610
Rendra: Panembahan Reso Panembahan Reso Karya: Rendra Babak I TERANG BULAN Seorang peronda lewat dan memukul kentongannya. Saat itu menjelang terang tanah. Begitu peronda pergi, muncullah Panji Reso. RESO: “Terang Bulan! --- Aku tidak bisa tidur. --- Hampir terang tanah. --- Rasanya, aku seperti mengambang di alam mimpi, padahal mata melek tak bisa tidur. --- Hm! Tidak bisa tidur karena sedang bermimpi. Mimpi buruk lagi. --- Aku bermimpi wajah bulan tertikam pedang. Persis di mata kirinya. Darah mengucur, membanjiri. Membanjiri istana si Raja Tua. --- Asyik! --- 1

Panembahan Reso

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Drama karya W.S. Rendra

Citation preview

Page 1: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Panembahan Reso

Karya: Rendra

Babak I TERANG BULAN

Seorang peronda lewat dan memukul kentongannya. Saat itu

menjelang terang tanah. Begitu peronda pergi, muncullah Panji

Reso.

RESO: “Terang Bulan! --- Aku tidak bisa tidur. --- Hampir terang tanah.

--- Rasanya, aku seperti mengambang di alam mimpi, padahal mata

melek tak bisa tidur. --- Hm! Tidak bisa tidur karena sedang bermimpi.

Mimpi buruk lagi. --- Aku bermimpi wajah bulan tertikam pedang. Persis

di mata kirinya. Darah mengucur, membanjiri. Membanjiri istana si Raja

Tua. --- Asyik! --- Gagak-gagak menyerbu Balai Penghadapan. Ada yang

bertengger di tahta. --- Ular-ular juga menyerbu masuk istana. Para selir

raja pada menjerit. Berlarian kian kemari. Kacau. Ada seekor ular yang

berhasil masuk ke dalam kain seorang selir. Karuan saja ia menjerit

seperti orang gila, lalu pingsan. --- Asyik! --- Sepasukan ketonggeng dan

lipan mengerumuni tubuh raja yang sedang beradu dan langsung

menyengat tubuhnya. Ada juga yang masuk ke dalam lubang hidung dan

1

Page 2: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

telinganya. --- Sang Raja menjerit-jerit, mengaduh, mengerang. --- Ia lari

kian kemari. Tetapi, tak seorang pun mau menolongnya. --- Syukur! ---

Akhirnya ia mati. Lima belas menit sebelum mati, ia sempat gila. ---

Semua orang bersorak. Rakyat bergembira. Bendera dikibarkan. Tidak

setengah tiang, tapi seluruh tiang! --- Wah!--- Gila! Dasar mimpi! Cuma

mimpi! Semuanya serba gampang dan sempurna! --- Apakah aku

bermimpi karena pengaruh bulan purnama? --- Ini bulan memang cantik,

tetapi berhawa candu. Wajahnya yang molek memancarkan bius yang

mesum, dan juga sesuatu yang… yang berbau maut. (Menguap) Aku

sudah mulai mengantuk. Tandanya mimpi sudah habis. Aku perlu tidur

sedikit. Besok hari ulang tahun raja. Aku mesti pergi ke istana.”

***

2. MENCEGAT PARA PANGERAN DI GERBANG

Panji Tumbal menunggu kedatangan para pangeran yang akan

menghadiri pesta ulang tahun raja di depan gerbang istana yang

dijaga oleh dua orang pengawal.

Aryo Sumbu dan Aryo Jambu lewat, masuk ke dalam gerbang.

Panji Sakti dan Siti Asasin lewat, masuk ke dalam gerbang.

Aryo Bungsu lewat, masuk ke dalam gerbang.

Muncul Pangeran Rebo. Ia dicegat Panji Tumbal.

2

Page 3: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

PANJI TUMBAL: “Maaf, Pangeran, apa boleh saya bicara?”

PANGERAN REBO: (berhenti dan menanggapi) “Ah! Panji

Tumbal! Tentu saja. Tetapi, kenapa mesti di sini?”

PANJI TUMBAL: “Ini mendesak. Dan…. Darurat”.

PANGERAN REBO: “Oh!”

PANJI TUMBAL: “Begini, Pangeran Rebo. Baginda sudah tua.

Apakah Anda tidak ingin menjadi raja?”

PANGERAN REBO: “Lho, apa ini?”

PANJI TUMBAL: “Negara kacau. Rakyat hidup di dalam

kemiskinan. Kejahatan merajalela, baik di kalangan rakyat

maupun di kalangan pejabat. Inilah saatnya Anda mengambil alih

kekuasaan.”

PANGERAN REBO: “Jangan kita terburu nafsu!”

PANJI TUMBAL: “Apakah Anda tidak melihat?”

PANGERAN REBO: “Saya melihat dan mendengar tetapi

pembangunan memang memakan waktu dan pengorbanan tak bisa

kita hindarkan.”

PANJI TUMBAL: “Tiba-tiba ucapan Anda lain dari biasanya”.

PANGERAN REBO: “Jangan salah paham. Saya tidak suka

bertindak dengan mata gelap. Semua harus mempunyai penalaran

yang teliti. Bicaralah dulu dengan para pangeran yang lain, baru

nanti kita bertemu lagi. Ayahanda Paduka Raja memang sudah

rusak. Tetapi, perkara mencari gantinya, kita harus teliti dan

3

Page 4: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

waspada. Salah-salah kepala kita hilang lebih dulu”. (sambil pergi)

“Saya pergi”. (Masuk ke dalam gerbang)

Muncullah Pangeran Gada, Pangeran Dodot, dan Aryo Gundu.

Mereka dicegat oleh Panji Tumbal. Semua berhenti dan

menanggapi.

PANJI TUMBAL: “Pangeran Gada, selamat pagi”.

PANGERAN GADA: “Panji Tumbal! Selamat pagi”.

PANJI TUMBAL: “Pangeran Dodot, selamat pagi”.

PANGERAN DODOT: (merangkul) “Selamat pagi. Sudah lama

tidak berjumpa”.

PANJI TUMBAL: “Saya dan istri saya selalu membicarakan

Anda, Pangeran. Kunjungan Anda ke pondok kami masih kami

rasakan sebagai satu impian yang indah dan langka”.

PANGERAN DODOT: “Mengunjungi rumah pahlawan

Tegalwurung merupakan suatu kehormatan bagi saya”.

PANJI TUMBAL: “Ah, Anda membuat saya malu. --- Aryo

Gundu, selamat pagi!”

ARYO GUNDU: “Selamat pagi, Panji Tumbal! --- Sejak

kemenangan Anda yang gilang-gemilang waktu menindas

pemberontak di Tegalwurung, baru sekarang kita berjumpa”.

4

Page 5: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

PANJI TUMBAL: “Makanan basi kenapa mesti dihidangkan lagi.

Kegiatan Anda dalam melatih pasukan cadangan yang baru selalu

saya ikuti”.

ARYO GUNDU: “Kegiatan Anda dalam membangun kembali

Kadipaten Tegalwurung pun selalu saya ikuti. Yang ini pasti

bukan makanan basi”.

PANJI TUMBAL: “Aduh, belum lagi saya berhasil

mengungkapkan isi hati, sudah terpukul rasa jengah lebih dulu”.

PANGERAN GADA: “Ada masalah apa, Tumbal? Mari kita

bicarakan di Balai Para Pangeran”.

PANJI TUMBAL: “Maaf, Pangeran, saya tidak masuk ke

dalam”.

(semua kaget)

ARYO GUNDU: “Jangan sembrono, ini hari pesta ulang tahun

raja”.

PANJI TUMBAL: “Para Pangeran, saya pamit untuk berontak”.

(semua terpana)

PANJI TUMBAL: “Anda semua termasuk orang yang saya

hormati dan saya percaya. Anda pasti tidak buta terhadap keadaan

yang nyata. --- Saya tidak ingin menjadi raja. Tetapi, saya

menyiapkan jalan untuk munculnya raja baru”.

PANGERAN GADA: “Laporan yang masuk pada saya dari

Kadipaten Watu Songo, Sawojajar, dan Winongo sangat gawat.

5

Page 6: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Perdagangan yang macet dan usaha yang gulung tikar telah

membuat para adipati jadi goyah. Mereka telah membina

hubungan yang erat dengan para pedagang yang merasa dikekang

dan ditekan oleh raja”.

PANGERAN DODOT: “Para adipati punya sarana dari daya,

sedang para pedagang punya uang, bahan makanan, dan juga lebih

dekat ke masyarakat”.

ARYO GUNDU: “Saya baru pulang dari Kadipaten Sendang Pitu

dan Watu Limo. Keadaannya sama seperti yang diutarakan oleh

Pangeran Gada. --- Seharusnya, Baginda mempelajari betul-betul

laporan kita”.

PANGERAN GADA: “Ayahanda Baginda Raja sudah tidak

mengindahkan nasihat lagi. Kekuasaan dan harga diri sudah

bercampur-aduk sehingga nalar tidak lagi dipakai, tetapi diganti

dengan kekuatan dan kekerasan semata-mata.

PANGERAN DODOT: “Saya akan mencoba berbicara kepada

Ayahanda sekali lagi”.

ARYO GUNDU: “Hati-hati Pangeran”.

PANGERAN DODOT: “Tentu saja”.

PANGERAN GADA: “Seusai upacara dan pesta kita bertemu lagi

di serambi Balai Senjata”.

ARYO GUNDU: “Panji Tumbal, kepada siapa saja Anda sudah

pamit untuk berontak?”

6

Page 7: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

PANJI TUMBAL: “Seluruh panji dan adipati merestui saya.

Lalu, Anda bertiga. --- Dan, baru saja tadi, saya berbicara tentang

ketidakpuasan kepada Pangeran Rebo. Beliau kelihatan

menghindar”.

ARYO GUNDU: “Pangeran Gada dan Pangeran Dodot, saya

mohon jangan Pangeran Rebo dibawa di dalam pembicaraan

semacam ini. Juga tidak, nanti, di serambi Balai Senjata”.

PANGERAN GADA: “Saya setuju”.

PANGERAN DODOT: “Saya paham”.

ARYO GUNDU: “Perkenankan saya memilih siapa-siapa yang

akan kita ajak bermusyawarah nanti”.

PANGERAN GADA: “Baik”.

ARYO GUNDU: “Sekarang kita berpisah. --- Selamat bekerja,

Panji Tumbal”.

PANJI TUMBAL: “Terima kasih. --- Mohon restu, Pangeran”.

PANGERAN GADA: “Saya beri restu baik, selamat tinggal!”

(berjalan pergi)

PANGERAN DODOT: “Selamat, sahabatku, selamat!” (berjalan

pergi)

ARYO GUNDU: “Hormat saya pada Anda sangat besar”.

(berjalan pergi)

7

Page 8: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Ketiga orang itu masuk gerbong. Dua Pangeran Kembar muncul

dengan hiruk-pikuk lalu beramai-ramai pula masuk gerbang.

Panji Reso muncul. Ia dicegat oleh Panji Tumbal.

PANJI TUMBAL: “Panji Reso, hormat saya untuk Anda”.

RESO: “Astaga! Panji Tumbal! Kapan datang dari

Tegalwurung?”

PANJI TUMBAL: “Sudah seminggu. --- Saya mau bicara dengan

Anda”.

RESO: “Kalau muncul bintang kemukus pasti akan banyak

penyakit mencret”.

PANJI TUMBAL: “Anda anggap saya bintang kemukus?”

RESO: “Jelas Anda bukan rembulan. Di saat bumi gonjang-

ganjing dan zaman jadi edan, orang yang tetap waras seperti Anda

pasti akan dianggap satu gejala alam yang aneh”.

PANJI TUMBAL: “Saya pamit untuk berontak”.

RESO: “Nah, apa kataku! Negara kena mencret”.

PANJI TUMBAL: “Kita dulu telah sama-sama berjuang di

medan laga Tegalwurung”.

RESO: “Dan, sekarang apakah saya akan merestui Anda?”

PANJI TUMBAL: “Begitu maksud saya”.

RESO: “Yang terpenting adalah para pangeran dan senapati”.

PANJI TUMBAL: “Saya sudah bicara dengan mereka”.

8

Page 9: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Siapa saja?”

PANJI TUMBAL: “Pangeran Gada, Pangeran Dodot, dan Aryo

Gundu. Mereka menanggapi dengan baik. Lalu, Pangeran Rebo.

Beliau menghindar. Dan, semua panji dan adipati akan

mendukung saya”.

RESO: “Rupanya Raja Tua sudah tidak lagi tajam dalam melihat

kenyataan….. Anda ingin menjadi raja? --- Tidak, bukan?”

PANJI TUMBAL: “Tentu saja tidak”.

RESO: “Memang sudah saya duga. Lalu siapa calon Anda?”

PANJI TUMBAL: “Terserah kepada para pangeran nanti.

Hari ini mereka akan berbincang”.

RESO: “Penting. Itu penting”.

PANJI TUMBAL: “Itulah sebabnya Anda harus merestui saya”.

RESO: “Saya akan mengirim seribu tail emas Cina kepada Anda”.

PANJI TUMBAL: “Aduh, sungguh tidak saya sangka. Inilah

sikap yang jelas dan nyata”.

RESO: “Saya orang yang tegas”.

PANJI TUMBAL: “Memang! Aduh, Panji Reso, saya sangat

terharu dan sangat berterima kasih. Saya tidak akan melupakan

budi Anda untuk selama-lamanya”.

RESO: “Tapi, saya punya syarat”.

PANJI TUMBAL: “Apa itu?”

9

Page 10: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Rahasiakan hubungan Anda dengan saya. Rahasiakan

semuanya ini. Sebab saya masih ingin main di dalam permainan

edan ini. --- Emas itu akan segera saya sampaikan kepada Anda”.

PANJI TUMBAL: “Saya paham dan setuju. Secara rahasia saya

akan menghubungi Anda lagi”.

RESO: “Tidak usah! --- Saya yang akan menghubungi Anda”.

(berjalan pergi masuk ke gerbang)

***

3. JEJER DI ISTANA RAJA TUA

Pesta-pora. Pangeran Kembar memamerkan keahlian silat

mereka. Para pangeran, para putri, para senapati, semua hadir.

Raja Tua bertarung dengan Pangeran Kembar untuk

memamerkan sebagaimana jauh kejagoannya.

RAJA TUA: “Kamu sekalian lihat, dengan gampang aku

gulingkan satu persatu putra-putraku yang perkasa ini”.

Semua bertepuk tangan. Minuman dihidangkan.

10

Page 11: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

PANGERAN REBO: “Yang Mulia Ayahandaku, Sri Baginda

Raja, atas nama semua pangeran hamba mengaturkan selamat

ulang tahun yang ke 85. Kami kagum bahwa Sri Baginda tetap

tegar dan perkasa dalam usia yang setua itu”.

RAJA TUA: “Terima kasih, anakku. Pangeran Rebo. Kamu lihat

aku masih tegar, ya? Tahu, apa rahasianya? Olahraga! --- Aku

lihat kamu pucat. Kurang olahraga. Terlalu banyak membaca.

Seorang pemimpin harus banyak olahraga! Mengerti kamu!”

PANGERAN REBO: “Akan hamba ingat, Yang Mulia!”

RATU DARA: “Yang Mulia, meskipun hamba istri Paduka yang

paling muda, tetapi hamba diminta mewakili Ratu Padmi dan Ratu

Kenari, istri Paduka yang lebih tua, untuk mengucapkan selamat

ulang tahun dan menyampaikan doa semoga Paduka bisa panjang

usia”.

RAJA TUA: “Terima kasih, Ratu Dara. Apakah para istriku juga

mengakui bahwa aku masih tetap tegar? --- Lho, kok diam saja?

Ini masalah perasaan atau apa? --- Ratu Padmi, ayo jawab! Apa

pendapatmu?”

RATU PADMI: “Paduka memang tetap tegar. Hambalah yang

kewalahan”.

Semua orang bertepuk tangan.

11

Page 12: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA TUA: “Dan, kamu, Ratu Kenari, apa katamu?”

RATU KENARI: “Paduka tegar luar biasa. Seperti batang pohon

cemara. Seperti gada dari besi. Untunglah hamba bisa

mengimbangi, dan melahirkan Pangeran Kembar!”

RAJA TUA: “Dasar Kenari! Kamu puji aku sambil memuji

dirimu sendiri”.

RATU KENARI: “Mohon ampun, Yang Mulia. Tetapi, maksud

hamba bukan hendak menekankan kemampuan sendiri, tetapi

justru hendak menonjolkan bagaimana saktinya benih Tuanku, dan

tampak jelas buktinya bila jatuh ke tanah yang subur.

RAJA TUA: “Sudah cukup. Kembali lagi kamu memuji diri

sendiri. Dan, kamu, Ratu Dara, coba nyatakan pendapatmu”.

RATU DARA: “Sudah jelas! Semua orang bisa melihat! Paduka

memang tegar. Tetapi, Yang Mulia, hamba sangsi akan

kemampuan hamba mendampingi Anda. Dan, apa masih ada

gunanya diri hamba di sisi Paduka”.

RAJA TUA: “Kesangsian semacam itu lumrah timbul”.

RATU DARA: “Justru karena itu, sekarang hamba ingin

mendengar jawaban Paduka yang nyata. Apakah hamba ini juga

cukup tegar dan berharga bagi Paduka?”

RAJA TUA: “Mari, kamu kemari! Hapuskan kesangsianmu.

Kamu ini pusaka keraton. Kamu justru menjadi sumber dari

ketegaranku”.

12

Page 13: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ARYO LEMBU: “Yang Mulia, mewakili para Aryo Senapati

hamba mengaturkan sembah. Selamat ulang tahun semoga panjang

usia”.

Semua orang bertepuk tangan.

RAJA TUA: “Terima kasih, Aryo Lembu. Kita telah bersama-

sama membangun negeri ini. Kita dulu bersama-sama mengusir

penjajahan bangsa asing dari tanah air kita. --- Di hari ini saya

tegaskan, janganlah kita mengurangi kewaspadaan. Bahaya

penyusupan asing masih selalu mengancam. Karena itu, para

senapati harus mampu mendampingi aku dalam menjaga keutuhan

negara. Ingatlah pedoman pembangunan negara yang telah kita

tetapkan: tertib, rapi, aman, dan sejahtera”.

ARYO LEMBU: “Tertib, rapi, aman, dan sejahtera!”

RESO: “Yang Mulia, sebagai tetua dari semua panji, hamba

mengaturkan selamat ulang tahun, semoga panjang umur, selalu

jaya dan sentosa. Tadi malam bulan purnama. Hamba bermimpi

bulan turun ke atap istana. Lalu, bunga-bunga bertaburan di atas

peraduan Sri Baginda. Dan, burung dara putih hinggap di atas

tahta. Inilah firasat kemuliaan Paduka”.

RAJA TUA: “Bagus. Terima kasih. Pahlawan perang seperti

kamu memang sudah jelas jasanya. Sumbanganmu kepada negara

13

Page 14: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

dalam menundukkan pemberontakan di Tegalwurung bersama

dengan Panji Tumbal telah kami beri anugerah sepantasnya. --- Di

mana Panji Tumbal?”

RESO: “Barangkali ia terlambat datang, Yang Mulia. Maklum

tugasnya berat di Tegalwurung, dan ia punya sifat yang tekun”.

RAJA TUA: “Memang tekun, tetapi juga sedikit keras kepala.

Kalau ia datang aku ingin ia melapor panjang-lebar kepadaku”.

Lima orang Panji menghadap Raja.

PANJI SIMO: “Yang Mulia, Panji Simo dari Kabupaten Watu

Songo, mengaturkan selamat ulang tahun”.

PANJI OMBO: “Hamba Panji Ombo dari Kadipaten Sawojajar,

mengucapkan dirghayu dan selamat berulang tahun”.

PANJI WONGSO: “Panji Wongso, Adipati Winongo, atas nama

seluruh rakyat Kadipaten mengaturkan selamat ulang tahun”.

PANJI BONDO: “Panji Bondo, Adipati Sendang Pitu,

menghormat Raja dan mengucapkan selamat ulang tahun”.

PANJI BOLO: “Hamba Paduka, Panji Bolo, Adipati watu Limo,

mengaturkan selamat ulang tahun”.

RAJA TUA: “Bagus! Bagus! Terima kasih. Aku sangat gembira.

Ayo, kita minum dan berpesta!”

14

Page 15: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Orang bersorak-sorai. Minum. Berpesta. Jagavaya masuk

membawa surat.

JAGABAYA: “Yang Mulia, hamba menghadap untuk

mempersembahkan surat”.

RAJA TUA: “Reso, bawa dia kemari”.

RESO: “Baik, Yang Mulia. Kemari kamu! Bicara!”

JAGABAYA: “Hamba memimpin pasukan pengawal istana hari

ini. Seorang utusan datang menggebu dengan kuda. Ia datang dari

Tegalwurung membawa surat dari Panji Tumbal untuk Sri

Baginda. Katanya surat yang sifatnya sangat penting. Ia mohon

tolong agar hamba yang menyampaikan kepada Sri Baginda,

sedangkan ia sendiri begitu selesai bicara terus melompat ke

punggung kuda, dan setelah mohon maaf karena diburu oleh

urusan yang maha gawat lalu pergi melaju ditelan debu”.

RAJA TUA: “Bawa kemari surat itu!”

Reso memungut surat itu dari Jagabaya, lalu

mempersembahkannya kepada raja. Raja Tua membaca surat dan

terus berubah wajahnya dari kaget menjadi murka. Ia meremas

surat dengan gemasnya.

RESO: “Ada berita apa, Yang Mulia?”

15

Page 16: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA TUA: “Tidak aku duga! --- Ini surat dari Panji Tumbal. Ia

tidak datang dan menyatakan diri telah memberontak. Kadipaten

Tegalwurung telah ia kuasai”.

Ada yang kaget dan ada yang pura-pura kaget.

PANGERAN REBO: “Kita harus berbuat sesuatu. Tahta dan

negara harus kita selamatkan. Kita dalam bahaya”.

RESO: “Tenang, Pangeran!”

PANGERAN REBO: “Ayahanda, apa yang dia inginkan!”

RAJA TUA: “Apa maksudmu? Apa yang dia inginkan?”

PANGERAN REBO: “Maksud saya, ia masih bisa diajak bicara

dan dicegah”.

RAJA TUA: “Tolol! Apa maksudmu, kita akan mengajak

pemberontak itu untuk berunding? Hah? --- Lemah! Itulah pikiran

orang yang kurang olahraga. Apa jadinya nanti dengan

kewibawaan tahtaku? Nantinya, setiap orang bisa memberontak

dan akan diajak berunding! --- Tidak! --- Kewibawaan tahta tidak

boleh diragukan sedikit pun. Setiap pemberontakan harus

ditumpas, dan si pemberontak harus dipenggal kepalanya. Sayang,

ia harus mati. Pahlawan yang gagah dan setia. Kenapa tiba-tiba ia

jadi begini?”

16

Page 17: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RATU DARA: “Kenapa Baginda mesti kaget? Laporan tentang

keadaan yang memburuk di beberapa Kadipaten sudah sering kita

dengar. --- Yang Mulia, sekarang kita tidak boleh terlambat. Para

Adipati yang berada di sini jangan boleh meninggalkan ibu kota!

Dan, juga semua panji!”

RAJA TUA: “Hah!”

RATU DARA: “Kita harus mencegah jangan sampai ada

kadipaten lagi yang bergabung dengan Kadipaten Tegalwurung.

Ingat, kerawanan keadaan di Kadipaten Watu Songo, Sawojajar,

dan Winongo sangat mirip dengan kerawanan keadaan di

Tegalwurung”.

RESO: “Yang Mulia, kecurigaan ini tanpa alasan”.

RAJA TUA: “Panji Reso! Kamu dan semua Panji tidak boleh

meninggalkan ibu kota. Setiap hari semua panji harus melapor di

Balai Penghadapan. Bila ada yang melanggar firmanku ini, ia akan

dianggap memberontak dan kepalanya dipenggal”.

RESO: “Sebelum kami ditindak, kenapa kami tidak diperiksa dan

diselidiki lebih dahulu”.

RAJA TUA: “Tidak! --- Ditindak lebih dulu baru kemudian

diselidiki. Inilah yang disebut “langkah pengamanan”. Apakah

kamu akan memberontak?”

RESO: “Tidak, Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Bagus! --- Aryo Bungsu!”

17

Page 18: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ARYO BUNGSU: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Kamu bertanggung jawab terhadap kepatuhan para

panji”.

ARYO BUNGSU: “Daulat Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Pangeran Bindi, kemari kamu, Nak!”

PANGERAN BINDI: “Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Kamu saya serahi tugas menyapu pemberontakan si

Panji Tumbal. Kamu akan dibantu Pangeran Kembar”.

PANGERAN BINDI: “Sanggup, Yang Mulia”.

RATU DARA: “Yang Mulia, kenapa tugas ini tidak Paduka

berikan kepada Pangeran Rebo? Ia lebih tua dan lebih banyak

pengalamannya”.

RAJA TUA: “Jangan kamu asal membela putra sendiri saja. ---

Aku tak akan memberikan tugas semacam ini kepada si Rebo,

yang baru saja mengusulkan untuk berunding dengan

pemberontak”.

RATU DARA: “Paduka mencurigai putraku? Padahal, saya baru

saja membuktikan kesetiaan kepada tahta dan negara”.

RAJA TUA: “Aku tidak menyangsikan kamu dan tidak

melupakan jasamu. Aku juga tidak mencurigai Pangeran Rebo.

Tetapi, ini langkah pengamanan. Jangan kamu memohon lebih

jauh lagi untuk putramu!” ---

18

Page 19: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

“Pangeran Rebo! Jangan kamu beranjak dari ibu kota, dan setiap

hari kamu harus melapor ke Balai Penghadapan sebagaimana para

panji! --- Pangeran Bindi! Laksanakan tugasmu. Tumpas

pemberontakan Panji Tumbal. Dan, amankan setiap kadipaten

yang kamu lewati di sepanjang jalan”.

***

4. PANGERAN BINDI MOHON DIRI KEPADA IBUNDA

RATU PADMI: “Ketegaranku telah luntur karena sakit-sakitan.

Ayahandamu Sri Baginda Raja, kurang menaruh perhatian lagi

kepadaku. Aku tidak lagi menjadi sumber daya hidupnya. Tetapi,

Baginda sangat mengindahkan kamu. Aku bersyukur karena itu.

Dan, sekarang, Baginda telah memberimu tugas yang penting dan

mulia. Laksanakan tugasmu dengan baik”.

BINDI: “Dengan restu ibu saya akan berusaha sekuat tenaga.

Yang aku perhatikan hanyalah keadaan ibu”.

RATU PADMI: “Jangan kamu kehilangan semangat. Dari hari

pertama perkawinanku dengan Sri Baginda Raja, aku telah sadar

bahwa aku tidak kawin dengan kepala rumah tangga, tetapi kawin

dengan kekuasaan. Ternyata, tidak ada bakatku untuk bermain

dengan kekuasaan. Aku hanya memahami, tetapi tanpa naluri.

Dan, bersikap diam terhadap permainan kekuasaan. --- Sekarang,

aku lihat kamu dan adik-adikmu, Pangeran Gada dan Pangeran

19

Page 20: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Dodot, sangat asyik dengan permainan kekuasaan itu. Ibu tidak

bisa membantu apa-apa. Hanya bisa menyaksikan dengan hati

yang berdebar-debar. Tetapi, jiwaku pasrah”.

Muncul Pangeran Gada dan Pangeran Dodot.

RATU PADMI: “Itulah adik-adikmu datang kemari”.

GADA dan DODOT: “Ibu!” (melakukan sungkem)

RATU PADMI: “Ibu merestui kamu semua, Nak! --- Semula aku

mengira diriku mandul. Setelah ke dukun, ternyata, aku

dianugerahi tiga putra. Ya, anugerah!”

GADA: “Kakanda, selamat bertugas”.

BINDI: “Terima kasih”.

DODOT: “Heran, kenapa kami berdua tidak diberi tugas apa-apa

oleh ayahanda!”

BINDI: “Kamu berdua hidup tanpa juntrungan. Terlalu banyak

bergaul dengan orang-orang yang resah. Ini membuat pandangan

ayahanda pada Kalian menjadi kurang mantap”.

GADA: “Bukankah keresahan harus didengarkan agar segala

sesuatu yang tidak beres di masyarakat bisa dibenahi?”

BINDI: “Jangan mengorbankan kedudukan secara konyol. Nanti,

kalau kita sudah berkuasa apa yang tidak beres baru bisa kita

benahi”.

20

Page 21: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Suara bende bertalu.

RATU PADMI: “Damai, anugerah-anugerahku, damai! Saatnya

telah tiba. Entah apalagi yang bakal terbentang di depan mataku”.

***

5. PANGERAN KEMBAR DAN RATU KENARI

RATU KENARI: “Kamu berdua berjuanglah baik-baik.

Pertahankan tahta ayahmu. Tahta itu keramat, sebab ia pusat

kehidupan seluruh negara. Oleh karena itu, tahta raja harus

mencerminkan kekuasaan”.

KEMBAR I: “Ibu, kami akan menjadi pahlawan”.

KEMBAR II: “Ibu akan bangga melihat kami naik kuda”.

RATU KENARI: “Aku ini keturunan bangsawan yang mengabdi

kepada raja, dan akhirnya mendapat anugerah untuk menjadi istri

raja. Aku sangat bangga akan kedudukan ini. Meskipun untuk

beberapa tahun aku merasa sedih karena terlambat mengandung.

Waktu itu, Baginda Raja sangat gelisah karena Ratu Padmi dan

aku tidak mampu memberinya keturunan. Lalu, Baginda kawin

lagi dengan Ratu Dara yang ternyata bisa melahirkan Pangeran

Rebo. Baginda Rasja sangat berbahagia, dan kami pun juga ikut

berbahagia. Kemudian, ternyata, Ratu Padmi pun bisa melahirkan

tiga putra berturut-turut selama tiga tahun. Dan, selanjutnya,

21

Page 22: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Tuhan menunjukkan kuasa-Nya, aku diperkenankan melahirkan

bayi kembar! Wah, waktu itu suka cita raja bukan main. Kelahiran

Kalian, bukti wahyu raja. Apa yang semula dikira tidak mungkin

terjadi, telah terjadi berlipat ganda”.

KEMBAR I: “Kata orang kami anak ajaib”.

KEMBAR II: “Sebelum bisa membaca kami sudah bisa bersilat”.

RATU KENARI: “Oleh karena itu, pertahankan diri Kalian baik-

baik. Jagalah keselamatan diri Kalian lahir dan batin. Berilah

pelajaran kepada Panji Tumbal. Buktikan bahwa wahyu berada di

pihak ayahanda Kalian, Sri Baginda Raja”.

Suara bende bertalu-talu.

RATU KENARI: “Pergilah, anak-anakku! Membela raja adalah

mengabdi ketertiban dunia”.

***

6. PANGERAN REBO DAN RATU DARA

RATU DARA: “Kamu muram karena harga dirimu sebagai lelaki

dan sebagai pangeran terpukul habis”.

22

Page 23: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Ibuku! Saya tidak peduli dengan harga diri. Semua yang

ada harganya bisa dibeli, bisa dihias, dan bisa dirias! --- Saya

terluka. Sri Baginda tidak adil terhadap saya”.

RATU DARA: “Jangan main pikiran separuh-separuh. Harga diri

bisa saja dikaitkan dengan nilai yang tidak pasaran. Seperti halnya

kamu, kamu kaitkan dengan rasa keadilan. Tapi, masalah yang

ingin aku bicarakan sebetulnya ini: kamu muram, kamu terpukul,

dan alasannya ada. Tetapi, jangan terlalu lama, anakku! Kamu

tidak boleh terlalu lama kehilangan daya. Lihatlah di alam raya.

Semua tumbuh-tumbuhan berebut cahaya matahari. Di hutan dan

di pekarangan tumbuhan yang kena lindung tumbuhan lain akan

kerdil untuk selama-lamanya. Pendeknya, alam mengajarkan kita

untuk berani bergulat. Kita harus kuat, karena yang kuat akan

menetapkan aturan di dalam kehidupan”.

REBO: (tertawa kecil tapi cerah, dan penuh rasa sayang kepada

ibunya) “Ibu tidak perlu mengkhawatirkan diri saya. Kalau orang

punya ibu seperti ibundaku, tak perlu ia khawatir akan jadi lemah.

Dengan segenap cara ibu akan membangkitkan semangat saya”.

“Ibunda, saya gundah. Saya tidak setuju dengan cara ayahanda

memerintah. Terlalu kasar ungkapan kekuasaannya sehingga

menimbulkan kesan menantang. Padahal, cukup banyak orang

perkasa di negeri kita. Menurut pendapat saya, kekuasaan bisa

23

Page 24: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

dipergunakan dengan lebih halus, tetapi toh tetap mengandung

kekuatan. Kekuasaan harus dikawinkan dengan kebijaksanaan”.

RATU DARA: “Tenangkan dulu pikiranmu. Nanti, kalau kamu

sudah menjadi raja, kamu bisa menempuh jalan yang kamu

kehendaki. Sementara itu, pendam dulu pikiran itu. Semakin tua

Sri Baginda semakin sukar dinasihati. Memang, itulah gejala

kekuatan jiwa yang memudar karena usia tua. Ia hanya mampu

bertahan, tidak lagi mampu membuka dan berkembang. Jadi,

pakailah siasat. Tunggu waktumu. Orang yang hanya bertahan

tidak akan bisa bertahan lama”.

REBO: “Benarkah saya akan bisa menjadi raja?”

RATU DARA: “Dahulu, Sri Baginda mengambil aku menjadi

istrinya karena Ratu Padmi dan Ratu Kenari tidak bisa berputra.

Terhadap diriku Sri Baginda sangat mabuk asmara. Setiap

menghadapi diriku Baginda selalu tidak bisa menguasai dirinya.

Aku menyadari kekuasaan diriku ini. Dan, aku memainkan

kekuasaan itu. Aku menuntut agar antara ketiga istri

kedudukannya sama. Tidak ada yang pertama, ke dua, atau ke tiga.

Baginda menyetujui dan memaklumkan hal itu ke seluruh negara.

Baru sesudah itu, aku menyerahkan diri, lalu mengandung, dan

akhirnya membuahkan dirimu: putra raja yang pertama”.

24

Page 25: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Saya pun juga sudah mendengar hal itu. Tetapi,

kemudian, Ratu Padmi dan Ratu Kenari juga melahirkan para

pangeran!”

RATU DARA: “Tetapi, kamu toh pangeran yang pertama dan

tertua! Sedangkan, kedudukan permaisuri tidak ada. --- Yah,

kemungkinan rintangan memang ada. Pada intinya, dasar untuk

menentukan pewaris tahta dari semula goyah. Akulah yang

membuatnya goyah. Namun, justru di sinilah letak serba

kemungkinannya. Kita akan bermain di sini. Kita harus kuat.

Seperti trembesi perkasa di dalam rimba, kita akan merebut sinar

matahari. Kamu harus menjadi raja!”

REBO: “Darahku bergelora. Aku harus menjadi raja! --- sebelum

menyatakan pemberontakannya, Panji Tumbal menawarkan tahta

yang akan ia rebut kepadaku”.

RATU DARA: “Apakah kamu terima tawarannya?”

REBO: “Saya biarkan tawaran itu mengambang. Saya bersikap

mengambil jarak”.

RATU DARA: “Benar. Jangan keburu nafsu! Jangan membuang

tenaga dalam permulaan pergulatan. Mulai sekarang, kita

mengatur siasat untuk merebut tahta dari siapa saja yang menang”.

Suara bende bertalu-talu.

25

Page 26: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RATU DARA: “Nah, waktunya tiba untuk bersiasat. Tunjukkan

wajah yang cerah. Kepada Sri Baginda berkatalah serba ‘ya’. Ini

akan memuaskan jiwanya yang sudah lemah, dan tidak lagi tahan

akan perbedaan. Kepada pembangkang berilah kata-kata yang

serba mengambang. Jangan kamu berbicara apa-apa tentang tahta.

Itulah bagianku untuk memperdebatkannya. --- Sekarang, dengan

manis mari kita elu-elukan para pangeran yang akan berangkat ke

Tegalwurung. Semoga riwayat mereka tamat di sana”.

***

7. DUA PANGERAN YANG SAKIT HATI

Pasukan berangkat dengan segenap kebesaran. Genderang.

Nafiri. Panji-panji. --- Sesudah semuanya berlalu, tinggallah

Pangeran Gada dan Pangeran Dodot dengan wajah yang muram.

GADA: “Wajahmu muram”.

DODOT: “Begitu juga wajah Kakanda”.

GADA: “Keadaan buruk”.

DODOT: “Ya, keadaan memang buruk”.

GADA: “Keadaan tidak bisa diteruskan seperti ini. Laporan para

adipati harus diindahkan. Kebutuhan setiap kadipaten harus

26

Page 27: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

dipenuhi. Kalau tidak, keutuhan justru akan berantakan. Kepala

memang penting, tetapi kaki dan tangan tak boleh diabaikan.

Kalau kaki dan tangan rusak, biarpun kepala tetap utuh, diri kita

menjadi lumpuh”.

DODOT: “Sudah jelas. Terlalu jelas”.

GADA: “Rupanya kita sepaham”.

DODOT: “Cara berpikir kita serupa”.

GADA: “Tetapi, Sri Baginda Raja, ayahanda kita, sangat berbeda

sikap dan pendapatnya”.

DODOT: “Sri Baginda salah. Beliau akan tumbang”.

GADA: “Siapa yang akan menggantikannya menjadi raja?”

DODOT: “Pangeran Rebo lemah. Dan, ayahanda telah

mencurigainya. Karena kurang siasat kartunya hampir mati”.

GADA: “Kakanda Pangeran Bindi punya harapan terbesar.

Padahal pandangannya lain dari kita. Ia sekadar buntut ayahanda”.

DODOT: “Saya juga tidak suka apabila ia menjadi raja”.

GADA: “Tetapi. Toh ia yang punya harapan terbesar untuk

mengganti ayahanda menjadi raja”.

DODOT: “Kalau ia tidak gugur di Tegalwurung”.

GADA: “Apakah Panji Tumbal cukup kuat?”

DODOT: “Harus dibikin kuat”.

GADA: “Apakah kita akan membantu Panji Tumbal?”

DODOT: “Saya tidak ragu-ragu. Apakah kakanda ragu-ragu?”

27

Page 28: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

GADA: “Baik. Kita akan membantu Panji tumbal. Bagaimana

cara dan siasatnya akan kita bicarakan dengan Aryo Gundu dan

senapati yang lain yang sependirian dengan kita. Kita bicarakan

semuanya ini di dalam rapat, di Serambi Balai Senjata yang

sedang diatur oleh Aryo Gundu”.

DODOT: “Saya setuju tanpa ragu”.

GADA: “Tetapi --- nanti dulu --- kalau usaha kita berhasil, siapa

yang akan menjadi raja?”

DODOT: “Tentu saja kakandalah yang punya peluang terbesar,

sedang saya cukup menjadi Raja Muda”.

GADA: “Raja Muda? Apa itu artinya?”

DODOT: “Artinya, putra Kakanda tidak akan menjadi putra

mahkota. Tetapi, sayalah yang akan menggantikan kakanda

menjadi raja kalau …………….”

GADA: “Kalau saya mati?”

DODOT: “Ah, jangan terlalu jauh Kakanda berpikir. --- Kita tidak

boleh saling mencurigai”.

Keduanya tertawa dengan seribu macam isi.

***

8. MIMPI DI HARI SENJA

28

Page 29: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Senjakala. Cahaya merah bercampur dengan warna keemasan. ---

Muncul Panji Reso.

RESO: “Senja merah padam. Seperti darah yang muncrat dari

luka. Gunung menjadi serupa tembaga. Alam menjadi bersifat

jantan. --- Ah, apa yang aku lihat ini? --- Rupanya aku bermimpi

lagi. Kau, mimpi, selalu menyergapku selagi aku berjaga. Candu

mimpi yang gaib, mari, kuhisap kamu. Biar penuh paru-paruku

dengan hawamu, dan lalu meresap ke dalam darah, sumsum, dan

otakku. --- Haaah! Aku melihat telaga darah dengan bunga teratai

putih yang mengapung di permukaannya. --- Aku melihat lima

bidadari mandi di telaga darah. Mereka bercengkerama. Tubuh

mereka seperti gading yang halus, licin, dan mengkilat. Dan,

wajah mereka kelimanya sama. Mirip. Serupa. Lima bidadari

kembar. --- Wajah mereka seperti wajah yang sudah aku kenal.

Ya, wajah yang aku kenal, entah di mana. Ah! Kecantikan yang

nyata tapi tak terjamah! --- Hai! Ini tata warna birahi ataukah

suasana medan laga? --- Merah, kuning, ungu, jingga, lila. Oooo,

indah! Merah. Merah. Telaga merah. Langit merah. Apa pula itu?

Astaga! Aku lihat tahta mengambang di telaga berdarah. --- Oh!

Pesona yang mengagumkan! --- Tahta itu menuju kemari. Ia

melaju ke arahku. Dihembus angin ke arahku! Aaak” ---

29

Page 30: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

“Mimpiku sirna. Dahsyat. Apakah arti mimpiku ini? Telaga darah,

teratai, bidadari, dan tahta. Apakah arti semuanya ini? --- Tahta!

Siapa yang tidak menginginkan tahta? Aku menginginkan tahta!

Sri Baginda Raja telah tua. Ia mulai pikun. Pikun dan ngawur!

Para senapati resah. Para adipati resah. Pemberontakan terjadi.

Dan, para pangeran itu tak akan becus mengatasi keadaan”.

“Aku akan lebih becus menjadi raja. Sayang, aku cuma seorang

panji! --- Tetapi, aku punya akal. Kekacauan di negara ini justru

akan memberi jalan kepadaku. Rintanganku yang utama hanyalah

para pangeran. --- Nanti, aku cari jalan!”

“Zaman sudah menjadi edan! Jangan mengharap orang edan bisa

diinsyafkan. Biarlah mereka sekalian didorong untuk semakin

edan. Sehingga, akhirnya, mereka nanti gampang aku mainkan”.

***

9. PERSEKUTUAN PARA PANJI

Panji Reso dan para panji.

SIMO: “Kita tak bisa berkumpul terlalu lama”.

RESO: “Tenang, Panji Simo! Sebelum terang tanah, kita sudah

bubar”.

OMBO: “Kita teliti dulu, apa ada mata-mata di antara kita. Kalau

ada, kita bunuh dia di sini sekarang juga!”

30

Page 31: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Tenang, Panji Ombo! Aku menyiapkan rapat ini dengan

teliti. Semua yang hadir di sini aku dapat namanya dari Panji

Tumbal. --- Dengar, Anda semua telah setuju untuk mendukung

pemberontakan Panji Tumbal”.

WONGSO: “Tapi, kita telah kalah langkah berkat Ratu Dara

keparat itu”.

BONDO: “Aku masih berani minggat dari sini dan terang-

terangan menyusul pemberontakan”.

RESO: “Jangan! Panji Bondo, tahan dulu semangat Anda. ---

Menurut pendapatku, salah langkah sudah terjadi waktu Panji

tumbal mengirim surat ke istana. Pada intinya, pemberontakan

harus dimulai dari ibu kota, tidak dari kadipaten. Dan, harus

langsung merebut tahta, mengganti pemerintahan. Baru kemudian,

semua kadipaten mendukung pemberontakan ini dengan serentak.

Bila pemberontakan dimulai dari kadipaten, maka pemberontakan

semacam itu hanya bersifat memisahkan diri dari kerajaan. Ini

lemah! Ini hanya sekadar menentang raja, tetapi belum tentu

mampu mengganti pemerintahan. Dan, hasilnya hanya akan

memecah-belah kerajaan! Inilah alasanku, kenapa aku berkata

bahwa pemberontakan Panji Tumbal salah siasat dari mula

pertama”.

BONDO: “Jadi, sekarang kita akan mencetuskan pemberontakan

di sini?”

31

Page 32: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Sabar! Sekarang belum saatnya kita berontak. Para aryo

dan senopati belum tentu berada di pihak kita. Dan, juga para

pangeran masih belum kita perhitungkan”.

SEKTI: “Jadi, bagaimana dengan Panji Tumbal? Apakah ia akan

kita biarkan seorang diri?”

RESO: “Apa boleh buat! Panji Sekti, kita pilih kehilangan satu

jari atau seluruh tangan kita?”

SEKTI: “Ya, rupanya kenyataan perjuangan memang pahit.

Tetapi, ini akan menjadi pelajaran bagi kita semua”.

RESO: “Panji Sekti, apakah Anda sanggup memimpin kami

semua di dalam gerakan ini?”

SEKTI: “Lho, jangan bikin kaget”.

RESO: “Jangan gampang kaget. Kita membutuhkan satu

pimpinan. Gerakan kita, gerakan Dewan Panji, sudah cocok satu

cita-cita dan satu pikiran. Kita tidak akan mengundang orang dari

golongan lain yang belum jelas kepentingannya untuk memimpin

kita. Hanya para panji yang tahu kepentingan kadipaten”.

SIMO: “Kalau begitu kenapa tidak Panji Reso saja yang

memimpin kita?”

OMBO: “Saya juga setuju begitu”.

RESO: “Kenapa bukan Anda, Panji Simo?”

SIMO: “Tidak! Kami para adipati sudah punya tempat dan tugas

yang lebih cocok. Sebaliknya, Anda punya wawasan yang lebih

32

Page 33: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

luas dari kami. Kehebatan Anda memimpin sudah Anda buktikan

waktu perang di Tegalwurung bersama dengan Panji Tumbal. Dan,

lagi, sebagai Panji Istana Anda lebih bebas bersiasat di ibu kota”.

BONDO: “Memang, menurut bukti dan kenyataan hanya ada dua

pemimpin yang ada di antara kaum panji. Yaitu: Panji Reso dan

Panji Tumbal! --- Tetapi, sekarang Panji Tumbal sudah tidak bisa

kita harapkan lagi karena ia terlalu keburu nafsu”.

RESO: “Jangan terlalu disalahkan dia. Dia bukan seorang

negarawan. Wawasannya, wawasan seorang satria medan laga.

Jiwanya suci dan murni”.

BONDO: “Tapi, Anda punya wawasan kenegaraan, di samping

juga unggul di medan perang”.

SIMO: “Memang Andalah yang pantas memimpin kami”.

SEKTI: “Setuju”.

RESO: “Baik. Tegas saja, aku terima pimpinan ini! Sekarang

dengar! Pulihkan kepercayaan raja pada Anda semua. Jangan

dibantah kemauan orang pikun itu. Bila nanti Anda semua sudah

kembali ke kadipaten masing-masing, galang kembali kekuatan

Anda secara diam-diam. Jangan bergerak sebelum aku beri aba-

aba. Aku akan mengadu siasat di istana. Panji Sekti akan menjadi

mata-mata dan penghubung antara kita”.

SEKTI: “Itu tugas yang cocok untuk saya”.

33

Page 34: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Kelelawar sudah mulai terbang ke arah barat. Hari

hampir terang tanah. Selamat berpisah, teman-teman. Ingat, kita

semua sudah penuh dengan tekad dan semangat, tetapi kita hanya

akan menang bila memakai siasat”. --- “Selamat!”

***

10. RAPAT DI SERAMBI BALAI SENJATA

Pangeran Gada, Pangeran Dodot, Aryo Gundu, dan Aryo Ronin.

GADA: “Begitulah. Aku kira sudah cukup panjang-lebar aku

menerangkan. Pendeknya, tanpa ragu-ragu, aku dan Pangeran

Dodot akan membantu Panji Tumbal”.

GUNDU: “Memang harus begitu. Dan, kita tidak boleh terlambat.

Bagaimana pendapat Anda, Aryo Ronin?”

RONIN: “Pemerintahan Sri Baginda Raja memang tak bisa

dipertahankan lagi. Kerajaan memburuk, sedangkan Sri Baginda

hanya kukuh pada caranya sendiri. Siapa lagi yang akan berani

memberi saran dan kecaman kalau akibatnya malah akan dicurigai

dan disingkirkan? Keadaan memang sudah buntu”.

DODOT: “Karena itu, tembok pembuntu harus kita robohkan”.

GUNDU: “Pangeran Gada, jadi Anda sudah siap kami rajakan?”

34

Page 35: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

GADA: “Demi rakyat dan demi negara aku siap menjadi raja dan

menegakkan keadilan”.

GUNDU: “Kalau begitu kita harus segera bergabung dengan Panji

Tumbal”.

RONIN: “Bagaimana dengan para panji dan adipati yang lain?”

GUNDU: “Menurut Panji Tumbal mereka semua berada di

belakangnya. Tetapi, sekarang mereka dilarang meninggalkan ibu

kota”.

RONIN: “Kalau memang sudah bertekad untuk berontak, kenapa

mereka tidak kita ajak merat dari ibu kota?”

GUNDU: “Semua tergantung Panji Reso. Di dalam saat seperti

ini, dialah yang mampu menggerakkan para panji”.

DODOT: “Kenapa ia tidak dihubungi?”

GUNDU: “Kita harus waspada. Ia dan para panji yang lain sedang

diawasi. Tetapi, saya akan berusaha menghubungi. Sesudah itu

akan kita tetapkan bagaimana siasat kita”.

GADA: “Baik. Usahakan Anda berhasil memastikan dia ke pihak

kita. Banyak orang menaruh rasa segan kepadamu. Sampai di sini

dulu. Bila terlalu lama kita bersama, bisa orang menaruh curiga”.

***

11. RUMAH PANJI RESO

35

Page 36: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Pagi hari yang cerah. Reso dilayani Nyi Reso minum teh.

NYI RESO: “Kakanda tidak tidur di rumah semalam”.

RESO: “Hm”.

NYI RESO: “Para panji diawasi, tidak boleh meninggalkan ibu

kota”.

RESO: “Hm”.

NYI RESO: “Biasanya, kalau ada badai dan topan orang berteduh

dulu. Baru setelah topan dan badai reda orang meneruskan

perjalanannya”.

RESO: “Jangan menilai. Jangan menerka. Kamu kekurangan

bahan”.

NYI RESO: “Bertahun-tahun saya hidup mendampingi Kakanda

dengan jantung yang berdebar-debar”.

RESO: “Setiap orang punya kewajiban yang harus diselesaikan”.

NYI RESO: “Sungguh sayang kandunganku gersang”.

RESO: “Siapa tahu justru benihku yang gersang. --- Tidak punya

anak tidak lagi menjadi masalah dalam hidupku”.

NYI RESO: “Sangat sering Kakanda duduk melamun”.

RESO: “Hm”.

NYI RESO: “Kelakuan Kakanda banyak menimbulkan

pertanyaan di dalam diri saya. --- Kakanda akhir-akhir ini sangat

36

Page 37: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

sering bersemadi, padahal Kakanda tidak suka bergaul dengan

para resi dan tidak betah diajak bicara masalah kebatinan”.

RESO: “Aku semadi untuk menyerahkan diri. Tidak ada

urusannya dengan kebatinan”.

NYI RESO: “Saya mendapat kesan, sepertinya Kakanda prihatin

besar……. atau sedang kecewa ---Apakah Kakanda kecewa

kepada saya?”

RESO: “Jangan cengeng. Aku tidak kecewa kepada apa saja.---

Aku prihatin. --- Aku punya cita-cita”.

NYI RESO: “Semua cita-cita sudah Kakanda capai. Kakanda

sudah mulia dan jaya. Semua orang menaruh rasa segan dan

hormat kepada Kakanda. Sekarang masih kurang apa?”

RESO: “Di balik gunung ada gunung, di balik cakrawala ada

cakrawala”.

NYI RESO: “Apakah yang Kakanda lihat di sana?”

RESO: “Tahta raja”.

NYI RESO: “Duh Gusti Jagat Dewa Batara!”

RESO: “Astaga! Kenapa kamu harus tahu! --- Cita-cita itu seperti

rajawali galak yang menggelepar-gelepar di dalam dadaku. Kini,

akhirnya lepas terbang, keluar dari kerongkonganku. --- Nyi Mas,

kalau kamu ingin aku selamat, jangan kamu buka rahasia batinku

ini”.

37

Page 38: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

NYI RESO: “Hati-hati, Kakanda! Saya tidak bisa membayangkan

apa-apa, tetapi perasaan saya keruh dan rasa kecut mengalir ke

dalam mulut saya. --- Di depan Kakanda terbentang kenyataan ada

enam orang pangeran berdiri di sekeliling tahta, sedang di atas

tahta duduk seorang raja yang sakti mandraguna. Dan, mereka

semua dijaga oleh para senapati. --- Duh Gusti Jagat Dewa Batara!

Kini terbayang oleh saya banjir darah dan kilatan pedang”.

RESO: “Gambaran yang terbentang di depanmu itu pakem-pakem

yang tak ada kenyataannya. Rajanya pikun, para pangerannya

saling berlaga, dan para senapatinya buyar berantakan tidak

mampu mengatur barisan. Kalau aku yang bisa menyelamatkan

negara kenapa aku tidak menyelamatkannya sebagai raja? ---

Cukup! Aku akan bersemadi. Jangan diganggu olah-tapaku!”

(keluar)

NYI RESO: (seorang diri. Sepi) “Cita-cita demi cita-cita

menjauhkan kakanda dari saya”.

“Cita-cita demi cita-cita mengubah pribadi suami sehingga saya

harus berulang kali belajar mengenalnya kembali. Duh, Gusti,

pikiran dan kehendak saya terlalu sederhana. Ibarat ayam yang

hanya mengenal pekarangan. Kakanda bagaikan rajawali, bisa

melihat pemandangan yang sukar saya bayangkan. Ini membuat

saya merasa putus asa. --- Sekarang kakanda terbang sudah terlalu

tinggi. Apakah masih mungkin saya menjangkau kakanda? ---

38

Page 39: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Dengan pedih saya menyadari keterbatasan diri saya. Dan, jauh di

dalam hati, saya merasa: barangkali, sekali ini, saya tidak mampu

mendampingi kakanda”.

***

12. PANJI RESO MENGHADAP RAJA

Raja Tua, Aryo lembu, Aryo Bungsu, dan Panji Reso.

RAJA TUA: “Reso! Menurut Aryo Bungsu kamu mohon

menghadap aku karena ada soal yang akan kamu ajukan yang

sangat mendesak sifatnya”.

RESO: “Memang demikian, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Soal apa itu?”

RESO: “Hamba mohon untuk diizinkan meletakkan jabatan dan

pergi bertani”.

RAJA TUA: “Apa?!”

RESO: “Mohon maaf kalau dianggap tidak penting soal semacam

ini, tetapi bagi hamba memang mendesak sifatnya”.

RAJA TUA: “Nanti dulu! Tenang! --- Kamu ingin meletakkan

jabatan”.

RESO: “Hamba ingin bertani saja”.

RAJA TUA: “Sabar dulu! Kenapa begitu?”

39

Page 40: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Hamba merasa sangat malu. Di jalan semua orang

memandang kepada hamba seakan-akan hamba ini pengkhianat

negara. Barangkali, mereka berpikir: “Kenapa Panji Reso tidak

ikut memadamkan pemberontakan Panji Tumbal? Apakah ia

sudah tidak dipercaya Sri Baginda? --- Sri Baginda itu banyak

pengalamannya dan tajam pengamatannya. Kalau ia tak dipercaya

lagi oleh Sri Baginda, pasti sangat kuat alasannya.” --- Begitulah

seakan-akan tuduhan pandangan mata semua orang terhadap diri

saya. --- Duh Gusti Jagat Dewa Batara, saya tak kuat lagi

menanggung malu”.

RAJA TUA: “Nanti dulu!!”

RESO: “Yang Mulia, ada lagi penderitaan batin saya. Di rumah

saya berkaca. Saya kaget, kok kenyataannya saya sudah berubah

tua. Di dalam diri saya masih menggelegak jiwa kesatria yang

selalu membela raja, sebagaimana pernah saya buktikan di

pelbagai medan laga. Sebenarnya, saya pun sangat bernafsu untuk

memenggal kepala Panji Tumbal. Tetapi, apa boleh buat, bintang-

bintang yang lebih muda banyak yang muncul sehingga Sri

Baginda tak perlu lagi memakai pengalaman orang tua seperti

saya”.

RAJA TUA: “Salah! Salah! --- Orang tua dalam banyak hal lebih

hebat dari orang muda. Satu, karena pengalaman. Dua, karena

40

Page 41: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

sudah teruji! --- Kamu lihat tidak, bagaimana dengan gampang aku

merobohkan putraku?”

RESO: “Hamba memang melihat bagaimana usia makin membuat

Baginda tenang dan matang”.

RAJA TUA: “Tentu saja. Itu akibat dari godokan waktu”.

RESO: “Yang tidak bisa dicapai oleh orang muda”.

RAJA TUA: “Sebab belum sampai pengalamannya”.

RESO: “Betul Yang Mulia. Orang tua memang merupakan

kekayaan negara”.

RAJA TUA: “Tepat, Reso! Tepat! --- jadi tidak mungkin kamu

tidak saya pakai karena usiamu. Apalagi, sebetulnya, kamu kan

belum terlalu tua”.

RESO: “Memang belum matang dan mengkilat seperti Yang

Mulia”.

RAJA TUA: “Kalau kamu tekun menghayati kehidupan, kamu

pun akan bisa seperti saya”.

RESO: “Tetapi, kenapa hamba sekarang kena hukuman, Yang

Mulia!”

RAJA TUA: “Tidak! Tidak! Kamu tidak dihukum. Soalnya, aku

lagi marah-marah waktu itu. Kalau aku lagi marah jangan kamu

suka nimbrung. Sebab kamu kan melihat sendiri bagaimana kalau

aku marah”.

41

Page 42: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: Hal itu akan menjadi pelajaran bagi hamba. Hamba tidak

akan mengulangi lagi. --- Tetapi, sekarang bagaimana nasib

hamba?”

RAJA TUA: “Kamu diampuni. Kamu sudah bebas seperti biasa.

--- Aryo Bungsu!”

BUNGSU: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Jelas, ya, Panji Reso sudah aku ampuni”.

BUNGSU: “Baik, Yang Mulia!”

RESO: “Hamba sangat berterima kasih, Yang Mulia! --- Lalu,

bagaimana dengan para panji yang lain? Mereka semuanya setia

dan kagum kepada Sri Baginda”.

RAJA TUA: “Soal itu nanti dulu. --- Reso, ini masalah ‘langkah

pengamanan’. Mereka akan diselidiki dan diperiksa dulu, sesudah

terbukti beres, mereka pun akan dibebaskan”.

RESO: “Apakah hamba akan diperiksa juga?”

RAJA TUA: “Lho, kamu kan sudah diperiksa. Langsung oleh aku

sendiri”.

RESO: “Maaf, hamba tidak menyadari”.

RAJA TUA: “Baru saja tadi, sambil lalu, kamu sudah aku periksa.

Kalau memang sudah ahli memeriksa, yang diperiksa tidak akan

tahu. --- Lha, ini lagi bedanya antara anak muda yang belum

berpengalaman dan orang tua yang sudah kenyang asam dan

garam. Kalau anak muda, matanya pencilakan, belum melihat apa-

42

Page 43: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

apa. Kalau orang tua yang matang, dengan sekali melirik, ia sudah

melihat semuanya”.

RESO: “Hamba kagum, Yang Mulia. --- Lalu, kapan para panji

itu akan selesai diperiksa?”

RAJA TUA: “Lha, itu makan waktu. Biasa kan, sebab Aryo

Bungsu masih muda, ia memerlukan lebih banyak waktu untuk

bekerja. --- Dan lagi, kenapa tergesa-gesa? Biar mereka istirahat

dulu di ibukota. --- Kamu mengerti, bukan?”

RESO: “Tentu, Yang Mulia. Sebetulnya, ini langkah yang

bijaksana. Saat ini negara sedang gawat. Orang yang setia itu lebih

terjaga dan aman di ibu kota”.

RAJA TUA: “Tepat! Tepat! Jadi, mereka itu sebetulnya tidak

ditahan, tetapi dijaga demi keamanan mereka sendiri. --- Nah,

nanti kalau kepala Panji Tumbal sudah dipenggal dan di Kadipaten

yang lain terbukti tidak ada keterlibatan apa-apa, mereka boleh

pulang, menjalankan tugas mereka seperti biasa. Sementara itu,

aku sudah memerintahkan agar besok pagi Aryo Lembu, Aryo

Jambu, Aryo Bambu, dan Aryo Sumbu berangkat, untuk

memeriksa dan mengamankan Kadipaten dengan membawa

pasukan mereka masing-masing. --- Aryo Bungsu!”

BUNGSU: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Keadaan para panji baik-baik saja, bukan?”

43

Page 44: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BUNGSU: “Semuanya baik. Masing-masing menempati

pesanggrahan yang cukup mewah”.

RAJA TUA: “Bagus! Biar mereka gembira dan kerasan di sini.

Besok pagi kepada mereka masing-masing, kirimkan seekor lembu

dan tiga tong arak! Biar mereka berpesta. Katakan, itu hadiah

pertanda cinta dari saya!”

BUNGSU: “Baik, Yang Mulia. Semua akan hamba laksanakan”.

RESO: “Yang mulia, mohon dimaafkan kalau hamba lancang,

tetapi hamba sebagai panji istana benar-benar ikut prihatin

terhadap keamanan negara. Hamba terpaksa menyatakan bahwa

hamba bingung terhadap tingkah laku Pangeran Rebo”.

RAJA TUA: “Yah, ini soal lain lagi. Bagiku memang pelik sekali.

--- Tetapi, apa maksudmu sebenarnya?”

RESO: “Hamba tidak percaya bahwa ia berbahaya, tetapi kenapa

ia mengusulkan untuk berunding dengan bangsat pemberontak itu?

Apakah karena alasan persahabatan? Apakah karena alasan

kemanusiaan? Apakah karena pengertian siasat yang berbeda?

Atau apa?”

RAJA TUA: “Hal itu mengganggu pikiranku. --- Aryo Lembu!”

LEMBU: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Kamu yang saya serahi tugas untuk menyelidiki

dia. Bagaimana hasilnya?”

44

Page 45: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

LEMBU: “Sampai sekarang ia tidak mengutarakan isi pikiran

yang bersifat membangkang”.

RESO: “Barangkali ia terlalu sadar kalau sedang diselidiki, bila

yang bertanya-tanya itu orang yang sudah dikenal sebagai tokoh

kepercayaan Sri Baginda”.

RAJA TUA: “Barangkali begitu”.

LEMBU: “Hamba kira memang begitu”.

RESO: “Orang toh belum tahu bahwa hari ini hamba telah

diampuni. Pangeran Rebo juga belum tahu hal ini. Ia akan tetap

mengira bahwa hamba senasib dengannya. Jadi, barangkali ia akan

lebih terbuka kepada hamba, dan lalu akan mengutarakan isi hati

yang sebenarnya”.

RAJA TUA: “Kalau begitu kamu saja yang aku serahi tugas

menyelidiki”.

RESO: “Sanggup, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Bagus! Coba juga kamu telaah seberapa jauh

pengaruh Ratu Dara kepadanya. --- Kamu tahu ibunya itu sangat

keras kemauannya, dan, juga, orangnya penuh dengan cita-cita.

Banyak wawasannya yang bagus, tetapi sangat sering ia,

kelihatannya, asal mau menang sendiri”.

RESO: “Apakah Sri Baginda mencurigai Sri Ratu Dara?”

RAJA TUA: “Aku tak tahu bagaimana merumuskannya, tetapi

jelas ia ingin anaknya nanti menggantikan aku menjadi raja. Aku

45

Page 46: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

cuma khawatir kalau-kalau ia kurang sabar dalam mewujudkan

cita-citanya”.

RESO: “Hamba paham maksud paduka. Tetapi, apakah sudah ada

gejala yang menunjukkan ketidaksabaran seperti itu?”

RAJA TUA: “Lho, itulah tugasmu untuk menyelidikinya!”

RESO: “Hamba sanggup, Yang Mulia! Hanya saja, bila

diperkenankan hamba mohon Panji Sekti membantu hamba”.

RAJA TUA: “Panji Sekti?”

RESO: “Seorang panji istana juga, urusan jaga gerbang dan ronda

istana. Hamba berani menanggung dengan mempertaruhkan

kepala hamba bahwa ia patuh dan setia kepada Paduka”.

RAJA TUA: “Kalau kamu sudah berani menanggung, aku pun

membebaskannya juga. --- Baik, biar ia membantu kamu”.

RESO: “Terima kasih, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Sekalian bantu aku mengawasi para panji itu! ---

Aryo Bungsu, catat semua keputusanku ini!”

BUNGSU: “Hamba perhatikan, Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Panji Reso, segera mulailah bekerja! Sewaktu-

waktu kamu bebas menghadap aku!”

RESO: “Hamba merasa syukur dan bangga, Sri Baginda.

***

46

Page 47: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

13. BERTUKAR PESAN DI HALAMAN ISTANA

Panji Reso bertemu dengan Panji Sekti di halaman istana.

SEKTI: “Salam, Panji Reso”.

RESO: “Salam, Panji Sekti. Hari cerah, bukan?”

SEKTI: “Kita tidak bisa bicara di sini terlalu lama. Mereka

mengamati kita”.

RESO: “Tidak. Kita sudah bebas sekarang”.

SEKTI: “Jangan bikin kaget”.

RESO: “Anda selalu gampang kaget. Tetapi, begitulah

kenyataannya. Aku dan Anda sudah bebas dari pengawasan dan

pemeriksaan”.

SEKTI: “Luar biasa. Saya kagum. Bagaimana Anda bisa

meyakinkan orang semacam Sri Baginda?”

RESO: “Gampang! Untuk menginsyafkan orang sinting aku

bicara juga seperti orang sinting. Semakin sinting aku bicara

semakin ia percaya. --- Orang yang lemah itu selalu hanya mau

bicara dengan bayangannya sendiri. Demikian juga si raja pikun.

Begitu aku menjadi bayangannya, ia mau mendengar apa saja

yang aku katakan. Bahkan, aku dan Anda ditugaskan untuk

mengawasi Pangeran Rebo, Ratu Dara, dan para panji semua. ---

Nah, sekarang jalan telah terbuka. Kita akan malang-melintang

dengan siasat kita”.

47

Page 48: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Wah! Saya kagum. Saya kagum. Anda memang pantas

memimpin!”

RESO: “Hm! Anda ini lain lagi macamnya. --- Dengar Panji

Sekti, sekarang juga Anda hubungi semua panji. Katakan, besok

pagi Baginda akan mengutus empat orang senapati untuk

mengamankan dan memeriksa kadipaten masing-masing.

Perintahkan kepada para sekutu mereka di Kadipaten agar

mengubah siasat. Bekukan dulu semua gerakan pembangkangan,

sambut para senapati dengan wajah cerah. Tunjukkan sikap yang

patuh dan setia kepada Sri Baginda. Jauhi hubungan dengan para

senapati dan pangeran yang resah. Tolak semua pendekatan dan

ajakan mereka. Tegaskan, akulah pusat pimpinan gerakan para

panji. Aba-aba yang harus dipatuhi hanyalah aba-aba dari aku! ---

Jelas?”

SEKTI: “Jelas, dan sudah saya hafalkan seketika. --- sebelum

saya berangkat, saya akan menyampaikan pesan dari Aryo Gundu.

Ia menunggu Anda di Serambi Balai Senjata. Sekarang giliran dia

untuk memimpin ronda dan jaga istana”.

RESO: “Aku akan mampir ke sana”.

SEKTI: “Sampai jumpa!

RESO: “Sampai jumpa! Sekarang menghadapi macan. Terhadap

macan harus aku pakai cara yang lain lagi”.

48

Page 49: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

***

14. RUBAH DAN MACAN

Di Serambi Balai Senjata. Aryo Gundu didatangi Panji Reso.

RESO: “Salam, Aryo Gundu”.

GUNDU: “Salam, Panji Reso”.

RESO: “Mencari aku?”

GUNDU: “Ya, memang! --- Di sini kita aman bicara. Saya sudah

menyiapkan semuanya”.

RESO: “Urusan apa?”

GUNDU: “Saya dan beberapa teman merasa resah dengan sikap

raja yang tidak adil terhadap Anda dan para panji sebagai adipati

di kadipaten-kadipaten”.

RESO: “Hm”.

GUNDU: “Secara terbuka saya bicara. Kami memihak kepada

Panji Tumbal. Kami setuju terhadap pemberontakannya”.

RESO: “Begitu! --- Setuju atau tidak, apa bedanya?”

GUNDU: “Apa maksud Anda?”

RESO: “Aku kecewa!”

GUNDU: “Kecewa?”

RESO: “Kenapa para aryo, senapati hanya bisa setuju dan tidak

setuju? --- Kami para panji bergerak dan bertindak. Tetapi, apa

yang dilakukan para senapati kecuali setuju dan tidak setuju?”

49

Page 50: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

GUNDU: Kami terlambat, itu kami akui. Tetapi, kami tidak

tinggal diam. Kami telah memutuskan untuk bergabung dengan

Panji Tumbal.

RESO: “Kami? Siapa kami?”

GUNDU: “Pangeran Gada, Pangeran Dodot, Aryo Ronin, dan

saya”.

RESO: “Bagus! Ini baru aku hargai”.

GUNDU: “Kami justru akan mengajak Anda dan semua panji

untuk bergerak serentak bersama kami”.

RESO: “Apakah kedua pangeran itu bisa kami percaya? Mereka

saudara kandung Pangeran Bindi, yang justru sedang menumpas

pemberontakan”.

GUNDU: “Jelas bisa dipercaya. Pangeran Gada bersedia menjadi

raja untuk membela rakyat dan menegakkan keadilan. Panji

Tumbal juga akan mendukungnya. Sebelum berangkat untuk

berontak kami sudah saling ketemu dengan dia, dan berunding

secara singkat di depan gerbang istana”.

RESO: “Tidak aku sangka ia punya tulang dan keberanian”.

GUNDU: “Jangan disangka kami tak punya cakar dan taring!”

RESO: “Hm! Macan!”

GUNDU: Ya! Macan yang siap bertempur untuk membela

keadilan. --- Ayo, kita buktikan. Mari kita sama-sama merat dari

50

Page 51: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ibu kota. Lalu seluruh Kadipaten bergolak melawan tahta. ---

Bagaimana jawaban Anda?”

RESO: “Aku mulai tertarik pada pembicaraan Anda”.

GUNDU: “Sudah saya duga”.

RESO: “Tetapi, aku memerlukan waktu untuk menghadapi para

panji yang sekarang dengan ketat diawasi”.

GUNDU: “Kalau begitu kami akan berangkat lebih dulu malam

ini”.

RESO: “Beri aku waktu satu hari. Tunggu aku di mata air di hutan

Roban. --- Mudah-mudahan aku bisa menginsyafkan para panji

bahwa pangeran Gada dan Pangeran Dodot betul-betul di pihak

kita”.

GUNDU: “Tidak akan sulit. (mengeluarkan sebuah surat) Ini ada

surat untuk para panji dari Pangeran Gada. Di sini disebutkan

bahwa kami berempat sudah bertekad untuk berontak bersama

Panji Tumbal, dan minta dukungan mereka untuk merajakan

Pangeran Gada”. (menyerahkan surat)

RESO: “Tidak aku sangka akan segampang ini”.

GUNDU: “Mudah-mudahan memang lancar. --- Jadi, bagaimana

siasatnya agar para panji bisa merat dari ibu kota, saya serahkan

kepada Anda”.

RESO: “Beres. Itu memang urusanku. --- yang pasti aku akan

menyusul Anda”.

51

Page 52: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

GUNDU: “Kami tunggu di mata air hutan Roban”.

RESO: “Baik. --- Sekarang aku pergi”.

GUNDU: “Hati-hati!”

RESO: “Tentu saja”.

***

15. RUBAH DAN PANGERAN

Di rumah Pangeran Rebo, Panji Reso diantar duduk oleh

Pangeran Rebo.

RESO: “Maafkan. Saya terlalu mendesak untuk ketemu Anda”.

REBO: “Anda memang terlalu mendesak. Kita sedang diawasi.

Kita harus berhati-hati. Saya yakin pasti ada sesuatu yang gawat,

yang perlu Anda sampaikan kepada saya dengan segera”.

RESO: “Memang”.

REBO: “Apakah itu?”

RESO: “Saya diperintahkan oleh Sri Baginda untuk mengawasi

dan menyelidiki Anda”.

REBO: “Apa?”

RESO: “Ya! Begitulah!”

REBO: “Apa yang telah saya lakukan?”

RESO: “Menurut hemat saya tidak ada yang berarti”.

52

Page 53: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Lalu, apa yang dikehendaki Sri Baginda?”

RESO: “Banyak tindakan Sri Baginda yang tidak masuk akal. Ini

menggelisahkan rakyat, membuat ketegangan di masyarakat, dan

sangat membahayakan negara. --- Tetapi, Anda tidak perlu

khawatir. Saya berada di pihak Anda”.

REBO: “Kenapa?”

RESO: “Karena saya menyukai pikiran yang benar. Saya setuju

dengan pendapat Anda bahwa pemberontakan Panji Tumbal

sebenarnya bisa dihindarkan”.

REBO: “Laporan dari Panji Tumbal, Panji Simo, dan Panji Ombo

sudah bertubi-tubi dipersembahkan kepada Sri Baginda. Semua

menyangkut saran mengenai kebijaksanaan yang seyogyanya

diterapkan di Kadipaten untuk memperbaiki keadaan”.

RESO: “Dan, saran-saran itu semuanya masuk di akal. Bagus

untuk kesehatan negara”.

REBO: “Tetapi, Sri Baginda hanya menyukai orang seperti

Pangeran Bindi. Suka olahraga dan selalu meng-iya-kan kata-kata

raja. --- Banyak orang mengira dialah calon raja untuk putra

mahkota”.

REBO: “Tetapi, ia bukan putra tertua”.

RESO: “Namun, dari istri yang pertama”.

53

Page 54: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Menurut ibundaku, Baginda sudah mengumumkan ke

seluruh negara bahwa di antara para istri tak ada yang mempunyai

kedudukan pertama”.

RESO: “Itu betul. Antara lain sayalah saksinya. --- pangeran

Rebo, Anda merasa lebih berhak menjadi putra mahkota, bukan?”

REBO: “Ini bukan masalah keinginanku. Tetapi, dalam urusan

negara, segala sesuatu harus ada dasar dan alasannya”.

RESO: “Begitulah juga dasar pemikiran para Panji dan Adipati.

--- kami lebih menyukai Anda sebagai putra mahkota”.

REBO: “Kita harus hati-hati berpendapat dalam hal ini. Jangan

sampai terdengar raja dan beliau salah tangan”.

RESO: “Anda sudah berhati-hati, tetapi toh tetap beliau curigai.

--- Bahkan, Sri Baginda juga menaruh curiga kepada Ratu Dara”.

REBO: “Lalu apa yang harus kami lakukan?”

RESO: “Anda sudah betul, berhati-hati. Tetapi, dengan sikap yang

wajar dan hati yang tenang. Namun, bagaimanapun kita tidak

boleh menyerah kepada keadaan, kita harus tetap berusaha. ---

Demi negara! Sebab kalau tidak, negara akan jatuh ke tangan

pemuda ingusan yang otaknya tumpul, yang bisanya cuma perang

dan olah raga”.

REBO: “Panji Reso, percayalah! Maksud baik saya banyak, tetapi

keadaan saya terjepit, dan jiwa saya putus asa”.

54

Page 55: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Pangeran! Kuasai diri! Anda dituntut oleh kewajiban. ---

sekarang saya mohon pertolongan. Pertemukan saya dengan Ratu

Dara besok pagi, ketika matahari terbit, di sini. Pesankan pada

beliau ini penting dan tidak bisa ditunda. --- Jangan lupa!

Ceritakan kepada beliau semua isi pembicaraan kita”.

REBO: “Baik. Malam ini saya akan ke ibu”.

RESO: “Siapa tahu pertemuan saya dan Ratu Dara besok pagi bisa

mengubah nasib kita dan nasib negara”.

REBO: “Akan saya sampaikan hal itu juga”.

RESO: “Terima kasih. Sekarang saya mohon diri”.

REBO: “Salam”.

***

16. KONON SITI ASASIN

Di rumah Panji Sekti. Seorang abdi membawa Siti Asasin

menghadap Panji Sekti.

ABDI: “Hamba kembali, Raden”!

SEKTI: “Sudah kamu jumpai Siti Asasin?”

ABDI: “Tugas sudah saya selesaikan. Hadiah dari Raden sudah

saya sampaikan. Bahkan, sekarang orangnya ikut bersama saya”.

SEKTI: “Siapa?”

55

Page 56: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ABDI: “Siti Asasin, pembunuh bayaran itu, raden. Ia menunggu di

Pringgitan”.

SEKTI: “Sekarang kamu pergi, dan suruh ia masuk kemari”.

ABDI: “Baik, Raden”.

Abdi pergi. Panji Sekti membenahi dandanannya. Siti Asasin

masuk.

ASASIN: “Hormat saya, Raden”.

SEKTI: “Siti Asasin, kamu bikin saya kaget”.

ASASIN: “Bukankah Raden memanggil saya?”

SEKTI: “Betul! Betul! --- Tetapi, tidak saya duga secepat ini

kamu datang. Wah, saya telah merepotkan kamu”.

ASASIN: “Tidak, Raden. Segala keperluan Raden mempunyai

kedudukan yang utama di dalam hidup saya”.

SEKTI: “Terima kasih. Tidak saya duga, seorang pembunuh

bayaran mempunyai kesetiaan yang besar terhadap diri saya. ---

Saya sangat menghargai persahabatan ini. Dan, juga, saya tidak

akan melupakan jasamu yang besar di masa lampau”.

ASASIN: “Jasa yang dibayar namanya bukan jasa, Raden”.

SEKTI: “Sudah lama kita tidak berjumpa”.

ASASIN: “Saya selalu ingat Raden. Tetapi, kalau tidak karena

keperluan barangkali Raden sudah melupakan saya”.

56

Page 57: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Tidak, betul! Tidak, betul!! Soalnya kita sama-sama

repot”.

ASASIN: “Abdi Raden menyampaikan hadiah dari Raden. Saya

sangat berterima kasih. --- Seratus tail emas. Itu jumlah yang

besar, Raden. Siapa yang harus saya selesaikan?”

SEKTI: “O, belum segawat itu! --- Begini, sekarang ini saya

sedang sibuk melakukan tugas yang gawat dan rahasia. Sewaktu-

waktu saya akan memerlukan bantuanmu. --- Malam ini, kamu

saya minta menyelinap ke beberapa pesanggrahan para panji yang

dengan ketat diawasi untuk menyampaikan surat berisi pesan dari

saya”.

ASASIN: “Itu bukan soal, Raden”.

SEKTI: “Tugasmu yang sekarang, menjadi penghubung dan

mata-mata. Tetapi, kemudian hari nanti, mungkin, seperti

biasanya, saya akan mendapat tugas untuk melenyapkan orang.

Dalam hal ini jelas saya memerlukan bantuanmu”.

ASASIN: “Jangan sungkan. Itu memang pekerjaan saya”.

SEKTI: “Terima kasih. --- Karena sifat tugasku yang gawat ini,

saya minta untuk jangka waktu sampai tugasku selesai, jangan

kamu punya urusan lain dulu”.

ASASIN: “Baik, Raden! Seperti dulu?”

SEKTI: “Ya, seperti dulu”. (memegang tangan Asasin)

ASASIN: “Saya belum mandi, Raden”.

57

Page 58: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “O, ya?”

***

17. SUASANA RUMAH TANGGA

Rumah Panji Reso di waktu malam. Nyi Reso sedang membuat

‘wiron’ dua atau tiga kain. Panji Reso pulang.

RESO: “Belum tidur, Nyi Mas? Hari sudah lewat tengah malam”.

NYI RESO: “Ada kain yang harus saya wiru. Apakah makan

malam saya hidangkan sekarang, ataukah Kakanda mau mandi

dulu?”

RESO: “Aku sudah makan dan mandi di istana”.

NYI RESO: “Jadi, sudah ada yang mengurus Kakanda”.

RESO: “Hm”.

NYI RESO: “Cantikkah ia?”

RESO: “Dua lelaki tua, si Kuncung dan si Bagong, pelayan di

Bangsal Kepanjen”.

NYI RESO: “Lalu pijat di mana?”

RESO: “Tidak pijat”.

NYI RESO: “Kadang-kadang saya tergoda untuk pergi jauh-jauh ke

luar dari rumah. Berjalan ke mana saja hati saya mau. Tak perlu ada

tujuan yang nyata. Masuk hutan, keluar hutan. Masuk pasar, keluar

pasar”.

58

Page 59: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Hm”.

NYI RESO: “Apakah Kakanda menganggap wajar semua

pertanyaan dan omongan saya?”

RESO: “Memang, agak kacau isi pikiran kalimat-kalimatmu”.

NYI RESO: “Apakah Kakanda tidak akan bertanya apakah saya

lagi cemburu?”

RESO: “Hm. Apakah kamu lagi cemburu”.

NYI RESO: “Duh Gusti, begitu tidak acuhnya Kakanda bertanya.

Saya kira Kakanda tidak peduli, apakah saya dalam keadaan

cemburu atau tidak. Kakanda laju saja terus dengan urusan

Kakanda! Apakah ucapan saya ini akan Kakanda tanggapi lagi

dengan ‘hm’?”

RESO: “Barangkali kamu lagi mules. Salah makan, barangkali?”

NYI RESO: “Bagaimana bisa salah makan, kalau seharian saya

tidak bisa makan?”

RESO: “Kalau begitu, itu hawa orang lapar”.

NYI RESO: “Duh Gusti! Saya kacau, saya putus asa, saya

bertingkah jelek karena saya butuh perhatian”.

RESO: “Hm. --- Nyi Mas! Kemari kamu!”

NYI RESO: “Saya ingin dekat dengan Kakanda”. (mendekat ke

suaminya)

59

Page 60: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Bagus! Itupun menyenangkan hatiku”. (memijat dan

mengurut pundak istrinya) “Tenang, Nyi Mas. Pejamkan matamu.

--- Apakah kepalamu pening”?

NYI RESO: “Berat dan pening”.

RESO: “Lehermu kaku. Sabarlah. Jangan terlalu banyak pikiran”.

NYI RESO: “Hari-hari ini hati saya selalu khawatir”.

RESO: “Khawatir apa?”

NYI RESO: “Khawatir hubungan kita putus”.

RESO: “Kok aneh!”

NYI RESO: “Kakanda rasanya semakin jauh”.

RESO: “Omong kosong. Tidak ada perempuan lain. Dan, aku juga

sering rindu kamu”.

NYI RESO: “Saya sangat cemburu kepada cita-cita yang

menguasai Kakanda. Ia membuat Kakanda semakin jauh dari

saya”.

RESO: “Tanpa cita-cita, hidup manusia tidak akan maju. Nyi

Mas, aku tidak suka kehidupan yang datar. Tanpa cita-cita

hidupku akan kering dan mati. Lalu, kamu nanti akan bersuamikan

mayat hidup. Bayangkan! Pikirkan!”

NYI RESO: “Semakin saya bayangkan semakin tidak saya lihat

jalan ke luar untuk diri saya. Saya tidak tahan hidup seperti ini!”

(Panji Reso berhenti memijat) “Istri petani hidupnya punya

sangkutan dengan sawah. Istri pandai besi punya kaitan dengan

60

Page 61: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

tungku dan landasan. --- Tetapi, saya tidak bisa membantu

Kakanda apa-apa. Saya hanya akan menjadi beban yang

merepotkan. Hidup saya di sini tidak punya makna”. (menangis)

RESO: “Nyi Mas”.

NYI RESO: “Saya tidak mau hidup sebagai pajangan. Saya tidak

mau sekadar menjadi embel-embel. Kakanda sendiri tidak mau

hidup hanya sekadar menjadi pajangan keraton. Kakanda berhak

dan bisa punya cita-cita, tetapi saya? Kemampuan saya terbatas.

Saya tidak bisa bertani, saya tidak bisa menjadi tukang patri. --- O,

jiwa saya hampa. Hidup saya tidak berguna.

RESO: “Nyi Mas”.

NYI RESO: (reda menangis. Menyusut air mata) “Kakanda,

antarkan saya kembali ke orang tua saya. Saya ingin segera pergi

dari sini.”

RESO: “Apa maksudmu?”

NYI RESO: “Di sini, pikiran saya kacau. Biarkan saya pulang ke

orang tua dulu untuk sementara lamanya. Setelah pikiran saya

tenang, saya akan kembali lagi kemari”.

RESO: “Hm. Baiklah. Besok biar kamu diantar pulang ke

orangtuamu. --- Semoga kamu mendapatkan kedamaian di sana.

Sebenarnya, di mana pun kamu tidak akan mendapatkan

kedamaian sebelum kamu berdamai dengan dirimu sendiri. Tetapi,

barangkali, perpisahan badan yang sebenarnya antara kita akan

61

Page 62: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

membuat kamu lebih bisa punya bahan pertimbangan dan

perbandingan”.

NYI RESO: (menghambur, memeluk suaminya) “Kakanda,

suamiku, saya tidak akan mungkin meninggalkan Kakanda untuk

selama-lamanya. Saya sangat mencintai Kakanda. Tidak mungkin

saya membayangkan untuk berpisah dengan Kakanda. Bahkan,

saya selalu takut Kakanda akan meninggalkan saya. --- Oh! Saya

tidak jadi pulang ke orang tua. Lebih baik saya menanggulangi

masalah batin saya di sini”.

RESO: “Nyi Mas?”

NYI RESO: “Saya akan puasa dan semadi sambil senantiasa

mendampingi hidup Kakanda”.

RESO: “Akan banyak gunanya kalau rajin masuk ke alam

semadi”.

NYI RESO: “Saya akan mencoba apa saja asal tidak kehilangan

Kakanda”.

RESO: “Nyi Mas, aku ingin begitu-begitu”.

NYI RESO: (melepaskan diri) “Saya capek, Kanda. Saya tidak

makan seharian. Kepala saya terasa berat. Saya tidak akan kuat”.

RESO: “Hm. Kamu lihat, ini tidak untuk pertama kali terjadi.

Sangat sering aku harus berdamai dengan berahiku karena kamu

menolak ajakanku. Jadi, sebenarnya sudah terbukti bahwa saya

tidak menjauh dari kamu, tetapi kamu yang menjauh dari aku”.

62

Page 63: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

NYI RESO: “Kakanda hanya mendekat karena kebutuhan berahi

semata”.

RESO: “Tidak betul! Saya ingin berbagi pikiran dan berbicara

tentang cita-cita dengan kamu. Tetapi, selalu berakhir dengan

pertengkaran melulu! --- Dan, bila terjadi kamu berkenan

melayani aku, kamu bersikap dingin seperti batang pisang. ---

kamu lihat, aku pun punya tekanan batin, tetapi aku mampu

berdamai dengan diriku”.

NYI RESO: “Cobalah berpikir adil. Bagaimana saya harus

bersikap hangat kalau saya merasa seperti tidur dengan orang

asing? Tidak sadarkah bahwa sudah lama Kakanda menjadi orang

asing bagi saya?! Cita-cita Kakanda dari yang dulu-dulu membuat

Kakanda menjadi orang lain. Saya tidak lagi mengenal bahasa dan

peribahasa Kakanda. Asing! Asing! --- Apalagi cita-cita Kakanda

yang terakhir ini! Oh, itu membuat saya membayangkan telaga

darah”.

RESO: “Telaga darah?”

NYI RESO: “Ya, telaga darah! Dan, tahta yang Kakanda cita-

citakan adalah tahta yang mengambang di telaga darah”.

RESO: “Nyi Mas! --- Kamu ngelindur atau mimpi?!”

NYI RESO: “Oh, saya mempunyai firasat buruk! Kakanda,

jadilah panji biasa saja. Jangan bercita-cita tentang tahta. Apa

gunanya tahta yang terapung di telaga berdarah?”

63

Page 64: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Kenapa kita harus takut pada hantu pikiran? Jangan

kekacauan pikiranmu kambuh lagi! Sejak lahir manusia penuh

dengan ujian. Siapa yang tidak tahan uji akan menjadi kerdil,

pikirannya cuma bisa berkhayal, hatinya penuh iri dan dengki.

Tegak, Nyi Mas, tegak! Manusia harus sanggup menentang hantu,

jin, dan siluman di dalam pikirannya. Setiap hantu toh diimbangi

oleh teratai dan bidadari”.

NYI RESO: “Apa maksud Kakanda? Bukankah pesona teratai dan

bidadari itu bisa juga jelmaan mambang dan peri? Artinya,

siluman juga?”

RESO: “Baik! Pesona rembulan, pesona senjakala, pesona

mambang, dan siluman harus kita lawan juga! Itu aku setuju!

Tetapi, jangan kita kehilangan tekad dan keberanian. Aku bukan

batu yang hadir di dunia untuk menerima apa adanya. Aku suka

berjuang. Cita-cita itu untuk diperjuangkan tidak hanya sekadar

dikhayalkan”.

NYI RESO: (memegang kepala) “Kakanda, manusia itu penuh

dengan nafsu”.

RESO: “Benar, Nyi Mas. Aku akan waspada”.

NYI RESO: “Aduh, kepalaku! Percakapan ini terlalu berat buat

saya”.

RESO: “Pergilah tidur”.

NYI RESO: “Saya ingin berada di dekat Kakanda”.

64

Page 65: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Kemari! Rebahkan kepalamu ke pangkuanku”.

NYI RESO: (sambil merebahkan kepala ke pangkuan Panji Reso)

“Gusti, apakah saya pengecut, bodoh, atau sekadar sial nasib

saya?!”

RESO: “Rasa khawatir dan gamang adalah racun yang berbahaya

bagi hidup manusia. Barangkali tidak mematikan, tetapi

melumpuhkan. --- Pejamkan matamu, Nyi Mas. Apa yang telah

terjadi sepanjang hari ini justru kebalikan dari kekhawatiranmu,

semuanya serba lancar. Namun, jangan kamu ragukan

kewaspadaanku. --- Nyi Mas! Cita-citaku bukan sekadar untuk diri

sendiri. Negara sedang merosot pamornya. Hanya para panji dan

adipati yang masih sadar harus memberi kehidupan kepada rakyat.

Kami berani hidup prihatin dan sederhana. Kami ingin jujur di

dalam mengurusi perbendaharaan negara! Itulah, Nyi Mas, latar

belakang cita-citaku. --- Pahamkah kamu? --- Nyi Mas! --- Kamu

tidur? Bagus. Tidurlah kamu istriku. Tidur ialah saat libur yang

kita perlukan”.

Kang para hapsari sapta

Samya hyu kang warna

Wimbuh mandra kongas

Gandes luwes raras

Prasaja semunira

65

Page 66: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Sreseh karya brangta

Tan hana kang winaonan ….

***

18. RUBAH DAN MUSANG SALING BERPANDANGAN

Di rumah Pangeran Rebo. Saat matahari terbit. Ratu Dara dan

Pangeran Rebo bertemu dan berhadapan dengan Panji Reso. Ratu

Dara dan Panji Reso saling berhadapan dan bertatapan pandang

untuk seketika lamanya. Saling terpesona tanpa mengucapkan

kata-kata. Lalu, dengan penuh suasana kikuk pecahlah suasana

tanpa kata-kata itu.

RATU DARA: “Selamat pagi, Panji”.

RESO: “Selamat pagi, Sri Ratu”.

REBO: “Selamat pagi, Panji”.

RESO: “Selamat pagi, Pangeran”. (seperti tertarik magnet, Reso

mendekati Ratu Dara)

RATU DARA: “Apakah saya terlambat?

RESO: “Tidak. Tepat pada waktunya. Terima kasih atas kebaikan

hati Ratu untuk keluar dari Kaputren datang menemui saya”.

RATU DARA: “Kata Pangeran Rebo ada persoalan mengenai

tahta”.

66

Page 67: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Betul”.

RATU DARA: “Saya melawan pencalonan Pangeran Bindi

menjadi putra mahkota kalau hal itu terjadi”.

RESO: “Belum tentu terjadi, tetapi bisa terjadi. Pangeran Bindi

memang ingin menjadi raja”.

RATU DARA: “Kenapa para panji lebih menyukai Pangeran

Rebo untuk naik tahta?”

RESO: “Meskipun Pangeran Rebo kelihatan ragu dan kurang

mencerminkan tekad yang kuat. Tetapi, beliau tidak

membayangkan bahaya bagi rakyat dan negara. Dan lagi, di

belakang beliau ada Anda dan para panji”.

RATU DARA: “Kenapa para panji tidak bergabung saja dengan

Panji Tumbal?”

RESO: “Semula memang begitu niat mereka. Tetapi, Anda

mencegah. Dan, juga, saya ikut mencegah mereka. Saya tidak

setuju dengan pemberontakan dari daerah. Itu memecah-belah

keutuhan negara”.

RATU DARA: “Jadi, lebih tepat pemberontakan dari istana”.

RESO: “Betul”.

RATU DARA: “Setelah lebih dulu menyiapkan kekuatan dan

memastikan dengan cermat adanya jalan menuju tahta”.

RESO: “Betul”.

RATU DARA: “Kita berdua ada miripnya”.

67

Page 68: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Itulah firasat yang saya dapatkan sejak tadi pertama kita

berjumpa”.

RATU DARA: “Ini bukan pertama kalinya kita berjumpa”.

RESO: “Tetapi, tadi serasa untuk pertama kali”.

RATU DARA: “Aneh”.

RESO: “Mungkin juga, saya dipengaruhi mimpi”.

RATU DARA: “Mimpi?”

RESO: “Saya kemarin mimpi melihat Anda menjadi kembar

lima”.

RATU DARA: “Terus?”

RESO: “Anda mandi di telaga”.

RATU DARA: “Anda melihat saya mandi?”

RESO: “Cuma dalam mimpi. --- Mimpi itu kiriman alam. Tak ada

manusia yang bisa merancang mimpinya”.

RATU DARA: “Saya tidak merasa mendapat firasat buruk. ---

Saya merasa baru mereguk arak yang lembut dan berbau bunga

tanjung. --- Roh dan badan saya bersih dan segar. Saya merasa

aman. Terbebas dari segala beban”.

RESO: “Saya akan selalu melindungi Sri Ratu. Rakyat dan para

panji menaruh hormat kepada Ratu Dara yang terkenal berani

bebas bicara kepada raja”.

RATU DARA: “Para panji tidak dendam kepada saya karena

tertahan di ibu kota?”

68

Page 69: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Hal itu remeh bagi mereka dibanding dengan pentingnya

urusan negara”.

RATU DARA: “Kalau begitu kita harus sungguh-sungguh

bekerja”.

RESO: “Ada surat yang penting untuk Anda baca”. (menyerahkan

surat)

RATU DARA:

(membaca surat. Pelan-pelan berubah wajahnya. Pangeran Rebo

ikut membaca) “Dari mana Anda dapatkan surat ini?”

RESO: “Dari Aryo Gundu. Ia mengajak saya untuk ikut

berontak”.

RATU DARA: “Ini senjata yang ampuh untuk menghabiskan

saingan kita”.

RESO: “Anda bawa surat itu kepada raja pagi ini juga. Anda

katakan bahwa Anda mendapat surat ini dari Panji Simo dan Panji

Ombo lewat dayang atau inang. Mereka takut menyerahkannya

kepada saya karena kurang percaya. Dan, juga, mereka ingin

membuktikan kepada Anda bagaimana salah dugaan Anda kepada

mereka. Dengan begitu kecurigaan Baginda kepada para panji bisa

dihapuskan dan memperkuat pengaruh Anda kepada raja”.

REBO: “Tetapi, ibu harus tetap waspada”.

69

Page 70: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RATU DARA: “Tugasmu, diam! Ini semua urusanku. Semakin

kuasa dan besar pengaruhku kepada raja, semakin gampang aku

mendudukkan kamu di atas tahta”.

RESO: “Saya telah memasang jebak untuk empat sekawan itu.

Saya pura-pura bersedia menyusul dan meminta mereka untuk

menunggu saya di mata air hutan Roban”.

RATU DARA: “Di sana mereka akan gampang disergap oleh raja.

RESO: “Mohon kepada raja kalau bisa, agar Panji Ombo dan

Panji Simo yang dititahkan untuk menyergap dan memenggal

kepala empat sekawan itu. --- Itu berarti memulihkan kedudukan

karena kesetiaan telah dibuktikan”.

RATU DARA: “Inilah yang sudah lama saya tunggu. Rencana

yang jelas dan berani seperti itu”.

RESO: “Bila kepala mereka telah terpenggal, tinggal kita

menghadapi Pangeran Bindi, Pangeran Kembar, dan para

senapati”.

RATU DARA: “Panji, Anda membawa gairah dan harapan saya”.

RESO: “Gairah dan harapan Anda akan saya jaga sebagai mustika

yang berharga. --- Sebagai prajurit kerajaan saya bersedia diuji dan

dicoba”.

RATU DARA: “Nama tenar Anda sebagai perwira ternyata ada

lagi buktinya”.

70

Page 71: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Itu tergantung dari segi mana orang memandang. ---

Tetapi, sekarang kita bekerja. Saya pergi dari sini dan Anda harus

segera ke istana”.

RATU DARA: “Kita akan segera bertemu lagi”.

RESO: “Kapan saja, bila ada pesan dari Anda. --- Salam,

Pangeran”.

REBO: “Salam”.

RESO: “Salam, Sri Ratu”.

RATU DARA: “Salam! --- Nanti malam aku kirimkan pesan”.

(Keduanya bertatapan sejenak, lalu Panji Reso pergi)

REBO: “Sikap ibu agak ganjil kepadanya”.

RATU DARA: “Orang ganjil selalu melihat semuanya serba

ganjil. --- Lebih berguna kamu perhatikan dirimu. Bila kamu gagal

menjadi raja, siapa pun yang menjadi raja akan memenggal kepala

kita. Itulah kenyataan kekuasaan. Bagi kamu hal itu menakutkan.

Tetapi, bagiku justru menggugah gairahku”.

***

19. PARA PANJI BERKUMPUL LAGI

71

Page 72: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Pagi hari itu juga. Di rumah Panji Sekti. --- Panji Reso, dan

semua panji.

SEKTI: “Nah, semua sudah berada di sini. Tugas sudah saya

laksanakan”.

SIMO: “Perkembangan begitu cepat. Ini semua di luar dugaan”.

OMBO: “Gusti Yang Murbeng Jagat ternyata memberkati

perjuangan yang benar”.

SEKTI: “Dan, juga berkat usaha ahli dari Panji Reso”.

BONDO: “Hal itu harus diakui”.

WONGSO: “Kita sudah memilih pimpinan yang benar”.

RESO: “Hal itu jangan dilebih-lebihkan. Kesediaan Anda semua

untuk mematuhi semua rencana dengan setia merupakan

sumbangan yang lebih menentukan. --- Tetapi, kita bukan orang

lemah yang suka saling memuji. Yang memuaskan kita adalah

melihat terlaksananya cita-cita menjadi kenyataan. Sekarang, hal

itu belum tercapai. Kita masih berada di ambang permulaan”.

SIMO: “Panji Reso, apakah Anda ingin menjadi raja?”

(Semua terkesima oleh pertanyaan yang serta-merta itu)

RESO: “Kenapa bertanya begitu?”

SIMO: “Tidak ada salahnya bila Anda, saya dan semuanya

bersikap waspada. Sebentar akan terjadi kekacauan kekuasaan.

Tahta akan menjadi godaan bagi siapa saja. Mulai sekarang harus

72

Page 73: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kita tentukan bagaimana sikap kita di dalam kekacauan kekuasaan

semacam itu. Siapa calon raja kita. --- Maaf. Saya tahu pertanyaan

saya tadi membuat Anda kaget, Panji Reso. Bahkan, mungkin

juga, menyinggung perasaan Anda. Tetapi, ungkapan maksud

yang jelas adalah gaya bicara Anda juga. Lebih baik pahit

kedengarannya, tetapi baik maksudnya”.

RESO: “Lebih baik pahit kedengarannya, tetapi baik maksudnya!

Aku bertanya, apakah Anda ingin menggantikan aku untuk

memimpin Gerakan Para Panji?”

SIMO: “Sama sekali tidak. Saya hanya bermaksud mengingatkan

kepada kita semua sampai di mana batas cita-cita kita. Kita akan

memperbaiki keadaan negara dan mengganti raja. Tetapi, kita

harus menyadari bahwa kita bukan pangeran, dan mulai dari

sekarang kita harus menentukan pangeran yang mana yang akan

kita angkat menjadi raja. --- Pangeran menjadi raja itulah dasar

pikiran yang bisa diterima oleh semua orang”.

SEKTI: “Tentu saja. Apa di antara kita yang punya pikiran

berbeda?”

SIMO: “Saya bertanya, kenapa Panji Reso menentang pangeran

Gada untuk menjadi raja dan menolak ajakannya bergabung

dengan Panji Tumbal? Siapakah calon raja yang ia bayangkan?

Bukankah Pangeran Gada punya perhatian besar terhadap urusan

kadipaten?”

73

Page 74: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Itu rupanya inti uneg-uneg Anda. --- Calon raja yang

saya bayangkan tentu saja seorang pangeran. Tetapi, bukan

Pangeran Gada karena ia bukan pangeran pertama dan juga bukan

putra tertua dari istri tertua. Yang punya perhatian pada urusan

kadipaten tidak hanya ia seorang. Pangeran Rebo juga punya

perhatian yang sama. Kenapa kita menolak untuk terlibat dengan

Panji Tumbal yang sudah kita bicarakan kemarin dulu”.

SEKTI: “Pangeran Gada ingin memperalat Panji Tumbal untuk

kepentingan hasrat pribadinya. Padahal, hasrat pribadi itu tak

punya dasar. Jelas sekarang. Jadi, jangan sampai ada salah pikiran

bahwa Panji Reso lupa daratan. Sudah sekian banyak jasanya

kepada negara, tetapi hidupnya tetap sederhana. Apakah kita ini?

Kenapa berani menyangsikan mutu pikiran seorang pahlawan?”

RESO: “Cukup! Luapan perasaan akan menjadi kabut bagi

pikiran. Aku setuju dengan langkah waspada Panji Simo. Dan,

tidak aku dengar kalimat dari siapa juga yang menyangsikan

kepemimpinanku”.

SIMO: “Tidak”.

SEMUA: “Tidak”.

RESO: “Baik. Aku akan tetap memimpin Gerakan Para Panji ini.

--- Jangan aku disiram dengan puji-pujian lagi. Tetapi, beri aku

keterlibatan kerja. --- Dan, sekarang kita akan menetapkan

pangeran yang mana yang akan kita calonkan menjadi raja. Ada

74

Page 75: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

dua calon yang punya dasar untuk bisa diterima oleh rakyat.

Pertama Pangeran Rebo, ke dua Pangeran Bindi. Sekarang mari

kita bicara”.

SIMO: “Panji Tumbal pernah mengusulkan kepada saya untuk

merajakan Pangeran Rebo”.

WONGSO: “Tetapi, para senapati lebih dekat kepada Pangeran

Bindi”.

OMBO: “Itu karena mereka sama-sama kotor di dalam hal

keuangan”.

BONDO: “Hanya saja sifat Pangeran Rebo yang tidak gagah

harus kita pertimbangkan”.

SIMO: “Benar. Tetapi, beliau mempunyai ibu yang gagah dan

tajam pikirannya. Ratu Dara dengan sendirinya akan menjadi

pendamping yang memberi kekuatan dan kewibawaan”.

BONDO: “Ratu Dara memang mengagumkan. Sebetulnya, sampai

sekarang ia juga yang menjadi sumber kekuatan Raja Tua. Tanpa

Ratu Dara, Sri Baginda hanya akan menjadi berhala yang lucu”.

WONGSO: “Dan, jangan lupa! Pangeran Rebo belum terlambat

untuk dibina”.

SIMO: “Sebagai Panji Istana, Panji Reso, dan Panji Sekti bisa

langsung membinanya”.

RESO: “Gagasan yang bagus. Pangeran Rebo memang

mempunyai dasar untuk naik tahta. Sri Baginda pernah

75

Page 76: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

mengumumkan bahwa permaisurinya tidak ada. Dan,

kenyataannya sekarang, Pangeran Rebo putra pertama, tangannya

bersih dari kekotoran keuangan, jiwanya penuh kewaspadaan. Aku

kira rakyat akan bisa menerima hal ini”.

Semua mengeluarkan suara setuju.

RESO: “Kalau begitu, Pangeran Rebo calon yang akan kita

rajakan. --- Tepat seperti dugaanku. --- Adapun, perkara Pangeran

Bindi dan para senapati serahkan kepadaku untuk menyingkirkan

mereka. Beri aku waktu dan tetaplah patuh pada rencana dan aba-

aba. --- sekarang ini sebagaimana sudah dilaporkan oleh Panji

Sekti, jalan terbuka untuk menyingkirkan dua pangeran tandingan

dan dua senapati yang harus diperhitungkan. --- Panji Simo dan

Panji Ombo, Anda sudah paham peran apa yang harus Anda

mainkan di depan raja?”

SIMO: “Sudah”.

OMBO: “Jangan khawatir. Saya akan berperan sebaik-baiknya”.

RESO: “Kalau begitu kita akan menunggu di sini sesuai dengan

rencana”.

SIMO: “Sungguh sayang Panji Tumbal tidak bersama kita”.

RESO: “Kalau ia sanggup bertahan sampai kita punya raja baru,

dan ia mau menerima raja baru kita, akan tertolong nasibnya”.

76

Page 77: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Panji Reso, ada sesuatu yang akan saya utarakan.

Bisakah Anda nanti sore mampir lagi kemari?”

RESO: “Tentu saja”.

Masuk Abdi dengan tergesa.

ABDI: (Di depan Panji Sekti) “Maaf, Raden, di luar ada Aryo

Bungsu, Senapati Istana, ingin bertemu dengan Anda”.

RESO: “Tepat pada waktunya. Sebagaimana telah aku duga. ---

Biarkan ia kemari”.

SEKTI: “Bawa ia kemari”.

ABDI: “Baik, Raden”. (pergi)

RESO: “Saya yakin kita bersama lebih kuat dari mereka. Sebagai

prajurit kita lebih utuh, tanpa noda, dan rakyat lebih suka kepada

kita”.

Aryo Bungsu masuk.

BUNGSU: “Salam!”

SEMUA: “Salam!”

BUNGSU: “Lihatlah, semua panji berada di sini”.

RESO: “Aku yang mengumpulkan mereka”.

“Rupanya mereka menyimpan rahasia yang baru sekarang aku

ketahui”.

77

Page 78: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BUNGSU: “Tentang pengkhianatan Pangeran Gada, Pangeran

Dodot, dan dua orang senapati?”

RESO: “Ya! Dan, dua orang senapati!”

BUNGSU: “Saya membawa perintah dari raja. Para Panji

dititahkan menghadap ke istana”.

RESO: “Kapan?”

BUNGSU: “Sekarang. Bersama saya!”

RESO: “Teman-teman, kita berangkat bersama”.

***

20. BERHALA YANG MURKA

Di Balai Penghadapan. Para panji dan Aryo Bungsu sudah siap di

situ. Raja Tua masuk diiringi Ratu Dara dan Pangeran Rebo.

RAJA TUA:

(mengacung-acungkan surat) “Khianat! Aku, raja, yang sudah

membebaskan negeri ini dari anjing-anjing Portugis, sekarang

harus menghadapi anak-anakku sendiri yang tidak tahu membalas

budi! --- Para panji, aku tidak akan melupakan bukti kesetiaan

kamu semua. Kesetiaan akan selalu aku beri ganjaran. Dan,

kesetiaan akan selalu tampak meskipun tertimbun oleh batu ujian.

Sebaliknya, pengkhianatan akan selalu berbau juga pada akhirnya.

78

Page 79: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Sebab aku tidak bisa ditipu. Aku punya seribu mata dan seribu

telinga. Jadi, aku tahu banyak rahasia dan niat yang

disembunyikan. Dan, sekarang ini, aku tahu keempat pengkhianat

itu sedang di mana! Mereka sedang berkemah di mata air Hutan

Roban! --- Panji Simo dan Panji Ombo! Sebagai bukti bahwa aku

menghargai kesetiaanmu maka aku tugaskan kamu berdua untuk

membawa pasukan secukupnya dan mengepung para pengkhianat

di mata air itu”.

SIMO & OMBO: “Baik, Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Percaya saja padaku. Mereka pasti di sana”.

SIMO: “Hamba patuh, Yang Mulia!”

OMBO: “Hamba juga”.

RAJA TUA: “Inilah satu kehormatan bagi kamu berdua. Karena

dengan begitu kedudukanmu aku pulihkan”.

SIMO: “Hamba bersyukur kepada Sri Baginda”.

OMBO: “Hamba juga”.

RAJA TUA: “Baik. Aku puas. Sekarang pergilah kamu berdua

saat ini juga. Penggallah kepala keempat pengkhianat itu dan

bawalah kemari. Aku akan memajang kepala-kepala itu di alun-

alun”.

SIMO: “Baik, Yang Mulia. Hamba mohon diri”.

OMBO: “Hamba juga!”

RAJA TUA: “Berangkatlah, aku berkati!”

79

Page 80: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Keduanya menyembah dan pergi.

RAJA TUA: “Bagus. Aku suka ini. Ternyata para panji masih

tertib dan rapi. Kamu semua aku bebaskan”.

“Panji Reso!”

RESO: “Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Aturlah supaya para panji dan adipati kembali ke

Kadipaten mereka masing-masing”.

RESO: “Baik, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Aryo Bungsu!”

BUNGSU: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Beri hadiah semua panji. Masing-masing dua ekor

kuda, emas 100 tail, satu ekor ayam jago aduan, dua ekor merak,

dan dua ekor perkutut yang sudah terlatih”.

BUNGSU: “Baik, Yang Mulia”.

Semua Panji mengucapkan rasa terima kasih.

RAJA TUA: “Begitulah. Aku puas, kamu puas. Sekarang

mundurlah kamu semua ke Bangsal Kepanjen! Berpestalah di

sana. Akan aku kirimkan hidangan makanan, arak, dan

perempuan”.

80

Page 81: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Semua Panji menyembah pamitan dan pergi. Yang tinggal Raja

Tua, Ratu Dara, Pangeran Rebo dan Aryo Bungsu.

RAJA TUA: “Bagaimana pendapatmu, Ratu Dara?

Kebijaksanaanku cukup baik, bukan?”

RATU DARA: “Hamba bangga akan tindakan Sri Baginda.

RAJA TUA: “Sayang Panji Reso dan Panji Sekti bukan keturunan

raja dan pangeran, aku tidak bisa mengganjar mereka dengan

mengangkat menjadi senapati. Bila aku punya senapati seperti

mereka aku akan merasa aman dengan tahtaku”.

RATU DARA: “Kenapa tidak? Sri Baginda adalah Raja Binatara.

Raja yang disembah bagaikan Dewa. Kenapa tidak mampu

mengangkat seorang biasa menjadi seorang Aryo? Firman Raja itu

sakti dan kuasa”.

RAJA TUA: “Kenapa tidak! --- Aryo Bungsu, umumkan nanti

dalam pesta di Bangsal Kepanjen bahwa berdasarkan kuasa firman

Raja, Panji Reso dan Panji Sekti telah aku angkat menjadi aryo.

Aryo Reso menjadi senapati ibu kota. Dan, Aryo Sekti

menggantikan Aryo Ronin menjadi Senapati Pasukan Berkuda”.

BUNGSU: “Akan hamba umumkan, Yang Mulia! Paduka mampu

berpikir cepat. Sekarang tidak perlu dikhawatirkan lagi bahwa

pasukan Aryo Gundu dan Aryo Ronin akan menyusul komandan

mereka. Sebab komandan mereka sudah diganti oleh aryo-aryo

yang baru”.

81

Page 82: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA TUA: “Itulah siasat! Kamu lihat, pengalamanku yang

matang telah membuat aku dengan cepat bisa menguasai keadaan.

--- ini yang harus kamu contoh, Pangeran Rebo! Jangan kamu

meniru contoh yang sesat dan keliru. Jiwaku terpukul oleh

kelakuan Pangeran Gada dan Pangeran Dodot. Begitu tega kepada

ayahnya sendiri. Ini contoh buruk. Padahal abangnya, Pangeran

Bindi, ialah tokoh teladan. Tirulah dia! Silatnya bagus,

semangatnya besar, dan tidak mau diremehkan orang. Begitulah

sikap orang yang bisa memimpin. Ia mampu membuat aku

berbangga. --- contohlah ia baik-baik, anakku!”

REBO: “Hamba akan berusaha, Ayahanda”.

RATU DARA: “Tetapi, ia pernah mengamuk di pasar dan juga

suka menodai istri orang! --- Apakah anakku harus juga

mencontoh hal itu?”

RAJA TUA: “Ah, itu hanyalah hiasan kekuasaan! Yang penting,

orang takut kepadanya. Musuh negara juga akan gentar

menghadapinya. --- Sekarang temani aku mengadu ayam”.

***

21. ARYO RESO DAN ARYO SEKTI

Sore hari di rumah Aryo Sekti --- Aryo Reso, Aryo Sekti.

82

Page 83: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Tanpa diduga kita mendapatkan sesuatu yang baik yang

tidak kita rancangkan. Sedangkan, yang kita rancangkan berhasil

pula kita dapatkan”.

SEKTI: “Itulah namanya nasib baik”.

RESO: “Nasib itu naik turun seenak pantatnya. Tetapi, usaha

manusia membuahkan perkembangan. Terkadang, perkembangan

itu di luar dugaan. Jadi, kita tidak boleh berhenti memperjuangkan

cita-cita. Aku bukan orang yang gampang melepaskan cita-cita!

Aryo Sekti, halangan yang berada di depan kita masih cukup

besar”.

SEKTI: “Betul, tetapi toh apa yang kita dapatkan secara tak

terduga ini sangat menimbulkan harapan”.

RESO: “Hm”.

SEKTI: “Sebenarnya saya kaget”.

RESO: “Kaget lagi?”

SEKTI: “Karena saya diangkat menjadi Senapati Pasukan

Berkuda”.

RESO: “Syukuri kesempatan yang baik”.

SEKTI: “Tetapi, seumur hidup saya belum pernah naik kuda”.

RESO: “Hm. Tadi pagi Anda berkata, ada masalah yang akan

Anda utarakan”.

SEKTI: “Ya, ada! Selama saya menjalankan tugas yang Anda

berikan saya dibantu oleh seorang pembunuh bayaran”.

83

Page 84: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Hm”.

SEKTI: “Ia sangat ahli mengintai, menyelinap, mencuri, dan

membunuh. Tanpa meninggalkan jejak! Sudah sejak dulu ia

membantu saya. Dan, sekarang, kalau Anda menganggap perlu,

jangan ragu-ragu memakai tenaganya. Ia bisa dipercaya”.

RESO: “Hm”.

SEKTI: “Pangeran Bindi….. Sri Baginda……”

RESO: “Hm. --- Siapa namanya?”

SEKTI: “Kalau Anda mau, bahkan Anda bisa bertemu orangnya”.

RESO: “Di mana?”

SEKTI: “Di sini”.

RESO: “Mana dia?”

SEKTI: “Asasin! Kemari!”

Siti Asasin muncul.

RESO: “Dia?”

SEKTI: “Ya. --- Anda kaget! Namanya Siti Asasin”.

ASASIN: “Salam, Aryo Reso!”

RESO: “Salam. --- Siti Asasin?”

ASASIN: “Ya, betul!”

RESO: “Banyak pengalamanmu?”

ASASIN: “Sudah sepuluh tahun”.

RESO: “Kamu memakai panah?”

84

Page 85: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ASASIN: “Bisa juga”.

RESO: “Sumpitan?”

ASASIN: “Bisa juga”.

RESO: “Racun?”

ASASIN: “Bisa juga”.

RESO: “Apa senjata andalanmu?”

ASASIN: “Tusuk konde”.

RESO: “Di mana kamu tinggal?”

ASASIN: “Bisa dihubungi melewati Aryo Sekti”.

RESO: “Barangkali aku akan memerlukan bantuanmu”.

ASASIN: “Bisa”.

RESO: “Kalau tugasmu gagal?”

ASASIN: “Jangan dibayar. Saya bekerja tanpa uang muka”.

RESO: “Bagus! Orang tidak akan menyangka perempuan cantik

dan lembut seperti kamu bisa berbahaya. Belum apa-apa kamu

sudah menang satu-dua langkah. Sekarang aku pergi dulu. Aryo

Sekti, pamit. Besok pagi kita berjumpa di istana. Selamat sore”.

SEKTI: “Selamat sore”.

***

22. ADA LAGI YANG TAK TERDUGA

85

Page 86: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Di kamar tidur Ratu Dara, di dalam kaputren, di istana. --- Ratu

Dara duduk di tempat tidur yang memakai undakan. Aryo Reso

masuk.

RATU DARA: “Ah! Aryo Reso!”

RESO: “Inang Anda menyuruh saya masuk ke sini”.

RATU DARA: “Memang, begitu maksud saya”.

RESO: “Kok di sini?”

RATU DARA: “Di mana lagi tempat yang lebih bebas dari

pengawasan? Bahkan, orang ronda juga tidak akan masuk

kemari”.

RESO: “Oh!”

Keduanya bertatapan. Ratu Dara melangkah mendekat. Wajah

mereka tampak intens. Napas mereka memburu. Tiba-tiba Aryo

Reso berlutut.

RESO: “Anda seorang Aryo, seorang Ratu, sedang saya orang

biasa”.

RATU DARA: “Anda juga seorang Aryo sekarang”. (membelai

kepala Aryo Reso)

RESO: “Aaaah! (terduduk bersila di lantai) Berada di alam apa

aku ini? Telaga berdarah………. Bunga-bunga teratai………. dan

…….. lima bidadari kembar yang serupa Ratu Dara….”

86

Page 87: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RATU DARA: (menyusul duduk di sebelahnya) “Itukah

gambaran yang pernah Anda impikan?”

RESO: “Kenapa telaga darah?”

RATU DARA: “Karena kita tidak gentar melakukan tindakan

yang berakibat mengalirkan darah. Satu persatu musuh akan kita

singkirkan”.

RESO: “Dan, teratai?”

RATU DARA: “Itulah cita-cita kita. Memperjuangkan cita-cita

dengan menempuh marabahaya adalah gairah orang gagah. ---

Kita berdua punya sifat yang sama. Penampilan Anda menggugah

saya. Keberanian Anda memabukkan saya. Belum pernah ada

lelaki yang berani menatap Ratu seperti Anda tadi pagi menatap

saya. Dan, juga, tidak sembarang lelaki berani memasuki kaputren

di dalam istana, apalagi masuk ke kamar seorang ratu. Kelenjar

saya bergolak, melihat keberanian seorang lelaki”.

RESO: “Jangan saya disiram dengan puji-pujian. Sejak usia muda

puji-pujian sudah menjadi kasur dan bantalku. Akhirnya, menjadi

sampah dan beban yang tidak berguna”.

RATU DARA: “Saya tenggelam di dalam kepribadian Anda. ---

Tadi pagi Anda datang dengan buah pikiran dan tindakan yang

menimbulkan gairah dan akhirnya menjadi berahi”.

87

Page 88: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Anda juga menimbulkan gairah dan berahi saya. ---

Tetapi saya juga melihat di dalam mimpi saya tahta yang

mengapung di telaga darah”.

RATU DARA: “Itulah tahta yang akan kita rebut untuk anakku”.

RESO: “Pada akhirnya, bila semua pangeran yang menjadi lawan

sudah kita singkirkan, kita harus membunuh raja”.

RATU DARA: “Tentu saja! Bunuhlah dia untuk saya. Oh! Di

dalam hati dia bukan lagi raja, juga bukan lagi suami saya. Tadi

siang, dia mengungkapkan bahwa pikirannya penuh dengan

Pangeran Bindi. Setinggi langit dipujinya bangsat itu. Seakan-akan

sudah ia pastikan bahwa si Bindi akan mengganti menjadi raja”.

RESO: “Saya akan mengirim seorang pembunuh bayaran kemari.

Ia seorang wanita tetapi sakti. Pelihara untuk sementara di sini. ---

Pada saat Panji Ombo datang membawa kepala pemberontak itu,

Sri Baginda, sesuai dengan kebiasaannya, pasti akan berpesta.

Bikinlah Baginda mabuk seberat-beratnya sampai tumbang, lalu

tidurkan dia. Selanjutnya, biar pembunuh yang saya kirimkan

mencabut nyawanya. Ingat! Harus sampai tumbang! Sebab ilmu

silatnya tinggi. Bila tidak tumbang, biar pun mabuk, dia masih

berbahaya. --- Nanti, sesudah Sri Baginda wafat, Pangeran Rebo

kita naikkan ke tahta. Para Panji masih saya minta tinggal di ibu

kota. Mereka akan membantu kita melakukan gerakan

pembersihan yang diperlukan. --- Bila Pangeran Bindi melawan

88

Page 89: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

penobatan, biar ditumpas oleh raja yang baru, sesuai dengan

wewenangnya”.

Selama mendengar Aryo Reso bicara, Ratu Dara tampak bergolak

dan menjadi cepat napasnya.

RATU DARA: “Oh! Aku patuhi rencana ini. Sementara,

mendengar Anda menguraikan rencana, hasrat hidupku meningkat.

Oh, lihat, jari-jariku gemetar. Peganglah! Oh, rasakan…..arus gaib

yang mengalir dalam darahku! Oooh!” --- (Ia menarik Aryo Reso

berdiri dan membimbing ke ranjang. Di sisi ranjang Aryo Reso

berdiri dengan tegar. Pegangan tangan mereka lepas. Ratu Dara

tergolek di ranjang). “Jangan ragu-ragu. Sudah berabad-abad saya

mimpikan ini”.

RESO: (Naik berdiri di ranjang) “He, Ratu, aku ambil kamu”.

***

23. BULAN DI SAAT TERANG TANAH

Di suatu tempat, di saat terang tanah. Aryo Reso berdiri

mengangkang. Kepala tunduk menatap tanah. Napasnya terengah-

engah. Tangannya terkepal. Badannya tegang. Lalu, pada

puncaknya badannya tergeliat, dan dari mulutnya ke luar suara

89

Page 90: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

seperti lenguhan lembu. --- Kini tubuhnya melemas. Lalu,

kepalanya mendongak ke langit.

“Bulan sudah tergeser ke Barat. --- Sudah terang tanah. ---

Bagaimana aku akan memperhitungkan tindakanku? Betul juga

kata istriku: “mimpi itu hantu atau peri sekalian.” --- Oh, tubuh

dan payudara yang sintal bagai berlapis suasa! Rambut yang

menguapkan bau kesturi! --- Haaaah! Aku telah bernoda dosa, ---

tetapi bila raja terbunuh aku bisa menjadi suaminya. Bayangkan,

dari panji menjadi aryo, lalu menjadi ayah tiri raja! Akan semakin

dekat aku kepada tahta. Bukankah itu cita-citaku? --- Oh! Apakah

cita-citaku harus terwujud dengan berlumur dosa? Tahta yang

terapung di danau darah! Apakah aku ada nyali untuk meraihnya?

--- Oh! Duh Gusti Jagat Dewa Batara!” (Berlutut dan akhirnya

rebah ke tanah).

***

24. TIDUR DENGAN PULASNYA

Di rumah Aryo Reso. Pagi hari. Aryo Reso terbaring tidur. Nyi

Reso berdiri di dekatnya, membawa selimut.

NYI RESO: “Karena capek ia tertidur di sini. Tampak tenang dan

pulas ia. Tak perlu lagi saya bangunkan. Tak akan saya ganggu

ketenangannya”. (menyelimuti Aryo Reso, lalu bersimpuh di sisi

90

Page 91: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

tubuhnya). “Sekarang ia menjadi senapati. Seorang aryo. Memang

hebat dia. Seorang biasa yang bisa mendorong nasibnya sehingga

menjadi bangsawan. Barangkali bisa juga akhirnya ia menjadi raja.

--- Lalu, bagaimana saya? Akan menjadi permaisuri? Saya tidak

tahu bagaimana menjadi ratu. Saya akan makin tersisih dari

pikirannya. Saya makin tak mampu ia ajak bicara karena

urusannya semakin tinggi. Sedangkan, sekarang saja saya sudah

mulai tak tahu apa-apa. --- Dan, juga, saya tidak punya anak.

Nanti, kalau ia menjadi raja, ia pasti ingin punya putra mahkota.

Lalu, barangkali ia akan kawin lagi. --- Oh! Saya tak akan tahan

dimadu!” (membelai suaminya) “Kakanda, saya sangat

mencintaimu. Tak mungkin saya bisa hidup tanpa Kakanda.

Tetapi, saya tidak berdaya memiliki Kakanda seluruhnya. Itulah

sebabnya saya menderita. --- Saya mau minggat tidak bisa. Saya

mau bunuh diri juga tidak bisa. Soalnya, karena saya tidak ikhlas

melepaskan Kakanda dari tangan saya”. (mengeluarkan botol kecil

dari kembennya) “Lihatlah, ini racun yang tidak jadi saya minum.

Apakah Kakanda akan tega kalau melihat saya bunuh diri?”

(mengusap wajah suaminya) “Ia sangat tenang kalau tidur begini.

Kalau ia seperti ini saya akan bisa memilikinya seluruhnya, dan

selama-lamanya”. (menusuk leher suaminya pelan dengan jari)

“Kalau saya tusuk di sini, akan mati dan tidak bisa lari lagi dari

tanganku. --- Begitu pulas Kakanda tidur sehingga walau dibunuh

91

Page 92: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

tak merasa apa-apa”. (memandangi botol racun dengan tegang)

“Duh Gusti Jagat Dewa Batara, hanya bila ia mati saya bisa bulat-

bulat memilikinya”. (dengan tegang dan pelan-pelan ia buka tutup

botol racun, lalu membuka bibir bawah Aryo reso dan meneteskan

beberapa tetes cairan racun ke mulutnya. Aryo Reso bereaksi

sedikit dengan mengecap-ngecapkan mulutnya dan secara refleks

menelan racun itu) --- “Cukup tiga tetes dulu. Rasanya manis. Ia

akan bermimpi minum madu. Kalau saya bunuh dia seketika, akan

ketahuan orang. Setiap hari akan saya tuang tiga tetes ke dalam

minumannya. Itu akan membuat ia pelan-pelan sakit, dan lalu,

akhirnya akan mati dengan kelihatan wajar”. (membelai-belai

suaminya) “Maaf, Kakanda berani membulatkan tekad untuk

mengejar cita-cita, yaitu tahta. Saya juga sudah membulatkan

tekad untuk mengejar cita-cita, yaitu memiliki Kanda seluruhnya”.

***

25. MEMINJAM TANGAN

Di suatu tempat. Siang hari. Aryo Reso muncul, dan dari jurusan

lain muncullah Siti Asasin.

ASASIN: “Salam, Aryo Reso!”

RESO: “Salam. Kamu datang tepat pada waktunya”.

92

Page 93: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ASASIN: “Itu kebiasaan saya”.

RESO: “Aryo Sekti sudah menerangkan bahwa kamu saya

perlukan untuk dua atau tiga hari?”

ASASIN: “Sudah”.

RESO: “Mana bekalmu?”

ASASIN: “Ada”.

RESO: “Apakah kamu selir Aryo Sekti?”

ASASIN: “Bukan”.

RESO: “Kenapa ia tak punya selir dan tak punya istri”.

ASASIN: “Tidak tahu”.

RESO: “Barangkali itu baik untuk pekerjaannya. Lelaki yang

selalu sibuk bekerja lebih baik tak usah berkeluarga”.

ASASIN: “Begitu juga perempuan yang selalu sibuk seperti saya.

RESO: “Tetapi, apakah kamu punya hubungan gelap dengan Aryo

Sekti?”

ASASIN: “Hubungan gelap yang kadang-kadang”.

RESO: “Kamu kelihatan mencintainya”.

ASASIN: “Yah, timbal balik sekadarnya”.

RESO: “Apakah ia tahu semua rahasia pekerjaanmu”.

ASASIN: “Tidak. Hanya yang menyangkut tugas yang datangnya

dari beliau”.

RESO: “Tugas yang aku berikan kepadamu harus kamu

rahasiakan terhadap siapa saja”.

93

Page 94: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ASASIN: “Tentu! Sudah lumrah begitu”.

RESO: “Juga terhadap Aryo Sekti”.

ASASIN: “Tak usah dipesankan. Itu sudah di dalam wilayah mutu

pekerjaan saya”.

RESO: (mengusap-usap dada kirinya, lalu menghembuskan napas

dari mulutnya) “Dengarkan baik-baik”.

ASASIN: “Anda sakit”.

RESO: (menyeka keringat dari jidat) “Tidak!” (membasahi

bibirnya yang kering) “Aku sehat, tenang, dan berbahaya”.

ASASIN: “Apakah tugas saya?”

RESO: “Malam ini bunuhlah istri saya”.

ASASIN: “Baik”.

RESO: “Kamu tidak kaget?”

ASASIN: “Tidak. Ia istri Anda bukan istri saya”.

RESO: “Bahan keterangan apa yang kau perlukan untuk masuk

rumah dan mencapai istriku?”

ASASIN: “Tidak ada”.

RESO: “Malam ini aku akan begadang di Bangsal Kepanjen

bersama dengan para panji. Kalau selesai tugasmu, tidak usah

kamu melapor kepadaku. Tetapi, langsunglah kamu pergi

menghadap Ratu Dara di Kaputren, di dalam istana. Laporkan

semuanya kepada Sri Ratu. Lalu, kamu akan tinggal bersama Ratu

94

Page 95: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Dara untuk dua atau tiga hari. Dan, pada saat yang ditentukan, dan

jalan sudah disiapkan, bunuhlah Sri Baginda Raja”.

ASASIN: “Membunuh raja?”

RESO: “Sekarang kamu kaget”.

ASASIN: “Tidak saya duga akan mendapat kesempatan semacam

ini. Ini justru tantangan yang menggiurkan. Inilah kesempatan baik

bagi saya untuk mendapatkan kepuasan bekerja”.

RESO: (kembali mengurut dada kirinya, menghembuskan napas

lewat mulut, menyeka dahi, dan membasahi bibirnya yang kering)

“Berapa upah yang kamu minta?”

ASASIN: “Banyak”.

RESO: “Seribu tail emas cukup”.

ASASIN: “Itu banyak sekali”.

RESO: “Tidak apa”.

ASASIN: “Terima kasih. --- Dada kiri Anda nyeri?”

RESO: “Sedikit saja”.

ASASIN: “Sedikit sesak? Dan mulut Anda terasa kering? Anda

sakit?”

RESO: “Ah, tidak. Semalam aku begadang. Barangkali, sekarang

sedikit mau masuk angin”.

ASASIN: (mengulurkan tangan) Boleh saya memeriksa nadi

Anda?”

RESO: (terlambat menolak) “Apa yang salah?”

95

Page 96: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ASASIN: “Nanti dulu”. (setelah memeriksa nadi dan kuku-kuku)

“Anda diracun orang”.

RESO: “Racun?”

ASASIN: “Sedikit. Tetapi, kalau tidak diobati bisa melumpuhkan

separo badan. --- Paling lambat dalam waktu tiga hari Anda harus

minum obat pemusnahnya. Anda diracun dengan sari daun

beludru”.

RESO: “Siapa berani meracun saya?”

ASASIN: “Itu teka-teki Anda, bukan teka-teki saya”.

RESO: “Kamu tahu obatnya?”

ASASIN: “Tahu. Besok pagi akan saya titipkan Sri Ratu Dara. ---

Mohon diri, Aryo Reso”.

RESO: “Ya! Selamat! --- Aku diracun orang! Dunia memang

mengajar aku untuk kejam. --- Ataukah aku sudah terlanjur masuk

ke alam kekejaman? Setan atau hantu, aku tandingi kamu!”

***

26. BERHALA YANG RETAK

Di Balai Penghadapan. Raja Tua dan Aryo Reso minum arak

bersama. Malam hari.

RAJA TUA: (sambil minum) “Aku puas dengan kesetiaan para

panji. Tadi pagi, datang utusan yang membawa surat dari Aryo

96

Page 97: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Lembu. Ia melaporkan bahwa Kadipaten Watu Limo, Sendang

Pitu, dan Winongo dalam keadaan baik”.

RESO: “Hamba sudah dengar hal itu. Hamba ikut gembira”.

RAJA TUA: “Aku dengar para adipati masih di sini”.

RESO: “Justru karena mereka mendengar bahwa di kadipaten

mereka dalam keadaan baik-baik saja, maka mereka masih ingin

menikmati ibu kota”.

RAJA TUA: “Bagus. Bagus. --- Ayo, minum. Panji Simo dan

Panji Ombo belum juga kembali dari Hutan Roban”.

RESO: “Tiga hari perjalanan ke sana, dan tiga hari lagi ke mari.

Ditambah satu hari istirahat di hutan setelah mereka bertempur,

sambil meramu obat untuk mengawetkan kepala-kepala yang

mereka penggal”.

RAJA TUA: “Ya!” (minum lagi) “Kepala-kepala pengkhianat itu!

Aku ingat bagaimana dulu aku melakukan perjalanan untuk

menyatukan negara. Ada saja pihak yang menginginkan

pemisahan. Jadi, sebentar-sebentar aku harus berperang. Sampai

akhirnya, kini, negara kuat dan satu”.

RESO: “Sekarang sudah tidak ada lagi yang menginginkan

pemisahan. --- Kecuali si tumbal yang cupat pikiran itu”.

RAJA TUA: “Karena itu, kita harus keras dan tegas terhadap

pikiran yang neko-neko. Bukannya aku kejam kepada rakyat,

tetapi aku belajar dari pengalaman”.

97

Page 98: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

(minum lagi) “Oh, aku sangat mencintai rakyat! Aku suka

menikmati alam desa, makan jagung, dan gaplek bersama mereka.

--- Oh, aku tak akan lupa bahwa ketika aku luka-luka sehabis

pertempuran, aku dirawat oleh orang desa. Aku merasa berhutang

budi kepada rakyat. Dan, kini, aku membalas dengan menciptakan

dunia yang tertib, rapi, aman, dan sejahtera. Paham kamu?”

(minum lagi)

RESO: “Paham, yang Mulia”.

RAJA TUA: “Dan, kini, anak-anakku sendiri yang akan

menghancurkan cita-citaku! Aku cintai mereka. Aku ajari sendiri

mereka memanah, ilmu silat, dan naik kuda, tapi hasilnya kok

begini! (minum) Di mana salahnya?”

RESO: “Ibarat telur yang busuk, sebentar lagi mereka akan

dihancurkan”.

RAJA TUA: “Katakan, Reso, apa sudah betul kalau kusuruh

penggal kepala mereka?”

RESO: “Yang kita pertahankan keutuhan negara, Yang Mulia! Ini

masalah cita-cita padukan”.

RAJA TUA: “Ya! Cita-cita! --- Tetapi, apa perlu kepala mereka

dipenggal? Apa tidak cukup kita penjara atau kita asingkan ke luar

kerajaan?”

RESO: “Lalu, nanti, akan ada lagi yang untung-untungan

mencontoh mereka kalau memang taruhannya tidak seberapa”.

98

Page 99: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA TUA: “Oh! Penderitaan kekuasaan! Aku telah menyuruh

membantai anak-anakku sendiri!” (minum lagi) “Kenapa kamu

tidak minum?”

RESO: (minum) “Dari tadi hamba minum, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Bagus. --- Kamu pernah membunuh”.

RESO: “Hamba sering berperang, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Di luar perang?”

RESO: “Belum pernah sebenarnya”.

RAJA TUA: “Aku juga sering berperang. --- Tetapi, sekarang di

luar perang aku terpaksa membunuh. --- Aku merasa berdosa”.

RESO: (terengah-engah) “Jadi, Anda akan mencabut hukuman

penggal?”

RAJA TUA: “Hahahaha! Aku berputar-putar, berkejar-kejaran

dengan diriku sendiri. --- Ayo, raja, kamu telah memulai cita-cita

dengan pedang, kini harus kamu pertahankan dengan pedang juga!

Kalau tidak, pedang orang yang akan memakan kamu! --- Kenapa

kamu, aryo? Kamu seperti orang sakit”.

RESO: “Tidak, Yang Mulia, hamba……….. Ah, barangkali

sekadar masuk angin. Tadi malam hamba begadang”.

RAJA TUA: “Minumlah lagi, supaya terusir itu angin. --- Nah,

bagus! --- Kamu main perempuan tadi malam?”

RESO: “Betul, Yang Mulia”.

99

Page 100: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA TUA: “Bagus. Asmara itu menyehatkan badan! Kalau

kamu sakit itu tandanya kamu salah main!”

Keduanya tertawa. Seorang Punggawa masuk.

PUNGGAWA: “Maaf, Yang Mulia, seorang abdi Aryo Reso

datang kemari. Ia mengabarkan bahwa istri Aryo Reso meninggal

dunia”.

RESO: “Istriku!”

RAJA TUA: “Apa ia sudah lama sakit?”

RESO: “Setahu hamba tidak. Tetapi, hamba sibuk sekali akhir-

akhir ini”.

PUNGGAWA: “Kata abdi itu, almarhumah sudah beberapa hari

ini kelihatan pucat, sering pening, dan tidak suka makan.

Kelihatannya, almarhumah kejang jantung tiba-tiba, lalu wafat

karena tak kuasa minta tolong. --- Ketahuannya wafat baru saja.

Lalu, segera seorang abdi berlari-lari mencari Aryo Reso ke

istana”.

RAJA TUA: (memberi isyarat kepada punggawa untuk pergi)

“Sudahlah, Aryo Reso! Aku ikut berduka cita. Pergilah pulang.

Urus jenazah istrimu. Akan aku suruh istri-istriku dan Pangeran

Rebo untuk melayat. Biaya penguburan akan ditanggung oleh

perbendaharaan istana”.

100

Page 101: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Banyak terima kasih untuk perhatian Yang Mulia.

Sekarang hamba mohon diri”. (menyembah dan pergi)

RAJA TUA: (sendiri dan sepi) “Hari apa sekarang?” (menenggak

arak sampai tuntas dari botolnya)

***

27. MUSANG DAN ULAR

Di keputren, di kamar Ratu Dara. Waktu malam. --- Ratu Dara

duduk bersama Siti Asasin.

DARA: “Sukar aku bayangkan bahwa dengan mudah hal itu kamu

lakukan! Bukankah rumahnya dijaga?”

ASASIN: “Tidak seberapa, Sri Ratu”.

DARA: “Aku kagum. Sungguh kagum. Kamu cantik, luwes, dan

lengkap sopan-santunmu. --- Dan, bagaimana kamu memastikan

bahwa ia yang meracuni suaminya?”

ASASIN: “Ketika badannya jatuh, keluarlah dari kembennya botol

ini”. (mencium baunya) “Dari baunya hamba bisa mengenal, inilah

racun sari daun beludru. Racun yang bersarang di tubuh Aryo

Reso”. (menyimpan kembali racun itu, dan mengeluarkan botol

yang lain dari kembennya) “Dan, ini pemusnahnya. Sebelum

kemari hamba sempatkan mengambilnya agar lewat Anda bisa

101

Page 102: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

disampaikan kepada Aryo Reso”. (menyampaikan botol pemunah

racun).

DARA: “Apakah kamu punya suami?”

ASASIN: “Tidak, Sri Ratu. Seorang pembunuh lebih baik tidak

berkeluarga”.

DARA: “Tetapi, tentu banyak lelaki yang berminat kepada kamu”.

ASASIN: “Itu kurang hamba perhatikan”.

DARA: “Apa kamu tidak senang lelaki?”

ASASIN: “Senang juga”.

DARA: “Apakah Aryo Reso berminat kepada kamu”.

ASASIN: “Jangan khawatir, Sri Ratu, hamba tidak punya

hubungan gelap dengan Aryo Reso”.

DARA: “Jangan khawatir? Apa maksudmu?”

ASASIN: “Hamba tahu, ada hubungan antara Anda dan Aryo

Reso. Tidak mungkin hamba diminta melaporkan rahasia

pribadinya yang besar kepada Anda kalau hubungan itu tidak ada.

Tetapi, apa yang hamba tahu ini, orang lain tidak tahu”.

DARA: “Apa yang rahasia harus tetap rahasia”.

ASASIN: “Kemampuan memegang rahasia ialah syarat nomor

satu untuk menjadi pembunuh bayaran. Kemampuan membunuh

hanya nomor tiga. Yang nomor dua, kemampuan tanpa ada

jejaknya”.

102

Page 103: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Setiap kali kamu bicara mengenai pekerjaanmu, dan

bagaimana kamu menyelesaikan tugasmu, aku merasa ada arus

gaib melanda tubuhku”.

ASASIN: “Syaraf-syaraf Anda bergetar. Bibir Anda terbuka dan

mengering, napas memburu, bola mata sedikit berair, pinggir

kelopak mata yang bawah mengkilat. Tandanya gairah Anda

bangkit”.

DARA: “Kenapa begitu?”

ASASIN: “Kekerasan menimbulkan gairah Anda. Sama dengan

hamba. Bagi kita kekerasan bisa menjadi keindahan. Hamba tidak

mau membunuh tanpa gaya yang indah”.

DARA: (berpindah duduk, mendekati Siti Asasin) “Kata-katamu

menarik sekali. --- Apakah Aryo Reso juga sama dengan kita?”

ASASIN: “Tidak. Beliau seorang prajurit. Beliau hanya memuja

kegagahan. Terhadap kekerasan sikap beliau tidak tuntas. Beliau

berperang hanya untuk menang. Beliau melakukan kekerasan

tanpa keindahan”.

DARA: “Aku mencintainya”.

ASASIN: “Pancaran kepribadiannya memang kuat”.

DARA: “Pasti ada cacatnya”.

ASASIN: “Bagi kami, beliau terlalu kasar”.

DARA: “Dan, kelemahannya?”

103

Page 104: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ASASIN: “Dewasa ini batinnya kelihatan tergoncang, tetapi

kepalanya membatu. Beliau sedang menyihir dirinya sendiri”.

DARA: “Aku tertarik pada caramu mengamati orang”.

ASASIN: “Itu lirikan mata seorang pembunuh, Sri Ratu”.

DARA: “Peganglah tanganku. --- Kamu rasakan getaran arus gaib

itu?”

ASASIN: “Ya, Sri Ratu”.

DARA: “Malam ini temanilah aku. --- Tidurlah kamu di sini, di

ranjangku”.

***

28. PERTANYAAN ARYO SEKTI

Di rumah Aryo reso. Ada tanda berkabung. Aryo Reso tampak

bersila seperti patung di tempat biasa duduk. Pangeran Rebo

masuk mendadak.

REBO: “Aryo Reso! --- Maaf, saya masuk menerobos begitu saja.

Saya menghindari perhatian orang, termasuk abdi-abdi Anda”.

RESO: “Oh! Tidak apa-apa. Silakan”!

REBO: “Saya tidak bisa berlama-lama. Ini ada surat dan

bingkisan dari ibunda Ratu Dara. Pesannya, harus disampaikan

kepada Anda dengan segera”.

RESO: “Terima kasih”.

104

Page 105: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Kami berdua menyampaikan ucapan berkabung, ikut

berduka cita”.

RESO: “Terima kasih”.

REBO: “Saya bisa membayangkan, betapa sedih hati Anda

ditinggalkan seorang istri yang mendampingi Anda sejak Anda

masih belum menjadi panji”.

RESO: “Memang berat kegelisahan batin saya saat ini”. (Gejala

serangan racun muncul lagi)

REBO:

“Maaf, saya harus segera pergi ke gandok berkumpul dengan yang

lain. Ratu Dara sedang ikut mendampingi jenazah. --- Salam”.

(pergi)

RESO: “Salam! --- Ini pasti bingkisan pemunah racun”.

(memasukkan bingkisan kecil ke angkinnya. Sesudah itu ia

membaca surat) “Gila!” (meremas surat) “Tidak aku duga! Jadi,

aku diracun oleh istriku sendiri! Tangan dewa atau tangan iblis

yang telah membimbing aku untuk membunuhnya? Pendeknya,

entah dewa, entah iblis ia telah menolong aku untuk

menyingkirkan orang yang menghendaki nyawaku”. (merobek-

robek surat)

SEKTI: (mendadak muncul) “Maaf, saya mengganggu Anda”.

RESO: “Orang yang gampang kaget sekarang membuat kaget”.

(menggenggam sobekan surat)

105

Page 106: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Keduanya bertatapan agak tajam.

SEKTI: “Saya menghindari abdi-abdi Anda dengan sengaja”.

RESO: “Ada suatu rahasia yang hendak Anda sampaikan?”

SEKTI: “Suatu percakapan yang baiknya tidak didengar orang

lain”.

RESO: “Apa itu?” (gejala serangan racun lagi)

SEKTI: “Saya sudah mengirimkan Siti Asasin sesuai dengan

pesan Anda”.

RESO: “Kami sudah bertemu”. (memasukkan sobekan surat ke

angkinnya)

SEKTI: “Ia menguasai banyak senjata rahasia yang beracun”.

RESO: “Kami akan membunuh Raja. Percayakan hal ini

kepadaku”.

SEKTI: “Saya tak akan berani mencampuri. --- Maaf, saya tadi

mengganggu Anda membaca surat”.

RESO: (gejala serangan racun tampak lagi, yang juga diamati

oleh Aryo Sekti) “Surat ucapan berduka cita”.

SEKTI: “Anda sobek?”

RESO: “Bunyinya cengeng”.

SEKTI: “Tadi sempat saya lihat Pangeran Rebo ke luar dari sini”.

RESO: “Ya. Menyampaikan surat dari raja”.

106

Page 107: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Saya mengerti sekarang. --- Ah, ya, ini yang paling

penting, saya ikut berduka cita”.

RESO: “Terima kasih”.

SEKTI: “Boleh saya bicara lancang?”

RESO: “Sebetulnya tidak boleh”.

SEKTI: “Antara sahabat saya berani nekad, karena terbit dari

maksud baik”.

RESO: “Silakan”.

SEKTI: “Jangan Anda kawin lagi. Seperti saya saja. --- Orang

seperti Anda sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tanpa bercita-

cita mana mungkin masyarakat bisa maju? Tetapi, hidup rumah

tangga manusia yang bercita-cita, biasanya penuh dengan

ketegangan. Kasihan istrinya!”

Keduanya bertatapan tajam. Reso tampak terserang racun lagi.

Sekti waspada.

SEKTI: “Anda terserang racun”.

RESO: “Bagaimana Anda tahu?”

SEKTI: “Mata-mata, pekerjaan saya. Membunuh dengan segala

macam racun termasuk cabang keahlian saya”.

RESO: “Siapa meracuni aku?”

107

Page 108: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Itu akan saya selidiki dan nanti obat pemusnahnya akan

segera saya bawa kemari. --- Anda terkena racun sari daun

beludru”.

RESO: “Terima kasih”.

SEKTI: “Istri Anda juga wafat karena racun”.

RESO: “Apa? Bukan karena penyakit sedih akibat dari cita-cita

saya?”

SEKTI: “Kurang bijaksana juga kalau istri dibawa berbicara soal

cita-cita, apalagi yang bersifat rahasia”.

RESO: “Aku tak pernah membuka rahasia kepada istriku”.

SEKTI: “Orang lain tidak akan tahu. Tetapi, saya tahu dari

melihat daun telinga dan kuku jenazah bahwa almarhumah terkena

racun akar Pasopati”.

RESO: “Wah, ruwet!”

SEKTI: “Gairah saya terangsang. Saya akan menyelidiki semua

ini. --- Sekarang saya mohon diri”.

RESO: “Salam! --- Sudah begini jauh. Apakah terlalu jauh? ---

Nyi Mas, rupanya kamu juga melihat sesuatu yang lebih berharga

dari nyawa manusia, bahkan lebih berharga dari nyawa suamimu

sendiri. Kalau kamu tega, kenapa aku tidak? Bunuh-membunuh ini

ternyata sama wajarnya dengan jilat-menjilat atau sogok-

menyogok, sebagai bayaran untuk tercapainya satu tujuan. ---

Sudah begitu jauh. Apakah terlalu jauh? Alangkah dalam luka

108

Page 109: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

batinku. Tetapi, aku bukan anak kemarin sore! Biarpun hancur aku

tak akan mundur. Seandainya pun dikalahkan tidak mungkin aku

ditundukkan”.

***

29. MEMPERSEMBAHKAN KEPALA KEPADA RAJA

Genderang dan nafiri. Suasana kemenangan. Panji-panji, tombak,

dan segala macam senjata. --- Di Balai Penghadapan para panji

siap duduk di lantai, lalu masuklah Raja Tua diiringi Ratu Dara

dan Pangeran Rebo.

RAJA TUA: “Selamat datang, pahlawanku! Dari suara genderang

dan gaya tingkah lakumu aku tahu bahwa Kalian telah menang.

Tugas telah Kalian tunaikan”.

SIMO: “Pertama-tama, hamba mengaturkan hormat kepada Sri

Baginda Raja. Sesudah itu kami memang ingin melaporkan bahwa

tugas telah kami tunaikan. Empat buah kepala yang Paduka

titahkan untuk dipenggal telah kami bawa”.

RAJA TUA: “Pancangkan kepala-kepala itu di atas tombak dan

pajanglah di alun-alun. Supaya rakyat tahu bagaimana jadinya

kalau menentang raja. Sesudah itu berpestalah kamu semua di

Bangsal Kepanjen. --- Aku puas dan berterima kasih kepada

kesetiaanmu. --- Aryo Reso!”

109

Page 110: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Setelah mengasingkan diri karena berkabung atas

kematian istrimu, akhirnya kamu perlukan muncul juga hari ini”.

RESO: “Kemenangan ini harus disambut dengan gembira dan rasa

syukur, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Bagus juga. Rupanya semangatmu masih ada

meskipun baru terpukul oleh bencana keluarga”.

RESO: “Kalau semangat luntur hanya karena bencana, mana bisa

kita maju dalam hidup ini? Semua kemajuan harus ada

bayarannya, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Ada apa kamu ini? Terakhir aku lihat kamu pucat

dan sakit. Sekarang aku lihat kamu seperti terlalu banyak makan

obat akar perangsang. --- tetapi tak apa. Toh kamu punya banyak

teman yang bisa menjagamu. --- Panji Simo, apakah di perjalanan

kamu mendengar berita mengenai anak-anakku di Tegalwurung?”

SIMO: ”Ada hamba bertanya kepada pedagang dan orang yang

melakukan perjalanan, bagaimana keadaan di Tegalwurung. Kata

mereka Kota Kadipaten sudah dikepung, tetapi perlawanannya

masih tegar”.

RAJA TUA: “Panji Tumbal memang orang tangguh. Tetapi, ini

justru tantangan bagi Pangeran Bindi. Sudah saatnya ia

menghadapi tantangan serupa itu”.

110

Page 111: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Sri Baginda, mungkin, adinda Pangeran Bindi perlu

didampingi senapati yang ahli siasat, yang dengan segera bisa

dikirim kepadanya”.

RAJA TUA: “Sekadar untuk menghadapi Tumbal? Kalau anakku

tidak ada yang bisa menghadapi Tumbal, berarti aku tidak akan

punya putra andalan. Panji Tumbal memang ahli bertempur, tetapi

ia bukan ahli berperang. Tarafnya, taraf jagoan, bukan taraf

panglima. Pemberontakannya tak akan tahan lama. --- Pangeran

Rebo, baca saja buku-bukumu supaya kamu bisa jadi resi. Soal ini

di luar bidangmu. Ini soal membela kerajaan. --- Jangan Kalian

khawatir tentang keadaan di Tegalwurung. Sudah benar apa yang

dilakukan anakku, Pangeran Bindi. Kalau si Tumbal terus

dikepung, lama-lama ia akan jadi ngawur dan bingung. ---

Sekarang mundurlah Kalian dan pergilah berpesta sepuasnya”.

SIMO: “Yang Mulia, apakah Paduka tidak akan memeriksa dulu

kepala para pemberontak ini?’

RAJA TUA: “Tidak! Aku tidak tega melihat kepala anak-anakku

sendiri terpenggal, karena mengkhianati raja, aku tega memenggal

kepala mereka, tetapi aku tidak bisa menikmatinya. (semua

hening) Ayo, jangan canggung dan ragu! Pergilah berpesta dan

bergembira”.

***

111

Page 112: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

30. NYANYIAN ANGSA SANG BERHALA

Di kamar tidur Raja Tua. Waktu malam. Raja Tua minum arak

ditemani Ratu Dara.

RAJA TUA: (sambil minum) “Dari semua istriku hanya kamu

yang bisa diajak bicara. Kadang-kadang kita bertentangan, tetapi

cukup banyak pikiranmu yang aku pergunakan. --- Sekarang,

ngomonglah terus terang, apa ada dendammu atau keluh kesahmu

padaku yang belum kamu ungkapkan”.

DARA: “Ada, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Jelaskan”.

DARA: “Paduka sudah agak jarang memanggil hamba”.

RAJA TUA: “Hohoho! Aku mohon maaf, Sri Ratu. Itu terjadi

karena ini!” (mengacungkan botol arak) “Sayang aku tidak bisa

omong-omong dengan cucu! Karena tidak punya cucu, aku

terpaksa suka minum arak. --- Arak bisa diajak omong-omong!

Eh! Mungkin begini, arak bisa membuat aku omong-omong

dengan diri sendiri”.

DARA: “Tetapi, Paduka tadi berkata bahwa hamba orang yang

bisa diajak bicara”.

RAJA TUA: “Ya! Itu betul! Itu jujur! Tetapi, kalau omong

dengan kamu harus omong secara dewasa. Padahal omong-omong

yang aku maksud, omongan anak-anak. --- O, ya, aku punya

112

Page 113: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kebutuhan untuk omong seperti anak-anak. Omongan yang

……… tidak cengeng, ………tidak dengki, tidak……… tidak ada

kebencian, ……… tidak canggih……… ya……… seperti anak-

anak! Seperti ayam berkotek. Atau……… kamu paham?” (minum

lagi)

DARA: “Paham sekali, Yang Mulia! Paduka ingin memurnikan

diri kembali”.

RAJA TUA: “Begitukah? --- Nah, kamu lihat? Omongan antara

kita selalu berisi penyadaran. Penyadaran akhirnya membawa aku

ke persoalan kerajaan. Siapa yang harus dipasang, siapa yang

harus ditendang. Siapa yang harus dipenggal kepalanya!” (minum

lagi)

Ratu Padmi muncul tiba-tiba sambil menangis terisak-isak.

PADMI: “Maaf, Yang Mulia, hamba datang menerobos begitu

saja. Kalau Paduka murka biar kepala hamba dipenggal juga. ---

Yang Mulia, hamba tidak terima. Benar kedua anak hamba

berdosa, tetapi mereka masih remaja, masih bisa diinsyafkan. ---

Ratu Dara, Anda tidak mencegah kekejaman ini? Apakah Anda

juga tidak punya putra?”

RAJA TUA: “Nanti dulu! Ratu Dara tidak punya sangkut-paut

apa-apa! Kamu kira aku punya kegemaran memenggal kepala

orang? Kalau kepala pemberontak itu tidak dipenggal, mereka

113

Page 114: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

akan memenggal kepala raja! Kecuali, kalau si raja mau diajak

berunding dan lalu rela melepaskan tahta. Tetapi, aku sebagai raja,

demi negara, tidak akan mau melepaskan tahta!”

PADMI: “Hamba percaya anak-anak hamba sebetulnya bisa

diinsyafkan”.

RAJA TUA: “Diinsyafkan! Mereka ingin menyingkirkan putra

mahkota, sebab menjadi putra mahkota pun mereka tidak berhak,

apalagi menjadi raja. Tahukah kamu bahwa anakmu yang tertua,

Pangeran Bindi, itu yang akan aku jadikan Putra Mahkota?

Perempuan, sadarkah kamu! Raja memenggal kepala kedua

putramu untuk menjaga agar mereka tidak memenggal kepala

putramu yang tertua!”

PADMI: “Duh Gusti, apakah kita ini hidup di dalam rimba?”

RAJA TUA: “Memang, ini mirip rimba! Bukalah lebar-lebar

matamu! Di dalam rimba hutan belantara dan di dalam rimba

kekuasaan, hubungan darah itu sama tipisnya! Kenapa hal ini tidak

dulu-dulu kamu sadari begitu aku ambil kamu ke atas

ranjangku?!”

PADMI: “Sebetulnya, setengah hamba sadari. Tidak hamba tahu

akan sebegini jauh. Hamba tidak kuat menanggungnya. Bahwa

Pangeran Bindi akan menjadi putra mahkota, seharusnya itu

menjadi hiburan bagi hamba. Tetapi, ia juga sama seperti Paduka.

Di dalam hidup sehari-hari hamba, ia tidak pernah menjadi

114

Page 115: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kenyataan. Ia seperti kelana sebatang kara yang perkasa. Seakan-

akan hamba bukan bundanya, sebab ia berbunda kepada

cakrawala. Lelaki seperti itu hanya bisa berbicara dengan langit.

Sebagai suami atau sebagai anak tidak pernah menjadi kenyataan”.

(hening……… lalu menyembah) “Hamba mohon diri ……… Sang

Raja”. (keluar)

RAJA TUA: (pelan-pelan menenggak arak, dan dengan tenang

berkata) “Minumlah arakmu”.

DARA: “Baik, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Kamu sudah makan?”

DARA: “Belum”.

RAJA TUA: “Aku juga belum. Nanti saja kita makan. Belum

lapar, kan?”

DARA: “Belum”.

RAJA TUA: “Tolong masakkan aku lidah sapi besok pagi”.

DARA: “Baik, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Aku juga kepingin ikan bandeng”.

DARA: “Besok akan saya masakkan”.

Dari jauh terdengar orang berseru: “Tolong! Tolong!”

RAJA TUA: “Apa itu?”

DARA: “Tidak jelas, Yang Mulia”.

115

Page 116: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Teriakan “Tolong! Tolong!” makin menjadi dan diteriakkan oleh

beberapa orang. Lalu disusul oleh derap kaki orang berlari

menuju kamar. Akhirnya, seorang punggawa masuk, napasnya

terengah-engah.

RAJA TUA: “Ada apa?”

PUNGGAWA: “Ratu Padmi wafat!”

RAJA TUA: “Apa?”

PUNGGAWA: “Sehabis ke luar dari sini kami lihat Sri Ratu

berjalan gontai. Sampai di halaman beliau memegang pohon.

Beliau menepuk-nepuk pohon itu, lalu bersandar ke batangnya.

Tiba-tiba beliau mengeluarkan keris kecil dan menikam

jantungnya sendiri”.

DARA: “Duh Gusti Jagat Dewa Batara”!

RAJA TUA: “Aaaaak!” (menubruk punggawa mau

membantingnya tapi tak jadi) “Bangsat!” (kemudian dengan

lunglai ia mengambil botol arak dan menenggaknya sampai

tuntas. Ratu Dara memberinya satu botol lagi. Sambil menerima

botol ia berjalan menuju ranjang. Hampir sampai ia keburu jatuh.

Lalu dengan susah-payah bangkit lagi dan merayap ke ranjang.

Kemudian, duduk di tepi ranjang) “Uruslah jenazahnya”.

DARA: “Baik, Yang Mulia”.

116

Page 117: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Raja Tua menenggak botol lagi sampai tuntas, lalu merebahkan

diri ke ranjang.

RAJA TUA: “Boleh aku tidur?”

***

31. DUKA CITA RATU KENARI

Di dalam kamarnya, malam itu, Ratu Kenari bersimpuh dan

berdoa.

KENARI: “Duh Gusti, lindungilah anak-anakku. Mereka anak

yang baik. Patuh dan setia. Mereka menghormati ayahanda mereka

dan juga menyayangi saya sebagai ibu. --- Duh, anak-anakku,

surat Kalian sudah Ibu terima. Ibu senang Kalian kenangkan di

dalam pertempuran. Selama Kalian pergi Ibu puasa dan semadi.

Tunaikan tugas Kalian baik-baik secara wajar. Janganlah Kalian

punya keserakahan! Jangan Kalian mengejar kedudukan. Kita

sudah punya derajat yang tinggi. Apa adanya saja kita terima.

Orang yang bernasib jelek berusaha memperbaiki nasibnya”.

“Tapi nasib Kalian sudah baik. Lahir sebagai pangeran dan pandai

menjalankan kewajiban. Sudah itu saja cukup. Jangan Kalian ikut

gerakan yang mokal-mokal. Serahkan hal yang tidak beres kepada

yang berhak dan berkewajiban mengatur. Kalian urus saja bagian

Kalian baik-baik dan lalu pulang, beristirahat, dan bergembira

117

Page 118: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

bersama Ibu. Yang mau jadi pahlawan biarkan saja menjadi

pahlawan, tetapi Kalian cukup menjadi pangeran. Syukurilah nasib

Kalian yang baik ini. Tidak semua orang lahir sebagai pangeran.

Duh Gusti, saya terima nasibku sebagai istri raja yang kesepian.

Saya cukup bahagia asal saja saya tidak kehilangan putra-putra

saya. Tetapi sekarang ini, Duh Gusti, saya merasa ngeri di sini”.

***

32. KETEGANGAN DI BANGSAL KEPANJEN

Sementara para prajurit berpesta, tokoh Gerakan Panji

berkumpul menunggu waktu.

SIMO: “Jelas sudah. Sri Baginda menginginkan Pangeran Bindi

menjadi putra mahkota”.

RESO: “Tenang! Rencana akan berjalan sebagaimana

dijadwalkan”.

SIMO: “Bagus. --- Meskipun agak terlambat saya mengucapkan

rasa berduka cita atas wafatnya Nyi Mas Reso”.

RESO: “Terima kasih”.

OMBO: “Juga ucapan duka cita dari saya”.

RESO: “Terima kasih”.

118

Page 119: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SIMO: “Kemudian, saya ucapkan selamat atas pengangkatan

Anda sebagai Aryo dan Senapati. Ucapan selamat yang sama

untuk Aryo Sekti”.

OMBO: “Saya menyertai ucapan selamat itu”.

RESO: “Terima kasih”.

SEKTI: “Banyak-banyak terima kasih”.

SIMO: “Tanjakan Anda ini sungguh tak terduga!”

RESO: “Memang. Ada manfaatnya juga untuk gerakan kita”.

OMBO: “Heran juga, kenapa kita? Yang lain tidak diangkat

menjadi Aryo?”

SIMO: “Sudah jelas Sri Baginda rabun ayam”.

RESO: “Tetapi, raja kita yang baru pasti akan mengangkat Anda

semua menjadi aryo juga”.

SIMO: “Saya tidak ingin menjadi Aryo Senapati. Saya ingin

menjadi Aryo Adipati”.

RESO: “Tentu saja para adipati akan bergelar Aryo Adipati”.

WONGSO: “Ibu saya akan bangga kalau ternyata anaknya bisa

menjadi aryo”.

BONDO: “Sesudah kita rajakan Pangeran Rebo, baiknya ia juga

kita kawinkan. Jangan sampai terlambat kawin dan terlambat

punya anak seperti ayahnya”.

WONGSO: “Saya kira betul juga pikiran itu. Dan, putri sulung

Anda terkenal di seluruh negeri”.

119

Page 120: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BONDO: “Ya, daripada dikawinkan dengan Pangeran Bindi yang

tampak sudah mengincarnya, lebih suka saya bila ia kawin dengan

Pangeran Rebo”.

OMBO: “Tentu saja! Karena, dengan begitu Anda menjadi mertua

raja!”

RESO: “Itu kalau Pangeran Rebo sudah menjadi raja!”

SEKTI: “Tidak seharusnya kita bicara seperti ini. Urusan negara

belum selesai. Keberhasilan kerja masih harus kita buktikan”.

RESO: “Kita harus mendoakan supaya yang kini bekerja bisa

selamat. Sebab, tadi saya lihat Sri Baginda lain dari biasanya”.

SEKTI: “Matanya tampak lebih tajam. Ucapannya tampak lebih

mengandung pikiran”.

SIMO: “Barangkali ia sudah punya firasat akan wafat. Tetapi,

tidak jelas sekali. Katanya sebelum mati orang menjadi terbuka

pikirannya”.

Tiba-tiba muncul abdi dari Aryo Sekti.

SEKTI: “Bagaimana hasilnya?”

ABDI: “Baginda wafat. Ratu Padmi juga wafat”.

RESO: “Kenapa begitu?”

ABDI: “Ratu Padmi wafat lebih dulu. Karena prihatin akibat

kedua putranya kehilangan kepala. Lalu, Baginda mengurung diri

120

Page 121: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

di kamar. Di waktu orang mau mengantar santapan, ternyata

arwah beliau telah tiada”.

Terdengar gong dan kentongan tanda ada kematian.

RESO: “Teman-teman, inilah saat kita untuk bekerja. Masing-

masing pada tugasnya. Selamat!”

Semua saling mengucapkan selamat.

***

33. GAIRAH ANGKATAN MUDA

Pagi hari. Perkemahan Barisan Kerajaan, di medan perang di

Tegalwurung. --- Aryo Bindi, Pangeran Kembar, dan beberapa

orang serdadu.

BINDI: “Hari cerah. Badanku merasa segar, dan jiwaku bergelora.

Hari-hari kekalahan Panji Tumbal sudah membayang. Bala

tentaranya tidak kuat bertahan di dalam pertempuran”.

KEMBAR I: “Mereka terlalu mengandalkan kekuatan barisan.

Tetapi, satu persatu mereka kurang keuletan. Mereka cepat

menyerang, tetapi juga cepat kabur berlari”.

121

Page 122: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR II: “Banyak serdadu musuh yang terlalu gemuk.

Penampilan dan gaya mereka seperti jagal. Tetapi, bila melihat

satu dua temannya ada yang mati, mereka cepat patah semangat

dan lalu buyar kalang-kabut. Dari belakang gerak pantat mereka

yang gemuk tampak lucu”.

BINDI: “Tetapi, kita tetap tidak boleh sembrono. Kita tetap harus

menjaga jangan sampai Panji Tumbal bisa langsung berhadapan

dengan kita. Setiap langkah dari gerakannya harus diikuti oleh

mata-mata kita, dan di medan pertempuran biar ia selalu

berhadapan dengan pasukan berpanah yang khusus kita siapkan

untuk menguntit dan menghadangnya”.

KEMBAR I: “Tampaknya, dari hari ke hari makin bertambah rasa

penasarannya karena selalu dihadang oleh pasukan berpanah, dan

tak mampu mendekati kita”.

KEMBAR II: “Memang, enak melawan orang tua yang sudah

besar namanya. Ibarat ia seekor harimau, kalau kita bakar ekornya,

ia akan berkelakuan seperti ayam yang tanpa pikiran”.

BINDI: “Terus kita tingkatkan rasa penasarannya. Kita harus rajin

mengganggu. Saya lihat ia sudah mulai sembrono dan kedodoran.

--- Siasat kita terus begini saja. Pengepungan kita jalankan dengan

kuat dan ketat, dan serangan yang kita lancarkan cuma bersifat

ganggu dan lari”.

122

Page 123: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR I: “Sampai sekarang sudah ada tujuh lumbung

makannya yang saya bakar”.

KEMBAR II: “Dan, saya sudah berhasil mencuri berpuluh-puluh

kuda mereka”.

BINDI: “Kemarin malam saya menyusup dan meracuni beberapa

sumur mereka”.

KEMBAR I: “Kanda Bindi, apakah itu tidak merugikan juga

rakyat biasa?”

BINDI: “Tidak apa-apa! Rakyat si pemberontak bukanlah rakyat

kita”.

KEMBAR I: “Ibundaku akan marah kalau saya mengganggu

penduduk biasa”.

BINDI: “Ini perang! Ibumu mana tahu apa itu artinya berperang”.

KEMBAR II: “Saya percaya kepada hukum karma. Siapa tahu

anak-cucu saya nanti ada yang bukan prajurit. Jangan sampai

mereka nanti diganggu oleh prajurit yang lain”.

BINDI: “Ah, anak prajurit pasti akan jadi prajurit”.

KEMBAR I: “Ayahanda kita seorang prajurit besar, tetapi di

antara para putranya ada juga yang seperti Pangeran Rebo!”

KEMBAR II: “Kanda Bindi, saya lihat ilmu silat Panji Tumbal

masih berada di bawah kita. Bagaimana menurut Anda?”

BINDI: “Begitu juga pendapat saya. Ia terlalu mengandalkan

tenaganya yang besar”.

123

Page 124: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR I: “Kalau begitu saya dan adik saya akan menjebak

dan menawannya”.

KEMBAR II: “Ya, kenapa tidak? Saya punya bakat untuk

membuat kejutan”.

BINDI: “Hati-hati! Keberanian orang itu sangat besar. Jangan ia

diburu untuk ditawan. Kalian hanya boleh mencoba menawan

kalau ia sudah terjebak jauh ke dalam wilayah kita”.

KEMBAR I: “Jangan khawatir. Saya paham maksud Kakanda”.

KEMBAR II: “Bagi saya, Panji Tumbal seperti kitab yang

gampang dibaca”.

BINDI: “Bagus! Makin cepat tugas kita selesai makin bagus. Saya

sudah kangen kepada Ayahanda Sri Baginda Raja. --- Nanti, kalau

kepala si Tumbal sudah kita penggal, saya akan tidur dengan

istrinya”.

Ia tertawa besar dengan puasnya, sedang Pangeran Kembar

terpaku diam dengan rasa tak suka.

***

34. PANJI TUMBAL TERPUKUL LAGI

Pagi hari. Di Kadipaten Tegalwurung. Panji Tumbal duduk di

tahta Kadipaten dihadap mata-mata.

124

Page 125: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

TUMBAL: “Mata-mata, kedatanganmu aku sambut dengan

gembira. Juga aku terharu akan keadaanmu”.

MATA-MATA: “Jangan dipikirkan keadaan saya, Raden. Saya

ikhlas dan gembira di dalam menjalankan kewajiban”.

TUMBAL: “Sudah tampak besar kandunganmu”.

MATA-MATA: “Tetapi, justru kandungan saya ini yang

memudahkan saya untuk menyelinap ke sana kemari”.

TUMBAL: “Aku tidak akan melupakan jasamu, Mata-mata”.

MATA-MATA: “Terima kasih, Raden”.

TUMBAL: “Sekarang apa yang hendak kamu katakan?”

MATA-MATA: “Aryo Gundu, Aryo Ronin, Pangeran Gada, dan

Pangeran Dodot sebenarnya akan bergabung dengan Anda”.

TUMBAL: “Memang, begitulah janji mereka. Dan, sekarang

dalam keadaan gawat ini aku menunggu kedatangan mereka”.

MATA-MATA: “Mereka tak akan datang. Panji Reso menjebak

dan mengkhianati mereka”.

TUMBAL: “Panji Reso? Ia berjanji memihak kepadaku dan akan

mengirim 1000 tail emas dengan segera”.

MATA-MATA: “Panji Reso dan semua Adipati ternyata tetap

memihak kepada Sri Baginda Raja Tua. --- Panji Simo dan Panji

Ombo dengan membawa pasukan yang kuat, memburu Aryo

Gundu, Aryo Ronin, Pangeran Gada dan Pangeran Dodot yang

sedang menuju kemari. Kepala mereka dipenggal”.

125

Page 126: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

TUMBAL: “Meleset. Semua meleset dari dugaanku. Justru karena

semua adipati tadinya bersedia bersekutu dengan aku, maka aku

berani memberontak kepada raja”.

MATA-MATA: “Begitu surat Anda dibaca oleh Sri Baginda,

segera beliau menitahkan agar semua adipati ditahan di ibukota

untuk mencegah mereka bergabung dengan Anda. Lalu, sementara

mereka berada di ibu kota, mereka dipengaruhi oleh Panji Reso

untuk tetap setia kepada raja”.

TUMBAL: “Kenapa Panji Reso bersikap seperti itu? Padahal ia

juga tidak puas terhadap pemerintahan Baginda Raja. Kenapa ia

tiba-tiba berbalik mengkhianati diriku?!”

MATA-MATA: “Saya kira ia mempunyai rencananya sendiri.

Sekarang, ia diangkat Sri Baginda menjadi aryo”.

TUMBAL: “Diangkat menjadi aryo? --- Mungkinkah ia punya

cita-cita yang akan ia kejar walaupun dengan mengorbankan

teman-temannya?”

MATA-MATA: “Kekuasaan itu jorok dan cemar. Dibungkus

dengan unggah-ungguh dan tata-cara, dihias dengan keangkeran,

supaya tidak kelihatan seperti kotoran.

TUMBAL: “Aku mengejar perbaikan, aku tidak mengejar

kekuasaan”.

MATA-MATA: “Rupa-rupanya Panji Reso mengejar kekuasaan.

Sekarang ia semakin dekat dengan raja”.

126

Page 127: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

TUMBAL: “Sekarang ia sudah aryo. Apakah nantinya ia ingin

menjadi raja?”

MATA-MATA: “Itu sekadar dugaan. Tetapi, memang

mengandung kemungkinan. Ia kelihatan secara berencana akan

menyingkirkan para senapati”.

TUMBAL: “Gila! Seorang pahlawan yang perkasa tiba-tiba bisa

menjadi hantu yang mengerikan”.

MATA-MATA: “Tabahkan iman Anda, Raden”.

TUMBAL: “Aku tabah. Biarpun keadaanku berantakan”.

MATA-MATA: Pasukan yang dibawa Pangeran Bindi dan

Pangeran Kembar memang pasukan pilihan”.

TUMBAL: “Jangan memberikan hiburan yang tidak diperlukan.

Pasukan mereka biasa-biasa saja. Tetapi, ketiga pangeran itu

biarpun masih muda, ternyata sangat pandai memimpin

pengepungan”.

MATA-MATA: “Saya akan istirahat dua hari. Sesudah itu saya

akan kembali ke ibu kota”.

TUMBAL: “Jangan kamu memaksakan diri”.

MATA-MATA: “Tidak, Raden. Saya melakukannya dengan

sadar, tulus, dan ikhlas”.

TUMBAL: “Terima kasih. Sementara aku menghadapi

pengkhianatan, kamu memberi kesetiaan yang tulus tanpa

pamrih”.

127

Page 128: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

MATA-MATA: “Pikiran Anda baik, cita-cita Anda juga menjadi

cita-cita saya. --- Sekarang saya pamit. Salam, Raden”.

TUMBAL: “Salam!”

***

35. RAJA BONEKA

Di Balai Penghadapan. Pangeran Rebo duduk di atas tahta.

Semua tokoh ada kecuali yang sedang berada di luar kota.

RAJA: “Inilah acara Penghadapan Besar yang pertama kali aku

alami sejak tiga hari yang lalu aku menjadi raja. --- aku berterima

kasih kepada kamu semua yang sudah memberi dukungan,

terutama kepada ibuku Ratu Dara dan Aryo Reso. Aku umumkan

juga pada saat ini bahwa sebagai raja namaku bukan lagi Rebo. Itu

nama pemberian almarhum ayah saya, raja yang dulu, yang

sekarang telah wafat. Karena, waktu aku lahir beliau dalam

keadaan mabuk. Beliau menyangka saat itu hari Rebo, padahal

hari Kamis. Sebagai raja namaku sekarang Mahesa Kapuranta”.

Aryo Reso bertepuk tangan. Yang lain ikut bertepuk tangan.

RAJA: “Tentu saja, aku juga tidak lupa berterima kasih kepada

para panji dan adipati. Kepada kamu semua aku beri hadiah yang

akan disampaikan oleh Aryo sekti yang kini menjadi Senapati

128

Page 129: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Istana, menggantikan Aryo Bungsu. Adapun Aryo Bungsu

sekarang menjadi purnawirawan. Jasanya di masa lampau aku

kenangkan dengan ucapan terima kasih. --- Sekarang aku undang

Kalian untuk ikut dalam acara santap bersama”.

SIMO: “Yang Mulia Sri Baginda Mahesa Kapuranta, hamba

berterima kasih untuk hadiah dari istana yang sudah sekian

banyaknya. Sebetulnya, hadiah kebendaan ini sudah terlalu banyak

bagi hamba. Di kadipaten hamba sendiri barang-barang itu sudah

ada”.

RAJA: “Tidak apa-apa. Nanti di rumah benda-benda itu bisa

kamu bagi-bagikan kepada sanak keluargamu. Sebab aku juga

tidak lupa untuk memperhatikan kesejahteraan keluarga para

pembantuku”.

RESO: “Maaf, Yang Mulia, Paduka hampir lupa menyebut

penghargaan yang lain untuk para adipati yang telah banyak

membantu Paduka”.

RAJA: “Ah, ya! Aku hampir lupa karena hadiah itu sifatnya

hanya gelar belaka. Namun meskipun itu gelar, sifatnya resmi dan

juga menurun kepada anak-anakmu. --- Kini sebagai raja, aku

mengucapkan firman: Panji Simo, Panji Ombo, Panji Wongso,

Panji Bondo dan Panji Bolo, mulai sekarang aku beri gelar: Aryo

Adipati Simo, Aryo Adipati Ombo, Aryo Adipati Wongso, Aryo

129

Page 130: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Adipati Bondo, Aryo Adipati Bolo. Inilah Firmanku sebagai

Raja”.

Semua bertepuk tangan gembira.

RAJA: “Semua sudah puas sekarang. Saya puas, kamu puas.

Marilah sekarang kita santap bersama”.

RESO: “Yang Mulia, hamba mohon maaf. Tetapi, Ratu Kenari

tampaknya akan mohon penjelasan”.

RAJA: “Ah, ya! --- Bibi Ratu Kenari, mohon maaf karena saya

dibawa oleh kesibukan. --- Ah, ya! --- Ratu Kenari, Anda mohon

izin untuk pulang ke rumah orangtua berhubung Anda sudah

menjadi janda. Aku tidak bisa mengizinkan permintaanmu. Sebab,

aku ingin kalau anak-anakmu pulang nanti, mereka pulang kemari.

Tidak ke rumah orangtuamu”.

KENARI: “Tentu saja, Yang Mulia! Anak-anak saya abdi Paduka.

Mereka saya didik untuk patuh dan setia kepada Raja”.

RAJA: “Itu raja yang dulu. Tetapi, sekarang kerajaan ini sudah

berganti raja”.

KENARI: “Hamba paham, Yang Mulia. Mereka tidak pernah

ingin menjadi raja. Saya mendidik mereka begitu. Mereka tidak

punya bakat untuk menjadi pemberontak sebab jiwa mereka

lembut. Saya nanti akan lebih menginsyafkan mereka”.

130

Page 131: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA: “Aku lihat kamu sangat mencintai putra-putramu. Aku

bisa memahami seluruh isi perasaanmu. Kamu seorang ibu yang

sederhana meskipun seorang ratu. Dari dulu kamu dan anak-

anakmu ingin yang wajar-wajar saja”.

RESO: “Tetapi, Yang Mulia, mungkin yang belum jelas bagi ratu

kenari ialah bahwa kalau beliau pulang ke rumah orangtuanya,

para putranya bisa punya salah paham. Mereka bisa menyangka

bahwa Anda telah mengusir ibu mereka dari istana”.

RAJA: “Ya! Ya! Aku bisa celaka! --- Jangan! Jangan sampai

terbit salah paham seperti itu”.

KENARI: “Yang Mulia, hamba berjanji akan menulis surat

kepada mereka agar mereka patuh dan setia pada Paduka”.

RESO: “Yang Mulia, hamba tidak menduga bahwa Ratu Kenari

suka bersurat-suratan kepada para putranya”.

RAJA: “Ratu Kenari, jangan lagi kamu bersurat-suratan dengan

putramu”.

KENARI: “Kenapa, Yang Mulia?”

RESO: “Ratu Kenari, saya kira bukan begitu maksud Yang Mulia.

Yang dimaksud ialah supaya surat-menyurat itu lebih baik

melewati orang saya”.

RAJA: “Begitu! Memang begitu jalan keluarnya”.

RESO: “Ratu Kenari, melalui siapa biasanya Anda berkirim surat

kepada putra-putra Anda?”

131

Page 132: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KENARI: “Melalui seorang abdi anak-anakku yang ikut

menemaninya ke medan perang”.

RESO: “Sekarang di mana abdi itu?”

KENARI: “Di medan perang”.

RESO: “Kapan terakhir dia datang?”

KENARI: “Sehari setelah Baginda Raja yang dulu wafat”.

RESO: “Lain kali, kalau ia datang lagi, Anda wajib memberitahu

saya”.

KENARI: “Tentu saja saya akan berlaku begitu. Kalau itu

perintah Sri Baginda”.

RAJA: “Ya! Begitulah perintahku”.

DARA: “Sri Baginda, mungkin perlu diberitahu kepada Ratu

Kenari bahwa ia di sini akan saya temani. Saya dan dia sama-sama

janda. Janda sama janda harus bekerjasama. Ia tak perlu khawatir

karena saya akan membela perkaranya”.

RAJA: “Nah, kamu dengar itu? --- tunjukkan kalau kamu benar-

benar bisa patuh dan setia. Ikutilah perintah saya, tinggallah di

sini!”

KENARI: “Baik, yang mulia”.

RAJA: “Nah, rupanya tak ada lagi yang aku lupakan, marilah

sekarang kita santap bersama”.

***

132

Page 133: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

36. LAGU LAMA DIMAINKAN LAGI

Di Bangsal Kepanjen, Aryo Reso, Aryo Sekti, dan para Aryo yang

baru berkumpul lagi.

RESO: “Anda semua kini sudah menjadi Aryo Adipati. Aku harap

Anda semua kembali ke kadipaten masing-masing dengan hati

yang puas”.

SIMO: “Hampir saja Sri Baginda lupa memberi gelar itu. Ada-ada

saja”.

OMBO: “Saya lihat Baginda masih banyak memerlukan

pembinaan”.

BONDO: “Kelihatannya Baginda masih belum pantas”.

SEKTI: “Belum pantas apa?”

BONDO: “Tidak jelas bagaimana. Tetapi, ada sesuatu yang jauh

di luar bayangan kita. Apakah Anda tidak melihat itu?”

SEKTI: “Ya, kurang lebih begitu. Rasanya ia kurang bisa

bermain”.

WONGSO: “Rasanya,… kurang tampak seperti raja”.

OMBO: “Memang agak susah untuk menyelaraskan dia dengan

tahtanya”.

BOLO: “Maaf. Saya kira penting untuk mengutarakan pendapat

saya sejelasnya. --- Aryo Reso, teman-teman, saya khawatir bahwa

kita telah salah memilih raja” (semua terdiam). “Memang betul,

133

Page 134: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Baginda tidak membayangkan bahaya sebagai raja yang kejam.

Tetapi, Baginda membayangkan sebagai raja yang tak tahu

berbuat apa-apa. Ini tidak kalah berbahayanya bagi negara. Betul

Baginda bisa dibina, tetapi kalau terlalu banyak dibina, artinya,

Baginda menjadi boneka”.

RESO: “Tentu ada cara pembinaan yang tepat, yang bisa

merangsang kekuatan pribadinya yang asli”.

BOLO: “Mudah-mudahan. Namun, saat ini, kita tidak boleh

terlambat menyadari bahwa raja yang lemah sama berbahayanya

dengan raja yang kejam”.

SIMO: “Dari dulu kita berpendapat bahwa Aryo Reso dan Ratu

Dara akan bisa menanggulangi persoalan yang waktu itu sudah

bisa sedikit kita bayangkan”.

BOLO: “Ya, kita bayangkan. Tetapi, tidak sejauh ini. ---

Sekarang, kita harus membicarakan hal itu dengan lebih teliti”.

SEKTI: “Saya setuju dengan isi semangat dan maksud Aryo Bolo.

--- Aryo Reso, kenapa sampai sejauh ini kita meleset dalam

menilai orang?”

OMBO: “Betul! Terus terang saja memang meleset jauh. Lantas

kenapa jadi begini?”

RESO: “Rupanya, tahta memang bukan tempat duduk

sembarangan. Orang yang duduk di atas tahta itu menjadi pusat

perhatian. Semua sifat baik dan buruknya, semua kelebihan dan

134

Page 135: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kekurangannya akan lebih kelihatan daripada biasanya, karena

menjadi sasaran dan sorotan berjuta manusia”.

OMBO: “Saya kira memang begitu. Tidak semua orang kuat

mampu menjadi sasaran sorot mata”.

SIMO: “Tetapi, semuanya sudah terlanjur. Kita harus

menghadapinya dengan gagah. Kita harus punya tekad untuk

memperbaiki keadaan buruk ini. --- Aryo Reso, kami yakin Anda

akan sanggup membina Sri Baginda”.

RESO: “Tentu saja, aku akan berusaha sekuat tenaga. Tetapi,

kenapa kita tidak percayakan saja kepada Ratu Dara”.

WONGSO: “Pengaruh Ratu Dara sebagai seorang ibu terhadap

Sri Baginda memang besar, tetapi beliau tidak begitu memahami

masalah yang hidup di kadipaten”.

BOLO: “Andalah yang lebih memahami masalah kenegaraan,

yang sesuai dengan cita-cita kami”.

RESO: “Baik. Bagaimanapun aku tetap ikhlas menerima tugas

yang Anda serahkan padaku. Tetapi, jelas di dalam hal mendekati

pribadi Sri Baginda aku sangat memerlukan bantuan Ratu Dara”.

SIMO: “Tentu saja. Saya yakin, Anda tidak akan kesulitan dalam

hal bekerjasama dengan Sri Ratu”.

OMBO: “Betul. Kelihatannya Sri Ratu menaruh rasa segan

kepada Anda”.

135

Page 136: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Mudah-mudahan Anda tidak salah memandang.

Bagaimanapun aku membutuhkan kepastian bahwa Sri Ratu akan

membantu usahaku”.

SEKTI: “Kalau ada kesulitan saya akan membantu menyadarkan

Sri Ratu”.

RESO: “Baik teman-teman, dengan ikhlas akan aku pikul

tanggung jawab untuk membina Sri Baginda selama Sri Ratu

memberikan bantuannya”.

SIMO: “Sekarang, dengan lega hati kami bisa pulang ke kadipaten

masing-masing. Besok fajar kami akan meninggalkan ibu kota.

Sekarang, saya akan ke pesanggrahan untuk berkemas-kemas.

Aryo Reso dan Aryo Sekti selamat tinggal”. (pergi)

RESO & SEKTI: “Selamat jalan!”

OMBO: “Saya juga akan pergi”.

SEKTI: “Hati-hati di jalan”.

OMBO: “Aryo Reso, selamat tinggal. Jangan ragu-ragu dekatilah

Sri Ratu Dara. Beliau pasti membantu Anda”.

RESO: “Baiklah. Terima kasih”.

Ombo pergi.

WONGSO: “Aryo Sekti dan Aryo Reso, saya ucapkan selamat

tinggal. Anda berdua telah membantu meningkatkan hidup saya.

136

Page 137: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Saya yakin ibu saya juga akan ikut berterima kasih kepada Anda

berdua”. (pergi)

SEKTI & RESO: “Syukur. Itu bagus!”

BONDO: “Selamat tinggal, Aryo Sekti”.

SEKTI: “Selamat jalan”.

BONDO: “Aryo Reso, dalam membina Sri Baginda jangan lupa

menekankan pentingnya untuk segera menikah”.

“Aku relakan putri sulungku untuk menjadi istri Sri Baginda.

Selanjutnya, saya akan mendukung segala kemajuan yang Anda

cita-citakan”.

RESO: “Aku hanya punya cita-cita untuk kerajaan, tidak untuk

diriku sendiri”.

BONDO: “Itulah yang saya maksud. Untuk kerajaan! --- Nah,

selamat tinggal”. (pergi)

RESO: “Selamat”.

BOLO: “Aryo Reso dan Aryo Sekti, selamat tinggal. --- Saya

mencium ada masalah gawat. Ini saya ucapkan dengan kegagahan.

Saya tidak hanya memprihatinkan Sri Baginda, tetapi saya kaget

melihat perkembangan diri teman-teman. Cacat-cacat yang dulu

tidak tampak di saat hidup dalam tekanan, kini muncul justru di

saat kita sudah menang. Banyak orang yang kuat menghadapi

tekanan, tetapi berantakan di dalam kemenangan”.

RESO: “Anda meragukan diriku?”

137

Page 138: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BOLO: ”Saya mendapat firasat bahwa kita harus sama-sama

waspada. Apakah Anda tersinggung oleh ucapan saya?”

RESO: “Tidak! Anda telah merumuskan pikiran Anda dengan

baik. Aku memahami”.

BOLO: “Terima kasih. Kita sama-sama berdoa!”

RESO: “Tepat!”

SEKTI: “Saya sangat terkesan pada ucapan Aryo Bolo. Wataknya

baik”.

RESO: “Ya! Ia orang baik”.

SEKTI: “Sungguh berat tanggung jawab Anda”.

RESO: “Hm”.

SEKTI: “Apakah Anda merasa kesepian sesudah hidup sendirian

sebagai duda selama beberapa hari ini?”

RESO: “Tidak”.

SEKTI: “Bukankah almarhumah Nyi Mas Reso berasal dari

Karang Anyar?”

RESO: “Memang. --- Kenapa?”

SEKTI: “Anu. --- Saya kaget”.

RESO: “Kaget lagi?”

SEKTI: “Ingatkah musibah keracunan sari daun beludru yang

menimpa diri Anda?”

RESO: “Ya”.

138

Page 139: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Ternyata, di wilayah kerajaan kita tumbuhan daun

beludru hanya bisa tumbuh di sekitar Karang Anyar”.

RESO: “Apakah Anda mengira aku diracun oleh istriku?”

SEKTI: “Rasanya tidak mungkin bukan?”

RESO: “Jangan gampang kita mengada-ada”.

SEKTI: “Ya, memang! Tetapi, di dalam hidup saya, sebagai

seorang mata-mata banyak saya jumpai kenyataan dari hal-hal

yang sebenarnya tidak mungkin terjadi”.

RESO: “Hati-hati. Jangan Anda mampus karena selalu dibikin

pusing oleh rasa curiga”.

SEKTI: “Jangan khawatir. Saya cukup tegar. Dan, tidak mudah

putus asa”.

RESO: “Hm”.

SEKTI: “Salam!” (pergi)

RESO: “Salam! --- (kini sendirian) --- Semakin jelas sekarang

bahwa hanya aku yang bisa menyelamatkan kerajaan. Percuma

saja membina si Rebo yang lahir pada hari Kamis itu! Tulang

punggungnya bukan tulang punggung raja! --- Wahai, induk angin

puting beliung, aku butuh bantuanmu kini! Batara Surya, akan aku

sedot racun hawa panasmu! Kepalsuan wajah rembulan akan aku

tekuni, dan hawa tenung Sang Dewi Malam akan aku resapi di

dalam semadi malamku. --- Wahai, Jagat Dewa Batara, demi

139

Page 140: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

keutuhan dan kejayaan kerajaan aku tidak akan berhenti berusaha

sebelum aku menjadi raja! Panembahan Reso ialah aku!”

***

37. RUBAH DAN MUSANG MENEKAN RAJA

Malam hari. Di kamar Ratu Dara, Aryo Reso duduk bersila di

dekat ranjang. Ratu Dara duduk di atas ranjang.

RATU DARA: “Jago kita sudah duduk di atas tahta. Tetapi, masih

banyak ganjalan yang terasa di dalam hati”.

RESO: “Semua pangeran harus kita lenyapkan, baru betul-betul

kuat kedudukan raja kita”.

DARA: “Sekarang tinggal Pangeran Bindi dan Pangeran

Kembar”.

RESO: “Aku akan membunuh mereka semua”.

DARA: “Bagaimana caranya?”

RESO: “Sekarang aku lagi tekun mengintai. Lama-lama, akan

muncul saatnya dan akan terbayang pula caranya”.

DARA: “Keyakinan Anda pada diri sendiri sangat besar sehingga

saya pun selalu yakin akan keberhasilan segala rencana Anda.

Tetapi, keyakinan saya kepada Sri Baginda goyah, semakin hari

semakin kehilangan tumpuan”.

RESO: “Hm”.

140

Page 141: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Bagaimanakah pendapat khalayak ramai terhadap Sri

Baginda? Apakah para adipati pernah melahirkan perasaan mereka

terhadap Sri Baginda?”

RESO: “Mereka kecewa!”

DARA: “Sudah bisa diduga”.

RESO: “Ada yang berkata bahwa raja yang lemah sama

berbahayanya dengan raja yang kejam bagi kerajaan”.

DARA: “Betul juga pendapat itu!”

RESO: “Tetapi, mereka tetap setia kepada Sri Baginda, karena

percaya bahwa kita akan bisa membina dan mendampingi Sri

Baginda”.

DARA: “Selama Sri Baginda mendengarkan Anda pasti

kedudukannya aman. Sebab, pengaruh Anda besar terhadap para

aryo dan para panji”.

RESO: “Sri Ratu!”

DARA: “Ada apa Aryo?”

RESO: “Aku ingin segera menikah dengan Anda”.

DARA: “Begitu pula keinginan saya. Tetapi, saat berkabung kita

masing-masing belum lewat”.

RESO: “Kalau raja yang menikahkan kita berdasarkan firmannya,

apa pula yang bisa dikatakan masyarakat? Aku, yang tadinya

menurut kebiasaan masyarakat bukan aryo, karena firman raja bisa

menjelma menjadi aryo”.

141

Page 142: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Alasan itu memang kuat”.

RESO: “Kita harus segera menikah, semata-mata demi

kepentingan kerajaan. Sebagai orangtuanya aku akan lebih leluasa

membina dan juga mempertahankannya”.

DARA: “Ya, tepat kata Anda. Saya nanti akan meyakinkan Sri

Baginda. --- Nah, itu dia! Saya dengar suara langkah jalannya”.

Raja masuk.

Raja: “Ibu! --- Oh, Aryo Reso!”

RESO: “Salam, Sri Baginda!”

RAJA: “Salam. --- Ibu memanggil saya?”

DARA: “Betul, Yang Mulia. Duduk!”

RAJA: “Ada apa Ibu?”

DARA: “Saya ingin berbicara mengenai masalah kerajaan”.

RAJA: “Tetapi, lebih dulu aku akan menyatakan…… bahwa

……… hatiku terguncang-guncang”.

DARA: “Kenapa Yang Mulia?”

RAJA: “Aku tidak menduga bahwa di kamar tidur Ibu ada

seorang lelaki”.

DARA: “Beliau bukan “sekadar seorang lelaki”, beliau adalah

Aryo Reso, penasihat dan pemangku raja!”

RAJA: “Tetapi, ini kamar tidur, Ibu!”

142

Page 143: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Di sini, kami berbincang-bincang mengenai urusan

kerajaan”.

RAJA: “Tetapi, toh tetap ganjil! Ganjil!”

DARA: “Baik! Supaya tidak ganjil kawinkanlah kami berdua

dengan segera”.

RAJA: “Lho! Ini kan lebih ganjil lagi! --- Anda berdua belum lagi

lengkap seratus hari menjadi duda dan janda. Apa kata orang

nanti?

DARA: “Orang tidak akan berkata apa-apa kalau hal itu

berdasarkan firman raja”.

RESO: “Yang Mulia! Hubungan kami memang punya dasar cinta,

tetapi kami mendesak untuk segera dinikahkan pada saat yang

ganjil ini karena dorongan pengorbanan. Apabila kami menikah,

persekutuan kita bertiga akan lebih kukuh dan punya hubungan

nalar yang lebih bisa diterima orang banyak. Apalagi, bila raja

berfirman bahwa Bagindalah yang menghendaki pernikahan ini”.

REBO: “Sekarang apa yang harus aku katakan?”

RESO: “Katakan ‘ya’, Yang Mulia. Sebab, kalau tidak, lebih baik

hamba meletakkan jabatan dan pergi bertani”.

DARA: “Ke mana Anda pergi akan saya ikuti”.

RAJA: “Oh, jadi aku dipojokkan! --- Baiklah, kalau memang

demi kerajaan Kalian aku kawinkan”.

RESO: “Terima kasih, yang Mulia!”

143

Page 144: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Untuk selanjutnya, kita bertiga akan merupakan

persekutuan yang kuat yang memimpin kerajaan”.

RAJA: “Ternyata, menjadi raja itu lain dari yang aku bayangkan.

Aku merasa jalan hidupku telah membelok dengan tiba-tiba. Dan,

membawaku ke alam yang ganjil yang aku tidak mengerti sama

sekali. --- Sejak aku menjadi raja, hidupku, hidup orang yang

terperanjat”.

***

38. DIBAWA BADAI KE SANA KEMARI

Siang hari. Di Balai Penghadapan. Ratu Kenari, Aryo Sekti, dan

beberapa pembesar ada di situ menghadap raja yang didampingi

Ratu Dara dan Aryo Reso.

RAJA: “Perkawinan Aryo Reso dan Ratu Dara yang terjadi tiga

hari yang lalu, sebagaimana telah aku katakan, atas kehendakku.

Aku masih muda, tetapi aku tidak merasa kikuk atau gentar untuk

menjadi raja yang menguasai kerajaan yang luas dan besar ini.

Sebab, aku dibantu sepenuhnya oleh Aryo Reso, pahlawan besar

kerajaan, yang kini menjadi ayahku. Kini, tahta raja akan lebih

teguh dan sentosa. --- Sebagai penasihat dan pemangku raja, Aryo

Reso tidak lagi bernama Aryo Reso. Aku, kini, menganugerahinya

gelar yang sesuai dengan kedudukannya sebagai ayahku.

144

Page 145: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Sekarang, nama dan gelarnya adalah Panembahan Reso. ---

Sedang untuk diriku sendiri, kini aku juga mengambil keputusan

yang baru. Sejak kini, namaku bukan lagi Mahesa Kapuranta,

tetapi aku ganti menjadi Maharaja Gajah Jenar. --- Sudah saatnya,

aku menyadari dengan tegas bahwa aku raja satu-satunya di

wilayah kerajaan yang luas ini. Adanya kekuasaan tandingan tidak

aku izinkan. --- Oleh karena itu, aku mendesak perlu segera

adanya tanggapan yang tegas dari Panji Tumbal, Pangeran Bindi,

dan Pangeran Kembar terhadap tahtaku. Kalau mereka mengakui

kewibawaan tahtaku, maka harus segera datang menghadap

kemari dan menyatakan pengakuannya. Sedangkan, kalau mereka

melawan tahta, kepala mereka akan dipenggal. Tugas untuk

menyampaikan firmanku ini aku serahkan kepada Panembahan

Reso yang akan menunjuk para utusan”.

RESO: “Baik. Hamba sanggup, Yang Mulia”.

KENARI: “Yang Mulia, hamba akan berkirim surat kepada putra

kembar hamba dengan melewati utusan Panembahan Reso, sesuai

dengan peraturan yang telah difirmankan. Di dalam surat itu

hamba minta agar segera pulang sesuai dengan ajakan Sri Baginda

yang penuh dengan kemurahan hati”.

RAJA: “Itu pikiran yang bagus”.

DARA: “Yang Mulia, sampai sekarang Aryo Lembu, Aryo

Jambu, Aryo Bambu, dan Aryo Sumbu belum juga kembali ke ibu

145

Page 146: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kota. Sejak mereka ditugaskan untuk berkeliling mengamankan

kadipaten-kadipaten oleh almarhum Baginda Raja Tua. Utusan

mereka pun tidak dikirimkan. Saya bisa membayangkan

bagaimana kesepian istri-istri mereka. Ada baiknya bila para istri

itu dipanggil untuk sementara tinggal di dalam istana. Menemani

Ratu Kenari yang juga sedang kesepian”.

KENARI: “Yang Mulia, hamba tidak tahu lagi apa itu kesepian.

Hamba sudah merasa puas bisa bersemadi di dalam kamar. Hamba

tidak perlu teman”.

RAJA: “Ratu Kenari, jangan kamu menolak maksud baik ibuku.

--- Aryo Sekti hari ini juga jemputlah para istri aryo itu ke istana.

Biarlah mereka hidup tenang dan mewah di sini sampai suami

mereka pulang melaporkan diri kepada tahta”.

SEKTI: “Baik, Yang Mulia”.

RAJA: “Bagus! Sekarang, marilah kita bersama-sama berdoa

untuk kejayaan kerajaan. Acara Penghadapan hari ini aku

bubarkan”.

***

39. PERANG BATIN DI MEDAN PERTEMPURAN

Siang hari. Perkemahan Barisan Kerajaan di Tegalwurung. ---

Aryo Bindi tampak duduk termenung seperti patung batu yang

146

Page 147: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

lumutan. Pangeran Kembar masuk. Di situ ada juga serdadu

pengawal.

KEMBAR I: “Kakanda Bindi, saya membawa kabar gembira.

Panji Tumbal berhasil kami tawan”.

BINDI: “Apa?” (tangannya menggenggam surat)

KEMBAR II: “Kami berhasil menjebaknya sampai jauh masuk ke

wilayah kita. Ia kami kepung. Waktu ujung iga kanannya kena

sabet tongkat saya, ia pingsan”.

KEMBAR I: “Begitulah ia kami tawan. Kami kurung dan

kurungannya kami tambatkan pada pohon randu alas di sana.

Sekarang ini, pasukan kami sedang bersuka-ria menari

mengitarinya”.

BINDI: “Inilah salah satu kemenangan yang penting di dalam

hidup kita. Adinda kembarku, aku sangat bangga pada Kalian

berdua. Sepanjang hidup aku akan rela mengikat tali persekutuan

yang erat dengan Kalian”.

KEMBAR I: “Isi kalimat Anda penuh dengan penghargaan dan

maksud persaudaraan, tetapi wajah Anda dan nada suara Anda

mencerminkan keprihatinan yang belum Anda katakan”.

KEMBAR II: “Ya! Kakanda tampak bermuram durja!”

BINDI: “Kebanggaan Kalian sudah pada tempatnya, tetapi kita

sekarang menghadapi kenyataan bahwa nasib baik dan nasib buruk

bisa bergandengan tangan”.

147

Page 148: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR II: “Apakah Kakanda ditimpa malapetaka?”

BINDI: “Kita semua terlanda bencana selagi di tangan kita

menggenggam keberuntungan. --- Ayahanda Sri Baginda Raja

wafat!”

KEMBAR I: “Duh, Gusti!”

KEMBAR II: “Apa?”

Hening. Bindi mengacungkan surat yang sejak tadi tergenggam di

tangannya.

BINDI: “Seorang utusan dari mata-mata kita di ibu kota

mengirimkan surat ini. --- Kedua saudara kandungku Pangeran

Gada dan Pangeran Dodot memberontak terhadap Sri Baginda. ---

Lalu kepala mereka dipenggal. --- Ibundaku Sri Ratu Padmi

berduka cita. Kemudian beliau bunuh diri di halaman istana. ---

Tak lama kemudian Sri Baginda juga wafat”.

KEMBAR I: “Kita bertiga kehilangan raja dan bapak. Tetapi,

kemalangan Anda ditambah dengan kehilangan ibunda dan adik

kandung”.

BINDI: “Tidak hanya itu! Karena, ternyata, aku juga kehilangan

tahta!” (kedua Pangeran Kembar tertegun) --- “Panji Reso dan

para adipati telah merajakan Pangeran Rebo. Si dungu yang

seharusnya duduk di keranjang sampah itu kini duduk di atas

tahta”.

148

Page 149: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR II: “Saya bisa membayangkan betapa ibu Anda

sebelum akhirnya bunuh diri. Kedua putra kandungnya wafat

dipancung bersama-sama”.

BINDI: “Tetapi, memang begitulah hukuman untuk orang yang

memberontak kepada Raja! --- Diam-diam rupanya mereka juga

menginginkan tahta, yang menurut orang banyak sudah

dicadangkan oleh ayahanda untuk diriku”. (Kedua Pangeran

Kembar tertegun lagi) “Adinda Pangeran Kembar apakah Kalian

mendukung aku untuk menjadi raja?”

KEMBAR I: “Tentu saja. Memang, hanya Kakandalah yang

pantas untuk dibayangkan mengganti ayahanda”.

KEMBAR II: “Dibanding Pangeran Rebo kakanda jauh lebih

memadai”.

BINDI: “Jadi, Kalian mau bersumpah bahwa Kalian akan mati-

matian membantu aku agar bisa duduk di atas tahta?”

KEMBAR I: “Pasti, kakanda! Itu pasti!”

KEMBAR II: “Jangan Kakanda ragu-ragu dalam hal itu”.

KEMBAR I: “Tetapi, ini bukan saat yang tepat bagi kita untuk

membicarakannya. Ini saat berkabung. Empat anggota keluarga

kita baru saja meninggal dunia”.

BINDI: “Urusan hidup dan mati bukanlah urusan orang gagah

seperti kita untuk direntang-panjangkan! --- Ayahanda sudah

sangat tua. Teman-teman Baginda seumur sudah wafat semuanya.

149

Page 150: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Ibuku seharusnya menyadari bahwa sudah selayaknya kedua

adikku kehilangan kepala karena memberontak terhadap raja.

Ibuku bunuh diri karena itu, sebenarnya sangat mengecewakan.

Rasa kecewa melebihi rasa dukaku. Baiklah! Yang lewat biarlah

lewat! Kewajiban kita yang nyata sebagai pangeran, pada saat ini

ialah menyelamatkan tahta dari tangan orang yang dungu. Ini

penting demi kelangsungan kejayaan kerajaan. --- Sekarang aku

minta Kalian bersumpah”.

KEMBAR I: “Saya bersumpah!”

KEMBAR II: “Saya bersumpah!”

BINDI: “Bagus! Aku puas! --- Coba, bawa Panji Tumbal kemari”.

KEMBAR II: “Baik. Saya ambil dia” (pergi).

KEMBAR I: “Kakanda, saya memikirkan ibuku Ratu Kenari.

Bagaimana nasib beliau di dalam pergolakan kekuasaan di ibu

kota”.

BINDI: “Setiap orang punya kemampuan menyelamatkan dirinya.

Jangan kamu bersikap seperti bayi yang masih menyusu. Urusan

kerajaan yang lebih besar terbentang di depan mata kita”.

KEMBAR I: “Di samping kewajiban sebagai pangeran, saya juga

punya kewajiban sebagai seorang putra”.

BINDI: “Hati-hati, Adinda! Jangan-jangan kamu akan sukar

maju”.

150

Page 151: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR I: “Hal itu sudah lama saya renungkan. Rupanya saya

memang tidak tertarik untuk maju. Kewajaran saya ialah sehari-

hari sebagai manusia biasa”.

BINDI: “Bagi saya, omonganmu ini tidak terasa sederhana, tetapi

justru ganjil kedengarannya”.

Muncul Pangeran Kembar II dengan membawa Panji Tumbal

yang terikat tangan dan badannya.

KEMBAR II: “Kakanda Pangeran Bindi, inilah tawanan kita,

Panji Tumbal, si pemberontak, saya bawa menghadap Anda”.

BINDI: “Terima kasih. --- Panji Tumbal, hari ini terbukti bahwa

aku telah mengalahkan Anda”.

TUMBAL: “Silakan berbangga sepuas Anda. Kekalahan ini saya

akui. Tetapi, kebenaran tetap berada di pihak saya. Sampai detak

jantung saya yang terakhir, saya tetap memberontak kepada

berhala kekuasaan”.

BINDI: “Kunyah-kunyahlah sendiri anggapan Anda mengenai

kebenaran itu. Aku tidak tertarik untuk memperdebatkannya”.

TUMBAL: “Kalau begitu, kenapa tidak Anda selesaikan saja

tugas Anda sampai tuntas? Kenapa tidak segera Anda penggal

kepala saya?”

BINDI: “Kenapa Anda tergesa-gesa untuk kehilangan kepala?”

151

Page 152: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

TUMBAL: “Kenapa saya mesti menikmati waktu yang penuh

dengan penghinaan ini?”

BINDI: “Raja yang menghendaki kepala Anda sudah tidak ada”.

TUMBAL: “Apa?”

BINDI: “Raja yang Anda tentang dengan pemberontakan telah

wafat”.

TUMBAL: “Ah! --- Lalu bagaimana maksud Anda sekarang?”

BINDI: “Seandainya saat ini Anda menang, Anda akan segera

meraih tahtanya, bukan?”

TUMBAL: “Tidak! --- Tidak ada minat saya untuk naik tahta.

Aku memberontak untuk menuntut pemerataan keadilan”.

BINDI: “Aku punya minat dan bakat untuk naik tahta. Maukah

Anda mendukung aku?”

TUMBAL: “Pikiran saya tertegun, Pangeran”.

BINDI: “Lumrah. --- Sekarang aku bantu Anda berpikir. Yang

berhak menjadi raja adalah seorang pangeran. Nah, kecuali kedua

Pangeran Kembar ini, keempat pangeran selebihnya, semua,

berminat untuk menjadi Raja. Gada dan Dodot sudah dipancung

oleh almarhum ayahku. Tinggal dua pangeran lagi, Rebo dan aku.

Si Rebo orang yang lemah, dungu, dan masih menyusu ibunya.

Tinggal aku. Aku telah membuktikan bisa unggul di medan

perang. Di bawah kekuasaanku ada jaminan bahwa kerajaan akan

tetap utuh dan sentosa”.

152

Page 153: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

TUMBAL: “Anda seperti Sri Baginda Raja Tua. Seandainya,

Anda menjadi raja Anda hanya tertarik pada kekuasaan yang utuh

semu. Tetapi, nanti Anda juga akan kecolongan, tidak tahu bahwa

rakyat Anda, dari para pangeran, para senapati, dan para adipati

sebenarnya berantakan, gelisah, dan penuh ketidakpuasan. Anda

akan gampang tertipu oleh keutuhan semu dari keseragaman. Dan,

Anda akan gamang terhadap keselarasan dari keanekaan”.

BINDI: “Jadi, Anda pengagum dari keanekaan? --- sadarkah Anda

bahwa rakyat kita belum dewasa? Keanekaan akan meruwetkan

pikiran mereka! Kekacauan di dalam masyarakat lalu akan

terjadi”.

TUMBAL: “Tetapi, hanya keanekaan yang memungkinkan

pikiran orang jadi berkembang dan dewasa!”

BINDI: “Memang betul, Anda tidak berbakat menjadi raja.

Keanekaan itu sumber perpecahan. Apa gunanya raja berkuasa

kalau ia tidak bisa menciptakan keseragaman yang tertib, rapi,

aman, dan sejahtera!”

TUMBAL: “Anda akan menjadi raja yang mengingkari naluri

pikiran manusia! Kalau Anda hanya berminat pada keseragaman,

kenapa Anda tidak menjadi pembuat batu bata saja?”

BINDI: “Jadi, Anda tidak punya selera untuk ketertiban?”

TUMBAL: “Tentu saja saya setuju kepada ketertiban! Tetapi,

seharusnya, sumber ketertiban itu adalah daulat hukum yang

153

Page 154: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

mengatur keselarasan dari naluri pikiran yang beraneka. Inilah

dasar kelestarian hidup bersama. Sebaliknya, dasar ketertiban gaya

Anda hanyalah kelestarian kekuasaan”.

BINDI: “Tentu saja! Sebab keuasaan yang benar-benar kuatlah

yang bisa membuat negara menjadi kukuh”.

TUMBAL: “Anda hanya tertarik kepada yang kukuh dan beku,

Anda tidak tertarik kepada yang ulet dan hidup!”

BINDI: “Bah! --- Sekarang Rebo yang duduk di atas tahta.

Barangkali ini akan lebih cocok dengan selera Anda”.

TUMBAL: “Tidak! Anda dan beliau pilihan yang jelek!

Sedangkan, pilihan lain tidak ada. Kemiskinan pilihan dalam

kehidupan bangsa kita adalah akibat dari kekukuhan dan kebekuan

yang diciptakan oleh Bapak Anda, Sri Baginda Raja Tua. Sungguh

menyedihkan! Baru di saat terakhir aku menyadari bahwa aku,

Anda, Reso, Raja Tua, dan juga semua pangeran dan panji,

mengira dirinya berjuang untuk rakyat. Semua mengaku membela

rakyat. Tetapi, sebenarnya rakyat tak pernah kita ajak bicara.

Rakyat tak pernah punya hak bicara! ---Astaga! Kita semua telah

bertarung mati-matian TIDAK untuk kedaulatan rakyat, tetapi

untuk kedaulatan tahta semata!”

***

154

Page 155: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

40. PARA ARYO MENGHADAP PANEMBAHAN

Di rumah Panembahan Reso. Pagi hari. Aryo Lembu, Aryo

Jambu, Aryo Bambu, Aryo Sumbu, Aryo Sekti, Ratu Dara, dan

Panembahan Reso.

SEKTI: “Panembahan Reso, saya datang kemari untuk mengantar

teman-teman aryo, yang dulu diutus oleh almarhum Sri Baginda

Raja Tua untuk keliling ke kadipaten-kadipaten menghadap

kepada Anda”.

RESO: “Selamat datang, para Aryo. Kedatangan Anda di ibu kota

sangat kami nantikan. Terutama oleh Sri Baginda Maharaja”.

LEMBU: “Sebelum menghadap Sri Baginda Raja………”.

SEKTI: “Maaf, Maharaja, bukan raja”.

LEMBU: “Ah, ya! Ampun seribu ampun! --- Sebelum kami

menghadap Sri Baginda Maharaja, kami dahulu menghadap Anda

dan juga……… Sri……… Ratu Dara?”

SEKTI: “Ya, betul! Sri Ratu Dara!”

LEMBU: “Oh! ……… Kami lebih dahulu menghadap Anda dan

Sri Ratu Dara untuk meyakinkan diri bahwa kami tidak akan

membuat kesalahan yang sama sekali tidak kami maksudkan”.

BAMBU: “Selama kami bertugas telah banyak perubahan terjadi

dengan cara yang sah. Kami akan menyesuaikan diri dengan

perubahan ini”.

155

Page 156: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

JAMBU: “Pendeknya, kami mengakui kedaulatan Sri Mahara

Gajah Jenar dan tunduk kepada semua keputusan yang telah

difirmankan oleh Sri Baginda”.

SUMBU: “Kami telah menjalankan tugas yang justru kami anggap

penting untuk mempertahankan keutuhan kerajaan. Sekarang,

kami tetap patuh dan bersedia untuk membela keutuhan kerajaan

di bawah naungan Sri Baginda Maharaja Gajah Jenar”.

RESO: “Bagus! Bagus! --- dengan cepat saya bisa menyimpulkan

bahwa Anda berempat Abdi Raja yang tahu diri dan tahu akan

kewajiban. --- Bagus! Bagus! Sri Baginda pasti akan ikhlas

menerima bakti Anda semua”.

JAMBU: “Syukurlah kalau begitu. Kami juga sangat berterima

kasih kepada Sri Baginda. Karena, beliau telah memberikan

perhatian besar kepada para istri kami. --- Bagaimanakah keadaan

mereka? Saya sendiri sudah merasa sangat kangen dengan istri

saya setelah sekian lama dipisahkan oleh tugas demi kerajaan”.

RESO: “Jangan khawatir. Keadaan mereka sangat mewah dan

sejahtera. Mereka dibawa ke istana demi keamanan mereka

sendiri. Jangan sampai mereka menjadi korban dari pancaroba

perubahan. Nanti, setelah Anda menghadap Maharaja, pasti istri

Anda akan diantar ke rumah kembali. --- Sri Ratu Dara dan Sri

Ratu Kenari selalu bermain-main dengan mereka”.

156

Page 157: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Kami sering bermain bersama sampai agak larut malam.

Kami saling bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing”.

JAMBU: “Sungguh kami sangat berhutang-budi untuk kebaikan

hati semacam itu”.

RESO: “Jadi, kerajaan dalam keadaan kurang lebih utuh!”

LEMBU: “Begitulah. Kecuali keadaan di Tegalwurung! --- Panji

Tumbal berhasil ditawan oleh Pangeran Kembar. Kepalanya

dipenggal. Pangeran Bindi menduduki seluruh Kadipaten

Tegalwurung dan menyatakan menentang kedaulatan Maharaja

kita, serta menobatkan dirinya sendiri menjadi raja. Pangeran

Kembar mendukungnya”.

RESO: “Hm! --- Ini bukan persoalan remeh”.

DARA: “Ia bukan putra tertua dari almarhum Sri Baginda Raja

yang dulu. Atas dasar apa ia menobatkan dirinya menjadi raja?”

RESO: “Atas dasar kekuatan! Setiap orang yang merasa dirinya

kuat boleh saja menobatkan dirinya menjadi raja. Seperti juga, raja

yang dulu mendirikan kerajaan ini. Tinggal soalnya, apakah ia

akan bisa membuktikan bahwa dirinya benar-benar yang terkuat di

seluruh negara. Bisa tidak, ia menundukkan semua tandingan yang

ada”.

DARA: “Jadi, ia menantang kekuasaan Maharaja kita?”

157

Page 158: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Sanggupkah Maharaja kita menyingkirkan dia? Atau

sanggupkah dia menyingkirkan Maharaja kita? Itu saja

persoalannya”.

BAMBU: “Dengan dukungan Anda sebagai pemangku, Maharaja

kita pasti akan bisa menumpas tandingannya di Tegalwurung!”

JAMBU: “Besar kepercayaan kami kepada Anda untuk bisa

mengatasi keadaan ini, Panembahan”.

LEMBU: “Dari sejak masih tinggal di istana, Pangeran Bindi

sangat mengerikan tingkah lakunya. Tanpa ragu-ragu saya akan

membantu Anda untuk membela Maharaja kita”.

RESO: “Aryo Sumbu, apakah Anda juga mempunyai kemantapan

seperti itu?”

SUMBU: “Jelas dan tegas, ya, Panembahan!”

RESO: “Setelah Anda semua beristirahat beberapa hari, bantulah

Sri Baginda untuk memerangi para pemberontak. Anda semua

mempunyai pengalaman yang luas di dalam pertempuran”.

LEMBU: “Di bawah pimpinan Anda kami semua patuh dan

setia”.

RESO: “Silakan pulang dulu dan nanti sore menghadap Maharaja

di istana”.

Keempat Aryo mohon diri lalu keluar.

158

Page 159: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Pengaruh Anda terhadap para aryo, para panji, dan para

senapati sungguh sangat besar. --- Memang hanya Anda yang bisa

menyelamatkan kerajaan dari bencana perpecahan. --- Sekarang

saya pamit dulu, Panembahan. Di rumah saya ada tamu yang

menginap. Setelah minum kopi sore hari dengan tamu itu, saya

akan menghadap Maharaja ke istana”.

RESO: “Apakah tamu itu akan tinggal lama di rumah Anda?”

SEKTI: “Seperti biasanya, agak lama juga. --- Salam Ratu Dara.

--- salam Panembahan”. (pergi)

DARA: “Anakku seorang diri tak akan bisa mempertahankan

tahtanya”.

RESO: “Itulah sebabnya kita harus membantu Baginda”.

DARA: “Maharaja boneka itu mulai memuakkan saya”.

RESO: “Tidak baik berkata begitu, sementara Baginda adalah

darah dagingmu sendiri”.

DARA: “Panembahan suamiku, ternyata Anda begitu kuat dan

kuasa, kenapa Anda tidak ingin menjadi raja?”

RESO: “Hahahaha! Apa kurang enaknya menjadi orangtua dan

pemangku raja?”

***

41. PERTEMUAN DARI HATI KE HATI

159

Page 160: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Sore hari. Di rumah Aryo Sekti. Panembahan Reso duduk

berembuk dengan Aryo Sekti.

RESO: “Anda tadi, di rumah saya, berkata bahwa hanya aku yang

bisa menyelamatkan kerajaan dari bencana perpecahan. Benarkah

itu?”

SEKTI: “Tentu saja. Apakah Anda berpura-pura tidak menyadari

kenyataan itu? Itu bukan kerendahan hati!”

RESO: “Bukannya tidak menyadari, tetapi kurang meyakini”.

SEKTI: “Ya, begitulah kenyataannya. Orang boleh suka atau

tidak suka kepada Anda, tetapi toh harus mengakui kenyataan

bahwa Anda sangat dibutuhkan oleh negara untuk mengatasi

perpecahan”.

RESO: “Jadi, Anda menganggap aku dibutuhkan oleh negara!

Tetapi, mengenai suka atau tidak suka terhadap diriku itu

bagaimana? Anda termasuk orang yang suka atau tidak suka?”

SEKTI: “Termasuk yang suka dan tidak suka”.

RESO: “Apa yang Anda tidak suka pada diriku?”

SEKTI: “Ada satu rahasia yang menyelubungi diri Anda yang

membuat diri saya penasaran”.

RESO: “Hm. Begitu. Memang ada sikap Anda yang agak

mengganggu hubungan kita berdua. Tetapi, rupanya bukan soal

yang menyangkut rasa tidak suka. Melainkan menyangkut rasa

curiga”.

160

Page 161: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Ya! Ya! Memang betul! Betul! Saya punya rasa curiga

pada diri Anda”.

RESO: “Nah, sekarang jangan lagi ada rasa sungkan. Aku ingin

ada pertemuan dari hati ke hati dengan Anda”.

SEKTI: “Ini suatu kehormatan bagi saya”.

RESO: “Syukurlah. Sekarang tuntaskan, uraikan seluruh

kecurigaan Anda terhadap diriku”.

SEKTI: “Panembahan! Sebetulnya Anda ingin menjadi raja,

bukan?”

RESO: “Betul!”

SEKTI: “Sejak permulaan gerakan para panji?”

RESO: “Ya! --- Tepatnya, sejak Panji Tumbal mengajak aku ikut

berontak. Waktu itu, kita semua mulai menyadari bahwa keadaan

kerajaan yang buruk harus diubah. Aku melihat Baginda Raja Tua

sudah pikun, tetapi ia masih lebih baik dari semua calon pengganti

yang ada. Pada saat itu meskipun aku masih panji, aku sudah sadar

bahwa akulah yang bisa menyelamatkan negara”.

SEKTI: “Jadi, penilaian terhadap Anda yang sekarang saya

ucapkan, waktu itu, sudah Anda sadari?”

RESO: “Ya. Betul”.

SEKTI: “Di dalam kehidupan sehari-hari manusia biasa, ini

disebut kepongahan”.

161

Page 162: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Aku menyadari kekuranganku, aku menyadari

kelebihanku. Itu saja!”

SEKTI: “Takaran Anda memang bukan takaran manusia biasa”.

RESO: “Penyadaran akan kelebihan diriku menerbitkan cita-cita

untuk menjadi raja dan menyelamatkan negara! Lalu, cita-cita itu

aku perjuangkan dengan rencana dan usaha”.

SEKTI: “Itulah sebabnya, Anda mengingkari pemberontakan

Panji Tumbal”.

RESO: “Ya, untuk menguasai semua adipati dan menghindari

perpecahan wilayah di dalam kerajaan. Karena, aku tidak sekadar

ingin duduk di atas tahta, tetapi ingin membela dan

menyelamatkan seluruh kerajaan”.

SEKTI: “Jadi, Anda memilih merajakan Rebo karena ia paling

lemah di antara para calon yang ada, dan bisa diterka akan

membutuhkan seorang pemangku?”

RESO: “Betul! Ya!”

SEKTI: “Dan, hubungan dengan Ratu Dara yang sampai sejauh

itu?”

RESO: “Itu, bukan rencanaku dari semula. Itu suatu unsur yang

tidak terduga yang ternyata sangat membantu rencanaku. --- Anda

lihat, setiap rencana dan usaha kalau benar-benar diperjuangkan

akan punya nasib sendiri. Nasib baik atau buruk yang kita harus

berani menanggung atau mensyukuri”.

162

Page 163: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Anda tidak merencanakan dari semula untuk punya

hubungan asmara dengan Ratu Dara! --- Lalu, istri Anda

wafat………”.

RESO: “Aku menyuruh Siti Asasin untuk membunuhnya”.

SEKTI: “Dan, lalu, kita bersama-sama merencanakan

pembunuhan terhadap Raja Tua dengan bantuan Ratu Dara! ---

Tetapi, siapa yang meracun Anda? Saya menduga Anda diracun

oleh istri Anda”.

RESO: “Memang. Asasin yang mengungkapkan rahasia ini! ---

Istriku, karena ketakutan menentang cita-citaku untuk menjadi

raja”.

SEKTI: “Kenapa cita-cita segawat itu mesti diungkapkan kepada

istri?”

RESO: “Itulah kelemahanku! --- Semakin ketakutan, tingkah-laku

istriku semakin berbahaya untuk keamanan rahasia cita-citaku.

Lalu aku bunuh dia”.

SEKTI: “Alangkah kotornya isi tengkorak kekuasaan. Itulah

sebabnya, kepala raja harus dihias dengan mahkota”.

RESO: “Cita-citaku mulia, tetapi cara yang aku tempuh ternyata

bersimbah darah dan berlumur noda”.

SEKTI: “Apakah Anda berpikir bahwa dunia akan memaafkan

cara Anda yang bernoda, karena cita-cita Anda bermanfaat dan

bersifat mulia?”

163

Page 164: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Dunia yang mana? Dunia lahir manusia sudah

berlumuran bedak dan gincu. Tetapi, dunia nurani manusia

termasuk nuraniku, tidak akan pernah memaafkan noda-nodaku.

SEKTI: “Saya merasa kagum dan sekaligus kasihan kepada

Anda”.

RESO: “Cukup! Aku telah membukakan diriku. Dari hari ke hari

kita telah bertemu. Bagaimanakah sekarang sikap Anda

kepadaku?”

SEKTI: “Saya akan membantu Anda menjadi raja dan

menyelamatkan kerajaan”.

RESO: “Sebagai jantan dengan jantan: tuluskah Anda?”

SEKTI: “Tulus dan sadar. --- Beribu-ribu pendeta dan orang

beragama juga pernah mendukung Asoka Wardana yang jalan

kekuasaannya bersimbah darah, tetapi pada akhirnya, lalu menjadi

raja yang mulia”.

RESO: “Aku tidak akan menghibur nuraniku dengan persamaan

seperti itu. Aku tetap ingin menjadi raja dan membela negara,

tetapi juga dengan rela menanggung akibat dari dosa-dosaku”.

SEKTI: “Saya bersumpah setia kepada Anda”.

RESO: “Terima kasih. --- Jabatan tangan ini bersifat rahasia dan

hanya antara kita berdua”.

SEKTI: “Baik. --- Saya akan menemani Anda di dalam kesepian

Anda”.

164

Page 165: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Aku akan membunuh Sri Baginda Maharaja Gajah

Jenar!”

SEKTI: “Saya dan Siti Asasin akan melaksanakan rencana itu”.

RESO: “Tunggu saja aba-aba dari aku”.

SEKTI: “Siap, Panembahan”.

***

42. JEJER RAJA TANDINGAN DI TEGALWURUNG

Di Kadipaten Tegalwurung. Pangeran Bindi duduk di kursi

adipati, dihadapi oleh Pangeran Kembar dan beberapa serdadu.

BINDI: “Kurang ajar! Jadi, rupanya, si Dungu itu memakai gelar

maharaja! Dan, ia berani memerintahkan kita untuk tunduk kepadanya!

Apakah matanya tidak melek, dan melihat ada gunung di depan

hidungnya. Pasukan gabungan yang kita pimpin kini sudah kenyang

asam dan garam pertempuran. Tidak ada yang lebih dahsyat dari tentara

kita di seluruh wilayah kerajaan. Dalam tempo singkat setelah lengkap

perbekalan yang diperlukan, kita akan segera menyerbu ke ibu kota”.

KEMBAR I: “Perhitungan kita harus benar-benar matang lebih

dulu. Di sana ada Panembahan Reso”.

BINDI: “Tinggal dia satu-satunya jago di kerajaan. Jago yang satu

yang dulu sangat ditakuti, si Panji Tumbal, telah berhasil kita

kalahkan tanpa kesulitan. Bahwa Reso terkenal hebat, itu kan

165

Page 166: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

tempo dulu ketika kita belum muncul ke permukaan. Ia belum

pernah mendapat tanding yang setimpal. Tetapi, sekarang, aku

meragukan mutu dia yang sebenarnya”.

KEMBAR I: “Tetapi, di sana, juga ada Aryo Lembu yang

meskipun sudah tua tetap selalu jaya di medan laga”.

BINDI: “Jangan khawatir! Almarhum ayahanda sudah banyak

bercerita kepadaku mengenai kekuatan dan kelemahan cara

bertempur Aryo Lembu”.

KEMBAR II: “Kakanda Bindi, pasukan khusus Anda sudah

menduduki desa di Watu Songo yang dekat dengan perbatasan

Tegalwurung”.

BINDI: “Bagus! Sebelum menyerbu ibu kota, kita memang, akan

lebih dulu menduduki dan menguasai beberapa wilayah

Kadipaten”.

“Pasukan mereka akan kita gabungkan dengan pasukan kita seperti

halnya pasukan Tegalwurung di sini”.

KEMBAR II: “Tetapi, mereka juga merampok desa-desa yang

mereka duduki itu”.

BINDI: “Jangan kamu rewel dengan segala macam ukuran hidup,

di dalam masyarakat aman! Ini suasana darurat, dan kita butuh isi

perbekalan. Setelah kita jaya, mana yang rusak akan kita bangun

kembali”.

166

Page 167: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR II: “Sering saya tidak tega kalau melihat orang desa

ikut menderita”.

BINDI: “Sudah lumrah kalau mereka membantu kita, sebab kita

nantinya akan menjadi penguasa yang melindungi mereka, kalau

perlu dengan nyawa kita juga! Oleh karena itu, makin cepat

peperangan selesai, entah dengan cara apa itu, makin bagus.

Karena, mengurangi pengorbanan rakyat dan jerih payah kita

adalah lebih baik”.

KEMBAR I: “Kakanda Bindi, ibu kami berkirim surat dan

meminta agar kami menyerah kepada si Rebo. --- Jangan khawatir!

Saya sudah segera membalas menulis surat, dan mengingatkan ibu

untuk berhati-hati kepada tipu daya si Rebo. Sejak dari zaman

kanak-kanak ia bersifat licik dan pengecut. Ia gampang menipu,

gampang menangis, dan gampang pingsan. Bagaimana mungkin

orang semacam itu bisa diandalkan sebagai seorang raja?

Bagaimana mungkin kita tunduk pada orang tak berguna semacam

itu? Kalau kami datang, jangan-jangan kami diracun, dan dipenggal

kepala kami”.

BINDI: “Sudah betul pikiran kamu”.

KEMBAR I: “Tetapi, saya khawatir bagaimana nasib ibu kami

selama disandera”.

BINDI: “Jangan khawatir! Selama Kalian selamat, sandera yang

dipasang sebagai umpan Kalian pasti juga akan selamat. Kecuali

167

Page 168: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

untuk memancing, guna sandera itu untuk mematahkan semangat.

Jadi, tabahkan hati! Jangan Kalian biarkan niat si Rebo terlaksana.

Begitu nanti kita akan mengepung ibu kota, pasukan khususku

akan secara mendadak menyerbu tempat ibumu ditawan. Dengan

begitu akan kita bebaskan ia”.

KEMBAR II: “Saya harus ikut dalam penyerbuan itu”.

BINDI: “Boleh saja! --- Nah, sekarang marilah kita tilik kembali

kemampuan pasukan kita. Dalam tempo singkat akan kita serbu

dan duduki Kadipaten Watu Songo. Istri Aryo Simo sudah tua,

tetapi putri-putrinya ada tiga. Satu persatu akan aku tiduri mereka

semua.

***

43. BONEKA YANG NGADAT

Sore hari. Di Balai Penghadapan. Maharaja, Ratu Dara, Ratu

Kenari, Pangeran Reso, Aryo Sekti, Aryo Lembu, Aryo Bambu,

Aryo Jambu, beberapa Punggawa, dan aryo Sumbu berada di situ.

MAHARAJA: “Selamat datang semuanya. Terutama aku

menyambut kedatangan Aryo Lembu, Aryo Bambu, Aryo Jambu,

dan Aryo Sumbu, yang dulu menjadi sahabat baik almarhum

ayahku. Aku sudah dengar bagaimana Kalian menjalankan tugas

meninjau keadaan kadipaten-kadipaten. Aku puas dengan laporan

168

Page 169: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

yang dibawa oleh utusan Kalian kepada almarhum ayahanda. Dan,

kini, Kalian datang menghadapku. Baik, sekarang apa katamu?”

LEMBU: “Hamba, Aryo Lembu, menghadap Sri Baginda

Maharaja untuk menyatakan kepatuhan dan kesetiaan”.

BAMBU: “Hamba, Aryo Bambu, mengucap setia kepada Sri

Baginda Maharaja Gajah Jenar”.

JAMBU: “Aryo Jambu bersumpah tunduk dan setia kepada Sri

Baginda Maharaja Gajah Jenar”.

SUMBU: “Hamba, Aryo Sumbu, menyatakan tunduk dan patuh

kepada Sri Baginda Mahara Gajah jenar”.

MAHARAJA: “Ini menyenangkan sekali. Aku pun juga akan

menyenangkan hati Kalian. Istri-istri Kalian akan segera

dibebaskan. Lho, maksudku, dibebaskan untuk hidup berbahagia

di rumah masing-masing bersama Kalian. Dan, Kalian aku beri

anugerah kuda, emas, dan senjata! --- Nah, aku puas, kamu puas”.

RESO: “Yang mulia, mereka juga membawa berita tentang apa

yang terjadi di Tegalwurung”.

MAHARAJA: “Ah, ya! Inilah berita yang aku tunggu-tunggu.

Apakah Panji Tumbal menang? Ia dulu pernah meminta aku untuk

menjadi raja”.

LEMBU: “Yang Mulia, Panji Tumbal telah ditawan”.

MAHARAJA: “Ditawan?”

169

Page 170: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

LEMBU: “Ditawan oleh Pangeran Kembar. Lalu, kepalanya

dipenggal”.

MAHARAJA: “Begitu dahsyat mereka?”

SEKTI: “Di medan laga, Pangeran Kembar itu bersifat seperti dua

ekor naga, dan Pangeran Bindi mengamuk bagaikan seekor singa”.

MAHARAJA: “Jadi, mereka menang dengan gilang-gemilang?”

LEMBU: “Pangeran Bindi menduduki kota kadipaten dan seluruh

wilayah Kadipaten Tegalwurung”.

MAHARAJA: “Kenapa ia tidak mengirim utusan kemari untuk

melaporkan kejadian penting ini? Dan, lagi, aku sudah mengirim

utusan dengan surat kepadanya?”

LEMBU: “Yang Mulia! Pangeran Bindi menyatakan menolak

kedaulatan paduka, dan menobatkan dirinya menjadi raja”.

MAHARAJA: “Ini namanya pemberontakan! --- Kenapa ia begitu

benci kepadaku? --- dan, bagaimana Pangeran Kembar?”

LEMBU: “Mereka mendukung Pangeran Bindi. Kini, pasukan

mereka digabung dengan pasukan Panji Tumbal yang telah

dikalahkan. Pangeran Kembar menjadi panglima dari seluruh

pasukan gabungan”.

MAHARAJA: “Pengkhianatan! Pemberontakan! Kita harus

berbuat sesuatu”.

SEKTI: “Kami semua siap menunggu titah Yang Mulia Sri

Baginda Maharaja Gajah Jenar!”

170

Page 171: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

MAHARAJA: “Ratu Kenari! Kenapa putra-putramu jadi begini?

Ternyata, sudah terbukti bahwa mereka tidak jinak seperti katamu

dulu!”

KENARI: “Yang Mulia! Hamba yakin mereka sekadar terbawa

oleh suasana dan mendapat pengaruh buruk dari Pangeran Bindi.

Hamba yakin hamba masih bisa berbicara dan menginsyafkan

mereka ke jalan yang benar”.

MAHARAJA: “Baik! Marilah kita membuat Panitia Perundingan

dengan Bibi Ratu Kenari di dalamnya”.

DARA: “Apa yang akan dirundingkan? Mereka menghendaki

tahta dan kepala Paduka!”

KENARI: “Yang Mulia! Setidak-tidaknya, saya yakin akan bisa

menginsyafkan kedua putraku, Pangeran Kembar”.

MAHARAJA: “Betul! Setiap kesempatan untuk perdamaian

harus kita manfaatkan”.

DARA: “Yang Mulia. Jangan lengah! Pertahankan Kepala dan

Tahta Paduka”.

MAHARAJA: “Belum tentu itu yang mereka inginkan”.

DARA: “Dari dulu Pangeran Bindi ingin menjadi raja!”

MAHARAJA: “Siapa tahu sekarang ia bisa puas dengan

Kadipaten Tegalwurung saja!”

RESO: “Yang Mulia! Apakah Paduka akan membiarkan kerajaan

pecah dan terbagi?”

171

Page 172: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

MAHARAJA: “Apakah gunanya peperangan? Peperangan

membuat rakyat menderita. Dan, lagi, mereka masih saudaraku

sendiri. Kenapa mereka tidak boleh mendapat bagian dari

kejayaanku!”

RESO: “Yang Mulia! Keutuhan kerajaan harus dipertahankan.

Kalau tidak anjing-anjing Portugis itu akan menyusup kembali.

Yang Mulia! Bila ada orang berani berontak, kita harus

memenggal kepalanya”.

MAHARAJA: “Apa? Memenggal kepala saudara-saudaraku

sendiri?”

RESO: “Tetapi, beberapa waktu yang lalu, Paduka sendiri yang

mengumumkan akan memenggal kepala orang yang berontak!

Sekarang, di mana wibawa firman Sri Baginda Raja?”

MAHARAJA: “Aku toh bisa membuat firman yang baru!

Sekarang, pikiranku sudah berkembang! Apa tidak boleh

pikiranku berkembang? Aku mulai melihat kemungkinan akan

adanya perundingan”.

KENARI: “Betul, Yang Mulia! Dengan mengandalkan pengaruh

hamba yang kuat kepada anak-anak hamba, hamba pasti bisa

meyakinkan bahwa Pangeran Bindi bisa mendapatkan

Tegalwurung, tetapi tidak sebagai raja, cukup sebagai adipati

saja”.

172

Page 173: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

MAHARAJA: “Ya! Betul! Oh, betul! Kenapa tidak! Itu pikiran

yang bagus dan bisa dicoba”.

KENARI: “Hamba bersedia untuk dikirim sebagai utusan”.

DARA: “Ratu Kenari! Begitukah cara Anda untuk lari dari sini

dan bergabung dengan para pemberontak?”

MAHARAJA: “Lho! Ibu! Kenapa begitu cara berpikir ibu?”

DARA: “Seperti Paduka sudah lupa naluri kekuasaan saja!”

Seorang punggawa tiba-tiba masuk.

PUNGGAWA: “Yang Mulia! Maaf, Yang Mulia!”

MAHARAJA: “Ada apa?”

PUNGGAWA: “Ada berita penting dibawa oleh anggota mata-

mata kerajaan. Pasukan Pangeran Bindi menyerbu, menerobos

perbatasan Kadipaten Watu Songo dan menduduki beberapa desa

di dekat perbatasan itu. Selanjutnya, memaklumkan sumpah

bahwa ia akan melaju melabrak ibu kota dan merebut tahta Sri

Baginda Maharaja”.

MAHARAJA: “Kurang ajar! Ini benar-benar bencana!”

DARA: “Nah, apa kata hamba, Yang Mulia!”

RESO: “Bertindaklah tegas kepada mereka, Yang Mulia! Sebelum

terlambat”.

KENARI: “Sebelum terlambat, Yang Mulia. Segeralah berunding

dengan mereka”.

173

Page 174: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Ratu Kenari, Anda begitu tega mengorbankan keutuhan

kerajaan. Begitu tega pula menjatuhkan wibawa tahta putraku.

Semata-mata karena ingin membela putra Anda yang sudah jelas

mengumumkan pemberontakan”.

MAHARAJA: “Ibu! Apakah ibu tidak menyadari bahwa Bibi

Ratu Kenari berusaha menegakkan perdamaian antara sesama

saudara dan mencegah penderitaan rakyat yang terancam untuk

dilanda peperangan?

DARA: “Omong kosong apa pula ini! Mana bisa kerajaan akan

diperlakukan seperti nasi kenduri!”

MAHARAJA: “Oh! Ibu!”

RESO: “Yang Mulia, apakah nasihat hamba sebagai Pemangku

Paduka masih ada harganya? Atau, Paduka akan menyingkirkan

hamba ke desa untuk bertani?”

MAHARAJA: “Aduh! Kepalaku! Oh, perutku! Aku mau

muntah!” (muntah hawa) --- “Oh, tak ada yang keluar! --- Oh,

dadaku sesak!”

RESO: “Pengawal, bawa Sri Baginda masuk ke dalam! Biarkan

Baginda beristirahat dulu!”

Dua orang pengawal bertindak cekatan.

MAHARAJA: “Ya! Persidangan ditunda satu minggu! Aku perlu

menenangkan batin dan perutku lebih dulu”.

174

Page 175: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KENARI: “Panembahan Reso, begitu tega Anda menekan

Maharaja yang masih suci dan muda dengan gagasan yang ganas

tanpa peri kemanusiaan. Mana mungkin Anda membela kerajaan

tanpa membela nilai-nilai yang luhur di dalam kehidupan?”

MAHARAJA: “Bibi! Sudah, Bibi! --- Antarkan aku masuk ke

dalam. Kita tunda dulu masalah yang buas dan kasar ini”.

Maharaja dan ratu Kenari masuk dengan para Pengawal.

Suasana hening. Ratu Dara tertunduk dengan rasa hancur dan

malu.

DARA: “Maaf, para Aryo, maaf! Sihir yang jahat telah menimpa

Maharaja kita. Tidak biasanya Baginda bertingkah seperti ini”.

JAMBU: “Jauhkan Baginda dari Ratu Kenari. Usul-usulnya serba

tidak masuk akal dan melemahkan semangat Baginda”.

DARA: “Saran Anda sangat perlu saya perhatikan.

RESO: “Cukup! Sekarang, silakan Anda berempat pulang. Istri

Anda akan segera kami susulkan”.

BAMBU: “Baik. Kami akan pulang, tetapi berjanjilah Anda tidak

akan terlambat mengambil tindakan untuk membela keutuhan

kerajaan”.

SUMBU: “Keutuhan kerajaan tidak bisa dikorbankan begitu saja.

Kami mohon, janganlah Anda berdiam diri di dalam hal ini”.

175

Page 176: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

LEMBU: “Sedikit saja ada kelemahan di dalam wilayah kerajaan,

anjing-anjing Portugis pasti akan melakukan pendudukan. Dan,

mungkin juga, kalau Pangeran Bindi dibiarkan leluasa agak terlalu

lama, ia justru akan mengundang bantuan orang Portugis untuk

menerjang ibu kota merebut tahta. Lalu, sebagai imbalan, ia akan

membuka dua atau tiga bandar bagi mereka”.

RESO: “Jangan khawatir! Kepercayaan Anda semua tidak akan

aku lalaikan. --- Sampai ketemu”.

Mereka bertukar salam, dan keempat Aryo itu pun pergi. Tinggal

Panembahan Reso, Ratu Dara, dan Aryo Sekti.

DARA: “Tidak akan aku bisa memaafkan Si Rebo yang telah

memberi rasa malu seberat ini. Ah! Kandunganku terasa berkerut-

kerut dengan penuh penyesalan”.

RESO: “Istriku, tenangkan dulu pikiranmu”.

DARA: “Bagaimana bisa tenang?! Ia tidak hanya menjijikkan,

tetapi juga menjadi berbahaya untuk kita. Apa yang kita bina bisa

runtuh tanpa ia pedulikan. Dan, bila terancam ketakutan ternyata

ia tega mengkhianati kita”.

RESO: “Sudahlah! Sabar! Marilah kita sendiri pulang. Besok pagi

kita garap lagi masalah ini dengan segera”.

DARA: “Saya lupa, siapakah pembunuh yang dulu membantu kita

menyingkirkan Raja Tua?”

176

Page 177: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Siti Asasin”.

DARA: “Tolong, saya ingin ketemu dia”.

RESO: “Astaga! Untuk apa?”

DARA: “Kalau kita sudah tega menyingkirkan satu raja, apa

sulitnya untuk menyingkirkan satu raja lagi?”

SEKTI: “Begitu besarkah tekad Anda?”

DARA: “Kenapa tidak? Akan saya buktikan bahwa wanita yang

tegas lebih pantas duduk di atas tahta”.

RESO: “Duh Gusti! Kamu bisa lebih mampu mengatur negara itu

aku tak ragu. Tetapi, jangan kamu bertindak kejam kepada putra

kita”.

DARA: “Ia bukan putra Anda. Dan, bukan lagi putra saya”.

RESO: “Jadi, kamu benar-benar bertekad untuk menobatkan diri

menjadi raja?”

DARA: “Kenapa tidak, bila saya merasa kuat dan bisa

membuktikan bahwa kuat? Bukankah Anda bisa menjadi andalan

saya yang utama? --- Bila Anda ragu-ragu untuk memanggil

pembunuh itu, saya bisa bertindak sendiri dengan cara saya!”

(pergi)

RESO: “Aryo Sekti, Anda menyaksikan sendiri sekarang

bagaimana unsur yang tidak terduga telah membantu usaha ke

arah cita-cita kita!”

177

Page 178: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Ya. Memang! Dan, saya juga menyaksikan bagaimana

mengerikannya sihir gaib dari tahta. --- Sebenarnya, sekarang ini,

hati saya menjadi kecut. Tetapi, demi keutuhan dan kejayaan

kerajaan, saya tidak akan mundur dalam membantu usaha Anda”.

***

44. SIHIR CANDU KEKUASAAN

Pagi hari. Di Balai Penghadapan Istana Raja. Aryo Lembu, Aryo

Bambu, Aryo Jambu, Aryo Sumbu, Aryo Sekti, dan Panembahan

Reso duduk berkumpul di situ. Tahta raja kosong.

SUMBU: “Masih berapa lama lagi kita harus menunggu?

Panembahan, apakah tidak sebaiknya Anda menyusul Sri Baginda

ke kamarnya?”

“Baginda harus menentukan sikap hari ini. Kalau terlambat, makin

besar kerugian yang akan diderita oleh masyarakat. Dari hari ke

hari semakin kuat persiapan Pangeran Bindi”.

RESO: “Lebih baik kita bersabar sebentar. Kalau merasa terlalu

ditekan Baginda akan semakin kacau jalan pikirannya”.

JAMBU: “Pasukan saya sudah saya siapkan kembali. Kami siap

untuk menerima perintah dari Anda, Panembahan”.

RESO: “Tetapi, langkahku harus lebih dulu disetujui oleh Sri

Baginda”.

178

Page 179: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BAMBU: “Pasukan saya juga sudah siap. Yang gelisah menunggu

perintah bukan hanya saya, tetapi juga seluruh prajurit pasukan.

Bahkan, kuda-kuda kami yang di istal ikut gelisah dengan bulu

suri yang berdiri”.

RESO: “Sebelum aku duduk di sini aku mencoba menemuinya.

Tetapi, Baginda tidak mau menerima kunjungan siapa pun.

Kemudian, ibu Baginda, istriku, mendesak, berseru dari balik

pintu memohon menghadap. Akhirnya, Baginda sudi menerima

ibundanya”.

Tiba-tiba punggawa masuk.

PUNGGAWA: “Mohon ampun, Panembahan! Aryo Simo datang

terburu-buru, mendesak untuk diperkenankan masuk ke Balai

Penghadapan”.

RESO: “Biarkan ia masuk”.

PUNGGAWA: “Baik, tuanku”. (pergi lagi)

SUMBU: “Kadipaten Watu Songo, wilayah Aryo Simo, mulai

menjadi sasaran pasukan Pangeran Bindi. Mereka menyerbu

bertubi-tubi”.

Masuk Simo setengah berlari.

SIMO: “Salam, para Aryo! Salam, Panembahan! Di manakah Sri

Baginda?”

179

Page 180: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Masih di kamarnya. Kami semua menunggu Sri Baginda.

--- Tetapi, kenapa keadaan Anda seperti ini? Anda tampak seperti

baru saja dilabrak prahara”.

SIMO: “Bencana, Panembahan! Bencana! Lebih enak dilabrak

prahara rasanya. Saya dilabrak oleh pasukan Pangeran Bindi.

Mereka telah menduduki Kota Kadipaten”.

RESO: “Astaga!”

SIMO: “Pasukan mereka kuat dan buas. Saya tidak merasa malu

melarikan diri. Sesudah bertahan selama mungkin dan sempat

mengungsikan seluruh keluarga saya, akhirnya saya mundur dan

lari kemari. Tiga hari perjalanan tanpa berhenti. Sekarang,

keadaan saya, antara hidup dan mati”.

RESO: “Apakah Anda meninggalkan wilayah Watu Songo tanpa

pertahanan sama sekali?

SIMO: “Tentu saja tidak. Pasukan saya tarik mundur dari Kota

Kadipaten untuk membuat pertahanan di Hutan Roban. Di situ

membuat pertahanan yang kuat lebih dimungkinkan. Lebih baik

kita yang lebih dulu menduduki hutan itu daripada mereka. Jadi,

kami mundur dari Kota Kadipaten agar bisa lebih kuat bertahan.

Dan, dengan begitu pula kami menghadang jalan mereka ke arah

ibu kota”.

RESO: “Syukurlah. Aku membenarkan pertimbangan Anda”.

180

Page 181: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

JAMBU: “Bagaimanapun pasukan Aryo Simo pasti memerlukan

bantuan”.

SIMO: “Pangeran Bindi telah memperkosa gadis-gadis desa.

Pernah terjadi, dalam tempo sehari sepuluh gadis ia perawani”.

LEMBU: “Jahanam!”

RESO: “Tenang, Aryo Lembu. Lebih baik kita mati di medan

perang dari pada mati karena hati yang penasaran”.

LEMBU: “Sekarang juga kita harus bergerak”.

RESO: “Tidak sekarang! Tetapi, hari ini kita pasti bergerak.

Percayalah kepada janjiku ini”.

Punggawa masuk lagi.

PUNGGAWA: “Maaf, Panembahan. Aryo Bolo, Aryo Ombo,

Aryo Bondo, Aryo Wongso mohon masuk ke Balai Penghadapan.

Menurut mereka, persoalan yang mereka bawa bersifat gawat dan

harus segera diutarakan kepada Sri Baginda”.

RESO: “Biarkan mereka masuk dengan segera”.

PUNGGAWA: “Baik. Panembahan”. (keluar)

RESO: “Di dalam keadaan gawat ini, kita tidak boleh terburu

nafsu, dan akhirnya membuat kesalahan tanpa kita sadari.

Tenangkan diri! Keadaan yang lebih gawat dari ini pernah kita

alami, di kala kita melawan penindas Portugis, di masa remaja

181

Page 182: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

dulu. Toh, waktu itu, kita bisa mengatasinya. Apalagi sekarang

dalam keadaan sudah lebih banyak pengalaman”.

Masuk Aryo Bolo, Aryo Bondo, Aryo Ombo, dan Aryo Wongso.

Mereka saling bertukar salam dengan yang sudah hadir lebih

dahulu.

BOLO: “Di manakah Sri Baginda?”

RESO: “Sebentar lagi akan muncul. Kami semua menunggu.

Kami sudah menerima laporan dari Aryo Simo, dan kami

memahaminya”.

BOLO: “Anda tidak akan bertindak tanpa persetujuan Sri

Baginda?”

RESO: “Tentu saja”.

BOLO: “Tetapi, dari jauh saya sudah bisa membaca. Anda orang

yang tangkas bertindak dan cepat bisa menilai keadaan. Bahwa,

dalam hal ini ada terjadi kelambanan. Itu pasti terjadi karena sikap

Sri Baginda. Sikap apakah itu?”

RESO: “Ada yang Baginda pertimbangkan”.

SUMBU: “Baginda punya pikiran untuk berunding dengan

Pangeran Bindi!”

BONDO: “Apa?”

SIMO: “Setelah puluhan desa dirampok dan puluhan gadis

diperawani?”

182

Page 183: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

OMBO: “Sadarkah Baginda bahwa Pangeran Bindi merasa dalam

keadaan yang lebih kuat dan akan melecehkan tawaran untuk

perundingan?”

BONDO: “Apa-apaan ini! Kita rajakan Baginda toh tidak untuk

membiarkan sepertiga kerajaan dimakan anjing!”

RESO: “Cukup! --- Bahwa keadaan gawat, sudah cukup jelas bagi

kita. Dan, aku sudah berjanji akan punya jalan keluar dari keadaan

yang buruk ini. Tetapi, sesuai dengan kedudukanku sebagai

Pemangku, aku membutuhkan restu Baginda untuk menjalankan

siasatku. Sekarang ini, istriku, Ibunda Sri Baginda, sedang

berusaha untuk membujuk agar sudi menemui kita”.

BOLO: “Saya telah mengingatkan bahwa hal semacam ini bisa

terjadi”.

WONGSO: “Terus, bagaimana bila Panembahan Reso

mengajukan tindakan jalan keluar, tetapi Sri Baginda tidak

merestuinya? Lalu apa yang pantas dilakukan?”

BOLO: “Panembahan Reso harus berani menentang raja”.

RESO: “Apa?”

BOLO: “Ya! Demi keselamatan kerajaan!”

RESO: “Nanti dulu! Pengandaian Anda terlalu jauh. Bila Baginda

bimbang tidak berarti Baginda tidak bisa diinsyafkan. Tetapi,

kalau hal mokal-mokal kiranya toh terjadi juga, maka

sebagaimana pernah aku buktikan, aku akan menempatkan

183

Page 184: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kepentingan kerajaan di tempat utama, lalu bertindak dengan cara

yang paling bijaksana. Dalam hal ini, restu Anda semua yang aku

minta”.

BOLO: “Kami akan memberi restu semacam itu kepada Anda.

Teman-teman setuju dengan saya?”

SIMO: “Jelas setuju!”

SEMUA: “Setuju! Setuju!”

Muncul Ratu Dara dalam keadaan yang kumuh dan lusuh.

Tangannya berlumur darah.

RESO: “Istriku, apa yang terjadi?”

DARA: “Jangan sentuh aku! --- Aku telah membunuh Sri Baginda

Maharaja”.

Semua orang kaget dan membatu.

DARA: “Aku telah menikam jantung putra tunggalku dengan

kerasnya. Ia bukan lelaki yang sejati. Ia tak mampu

mempergunakan kerisnya. Jadi, biarlah keris itu terhunjam di

dadanya”.

“Ia membuat aku merasa malu. Kita dudukkan ia di atas tahta, dan

di atas tahta itu ia akan mencincang negara, didorong oleh rasa

takutnya. Sekarang, aku merasa seperti mengambang di telaga

darah. Apakah aku telah menjadi hantu? Apakah aku berada di

184

Page 185: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

alam gaib? Bau amis memenuhi udara. --- Suamiku, membunuh

orang ternyata tidak gampang. Begitu batang keris menancap ke

badan korban, serasa darah mengucur dari tubuhku sendiri.

Seluruh diriku serasa menjadi ada dan tiada. Suamiku, pahamkah

Anda? --- Suamiku”.

SEKTI: (tiba-tiba mencabut keris dan menikam mati Ratu Dara)

“Pengkhianat!”

Semua orang terkesiap. Panembahan Reso pelan-pelan

membungkuk meraba mayat istrinya.

SEKTI: “Maaf, panembahan, saya bunuh istri Anda karena ia

telah membunuh Maharaja kita”.

RESO: “Anda tidak bersalah. Anda menjatuhkan hukuman pada

orang yang benar-benar telah berdosa. Tugasnya sebenarnya

seperti tugasku, yaitu menjadi Pemangku Raja. Seorang yang

dipercaya memangku tidak boleh menyirnakan yang dipangku. ---

Seharusnya, aku sendirilah yang menjatuhkan hukuman, tetapi

Anda lebih cepat dari aku. Aku tadi lamban karena didorong

perasaan jijik dan ngeri, begitu menyadari bahwa istriku ternyata

tega mengkhianati raja yang juga putranya. --- Pengawal!

Singkirkan jenazah ini. Uruslah baik-baik bersama jenazah raja.

Ada urusan negara yang lebih utama untuk kami bereskan di sini”.

PENGAWAL: “Baik, Yang Mulia!”

185

Page 186: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Jenazah disingkirkan.

BOLO: “Saya kagum pada kekuatan Anda untuk menerima ujian

batin yang berat ini. Tidak perlu memberikan kata-kata hiburan

dan peringatan. Karena, Anda sudah bisa menguasai diri dan

menyadari adanya tugas kita bersama yang mendesak di depan

mata, ialah: tugas membela negara!”

LEMBU: “Seperti Anda, saya pun telah mengalami puluhan

pertempuran. Kita telah puluhan kali menyaksikan sahabat karib,

atau bahkan saudara, gugur di dekat kita, dan kita tetap bisa

menguasai diri. Oleh karena itu, meskipun kelihatan kejam, saya

tega untuk meminta kepada Anda, marilah kita terus bekerja

sekarang juga. Pimpinlah kami agar bisa bertindak hari ini juga

membela negara yang sedang dilanda bencana”.

SIMO: “Panembahan, saya juga memohon. Di Watu Songo, saat

ini juga, terjadi banyak bencana yang sama besarnya dengan

bencana yang menimpa hidup pribadi Anda”.

RESO: “Aku berdiri di sini, di antara Anda semua, justru untuk

melaksanakan kewajiban. --- Tetapi, lebih dulu kita harus

menyadari bahwa Pangeran Bindi yang Anda semua bermaksud

memerangi, sekarang ini, Pangeran yang memang berhak atas

tahta, setelah Sri Baginda Maharaja kita wafat”.

186

Page 187: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BOLO: “Dengan tegas saya menolak merajakan orang yang

sangat berbahaya itu”.

OMBO: “Belum menjadi raja saja ia sudah merampok rakyat dan

memperkosa gadis-gadis yang tidak berdaya. Lalu, bagaimana

jadinya nanti kalau ia menjadi raja!”

RESO: “Kalau begitu kita akan merajakan salah satu dari

Pangeran Kembar”.

BONDO: “Tidak mungkin! Mereka dengan sadar sudah memihak

Pangeran Bindi, berarti mereka dengan sadar telah memihak

kepada kejahatan”.

SUMBU: “Jangan sampai kita salah memilih raja lagi. Contoh

yang baru saja terjadi jangan sampai terlupakan, karena kita,

terutama Anda telah membayarnya dengan harga sangat mahal”.

RESO: “Tetapi, kita harus memilih raja di antara para Pangeran!

BOLO: “Tidak selamanya harus begitu. --- Yang utama

bagaimana baiknya untuk negara. --- Sekali lagi, ingatlah pada

pelajaran mahal yang baru saja kita alami”.

JAMBU: “Jangan lagi kita memilih raja seperti berjudi untung-

untungan. Kita harus memilih orang yang sudah terbukti mutu dan

kemampuannya untuk kita rajakan”.

BOLO: “Tepat! Tepat! Marilah kita rajakan orang yang telah

terbukti sanggup memimpin, telah terbukti diakui pengaruh

kewibawaan pribadinya, telah terbukti punya wawasan

187

Page 188: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kenegaraan, telah terbukti ahli mengatur siasat perang, dan juga

telah terbukti ikhlas melakukan pengorbanan pribadi demi negara,

serta sampai sekarang kehidupan pribadinya bersih dari

pencemaran noda. Marilah kita rajakan Panembahan Reso!”

SIMO: “Setuju!”

SEMUA: “Setuju! Setuju!”

LEMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”

SIMO: (berlutut) ”Salam, Raja!”

OMBO: (berlutut) “Salam, Raja!”

BONDO: (berlutut) “Salam, Raja!”

WONGSO: (berlutut) “Salam, Raja!”

SEKTI: (berlutut) “Salam, Raja!”

BAMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”

JAMBU: (berlutut) “Salam, raja!”

SUMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”

Aryo Lembu membimbing Panembahan Reso, didudukkan di atas

tahta. Lalu, ia pun dirajakan oleh orang.

LEMBU: “Yang Mulia Sri Baginda Raja, siapakah nama dan

gelar Paduka sebagai Raja?”

RESO: “Kamu rajakan aku ketika namaku Panembahan Reso.

Sekarang biarlah tetap begitu namaku sebagai raja”.

188

Page 189: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

LEMBU: “Yang Mulia Sri Baginda Panembahan Reso, karena

hamba yang tertua di sini, maka atas nama yang hadir di sini

hamba menyatakan sumpah patuh dan setia kepada Paduka.

Sesudah itu, hamba menanti firman yang pertama dari Paduka

sebagai raja”.

RESO: “Inilah firman yang pertama sebagai raja: Aryo Sekti aku

angkat menjadi Senapati Istana dan Ibu kota. Aryo Lembu aku

angkat menjadi Senapati Medan Perang. Aryo Sumbu menjadi

Senapati Perlengkapan Perang. Sedangkan, yang lain tetap pada

tugasnya yang sudah ada”.

“Terima kasih aku ucapkan untuk kepercayaan dan kesetiaan yang

telah Kalian berikan sehingga aku telah Kalian angkat menjadi

raja”.

“Karena kerajaan dalam keadaan darurat, maka tak usah sekarang

aku bicara tentang tetek-bengek lainnya. Tapi, marilah sekarang

kita langsung berbicara mengenai tindakan apa yang akan kita

lakukan hari ini juga untuk mempertahankan keutuhan kerajaan”.

“Aryo Adipati Ombo, sebelum kamu datang kemari apakah yang

kamu lakukan di Kadipatenmu?”

OMBO: “Sebelum hamba kemari hamba kirim pasukan panah

hamba untuk memperkuat pasukan Aryo Adipati Simo di Hutan

Roban. Tentara Kadipaten Sawojajar, digabung dengan Pasukan

189

Page 190: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Kadipaten Watu Songo akan mampu mencegat jalan Pasukan

Pemberontak ke arah ibu kota”.

RESO: “Bagus! Biarlah siasat Aryo Simo dan kamu dipersatukan

dan diteruskan. Tentu kamu semua juga menyadari bahwa

kerajaan kita terbagi dari Laut Utara ke Selatan oleh pegunungan

yang tinggi. Di sebelah Timur pegunungan terdapat Kadipaten

Winongo, Sendang Pitu, dan Watu Limo. Sedang di sebelah Barat

pegunungan terdapat Kadipaten Tegalwurung, Watu Songo dan

Sawojajar. Pemberontak telah menduduki Kadipaten Tegalwurung

dan sebagian besar Kadipaten Watu Songo. Gerakan mereka ke

Selatan bisa ditahan oleh pasukan Watu Songo dan Sawojajar di

Hutan Roban. Aku memuji siasat Aryo Simo ini. Musuh sukar

menduga berapa besar kekuatan tentara yang berada di dalam

hutan. Dan, mereka akan susah mendekati hutan, mereka akan

dihajar oleh hujan anak panah. Untuk menunjang siasat semacam

itu maka aku minta Aryo Sumbu untuk melengkapi pasukan

gabungan di Hutan Roban dengan anak panah sebanyak-

banyaknya”.

“Gerakan musuh ke Timur akan terhalang oleh pegunungan yang

tinggi. Pasukan dari Kadipaten Winongo, Sendang Pitu, dan Watu

Limo bertanggung jawab agar musuh tidak menyeberangi

pegunungan. Cegatlah mereka dari tempat yang lebih tinggi.

Gerakan musuh ke Barat tak akan mereka lakukan, sebab di situ

190

Page 191: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ada laut dan mereka tak punya kapal. Jadi, sebenarnya orang sial

itu hanya mampu bergerak ke Selatan, sedangkan di Selatan

mereka akan tertahan di Hutan Roban. Aku ingin cadangan

pangan, senjata dan anak panah yang kuat untuk yang bertahan di

Hutan Roban. Tidak usah memburu lawan ke Utara. ---

Selanjutnya, pasukan yang kuat dari Aryo Bambu, Aryo Jambu,

dan Pasukan Berkuda Cadangan dari ibu kota supaya menyerbu ke

Kadipaten Tegalwurung dari Timur Laut. Tentu saja dengan

menyeberangi Pegunungan dari arah Kadipaten Winongo. Kalian

tidak akan sukar merebut kembali Tegalwurung karena si Bindi

memusatkan kekuatannya di Watu Songo. --- Kemudian, dari arah

Tegalwurung desaklah orang sial itu ke arah Selatan, supaya

akhirnya nanti, dihabisi oleh Pasukan Gabungan yang bermarkas

di Hutan Roban. --- Aku minta Aryo Lembu membawa

pasukannya ke Hutan Roban juga, dan memimpin peperangan dari

hutan itu. --- Karena Kalian semua cekatan dan perkasa, maka

Kalian akan bisa memenangkan peperangan dan memulihkan

kembali keutuhan kerajaan dalam tempo empat puluh hari. ---

Apakah ada pertanyaan?”

LEMBU: “Hamba kira sudah jelas semuanya”.

RESO: “Bagus. Berangkatlah Kalian ke pos masing-masing

malam ini juga”.

191

Page 192: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

LEMBU: “Atas nama semua bala tentara hamba memohon restu

Sri Baginda Raja”.

RESO: “Restu aku berikan.

Semua memohon diri dan pergi.

Tinggallah Aryo Sekti dan Panembahan Reso.

SEKTI: “Yang Mulia, hamba merasa bangga melihat Paduka

duduk di atas tahta. Kita telah mengadakan pertemuan dari hati ke

hati, dan dari hati ke hati pula hamba berkata bahwa

sesungguhnyalah Paduka pantas menjadi Raja”.

RESO: “Terima kasih karena kamulah yang telah mempersiapkan

jalan terakhir menuju tahta. Kalau istriku tidak kamu tikam, entah

apa pula yang bakal ia ocehkan. Barangkali rahasia kebusukanku

bakal terbuka”.

SEKTI: “Jangan terlalu menyesalkan noda di masa lampau.

Karena, nyatanya, tahta telah mampu membentuk Paduka menjadi

manusia baru”.

RESO: “Tahta memang bukan tempat duduk biasa. Begitu aku

duduk di sini aku merasa tuntutan tanggung jawab yang suci dan

besar. Dari tempat dudukku ini aku mampu melihat nilai-nilai baik

yang harus dipertahankan dan dilaksanakan. Aku merasa sudah

mendapat semuanya sehingga aku tak memikirkan diriku lagi. ---

192

Page 193: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Oh, aku bersumpah untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan

kepada rakyatku”

SEKTI: “Paduka sudah memiliki kewibawaan secara wajar

sehingga Paduka tidak mengesankan sebagai orang yang gila

wibawa. Itulah maksud hamba waktu mengatakan bahwa Paduka

pantas menjadi Raja”.

Suara perempuan menembang.

RESO: “Suara wanita menembang?

SEKTI: “Hamba kira begitu, Yang Mulia”

RESO: “Oh! Apakah yang aku lihat ini? Aku melihat istriku Sang

Ratu Dara mencuci rambut di telaga darah. --- Itu! Aku juga

melihat diriku duduk di atas tahta yang terapung di telaga darah!

--- Apakah aku bermimpi lagi?”

SEKTI: “Paduka capek, Yang Mulia”

“an, terpengaruh oleh suara wanita menembang itu”

RESO: “Biarkan aku! --- Pimping-pimping tembaga ditiup angin

senjakala. Langit merah dan kini tubuhku mengucurkan darah”

SEKTI: “Yang Mulia, jangan dibiarkan nurani Paduka tersiksa

tanpa ada gunanya. Jasa Paduka di masa depan akan mampu

menebus dosa-dosa Paduka”.

193

Page 194: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Aku melihat pedesaan sekarang. Sepi dan ditinggalkan

orang. Rumpun bambu. Sumur lumutan. Pekuburan. Burung-

burung gagak hinggap di pohon randu”.

Masuklah Ratu Kenari yang dianggap seperti telanjang. Berjalan

pelan sambil menembang.

SEKTI: “Ratu Kenari! Kenapa Anda?” (memalingkan muka)

“Apakah sudah hilang kesadaran Anda? Kenapa Anda telanjang?”

RESO: “Kenapa kamu menangis, anakku? --- Kenapa kamu

berdarah, anakku?”

Ratu kenari berjalan sambil menembang menuju Reso.

RESO: “Kenapa kamu tergeletak di atas debu jalanan desa?

Reso bangkit berjalan menuju Kenari.

RESO: “Kenapa ubun-ubunmu berdarah dan badanmu penuh

dihinggapi serangga? Aku melihat kabut merayap di atas padang

belukar. O, anakku di mana sekarang kamu?” (membelai kepala

Kenari)

Kenari menikam Reso dengan keris. Sekti melihat, tetapi sudah

terlambat mencegah. --- Reso tertegun. Kenari menikam dada

sendiri dengan keris itu.

194

Page 195: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KENARI: “Kerisku beracun!” (roboh berlutut) “Penjinah!

Pembunuh! Kamu tega, aku juga tega!” (mati)

SEKTI: (menghambur ke arah Reso) “Yang Mulia!”

Ia tertegun karena Reso dengan gerakan tangan mengisyaratkan

agar ia tidak mendekat.

Sekti jatuh berlutut karena terpana.

Reso merintih dengan suara dari alam yang ganjil.

Tamat

Depok-Bandung

10 Juli 1986

195

Page 196: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

mimpi! Semuanya serba gampang dan sempurna! --- Apakah aku

bermimpi karena pengaruh bulan purnama? --- Ini bulan memang cantik,

tetapi berhawa candu. Wajahnya yang molek memancarkan bius yang

mesum, dan juga sesuatu yang… yang berbau maut. (Menguap) Aku

sudah mulai mengantuk. Tandanya mimpi sudah habis. Aku perlu tidur

sedikit. Besok hari ulang tahun raja. Aku mesti pergi ke istana.”

***

2. MENCEGAT PARA PANGERAN DI GERBANG

Panji Tumbal menunggu kedatangan para pangeran yang akan

menghadiri pesta ulang tahun raja di depan gerbang istana yang

dijaga oleh dua orang pengawal.

Aryo Sumbu dan Aryo Jambu lewat, masuk ke dalam gerbang.

Panji Sakti dan Siti Asasin lewat, masuk ke dalam gerbang.

Aryo Bungsu lewat, masuk ke dalam gerbang.

Muncul Pangeran Rebo. Ia dicegat Panji Tumbal.

PANJI TUMBAL: “Maaf, Pangeran, apa boleh saya bicara?”

196

Page 197: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

PANGERAN REBO: (berhenti dan menanggapi) “Ah! Panji

Tumbal! Tentu saja. Tetapi, kenapa mesti di sini?”

PANJI TUMBAL: “Ini mendesak. Dan…. Darurat”.

PANGERAN REBO: “Oh!”

PANJI TUMBAL: “Begini, Pangeran Rebo. Baginda sudah tua.

Apakah Anda tidak ingin menjadi raja?”

PANGERAN REBO: “Lho, apa ini?”

PANJI TUMBAL: “Negara kacau. Rakyat hidup di dalam

kemiskinan. Kejahatan merajalela, baik di kalangan rakyat

maupun di kalangan pejabat. Inilah saatnya Anda mengambil alih

kekuasaan.”

PANGERAN REBO: “Jangan kita terburu nafsu!”

PANJI TUMBAL: “Apakah Anda tidak melihat?”

PANGERAN REBO: “Saya melihat dan mendengar tetapi

pembangunan memang memakan waktu dan pengorbanan tak bisa

kita hindarkan.”

PANJI TUMBAL: “Tiba-tiba ucapan Anda lain dari biasanya”.

PANGERAN REBO: “Jangan salah paham. Saya tidak suka

bertindak dengan mata gelap. Semua harus mempunyai penalaran

yang teliti. Bicaralah dulu dengan para pangeran yang lain, baru

nanti kita bertemu lagi. Ayahanda Paduka Raja memang sudah

rusak. Tetapi, perkara mencari gantinya, kita harus teliti dan

197

Page 198: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

waspada. Salah-salah kepala kita hilang lebih dulu”. (sambil pergi)

“Saya pergi”. (Masuk ke dalam gerbang)

Muncullah Pangeran Gada, Pangeran Dodot, dan Aryo Gundu.

Mereka dicegat oleh Panji Tumbal. Semua berhenti dan

menanggapi.

PANJI TUMBAL: “Pangeran Gada, selamat pagi”.

PANGERAN GADA: “Panji Tumbal! Selamat pagi”.

PANJI TUMBAL: “Pangeran Dodot, selamat pagi”.

PANGERAN DODOT: (merangkul) “Selamat pagi. Sudah lama

tidak berjumpa”.

PANJI TUMBAL: “Saya dan istri saya selalu membicarakan

Anda, Pangeran. Kunjungan Anda ke pondok kami masih kami

rasakan sebagai satu impian yang indah dan langka”.

PANGERAN DODOT: “Mengunjungi rumah pahlawan

Tegalwurung merupakan suatu kehormatan bagi saya”.

PANJI TUMBAL: “Ah, Anda membuat saya malu. --- Aryo

Gundu, selamat pagi!”

ARYO GUNDU: “Selamat pagi, Panji Tumbal! --- Sejak

kemenangan Anda yang gilang-gemilang waktu menindas

pemberontak di Tegalwurung, baru sekarang kita berjumpa”.

198

Page 199: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

PANJI TUMBAL: “Makanan basi kenapa mesti dihidangkan lagi.

Kegiatan Anda dalam melatih pasukan cadangan yang baru selalu

saya ikuti”.

ARYO GUNDU: “Kegiatan Anda dalam membangun kembali

Kadipaten Tegalwurung pun selalu saya ikuti. Yang ini pasti

bukan makanan basi”.

PANJI TUMBAL: “Aduh, belum lagi saya berhasil

mengungkapkan isi hati, sudah terpukul rasa jengah lebih dulu”.

PANGERAN GADA: “Ada masalah apa, Tumbal? Mari kita

bicarakan di Balai Para Pangeran”.

PANJI TUMBAL: “Maaf, Pangeran, saya tidak masuk ke

dalam”.

(semua kaget)

ARYO GUNDU: “Jangan sembrono, ini hari pesta ulang tahun

raja”.

PANJI TUMBAL: “Para Pangeran, saya pamit untuk berontak”.

(semua terpana)

PANJI TUMBAL: “Anda semua termasuk orang yang saya

hormati dan saya percaya. Anda pasti tidak buta terhadap keadaan

yang nyata. --- Saya tidak ingin menjadi raja. Tetapi, saya

menyiapkan jalan untuk munculnya raja baru”.

PANGERAN GADA: “Laporan yang masuk pada saya dari

Kadipaten Watu Songo, Sawojajar, dan Winongo sangat gawat.

199

Page 200: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Perdagangan yang macet dan usaha yang gulung tikar telah

membuat para adipati jadi goyah. Mereka telah membina

hubungan yang erat dengan para pedagang yang merasa dikekang

dan ditekan oleh raja”.

PANGERAN DODOT: “Para adipati punya sarana dari daya,

sedang para pedagang punya uang, bahan makanan, dan juga lebih

dekat ke masyarakat”.

ARYO GUNDU: “Saya baru pulang dari Kadipaten Sendang Pitu

dan Watu Limo. Keadaannya sama seperti yang diutarakan oleh

Pangeran Gada. --- Seharusnya, Baginda mempelajari betul-betul

laporan kita”.

PANGERAN GADA: “Ayahanda Baginda Raja sudah tidak

mengindahkan nasihat lagi. Kekuasaan dan harga diri sudah

bercampur-aduk sehingga nalar tidak lagi dipakai, tetapi diganti

dengan kekuatan dan kekerasan semata-mata.

PANGERAN DODOT: “Saya akan mencoba berbicara kepada

Ayahanda sekali lagi”.

ARYO GUNDU: “Hati-hati Pangeran”.

PANGERAN DODOT: “Tentu saja”.

PANGERAN GADA: “Seusai upacara dan pesta kita bertemu lagi

di serambi Balai Senjata”.

ARYO GUNDU: “Panji Tumbal, kepada siapa saja Anda sudah

pamit untuk berontak?”

200

Page 201: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

PANJI TUMBAL: “Seluruh panji dan adipati merestui saya.

Lalu, Anda bertiga. --- Dan, baru saja tadi, saya berbicara tentang

ketidakpuasan kepada Pangeran Rebo. Beliau kelihatan

menghindar”.

ARYO GUNDU: “Pangeran Gada dan Pangeran Dodot, saya

mohon jangan Pangeran Rebo dibawa di dalam pembicaraan

semacam ini. Juga tidak, nanti, di serambi Balai Senjata”.

PANGERAN GADA: “Saya setuju”.

PANGERAN DODOT: “Saya paham”.

ARYO GUNDU: “Perkenankan saya memilih siapa-siapa yang

akan kita ajak bermusyawarah nanti”.

PANGERAN GADA: “Baik”.

ARYO GUNDU: “Sekarang kita berpisah. --- Selamat bekerja,

Panji Tumbal”.

PANJI TUMBAL: “Terima kasih. --- Mohon restu, Pangeran”.

PANGERAN GADA: “Saya beri restu baik, selamat tinggal!”

(berjalan pergi)

PANGERAN DODOT: “Selamat, sahabatku, selamat!” (berjalan

pergi)

ARYO GUNDU: “Hormat saya pada Anda sangat besar”.

(berjalan pergi)

201

Page 202: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Ketiga orang itu masuk gerbong. Dua Pangeran Kembar muncul

dengan hiruk-pikuk lalu beramai-ramai pula masuk gerbang.

Panji Reso muncul. Ia dicegat oleh Panji Tumbal.

PANJI TUMBAL: “Panji Reso, hormat saya untuk Anda”.

RESO: “Astaga! Panji Tumbal! Kapan datang dari

Tegalwurung?”

PANJI TUMBAL: “Sudah seminggu. --- Saya mau bicara dengan

Anda”.

RESO: “Kalau muncul bintang kemukus pasti akan banyak

penyakit mencret”.

PANJI TUMBAL: “Anda anggap saya bintang kemukus?”

RESO: “Jelas Anda bukan rembulan. Di saat bumi gonjang-

ganjing dan zaman jadi edan, orang yang tetap waras seperti Anda

pasti akan dianggap satu gejala alam yang aneh”.

PANJI TUMBAL: “Saya pamit untuk berontak”.

RESO: “Nah, apa kataku! Negara kena mencret”.

PANJI TUMBAL: “Kita dulu telah sama-sama berjuang di

medan laga Tegalwurung”.

RESO: “Dan, sekarang apakah saya akan merestui Anda?”

PANJI TUMBAL: “Begitu maksud saya”.

RESO: “Yang terpenting adalah para pangeran dan senapati”.

PANJI TUMBAL: “Saya sudah bicara dengan mereka”.

202

Page 203: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Siapa saja?”

PANJI TUMBAL: “Pangeran Gada, Pangeran Dodot, dan Aryo

Gundu. Mereka menanggapi dengan baik. Lalu, Pangeran Rebo.

Beliau menghindar. Dan, semua panji dan adipati akan

mendukung saya”.

RESO: “Rupanya Raja Tua sudah tidak lagi tajam dalam melihat

kenyataan….. Anda ingin menjadi raja? --- Tidak, bukan?”

PANJI TUMBAL: “Tentu saja tidak”.

RESO: “Memang sudah saya duga. Lalu siapa calon Anda?”

PANJI TUMBAL: “Terserah kepada para pangeran nanti.

Hari ini mereka akan berbincang”.

RESO: “Penting. Itu penting”.

PANJI TUMBAL: “Itulah sebabnya Anda harus merestui saya”.

RESO: “Saya akan mengirim seribu tail emas Cina kepada Anda”.

PANJI TUMBAL: “Aduh, sungguh tidak saya sangka. Inilah

sikap yang jelas dan nyata”.

RESO: “Saya orang yang tegas”.

PANJI TUMBAL: “Memang! Aduh, Panji Reso, saya sangat

terharu dan sangat berterima kasih. Saya tidak akan melupakan

budi Anda untuk selama-lamanya”.

RESO: “Tapi, saya punya syarat”.

PANJI TUMBAL: “Apa itu?”

203

Page 204: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Rahasiakan hubungan Anda dengan saya. Rahasiakan

semuanya ini. Sebab saya masih ingin main di dalam permainan

edan ini. --- Emas itu akan segera saya sampaikan kepada Anda”.

PANJI TUMBAL: “Saya paham dan setuju. Secara rahasia saya

akan menghubungi Anda lagi”.

RESO: “Tidak usah! --- Saya yang akan menghubungi Anda”.

(berjalan pergi masuk ke gerbang)

***

3. JEJER DI ISTANA RAJA TUA

Pesta-pora. Pangeran Kembar memamerkan keahlian silat

mereka. Para pangeran, para putri, para senapati, semua hadir.

Raja Tua bertarung dengan Pangeran Kembar untuk

memamerkan sebagaimana jauh kejagoannya.

RAJA TUA: “Kamu sekalian lihat, dengan gampang aku

gulingkan satu persatu putra-putraku yang perkasa ini”.

Semua bertepuk tangan. Minuman dihidangkan.

204

Page 205: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

PANGERAN REBO: “Yang Mulia Ayahandaku, Sri Baginda

Raja, atas nama semua pangeran hamba mengaturkan selamat

ulang tahun yang ke 85. Kami kagum bahwa Sri Baginda tetap

tegar dan perkasa dalam usia yang setua itu”.

RAJA TUA: “Terima kasih, anakku. Pangeran Rebo. Kamu lihat

aku masih tegar, ya? Tahu, apa rahasianya? Olahraga! --- Aku

lihat kamu pucat. Kurang olahraga. Terlalu banyak membaca.

Seorang pemimpin harus banyak olahraga! Mengerti kamu!”

PANGERAN REBO: “Akan hamba ingat, Yang Mulia!”

RATU DARA: “Yang Mulia, meskipun hamba istri Paduka yang

paling muda, tetapi hamba diminta mewakili Ratu Padmi dan Ratu

Kenari, istri Paduka yang lebih tua, untuk mengucapkan selamat

ulang tahun dan menyampaikan doa semoga Paduka bisa panjang

usia”.

RAJA TUA: “Terima kasih, Ratu Dara. Apakah para istriku juga

mengakui bahwa aku masih tetap tegar? --- Lho, kok diam saja?

Ini masalah perasaan atau apa? --- Ratu Padmi, ayo jawab! Apa

pendapatmu?”

RATU PADMI: “Paduka memang tetap tegar. Hambalah yang

kewalahan”.

Semua orang bertepuk tangan.

205

Page 206: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA TUA: “Dan, kamu, Ratu Kenari, apa katamu?”

RATU KENARI: “Paduka tegar luar biasa. Seperti batang pohon

cemara. Seperti gada dari besi. Untunglah hamba bisa

mengimbangi, dan melahirkan Pangeran Kembar!”

RAJA TUA: “Dasar Kenari! Kamu puji aku sambil memuji

dirimu sendiri”.

RATU KENARI: “Mohon ampun, Yang Mulia. Tetapi, maksud

hamba bukan hendak menekankan kemampuan sendiri, tetapi

justru hendak menonjolkan bagaimana saktinya benih Tuanku, dan

tampak jelas buktinya bila jatuh ke tanah yang subur.

RAJA TUA: “Sudah cukup. Kembali lagi kamu memuji diri

sendiri. Dan, kamu, Ratu Dara, coba nyatakan pendapatmu”.

RATU DARA: “Sudah jelas! Semua orang bisa melihat! Paduka

memang tegar. Tetapi, Yang Mulia, hamba sangsi akan

kemampuan hamba mendampingi Anda. Dan, apa masih ada

gunanya diri hamba di sisi Paduka”.

RAJA TUA: “Kesangsian semacam itu lumrah timbul”.

RATU DARA: “Justru karena itu, sekarang hamba ingin

mendengar jawaban Paduka yang nyata. Apakah hamba ini juga

cukup tegar dan berharga bagi Paduka?”

RAJA TUA: “Mari, kamu kemari! Hapuskan kesangsianmu.

Kamu ini pusaka keraton. Kamu justru menjadi sumber dari

ketegaranku”.

206

Page 207: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ARYO LEMBU: “Yang Mulia, mewakili para Aryo Senapati

hamba mengaturkan sembah. Selamat ulang tahun semoga panjang

usia”.

Semua orang bertepuk tangan.

RAJA TUA: “Terima kasih, Aryo Lembu. Kita telah bersama-

sama membangun negeri ini. Kita dulu bersama-sama mengusir

penjajahan bangsa asing dari tanah air kita. --- Di hari ini saya

tegaskan, janganlah kita mengurangi kewaspadaan. Bahaya

penyusupan asing masih selalu mengancam. Karena itu, para

senapati harus mampu mendampingi aku dalam menjaga keutuhan

negara. Ingatlah pedoman pembangunan negara yang telah kita

tetapkan: tertib, rapi, aman, dan sejahtera”.

ARYO LEMBU: “Tertib, rapi, aman, dan sejahtera!”

RESO: “Yang Mulia, sebagai tetua dari semua panji, hamba

mengaturkan selamat ulang tahun, semoga panjang umur, selalu

jaya dan sentosa. Tadi malam bulan purnama. Hamba bermimpi

bulan turun ke atap istana. Lalu, bunga-bunga bertaburan di atas

peraduan Sri Baginda. Dan, burung dara putih hinggap di atas

tahta. Inilah firasat kemuliaan Paduka”.

RAJA TUA: “Bagus. Terima kasih. Pahlawan perang seperti

kamu memang sudah jelas jasanya. Sumbanganmu kepada negara

207

Page 208: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

dalam menundukkan pemberontakan di Tegalwurung bersama

dengan Panji Tumbal telah kami beri anugerah sepantasnya. --- Di

mana Panji Tumbal?”

RESO: “Barangkali ia terlambat datang, Yang Mulia. Maklum

tugasnya berat di Tegalwurung, dan ia punya sifat yang tekun”.

RAJA TUA: “Memang tekun, tetapi juga sedikit keras kepala.

Kalau ia datang aku ingin ia melapor panjang-lebar kepadaku”.

Lima orang Panji menghadap Raja.

PANJI SIMO: “Yang Mulia, Panji Simo dari Kabupaten Watu

Songo, mengaturkan selamat ulang tahun”.

PANJI OMBO: “Hamba Panji Ombo dari Kadipaten Sawojajar,

mengucapkan dirghayu dan selamat berulang tahun”.

PANJI WONGSO: “Panji Wongso, Adipati Winongo, atas nama

seluruh rakyat Kadipaten mengaturkan selamat ulang tahun”.

PANJI BONDO: “Panji Bondo, Adipati Sendang Pitu,

menghormat Raja dan mengucapkan selamat ulang tahun”.

PANJI BOLO: “Hamba Paduka, Panji Bolo, Adipati watu Limo,

mengaturkan selamat ulang tahun”.

RAJA TUA: “Bagus! Bagus! Terima kasih. Aku sangat gembira.

Ayo, kita minum dan berpesta!”

208

Page 209: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Orang bersorak-sorai. Minum. Berpesta. Jagavaya masuk

membawa surat.

JAGABAYA: “Yang Mulia, hamba menghadap untuk

mempersembahkan surat”.

RAJA TUA: “Reso, bawa dia kemari”.

RESO: “Baik, Yang Mulia. Kemari kamu! Bicara!”

JAGABAYA: “Hamba memimpin pasukan pengawal istana hari

ini. Seorang utusan datang menggebu dengan kuda. Ia datang dari

Tegalwurung membawa surat dari Panji Tumbal untuk Sri

Baginda. Katanya surat yang sifatnya sangat penting. Ia mohon

tolong agar hamba yang menyampaikan kepada Sri Baginda,

sedangkan ia sendiri begitu selesai bicara terus melompat ke

punggung kuda, dan setelah mohon maaf karena diburu oleh

urusan yang maha gawat lalu pergi melaju ditelan debu”.

RAJA TUA: “Bawa kemari surat itu!”

Reso memungut surat itu dari Jagabaya, lalu

mempersembahkannya kepada raja. Raja Tua membaca surat dan

terus berubah wajahnya dari kaget menjadi murka. Ia meremas

surat dengan gemasnya.

RESO: “Ada berita apa, Yang Mulia?”

209

Page 210: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA TUA: “Tidak aku duga! --- Ini surat dari Panji Tumbal. Ia

tidak datang dan menyatakan diri telah memberontak. Kadipaten

Tegalwurung telah ia kuasai”.

Ada yang kaget dan ada yang pura-pura kaget.

PANGERAN REBO: “Kita harus berbuat sesuatu. Tahta dan

negara harus kita selamatkan. Kita dalam bahaya”.

RESO: “Tenang, Pangeran!”

PANGERAN REBO: “Ayahanda, apa yang dia inginkan!”

RAJA TUA: “Apa maksudmu? Apa yang dia inginkan?”

PANGERAN REBO: “Maksud saya, ia masih bisa diajak bicara

dan dicegah”.

RAJA TUA: “Tolol! Apa maksudmu, kita akan mengajak

pemberontak itu untuk berunding? Hah? --- Lemah! Itulah pikiran

orang yang kurang olahraga. Apa jadinya nanti dengan

kewibawaan tahtaku? Nantinya, setiap orang bisa memberontak

dan akan diajak berunding! --- Tidak! --- Kewibawaan tahta tidak

boleh diragukan sedikit pun. Setiap pemberontakan harus

ditumpas, dan si pemberontak harus dipenggal kepalanya. Sayang,

ia harus mati. Pahlawan yang gagah dan setia. Kenapa tiba-tiba ia

jadi begini?”

210

Page 211: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RATU DARA: “Kenapa Baginda mesti kaget? Laporan tentang

keadaan yang memburuk di beberapa Kadipaten sudah sering kita

dengar. --- Yang Mulia, sekarang kita tidak boleh terlambat. Para

Adipati yang berada di sini jangan boleh meninggalkan ibu kota!

Dan, juga semua panji!”

RAJA TUA: “Hah!”

RATU DARA: “Kita harus mencegah jangan sampai ada

kadipaten lagi yang bergabung dengan Kadipaten Tegalwurung.

Ingat, kerawanan keadaan di Kadipaten Watu Songo, Sawojajar,

dan Winongo sangat mirip dengan kerawanan keadaan di

Tegalwurung”.

RESO: “Yang Mulia, kecurigaan ini tanpa alasan”.

RAJA TUA: “Panji Reso! Kamu dan semua Panji tidak boleh

meninggalkan ibu kota. Setiap hari semua panji harus melapor di

Balai Penghadapan. Bila ada yang melanggar firmanku ini, ia akan

dianggap memberontak dan kepalanya dipenggal”.

RESO: “Sebelum kami ditindak, kenapa kami tidak diperiksa dan

diselidiki lebih dahulu”.

RAJA TUA: “Tidak! --- Ditindak lebih dulu baru kemudian

diselidiki. Inilah yang disebut “langkah pengamanan”. Apakah

kamu akan memberontak?”

RESO: “Tidak, Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Bagus! --- Aryo Bungsu!”

211

Page 212: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ARYO BUNGSU: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Kamu bertanggung jawab terhadap kepatuhan para

panji”.

ARYO BUNGSU: “Daulat Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Pangeran Bindi, kemari kamu, Nak!”

PANGERAN BINDI: “Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Kamu saya serahi tugas menyapu pemberontakan si

Panji Tumbal. Kamu akan dibantu Pangeran Kembar”.

PANGERAN BINDI: “Sanggup, Yang Mulia”.

RATU DARA: “Yang Mulia, kenapa tugas ini tidak Paduka

berikan kepada Pangeran Rebo? Ia lebih tua dan lebih banyak

pengalamannya”.

RAJA TUA: “Jangan kamu asal membela putra sendiri saja. ---

Aku tak akan memberikan tugas semacam ini kepada si Rebo,

yang baru saja mengusulkan untuk berunding dengan

pemberontak”.

RATU DARA: “Paduka mencurigai putraku? Padahal, saya baru

saja membuktikan kesetiaan kepada tahta dan negara”.

RAJA TUA: “Aku tidak menyangsikan kamu dan tidak

melupakan jasamu. Aku juga tidak mencurigai Pangeran Rebo.

Tetapi, ini langkah pengamanan. Jangan kamu memohon lebih

jauh lagi untuk putramu!” ---

212

Page 213: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

“Pangeran Rebo! Jangan kamu beranjak dari ibu kota, dan setiap

hari kamu harus melapor ke Balai Penghadapan sebagaimana para

panji! --- Pangeran Bindi! Laksanakan tugasmu. Tumpas

pemberontakan Panji Tumbal. Dan, amankan setiap kadipaten

yang kamu lewati di sepanjang jalan”.

***

4. PANGERAN BINDI MOHON DIRI KEPADA IBUNDA

RATU PADMI: “Ketegaranku telah luntur karena sakit-sakitan.

Ayahandamu Sri Baginda Raja, kurang menaruh perhatian lagi

kepadaku. Aku tidak lagi menjadi sumber daya hidupnya. Tetapi,

Baginda sangat mengindahkan kamu. Aku bersyukur karena itu.

Dan, sekarang, Baginda telah memberimu tugas yang penting dan

mulia. Laksanakan tugasmu dengan baik”.

BINDI: “Dengan restu ibu saya akan berusaha sekuat tenaga.

Yang aku perhatikan hanyalah keadaan ibu”.

RATU PADMI: “Jangan kamu kehilangan semangat. Dari hari

pertama perkawinanku dengan Sri Baginda Raja, aku telah sadar

bahwa aku tidak kawin dengan kepala rumah tangga, tetapi kawin

dengan kekuasaan. Ternyata, tidak ada bakatku untuk bermain

dengan kekuasaan. Aku hanya memahami, tetapi tanpa naluri.

Dan, bersikap diam terhadap permainan kekuasaan. --- Sekarang,

aku lihat kamu dan adik-adikmu, Pangeran Gada dan Pangeran

213

Page 214: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Dodot, sangat asyik dengan permainan kekuasaan itu. Ibu tidak

bisa membantu apa-apa. Hanya bisa menyaksikan dengan hati

yang berdebar-debar. Tetapi, jiwaku pasrah”.

Muncul Pangeran Gada dan Pangeran Dodot.

RATU PADMI: “Itulah adik-adikmu datang kemari”.

GADA dan DODOT: “Ibu!” (melakukan sungkem)

RATU PADMI: “Ibu merestui kamu semua, Nak! --- Semula aku

mengira diriku mandul. Setelah ke dukun, ternyata, aku

dianugerahi tiga putra. Ya, anugerah!”

GADA: “Kakanda, selamat bertugas”.

BINDI: “Terima kasih”.

DODOT: “Heran, kenapa kami berdua tidak diberi tugas apa-apa

oleh ayahanda!”

BINDI: “Kamu berdua hidup tanpa juntrungan. Terlalu banyak

bergaul dengan orang-orang yang resah. Ini membuat pandangan

ayahanda pada Kalian menjadi kurang mantap”.

GADA: “Bukankah keresahan harus didengarkan agar segala

sesuatu yang tidak beres di masyarakat bisa dibenahi?”

BINDI: “Jangan mengorbankan kedudukan secara konyol. Nanti,

kalau kita sudah berkuasa apa yang tidak beres baru bisa kita

benahi”.

214

Page 215: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Suara bende bertalu.

RATU PADMI: “Damai, anugerah-anugerahku, damai! Saatnya

telah tiba. Entah apalagi yang bakal terbentang di depan mataku”.

***

5. PANGERAN KEMBAR DAN RATU KENARI

RATU KENARI: “Kamu berdua berjuanglah baik-baik.

Pertahankan tahta ayahmu. Tahta itu keramat, sebab ia pusat

kehidupan seluruh negara. Oleh karena itu, tahta raja harus

mencerminkan kekuasaan”.

KEMBAR I: “Ibu, kami akan menjadi pahlawan”.

KEMBAR II: “Ibu akan bangga melihat kami naik kuda”.

RATU KENARI: “Aku ini keturunan bangsawan yang mengabdi

kepada raja, dan akhirnya mendapat anugerah untuk menjadi istri

raja. Aku sangat bangga akan kedudukan ini. Meskipun untuk

beberapa tahun aku merasa sedih karena terlambat mengandung.

Waktu itu, Baginda Raja sangat gelisah karena Ratu Padmi dan

aku tidak mampu memberinya keturunan. Lalu, Baginda kawin

lagi dengan Ratu Dara yang ternyata bisa melahirkan Pangeran

Rebo. Baginda Rasja sangat berbahagia, dan kami pun juga ikut

berbahagia. Kemudian, ternyata, Ratu Padmi pun bisa melahirkan

tiga putra berturut-turut selama tiga tahun. Dan, selanjutnya,

215

Page 216: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Tuhan menunjukkan kuasa-Nya, aku diperkenankan melahirkan

bayi kembar! Wah, waktu itu suka cita raja bukan main. Kelahiran

Kalian, bukti wahyu raja. Apa yang semula dikira tidak mungkin

terjadi, telah terjadi berlipat ganda”.

KEMBAR I: “Kata orang kami anak ajaib”.

KEMBAR II: “Sebelum bisa membaca kami sudah bisa bersilat”.

RATU KENARI: “Oleh karena itu, pertahankan diri Kalian baik-

baik. Jagalah keselamatan diri Kalian lahir dan batin. Berilah

pelajaran kepada Panji Tumbal. Buktikan bahwa wahyu berada di

pihak ayahanda Kalian, Sri Baginda Raja”.

Suara bende bertalu-talu.

RATU KENARI: “Pergilah, anak-anakku! Membela raja adalah

mengabdi ketertiban dunia”.

***

6. PANGERAN REBO DAN RATU DARA

RATU DARA: “Kamu muram karena harga dirimu sebagai lelaki

dan sebagai pangeran terpukul habis”.

216

Page 217: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Ibuku! Saya tidak peduli dengan harga diri. Semua yang

ada harganya bisa dibeli, bisa dihias, dan bisa dirias! --- Saya

terluka. Sri Baginda tidak adil terhadap saya”.

RATU DARA: “Jangan main pikiran separuh-separuh. Harga diri

bisa saja dikaitkan dengan nilai yang tidak pasaran. Seperti halnya

kamu, kamu kaitkan dengan rasa keadilan. Tapi, masalah yang

ingin aku bicarakan sebetulnya ini: kamu muram, kamu terpukul,

dan alasannya ada. Tetapi, jangan terlalu lama, anakku! Kamu

tidak boleh terlalu lama kehilangan daya. Lihatlah di alam raya.

Semua tumbuh-tumbuhan berebut cahaya matahari. Di hutan dan

di pekarangan tumbuhan yang kena lindung tumbuhan lain akan

kerdil untuk selama-lamanya. Pendeknya, alam mengajarkan kita

untuk berani bergulat. Kita harus kuat, karena yang kuat akan

menetapkan aturan di dalam kehidupan”.

REBO: (tertawa kecil tapi cerah, dan penuh rasa sayang kepada

ibunya) “Ibu tidak perlu mengkhawatirkan diri saya. Kalau orang

punya ibu seperti ibundaku, tak perlu ia khawatir akan jadi lemah.

Dengan segenap cara ibu akan membangkitkan semangat saya”.

“Ibunda, saya gundah. Saya tidak setuju dengan cara ayahanda

memerintah. Terlalu kasar ungkapan kekuasaannya sehingga

menimbulkan kesan menantang. Padahal, cukup banyak orang

perkasa di negeri kita. Menurut pendapat saya, kekuasaan bisa

217

Page 218: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

dipergunakan dengan lebih halus, tetapi toh tetap mengandung

kekuatan. Kekuasaan harus dikawinkan dengan kebijaksanaan”.

RATU DARA: “Tenangkan dulu pikiranmu. Nanti, kalau kamu

sudah menjadi raja, kamu bisa menempuh jalan yang kamu

kehendaki. Sementara itu, pendam dulu pikiran itu. Semakin tua

Sri Baginda semakin sukar dinasihati. Memang, itulah gejala

kekuatan jiwa yang memudar karena usia tua. Ia hanya mampu

bertahan, tidak lagi mampu membuka dan berkembang. Jadi,

pakailah siasat. Tunggu waktumu. Orang yang hanya bertahan

tidak akan bisa bertahan lama”.

REBO: “Benarkah saya akan bisa menjadi raja?”

RATU DARA: “Dahulu, Sri Baginda mengambil aku menjadi

istrinya karena Ratu Padmi dan Ratu Kenari tidak bisa berputra.

Terhadap diriku Sri Baginda sangat mabuk asmara. Setiap

menghadapi diriku Baginda selalu tidak bisa menguasai dirinya.

Aku menyadari kekuasaan diriku ini. Dan, aku memainkan

kekuasaan itu. Aku menuntut agar antara ketiga istri

kedudukannya sama. Tidak ada yang pertama, ke dua, atau ke tiga.

Baginda menyetujui dan memaklumkan hal itu ke seluruh negara.

Baru sesudah itu, aku menyerahkan diri, lalu mengandung, dan

akhirnya membuahkan dirimu: putra raja yang pertama”.

218

Page 219: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Saya pun juga sudah mendengar hal itu. Tetapi,

kemudian, Ratu Padmi dan Ratu Kenari juga melahirkan para

pangeran!”

RATU DARA: “Tetapi, kamu toh pangeran yang pertama dan

tertua! Sedangkan, kedudukan permaisuri tidak ada. --- Yah,

kemungkinan rintangan memang ada. Pada intinya, dasar untuk

menentukan pewaris tahta dari semula goyah. Akulah yang

membuatnya goyah. Namun, justru di sinilah letak serba

kemungkinannya. Kita akan bermain di sini. Kita harus kuat.

Seperti trembesi perkasa di dalam rimba, kita akan merebut sinar

matahari. Kamu harus menjadi raja!”

REBO: “Darahku bergelora. Aku harus menjadi raja! --- sebelum

menyatakan pemberontakannya, Panji Tumbal menawarkan tahta

yang akan ia rebut kepadaku”.

RATU DARA: “Apakah kamu terima tawarannya?”

REBO: “Saya biarkan tawaran itu mengambang. Saya bersikap

mengambil jarak”.

RATU DARA: “Benar. Jangan keburu nafsu! Jangan membuang

tenaga dalam permulaan pergulatan. Mulai sekarang, kita

mengatur siasat untuk merebut tahta dari siapa saja yang menang”.

Suara bende bertalu-talu.

219

Page 220: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RATU DARA: “Nah, waktunya tiba untuk bersiasat. Tunjukkan

wajah yang cerah. Kepada Sri Baginda berkatalah serba ‘ya’. Ini

akan memuaskan jiwanya yang sudah lemah, dan tidak lagi tahan

akan perbedaan. Kepada pembangkang berilah kata-kata yang

serba mengambang. Jangan kamu berbicara apa-apa tentang tahta.

Itulah bagianku untuk memperdebatkannya. --- Sekarang, dengan

manis mari kita elu-elukan para pangeran yang akan berangkat ke

Tegalwurung. Semoga riwayat mereka tamat di sana”.

***

7. DUA PANGERAN YANG SAKIT HATI

Pasukan berangkat dengan segenap kebesaran. Genderang.

Nafiri. Panji-panji. --- Sesudah semuanya berlalu, tinggallah

Pangeran Gada dan Pangeran Dodot dengan wajah yang muram.

GADA: “Wajahmu muram”.

DODOT: “Begitu juga wajah Kakanda”.

GADA: “Keadaan buruk”.

DODOT: “Ya, keadaan memang buruk”.

GADA: “Keadaan tidak bisa diteruskan seperti ini. Laporan para

adipati harus diindahkan. Kebutuhan setiap kadipaten harus

220

Page 221: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

dipenuhi. Kalau tidak, keutuhan justru akan berantakan. Kepala

memang penting, tetapi kaki dan tangan tak boleh diabaikan.

Kalau kaki dan tangan rusak, biarpun kepala tetap utuh, diri kita

menjadi lumpuh”.

DODOT: “Sudah jelas. Terlalu jelas”.

GADA: “Rupanya kita sepaham”.

DODOT: “Cara berpikir kita serupa”.

GADA: “Tetapi, Sri Baginda Raja, ayahanda kita, sangat berbeda

sikap dan pendapatnya”.

DODOT: “Sri Baginda salah. Beliau akan tumbang”.

GADA: “Siapa yang akan menggantikannya menjadi raja?”

DODOT: “Pangeran Rebo lemah. Dan, ayahanda telah

mencurigainya. Karena kurang siasat kartunya hampir mati”.

GADA: “Kakanda Pangeran Bindi punya harapan terbesar.

Padahal pandangannya lain dari kita. Ia sekadar buntut ayahanda”.

DODOT: “Saya juga tidak suka apabila ia menjadi raja”.

GADA: “Tetapi. Toh ia yang punya harapan terbesar untuk

mengganti ayahanda menjadi raja”.

DODOT: “Kalau ia tidak gugur di Tegalwurung”.

GADA: “Apakah Panji Tumbal cukup kuat?”

DODOT: “Harus dibikin kuat”.

GADA: “Apakah kita akan membantu Panji Tumbal?”

DODOT: “Saya tidak ragu-ragu. Apakah kakanda ragu-ragu?”

221

Page 222: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

GADA: “Baik. Kita akan membantu Panji tumbal. Bagaimana

cara dan siasatnya akan kita bicarakan dengan Aryo Gundu dan

senapati yang lain yang sependirian dengan kita. Kita bicarakan

semuanya ini di dalam rapat, di Serambi Balai Senjata yang

sedang diatur oleh Aryo Gundu”.

DODOT: “Saya setuju tanpa ragu”.

GADA: “Tetapi --- nanti dulu --- kalau usaha kita berhasil, siapa

yang akan menjadi raja?”

DODOT: “Tentu saja kakandalah yang punya peluang terbesar,

sedang saya cukup menjadi Raja Muda”.

GADA: “Raja Muda? Apa itu artinya?”

DODOT: “Artinya, putra Kakanda tidak akan menjadi putra

mahkota. Tetapi, sayalah yang akan menggantikan kakanda

menjadi raja kalau …………….”

GADA: “Kalau saya mati?”

DODOT: “Ah, jangan terlalu jauh Kakanda berpikir. --- Kita tidak

boleh saling mencurigai”.

Keduanya tertawa dengan seribu macam isi.

***

8. MIMPI DI HARI SENJA

222

Page 223: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Senjakala. Cahaya merah bercampur dengan warna keemasan. ---

Muncul Panji Reso.

RESO: “Senja merah padam. Seperti darah yang muncrat dari

luka. Gunung menjadi serupa tembaga. Alam menjadi bersifat

jantan. --- Ah, apa yang aku lihat ini? --- Rupanya aku bermimpi

lagi. Kau, mimpi, selalu menyergapku selagi aku berjaga. Candu

mimpi yang gaib, mari, kuhisap kamu. Biar penuh paru-paruku

dengan hawamu, dan lalu meresap ke dalam darah, sumsum, dan

otakku. --- Haaah! Aku melihat telaga darah dengan bunga teratai

putih yang mengapung di permukaannya. --- Aku melihat lima

bidadari mandi di telaga darah. Mereka bercengkerama. Tubuh

mereka seperti gading yang halus, licin, dan mengkilat. Dan,

wajah mereka kelimanya sama. Mirip. Serupa. Lima bidadari

kembar. --- Wajah mereka seperti wajah yang sudah aku kenal.

Ya, wajah yang aku kenal, entah di mana. Ah! Kecantikan yang

nyata tapi tak terjamah! --- Hai! Ini tata warna birahi ataukah

suasana medan laga? --- Merah, kuning, ungu, jingga, lila. Oooo,

indah! Merah. Merah. Telaga merah. Langit merah. Apa pula itu?

Astaga! Aku lihat tahta mengambang di telaga berdarah. --- Oh!

Pesona yang mengagumkan! --- Tahta itu menuju kemari. Ia

melaju ke arahku. Dihembus angin ke arahku! Aaak” ---

223

Page 224: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

“Mimpiku sirna. Dahsyat. Apakah arti mimpiku ini? Telaga darah,

teratai, bidadari, dan tahta. Apakah arti semuanya ini? --- Tahta!

Siapa yang tidak menginginkan tahta? Aku menginginkan tahta!

Sri Baginda Raja telah tua. Ia mulai pikun. Pikun dan ngawur!

Para senapati resah. Para adipati resah. Pemberontakan terjadi.

Dan, para pangeran itu tak akan becus mengatasi keadaan”.

“Aku akan lebih becus menjadi raja. Sayang, aku cuma seorang

panji! --- Tetapi, aku punya akal. Kekacauan di negara ini justru

akan memberi jalan kepadaku. Rintanganku yang utama hanyalah

para pangeran. --- Nanti, aku cari jalan!”

“Zaman sudah menjadi edan! Jangan mengharap orang edan bisa

diinsyafkan. Biarlah mereka sekalian didorong untuk semakin

edan. Sehingga, akhirnya, mereka nanti gampang aku mainkan”.

***

9. PERSEKUTUAN PARA PANJI

Panji Reso dan para panji.

SIMO: “Kita tak bisa berkumpul terlalu lama”.

RESO: “Tenang, Panji Simo! Sebelum terang tanah, kita sudah

bubar”.

OMBO: “Kita teliti dulu, apa ada mata-mata di antara kita. Kalau

ada, kita bunuh dia di sini sekarang juga!”

224

Page 225: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Tenang, Panji Ombo! Aku menyiapkan rapat ini dengan

teliti. Semua yang hadir di sini aku dapat namanya dari Panji

Tumbal. --- Dengar, Anda semua telah setuju untuk mendukung

pemberontakan Panji Tumbal”.

WONGSO: “Tapi, kita telah kalah langkah berkat Ratu Dara

keparat itu”.

BONDO: “Aku masih berani minggat dari sini dan terang-

terangan menyusul pemberontakan”.

RESO: “Jangan! Panji Bondo, tahan dulu semangat Anda. ---

Menurut pendapatku, salah langkah sudah terjadi waktu Panji

tumbal mengirim surat ke istana. Pada intinya, pemberontakan

harus dimulai dari ibu kota, tidak dari kadipaten. Dan, harus

langsung merebut tahta, mengganti pemerintahan. Baru kemudian,

semua kadipaten mendukung pemberontakan ini dengan serentak.

Bila pemberontakan dimulai dari kadipaten, maka pemberontakan

semacam itu hanya bersifat memisahkan diri dari kerajaan. Ini

lemah! Ini hanya sekadar menentang raja, tetapi belum tentu

mampu mengganti pemerintahan. Dan, hasilnya hanya akan

memecah-belah kerajaan! Inilah alasanku, kenapa aku berkata

bahwa pemberontakan Panji Tumbal salah siasat dari mula

pertama”.

BONDO: “Jadi, sekarang kita akan mencetuskan pemberontakan

di sini?”

225

Page 226: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Sabar! Sekarang belum saatnya kita berontak. Para aryo

dan senopati belum tentu berada di pihak kita. Dan, juga para

pangeran masih belum kita perhitungkan”.

SEKTI: “Jadi, bagaimana dengan Panji Tumbal? Apakah ia akan

kita biarkan seorang diri?”

RESO: “Apa boleh buat! Panji Sekti, kita pilih kehilangan satu

jari atau seluruh tangan kita?”

SEKTI: “Ya, rupanya kenyataan perjuangan memang pahit.

Tetapi, ini akan menjadi pelajaran bagi kita semua”.

RESO: “Panji Sekti, apakah Anda sanggup memimpin kami

semua di dalam gerakan ini?”

SEKTI: “Lho, jangan bikin kaget”.

RESO: “Jangan gampang kaget. Kita membutuhkan satu

pimpinan. Gerakan kita, gerakan Dewan Panji, sudah cocok satu

cita-cita dan satu pikiran. Kita tidak akan mengundang orang dari

golongan lain yang belum jelas kepentingannya untuk memimpin

kita. Hanya para panji yang tahu kepentingan kadipaten”.

SIMO: “Kalau begitu kenapa tidak Panji Reso saja yang

memimpin kita?”

OMBO: “Saya juga setuju begitu”.

RESO: “Kenapa bukan Anda, Panji Simo?”

SIMO: “Tidak! Kami para adipati sudah punya tempat dan tugas

yang lebih cocok. Sebaliknya, Anda punya wawasan yang lebih

226

Page 227: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

luas dari kami. Kehebatan Anda memimpin sudah Anda buktikan

waktu perang di Tegalwurung bersama dengan Panji Tumbal. Dan,

lagi, sebagai Panji Istana Anda lebih bebas bersiasat di ibu kota”.

BONDO: “Memang, menurut bukti dan kenyataan hanya ada dua

pemimpin yang ada di antara kaum panji. Yaitu: Panji Reso dan

Panji Tumbal! --- Tetapi, sekarang Panji Tumbal sudah tidak bisa

kita harapkan lagi karena ia terlalu keburu nafsu”.

RESO: “Jangan terlalu disalahkan dia. Dia bukan seorang

negarawan. Wawasannya, wawasan seorang satria medan laga.

Jiwanya suci dan murni”.

BONDO: “Tapi, Anda punya wawasan kenegaraan, di samping

juga unggul di medan perang”.

SIMO: “Memang Andalah yang pantas memimpin kami”.

SEKTI: “Setuju”.

RESO: “Baik. Tegas saja, aku terima pimpinan ini! Sekarang

dengar! Pulihkan kepercayaan raja pada Anda semua. Jangan

dibantah kemauan orang pikun itu. Bila nanti Anda semua sudah

kembali ke kadipaten masing-masing, galang kembali kekuatan

Anda secara diam-diam. Jangan bergerak sebelum aku beri aba-

aba. Aku akan mengadu siasat di istana. Panji Sekti akan menjadi

mata-mata dan penghubung antara kita”.

SEKTI: “Itu tugas yang cocok untuk saya”.

227

Page 228: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Kelelawar sudah mulai terbang ke arah barat. Hari

hampir terang tanah. Selamat berpisah, teman-teman. Ingat, kita

semua sudah penuh dengan tekad dan semangat, tetapi kita hanya

akan menang bila memakai siasat”. --- “Selamat!”

***

10. RAPAT DI SERAMBI BALAI SENJATA

Pangeran Gada, Pangeran Dodot, Aryo Gundu, dan Aryo Ronin.

GADA: “Begitulah. Aku kira sudah cukup panjang-lebar aku

menerangkan. Pendeknya, tanpa ragu-ragu, aku dan Pangeran

Dodot akan membantu Panji Tumbal”.

GUNDU: “Memang harus begitu. Dan, kita tidak boleh terlambat.

Bagaimana pendapat Anda, Aryo Ronin?”

RONIN: “Pemerintahan Sri Baginda Raja memang tak bisa

dipertahankan lagi. Kerajaan memburuk, sedangkan Sri Baginda

hanya kukuh pada caranya sendiri. Siapa lagi yang akan berani

memberi saran dan kecaman kalau akibatnya malah akan dicurigai

dan disingkirkan? Keadaan memang sudah buntu”.

DODOT: “Karena itu, tembok pembuntu harus kita robohkan”.

GUNDU: “Pangeran Gada, jadi Anda sudah siap kami rajakan?”

228

Page 229: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

GADA: “Demi rakyat dan demi negara aku siap menjadi raja dan

menegakkan keadilan”.

GUNDU: “Kalau begitu kita harus segera bergabung dengan Panji

Tumbal”.

RONIN: “Bagaimana dengan para panji dan adipati yang lain?”

GUNDU: “Menurut Panji Tumbal mereka semua berada di

belakangnya. Tetapi, sekarang mereka dilarang meninggalkan ibu

kota”.

RONIN: “Kalau memang sudah bertekad untuk berontak, kenapa

mereka tidak kita ajak merat dari ibu kota?”

GUNDU: “Semua tergantung Panji Reso. Di dalam saat seperti

ini, dialah yang mampu menggerakkan para panji”.

DODOT: “Kenapa ia tidak dihubungi?”

GUNDU: “Kita harus waspada. Ia dan para panji yang lain sedang

diawasi. Tetapi, saya akan berusaha menghubungi. Sesudah itu

akan kita tetapkan bagaimana siasat kita”.

GADA: “Baik. Usahakan Anda berhasil memastikan dia ke pihak

kita. Banyak orang menaruh rasa segan kepadamu. Sampai di sini

dulu. Bila terlalu lama kita bersama, bisa orang menaruh curiga”.

***

11. RUMAH PANJI RESO

229

Page 230: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Pagi hari yang cerah. Reso dilayani Nyi Reso minum teh.

NYI RESO: “Kakanda tidak tidur di rumah semalam”.

RESO: “Hm”.

NYI RESO: “Para panji diawasi, tidak boleh meninggalkan ibu

kota”.

RESO: “Hm”.

NYI RESO: “Biasanya, kalau ada badai dan topan orang berteduh

dulu. Baru setelah topan dan badai reda orang meneruskan

perjalanannya”.

RESO: “Jangan menilai. Jangan menerka. Kamu kekurangan

bahan”.

NYI RESO: “Bertahun-tahun saya hidup mendampingi Kakanda

dengan jantung yang berdebar-debar”.

RESO: “Setiap orang punya kewajiban yang harus diselesaikan”.

NYI RESO: “Sungguh sayang kandunganku gersang”.

RESO: “Siapa tahu justru benihku yang gersang. --- Tidak punya

anak tidak lagi menjadi masalah dalam hidupku”.

NYI RESO: “Sangat sering Kakanda duduk melamun”.

RESO: “Hm”.

NYI RESO: “Kelakuan Kakanda banyak menimbulkan

pertanyaan di dalam diri saya. --- Kakanda akhir-akhir ini sangat

230

Page 231: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

sering bersemadi, padahal Kakanda tidak suka bergaul dengan

para resi dan tidak betah diajak bicara masalah kebatinan”.

RESO: “Aku semadi untuk menyerahkan diri. Tidak ada

urusannya dengan kebatinan”.

NYI RESO: “Saya mendapat kesan, sepertinya Kakanda prihatin

besar……. atau sedang kecewa ---Apakah Kakanda kecewa

kepada saya?”

RESO: “Jangan cengeng. Aku tidak kecewa kepada apa saja.---

Aku prihatin. --- Aku punya cita-cita”.

NYI RESO: “Semua cita-cita sudah Kakanda capai. Kakanda

sudah mulia dan jaya. Semua orang menaruh rasa segan dan

hormat kepada Kakanda. Sekarang masih kurang apa?”

RESO: “Di balik gunung ada gunung, di balik cakrawala ada

cakrawala”.

NYI RESO: “Apakah yang Kakanda lihat di sana?”

RESO: “Tahta raja”.

NYI RESO: “Duh Gusti Jagat Dewa Batara!”

RESO: “Astaga! Kenapa kamu harus tahu! --- Cita-cita itu seperti

rajawali galak yang menggelepar-gelepar di dalam dadaku. Kini,

akhirnya lepas terbang, keluar dari kerongkonganku. --- Nyi Mas,

kalau kamu ingin aku selamat, jangan kamu buka rahasia batinku

ini”.

231

Page 232: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

NYI RESO: “Hati-hati, Kakanda! Saya tidak bisa membayangkan

apa-apa, tetapi perasaan saya keruh dan rasa kecut mengalir ke

dalam mulut saya. --- Di depan Kakanda terbentang kenyataan ada

enam orang pangeran berdiri di sekeliling tahta, sedang di atas

tahta duduk seorang raja yang sakti mandraguna. Dan, mereka

semua dijaga oleh para senapati. --- Duh Gusti Jagat Dewa Batara!

Kini terbayang oleh saya banjir darah dan kilatan pedang”.

RESO: “Gambaran yang terbentang di depanmu itu pakem-pakem

yang tak ada kenyataannya. Rajanya pikun, para pangerannya

saling berlaga, dan para senapatinya buyar berantakan tidak

mampu mengatur barisan. Kalau aku yang bisa menyelamatkan

negara kenapa aku tidak menyelamatkannya sebagai raja? ---

Cukup! Aku akan bersemadi. Jangan diganggu olah-tapaku!”

(keluar)

NYI RESO: (seorang diri. Sepi) “Cita-cita demi cita-cita

menjauhkan kakanda dari saya”.

“Cita-cita demi cita-cita mengubah pribadi suami sehingga saya

harus berulang kali belajar mengenalnya kembali. Duh, Gusti,

pikiran dan kehendak saya terlalu sederhana. Ibarat ayam yang

hanya mengenal pekarangan. Kakanda bagaikan rajawali, bisa

melihat pemandangan yang sukar saya bayangkan. Ini membuat

saya merasa putus asa. --- Sekarang kakanda terbang sudah terlalu

tinggi. Apakah masih mungkin saya menjangkau kakanda? ---

232

Page 233: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Dengan pedih saya menyadari keterbatasan diri saya. Dan, jauh di

dalam hati, saya merasa: barangkali, sekali ini, saya tidak mampu

mendampingi kakanda”.

***

12. PANJI RESO MENGHADAP RAJA

Raja Tua, Aryo lembu, Aryo Bungsu, dan Panji Reso.

RAJA TUA: “Reso! Menurut Aryo Bungsu kamu mohon

menghadap aku karena ada soal yang akan kamu ajukan yang

sangat mendesak sifatnya”.

RESO: “Memang demikian, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Soal apa itu?”

RESO: “Hamba mohon untuk diizinkan meletakkan jabatan dan

pergi bertani”.

RAJA TUA: “Apa?!”

RESO: “Mohon maaf kalau dianggap tidak penting soal semacam

ini, tetapi bagi hamba memang mendesak sifatnya”.

RAJA TUA: “Nanti dulu! Tenang! --- Kamu ingin meletakkan

jabatan”.

RESO: “Hamba ingin bertani saja”.

RAJA TUA: “Sabar dulu! Kenapa begitu?”

233

Page 234: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Hamba merasa sangat malu. Di jalan semua orang

memandang kepada hamba seakan-akan hamba ini pengkhianat

negara. Barangkali, mereka berpikir: “Kenapa Panji Reso tidak

ikut memadamkan pemberontakan Panji Tumbal? Apakah ia

sudah tidak dipercaya Sri Baginda? --- Sri Baginda itu banyak

pengalamannya dan tajam pengamatannya. Kalau ia tak dipercaya

lagi oleh Sri Baginda, pasti sangat kuat alasannya.” --- Begitulah

seakan-akan tuduhan pandangan mata semua orang terhadap diri

saya. --- Duh Gusti Jagat Dewa Batara, saya tak kuat lagi

menanggung malu”.

RAJA TUA: “Nanti dulu!!”

RESO: “Yang Mulia, ada lagi penderitaan batin saya. Di rumah

saya berkaca. Saya kaget, kok kenyataannya saya sudah berubah

tua. Di dalam diri saya masih menggelegak jiwa kesatria yang

selalu membela raja, sebagaimana pernah saya buktikan di

pelbagai medan laga. Sebenarnya, saya pun sangat bernafsu untuk

memenggal kepala Panji Tumbal. Tetapi, apa boleh buat, bintang-

bintang yang lebih muda banyak yang muncul sehingga Sri

Baginda tak perlu lagi memakai pengalaman orang tua seperti

saya”.

RAJA TUA: “Salah! Salah! --- Orang tua dalam banyak hal lebih

hebat dari orang muda. Satu, karena pengalaman. Dua, karena

234

Page 235: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

sudah teruji! --- Kamu lihat tidak, bagaimana dengan gampang aku

merobohkan putraku?”

RESO: “Hamba memang melihat bagaimana usia makin membuat

Baginda tenang dan matang”.

RAJA TUA: “Tentu saja. Itu akibat dari godokan waktu”.

RESO: “Yang tidak bisa dicapai oleh orang muda”.

RAJA TUA: “Sebab belum sampai pengalamannya”.

RESO: “Betul Yang Mulia. Orang tua memang merupakan

kekayaan negara”.

RAJA TUA: “Tepat, Reso! Tepat! --- jadi tidak mungkin kamu

tidak saya pakai karena usiamu. Apalagi, sebetulnya, kamu kan

belum terlalu tua”.

RESO: “Memang belum matang dan mengkilat seperti Yang

Mulia”.

RAJA TUA: “Kalau kamu tekun menghayati kehidupan, kamu

pun akan bisa seperti saya”.

RESO: “Tetapi, kenapa hamba sekarang kena hukuman, Yang

Mulia!”

RAJA TUA: “Tidak! Tidak! Kamu tidak dihukum. Soalnya, aku

lagi marah-marah waktu itu. Kalau aku lagi marah jangan kamu

suka nimbrung. Sebab kamu kan melihat sendiri bagaimana kalau

aku marah”.

235

Page 236: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: Hal itu akan menjadi pelajaran bagi hamba. Hamba tidak

akan mengulangi lagi. --- Tetapi, sekarang bagaimana nasib

hamba?”

RAJA TUA: “Kamu diampuni. Kamu sudah bebas seperti biasa.

--- Aryo Bungsu!”

BUNGSU: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Jelas, ya, Panji Reso sudah aku ampuni”.

BUNGSU: “Baik, Yang Mulia!”

RESO: “Hamba sangat berterima kasih, Yang Mulia! --- Lalu,

bagaimana dengan para panji yang lain? Mereka semuanya setia

dan kagum kepada Sri Baginda”.

RAJA TUA: “Soal itu nanti dulu. --- Reso, ini masalah ‘langkah

pengamanan’. Mereka akan diselidiki dan diperiksa dulu, sesudah

terbukti beres, mereka pun akan dibebaskan”.

RESO: “Apakah hamba akan diperiksa juga?”

RAJA TUA: “Lho, kamu kan sudah diperiksa. Langsung oleh aku

sendiri”.

RESO: “Maaf, hamba tidak menyadari”.

RAJA TUA: “Baru saja tadi, sambil lalu, kamu sudah aku periksa.

Kalau memang sudah ahli memeriksa, yang diperiksa tidak akan

tahu. --- Lha, ini lagi bedanya antara anak muda yang belum

berpengalaman dan orang tua yang sudah kenyang asam dan

garam. Kalau anak muda, matanya pencilakan, belum melihat apa-

236

Page 237: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

apa. Kalau orang tua yang matang, dengan sekali melirik, ia sudah

melihat semuanya”.

RESO: “Hamba kagum, Yang Mulia. --- Lalu, kapan para panji

itu akan selesai diperiksa?”

RAJA TUA: “Lha, itu makan waktu. Biasa kan, sebab Aryo

Bungsu masih muda, ia memerlukan lebih banyak waktu untuk

bekerja. --- Dan lagi, kenapa tergesa-gesa? Biar mereka istirahat

dulu di ibukota. --- Kamu mengerti, bukan?”

RESO: “Tentu, Yang Mulia. Sebetulnya, ini langkah yang

bijaksana. Saat ini negara sedang gawat. Orang yang setia itu lebih

terjaga dan aman di ibu kota”.

RAJA TUA: “Tepat! Tepat! Jadi, mereka itu sebetulnya tidak

ditahan, tetapi dijaga demi keamanan mereka sendiri. --- Nah,

nanti kalau kepala Panji Tumbal sudah dipenggal dan di Kadipaten

yang lain terbukti tidak ada keterlibatan apa-apa, mereka boleh

pulang, menjalankan tugas mereka seperti biasa. Sementara itu,

aku sudah memerintahkan agar besok pagi Aryo Lembu, Aryo

Jambu, Aryo Bambu, dan Aryo Sumbu berangkat, untuk

memeriksa dan mengamankan Kadipaten dengan membawa

pasukan mereka masing-masing. --- Aryo Bungsu!”

BUNGSU: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Keadaan para panji baik-baik saja, bukan?”

237

Page 238: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BUNGSU: “Semuanya baik. Masing-masing menempati

pesanggrahan yang cukup mewah”.

RAJA TUA: “Bagus! Biar mereka gembira dan kerasan di sini.

Besok pagi kepada mereka masing-masing, kirimkan seekor lembu

dan tiga tong arak! Biar mereka berpesta. Katakan, itu hadiah

pertanda cinta dari saya!”

BUNGSU: “Baik, Yang Mulia. Semua akan hamba laksanakan”.

RESO: “Yang mulia, mohon dimaafkan kalau hamba lancang,

tetapi hamba sebagai panji istana benar-benar ikut prihatin

terhadap keamanan negara. Hamba terpaksa menyatakan bahwa

hamba bingung terhadap tingkah laku Pangeran Rebo”.

RAJA TUA: “Yah, ini soal lain lagi. Bagiku memang pelik sekali.

--- Tetapi, apa maksudmu sebenarnya?”

RESO: “Hamba tidak percaya bahwa ia berbahaya, tetapi kenapa

ia mengusulkan untuk berunding dengan bangsat pemberontak itu?

Apakah karena alasan persahabatan? Apakah karena alasan

kemanusiaan? Apakah karena pengertian siasat yang berbeda?

Atau apa?”

RAJA TUA: “Hal itu mengganggu pikiranku. --- Aryo Lembu!”

LEMBU: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Kamu yang saya serahi tugas untuk menyelidiki

dia. Bagaimana hasilnya?”

238

Page 239: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

LEMBU: “Sampai sekarang ia tidak mengutarakan isi pikiran

yang bersifat membangkang”.

RESO: “Barangkali ia terlalu sadar kalau sedang diselidiki, bila

yang bertanya-tanya itu orang yang sudah dikenal sebagai tokoh

kepercayaan Sri Baginda”.

RAJA TUA: “Barangkali begitu”.

LEMBU: “Hamba kira memang begitu”.

RESO: “Orang toh belum tahu bahwa hari ini hamba telah

diampuni. Pangeran Rebo juga belum tahu hal ini. Ia akan tetap

mengira bahwa hamba senasib dengannya. Jadi, barangkali ia akan

lebih terbuka kepada hamba, dan lalu akan mengutarakan isi hati

yang sebenarnya”.

RAJA TUA: “Kalau begitu kamu saja yang aku serahi tugas

menyelidiki”.

RESO: “Sanggup, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Bagus! Coba juga kamu telaah seberapa jauh

pengaruh Ratu Dara kepadanya. --- Kamu tahu ibunya itu sangat

keras kemauannya, dan, juga, orangnya penuh dengan cita-cita.

Banyak wawasannya yang bagus, tetapi sangat sering ia,

kelihatannya, asal mau menang sendiri”.

RESO: “Apakah Sri Baginda mencurigai Sri Ratu Dara?”

RAJA TUA: “Aku tak tahu bagaimana merumuskannya, tetapi

jelas ia ingin anaknya nanti menggantikan aku menjadi raja. Aku

239

Page 240: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

cuma khawatir kalau-kalau ia kurang sabar dalam mewujudkan

cita-citanya”.

RESO: “Hamba paham maksud paduka. Tetapi, apakah sudah ada

gejala yang menunjukkan ketidaksabaran seperti itu?”

RAJA TUA: “Lho, itulah tugasmu untuk menyelidikinya!”

RESO: “Hamba sanggup, Yang Mulia! Hanya saja, bila

diperkenankan hamba mohon Panji Sekti membantu hamba”.

RAJA TUA: “Panji Sekti?”

RESO: “Seorang panji istana juga, urusan jaga gerbang dan ronda

istana. Hamba berani menanggung dengan mempertaruhkan

kepala hamba bahwa ia patuh dan setia kepada Paduka”.

RAJA TUA: “Kalau kamu sudah berani menanggung, aku pun

membebaskannya juga. --- Baik, biar ia membantu kamu”.

RESO: “Terima kasih, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Sekalian bantu aku mengawasi para panji itu! ---

Aryo Bungsu, catat semua keputusanku ini!”

BUNGSU: “Hamba perhatikan, Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Panji Reso, segera mulailah bekerja! Sewaktu-

waktu kamu bebas menghadap aku!”

RESO: “Hamba merasa syukur dan bangga, Sri Baginda.

***

240

Page 241: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

13. BERTUKAR PESAN DI HALAMAN ISTANA

Panji Reso bertemu dengan Panji Sekti di halaman istana.

SEKTI: “Salam, Panji Reso”.

RESO: “Salam, Panji Sekti. Hari cerah, bukan?”

SEKTI: “Kita tidak bisa bicara di sini terlalu lama. Mereka

mengamati kita”.

RESO: “Tidak. Kita sudah bebas sekarang”.

SEKTI: “Jangan bikin kaget”.

RESO: “Anda selalu gampang kaget. Tetapi, begitulah

kenyataannya. Aku dan Anda sudah bebas dari pengawasan dan

pemeriksaan”.

SEKTI: “Luar biasa. Saya kagum. Bagaimana Anda bisa

meyakinkan orang semacam Sri Baginda?”

RESO: “Gampang! Untuk menginsyafkan orang sinting aku

bicara juga seperti orang sinting. Semakin sinting aku bicara

semakin ia percaya. --- Orang yang lemah itu selalu hanya mau

bicara dengan bayangannya sendiri. Demikian juga si raja pikun.

Begitu aku menjadi bayangannya, ia mau mendengar apa saja

yang aku katakan. Bahkan, aku dan Anda ditugaskan untuk

mengawasi Pangeran Rebo, Ratu Dara, dan para panji semua. ---

Nah, sekarang jalan telah terbuka. Kita akan malang-melintang

dengan siasat kita”.

241

Page 242: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Wah! Saya kagum. Saya kagum. Anda memang pantas

memimpin!”

RESO: “Hm! Anda ini lain lagi macamnya. --- Dengar Panji

Sekti, sekarang juga Anda hubungi semua panji. Katakan, besok

pagi Baginda akan mengutus empat orang senapati untuk

mengamankan dan memeriksa kadipaten masing-masing.

Perintahkan kepada para sekutu mereka di Kadipaten agar

mengubah siasat. Bekukan dulu semua gerakan pembangkangan,

sambut para senapati dengan wajah cerah. Tunjukkan sikap yang

patuh dan setia kepada Sri Baginda. Jauhi hubungan dengan para

senapati dan pangeran yang resah. Tolak semua pendekatan dan

ajakan mereka. Tegaskan, akulah pusat pimpinan gerakan para

panji. Aba-aba yang harus dipatuhi hanyalah aba-aba dari aku! ---

Jelas?”

SEKTI: “Jelas, dan sudah saya hafalkan seketika. --- sebelum

saya berangkat, saya akan menyampaikan pesan dari Aryo Gundu.

Ia menunggu Anda di Serambi Balai Senjata. Sekarang giliran dia

untuk memimpin ronda dan jaga istana”.

RESO: “Aku akan mampir ke sana”.

SEKTI: “Sampai jumpa!

RESO: “Sampai jumpa! Sekarang menghadapi macan. Terhadap

macan harus aku pakai cara yang lain lagi”.

242

Page 243: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

***

14. RUBAH DAN MACAN

Di Serambi Balai Senjata. Aryo Gundu didatangi Panji Reso.

RESO: “Salam, Aryo Gundu”.

GUNDU: “Salam, Panji Reso”.

RESO: “Mencari aku?”

GUNDU: “Ya, memang! --- Di sini kita aman bicara. Saya sudah

menyiapkan semuanya”.

RESO: “Urusan apa?”

GUNDU: “Saya dan beberapa teman merasa resah dengan sikap

raja yang tidak adil terhadap Anda dan para panji sebagai adipati

di kadipaten-kadipaten”.

RESO: “Hm”.

GUNDU: “Secara terbuka saya bicara. Kami memihak kepada

Panji Tumbal. Kami setuju terhadap pemberontakannya”.

RESO: “Begitu! --- Setuju atau tidak, apa bedanya?”

GUNDU: “Apa maksud Anda?”

RESO: “Aku kecewa!”

GUNDU: “Kecewa?”

RESO: “Kenapa para aryo, senapati hanya bisa setuju dan tidak

setuju? --- Kami para panji bergerak dan bertindak. Tetapi, apa

yang dilakukan para senapati kecuali setuju dan tidak setuju?”

243

Page 244: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

GUNDU: Kami terlambat, itu kami akui. Tetapi, kami tidak

tinggal diam. Kami telah memutuskan untuk bergabung dengan

Panji Tumbal.

RESO: “Kami? Siapa kami?”

GUNDU: “Pangeran Gada, Pangeran Dodot, Aryo Ronin, dan

saya”.

RESO: “Bagus! Ini baru aku hargai”.

GUNDU: “Kami justru akan mengajak Anda dan semua panji

untuk bergerak serentak bersama kami”.

RESO: “Apakah kedua pangeran itu bisa kami percaya? Mereka

saudara kandung Pangeran Bindi, yang justru sedang menumpas

pemberontakan”.

GUNDU: “Jelas bisa dipercaya. Pangeran Gada bersedia menjadi

raja untuk membela rakyat dan menegakkan keadilan. Panji

Tumbal juga akan mendukungnya. Sebelum berangkat untuk

berontak kami sudah saling ketemu dengan dia, dan berunding

secara singkat di depan gerbang istana”.

RESO: “Tidak aku sangka ia punya tulang dan keberanian”.

GUNDU: “Jangan disangka kami tak punya cakar dan taring!”

RESO: “Hm! Macan!”

GUNDU: Ya! Macan yang siap bertempur untuk membela

keadilan. --- Ayo, kita buktikan. Mari kita sama-sama merat dari

244

Page 245: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ibu kota. Lalu seluruh Kadipaten bergolak melawan tahta. ---

Bagaimana jawaban Anda?”

RESO: “Aku mulai tertarik pada pembicaraan Anda”.

GUNDU: “Sudah saya duga”.

RESO: “Tetapi, aku memerlukan waktu untuk menghadapi para

panji yang sekarang dengan ketat diawasi”.

GUNDU: “Kalau begitu kami akan berangkat lebih dulu malam

ini”.

RESO: “Beri aku waktu satu hari. Tunggu aku di mata air di hutan

Roban. --- Mudah-mudahan aku bisa menginsyafkan para panji

bahwa pangeran Gada dan Pangeran Dodot betul-betul di pihak

kita”.

GUNDU: “Tidak akan sulit. (mengeluarkan sebuah surat) Ini ada

surat untuk para panji dari Pangeran Gada. Di sini disebutkan

bahwa kami berempat sudah bertekad untuk berontak bersama

Panji Tumbal, dan minta dukungan mereka untuk merajakan

Pangeran Gada”. (menyerahkan surat)

RESO: “Tidak aku sangka akan segampang ini”.

GUNDU: “Mudah-mudahan memang lancar. --- Jadi, bagaimana

siasatnya agar para panji bisa merat dari ibu kota, saya serahkan

kepada Anda”.

RESO: “Beres. Itu memang urusanku. --- yang pasti aku akan

menyusul Anda”.

245

Page 246: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

GUNDU: “Kami tunggu di mata air hutan Roban”.

RESO: “Baik. --- Sekarang aku pergi”.

GUNDU: “Hati-hati!”

RESO: “Tentu saja”.

***

15. RUBAH DAN PANGERAN

Di rumah Pangeran Rebo, Panji Reso diantar duduk oleh

Pangeran Rebo.

RESO: “Maafkan. Saya terlalu mendesak untuk ketemu Anda”.

REBO: “Anda memang terlalu mendesak. Kita sedang diawasi.

Kita harus berhati-hati. Saya yakin pasti ada sesuatu yang gawat,

yang perlu Anda sampaikan kepada saya dengan segera”.

RESO: “Memang”.

REBO: “Apakah itu?”

RESO: “Saya diperintahkan oleh Sri Baginda untuk mengawasi

dan menyelidiki Anda”.

REBO: “Apa?”

RESO: “Ya! Begitulah!”

REBO: “Apa yang telah saya lakukan?”

RESO: “Menurut hemat saya tidak ada yang berarti”.

246

Page 247: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Lalu, apa yang dikehendaki Sri Baginda?”

RESO: “Banyak tindakan Sri Baginda yang tidak masuk akal. Ini

menggelisahkan rakyat, membuat ketegangan di masyarakat, dan

sangat membahayakan negara. --- Tetapi, Anda tidak perlu

khawatir. Saya berada di pihak Anda”.

REBO: “Kenapa?”

RESO: “Karena saya menyukai pikiran yang benar. Saya setuju

dengan pendapat Anda bahwa pemberontakan Panji Tumbal

sebenarnya bisa dihindarkan”.

REBO: “Laporan dari Panji Tumbal, Panji Simo, dan Panji Ombo

sudah bertubi-tubi dipersembahkan kepada Sri Baginda. Semua

menyangkut saran mengenai kebijaksanaan yang seyogyanya

diterapkan di Kadipaten untuk memperbaiki keadaan”.

RESO: “Dan, saran-saran itu semuanya masuk di akal. Bagus

untuk kesehatan negara”.

REBO: “Tetapi, Sri Baginda hanya menyukai orang seperti

Pangeran Bindi. Suka olahraga dan selalu meng-iya-kan kata-kata

raja. --- Banyak orang mengira dialah calon raja untuk putra

mahkota”.

REBO: “Tetapi, ia bukan putra tertua”.

RESO: “Namun, dari istri yang pertama”.

247

Page 248: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Menurut ibundaku, Baginda sudah mengumumkan ke

seluruh negara bahwa di antara para istri tak ada yang mempunyai

kedudukan pertama”.

RESO: “Itu betul. Antara lain sayalah saksinya. --- pangeran

Rebo, Anda merasa lebih berhak menjadi putra mahkota, bukan?”

REBO: “Ini bukan masalah keinginanku. Tetapi, dalam urusan

negara, segala sesuatu harus ada dasar dan alasannya”.

RESO: “Begitulah juga dasar pemikiran para Panji dan Adipati.

--- kami lebih menyukai Anda sebagai putra mahkota”.

REBO: “Kita harus hati-hati berpendapat dalam hal ini. Jangan

sampai terdengar raja dan beliau salah tangan”.

RESO: “Anda sudah berhati-hati, tetapi toh tetap beliau curigai.

--- Bahkan, Sri Baginda juga menaruh curiga kepada Ratu Dara”.

REBO: “Lalu apa yang harus kami lakukan?”

RESO: “Anda sudah betul, berhati-hati. Tetapi, dengan sikap yang

wajar dan hati yang tenang. Namun, bagaimanapun kita tidak

boleh menyerah kepada keadaan, kita harus tetap berusaha. ---

Demi negara! Sebab kalau tidak, negara akan jatuh ke tangan

pemuda ingusan yang otaknya tumpul, yang bisanya cuma perang

dan olah raga”.

REBO: “Panji Reso, percayalah! Maksud baik saya banyak, tetapi

keadaan saya terjepit, dan jiwa saya putus asa”.

248

Page 249: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Pangeran! Kuasai diri! Anda dituntut oleh kewajiban. ---

sekarang saya mohon pertolongan. Pertemukan saya dengan Ratu

Dara besok pagi, ketika matahari terbit, di sini. Pesankan pada

beliau ini penting dan tidak bisa ditunda. --- Jangan lupa!

Ceritakan kepada beliau semua isi pembicaraan kita”.

REBO: “Baik. Malam ini saya akan ke ibu”.

RESO: “Siapa tahu pertemuan saya dan Ratu Dara besok pagi bisa

mengubah nasib kita dan nasib negara”.

REBO: “Akan saya sampaikan hal itu juga”.

RESO: “Terima kasih. Sekarang saya mohon diri”.

REBO: “Salam”.

***

16. KONON SITI ASASIN

Di rumah Panji Sekti. Seorang abdi membawa Siti Asasin

menghadap Panji Sekti.

ABDI: “Hamba kembali, Raden”!

SEKTI: “Sudah kamu jumpai Siti Asasin?”

ABDI: “Tugas sudah saya selesaikan. Hadiah dari Raden sudah

saya sampaikan. Bahkan, sekarang orangnya ikut bersama saya”.

SEKTI: “Siapa?”

249

Page 250: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ABDI: “Siti Asasin, pembunuh bayaran itu, raden. Ia menunggu di

Pringgitan”.

SEKTI: “Sekarang kamu pergi, dan suruh ia masuk kemari”.

ABDI: “Baik, Raden”.

Abdi pergi. Panji Sekti membenahi dandanannya. Siti Asasin

masuk.

ASASIN: “Hormat saya, Raden”.

SEKTI: “Siti Asasin, kamu bikin saya kaget”.

ASASIN: “Bukankah Raden memanggil saya?”

SEKTI: “Betul! Betul! --- Tetapi, tidak saya duga secepat ini

kamu datang. Wah, saya telah merepotkan kamu”.

ASASIN: “Tidak, Raden. Segala keperluan Raden mempunyai

kedudukan yang utama di dalam hidup saya”.

SEKTI: “Terima kasih. Tidak saya duga, seorang pembunuh

bayaran mempunyai kesetiaan yang besar terhadap diri saya. ---

Saya sangat menghargai persahabatan ini. Dan, juga, saya tidak

akan melupakan jasamu yang besar di masa lampau”.

ASASIN: “Jasa yang dibayar namanya bukan jasa, Raden”.

SEKTI: “Sudah lama kita tidak berjumpa”.

ASASIN: “Saya selalu ingat Raden. Tetapi, kalau tidak karena

keperluan barangkali Raden sudah melupakan saya”.

250

Page 251: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Tidak, betul! Tidak, betul!! Soalnya kita sama-sama

repot”.

ASASIN: “Abdi Raden menyampaikan hadiah dari Raden. Saya

sangat berterima kasih. --- Seratus tail emas. Itu jumlah yang

besar, Raden. Siapa yang harus saya selesaikan?”

SEKTI: “O, belum segawat itu! --- Begini, sekarang ini saya

sedang sibuk melakukan tugas yang gawat dan rahasia. Sewaktu-

waktu saya akan memerlukan bantuanmu. --- Malam ini, kamu

saya minta menyelinap ke beberapa pesanggrahan para panji yang

dengan ketat diawasi untuk menyampaikan surat berisi pesan dari

saya”.

ASASIN: “Itu bukan soal, Raden”.

SEKTI: “Tugasmu yang sekarang, menjadi penghubung dan

mata-mata. Tetapi, kemudian hari nanti, mungkin, seperti

biasanya, saya akan mendapat tugas untuk melenyapkan orang.

Dalam hal ini jelas saya memerlukan bantuanmu”.

ASASIN: “Jangan sungkan. Itu memang pekerjaan saya”.

SEKTI: “Terima kasih. --- Karena sifat tugasku yang gawat ini,

saya minta untuk jangka waktu sampai tugasku selesai, jangan

kamu punya urusan lain dulu”.

ASASIN: “Baik, Raden! Seperti dulu?”

SEKTI: “Ya, seperti dulu”. (memegang tangan Asasin)

ASASIN: “Saya belum mandi, Raden”.

251

Page 252: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “O, ya?”

***

17. SUASANA RUMAH TANGGA

Rumah Panji Reso di waktu malam. Nyi Reso sedang membuat

‘wiron’ dua atau tiga kain. Panji Reso pulang.

RESO: “Belum tidur, Nyi Mas? Hari sudah lewat tengah malam”.

NYI RESO: “Ada kain yang harus saya wiru. Apakah makan

malam saya hidangkan sekarang, ataukah Kakanda mau mandi

dulu?”

RESO: “Aku sudah makan dan mandi di istana”.

NYI RESO: “Jadi, sudah ada yang mengurus Kakanda”.

RESO: “Hm”.

NYI RESO: “Cantikkah ia?”

RESO: “Dua lelaki tua, si Kuncung dan si Bagong, pelayan di

Bangsal Kepanjen”.

NYI RESO: “Lalu pijat di mana?”

RESO: “Tidak pijat”.

NYI RESO: “Kadang-kadang saya tergoda untuk pergi jauh-jauh ke

luar dari rumah. Berjalan ke mana saja hati saya mau. Tak perlu ada

tujuan yang nyata. Masuk hutan, keluar hutan. Masuk pasar, keluar

pasar”.

252

Page 253: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Hm”.

NYI RESO: “Apakah Kakanda menganggap wajar semua

pertanyaan dan omongan saya?”

RESO: “Memang, agak kacau isi pikiran kalimat-kalimatmu”.

NYI RESO: “Apakah Kakanda tidak akan bertanya apakah saya

lagi cemburu?”

RESO: “Hm. Apakah kamu lagi cemburu”.

NYI RESO: “Duh Gusti, begitu tidak acuhnya Kakanda bertanya.

Saya kira Kakanda tidak peduli, apakah saya dalam keadaan

cemburu atau tidak. Kakanda laju saja terus dengan urusan

Kakanda! Apakah ucapan saya ini akan Kakanda tanggapi lagi

dengan ‘hm’?”

RESO: “Barangkali kamu lagi mules. Salah makan, barangkali?”

NYI RESO: “Bagaimana bisa salah makan, kalau seharian saya

tidak bisa makan?”

RESO: “Kalau begitu, itu hawa orang lapar”.

NYI RESO: “Duh Gusti! Saya kacau, saya putus asa, saya

bertingkah jelek karena saya butuh perhatian”.

RESO: “Hm. --- Nyi Mas! Kemari kamu!”

NYI RESO: “Saya ingin dekat dengan Kakanda”. (mendekat ke

suaminya)

253

Page 254: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Bagus! Itupun menyenangkan hatiku”. (memijat dan

mengurut pundak istrinya) “Tenang, Nyi Mas. Pejamkan matamu.

--- Apakah kepalamu pening”?

NYI RESO: “Berat dan pening”.

RESO: “Lehermu kaku. Sabarlah. Jangan terlalu banyak pikiran”.

NYI RESO: “Hari-hari ini hati saya selalu khawatir”.

RESO: “Khawatir apa?”

NYI RESO: “Khawatir hubungan kita putus”.

RESO: “Kok aneh!”

NYI RESO: “Kakanda rasanya semakin jauh”.

RESO: “Omong kosong. Tidak ada perempuan lain. Dan, aku juga

sering rindu kamu”.

NYI RESO: “Saya sangat cemburu kepada cita-cita yang

menguasai Kakanda. Ia membuat Kakanda semakin jauh dari

saya”.

RESO: “Tanpa cita-cita, hidup manusia tidak akan maju. Nyi

Mas, aku tidak suka kehidupan yang datar. Tanpa cita-cita

hidupku akan kering dan mati. Lalu, kamu nanti akan bersuamikan

mayat hidup. Bayangkan! Pikirkan!”

NYI RESO: “Semakin saya bayangkan semakin tidak saya lihat

jalan ke luar untuk diri saya. Saya tidak tahan hidup seperti ini!”

(Panji Reso berhenti memijat) “Istri petani hidupnya punya

sangkutan dengan sawah. Istri pandai besi punya kaitan dengan

254

Page 255: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

tungku dan landasan. --- Tetapi, saya tidak bisa membantu

Kakanda apa-apa. Saya hanya akan menjadi beban yang

merepotkan. Hidup saya di sini tidak punya makna”. (menangis)

RESO: “Nyi Mas”.

NYI RESO: “Saya tidak mau hidup sebagai pajangan. Saya tidak

mau sekadar menjadi embel-embel. Kakanda sendiri tidak mau

hidup hanya sekadar menjadi pajangan keraton. Kakanda berhak

dan bisa punya cita-cita, tetapi saya? Kemampuan saya terbatas.

Saya tidak bisa bertani, saya tidak bisa menjadi tukang patri. --- O,

jiwa saya hampa. Hidup saya tidak berguna.

RESO: “Nyi Mas”.

NYI RESO: (reda menangis. Menyusut air mata) “Kakanda,

antarkan saya kembali ke orang tua saya. Saya ingin segera pergi

dari sini.”

RESO: “Apa maksudmu?”

NYI RESO: “Di sini, pikiran saya kacau. Biarkan saya pulang ke

orang tua dulu untuk sementara lamanya. Setelah pikiran saya

tenang, saya akan kembali lagi kemari”.

RESO: “Hm. Baiklah. Besok biar kamu diantar pulang ke

orangtuamu. --- Semoga kamu mendapatkan kedamaian di sana.

Sebenarnya, di mana pun kamu tidak akan mendapatkan

kedamaian sebelum kamu berdamai dengan dirimu sendiri. Tetapi,

barangkali, perpisahan badan yang sebenarnya antara kita akan

255

Page 256: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

membuat kamu lebih bisa punya bahan pertimbangan dan

perbandingan”.

NYI RESO: (menghambur, memeluk suaminya) “Kakanda,

suamiku, saya tidak akan mungkin meninggalkan Kakanda untuk

selama-lamanya. Saya sangat mencintai Kakanda. Tidak mungkin

saya membayangkan untuk berpisah dengan Kakanda. Bahkan,

saya selalu takut Kakanda akan meninggalkan saya. --- Oh! Saya

tidak jadi pulang ke orang tua. Lebih baik saya menanggulangi

masalah batin saya di sini”.

RESO: “Nyi Mas?”

NYI RESO: “Saya akan puasa dan semadi sambil senantiasa

mendampingi hidup Kakanda”.

RESO: “Akan banyak gunanya kalau rajin masuk ke alam

semadi”.

NYI RESO: “Saya akan mencoba apa saja asal tidak kehilangan

Kakanda”.

RESO: “Nyi Mas, aku ingin begitu-begitu”.

NYI RESO: (melepaskan diri) “Saya capek, Kanda. Saya tidak

makan seharian. Kepala saya terasa berat. Saya tidak akan kuat”.

RESO: “Hm. Kamu lihat, ini tidak untuk pertama kali terjadi.

Sangat sering aku harus berdamai dengan berahiku karena kamu

menolak ajakanku. Jadi, sebenarnya sudah terbukti bahwa saya

tidak menjauh dari kamu, tetapi kamu yang menjauh dari aku”.

256

Page 257: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

NYI RESO: “Kakanda hanya mendekat karena kebutuhan berahi

semata”.

RESO: “Tidak betul! Saya ingin berbagi pikiran dan berbicara

tentang cita-cita dengan kamu. Tetapi, selalu berakhir dengan

pertengkaran melulu! --- Dan, bila terjadi kamu berkenan

melayani aku, kamu bersikap dingin seperti batang pisang. ---

kamu lihat, aku pun punya tekanan batin, tetapi aku mampu

berdamai dengan diriku”.

NYI RESO: “Cobalah berpikir adil. Bagaimana saya harus

bersikap hangat kalau saya merasa seperti tidur dengan orang

asing? Tidak sadarkah bahwa sudah lama Kakanda menjadi orang

asing bagi saya?! Cita-cita Kakanda dari yang dulu-dulu membuat

Kakanda menjadi orang lain. Saya tidak lagi mengenal bahasa dan

peribahasa Kakanda. Asing! Asing! --- Apalagi cita-cita Kakanda

yang terakhir ini! Oh, itu membuat saya membayangkan telaga

darah”.

RESO: “Telaga darah?”

NYI RESO: “Ya, telaga darah! Dan, tahta yang Kakanda cita-

citakan adalah tahta yang mengambang di telaga darah”.

RESO: “Nyi Mas! --- Kamu ngelindur atau mimpi?!”

NYI RESO: “Oh, saya mempunyai firasat buruk! Kakanda,

jadilah panji biasa saja. Jangan bercita-cita tentang tahta. Apa

gunanya tahta yang terapung di telaga berdarah?”

257

Page 258: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Kenapa kita harus takut pada hantu pikiran? Jangan

kekacauan pikiranmu kambuh lagi! Sejak lahir manusia penuh

dengan ujian. Siapa yang tidak tahan uji akan menjadi kerdil,

pikirannya cuma bisa berkhayal, hatinya penuh iri dan dengki.

Tegak, Nyi Mas, tegak! Manusia harus sanggup menentang hantu,

jin, dan siluman di dalam pikirannya. Setiap hantu toh diimbangi

oleh teratai dan bidadari”.

NYI RESO: “Apa maksud Kakanda? Bukankah pesona teratai dan

bidadari itu bisa juga jelmaan mambang dan peri? Artinya,

siluman juga?”

RESO: “Baik! Pesona rembulan, pesona senjakala, pesona

mambang, dan siluman harus kita lawan juga! Itu aku setuju!

Tetapi, jangan kita kehilangan tekad dan keberanian. Aku bukan

batu yang hadir di dunia untuk menerima apa adanya. Aku suka

berjuang. Cita-cita itu untuk diperjuangkan tidak hanya sekadar

dikhayalkan”.

NYI RESO: (memegang kepala) “Kakanda, manusia itu penuh

dengan nafsu”.

RESO: “Benar, Nyi Mas. Aku akan waspada”.

NYI RESO: “Aduh, kepalaku! Percakapan ini terlalu berat buat

saya”.

RESO: “Pergilah tidur”.

NYI RESO: “Saya ingin berada di dekat Kakanda”.

258

Page 259: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Kemari! Rebahkan kepalamu ke pangkuanku”.

NYI RESO: (sambil merebahkan kepala ke pangkuan Panji Reso)

“Gusti, apakah saya pengecut, bodoh, atau sekadar sial nasib

saya?!”

RESO: “Rasa khawatir dan gamang adalah racun yang berbahaya

bagi hidup manusia. Barangkali tidak mematikan, tetapi

melumpuhkan. --- Pejamkan matamu, Nyi Mas. Apa yang telah

terjadi sepanjang hari ini justru kebalikan dari kekhawatiranmu,

semuanya serba lancar. Namun, jangan kamu ragukan

kewaspadaanku. --- Nyi Mas! Cita-citaku bukan sekadar untuk diri

sendiri. Negara sedang merosot pamornya. Hanya para panji dan

adipati yang masih sadar harus memberi kehidupan kepada rakyat.

Kami berani hidup prihatin dan sederhana. Kami ingin jujur di

dalam mengurusi perbendaharaan negara! Itulah, Nyi Mas, latar

belakang cita-citaku. --- Pahamkah kamu? --- Nyi Mas! --- Kamu

tidur? Bagus. Tidurlah kamu istriku. Tidur ialah saat libur yang

kita perlukan”.

Kang para hapsari sapta

Samya hyu kang warna

Wimbuh mandra kongas

Gandes luwes raras

Prasaja semunira

259

Page 260: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Sreseh karya brangta

Tan hana kang winaonan ….

***

18. RUBAH DAN MUSANG SALING BERPANDANGAN

Di rumah Pangeran Rebo. Saat matahari terbit. Ratu Dara dan

Pangeran Rebo bertemu dan berhadapan dengan Panji Reso. Ratu

Dara dan Panji Reso saling berhadapan dan bertatapan pandang

untuk seketika lamanya. Saling terpesona tanpa mengucapkan

kata-kata. Lalu, dengan penuh suasana kikuk pecahlah suasana

tanpa kata-kata itu.

RATU DARA: “Selamat pagi, Panji”.

RESO: “Selamat pagi, Sri Ratu”.

REBO: “Selamat pagi, Panji”.

RESO: “Selamat pagi, Pangeran”. (seperti tertarik magnet, Reso

mendekati Ratu Dara)

RATU DARA: “Apakah saya terlambat?

RESO: “Tidak. Tepat pada waktunya. Terima kasih atas kebaikan

hati Ratu untuk keluar dari Kaputren datang menemui saya”.

RATU DARA: “Kata Pangeran Rebo ada persoalan mengenai

tahta”.

260

Page 261: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Betul”.

RATU DARA: “Saya melawan pencalonan Pangeran Bindi

menjadi putra mahkota kalau hal itu terjadi”.

RESO: “Belum tentu terjadi, tetapi bisa terjadi. Pangeran Bindi

memang ingin menjadi raja”.

RATU DARA: “Kenapa para panji lebih menyukai Pangeran

Rebo untuk naik tahta?”

RESO: “Meskipun Pangeran Rebo kelihatan ragu dan kurang

mencerminkan tekad yang kuat. Tetapi, beliau tidak

membayangkan bahaya bagi rakyat dan negara. Dan lagi, di

belakang beliau ada Anda dan para panji”.

RATU DARA: “Kenapa para panji tidak bergabung saja dengan

Panji Tumbal?”

RESO: “Semula memang begitu niat mereka. Tetapi, Anda

mencegah. Dan, juga, saya ikut mencegah mereka. Saya tidak

setuju dengan pemberontakan dari daerah. Itu memecah-belah

keutuhan negara”.

RATU DARA: “Jadi, lebih tepat pemberontakan dari istana”.

RESO: “Betul”.

RATU DARA: “Setelah lebih dulu menyiapkan kekuatan dan

memastikan dengan cermat adanya jalan menuju tahta”.

RESO: “Betul”.

RATU DARA: “Kita berdua ada miripnya”.

261

Page 262: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Itulah firasat yang saya dapatkan sejak tadi pertama kita

berjumpa”.

RATU DARA: “Ini bukan pertama kalinya kita berjumpa”.

RESO: “Tetapi, tadi serasa untuk pertama kali”.

RATU DARA: “Aneh”.

RESO: “Mungkin juga, saya dipengaruhi mimpi”.

RATU DARA: “Mimpi?”

RESO: “Saya kemarin mimpi melihat Anda menjadi kembar

lima”.

RATU DARA: “Terus?”

RESO: “Anda mandi di telaga”.

RATU DARA: “Anda melihat saya mandi?”

RESO: “Cuma dalam mimpi. --- Mimpi itu kiriman alam. Tak ada

manusia yang bisa merancang mimpinya”.

RATU DARA: “Saya tidak merasa mendapat firasat buruk. ---

Saya merasa baru mereguk arak yang lembut dan berbau bunga

tanjung. --- Roh dan badan saya bersih dan segar. Saya merasa

aman. Terbebas dari segala beban”.

RESO: “Saya akan selalu melindungi Sri Ratu. Rakyat dan para

panji menaruh hormat kepada Ratu Dara yang terkenal berani

bebas bicara kepada raja”.

RATU DARA: “Para panji tidak dendam kepada saya karena

tertahan di ibu kota?”

262

Page 263: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Hal itu remeh bagi mereka dibanding dengan pentingnya

urusan negara”.

RATU DARA: “Kalau begitu kita harus sungguh-sungguh

bekerja”.

RESO: “Ada surat yang penting untuk Anda baca”. (menyerahkan

surat)

RATU DARA:

(membaca surat. Pelan-pelan berubah wajahnya. Pangeran Rebo

ikut membaca) “Dari mana Anda dapatkan surat ini?”

RESO: “Dari Aryo Gundu. Ia mengajak saya untuk ikut

berontak”.

RATU DARA: “Ini senjata yang ampuh untuk menghabiskan

saingan kita”.

RESO: “Anda bawa surat itu kepada raja pagi ini juga. Anda

katakan bahwa Anda mendapat surat ini dari Panji Simo dan Panji

Ombo lewat dayang atau inang. Mereka takut menyerahkannya

kepada saya karena kurang percaya. Dan, juga, mereka ingin

membuktikan kepada Anda bagaimana salah dugaan Anda kepada

mereka. Dengan begitu kecurigaan Baginda kepada para panji bisa

dihapuskan dan memperkuat pengaruh Anda kepada raja”.

REBO: “Tetapi, ibu harus tetap waspada”.

263

Page 264: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RATU DARA: “Tugasmu, diam! Ini semua urusanku. Semakin

kuasa dan besar pengaruhku kepada raja, semakin gampang aku

mendudukkan kamu di atas tahta”.

RESO: “Saya telah memasang jebak untuk empat sekawan itu.

Saya pura-pura bersedia menyusul dan meminta mereka untuk

menunggu saya di mata air hutan Roban”.

RATU DARA: “Di sana mereka akan gampang disergap oleh raja.

RESO: “Mohon kepada raja kalau bisa, agar Panji Ombo dan

Panji Simo yang dititahkan untuk menyergap dan memenggal

kepala empat sekawan itu. --- Itu berarti memulihkan kedudukan

karena kesetiaan telah dibuktikan”.

RATU DARA: “Inilah yang sudah lama saya tunggu. Rencana

yang jelas dan berani seperti itu”.

RESO: “Bila kepala mereka telah terpenggal, tinggal kita

menghadapi Pangeran Bindi, Pangeran Kembar, dan para

senapati”.

RATU DARA: “Panji, Anda membawa gairah dan harapan saya”.

RESO: “Gairah dan harapan Anda akan saya jaga sebagai mustika

yang berharga. --- Sebagai prajurit kerajaan saya bersedia diuji dan

dicoba”.

RATU DARA: “Nama tenar Anda sebagai perwira ternyata ada

lagi buktinya”.

264

Page 265: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Itu tergantung dari segi mana orang memandang. ---

Tetapi, sekarang kita bekerja. Saya pergi dari sini dan Anda harus

segera ke istana”.

RATU DARA: “Kita akan segera bertemu lagi”.

RESO: “Kapan saja, bila ada pesan dari Anda. --- Salam,

Pangeran”.

REBO: “Salam”.

RESO: “Salam, Sri Ratu”.

RATU DARA: “Salam! --- Nanti malam aku kirimkan pesan”.

(Keduanya bertatapan sejenak, lalu Panji Reso pergi)

REBO: “Sikap ibu agak ganjil kepadanya”.

RATU DARA: “Orang ganjil selalu melihat semuanya serba

ganjil. --- Lebih berguna kamu perhatikan dirimu. Bila kamu gagal

menjadi raja, siapa pun yang menjadi raja akan memenggal kepala

kita. Itulah kenyataan kekuasaan. Bagi kamu hal itu menakutkan.

Tetapi, bagiku justru menggugah gairahku”.

***

19. PARA PANJI BERKUMPUL LAGI

265

Page 266: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Pagi hari itu juga. Di rumah Panji Sekti. --- Panji Reso, dan

semua panji.

SEKTI: “Nah, semua sudah berada di sini. Tugas sudah saya

laksanakan”.

SIMO: “Perkembangan begitu cepat. Ini semua di luar dugaan”.

OMBO: “Gusti Yang Murbeng Jagat ternyata memberkati

perjuangan yang benar”.

SEKTI: “Dan, juga berkat usaha ahli dari Panji Reso”.

BONDO: “Hal itu harus diakui”.

WONGSO: “Kita sudah memilih pimpinan yang benar”.

RESO: “Hal itu jangan dilebih-lebihkan. Kesediaan Anda semua

untuk mematuhi semua rencana dengan setia merupakan

sumbangan yang lebih menentukan. --- Tetapi, kita bukan orang

lemah yang suka saling memuji. Yang memuaskan kita adalah

melihat terlaksananya cita-cita menjadi kenyataan. Sekarang, hal

itu belum tercapai. Kita masih berada di ambang permulaan”.

SIMO: “Panji Reso, apakah Anda ingin menjadi raja?”

(Semua terkesima oleh pertanyaan yang serta-merta itu)

RESO: “Kenapa bertanya begitu?”

SIMO: “Tidak ada salahnya bila Anda, saya dan semuanya

bersikap waspada. Sebentar akan terjadi kekacauan kekuasaan.

Tahta akan menjadi godaan bagi siapa saja. Mulai sekarang harus

266

Page 267: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kita tentukan bagaimana sikap kita di dalam kekacauan kekuasaan

semacam itu. Siapa calon raja kita. --- Maaf. Saya tahu pertanyaan

saya tadi membuat Anda kaget, Panji Reso. Bahkan, mungkin

juga, menyinggung perasaan Anda. Tetapi, ungkapan maksud

yang jelas adalah gaya bicara Anda juga. Lebih baik pahit

kedengarannya, tetapi baik maksudnya”.

RESO: “Lebih baik pahit kedengarannya, tetapi baik maksudnya!

Aku bertanya, apakah Anda ingin menggantikan aku untuk

memimpin Gerakan Para Panji?”

SIMO: “Sama sekali tidak. Saya hanya bermaksud mengingatkan

kepada kita semua sampai di mana batas cita-cita kita. Kita akan

memperbaiki keadaan negara dan mengganti raja. Tetapi, kita

harus menyadari bahwa kita bukan pangeran, dan mulai dari

sekarang kita harus menentukan pangeran yang mana yang akan

kita angkat menjadi raja. --- Pangeran menjadi raja itulah dasar

pikiran yang bisa diterima oleh semua orang”.

SEKTI: “Tentu saja. Apa di antara kita yang punya pikiran

berbeda?”

SIMO: “Saya bertanya, kenapa Panji Reso menentang pangeran

Gada untuk menjadi raja dan menolak ajakannya bergabung

dengan Panji Tumbal? Siapakah calon raja yang ia bayangkan?

Bukankah Pangeran Gada punya perhatian besar terhadap urusan

kadipaten?”

267

Page 268: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Itu rupanya inti uneg-uneg Anda. --- Calon raja yang

saya bayangkan tentu saja seorang pangeran. Tetapi, bukan

Pangeran Gada karena ia bukan pangeran pertama dan juga bukan

putra tertua dari istri tertua. Yang punya perhatian pada urusan

kadipaten tidak hanya ia seorang. Pangeran Rebo juga punya

perhatian yang sama. Kenapa kita menolak untuk terlibat dengan

Panji Tumbal yang sudah kita bicarakan kemarin dulu”.

SEKTI: “Pangeran Gada ingin memperalat Panji Tumbal untuk

kepentingan hasrat pribadinya. Padahal, hasrat pribadi itu tak

punya dasar. Jelas sekarang. Jadi, jangan sampai ada salah pikiran

bahwa Panji Reso lupa daratan. Sudah sekian banyak jasanya

kepada negara, tetapi hidupnya tetap sederhana. Apakah kita ini?

Kenapa berani menyangsikan mutu pikiran seorang pahlawan?”

RESO: “Cukup! Luapan perasaan akan menjadi kabut bagi

pikiran. Aku setuju dengan langkah waspada Panji Simo. Dan,

tidak aku dengar kalimat dari siapa juga yang menyangsikan

kepemimpinanku”.

SIMO: “Tidak”.

SEMUA: “Tidak”.

RESO: “Baik. Aku akan tetap memimpin Gerakan Para Panji ini.

--- Jangan aku disiram dengan puji-pujian lagi. Tetapi, beri aku

keterlibatan kerja. --- Dan, sekarang kita akan menetapkan

pangeran yang mana yang akan kita calonkan menjadi raja. Ada

268

Page 269: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

dua calon yang punya dasar untuk bisa diterima oleh rakyat.

Pertama Pangeran Rebo, ke dua Pangeran Bindi. Sekarang mari

kita bicara”.

SIMO: “Panji Tumbal pernah mengusulkan kepada saya untuk

merajakan Pangeran Rebo”.

WONGSO: “Tetapi, para senapati lebih dekat kepada Pangeran

Bindi”.

OMBO: “Itu karena mereka sama-sama kotor di dalam hal

keuangan”.

BONDO: “Hanya saja sifat Pangeran Rebo yang tidak gagah

harus kita pertimbangkan”.

SIMO: “Benar. Tetapi, beliau mempunyai ibu yang gagah dan

tajam pikirannya. Ratu Dara dengan sendirinya akan menjadi

pendamping yang memberi kekuatan dan kewibawaan”.

BONDO: “Ratu Dara memang mengagumkan. Sebetulnya, sampai

sekarang ia juga yang menjadi sumber kekuatan Raja Tua. Tanpa

Ratu Dara, Sri Baginda hanya akan menjadi berhala yang lucu”.

WONGSO: “Dan, jangan lupa! Pangeran Rebo belum terlambat

untuk dibina”.

SIMO: “Sebagai Panji Istana, Panji Reso, dan Panji Sekti bisa

langsung membinanya”.

RESO: “Gagasan yang bagus. Pangeran Rebo memang

mempunyai dasar untuk naik tahta. Sri Baginda pernah

269

Page 270: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

mengumumkan bahwa permaisurinya tidak ada. Dan,

kenyataannya sekarang, Pangeran Rebo putra pertama, tangannya

bersih dari kekotoran keuangan, jiwanya penuh kewaspadaan. Aku

kira rakyat akan bisa menerima hal ini”.

Semua mengeluarkan suara setuju.

RESO: “Kalau begitu, Pangeran Rebo calon yang akan kita

rajakan. --- Tepat seperti dugaanku. --- Adapun, perkara Pangeran

Bindi dan para senapati serahkan kepadaku untuk menyingkirkan

mereka. Beri aku waktu dan tetaplah patuh pada rencana dan aba-

aba. --- sekarang ini sebagaimana sudah dilaporkan oleh Panji

Sekti, jalan terbuka untuk menyingkirkan dua pangeran tandingan

dan dua senapati yang harus diperhitungkan. --- Panji Simo dan

Panji Ombo, Anda sudah paham peran apa yang harus Anda

mainkan di depan raja?”

SIMO: “Sudah”.

OMBO: “Jangan khawatir. Saya akan berperan sebaik-baiknya”.

RESO: “Kalau begitu kita akan menunggu di sini sesuai dengan

rencana”.

SIMO: “Sungguh sayang Panji Tumbal tidak bersama kita”.

RESO: “Kalau ia sanggup bertahan sampai kita punya raja baru,

dan ia mau menerima raja baru kita, akan tertolong nasibnya”.

270

Page 271: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Panji Reso, ada sesuatu yang akan saya utarakan.

Bisakah Anda nanti sore mampir lagi kemari?”

RESO: “Tentu saja”.

Masuk Abdi dengan tergesa.

ABDI: (Di depan Panji Sekti) “Maaf, Raden, di luar ada Aryo

Bungsu, Senapati Istana, ingin bertemu dengan Anda”.

RESO: “Tepat pada waktunya. Sebagaimana telah aku duga. ---

Biarkan ia kemari”.

SEKTI: “Bawa ia kemari”.

ABDI: “Baik, Raden”. (pergi)

RESO: “Saya yakin kita bersama lebih kuat dari mereka. Sebagai

prajurit kita lebih utuh, tanpa noda, dan rakyat lebih suka kepada

kita”.

Aryo Bungsu masuk.

BUNGSU: “Salam!”

SEMUA: “Salam!”

BUNGSU: “Lihatlah, semua panji berada di sini”.

RESO: “Aku yang mengumpulkan mereka”.

“Rupanya mereka menyimpan rahasia yang baru sekarang aku

ketahui”.

271

Page 272: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BUNGSU: “Tentang pengkhianatan Pangeran Gada, Pangeran

Dodot, dan dua orang senapati?”

RESO: “Ya! Dan, dua orang senapati!”

BUNGSU: “Saya membawa perintah dari raja. Para Panji

dititahkan menghadap ke istana”.

RESO: “Kapan?”

BUNGSU: “Sekarang. Bersama saya!”

RESO: “Teman-teman, kita berangkat bersama”.

***

20. BERHALA YANG MURKA

Di Balai Penghadapan. Para panji dan Aryo Bungsu sudah siap di

situ. Raja Tua masuk diiringi Ratu Dara dan Pangeran Rebo.

RAJA TUA:

(mengacung-acungkan surat) “Khianat! Aku, raja, yang sudah

membebaskan negeri ini dari anjing-anjing Portugis, sekarang

harus menghadapi anak-anakku sendiri yang tidak tahu membalas

budi! --- Para panji, aku tidak akan melupakan bukti kesetiaan

kamu semua. Kesetiaan akan selalu aku beri ganjaran. Dan,

kesetiaan akan selalu tampak meskipun tertimbun oleh batu ujian.

Sebaliknya, pengkhianatan akan selalu berbau juga pada akhirnya.

272

Page 273: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Sebab aku tidak bisa ditipu. Aku punya seribu mata dan seribu

telinga. Jadi, aku tahu banyak rahasia dan niat yang

disembunyikan. Dan, sekarang ini, aku tahu keempat pengkhianat

itu sedang di mana! Mereka sedang berkemah di mata air Hutan

Roban! --- Panji Simo dan Panji Ombo! Sebagai bukti bahwa aku

menghargai kesetiaanmu maka aku tugaskan kamu berdua untuk

membawa pasukan secukupnya dan mengepung para pengkhianat

di mata air itu”.

SIMO & OMBO: “Baik, Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Percaya saja padaku. Mereka pasti di sana”.

SIMO: “Hamba patuh, Yang Mulia!”

OMBO: “Hamba juga”.

RAJA TUA: “Inilah satu kehormatan bagi kamu berdua. Karena

dengan begitu kedudukanmu aku pulihkan”.

SIMO: “Hamba bersyukur kepada Sri Baginda”.

OMBO: “Hamba juga”.

RAJA TUA: “Baik. Aku puas. Sekarang pergilah kamu berdua

saat ini juga. Penggallah kepala keempat pengkhianat itu dan

bawalah kemari. Aku akan memajang kepala-kepala itu di alun-

alun”.

SIMO: “Baik, Yang Mulia. Hamba mohon diri”.

OMBO: “Hamba juga!”

RAJA TUA: “Berangkatlah, aku berkati!”

273

Page 274: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Keduanya menyembah dan pergi.

RAJA TUA: “Bagus. Aku suka ini. Ternyata para panji masih

tertib dan rapi. Kamu semua aku bebaskan”.

“Panji Reso!”

RESO: “Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Aturlah supaya para panji dan adipati kembali ke

Kadipaten mereka masing-masing”.

RESO: “Baik, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Aryo Bungsu!”

BUNGSU: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Beri hadiah semua panji. Masing-masing dua ekor

kuda, emas 100 tail, satu ekor ayam jago aduan, dua ekor merak,

dan dua ekor perkutut yang sudah terlatih”.

BUNGSU: “Baik, Yang Mulia”.

Semua Panji mengucapkan rasa terima kasih.

RAJA TUA: “Begitulah. Aku puas, kamu puas. Sekarang

mundurlah kamu semua ke Bangsal Kepanjen! Berpestalah di

sana. Akan aku kirimkan hidangan makanan, arak, dan

perempuan”.

274

Page 275: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Semua Panji menyembah pamitan dan pergi. Yang tinggal Raja

Tua, Ratu Dara, Pangeran Rebo dan Aryo Bungsu.

RAJA TUA: “Bagaimana pendapatmu, Ratu Dara?

Kebijaksanaanku cukup baik, bukan?”

RATU DARA: “Hamba bangga akan tindakan Sri Baginda.

RAJA TUA: “Sayang Panji Reso dan Panji Sekti bukan keturunan

raja dan pangeran, aku tidak bisa mengganjar mereka dengan

mengangkat menjadi senapati. Bila aku punya senapati seperti

mereka aku akan merasa aman dengan tahtaku”.

RATU DARA: “Kenapa tidak? Sri Baginda adalah Raja Binatara.

Raja yang disembah bagaikan Dewa. Kenapa tidak mampu

mengangkat seorang biasa menjadi seorang Aryo? Firman Raja itu

sakti dan kuasa”.

RAJA TUA: “Kenapa tidak! --- Aryo Bungsu, umumkan nanti

dalam pesta di Bangsal Kepanjen bahwa berdasarkan kuasa firman

Raja, Panji Reso dan Panji Sekti telah aku angkat menjadi aryo.

Aryo Reso menjadi senapati ibu kota. Dan, Aryo Sekti

menggantikan Aryo Ronin menjadi Senapati Pasukan Berkuda”.

BUNGSU: “Akan hamba umumkan, Yang Mulia! Paduka mampu

berpikir cepat. Sekarang tidak perlu dikhawatirkan lagi bahwa

pasukan Aryo Gundu dan Aryo Ronin akan menyusul komandan

mereka. Sebab komandan mereka sudah diganti oleh aryo-aryo

yang baru”.

275

Page 276: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA TUA: “Itulah siasat! Kamu lihat, pengalamanku yang

matang telah membuat aku dengan cepat bisa menguasai keadaan.

--- ini yang harus kamu contoh, Pangeran Rebo! Jangan kamu

meniru contoh yang sesat dan keliru. Jiwaku terpukul oleh

kelakuan Pangeran Gada dan Pangeran Dodot. Begitu tega kepada

ayahnya sendiri. Ini contoh buruk. Padahal abangnya, Pangeran

Bindi, ialah tokoh teladan. Tirulah dia! Silatnya bagus,

semangatnya besar, dan tidak mau diremehkan orang. Begitulah

sikap orang yang bisa memimpin. Ia mampu membuat aku

berbangga. --- contohlah ia baik-baik, anakku!”

REBO: “Hamba akan berusaha, Ayahanda”.

RATU DARA: “Tetapi, ia pernah mengamuk di pasar dan juga

suka menodai istri orang! --- Apakah anakku harus juga

mencontoh hal itu?”

RAJA TUA: “Ah, itu hanyalah hiasan kekuasaan! Yang penting,

orang takut kepadanya. Musuh negara juga akan gentar

menghadapinya. --- Sekarang temani aku mengadu ayam”.

***

21. ARYO RESO DAN ARYO SEKTI

Sore hari di rumah Aryo Sekti --- Aryo Reso, Aryo Sekti.

276

Page 277: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Tanpa diduga kita mendapatkan sesuatu yang baik yang

tidak kita rancangkan. Sedangkan, yang kita rancangkan berhasil

pula kita dapatkan”.

SEKTI: “Itulah namanya nasib baik”.

RESO: “Nasib itu naik turun seenak pantatnya. Tetapi, usaha

manusia membuahkan perkembangan. Terkadang, perkembangan

itu di luar dugaan. Jadi, kita tidak boleh berhenti memperjuangkan

cita-cita. Aku bukan orang yang gampang melepaskan cita-cita!

Aryo Sekti, halangan yang berada di depan kita masih cukup

besar”.

SEKTI: “Betul, tetapi toh apa yang kita dapatkan secara tak

terduga ini sangat menimbulkan harapan”.

RESO: “Hm”.

SEKTI: “Sebenarnya saya kaget”.

RESO: “Kaget lagi?”

SEKTI: “Karena saya diangkat menjadi Senapati Pasukan

Berkuda”.

RESO: “Syukuri kesempatan yang baik”.

SEKTI: “Tetapi, seumur hidup saya belum pernah naik kuda”.

RESO: “Hm. Tadi pagi Anda berkata, ada masalah yang akan

Anda utarakan”.

SEKTI: “Ya, ada! Selama saya menjalankan tugas yang Anda

berikan saya dibantu oleh seorang pembunuh bayaran”.

277

Page 278: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Hm”.

SEKTI: “Ia sangat ahli mengintai, menyelinap, mencuri, dan

membunuh. Tanpa meninggalkan jejak! Sudah sejak dulu ia

membantu saya. Dan, sekarang, kalau Anda menganggap perlu,

jangan ragu-ragu memakai tenaganya. Ia bisa dipercaya”.

RESO: “Hm”.

SEKTI: “Pangeran Bindi….. Sri Baginda……”

RESO: “Hm. --- Siapa namanya?”

SEKTI: “Kalau Anda mau, bahkan Anda bisa bertemu orangnya”.

RESO: “Di mana?”

SEKTI: “Di sini”.

RESO: “Mana dia?”

SEKTI: “Asasin! Kemari!”

Siti Asasin muncul.

RESO: “Dia?”

SEKTI: “Ya. --- Anda kaget! Namanya Siti Asasin”.

ASASIN: “Salam, Aryo Reso!”

RESO: “Salam. --- Siti Asasin?”

ASASIN: “Ya, betul!”

RESO: “Banyak pengalamanmu?”

ASASIN: “Sudah sepuluh tahun”.

RESO: “Kamu memakai panah?”

278

Page 279: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ASASIN: “Bisa juga”.

RESO: “Sumpitan?”

ASASIN: “Bisa juga”.

RESO: “Racun?”

ASASIN: “Bisa juga”.

RESO: “Apa senjata andalanmu?”

ASASIN: “Tusuk konde”.

RESO: “Di mana kamu tinggal?”

ASASIN: “Bisa dihubungi melewati Aryo Sekti”.

RESO: “Barangkali aku akan memerlukan bantuanmu”.

ASASIN: “Bisa”.

RESO: “Kalau tugasmu gagal?”

ASASIN: “Jangan dibayar. Saya bekerja tanpa uang muka”.

RESO: “Bagus! Orang tidak akan menyangka perempuan cantik

dan lembut seperti kamu bisa berbahaya. Belum apa-apa kamu

sudah menang satu-dua langkah. Sekarang aku pergi dulu. Aryo

Sekti, pamit. Besok pagi kita berjumpa di istana. Selamat sore”.

SEKTI: “Selamat sore”.

***

22. ADA LAGI YANG TAK TERDUGA

279

Page 280: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Di kamar tidur Ratu Dara, di dalam kaputren, di istana. --- Ratu

Dara duduk di tempat tidur yang memakai undakan. Aryo Reso

masuk.

RATU DARA: “Ah! Aryo Reso!”

RESO: “Inang Anda menyuruh saya masuk ke sini”.

RATU DARA: “Memang, begitu maksud saya”.

RESO: “Kok di sini?”

RATU DARA: “Di mana lagi tempat yang lebih bebas dari

pengawasan? Bahkan, orang ronda juga tidak akan masuk

kemari”.

RESO: “Oh!”

Keduanya bertatapan. Ratu Dara melangkah mendekat. Wajah

mereka tampak intens. Napas mereka memburu. Tiba-tiba Aryo

Reso berlutut.

RESO: “Anda seorang Aryo, seorang Ratu, sedang saya orang

biasa”.

RATU DARA: “Anda juga seorang Aryo sekarang”. (membelai

kepala Aryo Reso)

RESO: “Aaaah! (terduduk bersila di lantai) Berada di alam apa

aku ini? Telaga berdarah………. Bunga-bunga teratai………. dan

…….. lima bidadari kembar yang serupa Ratu Dara….”

280

Page 281: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RATU DARA: (menyusul duduk di sebelahnya) “Itukah

gambaran yang pernah Anda impikan?”

RESO: “Kenapa telaga darah?”

RATU DARA: “Karena kita tidak gentar melakukan tindakan

yang berakibat mengalirkan darah. Satu persatu musuh akan kita

singkirkan”.

RESO: “Dan, teratai?”

RATU DARA: “Itulah cita-cita kita. Memperjuangkan cita-cita

dengan menempuh marabahaya adalah gairah orang gagah. ---

Kita berdua punya sifat yang sama. Penampilan Anda menggugah

saya. Keberanian Anda memabukkan saya. Belum pernah ada

lelaki yang berani menatap Ratu seperti Anda tadi pagi menatap

saya. Dan, juga, tidak sembarang lelaki berani memasuki kaputren

di dalam istana, apalagi masuk ke kamar seorang ratu. Kelenjar

saya bergolak, melihat keberanian seorang lelaki”.

RESO: “Jangan saya disiram dengan puji-pujian. Sejak usia muda

puji-pujian sudah menjadi kasur dan bantalku. Akhirnya, menjadi

sampah dan beban yang tidak berguna”.

RATU DARA: “Saya tenggelam di dalam kepribadian Anda. ---

Tadi pagi Anda datang dengan buah pikiran dan tindakan yang

menimbulkan gairah dan akhirnya menjadi berahi”.

281

Page 282: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Anda juga menimbulkan gairah dan berahi saya. ---

Tetapi saya juga melihat di dalam mimpi saya tahta yang

mengapung di telaga darah”.

RATU DARA: “Itulah tahta yang akan kita rebut untuk anakku”.

RESO: “Pada akhirnya, bila semua pangeran yang menjadi lawan

sudah kita singkirkan, kita harus membunuh raja”.

RATU DARA: “Tentu saja! Bunuhlah dia untuk saya. Oh! Di

dalam hati dia bukan lagi raja, juga bukan lagi suami saya. Tadi

siang, dia mengungkapkan bahwa pikirannya penuh dengan

Pangeran Bindi. Setinggi langit dipujinya bangsat itu. Seakan-akan

sudah ia pastikan bahwa si Bindi akan mengganti menjadi raja”.

RESO: “Saya akan mengirim seorang pembunuh bayaran kemari.

Ia seorang wanita tetapi sakti. Pelihara untuk sementara di sini. ---

Pada saat Panji Ombo datang membawa kepala pemberontak itu,

Sri Baginda, sesuai dengan kebiasaannya, pasti akan berpesta.

Bikinlah Baginda mabuk seberat-beratnya sampai tumbang, lalu

tidurkan dia. Selanjutnya, biar pembunuh yang saya kirimkan

mencabut nyawanya. Ingat! Harus sampai tumbang! Sebab ilmu

silatnya tinggi. Bila tidak tumbang, biar pun mabuk, dia masih

berbahaya. --- Nanti, sesudah Sri Baginda wafat, Pangeran Rebo

kita naikkan ke tahta. Para Panji masih saya minta tinggal di ibu

kota. Mereka akan membantu kita melakukan gerakan

pembersihan yang diperlukan. --- Bila Pangeran Bindi melawan

282

Page 283: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

penobatan, biar ditumpas oleh raja yang baru, sesuai dengan

wewenangnya”.

Selama mendengar Aryo Reso bicara, Ratu Dara tampak bergolak

dan menjadi cepat napasnya.

RATU DARA: “Oh! Aku patuhi rencana ini. Sementara,

mendengar Anda menguraikan rencana, hasrat hidupku meningkat.

Oh, lihat, jari-jariku gemetar. Peganglah! Oh, rasakan…..arus gaib

yang mengalir dalam darahku! Oooh!” --- (Ia menarik Aryo Reso

berdiri dan membimbing ke ranjang. Di sisi ranjang Aryo Reso

berdiri dengan tegar. Pegangan tangan mereka lepas. Ratu Dara

tergolek di ranjang). “Jangan ragu-ragu. Sudah berabad-abad saya

mimpikan ini”.

RESO: (Naik berdiri di ranjang) “He, Ratu, aku ambil kamu”.

***

23. BULAN DI SAAT TERANG TANAH

Di suatu tempat, di saat terang tanah. Aryo Reso berdiri

mengangkang. Kepala tunduk menatap tanah. Napasnya terengah-

engah. Tangannya terkepal. Badannya tegang. Lalu, pada

puncaknya badannya tergeliat, dan dari mulutnya ke luar suara

283

Page 284: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

seperti lenguhan lembu. --- Kini tubuhnya melemas. Lalu,

kepalanya mendongak ke langit.

“Bulan sudah tergeser ke Barat. --- Sudah terang tanah. ---

Bagaimana aku akan memperhitungkan tindakanku? Betul juga

kata istriku: “mimpi itu hantu atau peri sekalian.” --- Oh, tubuh

dan payudara yang sintal bagai berlapis suasa! Rambut yang

menguapkan bau kesturi! --- Haaaah! Aku telah bernoda dosa, ---

tetapi bila raja terbunuh aku bisa menjadi suaminya. Bayangkan,

dari panji menjadi aryo, lalu menjadi ayah tiri raja! Akan semakin

dekat aku kepada tahta. Bukankah itu cita-citaku? --- Oh! Apakah

cita-citaku harus terwujud dengan berlumur dosa? Tahta yang

terapung di danau darah! Apakah aku ada nyali untuk meraihnya?

--- Oh! Duh Gusti Jagat Dewa Batara!” (Berlutut dan akhirnya

rebah ke tanah).

***

24. TIDUR DENGAN PULASNYA

Di rumah Aryo Reso. Pagi hari. Aryo Reso terbaring tidur. Nyi

Reso berdiri di dekatnya, membawa selimut.

NYI RESO: “Karena capek ia tertidur di sini. Tampak tenang dan

pulas ia. Tak perlu lagi saya bangunkan. Tak akan saya ganggu

ketenangannya”. (menyelimuti Aryo Reso, lalu bersimpuh di sisi

284

Page 285: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

tubuhnya). “Sekarang ia menjadi senapati. Seorang aryo. Memang

hebat dia. Seorang biasa yang bisa mendorong nasibnya sehingga

menjadi bangsawan. Barangkali bisa juga akhirnya ia menjadi raja.

--- Lalu, bagaimana saya? Akan menjadi permaisuri? Saya tidak

tahu bagaimana menjadi ratu. Saya akan makin tersisih dari

pikirannya. Saya makin tak mampu ia ajak bicara karena

urusannya semakin tinggi. Sedangkan, sekarang saja saya sudah

mulai tak tahu apa-apa. --- Dan, juga, saya tidak punya anak.

Nanti, kalau ia menjadi raja, ia pasti ingin punya putra mahkota.

Lalu, barangkali ia akan kawin lagi. --- Oh! Saya tak akan tahan

dimadu!” (membelai suaminya) “Kakanda, saya sangat

mencintaimu. Tak mungkin saya bisa hidup tanpa Kakanda.

Tetapi, saya tidak berdaya memiliki Kakanda seluruhnya. Itulah

sebabnya saya menderita. --- Saya mau minggat tidak bisa. Saya

mau bunuh diri juga tidak bisa. Soalnya, karena saya tidak ikhlas

melepaskan Kakanda dari tangan saya”. (mengeluarkan botol kecil

dari kembennya) “Lihatlah, ini racun yang tidak jadi saya minum.

Apakah Kakanda akan tega kalau melihat saya bunuh diri?”

(mengusap wajah suaminya) “Ia sangat tenang kalau tidur begini.

Kalau ia seperti ini saya akan bisa memilikinya seluruhnya, dan

selama-lamanya”. (menusuk leher suaminya pelan dengan jari)

“Kalau saya tusuk di sini, akan mati dan tidak bisa lari lagi dari

tanganku. --- Begitu pulas Kakanda tidur sehingga walau dibunuh

285

Page 286: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

tak merasa apa-apa”. (memandangi botol racun dengan tegang)

“Duh Gusti Jagat Dewa Batara, hanya bila ia mati saya bisa bulat-

bulat memilikinya”. (dengan tegang dan pelan-pelan ia buka tutup

botol racun, lalu membuka bibir bawah Aryo reso dan meneteskan

beberapa tetes cairan racun ke mulutnya. Aryo Reso bereaksi

sedikit dengan mengecap-ngecapkan mulutnya dan secara refleks

menelan racun itu) --- “Cukup tiga tetes dulu. Rasanya manis. Ia

akan bermimpi minum madu. Kalau saya bunuh dia seketika, akan

ketahuan orang. Setiap hari akan saya tuang tiga tetes ke dalam

minumannya. Itu akan membuat ia pelan-pelan sakit, dan lalu,

akhirnya akan mati dengan kelihatan wajar”. (membelai-belai

suaminya) “Maaf, Kakanda berani membulatkan tekad untuk

mengejar cita-cita, yaitu tahta. Saya juga sudah membulatkan

tekad untuk mengejar cita-cita, yaitu memiliki Kanda seluruhnya”.

***

25. MEMINJAM TANGAN

Di suatu tempat. Siang hari. Aryo Reso muncul, dan dari jurusan

lain muncullah Siti Asasin.

ASASIN: “Salam, Aryo Reso!”

RESO: “Salam. Kamu datang tepat pada waktunya”.

286

Page 287: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ASASIN: “Itu kebiasaan saya”.

RESO: “Aryo Sekti sudah menerangkan bahwa kamu saya

perlukan untuk dua atau tiga hari?”

ASASIN: “Sudah”.

RESO: “Mana bekalmu?”

ASASIN: “Ada”.

RESO: “Apakah kamu selir Aryo Sekti?”

ASASIN: “Bukan”.

RESO: “Kenapa ia tak punya selir dan tak punya istri”.

ASASIN: “Tidak tahu”.

RESO: “Barangkali itu baik untuk pekerjaannya. Lelaki yang

selalu sibuk bekerja lebih baik tak usah berkeluarga”.

ASASIN: “Begitu juga perempuan yang selalu sibuk seperti saya.

RESO: “Tetapi, apakah kamu punya hubungan gelap dengan Aryo

Sekti?”

ASASIN: “Hubungan gelap yang kadang-kadang”.

RESO: “Kamu kelihatan mencintainya”.

ASASIN: “Yah, timbal balik sekadarnya”.

RESO: “Apakah ia tahu semua rahasia pekerjaanmu”.

ASASIN: “Tidak. Hanya yang menyangkut tugas yang datangnya

dari beliau”.

RESO: “Tugas yang aku berikan kepadamu harus kamu

rahasiakan terhadap siapa saja”.

287

Page 288: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ASASIN: “Tentu! Sudah lumrah begitu”.

RESO: “Juga terhadap Aryo Sekti”.

ASASIN: “Tak usah dipesankan. Itu sudah di dalam wilayah mutu

pekerjaan saya”.

RESO: (mengusap-usap dada kirinya, lalu menghembuskan napas

dari mulutnya) “Dengarkan baik-baik”.

ASASIN: “Anda sakit”.

RESO: (menyeka keringat dari jidat) “Tidak!” (membasahi

bibirnya yang kering) “Aku sehat, tenang, dan berbahaya”.

ASASIN: “Apakah tugas saya?”

RESO: “Malam ini bunuhlah istri saya”.

ASASIN: “Baik”.

RESO: “Kamu tidak kaget?”

ASASIN: “Tidak. Ia istri Anda bukan istri saya”.

RESO: “Bahan keterangan apa yang kau perlukan untuk masuk

rumah dan mencapai istriku?”

ASASIN: “Tidak ada”.

RESO: “Malam ini aku akan begadang di Bangsal Kepanjen

bersama dengan para panji. Kalau selesai tugasmu, tidak usah

kamu melapor kepadaku. Tetapi, langsunglah kamu pergi

menghadap Ratu Dara di Kaputren, di dalam istana. Laporkan

semuanya kepada Sri Ratu. Lalu, kamu akan tinggal bersama Ratu

288

Page 289: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Dara untuk dua atau tiga hari. Dan, pada saat yang ditentukan, dan

jalan sudah disiapkan, bunuhlah Sri Baginda Raja”.

ASASIN: “Membunuh raja?”

RESO: “Sekarang kamu kaget”.

ASASIN: “Tidak saya duga akan mendapat kesempatan semacam

ini. Ini justru tantangan yang menggiurkan. Inilah kesempatan baik

bagi saya untuk mendapatkan kepuasan bekerja”.

RESO: (kembali mengurut dada kirinya, menghembuskan napas

lewat mulut, menyeka dahi, dan membasahi bibirnya yang kering)

“Berapa upah yang kamu minta?”

ASASIN: “Banyak”.

RESO: “Seribu tail emas cukup”.

ASASIN: “Itu banyak sekali”.

RESO: “Tidak apa”.

ASASIN: “Terima kasih. --- Dada kiri Anda nyeri?”

RESO: “Sedikit saja”.

ASASIN: “Sedikit sesak? Dan mulut Anda terasa kering? Anda

sakit?”

RESO: “Ah, tidak. Semalam aku begadang. Barangkali, sekarang

sedikit mau masuk angin”.

ASASIN: (mengulurkan tangan) Boleh saya memeriksa nadi

Anda?”

RESO: (terlambat menolak) “Apa yang salah?”

289

Page 290: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ASASIN: “Nanti dulu”. (setelah memeriksa nadi dan kuku-kuku)

“Anda diracun orang”.

RESO: “Racun?”

ASASIN: “Sedikit. Tetapi, kalau tidak diobati bisa melumpuhkan

separo badan. --- Paling lambat dalam waktu tiga hari Anda harus

minum obat pemusnahnya. Anda diracun dengan sari daun

beludru”.

RESO: “Siapa berani meracun saya?”

ASASIN: “Itu teka-teki Anda, bukan teka-teki saya”.

RESO: “Kamu tahu obatnya?”

ASASIN: “Tahu. Besok pagi akan saya titipkan Sri Ratu Dara. ---

Mohon diri, Aryo Reso”.

RESO: “Ya! Selamat! --- Aku diracun orang! Dunia memang

mengajar aku untuk kejam. --- Ataukah aku sudah terlanjur masuk

ke alam kekejaman? Setan atau hantu, aku tandingi kamu!”

***

26. BERHALA YANG RETAK

Di Balai Penghadapan. Raja Tua dan Aryo Reso minum arak

bersama. Malam hari.

RAJA TUA: (sambil minum) “Aku puas dengan kesetiaan para

panji. Tadi pagi, datang utusan yang membawa surat dari Aryo

290

Page 291: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Lembu. Ia melaporkan bahwa Kadipaten Watu Limo, Sendang

Pitu, dan Winongo dalam keadaan baik”.

RESO: “Hamba sudah dengar hal itu. Hamba ikut gembira”.

RAJA TUA: “Aku dengar para adipati masih di sini”.

RESO: “Justru karena mereka mendengar bahwa di kadipaten

mereka dalam keadaan baik-baik saja, maka mereka masih ingin

menikmati ibu kota”.

RAJA TUA: “Bagus. Bagus. --- Ayo, minum. Panji Simo dan

Panji Ombo belum juga kembali dari Hutan Roban”.

RESO: “Tiga hari perjalanan ke sana, dan tiga hari lagi ke mari.

Ditambah satu hari istirahat di hutan setelah mereka bertempur,

sambil meramu obat untuk mengawetkan kepala-kepala yang

mereka penggal”.

RAJA TUA: “Ya!” (minum lagi) “Kepala-kepala pengkhianat itu!

Aku ingat bagaimana dulu aku melakukan perjalanan untuk

menyatukan negara. Ada saja pihak yang menginginkan

pemisahan. Jadi, sebentar-sebentar aku harus berperang. Sampai

akhirnya, kini, negara kuat dan satu”.

RESO: “Sekarang sudah tidak ada lagi yang menginginkan

pemisahan. --- Kecuali si tumbal yang cupat pikiran itu”.

RAJA TUA: “Karena itu, kita harus keras dan tegas terhadap

pikiran yang neko-neko. Bukannya aku kejam kepada rakyat,

tetapi aku belajar dari pengalaman”.

291

Page 292: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

(minum lagi) “Oh, aku sangat mencintai rakyat! Aku suka

menikmati alam desa, makan jagung, dan gaplek bersama mereka.

--- Oh, aku tak akan lupa bahwa ketika aku luka-luka sehabis

pertempuran, aku dirawat oleh orang desa. Aku merasa berhutang

budi kepada rakyat. Dan, kini, aku membalas dengan menciptakan

dunia yang tertib, rapi, aman, dan sejahtera. Paham kamu?”

(minum lagi)

RESO: “Paham, yang Mulia”.

RAJA TUA: “Dan, kini, anak-anakku sendiri yang akan

menghancurkan cita-citaku! Aku cintai mereka. Aku ajari sendiri

mereka memanah, ilmu silat, dan naik kuda, tapi hasilnya kok

begini! (minum) Di mana salahnya?”

RESO: “Ibarat telur yang busuk, sebentar lagi mereka akan

dihancurkan”.

RAJA TUA: “Katakan, Reso, apa sudah betul kalau kusuruh

penggal kepala mereka?”

RESO: “Yang kita pertahankan keutuhan negara, Yang Mulia! Ini

masalah cita-cita padukan”.

RAJA TUA: “Ya! Cita-cita! --- Tetapi, apa perlu kepala mereka

dipenggal? Apa tidak cukup kita penjara atau kita asingkan ke luar

kerajaan?”

RESO: “Lalu, nanti, akan ada lagi yang untung-untungan

mencontoh mereka kalau memang taruhannya tidak seberapa”.

292

Page 293: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA TUA: “Oh! Penderitaan kekuasaan! Aku telah menyuruh

membantai anak-anakku sendiri!” (minum lagi) “Kenapa kamu

tidak minum?”

RESO: (minum) “Dari tadi hamba minum, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Bagus. --- Kamu pernah membunuh”.

RESO: “Hamba sering berperang, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Di luar perang?”

RESO: “Belum pernah sebenarnya”.

RAJA TUA: “Aku juga sering berperang. --- Tetapi, sekarang di

luar perang aku terpaksa membunuh. --- Aku merasa berdosa”.

RESO: (terengah-engah) “Jadi, Anda akan mencabut hukuman

penggal?”

RAJA TUA: “Hahahaha! Aku berputar-putar, berkejar-kejaran

dengan diriku sendiri. --- Ayo, raja, kamu telah memulai cita-cita

dengan pedang, kini harus kamu pertahankan dengan pedang juga!

Kalau tidak, pedang orang yang akan memakan kamu! --- Kenapa

kamu, aryo? Kamu seperti orang sakit”.

RESO: “Tidak, Yang Mulia, hamba……….. Ah, barangkali

sekadar masuk angin. Tadi malam hamba begadang”.

RAJA TUA: “Minumlah lagi, supaya terusir itu angin. --- Nah,

bagus! --- Kamu main perempuan tadi malam?”

RESO: “Betul, Yang Mulia”.

293

Page 294: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA TUA: “Bagus. Asmara itu menyehatkan badan! Kalau

kamu sakit itu tandanya kamu salah main!”

Keduanya tertawa. Seorang Punggawa masuk.

PUNGGAWA: “Maaf, Yang Mulia, seorang abdi Aryo Reso

datang kemari. Ia mengabarkan bahwa istri Aryo Reso meninggal

dunia”.

RESO: “Istriku!”

RAJA TUA: “Apa ia sudah lama sakit?”

RESO: “Setahu hamba tidak. Tetapi, hamba sibuk sekali akhir-

akhir ini”.

PUNGGAWA: “Kata abdi itu, almarhumah sudah beberapa hari

ini kelihatan pucat, sering pening, dan tidak suka makan.

Kelihatannya, almarhumah kejang jantung tiba-tiba, lalu wafat

karena tak kuasa minta tolong. --- Ketahuannya wafat baru saja.

Lalu, segera seorang abdi berlari-lari mencari Aryo Reso ke

istana”.

RAJA TUA: (memberi isyarat kepada punggawa untuk pergi)

“Sudahlah, Aryo Reso! Aku ikut berduka cita. Pergilah pulang.

Urus jenazah istrimu. Akan aku suruh istri-istriku dan Pangeran

Rebo untuk melayat. Biaya penguburan akan ditanggung oleh

perbendaharaan istana”.

294

Page 295: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Banyak terima kasih untuk perhatian Yang Mulia.

Sekarang hamba mohon diri”. (menyembah dan pergi)

RAJA TUA: (sendiri dan sepi) “Hari apa sekarang?” (menenggak

arak sampai tuntas dari botolnya)

***

27. MUSANG DAN ULAR

Di keputren, di kamar Ratu Dara. Waktu malam. --- Ratu Dara

duduk bersama Siti Asasin.

DARA: “Sukar aku bayangkan bahwa dengan mudah hal itu kamu

lakukan! Bukankah rumahnya dijaga?”

ASASIN: “Tidak seberapa, Sri Ratu”.

DARA: “Aku kagum. Sungguh kagum. Kamu cantik, luwes, dan

lengkap sopan-santunmu. --- Dan, bagaimana kamu memastikan

bahwa ia yang meracuni suaminya?”

ASASIN: “Ketika badannya jatuh, keluarlah dari kembennya botol

ini”. (mencium baunya) “Dari baunya hamba bisa mengenal, inilah

racun sari daun beludru. Racun yang bersarang di tubuh Aryo

Reso”. (menyimpan kembali racun itu, dan mengeluarkan botol

yang lain dari kembennya) “Dan, ini pemusnahnya. Sebelum

kemari hamba sempatkan mengambilnya agar lewat Anda bisa

295

Page 296: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

disampaikan kepada Aryo Reso”. (menyampaikan botol pemunah

racun).

DARA: “Apakah kamu punya suami?”

ASASIN: “Tidak, Sri Ratu. Seorang pembunuh lebih baik tidak

berkeluarga”.

DARA: “Tetapi, tentu banyak lelaki yang berminat kepada kamu”.

ASASIN: “Itu kurang hamba perhatikan”.

DARA: “Apa kamu tidak senang lelaki?”

ASASIN: “Senang juga”.

DARA: “Apakah Aryo Reso berminat kepada kamu”.

ASASIN: “Jangan khawatir, Sri Ratu, hamba tidak punya

hubungan gelap dengan Aryo Reso”.

DARA: “Jangan khawatir? Apa maksudmu?”

ASASIN: “Hamba tahu, ada hubungan antara Anda dan Aryo

Reso. Tidak mungkin hamba diminta melaporkan rahasia

pribadinya yang besar kepada Anda kalau hubungan itu tidak ada.

Tetapi, apa yang hamba tahu ini, orang lain tidak tahu”.

DARA: “Apa yang rahasia harus tetap rahasia”.

ASASIN: “Kemampuan memegang rahasia ialah syarat nomor

satu untuk menjadi pembunuh bayaran. Kemampuan membunuh

hanya nomor tiga. Yang nomor dua, kemampuan tanpa ada

jejaknya”.

296

Page 297: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Setiap kali kamu bicara mengenai pekerjaanmu, dan

bagaimana kamu menyelesaikan tugasmu, aku merasa ada arus

gaib melanda tubuhku”.

ASASIN: “Syaraf-syaraf Anda bergetar. Bibir Anda terbuka dan

mengering, napas memburu, bola mata sedikit berair, pinggir

kelopak mata yang bawah mengkilat. Tandanya gairah Anda

bangkit”.

DARA: “Kenapa begitu?”

ASASIN: “Kekerasan menimbulkan gairah Anda. Sama dengan

hamba. Bagi kita kekerasan bisa menjadi keindahan. Hamba tidak

mau membunuh tanpa gaya yang indah”.

DARA: (berpindah duduk, mendekati Siti Asasin) “Kata-katamu

menarik sekali. --- Apakah Aryo Reso juga sama dengan kita?”

ASASIN: “Tidak. Beliau seorang prajurit. Beliau hanya memuja

kegagahan. Terhadap kekerasan sikap beliau tidak tuntas. Beliau

berperang hanya untuk menang. Beliau melakukan kekerasan

tanpa keindahan”.

DARA: “Aku mencintainya”.

ASASIN: “Pancaran kepribadiannya memang kuat”.

DARA: “Pasti ada cacatnya”.

ASASIN: “Bagi kami, beliau terlalu kasar”.

DARA: “Dan, kelemahannya?”

297

Page 298: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ASASIN: “Dewasa ini batinnya kelihatan tergoncang, tetapi

kepalanya membatu. Beliau sedang menyihir dirinya sendiri”.

DARA: “Aku tertarik pada caramu mengamati orang”.

ASASIN: “Itu lirikan mata seorang pembunuh, Sri Ratu”.

DARA: “Peganglah tanganku. --- Kamu rasakan getaran arus gaib

itu?”

ASASIN: “Ya, Sri Ratu”.

DARA: “Malam ini temanilah aku. --- Tidurlah kamu di sini, di

ranjangku”.

***

28. PERTANYAAN ARYO SEKTI

Di rumah Aryo reso. Ada tanda berkabung. Aryo Reso tampak

bersila seperti patung di tempat biasa duduk. Pangeran Rebo

masuk mendadak.

REBO: “Aryo Reso! --- Maaf, saya masuk menerobos begitu saja.

Saya menghindari perhatian orang, termasuk abdi-abdi Anda”.

RESO: “Oh! Tidak apa-apa. Silakan”!

REBO: “Saya tidak bisa berlama-lama. Ini ada surat dan

bingkisan dari ibunda Ratu Dara. Pesannya, harus disampaikan

kepada Anda dengan segera”.

RESO: “Terima kasih”.

298

Page 299: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Kami berdua menyampaikan ucapan berkabung, ikut

berduka cita”.

RESO: “Terima kasih”.

REBO: “Saya bisa membayangkan, betapa sedih hati Anda

ditinggalkan seorang istri yang mendampingi Anda sejak Anda

masih belum menjadi panji”.

RESO: “Memang berat kegelisahan batin saya saat ini”. (Gejala

serangan racun muncul lagi)

REBO:

“Maaf, saya harus segera pergi ke gandok berkumpul dengan yang

lain. Ratu Dara sedang ikut mendampingi jenazah. --- Salam”.

(pergi)

RESO: “Salam! --- Ini pasti bingkisan pemunah racun”.

(memasukkan bingkisan kecil ke angkinnya. Sesudah itu ia

membaca surat) “Gila!” (meremas surat) “Tidak aku duga! Jadi,

aku diracun oleh istriku sendiri! Tangan dewa atau tangan iblis

yang telah membimbing aku untuk membunuhnya? Pendeknya,

entah dewa, entah iblis ia telah menolong aku untuk

menyingkirkan orang yang menghendaki nyawaku”. (merobek-

robek surat)

SEKTI: (mendadak muncul) “Maaf, saya mengganggu Anda”.

RESO: “Orang yang gampang kaget sekarang membuat kaget”.

(menggenggam sobekan surat)

299

Page 300: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Keduanya bertatapan agak tajam.

SEKTI: “Saya menghindari abdi-abdi Anda dengan sengaja”.

RESO: “Ada suatu rahasia yang hendak Anda sampaikan?”

SEKTI: “Suatu percakapan yang baiknya tidak didengar orang

lain”.

RESO: “Apa itu?” (gejala serangan racun lagi)

SEKTI: “Saya sudah mengirimkan Siti Asasin sesuai dengan

pesan Anda”.

RESO: “Kami sudah bertemu”. (memasukkan sobekan surat ke

angkinnya)

SEKTI: “Ia menguasai banyak senjata rahasia yang beracun”.

RESO: “Kami akan membunuh Raja. Percayakan hal ini

kepadaku”.

SEKTI: “Saya tak akan berani mencampuri. --- Maaf, saya tadi

mengganggu Anda membaca surat”.

RESO: (gejala serangan racun tampak lagi, yang juga diamati

oleh Aryo Sekti) “Surat ucapan berduka cita”.

SEKTI: “Anda sobek?”

RESO: “Bunyinya cengeng”.

SEKTI: “Tadi sempat saya lihat Pangeran Rebo ke luar dari sini”.

RESO: “Ya. Menyampaikan surat dari raja”.

300

Page 301: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Saya mengerti sekarang. --- Ah, ya, ini yang paling

penting, saya ikut berduka cita”.

RESO: “Terima kasih”.

SEKTI: “Boleh saya bicara lancang?”

RESO: “Sebetulnya tidak boleh”.

SEKTI: “Antara sahabat saya berani nekad, karena terbit dari

maksud baik”.

RESO: “Silakan”.

SEKTI: “Jangan Anda kawin lagi. Seperti saya saja. --- Orang

seperti Anda sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tanpa bercita-

cita mana mungkin masyarakat bisa maju? Tetapi, hidup rumah

tangga manusia yang bercita-cita, biasanya penuh dengan

ketegangan. Kasihan istrinya!”

Keduanya bertatapan tajam. Reso tampak terserang racun lagi.

Sekti waspada.

SEKTI: “Anda terserang racun”.

RESO: “Bagaimana Anda tahu?”

SEKTI: “Mata-mata, pekerjaan saya. Membunuh dengan segala

macam racun termasuk cabang keahlian saya”.

RESO: “Siapa meracuni aku?”

301

Page 302: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Itu akan saya selidiki dan nanti obat pemusnahnya akan

segera saya bawa kemari. --- Anda terkena racun sari daun

beludru”.

RESO: “Terima kasih”.

SEKTI: “Istri Anda juga wafat karena racun”.

RESO: “Apa? Bukan karena penyakit sedih akibat dari cita-cita

saya?”

SEKTI: “Kurang bijaksana juga kalau istri dibawa berbicara soal

cita-cita, apalagi yang bersifat rahasia”.

RESO: “Aku tak pernah membuka rahasia kepada istriku”.

SEKTI: “Orang lain tidak akan tahu. Tetapi, saya tahu dari

melihat daun telinga dan kuku jenazah bahwa almarhumah terkena

racun akar Pasopati”.

RESO: “Wah, ruwet!”

SEKTI: “Gairah saya terangsang. Saya akan menyelidiki semua

ini. --- Sekarang saya mohon diri”.

RESO: “Salam! --- Sudah begini jauh. Apakah terlalu jauh? ---

Nyi Mas, rupanya kamu juga melihat sesuatu yang lebih berharga

dari nyawa manusia, bahkan lebih berharga dari nyawa suamimu

sendiri. Kalau kamu tega, kenapa aku tidak? Bunuh-membunuh ini

ternyata sama wajarnya dengan jilat-menjilat atau sogok-

menyogok, sebagai bayaran untuk tercapainya satu tujuan. ---

Sudah begitu jauh. Apakah terlalu jauh? Alangkah dalam luka

302

Page 303: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

batinku. Tetapi, aku bukan anak kemarin sore! Biarpun hancur aku

tak akan mundur. Seandainya pun dikalahkan tidak mungkin aku

ditundukkan”.

***

29. MEMPERSEMBAHKAN KEPALA KEPADA RAJA

Genderang dan nafiri. Suasana kemenangan. Panji-panji, tombak,

dan segala macam senjata. --- Di Balai Penghadapan para panji

siap duduk di lantai, lalu masuklah Raja Tua diiringi Ratu Dara

dan Pangeran Rebo.

RAJA TUA: “Selamat datang, pahlawanku! Dari suara genderang

dan gaya tingkah lakumu aku tahu bahwa Kalian telah menang.

Tugas telah Kalian tunaikan”.

SIMO: “Pertama-tama, hamba mengaturkan hormat kepada Sri

Baginda Raja. Sesudah itu kami memang ingin melaporkan bahwa

tugas telah kami tunaikan. Empat buah kepala yang Paduka

titahkan untuk dipenggal telah kami bawa”.

RAJA TUA: “Pancangkan kepala-kepala itu di atas tombak dan

pajanglah di alun-alun. Supaya rakyat tahu bagaimana jadinya

kalau menentang raja. Sesudah itu berpestalah kamu semua di

Bangsal Kepanjen. --- Aku puas dan berterima kasih kepada

kesetiaanmu. --- Aryo Reso!”

303

Page 304: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Yang Mulia!”

RAJA TUA: “Setelah mengasingkan diri karena berkabung atas

kematian istrimu, akhirnya kamu perlukan muncul juga hari ini”.

RESO: “Kemenangan ini harus disambut dengan gembira dan rasa

syukur, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Bagus juga. Rupanya semangatmu masih ada

meskipun baru terpukul oleh bencana keluarga”.

RESO: “Kalau semangat luntur hanya karena bencana, mana bisa

kita maju dalam hidup ini? Semua kemajuan harus ada

bayarannya, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Ada apa kamu ini? Terakhir aku lihat kamu pucat

dan sakit. Sekarang aku lihat kamu seperti terlalu banyak makan

obat akar perangsang. --- tetapi tak apa. Toh kamu punya banyak

teman yang bisa menjagamu. --- Panji Simo, apakah di perjalanan

kamu mendengar berita mengenai anak-anakku di Tegalwurung?”

SIMO: ”Ada hamba bertanya kepada pedagang dan orang yang

melakukan perjalanan, bagaimana keadaan di Tegalwurung. Kata

mereka Kota Kadipaten sudah dikepung, tetapi perlawanannya

masih tegar”.

RAJA TUA: “Panji Tumbal memang orang tangguh. Tetapi, ini

justru tantangan bagi Pangeran Bindi. Sudah saatnya ia

menghadapi tantangan serupa itu”.

304

Page 305: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

REBO: “Sri Baginda, mungkin, adinda Pangeran Bindi perlu

didampingi senapati yang ahli siasat, yang dengan segera bisa

dikirim kepadanya”.

RAJA TUA: “Sekadar untuk menghadapi Tumbal? Kalau anakku

tidak ada yang bisa menghadapi Tumbal, berarti aku tidak akan

punya putra andalan. Panji Tumbal memang ahli bertempur, tetapi

ia bukan ahli berperang. Tarafnya, taraf jagoan, bukan taraf

panglima. Pemberontakannya tak akan tahan lama. --- Pangeran

Rebo, baca saja buku-bukumu supaya kamu bisa jadi resi. Soal ini

di luar bidangmu. Ini soal membela kerajaan. --- Jangan Kalian

khawatir tentang keadaan di Tegalwurung. Sudah benar apa yang

dilakukan anakku, Pangeran Bindi. Kalau si Tumbal terus

dikepung, lama-lama ia akan jadi ngawur dan bingung. ---

Sekarang mundurlah Kalian dan pergilah berpesta sepuasnya”.

SIMO: “Yang Mulia, apakah Paduka tidak akan memeriksa dulu

kepala para pemberontak ini?’

RAJA TUA: “Tidak! Aku tidak tega melihat kepala anak-anakku

sendiri terpenggal, karena mengkhianati raja, aku tega memenggal

kepala mereka, tetapi aku tidak bisa menikmatinya. (semua

hening) Ayo, jangan canggung dan ragu! Pergilah berpesta dan

bergembira”.

***

305

Page 306: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

30. NYANYIAN ANGSA SANG BERHALA

Di kamar tidur Raja Tua. Waktu malam. Raja Tua minum arak

ditemani Ratu Dara.

RAJA TUA: (sambil minum) “Dari semua istriku hanya kamu

yang bisa diajak bicara. Kadang-kadang kita bertentangan, tetapi

cukup banyak pikiranmu yang aku pergunakan. --- Sekarang,

ngomonglah terus terang, apa ada dendammu atau keluh kesahmu

padaku yang belum kamu ungkapkan”.

DARA: “Ada, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Jelaskan”.

DARA: “Paduka sudah agak jarang memanggil hamba”.

RAJA TUA: “Hohoho! Aku mohon maaf, Sri Ratu. Itu terjadi

karena ini!” (mengacungkan botol arak) “Sayang aku tidak bisa

omong-omong dengan cucu! Karena tidak punya cucu, aku

terpaksa suka minum arak. --- Arak bisa diajak omong-omong!

Eh! Mungkin begini, arak bisa membuat aku omong-omong

dengan diri sendiri”.

DARA: “Tetapi, Paduka tadi berkata bahwa hamba orang yang

bisa diajak bicara”.

RAJA TUA: “Ya! Itu betul! Itu jujur! Tetapi, kalau omong

dengan kamu harus omong secara dewasa. Padahal omong-omong

yang aku maksud, omongan anak-anak. --- O, ya, aku punya

306

Page 307: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kebutuhan untuk omong seperti anak-anak. Omongan yang

……… tidak cengeng, ………tidak dengki, tidak……… tidak ada

kebencian, ……… tidak canggih……… ya……… seperti anak-

anak! Seperti ayam berkotek. Atau……… kamu paham?” (minum

lagi)

DARA: “Paham sekali, Yang Mulia! Paduka ingin memurnikan

diri kembali”.

RAJA TUA: “Begitukah? --- Nah, kamu lihat? Omongan antara

kita selalu berisi penyadaran. Penyadaran akhirnya membawa aku

ke persoalan kerajaan. Siapa yang harus dipasang, siapa yang

harus ditendang. Siapa yang harus dipenggal kepalanya!” (minum

lagi)

Ratu Padmi muncul tiba-tiba sambil menangis terisak-isak.

PADMI: “Maaf, Yang Mulia, hamba datang menerobos begitu

saja. Kalau Paduka murka biar kepala hamba dipenggal juga. ---

Yang Mulia, hamba tidak terima. Benar kedua anak hamba

berdosa, tetapi mereka masih remaja, masih bisa diinsyafkan. ---

Ratu Dara, Anda tidak mencegah kekejaman ini? Apakah Anda

juga tidak punya putra?”

RAJA TUA: “Nanti dulu! Ratu Dara tidak punya sangkut-paut

apa-apa! Kamu kira aku punya kegemaran memenggal kepala

orang? Kalau kepala pemberontak itu tidak dipenggal, mereka

307

Page 308: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

akan memenggal kepala raja! Kecuali, kalau si raja mau diajak

berunding dan lalu rela melepaskan tahta. Tetapi, aku sebagai raja,

demi negara, tidak akan mau melepaskan tahta!”

PADMI: “Hamba percaya anak-anak hamba sebetulnya bisa

diinsyafkan”.

RAJA TUA: “Diinsyafkan! Mereka ingin menyingkirkan putra

mahkota, sebab menjadi putra mahkota pun mereka tidak berhak,

apalagi menjadi raja. Tahukah kamu bahwa anakmu yang tertua,

Pangeran Bindi, itu yang akan aku jadikan Putra Mahkota?

Perempuan, sadarkah kamu! Raja memenggal kepala kedua

putramu untuk menjaga agar mereka tidak memenggal kepala

putramu yang tertua!”

PADMI: “Duh Gusti, apakah kita ini hidup di dalam rimba?”

RAJA TUA: “Memang, ini mirip rimba! Bukalah lebar-lebar

matamu! Di dalam rimba hutan belantara dan di dalam rimba

kekuasaan, hubungan darah itu sama tipisnya! Kenapa hal ini tidak

dulu-dulu kamu sadari begitu aku ambil kamu ke atas

ranjangku?!”

PADMI: “Sebetulnya, setengah hamba sadari. Tidak hamba tahu

akan sebegini jauh. Hamba tidak kuat menanggungnya. Bahwa

Pangeran Bindi akan menjadi putra mahkota, seharusnya itu

menjadi hiburan bagi hamba. Tetapi, ia juga sama seperti Paduka.

Di dalam hidup sehari-hari hamba, ia tidak pernah menjadi

308

Page 309: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kenyataan. Ia seperti kelana sebatang kara yang perkasa. Seakan-

akan hamba bukan bundanya, sebab ia berbunda kepada

cakrawala. Lelaki seperti itu hanya bisa berbicara dengan langit.

Sebagai suami atau sebagai anak tidak pernah menjadi kenyataan”.

(hening……… lalu menyembah) “Hamba mohon diri ……… Sang

Raja”. (keluar)

RAJA TUA: (pelan-pelan menenggak arak, dan dengan tenang

berkata) “Minumlah arakmu”.

DARA: “Baik, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Kamu sudah makan?”

DARA: “Belum”.

RAJA TUA: “Aku juga belum. Nanti saja kita makan. Belum

lapar, kan?”

DARA: “Belum”.

RAJA TUA: “Tolong masakkan aku lidah sapi besok pagi”.

DARA: “Baik, Yang Mulia”.

RAJA TUA: “Aku juga kepingin ikan bandeng”.

DARA: “Besok akan saya masakkan”.

Dari jauh terdengar orang berseru: “Tolong! Tolong!”

RAJA TUA: “Apa itu?”

DARA: “Tidak jelas, Yang Mulia”.

309

Page 310: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Teriakan “Tolong! Tolong!” makin menjadi dan diteriakkan oleh

beberapa orang. Lalu disusul oleh derap kaki orang berlari

menuju kamar. Akhirnya, seorang punggawa masuk, napasnya

terengah-engah.

RAJA TUA: “Ada apa?”

PUNGGAWA: “Ratu Padmi wafat!”

RAJA TUA: “Apa?”

PUNGGAWA: “Sehabis ke luar dari sini kami lihat Sri Ratu

berjalan gontai. Sampai di halaman beliau memegang pohon.

Beliau menepuk-nepuk pohon itu, lalu bersandar ke batangnya.

Tiba-tiba beliau mengeluarkan keris kecil dan menikam

jantungnya sendiri”.

DARA: “Duh Gusti Jagat Dewa Batara”!

RAJA TUA: “Aaaaak!” (menubruk punggawa mau

membantingnya tapi tak jadi) “Bangsat!” (kemudian dengan

lunglai ia mengambil botol arak dan menenggaknya sampai

tuntas. Ratu Dara memberinya satu botol lagi. Sambil menerima

botol ia berjalan menuju ranjang. Hampir sampai ia keburu jatuh.

Lalu dengan susah-payah bangkit lagi dan merayap ke ranjang.

Kemudian, duduk di tepi ranjang) “Uruslah jenazahnya”.

DARA: “Baik, Yang Mulia”.

310

Page 311: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Raja Tua menenggak botol lagi sampai tuntas, lalu merebahkan

diri ke ranjang.

RAJA TUA: “Boleh aku tidur?”

***

31. DUKA CITA RATU KENARI

Di dalam kamarnya, malam itu, Ratu Kenari bersimpuh dan

berdoa.

KENARI: “Duh Gusti, lindungilah anak-anakku. Mereka anak

yang baik. Patuh dan setia. Mereka menghormati ayahanda mereka

dan juga menyayangi saya sebagai ibu. --- Duh, anak-anakku,

surat Kalian sudah Ibu terima. Ibu senang Kalian kenangkan di

dalam pertempuran. Selama Kalian pergi Ibu puasa dan semadi.

Tunaikan tugas Kalian baik-baik secara wajar. Janganlah Kalian

punya keserakahan! Jangan Kalian mengejar kedudukan. Kita

sudah punya derajat yang tinggi. Apa adanya saja kita terima.

Orang yang bernasib jelek berusaha memperbaiki nasibnya”.

“Tapi nasib Kalian sudah baik. Lahir sebagai pangeran dan pandai

menjalankan kewajiban. Sudah itu saja cukup. Jangan Kalian ikut

gerakan yang mokal-mokal. Serahkan hal yang tidak beres kepada

yang berhak dan berkewajiban mengatur. Kalian urus saja bagian

Kalian baik-baik dan lalu pulang, beristirahat, dan bergembira

311

Page 312: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

bersama Ibu. Yang mau jadi pahlawan biarkan saja menjadi

pahlawan, tetapi Kalian cukup menjadi pangeran. Syukurilah nasib

Kalian yang baik ini. Tidak semua orang lahir sebagai pangeran.

Duh Gusti, saya terima nasibku sebagai istri raja yang kesepian.

Saya cukup bahagia asal saja saya tidak kehilangan putra-putra

saya. Tetapi sekarang ini, Duh Gusti, saya merasa ngeri di sini”.

***

32. KETEGANGAN DI BANGSAL KEPANJEN

Sementara para prajurit berpesta, tokoh Gerakan Panji

berkumpul menunggu waktu.

SIMO: “Jelas sudah. Sri Baginda menginginkan Pangeran Bindi

menjadi putra mahkota”.

RESO: “Tenang! Rencana akan berjalan sebagaimana

dijadwalkan”.

SIMO: “Bagus. --- Meskipun agak terlambat saya mengucapkan

rasa berduka cita atas wafatnya Nyi Mas Reso”.

RESO: “Terima kasih”.

OMBO: “Juga ucapan duka cita dari saya”.

RESO: “Terima kasih”.

312

Page 313: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SIMO: “Kemudian, saya ucapkan selamat atas pengangkatan

Anda sebagai Aryo dan Senapati. Ucapan selamat yang sama

untuk Aryo Sekti”.

OMBO: “Saya menyertai ucapan selamat itu”.

RESO: “Terima kasih”.

SEKTI: “Banyak-banyak terima kasih”.

SIMO: “Tanjakan Anda ini sungguh tak terduga!”

RESO: “Memang. Ada manfaatnya juga untuk gerakan kita”.

OMBO: “Heran juga, kenapa kita? Yang lain tidak diangkat

menjadi Aryo?”

SIMO: “Sudah jelas Sri Baginda rabun ayam”.

RESO: “Tetapi, raja kita yang baru pasti akan mengangkat Anda

semua menjadi aryo juga”.

SIMO: “Saya tidak ingin menjadi Aryo Senapati. Saya ingin

menjadi Aryo Adipati”.

RESO: “Tentu saja para adipati akan bergelar Aryo Adipati”.

WONGSO: “Ibu saya akan bangga kalau ternyata anaknya bisa

menjadi aryo”.

BONDO: “Sesudah kita rajakan Pangeran Rebo, baiknya ia juga

kita kawinkan. Jangan sampai terlambat kawin dan terlambat

punya anak seperti ayahnya”.

WONGSO: “Saya kira betul juga pikiran itu. Dan, putri sulung

Anda terkenal di seluruh negeri”.

313

Page 314: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BONDO: “Ya, daripada dikawinkan dengan Pangeran Bindi yang

tampak sudah mengincarnya, lebih suka saya bila ia kawin dengan

Pangeran Rebo”.

OMBO: “Tentu saja! Karena, dengan begitu Anda menjadi mertua

raja!”

RESO: “Itu kalau Pangeran Rebo sudah menjadi raja!”

SEKTI: “Tidak seharusnya kita bicara seperti ini. Urusan negara

belum selesai. Keberhasilan kerja masih harus kita buktikan”.

RESO: “Kita harus mendoakan supaya yang kini bekerja bisa

selamat. Sebab, tadi saya lihat Sri Baginda lain dari biasanya”.

SEKTI: “Matanya tampak lebih tajam. Ucapannya tampak lebih

mengandung pikiran”.

SIMO: “Barangkali ia sudah punya firasat akan wafat. Tetapi,

tidak jelas sekali. Katanya sebelum mati orang menjadi terbuka

pikirannya”.

Tiba-tiba muncul abdi dari Aryo Sekti.

SEKTI: “Bagaimana hasilnya?”

ABDI: “Baginda wafat. Ratu Padmi juga wafat”.

RESO: “Kenapa begitu?”

ABDI: “Ratu Padmi wafat lebih dulu. Karena prihatin akibat

kedua putranya kehilangan kepala. Lalu, Baginda mengurung diri

314

Page 315: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

di kamar. Di waktu orang mau mengantar santapan, ternyata

arwah beliau telah tiada”.

Terdengar gong dan kentongan tanda ada kematian.

RESO: “Teman-teman, inilah saat kita untuk bekerja. Masing-

masing pada tugasnya. Selamat!”

Semua saling mengucapkan selamat.

***

33. GAIRAH ANGKATAN MUDA

Pagi hari. Perkemahan Barisan Kerajaan, di medan perang di

Tegalwurung. --- Aryo Bindi, Pangeran Kembar, dan beberapa

orang serdadu.

BINDI: “Hari cerah. Badanku merasa segar, dan jiwaku bergelora.

Hari-hari kekalahan Panji Tumbal sudah membayang. Bala

tentaranya tidak kuat bertahan di dalam pertempuran”.

KEMBAR I: “Mereka terlalu mengandalkan kekuatan barisan.

Tetapi, satu persatu mereka kurang keuletan. Mereka cepat

menyerang, tetapi juga cepat kabur berlari”.

315

Page 316: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR II: “Banyak serdadu musuh yang terlalu gemuk.

Penampilan dan gaya mereka seperti jagal. Tetapi, bila melihat

satu dua temannya ada yang mati, mereka cepat patah semangat

dan lalu buyar kalang-kabut. Dari belakang gerak pantat mereka

yang gemuk tampak lucu”.

BINDI: “Tetapi, kita tetap tidak boleh sembrono. Kita tetap harus

menjaga jangan sampai Panji Tumbal bisa langsung berhadapan

dengan kita. Setiap langkah dari gerakannya harus diikuti oleh

mata-mata kita, dan di medan pertempuran biar ia selalu

berhadapan dengan pasukan berpanah yang khusus kita siapkan

untuk menguntit dan menghadangnya”.

KEMBAR I: “Tampaknya, dari hari ke hari makin bertambah rasa

penasarannya karena selalu dihadang oleh pasukan berpanah, dan

tak mampu mendekati kita”.

KEMBAR II: “Memang, enak melawan orang tua yang sudah

besar namanya. Ibarat ia seekor harimau, kalau kita bakar ekornya,

ia akan berkelakuan seperti ayam yang tanpa pikiran”.

BINDI: “Terus kita tingkatkan rasa penasarannya. Kita harus rajin

mengganggu. Saya lihat ia sudah mulai sembrono dan kedodoran.

--- Siasat kita terus begini saja. Pengepungan kita jalankan dengan

kuat dan ketat, dan serangan yang kita lancarkan cuma bersifat

ganggu dan lari”.

316

Page 317: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR I: “Sampai sekarang sudah ada tujuh lumbung

makannya yang saya bakar”.

KEMBAR II: “Dan, saya sudah berhasil mencuri berpuluh-puluh

kuda mereka”.

BINDI: “Kemarin malam saya menyusup dan meracuni beberapa

sumur mereka”.

KEMBAR I: “Kanda Bindi, apakah itu tidak merugikan juga

rakyat biasa?”

BINDI: “Tidak apa-apa! Rakyat si pemberontak bukanlah rakyat

kita”.

KEMBAR I: “Ibundaku akan marah kalau saya mengganggu

penduduk biasa”.

BINDI: “Ini perang! Ibumu mana tahu apa itu artinya berperang”.

KEMBAR II: “Saya percaya kepada hukum karma. Siapa tahu

anak-cucu saya nanti ada yang bukan prajurit. Jangan sampai

mereka nanti diganggu oleh prajurit yang lain”.

BINDI: “Ah, anak prajurit pasti akan jadi prajurit”.

KEMBAR I: “Ayahanda kita seorang prajurit besar, tetapi di

antara para putranya ada juga yang seperti Pangeran Rebo!”

KEMBAR II: “Kanda Bindi, saya lihat ilmu silat Panji Tumbal

masih berada di bawah kita. Bagaimana menurut Anda?”

BINDI: “Begitu juga pendapat saya. Ia terlalu mengandalkan

tenaganya yang besar”.

317

Page 318: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR I: “Kalau begitu saya dan adik saya akan menjebak

dan menawannya”.

KEMBAR II: “Ya, kenapa tidak? Saya punya bakat untuk

membuat kejutan”.

BINDI: “Hati-hati! Keberanian orang itu sangat besar. Jangan ia

diburu untuk ditawan. Kalian hanya boleh mencoba menawan

kalau ia sudah terjebak jauh ke dalam wilayah kita”.

KEMBAR I: “Jangan khawatir. Saya paham maksud Kakanda”.

KEMBAR II: “Bagi saya, Panji Tumbal seperti kitab yang

gampang dibaca”.

BINDI: “Bagus! Makin cepat tugas kita selesai makin bagus. Saya

sudah kangen kepada Ayahanda Sri Baginda Raja. --- Nanti, kalau

kepala si Tumbal sudah kita penggal, saya akan tidur dengan

istrinya”.

Ia tertawa besar dengan puasnya, sedang Pangeran Kembar

terpaku diam dengan rasa tak suka.

***

34. PANJI TUMBAL TERPUKUL LAGI

Pagi hari. Di Kadipaten Tegalwurung. Panji Tumbal duduk di

tahta Kadipaten dihadap mata-mata.

318

Page 319: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

TUMBAL: “Mata-mata, kedatanganmu aku sambut dengan

gembira. Juga aku terharu akan keadaanmu”.

MATA-MATA: “Jangan dipikirkan keadaan saya, Raden. Saya

ikhlas dan gembira di dalam menjalankan kewajiban”.

TUMBAL: “Sudah tampak besar kandunganmu”.

MATA-MATA: “Tetapi, justru kandungan saya ini yang

memudahkan saya untuk menyelinap ke sana kemari”.

TUMBAL: “Aku tidak akan melupakan jasamu, Mata-mata”.

MATA-MATA: “Terima kasih, Raden”.

TUMBAL: “Sekarang apa yang hendak kamu katakan?”

MATA-MATA: “Aryo Gundu, Aryo Ronin, Pangeran Gada, dan

Pangeran Dodot sebenarnya akan bergabung dengan Anda”.

TUMBAL: “Memang, begitulah janji mereka. Dan, sekarang

dalam keadaan gawat ini aku menunggu kedatangan mereka”.

MATA-MATA: “Mereka tak akan datang. Panji Reso menjebak

dan mengkhianati mereka”.

TUMBAL: “Panji Reso? Ia berjanji memihak kepadaku dan akan

mengirim 1000 tail emas dengan segera”.

MATA-MATA: “Panji Reso dan semua Adipati ternyata tetap

memihak kepada Sri Baginda Raja Tua. --- Panji Simo dan Panji

Ombo dengan membawa pasukan yang kuat, memburu Aryo

Gundu, Aryo Ronin, Pangeran Gada dan Pangeran Dodot yang

sedang menuju kemari. Kepala mereka dipenggal”.

319

Page 320: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

TUMBAL: “Meleset. Semua meleset dari dugaanku. Justru karena

semua adipati tadinya bersedia bersekutu dengan aku, maka aku

berani memberontak kepada raja”.

MATA-MATA: “Begitu surat Anda dibaca oleh Sri Baginda,

segera beliau menitahkan agar semua adipati ditahan di ibukota

untuk mencegah mereka bergabung dengan Anda. Lalu, sementara

mereka berada di ibu kota, mereka dipengaruhi oleh Panji Reso

untuk tetap setia kepada raja”.

TUMBAL: “Kenapa Panji Reso bersikap seperti itu? Padahal ia

juga tidak puas terhadap pemerintahan Baginda Raja. Kenapa ia

tiba-tiba berbalik mengkhianati diriku?!”

MATA-MATA: “Saya kira ia mempunyai rencananya sendiri.

Sekarang, ia diangkat Sri Baginda menjadi aryo”.

TUMBAL: “Diangkat menjadi aryo? --- Mungkinkah ia punya

cita-cita yang akan ia kejar walaupun dengan mengorbankan

teman-temannya?”

MATA-MATA: “Kekuasaan itu jorok dan cemar. Dibungkus

dengan unggah-ungguh dan tata-cara, dihias dengan keangkeran,

supaya tidak kelihatan seperti kotoran.

TUMBAL: “Aku mengejar perbaikan, aku tidak mengejar

kekuasaan”.

MATA-MATA: “Rupa-rupanya Panji Reso mengejar kekuasaan.

Sekarang ia semakin dekat dengan raja”.

320

Page 321: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

TUMBAL: “Sekarang ia sudah aryo. Apakah nantinya ia ingin

menjadi raja?”

MATA-MATA: “Itu sekadar dugaan. Tetapi, memang

mengandung kemungkinan. Ia kelihatan secara berencana akan

menyingkirkan para senapati”.

TUMBAL: “Gila! Seorang pahlawan yang perkasa tiba-tiba bisa

menjadi hantu yang mengerikan”.

MATA-MATA: “Tabahkan iman Anda, Raden”.

TUMBAL: “Aku tabah. Biarpun keadaanku berantakan”.

MATA-MATA: Pasukan yang dibawa Pangeran Bindi dan

Pangeran Kembar memang pasukan pilihan”.

TUMBAL: “Jangan memberikan hiburan yang tidak diperlukan.

Pasukan mereka biasa-biasa saja. Tetapi, ketiga pangeran itu

biarpun masih muda, ternyata sangat pandai memimpin

pengepungan”.

MATA-MATA: “Saya akan istirahat dua hari. Sesudah itu saya

akan kembali ke ibu kota”.

TUMBAL: “Jangan kamu memaksakan diri”.

MATA-MATA: “Tidak, Raden. Saya melakukannya dengan

sadar, tulus, dan ikhlas”.

TUMBAL: “Terima kasih. Sementara aku menghadapi

pengkhianatan, kamu memberi kesetiaan yang tulus tanpa

pamrih”.

321

Page 322: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

MATA-MATA: “Pikiran Anda baik, cita-cita Anda juga menjadi

cita-cita saya. --- Sekarang saya pamit. Salam, Raden”.

TUMBAL: “Salam!”

***

35. RAJA BONEKA

Di Balai Penghadapan. Pangeran Rebo duduk di atas tahta.

Semua tokoh ada kecuali yang sedang berada di luar kota.

RAJA: “Inilah acara Penghadapan Besar yang pertama kali aku

alami sejak tiga hari yang lalu aku menjadi raja. --- aku berterima

kasih kepada kamu semua yang sudah memberi dukungan,

terutama kepada ibuku Ratu Dara dan Aryo Reso. Aku umumkan

juga pada saat ini bahwa sebagai raja namaku bukan lagi Rebo. Itu

nama pemberian almarhum ayah saya, raja yang dulu, yang

sekarang telah wafat. Karena, waktu aku lahir beliau dalam

keadaan mabuk. Beliau menyangka saat itu hari Rebo, padahal

hari Kamis. Sebagai raja namaku sekarang Mahesa Kapuranta”.

Aryo Reso bertepuk tangan. Yang lain ikut bertepuk tangan.

RAJA: “Tentu saja, aku juga tidak lupa berterima kasih kepada

para panji dan adipati. Kepada kamu semua aku beri hadiah yang

akan disampaikan oleh Aryo sekti yang kini menjadi Senapati

322

Page 323: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Istana, menggantikan Aryo Bungsu. Adapun Aryo Bungsu

sekarang menjadi purnawirawan. Jasanya di masa lampau aku

kenangkan dengan ucapan terima kasih. --- Sekarang aku undang

Kalian untuk ikut dalam acara santap bersama”.

SIMO: “Yang Mulia Sri Baginda Mahesa Kapuranta, hamba

berterima kasih untuk hadiah dari istana yang sudah sekian

banyaknya. Sebetulnya, hadiah kebendaan ini sudah terlalu banyak

bagi hamba. Di kadipaten hamba sendiri barang-barang itu sudah

ada”.

RAJA: “Tidak apa-apa. Nanti di rumah benda-benda itu bisa

kamu bagi-bagikan kepada sanak keluargamu. Sebab aku juga

tidak lupa untuk memperhatikan kesejahteraan keluarga para

pembantuku”.

RESO: “Maaf, Yang Mulia, Paduka hampir lupa menyebut

penghargaan yang lain untuk para adipati yang telah banyak

membantu Paduka”.

RAJA: “Ah, ya! Aku hampir lupa karena hadiah itu sifatnya

hanya gelar belaka. Namun meskipun itu gelar, sifatnya resmi dan

juga menurun kepada anak-anakmu. --- Kini sebagai raja, aku

mengucapkan firman: Panji Simo, Panji Ombo, Panji Wongso,

Panji Bondo dan Panji Bolo, mulai sekarang aku beri gelar: Aryo

Adipati Simo, Aryo Adipati Ombo, Aryo Adipati Wongso, Aryo

323

Page 324: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Adipati Bondo, Aryo Adipati Bolo. Inilah Firmanku sebagai

Raja”.

Semua bertepuk tangan gembira.

RAJA: “Semua sudah puas sekarang. Saya puas, kamu puas.

Marilah sekarang kita santap bersama”.

RESO: “Yang Mulia, hamba mohon maaf. Tetapi, Ratu Kenari

tampaknya akan mohon penjelasan”.

RAJA: “Ah, ya! --- Bibi Ratu Kenari, mohon maaf karena saya

dibawa oleh kesibukan. --- Ah, ya! --- Ratu Kenari, Anda mohon

izin untuk pulang ke rumah orangtua berhubung Anda sudah

menjadi janda. Aku tidak bisa mengizinkan permintaanmu. Sebab,

aku ingin kalau anak-anakmu pulang nanti, mereka pulang kemari.

Tidak ke rumah orangtuamu”.

KENARI: “Tentu saja, Yang Mulia! Anak-anak saya abdi Paduka.

Mereka saya didik untuk patuh dan setia kepada Raja”.

RAJA: “Itu raja yang dulu. Tetapi, sekarang kerajaan ini sudah

berganti raja”.

KENARI: “Hamba paham, Yang Mulia. Mereka tidak pernah

ingin menjadi raja. Saya mendidik mereka begitu. Mereka tidak

punya bakat untuk menjadi pemberontak sebab jiwa mereka

lembut. Saya nanti akan lebih menginsyafkan mereka”.

324

Page 325: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RAJA: “Aku lihat kamu sangat mencintai putra-putramu. Aku

bisa memahami seluruh isi perasaanmu. Kamu seorang ibu yang

sederhana meskipun seorang ratu. Dari dulu kamu dan anak-

anakmu ingin yang wajar-wajar saja”.

RESO: “Tetapi, Yang Mulia, mungkin yang belum jelas bagi ratu

kenari ialah bahwa kalau beliau pulang ke rumah orangtuanya,

para putranya bisa punya salah paham. Mereka bisa menyangka

bahwa Anda telah mengusir ibu mereka dari istana”.

RAJA: “Ya! Ya! Aku bisa celaka! --- Jangan! Jangan sampai

terbit salah paham seperti itu”.

KENARI: “Yang Mulia, hamba berjanji akan menulis surat

kepada mereka agar mereka patuh dan setia pada Paduka”.

RESO: “Yang Mulia, hamba tidak menduga bahwa Ratu Kenari

suka bersurat-suratan kepada para putranya”.

RAJA: “Ratu Kenari, jangan lagi kamu bersurat-suratan dengan

putramu”.

KENARI: “Kenapa, Yang Mulia?”

RESO: “Ratu Kenari, saya kira bukan begitu maksud Yang Mulia.

Yang dimaksud ialah supaya surat-menyurat itu lebih baik

melewati orang saya”.

RAJA: “Begitu! Memang begitu jalan keluarnya”.

RESO: “Ratu Kenari, melalui siapa biasanya Anda berkirim surat

kepada putra-putra Anda?”

325

Page 326: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KENARI: “Melalui seorang abdi anak-anakku yang ikut

menemaninya ke medan perang”.

RESO: “Sekarang di mana abdi itu?”

KENARI: “Di medan perang”.

RESO: “Kapan terakhir dia datang?”

KENARI: “Sehari setelah Baginda Raja yang dulu wafat”.

RESO: “Lain kali, kalau ia datang lagi, Anda wajib memberitahu

saya”.

KENARI: “Tentu saja saya akan berlaku begitu. Kalau itu

perintah Sri Baginda”.

RAJA: “Ya! Begitulah perintahku”.

DARA: “Sri Baginda, mungkin perlu diberitahu kepada Ratu

Kenari bahwa ia di sini akan saya temani. Saya dan dia sama-sama

janda. Janda sama janda harus bekerjasama. Ia tak perlu khawatir

karena saya akan membela perkaranya”.

RAJA: “Nah, kamu dengar itu? --- tunjukkan kalau kamu benar-

benar bisa patuh dan setia. Ikutilah perintah saya, tinggallah di

sini!”

KENARI: “Baik, yang mulia”.

RAJA: “Nah, rupanya tak ada lagi yang aku lupakan, marilah

sekarang kita santap bersama”.

***

326

Page 327: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

36. LAGU LAMA DIMAINKAN LAGI

Di Bangsal Kepanjen, Aryo Reso, Aryo Sekti, dan para Aryo yang

baru berkumpul lagi.

RESO: “Anda semua kini sudah menjadi Aryo Adipati. Aku harap

Anda semua kembali ke kadipaten masing-masing dengan hati

yang puas”.

SIMO: “Hampir saja Sri Baginda lupa memberi gelar itu. Ada-ada

saja”.

OMBO: “Saya lihat Baginda masih banyak memerlukan

pembinaan”.

BONDO: “Kelihatannya Baginda masih belum pantas”.

SEKTI: “Belum pantas apa?”

BONDO: “Tidak jelas bagaimana. Tetapi, ada sesuatu yang jauh

di luar bayangan kita. Apakah Anda tidak melihat itu?”

SEKTI: “Ya, kurang lebih begitu. Rasanya ia kurang bisa

bermain”.

WONGSO: “Rasanya,… kurang tampak seperti raja”.

OMBO: “Memang agak susah untuk menyelaraskan dia dengan

tahtanya”.

BOLO: “Maaf. Saya kira penting untuk mengutarakan pendapat

saya sejelasnya. --- Aryo Reso, teman-teman, saya khawatir bahwa

kita telah salah memilih raja” (semua terdiam). “Memang betul,

327

Page 328: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Baginda tidak membayangkan bahaya sebagai raja yang kejam.

Tetapi, Baginda membayangkan sebagai raja yang tak tahu

berbuat apa-apa. Ini tidak kalah berbahayanya bagi negara. Betul

Baginda bisa dibina, tetapi kalau terlalu banyak dibina, artinya,

Baginda menjadi boneka”.

RESO: “Tentu ada cara pembinaan yang tepat, yang bisa

merangsang kekuatan pribadinya yang asli”.

BOLO: “Mudah-mudahan. Namun, saat ini, kita tidak boleh

terlambat menyadari bahwa raja yang lemah sama berbahayanya

dengan raja yang kejam”.

SIMO: “Dari dulu kita berpendapat bahwa Aryo Reso dan Ratu

Dara akan bisa menanggulangi persoalan yang waktu itu sudah

bisa sedikit kita bayangkan”.

BOLO: “Ya, kita bayangkan. Tetapi, tidak sejauh ini. ---

Sekarang, kita harus membicarakan hal itu dengan lebih teliti”.

SEKTI: “Saya setuju dengan isi semangat dan maksud Aryo Bolo.

--- Aryo Reso, kenapa sampai sejauh ini kita meleset dalam

menilai orang?”

OMBO: “Betul! Terus terang saja memang meleset jauh. Lantas

kenapa jadi begini?”

RESO: “Rupanya, tahta memang bukan tempat duduk

sembarangan. Orang yang duduk di atas tahta itu menjadi pusat

perhatian. Semua sifat baik dan buruknya, semua kelebihan dan

328

Page 329: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kekurangannya akan lebih kelihatan daripada biasanya, karena

menjadi sasaran dan sorotan berjuta manusia”.

OMBO: “Saya kira memang begitu. Tidak semua orang kuat

mampu menjadi sasaran sorot mata”.

SIMO: “Tetapi, semuanya sudah terlanjur. Kita harus

menghadapinya dengan gagah. Kita harus punya tekad untuk

memperbaiki keadaan buruk ini. --- Aryo Reso, kami yakin Anda

akan sanggup membina Sri Baginda”.

RESO: “Tentu saja, aku akan berusaha sekuat tenaga. Tetapi,

kenapa kita tidak percayakan saja kepada Ratu Dara”.

WONGSO: “Pengaruh Ratu Dara sebagai seorang ibu terhadap

Sri Baginda memang besar, tetapi beliau tidak begitu memahami

masalah yang hidup di kadipaten”.

BOLO: “Andalah yang lebih memahami masalah kenegaraan,

yang sesuai dengan cita-cita kami”.

RESO: “Baik. Bagaimanapun aku tetap ikhlas menerima tugas

yang Anda serahkan padaku. Tetapi, jelas di dalam hal mendekati

pribadi Sri Baginda aku sangat memerlukan bantuan Ratu Dara”.

SIMO: “Tentu saja. Saya yakin, Anda tidak akan kesulitan dalam

hal bekerjasama dengan Sri Ratu”.

OMBO: “Betul. Kelihatannya Sri Ratu menaruh rasa segan

kepada Anda”.

329

Page 330: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Mudah-mudahan Anda tidak salah memandang.

Bagaimanapun aku membutuhkan kepastian bahwa Sri Ratu akan

membantu usahaku”.

SEKTI: “Kalau ada kesulitan saya akan membantu menyadarkan

Sri Ratu”.

RESO: “Baik teman-teman, dengan ikhlas akan aku pikul

tanggung jawab untuk membina Sri Baginda selama Sri Ratu

memberikan bantuannya”.

SIMO: “Sekarang, dengan lega hati kami bisa pulang ke kadipaten

masing-masing. Besok fajar kami akan meninggalkan ibu kota.

Sekarang, saya akan ke pesanggrahan untuk berkemas-kemas.

Aryo Reso dan Aryo Sekti selamat tinggal”. (pergi)

RESO & SEKTI: “Selamat jalan!”

OMBO: “Saya juga akan pergi”.

SEKTI: “Hati-hati di jalan”.

OMBO: “Aryo Reso, selamat tinggal. Jangan ragu-ragu dekatilah

Sri Ratu Dara. Beliau pasti membantu Anda”.

RESO: “Baiklah. Terima kasih”.

Ombo pergi.

WONGSO: “Aryo Sekti dan Aryo Reso, saya ucapkan selamat

tinggal. Anda berdua telah membantu meningkatkan hidup saya.

330

Page 331: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Saya yakin ibu saya juga akan ikut berterima kasih kepada Anda

berdua”. (pergi)

SEKTI & RESO: “Syukur. Itu bagus!”

BONDO: “Selamat tinggal, Aryo Sekti”.

SEKTI: “Selamat jalan”.

BONDO: “Aryo Reso, dalam membina Sri Baginda jangan lupa

menekankan pentingnya untuk segera menikah”.

“Aku relakan putri sulungku untuk menjadi istri Sri Baginda.

Selanjutnya, saya akan mendukung segala kemajuan yang Anda

cita-citakan”.

RESO: “Aku hanya punya cita-cita untuk kerajaan, tidak untuk

diriku sendiri”.

BONDO: “Itulah yang saya maksud. Untuk kerajaan! --- Nah,

selamat tinggal”. (pergi)

RESO: “Selamat”.

BOLO: “Aryo Reso dan Aryo Sekti, selamat tinggal. --- Saya

mencium ada masalah gawat. Ini saya ucapkan dengan kegagahan.

Saya tidak hanya memprihatinkan Sri Baginda, tetapi saya kaget

melihat perkembangan diri teman-teman. Cacat-cacat yang dulu

tidak tampak di saat hidup dalam tekanan, kini muncul justru di

saat kita sudah menang. Banyak orang yang kuat menghadapi

tekanan, tetapi berantakan di dalam kemenangan”.

RESO: “Anda meragukan diriku?”

331

Page 332: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BOLO: ”Saya mendapat firasat bahwa kita harus sama-sama

waspada. Apakah Anda tersinggung oleh ucapan saya?”

RESO: “Tidak! Anda telah merumuskan pikiran Anda dengan

baik. Aku memahami”.

BOLO: “Terima kasih. Kita sama-sama berdoa!”

RESO: “Tepat!”

SEKTI: “Saya sangat terkesan pada ucapan Aryo Bolo. Wataknya

baik”.

RESO: “Ya! Ia orang baik”.

SEKTI: “Sungguh berat tanggung jawab Anda”.

RESO: “Hm”.

SEKTI: “Apakah Anda merasa kesepian sesudah hidup sendirian

sebagai duda selama beberapa hari ini?”

RESO: “Tidak”.

SEKTI: “Bukankah almarhumah Nyi Mas Reso berasal dari

Karang Anyar?”

RESO: “Memang. --- Kenapa?”

SEKTI: “Anu. --- Saya kaget”.

RESO: “Kaget lagi?”

SEKTI: “Ingatkah musibah keracunan sari daun beludru yang

menimpa diri Anda?”

RESO: “Ya”.

332

Page 333: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Ternyata, di wilayah kerajaan kita tumbuhan daun

beludru hanya bisa tumbuh di sekitar Karang Anyar”.

RESO: “Apakah Anda mengira aku diracun oleh istriku?”

SEKTI: “Rasanya tidak mungkin bukan?”

RESO: “Jangan gampang kita mengada-ada”.

SEKTI: “Ya, memang! Tetapi, di dalam hidup saya, sebagai

seorang mata-mata banyak saya jumpai kenyataan dari hal-hal

yang sebenarnya tidak mungkin terjadi”.

RESO: “Hati-hati. Jangan Anda mampus karena selalu dibikin

pusing oleh rasa curiga”.

SEKTI: “Jangan khawatir. Saya cukup tegar. Dan, tidak mudah

putus asa”.

RESO: “Hm”.

SEKTI: “Salam!” (pergi)

RESO: “Salam! --- (kini sendirian) --- Semakin jelas sekarang

bahwa hanya aku yang bisa menyelamatkan kerajaan. Percuma

saja membina si Rebo yang lahir pada hari Kamis itu! Tulang

punggungnya bukan tulang punggung raja! --- Wahai, induk angin

puting beliung, aku butuh bantuanmu kini! Batara Surya, akan aku

sedot racun hawa panasmu! Kepalsuan wajah rembulan akan aku

tekuni, dan hawa tenung Sang Dewi Malam akan aku resapi di

dalam semadi malamku. --- Wahai, Jagat Dewa Batara, demi

333

Page 334: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

keutuhan dan kejayaan kerajaan aku tidak akan berhenti berusaha

sebelum aku menjadi raja! Panembahan Reso ialah aku!”

***

37. RUBAH DAN MUSANG MENEKAN RAJA

Malam hari. Di kamar Ratu Dara, Aryo Reso duduk bersila di

dekat ranjang. Ratu Dara duduk di atas ranjang.

RATU DARA: “Jago kita sudah duduk di atas tahta. Tetapi, masih

banyak ganjalan yang terasa di dalam hati”.

RESO: “Semua pangeran harus kita lenyapkan, baru betul-betul

kuat kedudukan raja kita”.

DARA: “Sekarang tinggal Pangeran Bindi dan Pangeran

Kembar”.

RESO: “Aku akan membunuh mereka semua”.

DARA: “Bagaimana caranya?”

RESO: “Sekarang aku lagi tekun mengintai. Lama-lama, akan

muncul saatnya dan akan terbayang pula caranya”.

DARA: “Keyakinan Anda pada diri sendiri sangat besar sehingga

saya pun selalu yakin akan keberhasilan segala rencana Anda.

Tetapi, keyakinan saya kepada Sri Baginda goyah, semakin hari

semakin kehilangan tumpuan”.

RESO: “Hm”.

334

Page 335: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Bagaimanakah pendapat khalayak ramai terhadap Sri

Baginda? Apakah para adipati pernah melahirkan perasaan mereka

terhadap Sri Baginda?”

RESO: “Mereka kecewa!”

DARA: “Sudah bisa diduga”.

RESO: “Ada yang berkata bahwa raja yang lemah sama

berbahayanya dengan raja yang kejam bagi kerajaan”.

DARA: “Betul juga pendapat itu!”

RESO: “Tetapi, mereka tetap setia kepada Sri Baginda, karena

percaya bahwa kita akan bisa membina dan mendampingi Sri

Baginda”.

DARA: “Selama Sri Baginda mendengarkan Anda pasti

kedudukannya aman. Sebab, pengaruh Anda besar terhadap para

aryo dan para panji”.

RESO: “Sri Ratu!”

DARA: “Ada apa Aryo?”

RESO: “Aku ingin segera menikah dengan Anda”.

DARA: “Begitu pula keinginan saya. Tetapi, saat berkabung kita

masing-masing belum lewat”.

RESO: “Kalau raja yang menikahkan kita berdasarkan firmannya,

apa pula yang bisa dikatakan masyarakat? Aku, yang tadinya

menurut kebiasaan masyarakat bukan aryo, karena firman raja bisa

menjelma menjadi aryo”.

335

Page 336: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Alasan itu memang kuat”.

RESO: “Kita harus segera menikah, semata-mata demi

kepentingan kerajaan. Sebagai orangtuanya aku akan lebih leluasa

membina dan juga mempertahankannya”.

DARA: “Ya, tepat kata Anda. Saya nanti akan meyakinkan Sri

Baginda. --- Nah, itu dia! Saya dengar suara langkah jalannya”.

Raja masuk.

Raja: “Ibu! --- Oh, Aryo Reso!”

RESO: “Salam, Sri Baginda!”

RAJA: “Salam. --- Ibu memanggil saya?”

DARA: “Betul, Yang Mulia. Duduk!”

RAJA: “Ada apa Ibu?”

DARA: “Saya ingin berbicara mengenai masalah kerajaan”.

RAJA: “Tetapi, lebih dulu aku akan menyatakan…… bahwa

……… hatiku terguncang-guncang”.

DARA: “Kenapa Yang Mulia?”

RAJA: “Aku tidak menduga bahwa di kamar tidur Ibu ada

seorang lelaki”.

DARA: “Beliau bukan “sekadar seorang lelaki”, beliau adalah

Aryo Reso, penasihat dan pemangku raja!”

RAJA: “Tetapi, ini kamar tidur, Ibu!”

336

Page 337: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Di sini, kami berbincang-bincang mengenai urusan

kerajaan”.

RAJA: “Tetapi, toh tetap ganjil! Ganjil!”

DARA: “Baik! Supaya tidak ganjil kawinkanlah kami berdua

dengan segera”.

RAJA: “Lho! Ini kan lebih ganjil lagi! --- Anda berdua belum lagi

lengkap seratus hari menjadi duda dan janda. Apa kata orang

nanti?

DARA: “Orang tidak akan berkata apa-apa kalau hal itu

berdasarkan firman raja”.

RESO: “Yang Mulia! Hubungan kami memang punya dasar cinta,

tetapi kami mendesak untuk segera dinikahkan pada saat yang

ganjil ini karena dorongan pengorbanan. Apabila kami menikah,

persekutuan kita bertiga akan lebih kukuh dan punya hubungan

nalar yang lebih bisa diterima orang banyak. Apalagi, bila raja

berfirman bahwa Bagindalah yang menghendaki pernikahan ini”.

REBO: “Sekarang apa yang harus aku katakan?”

RESO: “Katakan ‘ya’, Yang Mulia. Sebab, kalau tidak, lebih baik

hamba meletakkan jabatan dan pergi bertani”.

DARA: “Ke mana Anda pergi akan saya ikuti”.

RAJA: “Oh, jadi aku dipojokkan! --- Baiklah, kalau memang

demi kerajaan Kalian aku kawinkan”.

RESO: “Terima kasih, yang Mulia!”

337

Page 338: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Untuk selanjutnya, kita bertiga akan merupakan

persekutuan yang kuat yang memimpin kerajaan”.

RAJA: “Ternyata, menjadi raja itu lain dari yang aku bayangkan.

Aku merasa jalan hidupku telah membelok dengan tiba-tiba. Dan,

membawaku ke alam yang ganjil yang aku tidak mengerti sama

sekali. --- Sejak aku menjadi raja, hidupku, hidup orang yang

terperanjat”.

***

38. DIBAWA BADAI KE SANA KEMARI

Siang hari. Di Balai Penghadapan. Ratu Kenari, Aryo Sekti, dan

beberapa pembesar ada di situ menghadap raja yang didampingi

Ratu Dara dan Aryo Reso.

RAJA: “Perkawinan Aryo Reso dan Ratu Dara yang terjadi tiga

hari yang lalu, sebagaimana telah aku katakan, atas kehendakku.

Aku masih muda, tetapi aku tidak merasa kikuk atau gentar untuk

menjadi raja yang menguasai kerajaan yang luas dan besar ini.

Sebab, aku dibantu sepenuhnya oleh Aryo Reso, pahlawan besar

kerajaan, yang kini menjadi ayahku. Kini, tahta raja akan lebih

teguh dan sentosa. --- Sebagai penasihat dan pemangku raja, Aryo

Reso tidak lagi bernama Aryo Reso. Aku, kini, menganugerahinya

gelar yang sesuai dengan kedudukannya sebagai ayahku.

338

Page 339: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Sekarang, nama dan gelarnya adalah Panembahan Reso. ---

Sedang untuk diriku sendiri, kini aku juga mengambil keputusan

yang baru. Sejak kini, namaku bukan lagi Mahesa Kapuranta,

tetapi aku ganti menjadi Maharaja Gajah Jenar. --- Sudah saatnya,

aku menyadari dengan tegas bahwa aku raja satu-satunya di

wilayah kerajaan yang luas ini. Adanya kekuasaan tandingan tidak

aku izinkan. --- Oleh karena itu, aku mendesak perlu segera

adanya tanggapan yang tegas dari Panji Tumbal, Pangeran Bindi,

dan Pangeran Kembar terhadap tahtaku. Kalau mereka mengakui

kewibawaan tahtaku, maka harus segera datang menghadap

kemari dan menyatakan pengakuannya. Sedangkan, kalau mereka

melawan tahta, kepala mereka akan dipenggal. Tugas untuk

menyampaikan firmanku ini aku serahkan kepada Panembahan

Reso yang akan menunjuk para utusan”.

RESO: “Baik. Hamba sanggup, Yang Mulia”.

KENARI: “Yang Mulia, hamba akan berkirim surat kepada putra

kembar hamba dengan melewati utusan Panembahan Reso, sesuai

dengan peraturan yang telah difirmankan. Di dalam surat itu

hamba minta agar segera pulang sesuai dengan ajakan Sri Baginda

yang penuh dengan kemurahan hati”.

RAJA: “Itu pikiran yang bagus”.

DARA: “Yang Mulia, sampai sekarang Aryo Lembu, Aryo

Jambu, Aryo Bambu, dan Aryo Sumbu belum juga kembali ke ibu

339

Page 340: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kota. Sejak mereka ditugaskan untuk berkeliling mengamankan

kadipaten-kadipaten oleh almarhum Baginda Raja Tua. Utusan

mereka pun tidak dikirimkan. Saya bisa membayangkan

bagaimana kesepian istri-istri mereka. Ada baiknya bila para istri

itu dipanggil untuk sementara tinggal di dalam istana. Menemani

Ratu Kenari yang juga sedang kesepian”.

KENARI: “Yang Mulia, hamba tidak tahu lagi apa itu kesepian.

Hamba sudah merasa puas bisa bersemadi di dalam kamar. Hamba

tidak perlu teman”.

RAJA: “Ratu Kenari, jangan kamu menolak maksud baik ibuku.

--- Aryo Sekti hari ini juga jemputlah para istri aryo itu ke istana.

Biarlah mereka hidup tenang dan mewah di sini sampai suami

mereka pulang melaporkan diri kepada tahta”.

SEKTI: “Baik, Yang Mulia”.

RAJA: “Bagus! Sekarang, marilah kita bersama-sama berdoa

untuk kejayaan kerajaan. Acara Penghadapan hari ini aku

bubarkan”.

***

39. PERANG BATIN DI MEDAN PERTEMPURAN

Siang hari. Perkemahan Barisan Kerajaan di Tegalwurung. ---

Aryo Bindi tampak duduk termenung seperti patung batu yang

340

Page 341: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

lumutan. Pangeran Kembar masuk. Di situ ada juga serdadu

pengawal.

KEMBAR I: “Kakanda Bindi, saya membawa kabar gembira.

Panji Tumbal berhasil kami tawan”.

BINDI: “Apa?” (tangannya menggenggam surat)

KEMBAR II: “Kami berhasil menjebaknya sampai jauh masuk ke

wilayah kita. Ia kami kepung. Waktu ujung iga kanannya kena

sabet tongkat saya, ia pingsan”.

KEMBAR I: “Begitulah ia kami tawan. Kami kurung dan

kurungannya kami tambatkan pada pohon randu alas di sana.

Sekarang ini, pasukan kami sedang bersuka-ria menari

mengitarinya”.

BINDI: “Inilah salah satu kemenangan yang penting di dalam

hidup kita. Adinda kembarku, aku sangat bangga pada Kalian

berdua. Sepanjang hidup aku akan rela mengikat tali persekutuan

yang erat dengan Kalian”.

KEMBAR I: “Isi kalimat Anda penuh dengan penghargaan dan

maksud persaudaraan, tetapi wajah Anda dan nada suara Anda

mencerminkan keprihatinan yang belum Anda katakan”.

KEMBAR II: “Ya! Kakanda tampak bermuram durja!”

BINDI: “Kebanggaan Kalian sudah pada tempatnya, tetapi kita

sekarang menghadapi kenyataan bahwa nasib baik dan nasib buruk

bisa bergandengan tangan”.

341

Page 342: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR II: “Apakah Kakanda ditimpa malapetaka?”

BINDI: “Kita semua terlanda bencana selagi di tangan kita

menggenggam keberuntungan. --- Ayahanda Sri Baginda Raja

wafat!”

KEMBAR I: “Duh, Gusti!”

KEMBAR II: “Apa?”

Hening. Bindi mengacungkan surat yang sejak tadi tergenggam di

tangannya.

BINDI: “Seorang utusan dari mata-mata kita di ibu kota

mengirimkan surat ini. --- Kedua saudara kandungku Pangeran

Gada dan Pangeran Dodot memberontak terhadap Sri Baginda. ---

Lalu kepala mereka dipenggal. --- Ibundaku Sri Ratu Padmi

berduka cita. Kemudian beliau bunuh diri di halaman istana. ---

Tak lama kemudian Sri Baginda juga wafat”.

KEMBAR I: “Kita bertiga kehilangan raja dan bapak. Tetapi,

kemalangan Anda ditambah dengan kehilangan ibunda dan adik

kandung”.

BINDI: “Tidak hanya itu! Karena, ternyata, aku juga kehilangan

tahta!” (kedua Pangeran Kembar tertegun) --- “Panji Reso dan

para adipati telah merajakan Pangeran Rebo. Si dungu yang

seharusnya duduk di keranjang sampah itu kini duduk di atas

tahta”.

342

Page 343: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR II: “Saya bisa membayangkan betapa ibu Anda

sebelum akhirnya bunuh diri. Kedua putra kandungnya wafat

dipancung bersama-sama”.

BINDI: “Tetapi, memang begitulah hukuman untuk orang yang

memberontak kepada Raja! --- Diam-diam rupanya mereka juga

menginginkan tahta, yang menurut orang banyak sudah

dicadangkan oleh ayahanda untuk diriku”. (Kedua Pangeran

Kembar tertegun lagi) “Adinda Pangeran Kembar apakah Kalian

mendukung aku untuk menjadi raja?”

KEMBAR I: “Tentu saja. Memang, hanya Kakandalah yang

pantas untuk dibayangkan mengganti ayahanda”.

KEMBAR II: “Dibanding Pangeran Rebo kakanda jauh lebih

memadai”.

BINDI: “Jadi, Kalian mau bersumpah bahwa Kalian akan mati-

matian membantu aku agar bisa duduk di atas tahta?”

KEMBAR I: “Pasti, kakanda! Itu pasti!”

KEMBAR II: “Jangan Kakanda ragu-ragu dalam hal itu”.

KEMBAR I: “Tetapi, ini bukan saat yang tepat bagi kita untuk

membicarakannya. Ini saat berkabung. Empat anggota keluarga

kita baru saja meninggal dunia”.

BINDI: “Urusan hidup dan mati bukanlah urusan orang gagah

seperti kita untuk direntang-panjangkan! --- Ayahanda sudah

sangat tua. Teman-teman Baginda seumur sudah wafat semuanya.

343

Page 344: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Ibuku seharusnya menyadari bahwa sudah selayaknya kedua

adikku kehilangan kepala karena memberontak terhadap raja.

Ibuku bunuh diri karena itu, sebenarnya sangat mengecewakan.

Rasa kecewa melebihi rasa dukaku. Baiklah! Yang lewat biarlah

lewat! Kewajiban kita yang nyata sebagai pangeran, pada saat ini

ialah menyelamatkan tahta dari tangan orang yang dungu. Ini

penting demi kelangsungan kejayaan kerajaan. --- Sekarang aku

minta Kalian bersumpah”.

KEMBAR I: “Saya bersumpah!”

KEMBAR II: “Saya bersumpah!”

BINDI: “Bagus! Aku puas! --- Coba, bawa Panji Tumbal kemari”.

KEMBAR II: “Baik. Saya ambil dia” (pergi).

KEMBAR I: “Kakanda, saya memikirkan ibuku Ratu Kenari.

Bagaimana nasib beliau di dalam pergolakan kekuasaan di ibu

kota”.

BINDI: “Setiap orang punya kemampuan menyelamatkan dirinya.

Jangan kamu bersikap seperti bayi yang masih menyusu. Urusan

kerajaan yang lebih besar terbentang di depan mata kita”.

KEMBAR I: “Di samping kewajiban sebagai pangeran, saya juga

punya kewajiban sebagai seorang putra”.

BINDI: “Hati-hati, Adinda! Jangan-jangan kamu akan sukar

maju”.

344

Page 345: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR I: “Hal itu sudah lama saya renungkan. Rupanya saya

memang tidak tertarik untuk maju. Kewajaran saya ialah sehari-

hari sebagai manusia biasa”.

BINDI: “Bagi saya, omonganmu ini tidak terasa sederhana, tetapi

justru ganjil kedengarannya”.

Muncul Pangeran Kembar II dengan membawa Panji Tumbal

yang terikat tangan dan badannya.

KEMBAR II: “Kakanda Pangeran Bindi, inilah tawanan kita,

Panji Tumbal, si pemberontak, saya bawa menghadap Anda”.

BINDI: “Terima kasih. --- Panji Tumbal, hari ini terbukti bahwa

aku telah mengalahkan Anda”.

TUMBAL: “Silakan berbangga sepuas Anda. Kekalahan ini saya

akui. Tetapi, kebenaran tetap berada di pihak saya. Sampai detak

jantung saya yang terakhir, saya tetap memberontak kepada

berhala kekuasaan”.

BINDI: “Kunyah-kunyahlah sendiri anggapan Anda mengenai

kebenaran itu. Aku tidak tertarik untuk memperdebatkannya”.

TUMBAL: “Kalau begitu, kenapa tidak Anda selesaikan saja

tugas Anda sampai tuntas? Kenapa tidak segera Anda penggal

kepala saya?”

BINDI: “Kenapa Anda tergesa-gesa untuk kehilangan kepala?”

345

Page 346: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

TUMBAL: “Kenapa saya mesti menikmati waktu yang penuh

dengan penghinaan ini?”

BINDI: “Raja yang menghendaki kepala Anda sudah tidak ada”.

TUMBAL: “Apa?”

BINDI: “Raja yang Anda tentang dengan pemberontakan telah

wafat”.

TUMBAL: “Ah! --- Lalu bagaimana maksud Anda sekarang?”

BINDI: “Seandainya saat ini Anda menang, Anda akan segera

meraih tahtanya, bukan?”

TUMBAL: “Tidak! --- Tidak ada minat saya untuk naik tahta.

Aku memberontak untuk menuntut pemerataan keadilan”.

BINDI: “Aku punya minat dan bakat untuk naik tahta. Maukah

Anda mendukung aku?”

TUMBAL: “Pikiran saya tertegun, Pangeran”.

BINDI: “Lumrah. --- Sekarang aku bantu Anda berpikir. Yang

berhak menjadi raja adalah seorang pangeran. Nah, kecuali kedua

Pangeran Kembar ini, keempat pangeran selebihnya, semua,

berminat untuk menjadi Raja. Gada dan Dodot sudah dipancung

oleh almarhum ayahku. Tinggal dua pangeran lagi, Rebo dan aku.

Si Rebo orang yang lemah, dungu, dan masih menyusu ibunya.

Tinggal aku. Aku telah membuktikan bisa unggul di medan

perang. Di bawah kekuasaanku ada jaminan bahwa kerajaan akan

tetap utuh dan sentosa”.

346

Page 347: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

TUMBAL: “Anda seperti Sri Baginda Raja Tua. Seandainya,

Anda menjadi raja Anda hanya tertarik pada kekuasaan yang utuh

semu. Tetapi, nanti Anda juga akan kecolongan, tidak tahu bahwa

rakyat Anda, dari para pangeran, para senapati, dan para adipati

sebenarnya berantakan, gelisah, dan penuh ketidakpuasan. Anda

akan gampang tertipu oleh keutuhan semu dari keseragaman. Dan,

Anda akan gamang terhadap keselarasan dari keanekaan”.

BINDI: “Jadi, Anda pengagum dari keanekaan? --- sadarkah Anda

bahwa rakyat kita belum dewasa? Keanekaan akan meruwetkan

pikiran mereka! Kekacauan di dalam masyarakat lalu akan

terjadi”.

TUMBAL: “Tetapi, hanya keanekaan yang memungkinkan

pikiran orang jadi berkembang dan dewasa!”

BINDI: “Memang betul, Anda tidak berbakat menjadi raja.

Keanekaan itu sumber perpecahan. Apa gunanya raja berkuasa

kalau ia tidak bisa menciptakan keseragaman yang tertib, rapi,

aman, dan sejahtera!”

TUMBAL: “Anda akan menjadi raja yang mengingkari naluri

pikiran manusia! Kalau Anda hanya berminat pada keseragaman,

kenapa Anda tidak menjadi pembuat batu bata saja?”

BINDI: “Jadi, Anda tidak punya selera untuk ketertiban?”

TUMBAL: “Tentu saja saya setuju kepada ketertiban! Tetapi,

seharusnya, sumber ketertiban itu adalah daulat hukum yang

347

Page 348: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

mengatur keselarasan dari naluri pikiran yang beraneka. Inilah

dasar kelestarian hidup bersama. Sebaliknya, dasar ketertiban gaya

Anda hanyalah kelestarian kekuasaan”.

BINDI: “Tentu saja! Sebab keuasaan yang benar-benar kuatlah

yang bisa membuat negara menjadi kukuh”.

TUMBAL: “Anda hanya tertarik kepada yang kukuh dan beku,

Anda tidak tertarik kepada yang ulet dan hidup!”

BINDI: “Bah! --- Sekarang Rebo yang duduk di atas tahta.

Barangkali ini akan lebih cocok dengan selera Anda”.

TUMBAL: “Tidak! Anda dan beliau pilihan yang jelek!

Sedangkan, pilihan lain tidak ada. Kemiskinan pilihan dalam

kehidupan bangsa kita adalah akibat dari kekukuhan dan kebekuan

yang diciptakan oleh Bapak Anda, Sri Baginda Raja Tua. Sungguh

menyedihkan! Baru di saat terakhir aku menyadari bahwa aku,

Anda, Reso, Raja Tua, dan juga semua pangeran dan panji,

mengira dirinya berjuang untuk rakyat. Semua mengaku membela

rakyat. Tetapi, sebenarnya rakyat tak pernah kita ajak bicara.

Rakyat tak pernah punya hak bicara! ---Astaga! Kita semua telah

bertarung mati-matian TIDAK untuk kedaulatan rakyat, tetapi

untuk kedaulatan tahta semata!”

***

348

Page 349: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

40. PARA ARYO MENGHADAP PANEMBAHAN

Di rumah Panembahan Reso. Pagi hari. Aryo Lembu, Aryo

Jambu, Aryo Bambu, Aryo Sumbu, Aryo Sekti, Ratu Dara, dan

Panembahan Reso.

SEKTI: “Panembahan Reso, saya datang kemari untuk mengantar

teman-teman aryo, yang dulu diutus oleh almarhum Sri Baginda

Raja Tua untuk keliling ke kadipaten-kadipaten menghadap

kepada Anda”.

RESO: “Selamat datang, para Aryo. Kedatangan Anda di ibu kota

sangat kami nantikan. Terutama oleh Sri Baginda Maharaja”.

LEMBU: “Sebelum menghadap Sri Baginda Raja………”.

SEKTI: “Maaf, Maharaja, bukan raja”.

LEMBU: “Ah, ya! Ampun seribu ampun! --- Sebelum kami

menghadap Sri Baginda Maharaja, kami dahulu menghadap Anda

dan juga……… Sri……… Ratu Dara?”

SEKTI: “Ya, betul! Sri Ratu Dara!”

LEMBU: “Oh! ……… Kami lebih dahulu menghadap Anda dan

Sri Ratu Dara untuk meyakinkan diri bahwa kami tidak akan

membuat kesalahan yang sama sekali tidak kami maksudkan”.

BAMBU: “Selama kami bertugas telah banyak perubahan terjadi

dengan cara yang sah. Kami akan menyesuaikan diri dengan

perubahan ini”.

349

Page 350: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

JAMBU: “Pendeknya, kami mengakui kedaulatan Sri Mahara

Gajah Jenar dan tunduk kepada semua keputusan yang telah

difirmankan oleh Sri Baginda”.

SUMBU: “Kami telah menjalankan tugas yang justru kami anggap

penting untuk mempertahankan keutuhan kerajaan. Sekarang,

kami tetap patuh dan bersedia untuk membela keutuhan kerajaan

di bawah naungan Sri Baginda Maharaja Gajah Jenar”.

RESO: “Bagus! Bagus! --- dengan cepat saya bisa menyimpulkan

bahwa Anda berempat Abdi Raja yang tahu diri dan tahu akan

kewajiban. --- Bagus! Bagus! Sri Baginda pasti akan ikhlas

menerima bakti Anda semua”.

JAMBU: “Syukurlah kalau begitu. Kami juga sangat berterima

kasih kepada Sri Baginda. Karena, beliau telah memberikan

perhatian besar kepada para istri kami. --- Bagaimanakah keadaan

mereka? Saya sendiri sudah merasa sangat kangen dengan istri

saya setelah sekian lama dipisahkan oleh tugas demi kerajaan”.

RESO: “Jangan khawatir. Keadaan mereka sangat mewah dan

sejahtera. Mereka dibawa ke istana demi keamanan mereka

sendiri. Jangan sampai mereka menjadi korban dari pancaroba

perubahan. Nanti, setelah Anda menghadap Maharaja, pasti istri

Anda akan diantar ke rumah kembali. --- Sri Ratu Dara dan Sri

Ratu Kenari selalu bermain-main dengan mereka”.

350

Page 351: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Kami sering bermain bersama sampai agak larut malam.

Kami saling bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing”.

JAMBU: “Sungguh kami sangat berhutang-budi untuk kebaikan

hati semacam itu”.

RESO: “Jadi, kerajaan dalam keadaan kurang lebih utuh!”

LEMBU: “Begitulah. Kecuali keadaan di Tegalwurung! --- Panji

Tumbal berhasil ditawan oleh Pangeran Kembar. Kepalanya

dipenggal. Pangeran Bindi menduduki seluruh Kadipaten

Tegalwurung dan menyatakan menentang kedaulatan Maharaja

kita, serta menobatkan dirinya sendiri menjadi raja. Pangeran

Kembar mendukungnya”.

RESO: “Hm! --- Ini bukan persoalan remeh”.

DARA: “Ia bukan putra tertua dari almarhum Sri Baginda Raja

yang dulu. Atas dasar apa ia menobatkan dirinya menjadi raja?”

RESO: “Atas dasar kekuatan! Setiap orang yang merasa dirinya

kuat boleh saja menobatkan dirinya menjadi raja. Seperti juga, raja

yang dulu mendirikan kerajaan ini. Tinggal soalnya, apakah ia

akan bisa membuktikan bahwa dirinya benar-benar yang terkuat di

seluruh negara. Bisa tidak, ia menundukkan semua tandingan yang

ada”.

DARA: “Jadi, ia menantang kekuasaan Maharaja kita?”

351

Page 352: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Sanggupkah Maharaja kita menyingkirkan dia? Atau

sanggupkah dia menyingkirkan Maharaja kita? Itu saja

persoalannya”.

BAMBU: “Dengan dukungan Anda sebagai pemangku, Maharaja

kita pasti akan bisa menumpas tandingannya di Tegalwurung!”

JAMBU: “Besar kepercayaan kami kepada Anda untuk bisa

mengatasi keadaan ini, Panembahan”.

LEMBU: “Dari sejak masih tinggal di istana, Pangeran Bindi

sangat mengerikan tingkah lakunya. Tanpa ragu-ragu saya akan

membantu Anda untuk membela Maharaja kita”.

RESO: “Aryo Sumbu, apakah Anda juga mempunyai kemantapan

seperti itu?”

SUMBU: “Jelas dan tegas, ya, Panembahan!”

RESO: “Setelah Anda semua beristirahat beberapa hari, bantulah

Sri Baginda untuk memerangi para pemberontak. Anda semua

mempunyai pengalaman yang luas di dalam pertempuran”.

LEMBU: “Di bawah pimpinan Anda kami semua patuh dan

setia”.

RESO: “Silakan pulang dulu dan nanti sore menghadap Maharaja

di istana”.

Keempat Aryo mohon diri lalu keluar.

352

Page 353: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Pengaruh Anda terhadap para aryo, para panji, dan para

senapati sungguh sangat besar. --- Memang hanya Anda yang bisa

menyelamatkan kerajaan dari bencana perpecahan. --- Sekarang

saya pamit dulu, Panembahan. Di rumah saya ada tamu yang

menginap. Setelah minum kopi sore hari dengan tamu itu, saya

akan menghadap Maharaja ke istana”.

RESO: “Apakah tamu itu akan tinggal lama di rumah Anda?”

SEKTI: “Seperti biasanya, agak lama juga. --- Salam Ratu Dara.

--- salam Panembahan”. (pergi)

DARA: “Anakku seorang diri tak akan bisa mempertahankan

tahtanya”.

RESO: “Itulah sebabnya kita harus membantu Baginda”.

DARA: “Maharaja boneka itu mulai memuakkan saya”.

RESO: “Tidak baik berkata begitu, sementara Baginda adalah

darah dagingmu sendiri”.

DARA: “Panembahan suamiku, ternyata Anda begitu kuat dan

kuasa, kenapa Anda tidak ingin menjadi raja?”

RESO: “Hahahaha! Apa kurang enaknya menjadi orangtua dan

pemangku raja?”

***

41. PERTEMUAN DARI HATI KE HATI

353

Page 354: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Sore hari. Di rumah Aryo Sekti. Panembahan Reso duduk

berembuk dengan Aryo Sekti.

RESO: “Anda tadi, di rumah saya, berkata bahwa hanya aku yang

bisa menyelamatkan kerajaan dari bencana perpecahan. Benarkah

itu?”

SEKTI: “Tentu saja. Apakah Anda berpura-pura tidak menyadari

kenyataan itu? Itu bukan kerendahan hati!”

RESO: “Bukannya tidak menyadari, tetapi kurang meyakini”.

SEKTI: “Ya, begitulah kenyataannya. Orang boleh suka atau

tidak suka kepada Anda, tetapi toh harus mengakui kenyataan

bahwa Anda sangat dibutuhkan oleh negara untuk mengatasi

perpecahan”.

RESO: “Jadi, Anda menganggap aku dibutuhkan oleh negara!

Tetapi, mengenai suka atau tidak suka terhadap diriku itu

bagaimana? Anda termasuk orang yang suka atau tidak suka?”

SEKTI: “Termasuk yang suka dan tidak suka”.

RESO: “Apa yang Anda tidak suka pada diriku?”

SEKTI: “Ada satu rahasia yang menyelubungi diri Anda yang

membuat diri saya penasaran”.

RESO: “Hm. Begitu. Memang ada sikap Anda yang agak

mengganggu hubungan kita berdua. Tetapi, rupanya bukan soal

yang menyangkut rasa tidak suka. Melainkan menyangkut rasa

curiga”.

354

Page 355: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Ya! Ya! Memang betul! Betul! Saya punya rasa curiga

pada diri Anda”.

RESO: “Nah, sekarang jangan lagi ada rasa sungkan. Aku ingin

ada pertemuan dari hati ke hati dengan Anda”.

SEKTI: “Ini suatu kehormatan bagi saya”.

RESO: “Syukurlah. Sekarang tuntaskan, uraikan seluruh

kecurigaan Anda terhadap diriku”.

SEKTI: “Panembahan! Sebetulnya Anda ingin menjadi raja,

bukan?”

RESO: “Betul!”

SEKTI: “Sejak permulaan gerakan para panji?”

RESO: “Ya! --- Tepatnya, sejak Panji Tumbal mengajak aku ikut

berontak. Waktu itu, kita semua mulai menyadari bahwa keadaan

kerajaan yang buruk harus diubah. Aku melihat Baginda Raja Tua

sudah pikun, tetapi ia masih lebih baik dari semua calon pengganti

yang ada. Pada saat itu meskipun aku masih panji, aku sudah sadar

bahwa akulah yang bisa menyelamatkan negara”.

SEKTI: “Jadi, penilaian terhadap Anda yang sekarang saya

ucapkan, waktu itu, sudah Anda sadari?”

RESO: “Ya. Betul”.

SEKTI: “Di dalam kehidupan sehari-hari manusia biasa, ini

disebut kepongahan”.

355

Page 356: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Aku menyadari kekuranganku, aku menyadari

kelebihanku. Itu saja!”

SEKTI: “Takaran Anda memang bukan takaran manusia biasa”.

RESO: “Penyadaran akan kelebihan diriku menerbitkan cita-cita

untuk menjadi raja dan menyelamatkan negara! Lalu, cita-cita itu

aku perjuangkan dengan rencana dan usaha”.

SEKTI: “Itulah sebabnya, Anda mengingkari pemberontakan

Panji Tumbal”.

RESO: “Ya, untuk menguasai semua adipati dan menghindari

perpecahan wilayah di dalam kerajaan. Karena, aku tidak sekadar

ingin duduk di atas tahta, tetapi ingin membela dan

menyelamatkan seluruh kerajaan”.

SEKTI: “Jadi, Anda memilih merajakan Rebo karena ia paling

lemah di antara para calon yang ada, dan bisa diterka akan

membutuhkan seorang pemangku?”

RESO: “Betul! Ya!”

SEKTI: “Dan, hubungan dengan Ratu Dara yang sampai sejauh

itu?”

RESO: “Itu, bukan rencanaku dari semula. Itu suatu unsur yang

tidak terduga yang ternyata sangat membantu rencanaku. --- Anda

lihat, setiap rencana dan usaha kalau benar-benar diperjuangkan

akan punya nasib sendiri. Nasib baik atau buruk yang kita harus

berani menanggung atau mensyukuri”.

356

Page 357: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Anda tidak merencanakan dari semula untuk punya

hubungan asmara dengan Ratu Dara! --- Lalu, istri Anda

wafat………”.

RESO: “Aku menyuruh Siti Asasin untuk membunuhnya”.

SEKTI: “Dan, lalu, kita bersama-sama merencanakan

pembunuhan terhadap Raja Tua dengan bantuan Ratu Dara! ---

Tetapi, siapa yang meracun Anda? Saya menduga Anda diracun

oleh istri Anda”.

RESO: “Memang. Asasin yang mengungkapkan rahasia ini! ---

Istriku, karena ketakutan menentang cita-citaku untuk menjadi

raja”.

SEKTI: “Kenapa cita-cita segawat itu mesti diungkapkan kepada

istri?”

RESO: “Itulah kelemahanku! --- Semakin ketakutan, tingkah-laku

istriku semakin berbahaya untuk keamanan rahasia cita-citaku.

Lalu aku bunuh dia”.

SEKTI: “Alangkah kotornya isi tengkorak kekuasaan. Itulah

sebabnya, kepala raja harus dihias dengan mahkota”.

RESO: “Cita-citaku mulia, tetapi cara yang aku tempuh ternyata

bersimbah darah dan berlumur noda”.

SEKTI: “Apakah Anda berpikir bahwa dunia akan memaafkan

cara Anda yang bernoda, karena cita-cita Anda bermanfaat dan

bersifat mulia?”

357

Page 358: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Dunia yang mana? Dunia lahir manusia sudah

berlumuran bedak dan gincu. Tetapi, dunia nurani manusia

termasuk nuraniku, tidak akan pernah memaafkan noda-nodaku.

SEKTI: “Saya merasa kagum dan sekaligus kasihan kepada

Anda”.

RESO: “Cukup! Aku telah membukakan diriku. Dari hari ke hari

kita telah bertemu. Bagaimanakah sekarang sikap Anda

kepadaku?”

SEKTI: “Saya akan membantu Anda menjadi raja dan

menyelamatkan kerajaan”.

RESO: “Sebagai jantan dengan jantan: tuluskah Anda?”

SEKTI: “Tulus dan sadar. --- Beribu-ribu pendeta dan orang

beragama juga pernah mendukung Asoka Wardana yang jalan

kekuasaannya bersimbah darah, tetapi pada akhirnya, lalu menjadi

raja yang mulia”.

RESO: “Aku tidak akan menghibur nuraniku dengan persamaan

seperti itu. Aku tetap ingin menjadi raja dan membela negara,

tetapi juga dengan rela menanggung akibat dari dosa-dosaku”.

SEKTI: “Saya bersumpah setia kepada Anda”.

RESO: “Terima kasih. --- Jabatan tangan ini bersifat rahasia dan

hanya antara kita berdua”.

SEKTI: “Baik. --- Saya akan menemani Anda di dalam kesepian

Anda”.

358

Page 359: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Aku akan membunuh Sri Baginda Maharaja Gajah

Jenar!”

SEKTI: “Saya dan Siti Asasin akan melaksanakan rencana itu”.

RESO: “Tunggu saja aba-aba dari aku”.

SEKTI: “Siap, Panembahan”.

***

42. JEJER RAJA TANDINGAN DI TEGALWURUNG

Di Kadipaten Tegalwurung. Pangeran Bindi duduk di kursi

adipati, dihadapi oleh Pangeran Kembar dan beberapa serdadu.

BINDI: “Kurang ajar! Jadi, rupanya, si Dungu itu memakai gelar

maharaja! Dan, ia berani memerintahkan kita untuk tunduk kepadanya!

Apakah matanya tidak melek, dan melihat ada gunung di depan

hidungnya. Pasukan gabungan yang kita pimpin kini sudah kenyang

asam dan garam pertempuran. Tidak ada yang lebih dahsyat dari tentara

kita di seluruh wilayah kerajaan. Dalam tempo singkat setelah lengkap

perbekalan yang diperlukan, kita akan segera menyerbu ke ibu kota”.

KEMBAR I: “Perhitungan kita harus benar-benar matang lebih

dulu. Di sana ada Panembahan Reso”.

BINDI: “Tinggal dia satu-satunya jago di kerajaan. Jago yang satu

yang dulu sangat ditakuti, si Panji Tumbal, telah berhasil kita

kalahkan tanpa kesulitan. Bahwa Reso terkenal hebat, itu kan

359

Page 360: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

tempo dulu ketika kita belum muncul ke permukaan. Ia belum

pernah mendapat tanding yang setimpal. Tetapi, sekarang, aku

meragukan mutu dia yang sebenarnya”.

KEMBAR I: “Tetapi, di sana, juga ada Aryo Lembu yang

meskipun sudah tua tetap selalu jaya di medan laga”.

BINDI: “Jangan khawatir! Almarhum ayahanda sudah banyak

bercerita kepadaku mengenai kekuatan dan kelemahan cara

bertempur Aryo Lembu”.

KEMBAR II: “Kakanda Bindi, pasukan khusus Anda sudah

menduduki desa di Watu Songo yang dekat dengan perbatasan

Tegalwurung”.

BINDI: “Bagus! Sebelum menyerbu ibu kota, kita memang, akan

lebih dulu menduduki dan menguasai beberapa wilayah

Kadipaten”.

“Pasukan mereka akan kita gabungkan dengan pasukan kita seperti

halnya pasukan Tegalwurung di sini”.

KEMBAR II: “Tetapi, mereka juga merampok desa-desa yang

mereka duduki itu”.

BINDI: “Jangan kamu rewel dengan segala macam ukuran hidup,

di dalam masyarakat aman! Ini suasana darurat, dan kita butuh isi

perbekalan. Setelah kita jaya, mana yang rusak akan kita bangun

kembali”.

360

Page 361: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KEMBAR II: “Sering saya tidak tega kalau melihat orang desa

ikut menderita”.

BINDI: “Sudah lumrah kalau mereka membantu kita, sebab kita

nantinya akan menjadi penguasa yang melindungi mereka, kalau

perlu dengan nyawa kita juga! Oleh karena itu, makin cepat

peperangan selesai, entah dengan cara apa itu, makin bagus.

Karena, mengurangi pengorbanan rakyat dan jerih payah kita

adalah lebih baik”.

KEMBAR I: “Kakanda Bindi, ibu kami berkirim surat dan

meminta agar kami menyerah kepada si Rebo. --- Jangan khawatir!

Saya sudah segera membalas menulis surat, dan mengingatkan ibu

untuk berhati-hati kepada tipu daya si Rebo. Sejak dari zaman

kanak-kanak ia bersifat licik dan pengecut. Ia gampang menipu,

gampang menangis, dan gampang pingsan. Bagaimana mungkin

orang semacam itu bisa diandalkan sebagai seorang raja?

Bagaimana mungkin kita tunduk pada orang tak berguna semacam

itu? Kalau kami datang, jangan-jangan kami diracun, dan dipenggal

kepala kami”.

BINDI: “Sudah betul pikiran kamu”.

KEMBAR I: “Tetapi, saya khawatir bagaimana nasib ibu kami

selama disandera”.

BINDI: “Jangan khawatir! Selama Kalian selamat, sandera yang

dipasang sebagai umpan Kalian pasti juga akan selamat. Kecuali

361

Page 362: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

untuk memancing, guna sandera itu untuk mematahkan semangat.

Jadi, tabahkan hati! Jangan Kalian biarkan niat si Rebo terlaksana.

Begitu nanti kita akan mengepung ibu kota, pasukan khususku

akan secara mendadak menyerbu tempat ibumu ditawan. Dengan

begitu akan kita bebaskan ia”.

KEMBAR II: “Saya harus ikut dalam penyerbuan itu”.

BINDI: “Boleh saja! --- Nah, sekarang marilah kita tilik kembali

kemampuan pasukan kita. Dalam tempo singkat akan kita serbu

dan duduki Kadipaten Watu Songo. Istri Aryo Simo sudah tua,

tetapi putri-putrinya ada tiga. Satu persatu akan aku tiduri mereka

semua.

***

43. BONEKA YANG NGADAT

Sore hari. Di Balai Penghadapan. Maharaja, Ratu Dara, Ratu

Kenari, Pangeran Reso, Aryo Sekti, Aryo Lembu, Aryo Bambu,

Aryo Jambu, beberapa Punggawa, dan aryo Sumbu berada di situ.

MAHARAJA: “Selamat datang semuanya. Terutama aku

menyambut kedatangan Aryo Lembu, Aryo Bambu, Aryo Jambu,

dan Aryo Sumbu, yang dulu menjadi sahabat baik almarhum

ayahku. Aku sudah dengar bagaimana Kalian menjalankan tugas

meninjau keadaan kadipaten-kadipaten. Aku puas dengan laporan

362

Page 363: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

yang dibawa oleh utusan Kalian kepada almarhum ayahanda. Dan,

kini, Kalian datang menghadapku. Baik, sekarang apa katamu?”

LEMBU: “Hamba, Aryo Lembu, menghadap Sri Baginda

Maharaja untuk menyatakan kepatuhan dan kesetiaan”.

BAMBU: “Hamba, Aryo Bambu, mengucap setia kepada Sri

Baginda Maharaja Gajah Jenar”.

JAMBU: “Aryo Jambu bersumpah tunduk dan setia kepada Sri

Baginda Maharaja Gajah Jenar”.

SUMBU: “Hamba, Aryo Sumbu, menyatakan tunduk dan patuh

kepada Sri Baginda Mahara Gajah jenar”.

MAHARAJA: “Ini menyenangkan sekali. Aku pun juga akan

menyenangkan hati Kalian. Istri-istri Kalian akan segera

dibebaskan. Lho, maksudku, dibebaskan untuk hidup berbahagia

di rumah masing-masing bersama Kalian. Dan, Kalian aku beri

anugerah kuda, emas, dan senjata! --- Nah, aku puas, kamu puas”.

RESO: “Yang mulia, mereka juga membawa berita tentang apa

yang terjadi di Tegalwurung”.

MAHARAJA: “Ah, ya! Inilah berita yang aku tunggu-tunggu.

Apakah Panji Tumbal menang? Ia dulu pernah meminta aku untuk

menjadi raja”.

LEMBU: “Yang Mulia, Panji Tumbal telah ditawan”.

MAHARAJA: “Ditawan?”

363

Page 364: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

LEMBU: “Ditawan oleh Pangeran Kembar. Lalu, kepalanya

dipenggal”.

MAHARAJA: “Begitu dahsyat mereka?”

SEKTI: “Di medan laga, Pangeran Kembar itu bersifat seperti dua

ekor naga, dan Pangeran Bindi mengamuk bagaikan seekor singa”.

MAHARAJA: “Jadi, mereka menang dengan gilang-gemilang?”

LEMBU: “Pangeran Bindi menduduki kota kadipaten dan seluruh

wilayah Kadipaten Tegalwurung”.

MAHARAJA: “Kenapa ia tidak mengirim utusan kemari untuk

melaporkan kejadian penting ini? Dan, lagi, aku sudah mengirim

utusan dengan surat kepadanya?”

LEMBU: “Yang Mulia! Pangeran Bindi menyatakan menolak

kedaulatan paduka, dan menobatkan dirinya menjadi raja”.

MAHARAJA: “Ini namanya pemberontakan! --- Kenapa ia begitu

benci kepadaku? --- dan, bagaimana Pangeran Kembar?”

LEMBU: “Mereka mendukung Pangeran Bindi. Kini, pasukan

mereka digabung dengan pasukan Panji Tumbal yang telah

dikalahkan. Pangeran Kembar menjadi panglima dari seluruh

pasukan gabungan”.

MAHARAJA: “Pengkhianatan! Pemberontakan! Kita harus

berbuat sesuatu”.

SEKTI: “Kami semua siap menunggu titah Yang Mulia Sri

Baginda Maharaja Gajah Jenar!”

364

Page 365: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

MAHARAJA: “Ratu Kenari! Kenapa putra-putramu jadi begini?

Ternyata, sudah terbukti bahwa mereka tidak jinak seperti katamu

dulu!”

KENARI: “Yang Mulia! Hamba yakin mereka sekadar terbawa

oleh suasana dan mendapat pengaruh buruk dari Pangeran Bindi.

Hamba yakin hamba masih bisa berbicara dan menginsyafkan

mereka ke jalan yang benar”.

MAHARAJA: “Baik! Marilah kita membuat Panitia Perundingan

dengan Bibi Ratu Kenari di dalamnya”.

DARA: “Apa yang akan dirundingkan? Mereka menghendaki

tahta dan kepala Paduka!”

KENARI: “Yang Mulia! Setidak-tidaknya, saya yakin akan bisa

menginsyafkan kedua putraku, Pangeran Kembar”.

MAHARAJA: “Betul! Setiap kesempatan untuk perdamaian

harus kita manfaatkan”.

DARA: “Yang Mulia. Jangan lengah! Pertahankan Kepala dan

Tahta Paduka”.

MAHARAJA: “Belum tentu itu yang mereka inginkan”.

DARA: “Dari dulu Pangeran Bindi ingin menjadi raja!”

MAHARAJA: “Siapa tahu sekarang ia bisa puas dengan

Kadipaten Tegalwurung saja!”

RESO: “Yang Mulia! Apakah Paduka akan membiarkan kerajaan

pecah dan terbagi?”

365

Page 366: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

MAHARAJA: “Apakah gunanya peperangan? Peperangan

membuat rakyat menderita. Dan, lagi, mereka masih saudaraku

sendiri. Kenapa mereka tidak boleh mendapat bagian dari

kejayaanku!”

RESO: “Yang Mulia! Keutuhan kerajaan harus dipertahankan.

Kalau tidak anjing-anjing Portugis itu akan menyusup kembali.

Yang Mulia! Bila ada orang berani berontak, kita harus

memenggal kepalanya”.

MAHARAJA: “Apa? Memenggal kepala saudara-saudaraku

sendiri?”

RESO: “Tetapi, beberapa waktu yang lalu, Paduka sendiri yang

mengumumkan akan memenggal kepala orang yang berontak!

Sekarang, di mana wibawa firman Sri Baginda Raja?”

MAHARAJA: “Aku toh bisa membuat firman yang baru!

Sekarang, pikiranku sudah berkembang! Apa tidak boleh

pikiranku berkembang? Aku mulai melihat kemungkinan akan

adanya perundingan”.

KENARI: “Betul, Yang Mulia! Dengan mengandalkan pengaruh

hamba yang kuat kepada anak-anak hamba, hamba pasti bisa

meyakinkan bahwa Pangeran Bindi bisa mendapatkan

Tegalwurung, tetapi tidak sebagai raja, cukup sebagai adipati

saja”.

366

Page 367: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

MAHARAJA: “Ya! Betul! Oh, betul! Kenapa tidak! Itu pikiran

yang bagus dan bisa dicoba”.

KENARI: “Hamba bersedia untuk dikirim sebagai utusan”.

DARA: “Ratu Kenari! Begitukah cara Anda untuk lari dari sini

dan bergabung dengan para pemberontak?”

MAHARAJA: “Lho! Ibu! Kenapa begitu cara berpikir ibu?”

DARA: “Seperti Paduka sudah lupa naluri kekuasaan saja!”

Seorang punggawa tiba-tiba masuk.

PUNGGAWA: “Yang Mulia! Maaf, Yang Mulia!”

MAHARAJA: “Ada apa?”

PUNGGAWA: “Ada berita penting dibawa oleh anggota mata-

mata kerajaan. Pasukan Pangeran Bindi menyerbu, menerobos

perbatasan Kadipaten Watu Songo dan menduduki beberapa desa

di dekat perbatasan itu. Selanjutnya, memaklumkan sumpah

bahwa ia akan melaju melabrak ibu kota dan merebut tahta Sri

Baginda Maharaja”.

MAHARAJA: “Kurang ajar! Ini benar-benar bencana!”

DARA: “Nah, apa kata hamba, Yang Mulia!”

RESO: “Bertindaklah tegas kepada mereka, Yang Mulia! Sebelum

terlambat”.

KENARI: “Sebelum terlambat, Yang Mulia. Segeralah berunding

dengan mereka”.

367

Page 368: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

DARA: “Ratu Kenari, Anda begitu tega mengorbankan keutuhan

kerajaan. Begitu tega pula menjatuhkan wibawa tahta putraku.

Semata-mata karena ingin membela putra Anda yang sudah jelas

mengumumkan pemberontakan”.

MAHARAJA: “Ibu! Apakah ibu tidak menyadari bahwa Bibi

Ratu Kenari berusaha menegakkan perdamaian antara sesama

saudara dan mencegah penderitaan rakyat yang terancam untuk

dilanda peperangan?

DARA: “Omong kosong apa pula ini! Mana bisa kerajaan akan

diperlakukan seperti nasi kenduri!”

MAHARAJA: “Oh! Ibu!”

RESO: “Yang Mulia, apakah nasihat hamba sebagai Pemangku

Paduka masih ada harganya? Atau, Paduka akan menyingkirkan

hamba ke desa untuk bertani?”

MAHARAJA: “Aduh! Kepalaku! Oh, perutku! Aku mau

muntah!” (muntah hawa) --- “Oh, tak ada yang keluar! --- Oh,

dadaku sesak!”

RESO: “Pengawal, bawa Sri Baginda masuk ke dalam! Biarkan

Baginda beristirahat dulu!”

Dua orang pengawal bertindak cekatan.

MAHARAJA: “Ya! Persidangan ditunda satu minggu! Aku perlu

menenangkan batin dan perutku lebih dulu”.

368

Page 369: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KENARI: “Panembahan Reso, begitu tega Anda menekan

Maharaja yang masih suci dan muda dengan gagasan yang ganas

tanpa peri kemanusiaan. Mana mungkin Anda membela kerajaan

tanpa membela nilai-nilai yang luhur di dalam kehidupan?”

MAHARAJA: “Bibi! Sudah, Bibi! --- Antarkan aku masuk ke

dalam. Kita tunda dulu masalah yang buas dan kasar ini”.

Maharaja dan ratu Kenari masuk dengan para Pengawal.

Suasana hening. Ratu Dara tertunduk dengan rasa hancur dan

malu.

DARA: “Maaf, para Aryo, maaf! Sihir yang jahat telah menimpa

Maharaja kita. Tidak biasanya Baginda bertingkah seperti ini”.

JAMBU: “Jauhkan Baginda dari Ratu Kenari. Usul-usulnya serba

tidak masuk akal dan melemahkan semangat Baginda”.

DARA: “Saran Anda sangat perlu saya perhatikan.

RESO: “Cukup! Sekarang, silakan Anda berempat pulang. Istri

Anda akan segera kami susulkan”.

BAMBU: “Baik. Kami akan pulang, tetapi berjanjilah Anda tidak

akan terlambat mengambil tindakan untuk membela keutuhan

kerajaan”.

SUMBU: “Keutuhan kerajaan tidak bisa dikorbankan begitu saja.

Kami mohon, janganlah Anda berdiam diri di dalam hal ini”.

369

Page 370: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

LEMBU: “Sedikit saja ada kelemahan di dalam wilayah kerajaan,

anjing-anjing Portugis pasti akan melakukan pendudukan. Dan,

mungkin juga, kalau Pangeran Bindi dibiarkan leluasa agak terlalu

lama, ia justru akan mengundang bantuan orang Portugis untuk

menerjang ibu kota merebut tahta. Lalu, sebagai imbalan, ia akan

membuka dua atau tiga bandar bagi mereka”.

RESO: “Jangan khawatir! Kepercayaan Anda semua tidak akan

aku lalaikan. --- Sampai ketemu”.

Mereka bertukar salam, dan keempat Aryo itu pun pergi. Tinggal

Panembahan Reso, Ratu Dara, dan Aryo Sekti.

DARA: “Tidak akan aku bisa memaafkan Si Rebo yang telah

memberi rasa malu seberat ini. Ah! Kandunganku terasa berkerut-

kerut dengan penuh penyesalan”.

RESO: “Istriku, tenangkan dulu pikiranmu”.

DARA: “Bagaimana bisa tenang?! Ia tidak hanya menjijikkan,

tetapi juga menjadi berbahaya untuk kita. Apa yang kita bina bisa

runtuh tanpa ia pedulikan. Dan, bila terancam ketakutan ternyata

ia tega mengkhianati kita”.

RESO: “Sudahlah! Sabar! Marilah kita sendiri pulang. Besok pagi

kita garap lagi masalah ini dengan segera”.

DARA: “Saya lupa, siapakah pembunuh yang dulu membantu kita

menyingkirkan Raja Tua?”

370

Page 371: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Siti Asasin”.

DARA: “Tolong, saya ingin ketemu dia”.

RESO: “Astaga! Untuk apa?”

DARA: “Kalau kita sudah tega menyingkirkan satu raja, apa

sulitnya untuk menyingkirkan satu raja lagi?”

SEKTI: “Begitu besarkah tekad Anda?”

DARA: “Kenapa tidak? Akan saya buktikan bahwa wanita yang

tegas lebih pantas duduk di atas tahta”.

RESO: “Duh Gusti! Kamu bisa lebih mampu mengatur negara itu

aku tak ragu. Tetapi, jangan kamu bertindak kejam kepada putra

kita”.

DARA: “Ia bukan putra Anda. Dan, bukan lagi putra saya”.

RESO: “Jadi, kamu benar-benar bertekad untuk menobatkan diri

menjadi raja?”

DARA: “Kenapa tidak, bila saya merasa kuat dan bisa

membuktikan bahwa kuat? Bukankah Anda bisa menjadi andalan

saya yang utama? --- Bila Anda ragu-ragu untuk memanggil

pembunuh itu, saya bisa bertindak sendiri dengan cara saya!”

(pergi)

RESO: “Aryo Sekti, Anda menyaksikan sendiri sekarang

bagaimana unsur yang tidak terduga telah membantu usaha ke

arah cita-cita kita!”

371

Page 372: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

SEKTI: “Ya. Memang! Dan, saya juga menyaksikan bagaimana

mengerikannya sihir gaib dari tahta. --- Sebenarnya, sekarang ini,

hati saya menjadi kecut. Tetapi, demi keutuhan dan kejayaan

kerajaan, saya tidak akan mundur dalam membantu usaha Anda”.

***

44. SIHIR CANDU KEKUASAAN

Pagi hari. Di Balai Penghadapan Istana Raja. Aryo Lembu, Aryo

Bambu, Aryo Jambu, Aryo Sumbu, Aryo Sekti, dan Panembahan

Reso duduk berkumpul di situ. Tahta raja kosong.

SUMBU: “Masih berapa lama lagi kita harus menunggu?

Panembahan, apakah tidak sebaiknya Anda menyusul Sri Baginda

ke kamarnya?”

“Baginda harus menentukan sikap hari ini. Kalau terlambat, makin

besar kerugian yang akan diderita oleh masyarakat. Dari hari ke

hari semakin kuat persiapan Pangeran Bindi”.

RESO: “Lebih baik kita bersabar sebentar. Kalau merasa terlalu

ditekan Baginda akan semakin kacau jalan pikirannya”.

JAMBU: “Pasukan saya sudah saya siapkan kembali. Kami siap

untuk menerima perintah dari Anda, Panembahan”.

RESO: “Tetapi, langkahku harus lebih dulu disetujui oleh Sri

Baginda”.

372

Page 373: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BAMBU: “Pasukan saya juga sudah siap. Yang gelisah menunggu

perintah bukan hanya saya, tetapi juga seluruh prajurit pasukan.

Bahkan, kuda-kuda kami yang di istal ikut gelisah dengan bulu

suri yang berdiri”.

RESO: “Sebelum aku duduk di sini aku mencoba menemuinya.

Tetapi, Baginda tidak mau menerima kunjungan siapa pun.

Kemudian, ibu Baginda, istriku, mendesak, berseru dari balik

pintu memohon menghadap. Akhirnya, Baginda sudi menerima

ibundanya”.

Tiba-tiba punggawa masuk.

PUNGGAWA: “Mohon ampun, Panembahan! Aryo Simo datang

terburu-buru, mendesak untuk diperkenankan masuk ke Balai

Penghadapan”.

RESO: “Biarkan ia masuk”.

PUNGGAWA: “Baik, tuanku”. (pergi lagi)

SUMBU: “Kadipaten Watu Songo, wilayah Aryo Simo, mulai

menjadi sasaran pasukan Pangeran Bindi. Mereka menyerbu

bertubi-tubi”.

Masuk Simo setengah berlari.

SIMO: “Salam, para Aryo! Salam, Panembahan! Di manakah Sri

Baginda?”

373

Page 374: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Masih di kamarnya. Kami semua menunggu Sri Baginda.

--- Tetapi, kenapa keadaan Anda seperti ini? Anda tampak seperti

baru saja dilabrak prahara”.

SIMO: “Bencana, Panembahan! Bencana! Lebih enak dilabrak

prahara rasanya. Saya dilabrak oleh pasukan Pangeran Bindi.

Mereka telah menduduki Kota Kadipaten”.

RESO: “Astaga!”

SIMO: “Pasukan mereka kuat dan buas. Saya tidak merasa malu

melarikan diri. Sesudah bertahan selama mungkin dan sempat

mengungsikan seluruh keluarga saya, akhirnya saya mundur dan

lari kemari. Tiga hari perjalanan tanpa berhenti. Sekarang,

keadaan saya, antara hidup dan mati”.

RESO: “Apakah Anda meninggalkan wilayah Watu Songo tanpa

pertahanan sama sekali?

SIMO: “Tentu saja tidak. Pasukan saya tarik mundur dari Kota

Kadipaten untuk membuat pertahanan di Hutan Roban. Di situ

membuat pertahanan yang kuat lebih dimungkinkan. Lebih baik

kita yang lebih dulu menduduki hutan itu daripada mereka. Jadi,

kami mundur dari Kota Kadipaten agar bisa lebih kuat bertahan.

Dan, dengan begitu pula kami menghadang jalan mereka ke arah

ibu kota”.

RESO: “Syukurlah. Aku membenarkan pertimbangan Anda”.

374

Page 375: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

JAMBU: “Bagaimanapun pasukan Aryo Simo pasti memerlukan

bantuan”.

SIMO: “Pangeran Bindi telah memperkosa gadis-gadis desa.

Pernah terjadi, dalam tempo sehari sepuluh gadis ia perawani”.

LEMBU: “Jahanam!”

RESO: “Tenang, Aryo Lembu. Lebih baik kita mati di medan

perang dari pada mati karena hati yang penasaran”.

LEMBU: “Sekarang juga kita harus bergerak”.

RESO: “Tidak sekarang! Tetapi, hari ini kita pasti bergerak.

Percayalah kepada janjiku ini”.

Punggawa masuk lagi.

PUNGGAWA: “Maaf, Panembahan. Aryo Bolo, Aryo Ombo,

Aryo Bondo, Aryo Wongso mohon masuk ke Balai Penghadapan.

Menurut mereka, persoalan yang mereka bawa bersifat gawat dan

harus segera diutarakan kepada Sri Baginda”.

RESO: “Biarkan mereka masuk dengan segera”.

PUNGGAWA: “Baik. Panembahan”. (keluar)

RESO: “Di dalam keadaan gawat ini, kita tidak boleh terburu

nafsu, dan akhirnya membuat kesalahan tanpa kita sadari.

Tenangkan diri! Keadaan yang lebih gawat dari ini pernah kita

alami, di kala kita melawan penindas Portugis, di masa remaja

375

Page 376: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

dulu. Toh, waktu itu, kita bisa mengatasinya. Apalagi sekarang

dalam keadaan sudah lebih banyak pengalaman”.

Masuk Aryo Bolo, Aryo Bondo, Aryo Ombo, dan Aryo Wongso.

Mereka saling bertukar salam dengan yang sudah hadir lebih

dahulu.

BOLO: “Di manakah Sri Baginda?”

RESO: “Sebentar lagi akan muncul. Kami semua menunggu.

Kami sudah menerima laporan dari Aryo Simo, dan kami

memahaminya”.

BOLO: “Anda tidak akan bertindak tanpa persetujuan Sri

Baginda?”

RESO: “Tentu saja”.

BOLO: “Tetapi, dari jauh saya sudah bisa membaca. Anda orang

yang tangkas bertindak dan cepat bisa menilai keadaan. Bahwa,

dalam hal ini ada terjadi kelambanan. Itu pasti terjadi karena sikap

Sri Baginda. Sikap apakah itu?”

RESO: “Ada yang Baginda pertimbangkan”.

SUMBU: “Baginda punya pikiran untuk berunding dengan

Pangeran Bindi!”

BONDO: “Apa?”

SIMO: “Setelah puluhan desa dirampok dan puluhan gadis

diperawani?”

376

Page 377: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

OMBO: “Sadarkah Baginda bahwa Pangeran Bindi merasa dalam

keadaan yang lebih kuat dan akan melecehkan tawaran untuk

perundingan?”

BONDO: “Apa-apaan ini! Kita rajakan Baginda toh tidak untuk

membiarkan sepertiga kerajaan dimakan anjing!”

RESO: “Cukup! --- Bahwa keadaan gawat, sudah cukup jelas bagi

kita. Dan, aku sudah berjanji akan punya jalan keluar dari keadaan

yang buruk ini. Tetapi, sesuai dengan kedudukanku sebagai

Pemangku, aku membutuhkan restu Baginda untuk menjalankan

siasatku. Sekarang ini, istriku, Ibunda Sri Baginda, sedang

berusaha untuk membujuk agar sudi menemui kita”.

BOLO: “Saya telah mengingatkan bahwa hal semacam ini bisa

terjadi”.

WONGSO: “Terus, bagaimana bila Panembahan Reso

mengajukan tindakan jalan keluar, tetapi Sri Baginda tidak

merestuinya? Lalu apa yang pantas dilakukan?”

BOLO: “Panembahan Reso harus berani menentang raja”.

RESO: “Apa?”

BOLO: “Ya! Demi keselamatan kerajaan!”

RESO: “Nanti dulu! Pengandaian Anda terlalu jauh. Bila Baginda

bimbang tidak berarti Baginda tidak bisa diinsyafkan. Tetapi,

kalau hal mokal-mokal kiranya toh terjadi juga, maka

sebagaimana pernah aku buktikan, aku akan menempatkan

377

Page 378: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kepentingan kerajaan di tempat utama, lalu bertindak dengan cara

yang paling bijaksana. Dalam hal ini, restu Anda semua yang aku

minta”.

BOLO: “Kami akan memberi restu semacam itu kepada Anda.

Teman-teman setuju dengan saya?”

SIMO: “Jelas setuju!”

SEMUA: “Setuju! Setuju!”

Muncul Ratu Dara dalam keadaan yang kumuh dan lusuh.

Tangannya berlumur darah.

RESO: “Istriku, apa yang terjadi?”

DARA: “Jangan sentuh aku! --- Aku telah membunuh Sri Baginda

Maharaja”.

Semua orang kaget dan membatu.

DARA: “Aku telah menikam jantung putra tunggalku dengan

kerasnya. Ia bukan lelaki yang sejati. Ia tak mampu

mempergunakan kerisnya. Jadi, biarlah keris itu terhunjam di

dadanya”.

“Ia membuat aku merasa malu. Kita dudukkan ia di atas tahta, dan

di atas tahta itu ia akan mencincang negara, didorong oleh rasa

takutnya. Sekarang, aku merasa seperti mengambang di telaga

darah. Apakah aku telah menjadi hantu? Apakah aku berada di

378

Page 379: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

alam gaib? Bau amis memenuhi udara. --- Suamiku, membunuh

orang ternyata tidak gampang. Begitu batang keris menancap ke

badan korban, serasa darah mengucur dari tubuhku sendiri.

Seluruh diriku serasa menjadi ada dan tiada. Suamiku, pahamkah

Anda? --- Suamiku”.

SEKTI: (tiba-tiba mencabut keris dan menikam mati Ratu Dara)

“Pengkhianat!”

Semua orang terkesiap. Panembahan Reso pelan-pelan

membungkuk meraba mayat istrinya.

SEKTI: “Maaf, panembahan, saya bunuh istri Anda karena ia

telah membunuh Maharaja kita”.

RESO: “Anda tidak bersalah. Anda menjatuhkan hukuman pada

orang yang benar-benar telah berdosa. Tugasnya sebenarnya

seperti tugasku, yaitu menjadi Pemangku Raja. Seorang yang

dipercaya memangku tidak boleh menyirnakan yang dipangku. ---

Seharusnya, aku sendirilah yang menjatuhkan hukuman, tetapi

Anda lebih cepat dari aku. Aku tadi lamban karena didorong

perasaan jijik dan ngeri, begitu menyadari bahwa istriku ternyata

tega mengkhianati raja yang juga putranya. --- Pengawal!

Singkirkan jenazah ini. Uruslah baik-baik bersama jenazah raja.

Ada urusan negara yang lebih utama untuk kami bereskan di sini”.

PENGAWAL: “Baik, Yang Mulia!”

379

Page 380: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Jenazah disingkirkan.

BOLO: “Saya kagum pada kekuatan Anda untuk menerima ujian

batin yang berat ini. Tidak perlu memberikan kata-kata hiburan

dan peringatan. Karena, Anda sudah bisa menguasai diri dan

menyadari adanya tugas kita bersama yang mendesak di depan

mata, ialah: tugas membela negara!”

LEMBU: “Seperti Anda, saya pun telah mengalami puluhan

pertempuran. Kita telah puluhan kali menyaksikan sahabat karib,

atau bahkan saudara, gugur di dekat kita, dan kita tetap bisa

menguasai diri. Oleh karena itu, meskipun kelihatan kejam, saya

tega untuk meminta kepada Anda, marilah kita terus bekerja

sekarang juga. Pimpinlah kami agar bisa bertindak hari ini juga

membela negara yang sedang dilanda bencana”.

SIMO: “Panembahan, saya juga memohon. Di Watu Songo, saat

ini juga, terjadi banyak bencana yang sama besarnya dengan

bencana yang menimpa hidup pribadi Anda”.

RESO: “Aku berdiri di sini, di antara Anda semua, justru untuk

melaksanakan kewajiban. --- Tetapi, lebih dulu kita harus

menyadari bahwa Pangeran Bindi yang Anda semua bermaksud

memerangi, sekarang ini, Pangeran yang memang berhak atas

tahta, setelah Sri Baginda Maharaja kita wafat”.

380

Page 381: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

BOLO: “Dengan tegas saya menolak merajakan orang yang

sangat berbahaya itu”.

OMBO: “Belum menjadi raja saja ia sudah merampok rakyat dan

memperkosa gadis-gadis yang tidak berdaya. Lalu, bagaimana

jadinya nanti kalau ia menjadi raja!”

RESO: “Kalau begitu kita akan merajakan salah satu dari

Pangeran Kembar”.

BONDO: “Tidak mungkin! Mereka dengan sadar sudah memihak

Pangeran Bindi, berarti mereka dengan sadar telah memihak

kepada kejahatan”.

SUMBU: “Jangan sampai kita salah memilih raja lagi. Contoh

yang baru saja terjadi jangan sampai terlupakan, karena kita,

terutama Anda telah membayarnya dengan harga sangat mahal”.

RESO: “Tetapi, kita harus memilih raja di antara para Pangeran!

BOLO: “Tidak selamanya harus begitu. --- Yang utama

bagaimana baiknya untuk negara. --- Sekali lagi, ingatlah pada

pelajaran mahal yang baru saja kita alami”.

JAMBU: “Jangan lagi kita memilih raja seperti berjudi untung-

untungan. Kita harus memilih orang yang sudah terbukti mutu dan

kemampuannya untuk kita rajakan”.

BOLO: “Tepat! Tepat! Marilah kita rajakan orang yang telah

terbukti sanggup memimpin, telah terbukti diakui pengaruh

kewibawaan pribadinya, telah terbukti punya wawasan

381

Page 382: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

kenegaraan, telah terbukti ahli mengatur siasat perang, dan juga

telah terbukti ikhlas melakukan pengorbanan pribadi demi negara,

serta sampai sekarang kehidupan pribadinya bersih dari

pencemaran noda. Marilah kita rajakan Panembahan Reso!”

SIMO: “Setuju!”

SEMUA: “Setuju! Setuju!”

LEMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”

SIMO: (berlutut) ”Salam, Raja!”

OMBO: (berlutut) “Salam, Raja!”

BONDO: (berlutut) “Salam, Raja!”

WONGSO: (berlutut) “Salam, Raja!”

SEKTI: (berlutut) “Salam, Raja!”

BAMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”

JAMBU: (berlutut) “Salam, raja!”

SUMBU: (berlutut) “Salam, Raja!”

Aryo Lembu membimbing Panembahan Reso, didudukkan di atas

tahta. Lalu, ia pun dirajakan oleh orang.

LEMBU: “Yang Mulia Sri Baginda Raja, siapakah nama dan

gelar Paduka sebagai Raja?”

RESO: “Kamu rajakan aku ketika namaku Panembahan Reso.

Sekarang biarlah tetap begitu namaku sebagai raja”.

382

Page 383: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

LEMBU: “Yang Mulia Sri Baginda Panembahan Reso, karena

hamba yang tertua di sini, maka atas nama yang hadir di sini

hamba menyatakan sumpah patuh dan setia kepada Paduka.

Sesudah itu, hamba menanti firman yang pertama dari Paduka

sebagai raja”.

RESO: “Inilah firman yang pertama sebagai raja: Aryo Sekti aku

angkat menjadi Senapati Istana dan Ibu kota. Aryo Lembu aku

angkat menjadi Senapati Medan Perang. Aryo Sumbu menjadi

Senapati Perlengkapan Perang. Sedangkan, yang lain tetap pada

tugasnya yang sudah ada”.

“Terima kasih aku ucapkan untuk kepercayaan dan kesetiaan yang

telah Kalian berikan sehingga aku telah Kalian angkat menjadi

raja”.

“Karena kerajaan dalam keadaan darurat, maka tak usah sekarang

aku bicara tentang tetek-bengek lainnya. Tapi, marilah sekarang

kita langsung berbicara mengenai tindakan apa yang akan kita

lakukan hari ini juga untuk mempertahankan keutuhan kerajaan”.

“Aryo Adipati Ombo, sebelum kamu datang kemari apakah yang

kamu lakukan di Kadipatenmu?”

OMBO: “Sebelum hamba kemari hamba kirim pasukan panah

hamba untuk memperkuat pasukan Aryo Adipati Simo di Hutan

Roban. Tentara Kadipaten Sawojajar, digabung dengan Pasukan

383

Page 384: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Kadipaten Watu Songo akan mampu mencegat jalan Pasukan

Pemberontak ke arah ibu kota”.

RESO: “Bagus! Biarlah siasat Aryo Simo dan kamu dipersatukan

dan diteruskan. Tentu kamu semua juga menyadari bahwa

kerajaan kita terbagi dari Laut Utara ke Selatan oleh pegunungan

yang tinggi. Di sebelah Timur pegunungan terdapat Kadipaten

Winongo, Sendang Pitu, dan Watu Limo. Sedang di sebelah Barat

pegunungan terdapat Kadipaten Tegalwurung, Watu Songo dan

Sawojajar. Pemberontak telah menduduki Kadipaten Tegalwurung

dan sebagian besar Kadipaten Watu Songo. Gerakan mereka ke

Selatan bisa ditahan oleh pasukan Watu Songo dan Sawojajar di

Hutan Roban. Aku memuji siasat Aryo Simo ini. Musuh sukar

menduga berapa besar kekuatan tentara yang berada di dalam

hutan. Dan, mereka akan susah mendekati hutan, mereka akan

dihajar oleh hujan anak panah. Untuk menunjang siasat semacam

itu maka aku minta Aryo Sumbu untuk melengkapi pasukan

gabungan di Hutan Roban dengan anak panah sebanyak-

banyaknya”.

“Gerakan musuh ke Timur akan terhalang oleh pegunungan yang

tinggi. Pasukan dari Kadipaten Winongo, Sendang Pitu, dan Watu

Limo bertanggung jawab agar musuh tidak menyeberangi

pegunungan. Cegatlah mereka dari tempat yang lebih tinggi.

Gerakan musuh ke Barat tak akan mereka lakukan, sebab di situ

384

Page 385: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

ada laut dan mereka tak punya kapal. Jadi, sebenarnya orang sial

itu hanya mampu bergerak ke Selatan, sedangkan di Selatan

mereka akan tertahan di Hutan Roban. Aku ingin cadangan

pangan, senjata dan anak panah yang kuat untuk yang bertahan di

Hutan Roban. Tidak usah memburu lawan ke Utara. ---

Selanjutnya, pasukan yang kuat dari Aryo Bambu, Aryo Jambu,

dan Pasukan Berkuda Cadangan dari ibu kota supaya menyerbu ke

Kadipaten Tegalwurung dari Timur Laut. Tentu saja dengan

menyeberangi Pegunungan dari arah Kadipaten Winongo. Kalian

tidak akan sukar merebut kembali Tegalwurung karena si Bindi

memusatkan kekuatannya di Watu Songo. --- Kemudian, dari arah

Tegalwurung desaklah orang sial itu ke arah Selatan, supaya

akhirnya nanti, dihabisi oleh Pasukan Gabungan yang bermarkas

di Hutan Roban. --- Aku minta Aryo Lembu membawa

pasukannya ke Hutan Roban juga, dan memimpin peperangan dari

hutan itu. --- Karena Kalian semua cekatan dan perkasa, maka

Kalian akan bisa memenangkan peperangan dan memulihkan

kembali keutuhan kerajaan dalam tempo empat puluh hari. ---

Apakah ada pertanyaan?”

LEMBU: “Hamba kira sudah jelas semuanya”.

RESO: “Bagus. Berangkatlah Kalian ke pos masing-masing

malam ini juga”.

385

Page 386: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

LEMBU: “Atas nama semua bala tentara hamba memohon restu

Sri Baginda Raja”.

RESO: “Restu aku berikan.

Semua memohon diri dan pergi.

Tinggallah Aryo Sekti dan Panembahan Reso.

SEKTI: “Yang Mulia, hamba merasa bangga melihat Paduka

duduk di atas tahta. Kita telah mengadakan pertemuan dari hati ke

hati, dan dari hati ke hati pula hamba berkata bahwa

sesungguhnyalah Paduka pantas menjadi Raja”.

RESO: “Terima kasih karena kamulah yang telah mempersiapkan

jalan terakhir menuju tahta. Kalau istriku tidak kamu tikam, entah

apa pula yang bakal ia ocehkan. Barangkali rahasia kebusukanku

bakal terbuka”.

SEKTI: “Jangan terlalu menyesalkan noda di masa lampau.

Karena, nyatanya, tahta telah mampu membentuk Paduka menjadi

manusia baru”.

RESO: “Tahta memang bukan tempat duduk biasa. Begitu aku

duduk di sini aku merasa tuntutan tanggung jawab yang suci dan

besar. Dari tempat dudukku ini aku mampu melihat nilai-nilai baik

yang harus dipertahankan dan dilaksanakan. Aku merasa sudah

mendapat semuanya sehingga aku tak memikirkan diriku lagi. ---

386

Page 387: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

Oh, aku bersumpah untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan

kepada rakyatku”

SEKTI: “Paduka sudah memiliki kewibawaan secara wajar

sehingga Paduka tidak mengesankan sebagai orang yang gila

wibawa. Itulah maksud hamba waktu mengatakan bahwa Paduka

pantas menjadi Raja”.

Suara perempuan menembang.

RESO: “Suara wanita menembang?

SEKTI: “Hamba kira begitu, Yang Mulia”

RESO: “Oh! Apakah yang aku lihat ini? Aku melihat istriku Sang

Ratu Dara mencuci rambut di telaga darah. --- Itu! Aku juga

melihat diriku duduk di atas tahta yang terapung di telaga darah!

--- Apakah aku bermimpi lagi?”

SEKTI: “Paduka capek, Yang Mulia”

“an, terpengaruh oleh suara wanita menembang itu”

RESO: “Biarkan aku! --- Pimping-pimping tembaga ditiup angin

senjakala. Langit merah dan kini tubuhku mengucurkan darah”

SEKTI: “Yang Mulia, jangan dibiarkan nurani Paduka tersiksa

tanpa ada gunanya. Jasa Paduka di masa depan akan mampu

menebus dosa-dosa Paduka”.

387

Page 388: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

RESO: “Aku melihat pedesaan sekarang. Sepi dan ditinggalkan

orang. Rumpun bambu. Sumur lumutan. Pekuburan. Burung-

burung gagak hinggap di pohon randu”.

Masuklah Ratu Kenari yang dianggap seperti telanjang. Berjalan

pelan sambil menembang.

SEKTI: “Ratu Kenari! Kenapa Anda?” (memalingkan muka)

“Apakah sudah hilang kesadaran Anda? Kenapa Anda telanjang?”

RESO: “Kenapa kamu menangis, anakku? --- Kenapa kamu

berdarah, anakku?”

Ratu kenari berjalan sambil menembang menuju Reso.

RESO: “Kenapa kamu tergeletak di atas debu jalanan desa?

Reso bangkit berjalan menuju Kenari.

RESO: “Kenapa ubun-ubunmu berdarah dan badanmu penuh

dihinggapi serangga? Aku melihat kabut merayap di atas padang

belukar. O, anakku di mana sekarang kamu?” (membelai kepala

Kenari)

Kenari menikam Reso dengan keris. Sekti melihat, tetapi sudah

terlambat mencegah. --- Reso tertegun. Kenari menikam dada

sendiri dengan keris itu.

388

Page 389: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso

KENARI: “Kerisku beracun!” (roboh berlutut) “Penjinah!

Pembunuh! Kamu tega, aku juga tega!” (mati)

SEKTI: (menghambur ke arah Reso) “Yang Mulia!”

Ia tertegun karena Reso dengan gerakan tangan mengisyaratkan

agar ia tidak mendekat.

Sekti jatuh berlutut karena terpana.

Reso merintih dengan suara dari alam yang ganjil.

Tamat

Depok-Bandung

10 Juli 1986

389

Page 390: Panembahan Reso

Rendra: Panembahan Reso 390