104
PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus) SKRIPSI SYIFA AFIAH PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H

PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK

HASIL SAMPING PENGOLAHAN IKAN PATIN

(Pangasius hypopthalmus)

SKRIPSI

SYIFA AFIAH

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M/1441 H

Page 2: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …
Page 3: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …
Page 4: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …
Page 5: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

ABSTRAK

SYIFA AFIAH. Pembuatan Biopelumas dari Minyak Hasil Samping Pengolahan

Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus). Dibimbing oleh SITI NURBAYTI dan

RODIAH NURBAYASARI.

Minyak hasil samping pengolahan ikan patin dari bagian kepala, tulang, dan

ekor (KTE) berpotensi untuk dimanfaatkan sabagai bahan dasar pembuatan

biopelumas. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan minyak hasil samping

pengolahan ikan patin menjadi biopelumas dengan melihat pengaruh rasio mol

antara asam lemak dengan etilen glikol terhadap yield dan karakteristik biopelumas.

Hasil samping pengolahan ikan patin bagian KTE diekstrasi secara wet rendering

memiliki yield sebesar 14,38%, dengan kandungan asam lemak dominannya yaitu

asam oleat 31,28%, asam palmitat 21,98% dan asam linoleat 10,96. Pembuatan

biopelumas terdiri dari tiga tahap, yaitu hidrolisis, polimerisasi dan poliesterifikasi

dengan rasio mol antara asam lemak dengan etilen glikol 1:4, 1:6, dan 1:8. Hasil

penelitian menunjukkan variasi rasio mol antara asam lemak dengan etilen glikol

pada pembuatan biopelumas tidak berpengaruh secara signifikan (p˃0,05) terhadap

yield dan karakteristik biopelumas. Yield biopelumas tertinggi (91,06%) diperoleh

dari rasio mol 1:6. Biopelumas yang dihasilkan dikarakterisasi densitas dan

viskositasnya. Biopelumas hasil terbaik dilakukan karakterisasi lainnya meliputi,

viskositas kinematik (40 °C dan 100 °C) sebesar 41,19 dan 8,09 cSt; indeks

viskositas 174,5; titik tuang 27 °C; titik nyala 128 °C; dan korosi bilah tembaga

grade 1A (slight tarnish). Hasil FTIR menunjukkan adanya gugus C=O (1745,55

cm-1) dan C-O (1115,95-1243,53cm-1) yang mengindikasikan adanya senyawa ester

pada produk biopelumas.

Kata kunci: biopelumas, hasil samping, minyak ikan patin

Page 6: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

ABSTRACT

SYIFA AFIAH. Production of Biolubricant from Byproduct Oil of Catfish

(Pangasius hypophthalmus) Processing. Supervised by SITI NURBAYTI and

RODIAH NURBAYASARI.

The by-product oil of catfish processing from the head, bone, and tail (KTE)

is not used as a basic material for the production of biolubricants. This study aims

to utilize the oil from the processing of catfish into a biolubricants by looking at the

effect of the ratio between fatty acids and ethylene glycol on the yield and the ratio

of biolubricants. The results of the processing of catfish from the KTE part of the

wet rendering extraction had a yield of 14.38%, with the dominant fatty acid content

of 31.28% oleic acid, 21.98% palmitic acid, and 10.96 linoleic acid. The production

of bio-lubricants consists of three stages, hydrolysis, polymerization, and

polyesterification with the mole ratio of fatty acids to ethylene glycol 1: 4, 1: 6, and

1: 8.The results showed that the variation of the mole ratio between fatty acids and

ethylene glycol in the production of biolubricants did not significantly influence

(p>0.05) on the yield and characteristics of biolubricant. The highest yield of bio-

lubricants (91.06%) was obtained by the mole ratio of 1:6. Biolubricants produced

is characterized by density and viscosity. The best result of biolubrication was

carried out by other characterization including, kinematic viscosity (40 °C and

100 °C) of 41.19 and 8.09 cSt; viscosity index 174.5; pour point 27 °C; flash point

128 °C; and grade 1A copper blade corrosion (slightly smudged). FTIR results

showed the presence of C = O (1745.55 cm-1) and C-O (1115.95-1243.53 cm-1)

groups which indicated the presence of ester compounds in biolubricant products.

Keywords: bio-lubricants, byproducts, catfish oil

Page 7: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …
Page 8: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahi robbil ‘alamin penulis mengucapkan puji syukur yang tak

terhingga kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan maksimal. Shalawat serta salam semoga

tercurahkan kepada junjungan kita, baginda Nabi Muhammad SAW beserta

keluarga dan sahabatnya atas tauladannya sehingga kami selaku umatnya dapat

terus melanjutkan perjuangannya dan semoga mendapatkan syafaatnya.

Penyusunan skripsi dengan judul “Pembuatan Biopelumas dari Minyak

Hasil Samping Pengolahan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)”. Penulis

menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari banyaknya bantuan

dan peranan banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Dr. Siti Nurbayti, M.Si, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan, pengarahan dan nasehat serta doa kepada penulis dalam

menyelesaikan penelitian dan penulisan ini.

2. Rodiah Nurbayasari, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat

serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan ini.

3. Isalmi Aziz, M.T dan Ahmad Fathoni, M.Si, selaku dosen penguji yang telah

memberikan masukan dan sarannya kepada penulis.

4. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia.

Page 9: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

vii

5. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud, selaku Dekan Fakultas Sains

dan Teknologi.

6. Dr. Sandra Hermanto, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik serta seluruh

dosen Program Studi Kimia yang telah memberikan ilmu dan nasehat kepada

penulis selama perkuliahan.

7. Kedua orang tua, ayahanda yang selalu memberikan dukungan, doa dan

bantuan positif baik secara moril maupun materil serta ibunda yang sudah lebih

dulu meninggalkan dan selalu mendukung penulis hingga akhir hayatnya.

8. Kakak dan adik serta seluruh keluarga besar atas doa, motivasi dan

dukungannya baik secara moril maupun materil.

9. Kimia angkatan 2015 selaku teman seperjuangan selama kuliah. Terimakasih

atas kehangatan, nasehat dan dukungan serta berbagai ilmu yang diberikan.

10. Teman-teman penelitian serta para peneliti dan teknisi di Balai Besar Riset

Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan yang selalu

membantu dan memberi motivasi kepada penulis selama penelitian.

11. Serta banyak pihak lain yang telah membantu penulis yang tidak bisa penulis

sebutkan namanya satu per satu, penulis ucapkan terimakasih.

Semoga Allah SWT senantiasa berkenan membalas segala kebaikan semua

pihak yang telah membantu dan skripsi ini dapat memberi manfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ciputat, Agustus 2020

Syifa Afiah

Page 10: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

viii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5

1.3 Hipotesis ................................................................................................... 6

1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 7

2.1 Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) ...................................................... 7

2.2 Limbah Hasil Perikanan ............................................................................ 8

2.3 Minyak Ikan Patin ................................................................................... 10

2.4 Pelumas ................................................................................................... 12

2.4.1 Biopelumas ............................................................................................. 14

2.4.2 Sertifikasi Standar Minyak Pelumas ....................................................... 15

2.4.3 Karakteristik Minyak Pelumas ................................................................ 16

2.5 Tahapan Sintesis Biopelumas ................................................................. 18

2.5.1 Ekstraksi Lemak dan Minyak ................................................................. 18

2.5.2 Hidrolisis ................................................................................................. 20

2.5.3 Polimerisasi ............................................................................................. 20

2.5.4 Poliesterifikasi......................................................................................... 22

2.6 Kromatografi Gas.................................................................................... 23

2.7 Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier (FTIR) ......................... 25

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 29

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 29

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................... 29

Page 11: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

ix

3.3 Skema Kerja ............................................................................................ 30

3.4 Prosedur Percobaan ................................................................................. 31

3.4.1 Preparasi Limbah Ikan ............................................................................ 31

3.4.2 Analisis Bahan Baku ............................................................................... 31

3.4.2.1 Kadar Air ................................................................................................ 31

3.4.2.2 Kadar Abu ............................................................................................... 31

3.4.2.3 Kadar lemak ............................................................................................ 32

3.4.3 Ekstraksi Minyak Ikan ............................................................................ 32

3.4.4 Karakterisasi Minyak Ikan ...................................................................... 33

3.4.4.1 Analisis Asam Lemak Bebas .................................................................. 33

3.4.4.2 Analisis Bilangan Penyabunan ................................................................ 33

3.4.4.3 Viskositas ................................................................................................ 34

3.4.4.4 Densitas ................................................................................................... 34

3.4.4.5 Analisis Komposisi Asam Lemak Menggunakan GC ............................ 35

3.4.5 Pembuatan Biopelumas ........................................................................... 36

3.4.6 Karakterisasi Biopelumas ....................................................................... 37

3.4.6.1 Densitas ................................................................................................... 37

3.4.6.2 Viskositas Kinematik dan Indeks Viskositas .......................................... 37

3.4.6.3 Titik Tuang .............................................................................................. 38

3.4.6.4 Titik Nyala .............................................................................................. 38

3.4.6.5 Analisis Korosi Bilah Tembaga .............................................................. 39

3.4.6.6 Penentuan Gugus Fungsi ......................................................................... 40

3.4.6.7 Analisis Komposisi Biopelumas Menggunakan GC ............................... 40

3.4.5 Analisis Data ........................................................................................... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 42

4.1 Kandungan Proksimat Kepala Tulang Ekor (KTE) Ikan Patin ............... 42

4.2 Hasil Ekstraksi Minyak Ikan Patin ......................................................... 43

4.3 Karakteristik Minyak Ikan ...................................................................... 45

4.3.1 Asam Lemak Bebas Minyak Ikan KTE .................................................. 45

4.3.2 Bilangan Penyabunan Minyak Ikan KTE ............................................... 46

4.3.3 Viskositas dan Densitas Minyak Ikan KTE ............................................ 46

4.3.4 Profil Asam Lemak Minyak Ikan KTE ................................................... 47

Page 12: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

x

4.4 Pembuatan Biopelumas ........................................................................... 48

4.5 Karakteristik Biopelumas........................................................................ 52

4.5.1 Viskositas dan Densitas BiopelumasKTE 1:6 ...................................... 520

4.5.2 Viskositas Kinematik Biopelumas KTE 1:6 ........................................... 55

4.5.3 Indeks Viskositas Biopelumas KTE 1:6 ................................................. 55

4.5.4 Titik Tuang Biopelumas KTE 1:6........................................................... 56

4.5.5 Titik Nyala Biopelumas KTE 1:6 ........................................................... 56

4.5.6 Korosi Bilah Tembaga Biopelumas KTE 1:6 ......................................... 57

4.6 Penentuan Gugus Fungsi Biopelumas KTE 1:6...................................... 57

4.7 Komposisi asam lemak biopelumas KTE 1:6 ......................................... 59

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 59

5.1 Simpulan ................................................................................................. 59

5.2 Saran ....................................................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 62

LAMPIRAN ......................................................................................................... 70

Page 13: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Ikan patin jenis siam ............................................................................ 8

Gambar 2. Limbah bagian kepala, tulang, dan ekor ikan patin ............................. 9

Gambar 3. Struktur trigliserida ............................................................................ 10

Gambar 4. Reaksi hidrolisis................................................................................. 20

Gambar 5. Polimerisasi mekanisme radikal bebas .............................................. 22

Gambar 6. Poliesterifikasi asam tereftalat dengan etilen glikol .......................... 23

Gambar 7. Diagram alir penelitian ...................................................................... 30

Gambar 8. Standar warna pengujian korosi ........................................................ 39

Gambar 9. Reaksi hidrolisis................................................................................. 48

Gambar 10. Mekanisme reaksi polimerisasi biopelumas .................................... 48

Gambar 11. Pengaruh rasio mol terhadap yield biopelumas ............................... 49

Gambar 12. Mekanisme reaksi poliesterifikasi biopelumas ................................ 51

Gambar 13. Pengaruh rasio mol terhadap densitas biopelumas .......................... 52

Gambar 14. Pengaruh rasio mol terhadap viskositas biopelumas ....................... 53

Gambar 15. Spektrum FTIR minyak ikan KTE dan biopelumas KTE 1:6 ......... 58

Page 14: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kadar lemak bagian-bagian tubuh ikan patin siam ................................ 11

Tabel 2. Profil asam lemak minyak ikan patin siam murni .................................. 12

Tabel 3. Karakteristik fisika kimia minyak lumas hidrolik industri ..................... 18

Tabel 4. Kandungan proksimat ikan patin bagian KTE ....................................... 42

Tabel 5. Rendemen minyak ikan patin bagian KTE............................................. 44

Tabel 6. Hasil karakteristik minyak ikan patin bagian KTE ................................ 45

Tabel 7. Profil asam lemak minyak ikan patin bagian KTE ................................ 47

Tabel 8. Karakteristik biopelumas hasil terbaik ................................................... 55

Tabel 9. Komposisi asam lemak minyak ikan dengan biopelumas ..................... 59

Page 15: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data dan perhitungan analisis proksimat ........................................ 70

Lampiran 2. Perhitungan yield minyak ikan ....................................................... 70

Lampiran 3. Data dan perhitungan karakteristik minyak ikan ............................ 70

Lampiran 4. Perhitungan rasio mol biopelumas .................................................. 72

Lampiran 5. Perhitungan yield biopelumas ......................................................... 77

Lampiran 6. Perhitungan uji ANOVA single factor yield biopelumas ............... 78

Lampiran 7. Perhitungan densitas biopelumas .................................................... 79

Lampiran 8. Perhitungan uji ANOVA single factor densitas biopelumas .......... 80

Lampiran 9. Perhitungan viskositas biopelumas ................................................. 81

Lampiran 10. Perhitungan uji ANOVA single factor viskositas biopelumas ..... 78

Lampiran 11. Pengujian fisik biopelumas KTE 1:6 ............................................ 79

Lampiran 12. Kondisi alat kromatografi gas ....................................................... 80

Lampiran 13. Hasil kromatografi gas biopelumas .............................................. 81

Lampiran 14. Dokumentasi penelitian ................................................................ 82

Page 16: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …
Page 17: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelumas merupakan bagian tak terpisahkan dari mesin yang digunakan

untuk melindungi komponen-komponen mesin dari keausan yang disebabkan oleh

dua permukaan yang saling bergesekan. Selain berfungsi untuk mengurangi gaya

gesek, pelumas juga berfungsi mendinginkan atau mengendalikan panas yang

keluar dari mesin untuk memastikan mesin bekerja dengan baik (Sukirno, 2010).

Pelumas yang paling sering digunakan saat ini adalah pelumas dari fraksi

minyak bumi (pelumas mineral) dan pelumas sintetik. Namun ketersediaan minyak

bumi yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui

(unrenewable energy) saat ini semakin menipis. Selain itu pelumas sintesis dan

pelumas mineral dapat menyebabkan masalah pencemaran dan hanya terurai 20

hingga 40% dalam tanah (Yanli et al., 2016).

Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pelumas adalah limbah

pelumas yang merupakan limbah B3 dan non-biodegradable. Sehingga akumulasi

limbah pelumas akan berakibat pencemaran tanah, air dan udara. Tanah dan air

dicemari oleh pelumas bekas yang dibuang langsung ke lingkungan dan mengalir

ke sungai sehingga terakumulasi di badan air dan mencemari perairan. Lama-lama

akan terjadi penetrasi ke sumur dan area pertanian. Pencemaran udara dapat terjadi

karna bahan volatil yang ada di dalam pelumas baik dari tumpahan atau buangan

menguap ke udara dan mencemari udara (Rahardiningrum et al., 2016).

Menurut Siswahyu dan Hendrawati (2013), lingkungan harus dilindungi

terhadap pencemaran yang disebabkan oleh minyak pelumas dengan bahan dasar

Page 18: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

2

dari minyak bumi. Ancaman terhadap lingkungan yang disebabkan pencemaran

dari pelumas, dapat dihindari dengan menggunakan pelumas hasil reklamasi dan

daur ulang atau menggunakan pelumas yang ramah lingkungan sebagai alternatif.

Biopelumas merupakan pelumas berbasis minyak nabati atau minyak

hewani yang dapat memenuhi semua tuntutan baik dari fungsi maupun lingkungan.

Biopelumas memiliki sifat-sifat ramah lingkungan diantaranya dapat terurai lebih

dari 90% di dalam tanah, tidak beracun dan dapat diperbaharui. Selain itu

biopelumas yang digunakan pada mesin mengurangi hampir semua bentuk

pencemaran dibanding penggunaan pelumas dari minyak bumi (Kuweir, 2010).

Limbah ikan patin sangat berpotensi sebagai bahan baku untuk pembuatan

biopelumas di Indonesia. Ikan patin memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi

jika dibandingkan dengan jenis ikan tawar lainnya, seperti ikan gabus dan ikan mas

yaitu 4,0% dan 2,9% (Panagan et al., 2011). Ikan patin jenis siam (Pangasius

hypophthalmus) banyak dibudidayakan di Indonesia karena mempunyai

keunggulan diantaranya mudah berkembang biak, banyak menghasilkan benih,

pemeliharaan yang mudah dan dapat bertahan hidup pada kondisi yang buruk

(Ariyanto dan Retno, 2006).

Pada umumnya proses pengolahan ikan patin di Indonesia menghasilkan

produk filet yang kemudian dijual dalam bentuk filet segar maupun beku. Usaha ini

akan semakin menguntungkan jika diikuti dengan pemanfaatan hasil samping

seperti kepala, tulang, sisa daging dan kulit sehingga tidak terdapat bagian tubuh

patin yang terbuang (nir limbah). Upaya ini merupakan implementasi dari zero

waste concept yang merupakan salah satu jiwa dari prinsip blue economy (KKP,

2016).

Page 19: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

3

Penelitian ini fokus menggunakan bagian kepala, tulang, dan ekor (KTE)

dari hasil samping pengolahan filet ikan patin. Umumnya bagian kepala ini

merupakan limbah yang terbuang bersama dengan bagian tubuh lainnya seperti

daging belly flap (daging bagian perut), tulang, ekor, kulit dan isi perut (Hastarini,

2012). Limbah tersebut dapat dimanfaatkan, karena terdapat banyak manfaat yang

terkandung di dalamnya.

Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat

164:

ماوات والرض واختلف الليل والن هار والفلك الت تري ف البحر ب ا إن ف خلق السفع الناس وما أن زل الله من الس ماء من ماء فأحيا به الرض ب عد موتا وبث فيها من ي ن

ماء والرض ليات لقوم ي عقلون ر ب ي الس حاب المسخ كل دابة وتصريف الرياح والسArtinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam

dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia,

dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan

bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan,

dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh

(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.

Menurut tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia (2020) ayat di atas

menjelaskan bahwa apa yang ada langit dan di bumi semuanya bermanfaat bagi

manusia. Allah telah sebarkan di bumi segala jenis hewan, seperti halnya ikan patin.

Ikan patin sangat bermanfaat untuk kebutuhan manusia. Hasil samping pengolahan

ikan patin seperti bagian kepala, tulang, dan ekor dapat menjadi limbah yang bisa

mencemari lingkungan. Limbah tersebut dapat dimanfaatkan untuk menjadi bahan

yang berguna, yaitu salah satunya dalam pembuatan biopelumas dari minyak

limbah ikan patin. Ayat tersebut menjadi tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-

orang yang menggunakan akalnya untuk mengambil pelajaran.

Page 20: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

4

Hastarini et al. (2012) telah melakukan ekstraksi minyak ikan patin

menggunakan metode wet rendering dengan perbandingan antara bahan baku dan

air (1:3). Hasilnya mempunyai nilai rendemen minyak ikan pada bagian kepala

sebesar 9,54%. Minyak ikan patin memiliki banyak manfaat dan telah

dikembangkan pemanfaatannya diantaranya sebagai produk adonan roti,

mayonnaise (Hastarini et al., 2012) margarin (Lestari, 2010), dan produk biodiesel

(Widianto dan Bagus, 2010).

Komposisi asam lemak minyak limbah ikan patin baik jenis siam maupun

jambal yang lebih dominan adalah asam palmitat dan asam oleat (Hastarini et al.,

2012). Minyak ikan memiliki karakteristik kimia yang mirip dengan minyak nabati

dan berpeluang sebagai alternatif minyak dasar pelumas (Mubarak et al., 2014).

Tingginya kandungan asam oleat pada minyak ikan berpotensi dijadikan sebagai

bahan dasar pembuatan pelumas yang dapat menggantikan pelumas berbasis

minyak mineral (Mungro et al.,2008).

Penelitian tentang potensi minyak hasil samping pengolahan ikan patin

sebagai bahan baku biopelumas telah banyak dilakukan. Amril et al. (2016)

membuat biopelumas dari minyak limbah ikan patin dengan melihat pengaruh

kecepatan pengadukan dan suhu reaksi. Yanli et al. (2016) mensintesis biopelumas

dari minyak limbah ikan patin pada pengaruh rasio mol dan waktu reaksi. Tran et

al. (2018) memproduksi biopelumas dari lemak ikan patin. Angulo et al. (2018)

memproduksi biopelumas dari residu minyak ikan melalui transesterifikasi dengan

trimethylolpropane (TMP).

Penelitian ini menggunakan limbah ikan patin jenis siam bagian kepala,

tulang, dan ekor (KTE). Bagian KTE diekstraksi minyaknya yang nantinya

Page 21: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

5

digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biopelumas. Keterbaruan penelitian ini

dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yanli et al.

(2016) yaitu pada tahap ekstraksi minyak ikan dari limbah ikan patin menggunakan

metode wet rendering dengan perbandingan antara bahan baku dan air (1:1 dan 1:2),

sedangkan penelitian sebelumnya dengan metode dry rendering. Tahap hidrolisis

pada penelitian ini dilakukan dengan kondisi reaksi yang berbeda dengan penelitian

sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Yanli et al. (2016) menggunakan

waktu 8 jam, suhu 80 °C, pengadukan 200 rpm, dan katalis HCl 10N 0,1% b/b,

sedangkan pada penelitian ini menggunakan waktu 2 jam, suhu 70 °C, pengadukan

200 rpm, dan katalis HCl 10N 5% b/b. Tahap poliesterifikasi pada penelitian ini

menggunakan perbandingan rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil

samping pengolahan ikan patin dan etilen glikol 1:4, 1:6, dan 1:8. Biopelumas

dikarakterisasi meliputi densitas, viskositas kinematik, indeks viskositas, titik

tuang, titik nyala, korosi bilah tembaga, gugus fungsi, dan komposisi asam lemak

biopelumas. Sedangkan Yanli et al. (2016) menggunakan perbandingan rasio mol

1:3, 1:4, dan 1:5. Biopelumas dikarakterisasi meliputi densitas, viskositas, dan titik

tuang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah karakteristik minyak hasil samping pengolahan ikan patin dapat

dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan biopelumas?

2. Bagaimana pengaruh rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil samping

pengolahan ikan patin dengan etilen glikol terhadap yield dalam pembuatan

biopelumas?

3. Bagaimana karakteristik biopelumas yang dihasilkan?

Page 22: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

6

1.3 Hipotesis

1. Karakteristik minyak ikan hasil samping pengolahan ikan patin yang dihasilkan

dapat dijadikan sebagai minyak dasar pembuatan biopelumas.

2. Rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil samping pengolahan ikan patin

dengan etilen glikol dapat berpengaruh terhadap yield dalam pembuatan

biopelumas.

3. Biopelumas yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang sesuai dengan

Standar Nasional Indonesia (SNI).

1.4 Tujuan Penelitian

1. Menentukan karakteristik minyak ikan kasar yang dihasilkan dari ekstraksi

kepala, tulang, dan ekor (KTE) ikan patin.

2. Menentukan pengaruh rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil samping

pengolahan ikan patin dengan etilen glikol terhadap yield dalam pembuatan

biopelumas.

3. Menentukan karakteristik biopelumas yang dihasilkan meliputi densitas,

viskositas, indeks viskositas, titik tuang, titik nyala dan korosi bilah.

1.5 Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

dan kalangan peneliti dibidang biolubricant mengenai potensi minyak hasil

samping pengolahan ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) yang dapat

dijadikan sebagai biopelumas.

Page 23: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Ikan patin (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu jenis ikan air

tawar yang bernilai ekonomis. Ikan patin ini memiliki tubuh memanjang berwarna

putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan, kepalanya relatif

kecil dengan mulut terletak di ujung kepala sebelah bawah. Ikan ini termasuk dalam

salah satu golongan catfish. Hal tersebut terlihat pada sudut mulutnya, yaitu

terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Khairuman dan

Suhenda, 2002).

Sirip punggung (dorsal) mempunyai jari-jari keras yang berubah menjadi

patil bergerigi di sebelah belakangnya. Jari-jari lunak sirip punggung berjumlah

enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak berukuran kecil

sekali yang disebut adipose fin. Sirip ekornya berbentuk cagak dan bentuknya

simetris. Sirip duburnya yang memanjang terdiri atas 30-33 jari-jari lunak. Sirip

perutnya memiliki 8-9 jari-jari. Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah

jari-jari keras yang menjadi senjata dan dikenal sebagai patil (Khairuman dan

Suhenda, 2002).

Berikut merupakan klasifikasi ikan patin (Saanin, 1984):

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Siluriformes

Famili : Pangasidae

Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius hypophthalmus

Page 24: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

8

Tubuh ikan Patin didominasi oleh daging, yaitu mencapai 49%, sedangkan

komposisi lainnya yaitu kulit, tulang, kepala, jeroan, dan gelembung renang.

Menurut Panagan (2012), berdasarkan analisis kandungan gizi ikan patin

mengandung 16,08% protein; kandungan lemak/minyak sekitar 5,75%; karbohidrat

1,5%; abu 0,97% dan air 75,7%. Jika dibandingkan dengan kadar lemak/minyak

ikan air tawar lain seperti ikan gabus dan ikan mas yaitu 4,0% dan 2,9%, ikan patin

memiliki kadar lemak/minyak yang lebih tinggi.

Wilayah di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin siam (Pangasius

hypopthalmus) dan ikan patin lokal (Pangasius sp). Salah satu jenis varietas ikan

patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan patin

jambal (Pangasius djambal) (Djarijah, 2001). Ikan patin adalah salah satu ikan air

tawar yang sangat populer dikonsumsi di seluruh dunia. Penelitian ini

menggunakan ikan patin jenis siam (Pangasius hypopthalmus) (Gambar 1).

Gambar 1. Ikan patin jenis siam (https://www.poultryshop.id, 2016)

2.2 Limbah Hasil Perikanan

Limbah merupakan sisa dari proses pengolahan hasil perikanan yang tidak

dimanfaatkan dan tidak mempunyai nilai ekonomis, bahkan dapat merugikan.

Limbah industri hasil perikanan adalah produk suatu proses industri yang belum

mempunyai nilai ekonomis, yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Selanjutnya

dinyatakan bahwa limbah seyogyanya dapat dianggap sebagai sumberdaya

tambahan yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan limbah disamping mempunyai

Page 25: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

9

nilai ekonomis juga mempunyai arti penting bagi lingkungan dan dampak

perlakuan yang tidak wajar terhadap limbah pada pola kehidupan perlu ditekankan

(Hardjo et al., 1989).

Pengambilan kembali dan pengubahan limbah bahan pangan menjadi

semakin penting dilihat dari segi ekonomi pada industri pangan. Hal ini

memungkinkan pemanfaatan maksimal dari bahan mentah dan memperkecil

persoalan polusi dan penanganan limbah (Buckle et al., 1987).

Pengelompokan limbah hasil perikanan menurut Ilyas dan Soeparno (1985),

yaitu:

a. Hasil samping, berupa ikan mentah utuh yang merupakan hasil ikutan dari

usaha penangkapan (by catch);

b. Limbah pengolahan (Gambar 2), yang salah satunya adalah bagian kepala,

tulang, dan ekor;

c. Limbah surplus, berupa ikan utuh karena kelebihan pemasaran atau

pengolahan;

d. Limbah industri, berupa ikan utuh, potongan atau hancuran yang terjadi pada

distribusi dan pemasaran.

Selama ini pemanfaatan limbah hasil perikanan lebih banyak digunakan

sebagai bahan baku pengolahan tepung ikan dan silase.

Gambar 2. Limbah bagian kepala, tulang, dan ekor ikan patin

Page 26: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

10

2.3 Minyak Ikan Patin

Minyak dan lemak merupakan senyawa organik yang terdapat di alam yang

tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik nonpolar seperti

hidrokarbon, eter, dan kloroform. Lemak dan minyak adalah trigliserida atau

trigliserol (Gambar 3). Kedua istilah ini berarti triester dari gliserol. Pada

temperatur kamar, lemak berbentuk padat dan minyak berbentuk cair. Sebagian

besar gliserida pada hewan berupa lemak. Karena itu, biasa terdengar ungkapan

lemak hewani (lemak babi, lemak sapi) dan minyak nabati (minyak kelapa, minyak

jagung, minyak biji bunga matahari, dan lain-lain) (Ketaren, 2008).

Gambar 3.Struktur trigliserida (Riswiyanto, 2009)

Minyak ikan merupakan komponen lemak dalam jaringan tubuh ikan yang

telah diekstraksi dalam bentuk minyak. Minyak ikan mempunyai jenis asam lemak

yang lebih beragam dibandingkan dengan jenis minyak yang lain, dengan

kandungan asam lemak omega 3 yaitu Eicosapentaenoic acid (EPA) dan

Docosahexaenoic acid (DHA) yang umum dijumpai pada minyak ikan (Estiasih,

2009).

Minyak ikan patin memiliki kandungan omega 3 rendah tetapi kandungan

omega 6 dan omega 9 tinggi (Thammapat et al., 2010). Ikan patin memiliki

kandungan lemak yang tinggi dan merupakan sumber asam lemak tidak jenuh yang

sangat bagus. Presentase kelompok asam lemak tak jenuh memiliki jumlah yang

lebih tinggi dibandingkan asam lemak jenuh dari total asam lemak secara

Page 27: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

11

keseluruhan yaitu dengan kisaran 52,74-62,97% untuk ikan patin jenis siam dan

jambal.

Penelitian tentang ekstraksi dan karakterisasi minyak ikan dari limbah

pengolahan filet ikan patin siam telah dilakukan oleh Hastarini et al. (2012). Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat tiga bagian tubuh ikan patin siam

yang potensial sebagai bahan baku minyak ikan yaitu bagian kepala, daging belly

flap dan isi perut, dengan kadar lemak masing-masing sebesar 9,84; 28,52; dan

20,34%. Kadar lemak bagian tubuh lainnya dari ikan patin siam ditunjukkan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Kadar lemak bagian-bagian tubuh ikan patin siam

Bagian tubuh Kadar lemak(%)

Daging filet skinless 2,72±0,09

Kepala 11,20±0,66

Tulang-ekor 13,10±0,60

Daging belly flap 36,21±0,59

Daging sisa trimming 6,63±0,50

Kulit 7,90±1,03

Isi perut 26,51±0,55

Sumber : Hastarini et al. (2012)

Profil asam lemak dari minyak ikan patin murni dari jenis siam ditunjukkan

pada Tabel 2. Asam lemak dominan adalah asam palmitat dan asam oleat (Hastarini

et al., 2012).

Page 28: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

12

Tabel 2. Profil asam lemak minyak ikan patin siam murni

Asam lemak Kepala

(%)

Daging

belly flap

(%)

Isi perut

(%)

C14:0 (miristat) 4,23 4,07 4,69

C16:0 (palmitat) 34,61 33,08 34,19

C18:0 (stearat) 7,61 8,24 8,12

C20:0 (arakidat) 0,31 0,22 0,26

C16:1 (palmitoleat) 1,12 2,64 2,99

C18:1 (oleat) 33,64 32,83 35,97

C20:1 (eikosanoat) 0,81 0,85 0,75

C24:1 (nervoat) 0,03 0,03 0,03

C18:2 (linoleat) 12,81 13,61 10,18

C18:3 (linolenat) 0,88 0,73 0,49

C20:2 (eikosadienoat) 0,68 0,44 0,53

C20:3 (homo--linolenat) 0,97 1,06 0,55

C20:4 (arakidonat) 0,89 0,81 0,29

C20:5 (eikosapentaenoat) 0,45 0,46 0,17

C22:6 (dokosaheksaenoat) 0,95 0,92 0,79

Jenuh 46,76 45,62 47,26

Tak jenuh 53,24 54,38 52,74

Omega 3 2,28 2,11 1,45

Sumber: Hastarini et al. ( 2012)

2.4 Pelumas

Pelumas merupakan bahan yang mampu mengurangi gesekan antara dua

komponen. Pelumas atau oli merupakan cairan yang menentukan kemampuan kerja

mesin dan kendaraan bermotor. Pelumas dibagi dalam dua bagian, yaitu pelumas

cair dan pelumas pasta, yang disebut gemuk atau grease. Oli atau pelumas

cenderung digunakan pada bagian yang memerlukan fungsi lain selain pelumasan,

sebagai pendingin bagian-bagian yang dilumasi, atau sebagai pembawa kotoran

Page 29: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

13

bagian-bagian mesin. Adapun gemuk dipergunakan untuk bagian-bagian yang

memerlukan pelumasan dengan kekentalan tinggi (Nugrahani, 2008). Berdasarkan

jumlah atom karbon pada fraksi minyak bumi, pelumas digolongkan ke dalam

fraksi minyak berat dengan rentang rantai karbon berjumlah C31 – C40 (Sutarno,

2013).

Pelumasan sendiri dapat diartikan sebagai proses menyisipkan bahan

tertentu (pelumas) diantara dua permukaan yang saling kontak dengan tujuan untuk

mengurangi gaya gesek. Kerugian yang disebabkan oleh gesekan adalah terjadinya

keausan dan kehilangan energi. Seiring dengan meningkatnya perkembangan

teknologi dan pemakaian mesin-mesin industri dan otomotif maka dapat dipastikan

pula bahwa kebutuhan pelumas akan semakin meningkat karena pelumas

merupakan salah satu komponen bahan penunjang untuk hampir semua komponen

mesin. Selain berfungsi mengurangi gaya gesek, pelumas juga berfungsi

mendinginkan dan mengendalikan kontaminan atau kotoran guna memastikan

mesin bekerja dengan baik (Yanto dan Septiana, 2012).

Menurut Sukirno (1988) beberapa sifat penting yang sangat dibutuhkan agar

minyak lumas dapat berfungsi dengan baik adalah:

a. Low volatility atau tidak mudah menguap, terutama pada kondisi operasi.

Volatilitas suatu minyak lumas penting sekali dalam pemilihan jenis pelumas

dasar sesuai pemakaian.

b. Fluiditas atau sifat mengalir dalam daerah suhu operasi.

c. Stabilitas selama periode pemakaian. Sebagian sifat ini ditentukan oleh aditif.

d. Kompatibilitas atau kecocokan dengan bahan lain dalam sistem.

Page 30: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

14

Pada umumnya pelumas memiliki komposisi yang terdiri dari 90% minyak

dasar dan 10% zat tambahan. Minyak pelumas dasar dapat dibedakan menjadi tiga

jenis, yaitu minyak mineral, organik, dan sintesis. Minyak mineral merupakan

minyak pelumas dasar yang berasal dari hasil pengilangan minyak bumi. Minyak

organik berasal dari komponen lemak tumbuh-tumbuhan (nabati) dan hewan

(hewani). Minyak sintesis berasal dari bahan kimia yang mengalami proses sintesis

hidrokarbon misalnya, poli-α-olefin, golongan ester, atau golongan naftalen

teralkilasi (Misriyanto, 2009).

2.4.1 Biopelumas

Definisi biopelumas atau biasa disebut biolubricant adalah pelumas yang

secara tepat dapat terdegradasi (biodegradable) dan tidak beracun (nontoxic) bagi

manusia dan lingkungan (Askew, 2004). Biopelumas dikembangkan dari bahan

dasar berupa lemak hewan ataupun minyak tumbuh-tumbuhan. Pelumas berbahan

dasar minyak tumbuhan bersifat biodegradable dan nontoxic, juga bersifat dapat

diperbaharui (renewable) (Kuweir, 2010).

Selain tidak beracun dan mudah terurai, biopelumas memiliki keunggulan

lain dibandingkan pelumas mineral dan pelumas sintesis (Honary, 2006), yaitu:

1. Memiliki sifat pelumasan yang lebih baik karena struktur molekulnya lebih

polar sehingga lebih menempel pada permukaan;

2. Melindungi permukaan dengan baik walaupun pada tekanan tinggi;

3. Memiliki titik nyala yang tinggi sehingga lebih aman digunakan;

4. Indeks viskositas yang tinggi: viskositasnya tidak terlalu berubah banyak

seperti pelumas mineral terhadap perubahan temperatur;

5. Memiliki volatilitas yang rendah sehingga tidak mudah menguap.

Page 31: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

15

Dewasa ini, terjadi peningkatan tuntutan pelumas yang cocok digunakan

sehingga tidak mencemari lingkungan apabila terjadi kontak dengan air, makanan

ataupun manusia. Biopelumas memenuhi syarat-syarat tersebut karena biopelumas

terurai di dalam tanah lebih dari 90% (biodegradable) sehingga tidak menyebabkan

polutan bagi lingkungan, tidak seperti pelumas mineral dan sintesis maksimal

terurai hanya 40% yang menyebabkan perlunya penanganan lebih lanjut, selain itu

juga biopelumas tidak beracun (nontoxic) karena berasal dari minyak tumbuhan

(Kuweir, 2010). Minyak hewan memiliki struktur dan karakteristik yang mirip

dengan minyak tumbuhan (Biermann, 2008) sehingga biopelumas dari minyak

alami (tumbuhan atau hewan) dapat mengatasi masalah lingkungan, keselamatan,

dan kesehatan (Borras, 2016).

2.4.2 Sertifikasi Standar Minyak Pelumas

Standar pelumasan berdasarkan viskositas bermacam-macam antara lain

SAE (Society of Automotive Engineers), API (American Petroleum Institute),

ASTM (American Society for Testing and Material), ISO (International

Organization for Standardization) dan JASO (Japanese Automotive Standars

Organization). Pelumas di Indonesia biasanya menggunakan lebih dari satu standar,

dan yang paling sering digunakan adalah SAE (Darmanto, 2011).

Society of Automotive Engineers (SAE), yaitu klasifikasi pelumas mesin

menurut tingkat kekentalannya pada suhu 100°C dan beberapa suhu rendah

tergantung dari tingkat kekentalannya. Viskositas pada suhu tinggi berhubungan

dengan tingkat konsumsi pelumas dan karakteristik keausan. Kekentalan suhu

rendah digunakan untuk memprediksi kemudahan start dan kinerja pelumasan pada

suhu rendah. Pelumasan dengan indeks viskositas tinggi kurang sensitif terhadap

Page 32: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

16

perubahan suhu (Nugrahani, 2008). American Petroleum Institute (API), yaitu

klasifikasi kinerja pelumas untuk mesin bensin menggunakan simbol S (SA-SJ),

klasifikasi kinerja mesin diesel dengan simbol C (CA-CG) (Nugroho, 2005).

2.4.3 Karakteristik Minyak Pelumas

1. Viskositas

Viskositas adalah kekentalan suatu minyak pelumas yang merupakan

ukuran kecepatan bergerak atau daya tolak suatu pelumas untuk mengalir (Arisandi,

2012). Viskositas adalah tegangan geser pada bidang fluida perunit perubahan

kecepatan terhadap bidang normal. Viskositas memiliki satuan mm/s2 atau

centistoke (cSt) semakin tinggi nilai viskositas pelumas akan semakin kental

(Darmanto, 2011).

2. Indeks Viskositas

Indeks viskositas merupakan kecepatan perubahan kekentalan suatu

pelumas dikarenakan adanya perubahan temperatur (Arisandi et al., 2012). Indeks

viskositas merupakan hubungan antara viskositas/kekentalan pelumas terhadap

perubahan temperatur. Temperatur kerja yang semakin tinggi akan menurunkan

viskositas pelumas, demikian juga sebaliknya semakin rendah temperatur kerja

kekentalan pelumas akan naik (Darmanto, 2011).

Menurut Sudrajat et al. (2007), indeks viskositas merupakan pengukuran

perubahan viskositas relatif terhadap perubahan temperatur antara suhu 40°C dan

100°C. Nilai indeks viskositas pelumas terbagi menjadi 3 golongan, yaitu :

a. Indeks viskositas rendah atau Low Viscosity Index (LVI) adalah pelumas yang

memiliki indeks viskositas lebih rendah dari 40.

Page 33: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

17

b. Indeks viskositas sedang atau Medium Viscosity Index (MVI) adalah pelumas

yang memiliki indeks viskositas antara 40 sampai dengan 80.

c. Indeks viskositas tinggi atau High Viscosity Index (HVI) adalah pelumas yang

memiliki indeks viskositas lebih besar dari 80.

3. Titik Nyala (Flash Point)

Flash point atau titik nyala, menunjukkan temperatur dimana pelumas akan

dan terus menyala sekurang-kurangnya selama 5 detik (Arisandi et al., 2012). Titik

nyala digunakan untuk mengetahui saat awal pelumas akan terbakar atau timbul

nyala api saat berada dalam mesin (Sudrajat et al., 2007).

4. Titik Tuang (Pour Point)

Titik tuang merupakan suhu terendah dimana pelumas dapat mengalir pada

kondisi tersebut. Tujuan dari pengukuran ini adalah untuk mengetahui kemampuan

mengalir pelumas pada suhu rendah yang berhubungan dengan suhu minimum

pemakaian atau kondisi kerja dari pelumas tersebut (Wiyantoko, 2016).

5. Korosi Bilah Tembaga

Korosi bilah tembaga merupakan ukuran bahan produk pelumas

menimbulkan korosi terhadap tembaga. Pengujian biasanya dilakukan pada

gasoline serta aviation gasoline. Prinsip pengujian yaitu sampel dioleskan pada

lempengan tembaga dan dipanaskan pada kondisi tertentu. Hasil pembakaran

diamati dan dibandingkan dengan standar (Wiyantoko, 2016).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

mengeluarkan keputusan mengenai syarat dan mutu (spesifikasi) pelumas yang

dipasarkan di dalam negeri dengan nomor: 2808 k/20/mem/2006 berdasarkan

Standar Nasional Indonesia (SNI) diuraikan pada Tabel 3.

Page 34: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

18

Tabel 3. Karakteristik fisika kimia untuk kerja minyak pelumas hidrolik industri

Sifat pelumas Spesifikasi

Metode uji ISO VG 32 ISO VG 46

Viskositas pada 40 °C, cSt 28-35 41-50 ASTM D-445

Viskositas pada 100 °C, cSt min. 5,0 min 6,1 ASTM D-445

Indeks viskositas min. 90 min. 90 ASTM D-2270

Titik tuang (pour point), °C maks. (-17.5) maks. (-15) ASTM D-97

Titik nyala (flash point), °C min. 175 min. 175 ASTM D-92

Korosi bilah tembaga maks. 1b maks. 1b ASTM D-130

Sumber: SNI (2006)

2.5 Tahapan Sintesis Biopelumas

2.5.1 Ekstraksi Lemak dan Minyak

Ekstraksi adalah salah satu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari

bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi ini

bermacam-macam yaitu rendering (dry rendering dan wet rendering), mechanical

expression dan solvent extraction (Ketaren, 2008).

1. Rendering

Rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan

yang diduga mengandung minyak atau lemak dengan kadar air yang tinggi

(Ketaren, 2008). Pada teknik ini digunakan panas yang bertujuan untuk

menggumpalkan protein pada dinding sel dan memecahkan dinding sel tersebut

sehingga mudah ditembus oleh minyak atau lemak yang terkandung di dalamnya.

Berdasarkan proses pengerjaannya rendering terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Wet rendering

Wet rendering adalah proses rendering dengan penambahan sejumlah air

selama berlangsungnya proses tersebut. Cara ini dikerjakan dengan ketel terbuka

Page 35: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

19

atau tertutup pada suhu tinggi serta tekanan 3-4 atm. Penggunaan suhu rendah

dalam proses ini jika diinginkan aroma yang netral dari minyak atau lemak.

b. Dry rendering

Dry rendering adalah salah satu cara rendering tanpa penambahan air

selama proses berlangsung. Proses ini dilakukan dalam ketel terbuka dan dilengkapi

dengan penyekat uap serta alat pengaduk (agigator). Sampel dimasukkan ke dalam

ketel tanpa penambahan air kemudian dipanaskan sambil diaduk. Pemanasan

dilakukan pada suhu 105 – 110 °C.

2. Pengepresan Mekanis

Pengepresan mekanis merupakan suatu cara memisahkan minyak dari bahan

yang berkadar minyak tinggi (30-70%), terutama digunakan untuk bahan yang

berasal dari biji-bijian. Pada pengepresan mekanis ini diperlukan perlakuan

pendahuluan sebelum minyak atau lemak dipisahkan dari bijinya, perlakuan

tersebut antara lain perajangan, penggilingan, dan tempering atau pemasakan. Dua

cara umum dalam pengepresan mekanis, yaitu :

a. Pengepresan hidraulik (Hydraulic Pressing)

Pada metode ini bahan yang mengandung minyak atau lemak diberi tekanan

sebesar 136 atm. Jumlah minyak atau lemak yang diperoleh bergantung pada

tekanan yang digunakan, lamanya tekanan yang diberikan, dan kandungan minyak

atau lemak dalam sampel.

b. Pengepresan beruling (Expeller Pressing)

Metode ini memerlukan perlakuan khusus pada bahan yang mengandung

minyak atau lemak, yaitu proses pemasakan dilakukan pada suhu 115,5 °C dengan

tekanan sekitar 15-20 atm. Kadar air yang masih terdapat dalam minyak atau lemak

Page 36: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

20

yang dihasilkan melalui metode ini sebesar 2,5-3,5%, sedangkan pada ampas masih

terdapat minyak atau lemak sebesar 4-5%.

2.5.2 Hidrolisis

Hidrolisis minyak dengan air merupakan metode yang umum dipakai untuk

menghasilkan asam lemak. Reaksi ini akan menghasilkan gliserol sebagai produk

samping. Dalam reaksi hidrolisis, lemak dan minyak akan diubah menjadi asam-

asam lemak bebas dan gliserol.

Asam karboksilat yang diperoleh dari hidrolisis suatu lemak atau minyak,

yang disebut asam lemak, umumnya mempunyai rantai hidrokarbon panjang dan

tak bercabang. Lemak dan minyak seringkali diberi nama sebagai derivat asam-

asam lemak (Riswiyanto, 2009). Reaksi hidrolisis trigliserida (lemak atau minyak)

ditunjukkan pada Gambar 4 sebagai berikut:

Gambar 4. Reaksi hidrolisis trigliserida (Riswiyanto, 2009)

2.5.3 Polimerisasi

Polimerisasi merupakan proses terbentuknya polimer dari monomer.

Semakin besar molekul (berarti semakin besar berat molekul) maka bentuk polimer

cenderung mengental hingga memadat (Rochmadi dan Ajar, 2015).

Polimerisasi dapat dikelompokkan menjadi dua golongan berdasarkan

reaksinya yaitu, polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi. Polimerisasi yang

terjadi pada penelitian ini yaitu polimerisasi adisi. Polimerisasi adisi melibatkan

Page 37: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

21

reaksi rantai. Pembawa rantai pada polimerisasi adisi dapat berupa spesi reaktif

yang mengandung satu elektron tak berpasangan yang disebut radikal bebas, atau

beberapa ion (Cowd, 1991).

Reaksi polimerisasi adisi membutuhkan inisiator yang akan membentuk

pusat aktif tumbuhnya polimer. Pada penelitian ini digunakan inisiator benzoil

peroksida. Polimerisasi adisi menggunakan radikal bebas dari inisiator benzoil

peroksida untuk memicu terjadinya reaksi polimerisasi. Polimerisasi dengan

menggunakan radikal bebas, sangat dipengaruhi oleh suhu, nilai pH, konsentrasi

monomer, dan media polimerisasi (Handayani, 2006).

Dalam proses polimerisasi radikal bebas terdapat tiga urutan langkah reaksi,

yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Pada tahap inisiasi, benzoil peroksida

dikenai energi (panas) hingga terbelah menjadi gugus yang reaktif (radikal bebas)

dengan adanya elektron bebas tanpa pasangan. Radikal bebas hasil disosiasi

kemudian menyerang monomer sehingga terbentuk radikal bebas baru (asosiasi).

Monomer yang sudah bersifat radikal ini menjadi sangat reaktif. Jadi, reaksi inisiasi

prinsipnya adalah aktivasi monomer radikal yang reaktif. Pada tahap propagasi

radikal bebas monomer baru tersebut bereaksi dengan molekul monomer lain,

demikian seterusnya hingga tumbuh membentuk radikal polimer rantai panjang

(chain-growth). Reaksi ini berlangsung sangat cepat sehingga dinamakan reaksi

rantai (chain reaction). Tahap terminasi merupakan tahap berakhirnya teaksi

polimerisasi, dimana sejumlah chain-growth radikal bebas tumbukan satu dengan

yang lain. Masing-masing tumbukan tersebut kemudian saling berinteraksi dengan

memasangkan elektron bebas yang dimiliki (Rochmadi dan Ajar, 2015). Reaksinya

ditunjukkan pada Gambar 5 sebagai berikut:

Page 38: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

22

Tahap Inisiasi:

Tahap Propagasi:

Tahap Terminasi:

Gambar 5. Polimerisasi mekanisme radikal bebas (Rochmadi dan Ajar, 2015)

2.5.4 Poliesterifikasi

Poliesterifikasi merupakan proses pembuatan polimer dengan cara

kondensasi yang menggabungkan dua jenis gugus utama yaitu karboksil dari asam

karboksilat dan hidroksil dari suatu alkandiol sehingga menghasilkan gugus ester.

Page 39: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

23

Alkandiol yang paling umum digunakan adalah etilen glikol. Jika molekul pereaksi

mengandung jumlah gugus yang sama meskipun jenisnya berbeda, maka akan

terbentuk polimer rantai linear. Akan tetapi, apabila jumlahnya berbeda, maka akan

terbentuk rantai jaring (Anwar, 2009).

Penambahan etilen glikol pada reaksi polimerisasi adalah salah satu usaha

meminimalisir kadar air yang terbentuk (Manurung et al., 2013). Selain itu,

penambahan etilen glikol juga berfungsi sebagai pemanjangan rantai polimer (Budi

et al., 2009). Dengan bertambah panjangnya rantai polimer maka berat molekul

juga semakin bertambah besar sehingga produk akhir polimer dapat terbentuk.

Polimerisasi kondensasi poli(etilentereftalat) dilakukan dengan

mereaksikan asam tereftalat dan etilen glikol melalui reaksi kondensasi sebagai

berikut (Gambar 6).

Gambar 6. Poliesterifikasi asam tereftalat dengan etilen glikol (Anwar, 2009)

2.6 Kromatografi Gas

Kromatografi gas merupakan teknik yang pertama kali diperkenalkan oleh

James dan Martin pada tahun 1952, teknik ini merupakan metode analisis

kuantitatif dan kualitatif yang cepat untuk menganalisis komponen lipida volatil,

seperti hidrokarbon, ester asam lemak, sterol, dan lain-lain (Gunstone et a., 1995).

Penggunaan kromatografi menurut Skoog et al. (1998) dibedakan antara dua

Page 40: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

24

metode penggunaan. Pertama, kromatografi gas digunakan sebagai alat untuk

melakukan pemisahan. Penggunaan ini memerlukan pengubahan senyawa sampel

menjadi senyawa volatil atau senyawa yang dapat diderivatisasi untuk

menghasilkan senyawa volatil. Kedua, kromatografi gas sebagai pelengkap untuk

hasil analisis yang sempurna, dalam hal ini volume dan waktu retensi digunakan

untuk identifikasi senyawa, dan bobot serta luas puncak sebagai informasi

kuantitatifnya.

Bagian dasar suatu kromatografi gas adalah: tangki gas pembawa, sistem

injeksi sampel, kolom kromatografi, detektor, oven, dan rekorder (Nielsen, 1998).

Gas pembawa merupakan gas yang inert dan memiliki tingkat kemurnian yang

tinggi seperti helium, nitrogen, dan hidrogen. Penggunaan jenis gas tergantung dari

jenis detektor yang digunakan. Menurut Skoog et al. (1998) sistem gas pembawa

biasanya berisi molekul penyaring air dan zat pengotor lain. Tangki gas pembawa

dilengkapi dengan regulator aliran dan tekanan.

Sampel diinjeksikan dengan menggunakan syringe ke tempat injeksi

(injection port). Oven berfungsi mengontrol temperatur dalam kolom kromatografi.

Kolom kromatografi gas dapat berupa packed column atau capillary column.

Penggunaan awal kromatografi gas banyak menggunakan tipe packed column,

tetapi pada perkembangannya tipe capillary lebih banyak digunakan.

Detektor yang sering digunakan pada kromatografi gas adalah flame

ionization (FID), thermal conductivity (TCD), electron capture (ECD), flame

photometric (FPD), dan photoionization (PID). Detektor haruslah peka terhadap

komponen-komponen yang terpisahkan didalam kolom serta mengubah kepekaan

menjadi sinyal.

Page 41: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

25

Komposisi asam lemak dapat dianalisis dengan menggunakan metode

kromatografi gas. Prinsip analisis komposisi asam lemak dengan gas liquid

chromatography (GLC) adalah dengan mengubah komponen asam lemak menjadi

senyawa volatil fatty acid methyl ester (FAME). Metil ester asam lemak tersebut

akan dibawa oleh gas (carrier) untuk melewati fase diam berupa cairan di dalam

kolom dan kemudian akan dipisahkan sesuai dengan tingkat volatilitas dan

interaksinya dengan fase diam. Perbedaan volatilitas asam lemak serta interaksinya

dengan fase diam akan menyebabkan masing-masing komponen asam lemak

berada di dalam kolom dengan waktu retensi yang berbeda. Komponen yang keluar

kemudian akan dideteksi dengan flame ionization detector (FID), yang memberikan

responnya berupa puncak kromatogram. Jenis dan jumlah asam lemak yang ada

pada contoh dapat diidentifikasi dengan membandingkan puncak kromatogram

contoh dengan puncak kromatogram asam lemak standar yang telah diketahui jenis

dan konsentrasinya.

2.7 Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier (FTIR)

Spektroskopi inframerah adalah salah satu teknik spektroskopi yang paling

umum digunakan oleh kimia organik dan anorganik. Spektroskopi IR

memungkinkan untuk digunakan dalam deteksi suatu sampel karena spektra

tersebut dapat dimanfaatkan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif (Hof, 2003).

Tujuan utama analisis spektroskopi inframerah adalah menentukan gugus-gugus

fungsi molekul (Mulja dan Suharman, 1995). Saat ini perkembangan transformasi

fourier, spektroskopi FTIR digunakan secara luas dalam bidang farmasi, makanan,

lingkungan dan sebagainya (Che Man et al., 2010).

Page 42: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

26

Menurut Stuart (2004), spektra IR dapat dibagi dalam tiga daerah utama,

yaitu IR jauh (<400 cm-1), IR tengah (4000-400 cm-1) dan IR dekat (13000-4000

cm-1). Dari ketiga daerah itu, IR tengah merupakan daerah yang paling banyak

digunakan untuk analisis karena semua molekul mempunyai absorbansi

karakteristik dan vibrasi molekul utama dalam daerah ini (Davis dan Mauer, 2010).

Spektroskopi inframerah tengah merupakan metode yang didasarkan pada

interaksi radiasi inframerah dengan sampel. Radiasi Inframerah dilewatkan

melewati sampel, panjang gelombang spesifik diserap karena ikatan kimia pada

material (contracting), dan pembengkokan (bending). Gugus fungsi yang ada dalam

suatu molekul cenderung menyerap radiasi inframerah pada kisaran bilangan

gelombang yang sama terlepas dari struktur lain dalam molekul. Puncak spektrum

juga diturunkan dari absorbasi perubahan energi vibrasi pada daerah inframerah.

Jadi, ada hubungan antara posisi pita inframerah dan struktur kimia dalam molekul

(Davis dan Mauer, 2010).

Daerah spektrum inframerah dapat dibagi menjadi dua yaitu (Mudasir dan

Candra, 2008):

1. Daerah frekuensi gugus fungsional, terletak pada 4000-1400 cm-1. Bagian dari

spektrum ini menunjukkan absorbsi yang timbul karena ikatan dan gugus fungsi.

Kebanyakan puncak absorbsi dalam daerah spektrum ini dengan mudah dikenali

karena berasal dari gugus fungsional yang khas.

2. Daerah sidik jari (fingerprint), yaitu daerah yang terletak pada 1400-400 cm-1.

Pita-pita absorpsi pada daerah ini berhubungan dengan vibrasi molekul secara

keseluruhan. Setiap atom dalam molekul akan saling mempengaruhi sehingga

dihasilkan pita-pita absoprsi yang khas untuk setiap model.

Page 43: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

27

Komponen dasar spektrofotometer FTIR adalah sumber sinar,

interferometer, sampel, detektor penguat (amplifier), pengubah analog ke digital,

dan komputer. Radiasi muncul dari sumber sinar yang dilewatkan melalui

interferometer ke sampel yang akan dideteksi sebelum mencapai detektor. Setelah

terjadi amplifikasi sinyal, data dikonversi ke dalam bentuk digitalnya, kemudian

ditransfer ke komputer untuk transformasi Fourier (Stuart, 2004).

Mekanisme yang terjadi pada FTIR yaitu sinar datang dari sumber sinar

yang kemudian diteruskan, lalu akan dipecah oleh pemecah sinar menjadi dua

bagian sinar yang saling tegak lurus. Sinar ini kemudian dipantulkan oleh dua

cermin yaitu cermin diam dan cermin bergerak. Kemudian sinar hasil pantulan dari

kedua cermin tersebut akan dipantulkan kembali menuju pemecah sinar untuk

saling berinteraksi.

Dari pemecah sinar, sebagian sinar akan diarahkan menuju cuplikan dan

sebagian menuju sumber. Gerakan cermin yang maju mundur akan menyebabkan

sinar pada detektor berfluktuasi. Sinar akan saling menguatkan ketika kedua cermin

memiliki jarak yang berbeda. Fluktuasi sinar sampai pada detektor ini akan

menghasilkan sinyal pada detektor yang terdapat pada interferometer (Prastika,

2015).

Interferometer berfungsi untuk mengatur intensitas sumber sinar inframerah

dengan mengubah dari posisi cermin pemantul yang memantulkan sinar dari

sumber sinar ke sampel. Interferometer (Michelson Interferometer) menggunakan

beam splitter untuk membelah sinar radiasi dari sumber inframerah menjadi dua

bagian, yaitu bagian pertama dipantulkan pada cermin yang tetap dan bagian

lainnya ditransmisikan ke cermin yang bergerak. Dengan adanya interferometer ini

Page 44: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

28

menjadikan spektrometer dapat mengukur semua frekuensi tunggal sebelum sinyal

mencapai detektor. Hasil scanning dari interferometer ini berupa interferogram.

Kemudian interferogram akan diubah menjadi spektrum antara intensitas dan

frekuensi dengan bantuan komputer berdasarkan operasi matematika (Prastika,

2015).

Page 45: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

29

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Oktober 2019

di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan,

Kementrian Kelautan dan Perikanan, Slipi Petamburan, Jakarta Pusat.Analisis

profil asam lemak dilakukan di Laboratorium Kimia Terpadu IPB dan uji

karakteristik biopelumas di Laboratorium Oil Clinic Pertamina Lubricants.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas, neraca

analitik, ekstraktor minyak ikan, corong pisah, penangas air (Thermoscientific),

termometer (K-thermocouple thermometer), piknometer, Viskometer Brookfield

(AMETEK TC 550), Kinematic Viskometer test, Pour Point test, Flash Pointtest,

Couper Corrotion test, Consentrator (Chemoscience), seperangkat alat GC (gas

chromatoghraphy) (Shimadzu Co.Japan), dan seperangkat alat Spektrofotometer

Fourier Transform Infra Red (FTIR Spectrum One, Perkin Elmer).

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian kepala,

tulang, dan ekor (KTE) dari limbah pengolahan filet ikan patin siam di daerah

Karawang dan Riau. Bahan kimia yang digunakan antara lain: HCl pekat (Merck),

inisiator benzoil peroksida (Merck), dan etilen glikol (Merck), KOH, etanol,

petroleum eter, BF3-metanol, n-heksana, dan pelet KBr.

Page 46: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

30

3.3 Skema Kerja

Gambar 7. Diagram alir penelitian

+ aquades

+ HCl

5%b/b

Analisis Proksimat

(kadar air, abu dan lemak)

+ benzoil

peroksida

0.2% b/b

Ekstraksi

sampel : air (1:1;1:2)

selama 30 menit

Suhu 70°C, 110 rpm

Kepala-tulang-ekor

(KTE)

limbah ikan patin

Minyak Ikan

Hidrolisis

minyak : air (1:1)

selama 2 jam

Suhu 70°C, 200 rpm

Preparasi bahan baku

Karakterisasi minyak ikan

1. bilangan penyabunan

2. bilangan asam lemak bebas

3. densitas

4. viskositas

5. komposisi asam lemak

dengan Kromatografi Gas Polimerisasi

selama 5 jam

Suhu 130°C, 200 rpm

Poliesterifikasi

selama 4 jam

Suhu 120°C, 200 rpm

+ as.lemak:

etilen glikol

(1:4, 1:6, 1:8)

Biopelumas

Karakterisasi Biopelumas

1. densitas

2. viskositas 40°C dan 100°C

3. indeks viskositas

4. titik tuang

5. titik nyala

6. korosi bilah tembaga

7. gugus fungsi dengan FTIR

8. komposisi biopelumas

dengan Kromatografi Gas

Asam lemak

Asam lemak

terpolimerisasi

Page 47: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

31

3.4 Prosedur Percobaan

3.4.1 Preparasi Limbah Ikan (Hastarini et al., 2012)

Proses preparasi limbah ikan patin dilakukan dengan cara mencacah bagian

kepala, tulang dan ekor (KTE) sebanyak 23 kg menjadi bagian yang lebih kecil.

Limbah ikan yang sudah dicacah kemudian dibagi untuk kebutuhan ekstraksi dan

analisis. Limbah yang didapatkan kemudian disimpan dalam lemari pendingin suhu

-18°C hingga digunakan.

3.4.2 Analisis Bahan Baku

Bahan baku (sampel) yang dianalisis yaitu bagian kepala, tulang, ekor ikan

patin yang sudah dipreparasi. Analisis yang akan dilakukan meliputi:

3.4.2.1 Kadar Air (AOAC, 2006)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan

didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang

sebanyak ± 2 g dalam cawan (B). Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 100°C

selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan

ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat

konstan (C).

Kadar air (% b/b) = B−(C−A)

B × 100%............(1)

3.4.2.2 Kadar Abu (AOAC, 2006)

Cawan untuk melakukan pengabuan disiapkan kemudian dikeringkan dalam

oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel

ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap

sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam

tanur listrik pada suhu 400-600°C selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna

Page 48: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

32

putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam

desikator kemudian ditimbang (C).

Kadar abu (% b/b) = C−A

B × 100%...................(2)

3.4.2.3 Kadar lemak (AOAC, 2006)

Sebanyak 2 g sampel dikeringkan dalam oven (105 ºC) terlebih dahulu

selama kurang lebih 2 jam diatas kertas saring bebas lemak. Selanjutnya contoh

yang sudah kering dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam labu

soxhlet (labu soxhlet sebelumnya dikeringkan dalam oven, dimasukkan ke dalam

desikator lalu ditimbang). Dimasukkan pelarut petroleum eter kemudian dilakukan

refluks selama 6 jam. Lalu labu berisi hasil refluks dipanaskan dalam oven dengan

suhu 105 ºC hingga menguap. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan

ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus :

Kadar lemak (%)= berat lemak

berat sampel × 100%..........................(3)

3.4.3 Ekstraksi Minyak Ikan

Proses ekstraksi minyak ikan patin dilakukan dengan metode Sathivel et al.

(2008) dan Hastarini et al. (2012) yang dimodifikasi. Bahan baku (sampel) yang

digunakan yaitu bagian kepala, tulang dan ekor ikan patin yang sudah dipreparasi

sebanyak 22,5 kg. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraktor

kemudian ditambahkan air dengan perbandingan sampel:air (1:1 dan 1:2) dan

direbus pada suhu sekitar 70 °C selama 30 menit. Setelah dilakukan perebusan,

lumatan disaring dengan kain hingga didapatkan filtrat (cairan) dan menyisakan

residu (padatan). Cairan yang didapatkan masih dalam bentuk emulsi yaitu

campuran antara minyak dan air yang akan dipisahkan dengan corong pisah.

Page 49: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

33

Padatan yang didapat dari hasil penyaringan ditekan hingga mengeluarkan cairan,

kemudian cairan yang didapatkan dicampurkan ke dalam cairan yang akan

dipisahkan. Proses pemisahan menggunakan corong pisah untuk memisahkan

minyak dari bahan-bahan lainnya. Hasil yang didapatkan berupa minyak ikan patin

kasar. Selanjutnya berat minyak yang dihasilkan ditimbang sebagai yield minyak

ikan kasar. Minyak ikan patin kasar yang didapatkan dimasukkan ke dalam botol

berwarna gelap dan kemudian disimpan pada suhu ruang sebelum diproses menjadi

biopelumas.

Yield (%) =𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐢𝐧𝐲𝐚𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥𝐤𝐚𝐧 (𝐠)

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐝𝐢𝐨𝐥𝐚𝐡 (𝐠)× 100%....................(4)

3.4.4 Karakterisasi Minyak Ikan

Karakterisasi minyak ikan hasil ektraksi yang dilakukan meliputi asam

lemak bebas, bilangan penyabunan, viskositas, densitas, dan profil asam lemak.

3.4.4.1 Analisis Kandungan Asam Lemak Bebas (Lembaga Teknologi

Perikanan, 1998)

Sebanyak 1 g minyak dilarutkan dalam 25 mL larutan eter : etanol 95%

(1:1), kemudian ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein (pp). Selanjutnya

dititrasi dengan larutan KOH 0,1 N sampai larutan berwarna merah muda.

Angka asam = 56,11 ×mL KOH × N KOH ×0,8710

berat minyak (g)................................(5)

Asam lemak bebas (%) = Angka asam × B.M asam oleat ×100

BM KOH ×1000............(6)

3.4.4.2 Analisis Bilangan Penyabunan (AOCS, 2005)

Bilangan penyabunan adalah banyaknya miligram KOH yang dibutuhkan

untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Tahapan untuk mengetahui

bilangan penyabunan minyak yang telah diekstraksi, sebanyak ± 2 g minyak

Page 50: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

34

ditimbang dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan 25 mL KOH 0,5 N dalam

alkohol serta beberapa butir batu didih. Setelah ditutup dengan pendingin balik,

dididihkan dengan hati-hati selama 1 jam sehingga minyak dan KOH bercampur

homogen. Setelah dingin ditambahkan beberapa tetes indikator PP dan kelebihan

KOH dititrasi dengan larutan standar 0,5 N HCl sampai menjadi tidak berwarna.

Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko (titrasi tanpa menggunakan sampel).

Bilangan Penyabunan = 28,05 ×(mL titrasi blanko−mLtitrasi sampel)

Berat sampel (g)…..(7)

3.4.4.3 Viskositas (Hastarini, 2012)

Pengukuran viskositas dilakukan dengan alat viscometer Brookfield.

Sampel minyak yang telah disimpan beku dicairkan terlebih dahulu dengan cara

botol minyak direndam air di sekelilingnya dan dipanaskan diatas penangas air pada

suhu 30 ºC hingga minyak mencair sempurna. Minyak kemudian dituangkan

kedalam tabung benda uji hingga 2/3 bagian. Spindle dimasukkan ke dalam tabung

benda uji hingga tercelup ke dalam minyak. Setelah itu tabung benda uji

dipasangkan dengan viscometer brookfield. Minyak kemudian diukur viskositasnya

menggunakan spindel 1 dengan kecepatan 30 rpm.

3.4.4.4 Densitas (ASTM D-854)

Pengukuran densitas/massa jenis minyak dengan menggunakan alat uji

piknometer. Piknometer ukuran 25 mL ditimbang dalam keadaan kosong (a).

Piknometer diisi dengan minyak suhu 20°C sebanyak 25mL, piknometer ditutup

apabila volume yang diisikan sudah tepat, kemudian ditimbang kembali (b). Untuk

menentukan massa jenis minyak dengan menggunakan piknometer dapat

menggunakan rumus sebagai berikut :

Page 51: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

35

ρ = m

v...................(8)

Keterangan:

ρ= massa jenis zat cair (g/cm3)

m = massa zat cair (g) = (b-a)

v = volume (cm3)

3.4.4.5 Analisis Komposisi Asam Lemak Menggunakan Kromatografi Gas

(AOAC, 2006)

Analisis profil dan komposisi asam lemak terdiri dari 2 tahap yaitu tahap

metilasi dan identifikasi. Tahap metilasi adalah sebagai berikut: minyak sebanyak

1 mL dimasukkan ke dalam microtube dan disentrifugasi selama 15 menit pada

10.000 rpm. Kemudian minyak sebanyak 500 µL yang sudah disentrifugasi

dipindahkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan dengan 2 mL BF3-metanol (14

%) dan dipanaskan dalam waterbath bersuhu 55 °C selama 1,5 jam. Tiap 20 menit,

tabung diguncangkan secara perlahan. Setelah 1,5 jam, tabung didinginkan hingga

suhu kamar. Selanjutnya larutan ditambahkan 2 mL H2O HPLC Grade dan 2 mL

n-heksana. Larutan dipisahkan dengan vortex selama 10 detik lalu didiamkan

hingga terpisah menjadi dua lapisan selama 5 menit atau lebih. Larutan kemudian

dipisahkan ulang dengan vortex selama 10 detik, didiamkan hingga terpisah

menjadi dua lapisan selama 5 menit atau lebih. Fraksi n-heksana diambil dengan

hati-hati, lalu dikeringkan dengan menggunakan concentrator di microtube. Fraksi

n-heksana yang kering diarutkan kembali dalam 100 µL n-heksana dan dimasukkan

ke dalam vial. Selanjutnya diinjeksikan ke instrumen kromatografi gas sebanyak 1

μL, setelah sebelumnya dilakukan penginjeksian 1 μL campuran standar eksternal

FAME (Supelco 37 component fatty acid methyl ester mix).

Tahap identifikasi asam lemak dilakukan dengan cara menginjeksikan1 μL

metil ester pada kromatogafi gas (GC) dengan kondisi pengukuran seperti dalam

Page 52: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

36

Lampiran12. Identifikasi asam lemak dalam sampel dilakukan dengan

mencocokkan waktu retensi puncak asam lemak sampel dengan waktu retensi

puncak standar FAME murni (Lampiran 14). Perhitungan jumlah asam lemak jenuh

maupun tidak jenuh dilakukan dengan dua tahap yaitu, pertama membandingkan

waktu retensi (Rt) asam lemak yang terdapat dalam sampel dengan waktu retensi

asam lemak dalam standar eksternal. Kedua, menghitung asam lemak yang

teridentifikasi dalam sampel (% b/b) dengan rumus sebagai berikut :

Kandungan komponen dalam sampel =

Ax

As× Cstandar × Vsampel/100

gram sampel× 100%...(9)

Keterangan:

Ax = Area sampel

As = Area standar

Cstandar = Konsentrasi standar

Vcontoh = Volume sampel

3.4.5 Pembuatan Biopelumas

Proses pembuatan biopelumas dilakukan dengan menggunakan metode

Setyawardhani (2013) dan Yanli (2016) yang dimodifikasi. Sebanyak 100 mL (3

kali ulangan) minyak atau trigliserida hasil ekstraksi dihidrolisis dengan

perbandingan volume antara minyak dengan air 1:1, ditambahkan katalis HCl 10N

sebanyak 5% b/b selama 2 jam, temperatur reaksi 70 °C dan kecepatan pengadukan

200 rpm. Proses hidrolisis menghasilkan asam lemak gliserol, dan air (membentuk

3 fasa), kemudian campuran dipisahkan menggunakan corong pisah. Asam lemak

berada pada fasa atas, sedangkan air dan gliserol berada pada fasa bawah. Asam

lemak dipisahkan dari air dan gliserol.

Asam lemak dipolimerisasi dengan inisiator benzoil peroksida 0,2% b/b

selama 5 jam, kecepatan pengadukan 200 rpm dan suhu reaksi 130 °C. Hasil

polimerisasi langsung dipoliesterifikasi selama 4 jam, pada suhu150 °C, kecepatan

Page 53: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

37

pengadukan 200 rpm, dan variasi rasio mol asam lemak terhadap etilen glikol

adalah 1:4, 1:6, dan 1:8. Produknya akan membentuk 2 fasa (biopelumas dan air),

dipisahkan dengan corong pisah. Biopelumas terdapat pada bagian atas.

Selanjutnya berat biopelumas yang dihasilkan ditimbang sebagai yield biopelumas.

Yield (%) = 𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐨𝐩𝐞𝐥𝐮𝐦𝐚𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥𝐤𝐚𝐧 (𝐠)

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐝𝐢𝐨𝐥𝐚𝐡 (𝐠) × 100%............(10)

3.4.6 Karakterisasi Biopelumas

Karakterisasi biopelumas yang dilakukan meliputi densitas, viskositas

kinematik (40 °C dan 100 °C), indeks viskositas, titik tuang, titik nyala, korosi bilah

tembaga, dan gugus fungsi.

3.4.6.1 Densitas

Pengukuran densitas/massa jenis biopelumas sama dengan pengukuran

densitas minyak ikan pada subbab 3.4.4.4.

3.4.6.2 Viskositas Kinematik dan Indeks Viskositas (ASTM D 445)

Pengukuran alat ini bersifat otomatis, pada suhu 40°C dan 100°C dengan

pengukuran ASTM D445 “Standard Method for Kinematic Viscosity of

Transparent and Opaque Liquid”. Prosedur kerjanya, disiapkan sampel yang akan

diukur ke dalam dua buah tabung vial dengan masing-masing sejumlah 5 mL,

kemudian disiapkan alat ukur kinematic viscosity, ketika tube pengukuran telah siap

pada kondisi suhu yang diinginkan yaitu 40°C dan 100°C, maka pengukuran sampel

dapat dilakukan. Hasil pengukuran kinematic viscosity sampel pada dua kondisi

suhu akan diperoleh indeks viskositas (IV) sebagai ukuran pengaruh perubahan

suhu terhadap kekentalan minyak lumas.

Page 54: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

38

v = C. t............(11)

Keterangan:

v = viskositas kinematik (mm2/s; centiStoke (cSt)

C = konstanta (upperbulb; 0,3529 mm2/s, lowerbulb; 0,4425 mm2/s)

t = waktu aliran (s)

IV = L−U

L−H× 100.................(12)

Keterangan:

IV = indeks viskositas (cSt)

L = harga viskositas kinematik dasar, pada 40 °C

H = harga viskositas kinematik dasar, pada 100 °C

U = viskositas kinematik pada 40 °C

3.4.6.3 Titik Tuang (ASTM D 97)

Pengukuran alat ini menggunakan metode pengujian ASTM D97 “Pour

Point of Petroleum Product”. Prosedur kerjanya, disiapkan sampel yang akan

diukur pada tabung vial bertara, volume sampel haruslah mencapai batas tara pada

tabung, kemudian disiapkan alat ukur pour point, dihidupkan alat lalu dinyalakan

mesin pendingin dan ditunggu beberapa saat hingga panel suhu pada pendingin

tersebut menyatakan kondisi 0°C. Sampel yang berada pada tabung vial

dimasukkan ke dalam wadah pengukuran, kemudian detektor diposisikan ke

dalamnya. Selanjutnya tombol START ditekan dan pengukuran pun dimulai.

Pengukuran dilakukan dengan cara sampel terlebih dahulu dipanaskan hingga titik

menguapnya. Setelah pemanasan, sampel kemudian didinginkan secara bertahap

hingga dicapai temperatur terendah dimana permukan lapisan minyak/sampel

tersebut telah membeku.

3.4.6.4 Titik Nyala (ASTM D 92)

Karakteristik ini diuji dengan menggunakan metode ASTM D 92 Cleveland

Open Cup (COC). COC terdiri dari cawan, aplikator api penguji, pemanas, dan

Page 55: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

39

penyangga tempat termometer. Prosedur kerjanya, peralatan COC ditempatkan di

atas meja/tempat yang kuat. sampel pelumas yang akan diuji dimasukkan dalam

cawan hingga tanda batas bagian atas. Peralatan pengukur termperatur dipasangkan

dalam posisi vertikal dengan dasar termometer pada jarak ±6,4 mm di atas dasar

bagian dalam cawan uji. Suhu benda uji pemanasan diatur hingga naik dengan

kecepatan 1 °C/menit dan api penguji dinyalakan dan diatur besarnya serta panjang

nyala diusahakan tidak lebih dari 4 mm. Pada saat suhu sampel mencapai 10-15 °C

di bawah suhu perkiraan titik nyala, nyala uji dilewatkan searah dengan kecepatan

1 putaran/detik di atas benda uji. Ulangi hal tersebut setiap kenaikan suhu 1 °C.

Perubahan yang terjadi diamati, jika muncul asap, amati dengan seksama. Pada saat

api dilewatkan dan muncul api berwarna biru yang pertama, maka itulah titik nyala

sampel. Kemudian temperatur dilihat pada termometer dan dicatat suhu flash

pointnya.

3.4.6.5 Analisis Korosi Bilah Tembaga (ASTM D 130)

Batang tembaga diamplas hingga halus dan mengkilat. Sebanyak 30 mL

sampel dimasukkan ke dalam tabung pengukuran korosi. Kemudian batang

tembaga dicelupkan ke dalam sampel hingga bilah tembaga terendam seluruhnya

kira-kira 20 mL. Tabung dimasukkan ke dalam alat pengukur korosi yang suhunya

sudah diatur sebesar 40 °C (104 °F) dan didiamkan selama 3 jam ± 5 menit. Hasil

pengujian berupa perubahan warna pada tembaga kemudian dicocokkan dengan

ASTM copper strip corrosition standard pada Gambar 8.

Page 56: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

40

Gambar 8. Standar warna pengujian korosi (ASTM D-130)

Hasil pengujian pada korosi bilah tembaga dicocokkan dengan ASTM

copper strip corrotion standard. Nilai hasil pengujian korosi bilah tembaga terbagi

atas empat tingkatan yaitu slight tarnish (peringkat 1A dan 1B), moderate tarnish

(2A, 2B, 2C, 2D, dan 2E), dark tarnish (3A dan 3B), dan corrosion (4A, 4B, dan

4C).

3.4.6.6 Penentuan Gugus Fungsi

Gugus fungsi dalam komponen ditentukan menggunakan spektroskopi

FTIR. Pembuatan pellet KBr dilakukan dengan cara, sampel yang telah bebas air

ditimbang sebanyak 1-2 mg. Kemudian sampel ditambahkan 100-200 mg KBr,

dimana perbandingan sampel:KBr adalah 1:100, selanjutnya digerus sampai halus.

Campuran sampel dan KBr tersebut kemudian ditekan secara vacuum pada tekanan

7-8 ton selama 10-20 menit, sehingga dihasilkan suatu disk yang transparan.

Selanjutnya pellet dimasukkan ke dalam slide holder, kemudian dilakukan

scanning pada panjang gelombang 500-4.000 cm-1.

3.4.6.7 Analisis Komposisi Biopelumas Menggunakan Kromatografi Gas

(AOAC, 2006)

Komposisi biopelumas yang dihasilkan ditentukan dengan kromatografi gas

seperti pada subbab 3.4.4.5

Page 57: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

41

3.5 Analisis Data

Analisis data untuk pengaruh rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil

samping pengolahan ikan patin dengan etilen glikol terhadap yield, densitas dan

viskositas biopelumas dilakukan menggunakan analisis statistik uji ANOVA single

factor. Jika P-value ˃0,05 maka terdapat perbedaan yang nyata secara signifikan.

Page 58: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

42

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kandungan Proksimat Kepala Tulang Ekor (KTE) Ikan Patin

Bahan baku untuk pembuatan minyak ikan yaitu dari limbah ikan patin

bagian kepala, tulang dan ekor (KTE) didapatkan dari industri pengolahan filet ikan

patin yang sudah menjadi limbah atau sisa filet yang sudah tidak dapat dikonsumsi.

Limbah tersebut umumnya dinamakan limbah hasil pengolahan. Bahan baku ini

kemudian dianalisis proksimat yang meliputi kadar air, abu, dan lemak. Hasil

analisis proksimat dari limbah ikan patin bagian kepala, tulang, dan ekor (KTE)

ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan proksimat ikan patin bagian KTE

Komposisi Jumlah (%)

Kadar air 60,79±0,76

Kadar abu 7,93±0,75

Kadar lemak 16,67±0,62

Kandungan kadar air dari limbah ikan patin bagian KTE (Tabel 4) mencapai

60,79±0,76%. Nilai kandungan air tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan

kandungan air dalam ikan patin segar sebesar 75,70% (Panagan, 2012). Perbedaan

kadar air dapat disebabkan oleh jenis, umur biota, perbedaan kondisi lingkungan

hidup dan tingkat kesegaran organisme tersebut (Ayas dan Ozugul, 2011).

Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan daya terima, kesegaran dan

daya simpan bahan tersebut (Winarno, 2008).

Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral pada

bahan seperti kalium, magnesium, dan natrium. Kadar abu ikan patin pada

penelitian ini sebesar 7,93±0,75% (Tabel 4). Nilai kandungan abu tersebut lebih

Page 59: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

43

tinggi bila dibandingkan dengan kandungan abu dalam ikan patin segar sebesar

0,97% (Panagan, 2012). Wahyu et al. (2013) menyatakan bahwa kadar abu yang

terkandung dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh jenis makanan dan kandungan

mineral yang terdapat pada habitat hidup ikan tersebut.

Kadar lemak bagian KTE ikan patin sebesar 16,67±0,62% (Tabel 4). Hasil

tersebut sedikit berbeda dari penelitian Hastarini et al. (2012) bahwa kandungan

lemak ikan patin bagian KTE mencapai kisaran 11,20-13,10%. Kandungan lemak

sangat dipengaruhi oleh perubahan musim, siklus alam, tahap kedewasaan, lokasi

geografis, pakan yang diberikan selama budidaya (Abdulkadir et al., 2010) dan

pergerakan serta ukuran kolam (Nakamura et al., 2007). Kadar lemak KTE ikan

patin yang cukup tinggi ini menyebabkan limbah KTE merupakan salah satu

sumber potensial untuk diekstrak menjadi minyak ikan.

4.2 Hasil Ekstraksi Minyak Ikan Patin

Ekstraksi minyak dari limbah KTE ikan patin dilakukan dengan metode

ekstraksi wet rendering (modifikasi Hastarini et al., 2012). Ekstraksi wet rendering

merupakan proses ekstraksi dengan penambahan sejumlah air selama

berlangsungnya proses tersebut. Proses wet rendering terdiri dari pemasakan ikan

dengan air panas yang bertujuan untuk memecah sel yang diduga mengandung

minyak dilanjutkan dengan pengepresan minyak yang telah dipanaskan (Estiasih,

2009). Beberapa keuntungan menggunakan metode tersebut diantaranya

penggunaan akuades sebagai carrier yang relatif aman dibanding pelarut kimia dan

efektif. Tabel 5 menunjukkan pengaruh perbandingan bahan baku (limbah KTE

ikan patin) dengan air terhadap yield minyak ikan patin kasar.

Page 60: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

44

Tabel 5. Yield minyak ikan patin bagian KTE

No. Perbandingan bahan baku : air Yield (%)

1 KTE 1:1 7,76

2 KTE 1:2 14,38

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat yield minyak ikan patin dari perbandingan

KTE:air 1:2 lebih tinggi (hampir dua kali lipat) bila dibandingkan KTE:air 1:1.

Peningkatan volume air menyebabkan yield minyak yang diperoleh semakin tinggi.

Menurut Basito (2010) semakin besar perbandingan air akan meningkatkan kontak

antara bahan baku dengan air, maka akan meningkatkan faktor tumbukan antar

keduanya sehingga jumlah minyak yang berhasil dikeluarkan dari jaringan akan

semakin banyak. Sehingga perbandingan ekstraksi yang digunakan selanjutnya

pada penelitian ini adalah perbandingan antara bahan baku dengan air 1:2.

Yield minyak ikan patin dari KTE:air 1:2 dalam penelitian ini lebih tinggi

bila dibandingkan dengan hasil penelitian Hastarini et al. (2012) yang memperoleh

yield minyak ikan patin sebesar 9,54% dari ektraksi bagian kepala ikan patin dengan

air (1:3). Perbandingan 1:3 menjadi kurang efektif dikarenakan penggunaan air

yang lebih banyak namun yield yang dihasilkan lebih sedikit. Kuantitas minyak

ikan seperti rendemen menggunakan metode dry rendering dinilai lebih tinggi

dibandingkan dengan wet rendering yaitu berkisar 62,01-76-07% (Suseno et al.,

2020). Namun untuk kualitas dari minyak ikan metode wet rendering lebih baik

dibandingkan dengan dry rendering (Eka, 2016). Ekstraksi wet rendering lebih

efektif digunakan untuk ikan-ikan berlemak tinggi dan dalam jumlah yang banyak

dibanding dengan dry rendering (Isnani, 2013). Selain itu juga metode wet

rendering paling umum digunakan untuk produksi minyak ikan (Nazir, 2017).

Page 61: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

45

4.3 Karakteristik Minyak Ikan

Minyak ikan patin kasar bagian KTE hasil ekstraksi kemudian dianalisis

secara kimia dan fisika sebelum dijadikan biopelumas, yang meliputi angka asam

lemak bebas, bilangan penyabunan, viskositas dan berat jenis, ditampilkan pada

Tabel 6. Perhitungan hasil karakteristik minyak ikan patin dapat dilihat pada

Lampiran 3.

Tabel 6. Hasil karakteristik minyak ikan patin bagian KTE

No. Karakteristik Hasil

1 Asam lemak bebas (%) 3,03±0,16

2 Bilangan penyabunan (mg KOH/g) 114,63±0,71

3 Viskositas (cSt) 28,51±0,16

4 Densitas (g/cm3) 0,8917±0,001

4.3.1 Asam Lemak Bebas Minyak Ikan KTE

Angka asam lemak bebas menandakan kerusakan awal pada minyak,

semakin tinggi angka asam lemak bebas maka semakin rendah kualitas minyaknya

(Panagan et al., 2012). Berdasarkan Tabel 6, angka asam lemak bebas minyak ikan

kasar pada penelitian ini sebesar 3,03±0,16%, angka ini lebih tinggi dibanding

dengan penelitian Hastarini et al. (2012) yaitu 0,22±0,02% untuk minyak ikan patin

murni bagian kepala. Kadar asam lemak bebas untuk minyak ikan yang sesuai

International Fish Oil Standars (2017) memiliki nilai ≤1,5%. Hal ini menunjukkan

minyak ikan hasil penelitian mempunyai kualitas yang cukup rendah. Dan memang

kurang baik untuk pangan, tetapi cocok dijadikan bahan baku biopelumas yang

bukan untuk pangan, sehingga minyak tersebut tidak mengganggu ketersediaan

bahan pangan.

Page 62: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

46

4.3.2 Bilangan Penyabunan Minyak Ikan KTE

Bilangan penyabunan minyak ikan kasar KTE pada penelitian ini (Tabel 6)

sebesar 114,63 mg KOH/g. Hasil ini lebih rendah dengan penelitian Hastarini et al.

(2012) yang memiliki bilangan penyabunan pada minyak ikan patin murni bagian

kepala mencapai kisaran 143,05±0,71 mg KOH/g. Menurut Departemen Pertanian

(1983) bilangan penyabunan dari minyak ikan yaitu 188 mg KOH/g.

Bilangan penyabunan menunjukkan berat molekul lemak dan minyak secara

kasar. Menurut Ketaren (2008) minyak yang disusun oleh asam lemak berantai

karbon yang pendek dengan berat molekul yang relatif kecil, akan mempunyai

bilangan penyabunan yang besar dan sebaliknya bila minyak mempunyai berat

molekul yang besar, maka bilangan penyabunan relatif kecil. Hal ini menunjukkan

minyak ikan kasar pada penelitian ini memiliki rantai karbon yang panjang. Rantai

karbon yang panjang pada minyak dapat meningkatkan viskositas biopelumas.

4.3.3 Viskositas dan Densitas Minyak Ikan KTE

Viskositas minyak ikan KTE pada penelitian ini memiliki nilai viskositas

28,51±0,16 cSt atau 25,42 cP pada suhu 40 °C (Tabel 6). International Fishmeal

and Oil Manufacturers Association (1998) menjelaskan viskositas yang baik untuk

minyak ikan kasar untuk pengukuran menggunakan suhu 30-50 °C adalah sebesar

20-30 cP. Hal ini menunjukkan minyak ikan yang digunakan sebagai bahan baku

pembuatan biopelumas memiliki nilai viskositas yang sesuai dengan standar. Tabel

6 menunjukkan densitas minyak ikan KTE pada penelitian ini sebesar

0,8917±0,001 g/cm3. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan densitas minyak ikan pada

umumnya yaitu sebesar 0,91 g/cm3 (Wibawa et al., 2006).

Page 63: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

47

4.3.4 Profil Asam Lemak Minyak Ikan KTE

Profil asam lemak minyak ikan KTE hasil ekstraksi dianalisa menggunakan

kromatografi gas. Profil asam lemak dari minyak ikan dengan masing-masing

jumlah asam lemak jenuh (Saturated fatty acid, SFA), asam lemak tak jenuh

tunggal (Monounsaturated fatty acid, MUFA) dan asam lemak tak jenuh jamak

(Polyunsaturated fatty acid, PUFA) ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Profil asam lemak minyak ikan patin kasar bagian KTE

Asam Lemak Hasil (%)

C12:0 (Laurat) 0,15

C14:0 (Miristat) 2,96

C15:0 (Pentadekanoat) 0,13

C16:0 (Palmitat) 21,98

C17:0 (Heptadekanoat) 0,1

C18:0 (Stearat) 5,98

C20:0 (Aracidat) 0,1

C22:0 (Behenat) 0,04

C23:0 (Tricosanoat) 0,02

C24:0 (Lignocerat) 0,03

TOTAL SFA 31,49

C14:1 (Miristoleat) 0,02

C16:1 (Palmitoleat) 0,89

C17:1 (Heptadekanoat) 0,09

C18:1 (Oleat) 31,28

C20:1 (Eikosanoat) 1,02

C24:1 (Nervonat) 0,02

TOTAL MUFA 33,32

C18:2 (Linoleat) 10,96

C20:2 (Eikosedienoat) 0,38

C22:2 (Dokosadienoat) 0,02

C18:3 (Linolenat) 0,64

C20:3 (homo-g-linolenat) 0,24

C20:3 (Eikosetrienoat) 0,66

C20:4 (Aracidonat) 0,3

C20:5 (Eikosapentaenoat) 0,13

C22:6 (Dokosaheksaenoat) 0,39

TOTAL PUFA 13,72

Page 64: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

48

Asam lemak dominan pada minyak ikan KTE yaitu asam lemak oleat

(31,28%) dan palmitat (21,98%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Hastarini

(2012) pada minyak ikan patin murni bagian kepala yang mana asam lemaknya

didominasi oleh asam lemak oleat (33,64%) dan palmitat (34,61%). Selain asam

lemak oleat dan palmitat, minyak ikan KTE juga didominasi oleh asam lemak

linoleat sebesar 10,96%.

4.4 Pembuatan Biopelumas

Pembuatan biopelumas dilakukan dalam tiga tahap yaitu: hidrolisis,

polimerisasi, dan poliesterifikasi. Hasil dari reaksi hidrolisis minyak ikan terdapat

tiga lapisan, yaitu asam lemak (paling atas), gliserol (lapisan paling tipis di tengah),

dan air pada lapisan paling bawah. Gambar 9 menampilkan reaksi hidrolisis triolein

yang merupakan komponen utama dalam minyak ikan KTE.

Gambar 9. Reaksi hidrolisis triolein (Fessenden, 1982)

Proses polimerisasi dilakukan dengan tujuan untuk pemanjangan rantai

polimer. Reaksi polimerisasi asam lemak dengan melibatkan benzoil peroksida

merupakan reaksi polimerisasi adisi dimana benzoil peroksida berfungsi sebagai

inisiator untuk menginisiasi molekul monomer yaitu asam lemak menjadi bentuk

polimer. Polimerisasi adisi ini terjadi dalam tiga tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan

terminasi. Produk dari reaksi polimerisasi yaitu asam lemak terpolimerisasi, dengan

bertambah panjangnya rantai polimer maka berat molekul juga semakin bertambah

besar. Reaksi polimerisasi asam lemak dapat dilihat pada Gambar 10.

Page 65: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

49

Tahap Inisiasi:

Tahap Propagasi:

Tahap Terminasi:

Gambar 10. Mekanisme reaksi polimerisasi biopelumas

(Rochmadi dan Ajar, 2015)

Page 66: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

50

Proses selanjutnya poliesterifikasi menggunakan etilen glikol. Proses ini

bertujuan untuk menghasilkan produk poliester pada biopelumas. Dalam proses ini

dilihat pengaruh rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil samping

pengolahan ikan patin dengan etilen glikol terhadap yield biopelumas (Gambar 11).

Gambar 11. Pengaruh rasio mol terhadap yield biopelumas

Perlakuan variasi rasio mol tidak berpengaruh secara signifikan (p˃0,05)

terhadap yield biopelumas yang dihasilkan (Lampiran 6). Rasio mol reaktan

merupakan salah satu parameter penting yang dapat mempengaruhi yield dari ester

yang dihasilkan. Salah satu cara untuk meningkatkan pembentukan yield dari

produk dengan menambah jumlah reaktan berlebih, baik itu asam lemak atau etilen

glikol dapat menggeser kesetimbangan reaksinya ke arah produk (Widyawati,

2014).

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 11 diketahui bahwa yield

tertinggi didapat dari variasi rasio mol asam lemak:etilen glikol 1:6 yaitu sebesar

91,06±0,09%. Pada rasio mol 1:8 terjadi penurunan yield, hal ini diduga terjadi

karena reaktan tidak mengalami kontak dengan baik sehingga reaksi poliesterifikasi

tidak terjadi secara sempurna yang mengakibatkan penambahan jumlah reaktan

tidak dapat menaikkan yield biopelumas. Menurut Shah et al. (2012) proses

79.5

91.06

81.06

70

75

80

85

90

95

1:4 1:6 1:8

Yie

ld b

iop

elu

mas

(%

)

Rasio mol (asam lemak:etilen glikol)

Page 67: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

51

terjadinya reaksi sangat tergantung pada cepat lambatnya reaktan mengalami

kontak. Pencampuran yang sempurna dapat memaksimalkan pembentukan produk

yang diinginkan. Berikut tahapan reaksi poliesterifikasi yang mungkin terjadi:

Gambar 12. Reaksi poliesterifikasi biopelumas (Anwar, 2009)

Reaksi poliesterifikasi merupakan reaksi polimer kondensasi

(polikondesasi) dimana terjadi penggabungan dua gugus utama bersamaan dengan

hilangnya molekul kecil sehingga membentuk suatu rantai poliester (biopelumas).

Pada penelitian ini menggabungkan gugus karboksil dari asam lemak

terpolimerisasi dan hidroksil dari etilen glikol dan masing-masing gugus kehilangan

satu molekul air (Gambar 12). Reaksi polikondensasi atau esterifikasi secara

termodinamik merupakan reaksi reversible. Secara teori semua poliester memiliki

potensi untuk bersifat biodegradable yang ditandai oleh adanya hasil samping

berupa air yang merupakan perpecahan dari rantai utama ikatan ester (Edlund et al.,

2003).

Page 68: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

52

4.5 Karakteristik Biopelumas

Uji sifat fisika-kimia untuk produk biopelumas yang dihasilkan meliputi

pengukuran viskositas, densitas, titik tuang, titik nyala, warna, korosi bilah

tembaga, gugus fungsi dan komposisi asam lemak.

4.5.1 Viskositas dan Densitas Biopelumas

Pengukuran viskositas dan densitas dimaksudkan untuk identifikasi awal

perubahan sifat fisik dari konversi kimia dan sebagai penentuan biopelumas terbaik.

Pengaruh rasio mol terhadap densitas biopelumas dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Pengaruh rasio mol terhadap densitas biopelumas

Perlakuan variasi rasio mol tidak berpengaruh secara signifikan (p˃0,05)

terhadap densitas biopelumas yang dihasilkan (Lampiran 8). Nilai densitas dari

ketiga variasi rasio mol 1:4, 1:6, dan 1:8 berturut-turut adalah 0,9050; 0,9036; dan

0,9116 g/mL (Gambar 13). Standar densitas pelumas mengacu pada petroleum

based lubricant yang mana memiliki densitas sebesar 0,8856 g/mL (Abdullahi,

2012). Bila dibandingkan dengan hasil penelitian (Gambar 13), maka densitas

biopelumas yang paling mendekati dengan densitas pelumas komersial adalah

biopelumas KTE 1:6 yaitu 0,9036 g/mL. Penggunaan densitas yang lebih kecil

0.90500.9036

0.9116

0.8950

0.9000

0.9050

0.9100

0.9150

1:4 1:6 1:8

Den

sita

s b

iop

elu

ma

s

(g/m

L)

Rasio mol (asam lemak:etilen glikol)

Page 69: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

53

sebagai bahan pelumas akan lebih menguntungkan karena lebih ringan (Peter,

1998).

Korelasi antara densitas dengan hasil penelitian yaitu semakin besar

perbandingan etilen glikol maka semakin rendah densitasnya atau semakin

mendekati standar petroleum based lubricant. Hal tersebut karena densitas akan

menurun apabila presentase alkohol tinggi (Gamayel, 2016). Namun, pada rasio

mol 1:8 didapatkan densitas yang paling tinggi dibandingkan dengan densitas

biopelumas yang lain . Hal tersebut diduga karena reaksi poliesterifikasi tidak

terjadi secara sempurna, sehingga produk masih didominasi oleh asam lemak tak

jenuh dari minyak ikan. Semakin tinggi derajat ketidakjenuhan semakin tinggi

densitasnya. Hal itu karena asam lemak tak jenuh bersifat polar dan memiliki gaya

interaksi antar molekul yang besar sehingga menyebabkan jarak antar molekul

menjadi lebih dekat dan kerapatan menjadi lebih tinggi (Wahyudi et al., 2018)

Gambar 14. Pengaruh rasio mol terhadap viskositas biopelumas

Perlakuan variasi rasio mol tidak berpengaruh secara signifikan (p˃0,05)

terhadap viskositas biopelumas yang dihasilkan (Lampiran 10). Standar pelumas

mengacu pada pelumas minyak bumi yang sudah distandarisasi oleh ISO (SNI,

40.641.13

38.5

37

38

39

40

41

42

1:4 1:6 1:8

Vis

ko

sita

s b

iop

elu

ma

s

(cS

t)

Rasio mol (asam lemak:etilen glikol)

Page 70: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

54

2016). Pada penelitian ini digunakan pelumas komersial, yaitu pelumas hidrolik

ISO VG 46 sebagai acuan untuk menguji karakteristik biopelumas yang dihasilkan.

Nilai viskositas tertinggi hasil penelitian ini diperoleh dari biopelumas KTE

1:6 yaitu sebesar 41,13 cSt (Gambar 14). Nilai ini memenuhi spesifikasi pelumas

komersial ISO VG 46 yang mempunyai nilai viskositas sebesar 41 cSt pada suhu

40 °C. Jika dibandingkan dengan viskositas dari minyak ikan pada bahan baku

pembuatan biopelumas yang mempunyai nilai viskositas sebesar 37,49 cSt, maka

terjadi perubahan viskositas yang semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa

reaksi polimerisasi dan poliesterifikasi proses pembuatan biopelumas telah

berhasil. Menurut Salimon et al. (2012) panjang rantai alkil trigliserida menentukan

viskositas (kekentalan) dan indeks viskositas pelumas. Semakin panjang rantai

alkil, viskositas dan indeks viskositas semakin tinggi.

Korelasi antara viskositas dengan yield yang dihasilkan memiliki hubungan

yang berbanding lurus. Dimana semakin besar yield yang dihasilkan maka semakin

besar viskositasnya. Namun, pada rasio mol 1:8 terjadi penurunan antara keduanya.

Hal tersebut diduga karena reaksi poliesterifikasi tidak terjadi secara sempurna,

sehingga produk masih didominasi oleh asam lemak tidak jenuh dari minyak ikan.

Karena semakin kecil derajat ketidakjenuhan semakin tinggi viskositasnya

(Wahyudi, 2018)

Berdasarkan hasil penelitian pengaruh rasio mol terhadap densitas dan

viskositas biopelumas, hasil terbaik diperoleh pada biopelumas KTE 1:6.

Biopelumas ini dikarakterisasi lebih lanjut meliputi viskositas kinematik, indeks

viskositas, titik tuang, titik nyala, korosi bilah tembaga, gugus fungsi, dan

Page 71: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

55

komposisi biopelumas. Karakteristik biopelumas hasil terbaik dapat dilihat pada

Tabel 8.

Tabel 8. Karakteristik biopelumas hasil terbaik

Karakteristik Biopelumas KTE

1:6 ISO VG 46

Viskositas 40 °C, cSt 41,19 41-50

Viskositas 100 °C, cSt 8,09 min 6,1

Indeks viskositas 174,5 min 90

Titik tuang, °C 27 maks (-15)

Titik nyala, °C 128 min 175

Korosi bilah tembaga 1a maks 1b

4.5.2 Viskositas Kinematik Biopelumas KTE 1:6

Viskositas pada suhu 40 °C dan 100 °C diklasifikasikan dan dibatasi nilai

minimum dan maksimum untuk tiap kelasnya, sehingga memudahkan konsumen

memilih grade viskositas menurut kebutuhannya. Jika dilihat pada Tabel 8, hasil

uji viskositas kinematik pada suhu 40 °C dan 100 °C untuk biopelumas KTE 1:6

berturut-turut yaitu 41,19 dan 8,09 cSt. Hasil ini menunjukkan bahwa biopelumas

KTE 1:6 masuk dalam spesifikasi viskositas kinematik pada pelumas ISO VG 46.

4.5.3 Indeks Viskositas Biopelumas KTE 1:6

Hasil pengujian indeks viskositas biopelumas KTE 1:6 pada Tabel 8 sebesar

174,5, dan termasuk klasifikasi dari pelumas komersial ISO VG 46 yang

mempunyai nilai indeks viskositas minimal 90. Hasil tersebut juga menunjukkan

bahwa biopelumas tersebut termasuk pelumas yang mempunyai indeks viskositas

tinggi (High Viscosity Index).

Menurut Arisandi et al. (2012), makin tinggi angka indeks viskositas

minyak pelumas, makin kecil perubahan viskositasnya pada penurunan atau

kenaikan suhu. Pelumas yang baik adalah pelumas yang memiliki nilai indeks

Page 72: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

56

viskositas yang tinggi karena pelumasannya akan berlangsung lebih baik pada

rentang perbedaan suhu yang lebih lebar. Dengan demikian fungsi pelumas tersebut

sebagai media untuk mengurangi keausan akan berjalan dengan baik (Siskayanti et

al., 2017).

4.5.4 Titik Tuang Biopelumas KTE 1:6

Penentuan titik tuang (pour point) dalam spesifikasi minyak pelumas

bertujuan untuk menghindari terjadinya pembekuan minyak pelumas pada keadaan

dingin. Berdasarkan Tabel 8, hasil pengujian titik tuang biopelumas KTE diperoleh

hasil sebesar 27 °C. Titik tuang tersebut belum sesuai dengan standar pelumas

komersial ISO VG 46 yang mempunyai nilai titik tuang maksimal -15 °C. Hal ini

dikarenakan rantai karbon biopelumas yang cukup panjang, jika dilihat dari nilai

viskositas yang semakin meningkat dan juga terjadi karena tingginya kandungan

asam lemak jenuh pada biopelumas sehingga sulit mengalir pada suhu rendah.

Menurut Jayadas et al. (2006) titik tuang ini dipengaruhi oleh derajat

ketidakjenuhan, jika semakin tinggi ketidakjenuhan maka titik tuang akan semakin

rendah dan juga dipengaruhi oleh panjangnya rantai karbon, jika semakin panjang

rantai karbon maka titik tuang akan semakin tinggi. Pada prinsipnya semakin

rendah titik tuang akan semakin luas daerah aplikasinya (dapat diaplikasikan di

daerah tropis maupun di daerah beriklim dingin) (Fajar, 2007).

4.5.5 Titik Nyala Biopelumas KTE 1:6

Titik nyala menyatakan tingkat keamanan pelumas dari bahaya kebakaran

selama penggunaan ataupun penyimpanan (Misra dan Murty, 2010). Semakin

tinggi titik nyala suatu pelumas semakin aman dalam penggunaan dan

penyimpanan. Pada Tabel 8 dapat dilihathasil pengujian titik nyala biopelumas

Page 73: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

57

KTE 1:6 sebesar 128 °C. Hal ini menunjukkan bahwa nilai titik nyala pada

biopelumas KTE 1:6 belum memenuhi spesifikasi pelumas komersial ISO VG 46

yang mempunyai nilai minimal 175 °C. Titik nyala yang rendah menandakan

biopelumas beresiko lebih besar terjadinya bahaya kebakaran.

4.5.6 Korosi Bilah Tembaga Biopelumas KTE 1:6

Korosi bilah tembaga merupakan suatu ukuran kualitatif sifat korosi pada

produk minyak menurut SNI 06-7069.9-2005. Berdasarkan hasil penelitian pada

Tabel 8 hasil biopelumas KTE diperoleh peringkat 1A yang menandakan slight

tarnish (sedikit ternoda oleh karat) atau belum mengalami korosi. Hasil ini

memenuhi spesifikasi standar pelumas ISO VG 46 yaitu minimal 1B. Hal tersebut

menunjukkan bahwa biopelumas ini tidak mudah menyebabkan korosi pada mesin,

dikarenakan biopelumas tersebut memiliki indeks viskositas yang tinggi. Menurut

Ningsih et al. (2017) semakin tinggi indeks viskositasnya maka oksidasi semakin

rendah. Selain itu tingginya kandungan asam lemak jenuh pada biopelumas KTE

1:6 menyebabkan tingginya stabilitas oksidasi. Rendahnya stabilitas oksidasi dapat

berakibat pada terjadinya korosi dan sebaliknya.

4.6 Penentuan Gugus Fungsi Biopelumas KTE 1:6

Pada penelitian ini untuk mengetahui atau mengidentifikasi gugus fungsi

pada biopelumas yang dihasilkan digunakan FTIR (Fourier Transform Infrared

Spectroscopy). Puncak serapan yang terbentuk menunjukkan gugus fungsi yang ada

pada biopelumas tersebut. Spektrum FTIR biopelumas KTE 1:6 dapat dilihat pada

Gambar 15.

Page 74: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

58

Gambar 15. Spektrum FTIR minyak ikan KTE dan biopelumas KTE 1:6

Gugus fungsi yang akan dianalisa pada FTIR adalah gugus fungsi ester.

Suatu senyawa ester dicirikan dengan adanya serapan ulur C=O dan C-O yang khas.

Spektrum FTIR dari minyak KTE dan biopelumas KTE 1:6 hampir sama.

Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada spektrum FTIR biopelumas KTE

1:6 terdapat puncak serapan vibrasi karbonil (C=O) ester pada bilangan gelombang

1745,55 cm-1. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pavia (2009), bahwa adanya gugus

ester ditandai dengan terbentuknya puncak vibrasi karbonil (C=O) dengan

intensitas kuat pada bilangan 1750-1730 cm-1. Terbentuknya ester juga dapat dilihat

dari adanya gugus C-O pada bilangan gelombang sekitar 1300-1000 cm-1. Spektrum

FTIR biopelumas pada penelitian ini, gugus C-O terlihat pada bilangan gelombang

1243,53 cm-1, 1175,58 cm-1, dan 1115,95 cm-1.

Bukti lain telah terbentuknya ester adalah melemahnya intensitas gugus OH

pada bilangan gelombang sekitar 3550-3450 cm-1 (Pavia, 2009). Pada Gambar 15

terlihat bahwa melemahnya intensitas gugus OH membentuk pita yang melebar

pada panjang gelombang 3474,50 cm-1. Puncak serapan yang teridentifikasi

menandakan bahwa reaksi poliesterifikasi pada penelitian ini telah berhasil.

Biopelumas KTE 1:6

Minyak ikan KTE

Page 75: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

59

4.7 Komposisi asam lemak biopelumas KTE 1:6

Biopelumas KTE 1:6 selanjutnya dikarakterisasi menggunakan

kromatografi gas untuk mengetahui komposisi asam lemak pada produk

biopelumas yang dihasilkan. Hasil kromatogram asam lemak dari biopelumas

terdapat pada (Lampiran 13). Perbandingan komposisi asam lemak dalam minyak

ikan KTE dan biopelumas KTE 1:6 ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Perbandingan komposisi asam lemak minyak ikan dan biopelumas

Asam Lemak Hasil (%)

Minyak Ikan KTE Biopelumas KTE 1:6

C12:0 (Laurat) 0,15 0,14

C14:0 (Miristat) 2,96 2,80

C15:0 (Pentadekanoat) 0,13 0,13

C16:0 (Palmitat) 21,98 20,98

C17:0 (Heptadekanoat) 0,10 0,10

C18:0 (Stearat) 5,98 6,00

C20:0 (Aracidat) 0,10 0,12

C22:0 (Behenat) 0,04 tt

C23:0 (Tricosanoat) 0,02 0,02

C24:0 (Lignocerat) 0,03 0,02

TOTAL SFA 31,49 30,31

C14:1 (Miristoleat) 0,02 tt

C16:1 (Palmitoleat) 0,89 0,77

C17:1 (Heptadekanoat) 0,09 0,09

C18:1 (Oleat) 31,28 25,02

C20:1 (Eikosanoat) 1,02 0,39

C24:1 (Nervonat) 0,02 0,02

TOTAL MUFA 33,32 26,29

C18:2 (Linoleat) 10,96 7,22

C20:2 (Eikosedienoat) 0,38 0,31

C22:2 (Dokosadienoat) 0,02 tt

C18:3 (Linolenat) 0,64 tt

C18:3 (homo-g-linolenat) 0,24 0,14

C20:3 (Eikosetrienoat) 0,66 0,39

C20:4 (Aracidonat) 0,30 0,15

C20:5 (Eikosapentaenoat) 0,13 0,06

C22:6 (Dokosaheksaenoat) 0,39 0,16

TOTAL PUFA 13,72 8,43

Page 76: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

60

Berdasarkan Tabel 9 memperlihatkan persentase asam lemak minyak ikan

KTE dengan biopelumas KTE 1:6 terjadi penurunan komposisi asam lemak

terutama asam lemak tak jenuh yang didominasi oleh asam lemak oleat sebesar

6,26%. Hal ini disebabkan karena telah terjadinya reaksi polimerisasi dan

poliesterifikasi dalam proses pembuatan biopelumas. Namun penurunan asam

lemak tak jenuh yang sedikit menunjukkan belum maksimalnya reaksi tersebut

dalam proses pembuatan biopelumas.

Jika dilihat pada Tabel 9. biopelumas KTE 1:6 masih mengandung asam

lemak jenuh yang tinggi. Tingginya asam lemak jenuh pada biopelumas

menyebabkan kemampuan tuang biopelumas menjadi kurang baik pada suhu

rendah. Menurut Siswahyu dan Hendrawati (2013) semakin jenuh rantai karbon

yang terdapat dalam minyak maka kemampuan tuangnya akan berkurang dan

sebaliknya. Namun, peningkatan komposisi asam lemak jenuh dapat meningkatkan

daya tahan terhadap oksidasi pada minyak pelumas (Almeida et al., 2015).

Page 77: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

61

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Minyak ikan dari bagian kepala, tulang dan ekor (KTE) ikan patin dapat

dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan biopelumas dengan yield sebesar

14,38% serta kandungan asam lemak dominan yaitu asam oleat 31,28%;

palmitat 21,98% dan linoleat 10,96 %.

2. Variasi rasio mol antara asam lemak dari minyak hasil samping pengolahan

ikan patin dengan etilen glikol tidak berpengaruh secara signifikan (p˃0,05)

terhadap yield biopelumas. Hasil terbaik diperoleh pada biopelumas KTE 1:6

dengan yield sebesar 91,06%.

3. Karakteristik biopelumas KTE 1:6 yang sesuai dengan Standar Nasional

Indonesia (SNI) pelumas hidrolik ISO VG 46 yaitu viskositas kinematik (40

°C dan 100 °C) sebesar 41,19 dan 8,09 cSt; indeks viskositas 174 5; dan korosi

bilah tembaga grade 1A (slight tarnish). Namun nilai titik tuang (27 °C) dan

titik nyala (128 °C) biopelumas ini masih belum memenuhi spesifikasi pelumas

ISO VG 46. Analisis FTIR menunjukkan adanya senyawa ester pada

biopelumas yang dihasilkan.

5.2 Saran

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan dengan menambahkan zat aditif yang

cocok untuk menurunkan titik tuang (pour point depressant) seperti ko-polimer

polialkil metakrilat atau untuk meningkatkan titik nyala dari biopelumas.

Page 78: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

62

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi AM. 2012. Comparative study of straight mineral oil and blended oil

lubricant. Unpublished B.Sc.Thesis. Ahmadu Bello University, Zaria.

Abdulkadir M, Abubakar GI, Mohammed A. 2010. Production and characterization

of oil from fishes. Journal of Engineering and Applied Sciences. 5(7): 769-

776.

Almeida VF, García-Moreno PJ, Guadix A, Guadix EM. 2015. Biodiesel

production from mixtures of waste fish oil, palm oil and waste frying oil:

Optimization of fuel properties. Fuel Processing Technology 133: 152–160.

Amril AR, Irdoni, Nirwana. 2016. Sintesis biopelumas dari minyak limbah Ikan

Patin pengaruh kecepatan pengadukan dan suhu reaksi. Jom FTEKNIK 3(1):

1-6.

Angulo B, José MF, Laura G, Clara IH. 2018. Bio-lubricants production from fish

oil residue by transesterification with trimethylolpropane. Journal of

Cleaner Production. Spanyol.

Anwar B, Galuh Y, Sri H, dan Sri A. 2009. Kimia Polimer. Jakarta: Universitas

Terbuka.

[AOCS] American Oil Chemists’ Society. 2005. Official methods and

recommended practices of the AOCS, 5th edition 2nd printing. American

Oil Chemist Society.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2006. Edisi revisi. Edisi 18

2005. Official Methods of Analysis of The Association of Official

Analytical Chemistry, Inc. Washington DC.

Arisandi M, Darmanto, Tri P. 2012. Analisa Pengaruh Bahan Dasar Pelumas

Terhadap Viskositas Pelumas dan Konsumsi Bahan Bakar. Semarang:

Universitas Wahid Hasyim.

Ariyanto D, Retno U. 2006. Evaluasi laju pertumbuhan keragaman genetik dan

estimasi heteritas pada persilangan antar spesies ikan patin (Pangasius sp).

Journal Fish Science. 8(1): 81-86.

Askew MF. 2004. Bio-Lubricants-Market Data Sheet: IENICA-Inform Project.

ASTM D 92-01. 2001. Standard Test Method for Flash and Fire Point by Cleveland

Open Cup. An American National Standard. United State of America.

ASTM D 97-96a. 2001. Standard Test Method for Pour Point of Petroleum

Products. An American National Standard. United State of America.

Page 79: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

63

ASTM D 445-01. 2001. Standard Test Method for Kinematic Viscosity of

Transparent and Opaque Liquids (the Dinamiv Calculation of Dinamic

Viscosity). An American National Standard. United State of America.

ASTM D 130-12.2010. Standard Test Methods for Corrosiveness to Copper. An

American National Standard. United State of America.

ASTM D 854 – 02. 2014. Standard Test Methods for Specific Gravity of Soil Solids

by Water Pycnometer. An American National Standard. United State of

America.

Ayas D, Ozugul Y. 2011. The chemical composition of carapace meat of sexually

mature blue crab (Callinectes sapidus, Rathbun 1896) in the Mersin Bay. J.

Fisheries Sci. 38: 645-650.

Basito. 2010. Pengaruh varietas dan perbandingan pelarut pada ekstraksi minyak

atsiri jahe (Zingiber Officinale Roscoei). Journal Teknologi Hasil

Pertanian. 3(1): 28-33.

Biermann U, Metzger JO. 2008. Synthesis of alkyl-branched fatty acids. A review.

Eur. J. Lipid Sci. Technol. 110: (805–811).

Borras FX, De Rooij MB, dan Schipper DJ. 2018. Rheological and wetting

properties of environmentally acceptable lubricants (EALs) for application

in stern tube seals. Lubricants 6(4): 100.

Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan.

Purnomo H, Adiono. Jakarta: UI Press.

Budi FS, Anggoro DD, Suprihanto A. 2009. Optimasi Proses Polimerisasi Diphenyl

Methane Diisocynatedengan Polyalkohol Minyak Goreng Bekas menjadi

Busa Polyurethane. FT UNDIP.

Che Man YB, Syahariza ZA, dan Rohman A. 2010. Chapter 1. Fourier Transform

Infrared (FTIR) Spectroscopy: Development, Technique, and Application

in the Analysis of Fats and Oils, in Fourier Transform Spectroscopy edited

by Oliver J Ress. New York. Nova Science Publisher: 1-36.

Cowd MA. 1991. Kimia Polimer. Bandung: ITB.

Darmanto. 2011. Mengenal Pelumas pada Mesin. Momentum 7(1): 5- 10.

Davis R dan Mauer LJ. 2010. Fourier Transform Infrared (FT-IR) Spectroscopy: A

Rapid Tool for Detection and Analysis of Foodborne Pathogenic Bacteria.

Formatex J. p 1582-1594.

Page 80: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

64

Departemen Pertanian. 1983. Prosiding Rakernas Perikanan Tuna Cakalang. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Djarijah. 2001. Budidaya ikan patin. Penerbit Kanisius. Jakarta.

Edlund U. Albertsson AC. 2003. Polyesters based on diacid monomers. Advanced

Drug Delivery Reviews. 55: 585-609.

Eka B, Junianto, dan Emma R. 2016. Pengaruh Metode Rendering Terhadap

Karakteristik Fisik, Kimia Dan Organoleptik Ekstrak Kasar Minyak Ikan

Lele. Jurnal Perikanan Kelautan. 7(1): 1-5.

Estiasih T. 2009. Minyak Ikan. Teknologi dan Penerapannya untuk pangan dan

Kesehatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Fajar R dan Siti Y. 2007. Penentuan kualitas pelumasan mesin. Jurnal Mesin. 9(1):

11-12.

Fessenden, Fessenden. 1982. Kimia Organik Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Gamayel A. 2016. Karakteristik Fisik Bahan Bakar Alternatif Campuran Minyak

Jarak (Cjo)-Minyak Cengkeh. Jurnal Semesta Ilmiah Teknika. 19(2): 119-

125.

Gunstone FD, John LH, Fred BP. 1995. The Lipid Handbook 2nd edition. Chapman

& Hall. London.

Handayani AS, Sidik MM, Nasikin M, Sudibandriyo. 2006. Reaksi Esterifikasi

Asam Oleat dan Gliserol Menggunakan Katalis Asam. Jurnal Sains Materi

Indonesia : 102-105.

Hardjo S, Indrasti NS, Bantacut T. 1989. Biokonversi: Pemanfaatan Limbah

Industri Pertanian. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.

Hastarini E. 2012. Karakteristik minyak ikan dari limbah pengolahan filet Ikan

Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Ikan Patin Jambal (Pangasius

djambal). Agritech 32(4): 403-410.

Hof M. 2003. Basic of Optical Spectroscopy, dalam Gauglitz G dan Vo Dinh T.

(Eds.), Handbook of Spectroscopy. 41-42. Willey-VCH Verlag GmbH & Co

KgaA. Weinheim.

Honary, L. 2006. Biobased Grease and Lubricants: From Research to

Commercialization. National Ag-Based Lubricants (NABL) Center.

University of Nothern Iowa.

[IFOMA] International Fishmeal and Oil Manufacturers Association. 1998.

Hertfordshire. United Kingdom.

Page 81: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

65

[IFOS] International Fish Oil Standars. 2017. Standars for fish oil Codex STAN

329-2017. Diakses pada tanggal 06 Februari 2020. Tersedia pada:

(https://www.iffo.net/codex-standard-fish-oil).

Ilyas S, Soeparno. 1985. Penelitian dan Pengembangan Limbah Pertanian. Jakarta:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

Isnani AN. 2013. Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Ikan Patin yang Diberi Pakan

Pellet Dicampur Probiotik. [Skripsi]. Jember: Universitas Jember.

Jayadas NH, Nair KP. 2006. Coconut oil as base oil for industrial lubricants-

evaluation and modification of thermal, oxidative and low temperature

properties. Tribol Int 39:873–8.

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. Keputusan Menteri Energi

dan Sumber Daya Mineral Nomor: 2808 K/20/MEM/2006 tentang Standar

dan Mutu Pelumas yang dipasarkan di dalam negeri.

Kementerian Agama Republik Indonesia. 2020. Al-Quran dan Terjemahan.

Diakses pada tanggal 5 September 2020. Tersedia pada:

(https://quran.kemenag.go.id/).

Ketaren S. 2008. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Khairuman dan Sudenda D.2002. Budidaya Patin Secara Intensif. Agromedia

Pustaka. Jakarta.

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2016. Skala Ekonomi Usaha

Pengolahan Patin Nir Limbah.

Kuweir YS. 2010. Pembuatan Pelumas Bio Berbasis Minyak Kelapa Sawit Melalui

Reaksi Pembukaan cincin EFAME (Epoxidized Fatty Acid Methyl Esther)

Menggunakan Resin Penukar Kation Amberlyst-15. [Tesis]. Depok:

Universitas Indonesia.

Lembaga Teknologi Perikanan. 1998. Metode dan Prosedur Pemeriksaan Kimiawi

Hasil Perikanan. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut.

Lestari N. 2010. Formulasi dan kondisi optimum proses pengolahan “high nutrive

value” margarin dari minyak ikan Patin (Pangasius Sp). Jurnal Riset

Industri 8(1): 35-42.

Misra RD dan Murthy MS. 2010. Straight vegetable oils usage in a compression

ignition engine—A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews ,

3005-3013.

Page 82: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

66

Manurung R, Ahmad RT, Ida A. 2013. Effect of Concentration of Catalyst (BF3-

Diethyl Etherate) on Synthesis of Polyester from Palm Fatty Acid Distillate

(PFAD). International Journal of Science and Engineering (IJSE).

Department of Chemical Engineering, University of Sumatera Utara,

Indonesia.

Mubarak HM, Niza Mohamad E, Masjuki MM, Kalam MA, Al Mahmud KAH,

Habibullah M, Ashraful AM. 2014. The prospects of biolubricants as

alternatives in automotive applications. Renewable and Sustainable Energy

Reviews 33 : 34–43.

Mudasir dan Candra M. 2008. Spektrometri. Yogyakarta : Penerbit FMIPA UGM.

Mulja M, Suharman. 1995. Analisis Instrumen. Cetakan 1. Surabaya: Airlangga

University Press.

Mungro R, Pradhan NC, Goud VV, Dalai AK. 2008. Epoxidation of canola oil with

hydrogen peroxide catalyzed by acidic ion exchange resin. J. Am. Oil Chem.

Soc. 85: 887−896.

Nakamura YM, Ando M, Seoka K, Kawasaki Y, Tsukamasa. 2007. Changes of

proximate and fatty acid compositions of the dorsal and ventral ordinary

muscles of the full-cycle cultured Pacific bluefin tuna Thunnus orientalis

with the growth. Food Chemistry. 103(1): 234–241.

Nazir N, Ayu D, dan Kesuma S. 2017. Physicochemical and Fatty Acid Profile of

Fish Oil from Head of Tuna (Thunnus albacares) Extracted from Various

Extraction Method. International Jurnal on Advance Science Engineering

Information Teknologi. 7(2): 709-715.

Nielsen SS. 1998. Food Analysis 2nd edition. Aspen Publisher, Inc.Gaithersburg,

Maryland.

Ningsih TD, Retno F, dan Ratri AN. 2017. Blending minyak nabati pada pelumas

dari minyak mineral terhadap stabilitas oksidasi dan ketahanan korosi

logam. Jurnal Konversi. 6(1): 7-12.

Nugrahani RA. 2008. Perancangan Proses Pembuatan Pelumas Dasar Sintetis Dari

Minyak Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Melalui Modifikasi Kimiawi.

[Tesis]. Bogor: Intitute Pertanian Bogor.

Nugroho A. 2005. Ensiklopedi Otomotif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Panagan AT, Yohandini H, dan Gultom JU. 2011. Analisis Kualitatif dan

Kuantitatif Asam Lemak Jenuh Omega-3 dari Minyak Ikan Patin (Pangasius

pangasius) dengan Metoda Kromatografi Gas. Jurnal Penelitian Sains. 14

(4): 39.

Page 83: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

67

Panagan AT, Heni Y, Mila W. 2012. Analisis kualitatif dan kuantitatif asam lemak

tak jenuh omega-3, omega-6 dan karakterisasi minyak ikan patin (Pangasius

pangasius). Jurnal Penelitian Sains. 15(3): 102-106.

Pavia DL, Gary ML, George SK, James RV. 2009. Introduction To Spectroscopy

4th Ed. USA. PrePress PMG.

Peter R. N. Childs. 1998, Mechanical Design, New york-Toronto: Arnold

Poultryshop. 2016. Sekilas tentang ikan patin. Diakses pada tanggal 30 April 2019.

Tersedia pada: (https://www.poultryshop.id).

Prastika Irma. 2015. Analisis Cemaran Lemak Babi dalam Bakso di Purwokerto

Menggunakan Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) dan

Kemometrik, [Skripsi]. Farmasi. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Purwokerto.

Rahardiningrum SWS, Mahreni, Renung R, Raden HG. 2016. Biopelumas dari

minyak nabati. Jurnal Eksergi. 13(2) 14-18.

Rini S dan Muhammad EK. 2017. Analisis Pengaruh Bahan Dasar terhadap Indeks

Viskositas Pelumas Berbagai Kekentalan. Jurnal Rekayasa Proses. 11( 2):

94-100.

Riswiyanto. 2009. Kimia Organik Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Rochmadi, Ajar P. 2015. Mengenal Polimer dan Polimerisasi. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.

Salimon J, Nadia S, Emad Y. 2012. Triester derivatives of oleic acid: The effect of

chemical structure on low temperature, thermo-oxidation and tribological

properties, Industrial Crops and Products. Vol. 38: pp. 107– 114.

Sathivel S, Prinyawiwatkul W, Negulescu JI, King JM. 2008. Determination of

melting points, spesific heat capasity and enthalphy of Ctfish Visceral oil

during the purification process. Journal of American Oil Chem Soc 85: 291-

296.

Setyawardhani DA, Distantina S. 2010. Penggeseran Reaksi Kesetimbangan

Hidrolisis Minyak Dengan Pengambilan Gliserol Untuk Memperoleh Asam

Lemak Jenuh Dari Minyak Biji Karet. Prosiding Seminar Nasional Teknik

Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk

PengolahanSumber Daya Alam Indonesia.

Page 84: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

68

Shah SIA, Kostiuk LW, dan Kresta SM. 2012. The effect of mixing reactions rates,

and stoichiometry on yield for mixing sensitive reactions. International

Journal of Chemical Engineering. Hindawi Publishing Corporation.

Siswahyu A dan Hendrawati TY. 2013. Studi pustaka modifikasi minyak nabati

sebagai sumber bahan baku biopelumas. Jurnal Teknologi. 2(2): 23-32.

Siskayanti R dan Muhammad EK. 2017. Analisis pengaruh bahan dasar terhadap

indeks viskositas pelumas berbagai kekentalan. Jurnal Rekayasa Proses

11(2) : 94-100.

Skoog DA, Holler FJ, Nieman TA. 1998. Principles of Instrumental Analysis. Edisi

ke5. Orlando: Hourcourt Brace.

Stuart B. 2004. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Apllication. 19-20, 33-

34. New York. Jhon Wiley & Sons Inc.

Sudrajat R, Jaya L, Setiawan D. 2007. Teknologi Pembuatan Biodiesel dari Minyak

Biji Tanaman Jarak Pagar. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan.

Sukirno. 1988. Pelumasan dan Teknologi Pelumas. Departemen Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Sukirno. 2010. Kuliah Teknologi Pelumas 3. Departemen Teknik Kimia Fakultas

Teknik Universitas Indonesia.

Suseno SH, Ahmad KR, Agoes MJ, Nurjanah, dan Pipin S. 2020. Ekstraksi dry

rendering dan karakterisasi minyak ikan patin (Pangasius sp.) hasil samping

industri filet di lampung. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia.

23(1).

Sutarno. 2013. Sumber Daya Energi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Thammapat P, Raviyan P, Siriamornpun S. 2010. Proximate and fatty acids

composition of the muscles and viscera of Asian catfish (Pangasius

bocourti). Food chem 122(1): 223-227.

Wahyu DS, Dwi TS, dan Eddy S. 2013. Pemanfaatan residu daging ikan gabus

(Ophiocephalus striatus) dalam pembuatan kerupuk beralbumin. THPI

Student Journal 1(1): 21-32.

Wahyudi, Wardana ING, Agung W, dan Widya W. Improving Vegetable Oil

Properties by Transforming Fatty Acid Chain Length in Jatropha Oil and

Coconut Oil Blends. Energies. 11(394): 1-12.

Wibawa PJ, Listiyorini D, dan Fachriyah E. 2006. Penentuan komposisi asam

lemak ekstrak minyak ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) dengan GcMs

Page 85: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

69

dan uji toksisitasnya menggunakan metode Bslt. Jurnal Sains &

Matematika,14(4):169- 174.

Widianto TN dan Bagus SBU. 2010. Pemanfaatan minyak ikan untuk produksi

biodiesel. Jurnal Squalen 5(1).

Widyawati Y, Ani S, Muhammad R, dan Sukardi . 2014. Synthesis of

Trimethylolpropane Esters of Calophyllum Methyl Esters: Effect of

Temperature and Molar Ratio. Int. Journal of Renewable Energy

Development 3 (3): 188-192.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: M Brio Press.

Yanto T dan Septiana TA. 2012. Pemanfaatan Minyak Jarak Pagar (Jatropha curcas

L.) sebagai Bahan Dasar Grease. Jurnal Teknologi Pertanian 13(1).

Purwokerto.

Yang L, Takase M, Zhang M, Zhao T, Wu X. 2014. Potential non-edible oil

feedstock for biodiesel production in Africa: A survey. Renew. Sust. Energ.

Rev 38: 461-477.

Yanli N, Irdoni, dan Nirwana. 2016. Sintesis Biopelumas dari Minyak Limbah Ikan

Patin pada Pengaruh Rasio Mol dan Waktu Reaksi. Jurnal F.Teknik 3(1).

Pekanbaru.

Zuta CP, Simpson BK, Chan HM, Philips L. 2003. Concentrating PUFA from

Mackerel proscessing waste. Journal American Oil Chem. Soc. 80: 933-936.

Page 86: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

70

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data dan perhitungan analisis proksimat

1. Kadar air ikan patin

Kode

Sampel Berat

Sampel Cawan

( A )

Cawan + Sampel

( B )

Sampel

( B - A )

Cawan + Sampel

Kering

( C )

Sampel

Kering

( B - C )

KTE 1 26,7039 28,8805 2,1766 27,5879 1,2926

KTE 2 27,5109 29,6664 2,1555 28,3186 1,3478

KTE 3 26,3475 28,4465 2,0990 27,1773 1,2692

Kode Sampel Kadar Air (%) Rata-rata STDev

KTE 1 59,39

59,93 0,76 KTE 2 62,53

KTE 3 60,47

Contoh perhitungan kadar air:

Kadar air (% bb) = B−(C−A)

B × 100%

= 28,8805−(27,5879−26,7039)

28,8805 × 100%

= 59,39%

2. Kadar abu ikan patin

Kode

Sampel Berat

Sampel Cawan

( A )

Cawan + Sampel

( B )

Sampel

( B - A )

Cawan + Sampel

Kering

( C )

(C - A)

KTE 1 26,7039 28,8805 2,1766 26,9068 0,2029

KTE 2 27,5109 29,6664 2,1555 27,6554 0,1445

KTE 3 26,3475 28,4465 2,0990 26,5105 0,1630

Kode Sampel Kadar Abu (%) Rata-rata STDev

KTE 1 9,32

7,23 0,75 KTE 2 6,70

KTE 3 7,77

Page 87: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

71

Contoh perhitungan kadar abu:

Kadar abu (% bb) = C−A

B × 100%

= 26,9068 −26,7039

28,8805 × 100%

= 9,32%

3. Kadar lemak ikan patin

Kode

Sampel

Berat

%

Lemak

Rata-

Rata

(%)

STDev Sampel

( A )

Labu

( B )

Labu +

Lemak

( C )

( C - B )

KTE 1 2,0336 61,0348 61,3879 0,3531 17,36

16,6693 0,62 KTE 2 2,0649 68,6961 69,0362 0,3401 16,47

KTE 3 2,0836 53,0448 53,3818 0,3370 16,17

Contoh perhitungan kadar lemak:

% lemak = berat lemak

berat sampel × 100%

= 0,3531

2,0336 × 100%

= 17,36%

Page 88: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

72

Lampiran 2. Perhitungan yield minyak ikan

Perbandingan

air : bahan

baku

Berat

bahan

baku (g)

Bobot wadah

kosong (g)

Bobot wadah +

MIP (g)

Berat

MIP (g)

Yield

(%)

KTE 1:1 5800 224,35 402,35 178

7,76 222,68 494,96 272,28

KTE 1:2 22500 139,5 3375 3235,5 14,38

Contoh perhitungan yield minyak ikan:

Yield (%) = jumlah minyak yang dihasilkan (g)jumlah bahan sebelum diolah (g)

× 100%

=3235,5

22500 × 100%

=14,38%

Page 89: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

73

Lampiran 3. Data dan perhitungan karakteristik minyak ikan

1. FFA minyak ikan

Kode

Sampel

mL

titrasi

(A)

N

KOH(B)

Faktor

Koreksi

(F)

Berat Sampel ( C ) BM KOH Angka

Asam

KTE 1 1:2 1,4 0,0871 0,8710 1,0140 56,11 5,8771

KTE 2 1:2 1,6 0,0871 0,8710 1,0261 56,11 6,4301

KTE 3 1:2 1,6 0,0871 0,8710 1,1271 56,11 5,8539

Kode Sampel FFA (%) Rata-Rata STDev

KTE 1 1:2 2,94

3,03 0,16 KTE 2 1:2 3,22

KTE 3 1:2 2,93

Contoh perhitungan angka FFA minyak ikan:

Angka asam = 56,11 ×mL KOH × N KOH ×Faktor koreksi

berat minyak (g)

= 56,11 × 1,4×0,0871 × 0,8710

1,014

= 5,8771

Asam lemak bebas (%) = Angka asam × B.M asam oleat ×100%

B.M KOH ×1000

= 5,8771× 282,11×100%

56,11×1000

= 2,94 %

2. Bilangan penyabunan minyak ikan

Kode Sampel Bil. Penyabunan

(Mg KOH/g) Rata-Rata STDev

KTE 1 1:2 114,1216

114,63 0,71 KTE 2 1:2 115,1299

KTE 3 1:2 116,6083

Kode Sampel Berat Sampel mL Blanko N HCl mL Titran

KTE 1 1:2 1,5106 30,55 0,5143 18,60

KTE 2 1:2 1,5099 30,55 0,5143 18,50

KTE 3 1:2 1,5155 30,55 0,5143 18,30

Page 90: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

74

Contoh perhitungan bilangan Penyabunan minyak ikan:

Bilangan Penyabunan = 28,05 ×(mL titrasi blanko−mL titrasi sampel)× N HCl

Berat sampel (g)

= 28,05 ×(30,55− 18,60)×0,5143

1,5106

= 114,1216 mg KOH/g

3. Densitas minyak ikan

Kode

Sampel

Berat Pikno Kosong

(A)

Berat Pikno +

Sampel (B) (B-A) Volume Pikno

KTE 1 1:2 20,3811 42,6999 22,3188 25 mL

KTE 2 1:2 20,3582 42,6315 22,2733 25 mL

KTE 3 1:2 20,3953 42,684 22,2887 25 mL

Kode Sampel Densitas

(g/mL) Rata-Rata STDev

KTE 1 1:2 0,892752

0,8917 0,000926 KTE 2 1:2 0,890932

KTE 3 1:2 0,891548

Contoh perhitungan densitas minyak ikan:

ρ = 𝑚

𝑣

= 22,3188

25

= 0,892752 g/mL

4. Viskositas minyak ikan

Kode

Sampel

Viskositas

(cP)

Suhu

(°C)

Speed

(rpm) Rata-Rata STDev

Viskositas

Kinematik

(cSt)

KTE 1:2

25,60 40,5 12

25,42 0,16 28,48 25,35 40,5 12

25,30 40,5 12

Page 91: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

75

Contoh perhitungan Viskositas kinematik

Viskositas kinematik =𝑣𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠𝑑𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘

𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠× 1 𝑐𝑒𝑛𝑡𝑖𝑠𝑡𝑜𝑘𝑒𝑠

= 25,42

0,8927× 1 𝑐𝑆𝑡

= 28,48 cSt

Page 92: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

76

Lampiran 4. Perhitungan rasio mol biopelumas

Jenis Asam Lemak Mr Presentase % Berat

molekul

palmitat 282,46 21,98 62,085

oleat 280,14 31,28 87,628

linoleat 256 10,96 28,058

Total 818,6 64,22 177,771

Kode

Sampel

Massa

AL Mol AL Mol EG

Massa

EG V AL

Rata-

rata V EG

Rata-

rata

KTE 1:4 89,18 0,50166 2,0066 124,5520 100,0112

100,00

111,8865

111,88 KTE 1:4 89,17 0,50160 2,0064 124,5380 100,0000 111,8739

KTE 1:4 89,17 0,50160 2,0064 124,5380 100,0000 111,8739

KTE 1:6 89,19 0,50172 3,0103 186,8490 100,0224

100,06

167,8485

167,90 KTE 1:6 89,17 0,50160 3,0096 186,8071 100,0000 167,8109

KTE 1:6 89,30 0,50233 3,0140 187,0794 100,1458 168,0555

KTE 1:8 89,19 0,50172 4,0137 249,1319 100,0224

100,01

223,7980

223,76 KTE 1:8 89,17 0,50160 4,0128 249,0761 100,0000 223,7478

KTE 1:8 89,17 0,50160 4,0128 249,0761 100,0000 223,7478

Contoh perhitungan rasio mol biopelumas 1:4 :

Diketahui :

Densitas asam lemak = 0,8917g/mL Densitas etilen glikol = 1,1132 g/mL

BM asam lemak = 177,77 g/mol BM etilen glikol = 62,07 g/mol

Mol AL = 𝑔

𝐵𝑀 mol EG = mol AL × 4 massa EG = mol EG × BM

= 89,18

177,77 = 0,50166× 4 = 2,0066× 62,07

= 0,50166 = 2,0066 = 124,5520

Page 93: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

77

Lampiran 5. Perhitungan yield biopelumas

Rasio mol Jumlah Bahan

Baku (g)

Jumlah yang

dihasilkan

Yield

(%)

Rata-

rata STDEV

1/4 89,18 70,84 79,43

79,50 0,06 1/4 89,17 70,89 79,50

1/4 89,17 70,94 79,56

1/6 89,19 81,14 90,97

91,06 0,09 1/6 89,17 81,24 91,11

1/6 89,30 81,35 91,10

1/8 89,19 72,14 80,88

81,06 0,12 1/8 89,17 72,43 81,23

1/8 89,17 72,28 81,06

Contoh perhitungan yield biopelumas:

Yield (%) = jumlah biopelumas yang dihasilkan (g)

jumlah bahan sebelum diolah (g) × 100%

= 70,84

89,18 × 100%

= 79,43%

Page 94: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

78

Lampiran 6. Perhitungan uji ANOVA single factor yield biopelumas

SUMMARY Groups Count Sum Average Variance

Row 1 2 79,68 39,84 3134,73

6

Row 2 2 79,75 39,875 3140,28

1

Row 3 2 79,81 39,905 3145,03

8

Row 4 2 91,1366

7 45,5683

3 4122,62

3

Row 5 2 91,2766

7 45,6383

3 4135,34

5

Row 6 2 91,2666

7 45,6333

3 4134,43

6

Row 7 2 81,005 40,5025 3260,68

5

Row 8 2 81,355 40,6775 3289,01

1

Row 9 2 81,185 40,5925 3275,23

7

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups

117,4168 8 14,6771

0,004175 1

3,229583

Within Groups 31637,3

9 9 3515,26

6

Total 31754,8

1 17

Page 95: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

79

Lampiran 7. Perhitungan densitas biopelumas

Kode

Sampel

Berat Pikno

Kosong (A)

Berat Pikno +

Sampel (B) (B-A) Volume Pikno

1/4 20,3068 42,9792 22,6724 25

1/4 20,3489 42,9614 22,6125 25

1/4 20,3689 42,9610 22,5921 25

1/6 20,3622 42,9244 22,5622 25

1/6 20,2744 42,7041 22,4297 25

1/6 20,3806 43,1564 22,7758 25

1/8 20,4008 43,1975 22,7967 25

1/8 20,3887 43,2288 22,8401 25

1/8 20,3973 43,1291 22,7318 25

Kode

Sampel

Densitas

(g/mL) Rata-Rata STDev

1/4 0,9069

0,9050 0,0017 1/4 0,9045

1/4 0,9037

1/6 0,9025

0,9036 0,0070 1/6 0,8972

1/6 0,9110

1/8 0,9119

0,9116 0,0022 1/8 0,9136

1/8 0,9093

Contoh perhitungan densitas biopelumas:

ρ = 𝑚

𝑣

=22,6724

25

= 0,9069g/mL

Page 96: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

80

Lampiran 8. Perhitungan uji ANOVA single factor densitas biopelumas

SUMMARY Groups Count Sum Average Variance

Row 1 2 1,1569 0,57845 0,215759

Row 2 2 1,1545 0,57725 0,214185

Row 3 2 1,1537 0,57685 0,213662

Row 4 2 1,069167 0,534583 0,270725

Row 5 2 1,063867 0,531933 0,266839

Row 6 2 1,077667 0,538833 0,277016

Row 7 2 1,0369 0,51845 0,309606

Row 8 2 1,0386 0,5193 0,310945

Row 9 2 1,0343 0,51715 0,307563

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 0,01123 8 0,00140

4 0,00529

4 1 3,22958

3

Within Groups 2,38630

1 9 0,26514

5

Total 2,39753

1 17

Page 97: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

81

Lampiran 9. Perhitungan viskositas biopelumas

Kode

Sampel Suhu Viskositas (cPs) Rata-rata STDev

KTE 1:4 40 36,82

36,74 0,09 40 36,64

40 36,76

KTE 1:6 40 37,31

37,22 0,10 40 37,23

40 37,12

KTE 1:8 40 34,76

34,84 0,09 40 34,93

40 34,83

Kode

Sampel Suhu Viskositas (cSt)

Rata-

rata STDev

KTE 1:4 40 40,69

40,60 0,10 40 40,49

40 40,62

KTE 1:6 40 41,23

41,13 0,11 40 41,14

40 41,02

KTE 1:8 40 38,41

38,50 0,09 40 38,60

40 38,49

Contoh perhitungan Viskositas kinematik

Viskositas kinematik =𝑣𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠𝑑𝑖𝑛𝑎𝑚𝑖𝑘

𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠× 1 𝑐𝑒𝑛𝑡𝑖𝑠𝑡𝑜𝑘𝑒𝑠

= 36,82

0,9050× 1 𝑐𝑆𝑡

= 40,69cSt

Page 98: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

82

Lampiran 10. Perhitungan uji ANOVA single factor viskositas biopelumas

SUMMARY Groups Count Sum Average Variance

Row 1 2 40,6 20,3 804,005

Row 2 2 39,81 19,905 772,6381

Row 3 2 42,15 21,075 867,3613

Row 4 2 42,57667 21,28833 892,2496

Row 5 2 39,37667 19,68833 762,1909

Row 6 2 41,92667 20,96333 865,0027

Row 7 2 39,145 19,5725 756,4105

Row 8 2 37,915 18,9575 709,3261

Row 9 2 38,805 19,4025 743,244

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 10,83717 8 1,354646 0,0017 1 3,229583

Within Groups 7172,428 9 796,9365

Total 7183,265 17

Page 99: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

83

Lampiran 11. Pengujian fisik biopelumas KTE 1:6

Page 100: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

84

Lampiran 12. Kondisi alat kromatografi gas

Kolom : Sianopropil metil sil (capilary column)

Dimensi kolom : panjang 60 m, diameter dalam 0.25 mm, 0.25 μm fil

thickness

Suhu kolom : Suhu terprogam yaitu 125 ºC (suhu awal) selama 5

menit, kemudian dinaikkan dengan kecepatan 10 ºC

/menit sampai 185 ºC. Selanjutnya dinaikkan dengan

kecepatan 5 ºC/menit sampai suhu 205 ºC

dipertahankan selama 10 menit dan dinaikkan

kembali dengan kecepatan 3 ºC/menit sampai suhu

225 ºC dipertahankan selama 7 menit

Detektor : FID

Suhu detektor : 240 ºC

Suhu injektor : 220 ºC

Gas pembawa : Helium 30 mL/menit

Gas pembakar : Hidrogen (40 mL/menit) dan udara (400 mL/menit)

Page 101: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

85

Lampiran 13. Hasil kromatografi gas biopelumas

Page 102: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

86

Lampiran 14. Hasil kromatografi gas standar FAME

Page 103: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

87

Lampiran 14. Dokumentasi Penelitian

1. Preparasi ikan patin

2. Ekstraksi Minyak ikan

Page 104: PEMBUATAN BIOPELUMAS DARI MINYAK HASIL SAMPING PENGOLAHAN …

88

3. Pembuatan biopelumas

Tahap hidrolisis

Tahap polimerisasi Tahap poliesterifikasi

4. Biopelumas hasil penelitian