14
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ... 165 PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO POLITIK SHINZO ABE SEBAGAI PERDANA MENTERI JEPANG KE-96: ANALISIS WACANA KRITIS (UTILIZATION OF METAPHOR FEATURE IN SHINZO ABE'S POLITICAL SPEECH AS THE 96 TH PRIME MINISTER: A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS) Hadi Hidayat Program Magister, Konsentrasi Linguistik Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung–Sumedang Km 21 Jatinangor, Sumedang Ponsel: 085255655514 Pos-el: [email protected] Tanggal naskah masuk: 18 Juni 2014 Tanggal revisi terakhir: 3 November 2014 Abstract THIS writing analyzes language feature of metaphor and power in Shinzo Abe's political speech text conveyed in his inauguration ceremony as the 96th Japan Prime Minister. A certain choice of metaphor signifies a certain ideology. The writing aims at describing such usage in Shinzo Abe's political speech. The method used in this research is based on Critical Discourse Analysis of Fairclough's (1992:194–197). The focus point of Fairclough's theory is language as an exercise of power. The result shows that Shinzo Abe has distributed his power through the usage of metaphor feature. The perceptible exercise of power is within the power in Japanese identity labeling and the power in controlling the society's view and behavior. Moreover, Shinzo Abe utilize metaphor to concretize abstract concepts by describing it into another concept for the audience to understand it more easily. Key words: metaphor, political speech, critical discourse analysis Abstrak TULISAN ini menganalisis fitur kebahasaan metafora dalam hubungannya dengan kekuasaan dalam teks pidato politik Shinzo Abe yang dibacakan saat peresmiannya sebagai Perdana Menteri Jepang ke-96. Pilihan terhadap metafora tertentu mengandung signifikansi ideologis tertentu. Tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan metafora dalam teks pidato Shinzo Abe. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan analisis wacana kritis Fairclough (1992:194–197). Titik fokus perhatian Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa melalui penggunaan fitur metafora, Shinzo Abe telah menyalurkan kekuasaannya. Praktik kekuasaan yang tampak adalah kekuasaan dalam pelabelan identitas Jepang serta kekuasaan dalam mengendalikan pandangan dan perilaku masyarakat. Selain itu, metafora juga dimanfaatkan oleh Shinzo Abe untuk mengonkretkan konsep yang abstrak dengan cara mendeskripsikannya dengan suatu hal yang lain agar mudah dipahami oleh pengonsumsi teks. Kata kunci: metafora, pidato politik, analisis wacana kritis

PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

  • Upload
    others

  • View
    21

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...

165

PEMANFAATAN FITUR METAFORA

DALAM TEKS PIDATO POLITIK SHINZO ABE

SEBAGAI PERDANA MENTERI JEPANG KE-96:

ANALISIS WACANA KRITIS

(UTILIZATION OF METAPHOR FEATURE IN SHINZO ABE'S POLITICAL

SPEECH AS THE 96TH PRIME MINISTER:

A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS)

Hadi HidayatProgram Magister, Konsentrasi Linguistik Bahasa Jepang

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran

Jalan Raya Bandung–Sumedang Km 21 Jatinangor, Sumedang

Ponsel: 085255655514

Pos-el: [email protected]

Tanggal naskah masuk: 18 Juni 2014

Tanggal revisi terakhir: 3 November 2014

Abstract

THIS writing analyzes language feature of metaphor and power in Shinzo Abe's

political speech text conveyed in his inauguration ceremony as the 96th Japan

Prime Minister. A certain choice of metaphor signifies a certain ideology. The

writing aims at describing such usage in Shinzo Abe's political speech. The method

used in this research is based on Critical Discourse Analysis of Fairclough's

(1992:194–197). The focus point of Fairclough's theory is language as an

exercise of power. The result shows that Shinzo Abe has distributed his power

through the usage of metaphor feature. The perceptible exercise of power is within

the power in Japanese identity labeling and the power in controlling the society's

view and behavior. Moreover, Shinzo Abe utilize metaphor to concretize abstract

concepts by describing it into another concept for the audience to understand it

more easily.

Key words: metaphor, political speech, critical discourse analysis

Abstrak

TULISAN ini menganalisis fitur kebahasaan metafora dalam hubungannya dengan

kekuasaan dalam teks pidato politik Shinzo Abe yang dibacakan saat peresmiannya

sebagai Perdana Menteri Jepang ke-96. Pilihan terhadap metafora tertentu mengandung

signifikansi ideologis tertentu. Tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan

penggunaan metafora dalam teks pidato Shinzo Abe. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini berdasarkan analisis wacana kritis Fairclough (1992:194–197). Titik fokus

perhatian Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Temuan

penelitian ini menunjukkan bahwa melalui penggunaan fitur metafora, Shinzo Abe telah

menyalurkan kekuasaannya. Praktik kekuasaan yang tampak adalah kekuasaan dalam

pelabelan identitas Jepang serta kekuasaan dalam mengendalikan pandangan dan

perilaku masyarakat. Selain itu, metafora juga dimanfaatkan oleh Shinzo Abe untuk

mengonkretkan konsep yang abstrak dengan cara mendeskripsikannya dengan suatu

hal yang lain agar mudah dipahami oleh pengonsumsi teks.

Kata kunci: metafora, pidato politik, analisis wacana kritis

Page 2: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178

166

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Secara etimologis, politik berasal dari kata

Yunani polis yang berarti kota atau negara kota.

Selanjutnya, arti itu berkembang menjadi polites

yang berarti warga negara, politea yang berarti

semua yang berhubungan dengan negara, politika

yang berarti pemerintahan negara, dan politicos

yang berarti kewarganegaraan. Jika ditinjau dari

asal kata tersebut, pengertian politik secara umum

dapat dikatakan bahwa politik adalah hal yang

berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan

atau negara. Namun, di zaman ini masalah politik

adalah jauh lebih luas daripada sekadar politik

pemerintahan. Baik disadari maupun tidak, seluruh

sendi kehidupan manusia berkaitan dengan politik.

Pada kenyataannya semua persoalan yang

dihadapi oleh manusia merupakan masalah politik.

Politik berkenaan dengan kekuasaan dalam

arti luas, yakni kekuasaan untuk membuat

keputusan, mengendalikan sumber daya,

mengendalikan perilaku orang lain, dan sering kali

juga mengendalikan nilai yang dianut orang lain.

Bahkan, keputusan-keputusan biasa yang dibuat

dalam kehidupan sehari-hari pun bisa dipandang

dari sudut politik. Dalam usaha merealisasikan

kekuasaan ataupun penegakan terhadap

keyakinan-keyakinan politik kepada orang lain

dapat dilakukan lewat berbagai cara. Cara yang

paling mudah dipahami adalah mencari kekuasaan

lewat kekerasan. Perang termasuk jenis pencarian

kekuasaan lewat kekerasan. Dalam negara

demokrasi, kekerasan diterapkan lewat sistem

hukum, misalnya ada aturan yang mengatur syarat

usia seorang perempuan yang bisa dinikahi,

tentang di mana kendaraan boleh atau tidak boleh

diparkir, tentang di mana orang boleh dan tidak

boleh merokok. Jika aturan-aturan ini dilanggar,

pelanggarnya bisa dikenai denda, bahkan bisa

dipenjarakan.

Namun, ada cara lain yang tidak kalah efektif

untuk mendapatkan kekuasaan, yaitu dengan

mengajak orang patuh secara sukarela. Dengan

kata lain, melaksanakan kekuasaan lewat

penciptaan persetujuan atau setidaknya

menciptakan kerelaan untuk membiarkan

kekuasaan itu berjalan. Apabila hal tersebut dapat

direalisasikan, tentu saja akan lebih efektif

daripada harus terus-menerus memberikan denda

ataupun memenjarakan orang-orang yang

melanggar hukum atau kebijakan-kebijakan yang

ditetapkan oleh penguasa. Agar ini bisa tercapai,

perlu ada ideologi, yaitu sesuatu yang membuat

keyakinan-keyakinan yang ingin ditanamkan

penguasa kepada warganya menjadi terasa wajar

dan masuk akal. Kata ideologi digunakan dalam

makna yang lebih luas, yaitu untuk menyebut

keyakinan-keyakinan yang dirasakan logis dan

wajar oleh orang-orang yang menganutnya.

Untuk menerapkan suatu konsep ideologi

dibutuhkan sebuah alat komunikasi. Terdapat

berbagai alat komunikasi dalam kehidupan

manusia. Berkomunikasi dapat dilakukan dengan

ekspresi wajah, sikap, sentuhan, gambar-gambar,

tanda-tanda visual, musik dan tarian, lambang-

lambang matematika dan lambang-lambang

ilmiah, serta yang paling penting dan paling

menentukan peradaban manusia, yaitu dengan

kata-kata (bahasa). Bahasa bukan lagi sekadar

sebuah sistem tanda bunyi, bukan saja sebagai

alat komunikasi untuk bekerja sama, dan bukan

sekadar mengidentifikasi diri, melainkan bahasa

juga menjalankan fungsi-fungsi regulatif yang

sangat kompleks.

Wacana politik dilandaskan pada satu prinsip

bahwa persepsi orang terhadap masalah-masalah

atau konsep tertentu bisa dipengaruhi oleh

bahasa. Wacana-wacana politik adalah pidato

politik, debat politik, iklan politik, dan manivesto

politik. Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh

penghasil teks adalah mengajak para pengonsumsi

teks untuk percaya akan kebenaran dari klaim-

klaim si pewacana. Harus disadari bahwa wacana

yang melibatkan orang banyak selalu ditata atau

disusun sedemikian rupa yang di dalamnya

terdapat muatan-muatan ideologis yang

tersembunyi di dalam struktur-struktur

kebahasaan. Salah satu fitur kebahasaan yang

sering dimanfaatkan oleh penghasil teks adalah

metafora. Metafora adalah pemakaian kata atau

ungkapan kebahasaan bukan dengan arti yang

sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang

berdasarkan kesamaan atau perbandingan.

Page 3: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...

167

Metafora merupakan kreasi bahasa. Daya kreatif

itu sering dimanfaatkan oleh pengarang untuk

mengekspresikan maksud, gagasan, perasaan,

atau imajinasinya. Tuturan metaforis dapat

menciptakan gambaran mental yang mudah

dipahami pengonsumsi teks.

Dalam dunia politik, analisis terhadap

metafora merupakan langkah awal memahami

bahasa politik. Penggunaan metafora dapat

mempengaruhi persepsi masyarakat tentang

dunia. Metafora menjadi salah satu fitur

kebahasaan yang intensif didayagunakan dalam

bahasa politik oleh para elite politik di berbagai

belahan dunia. Metafora sering digunakan untuk

mengonkretkan konsep abstrak, menyembunyikan

atau mengaburkan maksud, dan menguatkan

pesan ideologi tertentu yang ingin diperjuangkan

oleh elite politik.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti

bermaksud untuk menganalisis penggunaan fitur

metafora yang berkaitan dengan politik, termasuk

kekuasaan dan ideologi pada teks pidato politik

Shinzo Abe setelah pelantikan secara resmi

sebagai Perdana Menteri Jepang yang ke-96.

1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang yang

dikemukakan di atas, rumusan masalah penelitian

ini adalah bagaimanakah penggunaan metafora

dalam teks pidato politik Shinzo Abe berkaitan

dengan politik, termasuk kekuasaan dan ideologi.

1.3 Tujuan

Sejalan dengan rumusan masalah, penelitian

ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan

metafora dalam teks pidato politik Shinzo Abe

berkaitan dengan politik, termasuk kekuasaan dan

ideologi.

1.4 Metode

Teks pidato yang dijadikan sebagai sumber

data penelitian ini pertama-tama diberi nomor

pada setiap kalimat. Kalimat dalam artian

konstruksi gramatikal terdiri atas satu atau lebih

klausa yang ditata menurut pola tertentu dan dapat

berdiri sendiri sebagai satu kesatuan. Keseluruhan

kalimat dalam teks pidato berjumlah 103 buah

kalimat. Pada tahap pengumpulan data, metode

yang digunakan adalah metode simak. Metode

simak adalah metode untuk memperoleh data

dengan cara menyimak penggunaan bahasa yang

tidak hanya berkaitan dengan penggunaan secara

lisan, tetapi juga bahasa secara tertulis (Mahsun,

2001:92). Selanjutnya, digunakan teknik catat.

Data yang mengandung metafora dikeluarkan dari

teks, kemudian dicatat pada kartu data, yang

segera dilanjutkan dengan klasifikasi. Secara

keseluruhan terdapat 21 kalimat yang

mengandung metafora. Kemudian, pada tahap

analisis data digunakan metode deskriptif.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang

dilakukan dengan cara mendekati, mengamati,

menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena

secara sistematis, faktual, akurat mengenai data

serta sifat dan hubungan fenomena yang diteliti.

Fenomena yang dimaksud berkaitan dengan

kekuasaan dan ideologi dari pemanfaatan fitur

metafora dalam teks pidato Shinzo Abe saat

konferensi pers setelah pelantikan secara resmi

sebagai Perdana Menteri Jepang yang ke-96

dalam sidang parlemen Diet ke-183 pada tanggal

28 Januari 2013. Teks pidato diperoleh dari laman

resmi Parlemen Jepang dengan alamat

www.kantei.go.jp.

2. Kerangka TeoriKerangka teori yang digunakan dalam kajian

ini adalah analisis wacana kritis model Fairclough.

Titik fokus perhatian Fairclough adalah melihat

bahasa sebagai praktik kekuasaan. Dalam

pandangan kritis teks dibangun dari sejumlah

peranti linguistik yang di dalamnya terdapat

kekuasaan dan ideologi. Salah satu peranti

linguistik dalam analisis wacana kritis model

Fairclough (1992:194–197) yang dimanfaatkan

untuk melihat praktik kekuasaan dan ideologi dari

penghasil teks adalah metafora. Metafora berasal

dari bahasa Yunani metaphora yang berarti

‘memindahkan’, yaitu dari meta ‘di atas’ dan

pherein ‘membawa’. Metafora merujuk pada

Page 4: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178

168

proses linguistik, yaitu aspek tertentu dari suatu

objek dibawa atau dipindahkan pada objek lain.

Dengan demikian, objek kedua diujarkan seolah-

olah seperti objek yang pertama. Momiyama

(2010:35) menyatakan bahwa

Metafaa to wa, futatsu no jibutsu. gainen

no nan raka no [ruijisei (similarity)] ni

mototzuite, honrai wa ippou no jibutsu.

gainen wo arawasu keishiki wo mochiite,

tahou no jibutsu. gainen wo arawasu to

iu hiyu desu. Pointo wa ruijisei ni

mototzuku to iu koto desu.

‘metafora adalah gaya bahasa yang

berdasarkan pada kemiripan dua hal, dari

yang menggambarkan konsep sebenarnya,

lalu konsep perumpamaannya. Pada intinya

berdasarkan pada kemiripan’.

Di dalam berpikir dan menciptakan

metafora, manusia tidak dapat melepaskan diri

dari lingkungannya karena selalu mengadakan

interaksi dengan lingkungannya itu. Menurut

Fairclough, pilihan pada metafora merupakan

kunci bagaimana realitas ditampilkan dan

dibedakan dengan yang lain. Metafora bukan

hanya persoalan keindahan literer karena bisa

menentukan apakah realitas itu dimaknai dan

dikategorikan sebagai positif atau negatif.

Meskipun metafora hanyalah salah satu aspek

wacana politik, memahami metafora adalah

langkah awal memahami bahasa politik secara

keseluruhan. Darma (2009:91) menyatakan

bahwa dalam menjalankan aktivitas politik, faktor

kebahasaan memegang peranan penting. Hal

senada dikemukakan oleh Hayashi dan Hayashi

(1997:42) bahwa kini bahasa telah digunakan

untuk mengubah, mengawal masyarakat, dan

mewujudkan kuasa sosial. Jadi, dapat dipahami

bahwa, baik verbal maupun nonverbal, bahasa

bukan lagi sekadar berperan sebagai alat

komunikasi, melainkan telah menjadi media untuk

mengonstruksi kehidupan manusia.

3. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis yang telah

dilakukan terhadap teks pidato politik Shinzo Abe

saat konferensi pers setelah penunjukan dirinya

sebagai Perdana Menteri Jepang yang ke-96

terdapat penggunaan metafora yang berkaitan

dengan politik, termasuk kekuasaan dan ideologi

sebagai berikut.

Shikashinagara, sekai no saizensen de

katsuyakusuru, nan no tsumi mo nai

nihon ga gisei to natta koto wa, tsuukon

no kiwami desu.

‘Namun, hal yang sangat disesalkan bahwa

orang Jepang yang tidak bersalah, yang

bergerak di garis terdepan di seluruh dunia

telah menjadi korban.’

Kalimat (3) di atas berkaitan dengan fungsi

afektif dari bahasa terkait dengan siapa yang boleh/

berhak mengatakan apa, hal ini erat sekali

kaitannya dengan kekuasaan dan status sosial.

Kalimat tersebut berhubungan dengan aksi teroris

yang terjadi di kilang gas Amenas, Aljazair, yang

menelan korban 10 orang warga Jepang. Pada

kalimat (3) tersebut terdapat frasa nomina sekai

no saizensen ‘garis terdepan di dunia’ yang

merupakan bentuk metafora. Frasa nominal

tersebut terdiri dari nomina sekai ‘dunia’ (Matsura,

2005: 875), nomina saizensen ‘garis terdepan/

paling depan’ (Matsura, 2005: 837) dan partikel

no dipakai di antara dua nomina yang menunjukkan

bahwa nomina yang pertama memodifikasi nomina

yang kedua (Chino, 2006:58). Frasa nominal sekai

no saizensen adalah konsep konkret karena tidak

ada garis yang tampak dan dapat dilihat secara

konkret di dunia.

Konsep ini mengacu pada peran dan

konstruktif Jepang dalam mengupayakan

perdamaian dan keamanan internasional yang

merupakan penyumbang dana kedua terbesar di

PBB setelah AS. Selain itu, pula beberapa tahun

belakangan Jepang melakukan kerja sama dengan

Page 5: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...

169

negara berkembang dengan menawarkan bantuan

ekonomi, khususnya di Afrika dan Asia. Dengan

demikian, keputusan Shinzo Abe selaku

pewacana dengan mengklaim posisi Jepang

sebagai negara yang terdepan di dunia didasarkan

pada acuan-acuan tersebut. Hal ini menciptakan

dinamika kekuasaan atau dominasi Jepang

sehingga menguatkan perbedaan Jepang di antara

negara-negara lainnya di dunia.

Defure to endaka no doronuma kara

nukedasezu, gojucchouen tomo iwareru

bakudai na kokumin no shotoku sangyou

no kyou souryoku ga ushinaware,

doredake majime ni hataraitemo kurashi

ga yokunaranai, nihonkeizai no kiki.

‘Krisis ekonomi Jepang yang tidak dapat

melepaskan diri dari rawa deflasi dan

kenaikan nilai Yen telah menimbulkan

kehilangan pendapatan nasional yang luar

biasa besarnya yang bisa dikatakan

mencapai 50 triliun dan telah kehilangan daya

saing industri, serta seberapa tekun

seseorang bekerja pun tidak akan

membawa kehidupan yang lebih baik.’

Dalam kalimat (14) di atas, kata doronuma

mengindikasikan ‘posisi, lahan, tempat dan

dekapan, yaitu deflasi dan kenaikan nilai Yen’.

Dalam kamus bahasa Jepang-Indonesia

diungkapkan bahwa makna dasar nomina

doronuma adalah ‘rawa penuh lumpur’ (Matsura,

2005: 155). Terlihat bahwa makna kontekstual

berbeda dengan makna dasar dan makna

kontekstual tersebut dapat dipahami melalui

perbandingannya dengan makna dasar. Pilihan

terhadap metafora tertentu mengandung

signifikansi ideologis tertentu. Dalam teks Shinzo

Abe ini digunakan kata doronuma yang memiliki

kesan ‘kotor’, ‘menjijikkan’, ‘merugikan’ dan

sebagainya. Dalam hal ini kata doronuma

menciptakan kesan yang negatif. Shinzo Abe

mencoba memberi sugesti kepada khalayak

bahwa kondisi ekonomi Jepang sangat merugikan

negara. Penggunaan metafora memberikan sugesti

yang lebih kuat dalam sebuah ungkapan. Secara

tidak langsung, ungkapan ini juga dapat dipahami

sebagai sebuah sindiran terhadap lawan

politiknya. Seperti diketahui, sejak 2008 Jepang

mengalami kemerosotan ekonomi yang

menimbulkan deflasi dan kenaikan nilai mata uang

Yen. Roda pemerintahan pada masa itu dikuasai

oleh partai yang menjadi oposisinya dalam

pemerintahannya sekarang. Dengan demikian,

penggunaan kata doronuma ini berkenaan dengan

kekuasaan dalam mengendalikan pandangan

masyarakat terhadap pemerintahan sebelumnya.

Koremade no gyousei no tatewari wo

haishi, fukkouchou ga wansutoppu de

youbou wo suiage, genbashugi wo

tsuranukimasu.

‘Kami akan menyingkirkan struktur

administrasi vertikal-segmentasi yang telah

diterapkan sampai saat ini dan Badan

Rekonstruksi akan mengambil semua

tindakan dengan ‘one stop’.

Dalam kalimat (74) terdapat kata yang

dicetak tebal, yakni suiage yang merupakan

metafora. Kata suiage berasal dari bentuk

suiageru secara harfiah berarti ‘menyedot;

mengisap’ (Nelson, 2006:244). Menyedot atau

mengisap adalah kata kerja transitif yang

membutuhkan objek. Objek untuk kata

menyedot atau mengisap adalah benda nyata

yang memiliki wujud, tetapi dalam kalimat di atas

nomina youbou ‘tuntutan’ adalah sesuatu yang

Page 6: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178

170

abstrak yang tidak dapat digambarkan wujudnya.

Jadi, nomina youbou dibandingkan dengan wujud

konkret yang dapat diisap atau disedot, seperti

asap atau debu. Bagian lain kalimat diekspresikan

secara harfiah. Dengan cara ini pengonsumsi teks

diminta untuk membayangkan bahwa

fukkouchou ‘Badan Rekonstruksi’ ini seperti

pompa pengisap yang mampu mengisap segala

tuntutan masyarakat. Hal ini memiliki fungsi

ideologi karena pengonsumsi teks akan langsung

bereaksi terhadap ide atau gagasan didirikannya

institusi baru oleh Shinzo Abe, yakni Badan

Rekonstruksi. Penggunaan metafora ini berkenaan

dengan kekuasaan dalam mengendalikan perilaku

masyarakat, ungkapan itu memberi gambaran

mental yang mudah dipahami masyarakat dan

kemungkinan besar akan diterima apa adanya

tanpa harus diperdebatkan lagi.

Minasan. Imakoso, gaku ni aseshite

hatarakeba kanarazu mukuware, mirai

ni yume to kibou wo daku koto ga dekiru,

mattou shakai wo kizuiteikou dewa

arimasenka.

‘Hadirin sekalian. Sekarang mari kita bangun

masyarakat yang mapan di mana jika

bekerja keras akan mendapat imbalan yang

layak dan bisa merangkul cita-cita dan

harapan untuk masa depan.’

Kalimat (19) di atas merupakan pernyataan

yang berbentuk metafora. Pertama, klausa

imakoso….mattou shakai wo kizuiteikou

‘sekarang….(mari) kita bangun masyarakat yang

mapan’. Frasa nominal mattou shakai ‘masyarakat

yang mapan’ bukanlah sesuatu yang konkret,

melainkan sesuatu yang abstrak yang digunakan

untuk mempermudah pemikiran terhadap variabel-

variabel yang menentukan masyarakat dianggap

mapan. Kedua, mirai ni yume to kibou wo daku

koto ga dekiru ‘bisa merangkul cita-cita dan

harapan untuk masa depan’. Frasa verba daku koto

ga dekiru ‘bisa merangkul’ terdiri atas verba daku

‘memeluk, mendekap, merangkul’ merupakan kata

kerja transitif yang membutuhkan objek langsung.

Objek biasanya adalah sesuatu yang konkret,

sedangkan objek pada kalimat tersebut merupakan

sebuah konsep abstrak yang tidak memiliki wujud,

yakni mirai ni yume to kibou ‘cita-cita dan harapan

untuk masa depan’. Contoh objek verba daku

adalah kodomo ‘anak’ atau ningyou ‘boneka’.

Ketiga, konsep bekerja keras digambarkan dengan

penggunaan frasa gaku ni aseshite hataraku.

Secara harfiah frasa tersebut berarti ‘bekerja dengan

keringat yang mengalir di dahi’. Oleh karena itu,

secara keseluruhan dimanfaatkan fitur metafora

dalam kalimat (19) di atas untuk mengonkretkan

konsep yang abstrak. Dengan cara ini bisa

diciptakan gambaran mental yang mudah dipahami

oleh pengonsumsi teks karena memiliki kaitan

dengan pengalaman pribadi mereka sehingga ada

kemungkinan besar gagasan-gasasan pada kalimat

(19) tersebut diterima tanpa perlu diperdebatkan lagi,

termasuk langkah-langkah yang akan dilakukan oleh

pemerintah untuk mecapai hal tersebut.

Ima wo kenmei ni ikiru hitobito no egao

wo torimodosu.

‘Mengembalikan kebahagiaan orang-orang

yang mati-matian untuk hidup saat ini.’

Unsur pembentuk kalimat (70) di atas

sebagian besar berbentuk metafora. Frasa ima

wo kenmei ni ikiru hitobito no egao wo

torimodosu dalam pengertian satu per satu kata,

yakni kata egao berarti ‘muka yang tersenyum/

berseri’ (Nelson, 2006:682) yang diikuti oleh

partikel wo yang menunjukkan objek langsung

suatu perbuatan; kata kenmei berarti

‘kesungguhan’ (Nelson, 2006:411) yang dibubuhi

oleh partikel ni yang diartikan menjadi ‘dengan’,

dan kata ikiru ‘hidup’ (Nelson, 2006:616), kata

ima berarti ‘sekarang/ saat ini’ (Nelson,

Page 7: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...

171

2006:127) yang diikuti oleh partikel wo yang

merupakan partikel kasus yang berkolerasi

dengan waktu yang ditandai dengan nomina yang

berwujud waktu. Nomina ima bervalensi dengan

verba ikiru, kemudian bervalensi dengan partikel

wo yang bermakna waktu yang dilalui, serta kata

hitobito berarti ‘setiap/ semua orang’ (Nelson,

2006:122). Verba majemuk torimodosu berarti

‘mengambil, mendapat, menangkap, memper-

oleh, menebus lagi’ (Nelson, 2006:732).

Frasa ima wo kenmei ni ikiru hitobito no

egao wo torimodosu ini merupakan gaya bahasa

metafora, yakni sebuah representasi yang tidak

benar secara harfiah. Frasa ini merepresentasikan

usaha untuk mengembalikan harapan untuk hidup

dan kebahagiaan orang-orang di daerah bencana

yang sangat memprihatinkan. Kata egao mengacu

pada ‘kebahagiaan’, konsep ‘kebahagiaan’

bukanlah hal yang konkret, melainkan konsep

abstrak yang salah satunya dapat diidentifikasi

melalui raut wajah tersenyum seseorang. Kata

egao ‘wajah tersenyum’ ini bukanlah seperti

ketika seseorang mengembalikan dompet orang

lain yang dia temukan di jalan, misalnya. Frasa

semacam ini sangat berguna karena dengan frasa

ini, sebuah gambaran yang kompleks bisa

disajikan secara sederhana. Secara tidak langsung

pula Shinzo Abe berusaha untuk membangun citra

dirinya sebagai pemimpin yang peka dan peduli

terhadap rakyat, terutama terhadap orang-orang

di daerah bencana. Hal ini berkaitan dengan

Daftar Pustaka

Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.

Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press.

Hayashi, T. dan Hayashi, R. 1997. “Ideology and Power of English in Japanese Text”. Abstract Fourth

International Conference on World Englishes: Language, Educational, and Power. Departement

of English Language and Literature, National University of Singapore for IAWA. Singapore.

19–21 December.

Mahsun, M.S. 2001. Metode Penelitian Bahasa (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali Pers.

Momiyama, Yosuke. 2010. Ninchi Gengogaku Nyuumon. Tokyo: Kenkyuusha.

Naoko, Chino. 1991. All About Particles. Tokyo: Kodansha International Ltd.

Daftar Kamus

Kenji, Matsura. 2005. Kamus Bahasa Jepang Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nelson, Andrew. 2006. Kamus Kanji Modern. Bekasi: PT Kesaint Blanc.

kekuasaan dalam mengendalikan pandangan

masyarakat terhadap pribadi Shinzo Abe.

4. Penutup

4.1 Simpulan

Berdasarkan analisis dan deskripsi data yang

telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa

penggunaan fitur metafora didayagunakan dalam

mengonstruksi kekuasaan dan ideologi Shinzo Abe

pada pidato politiknya. Praktik kekuasaan yang

tampak adalah kekuasaan dalam pelabelan identitas

Jepang serta kekuasaan dalam mengendalikan

pandangan dan perilaku masyarakat. Selain itu,

metafora juga dimanfaatkan oleh Shinzo Abe untuk

mengonkretkan konsep yang abstrak dengan cara

mendeskripsikannya dengan suatu hal yang lain agar

mudah dipahami oleh pengonsumsi teks.

4.2 Saran

Penelitian ini hanya mengkaji satu teks pidato

politik Shinzo Abe. Oleh karena itu, alangkah lebih

baiknya kalau dikaji pula naskah pidato politik

Shinzo Abe dengan tema pidato yang berbeda

yang memanfaatkan metafora sebagai fitur

kebahasaan dalam menyalurkan kekuasaan dan

ideologinya. Dengan demikian, akan ditemukan

kekhasan kajian intertekstual secara menyeluruh

tentang bahasa politik yang dipakai oleh Shinzo

Abe dalam membangun citra politik dengan

rakyatnya.

Page 8: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178

172

Lampiran 1

Tabel Klasifikasi Metafora

Data

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Page 9: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...

173

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

Page 10: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178

174

Lampiran 2

Teks Pidato

Page 11: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...

175

Page 12: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178

176

Page 13: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...

177

Page 14: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO …

Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178

178