22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat (Sudoyo,2006). Angka kejadiannya lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat dengan bertambahnya usia (Keshav,2004). Di negara Barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20%-40%) dan rendah di negara Asia (3%-4%). (Robbins,3) Di Amerika Serikat, terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu empedu dan dari hasil otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu paling sedikit 20% pada wanita dan 8% pada laki-laki di atas umur empat puluhan. Di Inggris, sekitar 5,5 juta orang dengan batu empedu dan dilakukan lebih dari 50 ribu kolesistektomi tiap tahunnya. (Beckingham,1) Sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat. (Sudoyo,15) Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun, dengan dua pertiganya menjalani pembedahan. Angka kematian akibat pembedahan untuk bedah saluran empedu secara keseluruhan sangat rendah, tetapi sekitar 1000 pasien meninggal 1

paper biokimia endokrin.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: paper biokimia endokrin.doc

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat

(Sudoyo,2006). Angka kejadiannya lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat dengan

bertambahnya usia (Keshav,2004). Di negara Barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa.

Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20%-40%) dan rendah di

negara Asia (3%-4%). (Robbins,3)

Di Amerika Serikat, terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu empedu dan

dari hasil otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu paling sedikit 20% pada wanita dan

8% pada laki-laki di atas umur empat puluhan. Di Inggris, sekitar 5,5 juta orang dengan batu

empedu dan dilakukan lebih dari 50 ribu kolesistektomi tiap tahunnya. (Beckingham,1)

Sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi

penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak

mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi

relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik

yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat.

(Sudoyo,15)

Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun, dengan dua

pertiganya menjalani pembedahan. Angka kematian akibat pembedahan untuk bedah saluran

empedu secara keseluruhan sangat rendah, tetapi sekitar 1000 pasien meninggal setiap tahun

akibat penyakit batu empedu atau penyulit pembedahan. (Robbins,3)

Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru Ultrasonografi (USG)

maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat

dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang

invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas. (Sabiston,9)

Oleh karena itu, maka penulis ingin mengetahui gambaran penderita batu empedu

(kolelitiasis) di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2010 – Januari

2011.

1

Page 2: paper biokimia endokrin.doc

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Kolelitiasis disebut juga sinonim nya adalah batu empedu , gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsure yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu(sjamsuhidajat,12)

2.2. Epidemiologi

Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat. Kasus

tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada anak-anak jarang.

Orang gemuk ternyata mempunyai resiko tiga kali lipat untuk menderita batu empedu. Insiden

pada laki-laki dan wanita pada batu pigmen tidak terlalu banyak berbeda. (Mansjoer,4)

Avni Sali membuktikan bahwa diet tidak berpengaruh terhadap pembentukan batu, tetapi

secara tidak langsung mempengaruhi jenis batu yang terbentuk. Hal ini disokong oleh peneliti

dari Jepang yang menemukan bukti bahwa orang dengan diet berat biasanya menderita batu jenis

kolesterol, sedangkan yang dietnya tetap biasanya menderita batu jenis pigmen. Faktor keluarga

juga berperan dimana bila keluarga menderita batu empedu kemungkinan untuk menderita

penyakit tersebut dua kali lipat dari orang normal. (Mansjoer,4)

2.3.Anatomi kandung empedu

Kandung empedu ( Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada

permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus

berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus

berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus

bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum

dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan

sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi

fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan

visceral hati. (Reksoprodjo,8)

2

Page 3: paper biokimia endokrin.doc

Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan. V. cystica

mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena –

vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. (Reksoprodjo,8)

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum

vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang

perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung

empedu berasal dari plexus coeliacus. (Reksoprodjo,8)

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak tepat

dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke

saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu

membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus

hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus

hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Pada

banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vateri

sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla dikelilingi oleh

serabut otot sirkular, dikenal sebagai Sfingter Oddi. (Sjamsuhidajat,12)

Gambar 2.1 Anatomi Kandung Empedu (Putz, 7)

Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Kandung

empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati. Empedu yang dihasilkan

hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu

masuk ke duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu. Pembuluh limfe dan pembuluh

darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam kandung empedu sehingga cairan

empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu hati.

Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui

kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan

pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak

dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk menimbulkan kontraksi. Hormone CCK

juga memperantarai kontraksi. (Sjamsuhidajat,12)

Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah pembentukan batu

(kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua keadaan ini biasa timbul sendiri

atau timbul bersamaan (Price,6 )

3

Page 4: paper biokimia endokrin.doc

2.4.Fisiologi kandung empedu

Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica

fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini,

mukosanya mempunyai lipatan – lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan.

Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga

mempunyai banyak mikrovilli. (Reksoprodjo,8)

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan

ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian

keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus

biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung

empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum

disalurkan ke duodenum. (Snell,13)

4

Page 5: paper biokimia endokrin.doc

2.4.1. Pengosongan kandung empedu

Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.

Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak

menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian

masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot

polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga

memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu

dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu

pencernaan dan absorbsi lemak. (Reksoprodjo,8)

2.5.Etiologi Batu Empedu

Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling

penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis

empedu dan infeksi kandung empedu. (Sjamsuhidajat,12)

Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap

berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa

menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.

2.6.Faktor resiko

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor risiko di bawah ini. Namun, semakin

banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya

kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Jenis kelamin. Wanita memiliki resiko 3 kali lipat terkena kolitiasis dibandingkan pria. Ini

dikarenakan hormon estrogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi kolesterol oleh

kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar estrogen juga meningkatkan resiko

terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (estrogen) dapat

meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung

empedu.

5

Page 6: paper biokimia endokrin.doc

2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang

dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang

usia yang lebih muda.

3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi

untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam

kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi

kontraksi/pengosongan kandung empedu.

4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi

gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat

menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar

dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.

6. Aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya

kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn

disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu

tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal.

Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

2.7.Patofisiologi

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang

supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya

pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan

semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila

perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah

harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu

dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral

kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi

kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,

merupakan keadaan yang litogenik. (Schwartz,10)

6

Page 7: paper biokimia endokrin.doc

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol.

Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu

nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin

bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk

dipakai sebagai benih pengkristalan. (Schwartz,10)

2.8.Klasifikasi kolelitiasis

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan

atas 3 (tiga) golongan.

1. Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol.

Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk

terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :

a. Supersaturasi kolesterol

b. Hipomotilitas kandung empedu

c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.

2. Batu pigmen

Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20%

kolesterol. Jenisnya antara lain:

a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat

sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi

saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi

7

Page 8: paper biokimia endokrin.doc

bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-

glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam

glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari

penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan

terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran

empedu dalam empedu yang terinfeksi.

b. Batu pigmen hitam.

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat

hitam yang tak terekstraksi.1 Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada

pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari

derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu

pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.

3. Batu campuran

Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol

2.9.Gejala klinis

Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun, 70% hingga

80% pasien tetap asimtomatik seumur hidupnya (Robbins,2007). Penderita batu empedu sering

mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat

mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke

punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke

kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-

jam atau dapat kembali terulang. (Sjamsuhidajat,12)

Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan tanda-

tanda fisik kurang nyata. Sering kali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati

atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan

tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan

komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan

obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara,

intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan

8

Page 9: paper biokimia endokrin.doc

menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur

dinding kandung empedu. (Sjamsuhidajat,12)

2.10.Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis : (Sjamsuhidajat,12)

1. Asimtomatik

2. Obstruksi duktus sistikus

3. Kolik bilier

4. Kolesistitis akut

5. Perikolesistitis

6. Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga

7. Perforasi

8. Kolesistitis kronis

9. Hidrop kandung empedu

10. Empiema kandung empedu

11. Fistel kolesistoenterik

12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu muncul

lagi)

13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan menghasilkan

kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan

dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu

menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi

infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan

ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel

kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut

yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat

sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi

kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata. (Sjamsuhidajat,12)

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi

dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap

9

Page 10: paper biokimia endokrin.doc

asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus

juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.

(Sjamsuhidajat,12)

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel

kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit

saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. (Sjamsuhidajat,12)

2.11.Diagnosa

2. 11. 1. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang

mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.

Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas

atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari

15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan

perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. (Sjamsuhidajat,12)

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai

mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang

setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah

pada waktu menarik nafas dalam. (Sjamsuhidajat,12)

2. 11. 2. Pemeriksaan Fisik

1. Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti

kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung

empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum

didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah

sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh

ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. (Sjamsuhidajat,12)

2. Batu saluran empedu

Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati

dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl,

10

Page 11: paper biokimia endokrin.doc

gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus

klinis. (Sjamsuhidajat,12)

2. 11. 3. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada

pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila

terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan

duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di

dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum

biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. (Sjamsuhidajat,12)

Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan banyak tes biokimia

yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang dinamai tes fungsi hati. Bilirubin serum yang

difraksionasi sebagai komponen tak langsung dan langsung dari reaksi Van den bergh, dengan

sendirinya sangat tak spesifik. Walaupun sering peningkatan bilirubin serum menunjukkan

kelainan hepatobiliaris, bilirubin serum bisa meningkat tanpa penyakit hepatobiliaris pada

banyak jenis kelainan yang mencakup episode bermakna hemolisis intravaskular dan sepsis

sistemik. Tetapi lebih lazim peningkatan bilirubin serum timbul sekunder terhadap kolestatis

intrahepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim hati atau kolestatis ekstrahepatik sekunder

terhadap obstruksi saluran empedu akibat batu empedu, keganasan, atau pankreas

jinak. (Sabiston,9)

Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum memuncak 25 sampai 30

mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi bilirubin sama dengan produksi harian. Nilai >30 mg

per 100 ml berarti terjadi bersamaan dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati.

Keganasan ekstrahepatik paling sering menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg

per 100 ml), sedangkan batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi sebagian, dengan

bilirubin serum jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100 ml. (Sabiston,9)

Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-oksalat transaminase)

danAspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum glutamat-piruvat transaminase) merupakan

enzim yang disintesisi dalam konstelasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas

serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3 kali normal atau

kadang-kadang cukup tinggi tetapi sepintas) bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran

empedu, terutama obstruksi saluran empedu. (Sabiston,9)

11

Page 12: paper biokimia endokrin.doc

Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel saluran empedu. Pada

obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis

enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu. Tetapi

fosfatasi alkali juga ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat pada kerusakan tulang. Juga

meningkat selama kehamilan karena sintesis plasenta. (Sabiston,9)

2. Pemeriksaan Radiologis

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya

sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang

mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada

peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu

kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran

udara dalam usus besar, di fleksura hepatika. (Sjamsuhidajat,12)

3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk

mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra

hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis

atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus

koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG

punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada

dengan palpasi biasa. (Sudoyo,15)

Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai teknik penyaring, tidak

hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra hepatik yang bisa diketahui secara meyakinkan,

tetapi kelainan lain dalam parenkim hati atau pankreas (seperti massa atau kista) juga bisa

terbukti. Pada tahun belakangan ini, ultrasonografi jelas telah ditetapkan sebagai tes penyaring

awal untuk memulai evaluasi diagnostik bagi ikterus. Bila telah diketahui duktus intrahepatik

berdilatasi, maka bisa ditegakkan diagnosis kolestatis ekstrahepatik. Jika tidak didapatkan

dilatasi duktus, maka ini menggambarkan kolestatis intrahepatik. Ketepatan ultrasonografi dalam

membedakan antara kolestatis intra dan ekstrahepatik tergantung pada derajat dan lama obstruksi

saluran empedu, tetapi jelas melebihi 90% .Distensi usus oleh gas mengganggu pemeriksaan ini.

(Sabiston,9)

12

Page 13: paper biokimia endokrin.doc

4. Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,

sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan

ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun

serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut

kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada

penilaian fungsi kandung empedu. (Sjamsuhidajat,12)

2.12.Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-

timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak.

(Sjamsuhidajat,12)

Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah

dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung

empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat

gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. (Sjamsuhidajat,12)

Pilihan penatalaksanaan antara lain : (Schwartz,10)

1. Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis

simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris

yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari

0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh

kolesistitis akut. (Schwartz,10)

2. Kolesistektomi laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini

sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris

dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-

0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru.2 Kandung

empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.

(Schwartz,10)

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut.

Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini

13

Page 14: paper biokimia endokrin.doc

pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis

keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi

perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri

menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari

prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang

mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi. (Schwartz,10)

3. Disolusi medis

Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan

yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk

batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah

mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat

ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. (Schwartz,10)

Kurang dari 10% batu empedu dilakukan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya harus

memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu

kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten. (Beckingham,1)

4. Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (Metil-Ter-Butil-

Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat

efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan

kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).(Schwartz,2000)

5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini

memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar

dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. (Schwartz,10)

6. Kolesistotomi

Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur

pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya

kritis. (Schwartz,2000)

14

Page 15: paper biokimia endokrin.doc

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kolelitiasis disebut juga sinonim nya adalah batu empedu , gallstones, biliary calculus.

Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu

kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsure yang membentuk suatu material mirip

batu yang terbentuk di dalam kandung empedu(sjamsuhidajat

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang

supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya

pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan

semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila

perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah

harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu

dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral

kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi

kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,

merupakan keadaan yang litogenik. (Schwartz,10)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan menghasilkan

kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan

dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu

menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi

infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan

ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel

kolesistoduodenal.

3.2. Saran

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalha ini. Oleh karena itu ,

penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat

15

Page 16: paper biokimia endokrin.doc

berbuat lebih baik lagi dikemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada

khususnya dan pembaca pada umumnya.

16

Page 17: paper biokimia endokrin.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Beckingham, IJ. Gallstone disease. In: ABC of Liver, Pancreas and Gall Bladder. London: BMJ

Books.2001.

2. Keshav.S. The Gastrointestinal System at a Glance. London: Blackwell Science; 2004.

3. Kumar, Ramzi S. Cotran & Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Penerbit EGC. Jakarta. 2007

4. Mansjoer A. etal, 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Penerbit Media Aesculapius,

FKUI, Jakarta

5. Notoadmojdo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

2010

6. Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine McCarty. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid

1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006

7. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2 edisi 21. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2003

8. Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, hal 71 –

77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.

9. Sabiston David C. Buku Ajar Bedah, Bagian 2. Penerbit EGC. Jakarta. 1994

10. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.

11. Sekijima J.H, Lee, Sum P. Gallstones and Cholecystitis. In: Humes D, Dupon L, editors. Kelley’s Textbook

of Internal Medicine. 4th ed

12. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2005.hal: 570-579

13. Snell, Richard S.. Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 – 266, Penerbit EGC, Jakarta. 2002

14. Sudigdo Sastroasmoro, Sofyan Ismael. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian dan Klinis. Jakarta: CV

Sagung Seto. 2002

15. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV 2006,

Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

17