PBL Oral Medicine HIV

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    1/41

    Skenario Kasus Oral Medicine

    MANIFESTASI ORAL HIV/AIDS

    Disusun untuk memenuhi prasyarat PBL Kepaniteraan Oral Medicine

    Pembimbing: Dr. drg. Dewi Agustina, MDSc., MDSc

    Disusun Oleh :

    Co-Ass XLV

    Yena Ruktianawati (7919) Fariz Ramadhan (8656)

    Tantia Cita Dewanti F (8646) Rahma Arifah (8659)

    Dyah Ayu Yoanita (8649) Adi Gunawan (8664)

    Dhinintya Hyta Narissi (8650) Rizka Gian Anggraeni (8668)

    Mufidana Azis (8654)

    BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT

    FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    YOGYAKARTA

    2014

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    2/41

    2

    Skenario Kasus Oral Medicine

    Manifestasi Oral HIV/AIDS

    Disusun untuk memenuhi prasyarat PBL Kepaniteraan Oral Medicine

    Pembimbing: Dr. drg. Dewi Agustina, MDSc., MDSc

    Disusun Oleh :

    Co-Ass XLV

    Yena Ruktianawati (7919) Fariz Ramadhan (8656)

    Tantia Cita Dewanti F (8646) Rahma Arifah (8659)

    Dyah Ayu Yoanita (8649) Adi Gunawan (8664)

    Dhinintya Hyta Narissi (8650) Rizka Gian Anggraeni (8668)

    Mufidana Azis (8654)

    Yogyakarta, 17 Desember 2014

    Koordinator Co-Ass Dosen Pembimbing,

    drg. Supriatno, M. Kes., MDSc., Ph.D Dr. drg. Dewi Agustina, MDSc. MDSc

    FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    YOGYAKARTA

    2014

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    3/41

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Masalah kedokteran gigi tidak hanya membahas gigi geligi namun meluas ke

    rongga mulut yang terdiri dari jaringan keras dan jaringan lunak. Dewasa ini penyakit

    jaringan lunak pada rongga mulut menjadi perhatian serius para ahli terutama dengan

    meningkatnya kasus kematian yang disebabkan kanker yang ada di rongga mulut

    khususnya pada negara-negara berkembang di Asia. Lesi oral merupakan perubahan

    jaringan yang dapat menjadi salah satu tanda objektif suatu penyakit pada oral. Lesi atau

    kelainan pada jaringan lunak rongga mulut sering kali didiagnosis berdasarkan riwayat

    penyakit dan pemeriksaan klinis yang singkat, tetapi sering kali cara tersebut tidak tepat

    dan mengarah ke diagnosis yang tidak tepat sehingga penatalaksanaanya pun tidak sesuai.

    Beberapa jenis lesi mempunyai gambaran klinis yang khas, namun beberapa lesi

    yang lain memiliki kemiripan manifestasi klinis satu sama lain. Ketepatan pemeriksaan

    klinis memerlukan proses pendeskripsian lesi yang akurat untuk mengidentifikasikan

    penyakit yang diderita. Untuk mendapatlan diagnosis diferensial dan diagnosis definitif

    yang tepat dari suatu lesi harus memperhatikan beberapa parameter antara lain, tempat,

    ukuran, karakter, warna, bentuk permukaan, tepi lesi, konsistensi saat dipalpasi, gejala

    lokal yang menyertai serta distribusinya (dalam kasus lesi multipel).

    Kelainan atau lesi yang terdapat dalam rongga mulut dapat merupakan manifestasi

    suatu penyakit sistemik seperti diabetes, penyakit jantung koroner, defisiensi nutrisi, AIDS

    dan bahkan kelainan yang mengarah pada keganasan. Pasien yang terinfeksi HIV akan

    mengalami berbagai infeksi oportunistik akibat penurunan imunitas. Infeksi oportunistik

    yang terjadi dapat terlihat secara sistemik, berupa infeksi paru, infeksi gastrointestinal,

    tumor dan keganasan serta infeksi oportunistik oral berupa peningkatan frekuensi penyakit

    mulut penderita. Keadaan rongga mulut berperan penting dalam penentuan diagnostik dan

    prognosis pasien HIV/AIDS Challacombe dan Naglik, 2006).

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    4/41

    2

    Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lesi rongga mulut cenderung terlihat

    pada pasien yang terinfeksi HIV. Sebagai contoh, terdapat penelitian yang menunjukkan

    bahwa 85% pasien yang telah terinfeksi HIV mempunyai diagnosa lesi di rongga mulut

    (University of California, 2000). Pada penderita HIV positif atau AIDS manifestasi klinis

    yang pertama kali muncul adalah manifestasi pada mukosa oral seperti candidiasis,

    leukoplakia, herpes zoster, herpes simpleks, dan ulkus aphtous. Selain itu, lesi oral pada

    pasien HIV/AIDS juga dapat digunakan dalam penentuan stadium dan klasifikasi

    penyakit, berhubungan dengan jumlah CD4 pasien yang terinfeksi (jumlah lesi oral akan

    meningkat jika jumlah CD4 kurang dari 200 sel/ul darah) (Chapple dan Hamburger,

    2000).

    Pada makalah ini, skenario yang akan dibahas yaitu pasien laki-laki berusia 45

    tahun datang dengan keluhan sensasi terbakar pada mulutnya terutama ketika makan

    makanan asin atau pedas atau minum minuman yang asam. Berdasarkan pemeriksaan

    klinis, tampak lesi merah, datar, dan halus pada permukaan dorsal lidah dan pada palatum

    lunak dengan nyeri ringan ketika disentuh. Beberapa gigi molar fraktur hingga kedalaman

    email, tetapi tidak terasa sakit. Karies progresif pada gigi geligi juga terlihat. Lesi ulseratif

    single terdapat di gingiva region molar rahang atas. Ulkus besar, dan tidak terlihat seperti

    ulkus pada umumnya atau ulkus fulminant. Pasien mengatakan bahwa ulkus tersebut

    muncul sejak 4 hari yang lalu dan terasa sangat nyeri. Pasien tidak memiliki riwayat alergi,

    tidak ada riwayat rawat inap di rumah sakit, dan pengobatan jangka panjang. Namun,

    dalam satu tahun terakhir ini, pasien lebih sering terkena demam dan diare yang

    membuatnya mengkonsumsi obat bebas untuk mengobati kondisi tersebut. Ketika demam,

    sering disertai dengan blister kecil yang multiple pada bibirnya, kadang juga blister-blister

    tersebut muncul di palatum dan gusi, lalu ketika pecah atau rupture akan menghasilkan lesi

    ulseratif kecil dan menyakitkan yang mungkin bergabung. Hasil pemeriksaan darah rutin :

    WBC : 5,2 . 103/mm

    3, RBC : 4,8 . 10

    3/ mm

    3, HCT : 45%, HGB : 13,6 g/dL, Platelet : 130.

    103/mm3, Limfosit : 10,1%, Neutrofil : 29,5%, Monosit : 5,2%, Eosinofil : 2,1 %, Basofil :

    0,3%. Riwayat pribadi pasien mengungkapkan bahwa pasien adalah seorang bartender dan

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    5/41

    3

    masih membujang. Pasien rutin pergi ke fitness centre tiap seminggu sekali. Pasien bekerja

    setiap hari dari jam 9 malam hingga jam 3 pagi.

    Dalam skenario ini diketahui beberapa lesi intraoral baik pada riwayat kesehatan

    umum maupun pada pemeriksaan intraoral. Perubahan yang terjadi pada mukosa oral

    umumnya memberikan gambaran yang mirip antara kelainan satu dengan lainnya, sehingga

    dapat menimbulkan kesukaran dalam menentukan diagnosis dan perawatan yang tepat.

    Oleh karena itu seorang dokter gigi perlu memahami mengenai pentingnya pendekatan

    patologik dan pemahaman apakah kelainan-kelainan tersebut bersifat causal atau casual.

    B. Rumusan Masalah

    Apakah diagnosis yang sesuai dengan kasus?

    Bagaimana treatment planyang tepat bagi pasien?

    C. Tujuan

    Mengetahui diagnosis yang sesuai dengan kasus

    Mengetahui treatment planyang tepat bagi pasien

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    6/41

    4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A.Burning Mouth Syndrome

    Burning mouth syndrome (BMS) atau sindroma mulut terbakar atau yang disebut juga

    glossodynia, glossopyrosis, oral dyesthesia, stomatopyrosis dan stomatodynia merupakan

    kumpulan gejala dengan karakteristik rasa sakit dan rasa terbakar pada salah satu atau beberapa

    struktur rongga mulut dan biasanya memiliki pola bilateral. Sindroma mulut terbakar sering

    menimbulkan masalah diagnostik dan terapeutik bagi para klinisi karena selain etiologi yang

    multifaktor, sindroma ini tidak selalu disertai perubahan klinis baik di rongga mulut maupun

    bagian tubuh lain. Deskripsi penderita bervariasi mulai dari rasa sakit, rasa terbakar, rasa gatal,

    bahkan rasa kebas pada organ yang terlibat (Doengoes, 2000).

    Sindroma mulut terbakar merupakan kondisi multifaktorial dan pada umumnya etiologi

    sindroma ini dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: faktor etiologi lokal, etiologi sistemik dan

    psikogenik. Faktor etiologi lokal antara lain mikroorganisme seperti jamur terutama candida

    albican dan bakteri golongan staphylococcus, streptococcus dan enterobacteria. Faktor lokal lain

    adalah iritasi gigi atau tambalan yang tajam, makanan, obat kumur, pasta gigi, alergi terhadap

    makanan atau bahan material, fissured tongue, geographic tongue, hairy tongue dan leukoplakia

    (Coulthard dkk, 2003). Etiologi yang kemungkinan berhubungan dengan skenario,

    1.Xerostomia

    Mulut kering merupakan keluhan yang sering yang dijumpai pada pasien dengan BMS

    dan dapat dijumpai hingga 25% pasien dengan keluhan ini. Penurunan lubrikasi mulut dapat

    menghasilkan peningkatan pergesekan dan ketidaknyamanan yang mengarah pada BMS.

    Xerostomia sendiri dapat merupakan multifaktor. Xerostomia merupakan salah satu dari

    hipofungsi kelenjar saliva yang merupakan salah satu manifestasi oral terkait HIV, yang dapat

    mempengaruhi kualitas dan kuantitas saliva, termasuk penurunan aktivitas antimikrobial

    Etiopatogenesis

    Menurut Bartels (2008) ada beberapa faktor yang menyebabkan xerostomia antara lain,

    gangguan pada kelenjar saliva, penggunaan obat-obatan, usia dan terapi kanker. Penyakit

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    7/41

    5

    lokal tertentu dapat mempengaruhi kelenjar saliva dan menyebabkan berkurangnya aliran

    saliva seperti sialodenitis kronis, kista dan tumor kelenjar saliva, baik yang jinak maupun

    ganas dapat menyebabkan penekanan pada struktur-struktur duktus dari kelenjar saliva dan

    dengan demikian mempengaruhi sekresi saliva. Sindroma Sjogren merupakan penyakit

    autoimun jaringan ikat yang dapat mempengaruhi kelenjar airmata dan kelenjar saliva. Sel-sel

    asini kelenjar saliva rusak karena infiltrasi limfosit sehingga sekresinya berkurang.

    Xerostomia yang berhubungan dengan medikasi umum terjadi.

    Obat-obatan yang dapat menyebabkan xerostomia antara lain trisiklik antidepresan,

    benzodiazepin, monoamine oxidase inhibitor, antihipertensi, dan antihistamin. Obat-obatan

    tersebut mempengaruhi aliran saliva secara langsung dengan memblokade sistem syaraf dan

    menghambat sekresi saliva (Coulthard dkk, 2003). Seiring dengan meningkatnya usia,

    dengan terjadinya proses aging, terjadi perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva,

    dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh jaringan lemak, lining sel duktus

    intermediate mengalami atropi. Keadaan ini mengakibatkan pengurangan jumlah aliran

    saliva. Selain itu, penyakit- penyakit sistemik yang diderita pada usia lanjut dan obat-obatan

    yang digunakan untuk perawatan penyakit sistemik dapat memberikan pengaruh mulut

    kering pada usia lanjut (Ilgenil dkk., 2001).

    Pada infeksi HIV, xerostomia terjadi akibat dari adanya gangguan emosional, efek

    samping obat-obatan seperti ARV, antihipertensi, antidepresan, ansiolitik atau analgesik atau

    penurunan CD4+ dan adanya proliferasi CD8+ ke dalam kelenjar saliva mayor (Reznik,

    2005). Penurunan sekresi saliva juga bisa disebabkan adanya gangguan pada kelenjar saliva,

    biasanya pada kelenjar saliva mayor. Pasien HIV-positif mempunyai kelainan kelenjar saliva

    yang lebih tinggi daripada kelompok HIV-negatif. Kecepatan aliran saliva menurun pada

    tahap awal infeksi HIV, dan tidak hanya fungsi sekresi kelenjar saliva yang menurun tetapi

    komposisi saliva juga berubah (Navazesh dkk., 2000).

    Gambaran Klinis

    Produksi saliva yang berkurang selalu disertai dengan perubahan dalam komposisi saliva

    yang mengakibatkan sebagian besar fungsi saliva tidak dapat berjalan lancar, sehingga

    mengakibatkan timbulnya beberapa keluhan pada penderita mulut kering (Bartels, 2008).

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    8/41

    6

    Penurunan saliva akan menyebabkan keluhan mulut kering, rasa terbakar atau rasa sakit serta

    adanya sensasi hilangnya indra pengecap. Gejala klinis dan komplikasi oral yang terkait

    dengan xerostomia meliputi saliva yang berbusa, kental, bibir kering dan pecah, rasa

    terbakar, lidah berfisur dan bernodul, pipi yang kering dan pucat, kelenjar saliva bengkak dan

    sakit, rasa haus yang meningkat, sulit mengunyah, sulit menelan (disfagia), sulit berbicara

    (disfoni) dan gangguan pengecapan. Kekeringan pada mulut menyebabkan fungsi pembersih

    dari saliva berkurang, sehingga terjadi radang dari selaput lendir yang disertai keluhan mulut

    terasa seperti terbakar. Selain itu, pada penderita xerostomia fungsi bakteriostase dari saliva

    berkurang sehingga menyebabkan peningkatan proses karies gigi (Ilgenil dkk., 2001).

    Hiposalivasi dan perubahan komposisi saliva berhubungan dengan peningkatan terjadinya

    infeksi rongga mulut, gangguan kesembuhan luka dan peningkatan karies gigi, atropik

    crackingpada mukosa, mukositis, ulserasi, diskwamasi dan inflamasi (Vernillo, 2003).

    Diagnosis

    Diagnosis xerostomia ditentukan berdasarkan anamnesis yang terarah, pemeriksaan klinis

    dalam rongga mulut dan pemeriksaan laboratorium. Dalam melakukan anamnesis dengan

    penderita dapat diajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan terarah yang dapat menentukan

    penyebab dan mendiagnosis xerostomia. Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan melihat

    gajala-gejala klinis yang tampak dalam rongga mulut. Ada beberapa pemeriksaan laboratoris

    pada kelenjar saliva sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis. Pemeriksaan tersebut adalah:pemeriksaan jumlah sekresi saliva, sialography, dan biopsi (Bartels, 2008).

    Treatment

    Penatalaksanaan xerostomia (mulut kering) sebaiknya dimulai dengan identifikasi dan

    penatalaksanaan penyebab yang mendasari, meskipun hal ini tidak selalu mungkin. Jika

    xerostomia disebabkan oleh pengaruh pemberian obat tertentu,

    semisal antidepresandanantihistamin, dianjurkan untuk segera berkonsultasi ke dokter untuk

    menghentikan ataupun mengganti jenis obat yang dikonsumsi (Bartels, 2008; Nelly, 1997)

    Prognosis

    Prognosis pada penderita xerostomia akan baik jika dilakukan manajemen yang baik

    untuk mengatasi xerostomia yang dialaminya (Bartels, 2008).

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    9/41

    7

    2. Oral Candidiasis

    Dilaporkan bahwa kandidiasis merupakan faktor kausatif pada 6-30% pasien dengan

    BMS. Kandidiasis oral merupakan suatu infeksi oportunistik, suatu unsur normal dalam

    mulut pada 40% pasien, pertumbuhan Candida yang berlebihan dapat terjadi pada pasien

    xerostomia, pengguna kortikosteroid, pengobatan antibiotik, pengguna gigi palsu dan

    diabetes melitus.

    Etiopatogenesis

    Kandidiasis terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama pada pasien

    pengguna protesa, xerostomia (Sjorgen syndrome), obat-obatan sitotoksis, konsentrasi gula

    dalam darah (diabetes), penggunaan antibiotik atau kortikosteroid, penyakit keganasan,

    kehamilan, defisiensi nutrisi, penyakit kelainan darah, dan penderita immunosupresi (AIDS)

    (Blignaut, 2007). Terjadinya kandidiasis pada rongga mulut di awali dengan adanyakemampuan candida untuk melekat pada mukosa mulut. Hal ini yang menyebabkan awal

    terjadinya infeksi. Sel ragi atau jamur tidak melekat apabila mekanisme pembersihan oleh

    saliva, pengunyahan dan penghancuran oleh asam lambung berjalan normal. Perlekatan

    jamur pada mukosa mulut mengakibatkan proliferasi, kolonisasi tanpa atau dengan gejala

    infeksi. Candida albicansmenghasilkan proteinase yang dapat mengdegradasi protein saliva

    termasuk sekretori immunoglobulin A, laktoferin, musin dan keratin juga sitotoksis terhadap

    sel host serta mungkin melibatkan beberapa enzim lain seperti fosfolipase, akan di hasilkan

    pada pH 3,5-6,0. Enzim ini menghancurkan membrane sel selanjutnya akan terjadi invasi

    jamur tersebut pada jaringan host. Hyfa mampu tumbuh meluas pada permukaan sel host

    (Akpan dan Morgan, 2008).

    Gambaran Klinis

    Gambaran klinis kandidiasis eritematous adalah lesi makula berwarna merah, biasanya

    terdapat di palatum dam dorsum lidah. Kandidiasis pseudomembran muncul dengan

    gambaran berwarna krem-putih seperti plak pada mukosa bukal, lidah, dan permukaan

    mukosa mulut lainnya. Apabila plak putih ini di usap akan meninggalkan permukaan yang

    dasarnya terlihat berwarna merah. Tipe kandidiasis hiperplastik ditandai oleh gambaran plak

    putih yang tidak dapat hilang apabila diusap dan biasanya muncul di mukosa bukal (Shetti

    dkk., 2011).

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    10/41

    8

    Diagnosis

    Dengan bahan terdiri atas apusan/swab permukaan lesi. Pemeriksaan dilakukan

    dengan cara :

    1. Pemeriksaan langsung/mikroskopis

    Usapan mukokutan diperiksa dengan sediaan apus yang diwarnai dengan Gram, untuk

    mencari pseudohifa dan sel-sel bertunas.

    2. Pemeriksaan Biakan

    Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam Sabaroud s Dextrosa Agar (SDA) pada suhu

    37c dalam Inkubator selama 2448 jam. Koloni tumbuh berupa Yeast Like Form.

    3. Serologi

    Ekstrak karbohidrat Candida kelompok A memberikan reaksi presipitin yang positif

    dengan serum pada 50% orang normal dan pada 70% orang dengan kandidiasis

    mukokutan.

    Treatment

    Pengobatan kandidiasis oral ditentukan oleh tipe kandidiasis, distribusi, dan tingkat

    keparahannya. Pengobatan topikal merupakan pengobatan yang efektif untuk lesi

    kandidiasis. Clotrimazole troches, nystatin pastilles, dan nystatin oral suspension merupakan

    obat-obatan yang efektif untuk kasus kandidiasis pseudomembran dan eritematous yang

    ringan sampai berat. Namun, penggunaan jangka panjang obat-obatan tersebut dapatmeningkatkan resiko karies. Peningkatan resiko karies dapat dihindari dengan menggunakan

    nystatin oral suspension (100.000 unit/5 ml, kumur di mulut, 3 x sehari). Klorhexidin 0,12%

    oral tidak mengandung suatu substrat yang kariogenik dan mungkin juga efektif (Mooney

    dkk., 1995).

    Prognosis

    Prognosis baik bila faktor predisposisi dapat diminimalkan (Akpan dan Morgan, 2008).

    3. Lichen Planus Tipe erosif

    Lichen planus pada rongga mulut (Oral Lichen Planus) adalah lesi mukokutaneus

    yang relatif sering terjadi. Gambaran klinis lichen planus dapat terbagi atas berberapa tipe

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    11/41

    9

    yaitu, retikular, papular, plak, atropi, hula dan erosif. Dikarenakan berbagai variasi

    gambaran klinis dari lichen planus dan penyebabnya yang tidak diketahui, diagnosa

    definitif sulit ditegakkan. Tipe erosif adalah bentuk yang telah mengalami ulserasi

    dengan perluasan yang bervariasi. Banyak pasien yang tidak mengetahui awal terjadinya

    lichen planus. Hal ini disebabkan tipe retikular, tipe plak dan tipe papula bebas dari rasa

    sakit. Tipe atropi, erosif maupun hula adalah tipe yang disertai rasa tidak enak seperti

    nyeri sampai rasa terbakar terutama sewaktu makan yang pedas ataupun panas

    (Primasari, 2003).

    Etiopatogenesis

    Menurut Edward dan Kelsch (2002), Lichen planus diduga berasal dari respon imun

    yang dimediasi sel T yang abnormal dimana sel epitel basalis dikenali sebagai benda

    asing karena perubahan dalam antigenitas permukaan sel mereka. Penyebab kerusakan

    sel basalis yang dimediasi imunitas ini tidak diketahui. Etiopatogenesis dari oral lichen

    planus melibatkan 2 mekanisme yaitu mekanisme spesifik dan nonspesifik. Mekanisme

    spesifik meliputi presentasi antigen oleh lapisan basement keratinosit dan sitotoksik

    limfosit T yang menyebabkan kematian keratinosit - antigen spesifik, sedangkan

    mekanisme non-spesifik meliputi degranulasi sel mast dan aktivasi matriks

    metaloproteinase. Mekanisme gabungan tampak menyebabkan akumulasi limfosit T

    dalam lamina propria, serta pecahnya membran basal, migrasi limfosit T intraepithelialdan apoptosis keratinosit, yang semuanya merupakan karakteristik dari lichen planus oral

    (Sugerman dkk, 2002).

    Gambaran Klinis

    Oral lichen planus (OLP) erosif merupakan tipe paling umum kedua setelah tipe

    retikuler. Lesi tersebut muncul sebagai campuran area erythematous dan mengalami

    ulserasi yang dikelilingi oleh striae keratotik yang menyebar dengan halus (Edward dan

    Kelsch, 2002). Gejala dapat berupa ketidaknyamanan yang intens menyakitkan, yang

    mengganggu ketika mengunyah makanan. Secara klinis, erosif lichen planus

    bermanifestasi sebagai daerah atrofi dan eritematosa sering dikelilingi oleh striae-striae

    tipis. Dalam kasus tertentu, epitel dapat terpisah jika erosi yang terjadi parah. Dua

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    12/41

    10

    gambaran tambahan adalah bentuk atrofik dan bullosa, yang dianggap menjadi varian

    dari tipe erosif. OLP atrofik terlihat sebagai bercak erythematous menyebar yang

    dikelilingi oleh striae putih halus. Bentuk ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan yang

    bermakna. Pada bentuk bullosa, bulla intraoral muncul pada mukosa bukal dan tepi

    lateral lidah; bulla ruptur segera setelah mereka muncul, yang menimbulkan gambaran

    klasik OLP erosif (Neville dkk., 2004).

    Diagnosis

    Diagnosis pasti OLP tergantung pada pemeriksaan histopatologis jaringan yang

    terpengaruh. Akan tetapi, melakukan suatu biopsi jaringan lesional, terutama jika OLP

    merupakan bentuk erosif, dapat menjadi hal yang menantang. Merupakan hal yang

    penting untuk mendapatkan potongan elips dari mukosa yang memanjang melewati area

    yang terpengaruh, untuk menghindari robeknya lapisan epitel superfisial dari jaringan

    ikat dibawahnya. OLP merupakan salah satu kondisi mukosa yang paling sering

    mempengaruhi kavitas oral. Dengan demikian, dokter gigi dalam praktek klinis akan

    secara teratur menemukan pasien dengan kondisi ini. Karena pasien dengan bentuk

    atrofik dan erosif OLP biasanya mengalami ketidak nyamanan yang bermakna, beberapa

    diantaranya dapat mengarah pada morbiditas yang bermakna, pembuatan diagnosa yang

    akurat merupakan hal yang penting (Edward dan Kelsch, 2002).

    TreatmentTujuan terapi OLP saat ini untuk menghilangkan eritema mukosa dan ulserasi,

    mengurangi gejala dan mengurangi risiko kanker mulut pada pasien OLP. Dalam konteks

    ini, pengobatan dibatasi pada kondisi atrofi (eritematosa), erosif (ulserasi), bulosa

    (blilstering) atau lesi OLP dengan gejala. Kortikosteroid adalah andalan terapi OLP

    karena aktivitas mereka dalam meredam sel dimediasi aktivitas kekebalan tubuh dan

    diberikan secara topikal maupun atau sistemik. Kombinasi sistemik dan terapi steroid

    topikal sangat efektif (Sugarman dkk., 2002).

    Prognosis

    Terapi imunosupresif digunakan untuk mengontrol eritema mukosa mulut, ulserasi

    dan adanya gejala di OLP dengan efek samping yang minimal, meskipun berbagai terapi

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    13/41

    11

    mungkin perlu diuji coba, ciri khas perjalanan klinis OLP adalah lesi dengan periode

    eksaserbasi dan tanpa gejala. Pasien lichen planus oral mengalami peningkatan risiko

    kanker mulut, meskipun risiko kanker mulut pada pasien OLP dapat dikurangi seperti

    yang dijelaskan. Dalam konteks ini, prognosis untuk sebagian besar pasien OLP sangat

    baik (Sugarman dkk., 2002).

    Pasien dengan sindroma mulut terbakar sering menimbulkan masalah diagnostik dan

    terapi. Dalam menangani penderita BMS diperlukan langkah-langkah perawatan yang diperlukan

    yaitu mencari faktor penyebab yang tepat yang memudahkan perawatannya, karena perawatan

    BMS pada dasarnya tergantung faktor etiologi. Pemeriksaan oral harus dilakukan dengan

    lengkap dan mengidentifikasi penyakit lain yang dapat menyebabkan nyeri mulut. Evaluasi harus

    meliputi pemeriksaan eritema, glossitis, atropi, kandidiasis, geographic tounge, lichen planus

    dan xerostomia. Klinis dengan pengetahuan dan pengalaman yang luas serta presentasi penyakit

    oral adalah sarana terbaik untuk menjamin hasil pemeriksaan mukosa oral yang tepat (Coulthard

    dkk, 2003).

    B. HIV/AIDS

    AIDS merupakan sindrom (kumpulan gejala) yang terjadi akibat menurunnya sistem

    kekebalan tubuh. AIDS yang merupakan singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome

    disebabkan oleh infeksi HIV.Human Immunodeficiency Virus(HIV) adalah virus sitopatik yang

    diklasifikasikan dalam family retrovirus. Retrovirus adalah virus RNA yang mampu membuat

    DNA dari RNA dengan pertolongan enzim reverse transcriptaseyang kemudian disisipkan ke

    dalam DNA sel hostsebagai mesin genetik (Nasronudin, 2007). Sel target HIV adalah limfosit T,

    makrofag, dan monosit. HIV menyerang sel-sel ini karena pada sel-sel tersebut terdapat reseptor

    khusus CD4+ yang dibutuhkan oleh HIV masuk kedalam sel target (Abbas dan Linchtman,

    2006). HIV mempunyai cara tersendiri dalam menghindari mekanisme pertahanan tubuh. HIV

    memasuki tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau berada di dalam sel limfosit. Benda asing

    ini segera dikenali oleh sel limfosit T. Begitu sel limfosit Tmenempel pada benda asing tersebut,

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    14/41

    12

    reseptor sel limfosit T menjadi tidak berdaya sehingga virus segera berfusi (menyatu) dan

    memasuki sel tersebut (Abbas dan Linchtman, 2006; Levy, 2009).

    Perjalanan khas infeksi HIV yang tidak diobati, berjangka waktu sekitar satu

    dekade. Tahap-tahap perjalanan infeksi HIV meliputi infeksi primer, penyebaran virus ke

    organ limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis dan kematian

    apabila tidak diobati. Tahap ini dimulai dengan infeksi primer oleh HIV melalui berbagai cara

    yang telah disebutkan sebelumnya seperti melalui jarum suntik. Setelah infeksi primer, terdapat

    4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan, dimana viremia ini dapat

    terdeteksi selama sekitar 8-11 minggu. Kemudian selama masa ini virus tersebut menyebar ke

    seluruh tubuh melalui organ limfoid. Selama masa ini terdapat penurunan jumlah sel-T CD4

    yang beredar secara signifikan. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan

    setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat. Tetapi, respon

    imun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna, dan sel-sel yang terinfeksi HIV

    menetap dalam limfonodi (Brooks dkk., 2005).

    Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini, terjadi

    banyak replikasi virus. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan

    setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup

    virus (dari saat infeksi sel ke saat produksi keturunan baru yang menginfeksi sel berikutnya)

    rata-rata 2,6 hari, sedangkan limfosit T CD4

    +

    adalah sekitar 1,6 hari. Karena cepatnyaproliferasi virus ini dan angka kesalahanReverse Transkiptase HIV yang berkaitan, diperkirakan

    bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks dkk.,

    2005).

    Akhirnya, pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang

    nyata, seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi

    dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. Secara klinis, sindroma disebabkan oleh

    salah satu dari 3 mekanisme yaitu immunodeficiency, autoimmunity, dan alergi atau reaksi

    hipersensitivitas. Akibat dari mekanisme tersebut timbullah gejala-gejala klinis, yaitu: keluhan

    sistemik (seperti penurunan berat bedan dan mual), penyakit paru- paru, penyakit sistem

    syaraf pusat, sistem saraf perifer, manifestasi rematik, Myopathy, retinitis, manifestasi saluran

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    15/41

    13

    pencernaan, manifestasi endokrin, manifestasi kulit, HIV berhubungan dengan malignansi,

    manifestasi ginekologi, penyakit arteri koroner, reaksi inflamasi (immune reconstitution

    syndromes atau IRIS) dan lesi oral (Brooks dkk., 2005).

    Penyakit ini ditandai dengan timbulnya berbagai penyakit infeksi bakteri, jamur, parasit,

    dan virus yang bersifat oportunistik atau keganasan seperti sarkoma kaposi dan lymphoma.

    Manifestasi klinis yang pertama kali muncul pada penderita HIV positif atau AIDS adalah

    manisfestasi pada mukosa mulut (oral) seperti: candidiasis, oral hairy leukoplakia, herpes

    labialis, dan ulkus aphthous (Scully dkk., 2010). Sesuai dengan skenario, penyakit yang

    bermanifestasi sebagai lesi manifestasi oral HIV yang paling mungkin, yaitu:

    1. Erytematous Candidiasis

    Etiopatogenesis

    Perkembangan kandidiasis oral umumnya mencerminkan ketidakseimbangan dalam

    lingkungan ekologi normal rongga mulut. Di antara pasien terinfeksi HIV dengan kandidiasis

    oral, Candida albicans adalah spesies yang paling umum terlibat. Biasanya candidiasis

    muncul akibat CD4+ yang rendah pada penderita HIV yang tidak terkontrol. Candida

    albicansmerupakan flora normal pada tubuh yang terletak pada saluran gastroinstestinal dan

    vaginal. Permulaan infeksi jamur candida diawali dari melemahnya sistem imun yang

    berkurang akibat beberapa faktor, yang menyebabkan penurunan flora bakteri mukosa oral.

    Penurunan jumlah bakteri normal pada mukosa oral ini menyebabkan peningkatanpertumbuhan dari Candida albicans, untuk menjadi pathogen jamur candida akan merubah

    bentuknya dari blastosopra menjadi pseudohifa atau hifa. Dalam bentuk ini candida

    mengeluarkan protein berupa ALS (adhesion like sequence), X-agglutinins, HWP-1. Protein-

    protein inilah yang menyebabkan Candida memiliki kemampuan untuk melakukan adhesi

    pada sel epitelial buccal dan membentuk kolonisasi pada epitel (Tarcin, 2011).

    Gambaran Klinis

    Terdapat 4 tipe kandidiasis oral pada pasien yang terinfeksi HIV, yaitu pseudomembran

    candidiasis, hiperplastic candidiasis, eritematous candidiasis dan angular cheilitis. Manifestasi

    klinis eritematous kandidiasis berupa bercak merah datar di mana saja pada mukosa mulut,

    paling sering pada palatum durum, gingiva yang melekat atau mukosa bukal, atau permukaan

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    16/41

    14

    dorsal lidah. Dengan keterlibatan lidah, filiform papilla mungkin hilang dan daerah-daerah

    muncul sebagai " botak" patch. Pasien dengan pseudomembran atau eritematosa kandidiasis

    sering mengeluh rasa terbakar di mulut terutama saat makan makanan asin, pedas atau minum

    minuman yang mengandung asam (Reznik, 2005).

    Diagnosis

    Dalam hampir semua kondisi klinis, diagnosis kandidiasis oral dibuat berdasarkan

    penampilan klinis yang khas. Dalam situasi ini, diagnosis dugaan diperkuat jika pasien

    merespon percobaan empirik terapi antijamur. Ketika diagnosis klinis kandidiasis oral tidak

    jelas, diagnosis dapat dikonfirmasi dengan mendapatkan smear langsung dan melakukannya

    dengan kalium hidroksida (KOH) atau dengan Grams stain. Dengan KOH biasanya

    menunjukkan adanya ragi atau pseudohifa, dan dengan Grams stainbiasanya menunjukkan

    organisme pewarnaan gram positif yang jauh lebih besar dari bakteri. Mendapatkan kultur

    jamur oral umumnya dapat dilakukan ketika pasien tidak merespon terapi dan ketahanan anti

    jamur (Kaplan dkk., 2009).

    Treatment

    Pada tahun 2009, United States Guidelines for the Prevention and Treatment of

    Opportunistic Infections, flukonazol (Diflucan) direkomendasikan sebagai obat pilihan untuk

    pasien dengan kandidiasis orofaringeal berdasarkan khasiat, kenyamanan, dan toleransinya

    yang baik pada pasien. Terapi topikal dengan troches clotrimazole (Mycelex), suspensi ataupastiles nistatin (Mycostatin), dan tablet mukoadhesif mikonazol (Oravig) semua dianggap

    diterima sebagai terapi awal yang disukai pasien. Terapi Alternatif terdiri dari larutan oral

    itrakonazol (Sporanox) dan larutan oral posaconazole (Noxafil). Terapi umumnya harus terus

    dilakukan selama 10 sampai 14 hari. Pengobatan episodik episode klinis sangat disukai

    daripada terapi penekan kronis, terutama karena biaya yang lebih rendah dengan terapi

    episodik dan kepedulian terhadap pengembangan resistensi obat antijamur dengan terapi

    kronis. Terapi antiretroviral pada penderita HIV kemungkinan akan memainkan peran penting

    dalam mengurangi kebutuhan untuk mengobati episode berulang kandidiasis oral (Kaplan

    dkk., 2009).

    Prognosis

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    17/41

    15

    Lokasi infeksi kandida tersering pada pasien imunokompromais adalah di mukosa.

    Prognosis kandidiasis pada pasien imunokompromais buruk dengan tingkat kematian

    mencapai 75% (Venkatesan dkk., 2005).

    4.

    Reccurent Herpes Simplex Virus-1

    HSV tidak termasuk infeksi yang mendefinisikan AIDS. Namun orang yang terinfeksi

    HIV dan HSV bersamaan lebih mungkin mengalami jangkitan herpes lebih sering. Jangkitan

    ini dapat lebih berat dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan orang tidak terinfeksi

    HIV. Luka herpes menyediakan jalur yang dimanfaatkan HIV untuk melewati pertahanan

    kekebalan tubuh, sehingga menjadi lebih mudah terinfeksi HIV. Sebuah penelitian baru

    menemukan risiko orang dengan HSV tertular HIV adalah tiga kali lebih tinggi dibandingkan

    orang tanpa HSV. Herpes labialis adalah lesi pada bibir yang bersifat kambuhan, dikarenakan

    reaktivasi dari Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1). Herpes labialis merupakan bentuk dari

    infeksi herpes rekuren.

    Etiopatogenesis

    Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai pada penderita AIDS Related

    Complex (ARC) dan AIDS. Infeksi ini disebabkan karena penyerangan secara umum dari

    sel T dari sistem imun. Ulser herpes simpleks umum ditemukan pada individu yang

    terinfeksi dan yang tidak terinfeksi HIV, lesi ini muncul pada mukosa rongga mulut

    berkeratin dan cenderung sembuh sendiri (self-limiting) dalam periode yang singkat.

    Namun, jika lesi ini dimiliki oleh penderita yang terinfeksi HIV, biasanya terlihat lebih

    menyebar, persisten dan tampilannya atipikal; biasanya berupa lesi multipel yang menyatu

    dan membentuk ulser ireguler berukuran besar.

    Gambaran Klinis

    Herpes labialis (cold sores, fever blisters) paling sering dikaitkan dengan infeksi HSV-1

    dengan pasien terinfeksi virus HIV. Gejala prodromal yang dirasakan seperti sensasi

    terbakar, nyeri ringan, dan gatal-gatal. Gejala ini mengawali erupsi, pada umumnya rasanyeri berlangsung pada 2 hari pertama. Secara klinis, hal ini ditandai dengan edema dan

    kemerahan di vermilion border, dan juga kulit perioral yang berdekatan, kemudian diikuti

    oleh sekelompok vesikel kecil. Vesikel ini segera pecah, meninggalkan ulkus kecil yang

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    18/41

    16

    ditutupi oleh krusta dan akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 5-8 hari. Herpes

    labialis rekuren terjadi pada 50-75% individu-individu yang terkena infeksi HSV di mulut,

    terjadi tiga kali lebih sering pada pasien dengan demam dibandingkan pasien tanpa demam

    (Laskaris, 2003; Jordan dan Lewis, 2004).

    Diagnosis

    Dalam kebanyakan kasus, diagnosis didasarkan pada karakteristik tampilan klinis lesi.

    Diagnosis klinis dapat dibuat secara akurat ketika beberapa karakteristik lesi vesikuler pada

    dasar eritema dan bersifat rekuren. Namun, ulserasi herpes dapat menyerupai ulserasi kulit

    dengan etiologi lainnya (Scully dkk, 2010).

    Treatment

    Pengobatan dapat mengurangi simptom, mengurangi nyeri dan ketidak nyamanan secara

    cepat yang berhubungan dengan perjangkitan, serta dapat mempercepat waktu

    penyembuhan. Tiga agen oral yang akhir-akhir ini diresepkan, yaitu Acyclovir, Famciclovir,

    dan Valacyclovir. Ketiga obat ini mencegah multiplikasi virus dan memperpendek lama

    erupsi. Pengobatan peroral, dan pada kasus berat secara intravena adalah lebih efektif.

    Pengobatan hanya untuk menurunkan durasi perjangkitan. Acyclovir menghambat aktivitas

    HSV 1 dan HSV-2. Pasien mengalami rasa sakit yang lebih kurang dan resolusi yang lebih

    cepat dari lesi kulit bila digunakan dalam waktu 48 jam dari onset ruam. Pada pasien

    immunocompromisedsebaiknya diberikan pengobatan secara sistemik, atau dengan antivirallainnya (Burket, 2008; Scully dkk, 2010; Jordan dan Lewis, 2004).

    Prognosis

    Prognosis herpes labialis baik, tetapi bagi pasien immunocompromised frekuensi

    kekambuhannya lebih sering (Scully dkk, 2010).

    5. Eritroplakia

    Pada pasien dengan kondisi immunocompromised seperti pasien yang terinfeksi virus

    HIV, manifestasi oral seperti eritroplakia dapat menjangkit. Eritroplakia adalah plak

    merah yang tidak dapat didiagnosa sebagai suatu penyakit spesifik dengan dasar analisa

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    19/41

    17

    klinis. Eritroplakia juga didefinisikan sebagai bercak merah seperti beludru, menetap,

    yang tidak dapat digolongkan secara klinis sebagai keadaan lain apapun.

    Etiopatogenesis

    Faktor pengaruh seperti infeksi virus HIV dan manifestasi oral dapat menjadi salah satu

    etiologi adanya idiopatik eritroplakia. Namun ada sejumlah keadaan yang menghasilkan

    perubahan mukosa menjadi merah. Merahnya lesi ini adalah akibat dari atrofi mukosa yang

    menutupi submukosa yang banyak vaskularisasinya. Tepi lesi biasanya berbatas jelas. Tidak

    ada predileksi jenis kelamin dan paling sering mengenai pasien berusia di atas 60 tahun.

    Eritroplakia paling umum dijumpai pada pasien-pasien perokok berat dan alkoholik.

    Gambaran Klinis

    Eritroplakia dapat terjadi di setiap tempat di dalam mulut, tetapi paling sering dalam

    lipatan mukobukal mandibula, orofaring, pilar tonsil, palatum lunak, permukaan lateral dan

    ventral lidah, dan dasar mulut. Gambaran klinis eritroplakia adalah berwarna merah, plak

    seperti kain beludru dan tepi lesi berbatas jelas. Sejumlah peneliti telah membuktikan bahwa

    mayoritas dari lesi mulut sejenis ini, menunjukkan frekuensi tinggi dari atipia seluler dan

    perubahan premaligna serta perubahan maligna.

    Treatment

    Biopsi adalah keharusan untuk semua tipe eritroplakia, karena 91% dari eritroplakia

    menunjukkan dysplasia yang parah, karsinoma in situ, karsinoma sel skuamosa yang invasif.Pemeriksaan yang cermat dari seluruh rongga mulut juga diperlukan. Sebab 10-20% dari

    pasien-pasien ini akan mempunyai beberapa daerah eritroplakia yang hebat, suatu fenomena

    yang dikenal sebagaifield cancerization.

    6. Neutropenic ulceration

    Neutropenic ulceration merupakan ulserasi yang sangat nyeri dan dapat terjadi pada

    jaringan berkeratin dan tidak. Penyakit ini berhubungan dengan jumlah granulosit yang

    kurang dari normal. Adanya ulser yang besar yang tidak dapat diidentifikasi sebagai ulser

    lainnya perlu dicurigai sebagai ulserasi neutropenik. Frekuensi lesi meningkat pada

    penderita HIV meskipun penyebab meningkatnya frekuensi tersebut tidak diketahui.

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    20/41

    18

    Dapat dirawat dengan steroid topikal atau sistemik yang dapat menstimulasi granulosit,

    tergantung ukuran dan lokasi lesi (Reznik, 2005).

    Etiopatogenesis

    Ulserasi terjadi secara idiopatik atau pada kondisi iatrogenik neutropenia. Ulserasi

    dapat terjadi ketika jumlah neutrofil dibawah 1500/mm3. Kondisi kurangnya kadar

    neutrofil ini disebut netropenia, yang merupakan kelainan hematologi primer. Neutrofil

    berfungsi sebagai kekebalan tubuh, kondisi neutropenia menyebabkan penurunan

    kekebalan tubuh yang mengakibatkan tubuh lebih rentan terhadap infeksi yang sering

    terjadi pada membran mukosa, misalnya pada rongga mulut (Sciubba dkk., 2002).

    Gambaran Klinis

    Gambaran klinis dari neutropenic ulceration adalah ulkus dengan batas tegas yang

    dikelilingi oleh eritema, dasar ulkus ditutupi oleh eksudat fibrin. Merupakan lesi unusual-

    looking atau fulminant dengan ukuran ulkus bervariasi, namun pada umumnya

    diameternya besar.

    Diagnosis

    Kondisi klinis yang terlihat menentukkan diagnosis, serta didukung dengan hasil

    pemeriksaan jumlah darah perifer (Sciubba dkk., 2002).

    Treatment

    Umumnya ulserasi ini diakibatkan oleh menurunnya jumlah neutrofil, sehingga padapasien dengan neutropenic ulceration jumlah neutrofil harus diidentifikasi, jika lebih

    harus dilakukan manajemen dengan memberikan surat rujukan pada dokter penyakit agar

    jumlah neutrofil normal. Terapi suportif lebih dianjurkan daripada pemberian obat-

    obatan, misalnya pasien dianjurkan untuk mejaga pertahanan tubuh dengan

    mengkonsumsi makanan sehat, rutin berolahraga dan istirahat yang cukup. Selain itu,

    disarankan untuk menjaga kebersihan mulut. Pengobatan menggunakan topikal steroid

    juga disarankan tergantung ukuran dan lokasi lesi (Sciubba dkk., 2002).

    Prognosis

    Relatif tergantung manajemen dari kondisi neutropenia (Sciubba dkk., 2002).

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    21/41

    19

    7. Mayor Aphtous Ulceration

    Etiopatogenesis

    Kondisi apthous ulcer tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan terjadi karena

    adanya disfungsi imun fokal. Adanya interfensi dari bakteri atau virus masih

    dipertimbangkan. Etiologi dari apthous ulcer masih tidak diketahui, namun beberapa

    faktor predisposisi misalnya meningkatnya kecemasan, perubahan hormonal, faktor

    makanan, siklus menstruasi, hematologi, trauma. Faktor perubahan permeabilitas

    pertahanan, misalnya terjadi pada pasien dengan human immunodeficiency

    virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS), supresi sumsum tulang,

    neutropenia, sensitif terhadap gluten, Crohns disease, ulcerative colitis, alergi makanan,

    Behets disease, and defisiensi besi, folat, vitamin B12, dan zinc (Sciubba dkk., 2002).

    Patogenesis reccurrent apthous ulcer belum diketahui. Autoimun atau reaksi

    hipersensitif terhadap mikroflora oral merupakan faktor etiologi RAS. Aspek imunologi

    RAS menyebabkan limfositotoksisitas, antibody-dependent cell-mediated cytotoxixity

    dan mempengaruhi subpopulasi sel limfosit sebagai faktor etiologi. Sitokin, seperti

    interleukin-2 (IL-2) dan interleukin-10 (IL-10) dan depresi aktivitas natural killer cell

    (NK cell) juga berperan menyebabkan RAS. Mekanisme terbentuknya RAS masih belum

    diketahui, kemungkinan dipengaruhi oleh cell mediated immune response, meliputi sel T,

    makrofag, sel mast, dan produksi TNF . TNF dapat menginduksi inflamasi akibatadanya adhesi sel endotel dan kemotaksis neutrofil (Jordan dan Lewis, 2004).

    Gambaran Klinis

    Merupakan ulkus nyeri yang kambuhan namun bersifat self-limiting. Sering terjadi

    pada mukosa non keratinisasi dan faring, jarang terjadi pada palatum dan gingiva cekat.

    Gambaran klinis ulkus berbatas tegas dengan dasar kekuningan dan dikelilingi oleh

    erythema. Diameter ulkus ini kurang lebih 1 cm atau bisa lebih besar, jumlah ulkusnya

    bisa satu atau lebih, dengan dasar ulkus yang dalam dan batas margin edema dan elevasi.

    Lesi sembuh dalam beberapa minggu hingga bulan dan penyebuhannya menimbulkan

    jaringan parut (Sciubba dkk., 2002).

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    22/41

    20

    Diagnosis

    Penegakkan diagnosis melalui riwayat sangat membantu, ulkus ini bersifat

    kambuhan. Biasanya diagnosis ditegakkan dari temuan klinis, ulkus berbatas tegas dan

    terdapat pada mukosa nonkeratinisasi. Ada riwayat keluarga juga dapat dipertimbangkan.

    Treatment

    Terapi simtomatik mungkin memadai. Jika penyebabnya adalah sistemik, maka kita

    harus mengeliminsai kondisi tersebut agar tidak berulang. Terapi kortikosteroid

    merupakan pilihan yang rasional dan efektif. Topikal kortikosteroid dalam bentuk gel,

    krim, atau olesan 4 sampai 6 kali pada lesi awal. Injeksi kortikosteroid pada lesi atau

    kortikosteroid sistemik dengan durasi yang pendek juga bisa dijakdikan pilihan.

    Penatalaksanaan untuk kasus yang sedang meliputi penggunaan topikal kortikosteroid,

    seperti dexamethasone elixir (0,5 mg/ 5 ml) sehari 2 sampai 3 kali sampai gejalanya

    teratasi. Untuk kasus yang lebih parah, kortikosteroid sistemik, seperti prednisone

    dibutuhkan (Sciubba dkk., 2002).

    Prognosis

    Baik, namun kondisi kambuhan biasanya tidak dapat disembuhkan. Kontrol ulser

    dengan kortikosteroid. Mayor aphtous ulcer merupakan kelainan yang bersifat kambuhan

    dan ditemukan di mukosa rongga mulut (Jordan dan Lewis, 2004).

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    23/41

    21

    BAB III

    PEMBAHASAN

    A. Skenario Kasus

    Pasien laki-laki berusia 45 tahun datang dengan keluhan sensasi terbakar pada

    mulutnya terutama ketika makan makanan asin atau pedas atau minum minuman yang asam.

    Berdasarkan pemeriksaan klinis, tampak lesi merah, datar, dan halus pada permukaan dorsal

    lidah dan pada palatum lunak dengan nyeri ringan ketika disentuh. Beberapa gigi molar

    fraktur hingga kedalaman email, tetapi tidak terasa sakit. Karies progresif pada gigi geligi

    juga terlihat. Lesi ulseratif single terdapat di gingiva region molar rahang atas. Ulkus besar,

    dan tidak terlihat seperti ulkus pada umumnya atau ulkus fulminant. Pasien mengatakan

    bahwa ulkus tersebut muncul sejak 4 hari yang lalu dan terasa sangat nyeri. Pasien tidak

    memiliki riwayat alergi, tidak ada riwayat rawat inap di rumah sakit, dan pengobatan jangka

    panjang.

    Namun, dalam satu tahun terakhir ini, pasien lebih sering terkena demam dan diare

    yang membuatnya mengkonsumsi obat bebas untuk mengobati kondisi tersebut. Ketika

    demam, sering disertai dengan blister kecil yang multiple pada bibirnya, kadang juga blister-

    blister tersebut muncul di palatum dan gusi, lalu ketika pecah atau rupture akan

    menghasilkan lesi ulseratif kecil dan menyakitkan yang mungkin bergabung. Hasil

    pemeriksaan darah rutin : WBC : 5,2 . 103/mm

    3, RBC : 4,8 . 10

    3/ mm

    3, HCT : 45%, HGB :

    13,6 g/dL, Platelet : 130. 103 /mm

    3, Limfosit : 10,1%, Neutrofil : 29,5%, Monosit : 5,2%,

    Eosinofil : 2,1 %, Basofil : 0,3%. Riwayat pribadi pasien mengungkapkan bahwa pasien

    adalah seorang bartender dan masih membujang. Pasien rutin pergi ke fitness centre tiap

    seminggu sekali. Pasien bekerja setiap hari dari jam 9 malam hingga jam 3 pagi.

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    24/41

    22

    B. Analisis Kasus

    Berdasarkan skenario kasus, informasi yang diperoleh adalah sebagai berikut:

    Identitas pasien : Laki-laki, 45 tahun

    Pemeriksaan subjektif

    Keluhan Utama :

    Sensasi terbakar pada mulut terutama saat makan makanan asin atau pedas atau minum

    minuman yang asam.

    Riwayat Keluhan :

    Terasa nyeri saat makan makanan asin atau pedas dan minum minuman yang asam, serta

    terasa nyeri ketika tersentuh pada lidah dan langit-langit mulut. Pasien mengaku sejak 1

    tahun yang lalu sering demam disertai blister kecil banyak pada bibir, langit-langit mulut,

    dan gusi. Ketika blister pecah muncul sariawan-sariwan kecil, yang sakit, dan kadang

    menyatu. Sejak 4 hari yang lalu merasa nyeri pada gusi belakang atas.

    Riwayat Kesehatan Umum:

    Tidak memiliki riwayat alergi

    Tidak pernah dirawat inap di rumah sakit

    Tidak sedang dalam pengobatan jangka panjang

    Sejak 1 tahun yang lalu sering demam dan diare, dan diobati dengan obat bebas.

    Riwayat Kesehatan Keluarga:(tidak dijelaskan dalam skenario)

    Riwayat Kesehatan Dental:

    (tidak dijelaskan dalam skenario)

    Riwayat Pribadi / Sosial :

    Bartender, bujangan

    Rutin ke fitness centre setiap seminggu sekali

    Bekerja setiap hari dari jam 9 malam hingga jam 3 pagi

    Pemeriksaan Objektif

    Pemeriksaan Intraoral :

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    25/41

    23

    Mukosa Oral :

    Terdapat lesi berwarna merah, datar, halus, nyeri ringan ketika disentuh pada dorsum

    lidah dan palatum mole.

    Terdapat ulkus tunggal, berukuran besar, tidak terlihat seperti ulkus pada umumnya /

    ulkus fulminant pada gingiva region Molar rahang atas.

    Gigi geligi :

    Beberapa molar fraktur dengan kedalaman email, namun tidak terasa sakit.

    Terdapat karies progresif pada gigi geliginya.

    Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan Darah :

    WBC : 5,2 . 103/mm3 (Normal)

    WBC Normal : 4.50011.000 juta/ mm3

    RBC : 4,8 . 103/ mm

    3(Normal)

    RBC Normal : 4,66,2 juta/ mm3

    HCT : 45% (Normal)

    HCT Normal : 4054%

    HGB : 13,6 g/dL (Kurang dari Normal)

    HGB Normal : 14-18 g/dL

    Platelet : 130. 10

    3/mm

    3(Kurang dari Normal)

    Platelet Normal : 150.000-450.000 mm3

    Jumlah platelet yang kurang dari normal disebut dengan trombositopenia. Hal ini dapat

    disebabkan karena infeksi virus, obat kemoterapi, kanker sumsum tulang, dan penggunaan

    alkohol jangka panjang. Trombositopenia dikaitkan dengan perkembangan yang cepat dari

    penyakit pada pasien dengan infeksi HIV. Penyebab trombositopenia pada orang yang

    terinfeksi HIV adalah antibodi orang yang terinfeksi HIV menghancurkan trombosit

    individu tersebut (Daniels, 2014). Selain itu HIV dapat langsung menginfeksi sel

    progenitor trombosit dan megakaryocyte sehingga penurunan jumlah megakaryocyte

    menyebabkan penurunan produksi trombosit (Miguez-Burbano dkk., 2005).

    Limfosit : 10,1% (Kurang dari Normal)

    Limfosit Normal : 20-44%

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    26/41

    24

    Limfositopenia dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit dan keadaan seperti

    kanker, artritis dan rematoid, lupus eritematosus sistemik, infeksi kronik, HIV/AIDS, dan

    infeksi virus. AIDS adalah infeksi yang paling umum yang menyebabkan limfositopenia,

    yang timbul dari kerusakan sel CD4 + T terinfeksi HIV. Pada AIDS komponen yang

    diserang adalah limfosit T helper yang memiliki resptor CD4 di permukaannya (Daniels,

    2014).

    Neutrofil : 29,5% (Kurang dari Normal)

    Neutrofil Normal : 35-80%

    Jumlah neutrofil yang kurang dari normal disebut neutropenia. Neutrofil adalah jenis sel

    darah putih yang membantu melawan infeksi, terutama yang disebabkan oleh bakteri dan

    jamur. Berkurangnya jumlah neutrofil dalam tubuh dapat meningkatkan terjadinya infeksi.

    Apabila jumlah neutrofil menurun secara bermakna dan masa neutropenia cukup lama,

    maka risiko terjadinya infeksi oleh bakteri, jamur, virus atau mikroorganisme oportunistik

    akan meningkat secara nyata (Daniels, 2014).

    Monosit : 5,2% (Normal)

    Monosit Normal : 37%

    Eosinofil : 2,1 % (Normal)

    Eosinofil Normal : 13%

    Basofil : 0,3% (Normal)

    Basofil Normal : 01%

    Evaluasi status kesehatan pasien dijelaskan dalam rumusan Review of System(ROS)berikut di

    bawah ini;

    a. Kulit dan Mukosa

    Tidak terdapat kelainan pada tekstur dan warna pada kulit pasien. Pada area mukosa rongga

    mulut pasien ditemukan lesi berwarna merah, datar, halus, nyeri ringan ketika disentuh pada

    dorsum lidah dan palatum mole. Selain itu juga terdapat ulkus tunggal, berukuran besar, tidak

    terlihat seperti ulkus pada umumnya (ulkus fulminant) pada gingiva region Molar rahang

    atas.

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    27/41

    25

    b. Sistem Kardiovaskular

    Tidak terdapat kelainan pada sistem kardiovaskular pasien.

    c. Sistem Respiratoria

    Tidak terdapat kelainan pada system respiratoria pasien.

    d. Sistem Saraf

    Sistem saraf tidak menunjukkan adanya parasthesia atau mati rasa saat diadakan

    pemeriksaan, menunjukkan keadaan fungsional saraf yang baik.

    e. Sistem Endokrin dan Renal

    Tidak terdapat kelainan pada system endokrin dan renal pasien.

    f. Sistem Gastrointestinal

    Pasien sering terkena demam dan diare dalam satu tahun terakhir ini. Ketika demam dan

    diare, pasien mengobatinya dengan mengkonsumsi obat bebas.

    g. Sistem Osteoartikular

    Tidak terdapat kelainan pada system osteoartikular pasien.

    h. Alergi dan Hipersensitivitas

    Tidak terdapat alergi maupun hipersensitivitas yang diderita oleh pasien.

    Risk Assesment (ASA-ORA)

    Menurut American Society of Anesthesiologists (ASA) mengenai klasifikasi status fisik,

    kondisi pasien tersebut masuk dalam ASA I yang berarti tidak ada gangguan kondisi sistemik

    sehingga tidak perlu adanya modifikasi perawatan. Dari status fisik pasien yang tergolong ASA I

    tersebut dapat ditentukan Oral Risk Assessment (ORA) atau penilaian resiko perawatan pada

    oral, yaitu ORA II.

    C. Proses Penentuan Diagnosis Banding

    Pada pemeriksaan objektif ditemukan 2 lesi intraoral, lesi pertama merupakan lesi berwarna

    merah, datar, halus, nyeri ringan ketika disentuh pada dorsum lidah dan palatum mole. Lesi

    kedua merupakan ulkus tunggal, berukuran besar, fulminant pada gingiva region molar rahang

    atas.

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    28/41

    26

    Diagnosis banding untuk ulkus tunggal, fulminant pada gingiva region molar rahang atas.

    1. Neutropenic Ulceration

    Pada skenario kasus, pasien menceritakan bahwa terdapat sariawan yang sangat nyeri

    pada regio gingiva cekat rahang atas. Menurut Reznik (2008), neutropenic ulceration

    merupakan lesi pada mukosa keratinisasi dan nonkeratinisasi (pipi dan gusi) yang terasa

    sangat nyeri. Sciubba dkk. (2002) menyebutkan bahwa etiologi neutropenic ulceration adalah

    idiopathic atau iatrogenic neutropenia, atau dapat terjadi jika pada pemeriksaan jumlah

    neutrofil dibawah 1500/mm3, pada pemeriksaan penunjang pada skenario, didapatkan bahwa

    jumlah neutrofil mengalami penurunan. Gambaran klinis lesi tersebut adalah lesi ulseratif,

    single, besar, dan fulminant. Sesuai dengan pernyataan Sciubba dkk. (2002) bahwaNeutropenic Ulceration merupakan lesi single yang ukurannya bervariasi, pada umumnya

    besar, batas eritematous tegas, dan unusual-looking atau fulminant. Frekuensi lesi ini

    meningkat pada populasi yang terinfeksi HIV dan penyebab peningkatannya tidak diketahui

    (Reznik, 2008).

    Klasifikasi Oral

    Abnormalitas Primer Lesi ulseratif

    Durasi Akut (4 hari)Lokasi Gingiva regio molar rahang atas

    Latar belakang sistemik - Tidak memiliki riwayat alergi

    - Tidak pernah dirawat inap di rumah sakit

    - Tidak sedang dalam pengobatan jangka panjang

    - Sejak 1 tahun yang lalu sering demam dan diare, dan diobati

    dengan obat bebas.

    Temuan klinis Single, besar dan fulminant

    Kemungkinan etiologi 1.Autoimmune

    2.Penyakit sistemik

    3.Part of syndrome

    Differential diagnosis 1.Mayor Aphtous Ulcer

    2.Neutropenic Ulceration

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    29/41

    27

    2. Mayor Apthous Ulcer

    Pada skenario kasus, pasien tidak menyebutkan penyebab adanya ulserasi pada

    gingiva cekat. Sedangkan pada penampakan klinis pada gingiva cekat pasien menunjukkan

    adanya lesi ulseratif,single,besar, danfulminant. Keadaan tersebut merupakan salah satu ciri

    dari apthous ulcer, yang merupakan ulkus single atau multiple dengan diameter 1-2 cm yang

    terasa sangat nyeri (Laskaris., 1997)

    Mayor apthous ulcer merupakan ulkus yang tampak pada jaringan non-keratinisasi,

    sedangkan pada skenerio terjadi pada gingiva cekat (jaringan keratinisasi). Sciubba dkk.

    (2002) menyebutkan bahwa apthous ulcer dapat terjadi meluas pada seluruh oral pada

    penderita dengan immunodefisiensi. Penyebab apthous ulcer antara lain adanya fokal

    disfungsi imun, atau virus, atau agen infeksi yang tidak teridentifikasi dan dapat dipicu oleh

    berbagai faktor (misalnya: naiknya stress atau kecemasan, perubahan hormon, faktor

    makanan, trauma), faktor perubahan permeabilitas pertahanan, misalnya terjadi pada pasien

    dengan human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS),

    supresi sumsum tulang, neutropenia, sensitif terhadap gluten, Crohns disease, ulcerative

    colitis, alergi makanan, Behets disease, and defisiensi besi, folat, vitamin B12, dan zinc.

    No. Neutropenic ulceration Mayor Apthous Ulcer

    1. Pria Dewasa

    2. Usia 45 tahun

    3. Single

    4. Besar

    5. Fulminant -

    6. Gingiva regio molar RA -

    7. Sangat nyeri

    8. Akut -

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    30/41

    28

    Berdasarkan ciri-ciri dan gambaran klinis yang terdapat dalam kasus, dapat ditetapkan diagnosis

    kerja lesi ulseratif, single, besar, fulminant, sangat nyeri pada gingiva cekat regio molar RA

    adalah Neutropenic Ulceration.

    Diagnosis banding untuk lesi merah di dorsum lidah dan palatum mole

    1. Erythematous Candidiasis

    Candidiasis merupakan infeksi oral mycotic yang sering terjadi. Candidiasis

    diklasifikasikan menjadi akut, kronik, dan mucocutaneous. Candidiasis dalam fase akut

    terdiri dari pseudomembraneous candidiasis (koloni putih) dan erythematous candidiasis

    (mukosa merah). Candidiasis dalam fase kronis terdiri dari erythematous candidiasis

    (mukosa merah) dan hyperplastic candidiasis(plak putih keratotik) (Regezzi dkk., 2003).

    Pada skenario kasus, pasien menceritakan bahwa pasien merasakan sensasi terbakar di

    mulut saat makan pedas/asin, maupun minum minuman yang mengandung asam. Menurut

    Klasifikasi Oral

    Abnormalitas Primer Lesi merah

    Durasi Akut

    Lokasi Dorsum lidah dan palatum mole

    Latar belakang sistemik -

    Tidak memiliki riwayat alergi

    - Tidak pernah dirawat inap di rumah sakit- Tidak sedang dalam pengobatan jangka panjang

    - Sejak 1 tahun yang lalu sering demam dan diare,

    dan diobati dengan obat bebas.

    Temuan klinis - Lesi berwarna merah, datar, halus, dan nyeri

    ringan ketika disentuh pada dorsum lidah dan

    palatum mole.

    - Sensasi terbakar pada mulut terutama saat makanmakanan asin atau pedas atau minum minuman

    yang asam.

    Kemungkinan etiologi 1.

    Infeksi jamur

    2.Part of syndrome

    Differential diagnosis 1.Erythematous candidiasis

    2.Lichen planus tipe erosive

    3.Erythroplakia

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    31/41

    29

    Langlais (2009), pasien dengan eritematouscandidiasisbiasanya mengeluhkan adanya rasa

    tidak nyaman, rasa terbakar, perubahan pengecapan, dan panas pada mulut. Sensasi terbakar

    biasanya diikuti hilangnya papilla filiformis pada dorsal lidah secara difus, tampak memerah

    dan lidah tampak gundul. Sindrom sensasi terbakar biasanya menyebabkan lidah seperti

    tersiram air panas walaupun lidah tampak normal.

    Menurut Ghom dan Govindrao (2007), candidiasisjuga menjadi salah satu manifestasi

    oral dari HIV. Oral candidiasis terkait dengan keberadaan Candida albicans, terkadang

    ditemui spesies lain seperti C. glabratadan C. tropikalisyang merupakan flora normal pada

    oral. Faktor predisposisi pasien dengan candidiasis diantaranya immunodefisiensi

    (Immunologic immaturity of infancy, acquired immunosuppression), gangguan endokrin

    (diabetes mellitus, hypoparathyroidism, kehamilan, hypoadrenalism), terapi topikal atau

    sistemik kortikosteroid), terapi sistemik antibiotik, malignansi dan terapinya, xerostomia, dan

    orah hygieneyang buruk (Regezi dkk., 2003). Biasanya candidiasismuncul pada fase akut

    infeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan darah pada pasien, nilai limfosit menunjukkan kurang

    dari normal. Hal ini menunjukkan adanya kecurigaan pasien terjangkit HIV. Eritematous

    candidiasis diketahui merupakan salah satu manifestasi oral yang sering terjadi pada

    penderita HIV (Regezi dkk., 2003). Selain itu, jika ditelaah dari kehidupan pribadi dan

    profesi pasien, kemungkinan untuk terjangkit HIV cukup besar. Selain itu, kemungkinan

    pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol yang dapat meningkatkan iritasi pada

    mukosa rongga mulut. Alkohol dapan mengubah gula dan dapat mempercepat pertumbuhan

    Candida, karena gula merupakan makanan bagi candida(Coronado-Castellote and Jimenez-

    Soriano, 2013).

    2. Lichen Planus Tipe Erosif

    Pada skenario kasus, pasien mengeluhkan sensasi terbakar saat makan makanan pedas,

    asin dan minum minuman yang asam. Pada Lichen planus tipe erosive, lesi akan terasa nyeri

    terutama saat makan makanan yang pedas ataupun panas (Silverman dkk., 1985; Ravina dan

    Titik, 2009). Lichen planus tipe erosive ini menimbulkan rasa nyeri terus menerus dan dapat

    berkembang dengan cepat (Langlais, 2009). Menurut Edwards and Kelsch (2002), pasien

    dengan lichen planus tipe erosif ini seringkali datang dengan gejala yang bervariasi dari rasa

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    32/41

    30

    sakit episodik hingga ketidak nyamanan parah yang dapat mengganggu dengan fungsi

    mastikasi normal.

    Lichen planus tipe erosive sering ditemukan di daerah mukosa bukal dan lidah. Lichen

    planus tipe erosif terjadi jika epitelium permukaan hilang dan terjadi erosi. Mukosa bukal

    dan lidah merupakan daerah yang umumnya terkena. Vesikel atau bula pada awalnya akan

    terbentuk. Selanjutnya akan pecah dan menimbulkan erosi. Lichen planus tipe erosive

    memiliki tepi merah yang tidak teratur dan pseudomembran sentral yang nekrotik dan

    kekuningan (Langlais, 2009). Lesi tersebut muncul sebagai campuran area erythematous dan

    mengalami ulserasi yang dikelilingi oleh striae keratotik yang menyebar dengan halus

    (Edwards and Kelsch, 2002). Mengkonsumsi alkohol dan merokok merupakan faktor resiko

    terjadinya lichen planus tipe erosive ini, sehingga pada perawatannya, pasien dengan lichen

    planus diedukasi untuk menghindari alkohol dan merokok (Sugerman and Savage, 2002).

    3. Eritroplakia

    Eritroplakia merupakan plak merah yang tidak dapat didiagnosa sebagai

    suatu penyakit spesifik dengan dasar analisa klinis. Eritroplakia juga didefinisikan sebagai

    bercak merah seperti beludru, menetap, yang tidak dapat digolongkan secara klinis sebagai

    keadaan lain apapun. Seperti leukoplakia tidak mempunyai arti histologist, tetapi

    sebagian besar eritroplakia didiagnosis secara histologis sebagai displasia epitel atau

    mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk menjadi karsinoma. Seperti halnya lesi putih,

    diagnosa eritroplasia lebih kearah klinis daripada secara histologist. Gambaran klinis dari

    lesinya adalah merah dan memiliki permukaan yang halus seperti beludru (Langlais, 2009).

    Eritroplakia dapat terjadi di setiap tempat di dalam mulut, tetapi paling sering dalam lipatan

    mukobukal mandibula, orofaring, tonsil, palatum molle, permukaan lateral dan ventral lidah,

    dan dasar mulut. Lesi ini lebih sering terjadi pada pasien antara usia 50 70 tahun (Regezzi

    dkk., 2003).

    Pada skenario kasus, pasien menceritakan bahwa pasien merasakan sensasi terbakar di

    mulut saat makan pedas/asin, maupun minum minuman yang mengandung asam. Namun,

    penderita eritroplakia biasanya tanpa gejala (Regezzi dkk., 2003). Gambaran klinis lesi

    eritroplakia datar dan kadang ditemukan bersamaan dengan leukoplakia. Biasanya terjadi di

    dasar mulut, palatum lunak, ventral lidah, dan area tonsilar. 3 varian klinis dari eritroplakia

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    33/41

    31

    yaitu bentuk homogeny dengan warna merah merata, mempunyai bercak-bercak merah yang

    bercampur dengan beberapa daerah leukoplakia (eritroleukoplakia), dan bercak merah

    mengandung granular lesi merata di seluruh lesi (Speckler atau granular). Ada beberapa

    keadaan yang menghasilkan perubahan mukosa menjadi merah. Merahnya lesi ini adalah

    akibat dari atrofi mukosa yang menutupi submukosa yang banyak vaskularisasinya. Tepi lesi

    biasanya berbatas jelas (Villa dkk., 2011).

    Jika ditelaah dari kehidupan pribadi dan profesi pasien, kemungkinan pasien memiliki

    kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Menurut Hashibe dkk (2000), merokok dan

    mengkonsumsi alkohol merupakan factor resiko terjadinya eritroplakia. Konsumsi berat

    alkohol dan merokok dapat dijadikan sebagai factor etiologi yang penting atas terjadinya

    eritroplakia. Selain itu juga, infeksi sekunder dari candidiasis dapat dijadikan sebagai

    etologi eritroplakia. Sejumlah peneliti telah membuktikan bahwa mayoritas dari lesi mulut

    ini menunjukkan frekuensi tinggi dari atipia seluler dan perubahan premaligna serta

    perubahan maligna (Villa dkk., 2011).

    No.Erithematous

    Candidiasis

    Lichen Planus

    tipe ErosifErythroplakia

    1. Pria Dewasa

    2. Usia 45 tahun - -

    3. Lesi merah

    4. Datar -

    5. Halus

    6. Nyeri ringan saat disentuh

    7. Sensasi terbakar saat

    makan makanan asin/

    pedas atau minum

    minuman asam

    -

    8. Palatum mole -

    9. Dorsum lingua -

    10. Alkoholik

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    34/41

    32

    Gejala-gejala yang ditunjukan pasien yaitu sensasi terbakar pada mulutnya terutama

    ketika makan makanan asin atau pedas atau minum minuman yang asam, mengarah pada

    diagnosis kerja, yaitu, erythematous candidiasis yang disebabkan oleh infeksi jamur Candida

    albicans dan merupakan manifestasi dari HIV fase akut. Kecurigaan adanya infeksi jamur

    Candida albicansdiketahui melalui pemeriksaan darah rutin yang telah dilakukan pasien, yang

    menunjukkan adanya penurunan nilai limfosit dan neutrofil.HIV fase akut pada pasien dicurigai

    oleh karena adanya penurunan pemeriksaan limfosit, riwayat medis pasien, dan riwayat sosial /

    pribadi pasien. Gambaran klinis pada kasus berupa lesi merah, datar, dan halus yang terasa nyeri

    ketika disentuh pada permukaan dorsum lidan dan palatum mole menunjukkan gambaran klinis

    yang serupa pada erythematous candidiasis. Karena lesi ini secara gejala dan klinis mempunyai

    gambaran yang serupa dengan lichen planus tipe erosive dan eritroplakia, sehingga kedua lesi

    tersebut ditetapkan sebagai differential diagnosis pada kasus ini. Untuk menentukan diagnosis

    yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis.

    Pada skenario kasus, pasien menceritakan bahwa satu tahun yang lalu terdapat sariawan

    yang sangat nyeri pada regio bibir, gusi, dan palatum. Keadaan ini terjadi ketika pasien demam.

    Sariawan tersebut awalnya adalah blister kecil dan multiple yang pecah dan menyatu membentuk

    ulserasi. McMillan (2006) menyebutkan bahwa manifestasi infeksi HSV rekuren adalah herpes

    labialis (sakit telan dan fever blisters) dimana terjadi pada 25% sampai 50% populasi.

    Kebanyakan orang merasakan (nyeri, rasa terbakar, tingling) selama beberapa hari, kemudian

    diikuti progresi dari papula, vesikel, kemudian menjadi ulcer dan krusta. Kemudian sembuh

    selama 5 sampai 10 hari. Virus dapat diisolasi dari vesikel. Rekurensi HSV intraoral terjadi pada

    gusi, palatum, dan bibir atau mukosa bukal, hal ini membedakan reccurrent HSV dengan

    reccurrent apthous ulcer yang hanya terjadi pada mukosa non-keratinisasi. Lesi reccurrent HSV 1

    berawal dari vesikel yang ruptur kemudian secara cepat bergabung membentuk erosi yang

    dangkal, ireguler, dan tertutup oleh pseudomembran (Tyring, 2007).Pada pemeriksaan intraoral terdapat karies progresif pada gigi geligi dan beberapa gigi

    molar fraktur hingga kedalaman email. Sekitar 90% penderita infeksi HIV memiliki salah satu

    manifestasi klinis di dalam rongga mulut. Xerostomia adalah salah satu dari hipofungsi kelenjar

    saliva yang merupakan salah satu manifestasi oral terkait HIV, yang dapat mempengaruhi

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    35/41

    33

    kualitas dan kuantitas saliva termasuk penurunan antimikrobial. Pada infeksi HIV, xerostomia

    dapat terjadi akibat dari penurunan CD4 dan adanya proliferasi CD8 ke dalam kelenjar saliva

    mayor. Perubahan kualitas dan kuantitas saliva dapat meningkatkan karies dental. Beberapa gigi

    molar mengalami fraktur email hal ini kemungkinan berhubungan dengan pekerjaan pasien

    sebagai bartender yaitu membuka tutup botol menggunakan gigi.

    Berdasarkan ciri-ciri dan gambaran klinis yang terdapat dalam kasus, dapat ditetapkan

    diagnosis kerja lesi merah, datar, halus, nyeri ringan ketika disentuh pada dorsum lidah dan

    palatum mole adalah erythematous candidiasis. Lesi ini merupakan lesi yang menimbulkan

    keluhan utama pada pasien yaitu sensasi terbakar pada rongga mulutnya. Disamping itu pada

    hasil pemeriksaan intraoral ditemukan lesi ulseratif, single, besar, fulminant, sangat nyeri pada

    gingiva cekat regio molar RA yang merupakan Neutropenic Ulceration. Pada hasil anamnesis

    pasien, diketahui bahwa pasien sering demam diikuti munculnya blister kecil pada bibir, palatum

    dan gusi kemudian pecah dan menyatu membentk ulserasi. Ini menunjukkan bahwa pasien

    terkena infeksi virus herpes. Pada hasil pemeriksaan darah jumlah platelet kurang dari normal

    yang menunjukkan adanya infeksi virus. Infeksi HIV seringkali menyebabkan trombositopenia

    karena pada infeksi virus ini antibodi dapat menghancurkan trombosit. Jumlah limfosit yang

    kurang dari normal atau limfositopenia merupakan tanda dari beberapa penyakit salah satunya

    adalah HIV/AIDS karena penyakit ini menyerang sel imun yaitu limfosit T.

    Berdasarkan pembahasan diatas, menunjukkan bahwa pasien terkena infeksi HIV karena

    dari tanda dan gejala yang dialami pasien sesuai dengan tanda, gejala serta manifestasi oral

    infeksi HIV. Pasien dengan keadaan immunocompromised menderita defisiensi imun dan

    merupakan sasaran utama berbagai penyakit infeksi yang disebabkan bakteri, jamur, atau virus.

    Treatment Planning

    Rincian terapi yang akan diberikan kepada pasien tersebut adalah:

    1. Komunikasi, edukasi dan informasi

    Menjelaskan pasien untuk selalu menjaga kebersihan dan kesehatan mulutnya, makan

    makanan yang bergizi dan olahraga teratur untuk menjaga kesehatan tubuhnya,

    menghentikan kebiasan minum alkohol dan merokok, serta istirahat yang teratur. Edukasi

    menjadi dasar dari aktivitas perawatan diri yang pasien dapat dilakukan untuk mengontrol

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    36/41

    34

    gejala. Edukasi dan informasi ini harus dilakukan secara bertahap dan tidak terburu-buru.

    Pasien harus turut ikut berperan dalam perawatan untuk penyakit yang dideritanya.

    2. Perawatan erythematous candidiasisdan neutropenic ulceration

    Terapi topikal antifungal (Clotrimazole troches 10 mg, Suspensi Oral Nistatin 500,000l)

    atau terapi sistemik dengan Ketoconazole tablet 200 mg, atau Fluconazole tablet 100 mg.

    3. Perawatan neutropenic ulceration

    Medikasi prednisone dan thalidomide, obat yang menghambat tissue necrosis factor alpha

    (TNF- )

    4. Pemeriksaan CD4 terkait dengan dugaan infeksi HIV.

    5. Apabila hasil pemeriksaan CD4 kurang dari normal (500-1000) maka rujuk ke bagian

    penyakit dalam (Internis) berkaitan dengan dugaan pasien terinfeksi HIV untuk perawatan

    lebih lanjut.

    6. Reevaluasi

    Prognosis:

    Prognosis erythematous candidiasis cukup baik apabila terapi topikal atau sistemik

    dilakukan dengan tepat. Candidiasis seringkali merupakan manifestasi dari penyakit sistemik

    sehingga prognosis candidiasis tergantung pada faktor predesposisi.

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    37/41

    35

    PETA KONSEP

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    38/41

    36

    BAB IV

    KESIMPULAN

    1. Sindroma mulut terbakar merupakan kondisi multifaktorial yaitu faktor etiologi lokal,

    etiologi sistemik dan psikogenik. Perawatan BMS pada dasarnya tergantung faktor etiologi.

    2. Pada kasus ini pasien didiagnosis erythemtous candidiasis yang diduga merupakan lesi

    manifestasi oral dari infeksi HIV. Selain itu pasien juga memiliki manifestasi infeksi HIV

    lainnya yaitu, neutropenic ulceration, infeksi HSV rekuren, karies progresif pada gigi geligi

    dan fraktur email pada gigi molar akibat xerostomia, trombositopenia, neutropenia dan

    limfositopenia.3. Perawatan yang utama pada kasus ini yaitu dengan medikasi keluhan utama pasien yaitu

    terapi antifungal kemudian merujuk pasien ke dokter penyakit dalam berkaitan dengan

    temuan oral yang diduga merupakan infeksi HIV.

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    39/41

    37

    DAFTAR PUSTAKA

    Abbas, A.K. dan Linchtman, A.H. 2006. Congenital and Acquired Immunodeficiences. Basic

    Immunology Function and Disorders of The Immune System. 2ndEd. Elsevier Saunders.

    pp. 216-217.Akpan, A. dan Morgan, R., 2008, Review Oral Candidiasis,

    http://www.postgradmedj.com/31/04/2012

    Bartels, C.L., 2008, Xerostomia information for dentist,http://www.oralcancerfoundation.org/dental/xerostomia.htm.

    Blignaut, E., 2007, Oral candidiasis and oral yeast carriage among institutionalized South

    African Paediatric HIV/AIDS Patiens,Mycopathologia, 163 ; 67-73

    Bodhade, S. M. dan Hazarey, V. K., 2011, Oral manifestations of HIV infection and theircorrelation with CD4 count,Journal of Oral Science, vol. 53, no. 2, pp. 203211.

    Brooks, G. F., Butel, J. S., dan Morse, S. A., 2 0 0 5 , Mikrobiologi Kedokteran, Salemba

    Medika, Jakarta.Burket, LM., Greenberg, MS. Glick, M. Ship, JA. 2008.Burkets Oral Medicine. Ontario: BC

    Decker. pp. 84-85.

    Challacombe, S.J. dan Naglik, J.R. 2006. The Effect of HIV Infection on Oral Mucosal

    Immunity.Adv Dent Res; 19: 29-35.Chapple, L.C. dan Hamburger J., 2000, The significance of oral health in HIV disease, Sex

    transm inf; 76: 236-43.

    Coronado-Castellote, L., Jimenez-Soriano, Y., 2013, Clinical and microbiological diagnosis of

    oral candidiasis,J Clin Exp Dent, 5(5): e279-e286.

    Coulthard P, K Horner, P Sloan, and E Theaker. 2003. Master Dentistry Vol 1: Oral and

    Maxillofacial Surgery, Radiology, Pathology and Oral Medicine. Edinburgh: ChurchillLivingstone

    Daniels, Rick. 2014. Guide to Laboratory and Diagnostic Test. Cengange Health Care:University of Oregon Nursing School

    Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2012. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor s/d

    Desember 2011. Diakses diwww.pppl.depkes.go.idpada 16 November 2014.Doengoes, Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

    EGC.

    Edwards, P. C., Kelsch, R., 2002, Oral Lichen Planus: Clinical Features and Treatments, J Can

    Dent Assoc, 68(8):494-499.Eversole, L. R. 2011. Clinical Outline of Oral Pathology. USA : PMPH USA.

    Ghom, Anil. Govindrao., 2007, Textbook of Oral Medicine,Unipress Medical, Kuala LumpurHashibe, M., Mathew, B., Kuruvilla, B., Thomas, G., Sankaranarayanan, R., Parkin, D. M.,

    Zhang, Z., 2000, Chewing Tobacco, Alkohol, and the Risk of Erythroplakia, AACRJournals, Vol. 9 : 639645.

    http://www.postgradmedj.com/31/04/2012http://www.oralcancerfoundation.org/dental/xerostomia.htmhttp://www.pppl.depkes.go.id/http://www.pppl.depkes.go.id/http://www.oralcancerfoundation.org/dental/xerostomia.htmhttp://www.postgradmedj.com/31/04/2012
  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    40/41

    38

    Ilgenil, T., Oren, H. dan Uysal, K., 2001, The acute effects of chemotherapy upon the oral

    cavity: prevention and management, Turk J Cancer, 31: 093-105.

    John, PR. 2005. Text Book of Oral Medicine Ed. 2nd

    . India:Jaypee Brother Medical Publisher. pp.92-93.

    Jordan, RCK dan Lewis, MAO. 2004. A Color Handbook of Oral Medicine. London: Manson

    Publishing. pp. 33; 44; 78.Langlais, R. P., 2009, Color Atlas of Common Oral Diseases, 4th

    ed.,Lippincott Williams &Wilkins / Wolters Kluwer Health Inc., New York.

    Laskaris, G. 2003. Color Atlas of Oral Diseases. New York: Thieme New York. pp. 146; 160;

    162; 166; 200.Levy, J.A. 2009. HIV Pathogenesis: 25 Years of Progress and Presistent Challenges. AIDS

    2009; 23: p. 147-160.

    Kaplan JE, Benson C, Holmes KK, 2009, Guidelines for prevention and treatment of

    opportunistic infections in HIV-infected adults and adolescents: recommendations fromCDC, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine Association of the

    Infectious Diseases Society of America,MMWR Recomm Rep, 58(RR-4):1-207.

    McMillan, J. A., Feigin, R. D., DeAngelis, C.D., Jones, M.D. 2006. Oskis Pediatrics Principles& Practice. USA : Lippincott Williams & Wilkins.Miguez-Burbano MJ, Jackson J Jr., Hadrigan S. 2005. Thrombocytopenia in HIV disease:

    clinical relevance, physiopathology and management. Curr. Med. Chem.

    Mooney, M., Thomas I., dan Sirois, D. A., 1995, Oral candidiasis.Int J Dermatol, 34:759-765.Muray J.J., Nunn J. H., dan Steele J., 2008, The prevention of oral disease, 4

    th ed.

    Newyork:oxford University Press ,p.177.

    Nasronudin. 2007. HIV dan AIDS:Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial. AirlanggaUniversity Press: Surabaya.

    Navazesh, M. 2003. How can oral health care providers determine if patients have dry mouth?.

    JADA, Vol 134: 613-619

    Neville BW, Dann DD, Allen CM, Bouquet JE, 2004, Patologia oral & maxilofacial, 2nd

    ed.Rio de Janeiro: Guanabara Koogan; 784.

    Primasari A., 2003, Peranan pemeriksaan histopatologi dalam menegakkan diagnosa lichen

    planus di rongga mulut, USU digital library, 1-7.Ravina, N.T., Titiek, S., 2009, Tantangan dalam perawatan pasien lichen planus pada pasien

    diabetes mellitus:Indonesian J of Dentistry, 16(1).

    Regezzi, J. A., Sciubba, J. J., Jordan, R. C. K., 2003, Oral Pathology Clinical PathologicCorrelations, 4

    thed., Saunders, St. Louis.

    Reznik, D.A. 2008. Oral Manifestations of HIV Disease. International AIDS SocietyUSA. 13

    (5): 143-148.

    Sciubba, J, J., Regezi, J, A., Roger, R, S. 2002. Oral Disease: Diagnosis and Treatment.BC-Decker. London.

    Scully, C., Almeida, O., dan Bagan, J., 2010, Oral Medicine and Pathology at a Glance, Wiley

    Blackwell, Oxford.

    Silverman, S., Gorsky, M., Lozada-Nur, F., 1985, A pros-pective follow up study of 570 patientswith oral lichen planus: persistence, remission and malignant association. Oral Surg

    Oral. Med Oral. Pathol, 60:30-34.

  • 8/10/2019 PBL Oral Medicine HIV

    41/41

    Sugerman, P. B., Savage, N. W., 2002, Lichen Planus: Causes, diagnosis, and management,

    Australian Dental Journal, 47(4):290-297.

    Tarcin, B. G. 2011. Oral Candidosis: Aetiology, Clinical Manifestations, Diagnosis andManagement. Musbed. 1(2): 140-148.

    Touyz, L. M. Harel-Raviv, B. P., dan Gornitsky, M., 1996, Candidal infection of the tongue

    together with candidalinfection of the palate in patients with the humanimmunodeficiency virus, Quintessence International, vol. 27, no. 2, pp. 8992Tyring, S. 2007. Mucosal Imunology and Virology. USA :Springer

    University of California. 2000. The Mouth as Window on HIV Infection. San Fransisco: AIDS

    Research Institute.Van der Waal, Schulten, E, A dan Pindborg, J.J., 1991, Oral manifestations of AIDS: an

    overview,International DentalJournal, vol. 41, no. 1, pp. 38Venkatesan P, Perfect JR, Myers SA., 2005, Evaluation and management of fungal infections in

    immunocompromised patients,Dermatology Therapy, 18: 44-57.Villa, A., Villa, C., Abati, S., 2011, Oral cancer and oral erythroplakia: an update and

    implication for clinicians,Australian Dental Journal, 56: 1-4.