33
POSITIVISME: KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGANNYA Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Disusun Oleh: 1. Faiza Tiara Hapsari, S.H. 2. Fitria Yudhiana, S.H. 3. Ghandis Clarinda Tiara Hanum, S.H. 4. Ika Edriantika, S.H. 5. Jusi Raninora Gussuthaw, S.H. MAGISTER ILMU HUKUM HET – HAKI UNIVERSITAS DIPONEGORO

Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

POSITIVISME: KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGANNYA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Disusun Oleh:

1. Faiza Tiara Hapsari, S.H.

2. Fitria Yudhiana, S.H.

3. Ghandis Clarinda Tiara Hanum, S.H.

4. Ika Edriantika, S.H.

5. Jusi Raninora Gussuthaw, S.H.

MAGISTER ILMU HUKUM HET – HAKI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2011

Page 2: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Filsafat adalah pengetahuan tentang cara berpikir radikal dan universal,

yaitu model berpikir yang mempertanyakan sesuatu sampai tuntas. Cara kerja

filsafat tiada lain merupakan cara kerja berpikir manusia dalam memenuhi

hasratnya untuk mengetahui segala sesuatu dan menganalisis segala permasalahan

yang dialami dan yang akan dialami baik dalam kehidupannya di dunia bahkan

dalam menembus batas metafisika setelah kehidupannya kelak.1

Filsafat adalah induk dari ilmu. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat

dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat

keberadaan filsafat. Dengan mengetahui filsafat ilmu berarti akan memahami

seluk beluk ilmu yang paling dasar sehingga dapat diupayakan kemungkinan

pengembangannya serta mengerti keterjalinan antar ilmu yang satu dengan

lainnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang

menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini

berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang

tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja,

yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi

sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural,

metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran

ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah

dapat dipertanggungjawabkan.

Secara historis perkembangan filsafat dapat dilihat dari pembagian

zamannya, yaitu Filsafat Zaman Kuno, Filsafat Abad Pertengahan, Filsafat Zaman

Modern, dan Filsafat Posmodernisme. Dari keempat pembagian zaman tersebut,

kami akan membahas mengenai paradigma ilmu pada zaman modern.

Periode sejarah yang lazim disebut “modern” mempunyai banyak

perbedaan pandangan tentang jiwa dengan periode pertengahan. Ada dua hal

1 Maman Rachman,dkk Filsafat Ilmu 2006 UPT MKU Universitas Negeri Semarang:Semarang hal 129

Page 3: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

penting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas gereja dan

menguatnya otoritas sains.2 Ciri-ciri yang menonjol yang terjadi pada zaman

modern ini adalah penolakan terhadap otoritas gereja dan sebaliknya penerimaan

besar-besaran terhadap otoritas sains.

Otoritas sains yang oleh kebanyakan filosof dipandang sebagai epos

modern, sangat berbeda dengan otoritas gereja, karena otoritas sains bersifat

intelektual, bukan politis. Tidak ada hukuman bagi yang menolak otoritas sains,

juga tidak ada nasihat-nasihat bijak yang membujuk mereka untuk menerimanya.

Otoritas sains diakui semata-mata karena daya tarik intrisiknya bagi akal. Otoritas

sains hanya mengungkapkan segala sesuatu yang pada saat itu telah dipastikan

kebenarannya secara ilmiah. Hal ini sangat berbeda dengan otoritas gereja yang

berupa sekumpulan dogma Katolik lengkap dari sejarah masa lalu dan masa

mendatang yang ketentuan-ketentuannya berupa kepastian absolut dan tidak bisa

diubah selamanya.

Zaman modern dengan otoritas sainsnya membukakan mata beberapa

orang untuk tidak terpuruk dalam “kebodohan” yang tunduk pada dogma Katolik

yang absolut. Zaman modern diawali dengan Renaissance yang berarti kelahiran

kembali. Lahir kembali disini untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik

Yunani-Romawi Kuno yang telah lama “mati” karena otoritas gereja. Yang

selanjutnya pada zaman modern ini mulai muncul kembali beberapa aliran

pemikiran, seperti Rasionalisme, Empirisme, Realisme, Positivisme, Romantisme

dan lain lain.

Pada makalah ini kelompok kami hanya akan membahas mengenai aliran

pemikiran positivisme. Pertama, kami akan mencoba mencari tahu dan

menjabarkan mengenai latar belakang aliran pemikiran postivisme meliputi kapan

berlangsungnya , dimana dan siapa pencetusnya serta hal-hal apa yang

mempengaruhi pemikiran tentang positivisme. Kedua, kami akan mencoba

menggali mengenai perkembangan aliran pemikiran positivisme pada zaman

modern, di dalamnya meliputi klasifikasi aliran postivisme dan beberapa kritik

2 Bertrand Russel Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk. 2002 (Pustaka Pelajar : Yogyakarta) hal 645

Page 4: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

tentang aliran positivisme serta aliran ilmu lain yang lahir dari kritik terhadap

paradigma positivisme.

B. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN

Dari latar belakang diatas kelompok kami mencoba mengidentifikasikan

permasalahan mengenai paradigma positivisme:

1. Apa itu paradigma positivisme dan hal apa yang melatarbelakangi lahirnya

paradigma positivisme ini ?

2. Bagaimanakah perkembangan dan kritik terhadap paradigma positivisme

pada zaman modern ?

Page 5: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Paradigma Positivisme

Sejarah merupakan konstruksi dari bangunan yang disusun oleh manusia

di masa lampau. Sejarah bekerja atas dokumen, dan tidak ada dokumen berarti

tidak ada sejarah. Begitulah realita historis sejarah. Oleh karena itu, tidak setiap

peristiwa di masa lampau bisa dikatakan sebagai sejarah dalam artian yang

sesungguhnya, tetapi ketersediaan dokumenlah yang menjadikan sejarah sebagai

sebuah kejadian (actually event) di masa silam. Teori digunakan sebagai key for

understanging atau kunci untuk mengerti. Dalam sejarah, kajian mengenai teori

dan metodologi adalah wajib  hukumnya dan suatu keharusan yang tidak bisa

dihindari. Setiap teori  yang digunakan oleh seorang sejarawan akan

memformulasikan dirinya menjadi sebuah approachment atau pendekatan.

Optimalisasi pendekatan inilah yang harus dikejar dan dikuasai oleh seorang

sejarawan.3

Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi

problem aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada

gilirannya telah melahirkan aliran Kritisisme sebagai alternatif dan solusi terhadap

pertikaian dua aliran besar tersebut. Di sinilah arti penting dari kemunculan

Positivisme yang merupakan representasi jawaban berikutnya terhadap problem-

problem mendasar tersebut.

Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir

pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini diletakkan oleh Henry de Saint Simon.

Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab

akibat hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.4Positivisme sendiri

kemudian dikembangkan pertama kali oleh Auguste Comte (1798-1857

M).Tokoh ini dikenal sebagai pencetus Hukum Tiga Tahap (Law of Three Stages).

3Dian Kurnia, Aliran Positivisme dalam Teori Sejarah, <file:///F:/My%20Project/Bahan%20Kuliah%20S2/Filsafat%20Ilmu/Perkembangan%20Positivisme/Bahan%20Internet/Aliran%20Positivisme%20Dalam%20Teori%20Sejarah%20%C2%AB%20be%20a%20Professional%20Writer%20%E2%84%A2.htm>, diakses pada bulan September Tahun 2011

4Ibid.

Page 6: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

Pemikiran Auguste Comte ini diklaim sebagai “jembatan” antara Rasionalisme

Descartes dan Empirisme Bacon.5

Dalam Hukum Tiga Tahap, Comte menyebutkan bahwa manusia

berkembang ke arah kemajuan, tidak saja pada proses sejarah kehidupannya,

melainkan juga pada proses perkembangan jiwanya secara individual.6

Hukum Tiga Tahap terdiri dari :7

Pertama, zaman teologis (fiktif), zaman di mana manusia percaya bahwa

di belakang gejala-gejala alam, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur

fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Zaman teologis ini dibagi lagi atas tiga

periode. Periode pertama di mana benda-benda dianggap berjiwa (animisme).

Periode kedua manusia percaya pada dewa-dewa (politesime). Periode ketiga

manusia percaya pada satu Allah sebagai Yang Maha Kuasa (monoteisme).

Kedua, zaman metafisis (abstrak), kekuatan yang adikodrati diganti

dengan ketentuan-ketentuan abstrak.

Ketiga, zaman positif (riil), yaitu ketika orang tidak lagi berusaha

mencapai pengetahuan tentang yang mutlak, baik teologis maupun metafisis.

Sekarang orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang

didapatinya dengan pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan

tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta

yang umum saja.

Hukum tiga tahap ini tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani

seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap perseorangan. Umpamanya

sebagai kanak-kanak adalah seorang teolog, sebagai pemuda menjadi metafisis,

dan sebagai orang dewasa ia adalah seorang fisikus.

Positif adalah kata yang dipakai dalam bahasa Perancis untuk

pengalaman. Adapun yang menjadi  titik tolak dari pemikiran positivis ini adalah,

apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika

ditolaknya. Aliran ini meyakini bahwa pengetahuan manusia bersifat objektif,

yang diperoleh melalui penyelidikan empirik dan rasional.

5 Koento Wibisono Siswomihardjo dalam Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: CV.Utomo, 2006), hlm. 84.

6Ibid, hlm. 86.7 Ihsan, Drs. H.A. Fuad. Filsafat Ilmu. 2010. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 184.

Page 7: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak

seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta

diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan

semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.8

Sedangkan menurut Comte pengertian positif terdiri dari beberapa

kemungkinan : 9

1. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian

positif pertama-tama diartikan sebagai sesuatu yang nyata.

2. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bermanfaat, maka pengertian

positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat.

3. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian

positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti.

4. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur, maka pengertian positif

diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat.

5. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif, maka pengertian positif

dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafatnya, yang

selalu menuju ke arah penataan atau penertiban.

Comte berpendapat bahwa indra itu amat penting dalam

memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan

diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indra akan dapat dikoreksi lewat

eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas

yang diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat

dengan kiloan, dan sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas,

matahari panas, kopi panas ketika panas. Kita juga tidak dapat mengatakan

panas sekali, panas, tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Di

sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.

Filsafat Positivisme mengajarkan beberapan ajaran, yaitu :10

8 Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 116.9Koento Wibisono Siswomihardjo dalam Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum

dalam Konteks Keindonesiaan, Op.Cit.10Sidharta, Op.Cit., halaman 85.

Page 8: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

1. Filsafat Positivisme dalam menyelidiki objek sasarannya didasarkan pada

kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak

dijadikan sasaran penyelidikan.

2. Dalam filsafat Positivisme segala sesuatu harus diarahkan pada pencapaian

kemajuan. Filsafat tidaklah hanya berhenti sampai pada pemenuhan keinginan

manusia untuk memperoleh pengetahuan atau pengertian mengenai barang

sesuatu saja.

3. Filsafat Positivisme mengajarkan bahwa filsafat harus sampai pada suatu

keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan

masyarakat.

4. Filsafat positivisme mengajarkan bahwa kita harus dapat memberikan

pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenai gejala-gejala yang tampak

maupun mengenai apa yang sebenarnya kita butuhkan, sebab cara berfilsafat

yang lama hanya memberikan pedoman yang tidak jelas, dan hanya

mempertahankan disiplin yang diperlukan dengan mendasarkan diri pada

kekuatan adikodrati.

Pemikiran Comte banyak dipengaruhi oleh Charles Lyell dan

Charles Darwin. Comte juga menuangkan gagasan positivisnya dalam

bukunya, the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah

ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan

suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap

akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan

statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis

antara gejala-gejala (diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika

adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sejarah Condorcet).

Positivisme menggunakan metode deduksi-induksi. Hal ini

dikarenakan positivisme merupakan perpaduan antara rasionalisme dengan

metode deduksi dan empirisme dengan metode induksi.Induksi

menganggap hakikat ilmu adalah gabungan dari pengetahuan, percobaan,

penyusunan fakta, dan hukum umum. Dan berangkat dari khusus-umum,

sedangkan pola penalaran deduksi berarti dimulai dari umum ke khusus.

Page 9: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

Positivisme lebih didominasi pola penalaran induksi. Induksi

adalah dasar perumusan hipotesis. Pernyataan-pernyataan spesifik yang

diperoleh dari observasi fakta-fakta tersebut, kemudian dicarikan pola-

polanya dengan meletakkan asumsi-asumsi tertentu. Artinya, pernyataan-

pernyataan spesifik itu ditarik menjadi suatu pernyataan umum.

Pernyataan umum ini adalah rumusan hipotesis tersebut, yang dilakukan

dengan menggunakan bahasa yang logis, sehingga dari rumusan itu

nantinya memungkinkan dibuat suatu ramalan konkret yang dapat

diselidiki kebenarannya. Tahap kedua (kemudian diperkuat sampai dengan

kegiatan tahap ketiga) menghasilkan susunan pengetahuan ilmiah tingkat

kedua, berupa hipotesis atau dalil (hukum-hukum).11

Deduksi meliputi kegiatan pembuatan ramalan konkret berdasarkan

rumusan hipotesis pada tahap sebelumnya. De Groot membedakan dua

pengandaran (operations) yang dilakukan dalam tahap ini. Pertama,

penagandaran logis, yaitu menurunkan pernyataan spesifik dari pernyataan

yang lebih umum. Kedua, pengandaran metodologis, yaitu

mengembangkan prosedur pemakaian konsep beserta penyusunan

prosedur pengujian pernyataan umum bersangkutan. Deduksi

dimaksudkan sebagai persiapan untuk kegiatan penelitian berikutnya. 12

Metode positivisme juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu

pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang

pertama itu biasa dilakukandalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis

khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-

hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan.

Lima asumsi dasar Positivisme :13

1. Logiko Empirisme

Kebenaran dapat dikatakan sebagai kebenaran bila dapat dibuktikan lewat

empiri (selama bisa dieksperimenkan)

2. Realitas Objektif

11 Sidharta, Op.Cit., halaman 131.12Ibid.13 Materi Perkuliahan Filsafat Ilmu Dr. Sidharta, S.H.,M.Hum.

Page 10: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

Satu realitas saja. Subjek-Objek terpisah (tiada tempat untuk interpretasi

subjektif).

3. Reduksionisme

Setiap objek dapat diamati dalam satuan kecil. Jika tidak, itu bukan realitas

(misal Tuhan). Reduksionisme pada zaman modern diarahkan ke hukum-

hukum fisika (menuju unified science).

4. Determinisme

Keteraturan dunia karena hukum kausalitas yang linear. Tanpa kausalitas

ilmu tidak bisa berkembang dan tidak dapat diramalkan. Dengan ilmu dunia

dapat dikendalikan.

5. Asumsi bebas nilai

Tak ada tempat untuk subjektivitas, sehingga nilai-nilai tak relevan. Ilmu

selalu bebas nilai.

Jadi, pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas. Ia

menyempurnakan Empirisme dan Rasionalisme yang bekerja sama.

Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method)

dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada

dasarnya positivisme itu sama dengan Empirisme plus Rasionalisme.

Hanya saja pada Empirisme menerima pengalaman batiniah, sedangkan

pada positivisme membatasi pada perjalanan objektif saja.14

B. Perkembangan Positivisme

Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:15

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi,

walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang

diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill.

Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan vang dikemukakan Auguste

Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, vang

14 Ihsan, Op. Cit. , hlm. 183 15Ankersmit, F.R.dalam Arif Wibowo Positivisme dan Perkembangannya,

www.wordpess.com/arifwibowo/html.,diakses pada September 2011.

Page 11: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan vang paling

umum akan tampil terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan gejala-gejala

pengetahuan vang semakin lama semakin rumitatau kompleks dan semakin

konkret. Oleh karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu pengetahuan,

Auguste Comte memulai dengan mengamati gejala-gejala vang paling

sederhana, yaitu gejala-gejala yang letaknya paling jauh dari suasana

kehidupan sehari-hari.16

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal

pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius.

Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata

obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,

masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme

ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan Lingkaran Wina

(Vienna Circle atau Der wiener Kries) dengan tokoh-tokohnya Ernst Mach,

Moritz Schlick, dan Rudolf Carnap. Serta kelompok yang turut berpengaruh

pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah

Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti

atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan

positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis,

struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Positivisme dapat dibagi menjadi dua, yaitu positivisme logis dan moral.

1. Positivisme Logis

Pemikiran ini dibawa oleh suatu aliran filsafat yang muncul pada

Tahun 1924 di Austria, yang dikenal dengan nama Lingkaran Wina, yaitu

antara lain lahir dari buku A.J. Ayer “Language, Truth, dan Logic’ (1936).

Lingkaran Wina dikenal luas sebagai gerakan yang berupaya keras

melahirkan filsafat yang ilmiah dengan menghapus semua proposisi yang

kabur, terutama proposisi-proposisi metafisis.

Teori Relativitas dari Albert Einstein, adalah salah satu teori yang

menjadi inspirasi dari Positivisme Logis. Teori yang dibawa aliran 16 Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: 2010, Pustaka Belajar,

hlm. 148.

Page 12: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

Positivisme Logis berpegang pada empat asasyakni (1) Empirisme; (2)

Positivisme; (3) Logika; dan (4) Kritik Ilmu.17

Positivisme Logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang

membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan

pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi

analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan

ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep

dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.

Positivisme Logis lebih mendudukan subjek di atas segalanya dengan

kepastian yang tinggi. Positivisme Logis berangkat dari anggapan bahwa

“pengalaman subjektif elementer” sperti terungkap dalam kalimat “Saya

mengalami merah” merupakan dasar pengetahuan ilmiah. Kelebihan

Positivisme Logis adalah bahwa pengetahuan tidak mungkin lebih pasti

daripada itu, sedangkan kekurangannya adalah bahwa sepenuhnya

pengamatan itu bersifat subjektif. 18

Fokus utama aliran ini adalah menemukan batas (demarkasi) antara

pernyataan yang bermakna (sense) dan pernyataan tak bermakna (non-sense).

Jadi, setiap pernyataan bermakna harus bisa diverifikasi, jika tidak bisa

diverifikasi maka pernyataan tersebut adalah non-sense (metafisika).

Kaum positivisme logis berpendapat bahwa pembangunan masyarakat

perlu ditangani secara ilmiah. Karena itulah masalah metodologi ilmu

menjadi penting sebagai prinsip bagi pengembangan individu atau

masyarakat yang diidamkan. Kemudian dikembangkanlah apa yang disebut

dengan “The spirit of scientific conception of the world”, yakni semangat

dunia ilmiah yang berorientasi pada ilmu – ilmu alam dan ilmu pasti yang

telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi dan keberhasilan yang

sangat dikagumi.

Beberapa Ajaran Pokok Positivisme Logis :

a. Penerimaan prinsip verifiabilitas, yang merupakan kriteria untuk

menentukan bahwa suatu pernyataan mempunyai arti kognitif. Arti

17 Sidharta, Op. Cit., halaman 97-98.18Ibid, halaman 102.

Page 13: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

kognitif suatu pernyataan tergantung pada apakah pernyataan itu dapat

diverifikasi atau tidak.

b. Semua pernyataan dalam matematika dan logika bersifat analitis

( tautologi) dan benar per-definisi. Konsep-konsep matematika dan

logika tidak diverifikasi tetapi merupakan kesepakatan defisional yang

diterapkan pada realitas.

c. Metode ilmiah merupakan sumber pengetahuan satu-satunya yang tepat

tentang realitas.

d. Filafat merupakan analisis dan klarifikasi makna dengan logika dan

metode ilmiah. (beberapa ahli positivisme logis berupaya untuk

menghilangkan semua filsafat yang tidak tersusun segabai ilmu-ilmu

logika-matematik)

e. Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu kalkulus. Dengan formalisasi

bahasa dapat ditangani sebagai suatu kalkulus, yaitu dalam memecahkan

masalah-masalah filosofis (atau memperlihatkan yang mana dari

masalah-masalah itu merupakan yang semu) dan dalam hal menjelaskan

dasar-dasar ilmu.

f. Pernyataan-pernyataan metafisik tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan

itu tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan tautologi yang

berguna. Tidak ada cara yang mungkin untuk menentukan kebenarannya

atau kesalahannyadengan mengacu pada pengalaman, seperti ucapan “

Yang tiada itu sendiri tiada”, yang dipelopori oleh martin Heidegger, “

yang mutlak mengatasi waktu “, “Allah adalah sempurna“, ada murni

tidak mempunyai cirri “, pernyataan-pernyataan metafisik adalah

pernyataan semu.

g. Dalam bentuk positivisme ekstrim, pernyataan-pernyataan tentang

eksisitensi dunia luar dan pikiran luar yang bebas dari pikiran kita

sendiri, dianggap tidak bermakna, karena tidak ada cara empiris untuk

mengadakan verifikasi terhadapnya

h. Penerimaan terhadap teori emotif dalam aksiologi. Nilai-nilai tidak ada

apabila tidak bergantung pada kemampuan manusia untuk menetapkan

nilai-nilai. Nilai-nilai tidak merupakan objek-objek di dunia, tidak dapat

Page 14: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

ditemukan dengan percccobaan, dan tidak dapat diperiksa, atau dialami

sebagaimana kita mengalami atau mengadakan verifikasi terhadap

eksistensi objek-objek.

Akan tetapi terdapat problem epistemologis yang sangat

mendasar di dalam inti pemikiran poitivisme logis tersebut. Karl Popper

juga bersikap kritis terhadap tesis – tesis dasar positivisme logis, serta

menunjukkan pentingnya peran proses falsifikasi di dalam perumusan

dan perubahan suatu teori. Hal yang dikritik Popper pada positivisme

logis adalah tentang metode induksi, ia berpendapat bahwa induksi tidak

lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan

pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan ilmu pengetahuan adalah

mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk

mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang

dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab

jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang

benar dan berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan

dalam penarikan kesimpulan, di mana dari premis yang dikumpulkan

kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang

dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya, agar

pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang

harus dipakai adalah penalaran deduktif.

Pendapat yang lebih signifikan seperti dikatakan oleh Thomas

Kuhn, yang melihat bahwa teori ilmu pengetahuan selalu berada di dalam

sebuah pandangan dunia tertentu. Oleh sebab itu, perubahan radikal di

dalam ilmu pengetahuan hanya dapat terjadi jika seluruh pandangan

dunia yang ada ternyata sudah tidak lagi memadai dan diganti dengan

yang lain.

Para pengkritik positivisme logis berpendapat bahwa landasan

dasar yang digunakan oleh positivisme logis sendiri tidak dinyatakan

dalam bentuk yang konsisten. Misalnya prinip tentang teori tentang

makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri

tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah

Page 15: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk

eksistensi positif (misalnya ada burung berwarna hitam) atau dalam

bentuk universal negatif (misalnya tidak semua burung berwarna hitam)

mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang

dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya

tidak ada burung berwarna hitam) atau universal positif (misalnya semua

burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin

dibuktikan.

2. Positivisme Moral

Positivisme moral menegaskan bahwa nilai-nilai didasarkan pada

kebudayaan dan perkambangannya sesuai dengan variasi-variasi waktu dan

tempat. Oleh karenaitu, kebaikan atau nilai moral kegiatan manusia tidak

terikat secara niscaya dan secara tidak berubah dengan hakikat pribadi

manusia, tetapi sama sekali tunduk kepada semua variasi yang mungkin.

Bukti utama bagi positivisme moral adalah kesaksian sejarah. Setiap bangsa

dan setiap kebudayaan mengembangakan nilai moralnya sendiri dan nilai-

nilai sering ditemukan bertentangan. Apa yang sebelumnya diperbolehkan

seakan-akan pada suatu generasi kemudian kurang mendapat penghargaan

dari manusia atau bahkan malah bersifat tidak sopan.

C. Kritik Terhadap Positivisme

Positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala

sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi

peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial

dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa

”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.

Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain.

Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi

sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan

mendukung status quo. Kritik-kritik terhadap positivisme diantaranya disebabkan

karena:

Page 16: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

1. Positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut

sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi

lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial.

Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial

dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas

sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh

orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti.

2. Positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter

konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik

tertentu.

Aliran Positivisme juga mendapatkan respon dari beberapa tokoh

Muslim seperti Ismail Al-Faruqi, Seyyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar,

Naquib Al-Attas, Fazlurrahman, Maurice Bucaile, bahkan tokoh-tokoh

Muslim Indonesia seperti A. Mukti Ali, Nurcholish Madjid dan

Kuntowijoyo. Mereka memberikan kritiknya, sebab tidak satupun jenis

ilmu pengetahuan di dunia ini yang dapat membebaskan diri dari nilai-

nilai. Para pengkritik positivisme berargumentasi dengan menunjukkan

bahwa ilmu pengetahuan jenis apapun sarat dengan nilai (value loaded).

Oleh karena itu dilandasi kekecewaan terhadap modernisme yang

berupaya memisahkan agama dengan berbagai bidang kehidupan

(differentiation), antara objek dan subjek, antara teori dan praksis serta

ilmu dengan kepentingan, dan sikap optimis terhadap post-modernisme

yang tidak secara tegas memisahkan/menggabungkan agama dan dunia,

ilmu dan kepentingan (de-differentiation), maka mereka mencoba

membangun argumentasi bahwa ilmu pengetahuan selayaknya dibangun

atas dasar nilai, meskipun penelitian ini tidak ditujukan secara langsung

kepada tokoh-tokoh tersebut akan tetapi percikan dari pemikirannya

dicoba untuk dirangkai.

D. Aliran Yang Muncul Dari Kritik Terhadap Positivisme

1. Rasionalisme Kritis

Page 17: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

Aliran positivisme mengandung beberapa kelemahan sehingga

memunculkan aliran post-positivisme antara lain aliran rasionalisme,

interpretive social science, critical social science, feminisme, dan post-

modernism. Positivisme dinilai lemah dalam hal membangun konsep teoritik

sebab positivisme yang mengandalkan kebenaran pada empirik inderawi saja.

Pada positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empiri,

sedangkan aliran lain seperti menurut rasionalisme ilmu yang valid

merupakan abstraksi, simplifikasi, atau idealisasi dari realitas dan terbukti

koheren dengan sistem logikanya. Positivisme yang mengandalkan kebenaran

pada empirik inderawi saja juga disangkal oleh aliran Rasionalisme bahwa

kemampuan manusia untuk menggunakan daya pikir dan nalar (empiric

logik) bisa memberikan arti yang lebih berarti daripada empirik inderawi.

2. Interpretive Social Science

Pendekatan positivistik dan rasionalisme juga mengandung

kelemahan, sehingga memunculkan aliran interpretive social science yang

mengoreksi kelemahan tersebut. Kelemahan dalam rasionalisme adalah

terlalu percaya pada empirik logik serta mengabaikan phenomena berupa

persepsi dan keyakinan subyek tentang sesuatu di luar subyek yang bersifat

transenden. Tokoh interpretive social science antara lain Max Weber (1864-

1920), Wilhem Dilthey (1833-1914) dengan bukunya “Einleitung in die

Geisteswissenshaften” (Introduction to the Human Science) –1883, Glaser &

Strauss, dan Guba & Lincoln.

Pendekatan positivisme dan rasionalisme hanya mengakui kebenaran

apabila dapat dibuktikan melalui empirik inderawi dan empirik logik.

Sementara itu, pendekatan interpretive social science mengakui adanya

kebenaran empirik etik yang memerlukan akal budi untuk melacak

kebenaran, menjelaskan fenomena, dan berargumentasi. Jadi kriterianya

bukan sekedar benar dan salah, akan tetapi mencakup nilai moral. Asumsi

dasarnya adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas

dari pandangan moralnya, baik dalam tahap mengamati, menghimpun data,

menganalisis, maupun dalam membuat kesimpulan.

Page 18: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

Pendekatan interpretive mengajak untuk menggunakan logika reflektif

di samping logika induktif dan deduktif, serta logika materiil dan logika

probabilistik. Pendekatan interpretive bukan hendak menampilkan teori dan

konsep yang bersifat normatif atau imperatif, namun mengangkat makna etika

dalam berteori dan berkonsep. Menurut Glaser & Strauss teori dihasilkan dari

observasi empiris, dan teori yang dikembangkan dari investigasi empiris

tersebut dipandang sebagai “grand theory”.

3. Critical Social Science

Critical social science menggabungkan antara pendekatan monothetik

dengan ideografik. Pada hal tertentu critical social science sejalan dengan

interpretive sosial science dalam hal kritik terhadap positivisme. Namun di

sisi lain, critical social science mengkritik pendekatan interpretive karena

pendekatan interpretive dinilai terlalu terpaku pada realitas subyektif dan

cenderung relativis. Pendekatan interpretive menempatkan ide manusia lebih

penting daripada kondisi aktualnya dan berfokus pada level mikro yang

bersifat lokal, jangka pendek dan mengabaikan konteks yang lebih luas dan

jangka panjang. Critical social science seringkali diasosiasikan dengan teori

konflik, dialektika materialisme, pertentangan kelas, dan strukturalis. Tokoh

critical social science antara lain Karl Max (1818-1883), Sigmund Freud

(1856-1939), Theodor Adorno (1903-1969), Erich Fromm (1900-1980),

Herbert Marcuse (1898-1979), Antonio Gramsci, Paulo Freire, dan Juergen

Habermas. Termasuk dalam pendekatan critical social science adalah

penelitian-penelitian model feminisme.

4. Post Modernisme

Pendekatan post-positivisme yang keempat adalah post moderism

(posmo). Penelitian model posmo menolak semua ideologi, sistem keyakinan

yang terorganisasi (doktrin), termasuk menolak semua teori sosial. Penelitian

model posmo memberikan kedudukan yang penting terhadap intuisi,

imajinasi, pengalaman pribadi, subyektivitas yang ekstrim yang mana tidak

ada pemisahan antara mental dengan dunia luar. Peneliti Posmo meyakini

Page 19: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

bahwa kausalitas tidak dapat dipelajari karena kehidupan itu terlalu kompleks

dan cepat berubah. Posmo menyatakan bahwa riset tidak akan pernah benar-

benar bisa merepresentasikan apa yang terjadi dalam dunia sosial. Tokoh

posmo antara lain Nietzsche, Sartre, Alvin Toffler, dan John Naisbitt. Peneliti

model posmo mulai menunjukkan ketertarikan pada riset-riset empiris dan

metode penelitian kualitatif meskipun hal ini berbeda dengan model

penelitian kualitatif pada studi histori.

Page 20: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

BAB III

PENUTUP

Penulis mencoba untuk menyimpulkan isi dari makalah ini yaitu :

1. Pandangan Positivisme dalam kebenaran ilmu pengetahuan adalah baik,

karena mampu menyajikan kebenaran yang kongkrit, pasti, akurat dan

bermanfaat, tetapi bahayanya positivisme bersikap positivistis, yaitu yang

berpikir bahwa kebenaran harus kongkrit, eksak, tepat dan bermanfaat.

2. Secara ontologis, positivisme berpandangan bahwa realitas dapat dipecah-

pecah dan dapat dipelajari secara independen, dieliminasi dari obyek lain, dan

dapat dikontrol. Secara epistemologi, positivisme menuntut dipisahkannya

subyek peneliti dengan obyek penelitian. Tujuan pemisahan ini adalah agar

dapat diperoleh hasil yang obyektif. Tujuan penelitian yang berlandaskan

filsafat positivisme adalah menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu

yang berupaya membuat hukum dan generalisasinya. Kebenaran dicari

melalui hubungan kausal-linear.Secara aksiologis, positivisme menuntut agar

penelitian itu bebas nilai (value free). Positivisme mengejar obyektivitas agar

dapat ditampilkan prediksi atau hukum yang keberlakuannya bebas waktu dan

tempat.

3. Positivisme dinilai lemah dalam hal membangun konsep teoritik. Ilmu-ilmu

yang dikembangkan dengan metodologi yang berlandaskan positivisme

menjadi miskin konseptualisasi teoritiknya. Tidak ada teori-teori baru yang

mendasar yang muncul, sehingga banyak ilmu sosial yang mengalami

stagnasi.

Page 21: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Akhmadi, Asmoro, 2001. Filsafat Umum, Jakarta, RajaGrafindo Persada.

Ihsan, Drs. H. A. Fuad, 2010. Filsafat Umum, Jakarta, Rineka Cipta.

Mustansyir, Rizal & Misnal Munir, 2010. Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka

Belajar.

Rachman, Maman, 2006. Filsafat Ilmu, Semarang, UPT MKU Universitas

Negeri Semarang.

Russel, Bertrand, 2002, Sejarah Filsafat Barat: Dan Kaitannya dengan

Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang,

diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan,

2006. Bandung, CV Utomo.

Suriasumantri, Jujun. S., Ilmu dalam Perspektif, 2003. Jakarta, Yayasan Obor

Indonesia.

2. Jurnal/Diktat/Laporan

Setiardja, Prof. Dr. Drs. A. Gunawan, 2009. Buku Kuliah: Manusia dan Ilmu:

Telaah Filsafat Atas Manusia yang Menekuni Ilmu Pengetahuan,

Cetakan V, Semarang, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

Sidharta, Dr. S.H., M.Hum., Materi Perkuliahan: Filsafat Ilmu, 2011.

Semarang, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

3. Internet

Ankersmit, F.R.dalam Arif Wibowo Positivisme dan Perkembangannya,

www.wordpess.com/arifwibowo/html.,diakses pada September 2011.

Dian Kurnia, Aliran Positivisme dalam Teori Sejarah, <file:///F:/My

%20Project/Bahan%20Kuliah%20S2/Filsafat%20Ilmu/Perkembangan

%20Positivisme/Bahan%20Internet/Aliran%20Positivisme%20Dalam

%20Teori%20Sejarah%20%C2%AB%20be%20a%20Professional

Page 22: Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)

%20Writer%20%E2%84%A2.htm>, diakses pada bulan September

Tahun 2011