42
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN Bab II berisi tentang kajian pustaka, konsep, landasan teori dan model penelitian. Kajian pustaka membahas mengenai kajian teori termutakhir yang telah ada sebelumnya dan relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sementara itu konsep berbicara mengenai batasan terhadap terminologi teknis yang merupakan komponen dari kerangka teori. Landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari teori sebagai tuntunan dalam memecahkan masalah penelitian. Terakhir model penelitian yang memuat tentang abstraksi sintesis dari teori dan permasalahan penelitian. 2.1 Kajian Pustaka Untuk mendukung penelitian ini diperlukan beberapa kajian pustaka yang terkait dengan implikasi Musrenbang Desa terhadap pembangunan spasial. Kajian ini berperan dalam menentukan gambaran awal dari penelitian yang akan dilakukan. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai bahan pijakan dalam meneliti di lapangan. Kajian pustaka juga digunakan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan diangkat menjadi topik penelitian serta untuk menjelaskan kedudukan masalah dalam tempatnya yang lebih luas. Konstruksi teoritis yang ada dalam kajian pustaka akan memberikan landasan bagi penelitian. 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN … pokok persoalan yang difokuskan dalam penelitian. Informasi dan masukkan pada masyarakat, pemerintah dan berbagai pihak sebagai komponen

  • Upload
    buinga

  • View
    215

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

PENELITIAN

Bab II berisi tentang kajian pustaka, konsep, landasan teori dan model penelitian.

Kajian pustaka membahas mengenai kajian teori termutakhir yang telah ada

sebelumnya dan relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sementara itu

konsep berbicara mengenai batasan terhadap terminologi teknis yang merupakan

komponen dari kerangka teori. Landasan teori adalah landasan berpikir yang

bersumber dari teori sebagai tuntunan dalam memecahkan masalah penelitian.

Terakhir model penelitian yang memuat tentang abstraksi sintesis dari teori dan

permasalahan penelitian.

2.1 Kajian Pustaka

Untuk mendukung penelitian ini diperlukan beberapa kajian pustaka yang terkait

dengan implikasi Musrenbang Desa terhadap pembangunan spasial. Kajian ini

berperan dalam menentukan gambaran awal dari penelitian yang akan dilakukan.

Selain itu juga dapat dijadikan sebagai bahan pijakan dalam meneliti di lapangan.

Kajian pustaka juga digunakan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan

diangkat menjadi topik penelitian serta untuk menjelaskan kedudukan masalah dalam

tempatnya yang lebih luas. Konstruksi teoritis yang ada dalam kajian pustaka akan

memberikan landasan bagi penelitian.

9

10

2.1.1 Partisipasi Masyarakat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan di

Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang

Hasil penelitian tesis Joseph Motte pada tahun 2005 yang diunggah pada

http://www.eprints.undip.ac.id/11763/, mengungkapkan bahwa telah terjadi

mekanisme proses Musrenbang di Kecamatan Gajahmungkur Semarang yang tidak

berjalan dengan semestinya. Hal tersebut diindikasikan akibat dari tidak

berlangsungnya keterlibatan masyarakat secara aktif dalam merencanakan program

pembangunan daerahnya. Padahal masyarakat inilah yang paling mengerti dan

memahami permasalahan yang ada di lingkungannya dan perencanaan pembangunan

apa yang tepat bagi mereka. Namun permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian

yakni Kecamatan Gajahmungkur menurut penulis adalah kesadaran masyarakat untuk

secara aktif berpartisipasi dalam Musrenbang masih rendah.

Motte selanjutnya mengedepankan rumusan masalah dalam penelitiannya yakni

untuk melihat “Bagaimana tingkatan partisipasi masyarakat Kecamatan

Gajahmungkur dalam Musrenbang, dan faktor apa saja yang mempengaruhi

partisipasi terhadap program pembangunan?”. Partisipasi masyarakat dijadikan

sebagai pokok persoalan yang difokuskan dalam penelitian. Informasi dan masukkan

pada masyarakat, pemerintah dan berbagai pihak sebagai komponen penting dalam

penentuan program pada proses perencanaan/Musrenbang di tingkat Kecamatan.

Substansi permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada partisipasi masyarakat dan

proses pembangunan yang dibatasi pada Musyawarah Rencana Pembangunan.

11

Pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

deskriptif eksploratif. Pendekatan deskriptif eksploratif merupakan suatu pendekatan

penelitian dengan menggambarkan dan mengetahui keadaan atau fenomena

partisipasi masyarakat yang ada di Kecamatan Gajahmungkur dalam Musrenbang

secara sistematis, faktual dan akurat. Data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian

ini bersifat kualitatif dan kuantitatif, data kualitatif dianalisis untuk memperoleh

kesimpulan dari tingkat partisipasi. Data kuantitatif dianalisis dengan menjumlahkan,

mengklasifikasi dan membuat persentase. Hasilnya berupa tabel, grafik, gambar serta

pemetaan.

Melalui proses pendekatan dan metode penelitian serta dari kajian literatur dan

analisis tersebut didapatkan sebuah temuan studi yakni, tingkat partisipasi masyarakat

Kecamatan Gajahmungkur dalam proses Musrenbang tergolong sedang.

Penggolongan dalam kriteria „sedang‟ tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain: perbedaan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan pengalaman

berorganisasi penduduk (Motte, 2005: 97). Akan tetapi dilihat dari tingkat kehadiran

masyarakat dalam setiap Musrenbang dapat dikatakan cukup karena persentase

kehadiran masyarakat lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkatan

partisipasi masyarakat di Kecamatan Gajahmungkur masih berada pada tahap

informing dan consultation. Sedangkan pada tahapan partnership dalam partisipasi

masyarakat di Kecamatan Gajahmungkur masih cukup sulit.

12

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Joseph Motte, permasalahan

yang ditekankan pada penelitiannya adalah mengetahui tingkatan partisipasi

masyarakat. Selain itu juga permasalahan lainnya yang dilihat adalah faktor-faktor

yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terhadap program pembangunan.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Joseph Motte tersebut memiliki kesamaan

dengan penelitian yang dilakukan penulis yakni terletak pada faktor-faktor yang

mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perumusan program.

Sedangkan perbedaan dari penelitian Joseph Motte dengan penelitian ini terletak

pada penekanan implikasi pelaksanaan program terhadap aspek spasial. Selain itu

perbedaan lainnya terletak pada lokasi penelitian, penelitian yang dilaksanakan oleh

Joseph Motte terletak di Kecamatan Gajahmungkur, Semarang sedangkan penelitian

ini terletak di Kelurahan Kesiman, Kota Denpasar. Melihat dari aspek lokasi dan

fokus dari kedua penelitian yang berbeda tentunya output yang dihasilkan akan

berbeda pula.

2.1.2 Pelaksanaan Hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan

(Musrenbang) di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau

Penelitian lainnya yang masih terkait dengan pelaksanaan Musrenbang desa

terkait dengan partisipasi masyarakat yang ditulis oleh Utin Sri Ayu Supadmi dkk

(2013) yang dimuat dalam jurnal ilmiah. Pada penelitian tersebut dipaparkan bahwa

guna terwujudnya pembangunan daerah yang terpadu, selaras, serasi, dan seimbang

diperlukan sinergi antara kegiatan pemerintah dan partisipasi masyarakat yakni

melalui forum Musrenbang. Pelaksanaan Musrenbang dilakukan untuk menjamin

13

terpenuhinya aspirasi masyarakat di dalam proses perencanaan pembangunan.

Penyusunan rencana pembangunan merupakan hasil perencanaan dari bawah ke atas

dan dari atas ke bawah dengan kata lain merupakan kombinasi dari perencanaan

bottom up dan top down. Tahapan-tahapan penyusunan pembangunan tersebut

dimulai dari penyusunan pembangunan tingkat desa yakni secara kongkrit dan

terpadu.

Permasalahan yang diangkat dalam tulisan tersebut adalah adanya faktor-faktor

yang menyebabkan pelaksanaan hasil Musrenbang di Kecamatan Kapuas, Kabupaten

Sanggau belum sesuai dengan usulan kegiatan. Permasalahan yang diangkat tersebut

bersumber pada implementasi kebijakan hasil Musrenbang dan faktor-faktor yang

mempengaruhi implementasi kebijakan pembangunan hasil Musrenbang. Dalam

implementasinya, tujuan dari adanya Musrenbang yakni sebagai sistem perencanaan

partisipatif ternyata tidak seluruhnya memberikan dampak yang maksimal di dalam

mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Fenomena tersebut terjadi diakibatkan oleh

hasil yang diperoleh kurang sejalan dengan yang direncanakan sendiri oleh

masyarakat. Permasalahan-permasalahan publik yang menurut masyarakat penting

dan segera harus dilaksanakan justru kurang menjadi prioritas. Oleh karena itu hasil

yang diharapkan kurang sesuai dengan yang dibayangkan oleh masyarakat,

permasalahan ini diakibatkan oleh jumlah anggaran yang tidak memadai.

Hasil penelitian yang diungkapkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa hampir

semua kelurahan dan desa di Kecamatan Kapuas mengusulkan kegiatan yang kurang

14

lebih sama, yang membedakan hanya lokasi kegiatan saja. Musrenbang merupakan

sebuah kebutuhan dalam pembangunan. Kegiatan Musrenbang dapat dilihat dari

bidang ekonomi, fisik dan sosial budaya. Berbagai aspirasi yang disampaikan oleh

masyarakat dalam Musrenbang lebih menitikberatkan pada hal-hal yang sifatnya

penting dan menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika aspirasi masyarakat

yang telah ditampung dalam proses Musrenbang dan menjadi dokumen Musrenbang,

maka masyarakat berharap banyak agar kegiatan tersebut dapat tercapai dan sesuai

dengan harapan masyarakat. Akan tetapi kenyataan berbicara bahwa masyarakat

menilai pembangunan yang berjalan belum sesuai dengan apa yang masyarakat

kehendaki.

Beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi hasil Musrenbang di

Kecamatan Kapuas antara lain adalah pertama, faktor keakuratan usulan kegiatan.

Ada kecenderungan bahwa usulan yang diajukan dalam Musrenbang Kecamatan

merupakan rumusan elit kelurahan dan desa, sehingga partisipasi masyarakat yang

sesungguhnya belum terakomodasi. Hal tersebut berimplikasi pada stigma bahwa

kewenangan pihak elit saja yang merumuskan daftar kegiatan prioritas.

Kedua, minimnya pendampingan, kurangnya pendamping dan fasilitator desa

yang kompeten dan mampu melaksanakan perencanaan partisipatif, menyebabkan

prioritas kegiatan terkadang tidak dapat terakomodir. Untuk mengatasi hal tersebut

diupayakan adanya peningkatan kapasitas tim pendamping dan fasilitator desa. Serta

15

mampu melaksanakan analisis situasi dan masalah secara partisipatif sebelum

Musrenbang desa dilaksanakan.

Ketiga, faktor kurangnya transparansi pelaksanaan Musrenbang. Untuk

meningkatkan partisipasi masyarakat, maka pemerintah harus menunjukkan

transparansi di dalam pelaksanaan Musrenbang. Selama ini forum Musrenbang yang

melibatkan masyarakat secara umum hanya terbatas di tingkat kelurahan.

Keterwakilan masyarakat dalam forum tingkat kecamatan sangat kecil. Hal ini

menyebabkan usulan program banyak hilang di tengah jalan.

Keempat, jumlah anggaran yang disediakan untuk pembangunan hasil

Musrenbang masih kurang mencukupi. Hal ini dikarenakan masih banyak program

yang harus dijalankan. Artinya selama ini perencanaan pembangunan bukan

didasarkan atas penggalian aspirasi masyarakat tetapi lebih pada penyesuaian alokasi

anggaran. Apabila anggaran dirasakan mencukupi maka program dapat dilaksanakan

sebaliknya apabila alokasi anggaran tidak mampu menampung seluruh kegiatan maka

akan dipilih kegiatan yang paling mendesak untuk dilaksanakan.

Secara teoritis Musrenbang sebagai salah satu bentuk perencanaan pembangunan

yang bersifat bottom up sudah terlaksana dengan baik. Hanya saja belum

terimplementasi sesuai dengan apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan

masyarakat. Hal ini dikarenakan pada tahapan yang lebih tinggi yaitu Musrenbang

Kabupaten, prioritas usulan yang disampaikan oleh masing-masing desa/kelurahan

harus disinkronkan dengan program pembangunan SKPD yang bersifat top down.

16

Usulan masyarakat harus bersaing dengan program SKPD yang sudah lebih terukur

dan lebih terencana dengan baik.

Secara keseluruhan penelitian tesis yang dimuat dalam jurnal oleh Utin Sri Ayu

Supadmi dkk bertujuan untuk melihat implementasi kebijakan Musrenbang dan

faktor yang mempengaruhi implementasi pelaksanaan program. Persamaan antara

penelitian yang dilakukan Supadmi dkk dengan penelitian dilakukan penulis terletak

pada rumusan masalah yang dilihat yakni faktor-faktor yang mempengaruhi

implementasi kebijakan pembangunan hasil Musrenbang.

Sementara perbedaan dari kedua penelitian terletak pada faktor-faktor

implementasi kebijakan dilihat pada saat penyelenggaraan Musrenbang. Penelitian

yang dilakukan penulis terfokus melihat faktor yang berpengaruh pada perumusan

program dan implikasi program pembangunan pada pembangunan spasial. Sedangkan

pada penelitian yang dilaksanakan Supadmi dkk, faktor implementasi yang dilihat

berfokus pada setelah diselenggarakannya Musrenbang, apa saja yang berkaitan

dengan jalannya program. Selain pada fokus penelitian yang berbeda, perbedaan

lainnya terletak pada lokasi penelitian, penelitian yang dilaksanakan Supadmi dkk

terletak di Kabupaten Sanggau, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis terletak

di Kelurahan Kesiman, Kota Denpasar.

2.1.3 Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Proses Perencanaan Pembangunan

Pasca Musrenbang di Kabupaten Hulu Sungai Tengah

Salah satu tesis yang memuat keberadaan Musrenbang sebagai unsur

perencanaan pembangunan ditulis oleh Evi Agustina Rahayu (2013). Pada tesis

17

tersebut dikemukakan bahwa pendekatan perencanaan partisipatif dalam

pembangunan di Indonesia dilaksanakan melalui mekanisme Musrenbang.

Penjaringan partisipasi masyarakat sejak awal dalam proses perumusan kebijakan

publik atau dalam perencanaan pembangunan menjadi penting untuk

mengidentifikasi kebutuhan masyarakat. Pembangunan akan dinilai berhasil apabila

mampu memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat.

Tujuan penelitian yang ditulis pada tahun 2013 ini adalah untuk mendapatkan

gambaran tentang proses akomodasi usulan masyarakat dalam tahapan perencanaan

pembangunan daerah pasca Musrenbang. Adapun rumusan masalah yang diangkat

antara lain adalah (a) program dan kegiatan pembangunan apa saja yang terealisasi di

tingkat Kecamatan, (b) bagaimana akomodasi usulan masyarakat yang berlangsung

sehingga menjadi program dan kegiatan pembangunan yang terealisasi (bagaimana

pola berjalannya usulan, siapa saja yang berperan, dengan cara apa mereka

mempengaruhi), (c) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi akomodasi usulan

masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan daerah.

Pengumpulan data menggunakan data primer dan sekunder. Data sekunder

diperoleh dari daftar usulan program dan kegiatan prioritas tahun 2011, hasil

Musrenbang tingkat kabupaten tahun 2011, Rencana Kerja Pemerintah Daerah 2011

dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 2011. Sedangkan data primer

diperoleh dengan wawancara langsung dengan para informan. Pernyataan dapat

berupa pernyataan pribadi maupun mewakili instansi atas nama pribadi.

18

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Musrenbang sebagai mekanisme resmi

penyampaian usulan kegiatan belum memiliki pengaruh besar dalam proses

perencanaan pembangunan di daerah (Rahayu, 2013). Dalam proses perumusan

kebijakan publik pada Musrenbang penting untuk diketahui siapa aktor yang terlibat

dan bagaimana keterlibatannya sehingga mempengaruhi pendefenisian masalah

publik, hingga kebijakan publik yang dirumuskan. Aktor-aktor yang terlibat dalam

perumusan kebijakan publik di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, meliputi pemeran

serta resmi dan tidak resmi.

Praktek Musrenbang yang berlangsung selama ini di Kabupaten Hulu Sungai

Tengah dinilai belum efektif. Dari hasil kegiatan yang terealisasi di tahun 2011,

serapan usulan kegiatan yang berasal dari Musrenbang hanya 39%. Hal ini

disebabkan oleh masih banyaknya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan

Musrenbang sehingga perlu banyak pembenahan. Salah satunya dalam mekanisme

pengusulan program.

Sumber usulan kegiatan pembangunan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah selain

dari Musrenbang juga berasal dari proposal yang diajukan masyarakat maupun dari

hasil reses DPRD. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses berjalannya

usulan kegiatan dalam tahapan perencanaan pasca Musrenbang, diantaranya

mekanisme penyampaian usulan kegiatan yang belum baku, sumber daya masyarakat

yang umumnya masih lemah, sumber daya organisasi/perangkat daerah yang belum

memadai, dan peran aktor perumus kebijakan publik yang signifikan.

19

Secara umum proses perencanaan yang berlangsung di daerah masih memiliki

beberapa kekurangan. Oleh karena itu perlu masukan dan kerjasama para pemangku

kepentingan dalam upaya serius untuk memperbaikinya. Termasuk dalam hal

pengendalian atau evaluasi, untuk mengoptimalkan keberhasilan perencanaan hingga

tahap implementasi.

Sekilas dari hasil penelitian pada tesis Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada

Proses Perencanaan Pembangunan Pasca Musrenbang di Kabupaten Hulu Sungai

Tengah terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang

dilakukan penulis. Persamaan yang dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan

Rahayu (2013) adalah sama-sama melihat proses dan jalannya pengusulan program

serta kegiatan pembangunan dalam Musrenbang serta faktor yang berpengaruh dalam

dalam proses perencanaan pembangunan pasca Musrenbang.

Sementara itu perbedaan yang terdapat antara keduanya adalah lingkup

Musrenbang yang dijadikan objek dalam penelitian. Pada penelitian yang

dilaksanakan Rahayu (2013) lingkup penelitian berada pada level kabupaten/kota

yakni di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Sedangkan penelitian yang dilakukan

penulis lingkup penelitian mencakup wilayah kelurahan yakni Kelurahan Kesiman,

Kota Denpasar. Selain itu terdapat rumusan masalah yang mengkaitkan program dan

kegiatan Musrebang desa dengan keberadaan pembangunan spasial yang terjadi di

Kelurahan Kesiman, sedangkan penelitian sebelumnya tidak membahas masalah

tersebut.

20

2.1.4 Perubahan Sosial pada Komunitas Lokal Kawasan Tanjung Bunga Kota

Makassar, Formasi Sosial dan Perubahan Spasial

Salah satu penelitian yang memuat dampak pembangunan terhadap perubahan

spasial dan sosial masyarakat dilakukan oleh Batara Surya pada tahun 2010 yang

diunggah pada http://www.indo-planning-journals.com/index.php/tataloka/. Pada

penelitian Disertasi yang dimuat dalam bentuk jurnal internet tersebut diungkapkan

bahwa munculnya sebuah kawasan baru perkotaan di Makassar, yang mana pada

awalnya merupakan wilayah permukiman komunitas nelayan di pinggiran kota.

Perubahan fisik spasial pada kawasan tersebut ditandai oleh adanya pembangunan

wilayah yang disertai dengan pengembangan fungsi-fungsi ruang baru. Oleh sebab itu

perluasan wilayah baru dapat merekonstruksi pola ruang baru di Makassar melalui

munculnya kota baru.

Adanya perubahan paradigma pembangunan dari kebijakan sentralisasi

pembangunan menjadi desentralisasi pembangunan telah terlihat memiliki pengaruh

pada kecepatan akselerasi pembangunan pada kawasan-kawasan pinggiran kota.

Pinggiran kota yang dulunya adalah wilayah peri urban dengan kecenderungan

kegiatan agraris telah menjadi sebuah kawasan perkotaan yang terencana dan

modern. Oleh karena itu melalui kebijakan desentralisasi tersebut dapat dilihat

perkembangan fungsi-fungsi spasial baru dalam hal ini pada lokasi penelitian yang

telah dilakukan yakni pada kawasan Metro Tanjung Bunga Makassar.

Dalam penelitiannya diungkap bahwa penggerak akselerasi pembangunan

spasial pada pembangunan kawasan Metro Tanjung Bunga dimotori oleh adanya

21

peranan kekuatan kapitalis. Perkembangan tersebut diawali oleh penguasaan lahan-

lahan agraris yang kemudian dilanjutkan dengan dominasi atas penguasaan faktor-

faktor produksi non kapitalis. Proses tersebut terus berjalan dengan penguasaan

sarana produksi kemudian beralih pada penguasaan produksi ruang dan menciptakan

ruang yang representatif. Adanya fenomena tersebut sesuai dengan konsepsi bahwa

penguasaan sarana produksi menjadi reproduksi akan berlanjut pada penciptaan ruang

secara representasional (Surya, 2010: 218).

Selain fenomena yang telah dijelaskan diatas, fenomena lainnya yang berupa

temuan penelitian adalah terjadinya pembangunan fisik spasial kawasan Metro

Tanjung Bunga. Ciri khas dari pembangunan tersebut adalah perubahan morfologi

kawasan dari pedesaan yang relatif homogen ke morfologi perkotaan yang beragam.

Keberagaman morfologi tersebut berkembang pada pola kegiatan ekonomi dan sosial

masyarakat yang terpolarisasi menjadi kegiatan moderen-tradisional, kualitas tinggi-

kumuh yang selanjutnya terangkum menjadi pola formal dan informal.

Adanya pembangunan dan perluasan wilayah perkotaan telah berimplikasi pada

aspek spasial yang ditunjukkan oleh adanya dua jenis penguasaan lahan yakni ruang

kapitalis dan non kapitalis. Dalam pelaksanaan rencana, pengembang tidak serta

merta dapat menghilangkan ruang-ruang non kapitalis ini. Ruang-ruang non kapitalis

ini tetap bertahan dan menunjukkan eksistensinya melalui sektor-sektor informal dan

masyarakat kelas pekerja bawah. Temuan di atas dalam penelitian ini disebutkan

sebagai fenomena artikulasi spasial perkotaan.

22

Munculnya pembangunan yang sangat cepat tersebut selain berpengaruh pada

kegiatan dan perubahan fisik spasial juga memunculkan determinasi pada perubahan

formasi sosial. Perubahan pada mode produksi dan perubahan orientasi mata

pencaharian pada komunitas masyarakat mendorong keberlangsungan tata cara

produksi dari kelas kapitalis dan non kapitalis. Dominasi dari kelas kapitalis tersebut

memunculkan pemisahan lokasi hunian komunitas lokal secara spasial pada kawasan

Metro Tanjung Bunga Makassar yang pada akhirnya mendorong perubahan sosial

pada komunitas lokal.

Akselerasi pembangunan yang berlangsung sangat cepat dan didorong oleh

perubahan fisik spasial tersebut menciptakan ruang-ruang yang terencana maupun

yang tidak terencana (Surya, 2010: 215). Kondisi tersebut berakibat pada segmentasi

sosio spasial pada kawasan studi. Munculnya perubahan fisik spasial di bagian lain

merupakan faktor pendorong lahirnya kaum-kaum dalam formasi sosial baru pada

kawasan Metro Tanjung Bunga Makassar. Melihat temuan dalam penelitian ini

bahwa tidak hanya rekayasa perubahan fisik spasial yang terjadi pada kawasan Metro

Tanjung Bunga Makassar namun juga muncul formasi sosial baru akibat dari

dominasi oleh struktur ruang yang ditandai oleh penguasaan ruang kapitalis dan non

kapitalis pada kawasan pengembangan baru tersebut. Fenomena spasial perkotaan

yang dideterminasi oleh dinamika formasi sosial kapitalis-non kapitalis ini yang

diperkenalkan sebagai fenomena „artikulasi spasial perkotaan‟ (Surya, 2010: 221).

23

Berdasarkan penjelasan mengenai penelitian yang dilakukan oleh Batara Surya

pada tahun 2010, terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang

dilakukan penulis. Persamaan antara kedua penelitian terletak pada adanya temuan

mengenai terjadinya pembangunan spasial yang menimbulkan dampak pada berbagai

aspek. Akan tetapi dalam penelitiannya Batara Surya mengungkapkan adanya

perubahan formasi sosial yang diakibatkan oleh adanya pembangunan spasial.

Sementara perbedaan pada kedua penelitian ini terletak pada kajian dan

pendalaman implikasi pembangunan. Pada penelitian yang dilakukan Batara Surya

adanya perubahan spasial yang memunculkan perubahan pada aspek non spasial

yakni aspek sosial. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan penulis tidak

menyentuh aspek lainnya selain aspek spasial. Selain itu perbedaan terletak pada

lokasi penelitian, pada penelitian yang dilakukan Surya (2010) lokasi penelitian

terletak di kawasan Metro Tanjung Bunga, Makassar sedangkan penelitian yang

dilakukan penulis terletak di Kelurahan Kesiman, Kota Denpasar.

2.2 Kerangka Berpikir dan Konsep

2.2.1 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dengan

permasalahan yang ditemukan di lapangan, kemudian digunakan untuk menjawab

dan memecahkan permasalahan dalam penelitian. Kerangka berpikir juga merupakan

sebuah gambaran mengenai struktur penelitian yang akan dilakukan. Diagram

kerangka berpikir akan disajikan pada Gambar 2.1 dibawah ini.

24

Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir Penelitian

Konsep

Fokus :

Implikasi

Musyawarah

Perencanaan

Pembangunan

Desa Terhadap

Pembangunan

Spasial

(Kelurahan

Kesiman)

Perumusan Masalah

o Program serta

rencana

pembangunan spasial

apa sajakah yang

terdapat dalam

Musrenbang desa di

Kelurahan Kesiman

dan bagaimana

realisasinya?

o Faktor-faktor apakah

yang berpengaruh

pada perumusan

program dan

kegiatan

pembangunan dalam

Musrenbang desa di

Kelurahan Kesiman?

o Bagaimana implikasi

pelaksanaan program

dan kegiatan

pembangunan

Musrenbang desa

terhadap

pembangunan spasial

di Kelurahan

Kesiman?

Fenomena

permasalahan/

problem serta

isu yang

berkembang di

lokasi studi

Teori

Kajian

Pembahasan

Penelitian/ Hasil

Temuan

Metode

Penelitian

Data

Lapangan

Hasil Penelitian

o Program

pembangunan

dan realisasi

pembangunan

spasial

o Faktor-faktor

perumusan

program

o Implikasi

pelaksanaan

program

terhadap

pembangunan

spasial

Kesimpulan

dan Saran

25

2.2.2 Konsep

Konsep memberikan batasan tentang terminologi teknis dan merupakan

bagian dari kerangka teori.

a. Implikasi

Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan mengenai istilah implikasi,

beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. Implikasi menurut kamus bahasa

Indonesia mempunyai pengertian suatu keadaan yang dapat berpengaruh atau

mempengaruhi dan terlibat dalam suatu kegiatan atau proses (Agustin, 2011: 262).

Pada dasarnya implikasi dapat didefinisikan sebagai akibat langsung atau

konsekuensi atas suatu keadaan serta proses yang menyertai keadaan tersebut. Istilah

implikasi sering berhubungan dengan suatu telaah atau kajian dalam sebuah

penelitian.

Secara bahasa implikasi memiliki makna sesuatu yang telah tersimpul dan

disimpulkan dalam suatu penelitian. Secara luas implikasi dipandang dari sebuah

penelitian merupakan sebuah hubungan yang menyebabkan sesuatu terjadi akibat

kejadian lainnya. Pemaknaan implikasi dijelaskan sebagai akibat yang menyertai

maupun akibat yang akan datang kemudian (Agustin, 2011: 262).

Implikasi berfungsi untuk membandingkan hasil penelitian atau suatu kajian

yang lalu dengan hasil penelitian yang baru saja dilakukan. Dapat kita sebut bahwa

implikasi bermakna bagaimana suatu hal berdampak terhadap hal lainnya dan

menimbulkan akibat lain yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Misalnya dalam

implikasi teoritis dari sebuah penelitian, peneliti menyajikan kebenaran sebuah

26

penelitian dengan tujuan meyakinkan penguji pada kontribusi ilmu pengetahuan

maupun teori yang digunakan dalam sebuah penelitian.

Pada konteks penelitian ini, implikasi memiliki pengertian suatu keadaan atau

proses yang dipengaruhi oleh program pembangunan. Dalam penelitian ini dilihat

bahwa Musrenbang desa memiliki implikasi pada pembangunan spasial pada sebuah

wilayah. Keberadaan Musrenbang desa sebagai forum penyampaian aspirasi

masyarakat yang terkait pembangunan di lingkungannya telah menghasilkan produk-

produk pembangunan yang telah dirasakan masyarakat.

Produk/hasil pembangunan yang berupa pembangunan infrastruktur, program

dan kegiatan lainnya telah memberikan efek pada aspek lainnya pada kehidupan

masyarakat. Salah satunya dalam aspek spasial yakni pertumbuhan infrastruktur suatu

wilayah yang begitu cepat akan secara langsung dapat berimplikasi pada

pembangunan spasial wilayah tersebut (Nurmandi, 2006: 36). Pembangunan

infrastruktur dan sistem pelayanan publik yang terencana merupakan lokomotif

penggerak munculnya pembangunan yang tentunya berimplikasi terhadap

pembangunan spasial wilayah dilaksanakannya proyek.

Kesimpulannya, implikasi yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan suatu

keadaan pada aspek spasial yang terpengaruh atau dipengaruhi oleh realisasi produk

program pembangunan yang direncanakan melalui forum Musrenbang. Realisasi

produk program berupa pembangunan infrastruktur, jalan lingkungan, jembatan,

pavingisasi, dan pembangunan lainnya akan berpengaruh pada pembangunan spasial

27

di wilayah dilaksanakannya program. Implikasi spasial dapat berupa perubahan fisik

wilayah, bangunan, dan sirkulasi ruang.

b. Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa

Pembangunan yang telah dilakukan dimasa lalu memperlihatkan sebuah bentuk

pembangunan berparadigma sentralistik dengan orientasi pembangunan perkotaan

sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Paradigma tersebut telah menunjukkan

kegagalan terutama akibat dari kejatuhan ekonomi nasional yang disertai dengan

adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam hal ini yang

berkuasa saat itu yakni pemerintahan orde baru. Proses pembangunan pada masa orde

baru yang cenderung sentralistik dari atas ke bawah telah lama menuai kritik karena

tidak jarang pendekatan pembangunan tersebut hanya berdampak pada masyarakat

elit di perkotaan dan tidak menyentuh masyarakat terbawah di desa-desa.

Bergulirnya reformasi memicu timbulnya pemikiran-pemikiran baru yang

merevolusi cara pandang pembangunan. Paradigma baru pembangunan tersebut

mengarahkan pembangunan pada azas-azas: desentralisasi, demokratis, supremasi

hukum, hak azasi manusia, pembangunan dari bawah melalui pemberdayaan dan

partisipasi masyarakat terutama masyarakat bawah serta pembangunan yang

berwawasan lingkungan. Keseluruhan prinsip pembangunan yang baru tersebut

diwujudkan ke dalam proses pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

(Soetomo, 2009: 29). Paradigma pembangunan seperti ini sesungguhnya bertujuan

untuk membentuk masyarakat madani yang sering diistilahkan civil society.

28

Pembangunan yang dimulai dari level bawah yakni dari desa yang menjadi cita-

cita pembangunan nasional saat ini mengalami berbagai macam kendala. Sumber

daya manusia sebagian besar masih berada di wilayah desa, namun kualitas SDM

yang dimiliki desa tidak sebanding dengan kuantitasnya. Justru sumber daya manusia

berkualitas yang dimiliki desa berpindah ke kota sehingga kesempatan desa untuk

mengembangkan wilayah melalui orang-orang terbaiknya tidak terlaksana.

Perencanaan dan pembangunan desa adalah suatu wujud pencarian dan

penggalian potensi dan ide serta gagasan-gagasan yang diwujudkan oleh masyarakat

sendiri dalam keseluruhan proses pembangunan. Perencanaan dan pembangunan desa

ini tentunya dilandasi oleh konsep-konsep yang telah hadir dalam kehidupan

masyarakat desa sendiri, salah satunya adalah konsep gotong royong yang berakar

dari budaya bangsa Indonesia. Paradigma pembangunan yang sekarang menempatkan

masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Masyarakat mempunyai hak untuk

terlibat dan memberikan masukan dan mengambil keputusan, dalam rangka

memenuhi hak-hak dasarnya, salah satunya melalui proses Musrenbang (Dirjen Cipta

Karya, 2008: 8).

Musrenbang adalah forum publik perencanaan (program) yang diselenggarakan

oleh lembaga publik yaitu pemerintah desa/kelurahan, kecamatan, pemerintah

kota/kabupaten bekerjasama dengan warga dan para pemangku kepentingan (Dirjen

Cipta Karya, 2008: 8). Penyelenggaraan Musrenbang merupakan salah satu tugas

pemerintah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan

29

kemasyarakatan. Pembangunan tidak akan bergerak maju apabila salah satu dari tiga

komponen tata pemerintahan (pemerintah, masyarakat, swasta) tidak berperan atau

berfungsi (Dewi, 2012: 5). Oleh karena itu, Musrenbang juga merupakan forum

pendidikan warga agar menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan

pembangunan.

Musrenbang sebenarnya secara tidak langsung akan memberikan pembelajaran

kepada masyarakat untuk mengelola program dan dana yang terkumpul dari diri

mereka yang telah diserahkan kepada negara melalui membayar pajak, retribusi dan

pungutan lain yang sah. Untuk itu masyarakat dituntut untuk mampu merencanakan

dan melaksanakan program kegiatan berdasarkan kebutuhan riil.

Pada Musrenbang desa terdapat unsur-unsur pembangunan yang merupakan

prioritas rencana kegiatan pembangunan skala Desa/Kelurahan (Dirjen Cipta Karya,

2008: 24). Unsur-unsur pembangunan diantaranya berisi tentang usulan kegiatan

prioritas masing-masing dusun yang disampaikan pada forum Musrenbang desa.

Tiap-tiap dusun memiliki prioritas pembangunan yang berbeda-beda, misalnya

terdapat usulan mengenai perbaikan lingkungan fisik seperti infrastruktur jalan,

saluran air, gapura desa dan lainnya. Selain daripada itu, ada pula usulan program

yang bersifat non fisik seperti kegiatan sosial melalui pemberdayaan masyarakat

kurang mampu dan kegiatan budaya melalui pemberian bantuan pada sekehe-sekehe

kesenian yang ada di desa.

30

Musrenbang kelurahan bagi kelurahan merupakan bagian dari mekanisme

perencanaan pembangunan di daerah untuk merumuskan kegiatan-kegiatan

pembangunan yang tentunya diprioritaskan pada program-program penting di dalam

meningkatkan kehidupan masyarakat (Sutoro, 2004: 145). Hasil Musrenbang desa

akan digunakan untuk menyusun Rencana Kerja Desa serta merumuskan prioritas

permasalahan yang merupakan kewenangan pihak desa untuk diajukan ke

Musrenbang kecamatan. Selanjutnya hasil usulan dari Musrenbang kecamatan akan

dibawa menuju Musrenbang kabupaten/kota. Pada level kabupaten/kota inilah akan

disepakati usulan-usulan yang akan dibiayai oleh anggaran APBD kabupaten/kota

atau yang akan dilanjutkan menuju level yang lebih tinggi yakni provinsi dan

nasional.

Dapat disimpulkan bahwa Musrenbang desa merupakan ajang bagi masyarakat

serta stakeholder desa dalam merumuskan program dan rencana pembangunan yang

akan diwujudkan pada tahun berikutnya. Musrenbang desa pun dapat menjadi sarana

bagi pemerintah kelurahan dengan masyarakat untuk merumuskan kegiatan

pembangunan swadaya masyarakat kelurahan maupun kegiatan yang diusulkan untuk

diajukan dibiayai melalui pos anggaran APBD Kabupaten/Kota.

c. Pembangunan Spasial

Pembangunan didefinisikan sebagai “upaya terencana dan sistematik yang

dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat” (Suparlan dalam Praboatmodjo,

2006:5). Pembangunan dilaksanakan oleh negara-negara berkembang untuk mencapai

31

kondisi seperti di negara maju. Instrumen penting pembangunan adalah perencanaan

yang mencakup upaya untuk mengontrol, mengarahkan, mempengaruhi dan

memantau proses pembangunan. Aspek perencanaan pembangunan diwujudkan

dalam berbagai program antara lain Musrenbang, PNPM, dan lainnya. Sementara

aspek kontrol dan pengawasan diwujudkan dalam bentuk arahan kebijakan berupa

RTRW (rencana tata ruang dan dan rencana wilayah), RDTR (rencana detail tata

ruang), RTBL (rencana tata bangunan dan lingkungan) dan rencana-rencana lainnya.

Salah satu bentuk pembangunan yang sangat penting dalam menunjang upaya

keberlanjutan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah pembangunan spasial.

Pembangunan spasial ditujukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur serta

memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan. Pembangunan spasial

memberikan suatu perubahan pada aspek fisik wilayah, penggunaan sumber alam dan

lingkungan yang ada pada wilayah spasial dalam rangka meningkatkan

perekonomian, konsumsi dan kehidupan masyarakat (Worosuprojo, 2009: 6).

Pembangunan spasial dapat kita lihat dengan ciri-ciri adanya perkembangan

terhadap suatu wilayah. Setidaknya terdapat tiga aspek yang mencirikan bahwa suatu

wilayah telah melakukan pembangunan spasial. Ketiga aspek tersebut antara lain

adalah terjadi perkembangan pada (1) pemanfaatan lahan, (2) bangunan dan (3)

sirkulasi (Yunus, 2006: 10).

Bentuk pemanfaatan lahan menekankan pada ekspresi spasial kegiatan manusia

atas sebuah bidang lahan. Bentuk pemanfaatan lahan menunjukkan kenampakan dan

32

bentuk-bentuk tertentu dari penggunaan lahan. Sebagai contoh adanya bentuk

permukiman, persawahan, industri, perdagangan, jasa, lapangan olahraga,

perkebunan dan lainnya. Kenampakan lahan tersebut hanya akan dapat dilihat jika

telah terjadi pembangunan spasial atas lahan-lahan tersebut. Sebuah bentuk

pemanfaatan lahan ditandai oleh adanya lahan yang digunakan untuk infrastruktur

fisik dan sosial, penggunaan komersial, kantor-kantor pemerintah, ruang komunitas,

dan gedung-gedung publik (Suartika, 2010: 108). Beberapa contoh terjadi

pembangunan spasial adalah adanya dikotomi antara lahan agraris dengan lahan

terbangun (non agraris).

Berikutnya ciri pembangunan spasial dapat kita lihat dari aspek perkembangan

bangunan (Yunus, 2006: 14). Aspek perkembangan bangunan ini selalu bercirikan

dominasi fungsi bangunan/gedung yang berorientasi pada kegiatan non agraris.

Terjadinya pembangunan spasial terjadi akibat karakteristik alih fungsi lahan agraris

menjadi areal terbangun seperti gedung-gedung, permukiman, fasilitas-fasilitas

pelayanan publik merupakan fenomena yang terjadi dalam proses menuju kekotaan.

Setting perumahan, jalan lingkungan, dan lainnya dengan adanya alih fungsi lahan

pertanian akan berubah seiring dengan adanya perkembangan bangunan/gedung.

Berikutnya aspek perkembangan sirkulasi dalam hal ini menekankan pada

peredaran barang, jasa dan informasi (Yunus, 2006: 18). Seperti diketahui munculnya

pembangunan spasial akan terjadi dampak yang mengikutinya yakni terciptanya

33

jaringan transportasi yang padat dan kompleks. Begitupula peredaran barang dan jasa

akan semakin lancar dengan adanya jaringan transportasi yang semakin berkembang.

Dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk pembangunan spasial yang ditekankan

dalam penelitian ini yakni pembangunan spasial yang terjadi pasca realisasi program-

program pembangunan yang usulannya melalui forum Musrenbang desa. Yakni

dengan melihat mekanisme perencanaan pembangunan dalam Musrenbang desa serta

produk pembangunan yang dihasilkan. Produk pembangunan tersebut khususnya

berupa pembangunan pada aspek fisik, infrastruktur, pembangunan fasilitas publik.

Pembangunan infrastruktur seperti jalan lingkungan, jembatan, pembuatan

saluran/gorong-gorong, trotoar, fasilitas publik seperti kantor desa, balai desa.

Keseluruhan pembangunan tersebut akan dilihat implikasi spasial yang terjadi pada

masing-masing pembangunan.

d. Pembangunan Desa

Secara historis desa merupakan embrio bagi kelahiran masyarakat politik dan

pemerintahan di Indonesia. Desa telah menjadi institusi sosial yang sangat penting

jauh sebelum terbentuknya lembaga-lembaga serta negara-bangsa di jaman moderen

(Dwipayana, 2006: 2). Desa merupakan institusi otonom secara tradisi, adat-istiadat,

dan hukum yang mengakar kuat dan mandiri tanpa campur tangan asing. Istilah

„desa‟ merupakan terminologi bahasa Jawa yang menjadi sebutan yang seragam di

seluruh wilayah negara yang mengacu pada unit pemerintahan lokal seperti nagari,

pasirah, dan lainnya.

34

Secara umum wilayah Indonesia didominasi oleh wilayah pedesaan dengan

kegiatan pertanian sebagai lokomotif ekonomi desa. Sejumlah penelitian

menunjukkan jumlah penduduk miskin di pedesaan masih cukup banyak (Usman,

2008; 30). Sementara yang lain menunjukkan bahwa berada di kelompok yang sangat

miskin dan ada juga yang lebih baik. Jika kita menilik pada undang-undang terbaru

tentang desa yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, dijelaskan bahwa Desa

merupakan:

“Desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya

disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan

dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai

kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam

dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman

perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan

kegiatan ekonomi.”

Keberadaan desa di Bali diistilahkan dengan desa adat (Gelebet, 2002: 15).

Desa adat di Bali terdiri dari unit-unit permukiman yang di dalamnya terdapat

aktivitas sosial, relijius dan budaya. Desa adat mengatur ruang untuk bermukim

secara horizontal yakni hubungan antara warga/krama desa. Sementara itu, desa dinas

atau desa administratif mengatur secara vertikal ke bawah dengan pemerintahan.

Syarat utama suatu desa adat adalah adanya tri hita karana yakni atma, angga dan

khaya (jiwa, fisik dan tenaga). Dalam desa adat unsur kahyangan tiga sebagai jiwa,

sima, krama desa sebagai tenaga dan teritorial/wilayah sebagai fisiknya.

35

Desa adat merupakan salah satu warisan yang merupakan hasil pemikiran dari

Mpu Kuturan, kata desa berasal dari bahasa Sansekerta yang biasanya dipergunakan

di kalangan umat Hindu di Bali. Istilah ‘desa’ dan ‘desi’ seperti halnya negara dan

negari. Berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya tanah air, tanah asal dan tanah

kelahiran (Kartohadikoesoemo dalam Widja, 2000: 30). Desa adat yang telah dikenal

saat ini di Indonesia telah dikenal sejak jaman Hindu. .

Berdasarkan beberapa pengertian tentang desa di atas dapat kita simpulkan

bahwa desa dalam arti pemerintahan adalah bagian penting yang merupakan unsur

terkecil dalam pemerintahan dan bagian pemerintahan yang menyentuh langsung

masyarakat. Sementara itu pengertian desa jika ditilik dari aspek kemasyarakatan

merupakan organisasi kemasyarakatan yang memiliki kemandirian serta terikat adat

istiadat antar masyarakat desa tersebut. Kemudian dilihat dari bentuk serta ciri-

cirinya pedesaan/desa memiliki pergaulan yang kuat diantara ribuan masyarakatnya.

Bentuk masyarakatnya yang komunal terlihat dari ciri adanya rasa gotong-royong

yang tinggi beserta sistem musyawarah mufakat yang masih kuat dipertahankan

dalam pemerintahan desa.

Keberadaan desa sebagai bagian dari pemerintahan yang secara langsung

bersentuhan dengan masyarakat terbawah sangat penting dan memiliki peranan untuk

ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Selama ini kita hanya melihat

bahwa pembangunan akan terlihat jika ada pembangunan berskala besar/proyek di

wilayah pedesaan. Pembangunan desa yang sesungguhnya tidaklah terbatas pada

36

pembangunan berskala „proyek‟ saja, akan tetapi pembangunan dalam lingkup atau

cakupan yang lebih luas.

Pembangunan yang berlangsung di desa dapat saja berupa berbagai proses

pembangunan yang dilakukan di wilayah desa dengan menggunakan sebagian atau

seluruh sumber daya (biaya, material, sumber daya manusia) bersumber dari

pemerintah (pusat atau daerah), selain itu dapat pula berupa sebagian atau seluruh

sumber daya pembangunan bersumber dari desa (Muhi, 2011: 1). Pembangunan desa

pada hakikatnya adalah segala bentuk aktivitas manusia (masyarakat dan pemerintah)

di desa dalam membangun diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan di wilayah desa

baik yang bersifat fisik, ekonomi, sosial, budaya, politik, ketertiban, pertahanan dan

keamanan, agama dan pemerintahan yang dilakukan secara terencana dan membawa

dampak positif terhadap kemajuan desa.

Berbicara tentang pembangunan desa terdapat dua aspek penting yang menjadi

objek pembangunan. Secara umum, pembangunan desa meliputi dua aspek utama,

yaitu pembangunan desa dalam aspek fisik dan aspek non fisik. Pembangunan yang

objek utamanya dalam aspek fisik (sarana, prasarana dan manusia) di pedesaan

seperti jalan desa, bangunan rumah, pemukiman, jembatan, bendungan, irigasi, sarana

ibadah, pendidikan (hardware berupa sarana dan prasarana pendidikan, dan software

berupa segala bentuk pengaturan, kurikulum dan metode pembelajaran),

keolahragaan, dan sebagainya. Pembangunan dalam kedua aspek ini selanjutnya

disebut pembangunan desa (Muhi, 2011: 4).

37

Pada pembangunan desa, pemerintah (pusat dan daerah) berperan dalam

memberi motivasi, stimulus, fasilitasi, pembinaan, pengawasan, dan hal lainnya yang

bersifat bantuan. Pemerintah memiliki kewenangan dalam intervensi pembangunan

pada batasan-batasan tertentu. Misalnya, intervensi yang dimaksud adalah turut

campur secara aktif dan bertanggungjawab dalam pembangunan desa, seperti

membuka keterisolasian desa melalui pembangunan fasilitas jalan desa, jembatan,

gedung sekolah, puskesmas, dan lainnya.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, intervensi pemerintah pada batasan-

batasan tertentu. Meskipun pemerintah memiliki intervensi dalam pembangunan desa

namun pemerintah tidak boleh mengabaikan potensi masyarakat setempat, yang

berakibat pada masyarakat hanya berpartisipasi pasif dalam hal ini masyarakat hanya

sebagai penonton. Keterlibatan masyarakat sangat penting diperlukan dalam

pembangunan desa. Karena pembangunan desa bukan hanya sebatas sarana dan

infrastruktur yang dikerjakan dalam jangka pendek. Bahkan pembangunan desa

bersifat menyeluruh dari aspek fisik, pengelolaan, pemeliharaan, pengawasan hingga

pembangunan kembali.

Dapat disimpulkan bahwa pembangunan desa merupakan segala upaya dari

masyarakat, pemerintah dan swasta untuk memberdayakan potensi sumber daya yang

terdapat di desa. Melalui pembangunan desa tersebut diharapkan dapat mengangkat

taraf kehidupan masyarakat desa tanpa mengurangi daya dukung sumber daya alam

yang diberdayakan tersebut. Pembangunan desa dapat berupa pembangunan fisik

38

yakni fasilitas dan infrastruktur masyarakat desa dan pembangunan ekonomi dan

kehidupan sosial masyarakat desa.

2.3 Landasan Teori

Landasan teori merupakan landasan berpikir yang bersumber dari teori yang

diperlukan sebagai tuntunan dalam memecahkan suatu permasalahan dalam

penelitian. Landasan teori berfungsi sebagai kerangka acuan untuk mengarahkan

suatu penelitian. Pada landasan teori dapat berupa perangkat konsep, definisi, dan

proposisi yang menyajikan hubungan antara variabel-variabel yang menerangkan

gejala dalam penelitian. Sementara teori merupakan perspektif atau sudut pandang

untuk menafsirkan dan memaknai gejala-gejala dalam membangun konsep.

2.3.1 Teori Ideologi

Ideologi adalah sebuah dasar pemikiran atau ide yang mendasari pemikiran

yang logis yang kemudian menjadikan ide tersebut sebagai pedoman dalam

kehidupan sesuai dengan ide dan pemikiran tadi. Kata ideologi dapat dianggap

sebagai visi yang luas dan cara untuk memandang sesuatu. Secara umum ideologi

sebagai suatu kumpulan gagasan, ide-ide dasar, keyakinan serta kepercayaan yang

bersifat sistematis yang memberikan arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam

kehidupan nasional suatu bangsa dan negara (Budiman, 1996: 21).

Istilah ideologi diperkenalkan oleh Antoine Destutt de Tracy seorang filsuf

Prancis pada akhir abad ke 18 untuk mendefinisikan secara sistematis tentang ide

(Rahman, 2013). Kata ini berasal dari bahasa Prancis idéologie, yang merupakan

39

penggabungan dari dua kata yakni idéo yang berarti gagasan dan logie/logos yang

berarti ilmu. Dapat diartikan bahwa ideologi sebagai ilmu yang meliputi kajian

tentang asal usul dan hakikat ide atau gagasan.

Menurut Karl Marx, ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan

kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Ideologi dapat dianggap sebagai visi dan

teropong untuk memandang sesuatu. Tujuan utama dari ideologi adalah untuk

menawarkan sebuah perubahan melalui pemikiran logis. Ideologi tidak hanya sekadar

pembentukan ide namun lebih dari itu ideologi dapat diterapkan pada masalah publik

sehingga membuat konsep ideologi menjadi intisari pemikiran dalam politik. Secara

implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak

diletakkan sebagai sistem berpikir logis.

Marx menjelaskan bahwa ideologi sebagai false consciousness (Rahman,

2013). Ideologi dianggap sebagai kesadaran palsu, kesadaran yang disebutkan tidak

berdasarkan pada realitas. Ideologi disebutkan mendistorsi kenyataan menjadi sesuatu

yang palsu untuk dipersepsikan menjadi kesadaran. Ideologi tidak mempengaruhi

dengan paksaan, tidak melalui paksaan senjata. Ideologi mempengaruhi pemikiran

seseorang melalui hal-hal yang bersifat persuasif. Ideologi akan masuk ke dalam

kesadaran masyarakat secara diam-diam tanpa kita sadari. Masyarakat tidak akan

menyadari keberadaan ideologi tersebut jika tidak ditelaah secara mendalam, tiba-tiba

saja kita telah menganggapnya sebagai sebuah kelaziman. Demikianlah Marx

membuktikan bahwa ideologi adalah false consciousness kesadaran yang palsu.

40

Contoh bekerjanya ideologi juga terjadi di Indonesia. Ketika kita mendengar

istilah komunisme, hal-hal yang terlintas dalam pikiran adalah unsur pemberontakan,

sadisme dan ateisme. Hal-hal tersebut sudah terlanjur terdeskripsi dalam pemikiran

masyarakat. Namun perumusnya sendiri Karl Marx memberikan pengertian

komunisme tidak seperti yang dideskripsikan oleh masyarakat kita, justru komunisme

merupakan kritik atas kapitalisme yang gagal membawa kesejahteraan pada

masyarakat. Kesimpulannya bahwa terdapat suatu ideologi yang telah dibangun

selama ini yang mendiskreditkan realitas komunisme. Demikianlah ideologi dapat

memberikan interpretasi yang berbeda mengenai suatu hal, sehingga ideologi ini

sangat berbahaya jika disalahartikan (Rahman, 2013).

Terdapat dua tipe ideologi yang dianut berdasarkan pengaruh negara pada

masyarakatnya (Asshiddiqie, 2009). Kedua tipe ideologi tersebut adalah ideologi

terbuka dan ideologi tertutup. Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan atau

filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial sebagai

kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai

sesuatu yang harus dipatuhi. Ideologi dengan tipe seperti ini lebih berupa dogmatis

dan apriori.

Ciri lain dari ideologi tertutup adalah ideologi tersebut tidak bersumber dari

masyarakat, melainkan dari pemikiran kaum elit yang harus dipropaganda pada

masyarakat. Oleh karena itu ideologi dengan tipe ini berasal dari kaum elit dengan

41

sendirinya ideologi ini harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat yang pada

akhirnya bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara totaliter.

Tipe kedua adalah ideologi terbuka, ideologi terbuka hanya mengandung

orientasi dasar dan paham pokok (Asshiddiqie, 2009). Sedangkan penerjemahannya

selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip yang

berkembang di masyarakat. Ideologi dapat berkembang dan bersifat terbuka, inklusif

dan tidak totaliter. Ideologi terbuka hanya dapat ada dalam sistem demokratis.

Ideologi berperan dalam suatu perumusan keyakinan arah kebijakan yang

dimiliki suatu negara, bangsa, organisasi atau perkumpulan untuk mencapai suatu

tujuan khusus yang hendak dicapai (Sukarna, 1974: 19). Selain hal di atas ideologi

juga berperan dalam menganalisa kejadian-kejadian sosial, ekonomi, politik yang

berkembang di masyarakat. Pada permasalahan-permasalahan tertentu ideologi dapat

memberikan jalan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi golongan-

golongan tertentu.

Pada penelitian ini teori ideologi berperan dalam membedah permasalahan

terkait penyelarasan program-program pembangunan Musrenbang yang digulirkan

oleh pemerintah kepada desa-desa khususnya di lokasi studi. Melalui ideologi yang

bersumber dari Undang-Undang Dasar, pemerintah dapat menjalankan suatu program

pembangunan. Adanya realisasi program-program pembangunan, masyarakat akan

diarahkan untuk tunduk kepada kekuasaan negara, sehingga masyarakat memiliki

ketaatan terhadap ketentuan dan aturan hukum di negara tersebut. Keberadaan

42

pembangunan yang bersumber dari ideologi suatu negara juga sekaligus berfungsi

untuk menangkal pengaruh ideologi lain yang berpotensi memecah belah persatuan

bangsa.

2.3.2 Teori Pembangunan Spasial

Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu cara atau proses yang

ditempuh untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dari saat ini. Pembangunan

didefinisikan sebagai suatu proses menyeluruh yang bertujuan pada peningkatan

pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan

pemberantasan kemiskinan. Berbagai proses dalam mewujudkan pembangunan

berikutnya akan menampakkan berbagai perubahan pada struktural masyarakat, sikap

hidup dan kelembagaan masyarakat (Todaro, 2004: 28). Dalam kegiatan Musrenbang

desa, pembangunan merupakan output/keluaran dari proses Musrenbang yang

dijabarkan dari program-program.

Dewasa ini paradigma pembangunan mulai bergeser dari pembangunan yang

menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan. Menuju

pada pembangunan yang juga memperhatikan aspek pelestarian lingkungan dan

kebudayaan. Ketiga sasaran pembangunan yang diwujudkan dalam pertumbuhan

ekonomi, pelestarian lingkungan dan kebudayaan dikenal dengan pembangunan

berkelanjutan/sustainable development (Tjatera, 2010: 12).

Sementara itu pengertian ruang merupakan alih kata space untuk bahasa

Indonesia. Space berasal dari bahasa latin yakni spatium yang berarti terbuka, luas,

43

memungkinkan orang berkegiatan dan bergerak leluasa di dalamnya dan dapat

berkembang tidak terhingga. Ruang diberi pengertian sebagai tempat acuan untuk

menunjukkan posisi peletakan sebuah objek dan menjadi suatu media untuk

memungkinkan objek tersebut bergerak (Munitz dalam Hariyono, 2007). Ruang

sebagai tempat, sebagai penghubung, sebagai penampung berbagai aktivitas

operasional fisik dan sosial yang terbagi atas ruang-ruang publik dan privat. Ruang

juga dapat diartikan sebagai tatanan hirarki yang memiliki tingkat dan nilai makna

tersendiri (Hariyono, 2007: 187).

Pembangunan spasial merupakan suatu cara dan proses yang ditempuh dalam

mewujudkan ruang dalam konteks fisik dan wilayah agar tercapai kehidupan manusia

yang memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan (Worosuprojo, 2009:

5). Tujuan dari pembangunan spasial disesuaikan dengan konsepsi pembangunan

berkelanjutan yakni melalui pembangunan spasial akan terjadi pertumbuhan ekonomi

sekaligus pelestarian lingkungan, dan kebudayaan. Melalui kemampuan masyarakat

dalam mengelola dan memanfaatkan spasial ruang, dapat dicapai apa yang telah

dirumuskan dalam pembangunan berkelanjutan.

Dalam pembangunan spasial terdapat tiga elemen fisik utama yang

menunjukkan kenampakan pembangunan spasial yang didasarkan pada konsep urban

morphology (Smailes dalam Yunus, 2006: 10). Ketiga elemen tersebut antara lain

adalah elemen pemanfaatan lahan, elemen bangunan, dan elemen sirkulasi. Adanya

pembangunan sebagai motor penggerak perubahan memunculkan proses berubahnya

44

ketiga elemen yang telah disebutkan. Berikutnya akan dijelaskan penjelasan dari

masing-masing elemen kenampakan pembangunan spasial.

Elemen pemanfaatan lahan yang dipaparkan Yunus (2006) dalam tulisannya

menekankan pada ekspresi fisiko spasial kegiatan manusia atas sebuah bidang lahan.

Elemen pemanfaatan lahan menunjukkan terjadinya kenampakan atau bentuk-bentuk

pemanfaatan lahan seperti permukiman, persawahan, industri, perdagangan, jasa,

perkantoran dan lainnya. Berbagai bentuk pemanfaatan lahan ini dapat dibagi lagi

menjadi bentuk-bentuk yang lebih rinci.

Sedangkan untuk identifikasi bentuk pemanfaatan lahan yang berasosiasi pada

makna perkotaan, maka dibedakan menjadi dua macam yakni pemanfaatan lahan

agraris dan pemanfaatan lahan non agraris (Yunus, 2006: 12). Pemanfaatan lahan non

agraris adalah bentuk pemanfaatan lahan yang diklasifikasikan sebagai settlement

built up area. Sementara bentuk pemanfaatan lahan agraris disebutkan sebagai daerah

vegetated area, yakni daerah yang berasosiasi dengan sektor pertanian.

Elemen bangunan yang ditekankan dalam penjelasan Yunus (2006) adalah

pada building characteristics. Elemen bangunan melihat pada fungsi dan orientasi

pemanfaatan bangunan. Dalam tinjauan aspek urban, wilayah kota cenderung diisi

oleh dominasi fungsi bangunan berbagai ragam fungsi dengan corak non agraris.

Sedangkan wilayah pedesaan fungsi dan pemanfaatan bangunan cenderung berupa

bangunan permukiman dan fungsi pendukung aktivitas agraris (Yunus, 2006: 15).

Selain berupa fungsi dan orientasi bangunan dalam tinjauan perkotaan, jumlah dan

45

kepadatan bangunan digunakan untuk dikategorikan suatu wilayah telah terjadi

pembangunan spasial.

Berikutnya elemen sirkulasi digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya

pembangunan spasial dari sebuah wilayah. Elemen sirkulasi yang dimaksud adalah

peredaran barang, jasa, dan informasi namun yang menjadi penekanan adalah sarana

dan prasarana yang memfasilitasi yakni jaringan transportasi dan komunikasi (Yunus,

2006: 18). Wilayah yang memiliki kepadatan dan kegiatan penduduk yang cukup

tinggi akan menciptakan infrastruktur dan jaringan transportasi dan komunikasi yang

lebih kompleks. Sebaliknya wilayah dengan aspek pembangunan spasial yang rendah

akan memiliki infrastruktur yang lebih sederhana. Kompleksitas sirkulasi dapat

dilihat dari banyaknya kendaraan yang lalu-lalang, keragaman kendaraan, kepadatan

jaringan jalan, dan aneka rambu lalu lintas.

Pada penelitian ini teori pembangunan spasial dilihat sebagai alat untuk

melihat implikasi yang ditimbulkan akibat realisasi program Musrenbang. Dalam

ranah spasial, implikasi realisasi program dapat berupa aspek pemanfaatan lahan,

aspek bangunan maupun aspek sirkulasi. Berbagai macam implikasi realisasi program

pembangunan memiliki keterkaitan dengan masing-masing elemen dalam

kenampakan pembangunan spasial.

2.3.3 Teori Partisipasi Masyarakat

Konsep partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam mendukung

pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tanpa partisipasi dan dukungan

46

masyarakat sangat mustahil pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat

berhasil dan memiliki manfaat bagi masyarakat. Keberadaan partisipasi masyarakat

sebagai syarat dalam mendukung pembangunan di daerah merupakan sebuah hal

yang diharuskan di era kebebasan dan keterbukaan informasi. Terutama pada

kegiatan Musrenbang, konsep partisipasi masyarakat merupakan jiwa dan semangat

yang mendasari kegiatan tersebut.

Beberapa ahli memiliki pengertian yang beragam mengenai konsep partisipasi

masyarakat. Partisipasi adalah ’take a part’ atau ikut serta (Pei dalam Salain, 2001:

9). Partisipasi masyarakat adalah proses ketika warga sebagai individu maupun

kelompok sosial dan organisasi yang bertujuan untuk mengambil peranan serta ikut

serta dalam mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan

terhadap kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi langsung kehidupan masyarakat

(Sumarto, 2009: 37). Dari berbagai pengertian tentang partisipasi masyarakat pada

intinya adalah adanya keterlibatan dan gotong royong masyarakat dalam

perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pembangunan, sehingga keseluruhan

hasil yang diperoleh dalam proses pembangunan memiliki makna di mata

masyarakat.

Substansi partisipasi merupakan makna terdalam yang ada pada konsep

partisipasi itu sendiri (Sutoro, 2004: 152). Terdapat tiga hal substansi dari partisipasi

yakni voice, akses dan kontrol, sebagai berikut:

a. Voice, merupakan hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan

aspirasi, kebutuhan, kepentingan dan tuntutan terdapat komunitas

47

terdekatnya maupun pemerintah. Voice dapat disampaikan warga dalam

berbagai cara misalnya opini publik, referendum, media massa dan

berbagai forum warga.

b. Akses, memiliki pengertian ruang dan kapasitas masyarakat untuk

masuk dalam area governance yakni mempengaruhi dan menentukan

kebijakan serta terlibat aktif dalam mengelola barang-barang publik.

Terdapat dua hal penting dalam akses yakni: keterlibatan secara terbuka

(inclusion) dan keikutsertaan (involvement).

c. Kontrol masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun

kebijakan pemerintah. Terdapat kontrol internal (self-control) dan

kontrol eksternal (external control). Artinya kontrol atau pengawasan

tidak hanya terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah tetapi juga

kemampuan warga untuk melakukan penilaian secara kritis dan reflektif

terhadap lingkungan dan perbuatan yang dilakukan mereka sendiri.

Keseluruhan substansi dalam partisipasi masyarakat dapat diukur melalui

suatu teori yang telah dirumuskan Arnstein (1969) yang disebut dengan teori The

Ladder of Participation yakni suatu tahapan partisipasi masyarakat (Arnstein, 1969).

Kedelapan tahapan ini merupakan alat analisis untuk mengidentifikasi partisipasi

masyarakat:

Kontrol masyarakat (citizen control).

Pelimpahan kekuasaan (delegated power)

Kemitraan (partnership).

Penentraman (placation).

Konsultasi (consultation).

Informasi (information).

Therapi (theraphy).

Manipulasi (manipulation).

Gambar 2. 2 Delapan Tangga Partisipasi Arnstein

Sumber: Arnstein dalam Salain, 2001

Penghargaan atau mengalah. Keinginan dan gagasan

didengar akan tetapi keputusan oleh

pemerintah/Tokenisme

Peran serta tidak terjadi. Masyarakat menjadi objek

kegiatan dengan kata lain tidak ada partisipasi

masyarakat pada tingkatan ini/ Non partisipasi

Lemah

Kuat Peran serta masyarakat terwujud, terjadi pembagian hak, tanggung jawab

dan wewenang antara masyarakat dan

pemerintah dalam pengambilan

keputusan/ Kekuasaan masyarakat.

48

Berdasarkan Gambar 2.2 di atas terdapat jenjang partisipasi masyarakat dalam

keikutsertaan dalam pembangunan. Masyarakat akan mengikuti alur dari tangga

pertama hingga tangga kedelapan. Dari kedelapan tingkatan partisipasi masyarakat

dapat digolongkan menjadi tiga tahapan peranan, yakni:

a. Tahapan pertama yaitu non partisipasi yang terdiri dari dua tangga yakni

manipulasi dan terapi. Manipulasi dan tangga kedua terapi/perbaikan tidak

termasuk dalam konteks partisipasi yang sesungguhnya. Pada tingkatan ini

masyarakat terlibat dalam suatu program, akan tetapi sesungguhnya keterlibatan

mereka tidak dilandasi oleh suatu dukungan mental, psikologis, dan disertai

konsekuensi yang memberikan kontribusi dalam program tersebut. Masyarakat

pada posisi ini hanyalah menjadi objek dalam pembangunan, tidak terjadi peran

serta dalam pembangunan.

b. Tahapan kedua yakni Tokenisme dimana terdapat tangga partisipasi ketiga,

keempat dan kelima yaitu pemberian informasi, konsultasi dan

penentraman/peredaman kemarahan. Pada tahapan ini sesungguhnya adalah suatu

bentuk usaha untuk menampung ide, saran, masukan dari masyarakat untuk

sekedar meredam keresahan masyarakat. Oleh karena itu tangga ini masuk dalam

kategori tokenisme. Konsultasi yang yang disampaikan hanyalah upaya untuk

mengundang ketertarikan publik untuk mempertajam legitimasi. Selanjutnya

Arnstein menyebutnya sebagai tingkat penghargaan atau formalitas. Pada titik ini

49

konsultasi publik berupa masukan dan gagasan dilakukan pemerintah, namun

pengambilan keputusan pembangunan tetap dilakukan pemerintah.

c. Berikutnya pada tahapan ketiga yakni kekuasaan masyarakat yang dimulai dari

tangga keenam yakni kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan pengawasan

masyarakat. Menurut Arnstein baru pada tangga keenam inilah terjadi partisipasi

atau kemitraan masyarakat. Pada tahap ini masyarakat telah mendapat tempat

dalam suatu program pembangunan. Pada tangga ketujuh sudah terjadi

pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada masyarakat. Terakhir masyarakat

sudah dapat melakukan kontrol terhadap program pembangunan. Tahap inilah

yang disebut dengan partisipasi atau dalam istilah Arnstein sebagai kekuasaan

masyarakat.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan

permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar. Berikut di bawah

ini akan diperlihatkan model penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini

pada Gambar 2.3.

50

Gambar 2. 3 Model Penelitian

Implikasi Musywarah Perencanaan

Pembangunan Desa terhadap

Pembangunan Spasial

Dinamika Pembangunan

Desa Ditinjau dari Proses

Musyawarah Perencanaan

Pembangunan Desa

Faktor yang berpengaruh

pada perumusan program

dan pembangunan

9 Lingkungan

Permukiman (13

Banjar) Kelurahan Kesiman

Program dan realisasi

pembangunan spasial

Implikasi

Program serta rencana

pembangunan spasial apa sajakah

yang terdapat dalam Musrenbang

desa di Kelurahan Kesiman dan bagaimana realisasinya?

Faktor-faktor apakah yang

berpengaruh pada perumusan

program dan kegiatan

pembangunan dalam Musrenbang

Desa di Kelurahan Kesiman?

Bagaimana implikasi pelaksanaan

program dan kegiatan

pembangunan Musrenbang Desa

terhadap pembangunan spasial di

Kelurahan Kesiman?

1. Teori Partisipasi Masyarakat 2. Teori Pembangunan Spasial

3. Teori Ideologi

Teori Ideologi

Teori Partisipasi Masyarakat

Teori Pembangunan Spasial