11
1 Santo Bonaventura Bonaventura, sama seperti Agustinus, pada dasarnya tertarik dengan hubungan jiwa manusia yag menuju kepada Allah. Ketertarikan ini mempengaruhi penjelasannya tentang bukti akan adanya Allah. Pertama- tama, ia memperlihatkan bukti-bukti ini sebagai tahap- tahap jiwa yang mengarah pada Allah atau menjelaskannya dalam kerangka naiknya jiwa kepada Allah. Mesti disadari pula bahwa Allah yang dibuktikan itu bukanlah suatu prinsip abstrak inteligibilitas, tapi lebih pada Allah dalam kesadaran orang Kristen, dimana orang Kristen berdoa padaNya. Secara ontologis tidak dimaksudkan pula Allah (bagi seorang filsuf) dan Allah (dalam pengalaman orang Kristen yang berbeda atau yang tidak dapat diperdamaikan antara keduanya). Bonaventura hanya tertarik pada Allah sebagai Objek (Sasaran) penyembahan dan doa sebagai tujuan jiwa manusia. Bonaventura lebih cenderung untuk membuat banyak bukti yang menarik perhatian pada perwujudan diri Allah, apakah berada dalam dunia material atau dalam jiwa manusia itu sendiri. Namun, sebenarnya Bonaventura lebih menekankan pada bukti- bukti dari dalam (jiwa manusia itu sendiri) daripada bukti-bukti dari dunia material, dari ketiadaan. Tentu saja Bonaventura membuktikan adanya Allah dari dunia ekternal-sensibilis (seperti St.Agustinus) dan ia menunjukkan darimana pengetahuan akan keterbatasan, ketidaksempurnaan, campuran atau gabungan, ada manusia yang bergerak dan kontigens ini melalui pemahaman akan yang tak terbatas, sempurna, satu, tak berubah, dan Ada yang mutlak. Tapi bukti-bukti itu tidak dielaborasi secara sistematis. Alasannya bukan karena ketidakmampuan Bonaventura untuk menguraikannya, tapi karena kayakinannya bahwa eksistensi Allah begitu jelas bagi

Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Ini adalah terjemahan dari buku F.Copleston

Citation preview

Page 1: Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

1

Santo Bonaventura

Bonaventura, sama seperti

Agustinus, pada dasarnya

tertarik dengan hubungan

jiwa manusia yag menuju

kepada Allah. Ketertarikan

ini mempengaruhi

penjelasannya tentang bukti

akan adanya Allah. Pertama-

tama, ia memperlihatkan

bukti-bukti ini sebagai tahap-

tahap jiwa yang mengarah

pada Allah atau

menjelaskannya dalam kerangka naiknya jiwa kepada Allah. Mesti disadari pula

bahwa Allah yang dibuktikan itu bukanlah suatu prinsip abstrak inteligibilitas, tapi

lebih pada Allah dalam kesadaran orang Kristen, dimana orang Kristen berdoa

padaNya. Secara ontologis tidak dimaksudkan pula Allah (bagi seorang filsuf) dan

Allah (dalam pengalaman orang Kristen yang berbeda atau yang tidak dapat

diperdamaikan antara keduanya). Bonaventura hanya tertarik pada Allah sebagai

Objek (Sasaran) penyembahan dan doa sebagai tujuan jiwa manusia.

Bonaventura lebih cenderung untuk membuat banyak bukti yang menarik perhatian

pada perwujudan diri Allah, apakah berada dalam dunia material atau dalam jiwa

manusia itu sendiri. Namun, sebenarnya Bonaventura lebih menekankan pada bukti-

bukti dari dalam (jiwa manusia itu sendiri) daripada bukti-bukti dari dunia material,

dari ketiadaan. Tentu saja Bonaventura membuktikan adanya Allah dari dunia

ekternal-sensibilis (seperti St.Agustinus) dan ia menunjukkan darimana pengetahuan

akan keterbatasan, ketidaksempurnaan, campuran atau gabungan, ada manusia yang

bergerak dan kontigens ini melalui pemahaman akan yang tak terbatas, sempurna,

satu, tak berubah, dan Ada yang mutlak. Tapi bukti-bukti itu tidak dielaborasi secara

sistematis. Alasannya bukan karena ketidakmampuan Bonaventura untuk

menguraikannya, tapi karena kayakinannya bahwa eksistensi Allah begitu jelas bagi

Page 2: Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

2

jiwa dengan merenungkan dirinya sendiri seperti katanya, “Coeli enarrant gloriam

Dei, et opera manuum eius annuntiat firmamentum.” Jelaslah bahwa

ketidaksempurnaan dari yang terbatas dan kontigens meminta dan membuktikan

adanya kesempurnaan mutlak, Allah. Tapi, bagi Bonaventura dapat dipertanyakan

(dalam cara Platonis), “Bagaimana intelek – rasio – manusia dapat tahu bahwa ada-

nya itu cacat dan tidak sempurna jika ia tidak memiliki pengetahuan akan Ada yang

tanpa cacat?” Dengan kata lain, ide ketidaksempurnaan mengandaikan ide

kesempurnaan, sehingga ide kesempurnaan ini tidak dapat diperoleh semata-mata

dengan cara negasi dan abstraksi. Inilah yang membuat manusia sebagai mahkluk

ciptaan yang mengandung keterbatasan dan ketidaksempurnaan ini mampu

mengangkat dan membawa jiwa pada kesadaran yang lebih jelas dari hal-hal yang

telah jelas baginya.

Bonaventura tidak menyangkal

bahwa adanya Allah dapat

dibuktikan dari alam ciptaan.

Sebaliknya, ia malahan

menegaskan hal ini. Dalam

komentar tentang Sentence,

Bonaventura menyatakan bahwa

Allah dapat diketahui melalui alam

ciptaan, seperti Sebab melalui

akibat, dan ia mengatakan bahwa

cara berpikir demikian adalah

kodrat manusia lantaran bagi

manusia hal-hal sensibilis adalah cara agar kita sampai pada pegetahuan Inteligibilia,

yaitu objek-objek yang melampaui panca indera. Akan tetapi, Tri Tunggal Allah tak

dapat dibuktikan dengan cara yang sama oleh kodrat akal budi, lantaran kita tak dapat

menyimpulkan Trinitas ini dengan menyangkal hal-hal tertentu atau batasan-batasan

alam ciptaan atau dengan cara positif yang menghubungkan Allah dengan kualitas

alam ciptaan tertentu. Bonaventura dengan cukup jelas mengajarkan kemungkinan

akan suatu pengetahuan filosofis dan natural mengenai Allah. Dan perkataannya

mengenai dasar psikologis bagi pendekatan pada Allah melalui objek-objek sensibilis

rupanya merupakan gaya atau berkarakter Aristotelian. Lagian, dalam In

Page 3: Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

3

Hexaemeron, Bonaventura berpendapat bahwa jika ada suatu ada yang dihasilkan,

mestilah ada suatu Ada pertama karena harus ada suatu sebab. Jika ada ini ab alio

(dari luar), pastilah Ada a se (dari dirinya), jika ada suatu ada yang bergabung,

pastilah Ada yang simpla (satu), jika ada suatu ada yang dapat berubah, pastilah Ada

yang tak dapat berubah, Quia mobile reducitur ad immobile (yang bergerak

diturunkan dari yang tidak bergerak). Pernyataan yang terakhir ini dengan jelas sekali

merupakan sebuah rujukan atau acuan pada bukti Aristotelian mengenai adanya

penggerak yang tidak digerakkan. Agaknya, Bonaventura menyebut Aristoteles hanya

untuk mengatakan bahwa ia berpendapat demikian untuk merujuk pada hubungannya

dengan keabadian (eternal) setelah dunia ini.

Agaknya dalam De Mysterio Trinitatis Bonaventura memberikan seperangkat

argumen yang pendek untuk menunjukkan dengan jelas bagaimana alam ciptaan ini

menyatakan adanya Allah. Misalnya, jika ada ens ab alio (ada dari yang lain), pastilah

ada ens non ab alio (ada yang tidak dari yang lain), karena tidak ada yang dapat

membawa dirinya keluar dari keadaan ketiadaan (non-being) ke keadaan ada (being),

dan akhirnya pastilah Ada pertama yang dapat mengadakan dirinya sendiri (self-

existent). Lagian, jika ada ens possibile (ada yang mungkin), ada yang dapat ada dan

dapat tidak ada, pastilah ada ens necessarium (ada yang mutlak), ada yang tidak

memiliki kemungkinan untuk tidak ada, so Ada Mutlak harus ada. Ini mutlak ada

untuk menjelaskan penarikan kesimpulan ada yang mungkin ke dalam suatu keadaan

ada. Dan jika ada ens in potentia (ada potensia), pastilah ada ens in actu (ada aktus),

karena tidak ada potensia yang dapat direduksi pada suatu tindakan lewat agent yang

dari dirinya sendiri in actu. Pada akhirnya, pastilah ada actus purus, suatu Ada yang

murni aktus, tanpa potensialitas, yakni Allah. Lagian, jika ada ens mutabile, pastilah

ada ens immutabile karena, seperti yang Aristoteles jelaskan, gerakan mempunyai

sebagai prinsipnya suatu ada yang tidak digerakkan dan berada demi ada yang tidak

digerakkan itu, yang merupakan sebab terakhir (Causa Prima, Final Cause).

Page 4: Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

4

Ini tampak dari bagian berikut ini di mana Bonaventura menggarap argumen-argumen

Aristoteles, yaitu pernyataan-pernyataan tentang akibat yang Bonaventura pikirkan

sebagai kesaksian alam ciptaan terhadap adanya Allah dalam jiwa yang mengarah

pada Allah dan bahwa Bonaventura melihat adanya Allah sebagai kebenaran yang

jelas dari dirinya sendiri. Tapi Bonaventura menjelaskannya ini di tempat lain.

Bonaventura menganggap dunia sensibilis ini sebagai cermin Allah dan pengetahuan-

inderawi atau pengetahuan yang didapatkan lewat indera dan cerminan untuk objek-

objek yang dapat diinderawi sebagai langkah pertama dalam kenaikan jiwa pada tahap

yang paling tinggi yang darinya kehidupan ini merupakan pengetahuan eksperimental

tentang Allah dengan suatu cara apex mentis atau synderesis scintilla (pada poin ini ia

menunjukkan dirinya setia pada tradisi Agustinus dan Viktorinus), sementara di

dalam artikel yang sama (De Mysterio Trinitatis) di mana Bonaventura memberikan

bukti-bukti yang telah disebutkan tadi, ia menegaskan bahwa adanya Allah pasti

merupakan suatu kebenaran yang pada dasarnya ditanam dalam pikiran manusia

(quod Deum esse sit menti humanae indubitabile, tanquam sibi naturaliter

insertum). Ia lalu menyatakan bahwa, disamping apa yang telah ia tegaskan pada

masalah ini, ada cara kedua untuk menunjukkan bahwa eksistensi Allah merupakan

Page 5: Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

5

kebenaran yang sudah pasti. Cara kedua ini tercapai dengan menunjukkan bahwa apa

yang setiap ciptaan nyatakan merupakan kebenaran yang pasti, dan pada poin ini

Bonaventura memberikan bukti-bukti atau keberhasilan indikasinya dimana setiap

ciptaan sungguh-sungguh menyatakan adanya Allah. Selanjutnya, ia menambahkan

bahwa ada cara ketiga yang

menunjukkan bahwa adanya Allah

tak dapat diragukan dan

Bonaventura lalu memberikan suatu

versi dari bukti Anselmus dalam

Proslogium. Tidak dapat diragukan

bahwa Bonaventura menegaskan

adanya Allah merupakan bukti yang

jelas pada dirinya.

Pada tahap pertama, Bonaventura tidak mengandaikan bahwa setiap orang

mempunyai pengetahuan yang eksplisit dan jelas mengenai Allah, lebih kurang ia

mempunyai pengetahuan demikian dari kelahirannya atau saat mulai menggunakan

akal budinya. Bonaventura sangat sadar akan adanya pemuja-pemuja berhala dan

Insipiens, orang bodoh yang dalam hatinya mengatakan bahwa tidak ada Allah. Tentu

saja adanya pemuja-pemuja berhala ini tidak menyebabkan banyak kesulitan lantaran

para pemuja berhala dan orang pagan tidak begitu menyangkal adanya Allah karena

memiliki gagasan yang salah mengenai Allah. Tapi apakah Insipiens itu? Yang

terakhir, misalnya, melihat bahwa orang yang tidak beriman itu tidak selalu dihukum

di dunia ini atau paling tidak bahwa mereka tampaknya lebih baik di dunia ini

daripada banyak orang baik, dan ia menyimpulkan dari hal ini bahwa tidak ada

penyelenggaraan ilahi, tidak ada peraturan ilahi terhadap dunia ini. Lagian, secara

ekplisit ia menegaskan ketika menjawab keberatan bahwa tidak perlu membuktikan

suatu eksistensi yang sudah jelas dari sendirinya, yang tentangNya tidak ada seorang

pun ragu atau sanksi, bahwa adanya Allah sudah pasti sejauh bukti objektif

diikutsertakan. Hanya dapat diragukan propter defectum considerationis ex parte

nostra lantaran keinginan dari pertimbangan dan permenungan yang perlu demi diri

kita. Bukankah ini terlihat seolah-olah Bonaventura sedang mengatakan tidak lebih

dari bahwa dengan berbicara atau mengatakan secara objektif, adanya Allah sudah

pasti (yaitu bukti yang ketika dipikirkan itu sudah pasti dan konklusif), tapi bahwa

Page 6: Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

6

dengan berbicara secara subjektif hal ini dapat diragukan (karena manusia ini atau

manusia itu tidak memberikan perhatian yang cukup pada bukti objektif), dan jika ini

apa yang Bonaventura maksudkan ketika ia mengatakan bahwa eksistensi Allah itu

sudah pasti dan jelas dari dirinya sendiri, bagaimana posisinya itu berbeda dari Tomas

Aquinas?

Tampaknya jawabannya adalah ini. Walapun Bonaventura tidak mengandaikan benar

sebuah gagasan yang eksplisit dan jelas mengenai Allah dalam setiap manusia,

agaknya ada visi atau pengalaman akan Allah, di mana ia tentu saja mengandaikan

benar suatu kesadaran yang suram tentang Allah dalam setiap manusia, sebuah

pengetahuan implisit yang tidak dapat sepenuhnya disangkal dan yang dapat menjadi

suatu kesadaran yang eksplisit dan jelas lewat refleksi interior sendiri, sekalipun

terkadang perlu didukung oleh permenungan atas dunia sensibilis. Pengetahuan

universal tentang Allah oleh karena itu bersifat implisit, tidak eksplisit. Tapi implisit

dalam arti bahwa paling tidak ia dapat dibuat eksplisit melalui refleksi interior sendiri.

Tomas Aquinas mengakui adanya pengetahuan implisit tentang Allah, tapi dengan ini

ia memaksudkan bahwa pikiran mempunyai kekuatan untuk sampai pada pengetahuan

akan adanya Allah lewat permenungan hal-hal inderawi dan dengan mengatakan dari

akibat menuju sebab – mengingat Bonaventura memaksudkan sesuatu lebih dengan

pengetahuan implisit ini – yaitu pengatahuan sebenarnya akan Allah, suatu kesadaran

yang suram yang dapat dibuat eksplisit tanpa dibantu (penolong) dengan atau oleh

dunia sensibilis.

Aplikasi dari pandangan ini terhadap

soal-soal konkret Bonaventura

menjadikan pemahaman itu lebih mudah

dimengerti. Misalnya, setiap manusia

mempunyai keinginan dasar untuk

kebahagian (appetitus beatitudinis). Tapi

kebahagian tercapai dalam Kebaikan

Tertinggi, yaitu Allah. Oleh sebab itu

setiap manusia mengingini Allah. Tapi

tak mungkin dapat ada suatu keinginan tanpa suatu pengetahuan akan objek (sine

aliquali notitia). Oleh karena itu, pengetahuan bahwa Allah atau Kebaikan Tertinggi

Page 7: Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

7

ada pada dasarnya telah ditanam dalam jiwa. Agaknya, jiwa rasional ini mempunyai

pengetahuan dasar akan dirinya sendiri, karena ia hadir untuk dirinya dan dapat

diketahui oleh dirinya. Oleh sebab itu pengetahuan akan Allah demikian telah ditanam

dalam jiwa. Jika dipikirkan jiwa merupakan sebuah objek yang sebanding bagi

kekuatan untuk mengetahuinya dirinya sendiri. Tapi, apakah memang demikian? Jika

itu benar, jiwa justru tidak dapat pernah sampai pada pengetahuan akan Allah – yang

ternyata pikiran ini memang tidak dapat dipertahankan.

Sehubungan dengan argumen di

atas, kehendak manusia pada

dasarnya diorientasikan pada

kebaikan tertinggi, yakni Allah, dan

bukan hanya bahwa orientasi

kehendak ini tak dapat dijelaskan

kecuali melalui Kebaikan Teritnggi.

Allah sungguh-sungguh ada tapi ini

juga mengandaikan benar suatu

pengetahuan apriori akan Allah.

Pengetahuan ini tidak secara perlu

eksplisit atau jelas, karena

seandainya pun tidak ada ateistis,

hal ini justru implisit dan samar-samar. Jika diobjekkan bahwa suatu pengetahuan

implisit dan kabur ini bukanlah pengetahuan sama sekali, dapat dijawab bahwa

seseorang yang tanpa prasangka yang merenungkan orientasi kehendaknya terhadap

kebahagian dapat menyadari bahwa arah kehendaknya itu menyatakan secara tidak

langsung eksistensi objek yang menjadi tujuannya dan bahwa objek ini – kebaikan

sempurna – harus ada, yakni yang kita sebut Allah. Ia akan menyadari bahwa bukan

hanya dalam mencari kebahagian ia mencari Allah, tapi bahwa pencarian ini

menyatakan suatu kecondongan atau kecendrungan pada Allah, karena tidak dapat

ada pencarian untuk hal yang seluruhnya tidak diketahui. Oleh karena itu, dengan

merenungkan dirinya sendiri, ketergantungannya sendiri dan dan keinginannya sendiri

untuk kebijaksanaan, kedamaian, jiwa dapat mengetahui adanya Allah dan bahkan

kehadiran Allah, aktivitas Allah di dalamnya: tak perlulah baginya untuk mencari di

luar, hanya mengikuti saran Agustinus dan masuk dalam dirinya, saat ia melihat

Page 8: Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

8

bahwa tidak pernah tanpa suatu kecenderungan, suatu kesadaran suram, suatu

pengetahuan sebenarnya akan Allah. Untuk menggapai kebahagian (setiap manusia

pastilah mencari kebahagian) dan menyangkal adanya Allah sungguh-sungguh suatu

kontradiksi, menyangkal dengan mulut dari apa yang ia tegaskan dengan kehendak,

dan paling tidak dalam hal kebijaksanaan, dengan intelektual. Tapi ini tetap terbuka

pada keberatan yang cukup meyakinkan bahwa jika tidak ada Allah, maka hasrat

mencapai kebahagian menjadi frustra atau justru memiliki sebab lain selain adanya

Allah itu sendiri. Paling tidak hal ini jelas bahwa Bonaventura tidak mengandaikan

sebagai benar adanya ide bawaan sejak lahir mengenai Allah dalam bentuk kasar yang

nantinya akan diserang John Locke. Lagipula, ketika Bonaventura menyatakan

bahwa jiwa mengetahui Allah yang hadir pada dirinya, Bonaventura tidak

menegaskan ontologisme atau mengatakan bahwa jiwa melihat Allah seketika itu

juga: ia memaksudkan bahwa jiwa, dengan mengetahui ketergantungannya,

mengenali, jika ia mencerminkan, bahwa jiwa adalah citra atau gambaran Allah. Jiwa

melihat Allah dalam gambaranNya. Karena secara niscaya jiwa mengetahui dirinya

sendiri, ia sadar akan dirinya, niscaya mengetahui Allah paling tidak dengan cara

implisit. Dengan merenungkan dirinya sendiri ia dapat membuat kesadaran implisit

ini menjadi eksplisit tanpa rujukan pada dunia eksternal. Apakah tidak adanya rujukan

pada dunia eksternal ini lebih dari formal, dalam arti bahwa dunia eksternal tidak

secara eksplisit disebutkan, barangkali dapat dipertanyakan.

Kita telah melihat bahwa

bagi Bonaventura argumen

yang sama ini, yakni dari

dunia eksternal

mengandaikan suatu

kesadaran akan Allah,

karena ia menanyakan

bagaimana pikiran dapat

mengetahui bahwa hal-hal

sensibilis bersifat cacat dan

tidak sempurna jika ia tidak

mempunyai kesadaran sebelumnya akan kesempurnaan, dibandingkan dengan bahwa

ia mengetahui ketidaksempurnaan alam ciptaan. Poin pandangan ini mesti dilahirkan

Page 9: Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

9

dalam pikiran ketika mempertimbangkan pernyataan bukti-bukti Anselmus, yang ia

ambil dari Proslogium.

Dalam Komentar tentang Sentences, Bonaventura melanjutkan argumen Anselmus.

Allah adalah “Itu yang darinya tidak ada yang lebih besar lagi yang dapat

dipikirkan”. Tapi bahwa itu yang tidak dapat dipikirkan (supaya) itu tidak ada adalah

lebih besar daripada itu yang dapat dipikirkan (supaya) tidak ada. Oleh sebab itu,

karena Allah adalah itu yang darinya tidak ada yang lebih besar lagi yang dapat

dipikirkan, Allah tidak dapat dipikirkan tidak ada. Di dalam De Mysterio Trinitatis, ia

mengutip dan menyatakan argumen yang agaknya lebih luas dan menjelaskan bahwa

keraguan dapat muncul jika seseorang memiliki gagasan yang keliru tentang Allah

dan tidak menyadari bahwa Allah adalah itu yang darinya tidak ada yang lebih besar

lagi yang dapat dipikirkan. Sekaligus pikiran menyadari apakah gagasan Allah ini,

bahwa ia juga harus menyadari bukan hanya bahwa adanya Allah tidak dapat

diragukan, tapi juga bahwa ketiadaanNya bahkan tidak dapat dipikirkan. Berkenaan

dengan keberatan Gaunilo tentang suatu pulau terbaik dari semua pulau yang

mungkin, Bonaventura menjawab bahwa tidak ada kesamaan, karena sementara tidak

ada kontradiksi yang terlibat dalam konsep Ada yang darinya tidak ada yang lebih

besar lagi dapat dipikirkan gagasan suatu pulau yang darinya tidak ada yang lebih

baik lagi yang dapat dipikirkan merupakan suatu kontradiksi intermis (Oppositio In

Adiecto), karena pulau adalah ada yang tidak sempurna mengingat ‘yang darinya tidak

ada lagi yang lebih baik yang dapat dipikirkan’ merupakan suatu ada sempurna.

Metode argumen ini tampak murni

bersifat dialektis, tapi seperti yang

telah disebutkan, Bonaventura

tidak menganggap ide

kesempuraan itu sebagai yang

diperoleh semata melalui negasi

terhadap ketidaksempurnaan alam

ciptaan, tapi sebagai sesuatu yang

diandaikan oleh pemikiran kita

mengenai ketidaksempurnaan alam

Page 10: Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

10

ciptaan, paling tidak dalam arti bahwa hasrat manusia akan kesempurnaan

menyatakan secara tidak langsung kesadaran sebelumnya. Sehubungan dengan tradisi

Plato-Agustinus Bonaventura mengandaikan suatu gagasan bawaan akan

kesempurnaan yang tidak dapat lain kecuali jejak Allah pada jiwa manusia, bukan

dalam arti bahwa jiwa itu sempurna tapi dalam arti bahwa jiwa menerima ide

kesempurnaan atau membentuk ide kesempurnaan dalam terang Allah, lewat

penerangan ilahi. Ide ini bukanlah sesuatu yang bersifat negatif, perwujudan dari

eksistensi konkret yang dapat disangkal, karena kehadiran ide itu sendiri niscaya

menyatakan eksistensi Allah. Paling tidak pada poin ini kita mencatat kemiripan

antara ajaran Bonaventura dan Descartes.

Argumen yang sering digunakan Agustinus untuk pembuktian adanya Allah berasal

dari kebenaran dan adanya kebenaran-kebenaran eksternal: Bonaventura

menggunakan argumen ini juga. Misalnya, setiap pernyataan afirmatif menegaskan

sesuatu sebagai benar, tapi penegasan kebenaran tersebut menegaskan juga sebab dari

seluruh kebenaran. Sekalipun seseorang mengatakan bahwa manusia itu debu,

pernyataan ini apakah benar atau salah, menegaskan adanya kebenaran utama, dan

sekalipun manusia itu menyatakan bahwa tidak ada kebenaran, ia menegaskan negasi

ini sebagai benar dan menyatakan adanya dasar dan sebab dari kebenaran. Tidak ada

kebenaran yang dapat dilihat dari kebenaran pertama, dan kebenaran yang lewatnya

setiap kebenaran lainnya dilihat, merupakan kebenaran yang pasti. Oleh karena itu,

karena kebenaran pertama itu adalah Allah, adanya Allah itu sudah pasti dan tak dapat

diragukan.

Tapi disini sekali lagi Bonaventura tidak mengejar semata suatu argumen verbal dan

dialektis belaka. Di dalam In Hexaemeron, dimana ia menjelaskan bahwa manusia

yang mengatakan bahwa tidak ada kebenaran bertentangan dengan dirinya sendiri,

karena ia menegaskan itu sebagai benar bahwa tidak ada kebenaran, ia mengatakan

bahwa terang atau cahaya jiwa adalah kebenaran yang menerangi jiwa sehingga jiwa

tak dapat menyangkal adanya kebenaran tanpa bertentangan dengan dirinya, dan di

dalam Itinerarium Mentis In Deum Bonaventura menegaskan bahwa pikiran dapat

memahami kebenaran abadi dan menarik kesimpulan yang pasti dan niscaya hanya di

dalam terang ilahi. Intelektual tidak dapat memahami kebenaran dengan suatu

kepastian di bawah bimbingan Kebenaran itu sendiri. Untuk menyangkal adanya

Page 11: Pembuktian adanya Allah menurut St.Bonaventura

11

Allah bukanlah semata suatu kesalahan

dari sebuah pertentangan dialektis; ia

juga menyangkal adanya Sumber cahaya

itu yang niscaya bagi kepastian pikiran

untuk mencapai Allah, cahaya quae

illuminat omnem hominem venientem

in hunc mundum: itu juga menyangkal

Sumber atas nama itu yang berasal dari

Sumber.