11
kPatogenesis reaksi Kusta Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009). Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Leprae akan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel (Wahyuni, 8:2009). Penatalaksanaan reaksi Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan à “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Patogenesis reaksi Kusta

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Patogenesis reaksi Kusta

kPatogenesis reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang

dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe

reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering

disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type

Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan

berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler

yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana

terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya

terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah

lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi

(Wahyuni, 8:2009).

Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III.

Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi

pada pasien LL. M. Leprae akan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan

mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan

merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel

(Wahyuni, 8:2009).

Penatalaksanaan reaksi

Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan

berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan à “Prinsip pengobatan Reaksi

Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti

reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat

penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan MDT (obat

kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan

sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti

reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin

dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari,

Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling

dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide

Page 2: Patogenesis reaksi Kusta

juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan

sampai mencapai 50 mg/hari.

Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan prednison

atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga

diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon

maksimal (Mansjoe et al, 2000).

Wahyuni, S. 2009. Dermatomuskular Sistem Dengan Kusta. Medan: USU Digital Library.

Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aeusculapius FKUI. 2000;

74-75

KLASIFIKASI PENYAKIT KUSTA

Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan spektrum klinik, guna menentukan

penatalaksanaan dan penentuan prediksi terjadinya kecacatan, dapat digunakan

klasifikasi sebagai berikut :

Klasifikasi Madrid

Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi yang paling sederhana yang ditentukan atas

dasar kriteria klinik, bakteriologik, dan histopatologik. Ini sesuai dengan rekomendasi

Internasional Leprosy Association di Madrid tahun 1953. Klasifikasi Madrid tersebut

memutuskan bahwa penyakit kusta dibagi atas : tipe indeterminate, tipe tuberkuloid, tipe

lepromatosa dan tipe borderline (dimorphous).

Klasifikasi Ridley & Jopling

Klasifikasi penyakit kusta ini lebih dikaitkan dengan spektrum klinik kusta yang sangat

lebar rentangnya. Bisa dari kekebalan paling rendah seorang penderita sampai pada

kekebalan yang tinggi. (lihat gambar 2.4). Maka klasifikasi ini didasarkan gejala klinik,

bakteriologik, histopatologik, dan imunologik. Menurut klasifikasi ini terdapat 5 (lima) tipe

klinik penyakit kusta yang erat hubungannya dengan sistem kekebalan yaitu tipe polat

tuberkuloid (TT), tipe borderline tuberkuloid (BT), tipe mid borderline Lepromatous (BL)

dan tipe polar lepromatous (LL).

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Page 3: Patogenesis reaksi Kusta

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa,

dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat

ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik

dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea

sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan

otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya

respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang

sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi

gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT.

Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit

biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik

dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif,

permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi

punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan

berbatas jelas.

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat

menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas

dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk

pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di

pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf

lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih

eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan

anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi,

pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang

dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut,

tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina,

madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan

Page 4: Patogenesis reaksi Kusta

orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas

menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-

serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan

anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki .

Konsep ini dapat digunakan untuk menentukan keadaan imunitas yang stabil dan

keadaan imunitas yang labil, dimana pada tipe polar tuberkuloid dan polar lepromatosa

merupakan keadaan imunitas yang stabil sedangkan tipe borderline lepromatosa, mide

lepromatosa dan bordeline tuberkuloid merupakan keadaan imunitas yang lebih

(Suparyanto, 2010).

Klasifikasi WHO

Sejak program eliminasi kusta dilaksanakan secara merata di seluruh dunia oleh WHO

dengan memperkenalkan MDT, maka klasifikasi kusta perlu ada standarisasi dengan

lebih disederhanakan, oleh karena itu WHO menyepakati untuk membagi menjadi 2

(dua) tipe yaitu :

1.Tipe Pause - Basiler (PB)

Tipe PB ini sesuai dengan tipe tuberkuloid pada klasifikasi Madrid atau tipe TT

dan BT pada klasifikasi Ridley & Jopling dengan syarat BTA (-)

2.Tipe Multi – Basiler (MB)

Tipe MB ini sesuai dengan tipe lepromatosa atau borderline pada klasifikasi

Madrid atau tipe BB, BL dan LL pada klasifikasi Ridley & Jopling

KUSTA REAKTIF

Reaksi kusta termasuk dalam pembahasan imun patologik, yaitu terjadi gangguan pada

cell mediated immunity dan terjadi peningkatan aktivitas makrofag, natural killer cel,

peran komplemen juga berpengaruh, sebetulnya reaksi imun itu dapat menguntungkan,

tetapi bisa juga merugikan seperti kusta reaktif

Pengertian

Kusta reaktif suatu gangguan yang berupa munculnya secara spontan proses akut dari

suatu penyakit pada perjalanan penyakit yang sebenarnya kronik. Kusta reaktif ini

menurut WHO tidak disebabkan oleh Multi Drug Therapy (MDT), tetapi merupakan

kondisi alami dari suatu penyakit kusta.

Page 5: Patogenesis reaksi Kusta

Kusta reaktif adalah merupakan reaksi tubuh yang hebat terhadap suatu invasi bakteri

atau antigen, dimana menimbulkan manifestasi klinis yang sangat hebat, yang dapat

digolongkan menjadi 2 (dua) tipe menurut Bryceson dan Jopling yaitu :

Tipe 1 :Reaksi Reversal, ini merupakan contoh imunopatologi reaksi hipersensitivitas

tipe IV.

Tipe 2 :Eritema Nodusum Leprosum (ENL), ini merupakan hipersensivitas humoral

yaitu peran Ig M Ig G dan komplomen, suatu contoh imunopatologi hipersensitivitas

tipe III

Tipe 3 :Lucio’s Phenomenon, merupakan reaksi kusta bentuk lain, yang sebetulnya

merupakan reaksi kusta tipe 2

Manifestasi Kusta Reaktif

Pada kusta reaktif dapat muncul gejala seperti malaise, cefalgia, arthralgi dll. Lebih rinci

dapat dibagi dalam 3 (tiga) tipe yaitu :

Reaksi Reversal

Gejala klinik reversal umumnya terdapat rasa nyeri dan terderness pada saraf, adanya

neuritis dan inflamasi yang begitu cepat pada kulit. Keadaan yang dulunya

hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema makin menjadi eritematosa, lesi macula

menjadi infiltrate, yang infiltrate makin infiltratif dan lesi lama makin bertambah luas.

Secara histology ditemukan epitheloid dari sel granuloma, dan sel limfosit yang

banyak, .ditemukannya basil lepra yang banyak, ephiteloid mensekresi TNF-

Reaksi ENL

Gejala yang muncul seperti nyeri dan tenderness disertai panas tinggi dan malaise. Lesi

kulit berupa pustular dan ulseratif diikuti dengan hilangnya fungsi saraf. Perkembangan

tipe ini sampai terjadi iridocylitis, oechitis, nefritis dengan albuminuria yang disertai non-

pitting oedema. Erythema nodosum leprosum dapat berkembang menjadi perbaikan

setelah mendapatkan kontrikosteroid,secara histologi ditemukannya foamy histiocyte,

dan limfosit tidak banyak.

Fenoemena Lucio

Terjadinya ulseratif yang tidak layak, vaskulitis yang hebat, terdapat macula dan plakat

yang disertai nyeri dan adanya nekrotik jaringan, bulu mata hilang, rambut menjadi

Page 6: Patogenesis reaksi Kusta

rontok dan alopesia, bagian distal tubuh mengalami anaesthesia, destruksi rhinitis dan

nodul kulit tidak kelihatan. Timbulnya panas badan, limfadenopati, splenomegali dengan

limfopenia, mikrositik anemia, hipoalbuminemia dan hipokalsemia, keadaan ini dalam

kondisi akut dapat mengakibatkan kefatalan (Suparyanto, 2010).

Kejadian Kusta Reaktif

Reasi kusta reversal muncul umumnya 6 (enam) bulan setelah pengobatan dengan obat

anti kusta, sedangkan obat lain seperti progesterone, vitamin A, Mycobacterium leprae

yang mati dan hancur menjadi banyak fragmen artinya banyak sekali antigen yang

dilepaskan dan bereaksi dengan antibodinya serta mengaktifkan sistem komplemen

membentuk kompleks imun. Potassium idide merupakan faktor presipitasi, pada tipe

ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua.

Kompleks imun terus beredar di dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat bersarang

diberbagai organ seperti kulit dan timbul gejala klinis yang berupa nodul, eritema dan

nyeri dengan predileksi di lengan dan tungkai. Pada organ mata akan menimbulkan

gejala iridosiklitis, pada saraf perifer gejala neuritis akut, pada kelenjar getah bening

gejala limfadenitis, pada sendi nefritid yang akut dengan adanya protein urin.

Tipe reversal dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan destruksi saraf yang bersifat

irreversibel, sehingga mengalami ketidakmampuan dalam fungsi organ normal, kondisi

diperberat dengan cell mediated immunity gagal menghadapi antigen Mycobacterium

leprae (Suparyanto, 2010).

Suparyanto. 2010. Penyakit Kusta/Lepra.

http://dr-suparyanto.blogspot.com/2010/12/penyakit-kusta-lepra.html

Pasien dengan PB, dinyatakan release from treatment / RFT / selesai pengobatan, setelah

mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9bulan. Pasien dengan MB, dinyatakan

RFT setelah mendapat pengobatan 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan. Masa

pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB

selama 5 tahun.

Defaulter

Dengan alasan apapun pasien yang tidak mengkonsumsi obat sesuai dosis yang ditentukan,

pengobatan harus dilanjutkan dari titik di mana pasien berhenti mengkonsumsi, dan

Page 7: Patogenesis reaksi Kusta

pengobatan utama harus diselesaikan. Kita harus dapat melakukan berbagai upaya untuk

melacak dan membujuk pasien untuk kembali ke balai pengobatan dan memberi pengobatan.

Jika pasien yang kembali berobat memiliki lesi baru pada kulit, keterlibatan syarat baru, nodul,

atau tanda-tanda rekasi, maka harus diberikan terapi MDT baru.

Relaps / kambuh

Adalah kembalinya penyakit secara aktif pd penderita yg sesungguhnya telah menyelesaikan

pengobatan & pengobatannya sudah dihentikan (Lukman, 2008).

Pada kusta MB, kambuh didefnisikan sebagai perkembangan dari bakteri M. leprae, seperti

yang ditandai oleh peningkatan minimal 2+ dari nilai sebelumnya dari indeks bakterial. Dan

dengan adanya lesi baru pada kulit / nodul dan atau kerusakan syaraf baru. Dalam kebanyakan

kasus, kekambuhan dapat dikonfirmasikan dari pertumbuhan bakteri M. leprae.

Deteksi kambuh dari kusta PB agak sulit, karena sulit membedakan dari reaksi kusta. Secara

terapi, tes terapi dengan kortikosteroid mungkin dapat membedakan 2 fenomena, peningkatan

perbaikan dalam waktu 4 minggu terapi kortikosteroid menunjukan rekasi kusta, sedangkan bila

tidak ada respon terhadap kortikosteroid dalam waktu 4 minggu, menunjukan kekambuhan. Bila

hasil kambuh telah pasti, maka pasien dapat diobati MDT (Ramaratnam, 2010).

Manifestasi Relaps Tipe-PB

Terjadi pd kulit dan saraf tipe asalnya sama

Secara klinis dan imunologis lebih jelek dr tipe asalnya, mis. tipe BT akan relaps dengan

ciri-ciri tipe BB/LL

Manifestasi dpt lebih baik, mis. tipe asal BT dpt relaps TT

 

Manifestasi Relaps Tipe-MB

Dapat dalam bentuk asalnya.

Dapat lebih jelek : misalnya BB/BL relaps LL

Dapat lebih baik : misalnya LL relaps BB, BL

Lesi histoid; akibat resitens obat DDS (Lukman, 2008).

Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan adanya

nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga

berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive

atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan

Page 8: Patogenesis reaksi Kusta

pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang

dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis maupun

lama pemberiannya .

Ramaratnam, S. 2010. Neurologic Manifestations of Leprosy: Follow-up.

http://emedicine.medscape.com/article/1165419-followup

Lukman. 2008. Perawatan Kusta. http://lukmanrohimin.blogspot.com/2008/10/perawatan-

kusta.html