133

paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

  • Upload
    dodien

  • View
    308

  • Download
    44

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf
Page 2: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

i

PENGANTAR DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAF

Bismillahirrahmanirrahim

Terlebih dahulu kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah

SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya kita dapat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan, memperdalam dan memperluas pelayanan kehidupan beragama.

Sejak terjadinya krisis multi-dimensi dalam kehidupan bangsa kita yang dipicu oleh krisis ekonomi, peran wakaf menjadi semakin penting sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu kesadaran berwakaf menjadi perekat kohesi sosial bangsa kita.

Pengelolaan wakaf tidak statis, melainkan selalu berkembang sejalan dengan dinamika dan perubahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah terus mendorong bagi tumbuhnya semangat pemberdayaan wakaf secara produktif kepada pihak-pihak yang terkait dengan wakaf.

Kehadiran buku “Paradigma Baru Wakaf di Indonesia” ini diharapkan dapat merubah paradigma lama menjadi paradigma baru wakaf untuk meningkatkan peran sosial wakaf di tanah air kita.

Semoga Allah SWT meridhai niat baik dan upaya yang kita lakukan bersama. Amin.

Jakarta, Juli 2006 Direktur Pemberd. Wakaf Dr. Sumuran Harahap, MH, MM NIP. 150 192 389

Page 3: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

ii

SAMBUTAN

DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas rahmat dan inayah-Nya kita dapat berupaya meningkatkan pelayanan kehidupan beragama termasuk pelayanan di bidang perwakafan.

Salah satu upaya strategis yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama adalah mengembangkan lembaga wakaf dan memberdayakan potensi wakaf sehingga menimbulkan dampak yang positif terhadap kehidupan sosial dan ekonomi umat Islam.

Dalam kaitan ini, Pemerintah terus berupaya agar pengelolaan wakaf itu mempunyai legalitas yang kuat. Disamping itu, sebagai langkah ke depan perlu dikembangkan suatu sistem pengelolaan dan pengembangan wakaf yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan yang terjadi serta garis kebijakan Pemerintah. Pengadaan referensi wakaf yang disusun oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf merupakan bagian dari upaya mendorong pemberdayaan wakaf secara produktif sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dewasa ini.

Untuk itu, kami menyambut baik penerbitan buku “Paradigma Baru Wakaf di Indonesia” ini karena memuat substansi yang perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan lembaga-lembaga Islam yang mengelola wakaf atau memiliki kepentingan terhadap wakaf.

Semoga Allah swt memberkati niat baik dan upaya yang kita lakukan. Amin.

Jakarta, Juli 2006

Direktur Jenderal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar NIP 150 221 980

Page 4: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

iii

DAFTAR ISI Pengantar………………………………………………………..………….i Sambutan……………………………………………………..……………ii Daftar Isi…………………………………………………………………..iii Bagian Pertama WACANA TENTANG PERWAKAFAN………….………….1 A. Definisi Wakaf……………………………..……………………….. 1 B. Keabadian Benda Wakaf…….………………………..………….4 C. Status Benda Wakaf……………………………………..…………6 D. Penjualan Benda Wakaf……………………………..……………9 Bagian Kedua PERBEDAAN KONSEP WAKAF DAN ZAKAT……....23 A. Dasar Hukum……………………………………………………….23 B. Implementasi Ajaran……………………………………………..30

Wakif dan Muzakky………………………………………….30 Mauquf bih dan Mal az-Zakat……………………………40 Nazhir dan ‘Amil……………………………………………..50 Mauquf ‘Alaih dan Mustahiq……………………………56

Bagian Ketiga ASAS PARADIGMA BARU WAKAF………….……………63 A. Asas Keabadian Manfaat………………………………………..63 B. Asas Pertanggungjawaban………………………………………73 C. Asas Profesionalitas Manajemen…………….……………….79 D. Asas Keadilan Sosial………………………………….…………..83

Page 5: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

iv

Bagian Keempat ASPEK-ASPEK PARADIGMA BARU WAKAF………..97 A. Pembaharuan Paham tentang Wakaf………………………97 B. Sistem Manajemen Pengelolaan……………………….…..105 C. Sistem Manajemen Kenazhiran…………….………………116 D. Sistem Rekruitmen Wakif………………………..…………..123 Daftar Pustaka………………………………………….………………127 Lampiran………………………………………………….……………..131

Page 6: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

1

Bagian Pertama

BERBAGAI WACANA TENTANG WAKAF

A. Definisi Wakaf Di tengah problem sosial masyarakat Indonesia dan

tuntutan akan kesejahteraan ekonomi akhir-akhir ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat strategis. Disamping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Karena itu, pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan menjadi sangat penting.

Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.

Namun para ahli fiqih dalam tataran pengertian wakaf yang lebih rinci saling bersilang pendapat. Sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri, baik ditinjau dari aspek kontinyuitas waktu (ikrar), dzat yang diwakafkan (benda wakaf), pola pemberdayaan dan pemanfaatan harta wakaf. Untuk itu, pandangan para

Page 7: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

2

ulama yang terkait dengan wacana-wacana tersebut akan diuraikan sebagai berikut; a. Menurut Imam Abu Hanifah Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”, contohnya seperti wakaf buah kelapa. b. Menurut Imam Malik

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mauquf bih (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan

Page 8: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

3

lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari pengunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

c. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal

Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran (tukar menukar) atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”.

Page 9: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

4

d. Menurut Mazhab Imamiyah Mazhab lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf), meskipun mauquf ‘alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya. B. Keabadian Benda Wakaf

Para ulama mazhab, kecuali Mazhab Maliki, berpendapat bahwa, wakaf itu benar-benar terjadi kecuali bila orang yang mewakafkan bermaksud mewakafkan barangnya untuk selama-lamanya dan terus menerus. Itu pula sebabnya, maka wakaf disebut sebagai shadaqah jariyyah. Jadi, kalau orang yang mewakafkan itu membatasi waktunya untuk jangka waktu tertentu, misalnya mengatakan, “Saya wakafkan barang ini untuk waktu sepuluh tahun”, atau “bila saya membutuhkannya”, atau dengan syarat bisa saya tarik kembali kapan saja saya mau”, dan redaksi-redaksi seperti itu, maka apa yang dilakaukannya itu tidak bisa disebut sebagai wakaf dalam pengertiannya yang benar.

Sebagian ulama Imamiyah mengatakan: pembatasan seperti itu menyebabkan wakaf tersebut batal, tetapi habs-nya sah, sepanjang orang yang melakukannya memaksudkan itu sebagai hasab. Sedangkan bila ia memaksudkannya sebagai wakaf, maka batallah wakaf dan hasab-nya sekaligus. Yang dimaksud dengan “sah menjadi nasab” adalah penggunaan barang tersebut sesuai dengan kehendak pemilik barang berlangsung selama masa yang

Page 10: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

5

ditentukan pemiliknya, dan sesudah itu kembali kepada pemiliknya semula.

Betapapun juga, hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan “berlaku selamanya dan terus menerus” dalam wakaf. Rupanya hal itu telah membuat Syaikh Abu Zahrah salah paham dan mengalami kesulitan untuk membedakan wakaf dari hasab yang berlaku di kalangan Imamiyah. Itu sebabnya, beliau menisbatkan pendapat kepada Imamiyah bahwa kalangan Imamiyah wakaf dilakukan untuk selamanya dan untuk waktu tak terbatas. Ini jelas tidak benar, sebab di kalangan Imamiyah wakaf itu berlaku untuk selamanya.

Maliki mengatakan: wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah bila berlaku untuk waktu satu tahun misalnya. Sesudah itu kembali kepada pemiliknya. Pendapat Maliki ini dinilai cukup relevan dengan kondisi saat ini yang mengenal dengan istilah hukum agraria HGB (Hak Guna Bangunan), Hak Pakai atau sistim kontrak. Jika pendapat Maliki ini diterapkan, maka wakaf akan mendapat perluasan makna dan perluasan kesempatan kepada para pihak yang tidak memiliki benda permanen yang ingin diwakafkan, tapi memiliki setatus benda yang bersifat temporari tersebut. Selain membuka lebih lebar kepada calon wakif, kekayaan wakaf akan semakin bertambah banyak dan memungkinkan bisa dikembangkan secara maksimal.

Demikian pula halnya manakala disyaratkan bahwa orang yang menyerahkan barang tersebut (pemilik) atau orang yang diserahi boleh menjualnya, maka sah dan berlakulah syarat tersebut.

Page 11: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

6

Apabila seseorang mewakafkan barangnya pada pihak yang akan musnah dan tidak bertahan lama, misalnya dia mengatakan, “barang ini saya wakafkan kepada anak-anak saya yang masih hidup”, atau kepada orang lain yang lazimnya tidak bertahan lama, maka apakah wakaf tersebut sah ataukah batal? Kalau diandaikan sah, lantas kepada siapa wakaf tersebut diserahkan setelah pihak yang disebut di atas musnah?

Hanafi mengatakan: wakaf tersebut sah, dan penggunaannya sesudah itu diserahkan kepada fakir miskin. Hambali mengatakan: wakaf tersebut sah, tetapi sesudah itu penggunaannya diserahkan keada orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan orang yang mewakafkan. Ini juga merupakan salah satu pendapat dari dua pendapat Imam Syafi’i. Maliki mengatakan: wakaf tersebut sah, dan sesudah itu barang tersebut dikembalikan kepada fakir miskin yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan orang yang mewakafkan. Kalau mereka semuanya kaya, maka barang itu dikembalikan kepada ‘ashabah. Sedangkan Imamiyah mengatakan: wakaf tersebut sah, dan sesudah itu barang tersebut dikembalikan kepada ahli waris orang yang mewakafkan.

C. Status Benda Wakaf

Tidak ada yang menyangkal sedikitpun bahwa, sebelum sesuatu barang diwakafkan, ia adalah milik orang yang mewakafkan. Sebab, wakaf tidak bisa dipandang sah kecuali terhadap barang yang dimiliki secara sempurna. Kemudian kalau wakaf sudah dilaksanakan, apakah esensi pemilikan atas barang tersebut masih tetap berada di tangan

Page 12: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

7

pemiliknya semula, hanya saja bila dinisbatkan kepadanya pemanfaatan atas barang tersebut kini “terampas” darinya, ataukah pemilikan barang itu berpindah kepada pihak yang diberi wakaf, atau sudah bukan punya pemilik sama sekali. Dan itulah yang disebut dengan kehilangan pemilikan.

Terdapat berbagai pendapat di kalangan para ulama mazhab. Maliki berpendapat bahwa, esensi pemilikan atas barang tersebut tetap berada di tangan pemiliknya semula, tetapi sekarang dia tidak diperbolehkan menggunakannya lagi. Hanafi mengatakan: barang yang diwakafkan itu sudah tidak ada pemiliknya lagi, dan pendapat ini juga pendapat paling kuat diantara beberapa pendapat di kalangan Syafi’i. Sedangkan Hambali mengatakan: bahwa barang tersebut berpindah ke tangan pihak yang diwakafi.

Abu Zahrah dalam bukunya yang dikutip oleh Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Khamsah, menisbatkan kepada Imamiyah bahwa pemilikan atas barang yang diwakafkan tersebut tetap berada pada pemiliknya semula. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang kuat di kalangan Imamiyah.

Tetapi Abu Zahrah tidak menyebutkan sumber kutipan yang dinisbatkannya kepada Imamiyah tersebut, dan Muhammad Jawad Mughniyah tidak tahu darimana Abu Zahrah menemukannya. Dalam kitab Al-Jawahir, sebuah kitab rujukan paling otoritatif bagi fiqh Imamiyah, dikatakan bahwa, “wakaf, bila telah sempurna dilaksanakan, menurut pendapat mayoritas ulama Mazhab Imamiyah, bahkan boleh dikatakan merupakan pandangan yang lain masyhur, dan dalam al-Ghunyah dan al-Sarair

Page 13: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

8

disebutkan adanya ijma’, bahwa pemilikan atas barang tersebut hilang dari orang yang mewakafkannya”.

Sesudah adanya kesepakatan di kalangan ulama mazhab Imamiyah, atau di kalangan sebagian besar mereka, bahwa pemilikan atas barang yang diwakafkan itu hilang dari orang yang mewakafkan, mereka berbeda pendapat tentang apakah hilangnya pemilikan atas barang tersebut bersifat sepenuhnya, dimana si pemberi wakaf dan penerima wakaf sama-sama tidak memilikinya, yang dalam peristilahan Imamiyah disebut “barang yang kehilangan kepemilikan”, ataukah pemilikan tersebut beralih dari tangan orang yang mewakafkan ke tangan penerima wakaf?

Sekelompok ulama Mazhab Imamiyah membedakan wakaf untuk kepentingan umum (wakaf khairi), seperti masjid, madrasah dan lampu dengan wakaf khusus (wakaf ahli), seperti wakaf bagi anak cucu. Untuk jenis yang pertama, pemilikan atas barang tersebut hilang sama sekali, sedangkan yang kedua, pemilikan beralih dari tangan pewakaf kepada penerima wakaf.

Manfaat dari adanya perselisihan mengenai kepemilikan barang wakaf tampak boleh atau tidak menjualnya, pada barang yang diwakafkan untuk waktu tertentu, dan pada pihak penerima wakaf yang musnah. Berdasar pendapat Maliki yang menyatakan bahwa esensi pemilikan atas barang tersebut tetap berada pada orang yang mewakafkan, maka barang tersebut boleh dijual-belikan dan dikembalikan lagi kepada pemiliknya bila waktunya telah berlalu atau penerima wakafnya musnah. Namun bila didasarkan pada pendapat yang menyatakan tiadanya pemilikan atas barang yang diwakafkan tadi, maka harta

Page 14: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

9

wakaf tidak boleh dijual-belikan. Sebab jual-beli tidak bisa dilakukan kecuali terhadap barang-barang yang dimiliki, dan wakaf untuk masa tertentu dinyatakan batal. Dan berdasarkan pada pendapat bahwa pemilikan barang tersebut pindah ke tangan orang yang diserahi wakaf, maka barang yang diwakafkan tidak bisa dikembalikan kepada orang yang mewakafkan. D. Penjualan Benda Wakaf Telah terjadi perbedaan-perbedaan pendapat yang begitu tajam di kalangan para ulama mazhab mengenai masalah penjualan harta wakaf, yang oleh Muhammad Jawad Mughniyah dikatakan, belum pernah ditemukan dalam persoalan-persoalan wakaf lainnya. Di kalangan mereka ada yang melarang menjual harta wakaf sama sekali, dan ada pula yang tawaqquf (didiamkan/tidak berpendapat). Begitu banyak pertentangan itu, sehingga seringkali kita temukan seorang faqih menentang pendapatnya sendiri dalam kitab yang sama, misalnya dalam bab jual-beli ia mengatakan suatu pendapat yang ia tentang sendiri pada bab wakaf. Bahkan tidak jarang pendapatnya saling bertentangan dalam kalimat yang sama, pendapatnya di awal kalimat justeru ditentangnya sendiri di akhir kalimat. Penyusun kitab al-Jawahir sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitabnya al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Khamsah menyimpulkan adanya dua belas pendapat, yang masing-masingnya, atau yang penting diantaranya berikut ini:

Page 15: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

10

Tentang Masjid Di kalangan mazhab-mazhab Islam, masjid mempunyai hukum tersendiri (berbeda) dengan hukum yang dimiliki oleh benda-benda wakaf lainnya. Itu sebabnya, mereka –selain Hambali—sepakat tentang ketidakbolehan menjual masjid dalam bentuk apapun, dan dalam kondisi serta faktor apapun, bahkan seandainya masjid itu rusak. Atau orang-orang yang bertempat tinggal di sekitarnya telah pindah ke tempat lain, dan yang lewat disitu sudah tidak ada lagi, yang secara pasti diketahui bahwa tidak akan ada lagi orang yang sholat di masjid tersebut. Dalam kondisi seperti itupun, masjid tidak boleh diubah atau diganti. Mereka beralasan, bahwa wakaf berupa masjid berarti memutuskan hubungan antara masjid dengan orang yang mewakafkan dan orang lain kecuali dengan Allah SWT. Itu sebabnya, maka ada yang menyebutnya dengan pelepasan atau pembebasan hak milik. Artinya sebelum diwakafkan, masjid tersebut terikat, kemudian menjadi bebas dari semua ikatan. Lantas kalau dikatakan bahwa masjid itu tidak ada pemiliknya, bagaimana mungkin masjid tersebut bisa dijual, sedangkan jual beli itu hanya boleh dilakukan pada barang-barang yang dimilikinya. Sebagai konsekuensi dari itu, mereka mengatakan bahwa, apabila ada seseorang yang secara paksa memanfaatkan masjid tersebut dan tinggal di dalamnya, atau menanami pekarangannya dan memetik hasilnya, maka orang tersebut berdosa. Tetapi dia tidak menjamin atau berhutang sedikitpun, sebab masjid tersebut tidak ada pemiliknya.

Page 16: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

11

Tetapi pendapat di atas dapat dibantah dari sisi bahwa lepasnya hak milik itu hanya mencegah pemilikan dari sisi jual-beli, namun tidak mencegah dari sisi menguasainya, seperti halnya barang-barang milik umum yang mubah. Hambali mengatakan: Apabila penduduk di sekitar masjid itu pindah, sehingga tidak ada lagi yang shalat di situ, atau tidak mencukupi warga di situ tapi tidak mungkin diperluas atau dibangun sebagiannya, kecuali dengan menjual sebagiannya, maka boleh dijual. Selain itu, jika ada sesuatu dari masjid itu tidak bisa dimanfaatkan kecuali dengan menjualnya, maka boleh dijual. Pendapat Hambali ini, dalam beberapa hal sejalan dengan pendapat Sayyid Kadzim yang bermazhab Imamiyah ketika beliau mengatakan dalam Mulhaqat al-“Urwah tentang tidak adanya perbedaan antara masjid dengan benda-benda wakaf lainnya. Yang mendasari pendapat faqih besar Imamiyah ini yang tidak membedakan antara masjid dan benda wakaf lainnya ialah sesungguhnya orang yang membolehkan menjual barang wakaf selain masjid yang rusak ialah karena kerusakan menafikan tujuan dari wakaf, atau menafikan sifat yang karena itulah pewakaf menjadikannya sebagai objek atau pengikat bagi wakaf. Misalnya, seseorang mewakafkan sebidang kebun, itu karena ia adalah kebun, bukan karena ia adalah tanah. Hal ini berlaku pula pada masjid. Sebab, shalat di dalam masjid itu merupakan pengikat (qayd) bagi perwakafannya. Jadi ketika pengikat tersebut tidak ada, maka hilang pula sifat wakaf itu, atau hilanglah sifat kemasjidan yang merupakan pengikat wakaf itu. Dalam keadaan seperti itu, berlakulah hal-hal yang berlaku pada benda-benda wakaf non-masjid

Page 17: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

12

lainnya, dalam bentuk boleh dimiliki karena adanya sebab untuk itu, misalnya melalui penguasaan. Kekayaan Masjid Lazimnya masjid-masjid mempunyai barang-barang wakaf lainnya, seperti toko, rumah, berbagai tanaman atau sebidang tanah, yang hasilnya digunakan untuk pemeliharaan dan kebutuhan masjid, serta upah bagi penjaganya. Jelas sekali bahwa barang-barang wakaf seperti itu tidak dapat diperlakukan sama dengan masjid, yaitu dari segi penghormatan terhadapnya atau keutamaan shalat di dalamnya, karena adanya perbedaan antara sesuatu dengan harta dan milik sesuatu itu yang menyertainya. Selain itu juga terdapat perbedaan dalam hal kebolehan menjualnya. Setiap orang yang melarang menjual masjid yang rusak, membolehkan menjual barang-barang wakaf yang menyertai masjid tersebut. Sebab tidak ada ikatan syari’ah maupun bukan syar’i antara keduanya. Sebab masjid adalah wakaf untuk ibadah, yang karena itu coraknya spiritual murni. Sedangkan toko, adalah untuk diambil manfaat materialnya. Itu sebabnya, masjid masuk dalam kategori wakaf umum, dan bahkan merupakan manifestasinya yang paling jelas. Tetapi barang-barang wakaf yang menyertainya masuk dalam kategori wakaf khusus, yaitu khusus untuk masjid. Karena itu, menjual barang wakaf yang menyertai masjid boleh. Demikian pula halnya dengan barang-barang wakaf yang menyertai kuburan dan madarasah, bahkan sekalipun seandainya kita berpendapat bahwa menjual madrasah dan kuburan itu tidak diperbolehkan. Akan tetapi apakah kebolehan

Page 18: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

13

menjual barang-barang yang menyertai wakaf itu secara mutlak, sekalipun tanpa adanya alasan yang benar seperti kerusakan atau tidak menghasilkan misalnya. Ataukah mesti ada alasan yang benar, dimana keadaannya sama dengan wakaf untuk anak keturunan dan wakaf khusus lainnya? Pertanyaan di atas bisa digambarkan jawabannya sebagai berikut: barang-barang seperti terbagi dalam dua bagian: Yang Pertama adalah barang-barang yang dijadikan wakaf oleh pengelola wakaf dari hasil wakaf itu sendiri. Misalnya, masjid yang diwakafkan itu mempunyai ladang (kebun), lalu pengurus wakaf menyewakannya, dan dari hasilnya dia membeli atau membangun toko yang manfaatnya digunakan untuk kepentingan wakaf tadi. Atau diperoleh toko sebagai sumbangan dari para dermawan. Kalau barang-barang tersebut termasuk dalam kategori ini, maka barang-barang tersebut boleh dijual atau ditukar, sepanjang dalam hal tersebut terdapat kemaslahatan, baik ditemukan sebab-sebab yang menurut para ulama mazhab, menyebabkan diperbolehkannya menjual barang-barang, atau tidak. Sebab, barang-barang tersebut pada hakikatnya bukan wakaf, melainkan hasil atau kekayaan barang wakaf, maka pengelola wakaf berhak menggunakannya demi kemaslahatan. Sama seperti haknya menggunakan hasil kebun masjid demi kemaslahatan masjid, kecuali bila hakim syar’i yang langsung menangani perwakafan barang yang dibeli oleh pengelola. Dalam kasus seperti itu, barang tersebut tidak boleh dijual kecuali karena adanya alasan-alasan yang membolehkannya. Adapun wakaf yang dilakukan pengelola tidak dianggap sah tanpa seizin hakim.

Page 19: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

14

Sebab dia diberi kekuasaan hanya untuk memelihara wakaf dan mengelolanya, bukan untuk membuat atau mewujudkan wakaf. Jenis yang kedua adalah barang-barang yang diwakafkan oleh kaum dermawan demi kemaslahatan masjid atau madrasah. Misalnya, ada seseorang yang mewasiatkan rumah, toko, atau tanahnya agar dijadikan wakaf bagi masjid atau madrasah, atau ia sendiri yang langsung mewakafkan barang-barang tersebut. Barang-barang seperti ini diberi hukum sebagai barang-barang wakaf khusus, yang boleh dijual karena adanya alasan-alasan yang membolehkannya, misalnya rusak atau hasil sangat kecil dan nyaris tidak ada sama sekali. Tanpa alasan-alasan tersebut, barang-barang itu tidak boleh dijual. Dalam literatur fiqh empat mazhab tidak ditemukan seorang ulama mazhab pun yang sampai pada pembedaan serupa ini. Wakaf Non-Masjid Di muka telah dijelaskan tentang pendapat para ulama mazhab tentang wakaf masjid, bahwa Syafi’i, Hanafi dan Maliki memiliki pandangan dalam persoalan wakaf non-masjid, sedangkan Imamiyah menempuh jalannya sendiri. Itulah sebabnya, pada bagian ini terlebih dahulu akan dikemukakan pendapat Mazhab Empat, menyusul kemudian pandangan Imamiyah. Jika Hambali memperbolehkan menjual masjid karena adanya alasan-alasan yang menyebabkan hal itu, maka lebih-lebih lagi terhadap barang-barang non masjid, sepanjang sebab-sebab untuk itu ada. Syafi’I mengatakan: menjual dan

Page 20: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

15

mengganti barang wakaf, dalam kondisi apapun hukumnya tidak boleh, bahkan terhadap wakaf khusus sekalipun, seperti wakaf untuk keturuanan sendiri, meski terdapat seribu satu macam alasan untuk itu. Syafi’I memperbolehkan penerima wakaf untuk memanfaatkan barang wakaf khusus manakala ada alasan untuk itu, misalnya terhadap pohon wakaf yang sudah layu dan tidak bisa berbuah lagi. Penerima wakaf tersebut boleh menebangnya dan mejadikannya layu bakar, tetapi tidak boleh menjual atau menggantinya. Sedangkan Maliki mengatakan: sebagaimana yang disebut dalam kitab Syarh al-Zarqani ‘Ala Abi Dhiya’, wakaf boleh dijual dalam tiga keadaan. Pertama, manakala pewakaf mensyaratkan agar barang yang diwakafkannya itu dijual, sehingga persyaratan yang dia tetapkan tersebut harus diikuti. Kedua, apabila barang yang diwakafkan tersebut termasuk jenis barang bergerak, dan tidak lagi memenuhi maksud pewakafannya. Harga penjualannya bisa digunakan untuk barang yang sejenis atau yang sepadan dengan itu. Ketiga, barang yang tidak bergerak boleh dijual untuk keperluan perluasan masjid, jalan dan kuburan. Sedangkan untuk keperluan lain itu tidak boleh dijual, bahkan hingga barang tersebut rusak dan tidak berfungsi sekalipun. Sementara Hanafi, sebagaimana dikutip oleh Abu Zahrah dalam al-Waqf, menyatakan kebolehan mengganti semua bentuk barang wakaf, baik yang umum maupun yang khusus, kecuali masjid. Untuk itu mereka menyebutkan tiga hal. Pertama, pewakaf mensyaratkan hal itu ketika melangsungkan pewakafan. Kedua, barang wakaf sudah

Page 21: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

16

berubah menjadi barang yang tidak berguna. Ketiga, apabila penggantinya merupakan barang yang lebih bermanfaat dan lebih menguntungkan, serta tidak terdapat persyaratan untuk itu. Itulah kesimpulan pendangan Mazhab Empat dalam hal wakaf non masjid. Mereka sebagaimana yang telah diungkapkan tidak membedakan antara wakaf-wakaf khusus dengan wakaf-wakaf umum –selain masjid—dalam hal kebolehan menjualnya. Hal ini berbeda dengan pendapat Imamiyah yang membuat perbedaan antara kedua jenis barang wakaf tersebut. Bagi Imamiyah, jenis wakaf dibagi menjadi dua, dan mereka menentukan hukum dan akibat-akibatnya untuk masing-masing wakaf. Pertama, jenis wakaf khusus (wakaf ahli), yaitu wakaf yang menjadi milik penerimanya, maksudnya, orang-orang yang berhak mengelola dan menikmati hasilnya. Termasuk dalam kategori ini adalah wakaf untuk keturunan, wakaf kepada para ulama dan fakir miskin, wakaf barang tidak bergerak untuk keperluan masjid, kuburan, madarasah dan lain sebagainya. Wakaf jenis inilah yang diperselisihkan kebolehan menjualnya oleh para ulama mazhab, manakala ada alasan-alasan untuk menjualnya, atau tidak boleh menjualnya sungguhpun terdapat banyak alasan untuk itu. Kedua, jenis wakaf umum (wakaf khairi), yaitu wakaf yang dikehendaki oleh pewakafnya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Yakni semua orang, tidak hanyan sekelompok orang atau lapisan masyarakat tertentu saja. Contohnya adalah madrasah, rumah sakit, masjid, kuburan, jembatan, penginapan yang sudah ada sejak

Page 22: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

17

semula, mata air, pohon-pohon rindang tempat peristirahatan pejalan kaki. Termasuk dalam kategori ini adalah masjid, kuburan dan makam pahlawan, sebab harta wakaf tersebut tidak dimaksudkan hanya untuk kepentingan kaum muslimin tidak yang lainnya, atau bagi kaum muslimin tertentu dan tidak kelompok lainnya. Para ulama Mazhab Imamiyah sepakat bahwa wakaf jenis ini tidak boleh dijual dan tidak boleh pula diganti, sekalipun rusak dan hampir binasa atau ambruk. Sebab bagi ulama mazhab Imamiyah –atau sebagian besar dari mereka—wakaf tersebut tidak punya apemiliknya. Artinya, ia telah keluar dari pemiliknya yang pertama menuju keadaan tanpa pemilik. Sesudah barang-barang tersebut diwakafkan, keadaannya persis sama dengan keadaan barang-barang umum yang mubah lainnya yang boleh dimanfaatkan siapa saja. Adalah jelas bahwa yang boleh dijual hanyalah barang-barang yang punya pemilik. Hal ini berbeda dengan barang-barang wakaf khusus, dimana dalam wakaf jenis ini pemilikannya beralih dari pewakaf kepada pihak yang diwakafi. Dan apabila maksd dari wakaf tersebut sudah tidak ada lagi secara menyeluruh, maka ia boleh dipindahkan ke bentuk yang lain yang mirip dengan yang pertama. Mislanya madrasah yang telah kehilangan murid sehingga tidak lagi ada kegiatan belajar-mengajar, boleh diubah fungsinya menjadi perpustakaan atau majlis taklim. Sebab-sebab Bolehnya Menjual Wakaf Para ulama mazhab Imamiyah sepakat bahwa benda-benda wakaf umum seperti masjid, pondok pesantren dan

Page 23: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

18

kuburan tidak boleh dijual. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang menjual barang-barang wakaf khusus, seperti wakaf yang diperuntukkan bagi anak cucu, kepada ulama atau fakir miskin, lantaran adanya sebab-sebab yang memperbolehkan penjualan wakaf tersebut. Dibawah ini diuraikan beberapa sebab seperti yang dikemukakan para ulama mazhab, yang menyebabkan harta wakaf khusus boleh dijual. a. Bila wakaf tersebut sudah tidak lagi memberikan

manfaat sesuai dengan tujuan pewakafaannya, misalnya pohon yang sudah layu yang tak mungkin lagi berbuah, tikar-tikar yang tak mungkin lagi dimanfaatkan kecuali untuk dibakar, atau binatang yang bila tak disembelih tak bisa dimanfaatkan untuk keperluan apapun kecuali dimakan. Tak syak lagi bahwa hal-hal seperti di atas merupakan penyebab diperbolehkannya menjual wakaf khusus.

b. Sayyid Abu Al-Hasan Al-Asfahani, dalam Wasilat al-Najat, mengatakan: perabot-perabot, permadani, kain-kain yang menyelimuti makam dan lain sebagainya, bila masih mungkin dimanfaatkan dalam bentuk semula, tidak boleh dijual. Sedangkan bila tidak dibutuhkan, dan membiarkannya berarti menyia-nyiakan dan akhirnya menjadi rusak, ia boleh dipergunakan di tempat lain yang sejenis. Kalau tidak ada tempat seperti itu, atau ada tetapi tidak membutuhkannya, ia bisa difungsikan untuk kepentingan umum. Sedangkan bila tidak bisa dimanfaatkan lagi kecuali dengan menjualnya, sedangkan menyimpannya berarti menyia-nyiakannya atau membuatnya menjadi rusak, maka ia

Page 24: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

19

boleh dijual, kalau harga penjualannya digunakan untuk kepentingan tempat tersebut, apabila tempat tersebut membutuhkannya. Tetapi bila tidak membutuhkan, ia bisa digunakan untuk tempat lain yang serupa, dan bila tidak ada pula, ia boleh digunakan untuk kepentingan umum.

c. Benda wakaf tersebut dalam keadaan rusak, misalnya rumah yang ambruk atau kebun yang minim hasilnya dan boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Kalau masih mungkin menyuburkannya, sekalipun dengan jalan menyewakannya untuk beberapa tahun, maka itulah yang mesti dilakukan. Tetapi bila hal itu tidak mungkin dilakukan, maka barang wakaf tersebut boleh dijual, dengan syarat harus diganti dengan harga hasil penjualan tersebut, dengan yang baru yang menggantikan posisinya.

d. Apabila pewakaf mensyaratkan bahwa bila para penerima wakaf bersengketa, atau barang wakaf tersebut sedikit hasilnya, hendaknya barang wakaf itu dijual saja, atau mensyaratkan hal-hal yang tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula mengharamkan yang halal, maka persyaratan tersebut harus diikuti.

e. Apabila terjadi persengketaan diantara pengurus wakaf yang dikahawatirkan akan menimbulkan korban jiwa atau harta, dan tidak mungkin diselesaikan kecuali dengan menjual barang tersebut, maka barang wakaf tersebut boleh dijual. Kemudian hasil penjualannya dibagikan kepada para penerima wakaf, jika tidak ada cara lain untuk meredam pertikaian itu kecuali dengan cara ini.

Page 25: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

20

f. Apabila dimungkinkan dengan menjual barang wakaf yang rusak dapat memperbaiki bagian lainnya dari harga penjualan tersebut, maka ia boleh dijual.

g. Apabila masjid ambruk, maka bata, papan, pintu dan seluruh bahan-bahannya yang ada di dalamnya tidak bisa dihukumi sebagai masjid, dan tidak pula bisa dihukumi sebagai kekayaan masjid yang diwakafkan demi kepentingan masjid, dimana barang itu tidak bisa dijual tanpa adanya alasan yang membolehkannya untuk dijual. Tetapi ia dihukumi sebagai barang-barang kekayaan masjid dan hasil-hasil wakafnya, persis seperti toko yang disewakan, yang pelaksanaannya tergantung pada kemaslahatan yang dipandang oleh pengurus wakaf tersebut.

Page 26: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

23

Bagian Kedua PERBEDAAN KONSEP AJARAN WAKAF

DAN ZAKAT A. Dasar Hukum

Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya ajaran wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat al-Quran dan juga As-Sunnah. Tidak ada dalam ayat al-Quran yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Yang ada adalah pemahaman konteks terhadap ayat al-Quran yang dikategorikan sebagai amal kebaikan. Ayat-ayat yang dipahami berkaitan dengan wakaf sebagai amal kebaikan adalah sebagai berikut: Ayat al-Quran, antara lain:

وافعلوا الخير لعلكم تفلحون

Artinya: “Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (QS : al-Haj : 77).

البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فان اهلل به عليم والن تنالArtinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”. (QS : Ali Imran : 92).

Page 27: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

24

في سنابل سبيل اهلل كمثل حبة انبتت سبع اموالهم في الذين ينفقون مثل

كل سنبلة مائة حبة واهلل يضاعف لمن يشاء واهلل واسع عليم.Artinya: “Perumpamaan (nafakah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Kuasa (Karunianya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS : al-Baqarah : 261).

Pemahaman konteks atas ajaran wakaf juga diambilkan

dari beberapa Hadits Nabi yang menyinggung masalah shadaqah jariyah, yaitu : Sunnah Rasulullah SAW. عن ابي هريرة ان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قال : اذا مات ابن ادم

او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو ،صدقة جارية ،انقطع عمله اال من ثالث ( له )رواه مسلم

Artinya:

Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim)

Penafsiran shadaqah jariyah dalam hadits tersebut dikatakan masuk dalam pembahasan masalah wakaf, seperti yang diungkapkan oleh seorang Imam :

Page 28: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

25

بالوقف الجارية ذكره في باب الوقف النه فسر العلماء الصدقة

Artinya:

Hadits tersebut dikemukakan di dalam bab wakaf, karena para ulama penafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf (Imam Muhammad Ismail al-Kahlani, tt., 87)

Selain ada hadits Nabi yang dipahami secara tidak langsung terkait masalah wakaf, ada beberapa hadits Nabi yang secara tegas menyinggung dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar :

الخطاب أصاب أرضا بخيبر، اهلل عنهما أن عمر بنعمر رضى ابن عنفأتى النبي صلى اهلل عليه وسلم يستأمره فيها، فقال: يارسول اهلل، إنى أصبت

به؟ قال: إن ىندى منه، فما تأمرنأرضا بخيبر لم أصب ماال قط أنفس ععمر انه ال يباع وال يوهب وال فتصدق بها شئت حبست أصلها فتصدقت بها

ناب واهلل لوفى سبي يورث، وتصدق بها فى الفقرآء وفى القربى وفى الرقابوالضيف ال جناح على من وليها ان يأكل منها بالمعروف ويطعم غير السبيل متمول

)رواه مسلم(

Artinya:

“Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra. Memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata : Ya Rasulallah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ? Rasulullah menjawab : Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkah (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak tidak juga dihibahkan dan juga tidak

Page 29: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

26

diwariskan. Berkata Ibnu Umar : Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta“ (HR. Muslim).

Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan :

ان مائة سهم التي ملسو هيلع ى اهلللعن ابن عمر قال : قال عمر للنبي صفقال ،لي بخيبر لم اصب ماال قط اعجب الي منها قد اردت ان اتصدق بها

: احبس اصلها وسبل ثمرتها )رواه وسلم صلى اهلل عليهالنبي البخارىومسلم(.

Artinya:

Dari Ibnu Umar, ia berkata : “Umar mengatakan kepada Nabi SAW, saya mempunyai seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi SAW mengatakan kepada Umar : Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dilihat dari beberapa ayat al-Quran dan hadits Nabi yang menyinggung tentang wakaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan ta'abbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.

Page 30: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

27

Meskipun demikian, ayat al-Quran dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidun sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad) mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad seperti qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain. Penafsiran yang sering digulirkan oleh para ulama, bahwa wakaf ini sangat identik dengan shadaqah jariyyah, yaitu suatu amal ibadah yang memiliki pahala yang terus mengalir selama masih bisa dimanfaatkan oleh kehidupan manusia.

Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihadi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis, fururistik (berorientasi pada masa depan.). Sehingga dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari muamalah yang memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah.

Memang, ditinjau dari kekuatan hukum yang dimiliki, ajaran wakaf merupakan ajaran yang bersifat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki sesungguhnya begitu besar sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat banyak. Sehingga dengan demikian, ajaran wakaf yang masuk dalam wilayah ijtihadi,

Page 31: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

28

dengan sendirinya menjadi pendukung non manajerial yang bisa dikembangkan pengelolaannya secara optimal.

Lain halnya dengan ajaran zakat yang banyak dijelaskan dalam al-Quran maupun Hadits Nabi yang secara tegas dan berulang-ulang. Dilihat dari bobot hukumnya memang berbeda. Kalu zakat memiliki bobot perintah yang wajib dikeluarkan hingga batas nishab yang ditentukan, sedangkan wakaf hanya bersifat anjuran (mustahab) dalam rangka meningkatkan amal baik dan menanam pahala. Ayat al-Quran yang langsung memerintahkan pelaksanaan zakat seperti dijelaskan sebagai berikut:

وفي إنما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهموابن السبيل فريضة من اهلل واهلل عليم هالرقاب والغارمين وفي سبيل الل

حكيم Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS: at-Taubah: 60).

Bahkan berkaitan dengan teknis operasionalisasi zakat, seperti pola pengambilan hartanya, pihak-pihak yang berhak (mustahiq) mendapatkan-nya dan jenis-jenis barang yang harus dizakati dijelaskan secara rinci oleh nash-nash yang begitu banyak. Contoh ayat al-Quran yang

Page 32: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

29

menyinggung tentang konsep operasionalisasi zakat secara umum seperti: خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم إن صالتك سكن لهم واهلل

سميع عليم

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) keterangan jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS: at-Taubah: 103).

Sehingga ajaran zakat ditempatkan sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang Qath'iyyud ad-Dalalah (jelas atau pasti penunjukan lafaznya), walaupun dalam banyak hal, teknis operasionalisasi pengelolaan zakat mengalami berbagai inovasi sebagai upaya pemberdayaan secara optimal sesuai dengan kondisi yang ada. Secara dasar hukum saja, antara wakaf dan zakat sudah sangat berbeda. Dasar hukum wakaf yang sangat sedikit disebutkan oleh nash al-Quran maupun hadits memberi peluang adanya ruang ijtihad yang sangat luas. Dan wilayah ijtihad memiliki fleksibelitas terhadap penetapan hukumnya. Sehingga wakaf dapat dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan realitas yang ada. Sementara dasar hukum zakat yang masuk dalam wilayah Qathiyyud ad-Dalalah (jelas penunjukan lafadznya), sedikit sekali, bahkan ada sebagian ulama yang menutup adanya peluang ijtihad. B. Implementasi Ajaran a. Wakif dan Muzakky

Page 33: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

30

Wakif Orang yang mewakafkan harta disebut dengan wakif.

Sebagai subyek wakaf, wakif memiliki otoritas penuh terhadap harta yang ingin diwakafkan, untuk apa harta tersebut dimanfaatkan bagi kebajikan? Menurut Imam Ali, bahwa “Barang-barang yang diwakafkan itu dilaksanakan seperti yang diinginkan pewakafnya”. Karena itu, para ulama madzhab mengatakan, “Syarat yang ditetapkan oleh pewakaf sama dengan nash syara’”. Demikian pula redaksinya sama dengan redaksi syara’, dalam arti bahwa ia harus diikuti dan diamalkan. Hal serupa juga terjadi pada orang yang bernadzar, bersumpah, berwasiat dan pemberi pernyataan.

Berdasarkan itu, apabila keinginan pewakaf diketahui, dan dia tidak memaksudkan lain kecuali hal itu, maka itulah yang mesti diberlakukan, sekalipun seandainya pengucapannya melenceng dari kebiasaan umum. Misalnya, seseorang mengatakan, “Ini adalah wakaf untuk saudaraku, tapi yang dimaksudkan olehnya dari kata saudaraku itu adalah temanku, maka wakaf tersebut harus diberikan kepada kawannya itu. Sebab, kebiasaan umum itu merupakan hujjah yang diikuti karena ia dianggap sebagai sarana untuk mengungkap suatu maksud. Jadi, kalau suatu maksud sudah diketahui, maka kebiasaan umum itu tidak lagi dijadikan pegangan. Namun bila kita tidak mengetahui maksud pewakaf, maka kebiasaan umum, dan redaksi yang diucapkan pewakaf tidak bisa pula dipahami, maka harus dikembalikan kepada bahasa, persis seperti kita memahami ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi.

Page 34: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

31

Dan kebebasan kehendak pewakaf (wakif) terhadap pemanfaatan harta yang diwakafkan itu atas dasar kemauan yang kuat tanpa paksaan apapun untuk melaksanakan amal baik sebagai shadaqah jariyyah. Sedangkan, ibadah shadaqah jariyyah oleh Allah dijanjikan pahala yang berkesinambungan, walaupun wakif telah meninggal dunia sekalipun. Ini berbeda dengan hibah, dimana secara substansial, harta-harta yang berupa hibah memiliki hukum berbeda dengan wakaf, yaitu boleh dihibahkan kembali, dijual kepada pihak lain atau diwariskan oleh pihak penerima kepada sanak turunannya. Jadi, aspek keutuhan dan keabadian pokok harta wakaf dan pemanfaatan hasil dari pengelolaannya menjadi ciri utama antara wakaf dengan ibadah sosial lainnya.

Karena sifatnya yang lentur dan bebasnya kehendak para wakif, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih, maka calon wakif harus memiliki persyaratan-persyaratan sebelum yang bersangkutan melaksanakan ibadah wakaf. Persyaratan ini bertujuan agar wakaf dapat dilakukan dengan kesadaran penuh, sehingga akan memberikan kemanfaatan untuk banyak orang. Persyaratan seorang calon wakif agar sah adalah harus memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak di sini meliputi empat (4) kriteria, yaitu :

a) Merdeka Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang

Page 35: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

32

lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya. Namun demikian, Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha sepakat, budak itu boleh mewakafkan hartanya bila ada ijin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya. Bahkan Adz-Dzahiri (pengikut Daud Adz-Dzahiri) menetapkan bahwa budak dapat memiliki sesuatu yang diperoleh dengan jalan waris atau tabarru'. Bila ia dapat memiliki sesuatu berarti ia dapat pula membelanjakan miliknya itu. Oleh karena itu, ia boleh mewakafkan, walaupun hanya sebagai tabarru' saja. b) Berakal sehat

Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya. c) Dewasa (baligh) Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya. d) Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai) Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru'), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan

Page 36: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

33

istihsan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain.

Namun ada kalanya seseorang yang mewakafkan

hartanya, tetapi wakaf tersebut tidak langsung terlaksana, dan pelaksanaannya dikaitkan dengan kerelaan orang lain. Ada beberapa hukum wakaf yang berkaitan dengan masalah ini : (a) Orang yang mempunyai hutang, maka hukum wakafnya

ada tiga (3) macam : Jika ia berada di bawah pengampuan karena hutang

dan mewakafkan seluruh atau sebagian hartanya, sedang hutangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki, hukum wakafnya sah. Tetapi pelaksanaannya tergantung pada kerelaan para krediturnya. Apabila mereka merelakannya, maka wakaf dapat terlaksana sebab para kreditur telah menggugurkan hak mereka untuk mencegah atau membatalkan wakaf si debitur, tetapi jika mereka tidak merelakannya, wakaf tidak dapat dilaksanakan. Apabila hutang si wakif tidak sampai meliputi seluruh harta yang dimiliki, maka wakafnya sah dan dapat terlaksana atas kelebihan harta setelah dikurangi sebagian untuk melunasi hutang, sebab perbuatan baiknya tidak merugikan para kreditur

Page 37: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

34

yang haknya tergantung pada kemampuan si wakif untuk melunasi piutang mereka.

Jika ia berada di bawah pengampuan karena hutang, dan mewakafkan seluruh atau sebagian hartanya ketika sedang menderita sakit parah, maka hukum wakafnya seperti hukum wakaf orang yang di bawah pengampuan karena hutang, yakni wakafnya sah tetapi pelaksanaannya tergantung pada kerelaan para kreditur. Apabila setelah si wakif meninggal para kreditur merelakannya, maka wakafnya dapat dilaksanakan, tetapi jika mereka tidak merelakan, maka wakafnya tidak dapat dilaksanakan. Dan para kreditur berhak menuntut pembatalan semua wakafnya jika hutang si wakif meliputi seluruh harta yang dimiliki, atau membatalkan sebagian wakaf sejumlah yang dapat digunakan untuk melunasi hutang saja, apabila hutangnya tidak meliputi harta yang dimiliki. Pada kedua kasus di atas terdapat persamaan, yaitu unsur ketergantungan hak para kreditur pada tanggungan dan harta si debitur secara bersama. Hanya saja dalam kasus pengampuan, terlaksananya wakaf tergantung pada ada atau tidaknya kerelaan para kreditur saat terjadinya wakaf. Sedangkan dalam kasus kedua, dimana si debitur tidak di bawah pengampuan karena hutang dan mewakafkan hartanya ketika sedang sakit parah, tidak ada ketergantungan pelaksanaannya pada ada atau tidak

Page 38: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

35

adanya kerelaan para kreditur kecuali setelah si debitur meninggal.

Jika dia tidak di bawah pengampuan karena hutang dan mewakafkan seluruh atau sebagian hartanya ketika dalam keadaan sehat, maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan, baik hutangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki atau hanya sebagian saja. Sebab dalam kasus ini, tidak ada hak si debitur, yang ada tergantung hak mereka pada tanggungannya saja. Dan kemungkinan bahwa setelah wakaf terjadi si debitur dapat melunasi semua hutangnya, sebab dia masih sehat dan bisa mencari harta lagi.

(b) Apabila wakif mewakafkan hartanya ketika sedang sakit

parah (sakit yang mematikan). Jika ketika mewakafkan harta tersebut dia masih cakap untuk melakukan perbuatan baik (tabarru'), maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan selama dia masih hidup, sebab selama itu penyakitnya tidak bisa dihukumi sebagai penyakit kematian. Tetapi jika kemudian si wakif meninggal karena penyakit yang diderita tersebut, maka hukum wakafnya sebagai berikut :

Jika dia meninggal sebagai debitur, maka hukum

wakafnya seperti yang telah diuraikan dalam poin (a) di atas.

Jika dia meninggal tidak sebagai debitur, maka hukum wakaf yang terjadi ketika dia sedang sakit seperti hukumnya wasiat. Yakni jika yang diberi

Page 39: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

36

wakaf bukan ahli warisnya dan harta yang diwakafkan tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) hartanya, maka wakaf terlaksana hanya sebatas sepertiga hartanya saja, sedangkan selebihnya tergantung pada kerelaan ahli waris, sebab kelebihan dari sepertiga harta tersebut adalah menjadi hak milik mereka.

Jika yang diberi wakaf adalah ahli warisnya, maka

pelaksanaan wakafnya tergantung pada kerelaan ahli waris lainnya yang tidak menerima wakaf, baik wakafnya kurang dari sepertiga atau lebih dari harta yang ditinggalkan. Jika yang diberi wakaf sebagian ahli waris dan sebagian bukan ahli waris, maka pelaksanaan wakaf yang diberikan kepada ahli waris tergantung pada kerelaan ahli waris lainnya, adapun yang kepada bukan ahli waris pelaksanaan wakafnya tidak tergantung pada kerelaan ahli waris selama harta yang diwakafkan tidak lebih sepertiga hartanya. Maksudnya ialah jika ahli waris (bukan nazhir) merelakan, maka wakaf dapat dilaksanakan dan manfaatnya dapat dibagikan kepada semua mauquf 'alaih sesuai dengan syarat yang ada. Tetapi jika mereka tidak merelakan, wakaf tersebut tetap dibagikan kepada para mauquf 'alaih sesuai dengan syarat yang ada, hanya saja yang menjadi bagian ahli waris kemudian dibagikan kepada seluruh ahli waris (yang menjadi nazhir dan yang bukan) sesuai dengan bagian masing-masing sesuai Syara'.

Muzakky

Page 40: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

37

Orang yang menunaikan ibadah zakat disebut dengan muzakky, memiliki kedudukan sama seperti wakif dalam urusan wakaf sebagai pihak yang mengeluarkan harta. Yang membedakan secara mencolok adalah aspek hukumnya. Kalau zakat didasarkan pada aspek kemampuan (kepemilikan) atas harta dalam kadar tertentu untuk dikeluarkan sebagiannya yang bertujuan untuk membersihkan harta secara batiniyyah yang berhukum wajib. Sedangkan wakaf dijalankan setelah melaksanakan ibadah zakat sebagai bentuk perbuatan hukum yang bersifat sunnah dalam rangka kemaslahatan masyarakat banyak. Dari segi hukumnya, mungkin bisa dipilah menjadi kesimpulan yang sederhana, bahwa orang yang kena wajib zakat belum tentu mampu berwakaf, sedangkan orang yang berwakaf sudah tentu sudah melakukan zakat. Jadi, dalam urutan hirarkhi hukumnya, menunaikan ibadah zakat dulu, baru melaksanakan ibadah wakaf. Pelaksanaan zakat bagi muzakky, karena berbobot hukum wajib, tidak sekedar amal karitatif (kedermawanan), tetapi ia sesuatu ibadah yang bersifat otaritatif (ijbari) yang melibatkan pihak kekuasaan. Oleh karena itu, pelaksanaan zakat tidak saja dipertanggungjawabkan secara individu, tapi juga kepada pemerintah (ulil amri), karena dalam pengamalannya lebih berat dibanding dengan ibadah-ibadah sosial lain karena terkait dengan hak para mustahiq-nya. Sedangkan wakaf bersifat sukarela dan tidak ada pihak yang harus dipertanggungjawabkan atas perintah pelaksanaannya. Jika tujuan wakaf diniatkan secara tulus ikhlas oleh wakif, maka Allah akan menjamin pahala di akhirat kelak yang berlipat-lipat dan kontinyu.

Page 41: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

38

Dengan sifat hukum zakat seperti itulah, dalam pelaksanaannya sangat diperlukan adanya kepastian dan ketegasan, agar hak-hak para ashnaf delapan (obyek zakat delapan kelompok), terutama fakir miskin yang terdapat dalam harta orang kaya, dapat diterimanya dengan pasti dan demi tegaknya keadilan. Dan kepastian pelaksanaan zakat, ditetapkan pula sanksi bagi mereka (yang membangkang). Sanksi terhadap pembangkang ibadah zakat (mani’ al-zakah) tidak sama dengan pembangkang ibadah-ibadah wajib lainnya yang hanya bersifat ancaman ukhrawi dan preventif, tapi pembangkang ibadah zakat dapat dikenakan sanksi keras dan berganda, yaitu sanksi di dunia dan akhirat, karena pembangkang zakat ini telah melakukan kesalahan ganda pula, yaitu kepada Allah dan kepada orang-orang yang mempunyai hak dalam hartanya (lihat QS: 70/Al-Ma’arif: 24-25). Khalifah Abu Bakar pernah bertindak keras kepada para pembangkang zakat dengan mengeluarkan ultimatum: “Aku akan perangi orang yang menolak mengeluarkan zakatnya walaupun berupa seekor anak kambing yang dimasa Rasulullah mereka tunaikan”. Sikap tegas Abu Bakar ini berpedoman kepada hadits Nabi yang berbunyi: “Aku (Rasulullah) diperintahkan memerangi suatu golongan manusia, sampai mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat….”. Hadits Nabi yang dijadikan pedoman Abu Bakar akan memerangi pihak yang menolak membayar zakat merupakan landasan teoritik dan operasional yang dijelaskan oleh Nabi SAW, meskipun Nabi SAW sendiri

Page 42: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

39

semasa hidupnya tidak pernah melakukan tindakan tegas memerangi orang yang tidak mau membayar zakat, karena tidak menemukan tantangan seperti yang disebutkan dalam hadits tersebut, khususnya orang Islam yang menentang kewajiban zakat. Tetapi pada awal pemerintahan Khalifah Abu Bakar timbul suatu gerakan yang tidak mau membayarkan zakatnya kepada Khalifah. Pada masa Khalifah Abu Bakar, berdasarkan hadits tersebut, mengambil suatu kebijaksanaan bahwa golongan yang tidak mau lagi membayar zakat dihukum telah murtad, dan mereka boleh diperangi. Kenapa zakat berhukum wajib bagi yang mampu? Karena Islam menghendaki agar keadilan sosial bisa terwujud. Gagasan fundamental zakat bagi orang yang memiliki kemampuan harta dalam ukuran tertentu bertujuan untuk memberdayakan kaum fakir miskin dan mereka yang membutuhkan lainnya secara ekonomi, sehingga dimungkinkan untuk dapat mencukupi diri mereka sendiri. Oleh sebab itu, al-Quran mengutuk keras terhadap orang yang sudah mapan secara ekonomi, tetapi tidak menunjang apalagi menghalangi terwujudnya keadilan sosial, seperti enggan mengeluarkan zakat, infaq, sedekah (wakaf) atau pinjaman kebajikan (qardlul hasan) kepada fakir miskin yang memiliki kemampuan berusaha. Dari segi gagasan fundamental, sebenarnya wakaf memiliki kesamaan visi dengan zakat, yaitu terjadinya pemerataan keadilan ekonomi. Tetapi yang membedakan adalah filosofi hukum dan titik tekan atau arah pemberdayaannya. Zakat adalah unsur pembersihan harta muzakky yang dimiliki untuk dibagikan kepada delapan

Page 43: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

40

ashnaf (obyek zakat), khususnya kaum fakir miskin, sedangkan wakaf merupakan unsur penambahan amal kebajikan yang berdimensi kontinyuitas pahala dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal lain yang membedakan dari seorang Wakif dengan Muzakky adalah keterkaitan dengan ikrar. Kalau wakif dibutuhkan ikrar sebelum yang bersangkutan melaksanakan wakaf, sedangkan muzakky tidak diperlukan ikrar karena pelaksanaan zakat sifatnya ijbari (keharusan yang bersifat memaksa) dimana tanggungjawab pengelolaannya diserahkan kepada amil yang dibentuk oleh ulil amri (pemerintah). Namun arah dari pelaksanaan keduanya mengerucut kepada pemerataan kesejahteraan ekonomi. Sehinga dengan demikian antara wakif dengan muzakky memiliki ruang apresiasi tersendiri, walaupun akan menuju pada titik yang sama, yaitu pemerataan keadilan sosial berdasarkan semangat keagamaan. b. Mauquf bih dan Mal az-Zakat

Mauquf bih (Harta Wakaf) Benda yang diwakafkan disebut dengan mauquf bih.

Sebagai obyek wakaf, mauquf bih merupakan hal yang sangat penting dalam perwakafan. Namun demikian, harta yang diwakafkan tersebut bisa dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;

(a) Benda harus memiliki nilai guna. Tidak sah hukumnya

mewakafkan sesuatu yang bukan benda, misalnya hak-hak yang bersangkut paut dengan benda, seperti : hak irtifaq, hak irigasi, hak lewat, hak pakai dan lain

Page 44: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

41

sebagainya. Tidak sah pula mewakafkan benda yang tidak berharga menurut syara’, yakni benda yang tidak boleh diambil manfaatnya, seperti benda memabukkan dan benda-benda haram lainnya. Karena maksud wakaf adalah mengambil manfaat benda yang diwakafkan serta mengharapkan pahala atau keridhaan Allah atas perbuatan tersebut.

(b) Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan

untuk diwakafkan. Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam sejarahnya dan juga sampai sekarang pada umumnya mewakafkan harta berupa benda yang tidak bergerak, seperti tanah, bangunan untuk masjid, madrasah, pesantren, rumah sakit, panti asuhan, kuburan dan lain sebagainya. Dan pandangan ini secara kebetulan juga telah disepakati oleh semua madzhab empat. Garis umum yang dijadikan sandaran golongan Syafi’iyyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta tersebut, baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak maupun barang kongsi (milik bersama) (Asy-Syarbini : 1958 : 376). Namun demikian, walaupun golongan Syafi’iyyah membolehkan harta bergerak seperti uang, saham dan surat berharga lainnya, umat Islam Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya karena dikhawatirkan wujud barangnya bisa habis.

(c) Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui)

ketika terjadi akad wakaf. Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlahnya, seperti seratus juta

Page 45: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

42

rupiah, atau bisa juga menyebut dengan nisbahnya terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah yang dimiliki, dan lain sebagainya. Wakaf yang tidak menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan, maka tidak sah hukumnya, seperti mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku dan sebagainya.

(d) Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik

sempurna (al-milk at-tamm) si wakif (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf. Oleh karenanya, jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum menjadi miliknya, walaupun nantinya akan menjadi miliknya, maka hukumnya tidak sah, seperti mewakafkan benda atau sejumlah uang yang masih belum diundi dalam arisan, mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau jaminan jual beli dan lain sebagainya.

Apakah yang boleh diwakafkan hanya benda tidak bergerak saja ? Terdapat beberapa pendapat sebagai berikut: a. Madzhab Hanafi Madzhab Hanafi berpendapat, bahwa harta yang sah diwakafkan adalah : Benda tidak bergerak. Benda yang tidak bergerak ini

dipastikan 'ain-nya memiliki sifat kekal dan memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus.

Page 46: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

43

Benda bergerak. Dalam mazhab Hanafi dikenal dengan sebuah kaidah : "Pada prinsipnya, yang sah diwakafkan adalah benda tidak bergerak". Sumber kaidah ini ialah asas yang paling berpengaruh dalam wakaf, yaitu ta'bid (tahan lama). Sebab itu, mazhab Hanafi memperbolehkan wakaf benda bergerak sebagai pengecualian dari prinsip. Benda jenis ini sah jika memenuhi beberapa hal : Pertama, keadaan harta bergerak itu mengikuti benda tidak bergerak dan ini ada dua macam : (1) barang tersebut mempunyai hubungan dengan sifat diam di tempat dan tetap, misalnya bangunan dan pohon. Menurut ulama Hanafiyah, bangunan dan pohon termasuk benda bergerak yang bergantung pada benda tidak bergerak, (2) benda bergerak yang dipergunakan untuk membantu benda tidak bergerak, seperti alat untuk membajak, kerbau, yang dipergunakan bekerja dan lain-lain. Kedua, kebolehan wakaf benda bergerak itu berdasarkan atsar yang membolehkan wakaf senjata dan binatang-binatang yang dipergunakan untuk perang. Sebagaimana yang diriwayatkan bahwa Khalid bin Walid pernah mewakafkan senjatanya untuk berperang di jalan Allah SWT. Ketiga, wakaf benda bergerak itu mendatangkan pengetahuan seperti wakaf kitab-kitab dan mushaf. Menurut ulama Hanafiyah, pengetahuan adalah sumber pemahaman dan tidak bertentangan dengan nash. Mereka menyatakan bahwa untuk mengganti benda wakaf yang dikhawatirkan tidak kekal adalah memungkinkan kekalnya manfaat. Menurut mereka mewakafkan buku-buku dan mushaf di mana yang

Page 47: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

44

diambil adalah pengetahuannya, kasusnya sama dengan mewakafkan dirham dan dinar (uang). Ulama Hanafiyah juga membolehkan mewakafkan barang-barang yang memang sudah bisa dilakukan pada masa lalu seperti tempat memanaskan air, sekop, kampak sebagai alat manusia bekerja.

b) Madzhab Syafi'i Menurut ulama yang mengikuti Imam Syafi'i bahwa barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya, baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak maupun barang kongsi (milik bersama). c) Madzhab Maliki Madzhab Maliki berpendapat boleh juga mewakafkan benda bergerak, baik yang menempel dengan yang lain, baik ada nash yang memperbolehkannya atau tidak, karena madzhab ini tidak mensyaratkan ta'bid (harus selama-lamanya) pada wakaf, bahkan menurut madzhab ini wakaf itu sah meskipun sementara. Dari uraian terhadap karakteristik harta wakaf (mauquf bih) oleh pandangan beberapa ulama, dapat disimpulkan bahwa harta wakaf tidak ada batasan minimal jika ingin wakafnya menjadi sah. Memang masih menjadi kontroversi apakah boleh berwakaf dalam bentuk tunai atau tidak. Namun ketika kita melihat konsep dasar wakaf dimana hukum-hukum wakaf lebih banyak yang bersifat ijtihadi, maka kita berkesimpulan bahwa wakaf tunai telah menjadi keniscayaan dalam era yang serba moderen ini. Dan jika wakaf tunai bisa diterima oleh masyarakat Islam, maka

Page 48: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

45

pelaksanaan wakaf bisa dilakukan oleh siapapun, berapa pun jumlahnya selama si calon wakif sudah menunaikan kewajiban zakat terlebih dahulu. Berbeda dengan konsep zakat, bahwa harta yang harus dikeluarkan zakatnya apabila harta tersebut sudah mencapai jumlah tertentu (nishab). Mal al-Zakat (Harta yang harus dizakati) Jenis harta yang harus dikeluarkan zakatnya, al-Quran tidak merinci secara eksplisit. Al-Quran hanya menggunakan lafadz yang umum, yaitu amwal yang bermakna segala macam jenis harta, meskipun dalam hadits Nabi telah disebutkan beberapa nama dan jenis harta yang wajib dizakati seperti al-masyiyah (beberapa jenis hewan), dzahab-fiddah (emas-perak), ‘urudu al-tijarah (harta perdagangan), zuru’ tsimar (hasil pertanian dan tumbuh-tumbuhan tertentu), dan rikaz ma’din (harta temuan dan galian/pertambangan), tetapi tidak membatasi nama dan jenis harta kekayaan selain dari lima macam di atas. Dari lima jenis harta yang disebut dalam kitab-kitab fikih pada umumnya dan beberapa hadits Nabi SAW adalah bersifat kondisional berdasarkan kenyataan pertumbuhan ekonomi dan produksi pada waktu itu. Analisis fuqaha yang dituangkan dalam kitab-kitab fiqih tidaklah salah. Yang keliru adalah pemahaman sebagian orang karena belum mampu memahami pengertian masing-masing nama dan jenis harta wajib zakat seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi dan atau dalam kitab-kitab fikih klasik, diantaranya pengertian urudh al-tijarah dan terminologi lainnya.

Page 49: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

46

Urudh al-tijarah adalah beberapa jenis dan bentuk barang atau jasa yang diperjualbelikan atau diperdagangkan yang sekarang sudah sangat banyak macam ragamnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan ekonomi. Diantaranya perdagangan komoditi dan jasa yang menghasilkan uang yang banyak sehingga menjadi kaya, seperti perdagangan atau usaha dalam bidang peternakan unggas, ayam, pembudidayaan tambak udang, bunga anggrek, jasa telekomonikasi, jasa dokter, jasa hukum, transportasi, pengobatan, kecantikan dan sejenisnya yang tidak dapat dihitung lagi macamnya. Apakah semuanya itu bukan bentuk dari dari urudh al-tijarah, dan apakah wajib dizakati apabila telah mencapai ketentuan nishab, haul dan tamm milk (kepemilikan sempurna)-nya. Jadi semua bentuk perdagangan dan usaha-usaha seperti disebutkan di atas termasuk urudh al-tijarah yang wajib dikeluarkan zakatnya, bukan berzakat ayam, berzakat udang dan sebagainya, tetapi menzakatkan hasil perdagangan dari mata benda yang diperdagangkan pada masa sekarang dan masa mendatang yang mengandung nilai ekonomi. Termasuk yang perlu direorientasi adalah pengertian dzahab (emas) dan fadhdhah (perak) yang selama ini diartikan emas dan perak batangan atau yang sudah berbentuk dalam wujud lain selain perhiasan wanita. Sesunguhnya dzahab fidhdhah hanyalah simbol kekayaan yang dimiliki oleh seseorang pada masa dulu. Pada masa sekarang harta benda dan kekayaan itu adalah sejumlah uang yang diperoleh dari hasil usaha yang baik dan halal, seperti upah, honorarium, uang jasa, hasil keuntungan bisnis, gaji (penghasilan tetap) dan seluruh komoditi dan

Page 50: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

47

produk yang bersumber dari perut bumi. Semua kekayaan tersebut wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai ketentuan umumnya. Sesungguhnya penyebutan nama dan jenis harta kekayaan dalam beberapa hadits Nabi itu, bukan sebagai penetapan yang mengecualikan (takhsis) atau nama dan jenis harta yang lain, tetapi pada saat itu harta yang menjadi kebutuhan pokok hidup bagi masyarakat dan yang memiliki nilai ekonomi, khususnya pada masyarakat di Jazirah arab dan sekitarnya, masih terbatas pada jenis-jenis tersebut, sedangkan pada masa sekarang dan selanjutnya sudah muncul beberapa jenis harta dan kekayaan baru, karena pesatnya perkembangan iptek dan kebudayaan yang melahirkan kreasi dan produk-produk baru, baik berupa hasil penggalian potensi alam maupun hasil potensi sumber daya manusia, bahkan mengalahkan pertumbuhan jenis-jenis harta kekayaan konvensional seperti tersebut di atas. Dengan kemajuan iptek serta tingkat pertumbuhan ekonomi modern, muncul pula berbagai jenis kekayaan baru yang lebih potensial dan produktif, meskipun jenis dan nama harta yang baru itu tidak disebut secara eksplisit dalam al-Quran dan Hadits, tetapi hal itu bukan menjadi pengecualian (takhsis) bahwa macam dan jenis harta kekayaan selain dari yang disebutkan dalam nash tersebut tidak wajib dizakati. Dengan demikian, seluruh harta kekayaan yang berkembang sekarang dan akan datang merupakan kebutuhan pokok hidup sehari-hari atau yang mempunyai nilai ekonomi wajib dikeluarkan zakatnya dengan mengqiyaskan kepada jenis-jenis harta kekayaan

Page 51: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

48

konvensional di atas, sesuai dengan maksud hadits Nabi SAW:

نخرج الصدقات مما نعد للبيع انكنا نؤمر

Artinya: Kami para sahabat diperintahkan oleh Nabi SAW supaya mengeluarkan zakat atas suatu barang yang biasa diperjualbelikan. Dalam hadits yang lain Nabi bersabda:

اةلكل شيء زكArtinya: Dalam setiap harta kekayaan terdapat kewajiban zakat. Menurut al-Qardhawi, karakteristik dan jenis harta yang wajib dizakati adalah sebagai berikut: Semua harta benda dan kekayaan yang mengandung

illat kesuburan dan berkembang, baik dengan sendirinya atau dikembangkan dengan cara diinvestasikan, diternakkan atau didagangkan.

Semua jenis tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang mempunyai harga dan nilai ekonomi.

Semua jenis harta benda yang bernilai ekonomi yang berasal dari perut bumi atau dari laut, baik berwujud cair atau padat.

Semua harta kekayaan yang diperoleh dari berbagai usaha dan penjualan jasa. Syekh Taqiyuddin mengemukakan pendapatnya, bahwa

seluruh jenis harta benda yang diharapkan bisa berkembang, baik dengan sendirinya maupun dikelola oleh

Page 52: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

49

orang lain, wajib dikeluarkan zakatnya. Dia mengasumsikan pengertian etimologi zakat adalah pengembangan, penumbuhan dan penyuburan, maka seluruh jenis harta apapun yang bisa berkembang wajib dikeluarkan zakatnya.

Muhammad Abu Zahrah mengemukakan sifat-sifat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya sebagai berikut: Pertama, sifat harta itu bisa mengangkat status seseorang dari kemiskinan; Kedua, sifat kepemilikan terhadap harta yang terkena wajib zakat harus tidak hilang sewaktu-waktu, yaitu harus kepemilikan sempurna; Ketiga, harta kekayaan itu harus harta yang dapat berkembang, baik melalui suatu perbuatan maupun melalui suatu kebajikan, dimana seorang dapat menempuh berbagai cara untuk mengembangkan hartanya.

Dari berbagai pendapat para ahli fikih tersebut memberikan kesimpulan bahwa semua harta benda yang memiliki nilai ekonomi harus dikeluarkan zakatnya, baik bergerak maupun tidak nergerak. Hal ini juga berlaku pada prinsip harta yang boleh diwakafkan bahwa semua jenis harta dapat diwakafkan selama memiliki aspek kemanfaatan dan tidak mengarah pada kemaksiatan atau kerusakan. Yang paling ditekankan oleh ajaran wakaf adalah bukan barang itu sendiri, tapi manfaat dari harta benda wakaf tersebut, sedangkan eksistensi bendanya harus tetap utuh.

c. Nazhir dan ‘Amil

Nazhir (Pengelola harta wakaf) Kehadiran nazhir sebagai pihak yang diberikan

kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf sangat lah

Page 53: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

50

penting. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf, baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan (badan hukum). Pengangkatan nazhir wakaf ini bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus, sehingga harta wakaf itu tidak sia-sia.

Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya benda wakaf tergantung dari nazhir itu sendiri. Untuk itu, sebagai instrument penting dalam perwakafan, nazhir harus memenuhi syarat-syarat yang memungkinkan, agar wakaf bisa diberdayakan sebagaimana mestinya.

Secara garis umum, syarat-syarat nazhir itu harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Para ahli fiqih menetapkan, syarat-syarat yang luwes (pantas dan tidak kaku), seperti hendaklah orang yang pantas dan layak memikul tugasnya. Kepantasan dan kemampuan melaksanakan tugasnya.

Mengingat salah satu tujuan wakaf ialah menjadikannya sebagai sumber dana yang produktif, tentu memerlukan nazhir yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara professional dan bertanggung jawab. Apabila nazhir tidak mampu melaksanakan tugas (kewajiban) nya, maka Qadhi (pemerintah) wajib menggantinya dengan tetap menjelaskan alasan-alasannya.

Fleksibelitas persyaratan nazhir wakaf itu tergantung kebutuhan di lapangan. Kalau selama ini nazhir wakaf

Page 54: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

51

perseorangan masih dipakai dan ternyata dalam pelaksanaannya tidak memberikan peran yang baik dalam pengelolaan wakaf, maka persyaratan nazhir harus berupa badan hukum menjadi keniscayaan agar dapat memberdayakan benda-benda wakaf secara optimal. Kebijakan ini (nazhir harus berupa lembaga atau badan hukum) juga akan diterapkan dalam UU Wakaf di Indonesia yang akan segera diundangkan.

Pada dasanya, siapapun dapat menjadi nazhir sepanjang ia bisa melakukan tindakan hukum. Tapi, karena tugas nazhir menyangkut harta benda yang manfaatnya harus disampaikan pada pihak yang berhak menerimanya, jabatan nazhir harus diberikan kepada orang yang memang mampu menjalankan tugas itu. Para Imam mazhab sepakat pentingnya nazhir memenuhi syarat adil dan mampu. Menurut jumhur ulama, maksud “adil” adalah mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang menurut Syari’at Islam. Sedangkan maksud kata “mampu” berarti kekuatan dan kemampuan seseorang mentasharrufkan apa yang dijaga (dikelola) nya. Dalam hal kemampuan ini dituntut sifat taklif, yakni dewasa dan berakal. Jika nadhir tidak memenuhi syarat adil dan mampu, hakim (pemerintah) boleh menahan wakaf itu dari nazhir.

Untuk lebih jelasnya, persyaratan nazhir wakaf itu dapat diungkapkan sebagai berikut :

(a) Syarat moral

Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah maupun perundang-undangan negara RI

Page 55: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

52

Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf

Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha

Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual

(b) Syarat manajemen

Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership

Visioner Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual,

sosial dan pemberdayaan Profesional dalam bidang pengelolaan harta Ada masa bakti nazhir Memiliki program kerja yang jelas

(c) Syarat Bisnis

Mempunyai keinginan Mempunyai pengalaman dan atau siap untuk

dimagangkan Punya ketajaman melihat peluang usaha

sebagaimana layaknya entrepreneur Dari persyaratan yang telah dikemukakan di atas

menunjukkan bahwa nazhir menempati pada pos yang sangat sentral dalam pola pengelolaan harta wakaf. Ditinjau dari segi tugas nazhir, dimana dia berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan manfaat dari

Page 56: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

53

harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya, jelas bahwa fungsi dan tidak berfungsinya suatu wakaf tergantung dari peran nazhir.

Dari sinilah masalahnya, sebagai nazhir harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas sehingga mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam mengelola wakaf dengan maksimal dan optimal sesuai dengan harapan para wakif secara khusus dan kaum muslimin secara umum. Sehingga pengalaman-pengalaman pengelolaan harta wakaf yang tidak produktif seperti yang lalu tidak terulang lagi. Untuk itu, dalam persoalan nazhir ini ada beberapa istilah yang harus dirubah paradigmanya, yaitu dari pengelolaan yang bersifat konsumtif menuju pengelolaan yang bersifat produktif. Dari nazhir tradisional yang mendasarkan kepada kepercayaan semata menuju nazhir profesional yang direkrut berdasarkan keahlian dalam bidang masing-masing. Serta memberdayakan dari nazhir perseorangan menuju nazhir kelembagaan agar mudah pertanggung jawabannya.

‘Amil (Pengelola harta zakat)

Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya, Fiqh Zakat, menyatakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut: Pertama, beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin yang termasuk Rukun Islam (Rukun Islam Ketiga), karena itu sudah saatnya urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh sesama muslim. Kedua, mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang

Page 57: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

54

siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat. Ketiga, memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang patut dan layak dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan peratanggungjawaban secara berkala dan juga ketetapan penyalurannya sejalan dengan ketentuan Syariat Islam. Sebagai bukti sejarah, bahwa sifat amanah yang sangat menonjol dari petugas zakat di zaman Rasulullah saw dan pada jaman khulafa’ rasyidin, menyebabkan baitul-mal tempat menampung zakat selalu penuh terisi dengan harta zakat, untuk kemudian disalurkan kepada orang yang berhak menerimanya. Dalam periode Daulah Bani Umayyah yang berlangsung selama hampir sembilan puluh tahun (41-127 H), tampil salah seorang khalifahnya yang sangat terkenal, yaitu Umar bin Abdul Aziz (99-101). Dia terkenal karena kebijakan dan keadilan serta keberhasilannya dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakat, termasuk keberhasilannya dalam penanganan zakat yang ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan, sehingga para petugas zakat mengalami kesulitan dalam mencari golongan fakir miskin yang membutuhkan harta zakat tersebut. Keempat, mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat. Dengan pengetahuan tentang zakat yang relatif memadai,

Page 58: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

55

para amil zakat diharapkan terbebas dari kesalahan dan kekeliruan yang diakibatkan dari kebodohannya pada masalah zakat tersebut. Pengetahuan yang memadai tentang zakat inipun akan mengundang kepercayaan dari masyarakat. Kelima, memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Amanah dan jujur merupakan syarat yang sangat penting, akan tetapi harus ditunjang oleh kemampuan dalam melaksanakan tugas. Perpaduan antara amanah dan kemampuan inilah yang akan menghasilkan kinerja yang optimal. Keenam, syarat yang tidak kalah pentingnya adalah kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang full time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan. Banyaknya amil zakat yang sambilan dalam masyarakat kita menyebabkan amil zakat tersebut pasif dan hanya menunggu kedatangan muzakki untuk membayarkan zakatnya atau infaknya. Dan sebagian besar amil zakat berfungsi secara lebih baik pada saat bulan Ramadhan saja.Kondisi semacam ini harus segera dihentikan dan diganti dengan amil-amil yang serius, sungguh-sungguh dan menjadikan pekerjaan amil zakat sebagai pilahan hidupnya. Di Indonesia, berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 1999 dijelaskan bahwa lembaga zakat harus memeiliki persyaratan teknis, antara lain adalah: 1. Berbadan hukum 2. Memiliki data muzakki dan mustahik 3. Memiliki program kerja yang jelas

Page 59: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

56

4. Memiliki pembukuan yang baik 5. Melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit

Beberapa persyaratan menjadi amil zakat yang dikemukan di atas merupakan arah pada pengelolaan harta zakat secara profesional dan transparan dari setiap lembaga pengelola zakat. Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan semakin bergairah menyalurkan zakatnya melalui lembaga pengelola. Ditinjau dari SDM pengelola, antara wakaf dan zakat tidak memiliki perbedaan yang cukup menonjol. Hanya yang menjadi titik tekan bagi pengelola adalah bahwa arah pengelolaan zakat lebih kepada pihak yang berhak, yaitu delapan ashnaf (khususnya fakir dan miskin). Sedangkan arah pengelolaan wakaf tidak terpaku pada kelompok-kelompok seperti zakat, tapi untuk kesejahteraan masyarakat banyak, termasuk para wakif itu sendiri. d. Mauquh ‘Alaih dan Mustahiq

Mauquf ‘Alaih (sasaran wakaf) Yang dimaksud dengan mauquf 'alaih adalah pihak

penerima wakaf. Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan Syariat Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhan. Karena itu mauquf 'alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para faqih sepakat bahwa infaq kepada pihak kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai ibadah yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya.

Page 60: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

57

Namun terdapat perbedaan pendapat antara para faqih mengenai jenis ibadat disini, apakah ibadat menurut pandangan Islam ataukah menurut keyakinan wakif atau keduanya, yaitu menurut pandangan Islam dan keyakinan wakif.

a. Madzhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf 'alaih

ditujukan untuk ibadah menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan wakif. Jika tidak terwujud salah satunya, maka wakaf tidak sah. Karena itu :

Sah wakaf orang Islam kepada semua syi'ar-syi'ar Islam dan pihak kebajikan, seperti orang-orang miskin, rumah sakit, tempat penampungan dan sekolah. Adapun wakaf selain syi'ar-syi'ar Islam dan pihak-pihak kebajikan hukumnya tidak sah, seperti klub judi dan lain-lain.

Sah wakaf non muslim kepada pihak kebajikan umum seperti tempat ibadat dalam pandangan Islam seperti pembangunan masjid, biaya masjid, bantuan kepada jamaah haji dan lain-lain. Adapun kepada selain pihak kebajikan umum dan tempat ibadat dalam pandangan agamanya saja seperti pembangunan gereja, biaya pengurusan gereja hukumnya tidak sah.

صدقة جارية يعنى ثوابها يجرى ابدا وغير المسلم الثواب له

Artinya : Pahala sedekah jariyah terus mengalir selain muslim tidak ada pahalanya. b. Madzhab Maliki mensyaratkan agar mauquf 'alaih untuk

ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim

Page 61: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

58

kepada semua syi'ar Islam dan badan-badan sosial umum. Dan tidak sah wakaf non muslim kepada masjid dan syiar-syiar Islam.

c. Madzhab Syafi'i dan Hambali mensyaratkan agar mauquf 'alaih adalah ibadat menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif. Karena itu sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti penampungan, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam Islam seperti masjid. Dan tidak sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial yang tidak sejalan dengan Islam seperti gereja.

Secara garis umum, pihak yang menerima wakaf adalah kabajikan umum dan tidak ditentukan secara lebih jelas oleh nash. Namun para ulama berbeda pendapat, apakah peruntukan wakaf hanya untuk orang Islam sendiri atau boleh juga pihak-pihak yang beragama non muslim? Untuk menentukannya diperlukan sebuah kajian yang terkait dengan kondisi sosial yang ada atau melalui permintaan persetujuan dari para wakif.

Mustahiq (penerima zakat) Seperti yang kita telah ketahui bahwa pihak-pihak yang

berhak menerima zakat sudah ditentukan oleh nash secara jelas, yaitu delapan golongan (ashnaf), yaitu: fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim (orang yang berutang), sabilillah (untuk jalan Allah) dan Ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan). Kedelapan ashnaf tersebut yang paling dahulu disebut oleh Allah adalah mereka yang memiliki status fakir dan miskin. Karena fakir dan miskin

Page 62: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

59

adalah kelompok sosial dalam masyarakat yang paling lemah dan harus mendapatkan perhatian serius dari para pemilik harta.

Menurut Abdul Aziz al-Khayyat sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdurrahman Qadir, MA dalam bukunya, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, bahwa kelompok penyandang masalah sosial yang termasuk dalam kategori fakir miskin yang menjadi sasaran utama zakat adalah sebagai berikut:

1. Para anak yatim, yaitu mereka yang ditinggal mati oleh orang tuanya, dan tidak memiliki harta warisan. Pemberian jaminan sosial dan dana zakat kepada mereka tidak semata-mata untuk makan dan minum, tetapi meliputi untuk biaya membangun sarana pendidikan pembinaan akhlak serta pemberian bekal yang memadai untuk masa depan mereka.

2. Para lanjut usia yang tidak mampu lagi berusaha dan mereka tidak memiliki harta serta tidak ada keluarga dekat yang menjaminnya.

3. Mereka yang tertimpa musibah kerugian harta benda dan orang-orang yang memerlukan bantuan lainnya.

4. Ibu yang hamil atau yang sedang menyusui anaknya, dan mereka miskin, meskipun mampu berusaha tetapi harus menjaga kesehatannya demi janin dan anaknya.

5. Wanita yang diceraikan (janda), yang tidak memiliki harta dan tidak mampu bekerja di tempat kerja yang

Page 63: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

60

terjamin kehormatan mereka. Jaminan ini berlanjut sampai mereka mendapatkan suami atau sampai mereka meninggal dunia.

6. Mereka yang tidak produktif lagi, karena cacat akibat kecelakaan kerja.

7. Para gelandangan dan penganggur yang benar-benar sulit mendapatkan pekerjaan.

8. Anak-anak terlantar yang tidak diketahui siapa orang tuanya.

9. Para penuntut ilmu di rantau orang. Mereka diperlukan untuk membangun dan mencerdaskan masyarakat di kampungnya nanti setelah mereka selesai menempuh pendidikannya.

10. Mereka yang ingin menikah, tetapi tidak mempunyai harta atau uang untuk biaya pernikahan tersebut. Mereka perlu dibantu, karena hal ini termasuk hajah daruri atau asliyyah.

11. Para tahanan termasuk narapidana yang miskin. Mereka perlu diberi bantuan makanan dan pakaian tambahan sekedar untuk menjaga jasmaninya dan pengaruh cuaca dingin atau panas di dalam penjara.

Dilihat dari peruntukannya, harta zakat sudah dipetakan sedemikian rupa sebagaimana di atas. Kunci dari pembagian harta yang sudah ditentukan tersebut adalah untuk mewujudkan keadilan sosial. Konsepsi Islam

Page 64: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

61

mengenai keadilan sosial merujuk pada ketentuan al-Quran yang memerintahkan orang supaya berbuat keadilan (al-‘adl) dan kebajikan (al-ihsan) (QS. 51/al-nahl:90). Zakat dalam konteks keadilan sosial mengharuskan keseimbangan (adil) antara konsumsi, produksi dan distribusi di dalam sistem ekonomi. Sedangkan infak, sedekah dan amal kebajikan (al-ihsan) lainnya, termasuk wakaf, menuntut agar kebijaksanaan ekonomi dalam suatu masyarakat harus berorientasi pada peningkatan taraf hidup golongan ekonomi lemah. Jadi, obyek zakat lebih ditekankan akan pentingnya membangun pemerataan keadilan, sedangkankan wakaf memiliki peran pemberdayaan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan obyeknya.

Page 65: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

65

Bagian Ketiga

MEMBANGUN PARADIGMA BARU WAKAF A. Asas Keabadian Manfaat

Ajaran wakaf yang diajarkan oleh Nabi didasarkan pada salah satu riwayat yang memerintahkan Umar bin Khattab agar tanah di Khaibar yang dimilikinya disedekahkan. Perintah Nabi itu menekankan bahwa substansi (keberadaan) kebun tersebut tidak boleh diperjual-belikan, dihibahkan atau diwariskan, dan hasilnya disedekahkan untuk kepentingan umat. Hadits itu memang sangat populer dijadikan dasar pelaksanaan ajaran wakaf dalam Islam. Bunyi hadits tersebut adalah:

:

:

.

.

) (

Artinya: Dari Ibnu Umar ra. berkata : “Bahwa sahabat Umar ra. meperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah SAW. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW.

Page 66: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

66

bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sadekahkan (hasilnya). “Kemudian Umar mensadekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim).

Wakaf yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab

tersebut diikuti oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha’”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’adz bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar al-Anshar”. Kemudian disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan ‘Aisyah Istri Rasulullah SAW.

Praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh Nabi yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab dan diikuti oleh beberapa sahabat Nabi yang lain sangat menekankan pentingnya menahan eksistensi benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari pengelolaan benda tersebut. Pemahaman yang paling mudah untuk dicerna dari maksud Nabi adalah bahwa

Page 67: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

67

substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf), tapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan kebajikan umum.

Di lingkungan masyarakat Islam (khususnya Indonesia) sering memahami secara kurang proporsional tentang ajaran wakaf itu sendiri. Pemahaman masyarakat tersebut memang lebih karena dipengaruhi oleh beberapa pandangan Imam Madzhab, seperti Imam Malik dan Imam syafi’i yang menekankan pentingnya keabadian benda wakaf, walaupun telah rusak sekalipun. Pendapat-pendapat tersebut seperti: Golongan Malikiyah berpendapat “tidak boleh” menukar harta wakaf yang terdiri dari benda tak bergerak, walaupun benda itu akan rusak atau tidak menghasilkan sesuatu. Tapi sebagian ada yang berpendapat “boleh” asal diganti dengan benda tak bergerak lainnya jika dirasakan bahwa benda itu sudah tidak bermanfaat lagi. Sedangkan untuk benda bergerak, golongan Malikiyah “membolehkan”, sebab dengan adanya penukaran maka benda wakaf itu tidak akan sia-sia

Imam Asy-Syafi’i sendiri dalam masalah tukar menukar harta wakaf hampir sama dengan pendapatnya Imam Malik, yaitu sangat mencegah adanya tukar menukar harta wakaf. Imam Syafi’i berpendapat : “tidak boleh” menjual masjid secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh. Tapi golongan Syafi’iyyah berbeda pendapat tentang benda wakaf benda tak bergerak yang tidak memberi manfaat sama sekali : Sebagian menyatakan “boleh” ditukar agar harta wakaf itu ada manfaatnya, dan sebagian yang lain menolaknya.

Page 68: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

68

Pendapat kedua Imam tersebut nampaknya menyebabkan kurang fleksibelnya pandangan masyarakat Indonesia yang sampai saat ini banyak yang bersikukuh memeganginya. Akibatnya, banyak benda wakaf yang hanya dijaga eksistensinya tanpa pengelolaan yang baik, meskipun telah usang dimakan usia atau karena tidak strategis dan tidak memberi manfaat apa-apa kepada masyarakat. Bahkan tidak kalah banyaknya benda-benda wakaf justru membebani masyarakat sekitar.

Padahal kalau kita mau meninjau ulang terhadap maksud hadits Nabi di atas adalah agar bagaimana harta yang telah disedekahkan (diwakafkan) dapat memberikan manfaat untuk kepentingan masyarakat banyak. Tanpa bermaksud mengecilkan pendapat kedua ulama tersebut, sebenarnya juga masih ada ulama lain yang memiliki pandangan lebih luwes terhadap benda wakaf, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal, yang membolehkan menukar atau menjual harta wakaf yang sudah tidak memiliki nilai manfaat. Pendapat kedua Imam yang cukup luwes tersebut memberikan peluang terhadap pemahaman baru, bahwa wakaf itu harusnya lebih tepat disandarkan pada aspek kemanfaatannya untuk kebajikan umum dibandingkan hanya menjaga benda-benda tersebut tanpa memiliki kemanfaatan lebih nyata.

Pendapat yang mengatakan bahwa benda-benda wakaf tidak boleh “diutak-atik” tanpa sentuhan pengelolaan dan pengembangan yang lebih bermanfaat semakin kurang relevan dengan kondisi saat ini. Yaitu sebuah kondisi dimana segala sesuatu akan bisa memberikan nilai manfaat (ekonomi) apabila dikelola secara baik. Sejarah berdirinya

Page 69: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

69

masjid Nabawi di masa Rasulullah yang dulunya hanya terbuat dari pelepah kurma dan sekarang sudah dirombak sedemikian rupa hingga menjadi salah satu masjid termegah dan termewah di dunia dengan segala fasilitas modern lainnya merupakan gambaran betapa pentingnya pengembangan potensi (kekayaan) umat Islam untuk kemanfaatan yang lebih besar.

Menurut sebuah riwayat, Rasulullah SAW membangun masjid ditempat unta beliau berhenti pada saat kedatangan beliau di Madinah. Yaitu di Mirbad, sebidang tanah milik dua anak yatim asuhan As’ad bin Zararah. Dua anak pemilik tanah itu sebenarnya ingin menyerahkannya kepada Rasulullah dengan cuma-cuma demi keridhaan Allah, tetapi beliau menolak dan tetap hendak membayar harganya. Kemudian ada keinginan para sahabat Rasulullah bergotong royong mengumpulkan dana untuk mengganti rugi tanah tersebut. Sebelum dibangun masjid, tanah tersebut ditumbuhi pohon-pohon kurma liar dan di dalamnya terdapat beberapa buah kuburan orang-orang musyrik.

Setelah status tanah tersebut dibebaskan dengan dana hasil patungan para sahabat, Rasulullah segera memerintahkan penebangan pohon-pohon kurma dan pembongkaran kuburan yang terdapat di tanah itu hingga rata. Pohon-pohon kurma yang telah ditebang kemudian dipasang berjejer sebagai kiblat bagi masjid yang sedang dibangun –ketika kiblat masih mengarah ke Baitul Maqdis. Mulai dari tempat kiblat hingga bagian belakang masjid, panjangnya kurang lebih seratus hasta, demikian pula disamping kanan dan samping kirinya. Bagian kanan dan

Page 70: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

70

kirinya diperkuat dengan batu dan untuk pemasangan fondasi, tanahnya digali sedalam tiga hasta, kemudian dipasang batu bata. Masjid selesai dibangun dalam bentuk yang amat sederhana. Lantainya terbuat kerikil dan pasir, atapnya terbuat dari pelepah kurma dan tiang-tiangnya terbuat dari batang kurma. Bila hujan turun mungkin tanahnya akan mejadi lumpur dan menarik selera sejenis binatang tertentu untuk mondar mandir di tempat tersebut.

Namun, setelah beberapa tahun dan abad kemudian masjid tersebut mengalami perombakan-perombakan secara bertahap oleh para pemimpin pemerintahan di Madinah. Upaya ini dilakukan karena masjid yang dijadikan tonggak perjuangan Islam Rasulullah di Madinah dinilai sudah kurang relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hingga sampai saat ini masjid tersebut menjadi salah satu masjid termegah dan termewah di dunia, bahkan masjid suci umat Islam yang memiliki nilai sejarah cukup tinggi.

Berawal dari sebuah niat Rasul yang ingin menderikan masjid, kemudian dibiayai secara bersama-sama oleh para sahabatnya merupakan upaya secara nyata bahwa masjid tersebut adalah masjid yang dibangun atas kesadaran kolektif untuk melaksanakan shadaqah jariyyah (wakaf). Dan ini menjadi bukti, bahwa masjid dari hasil wakaf, kemudian dirombak sedemikian rupa hingga sudah berubah secara total, bahkan tidak ada sedikit pun sebongkah batu atau sepotong pelepah kurma yang masih tersisa dari bangunan awal, bukanlah hal yang dilarang sama sekali. Dan hal tersebut juga tidak ada satu ulama pun yang menentang perombakan atau pembangunan kembali masjid tersebut.

Page 71: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

71

Karena apa? Karena perombakan bentuk masjid Nabawi dari bangunan semula sampai berdirinya bangunan yang super megah ini didasari oleh asas kemanfaatan potensi (kekayaan) umat Islam berupa benda wakaf di jaman Rasulullah.

Kita bisa membayangkan, jika bangunan awal masjid Nabawi dibiarkan begitu saja sampai saat ini hingga akhirnya roboh dan mungkin hilang ditelah waktu karena alasan sebagai pelestarian cagar budaya atau pemeliharaan benda wakaf, maka umat Islam seluruh dunia dipastikan tidak akan tahu mana masjid yang dikategorikan suci tersebut. Atau bisa jadi, niat Rasulullah yang ingin menjadikan tempat tersebut sebagai peninggalan bersejarah yang harus dijaga eksistensinya dan memberikan manfaat besar bagi umat Islam seluruh dunia yang sholat di masjid tersebut mendapatkan pahala berlipat-lipat tidak akan tercapai. Oleh karena itu, perombakan masjid tersebut merupakan keniscayaan demi tercapainya kemanfaatan yang lebih luas bagi umat Islam sebagaimana yang dikehendaki para wakif, yaitu Rasulullah dan para sahabatnya.

Potret sejarah berdirinya masjid Nabawi yang sudah dirombak sedemikian rupa hingga menjadi masjid suci yang sangat mendatangkan manfaat besar bagi umat Islam tersebut, baik dari segi nilai sejarah, tempat suci yang bernilai pahala tinggi bagi yang sempat menjalankan sholat di tempat tersebut, maupun sebagai titik pusat perkembangan peradaban Islam merupakan contoh pentingnya pemberdayaan benda-benda wakaf agar di kemudian hari lebih memiliki nilai guna yang nyata.

Page 72: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

72

Sehingga dengan pengungkapan contoh tersebut bisa dijadikan bukti bahwa benda-benda wakaf yang sudah tidak memiliki nilai guna yang berarti, harusnya bisa lebih diberdayakan sesuai dengan kondisi yang ada agar dapat memberikan nilai manfaat yang lebih besar. Pemahaman atau paradigma lama bahwa benda wakaf tidak boleh disentuh oleh perubahan sudah saatnya ditinggalkan.

Apalagi kalau kita mau memahami lebih serius maksud perintah Nabi kepada Umar bin Khattab yang menekankan pentingnya pemanfaatan hasil pengelolaan benda yang disedekahkan tersebut dengan istilah:

Artinya: Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). Asas kemanfaatan benda wakaf menjadi landasan yang paling relevan dengan keberadaan benda itu sendiri. Lebih-lebih ibadah wakaf oleh para ulama dikategorikan sebagai amal ibadah shadaqah jariyyah yang memiliki nilai pahala yang terus mengalir walaupun yang melakukannya telah meninggal dunia. Tentu saja, dalam pandangan yang paling sederhana sekalipun, bahwa kontinyuitas pahala yang dimaksud itu karena terkait dengan aspek kemanfaatan yang bisa diambil secara berkesinambungan oleh pihak kebajikan (kepentingan masyarakat banyak). Bagaimana suatu benda (wakaf) itu bisa dikategorikan memiliki nilai keabadian manfaat? Paling tidak ada empat hal dimana benda wakaf (shadaqah jariyyah) akan

Page 73: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

73

mendapatkan nilai pahala yang terus mengalir karena kemanfaatannya, yaitu: Benda tersebut dapat dimanfaatkan (digunakan) oleh

orang banyak. Ketika seseorang mewakafkan tanah atau bangunan untuk mendirikan sekolah misalnya, maka masyarakat umum akan bisa memetik kemanfaatan yang begitu besar terhadap kehadiran sekolah itu. Terlebih jika biaya sekolah itu sangat murah atau gratis setelah disubsidi dari dana pengelolaan wakaf, maka masyarakat sekitar sangat terbantu dalam menyekolahkan anak-anaknya. Itu baru satu contoh kecil, masih banyak contoh-contoh lain dari benda wakaf yang memberikan manfaat lebih banyak lagi terhadap kepentingan kebajikan. Dengan kehadiran benda wakaf yang memiliki nilai guna sangat tinggi itu, maka paradigma baru wakaf harusnya didasari oleh aspek tersebut, sehingga jika ada benda wakaf yang hanya memberikan kemanfaatan kecil atau tidak sama sekali, sudah selayaknya benda tersebut diberdayakan secara profesional-produktif dalam rangka meningkatkan nilai fungsi yang berdimensi ibadah dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana maksud wakifnya.

Benda wakaf memberikan nilai yang lebih nyata kepada

para wakif itu sendiri. Secara material, para wakif berhak (boleh) memanfaatkan benda wakaf tersebut sebagaimana juga berlaku bagi para penerima wakaf lainnya. Secara immaterial, para wakif sudah pasti akan mendapatkan nilai pahala yang bertumpuk-tumpuk dan berkesinambungan karena benda yang diserahkan

Page 74: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

74

kepada kebajikan umum bisa diambil manfaatnya oleh masyarakat banyak dan terus menerus. Karena sifatnya yang bisa memberi manfaat kepada orang lain, maka wakif pun juga akan merasa puas secara batin. Dan rasa batin tersebut akan secara otomatis dapat mendorong meningkatnya kualitas syukur kepada Allah yang berbentuk ibadah lainnya.

Manfaat immaterial benda wakaf melebihi manfaat

materialnya. Atau bisa dibahasakan sederhana dengan bahwa nilai ekstrinsik benda wakaf melebihi nilai intrinsiknya. Karena titik tekan wakaf itu sendiri sejatinya lebih mementingkan fungsi untuk orang lain (banyak) dari pada benda itu sendiri. Sehingga dengan demikian, orang yang mewakafkan tanah untuk mendirikan bangunan fasilitas ibadah misalnya, harusnya bisa pula dimaknai secara lebih luas tentang ibadah sendiri itu apa, sehingga tidak hanya terfokus pada pendirian bangunan masjid semata. Sebagai contoh, tanah wakaf yang berada dalam lokasi yang sangat strategis tidak cukup hanya di bangun sebuah masjid atau musholla yang fungsinya hanya untuk sholat, tapi harusnya bisa dibangun dengan mempertimbangkan letak tanah tersebut. Paradigmanya, masjid tetap didirikan di atas tanah tersebut bersamaan dengan tempat-tempat usaha yang bisa menguntungkan dengan desain yang memungkinkan sesuai Syari’ah. Sehingga dengan demikian, nilai tanah tersebut lebih kecil dibandingkan dengan nilai immaterialnya, yaitu bisa untuk ibadah (ritual formal seperti shalat), pusat

Page 75: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

75

koordinasi dakwah, pusat perniagaan Islami, pusat santuan kaum lemah, pusat koordinasi pemberdayaan ekonomi lemah dan sebagainya.

آلenda wakaf itu sendiri tidak menjadikan atau

mengarahkan kepada bahaya (madharat) bagi orang lain dan juga wakif sendiri. Jadi tidak dinamakan wakaf jika ada seseorang yang menyerahkan sebagian hartanya untuk dibuat tempat perjudian, misalnya. Atau bisa jadi bukan tempat yang haram, namun bisa juga yang mengarah kepada kemaksiatan, seperti menyumbangkan tanah untuk dibangun tempat bilyard. Secara substansi hukumnya, tempat bilyard tidak haram selama untuk sarana olah raga atau hiburan yang benar. Namun, kecenderungan saat ini tempat-tempat bilyard cenderung digunakan untuk arena perjudian (taruhan) atau tempat bercampurnya kaum laki-laki kepada kaum perempuan non muhrim. Oleh karena itu, benda wakaf harus yang memberikan manfaat bukan mendatangkan bahaya.

B. Asas Pertanggungjawaban

Pertanggungjawaban merupakan asas paradigma baru wakaf. Sebagai sebuah ajaran yang memiliki dimensi ilahiyyah dan insaniyyah, wakaf harus dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Bentuk dari pertanggungjawaban tersebut adalah pengelolaan secara sungguh-sungguh dan semangat yang didasarkan kepada:

Page 76: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

76

(a) Tanggung jawab kepada Allah SWT atas perilaku dan perbuatannya, apakah perilakunya itu sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturaNya. Segala tindakan dan tugas yang dilakukan para pihak yang terkait dengan perwakafan memiliki konsekuensi transendental, yaitu harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Bagi wakif (pihak yang berwakaf) mengharapkan aliran pahala yang tiada henti-hentinya atas amal sosial berupa sedekah jariyah yang diperuntukkan bagi masyarakat banyak. Dan bagi Nazhir, memiliki beban amanah yang tidak ringan karena disamping mewujudkan niat para wakif, yaitu untuk kesejahteraan masyarakat, juga pertanggungjawaban secara vertikal baik sebagai pribadi maupun kelompok (Nazhir). Al-Quran dengan tegas mengatakan bahwa setiap orang akan diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban:

Artinya: Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban-beban mereka dan beberapa beban beserta pikulan-pikulan mereka, dan mereka akan ditanyai perihal dusta yang mereka ada-adakan. (QS: al-Ankabut: 13)

Artinya: Dan sesungguhnya kamu akan ditanyai dari hal sesuatu yang kamu kerjakan. (QS: an-Nahl: 93).

Page 77: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

77

Pertanggungjawaban kepada Allah SWT ini mendasari seluruh pertanggungjawaban berikutnya. Sehingga jika seseorang sudah memiliki tanggung jawab kepada Allah, dalam posisi apapun, maka dia akan mendasarkan niatnya secara ikhlas. Dan keikhlasan bagi setiap posisi memiliki porsi sendiri-sendiri. Bagi seorang wakif, dia akan merasa sangat lepas tanpa pengharapan yang bersifat duniawi atas perbuatan yang dilakukannya. Sementara bagi seorang Nazhir, apa yang menjadi tanggung jawabnya akan dilakukan dengan sungguh-sungguh, profesional, berkualitas dan didasari pada niatan yang tulus. Namun, ketulusan seorang Nazhir tidak selalu dipahami sebagai amal sosial yang tidak perlu diberi imbalan secara pantas. Karena ketulusan bagi seorang Nazhir terletak pada aspek niatan baik, profesionalitas dan timbal balik yang pantas dalam porsi yang seimbang.

(b) Tanggung jawab kelembagaan. Yaitu tanggung jawab kepada pihak yang memberikan wewenang, yaitu lembaga yang lebih tinggi sesuai dengan jenjang organisasi keNazhiran. Lembaga keNazhiran yang terdiri dari sub-sub organisasi pengelolaan dan pengembangan, masing-masing sub harus bertanggung jawab kepada lembaga yang lebih tinggi. Sehingga fungsi-fungsi kontrol organisasi dapat berjalan dengan baik agar amanah yang sedang diemban dapat dipenuhi secara optimal. Mekanisme kelembagaan ini sebagai sebuah upaya mengeliminir penyimpangan terhadap benda-benda wakaf. Pengalaman menunjukkan bahwa wakaf yang dikelola secara perseorangan atau sekelompok

Page 78: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

78

orang non organisasi resmi telah banyak terjadi penyimpangan karena tidak adanya mekanisme kontrol yang ketat, semisal hilangnya eksistensi benda wakaf, penyimpangan karena ulah Nazhir nakal atau terbukanya potensi persengketaan dengan pihak-pihak ketiga. Oleh karena itu, sebaiknya Nazhir berbentuk kelembagaan (organisasi) resmi, meskipun tidak meniadakan Nazhir perseorangan yang dibatasasi minimal 3 orang (ketua, sekretaris dan bendahara) sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan peran Nazhir dan pengawasaanya dalam mengembangkan perwakafan. Dengan pengoptimalan fungsi organisasi, benda-benda wakaf dapat diberdayakan secara produktif, lebih mudah memenuhi keinginan wakif dan lebih mudah menerapkan mekanisme kontrol kelembagaan dalam rangka menghindari penyimpangan yang tidak perlu. Dari aspek pengelolaan oleh lembaga inilah dengan sendirinya akan terbentuk asas pertanggungjawaban lembaga keNazhiran.

(c) Tanggung jawab hukum. Yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan saluran-saluran dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Seorang Nazhir atau orang yang diberikan wewenang dalam pengelolaan wakaf selaku pemegang amanah harus mampu mempertanggungjawabkan tindakannya, bahwa apa

Page 79: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

79

yang dilakukannya itu benar-benar sesuai dengan hukum yang berlaku. Secara hukum, yang bersangkutan harus siap diajukan ke pengadilan jika kelak dalam pelaksanaan amanah ternyata menyalahi aturan hukum yang berlaku. Sebagai contoh, secara hukum, jika ada tanah wakaf yang ingin ditukar (ruslag), maka terlebih dahulu memohon ijin kepada Menteri Agama. Jika ternyata ada Nazhir yang dengan sengaja menukar atau menjual tanah wakaf secara sepihak atau tanpa ijin dari Menteri Agama, maka Nazhir tersebut harus bertanggung jawab secara hukum. Pertanggungjawaban secara hukum memang memiliki aspek yang sangat luas, tidak terbatas pada hukum positif yang selama ini ada, tapi juga hukum Syariat yang secara khusus mengatur tentang perwakafan. Sehingga dengan demikian, ibadah wakaf yang sifatnya amal sosial, tapi tetap memiliki kerangka dan landasan hukum yang sangat jelas. Dengan adanya payung hukum yang mengatur keseluruhan aspek dan proses pengelolaan wakaf dapat dijadikan rujukan demi terlaksananya amal-amal kebajikan.

(d) Tanggung jawab sosial. Yaitu tanggung jawab yang

terkait dengan moral masyarakat. Seseorang (Nazhir wakaf) dalam melakukan tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan pula kepada masyarakat secara moral bahwa perbuatannya itu bisa aman secara sosial, yaitu tidak mencederai norma-norma sosial yang ada di masyarakat. Karena apabila melakukan perbuatan yang

Page 80: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

80

tercela, yang bersangkutan akan mendapat sanksi sosial berupa dipermalukan di tengah-tengah masyarakat dengan dibeberkan dan dipergunjingkan keburukannya. Selain para pihak yang terkait dengan wakaf bisa bertanggung jawab secara kelembagaan dan hukum, juga harus bertanggung jawab dengan perilakunya sehari-hari. Sehingga tidak ada istilah melakukan kesalehan sosial dengan melupakan kesalehan pribadi, atau sebaliknya, melakukan kesalehan pribadi dengan meninggalkan kesalehan sosial. Antara perbuatan yang bersifat publik dengan perbuatan kesehariannya harus sinkron dan tidak saling bertentangan.

Pertanggungjawaban sosial itu identik dengan kepatuhan terhadap norma-norma sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, yaitu membudayakan rasa malu. Sejalan dengan itu dalam Hadits Nabi SAW dijelaskan bahwa iman itu mempunyai enam puluh cabang, sedang malu itu merupakan salah satu cabang daripada iman. Rasa malu dalam pribadi seseorang akan dapat memperkuat rasa tanggung jawab sosialnya. Seorang pejabat atau Nazhir yang korupsi merasakan penderitaan karena eksekusi hukuman, tetapi jika dia seseorang yang memiliki rasa malu, penderitaan itu akan lebih bertambah-tambah lagi apabila dibeberkan keburukannya melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Dengan adanya pertanggungjawaban sosial ini diharapkan para pemegang amanah wakaf dapat menjalankan fungsi secara maksimal dan bisa dijadikan kontrol yang bersifat

Page 81: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

81

internal, atau meminjam istilah manajemen dengan “waskat”, yaitu pengawasan yang melekat dalam diri seseorang, selain yang bersifat ilahiyyah (pertanggungjawaban ketuhanan).

C. Asas Profesionalitas Manajemen Manajemen pengelolaan menempati pada posisi paling urgen dalam dunia perwakafan. Karena yang paling menentukan benda wakaf itu lebih bermanfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaan, bagus atau buruk. Kalau pengelolaan benda-benda wakaf selama ini hanya dikelola “seada-adanya” dengan menggunakan “manajemen kepercayaan” dan sentralisme kepemimpinan yang mengesampingkan aspek pengawasan, maka dalam pengelolaan wakaf secara modern harus menonjolkan sistem manajemen yang lebih profesional. Asas profesionalitas manajemen ini harusnya dijadikan semangat pengelolaan benda wakaf dalam rangka mengambil kemanfaatan yang lebih luas dan lebih nyata untuk kepentingan masyarakat banyak (kebajikan). Nabi Muhammad SAW sebenarnya telah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu, termasuk masalah yang terkait dengan manajemen jika dilakukan dengan mengikuti 4 sifat minimal yang dimiliki oleh Nabi dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang profesional. Hanya saja dalam ukuran manajemen modern mengalami penafsiran dan pelebaran makna yang lebih spesifik. Dalam sebuah teori manajemen modern biasa disebut dengan istilah TQM (Total Quality Management). Namun, jika

Page 82: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

82

dirunut dalam sebuah kerangka teori yang utuh hanya mengerucut kepada empat hal tersebut, yaitu: (a) Amanah (dapat dipercaya). Secara garis umum, pola

manajemen dianggap profesional jika seluruh sistem yang digunakan dapat dipercaya, baik in put atau out put-nya. In put dalam sebuah pengelolaan bisa dilihat dari Sumber Daya Manusia (SDM) nya, dalam hal wakaf adalah pihak Nazhir, yaitu: Memiliki standar pendidikan yang tinggi (terdidik)

dan standar moralitas yang unggul, sehingga seluruh proses yang dilakukan dapat menghasilkan produk yang baik dan tidak merugikan orang lain.

Memiliki keterampilan lebih, sehingga dapat memberikan produk yang berkualitas dan memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang lain.

Adanya pembagian kerja (Job Description) yang jelas, sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih wewenang, peran dan tanggung jawab.

Adanya standar hak dan kewajiban. Tidak ada ketimpangan antara hak dan kewajiban setiap masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah pengelolaan manajemen.

Adanya standar operasional yang jelas dan terarah, sehingga tidak akan terjadi kepincangan manajemen.

(b) Shiddiq (jujur). Disamping amanah (dapat dipercaya),

shiddiq (jujur) adalah sifat mendasar, baik yang terkait dengan kepribadian SDM nya maupun bentuk program yang ditawarkan sehingga konsumen atau masyarakat

Page 83: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

83

merasa tidak dimanfaatkan secara sepihak. Bentuk program atau produk yang dipasarkan harus diinformasikan secara benar, seperti jika membuat produk makanan harus dijelaskan secara gamblang bahwa produk tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang dilarang atau membahayakan kesehatan, seperti minyak babi, formalin dan lain sebagainya.

(c) Fathanah (cerdas/brillian). Kecerdasan sangat

diperlukan untuk menciptakan produk (program) yang bisa diterima oleh pasar (masyarakat) dengan menawarkan berbagai harapan yang baik dan maju. Produk yang ditawarkan memberikan kesempatan yang sangat dinantikan oleh konsumen atau pihak-pihak yang terkait dengannya. Sebagai contoh, dalam pengelolaan benda-benda wakaf harus berbentuk usaha yang kiranya dapat membuka lapangan kerja baru, dapat membantu pedagang kecil dan sebagainya, serta hasilnya dapat dinikmati untuk kesejahteraan masyarakat banyak.

(d) Tabligh (menyampaikan informasi yang

benar/transparan). Sebenarnya konsep tabligh ini lebih kepada kemauan dan kemampuan menyampaikan segala informasi yang baik dan benar. Dalam manajemen, penyebarluasan informasi yang baik dan jujur sangat terkait dengan pola pemasaran dan pelaporan keuangan. Pemasaran sebuah produk harus disampaikan secara jujur, tidak menipu atau membodohi masyarakat. Strategi pemasaran yang diterapkan harus mengikuti kaidah-kaidah hukum dan

Page 84: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

84

moral yang berlaku di masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan atau keresahan yang tidak perlu. Dari segi pelaporan keuangan, manajemen profesional itu harus dilakukan secara transparan, jujur dan bertanggung jawab, sehingga pihak yang mengatur seluruh aliran uang (bagian keuangan) siap untuk diaudit oleh pihak manapun dan kapan pun juga.

Sedangkan, potret kepemimpinan manajemen yang baik

dalam lembaga keNazhiran bisa dilihat dari tiga aspek sebagai berikut:

Pertama, transparansi. Dalam kepemimpinan manajemen professional, transparansi menjadi ciri utama yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Ketika aspek transparansi sudah ditinggalkan, maka kepemimpinan tidak akan berjalan dengan baik, bahkan membuka peluang terjadinya penyelewengan yang tak terkendali. Adanya transparansi kepemimpinan dalam lembaga keNazhiran harus dijadikan tradisi untuk menutup tindakan ketidakjujuran, korupsi, manipulasi dan lain sebagainya. Transparansi adalah aspek penting yang tak terpisahkan dalam rangkaian kepemimpinan yang diajarkan oleh nilai-nilai Islam.

Kedua, public accountability (pertanggungjawaban umum). Pertanggung-jawaban umum merupakan wujud dari pelaksanaan sifat amanah (kepercayaan) dan shidiq (kejujuran). Karena kepercayaan dan kejujuran memang harus dipertanggung jawabkan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sehingga tidak ada istilah manajemen “Co

Page 85: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

85

Boy”, yaitu manajemen tunggal yang tertutup tanpa adanya keterbukaan yang sangat rentan dengan penyimpangan.

Ketiga, aspiratif (mau mendengar dan mengakomodasi seluruh dinamika lembaga keNazhiran). Seorang Nazhir yang dipercaya mengelola harta milik umum harus mendorong terjadinya sistem sosial yang melibatkan patisipasi banyak kalangan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pola pengambilan keputusan secara sepihak oleh kalangan elit kepemimpinan. Sehingga mengurangi, bahkan menutup potensi-potensi yang berkembang, --yang bisa jadi—mungkin jauh lebih baik atau sempurna. Kaedah prinsip dalam gerakan yang aspiratif merupakan cermin dari sifat adil dalam diri atau lingkungannya. D. Asas Keadilan Sosial Penegakan keadilan sosial dalam Islam merupakan kemurnian dan realitas ajaran agama. Orang yang menolak prinsip keadilan sosial ini dianggap sebagai pendusta agama (QS. 147/al-Ma’un: 17). Substansi yang terkandung dalam ajaran wakaf sangat tampak adanya semangat menegakkan keadilan sosial melalui pendermaan harta untuk kebajikan umum. Walaupun wakaf sebatas amal kebajikan yang bersifat anjuran, tetapi daya dorong untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan sangat tinggi. Karena prinsip yang mendasari ibadah wakaf adalah terciptanya kondisi sosial kemasyarakatan yang dibangun di atas kesamaan hak dan kewajiban sebagai makhluk Allah. Sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi sosial, wakaf menempati posisi penting dalam upaya agama

Page 86: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

86

ini membangun suatu sistem sosial yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Setelah menyelesaikan tugas wajib dalam melaksanakan zakat, sekurang-kuranya dua setengah persen dari seluruh kekayaan seseorang jika berlangsung selama setahun, para muzakki sangat dianjurkan agar melaksanakan ibadah sosial lainnya dalam rangka pemberdayaan ekonomi lemah seperti infak dan sedekah jariyyah. Karena, tugas untuk mengentaskan kemiskinan adalah suatu kewajiban bagi pihak-pihak yang memiliki kemampuan lebih secara ekonomi. Yang terpenting dari ajaran wakaf adalah ia bukan suatu perbuatan sosial yang hanya nampak kepada sifat kedermawanan seseorang tanpa adanya sebuah bangunan prinsip untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Namun wakaf sebenarnya menempati peran yang cukup besar setelah zakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah. Jika zakat memiliki gagasan untuk menolong golongan lemah agar bisa tetap hidup untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya setiap harinya, maka wakaf menduduki pada peran pemberdayaan mereka secara lebih luas untuk meningkatkan taraf hidup dari sekedar mencukupi sehari-hari. Untuk itulah, keadilan sosial ekonomi menekankan adanya keseimbangan yang bersifat timbal balik dan terbebasnya dari berbagai bentuk ketimpangan sosial yang berpangkal dari kepincangan kesejahteraan ekonomi. Pemilikan harta kekayaan meskipun diperoleh dari hasil usaha sendiri dengan susah payah, tetapi tidak boleh dipergunakan secara bebas tanpa batas. Mempergunakan harta tersebut harus mempertimbangkan aspek-aspek

Page 87: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

87

keadilan sosial dan tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Rasa keadilan adalah suatu nilai yang abstrak, tetapi ia menuntut suatu tindakan dan perbuatan yang konkrit dan positif. Pelaksanaan ibadah wakaf adalah sebuah contoh yang konkrit atas rasa keadilan sosial, sebab wakaf merupakan pemberian sejumlah harta benda yang sangat dicintai diberikan secara cuma-cuma untuk kebajikan umum. Seorang wakif dituntut dengan keikhlasan yang tinggi agar harta yang diberikan sebagai harta wakaf bisa memberikan manfaat kepada masyarakat banyak, karena keluasan ekonomi yang dimilikinya merupakan karunia Allah yang sangat tinggi. Tanpa adanya rasa keadilan sosial dapatlah dipahami betapa beratnya hati untuk mengeluarkan harta benda dalam bentuk wakaf untuk orang lain. Pengaruh sosial dari pelaksanaan ibadah wakaf akan tampak dari dua sisi, yaitu: pertama, dari sisi orang yang mendermakan hartanya (wakif), dengan menunaikan ibadah sosial wakaf otomatis membersihkan jiwa mereka dari sifat-sifat asosial seperti bakhil, kikir, egoistis, rakus, serta mendorong mereka bersikap sosial, suka berkorban untuk kepentingan umum dan menolong orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi. Kedua, dari pihak yang menerima wakaf, bahwa dengan keberadaan harta wakaf yang bisa diambil manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya, akan menghilangkan sifat-sifat buruk yang mungkin terpendam dalam hati seperti dengki, iri, benci, dan rencana jahat terhadap pihak-pihak yang dianggap mampu secara ekonomi dan tidak memperhatikan nasib mereka.

Page 88: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

88

Dengan kondisi demikian, dimana antara wakif dan pihak yang menerima wakaf tercipta saling mendukung dan memahami posisi masing-masing, sehingga stabilitas sosial dan keamanan yang sangat didambakan oleh semua pihak dapat terjaga dengan baik.

Sayyid quthb (1964) pemikir Islam dari Mesir dengan gaya pendekatan yang komprehensif dalam bukunya al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fil Islam berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam dan instrumen pendukungnya, termasuk wakaf, bukan sebatas teori utopis belaka melainkan kajiannya berangkat dari fakta sejarah peradaban Islam otentik. Setelah mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan dan jaminan sosial yang menyeluruh antara orang yang mampu dan yang tidak mampu, antara kelompok yang kaya dengan yang miskin, antara individu dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, bahkan antara segenap umat manusia, Quthb selalu membeberkan fakta historis bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan kesejarahan generasi terbaik Islam. Sebagai contoh, Quthb mengisahkan sepenggal cerita sejarah solidaritas kalangan sahabat ; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Diantara implementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf dalam pengalaman kesejarahan awal Islam telah dibuktikan Umar bin Khatthab sebagai warga sederhana yang bersedia secara ikhlas atas petunjuk Nabi saw untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga yang dimilikinya berupa sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat.

Fungsi sosial dari perwakafan mempunyai arti bahwa penggunaan hak milik seseorang harus memberi manfaat

Page 89: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

89

langsung atau tidak langsung kepada masyarakat. Dalam ajaran pemilikan terhadap harta benda (tanah) tercakup di dalamnya benda lain, dengan perkataan lain bahwa benda seseorang ada hak orang lain yang melekat pada harta benda tersebut seperti yang dimaksud dalam firman Tuhan aurat adz-Dzariyat, ayat 19 :

Artinya : “Dan di dalam harta benda mereka ada hak bagi orang yang minta (karena tidak punya) dan bagi orang-orang yang terlantar”. (QS : adz-Dzariyat : 19) Kepemilikan harta benda yang tidak menyertakan kepada kemanfaatan terhadap orang lain merupakan sikap egoisme kehidupan yang salah. Hidup sendiri dan mandiri dalam ketunggalan yang mutlak, dan dalam keesaan yang tidak mengenal ketergantungan apa pun, hanyalah sifat bagi Allah semata. Manusia yang mencapai kesadaran batin yang tinggi memandang alam semesta di sekitarnya sebagai suatu kesatuan, dimana kehadiran yang satu terkait, tergantung dan berkepentingan dengan kehadiran yang lain. Dalam hubungan ini, Al-Quran memberikan petunjuk untuk selalu memelihara kebersamaan sebagai makhluk sosial dan menempatkan nilai-nilainya ke dalam pola hubungan kemanusiaan dengan tetap saling menghormati, menjaga, melindungi, mengasihi dan menyantuni sebagaimana diatur dalam sistem ajarannya, seperti perwakafan.

Page 90: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

90

Dengan menunaikan ibadah wakaf akan memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial yang positif dan dinamis penuh rasa tanggung jawab sosial, terhindar dari pengaruh paham negatif seperti kapitalisme yang membawa pada sikap individualistis, egoistis, dan komunisme yang menghasut golongan rakyat kecil dengan orang-orang kaya dan pemerintah. Karenanya, prinsip dasar wakaf yang bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial merupakan implementasi dari sistem ekonomi yang mendorong dan mengakui hak milik individu dan masyarakat secara seimbang. Konsep keadilan dalam Islam mengajarkan agar manusia menyadari sedalam-dalamnya bahwa Allah Maha Adil terhadap seluruh makhluk-Nya. Salah satu keadilan-Nya yang agak sulit dipahami adalah dibeda-bedakan-Nya dalam pemberian rejeki. Ketentuan Tuhan yang seakan bercorak diskriminatif ini bukanlah suatu ketetapan yang tetap dan tidak dapat diubah, tetapi hal itu merupakan petunjuk bagi manusia untuk menumbuhkan rasa keadilan, dan mendorong manusia agar giat bekerja, karena itulah Allah mewajibkan kepada orang yang diberikan kelebihan rejeki mengeluarkan zakatnya dan sangat dianjurkan melakukan ibadah sosial lainnya, seperti infak dan sedekah jariyyah. Dengan kewajiban dan anjuran tersebut agar orang-orang lemah secara ekonomi bisa terlepas dari lingkaran kemiskinan. Penegasan agar memenuhi keadilan sosial adalah suatu perintah agama, bukan sekedar acuan etik atau dorongan moral belaka. Karena itu, Allah melalui al-Quran memberi peringatan keras terhadap orang yang

Page 91: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

91

sudah mapan secara ekonomi, tetapi tidak menunjang apalagi menghalangi terwujudnya keadilan sosial, seperti menolak mengeluarkan zakat, infak dan sedekah atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan) kepada fakir miskin yang memiliki kemampuan berusaha. Konsepsi keadilan sosial ekonomi yang Islami mempunyai ciri khas dari konsep ekonomi yang lain, diantaranya: Pertama, keadilan sosial dilandasi prinsip keimanan, yaitu bahwa semua orang yang ada di alam semesta adalah milik Allah (QS. 10/Yunus: 55). Manusia sebagai khalifah Allah dan sesuai dengan fitrahnya yang teomorfis ia dianugerahkan pemilikan sebagai karunia-Nya. “Apakah kamu tidak melihat betapa Allah telah menundukkan segala sesuatu yang ada di bumi ini bagimu” (QS. 22/al-Hajj:65). Hak milik ini bukanlah tidak terbatas; manusia memilikinya hanya sebagai pemegang amanah, bukan sebagai pemilik mutlak. Tindak lanjutnya, jika manusia tidak melaksanakan semua kewajibannya secara sadar, maka harus diciptakan berbagai pranata untuk menyelaraskan prilaku individu manusia dengan perilaku kelompok masyarakat. Ajaran Islam tidak membenarkan seseorang melakukan penimbunan kekayaan (ihtikar) demi kepentingan diri sendiri, karena manusia hanyalah sebagai khalifah dan pemegang amanah Allah untuk memfungsikan harta. Sikap yang dituntut dari orang yang memiliki kelebihan harta adalah sikap moderat (adil), antara tidak terlalu rakus melakukan penimbunan dan tidak terlalu menghambur-hamburkan harta kekayaan. Sikap yang baik adalah

Page 92: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

92

mendermakan secara ikhlas sebagian harta kekayaan tersebut untuk kepentingan kebajikan, khususnya kaum fakir dan miskin, sehinga terwujudlah pemerataan pendapatan dan kemakmuran secara adil. Kedua, menggalakkan sistem pendistribusian kembali pendapatan yang sifatnya built in, yang lebih diefektifkan lagi dengan mengaitkannya pada ridha Allah. Islam mentolerir ketidaksamaan pendapatan marginal guna merangsang inisiatif individu. Islam lebih mendorong dan mengakui kenyataan, bahwa terjadinya perbedaan-perbedaan ini dikarenakan oleh adanya kesempatan yang tidak sama, dan ini sering terjadi terutama bersumber dari pranata kekayaan pribadi. Hal ini merupakan faktor pernghambat terhadap usaha pemerataan pendapatan. Ketiga, keadilan sosial dalam Islam berakar pada moral. Implikasinya secara otomatis mendorong kewajiban untuk berbuat adil dan saling membantu. Al-Quran menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan adalah keadilan, ia lebih utama daripada kedermawanan (ihsan). Keadilan didefinisikan sebagai kerja sama ntuk mewujudkan masyarakat yang bersatu secara organik. Justru itu, jika di antara mereka ada yang tidak dapat meraih prestasi itu atau memenuhi kebutuhan pokoknya, mereka yang berkelebihan harus merasa terpanggil untuk membantu mereka yang serba kekurangan, agar dapat bersama menikmati kehidupan yang sejahtera. Konsep keadilan sosial yang dianut oleh Islam juga menjadi asas paradigma baru wakaf, yaitu jika kita mewakafkan sebagian harta tidak tertuju pada aspek kedermawanan seseorang belaka, tetapi dengan sikap

Page 93: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

93

tersebut mengandung sisi penegakan keadilan sosial yang lebih merata. Dan karena memiliki asas fundamental tersebut lah, maka wakaf harus dikelola secara profesional agar tidak menjadi tumpukan-tumpukan harta yang sedikit atau tidak memberi manfaat kepada masyarakat umum.

Page 94: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

97

Bagian Keempat ASPEK PENGEMBANGAN PARADIGMA BARU

WAKAF DI INDONESIA

A. Pembaharuan Paham tentang Wakaf Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan

berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yaitu adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf sebelum adanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang: Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang: Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah. Selain tradisi lisan dan tingginya kepercayaan kepada penerima amanah dalam melakukan wakaf, umat Islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan Syafi’iyyah yang terkait dengan: ikrar wakaf, benda yang boleh diwakafkan, peruntukan harta wakaf dan boleh tidaknya tukar menukar benda wakaf.

Tradisi wakaf tersebut kemudian memunculkan berbagai fenomena yang mengakibatkan perwakafan di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak.

Page 95: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

98

Bahkan banyak benda wakaf yang hilang atau bersengketa dengan pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis, seperti ikrar wakaf, sertifikat tanah dan lain-lain. Dari segi jenis bendanya, wakaf yang dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia lebih banyak berupa tanah yang dibangun untuk keperluan masjid, mushalla, madrasah, pesantren, makam, rumah yatim-piatu dan seterusnya. Ada juga berupa tanah persawahan dan perkebunan, namun karena terbatasnya kemampuan dan sempitnya pemahaman terhadap wakaf itu sendiri, mengakibatkan banyak tanah wakaf yang tidak produktif. Selain itu juga tidak kecil jumlahnya terdapat benda-benda wakaf yang justru menjadi beban para Nazhirnya.

Dari kenyataan itulah, sejak diundangkannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan lahirnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan mulai dan terus dibenahi dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan di bidang pengelolaan dan paham wakaf secara umum. Paling tidak, pelaksanaan pembaharuan paham yang selama ini sudah dan sedang dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan wakaf adalah:

Pertama, sertifikasi tanah wakaf. Upaya sertifikasi tanah wakaf terhadap tanah-tanah wakaf yang belum memiliki setifikat adalah bentuk pembaharuan paham di lingkungan masyarakat muslim Indonesia, bahwa wakaf adalah sah jika dilakukan secara lisan tanpa dicatatkan secara resmi kepada administrasi pemerintahan. Fenomena yang banyak terjadi sebelum UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 28 Tahun

Page 96: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

99

1977 hingga lahirnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah perbuatan wakaf yang dilakukan hanya dengan faktor kepercayaan kepada salah satu tokoh agama yang diangkat sebagai Nazhir. Namun dari praktek paham wakaf yang terbilang tradisional tersebut mengundang persoalan-persoalan baru, seperti hilangnya benda-benda wakaf seperti dijadikan rebutan oleh para ahli waris Nazhir, obyek persengketaan para pihak yang berkepentingan, ketidakjelasan status benda wakaf sehingga mengakibatkan tidak dikelola secara baik. Untuk itu, pola sertfikasi tanah-tanah atau benda wakaf lainnya merupakan upaya memperbaharui paradigma baru dalam pelaksanaan perwakafan di Indonesia.

Kedua, pertukaran benda wakaf. Menurut PP No. 28 Tahun 1977 Bab IV Bagian Pertama, Pasal 11 ayat (2) dan ditegaskan lagi dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Bab IV Pasal 41 sebenarnya memberikan legalitas terhadap tukar menukar benda wakaf setelah terlebih dahulu meminta ijin dari Menteri Agama RI dengan dua alasan, yaitu: karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan demi kepentingan umum. Secara substansial, benda-benda wakaf boleh diberdayakan secara optimal untuk kepentingan umum dengan jalan tukar-menukar. Keberadaan aturan tersebut merupakan upaya pembaharuan paham yang sejak awal diyakini oleh mayoritas ulama dan masyarakat Indonesia yang mengikuti pendapat Imam Syafi’i bahwa benda-benda wakaf tidak boleh diutak-atik, walaupun demi kepentingan manfaat sekalipun seperti membangun masjid dari hasil wakaf yang sudah roboh. Paradigma baru terhadap perubahan status

Page 97: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

100

benda wakaf memang menjadi salah satu bukti bahwa paham wakaf di Indonesia sejatinya sudah cukup baik, paling tidak sejak adanya PP No. 28 Tahun 1977 dan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf berkaitan dengan perubahan status dan peruntukannya.

Ketiga, pola seleksi yang dilakukan oleh para Nazhir wakaf atas pertimbangan manfaat. Memang sistim yang diterapkan oleh para Nazhir wakaf di Indonesia tidak seluruhnya menggunakan pola penyeleksian secara ketat agar benda-benda yang ingin diwakafkan oleh masyarakat dapat memberi manfaat secara maksimal. Selama ini banyak Nazhir wakaf yang “asal” menerima wakaf tanpa mempertimbangkan asas kemampuan dalam pengelolaan, sehingga banyak benda-benda wakaf, khususnya tanah tidak terkelola secara baik. Namun, hingga saat ini ada perkembangan yang positif yang dilakukan oleh beberapa lembaga wakaf, seperti Pesantren Modern, Gontor, yang sejak awal sudah menerapkan penerimaan selektif terhadap benda wakaf yang akan diwakafkan oleh para wakif. Sebagai contoh, Pesantren Gontor tidak menerima wakaf seseorang yang dinilainya kurang menguntungkan secara ekonomis maupun secara strategis, seperti lahan persawahan yang sangat jauh dari lokasi Pesantren sehingga akan menyulitkan secara transportasinya, atau lokasi yang dinilai kurang produktif dalam pengelolaannya. Jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka Badan Wakaf Pesantren Gontor akan menolaknya atau ditawarkan kepada kepada calon wakif agar tanah atau benda yang akan diwakafkan itu dijual terlebih dahulu untuk selanjutnya hasil penjualannya diwakafkan kepada Pesantren Gontor.

Page 98: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

101

Keempat, sistem ikrar yang dilakukan oleh para calon wakif diarahkan kepada bentuk ikrar wakaf untuk umum, tanpa penyebutan yang bersifat khusus seperti yang selama ini terjadi. Di Pesantren Gontor misalnya, tidak diperkenankan bentuk ikrar wakaf dengan penyebutan peruntukan wakaf secara khusus (tertentu) oleh para calon wakif. Karena bentuk penyebutan peruntukan benda wakaf yang diwakafkan oleh calon wakif akan sangat memberatkan oleh pihak pengelola (Nazhir) dalam pemberdayaan secara maksimal. Apalagi misalnya, calon wakif tersebut menginginkan tanah wakaf yang berada di pinggir gunung misalnya untuk didirikan pesantren. Padahal kalau menurut analisa riilnya, tanah tersebut hanya cocok untuk penanaman padi atau tumbuhan sayuran lainnya. Dengan bentuk ikrar yang bersifat umum dan tidak menyebutkan peruntukannya secara khusus tersebut, maka pihak Nazhir bisa memberikan perkiraan sesuai pengelolaan dan pemberdayaan demi kepentingan masyarakat banyak secara lebih nyata. Pelaksanaan model paham wakaf seperti ini sudah dibuktikan oleh Badan-badan wakaf besar, seperti Pesantren Gontor, UII Yogyakarta dan UMI Makasar.

Kelima, perluasan benda yang diwakafkan (mauquf bih). Sebelum Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pengaturan wakaf hanya menyangkut perwakafan benda tak bergerak yang lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan konsumtif, seperti masjid, madrasah, kuburan, yayasan yatim piatu, pesantren, sekolah dan sebagainya. Namun saat ini sedang berkembang dan sudah dipraktekkan oleh

Page 99: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

102

sebagian lembaga Islam terhadap wacana wakaf benda bergerak, seperti uang (cash waqf), saham atau surat-surat berharga lainnya seperti yang diatur dalam Undang-undang Wakaf. Tentu saja ini merupakan terobosan yang cukup signifikan dalam dunia perwakafan, karena wakaf seperti uang, saham atau surat berharga lainnya merupakan variable penting dalam pengembangan ekonomi. Pembaharuan paham wakaf tersebut bukan untuk dibelanjakan secara konsumtif seperti kekhawatiran sebagian orang hingga habis yang berarti menyalahi konsep dasar wakaf itu sendiri, namun bagaimana agar uang, saham atau surat berharga lainnya yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga (badan hukum) dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Aspek kemanfaatan dzat (benda yang diwakafkan) menjadi esensi dari jenis benda wakaf ini, bukan aspek dzat benda wakaf itu sendiri. Sehingga dengan diaturnya benda wakaf bergerak seperti diatur dalam UU Wakaf seperti uang, saham atau surat berharga lainnya diharapkan bisa menggerakkan seluruh potensi wakaf untuk kesejahteraan masyarakat luas.

Keenam, persyaratan Nazhir (pengelola harta wakaf). Ada beberapa hal yang diatur Undang-undang Wakaf dalam rangka membangun paradigma baru wakaf terkait dengan Nazhir, yaitu : (a) Selain mengatur Nazhir perseorang, ada Nazhir organisasi dan badan hukum. Penekanan berupa badan hukum dan organisasi sebagai Nazhir merupakan pilihan yang sangat tepat, karena pengalaman membuktikan bahwa Nazhir perseorangan

Page 100: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

103

(sigle) telah banyak membuka peluang terjadinya penyelewengan dan atau pengabaian terhadap tugas-tugas keNazhiran. Sehingga dengan berbentuk badan hukum dan organisasi diharapkan dapat meningkatkan peran-peran keNazhiran untuk mengelola wakaf secara baik. (b) Persyaratan Nazhir yang mengarah pada kinerja professional. Kalau dalam PP No. 28 Tahun 1977, bahwa persyaratan untuk menjadi Nazhir (kelompok orang) masih bersifat normatif dan belum ada aturan yang mengarah pada persyaratan untuk membangun kinerja profesionalisme Nazhir, seperti: Warganegara RI, beragama Islam, dewasa, sehat jasmani dan ruhani, tidak berada di bawah pengampuan dan bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan. (c) Pembatasan masa jabatan Nazhir. Kalau aturan perundangan sebelumnya tidak mengatur tentang ini, dalam PP sebagai pelaksanaan UU Wakaf menjadi point penting agar Nazhir bisa dipantau kinerjanya melalui tahapan-tahapan periodik untuk menghindari penyelewengan dan atau pengabaian tugas-tugas keNazhiran. Adapun masa bhakti Nazhir adalah lima tahun dan dapat diangkat kembali, (d) Hak Nazhir. Memang hak-hak Nazhir, selain kewajibannya, telah diatur oleh peraturan wakaf yang telah ada, namun UU Wakaf ini memberikan perhatian ulang agar Nazhir wakaf tidak sekedar dijadikan pekerjaan sambilan yang hanya dijalani seadanya, tapi agar Nazhir benar-benar mau dan mampu menjalankan tugas-tugasnya sehingga mereka patut diberikan hak-hak yang pantas sebagaimana mereka kerja di dalam dunia professional.

Page 101: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

104

Reward yang diberikan kepada Nazhir berhak mendapatkan hasil bersih 10 % dari pengelolaan wakaf.

Ketujuh, pemberdayaan, pengembangan dan pembinaan. Selain kedua hal tersebut, point yang ketiga ini menjadi ciri utama UU Wakaf. Paling tidak menyangkut dua hal, yaitu : (a) Aspek pemberdayaan dan pengembangan. UU Wakaf ini menekankan pentingnya pemberdayaan dan pengembangan harta wakaf yang mempunyai potensi ekonomi secara optimal melalui sistem dan arah manajemen dan ekonomi sesuai dengan Syariat Islam. Kalau selama ini wakaf dikelola “seada-adanya” dengan menggunakan sistem ribawi, maka saatnya harta wakaf dikelola berdasarkan sistem yang Islami. (b) Dalam UU Wakaf ini juga menekankan pentingnya sebuah lembaga wakaf nasional yang disebut dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Pembentukan BWI bertujuan untuk menyelenggara-kan administrasi pengelolaan secara nasional untuk membina para Nazhir yang sudah ada agar lebih professional, mengelola sendiri harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, dan promosi program yang diadakan oleh BWI dalam rangka sosialisasi kepada umat Islam dan masyarakat. Sehingga BWI kelak akan menduduki peran kunci, selain Nazhir wakaf yang telah ada, dalam pengembangan wakaf di tanah air.

B. Sistem Manajemen Pengelolaan

Sistem manajemen pengelolaan wakaf merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan paradigma baru wakaf di Indonesia. Kalau dalam paradigma lama wakaf

Page 102: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

105

selama ini lebih menekankan pentingnya pelestarian dan keabadian benda wakaf, maka dalam pengembangan paradigma baru wakaf lebih menitikberatkan pada aspek pemanfaatan yang lebih nyata tanpa kehilangan eksistensi benda wakaf itu sendiri. Untuk meningkatkan dan mengembangkan aspek kemanfaatannya, tentu yang sangat berperan sentral adalah sistem manajemen pengelolaan yang diterapkan.

Kita harus akui bahwa pola manajemen pengelolaan wakaf yang selama ini berjalan adalah pola manajemen pengelolaan yang terhitung masih tradisional-konsumtif. Hal tersebut bisa diketahui melalui beberapa aspek: Kepemimpinan. Corak kepemimpinan dalam lembaga

keNazhiran masih sentralistik-otoriter (paternalistik) dan tidak ada sistem kontrol yang memadai.

Rekuitmen SDM keNazhiran. Banyak Nazhir wakaf yang hanya didasarkan pada aspek ketokohan seperti ulama, kyai, ustadz dan lain-lain, bukan aspek profesionalisme atau kemampuan mengelola. Sehingga banyak benda-benda wakaf yang tidak terurus atau terkelola secara secara baik.

Operasionalisasi pemberdayaan. Pola yang digunakan lebih kepada sistem yang tidak jelas (tidak memiliki standar operasional) karena lemahnya SDM, visi dan misi pemberdayaan, dukungan political will pemerintah yang belum maksimal dan masih menggunakan sistem ribawi.

Pola pemanfaatan hasil. Dalam menjalankan upaya pemanfaatan hasil wakaf masih banyak yang bersifat

Page 103: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

106

konsumtif-statis sehingga kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak.

Sistem kontrol dan pertanggungjawaban. Sebagai resiko dari pola kepemimpinan yang sentralistik dan lemahnya operasionalisasi pemberdayaan mengakibatkan pada lemahnya sistem kontrol, baik yang bersifat kelembagaan, pengembangan usaha maupun keuangan. Untuk itu, sebagai salah satu elemen penting dalam

pengembangan paradigma baru wakaf, sistem manajemen pengelolaan wakaf harus ditampilkan lebih profesional dan modern. Disebut profesional dan modern itu bisa dilihat pada aspek-aspek pengelolaan:

a. Kelembagaan

Untuk mengelola benda-benda wakaf secara produktif, yang pertama-tama harus dilakukan adalah perlunya pembentukan suatu badan atau lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada dan bersifat nasional yang diberi nama : Badan Wakaf Indonesia. Badan Wakaf Indonesia (BWI) diberikan tugas mengembangkan wakaf secara produktif, sehingga wakaf dapat berfungsi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Badan Wakaf Indonesia (BWI) ini secara organisatoris harus bersifat independen, dimana pemerintah dalam hal ini sebagai fasilitator, regulator, motivator dan pengawasan. Tugas utama badan ini adalah memberdayakan wakaf, baik wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak yang ada di Indonesia sehingga dapat memberdayakan ekonomi umat.

Page 104: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

107

Tugas BWI adalah membina Nazhir yang sudah ada di seluruh Indonesia. BWI bersama dengan Departemen Agama mengawasi pengelolaan wakaf di seluruh Indonesia dengan membuat kebijakan-kebijakan yang mengarah pada peningkatan kemampuan Nazhir sehingga mereka dapat mengelola wakaf yang menjadi tanggung jawabnya secara produktif. Untuk itu tugas-tugas operatif, BWI hanyalah mengelola harta benda wakaf yang berlantar, bersifat nasional dan internasional. Wakaf benda-benda bergerak tersebut kemudian dikembangkan melalui lembaga-lembaga terkait.

Selain BWI yang akan menjadi pioner pengelolaan wakaf, lembaga-lembaga Nazhir yang sudah ada selama ini harus ditata sedemikian rupa agar bisa menjalankan tugas-tugas keNazhiran secara lebih maksimal. Kalau selama ini lembaga Nazhir hanya dikuasai oleh beberapa kepengurusan, atau bahkan satu orang, maka mekanisme kelembagaannya harus diperbaiki. Struktur organisasi yang baik dan modern itu jika seluruh potensi kelembagaan berjalan sebagaimana mestinya dan ada mekanisme kontrol yang baik. Bagaimana format kepengurusan yang baik, tergantung dari situasi dan kondisi di lapangan. Namun yang paling utama dalam sebuah organisasi adalah berjalannya sistem keorganisasian, seperti yang terkait dengan pengambilan keputusan melalui musyawarah, standar operasional lembaga, standar akuntansi usaha (pengelolaan profit), pertanggungjawaban kepengurusan dan pengawasan pelaksanaan kelembagaan. b. Pengelolaan operasional

Page 105: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

108

Yang dimaksud dengan standar operasional pengelolaan wakaf adalah batasan atau garis kebijakan dalam mengelola wakaf agar menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat banyak. Dalam istilah manajemen dikatakan bahwa yang disebut dengan pengelolaan operasional adalah proses-proses pengambilan keputusan berkenaan dengan fungsi operasi. Pengelolaan opersional ini terasa sangat penting dan menentukan berhasil tidaknya manajemen pengelolaan secara umum. Adapun standar operasional itu meliputi seluruh rangkaian program kerja (action plan) yang dapat menghasilkan sebuah produk (barang atau jasa).

Standar keputusan opersional merupakan tema pokok dalam operasi kelembagaan Nazhir yang ingin mengelola secara produktif. Keputusan yang dimaksud disini berkenaan dengan lima fungsi utama manajemen opersional, yaitu: proses, kapasitas, sediaan (inventory), tenaga kerja dan mutu.

Proses, keputusan mengenai proses, termasuk proses fisik, berkenaan dengan fasilitas yang akan dipakai untuk memproduksi barang atau jasa. Juga menyangkut type peralatan dan teknologi, arus proses, penyusunan fasilitas dan aspek-aspek lain yang menyangkut peralatan secara fisik atau fasilitas jasa. Keputusan mengenai ini harus benar-benar diperhitungkan secara matang karena pada umumnya akan terus dipakai dalam jangka waktu yang panjang dan tidak mudah diubah-ubah, terlebih jika menyangkut investasi yang cukup besar. Karena itu, sangat penting untuk menyerasikan antara proses fisik dan strategi

Page 106: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

109

pemberdayaan produktif terhadap benda-benda wakaf dalam jangka panjang.

Kapasitas, kepeutusan mengenai kapasitas diperlukan untuk menghasilkan jumlah produk yang tepat, di tempat yang tepat dan dalam waktu yang tepat pula. Kapasitas jangka panjang ditentukan dari ukuran fasilitas fisik yang dipakai. Adapun untuk jangka pendek, kapasitas dapat diperbanyak melalui subkontrak, tambahan gilir-kerja (shift), atau menyewa tempat. Perencanaan kapasitas tidak hanya menyangkut besarnya fasilitas, tapi juga menyangkut jumlah orang yang dibutuhkan dalam pengoperasiannya. Dengan kata lain, harus disesuaikan antara pemenuhan permintaan pasar dan keinginan untuk menjaga stabilitas tenaga kerja. Atau secara garis besar, kapasitas yang ada harus dialokasikan dengan gugus-gugus tugas melalui menjadwalan tenaga kerja, peralatan dan fasilitas.

Sediaan, keputusan berkaitan dengan sediaan ini mencakup apa yang akan dipesan, berapa banyak, dan kapan dipesan. Sistem pengendalian sediaan dipakai untuk mengatur bahan-bahan mulai dari pembeliannya sebagai bahan mentah, proses pembuatan, sampai menjadi barang jadi. Manajer sediaan memutuskan berapa banyak barang yang kan disimpan sebagai sediaan, dimana penyimpanannya, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan sediaan. Mereka mengelola arus barang dalam lembaga usaha, termasuk lembaga Nazhir wakaf produktif.

Tenaga kerja, pengelolaa SDM merupakan hal yang sangat penting dalam operasional lembaga keNazhiran, mengingat tidak ada sesuatu yang dapat diselesaikan tanpa SDM yang mencukupi. Keputusan dengan tenaga kerja

Page 107: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

110

menyangkut bagaimana rekruitmen dilakukan (dibawah akan dibahas secara lebih detail), proses seleksi diselesaikan, pelatihan dan pengembangan, supervisi, kompensasi dan PHK. Pengelolaan tenaga kerja agar bisa bekerja secara produktif, tetapi tetap manusiawi adalah kunci dari bagian operasional.

Mutu, salah satu fungsi terpenting dari bagian operasi adalah bertanggung jawab atas mutu barang atau jasa yang dihasilkan. Karena akan mempengaruhi organisasi keNazhiran secara luas, keputusan yang menyangkut penentuan mutu produk ini harus selalu menjadi orientasi bersama dalam setiap proses opersi; penetapan standar, desaian peralatan, pemilihan orang-orang terlatif dan pengawasa terhadap produk yang dihasilkan. c. Kehumasan

Dalam mengelola benda-benda wakaf, maka peran kehumasan (pemasaran) dianggap menempati posisi penting. Fungsi dari kehumasan itu sendiri dimaksudkan untuk: Memperkuat image bahwa benda-benda wakaf yang

dikelola oleh Nazhir profesional betul-betul dapat dikembangkan dan hasilnya untuk kesejahteraan masyarakat banyak.

Meyakinkan kepada calon wakif yang masih ragu-ragu apakah benda-benda yang ingin diwakafkan dapat dikelola secara baik atau tidak. Dan peran kehumasan juga dapat meyakinkan bagi orang yang tadinya tidak tertarik menunaikan ibadah wakaf menjadi tertarik.

Page 108: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

111

Memperkenal aspek wakaf yang tidak hanya berorientasi pada pahala oriented, tapi juga memberikan bukti bahwa ajaran Islam sangat menonjolkan aspek kesejahteraan bagi umat manusia lain, khususnya bagi kalangan yang kurang mampu.

Adapun kiat praktis untuk membangun citra atau image

pengelolaan wakaf yang baik terkait dengan: (1) penampilan, tidak membohongi pelanggan, masyarakat penerima wakaf baik yang terkait dengan kuantitas (besaran) atau kualitas. (2) pelayanan, kualitas pelayanan baik dengan tidak membuka peluang menyakiti para konsumen atau para penerima wakaf. (3) persuasi, yaitu meyakinkan dengan tindakan yang santun dan ramah tanpa berbuat kasar atau membuat sumpah yang berlebihan. (4) pemuasan, dengan kerja yang rapi, profesional dan bertanggung jawab terhadap para konsumen atau para penerima wakaf akan menjadikan pengelolaan wakaf semakin bertambah sempurna.

d. Sistem Keuangan

Penerapan sistem keuangan yang baik dalam sebuah proses pengelolaan manajemen lembaga keNazhiran sangat terkait dengan:

Akuntasi. Pada awalnya, akuntansi lebih diwarnai dan relatif terbatas pada aspek pertanggungjawaban belaka. Namun dalam perkembangannya, akuntansi mengalami transformasi sebagai salah satu sumber informasi dalam pengambilan keputusan bisnis. Ini membawa konsekuensi, misalnya pada bentuk dan kandungan laporannya. Bila

Page 109: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

112

dalam tahapan awal ada penekanan yang berlebih pada aspek neraca, misalnya, kemudian beralih kepada aspek laba-rugi.

Berdasarkan tujuan dasar dan pola operasi sebuah entitas, akuntansi dapat dipilah menjadi dua, yakni akuntansi untuk organisasi yang bermotifkan mencari laba (profit oriented organization) dan akuntansi untuk orga-nisasi nirlaba (non-profit oriented organization). Bentuk yang pertama diwakili oleh perusahaan-perusahaan komer-sial, baik yang bersifat menjual jasa (perbankan, transpor-tasi, hotel dan lain sebagainya), perdagangan (toko, super market, swalayan dan lain sebagainya), dan perusahaan-perusahaan manufaktur, yakni perusahaan yang berfungsi merubah bahan baku menjadi produk jadi, seperti pabrik sepatu, mebel, kendaraan dan lain-lain. Sedang bentuk kedua diwakili oleh organisasi pemerintahan di segala tingkatan (pusat, propinsi, kabupaten dan seterusnya), lembaga pendidikan pada umumnya, dan organisasi massa serta social kemasyarakatan, termasuk Yayasan yang banyak mengelola kekayaan wakaf. Ada sejumlah perbedaan mendasar antara akuntansi untuk kelompok entitas yang pertama, kendati secara teknis ada beberapa kesamaan.

Auditing. Yang dimaksud dengan auditing adalah bahwa pihak pelaksana melaporkan secara terbuka tugas atau amanah yang diberikan kepadanya, dan pihak yang memberikan amanah mendengarkan. Jadi ini merupakan manifestasi pertanggungjawaban pihak tertentu yang diberi tanggung jawab kepada pihak yang memberi amanah. Sebagaimana halnya akuntansi, auditing juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan inipun

Page 110: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

113

meliputi tujuan, ruang lingkup dan tentu saja teknik dan prosedurnya.

Dari sudut pandang tujuan dan ruang lingkup, misalnya, bila dulu ada batasan audit sekedar untuk memberikan opini auditor terhadap aspek finansial sebuah entitas atau oragnisasi, maka saat ini misalnya auditing sudah melebar jauh sampai kepada audit operasional, audit manajemen, investigasi khusus, bahkan audit forensic dan audit lingkungan. Dengan perkembangan ruang lingkup ini, sudah barang tentu tujuan audit juga mengalami perkembangan, dari sekedar opini umum (terhadap penyajian laporan keuangan), sampai kepada tujuan-tujuan tertentu yang dapat bersifat sangat spesifik. Adalah logis, aspek teknis dan prosedur juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ruang lingkup dan tujuan, ditambah lagi dengan kemajuan teknologi luar biasa cepat dan kecanggihan seseorang dalam berbuat kejahatan.

Khusus dari kacamata prosedur secara umum, auditing dan akuntansi berawal dari titik yang saling bertolak belakang. Bila akuntansi berawal dari adanya transaksi, diikuti oleh proses pencatatan, sampai pada akhirnya pembuktian kebenaran adanya nilai transaksi tersebut.

Dalam konteks lembaga wakaf, bagaimana peran dan fungsi akuntansi dan auditing ? Baik akuntansi maupun auditing, keduanya merupakan alat yang dapat diperguna-kan untuk mencapai tujuan tertentu. Seyogyanya tujuan keberadaan sebuah entitas dijadikan titik tolak penggunaan, baik (alat) akuntansi, maupun auditingnya. Persoalannya adalah apakah tujuan lembaga wakaf ?

Page 111: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

114

Secara sangat umum, semua lembaga wakaf dibentuk atau didirikan adalah mengelola sebuah atau sejumlah kekayaan wakaf, agar manfaat maksimalnya dapat dicapai untuk kesejahteraan umat, dan mungkin menolong mereka yang kurang mampu khususnya. Pengertian inilah yang secara sangat umum dianut oleh masyarakat muslim Indo-nesia dan sekaligus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan merujuk secara sederhana pada bangunan akuntansi konvensional, maka bentuk entitas seperti ini dapat “dilayani” oleh akuntansi nirlaba, atau sering juga disebut istilah dengan fund accounting atau akuntansi dana. Secara teknis, praktis akuntansi seperti ini relatif sederhana untuk dipelajari dan diterapkan.

Namun demikian, bilamana pemikiran pemberdayaan kekayaan wakaf dalam bentuk mengarahkannya kepada pembentukan entitas-entitas yang lebih bersifat komersial, dapat diterima dan akan diterapkan, maka sekali lagi dengan merujuk pola yang ada dalam dunia akuntansi kon-vensional, maka dapat dipakai model akuntansi komersial. Namun perlu dicatat tentunya, seiring dengan wacana Islamisasi, maka seyogyanya pula praktik akuntansi yang akan dipakai nanti sepenuhnya harus memperhatikan apa yang menjadi tuntutan akuntansi yang dipandang lebih mendekati atau sesuai dengan prinsip Syari’ah itu sendiri, baik dari aspek tujuannya maupun pada aspek metode dan tekniknya.

Hal yang sama berlaku untuk proses auditingnya. Artinya, sebatas secara jelas tidak melanggar asas-asas Syari’ah, tujuan dan prosedur auditing dalam perspektif

Page 112: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

115

konvensional dapat dipakai, setidaknya untuk sementara waktu. Ini juga berlaku, baik untuk tujuan, ruang lingkup dan prosedurnya.

Sebuah konsekuensi lain yang mendesak adalah bahwa dengan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh berba-gai kritik pakar terhadap kelemahan dan keterbatasan akun-tansi dan auditing konvensional, maka untuk mengiringi dan memfasilitasi berbagai lembaga keuangan dan ekonomi Islam, termasuk lembaga wakaf –sudah saatnya disegerakan lahirnya sebuah standar akuntansi yang lebih Islami, seperti apa yang sedang dilakukan terhadap perbankan Syari’ah. Perbedaannya, tentu saja bahwa standar ini harus meliputi akuntansi dana Islami, karena mayoritas lembaga wakaf dan lembaga-lembaga Islam lainnya lebih berbentuk Yayasan dan bersifat non-profit oriented, disamping tentunya standar akuntansi Islami untuk entitas komersial, yang juga meliputi bentuk usaha jasa, perdagangan dan manufaktur atau mungkin kombinasi dari ketiganya.

Sedangkan dalam realitasnya menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga wakaf memakai format Yayasan yang memang lebih bernuansakan social dan nirlaba, daripada komersial. Untuk keperluan ini, sesungguhnya dapat dipakai pendekatan akuntansi dana. Selanjutnya, bila wakaf akan dikelola secara lebih produktif dalam bentuk usaha komersial, misalnya, maka dapat dipakai akuntansi konvensional. Namun, perlu dicatat bahwa memang terda-pat sejumlah permasalahan dalam akuntansi konvensional, baik karena sifat bawaannya, maupun bila dilihat dari perspektif Islam. Oleh karena itu diperlukan segera upaya untuk melakukan penyempurnaan agar bagian-bagian yang

Page 113: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

116

dipandang tidak islami, dapat dikurangi atau kalau dapat dieliminasi. Sesungguhnya akuntansi hanya sebatas alat, sedapatnya juga bersifat Islami. Prinsip yang sama juga berlaku bagi system auditing.

C. Sistem Manajemen KeNazhiran

Dalam kitab-kitab fikih, ulama tidak mencantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, karena wakaf merupakan ibadah tabarru’ (pemberian yang bersifat sunnah). Namun demikian, setelah memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil harta wakaf, maka keberadaan nadzir sangat dibutuhkan, bahkan menempati pada peran sentral. Sebab, di pundak nadzir lah tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf serta menyalurkan hasil atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.

Terlalu banyak contoh pengelolaan harta wakaf yang dikelola oleh nadzir yang sebenarnya tidak mempunyai kemampuan memadai, sehingga harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal, bahkan tidak memberi manfaat sama sekali kepada sasaran wakaf. Untuk itulah profesionalisme nadzir menjadi ukuran yang paling penting dalam pengelolaan wakaf jenis apapun. Kualifikasi profesionalisme nadzir secara umum dipersyaratkan menurut fikih sebagai berikut, yaitu : beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum), baligh (sudah dewasa) dan ‘aqil (berakal sehat), memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (professional) dan memiliki sifat amanah, jujur dan adil.

Page 114: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

117

Untuk itu, dalam rangka meningkatkan kemampuan Nazhir diperlukan sistem manajemen SDM yang handal. Sistem pengelolaan SDM ini bertujuan untuk: Meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan,

kemampuan dan keterampilan para Nazhir wakaf di semua tingkatan dalam rangka membangun kemampuan manajerial yang tangguh, profesional dan bertanggung jawab.

Membentuk sikap dan perilaku Nazhir wakaf sesuai dengan posisi yang seharusnya, yaitu pemegang amanat umat Islam yang mempercayakan harta benda untuk dikelola secara baik dan pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.

Menciptakan pola pikir atau persepsi yang sama dalam memahami dan menerapkan pola pengelolaan wakaf, baik dari segi peraturan perundang-undangan maupun teknis manajerial sehingga lebih mudah diadakan control, baik di daerah maupun pusat.

Mengajak para Nazhir wakaf untuk memahami tata cara dan pola pengelolaan yang lebih berorientasi pada kepentingan pelaksanaan Syariat Islam secara lebih luas dan dalam jangka panjang. Sehingga wakaf bisa dijadikan sebagai salah satu elemen penting dalam menunjang penerapan sistem ekonomi Syariah secara terpadu.

Setelah diketahui persyaratan minimal seorang

Nazhir wakaf dan tujuan diperlukannya pengelolaan SDM keNazhiran, maka diperlukan upaya pembinaan agar mereka dapat menjalani tugas-tugas keNazhiran

Page 115: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

118

secara produktif dan berkualitas. Upaya pembinaan ini yang harus dilakukan berdasarkan standar pola manajemen terkini adalah:

(a) Pendidikan formal. Melalui sekolah-sekolah umum

dan kejuruan dapat dicetak calon-calon SDM keNazhiran yang siap pakai, dengan catatan sekolah itu sendiri harus dibentuk secara berkualitas dengan memberikan format kurikulum yang mantap dengan disiplin pengajaran yang tinggi, terarah menurut bidang yang dituju. Misalnya, sekolah menengah petanian maupun tingkat perguruan tingginya (fakultas pertanian) yang diharapkan dapat mengelola tanah-tanah wakaf berupa persawahan, perkebunan, ladang pembibitan dan lain-lain. Atau sekolah-sekolah teknik menengah dan perguruan tingginya yang meliputi berbagai jurusan, seperti teknik industri, arsitektur, metalurgi, pemasaran industri yang kelak bisa mengelola berbagai potensi benda wakaf secara produktif dan sebagainya. Atau bisa juga sekolah dan perguruan tinggi yang membuka jurusan sosial, seperti akuntansi, hukum dan lain-lain yang bisa diarahkan untuk memback-up pengembangan secara umum.

Melihat dari kondisi saat ini, secara kuantitatif,

sudah cukup banyak jumlah sekolah dan perguruan tinggi yang membuka dan mengelola arah pembinaan SDM seperti di atas, namun lulusan berbagai bidang keahlian yang berjumlahnya ribuan tersebut masih

Page 116: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

119

sedikit yang memiliki kemampuan handal. Apalagi misalnya ini dikaitkan dengan pola manajemen yang ingin diterapkan dalam pengelolaan wakaf yang menggunakan sistem Syari’ah. Jangankan mereka bisa menguasai sistem Syariah, untuk kemampuan minimal pun mereka banyak yang tidak memenuhi standar. Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya menciptakan SDM keNazhiran yang handal, pemerintah dan juga lembaga-lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam harus memulai pembenahan kembali sistem pendidikan yang diterapkan selama ini, agar alumni atau lulusannya menjadi tenaga kerja yang siap pakai, mandiri, produktif dan berkualitas.

(b) Pendidikan non formal. Bentuk dari pendidikan

model ini adalah dengan mengadakan kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan SDM keNazhiran baik yang terkait dengan manajerial organisasi, atau meningkatkan keterampilan dalam bidang profesi seperti administrasi, teknik pengelolaan pertanian, teknik perbankan, pengelolaan kepariwisataan, perdagangan, pemasaran dan lain sebagainya. Pendidikan non formal ini perlu digalakkan oleh beberapa pihak yang terkait dengan dunia perwakafan, seperti Departemen Agama, lembaga-lembaga Islam, lembaga-lembaga bisnis, lembaga perbankan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan sebagainya dengan mutu pembelajaran yang lebih ditingkatkan sehingga

Page 117: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

120

benar-benar dapat menghasilkan tenaga kerja yang terampil dan siap pakai.

(c) Pendidikan informal. Berupa latihan-latihan dan

kaderisasi langsung di tempat-tempat pengelolaan benda wakaf. Nazhir yang telah ada, ditingkatkan kemampuannya melalui latihan-latihan yang intensif dan bimbingan yang membuatnya kian maju dan mampu dalam bidang tugas dan tanggung jawabnya. Medan kerja itu sendiri menjadi “sekolah” dan taman belajar yang lebih praktis yang terkadang bobot dan mutunya lebih mantap dibandingkan dengan sekolah atau kursus. Misalnya Nazhir wakaf yang sedang mengelola usaha perdagangan kebutuhan pokok (ritel) akan lebih mudah meningkatkan kemampuannya dalam mengelola usaha tersebut jika dibina dan diarahkan dengan manajemen modern yang praktis dan dicontohkan langsung. Contoh lain, banyak montir yang ahli atau memiliki kemampuan baik karena mereka bisa praktek langsung, walaupun mereka bukan lulusan sekolah teknik dan bukan pula dari lembaga kursus montir. Keahlian ini diperoleh dari pengalaman dan bimbingan supervisornya yang menurunkan ilmunya.

(d) Pembinaan fisik. Faktor olah raga dan istirahat para

tenaga kerja, termasuk para Nazhir tidak boleh diabaikan dalam rangka membangun fisik yang prima. Demikian juga kelengkapan gizi memerlukan perhatian khusus dengan makanan yang mencukupi

Page 118: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

121

nilai gizinya. Karena tubuh kita dibentuk, tumbuh dan berkembang disebabkan adanya gizi makanan yang setiap hari dikonsumsi. Kesehatan tubuh manusia tergantung pada apa yang diamakannya. Sehingga dengan keseimbangan antara kerja, istirahat, olah raga dan asupan makanan bergizi yang cukup akan menjadikan tubuh lebih terlihat energik, dinamis dalam mengemban tugas keNazhiran. Pola pembinaan fisik ini barangkali dianggap terlalu ideal dilakukan oleh sebuah lembaga keNazhiran, akan tetapi bukan hal yang tidak mungkin dalam sebuah lembaga pengelola wakaf yang cukup profesional bisa melakukan ini. Atau paling tidak, jika lembaga keNazhiran menganggap upaya pembinaan fisik SDM nya terlalu jauh, paling tidak sebagai salah satu prasyarat menjadi seorang Nazhir harus dipastikan memiliki tubuh yang sehat, sehingga dengan kondisi tersebut yang bersangkutan dapat menjalankan tugas dengan baik.

(e) Pembinaan mental. Spirit kerja harus terus menerus

dibina agar para pemegang amanah perwakafan senantiasa bergairah dalam melaksanakan pekerjaannya. Demikian juga pembinaan mental budi pekerti (akhlak) yang luhur dibina melalui berbagai kesempatan seperti ceramah-ceramah agama, out bond, simulasi pengembangan diri dan organisasi untuk menjaga dan meningkatkan ketahanan mental supaya SDM keNazhiran bisa mengemban amanat untuk kesejahteraan masyarakat

Page 119: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

122

banyak. Menjadi hal yang sering terjadi, dalam sebuah lembaga-lembaga usaha sering diadakan pembinaan-pembinaan kualitas kerjanya, namun mengesampingkan pembinaan mentalnya. Sehingga, walaupun SDM nya sudah memiliki kehandalan dalam pengelolaan usaha, tapi karena mentalnya yang sangat lemah mengakibatkan terjadinya tindakan-tindakan menyimpang, seperti korupsi, mark up anggaran sampai penyimpangan moral pribadinya. Jika kondisi mental para pelaksana tugas keNazhiran lemah atau buruk, maka pengelolaan wakaf tidak akan menghasilkan secara maksimal.

D. Sistem Rekruitmen Wakif Sebagai salah satu pilar penting dalam dunia

perwakafan, wakif (orang yang mewakafkan harta) harus terus diberikan stimulus agar pertambahan benda-benda (kekayaan) wakaf terus bisa dicapai. Untuk konteks Indonesia memang banyak benda-benda wakaf yang belum dikelola secara profesional oleh Nazhir, namun dalam mengembangkan dan memperluas jangkauan benda-benda wakaf, seperti wakaf tunai (uang) dan wakaf bergerak lainnya, maka harus ditetapkan sistem rekruitmen wakif. Paling tidak sistem rekruitmen wakif dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan:

Pendekatan keagamaan

Wakaf sebagai salah satu instrumen ibadah tabarru’, harus diberikan porsi yang sama banyak sebagaimana

Page 120: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

123

ibadah zakat. Apalagi wakaf (shadaqah jariyyah) dijanjikan oleh Allah memiliki bobot pahala yang terus mengalir, walaupun para pelaku (wakif) sudah meninggal dunia. Untuk itu pola pendekatan keagamaan perlu digiatkan oleh para agamawan kepada umat Islam yang memiliki kemampuan secara finansial agar mau mewakafkan sebagian hartanya. Bagaimana bentuk pendekatannya tentu saja dibutuhkan kearifan dan metode yang tepat sehingga lebih menyentuh kepada para calon wakif, seperti keteladanan dan amanah.

Pendekatan kesejahteraan sosial

Secara sosial, wakaf memiliki peran yang cukup strategis di tengah-tengah kemiskinan yang menggurita umat Islam Indonesia. Untuk itu pola penyadaran yang terus menerus dilakukan agar para pemilik harta (orang kaya) bisa meningkatkan volume beribadah yang berdimensi sosial. Karena wakaf mempunyai kontribusi solutif terhadap persoalan-persoalan ekonomi kemasyarakatan. Kalau dalam tataran pendekatan keagamaan, wakaf berbicara tentang nilai-nilai pahala yang akan didapatkan oleh umat Islam yang menjalankannya, sedangkan pada pendekatan kesejahteraan sosial, wakaf menjadi jawaban konkrit dalam realitas problematika kehidupan (sosial-ekonomi) masyarakat. Karena secara ideologis, penguasaan harta (kekayaan) oleh seseorang (lembaga) secara monopolistik akan bisa melahirkan eksploitasi oleh kelompok minoritas (kaya) terhadap mayoritas (miskin). Dan eksploitasi sosial-ekonomis ini pada gilirannya nanti akan menimbulkan dis-harmoni sosial yang bisa mengakibatkan kesenjangan sosial

Page 121: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

124

yang tajam. Pemahaman secara sosial harus ditanamkan secara berkesinambungan, bahwa harta tidaklah cukup dimiliki dan dikuasai sendiri, melainkan juga harus dinikmati bersama.

Dengan pola pendekatan penyadaran akan problem-problem sosial seperti itu diharapakan para calon wakif semakin tergerak hatinya menyumbangkan sebagian harta menjadi wakaf (shadaqah jariyyah) untuk kepentingan masyarakat umum.

Pendekatan bukti keberhasilan pengelolaan

Menjadi salah satu kendala nyata bagi calon wakif enggan mewakafkan hartanya karena dipengaruhi oleh sebuah realitas bahwa mayoritas lembaga keNazhiran di Indonesia terhitung tidak profesional. Karena ketidakprofesionalan itulah banyak harta wakaf yang sama sekali tidak memberi manfaat kepada masyarakat yang dimaksud wakif, bahkan banyak pula harta wakaf yang dijadikan bahan warisan oleh para sanak keturunan Nazhir wakaf, sampai persengketan dengan pihak ketiga. Sehingga para calon wakif menjadi was-was (ragu) akan mewakafkan sebagian hartanya.

Oleh karena itu dalam rangka menarik hati para calon wakif, para Nazhir atau lembaga Nazhir harus membuktikan terlebih dahulu kepada masyarakat bahwa amanah untuk mengelola benda-benda wakaf bisa berhasil dan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang membutuhkan, baik untuk ibadah seperti masjid, musholla, madrasah, atau juga untuk kepentingan pemberdayaan ekonomi, kesehatan, pendidikan (beasiswa), penelitian dan

Page 122: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

125

sebagainya. Proses pembuktian keberhasilan pengelolaan dibutuhkan keseriusan, dedikasi, kehati-hatian dan keikhlasan yang tinggi. Dengan cara seperti itu, maka secara tidak langsung para Nazhir mempromosikan akan pentingnya fungsi wakaf secara sosial maupun secara spiritual. Pendekatan efektifitas pemanfaatan hasil

Tidak sedikit pula Nazhir wakaf yang menggunakan hasil pengelolaan wakaf dinilai kurang efektif untuk kepentingan kesejahteraan umum. Penggunaan prioritas pemanfaatan benda-benda wakaf begitu penting sehingga sasaran wakaf dapat dicapai dengan baik. Dengan demikian, pemanfaatan benda-benda wakaf bisa dilakukan secara maksimal, dan sejauh mungkin digunakan diluar kepentingan kesejahteraan umum.

Dengan pola pendekatan ini, maka diharapkan para wakif dan calon wakif semakin tergerak hatinya untuk menyumbangkan sebagian harta sebagai wakaf dalam rangka membantu terhadap problem-problem sosial yang ada di sekitar kita.

Page 123: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

126

DAFTAR PUSTAKA

Abu Su'ud, Muhammad, Risalatu fi Jawazi Waqfi an-Nuqud, (Bairut : Dar Ibnu Hazm), tt.

Akhyar Adnan, Muhammad, Akuntansi dan Auditing Kelembagaan Wakaf, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002

Al-Ghazali, Muhammad, Fiqhus Sirah, edisi Malaysia, (Bandung: PT. Ma’arif), Cetakan Pertama, 1996

Amin, Muhammad, Dr., al-Auqaf wal-Hayat al-Ijtimaiyyah fi Mishra, Darunnahdlah, Kairo, tt.

Budi Utomo, Setiawan, Dr., Saatnya Wakaf Tunai Menyejahterakan Perekonomian Umat Kontemporer, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002

Direktorat Peningkatan Zakat dan Wakaf Ditjen BIPH, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik, (Jakarta : Depag RI), 2002

Harahap, Sofyan Syafri, Akuntansi Pengawasan Manajemen dalam Perspektif Islam, (Jakarta: PT Basarindo Buana Tama), Cetakan Pertama, Desember, 1992

Hasanah, Uswatun, Dr., Manajemen Kelembagaan Wakaf, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002

Ibrahim, M. Anwar, Dr., Wakaf dalam Syari’at Islam, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi

Page 124: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

127

Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002

Ismail Yusanto, Muhammad dan Widjayakusuma, Muhammad, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: GIP), Cetakan Kedua, September, 2003

Kamaluddin Imam, Muhammad, Dr., al-Washiyyat wal-Waqwi fil-Islam : Maqashid wa Qawaid, Matba'ah Intishar, 1999

Mughniyah, al-Fiqh ‘ala Mazahibil al-Khamsah, Edisi Ind., (Jakarta: PT Lentera Basritama), Cetakan Pertama, Juli 1996

Qadir, Abdurrahman, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), Cetakan Pertama, 1998

Tim Penyusun Buku, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Proyek Peningkatan Zawa Depag RI), 2003

Tim Penyusun Buku, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis, (Jakarta: Proyek Peningkatan Zawa Depag RI), 2003

Tim Penyusun Buku, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Dirjen BIPH Depag RI), 2003

Ya’kub, Hamzah, Dr., H., Etos Kerja Islami, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya), Cetakan Pertama, 1992

Page 125: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

131

Keputusan Fatwa KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

Tentang

WAKAF UANG

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia setelah

MENIMBANG :

A. Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahul, antara lain, adalah

yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada,” (al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh aI-Minhaj, [Dar aI-Fikr, 1984], juz V, h. 357; al Khathib a1-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [ Dar al-Fikr, t,th},juz 11, h.376

atau “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam” dan “Benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut

Page 126: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

132

ajaran Islam (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bukuk III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4)).

sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka hukum wakaf uang (waqf a1-nuqua cash wakaf) adalah tidak sah

B. Bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain

C. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh masyarakat

MENGINGAT

1. Firman Allah SWT:

.

"Kamu sekalian tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. All Imran [3]: 92).

2. Firman Allah SWT

Page 127: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

133

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap -tiap bulir: seratus biji Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki Dan Allah Maha Luas (kurnia lagi Maha Mengetahui).

Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah [ 261-262).

3. Hadis Nabi SAW:

4803

49234924

9323

"Diriwayatkan dari Abu Huralrah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda; “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, dan Abu Daud.)

4. Hadis Nabi SAW:

Page 128: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

134

99494809

49214934

"Diriwayatkan dan Ibnu Umar r. a. bahwa Umar bin al Khathab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah Saya memperoleh tanah di Khaibãr; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apá perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.

Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (basil) tanah itu secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik

Rawi berkata “Saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu Ia berkata ‘ghaira mutaatstsilin malan' (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’).

5. Hadis Nabi SAW:

Page 129: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

135

4931

"Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; Ia berkata Umar r.a. berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi s.aw. berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i).

6. Jabir RA berkata

94710497

"Tak ada seorang sahabat Rasulpun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf” (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h

157; al-Khathib a1-Syarbini Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz II, h. 376

MEMPERHATIKAN :

1. Pendapat imam al-Zuhri (w. 124 H.) bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih (Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn-Hazm, 1997], h. 20-21).

Page 130: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

136

2. Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi (lihat Wahbah al Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162). Membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud r.a

4340

Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam

pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk

3. Pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i

Abu Tsaur rneriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)” (al-Mawardi al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, [Beirut: Dar al Fikr, 1994], juz IX, h. 379.)

4. Pandangan dan pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2002, antara lain tentang perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurnaan (pengembangan) definisi wakaf yang telah umum diketahui, dengan memperhatikan maksud hadis, antara lain, riwayat dari Ibnu Umar (lihat konsideran mengingat [nomor 4 dan 3 di atas:

Page 131: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

137

5. Pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada Sabtu, tanggal 11 Mei 2002 tentang rumusan definisi wakaf sebagai berikut

yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada"

6. Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, (terakhir) nomor Dt.1. III/5/BA.03.2/2772/2002, tanggal 26 April 2002

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG WAKAF UANG

Pertama : 1. Wakaf Uang (Cash WakaflWaqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai

2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga

3. Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh).

Page 132: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

138

4. Wakaf Uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal- hal yangdibolehkan secara syar’iy.

5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.

Kedua : Fatwa ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta

Tanggal :28 Shafar 1423 H 11 Mei 2002 M

KOMISI FATWA

MAJELIS ULAMA INDONESIA

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM DAN

PENYELENGGARAAN HAJI

Page 133: paradigma baru wakaf di indonesia-2013.pdf

139

NOMOR: 2 TH 2004

TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN BUKU

“PARADIGMA BARU WAKAF DI INDONESIA” Pengarah : 1. Dirjen BIPH 2. Direktur Pengembangan Zakat & Wakaf 3. Sekretaris Ditjen BIPH Ketua : Drs. H. Achmad Djunaidi Wk. Ketua : Drs. H. Ma’ruf Sekretaris : H. Asrory Abdul Karim, SH, MH. Anggota : 1. H. Fauzan 2. Drs. H. Muhajir Algadri 3. Drs. H. Turmudzi 4. Thobieb Al-Asyhar, S. Ag. 5. HM. Cholil Nafis, Lc, MA 1. H. Achmad Mu’thi Shafieq, S.Ag. 7. H. Damiri, BA. Sekretariat : 1. H. Mahmud Fauzi 2. Ahmad Muda Lubis, S. Ag.

3. Hj. Hernawati 4. HM. Syarifuddin

`