Upload
adi-pratama-siregar
View
51
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat
(Sudoyo,2006). Angka kejadiannya lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat dengan
bertambahnya usia (Keshav,2004). Di negara Barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa.
Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20%-40%) dan rendah di
negara Asia (3%-4%). (Robbins,3)
Di Amerika Serikat, terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu empedu dan
dari hasil otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu paling sedikit 20% pada wanita dan
8% pada laki-laki di atas umur empat puluhan. Di Inggris, sekitar 5,5 juta orang dengan batu
empedu dan dilakukan lebih dari 50 ribu kolesistektomi tiap tahunnya. (Beckingham,1)
Sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi
penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak
mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi
relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik
yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat.
(Sudoyo,15)
Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun, dengan dua
pertiganya menjalani pembedahan. Angka kematian akibat pembedahan untuk bedah saluran
empedu secara keseluruhan sangat rendah, tetapi sekitar 1000 pasien meninggal setiap tahun
akibat penyakit batu empedu atau penyulit pembedahan. (Robbins,3)
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru Ultrasonografi (USG)
maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat
dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang
invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas. (Sabiston,9)
Oleh karena itu, maka penulis ingin mengetahui gambaran penderita batu empedu
(kolelitiasis) di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2010 – Januari
2011.
1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kolelitiasis disebut juga sinonim nya adalah batu empedu , gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsure yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu(sjamsuhidajat,12)
2.2. Epidemiologi
Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat. Kasus
tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada anak-anak jarang.
Orang gemuk ternyata mempunyai resiko tiga kali lipat untuk menderita batu empedu. Insiden
pada laki-laki dan wanita pada batu pigmen tidak terlalu banyak berbeda. (Mansjoer,4)
Avni Sali membuktikan bahwa diet tidak berpengaruh terhadap pembentukan batu, tetapi
secara tidak langsung mempengaruhi jenis batu yang terbentuk. Hal ini disokong oleh peneliti
dari Jepang yang menemukan bukti bahwa orang dengan diet berat biasanya menderita batu jenis
kolesterol, sedangkan yang dietnya tetap biasanya menderita batu jenis pigmen. Faktor keluarga
juga berperan dimana bila keluarga menderita batu empedu kemungkinan untuk menderita
penyakit tersebut dua kali lipat dari orang normal. (Mansjoer,4)
2.3.Anatomi kandung empedu
Kandung empedu ( Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada
permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus
berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus
bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum
dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan
sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi
fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan
visceral hati. (Reksoprodjo,8)
2
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan. V. cystica
mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena –
vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. (Reksoprodjo,8)
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum
vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang
perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung
empedu berasal dari plexus coeliacus. (Reksoprodjo,8)
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak tepat
dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke
saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus
hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Pada
banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vateri
sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla dikelilingi oleh
serabut otot sirkular, dikenal sebagai Sfingter Oddi. (Sjamsuhidajat,12)
Gambar 2.1 Anatomi Kandung Empedu (Putz, 7)
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Kandung
empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati. Empedu yang dihasilkan
hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu
masuk ke duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu. Pembuluh limfe dan pembuluh
darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam kandung empedu sehingga cairan
empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu hati.
Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui
kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan
pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak
dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk menimbulkan kontraksi. Hormone CCK
juga memperantarai kontraksi. (Sjamsuhidajat,12)
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah pembentukan batu
(kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua keadaan ini biasa timbul sendiri
atau timbul bersamaan (Price,6 )
3
2.4.Fisiologi kandung empedu
Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica
fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini,
mukosanya mempunyai lipatan – lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan.
Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga
mempunyai banyak mikrovilli. (Reksoprodjo,8)
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan
ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian
keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus
biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung
empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum. (Snell,13)
4
2.4.1. Pengosongan kandung empedu
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak
menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian
masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot
polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga
memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu
dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu
pencernaan dan absorbsi lemak. (Reksoprodjo,8)
2.5.Etiologi Batu Empedu
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling
penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu dan infeksi kandung empedu. (Sjamsuhidajat,12)
Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap
berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa
menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.
2.6.Faktor resiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor risiko di bawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Jenis kelamin. Wanita memiliki resiko 3 kali lipat terkena kolitiasis dibandingkan pria. Ini
dikarenakan hormon estrogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar estrogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (estrogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
5
2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang
usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/pengosongan kandung empedu.
4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu
tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
2.7.Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang
supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya
pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan
semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah
harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu
dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral
kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi
kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,
merupakan keadaan yang litogenik. (Schwartz,10)
6
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol.
Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu
nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin
bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk
dipakai sebagai benih pengkristalan. (Schwartz,10)
2.8.Klasifikasi kolelitiasis
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan
atas 3 (tiga) golongan.
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol.
Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk
terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20%
kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat
sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi
7
bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-
glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam
glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan
terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran
empedu dalam empedu yang terinfeksi.
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat
hitam yang tak terekstraksi.1 Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada
pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari
derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu
pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.
3. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol
2.9.Gejala klinis
Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun, 70% hingga
80% pasien tetap asimtomatik seumur hidupnya (Robbins,2007). Penderita batu empedu sering
mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat
mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke
punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke
kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-
jam atau dapat kembali terulang. (Sjamsuhidajat,12)
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan tanda-
tanda fisik kurang nyata. Sering kali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati
atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan
tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan
komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan
obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara,
intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan
8
menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur
dinding kandung empedu. (Sjamsuhidajat,12)
2.10.Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis : (Sjamsuhidajat,12)
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
6. Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
9. Hidrop kandung empedu
10. Empiema kandung empedu
11. Fistel kolesistoenterik
12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu muncul
lagi)
13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan menghasilkan
kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan
dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu
menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi
infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan
ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut
yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi
kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata. (Sjamsuhidajat,12)
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi
dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
9
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus
juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
(Sjamsuhidajat,12)
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. (Sjamsuhidajat,12)
2.11.Diagnosa
2. 11. 1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari
15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. (Sjamsuhidajat,12)
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai
mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam. (Sjamsuhidajat,12)
2. 11. 2. Pemeriksaan Fisik
1. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung
empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum
didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh
ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. (Sjamsuhidajat,12)
2. Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati
dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl,
10
gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus
klinis. (Sjamsuhidajat,12)
2. 11. 3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila
terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan
duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. (Sjamsuhidajat,12)
Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan banyak tes biokimia
yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang dinamai tes fungsi hati. Bilirubin serum yang
difraksionasi sebagai komponen tak langsung dan langsung dari reaksi Van den bergh, dengan
sendirinya sangat tak spesifik. Walaupun sering peningkatan bilirubin serum menunjukkan
kelainan hepatobiliaris, bilirubin serum bisa meningkat tanpa penyakit hepatobiliaris pada
banyak jenis kelainan yang mencakup episode bermakna hemolisis intravaskular dan sepsis
sistemik. Tetapi lebih lazim peningkatan bilirubin serum timbul sekunder terhadap kolestatis
intrahepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim hati atau kolestatis ekstrahepatik sekunder
terhadap obstruksi saluran empedu akibat batu empedu, keganasan, atau pankreas
jinak. (Sabiston,9)
Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum memuncak 25 sampai 30
mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi bilirubin sama dengan produksi harian. Nilai >30 mg
per 100 ml berarti terjadi bersamaan dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati.
Keganasan ekstrahepatik paling sering menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg
per 100 ml), sedangkan batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi sebagian, dengan
bilirubin serum jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100 ml. (Sabiston,9)
Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-oksalat transaminase)
danAspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum glutamat-piruvat transaminase) merupakan
enzim yang disintesisi dalam konstelasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas
serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3 kali normal atau
kadang-kadang cukup tinggi tetapi sepintas) bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran
empedu, terutama obstruksi saluran empedu. (Sabiston,9)
11
Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel saluran empedu. Pada
obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis
enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu. Tetapi
fosfatasi alkali juga ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat pada kerusakan tulang. Juga
meningkat selama kehamilan karena sintesis plasenta. (Sabiston,9)
2. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatika. (Sjamsuhidajat,12)
3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra
hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis
atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada
dengan palpasi biasa. (Sudoyo,15)
Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai teknik penyaring, tidak
hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra hepatik yang bisa diketahui secara meyakinkan,
tetapi kelainan lain dalam parenkim hati atau pankreas (seperti massa atau kista) juga bisa
terbukti. Pada tahun belakangan ini, ultrasonografi jelas telah ditetapkan sebagai tes penyaring
awal untuk memulai evaluasi diagnostik bagi ikterus. Bila telah diketahui duktus intrahepatik
berdilatasi, maka bisa ditegakkan diagnosis kolestatis ekstrahepatik. Jika tidak didapatkan
dilatasi duktus, maka ini menggambarkan kolestatis intrahepatik. Ketepatan ultrasonografi dalam
membedakan antara kolestatis intra dan ekstrahepatik tergantung pada derajat dan lama obstruksi
saluran empedu, tetapi jelas melebihi 90% .Distensi usus oleh gas mengganggu pemeriksaan ini.
(Sabiston,9)
12
4. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan
ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun
serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu. (Sjamsuhidajat,12)
2.12.Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-
timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak.
(Sjamsuhidajat,12)
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah
dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung
empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat
gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. (Sjamsuhidajat,12)
Pilihan penatalaksanaan antara lain : (Schwartz,10)
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris
yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari
0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut. (Schwartz,10)
2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini
sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris
dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-
0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru.2 Kandung
empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
(Schwartz,10)
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut.
Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini
13
pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri
menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi. (Schwartz,10)
3. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan
yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk
batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah
mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat
ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. (Schwartz,10)
Kurang dari 10% batu empedu dilakukan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya harus
memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu
kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten. (Beckingham,1)
4. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (Metil-Ter-Butil-
Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat
efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan
kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).(Schwartz,2000)
5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. (Schwartz,10)
6. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur
pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya
kritis. (Schwartz,2000)
14
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kolelitiasis disebut juga sinonim nya adalah batu empedu , gallstones, biliary calculus.
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsure yang membentuk suatu material mirip
batu yang terbentuk di dalam kandung empedu(sjamsuhidajat
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang
supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya
pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan
semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah
harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu
dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral
kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi
kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,
merupakan keadaan yang litogenik. (Schwartz,10)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan menghasilkan
kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan
dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu
menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi
infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan
ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal.
3.2. Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalha ini. Oleh karena itu ,
penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat
15
berbuat lebih baik lagi dikemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Beckingham, IJ. Gallstone disease. In: ABC of Liver, Pancreas and Gall Bladder. London: BMJ
Books.2001.
2. Keshav.S. The Gastrointestinal System at a Glance. London: Blackwell Science; 2004.
3. Kumar, Ramzi S. Cotran & Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Penerbit EGC. Jakarta. 2007
4. Mansjoer A. etal, 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Penerbit Media Aesculapius,
FKUI, Jakarta
5. Notoadmojdo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
2010
6. Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine McCarty. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid
1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006
7. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2 edisi 21. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2003
8. Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, hal 71 –
77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
9. Sabiston David C. Buku Ajar Bedah, Bagian 2. Penerbit EGC. Jakarta. 1994
10. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.
11. Sekijima J.H, Lee, Sum P. Gallstones and Cholecystitis. In: Humes D, Dupon L, editors. Kelley’s Textbook
of Internal Medicine. 4th ed
12. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2005.hal: 570-579
13. Snell, Richard S.. Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 – 266, Penerbit EGC, Jakarta. 2002
14. Sudigdo Sastroasmoro, Sofyan Ismael. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian dan Klinis. Jakarta: CV
Sagung Seto. 2002
15. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV 2006,
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
17