14
TUGAS KELOMPOK TATA PEMERINTAHAN LOKAL UU NO. 5 TAHUN 1974 Disusun oleh: FAHRIANNUR (11520215) EVA ANZAYA NUVASARI (11520217) DEVI YUNITA (11520233) PETRUS A. YONI ASOGOME (11520246) FRANSISKUS ANCE (11520247) SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA STPMD”APMD” YOGYAKARTA 2013

Pelaksanaan kewenangan otonomi di daerah tingkat ii (uu no. 5 tahun 1974)

  • Upload
    ricky04

  • View
    3.122

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas mata kuliah tata pemerintahan lokal 2013

Citation preview

Page 1: Pelaksanaan kewenangan otonomi di daerah tingkat ii (uu no. 5 tahun 1974)

TUGAS KELOMPOK

TATA PEMERINTAHAN LOKALUU NO. 5 TAHUN 1974

Disusun oleh:FAHRIANNUR (11520215)EVA ANZAYA NUVASARI (11520217)DEVI YUNITA (11520233)PETRUS A. YONI ASOGOME (11520246)FRANSISKUS ANCE (11520247)

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA STPMD”APMD”YOGYAKARTA

2013

Page 2: Pelaksanaan kewenangan otonomi di daerah tingkat ii (uu no. 5 tahun 1974)

PELAKSANAAN KEWENANGAN OTONOMI DI DAERAH TINGKAT II (MENURUT UU NO 5 TAHUN 1974)

A. Latar belakanng masalah

Sejak inonesia merdeka sampai dengan pada masa orde baru yang mana samapai lahirnya

undang-undang no. 5 tahun 1974 telah terjadi beberapa kali perubahan undang-undang.

Dimana undang-undang ini adalah, UU 1 Tahun 1945, UU 22 Tahun 1948, UU 1 Tahun

1957, UU 18 Tahun 1965 dan sampai pada UU 5 Tahun 1974. Penetapan UU No. 18/1965

yang diharapkan dapat membawa perubahan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah untuk

mencapai tertib pemerintahan Daerah di Indonesia berdasarkan UUD 1945, dalam prakteknya

juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya

sebagaimana dianut UU No. 18/ 1965 dipandang dapat membahayakan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini tercemin dari TAP MPRS No.XXI/ MPRS/1966 yang

antaranya menghendaki peninjauan kembali UU No. 18/1965. Prinsip pemberian otonomi

yang seluas-luasnya bukan hanya tidak dilaksanakan, tetapi dipandang dapat menimbulkan

kecenderungan pemikiran yang membahayakan keutuhan negara kesatuan dan tidak serasi

dengan tujuan pemberian otonomi yang digariskan GBHN. Akhirnya melalui sidang IV yang

diadakan pada bulan juli 1966, MPRS yang keanggotaanya telah dibersihkan dari unsure G

30 S/PKI dan Orde Lama, menetapkan landasan operasional Orde Baru dalam bentuk

ketetapan MPRS No. IX sampai dengan XXXII/MPRS/1966 tentang pemberian otonomi

yang seluas-luasnya kepada daerah dan memerintahkan kepada Pemerintah dan DPRGR

untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya memberikan otonomi seluas-luasnya kepada

daerah-daerah, sesuai dengan jiwa dan isi UUD 45, tanpa mengurangi tanggung jawab

pemerintah pusat di bidang perencanaan, koordinasi dan pengawasan terhadapan daerah-

daerah.

Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan

nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk

mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde

Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi

massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak

prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di

bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program

pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas

administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok

Page 3: Pelaksanaan kewenangan otonomi di daerah tingkat ii (uu no. 5 tahun 1974)

Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan

peraturan perundangan yang berlaku. Nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No.

5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah

sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan

Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini

adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat. UU No. 5 Tahun

1974 meletakkann otonomi sebagai alat dari pada tujuan, artinya otonomi itu digunakan

pemerintan untuk mengontrol jalannya pemerintahan yang ada. Pada kenyataannya otonomi

daerah belum berjalan dengan sabagaimana mestinya. Pemerintah pusat masih saja ikut

campur dalam pelaksanaannya, dikarenakan daerah yang belum siap dan masih perlu bantuan

dari pusat. Konsep otonomi daerah yang dilaksanakan ketika masa orde baru tidak berjalan

efektif atau hanya sekedar konsep belaka. Nyatanya pembangunan pun hanya terjadi di pusat

(tepatnya di pulau Jawa). Kewenangan daerah untuk mengatur urusan daerahnya dibatasi oleh

pemerintah pusat dan mendapatkan kontrol yang ketat. Padahal untuk membangun daerah,

harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya di daerah tersebut. Akan tetapi yang terjadi,

semua kewenangan pembangunan dilakukan secara sentralisasi. Hal inilah yang

menyebabkan pembangunan di tiap daerah tidak merata. Bahkan oleh masyarakat di luar

pulau jawa, Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Negara Jawa dikarenakan semua

pembangunan hanya terpusat disana.

B. Rumusan Masalah :

1. Mengapa otonomi masih dijalankan dengan setengah hati ?

C. Konseptualisasi

1. Makna dari otonomi daerah

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan

namos yang berarti undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat

diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri

(Bayu Suryaninrat; 1985).

Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan

kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif

sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan

untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar

Page 4: Pelaksanaan kewenangan otonomi di daerah tingkat ii (uu no. 5 tahun 1974)

pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan daerah

setempat.

Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Praktek otonomi daerah tingkat II menurut UU No. 5 Tahun 1974

Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi

inilah, Undang-undang No. 5 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok

pemerintahan daerah dibentuk. UU No.5 tahu 1974 ini telah meletakan dasar-dasar

system hubungan pusat-daerah yang di rangkum dalam tiga prinpsip :

1. Desentralisasi yaitu penyerahan dari pusat atau daerah tingkat atasnya kepada

daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri yang mana di perjelas

pada pasal 7 (Daerah berhak, berwewenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus

rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang

berlaku.)

2. Dokonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada kepala

wilayah/ kepala instansi bertikal atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah.

Sebagai realisasinya asas ini dibentuknya wilayah administrasi.

3. Asas Tugas Pembantuan (medebewind) dimana tugas pembantuan ini adalah tugas

untuk turut serta dalam urusan pemerintahan yang di tugaskan kepada pemerintah

daerah oleh pemerintah pusat atau pemerintah tingkat atasnya denagan kewajiban

memepertanggung jawabkan kepada yang menugaskan, tugas ini terdapat pada

pasal 12 (ayat 1,2 dan 3)

1) Dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah dapat menugaskan kepada

Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan.

Page 5: Pelaksanaan kewenangan otonomi di daerah tingkat ii (uu no. 5 tahun 1974)

2) Dengan Peraturan Daerah, Pemerintah Daerah Tingkat I dapat menugaskan

kepada Pemerintah Daerah Tingkat II untuk melaksanakan urusan tugas

pembantuan.

3) Pemberian urusan tugas pembantuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2)

pasal ini, disertai dengan pembiayaannya.

Pemerintahan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dalam pasal 13 menyebutkan

bahwa: Pemerintahan Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (Pasal 13 ayat (1)). Kedudukan DPRD lemah. Kepala Daerah

Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Propinsi yang disebut

Gubernur, Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala

Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang disebut Bupati/Walikota.

Dalam rangka pelaksananan asas desentralisasi dibentuk dan disusun

Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Wilayah Administratif, selanjutnya disebut

Wilayah, adalah lingkungan kerja perangkat pemerintahan umum di daerah

(Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan/Kota Administratif.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak mengenal lembaga Badan

Pemerintah Harian (BPH) atau Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Tapi di lain

pihak menurut pasal 64 UU nomor 5 Tahun 1974, diadakan lembaga baru

ialah Badan Pertimbangan Daerah yang anggotanya terdiri dari pimpinan

DPRD dan unsur fraksi yang belum terwakilkan dalam pimpinan DPRD.

Kepala daerah

Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-

dikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang calon yang telah

dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Daerah

DPRD/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. Kemudian

hasil diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri

melalui Gubernur Kepala Daerah sedikit-dikitnya 2 orang untuk diangkat

salah seorang di antaranya. Dalam diri kepala daerah terdapat 2 fungsi, yaitu

fungsi sebagai Kepala Daerah Otonom yang memimpin penyelenggaraan dan

bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya Pemerintahan Daerah dan

fungsi sebagai Kepala Wilayah yang memimpin penyelengaraan urusan

pemerintahan umum yang menjadi tugas Pemerintahan Pusat di daerah.

Page 6: Pelaksanaan kewenangan otonomi di daerah tingkat ii (uu no. 5 tahun 1974)

D. Pembahasan

Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri

berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan

Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi

suatu pemerintahan daerah. Makna otonomi daerah adalah salah satu kerangka atau

rancangan yang di buat untuk dapat memberikan daerah menjadi mampu dalam

mengurus daerahnya sendiri sesuai kebutuhan daerahnya. Tujuan utama

dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah membebaskan

pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah.

Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai

kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama

pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan

makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang bersifat strategis.

Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses pemberdayaan

yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah akan terpacu,

sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah

akan semakin kuat.

Dengan melihat makna dan tujuan dari otonomi yang begitu ideal namun

dalam pelaksanaannya di daerah tingkat dua kurang dari harapan dimana masih

terdapat berbagai kendala yang mana menyebabkan ketergantungan daerah tingkat

dua terhadap pusat yang begitu berlebihan. Sehingga disini daerah tidak dapat

berkembang sesuai dengan asas desentralisasi yang nyata dan bertanggung jawab.

Disisi lain pemeritah pusat seolah-olah sang penolong yang baik untuk daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan didaerah tingkat dua. Dan adapun sisi lain dari

pemerintah pusat yang berpandangan bahwa daerah belum mampu mengurus

urusannya sendiri sehingga perlu dibantu dan juga system sentralisasi yang dibuat

pemerintaah orde baru yang berangkat dari pengalaman UU No. 18/1965 yang

dianggap gagal karena banyak terjadi gejolak-gejolah dari daerah yang pada

puncaknya yaitu G 30 S/PKI.

Sehinngga dalam pelaksanaan pemerintahan daerah tingkat dua di buat begitu

bergantung pada pusat. problem yang coba kelompok lihat yaitu dimana kedala

dalam proses pembagian pajak di daerah yang mana menyebakkan daerah begitu

Page 7: Pelaksanaan kewenangan otonomi di daerah tingkat ii (uu no. 5 tahun 1974)

bergantung pada pusat. Pernyataan yang muncul adalah : apan yang menyebabkan

rendahnya PAD sehingga terjadinya ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat ?

Setidaknya ada lima penyebab utama rendahnya PAD yang pada dasarnya

penyebab ketergatungan terhadap subsidi dari pusat :

1. Kurang berperannya perusahan daerah sebagai sumber pendapatan daerah.

2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan.

Semua pajak utama yang paling produktif di tarik oleh pusat, diantaranya pajak

penghasilan badan maupun perorangan (termasuk migas), pajak pertambahan

nilai, bea cukai, PBB, royalti (atas minyak, pertambangan, kehutanan) semua di

kelola secara administrative dan di tentukan tarifnya oleh pusat. Alas an

sentralisasi perpajakan yang sering di kemukakan adalah untuk mengurangi

disparitas antar daerah, efisiensi administrasi dan keragaman perpajakan.

3. Pajak daerah yang ada saat itu ada 50 jenis pajak, tetapi yang di anggap bersifat

ekonomis bila dilakukan pemungutan yaitu Dati I 90 persen pendapatan daerah

berasal dari dua sumber : pajak kendaraan bermotor dan balik nama kemudian

untuk Dati II 85 persen pendapat daerah berasl dari : pajak hotel dan restoran,

penerangan jalan, pertunjukan, reklame, pendaftaran usaha, dan izin

penjualan/pembuatan petasan kembang api.

4. Yang ini bersifat politis. Adanya kekwatiran apabila daerah mempunyai sumber

keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatism.

5. Kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah.

Dua bentuk pemberian subsidi yaitu subsidi dalam bentuk blok (block grants)

dimana terdiri dari Inpres dati I dan Dati II serta desa. Kemudian subsidi bentuk

spesifik (specific grants) yang meliputi Inpres pengembangan wilayah, sekolah

dasar, kesehatan, penghijauan dan reboisasi serta jalan dan jembatan. Perbedaanya

adalah daerah mempunyai keleluasaan dalam pengelolaan subsidi blok napum

subsidi spesifik ditentukan oleh pemerintah pusat dan daerah tidak mempunyai

keleluasaan dalam penggunaan dana tersebut. Jika dilihat dari repelita I dana

untuk subsidi spesifik lebih besar dari dana subsidi blok.

Page 8: Pelaksanaan kewenangan otonomi di daerah tingkat ii (uu no. 5 tahun 1974)

Perkembangan Inpres dan komposisi: Repelita I-V (Dalam Miliaran Rupiah)

Jenis Inpres Repe

lita I

Repeli

ta II

Repel

ita III

Repel

ita IV

Repelita

V

1. jumlah % JUmla

h

% jumlah % Jmlah % jumlah %

2. Dati I 48,3 48,4 325,1 26,5 988,5 22,1 1458,1 21,7 2119,5 18,3

3. Dati II 46,4 27,0 304,0 24,8 757,2 16,9 1101,5 16,4 2077,7 18,0

4. Desa 24,9 14,5 103,3 4,8 332,2 7,4 992,0 14,7 869,0 7,5

BLOCK GRANTS 154,4 90,0 732,4 59,9 2077,9 46,5 3551,6 52,8 5066,2 43,8

5. Program

Pengembang

an wilayah

0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 43,9 0,7 112,5 1,0

6. Sekolah

dasar

17,2 10,0 323,7 26,4 1596,8 35,7 1917,8 28,5 1664,3 14,4

7. Kesehatan 0,0 0,0 94,5 7,7 326,8 7,3 455,5 6,8 926,0 8,0

Penghijauan &

reboisasi

0,0 0,0 76,5 6,2 268,8 6,0 167,0 2,5 232,9 2,0

8. Jalan &

jembatan

0,0 0,0 0,0 0,0 200,7 4,5 590,4 8,8 3553,2 30,8

SPECIFIC

GRANTS17,2 10,0 494,7 40,3 2393,1 63,5 3174,6 47,2 6488,9 56,2

TOTAL INPRES 171,6 100 1227,1 100 4471,0 100 6726,2 100 11.555,1 100

Kesimpulan

UU No. 5 tahun 1974 muncul karna dianggapnya UU No. 18/1965 yang dianggap

gagal karena memberikan daerah otonomi yang luas sehingga terjadi pemberontakan di

daerah yang puncaknya pada G 30 S/PKI. Dan untuk mengatasi hal itu perlu dilakukan

sentalisasi dimana dengan system pembangunan yang nyata dan bertanggung jawab dengan

mengutamakan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi

di Indonesia. Adapun model pemerintahan yang di atur antara pusat dan daerah yaitu asas

Desetralisasi, Dekosentrasi Dan Tugas Pembantuan.

Bahwa manajemen pembangunan daerah yang selama orde baru menunjukan

kecendrungan yang “kurang serasi”. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup

pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari

pembangunan tersebut juga semakin besar. Ketergantungan fiskal di karenakan rendahnya

PAD dan dominasinya transfer dari pusat. Memang UU No. 5/1974 telah menggarisbawahi

Page 9: Pelaksanaan kewenangan otonomi di daerah tingkat ii (uu no. 5 tahun 1974)

titik berat otonomi pada daerah tingkat dua. Namun faktanya Dati II -lah yang mengalami

tingkat ketergantungan yang tinggi.

E. Daftar pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia

http://arifmunandar.yu.tl/otonomi-daerah-indonesia.xhtml

http://odho http://harrytyajaya.blogspot.com/2009/12/otonomi-daerah-dalam-era-orde-baru-

1965.htmlsuka.blogspot.com/2013/04/perbandingan-implementasi-otonomi.html

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi Daerah Dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Erlangga

STPMD”APMD” Perpustakaan. 2003. Materi Kuliah Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta.