Upload
duongdan
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
54
KAJIAN SOSISOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL “TUAN GURU”
KARYA SALMAN FARIS
oleh Syahrizal Akbar, Retno Winarni, Andayani
Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Program PASCASARJANA UNS [email protected]
Abstrak
Novel “Tuan Guru” karya Salman Faris menguak tentang kehidupan religius, dan sosial budaya masyarakat Lombok, khususnya Lombok Timur. Novel tersebut diulas menggunakan kajian sosiologi sastra. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan dunia pengarang mengenai eksistensi Tuan Guru, latar belakang sosial budaya masyarakat, dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel “Tuan Guru” karya Salman Faris.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analisis isi. Metode ini digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen. Dokumen dalam penelitian ini adalah novel “Tuan Guru” karya Salman Faris. Validasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi teori. Tahapan analisis dokumen dimulai dari tahap pembacaan, pencatatan dokumen, hingga analisis dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Lombok, khususnya Lombok Timur berdasarkan kacamata Salman Faris menganggap bahwa tuan guru merupakan sosok yang mampu memberikan garansi masuk surge, doa yang dipanjatkan tuan guru lebih cepat diijabah oleh Allah dibandingkan manusia lainnya dan masyarakat tidak memandang ada cela sedikitpun dari sosok tuan guru. Latar belakang sosial budaya masyarakat mencakup adat dan kepercayaan, pekerjaan, pendidikan, agama, tempat tinggal, bahasa, dan suku. Adapun nilai-nilaip pendidikan yang terkandung adalah pendidikan sosial, moral, budaya, agama, ekonomi, politik, dan historis. Kata Kunci: novel, content analysis, sosiologi sastra, dan nilai pendidikan. PENDAHULUAN
Fenomena-fenomena yang diangkat oleh
seorang sastrawan dalam karya sastra
meliputi hampir segala aspek kehidupan
yang dialami oleh masyarakat. Hal
tersebut sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh Waluyo (2002) yang
menyatakan bahwa latar belakang yang
ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan,
adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara
adat dan agama, dalam cara berpikir, cara
memandang sesuatu, dan sebagainya.
Novel sebagai salah satu jenis karya
satra menampilkan sebuah dunia yang
mengemas model kehidupan yang
diidealkan, dunia imajinatif, yang
dibangun melalui berbagai unsur
intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh
(dan penokohan), latar, sudut pandang,
dan sebagainya yang kesemuanya juga
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
55
bersifat imajinatif (Nurgiyantoro, 2007).
Novel, yang banyak diminati belakangan
ini karena banyak mengangkat tema-tema
yang dekat dengan pembaca, pada
dasarnya juga tak luput dari unsur
ekstrinsik di samping unsur intrinsik yang
memang saling bersinergi untuk
menciptakan kesatuan cerita yang padu.
Penentuan novel “Tuan Guru” karya
Salman Faris sebagai objek yang dikaji
dalam penelitian ini karena novel tersebut
menguak tentang kehidupan religius, dan
sosial budaya masyarakat Lombok,
khususnya Lombok Timur. Salman Faris
berani mengupas sisi kehidupan seorang
Tuan Guru bukan hanya sisi positif tetapi
juga sisi negatifnya. Tuan Guru yang
selama ini merupakan anutan semua
masyarakat Lombok dalam berprilaku dan
merupakan hal yang tabu bagi seluruh
masyarakat membicarakan
“kekurangannya”, berani dikupas oleh
Salman Faris.
Novel “Tuan Guru” karya Salman
Faris yang dominan mengangkat sisi
kehidupan sosial budaya masyarakat
Lombok akan peneliti analisis dengan
menggunakan pendekatan sosiologi sastra
yang memang selaras dan tepat mengupas
tuntas isi novel tersebut. Pada prinsipnya,
terdapat tiga perspektif berkaitan dengan
sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang
memandang karya sastra sebagai
dokumen sosial yang di dalamnya
merupakan refleksi situasi pada masa
sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian
yang mengungkap sastra sebagai cermin
situasi sosial penulisnya, dan (3)
penelitian yang menangkap sastra sebagai
manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan
sosial budaya (Laurenson dan Swingewood
dalam Endraswara, 2008).
Dalam penelitian ini, diulas tentang
pandangan dunia pengarang mengenai
eksistensi tuan guru dalam novel “Tuan
Guru” karya Salman Faris, sosial budaya
yang dilukiskan pengarang dalam novel,
serta nilai pendidikan yang terkandung
dalam novel. Pengambilain nilai
pendidikan sebagai salah satu masalah
yang hendak diulas dalam penelitian ini
karena setiap karya pastinya mengandung
nilai-nilai kehidupan yang mendidik
pembaca. Ulasan terhadap nilai
pendidikan tersebut akan menjadi nilai
tambah penting bagi pembaca.
KAJIAN TEORI
Kajian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian
sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini
banyak diminati oleh peneliti yang ingin
melihat sastra sebagai cermin kehidupan
masyarakat. Arenanya, asumsi dasar
penelitian sosiologi sastra adalah
kelahiran sastra tidak dalam kekosongan
sosial (Endarswara, 2008). Menurut
Jabrohim (2003), pendekatan terhadap
sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan oleh beberapa penulis
disebut sosiologi sastra. Istilah ini pada
dasarnya tidak berbeda pengertian dengan
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
56
sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau
pendekatan sosio-kultural terhadap
sastra.
Kajian sosiologi ini pengertiannya
mencakup berbagai pendekatan, masing-
masing didasarkan pada sikap dan
pandangan teoretis tertentu, tetapi semua
pendekatan itu menunjukkan satu ciri
kesamaan, yaitu mempunyai perhatian
terhadap sastra sebagai institusi sosial,
yang dciptakan oleh sastrawan sebagai
anggota masyarakat (Sapardi Djoko
Damono dalam Jabrohim, 2003). Hal
penting hal penting dalam sosiologi sastra
adalah konsep cermin (mirror)
(Endraswara, 2008). Dalam kaitan ini,
sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan)
masyarakat. Kendati demikian, sastra
tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau
khayalan dari kenyataan. Sastra tidak akan
semata-mata menyodorkan fakta secara
mentah. Sastra bukan sekadar copy
kenyataan, melainkan kenyataan yang
telah ditafsirkan.
Pendapat yang lebih rinci
disampaikan oleh Junus (dalam Sangidu,
2004) mengungkapkan bahwa dalam
penelitian sosiologi sastra terdapat dua
corak, yaitu (1) pendekatan sociology of
literature (sosiologi sastra) yang bergerak
dan melihat faktor sosial yang
menghasilkan karya sastra pada suatu
masa tertentu. Jadi, pendekatan ini
melihat faktor sosial sebagai mayornya
dan sastra sebagai minornya; (2)
pendekatan literary sociology (sosiologi
sastra) yang bergerak dari faktor-faktor
sosial yang terdapat di dalam karya sastra
dan selanjutnya digunakan untuk
memahami fenomena sosial yang ada di
luar teks sastra. Jadi, pendekatan ini
melihat dunia sastra atau karya sastra
sebagai mayornya dan fenomena sosial
sebagai minornya.
Lebih lanjut, Sangidu (2004)
menjelaskan bahwa teknik yang
diperlukan untuk menjalankan metode
dialektik (hubungan timbal balik) antara
faktor-faktor sosial yang terkandung
dalam karya sastra dengan faktor-faktor
sosial yang terkandung dalam karya sastra
dengan faktor-faktor sosial yang ada
dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa sosiologi sastra
merupakan pendekatan yang menelaah
tentang hubungan antara realitas sosial
yang ada dalam masyarakat dengan
realitas literer yang ada dalam teks sastra
tanpa mengenyampingkan cermin situasi
penulisnya.
Menurut Laurenson dan Swingewood
(dalam Endraswara, 2008), terdapat tiga
perspektif berkaitan dengan sosiologi
sastra, yaitu: (1) penelitian yang
memandang karya sastra sebagai
dokumen sosial yang di dalamnya
merupakan refleksi situasi pada masa
sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian
yang mengungkap sastra sebagai cermin
situasi sosial penulisnya, dan (3)
penelitian yang menangkap sastra sebagai
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
57
manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan
sosial budaya.
Edraswara (2008) mengemukakan
bahwa secara esensial sosiologi sastra
adalah penelitian tentang: (a) studi ilmiah
manusia dan masyarakat secara objektif,
(b) studi lembaga-lembaga sosial lewat
sastra dan sebaliknya, (c) studi proses
sosial, yaitu bagaimana masyarakat
bekerja, bagaimana masyarakat mungkin,
dan bagaimana mereka melangsungkan
hidupnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa
sasaran penelitian sosiologi sastra adalah
aspek sosiologis yang terpantul dalam
sastra dan proses sosial yang terjadi
dalam masyarakat yang tergambar dalam
karya sastra.
Novel
Berdasarkan sudut pandang seni,
Waluyo (2002) menyatakan bahwa novel
adalah lambang kesenian yang baru yang
berdasarkan fakta dan pengalaman
pengarangnya. Susunan yang digambarkan
novel adalah suatu yang realistis dan
masuk akal. Kehidupan yang dilukiskan
bukan hanya kehebatan dan kelebihan
tokoh (untuk tokoh yang dikagumi), tetapi
juga cacat dan kekurangannya. Lebih
lanjut, beliau menyatakan bahwa novel
bukan hanya alat hiburan, tetapi juga
sebagai bentuk seni yang mempelajari dan
melihat segi-segi kehidupan dan nilai baik-
buruk (moral) dalam kehidupan dan
mengarahkan kepada pembaca tentang
pekerti yang baik dan budi yang luhur
(Waluyo, 2002).
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1994)
menyatakan bahwa novel berasal dari
bahasa Itali novella (dalam bahasa Jerman:
novelle). Secara harfiah novella berarti
sebuah barang baru yang kecil dan
kemudian diartikan sebagai “cerita
pendek dalam bentuk prosa”. Dewasa ini
pengertian novella atau novelle
mengandung pengertian yang sama
dengan istilah Indonesia novelet (Inggris:
novellette) yang berarti sebuah karya
prosa fiksi yang panjangnya cukupan,
tidak terlalu panjang, namun juga tidak
terlalu pendek. Karya sastra yang disebut
novellette adalah karya yang lebih pendek
daripada novel tetapi lebih panjang
daripada cerpen, katakanlah pertengahan
dari keduanya.
Pengertian yang lebih rinci
disampaikan oleh Sumardjo (1999) yang
menyatakan bahwa novel dalam
kesusastraan merupakan sebuah sistem
bentuk. Dalam sistem ini terdapat unsur-
unsur pembentuknya dan fungsi dari
masing-masing unsur. Unsur-unsur ini
membentuk sebuah struktur cerita besar
yang diungkapkan lewat materi bahasa
tadi.
Novel lebih mudah sekaligus lebih
sulit dibaca jika dibandingkan dengan
cerpen. Dikatakan lebih mudah karena
novel tidak dibebani tanggung jawab
untuk menyampaikan sesuatu dengan
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
58
cepat atau dengan bentuk padat dan
dikatakan sulit karena novel dituliskan
dalam skala besar sehingga mengandung
satu kesatuan organisasi yang lebih luas
daripada cerpen.
Stanton (2007) menyatakan bahwa
fisik novel yang panjang akan mengurangi
kepekaan pembaca terhadap bagian-
bagian dari alur cerita. Keteledoran ini
akan menjadi penghalang ketika pembaca
berusaha memahami struktur perluasan
tersebut, perlu melangkah mundur waktu
demi waktu. Harus sadar bahwa setiap
bab dalam novel mengandung berbagai
episode. Episode-episode dan topik-topik
tersebut dapat dilebarkan dalam satu bab
karena suatu alasan tertentu.
Lebih lanjut, beliau menyatakan
bahwa pada dasarnya kebanyakan orang
mengira bahwa cara termudah untuk
memahami dunia novel adalah dengan
bertanya kepada pengarangnya (Stanton,
2007). Kenyataannya, pandangan ini
malah gagal ketika dipraktikkan. Sebagian
besar pengarang akan menolak ketika
diminta menjelaskan karya mereka secara
mendalam, atau mungkin novel tersebut
justru menjelaskan banyak hal, lebih dari
perkiraan pengarang sendiri.
Berpijak pada pendapat-pendapat di
atas, dapat disimpulkan bahwa novel
adalah cerita fiksi yang mengangkat
permasalahan yang kompleks tentang
kehidupan dan tersusun atas unsur
intrinsik dan ekstinsik yang padu dan
saling terikat dalam mengungkapkan
setiap jalinan peristiwa yang diceritakan.
Nilai Pendidikan
Dalam sebuah karya sastra seperti novel
terdapat nilai pendidikan yang dapat
dipetik oleh pembaca. Baribin (1985)
mengemukakan bahwa dari karya sastra
dapat ditemukan buah pikiran atau
renungan dari penulis dan sanggup
menyadari nilai-nilai yang lebih halus
berarti telah dapat mengapresiasi atau
menangkap nilai yang terkandung dalam
karya sastra tersebut.
Nilai pendidikan yang dibungkus
dalam kisah, dialog, atau peristiwa-
peristiwa yang terjalin dalam novel tidak
hanya dalam bentuk deskripsi langsung
tetapi ada juga melalui tahap analisis
pembaca. Ada beberapa nilai pendidikan
yangterdapat dalam sebuah karya sastra,
tetapi sebeblumny akan dikemukakan
terlebih dahulu apa sebenarnya nilai
pendidikan tersebut.
Lorens (2002) mengemukakan
pengertian nilai yang ditinjau dari
beberapa segi. (1) Nilai dalam bahasa
Inggris value, bahasa latin valere (berguna,
mampu akan, berdaya, berlaku, kuat); (2)
ditinjau dari segi harkat, nilai adalah
kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu
dapat disukai, diinginkan, berguna, atau
dapat menjadi objek kepentingan; (3)
ditinjau dari segi keistimewaan, nilai
adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi
atau dihargai sebagai suatu kebaikan; (4)
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
59
ditinjau dari sudut ilmu ekonomi yang
bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar
benda-benda material, pertama kali secara
umum menggunakan kata “nilai”.
Senada dengan Lorens, Kattsoff
(dalam Soejono, 1996) memberikan
perincian mengenai pengertian nilai. (1)
Mengandung nilai artinya berguna; (2)
merupakan nilai, artinya baik atau indah
atau benar; (3) mempunyai nilai artinya
merupakan objek keinginan, mempunyai
kualitas yang menyebabkan orang
mengambil sikap menyetujui atau
mempunyai sifat nilai tertentu; dan (4)
memberi nilai artinya menanggapi sesuatu
hal yang diinginkan atau sebagai hal yang
menggambarkan nilai tertentu.
Berbeda dengan pengertian
sebelumnya, pengertian lebih umum
disampaikan oleh Semi (1993) yang
menyatakan bahwa nilai adalah aturan
yang menentukan sesuatu benda atau
perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari
yang lain. Hal tersebut senada dengan
pengertian yang dikemukakan oleh
Daroeso (1989), nilai adalah suatu
penghargaan atau kualitas terhadap
sesuatu atau hal yang dapat menjadi
dasar penentu tingkah laku seseorang,
karena sesuatu hal itu menyenangkan,
memuaskan, menguntungkan atau
merupakan sesuatu sistem keyakinan.
Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
nilai merupakan sesuatu yang memiliki
daya guna bagi manusia dan dapat berupa
penghargaan atau apresiatif terhadap hal
yang dicermati.
Selanjutnya, pengertian pendidikan
menurut Soedomo (2003) adalah bantuan
atau tuntunan yang diberikan oleh orang
yang bertanggung jawab kepada anak
didik dalam usaha mendewasakan
manusia melalui pengajaran dan pelatihan
yang dilakukan. Sementara itu, Dewantoro
(dalam Munib, 2006) lebih menyoroti pada
aspek yang harus diubah setelah proses
pendidikan. Beliau mengemukakan bahwa
pendidikan merupakan upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek), dan tubuh anak.
Pengertian yang lebih umum
disampaikan oleh Uhbiyati dan Abu
Ahmadi (2001) yang mengemukakan
bahwa pendidikan merupakan suatu
kegiatan yang secara sadar dan sengaja
serta penuh tanggung jawab yang
dilakukan oleh orang dewasa kepada
anak-anak sehinggal timbul interaksi dari
keduanya agar anak tersebut mencapai
kedewasaan yang dicita-citakan dan
berlangsung terus-menerus.
Berdasarkan beberapa pengertaian
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan merupakan usaha secara sadar
dan penuh tanggung jawab yang
dilakukan untuk memebrikan perubahan
terhadap seseorang atau peserta didik.
Mengacu pada uraian tentang
pengertian nilai dan pengertian
pendidikan di atas, maka dapat
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
60
dinyatakan bahwa nilai pendidikan
merupakan segala hal yang berguna yang
diberikan oleh seseorang secara sadar dan
tanggung jawab dalam usaha memberikan
perubahan terhadap sikap dan tingkah
laku yang lebih baik.
Adapun nilai-nilai pendidikan yang
secara umum terdapat dalam novel adalah
nilai pendidikan agama, nilai pendidikan
moral, nilai pendidikan budaya, nilai
pendidikan sosial, nilai pendidikan
ekonomi, nilai pendidikan politik, dan
nilai pendidikan historis.
Eksistensi Tuan Guru dalam Kehidupan
Sosial Budaya Masyarakat
Buehler (2009) menjelaskan, keberhasilan
demokrasi di Indonesia dipengaruhi oleh
pemahaman bahwa nilai-nilai demokrasi
bersumber dari ajaran Islam. Dari
penjelsan tersebut dapat digambarkan
bahwa masyarakat Indonesia yang
mayoritas muslim,mengaktualisasikan
nilai-nilai ajaran agama dalam konteks
politik, disinalah dapat dilihat peran
penting para tokoh agama dalam
mengrahkan pandangan masyrakat. Hal
ini banyak terjadi pada masyrakat
tradisional, terutama yang terjadi pada
masyrakat Lombok.
Dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat tradisional religius, pemimpin
spiritual memiliki peranan yang lebih
penting daripada yang lain. Pergeseran
nilai sosial budaya yang terjadi pada
masyarakat, selain perubahan internal
atau dari dalam diri pribadi. Peran tokoh
agama mendominasi pergseran nilai-nilai
budaya tresebut.
Studi sosial di Pulau Lombok tentang
Tuan Guru menunjukkan bahwa Tuan
Guru sebagi pemimpin islam memegang
peranan penting dalam menentukan dn
mencegah pudarnya jati diri dan kultural
agama yang dianut dan dipegang oleh
masyrakat. Atmosfir budaya maupun
pengetahuan dianggap tidak sejalan
dengan nila-nilai islam yang dapat
menerbitkan rasa tidak aman serta
mengancam jati diri masyrakat sebagai
muslim yang taat, menjadi alasan
masyarakat memelihara hubungan dengan
Tuan Guru (Budiwanti, 2000).
Tuan memiliki makna dasar, orang
yang dianggap mulia, lebih tinggi dan
patut dihormati. Sebutan “tuan” dalam
masyrakat sasak juga merujuk pada orang
yang telah melaksanakan ibadah haji.
Sedangkan “guru” adalah sebutan bagi
orang yang telah mengajarkan ilmu dan
pengetahuan. Dua kata ini menyiratkan
hubungan hierarkial dan dikotomis antara
tuan guru dan umat (masyarakat)
(Budiwanti, 2000).
Tuan Guru adalah assigned status
dimana predikat ini oleh masyarakat
Lombok diberikan kepada mereka yang
menguasai dan mengajarkan ilmu dan tata
nilai agama. Merujuk pada kata “Tuan”
dan “Guru” adalah sebutan kelas sosial
yang berdas pada lapis tertinggi dalam
struktur masyrakatnya. Hal ini
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
61
menunjukkan terjadinya pelapisan sosial
yang bertumpuk dalam matra stigmatik
yang diciptakan oleh sistem sosial
(Bartholomew, 1999).
Karisma kepemimpinan tuan guru
berpusat pada diri individu yang
dikembangkan bersama dan diakui oleh
masyarakat memiliki kekuatan yang dapat
mempengaruhi pandangan, pola pikir,
prilaku masyarakat. Kepemimpinan
karismatik tuan guru merupakan
kepemimpinan yang diterapkan dalam
membangun masyarakat yang mengalami
perkembangan ke arah bidang atau
program tertentu sesuai dengan
perubahan kondisi dan lingkungan
masyarakat.
Status tuan guru dalam masyarakat
pada dasarnya terbentuk melalui suatu
hierarki status, karena status tuan guru
akan berarti dalam masyarakat apabila
ditinjau dari status yang lebih tinggi atau
lebih rendah. Status tuan guru pada
masyarakat terbentuk karena masyarakat
terdiri dari banyak kelompok di dalamnya,
dan setiap kelompok mempunyai status
dan peran yang dibawanya.
Peranan penting tuan guru juga
trekait dengan kedudukan mereka sebagai
elit terdidik yang mentransfer
pengetahuan agama ke tengah
masyarakat. Mereka akan memberikan
penjelasan dan mengklarifikasi berbagai
permaslahan yang ada di tengah
masyarakat, karena umumnya masyarakat
sasak menyadari keterbatasan
penegetahuan mereka dalam mengakses
doktrin agama secara luas (Bartholomew,
1999).
Posisi ini merupakan nilai tawar tuan
guru terhadap masyarakatnya sehingga
segala bentuk pendapatnya menjadi
pegangan masyarakat dalam memahami
perubahan, terutama perubahan dalam
cara “memperlakukan” doktrin agam
secara literal (rigid) maupun liberal
(Budiwanti, 2000). Walau tidak tertutup
kemungkinan adanya beberapa kelompok
kecil di tengah masyarakat Lombok yang
mampu mengakses informasi yang lebih
luas dan mampu mempertimbangkan
perlakuan keliteran maupun keliberalan
sebuah doktrin dengan bijaksana, namun
karena mayoritas masyarakat Lombok
cendrung memandang dan mengagungkan
ketokohan, maka setiap dari mereka dapat
diidentifikasi mengikuti setiap pilihan dan
langkah yang diambil oleh Tuan Guru,
karena walau bagaimanapun legitimasinya
adalah lokomotif dari gerak mereka
(Budiwanti, 2000).
Para tuan guru melalui hubungan
patron-klien, menikmati cukup banyak
“privilege sosial”. Secara umum itu
termiliki lantaran kapasitas intelektual
keagamaan atau latar belakang sosial
ekonomi politik mereka (Tahir, 2008).
Sistem sosial masyrakat Lombok dewasa
ini telah banyak mengalami pergeseran
dan perubahan diferensiasi fungsional.
Peran-peran mediasi sosial tuan guru
selama ini mulai banyak diwakili (diambil
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
62
alih) oleh beragam mediasi institusional
yang marak bermunculan seiring
dinamika cepat dunia modern. Namun,
tetap saja dalam derajat tertentu para
tuan guru masih memiliki privilege sosial.
Sebab bagaimanapun, hingga saat ini
secara de vacto masyarakat Sasak masih
menaruh kepercayaan besar pada mereka.
Dengan “hak-hak istimewa” selaku elite
agama itu, mereka bahkan masih dapat
mengambil peran sebagai “pressure
group” dan “rulling class” pada level
tertentu dalam keseluruhan struktur
sosial masyarakat. Dapat dibayangkan
betapa eksistensi Tuan Guru di tengah
dinamika sosial masyarakat Lombok.
Setap pilihan dan langkah yang
diambil Tuan Guru umumnya diikuti
tanpa reserve oleh masyarakat Lombok,
apalagi mempertimbangkan lebih jauh
dimensi di luar keyakinan dan ketaan
mereka. Hal ini kemungkinan beranjak
dari hadis populer “ulama sebagai pewaris
Nabi” yang melahirkan keyakinan bahwa
sifat-sifat Nabi melekat dalam diri Tuan
Guru. Namun tidak menutup
kemungkinan juga sebagai sebagian
masyarakat yang lain dimensi ketaatan ini
lahir dari pemahaman lingkungan
sosialnya.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode penelitian kualitatif
menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan tentang sifat suatu
individu, keadaan, gejala dari kelompok
tertentu yang dapat diamati (Moleong,
2008). Metode deskriptif sendiri dapat
diartikan sebagai prosedur pemecahan
masalah dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan subjek atau objek
penelitian (seseorang, lembaga,
masyarakat, dan sebagainya) pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak atau sebagaimana adanya (Hadari
Nawawi dalam Siswantoro, 2005).Dalam
hal ini, peneliti akan mendeskripsikan
secara kualitatif tentang permasalahan-
permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini berupa analisis novel “Tuan
Guru” karya Salman Faris menggunakan
pendekatan sosiologi sastra dan nilai-nilai
pendidikan dalam novel tersebut.
Tujuan penelitian yang bersifat
kualitatif adalah untuk membuat
deskripsi, gambaran, atau lukisan secara
sistematis, actual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki (Nasir,
1992).
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif dengan metode
content analysis atau analisis isi. Metode
ini digunakan untuk menelaah isi dari
suatu dokumen. Dokumen dalam
penelitian ini adalah novel “Tuan Guru”
karya Salman Faris. Adapun hal-hal yang
akan dideskripsikan dalam penelitian ini
adalah mengenai sosial budaya yang
digambarkan pengarang, pandangan dunia
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
63
pengarang, serta nilai-nilai pendidikan
yang terkandung dalam novel tersebut.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis
dokumen yang dimulai dari tahap
pembacaan, pencatatan dokumen, hingga
analisis dokumen.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Pandangan Dunia Pengarang terhadap
Eksistensi Tuan Guru dalam Novel
Tuan Guru
Pandangan Salman Faris mengenai
eksistensi tuan guru dalam masyarakat
Lombok yang dituangkan dalam novel
Tuan Guru menyingkap bahwa
sesungguhnya tuan guru merupakan
manusia biasa yang tidak berbeda dengan
masyarakat umumnya. Perbedaan terletak
pada ilmu agama dan secara aplikatif tuan
guru belum tentu bisa mengamalkan
ilmunya secara total. Ia juga tidak luput
dari kesalahan atau lebih halusnya
kekhilafan seperti masyarakat lainnya.
Tuan guru tidak boleh dikeramatkan
apalagi disamakan derajatnya dengan nabi
yang merupakan manusia pilihan Allah
yang mulia.
Peranan penting tuan guru juga
terkait dengan kedudukan mereka sebagai
elit terdidik yang mentransfer
pengetahuan agama ke tengah
masyarakat. Mereka akan memberikan
penjelasan dan mengklarifikasi berbagai
permaslahan yang ada di tengah
masyarakat, karena umumnya masyarakat
sasak menyadari keterbatasan
penegetahuan mereka dalam mengakses
doktrin agama secara luas (Bartholomew,
1999: 6). Masyarakat Lombok umumnya,
baik yang terdidik maupun tidak terdidik
memandang tuan guru melebihi batas
kodratinya sebagai manusia normal.
Sebagian besar masyarakat Lombok,
khususnya Lombok Timur berdasarkan
kacamata Salman Faris menganggap
bahwa tuan guru merupakan sosok yang
mampu memberikan garansi masuk surga.
Menurut masyarakat Lombok, doa yang
dipanjatkan tuan guru lebih cepat diijabah
oleh Allah dibandingkan manusia lainnya.
Masyarakat tidak memandang ada cela
sedikitpun dari sosok tuan guru.
Tuan guru merupakan kelas sosial
yang berada pada lapis tertinggi dalam
struktur masyrakat. Peranan penting tuan
guru juga terkait dengan kedudukan
mereka sebagai elit terdidik yang
mentransfer pengetahuan agama ke
tengah masyarakat.
2. Latar Belakang Sosial-Budaya dalam
Novel Tuan Guru
a. Adat dan Kepercayaan
Adat dan kepercayaan masyarakat
Lombok yang tertuang dalam novel Tuan
Guru berkaitan dengan adat mencari
jodoh, kepercayaan dalam mencari rejeki,
kepercayaan yang bersifat kerohanian,
kepercayaan dalam dalam prosesi ijab-
kabul, terutama kepercayaan terhadap
sosok tuan guru yang berisi ritual-ritual
khusus.
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
64
b. Pekerjaan
Pekerjaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Lombok
yang dikisahkan dalam novel Tuan Guru
sebagian besar merupakan pekerjaan-
pekerjaan yang bersifat tradisional
meskipun ada juga yang yang telah elit.
Pekerjaan yang banyak digeluti
masyarakat adalah petani, pedagang, ojek,
kusir, dukun beranak, pejabat, dan guru
ngaji atau imam masjid.
c. Pendidikan
Setting pengkisahan yang diangkat
dalam novel Tuan Guru mempengaruhi
jenis dan jenjang pendidikan yang
dideskripsikan. Masyarakat umumnya,
khususnya jamaah tuan guru
menyekolahkan anaknya pada sekolah-
sekolah yang bernuansa agama karena
menjurus pada satu cita-cita yakni tuan
guru. Pendidikan yang ditempuh adalah
Madrasah Aliyyah, hingga memasuki
pondo pesantren. Tetapi ada juga jenjang
pendidikan tinggi seperti memasuki
perguruan tinggi baik lokal maupun luar
negeri yang dideskripsikan melalui
kehidupan anak tuan guru.
d. Agama
Masyarakat yang diangkat dalam
novel Tuan Guru mayoritas merupakan
pemeluk agama Islam. Hal ini dibuktikan
dari latar yang disekripsikan semua
bernuansa Islam, seperti pondok
pesantren, masjid, madrasah. Serta pelaku
yang ada di dalamnya merupakan jamaah,
tuan guru. Tetapi ada juga masyarakat
minoritas yang memeluk agama selain
Islam yang terrefleksi melalui kehidupan
para keturunan Etnis Cina.
e. Tempat Tinggal
Tempat tinggal yang dijadkan
sebagai latar tempat dalam novel Tuan
Guru digolongkan menjadi dua yakni
berdasarkan geografis atau kewilayahan
dan berdasarkan bangunan. Wilayah
Lombok yang banyak diangkat adalah
Lombok Timur, yakni Kembang Sandat,
Pantai Manange Baris, Pelabuhan
Kayangan, Desa Plambek, serta di luar
Pulau Lombok yakni Sumbawa. Tempat
tinggal berupa bangunan, terdiri atas
rumah tokoh aku, rumah tuan guru,
pondok pesantren, asrama, serta masjid
kampung.
f. Bahasa
Penggunaan bahasa yang digunakan
dalam menceritakan setiap kisah dan
peristiwa dalam novel Tuan Guru selain
bahasa utama bahasa Indonesia, Salman
Faris juga menyelipkan bahasa daerah
yakni bahasa Sasak atau Lombok dan
beberapa kosakata Arab pengaruh latar
pondok pesantren yang diangkat.
g. Suku
Suku yang dideskripsikan dalam
novel Tuan Guru adalah Suku Sasak yang
merupakan suku asli Pulau Lombok dan
suku pendatang atau disebut etnis Cina.
Etnis Cina yang merupakan orang-orang
keturunan yang mendiami Pulau Lombok
sejak kedatangan nenek moyangnya
pertama kali ke Lombok untuk berdagang
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
65
dan juga berperan dalam
memperkenalkan ajaran Islam. Selain
kedunya, ada juga etnis Bali yang
merupakan pendatang dan juga beberapa
keturunan orang-orang yang dulu pernah
datang untuk menjajah di Pulau Lombok.
3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel
Tuan Guru
a. Nilai Pendidikan Sosial
Kelas sosial yang digambarkan
dalam novel Tuan Guru masih
menempatkan tuan guru berserta seluruh
keluarganya di posisi teratas. Tuan guru
dengan karisma dan kebesaran gelarnya
membuat masyarakat sangat
menghormati dan menyayanginya. Nilai
sosial yang digambarkan banyak
menyiratkan tentang kesetiakawanan,
penghormatan seorang istri kepada suami,
kepatuhan seorang anak kepada orang
tua, kehidupan bertetangga yang luhur,
serta menghormati orang yang lebih tua.
Hal negatif yang bisa dijadikan contoh
untuk tidak dilakukan adalah kepala
rumah tangga yang tidak mampu
menjalankan perannya untuk mengayomi,
melindungi, dan menyayangi keluarga;
kasih sayang seorang ibu yang sangat jauh
dari kata layak kepada anak-anaknya.
b. Nilai Pendidikan Moral
Moral merupakan laku perbuatan
manusia dipandang dari nilai-nilai baik
dan buruk, benar dan salah, dan
berdasarkan adat kebiasaan dimana
individu berada (Burhan Nurgiyantoro,
2002). Nilai pendidikan moral yang
disuguhkan dalam novel Tuan Guru
mencakup pendidikan moral dalam
hubungan kemanusiaan, kehidupan
beragama, dan kehidupan dengan alam.
Kebohongan di lingkungan santri
menjamur bukan hanya bohong terhadap
orang lain tetapi juga bohong terhadap
diri sendiri, kejujuran, amanah, budi
pekerti sebagai prisai adalah beberapa
nilai moral yang berkaitan dengan
kemanusiaan. Dalam kaitannya dengan
beragama, santri mendapatkan
pendidikan moral yang kurang baik,
mereka diajarkan untuk mengaji atau
memperdalam ilmu agama hanya untuk
mengejar tahta sosial. Kehidupan yang
baik selain bermanfaat bagi sesama
adalah bermanfaat bagi lingkungan
sekitar.
c. Nilai Pendidikan Budaya
Budaya mengacu pada persoalan-
persoalan yang dipelajari manusia, bukan
hal-hal yang mereka kerjakan serta benda-
benda yang telah dihasilkan (Sutiyono,
2010). Nilai pendidikan budaya khususnya
kebudayaan Lombok yang diungkapkan
dalam novel Tuan Guru yakni tentang
kebudayaan begibung; makan bersama
dalam satu wadah. Hal ini memupuk rasa
persaudaraan serta meniadakan kelas
sosial di antara sesama anggota
masyarakat. Dalam merumuskan aturan-
aturan yang berlaku di perkampungan
yang sifatnya tidak tertulis, kebudayaan
masyarakat Lombok mengajarkan untuk
memberikan mandate kepadsa sesepuh
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
66
kampung atau desa yang dianggap punya
pengaruh dan telah mengetahui seluk
beluk kampung sehingga mampu
menyusun aturan yang terbaik bagi
masyarakat. Budaya yang berkaitan
dengan kesenian juga diungkapkan dalam
novel tersebut berupa kesenian jangger,
rudat, dan presean.
d. Nilai Pendidikan Agama
Keyakinan jamaah yang berlebihan
terhadap tuan guru menyiratkan bahwa
hal tersebut berdampak pada kesyirikan
yang harus dijauhi karena keyakinan yang
berlebihan terhadap sosok selain Tuhan
adalah dosa terbesar. Selain itu, dalam
novel Tuan Guru menanamkan nilai
pendidikan agama bahwa membaca al-
Quran dapat membangun karisma dalam
diri seseorang, keutamaan shalat
berjamaah, dan Tuhan tidak akan
memberikan cobaan di luar batas
manusia, serta Tuhan akan selalu bersama
orang-orang yang bersabar.
e. Nilai Pedidikan Ekonomi
Pendidikan ekonomi yang diangkat
dalam novel Tuan Guru adalah bidang
perdagangan. Bisa dikatakan,
peradagangan merupakan faktor
penggerak sektor rill, tidak saja pada
zaman Islam awal, tetapi juga sampai
pada masa-masa sekarang (Jusmaliani,
2008). Kecakapan pedagang keturunan
Cina daripada pedagang pribumi
memberikan nilai khusus dalam bidang
ekonomi khususnya dalam hal jual-beli.
Pedagang keturunan Cina mengajarkan
bahwa dalam berdagang banyak aspek
yang harus diperhatikan baik berkaitan
dengan barang dagangan maupun
pedagangnya sendiri. Seorang pedagang
harus membangun relasi yang baik
dengan banyak pihak sehingga mampu
menyediakan barang yang variatif,
memberikan harga yang tidak terlalu
mahal atau tidak mengeruk keuntungan
yang berlebih apalagi di pasar lokal, serta
seorang pedagang harus mengutamakan
kejujuran.
f. Nilai Pendidikan Politik
Nama besar tuan guru di tengah
masyarakat Lombok dimaanfaatkan oleh
tuan guru untuk mendongkrak sanak
keluarganya yang akan dijadikan penerus
dalam meneruskan tahta ketuanguruan di
tanah Lombok. Selain itu, tuan guru juga
melakukan apa yang disebut ‘pernikahan
politik’, menikahkan anaknya dengan
sesama anak tuan guru untuk
mempertahankan jamaah dan menambah
jamaah, atau menikahkan anaknya dengan
anak pejabat pemerintahan untuk mencuri
suara rakyat dalam pemilihan pejabat
politik. Melalui media foto baik yang yang
dipajang maupaun yang dicetak dalam
kalender pejabat politik menggaet tuan
guru sebagai tokoh untuk menarik
perhatian masyarakat dalam memilih.
g. Nilai Pendidikan Historis
Sejarah Lombok dalam novel Tuan
Guru menyiratkan bahwa Lombok pernah
menjadi lokasi perdagangan dunia.
Deramaga Tanjung Karang-Ampenan
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
67
menjadi pusat berlabuhnya pedagang-
pedagang Eropa, Cina, dan Singapura.
Sejarah kelam juga pernah tergores di
Pulau Lombok, yakni menjadi jajahan raja
Pulau Bali. Selain sejarah-sejarah besar
tersebut, legenda munculnya nyale
terselip sebagai nilai luhur sejarah Pulau
Lombok, tentang pengorbanan Putri
Mandalika demi kedamaian kerajaan dan
masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan ulasan pada hasil penelitian
dan pembahasan dalam penelitian ini,
dapat disimpulkan beberapa hal berikut.
1. Pandangan dunia pengarang terhadap
eksistensi tuan guru dalam novel Tuan
Guru karya Salman Faris adalah
Masyarakat Lombok umumnya, baik
yang terdidik maupun tidak terdidik
memandang tuan guru melebihi batas
kodratinya sebagai manusia normal.
Tuan guru merupakan kelas sosial yang
berada pada lapis tertinggi dalam
struktur masyrakat.
2. Latar belakang sosial budaya
masyarakat yang terdapat dalam novel
Tuan Guru adalah berkaitan dengan
adat dan kepercayaan, agama, bahasa,
suku, pekerjaan, pendidikan, dan
tempat tinggal.
3. Nilai-nilai pendidikan yang ditemukan
dalam novel Tuan Guru karya Salman
Faris adalah nilai pendidikan sosial,
nilai pendidikan moral, nilai
pendidikan budaya, nilai pendidikan
agama, nilai pendidikan ekonomi, nilai
pendidikan politik, dan nilai
pendidikan historis.
Saran
Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini bisa
dijadikan bahan referensi untuk
melakukan penelitian sejenis lainnya atau
mengkaji lebih mendalam tentang satu
sisi menarik dalam novel yang dikaji ini.
Pembaca bisa memetik nilai-nilai
luhur yang terkadung dalam novel sebagai
bahan pembelajaran bersama. Banyak
nilai-nilai pendidikan dan pelajaran yang
bisa dikaji untuk menambah pemahaman
dan pengetahuan tentang kehidupan
peradaban suatu masyarakat yang
memiliki sisi “unik” dan tidak ditemukan
pada daerah lainnya.
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra ISSN: 1693-623X Vol 1, No 1, 2013 (hal 54-68) http://jurnal.pasca.uns.ac.id
68
DAFTAR PUSTAKA
Baribin, Raminah. 1985. Teori dan Apresiasi Prosa Fiksi. Semarang: IKIP Semarang Press. Bartholomew, John. R. 1999. Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak. Yogyakarta:
Tiara Wacana. Budiwanti, Erni. 2000. Islam sasak Wetu Telu versus Wetu lima. Yogyakarta: LKIS. Buehler, Michael. 2009. “Islam and democracy in Indonesia”. Journal Insight Turkey. Vol.
11. No. 4, pp. 51-56. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress. Hadi, Soedomo. 2003. Pendidikan Suatu Pengantar. Surakarta: UNS Press. Jabrohim. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. Jusmaliani. 2008. Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi Aksara. Lorens, Bagus. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Moleong, Lexy. 2008. Metodologi Penenlitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Nasir, M.. 1992. Metodologi Penenlitian. Jakarta: Usaha Nasional. Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yoyakarta: Gajah Mada University
Press. Sangidu. 2004. Penenlitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat.
Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat. Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: FBSS IKIP Padang. Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta:
Muhammadiyah University Press. Soekanto, Soedjono. 1996. Perkembangan Sosiologi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Terjemahan oleh Sugihastutik dan Rossi Abi AlIrsyad.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumardjo, Jacob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung. Sutiyono. 2010. Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis. Jakarta: Kompas. Tahir, Masnun. 2008. “Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok”. Jurnal
Asy-Syir’ah, Vol. 42, No. 1 (2008). Uhbaiti, Nur dan Abu Ahmadi. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta .