Upload
fadelabdi95
View
237
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Tugas Akuntansi Perpajakan
Anggota Kelompok:
Fadel Abdillah (13/352344/EK/19600)
Giandra Satyayuda (13/352488/EK/19604)
Muhammad Nabil Ar-Ridho (13/349606/EK/19534)
Yosua Hiras (13/349562/EK/19526)
Perlawanan Terhadap Pajak Pasca Kemerdekaan
A. Penghindaran dan Penyelundupan Pajak
Dalam buku-buku perpajakan Indonesia, penghindaran pajak (tax avoidance)
selalu diartikan sebagai kegiatan yang legal (misalnya meminimalkan beban
pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan) dan penyelundupan pajak (tax
evasion/tax fraud) diartikan sebagai kegiatan yang ilegal (misalnya
meminimalkan beban pajak dengan memanipulasi pembukuan).
Permasalahannya adalah apakah penghindaran pajak selalu legal? Menurut
Roy Rohatgi (2002: 342), di banyak negara penghindaran pajak dibedakan
menjadi penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance/tax
planning/tax mitigation) dan yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax
avoidance). Artinya, penghindaran pajak dapat saja dikategorikan sebagai
kegiatan legal dan dapat juga dikategorikan sebagai kegiatan ilegal. Suatu
penghindaran pajak dikatakan ilegal apabila transaksi yang dilakukan semata-
mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi tersebut tidak mempunyai
tujuan usaha yang baik (bonafide business purpose).
Oleh karena itu, untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan
oleh perusahaan multinasional, sebagian besar negara telah mempunyai ketentuan
anti penghindaran pajak (Brian J. Arnold dan Michael J. McIntyre, 2002:81).
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun
perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak.
Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak
1
membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh negara adalah
ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi negara adalah
perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan kerelaan
pembayar diperlukan dalam hal ini.
Mengingat pajak adalah beban yang akan mengurangi laba bersih perusahaan
maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar
pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun demikian
penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tidak
merugikan perusahaan di kemudian hari.
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini
adalah perbuatan kriminal karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus
penggelapan pajak :
Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar
hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar;
Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
Transaksi export fiktif;
Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan.
Jika kita analogikan pajak dengan karcis tol, Jika kita lewat jalan tol tetapi
tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita
menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa,
maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara
tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal.
Seperti halnya dengan menghindari jalan tol (memilih jalan biasa) agar
terhindar dari kewajiban membayar karcis tol, cara yang paling mudah dan legal
untuk menghindari pajak adalah dengan cara menghindari transaksi yang
merupakan obyek pajak, misalnya dengan tidak memperoleh penghasilan.
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah yang dapat
dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan
optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai,
perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar,
2
membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan
dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.
Selain menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah
penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain :
Memilih bentuk usaha yang memiliki tarif pajak terendah
Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai
pengurang penghasilan,
Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak
terendah.
Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar
Perlawanan Pajak adalah hambatan-hambatan dalam pemungutan pajak baik
yang disebabkan oleh kondisi negara dan rakyatnya maupun disebabkan oleh
usaha-usaha wajib pajak yang disadari ataupun tidak disadari mempersulit
pemasukan pajak sebagai sumber penerimaan negara. Walaupun pajak tidak bisa
dipungut tanpa adanya persetujuan dari rakyat, pemerintah selalu berusaha untuk
memberikan penerangan dan penyuluhan agar rakyat mempunyai kesadaran akan
kewajibannya membayar pajak.
Menurut R. Santoso Brotodihardjo dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum
Pajak” perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan antara Perlawanan Pasif dan
Perlawanan Aktif.
1. Perlawanan Pasif
Perlawanan Pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar
pemungutan pajak yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi,
perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem pemungutan pajak itu
sendiri.
Misalnya antara negara industri dengan negara agraris, akan berbeda dalam
hal melaksanakan pencatatan pembukuan. Demikian pula dalam kemajuan
tingkat pendidikan menyebabkan masyarakat di negara industri telah terorientasi
“bank- minded”.
2. Perlawanan Aktif
3
Perlawanan Aktif adalah meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak.
Usaha perlawanan aktif dapat dibedakan menjadi 3 ( tiga ) cara, yaitu :
a. Penghindaran diri dari pajak (Tax Saving)
Penghindaran diri dari pajak dapat dilakukan dengan cara tidak melakukan
kegiatan-kegiatan yang menjadi penyebab timbulnya utang pajak. Misalnya
dengan menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan yang menimbulkan pajak,
mengganti pemakaian barang kena pajak dengan barang yang tidak kena pajak
atau kegiatan lainnya.
Ketidakjelasan atau lemahnya Undang Undang atau mungkin lemahnya
kontrol aparat pajak, akan menyebabkan adanya lubang-lubang kelemahan yang
dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk menghindari atau memperkecil jumlah
pajaknya. Pemanfaatan lubang-lubang kelemahan untuk menghindari atau
memperkecil pajak oleh wajib pajak disebut dengan “loopholes”. Dan
penghindaran diri dari pajak yang seperti ini disebut “tax avoidance”.
b. Pengelakan pajak (Tax Evasion)
Pengelakan pajak dilakukan dengan cara penyelundupan pajak yaitu dengan
menyembunyikan keadaan-keadaan yang sebenarnya. Pengelakan yang seperti ini
benar-benar suatu pelanggaran terhadap Undang Undang atau ketentuan
peraturan perpajakan.
Misalnya dengan membuat pernyataan yang tidak benar, membuat laporan
yang tidak benar/palsu, membuat pembukuan ganda, tidak melaporkan
penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan sampingan. Pengelakan pajak dengan
cara seperti diatas disebut dengan “ Tax Evasion “.
c. Melalaikan Pajak
Melalaikan pajak meliputi tindakan menolak untuk membayar pajak yang
telah ditetapkan oleh fiskus atau menolak untuk memenuhi formalitas-formalitas
yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Misalnya usaha
menggagalkan penyitaan.
B. Contoh Perlawanan terhadap Pemungutan Pajak di Indonesia Pasca
Kemerdekaan
4
Perlawanan terhadap pajak sebenarnya sudah terjadi sejak zaman
kolonial. Penerapan pajak yang tidak mempertimbangkan nasib rakyat pribumi
membuat rakyat bangkit untuk melawan balik kedzaliman tersebut. Pasca
merdeka, NKRI mengadopsi beberapa pajak yang sudah dikenakan oleh Belanda
dan Jepang dengan beberapa perubahan sesuai kepentingan rakyat. Namun,
terdapat beberapa peristiwa penerapan pajak yang kurang tepat sehingga
membuat masyarakat menjadi enggan untuk membayarkan pajak kepada
pemerintah.
a. Pajak atas Judi dan Lokalisasi PSK di DKI Jakarta
Pada zaman orde lama, tepatnya tahun 1966, Presiden Soekarno melantik
Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta. Soekarno menaruh banyak harapan
kepada Ali untuk dapat memulihkan keadaan Jakarta seperti semula dan memulai
pembangunan Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Ali Sadikin merasa kesulitan
untuk mengemban amanah tersebut dengan hanya dibekali APBD 66 juta rupiah
setahun.
Ali kemudian memutar otak mencari cara untuk mendapatkan tambahan
dana untuk pembangunan. Pemikirannya sampai pada UU Nomor 11 Tahun 1957
dimana Gubernur dan Kepala Daerah berhak memungut pajak atas judi. Ali
melihat aktivitas perjudian dan lokalisasi PSK yang cukup marak pada saat itu
menjadi jalan keluar atas masalah yang dihadapinya. Ali kemudian
mengumumkan bahwa perjudian dan lokalisasi dilegalkan di Jakarta kepada
kaum Tionghoa dan penyedia tempat tersebut harus membayar pajak kepada
pemerintah.
Usaha tersebut menuai hasil yang sangat luar biasa. Pendapatan pajak
DKI Jakarta meroket hingga milyaran rupiah. Dengan uang tersebut, Ali dapat
membangun Jakarta menjadi kota Metropolitan seperti sekarang ini. Proyek
pembangunan sekolah, pasar, kampung, gelanggang olahraga, pusat kesenian,
kebun binatang Ragunan, dan jalan raya besar adalah bukti kesuksesan Ali
sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Namun, cara Ali Sadikin ini menuai protes berbagai macam pihak yang
tidak setuju pelegalan kegiatan “kotor” tersebut di Jakarta. Ormas agama dan
rakyat pribumi menolak pembangunan Jakarta dengan memungut pajak dari judi
dan lokalisasi PSK. Rakyat merasa malu karena melihat terjadinya penurunan
5
moral dan etika pada pemerintah khususnya Jakarta sebagai pusat pemerintah.
Hal ini cukup kontroversial karena pemerintah sebagai wakil rakyat seharusnya
mengikuti kemauan rakyat. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan
Jakarta menjadi maju membutuhkan dana yang sangat besar, tetapi banyak cara
lain yang lebih “bermartabat” untuk dapat menyukseskan pembangunan ibukota
kita tercinta ini.
b. Pajak Bumi dan Bangunan dengan self assessment system
Peristiwa lain tentang perlawanan masyarakat terhadap pemungutan pajak
yaitu pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) di Indonesia. Penerapan PBB
dimulai pada tahun 1985. Pada tahun tersebut, diadakan tax reform sesuai amanat
GBHN tahun 1983. Pemungutan pajak yang pada awalnya menggunakan sistem
official-assessment kemudian dirubah menjadi self-assessment. Mulai tahun
tersebut, setiap wajib pajak harus mengisi dan menghitung beban pajak yang
ditanggungnya serta membayarkan pajak tersebut setiap tahun.
Kelemahan penerapan self assessment adalah perhitungan tersebut belum
tentu akurat dan benar karena yang mengisi adalah para wajib pajak. Apabila
dihubungkan dengan PBB, maka pembebanan PBB tersebut tidak melihat latar
belakang wajib pajak tersebut. PBB dihitung menggunakan nilai wajar harga
tanah dan bangunan tersebut saat itu kemudian dikalikan dengan persentase yang
ditetapkan oleh pemerintah. Semakin tinggi nilai tanah dan bangunan, semakin
tinggi pula PBB yang dibebankan.
Masalah yang muncul adalah petani yang memiliki sawah atau kebun
dekat dengan perkotaan menanggung beban PBB yang sama dengan pemilik
hotel yang memiliki ukuran tanah sama. PBB tersebut semakin memberatkan
petani untuk dapat menggarap mata pencahariannya dengan penghasilan yang
minim. Hal ini disebabkan oleh penerapan PBB yang tidak melihat kemampuan
wajib pajak untuk membayar PBB tersebut. Hal ini tentu menuai protes dari
masyarakat yang menuntut keadilan pada rakyat kecil.
Pemerintah akhirnya menyadari bahwa seharusnya pajak yang berperan
untuk mensejahterakan rakyat malah membuat sengsara rakyatnya sendiri. Pada
tahun 2016, pemerintah merencanakan untuk menghapus PBB dari objek
pemungutan pada PNS dan kaum menengah ke bawah tetapi tetap diberlakukan
untuk pihak swasta dan pedagang komersil. Selain itu, biaya untuk memungut
6
PBB ternyata lebih besar dibandingkan dana dari PBB tersebut yang masuk ke
kas negara. Alasan PBB diberlakukan sebelumnya ternyata untuk alat pendataan
kepemilikan tanah dan bangunan rakyat.
Rencana penghapusan PBB ini menuai protes dari kepala daerah karena
dikhawatirkan akan menurunkan pendapatan asli daerah (PAD). Selain itu, PBB
juga menjadi bukti penguat apabila terjadi kasus sengketa tanah dan bangunan.
Sertifikat tanah dan bangunan tidak cukup menjadi bukti kepemilikan karena tiap
pihak mendapatkannya dari kantor BPN. Oleh karena itu, pengadilan biasanya
memutuskan kepemilikan tersebut diberikan kepada pihak yang melaporkan dan
membayarkan PBB tersebut ke kantor pajak.
c. Pajak Hasil Bumi
Contoh 1 : Penolakan Pajak Hasil Bumi
Pengusaha Ramai-ramai Tolak PPN 10% Produk Pangan
Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah asosiasi komoditas pertanian, perkebunan
dan kehutanan dalam negeri dengan tegas menolak rencana pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen pada produk pangan sebagai konsekuensi
dari pembatalan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2007 oleh Mahkamah
Agung.
Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Irfan Anwar mengatakan
penolakan ini dilakukan lantaran pengenaan PPN akan berdampak langsung tingkat
petani dan konsumen.
7
"Ini akan ber-impact pada end to end, yaitu petani dan konsumen. Terlebih
untuk petani yang masih banyak ekonominya lemah dan pendidikannya juga rendah,"
ujar dia dalam konferensi pers di Kantor AEKI, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis
(21/8/2014).
Dia menjelaskan, konsekuensi dari penerapan PPN ini seperti menurunkan
semangat petani dalam menghasilkan komoditas primer sehingga berdampak pada
penurunan produksi dan menghambat perkembangan industri hilir yang saat ini
sedang menggeliat untuk tumbuh.
"Ini bertentangan dengan program hilirisasi yang digalakan pemerintah. Saat
ini masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kopi saja mencapai 2 juta orang.
Keputusan MA ini membuat bingung pelaku usaha," lanjut dia.
Selain kedua hal tersebut, pengenaan PPN ini dikhawatirkan akan
melemahkan daya saing komoditas Indonesia di pasar internasional.
Sedangkan untuk pelaku eksportir, hal tersebut juga akan memberatkan karena
membutuhkan modal kerja yang lebih besar untuk pembayaran PPN 10 persen,
sementara bunga perbankan di Indonesia tidak kompetitif dibandingkan dengan suku
bunga negara lain.
"Kita dalam kondisi tekanan asing saat ini, terlebih lagi ada ada MEA
(Masyarakat Ekonomi ASEAN) di mana perusahan asing akan mudah masuk ke
Indonesia. Ini demi masa depan komoditas pertanian dan perkebunan," jelas dia.
8
Untuk itu, sejumlah asosiasi ini meminta agar pengenaan PPN ini ditunda serta
pemerintah dan MA melakukan peninjauan ulang terhadap putusannya.
"Kita minta ini ditinjau ulang atau paling tidak ditunda sampai ada tujuan yang
jelas dan ada alasan yang logis. Karena saya yakin pemerintah juga bingung. Kita
harapkan ada jalan tengah yang baik dulu. Pilihan terakhir akan kita terapkan upaya
hukum. Pemerintah harusnya lebih bijaksana memutuskan kebijakan," tandas dia.
Seperti diketahui, MA telah membatalkan sejumlah pasal pada PP Nomor 31
Tahun 2007 yang menetapkan barang hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha
pertanian, perkebunan dan kehutanan sebagai barang yang dibebaskan dari pengenaan
PPN.
Contoh 2 :
AEKI Tolak Penerapan PPN Komoditas Pertanian
Sebuah pameran kopi yang diselenggarakan di acara South to South Film Festival di
Goethehaus, Jakarta Maret 2014 lalu. (Foto: Diah A.R)
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia
(AEKI) menyatakan menolak dengan adanya penerapan pajak pertambahan nilai
(PPN) sebesar 10 persen atas komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan setelah
dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HM/2014 yang membatalkan
sebagian Perpres Nomor 31/2007.
"Kami menolak PPN 10 persen, dengan adanya PPN tersebut akan berdampak
langsung terhadap para petani dan konsumen," kata Ketua Umum AEKI, Irfan Anwar,
dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (21/8).
Dalam kesempatan tersebut, tidak hanya AEKI yang menolak putusan MA,
namun beberapa asosiasi komoditas juga sepakat untuk melakukan hal yang sama.
Beberapa asosiasi tersebut antara lain, Asosiasi Eksportir Lada Indonesia
(AELI), Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Asosiasi Pengusaha Hutan
Indonesia, dan juga Asosiasi Pedagang Teh.
Irfan mengatakan, penerapan PPN 10 persen untuk komoditas pertanian,
perkebunan dan kehutanan tersebut selain merugikan para konsumen, yang paling
terkena imbas besar adalah para petani.
"Penerapan ini beradmpak langsung terhadap para petani, mereka tidak
mendapatkan kesejahteraan yang cukup," ujar Irfan, menegaskan.
Selain itu, beberapa hal yang dinilai akan menjadi konsekuensi dari putusan
9
tersebut adalah, akan menurunkan semangat para petani untuk menghasilkan komoditi
primer sehingga menurunkan jumlah produksi, dan dunia industri akan mengalami
kekurangan pasokan.
"Ini juga akan mematikan industri dalam negeri, dan juga memperlemah daya
saing komoditi Indonesia di pasar internasional," ucap Irfan.
Ia menjelaskan, dengan adanya keputusan MA tersebut mengakibatkan
kebingungan bagi pelaku usaha, dan juga dinilai akan memberatkan para eksportir
yang membutuhkan modal kerja lebih besar untuk membayar PPN 10 persen,
sementara bunga perbankan dalam negeri tidak kompetitif jika dibandingkan negara
lain.
"Pemerintah diharapkan bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan dalam
waktu dekat," tukas Irfan.
Dalam Perpres Nomor 31/2007 tentang impor dan atau penyerahan barang
kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
Namun, putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HM/2014 membatalkan sebagian isi
perpres tersebut, sehingga komoditas yang termasuk barang hasil perkebunan yang
dikenakan PPN.
Berdasarkan putusan MA, Dirjen Pajak mengeluarkan Surat Edaran Nomoe
24/PJ/2014 yang mengatur pemberlakuan pengenaan PPN atas produk pertanian dan
perkebunan terhitung tanggal 22 Juli 2014. (Ant)
10
d. Pajak Penjualan (PPn)
Contoh 3 :
Eksportir Tolak Pengenaan Pajak 10% pada Hasil Produk Pertanian
(FOTO:Antara)
Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI)
menolak pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen terhadap komoditas
hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan.
Sekretaris Jenderal DPP GPEI, Toto Dirgantoro mengatakan pengenaan PPN
tersebut akan lebih memberatkan petani lantaran para petani harus menambah modal
kerja.
"Semua beban biaya yang timbul dari logistik, budidaya, produksi, bunga bank
serta pajak-pajak pada akhirnya akan menjadi beban bagi para petani sehingga akan
mengurangi pendapatan dan kesejahteraan petani," ujar Toto dalam keterangan
tertulis di Jakarta, seperti ditulis Selasa (26/8/2014).
Selain itu, para pedaganga maupun eksportir juga memerlukan tambahan modal kerja
sebesar 10 persen.
"Ekspor sektor pertanian secara nasional sebesar US$ 5,15 miliar, sehingga
perlu tambahan modal sebesar US$ 515 juta. Atas pengajuan restitusi PPN 10 persen
tersebut diperlukan waktu pengurusannya sehingga menganggu cash flow. Dengan
11
restitusi pajak, berarti tidak ada tambahan perolehan pendapatan pajak bagi negara,"
lanjutnya.
Dia menjelaskan, produk-produk pertanian seperti karet, kopi, tembakau,
kakao, kapas akan menjadi tidak kompetitif dan lebih mahal di pasaran.
"Pengenaan PPN ini akan semakin melemahkan daya saing produk pertanian
dalam negeri menghadapi produk-produk pertanian sejenis dari negara lain," kata dia.
Menurut Toto, produk-produk pertanian tersebut sebagai bahan baku yang
belum memiliki added value tax tidak semestinya dikenakan PPN 10 persen.
"Pemberdayaan dan kesejahteraan petani yang merupakan program pemerintah hanya
menjadi semboyan saja," tuturnya.
Oleh sebab itu, agar tetap dapat menjaga daya saing dan menjamin iklim usaha
yang lebih kondusif, maka GPEI mendesak agar dilakukan penundaan pelaksanaan
surat edaran dirjen pajak nomor SE-24/PJ/2014 pada 25 Juli 2014.
"Serta kami meminta peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung
(MA) nomor 70P/HUM/2013 pada 25 Februari 2014 terkait pengenaan PPN ini,"
tandasnya. (Dny/Ahm)
e. Penggelapan Pajak oleh Gayus Tambunan
Kasus ini berawal dari kecurigaan PPATK terhadap rekening Gayus
Tambunan dan Polri Melakukan penyelidikan. Awalnya, diduga bahwa Gayus
Tambunan melakukan korupsi, pencucian uang dan penggelapan pajak. Setelah
diselidiki oleh peneliti kejaksaan agung, ternyata uang sebesar Rp 2,5 milliar
direkening Gayus Tambunan merupakan transaksi Gayus dan Andi Kosasih
berupa titipan uang dari Andi kepada Gayus untuk membelikan tanah di Jakarta.
Selain itu, ditemukan aliran dana sebesar Rp 370 juta di rekening BCA
milik gayus. Ini merupakan penggelapan pajak yang dilakukan gayus untuk
membantu PT Mega Cipta Jaya Garmindo dalam pengurusan pajak pendirian
pabrik garmen di sukabumi.
Selanjutnya, uang sebesar Rp 370 juta tersebut disita dan jaksa
mengajukan tuntutan 1 tahun dan percobaan 1 tahun.
Namun, anehnya penggelapan ini tidak ada pihak pengadunya, pasalnya
perusahaan ini telah tutup. Sangkaan inilah yang kemudian maju kepersidangan
Pengadilan Negeri Tangerang. Hasilnya, Gayus divonis bebas. “Di Pengadilan
Negeri Tangerang, Gayus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
12
melakukan tindak pidana penggelapan. Tapi kami akan ajukan kasasi,” tandas
Cirrus. Sosok Gayus dinilai amat berharga karena ia termasuk saksi kunci
dalam kasus dugaan makelar kasus serta dugaan adanya mafia pajak di Ditjen
Pajak.
f. Peningkatan Tarif Pajak Penerangan Kota Bandung
Pada akhir tahun 2015, Pemerintah Kota Bandung hendak menaikkan
Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJU). Pemkot Bandung melalui Dinas
Pelayanan Pajak (Disyanjak) mengusulkan adanya kenaikan besaran PPJU untuk
beberapa golongan. Tarif PPJU untuk penggunaan tenaga listrik yang berasal dari
PLN untuk golongan Sosial (S3) ditetapkan sebesar 6 persen atau naik 3 persen,
golongan Rumah Tangga (R1, R2 dan R3) dengan daya 900 VA ke atas yaitu 8
persen atau naik 2 persen, golongan bisnis kecil (B1) dan bisnis menengan (B2)
juga diusulkan naik menjadi 8 persen atau 2 persen lebih tinggi, dan golongan
bisnis besar (B3) ditetapkan sebesar 8 persen atau naik 2 persen.
Sedangkan tarif untuk golongan industri kecil (I.1) diusulkan tetap yaitu
2,5 persen, dan tarif untuk golongan industri menengah (I.2) sampai golongan
industri besar (I.3-I.4) juga diusulkan tetap yaitu 3 persen.
Namun DPRD Kota Bandung menolak kenaikan PPJU karena akan
menyusahkan masyarakat kota bandung. Lalu, perkonomian di kota bandung
juga belum stabil. Disamping itu, pada tahun 2016, pemerintah pusat berencana
akan mecabut subsidi untuk Tarif Dasar Listrik (TDL) sehingga jika PPJU juga
dinaikkan, maka akan semakin memberatkan masyarakat kota bandung.
Menurut DPRD, masih ada daerah-daerah yang belum mendapatkan
Penerangan Jalan Umum (PJU) sehingga jika PPJU juga dibebankan
kemasyarakat disana, akan menjadi tidak adil. Dan DPRD menyarankan agar
mengganti lampu untuk penerangan jalan umum dengan lampu yang hemat
energi sehingga tidak perlu menaikkan PPJU.
Kesimpulan
Perlawanan terhadap pajak pasca kemerdekaan dilakukan secara lebih
intelektual dan melalui jalur hukum. Hal ini jauh berbeda dibandingkan dengan
perlawanan terhadap pajak sebelum kemerdekaan. Pada masa itu, perlawanan
terhadap pajak dilakukan dengan kontak fisik, bahkan perang. Saat ini, masyarakat
13
Indonesia dapat lebih mengaspirasikan pendapatnya untuk melakukan perlawanan
terhadap pajak. Hal ini dapat dilakukan melalui perwakilan di DPR, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi masyarakat, dan lain-lain. Bahkan di era sekarang ini,
perlawanan terhadap pajak dapat dilakukan oleh masing-masing orang dengan hanya
tidak membayar pajak secara benar.
Sumber:
1.http://ndeso-go-blog.blogspot.co.id/2012/03/perlawanan-pemungutan-
pajak.html
2.http://padyangantaxcenter.blogspot.co.id/2013/06/penghindaran-dan-
penyelundupan-pajak.html#.Vn30HlLKI1I
3.http://gitajaya77.blogspot.co.id/2012/11/pajak-judi-ada-undang-undangnya-
ada.html
4.https://amanahrakyatnusantara.wordpress.com/2013/08/30/ali-sadikin-een-
koppig-heid/
5.http://financecontroller.blogspot.co.id/2010/06/sejarah-pajak-di-indonesia.html
6.http://www.kompasiana.com/estherlima/penghapusan-pbb-upaya-melindungi-
mafia-tanah_54f35889745513792b6c71d6
7.http://www.tribunnews.com/regional/2015/02/17/bupati-dan-wali-kota-se-
jatim-sepakat-tolak-penghapusan-pbb
8.http://www.galamedianews.com/bandung-raya/51387/usulan-kenaikan-pajak-
penerangan-jalan-di-bandung-ditolak-dprd.html
9.http://andrynugrohosusanto.blogspot.co.id/2012/12/kronologi-kasus-gayus-
tambunan.html
14
10.http://bisnis.liputan6.com/read/2094375/pengusaha-ramai-ramai-tolak-ppn-10-
produk-pangan
11.http://www.satuharapan.com/read-detail/read/aeki-tolak-penerapan-ppn-
komoditas-pertanian
12.http://bisnis.liputan6.com/read/2096256/eksportir-tolak-pengenaan-pajak-10-
pada-hasil-produk-pertanian
15