11
PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini, kami melakukan percobaan Optimasi Metode Analisis Obat Sulfametoxazol dan Parasetamol. Tujuan dilakukannya Optimasi Metode Analisis Obat adalah untuk memastikan bahwa metode analisis yang digunakan akurat, spesifik dan reproduksibel untuk menganalisis bahan obat tertentu dalam melakukan pengujian maupun dalam pengawasan mutu, dimana dapat mencapai hasil yang konsisten serta dapat memberikan data parameter farmakokinetik obat yang dapat dipercaya kebenarannya. Pada percobaan ini digunakan data darah karena sebagian besar konsentrasi obat berada dalam darah, dimana darah merupakan tempat yang cepat dicapai obat sehingga dapat dilakukan penetapan kadar obat didalam tubuh. Dalam percobaan ini, darah diambil dari hewan uji tikus melalui bagian vena ekor yang sebelumnya bagian ekor dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran dan bulunya dengan menggunakan scalpel. Darah yang keluar di tampung pada tempat penampung darah (ependroff), dimana tempat penampung darah tersebut sudah ditambah heparin yang berfungsi sebagai antikoagulan untuk mencegah membekunya darah, hal ini karena darah besifat mudah menggumpal kemudian divortex agar dapat bercampur secara merata dan terbentuk ikatan antara heparin dengan protein plasma sehingga darah tidak cepat membeku. Untuk Metode Analisis Obat Sulfametoxazol dan Parasetamol dilakukan optimasi dengan metode penetapan kadar Bratton- Marshall, dimana metode ini merupakan cara yang umum digunakan

PEMBAHASAN KESIMPULAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEMBAHASAN KESIMPULAN

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, kami melakukan percobaan Optimasi Metode Analisis Obat

Sulfametoxazol dan Parasetamol. Tujuan dilakukannya Optimasi Metode Analisis Obat

adalah untuk memastikan bahwa metode analisis yang digunakan akurat, spesifik dan

reproduksibel untuk menganalisis bahan obat tertentu dalam melakukan pengujian maupun

dalam pengawasan mutu, dimana dapat mencapai hasil yang konsisten serta dapat

memberikan data parameter farmakokinetik obat yang dapat dipercaya kebenarannya.

Pada percobaan ini digunakan data darah karena sebagian besar konsentrasi obat

berada dalam darah, dimana darah merupakan tempat yang cepat dicapai obat sehingga dapat

dilakukan penetapan kadar obat didalam tubuh. Dalam percobaan ini, darah diambil dari

hewan uji tikus melalui bagian vena ekor yang sebelumnya bagian ekor dibersihkan terlebih

dahulu dari kotoran dan bulunya dengan menggunakan scalpel. Darah yang keluar di

tampung pada tempat penampung darah (ependroff), dimana tempat penampung darah

tersebut sudah ditambah heparin yang berfungsi sebagai antikoagulan untuk mencegah

membekunya darah, hal ini karena darah besifat mudah menggumpal kemudian divortex agar

dapat bercampur secara merata dan terbentuk ikatan antara heparin dengan protein plasma

sehingga darah tidak cepat membeku.

Untuk Metode Analisis Obat Sulfametoxazol dan Parasetamol dilakukan optimasi

dengan metode penetapan kadar Bratton-Marshall, dimana metode ini merupakan cara yang

umum digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa yang mempunyai gugus amin

aromatis, termasuk di dalamnya sulfamethoxazol dan paracetamol.

Sulfamethoxazol dan Paracetamol dibuat larutan stock dengan konsentrasi 1 mg/ml

atau 1000 μg/ml. Kedua larutan stock tersebut masing-masing dibuat deret bakunya. Untuk

Sulfamethoxazol dibuat dengan kadar 0, 10, 20, 40, 60, 80, 100 dan 120 μg/ml, sedangkan

untuk Paracetamol dibuat dengan kadar 0, 100, 200, 300, 400, 500, 600 dan 700 µg/ml.

Fungsi dari deret baku tersebut adalah untuk membuat suatu persamaan regresi linier.

Sulfametoxazol Parasetamol

Page 2: PEMBAHASAN KESIMPULAN

Masing-masing konsentrasi (kadar) dan blangko diperlakukan sama yaitu ditambah 2,0 ml

TCA, untuk deret baku Sulfamethoxazol ditambah dengan 2,0 ml TCA 5 % sedangkan untuk

deret baku Paracetamol ditambah dengan 2,0 ml TCA 20 %. Tujuan penambahan TCA

tersebut adalah untuk mengendapkan kandungan protein yang ada di dalam darah. Dimana,

Larutan Asam Trikloroasetat (TCA) mampu mengendapkan protein darah karena ion

negative dari larutan TCA tersebut mampu bergabung dengan protein darah yang bermuatan

positif. Dimana, pada dasarnya di dalam darah mengandung suatu protein (seperti;albumin).

Hal ini sama halnya dengan sifat dari protein, protein darah juga bersifat amfoter atau zwitter

ion, yaitu protein memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1 molekul (muatan positif dan

negative), sehingga dengan penambahan larutan TCA protein mampu diendapkan. Tanpa

adanya penambahan larutan TCA tersebut, protein darah mampu berikatan dengan obat

terutama albumin dan dengan adanya protein tersebut dapat menggangu pada pengukuran

absorbansi menggunakan spektrofotometer visible sehingga absorbansi yang terbaca kurang

tepat. Kemudian divortex agar dapat bercampur secara merata antara darah dengan larutan

TCA yang ditambahkan dan selanjutnya disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 10-

15 menit. Tujuan disentrifuge adalah untuk membantu larutan TCA dalam memisahkan

protein dari darah sehingga protein dalam darah dapat terendapkan dan diperoleh

supernatannya (beningannya).

Untuk perlakuan larutan obat Sulfamethoxazol, setelah diambil beningnya sebanyak

1,50 ml , kemudian ditambah dengan NaNO2 0,1 % , Asam Sulfamat 0,5 % dan larutan N(1-

naftil) etilendiamin 0,1 % , adapun fungsi dari penambahan-penambahan larutan tersebut

sebagai berikut;

Penambahan larutan NaNO2 0,1% pada beningan, berfungsi untuk membentuk garam

diazonium yang terbentuk pada reaksi antara NaNO2 dengan amin aromatis primer pada

Sulfamethoxazol. Adanya penambahan NaNO2 ini dapat menghasilkan gas NO2 sehingga

perlu pendiaman selama ± 3 menit agar gelembung yang terbentuk hilang. Hal ini, karena

apabila terdapat gelembung dapat mengganggu proses pengukuran absorbansi sehingga

pembacaan absorbansi kurang tepat.

Penambahan Asam Sulfamat 0,5% , berfungsi untuk memberikan suasana asam, sehingga

ion H+ dari asam sulfamat akan berikatan dengan gas NO2 membentuk HNO2 yang tidak

stabil dan mudah terurai. Dimana, HNO2 tersebut juga bersifat memprotonasi, sehingga

menghasilkan garam diazonium dan mampu melarutkan sampel golongan sulfa. Serta

dapat juga berfungsi untuk mengurangi kelebihan gas NO2 yang terbentuk.

Page 3: PEMBAHASAN KESIMPULAN

Penambahan N(1-naftil) etilendiamin 0,1% , berfungsi untuk mengkopling garam

diazonium yang terbentuk, sehingga akan membentuk kompleks berwarna ungu (merah

keunguan). Oleh karena kompleks warna tersebut tidak stabil maka perlu didiamkan di

tempat gelap selama 5 menit. Kestabilan warna yang dihasilkan akan memungkinkan

pembacaan absorbansi yang tepat.

Untuk perlakuan larutan obat Paracetamol, setelah diambil beningnya sebanyak 1,50

ml , kemudian ditambah dengan HCL 6 N dan NaNO2 10% . Reaksi keduannya akan

membentuk HNO2 dengan reaksi sebagai berikut;

HCl (aq) + NaNO2 (aq) HNO2(aq) + NaCl (aq)

HNO2 tersebut bereaksi secara intramolekuler membentuk NO+ (ion nitosonium), dengan

reaksi sebagai berikut;

2 HNO2(aq) OH- (aq) + 2 NO+ (g)

Ion nitrosonium akan bereaksi dengan parasetamol membentuk senyawa berwarna kuning

(reaksi diazotasi). Kemudian di diamkan selama 15 menit ditempat dingin yaitu pada suhu <

15o C, hal ini bertujuan supaya reaksi yang terjadi berjalan dengan sempurna. Kemudian

ditambah dengan Asam sulfamat 15%, dimana Asam sulfamat ini akan bereaksi dengan sisa

gas nitrit yang belum hilang, sehingga gas nitrit yang masih tersisa dapat hilang. Hal ini

karena adanya keberadaan gas nitrit dapat mengganggu proses pengukuran. Dan kemudian

baru ditambah dengan NaOH 10% yang bertujuan untuk menetralkan larutan yang tadinya

bersifat asam karena adanya asam sulfamat. Adapun Reaksi Penetralan yang terjadi sebagai

berikut;

2 H+ (aq) + NaOH (aq) Na+ (aq) + H2O (l)

NaNO2 + HCl HNO2

Parasetamol + HNO2 2-nitro-4-acetamidophenolate

HNO2 >> + HSO3NH2 N2 ↑ + SO4

2- + 2H+ + H2O

2-nitro-4-acetamidophenolate anion 2-nitro-4-acetamidophenolate.

Setelah perlakuan di atas, sampel diambil untuk diukur serapannya pada

spektrofotometer visibel, dimana prinsip dari spektrofotometer visibel adalah penyerapan

NaOH

Page 4: PEMBAHASAN KESIMPULAN

intensitas warna yang terbentuk oleh senyawa kompleks dari senyawa yang dianalisis yang

serapannya diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum. Intensitas

warna yang dihasilkan akan meningkat secara linier dengan naiknya konsentrasi zat yang

ditetapkan dan semakin tinggi konsentrasi absorbansinya pun juga akan meningkat.

Langkah awal yang harus dikerjakan untuk melakukan Optimasi Metode Analisis

adalah penentuan jangka waktu larutan obat yang memberikan resapan tetap (Operating

Time). Dimana, penentuan operating time dilakukan apabila sampel yang dianalisis terjadi

reaksi pembentukan warna atau pembentukan komplek. Penentuan operating time ini

bertujuan untuk mengetahui jangka waktu pengukuran yang memberikan resapan tetap

(stabil) serta memberikan resapan yang maksimum. Dari hasil percobaan diperoleh Operating

Time untuk Sulfamethoxazol adalah 7 menit dengan nilai absorbansi 0,355. Sedangkan,

Operating Time untuk Paracetamol adalah 8 menit dengan nilai absorbansi 0,128.

Langkah yang kedua adalah dilakukan pencarian panjang gelombang maksimum atau

yang disebut dengan λ max. Panjang gelombang maksimum merupakan panjang gelombang

larutan obat yang dianalisis yang memberikan resapan maksimum. Perlu dilakukan pencarian

λ max karena pada panjang gelombang maksimal mempunyai kepekaan yang maksimum, hal

ini karena setiap perubahan konsentrasi larutan yang dianalisa, perubahan absorbsinya besar.

Selain itu, disekitar panjang gelombang maksimum bentuk kurva absorbsinya datar dan pada

kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi. Berdasarkan hasil percobaan diperoleh

λ max untuk Sulfamethoxazol adalah 539 nm dengan absorbansi maksimum 0,355.

Sedangkan λ max untuk Paracetamol adalah 455 nm dengan absorbansi maksimum sebesar

0,128.

Kemudian untuk langkah yang ketiga adalah dilakukan pembuatan kurva baku.

Pembuatan kurva baku ini bertujuan untuk mengetahui kelinieritasan suatu kurva dimana

kurva baku tersebut diperoleh dari hubungan antara konsentrasi Vs absorbansi dari deret baku

yang dibuat. Dimana hubungan antara konsentrasi berbanding lurus dengan absorbansi. Dari

hasil pecobaan, untuk Sulfamethoxazol diperoleh persamaan garis y = 0,00558 x – 0,06113

dan diperoleh nilai r = 0,99104. Sedangkan, untuk Paracetamol diperoleh persamaan garis y =

0,00063081 x – 0,0780 dan diperoleh nilai r = 0,9743.

Untuk langkah yang terakhir adalah menentukan nilai perolehan kembali, kesalahan

sistematik dan kesalahan acak;

Page 5: PEMBAHASAN KESIMPULAN

Nilai Perolehan Kembali (Recovery);

Perolehan kembali merupakan tolak ukur efisiensi metode analisis yang menunjukkan

perbandingan antara kadar yang terukur dengan kadar yang sesungguhnya, serta

menunjukkan akurasi suatu mentoda analisis. Dimana, persyaratan suatu metode analisis

harus dapat memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi yaitu sekitar 75-90% atau

lebih. Semakin akurat menunjukkan bahwa metode analisis tersebut menghasilkan nilai

rata-rata yang sangat dekat dengan nilai sesungguhnya. Dari hasil percobaan, untuk

Sulfamethoxazol diperoleh nilai rata-rata recovery untuk kadar 40,908 µg/ml adalah

154,48 %, untuk kadar 60,388 µg/ml adalah 116,22% dan untuk kadar 99,348 µg/ml

adalah 100,86 %. Dari hasil tersebut, menunjukkan bahwa nilai rata-rata recovery

Silfamethoxazol memenuhi syarat metode analisis karena hasil yang diperoleh

memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi yaitu lebih dari 75-90 %. Sedangkan,

untuk Parasetamol diperoleh nilai rata-rata recovery untuk kadar 99,73 µg/ml adalah

391,705 %, untuk kadar 299,20 µg/ml adalah 164,725 % dan untuk kadar 500,75 µg/ml

adalah 137,815 %.

Dari hasil tersebut, menunjukkan bahwa nilai rata-rata recovery untuk

Sulfamethoxazol dan Parasetamol memenuhi syarat metode analisis karena hasil yang

diperoleh memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi yaitu lebih dari 75-90 %.

Kesalahan Sistematik;

Kesalahan sistematik merupakan tolak ukur inakurasi (ketidak akuratan) suatu

penetapan kadar. Persyaratan untuk suatu metode analisis dapat memberikan nilai

kesalahan sistematik kurang dari 10 %. Dari hasil percobaan, untuk Sulfamethoxazol

diperoleh nilai rata-rata kesalahan sistematik untuk kadar 40,908 µg/ml adalah – 54,48

%, untuk kadar 60,388 µg/ml adalah – 16,22 % dan untuk kadar 99,348 µg/ml adalah –

0,86 %. Sedangkan, untuk Parasetamol diperoleh nilai rata-rata kesalahan sistematik

untuk kadar 99,73 µg/ml adalah – 291,705 %, untuk kadar 299,20 µg/ml adalah – 64,725

% dan untuk kadar 500,75 µg/ml adalah – 37,815 %.

Dari hasil tersebut, menunjukkan bahwa nilai rata-rata kesalahan sistematik untuk

Sulfamethoxazol dan Parasetamol memenuhi syarat metode analisis karena hasil yang

diperoleh memberikan nilai kesalahan sistematik kurang dari 10 %.

Kesalahan Acak;

Kesalahan acak merupakan tolak ukur imprecision suatu metoda analisis, dimana nilai

ini dapat bersifat positif ataupun negatif. Persyaratan untuk suatu metode analisis dapat

memberikan nilai kesalahan acak kurang dari 10 %. Dari hasil percobaan, untuk

Page 6: PEMBAHASAN KESIMPULAN

Sulfamethoxazol diperoleh nilai rata-rata kesalahan acak untuk kadar 40,908 µg/ml

adalah 20,25 %, untuk kadar 60,388 µg/ml adalah 0,90 % dan untuk kadar 99,348 µg/ml

adalah 2,02 %. Berdasarkan hasil tersebut untuk kadar 60,388 µg/ml dan 99,348 µg/ml

memenuhi syarat karena hasil kesalahan acak kurang dari 10 % sedangkan untuk kadar

40,908 µg/ml tidak memenuhi syarat karena hasil kesalahan acak lebih besar dari 10 %.

Sedangkan, untuk Parasetamol diperoleh nilai rata-rata kesalahan acak untuk kadar

99,73 µg/ml adalah 31,27 %, untuk kadar 299,20 µg/ml adalah 48,66 % dan untuk kadar

500,75 µg/ml adalah 5,36 %. Berdasarkan hasil tersebut, hanya kadar 500,75 µg/ml yang

memenuhi syarat sedangkan untuk kadar 99,73 µg/ml dan 299,20 µg/ml tidak memenuhi

syarat karena hasilnya lebih dari 10 %. Adanya kesalahan acak yang tidak memenuhi

syarat ini dapat mempengaruhi ketepatan atau presisi suatu metode analisis.

Page 7: PEMBAHASAN KESIMPULAN

KESIMPULAN

A. Operating time Sulfametoxazol pada menit ke-7 dan Paracetamol pada menit ke-8.

B. Panjang gelombang maksimum Sulfametoxazol adalah 539 nm, dan Paracetamol

adalah 455 nm.

C. Kurva baku untuk Sulfamethoxazol diperoleh persamaan garis y = 0,00558 x –

0,06113 dan diperoleh nilai r = 0,99104. Sedangkan, untuk Paracetamol diperoleh

persamaan garis y = 0,00063081 x – 0,0780 dan diperoleh nilai r = 0,9743.

D. Nilai Perolehan Kembali (Recovery) dari Sulfametoxazol diperoleh nilai rata-rata

recovery untuk kadar 40,908 µg/ml adalah 154,48 %, untuk kadar 60,388 µg/ml

adalah 116,22% dan untuk kadar 99,348 µg/ml adalah 100,86 % (memenuhi syarat).

Sedangkan, untuk Parasetamol diperoleh nilai rata-rata recovery untuk kadar 99,73

µg/ml adalah 391,705 %, untuk kadar 299,20 µg/ml adalah 164,725 % dan untuk

kadar 500,75 µg/ml adalah 137,815 % (memenuhi syarat).

E. Nilai kesalahan sistematik untuk Sulfamethoxazol diperoleh nilai rata-rata kesalahan

sistematik untuk kadar 40,908 µg/ml adalah – 54,48 %, untuk kadar 60,388 µg/ml

adalah – 16,22 % dan untuk kadar 99,348 µg/ml adalah – 0,86 % (memenuhi syarat).

Sedangkan, untuk Parasetamol diperoleh nilai rata-rata kesalahan sistematik untuk

kadar 99,73 µg/ml adalah – 291,705 %, untuk kadar 299,20 µg/ml adalah – 64,725 %

dan untuk kadar 500,75 µg/ml adalah – 37,815 % (memenuhi syarat).

F. - Hasil kesalahan acak Sulfametoxazol kadar 60,388 µg/ml dan 99,348 µg/ml

memenuhi syarat (kurang dari 10 %), sedangkan untuk kadar 40,908 µg/ml tidak

memenuhi syarat (lebih besar dari 10 %).

- Hasil kesalahan acak Parasetamol untuk kadar kadar 500,75 µg/ml memenuhi syarat

(kurang dari 10 %), sedangkan untuk kadar 99,73 µg/ml dan 299,20 µg/ml tidak

memenuhi syarat (lebih besar dari 10 %).

G. Dari data recovery dan kesalahan sistematik memenuhi persyaratan Bratton-Matshall,

sedangkan dari kesalahan acaknya ada beberapa data yang memenuhi persyaratan dan

ada yang tidak memenuhi persyaratan.