setiap

orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau

dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara

tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia” hanya

mengandung pengertian mengenai kesalahan praktik dokter.2

1

Page 2: Pembuktian Malpraktik Medik

Kata malpraktik sendiri di Indonesia baru pertama kali digunakan dalam

majalah Tempo edisi 25 Oktober 1986. Titik tolak kasus malpraktik yang menjadi

isu nasional ialah kasus di Wedariyaksa, Pati, Jawa Tengah pada tahun 1981. Pada

kasus yang terjadi di Pati, seorang wanita bernama Rukimini Kartono meninggal

setelah ditangani Setianingrum, seorang dokter puskesmas. Pengadilan Negeri

Pati memvonis dokter Setianingrum bersalah melanggar Pasal 360 KUHP. Dia

dihukum tiga bulan penjara. Setelah menyatakan banding ke tingkat pengadilan

tinggi, putusan Pengadilan Negeri Pati ini diperkuat oleh putusan pengadilan

tinggi. Akan tetapi ia selamat dari sanksi pidana setelah putusan Pengadilan

Negeri Pati ini dikasasi oleh Mahkamah Agung pada tanggal 27 Juni 1984. Kasus

Pati ini sangat menyita perhatian masyarakat pada waktu itu dan menginspirasi

cabang ilmu hukum kesehatan timbul di Indonesia.2

Dari segi hukum, kelalaian atau kesalahan akan terkait dengan sifat

perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung

jawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menyadari

makna yang sebenarnya dari perbuatannya. Dan suatu perbuatan dikategorikan

sebagai “criminal malpractice” apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu

perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin

yang salah berupa kesengajaan, kecerobohan atau kealpaan.3

2

Page 3: Pembuktian Malpraktik Medik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Hubungan antara Dokter dan Pasien

Pada dasarnya hubungan hukum antara dokter dan pasien ini bertumpu

pada dua macam hak asasi manusia yang dijamin dalam dokumen maupun

konvensi internasional. Kedua macam hak tersebut adalah hak untuk

menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak atas

informasi (the right to information). Kedua hak dasar tersebut bertolak dari

hak atas keperawatan kesehatan (the right to health care) yang merupakan hak

asasi individu (individual human rights). Dokumen internasional yang

menjamin kedua hak tersebut adalah The Universal Declaration of Human

Right tahun 1948, dan The United Nations International Covenant on Civil

and Political right tahun 1966.1

Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter

sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medis (informed

consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang

akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah ia mendapat informasi

dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong

dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko yang

mungkin terjadi. Di Indonesia informed consent dalam pelayanan kesehatan,

telah memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No.585/Menkes/1989.4

Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan

dokter, adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera

mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena terjadi kecelakaan lalu

lintas, terjadi bencana alam, maupun karena situasi lain yang menyebabkan

keadaan pasien sudah gawat, sehingga sangat sulit bagi dokter yang

menangani untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan

seperti ini dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan

zaakwaarneming sebagai mana diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata, yaitu

3

Page 4: Pembuktian Malpraktik Medik

suatu bentuk hubungan hukum yang timbul karena adanya “persetujuan

tindakan medis” terlebih dahulu, melainkan karena keadaan yang memaksa

atau keadaan darurat.4

Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjadi seperti ini merupakan

salah satu ciri transaksi terapeutik yang membedakannya dengan perjanjian

biasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Dari hubungan pasien dengan

dokter yang demikian tadi, timbul persetujuan untuk melakukan sesuatu sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 1601 KUHPerdata. Bagi seorang

dokter hal ini berarti bahwa ia telah bersedia untuk berusaha dengan segala

kemampuannya memenuhi isi perjanjian itu, yakni merawat atau

menyembuhkan pasien.4

Terjalinnya hubungan hukum antara keduanya ini membentuk hak dan

kewajiban masing-masing pihak, baik dokter maupun pasien.5

1. Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi.

Hak dan kewajiban dokter atau dokter gigi tertuang dalam pasal 50 dan 51

Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

seperti berikut :

1) Pasal 50:

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran

mempunyai hak :

a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas

sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar

prosedur operasional;

c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau

keluarganya; dan

d. menerima imbalan jasa.

2) Pasal 51:

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran

mempunyai kewajiban:

4

Page 5: Pembuktian Malpraktik Medik

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. merujuk pasien ke dokter atau ke dokter gigi lain yang mempunyai

keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,

bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali

bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu

melakukannya; dan

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteran gigi.

2. Hak dan Kewajiban Pasien

Hak dan kewajiban pasien tertuang dalam pasal 52 dan 53 Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2004 seperti berikut :

1) Pasal 52 :

Pasien dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran, mempunyai

hak:

a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);

b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

d. menolak tindakan medis; dan

e. mendapat isi rekam medis.

2) Pasal 53 :

Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,

mempunyai kewajiban :

a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya;

b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

c. mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan;

5

Page 6: Pembuktian Malpraktik Medik

d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Saling memahami antara hak dan kewajiban dari masing-masing pihak

(dokter-pasien), maka hubungan dokter-pasien atas dasar saling percaya itu

bukanlah hubungan kontrak bisnis. Dokter maupun pasien sama-sama

profesional dan proporsional dalam memecahkan permasalahan kesehatan.

Dokter harus selalu berlaku profesional dalam menjalankan profesinya, serta

mengkomunikasikan secara proporsional segala aspek yang terkait dengan

tindakan medis yang dilakukannya. Sementara pasien mesti memahami aspek

yang terkait dengan pengambilan keputusan medis.5

2.2 Malpraktik Medik

2.2.1 Definisi Malpraktik Medik

Malpraktik dalam bahasa Inggris sendiri berarti “Malpractice”

yang dapat diartikan “wrongdoing” atau “neglect of duty” (dari The

Advance Learner’s Dictionary of Current English by Hornby Cs. 2nd

edition, Oxford University Press, London).6

Dalam Coulghin’s Dictionary of Law terdapat perumusan

malpractice yang dikaitkan dengan kesalahan profesi sebagai berikut :

“Malpractice is Professional misconduct on the part of a professional

person, such as a physician, dentist, veterinarian. Malpractice may be

the result of ignorance, neglect, or lack of skills of fidelity in the

performance of professional duties; intentional wrongdoing; or illegal

or unethical practice.”

“Malpraktik adalah kesalahan profesi yang dilakukan oleh seorang

professional seperti dokter, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktik bisa

diakibatkan oleh kelalaian atau kurangya keterampilan dalam

pelaksanaan tugas profesional; kesalahan yang disengaja atau praktik

ilegal atau tidak etis”.6

Bila kita sekarang menganalisis rumusan malpraktik di atas maka

Couglin merumuskan tiga unsur, pertama “intentional wrongdoing”

yang mengandung unsur kesengajaan (opzet). Yang kedua adalah unsur

6

Page 7: Pembuktian Malpraktik Medik

“Illegal Practice” yang berarti tindakan yang tidak sah atau tindakan

yang menyimpang atau bertentangan dengan hukum. Ketiga adalah

unsur “unethical practice” yang berarti tindakan yang tidak etis.6

Dalam perumusan Couglin, antara lain ditonjolkan unsur

kesengajaan/dolus dan dalam perumusan Black ditonjolkan unsur

kelalaian (culpa) sehingga dapat kita bedakan malpraktik sebagai dolus

delict (contoh Abortus Provocatus Kriminalis) dan malpraktik sebagai

culpoos delict (contoh mati karena kelalaian). Dengan demikian ada

malpraktik dolus dan malpraktik culpoos.6

Malpraktik medis menurut Kamus besar Bahasa Indonesia adalah

praktik kedoteran yang dilakukan salah atau tidak tepat dan menyalahi

undang-undang atau kode etik. Malpraktik medis menurut J. Guwandi

meliputi tindakan-tindakan sebagai berikut7:

1) Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh

seorang tenaga kesehatan.

2) Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan

kewajiban.

3) Melanggar suatu ketentuan menurut perundang-undangan

Selanjutnya dikatakan perbedaan antara malpraktik murni dengan

kelalaian akan lebih jelas jika dilihat dari motif perbuatannya sebagai

berikut7 :

1) Pada malpraktik (dalam arti sempit), tindakannya dilakukan secara

sadar, dan tujuan dari tindakan memang sudah terarah pada akibat

yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya,

walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa

tindakannya adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku.

2) Pada kelalaian, tindakannya tidak ada motif atau tujuan untuk

menimbulkan akibat. Timbulnya akibat disebabkan kelalaian yang

sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.

7

Page 8: Pembuktian Malpraktik Medik

Dengan demikian di dalam malpraktik medis terkandung unsur-

unsur kesalahan yang tidak berbeda dengan pengertian kesalahan di

dalam hukum pidana, yaitu adanya kesengajaan atau kelalaian termasuk

juga delik omissi yang menimbulkan kerugian baik materil maupun

inmateril terhadap pasien.7

2.2.2 Jenis-jenis Malpraktik

1) Malpraktik Etik

Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang

dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik

Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri

Kesehatan No 434/Men Kes/SK/X/1983. Kode Etik Kedokteran

Indonesia disusun dengan mempertimbangkan international Code of

Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan

Strukturil UUD 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini

mengatur hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban

umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya,

kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter

terhadap diri sendiri.7

Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum,

sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran

etik kedokteran. Berikut diajukan beberapa contoh7 :

a. Pelanggaran Etik murni

1. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan

jasa dari keluarga sejawat dan dokter gigi.

2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya

3. Memuji diri sendiri di hadapan pasien

4. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang

berkesinambungan

5. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.

b. Pelanggaran Etikolegal

8

Page 9: Pembuktian Malpraktik Medik

1. Pelayanan dokter dibawah standar

2. Menerbitkan surat keterangan palsu

3. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter

4. Abortus provokatus

2) Malpraktik Hukum

Dari segi hukum, kesalahan/kelalaian akan selalu berkait dengan

sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang

yang mampu bertanggungjawab apabila dapat menginsafi makna

yang kenyataannya dari perbuatannya, dan menginsafi perbuatannya

itu tidak dipandang patut dalam pergaulan masyarakat dan mampu

untuk menentukan niat/kehendaknya dalam melakukan perbuatan

tersebut. 7

Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab ini, dalam

menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak perbuatan yang

dilakukan itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-

undang dan adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan

yang dilakukan yaitu berupa dolus (kesengajaan) atau culpa

(kelalaian/kelupaan) serta tidak adanya alasan pemaaf. Mengenai

kelalaian (neglience) mencakup dua hal yaitu karena melakukan

sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau karena tidak

melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Kesalahan atau

kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana,

diatur antara lain dalam: 346, 347, 359, 360, 386 Kitab Undang-

undang Hukum Pidana. 5,7

Beberapa contoh dari criminal malpractice yang berupa

kesengajaan adalah melakukan aborsi tanpa indikasi medis,

membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan

seseorang yang dalam keadaan emergency, melakukan euthanasia,

menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat

9

Page 10: Pembuktian Malpraktik Medik

visum et repertum yang tidak benar dan memberikan keterangan

yang tidak benar di sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli. 7

Sebagai contoh dalam menganalisis apakah perbuatan dokter itu

mengandung tanggung jawab pidana apa tidak, adalah dalam hal

melakukan pembedahan. Persoalan pokok yang perlu dikemukakan

adalah pembedahan dengan indikasi medis. Apakah hal itu dilakukan

dokter terhadap pasien, maka perbuatan dokter tersebut dapat

dibenarkan. Sedangkan jika pembedahan dilakukan tanpa melalui

indikasi medis, maka perbuatan dokter tersebut dipidanakan.7

Seorang dokter akan disebut melakukan malpraktik sipil apabila

tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya

sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang dapat

dikategorikan malpraktik sipil antara lain3:

a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib

dilakukan.

b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib

dilakukan tetapi terlambat melakukannya.

c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib

dilakukan tetapi tidak sempurna.

d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak

seharusnya dilakukan.

Pertanggungjawaban malpraktik perdata dapat bersifat

individual atau korporasi serta dapat pula dialihkan pihak lain

berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka

rumah sakit / sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas

kesalahan yang dilakukan karyawannya (dokter) selama dokter

tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya3.

Dasar hukum malpraktik sipil adalah transaksi dokter dengan

pasien, yaitu hubungan hukum dokter dan pasien, di mana dokter

bersedia memberikan pelayanan medis kepada pasien dan pasien

bersedia membayar honor kepada dokter tersebut. Pasien yang

10

Page 11: Pembuktian Malpraktik Medik

merasa dirugikan berhak menggugat ganti rugi kepada dokter yang

tidak melaksanakan kewajiban kontraknya dengan melaksanakan

kesalahan professional.3

3) Malpraktik Administratif

Dikatakan pelanggaran administrative malpractice jika dokter

melanggar hukum tata usaha negara. Contoh tindakan dokter yang

dikategorikan sebagai administrative malpractice adalah

menjalankan praktik tanpa izin, melakukan tindakan medis yang

tidak sesuai dengan izin yang dimiliki, melakukan praktik dengan

menggunakan izin yang sudah kadaluwarsa dan tidak membuat

rekam medis.7,8 Tindakan administratif dapat berbentuk teguran

(lisan atau tertulis), mutasi, penundaan kenaikan pangkat,

penurunan jabatan, skorsing bahkan sampai pemecatan.4

Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan

diwisuda sebagai dokter tidak secara otomatis boleh melakukan

pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus lisensi agar

memperoleh kewenangan, dimana tiap-tiap jenis lisensi

memerlukan basic science dan mempunyai kewenangan sendiri-

sendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis yang

melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun

seorang dokter ahli kandungan mampu melakukan operasi amandel

namun lisensinya tidak membenarkan dilakukan tindakan medis

tersebut. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat

dianggap telah melakukan administrative malpractice dan dapat

dikenai sanksi administratif, misalnya berupa pembekuan lisensi

untuk sementara waktu.4

2.2.3 Syarat-syarat Malpraktik

Untuk melihat apakah tindakan yang dilakukan dokter dalam

menjalankan profesinya tersebut malpraktik atau bukan, Leenen

11

Page 12: Pembuktian Malpraktik Medik

sebagaimana dikutip oleh Fred Ameln menyebutkan lima kriteria yang

bisa digunakan yaitu2:

1) Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen) dikaitkan

dengan kelalaian (culpa). Bila seorang dokter yang bertindak

onvoorzichteg (tidak teliti, tidak berhati-hati) maka ia memenuhi

unsur kelalaian.

2) Tindakan yang dilakukan sesuai dengan ukuran ilmu medik

(volgens de medische standaard). Ukuran medis ini ditentukan

oleh ilmu pengetahuan medis. Pengertian ukuran medis dapat

dirumuskan suatu cara perbuatan medis tertentu dalam suatu

kasus yang konkret menurut suatu ukuran tertentu, ukuran

dimana didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman dalam

bidang medis. Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberi

suatu kriteria yang sama persis untuk dipakai pada tiap

perbuatan medik karena situasi kondisi dan juga karena reaksi

para pasien berbeda-beda.

3) Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian

medis yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische

categorie). Sesuai dengan seorang dokter yang memiliki

kemampuan average atau rata-rata dibandingkan dengan dokter

dari keahlian medik yang sama. Hal ini juga terdapat pada

rumusan Supreme Court of Canada (1956) dan Daniel K.

Roberts (1987); sebagai dokter yang memiliki kemampuan rata-

rata dibandingkan dengan dokter dari keahlian medik yang

sama. Dalam hal ini, bidang hukum menggunakan ukuran

minimal rata-rata dimana kemampuan didasarkan atas pendapat

para saksi-saksi ahli dari kelompok keahlian yang sama,

misalnya pada kasus dokter umum saksinya dokter umum pula.

4) Dalam situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).

Dalam situasi kondisi yang sama, unsur ini tidak terdapat pada

rumusan Supreme Court of Canada tersebut tetapi terdapat pada

12

Page 13: Pembuktian Malpraktik Medik

rumusan Daniel Roberts pada practising in the same or similar

locality. Dalam situasi dan kondisi yang sama, misalnya praktik

di Puskesmas berbeda dengan di rumah sakit tipe A seperti

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

5) Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional dengan

tujuan konkret tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het

concreet handelingsdoel). Dengan sarana upaya yang memenuhi

perbandingan yang wajar dibanding dengan tujuan konkret

tindakan medis tersebut. Hal ini dapat dikaitkan dengan tindakan

diagnostik, terapeutik, dan dengan peringanan penderita dan

pula dengan tindakan preventif. Dokter harus menjaga adanya

suatu keseimbangan antara tindakan dan tujuan yang ingin ia

capai dengan tindakan itu. Jika misalnya ada suatu tindakan

diagnostik yang berat dilakukan pada suatu penyakit yang relatif

ringan sekali maka hal ini tidak memenuhi prinsip

keseimbangan (diagnostic overskill). Hal ini pun dapat terjadi di

bidang terapi (theraphy overskill) maupun di bidang perawatan

(care overskill). Dokter selalu harus membandingkan tujuan

tindakan mediknya dengan resiko tindakan tersebut dan

berusaha untuk resiko yang terkecil. Dalam unsur ini pun

disebut bahwa ada sarana upaya yang wajar jika dibandingkan

dengan tujuan konkret tindakan medis tersebut. Pada umumnya

dapat dikatakan bahwa para dokter wajib melakukan perbuatan

medis sesuai dengan tujuan ilmu kedokteran. Tindakan

diagnostik maupun tindakan terapeutik secara nyata ditujukan

pada perbaikan situasi pasien. Unsur ini bisa dikaitkan dengan

defensive medicine, baik dalam bidang diagnostik, terapeutik,

maupun perawatan, yang segalanya dilakukan secara berlebihan

karena takut salah.2

Dalam Tindakan Medik oleh dokter muncul masalah yang kemudian

terkait dengan hukum pidana. Masalah tersebut adalah kelalaian oleh

13

Page 14: Pembuktian Malpraktik Medik

dokter dalam melaksanakan tindakan medik. Untuk menentukan

kelalaian tersebut, Sofyan Dahlan mengemukakan dengan cara

membuktikan unsur 4 D nya3 :

1. Duty yaitu adanya kewajiban yang timbul dari hubungan

terapetis. Kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractu)

atau menurut undang-undang (ius delicto) adalah kewajiban

dokter untuk bekerja berdasarkan standar profesi serta kewajiban

dokter untuk memperoleh informed consent, dalam arti wajib

memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum

mengambil tindakannya.

2. Dereliction of duty yaitu tidak melaksanakan kewajiban yang

seharusnya dilaksanakan. Penentuan bahwa adanya

penyimpangan dari standar profesi medis (Dereliction of The

Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta secara

kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi

ahli. Namun sering kali pasien mencampur adukkan antara akibat

dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien

yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian.

Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan

dahulu bahwa dokter itu telah melakukan ‘breach of duty’.

3. Damage yaitu timbulnya kerugian atau kecideraan. Dalam

kepustakaan dibedakan : Kerugian umum (general damages)

termasuk kehilangan pendapatan yang akan diterima, kesakitan

dan penderitaan dan kerugian khusus (special damages) kerugian

finansial nyata yang harus dikeluarkan, seperti biaya pengobatan,

gaji yang tidak diterima

4. Direct Causation yaitu adanya hubungan langsung antara

kecideraan atau kerugian itu dengan kegagalan melaksanakan

kewajiban.

14

Page 15: Pembuktian Malpraktik Medik

2.3 Kelalaian Medis

Kelalaian medis adalah suatu keadaan dimana seseorang bertindak kurang

hati-hati menurut ukuran wajar. Kelalaian mencakup 2 (dua) hal, yakni:

Pertama, karena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan; atau

Kedua, karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukannya.

Kelalaian atau negligence menurut Keeton Medical Negligence – The

Standard of Care, 1980 adalah suatu sikap-tindak yang oleh masyarakat

dianggap menimbulkan bahaya secara tidak wajar dan diklasifikasikan

demikian karena orang itu bisa membayangkan atau seharusnya

membayangkan bahwa tindakan itu bisa mengakibatkan orang lain harus

menanggung risiko, dan bahwa sifat dari risiko itu sedemikian beratnya

sehingga seharusnya ia bertindak dengan cara yang lebih hati-hati.9

Menurut Black’s Law Dictionary, kelalaian didefenisikan sebagai

“Negligence is the omission to do something which the reasonable man,

guided by those ordinary consideration which ordinarily regulated human

affair, would do or the doing of something which a reasonable and prudent

man would not do. Negligence is a failure to use such care as a reasonably

prudent and careful person would use under the similar circumstances; it is

the doing of some act which a person of ordinary prudence would not have

done under the similar circumstances or failure to do what a person of

ordinary prudence would have done under the similar circumstances.”

Seorang dokter bisa dinilai bertanggungjawab terhadap professional

negligence apabila sikap atau perbuatannya tidak berdasarkan standar yang

umum berlaku pada profesinya, sehingga pasien sampai cedera karena

kelalaiannya. Adalah kewajiban seorang dokter untuk mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan termasuk apa yang diutarakan oleh Keeton

di atas dan jika karena tertinggal ilmunya sampai menyebabkan pasien

menderita cedera, maka tindakan itu juga bisa termasuk kelalaian.9

Unsur kelalaian sangat berperan dalam menentukan dilakukan atau

tidaknya pidana terhadap seorang dokter dan kelalaian dalam bidang

15

Page 16: Pembuktian Malpraktik Medik

kedokteran sangat erat kaitannya dengan standar profesi dokter.5 Unsur

kelalaian harus memenuhi pokok-pokok sebagai berikut2 :

1) Adanya perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang harus dilakukan.

2) Adanya kewajiban kehati-hatian.

3) Tidak dijalankannya kewajiban terhadap kehati-hatian tersebut.

4) Adanya kerugian bagi orang lain.

5) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan

perbuatan dengan kerugian

Kelalaian bukan merupakan suatu kejahatan jika kelalaian itu tidak

menyebabkan kerugian, cidera kepada orang lain dan orang tersebut dapat

menerimanya (de minimus non curat lex= hukum tidak mengurusi hal-hal

sepele), tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi,

mencelakakan bahkan sampai merenggut nyawa orang lain maka dapat

diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata ) yang tolak ukurnya adalah

bertentangan dengan hukum, akibatnya dapat dihindarkan dan perbuatanya

dapat dipersalahkan. Kelalaian itu berbentuk2,10 :

a. Malfeasance

Apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan

hukum atau melakukan perbuatan yang tidak patut (execution of an

unlawful or improper act).

b. Misfeasance

Pelaksanaan suatu tindakan tidak secara benar (the improper

performance of an act).

c. Nonfeasance

Tidak melakukan suatu tindakan yang sebenarnya ada kewajiban untuk

melakukan (the failure to act when there is a duty to act).

d. Malpractice

Kelalaian atau tidak berhati-hati dari seorang yang memegang suatu

profesi, seperti misalnya dokter, perawat, bidan, akuntan, dan profesi

16

Page 17: Pembuktian Malpraktik Medik

lainnya sebagainya dalam menjalankan kewajibannya (negligence or

carelessness of professional person, such as nurse, pharmacist,

physician, accountant, etc).

e. Maltreatment

Cara penanganan sembarangan, misalnya suatu operasi yang dilakukan

tidak secera benar atau terampil (improper or unskillful treatement).

Hal ini bisa disebabkan karena ketidaktahuan, kelalaian, atau secara

acuh (ignorance, neglect, or willfulness).

f. Criminal negligence

Sifat acuh, dengan sengaja atau sikap yang tidak peduli terhadap

keselamatan orang lain, walaupun ia mengetahui bahwa tindakannya itu

bisa mengakibatkan cedera/merugikan kepada orang lain (reckless

disregard for the safety of another. It is the willful indifference to an

injury which could follow an act).

2.4 Kejadian Nyaris Cedera (KNC)

Kejadian nyaris cedera (KNC) mengacu pada salah satu definisi dalam

literature safety management sebagai suatu kejadian yang berhubungan

dengan keamanan pasien. KNC diungkapkan sebagai kejadian yang berpotensi

menimbulkan cedera atau kesalahan yang dapat dicegah karena tindakan

segera atau karena kebetulan, dimana hasil akhir pasien tidak cedera. KNC

dapat juga berarti suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan

(commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil

(omission) yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi

karena keberuntungan (misal pasien menerima suatu obat kontra indikasi

tetapi tidak timbul reaksi obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis

lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya

sebelum obat diberikan), peringanan (suatu obat dengan overdosis lethal

diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotnya).11

Penyebab dari insiden ini meliputi kegagalan teknis (technical failure),

kegagalan manusia (human operator failure) dan kegagalan organisasi

17

Page 18: Pembuktian Malpraktik Medik

(organizational failure). Kegagalan pada awal kegiatan, sebagai pencetus

adalah manusia, teknikal, kegagalan organisasi atau kombinasi keduanya. Jika

hal ini tidak dapat dicegah maka proses berlanjut pada situasi yang lebih

berbahaya (peningkatan resiko sementara akibat dari kegagalan awal tetapi

tidak menimbulkan akibat aktual), jika keadaan adekuat kondisi dapat kembali

normal. Jika pertahanan tidak adekuat, kegagalan dalam pertahanan seperti

prosedur pencekan ulang (double check procedures), penggantian otomatis

dari peralatan yang siap pakai, atau tim pemecah masalah kurang optimal

dapat berkembang kearah terjadinya insiden. Pengembangan kearah insiden

melalui proses pemulihan (merupakan pertahanan informal dengan

menemukan situasi yang beresiko terjadinya insiden). Hal ini digunakan untuk

menghentikan insiden atau membiarkan insiden menjadi kejadian yang tidak

diharapkan (KTD).11

Terciptanya keselamatan pasien harus didukung dengan sistem pelaporan

yang baik setiap kali insiden terjadi. Faktor penyebab kejadian nyaris cedera

dapat didapatkan jika didukung oleh sistem pelaporan dan dokumentasi yang

baik. Hal ini dapat membantu proses pencegahan dan implementasi untuk

perbaikan tingkat kejadian.11

2.5 Risiko Medik

Risiko medik adalah suatu peristiwa yang tak terduga yang timbul akibat

tindakan seorang tenaga kesehatan yang diberikan sesuai dengan standar

prosedur medis, kompetensi dan etika yang berlaku. Semua tindakan medik

mengandung risiko, sekecil apapun tindakan medik itu selalu mengandung apa

yang yang dinamakan risiko. Risiko medik tidak dapat dipersalahkan dan

tidak dapat diminta tanggungjawabnya, asalkan risiko ini merupakan risiko

murni, di mana tidak ada unsur kelalaiannya.12

Secara alamiah setiap upaya medik pasti memiliki risiko, hanya saja

derajatnya bisa bervariasi mulai dari yang ringan (tanpa gejala spesifik)

hingga yang berat (memerlukan terapi khusus, menyebabkan kecacatan, atau

bahkan kematian). Idealnya setiap pasien mengerti dan memahami setiap

18

Page 19: Pembuktian Malpraktik Medik

kemungkinan risiko dan manfaat (risk and benefit) dari tindakan atau prosedur

yang akan dijalaninya. Namun demikian hal ini juga tidak selalu mudah,

karena sebagian pasien justru akan menolak dilakukan tindakan medik apabila

mengetahui segala risikonya secara rinci. Lain pula halnya dengan dokter,

meskipun sebelum operasi setiap pasien telah dijelaskan mengenai prosedur

yang akan dilaksanakan, tetapi sangat jarang dokter mendiskusikan

kemungkinan terjadinya risiko akibat kesalahan dalam sistem (system fault).12

Hal ini disebabkan karena di dalam Hukum Medis yang terpenting

bukanlah akibatnya, tetapi cara bagaimana sampai terjadi akibat itu,

bagaimana tindakan itu dilakukan. Inilah yang paling penting untuk diketahui.

Namun tentunya tidaklah semua ”tindakan yang tak disengaja” termasuk

perumusan risiko medik, karena tindakan kelalaian pun dilakukan tidak

dengan sengaja. Peristiwa yang terjadi itu selain tak terduga, pun merupakan

sesuatu yang tidak enak, tidak menguntungkan, bahkan men”celakakan” dan

dapat membawa malapetaka. Setiap tindakan medik tentunya mempunyai

manfaat yang kita dapatkan, namun juga selalu ada risiko yang harus

dihadapi.12

2.6 Pembuktian Pidana Kasus Malpraktik Medik

Dikalangan dokter sendiri dikenal adanya Kode Etik Kedokteran

(Kodeki) yang disahkan berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan

RI Nomor: 434/MenKes/SK/X/1983 tanggal 28 Oktober 1983. Sebenarnya

tujuan dari Kodeki ini adalah untuk melindungi pasien. Dikenal pula di

kalangan dokter kewajiban mengangkat sumpah sebelum dokter melakukan

praktik setelah lulus dari pendidikan. Hal itu telah dikuatkan dengan

Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960 dan disempurnakan pada

Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran II.8

Keberadaan Kodeki dan Sumpah Dokter lebih berkesan mengikat secara

moral kepada kalangan dokter. Keduanya juga tidak memberikan sanksi yang

jelas kepada para dokter yang melakukan pelanggaran; kalaupun ada hanya

sebatas saksi administratif berupa pencabutan izin praktik (pasal 13,

19

Page 20: Pembuktian Malpraktik Medik

Peraturan Menteri Kesehatan dengan No.585/MEN.KES/PER/IX/1989

tentang persetujuan tindakan medis).8

Dalam penyelesaian kasus malpraktik, muncul lembaga yang menangani

permasalahan kode etik seperti MKEK (Majelis Kehormatan Etik

Kedokteran) yang berada di bawah IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Juga

terdapat lembaga MP2EPM (Majelis Pembinaan dan Pengawasan Etika

Pelayanan Medik) yang berada dibawah Departemen Kesehatan ditingkat

Kantor Wilayah.8

Penyelesaian sengketa medik melalui jalur etika diatur dalam Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran. Apabila tindakan dokter bertentangan dengan etika dan moral

serta kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) yang telah dibuktikan oleh

Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), maka bisa dikatakan malpraktik dan

dapat diajukan gugatan hukum. Namun demikian, Undang-undang ini menuai

banyak kritik karena kentalnya nuansa perlindungan kepentingan dokter yang

dicerminkan oleh putusan yang hanya berupa sanksi administrasi.3

Dalam perkembangannya, pengaturan terhadap kasus malpraktik yang

semula diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetap dapat

digunakan dalam menangani kasus pelanggaran terhadap dokter yang melakukan

malpraktik, meskipun telah ada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 dan

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004. Pengenaan terhadap ketentuan dalam

KUHP diperlukan jika dalam undang-undang yang secara khusus tentang

kesehatan atau praktik kedokteran tidak mengaturnya. Penanganan pelanggaran

tersebut pelanggaran dalam KUHP murni karena kriminal, lain halnya jika kasus

yang terjadi di dalam dunia kedokteran karena ada alasan medis.5

Pertanggungjawaban dokter ini memiliki konsekuensi terhadap pelanggaran

etika dan hukum. Pelanggaran etika murni dipertanggungjawabkan pada sidang

MKEK, pelanggaran disiplin dilakukan oleh MKDK, dan pelanggaran dalam

menjalankan profesi kedokteran (pelanggaran hukum) dipertanggungjawabkan

secara hukum, termasuk pertanggungjawaban pidana. Ini bergantung dari sifat

akibat kerugian yang timbul menurut hukum. Penentu pertanggungjawaban

hukum dalam malpraktik kedokteran ada pada akibat kerugian yang ditimbulkan

20

Page 21: Pembuktian Malpraktik Medik

menurut hukum. Pembebanan tanggung jawab hukum guna penjaminan

pemulihan hak pihak pasien yang dirugikan pula ditentukan hukum. Sehingga

perlindungan hukum bagi dokter dan pasien haruslah seimbang., karena kedua

belah pihak adalah subyek dalam pelayanan medis.5

2.6.1 Sistem Pembuktian Kasus Malpraktik Medik

Ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang

didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu

dan tempat (negara), yaitu positif wettelijk bewijstheorie, conviction

intime, laconvviction raisonnee dan negatef wettelijk. Kalau kesalahan

dokter merupakan kesalahan profesi, maka tidaklah mudah bagi siapa saja

yang tidak memahami profesi ini untuk membuktikannya di pengadilan.9

Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice

apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus

merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu

berupa kesengajaan, kecerobohan atau kelapaan. Kesalahan atau kelalaian

tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara lain

dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349,

351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.4 Perlu

dipahami bahwa tidak setiap hasil pengobatan yang tidak sesuai dengan

harapan pasien merupakan bukti adanya criminal malpractice mengingat

kejadian semacam itu juga dapat merupakan bagian dari risiko tindakan

medis. Kesalahan diagnosis juga tidak boleh secara otomatis dijadikan

ukuran adanya criminal practice sebab banyak faktor yang mempengaruhi

ketepatan diagnosis, yang kadang-kadang sebagian faktor tersebut berada

di luar kekuasaan dokter. Kedua hal di atas hanya dapat dijadikan

persangkaan yang masih harus dibuktikan unsur-unsur pidananya. Jika

terbukti bersalah maka dokter dapat dipidana sesuai jenis tindak pidana

yang dilakukannya.9

Selain itu dokter masih dapat digugat melalui peradilan perdata atas

dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Pada malpraktik

perdata pembuktiannya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu langsung

21

Page 22: Pembuktian Malpraktik Medik

atau tak langsung. Secara langsung, yaitu dengan membuktikan keempat

unsurnya secara langsung, yang terdiri atas unsur kewajiban,

menelantarkan kewajiban, rusaknya kesehatan dan adanya hubungan

langsung antara tindakan menelantarkan kewajiban dengan rusaknya

kesehatan. Adapun secara tak langsung, yaitu dengan mencari fakta-fakta

yang berdasarkan doktrin res ipsa loquitor dapat membuktikan adanya

kesalahan di pihak dokter. Namun tidak semua kelalaian dokter

meninggalkan fakta semacam itu. Doktrin res ipsa loquitor ini sebetulnya

merupakan varian dari ‘doctrine of common knowledge’, hanya saja di sini

masih diperlukan sedikit bantuan kesaksian dari ahli untuk menguji apakah

fakta yang ditemukan memang dapat dijadikan bukti adanya kelalaian

dokter.9

2.6.2 Kendala Pembuktian Kasus Malpraktik Medik

Proses peradilan dalam kasus malpraktik yang menjadikan dokter

sebagai tersangka akan menemui banyak sekali kesulitan. Ketiadaan

undang-undang/peraturan yang mengatur tentang malpraktik sudah

menjadi suatu persolan cukup rumit, sehingga kebanyakan kasus-kasus

tersebut hanya dikenai pasal 359 KUHP. Sebagaimana dapat diduga,

perkembangan kasus kemudian tidak menjurus pada pokok permasalahan

tentang malpraktik itu sendiri.7

Malpraktik Kedokteran bisa masuk lapangan hukum pidana ,

apabila memenuhi syarat – syarat tertentu dalam tiga aspek yaitu syarat

dalam sikap batin dokter, syarat dalam perlakuan medis dan syarat

mengenai hal akibat. Pada dasarnya syarat dalam perlakuan medis adalah

perlakuan medis yang menyimpang. Syarat mengenai sikap batin adalah

syarat sengaja atau culpa dalam malpraktik kedokteran. Syarat akibat

adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa

pasien.3

Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis

(Dereliction of The Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta

22

Page 23: Pembuktian Malpraktik Medik

secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli.

Namun sering kali pasien mencampur adukkan antara akibat dan kelalaian.

Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang tidak bertambah baik

belum membuktikan adanya kelalaian. Kelalaian itu harus dibuktikan dengan

jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa dokter itu telah melakukan ‘breach of

duty’.4

Tuntutan terhadap malpraktik kedokteran seringkali kandas di

tengah jalan karena sulitnya pembuktian. Dalam hal ini pihak dokter perlu

membela diri dan mempertahankan hak – haknya dengan mengemukakan

alasan – alasan atas tindakannya. Baik penggugat dalam hal ini pasien,

pihak dokter maupun praktisi (hakim dan jaksa) mendapat kesulitan dalam

menghadapi masalah malpraktik kedokteran ini, terutama dari sudut teknis

hukum atau formulasi hukum yang tepat untuk digunakan. Masalahnya

terletak pada belum adanya hukum dan kajian hukum khusus tentang

malpraktik kedokteran yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan

dan menanggulangi adanya malpraktik kedokteran di Indonesia. Untuk itu

maka perlu dikaji kembali kebijakan formulasi hukum pidana yang dapat

dikaitkan dengan kelalaian atau malpraktik kedokteran.3

BAB III

PENUTUP

23

Page 24: Pembuktian Malpraktik Medik

Dalam mengamalkan profesinya, setiap dokter akan berhubungan dengan

manusia yang sedang mengharapkan pertolongan pengobatan. Seorang dokter

harus memiliki hati nurani, keluhuran dan kemuliaan dalam menjalankan profesi

sebagai dokter. Etika Kedokteran senidri mempunyai tiga asas pokok yaitu

otonomi, bersifat dan bersikap amal, berbudi baik, serta menjunjung keadilan.

Malpraktik medik adalah praktik kedoteran yang dilakukan salah atau tidak

tepat dan menyalahi undang-undang atau kode etik. Terdapat tiga jenis malpraktik

yaitu, Malpraktik Etik, Malpraktik Hukum, dan Malpraktik Administratif.

Penyelesaian sengketa medik diselesaikan melalui jalur etika dan diatur

dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang

Praktik Kedokteran. Pertanggungjawaban dokter ini memiliki konsekuensi

terhadap pelanggaran etika dan hukum. Penentu pertanggungjawaban hukum

dalam malpraktik kedokteran ada pada akibat kerugian yang ditimbulkan menurut

hukum.

Tuntutan terhadap malpraktik kedokteran seringkali kandas di tengah jalan

karena sulitnya pembuktian. Dalam hal ini pihak dokter perlu membela diri dan

mempertahankan hak-haknya dengan mengemukakan alasan-alasan atas

tindakannya. Baik penggugat dalam hal ini pasien, pihak dokter maupun praktisi

(hakim dan jaksa) mendapat kesulitan dalam menghadapi masalah malpraktik

kedokteran ini, terutama dari sudut teknis hukum atau formulasi hukum yang tepat

untuk digunakan. Masalahnya terletak pada belum adanya hukum dan kajian

hukum khusus tentang malpraktik kedokteran yang dapat dijadikan pedoman

dalam menentukan dan menanggulangi adanya malpraktik kedokteran di

Indonesia. Untuk itu maka perlu dikaji kembali kebijakan formulasi hukum

pidana yang dapat dikaitkan dengan kelalaian atau malpraktik kedokteran.

DAFTAR PUSTAKA

24

Page 25: Pembuktian Malpraktik Medik

1. Yunanto. Tesis: Pertanggungjawaban dokter dalam transaksi terapeutik.

Semarang: Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas

Diponegoro. 2009. h.14-23.

2. Kanina C. Skripsi: Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada Kasus

Malpraktik. Depok: Fakultas Hukum Program Kekhususan Hukum Tentang

Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan. 2012. h.14

3. Adi P. Tesis: Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka

Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran. Semarang:

Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

2010. h. 16-8, 32

4. Astuti EK. Tesis: Hubungan Hukum Antara Dokter dengan Pasien dalam

Upaya Pelayanan Medis. Medan: Magister Ilmu Hukum Program Pasca

Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2003. h. 2-3, 25-8

5. Sujiantoro. Pertanggungjawaban Pidana Malpraktik Dokter. Malang:

Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana. 2011. h.1-9

6. Timotius S. Skripsi: Fungsi dan Peran Informed Consent pada Perjanjian

Medis (Penerapan dalam Praktik Oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam).

Depok: Fakultas Hukum Program Reguler Universitas Indonesia. 2012.

h.6-7, 47-8

7. Sri S. Tesis: Kebijakan Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Tindak

Pidana di Bidang Medis. Semarang: Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro. 2009. h.47, 57-61

8. Qomaruddin S. Kejahatan Oleh Dokter: Suatu Tinjauan Penegakan Hukum.

Jakarta: Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.2. 2002. h.57-68

9. Wahyu W. Dokter, Pasien dan Malpraktik. Jakarta: Balai Pendidikan dan

Latihan Kejaksaan Agung RI. 2014. h.48-9

10. Gladys J. Matinya Orag karena Kelalaian Pelayanan Medik (Criminal

Malpractice) dalam Lex Crimen Vol.III. 2014. h.6-7

11. Yully. Tesis: Analisis Determinan Kejadian Nyaris Cedera dan Kejadian

Tidak Diharapkan di Unit Perawatan Rumah Sakit Pondok Indah. Jakarta:

25

Page 26: Pembuktian Malpraktik Medik

Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Keperawatan Universitas

Indonesia.2011.h.26-28

12. Andry. Tesis: Manajemen Risiko Medik dan Perlindungan Hukum Pasien.

Semarang: Program Pasca Sarjana Magister Hukum Kesehatan Universitas

Katolik Soegijapranata. 2008. h.29-31

26