19
6 BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN Cekungan Sumatra Tengah adalah salah satu cekungan penghasil hidrokarbon yang penting di Indonesia (Gambar 2.1). Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan asimetrik berukuran 510 x 270 km yang dibatasi oleh: Busur Asahan di bagian utara, Kraton Sunda di bagian timur laut, Semenanjung Malaysia di bagian timur, Dataran Tinggi Tigapuluh di bagian tenggara, Dataran Tinggi Kampar – Tigapuluh di bagian selatan, dan Pegunungan Barisan di bagian barat. Cekungan Sumatra Tengah memiliki kemiripan dan sejarah pembentukan yang berhubungan dengan Cekungan Sumatra Selatan, dan seringkali dianggap sebagai satu cekungan raksasa yang dicirikan dengan banyak graben dan tunjaman. Hal ini juga didukung oleh tidak adanya kenampakan struktur besar yang memisahkan kedua cekungan tersebut. II.1. Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional II.1.1. Tatanan Tektonik Konfigurasi tektonik dari cekungan - cekungan Tersier di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pergerakan relatif lempeng India - Australia, Pasifik, dan Eurasia. Kondisi ketiga lempeng yang saling berbatasan tersebut mempengaruhi evolusi Cekungan Sumatra Tengah dan Asia Tenggara pada umumnya (Gambar 2.2). Gambar 2.1. Lokasi Cekungan Sumatra Tengah (Pertamina BPPKA, 1996).

Pegunungan Barisan di bagian barat. - Perpustakaan … dan Australia saat ini telah terekstensi ke arah timur ke Selat Sunda, atau mungkin lebih jauh lagi selama Paleogen (Hayes, 1978

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II

GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

Cekungan Sumatra Tengah adalah salah satu cekungan penghasil hidrokarbon yang

penting di Indonesia (Gambar 2.1). Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan

asimetrik berukuran 510 x 270 km yang dibatasi oleh: Busur Asahan di bagian utara, Kraton

Sunda di bagian timur laut, Semenanjung Malaysia di bagian timur, Dataran Tinggi

Tigapuluh di bagian tenggara, Dataran Tinggi Kampar – Tigapuluh di bagian selatan, dan

Pegunungan Barisan di bagian barat.

Cekungan Sumatra Tengah memiliki kemiripan dan sejarah pembentukan yang

berhubungan dengan Cekungan Sumatra Selatan, dan seringkali dianggap sebagai satu

cekungan raksasa yang dicirikan dengan banyak graben dan tunjaman. Hal ini juga didukung

oleh tidak adanya kenampakan struktur besar yang memisahkan kedua cekungan tersebut.

II.1. Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional

II.1.1. Tatanan Tektonik

Konfigurasi tektonik dari cekungan - cekungan Tersier di Indonesia banyak

dipengaruhi oleh pergerakan relatif lempeng India - Australia, Pasifik, dan Eurasia. Kondisi

ketiga lempeng yang saling berbatasan tersebut mempengaruhi evolusi Cekungan Sumatra

Tengah dan Asia Tenggara pada umumnya (Gambar 2.2).

Gambar 2.1. Lokasi Cekungan Sumatra Tengah (Pertamina BPPKA, 1996).

7

Menurut Daly dkk. (1991) selama zaman Kapur Akhir – Tersier Awal, Asia Tenggara

berbatasan di sebelah barat dan utara dengan Lempeng Eurasia dan berbatasan di sebelah

selatan dengan Lempeng Indo – Australia, dan terdapat pula batas di sebelah timur yang

masih diperdebatkan dengan Lempeng Pasifik – Guinea Baru, serta Lempeng Laut Cina

Selatan. Pergerakan relatif dari kelima lempeng tersebut selama zaman Tersier sangat dibatasi

oleh paleomagnetisme dan distribusi isokron magnetik lantai samudra, akan tetapi rekaman

pada lantai samudra untuk zaman Kapur dan sebelumnya telah tersubduksi, atas dasar ini,

Hall (1995) melakukan rekonstruksi tektonik untuk empat interval waktu, yaitu 55, 40, 20,

10, dan 0 juta tahun yang lalu yang akan dijelaskan melalui Gambar 2.3.

Gambar 2.2 Tatanan tektonik regional Pulau Sumatra (Heruyono dan Villarroel, 1989).

0

8

A. Paleosen (55 juta tahun yang lalu):

Pada masa ini, Eurasia membentuk dataran kontinen yang stabil sementara

Sumatra tetap terhubung dengan Malaya dan IndoCina dan mengalami rotasi arah jarum

jam kecil yang relatif terhadap Eurasia yang tetap. Lempeng India bergerak dengan cepat

pada arah N ke NNW dan menumbuk Lempeng Eurasia dengan kecepatan 15 – 20

sentimeter per tahun (Patriat dan Achache, 1984 op. cit. Pertamina BPPKA, 1996). Busur

Kohistan yang berarah WNW merupakan ekspresi permukaan dari kerak samudra

Lempeng India tua yang tersubduksi ke arah utara di bawah Lempeng Eurasia (Gambar

2.3.A)

Pergerakan Lempeng India ke arah utara yang cepat ini menyebabkan laju

subduksi yang sangat tinggi di sepanjang pinggiran Sumatra dan zona subduksi yang

memiliki sudut penujaman yang secara keseluruhan rendah (Fitch dan Molnar, 1970

op.cit. Pertamina BPPKA, 1996)

Passive margin Australia sebelah utara bergerak dengan kecepatan 5 cm/tahun

pada arah NW menyebabkan lokasi dari transform margin yang memisahkan Lempeng

Hindia dan Australia saat ini telah terekstensi ke arah timur ke Selat Sunda, atau mungkin

lebih jauh lagi selama Paleogen (Hayes, 1978 op. cit. Pertamina BPPKA, 1996). Palung

Jawa juga dianggap sebagai ekstensi ke arah timur yang menghubungkan palung tersebut

Gambar 2.3. Evolusi tektonik Asia Tenggara (Hall, 1995).

A B

C D

9

dengan Lempeng Laut Filipina bagian selatan, menurut Hall (1995) hal ini menunjukkan

bahwa Lempeng Eurasia/proto – Laut Cina Selatan (Mikrolempeng Sunda) dan Lempeng

Pasifik – Guinea Baru Utara dipisahkan oleh zona subduksi berarah utara dengan

penunjaman ke arah barat.

B. Eosen – Oligosen (40 juta tahun yang lalu)

Lempeng Benua India bertumbukan dengan pinggiran Lempeng Eurasia selama

45 – 50 juta tahun yang lalu, hal ini ditunjukkan dengan:

Penurunan tiba – tiba kecepatan pergerakan Lempeng India ke Utara.

Peningkatan pemekaran lantai samudra antara Antartika dan Australia.

Pembentukan pusat pemekaran baru di Laut Filipina Barat

Adanya pengaturan kembali pergerakan Lempeng Pasifik pada 43 juta tahun

yang lalu. Sistem rift utama dari Sumatra, Malaysia, Thailand, Jawa, dan

Borneo mulai terbentuk selama Eosen (Gambar 2.3).

Tatanan tektonik Sundaland sebelah barat daya didominasi oleh pelekukan ke arah

N atau NNE dari India Timur ke arah Asia Tenggara, hal ini ditunjukkan dengan orientasi

isokron magnetik dan sesar transform yang terbentuk pada Selatan Lempeng India –

Australia. Hasil studi paleomagnetik menunjukkan adanya laju pemekaran dan

konvergensi yang tinggi. Laju konvergen pada zona subuksi berarah N ke NNE antara

Lempeng India – Australia dan Lempeng Eurasia diperkirakan sekitar 10 – 18 cm/tahun.

C. Miosen Tengah (20 juta tahun yang lalu)

Pada Miosen Awal terjadi beberapa perubahan tektonik yang cukup kritis.

Berdasarkan data deep-sea drilling dari Laut Cina Selatan dan bagian timur Samudra

Hindia menunjukkan terbentuknya dua zona pemekaran yang baru pada Laut Cina

Selatan dengan arah NE – SW (32 juta tahun yang lalu). Tidak adanya pematang yang

aktif di sebelah Selatan Pulau Sumatra mengakibatkan bersatunya Lempeng Hindia dan

Australia (Gambar 2.3) saat pemekaran berpindah ke bagian timur dari Pematang

Samudra Hindia di antara Australia dan Antartika.

Konvergensi relatif dan pelekukan dari Lempeng Hindia ke arah Asia Tenggara

berlangsung pada arah N - NNW tetapi pada laju yang lebih rendah (< 5 cm/tahun).

Kecepatan konvergensi yang semakin berkurang ini ditunjukkan dengan tumbukan benua

dan awal dari penebalan kerak yang signifikan pada Himalaya sebagai hasil dari

10

perlipatan, penunjaman, dan sesar geser miring serta terbentuknya pusat pemekaran

transtensional pada Laut Cina Selatan sekitar 2000 kilometer ke barat.

Pada masa ini terjadi pula pengaturan kembali pusat pemekaran berumur Oligosen

yang diikuti oleh pembentukan sesar geser besar berarah NW – SE dan N – S yang

membentuk suatu sistem wrench yang diperkirakan memiliki peran besar dalam

perkembangan tektonik dan struktur geologi berumur Oligosen – Miosen di kawasan Asia

Tenggara.

D. Miosen Akhir (10 juta tahun yang lalu)

Sekitar 17 juta tahun yang lalu, pemekaran di Laut Cina Selatan berhenti dan

kerak samudra yang baru terbentuk dari Laut Adaman sekitar 13 juta tahun yang lalu

(Hall, 1995). Pada masa ini pula pinggiran selatan Sundaland mulai terintegrasi di

sepanjang sistem palung Jawa – Sunda sepanjang 4000 kilometer dan diikuti oleh

perubahan jenis subduksi secara tiba – tiba yang membentuk subduksi Andean di

sepanjang palung Sunda selama Miosen Akhir (13 – 12 juta tahun yang lalu).

Akibat dari pengaturan tektonik regional ini, terbentuk tektonisme Barisan

(Heidrick dan Aulia, 1993) yang menyebabkan:

Terjadinya subduksi berarah NNE dengan laju 5 - 6 cm/tahun antara

Lempeng Indo – Australia yang menunjam di bawah Sundaland serta

Munculnya vulkanisme busur jenis Andean di sepanjang seluruh pinggiran

barat daya dari Sundaland.

Terjadinya pemekaran lantai samudra di Laut Andaman.

Pengaktifan dari pergerakan strike – slip berarah kanan – lateral yang

signifikan di sepanjang sumbu vulkanisme (Sesar Semangko).

Terjadinya deformasi jenis back – arc dan intrusi alkali lokal di sepanjang

Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan Selatan.

Terjadinya regresi dari lautan epikontinental Miosen yang bersamaan

dengan pembesaran Pegunungan Barisan.

II.1.2. Struktur Geologi Regional

Struktur geologi yang terbentuk pada Pulau Sumatra merupakan hasil dari kompresi

berarah NE – SW dari zaman Plio – Pleistosen. Sesar yang teraktifkan pada masa kompresi

ini umumnya menunjukkan pergerakan dip – slip, dan beberapa menunjukkan pergerakan

11

strike slip yang berasosiasi dengan reaktivasi, pembalikan, dan propragasi dari sesar normal

yang terbentuk sebelumnya. Subduksi miring antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng Indo

– Australia telah menghasilkan suatu sistem wrench dengan arah menganan. Hal ini

mengakibatkan cekungan – cekungan di Pulau Sumatra memiliki karakteristik tektonik

wrench dan struktur yang dihasilkan berupa upthrust dan flower structure.

Analisis yang dilakukan oleh Heidrick dan Aulia (1993) mengenai evolusi tektonik di

Cekungan Sumatra Tengah telah menemukan empat episode tektonik utama pada cekungan

tersebut (Gambar 2.4), yaitu: F0 (Paleozoikum Akhir – Mesozoikum, tidak ditentukan), F1

(Eosen – Oligosen, 50 – 26 juta tahun yang lalu), F2 (Miosen Awal – Tengah, 26 – 13 juta

Gambar 2.4. Perkembangan tektonogenik Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993).

12

tahun yang lalu), F3 (Miosen Akhir – Resen, 13 – 0 juta tahun yang lalu). Gambar 2.4

memperlihatkan data episode tektonik tersebut dalam tektonogenetik skematis yang

menjelaskan perkembangan sindeposisional dari cekungan. Karakteristik dari setiap episode

deformasi dan pengaruhnya terhadap geometri jebakan pada cekungan ini akan dibahas dari

episode yang paling tua (F1) sampai paling muda (F3).

Gambar 2.5. menunjukkan perkembangan tektonik regional dari Sundaland

didominasi oleh lekukan berarah N – NNW dari Lempeng India ke arah Asia Tenggara. Batas

lempeng yang mengelilingi Sundaland di sebelah barat dan selatan tertransform dengan cepat

dan sistem rift sintektonik berumur Eo-Oligosen beserta endapan fluvio – lakustrin

memberikan banyak detail pada tektonostratigrafi dari evolusi tektonik yang kompleks ini.

Pada episode F0 (pra-Tersier) terbentuk sistem sesar dengan arah utara – selatan,

barat laut – tenggara, dan timur laut – barat daya sebagai akibat dari deformasi pada batuan

dasar yang belum diketahui secara jelas penyebabnya. Batuan dasar penyusun Cekungan

Sumatra Tengah merupakan batuan pra-Tersier yang cenderung dangkal. Hal ini

F3

F3

F2

F2

Gambar 2.5. Peta Kerangka Tektonik yang menunjukkan fasa F2 (wrench) dan fasa F3 (inversi) (Heidrick dan Aulia, 1993).

13

menyebabkan sedimen yang terendapkan pada Cekungan Sumatra Tengah cenderung mudah

untuk dipengaruhi oleh aktivitas tektonik pada batuan dasar.

Episode F1 (Eosen – Oligosen) ditandai dengan deformasi yang diakibatkan oleh

rifting yang menyebabkan reaktivasi dari struktur – struktur yang terbentuk sebelumnya (F0)

yang akan membentuk horst dan graben. Fasa perkembangan tektonik pada episode ini

terbagi menjadi fasa awal (F1E), tengah (F1M), dan akhir (F1L) (Gambar 2.4).Pada graben

atau separuh graben inilah akan terendapkan Kelompok Pematang yang terdiri dari dua fasies

kontinental. Pengendapan sedimen synrift ini sangat dipengaruhi oleh footwall uplifting,

tinggian intrabasin, dan pembentukan antiklin transpresional.

Episode tektonik selanjutnya (F2) yang terjadi pada Miosen Awal dan terjadi

bersamaan dengan pengendapan Kelompok Sihapas (26 – 12Ma). Episode ini diawali oleh

fasa pembentukan amblesan yang diikuti oleh pembentukan sistem wrench fault menganan

regional dan zona rekahan transpresional yang umumnya berarah barat laut – tenggara

(Gambar 2.5). Fasa ini mengakibatkan teraktivasinya struktur – struktur tua berarah timur laut

– barat daya yang akan membentuk graben dan separuh graben.

Pada episode F3 (Miosen Tengah) terjadi pembentukan struktur geologi yang diikuti

oleh pengendapan Kelompok Petani dan Formasi Minas. Episode ini diawali dengan

terjadinya gaya kompresi yang menghasilkan struktur berupa thrust fault dan reverse fault

pada jalur wrench fault yang terbentuk sebelumnya yang umumnya berarah barat laut –

tenggara (Gambar 2.5). Gaya kompresi ini juga membentuk sesar wrench menganan di

sepanjang Pegunungan Barisan.

II.2. Stratigrafi Regional

Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan struktural berumur Tersier yang

endapan pengisi cekungannya tersusun atas sedimen berumur Tersier yang terendapkan di

atas batuan dasar yang terdiri dari batuan beku dan batuan metamorf pre Tersier. Batuan yang

tersingkap pada cekungan ini hampir seluruhnya merupakan perlapisan berumur Tersier,

meskipun beberapa blok yang terangkat pada Pegunungan Barisan terdiri dari batuan

metamorf dan batuan beku berumur Paleozoikum dan Mesozoikum serta batuan vulkanik

muda berumur Tersier sampai Resen.

14

Menurut de Coster (1974) Cekungan Sumatra Tengah dapat dibagi menjadi beberapa

unit stratigrafi berdasarkan hubungan waktu dan jenis litologinya (Gambar 2.6). Urutan

stratigrafi Cekungan Sumatra Tengah dari tua ke muda yaitu:

Kompleks pra-Tersier

Kompleks pra-Tersier merupakan batuan dasar dari Cekungan Sumatra

Selatan. Batuan dasar ini tersusun atas kompleks batuan beku berumur

Mesozoikum, batuan metamorf dan karbonat berumur Paleozoikum dan

Mesozoikum. Batuan metamorf dan sedimen berumur Paleozoikum dan

Mesozoikum tersebut telah terlipatkan dan tersesarkan dengan kuat serta terintrusi

oleh batuan beku pada proses orogenitas saat Mesozoikum Tengah. Kompleksitas

Gambar 2.6. Tabel stratigrafi umum dari Cekungan Sumatra Tengah (de Coster, 1974).

15

dari hubungan struktur dari batuan yang tersingkapkan di Pegunungan Barisan

tidak diragukan lagi merupakan pengaruh dari batuan dasarnya.

Menurut Pulunggono dan Cameron (1984), batuan dasar pra-Tersier pada

Cekungan Sumatra Selatan dapat dibagi menjadi enam kelompok (terrane)

berdasarkan perbedaan tektonik dan litologinya. Kontak antarbatuan dasar ini

berganti secara tiba – tiba, adanya terminasi linear yang tajam dari litologi yang

berbeda, saling berdekatan, dan memiliki perbedaan umur yang kontras

menunjukkan kemungkinan kontak yang dipengaruhi oleh sesar (Gambar 2.7).

Pembagian kelompok – kelompok pada batuan dasar ini yaitu:

o Mallaca Terrane: dikenal juga sebagai kelompok kuarsit dan berumur

Paleozoikum. Kelompok ini terletak pada coastal plain bagian timur laut

cekungan. Batuan utama penyusun kelompok ini yaitu kuarsit, granit

pluton yang berumur Yura, dan sisipan filit. Jenis batuan lain yang

ditemukan yaitu batugamping kristalin, dan argilit.

o Mutus Terrane: kelompok ini berumur Trias – Yura. Dilihat dari posisinya,

kelompok ini merupakan zona penyatu (suture) antara Mergui Terrane dan

Gambar 2.7. Peta tektonostratigrafi batuan dasar pada Cekungan Sumatra Tengah (Pulunggono dan Cameron (1984).

16

Malacca Terrane. Kelompok ini terletak pada bagian coastal plain bagian

barat daya cekungan. batuan penyusun kelompok ini yaitu argilit, filit,

kuarsit, batugamping, baturijang, tuff, dan serpih.

o Mergui Terrane: kelompok ini berumur Perm – Karbon dan terletak pada

bagian barat dari Mutus Terrane. Batuan penyusun kelompok ini yaitu

kuarzit, greywacke, dan dalam jumlah kecil terdapat filit, argilit, dan

batugamping.

o Kualu Terrane: kelompok ini berumur Perm – Karbon (?) dan terletak

pada barat laut dari Mergui Terrane. Batuan penyusunnya yaitu filit, tuff,

batugamping, dan batusabak.

o Kuantan Terrane: kelompok ini berumur Perm – Karbon dan tersusun dari

batugamping, batusabak, dan argilit.

o Woyla Terrane: kelompok ini berumur Yura – Kapur dan terdiri dari

batugamping dan batuan ultramafik.

Formasi Kelesa

Formasi ini terdistribusikan secara lokal pada daerah cekungan dan

terendapkan sebagai endapan sedimen awal yang mengisi graben dan trough pada

basin shelf. Litologi penyusun formasi ini yaitu konglomerat, batupasir kuarsa

berbutir kasar, batubara, serpih berbagai warna (variegated shale), dan material tufan

yang terendapkan pada lingkungan kontinental.

Formasi ini merupakan suatu sekuen yang bagian bawahnya merupakan

ketidakselarasan zaman pra-Tersier yang menyajikan refleksi seismik yang baik. Di

atas formasi ini terendapkan secara tidak selaras Formasi Lakat, batas ini merupakan

suatu batas yang jelas pada reflektor seismik dan log sumur. Pada data dipmeter batas

ini dijelaskan sebagai ketidakselarasan dan bukti dari perubahan lingkungan

pengendapan, akan tetapi pada beberapa tempat tertentu, pengendapan secara lokal

terjadi pada lingkungan transisi. Fasies kontinental ini diinterpretasikan bergradasi ke

arah barat laut ke arah Depresi Tapanuli menjadi batulempung, batupasir, dan serpih.

Formasi ini mencapai ketebalan 1220 meter pada daerah lokal disebelah selatan

cekungan. Berdasarkan penentuan umur, diketahui formasi ini berumur Oligosen –

Miosen awal.

17

Formasi Lakat

Formasi ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Kelesa. Pada area

Kampar formasi ini memberikan reflektor seismik yang buruk dan hanya bisa

dipetakan apabila diadakan pengikatan terhadap kontrol sumur. Formasi ini tersusun

atas batupasir kuarsa yang relatif bersih dan lapisan serpih tipis dan terendapkan pada

lingkungan neritik dalam sampai garis pantai. Ketebalan formasi ini bervariasi, pada

beberapa sumur mencapai 336 meter. Formasi ini tidak memiliki data paleontologi

yang cukup untuk analisis umur sehingga umur dari formasi ini diinterpretasikan dari

posisi stratigrafinya yaitu Miosen Bawah.

Kelompok Sihapas

Penamaan ini adalah penamaan ekivalen yang digunakan untuk menyebut

suatu bagian unit stratigrafi yang meliputi bagian dari Formasi Lakat dan Formasi

Tualang. Kelompok Sihapas Bawah merupakan ekivalen dari Formasi Lakat dan

Kelompok Sihapas Atas adalah ekivalen dari Formasi Tualang. Umur dari kelompok

ini berdasarkan zonasi planktoniknya yaitu N.4 sampai N.8.

Formasi Tualang:

Formasi yang terendapkan di atas Formasi Lakat ini umumnya memiliki

ketebalan 61 - 122 meter pada bagian selatan cekungan dan terkadang mencapai 153 -

184 meter pada beberapa sumur. Formasi ini terdiri dari serpih karbonatan yang

berselingan dengan batulanau glaukonitan dan batupasir yang tipis. Litologi tersebut

menunjukkan transisi fasies dari pengendapan marin neritik dalam ke neritik luar.

Batas atas untuk pemilihan batas log pada formasi ini yaitu bagian paling atas dari

batupasir glaukonitan yang relatif tebal di bawah Serpih Telisa. Bagian atas dari

formasi ini juga menunjukkan relfektor seismik yang baik dan kontinu yang juga

menunjukkan adanya batas sekuen yang mendefinisikan bagian atas dari basal wedge

pada siklus pengendapan sedimen di Cekungan Sumatra Tengah.

Formasi ini seringkali diinterpretasikan sebagai satuan ekivalen waktu –

litologi dengan batugamping basal Formasi Telisa pada Cekungan Sumatra Selatan,

sehingga umurnya juga diinterpretasikan pada Miosen Awal. Umur ini digunakan

karena posisi stratigrafi dari cekungan ini dan tidak ditemukannya Spiroclypeus.

Formasi Telisa

Formasi ini merupakan formasi yang penyebarannya paling luas dari semua

satuan Tersier lainnya dan terendapkan pada masa transgresi laut maksimum pada

18

cekungan. litologi yang menjadi ciri khas formasi ini yaitu serpih laut berfosil yang

mengandung lapisan kecil batugamping glaukonitan. Pada ujung cekungan dan daerah

dangkalan terbentuk fasies laut dangkal dengan litologi batulanau dan batupasir halus

serta batugamping dan serpih. Ketebalan dari formasi ini sangat bervariasi dalam

cekungan, tetapi umumnya mencapai ketebalan 1800 sampai 2700 meter pada daerah

depresi.

Formasi ini terendapkan di atas Formasi Tualang dan pada sebagian ujung

cekungan terendapkan langsung di atas batuan pra-Tersier. Di atas formasi ini

terendapkan Formasi Binio. Kontak dari formasi ini sukar ditentukan secara konsisten

untuk seluruh cekungan akan tetapi dengan perkembangan teknologi dapat diperoleh

juga data seismik dan geologi regional yang lebih baik sehingga suatu kontak yang

lebih konstan terhadap waktu dapat dipilih berdasarkan kemunculannya pada refleksi

seismik pada bagian bawah dari Formasi Binio, tepatnya di atas atau pada suatu

bagian yang tersusun dari batupasir yang berselingan dengan serpih.

Dengan semakin lengkapnya data seismik dan litologi yang diperoleh, bagian

atas dari Formasi Telisa dapat ditempatkan pada bagian bawah dari batupasir Formasi

Binio di atas lapisan serpih masif dari Formasi Telisa. Pada kolom stratigrafi (Gambar

2.6) formasi ini ditunjukkan sebagai suatu sekuen atau satuan litologi – waktu yang

memiliki waktu yang konstan pada bagian atas dan dasarnya.

Umur Formasi Telisa didapatkan dari analisis biostratigrafi berdasarkan fosil

fauna plankton. Dengan fosil – fosil plankton yang diambil dari bagian atas sekuen

Formasi Telisa diperoleh zonasi umur dari N.6 atau N.7 pada bagian bawahnya

sampai N.11 pada bagian atasnya. Pada bagian yang distal terhadap cekungan, umur

dari Formasi Telisa pada bagian bawah yaitu N.5, sedangkan pada bagian atasnya

N.12 tetapi hal ini tidak ditemukan pada sampel dari sumur karena lingkungan laut

telah mendangkal dan menyebabkan sedikit saja plankton yang muncul. Pengendapan

maksimum dari formasi ini tercapai pada zona Globorotalia fohsi fohsi (N.10 – 11)

pada bagian selatan dari Cekungan Sumatra Selatan.

Terjadi sedikit jeda pada pengendapan bagian paling atas dari Formasi Telisa

yang ditunjukkan oleh adanya ketidakselarasan antara Formasi Telisa dan Formasi

Binio pada beberapa sumur pada pinggiran cekungan tetapi tidak terlihat dengan jelas

pada sumur yang jauh dari pinggiran cekungan maupun dari penampang seismik. Hal

ini mungkin berkaitan dengan aktivitas tektonik yang terjadi selama Miosen.

19

Formasi Binio

Litologi dari formasi ini tersusun atas serpih dengan batupasir glaukonitan dan

batugamping dengan lingkungan pengendapan neritik yang semakin ke atas

bergradasi menjadi lingkungan laut dangkal. Bagian bawah dari formasi dan

kontaknya dengan Formasi Telisa merupakan suatu permukaan yang konstan terhadap

waktu sementara kontaknya dengan Formasi Korinci merupakan kontak litologi

berdasarkan reflektor seismik yang kuat dan dapat dipetakan pada daerah yang luas.

Hal tersebut menunjukkan adanya permukaan yang sinkron yang dapat digunakan

untuk korelasi, tetapi kehadiran batubara yang bervariasi menyebabkan

penginterpretasi tidak dapat memetakan bagian lain dari antiklin yang lebih besar

yang menyingkapkan lapisan dari Formasi Korinci.

Berdasarkan analisis mikropaleontologi, umur dari formasi ini

diinterpretasikan pada zaman Miosen meskipun rentang umurnya cukup jauh, hal ini

dikarenakan kurangnya informasi dan data untuk penentuan umur. Formasi ini

memiliki ketebalan yang sangat variasi dan relatif terhadap posisinya dalam cekungan

dan memiliki tebal rata – rata 1000 – 1500 meter.

Formasi Korinci

Bagian bawah formasi ini terendapkan pada laut dangkal - paya, dataran delta,

dan lingkungan non-marin lainnya, hal ini ditunjukkan oleh litologinya yang tersusun

dari batupasir, batulempung, dan lapisan batubara. Pendefinisian Korinci sebagai

suatu formasi didasarkan atas kriteria litologi.

Kontak dari formasi ini dengan Formasi Binio dipilih pada korelasi log dan

batuan dengan batubara yang umumnya merupakan reflektor seismik yang baik. Batas

bagian atas dengan Formasi Nilo diasumsikan berdasarkan posisi cekungan dan

biasanya merupakan bidang ketidakselarasan atau disconformity dan biasanya dipilih

pada bagian paling bawah dari lapisan tufa tebal yang terletak di bawah Formasi Nilo.

Formasi Korinci memiliki ketebalan dan pemilihan kontak yang bervariasi

dengan ketebalan rata – rata 450 sampai 750 meter. Tidak adanya data fauna yang

cukup untuk analisis biostratigrafi menyebabkan umur formasi ini diinterpretasikan

dari posisi stratigrafinya dan biasanya berumur Miosen – Pliosen.

Formasi Nilo

Formasi ini terendapkan saat proses orogenesa Plio-Pleistosen berlangsung.

Pada formasi ini banyak ditemukan hasil erosi yang diperkirakan berasal dari

20

Pegunungan Barisan dan Pegunungan Tigapuluh beserta perlipatan – perlipatan pada

cekungan yang mengalami pengangkatan selama orogenesa.

Formasi ini terdiri dari batupasir tufan, batulempung, kerikil, dan lensa tipis

batubara dengan komposisi dan ketebalan yang bervariasi. Kontak basal dari formasi

ini biasanya ditempatkan pada bagian yang paling bawah dari lapisan tufa tebal yang

terdapat pada bagian bawah formasi ini.

Formasi ini dianggap terbentuk saat pembentukan sinklin selama orogenesa

dan tidak ada pada saat perlipatan antiklin. Formasi Nilo diperkirakan berumur Plio –

Pleistosen berdasarkan asosiasinya dengan proses orogenesa yang berlangsung pada

zaman tersebut.

II.3.Geologi Daerah Penelitian

Lapangan Redang yang terletak pada daerah Kampar, Propinsi Riau merupakan salah

satu wilayah konsensi minyak bumi yang dioperasikan oleh PT Medco E&P Indonesia

(Gambar 2.8). Lokasi dari daerah penelitian secara geografis terletak pada 102° 20’ 16’’ -

102°24’ 20’’ Bujur Timur dan 00° 12’ 32’’– 00’16’ 2’’ Lintang Selatan. Lapangan Redang

Gambar 2.8. Lokasi daerah penelitian (Laporan internal PT Medco E&P).

21

yang merupakan daerah penelitian terletak pada bagian selatan dari Cekungan Sumatra

Tengah. Lapangan ini memiliki luas ± 4 km2.

II.3.1. Stratigrafi Daerah Penelitian

Dari usia tua ke muda, formasi pada Lapangan Redang terdiri dari Formasi Lakat,

Formasi Tualang, dan Formasi Telisa (Gambar 2.9) dengan Formasi Tualang sebagai fokus

studi dalam penelitian ini.

Formasi Lakat yang berumur Miosen Awal terendapkan secara selaras di bawah

Formasi Tualang dan terdiri dari lapisan batupasir glaukonitan dengan ketebalan rata-rata 75

kaki dan lapisan serpih karbonatan dengan ketebalan rata – rata 90 kaki. Formasi ini

menunjukkan lingkungan pengendapan laut dangkal (foreshore – shoreface). Formasi

Tualang yang merupakan fokus penelitian berumur Miosen Tengah – Miosen Awal terdiri

dari lapisan batupasir glaukonitan dengan ketebalan rata – rata 29 kaki dan lapisan serpih

karbonatan dengan ketebalan rata – rata 80 kaki. Formasi Tualang menunjukkan lingkungan

pengendapan shallow marine (shoreface). Formasi Telisa yang berumur Miosen Tengah

terendapkan secara selaras di atas Formasi Tualang dan terdiri dari batupasir glaukonitan

dengan ketebalan rata – rata 220 kaki dan serpih karbonatan dengan ketebalan rata – rata 350

kaki. Formasi ini menunjukkan lingkungan pengendapan lepas pantai.

Berdasarkan studi sedimentasi diketahui bahwa reservoir – reservoir di daerah

penelitian menunjukkan lingkungan pengendapan shoreface. Hal ini menunjukkan bahwa

endapan sedimen pada Lapangan Redang diperkirakan terendapkan pada lingkungan lower,

middle, hingga upper shoreface.

22

Gambar 2.9. Kolom stratigrafi Lapangan Redang dari sumur PL-01.

23

II.3.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian

Analisis terhadap peta struktur kedalaman dari Lapangan Redang menunjukkan

terdapat antiklin utama dengan arah sumbu relatif utara – selatan yang ditunjukkan dengan

daerah tinggian pada peta (Gambar 2.10). Pembentukan antiklin tersebut berasosiasi dengan

tektonik kompresi yang terjadi pada Miosen Akhir – Pliosen Awal.

Pada sebelah utara, tengah, dan timur dari Lapangan Redang terdapat manifestasi

sesar berupa sesar naik (Gambar 2.10). Pada peta terlihat sesar naik berarah NW – SE dengan

kemiringan menghadap ke barat serta sesar naik berarah NW-SE dengan kemiringan

menghadap ke timur. Sesar – sesar naik tersebut merupakan sesar mayor yang membentuk

struktur antiklin dan menghasilkan perangkap struktur antiklin tersesarkan pada daerah

penelitian. Keberadaan dari sesar dapat dilihat pada penampang sesimik dari lintasan

2053_84 yang membentang dari utara – selatan daerah penelitian (Gambar 2.11)

Gambar 2.10. Peta struktur kedalaman Lapangan Redang pada top FS-05.

24

Gambar 2.11. Penampang seismik dari lintasan 2053_84.

Lintasan 2053_84

n

N