Upload
ira-inayah
View
210
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pasien Obesitas
Citation preview
Bagian 98
PASIEN OBESITAS
Joseph S. Cheng, Meic H. Schmidt, Waide M. Mueller, dan Edward C Benzel
Obesitas dan berat badan berlebih telah dikategorikan sebagai salah satu
indicator kesehatan utama (2001), merupakan target kesehatan masyarakat selama
decade pertama abad ke-21.34 Pada tahun 1999, diperkirakan 61% orang dewasa di AS
memiliki berat badan berlebih atau obesitas dan selain itu 13 % anak dan remaja juga
berberat adan lebih. Saat ini, terdapat hampir 2 kali lebih banyak anak-anak dan 3 kali
lebih banyak remaja yang berberat badan lebih bila dibandingkan dengan pada tahun
1980, dengan rata-rata 300.000 kematian pertahun di AS yag dihubungkan dengan
obesitas dan berat badan lebih.2 Pada tahun 2000, biaya pelayanan kesehatan untuk
obesitas diperkirakan sebesar $ 117 juta, dimana kebanyakan biaya ini adalah
pembiayaan untuk diabetes tipe 2, penyakit arteri koroner, dan hipertensi.60 Meskipun
obesitas dihubungkan dengan gangguan sendi,5 pengaruh berat badan terhadap
gangguna tulang belakang kurang jelas. 27,56 Namun, telah ditunjukan bahwa masalah
kesehatan lain seperi statis vena dan apneu saat tidur dapat mempengaruhi keluaran
operasi spinal secara signifikan. Bagian ini membahas penanganan terkini pasien
obesitas karena hubungannya dengan gangguan dan operasi spinal.
Diagnosis berat badan lebih dan obesitas
Kata obesitas berasal dari bahasa latin “makan berlebihan”, namun saat ini
obesitas banyak diartikan sebaga “penyakit kelebihan lemak tubuh”.25 Rather than a
simple personality trait, perubahan definisi ini menggambarkan obesitas sebagai
gangguan kompleks yang berkembang karena kombinasi faktor geneik, lingkungan,
psikososial, dan fisiologis. Pada komunitas barat saat ini, kelebihan lemak tubuh
biasanya terjadi karena diet tinggi kalori dan aktivitas fisik yang kurang.
Berat badan lebih dan obesitas adalah istilah yang awalnya digunakan oleh
industri asuransi untuk menentukan faktor-faktor risiko yang sehubungan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas, dan diagnosis ditegakkan berdasaran jumlah
kelebihan lemak tubuh. Lemak adalah salah satu komponen dasar tubuh manusia
yang esensial untuk bertahan hidup, dan nilai normal lemak bergantung pada umur
dan jenis kelamin. Secara umum, persentase lemak tubuh normal sebesar 13-16 %
pada laki-laki dewasa dan 20-24 % pada perempuan dewasa, dan diagnosis berat
badan lebih dan obesitas ditegakkan bila nilai tersebut dilewati.
Pengukuran lemak tubuh terkadang secara teknis sangat menantang. Metode
yang paling akurat adalah teknik underwater immersion (memasukkan ke dalam air);
namun teknik ini tidak praktis untuk penggunaan secara rutin. Pada praktek sehari-
hari, pengukuran tebal lipatan kulit dan lingkar pinggang, bersama dengan
pengukuran berat badan berdasarkan tinggi badan tampaknya merupakan metode
yang paling mendekati namun masih kurang akurat. Pada tahun 1998, World Health
Organization (WHO) bersama dengan National Institute of Health (NIH),
mengesahkan penggunaan Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk mengukur adanya
obesitas, karena tampaknya IMT lebih berhubungan dengan lemak tubuh
dibandingkan indikator tinggi dan berat badan laiinya. 26,61
IMT, atau index Quatelet, adalah formula matematis dimana berat badan
dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (IMT= berat badan
(kg)/Tinggi badan (m2)). Selama ini, IMT telah ditabulasi dari data medis dan
asuransi untuk mendapatan nilai standar untuk menentukan obesitas. Secara umum,
IMT 25-29,9 kg/m2 dianggap berat badan lebih dan IMT lebih dari 30 kg/m2 (atau
peningkata 20% dari berat badan ideal erdasarkan tabel octoarial) disebut obesitas
(Tabel 98.1). Obesitas berat atau morbid, sebagaimana dijelaskan oleh Payne pada
awal 1960 an, mnggunakan definisi sewenang-wenang yaitu lebih dari 100 lb atau 45
kg di atas berat badan ideal, dan juga IMT lebih dari 35.25,56 Pasien yang obesitas
morbid memiliki risiko yang paing tinggi unuuk mengalami morbilitas dan mortalitas
perioperatif. Penjelasan lebih jauh dipdapatkan dengan adanya standar WHO dimana
obesitas diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yang dihubungkan dengan risiko-risiko
kesehatan yang ditunjukkan oleh perubahan pada orbiditas dan mortalitas (Lihat
Tabel 98.1). Obesitas Kelas I adalah keadaan dimana IMT sebesar 30-34,9 dan
dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas yang sedang bila
dibandingkan dengan populasi umum. Obesitas Kelas II bila IMT antara 35 sampai
39,9 degan peningkatan risiko-risiko kesehatan yang berat. Obesitas kelas III apabila
IMT lebih dari 40 dengan peningkatan insiden morbiditan dan mortalitas yang sangat
berat.
IMT adalah pengukuran yang akurat untuk kebanyakan orang kecuali bagi
binaragawan yang kemungkinan memiliki IMT tinggi akibat peningkatan massa
tubuh (otot), dan wanita hamil. Selain itu, distribusi kelebihan lemak juga penting
karena sebagian pasien dapat berberat badan normal tapi memiliki lemak abdomen
yang signifikan yang berakibat terjadinya obesitas visceral. Obesitts abdominal
(visceral) dihubungkan dengan diabetes tipe II, dislipidemia, dan penyakit
kardiovaskular.11 Pengukuran lingkar pinggang dapat menilai adanya akumulasi
lemak abdomen ini.
Gangguan spinal pada pasien obesitas
Obesitas dihubungkan dengan osteoarthritis dan penyakit sendi degenerative.
61 Penelitian mengindikasika adanya keterkaitan berat badan berlebih dengan
osteoarthritis pada sendi lutut dan pinggul. Evaluasi propektif menunjukkan bahwa
risiko osteoarthritis pada lutut meningkat 15 % untuk setiap peningkatan IMT di atas
27. Sendi-sendi yang tidak menopang berat badan pada tangan juga sering terkena
osteoarthritis pada orang obesitas. Penelitian longitudinal mengindikasikan bahwa
peningkatan berat badan mendahului osteoarthritis pada tangan dan lutut.
Penyebab osteoarthritis dan penyakit spinal degenerative tidak dijelaskan
dengan baik. Secara biokimiawi, obesitas dapat meningkatkan beban kompresif
vertikal secara langsung dan dari arah ventral memberikan beban terhadap kolumna
spinalis. 59 Secara khusus, obesitas abdomen dapat meninkatkan beban pada otot-otot
panggul dann kompleks sendi facet, dan berpotensi menyebabkan back pain dan
penyakit vertebra degenerative (Gambar 98.1). Meskipun obesitas dihubungkan
dengan sindrom nyeri seperti coccydinia dan meralgia parestetika, penelitian klinis
menunjukkan hasil yang berbeda mengenai gangguan spinal dan obesitas. 12,27,283,43
Osteopitosis vertebra tampaknya lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan IMT
yang lebih besar dan obesitas. 10,35
Obesitas belum ditetapkan sebagai penyebab low back pain (LBP). Banyak
penulis mempertanyakan apakah LBP mendahului obesitas atau vice versa. 12 Secara
klinis, manifestasi LBP pada pasien obesitas tampaknya lebih sering terjadi
dibandingkan populasi umum. 7 Namun, pada tinjauan sistemik terhadap literature
epidemiologi 56 artikel jurnal oleh Leboeuf Yde,27 ditemukan bahwa hanya 32 %
penelitian yang mengindikasikan keterkaitan secara statistik yang signifikan antara
berat badan dan LBP. Karena banyak peelitian memiliki faktor-faktor yang
mengacaukan, penulis merasa bahwa berat badan harus dipertimbangkan sebagai
indikator risiko yang lemah untuk LBP.
Dalam beberapa laporan, prevalensi obesitaas pada pasien-pasien yang masuk
rumah sakit untku operasi spinal elektif meningkat dari 256 pasien yang menjalani
disektomi lumbal elektif, 27% memiliki IMT yang konsisten dengan obesitas,
dibandingkan dengan prevalensi 16% pada populasi umum di Finlandia.7 Namun,
tidak jelas apakah hal ini secara langsung berhubungan dengan obesitas atau karena
fakta bahwa pasien pasien obesitas lebih sering mencari pelayanan kesehatan
dibandingkan orang dengan berat badan normal. Pada penelitian lain, IMT dan tinggi
badan pasien dinyatakan berhubungan dengan pasien-pasien yang membutuhkan
operasi untuk hernia diskus intervertebralis lumbal.19 Pada penelitian cross sectional,
Bostman6 meninjau 1128 pasien yan menjalani operasi diskus lumbalis dibandingkan
dengan populasi umum, peningkatan IMT dan postur tubuh tinggi dihubungkan
dengan herniasi diskus lumbalis yang membutuhkan opersi.6 Secara keseluruhan,
literature masih konroversial mengenai penyebab LBP dan herniasi diskus pada
pasien obesitas. Selain itu tidak jelas apakah keluaran operasi LBP dan herniasi
diskus lebih jelek pada pasien obesitas dibandingkan populasi umum. Sebuah
penelitian prospektif skala kecil (n=159) yang membandingkan operasi vertebra
lumbal pada pasien obesitas menunjukkan bahwa kedua keompok memiliki keluaran
yang sama untuk laminektomi dekompresi, discektomi, dan fusi lumbal.3 Peneliatian
ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal jumlah kehilangan darah,
durasi operasi, lama perawatan di rumah sakit, angka komplikasi, atau keluaran
fungsional antara kedua kelompok.3 Kegagalan operasi untuk mengurangi gejala-
gejala radikulopati lebih berhubungan dengan seleksi pasien daripada obesitas. Pada
pasien obesitas adanya neuropati diabetik dapat menyebabkan hasil yang jelek. 49
Jadi, pasien obesitas morbid yang bahkan telah menjalani penanganan untuk masalah
berat badan mereka masih memiliki faktor risiko akibat obesitasnya, Bano dkk4
melaporkan adanya perubahan osteoporosis dan berkurangnya densitas mineral tulang
pada pasien obesitas yang telah menjalani operasi pintas jejuno-ileal bagi obesitas
morbid.
Table 98.1
Klasifikasi IMT
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Kurang
Normal
Lebih
Obesitas
Obesitas kelas I
Obesitas kelas II
Obesitas kelas III
< 18,5
18,5-24,5
25-29,9
≥ 30
30-34,9
35-39,9
≥ 40
* IMT, kg/m2 atau (lbs/in2 x 703)
Risiko-risiko dan isu-isu kesehatan pada pasien obesitasMeski obesitas tidak secara jelas menyebabkan gangguan spinal, namun banyak pasien obesitas masih tetap perlu operasi spinal.
Prevalensi pasien obesitas yang menjalani operasi spinal meningkat bila dibandingan populasi umum.7 Penanganan dan perhatian terhadap
masalah-masalah medis yang berhubungan dengan obesitas dapat mengurangi komplikasi perioperatif dan meningkatkan kemungkinaan operasi
spinal yang sulit. Gangguan-gangguan medis yang dihubungkan dengan berat badan lebih dan obesitas dirangkum dalam Kotak 98.1. Kebanyakan
gangguan ini memiliki potensi untuk meningkatkan risiko komplikasi perioperatif. meskipun tidak semua pasien obesitas mengalami gangguan-
gangguan medis, penting untuk memahami rsiko-risiko dan gangguan yang berhubungan dengan obesitas.
Kotak 98.1
Risiko kesehatan yang berhubungan dengan obesitas
Obesitas berhubungan dengan peningkatan risisko:
Kematian premature
Diabetes tipe 2
Penyakit jantung
Apneu saat tidur
Asma
Gangguan pernapasan
Stroke
Hipertensi
Kanker
Osteoarthritis
Penyakit hepar
Penyakit kandung empedu
Kolesterol darah tinggi
Gangguan menstrasi
Hirsutisme
Inkontinensia stress
Peningkatan risiko operasi
Depresi
Stigmatisasi soasial
* dikutip dan dimodifikasi dari www.nidak.nih.gov/health/nutrit/pubs/statobes.htm
Mortalitas
Penelitian epidemiologi menjukkan adanya peningkata mortalitas sehubunga
dengan berat badan lebih dan obesitas. Orang obesitas (IMT ≥ 30) memiliki
peningkatan risiko 50 hingga 100% keatian premature akibat berbagai penyebab
dibandingan orang dengan berberat badan normal, dan memiliki morbiditas dan
mortalitas operasi yang lebh besar.11,14,18 Sebuah penelitian yang membandingkan nilai
mortalitas operasi gastrointestinal menunjukkan bahwa pasien obesitas memiliki nilai
mortalitas 6,6%, sedangan pasien non obesitas sebesar 2,2%.41 Bertentangan dengan
eelitian terhadap operasi spinal oleh Andreshak dkk,3 pasien obesitas menjalani
kehilangan darah llebih banyak, wkatu operasi lebih panjang dan komplikasi mayor
dari prosedur ortopedi maupun prosedur bedah lainnya.
Fungsi pulmoner
Obesitas biasanya dihubungkan dengan disfungsi pulmoner dan kesulitas
bernapas, dan komplikasi pulmoner psca operasi pada pasien obesitas telah diaporkan
sebesar 3,9% hingga 95%.37,48 Pertukaran gas terkadang terganggu pada pasien
obesitas, dan obesitas secara signifikan meingkatkan risiko kesulitan intubasi
endotrakea. Risio ini kemudian dipersulit oleh merokok dengan literature
menganjurkan penghentian merokok setidaknya 8 minggu sebelum operasi demikian
pula dengan penuruaan berat badan setidaknya 10-20 kg data secara signifikan
mengurangi omplikasi pulmoner pasca operasi.23,24 Obstruksi saluran napas bagias
oleh jaringan lunak yang berlebih juga data menyebabkan hypoxemia dan
hiperkarbia. Berat torso dan abdomen akan megurangi kapasitas residual fungsional
dan menyebabkan ekskursi diafragma jadi llebih sulit. Posisi prone yang biasanya
digunakan untuk prosedur spinal dapat memperbaiki beberapa aspek fungsi
pulmoner.38 Namun, prbikan ini tergantung pada tempat pasien diposisikan.36 Efek
lanjut juga pernah dilaporka, dmana oeitas menyebabkan risiko obstruksik jalan napas
karena edema angioneurotk akbat inhibisi enzim konversi angiotesin pasca operasi.33
Penurunan kapasitas residual dapat mengurang waktu sebelum terjadinya
hypoxia saat intubasi. Pada pasien obesitas dengan patologi vertebra servikal ang
membutuhkan intubasi yang hati-hati, penurunan waktu sebelum trjadinya hypoxia
bersama dengan strutur jaan naas bagian atas yang komples data membasi menjadi
sulit. Selain itu, asien obes juga memiliki cairan asam ambung yang banyak sehingga
menempatkanpasien dalam risiko tingi untuk aspirasi.55 Risiko aspirasi dari refluks
gastroesofageal paling besar terjadi saat bucking atau batuk pada pipa endotrakea, yag
dapat lebih sering terjadi saat dilakukan intubasi ssadar. Semua pasien besitas harus
dianggap bersiko mengaami hipoksia intra dan pasca operasi.
Fungsi jantung
Jaringan lemak meningkatkan cardiac output 0,11/menit untuk perfusi 1 kg
lemak. Hipertensi, kardiomegali, dan gagal ventrikel kiri dapat terjadi akibat
kebutuhan meninkatkan cardiac output dan dapat medorog jantung ke bata
fungsionalnya. Oleh karena itu, pasen obesitas biasanya memiliki cadangan jantung
yang terbaatas dan toleransi beban jantung yang buru akibat hiotensi hipertensi,
takikardia atau kelebihan cairan selama operasi. Retensi karbondioksida pada pasien
yang sangat obes disebyt Sindrom Pickwickian dan dihubungan dengan hipoventilasi
alveolar, somnolen, hypoxemia, gagal jantung kanan, dan polisitemua sekunder.
Pasien-pasie ini membutuhkan moitor yang lebih invasive untuk evaluasi
preoperative sebaiknya dilakukan pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) dan analisis
gas darahuntuk menilai tingkat hipoventilasi. Biasanya, erokok semakin mempeburuk
dsism kardiopulmoner dan pada pasien ini, pemeriksaan fungsi pulmoner dan foto
thorax sebaiknya dilakukan.
Diabetes
Toleransi glukosa biasanya tergangggu pada pasien obesitas. Hipertropi islet
pancreas dan hiperinslinemia menyebabkan prevalensi diabetes dan masalah
kesehatan lain yang berhubungan lebih tinggi diabetes sering dihubunga dengan
kkeluaran yang buruk setelah operasi spinal. Peneltaan pada 62 pasien obesitas dan
non obesitas dengan diabetes meunjukkan angka infeksi pasca perasi dan masa
perawatan yag lebih tingii.49
Tromboemboli
Komplikasi tromboemboli sering terjdi setelah prosedur bedah saraf dan
ortopedi. Obesitas dapat meningkatkan risiko thrombosis vena dalam da emboli paru. 45 Pengggunaan alat kompresi kaki sekuensial dan stoking dapat ulur pada pasien
obesitas. Ambulasi dan heparin subkutaneus harus dipertimbangan agi pasien dengan
perhatian yang seksama terhadap status pulmoner
Penyembuhan luka
Komplikasi luka seteah operasi spinal dorsal yang terjadi. Insiden infeksi dan
dehisensi luka meningkat paa pasien obesitas.45
Isu-isu farmakologi
Perubahan patofisiologi pada obesitas ang mempengaruhi distribusi obat di
antaranya peningkata cardiac output, volume darah, penurunan massa tubuh, kuran
organ, dan massa adipose.1,5 Pada umumnya, obat-oat hidrofilik tidak terlalu
dipengaruhi oleh obesitas. namun, obat-obat hidrofilik dapat meningkatkan volume
distribusi, memperlambat eliminasi, dan denga demiian terkadang menyebaban
pemulihan yang lambat dari obat-obat anastesi. Disfungsi hepatic dan renal juga
dapat mmpersult kecenderungan untuk pemulihan yag lambat dari efek anastesi.
Pemberian analgetik juga dapat dipengaruhi oleh obesitas. sebuah penelitian
menunjukan bahwa pasien obesitas membutuhkan lebih sedikit analgetik pasca
operasi dibandingkan pasien dengan berat badan normal.12 Analgesi opioid dapat
erbahaya pada pasien obesitas karena dapat mengubah farmakokinetik. Ijeksi
intramuscular dapat menyebaban kadar opioid darah yang tidak terrediks ada pasien
obesitas. anastesi yang dikontrol oleh pasien sendiri (Patient controlled anesthesia
PCA) efektif untuk pasien obesitas morbid. 18,30 Namun, laporanlain menatakn bahwa
PCA data leih berbahaya pada pasien obesitas dengan apnea saat tidur.
Pertimbangan diagnostik gangguan spinal pada pasien obesitas
Evaluasi pasien obesits dengan gangguan spinal terdiri atas anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang tidak berbeda dengan pasien lainnya. Deskripsi yang detail
mengenai tipe nyeri, distibusinya dan gejala radikuler yang berhubungan sangat
penting. Tinjauan sistem sangat penting untuk mengidentifikasi masalah-masalah
kesehatan yang mungkin terjadi sehubungan dengan obesitas. Secara khusus,
pertanyaan mengenai penyakit kardiovaskular, gangguan napas, apneu saat tidur, dan
kelainan endokrin harus ditanyakan. Biasanya, pasien-pasien obesitas morbit sedang
dalam perawatan dokter yang dapat membantu melakukan peeriksaan bila terdapat
indikasi dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan tinjauan sistem. Penggunaan anastesi
yang berisiko tinggi dan perlunya perawatan ICU setelah operasi harus berdasarkan
penyakit penyerta dan lamanya operasi.48 Pemeriksaan fisis dapat terganggu akibat
habitus tubuh pasien, osteoarthritis lutut dan tangan juga dapat membatasi manuver-
manuver diagnostik. Neuropati diabetik dapat menutupi gejala dan tanda myelopati.
Pemeriksaan radiologi pada pasien obesitas terkadang sangat menantang. Foto
polos fleksi dan ekstensi dinamis terbatas, dan foto polos supine berkualitas buruk
karena jeleknya penetrasi. MRI dan CT Scan terkadang sulit untuk dilakukan karena
terbatasnya ukuran alat.446 Pemindai MRI yang terbuka lebih luas dan dapat berguna
bagi pasien obesitas yang klaustropobia.
Isu bedah pada obesitas
Pendekatan untuk penanganan bedah pada pasien obesitas dengan penyakit
spinal sama dengan pendekatan pada pasien non obesitas. Isu-isu kesehatan
sehubungan dengan obesitas dapat meningkatkan faktor risiko operasi; namun
obesitas bukan merupakan kontraindikasi untuk operasi spinal elektif. Banyak
laporan anecdotal menyebutkan kesulitan dan meningkatnya komplikasi pasca
operasi sehubungan dengan obesitas namun laporan ini tidak didukung oleh literature.
Pengalaman institsional di Fakultas Kedokteran Wisconsin menemukan bahwa tidak
ada perbedaan berarti dalam hal kecepatan fusi atau komplikasi mayor antara pasien
obesitas dan non obesitas. Andreshak dkk3 meninjau sebuah sebuah serial prospektif
159 pasien obesitas dan kontrol, dan ia menemukan bahwa faktor-faktor seperti lama
operasi, jumlah kehilangan darah, lama masa perawatan, komplikasi dan keluaran
tidak berbeda antara kedua kelompok pasien yang menjalani operasi fusi vertebra
lumbal.
Pendekatan operasi
Pemilihan pendekatan operasi tergantung pada anatomi dap proses penyakit
yang sedang dihadapi. Pendekatan tertentu, seperti pendekatan ventral, dapat
dipersulit dengan adanya obesitas morbid. Faktor-faktor seperti lokasi dan ukurun
panniculus bersama dengan ketersediaan retraktor dan instrument yang tepat, dapat
memungkinkan modifikasi pendekatan standar yang biasaya digunakan pada pasien
non obesitas. Meskipun pendekatan pada umumnya berdasarkan struktur anatomi
yang ditentukan saat deteksi lesi, banyak faktor yang mempengaruhi pendekatan
yang digunakan termasuk posisi sebelum operasi, retraksi, dan pemeriksaan radiologi
intraoperasi.
POSISI PASIEN
Sama halnya dengan pasien non obesitas, tujuan mengatur posisi pasien degan
tepat adalah untuk mendapatkan eksposure dan visualisasi yang optimal. Hal ini dapat
dicapai dengan menggabungkan optimalisasi dinamika kardiovaskuler dan respirasi
sambil mencegah kehilangan darah, kongesti vena, gangguan neurovaskuler, dan
komplikasi pada daerah yang tertekan. Persiapan harus dilakukan untuk
mengakomodasi keperluan-keperluan intra operasi seperti penempatan radiografi
penggunaan sistem refraktor, perubahan posisi pasien, atau implantasi instrumen
spinal. Meja operasi dan peralatan fiksasi standar seperti fiksasi 3 titik (three point
fixation) untuk prosedur servikal dorsal dapat digunaan. Terdapat perbedaan peralatan
yang signifikan, dan hanya sedikit dijelaskan dalam bagian ini.
Posisi supine
Posisi supine memungkinkan akses ke aspek ventral pasien dan pendekatan-
pendekatan termasuk ventral servimal, transthorasic, dan transabdominal; dang graft
krista iliaka adalah indikasi untuk posisi ini. Papan lengan dan sleds dapat digunakan
untuk menopang ekstremitas atas, atau pada prosedur servikal penggunaan draw sheet
untuk membungkus pasien dapat membantu menopang lengan. Bila perlu, 2 meja
operasi data digabungkan menjadi satu untuk dapat menopang pasien dengan ukuran
tubuh yang besar. Bangku untuk berdiri kemudian dapat digunakan untuk mencapai
lapangan operasi dengan tidak bersandar pada pasien.
Eksposur untuk pendekatan servikal ventral dapat dilakukan dengan
menggunakan panniculus submandibular besar. Visualisasi dapat dmaksimalkan
dengan menggunakan pengikat dagu (chinstrap) atau plaster bersama dengan
shoulder roll untuk pendekatan servikal dorsal. Traksi kaudal bahu bilateral dengan
cloth tape pada dasar Reston membantu meregangkan lipatan-lipatan pada kaudal
leher serta memberi efek traksi pada pemeriksaan radiologi. Obesitas tidak
memberikan perlindungan dari reaksi pada titik tekanan dan saat prosedur yang
panjang, masalah dapat diperberat oleh hipotermia dan hipotensi vasokonstriksi.
Posisi Prone
Pasien yang harus diposisikan prone, membutuhkan meja operasi standar
Amsco (Amsco 3085 SP Surgical Table, Steris Corp, Montgomery, Ala) dengan
bantalan dada yang lebar. Setelah meletakkan bantalan pada lutut, tumit, siku, dan
pergelangan tangan, pasien diimobilisasi dengan pita pengikat standar pada dasar
Reston untuk mencegah kontak kulit secara langsung dengan perekatnya. Jika
imobilisasi total dibutuhkan, misalnya ketika meja operasi harus dirotasikan untuk
memperbaiki visualisasi, harus dihindari konstriksi berlebihan untuk mencegah
bahaya respirasi dan neurovaskuler. Pada prosedur servikal, fiksasi three point
memungkinkan akses bedah yang lebih baik dan menurunkan potensi cedera mekanis
dan neurovaskuler dibanding fiksasi tapal kuda atau bantalan wajah.
Dibanding posisi supine atau posisi dekubitus lateral, posisi prone berpotensi
lebih besar menimbulkan gangguan pernapasan dan kompresi abdomen. Hal tersebut
ditandai oleh peningkatan berbagai parameter fisiologis seperti tekanan jalan napas
puncak dan juga peningkatan kongesti vena dan gangguan hemostasis. Alternatif
chest roll standar termasuk alat seperti meja Jackson (OSI Corp., Union City,
California). Desainnya memungkinkan penembatan bantalan dan penyangga khusus
terhadap abdomen sehingga menurunkan tekanan intraabdomen. Meskipun demikian,
pada beberapa pasien obesitas dengan panikulus abdomen signifikan perlu
ditempakan meja logam di bawah perut sebagai penyangga tambahan untuk
mencegah peregangan berlebihan (brace Milwaukee). Keuntungan meja jakson
termasuk radiolusensi dalam imaging intraoperatif, dan akomodasi traksi dan fiksasi
servikal. Alat tersebut disuplai aliran listrik, tetapi rotasi manual tetap dapat
dilakukan, dan posisi netral bergantung pada friction stop. Toleransi meja tersebut
lebih dari 350 lb, tetapi modifikasi terkini dapat mengakomodasi beban lebih dari 500
lb.
Posisi Dekubitus Lateral
Pada kasus obesitas berat yang tidak dapat diakomodasi oleh meja operasi
terkini atau kontraindikasi untuk posisi prone misalnya pada pasien transplantasi
renal prominen, maka posisi dekubitus lateral merupakan pilihan.
Posisi dekubitus lateral dapat pula digunakan ketika visualisasi vertebra
ventral atau torakolumbar lateral dibutuhkan. Pada posisi demikian, pendekatan dapat
dilakukan via transtorakal, retropleural, atau retroperitoneal. Posisi demikian juga
mengakomodasi pannus torakoabdominal yang sulit ditangani pada posisi supine.
Oleh karena itu, harus diperhatikan bahwa pada posisi demikian diseksi midline
dorsal kemungkinan sulit dilakukan, khususnya pada vertebra servikal, hal ini terkait
masalah instabilitas vertebra servikal. Meskipun kesejajaran vertebra servikal dapat
dipertahankan dengan bantal atau penyangga lainnya, kehati-hatian tetap diperlukan
ketika menempatakan pasien dalam posisi tersebut.
Posisi Berlutut
Pilihan posisi lain ketika pasien membutuhkan posisi prone adalah posisi
berlutut. Pada studi manometrik terhadap tekanan vena kava inferior ditemukan
penurunan signifikan selama posisi terlipat, dibanding posisi Georgia atau prone
standar lainnya. Keuntungan menurunkan tekanan intraabdominal dikaitkan dengan
hemostasis yang lebih baik, sebab memungkinkan visualisasi serta menurunkan
tekanan kardiak dan respirasi intraoperatif. Meskipun demikian, selain keuntungan,
posisi ini juga menyebabkan berbagai kerugian, antara lain memakan banyak waktu,
berpotensi tinggi menyebabkan cedera mekanis dan neurovaskuler, regangan otot dan
ligamen lumbal, serta berpotensi mengganggu kurvatura lumbal selama operasi.
Komplikasi tersebut sesungguhnya dapat dicegah, terutama dengan pendekatan
individual dan pertimbangan yang hati-hati.
Posisi Duduk
Meskipun posisi duduk telah digunakan untuk operasi vertebra dorsal tetapi
pitfall tambahan ditemukan pada pasien obesitas terlepas dari bahaya emboli udara
dan resiko perburukan respirasi dan kardiovaskuler. Pasien obesitas yang berukuran
besar, massa letak ventral, dan fleksibilitas terbatas kemungkinan mempersulit proses
memposisikan pasien. Gaya gravitasi yang bermanfaat dalam membantu visualisasi
dengan drainase perdarahan dari lapangan operasi, bisa saja menjadi penghalang
pemasangan pita dan kain pengikat untuk memobilisasi bahu. Pasien obesitas
cenderung tergelincir selama posisi tersebut. Gravitasi juga mempengaruhi retraktor
yang dipakai. Retraktor berukuran besar dengan bilah yang dalam misalnya Scoville,
kemungkinan membutuhkan sling yang terbuat dari spon dan hemostat untuk
menahannya tetap pada posisi. Terlepas dari itu semua, posisi duduk tetap berhasil
digunakan luas pada populasi obesitas. Meskipun demikian, umumnya para ahli
menggunakan posisi prone sebagai pendekatan vertebra servikal bagian dorsal.
Aspek Posisi Lainnya
Tanpa memandang pendekatan dan posisi pembedahan yang digunakan,
perubahan sirkulasi dan respirasi tetap harus mendapat perhatian. Penempatan
bantalan pada berbagai titik tekan, aplikasi alat kompresi sekuensial (Sequential
Compression Device, SCD), membantu meminimalkan pooling vena dependen, rol
aksilla untuk mencegah cedera bundel neurovaskuler aksilla, dan perhatian ekstra
terhadap status ventilasi pada berbagai ketidaksesuaian potensi perfusi ventilasi
dibutuhkan.
PERALATAN BEDAH
Meja Operasi
Pada institusi penulis bekerja, meja bedah Amsco digunakan sebagai meja
operasi mobile standar dengan kontrol hidrolik yang fleksibel untuk membantu
memposisikan pasien. Meja mampu menahan beban lebih dari 1000 lb (452 kg)
dengan pusat beban pada area pelvik, atau lebih dari 500 lb (226 kg) bila pusat beban
pada daerah lutut (gambar 98.2). Arah berkebalikan memfasilitasi C-arm dan imaging
intraoperatif lain yang menjadi bagian tersulit pada berbagai prosedur pembedahan
vertebra (lihat 98.2.B). Rol dada dengan bantalan berukuran besar digunakan pada
pasien posisi prone, dan adaptasi fiksasi kranial three-point, termasuk penjepit traksi,
tersedia. Meskipun demikian, pada pasien yang berukuran lebih besar, atau mereka
dengan obesitas trunkus sentral, meja khusus dengan frame Jackson membantu
memposisikan pasien dan dekompresi abdomen.
Dengan membiarkan abdomen bergantung bebas, dibanding rol dada
berukuran besar, frame Jackson membantu mengurangi perdarahan vena epidural
dengan dekompresi vena kava (gambar 98.3). Komposisi frame memungkinkan
radiolusensi saat mempertahankan kapasitas muatan lebih dari 500 lb. Meskipun meja
dapat diputar 360º, tetapi perubahan posisi dan reposisi pasien relatif sulit dilakukan
pada meja tersebut.
Bantalan Titik Tekan
Bantalan yang tepat dan imobilisasi perlu diperhatikan secara signifikan
dalam memposisikan pasien, tentu saja relatif sulit pada populasi pasien obesitas. Jika
keamanan pengikat tidak adekuat, penggunaan bantalan dan pengikat standar secara
bijaksana untuk menjamin keamanan pasien mutlak diperlukan. Penulis bab ini lebih
liberal dalam penggunaan Reston dan bantalan busa, termasuk pita kain untuk
menjamin keamanan pasien selama pembedahan. Pasien yang sensitif terhadap lateks
tetap dapat diamankan dengan pita plastik. Penggunaan handuk atau kain untuk
mencegah kontak kulit secara langsung bermanafaat mengurangi kerusakan dan
sejumlah ruam. Pengikatan pada margin kosta atau kaput femur harusnya dihindari
untuk mencegah nekrosis
Penambahan gel pada bantalan busa berfungsu melindungi bagian tubuh
pasien dari luka tekan dan nekrosis. Rol aksilla yang terbuat dari kantung saline
terbungkus Reston, bantalan jel yang tebal, dan gulungan kain digunakan untuk
melindungi bundel neurovaskuler aksilla dependen yang ditempatkan di atas kosta
memungkinkan pembebasan regio aksilla dari kompresi. Ektremitas atas dapat
diposisikan dan diganjal dengan berbagai cara, umumnya dengan dua bantalan.
Pertimbangan Operasi
Pajanan Operasi
Pada berbagai prosedur bedah, memperoleh pajanan adekuat merupakan aspek
paling menantang pada kasus tertentu, terutama pembedahan vertebra pada pasien
obesitas. Insisi makro untuk pasien berukuran besar merupakan adagium yang
digunakan yang menunjukkan kedalaman pajanan, insisi berukuran kecil
menghasilkan visualisasi yang buruk. Pajanan optimal bergantung secara langsung
terhadap posisi dan tipe pendekatan, ukuran insisi adekuat, konfigurasi, relaksasi otot
adekuat, dan penggunaan retraktor yang tepat. Kesulitan akibat faktor tersebut
meliputi pencahayaan dan hemostasis yang tidak adekuat, menghalangi pajanan yang
optimal selama operasi.
Pilihan pendekatan operasi mutlak diperhatikan pada pasien dengan habitus
obesitas, sebab individu obesitas bervariasi dalam distribusi lemak. Contohnya,
pasien pria usia pertengahan obesitasnya berlokasi di bagian ventral abdomen; oleh
karena itu, pajanan midline dorsal tidak dilakukan sedalam yang diharapkan semula.
Sebaliknya, pajanan ventral atau lateral lebih sulit dilakukan pada pasien kurus.
Dekompresi adekuat dilakukan dengan eksposure dan retraksi yang adekuat.
Kecendrungan penyempitan progresif daerah pajanan pada kedalaman luka dapat
menyebabkan dekompresi jika tidak diwaspadai sebelumnya. Lebih lanjut, insisi
bebas atau diseksi cepat pada lapangan operasi dapat diperluas dan diperdalam pada
pasien obesitas akan membantu meminimalisasi fenomena tersebut. Lokalisasi tepat
berpotensi menyulitkan pajanan pada pasien obesitas, tetapi persiapan dan
perencanaan perioperatif yang matang akan mengurangi masalah tersebut. Termasuk
pula merencanakan posisi pasien yang kemungkinan akan difoto berulang kali untuk
mendapatkan visualisasi yang adekuat sebelum prosedur drapping dilakukan. Marker
pada kulit tidak bisa dijadikan patokan sebab ada perpindahan yang cukup jauh antara
permukaan kulit dengan lokasi patologi ketika perubahan posisi terjadi. Terakhir,
tidak perlu ragu-ragu memperluas insisi seperlunya untuk memvisualisasi landmark
atau struktur secara langsung, seperti prosesus spinosus C2 atau C7, kosta I, atau
sakrum.
Sistem Retraktor
Pajanan struktur dalam yang baik bergantung pada sistem retraksi yang
adekuat. Berbagai variasi sistem retraksi tersedia akhir-akhir ini dan pemilihannya
hendaklah dilakukan per individu, bergantung pada habitus, pendekatan, dan
preferensi ahli bedahnya. Tabel 98.2 berisi berbagai sistem retraksi yang digunakan
pada institusi penulis. Daftar tersebut tidak dimaksudkan menampilkan
ekslusifitasnya. Penulis meyakini bahwa berbagai metode lain dapat digunakan.
Retraksi sering dimulai sebelum persiapan operasi. Lipatan kulit berlebihan
pada area submandibula dan subklavikula dapat dijauhkan secara hati-hati dari lokasi
insisi. Pannus abdomen dapat diretraksi dengan menggunakan pita untuk
mengoptimasi akses krista iliaka. Sebuah sling bahu atau dua gulungan Kerlix
disimpul pada pergelangan tangan pasien dan memposisikan kaki pada ujung meja
memungkinkan traksi bahu ke arah belakang pada pengambilan foto intaoperatif.
Traksi kontinyu terhadap bahu dengan brace atau pita kini tergantikan oleh berbagai
manuver. Ditekankan pula bahwa traksi kontinyu kurang disukai karena berpotensi
menyebabkan pleksopati brakhial.
Pada banyak kasus kombinasi panjang, lurus dan besar, retraktor Weitlaner
bengkok cenderung memberikan visualisasi yang baik. Meskipun demikian, pada
pasien obesitas dengan kedalaman pajanan bertambah, mungkin lebih baik dengan
membentuk sudut antara ujung retraktor dengan dasar pajanan. Hal ini akan
menyebabkan pegangan agak lebih tinggi dan menjadi penghalang lapangan operasi.
Sistem retraktor side-loading khusus dengan bilah yang lebih panjang misalnya
TrimLine (gambar 98.4) dan Koros Super-Slide II (gambar 98.5), memberikan
retraksi profil rendah. Di regio servikal, sistem side-loading seperti sistem retraktor
TrimLine dengan pin distraksi Caspar memberikan pajanan lapangan operasi yang
sangat baik untuk pendekatan ventral. Bilah terkostumasi yang lebih panjang tersedia
bila pajanan yang lebih dalam membutuhkan jangkauan yang lebih panjang, dan
penggunaan lipatan spons di bawah salah satu bilah dapat menunjang posisi terhadap
jaringan lunak mobile. Pada pendekatan lumbal, penulis sering menggunakan sistem
Koros, dan menggunakan sebuah bilah terkostumasi pada salah satu sisi dengan bilah
lain pada sisi lainnya memfasilitasi pajanan hemilaminar pada pasien berukuran
tubuh besar.
Pada pendekatan ventral dan lateral terhadap vertebra torakal dan lumbal,
penulis menganjurkan penggunaan meja sistem Thompson (gambar 98.6). Awalnya
digunakan oleh ahli bedah umum untuk memperoleh visualisasi adekuat pada
abdomen ventral, sekarang diadaptasi untuk berbagai operasi vertebra. Bilah
Thompson yang lunak tersedia dalam berbagai ukuran memungkinkan retraksi
atraumatik, sangat cocok untuk pendekatan torakolumbal lateral atau ventral atau
servikal ventral. Penulis secara rutin menggunakan retraktor tipe Scoville besar dan
terkostumasi dengan pemanjangan dan pelebaran sudut bilah untuk mengelevasi
muskulatur paraspinal (gambar 98.7), dan tipe retraktor cerebellar yang diperbesar
dan dibengkokkan untuk mempedalam dan menaikkan retraksi tanpa resiko
tergelincir pada luka-luka ekstrim.
Modifikasi Implan dan Teknik Fusi
Laporan anekdotal seputar tingginya potensi kegagalan fiksasi internal dan
fusi pada pasien obesitas tergolong lazim. Akan tetapi, tidak ada bukti klinis
konklusif yang mendukung kekhawatiran tersebut. Alasan spekulasi tersebut
kemungkinan akibat kurangnya data klinis dan studi isu morbiditas terkait
instrumentasi dan fusi spinal pada pasien normal versus pasien obesitas. Meskipun
tidak ada korelasi langsung, inferensi dari data implan load-bearing, misalnya pada
artroplasti total pada panggul, tidak mendukung perbedaan signifikan dalam angka
kegagalan implan dan fusi pasien obesitas.
Dari aspek biomekanikal, pasien obesitas memiliki berbagai perbedaan
konfigurasi dan dinamika tubuh menyangkut desain konstruksi. Variasi morfologi
dan berat badan berkonstribusi secara individual terhadap pola pembebanan spinal,
yang pada pasien obesitas tergolong ekstrim. Pusat gravitasi berpindah pada pasien
obesitas dan baik beban kompresi vertikal maupun beban aksi ventral meningkat.
Perubahan pusat gravitasi ke arah ventral mengakibatkan menjauhnya daya
pengungkit lengan terhadap vertebra, sehingga berpotensi meningkatkan stres pada
skrup pedikel tipe cantilever beam atau konstruksi dorsal multisegmental (gambar
98.9). Oleh karena itu untuk mengkompensasi perubahan morfologi tersebut maka
penggunaan skrup pedikel berdiameter besar dan panjang secara teoretis akan
meningkatkan kapasitas load-bearing dan kekuatan tarikannya, termasuk melindungi
poros dari keadaan bengkok. Fiksasi sakral bikortikal mungkin diperlukan untuk
menutupi efek toggle yang diakibatkan oleh lengan momen yang lebih panjang pada
konstruksi tipe cantilever beam segmen lumbosakral yang pendek. Konstruksi
multisegmental model tangkai dan pengait digunakan bila ditemukan deformitas kifotik,
konstruksi yang lebih panjang dengan titik fiksasi yang lebih banyak diharapkan dapat
meningkatkan kekakuan konstruksi (gambar 98.10). Semua aspek tersebut sebatas
kekhawatiran teoretis seputar tampilan klinis yang tidak menentu dan bervariasi dari
berbagai kasus. Akhirnya, perlu dipertimbangkan potensi keterbatasan berbagai ortosis
pada populasi tersebut. Dengan kata lain konstruksi yang stabil pada pasien kurus
kemungkinan tidak sesuai untuk pasien yang lebih berat.
Tabel 98.2 Sistem Retraksi
REGIO PENDEKATAN SISTEM RETRAKSI YANG DISARANKAN
Servikal Ventral
Dorsal
TrimLine atau retraktor side-loading lainnya,
sistem Caspar, atau retraktor table-mounted
Retraktor cerebellar atau Weitlaner bersudut
lebar, atau Shadow-Line atau retraktor side-
loading lainnya
Torakal Ventral/lateral
Dorsal
Retraktor Weitlaner bersudut lebar, Smith-
Beckman atau retraktor table-mounted
Kombinasi retraktor Weitlaner panjang bersudut
lebar, Smith-Beckman atau retraktor table-
mounted
Lumbal Ventral/lateral
Dorsal
Retraktor weitlaner bersudut lebar, smith-
beckman atau retraktor table-mounted
Retraktor side-loading koros atau scoville,
retraktor cerebellar lebar, atau retraktor Carlens
Teknik Penutupan Luka
Pertimbangan khusus dibutuhkan pada penutupan luka pasien obesitas,
Ditegaskan dalam berbagai literatur bedah bahwa terjadi peningkatan angka
dehisiensi dan infeksi. Miskinnya vaskularisasi jaringan lemak, ketebalan dan
kelemahan lapisannya untuk retensi jahitan, dan ketidakmampuan merespon inokulasi
semunya berkonstribusi terhadap morbiditas terkait perawatan luka. Mempertahankan
konsep minimalisasi ruang mati dengan penutupan multilayer tidak hanya berlaku
untuk pasien obesitas tetapi juga pada pasien lain secara umum. Penggunaan jahitan
interuptus jarak berdekatan dan aproksimasi fasia superfisialis (Campber’s) dalam
lapisan lemak akan menambah kekuatan aproksimasi superfisial pada luka.
Penempatan drain harus dipertimbangkan jika ada potensi ruang mati, penutupan
yang dilakukan secara multilayer mengharuskan drain multilayer juga. Walaupun
demikian, berdasarkan pengalaman penulis, tidak ada perbedaan jelas seputar
munculnya komplikasi pada luka dengan atau tanpa drain. Pada institusi penulis,
jahitan subkutikuler diaplikasikan guna menutup kulit agar tampilannya baik secara
kosmetik; sebaliknya jahit atau staples kulit diganti setelah 7 hari dengan Steri-Strips.
Secara keseluruhan, masih ada kecenderungan tingginya frekuensi drainase
superfisial dan dehisiensi luka pada kelompok tersebut. Tatalaksana situasi tersebut
menurut teknik bedah secara umum adalah dengan pembukaan superfisial,
debridemen, dan pembalutan luka. Setelah luka dibersihkan dengan cara tersebut,
maka penyembuhan melalui granulasi atau penutupan primer atau sekunder akan
terjadi. Pada infeksi subfascial yang lebih dalam, tatalaksananya mengikuti teknik
pembedahan umum seperti pada pasien non obesitas. Infeksi yang lebih dalam
membutuhkan debridemen dan irigasi secara operatif, diikuti reaproksimasi fascia
dan drainase bertingkat, atau pembalutan suprafascial dengan penyembuhan oleh
granulasi atau penutupan luka primer. Bila debridemen pada tepi dan sisi luka
dibutuhkan, maka penjahitan luas dan lebih dalam kemungkinan membantu
reaproksimasi pada beberapa kasus.
Secara umum, manajemen bedah agresif sangat penting dilakukan ketika
infeksi teridentifikasi. Oleh karena penetrasi antibiotik sangat lemah pada jaringan
lemak, hanya jaringan superfisial yang harus diterapi dengan debridemen lokal dan
antibiotik. Infeksi yang lebih dalam membutuhkan debridmen dan irigasi
intraoperatif, diikuti terapi antibiotik yang lebih lama. Benda asing dan berbagai
material misalnya gelfoam, benang, dan fragmen tulang yang lepas harus dibersihkan.
Oleh karena itu, instrumentasi implan spinal berbahan solid membutuhkan
pencabutan hanya pada kasus infeksi luka yang dalam yang resisten terhadap
debridemen dan drainase agresif.
Manajemen Pasca operasi
Perawatan pasca operasi bertujuan menciptakan periode penyembuhan
optimal, dan manajemen pada pasien obesitas tidak berbeda secara signifikan
dibanding populasi dengan berat badan normal. Sekalipun demikian, tetap ada
berbagai faktor unik yang harus diperhatikan pada pasien obesitas. Komplikasi paru
sering dijumpai pada kelompok tersebut, dan hipoksemia ringan pada perioperatif
mungkin saja menjadi resiko signifikan yang membutuhkan pengawasan pasca
operasi. Pada pasien obesitas dengan berbagai kondisi medis tambahan
direkomendasikan menjalani observasi di ICU selama periode pasca operasi dini agar
pengawasan ketat bisa dilakukan khususnya terhadap status pulmoner dan
kardiovaskulernya.
Penggunaan toilet pulmoner secara agresif sangat esensial dalam mencegah
atelektasis dan pneumonia pascaoperasi. Mobilisasi dini sering dilakukan terhadap
populasi non obesitas untuk menurunkan resiko trombosis vena dalam, pneumonia,
dan meningkatkan fungsinalitas pasien. Elevasi tempat tidur bagian kepala, spirometri
insentif, dan trapeze bar, termasuk ambulasi dini dianjurkan guna memfasilitasi
penyembuhan dan fungsi paru baik pada pasien obesitas maupun non obesitas.
Meskipun demikian, pasein obesitas dengan arteriovenosus (AV) pulmoner derajat
berat, shunting pulmoner Z, yang mana mobilisasi dini dan menaikkan postur dapat
mengakibatkan hipoksi dibanding posisi telentang. Atas alasan inilah saturasi oksigen
harus diawasi dengan oksimeter pulsa. Bila terjadi hipoksia, terlebih dahulu
dilakukan koreksi sebelum ambulasi dimulai.
Isu lain berkaitan dengan kebutuhan analgesia pada populasi obesitas.
Beberapa studi memperdebatkan jumlah medikasi yang dibutuhkan, tetapi secara
umum massa tubuh lipofilik membuthkan titrasi narkose sesuai dengan berat badan.
Selain itu, level hemoglobin pasca operasi harus dijaga dalam batas normal untuk
mencegah anemia, kardiak stres tambahan, dan hipoksia jaringan luka. Level glukosa
darah juga harus diawasi, karena stres akibat tindakan bedah atau penggunaan
kortikosteroid menyebabkan hiperglikemia, sehingga resiko infeksi dan
penyembuhan luka yang buruk akan terjadi. Pentingnya profilaksis tromboemboli
juga telah didiskusikan.
Akhirnya, ahli bedah harus waspada terhadap berbagai kemungkinan infeksi
luka operasi yang akan sulit ditangani pada pasien obesitas. Tanda dan gejala infeksi
luka pada populasi obesitas tidak jauh berbeda dengan mereka yang tidak mengalami
obesitas. Temuan fisik berupa eritema lokal dan pembengkakan, termasuk
leukositosis dan peningkatan level sedimentasi eritrosit secara persisten atau C-
reactive protein merupakan petunjuk penting.
Kesimpulan
Obesitas itu sendiri bukanlah kontraindikasi operasi spinal elektif, tetapi akan
menjadi tantangan dan kesulitan sendiri bagi ahli bedahnya. Pengenalan komorbid
terkait obesitas termasuk manajemen operasi yang khusus, sangat dibutuhkan untuk
optimalisasi penanganan pasien pada populasi tersebut. Sebagai tambahan, guna
mengurangi resiko pembedahan dan kebutuhan peralatan, maka program penurunan
berat badan dan penghentian merokok perlu pula dilakukan untuk meningkatkan
keluaran klinis dan menurunkan resiko operasi.
Bagian 102
MANFAAT INTERVENSI BEDAH PADA TRAUMA SPINAL
Di Amerika Serikat, dilaporkan kejadian trauma medulla spinalis sebanyak
50.000 kasus baru per tahun. Perkiraan biaya perawatan pada pasein demikian sekitar
4 juta dollar per individu per tahun. Kondisi yang sedemikian mengejutkan tersebut
menggambarkan betapa cedera demikian membutuhkan intervensi bedah yang lebih
agresif dan kapan prosedur tersebut harus dilakukan. Perkembangan ilmu anestesi,
teknik pembedahan, dan peralatan bedah spinal, memungkinkan banyak dokter bedah
lebih percaya diri dalam menangani kasus-kasus trauma spinalis. Penurunan masa
perawatan, rehabilitasi yang lebih cepat, dan sosialisasi yang lebih cepat merupakan
manfaat jelas intervensi bedah.
Dengan banyaknya kasus trauma spinalis, maka peran pembedahan yang tepat
menjadi sulit didefinisikan secara global untuk seluruh columna vertebra. Meskipun
demikian, ada beberapa tujuan pembedahan yang spesifik. Meliputi: 1) menjaga
susunan dan stabilitas spinal, 2) preservasi atau memperbaiki fungsi neurologis, 3)
mengembalikan kapasitas fungsional pasien sesegera dan seaman mungkin.
Keputusan tatalaksana pembedahan diambil berdasarkan pertimbangan resiko dan
potensi pencapaian tujuan yang lebih menguntungkan dibanding strategi nonoperatif.
Keputusan tatalaksana bedah atau non bedah pada pasien trauma spinal
seringkali merupakan pilihan subjektif tanpa memandang cedera neurologis atau
biomekanik saja. Beberapa klinisi berpendapat bahwa intervensi bedah hanya
dilakukan pada kondisi perburukan neurologis progresif atau instabilitas vertebra
yang tampak jelas (gambar 102.1). Mayoritas ahli tulang belakang
mempertimbangkan faktor lain terkait luaran fungsional jangka panjang pada
kebutuhan intervensi bedah. Hal tersebut meliputi: 1) percepatan proses rehabilitasi,
penurunan biaya dan morbiditas pasien, 2) pencegahan deformitas spinal, yang
bermanifestasi sebagai nyeri progresif, penurunan fungsi, dan perburukan neurologis
progresif, 3) penurunan komplikasi terkait tirah baring lama/imobilisasi khususnya
pada pasisen dengan cedera multipel, dan terakhit 4) peningkatan penyembuhan
neurologis misalnya fungsi medulla spinalis atau akar saraf pada keadaan
terkompresi. Peningkatan pemahaman ahli bedah terhadap mekanisme gaya primer
dan sekunder baik pada vertebra maupun pada medulla spinalis di dalamnya,
perbaikan prosedur bedah, pendekatan dan instrumentasi serta pemahaman yang lebih
baik seputar anatomi dan biomekanisme kolumna spinalis menyebabkan perbaikan
keluaran pembedahan spinal pada beberapa dekade terakhir.
Stabilitas Spinal
Stabilitas spinal merupakan istilah yang sepenuhnya belum dapat dipahami
dengan baik oleh kebanyakan pihak yang terlibat dalam penanganan pasien trauma
spinal. Kolumna spinalis menunjang sistem muskuloskeletal dan melindungi medulla
spinalis serta kauda equina. Sebuah vertebra yang tidak stabil berkonstribusi terhadap
gangguan muskuler dan cedera neurologik bahkan dapat mempengaruhi status
fungsional pasien. Oleh karena itu, pembedahan dengan alasan instabilitas spinal
bertujuan memperbaiki integritas kompleks osteoligamen dan lebih lanjut mencegah
hilangnya alignment spinal dan gejala sisanya: termasuk nyeri, deformitas, dan cedera
neurologis progresif.
Beberapa peneliti mengusulkan sistem klasifikasi mekanistik yang didesain
untuk menilai prognosis trauma spinal sesuai keparahannya saat datang pertama kali.
Dua dan tiga teori stabilitas kolumna dan seterusnya, masing-masing dengan usulan
berbeda. Sangat jelas bahwa integritas baik tulang dan ligamentum penyusun
kolumna spinalis berkonstribusi secara signifikan terhadap stabilitas spinal. Integritas
jaringan lunak sekitar kolumna spinalis (misalnya ligamentum longitudinal posterior,
kapsul facet posterior, ligamentum interspinosus) sangat penting artinya pada pasien
dewasa sebab menentukan perlu tidaknya tindakan pembedahan. Di semua area
spinal, disrupsi komplit jaringan lunak struktur ligamentum penyokong
mengakibatkan deformitas spinal yang progresif dan perburukan neurologis. Hal ini
terlihat jelas pada cedera yang bersifat katastrofik seperti disosiasi oksipitoservikal,
dislokasi facet bilateral, distraksi komplit diskus intervertebralis, dan kegagalan
ligamentus murni pada ligamnetum transversalis. Tidak ada argumen yang
mendukung bahwa intervensi bedah dibutuhkan pada instabilitas spinal yang tampak
nyata.
Area abu-abu dalam konsep stabilitas spinal dan potensi perburukan progresif
alignment spinal contohnya pada disrupsi ligamen parsial, kerusakan anatomi tulang
tanpa kerusakan signifikan pada alignment sagital atau koronal. (gambar 102.2).
Sistem klasifikasi akurat menunjukkan bahwa sejarah tindakan imobilisasi
tetapi pola fraktur distabilisasi secara non bedah sangat jarang. Gertzbein menyurvei
Scoliosis Research Society pada kelompok 1019 pasien ditemukan bahwa deformitas
torakolumbal dengan kifosis lebih dari 30° berisiko mengalami nyeri kronis dan
disabilitas. Sebuah studi pada fraktur akibat ledakan yang membutuhkan intervensi
bedah, menghasilkan klasifikasi anatomis rumit berdasarkan pembagian beban yang
mengkuantifikasi potensi deformitas selanjutnya ketika dilakukan pendekatan
posterior. Sistem tersebut menilai 1) jumlah vertebra kominutif, 2) aposisi fragmen
terhadap lokasi awal, dan 3) jumlah kifosis traumatik terkoreksi. Sistem grading
numerik tersebut nilai minimumnya 3 dan maksimum 9. Skor kurang atau sama
dengan 6 berarti membutuhkan sokongan anterior tambahan untuk mencegah
kegagalan terapi.
Ada berbagai masalah dengan strategi non operatif untuk menangani
instabilitas spinal dalam kasus trauma. Halo vest pada regio servikal menunjukkan
efek yang tidak diprediksi sebelumnya dalam menjaga alignment regio servikal
bagian atas dan hubungan servikotorakal. Anderson dkk meneliti secara prospektif 42
pasien dengan trauma spinalis yang diimobilisasi dengan Halo vest yang secara
radiografik tidak menunjukkan pergerakan intervertebra baik dalam posisi supine
maupun tegak. Lebih lanjut, perubahan postur tubuh terbukti menimbulkan gaya
kompresi dan distraksi pada tingkat cedera saat memakai Halo vest. Traksi skeletal
merupakan metode tidak praktis serta restriktif dalam menstabilkan spinal secara
tidak langsung. Mayoritas pasien tidak tahan terhadap tirah baring yang terlampau
lama akibat perawatan traksi, disamping morbiditas tulang dan jaringan lunak terkait
penempatan pin. Selain itu, McGuire dkk menunjukkan perawatan standar seperti log
roll dan rotasi tempat tidur tidak adekuat mencegah pergerakan pada segmen spinal
instabil yang cedera. Mirza dkk juga menunjukkan bahwa stabilisasi bedah lebih
dapat diandalkan efeknya pada pengembalian kapasitas fungsional pasien yang
diterapi dengan reduksi spinal tertutup dibanding traksi extended axial-tong dan
imobilisasi dengan tempat tidur rotasional. Efektifitas ortosis torakolumbal dalam
menjaga alignment spinal juga masih kontroversial. Beberapa investigator
menemukan manfaat alat tersebut secara primer terhadap modifikasi perilaku dan
tidak pada imobilisasi skeletal.
Kompleksitas biomekanis kolumna spinalis, akibat regionalisasi alamiah,
menghadirkan tantangan unik dalam terapi bedah dan non bedah pada pasien trauma.
Perbedaan properti biomekanisnya yang jelas pada berbagai area memainkan peranan
penting dalam intervensi bedah.
Vertebra Servikal
Keluasan cakupan gerak regio servikal ditentukan oleh kompleks ligamentum
dan anatomi tulangnya. Vertebra servikal, karena keunikan anatomisnya, sering
dibedakan atas dua daerah, atas (oksiput hingga C2) dan bawah (C3-T1). Vertebra
servikalis bagian atas memiliki mobilitas yang tinggi dengan mayoritas fleksi pada
bidang sagital dan ekstensi terjadi antara oksiput dan atlas serta rotasi pada hubungan
atlantoaksial. Struktur tulang mendukung sedikit stabilitas pada regio tersebut dan
ligamentum yang melekat memainkan peranan penting dalam stabilitas spinal.
Vertebra servikalis bagian bawah berbentuk lordosis dan secara alamiah lebih
stabil dibanding vertebra bagian atasnya. Celah antara elemen neural pada daerah ini
cenderung lebih sempit ketimbang bagian atas. Oleh karena itu, kondisi displacement
mendadak arah sagital memungkinkan defisit neurologis yang lebih parah. Hanya ada
dua pertimbangan intervensi bedah segera pada kasus trauma vertebra servikal.
Meliputi: gangguan neurologis inkomplit dengan perburukan klinis terkait dislokasi
facet yang tidak dapat direduksi dengan traksi, yang kedua defisit neurologis
inkomplit dengan kehilangan fungsi neurologis progresif disertai evidens foto yang
menunjukkan cedera pada medulla spinalis. Tanpa dua kriteria klinis tersebut, maka
tidak ada perbaikan jangka panjang yang signifikan sekalipun operasi dilakukan
segera. (gamabr 102.3). Cedera spinalis yang tampak secara kasat mata misalnya
dislokasi oksiput-C1, distraksi diskus intervertebralis, atau dislokasi facet bilateral,
juga membutuhkan intervensi bedah dalam rangka mencegah cedera pada medulla
spinalis dan potensi perburukan neurologis. Waktu pelaksanaan operasi pada skenario
klinis tersebut sangat individual.
Vertebra Torakalis
Vertebra torakalis (T2-10) normalnya beralignment kifotik dan umumnya
sangat stabil akibat artikulasi kosta, sternum, dan klavikula. Penilaian klinis dan
penanganan fraktur yang terjadi pada vertebra torakalis sangat dipengaruhi oleh tiga
faktor : 1) stabillitas anatomis jaringan penyokong struktur tulang, 2) kifosis regional
pada vertebra torakalis menunjukkan integritas osteoligementous, 3) adanya
kemungkinan bahaya pada kanalis spinalis dan resultan profil neurologik pasien.
Trauma berenergi tinggi sering menyebabkan destabilisasi pada regio vertebra ini,
dan oleh karena itu intervensi bedah sering berguna dalam mengembalikan
stabilitasnya.
Kebanyakan trauma pada vertebra torakalis diakibatkan oleh aksial loading
disertai fleksi. Hilangnya aspek anterior corpus vertebra torakalis kemungkinan
terjadi bersama disrupsi kolumna posterior dan media. Indikasi operasi sering
dilakukan pada kasus hilangnya lebih dari 50% aspek anterior dengan gangguan
integritas yang nyata pada struktur pendukung ligamentum posterior, fraktur dislokasi
atau distraksi ayng terjadi pada minimal 3 vertebra. Adanya defisit neurologis
inkomplit merupakan indikasi relatif untuk dekompresi dan stabillisasi bedah.
Penanganan nonoperatif pada fraktur vertebra thorakalis terbukti buruk. Intervensi
bedah pada kondisi demikian akan menjaga alignment spinal dan potensi peningkatan
luaran neuologis pada pasien dengan defisit neurologis inkomplit.
Vertebra Lumbalis
Daerah transisi pada sendi torakolumbar ditandai dengan perubahan kekakuan
dari vertebra torakalis menjadi vertebra yang lebih mobile. Zona transisi tersebut
melintasi T10 hingga L2 berkaitan dengan hilangnya atrikulasio kosta juga perubahan
orientasi sendi facet. Zona anatomi tersebut menyumbangkan sekitar 50% fraktur
vertebra, dan 40% trauma medulla spinalis.
Sekali lagi, intervensi operatif untuk cedera torakolumbar spesifik termasuk
derajat keparahan deformitas spinal dan kompleks osteoligamentous. Pada luka
ledakan, yang menyebabkan cedera pada kolumna anterior dan media, dua faktor
yang menentukan kebutuhan intervensi bedah. Meliputi: status neurologis pasien dan
status kompleks ligamentum posterior. Pecahan vertebra, menunjukkan kemampuan
kolumna anterior dan media untuk menahan beban aksial, merupakan indikasi relatif
pembedahan. Adanya defisit neurologis inkomplit dengan sisa kanalis atau medulla
spinalis yang aman juga merupakan indikasi relatif sebab pengembalian defisit parsial
atau inkomplit sudah bisa diprediksi (gambar 102.4).
Telah disebutkan sebelumnya bahwa tegangan struktur posterior tidaklah
efektif dalam mencegah kecenderungan kifosis, realignment, dan stabilisasi bedah
seringkali berguna dalam mencegah keterlambatan yang menyebabkan instabilitas
dan deformitas. Cedera fleksi distraksi mulai dari ligamentum murni hingga cedera
tulang. Cedera ligamentum dan osteoligamentum akan mengalami penyembuhan
yang lebih baik dengan terapi nonoperatif. Akhirnya, fraktur-dislokasi dan cedera tiga
kulomna akan menimbulkan disrupsi pada semua vertebra yang terlibat. Akibat
ketidakstabilan tersebut, maka intervensi bedah hampir selalu diperlukan.
Fungsi Neurologis
Telah menjadi kesepakatan umum bahwa pasien yang mengalami defisit
neurologis progresif dalam kondisi kompresi neural harus segera diintervensi bedah.
Pembedahan pada kondisi demikian menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap
perbaikan neurologis dan meminimalkan keparahan trauma medulla spinalis kaskade
sekunder. Faktanya, Kiwersky dan Weiss menemukan penurunan mortalitas pada
pasien dengan trauma medulla spinali komplit yang menjalani dekompresi dan
stabilisasi. Pembedahan terhadap lesi komplit menunjukkan akselerasi perbaikan
neurologis (gambar 102.5). Anderson dan Bohlman mengevaluasi efektifitas
dekompresi anterior dan arthrodesis vertebra servikal pada kasus kuadriplegia.
Sejumlah pasien yang menjalani operasi tercatat pula mengalami penyembuhan 1
hingga 2 level saraf dalam 2 hingga 3 minggu pasca pembedahan.
Waktu pembedahan juga mempengaruhi potensi penyembuhan neurologis
setelah trauma medulla spinalis. Delemarter dkk menggunakan model hewan untuk
menentukan apakah durasi kompresi dan saat dekompresi pada trauma medulla
spinalis mempengaruhi penyembuhan neurologis. Beliau menemukan bahwa
dekompresi dini, dalam 1 jam setelah trauma, merupakan saat yang paling potensial
untuk mncapai penyembuhan neurologis dan dekompresi yang dilakukan setelah
lebih dari 6 jam kompresi tidak memungkinkan lagi penyembuhan neurologis yang
esensial. Studi tersebut menemukan bahwa akan ada perbaikan neurologis jika
intervensi bedah dilakukan berdsarkan waktu. Hal ini barangkali terjadi karena
mekanisme primer atau efek trauma secara langsung bukanlah faktor yang semata-
mata bertanggung jawab terhadap patologi dan temuan klinis pasien trauma medulla
spinalis.
Mirza dkk menginvestigasi waktu optimal intervensi bedah pada pasien
dengan trauma servikal akut dan defisit neurologis. Sekelompok pasien menjalani
operasi dalam 72 jam sedangkan kelompok lain ditangani dengan reduksi tertutup
segera, lalu observasi neurologis selama 10 hingga 14 hari sebelum stabilisasi bedah.
Statistik secara signifikan menunjukkan penyembuhan neurologis pada pasien yang
diterapi dengan intervensi bedah secara dini (dalam 72 jam setelah trauma). Marshall
dkk memperkirakan bahwa respon neurologis trauma medula spinalis menunjukkan
keparahan instabilitas biomekanik dan kurang berkaitan dengan waktu pembedahan.
Sebagai contoh, stabilisasi bedah, selain membentuk kembali stabilitas spinal, juga
membantu mencegah cedera neurologis selanjutnya. Waktu pembedahan tidak
menunjukkan efek signifikan terhadap penyembuhan neurologis pada berbagai studi
prospektif termasuk studi yang melibatkan hewan. Meskipun demikian, stabilisasi
bedah secara dini terbukti menurunkan frekuensi perawatan di rumah sakit,
kebutuhan ventilasi, dan rehabilitasi. Dalam sebuah eksperimen, hewan dengan
trauma medulla spinalis yang mendapat intervensi bedah dini (kuran dari 6 jam) akan
mengalami perbaikan neurologis dibanding yang hanya memperoleh terapi
metilprednisolon.
Stabilisasi bedah, mencegah gerakan berlebihan, telah menunjukkan
peningkatan angka penyembuhan jaringan lunak pada korban trauma appendikuler
multipel. Franklin dkk mendemonstrasikan bahwa stabilisasi skeletal pada fraktur
appendikuler terkait dengan penyembuhan jaringan lunak dan mobilisasi dini.
Terdapat hubungan yang sangat erat antara status neurologis dengan instabilitas
spinal. Oleh karena itu, gerakan berlebihan atau kompresi berulang atau distraksi
pada level medulla spinalis yang cedera dapat menggangu penyembuhan neurologis
dan kemungkinan mengakibatkan cedera lebih lanjut. Oleh karena itu, stabilisasi pada
trauma medulla spinalis memberikan proteksi tambahan dari dari cedera lebih lanjut
sehingga memfasilitasi penyembuhan neurologis. Hal tersebut didukung oleh
penelitian Donovan dkk yang menginvestigasi 61 pasien yang mengalami trauma
medulla spinalis pars servikalis. Dijelaskan pula bahwa penyembuhan neurologis
berkorelasi erat dengan alignment spinal yang adekuat, yang diperoleh dengan
intervensi bedah.
Kaskade Primer dan Sekunder Trauma Medulla Spinalis
Kaskade primer atau cedera awal akibat trauma medulla spinalis melibatkan
kontusio, laserasi, efek blast, iskemik, atau kompresi transien. Cedera tersebut
meliputi kemampuan adaptasi medulla spinalis dan kolumna vertebralis
mengabsorbsi dan mendisipasi dampak energi sehingga terjadi kegagalan fungsi
elemen neural. Kaskade primer ini melibatkan mekanisme biokimiawi kompleks yang
nantinya menyebabkan perdarahan, edema, dan iskemi sebagai elemen kaskade
sekunder. Kaskade sekunder tersebut mempengaruhi potensi penyembuhan
neurologis pasien. Banyak peneliti meyakini terdapat jendela peluang berupa
manipulasi eksternal secara farmakologis atau intervensi bedah yang akan
mempengaruhi reaksi biokimiawinya.
Manfaat tindakan bedah dan penentuan waktunya belum terjawab tuntas sebab
evidens yang memadai masih kurang terkait evaluasi tindakan bedah pada dalam
setting klinik. Wagner dkk mengevaluasi peranan intervensi bedah terhadap luaran
neurologis setelah trauma medulla spinalis. Pada follow up, 53% pasien yang
mengalami pembedahan mampu berjalan sendiri dibanding 23% pasien yang
ditangani secara konservatif. Meskipun demikian, ketika pasien distratifikasi
berdasarkan level neurologisnya tidak ada perbedaan signifikan antara dua kelompok
studi. Tindakan bedah, memang bermanfaat dalam kompresi stasis tanpa memandang
durasinya dari kejadian trauma. Bohlman dan Anderson mengevaluasi 51 pasien
dengan kehilangan sensorimotor inkomplit dibawah level cedera yang mengizinkan
prosedur dekompresi dan stabilisasi yang terjadi bersamaan dengan fraktur atau
dislokasi servikal. Mereka menemukan bahwa 50% pasien mengalami peningkatan
status fungsional yang kemungkinan akan mengalami keterlambatan penyembuhan
jika intervensi bedah ditunda-tunda.
Komplikasi Operatif dan Nonoperatif
Salah satu alasan historis mengapa tindakan bedah tidak semuanya dilakukan
pada pasien dengan trauma medulla spinalis adalah keyakinan bahwa pembedahan
menimbulkan berbagai komplikasi dan memperlama masa perawatan pada pasien
yang kurang beruntung tersebut. Meskipun demikian, perkembangan teknologi
misalnya teknik anestesi, manajemen cairan, fiksasi internal, dan morbiditas terkait
tindakan bedah telah diminimalkan sejak beberapa waktu silam. Pada tahun 1983,
Whitehill dan Schmidt menunjukkan bahwa fusi posterior tergolong aman dan efektif
dibanding penatalaksanaan lainnya terkait instabilitas servikal pada 22 pasien
kuadripelgik. Wilmot dkk dalam sebuah studi retrospektif terhadap 106 pasien
tetraplegia yang masuk ke rumah sakit Santa Clara Medical Center dari bulan agustus
hingga september 1983, ditemukan bahwa komplikasi pasien yang menjalani
pembedahan tidak lebih besar dibanding pasien yang mendapat terapi nonoperatif.
Temuan serupa oleh Waters dkk dan Mirza et al dalam hal potensi
perkembangan infeksi paru, emboli paru, atau ulkus dekubitus. Faktanya, Kostuik
dkk menemukan bahwa morbiditas akibat komplikasi respirasi, termasuk durasi rawat
inap ICU, menurun secara signifikan jika vertebra tidak stabil dioperasi dalam
pertimbangan waktu.
Kesimpulan
Peranan intervensi bedah dalam trauma spinal masih merupakan isu yang
rumit sering diperdebatkan berdasarkan pengalaman, mitos, dan evidens base.
Pembedahan telanh menunjukkan peranan baik dalam setting trauma. Dianjurkan
stabilitas segera terhadap vertebra yang tidak stabil secara kasat mata. Dalam setting
trauma medulla spinalis, pembedahan dapat mengurangi lama perawatan fase akut, di
ruang intensif, dan mengakselerasi rehabilitasi. Pembedahan juga efektif dalam
mencegah deformitas spinal onset lanjut terutama bila instabilitas berlangsung
tersembunyi. Dengan demikian, mayoritas trauma medulla spinalis dengan derajat
instabilitas yang ambigu atau tidak jelas. Hanya ada sebuah studi prospektif yang
mampu menjawab dengan benar manfaat intervensi bedah pada pasien dengan pola
fraktur semacam itu. Meskipun demikian, survei telah membuktikan bahwa
peningkatan penyembuhan neurologis yang tertunda pada kompresi medulla spinalis
kronis, dan peranannya dalam intervensi dini sebatas dugaan sampai terbukti benar.