Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
P
PRINSIGU
IP TANUGAT
F
NGGUTAN PE
L
FAKULT
UNG JAERWALINGK
I
BAGTAS HU
AWAB AKILANKUNGA
KETUT
IAN HUKUM U
2
MUTLN DALAN KE
OLEH
T TJUKU
UKUM AUNIVER2015
LAK (SLAM PEPERD
H UP, SH.
ACARARSITAS U
STRICPENEGDATAA
MH
A UDAYA
CT LIAGAKANAN
ANA
ABILITN HUK
TY) PAKUM
ADA
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang
Widhi Wasa) Makalah Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liabili ty) ,Pada Gugatan
Perwakilan Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan dapat saya selesaikan tepat
pada waktunya. Namun isi, metode dan pembahasan masih dangkal atau jauh dari sempurna. saran
dan masukannya sangat saya harapkan demi sempurnanya. Denpasar, Januari 2015 Penulis
Dr. I Ketut Tjukup, SH.,MH 19521231 198003 1 020
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
I. Latar Belakang Masalah.................................................................................... 1 II. Rumusan Masalah ............................................................................................ 10 III. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 11 IV. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 11
1. Manfaat Teoritis .............................................................................................. 11 2. Manfaat Praktis ............................................................................................... 11
V. Metode Penelitian ............................................................................................... 11 1. Jenis Penelitian .................................................................................................. 11 2. Pendekatan Masalah .......................................................................................... 13 3. Sumber Bahan Hukum ....................................................................................... 16 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................................................................. 17 5. Analisis Bahan Hukum ....................................................................................... 17
VI. Kerangka Teoritik ............................................................................................... 17 1. Grand Theory: Teori Negara Hukum .................................................................. 17 2. Middle Range Theory yaitu dari Gustav Radbruch ............................................. 22 3. Applied Theory : dipakai Teori Hukum Pembangunan dari Bapak Mochtar 4. Kusumaatmadja ................................................................................................. 25
VII. Peranan Filsafat Ilmu Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan ....................................................................................................... 26
1. Prinsip Tanggung Jawab mutlak (strict liability) dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan........................................................................................................ 27
2. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan ................. 32
3. Kriteria Menentukan Wakil Kelas (Class Representatif) dan Kelas Besar pada Gugatan Perwakilan ........................................................................................... 35
4. Hubungan dan tanggung jawab hukum antara wakil kelas (class representatif) dengan kelas besar (class members) ................................................................. 38
VIII. PENUTUP ......................................................................................................... 41
PRINSIP TANGGUNG JAWAB MUTLAK (STRICT LIABILITY) PADA
GUGATAN PERWAKILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM
LINGKUNGAN KEPERDATAAN
I. Latar Belakang Masalah
Pembangunan dibidang perekonomian yang mengarah perkembangan
produksi, barang dan jasa cendrung membawa dampak perusakan dan pencemaran
lingkungan hidup dan berakibat juga menimbulkan kerugian ribuan bahkan jutaan
orang. Fakta yang kita ketahui bersama kasus semburan lumpur panas PT. Lapindo
Brantas Sidoardjo Jawa Timur. Perusakan lingkungan lumpur panas yang terus keluar
dari rongga batuan dibawah tanah, akan menghasilkan rangkaian dampak buruk yang
merusak lingkungan alam sekitarnya maupun lingkungan sosial, karena lokasi
berdekatan dengan pemukiman dan ekosistem sungai kaliporong. Bencana yang
dimulai sejak 29 Mei 2006 hingga saat ini dan baru dapat diatasi 4 bulan sejak
pengeluaran lumpur pertama, maka volume lumpur yang diproduksi mencapai 4 x 30
x 25.000 meter kubik lumpur yang setara dengan 600.000 truk besar. Disamping itu
adanya gas seperti H2S, SOX dan kemungkinan adanya methyl merkapton suatu
senyawa hidrokarbon lain seperti minyak, phenol maupun senyawa bahan berbahaya
dan beracun (B3) lainnya ada kemungkinan terdapat dalam limbah tersebut.1
Wilayah pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berhasil membawa perbaikan
standar hidup masyarakatnya, pertumbuhan ekonomi tersebut dicapai dengan
cara-cara yang dalam jangka panjang merusak lingkungan.2
Kasus pencemaran perairan Teluk Buyat, Sulawesi Selatan yang merupakan
kasus tertinggi dalam kasus pencemaran lingkungan hidup di dunia tahun 2004. kasus
pencemaran lingkungan yang nyaris mampu menyamakan rekor Minamata Diakses di
Teluk Minamata Jepang dimasa itu. Bumi Sulawesi
1 http://kardomantomangger.blogspot.com/2008/12/berbagai masalah lingkungan hidup html,
diakses tanggai 10-12-2012. 2 Marhaeni Ria Siombo, Hukum Lingkungan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia,
Penerbit PT. Gramedia. Pustaka utama, Jakarta, 2007, hal. 60.
Utara yang menjadi lokasi terciptanya kasus menghebohkan dunia
internasional sehingga terciptalah keijasama Internasional untuk mengadakan suatu
international conference tentang sistem Tayling Displacement (STD) di Kota Manado.
Kegiatan pertambangan dalam sekala besar oleh PT. New Mont Minahasa Raya
(N.M.R). ekosistem perairan laut di Teluk Buyat rusak parah akibat buangan 2000 ton
tailing setiap hari.3
Kasus Agent Orange (1987) kasus yang diajukan oleh ribuan veteran perang
Vietnam terhadap penghasil pabrik kimia beracun yang mempergunakan bahan
tersebut sebagai defolian dalam perang Vietnam. Kasus ini dinamakan dengan kasus
Agent Orange yaitu salah satu jenis dioksin yaitu sebagai penyebab timbulnya
kerugian dan penderitaan fisik maupun emosional.4
Kasus Strom King di New York Amerika, perusahaan swasta yang bergerak
di bidang penyediaan tenaga listrik, yaitu : consolidate edison di New York telah
mencoba sejak tahun 1962 untuk membangun industri pusat listrik tenaga air di Strom
King di Houdson Higlands. Rencana tersebut telah mengundang reaksi dari berbagai
pihak mula-mula dengan alasan merusak keindahan alam, tapi kemudian ditambah
dengan alasan bahwa instalasi tersebut secara potensial dapat mencemarkan air
disekitamya dan ikan dapat musnah.5 Komar Kontaatmadja, mengemukakan bahwa
kandasnya kapal tangki Tarrey Canyon tahun 1967 di Selat Inggris yang menimbulkan
tumpahan minyak dalam jumlah besar telah mengakibatkan pencemaran dan
kerusakan pantai Inggris secara parah kegiatan yang tergolong kegiatan dengan resiko
tinggi dan berbahaya.6 Dari kasus-kasus tersebut, seiring dengan pembangunan yang
berkelanjutan di Indonesia yang berwawasan lingkungan tidak menutup kemungkinan
timbul kasus-kasus perusakan dan pencemaran lingkungan yang
3 http://VCTonikaKumururblogspot.com/2006/08/diakses tanggal 10-12-2012. 4 Mas Ahmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Action), ICEL, 1997,
hal. 84. 5 Kusnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII, Cet. XIX, Gajah Mada
University Press, 2006, hal. 404. Komar Kantaatmadja, Dalam Kusnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan,
mengandung limbah berbahaya dan beracun yang membawa dampak kerugian ribuan
atau jutaan orang.
Di Indonesia kegiatan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan
pembangunan7 dan perekonomian dengan memanfaatkan sumber daya alam terlebih
lagi dengan otonomi daerah8, globalisasi dan perdagangan bebas membuka daya tarik
investor dalam negeri maupun luar negeri menanamkan modalnya di Indonesia
maupun daya tarik tertentu, sehingga sering kali bertolak belakang dengan ekses9,
yang dihasilkannya atau dengan kata lain sering kali mengorbankan aspek lingkungan
yang sesungguhnya memiliki peranan yang sangat penting guna keberlanjutan
pembangunan yang di idam-idamkan. Salah satu contoh berkenaan dengan kelestarian
lingkungan yang semakin hari mengalami penurunan kwalitas maupun kwantitas
dikarenakan orientasi pembangunan yang dilaksanakan kurang memperhatikan
perlindungan terhadap lingkungan serta kurang memperhatikan keserasian,
keselarasan dan keseimbangan berbagai unsur pembangunan. Terdapat keterkaitan
erat antara hak atas pembangunan {right to development) dengan hak atas lingkungan
hidup yang sehat sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3)
dan (4) UUD 1945. Pasal 28 H ayat (1) mengatakan bahwa “setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan bathin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Perumusan Pasal 28 ayat (1) ini menunjukkan bahwa UUD’45 sangat
menghormati adanya hak asasi manusia yaitu hak untuk memperoleh lingkungan
hidup yang baik dan sehat, karena itulah UUD 1945 sangat pro lingkungan hidup
sehingga dapat disebut sebagai konstitusi hijau (green constitution), dengan ketentuan
Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 tersebut berarti norma lingkungan hidup sudah
mengalami konstitusionalisasi menjadi materi muatan konstitusi sebagai
7 Pembangunan sebagai Suatu Akses untuk Mentransformasikan Suatu Kondisi ke Kondisi
yang lain dalam Pengertian yang lebih baik. 8 Dampak Otonomi terhadap Lingkungan Hidup seringkah menjadi Dalam Rangka
Mendapatkan PAD dan Peningkatan Pelayanan (Seperti Pembuatan Jalan Tol Nusa Dua di Bali) yang mengorbankan Hutan Mangrove Sering Kali PEMDA Mengabaikan Keberlangsungan Lingkungan Hidup.
9 Ekses dimaksud adalah sesuatu yang hilang tapi yang baru belum diketemukan.
hukum tertinggi. Dengan demikian segala kebijakan dan tindakan pemerintahan dan
pembangunan haruslah tunduk pada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.10 Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perumusan Pasal 33 ayat (3) ini
dilakukan oleh BPUPKI dan disahkan oleh PPKI pada saat 18 Agustus 1945.
Sebagaimana kaum environmentalism terhadap konstitusi Amerika Serikat
perancangan dan perumusan konstitusi UUD 1945 juga belum membayangkannya
yang kemudian menjadi arus utama dalam abad ke-21 tentang lingkungan hidup dan
pembangunan yaitu adanya pengertian mengenai satu kesatuan ekosistem. Konsepsi
mengenai ruang lingkup ekosistem tentu saja kemudian mempunyai korelasi yang
sangat erat dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 disebutkan bahwa “perekonomian
nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Berdasarkan rumusan Pasal 33 ayat (3) sebagaimana ditafsirkan secara ekstensif dan
kuratif oleh berbagai UU lingkungan hidup haruslah dikelola untuk kepentingan
pembangunan berdasarkan prinsip- prinsip berkelanjutan (stainable) dan berwawasan
(pro-environment) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945
setelah amandement I-IV ini bernuansa hijau atau pro lingkungan (green
constitusiori). Kerusakan tata ekologi separah yang teijadi saat ini, sayangnya tidak
akan teijadi apabila paradigma pembangunan tidak dilihat sebagai sesuatu yang
bertolak belakang dengan persoalan lingkungan, melainkan sebagai sesuatu tujuan
bersama dalam menuntaskan masalah kemiskinan, keterbelakangan dan masalah
ekonomi lainnya. Fakta-fakta yang telah saya uraikan terdahulu dan pentingnya hak
asasi
10 Koesnadi Hardjasoemantri (dalam Mohammad Taufik Makarao), Aspek-aspek Hukum Lingkungan, Penerbit PT. Indeks, Cet. 2, Jakarta, 2011, hal. 1. mengemukakan bahwa hukum lingkungan di Indonesia dapat dipenuhi aspek-aspek, aspek hukum tata lingkungan, hukum kesehatan lingkungan, hukum pencemaran lingkungan, hukum lingkungan transnasional atau mtemasional, hukum perselisihan lingkungan dan sebagainya sehingga dapat dimungkinkan terdapat aspek-aspek lainnya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pengolahan lingkungan hidup dimasa yang akan datang.
manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat menggambarkan demikian
sulitnya membebani pertanggungjawaban kepada siapa mengingat pencemaran dan
perusakan lingkungan yang mengandung limbah berbahaya dan beracun dapat
menimbulkan kerugian ribuan bahkan jutaan orang yang terkena dampaknya, dan
matinya makhluk hidup lainnya.
Pembuktian dengan penerapan ajaran kesalahan menurut Pasal 1365 KUH
Perdata terhadap kasus-kasus dari pabik-pabrik yang menghasilkan / mengelola
limbah berbahaya dan beracun (B3) dan menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup akan dirasakan sangat tidak adil bagi penggugat dibebani
pembuktian dengan kesalahan, bentuk hukum strict liability sesuai dengan Pasal 88 UU
No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup akan
membebankan tanggung jawab mutlak {strict liability) kepada pelaku usaha. Prinsip
strict liability atau asas tanggung jawab mutlak ini merupakan asas atau prinsip
pertanggungjawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama, yakni
berawal dari sebuah kasus di Inggris (Ryland V Fleetcher) tahun 1868. Asas ini telah
diadopsi dalam berbagai Perundang-undangan Nasional dan konvensi-konvensi
internasional. 10 Strict liability adalah doktrin pertanggungjawaban perdata dibidang
lingkungan hidup, dimana tanggung jawab muncul seketika yang tidak harus
berdasarkan atas kesalahan (liability without fault)12. Doktrin ini dikembangkan dalam
hukum lingkungan UU No. 23 tahun 1997 jo UU No. 32 tahun 2009). Apabila dilihat
dari aspek keadilan, dan penggugat mengeluarkan biaya yagn mahal, strict liability
relevan untuk diterapkan pada tergugat dan sangat membantu masyarakat lemah dan
biaya tinggi, artinya strict liability sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat
banyak yang mengalami kerugian.
10 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penegakan Hukum Administrasi,
Hukum Perdata dan Hukum Pidana Menurut UU No. 32 Tahun 2009, Edisi Kedua, Cet I, Graha Ilmu, Yogyakarta 2012, hal. 209.
12 I.M. Koopmans, De Strafbarstelling Van Millien Veon Treening, Course in Environmental Law and Administration for Indonesian Jurist, Reiden Ministry of Housing Spasial and Environment, 1998, hal. 391-199 (dalam Syahrul Machmud), Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009, Edisi Kedua, Cet. I, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 209.
Dari dimensi aksiologi bentuk hukum tanggung jawab mutlak (strict liability)
dan class action dengan pembuktian terbalik yang dibebankan pada tergugat sebagai
pelaku pencemaran yang menghasilkan limbah berbahaya dan beracun adalah sangat
adil apabila yang terkena dampaknya masyarakat yang berkedudukan lemah (lemah
pengetahuan, lemah biaya) atau bagi masyarakat tidak mampu. Dalam
konvensi-konvensi international telah mengatur tentang asas atau prinsip strict
liability (tanggung jawab mutlak).
1. Konvensi tentang pertanggung jawaban pihak ketiga dibidang Energi Nuklir
(Convention on Third Party Liability in the Field of Nuclear Energi, 29 Juli
1960 Paris).
2. Konvensi tentang pertanggung jawaban sipil atas kerugian yang diakibatkan
oleh nuklir (Convention on Civil Liability for Nuclear Damage, 21 Mei 1963
Vietnam).
3. Konvensi Internasional tentang pertanggung jawaban sipil atas kerugian
pencemaran minyak (Liability for Oil Polution Damage, 29 November 1969
Brussel).
4. Konvensi tentang pertanggung jawaban Internasional atas kerugian yang
disebabkan obyek ruang angkasa (Convention on International Liability for
Damage Caused by Space Objects, 29 March 1972 Geneva).
5. Konvensi pergerakan lintas batas limbah bahan berbahaya dan beracun
(Convention on the Control trans boundary Movements of hazasdaus Water
an Their Disposal, 22 March 1989).
6. Konvensi tentang pertanggung jawaban sipil terhadap kerugian yang
diakibatkan oleh aktifitas yang membahayakan lingkungan (Convention on
civil Liability for Damage Resulting from Activities Dangerous to the
Environment, Leegano, 21 Juni 1993) dan
7. Rancangan Protokol Keamanan Hayati (Biosafely) sebagai pelaksanaan dari
konvensi keaneka ragaman hayati (Convention on Biodiversity).13
Mas Achmad Santosa, et.al.Tanggung jawab mutlak (strict liability dibidang 1 jtgkimgan Hidup, ICEL 1997, ICEL, Cet.1,1997., hal. 139-140.
Menurut Mas Ahmad Santoso, pertanggungjawaban hukum konvensional
selama ini menganut asas pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan {liability based
on fault), artinya tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya
tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan doktrin tersebut akan
melahirkan kendala bagi penegakan hukum di pengadilan karena doktrin ini tidak
mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modem yang
mengandung resiko-resiko potensial.14 Pengertian pertanggungjawaban secara mutlak
atau strict liability yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat
sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ini merupakan lex specialis
dalam gugatan tentang perbuatan melangar hukum pada umumnya. Besarnya nilai
ganti rugi yang dapat dibebankan pada pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat
ditetapkan sampai batas tertentu jika menurut penetapan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan atau
kegiatan yang sebenarnya telah tersedia dana lingkungan hidup.15
Konvensi-konvensi internasional yang telah diuraikan di atas, di Indonesia
dalam Peraturan Perundang-undangan telah diratifikasi kedalam :
- Undang-undang No 4 tahun 1982 tentang lingkungan hidup
- Undang-undang No 10 tahun 1997 tentang ketenaga nukliran
- Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan
Lingkungan Hidup.
Semua ketentuan perundang-undangan tersebut yang mengatur tentang strict liability
dalam proses beracara perdata masih menunjuk hukum acara perdata yang berlaku dan
UU tersebut belum dilengkapi dengan hukum acara. Untuk gugatan perwakilan (class
action) adalah konsep yang sudah sejak lama dianut
14 http://www.icel.or.id/penerapan asas tanggung jawab mutlak-strict liability di bidang lingkungan hidup, tanggal 25-12-2012.
15 http://gilangkumi.blogsDot.com/2010/12/pelaksanaan prinsip-prinsip tanggung- iawab.html. tanggal 25-12-2012.
oleh Negara-negara yang menganut tradisi system hukum Anglo Saxon. Hukum Acara
Perdata di Negara-negara yang menganut tradisi sistem hukum Anglo Saxon telah
secara tegas memberikan dasar penerapan gugatan perwakilan (class action). Untuk
Indonesia yang pola sistem hukumnya mengikuti sistem civil law, tidak mengenal
bentuk hukum class action. Untuk pertama kalinya dalam sistem hukum Indonesia
class action diatur dalam hukum lingkungan (UU NO 23 tahun 1997 UUPLH), hukum
perlindungan konsumen (UU NO 8 tahun 1999 UU Perlindungan Konsumen dan (UU
NO 41 tahun 1999) UU tentang kehutanan. Sebelum diaturnya class action dalam
perundang-undangan di Indonesia yang saya sebutkan terdahulu, namun pengacara
R.O Tambunan melalui kasus gugatan Bentoel Remaja, dan Muktar Pakpahan melalui
kasus Demam Berdarah telah mengedepankan konsep prosendural ini. Beberapa tahun
setelah itu, LBH Jakarta Institut Sosial Jakarta sebagai kuasa hukum buruh
patalsenayan juga mengajukan gugatan secara perwakilan (class action) di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan.16
Dalam sistem peradilan di Indonesia sambil menunggu peraturan
perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung
dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan
perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban dan kelancaran dalam
memeriksa, mengadili dan memutus gugatan perwakilan kelompok dipandang perlu
menetapkan suatu peratuan Mahkamah Agung (PERMA). Akhirnya Mahkamah
Agung menetapkan tata cara gugatan perwakilan kelompok yaitu PERMA No. 1
Tahun 2002, tentang acara gugatan perwakilan kelompok, Mahkamah Agung
menetapkan PERMA No. 1 Tahun 2002 dengan alasan recht vacuum (kekosongan
hukum) dengan meningkatnya kerugian yang merugikan banyak orang ribuan bahkan
jutaan dan munculnya kepermukaan gugatan- gugatan class action yang selalu ditolak
oleh pengadilan dengan alasan Indonesia tidak mengenal class action yang diatur
dalam sistem hukum anglo-saxon.
Tetapi persoalan kekosongan tersebut dalam hukum acara perdata yang diatur
dalam HIR dan RBg, PERMA No. 1 Tahun 2002 dapat dipakai dasar
Mas achmad Santosa, Gugatan Perwakilan (class action), cet. I., 1997, Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia, ICEL, hal. 76
hukum prosedur beracara perdata melalui gugatan perwakilan. Menurut : DR. Susanti
Adi Nugroho, dengan ditetapkannya PERMA No. 1 Tahun 2002 dengan mulai
banyaknya gugatan perwakilan kelompok yang diajukan terutama yang berkaitan
dengan digunakannya putusan dalam perkara anti monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat sebagai dasar gugatan perwakilan kelompok, sehingga tampaknya PERMA
No.l Tahun 2002 perlu diperbaiki karena tidak lagi dapat menampung permasalahan
baru yang timbull.17 PERMA No.l Tahun 2002 terdiri dari 11 pasal, Bab I Ketentuan
Umum, Bab II Tata Cara dan Persyaratan Gugatan Perwakilan Kelompok (Pasal 2, 3,
4, 5, 6), Bab III Pemberitahuan (pasal 7) Pernyataan Keluar (Pasal 8) Bab IV, Bab V
Putusan (pasal 9) dan Bab VI Ketentuan Penutup (Pasal 10 dan pasal 11). Mencermati
dan meneliti pasal-pasal tersebut tampaknya belum mengatur secara koprehensif
prosedur/mekanisme pengajuan gugatan perwakilan kelompok ke Pengadilan. Belum
jelas diatur tentang kelompok mengingat kita mengenal banyak kelompok dalam
masyarakat misalnya kelompok petani, kelompok nelayan, kelompok penambak ikan
dan lain-lainnya. Kelompok-kelompok ini dalam masyarakat apabila dikaitkan dengan
kopetensi pengadilan kita mengenal kopetensi relatif sehingga kelompok-kelompok
tersebut kemana harus mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri mana, kriteria apa
yang dipakai untuk menentukan wakil kelompok, sub kelompok.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 belum jelas dirumuskan tentang hubungan
hukum antara wakil kelompok dengan kelompok. Lebih-lebih wakil kelompok tidak
perlu membuat surat kuasa khusus. Demikian juga tanggung jawab hukum antara
wakil kelompok dengan kelompok apabila teijadi ketidak jujuran dan
ketidaksungguhan. Tidak ada ketentuan yang jelas mengenai apabila hakim
memutuskan bahwa penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok tidak sah,
maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim. Ini berarti
kesempatan untuk mengajukan kembali, apakah bisa disebut Nebis in
17 Susanti Adi Nugroho, Class Action dan Perbandingan dengan Negara lain, Kencana Prenada Media Group, Edisi I, Cet. I, Jakarta 2012, hal. 5.
Idem, atau apakah ada upaya hukum untuk mengajukan ulang gugatan kelompok ke
Pengadilan.
Oleh karena tuntutan perasaan keadilan dari masyarakat dan kerugian yang
diderita oleh masyarakat luas, tidak efesien lagi atas pertimbangan keadilan dan
merealisasi asas Trilogi Peradilan (sederhana, cepat dan biaya murah), gugatan-
gugatan yang melibatkan masyarakat luas harus diajukan satu persatu dan masing-
masing membuat surat kuasa. Demikian juga kerugian-kerugian disebabkan oleh
pelaku usaha yang menghasilkan limbah berbahaya dan beracun dengan pembuktian
kesalahan dan tidak teijangkau oleh korban apabila menerapkan ajaran kesalahan
menurut pasal 1365 KUHPerdata. Dengan alasan-alasan tersebut bentuk hukum strict
liability dan class action relevan dapat diterapkan dalam penegakan hukum
lingkungan keperdataan di Indonesia. Dari pemaparan terdahulu dalam makalh ini
saya ingin mengkaji : strict liability dan class action dengan judul:
“PRINSIP TANGGUNG JAWAB MUTLAK (STRICT LIABILITY) PADA
GUGATAN PERWAKILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM
LINGKUNGAN KEPERDATAAN”.
Dari judul tersebut dapat saya rumuskan masalah-masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini.
II. Rumusan Masalah
1. Apakah pada gugatan perwakilan dimungkinkan hakim melakukan penemuan
hukum dalam hukum acara untuk menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak
(strict liability) dalam rangka penegakan hukum lingkungan keperdataan?
2. Bagaimana menentukan kelas besar (class members) dan wakil kelas (class
representatif) dalam gugatan perwakilan?
3. Bagaimana hubungan dan tanggung jawab hukum antara wakil kelas (class
representatif) dengan kelas besar (class members)?
III. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah dengan judul
“Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) Pada Gugatan Perwakilan
Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan” ialah :
1. Ingin mengkaji dan menganalisa apakah hakim dapat melakukan penemuan
hukum (rechtsvinding) dalam hukum acara untuk menerapkan prinsip tanggung
jawab mutlak dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan.
2. Ingin membahas dan menganalisa bagaimana menentukan kelas besar (class
members) dan wakil kelas (class representatif) dalam gugatan perwakilan
3. Ingin menganalisa dan dapat mengetahui tanggung jawab hukum antara wakil
kelas (class representatif) dengan kelas besar (class members) dalam gugatan
perwakilan.
IV. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini nantinya agar dapat memberikan manfaat dalam dunia
akademis, yaitu dalam rangka penemuan hukum oleh hakim dalam hukum acara
guna penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) pada gugatan
perwakilan dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari hasil penelitian ini nantinya dapat disumbangkan
sebagai pedoman bagi hakim dalam menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak
dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan, dan dapat disumbangkan
dalam pembentukan Hukum Acara Perdata mendatang.
V. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
13.
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka18 Penelitian hukum
normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaedah yang
berlaku di masyarakat dan mengkaji acuan perilaku setiap orang. Penelitian
hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai
penelitian kepustakaan atau studi dokumen.19 Menurut Sunaryati Hartono,
kegunaan dari penelitian hukum normatif ialah :
a. Untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum
positifnya mengenai suatu masalah yang tertentu dan ini merupakan tugas
semua Saijana Hukum.
b. Untuk dapat menyusun dokumen-dokumen hukum (seperti : gugatan,
tuduhan, pembelaan, putusan pengadilan, akta notaris, sertifikat, kontrak
dan sebagainya), yang diperlukan oleh masyarakat. Hal ini menyangkut
pekeijaan notaris, pengacara, jaksa, hakim, dan pejabat (goverment
lawyers)
c. Untuk menulis makalah / ceramah atau buku hukum
d. Untuk dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apakah dan
bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah yang tertentu.
Menjelaskan dan menerangkan ini merupakan tugas utama para dosen dan
para penyuluh. Seorang dosen perlu menguasai aspek-aspek teoritis tetapi
juga harus memahami aspek historis dan filsafati dari masalah hukum yang
diterangkan, sedangkan seorang penyuluh hukum perlu lebih
memperhatikan aspek-aspek praktis dan penerapan kaedah- kaedah hukum
itu terhadap suatu peristiwa atau masalah hukum di dalam suatu lingkungan
masyarakat tertentu.
e. Untuk melakukan penelitian dasar (basic research) dibidang hukum,
khususnya apabila kita mencari asas hukum, teori hukum dan sistem hukum
terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas hukum
18 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 13.
19 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafindo, Jakarta, 2008,
baru, pendekatan hukum yang baru dan sistem hukum nasional (yang baru)
f. Untuk menyusun rancangan Undang-undang atau peraturan Perundang-
undangan termasuk keputusan-keputusan yang baru (legislative drafting)
g. Untuk menyusun rencana-rencana pembangunan hukum, baik rencana
jangka pendek dan jangka menengah tetapi terlebih-lebih untuk menyusun
rencana jangka panjang.20
2. Pendekatan Masalah
Ada beberapa pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian
ini, sudah tentu akan sesuai dengan pokok-pokok masalah yang dikaji dalam
penelitian ini.
a. Pendekatan Historis atau sejarah
b. Pendekatan Perbandingan
c. Pendekatan Perundang-undangan
d. Pendekatan Konseptual
e. Pendekatan Filsafat
f. Pendekatan Kasus
Penjelasan:
a. Pendekatan sejarah (historical approach)
Setiap peraturan Perundang-undangan memiliki latar belakang sejarah yang
berbeda. Dengan mengetahui latar belakang sejarah, kemudian dibuat aturan
Perundang-undangan tersebut, maka catur wangsa peradilan akan memiliki
interpretasi yang sama terhadap permasalahan hukum yang telah diatur
dalam aturan Perundang-undangan dimaksud.21 Penelusuran class action
yang dikenal dalam sistem hukum anglo saxon, Inggris, Amerika seperti
Pasal 23 U.S. Federal of Civil Procedur dipakai acuan dalam UU No.
23/1997 untuk menyusun gugatan perwakilan dan dipakai
20 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Penerbit Alumni, Edisi I, Bandung, 1994, hal. 140-141.
21 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Cet. Keenam, Malang, 2012, hal. 318.
acuan dalam menyusun PERMA No. 1 tahun 2002 tentang Hukum Acara
Gugatan Perwakilan Kelompok, dan seterusnya nanti dipakai dasar dalam
menyusun Perundang-undangan dalam Hukum Acara Perdata Lingkungan.
b. Pendekatan perbandingan (comparative approach)
Menurut Sunaryati Hartono, penelitian perbandingan hukum dalam hal ini
ialah penelitian perbandingan hukum struktural. Penelitian perbandingan
hukum struktural atau sistematik terutama berusaha untuk menyusun suatu
sistem tertentu yang digunakan sebagai referensi dalam mengadakan
perbandingan-perbandingan. Sistem termasuk dapat saja berupa sistem yang
kongkrit, abstrak, konseptual, terbuka ataupun tertutup.22 Penggunaan
pendekatan perbandingan ini ialah membandingkan dari negara-negara yang
telah mengenal strict liability dan class action yng mungkin nanti dapat
dipakai sumber dalam perumusan strict liability dan class action di
Indonesia, khusus Hukum Acara Perdata Lingkungan.
c. Pendekatan Perundang-undangan (statuta approach)
Dalam penelitian ni dengan statuta approach ialah dengan menggunakan
Peraturan Perundang-undangan yang merupakan produk pemerintah dengan
legislatif, mulai dari perundang-undangan yang memiliki kedudukan
tertinggi, menengah sampai kebawah. Dalam pendekatan ini peneliti
haruslah melihat hukum sebagai suatu sistem tertutup yang mempunyai
sifat-sifat:
a. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya
terkait antara satu dengan yang lainnya secara logis.
b. All-inclusive, kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada
kekurangan hukum
22 Sunaryati Hartono, Op.Cit, hal. 173-174.
c. Systematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarchies.23
d. Pendekatan Konseptual (conceptual approach)
Ialah ingin mengetahui konsep-konsep hukum tentang strict liability dan
class action dalam sistem hukum Anglo Saxon untuk dapat dipakai pedoman
dengan konsep-konsep hukum di negara-negara yang menganut sistem
hukum Eropa Continental (civil law system), yang mana dalam hal ini
Indonesia polanya mengikuti konsep-konsep hukum Eropa Continental.
e. Pendekatan Filsafat (Filosophical Approach) dengan sifat filsafat yang
melakukan kajian, menyeluruh, radikal, spekulatif, sistematis, koherent dan
lain-lainnya dalam penelitian ini, tentunya bidang-bidang objek kajian
filsafat, dengan melihat dari dimensi ontologis, epistemologi dan aksiologi.
- Dimensi ontologi yaitu mengkaji hakekat strict liability dan Class Action
dalam hukum perdata dibidang lingkungan, dan mengkaji lingkungan
pada umumnya.
- Dimensi Epistemologi : yaitu cara untuk mendapatkan pengetahuan yang
baru tentang ilmu hukum dalam hal ini mempunyai kebenaran ilmiah
dalam prosedur beracara baik strict liability dan class action. Dengan
menggunakan metode ilmiah dalam kerangka penelitian hukum normatif,
dengan penalaran, argumentasi-argumentasi, sarana bahasa dan logika.
- Dimensi aksiologi, dengan mempelajari isi, nilai kebenaran, keadilan,
kepastian, kemamfaatan, nilai perlindungan. Menurut Jujun S.
Suriasumantri, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan
23 Johny Ibrahim, Gagasan Pengaturan Money Laundering di Indonesia (dalam Johny Ibrahim), Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Cet. Keenam, 2012, Malang, hal. 303.
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.24 Strict liability dan class
action sangat bermanfaat dan adil tanpa pembuktian kesalahan, tapi tanggung
gugat mutlak terhadap pencemaran dari perusahaan yang menghasilkan
limbah berbahaya dan beracun yang dapat mengakibatkan kerugian banyak
orang,
f. Pendekatan Kasus (case approach)
Dalam pendekatan ini ialah bertujuan untuk mempelajari penerapan
norma-norma atau kaedah-kaedah hukum yang dilakukan dalam praktek
hukum. Kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana dilihat dalam
yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas
kasus-kasus yang telah teijadi bermakna emfiris, namun dalam penelitian
normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran
dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktek
hukum serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input)
dalam eksplanasi hukum.25 Melihat Ratio Decidendi putusan hakim. Menurut
Atmadja, mengenai pertimbangan hukum, disinilah kelihatan titik berdiri
dari hakim. Tentu dalam pertimbangan hukum terurai argumentasi hukum
untuk menjastifikasi putusan itu.26 Dalam penelitian ini dengan pendekatan
kasus ingin mengkaji putusan-putusan tentang class action (gugatan
perwakilan).
3. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian ini sumber bahan hukumnya ialah : Bahan Hukum
Primer ialah bahan-bahan yang mempunyai kekuatan hukum dan mengikat
seperti UUD, UU, Peraturan Perundang-undangan, Yurisprudensi, Traktat-
traktat, konvensi-konvensi dan lain-lainnya. Disamping bahan hukum primer,
ialah bahan hukum sekunder yang sumbernya dari hasil-hasil penelitian,
24 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999, hal. 234.
25 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Cet. Ke-6, Malang, 2012, hal. 321.
261 Dewa Gede Atmadja, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning and Legal Argumentation Introduction). Cet. I, Bali Age, 2009, hal. 65.
karya-karya ilmiah, pendapat (karya tulis) para saijana, jurnal-jurnal, doktrin-
doktrin dan lain-lainnya. Untuk bahan hukum tersier ialah bahan yang dapat
dipakai petunjuk untuk memahami bahan hukum primer dan sekunder.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan setelah dilakukan studi dokumen,
maka pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder dicatat melalui
kartu-kartu kecil yang telah disiapkan (card system).
5. Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang telah diperoleh dan
relevan dengan pokok permasalahan dalam penelitian, dilakukan inventarisasi,
identifikasi, klasifikasi dan diinterpretasikan, dengan analisis kwalitatif yang
dijabarkan secara deskriptif dalam bentuk paper.
VI. Krangka Teoritik
Teori yang saya pakai untuk membahas dan menganalisa masalah yang saya
angkat dari makalah yang beijudul “Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Pada Gugatan Perwakilan Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan” ialah:
1. Grand Theory : teori dasar yang dipakai ialah Teori Negara Hukum
2. Middle Range Theory yaitu Teori Filsafat Hukum Gustav Rabruch
3. Applied Theory yaitu Teori Hukum Pembangunan dari Bapak Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmadja, SH.LLM.
1. Grand Theory : Teori Negara Hukum
Istilah negara hukum secara konseptual di Indonesia dipadankan dengan
dua istilah dalam bahasa asing yaitu:
a. Bahasa Belanda istilahnya Rechtstraat digunakan untuk menunjuk tipe negara
hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa
Continental atau Civil Law System.
b. Bahasa Inggris menggunakan istilah rule of law untuk menunjuk tipe negara
hukum dari Negara Anglo Saxon atau di negara-negara yang
menganut common law system (Inggris, Amerika dan Negara-negara bekas jajahan
Inggris), sedangkan tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara sosialis
komunis, menggunakan istilah socialist ligality (antara lain : Rusia, RRC dan
Vietnam).27
Sebelum atau pra perubahan ketiga UUD 1945, prinsip negara hukum Indonesia
ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945, yang menentukan bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (Rechtstext) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machtstaat). Apa yang ditunjukkan dalam penjelasan UUD 1945, istilah negara hukum
berasal dari istilah : bahasa Belanda rechtstaat lawan kata dari maachtstaat.28 Rechtstaat
atau negara hukum diartikan negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan
prinsip-prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintahan dibalik itu machtstaat
diartikan negara yang penyelenggaraan pemerintahannya dijalankan berdasar pada
kekuasaan belaka sesudah Pasca Amandement ke-3 UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD
1945, berbunyi : “Negara Indonesia Negara Hukum” dengan demikian Negara Hukum
Indonesia menjadi bukan hanya satu prinsip, tapi benar-benar menjadi normatif.29 Dalam
kaitannya Negara Indonesia yang pola sistem hukumnya menganut Eropa Continental
(Civil Law System) dengan Rechtstaat atau Rule Of Law. Menurut pendapat Frederich
Julius Sthal, unsur- unsur rechtstaat terdiri atas 4 unsur :
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
b. Negara didasarkan atas Trias Politik (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan
legislatif, eksekutif dan kekuasaan yudisial)
c. Pemerintahan didasarkan atas UU (wetmatigeheid van bestuur), dan
271 Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Problematik Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Edisi Revisi, Setara Press Malang, 2010, hal. 157.
28 Atmadja, Ibid, hal. 158. 29 Fredrich Julius Stahl, (dalam I Dewa Gede Atmadja), Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Stara Press
Malang, 2010, hal. 158.
d. Ada peradilan administrasi negara yang berwenang menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad).30
Unsur Rule of Law, menurut AV Dicey terdiri dari 3 unsur yaitu:
a. Supremasi hukum (supremacy of law)
b. Persamaan dimuka hukum (equality before the law)
c. Hak asasi individu (individual rights)
Tidak memerlukan peradilan administrasi, karena peradilan umum dianggap
berlaku untuk semua orang baik bagi warga negara maupun pejabat pemerintah.31
Jadi menurut Atmadja, dilihat dari unsur-unsur perbedaan tipe negara
hukum, perbedaan pokoknya rechtstaat penekanannya adanya peradilan
administrasi negara, sedangkan rule of law penekanannya pada equality before
the law.32
Pengertian dari Negara Hukum dengan istilah Rechtstaat atau
government by law yang artinya yang suatu sistem kenegaraan yang diatur
berdasarkan sistem hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam
konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut baik yang diperintah
maupun yang memerintah, harus tunduk pada hukum yang sama, sehingga setiap
orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan
berbeda dengan dasar pembedaan yang rational, tanpa memandang perbedaan
warna kulit, ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan dan kewenangan
pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga
pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang
30 Padmo Wahyono, (dalam I Dewa Gede Atmadja), Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Stara Press Malang, 2010, hal. 159.
31 H. Muh. Tahir Azhary, (dalam I Dewa Gede Atmadja), Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Stara Press Malang, 2010, hal. 159.
32 Atmadja, (dalam I Dewa Gede Atmadja), Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Stara Press Malang, 2010, hal. 159.
dan tidak melanggar hak-hak rakyat diberikan peran sesuai kemampuan
peranannya secara demokratis.33
Lebih jauh suatu negara baru dapat disebut sebagai negara hukum
haruslah memenuhi syarat-syarat antara lain:
1. Perlindungan hak-hak rakyat oleh Pemerintah
2. Kekuasaan lembaga negara tidak absolut
3. Berlakunya prinsip trias politika
4. Pemberlakuan check and balance
5. Mekanisme kelembagaan negara yang demokratis
6. Kekuasaan kehakiman yang bebas
7. Sistem pemerintahan yang transparan
8. Adanya kebebasan pers
9. Adanya keadilan dan kepastian hukum
10. Akuntabilitas dan pelaksanaan prinsip good governance.34
Konsep negara hukum Indonesia disebutkan menerima prinsip kepastian
hukum dalam rechtstaat sekaligus prinsip keadilan di dalam the rule of law serta
nilai spiritual dari hukum agama. Hukum tertulis dan segala ketentuan
proseduralnya (rechtstaat) diterima di dalam negara hukum Indonesia, tetapi
semua itu harus diletakkan dalam rangka menegakkan keadilan (the rule of law),
ketentuan-ketentuan tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan.
Penguatan dari konsepsi ini adalah penyebutan di dalam fungsi kekuasaan
kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan seperti tertulis pada Pasal 24
ayat (1) serta penegasan dalam Pasal 28D ayat (1) tentang hak memperoleh
kepastian hukum yang adil dan Pasal 28 H bahwa hukum harus dibangun
berdasarkan keadilan dan kemanfaatan.35
Adapun yang dapat dipakai alasan bahwa Teori Negara hukum sebagai
Grand Theory dalam penulisan makalah ini ialah :
33 http://negarahukumIndonesia.blogspot.com/. tanggal 25-12-2012. 34 http://negarahukumIndonesia.blogspot.com/. diakses tanggal 25-12-2012. 35 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali
Press, Cet. 2, Mei 2011, Jakarta, hal. 52.
1. Diakuinya Hak Lingkungan Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia.
Persaudaraan atau hak-hak generasi ketiga diwakili tuntutan atas ”hak
solidaritas” atau hak bersama. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih
negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tuntutan internasional
yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara
berkembang menginginkan terciptanya suatu tuntutan ekonomi dan hak
internasional yang kondusif bagi teijaminnya hak-hak berikut:
a. Hak atas pembangunan,
b. Hak atas perdamaian,
c. Hak atas sumber daya alam,
d. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan
e. Hak atas warisan budaya sendiri.36
2. Alasan yang kedua, dalam Pasal 28 H UUD 1945 setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
3. Alasan yang ketiga menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 65 ayat:
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses
informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak
atau lingkungan hidup yang baik dan sehat
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan / atau keberatan terhadap
rencana usaha dan / atau kegiatan yang diperkirakan dapat
menimbulkan dampak terhadap lingkungan
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan dalam
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
36 Kata Pengantar, Philip Alston, Fams Magnis Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia, Cet. I, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Isian Indonesia, Yogyakarta, 2008, hal. 16.
37
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dengan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
4. Alasan yang keempat memakai Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory,
diaturnya hak-hak atasi lingkungan hidup dalam UUD 1945 dan pentingnya
upaya perlindungan hukum akibat perusahaan dan pencemaran lingkungan
yang disebabkan oleh limbah berbahaya dan beracun yang merugikan
ribuan/bahkan jutaan orang yagn terkena dampaknya dan berakibat kematian
terhadap semua makhluk hidup. Dan diperlukan prosedur beracara perdata
untuk menerapkan prinsip strict liability dan class action dalam
memperjuangkan hak-hak perdatanya akibat perusakan dan pencemaran
lingkungan hidup.
2. Middle Range Theory yaitu dari Gustav Radbruch :
From the concept of the law, a cultural concept, that is the concept related
to value, we pressed on to the value of the law. Law is what, according to its
meaning , is intended to serve the idea of the law. The idea of law we found
injustice and we determined the essence of justice, of distributive justice as
equality, equal treatment of equal, and correspondingly unequal treatment of
different, men and relationships. We were able to orient the concept of the law
toward justice, yet we were unable thereby to obtain the guiding thought from
which exhaustively to derive the contain of law.
(Dari konsep hukum, konsep budaya, yaitu suatu konsep yang berkaitan
dengan nilai, kita ditekankan pada nilai hukum, gagasan hukum: Apakah hukum
itu? menurut maknanya, dimaksudkan untuk mengupayakan gagasan dari hukum.
Gagasan hukum kita temukan dalam bentuk Keadilan dan kita menentukan
hakekat dari keadilan, keadilan distributif, sebagai kesetaraan: perlakuan yang
sama, manusia dan hubungannya. Kita memang mampu untuk mengarahkan
konsep hukum terhadap keadilan, namun kita tidak demikian untuk memperoleh
pemikiran yang mendalam untuk mendapatkan isi hukum).
For while justice directs us to treats equal equally, unequal unequally, it
does not tell us anything about the viewpoint from they are to be deemed
equals or unequal, more over it determines solely the relation and not the kind. Both
questions may be answered only by referring to the purpose of the law. Thus to justice
there was added. The second element of the idea of the law is Expediency or suitability of
the purpose. However the question of purpose and expediency could not be answer
unequivocally but only relativistic, by the systematic development of the different of law
and the state, the views of the different parties. Yet that relativism cannot remain the last
word of legal philosophy.
(Untuk sementara keadilan mengarahkan kita untuk memperlakukan sama rata,
tidak setara merata, ia tidak memberitahu kita apa-apa tentang sudut pandang dari mana
mereka harus dianggap sama atau tidak sama, apalagi hal itu semata-mata untuk
menentukan hubungan, dan bukan jenis. Kedua pertanyaan dijawab mungkin hanya
dengan mengacu pada tujuan hukum. Dengan demikian keadilan lebih ditonjolkan.
Sebagai elemen kedua dari gagasan hukum yaitu kemanfaatan hukum atau kesesuaian
untuk suatu tujuan. Namun, persoalan mengenai tujuan kemanfaatan tidak dapat dijawab
tegas tetapi hanya bersifat relatif, dalam perkembangan sistematis pandangan hukum dan
negara, pandangan dari berbagai pihak. Namun relativisme yang tidak dapat tetap menjadi
kata terakhir dari filsafat hukum).
The law as order of living together cannot be handed over to disagreements
between the views of individuals, it must be one order over all of them. So we are
confronted with a third postulate concerning law, ranking with other two, a third element
of the idea of the law, legal certainty. The certainty of the law requires law to be positive. If
what is just cannot be settled, then what ought to be right must be laid down and this must
be done by the agencies able to carry trough what it lays down. So, most oddly the positive
of the law itself becomes a prerequisite of its lightness; to be positive is implicit in the
concept of right law just much as lightness of content is a task of positive law.
(Hukum sebagai urutan hidup bersama tidak dapat diserahkan kepada perbedaan
pendapat antara pandangan individu, melainkan harus menjadi satu
urutan atas semua dari mereka. Elemen ketiga dari gagasan hukum yaitu
Kepastian Hukum, Kepastian hukum memerlukan hukum untuk menjadi positif,
jika apa yang tidak dapat diselesaikan, maka apa yang seharusnya benar harus
ditetapkan, dan ini harus dilakukan oleh lembaga sehingga mampu mewakili
kepentingan dari fungsi hukum melalui kepastian hukum. Jadi, yang paling kuat
yang positif dari hukum itu sendiri menjadi prasyarat dari kebenaran: untuk
menjadi positif secara implisit dalam konsep hukum yang tepat. Seperti halnya
kebenaran adalah bagian dari hukum positif).
Of the three elements of the idea of law it is the second, expediency to
which relativistic resignation applies. But the other two, justice and legal
certainty, are above the conflict between views of law and the state, above the
struggle of parties. It is more important that the strife of legal views be ended than
that it be determined justly and expediently. The existence of a legal order is
more important than its justice and expediency. Which constitute the second
grate task of the law, while the first, equally approved by all, is legal certainty that
is order or peace. So, to all equally submit to the postulate of justice.
(Dari ketiga unsur gagasan hukum, itu adalah kemanfaatan, keadilan dan
kepastian hukum, berada di atas konflik antara pandangan hukum dan negara,
atas usaha para pihak. Hal ini lebih penting bahwa perselisihan pandangan
hukum akan berakhir. Dari itu akan ditentukan secara adil dan bijaksana.
Keberadaan tatanan hukum lebih penting daripada keadilan dan kemanfaatan,
yang merupakan tugas besar kedua dari tujuan hukum, kepastian hukum, yaitu,
ketertiban, atau perdamaian. Demikian juga, semua sama-sama tunduk pada
postulat keadilan).
Adapun yang menjadi alasan, saya memilih Middle Range Teori dan teorinya
Gustav Radbruch yaitu: teori filsafat hukum.
1. Aspek keadilan yaitu perusakan dan pencemaran lingkungan yang diakibatkan
oleh suatu perusahaan yang menghasilkan limbah berbahaya dan beracun
yang mengakibatkan musnahnya makhluk hidup, apabila masih tetap
mempertahankan Sistem Hukum Acara perdata HIR dan RBg
dan Pasal 1365 KUH Perdata tidak mengatur strict liability dan class action
adalah tidak adil, karena korban (masyarakat yang terkena dampaknya)
sangat miskin biaya, akan dianggap adil pelaku usaha (pencemar) yang harus
membuktikan dengan strict liability serta pembuktian terbalik, tanpa
pembuktian dengan kesalahan dan korban terkena dampaknya ribuan bahkan
jutaan dapat mewujudkan trilogi peradilan : peradilan sederhana, cepat, dan
biaya murah apabila menggabungkan diri untuk menggugat melalui prosedur
beraca dengan class action.
2. Aspek Kepastian:
Alasan dalam penegakan hukum khusus dalam prosedur beracara perdata di
Pengadilan, adanya kepastian hukum (hukum positif, hukum formal) untuk
mempertahankan dan menyerahkan dalam kasus-kasus lingkungan
keperdataan. Dan Hakim ada kepstian hukum dalam memeriksa perkara di
pengadilan.
3. Aspek Kefaedahan
Setelah diaturnya bentuk-bentuk hukum seperti strct liability, class action
dalam hukum positif Indonesia, sehingga sesuai dengan tujuan hukum yaitu
berfedah bagi orang sebanyak-banyaknya yang ingin mempeij uangkan
hak-haknya.
3. Applied Theory : dipakai Teori Hukum Pembangunan dari Bapak Mochtar
Kusumaatmadja, ada 2 hal yang menjadi inti dari teori beliau:
1. Ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembaharuan dan pembangunan itu
merupakan sesuatu yang diinginkan atau dipandang mutlak adanya.
2. Hukum dalam arti kaedah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi
sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan masyarakat yang dikehendaki karena pembaharuan.
Konsep hukum yang ditawarkan oleh Mochtar Kusumaatmadj a dapat disimak
dari definisi atau fungsi hukum yang dikembangkan. Hukum dalam pengertian
yang luas tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaedah-kaedah
yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula
lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan
berlakunya kaedah-kaedah itu dalam kenyataan37 Mochtar juga mengemukakan,
hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai
perangkat kaedah-kaedah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institution) dan proses
(processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.38
Berkaitan dengan upaya penjabaran fungsi hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat (GBHN 1978-1998) mengenai pembangunan hukum
nasional yang dilakukan melalui 3 aspek yakni:
a. Memperbaiki hukum-hukum yang sedang berlaku untuk disesuaikan dengan
kebutuhan pembangunan dan perkembangan masyarakat yang teqadi.
b. Memperbaharui atau merubah hukum-hukum yang pernah ada yang dianggap
masih dapat dipergunakan.
c. Mempertahankan hukum yang pernah ada yang dianggap masih memadai.
Menentukan Grand Theory, Teori Negara Hukum, Middle Range Theory
dari Teori Filsafat Hukum Gustav Rabruch dan Applied Theory dari Mochtar
Kusumaatmadja juga dilengkapi dengan teori-teori hukum lain dalam
pembahasan permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini.
VII. Peranan Filsafat Ilmu Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan
1. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam penegakan hukum
lingkungan keperdataan.
37 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1986, hal. 11.
38 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1995, hal. 15.
2. Penemuan hukum oleh hakim dalam penerapan prinsip tanggung jawab
mutlak (strict liability) dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan.
3. Kriteria menentukan wakil kelas (class representatif) dan kelas besar (class
members) pada gugatan perwakilan.
4. Hubungan dan tanggung jawab hukum antara wakil kelas (class
representatif) dengan kelas besar (class members)
1. Prinsip Tanggung Jawab mutlak (strict liability) dalam penegakan hukum
lingkungan keperdataan
Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup ditegaskan : setiap orang yang tindakannya,
usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3 menghasilakn dan/atau
mengelola limbah B3 dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang teijadi tanpa
perlu pembuktian unsur kesalahan.
Dalam sistim Hukum Acara Perdata Indonesia yang masih
berpedoman pada HIR dan RBg tidak mengenal prosedur beracara perdata
lingkungan dengan tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip strict
liability atau atas tanggung jawab mutlak merupakan asas atau prinsip
pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama,
yakni berawal dari sebuah kasus di Inggris (Ryland V. Flectcher) tahun
1968. Asas ini telah diadopsi dalam berbagai Perundang-undangan dan
konvensi-konvensi internasional.39 Strict Liability adalah doktrin
pertanggungjawaban perdata dibidang lingkungan hidup, dimana
39 Syahrul Mahmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana Menurut UU No. 32 tahun 2009, Edisi Kedua, Cet. 1,2012, hal. 209.
tanggung jawab muncul seketika yang tidak harus berdasarkan atas
kesalahan (liability without fault).40
Dalam Pasal 1365 KUH Perdata mengandung konsep tanggung
jawab berdasarkan atas kesalahan, yang dapat dipersamakan dengan liability
based on fault, seperti halnya doktrin pertanggungjawaban tradisional
negligence dalam sistem hukum Anglo Saxon.41 Disamping itu juga doktrin
pertanggungjawaban tradisional tidak mampu mengantisipasi
kegiatan-kegiatan yang mengandung resiko besar (significant risk).42 Di
Indonesia pihak yang merasa dirugikan yaitu penggugat dalam kasus- kasus
lingkungan biasanya memiliki latar belakang ekonomi lemah maupun
pendidikan rendah, sehingga sangatlah tidak adil apabila mereka dibebani
pembuktian tentang pencemaran dan keterkaitannya dengan kerugian yang
mereka alami. Oleh karenanya mempertahankan doktrin pertanggung
jawaban tradisional untuk kasus-kasus yang memiliki resiko tinggi tidak
akan mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam penegakan hukum
lingkungan.43
Dilihat dari dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi bentuk
hukum tanggung jawab mutlak (strict liability) yang dikembangkan di
negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon termasuk juga
Class Action (gugatan perwakilan) sangat relevan untuk diterapkan di
Indonesia, mengingat prosedur beracara dengan Class Action dan
pembuktian tanpa kesalahan dapat mewujudkan peradilan sederhana, cepat
dan biaya murah. Dari dimensi ontologi adalah studi sungguh- sungguh
ontologi juga diartikan sebagai metafisika umum yaitu cabang
401.M. Koopmans, De StrafBarstelling Van Milliu Veon Treening Course in Environmental Law and Administration for Indonesian Yurist, Reiden Ministry of Housing Spasial and Environment, (dalam Syahrul Mahmud, Penegakan Hukum Linghmgan Indonesia, Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana Menurut UU No. 32 tahun 2009), 1998, hal. 391-199 (dalam Syahrul Machmud).
41 Mas Achmad Santosa, et.al., Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, 1997, hal. 123.
42 Mas Achmad Santosa, Ibid, hal. 124. 43 Mas Achmad Santosa, Ibid.
filsafat yang mempelajari sifat dasar dan kenyataan yang terdalam, ontologi
membahas asas-asas rational dari kenyataan (Kattsaff, 1986).44 Dengan
terintegrasinya strict liability dan class action dalam hukum lingkungan,
menurut Plato, hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani
fenomena dunia yang penuh situasi ketidakadilan.45
Demikian juga menurut Socrates, sesuai dengan hakekat manusia
maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan
kebajikan dan keadilan bagi umum.46 Hukum untuk mencapai kebajikan dan
keadilan umum.47 Menurut Yuyun S. Suriasumantri, ontologi membahas apa
yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu atau dengan perkataan
lain sesuatu pengkajian mengenai teori tentang ada.48 Menganalisis
pemikir-pemikir filosuf tadi, kelihatannya strict liability dan class action
sangat bermanfaat dalam hukum lingkungan.
Dilihat dari dimensi epistemologi sering disebut teori pengetahuan
(theory of know ledge). Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani,
Episteme, artinya pengetahuan dan logos artinya teori. Jadi epistemologi
dapat didifinisikan sebagai dimensi filsafat yang mempelajari asal mula,
sumber, manfaat, dan sahihnya pengetahuan. Secara sederhana disebutkan
saja bagaimana cara mempelajari, mengembangkan dan memanfaatkan ilmu
bagi kemaslatan manusia.49 Epistemologi dapat memberikan suatu acuan
dalam mengembangkan kerangka ilmu pengetahuan, pengembangan
pengetahuan melalui perencanaan metodelogi ilmiah. Lebih jauh menurut
Fuad Ihsan, untuk menyebut sebagai kesatuan
44 Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Cet. I, Jakarta, 2010, hal. 223. 45 Plato, (dalam Bernard L. Tanya, dkk), Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publising, Cet. IH, 2010, Yogyakarta, hal. 41. 46 Socrates, (dalam Bernard L. Tanya, dkk), Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi, Genta Publishing, Cet. III, 2010, Yogyakarta, hal. 31. 47 K. Barents, Sejarah Filsafat Yunani, (dalam Bernard L. Tanya, dkk.), Teori Hukum, Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Cet. III, Yogyakarta, 2010, h.31. 48 Yuyun S. Suriasumantri, Tentang Hakekat Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Gramedia, Cet. VI,
1985, hal. 5. 49 H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Cet. 1,2010, Jakarta, hal. 225.
pengetahuan, dibutuhkan persyaratan tertentu, karena secara epistemologi
ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang memiliki persyaratan
metodelogi tertentu yaitu disusun dengan cara-cara tertentu agar ilmu
memiliki paradigma keilmuan yang telah diakui oleh masyarakat keilmuan
tertentu pula.50 Pengetahuan yang berdasarkan atas ide (idealisme)
mengandung implikasi pendekatan yang rationalitis. Rationalitis
mengandung pendekatan rasional. Sifat idealisme lebih menekankan proses
berfikir deduktif yang terimplikasi dalam premis- premis yaitu premis
mayor, premis minor dan simpulan. Realisme mengandung pendekatan
emfirik. Pengetahuan yang berdasarkan emfiris memandang pengetahuan itu
adalah kenyataan dan menganut pendekatan induktif, sehingga untuk
mencapai kebenaran pengetahuan didasarkan realitas kongkrit yang
parsial.51 Dapat dikatakan alur berpikir untuk dapat mengatasi berbagai
permasalahan yang timbul, haruslah melalui proses dengan menentukan
landasan teori atau memilih teori-teori yang tepat dengan berbagai
penalaran-penalaran dengan pengujian atau verifikasi dari bahan-bahan
hukum primer, sekunder, tersier untuk dapat mengambil
keputusan-keputusan.
Jadi pada dasarnya sebuah kegiatan memperoleh pengetahuan
melibatkan kita sebagai subyek dan obyek yang kita pelajari, serta
metodologi yang menghubungkan kita dan objek yang kita amati menjadi
terhubung. Yang tadinya diandaikan terpisah ada jarak antara subjek dengan
obyek, maka oleh metodologi subjek dihubungkan dengan objek subjek
tidak saja terhubung tapi juga dekat dengan objek. Karena itu kita sering pula
menyebut secara umum, metodologi sebagai pendekatan atau approach.52
Pilihan-pilihan terhadap metodologi, ialah metodologi yang
50 Fuad Ihsan, Ibid, hal. 226. 51 Fuad Ihsan, Ibid, hal. 226. 52 Antonius Cahyadi, E Fernando M. Manullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Cet. IV, 2011,
Jakarta, Frenanda Media Group, hal. 14.
kita pilih menentukan tempat kita dalam mengamati hal yang kita amati.53 Ia
membuat kita mengambil sebuah perspektif tertentu (sudut pengamatan atau
point of view) dalam kegiatan pengamatan.
Terlebih dahulu haruslah kita mengerti dan memahami objek yang
menjadi kajian, ada langkah-langkah dalam mencapai pemahaman antara lain
: pemahaman dalam filsafat dilakukan menurut langkah-langkah berikut
antara lain:
a. Mengerti dan memahami problem yang terkandung dalam pertanyaan
filosophis yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah memahami dan
mengerti pertanyaan.
b. Setelah memahami problem yang muncul (pertanyaan-pertanyaan) kita
harus melihat berbagai kemungkinan jawaban yang ada beserta
argumen-argumen baik yang menguatkan atau melemahkan.
c. Yang terakhir coba kita melihat sekali lagi pernyataan yang
memungkinkan jawaban yang kita ajukan sendiri dalam rangka afirmasi
terhadap jawaban yang kita miliki.54
Dilihat dimensi Aksiologi
Secara etimologis aksiologi berasal dari kita aksios yang berarti
nilai dan logos, berarti ilmu atau teori. Aksiologi sebagai teori tentang
nilai membahas tentang hakekat nilai, sehingga disebut filsafat nilai.55
Jadi fungsi dari aksiologi ialah : ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk
mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif
sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tetap berjalan pada
jalur kemanusiaan. Oleh karena itu jalur keija aksiologi (1) menjaga dan
memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran yang
hakiki maka prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran
dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung. (2) dalam pemilihan
objek penelaan dapat
53 Ibid, hal. 15. 54 Ibid, hal. 20. 55 Fuad Ihsan, Op. Cit., hal. 231.
dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak
merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri masalah kehidupan
dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan
dan kepentingan politik. (3) pengembangan ilmu pengetahuan
diarahkan untuk dapat meningkatkan tarap hidup yang memperhatikan
kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam
lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.56
Menurut The Liang Gie, beberapa pandangan ilmuan yang
berprinsip, bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Menurut Victor
Reiskop berpendapat, The Primary aim of science is not in application.
It is in gaining in sights into the cause and laws governing natural
processes. (Tujuan pokok ilmu bukan pada penerapan, tujuan ilmu
adalah mencapai pemahaman-pemahaman terhadap sebab dan
kaedah-kaedah tentang proses-proses ilmiah.57 Dalam dimensi
aksiologi penerapan ilmu untuk dapat berguna dan bermanfaat bagi
masyarakat.
2. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Penerapan Prinsip Tanggung Jawab
Mutlak (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan
Tugas Hakim dalam mengadili suatu perkara ialah : menerima,
memeriksa dan mengadili dan akhirnya memutus perkara tersebut sampai
mengambil putusan. Dalam tugasnya tersebut hakim tidak boleh menolak
mengadili dan memeriksa perkara tersebut dengan alasan UU atau hukum
tidak mengatur (rechtsvacuum) tetapi hakim wajib untuk mengadili. Hakim
harus tahu hukumnya (ius curia novit). Apabila hakim tidak menemukan
hukumnya baik dalam hukum tertulis atau tidak tertulis, maka hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
56 Fuad Ihsan, Op. Cit., hal. 233 57 Fuad Ihsan, Op. Cit., hal. 240.
yang hidup dalam masyarakat. Menurut Pasal 20 AB, hakim harus mengadili
menurut Undang-undang dalam tugasnya yang lebih luas tersebut (ius curia
novit) dituntut keterampilan dan intelektualitas dari hakim.58
Dalam sistem penemuan hukum, pada dasarnya penemuan hukum
tetap harus mendasarkan pada sistem hukum yang ada. Penemuan hukum
yang pada dasarnya pada Undang-undang saja disebut sebagai system
oriented, tetapi apabila sistem tidak memberikan solusi, maka sistem harus
ditinggalkan dan menuju problem oriented. Latar belakang timbulnya
problem oriented, yaitu ada kecendrungan masyarakat pada umumnya yang
membuat Undang-undang lebih umum, sehingga dengan sifat umum itu
hakim mendapat kebebasan lebih.59 Wiarda dalam bukunya Drie Typen van
Rechtvinding membedakan penemuan hukum ada 3 yaitu, penemuan hukum
otonom, penemuan hukum hiteronom dan penemuan hukum campuran.60
Sedangkan menurut Van Eikema Hommes membedakan, penemuan hukum
menjadi typisch logicitisch dan materiel juridisch. Penemuan hukum
heteronom hakekatnya sama dengan typisch logicitisch, sedangkan otonom
sama dengan materiel juridisch.61 Menurut pandangan klasik dari:
Montesqueu dan Emmuel Kant terhadap penemuan hukum heteronom,
hakim hanyalah penyambung lidah atau corong dari Undang-undang,
sehingga ia tidak mengubah kekuatan hukum Undang-undang tidak dapat
menambah dan mengiringi.62 Dalam penemuan hukum yang otonom, hakim
tidak lagi dipandang sebagai corong Undang-undang, tetapi sebagai
pembentuk
58 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet I, Liberty, Yogyakarta, 1993, haL 10.
59 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012, hal. 62.
60 Wiarda, (dalam Bambang Sutiyoso), Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012, hal. 62.
61 Van Eikema Hommes, (dalam Bambang Sutiyoso), Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012, hal. 62.
62 Montiquen dan Emanuel Kant, (dalam Bambang Sutiyoso), Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012, hal. 63.
hal. 63.
hukum yang secara mandiri memberi bentuk pada isi Undang-undang dan
menyesuaikannya dengan kebutuhan atau perkembangan masyarakat63.
Hakim harus menyesuaikan kasus yang diperiksa apabila tidak ada
Undang-undang / hukum, perkembangan hukum dalam masyarakat selalu
diantisipasi sesuai dengan makna hakim sebagai pembentuk hukum secara
kongkrit.
Mencermati kedua sistim hukum di dunia yang mempengaruhi
kehidupan hukum, ada 2 sistim hukum yaitu sistem hukum civil law (Eropa
Continental) dan sistem hukum Anglo-Saxon. Indonesia berdasar atas sistem
hukum Eropa Continental dengan HIR dan RBg sebagai hukum procedural
tidak mengenal strict liability dan class action, sehingga dalam kaitannya
dengan ini hakim selalu menolak untuk menerapkan strict liability,
meskipun telah diatur dalam Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009, yang sama
seperti class action yng diatur dalam UU No. 23 tahun 1997, gugatan class
action selalu tidak diterima dengan alasan Indonesia bukan sistem
hukumnya Anglo Saxon, tapi civil law, baru setelah Mahkamah Agung
mengelurkan PERM A No. 1 tahun 2002 baru gugatan class action diterima,
hanya perlu dimaknai dalam penemuan hukum yang otonom hakim tidak
lagi dipandang sebagai corong Undang- undang, tetapi sebagai pembentuk
hukum, apakah perasaan keadilan atau tuntutan kedilan dan kemanfaatan
dikesampingkan karena bentuk hukum strict liability dan class action tidak
diatur dalam sistem hukum civil law dalam hal ini perlu kajian-kajian yang
mendalam.
Apabila hal tersebut, dihubungkan dengan pendapat Ahmad Rifai
dalam bukunya penemuan hukum oleh hakim dalam persepektif hukum
progresif, tugas pokok hakim adalah mengadili, memeriksa dan memutuskan
suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga tidak ada alasan bagi
seorang hakim untuk tidak menerima atau menolak suatu perkara dengan
alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada. Bagi hakim
63 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012,
memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya merupakan kewajiban,
sedangkan tugas utama dari hakim adalah menghubungkan aturan abstrak
dalam Undang-undang dengan fakta kongkrit dari perkara yang
diperiksanya.64 Penemuan hukum yang progresif berangkat dari hukum
progresif, bahwa hukum tu adalah untuk manusia, yang termasuk
didalamnya nilai-nilai akan kebenaran dan keadilan yang menjadi titik
pembahasan hukum, sehingga faktor etika dan moralitas tidak terlepas dar
perubahan itu.65
Seandainya Hakim berani melakukan penemuan hukum dalam hukum
acara dalam menerapkan prinsip strict liability dan class action menurut
hemat saya, lingkungan sudah masuk dalam HAM dunia ketiga, dalam UUD
1945 yang ditegaskan dalam Pasal 28H, setiap orang berhak atas lingkungan
yang baik dan sehat, akibat pencemaran yang menghasilkan limbah
berbahaya dan beracun bentuk hukum strict liability memenuhi perasaan
keadilan masyarakat. Untuk pengintegrasian strict liability perlu pemahaman
pendapat dari Ahcmad Ali. Indonesia realitas adanya hukum-hukum lokal
dan itu sangat identik dengan keberadaan common law, customary law, state
local law di Amerika Serikat.66
3. Kriteria Menentukan Wakil Kelas (Class Representatif) dan Kelas Besar pada
Gugatan Perwakilan
Konsep class action sudah sejak lama dianut di negara-negara yang
menganut tradisi hukum Anglo-Saxon, sedangkan di negara-negara yang
menganut tradisi sistem hukum Eropa continental seperti Indonesia dalam
hukum Acara Perdata HIR dan RBg tidak mengenalnya. Hukum Acara
Perdata di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon
64 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persefektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Cet. 1.2010, Jakarta, hal. 28.
65 Ahmad Rifai, Ibid, hal. 96. 66 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Yudicial Prudence,
Termasuk Interpretasi Undang-undang (Begesprudence), Edisi I Cet. Ke 2, Karisma Putra Utama, Jakarta Kencana, 2009, hal. 497.
telah secara tegas memberikan dasar bagi penerapan gugatan perwakilan (class
action). Ketentuan hukum yang mengatur class action dilakukan pada tahun 1966
setelah hukum acara perdata pada tingkat federal telah diubah dengan penambahan
Pasal 23 dari Federal Rule khusus yang terkait dengan prosedur class action.
Persyaratan class action yang pertama kali dikenal dalam Pasal 23 US. Federal of
Civil Procedure kemudian menjadi insfirasi penyusunan class action dibeberapa
negara termasuk Indonesia.
Pasal 23 Federal Rule menetapkan persyaratan class action sebagai berikut:
1. Numerasity (jumlah orang yang mengajukan sedemikian banyaknya)
Persyaratan pertama ini mensyaratkan class yang diwakili (class members) harus
sedemikian besar jumlahnya, sehingga apabila gugatan yang diajukan satu demi
satu (individual) sangat tidak praktis dan tidak efesien.
2. Commonality (kesamaan) artinya harus ada kesamaan fakta maupun question of
law untuk pihak yang mewakili dengan yang diwakili.
3. Typicality artinya tuntutan (bagi flaintiff class action), maupun pembelaan (bagi
defendant class action) dan seluruh anggota yang diwakili (class members)
haruslah sejenis.
4. Adequacy of representation (kelayakan perwakilan) persyaratan ini mewajibkan
perwakilan kelas (class representatif) untuk menjamin secara jujur dan adil serta
mampu melindungi kepentingan mereka yang diwakilkan.67
Menurut Mas Achmad Santosa memberi pengertian class action sebagai
berikut class action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan
permintaan injuction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam
jumlah yang tidak banyak), misal satu atau dua orang sebagai perwakilan class (class
action representative) mewakili
67 Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan, Cet. II, ICEL, Jakarta, 1998, hal. 10-11.
kepentingan mereka sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan
orang lainnya yang juga menjadi korban. Ratusan atau ribuan lainnya
diistilahkan dengan class members.68 Ketentuan class action yang diatur
dalam Pasal 23 Federal Rule of Procedure dikaitkan dengan Pasal 37
Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang UUPLH, menurut Siti Sundari
Rangkuti, gugatan kelompok merupakan bahan pemikiran bagi hukum acara
perdata mengenai lingkungan.69 Oleh karena gugatan perwakilan tidak
dikenal dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, sehingga pengaturan
terhadap prosedur class action oleh UUPLH jelas membutuhkan
penyesuaian yuridis hukum acara perdata yang berlaku dewasa ini.70
Dalam kaitannya menentukan class members dan class representative
tidak ada ketentuan yang tegas yang penting hanya mensyaratkan karbon
banyak orang ribuan bahkan jutaan. Berpedoman pada putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tahun 2000 dalam perkara dinaikkannya harga jual LPG
oleh pemerintah dan pertamina, konsumen merasa dirugikan dan
mengajukan gugatan ganti rugi dengan prosedur class action (hukum acara
gugatan perwakilan kelompok). Putusan No. 550/Pdt.G/2000/PN Jakarta
Pusat, class representative ialah 9 orang, class membersnya masyarakat
se-Jabotabek.
> Class members : masyarakat se-Jabotabek
> Class representative:
1. Class representative Jakarta Pusat
2. Class representative Jakarta Selatan
3. Class representative Jakarta Timur
4. Class representative Jakarta Barat
5. Class representative Jakarta Utara
68 Mas Achmad Santosa, Ibid, hal. 10. 69 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi II,
Airlangga University Press, 2000, hal. 318. 70 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Sttelement of Environmental Dispute), Cet.
I. Airlangga University Press, 1991, hal. 46.
6. Class representative Bekasi
7. Class representative Bogor
8. Class representative Tangerang, dan
9. Class representative Depok
Class representative (9 orang) ini yang menguasakan pada kuasa dan
kuasa akan mengumumkan akan ada gugatan class action.
4. Hubungan dan tanggung jawab hukum antara wakil kelas (class representatif) dengan
kelas besar (class members)
Gugatan perwakilan (Class Action) dalam sistem hukum Anglo Saxon di
Amerika Serikat dikenal dengan istilah Anglo America dan penerapannya dalam
kasus-kasus gugatan Class Action tidak ada ketentuan yang tegas, misalnya dalam
bentuk tertulis terhadap hubungan hukum antara komponen perwakilan kelas (Class
Representative) dengan anggota kelas (Class Members). Dalam praktek guagatan
perwakilan (Class Action) di Indonesia perwakilan kelas tersebut menguasakan pada
penasehat hukumnya apabila perwakilan kelas tersebut menghendaki. Pasal 123
HIR/147 RBg pihak materiil bisa langsung berhadapan di persidangan sehingga
perwakilan kelas dapat disebut sebagai pihak formil dan pihak materiil. Perumusan
Pasal tersebut sama dengan Class Action yang dikenal dalam sistem hukum Anglo
Saxon. Hubungan hukum yang selama ini beijalan dalam praktek Class Action dalam
sistem hukum Anglo Saxon adalah kejujuran yang dilandasi dengan itikad baik, oleh
karena perwakilan kelas (Class Representative) adalah sama-sama sebagai pihak
korban dengan Class Members. Perwakilan kelas sebagai pihak korban memiliki
kepentingan yang sama dengan anggota kelas dan tidak membuat surat kuasa khusus.
Demikian juga di Indonesia dalam kasus LPG yang telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya : Put.No.550/Pdt.G/
2000/PN.Jak.Pst, 9 Oktober 2001, perwakilan kelas tidak perlu membuat surat kuasa
khusus, dengan Option Out gugatan
perwakila cukup diumumkan saja dalam media masa (public notice).
Aspek-aspek hukum yang kemungkinan timbul terhadap hubungan hukum
tersebut antara perwakilan kelas dengan anggota kelas adalah dapat ditinjau
dari beberapa aspek hukum :
1. Aspek Hukum Perdata
1.1. Mempunyai tanggung jawab perdata yang sama antara perwakilan
kelas (Class Representative) dengan yang diwakilinya (Class
Members).
1.2. Akibat hukum yang timbul adalah pemberian kuasa antara
perwakilan kelas dengan anggota kelas atau pemberian tugas
diantara perwakilan kelas yang mewakili anggota kelas tanpa
menerima upah.
1.3. Penyimpangan dari tujuan Class Action yang asli dari sistem hukum
Anglo Saxon dapat menimbulkan pertanggung jawaban perdata dan
pidana yang berdiri sendiri.
2. Aspek Hukum Acara Perdata.
Perwakilan kelas (Class Representative) yang merupakan wakil dari
anggota kelas apabila dilengkapi dengan surat kuasa seperti dapat dilihat
dalani legal standing (hak gugat) dapat mengikat dan memberikan
jaminan kepastian hukum.
Dapat mengikat secara tegas agar perwakilan kelas sebagai wakil
bersungguh-sungguh memperjuangkan kepentingannnya, sebab tidak
menutup kemungkinan perwakilan kelas berhenti secara sepihak di
tengah jalan sementara perkara belum diputus. Dengan membuat kuasa
ini, perwakilan kelas dapat menguasakan melalui kuasa substitusi.
Sehingga akibat hukum yang timbul adalah timbulnya suatu perjanjian
yang mengikat antara perwakilan kelas dengan anggota kelas.
Menurut Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Reg. No.2884
K/Pdt/1984. tentang Lembaga Perwakilan (Representation) Lembaga
Perwakilan (Representation) dalam perkara ini sebagai representative
menurut hukum Anglo Saxon yang tidak sama dengan pemberian kuasa
(Vertegenwoordinging) seperti yang dikenai dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (B.W.) Menurut hukum Anglo Saxon, representative «berarti
seseorang yang bertindak/melakukan perbuatan hukum untuk orang lain
dengan wewenang atau fungsi yang khusus dengan tanggung jawab penuh.
Menurut hukum hal ini berarti dalam timbulnya wan prestasi, maka
representative tersebut langsung bertanggung jawab. Dalam gugatan
perwakilan, hubungan hukum perdata ini adalah merupakan hubungan kuasa
tetapi bukan kuasa dalam arti yang langsung penerima kuasa menerima
perintah dari pemberi kuasa. Kuasa dalam guagatan perwakilan adalah kuasa
tidak langsung. Perwakilan kelas memperoleh hak dan kewajiban sebagai
akibat dari perbuatannya, hanya kelihatannya perwakilan kelas tersebut
bertindak untuk dirinya sendiri tapi sesunggunya ia berbuat untuk diri orang
lain, perwakilanya tidak nampak tetapi perwakilannya tetap ada. Menurut
Pasal 4 PERMA No. 1 Tahun 2002, Untuk mewakili kepentingan kelompok
tidak dipersyaratkan memperoleh surata kuasa khusus dari anggota
kelompok. Hal ini dapat dimengerti oleh karena perwakilan kelas sama-sama
sebagai pihak korban juga sebagai pihak penggugat memperj uangkan
kepentingan yang sama. Apabila perwakilan keias melakukan perbuatan
melanggar hukum, dapat dipertanggung jawabkan dengan digugat
berdasarkan gugatan melanggar hukum yaitu melanggar kesusilaan yang baik
yang telah diakui dalam yurispudensi perumusan perbuatan nielanggar
hukum dalam arti yang luas berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
VIII. PENUTUP
Dari pembahasan sebelumnya dapat saya simpulkan sebagai berikut:
1. Simpulan
a. Dilihat dari dimensi ontologis bentuk hukum tanggung jawab mutlak (strict
liability) pada hakekatnya relevan diterapkan dalam penegakan hukum
lingkungan keperdataan.
b. Dilihat dari dimensi epistemologi bentuk hukum tanggung jawab mutlak
(strict liability) yang dikenal dalam tradisi sistem hukum Anglo Saxon untuk
dapat diintegrasikan dalam sistem hukum Indonesia khususnya dalam hukum
lingkungan keperdataan perlu mendapatkan kajian-kajian yang menyeluruh
(koprehensif), radikal spekulatif melalui aktivitas- aktivitas penelitian
melalui mitodologi dengan pengujian berulang-ulang.
c. Dilihat dari dimensi aksiologi bentuk hukum tanggung jawab mutlak (strict
liability) dan gugatan perwakilan (class action) sangat bermanfaat dan adil
beban pembuktian pada tergugat atau pembuktian berupa kesalahan sebagai
pihak pelaku usaha atau sebagai pihak pencemar yang usahanya
menimbulkan pencemaran mengandung limbah berbahaya dan beracun yang
dapat mengakibatkan rusaknya lingkungan dan kerugian ribuan bahkan
jutaan orang dan matinya makhluk hidup lainnya.
d. Dengan asas ius curia novit (hakim di anggap tahu hukum), dalam hal ini
harus berani mengadakan strict liability (tanggung jawab mutlak) dalam
prosedur beracara perdata di bidang pembuktian melalui penemuan hukum
(rechtsvinding)
e. Dalam menentukan wakil kelas (class representative) dan kelas besar (class
members) ditentukan oleh pihak-pihak korban dengan bimbingan dari hakim
dengan mengumumkan pada media akan ada gugatan perwakilan)
f. Hubungan hukum antara wakil kelas (class representative) dengan kelas
besar (class members) ialah hubungan hukum perdata yang terbit hak dan
kewajiban karena pihak wakil dan yang diwakili sama-sama sebagai pihak
korban.
g. Tanggung jawab hukum dari wakil kelas (class representative) dengan kelas
members (kelas besar) ialah terbit tanggung jawab perdata dan tanggung
jawab pidana, karena wakil kelas haruslah bertindak didasari dengan
kejujuran
2. Saran
Dapat saya sarankan bentuk hukum tanggung jawab mutlak (strict liability) dan
gugatan perwakilan (class action) perlu pengaturan yang kompehensif dalam
pembentukan Hukum Acara Perdata Nasional dan untuk mengatasi kekosongan
hukum hakim harus mengadakan dalam proses perkara perdata lingkungan
melalui penemuan hukum (rechts vinding)
Demikianlah makalah singkat ini dapat saya selesaikan sudah tentu kajian-
kajiannya masih dangkal, perlu petunjuk dari Bapak pengasuh mata kuliah filsafat
ilmu guna penyempurnaan makalah ini.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Yudicial Prudence, Termasuk Interpretasi Undang-undang (Begesprudence), Edisi I Cet. Ke 2, Karisma Putra Utama, Jakarta Kencana, 2009.
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persefektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Cet. 1.2010, Jakarta.
Antonius Cahyadi, E Fernando M. Manullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Cet. IV, 2011, Jakarta, Frenanda Media Group.
Atmadja, dalam I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, S tara Press Malang, 2010.
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafindo, Jakarta, 2008.
Fredrich Julius Stahl, (dalam I Dewa Gede Atmadja), Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Stara Press Malang, 2010.
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Cet. I, Jakarta, 2010.
H. Muh. Tahir Azhary, (dalam I Dewa Gede Atmadja), Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Stara Press Malang, 2010.
http://gilangkumi.blogspot.eom/2010/12/pelaksanaan prinsip-prinsip tanggung- iawab.html. tanggal 25-12-2012.
http://kardomantomangger.blogspot.com/2008/12/berbagai masalah lingkungan hidup html, diakses tanggal 10-12-2012.
http://negarahukumIndonesia.blogspot.com/, diakses tanggal 25-12-2012.
http://VeronikaKumururblogspot.com/2006/Q8/diakses tanggal 10-12-2012.
http://www.icel.or.id/penerapan asas tanggung jawab mutlak-strict liability di bidang lingkungan hidup, diakses tanggal 25-12-2012.
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Problematik Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Edisi Revisi, Setara Press Malang, 2010.
, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning and Legal Argumentation Introduction). Cet. I, Bali Age, 2009.
I.M. Koopmans, De Strafbarstelling Van Millien Veon Treening, Course in Environmental Law and Administration for Indonesian Jurist, Reiden Ministry of Housing, Spasial and Environment, 1998, (dalam Syahrul Machmud), Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana Menurut Undang- undang No. 32 Tahun 2009, Edisi Kedua, Cet. I, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Cet. Keenam, Malang, 2012.
, Gagasan Pengaturan Money Laundering di Indonesia (dalam Johny Ibrahim), Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Cet. Keenam, 2012, Malang.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999.
K. Barents, Sejarah Filsafat Yunani, (dalam Bernard L. Tanya, dkk.), Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Cet. III, Yogyakarta, 2010.
Kata Pengantar, Philip Alston, Fams Magnis Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia, Cet. I, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Isian Indonesia, Yogyakarta, 2008.
Koesnadi Hardjasoemantri (dalam Mohammad Taufik Makarao), Aspek-aspek Hukum Lingkungan, Penerbit PT. Indeks, Cet. 2, Jakarta, 2011, hal. 1. mengemukakan bahwa hukum lingkungan di Indonesia dapat dipenuhi aspek-aspek, aspek hukum tata lingkungan, hukum kesehatan lingkungan, hukum pencemaran lingkungan, hukum lingkungan transnasional atau internasional, hukum perselisihan lingkungan dan sebagainya sehingga dapat dimungkinkan terdapat aspek-aspek lainnya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pengolahan lingkungan hidup dimasa yang akan datang.
Komar Kantaatmadja, Dalam Kusnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan.
Kusnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII, Cet. XIX, Gajah Mada University Press, 2006.
Marhaeni Ria Siombo, Hukum Lingkungan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Penerbit PT. Gramedia. Pustaka utama, Jakarta, 2007.
Mas Achmad Santosa, et.al., Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, 1997.
___ , etal. Tanggung jawab mutlak (strict liability dibidang Lingkungan Hidup, ICEL 1997, ICEL, Cet.1,1997.
, Gugatan Perwakilan (class action), cet. I., Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia, ICEL. 1997.
, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan, Cet. II, ICEL, Jakarta, 1998.
, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Action), ICEL, 1997.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1995.
, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1986.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Press, Cet. 2, Mei 2011, Jakarta.
Montiquen dan Emanuel Kant, (dalam Bambang Sutiyoso), Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012.
Padmo Wahyono, (dalam I Dewa Gede Atmadja), Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Stara Press Malang, 2010.
Plato, (dalam Bernard L. Tanya, dkk), Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publising, Cet. III, 2010, Yogyakarta.
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi II, Airlangga University Press, 2000.
Socrates, (dalam Bernard L. Tanya, dkk), Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Cet. III, 2010, Yogyakarta.
Soeijono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. I, Liberty, Yogyakarta, 1993.
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Penerbit Alumni, Edisi I, Bandung, 1994.
Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Sttelement of Environmental Dispute), Cet. I. Airlangga University Press, 1991.
Susanti Adi Nugroho, Class Action dan Perbandingan dengan Negara lain, Kencana Prenada Media Group, Edisi I, Cet. I, Jakarta 2012.
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana Menurut UU No. 32 Tahun 2009, Edisi Kedua, Cet. I, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012.
Syahrul Mahmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana Menurut UU No. 32 tahun 2009, Edisi Kedua, Cet. 1,2012.
The Legal Philosphies of Lask, Rad Bruch, And Dabin, Cambridge. Massachiiusetts Harvard University Press, 1950.
Van Eikema Hommes, (dalam Bambang Sutiyoso), Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012.
Wiarda, (dalam Bambang Sutiyoso), Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012.
Yuyun S. Suriasumantri, Tentang Hakekat Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Gramedia, Cet. VI, 1985.