Upload
vuongthien
View
244
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI LUAR KANTOR URUSAN
AGAMA (KUA)
(StudiPandanganPegawaiPencatatNikah (PPN) danMasyarakat
Kota Malang)
Tesis
Oleh
Muhazir
12780004
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014
ii
PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI LUAR KANTOR URUSAN
AGAMA (KUA)
(Studi Pandangan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan
Masyarakat Kota Malang)
TESIS
Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan
program Magister Al-Ahwal Al-Syakhsyiyyah Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang
Oleh:
Muhazir : 12780004
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Saifullah. SH. M.Hum Dr. Hj. Mufidah Ch, M.Ag
NIP : 196512052000031001 NIP : 196009101989032001
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014
iii
MOTTO
.
Artinya
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [QS. Ar-Rum [21 : 30]
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,
peneliti menyatakan bahwa Tesis dengan judul:
PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA
(KUA)
(Studi Pandangan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Masyarakat Kota
Malang)
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain, jika di kemudian hari terbukti bahwa tesis ini ada
kesamaan baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan maupun sebagian.
Maka, saya bersedia untuk diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan
dari siapapun.
Batu, 03 Juli 2014
Penulis,
Muhazir
NIM : 12780004
v
LEMBAR PERSETUJUAN
Nama : Muhazir
NIM : 12780004
Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Judul Tesis : PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI LUAR KANTOR
URUSAN AGAMA (KUA) : (Studi Pandangan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) dan Masyarakat Kota Malang)
Setelah diperiksa dan dilakukan perbaikan seperlunya, Tesis dengan judul
sebagaimana di atas disetujui untuk diajukan ke sidang Ujian Tesis.
Batu, 03 Juli 2014
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Saifullah. SH. M.Hum Dr. Hj. Mufidah Ch, M.Ag
NIP : 196512052000031001 NIP : 196009101989032001
Batu, 03 Juli 2014
Mengetahui,
Ketua Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Dr. H. Fadhil SJ, M.Ag
NIP. 196512311992031046
vi
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis dengan judul PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI LUAR KANTOR
URUSAN AGAMA (KUA) : (Studi Pandangan Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
dan Masyarakat Kota Malang), ini telah diuji dan dipertahankan di depan dewan
penguji pada tanggal 6 Juni 2014.
Dewan Penguji,
Ketua
Dr. H. Fadhil SJ, M.Ag
NIP. 196512311992031046
Penguji Utama
Dr. Zainul Mahmudi, MA
NIP. 197306031999031001
Penguji/Pembimbing I
Dr. H. Saifullah. SH. M.Hum
NIP : 196512052000031001
Penguji/Pembimbing II
Dr. Hj. Mufidah Ch, M.Ag
NIP : 196009101989032001
Mengetahui,
Direktur Pascasarjana UIN Malang
Prof. Dr. H. Muhaimin, MA
NIP. 195612111983031005
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Segala Puji dan dengan kejujuran tesis ini ananda persembahkan untuk:
Orang tuaku Ayahanda Tengku Sulaiman dan Ibundaku tercinta Yusniar yang
telah susah payah melahirkan dan membiayai pendidikan ananda di Kota Malang
yang jauh dari keluarga ananda tercinta dan yang senantiasa mendukung ananda
dalam segala hal untuk menyelesaikan kuliah ini. Sayangilah mereka ya Allah
sebagaimana mereka menyayangiku.
Terima Kasih juga kepada adikku Pina,Rizki, Parid dan kakak serta abang-
abangku kak Pida, kak Lia, bang Herman dan bang Khairul yang telah membantu
pendidikanku dan yang telah memotifasi ananda agar tetap semangat dalam
menyelesaikan pendidikanku.
Terima Kasih juga kepada KH. Baidlowi Mulich yang senantiasa selalu berdoa
untuk kesuksesan para santrinya dan juga terima kasih kepada sahabat sejati ku
senasib seperjuangan, yang telah menoreh kenangan suka duka selama belajar di
Kota Malang.
Terima Kasih juga kepada para dosen yang telah mengajarkan berbagai ilmu
untuk diriku, bil khusus Dr. H. Saifullah . M.Hum dan Dr. Hj. Mufidah Ch. M.Ag
yang tak pernah lelah membantu membimbing atas kelancaran tesisku..
viii
KATA PENGANTAR
Pertama dan yang paling utama tidak lupa saya mengucap puji syukur kehadirat
Allah SWT yang senantiasa melimpahkan kepada kita nikmat berupa kesehatan
yang tiada tara tandingannya ini. Sehinga penulis dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI LUAR KANTOR URUSAN
AGAMA (KUA) : (STUDI PANDANGAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH
(PPN) DAN MASYARAKAT KOTA MALANG) dengan baik. Shalawat dan
Salam tetap tercurah haturkan kepada revolusioner kita, suri tauladan kita yang
patut ditiru yakni Nabi Muhammad SAW, yang senantiasa kita nati-nantikan
syafaatnya besok di yaumil qiyamah. Beliau yang telah membimbing kita dari
zaman yang penuh dengan kedhaliman menuju zaman yang penuh cinta dan
penuh terang benderang yakni Islam.
Penyusunan Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan
sebagai wujud dari partisipasi penulis dalam mengembangkannya, serta
mengaktualisasikan ilmu yang telah di peroleh selama menimba ilmu di bangku
perkuliahan, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, dan juga masyarakat
pada umumnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis akan
menyampaikan ucapan terima kasih, khususnya kepada yang terhormat :
ix
1. Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, selaku pimpinan Universitas Islam Negeri
(UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
2. Prof. DR. H. Muhaimin, MA, selaku direktur pascasarjana UIN Malang
beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan kepercayaan,
kesempatan dan fasilitas selama penulis belajar dan menyelesaikan tugas
akhir ini.
3. Dr. H. Fadhil SJ. M.Ag, selaku Ketua Program Magister Al-Ahwal Al-
Syakhshiyyahh dan kepada Dr. Zainul Mahmudi selaku sekertaris Ketua
Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah.
4. Dr. H. Saifullah, M.Hum dan Dr. Hj. Mufidah Ch. M.Ag selaku
pembimbing yang tiada lelah memberikan masukan, kritik, saran dan
arahan dalam penulisan Tesis ini.
5. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para teman kuliah serta
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian ini
yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu.
Penulis sebagai manusia biasa yang takkan pernah luput dari salah dan dosa,
menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
dengan penuh kerendahan hati, penulis sangat mengharap kritik dan saran demi
kesempurnaan Tesis ini.
Batu, 03 Juli April 2014
Penulis,
Muhazir
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................i
HALAMAN MOTO ..........................................................................................ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................................iii
HALAMAN PERSETUJUAN .........................................................................iv
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................v
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................ix
ABSTRAK .........................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................1
A. Latar belakang......................................................................................1
B. Batasan Masalah ..................................................................................11
C. Rumusan Masalah ................................................................................11
D. Tujuan Penelitian .................................................................................11
E. Manfaat Penelitian................................................................................12
F. Definisi Operasional .............................................................................12
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..........................................................................14
A. Penelitian Terdahulu ...........................................................................14
B. Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam ...............................................21
1. Ketentuan Hukum Pernikahan .......................................................25
C. Akad Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam .....................................28
1. Pengertian Akad Nikah ..................................................................30
2. Syarat-Syarat Akad Nikah .............................................................33
3. Akad Nikah Dalam Perspektif UU Perkawinan dan KHI ..............37
4. Pencatatan Nikah Di KUA Dan Di Luar KUA ..............................38
D. Sejarah Pelembagaan Intitusi Islam Di Indonesia ..............................41
xi
1. Pengaruh Teori Receptie In Complexu dalam Sistem Hukum
Indonesia ........................................................................................46
2. Pelembagaan KUA Dalam Lintasan Sejarah Hingga Sekarang ...49
E. Eksistensi Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Dalam Kajian Historis ....55
1. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Sebelum dan Sesudah
Kemerdekaan (1257 H-1946 H) ..................................................55
2. Fungsi Pegawai Pencatat Nikah (PPN) .......................................58
3. Peran Pembantu Pegawai Pencatat Nikah ...................................62
4. Aksistensi Kantor Urusan Agama (KUA) Dalam Perspektif
Sosiologi Hukum .........................................................................63
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................68
A. Paradigma Penelitian ..........................................................................68
B. Lokasi Penelitian ................................................................................70
C. Jenis Penelitian ...................................................................................70
D. Pendekatan Penelitian .........................................................................71
E. Sumber Data .......................................................................................71
F. Teknik Pengumpulan Data .................................................................73
G. Teknik Analisis Data ..........................................................................74
H. Pengecekan Keabsahan Data ..............................................................75
BAB IV PAPARAN DAN TEMUAN DATA ..................................................77
A. Gambaran Umum Lokus Penelitian ...................................................77
B. Hasil Penelitian ...................................................................................83
1. Pandangan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kota Malang
Tentang Pelaksanaan Akad Nikah Di Luar Kantor Urusan
Agama (KUA) ........................................................................83
2. Latar Belakang Masyarakat Kota Malang Lebih Memilih
Malaksanakan Akad Nikah Di Luar Kantor Urusan Agama
(KUA) .....................................................................................98
xii
BAB V PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI LUAR KANTOR URUSAN
AGAMA (KUA) ..................................................................................111
A. Pandangan PPN Kota Malang Tentang Pelaksanaan Akad Nikah
Di Luar Kantor Urusan Agama (KUA) .........................................111
B. Pandangan Masyarakat Kota Malang Tentang Pelaksanaan Akad
Nikah Di Luar Kantor Urusan Agama (KUA). ..............................122
BAB VI KESIMPULAN
A. Simpulan .............................................................................................130
B. Saran ...................................................................................................131
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
ABSTRAK
Muhazir, 12780004, PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI LUAR KANTOR
URUSAN AGAMA (KUA) : (Studi Pandangan Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) dan Masyarakat Kota Malang), Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsyiyyah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,
Dr. H. Saifullah, M.Hum. Dr. Hj. Mufidah Ch. M.Ag.
Kata Kunci: Akad Nikah, Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Mayoritas masyarakat Kota Malang lebih memilih pelaksanaan akad nikah
di luar KUA dari pada di KUA. Hal ini dapat dilihat dari data yang menunjukan
bahwa akad nikah lebih banyak dilakukan di luar KUA. Pada tahun 2012 jumlah
pelaksanaan akad nikah di luar KUA pada seluruh KUA Kota Malang mencapai
5736 dari jumlah pernikahan 6384 berarti jumlah pernikahan yang dilakukan di
KUA sebanyak 648 kali. Pada tahun 2013 jumlah pernikahan 5750 yang menikah
di KUA sebanyak 642 dan diluar KUA seganyak 3952.
Dalam penelitian ini ada dua hal penting yang diteliti yaitu mengenai faktor
yang menyebabkan masyarakat lebih memilih akad nikah di luar KUA, padahal
dalam PMA No 1 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Pasal 21 ayat 1
menjelaskan bahwa akad nikah di lakukan di KUA, meskipun ada alternativ lain
yaitu boleh akad nikah dilaksanakan di luar KUA jika ada persetujuan dari PPN
dan selanjutnya hal yang penting dalam penelitian ini yaitu menggali pendapat
PPN dan Masyarakat terkait praktek pelaksanaan akad nikah di luar KUA.
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan lebih mengacu pada
jenis penelitian lapangan (field reseach). Hal ini dikarenakan bahwa penelitian ini
lebih menekankan pada data lapangan sebagai objek yang diteliti, sesuai dengan
penelitian yang akan diteliti yaitu terkait tentang praktek akad nikah yang
dilakukan di luar KUA. dalam penelitian ini, peneliti mendiskripsikan tentang
obyek yang diteliti dengan mencatat semua hal yang terkait dengan obyek yang
akan diteliti. Jenis pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan cara
wawancara dan observasi yang selanjutkan akan di klasifikasikan dan diteliti.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa : (1) Mayoritas warga lebih
memilih melangsungkan akad nikah di luar KUA. Hal ini dipengaruhi oleh faktor
budaya, faktor kemudahan pelaksanaannya serta menghindari prasangka buruk
dari masyarakat. Sehingga banyak warga lebih memilih melaksanakan akad nikah
di luar KUA dari pada di KUA. (2) PMA No 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan
nikah disatu sisi mengatur tentang pelaksanaan akad nikah di KUA. Namun,
ketentuan ini dirasakan oleh PPN masih ada yang kurang yaitu terkait dengan
aturan tentang pelaksanaan akad nikah di luar KUA. dalam peraturan ini juga
tidak menjelaskan terkait tentang biaya oprasional di luar KUA dan di luar jam
kerja, sehingga PPN masih merasa khawatir jika melayani di luar KUA dan jam
kerja. Permasalahan ini juga berkaitan dengan tidak adanya kejelasan dari
pemerintah terkait tentang batasan gratifikasi, karena pada praktiknya pemberian
sodaqoh dianggap sebagai bentuk gratifikasi oleh sebagian penegak hukum
sedangkah hal ini menurut warga adalah merupakan sebuah tradisi dan dalam
islam juga dianjurkan untuk bershadaqah.
ABSTRACT
Muhazir, 12780004, MARRIAGE CEREMONY OUT OF RELIGIOUS
AFFAIRS OFFICE: (Study of Marry Registrar Employee view and Society of
Malang) ", Department of Al-Al-Syakhsyiyyah ahwal Graduate State Islamic
University Maulana Malik Ibrahim of Malang, Dr. H. Saifullah, M.Hum. Dr. Hj.
Mufidah Ch. M.Ag.
Keywords: merriage ceremony, Marry Registrar Employees (VAT).
The majority of people of Malang prefer to choose the merriage ceremony
implementation outside of KUA than in KUA itself. It can be seen from the data
that show that the marriage ceremony is mostly done outside the KUA. In 2012
the number of merriage ceremony implementation is outside of KUA in the entire
KUA of Malang reach 5736 of 6384 marriages mean the number of merriages
conducted in KUA as much as 648 times. In 2013 the number of marriages are
5750 which married in KUAas many as 642 and outside of KUA as many as
3952.
In this study, there are two important things researched are about factors
that cause people prefer marriage ceremony outside of KUA, whereas in PMA
No. 1 Year 2007 on Registration of Marriage Article 21 paragraph 1 explains that
the marriage ceremony is done at KUA, although there are other alternative
namely the marriage ceremony may be performed outside of KUA if there is
consent from the VAT and then the important thing in this study is to explore the
public and VAT opinion related to the implementation practices marriage
ceremony outside of KUA.
The reseach type of this research study that used more referring to the field
research type (field research). This is caused that research is more emphasis on
field data as the object of study, according to research that will be studied is
related about the marriage ceremony practice conducted outside of KUA. In this
study, the researcher describes about the object studied by recording all things
related to the object to be studied. The type of data collection used is interviewing
and observing then it will be classified and investigated.
The results of this study indicate that: (1) The majority of people prefer to
hold the merriage ceremony outside of KUA. It is influenced by cultural factors,
factors ease of implementation as well as to avoid prejudices of society. So many
people prefer to conduct the merriage ceremony outside of KUA than in KUA. (2)
PMA No. 11 Year 2007 on Registration of marriage on one hand, set about
merriage ceremony implementation in KUA. However, this provision is perceived
by the VAT that is still none the less related to the marriage ceremony
implementation outside of KUA. in this rule also does not explain the associated
operational costs outside of KUA and outside working time, so the VAT still feel
worried if serving outside of KUA and working time. This problem is also related
to the lack of clarity from government related to the limit of gratification, because
of the practice giving alms is considered as a gratification form by some law
enforcement while according to the people this is a tradition and in Islam also
recommended for giving alms.
i
PMA
ii
PPNPPN
fieldresearch
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kantor urusan agama (KUA) merupakan salah satu instansi yang
mengawasi proses berlangsungnya nikah. Kewenangan ini diberikan oleh
pemerintah untuk mempermudah pelaksanaan nikah bagi warga Negara Indonesia
serta menertibkan administrasi kependudukan yang pada intinya bertujuan untuk
menciptakan kondisi yang tertib dan teratur. Tugas KUA bukan saja sebagai
pencatat akta nikah, tetapi memiliki tanggungjawab dalam menerima
pemberitahuan tentang talak dan rujuk. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
UU No 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Dalam
ketentuan ini juga dijelaskan perihal yang berhak mengawasi semua proses nikah
adalah pegawai yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
Kehadiran KUA merupakan salah satu upaya merealisasikan penerapan
sistem keluarga berbasis islam, sehingga KUA memiliki peran yang sangat
penting dalam penegakan hukum islam di Indonesia, urgensitas tersebut berkaitan
dengan terlaksananya prinsip-psrinsip islam dalam sistem keluarga. Selain
dibutuhkan kesadaran masyarakat sendiri, kehadirian institusi islam juga turut
berpartisipasi dalam pengawasan keseimbangan antara hukum islam, Negara dan
budaya hukum yang berkembang di masyarakat. Artinya, KUA memiliki
wewenang khusus dalam mengatur bagaimana pernikahan yang dilakukan oleh
masyarakat muslim Indonesia sesuai dengan asas-asas hukum islam dan di akui
Negara.
2
2
Sebelum terbentuknya instansi pencatatan nikah, pada awalnya masyarakat
tidak mengenal istilah pencatatan nikah. Proses pernikahan dilaksanakan
berdasarkan adat masing-masing, seperti perkawinan jujur, perkawinan semanda,
perkawinan bebas, perkawinan campuran, perkawinan lari1 dan ada dibeberapa
wilayah seperti di Aceh yang melangsungkan pernikahan berdasarkan asas hukum
Islam, karena bagi sebagian penganut Islam tidak bisa melepaskan konsep agama
dalam kehidupan mereka.2
Dalam hukum Islam tidak menegenal pencatatan nikah, karena melihat
kemaslahatan yang begitu besar. Maka, pencatatan nikah dirasakan penting demi
melindungi hak-hak istri dan anak. Beberapa Negara-negara Islam seperti
Yordania,3 Mesir
4 dan Negara Islam lainnya memberlakukan sistem pencatatan
nikah dengan mengadopsi beberapa sistem hukum di Eropa.5
1 C. Dewi Wulandari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, cet 2 (Bandung : PT. Rafika
Aditama, 2012),51 2 Mohammad Daud, Hukum Islam, Cet 18 (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 225. Baca
juga Qodri Azizy, Hukum Nasional Eklektisisme Hukum Islam Dan Hukum Umum, (Jakarta :
Teraju, 2004),217-219 3 Undang-undang di Yordania Pasal 17 ayat (a dan b) UU No. 61 Tahun 1976 mengharuskan
adanya pencatatan perkawinan, dan bagi yang melanggar, baik bagi mempelai maupun pegawai
pencatat nikah, akan mendapatkan hukuman. Pasal 17 ayat (a) menyatakan : "Mempelai laki-laki
harus memohon kepada hakim atau wakilnya untuk mengadakan akad nikah, (b) Akad nikah harus
dilakukan Pegawai Nikah yang bertanggung jawab kepada hakim sesuai dengan catatan
(dokumen) resmi. Hakim mungkin mengambil alih tugas ini untuk kasuskasus tertentu dan dengan
izin ketua Pengadilan. Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi:
Academy of Law and Religion, 1987),79-80. 4 Undang-undang di Mesir Egyptian Code of Organization and Procedure for Syari'a Courts of
1897 adalah UU Mesir tentang Organisasi dan Prosedur Berperkara di Pengadilan tahun 1897,
dimana ketentuan tentang pencatatan perkawinan pertama kali diatur dalam sebuah perundan-
gundangan. Ditegaskan dalam UU ini, bahwa pemberitahuan satu perkawinan atau perceraian
harus dibuktikan dengan catatan (akta). Hanya saja, pembuktian ini boleh (cukup) dengan oral
yang diketahui secara umum oleh para pihak yang berperkara. Ketentuan ini kemudian
diperluas dalam perundang-undangan tahun 1909-1910, dan diubah tahun 1913, dimana pada pasal
101 disebutkan, perdebatan seputar perkawinan dan perceraian yang diadukan salah satu pasangan
atau orang ketiga tidak akan ditanggapi kecuali ada bukti yang meyakinkan kebenarannya.
Menurut peraturan tahun 1911, pembuktian harus dengan catatan resmi pemerintah (official
document) atau tulisan tangan dan tanda tangan dari seorang yang sudah meninggal. Dalam
peraturan tahun 1931 lebih dipertegas lagi dengan kata-kata harus ada bukti resmi (akta) dari
pemerintah (official certificate) 5 N. J. Coulson, History Of Islamic Law, (Edinburgh : Edinburgh University Press,1964),150
3
3
Melihat urgensitasnya apabila tidak adanya pencatatan nikah. Maka, akan
mempersulit pemerintah dan masyarakat baik dari segi tertib administrasi
kependudukan dan perlindungan hukum bagi warga Negara khususnya yang
menjadi objek dari pernikahan tersebut. Untuk mempermudah proses pencatatan
nikah diperlukan suatu instansi yang bertanggungjawab terhadap proses
pencatatan nikah tersebut serta mengawasi pelaksanaan nikah. Instansi tersebut
bertugas berdasarkan instruksi Menteri Agama dan berada di bawah pengawasan
Kantor Departemen Agama.
Instansi yang berwenang sebagai pencatat nikah disebut KUA yang di
lengkapi oleh PPN (Pejabat Pencatat Nikah) dan dibantu oleh penghulu dan
pembantu PPN. Istilah yang berkembang di masyarakat yaitu pak penghulu6 dan
pak mudin.7 Namun, perlu digaris bawahi bahwa tugas PPN di sini yaitu hanya
sebagai pencatat nikah bukan sebagai orang yang menikahkan atau mengakadkan
nikah.
Seiring dengan berkembangnya kehidupan sosial masyarakat pada mulanya
tidak mengenal istilah pencatatan nikah hingga hadirnya instansi yang bertugas
mencatat nikah. Kondisi ini tidak terlepas dari problem-problem yang terjadi,
sehingga dirasakan bahwa semakin lama proses pernikahan semakin banyak
prosedur yang harus dilakukan oleh masyarakat yang ingin menikah.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Abu Rokhmad dosen Hukum Islam IAIN
Walisongo Semarang bahwa harus dilakukan perombakan sistem administrasi
6 Penghulu merupakan sebutan bagi seorang pemimpin di kawasan Melayu. Penghulu dalam
Bahasa Minang, sama dengan panghulu, dimana secara maknanya orang yang disebut dengan
penghulu berkedudukan setara dengan raja atau sama juga dengan datuk. Setelah masuknya
pengaruh Islam, sebutan penghulu juga digunakan untuk seseorang yang bertugas atau berwenang
dalam legalitas suatu pernikahan dalam agama Islam atau Penghulu Nikah sebutan lainnya Tuan
Kadhi. 7 Mudin merupakan orang yang paham agama yang berasal dari kata al-din.
http://id.wikipedia.org/wiki/Melayuhttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Minanghttp://id.wikipedia.org/wiki/Rajahttp://id.wikipedia.org/wiki/Datukhttp://id.wikipedia.org/wiki/Islam
4
4
dalam proses pernikahan dan penghulu tidak perlu menghadiri acara nikah
tersebut, cukup para mempelai mendaftarkan diri di KUA setelah menikah,
sehingga tidak terjadi kerumitan dalam proses pernikahan.8 Padahal akad nikah
adalah salah satu sarana untuk menghalalkan hubungan suami dan istri. Nikah9
adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang
amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga
dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum
dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan
pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Secara umum, perkawinan merupakan instrumen di mana laki-laki dan
wanita bergabung dalam sebuah ikatan yang sah, dengan tujuan untuk mendirikan
dan memelihara sebuah keluarga. Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum
dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT
sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk berkembang biak dan melestarikan
hidupnya. Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap
melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan pernikahannya
itu sendiri. Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang
8 http://.suaramerdeka.com. Diakses tanggal 23-01-2014
9 Istilah perkawinan menurut Islam disebut nikaha atau zawaj. Keduan istilah ini dilihat dari arti
katanya dalam bahasa Indonesia ada perbedaan, sebab nikah berarti seks antar suami istri,
sedangkan zawaj berarti kesepakatan antara seorang laki-laki dan perempuan yang mengikatkan
diri dalam hubungan suami istri untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadah kepada
Allah SWT. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara keduan belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridloan kedua belah
pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
dan ketentraman dengan cara-cara yang diridloi Allah SWT. Baca, Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2007), 35-37 dan Soemiyanti, Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1974) 8
http://.suaramerdeka.com/
5
5
hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara
bebas tidak beraturan. Oleh karena itulah, Allah SWT mengadakan hukum yang
sesuai dengan kodrat manusia dalam ikatan pernikahan.10
Sebagaimana firman
Allah dalam QS. Ar-Ruum [ 30 : 21] :
Artinya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.11
Corak masyarakat Islam telah membuktikan bahwa dengan terbentuknya
masyarakat Islam dapat membentuk institusi-institusi yang mendiskripsikan
keIslaman,12
dengan melihat mayoritas umat Islam di Indonesia. Maka, untuk
menciptakan ketertiban pelaksanaan nikah, dibentuklah instansi yang dapat
mewadahi prosedur pernikahan yang berlandaskan hukum Islam. Sehingga
harapannya dapat menertibkan sistem administrasi Negara dan dapat menertibkan
mekanisme pernikahan bagi masyarakat Indonesia.
Perwujudan penertiban mekanisme pernikahan tersebut, oleh pemerintah
melalui Kementerian Agama dibentuklah suatu instansi yang disebut dengan
KUA, yang berfungsi untuk melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen
10
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003) 20 11
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1995),644 12
Abdurrahman Wahid, dkk, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
1994), 1-15
6
6
Agama kabupaten./kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah
kecamatan13
. Dalam UU No 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak
dan Rujuk, tugas PPN hanya mencakup pencatatan nikah, talak dan rujuk saja.
Setelah keluarnya PMA tugas PPN mencakup juga pencatatan cerai talak, cerai
gugat dan melakukan bimbingan perkawinan, sebagaimana yang tertera dalam
Pasal 2 Ayat (1) dan (3) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007
Tentang Pencatatan Nikah yang berbunyi :
Ayat (1) Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN
adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan,
pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk,
pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan
bimbingan perkawinan
Ayat (3) Kepala KUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan
akta nikah) dan/atau kutipan akta rujuk.
Dari ketentuan pasal tersebut. Maka, tugas PPN mencakup juga sebagai
pengawas terhadap peristiwa rujuk, talak, cerai gugat dan pembimbingan
perkawinan (kuscatin). Dalam pandangan masyarakat PPN juga dikenal dengan
nama penghulu (pak penghulu) memiliki tugas yang lebih luas lagi tidak hanya
sebagai pencatat atau pelaksana akad nikah saja melainkan sebagai imam mesjid
dan khatib.14
Bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam pencatatan perkawinannya
dilakukan oleh penjabat KUA (PPN) atas dasar PMA Nomor 11 Tahun 2007
Tentang Pencatatan Nikah (LN, Tahun 2007 No 5) yang dinyatakan berlaku
diseluruh Indonesia. Sehingga jika pencatatan dilakukan oleh selain Penjabat
KUA tidak memiliki kekuatan hukum dan dimata Negara dianggap tidak sah.
13
Baca Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah 14
Jaenudin, dkk. Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung : Bani Quraisy, 2004),34-35
7
7
Namun, dalam perspektif hukum Islam pernikahan dianggap sah jika memenuhi
syarat dan rukunnya. Pernikahan yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam
diawasi oleh PPN yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk
olehnya.15
Dalam UU No 1 Tahun 1974 tidak banyak dijumpai pasal-pasal yang
berkenaan dengan pencatatan perkawinan yang mungkin dapat digunakan dalam
pelaksanaan proses pencatatan nikah oleh PPN, sehingga dibutuhkan instrument
lain untuk menjalankan mekanisme proses pernikahan yang secara umum telah
dijelaskan dalam UU Perkawinan. Hadirnya PPN merupakan pelengkap
pelaksanaan dari misi dan visi UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Adapun pegawai dan pembantu pencatatan peristiwa pernikahan tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Kepala KUA16 2. Wakil Kepala KUA yaitu Penghulu atau Pembantu PPN17
Dalam PMA tidak dijelaskan secara jelas dan pasti tentang biaya yang
dikeluarkan untuk mengurus nikah di KUA. Tidak hanya itu saja, mekanisme
pembiayaan juga belum diatur secara konkrit. Sehingga menimbulkan banyak
tanda tanya apakah pemberian kepada PPN itu termasuk kedalam gratifikasi atau
pemberian sedekah saja. Jika pernikahan dilakukan di KUA hanya ditetapkan Rp.
30.000,00. Bagaimana jika akad nikah dilakukan di luar KUA hubungannya
dengan pemberian sejumlah uang kepada PPN.
Perjalanan KUA dalam melaksanakan tugasnya tidak terlepas dari problem
yang saat ini menjadi perhatian baik itu dari kalangan masyarakat, pakar hukum
15
Jaenudin, dkk. Peradilan Agama di Indonesia,.38 16
PMA Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi : PPN dijabat oleh Kepala KUA. 17
PMA Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi : PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dalam
melaksanakan tugasnya dapat diwakili oleh Penghulu atau Pembantu PPN.
8
8
dan pemuka agama. Problem itu menyangkut tentang masalah pemberian biaya
akad nikah kepada PPN yang dilaksanakan di luar KUA, hal ini dianggap
gratifikasi oleh sebagian para praktisi hukum. Karena memang jika dilihat dari
aspek hukum hal ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat, dalam PMA hanya
mengatur tentang pelaksanaan akad nikah saja tidak menjelaskan tentang biaya
akad nikah diluar KUA.
Pada Akhir-akhir ini masyarakat dan para pejabat KUA dikejutkan dengan
diberitakannya gratifikasi yang dilakukan oleh penghulu di Kediri. Kejaksaan
Negeri Kota Kediri, Jawa Timur, menahan seorang Kepala Kantor Urusan Agama
(KKUA) dalam kasus dugaan korupsi biaya pencatatan nikah. Selain menetapkan
status tersangka, kejaksaan juga melakukan penahanan terhadap yang
bersangkutan. dugaan keterlibatan KKUA Tersebut berupa penerimaan uang
sebesar Rp 50.000 dari setiap pernikahan di luar KUA, serta Rp 10.000 tambahan
karena jabatannya sebagai Kepala KUA. Akibatnya dari kasus ini berdampak
kepada KUA lainnya. Dampak tersebut berupa demonstrasi struktural yaitu
dengan tidak melayani nikah di luar jam kerja dan di luar KUA. Kondisi seperti
ini berimbas kepada masyarakat yang kebanyakan melaksanakan akad nikah di
rumah masing-masing atau di mesjid.18
Baru-baru ini di Tulungagung diberitakan bahwa PPN di wilayah tersebut
tidak mau melaksanakan pencatatan akad nikah di luar jam kerja (07.00 - 15.00)
termasuk pada hari Sabtu dan Minggu, para penghulu juga mengusulkan bahwa
biaya pelaksanaan akad nikah untuk warga kaya dikenai Rp. 1000.000,00, warga
sederhana Rp. 300.000,00 sedangkan warga miskin digratiskan.19
18
Baca Kediri, Kompas. Com. Jumat, 1 November 2013 19
Baca Koran Jawa Post hal 12 terbitan Selasa 31 Desember 2013,
9
9
Beberapa ketentuan dalam PMA terkait masalah biaya tidak dijelaskan
secara terperinci. Namun, setiap orang yang ingin menikah boleh dilakukan di
KUA atau diluar KUA atas persetujuan Kepala KUA. Ketentuan ini sesuai dengan
apa yang telah ditentukan dalam Pasal 21 Ayat (1) dan (2) PMA Nomor 11 Tahun
2007 Tentang Pencatatan Nikah bahwa :
1. Akad nikah dilaksanakan di KUA 2. Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad
nikah dapat dilaksanakan di luar KUA.
Secara normatif ketentuan yang berlaku bahwa akad nikah dilaksanakan di
KUA. Namun, Tradisi yang berkembang pada sebagian masyarakat jika menikah
di KUA merupakan hal yang kurang baik, konotasi seperti ini sering terjadi.
Bahkan kebanyakan masyarakat lebih memilih menikah di rumah masing-masing
dari pada di KUA. Menurut Bpk. Ahmad Khalik20
selaku penghulu Desa
Karangbesuki Malang menjelaskannya bahwa yang menjadi masalah besar yaitu
karena tidak ada payung hukum tentang pemberian uang dari warga dan
kebanyakan dari warga ingin akad nikah dilaksanakan di rumahnya masing-
masing, keinginan juga setelah nikah dapat memperoleh langsung buku nikah.
Sebenarnya kembali kepada fungsi KUA yang bertugas sebagai pencatat
nikah, konsep pencatatan nikah jika dilihat dari hukum Islam secara teks (nash)
sangat bertolak belakang dengan konsep tersebut. Dalam Islam sendiri yang
dikenal hanya kompilasi sahnya pelaksanaan nikah baik dari segi syarat dan rukun
nikah. Kehadiran peraturan tentang pencatatan nikah merupakan tugas PPN telah
menghadirkan konsep-konsep baru yang secara tekstualis berbenturan dengan
hukum Islam. Namun, pada kajian aspek kemaslahatan pencatatan nikah
20
Wawancara dilakukan di Kantor TPQ PP Anwarul Huda, Malang, pada jam 17.00 wib tanggal
23/12/2013
10
10
manghadirkan dampak yang sangat krusial dan dirasakan sangat urgen untuk
diterapkan.
Kehadiran instansi-instansi keIslaman membawa dampak yang besar dalam
mereformasi konsep hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia, dampak
yang signifikan sangat berpengaruh terhadap tatanan budaya Islam yang
berkembang di Indonesia, sehingga peraturan yang dibentuk seringkali
bertentangan dengan konsep yang telah lama berkembang dan dijalankan oleh
masyarakat, akhir dari perbenturan hukum dan budaya mengakibatkan hukum
tidak berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.21
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa faktor budaya yang berlaku dapat
mengakibatkan hukum tidak dapat di jalankan dengan baik. Menurutnya
kebudayaan, yakni hasil karya, rasa dan cipta yang didasarkan pada karsa manusia
dalam pergaulan hidup. Kebudayaan yang telah menjadi kebiasaan bagi seseorang
sulit untuk dilepas jika tidak ada unsur pengubah kebudayaan tersebut. 22
Budaya
masyarakat dalam pelaksanaan akad nikah biasanya dilakukan di rumah masing-
masing, gedung dan di mesjid.23
Konteks ini berbeda dangan ketentuan Pasal 21
ayat (1) dan (2) PMA Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah yang
mengharuskan akad nikah di KUA.
Banyak permasalahan yang akan ditemui dalam pelaksanaan tugas PPN dan
pembantu PPN sebagai penjabat KUA. Namun, hal yang paling urgen dan
menarik sekali menurut peneliti yaitu tentang pelaksanaan akad nikah di KUA
sebagaimana yang telah diatur secara normatif dalam PMA Nomor 11 Tahun 2007
Tentang Pencatatan Nikah, padahal kebanyakan masyarakat kita lebih memilih
21
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet ke-3(Jakarta : kencana, 2006),8-22 22
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiolofi Hukum, ( Jakarta : Rajawali Press, 2011),203-206 23
http://riau.kemenag.go.id. Diakses Tanggal 22-1-2014
http://riau.kemenag.go.id/
11
11
melaksanakan akad nikah di rumah atau di mesjid. Permasalahan ini juga
mengarah kepada kebutuhan masyarakat dan kualitas kinerja KUA jika
masyarakat ingin menikah pada hari libur atau pada malam hari.
B. Batasan Masalah
Agar kajian dalam penelitian ini tidak melebar dan fokus pada suatu
permasalahan serta dapat dipahami secara baik dan benar sebagaimana yang
diharapkan. Maka, peneliti membatasi penelitian ini pada polemik antara praktek
pelaksanaan akad nikah di luar KUA perspektif PPN dan Masyarakat Kota
Malang.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latarbelakang di atas dan untuk memperjelas arah
penelitian ini, maka peneliti membuat suatu rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan PPN Kota Malang tentang pelaksanaan akad nikah
di luar Kantor Urusan Agama (KUA) ?
2. Apa yang melatarbelakangi masyarakat Kota Malang lebih memilih
melaksanakan akad nikah di luar Kantor Urusan Agama (KUA) ?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yang telah
dipaparkan. Hal ini dilakukan dengan mendeskripsikan, menganalisa problem
yang terjadi secara jelas bagaimana praktek akad nikah di luar KUA dan
bagaimana budaya masyarakat kita terkait dengan prosesi pelaksanaan akad nikah
yang menyebabkan terjadinya pembiayaan yang dianggap gratifikasi. Tidak hanya
ini saja, dalam penelitian ini peneliti juga bertujuan untuk memecahkan problem
yang terjadi dengan beberapa solusi yang didasari dari hasil penelitian ini.
12
12
Sehingga dengan penelitian ini dapat diketahui problem yang terjadi serta dapat
memberikan solusi bagi pemerintah dalam melihat kasus yang terjadi di KUA.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah
khazanah keilmuan dalam kajian sosiologi hukum Islam, khususnya di dalam
pelaksanaan akad nikah yang dilakukan di KUA dan di luar KUA. Dengan
penelitian ini juga dapat menghasilkan tulisan yang membahas tentang lembaga
dalam sistem pranata hukum.
2. Manfaat Praksis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi
para peneliti yang akan meneliti tentang pelaksanaan akad nikah di masyarakat
dalam kajian aspek hukum dan budaya serta dapat memberi wawasan kepada
orang yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan akad nikah. Penelitian ini
juga dapat memperkaya khazanah dan wawasan ilmu pengetahuan dunia Islam
yang bersinggungan langsung KUA serta prosedur pelaksanaan akad nikah.
Mamfaat praktis lainnya yaitu dapat menjadi bahan pertimbangan bagi KUA
dalam meningkatkan kualitas kerja di masyarakat.
F. Definisi Operasional
PPN : Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah
pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan
dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak,
cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan.24
24
Lihat PMA No 11 Tahun 2007 Tentang Pencatat Nikah Pasal 2 Ayat (1)
13
13
PMA : Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2007 Tentang Pencatatan Nikah. (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 5).
G. Sistematika Pembahasan
Agar diperoleh pembahasan yang sistematis, terarah dan mudah dipahami
serta dapat dimengerti oleh pembaca. Maka peneliti akan dibagi menjadi VI bab,
diantaranya yaitu ;
Pada bab I dalam penelitian ini membahas tentang Pendahuluan yang
meliputi latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional serta sistematika pembahasan.
Pada bab II membahas tentang penelitian terdahulu dan kajian pustaka
dengan cakupan materi yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain kajian
tentang nikah perspektif hukum islam, membahas tentang akad nikah, sejarah
pelembagaan institusi islam di indonesia dan kajian tentang eksistensi PPN dalam
bingkai sejarah.
Pada bab III dalam penelitian ini memfokuskan kepada kajian metode
penelitian dengan cakupan materi paradigma penelitian, lokus penelitian, jenis
penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, analisi
data dan pengecekan keabsahan data.
Bab IV dalam penelitian ini membahas tentang paparan dan temuan data
yang dihasilkan dari lapangan serta sekaligus mencari dan mengumpulkan data-
data yang berkaitan dengan rumusan masalah.
Pada bab V merupakan analisis dari data yang ditemukan di lapangan dan
berusaha untuk menjawab rumusan masalah yang terkait yaitu tentang pandangan
14
14
PPN Kota Malang tentang pelaksanaan akad nikah di luar Kantor Urusan Agama
(KUA) dan pandangan masyarakat Kota Malang tentang pelaksanaan akad nikah
di luar Kantor Urusan Agama (KUA).
Bab VI merupakan bagian terakhir dari penelitin ini yaitu kesimpulan yang
mencakup pembahasan simpulan dan saran.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian Pertama dilakukan oleh Maziyatul Hikmah dengan judul
Penundaan Perkawinan Bagi Wanita Hamil ( Studi Pandangan Ulama Dan Pakar
Hukum Terhadap Kebijakan KUA Junrejo Kota Batu). Jenis penelitian ini yaitu
penelitian lapangan yang melibatkan interaksi langsung antara peneliti dengan
objek yang diteliti. Adapun problem yang diangkat dalam penelitian ini yaitu
mengenai status kewenangan yang melekat pada KUA dalam menetapkan
kebijakan penundaan perkawinan bagi wanita hamil, status keperdataan anak luar
kawin apa bila terjadi penundaan perkawinan bagi wanita hamil dan selanjutnya
dianalisis dengan pendapat ulama dan pakar hukum terkait dengan status
kebijakan tersebut.1
Hasil temuan dalam penelitian ini adalah : pertama, aturan kebijakan
penundaan perkawinan hamil yang dilakukan oleh KUA Junrejo tidak memiliki
kekuatan hukum, tidak ada aturan yang dapat dijadilakan landasan bagi kebijakan
ini, baik dari segi UU Perkawinan maupun KHI. Kebijakan ini tidak bukan
bersifat kebijakan publik karena tidak tertulis jelas akan tetapi secara langsung
diterapkan di masyarakat utamanya masalah hamil pranikah. Kedua, status anak
luar kawin menurut syarak memiliki hubungan nasab dengan ibunya begitu juga
dalam UU Perkawinan dan KHI. Ketiga, para pakar dan ulama tidak setuju
1 Maziyatul Hikmah, Tesis, Penundaan Perkawinan Bagi Wanita Hamil ( Studi Pandangan Ulama
Dan Pakar Hukum Terhadap Kebijakan KUA Junrejo Kota Batu), (Malang : 2013)
15
dengan kebijakan KUA Junrejo Kota Batu. Alasannya para pakar tersebut didasari
oleh beberpa aspek diantaranya yaitu aspek sosial, aspek psikologis dan aspek
hukum.
Penelitian kedua dilakukan oleh Ahmad Syaifudin Dengan Judul
Pelaksanaan Tugas Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah Menurut Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 Tentang
Pencatatan Nikah (studi di KUA kecamatan dau kabupaten Malang ). Jenis
penelitiannya yaitu yuridis empiris. Yang menjadi rumusan masalahnya yaitu
berkaitan dengan kesesuaian dan efektifitas pelaksanaan tugas PPN dengan KMA
Nomor 477 Tahun 2004 Tentang Pencatatan Nikah.2
Hasil temuan dari penelitian ini adalah bahwa pelaksanaa tugas PPN dan
pembantu PPN tidaklah tanpa ada kendala demikian pula dengan pelaksanaan
Tugas PPN dan P3N yang telah diatur dalam KMA 477 Tahun 2004 tersebut
dalam pelaksanaannya juga tidak mulus dan lancar. Hal itu dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang menjadi kendala, dalam pelaksanaan peraturan tersebut.
Kendala-kendala tersebut antara lain ; Kedudukan PPN yang merangkap Jabatan ,
minimnya Pegawai secara umum disetiap KUA Kecamatan, sosial budaya
masyarakat. P3N yang tidak berstatus sebagai PNS dan juga adanya pasal-pasal
dalam KMA 477 Tahun 2004 tersebut yang membingungkan untuk difahami.
Penelitian pelaksanan tugas PPN dan P3N yang telah diatur dalam KMA 477
Tahun 2004 tersebut dibuktikan mengambil lokasi di KUA Kecamatan Dau
.Dengan tidak efektifnya pelaksanan KMA 477 Tahun 2004 tersebut maka perlu
2Ahmad Syaifudin, Tesis, Pelaksanaan Tugas Pegawai pencatat nikah dan
Pembantu Pegawai pencatat Nikah Menurut keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004
Tentang Pencatatan Nikah (Studi di KUA Kecamatan Dau Kabupaten Malang ), (Malang :
Universitan Muhammadiyah Malang, 2008).
16
diadakan penyempurnaan-penyempurnaan terhadap KMA 477 Tahun 2004
dengan harapan nantinya bisa terlaksanan dengan baik.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Hj. Nana Cuanah dengan judul
Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Adat Pada Suku Dayak Di Desa
Kumpang Kecamatan Toho Kabupaten Pontianak. Adapun jenis penelitian ini
adalah yuridis empiris, dengan rumusan masalah yaitu berkaitan dengan
pelaksanaan perkawinan menurut hukum adat pada masyarakat Suku Dayak di
Desa Kumpang, Kecamatan Toho, Kabupaten Pontianak serta kepastian hukum
jika masyarakat suku dayak tidak mencatatkan pernikahannya.3
Hasil temuan dari penelitian ini yaitu Pertama, Pelaksanaan perkawinan
menurut hukum adat di Desa Kumpang, Kecamatan Toho, Kabupaten Pontianak,
bukanlah untuk mempertemukan dan mempersatukan kedua mempelai sebagai
suami istri semata-mata, tetapi juga mempertautkan kedua kerabat dari suami istri,
Kedua, Faktor-faktor penyebab masyarakat Suku Dayak di Desa Kumpang,
Kecamatan Toho, Kabupaten Pontianak tidak mencatatkan perkawinan di KUA
Kecamatan Toho, antara lain : pertama, Perkawinan yang dilaksanakan secara sah
menurut agama Islam menurut mereka telah dianggap sah dan di KUA hanya
bersifat administratif saja; kedua, Adanya biaya yang menurut mereka mahal;
ketiga, Mereka ingin menghindari birokrasi yang berbelit-belit dan memerlukan
waktu yang cukup lama; keempat, Dengan memiliki Surat Keterangan Nikah
SKN) dari Kepala Desa Kumpang, mereka bisa mengurus Akta Kelahiran mereka
di Kantor Catatan Sipil di Kabupaten Pontianak.
3 Nana Cuanah, Tesis, Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Adat Pada Suku Dayak Di Desa
Kumpang Kecamatan Toho Kabupaten Pontianak, (Semarang : Universitas Diponegoro, 2006)
17
Akibat lain dari hukum perkawinan yang tidak dicatatkan pada masyarakat
Suku Dayak di Desa Kumpang, Kecamatan Toho, Kabupaten Pontianak antara
lain; Pertama, Perkawinan seperti ini merupakan perkawinan dibawah tangan,
sehingga suami istri tersebut oleh undang-undang dianggap tidak terikat oleh tali
perkawinan, maka masing-masing suami/istri berhak untuk menikah secara sah
dengan orang lain; kedua, Anak-anak mereka bukanlah anak-anak sah menurut
undang-undang; ketiga, Tidak bisa melakukan urusan birokrasi dengan pejabat
negara.
Adapun persamaan dan perbedaan dari tiga penelitian tersebut diatas antara
lain ;
Nama Perbedaan Persamaan
Maziyatul Hikmah
dengan judul
Penundaan Perkawinan
Bagi Wanita Hamil (
Studi Pandangan Ulama
Dan Pakar Hukum
Terhadap Kebijakan
KUA Junrejo Kota Batu
a. Latar belakang
penelitian ini yaitu
menganalisa tentang
kebijakan yang
dilakukan oleh KUA
Junrejo.
b. Dalam kajiannya,
penelitian ini lebih
menekankan kepada
studi analisis kebijakan
KUA Junrejo Kota
Batu terkait dengan
kebijakan tentang
penundaan perkawinan
bagi wanita yang
hamil terlebih dahulu.
a. Jenis penelitian
yuridis empiris.
b. Penelitian ini
berkaitan dengan
problematika
pelaksanaan
perkawinan.
18
Penelitian ini selain
melihat dari konsep
pandangan hukum
tentang kebijakan
tersebut, juga melihat
corak berfikir yang
menjadi landasan
KUA Junrejo dalam
mengeluarkan
kebijakan tersebut.
c. Rumusan masalah
yang diangkat yaitu
tentang pandangan
ulama dan pakar
hukum terhadap
kebijakan KUA
Junrejo terkait tentang
Penundaan
Perkawinan bagi
Wanita Hamil.
d. Fokus penelititian
yaitu analisa kebijakan
perspektif ulama dan
pakar hukum
Ahmad Syaifudin
Dengan Judul
Pelaksanaan Tugas
Pegawai Pencatat Nikah
dan Pembantu Pegawai
a. Latar belakang
penelitan ini yaitu
berkaitan dengan
kesesuaian antara
peraturan dan
a. Jenis penelitian
yuridis empiris.
b. Penelitian ini
berkaitan dengan
pencatat nikah.
19
Pencatat Nikah Menurut
Keputusan Menteri
Agama Nomor 477
Tahun 2004 Tentang
Pencatatan Nikah (studi
di KUA kecamatan dau
kabupaten Malang ).
prakteknya di
lapangan.
b. Penelitian ini lebih
menekankan kepada
efektifitas kinerja PPN
dan P3N berdasarkan
KMA . Penelitian ini
juga ingin melihat
bagaimana
implementasi dari
KMA di lapangan
apakah ada kesesuaian
atau tidak sesuai
dengan apa yang diatur
dalam KMA serta
problematika/kendalan
ya.
c. Rumusan masalah
yang diangkat yaitu
berkaitan dengan
kesesuaian dan
efektifitas pelaksanaan
tugas PPN dengan
KMA Nomor 477
Tahun 2004 Tentang
Pencatatan Nikah.
d. Fokus penelitian
efektifitas KMA.
Nana Cuanah dengan
judul Pencatatan
Perkawinan Menurut
Hukum Adat Pada Suku
a. Latar belakang
penelitian ini yaitu
berangkat dari konflik
antara budaya dan
a. Jenis penelitian
yuridis empiris.
b. Penelitian ini juga
hampir sama dengan
20
Dayak Di Desa
Kumpang Kecamatan
Toho Kabupaten
Pontianak.
norma hukum yaitu
yang berkaitan dengan
problematika
pernikahan masyarakat
suku dayak yang tidak
dicatatatkan. Peneliti
ini ingin melihat
tentang kepastian
hukum jika pernikahan
tersebut tidak
dicatatkan.
b. Penelitian ini juga
lebih menekankan
kepada factor-faktor
yang menyebabkan
masyarakat dayak
tidak mencatatkan
perkawinannya.
c. Rumusan masalah
yang diangkat
berkenaan dengan
pelaksanaan
perkawinan menurut
hukum adat serta
kepatian hukum bagi
yang tidak
mencatatkannya.
d. Fokus penelitian yaitu
praktek nikah suku
dayak yang tidak
dicatatkan.
penelitan diatas yaitu
berkaitan dengan
problematika
pernikahan serta
pencatatan nikah.
21
B. Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam
Peraturan-peratuan yang berkenaan dengan hal privat seperti pernikahan dan
masalah keperdataan lainnya, diatur sedemikian rupa untuk mencapai tujuan dari
hukum itu sendiri. Oleh karena itu, betapa pentingnya kedudukan hukum dalam
tatanan sosial. Begitu juga halnya dalam konsep perkawinan, untuk menertibkan
dan menjaga serta melindungi hak-hak bagi manusia perlu dilakukan kodifikasi
hukum yang bersifat formal agar memiliki kekuatan hukum yang dapat menjamin
tiap individu. Khususnya dalam pernikahan ini menyangkut hal privat yang sangat
urgen sekali dilindungi, hal ini dikarenakan oleh factor-faktor yang timbul dari
problematika-problematika keluarga, baik menyangkut perlindungan terhadap
istri, suami dan anak.
Sistem perkawinan yang telah dibuat diharapkan mampu menjadikan
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam penuh kehormatan dan saling
meridhoi. Perkawinan merupakan jalan dan saluran yang paling baik dan selamat
bagi syahwat sebagai naluri manusia untuk selanjutnya melahirkan dan
memelihara generasi baru dengan baik dan juga akan menciptakan kondisi dan
suasana yang tertib dan aman dalam kehidupan sosial.
Dalam perspektif hukum islam, nikah atau kawin secara etimologi (lughah)
berarti kumpul atau bersatu, sedangkan secara terminologisnya (istilah) berarti
aqd (ikatan) yang menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan yang semula
terlarang.4
4Muhammad bin Ahmad Al-Ramli, Ghayah Al-Bayan Syarh Zubad Ibn Raslan, ( Beirut : Dar Al-
Kutub Al-Islamiyah, 2012),363
22
Artinya :
Perkawinan menurut syara yaitu akad yang ditetapkan syara untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.5
Jika melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan
kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul, sedangkan
sebelum akad tersebut berlangsung diantara keduanya tidak boleh bergaul. Yang
dimaksudkan membolehkan hubungan kelamin itu, karena pada dasarnya
hubungan laki-laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang
membolehkan secara hukum syara. Diantara hal yang membolehkan bergaulnya
laki-laki dan perempuan adalah adanya akad nikah diantara keduanya. Dengan
demikian, akad nikah itu merupakan suatu usaha untuk membolehkan sesuatu
yang asalnya tidak boleh.6
Pengertian tersebut tampaknya dibuat hanya untuk melihat dari satu segi
saja, yaitu kebolehan hukum dalam berhubungan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan, yang semula hukumnya dilarang menurut syara menjadi
halal. Pernikahan dikatakan sah apabila terjadi antara seorang pria dan seorang
wanita dengan terpenuhinya semua syarat dan rukunnya menyebabkan semua
hubungan keduanya menjadi halal bahkan berpahala, yang sebelumnya hukumnya
adalah haram dan berdosa. Maksud dari hubungan yang semula terlarang (haram)
5Abd. Rahman al-Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta:Kencana, 2006), 8 dan Abu Bakr Al-Jabir
Al-Jazairi, Minhaju Al-Muslim, (Madinah : Maktabah Al-Ulum wa Al-Hikam, 2012),301 6Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. (Jakarta: Kencana. 2007). 37
23
antara laki-laki dan perempuan itu adalah berduaan, bertatapan, bersentuhan,
bermesraan, berkasih sayang, berhubungan badan dan seterusnya.7
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab disebut
dengan dua kata yaitu; nikah () dan zawaj ().8 Kata nakaha dalam Al
Quran dengan arti kawin terdapat didalam surat An Nisa ayat 3:
Artinya :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.9
Kemudian kata zawaj dalam Al Quran dalam arti kawin terdapat surat Al
Ahzab ayat 37 : 10
7Umay M. Djafar Shiddieq, Indahnya Keluarga Sakinah Dalam Naungan Al-Quran dan Sunnah,
(Jakarta: Zakia Press, 2004),2 8 Dalam kitab-kitab fiqh sebagian pengarangnya menggunakan kata al-nikah dan ada yang
menggunakan kata al-zawaj. Yang menggunakan kata al-zawaj seperti dalam kitab fiqh sunnah
karangan Sayyid Sabiq, sedangkan yang menggunakan kata nikah sengatlah banyak, seperti dalam
kitab Zubad karangan Ahmad Al-Ramli, Bidayatul Mujtahid karangan Ibn Rusy, Fiqh Ala Al-
Mazhab Al-Arbaatu karangan Abdurahman Al-Jaziri. Dan sebagainya. Sedangankan dalam
bahasa arab kata nikah atau pernikahan yaitu Nakaha dan Al-Zawaj. Lihat A.W. Munawwir,
Kamus Al-Munawwir Indonesia Dan Arab, (Surabaya : Pustaka Progressif, 2007),650 9 Kementerian Agama RI. Al-Quran Keluarga, ( Bandung : Fitrah Rabbani, 2009),77
10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana 2007),35
24
Artinya :
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah",
sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak
angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya dan
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.11
Dari ayat-ayat diatas menunjukan bahwa Pada dasarnya semua hubungan
khususnya dalam pernikahan adalah kebutuhan manusia bahkan seluruh makhluk
hidup. Akan tetapi, sebagai manusia terlebih lagi kita sebagai umat Islam yang
memiliki akal budi, norma, etika dalam berhubungan dengan tuhan dan dengan
sesama manusia, maka kita memiliki batasan-batasan tertentu yang dilarang oleh
Allah SWT untuk dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum menikah.
Berdasarkan hal inilah Allah menentukan tatacara agar laki-laki menjadi halal
berhubungan dengan wanita.
1. Ketentuan Hukum Pernikahan
Dalam hal pernikahan meskipun dianjurkan, namun ada beberapa hukum
yang harus diperhatikan bagi siapa saja nikah itu peruntuhkan. Pada dasarnya
nikah merupakan salah satu bentuk ibadah yang diperintahkan kepada manusia
tanpa terkecuali. Karena dengan menikah, manusia dapat menjaga diri dari hal-hal
11
Kementerian Agama RI. Al-Quran Keluarga,.419
25
yang tidak disukai oleh Allah. Rasulullah telah mencontohkan bahwa pernikahan
adalah seatu bentuk ibadah yang disyariatkan oleh allah, sebagaimana yang telah
difirman dalam [QS. Al-Rad. 13:38]
Artinya :
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu
dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan
tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat)
melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang
tertentu).12
Meskipun dalam beberapa ayat dan hadis menjelaskan bahwa anjuran untuk
menikah, tetapi ketentuan ini tidak bisa diberlakukan semerta-merta tanpa melihat
aspek-aspek yang lain. Ada beberapa hukum nikah yang telah dirumuskan oleh
para ulama fiqh, namun pada prinsipnya mayoritas ulama berpendapat bahwa
hukum nikah adalah sunat, dari ulama zhahiriah menyatakan bahwa hukum nikah
adalah wajib.13
Pada perkembangannya hukum nikah terdiri dari lima yaitu wajib,
haram, makruh, sunnah. Ibahah (boleh/mubah) antara lain ;14
1. Wajib
Hal ini berlaku bagi seseorang yang sudah mampu untuk melakukannya
(secara finansial dan fisikal) dan keinginannya untuk menyalurkan hasrat seksual
sangat kuat, sementara itu ia khawatir terjerumus dalam perzinaan apabila tidak
12
Kementerian Agama RI. Al-quran keluarga,. 254 13
Ibnu Rusydi Al-Qurtubi Al-Andalisia, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatu Al-Muqashid, (Mesir :
Maktabah Al-Syuruqu Al-Dauliah, 2004), 380 14
Abdurahman Al-Jaziri, Kitab Al-fIqh Ala Al-Mazdahib Al-Arbaah, ( Beirut : Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 1986),3
26
menikah, maka hukum pernikahan adalah wajib. Seperti halnya hadits riwayat
jamaah dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah SAW bersabda :
15[
Artinya :
Telah bercerita kepada kami Umar bin Hafsi bin Ghiyast telah bercerita
kepada kami ayahku telah bercerita kepada kami Al-Amasy berkata
Amasy telah bercerita kepada kami Umarah dari Abdi Al-Rahman bin
Yazid berkata. Telah bersabda kepada kami Rasulullah SAW Wahai
pemuda jika diantara kamu ada yang mampu menikah hendaklah ia
menikah karena matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih
terpelihara. Jika ia belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena
puasa itu ibarat mengebiri.
2. Sunnah
Adapun bagi orang yang sudah bergejolak dan mampu menikah, namun
masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina, maka hukum baginya adalah
sunnah. Namun tidak dibenarkan juga jika seseorang tidak ingin meninakah,
karena pada prinsipnya menikah lebih utama dari pada menenggelamkan diri
dalam ibadah karena menjalani hidup bagaikan pendeta sedikitpun tidak
dibenarakan dalam Islam.
15
Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz 3 ( Bairut : Dar Al-Fikr,
1981),117
27
Artinya :
Dari Abi Umamah bahwa Nabi SAW bersabda Menikahlah kalian,
karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian pada umat-
umat lain. Janganlah kalian hidup seperti pendeta-pendeta nasrani.
Dalam hadis yang lain juga dijelaskan bahwa nikah merupakan bentuk
kesunnahan. Hal ini diterangkan dalam hadis Nabi SAW :
]. 16[
Artinya :
Telah bercerita kepada kami Abu Bakr bin Nafi Al-Abdiyu telah
bercerita kepada kami Bahzu telah bercerita kepada kami Hammadu bin
Salamah dari Stabit dari Anas bahwasanya Nabi SAW memuji allah dan
menyanjungnya, kemudian beliau bersabda akan tetapi aku
sembahyang dan tidur dan puasa dan berbuka dan menikahi perempuan
maka barangsiapa tidak suka akan sunnahku, maka ia bukan dari
golongan ku.
3. Haram
Pernikahan menjadi haram bagi siapa saja yang mengetahui dirinya tidak
memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajibannya sebagai suami, baik dalam
nafkah lahiriah (bersifat finansial) maupun nafkah batiniah (kemampuan
melakukan hubungan seksual) yang wajib diberikan kepada pasangannya.
Hendaknya seorang laki-laki maupun perempuan yang akan menikah
menyebutkan dengan jujur kekurangan dari dirinya. Jika ternyata salah satu
pasangan mengetahui aib pada pasangannya. Maka, dia berhak untuk
16
Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, ( Beirut : Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002),222 dan
Muhammad Fuad Abdu Al-Baqi, Shahih Muslim, Juz 2 ( Indonesia : Maktabah Dahlan, tt),16
28
membatalkan pernikahan tersebut. Jika aib itu pada perempuan, maka calon
suami boleh membatalkan dan mengambil kembali mahar yang telah diberikan,
dan diharamkan juga menikah jika bertujuan untuk menyakiti pasangannya.
Ketentuan ini diqiyaskan dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [ 2:195]
yang berbunyi ;
Artinya :
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.17
Dari ayat diatas menunjukan bahwa nikah merupakan anjuran yang bersifat
ibadah sehingga tidak dibolehkan dalam suatu ibadah dilandasi oleh niat atau
perbuatan yang merusak, sehingga diharamkan bagi umat Islam ketika hendak
menikah dengan tujuan ingin menganiaya atau berbuat dhalim.
4. Makruh
Adalah makruh hukumnya menikah bagi seseorang yang mempunyai
kemauan/kemampuan untuk menikah dan cukup mempunyai kemampuan untuk
menahan diri sehingga tidak memungkinkan jatuh dalam perbuatan zina. Hanya
saya orang ini tidak memiliki keinginan yang kuat untuk menikah, bagi orang
yang seperti ini hukumnya makruh untuk menikah.18
5. Ibahah ( boleh/mubah)
17
Kementerian Agama RI, Al-Quran Keluarga,.30 18
Abdurahman Al-Jaziri, Kitab Al-fIqh Ala Al-Mazdahib Al-Arbaah,. 5
29
Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan
segera menikah atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk menikah,
perkawinan baginya hanya untuk kesenangan bukan untuk menjaga
kehormatannya, bagi orang yang seperti ini maka hukumnya mubah. Imam Syafii
menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum nikah adalah ibahah, karena tujuan
nikah merupakan untuk mendapatkan kenikmatan.19
C. Akad Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam dan KHI
Sebelum membahas tentang akad nikah. Maka, terlebih dahulu perlu
dicermati tentang kedudukan akad dalam nikah, karena secara khusus akad nikah
memiliki perbedaan dengan akad jual beli, meskipun dalam tataran terminologi
secara umum memiliki kesamaan makna dan tujuan terhadap suatu hal tertentu.
Contoh kecil misalanya, dalam bentuk sighat saja berbeda antara akad nikah
dengan akad jual beli meskipun tujuannya sama yaitu untuk dapat memiliki secara
sah dimata hukum terhadap kepemilikan sesuatu hal atau barang tertentu.
1. Pengertian Akad Nikah
Kedudukan akad dalam nikah memiliki fungsi yang sangat urgen sekali,
karena akad merupakan salah satu bentuk dari rangkaian unsur dalam rukun
pernikahan. 20
Unsur akad dalam pernikahan yaitu terpenuhi ijab dan qabul yang
menghendaki adanya dua pihak yang berakad. Secara umum akad sendiri
memiliki tiga (3) rukun, yaitu ; aqid (subjek), maqud alaih ( objek) dan
19
Abdurahman Al-Jaziri, Kitab Al-fIqh Ala Al-Mazdahib Al-Arbaah,.7 20
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Muin, (Jakarta : Dar Al-Kutub Al-
Islamiyah,2010),202
30
shighat.21
Berdeda dengan Hanafiyah yang menyatakan bahwa rukun akad yaitu
ijab dan qabul, pendapat ini sesuai dengan definisi rukun menurut ulama kalangan
Hanafiyah yaitu sesuatu yang hadirnya sesuatu yang lain bergantung kepadanya
dan sesuatu tersebut merupakan bagian dari hakikatnya.22
Makna akad secara umum berasal dari bahasa Arab ( ) jamanya (
) yang berarti ikatan, mengikat. Dan dapat juga diartikan sebagai
(sambungan), (janji).23
Namun secara garis besarnya adalah:
Artinya :
Menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatnya
salah satu dari pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan
menjadi seperti seutas tali yang satu.
Pengertian lafdiyah ini sebagai mana yang tertulis dalam kitab suci al-Quran
QS. Al-Maidah. [5:1] yang berbunyi:
.
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
21
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, diterjemahkan oleh Nur Khizim. (Jakarta : AMZAH,
2010),99 22
Wahbah Zuhaili, Fiqh Al-Islamiya Wa Adillatuhu. Juz 4 (Damaskus : Dar Al-Fiqr. 2006), 2930 23
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah,( Bandung : Pustaka setia, 2000), 43
31
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.24
Kata pada surat Al-Maidah diatas merupakan jama dari kata yang
merupakan suatu bentuk perjanjian yang memiliki makna ikatan yang kuat seperti
ucapan aku mengikat tali dengan tali yang lain ini merupakan makna etimologi
yang memberikan pengertian bahwa akad merupak suatu ikatan yang mengikat
satu dengan yang lain. Makna akad disini juga seperti Allah mengikat hambanya
dengan syariat yang telah ditetapkan agar dilaksanakan.25
dalam tafsir Jalalain
dijelaskan bahwa akad harus dipenuhi sebagaimana yang telah diperintahkan
dalam agama Islam, adapun perintah yang harus dilaksanakan oleh umat Islam
antara lain, yaitu; memenuhi janji, kebenaran dalam akad, niat yang baik dan tidak
melewati batas.26
Dalam QS. An-Nisa [4:21] juga disebutkan juga ;
.
Artinya :
Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat.27
Dalam terminologi hukum Islam makna akad secara khusus didefinisikan
sebagai berikut:
24
Kementerian Agama RI. Al-Quran Keluarga,.106 25
Muhammad ali as-shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Juz 1 (Beirut : Dar Kutub Al-Islamiyah,
2001),412-413 26
Ahmad bin Muhammad As-Sawi, Hasiyat As-Sawi Ala Tafsir Al-Jalalain, (Beirut : Dar Kutub
Al-Islamiyah), 353. Baca juga Abdurrahman Halaluddin Al-Suyuti, Al-Durru Al-Manstur Fi
Tafsir Al-Mastur, Juz 3 ( Beirut : Dar Al-Fikr, 2002), 5 27
Kementerian Agama RI. Al-Quran Keluarga,.81
32
Artinya :
Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul28
yang dibenarkan oleh syara
yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
Yang dimaksud dengan dalam definisi akad adalah ungkapan atau
penyataan kehendak melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak, biasanya
disebut sebagai pihak pertama. Sedangkan akad nikah adalah rangkaian ijab yang
diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya
disaksikan oleh dua orang saksi.29
Dari definisi akad nikah tersebut dapat
dipahami bahwa rukun nikah mencakup dari definisi akad nikah itu sendiri yaitu :
Pertama, Adanya mempelai laki-laki dan wanita. Kedua, Adanya wali. Ketiga,
Dua orang saksi dan keempat adalah shighat nikah.30
Para ulama syafiiyah dalam
perihal qabul boleh diwakilkan seperti ucapan aku terima nikahnya untuk fulan.
Dalam hal ini dibolehkan.31
2. Syarat-Syarat Akad Nikah
Akad nikah didasari atas suka sama suka, atau rela sama rela. Oleh karena
perasaan rela sama rela itu tersebunyi, maka sebagai manifestasinya adalah ijab
dan qabul. Oleh karena itu, ijab dan qabul adalah unsur mendasar bagi keabsahan
akad nikah.32
Akad nikah harus berkonotasi jalaul mana yaitu dinyatakan
28
Definisi Ijab menurut Ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang
menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan ataupun
yang menerima,sedangkan qabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan
ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang pertama. Namun dikalangan Ulama selain
Hanafiyah berpendapat Ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda,
baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua sedangkan qabul adalah pernyataan dari orang yang
menerima barang. Wahbah Zuhaili, Fiqh Al-Islamiya Wa Adillatuhu.,2918 29
Syamsuddin Muhammad Abi Abbas, Nihayatu Al-Muhtaj Ila Syarhi Al-Manhaj, (Bairut : Dar
Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1993),209 30
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fathu Al-Muin. 203 31
Yahya bin Syarif Abi Zakariya Al-Nawawi, Raudhatu Al-Thalibin, Juz 6 (Beirut : Dar Al-Fikr,
2005),70 32
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer, (Jakarta : Kencana, 2004),3
33
dengan ungkapan yang jelas dan pasti maknanya, sehingga dapat dipahami oleh
saksi apa yang diucapkan oleh wali dari mempelai perempuan (ijab) dan
mempelai laki-laki (qabul).33
Oleh karena itu, akad merupakan tahap awal
sebelum melakukan pernikahan. Hal ini untuk meyakinkan dan memperjelas
status sesudahnya, dapat dipahami bahwa akad secara filosofi memiliki ikatan
yang kuat baik lahir dan batin.
Dalam konsep hukum Islam (syariat) yang berhak mengakadkan nikah yaitu
wali laki-laki dari pihak perempuan ke atas yaitu ayah, kakek, kemudian saudara
laki-laki seayah seibu, kemudian saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari
saudara laki-laki seayah seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah,
kemudian paman dan terakhir anak laki-laki dari paman, ketentuan urutan ini
harus terjaga tidak bisa saling melewati.34
Syarat akad nikah menurut para ulama ada empat (4) hal yang harus dipenuhi
antara lain :35
1. Dua orang yang berakad telah tamyiz, jika salah satunya gila atau
tidak tamyiz maka pernikahan tidak sah.
2. Kesatuan tempat ijab dan Qabul dengan artian tidak terpisah antara
ijab dan qabul, sehingga tidak ada halangan antara mempelai.
33
Dalam lafald ijab harus menggunakan kata-kata yang merepresentasikan kata nikah seperti
ucapan akunikahkan kamu bisa dengan menggunakan fiil madhi dan fiil mudhari seperti
lafald ""atau . Dan tidak sah nikah hanya dengan ucapan kinayah (sindiran) dan
dengan bahasa yang tidak mengandung makna nikah. Adapun dalam mengucapkan qabul boleh
dengan menggunakan ucapan qabiltu, wafaqtu, afdhaitu nafadztu. Baca Naji Hasan
Siafin. Al-Minhal Al-Adhbu As-Syafii Fi Fiqh Al-Madhab Al-Syafii, Juz 2 (Beirut : : Dar Kutub
Al-Islamiyah,2001), 61. Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,.101. Baca juga Muhammad Al-
Marshafi, Hasiyah Al-Bajuru Ala Syarh Minhaj Al-Tullab, Juz 3 (Beirut : Dar al-fikr, 2002),334 34
Ibnu Rushdi, Bidayatu Al-Mujtahid Wa Nihayatu Al-Muqtashid, ( Beirut : Maktabah Al-Syuruq
Al-Dauliyah, 2004),382-384. Baca juga Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fathu Al-Muin,
202. 35
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,.100-101
34
3. Kesempurnaan ijab dan Qabul, dalam artian keselarasan antara ijab
dan Qabul.
4. Masing-masing orang yang berakad memahami dan mendengan
maksud dari akad pernikahan. Meskipun masing-masing dari mereka
tidak memahami arti kosa kata tersebut.36
Berhubungan dengan tempat pelaksanaannya, Islam tidak mengatur secara
spesifik, hanya saja sunnah jika ingin melangsungkan akad nikah dilakukan di
tempat-tempat yang baik seperti di mesjid, sebagimana berdasarkan hadis Nabi
SAW :
Artinya :
Telah bercerita kepada kami Hassrun bin Maruf dan Ishaq bin Musa Al-
Anshari berkata. Telah bercerita kepada kami Anas bin Iyad telah
bercerita kepada kami Abi Dubab dalam riwayat Harun dan didalam
hadis Al-Anshar telah bercerita kepadaku Al-Harits dari Abduurrahman
bin Mihran dari Abi Hurairah bahwa bahwasannya Rasulullah bersabda :
Tempat yang paling dicintai oleh Allah adalah masjid dan tempat yang
paling dibenci alloh adalah pasar. (HR. Muslim).37
36
Sebagian yang fanatik dengan bahasa arab kebanyakan mereka mengakadkan dengan bahasa
arab meskipun para mempelai tidak paham arti dari ucapan tersebut, karena yang terpenting yaitu
kejelasan dan kebenaran ucapan serta memahami tujuan dari ucapan tersebut. 37
Yahya bin Syarif An-Nawawi, Shahih Muslim Bisyarhi An-Nawawi, ( Al-Qahirah :Dar Al-
Manar, 2002),303
35
Artinya :
Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Mani telah bercerita kepada
kami Yazid bin Harun telah mengabarkan kepada kami Isa bin Maimun
Al-Anshari dari Al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah berkata. Rasul
SAW bersabda siarkanlah pernikahan ini , dan adakanlah dimasjid-
masjid dan tabuhlah gendang-gendang. (HR. Turmudzi)38
Dapat dipahamai bahwa pada dasarnya akad merupakan rangkaian antara ijab
dan qabul yang wajib diucapkan secara lisan. Bagi orang bisu sah melakukan ijab
dan qabul dengan isyarat yang dapat dipahami oleh saksi dan orang yang hadir
ditempat tersebut. Ijab dan qabul dilakukan di dalam satu majlis dan tidak boleh
ada jarak yang lama atau yang merusak kesatuan dari ijab dan qabul.39
Hal ini
berbeda dengan imam Hanafi yang membolehkan ijab dan qabul dengan adanya
jarak asalkan masih dalam satu majlis.40
3. Akad Nikah Dalam Perspektif UU Perkawinan dan KHI
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Islam pada abad 20 adalah upaya
pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh negara-negara yang
38
Berkata Abu Isa bahwa hadis ini gharib hasan didalam pembahasan bab ini bahwa Isa bin
Maimun Al-Anshari dhaif. Dan Abi Najih berpendapat bahwa dia stiqah. Dilihat dari sisi hukum
maka hal itu diperbolahkan selama tidak dibarengi dengan keyakinan bahwa hal itu adalah wajib
karena haditsnya lemah dan tetap menjaga adab-adab syari didalam mengadakan acara walimah
tersebut. Tetapi jika dipadukan dengan pendapat Imam Syafii hadis dhaif bisa diamalkan untuk
kesempurnaan amal. lihat Basyar Maruf, Al-Jami Al-Kabir, Juz 2 (Bairut : Dar Al-Gharbi Al-
Islami, 1998), 384-385 39
KHI Pasal 27 menyatakan bahwa Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas
beruntun dan tidak berselang waktu. 40
Abdurahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2010),57
36
berpenduduk mayoritas muslim. Hal ini dilakukan sebagai respon terhadap
dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi
tujuan dilakukannya pembaruan hukum keluarga Islam, yaitu sebagai upaya
unifikasi hukum, mengangkat status perempuan, dan merespon perkembangan dan
tuntutan zaman, karena konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu
memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.41
Berbicara tentang akad nikah dapat dilihat bahwa dalam UU No 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan tidak menjelaskan tentang akad nikah. Ketentuan yang
diatur dalam UU No 1 Tahun 1947 hanya secara umum saja tidak menyangkut
permasalahan hukum nikah secara substantif. Hal ini berbeda dengan KHI yang
disebut sebagai fiqh indonesia yang mengatur perihal pernikahan secara spesifik.
Dalam KHI dijelaskan pada ketentuan umum huruf c bahwa akad nikah ialah
rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai
pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi. Dari ketentuan umum tersebut
telah mancakup dari aspek rukun nikah.
Pasal 28 dalam KHI dinyatakan juga bahwa Akad nikah dilaksanakan sendiri
secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada
orang lain. Dalam konteks ini jika wali nikah tidak mampu untuk menjadi wali
dalam mengakadkan nikah. Maka, dapat diwakilkan kepada wali hakim,
sebagaimana bunyi Pasal 20 Ayat (2) menyatakan bahwa Wali nikah terdiri dari
41
Didunia yang mayoritas Islam untuk mereformasi hukum keluarga lebih mengadopsi hukum
yang berkembang di dunia barat, seperti Turki, Lebanon, Yordania, Tunisia serta Negara
mayoritas Islam lainnya. Baca N.J. Coulson, A History of Islamic law, (Edinburgh : Edinburgh
University Press,1964),216-217. Baca juga Amir Muallim. Yusdani, Konfigurasi Pemikiran
Hukum Islam, (Yogyakarta : UII Press,2001),1
37
Wali nasab42
dan Wali hakim.43
Dalam KHI juga dijelaskan secara teknis bahwa
yang mngucapkan qabul adalah calon mempelai pria sendiri. Namun, dalam hal-
hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan
ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa
penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
4. Pencatatan Nikah di KUA Dan Di Luar KUA
Ketentuan pencatatan nikah merupakan suatu hal yang harus dilakukan bagi
setiap orang yang akan menikah. Ketentuan pencatatan nikah dijelaskan dalam
UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal 2 ayat (2) yang
menjelaskan bahwa Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. ketentuan ini bukan merupakan syarat sahnya nikah.
Ketentuan ini merupakan bukti yang menunjukan kejelasan atas status pernikahan
seseorang.
42
Pasal 21 dijelaskan bahwa :
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan
seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, ya