Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
p-ISSN 2354-8568 e-ISSN 2527-6565
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
Vol.7 No.1, Agustus 2019
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Hutan (BP2TPTH). Jurnal ini mempublikasikan hasil-hasil penelitian dari berbagai aspek perbenihan tanaman hutan,
meliputi pembangunan dan pengelolaan sumber benih, biologi reproduksi, ekologi dan biologi benih, teknologi penanganan
benih, teknologi perbanyakan vegetatif, kesehatan benih, teknik persemaian, pengujian mutu benih dan bibit, social, ekonomi
dan kebijakan perbenihan. Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan terbit dua kali setahun pada Bulan Agustus dan Desember, dan
telah terakreditasi oleh Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan-Kemenristek Dikti (Nomor akreditasi: 30/E/KPT/2018).
Akreditasi berlaku dari Vol.5 No.2 Desember Tahun 2017 sampai dengan Vol.10 No.1 Desember Tahun 2022.
Penanggung Jawab
Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi
Wakil Penanggung Jawab
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Dewan Redaksi Ketua Merangkap Anggota
Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si (Silvikultur) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Anggota
Dr. Dra. Dida Syamsuwida, M.Sc (Silvikultur / Produksi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Dr. Dede J. Sudrajat, S.Hut, MT (Silvikultur / Teknologi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Prof. Riset. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si (Silvikultur) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Prof. Riset. Dr. Ir. Budi Leksono, MP (Pemuliaan) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknogi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Dr. Sri Utami,S.P, M.Si (Silvikultur) Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Palembang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Mitra Bestari
Dato’ Dr. Marzalina Hj.Mansor (Genetik) Forest Research Institute Malaysia, Kepong, Malaysia
Dr. Ir. Supriyanto (Fisiologi Pohon) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.Sc.F.Trop (Genetik) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Dr. Ir. Muhdin, M.Sc (Statistika) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Dr. Ir. Trimuji Ermayanti (Biotek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indonesia Prof. Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS (Silvikultur) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Dr. Darwo (Biometrika) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Indonesia Dr.Ir. Nurul Khumaida, M.Si (Silvikultur) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Prof.Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS (Ilmu Agroforestri) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Dr.Ir. Arum Sekar Wulandari, MS (Mikrobiologi, Kultur Jaringan dan Bioteknologi Hutan) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Dr. Dede Rohadi (Ilmu Sosial) Center for International Forestry Research, Indonesia
Copyeditor
Ir. Danu, M.Si (Produksi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Ratna Uli Damayanti, S.Hut, M.Si (Kultur jaringan, Bioteknologi) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia
Fifi Gus Dwiyanti, S.Hut, M.Agr., Ph. D (Genetik) Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Layout Editor
Tri Astuti Wisudayati, S.E, M.S.E
Sekretariat Dewan Redaksi
Redaksi Pelaksana Ketua Merangkap Anggota
Endah Nurhidajati, S.E., M.Si
(Kepala Seksi Data Informasi dan Sarana Penelitian)
Anggota
Wahyuni Munasri, A.Md
Diterbitkan oleh
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan,
Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Terbit Pertama kali Agustus 1996 dengan judul Tekno Benih (ISSN 1410-1157), sejak Agustus 2003 berganti judul menjadi Info Benih (ISSN 1693-5314), dan sejak Agustus 2013 berganti judul menjadi
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan (ISSN 2354-8568)
Alamat
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Jl. Pakuan Ciheuleut P0 Box 105 Bogor, Telp./fax : (0251)8327768 Website : benih-bogor.litbang.menlhk.go.id
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
Vol. 7 No. 1, Agustus 2019
DAFTAR ISI
1. PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI
TERHADAP KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea
fragrans (Roxb.) Miq.)
(The Effect of Rooting and Acclimatization Media on the Success of
Acclimatization of Tembesu (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.))
Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan/and Ratna Uli Damayanti ... 1-12
2. BREEDING FOR BETTER GROWTH OF Calliandra calothyrsus Meissn., A
FAST GROWING LEGUME FOR WOOD-ENERGY
(Pemuliaan Perbaikan Pertumbuhan Calliandra calothyrsus Meissn., Tanaman
Cepat Tumbuh Jenis Legum Untuk Kayu Energi)
Rina Laksmi Hendrati and/ dan Siti Husna Nurrohmah ......................................... 13-20
3. PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH
TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT
MINDI (Melia azadarech Linn)
(The Effect of Seed Collection Time and Color Fruit to Germination Capacity
and Growth Seedling Mindi (Melia azadarech Linn))
Nurmawati Siregar dan/and Aam Aminah ................................................................ 21-30
4. TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN Mesua ferrea L. DAN
Swinglea glutinosa (Blanco) Merr.
(Storage Techniques of Recalcitrant Seeds: Mesua ferrea L. and Swinglea
glutinosa (Blanco) Merr.)
Dewi Ayu Lestari .................................................................................................. 31-44
5. PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI
EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON
(Pre Sterilization Effect towards the Success of the Initiation of Sengon Explant
Shoots)
Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan/and Yulianti
Bramasto ................................................................................................................ 45-54
6. PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP
PERKECAMBAHAN BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca
(Miq.) Dandy)
(Effect of Storage Condition and Periods on Seed Germination of Cempaka
Wasian (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy))
Arif Irawan dan/and Hanif Nurul Hidayah ............................................................... 55-65
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
p-ISSN 2354-8568 Vol.7 No.1, Agustus 2019
e-ISSN 2527-6565
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya
UDC/ODC 630*232.326.1 Ganis Citra Purmadewi
1, Arum Sekar Wulandari
1 dan/and Ratna Uli Damayanti
2 (
1) Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Kampus Institut Pertanian Bogor Darmaga, 2)
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan) PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP
KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)
J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 1-12
Aklimatisasi yaitu suatu upaya mengondisikan planlet atau tunas mikro hasil perbanyakan melalui
kultur jaringan ke lingkungan di luar botol. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh metode
pengakaran dan media aklimatisasi terhadap pertumbuhan planlet tembesu hasil kultur in vitro. Ada
dua percobaan yang dilakukan, yaitu (1) metode pengakaran (in vitro dan ex vitro) dan (2) jenis media
aklimatisasi (pasir 100 persen, cocopeat + sekam padi, pasir + cocopeat, pasir + sekam padi, dan pasir
+ cocopeat + sekam padi). Berdasarkan analisis data yang dilakukan dapat diketahui bahwa perlakuan
pengakaran berpengaruh nyata terhadap peubah pertumbuhan (persentase hidup dan jumlah akar)
pada tahap aklimatisasi tembesu. Persentase hidup planlet pada tahap aklimatisasi yang telah berakar
di dalam botol (in vitro) sebesar 80 persen dan planlet yang belum berakar (ex vitro) sebesar 75
persen, sedangkan pada tahap pasca aklimatisasi persentase hidup mencapai 75 persen untuk
pengakaran in vitro dan 67 persen untuk pengakaran ex vitro. Pengakaran in vitro memberikan
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pengakaran ex vitro, tetapi tanaman hasil pengakaran ex
vitro lebih tahan terhadap stres. Media yang paling baik untuk aklimatisasi tembesu adalah media
pasir 100 persen.
Kata kunci : media aklimatisasi, pengakaran ex vitro, pengakaran in vitro
UDC/ODC 630*232.138 Rina Laksmi Hendrati and/dan Siti Husna Nurrohmah (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan) BREEDING FOR BETTER GROWTH OF Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST GROWING
LEGUME FOR WOOD-ENERGY
J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 13-20
Short-rotation woody crops for renewable energy in anticipating decreasing fossil energy resources,
has been a great interest for tropical countries where rain and sunshine are abundant. Calliandra
calothyrsus, a multipurpose tree suitable for energy-wood is a very potential as short-rotation crop.
This nitrogen-fixing species can be utilized as energy-wood by planting once but is able to secure
annual harvest up to 15-20 years from its coppices. Beside that, this species supports earth vegetation
cover for mitigating climate change. This fast growing, high volume and quality species fulfills
requirement for energy needs as renewable wood biomass. In optimizing this role, its genetic
improvement was undertaken during 2011 - 2014 to obtain the best energy-wood individuals in
volume and quality. This study examined the growth-gain by comparing off spring of genetically
improved trees (5 families) selected in 2014 from progeny test in Wonogiri, Central Java, to five (5)
families from the unimproved ones. Significant differences on important growth characters have been
obtained at the age of 4-month plants ready for field plantation. Calliandra’s genetic improvement has
proven to increase the number of leaves, height, diameter and seedling quality up to 23.4 percent,
24.3 percent, 6.7 percent and 20 percent consecutively. More complete materials have been
established as realized genetic-gain trials in 2016. It is expected that similar trends will be realized in
the fields.
Keywords : Calliandra calothyrsus, energy-wood, genetic gain, improvement, plus trees
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
p-ISSN 2354-8568 Vol.7 No.1, Agustus 2019
e-ISSN 2527-6565
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya
UDC/ODC 630^232.318
Nurmawati Siregar dan/and Aam Aminah (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan)
PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH TERHADAP DAYA
BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)
J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 21-30
Tanaman mindi (Melia azedarach Linn) merupakan jenis serba guna dan mempunyai prospek yang baik untuk
dikembangkan dalam program hutan tanaman. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan
hutan tanaman adalah penggunaan benih bermutu. Benih yang baik dapat diperoleh dengan memanen buah
yang masak fisiologis. Salah satu indikator yang umum dan sering digunakan untuk menentukan masak
fisiologis buah adalah perubahan warna kulit buah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh masak
fisiologis buah terhadap daya berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi. Rancangan penelitian yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial, terdiri dari 2 faktor yaitu waktu pengunduhan dan
warna buah. Pengunduhan dilakukan 3 kali dengan selang waktu pengunduhan 10 hari. Warna kulit buah
dibedakan atas warna hijau, kuning dan cokelat. Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 50 benih yang diulang
4 kali. Respons pertumbuhan yang diamati adalah: daya berkecambah, persen hidup bibit, tinggi bibit,
diameter bibit, panjang akar, berat kering, ratio tunas dengan akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna
buah berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi. Warna buah kuning dan
cokelat memberikan hasil terbaik untuk daya berkecambah, sedangkan untuk persen tumbuh bibit, tinggi bibit,
panjang akar berat kering dan rasio tunas akar warna buah kuning mempunyai nilai tertinggi. Untuk diameter
bibit warna buah hijau dan kuning lebih baik daripada warna buah yang cokelat. Pengunduhan buah mindi
sebaiknya dilakukan saat buah berwarna kuning pada setiap pengunduhan.
Kata kunci : benih, masak fisiologis, Melia azedarach Linn, pengumpulan
UDC/ODC 630*232.315
Dewi Ayu Lestari (Kebun Raya Purwodadi-Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, LIPI)
TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa
(Blanco) Merr.
J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 31-44
Mesua ferrea L. dan Swinglea glutinosa (Blanco) Merr. merupakan dua jenis tumbuhan dengan karakter benih
yang bersifat rekalsitran. Benih rekalsitran cenderung memiliki permasalahan pada penyimpanan karena tidak
tahan disimpan dalam jangka waktu yang lama. Metode penyimpanan yang tepat menjadi sangat diperlukan
dalam usaha konservasi benih rekalsitran. Metode penyimpanan menggunakan 3 perlakuan yaitu media simpan,
waktu simpan dan ruang simpan yang dianalisis menggunakan rancangan faktorial dengan ulangan 2 kali.
Masing-masing kombinasi perlakuan diuji kadar air benih, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan benih.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkecambahan benih M. ferrea mampu dipertahankan hingga sebesar 55
persen― 90 persen jika disimpan dalam media penyimpanan botol kaca bersilika dan ruang penyimpanan di
suhu ruang maupun di dalam freezer, selama 2 bulan penyimpanan. Benih S. glutinosa memiliki persentase
perkecambahan dalam rentang 83,33 persen―93,33 persen setelah disimpan selama 1 bulan dalam suhu ruang,
dibungkus dengan aluminium foil atau dimasukkan ke dalam botol kaca bersilika dan disimpan di bawah suhu
freezer. Berdasarkan hasil pengujian tersebut maka kedua jenis benih yang diuji merupakan benih rekalsitran
yang tidak tahan disimpan dalam jangka waktu lama.
Kata kunci : benih, Mesua ferrea, penyimpanan, rekalsitran, Swinglea glutinosa
JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
p-ISSN 2354-8568 Vol.7 No.1, Agustus 2019
e-ISSN 2527-6565
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya
UDC/ODC 630*168
Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan/and Yulianti Bramasto (Balai Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan)
PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI EKSPLAN
YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON
J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 45-54
Sengon dikenal sebagai produk hutan yang memiliki berbagai manfaat. Permintaan pasar yang tinggi akan
sengon mendorong perlunya upaya budidaya yang berkelanjutan. Kultur jaringan merupakan salah satu metode
perbanyakan untuk mendapatkan bibit dalam jumlah banyak dengan waktu singkat. Salah satu faktor yang
mendukung keberhasilan perbanyakan adalah kesehatan bahan tanaman. Tujuan penelitian untuk mengetahui
pengaruh perlakuan prasterilisasi terhadap keberhasilan inisiasi organogenesis eksplan pucuk sengon. Metode
penelitian dilakukan dengan penyemprotan Pyraclostrobin 50 g.kg -1
+ Metiram 550 g.kg -1
dengan dosis 2.500
ppm pada bibit sengon di rumah kaca setiap 1 minggu sekali selama 3 bulan. Semua eksplan selanjutnya
ditanam pada media MS. Pengamatan 1 minggu sekali selama 12 minggu, meliputi jumlah kontaminasi
(bakteri, jamur), pencoklatan serta pemunculan tunas, akar, dan kalus. Data dianalisis dengan uji t. Tahapan
selanjutnya adalah multiplikasi dengan perlakuan : 24D 0,1 mM, 24D 0,5 mM, BAP 0,5 mM, BAP 2 mM, K
0,1 mM, K 0,5 mM, TDZ 0,1 mM, TDZ 0,5 mM, dan kontrol. Rancangan penelitian yang digunakan rancangan
acak lengkap (RAL). Data pengamatan multiplikasi dianalisis menggunakan analisis varian satu arah,
selanjutnya diuji dengan Duncan, taraf signifikansi 0,05. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan prasterilisasi
mampu mendukung keberhasilan inisiasi eksplan pucuk sengon, yang dicirikan dengan rendahnya tingkat
kontaminasi, meningkatnya jumlah kalus dan jumlah tunas eksplan. Penambahan kinetin 0,01 mM dalam
media multiplikasi pucuk sengon dapat meningkatkan tunas adventif.
Kata kunci : eksplan, kultur jaringan, Paraserianthes moluccana, planlet
UDC/ODC 630^232.318
Arif Irawan dan/and Hanif Nurul Hidayah (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado)
PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH
CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy) J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 55-65
Cempaka wasian (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy) merupakan salah satu jenis kayu pertukangan yang
banyak diminati masyarakat di Sulawesi Utara. Pengembangan jenis cempaka wasian terkendala oleh
ketidakmampuan benih untuk dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi dan periode simpan yang paling sesuai bagi benih cempaka wasian. Penelitian
menggunakan Rancangan Faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap dengan faktor utama adalah kondisi dan
periode simpan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peiode dan ruang simpan memberikan pengaruh terhadap
kadar air benih, laju perkecambahan, dan indeks vigor benih cempaka wasian, namun tidak berpengaruh
terhadap daya berkecambahnya. Kondisi simpan pada ruang AC (suhu 18oC―21
oC; kelembapan 51
persen―61persen) merupakan kondisi yang paling ideal untuk penyimpanan benih cempaka wasian. Benih
cempaka wasian termasuk dalam kategori benih intermediet karena perlakuan periode simpan selama 4 (empat)
minggu tidak memberikan pengaruh terhadap daya berkecambahnya walaupun kadar air benihnya telah
menurun.
Kata kunci : cempaka wasian, kondisi, periode, perkecambahan
PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP
KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)
Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti
*Kontribusi penulis: Ganis Citra Purmadewi sebagai kontributor utama
© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.1-12 1
PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP
KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)
(The Effect of Rooting and Acclimatization Media on the Success of Acclimatization of Tembesu
(Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.))
*Ganis Citra Purmadewi
1, Arum Sekar Wulandari
1 dan/and Ratna Uli Damayanti
2
1)
Departemen Silvikultur,Fakultas Kehutanan, Kampus Institut Pertanian Bogor Darmaga, Jl. Meranti, Babakan, Dramaga, Kode Pos 16680, Bogor, Indonesia
2)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Indonesia
e-mail: [email protected]
Naskah masuk: 17 April 2018; Naskah direvisi: 19 September 2018; Naskah diterima: 21 November 2018
ABSTRACT
Acclimatization is an attempt to conditioning the plantlets or micro shoots propagated by tissue culture to the
environment outside the bottle. This study aims to know the effect of rooting and media acclimatization on the
growth of tembesu plantlets in vitro cultures. Two experiments were conducted, these were (1) rooting (in vitro
and ex vitro), and (2) type of acclimatization media ( 100% sand, cocopeat + rice husk, sand + cocopeat , sand,
rice husk, and sand + cocopeat + rice husk). Based on the data analysis rooting significantly affects the
variables growth (percentage of survival and the number of roots) at the acclimatization stage of tembesu.The
percentage of planlets survival in the acclimatization are 80percent for in vitro rooting and 75percent for ex
vitro rooting, while on stage after acclimatization percentage of survival are 75 percent for in vitro rooting and
67 percent for ex vitro rooting. In vitro rooting have a better growth than ex vitro rooting, but the plants grown
from ex vitro rooting are more resistant to stress. The best acclimatization media for tembesu is 100 percent of
sands.
Keywords: acclimatization media, ex vitro rooting, in vitro rooting
ABSTRAK
Aklimatisasi yaitu suatu upaya mengondisikan planlet atau tunas mikro hasil perbanyakan melalui kultur
jaringan ke lingkungan di luar botol. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh metode pengakaran dan
media aklimatisasi terhadap pertumbuhan planlet tembesu hasil kultur in vitro. Ada dua percobaan yang
dilakukan, yaitu (1) metode pengakaran (in vitro dan ex vitro) dan (2) jenis media aklimatisasi (pasir 100 persen,
cocopeat + sekam padi, pasir + cocopeat, pasir + sekam padi, dan pasir + cocopeat + sekam padi). Berdasarkan
analisis data yang dilakukan dapat diketahui bahwa perlakuan pengakaran berpengaruh nyata terhadap peubah
pertumbuhan (persentase hidup dan jumlah akar) pada tahap aklimatisasi tembesu. Persentase hidup planlet pada
tahap aklimatisasi yang telah berakar di dalam botol (in vitro) sebesar 80 persen dan planlet yang belum berakar
(ex vitro) sebesar 75 persen, sedangkan pada tahap pasca aklimatisasi persentase hidup mencapai 75 persen
untuk pengakaran in vitro dan 67 persen untuk pengakaran ex vitro. Pengakaran in vitro memberikan
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pengakaran ex vitro, tetapi tanaman hasil pengakaran ex vitro lebih
tahan terhadap stres. Media yang paling baik untuk aklimatisasi tembesu adalah media pasir 100 persen.
Kata kunci : media aklimatisasi, pengakaran ex vitro, pengakaran in vitro
I. PENDAHULUAN
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)
merupakan salah satu jenis dari famili
Gentianaceae yang memiliki wilayah
penyebaran alami sangat luas. Tembesu
tersebar mulai dari Indomalaysia sampai ke
Birmania (Jonville et al., 2008) sedangkan di
Indonesia tembesu tumbuh tersebar secara
Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
2
alami di beberapa wilayah seperti Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku,
dan Irian Jaya (Mindawati, Nurohmah &
Akhmad, 2014). Secara ekologi, tembesu
merupakan jenis tanaman pionir yang dapat
tumbuh di areal bekas terbakar dan padang
rumput, sedangkan secara ekonomi kayu
tembesu dapat digunakan untuk kayu
konstruksi bangunan, jembatan, tiang listrik,
dan furniture serta bagian kulit batang dan daun
dari jenis ini dapat digunakan sebagai obat-
obatan (Putra,Manuri,Heriyanto & Sibagariang,
2011).
Sumber utama kayu tembesu saat ini masih
mengandalkan tegakan alam. Akan tetapi,
belum ada upaya budidaya yang dilakukan
masyarakat sehingga populasi tembesu di alam
terus menurun. Perbanyakan tembesu dapat
dilakukan secara generatif maupun vegetatif.
Perbanyakan vegetatif yang dapat dilakukan
salah satunya adalah dengan teknik kultur
jaringan. Salah satu tahap yang menentukan
keberhasilan budidaya tanaman dengan teknik
kultur jaringan adalah aklimatisasi, yaitu suatu
upaya mengondisikan planlet atau tunas mikro
hasil perbanyakan kultur jaringan ke
lingkungan di luar botol atau pembiasaan
tanaman eksplan dari media botol ke media
tanah (Yuliarti, 2010). Syarat media
aklimatisasi secara umum adalah tidak menjadi
sumber penyakit bagi tanaman, memiliki aerasi
dan drainase yang baik, cukup halus, dan dapat
memegang air dengan baik.Media yang dapat
digunakan untuk aklimatisasi contohnya adalah
sekam bakar, cocopeat, serbuk pakis, dan moss
(Sandra, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji pengaruh metode pengakaran dan
jenis media aklimatisasi terhadap keberhasilan
aklimatisasi tembesu hasil kultur in vitro.
II. BAHAN DAN METODE
A. Alat dan Bahan
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Februari sampai dengan Oktober 2017.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur
Jaringan dan Rumah Kaca Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah eksplan steril sebanyak 2 botol dari
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan (BP2TPTH) Bogor
berumur 3 bulan dan 4 bulan, tissue, plastik
wrap, pasir, cocopeat, sekam padi, dan pupuk
daun. Bahan kimia yang digunakan yaitu
komponen media dasar Murisage and Skoog
(MS), zat pengatur tumbuh (ZPT) berupa 6-
benzylaminopurine (BAP) dan naphthalene
acetic acid (NAA). Bahan sterilan yaitu
fungisida (bahan aktif: benomil 50,4 persen,
bakterisida (bahan aktif: streptomisin sulfat 20
persen), alkohol 70 persen dan aquades steril.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah botol kultur, gelas ukur, labu ukur,
PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP
KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)
Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti
3
cawan petri, pipet, sendok pengaduk, gunting,
pinset, skalpel, bunsen, sprayer, pH meter,
timbangan analitik (ketelitian 10-4
), magnetic
stirrer dan hot plate, oven, autoklaf, laminar
air flow cabinet (LAFC), ruang
transfer/subkultur, ruang kultur, pot tray, dan
sungkup.
B. Prosedur Penelitian
1. Sterilisasi alat, bahan, dan lingkungan
kerja
Alat-alat logam (pinset dan skalpel), cawan
petri, botol kultur serta bahan seperti tissue
dibungkus kertas atau plastik disterilkan
menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC selama
15 menit. Alat-alat disimpan dalam oven
dengan suhu 60°C sampai alat tersebut akan
digunakan. Alat logam disterilisasi sesaat
sebelum digunakan dengan dicelupkan ke
dalam alkohol 70 persen lalu dipanaskan di atas
bunsen yang menyala untuk memperkecil
kemungkinan adanya kontaminasi.
Kegiatan multiplikasi dilakukan dalam
LAFC yang sebelumnya telah disemprot
alkohol 70 persen pada permukaan dan
dindingnya. Tangan pekerja disterilisasi dengan
menyemprotkan alkohol 70 persen dan selalu
menggunakan jas laboratorium serta masker di
ruang kultur untuk menghindari kontaminasi
yang berasal dari pekerja.
2. Penyediaan air steril dan pembuatan
media
Air yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan air mineral yang disterilkan dalam
autoklaf pada suhu 121°C selama 30 menit. Air
steril disimpan dalam ruang penyimpanan
kultur. Media yang digunakan dalam kegiatan
multiplikasi tembesu adalah media modifikasi
MS dengan kandungan nitrogen sebesar 60
mmol dan perbandingan NO3:NH4+ = 3:1 (v/v)
(MS N60) ditambah dengan BAP sebanyak 0,1
ppm, sedangkan media yang digunakan pada
tahapan elongasi dan pengakaran in vitro
adalah media ½ MS ditambah dengan arang
aktif 1 g.l-1
(Damayanti et al., 2017). Media
disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu
121°C selama 20 menit, kemudian disimpan
dalam ruang kultur.
3. Multiplikasi, elongasi, dan aklimatisasi
Multiplikasi dilakukan dengan cara
memindahkan seluruh bagian (daun dan tunas)
yang telah dipotong setiap ruasnya ke dalam
media MS N60 ditambah dengan BAP
sebanyak 0,1 ppm (Ardiansyah, 2015).
Elongasi dilakukan pada tunas hasil
multiplikasi yang ditanam dalam media ½ MS
ditambah dengan arang aktif 1 g.l-1
media.
Aklimatisasi dilakukan dalam 2 percobaan,
yaitu percobaan pertama untuk
membandingkan metode pengakaran yang lebih
tepat digunakan pada tahap aklimatisasi
tembesu, serta percobaan kedua untuk
mengkaji jenis media yang paling tepat
digunakan pada tahap aklimatisasi tembesu.
Percobaan 1
Media yang digunakan adalah pasir 100
persen yang telah disterilisasi menggunakan
Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
4
autoklaf. Planlet yang dipilih adalah planlet
dengan tinggi lebih dari 2 cm, yang telah
berakar dan yang belum berakar pada tahap
elongasi. Planlet dikeluarkan dari ruang
inkubasi selama 2 hari―3 hari untuk
menyesuaikan kondisi dari ruangan ber-AC.
Planlet dikeluarkan dari botol kultur, kemudian
dicuci dengan air sampai media yang
menempel hilang. Planlet yang telah bersih
direndam dalam larutan bakterisida dan
fungisida masing-masing sebanyak 1 g.l-
1selama 15 menit, kemudian ditanam dalam
media aklimatisasi dan ditutup dengan sungkup
plastik. Wadah aklimatisasi yang digunakan
adalah pot tray dengan 24 kotak tanam, dalam
setiap lubang ditanam 1 eksplan. Percobaan
pertama dilakukan dengan menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu
faktor yaitu metode pengakaran. Metode
pengakaran terdiri atas 2 taraf yaitu pengakaran
di dalam botol (in vitro) dan di luar botol (ex
vitro). Masing-masing perlakuan diulang
sebanyak 4 kali, 1 ulangan terdiri atas 6 planlet.
Percobaan 2
Percobaan kedua dilakukan dengan
tahapan yang hampir sama dengan percobaan
pertama. Planlet yang digunakan adalah planlet
yang belum berakar hasil tahap elongasi.
Planlet yang telah direndam dengan bakterisida
dan fungisida, selanjutnya bagian pangkalnya
direndam menggunakan ZPT NAA 0,5 g.l-1
selama 15 menit. Planlet yang telah direndam
menggunakan NAA selanjutnya ditanam
dengan perlakuan jenis media yaitu:
M1 = pasir 100 persen
M2 = kombinasi cocopeat dan sekam padi
dengan perbandingan 2:1 (v/v)
M3 = kombinasi pasir dan cocopeat dengan
perbandingan 2:1 (v/v)
M4 = kombinasi pasir dan sekam padi dengan
perbandingan 2:1 (v/v)
M5 = kombinasi pasir, cocopeat, dan sekam
padi dengan perbandingan 2:1:1 (v/v).
Percobaan dilakukan menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu
faktor yaitu jenis media aklimatisasi. Jenis
media aklimatisasi terdiri atas 5 taraf dengan
masing-masing perlakuan diulang sebanyak 6
kali, 1 ulangan terdiri atas 4 planlet.
4. Pemeliharaan
Pot tray ditutup dengan sungkup plastik
dan diletakkan di bawah naungan pinus.
Penyiraman secara langsung dilakukan saat
sebelum penanaman, selanjutnya dilakukan
secara fogging untuk mempertahankan
kelembaban. Pupuk yang digunakan adalah
pupuk daun dengan konsentrasi 2 g.l-1
air.
Pemberian pupuk dilakukan satu minggu sekali
menggunakan handsprayer. Suhu dan
kelembaban diukur setiap hari pada pukul
08.00 WIB―09.00 WIB, 12.00 WIB―13.00
WIB, dan 16.00 WIB―17.00 WIB dengan
suhu lingkungan rata-rata pada penelitian
PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP
KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)
Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti
5
adalah 25°C―29
°C dan kelembaban relatif 92
persen. Sungkup dibuka secara bertahap mulai
dari planlet berakar dan disesuaikan dengan
kondisi tanaman (layu atau tidak).
C. Analisis Data
Data yang diperoleh dari pengamatan diuji
dengan analisis ragam (uji F). Perbedaan yang
berpengaruh nyata pada uji F diuji lanjut
dengan menggunakan Duncan Multiple Range
Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5 persen.
Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan software SAS versi 9.1.3
portable.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Metode Pengakaran. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan selama 12 minggu
aklimatisasi, didapatkan hasil yang kemudian
dianalisis menggunakan analisis ragam
(ANOVA).
Tabel 1 menunjukkan bahwa faktor metode
pengakaran berpengaruh terhadap pertumbuhan
planlet hasil kultur jaringan pada tahap
aklimatisasi terutama pada peubah persentase
hidup dan jumlah akar primer. Persentase hidup
planlet yang telah berakar di dalam botol (in
vitro) sebesar 80 persen sedangkan planlet yang
belum berakar (ex vitro) memiliki persentase
75 persen. Planlet yang hidup hingga akhir
pengamatan seluruhnya telah berakar dan
bertunas. Hal ini menunjukkan bahwa
aklimatisasi tanaman tembesu (baik pengakaran
in vitro atau ex vitro) memiliki keberhasilan
yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya yang hanya mencapai
persentase hidup tertinggi sebesar 53 persen
(Damayanti et al., 2017).
Tabel (Table) 1. Pengaruh pengakaran terhadap persentase hidup, persentase berakar, persentase
bertunas, waktu muncul tunas, jumlah akar, dan panjang akar tembesu (The effect of
rooting on the percentage of survival, percentage of rooting, percentage of
shooting, number of root, and root length of tembesu)
Peubah pengamatan/
Variable of observation
Pengakaran/Rooting
in vitro ex vitro
Persentase hidup (Percentage of survival) (%) 80,00a 75,00
b
Persentase berakar (Percentage of rooting) (%) 100,00a
100,00a
Persentase bertunas (Percentage of shooting) (%) 100,00a
100,00a
Waktu muncul tunas (Time of shooting) (minggu ke-) (week to) 2,95a
3,76a
Jumlah akar (Number of root) 4,90a 2,90
b
Panjang akar (Root length) (cm) 5,55a 4,40
a
Keterangan (Remarks): Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
uji Duncan nilai-p < α (0.05) (Number followed by the same letter in the same row are not
significanly different based on Duncan test at p-value < α (0.05)).
Waktu muncul tunas pada perlakuan
pengakaran secara in vitro dan ex vitro tidak
berbeda nyata. Akan tetapi, berdasarkan rata-
rata waktu muncul tunas, pada planlet hasil
Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
6
pengakaran in vitro lebih cepat kemunculan
tunasnya (minggu ke-2 sampai minggu ke-3)
dibandingkan dengan planlet yang belum
berakar (minggu ke-3 sampai minggu ke-4).
Planlet yang dilakukan pengakaran secara ex
vitro mulai muncul akar pada 2 MST, sehingga
waktu munculnya tunas lebih lambat
dibandingkan dengan planlet yang telah berakar
di dalam botol (in vitro).
Pembukaan sungkup dilakukan secara
bertahap setelah seluruh tanaman berakar, yaitu
pada 3 MST. Pada awal pembukaan sungkup,
planlet hanya bertahan sekitar 1 jam kemudian
layu. Sungkup dapat terbuka sepenuhnya saat
planlet berumur 9 MST, akan tetapi planlet
masih membutuhkan naungan hingga akhir
pengamatan.
Gambar (Figure) 1. Pengamatan akar tembesu : (a) perbandingan tunas dan akar pada perlakuan
pengakaran ex vitro dan in vitro, (b) akar adventif pada pengakaran in vitro, dan
(c) akar adventif pada pengakaran ex vitro (Root observation of tembesu : (a)
comparison of roots and shoot of ex vitro and in vitro rooting, (b) adventitious
roots of in vitro rooting, (c) adventitious roots of ex vitro rooting)
Faktor metode pengakaran juga
berpengaruh nyata pada peubah jumlah akar
primer. Akar primer berupa akar adventif yang
dihasilkan pada perlakuan pengakaran secara in
vitro (4,90) lebih banyak dibandingkan dengan
perlakuan pengakaran secara ex vitro (2,90)
(Gambar 1a). Akar adventif adalah akar yang
berkembang dari pangkal batang (Aak, 2010).
Perlakuan pengakaran tidak berpengaruh nyata
pada peubah panjang akar. Planlet hasil
pengakaran secara in vitro memiliki jumlah
akar yang lebih banyak dan akar yang lebih
panjang (Gambar 1b) dibandingkan dengan
planlet hasil pengakaran secara ex vitro
(Gambar 1c). Setelah siap sapih, tanaman hasil
aklimatisasi dipindahkan ke polibag untuk
dipelihara menjadi bibit.
Berdasarkan pengamatan selama 4 minggu
(a)
(b)
(c) 3 cm
In vitro Ex vitro
0.5 cm
0.5 cm
PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP
KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)
Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti
7
setelah aklimatisasi, bibit tembesu hasil
pengakaran secara in vitro sudah mampu
bertahan di luar sungkup. Peubah pertumbuhan
yang diamati pada tahap aklimatisasi adalah
persentase hidup, jumlah akar, dan panjang
akar yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel (Table) 2. Pengaruh pengakaran terhadap persentase hidup, jumlah akar, dan panjang akar
tembesu pada tahap pasca aklimatisasi (The effect of rooting on the percentage of
survival, percentage of rooting, percentage of shooting, number of root, and root
length of tembesu at post acclimatization stage)
Peubah pengamatan/Variable of observation Pengakaran/Rooting
in vitro ex vitro
Persentase hidup (Percentage of survival) (%) 75,00a 67,00
b
Jumlah akar (Number of root) 7,30a
5,10b
Panjang akar (Root length) (cm) 6,45a
4,70b
Keterangan (Remarks): Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
uji Duncan nilai-p < α (0.05)(Number followed by the same letter in the same row are not
significanly different based on Duncan test at p-value < α (0.05)).
Berdasarkan data yang dihasilkan pada
Tabel 2, perlakuan waktu pengkaran berbeda
nyata pada peubah persentase hidup, jumlah
akar primer, dan panjang akar. Pengakaran in
vitro memiliki persentase hidup yang lebih
tinggi jika dibandingkan ex vitro. Perlakuan
pengakaran in vitro menghasilkan pertumbuhan
kuantitatif yang lebih baik dibandingkan
pengakaran ex vitro. Pengakaran in vitro juga
memiliki jumlah akar primer lebih banyak dan
akar yang lebih panjang dibandingkan
pengakaran ex vitro.
Media Aklimatisasi. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan selama 3 MST,
didapatkan hasil persentase hidup pada masing-
masing jenis media aklimatisasi yang dapat
dilihat pada Tabel 3. Perlakuan jenis media
pasir 100 persen memiliki persentase hidup
paling tinggi yaitu 42 persen, sedangkan
persentase hidup terendah pada perlakuan jenis
media cocopeat + sekam padi dan pasir + sekam
padi yaitu sebesar 16 persen.
Data pengamatan yang disajikan hanya
persentase hidup sampai planlet berumur 3 MST
karena pada 4 MST sebagian besar planlet mati
disebabkan oleh serangan cendawan dan
bakteri, sebelum planlet berakar dan bertunas.
Pada perlakuan jenis media pasir 100 persen,
planlet yang mati seluruhnya terserang oleh
bakteri dicirikan dengan planlet yang busuk
berlendir dan berbau busuk, sedangkan untuk
perlakuan jenis media yang lainnya, planlet
terserang oleh cendawan, dicirikan dengan
adanya miselium yang berasal dari media
maupun dari planlet tersebut. Hingga akhir
pengamatan percobaan 2 (12 MST) hanya satu
planlet yang masih dalam keadaan segar (daun
berwarna hijau) akan tetapi tidak tumbuh akar
maupun tunas, yaitu pada media cocopeat
ditambah dengan sekam padi.
Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
8
Tabel (Table) 3. Pengaruh media aklimatisasi
terhadap persentase hidup
planlet tembesu 3 MST (The
effect of acclimatization
media on the percentage of
survival of tembesu planlet 3
weeks after planting)
Perlakuan (Treatments) Persentase hidup
(Percentage of
survival) (%)
Pasir 100% (sand 100%) 42
Cocopeat dan sekam padi
(cocopeat and rice husk)
16
Pasir dan cocopeat (Sand
and cocopeat)
33
Pasir dan sekam padi (Sand
and rice husk)
16
Pasir, cocopeat, dan sekam
padi (Sand, cocopeat, and
rice husk) 21
B. Pembahasan
Aklimatisasi adalah suatu upaya
mengondisikan planlet atau tunas mikro hasil
perbanyakan melalui kultur jaringan ke
lingkungan di luar botol atau pembiasaan
tanaman eksplan dari media botol ke media
tanah (Yuliarti, 2010). Oleh karena itu,
aklimatisasi memerlukan penanganan khusus,
bahkan diperlukan modifikasi terhadap kondisi
lingkungan terutama suhu, kelembaban, dan
intensitas cahaya. Suhu lingkungan rata-rata
pada penelitian adalah 25°C―29
°C dengan
kelembaban relatif 92 persen sehingga sesuai
untuk aklimatisasi. Menurut Silalahi, (2007)
lingkungan yang sesuai untuk tahap aklimatisasi
adalah lingkungan dengan suhu berkisar antara
27°C―29
°C dan kelembaban tinggi (>85
persen).
Metode Pengakaran. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan selama 12 MST,
perlakuan metode pengakaran berpengaruh
nyata terhadap peubah persentase hidup dan
jumlah akar. Planlet yang hidup hingga akhir
pengamatan seluruhnya telah berakar dan
bertunas. Menurut (Martin, 2002) keberhasilan
dan efektivitas aklimatisasi bergantung pada
persentase pengakaran dan kelangsungan hidup
planlet dalam kondisi lapangan. Oleh karena itu,
walaupun memiliki persentase hidup, persentase
berakar, dan persentase bertunas yang berbeda
nyata, aklimatisasi pada kedua perlakuan dapat
dinyatakan berhasil.
Akar pada perlakuan pengakaran ex vitro
mulai muncul pada 2 MST dan seluruh planlet
telah berakar pada 3 MST. Tunas pada
perlakuan pengakaran secara in vitro lebih cepat
muncul dibandingkan dengan perlakuan
pengakaran secara ex vitro. Hal ini
menunjukkan bahwa pada perlakuan
pengakaran ex vitro, akar terbentuk terlebih
dahulu dibandingkan dengan tunas. Jika tunas
yang tebentuk lebih dahulu, menggambarkan
bahwa pembentukan akar memerlukan senyawa
tumbuh yang mendukung untuk terbentuknya
primordia akar, yaitu hormon auksin yang
dihasilkan pada bagian pucuk tanaman.
Tanaman yang menghasilkan akar terlebih
dahulu menunjukkan bahwa auksin endogen dan
cadangan makanan pada tanaman masih cukup
untuk pembentukan akar (Sparta, Andini &
PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP
KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)
Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti
9
Rahman, 2012). Demastiti (2015) menyatakan
bahwa faktor tanaman yang mempengaruhi
keberhasilan hidup dan berakar antara lain
adalah macam bahan stek, kandungan bahan
makanan, umur bahan stek, dan kandungan zat
tumbuh. Cadangan makanan yang dimiliki oleh
tanaman telah mencukupi untuk pertumbuhan
tanaman hingga mampu berakar. Hal ini dapat
terjadi karena planlet tembesu masih
menyisakan daun yang merupakan organ
pembentuk karbohidrat melalui proses
fotosintesis. Selain itu, faktor yang dapat
mempengaruhi kemunculan akar adalah jenis
media pada tahap elongasi. Penambahan arang
aktif pada media ½ MS berperan untuk
merangsang muculnya akar, sehingga ketika
planlet yang belum berakar dipindahkan ke
media aklimatisasi, planlet langsung
membentuk akar dibandingkan dengan
pembentukan tunas.
Aklimatisasi pada percobaan 1 tidak
menggunakan penambahan ZPT auksin,
sehingga berdasarkan pengamatan, kandungan
auksin endogen pada planlet tembesu masih
mampu untuk menginduksi pembentukan akar
adventif. Keberadaan hormon endogen dan
auksin diperlukan dalam pembentukan akar dan
sel lainnya (Qurataayun, 2011). Pemberian
hormon eksogen dilakukan apabila hormon
endogen yang dimiliki oleh tanaman itu sendiri
tidak tercukupi.
Jumlah akar yang dihasilkan pada
pengakaran secara in vitro lebih banyak jika
dibandingkan dengan pengakaran secara ex
vitro. Hal ini disebabkan akar in vitro telah
dihasilkan terlebih dahulu pada media yang
mengandung nutrisi dan kondisi lingkungan
yang telah dimodifikasi dan sesuai untuk
pengakaran, sedangkan pengakaran secara ex
vitro dilakukan bersamaan dengan tahap
aklimatisasi dimana ketersediaan nutrisi media
yang sangat rendah (pasir 100 persen) sehingga
kurang mendukung untuk pertumbuhan akar.
Tanah pasir merupakan tanah yang tidak subur,
kandungan unsur hara rendah dan tidak
produktif untuk pertumbuhan tanaman
(Hanafiah, 2005).
Pemanjangan akar dipengaruhi oleh
kandungan hormon auksin pada tanaman.
Berdasarkan pengamatan pengakaran secara in
vitro (tahap elongasi dan pengakaran) auksin
endogen pada tembesu mampu membentuk
akar, akan tetapi memiliki persentase berakar
yang rendah. Auksin endogen mampu memicu
pembentukan akar pada perlakuan pengakaran
secara ex vitro, tetapi akar tidak
memanjang.Selain itu suplai nutrisi juga
berpengaruh dalam pengakaran. Suplai nutrisi
pada aklimatisasi diberikan dengan
menggunakan pupuk daun 1 g.l-1
Akan tetapi
pemberian pupuk juga belum efektif untuk
meningkatkan panjang akar. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk meningkatkan
panjang akar dibutuhkan hormon tambahan dan
tambahan unsur hara dari luar yang dapat
memacu pemanjangan sel (pertambahan
Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
10
panjang akar). Menurut penelitian Supriyono
(2008) intensitas pemupukan berpengaruh nyata
terhadap pertambahan volume dan panjang akar.
Akar yang dihasilkan pada pengakaran
secara in vitro maupun ex vitro berupa akar
sekunder. Akar sekunder ini memiliki peran
sebagai pemegang media tanam dan membuat
planlet tetap berdiri dan tidak mudah tumbang.
Hal ini menunjukkan bahwa akar sekunder yang
terbentuk pada planlet memiliki kesamaan peran
seperti akar primer. Akar yang tumbuh pada
aklimatisasi sama dengan akar yang tumbuh
pada stek pucuk tembesu, yaitu akar adventif
yang berbentuk akar sekunder, tetapi memiliki
fungsi sebagai akar primer (Ardiansyah, 2015).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan 1
minggu setelah planlet dipindahkan ke polibag,
seluruh tanaman hasil aklimatisasi tetap hidup.
Akan tetapi, tanaman perlakuan pengakaran in
vitro mengalami kelayuan setelah sungkup
dibuka selama 3 jam, sedangkan tanaman
perlakuan pengakaran ex vitro lebih tahan
terhadap pembukaan sungkup. Tanaman
pengakaran secara ex vitro lebih tahan terhadap
pembukaan sungkup mulai dari tahap
aklimatisasi. Hal ini menunjukkan bahwa
tanaman tembesu pengakaran secara ex vitro
lebih tahan terhadap stres dibandingkan dengan
pengakaran secarain vitro. Secara morfologi
tanaman hasil pengakaran ex vitro tampak kerdil
dan tunasnya pendek, akan tetapi lebih tahan
ketika dipindahkan ke lapangan. Oleh karena
itu, pengakaran secara ex vitro lebih
direkomendasikan untuk produksi skala besar.
Media Aklimatisasi. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan selama 3 MST,
jenis media pasir 100 persen memiliki persen
hidup paling tinggi, sedangkan media
cocopeat+sekam padi dan pasir+sekam padi
memiliki persentase hidup yang paling rendah.
Syarat media aklimatisasi secara umum adalah
tidak menjadi sumber penyakit bagi tanaman,
memiliki aerasi dan drainase yang baik, cukup
halus, dan dapat memegang air dengan baik
(Sandra, 2013).Hal ini menunjukkan bahwa
media pasir yang mempunyai keunggulan dalam
hal tekstur dan aerasi yang baik. Selain itu,
tingkat keberhasilan pembentukan akar lebih
ditentukan oleh sifat fisik media dibandingkan
dengan sifat kimia yang terkandung dalam
media, karena sifat fisik ini berkaitan dengan
ketersediaan air dan adanya kelancaran sirkulasi
udara dalam media yang dibutuhkan dalam
proses pembentukan akar (Sofyan & Muslimin,
2006).
Data pengamatan yang ditampilkan hanya
sampai 3 MST saja, karena setelah 3 MST
sebagian planlet tembesu mengalami kematian,
hanya satu planlet yang hidup pada 12 MST,
tetapi daun kekuningan dan planlet tidak
berakar. Kematian pada planlet tembesu
sebagian besar terjadi karena adanya serangan
cendawan dan bakteri. Bakteri menyerang
planlet yang ditanam pada media pasir 100
PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP
KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)
Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti
11
persen, ditandai dengan pembusukan pada
pangkal batang yang menyentuh media, berbau
seperti kol busuk, serta berlendir. Fungi
menyerang planlet yang ditanam pada media
yang mengandung bahan organik. Hal ini
disebabkan bahan organik dapat menyimpan air,
sehingga mendukung pertumbuhan
mikroorganisme seperti fungi dan bakteri.
Penggunaan media semai yang memiliki
kapasitas penyimpanan air dan kandungan
bahan organik yang tinggi, dapat menimbulkan
kelembaban yang cukup tinggi sehingga rentan
terhadap serangan fungi (Purwanto & Priyanto,
2013).
IV. KESIMPULAN
Perlakuan pengakaran secara in vitro dan ex
vitro pada tahap aklimatisasi berpengaruh nyata
terhadap peubah pertumbuhan yaitu persentase
hidup dan jumlah akar tetapi tidak berpengaruh
nyata terhadap persentase berakar, persentase
bertunas, waktu muncul tunas, dan panjang
akar, sedangkan pada tahap pasca aklimatisasi
kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap
persentase hidup, jumlah akar, dan panjang
akar. Persentase hidup planlet pada tahap
aklimatisasi yang telah berakar di dalam botol
(in vitro) sebesar 80 persen dan planlet yang
belum berakar (ex vitro) sebesar 75 persen,
sedangkan pada tahap pasca aklimatisasi
persentase hidup mencapai 75 persen untuk
pengakaran in vitro dan 67 persen untuk
pengakaran ex vitro. Tanaman tembesu hasil
aklimatisasi pada perlakuan pengakaran in vitro
menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan perlakuan pengakaran ex vitro.
Pengakaran secara ex vitro dapat dilakukan
tanpa penambahan ZPT. Media aklimatisasi
yang paling baik digunakan adalah media pasir
100 persen. Media yang mengandung bahan
organik, terutama cocopeat, mampu menyimpan
air yang sangat banyak sehingga tidak
direkomendasikan karena mudah terserang oleh
fungi dan bakteri.
Penambahan ZPT auksin perlu dilakukan
pada tahap pengakaran in vitro untuk
mempercepat pengakaran. Pengakaran ex vitro
lebih direkomendasikan untuk produksi bibit
skala besar. Perlu dilakukan penelitian lanjutan
terhadap media aklimatisasi, terutama media
aklimatisasi yang tidak mengandung bahan
organik untuk mengetahui jenis media yang
paling tepat digunakan pada aklimatisasi
tanaman tembesu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis sampaikan kepada
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan (BP2TPTH) Bogor
atas bantuan sampel kultur steril tembesu
(Fagraea fragrans).
DAFTAR PUSTAKA
Aak. (2010). Seri Budi Daya Jagung. Yogyakarta:
Kanisius.
Ardiansyah, R. (2015). Mikropropagasi tembesu
(Fagraea fragrans Roxb.). Skripsi. Bogor:
Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
12
Institut Pertanian Bogor.
Damayanti, R.U., Supriyanto, Wulandari, A.S., &
Subandy, B. (2017). Regenerasi tunas adventif
dari eksplan daun tembesu (Fagraea fragrans
Roxb.) melalui teknik kultur jaringan. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 14(1),1–17.
Demastiti, K. (2015). Stek pucuk binuang bini
(Octomeles sumatrana Miq.) dengan perlakuan
media tanam dan pemberian zat pengatur
tumbuh. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Hanafiah, K. A. (2005). Dasar-Dasar Ilmu Tanah.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jonville, M.C., Capel, M., Michel, F., Luc, A.,
Georges, D., Robert, F., Nadine, A., & Evelyne
O. (2008). Fagraldehyde, a secoiridoid isolated
from Fagraea fragrans. J Nat Prod, 71,2038–
40.
Martin, K.P. (2002). Rapid in vitro multiplication
and ex vitro rooting of Rotula aquatica Lour., a
rare rhoeophytic woody medicinal plant. Plant
Cell Rep, 21,415–20.
Mindawati, N., Nurohmah, H.S., & Akhmad, C.
(2014). Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera.
Bogor: Forda Press.
Purwanto, B.S. & Priyanto, E. (2013). Identifikasi
jamur penyebab penyakit pada stek gemor
(Nothaphoebe coriacea Kosterm). Gelam,
VI(1),7–13.
Putra, C.A.S., Manuri, S., Heriyanto, & Sibagariang,
C. (2011). Pohon-Pohon Hutan Alam Rawa
Gambut Merang. Palembang: MRPP-GIZ.
Qurataayun, R.A. (2011). Respon pemangkasan dan
kemampuan perakaran stek pucuk jabon
(Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) dan
longkida (Nauclea orientalis (L.) L.). Skripsi.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sandra, E. (2013). Cara Mudah Memahami dan
Menguasai Kultur Jaringan Skala Rumah
Tangga. Bogor: IPB Press.
Silalahi, N.A.D.R. (2007). Respon kombinasi iba
dan naa terhadap pertumbuhan akar tanaman
gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) secara in
vitro dan aklimatisasinya. Skripsi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Sofyan, A. & Muslimin, I. (2006). Pengaruh Asal
Bahan dan Media Terhadap Pertumbuhan Stek
Batang Tembesu (Fagraea fragrans Roxb).” in
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian
Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumber
daya Hutan. Palembang: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peningkatan Produktivitas
Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Kementrian Kehutanan.
Sparta, A., Andini, M., & Rahman, T. (2012).
pengaruh berbagai panjang stek terhadap
pertumbuhan bibit buah naga (Hylocereus
polyryzus). Retrieved October 23, 2017
(http//bengkulu.litbang.
pertanian.go.id/ind/images/dokumen/hortikultur
a/balaitanamanbuahtropika.pdf).
Supriyono. (2008). Pengaruh macam media dan
intensitas pemupukan terhadap pertumbuhan
bibit tanaman anthurium gelombang cinta
(Anthurium plowmanii). Skripsi. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Yuliarti, N. (2010). Kultur Jaringan Tanaman Skala
Rumah Tangga. Yogyakarta: Lily Publisher.
BETTER GROWTH Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST GROWING
LEGUME FOR WOOD-ENERGY
Rina Laksmi Hendrati and Siti Husna Nurrohmah
*Author contributions: Rina Laksmi Hendrati is the main contributor of the work and this paper
©2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.13-20 13
BREEDING FOR BETTER GROWTH OF Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST
GROWING LEGUME FOR WOOD-ENERGY
(Pemuliaan Perbaikan Pertumbuhan Calliandra calothyrsus Meissn., Tanaman Cepat Tumbuh
Jenis Legum Untuk Kayu Energi)
*Rina Laksmi Hendrati and/ dan Siti Husna Nurrohmah
Centre for Forest Biotechnology and Tree Improvement Research and Development,
Indonesian Ministry of Environment and Forestry, Jl. Palagan T. Pelajar km 15, Telp: +62-0270-896080,
895954. Fax. +62-0270-896080Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Indonesia
e-mail : [email protected]
Paper submitted: July 6th
of 2018; Paper revised: September 19th of 2018; Paper accepted: 21
st Nopember of 2018
ABSTRAK
Tanaman berkayu rotasi pendek untuk energi terbarukan yang dapat mengantisipasi penurunan energi fosil,
telah menarik minat negara-negara tropis yang memiliki kadar hujan dan sinar matahari yang melimpah.
Calliandra calothyrsus, sejenis pohon multifungsi yang cocok untuk kayu energi sangat potensial sebagai
tanaman rotasi pendek. Tanaman pengikat nitrogen ini mampu menyediakan sumber energi dengan hanya
menanam sekali namun bisa dipanen tahunan hingga 15-20 tahun dari trubusannya. Selain itu, tanaman ini
menunjang penutupan vegetasi untuk mitigasi perubahan iklim. Jenis cepat tumbuh, bervolume dan
berkualitas tinggi merupakan prasyarat sebagai energi biomasa dari kayu. Dalam rangka mengoptimalkan
tujuan ini, pemuliaannya telah dilakukan pada tahun 2011 - 2014 untuk mendapatkan individu terbaik dalam
hal volume dan kualitas. Dalam kajian ini perbaikan pertumbuhan dengan membandingkan anakan-anakan
dari pohon unggul (5 famili) yang diseleksi tahun 2014 dari uji keturunannya di Wonogiri, Jawa Tengah,
terhadap lima (5) famili dari yang tidak dimuliakan, dilakukan. Perbaikan karakter pertumbuhan telah
ditunjukkan sangat nyata berbeda pada tanaman siap tanam di lapangan umur 4 bulan. Pemuliaan
Calliandra telah terbukti meningkatkan jumlah daun, tinggi tanaman, diameter dan kualitas semai hingga
23,4 persen, 24,3 persen, 6,7 persen dan 20 persen secara berturutan. Materi yang lebih komplit telah
ditanam sebagai uji perolehan genetik pada tahun 2016. Diharapkan kecenderungan yang serupa juga akan
dapat diperoleh setelah penanaman di lapangan dilakukan.
Kata Kunci : Calliandra calothyrsus, kayu energi, pohon plus, pemuliaan, perolehan genetik
ABSTRACK
Short-rotation woody crops for renewable energy in anticipating decreasing fossil energy resources, has been
a great interest for tropical countries where rain and sunshine are abundant. Calliandra calothyrsus, a
multipurpose tree suitable for energy-wood is a very potential as short-rotation crop. This nitrogen-fixing
species can be utilized as energy-wood by planting once but is able to secure annual harvest up to 15-20
years from its coppices. Beside that, this species supports earth vegetation cover for mitigating climate
change. This fast growing, high volume and quality species fulfills requirement for energy needs as
renewable wood biomass. In optimizing this role, its genetic improvement was undertaken during 2011 -
2014 to obtain the best energy-wood individuals in volume and quality. This study examined the growth-gain
by comparing off spring of genetically improved trees (5 families) selected in 2014 from progeny test in
Wonogiri, Central Java, to five (5) families from the unimproved ones. Significant differences on important
growth characters have been obtained at the age of 4-month plants ready for field plantation. Calliandra’s
genetic improvement has proven to increase the number of leaves, height, diameter and seedling quality up
to 23.4 percent, 24.3 percent, 6.7 percent and 20 percent consecutively. More complete materials have been
established as realized genetic-gain trials in 2016. It is expected that similar trends will be realized in the
fields.
Keywords: Calliandra calothyrsus, energy-wood, plus trees, genetic gain, improvement
I. INTRODUCTION
Development of short-rotation wood crops
for renewable energy which is expected to
anticipate the running down of fossil energy
resources, has been of great interest especially
in tropical countries where its growth can be
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 13-20
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
14
optimized due to abundance of rain and
sunshine (Openshaw, 2010). Further,
maximum growth can be encouraged by
proper management of water supply, fertilizer,
reduction of plant competitions, and pest and
diseases problems. Nevertheless, the need of
selective breeding that can produce genetically
improved individuals meant for biomass and
quality production is very vital (Zalesny,
Zalesny, McMahon, Berguson & Stanosz,
2009).
Species grown for sustainable short-
rotation energy plantation is expected to
provide wood biomass supply, great carbon
storage, acceptable fossil fuel substitution,
environment services and economic
improvement for local communities (Dwiyedi
& Khanna, 2014; Murtala, Aliyu & Babagana,
2012; Oliver, Nassar, Lippke & McCarter
2014). Such targeted advantages can also be
found in Calliandra calothyrsus. A series of
breeding program for this species was initiated
in 2010. Plus trees selection was carried out in
2014, covering 10 populations from
throughout Indonesia. The main selection
criteria were volume and quality firewood
energy. Calliandra is a very fast growing
legume species which is able to fix nitrogen
and reach the growth up to 2 m just within 2-3
months in the field. This species has been
widely used as firewood for energy source
particularly by small industries and villagers.
Harvesting Calliandra for energy wood would
only require branches or coppices after being
cut at particular level in order to secure the
main stem to continuously coppicing annually
up to 15-20 years (Hendrati, 2015a; Hendrati
& Nurrohmah, 2016).
Through genetic improvement, tree
growth can be enhanced optimally beside
improving the wood-energy quality, and
consequently obtaining a higher and better
quality biomass compared to the unimproved
ones. It is therefore genetically improved
Calliandra is promising to produce individuals
for maximizing climate change mitigation.
This is because of its abilities like several
other plants in capturing carbon due to its
very fast growing, reducing the use of fossil
fuel since it performs as carbon neutral
renewable energy for substitution, sustaining
land cover due to harvesting only from the
branches and coppices but maintaining the
main trees to keep growing, ameliorating soil
from its ability to fix nitrogen from the
atmosphere, producing green manure from its
easily degraded leaves and also helping
farmers in providing fodder for cattle (Mugwe,
Mgendi, Kungu & Muna, 2009; Rowe,
Hanley, Goulson, Clarke, Doncaster & Taylor,
2011; Tock, Lai, Lee, Tan & Bhatia, 2010;
Zhang, Wang,Wang & Quan, 2009).
This paper discusses about genetic
improvement resulting from Calliandra
BETTER GROWTH Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST GROWING
LEGUME FOR WOOD-ENERGY
Rina Laksmi Hendrati and Siti Husna Nurrohmah
15
breeding program. Gain on growth in the
nursery is assessed by comparing
performances of genetically improved
individuals with the unimproved ones. More
complete materials are currently grown in the
field as materials for assessment the realized
gain for growth and quality in the field.
II. MATERIALS AND METHODS
A. Materials
Experiment was carried out in the nursery
belongs to the Centre for Forest Biotechnology
and Tree Improvement Research and
Development Yogyakarta, since September
2015. Improved seeds were collected from
genetically improved individuals from
Seedling Seed Orchard converted from the
progeny test, in Wonogiri Central Java in July
2015.
Improved seeds were collected from
improved individuals that had been selected
from the progeny test which was established in
2012, in Wonogiri Central Java. They are
family number 16, 22, 29, 56 and 58.
Unimproved seeds were the seeds collected
during the breeding program (2011-2014)
from throughout Indonesia but not included in
the progeny test. Those 5 unimproved
individuals consist of family number 365, 372,
374, 376 and 375 which were prepared as
control. All seeds were germinated in October
2015. Seeds were treated by soaking in hot
water (±90ºC) overnight. The next day, the
swollen seeds were spread evenly into sterile
sands in the containers and cover them with
sprinkle of sands over their top before leaving
them to germinate. Transplanting of
germinated seeds was carried out after 1-2
weeks when the first leaves emerged, by
inserting them into polybag 10 cm X 15 cm
containing media of topsoil: compost = 3: 1.
Seedlings of C. calothyrsus were raised up to
4 months, the age that is ready for planting in
the field. Basic equipment used in this
experiment are digital balance, counter,
caliper, long ruler, camera, calculator and
stationary etc.
B. Research Design
A number of 125 seedlings from 5
improved individuals (16, 22, 29, 56 and 58)
were selected randomly from ±250 seedlings
with similar proportion per family, then bulked
and used to represent genetically improved
seedlings. Further, a number of 90 seedlings
from unimproved 5 families (365, 372, 374,
376 and 375) from around 180 seedlings were
selected randomly then bulked and used as
representative of the unimproved ones.
C. Observation and Analyses
Assessments began when seedlings are
ready for field planting which is 4 months.
Comparison between both group, the improved
and unimproved ones, were carried out in
term of growth consisting of height, diameter,
number of leaf and seedling quality. Results of
both groups were compared and tested by
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 13-20
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
16
using T- test to see the differences.
Meanwhile, the gain is calculated as the
increase percentage from the improved
seedlings against the unimproved dones. III. RESULTS AND DISCUSSION
A. Results
Comparison of growth characters between
the selected genotypes and the unimproved
ones, have proven better growth for the
improved than the unimproved ones (Table 1).
All characters of the improved genotypes are
much higher in values than those of the
unimproved one and both groups demonstrate
high significant differences (p <0.0001).
Table (Table) 1. Comparison of growth characters between seedlings from genetically improved
Calliandra and unimproved genotypes (Perbandingan karakter pertumbuhan
antara semai tanaman unggul Calliandra dan yang tidak unggul)
Traits (Perlakuan) Improved
(Unggul)
(n = 125)
Unimproved
(Tidak unggul)
(n = 90)
Gain
(Perolehan)
(%)
Number of leaf (Nomor daun)*** 9.5 7.7 23.4
Height (Tinggi) (cm) *** 62.4 50.2 24.3
Diameter (mm) *** 4.8 4.5 6.7
Seedling Quality (Kualitas bibit) *** 13.8 11.5 20 Remarks (Keterangan ) : *** significant differences (perbedaan nyata) (p<0.0001)
Number of leaves of the seedlings have
increased up to 23.4 percent, while the height
has been better up to 24.3 percent. Diameter, a
character which has a much narrow range in
seedlings than height, indicated less
percentage of improvement which is 6.7
percent. At the nursery level, the results show
that the improved seedlings show seedling
quality value of 20 percent higher than the
unimproved ones. Visual differences in
performances of seedlings representing each of
the two groups can be observed clearly in
Figure 1.
Figure (Gambar) 1. Performances of
Calliandra calothyrsus
seedlings representing
improved (4 on the left) and
unimproved genotypes (4 on
the right) (Penampilan semai
Calliandra calothyrsus yang
mewakili tanaman unggul (4
sebelah kiri) dan genotip yang
tidak unggul (4 sebelah
kanan))
BETTER GROWTH Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST GROWING
LEGUME FOR WOOD-ENERGY
Rina Laksmi Hendrati and Siti Husna Nurrohmah
17
B. Discussion
Individuals of the improved genotypes
used in this study were individuals that had
been selected based on volume and best
diameter of the main stem to approach wood
quality (Hendrati, 2015b). Therefore, we
expect that the genetically improved
individuals would have better growth than
those that are not selected. Improvement for
higher volume is considered to be more
advantageous for fast growing woody species
that is meant for energy, because increasing
higher biomass for larger plant will save the
processing cost (Dermibas, 2011). Hence,
genetic improvement is aimed to fulfill this
necessity. Better performances of the
improved genotypes verify the beneficial
improvement and appropriate achievement
obtained from the effects of selections during
the breeding process. Therefore breeding
efforts carried out for this species is worth to
be undertaken.
The growth increment gained from tree
improvement program of Calliandra assessed
at 4 months seedling, has demonstrated
encouraging results. This assessment carried
out in this nursery is expected to reveal
maximum genetic effect and minimum bias
due to the uniform environment at nursery
environment. Each character has shown
different percentages of upgrading after 4
years of breeding process by applying 3 series
of selections based on best volume and bigger
diameter of the main stem (Hendrati, 2015b).
Number of leaves and height are two
characters that developed progressively in
plants during the seedling stage (Pallardy,
2008), so both traits will be projected to
greatly influence its consecutive growth up to
the adult stage. Proliferation number of leaves
will surely enhanced a much more effective
photosynthesis rate than the unimproved ones
(Terashima, Fujita, Inoue, Chow & Oguchi,
2009),
Meanwhile, higher diameter is expected to
affect higher wood biomass quality for energy.
This refers to study on Calliandra which was
analyzed during its breeding process, in which
its diameter have positive relationships with its
wood quality which is the lignin content (r=
0.4, p <0.05) and even more with its calorific
value (r=0.62, p<0.01) (Hendrati, 2015a).
Lignin is important for energy wood especially
when it will be processed for wood pellet,
direct firing and co-firing (Hinchee, Rottmann,
Mullinax & Nehra, 2009), while calorific
value is essential character indicating heat
energy content. Higher diameter resulted from
genetic improvement is expected to be
expressed at more mature age. Together with
height, diameter would form a much better
individuals with higher volume in biomass.
According to SNI 1999 standard (Danu,
Rohadi, D & Nurhasybi, 2006), an increment
of seedling quality values that occurred from
11.5 to 13.8 means reduction from first class
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 13-20
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
18
into the second class. This is due to much
proportion of seedling height compared to its
diameter. While for this species, the
advantage obtained from its genetic
improvement is that it will be shorter in time
to get similar size of seedling in the nursery
ready for field plantation (about 30-40 cm in
height and >4mm in diameter). This will save
the period of around 1-1.5 months, so saving
the cost, if using genetically improved
genotypes.
Selection carried out in this breeding
process has proven to provide advantages with
better individuals in growth. However, this
needs to be tested further in the field where
edaphic variations and interactions with
environment would likely to occur. Therefore,
like any conventional breeding work, field
plantations need to be established by using
similar but more complete genotypes to reveal
the realized gains. This will make evaluations
possible, not only in growth but also in wood-
energy quality.
High genetic gain achieved here, most
likely is generated by variations among
Calliandra populations collected from
throughout Indonesia which was revealed in
the progeny test (Nurtjahjaningsih,
Sulistyawati & Rimbawanto, 2016). This
variation which caused high heritability values
(Hendrati, 2015a) might be influenced by
different growth habitat on its original
population including elevation (Hendrati,
2013).
Take note that, Calliandra was introduced
to Indonesia in 1930 (Nurtjahjaningsih et al.,
2016), since then, this species found scattered
all around Indonesia might have been able to
produce more than 20 generations at particular
locations. Due to the ability to adapt to the
local condition, these populations might form
land races with different genetic structures.
Good land race performers can be generated
from the natural process of selection surviving
those that developing mechanism of adaptation
(Elridge, Davidson, Harwood, & Van Wyk,
1993). These type of origins when included as
genetic materials in the breeding program
might perform better than the others.
IV. CONCLUSIONS
From this study, Calliandra calothyrsus
breeding carried out for four years has
produced much better seedling growth from
selected individuals as compared to those
unimproved ones. Further studies using a more
complete material currently grown in the field
will be used for assessing the true gain in
growth and quality. This is expected to be in
accordance with the seedling performance in
the nursery observed in this study.
ACKNOWLEDGEMENT
Appreciation is addressed to Directors and
staffs of Centre for Forest Biotechnology and
BETTER GROWTH Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST GROWING
LEGUME FOR WOOD-ENERGY
Rina Laksmi Hendrati and Siti Husna Nurrohmah
19
Tree Improvement Research and Development
that provide infra structures, funding and
facilitate this research project. My sincere and
deep thanks are also expressed to all of my
team members for their help, patience and
kindness to fulfil and finish all the jobs
required to undertake this research. I am also
deeply grateful to Prof. Dr Budi Leksono for
his meaningful advices.
REFERENCES
Danu, Rohadi, D., & Nurhasybi. (2006). Teknologi
dan standardisasi benih dan bibit dalam
rangka menunjang keberhasilan GERHAN. In
M. Haryono (Ed.), Optimalisasi Peran Iptek
dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas
Hutan dan Lahan. Prosiding Seminar Hasil-
hasil Penelitian; Jambi, 22 Des 2005 (pp. 69–
70). Bogor: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan Konservasi
Alam.
Dermibas, A. (2011). Competitive liquid biofuels
from biomass. Applied Energy, 88(1), 17–28.
https://doi.org/10.1016/j.apenergy.2010.07.01
6
Dwiyedi, Edi, P., & Khanna, M. (2014). Wood-
based bioenergy products - land or energy
efficient? Canadian Journal of Forest
Research. Canadian Journal of Forest
Research, 44, 1187–1195.
https://doi.org/dx.doi.org/10.1139/cjfr-2014-
0210
Elridge, K., Davidson, J., Harwood, C., & Van
Wyk, G. (1993). Eucalyptus Domestication
and Breeding. Oxford: Clarendon Press.
Hendrati, R. L. (2013). Hubungan tinggi bebas
cabang Kaliandra (Caliandra
callothyrsus)dengan ketinggian tempat
tumbuh di Indonesi. Wanabenih, 14(1, Juli
2013).
Hendrati, R. L. (2015a). Genetic Improvement of
Calliandra calothyrsusfor Qualified Wood
Energy. In 3rd INAFOR: Forestry research to
support sustainable timber production and
self-sufficiency in food, energy, and water (pp.
535–543). Bogor 21-22 Oktober 2015. Bogor:
Ministry of Environtment and Forestry,
Research, Development and Innovation
Agency.
Hendrati, R. L. (2015b). Sustainable Plantation and
Environment Protection with Genetically
Improved Calliandra to Fulfil Market and
Socio Economic Demands. In Proceeding
International Seminar on Challenges of
Sustainable Forest Plantation Development,
Yogyakarta. Indonesia. 26th Nopember 2015
(pp. 125–135). Centre for Forest
Biotechnology and Tree Improvement.
Hendrati, R.L. & Nurrohmah, S. H. (2016).
Penggunaan Rhizobium dan Mikhorhiza
untuk Pertumbuhan Calliandra callothyrsus
Unggul. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan
Vol. 10 No.2. Desember 2016. pp 71-81.
http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-
litbang/index.php/JPTH/article/view/2392
Hinchee, M., Rottmann, W., Mullinax, L., &
Nehra, N. (2009). Short-rotation woody crops
for bioenergy and biofuels applications. In
Vitro Cellular & Developmental Biology -
Plant., 45(6), 619–629.
https://doi.org/10.1007/s11627-009-9235-5
Mugwe, J., Mgendi, D., Kungu, J., & Muna, M. .
(2009). Maize Yields Response to Application
of Organic and Inorganic Input under On-
station and On-farm Experiments in Central
K. Experimental Agriculture, 45(1 January
2009), 47–59.
Murtala, A. M., Aliyu, B. A., & Babagana, G.
(2012). Biomass Resource as a Source of
Sustainable Energy Production in Developing
Countries. Journal of Applied
Phytotechnology in Environmental Sanitation,
1((2)), 103–112.
Nurtjahjaningsih, I.L.G. Sulistyawati, P., &
Rimbawanto, A. (2016). Struktur Genetik
Calliandra callothyrsus di Indonesia
Menggunakan Penanda Random Amplified
Polymorphism DNA (RAPD). Jurnal
Pemuliaan Tanaman Hutan, 10(1 Juni 2016),
31–38.
Oliver, C. D., Nassar, N. ., Lippke, B. ., &
McCarter, J. . (2014). Carbon, Fossil Fuel,
and Biodiversity Mitigation With Wood and
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 13-20
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
20
Forests. Journal of Sustainable Forestry, 33,
248–275.
https://doi.org/10.1080/10549811.2013.83938
6
Openshaw, K. (2010). Guest Editorial: Renewable
Energy and Developmen. Journal of Tropical
Forest Science, 22(1), 5–6.
Pallardy, S. G. (2008). Physiology of Woody
Plants. Burlington. USA: Academic Press.
Rowe, R. L., Hanley, M. E., Goulson, D., Clarke,
D. J., Doncaster, C. ., & Taylor, G. (2011).
Potential benefits of commercial willow Short
Rotation Coppice (SRC) for farm-scale plant
and invertebrate communities in the agri-
environment. Biomass and Bioenergy, 35(1
january 2011), 325–336.
https://doi.org/10.1016/j.biombioe.2010.08.04
6
Terashima, I., Fujita, T., Inoue, T., Chow, W. S., &
Oguchi, R. (2009). Green Light Drives Leaf
Photosynthesis More Efficiently than Red
Light in Strong White Light: Revisiting the
Enigmatic Question of Why Leaves are
Green. Plant and Cell Physiology, 50(14, 1
April 2009), 684–697.
https://doi.org/10.1093/pcp/pcp034
Tock, J., Lai, C., Lee, K., Tan, K., & Bhatia, S.
(2010). Banana biomass as potential
renewable energy resource: A Malaysian case
study. Renewable and Sustainable Energy
Reviews, 14(2, Februari 2010), 798–805.
Zalesny, R. S., Hall, R., Zalesny, J., McMahon, B.,
Berguson, W., & Stanosz, G. (2009). Biomass
and Genotype × Environment Interactions of
Populus Energy Crops in the Midwestern
United States. Bio Energy Research, 2(3),
106–122.
Zhang, Q., Wang, Wang, X., & Quan X. (2009).
Carbon concentration variability of 10
Chinese temperate tree species. Forest
Ecology and Management, 258(5, 20 agustus
2009), 722–727.
PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH
TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)
Aam Aminah dan Nurmawati Siregar
*Kontribusi penulis: Nurmawati Siregar sebagai kontributor utama
© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.21-30 21
PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH TERHADAP
DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azedarach Linn)
(The Effect of Seed Collection Time and Color Fruit on the Germination
Capacity and Seedling Growth of Mindi (Melia azedarach Linn))
Aam Aminah dan/and *Nurmawati Siregar
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Indonesia
e-mail: [email protected]
Naskah masuk: 21 November 2016; Naskah direvisi: 7 Juli 2017; Naskah diterima: 1 April 2019
ABSTRACT
Mindi (Melia azedarach Linn) is versatile type and have good prospects to be developed in plantation
programs. One factor that determines the success of the development of this plant is the use of superior
quality seeds. Good seeds can be obtained by harvesting physiologically mature fruits. One common
indicator often used to determine the maturity of fruit physiologically is the changes of fruit color. The main
objective of this research was to determine the effect of seed collection time and fruit color on the
germination capacity and seedling growth of mindi. The experimental design used is Factorial Randomized
Block Design consist of 2 factors: seed collection time and fruit color. Seed collection time consist of 3
times with 10 days collection time interval. The color fruit differed by 3 colors: green, yellow and brown.
Each combination treatment consist of 50 seeds replicated 5 times. Growth responses included germination
capacity, survival seedling percentage, seedling length, diameter, root length, dry weight and shoot/root
ratio. The result showed that the color fruit significantly affected germination capacity and growth of
seedlings. The color of yellow and brown fruit gave the best results for germination’s capacity, while
yellow fruits showed high values of percent of seedlings growth, seedling height, dry weight, root length and
shoots root ratio. The color of green and yellow fruit gave higher seedling diameter, than the color of brown
fruit. The collecting mindi seeds should be done when the fruits are yellow at every collection time. Keywords : collection, Melia azedarach Linn, physiologically mature, seed
ABSTRAK
Tanaman mindi (Melia azedarach Linn) merupakan jenis serba guna dan mempunyai prospek yang baik
untuk dikembangkan dalam program hutan tanaman. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
pembangunan hutan tanaman adalah penggunaan benih bermutu. Benih yang baik dapat diperoleh dengan
memanen buah yang masak fisiologis. Salah satu indikator yang umum dan sering digunakan untuk
menentukan masak fisiologis buah adalah perubahan warna kulit buah. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui pengaruh masak fisiologis buah terhadap daya berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial, terdiri dari 2 faktor
yaitu waktu pengunduhan dan warna buah. Pengunduhan dilakukan 3 kali dengan selang waktu
pengunduhan 10 hari. Warna kulit buah dibedakan atas warna hijau, kuning dan cokelat. Setiap kombinasi
perlakuan terdiri dari 50 benih yang diulang 4 kali. Respons pertumbuhan yang diamati adalah: daya
berkecambah, persen hidup bibit, tinggi bibit, diameter bibit, panjang akar, berat kering, ratio tunas dengan
akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna buah berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah dan
pertumbuhan bibit mindi. Warna buah kuning dan cokelat memberikan hasil terbaik untuk daya
berkecambah, sedangkan untuk persen tumbuh bibit, tinggi bibit, panjang akar berat kering dan rasio tunas
akar warna buah kuning mempunyai nilai tertinggi. Untuk diameter bibit warna buah hijau dan kuning lebih
baik daripada warna buah yang cokelat. Pengunduhan buah mindi sebaiknya dilakukan saat buah berwarna
kuning pada setiap pengunduhan. Kata kunci : benih, masak fisiologis, Melia azedarach Linn, pengumpulan
I. PENDAHULUAN
Tanaman mindi (Melia azedarach Linn)
merupakan jenis serba guna karena seluruh
bagian tanaman mulai dari akar, batang, kulit
batang, daun, buah dan biji dapat
dimanfaatkan. Oleh karena itu mindi
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 21-30
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
22
mempunyai prospek yang baik untuk
dikembangkan dalam program hutan tanaman.
Salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan pembangunan hutan tanaman
adalah penggunaan benih bermutu yang
unggul secara genetik, fisik dan fisiologis,
tersedia dalam jumlah yang cukup dan tepat
waktu dan mempunyai kemampuan
beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat
tumbuhnya.
Ketersedian benih bermutu dalam jumlah
yang cukup sangat ditentukan oleh musim
berbuah setiap tanaman, sedangkan musim
berbuah setiap jenis tanaman dipengaruhi oleh
iklim. Unsur-unsur iklim terutama temperatur,
kelembaban dan intensitas cahaya matahari
akan mempengaruhi proses pemasakan buah.
Pengunduhan buah pada awal masak fisiologis
kurang tepat karena buah yang dipanen belum
cukup berkembang sebaliknya pengunduhan
buah pada akhir masak fisiologis juga kurang
tepat karena buah yang dipanen dapat
menyebabkan penurunan kualitas benih. Buah
yang dipanen tepat waktu atau pada saat
masak fisiologis akan menghasilkan benih
yang berkualitas lebih baik dibandingkan
dengan buah yang dipanen pada awal dan
akhir masak fisiologis. Masak fisiologis akan
menentukan waktu pengunduhan dan kualitas
buah yang dipanen (Perotti, V. E., Moreno, A.
S., & Podesta, F. E., 2014; Pongener, Sagar,
Pal, Asrey, Sharma & Singh, 2014).
Salah satu indikator yang umum dan
sering digunakan untuk menentukan masak
fisiologis buah adalah perubahan warna kulit
buah, karena indikator ini lebih praktis dan
murah (Utomo, 2007). Masak fisiologis pada
setiap tanaman bervariasi bahkan dalam satu
pohon bervariasi. Beberapa jenis tanaman
mempunyai proses masak fisiologis
berlangsung cepat akan tetapi ada juga yang
berlangsung lambat, ada yang mempunyai
masak fisiologis yang relatif seragam ada yang
tidak seragam (Seymour G. B., Ostergaard L,
Chapman, N. H., Knapp, S., & Martin, C.,
2013).
Jenis-jenis yang mempunyai masak
fisiologisnya tidak seragam, maka
pengunduhan buah tidak dapat dilakukan
serentak atau sekaligus, pengunduhan buah
dilakukan secara bertahap dengan selang
waktu tergantung jenis tanaman.
Pengunduhan dapat dilakukan pada saat buah
yang sudah masak secara fisiologis di atas 60
persen.
Perubahan warna kulit buah mindi dimulai
dari hijau tua, kuning kehijauan, kuning cerah
kuning tua, kuning kecokelatan, cokelat muda,
cokelat tua dan hitam. Masak fisiologis buah
mindi dicirikan dengan buah yang berwarna
kuning cerah, kuning tua dan cokelat muda.
Masak fisiologis mindi berlangsung tidak
serentak oleh karena itu pengunduhan buah
dilakukan secara bertahap.
PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH
TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)
Aam Aminah dan Nurmawati Siregar
23
Berdasarkan hal-hal yang sudah
disampaikan di atas dilakukan penelitian
pengaruh waktu pengunduhan terhadap daya
berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
waktu pengunduhan buah mindi yang tepat.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Penelitian dilakukan mulai bulan April
2013 sampai dengan Nopember 2013.
Penelitian perkecambahan dilakukan di
Laboratorium Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan (BP2TPTH) Bogor, penelitian
bibit dilakukan di Stasiun Penelitian
BP2TPTH Nagrak, Bogor. Bahan yang
digunakan antara lain benih mindi, media
tanah dan pasir, alat yang digunakan antara
lain kaliper, timbangan, ATK.
B. Prosedur Penelitian
1. Pengunduhan buah
Buah diunduh dari tegakan mindi yang
berada di Bogor, Jawa Barat. Dipilih 15
pohon yang sedang berbuah. Pohon yang
dipilih adalah pohon yang buahnya telah
berwarna kuning lebih dari 60 persen.
Pengunduhan buah dilakukan sebanyak 3
(tiga) kali dengan selang waktu pengunduhan
10 hari (sebelum 10 hari jumlah buah yang
berwarna kuning belum mencapai 60 persen).
Pengunduhan pertama dilakukan ketika jumlah
buah kuning di atas 60 persen. Pengunduhan
ke dua dilakukan 10 hari setelah pengunduhan
pertama dan pengunduhan ketiga dilakukan 10
hari setelah pengunduhan ke dua. Buah mindi
yang sudah diunduh dimasukkan karung dan
dibiarkan (diperam) selama lebih kurang 3 hari
kemudian baru diekstraksi (Suita & Megawati,
2009).
2. Seleksi buah dan benih
Buah diseleksi berdasarkan warna kulit
buah yaitu warna hijau, kuning dan cokelat.
Buah diekstraksi, benih dikeringanginkan
selanjutnya dilakukan seleksi benih. Benih
yang dipilih relatif seragam ukurannya, tidak
busuk, dan tidak keriput.
3. Perkecambahan dan pembibitan
Benih ditabur pada bak kecambah dengan
media pasir tanah (1:1). Pengamatan daya
berkecambah dilakukan 2 minggu setelah
penaburan. Penelitian untuk bibit dilakukan
dengan cara: dipilih kecambah yang sudah
memiliki sepasang daun, kemudian disapih ke
dalam polibag ukuran 15 x 20 cm. Media
yang digunakan adalah campuran tanah
dengan kompos (3:1). Rancangan yang
digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
yang disusun secara faktorial. Faktor A adalah
waktu pengunduhan dan faktor B adalah warna
kulit buah. Faktor A terdiri dari 3 tahap yaitu
Pengunduhan I, II dan III. Faktor B terdiri
dari 3 warna kulit buah yaitu warna hijau,
kuning dan cokelat. Ulangan dilakukan 4
(empat) kali. Setiap kombinasi perlakuan
terdiri dari 50 benih /bibit
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 21-30
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
24
Respons yang diamati adalah (1) daya
berkecambah, (2) persen hidup bibit, (3) tinggi
bibit, (4) diameter bibit (5) panjang akar
(diukur akar terpanjang), (6) berat kering dan
(7) rasio tunas dengan akar (RTA).
Pengamatan dilakukan 3 bulan setelah sapih.
C. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menurut
sidik ragam, apabila hasil analisis uji-F
menunjukkan perbedaan, maka dilanjutkan
dengan Uji Tukey.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Nilai F Hitung (Lampiran 1) menunjukkan
bahwa interaksi waktu pengunduhan dan
warna buah berpengaruh tidak nyata terhadap
semua parameter yang diamati, demikian juga
faktor waktu pengunduhan berpengaruh tidak
nyata terhadap semua parameter yang diamati,
akan tetapi faktor warna buah berpengaruh
nyata terhadap semua parameter yang diamati.
1. Daya berkecambah (%)
Analisis keragaman (Lampiran 1)
menunjukkan bahwa faktor tunggal warna
kulit buah berpengaruh nyata terhadap daya
berkecambah. Warna buah kuning dan cokelat
merupakan warna yang baik untuk
memperoleh daya kecambah yang tinggi
dengan nilai rata-rata berturut-turut 85,73
persen dan 83,80 persen. Uji Tukey pada taraf
5 persen disajikan Tabel 2. Tabel (Table) 2. Pengaruh warna kulit buah terhadap daya berkecambah mindi (%) (The effect of
fruits color to germination capacity of mindi(%))
Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata daya berkecambah
(The average of germination capacity) (%)
Hijau (Green) 75.40 a
Kuning(Yellow) 85.73 b
Cokelat (Brown) 83.80 b
BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 2,33
Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada
taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly
diffrerent at 5 %)
2. Persen Hidup bibit (%)
Analisis keragaman (Lampiran 1)
menunjukkan bahwa faktor tunggal warna
kulit buah berpengaruh nyata terhadap persen
hidup bibit mindi. Warna kulit buah kuning
mempunyai persen tumbuh bibit rata-rata
paling tinggi sebesar 99,07 persen. Uji Tukey
pada taraf 5 persen disajikan Tabel 3.
Tabel (Table)3. Pengaruh warna kulit buah terhadap persentase hidup bibit mindi (%) (The effect of
fruits color to survival seedling percentage of mindi (%))
Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata persen tumbuh bibit
(The average of growth seedling percentage) (%)
Hijau (Green) 94,93 a
Kuning(Yellow) 99,07 b Cokelat (Brown) 96,53 a
BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 2,16
Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada
taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly
diffrerent at 5 %)
PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH
TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)
Aam Aminah dan Nurmawati Siregar
25
3. Tinggi Bibit (cm)
Analisis keragaman (Lampiran 1)
menunjukkan bahwa faktor tunggal warna
kulit buah berpengaruh nyata terhadap tinggi
bibit. Warna kulit buah kuning mempunyai
nilai tertinggi untuk rata-rata tinggi bibit
sebesar 13,01 cm. Uji Tukey pada taraf 5
persen disajikan Tabel 4.
Tabel (Table) 4. Pengaruh warna kulit buah terhadap tinggi bibit mindi (cm) (The effect of fruits
color to height of seedling (cm))
Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata tinggi bibit
(The average of height of seedling)(%)
Hijau (Green) 10,95 b
Kuning(Yellow) 13,01 a
Cokelat (Brown) 10,95 b
BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 2,16
Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada
taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly
diffrerent at 5 %)
4. Diameter Bibit (mm)
Analisis keragaman (Lampiran 1)
menunjukkan bahwa faktor tunggal warna
kulit buah berpengaruh nyata terhadap
diameter bibit. Warna buah kuning dan hijau
mempunyai nilai rata-rata diameter yang tinggi
berturut-turut sebesar 2,48 mm dan 2,41 mm.
Uji Tukey pada taraf 5 % disajikan Tabel 5.
Tabel (Table)5. Pengaruh warna kulit buah terhadap diameter bibit mindi (mm) (The effect of fruits
color to diameter of seedling mindi (mm))
Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata diameter
(The average of diameter seedling )(mm)
Hijau (Green) 2,41 a
Kuning(Yellow) 2,48 a
Cokelat (Brown) 2,16 b
BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 2,16
Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada
taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly
diffrerent at 5 %)
5. Panjang Akar (cm)
Analisis keragaman (Lampiran 1)
menunjukkan bahwa faktor tunggal warna
buah berpengaruh nyata terhadap panjang akar
mindi. Warna buah kuning mempunyai nilai
paling tinggi untuk rata-rata panjang akar bibit
mindi sebesar 13,19 cm. Uji Tukey pada taraf
5 persen disajikan Tabel 6.
Tabel (Table)6. Pengaruh warna kulit buah terhadap panjang akar bibit mindi (cm) (The effect of
seed collection time and fruits color to long root of seedling (cm))
Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata panjang akar bibit
(The average of long roots mindi) (cm)
Hijau (Green) 11,50 b
Kuning(Yellow) 13,19 a
Cokelat (Brown) 11,52 b
BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 0,62
Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada
taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly
diffrerent at 5 %)
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 21-30
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
26
6. Berat Kering bibit (g)
Analisis keragaman (Lampiran 1)
menunjukkan bahwa faktor tunggal warna
kulit buah berpengaruh nyata terhadap berat
kering bibit. Warna kulit buah kuning
mempunyai nilai rata-rata tertinggi untuk berat
kering bibit sebesar 0,5369 g. Uji Tukey pada
taraf 5 persen disajikan Tabel 7.
Tabel (Table)7. Pengaruh warna buah terhadap berat kering bibit mindi (g) (The effect fruits color
to weeight of seedling mindi (g))
Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata berat kering bibit
(The average of weight of seedling mindi ) (g)
Hijau (Green) 0,3684 b
Kuning(Yellow) 0,5369 a
Cokelat (Brown) 0,3899 b
BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 0,0278 Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada
taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly
diffrerent at 5 %)
7. Ratio Tunas Dengan akar
Analisis keragaman (Lampiran 1)
menunjukkan bahwa faktor tunggal warna
kulit buah berpengaruh nyata terhadap rasio
tunas dan akar mindi. Pertumbuhan bibit yang
baik mempunyai nilai rasio tunas dengan akar
berada pada kisaran angka 1-3 (Rasyid, 1972).
Jadi berdasarkan warna kulit buah mindi
semua warna kulit baik hijau, kuning dan
cokelat mempunyai nilai yang baik dengan
nilai berturut-turut 1,48, 1,49 dan 1,69. Uji
Tukey pada taraf 5 persen disajikan Tabel 8.
Tabel (Table)8. Pengaruh warna kulit buah terhadap ratio tunas dengan akar bibit mindi (cm) (The
effect fruits color to shoot and root ratio of seedling mindi (cm))
Warna kulit buah
(Color of fruits)
Rata-rata ratio tunas akar
(The average of shoot and root ratio seedling )
Hijau (Green) 1,49 ab
Kuning(Yellow) 1,69 a
Cokelat (Brown) 1,48 b
BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 0,20 Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada
taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly
diffrerent at 5 %)
B. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
interaksi antara waktu pengunduhan dan warna
kulit buah berpengaruh tidak nyata terhadap
parameter daya berkecambah, persen hidup
bibit, tinggi bibit, diameter bibit, panjang akar,
dan berat kering akar, namun berpengaruh
nyata terhadap ratio tunas dengan akar
(Lampiran 1). Demikian juga faktor waktu
pengunduhan berpengaruh tidak nyata
terhadap semua parameter yang diamati.
Perlakuan warna buah berpengaruh nyata
terhadap semua parameter yang diamati.
PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH
TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)
Aam Aminah dan Nurmawati Siregar
27
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa buah
yang dipanen pada saat masak fisiologis
(warna kulit buah kuning dan cokelat)
memberikan nilai daya berkecambah yang
lebih baik dibandingkan dengan buah yang di
panen pada saat buah berwarna hijau. Hal ini
mengindikasikan bahwa buah mindi
mengalami masak fisiologis pada saat buah
berwarna kuning dan cokelat. Menurut Surya
(2008) terdapat korelasi yang kuat antara
perubahan warna yang terjadi pada buah yang
matang dengan fase kematangan biji. Benih
dapat berkecambah pada semua tingkat
kemasakan fisiologis, hal ini disebabkan
karena benih yang telah masak fisiologis
mempunyai cadangan makanan yang lebih
sempurna dibandingkan dengan benih yang
kurang atau yang sudah lewat masak fisiologis
(Copeland, 2001).
Buah yang dipanen pada saat masak
fisiologis yang tepat (warna kuning dan
cokelat) mempunyai kualitas fisiologis yang
lebih baik dibandingkan dengan buah yang di
panen tidak tepat waktu (warna buah hijau).
Menurut Schimidt (2000), waktu panen atau
pengunduhan buah akan menentukan kualitas
benih. Buah yang dipanen pada awal maupun
akhir masak fisiologis sering menghasilkan
benih dengan kualitas fisiologis maupun
biokimia yang rendah sehingga menghasilkan
benih yang kurang berkualitas. Beberapa
penelitian terhadap kematangan buah
menegaskan bahwa tingkat kematangan buah
berpengaruh nyata pada perkecambahan biji,
seperti pada jenis Ardisia spp (Normasiwi,
2013).
Proses perkecambahan benih dimulai dari
proses imbibisi (penyerapan air). Menurut
Schimidt (2000) laju penyerapan air sangat
dipengaruhi oleh sifat fisiologis dan biokimia
benih. Buah yang berwarna kuning dan
cokelat memberikan daya berkecambah yang
lebih baik dibanding dengan buah yang
berwarna hijau. Hal ini akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan bibit (tinggi bibit,
diameter batang bibit, panjang akar dan berat
kering). Bibit yang berasal benih yang
berwarna kuning dan cokelat akan memiliki
vigor bibit yang lebih baik dibandingkan
dengan bibit yang berasal dari buah dengan
warna kulit hijau. Hal ini akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan bibit sehingga
pertumbuhan organ-organ tanaman (tunas,
batang, daun dan akar) akan lebih cepat.
Berbeda dengan hasil penelitian Junaidah,
Sofyan, & Nasrun (2014) yang menyatakan
bahwa benih dari buah tembesu yang berwana
hijau memiliki persen kecambah tertinggi (100
persen). Hal ini memberikan gambaran bahwa
buah tembesu yang muda (berwarna hijau)
memiliki daya vigor yang lebih baik
dibandingkan benih yang berasal dari buah
tembesu yang matang dan tingkat kematangan
buah yang lebih lanjut berpotensi menurunkan
kemampuan benih untuk berkecambah.
Benih-benih yang berkecambah ini akan
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 21-30
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
28
berkembang menjadi bibit-bibit yang
berkualitas dengan pertumbuhan yang baik.
Pertumbuhan tanaman adalah suatu proses
pembelahan sel (peningkatan jumlah) dan
pembesaran sel (peningkatan ukuran) pada
tanaman. Pertambahan volume (ukuran)
sering ditentukan dengan cara mengukur
perbesaran ke satu atau dua arah, seperti
panjang dan diameter (Irwansyah, Setiadi,
Wasis, & Mardatin, 2016). Pertumbuhan
tinggi tanaman terjadi akibat adanya
pertumbuhan tunas baru, umumnya dipusatkan
pada bagian apeks (ujung) yang terdapat pada
tunas terminal. Pertambahan diameter
merupakan pertumbuhan sekunder pada
tanaman. Sel parenkim batang yang berada di
antara ikatan pembuluh tanaman mengalami
pertumbuhan menjadi kambium intervasis.
Kambium intervasis membentuk lingkaran
tahun dengan bentuk konsentris. Kambium
yang berada di sebelah dalam jaringan kulit
yang berfungsi sebagai pelindung, terbentuk
akibat ketidakseimbangan antara pembentukan
xilem dan floem yang lebih cepat dari
pertumbuhan kulit batang. Dalam penelitian
ini diameter bibit mindi terbaik adalah bibit
yang berasal dari buah dengan warna kulit
buah kuning dan hijau. Akar berfungsi
sebagai organ utama untuk penyerapan air dan
mineral serta penyimpanan cadangan
makanan. Akar mampu berkembang dengan
baik jika tanaman tumbuh pada lingkungan
yang ideal sehingga potensi pertumbuhan akar
dapat digunakan untuk mengukur dan menilai
kualitas bibit.
Berat kering berkaitan dengan hasil
relokasi dari proses fotosintetis yang disimpan
untuk pembentukan bahan tanaman (Krisman,
Puspita, F., & Saputra, S. I., 2016).
Meningkatnya laju fotosintesis maka CO2
yang diikat dalam proses fotosintesis tersebut
akan lebih banyak dari pada CO2 yang
dilepaskan dalam proses respirasi, sehingga
asimilat yang dihasilkan lebih berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.
Berat kering tanaman merupakan indikator
yang umum digunakan untuk mengetahui baik
atau tidaknya pertumbuhan bibit, karena berat
kering tanaman dapat menggambarkan
efisiensi proses fisiologi di dalam tanaman
(Wulandari & Susanti, 2012). Berat kering
merupakan ukuran pertumbuhan tanaman
karena berat kering mencerminkan akumulasi
senyawa organik yang berhasil disintesis oleh
tanaman (Krisman et al., 2016). Berat kering
tanaman tersebut mencerminkan status hara
dan banyaknya unsur hara yang diserap oleh
tanaman serta laju fotosintetis (Bustami,
Sufardi, & Bakhtiar, 2012). Berat kering juga
berkaitan erat dengan proses metabolisme
dalam tanaman selama pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Pertumbuhan tunas
dan akar yang lebih cepat akan merangsang
pertumbuhan bibit yang lebih cepat.
PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH
TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)
Aam Aminah dan Nurmawati Siregar
29
Pertumbuhan merupakan fungsi dari
keefisienan tanaman dalam memproduksi berat
kering, karena berat kering tergantung dari
hasil selisih fotosintetis relatif dan respirasi.
Berat kering terbaik pada penelitian ini adalah
bibit yang berasal dari buah dengan warna
kulit buah kuning dan hijau.
Menurut Darwo & Sugiarti (2008)
kualitas bibit ditentukan oleh nilai rasio tunas
dengan akar (RTA). RTA mempunyai korelasi
dengan penampilan tanaman pada tahap awal
pertumbuhan. Hal tersebut menunjukkan
pentingnya peranan sistem perakaran tanaman
dalam proses adaptasi tanaman, penyerapan
air, dan mengatasi stagnasi tanaman. Nilai
rasio tunas dengan akar ditentukan oleh nilai
pertumbuhan dan perkembangan akar dengan
tunas (Siregar, 2010). Kulit buah mindi yang
berwarna hijau, kuning dan cokelat
memberikan nilai RTA yang baik karena
mempunyai nilai RTA berturut-turut 1,48;
1,49 dan 1,69. Menurut Rasyid (1972),
pertumbuhan bibit yang baik mempunyai nilai
rasio tunas dengan akar berada pada kisaran
angka 1-3. Nilai ini menunjukkan
keseimbangan sehingga bibit tidak tumbuh
abnormal. Kendatipun nilai RTA antara buah
warna hijau, kuning dan cokelat masih berada
dalam kisaran angka 1-3, akan tetapi daya
berkecambah, berat kering ataupun parameter
lainnya menunjukkan buah yang berwarna
kuning lebih baik dari buah yang berwarna
hijau dan cokelat.
IV. KESIMPULAN
Untuk mendapat benih dan bibit yang
berkualitas maka pengunduhan buah mindi
dilakukan pada saat buah berwarna kuning.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Bapak Almarhum Bapak Zaenudin, Bapak
Aris Ristiana atas bantuan teknis selama
pengamatan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Bustami, Sufardi, & Bakhtiar. (2012). Serapan hara
dan efisiensi pemupukan phosfat serta
pertumbuhan padi varietas lokal. Manajemen
Sumberdaya Lahan, 1(2), 159–170.
Copeland, L. O. M. D. (2001). Priciple of Seed
Science Technology . 4 th Edition. London:
Kluwer Academic Publisher.
Darwo, & Sugiarti. (2008). Pengaruh dosis serbuk
spora cendawan Scleroderma citrinum
Persoon dan komposisi media terhadap
pertumbuhan tusam di persemaian. Jurnal
Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, V(5),
461–472.
Irwansyah, A., Setiadi, Y., Wasis, B., & Mardatin,
N. (2016). Respon pertumbuhan bibit
Gmelina arborea Roxb tehadap penambahan
growth stimulant di Persemaian Permanen
IPB. Jurnal Silvikultur Tropika, 7(2), 75–78.
Junaidah, Sofyan, A., & Nasrun. (2014). Pengaruh
tingkat kemasakan buah terhadap potensi dan
perkecambahan benih tembesu (Fagraea
fragrans Roxb .). Galam, 7(1), 1–7.
Krisman, Puspita, F., & Saputra, S. I. (2016).
Pemberian beberapa dosis trichokompos
ampas tahu terhadap pertumbuhan tanaman
kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di
pembibitan utama. JOM Faperta, 3(1), 1–14.
Normasiwi, S. (2013). Prosiding Ekspose dan
Seminar Pembangunan Kebun Raya Daerah
Membangun Kebun Raya untuk Penyelamatan
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 21-30
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
30
Keanekaragaman Hayati dan Lingkungan
Menuju Ekonomi Hijau. In Tingkat
Kematangan Buah dan Pengaruhnya
terhadap Perkecambahan Ardisia spp. (pp
765-771).
Perotti, VE, Moreno, A. and P. F. (2014).
Physiological aspect of Fruit ripening.
Mitochondrion, 17, 1–6.
Pongener, A., Sagar, V., Pal, R. K., Asrey, R.,
Sharma, R. R., & Singh, S. K. (2014).
Physiological and quality changes during
postharvest ripening of purple passion fruit (
Passiflora edulis Sims ). Fruits, 69(1), 19–30.
https://doi.org/10.1051/fruits/2013097
Rasyid, A. (1972). Teknik persemaian dan
penanaman di Jepang. Report Training Course
Forestry in Japan. Bogor (ID): Lembaga
Penelitian Hutan Bogor.
Schimidt. (2000). Pedoman Penanganan Benih
Benih Hutan Tropis dan Sub Tropis. Jakarta:
Direktorat Jenderal Rehablitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan.
Seymour G. B., Ostergaard L., Chapman N. H.,
Knapp S., & Martin C. (2013). Fruit
development and ripening. Annu. Rev. Plant
Biol. 64, 219–241
Siregar, N. (2010). Pengaruh ukuran benih
terhadap perkecambahan benih pertumbuhan
bibit gmelina ( Gmelina arborea Linn ). Tekno
Hutan Tanaman, 3(1), 1–5.
Suita, E., & Megawati. (2009). Pengaruh ukuran
benih terhadap perkecambahan dan
pertumbuhan bibit mindi (Melia azedarach
L.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 6(1),
1–8.
Surya, M. (2008). Pengaruh tingkat kematangan
buah terhadap perkecambahan biji pada
Pyracantha spp. Buletin Kebun Raya
Indonesia, 11(2), 36–40.
Utomo, B. P. (2008). Fenologi Pembungaan dan
Pembuahan Jarak Pagar (Jatropha curcas
L.). Skripsi. Progam Studi Pemuliaan
Tanaman dan Teknologi Benih, Fakultas
Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Wulandari, A. S., & Susanti, S. (2012). Aplikasi
pupuk daun organik untuk meningkatkan
pertumbuhan bibit jabon (Anthocephalus
cadamba Roxb . Miq .). Jurnal Silvikultur
Tropika, 3(2), 137–142.
Lampiran (Appendix)1. Nilai F hitung pengaruh waktu pengunduhan dan warna kulit buah terhadap
daya berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi. (F-value The effect of
seed collection time and color fruit to germination capacity and growth
seedling mindi (Melia azadarech Linn)
Respons yang diamati
(Response observed)
F-hitung (F-value) F-Tabel 5 % (F-table 5%)
A B A x B A B A x B
Daya berkecambah (Germination capacity) 1,02ns
27,10XX 1,23
ns 3,4 3,4 2,78
Persen tumbuh bibit (Growth seedling percentage) 1,42 ns
65,16 XX 0,43 ns
3,4 3,4 2,78
Tinggi bibit( Height of seedling) 0,12 ns
16,59 XX 1,03 ns
3,4 3,4 2,78
Panjang akar (Long roots) 2,37 ns
29,41 XX 1,37 ns
3,4 3,4 2,78
Diameter batang (Diameter of seedling) 0,75 ns
9,08 XX 0,74 ns
3,4 3,4 2,78
Berat Kering (Weight of seedling) 1,62 ns
131,58 XX 1,90 ns
3,4 3,4 2,78
Ratio tunas dengan akar /RTA (Shoot and root ratio
of seedling/RTA)
1,60 ns
4,08 XX 3,00 XX 3,4 3,4 2,78
Keterangan (Remark): A = Faktor waktu pengunduhan (Seed collection time), B = Faktor warna kulit buah (color
fruit), AxB = Interaksi antara faktor A dan B ( Interaction between A and B factors)
TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (Blanco) Merr.
Dewi Ayu Lestari
Kontribusi penulis: Dewi Ayu Lestari sebagai kontributor utama
© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.31-44 31
TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea
glutinosa (Blanco) Merr.
(Storage Techniques of Recalcitrant Seeds: Mesua ferrea L. and Swinglea glutinosa (Blanco) Merr.)
Dewi Ayu Lestari
Kebun Raya Purwodadi-Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, LIPI , Jl. Raya Surabaya-
Malang Km.65, Purwodadi, Telp/Fax. 0343-615033, Kode Pos 67163, Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia
e-mail: [email protected]
Naskah masuk: 13 Februari 2018; Naskah direvisi: 14 Februari 2019; Naskah diterima: 2 April 2019
ABSTRACT
Mesua ferrea L. and Swinglea glutinosa (Blanco) Merr. are two species of plants with recalcitrant seed
character. Recalcitrant seed have problem with storage, because they cannot stand being stored for long
periods of time. Storage method becomes indispensable in recalcitrant seeds conservation. The storage
methods were using 3 treatments, namely media of storage, storage time and room of storage, analyzed by
using factorial design with 2 replication. Each treatment combination was tested for seed moisture content,
rate of germination and seed germination value. The results showed that the viability of M. ferrea seeds can
be maintained up to 55 percent ―90 percent if they were stored for 2 months, at either room temperature or
freezer temperature put in a glass jar with silica. Seeds of S. glutinosa have germination percent in a range
of 83.33 percent ―93.33 percent after being stored for 1 month at room temperature, wrapped with
aluminium foil, as well as stored under freezer temperature put in a glass bottle containing silica. Based on
this test, both of seed species are recalcitrant because they cannot stored for long time periods.
Keyword: Mesua ferrea, recalcitrant, seed, storage, Swinglea glutinosa
ABSTRAK
Mesua ferrea L. dan Swinglea glutinosa (Blanco) Merr. merupakan dua jenis tumbuhan dengan karakter
benih yang bersifat rekalsitran. Benih rekalsitran cenderung memiliki permasalahan pada penyimpanan
karena tidak tahan disimpan dalam jangka waktu yang lama. Metode penyimpanan yang tepat menjadi sangat
diperlukan dalam usaha konservasi benih rekalsitran. Metode penyimpanan menggunakan 3 perlakuan yaitu
media simpan, waktu simpan dan ruang simpan yang dianalisis menggunakan rancangan faktorial dengan
ulangan 2 kali. Masing-masing kombinasi perlakuan diuji kadar air benih, kecepatan tumbuh dan nilai
perkecambahan benih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkecambahan benih M. ferrea mampu
dipertahankan hingga sebesar 55 persen― 90 persen jika disimpan dalam media penyimpanan botol kaca
bersilika dan ruang penyimpanan di suhu ruang maupun di dalam freezer, selama 2 bulan penyimpanan.
Benih S. glutinosa memiliki persentase perkecambahan dalam rentang 83,33 persen―93,33 persen setelah
disimpan selama 1 bulan dalam suhu ruang, dibungkus dengan aluminium foil atau dimasukkan ke dalam
botol kaca bersilika dan disimpan di bawah suhu freezer. Berdasarkan hasil pengujian tersebut maka kedua
jenis benih yang diuji merupakan benih rekalsitran yang tidak tahan disimpan dalam jangka waktu lama.
Kata kunci : benih, Mesua ferrea, penyimpanan, rekalsitran, Swinglea glutinosa
I. PENDAHULUAN
Mesua ferrea L. merupakan salah satu
anggota dari famili Clusiaceae yang biasa
dikenal dengan nama lokal ‘iron wood tree’
atau nagasari. Keberadaan jenis ini di alam
masih banyak ditemui, namun
pertumbuhannya sangat lambat dan benih
hanya mampu berkecambah pada kondisi
yang lembab (Khan, Bhuyan, & Singh, 2002).
Hal ini menimbulkan permasalahan dalam
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
32
perkecambahannya, karena benih M. ferrea
memiliki daya hidup yang pendek dan rentan
terhadap serangan mikroba. Disamping itu,
pohon baru bisa menghasilkan benih yang
subur setelah berumur 15 tahun―20 tahun
(Saini, Rani, Rani, & Vimala, 2014). Jenis
tumbuhan ini banyak dimanfaatkan untuk
konstruksi bahan bangunan dan kayu bakar
(kayu), pakan ternak (benih), pewarna alami
(bunga), minyak (benih) dan rebusan
bunganya untuk obat tradisional (Orwa,
Mutua, Kindt, Jamdanass, & Anthony, 2009).
Berdasarkan pengukuran secara morfologi,
benih M. ferrea memiliki bentuk obconical
hingga 3-dimension, dengan permukaan benih
gundul (glabrous) dan berwarna coklat tua.
Ukuran benih 2,3 cm x 1,2 cm x 0,74 cm
dengan berat benih sebesar 4,35 g. Menurut
Joshi, Phartyal, Khan, & Arunkumar (2015),
benih dari M. ferrea secara morfologi
berukuran lebar, berbentuk ovoid hingga
globose dengan rata-rata berat benih sebesar
4,76 g dan rata-rata panjang serta lebar benih
sebesar 27,85 mm x 23,10 mm.
Swinglea glutinosa (Blanco) Merr. adalah
salah satu anggota dari famili Rutaceae yang
memiliki nama lokal ‘Tabog’. Merupakan
jenis tumbuhan dengan habitus pohon dengan
ketinggian mencapai 10 m yang banyak
dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan
diekstrak bagian-bagian tumbuhannya untuk
minyak atsiri atau essential oils lainnya
(Jamal & Sulianti, 2008). Jenis tumbuhan ini
dicirikan dengan adanya duri tunggal di
batang serta memiliki bunga yang aromatik.
Benih S. glutinosa yang berasal dari
kelompok jeruk-jerukan memiliki karakter
yang berbentuk ovoid hingga ellipsoid,
permukaan benih berambut (hairy) dan
berwarna putih tulang (krem). Ukuran benih 9
mm x 5,14 mm x 2,29 mm dengan berat benih
sebesar 0,0399 g. Menurut Krueger dan
Navarro (2007), benih S. glutinosa memiliki
permukaan yang berbulu atau berambut
(hairy).
Kedua jenis tumbuhan tersebut
merupakan jenis yang memiliki benih dengan
karakter rekalsitran. Benih rekalsitran
merupakan benih yang memiliki kadar air
tinggi, hanya dapat disimpan dalam jangka
waktu yang pendek (berkisar dari beberapa
hari hingga beberapa bulan, tergantung dari
jenisnya), sangat mudah terhidrasi, tidak
tahan dengan pengeringan yang intensif dan
sensitif terhadap suhu rendah (Berjak &
Pammenter, 2013; Pammenter & Berjak,
2014). Menurut Barbedo, Centeno, &
Figueiredo-Ribeiro (2013), benih rekalsitran
merupakan benih yang berada dalam tahap
belum matang apabila dibandingkan dengan
benih ortodoks. Sehingga usaha untuk
memperpanjang daya simpannya sangat
diperlukan hingga mencapai tahap
pematangan maksimal.
TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.
Dewi Ayu Lestari
33
Terkait dengan karakter benih tersebut
maka penyimpanan benih sangat penting,
karena penyimpanan benih yang baik akan
menghasilkan benih yang berkualitas dan
bermutu tinggi. Kondisi penyimpanan benih
yang buruk akan menghasilkan penurunan
kualitas benih, sehingga mempengaruhi
kekuatan benih dan hilangnya viabilitas benih
(Haque, Hossain, & Rahman, 2014). Benih
yang berkualitas akan dipengaruhi oleh faktor
internal maupun eksternal. Faktor tersebut
termasuk media penyimpanan dan kondisi
temperatur atau suhu saat penyimpanan benih.
Kondisi dan periode simpan menjadi faktor
yang penting dan mempengaruhi kualitas
benih serta derajat perubahan biokimia di
dalam benih (Mbogne, Oburi, Emmanuel, &
Godswill, 2015). Upaya karakterisasi dan
observasi metode penyimpanan yang tepat
menjadi salah satu hal yang penting dalam
upaya penyimpanan benih yang bersifat
rekalsitran. Khususnya untuk jenis M. ferrea
dan S. glutinosa. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menentukan metode
penyimpanannya yang tepat pada benih M.
ferrea dan S. glutinosa.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan
Januari hingga Juli 2015 di Sub Unit Koleksi
Bank Benih dan Rumah Kaca Pembibitan
Kebun Raya Purwodadi, LIPI, Pasuruan, Jawa
Timur. Alat dan bahan yang digunakan
meliputi kertas berwarna putih (ukuran A4)
yang dibentuk seperti amplop, plastik klip
(ukuran ¼ kg), aluminium foil, botol kaca
bersilika, nampan plastik, freezer, kapas,
pasir, termometer ruangan, oven, desikator,
petridish, timbangan digital analitik dan alat
tulis.
Material bahan yang digunakan adalah
benih M. ferrea dan S. glutinosa yang telah
melalui tahapan pemanenan dan pemrosesan
benih hingga benih siap digunakan. Benih M.
ferrea dan S. glutinosa dipanen dari tanaman
koleksi Kebun Raya Purwodadi-LIPI,
Pasuruan yang berlokasi di vak II.E.14 serta
XIV.B.43.
B. Prosedur Penelitian
1. Ekstraksi benih
Pemanenan buah dilakukan dengan cara
dipetik buahnya. Buah selanjutnya dikupas
untuk mendapatkan benihnya, lalu benih
dicuci dengan air mengalir dan selanjutnya
dijemur atau dikeringanginkan. Tahapan
ekstraksi tersebut dilakukan apabila benih
tidak pecah sendiri dari pohon induknya.
2. Pengujian kadar air benih
Setiap awal perlakuan, masing-masing
kombinasi perlakuan dilakukan pengukuran
kadar air benih dengan menggunakan
metode oven berdasarkan standar prosedur
pengukuran kadar air menurut ISTA
(International Seed Testing Association).
Benih sebanyak 3 g ditimbang (sebagai berat
basah) dan setiap perlakuan diulang
sebanyak 4 kali. Selanjutnya benih dioven
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
34
dengan suhu 108°C selama 18 jam. Benih
yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam
desikator selama 15 menit―20 menit,
kemudian dihitung beratnya sebagai berat
kering (Draper et al., 1985; Lestari, 2013;
Sudrajat, Nurhasybi, & Bramasto, 2015).
Hasil pengukuran dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
2 3KA= 100%
2 1
M Mx
M M
..........................................(1)
Keterangan:
KA = kadar air benih (persen)
M1 = berat wadah dan tutupnya (g)
M2 = berat wadah, tutup dan isinya
sebelum pengeringan (g)
M3 = berat wadah, tutup dan isinya
sesudah pengeringan (g)
3. Pengujian metode penyimpanan benih
Perlakuan metode penyimpanan benih
dilakukan dengan menggunakan rancangan
faktorial dengan 3 faktor yaitu media
simpan, waktu simpan dan ruang simpan.
Media simpan meliputi kertas, plastik,
aluminium foil dan botol kaca bersilika.
Waktu simpan meliputi 0 bulan, 1 bulan dan
2 bulan. Ruang simpan meliputi suhu ruang
(24-25°C) dan freezer (-20°C). Masing-
masing faktor diulang sebanyak 2 kali
dengan jumlah benih untuk masing-masing
kombinasi perlakuan sebanyak 15 benih
(untuk S. glutinosa) dan 10 benih (untuk M.
ferrea). Jumlah ulangan yang terbatas
disebabkan oleh minimnya jumlah benih saat
panen dan waktu panen yang tidak
bersamaan. Benih yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan benih yang dipanen
pada waktu yang bersamaan.
4. Pengujian perkecambahan benih
Benih dari masing-masing perlakuan
yang telah diukur kadar airnya kemudian
disemai dalam media pasir sesuai dengan
kombinasi perlakuannya. Jumlah benih yang
disemai untuk masing-masing kombinasi
perlakuan sebanyak 15 benih (untuk S.
glutinosa) dan 10 benih (untuk M. ferrea)
sebanyak 2 ulangan. Total benih yang
disemai untuk kombinasi perlakuan dengan
media simpan sebanyak 60 benih (untuk S.
glutinosa) dan 40 benih (untuk M. ferrea).
Jumlah media simpan yang digunakan
sebanyak 4 macam sehingga total benih yang
disemai untuk masing-masing perlakuan
waktu tanam sebanyak 240 benih (untuk S.
glutinosa) dan 160 benih (untuk M. ferrea).
Setiap 0, 1 dan 2 bulan setelah penyimpanan
dilakukan penyemaian sebanyak 240 benih
(untuk S. glutinosa) dan 160 benih (untuk M.
ferrea). Benih yang telah disemai disiram
setiap hari. Parameter yang diamati untuk
setiap perlakuan adalah tipe, pola dan
persentase perkecambahan. Persentase
perkecambahan diukur dengan menggunakan
rumus (Sutopo, 2010) sebagai berikut:
jumlah biji yang berkecambahpersentase perkecambahan= 100%
jumlah biji yang disemaix
...(2)
5. Kecepatan tumbuh benih
Kecepatan tumbuh benih (KCT)
merupakan akumulasi kecepatan tumbuh
TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.
Dewi Ayu Lestari
35
setiap hari dalam persen per hari. Menurut
Utami (2013), rumus yang digunakan sebagai
berikut:
0
K = ( / )tn
CT N t ................................................. (3)
Keterangan:
N = % kecambah normal setiap waktu
pengamatan
t = waktu pengamatan
tn = waktu akhir pengamatan
6. Nilai perkecambahan benih
Nilai perkecambahan benih merupakan
hasil perkalian antara nilai puncak
perkecambahan (Peak Value; PV) dengan
nilai rata-rata perkecambahan harian (Mean
Daily Germination; MDG). Menurut Payung,
Prihatiningtyas, & Nisa (2012); Wulandari,
Bintoro, & Duryat (2015), nilai puncak
perkecambahan dan nilai rata-rata
perkecambahan harian diperoleh dari rumus
berikut:
hari yang diperlukan untuk mencapainya
% perkecambahan pada TPV= ...(4)
Keterangan:
PV = nilai puncak perkecambahan
T = titik dimana laju perkecambahan
mulai menurun
% perkecambahan pada ZMDG
jumlah hari uji seluruhnya= .............(5)
Keterangan:
MDG = nilai rata-rata perkecambahan
harian
Z = saat perkecambahan terakhir
C. Analisis Data
Data yang diperoleh dari masing-masing
kombinasi perlakuan dianalisis dengan
menggunakan program statistika PAST
ver.1.34 melalui uji ANOVA (α=0,05) dan
dilanjutkan dengan uji Duncan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Benih nagasari (Mesua ferrea L.)
Hasil pengujian kadar air benih M.
ferrea pada berbagai perlakuan media dan
waktu simpan menunjukkan bahwa kadar air
benih M. ferrea mengalami fluktuasi baik
yang disimpan pada suhu ruang maupun
freezer suhu -20°C. Hanya benih yang
disimpan dalam media plastik pada suhu
ruang yang mengalami penurunan kadar air
hingga mencapai nol persen. Sedangkan benih
yang disimpan dalam media lainnya baik pada
suhu ruang maupun freezer mengalami
penurunan kadar air pada 1 bulan
penyimpanan dan kadar air meningkat
kembali pada 2 bulan penyimpanan. Kondisi
tersebut tidak berlaku pada benih yang
disimpan dalam media aluminium foil suhu
freezer karena mengalami peningkatan kadar
air pada 1 bulan penyimpanan dan menurun
pada penyimpanan 2 bulan (Tabel 1).
Perkecambahan benih M. ferrea yang
disimpan pada berbagai perlakuan media dan
waktu simpan menunjukkan bahwa benih
yang disimpan pada suhu ruang mengalami
penurunan perkecambahan benih baik yang
disimpan dalam media kertas, plastik maupun
aluminium foil. Namun perkecambahan benih
masih bertahan hingga 55 persen pada
penyimpanan dalam botol kaca bersilika
selama 2 bulan. Penyimpanan benih M. ferrea
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
36
dalam freezer suhu -20°C mampu
mempertahankan perkecambahan benihnya
hingga 5 persen (media penyimpanan
aluminium foil) selama kurun waktu 2 bulan.
Sedangkan media penyimpanan plastik di
dalam freezer hanya mampu mempertahankan
perkecambahan benih hingga 60 persen
selama satu bulan. Penyimpanan benih M.
ferrea di dalam freezer dengan media simpan
botol kaca bersilika mampu mempertahankan
perkecambahan benih hingga 90 persen
dibandingkan dengan tanpa penyimpanan
(Tabel 1).
Benih rekalsitran akan mengalami
penurunan kadar air seiring dengan lamanya
penyimpanan, yang diikuti dengan penurunan
persentase perkecambahan. Hal ini tidak
berlaku bagi benih M. ferrea dalam penelitian
ini (Tabel 1). Persentase perkecambahan
mengalami penurunan seiring dengan lama
penyimpanan, kecuali pada benih yang
disimpan dalam botol kaca bersilika baik pada
suhu ruang maupun dalam freezer (-20°C).
Kadar air benih M. ferrea pada berbagai
perlakuan penyimpanan menunjukkan bahwa
perlakuan penyimpanan benih pada media
plastik menurunkan kadar air hingga 0 persen
sejak disimpan selama satu bulan. Sedangkan
pada media penyimpanan lainnya memiliki
kadar air yang berkisar antara 5,32 persen –
27,69 persen.
Kecepatan tumbuh dan nilai
perkecambahan benih M. ferrea yang
disimpan dalam semua media pada suhu
ruang maupun suhu freezer (Tabel 1)
menunjukkan adanya penurunan bahkan
hingga mencapai 0 persen etmal-1
pada media
kertas, plastik dan aluminium foil (suhu
ruang). Kecepatan tumbuh benih dalam
penyimpanan botol kaca bersilika sebesar
1,49 persen etmal-1
dan nilai perkecambahan
benih sebesar 3,10 hingga 2 bulan
penyimpanan. Kecepatan tumbuh benih dalam
botol kaca bersilika pada suhu freezer sebesar
2,43 persen etmal-1
dan nilai perkecambahan
benih sebesar 5,99.
Tabel (Table) 1. Persentase perkecambahan, kadar air, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan
benih M. ferrea pada berbagai media dan ruang simpan (Percentage of
germination,water content, rate of germination and seed germination value of M.
ferrea on various media and seed storage)
Media
simpan
(media of
storage)
Ruang simpan
(room of
storage)
Waktu
simpan
(storage
time)
Persentase
perkecambahan
(percentage of
germination)
Kadar air
benih (%)
(seed water
content)
Kecepatan
tumbuh (%
etmal-1
) (rate of
germination)
Nilai
perkecambahan
benih (seed
germination
value) Kertas( paper) Suhu ruang 0 bulan 90 10,85 39,43 6,31
1 bulan 0 8,28 0 0 2 bulan 0 10,04 0 0
Freezer
-20°C
0 bulan 95 22,4 48,84 8,76
1 bulan 0 5,32 0 0
2 bulan 0 9,02 0 0
TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.
Dewi Ayu Lestari
37
Plastik (plastic) Suhu ruang 0 bulan 80 15,4 35,51 5,02
1 bulan 0 0 0 0
2 bulan 0 0 0 0
Freezer
-20°C
0 bulan 70 27,97 33,11 4,62
1 bulan 60 24,49 1,62 3,29 2 bulan 0 28,29 0 0
Aluminium foil Suhu ruang 0 bulan 90 13,33 46,49 7,01
1 bulan 0 8,79 0 0
2 bulan 0 10,53 0 0
Freezer
-20°C
0 bulan 75 25,39 34,04 4,26
1 bulan 25 27,02 0,48 0,47
2 bulan 5 15,25 0,14 0,04
Botol kaca bersilika (a
glass jar with
silica)
Suhu ruang 0 bulan 100 11,11 42,59 8,28 1 bulan 100 7,96 2,7 7,96
2 bulan 55 11,04 1,49 3,10
Freezer -20°C
0 bulan 85 27,69 35,16 5,46 1 bulan 85 17,83 2,30 5,44
2 bulan 90 18,37 2,43 5,99
2. Benih Tabog (Swinglea glutinosa
(Blanco) Merr.)
Kadar air benih S. glutinosa berdasarkan
hasil pengujian menunjukkan bahwa terjadi
penurunan kadar air pada benih yang
disimpan dalam semua media yang diuji pada
penyimpanan suhu freezer seiring dengan
lamanya penyimpanan. Namun kadar air
mengalami peningkatan pada benih yang
disimpan dalam media kertas, plastik dan
aluminium foil pada suhu ruang dan
mengalami penurunan pada 2 bulan
penyimpanan hingga mencapai nol persen.
Kadar air benih yang disimpan dalam botol
kaca bersilika pada suhu ruang bernilai nol
persen. Kadar air benih S. glutinosa yang
disimpan dalam plastik pada suhu ruang
selama 1 bulan penyimpanan masih dapat
dipertahankan hingga 37,5 persen (Tabel 2).
Benih S. glutinosa memiliki
perkecambahan benih yang lebih baik
dibandingkan dengan perkecambahan benih
M. ferrea. Perkecambahan benih S. glutinosa
berada dalam kisaran 83,33 persen―93,33
persen pada 1 bulan penyimpanan namun
menurun hingga nol persen pada 2 bulan
penyimpanan dengan berbagai media
penyimpanan dalam suhu ruang.
Perkecambahan benih mengalami kenaikan
pada perlakuan benih yang disimpan dalam
kertas dan botol kaca bersilika di suhu ruang.
Perkecambahan benih yang disimpan dalam
plastik cenderung stabil. Penyimpanan benih
dalam freezer suhu -20°C menurunkan
perkecambahan benih S. glutinosa, terutama
pada perlakuan media simpan plastik dan
kertas hingga 10 persen serta 50 persen.
Media penyimpanan aluminium foil dan botol
kaca bersilika mampu mempertahankan
perkecambahan benih hingga di atas 70
persen (Tabel 2).
Persentase perkecambahan memiliki pola
yang relevan dengan kadar air benih selama
penyimpanan dengan berbagai perlakuan yang
diuji, kecuali pada benih yang disimpan
dalam media plastik dan aluminium foil pada
suhu ruang. Sehingga persentase
perkecambahan benih S. glutinosa
menunjukkan hubungan korelasi dengan
kadar air benihnya (Tabel 2). Benih yang
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
38
disimpan pada media kertas dalam suhu ruang
mengalami peningkatan persentase
perkecambahan benih, seiring dengan
peningkatan kadar air benihnya. Benih yang
disimpan dalam media plastik pada suhu
ruang memiliki persentase perkecambahan
yang tetap pada 1 bulan penyimpanan,
sedangkan kadar air benihnya meningkat. Hal
yang sama juga ditunjukkan oleh benih yang
disimpan dalam media aluminium foil pada
suhu ruang, dimana persentase
perkecambahannya menurun pada 1 bulan
penyimpanan namun kadar airnya meningkat.
Sehingga persentase perkecambahan benih S.
glutinosa yang disimpan dalam media
aluminium foil berbanding terbalik dengan
kadar air benihnya.
Kecepatan tumbuh dan nilai
perkecambahan benih S. glutinosa yang
disimpan dalam semua media pada suhu
ruang maupun suhu freezer menunjukkan
adanya penurunan bahkan hingga mencapai 0
persen etmal-1
pada 2 bulan penyimpanan.
Kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan
benih dalam semua media simpan di suhu
ruang akan mengalami peningkatan pada 1
bulan penyimpanan namun akan kembali
menurun hingga 0 persen etmal-1
pada 2 bulan
penyimpanan. Namun terjadi penurunan
kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan
benih pada penyimpanan suhu freezer (Tabel
2).
Tabel (Table) 2. Persentase perkecambahan, kadar air, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan
benih S. glutinosa pada berbagai media dan ruang simpan (Percentage of
germination, water content, rate of germination and seed germination value of S.
glutinosa on various media and seed storage)
Media simpan
(media of
storage)
Ruang simpan
(room of
storage)
Waktu simpan
(storage time)
Persentase
perkecambahan
(percentage of
germination)
Kadar air
benih (%)
(seed water
content)
Kecepatan
tumbuh (%
etmal-1) (rate of
germination)
Nilai
perkecambahan
benih (seed
germination value) Kertas (paper) Suhu ruang 0 bulan 86,67 12,5 31,09 7,95
1 bulan 93,33 22,6 55,25 9,76
2 bulan 0 0 0 0
Freezer -20°C
0 bulan 73,33 20,83 26,93 5,18 1 bulan 63,33 6,25 11,31 3,71
2 bulan 0 0 0 0
Plastik (plastic) Suhu ruang 0 bulan 86,67 12,5 34,28 6,50
1 bulan 86,67 37,5 54,35 9,40
2 bulan 0 0 0 0
Freezer
-20°C
0 bulan 96,67 16,67 42,73 9,49
1 bulan 43,33 16,67 19,21 2,77
2 bulan 0 0 0 0
Aluminium foil Suhu ruang 0 bulan 93,33 12,5 34,41 9,49
1 bulan 86,67 14,29 51,7 8,63 2 bulan 0 0 0 0
Freezer
-20°C
0 bulan 93,33 40 33,89 7,75
1 bulan 90 12,5 26,95 7,02
2 bulan 0 0 0 0
Botol kaca
bersilika (a glass
jar with silica)
Suhu ruang 0 bulan 90 25 35,31 8,42
1 bulan 93,33 20 56,17 10,63
2 bulan 0 0 0 0
Freezer
-20°C
0 bulan 90 25 40,46 8,87
1 bulan 83,33 16,67 32,66 6,31 2 bulan 0 0 0 0
TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.
Dewi Ayu Lestari
39
Hasil analisis ragam pengaruh kombinasi
perlakuan penyimpanan terhadap
perkecambahan benih ditunjukkan dalam
Tabel 3. Kombinasi perlakuan penyimpanan
tidak memberikan pengaruh yang nyata hanya
terhadap parameter kecepatan tumbuh.
Tabel (Table) 3. Hasil analisis ragam pengaruh kombinasi perlakuan penyimpanan benih M. ferrea
dan S. glutinosa terhadap perkecambahannya (Analysis of variance results from
seed storage treatment combination on M. ferrea and S. glutinosa to its
germination)
Parameter penelitian (research parameter) Fhit F(0,05)
Kadar air benih (seed moisture content) 8,592* 5,595
Perkecambahan benih (seed germination) 9,037* 5,595
Kecepatan tumbuh (rate of germination) 3,254tn
5,595
Nilai perkecambahan benih (seed germination value) 7,259* 5,595
Keterangan (Remarks): * = berbeda nyata pada taraf 5%; tn
= tidak berbda nyata pada taraf 5% (* =
significant at 5% level; tn
= not significant at 5% level)
Kombinasi perlakuan antara media dan
ruang penyimpanan menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan terhadap lama
penyimpanan, baik pada benih M. ferrea
maupun S. glutinosa (Tabel 4). Benih M.
ferrea yang langsung disemai tanpa melalui
proses penyimpanan menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang signifikan antar
kombinasi perlakuan. Perbedaan yang
signifikan terjadi pada satu hingga 2 bulan
lama penyimpanan, terutama untuk benih M.
ferrea yang disimpan dalam botol kaca
bersilika baik pada suhu ruang maupun
freezer. Media penyimpanan lainnya seperti
kertas, plastik dan aluminium foil pada
freezer juga memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap perkecambahan benih dari
M. ferrea. Sehingga, kombinasi perlakuan
antara media dan ruang penyimpanan
memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap perkecambahan benih M. ferrea
setelah 2 bulan penyimpanan. Hal yang
berbeda ditunjukkan oleh perkecambahan
benih S. glutinosa. Kombinasi perlakuan
antara media dan ruang penyimpanan hanya
memberikan pengaruh yang signifikan pada
media kertas dan plastik pada ruang
penyimpanan di dalam freezer. Hasil uji
perkecambahan menunjukkan bahwa
penyimpanan benih S. glutinosa disarankan
untuk disimpan pada media penyimpanan
dalam suhu ruang. Tabel (Table) 4. Hasil analisis pada kombinasi perlakuan antara media dan lama penyimpanan
benih M. ferrea dan S. glutinosa (Results of analysis of treatment combination
between media and seed storage time on M. ferrea and S. glutinosa)
Kombinasi perlakuan
benih M. ferrea (treatment
combination of M. ferrea
seeds)
Lama simpan (storage time)
Kombinasi perlakuan benih S. glutinosa
(treatment combination of
S. glutinosa seeds)
Lama simpan (storage time)
0 bulan (0
month)
1 bulan
(1 month)
2 bulan (2
months)
0 bulan
(0 month)
1 bulan
(1 month)
2 bulan (2
months)
Kertas – suhu ruang (paper-room temperature)
90 ab 0 e 0 e Kertas – suhu ruang 86,67 c 93,33 a 0 a
Kertas – freezer (paper-
frezeer)
95 a 0 e 20 c Kertas – freezer 73,33 d 63,33 d 0 a
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
40
Plastik – suhu ruang
(plastic-room
temperature)
80 cd 0 e 0 e Plastik – suhu ruang 86,67 c 86,67 ab 0 a
Plastik – freezer (plastic-freezer)
70 e 60 c 0 e Plastik – freezer 96,67 a 43,33 e 0 a
Aluminium foil – suhu
ruang (aluminium foil – room temperature)
90 ab 0 e 0 e Aluminium foil – suhu
ruang
93,33 a 86,67 ab 0 a
Aluminium foil - freezer 75 e 25 d 5 d Aluminium foil - freezer 93,33 a 90 a 0 a
Botol kaca bersilika –
suhu ruang(a glass jar with silica-room
temperature)
100 a 100 a 55 b Botol kaca bersilika – suhu
ruang
90 ab 93,33 a 0 a
Botol kaca bersilika – freezer (a glass jar with
silica-freezer)
85 c 85 b 90 a Botol kaca bersilika - freezer
90 ab 83,33 bc 0 a
Keterangan (Remarks): Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat
kepercayaan 95 persen menggunakan uji lanjut Duncan. (Values followed by the same letter
are not significantly different at 95 percent confidence level using Duncan test)
Benih M. ferrea memiliki tipe
perkecambahan hipogeal dengan pola
perkecambahan yang serentak (Gambar 1).
Gambar (Figure) 1. Tipe dan pola
perkecambahan benih M. ferrea; (a)
hipogeal, dan (b) pola serentak
(Type and pattern of M. ferrea seed
germination; (a) hypogeal, and (b)
simultaneously pattern)
Sedangkan benih S. glutinosa memiliki tipe
perkecambahan epigeal dengan pola
perkecambahan yang serentak (Gambar 2).
Gambar (Figure) 2. Tipe dan pola
perkecambahan benih S. glutinosa;
(a) epigeal, dan (b) pola serentak
(Type and pattern of S. glutinosa
seed germination; (a) epigeal, and
(b) simultaneously pattern)
Menurut Handayani dan Riswati (2009);
Sutopo (2004), tipe perkecambahan hipogeal
ditunjukkan melalui munculnya radikula
diikuti dengan pemanjangan plumula,
hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan
tanah sedangkan kotiledon tetap tinggal di
dalam kulit benih di bawah permukaan tanah.
Tipe perkecambahan epigeal ditunjukkan
melalui munculnya radikula diikuti dengan
pemanjangan hipokotil secara keseluruhan
dan membawa serta kotiledon dan plumula ke
atas permukaan tanah. Pola perkecambahan
yang serentak ditandai dengan munculnya
kecambah benih secara bersamaan dan tidak
bertahap.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil uji perkecambahan,
benih M. ferrea dengan media dan waktu
simpan yang berbeda menunjukkan bahwa
benih M. ferrea disarankan untuk disimpan
a b
a b
TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.
Dewi Ayu Lestari
41
pada media penyimpanan botol kaca bersilika
baik pada suhu ruang maupun di dalam
freezer (-20°C). Persentase perkecambahan
tidak berkorelasi dengan kadar air benih saat
disimpan. Berdasarkan Tabel 1, kadar air
benih masih cukup tinggi namun persentase
perkecambahannya menurun hingga mencapai
nol persen. Hal ini dikarenakan secara
morfologi benih ditumbuhi jamur saat
penyimpanan. Jenis jamur yang tumbuh pada
benih tidak dilakukan identifikasi lebih lanjut.
Penyimpanan benih pada jenis tertentu
digunakan sebagai salah satu cara untuk
mengetahui karakter dari suatu jenis benih
(Joshi et al., 2015).
Benih M. ferrea dapat berkecambah pada
tempat yang memiliki cukup kelembaban
(Khan, Bhuyan, Shankar, & Todaria, 1999;
Khan et al., 2002). Melalui kelembaban yang
cukup, benih akan semakin mudah untuk
berkecambah. Kadar air benih M. ferrea
sebesar 31 persen dengan nilai desikasi
sebesar 1,5 persen dari kadar air, dapat
disimpan pada suhu 5°C dengan kadar air
benih sebesar 6,7 persen (Joshi et al., 2015).
Berdasarkan hasil uji perkecambahan,
benih S. glutinosa dengan media dan waktu
simpan yang berbeda menunjukkan bahwa
benih S. glutinosa disarankan untuk disimpan
pada media penyimpanan kertas, aluminium
foil maupun botol kaca bersilika pada suhu
ruang. Menurut (McCormack, 2004), kadar
air benih yang terlalu tinggi (lebih dari 18
persen) akan menyebabkan benih kehilangan
perkecambahannya. Sehingga
mempertahankan kadar air benih dalam
kondisi yang ideal sangat penting dilakukan.
Menurut Martyn, Seed, Ooi, & Offord (2009),
berbagai masalah yang muncul dalam
mengecambahkan benih dari kelompok
tumbuhan Rutaceae (jeruk-jerukan) adalah
viabilitas benihnya bervariasi dan
perkecambahannya sulit untuk dipahami.
Penelitian perkecambahan pada kelompok
tumbuhan Rutaceae menemui permasalahan
pada produksi benihnya yang rendah dan
tidak serentak serta perkecambahan benihnya
rendah (12 persen―38 persen). Namun hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa
perkecambahan benih dari salah satu anggota
tumbuhan Rutaceae mampu dipertahankan
antara 83,33 persen―93,33 persen pada
penyimpanan suhu ruang (berbagai media
penyimpanan) maupun freezer (media
penyimpanan aluminium foil dan botol kaca
bersilika).
Anto dan Jayaram (2010) menyatakan
bahwa kadar air benih berkorelasi positif
dengan persentase perkecambahannya dimana
benih legume yang kadar airnya berada di
bawah 6,4 persen―6,8 persen akan
menurunkan persentase perkecambahannya.
Kehilangan kadar air benih secara tidak
langsung akan menurunkan persentase
perkecambahan benih, misalkan pada Saraca
asoca (Smitha & Das, 2016). Hanya benih
yang disimpan dalam aluminium foil pada
suhu ruang yang memiliki korelasi positif
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
42
antara kadar air benih dan persentase
perkecambahannya. Benih yang disimpan
dalam botol kaca bersilika memiliki kadar air
yang meningkat (suhu ruang) dan menurun
(suhu freezer), namun menghasilkan
persentase perkecambahan yang stabil atau
konstan.
Terkait dengan sifat benih yang
rekalsitran, benih M. ferrea dan S. glutinosa
sangat rentan terhadap suhu rendah yang akan
mempengaruhi viabilitasnya. Proses
pengeringan (desikasi) juga memberikan
pengaruh yang signifikan bagi viabilitas
masing-masing benih (Berjak & Pammenter,
2001, 2013; Pammenter & Berjak, 2014).
Penyimpanan benih dengan sifat rekalsitran
lebih baik dalam refrigerator dibandingkan
dengan freezer yang memiliki suhu sangat
rendah. Kualitas benih akan tetap baik dengan
cara mengontrol kadar air benihnya selama
proses penyimpanan di dalam refrigerator.
Pradhan dan Badola (2012) menyatakan
bahwa benih Swertia chirayita yang tergolong
dalam benih rekalsitran mengalami penurunan
viabilitasnya ketika disimpan dalam kondisi
penyimpanan dengan suhu -15ºC, namun
viabilitas benihnya tetap terjaga ketika
disimpan di dalam kondisi penyimpanan 4ºC
selama 2 tahun lama simpan.
Perlakuan penyimpanan pada benih M.
ferrea dan S. glutinosa memberikan respon
terhadap penurunan kecepatan tumbuh dan
nilai perkecambahan benih. Hal ini berarti
bahwa media, ruang dan waktu simpan
menurunkan kecepatan tumbuh dan nilai
perkecambahan kedua jenis benih yang diuji.
Kecepatan tumbuh merupakan indeks yang
penting dalam menentukan kualitas
perkecambahan benih. Menurut Li, Kang,
Wu, & Chen (2012), kecepatan tumbuh benih
padi hibrida lebih baik daripada benih padi
non hibrida yang disimpan pada kondisi
penyimpanan yang kering dan dingin. Hal ini
dikarenakan kualitas benih padinya lebih baik
sehingga meningkatkan kecepatan
tumbuhnya. Nilai perkecambahan benih
merupakan persentase benih yang
berkecambah setiap harinya sehingga
berkaitan dengan laju perkecambahan benih
atau daya tumbuh benih (Payung et al., 2012).
Semakin lama benih disimpan maka laju
perkecambahan atau daya tumbuh benih akan
semakin menurun, sehingga nilai
perkecambahan benih juga akan menurun.
IV. KESIMPULAN
Penyimpanan benih M. ferrea disarankan
dalam media botol kaca bersilika baik pada
suhu ruang maupun di dalam freezer (-20°C).
Benih S. glutinosa dengan media dan waktu
simpan yang berbeda disarankan untuk
disimpan dalam berbagai media penyimpanan
(suhu ruang) serta media penyimpanan
aluminium foil dan botol kaca bersilika (suhu
TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.
Dewi Ayu Lestari
43
freezer). Mengacu pada hasil penyimpanan
kedua jenis tersebut maka benih M. ferrea dan
S. glutinosa dikategorikan dalam benih
rekalsitran yang tidak tahan disimpan untuk
waktu yang lama.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih pada
Bapak Roif Marsono yang telah membantu
dalam proses pemanenan dan penyiapan
benih, serta Sub Unit Herbarium dalam
penyimpanan benih.
DAFTAR PUSTAKA
Anto, K. B., & Jayaram, K. M. (2010). Effect of
temperature treatment on water content green
pea & soybean. International Journal of
Botany, 6(2), 122–126.
Barbedo, C. J., Centeno, D. D. C., & Figueiredo-
Ribeiro, R. D. C. L. (2013). Do recalcitrant
seeds really exist ? Hoehnea, 40(4), 583–595.
doi:10.1590/S2236-89062013000400001.
Berjak, P., & Pammenter, N. W. (2001). Seed
recalcitrance - Current perspectives. South
African Journal of Botany, 67(2), 79–89.
doi:10.1016/S0254-6299(15)31111-X.
Berjak, P., & Pammenter, N. W. (2013).
Implications of the lack of desiccation
tolerance in recalcitrant seeds. Frontiers in
Plant Science, 4(November), 1–9.
doi:10.3389/fpls.2013.00478.
Draper, S. R., Bass, L. N., Bould, A., Gouling, P.,
Hutin, M. C., Rennie, W. J., Tonkin, J. H. B.
(1985). Seed Science and Technology:
International Rules for Seed Testing. Vol. 13,
No. 2. Switzerland: International Seed
Testing Association.
Handayani, T., & Riswati, M. K. (2009).
Perkecambahan Biji Beberapa Jenis
Tumbuhan Berpotensi. Prosiding Konservasi
Flora Indonesia Dalam Mengatasi Dampak
Pemanasan Global, 240–243.
Haque, S. M. A., Hossain, I., & Rahman, M. A.
(2014). Effect of different storage containers
used for storing seeds and management
practices on seed quality and seed health in
CVL-1 variety. International Journal of
Plant Pathology, 5(2), 28–53.
Jamal, Y., & Sulianti, S. B. (2008). Chemical
constituents of essential oils from three
species of rutaceous family plant. Berita
Biologi, 9(3), 285–290.
Joshi, G., Phartyal, S. S., Khan, M. R., &
Arunkumar, A. N. (2015). Recalcitrant
morphological traits and intermediate storage
behaviour in seeds of Mesua ferrea, a
tropical evergreen species. Seed Science and
Technology, 43(1), 121–126.
doi:10.15258/sst.2015.43.1.13.
Khan, M. L., Bhuyan, P., Shankar, U., & Todaria,
N. P. (1999). Seed germination and seedling
fitness in Mesua ferrea L. in relation to fruit
size and seed number per fruit. Acta
Oecologica, 20(6), 599–606.
doi:10.1016/S1146-609X(99)00101-0.
Khan, M. L., Bhuyan, P., & Singh, N. D. (2002).
Fruit set , seed germination and seedling
growth of Mesua ferrea (Clusiaceae) in
relation to light intensity. Journal of Tropical
Forest Science, 14(1), 35–48.
Krueger, R. R., & Navarro, L. (2007). Citrus
Germplasm Resources. UK: MRM Graphics
Ltd.
Lestari, D. A. (2013). Effect of Material and
Storage Time on Seed Germination of
Parmentiera cereifera Seem. Proceedings of
The 3rd Annual Basic Science International
Conference 2013 (Volume 3), 16.1–16.3.
Li, W., Kang, G., Wu, H., & Chen, L. (2012).
Germination rates of hybrid seeds of rice
(Oryza sativa L) Zhuliangyou 02 with
different treatments of dehydration, storage
and soaking. African Journal of Agricultural
Researcharch, 7(36), 5043–5048.
doi:10.5897/AJAR11.2219.
Martyn, A. J., Seed, L. U., Ooi, M. K. J., &
Offord, C. A. (2009). Seed fill, viability and
germination of NSW species in the family
Rutaceae. Cunninghamia, 11(2), 203–212.
Mbogne, J. T., Oburi, N. W., Emmanuel, Y., &
Godswill, N. N. (2015). Influence of
conditioning and storage materials on the
germination potential of pumpkin (Cucurbita
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
44
spp.) seeds. International Journal of Current
Research in Biosciences and Plant Biology,
2(4), 65–75.
McCormack, J. (2004). Seed processing and
storage: principles and practices of seed
harvesting, processing, and storage. An
organic seed production manual for seed
growers in the Mid-Atlantic and Southern
U.S. Version 1.3. Retrieved from
http://carolinafarmstewards.org/savingoursee
d.shtml.
Orwa, C., Mutua, A., Kindt, R., Jamdanass, R., &
Anthony, S. (2009). Mesua ferrea Guttiferae
Mesua ferrea. Agroforestree Database:a Tree
Reference and Selection Guide Version 4.0.,
0, 1–5. Retrieved from
http://www.worldagroforestry.org/treedb/AF
TPDFS/Mesua_ferrea.PDF.
Pammenter, N. W., & Berjak, P. (2014).
Physiology of desiccation-sensitive
(recalcitrant) seeds and the implications for
cryopreservation. International Journal of
Plant Sciences, 175(1), 21–28.
doi:10.1086/673302.
Payung, D., Prihatiningtyas, E., & Nisa, S. H.
(2012). Uji daya kecambah benih sengon.
Jurnal Hutan Tropis, 13(2), 132–138.
Pradhan, B. K., & Badola, H. K. (2012). Effect of
storage conditions and storage periods on
seed germination in eleven populations of
Swertia chirayita : A critically endangered
medicinal herb in Himalaya. The Scientific
World Journal, 2012(June), 1–9.
doi:10.1100/2012/128105.
Saini, S., Rani, R., Rani, R., & Vimala, Y. (2014).
In vitro callus induction protocols of Mesua
ferrea (a slow growing medicinal tree) using
two type explants & different concentrations
of PGRs. Annals of Plant Sciences, 3(3),
651–55.
Smitha, D., & Das, M. (2016). Effect of seed
moisture content, temperature and storage
period on seed germination of Saraca asoca -
An endangered medicinal plant. Medicinal
Plants, 8(1), 60–64. doi:10.5958/0975-
6892.2016.00009.5.
Sudrajat, D. J., Nurhasybi, & Bramasto, Y.
(2015). Standar Pengujian dan Mutu Benih
Tanaman Hutan. Bogor: Forda Press.
Sutopo, L. (2004). Teknologi Benih. Malang:
Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.
Sutopo, L. (2010). Teknologi Benih. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Utami, S. (2013). Uji viabilitas dan vigoritas
benih padi lokal ramos adaptif Deli Serdang
dengan berbagai tingkat dosis irradiasi sinar
gamma di persemaian. Agrium, 18(2), 130–
138.
Wulandari, W., Bintoro, A., & Duryat. (2015).
Pengaruh ukuran berat benih terhadap
perkecambahan benih Merbau darat (Intsia
palembanica). Jurnal Sylva Lestari, 3(2), 79–
88.
PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI
EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON
Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan Yulianti Bramasto
*Kontribusi penulis: Y.M.M Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi, dan Yulianti Bramasto sebagai kontributor utama
© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.45-54 45
PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI
EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON
(Pre Sterilization Effect towards the Successful of the Initiation of Sengon Explant Shoots)
*Y.M.M. Anita Nugraheni, *Ratna Uli Damayanti Sianturi dan/and *Yulianti Bramasto
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Jalan Pakuan Ciheuleut PO BOX 105 , Telp./Fax. 0251 8327768, Bogor, Jawa Barat, Indonesia
e-mail: [email protected]
Naskah masuk: 26 Maret 2018; Naskah direvisi: 21 Mei 2018; Naskah diterima: 18 Juni 2019
ABSTRACT
Sengon known as forest product with high market demand. Tissue culture is one multiplication method to get
seeds in large quantities. One factors that support the success of reproduction is the health of the plant
material. The purpose of the study is to determine the influence of pre-sterilization treatments towards the
successful initiation of sengon organogenesis. The research method was done by spraying the seedlings with
Pyraclostrobin 50 g.kg -1
+ Metiram 550 g.kg -1
of 2,500 ppm every week for 3 months. Each explant was
grown on MS medium.The observation was carried out done every 1 week for 12 weeks, including the
amount of contamination (bacteria, fungi), browning and the appearance of buds, roots and callus. Data
were analyzed by t-test. The next stage is multiplication by using treatments of 24D 0.1 mM, 24D 0.5 mM,
BAP 0.5 mM, BAP 2 mM, K 0.1 mM, K 0.5 mM, TDZ 0.1 mM, TDZ 0, 5 mM, and control. Completely
randomized design was used and analyzed by using one way ANOVA, and tested with Duncan for the
differences at 0,05 significant level. The results showed that pra-sterilization treatment was capable of
supporting the successful initiation of sengon shoots characterized by low levels of contamination, increased
number of callus and number of sengon shoots explants. Kinetin 0.01 mM in the multiplication media of
sengon shoots was able to increase the number of adventitious shoots. Keywords : explant, Falcataria moluccana, plantlet, tissue culture
ABSTRAK
Sengon dikenal sebagai produk hutan yang memiliki berbagai manfaat. Permintaan pasar yang tinggi akan
sengon mendorong perlunya upaya budidaya yang berkelanjutan. Kultur jaringan merupakan salah satu
metode perbanyakan untuk mendapatkan bibit dalam jumlah banyak dengan waktu singkat. Salah satu faktor
yang mendukung keberhasilan perbanyakan adalah kesehatan bahan tanaman. Tujuan penelitian untuk
mengetahui pengaruh perlakuan prasterilisasi terhadap keberhasilan inisiasi organogenesis eksplan pucuk
sengon. Metode penelitian dilakukan dengan penyemprotan Pyraclostrobin 50 g.kg -1
+ Metiram 550 g.kg -1
dengan dosis 2.500 ppm pada bibit sengon di rumah kaca setiap 1 minggu sekali selama 3 bulan. Semua
eksplan selanjutnya ditanam pada media MS. Pengamatan 1 minggu sekali selama 12 minggu, meliputi
jumlah kontaminasi (bakteri, jamur), pencoklatan serta pemunculan tunas, akar, dan kalus. Data dianalisis
dengan uji t. Tahapan selanjutnya adalah multiplikasi dengan perlakuan : 24D 0,1 mM, 24D 0,5 mM, BAP
0,5 mM, BAP 2 mM, K 0,1 mM, K 0,5 mM, TDZ 0,1 mM, TDZ 0,5 mM, dan kontrol. Rancangan penelitian
yang digunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data pengamatan multiplikasi dianalisis menggunakan
analisis varian satu arah, selanjutnya diuji dengan Duncan, taraf signifikansi 0,05. Hasil penelitian
menunjukkan perlakuan prasterilisasi mampu mendukung keberhasilan inisiasi eksplan pucuk sengon, yang
dicirikan dengan rendahnya tingkat kontaminasi, meningkatnya jumlah kalus dan jumlah tunas eksplan.
Penambahan kinetin 0,01 mM dalam media multiplikasi pucuk sengon dapat meningkatkan tunas adventif. Kata kunci : eksplan, kultur jaringan, Falcataria moluccana, planlet
I. PENDAHULUAN
Sengon merupakan salah satu tanaman
penghasil kayu yang sangat diminati di pasar
karena keunggulannya yaitu kayunya mudah
diolah, umumnya ditanam oleh masyarakat di
hutan rakyat, dan digunakan sebagai penaung
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 45-54
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
46
perkebunan kopi maupun kakao (Herliyana,
Putra, & Taniwiryono, 2012). Permintaan
pasar yang tinggi akan sengon mendorong
perlunya upaya budidaya yang berkelanjutan
yaitu melalui penyediaan bibit dalam jumlah
besar, relatif cepat pengadaannya serta harga
yang relatif murah. Perbanyakan
menggunakan biji memiliki kekurangan, salah
satunya adalah perbedaan karakter awal dari
genotipe (Harahap, Siregar, & Husni, 2015).
Perbanyakan sengon secara vegetatif
melalui kultur jaringan dapat menjadi salah
satu pilihan. Perbanyakan dengan benih dapat
menghasilkan anakan tanaman dengan sifat
yang relatif beragam sehingga masih
memerlukan uji lapangan dalam waktu yang
cukup lama untuk mendapatkan keseragaman
sifat unggulnya. Sistem perbanyakan kultur
jaringan melalui organogenesis tunas pucuk
diharapkan mampu memenuhi ketersediaan
bibit sengon yang seragam dalam waktu
singkat dan dengan harga yang relatif murah.
Menurut Yuliani (2001) kultur tunas pucuk
memiliki beberapa keuntungan yaitu frekuensi
organogenesisnya tinggi, tingkat stabilitas
genetiknya relatif tinggi, penggunaan yang
luas pada banyak jenis, terbukti berhasil untuk
propagasi pohon dewasa, dan secara ekonomi
murah.
Materi sumber eksplan yang secara
fisiologis telah lengkap dari daun, batang dan
akar akan meningkatkan persentase
keberhasilan pembentukan planlet pada
perbanyakan kultur jaringan (Putri &
Jayusman, 2012). Selain itu, salah satu faktor
pendukung keberhasilan teknik perbanyakan
melalui kultur jaringan adalah kesehatan
materi genetik, yaitu tidak terserang hama dan
penyakit. Pada tahap awal teknik kultur
jaringan kendala terbanyak adalah bagaimana
mendapatkan eksplan dengan tingkat
kontaminasi bakteri atau fungi yang rendah di
dalam botol kultur. Upaya yang dilakukan
dimulai dari isolasi bahan induk tanaman
sebagai sumber eksplan di dalam rumah kaca
serta perawatan dengan fungisida dan
bakterisida. Pada percobaan ini dilakukan
prasterilisasi tanaman induk dengan pemberian
fungisida dengan kombinasi Pyraclostrobin
dan Metiram. Fungisida ini diketahui mampu
menekan pertumbuhan jamur dan khamir serta
menunjukkan efek tambahan sebagai zat
pengatur tumbuh (Rego, Nascimento, Cabral,
Silva, & Oliveira, 2009;González-Rodríguez et
al., 2011). Tujuan penelitian adalah
mengetahui pengaruh pemberian fungisida
Pyraclostrobin 50 g.kg-1
+ Metiram 550 g.kg-1
terhadap keberhasilan inisiasi eksplan pucuk
sengon.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Penelitian dilakukan di rumah kaca dan
laboratorium Kultur jaringan BP2TPTH Bogor
sejak bulan Pebruari sampai dengan
September 2017. Bahan dan alat yang
PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI
EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON
Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan Yulianti Bramasto
47
diperlukan untuk penelitian adalah bibit
sengon asal Cianjur dan Boyolali, media
sekam padi, kompos, tanah, media Murashige
dan Skoog,MS, Pyraclostrobin 50 g.kg-1
+
Metiram 550 g.kg-1
.
B. Prosedur Penelitian
Bibit sengon yang dipilih memiliki rata-
rata tinggi dan diameter yang sama,
diusahakan bibit juga memiliki kualitas yang
baik. Kriteria bibit berkualitas baik yaitu bibit
yang tumbuh normal dan bebas dari hama dan
penyakit (Naemah & Susilawati, 2015).
Selanjutnya bibit dipindahkan pada media
dengan komposisi perbandingan volume tanah
: pupuk kandang : arang sekam : sekam padi =
3 : 2 : 2: 2 (v/v), dan ditanam dalam pot
berdiameter 20 cm. Perlakuan yang digunakan
yaitu disemprot dan tidak disemprot
Pyraclostrobin 50 g.kg-1
+ Metiram 550 g.kg-1
.
Penyemprotan dilakukan setiap 1 minggu
sekali selama 3 bulan. Dosis yang digunakan
untuk sekali siram untuk semua bibit adalah
1.000 ml dengan konsentrasi 2.500 ppm.
Penyemprotan dilakukan menggunakan
sprayer agar merata. Tahapan kegiatan
selanjutnya yang dilakukan yaitu eksplan
diambil dari tunas pucuk dari setiap perlakuan,
selanjutnya dipotong sepanjang 2 cm, semua
daunnya dipotong dan disisakan daun hanya
pada 1 ruas. Eksplan yang diambil dari
perlakuan Pyraclostrobin 50 g.kg-1
+ Metiram
550 g.kg-1
sebanyak 34 buah (terdiri dari
eksplan asal Cianjur sebanyak 17 buah dan
eksplan asal Boyolali 17 buah), sedangkan
eksplan yang diambil dari perlakuan kontrol
sebanyak 17 buah. Jumlah eksplan yang
digunakan hanya sedikit karena keterbatasan
eksplan juvenile yang tersedia di rumah kaca.
sebanyak 17 buah.Masing-masing eksplan
yang telah dibersihkan selanjutnya ditanam
pada media MS di dalam LAF. Selanjutnya
dilakukan pengamatan terhadap kondisi
eksplan serta kontaminasi yang muncul.
Tahapan selanjutnya yang dilakukan
adalah tahapan multiplikasi. Eksplan yang
telah tumbuh menjadi individu baru
selanjutnya disubkultur ke dalam botol-botol
berisi media MS dengan beberapa perlakuan
multiplikasi : 24D 0,1 mM, 24D 0,5 mM, BAP
0,5 mM, BAP 2 mM, K 0,1 mM, K 0,5 mM,
TDZ 0,1 mM, TDZ 0,5 mM, dan kontrol.
Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap
persen hidup, jumlah tunas, jumlah berkalus,
serta kontaminasi yang muncul.
C. Analisis Data
Pengamatan terhadap eksplan dilakukan
setiap 1 minggu sekali sampai 12 minggu,
meliputi kontaminasi (bakteri, jamur, khamir),
browning (pencoklatan), jumlah akar, dan
kalus yang muncul. Pada akhir pengamatan
juga dilakukan penghitungan jumlah tunas
yang tumbuh. Data pengamatan inisiasi yang
telah terkumpul dianalisis menggunakan uji t
student dengan taraf signifikansi 0,05.
Pengamatan terhadap multiplikasi tunas
sengon dilakukan setiap 1 minggu sekali
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 45-54
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
48
sampai 12 minggu, meliputi jumlah yang
hidup, jumlah tunas, kalus yang muncul, serta
kontaminasi yang muncul (bakteri, jamur,
khamir). Rancangan penelitian yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL). Data pengamatan hasil multiplikasi
dianalisis menggunakan analisis varian satu
arah, selanjutnya diuji dengan Duncan. Taraf
signifikansi 0,05.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil pengamatan selama 12 minggu pada
kultur in vitro tunas pucuk sengon terhadap
beberapa peubah dapat dilihat pada Tabel 1.
Pengaruh perlakuan prasterilisasi pada
tanaman induk sebagai sumber eksplan dengan
penyemprotan fungisida yang berbahan aktif
Pyraclostrobin 50 g.kg-1
+ Metiram 550 g.kg-1
menghasilkan tingkat kontaminasi rendah yang
berbeda nyata terhadap kontrol (α < 0,05).
Pengaruh lain juga terlihat pada inisiasi tunas
aksilar pada eksplan yang menunjukkan bahwa
perlakuan penyemprotan fungisida
memberikan jumlah tunas aksilar yang tumbuh
pada eksplan lebih banyak dibandingkan
dengan kontrol yaitu 1,4 tunas lebih banyak (α
< 0,05). Demikian juga pengaruh pelakuan
pada induksi kalus pada eksplan menunjukkan
berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol
yaitu sebesar 182,7 persen lebih tinggi (α <
0,01). Namun pada peubah jumlah eksplan
yang berakar tidak lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol ( α > 0,05).
Tabel (Table) 1. Pengaruh perlakuan prasterilisasi terhadap jumlah kontaminasi eksplan serta
pemunculan tunas, akar dan kalus (Pre sterilization effect on the number of explan
contamination as well as bud, root and callus appearance)
No Peubah
(Variables)
Kode
(Code)
n
Rataan
(Average)
Ragam
(Varians) P-value
Keterangan
(Remarks)
1 Kontaminasi T0 17 0,41 0,26 0,02 *
(Contamination) T1 34 0,08 0,08
2 Tunas (Bud) T0 17 0,71 0,60 0,04 *
T1 34 1.35 2,05
3 Akar (Root) T0 17 0,24 0,19 0,20 Ns
T1 34 0,41 0,25
4 Kalus (Callus) T0 17 0,29 0,22 0,00 **
T1 34 0,82 0,15
Keterangan (Remarks) : T0 Kontrol; T1 Perlakuan prasterilisasi. Peubah yang menunjukkan tanda
“*“ berbeda nyata pada uji T taraf α : 0.05 dan “**” berbeda nyata pada uji T taraf α 0.01
(T0 Control; T1 Pre-Treatment Treatment. The variables exhibiting "*" are significantly
different in the T tests α: 0.05 and "**" significantly different in the T test α 0.01).
Hasil percobaan menunjukkan adanya
kontaminasi jamur dan bakteri pada eksplan
kultur in vitro. Perlakuan prasterilisasi
tanaman induk sebagai sumber eksplan pada
percobaan ini merupakan suatu usaha awal
yang ditujukan untuk mengurangi potensi
kontaminan yang mungkin terbawa pada
bagian tunas pucuk sebagai eksplan.
PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI
EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON
Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan Yulianti Bramasto
49
Kontaminan yang dimaksud dalam percobaan
ini adalah total kontaminasi baik dari jamur
dan bakteri. Pada perlakuan kontrol,
kontaminasi bakteri lebih tinggi (6 eksplan
terkontaminasi) dibandingkan dengan jamur (1
eksplan terkontaminasi). Pada perlakuan
prasterilisasi menunjukkan kontaminasi terjadi
hanya 1 eksplan yaitu kontaminasi bakteri.
Gambar (Figure) 1. Pengaruh perlakuan hormon terhadap jumlah tunas sengon (Effect of hormone
treatment on the number of sengon shoots)
Tabel (Table) 2. Analisis varian jumlah tunas dan kalus yang muncul (Varian analysis of number of
shoot and callus)
Sumber keragaman (Source
of variation)
Db
(df)
Jumlah kuadrat
(Sum square)
Rerata kuadrat
(Mean square)
Nilai P
(P value)
Jumlah tunas (number of
shoot)
8 102.53 12.81 2.49
Kalus (callus) 8 2.08 0.26 0.31
Error 61 262.20 5.14
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 45-54
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
50
Gambar (Figure ) 2. Pertumbuhan tunas sengon dengan perlakuan (a) TDZ 0.1 mM, (b) K 0.1
mM, (c) BAP 2.0 mM (Growth of sengon shoots with treatment (a) TDZ
0.1 mM, (b) K 0.1 mM, (c) BAP 2.0 mM)
B. Pembahasan
Tingkat kontaminasi jamur pada eksplan
sengon yang digunakan dalam penelitian ini
termasuk rendah. Ada dua dugaan terkait hal
tersebut selain dari perlakuan prasterilisasi
yang diberikan, yaitu pengaruh isolasi tanaman
induk di rumah kaca dimana cukup memberi
perlindungan pada tanaman induk dari
perubahan kondisi udara luar dan kedua
dipengaruhi oleh teknik sterilisasi
menggunakan bahan kimia di dalam
laboratorium yang sudah cukup sesuai untuk
eksplan sengon yang digunakan. Namun
demikian, pengaruh prasterilisasi dengan
penyemprotan fungisida di rumah kaca diduga
berpengaruh terhadap rendahnya kontaminasi
bakteri pada perlakuan dibandingkan dengan
kontrol. Walaupun pada percobaan ini
menggunakan fungisida namun terjadi
penekanan pada kontaminasi bakteri pada
eksplan yang digunakan. Hal ini diduga karena
adanya pengaruh ganda senyawa aktif pada
fungisida tersebut yaitu sebagai zat pengatur
tumbuh dan sebagai elicitor. Elicitor memicu
persinyalan sistemik terkait pertahanan
tanaman untuk melawan mikroorganisme,
melalui produksi senyawa metabolit sekunder
seperti fitoaleksin, terpenoid, flavanoid dan
fenolik. Hal ini didukung oleh penelitian
Skandalis et al., (2016) bahwa penggunaan
pyraclostrobin sebagai fungisida kelompok
strobilurin mampu menginduksi ketahanan
tanaman tomat melawan virus dan bakteri
melalui aktivasi awal gen-gen terkait
pertahanan tanaman. Di Kanada,
Pyraclostrobin merupakan salah satu fungisida
yang telah banyak digunakan secara luas
(Bowness et al., 2015).
Menurut Korlina, (2016) dan Lagunas-
Allué et al.(2012) Pyraclostrobin
direkomendasikan untuk pencegahan dan
pengobatan embun tepung dan jamur berbulu
halus pada tanaman buah dan tanaman
merambat.
(a) B
C
(b) B
C
(c) B
C
PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI
EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON
Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan Yulianti Bramasto
51
(a) Struktur kimia Pyraclostrobin
(b) Struktur kimia 2,4 –D
Sumber (Source) : Sigma Aldrich (2017)
Gambar (Figure) 3. (a) Struktur kimia Pyraclostrobin dan (b) struktur kimia 2,4 –D (auksin) ((a)
Pyraclostrobin and (b) 2,4 –D chemical structure)
Tabel 1 menunjukkan perbedaan nyata
pada peubah jumlah tunas pada eksplan dan
jumlah eksplan yang berkalus. Hasil tersebut
menunjukkan terdapat pengaruh tambahan
pada tingkat regenerasi eksplan pada
lingkungan in vitro. Hal ini diduga terdapat
fungsi ganda pada bagian struktur kimia
Pyraclostrobin yang mirip dengan struktur
kimia auksin (asam 2,4 diklorofenoksi asetik)
pada dua gugus fungsi rantai cincin jenuh
ganda dengan struktur rantai asam di bagian
lainnya (Gambar 3). Adanya inisiasi
pertumbuhan kalus pada eksplan yang diberi
perlakuan Pyraclostrobin 50 g.kg-1
+ Metiram
550 g.kg-1
diduga karena adanya perbedaan
rasio kandungan sitokinin dan auksin pada
eksplan dimana diketahui media MS yang
digunakan pada penelitian ini tidak diberi
tambahan hormon. Secara teori kondisi dimana
suatu eksplan akan menghasilkan kalus ketika
rasio hormon auksin dan sitokinin dalam
kekuatan yang seimbang dalam mempengaruhi
regenerasi sel. Menurut Rosita, Siregar, &
Kardhinata (2015) salah satu hal yang sangat
penting dalam pertumbuhan tanaman adalah
konsentrasi sitokinin dan auksin yang
seimbang. Pada hasil penelitian juga diperoleh
perbedaan nyata pada jumlah tunas yang
tumbuh pada perlakuan dibandingkan kontrol
(Tabel 1).
Pyraclostrobin merupakan salah satu
fungisida sistemik, rumus senyawanya yaitu
C19H18ClN3O4 (Sigma-Aldrich, 2017).
Fungisida sistemik merupakan fungisida yang
dapat terserap ke dalam jaringan tanaman dan
terdistribusi melalui jaringan xilem.
Pyraclostrobin merupakan senyawa kimia
yang termasuk dalam anggota fungisida
kelompok strobilurin (Krieger, Doull,
Ecobichon, Gammon, Hodgson, Reiter, 2001;
Tsialtas, Theologidou, & Karaoglanidis,
2017). Fungsi fungisida pyraclostrobin
diketahui pada penghambatan respirasi
mitokondria dengan menghalangi transfer
elektron pada rantai respirasi jamur (Kanungo
& Joshi, 2014). Hal ini merusak proses
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 45-54
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
52
biokimia selular yang penting sehingga
mampu menghentikan pertumbuhan jamur
penyebab penyakit cacar daun teh (Krieger,
Doull, Ecobichon, Gammon, Hodgson, Reiter,
& Ross, 2001).
Fungsi Pyraclostrobin sebagai zat
pengatur tumbuh dan elicitor juga diperkuat
oleh penelitian Hasanah (2016), aplikasi
fungisida Pyraclostrobin meningkatkan
aktivitas nitrat reduktase, serapan N, indeks
luas daun, durasi luas daun, aktivitas
fotosintesis total, laju pertumbuhan tanaman,
bobot kering, dan bobot umbi bawang merah
saat panen. Hasil ini menunjukkan bahwa
Pyraclostrobin berfungsi dalam pengendalian
serangan jamur dan sekaligus sebagai elicitor
dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tanaman. Fungsi Pyraclostrobin sebagai zat
pengatur tumbuh dan elicitor juga diperkuat
oleh penelitian (Siniwi, Putra, & Respatie,
2017) dimana pada tanaman kakao
(Theobroma cacao L.) yang disemprot dengan
senyawa Pyraclostrobin memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam mengakumulasi N
dalam bentuk nitrat pada jaringannya.
Ketersediaan N dalam bentuk nitrat yang
melimpah dalam jaringan daun secara otomatis
menstimulasi aktivitas enzim nitrat reduktase,
lebih lanjut pemberian Pyraclostrobin pada
konsentrasi 126 ppm menunjukkan aktivitas
nitrat reduktase dalam jaringan daun yang
nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kontrol. Enzim nitrat reduktase berfungsi
untuk merubah nitrat menjadi nitrit yang
kemudian setelah melalui serangkaian kerja
enzim lain nitrit ini akan diubah menjadi asam
amino dan protein yang terlibat dalam
metabolisme (Siniwi et al., 2017). Mekanisme
ini diduga memicu terbentuknya asam amino
triptopan sebagai bahan dasar auksin. Salah
satu peran Pyraclostrobin sebagai zat pengatur
tumbuh adalah meningkatkan kemampuan
tanaman dalam mensintesis N dan protein.
Peningkatan tersebut merupakan dampak dari
perbaikan kinerja nitrat reduktase pada
tanaman yang mendapatkan aplikasi
Pyraclostrobin. Sintesis N dan protein yang
tinggi berpotensi memperbaiki mutu produk
tanaman khususnya yang berkaitan dengan
variabel protein, lemak, dan fenolik total
(Siniwi et al., 2017).
Pemberian kinetin 0,01 mM pada media
multiplikasi tunas sengon berpengaruh nyata
terhadap jumlah tunas yang diperoleh
dibandingkan pengaruh ZPT lainnya kecuali
tidiazuron 0,01 dan 0,05 mM (Gambar 1 dan
2). Zat pengatur tumbuh kinetin menunjukkan
aktivitas positif terhadap multiplikasi tunas
adventif sengon pada konsentrasi 0,01
dibandingkan pada konsentrasi 0,05 mM.
Setiap zat pengatur tumbuh memiliki rentang
konsentrasi yang berbeda-beda terhadap
peubah pertumbuhan kultur in vitro. Pada
penelitian ini, kinetin dapat digunakan sebagai
salah satu ZPT untuk multiplikasi tunas
sengon. Namun demikian, kisaran konsentrasi
PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI
EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON
Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan Yulianti Bramasto
53
yang terbaik masih dapat dievaluasi pada
percobaan selanjutnya. Kinetin merupakan
ZPT kelompok sitokinin yang lebih umum
ditemukan pada tanaman secara alami. Pada
perolehan jumlah tunas perlakuan TDZ masih
menunjukkan pengaruh yang hampir sama
dengan kinetin.
IV. KESIMPULAN
Perlakuan prasterilisasi dengan
penyemprotan Pyraclostrobin 50 g.kg-1
+
Metiram 550 g.kg-1
mampu mendukung
keberhasilan inisiasi eksplan pucuk sengon
ditandai dengan rendahnya tingkat
kontaminasi, meningkatnya jumlah kalus serta
meningkatnya jumlah tunas eksplan sengon.
Pemberian kinetin 0,01 mM pada media
multiplikasi tunas sengon mampu
meningkatkan jumlah tunas adventif sengon.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Ir. H.M. Zanzibar M.M., Dr. Dede J. Sudrajat,
S.Hut, M.T., Ir. Danu M.Si., Dra. Dharmawati
Djam’an, Kurniawati Purwaka Putri, S.Hut,
M.Si, Dina Agustina, Wildani Asfari Hanifah,
Suherman, Emuy Supardi, Abay, dan Sutrisno
atas bantuan, saran dan masukannya selama
penelitian di rumah kaca dan di laboratorium
BP2TPTH, serta semua pihak sehingga
terselesaikannya tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bowness, R., Gossen, B. D., Chang, K.-F.,
Goswani, R., Willenborg, C. J., Holtz, M., &
Strelkov, S. E. (2015). Sensitivity of
Mycosphaerella pinodes to Pyraclostrobin
Fungicide. Plant Disease, 100(1), 192–199.
https://doi.org/10.1094/PDIS-03-15-0350-RE
González-Rodríguez, R. M., González-Barreiro,
C., Rial-Otero, R., Regueiro, J., Torrado-
Agrasar, A., Martínez-Carballo, E., &
Cancho-Grande, B. (2011). Influence of new
fungicides - Metiram and pyraclostrobin - On
Saccharomyces cerevisiae yeast growth and
alcoholic fermentation course for wine
production. CYTA - Journal of Food, 9(4),
329–334.
https://doi.org/10.1080/19476337.2011.60413
5
Harahap, P.S., Siregar, L.A.M., & Husni, Y.
(2015). Kajian Awal : Respon Eksplan Nodus
dalam Inisiasi Tunas Mikro Tanaman Karet
(Hevea brasiliensis Muell Arg.) dalam
Medium MS. Agroekoteknologi, 3(2337),
229–237.
Hasanah, U. (2016). Pengaruh Bahan Aktif
Pyraclostrobin terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Bawang Merah (Allium cepa L.
Aggregatum group). Universitas Gadjah
Mada.
Herliyana, E.N., Putra, I.K., & Taniwiryono, D.
(2012). Uji Patogenitas Ganoderma terhadap
Bibit Tanaman Sengon ( Paraserienthes
falcataria ( L ) Nielsen ). Jurnal Silvikultur
Tropika, 3(1), 37–43.
Kanungo, M., & Joshi, J. (2014). Impact of
Pyraclostrobin (F-500) on Crop Plants. Plant
Science Today, 1(3), 174–178.
https://doi.org/10.14719/pst.2014.1.3.60
Korlina, E. (2016). Efektifitas Fungisida Berbahan
Aktif Pyraclostrobin 50 g/Kg + Metiram g/Kg
untuk Mengendalikan Penyakit Embun
Tepung ( Podosphaera leucotrica ) pada
Tanaman Apel. Agrovigor, 9(1), 19–23.
Krieger, R., Doull, J., Ecobichon, D., Gammon, D.,
Hodgson, E., Reiter, L., & Ross, J. (2001).
Handbook of Pesticide Toxicology. Academic
Press, London.
Lagunas-Allué, L., Martínez-Soria, M. T., Sanz-
Asensio, J., Salvador, A., Ferronato, C., &
Chovelon, J. M. (2012). Degradation
intermediates and reaction pathway of
pyraclostrobin with TiO2photocatalysis.
Applied Catalysis B: Environmental, 115–
116, 285–293.
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 45-54
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
54
https://doi.org/10.1016/j.apcatb.2011.12.015
Naemah, D., & Susilawati, S. (2015). Identifikasi
Kesehatan Bibit Sengon (Paraserianthes
falcataria L.) di Persemaian. Jurnal Hutan
Tropis, 3(2), 158–165.
Putri, A. I., & Jayusman, D. (2012). Inisiasi Tunas
Aksiler serta Kalus Toona sinensis dan Toona
sureni dengan Sumber Bahan Stek Cabang.
Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 6(3), 167–
180.
Rego, C., Nascimento, T., Cabral, A., Silva, M. J.,
& Oliveira, H. (2009). Control of grapevine
wood fungi in commercial nurseries.
Phytopathologia Mediterranea, 48(1), 128–
135.
https://doi.org/10.14601/phytopathol_mediterr
-2881
Rosita, E., Siregar, L. A. M., & Kardhinata, E. H.
(2015). Pengaruh Jenis Eksplan dan
Komposisi Media terhadap Pembentukan
Tunas Tanaman Karet (Hevea brasiliensis
Muell. Arg.) Secara In Vitro.
Agroekoteknologi, 4(1), 1756–1761.
Sigma-Aldrich. (2017). Chemical Structure
Catalogue. Retrieved from
http://www.sigmaaldrich.com/
Siniwi, R. A., Putra, E. T. S., & Respatie, D. W.
(2017). Pengaruh Konsentrasi Pyraclostrobin
terhadap Kandungan Protein , Lemak dan
Fenolik Total Biji Kakao ( Theobroma cacao
L .) Klon ICCRI 04 dan Scavina 6.
Vegetalika, 6(2), 25–39.
Skandalis, N., Dimopoulou, A., Beri, D., Tzima,
A., Malandraki, I., Theologidis, I., …
Vassilakos, N. (2016). Effect of
Pyraclostrobin Application on Viral and
Bacterial Diseases of Tomato. Plant Disease,
100(7), 1321–1330.
https://doi.org/10.1094/PDIS-10-15-1216-RE
Tsialtas, J. T., Theologidou, G. S., &
Karaoglanidis, G. S. (2017). Effect of
pyraclostrobin on disease control, leaf
physiology, seed yield and quality of
sunflower. Crop Protection, 99, 151–159.
https://doi.org/10.1016/j.cropro.2017.05.022
Yuliani, S. E. (2001). Perbanyakan Sengon
(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) yang
Berasal dari Tanaman Dewasa dengan Teknik
Kultur Jaringan: Pengaruh Prosedur
Sterilisasi dan Zat Pengatur Tumbuh. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor.
PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN
BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)
Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah
*Kontribusi penulis: Arif Irawan sebagai kontributor utama
© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.55-65 55
PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN
BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)
(Effect of Storage Condition and Periods on Seed Germination of Cempaka Wasian (Magnolia
tsiampaca (Miq.) Dandy))
*Arif Irawan dan/and Hanif Nurul Hidayah Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Telp. (0431) 7242949, Kode Pos 95119, Kota
Manado, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia
e-mail : [email protected]
Naskah masuk: 2 Juli 2018; Naskah direvisi: 5 Oktober 2018; Naskah diterima: 31 Mei 2019
ABSTRACT
Cempaka wasian (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy) is one of the most popular carpentry woods in North
Sulawesi. The development of cempaka wasian species is constrained by the inability of seeds to be stored
for a long period of time. The purpose of this research was to determine the effect of different storage
periods and conditions towards seed germination of cempaka wasian. The experimental design used
completely randomized factorial design with two main factors as follow: storage condition and storage
periods. The results showed that the conditions and storage periods had an effect on seed water content,
germination rate, and seed vigor index of cempaka wasian seeds, but it did not affect the germination
capacity. The storage conditions of air condition room (temperature 18ºC―21ºC, relative humidity
51percent―61 percent) was the most ideal condition for storing cempaka wasian seeds. Cempaka wasian
seeds are included in the category of intermediate seed because the treatment of the storing period for 4
(four) weeks did not affect the germination capacity even though the water content of the seeds has
decreased.
Keywords: condition, germination, Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy, periode
ABSTRAK
Cempaka wasian (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy) merupakan salah satu jenis kayu pertukangan yang
banyak diminati masyarakat di Sulawesi Utara. Pengembangan jenis cempaka wasian terkendala oleh
ketidakmampuan benih untuk dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kondisi dan periode simpan yang paling sesuai bagi benih cempaka wasian. Penelitian
menggunakan Rancangan Faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap dengan faktor utama adalah kondisi
dan periode simpan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peiode dan ruang simpan memberikan pengaruh
terhadap kadar air benih, laju perkecambahan, dan indeks vigor benih cempaka wasian, namun tidak
berpengaruh terhadap daya berkecambahnya. Kondisi simpan pada ruang AC (suhu 18oC―21
oC;
kelembapan 51 persen―61persen) merupakan kondisi yang paling ideal untuk penyimpanan benih cempaka
wasian. Benih cempaka wasian termasuk dalam kategori benih intermediet karena perlakuan periode simpan
selama 4 (empat) minggu tidak memberikan pengaruh terhadap daya berkecambahnya walaupun kadar air
benihnya telah menurun. Kata kunci : cempaka wasian, kondisi, periode, perkecambahan
I. PENDAHULUAN
Cempaka wasian (Magnolia tsiampaca
(Miq.) Dandy) adalah salah satu jenis
penghasil kayu pertukangan yang banyak
diminati oleh masyarakat di Sulawesi Utara.
Kayunya memiliki banyak peruntukan di
antaranya adalah sebagai bahan furnitur, pintu,
alat musik (kolintang) dan bahan kontruksi
pembuatan rumah adat khas Minahasa (Kinho
& Mahfudz, 2011). Pengembangan cempaka
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 55-65
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
56
wasian sebagai tanaman hutan penghasil kayu
perlu terus ditingkatkan mengingat
kebutuhannya yang terus bertambah. Untuk
menunjang keberhasilan kegiatan penanaman
diperlukan teknik penanganan benih secara
tepat yang disesuaikan dengan
karakteristik/watak benihnya (Yuniarti &
Nurhasybi, 2015). Teknik penanganan benih
adalah semua kegiatan penanganan benih
mulai dari benih dihasilkan sampai benih diuji
dan disimpan agar mutu benih terjamin
(Yuniarti, Nurhasybi & Darwo, 2016).
Benih memiliki daya simpan berbeda
sesuai dengan kondisi fisiologisnya, terdapat
benih yang mampu disimpan dalam waktu
yang lama hingga beberapa tahun dan terdapat
benih yang hanya mampu disimpan dalam
periode pendek. Benih yang dapat disimpan
dalam waktu lama disebut dengan benih
ortodok, benih yang tidak mampu disimpan
dalam waktu lama disebut dengan benih
relaksitran, dan benih yang memiliki sifat di
antara ortodok dan rekalsitran disebut dengan
benih intermediate (toleran pada pengeringan
dengan kadar air lebih rendah dari benih
rekalsitran tetapi tidak serendah benih
ortodok) (Walters, 2015). Benih cempaka
termasuk benih rekalsitran atau tidak dapat
disimpan dalam waktu lama karena
viabilitasnya yang rendah (Kinho & Mahfudz,
2011), namun informasi tersebut perlu dikaji
lebih mendalam dengan menganalisis kadar air
benih dan waktu optimal penyimpanannya
yang hingga saat ini masih belum diketahui.
Agar viabilitas benih dapat terjaga dan
dapat dipertahankan maka kondisi dan teknik
penyimpanan harus tepat sesuai dengan tipe
benih (Siahaan, 2017). Viabilitas benih selama
penyimpanan dipengaruhi oleh faktor internal
dan eksternal. Faktor internal mencakup sifat
genetik, tumbuh dan vigor, kondisi kulit dan
kadar air benih awal. Faktor eksternal antara
lain kemasan benih, komposisi gas, suhu dan
kelembapan ruang simpan (Copeland &
McDonald, 2002). Teknik penanganan benih
mempengaruhi viabilitas benih (Djamhuri,
Yuniarti & Purwani, 2012). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kodisi dan periode
simpan yang paling sesuai bagi benih cempaka
wasian.
II. BAHAN DAN METODE
A. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Persemaian
Permanen BPDASHL Tondano Kima Atas
yang berada di komplek kantor Balai
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado, Provinsi
Sulawesi Utara pada bulan November
2017―Januari 2018.
B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan berupa
bak kecambah, plastik sungkup, media pasir
yang telah disterilisasi, kantong plastik kedap
PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN
BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)
Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah
57
udara, sprayer, aquades, ruang suhu kamar,
ruang dengan alat pengatur kondisi ruang
(AC), kulkas, hygrometer. alkohol, sarung
tangan, label dan alat tulis. Benih cempaka
wasian yang digunakan berasal dari Kabupaten
Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.
C. Prosedur Penelitian
1. Pengunduhan buah dan ekstraksi benih
Pengunduhan buah dilakukan dengan cara
pemanjatan. Buah yang telah diunduh
selanjutnya diseleksi berdasarkan tingkat
kemasakannya. Buah masak sempurna akan
berwarna merah sedangkan yang belum terlalu
masak berwarna hijau kemerahan. Buah hasil
pengunduhan langsung diekstraksi. Ekstraksi
benih dilakukan dengan menjemur beberapa
saat hingga buah cempaka wasian pecah dan
selanjutnya membersihkan benih dari kulit aril
yang masih menempel dengan merendamnya
terlebih dahulu. Buah yang sudah lumat dicuci
dengan air hingga daging dan kulitnya
terlepas.
2. Prosedur kerja
Faktor-faktor yang diuji dalam penelitian
ini adalah perlakuan kondisi dan periode
simpan benih. Perlakuan-perlakuan tersebut
adalah :
a. Kondisi simpan
M1 = disimpan dalam wadah plastik pada
suhu kamar (suhu 27oC―30
oC;
kelembapan 64 persen―80 persen)
M2 = disimpan dalam wadah plastik pada
ruang AC (suhu 18oC―21
oC;
kelembapan 51persen―61 persen)
M3 = disimpan dalam wadah plastik pada
kulkas (suhu 5oC―10
oC;
kelembapan 42 persen―49 persen)
b. Periode simpan
W1=disimpan selama 1 minggu
W2=disimpan selama 2 minggu
W3=disimpan selama 3 minggu
W4=disimpan selama 4 minggu.
Dalam uji coba ini benih yang digunakan
adalah benih yang telah masak sempurna
(berwarna hitam). Setiap perlakuan terdiri atas
3 ulangan masing – masing sebanyak 50 benih.
Penyimpanan benih cempaka wasian
dilakukan pada suhu kamar, ruang AC dan
kulkas yang dilakukan secara bersamaan.
Benih ditabur setiap minggu hingga 4 (empat)
minggu setelah penyimpanan. Pengamatan
perkecambahan benih dilakukan setiap hari
selama 35 hari.
3. Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati adalah kadar air
benih, daya berkecambah, laju perkecambahan
dan indeks vigor. Perhitungan kadar air benih,
daya berkecambah, laju perkecambahan, dan
indeks vigor menggunakan rumus sebagai
berikut:
a. Kadar air benih
Benih diuji kadar airnya dengan metode
oven suhu 103±2°C selama 17 jam. Pengujian
menggunakan 3 ulangan, masing-masing berat
awal sebelum dioven ±2,3 gram. Kadar air
dinyatakan dalam persen berat dan dihitung
dalam 1 desimal terdekat (ISTA, 2010) dengan
rumus sebagai berikut:
.................(1)
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 55-65
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
58
Keterangan :
M1 = berat wadah sebelum dioven (g)
M2 = berat wadah + benih sebelum
dioven(g)
M3 = berat wadah + benih setelah
dioven(g)
b. Daya berkecambah
Daya berkecambah ditentukan dengan
jumlah benih yang sudah berkecambah
normal. Menurut Sadjad et al. (1999), daya
berkecambah menjabarkan parameter
viabilitas potensial dengan rumus:
...(2)
c. Laju perkecambahan
Laju perkecambahan dihitung dengan
menggunakan persamaan (Sutopo, 2010) :
...(3)
Keterangan :
N = Jumlah benih yang berkecambah pada
hari tertentu
T = Jumlah waktu antara awal pengujian
sampai dengan akhir interval tertentu
suatu pengamatan
d. Indeks vigor
Pengamatan indeks vigor dilakukan
terhadap kecambah normal pada hitungan hari
pertama (ISTA, 2010) mengunakan rumus:
...(4)
Keterangan : .
G = Jumlah benih yang berkecambah pada
hari tertentu
D = Waktu yang bersesuaian dengan
jumlah tersebut
n = Jumlah hari pada perhitungan akhir
D. Analisis Data
Hasil penelitian dianalisis menggunakan
analisis ragam dan apabila berpengaruh nyata,
untuk melihat perbedaan signifikansi antar
perlakuan dilajutkan dengan uji lanjut Duncan
(Duncan’s Multiple Range Test).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil analisis ragam untuk mengetahui
pengaruh perlakuan kondisi dan periode
simpan ditampilkan pada Tabel 1. Tabel (Table) 1. Analisis ragam pengaruh perlakuan kondisi dan periode simpan benih cempaka
wasian terhadap kadar air benih, daya bekecambah, laju perkecambahan, dan
indeks vigor benih (Analysis of variance the influence treatment of storage
condition and storege periode of M. tsiampaca seed toward seed moisture content,
germination percentage, germination rate, and seed vigor index)
Sumber variasi
(Source of
variation)
db
Kuadrat tengah (Means square)
Kadar air benih (seed
moisture content) Daya berkecambah
(germination percentage)
Laju perkecambahan
(germination rate)
Indeks vigor
benih (seed vigor index)
M 2 8,37** 25,00ns 25,03** 3,01**
W 3 9,51** 70,07ns 13,24** 0,64**
M*W 6 0,47ns 19,51ns 1,22ns 0,20ns
Sisa/galat (Error) 22 0,46 29,55 1,86 0,10
Keterangan (Remarks) : ** = nyata pada tingkat kepercayaan 99%, ns=tidak nyata (** = significantly at
99% level of confidence), M=kondisi ruang simpan (storage condition), W =
periode penyimpanan (storage periods)
PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN
BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)
Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah
59
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa perlakuan kondisi simpan dan periode
simpan memberikan pengaruh nyata terhadap
parameter kadar air benih, laju perkecambahan
dan indeks vigor benih, sedangkan untuk daya
berkecambah tidak memiliki pengaruh yang
nyata. Selanjutnya interaksi perlakuan tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap seluruh
paramater yang diamati. Hasil uji lanjut dan
rata-rata hasil dari perlakuan yang dicobakan
ditampilkan pada Tabel 2 dan 3.
Tabel (Table) 2. Rata-rata kadar air benih, daya berkecambah, laju perkecambahan, dan indeks
vigor benih cempaka wasian akibat perlakuan kondisi simpan (Average of seed
moisture content, germination percentage, germination rate, and seed vigor index
of M. tsiampaca seed due to storage condition)
No Perlakuan
(Treatment)
Kadar air benih (seed
moisture content)
Daya berkecambah
(germination percentage)
Laju perkecambahan
(germination rate)
Indeks vigor benih
(seed vigor index)
1. M1 11,45a 87,83 18,21a 2,62b
2. M2 10,12b 87,83 14,75b 3,45a
3. M3 11,66a 85,33 18,12a 2,53b
Keterangan (Remarks) : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama dalam suatu kolom menunjukkan tidak
berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Figures followed by the same letter on the
same column indicate that there is no significant difference at 95% level of confidence)
M1=disimpan dalam wadah plastik pada suhu kamar; M2=disimpan dalam wadah plastik
pada ruangan AC; M3=disimpan dalam wadah plastik pada kulkas (M1= stored in plastic
containers at room temperature; M2= stored in plastic containers at AC room; M3=
stored in plastic containers at refrigerator)
Tabel (Table) 3. Rata-rata kadar air, daya berkecambah, kecepatan perkecambahan, dan indeks
vigor benih cempaka wasian akibat perlakuan waktu simpan (Average of seed
moisture content, germination percentage, germination rate, and seed vigor index
of M. tsiampaca seed due to storage periode)
No Perlakuan
(Treatment)
Kadar air benih (seed
moisture content)
Daya berkecambah
(germination percentage)
Laju perkecambahan
(germination rate)
Indeks vigor benih
(seed vigor index)
1. W1 12,11a 88,67 19,42a 2,48b
2. W2 11,39b 86,00 16,19b 2,90a
3. W3 11,15b 83,56 15,72b 3,03a
4. W4 9,66c 89,78 16,26b 3,06a
Keterangan (Remarks) : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama dalam suatu kolom menunjukkan tidak
berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Figures followed by the same letter on
the same column indicate that there is no significant difference at 95% level of
confidence). W1=peniyimpanan selama 1 minggu; W2=penyimpanan selama 2 minggu;
W3=penyimpanan selama 3 minggu; W4=penyimpanan selama 4 minggu (W1=storage
for 1 week; W2=storage for 2 weekk; W3=storage for 3 week; W4=storage for 4 week).
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui
bahwa kondisi simpan memberikan pengaruh
terhadap kadar air benih cempaka wasian,
namun jika dibandingkan dengan daya
berkecambahnya tidak memberikan nilai yang
berbeda. Kecepatan perkecambahan dan
indeks vigor terbaik ditunjukkan oleh kondisi
simpan benih pada ruang AC. Selanjutnya
periode simpan memberikan pengaruh
terhadap penurunan kadar air benih cempaka
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 55-65
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
60
wasian namun juga tidak memberikan
perbedaan nyata terhadap daya
berkecambahnya. Laju perkecambahan terlama
dan indeks vigor benih terendah ditunjukkan
oleh periode simpan 1 (satu) minggu.
B. Pembahasan
Menurut Raka, Astiningsih, Nyana, dan
Siadi (2012) dalam proses penyimpanan benih,
kadar air benih merupakan faktor kritis yang
berpengaruh terhadap proses penurunan mutu
benih. Kadar air benih merupakan faktor yang
menentukan dalam kemunduran benih
(Yuniarti, Syamsuwida, & Aminah, 2013).
Penurunan daya berkecambah akibat
penurunan kadar air dilaporkan terjadi pada
benih Agathis damara (Djaman, Priadi, &
Sudarmonowati, 2006), Rhizophora apiculata
(Rohandi & Widyani, 2010) dan kemiri sunan
(Reutealis risperma) (Tresniawati, Murniati &
Widajati, 2014). Benih cempaka wasian
memiliki rata-rata kadar air awal sebesar 14,25
persen. Kadar air benih cempaka wasian ini
cenderung lebih rendah jika dibandingkan
dengan benih bambang lanang (Michelia
champaca Linn) yang dilaporkan memiliki
kadar air awal sebesar 22,34 persen (Yuniarti
& Hurhasybi, 2015). Kadar air awal sangat
menentukan daya simpan atau kemampuan
benih untuk disimpan. Prinsip penyimpanan
adalah mengupayakan energi benih untuk
tumbuh tetap optimal dengan meminimalkan
respirasi benih (Suita & Darwo, 2015).
Mahjabin, Bilal dan Abidi (2015)
menjelaskan bahwa selama penyimpanan,
kadar air benih dan suhu bertanggung jawab
terhadap kerusakan benih. Kadar air benih
cempaka wasian dalam penelitian ini
menunjukkan nilai perubahan berdasarkan
kondisi dan periode simpan. Semakin lama
disimpan kadar air benih menunjukkan nilai
yang terus menurun. Selanjutnya kondisi pada
ruang simpan AC juga menunjukkan nilai
kadar air terendah dibandingkan pada kondisi
suhu kamar dan kulkas. Penurunan kadar air
selama penyimpanan merupakan faktor kritis
yang mempengaruhi viabilitas benih (Sukesh
& Chandrashekar, 2013). Jika dilakukan
perbandingan perbedaan nilai kadar air benih
pada benih cempaka wasian akibat perlakuan
kondisi dan periode simpan ini, maka dapat
diketahui bahwa kadar air benih tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap
daya berkecambahnya. Perkecambahan benih
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti mutu
benih, perlakuan awal, dan kondisi
perkecambahan (Sudrajat & Megawati, 2010).
Perkecambahan dan daya simpan benih
merupakan karakter yang dikendalikan secara
genetik, dipengaruhi oleh kondisi benih
sebelum disimpan dan kondisi lingkungan
penyimpanan (Jyoti & Malik, 2013). Tidak
terdapat hubungan antara kadar air benih
dengan daya berkecambah benih cempaka
wasian ini diduga karena kadar air benih
PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN
BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)
Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah
61
cempaka wasian masih berada di atas batas
titik kritis untuk berkecambah. Benih yang
kadar airnya berada di bawah batas titik kritis
kadar air akan mati karena kekeringan (Aji,
Sutriono & Hayati, 2018). Beberapa hasil
penelitian lain yang menyatakan bahwa benih
masih mampu bertahan pada kadar air rendah
antara lain benih kesambi dengan kadar air
bervariasi (7,13 persen―9,17 persen) selama
penyimpan masih memiliki daya berkecambah
cukup baik (44,75 persen―63,50 persen)
(Suita & Ismiati, 2011); benih pulai dengan
kadar air berkisar antara 7,5 persen―9 persen
selama disimpan masih memiliki daya
berkecambah 82 persen (Zanzibar, 2010);
benih jelutung dengan kadar air 10,77
persen―10,97 persen yang disimpan juga
memiliki daya berkecambah hingga 60 persen
(Kartiko & Danu, 2010); benih Manilkara
kauki yang mampu mempertahankan daya
berkecambahnya hingga 60 persen selama
penyimpanan dengan kadar air 8,3 persen
(Suita, Sudrajat, & Kartiana, 2011).
Hubungan antara kadar air benih cempaka
wasian dan daya berkecambah yang telah
ditunjukkan di atas merupakan sebuah indikasi
bahwa benih cempaka wasian dapat
dikategorikan pada benih semi rekalsitran
(intermediet). Hal ini dapat dilihat dari
kandungan kadar awal benih yang tidak
telampau tinggi (14,24 persen) dan daya
berkecambahnya masih tetap stabil pada saat
kadar airnya dibawah 10 persen. Seperti yang
disampaikan oleh Schmidt (2000) bahwa suatu
grup jenis yang dapat dikeringkan sampai
kadar air cukup rendah sesuai klasifikasi
ortodok, tetapi peka pada suhu rendah sebagai
ciri benih rekalsitran disebut intermediet.
Penyimpanan benih cempaka wasian dalam
kulkas menghasilkan daya berkecambah yang
cenderung lebih rendah jika dibandingkan
daya berkecambah benih dengan penyimpanan
suhu kamar dan ruangan AC.
Nilai daya berkecambah, laju
perkecambahan benih dan indeks vigor dari
benih cempaka wasian dalam penelitian ini
yang semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya periode penyimpanan
(penurunan kadar air benih) juga memperkuat
adanya indikasi bahwa benih cempaka wasian
termasuk dalam kategori benih intermediet.
Suita dan Ismiati (2008) menyampaikan
bahwa benih kesambi dapat diduga termasuk
ke dalam benih dengan kategori semi
rekalsitran (intermediet) karena benih kesambi
setelah dilakukan pengeringan hingga kadar
air bervariasi 7 persen―8 persen, daya
berkecambah dan kecepatan berkecambahnya
meningkat. Laju perkecambahan menunjukkan
kecepatan benih pada saat berkecambah
(Siahaan, 2017). Peubah vigor benih
merupakan indikator kekuatan tumbuh dan
daya simpan benih (Yuniarti, Zanzibar,
Megawati, & Leksono, 2014). Menurut Artola,
Santos, Garca, Aeda, dan Carrillo (2003) vigor
yang rendah akan menghasilkan pohon yang
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 55-65
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
62
buruk, sehingga untuk penanaman seharusnya
bibit yang digunakan berasal dari benih
dengan vigor tinggi. Yuniarti, Zanzibar,
Megawati dan Leksono (2016) menyatakan
bahwa vigor daya simpan dapat meningkatkan
daya berberkecambah sebesar 12 persen dan
mempercepat kecepatan berkecambah sebesar
0,84 persen per etmal. Pada benih cempaka
wasian hasil uji coba ini juga diketahui
memiliki nilai indeks vigor yang masih tinggi.
Selanjutnya peningkatan laju
perkecambahan seiring dengan waktu simpan
benih mengindikasikan bahwa benih cempaka
wasian mempunyai dormansi endogen
(penurunan kadar air terjadi pemasakan benih).
Menurut Sutopo (2002) dormansi endogen
biasa juga disebut sebagai after ripening
(setiap perubahan pada kondisi fisiologis benih
selama penyimpanan yang mengubah benih
menjadi mampu berkecambah). Proses
pemasakan benih (after ripening) berfungsi
untuk menyempurnakan perkembangan
embrio benih sehingga dapat berkecambah
lebih baik (Suita & Ismiati, 2011). Beberapa
benih yang juga mengalami proses after
ripening di antaranya adalah benih malapari
(Murniati, 2013), tanjung (Suita, 2006), kepuh
(Sudrajat, Nurhasybi, & Syamsuwida, 2011)
dan kesambi (Suita dan Ismiati, 2008).
Selanjutnya Thapliyal dan Tewari (2011) juga
menambahkan bahwa penyimpanan benih
(after ripening) mampu meningkatkan indeks
vigor 5 kali lebih besar daripada benih segar.
Peningkatan ini menunjukkan bahwa embrio
yang tidak aktif pada saat buah dari pohonnya
akan berkembang dan dewasa pada
penyimpanan.
Nurisma, Agustiansyah dan Kamal (2015)
menyatakan bahwa suhu ruang simpan
berperan dalam mempertahankan viabilitas
benih selama penyimpanan, yang dipengaruhi
oleh kadar air benih, suhu dan kelembapan
nisbi ruangan. Suhu yang terlalu rendah
(kulkas) serta suhu kamar diduga menghambat
proses pemasakan benih cempaka wasian,
sehingga mengurangi laju perkecambahan
benih. Menurut Rahayu dan Widajati (2007)
yang melakukan penelitian terhadap benih
caisin, kondisi ruang simpan kulkas yang
memiliki suhu di sekitar titik beku
menyebabkan pematahan after ripening.
Sedangkan suhu kamar memiliki suhu yang
fluktuatif sehingga juga diduga memberikan
pengaruh terhadap proses pemasakan benih
cempaka wasian. Ruang AC merupakan
kondisi yang paling ideal dalam proses after
ripening benih cempaka wasian, hal ini karena
ruang AC dapat mempertahankan viabilitas
benih yang lebih lama karena suhu dan
kelembapan udara yang konstan atau tidak
terjadi fluktuasi (Schmidt, 2000). Ruang AC
juga memiliki kelebihan lainnya yaitu pada
ruang AC aktifitas serangga dan jamur pada
proses perkecambahan dapat terhambat karena
PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN
BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)
Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah
63
suhu yang rendah sehingga penyimpanan pada
kondisi ini dapat mencegah kerusakan benih
akibat metabolisme serangga dan jamur (Suita
dan Darwo, 2015). Beberapa benih yang juga
memiliki karakteristik mampu bertahan baik
jika disimpan pada ruangan AC antara lain
benih kayu bawang (Yuniarti, Nurhasybi, dan
Darwo, 2016), Jelutung rawa (Kartiko &
Danu, 2010) dan eboni (Yuniarti,
Syamsuwida, dan Aminah, 2013). Pada
dasarnya prinsip yang digunakan untuk
meningkatkan daya simpan benih intermediet
adalah dengan menurunkan kadar air hingga
batas tertentu yang aman untuk disimpan (di
atas kadar air kritisnya) (Sudrajat et al.,
2017).
IV. KESIMPULAN
Kondisi dan ruang simpan memberikan
pengaruh terhadap kadar air benih, laju
perkecambahan, dan indeks vigor benih
cempaka wasian, namun tidak berpengaruh
terhadap daya berkecambahnya. Kondisi
simpan pada ruang AC merupakan kondisi
yang paling ideal untuk penyimpanan benih
cempaka wasian. Benih cempaka wasian
termasuk dalam kategori benih intermediet
karena perlakuan periode simpan selama 4
(empat) minggu tidak memberikan pengaruh
terhadap daya berkecambahnya walaupun
kadar air benihnya telah menurun.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada Kepala BP2LHK Manado, Ir. Dodi
Garnadi, M.Si, Manajer dan Sekertaris
Persemaian Permanen BPDASHL Tondano
Kima Atas, Rudy Dapi, SP dan Prayitno,
S.Hut serta petugas persemaian Eky Kaeng
dan Opa.
DAFTAR PUSTAKA
Aji, I.M.L., Sutriono, R., & Hayati, M.. (2018).
Pengaruh media simpan dan lama
penyimpanan terhadap viabilitas benih dan
pertumbuhan semai mahoni (Swietenia
mahagoni (L) Jacq). Jurnal Belantara, 1(1),
23–29.
Artola, A., Santos, D.L., Garca, G., Aeda, C., &
Carrillo, G. (2003). A seed vigour test for
birdsfoot trefoil (Lotus corniculatos L.). Seed
Science and Technology, 31(3), 753–757.
Copeland, L, O & McDonald, M, B. (2002).
Principles of Seed Sciences and Technology
(Fourth Edi). Massachusetts: Kluwer
Academic Publisher.
Djaman, D.F., Priadi, D & Sudarmonowati, E.
(2006). Penyimpanan Benih Damar (Agathis
damara Salisb.) dalam Nitrogen Cair .
Biodiversitas, 7(2),164-167.
Djamhuri, E., Yuniarti, N., & Purwani, H.D.
(2012). Viabilitas benih dan pertumbuhan
awal bibit akasia krasikarpa (Acacia
crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.) dari lima
sumber benih di Indonesia. Jurnal Silvikultur
Tropika, 3(3),187-195.
ISTA. (2010). International rules for seed testing:
Edition 2010. The International Seed Testing
Association. Bassersdorf. Switzerland.
Jyoti, & Malik, C.P. (2013). Seed deterioration: A
review. International Journal of Life Sciences
Biotechnology and Pharma Research, 2(3),
374-385
Kartiko H.D.P., & Danu. (2010). Jelutung (Dyera
spp..) Atlas Ebnih Jilid 1. Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan.
Bogor.
Kinho, J. & Mahfudz. (2011). Prospek
Pengembangan Cempaka di Sulawesi Utara.
Manado: Balai Penelitian Kehutanan
Manado.
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 55-65
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
64
Mahjabin., Bilal, S., & Abidi, A.B. (2015).
Physiological and Biochemical Changes
During Seed Deterioration: A Review.
International Journal of Recent Scientific
Research, 6(4) : 3416-3422.
Murniati, E. 2013. Fisiologi Perkecambahan dan
Dormansi Benih (Dasar Ilmu dan Teknologi
Benih). IPB Press
Nurisma, I., Agustiansyah & Kamal, M. (2015).
Pengaruh jenis kemasan dan suhu ruang
simpan terhadap viabilitas benih sorgum
(Sorghum bicolor [L.] Moench). Jurnal
Penelitian Pertanian Terapan, 15(3), 183–
190.
Rahayu, E., & Widajati, E. (2007). Pengaruh
kemasan, kondisi ruang simpan dan periode
simpan terhadap viabilitas benih caisin
(Brassica chinensis L.). Buletin Agronomi,
35(3), 191-196.
Raka, I.G.N., Astiningsih, A.A.M., Nyana, I.D.N.,
& Siadi, I.K. (2012). Pengaruh dry heat
treatment terhadap daya simpan benih cabai
rawit (Capsicum frutescens l.). Jurnal Agric.
Sci. And Biotechnol, 1(1), 1-11.
Rohandi, A & Widyani, N. (2010). Dampak
Penurunan Kadar Air Terhadap Respon
Fisiologis dan Biokimia Propagul Rhizophora
apiculata BI. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman, 7(4), 170-179
Rustam, E., Suharsi, T,K., Suhartanto, M,R., &
Sudrajat, D,J. (2017). Daya simpan benih
jabon putih (Neolamarckia cadamba (Roxb.)
Bosser) berdasarkan populasi dan
karakteristik benih. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman, 14(1):19-34.
Sadjad, S., Muniarti, E., & Ilyas, S. (1999).
Parameter pengujian vigor benih komparatif
ke simulatif. Jakarta: PT. Grasindo.
Schmidt, L. (2000). Pedoman penanganan benih
tanaman hutan tropis dan sub tropis.
Diektorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial. Departemen Khutanan.
Jakarta.
Siahaan, F, A. (2017). Pengaruh kondisi dan
periode simpan terhadap perkecambahan
benih kesambi (Schleichera oleosa (Lour.)
Merr). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan,
5(1), 1–11.
Sudrajat, D.J., & Megawati. (2010). Keragaman
morfologi dan respon perlakuan pro
perkecambahan benih dari lima populasi
sawo kecik (Manilkara kauki (LL.) Duabard).
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(2), 67–
76.
Sudrajat, D.J., Nurhasybi., & Syamsuwida, D.
(2011). Teknologi untuk memperbaiki
perkecambahan benih kepuh (Sterculia
foetida Linn). Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman, 8(5), 301–314.
Sudrajat, D.J., Yuniarti, N., Nurhasybi.,
Syamsuwida, D., Danu., Pramono, A.A., &
Putri, K,P. (2017). Karakteristik dan prinsip
penanganan benih tanaman hutan berwatak
intermediet dan rekalsitran. Bunga rampai.
IPB Press,
Suita, E. (2006). Pengaruh penurunan kadar air
terhadap daya kecambah dan kecepatan
berkecambah tanjung (Mimusops elengi L.).
Prosiding Seminar Benih Untuk Rakyat
Menghasilkan dan Menggunakan Benih
Bermutu Secara Mandiri. Publikasi
Khusus,5(6), 103-108.
Suita, E., & Darwo. (2015). Teknik penyimpanan
benih manglid (Manglieta glauca BL). Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 12(2), 129–137.
Suita, E., & Ismiati, E. (2008). Pengaruh
penurunan kadar air terhadap perkecambahan
benih kesambi (Schleichera oleosa Merr).
Info benih, 12(2)
Suita, E., & Ismiati, E. (2011). Pengaruh ruang,
wadah dan periode simpan terhadap
perkecambahan benih kesambi (Schleichera
oleosa Merr). Jurnal Pemuliaan Tanaman
Hutan, 5(2), 63–72.
Suita, E., Sudrajat, D.J., & Kartiana, E. (2011).
Pengaruh Penurunan Kadar Air Benih dan
Periode Simpan terhadap Daya Berkecambah
Benih Sawo Kecik (Manilkara kauki) Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor.
Tidak diterbitkan.
Sukesh & Chandrashekar, K,R.. (2013). Effect of
Temperature on Viability and Biochemical
Changes During Storage of Recalcitarant
Seeds of Vatica chinensis L. International
Journal of Botany, 9(3), 73-79.
Sutopo, L. (2002). Teknologi Benih. Jakarta: PT.
PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN
BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)
Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah
65
Raja Grafindo Persada.
Tresniawati, C., Murniati, E., & Widajati, E.
(2014). Perubahan Fisik, Fisiologi dan
Biokimia Selama Pemasakan Benih dan Studi
Rekalsitransi Benih Kemiri Sunan. J. Agron.
Indonesia 42 (1), 74–79.
Thapliyal, M., & Tewari, R. (2011). Seed
germination response to pretreatments and
storage behaviour in Schleichera oleosa
(Lour.) Oken – Indian lac tree. Forests Trees
and Livelihoods, 20, 295-300
Walters, C. (2015). Orthodoxy, recalcitrance and
inbetween: describing variation in seed
storage characteristics using threshold
responses to water loss. Planta, 242(2), 397–
406.
Yuniarti, N., & Nurhasybi. (2015). Perubahan
viabilitas dan biokimia Benih bambang
lanang (Michelia champaca Linn.) pada
berbagai tingkat pengeringan dan metode
penyimpanan. Jurnal Perbenihan Tanaman
Hutan, 3(1), 36–48.
Yuniarti, N., Nurhasybi, & Darwo. (2016).
Karakteristik benih kayu bawang
(Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs)
berdasarkan tingkat pengeringan dan ruang
penyimpanan. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman, 13(2), 105–112.
Yuniarti, N., Syamsuwida, D., & Aminah, A.
(2013). Dampak perubahan fisiologi dan
biokimia benih eboni (Diospyros celebica
Bakh.) selama penyimpanan. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 10(2), 65–71.
Yuniarti, N., Zanzibar, M., Megawati., &
Leksono, B. (2014). Perbandingan vigoritas
benih Acacia mangium hasil pemiliaan dan
yang belum dimuliakan. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea, 3(1), 57–64.
Yuniarti, N., Zanzibar, M., Megawati., & Lekono,
B. (2016). Daya vigoritas benih Acacia
crassicarpa A.Cunn.Ex Benth dari beberapa
sumber benih. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman, 13(2), 121–132.
Zanzibar, M. (2010). Pulai (Alstonia scholaris (L)
R Br). Atlas benih tanaman hutan indonesia.
Jilid I. Publikasi khusus 4 (3) Desember 2010
(Cetakan Ketiga). Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan. Bogor.
JUDUL
Penulis
© 2017 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2017.5.2.95-102 95
Times New Roman 9, italic, huruf kecil
Times New Roman 8, Bold, huruf kapital
JUDUL
( Title)
Penulis Pertama1, Penulis Kedua2, dan/and Penulis Ketiga3
1)Institusi asal penulis 2)Institusi asal penulis 3)Institusi asal penulis
Alamat; Telp/Fax, Kota, Negara
e-mail: salah satu penulis sebagai koresponden
Naskah masuk: ....; Naskah direvisi: ...........; Naskah diterima: ..........(diisi oleh sekretariat redaksi)
ABSTRACT
Abstract should be written in Indonesia and English using Time New Roman font, size 11 pt, italic, single space. Abstract is not a merger of several paragraphs, but it is a full and complete summary that describe
content of the paper it should contain background, objective, paragraph and should be no more than 200 words
in English.
Keyword: 3-5 keywords
ABSTRAK
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 11 pt, spasi tunggal. Abstrak bukanlah penggabungan beberapa paragraf, tetapi merupakan ringkasan yang
utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan,
metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak tidak berisi acuan atau tidak menampilkan
persamaan matematika dan singkatan yang tidak umum. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 250 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Kata kunci : 3-5 kata kunci
I. PENDAHULUAN
Pendahuluan mencakup hal-hal berikut ini: Latar Belakang, berisi uraian permasalahan dan
alasan pentingnya masalah tersebut diteliti. Permasalahan dirumuskan secara jelas, penjelasan
ditekankan pada rencana pemecahan masalah dan keterkaitan dengan pencapaian luaran yang
telah ditetepkan. Tujuan, berisi pernyataan secara jelas dan singkat tentang hasil yang ingin
dicapai dari serangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Sasaran atau luaran
menjelaskan secara spesifik yang merupakan hasil antara dalam rangka mencapai tujuan penelitian.
Hasil yang dicapai, dijelaskan kaitannya dengan kegiatan yang dilaksanakan (khusus untuk
kegiatan penelitian lanjutan).
Kosong satu spasi tunggal
Kosong 2 (dua) spasi tunggal
Kosong satu spasi tunggal
Kosong 1 (satu )spasi tunggal
Kosong 1 (satu) spasi tunggal
Kosong 1 (satu) spasi tunggal
Kosong 2 (dua) spasi tunggal
Kosong 1 (satu) spasi tunggal
Kosong 1 (satu) spasi tunggal
Kosong 2 (dua) spasi tunggal
Commented [U1]: Times New Roman 12, bold, centered, huruf kapital, spasi tunggal, maksimum dua baris, ≤ 15kata
Commented [U2]: Times New Roman 12, italic, centered, huruf kecil diawali huruf kapital tiap kata, spasi tunggal,tanda buka dan tutup kurung
Commented [U3]: Times New Roman 11, tegak, centered, huruf kecil,spasi tunggal, tanda 1) 2) dst digunakan hanya jika penulis satu dengan yang lainnya berbeda asal instasi, jika masih satu instansi tidak perlu menggunakan tanda 1) 2) dst
Commented [U4]: Times New Roman11, huruf kapital, italic,bold
Commented [U5]: Times New Roman 11, spasi tunggal, italic, apabila ada nama ilmiah menjadi tegak & underline
Commented [U6]: Times New roman 11, bold, italic, urutkan sesuai abjad
Commented [U7]: Times New Roman 11,huruf kapital,tegak, bold
Commented [U8]: Times New Roman 11, bold, tegak, urutkan sesuai abjad
Commented [U9]: Times New Roman 12, tegak, bold, centered
Commented [U10]: Times New Roman 12, spasi 1,5 fist line 0,75 cm
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
96
II. BAHAN DAN METODE
Metode Penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional,
empiris dan sistematis. Tanaman dan binatang ditulis lengkap dengan nama ilmiah.
Menggunakan tolak ukur internasional, system matrix dan standar nomenklatur. Metode
penelitian dijelaskan sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Jika metode merupakan kutipan
harus dicantumkan dalam referansi. Jika dilakukan perubahan terhadap metode kutipan atau
standar harus disebutkan perubahannya. Bila diperlukan dengan disajikan dalam tabel..
Untuk Bab dan Sub Bab secara konsisten ditulis rata di batas kiri tulisan, sebagaimana berikut:
A. Bahan dan Alat
Mengemukakan semua bahan yang digunakan seperti tumbuhan kayu, bahan kimia, alat dan
lokasi penelitian, waktu penelitian.
B. Prosedur Penelitian
Mengemukakan tahapan kerja dan beberapa pengujian yang dilakukan. Pelaksanaan penelitian
disusun berurutan menurut waktu, ukuran dan kepentingan. Untuk Sub Sub Bab secara konsisten
ditulis rata di batas kiri tulisan, sebagaimana berikut:
1. Penyiapan contoh kerja
2. Pengujian perkecambahan benih standar di laboratorium
Untuk Sub Sub Sub Bab secara konsisten ditulis, sebagaimana berikut:
a. Indeks perkecambahan (Gi)
b. Uji tetrazolium
C. Analisis Data
Metode statistik (bila ada) harus disebutkan dengan singkat.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil disajikan dalam bentuk uraian umum. Disusun secara berurutan sesuai dengan tujuan
penelitian. Jika tujuan penelitian tidak tercapai perlu dikemukakan alasan dan penyebabnya.
Tabulasi, grafik, analisis statistik dilengkapi dengan tafsiran yang benar. Judul, keterangan tabel
dan gambar dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris dengan huruf miring atau sebaliknya.
Angka yang tercantum dalam tabel tidak perlu diuraikan lagi, tetapi cukup dikemukakan makna
atau tafsiran masalah yang diteliti; dalam bagian ini juga dapat disajikan ilustrasi dalam bentuk
grafik bagan, pictogram dan sebagainya. Dapat mengemukakan perbandingan hasil yang
Kosong 2 (dua) spasi tunggal
Commented [U11]: Times New Roman12, tegak bold, centered
Commented [U12]: Times New Roman 12, spasi 1,5 fist line 0,75 cm
Commented [U13]: Times New Roman 12, bold, huruf kecil, awal huruf besar kecuali kata hubung
Commented [U14]: Times New Roman 12, huruf kecil semua, hanya awal kalimat huruf besar, bold
Commented [U15]: Times New Roman 12, huruf kecil semua, hanya awal kalimat huruf besar
JUDUL
Penulis
97
berlainan dan beberapa perlakuan. Metode statistik yang digunakan dalam pengolahan data harus
dikemukakan, sehingga tingkat kebenaran harus dapat ditelusuri. Prinsip dasar metode
harus diterangkan dengan mengacu pada referensi atau keterangan lain mengenai masalah ini.
Penulis mengemukakan pendapatnya secara objektif dengan dilengkapi data kuantitatif.
TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia
dan Inggris. Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 12 pt dan berjarak satu spasi di
bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 12 pt, rata kiri dan ditempatkan di
atas tabel. Penomoran tabel menggunakan angka (1, 2, ......). Apabila tabel memiliki lajur/kolom
cukup banyak, dapat digunakan format satu kolom atau satu halaman penuh. Apabila judul pada
lajur tabel terlalu panjang, maka lajur diberi nomor dan keterangannya di bawah tabel.
Keterangan (Remarks) dan sumber (Source) ditulis di kiri bawah tabel ditulis dengan Times New
Roman ukuran 10 pt dan berjarak satu spasi. Tabel diletakkan segera setelah disebutkan dalam
naskah.
GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras (hitam
putih atau arsir), masing-masing harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam
bahasa Indonesia dan Inggris. Gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari
setiap halaman. Gambar diletakkan simetris dalam kolom. Apabila gambar cukup besar, bisa
digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan huruf Times New Roman ukuran
12 pt dan berjarak satu spasi rata kiri dan ditempatkan di bagian bawah, seperti pada contoh di
bawah. Gambar diletakkan segera setelah disebutkan dalam naskah.
Tabel (Table) 1. Hasil uji beda Duncan pengaruh lama pengeringan terhadap kadar air polong,
kadar air benih dan daya berkecambah sengon laut (The results of Duncan test of
the effect drying treatment on the pod, seed moisture content and germination
percentage of sengon laut)
Perlakuan pengeringan(Drying treatment)
Kadar air
polong(Pod
moisture content
%
Kadar air
benih(Seed
moisture content)
%
Daya
berkecambah/%
(Germination percentage)
%
Kontrol (Control) (7,76 + 0,13 )a (7,93 + 0,36) a (77,00+4,36) Penjemuran 1 hari (Sun drying for 1 day) (7,78+0,65) a (7,95 + 0,29) a (78,66+ 4,16)
Penjemuran 2 hari (Sun drying for 2 days) (5,72+ 0,69) b (5,98 + 0,10) b (73,66 + 1,53)
Penjemuran 3 hari (Sun drying for 3 days) (5,52 + 0,47 ) b (5,77 + 0,09) b (76,00 + 1,00)
Penjemuran 4 hari (Sun drying for 4 days) (5,53+0,19) b (5,77 + 0,19) b (77,33+2,31) Penjemuran 5 hari (Sun drying for 5 days) (5,53 + 0,23) b (5,59 + 0,51) b (78,66+ 1,53)
Alat pengering 4 jam (Seed drier for 4 hours) (7,70+ 0,09) a (7,94 + 0,05) a (76,33+9,07)
Alat pengering 8 jam (Seed drier for 8 hours) (7,43 + 0,35) a (7,52 +0,03) a (81,66+3,21)
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
98
Alat pengering 12 jam (Seed drierfor 12 hours) (7,46+ 0,14) a (7,56 + 0,11) a (74,44+ 3,21)
Alat pengering 16 jam (Seed drier for 16 hours) (7,47 + 0,41) a (7,49+ 0,29) a (79,00+ 6,24)
Alat pengering 20 jam (Seed drier for 20 hours) (7,51+ 0,44) a (7,56 + 0,12) a (77,66 + 6,81)
Alat pengering 24 jam (Seed drier for 24 hours) (7,52 + 0,42) a (7,53 + 0,21) a (78,00+ 7,21) Alat pengering 28 jam (Seed drier for 28 hours) (7,44 + 0,11) a (7,59 + 0,08) a (77,33+ 4,04)
Alat pengering 32 jam (Seed drier for 32 hours) (5,73 + 0,38) b (6,04 +0,03) b (78,66+ 4,62)
Alat pengering 36 jam (Seed drier for 36 hours) (5,79+ 0,16) b (6,05+ 0,07) b (78,66+ 3,06) Alat pengering 40 jam (Seed drier for 40 hours) (5,75+ 0,43) b (6,11+0,14) b (77,00+ 1,53)
Alat pengering 44 jam (Seed drier for 44 hours) (5,77+ 0,45) b (6,07 + 0,09) b (77,66+ 4,62)
Alat pengering 48 jam (Seed drier for 48 hours) (5,74+ 0,69) b (6,09 +0,11) b (76,66+ 9,07)
Rata-rata (average) 6,70 6,79 77,50
SD 0,95 0,89 4,44
Nilai F hitung (F test) 25,48** 74,14** 0,39
Keterangan (Remarks): Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
selang kepercayaan 99% (Values followed by the same letters on the same colm are not
significantly different : a > b > c < d, etc.P = 99%). ** berbeda sangat nyata pada selang
kepercayaan 99% (significant effect, P = 99%)
Gambar (Figure) 1. Pengaruh skarifikasi benih terhadap waktu berkecambah, kecepatan
berkecambah dan daya berkecambah pada benih kayu kuku (Effect of seed scarification to
germination time, germination speed and germination rate of P. mooniana seeds)
B. Pembahasan
Pembahasan dapat menjawab apa arti hasil yang dicapai dan apa implikasinya. Dapat
menafsirkan hasil dan menjabarkannya, sehingga dapat dimengerti pembaca. Mengemukakan
hubungan dengan hasil penelitian sebelumnya. Bila berbeda tunjukkan, bahas dan jelaskan
penyebab perbedaan tersebut. Hasil penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan hipotesis dan
tujuan penelitian. Mengemukakan fakta yang ditemukan dan alasan mengapa hal tersebut terjadi.
Menjelaskan kemajuan penelitian dan kemungkinan pengembangan selanjutnya. Simbol/lambang
ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus
dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu dapat ditulis kata
Kosong 1 (satu) spasi tunggal
JUDUL
Penulis
99
singkatannya.
Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simestris pada kolom.
Nomor persamaan diletakkan diujung kanan dalam tanda kurung dan penomoran dilakukan secara
berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu baris, maka penulisan
nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk
singkatan, seperti persamaan berikut.
).................................................(1)
Keterangan:
Gt = persen kecambah hari ke-n
Tt = hari uji perkecambahan
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan memuat hasil yang telah dibahas. Hal yang perlu diperhatikan adalah segitiga
konsistensi (masalah-tujuan-kesimpulan harus konsisten). Saran dapat dikemukakan untuk
dipertimbangkan pembaca.
UCAPAN TERIMA KASIH
Merupakan bagian yang wajib ada dalam sistematika karya tulis ilmiah. Suatu penelitian
tidak akan berhasil tanpa melibatkan pihak- pihak yang telah membantu, baik berperan secara
finansial, teknis, maupun substantif. Ucapan terima kasih merupakan sebuah kewajiban, bukan
pilihan (opsional).
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah. Format penulisan Daftar
Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style. Referensi terdiri dari
acuan primer dan/atau acuan skunder. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung
merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer
dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional
terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertai, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook), termasuk
dalam sumber acuan sekunder. Semua karya yang dikutip dalam penulisan karya tulis harus
dimuat dalam daftar pustaka (dan sebaliknya).
Pustaka minimal 15,80% dari pustaka merupakan acuan primer, dan 80% dari acuan primer
Commented [A16]: Times New Roman12, spasi 1
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan
Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102
p-ISSN : 2354-8568
e-ISSN : 2527-6565
100
merupakan publikasi 10 tahun terakhir. Pengelolaan pustaka dalam Jurnal Perbenihan Tanaman
Hutan menggunakan aplikasi software Mendeley, untuk itu disarankan agar penulis menggunakan
software yang sama. Jarak antar pustaka (after spacing) adalah 6 pt. Inden (hanging) pada baris
kedua dengan jarak 0,75 cm. Daftar pustaka harus disusun berdasarkan alphabet nama
pengarang. Penulisan situasi dan daftar pustaka diharuskan menggunakan aplikasi referensi
seperti Mendeley. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Berdasarkan APA style:
1. Paper dalam jurnal
a. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (1 penulis)
Bonner, F. T. (1998). Testing tree seeds for vigor: A review. Seed Tehcnology, 20(1), 5–17.
b. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (2-6 penulis)
Vieira, R. D., Paiva, A. J. A., & Perecin, D. (1999). Electrical conductivity and field performance of soybean
seeds. Seed Technology, 21, 15–24.
2. Buku
Chakraverty, A., & Singh, R. (2001). Postharvest Technology Cereals, Pulses, Fruit, and Vegetables. New
Hampshire (US): Science Publishers, Inc.
3. Prosiding
Gill, N. S., & Delouche, J. (1973). Proceedings of the Association of Official Seed Analysts 63. In
Deterioration of seed corn during storage. (pp. 35–50).
4. Makalah Seminar dan Lokakarya
DBPTH. (2014). Lokakarya penyusunan Standar Mutu Benih dan Mutu Bibit Tanarnan Hutan. In Kebijakan
pengujian benih. Solo, 4-7 November 2014: Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan. Jakarta.
5. Skripsi, tesis dan disertasi
Sudrajat, D. J. (2014). Keragaman populasi, uji provenansi dan adaptasi jabon (Neolamarckia cadamba
(Roxb.) Bosser). Disertasi. Sekolah Pascasrjana. Bogor: Insitut Pertanian Bogor.
6. Laporan penelitian
Aminah, A., & Budiman, B. (2009). Teknik penanganan benih kranji (Pongamia pinnata) sebagai sumber energi terbarukan. Laporan Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor
(ID): Kementerian Kehutanan.
7. Artikel dari internet
Graham, P., Reedman, L., Rodriguez, L., Raison, J., Braid, A., Haritos, V., Adams, P. (2011). Sustainable aviation fuels road map: Data assumptions and modelling, (May), 1–104. Retrieved from
http://www.csiro.au/en/Outcomes/Energy/Powering-Transport/Sustainable-Aviation-Fuels.aspx#
CATATAN:
1. Petunjuk penulisan ini dibuat untuk keseragaman format penulisan dan kemudahan bagi penulis dapat diakses di http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/BPTPTH.
2. Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mmx 297 mm) dengan margin atas 2,5 cm,
margin bawah 2,5 cm, margin kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom
dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 12 halaman, termasuk
lampiran Times New Roman, font 12, kecuali Abstrak, kata kunci dan daftar Pustaka font 11.
Pengutipan pustaka di dalam naskah berdasarkan sistem penulisan referensi APA Style,
sebagai berikut :
JUDUL
Penulis
101
· Karya dengan dua pengarang. ....seperti yang dilakukan oleh Gill dan Delouche (1973)..... atau (Gill & Delouche, 1973)
· Karya tiga sampai lima pengarang. (Kernis, Cornel, Sun, Berry, & Harlow, 1993) atau Kernis, Cornel, Sun, Berry, & Harlow (1993) menjelaskan... Dalam kutipan berikutnya, (Kernis et al., 1993) atau Kernis et al. (1993) argued...
· Enam pengarang atau lebih. Harris et al. (2001) mengasumsikan... atau (Harris et al., 2001)
3. Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka : Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan.
4. Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis wajib Authorship Ethical Statement dan Copyright Agreement Form.